PEMETAAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DAN ADAPTASI BERBASIS EKOSISTEM HUTAN (STUDI KASUS : DAS CILIWUNG)
TRI HASTUTI SWANDAYANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Pemetaan Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim Berbasis Ekosistem Hutan (Studi Kasus : DAS Ciliwung)” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2010
Tri Hastuti Swandayani NRP E151070191
ABSTRACT TRI HASTUTI SWANDAYANI. Mapping the Vulnerability of Societies to Climate Change and Adaptation Base on Forest Ecosystem (Case Study: Ciliwung Watershed). Under direction of HERRY PURNOMO and BUDI KUNCAHYO Climate change is hot issue now. It impacts global ecosystem change. Ciliwung Watershed is one of degradation watershed in Indonesia. Ciliwung Watershed is vulnerable to climate change, especially precipitation and temperature. It affects the social vulnerability at Ciliwung Watershed. There are three characteristic of vulnerability. They are exposure, sensitivity and adaptive capacity. The aim of this research was to evaluate vulnerability of societies to climate change at Ciliwung Watershed. To achieve this goal used Analytical Hierarchy Process (AHP) and Geography Information System (GIS). The research produced that vulnerability of societies at Ciliwung Watershed different spatially. The vulnerability of societies at Lower Ciliwung Watershed classified in class intermediate with index was 0.94. Upper and Middle Ciliwung Watershed classified in class low with index were 0.16 and 0.11. In addition, adaptation to climate change was gaining important because climate change could not be totally avoided. Forest ecosystem deliver ecosystem services that vital for people and contribute to reducing the vulnerability of societies to climate change. Therefore, forest ecosystem can be one of strategic adaptation to climate change. Adaptation base on forest ecosystem give multiple benefit and cheap cost. The strategic adaptation base on forest ecosystem can be managed with sustainable forest management. The implications of these result show that we have to conserve and rehabilitate our forest ecosystem. Key word: vulnerability, climate change, adaptation, forest ecosystem
RINGKASAN TRI HASTUTI SWANDAYANI. Pemetaan Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim dan Adaptasi Berbasis Ekosistem Hutan (Studi Kasus DAS Ciliwung). Dibimbing oleh HERRY PURNOMO dan BUDI KUNCAHYO Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, yang sebagian besar disebabkan karena kegiatan manusia, telah menyebabkan terjadinya pemanasan global. Total kenaikan suhu dari tahun 1850-1899 ke 2001-2005 adalah 0.76 ± 0.19 0C. Perubahan iklim memberikan dampak pada semua sektor kehidupan, antara lain: sektor sumber daya air, sektor kehutanan, sektor pertanian dan sektor kehidupan lainnya. Perubahan iklim juga berpengaruh pada karakteristik hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS). Berdasarkan hasil proyeksi model iklim oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup (1998) bahwa DAS Ciliwung merupakan salah satu DAS yang rentan terhadap perubahan iklim. Kondisi ini akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat di sekitar DAS Ciliwung karena DAS Ciliwung tidak akan optimal menyediakan jasa dan fungsi ekosistem yang sangat diperlukan oleh masyarakat di sekitar DAS Ciliwung. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung. Sedangkan sub tujuan dari penelitian ini adalah: a) mengidentifikasikan kriteria dan indikator kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim; b) menganalisis tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim secara spasial; c) menganalisis adaptasi terhadap perubahan iklim berbasis ekosistem hutan. Penilaian kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung menggunakan tiga elemen kerentanan, yaitu: singkapan, kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat. Kriteria dan indikator dari singkapan menggunakan hasil referensi KNLH (1998). Sedangkan kriteria dan indikator kepekaan dan kemampuan adaptasi diperoleh dari studi literatur dan wawancara dengan pakar, yang kemudian disesuaikan dengan kondisi lokasi penelitian dengan menggunakan metode observasi, wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD). Dari hasil penelitian terlihat bahwa kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim dipengaruhi oleh seluruh aspek kehidupan (fisik, sumber daya manusia, ekonomi, sosial dan alam). Pemetaan kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Geography Information System (GIS). AHP digunakan untuk menentukan nilai prioritas atau bobot dari tiap-tiap indikator kerentanan. Dalam malaksanakan AHP, responden dipilih secara purposive dan menggunakan kuisioner. Hasilnya menunjukkan bahwa unsur kepekaan mempunyai bobot paling tinggi sebesar 41.1% atau 0.411. Diikuti oleh kemmapuan adaptasi dan singkapan sebesar 37.1% dan 21.8%. Hasil pemetaan terlihat bahwa tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung berbeda secara spasial tergantung dari besarnya singkapan dan kepekaan masyarakat serta kemampuan adaptasi masyarakat. Tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung Hilir digolongkan dalam kelas sedang dengan indeks kerentanan sebesar 0.94. DAS
Ciliwung Hulu dan Tengah digolongkan dalam kelas agak rendah dengan indeks kerentanan masing-masing sebesar 0.16 dan 0.11. Tingkat kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung tergantung besarnya singkapan, kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat di DAS Ciliwung. Singkapan di DAS Ciliwung tergolong dalam kelas sedang dengan indeks sebesar 0.65. Kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat di DAS Ciliwung berbeda secara spasial. Kepekaan masyarakat Di DAS Ciliwung Hilir digolongkan dalam kelas sedang dengan indeks kepekaan sebesar 1.25. Kepekaan masyarakat di DAS Ciliwung Hulu dan Tengah digolongkan ke dalam kelas agak rendah dengan indeks masing-masing 0.83 dan 0.63. Kemampuan adaptasi masyarakat di DAS Ciliwung Hilir dan Tengah dikelompokkan dalam kelas sedang dengan indeks kemampuan adaptasi masing-masing sebesar 0.96 dan 1.17. Sedangkan kemampuan adaptasi masyarakat di DAS Ciliwung Hulu digolongkan dalam kelas agak tinggi dengan indeks kemampuan adaptasi sebesar 1.32. Perubahan iklim tidak dapat dikurangi secara tuntas dan memberikan dampaknya secara perlahan dan pasti. Oleh karena itu, diperlukan suatu perencanaan adaptasi terhadap perubahan iklim. Alam, terutama ekosistem hutan menyediakan jasa dan fungsi ekosistem yang sangat penting bagi kehidupan manusia, terutama sebagai pengatur tata air dan suhu. Selain itu, ekosistem hutan dapat mengurangi tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, ekosistem hutan dapat digunakan sebagai salah satu adaptasi terhadap perubahan iklim. Strategi adaptasi berbasis ekosistem hutan memberikan manfaat ganda serta biaya murah. Namun demikian, ekosistem hutan di DAS Ciliwung dalam kondisi yang memprihatinkan karena banyak terjadi degradasi lahan dan konversi lahan hutan menjadi ke penggunaan lain. Strategi adaptasi berbasis ekosistem hutan dapat dilakukan dengan pengelolaan ekosistem hutan yang lestari. Implikasi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kita harus mengkonservasi dan merehabilitasi hutan kita. Kata Kunci: kerentanan, perubahan iklim, adaptasi, ekosistem hutan
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan dari suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
PEMETAAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DAN ADAPTASI BERBASIS EKOSISTEM HUTAN (STUDI KASUS : DAS CILIWUNG)
TRI HASTUTI SWANDAYANI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Tania June, M.S
Judul Tesis
Nama NRP
: Pemetaan Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim dan Adaptasi Berbasis Ekosistem Hutan (Studi Kasus : DAS Ciliwung) : Tri Hastuti Swandayani : E151070191
Menyetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp Ketua
Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS
Tanggal Ujian : 19 Februari 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul ″Pemetaan Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim dan Adaptasi berbasis Ekosistem Hutan (Studi Kasus : DAS Ciliwung)“. Kesuksesan penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini izinkan penulis menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada: 1. Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Com dan Dr. Ir. Budi Kuncahyo, M.S selaku dosen pembimbing serta Dr. Ir. Tania June, M.S selaku dosen penguji. 2. Orang tua serta seluruh keluargaku atas segala doa, kesabaran dan dukungannya selama ini. 3. Departemen Kehutanan sebagai sponsor dan Kepala Balai BPHPS Riau yang memberikan kepercayaan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2. 4. Teman-temanku semua (BPHPS Riau, Manggala, TNGHS, BP DAS Ciliwung-Citarum, Wisma Karona, Fakultas Kehutanan IPB terutama IPH angkatan 2007, Ciliwung peduli, Jakarta, Bogor, Depok) atas bantuan, spirit serta kritikannya. 5. BPS (Jakarta, Bogor dan Depok), BAPPEDA dan Pemda ( Bogor, Depok, Jakarta), Pak Badri dan masyarakat-masyarakat di DAS Ciliwung, serta seluruh pihak yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data dan penyelesaian karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, Insya Allah. Bogor, Februari 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 27 Agustus 1977 dari pasangan Gito Mulyono dan Puji Ati. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2007, Penulis diterima di Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan pada Program Pasca sarjana IPB. Penulis bekerja sebagai Pegawai Pelayanan dan Evaluasi (PE) di Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat (BPHPS) Riau sejak 31 Desember tahun 2003. Sebelumnya Penulis bekerja sebagai programmer di PT Praweda, Jakarta.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
x
1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................... 1.3 Tujuan ................................................................................................ 1.4 Manfaat .............................................................................................. 1.5 Ruang Lingkup .................................................................................. 1.6 Kerangka Pemikiran .........................................................................
