Pemimpin Tak Harus Islam! Oleh: Hendra Sunandar
Beberapa hari yang lalu, masyarakat cukup dihebohkan oleh pernyataan Mantan Menpora, Adhyaksa Dault yang meminta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok untuk masuk Islam terlebih dahulu supaya jalan menuju Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 lancar dan dirinya menyatakan dukungannya jika Ahok memenuhi syarat tersebut. Hal tersebut menuai respon beragam, saya yakin ada sebagian masyarakat DKI Jakarta yang setuju dengan pernyataan tersebut, tetapi ada juga yang tidak, tergantung dari kualitas nalar berfikir dari masing-masing individu dalam melihatnya. Saya juga tidak memahami apa maksud dan tujuan dari pernyataan tersebut yang sebetulnya juga tidak ada relevansinya antara pemimpin dan kewajibannya untuk memeluk Islam. Bukankah syarat menjadi pemimpin itu adalah adil, jujur, amanah, dan lain-lain yang berkaitan dengan kualitas diri setiap pemimpin tersebut? Apakah betul pemimpin itu haruslah yang beragama Islam, sebagaimana yang tersirat dalam pernyataan Adhyaksa Dault tersebut? Meskipun perdebatan tentang boleh atau tidaknya non-muslim menjadi pemimpin adalah sesuatu yang usang, tetapi dalam beberapa kasus tertentu akan terus berulang. Penulis akan mengulas hal ini, khususnya terkait pernyataan mantan Menpora tersebut, yang dinilai sudah tak relevan lagi dengan Indonesia yang multikultur. Pandangan bahwa Islam adalah syarat bagi seorang pemimpin adalah sesuatu yang tidak tepat baik dari aspek politik, sosiologis dan teologis. Dalam tulisan ini, penulis akan mengulas ketiga aspek tersebut. Pertama, dari aspek politik, sejarah Indonesia telah membuktikan bahwa Islam tidak menjadi syarat bagi seorang pemimpin, hal tersebut terbukti pada 18Agustus 1945, rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Soekarno melakukan amandemen terkait pembukaan dan batang tubuh UUD 1945. Salah satu tonggak penting yang perlu dicatat adalah perubahan Preambul Piagam Jakarta dari sebelumnya tertulis “Berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi
“Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Begitu juga dalam Pasal 6 (1) UUD 1945 yang sebelumnya tertulis “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam” untuk selanjutnya dicoret pada kata “dan beragama Islam.” Fakta sejarah tersebut menempatkan posisi penting bahwa sesungguhnya agama bukanlah pertimbangan utama dalam menentukan pemimpin Indonesia. Bukankah setiap warga negara wajib tunduk kepada konstitusi? Dengan demikian, tidak alasan untuk membenarkan bahwa seseorang yang beragama Islam lebih layak menjadi pemimpin ketimbang umat agama lain. Kedua, dari aspek sosiologis, masyarakat Indonesia terdiri dari latar belakang agama yang bermacam, sehingga apabila agama mayoritas dipaksakan untuk menjadi syarat bagi pemimpin yang dalam tataran praktis akan membawahi masyarakat yang beragam juga dipandang tidak etis. Memang, ada semacam rasa tidak rela bagi sebagian umat Islam jika pemimpinnya bukan yang berasal dari agamanya, dengan alasan mayoritas masyarakat Indonesia adalah beragama Islam. Sehingga, yang layak jadi pemimpin adalah yang beragama Islam pula. What a fallacy logic! Dalam konteks masyarakat majemuk, tentu pandangan tersebut keliru, Frederic Bastiat dalam the Law menuturkan ada beberapa anugerah Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat, (1) hak hidup, (2) hak kebebasan, dan (3) hak milik. Hukum, menurut Bastiat boleh mengatur apa saja guna mencapai kesejahteraan hidup asalkan tidak boleh mengurangi ketiga anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia tersebut. Jika ada hukum yang mengatur persyaratan agama dalam menentukan pemimpin, maka itu adalah hukum yang merampas kebebasan, karena tidak semua orang memiliki agama atau kepercayaan yang sama dan sehingga harus ditolak. Ketiga, dari aspek teologis, penulis ingin memfokuskan pada poin ini. Pada dasarnya, ada dua kelompok yang berdebat sengit mengenai legalitas pemimpin non-muslim dalam pendekatan teologis, ini diskursus penting karena menyangkut persoalan al-Quran yang sebagaimana diyakini umat Islam sebagai kitab yang paling suci dan menjadi pedoman. Kelompok ulama yang menolak pemimpin non muslim, atau yang sering dsebut sebagai kaum konservatisme beberapa diantaranya adalah Hassan Al Banna, Dhiya al-Din al Rayis, Al Maududim Taqiyuddin al-Nabhani dan lain-lain. Salah satu ayat al-Quran yang menjadi rujukan adalah yang berbunyi “Janganlah orang Mu’min mengambil orang kafir untuk menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang Mu’min. Barangsiapa berbuat demikian, maka lepaslah
