Kaleidoskop Kebebasan Indonesia 2015 Oleh: Hendra Sunandar
SuaraKebebasan.org melakukan penelusuran terkait isu-isu kebebasan sepanjang tahun 2015 yang paling menyita perhatian publik. Tak hanya kritik dan kekurangan yang diperoleh, namun ada beberapa isu yang layak mendapatkan apresiasi. Tulisan ini tidak memberikan nilai terhadap perjalanan kebebasan di Indonesia sepanjang tahun 2015, namun hanya memberikan annual snapshot guna dijadikan evaluasi di tahun selanjutnya.
1. Pencabutan Subsidi BBM Sebetulnya, upaya pengurangan subsidi BBM sudah dilakukan sejak akhir tahun 2014, namun pada tahun selanjutnya, pemerintah melakukan putarbalik kebijakan terkait harga BBM ini guna menyesuaikan dengan harga di pasaran.
Sumber: okezone Bagaimanapun, kebijakan pengurangan subsidi BBM adalah terobosan yang perlu diapresiasi. Seperti diketahui, Indonesia selama lima tahun terakhir sudah mengeluarkan uang Rp 1.300 Triliun untuk subsidi BBM yang angkanya lebih besar dari anggaran infrastruktur dan kesehatan. Subsidi dengan tingkat konsumtif tinggi tersebut berbanding terbalik dengan
tingginya
keperluan
masyarakat
Indonesia
yang
masih
mengalami
kemiskinan dan pengangguran yang cukup banyak. Dengan demikian, evaluasi subsidi agar tepat sasaran adalah hal yang dianggap perlu. Berikut adalah dinamika harga BBM sepanjang tahun 2015: Tanggal 18 November 2014 1 Januari 2015 19 Januari 2015
Harga Premium Rp 8500,00 Rp 7600,00 Rp 6700,00 (Bali
1 Maret 2015 28 Maret 2015 1 Oktober 2015
Madura Rp 6930,00) Rp 6800,00 Rp 7300,00 Rp 7300,00 (Jawa, Madura
dan
Bali
Harga Solar Rp 7500,00 Rp 7250,00 dan Rp 6400,00 (Bali
dan
Madura Rp 6720,00) Rp 6400,00 Rp 6900,00 Rp 6900,00
Rp
7400,00) Upaya menetapkan harga BBM dengan menyesuaikan keadaan pasar adalah bentuk penyelamatan negara dari perampasan legal, meskipun di luar sana, kita banyak menemukan sindiran dan caci maki yang disematkan kepada Presiden terkait kebijakan ini. Meskipun mendapatkan cacian dari publik, Jokowi sebenarnya sudah berhasil menyelamatan pemborosan uang negara oleh mereka yang sebenarnya mampu membeli BBM non-subsidi, dan mengalihkannya untuk sektor yang lebih produktif. Kita beruntung memiliki Presiden yang tidak takut untuk mengeluarkan kebijakan tidak popular dan beresiko bagi popularitas, seperti isu BBM ini. Subsidi pada dasarnya inefisiensi anggaran, yang seharusnya anggaran itu bisa dipacu untuk menopang dan mendukung sektor-sektor yang menjadi prioritas dan mayoritas masyarakat secara luas, seperti UMKM. Meskipun sampai saat ini, kita belum merasakan manfaat yang besar dari pencabutan subsidi itu, tapi waktu yang akan membuktikan.
2. Pemblokiran Situs Islam Radikal Memasuki
tanggal
31
Maret
2015,
pelarangan
situs
Islam
yang
mengandung unsur radikalisme menjadi salah satu yang menyita perhatian, hal ini dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika atas rekomendasi
Badan
Nasional
Penanggulangan
Terorisme
(BNPT).