1 1 3 4 4 4 5
2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) ............................................................ 2.2 Indek Penggunaan Air ....................................................................... 2.3 Perubahan Iklim dan Siklus Hidrologi .............................................. 2.4 Kerentanan(vulnerability) ................................................................. 2.5 Ekosistem Hutan dan Kesejahteraan Manusia .................................. 2.6 Adaptasi Berbasis Ekosistem Hutan .................................................. 2.7 Analytical Hierarchy Process (AHP) ................................................. 2.8 Sistem Informasi Geografi (SIG) .......................................................
7 7 8 9 10 12 13 14 15
3 METODE PENELITIAN .......................................................................... 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... 3.2 Alat dan Bahan .................................................................................. 3.3 Metode Penelitian ............................................................................. 3.3.1 Pengumpulan Data ................................................................. 3.3.2 Pengolahan dan Analisis Data ...............................................
16 16 18 18 18 18
4 KONDISI UMUM LOKASI .................................................................... 4.1 Letak dan Luas .................................................................................. 4.2 Kondisi Fisik ..................................................................................... 4.3 Kondisi Penggunaan Lahan ............................................................. 4.4 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat .............................................
27 27 28 29 29
5 HASIL PENELITIAN .............................................................................. 5.1 Kriteria dan Indikator Kerentanan ..................................................... 5.2 Analisis AHP ..................................................................................... 5.3 Pemetaan Kerentanan Masyarakat .................................................. 5.3.1 Pemetaan Singkapan .............................................................. 5.3.2 Pemetaan Kepekaan Masyarakat ............................................. 5.3.3 Pemetaan Kemampuan Adaptasi ............................................. 5.3.4 Pemetaan Kerentanan Masyarakat ..........................................
32 32 36 37 37 39 40 41
VII
6 PEMBAHASAN ...................................................................................... 6.1 Analisis Kriteria dan Indikator Kerentanan Masyarakat .................... 6.2 Analisis AHP ..................................................................................... 6.3 Analisis Pemetaan Kerentanan Masyarakat .................................... 6.4 Analisis Adaptasi Berbasis Ekosistem Hutan ....................................
44 44 49 51 56
7 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 7.1 Kesimpulan ........................................................................................ 7.2 Saran ..................................................................................................
66 66 67
8 DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
69
LAMPIRAN .................................................................................................
74
DAFTAR TABEL Halaman 1 Perubahan IPA pada DAS di Jawa dengan skenario iklim ....................
9
2 Peralatan dan bahan yang dibutuhkan ....................................................
18
3 Indikator dan kriteria kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat ..
19
4 Skala Penilaian .......................................................................................
21
5 Contoh matrik perbandingan ..................................................................
21
6 Contoh form pengisian pakar .................................................................
21
7 Klasifikasi indek kerentanan ..................................................................
23
8 Tahapan kegiatan penelitian ...................................................................
25
9 Luas, jumlah dan kepadatan penduduk di DAS Ciliwung .....................
30
10 Perkembangan penduduk Jakarta-Bogor-Depok 1961 – 2000 (x 1000) .
31
11 Kriteria dan indikator kerentanan masyarakat .......................................
35
12 Fluktuasi debit di DAS Ciliwung ...........................................................
45
13 Nisabah banjir di DAS Ciliwung Hulu ..................................................
53
14 Pola perubahan tata guna lahan di DAS Ciliwung .................................
58
15 Penyimpangan RTRW di DAS Ciliwung Hulu dan Tengah ..................
58
16 Penyebaran lahan kritis di DAS Ciliwung ..............................................
59
17 Simulasi perubahan penggunaan lahan ..................................................
61
18 Identifikasi masalah pengelolaan ekosistem di DAS Ciliwung .............
64
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pikir penelitian ........................................................................
6
2
Konsep penilaian kerentanan (sumber : Kasperson et al. 2005) .............
11
3
Lokasi penelitian (DAS Ciliwung) ........................................................
17
4
Tahapan penyusunan peta kerentanan masyarakat ................................
24
5
Diagram alir tahap penelitian .................................................................
26
6
Batas wilayah DAS Ciliwung ................................................................
27
7
Persepsi masyarakat tentang adanya gejala perubahan iklim ................
33
8
Persepsi masyarakat tentang ketersediaan air ........................................
34
9
Hirarki hasil analisis AHP .....................................................................
36
10 Peta singkapan sebelum terjadi perubahan iklim ...................................
38
11 Peta singkapan setelah terjadi perubahan iklim ......................................
39
12 Peta kepekaan masyarakat di DAS Ciliwung .........................................
40
13 Peta kemampuan adaptasi masyarakat di DAS Ciliwung ......................
41
14 Peta kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung ......................................
42
15 Grafik indeks kerentanan .......................................................................
43
16 Rata-rata jeluk debit bulanan di DAS Ciliwung Tahun 1977-1987 (sumber: Pawitan (1989)) .......................................................................
52
17 Fluktuasi tinggi muka air di Stasiun Ratujaya (Sumber: Fakhruddin (2003)) ....................................................................................................
54
18 Rata-rata curah hujan Daerah Jabotabek 17 Jan – 9 Feb 2002 (sumber: Nugroho (2002)) ....................................................................................
54
19 Persepsi masyarakat adanya pengaruh hutan pada kuantitas air di DAS Ciliwung .................................................................................................
60
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Daftar istilah ..........................................................................................
75
2 Peta topografi di DAS Ciliwung ............................................................
77
3 Peta jenis tanah di DAS Ciliwung ..........................................................
78
4 Peta curah hujan di DAS Ciliwung ........................................................
79
5 Peta penggunaan lahan di DAS Ciliwung tahun 1996 ............................
80
6 Peta penggunaan lahan di DAS Ciliwung tahun 2007 ............................
81
7 Peta lahan kritis di DAS Ciliwung .........................................................
82
8 Peta kepadatan penduduk di DAS Ciliwung ..........................................
83
9 Kriteria dan indikator kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung ....................................................................................