ia dari pertolongan Allah kecuali karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya dan hanya kepada Allah kembali.” (QS 3: Ali Imron: 28) Memang benar, ada ayat al Quran yang secara literal melarang orang non muslim (kafir) untuk menjadi pemimpin. Tetapi, perlu diketahui bahwa dalam pembacaan al-Quran juga harus diperhatikan asbabun nuzul-nya, supaya tidak salah menafsirkan sebuah teks. Menurut periwayatan dari Ibnu Abbas, bahwa surat Ali Imron ayat 28 berkenaan dalam kasus Ubadah Ibnu al-Shamit yang menjalin hubungan baik dengan Yahudi. Ubadah pernah berkata kepada Nabi, “Ya, Nabi, bersamaku ada 500 prajurit Yahudi, aku yakin mereka akan bersedia berperang guna membantu melumpuhkan musuh”, lalu surat Ali Imron ayat 28 turun untuk melarang umat Islam berhubungan dengan Yahudi. Dan juga masih banyak kasus-kasus lainnya. Kelompok yang mendukung pemimpin non-muslim juga beragam, mereka sering disebut sebagai kelompok progresif, karena pandangannya berupaya untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Beberapa yang familiar diantaranya, Said Ashmawi, Asghar Ali Enginer, Ali Abd alRaziq, Mahmoud Mohammad Thoha, Abdullahi Ahmed an-Naim, dan lain-lain. Mahmoud Mohammad Thoha, seorang pemikir asal Sudan, memiliki pendekatan evolusi syariah sebagai jalan peralihan dari satu teks menjadi teks lain berdasarkan skala prioritas. Konsep naskah lama yang menganggap ayat Madaniyyah yang menghapus ayat Makiyyah sudah seharusnya dibalik. Hal tersebut berkenaan dengan ayat Makiyyah yang lebih universal dan inklusif, serta lebih relevan dengan masyarakat moderen abad 21. Pandangan Thoha tersebut berlandaskan pada surat al-Baqarah ayat 106 yang berbunyi “Ayat mana saja yang Kami Naskhan, atau ditunda pelaksanaannya, Kami datangkan ayat yang lebih baik daripadanya atau sebanding. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” Ayat-ayat diskriminatif memang muncul terkait konteksnya saat itu yang belum mengenal konsep Hak Asasi Manusia (HAM) yang berkembang hingga saat ini, sehingga pandangan klasik yang menolak pemimpin non-muslim hanya benar dalam konteksnya di masa lalu dan keliru jika dikaitkan dalam konteks sekarang.An Naim memberikan sebuah konsepsi resiprositas, yang dimaksud sebagai prinsip timbal balik yang membuat orang akan bersikap kepada orang lain sama seperti sikap yang diinginkannya oleh orang lain kepada dirinya. Sehingga, jika anda tidak
ingin diusik oleh orang lain, maka jangan mengusik orang lain pula. Termasuk mengusik keagamaan orang lain guna sebagai jalan menuju puncak pimpinan. Kembali ke bahasan awal, pernyataan Adhyaksa Dault tentang Ahok jelas tidak bisa dibenarkan, baik dari aspek politis, sosiologis maupun teologis. Penulis tidak paham tentang motif dan tujuan terkait pennyataan tersebut, apakah itu sebagai alat untuk memperoleh simpati umat Islam di Jakarta, mengingat nama Adhyaksa Dault juga sering terdengar sebagai calon yang akan maju dalam Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 nanti. Namun perlu dicatat, masyarakat Jakarta adalah masyarakat yang terdidik, bukan masyarakat yang bisa terhipnotis oleh sentimen keagamaan demi kepentingan politis. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana sinisme yang umumnya ditunjukan oleh warga DKI Jakarta terhadap beberapa Ormas Islam yang didukung oleh DPRD DKI Jakarta yang menolak agar Ahok diangkat sebagai Gubernur DKI Jakarta pasca pencalonan Joko Widodo sebagai Presiden RI, hanya karena dirinya non-muslim dan beberapa disebabkan oleh gaya kepemimpinannya. Dalam survey yang dikeluarkan saat itu, Populi Center mengeluarkan data sebesar 42,6% publik menaruh kepercayaan kepada Ahok, angka tersebut jauh lebih besar ketimbang kepercayaan publik terhadap DPRD DKI, yang hanya 7,4%. Angka tersebut sudah menandakan, bahwa isu agama tidak lagi menjadi sandaran warga DKI untuk menaruh kepercayaan. Dengan demikian, pernyataan Adhyaksa Dault tersebut jelas tidak memiliki simplifikasi politik yang positif bagi dirinya sendiri, jika memang niat awalnya hanya untuk mendapatkan simpati dari umat Islam di Jakarta. Perdebatan boleh atau tidaknya non-muslim menjadi pemimpin adalah perdebatan yang tidak produktif dan sudah seharusnya ditinggalkan untuk kemudian diganti dengan perdebatan yang menyentuh langsung ke masyarakat semisal bagaimana meningkatkan produktifitas ekonomi, meningkatkan penyerapan APBD, menanggulangi macet dan banjir, ketimbang masih berdebat seputar agama yang tidak memperoleh manfaat yang besar ke masyarakat. Semoga ajang Pilgub DKI 2017 menjadi arena yang sehat untuk mencapai tujuan baik tersebut. Sudah seharusnya perdebatan yang tidak produktif segera ditinggalkan. Hendra Sunandar adalah lulusan Program Studi Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pria yang pernah menjadi Runner Up lomba debat dalam 'Political Science Student Fair' UI 2012 ini menulis skripsi dengan judul "Analisis Sistem Presidensialisme-Multipartai di
Indonesia; Studi atas Divided Government dalam Relasi Eksekutif-Legislatif Pemerintahan Jokowi-JK.” Bisa dihubungi melalui email:
[email protected] dan twitter: @hendra_lfc