Menurutnya, hal ini diupayakan untuk mengurangi intensitas penyebaran ujaran radikalisme agama yang dirasakan menganggu kedamaian dan persatuan keanekaragaman masyarakat Indonesia. Jumlah situs tersebut ada 19 dengan rincian sebagai berikut. Arrahmah.com, voa-islam.com, hgu4ba.blogspot.com,
panjimas.com,
thoriquna.com,
dakwatuna.co,
kafilahmujahid.com, annajah.net, muslimday.net, hidayatullah.com, salamonline.com,
aqlislamiccenter.com,
muqawamah.com,
lasdipo.com,
kiblat.net,
gemaislam.com,
dakwahmedia.com, eramuslim.com,
dan
daulahislam.com. Awalnya, niat tersebut adalah baik. Namun, jika dikaji secara komprehensif tenyata kebijakan itu menuai kecaman karena sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, dan di sisi lain kebijakan tersebut dinilai terlalu
instan
dalam
upaya
deradikalisasi agama. Sekalipun situssitus tersebut diblokir, bukan berarti pelaku dari pembuat situs itu akan mati. Dia akan tetap mencari jalan untuk
menyebarkan
ide-ide
yang
dianggapnya paling benar, dan tidak akan memutus rantai persoalan. Tentu
kita
berharap
upaya
deradikalisasi
agama
dilakukan
secara
menyeluruh, namun hal itu juga sebaiknya diiringi dengan cara yang tepat dan memiliki efek berkelanjutan di masa depan. Oleh karena itu, cara-cara
edukatif tetap masih menjadi satu jalan terbaik. Misalnya, melalui diskusidiskusi, pengajaran di Pesantren, serta perwujudan sikap dari dalam diri
Sumber: jakartakita.com
terhadap umat agama lain masih dianggap sebagai cara yang efektif.
3. Pelarangan Peredaran Minuman Beralkohol Pada 16 April 2015, Menteri Perdagangan saat itu Rahmat Gobel mulai memberlakukan kebijakan pelarangan peredaran minuman beralkohol di Minimarket. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No 06/M-DAG/PER/1/2015 yang ditandatangani pada 16 Januari 2015 mengenai Pengendalian, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol. Aturan ini melarang penjualan minuman beralkohol dengan golongan A atau dengan kadar alkohol 5 persen. Menurutnya, hal itu dilakukan untuk melindungi konsumen nasional. Namun, alih-alih untuk melindungi, justu kebijakan menteri ini mendapatkan protes dari beberapa masyarakat karena
dinilai
tidak
memiliki
kontribusi
dalam
upaya
peningkatan
pertumbuhan ekonomi dan hanya menimbulkan debat-debat yang tidak produktif.
Sumber: Berita Satu
Penulis juga menyayangkan dengan adanya kebijakan yang tidak produktif ini.
Peraturan
ini
mengkonsumsi
secara
alkohol
langsung
karena
juga
akan
merugikan
menyulitkan
mereka akses
yang untuk
mendapatkannya, karena tidak semua orang rutin membeli minuman beralkohol di kafe atau bar. Padahal ada cara lain yang bisa digunakan untuk mencegah konsumsi alkohol oleh anak-anak di bawah umur, seperti memperketat penjualan dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk. Dengan demikian, peraturan tidak dibuat secara sepihak. Satu lagi, kita seharusnya belajar dari pengalaman sebelumnya. Jika kita menelisik pada Peraturan Daerah, sejak 2013 sudah ada 147 aturan baru yang melarang dan membatasi penjualan minuman beralkohol. Namun, hal ini tidak menurunkan angka kematian akibat konsumsi oplosan, yang menurut catatan mencapai 18 ribu kematian di tiap tahunnya. Ini artinya pencegahan tidak bisa dilakukan melalui banyaknya aturan, karena yang terjadi justru sebaliknya. Peredaran gelap alkohol ilegal pada saat yang sama juga semakin tinggi dan korban penyalahgunaan alkohol semakin meningkat. Oleh
karenanya,
daripada
membuat
aturan,
lebih
baik
pemerintah
memberikan edukasi guna menekan jumlah penyalahgunaan alkohol secara berlebih dan oplosan, terutama untuk mereka anak-anak di bawah umur.