84
10 Daftar pertanyaan AHP ..........................................................................
86
11 Daftar responden AHP ...........................................................................
90
12 AHP hasil olahan expert choice .............................................................
91
13 Nilai dan bobot kerentanan ....................................................................
93
1 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kondisi iklim di bumi tidak pernah statis, tapi berbeda-beda dan
berfluktuasi dalam jangka waktu yang lama. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, yang sebagian besar disebabkan karena kegiatan manusia, telah menyebabkan terjadinya pemanasan global (IPCC 2007). Total kenaikan suhu dari tahun 1850-1899 ke 2001-2005 adalah 0.76 ± 0.19 0C (IPCC 2007). Jika konsentrasi GRK terus meningkat, pemanasan global akan berdampak luas pada ekosistem dan manusia. Dampak perubahan iklim berbeda secara temporal dan spasial (IPCC 2001). Untuk menilai dampak perubahan iklim diperlukan perkiraan bagaimana iklim itu berubah pada tingkat lokal dan regional, serta bagaimana perubahan tersebut mempengaruhi ekosistem dan kehidupan manusia. Salah satunya menggunakan model sirkulasi umum atau Global Circulation Models (GCMs). Berdasarkan hasil GCMs, terlihat bahwa perubahan iklim memberikan dampak pada semua sektor kehidupan, antara lain: sektor sumber daya air (Rozari et al. 1991; Susetyo et al. 1994; Kaimuddin 2000), sektor kehutanan (Lourdes & Irma 1997; Lee et al. 2009; Lasco et al. 2009), sektor pertanian (O’Brien et al. 2004) dan sektor kehidupan lainnya. Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung merupakan salah satu DAS kritis di Indonesia. Degradasi DAS Ciliwung terlihat dari kuantitas dan kualitas air di DAS Ciliwung yang semakin buruk. Kuantitas air di DAS Ciliwung terlihat pada fluktuasi debit yang tinggi antara musim hujan dan kemarau, serta erosi dan sedimentasi di sepanjang sungai yang makin tinggi (BPDAS Ciliwung-Citarum 2007). Kondisi ini menyebabkan terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Kualitas air di DAS Ciliwung semakin menurun dari tahun ke tahun. Selain itu, semakin ke hilir semakin rendah kualitas airnya. Kondisi air di DAS Ciliwung yang mengalir ke hilir atau DKI Jakarta sudah sangat tercemar dan tidak dapat dimanfaatkan untuk keperluan air minum dan perikanan (BPDAS Ciliwung-Citarum 2007). Degradasi DAS Ciliwung, terutama terkait dengan kuantitas air, disebabkan oleh rusaknya daerah tangkapan air yang cenderung diperparah oleh gejala
2
perubahan iklim (KNLH 2007). Rusaknya daerah tangkapan air disebabkan karena kegiatan perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan, terutama di DAS Ciliwung Hulu sebagai daerah konservasi, sangat berpengaruh pada kuantitas air di DAS Ciliwung (Singgih 2000; Fakhruddin 2003; Pawitan 2006; Lisnawati 2006). Waggoner et al. (1990) menyatakan bahwa perubahan iklim berpengaruh pada karakteristik hidrologi, terutama kuantitas air dalam suatu DAS. Data dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menunjukkan bahwa curah hujan ratarata bulanan di daerah sekitar DAS Ciliwung mengalami peningkatan dari 310 mm/bulan pada tahun 1990 menjadi 360 mm/bulan pada tahun 2000. Peningkatan curah hujan ini berpengaruh pada peningkatan debit di DAS Ciliwung (Pawitan et al. 2000; Singgih 2000; Pawitan 2002; Fakhruddin 2003; BPDAS CiliwungCitarum 2007). Pawitan (1999) menyatakan bahwa di Pulau Jawa terjadi gejala penurunan curah hujan yang terlihat dari rataan curah hujan tahunan periode 1931-1960 dan 1968-1998 di banyak stasiun yang meliputi sepanjang Jawa bagian selatan yang mencapai selisih 1000 mm antara dua periode pangamatan tersebut. Tobing (2007) mengamati perubahan curah hujan selama 15 tahun dan dibagi menjadi 3 periode atau 5 tahunan. Hasilnya menunjukkan bahwa Di DAS Ciliwung terjadi gejala penurunan curah hujan dan sangat berpengaruh pada indeks kekeringan walaupun masih tergolong agak basah. KNLH (1998) mencoba memproyeksikan perubahan iklim pada DAS Ciliwung dengan menggunakan model GCMs jenis CCCM (Canadian Climate Centre Model). Hasil keluaran CCCM menunjukkan bahwa di DAS Ciliwung terjadi kenaikan suhu dan penurunan curah hujan. Selain itu, hasilnya juga menunjukkan bahwa DAS Ciliwung sangat peka dengan adanya perubahan iklim, sehingga memicu terjadinya degradasi DAS Ciliwung yang semakin tinggi. Degradasi DAS Ciliwung menyebabkan ekosistem tidak dapat optimal menyediakan fungsi dan jasa yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Kondisi ini menyebabkan penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan tingkat kerentanan masyarakat (Alcamo et al. 2003). Kerentanan masyarakat merupakan kondisi masyarakat yang tidak dapat menyesuaikan
3
dengan perubahan ekosistem yang disebabkan oleh suatu ancaman tertentu (Olmos 2001; Fussel 2007). Kerentanan merupakan fungsi dari tiga komponen, yaitu exposure (singkapan), sensitivity (kepekaan), dan adaptive capacity (kemampuan adaptasi) (IPCC 2001; Forner 2006). Banyak penelitian di DAS Ciliwung yang hanya fokus pada sistem alam atau degradasi DAS Ciliwung. Masih jarang penelitian yang melibatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di DAS Ciliwung. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha untuk menilai tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung. 1.2 Perumusan Masalah Kegiatan manusia telah menyebabkan terjadinya peningkatan emisi GRK yang menimbulkan terjadinya fenomena pemanasan global dan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim terjadi secara perlahan-lahan namun pasti. Selain itu, perubahan iklim memberikan dampak pada semua sektor kehidupan. Perubahan iklim, terutama unsur suhu dan curah hujan sangat berpengaruh pada kondisi hidrologis. Nilai curah hujan sangat berpengaruh pada respon hidrologi atau debit di DAS Ciliwung (Pawitan et al. 2000; Singgih 2000; Pawitan 2002; Fakhruddin 2003; BPDAS Ciliwung-Citarum 2007). Intensitas hujan yang sangat tinggi di musim hujan dan tidak adanya hujan pada musim kemarau menyebabkan fluktuasi debit di DAS Ciliwung sangat tinggi. Kondisi ini akan berpengaruh pada ketersediaan air di DAS Ciliwung (KNLH 1998) dan meningkatkan degradasi DAS Ciliwung. Degradasi DAS Ciliwung yang semakin kritis menyebabkan DAS Ciliwung tidak optimal menyediakan fungsi dan jasanya bagi masyarakat. Masyarakat yang peka akan makin rentan, sedangkan masyarakat yang bisa beradaptasi akan bertahan. Degradasi DAS Ciliwung juga dipengaruhi oleh kondisi alam atau penggunaan lahan. Penggunaan lahan di DAS Ciliwung, terutama pada DAS Ciliwung Hulu yang merupakan daerah konservasi atau perlindungan, telah banyak menyimpang dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang ditandai makin berkurangnya lahan resapan, terutama ekosistem hutan. Apabila ekosistem
4
hutan di DAS Ciliwung dijaga dengan baik, maka akan mengurangi masalah ketersediaan air di DAS Ciliwung karena ekosistem hutan mampu menjaga tata air di DAS Ciliwung. Berdasarkan informasi di atas, maka dalam penelitian ini berusaha untuk menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1 Kriteria dan indikator apakah yang berpengaruh pada tingkat kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung? 2 Bagaimana tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung secara spasial? 3 Bagaimana peranan ekosistem hutan dalam meningkatkan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung? 1.3
Tujuan Tujuan utama dalam penelitian ini adalah menilai kerentanan masyarakat
terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung dengan menerapkan fungsi dari singkapan, kepekaan,dan kemampuan adaptasi. Sedangkan sub tujuannya adalah : a
Mengidentifikasikan kriteria dan indikator kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung.
b
Menganalisis tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung secara spasial.
c 1.4
Menganalisis adaptasi terhadap perubahan iklim berbasis ekosistem hutan. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tingkat kerentanan
masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung dan menjadi masukan dalam perencanaan adaptasi terhadap perubahan iklim. 1.5
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif-investigatif. Perubahan iklim
tidak dibahas secara detil dan merupakan penelitian payung dari penelitian sebelumnya. Indikator yang dipilih adalah faktor yang paling dominan dan diasumsikan seragam di seluruh DAS Ciliwung sesuai dengan dampak perubahan iklim seragam di seluruh DAS Ciliwung.
5
1.6
Kerangka Pemikiran Pertambahan penduduk dan kegiatan ekonomi pembangunan di DAS
Ciliwung yang sangat pesat menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil yang sangat tinggi. Kedua kegiatan tersebut merupakan sumber emisi GRK terbesar di DAS Ciliwung. Peningkatan emisi GRK yang terus menerus menyebabkan terjadinya pemanasan global yang berimplikasi terjadinya perubahan iklim di DAS Ciliwung. Perubahan iklim, terutama suhu dan curah hujan, akan meng-exposure atau menyingkap terjadinya perubahan fluktuasi debit di DAS Ciliwung. Berdasarkan hasil proyeksi perubahan iklim dan dampaknya pada DAS Ciliwung, menunjukkan bahwa DAS Ciliwung sangat peka dengan perubahan iklim (KNLH 1998). Fluktuasi debit di DAS Ciliwung berbanding lurus dengan nilai curah hujan (Pawitan et al. 2000; Pawitan 2002; BPDAS Ciliwung-Citarum 2007). Semakin tinggi curah hujan maka debit juga makin tinggi, dan apabila curah hujannya makin rendah maka debit juga makin rendah. Perubahan fluktuasi debit di DAS Ciliwung yang makin tinggi menyebabkan terjadinya banjir pada musim hujan dan juga kemarau pada musim kemarau. Perubahan fluktuasi debit di DAS Ciliwung yang semakin tinggi sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat di DAS Ciliwung. Masyarakat yang peka akan merespon kondisi ini dan menyebabkan terjadinya peningkatan kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung. Namun demikian, masyarakat yang mempunyai kemampuan adaptasi akan bertahan dengan perubahan atau kondisi hidrologis di DAS Ciliwung ini. Kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat dapat
dinilai
dari
lima
aspek
kehidupan,
yaitu:
fisik/teknologi,
sosial/kelembagaan, ekonomi, sumber daya manusia (SDM) dan juga alam. Besarnya tingkat kerentanan masyarakat dipengaruhi oleh besarnya singkapan, kepekaan masyarakat serta kemampuan adaptasi masyarakat tersebut. Semakin tinggi singkapan dan kepekaan masyarakat, maka tingkat kerentanan masyarakat akan semakin tinggi. Sedangkan semakin tinggi kemampuan adaptasi maka makin rendah tingkat kerentanan masyarakat. Dengan kata lain, tingkat kerentanan merupakan fungsi positif dari singkapan dan kepekaan masyarakat, dan fungsi negatif dari kemampuan adaptasi masyarakat.
6
Perubahan iklim akan terjadi secara perlahan dan terus menerus. Oleh karena itu, adaptasi terhadap perubahan iklim sangat penting. Salah satunya adalah menggunakan alam, terutama ekosistem hutan sebagai salah satu strategi adaptasi terhadap perubahan iklim. Ekosistem hutan disini adalah suatu lahan yang yang didominasi oleh tumbuh-tumbuhan atau pepohonan, yang tidak dibatasi akan luasnya lahan tersebut. Ekosistem hutan ini dapat berupa hutan kota, hutan alam maupun hutan produksi. Ekosistem hutan memberikan jasa yang sangat penting, terutama pengatur tata air sehingga fluktuasi debit dapat dikurangi. Secara lengkap kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) DAS merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas topografi yang secara alami sedemikian rupa sehingga setiap air hujan yang jatuh dalam DAS tersebut akan mengalir melalui titik tertentu dalam DAS tersebut (Asdak 2007). Dalam pendefinisian DAS, pemahaman akan konsep daur hidrologi sangat penting, terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya didistribusikan menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi, kemudian mengalir ke sungai sebagai debit aliran. Tipologi ekosistem DAS, umumnya diklasifikasikan menjadi hulu, tengah dan hilir. DAS hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, sedangkan DAS hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di hulu akan menimbulkan dampak negatif di hilir. Dampak tersebut antara lain erosi, longsor dan banjir, maupun kekeringan. Dampak yang ditimbulkan merupakan bentuk respon negatif dari komponenkomponen DAS terhadap kondisi hujan. Kuat atau lemahnya respon sangat dipengaruhi oleh karakteristik DAS baik secara fisik, maupun sosial ekonomi masyarakat. Karakteristik fisik merupakan variabel dasar yang menentukan proses hidrologi DAS, sedangkan karakteristik sosial ekonomi masyarakat merupakan variabel yang mempengaruhi percepatan perubahan kondisi hidrologi DAS. Kelebihan menggunakan pendekatan DAS, antara lain: a) pendekatan DAS lebih holistik dan dapat digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara faktor biofisik dan sosial ekonomi lebih cepat dan lebih mudah; b) DAS mempunyai batas alam yang
jelas di lapangan. Batas DAS adalah bentang alam (bio-
region/kawasan geografis kehidupan) yang interdependensi sebagai suatu sistem yang utuh dan ditandai dengan kemampuan DAS dalam mewujudkan fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan; c) DAS mempunyai keterkaitan biogeofisik yang sangat kuat antara hulu dan hilir sehingga mampu menggambarkan perilaku air akibat perubahan karakteristik landskap. Selain itu, adanya suatu outlet dimana air akan terakumulasi, sehingga aliran air dapat ditelusuri.
8
2.2
Indek Penggunaan Air Indek penggunaan air (IPA) merupakan rasio antara kebutuhan dan
ketersediaan air. DAS diklasifikasikan ke dalam kondisi kritis apabila IPA lebih dari 0.8 (KNLH 1998; Paimin et al. 2006). Namun demikian, Sobirin (2008) mengklasifikasikan DAS dalam kondisi kritis, apabila IPA lebih dari 0.5. Ketersediaan air adalah air yang dapat dimanfaatkan untuk hidup dan kehidupan manusia dalam suatu wilayah dan waktu tertentu. Ketersediaan air dapat berupa air hujan, air permukaan (air sungai) dan air tanah (Dir. Pengairan dan Irigasi 2006). Ketersediaan air dapat dihitung dengan menggunakan model keseimbangan air atau neraca air, yang dirumuskan sebagai berikut: P = Ea + Q + ΔS.......................................................................................(1.1) Ket :
P = presipitasi/curah hujan Ea = Evapotranspirasi/penguapan Q = Debit/aliran ΔS = Cadangan permukaan dan bawah permukaan
Secara makro ketersediaan air di Indonesia sangat berlimpah, tetapi keberlimpahan tersebut tidak terdistribusi merata secara ruang dan waktu. Pulau Jawa mempunyai ketersediaan air yang paling kecil yaitu hanya 1600 m3/kapita/tahun. Sebaliknya Papua mempunyai ketersediaan air paling banyak yaitu 25300 m3/kapita/tahun. Para pakar dunia mengklasifikasikan Indek Ketersediaan Air (IKA) adalah sebagai berikut:
a) kurang dari 1000
m3/kapita/tahun, kelas sangat kurang; b) 1000 – 5000 m3/kapita/tahun, kelas kurang; c) 5000 – 10000 m3/kapita/tahun, kelas menengah; d) lebih dari 10000, kelas tinggi. Kebutuhan
air
merupakan
kebutuhan
dasar
air
untuk
kehidupan
keberlanjutan, antara lain untuk air domestik (minum, pangan, perkotaan), industri, irigasi, kesehatan, transportasi, perikanan, pembangkit tenaga listrik dan lain-lain. Total kebutuhan dasar pesimistis 2000 m3/kapita/tahun, optimistis 5000 m3/kapita/tahun. Kebutuhan air tiap tahun akan meningkat sesuai dengan pertambahan penduduk. Hasil kajian tentang krisis air dunia pada World Water Forum tahun 2003, mengingatkan banyak negara akan mengalami krisis air pada tahun 2025 termasuk Indonesia.
9
2.3
Perubahan Iklim dan Siklus Hidrologi IPCC (2001) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-
rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik dalam jangka waktu yang panjang, minimal 30 tahun. Lebih lanjut dikatakan bahwa selama 100 tahun terakhir (1906-2005) suhu permukaan bumi rata-rata telah naik sekitar 0.74 0C, dengan pemanasan yang lebih besar pada daratan dibandingkan lautan. Proses perubahan iklim juga terjadi di Indonesia, yang ditandai dengan adanya peningkatan suhu (Rozari et al. 1992) serta pergeseran musim atau musim semakin kering atau musim kemarau lebih panjang (Kaimuddin 2000; Tobing 2007). Lamb (1978) dalam Rozari et al. (1992), membahas perubahan iklim harus memperhatikan dua hal, yaitu: a) pergeseran musim, musim dingin terjadi pada periode panas dan begitu sebaliknya; b) perubahan tidak terjadi seketika dan serentak disemua tempat atau wilayah. Perubahan iklim berpengaruh pada siklus hidrologi (Rozari et al. 1991; Susetyo et al. 1994; KNLH 1998; Kaimuddin 2000). Peningkatan suhu menyebabkan terjadinya peningkatan evapotranspirasi yang akan berpengaruh pada run off (aliran permukaan/limpasan) sehingga keseimbangan hidrologi akan terganggu (Waggoner et al. 1990). Dampak perubahan iklim dapat diuji dengan menggunakan model proyeksi iklim GCMs (Global Circulation Models). KNLH (1998) mencoba memproyeksikan dampak perubahan iklim terhadap IPA di beberapa DAS di Jawa. Hasilnya terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Perubahan IPA pada DAS di Jawa dengan skenario iklim No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
DAS Ciliman-Ciujung Cisadane-Ciliwung Citarum Citanduy Serayu Progo-Opak Bengawan Solo Jratun- Seluna Brantas Pakelan-Sampeyan
sumber : KNLH (1998)
IPA 1 x CO2 (Sebelum Emisi) 2 X C02 (Sesudah Emisi) 0.30 0.32 0.47 0.53 0.97 0.99 0.33 0.32 0.39 0.38 0.68 0.68 0.89 0.94 0.80 0.83 1.12 0.92 0.66 0.70
10
Dari Tabel 1 terlihat bahwa perubahan iklim menyebabkan siklus hidrologi di beberapa DAS terganggu atau DAS cenderung lebih rentan. Selain itu, terlihat bahwa dampak perubahan iklim berbeda secara spasial. Pada beberapa daerah mengalami penurunan curah hujan sehingga ketersediaan air makin turun (ex. DAS Citarum). Sedangkan di tempat lain mengalami kenaikan curah hujan sehingga ketersediaan air makin bertambah (ex. DAS Brantas). Namun demikian, ada juga DAS yang tidak berubah siklus hidrologinya atau tidak rentan terhadap perubahan iklim (ex. DAS Progo Opak). 2.4 Kerentanan (Vulnerability) Kerentanan merupakan suatu terminologi yang komplek dan tidak pasti sehingga masih banyak terdapat pengertian tentang kerentanan tergantung pada lingkup penelitian (Olmos 2001; Fussel 2007). Secara garis besar kerentanan merupakan kondisi dimana sistem tidak dapat menyesuaikan dengan dampak dari suatu perubahan (Olmos 2001; Fussel 2007). Kerentanan berbeda secara temporal dan spasial (Olmos 2001; IPCC 2001). Konsep penilaian kerentanan ini dapat dilihat pada Gambar 2. Pada Gambar 2 terlihat bahwa suatu sistem baik alam maupun sosial akan disingkap sehingga terjadi perubahan ekosistem dan sosial. Dalam menghadapi perubahan tersebut, respon dari suatu sistem berbda tergantung pada kepekaan dan kemampuan adaptasi. Kepekaan sistem merupakan kondisi dimana sistem akan merespon dampak dari perubahan tersebut. Sedangkan kemampuan adaptasi merupakan kondisi dimana suatu sistem akan mampu untuk menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Apabila kemampuan adaptasi sistem rendah, sedangkan kepekaanya tinggi maka akan terjadi kerentanan. Dengan kata lain, kerentanan merupakan sisa dari dampak perubahan.