4. Peluncuran Paket Deregulasi Salah satu kebijakan Presiden Jokowi yang tidak boleh dilupakan adalah adanya
paket
deregulasi
yang
diluncurkan
secara
bertahap
guna
meningatkan minat investasi pemilik modal dan penyaluran data kredit perbankan, serta berujung pada peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Sejak diluncurkan awal September hingga akhir tahun 2015, tercatat sudah ada VI paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan dengan jumlah deregulasi sebanyak 175 yang diterbitkan. Berikut adalah rinciannya:
Sumber: www.setkab.go.id Tentu ini adalah kabar baik dalam dunia usaha, karena ini akan memicu persaingan antar pengusaha sehingga dengan sendirinya akan terus memperbaiki kualitas produksi dengan hambatan negara yang seminimal mungkin.
Namun,
nampaknya
Indonesia
masih
butuh
waktu
untuk
menikmati hasil dari kebijakan deregulasi ini. Seperti yang diucapkan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, “Kebijakan deregulasi
yang diumumkan pemerintah baru akan berdampak pada ekonomi nasional pada tahun depan, karena dikeluarkan pada akhir 2015.” pungkasnya. Sebagaimana diakui olehnya, kebijakan deregulasi sebetulnya sudah meningkatkan minat investasi pemilik modal. Sayangnya hal itu belum optimal dan masih relatif rendah. Tentu kita semua berharap kebijakan ini akan mendapatkan hasil yang baik dan mampu memperbaiki iklim investasi dan meningkatkan kepercayaan investor asing.
5. Isu Radikalisme Agama
Sepanjang tahun 2015, nampaknya isu radikalisme agama masih belum selesai dibahas. Di beberapa tempat masih terjadi persoalan kebhinekaan yang perdebatannya terus berputar dari dahulu hingga sekarang. Kasus seperti pelarangan Syiah di Kota Bogor, kasus di Aceh Singkil, penolakan pembangunan Masjid di Manokwari, kasus di Tolikara, kasus sweeping FPI di Taman Ismail Marzuki, belum lagi dugaan keterlibatan WNI dalam terror yang dilakukan ISIS dan masih banyak kasus-kasus serupa terkait perbedaan paham keagamaan.
Sumber: CPPS UGM Ironi! Di dunia internasional, Indonesia diklaim sebagai negara dengan tingkat toleransi yang tinggi, namun jika ditelisik lebih dalam ternyata persoalan yang dipuji tersebut masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai. Sebagai negara yang majemuk,
seharusnya Indonesia bisa lebih
dewasa dalam menghadapi perbedaan ini. Seperti diketahui, radikalisme ditandai oleh perasaan yang menganggap ajarannya yang paling benar sendiri dan menganggap yang lain salah. Dalam titik ekstrim, radikalisme dapat mengarah pada tindakan kekerasan. Ini menjadi berbuntut panjang jika radikalisme didasarkan pada paham keagamaan yang jumlahnya majemuk. Terlebih, dalam era globalisasi yang memungkinkan batas negara menjadi kabur ini membuat komunikasi antar individu yang berbeda menjadi sangat mungkin terjadi. Kita tidak bisa membatasi diri hanya karena perbedaan,
karena itu akan menghambat kemajuan. Oleh karenanya penting untuk terus didengungkan pentingnya toleransi antar umat beragama. Seperti yang diungkapkan oleh Michael Walzer, Professor Ilmu Politik Institute for Advanced Study (IAS), bahwa toleransi membuat perbedaan menjadi mungkin dan perbedaan membuat toleransi menjadi penting. Masih banyaknya problem terkait radikalisme agama yang belum selesai dan
ini
menjadikan
pekerjaan
rumah
di
tahun
selanjutnya.