11
Pemberdayaan sosial ekonomi Besarnya kemampuan menyesuaikan Politik ekonomi
Global Regional Lokal Politik ekonomi makro Struktur sosial dinamik Gglobalisasi
Ukuran sistem
Variabel dari manusia
Kondisi Sosial ekonomi Singkapan
Kepekaan
Penyesuaian
Respon
Resiko
Gangguan sosial dan lingkungan Pengukuran awal
Adaptasi Kondisi lingkungan/ekologi
Variabel alam
Penyesuaian
Kondisi biosfer Perubahan lingkungan global Pemberdayaan ekologi Besarnya ketahanan Kondisi referensi
Tekanan, Ancaman dan Gangguan
Sistem manusia-lingkungan beserta atribut dari kerentanan
Akibat
Gambar 2 Konsep penilaian kerentanan (sumber: Kasperson et al. 2005) IPCC (2001) menyatakan bahwa kerentanan dikarakterisasikan atas tiga komponen, yaitu singkapan, kepekaan dan kemampuan adaptasi. Dirumuskan sebagai berikut : V = ƒ(E, S, AC) ....................................................................... (1.2) or V = ƒ(PI, AC) ….............……………………………………. (1.3) (Metzger et al. 2006 dalam Forner 2006)
Dimana:
V = vulnerability/kerentanan E = exposure/singkapan S = sensitivity/kepekaan sistem AC = adaptive capacity/kemampuan adaptasi PI = Potential Impact/dampak potensial
Singkapan (E) merupakan derajat/besarnya suatu sistem tersebut disingkap atau dibuka atas terjadinya perubahan iklim atau ekosistem (IPCC 2001; O’Brien et al. 2004). O’Brien et al. (2004) menilai singkapan dari perubahan iklim dan globalisasi. Perubahan iklim dilakukan dengan skenario proyeksi iklim dengan
12
model GCMs. Yusuf dan Fransisco (2009) menilai singkapan dari intensitas terjadinya bencana iklim yang telah terjadi. Kepekaan (S) merupakan tingkat dimana sebuah sistem akan dipengaruhi oleh perubahan iklim atau ekosistem. Nilai 1 menunjukkan sistem peka dan nilai 0 apabila tidak peka. Kemampuan adaptasi (AC) merupakan kemampuan sistem untuk merespon dampak dari perubahan iklim. Kepekaan dan kemampuan adaptasi dikarakterisasikan atas lima aspek kehidupan, yaitu alam, fisik/teknologi, SDM, sosial dan ekonomi (Thow & Mark 2008; Yusuf & Fransisco 2009). 2.5
Ekosistem Hutan dan Kesejahteraan Manusia Ekosistem merupakan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya (Dwidjoseputro 1991; Marten 2001; Alcamo et al. 2003; Indriyanto 2005). Hutan adalah suatu ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannnya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 Tahun 1999). Ekosistem hutan menyediakan jasa yang sangat penting bagi kehidupan manusia antara lain jasa penyediaan, jasa pengaturan, jasa pendukung, jasa kultural, serta jasa non material lainnya (Alcamo et al. 2003). Permintaan terhadap jasa ekosistem semakin meningkat dengan bertambahnya populasi manusia. Dalam mengelola hutan tidak jarang manusia menyebabkan kerusakan ekosistem hutan melalui berbagai kegiatan yang mengubah struktur, komposisi, serta keutuhan dan integritas hutan. Akibatnya, manfaat hutan menjadi berkurang sehingga kesejahteraan masyarakat akan menurun. Kesejahteraan manusia merupakan konsep multi dimensi atau multi pilihan (Alcamo et al. 2003). Pilihan tersebut antara lain materi dasar untuk hidup lebih baik, kebebasan, kesehatan, hubungan sosial, dan kenyamanan. Kesejahteraan manusia dipengaruhi tidak hanya oleh kesenjangan antara ketersediaan dan permintaan jasa ekosistem, tapi juga oleh bertambahnya kerentanan individu, masyarakat dan negara. Ekosistem yang produktif beserta segala jasanya dapat menyediakan sumberdaya untuk manusia dan pilihan-pilihan yang ada, serta dapat dimanfaatkan untuk melawan bencana alam atau pergolakan sosial yang mungkin terjadi (Alcamo et al. 2003).
13
2.6
Adaptasi Berbasis Ekosistem Hutan Dampak perubahan iklim terhadap kondisi hidrologis dalam suatu DAS
berpengaruh penting dalam sektor kehidupan, tidak terkecuali sektor kehutanan. Berkurangnya ketersediaan air akan berpengaruh pada ekosistem hutan dan kegiatan yang berdasarkan hutan. Begitu juga sebaliknya, deforestasi dan degradasi hutan berpengaruh pada tata air. Oleh karena itu, dalam menghadapi perubahan iklim diperlukan usaha mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Mitigasi merupakan campur tangan manusia untuk mengurangi sumber (sources) atau mendukung pengurangan (sinks) gas-gas rumah kaca. Sedangkan adaptasi mempunyai arti tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial sebagai respon terhadap dampak perubahan iklim dan variabilitasnya (IPCC 2001). Kegiatan adaptasi diharapkan dapat mengurangi kerentanan dan juga dampak perubahan iklim terhadap sistem ekologis dan manusia. Usaha yang paling efektif dan efisien untuk adaptasi adalah meningkatkan ketangguhan sistem alami melalui konservasi dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Memelihara dan melindungi kesehatan alam, terutama hutan akan membantu mengurangi dampak negatif terhadap manusia dan mendukung upayaupaya pembangunan berkelanjutan. Strategi adaptasi berbasis ekosistem hutan memberikan manfaat ganda bagi manusia dan alam, termasuk diantaranya melindungi dari bencana alam yang ekstrim, mengurangi korban jiwa dan menurunkan kerugian ekonomi akibat perubahan iklim. Strategi adaptasi berbasis ekosistem hutan harus dibangun dari kearifan lokal yang sudah ada mengenai pengelolaan hutan dan memberdayakan anggota komunitas lokal untuk mengambil tindakan yang sesuai dengan kondisi lokal. Adaptasi ekosistem hutan terhadap perubahan iklim dapat dilakukan berdasarkan dua kategori (Locatelli et al. 2008), yaitu: a) membantu ekosistem hutan bertahan terhadap gangguan iklim seperti memperbaiki manajemen kebakaran untuk mengurangi resiko kebakaran yang tidak terkendali, atau mengontrol spesies invasif; b) membantu hutan untuk berevolusi dengan baik pada kondisi atau tatanan baru sesuai dengan iklim yang terjadi.
14
2.7
Analytical Hierarchy Process (AHP) AHP dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty, pada tahun 1970-an untuk
mengorganisasikan informasi dan pertimbangan dalam memilih alternatif yang paling disukai. Dengan teknik AHP suatu persoalan dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir sehingga memungkinkan dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut (Saaty 1993). Ada tiga prinsip dasar AHP
yaitu penyusunan hirarki masalah, penetapan
prioritas serta konsistensi logis. Saaty (1993) menyatakan bahwa pembobotan dalam pembuatan keputusan multi kriteria dapat efektif dengan struktur hirarki dan pairwise comparison. Struktur hirarki memberikan beberapa keuntungan, antara lain: a) mewakili suatu sistem yang dapat menerangkan bagaimana prioritas pada level yang lebih tinggi dapat mempengaruhi prioritas pada level di bawahnya; b) memberikan informasi rinci mengenai struktur dan fungsi dari sistem pada level yang lebih rendah dan memberikan gambaran pada level yang lebih tinggi; c) sistem akan menjadi lebih efisien jika disusun dalam bentuk hirarki dibandingkan dalam bentuk lain; d) bersifat stabil dan fleksibel dalam arti penambahan elemen pada struktur yang telah tersusun baik tidak akan mengganggu penampilannya. Pairwise comparison merupakan metode perbandingan berpasangan yang melibatkan perbandingan satu-satu dari setiap indikator (Mendoza et al. 1999). Metode ini memungkinkan pengguna untuk memberikan nilai bobot relatif dari multi kriteria secara intuisif. Metode ini merupakan metode yang lebih baik dibandingkan metode rating dan rangking, karena:
a) metode ini mengukur
ordinal dan kardinal pada kepentingan indikator yang berbeda; b) respon dari pakar lebih spesifik karena disadari pentingnya indikator dalam hubungannya dengan semua indikator; c) dapat dianalis untuk kekonsistensinya sehingga membuat analisis lebih nyata dan akurat. Secara umum tahapan AHP adalah sebagai berikut: a) perumusan masalah; b) penyusunan hirarki masalah; c) pembangunan matrik perbandingan; d) penghitungan bobot prioritas; e) penghitungan tingkat konsistensi. Identifikasi masalah setidaknya harus dapat merumuskan:
1) tujuan/sasaran yang ingin
dicapai dalam pengambilan keputusan; 2) kriteria/sub kriteria yang dapat
15
digunakan untuk menjelaskan dan mencapai tujuan; 3) allternatif-alternatif solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. 2.8
Sistem Informasi Geografi Sistem Informasi Geografi (SIG) mulai dikenal pada awal tahun 1980-an.
SIG merupakan suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumber daya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk mengumpulkan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis (Puntodewo et al. 2003). SIG sangat berguna untuk berbagai kalangan dalam menjelaskan kejadian, merencanakan strategi, dan memprediksi apa yang akan terjadi. Wibowo (2004) menyatakan bahwa SIG mempunyai tiga kemampuan utama yaitu: 1) pemetaan; 2) manajemen basis data; 3) analisa spasial. Kemampuan pemetaan merupakan kemampuan SIG untuk membuat, merubah dan menyajikan peta. Dengan kemampuan ini pengguna dapat menyajikan informasi dalam bentuk peta. Kemampuan basis data adalah kemampuan untuk mengelola data tabular yaitu data yang mendeskripsikan obyek-obyek dalam peta. SIG mempunyai kelebihan untuk mengintegrasikan peta dan data tabular (atribut). Kemampuan analisis spasial merupakan kelebihan SIG dibanding sistem informasi lain. Kemampuan ini memungkinkan pengguna untuk melakukan berbagai analisis secara spasial. Kemampuan SIG dalam melakukan analisis spasial diklasifikasikan menjadi
lima fungsi yaitu: fungsi pengukuran, query spasial dan klasifikasi,
fungsi tumpang tindih (overlay). fungsi ketetanggaan (neighbourhood), fungsi jaring (network) serta analisis tiga dimensi.
3 3.1
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mengambil studi kasus masyarakat di sekitar DAS Ciliwung.
Alasan mengambil lokasi di DAS Ciliwung adalah: a) perubahan iklim sangat berpengaruh pada kondisi hidrologis, terutama debit atau limpasan air di DAS Ciliwung; b) berdasarkan beberapa literatur, daerah di DAS Ciliwung dan sekitranya telah terjadi tanda-tanda perubahan iklim; c) DAS Ciliwung dalam kondisi kritis, yang disebabkan oleh beberapa faktor, terutama penggunaan lahan dan perubahan iklim. Dalam penelitian ini mencoba untuk mengetahui besarnya degradasi DAS Ciliwung yang disebabkan karena perubahan iklim; d) belum ada informasi tentang kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung. Selama ini penelitian hanya fokus pada kondisi ekologis di DAS Ciliwung. Pengambilan lokasi ditentukan dengan metode purposive sampling. Pertama lokasi dipilih secara strata atau tipologi DAS (hulu, tengah dan hilir). Kemudian setiap strata dipilih minimal dua lokasi yang dianggap mewakili kondisi ekologis pada setiap strata. Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah: a)
DAS
Ciliwung Hilir (Bukit Duri, Kec. Tebet, Jakarta Selatan; Cawang, Kec. Kramat Jati, Jakarta Timur); b) DAS Ciliwung Tengah ( Tugu, Kec. Cimanggis, Depok; Babakan Pasar, Kec. Bogor Tengah, Bogor; Katulampa, Kec. Bogor Timur, Bogor); dan c) DAS Ciliwung Hulu (Tugu Utara, Kec. Cisarua, Bogor; Tugu Selatan, Kec. Cisarua, Bogor). Lokasi penelitian tersaji pada Gambar 3. Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan selama enam bulan dan dibagi menjadi empat tahap, yaitu tahap persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, penyelesaian. Tahap persiapan dilaksanakan sampai Juli 2009. Pengumpulan data dilaksanakan
pada
Juli-September
2009.
Pengolahan
data
dilaksanakan
September-November 2009. Dan tahap penyelesaian dilaksanakan NovemberDesember 2009.
17
Gambar 3 Lokasi penelitian (DAS Ciliwung).
18
3.2
Alat dan Bahan Peralatan dan bahan yang diperlukan dalam penelitian tersaji pada Tabel di
bawah ini. Tabel 2 Peralatan dan bahan yang dibutuhkan Peralatan A. Hardware Alat perekam, pena, komputer, printer, kamera B. Software ESRI ArcView GIS 3.3 Full Extention Expert Choice
Fungsi Observasi, wawancara
Pengolahan data spasial Penentuan Bobot
Bahan A. PETA Peta RBI Peta Tutupan Lahan/Tata Guna lahan Peta DAS, administrasi, lahan kritis B. NON-PETA Data Susenas, potensi desa, kec/kab dalam angka Data debit air/Historis bencana
3.3
Sumber Bakosurtanal Dephut BPDAS Ciliwung-Citarum
BPS/BAPPEDA DPU/Kimpraswil
Metode Penelitian
3.3.1 Pengumpulan Data Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data sekunder dikumpulkan melalui kegiatan desk study dan tersaji pada Tabel 2 (bagian bahan). Data primer berupa persepsi masyarakat. Responden dipilih dengan cara purposive dengan syarat: a) penduduk yang sudah lama tinggal di daerah tersebut, minimal 30 tahun; b) dewasa; c) sehat akal. 3.3.2 Pengolahan dan Analisis Data A.
Analisis Kriteria dan Indikator Kerentanan Masyarakat Penilaian kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim menggunakan
fungsi dari tiga komponen, yaitu singkapan, kepekaan, dan kemampuan adaptasi (IPCC 2001; O’Brien et al. 2004; Metzeger et al. 2006 dalam Forner 2006). Analisis kriteria dan indikator singkapan diperoleh dari beberapa referensi, terutama dari KNLH (1998) yang menjelaskan dampak perubahan iklim terhadap kondisi hidrologis atau kuantitas air di DAS Ciliwung.
19
Analisis kriteria dan indikator kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim cenderung menggunakan penelitian kualitatif dan dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu: a
Tahap I, kegiatan untuk mengumpulkan kriteria dan indikator yang berpengaruh pada kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim atau perubahan ketersediaan air di DAS Ciliwung berdasarkan informasi dari pakar dan studi literatur. Hasilnya terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Indikator kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat Elemen
Kriteria
Indikator
Kepekaan Masyarakat
SDM Fisik Ekonomi
Kepadatan penduduk (KP) Kualitas infrastruktur (Fasilitas PAM) Ketergantungan pada lahan atau pekerjaan dalam sektor pertanian (KTL)
Kemampuan Adaptasi Masyarakat
SDM
Tingkat pendidikan (TP) Melek huruf (MH) Struktur umur (SU) Jenis kelamin (JK) Kemiskinan Angka harapan hidup (AHH) Tingkat kesehatan (persentase penduduk sakit, jumlah bayi yang meninggal,balita kurang gizi) Tingkat pendapatan daerah kapita (IPDRB), Pola konsumsi Kegiatan dasar wilayah Masyarakat Æperilaku konservasi, nilai tradisi, niali budaya, hukum adat, Konflik. Pemerintahan Æ kualitas aturan, pengawasan konflik, diskriminasi, kestabilan politik, Teknologi Konservasi (TK) Kualitas Infrastruktur (DAM/waduk) Persentase hutan (LH)
Ekonomi Sosial
Fisik Alam Sumber : Studi literatur dan pakar
b
Tahap II, kegiatan untuk menyeleksi kriteria dan indikator yang berpengaruh pada kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung hasil dari tahap I, dan disesuaikan dengan konteks riset lapangan (field research) atau lokasi
20
penelitian. Metode yang digunakan adalah observasi dan wawancara semi terstruktur dan FGD (focus Group Discussion).