Untuk
menyelesaikannya, kita tidak bisa hanya mengandalkan kerja pemerintah saja, tetapi juga harus ada sinergi antara pemerintah dengan masyarakat dan inisiatif dari masyarakat, khususnya mereka yang aktif dalam isu-isu terkait interfaith.
6. Debat Trans-Pacific Partnership Topik lain yang menarik terkait kebebasan adalah tentang perlu atau tidaknya Indonesia bergabung ke dalam Trans-Pacific Partnership (TPP). TPP adalah kemitraan Trans-Pasifik, sebuah blok perdagangan bebas yang baru
diteken
pada
5
Oktober
2015
lalu.
Blok
perdagangan
ini
beranggotakan 12 negara, yakni Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jepang, Selandia Baru, Meksiko, Chile, Peru, Malaysia, Singapura, Brunei dan Vietnam. Indonesia hingga saat ini tidak termasuk dalam daftar negara yang ikut serta dalam kerjasama perdagangan ini. Namun, pada 26 Oktober 2015 perdebatan mengenai perlu atau tidaknya Indonesia bergabung cukup memiliki dentuman keras.
Sumber: www.bbc.com Perdebatan tersebut terjadi karena diawali oleh pernyataan Presiden Jokowi ketika bertemu dengan Presiden Barack Obama pada bulan Oktober yang mengindikasikan
bahwa Indonesia akan segera bergabung dalam blok
perdagangan tersebut. Hal ini sontak mengagetkan kita semua, pasalnya selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono Indonesia kerap kali menjaga jarak dengan tawaran ini.
Hal tersebut terjadi karena muncul
stereotip bahwa TPP seolah-olah dibentuk oleh Amerika Serikat, sedangkan Indonesia secara politik ingin memelihara hubungan baik dengan China. Dugaan-dugaan itu akan selalu ada dalam kebijakan politik internasional dan sudah menjadi sesuatu yang wajar. Sebagai catatan, dalam TPP ini juga berlaku Investor-State Dispute
Settlement
(ISDS)
yang
memungkinkan
investor
dapat
mengajukan
tuntutan hukum terhadap pemerintah, jika kebijakan yang dihadirkan pemerintah menghambat investasi mereka. Ini bukan sesuatu yang buruk jika dipahami melalui logika pasar. Apalagi dalam kenyataannya hambatanhambatan investasi seringkali datang dari negara, sehingga dengan adanya aturan ini maka akan sangat mendukung kenyamanan investor dalam menanamkan modalnya. Bagaimanapun penulis tetap percaya bahwa kemajuan suatu negara banyak dibuktikan oleh seberapa besar intensitas perdagangan bebas yang diterapkan. Pasalnya sejarah sudah membuktikan bahwa, kebebasan membawa pertumbuhan menjadi lebih cepat.
7. Pelarangan Ojek Online Menjelang penutupan tahun 2015, Indonesia dikejutkan dengan surat edaran No.
UM.3012/1/21/Phb/2015 yang ditandatangani oleh Menteri
Perhubungan, Ignasius Jonan tertanggal 9 November 2015 yang berisi pelarangan ojek berbasis online untuk beroperasi. Sesaat setelah beredarnya surat tersebut, banyak masyarakat yang melakukan reaksi penolakan melalui sosial media. Tak bisa dicegah, dalam beberapa menit banyak sekali meme dan sindiran yang dialamatkan kepada mantan Direktur Utama PT KAI tersebut. Bahkan tagar #SaveGojek dengan cepat menjadi trending topic di Twitter. Menurut yang tertera dalam surat tersebut, ojek online (diantaranya Go-Jek, Grab Bike, Blue-Jek, Lady-Jek, dll) dipandang telah melanggar UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan dianggap sebagai moda transportasi terlarang karena tidak ada izin dengan lembaga terkait. Publik marah dan larangan Jonan itu pun langsung ditanggapi oleh Presiden Joko Widodo dengan memanggilnya ke Istana dan meminta aturan tersebut dicabut. Fenomena ini membuktikan bahwa kebebasan sudah menjadi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Kita tahu bahwa ojek online lahir dari inovasi yang muncul berkat adanya kebebasan dalam berekonomi. Lebih jauh, melalui kebebasan berpendapat pulalah ojek online dapat diselamatkan dari regulasi yang merumitkan orang untuk bertindak bebas.
Sumber: viva news Sepintas jika kita merujuk pada UU No. 22 tahun 2009 , maka kita akan menemukan beberapa aturan yang merumitkan individu untuk berinovasi, seperti aturan mengenai kewajiban menggunakan plat berwarna kuning, mendapatkan izin penyelenggaraan angkutan umum, izin trayek dan lainlain, yang untuk mendapatkannya dibutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Dengan demikian, penting untuk mendorong agar UU tersebut direvisi sesuai kebutuhan saat ini. Seperti yang tertuang dalam kicauan Presiden Jokowi yang berbunyi “Saya
segera panggil Menhub. Ojek dibutuhkan rakyat. Jangan karena aturan rakyat jadi susah. Harus ditata. –Jkw” pada 18 Desember 2015 melalui akun twitternya @Jokowi. Di luar aspek regulasi, di tahun 2015 kita juga menyaksikan sikap ketidakdewasaan dari para ojek konvensional dalam menyikapi munculnya ojek online. Di beberapa tempat di Jakarta, terjadi intimidasi, ancaman, dan penganiayaan terhadap supir ojek online, karena keberadaannya telah mengurangi pendapatan mereka. Dalam logika kompetisi hal ini adalah konyol dan memalukan! Sayangnya, mereka yang jelas-jelas melanggar HAM ini tidak diusut secara tuntas secara hukum. Kita berharap kasus ini tidak terjadi lagi dan aparat hukum dapat bertindak lebih tegas.
8. Pilkada Serentak Pada
9
Desember
2015,
untuk
pertama
kalinya
Indonesia
menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di 265 daerah. Ini merupakan capaian yang perlu diapresiasi, mengingat dalam pelaksanaannya tidak ditemukan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi layaknya perang Sunni-Syiah di Timur Tengah, ataupun konflik antara Ahmadiyah
dan
non-Ahmadiyah
seperti
di
Cikeusik
yang
banyak
menimbulkan korban jiwa. Jika dilihat dari segi keamanan, Pilkada serentak 2015 berjalan dengan normal dan terkoordinasi. Selain itu, beberapa isu yang paling mencuat terkait pelaksanaan Pilkada adalah
adanya
Tasikmalaya,
calon
Kota
tunggal
Mataram,
di
empat
Kabupaten
daerah, Timor
yakni
Tengah
Kabupaten Utara,
dan
Kabupaten Blitar. Tak ayal, hal ini menuai protes dari beberapa pihak yang berujung pada ditundanya pelaksanaan Pilkada di daerah tersebut hingga tahun 2017.
Sumber: Bawaslu Hal ini patut disayangkan karena berdampak pada kehilangan hak politik masyarakat untuk memilih pemimpinnya setiap 5 tahun sekali. Munculnya fenomena calon tunggal ini juga perlu dijadikan evaluasi mengapa hal tersebut bisa terjadi. Apakah ini tanda bahwa masyarakat semakin skeptis dengan pemilu atau ini merupakan bentuk kegagalan partai politik dalam upaya memproduksi calon pejabat publik?
Meskipun dari segi keamanan Pilkada berjalan lancar, namun bukan berarti dari segi lainnya tanpa persoalan. Hal-hal krusial seperti kapabilitas calon kepala daerah juga kerap menjadi perdebatan, tak hanya itu keberadaan calon yang tengah menjabat dalam Pilkada serentak juga sebagian besar berhasil memenangkan pemilihan menjadi perbincangan yang hangat dalam diskusi-diskusi di media sosial.