Observasi
merupakan cara melihat kondisi wilayah DAS Ciliwung, baik menyangkut fisik maupun non fisik. Wawancara semi terstruktur bertujuan untuk mencari informasi yang lebih lengkap dan detil tentang kondisi yang ada dalam masyarakat. Sedangkan FGD bertujuan untuk menarik informasi secara mendalam dari sejumlah responden dalam satu waktu tertentu, sehingga informasi yang ada dapat saling melengkapi antarsesama responden tersebut. FGD ini dilakukan pada saat warga berkumpul pada waktu luang di sekitar tempat tinggal mereka. B
Analisis AHP Metode AHP dalam penelitian ini digunakan untuk memberikan
pembobotan terhadap indikator kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung. Tahapan AHP dapat dijelaskan sebagaimana di bawah ini. B.1 Penyusunan Hirarki Masalah Hirarki dibangun berdasarkan tujuan, sasaran dan sub kriteria yang digunakan untuk membuat rekomendasi. Hirarki merupakan sebuah struktur pohon yang digunakan untuk menyusun sebuah masalah keputusan. Hirarki ini mempunyai aliran top down, bergerak dari kategori umum (sasaran) menuju ke spesifik (sub sasaran). B.2 Pembangunan Matrik Perbandingan Pengambil keputusan harus melakukan penilaian tingkat kepentingan relatif antara elemen yang satu dibanding elemen lainnya pada suatu level hirarki tertentu dalam kaitannya dengan pencapaian elemen pada level hirarki di atasnya. AHP menggunakan cara perbandingan berpasangan baik dengan menggunakan data hasil pengukuran maupun skala penilaian dari Saaty (1993). Matrik
perbandingan
bersama
(MPB)
merupakan
matrik
yang
menggambarkan perbandingan berpasangan antara satu elemen dengan elemen lainnya. Matrik perbandingan disusun berdasarkan penilaian dari pakar, dimana
21
para pakar mengisi suatu form dengan berdasarkan pada skala penilaian. Penilaian pakar dilakukan sebanyak {n/n-1)}/2, dimana n merupakan ukuran matrik. Pengisian matrik dilakukan dengan aksioma resiprokal. Elemen-elemen pada diagonal utama bernilai satu karena membandingkan dua hal yang sama. Tabel 4 Skala penilaian Skala
Definisi
1
Sama penting
3
Agak lebih penting
5
Lebih penting
7
Sangat penting
9
Mutlak lebih penting
Keterangan
2,4,6,8 Nilai perbandingan diantara dua nilai yang berurutan
Dua aktivitas memberikan kontribusi yang seimbang pada tujuan Pengalaman dan penilaian sedikit lebih memilih aktivitas yang satu dibandingkan dengan aktivitas yang lain Pengalaman dan penilaian lebih memilih aktivitas yang satu dibandingkan aktivitas yang lainnya Suatu aktivitas sangat lebih dipilih dan dominasinya dapat dilihat secara nyata Suatu aktivitas terbukti lebih dipilih dalam tingkat penegasan tertinggi Apabila diperlukan suatu kompromi
Tabel 5 Contoh matrik perbandingan Kepekaan Masyarakat KP PAM KTL
KP
PAM
KTL
1 1 1
Tabel 6 Contoh form pengisian pakar KP 9 KP 9 PAM 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 7 7
8 8 8
9 9 9
PAM KTL KTL
B.3 Penghitungan Bobot Prioritas Penghitungan bobot prioritas menggunakan software expert choice, dimana pada prinsipnya dapat diperoleh dengan cara menghitung nilai eigen (akar ciri). Nilai eigen secara matematis dapat dihitung melalui pemangkatan MPB dengan prosedur sebagai berikut: a) mengkuadratkan MPB; b) menghitung jumlah nilai setiap baris dari matriks yang diperoleh kemudian menormalisasikan (bagi dengan
22
total nilainya); c) melakukan proses tersebut secara iterasi hingga diperoleh selisih antara dua interasi yang kecil (tidak berbeda sampai empat desimal). B.4 Penghitungan Tingkat Konsistensi Konsistensi menerangkan tentang koherensi penilaian atau kelogisan penilaian
dalam
berpasangan.
membandingkan
Adanya
konsistensi
kriteria-kriteria penilaian
dapat
atau
alternatif
menjamin
yang
kesahihan
bobot/prioritas yang dihasilkan dari perbandingan tersebut. Namun demikian, kadangkala ketidakkonsistenan mungkin terjadi disebabkan, karena: a) kesalahan dalam pemasukan data; b) kurangnya informasi; c) kurangnya konsentrasi; dan d) fakta sebenarnya mungkin tidak konsisten. Oleh karena itu, metode AHP mentolerir adanya ketidakkonsistenan yang diukur oleh indeks konsistensi (consistency index, CI) dan rasio konsistensi (consistency ratio, CR) sebagai berikut: ................................................. (1.4) ....... Ket : CR CI n λmax
............................................................................(1.5)
= Concictency Ratio (Rasio/tingkat konsistensi) = Concictency Indeks (Indeks Konsistensi) = Banyaknya elemen yang dibandingkan /ukuran matrik = Akar ciri maksimum
Apabila CR ≤ 0,1 maka penilaian sudah memuaskan. Apabila nilai CR ≥ 0,1 maka harus segera diadakan penyesuaian karena inkonsistensi yang tinggi menunjukkan adanya kesalahan dan kekurangpahaman dalam pengisian matrik. C
Pengolahan spasial
C.1 Penentuan Indeks Kerentanan Untuk menghitung indeks dari unsur kerentanan (singkapan, kepekaan dan kemampuan adaptasi) dilakukan dengan rumus sebagai berikut : ........................................................................... (1.6) Ket:
K = Indeks Wi = Bobot indikator ke-i Xi = skor indikator ke-i
23
Sedangkan
untuk
penentuan
indeks
kerentanan
dilakukan
dengan
mengurangi hasil jumlah indeks singkapan dan kepekaan dengan indeks kemampuan adaptasi. Dapat ditulis atau dirumuskan sebagai berikut : n
n
n
ie =1
is =1
iac =1
k = (∑ ( wiex xie ) +.. ∑ ( wis x xis )) − ( ∑ ( wiac x xiac ))
Ket:
............... (1.7)
K = Indeks kerentanan Wie = Bobot indikator ke-i pada singkapan Xie = skor indikator ke-i pada singkapan Wis = Bobot indikator ke-i pada kepekaan Xis = skor indikator ke-i pada kepekaan Wiac = Bobot indikator ke-i pada kemampuan adaptasi Xiac = skor indikator ke-i pada kemampuan adaptasi
Penentuan klasifikasi tiap indeks dihitung dengan rumus (1.8) dan hasil klasifikasi tiap-tiap indeks tersaji pada Tabel 7. R ........................................................................................(1.8) i= n Ket:
i = Lebar interval R = selisih skor maksimum dan skor minimum N = Jumlah kelas
Tabel 7 Klasifikasi indeks kerentanan Unsur A Singkapan
Nilai
Kategori
0 > 0.9
Tidak Rentan Rentan
B Kepekaan dan kemampuan adaptasi
< 0.5 0.5 – 0.9 0.9 – 1.3 1.3 –1.9 > 1.9
Rendah Agak rendah Sedang Agak tinggi Tinggi
C Kerentanan
< (-0.8) (-0.8) – 0.2 0.2 – 1.2 1.2 – 2.2 > 2.2
Rendah Agak rendah Sedang Agak tinggi Tinggi
Sumber : Hasil analisis
24
C. 2. Penyusunan Peta Kerentanan Hasil analisis kerentanan masyarakat ditampilkan dalam bentuk peta-peta dengan bantuan software ArcView GIS 3.3. Peta yang dihasilkan adalah peta singkapan, kepekaan, kemampuan adaptasi, dan kerentanan. Peta singkapan, kepekaan dan kemampuan adaptasi diperoleh dengan operasi join table atau add field pada tiap indikator pada peta batas DAS yang telah dioverlay dengan peta administrasi. Peta kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim diperoleh dengan operasi overlay atau tumpang tindih antara peta singkapan, peta kepekaan masyarakat dan peta kemampuan adaptasi. Tahapan penyusunan peta kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung tersaji pada Gambar 4.
Gambar 4 Tahapan penyusunan peta kerentanan masyarakat
D.
Analisis Adaptasi Berbasis ekosistem Hutan Analisis adaptasi berbasis ekosistem hutan dilakukan secara deskriptif.
Tujuannya untuk menggambarkan kaitan antara ekosistem hutan dengan
25
kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung. Analisis deskriptif dilakukan secara logika dengan memasukkan analisa peta kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung, persepsi masyarakat serta pakar. Secara umum, tahapan kegiatan penelitian ini disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 5 di bawah ini. Tabel 8 Tahapan kegiatan penelitian No 1
Input Literatur, pakar, responden/ masyarakat
Proses Desk study, observasi, wawancara semi terstruktur, FGD
Output Kriteria dan indikator kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim
2
Hasil proyeksi KNLH (1998), Peta batas DAS Ciliwung
Operasi SIG (Add table atau Join table)
Peta singkapan
3
Data BPS, persepsi masyarakat, peta batas DAS Ciliwung
Operasi SIG (scoring, join table) dan AHP
Peta kepekaan masyarakat terhadap perubahan iklim
4
Data BPS, persepsi masyarakat, peta penggunaan lahan, peta batas DAS Ciliwung
Operasi SIG (scoring, join table) dan AHP
Peta kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim
5
Peta singkapan, peta kepekaan dan peta kemampuan adaptasi masyarakat
Operasi SIG (overlay, scoring, klasifikasi kelas kerentanan)
Peta kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim
6
peta kerentanan Analisis diskriptif masyarakat terhadap perubahan iklim, studi literatur, persepsi masyarakat, pakar
gambaran ekosistem hutan dapat digunakan sebagai alternatif adaptasi terhadap perubahan iklim
26
Start
Studi literatur/ diskusi
Pengumpulan data
Peta batas DAS Ciliwung
Proyeksi perubahan iklim terhadap IPA
Data BPS dan Instansi lainnya
Peta penggunaan lahan
Responden /pakar/ informan kunci
Faktor dan data kepekaan masyarakat
Faktor dan data kemampuan adaptasi masyarakat
Join table/add field scoring, AHP,
Join table/add field scoring, AHP,
Join table/add field scoring, AHP,
Peta singkapan
Peta kepekaan masyarakat
Peta kemampuan adaptasi masyarakat
Overlay & klasifikasi
Peta kerentaan masyarakat terhadap perubahan iklim Literatur, pakar, masyarakat
Analisis adaptasi berbasis ekosistem hutan
stop
Gambar 5 Diagram alir tahap penelitian
4 4.1
KONDISI UMUM LOKASI
Letak dan Luas DAS Ciliwung secara geografis terletak pada 106047’08.65” sampai dengan
107000’05.43” Bujur Timur (BT) dan 6005’50.76” sampai dengan 6045’48.89” Lintang Selatan (LS). Wilayah DAS Ciliwung di sebelah barat dibatasi oleh DAS Cisadane dan di sebelah timur dibatasi DAS Citarum, dengan hulunya di sebelah selatan di Gunung Gede Pangrango (Desa Telaga) dan bermuara di Teluk Jakarta. DAS Ciliwung meliputi areal seluas 49944.90 Ha.