9. Ujaran Kebencian Menjelang tahun baru, yakni 17 Desember 2015, publik juga dihebohkan dengan penangkapan Yulianus Paonganan karena dianggap melakukan dugaan ujaran kebencian terhadap Presiden Jokowi di Twitter dengan memposting foto Presiden Jokowi bersama Nikita Mirzani dibarengi dengan tagar #PapaDoyanLonte.
Sumber: www.twitter.com Ditangkapnya seseorang yang biasa disapa ‘Ongen’ tersebut oleh Badan Reserse Kriminal Polri tersebut tidak saja menggemparkan netizen, tetapi juga mengingatkan kita agar lebih bersikap hati-hati dalam melakukan kebebasan berekspresi, karena terdapat UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) yang bisa menjerat siapapun yang dianggap menyinggung pihak manapun.
Namun, apakah penangkapan itu dirasa tepat? Apakah yang membedakan antara kritik dengan ujaran kebencian ataupun ungkapan satir?
Jangan
sampai aturan membuat bingung para pembacanya karena tidak ada definisi yang jelas mengenai perbedaan antara kritik dengan ujaran kebencian. Alhasil, hanya muncul ambiguitas sehingga penangkapan Ongen pun menimbulkan pro dan kontra. Tetapi mari kita sedikit membahas, menurut aktivis Safanet Damar Juniarto, Pasal 28 ayat 2 yang disangkakan kepada Ongen adalah delik aduan yang seharusnya mengacu pada Pasal 156 KUHP. Untuk itu, harus ada aduan agar tidak berdiri sendiri dan harus jelas penyebaran kebencian jenis apa yang dijadikan alasan. Lalu jika merujuk pada tagar #PapaDoyanLonte, kebencian jenis apa yang dijadikan persoalan? Dalam tweet tersebut juga tidak ditemukan provokasi atau ajakan untuk memulai tindak kekerasan atau kejahatan seperti yang dilakukan sebagian umat Islam terhadap Syiah dan Ahmadiyah. Anda pasti tahu, di era media sosial seperti sekarang maka kita akan mudah menemukan ejekan dan makian yang dilakukan oleh satu pihak terhadap pihak lain, dan itu pun sudah dianggap biasa dan bukan dianggap sebagai ujaran kebencian. Ke depan, harus ada aturan dan definisi yang jelas mengenai perbedaan antara kritik dan ujaran kebencian agar tidak terjadi kesimpangsiuran hukum. Jika hal itu menyangkut ujaran kebencian yang didalamnya terbukti terdapat ajakan untuk melakukan kekerasan, kejahatan dan tindak kriminal, maka sebagai upaya preventif seharusnya aksi ini ditindak lewat jalur hukum. Namun, jika hanya berbentuk kritik maka itu adalah kebebasan yang harus dijaga dan tak sepatutnya masuk ranah hukum, kecuali jika negara ini otoriter.
10.
Pelarangan Metro Mini
Memasuki 21 Desember 2015, warga DKI Jakarta juga dikejutkan dengan kebijakan Ahok yang melarang dan menyita sebagian besar Metro Mini di Jakarta karena dianggap sudah tidak layak sebagai transportasi publik. Meskipun sudah lama diperingatkan oleh pemerintah untuk berbenah diri, namun hal itu tidak dilakukan dengan maksimal. Sebagaimana diketahui, bila merujuk pada Peraturan Daerah DKI No. 5 Tahun 2014 tentang Transportasi, seluruh moda transportasi angkutan umum di Jakarta tidak diperkenankan memiliki usia lebih dari 10 tahun. Namun, aturan itu juga mensyaratkan kewajiban setiap angkutan umum untuk melakukan uji kelayakan secara berkala. Pelarangan ini seperti layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi, hal ini mencederai kebebasan setiap orang untuk berusaha, namun juga terkait dengan keselamatan penumpang, mengingat berkali-kali terjadi kecelakaan yang melibatkan Metro Mini. Selain itu, tak jarang ditemukan supir yang ugal-ugalan. Ke
depan,
sudah
seharusnya
manajemen
Metro
Mini
melakukan
pembenahan diri, baik dari segi kendaraan yang digunakan maupun supir yang beroperasi, sehingga pemerintah tidak akan melakukan pelarangan lagi. Ya, setiap orang memiliki kebebasan dalam berekonomi, namun juga harus dibarengi dengan kualitas yang baik. Pemerintah juga seharusnya untuk tidak gegabah untuk memberikan pelarangan, sebaiknya juga dibarengi dengan edukasi, pengawasan dan penegakan hukum, serta pengarahan dan ikut membina agar Metro Mini bisa memperbaiki pelayanannya, ketimbang langsung melarang pihak yang bersangkutan untuk beroperasi yang justru telah menghambat orang untuk berusaha.
Sumber: Tempo Selain itu, catatan juga perlu disematkan kepada Organisasi Angkatan Darat (Organda) yang merupakan penggabungan organisasi-organisasi pengusaha angkutan umum. Organisasi yang dibentuk pada tahun 1962 ini awalnya dibangun untuk membina dan mengembangkan kemampuan profesionalisme para anggotanya, namun hasilnya hanya memunculkan kartel-kartel yang tersusun secara formal dalam usaha angkutan umum. Kartel dapat dimaksud terwujud dalam upaya persetujuan sekelompok perusahaan untuk mengendalikan harga. Misalnya, berkali-kali Organda melakukan
upaya
untuk
menaikkan
tarif
angkutan
umum
secara
keseluruhan sesuai keinginan. Hal itu pulalah yang dahulu sempat dipersoalkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPS). Dalam perspektif kebebasan, seharusnya setiap pengusaha diberikan kewenangannya secara mandiri untuk menentukan tarifnya agar konsumen dengan sendirinya difasilitasi dengan banyaknya pilihan untuk menentukan barang dan jasanya dengan kualitas bagus dan harga yang terjangkau. Apa yang ditunjukan Organda jelas merupakan pelanggaran atas dunia usaha dan harus segera ditindaklanjuti keberadaannya secara lebih tegas, karena tidak membawa manfaat dalam persaingan usaha. Toh, Organda juga
tidak
mampu
untuk
membantu
perbaikan
kualitas
kendaraan
transportasi umum, tetapi pada saat ada keinginan untuk menaikkan tarif angkutan, organisasi ini terlihat paling lantang. Ironi!
Harapan ke depan, pemerintah bisa lebih tegas dan berani dalam upaya perubahan total dari moda transportasi di Jakarta ini, baik dari kualitas kendaraan hingga etika dari supir yang berkendara. Ketimbang memihak pada Organda, moda transportasi seperti Go-Jek, Grab Bike, Taxi Grab, Uber dan sejenis merupakan salah satu terobosan dari inovasi masyarakat yang perlu didukung pemerintah. Dengan demikian, masyarakat menjadi diuntungkan dengan banyaknya pilihan transporasi yang tersedia.
Catatan Untuk 2016: Tantangan dan Peluang Seperti yang dapat dilihat dari catatan di atas, kebebasan masih menjadi problem yang belum selesai di tahun 2015. Bahkan 2015 telah memberikan pekerjaan rumah bagi kita untuk diselesaikan di tahun selanjutnya. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk terus berkaca demi memperbaiki hal-hal yang belum diselesaikan guna menyongsong 2016 yang lebih baik. Pada tahun 2015, terdapat beberapa isu tak produktif dan berujung pada tingginya
protes
dari
masyarakat,
seperti
pelarangan
ojek
online,
pelarangan peredaran minuman beralkohol di Minimarket, serta pelarangan situs-situs. Tak jarang hal ini juga memicu trending topic di media sosial sebagai reaksi masyarakat yang juga dihasilkan berkat adanya kebebasan berpendapat. Tak hanya itu, di pertengahan 2015 Indonesia juga disuguhkan oleh perilaku tidak bertanggung jawab dan melanggar HAM oleh beberapa pengemudi ojek konvensional terhadap pengemudi ojek online. Isu lain yang tidak produktif yakni radikalisme agama yang masih menjadi persoalan yang belum usai, seperti isu tentang Tolikara, Aceh Singkil, Syiah, dan lainlain. Hal ini membuat wacana keagamaan menjadi hal yang terus diperbincangkan, meskipun topik dan argumennya selalu berulang dari tahun ke tahun. Selain itu, jika kita lihat seksama perdebatan melalui Twitter, maka kita masih disungguhkan perdebatan antara pro dan kontra
JIL, yang sebetulnya sudah sangat usang. Ya, itulah isu tak produktif yang menghiasi sepanjang 2015! Di sisi lain, kita harus akui, selama tahun 2015 pun juga terdapat beberapa isu
yang
layak
diapresiasi
seperti
pencabutan
subsidi
BBM,
lalu
diluncurkannya paket deregulasi oleh pemerintah Jokowi dan pelaksanaan Pilkada serentak yang berlangsung damai dan tanpa kekererasan. Ada isu yang layak diapresiasi, namun ada juga isu tak produktif yang masih harus dikritisi dan diperbaiki untuk tahun selanjutnya. Butuh sinergiti dari banyak pihak untuk menyelesaikannya. Kita pun berharap ke depan, ide-ide kebebasan akan terus mencapai kepercayaan dan realisasinya di masyarakat dan pemerintah. Kebebasan sudah menjadi kebutuhan dasar manusia guna melangsungkan hidupnya. Kebebasan adalah hak dasar yang lahir bersamaan sejak diri kita hadir di Bumi. Ia tidak diperanakkan oleh siapapun dan juga sebagai unsur yang tidak dapat dilihat, tetapi memiliki manfaat yang luar biasa bagi perjalanan hidup manusia. Tanpa adanya kebebasan, kita tak mungkin berinovasi dan tumbuh lebih cepat. Gadget yang sedang Anda pegang sekarang adalah hasil dari kebebasan yang dahulu diperjuangkan oleh Adam Smith yang kemudian diteruskan oleh Friedrich A. Hayek dan rekan-rekannya yang tergabung dalam The Moon Pelerin Society. Kebebasan telah memicu individu untuk berinovasi dan melahirkan gadget. Dengan gadget yang hanya berukuran sekapal tangan, Anda sudah bisa menjelajah dan berinteraksi tanpa batas dengan dunia luar, Anda bisa melakukan apa saja dengan mudah, baik itu menyuarakan pendapat lewat media sosial hingga memesan ojek online untuk berpergian. Anda pun juga sudah
bisa
memesan
makanan
hanya
melalui
gadget. Itulah
buah
kebebasan! Ya, Anda sendiri menikmatinya, bukan? Maka, sudah sewajarnya jika saat ini kita terus memperjuangkan agar kebebasan menjadi arus utama dalam orientasi kehidupan manusia dan
orientasi dalam pengambilan kebijakan, karena kita sudah mendapatkan manfaat yang besar dari kebebasan ini. Sudah sepatutnya kita bersamasama
berjuang
dan
menjaga
agar
kebebasan
tetap
hidup
guna
menyongsong generasi selanjutnya. Salam Kebebasan!
Hendra Sunandar adalah lulusan Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menyelesaikan studinya pada bulan Agustus
2015
dan
SuaraKebebasan.org
kini
aktif
sebagai
Jurnalis
Feature
di