Gambar 6 Batas wilayah DAS Ciliwung
28
4.2
Kondisi Fisik
4.2.1 Topografi DAS Ciliwung Hulu dibentuk oleh beberapa pegunungan, antara lain: Gunung Gede Pangrango, Gunung Mandalawangi, dan Gunung Kencong. Ketinggiannya mulai dari 400 - 2640 m dpl. DAS Ciliwung Tengah didominasi oleh kelerengan yang landai (8-15%) dan ketinggian tempat 50 - 400 m dpl. DAS Ciliwung Hilir berada pada ketinggian tempat 0 - 50 m dpl dengan bentuk lereng yang umumnya datar (0-8%). Topografi DAS Ciliwung tersaji pada Lampiran 2. 4.2.2 Tanah DAS Ciliwung memiliki jenis tanah yang merupakan hasil dari rombakan dari bahan batuan induk berupa tufa vulkanik. Jenis tanah DAS Ciliwung Hulu adalah jenis tanah asosiasi andosol coklat dan regosol coklat, latosol coklat, kompleks latosol merah kekuningan, podsolik merah kekuningan dan litosol, serta didominasi oleh jenis asosiasi latosol coklat kemerahan dan latosol coklat. Tanah di DAS Ciliwung Tengah tersusun atas jenis kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat, podsolik merah kekuningan, dan litosol serta umumnya adalah jenis asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit air tanah. DAS Ciliwung Hilir mempunyai jenis tanah asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit air tanah, aluvial kelabu tua, serta aluvial hidromorf. Tanah di DAS Ciliwung tersaji pada Lampiran 3. 4.2.3 Iklim DAS Ciliwung umumnya beriklim tropis dengan variasi iklim berdasarkan zona ketinggian mulai dari iklim yang lembab serta panas pada bagian hilir dan iklim daerah pegunungan yang dingin. Suhu udara berkisar antara 21 0C – 33 0C dengan tingkat kelembaban 27% - 83%. Jumlah bulan basah berkisar 8 – 10 (Agustus - Mei) dengan bulan terbasah adalah Desember. Jumlah bulan lembab berkisar 2 - 4 (Juni - September) dengan bulan terkering bulan Juni. Berdasarkan pembagian iklim menurut schmidt-ferguson, DAS Ciliwung Hulu dan Tengah digolongkan ke dalam tipe iklim A atau B, sedangkan bagian hilir tergolong iklim C atau D. Kisaran curah hujan di DAS Ciliwung tersaji pada Lampiran 4.
29
4.3
Kondisi Penggunaan Lahan
4.3.1 Pola Penggunaan Lahan Penguasaan lahan di DAS Ciliwung dikelompokkan menjadi lahan negara, hak milik dan hak guna usaha. Lahan negara dalam bentuk kawasan hutan, situ dan badan sungai dikelola oleh pemda dan pemerintah. Lahan hak milik, umumnya digunakan untuk kebun, sawah tadah hujan dan teknis, tegalan/ladang, pemukiman dan tempat rekreasi. Sedangkan lahan dalam bentuk hak guna usaha digunakan sebagai kebun (PT Gunung Mas dan PT Ciliwung).
Tiap tahun
penggunaan lahan di DAS Ciliwung berubah, dimana lahan hutan berkurang dan lahan pemukiman meningkat. Pola penggunaan lahan di DAS Ciliwung pada tahun 1996 dan 2007 terlihat pada Lampiran 5 dan 6. 4.3.2 Lahan Kritis Perubahan penggunaan ruang yang tidak mempertimbangkan daya dukung dan fungsi lahan di wilayah Bopunjur telah menyebabkan kerusakan DAS Ciliwung berupa hutan rusak dan lahan kritis. Kondisi tersebut telah memberikan pengaruh negatif terhadap kelestarian dan produktivitas sumber daya lahan, baik sebagai areal pertanian maupun yang berkaitan dengan fungsi hidrologis karena merupakan bagian hulu dari DAS Ciliwung sebagai daerah tangkapan air. Dalam 5-10 tahun terakhir ini, jumlah lahan kritis di DAS Ciliwung semakin meningkat dan mengkhawatirkan sehingga aliran Sungai Ciliwung sudah seringkali memberikan ketidaknyamanan. Selain itu, kebutuhan air akan minum, mandi dan mencuci tidak mencukupi pada musim kemarau tetapi di musim hujan menggenangi dan membanjiri banyak lokasi, bahkan menghilangkan harta benda dan nyawa beberapa warga Jakarta yang bertempat tinggal di sepanjang bantaran DAS Ciliwung. Peta lahan kritis di DAS Ciliwung tersaji pada Lampiran 7. 4.4
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
4.4.1 Kepadatan Penduduk Total kepadatan penduduk pada tahun 2008 adalah 22.2 ribu jiwa/km2 (Tabel 9). Kepadatan penduduk di bagian hilir lebih tinggi dibandingkan bagian tengah dan hulu. Tingkat kepadatan penduduk berkorelasi dengan perkembangan daerah kedap air, makin tinggi kepadatan penduduk maka daerah kedap air makin
30
luas. Banyaknya permukaan kedap air akan menghasilkan aliran permukaan yang besar, bahkan hampir 100% curah hujan akan menjadi aliran permukaan. Tabel 9 Luas, jumlah dan kepadatan penduduk di DAS Ciliwung Daerah Hulu
Kab/ Kota Bogor
Kecamatan
Bogor Kota Bogor
Depok
Jakarta Selatan
Penduduk Kepadatan (Jiwa/Km2)
7.63 68.89 55.03 131.55
39 686 119 203 119 416 286 517
5 202.15 1 730.30 2 169.95 2 177.98
Sukaraja Cibinong Bojonggede Bogor selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Tanah Sereal Pancoran Mas Sukma Jaya Cimanggis Beji
22.95 33.07 10.84 1.98 10.91 17.85 4.10 3.33 9.19 32.78 9.52 14.00 170.51
91 175 191 457 92 134 15 686 142 256 167 403 72 550 43 136 82 278 22 987 90 814 113 861 481 479
3 972.03 5 789.72 8 497.28 7 908.43 13 040.80 9 377.82 17 707.70 12 966.40 8 949.51 701.34 9 543.10 8 134.76 2 823.70
Total Tengah Hilir
Jumlah (Jiwa)
Ciawi Cisarua Megamendung
Total Hulu Tengah
Luas (Km2)
Pasar Minggu Mampang Prapatan Pancoran Tebet Setiabudi Jagakarsa Pasar Rebo Ciracas Kramat Jati Jatinegara Pulo Gadung Matraman Tanah Abang Menteng Senen Johar Baru Cempaka Putih Kemayoran Sawah Besar Gambir Tambora Taman sari Penjaringan Pademangan Tanjung Priuk Koja
8.51 117 667 1.34 23 099 7.72 111 443 9.12 242 633 7.50 115 528 14.58 130 099 Jakarta Timur 9.51 121 126 2.03 10 552 10.22 174 331 3.16 96 605 5.33 94 937 4.92 195 963 Jakarta Pusat 2.53 32 525 6.46 70 909 4.36 96 082 2.37 100 999 4.66 64 349 7.18 185 891 5.36 89 354 6.87 75 464 Jakarta Barat 8.72 327 280 4.51 121 943 Jakarta Utara 8.37 47 072 12.97 158 617 22.29 283 005 3.57 65 520 Total Hilir 167.55 2 887 008 Total (Hulu + Tengah + Hilir) 469.62 3 655 004 Sumber: Hasil analisis peta administratif DAS Ciliwung dan kecamatan dalam angka
13 826.86 17 202.85 14 428.49 26 602.63 15 394.66 8 923.18 12 740.87 5 208.69 17 063.20 30 610.33 17 797.15 39 846.19 12 852.12 10 969.55 22 054.27 42 697.05 13 819.36 25 899.45 16 674.84 10 983.00 37 525.26 27 013.52 5 623.14 12 230.13 12 696.51 18 340.80 17 230.45 22 232.12 BPS
31
Masalah sosial yang paling menonjol di DAS Ciliwung adalah pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa laju perkembangan penduduk Jakarta, Bogor serta Depok tahun 1961 s/d 2000, mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada tahun 1961, jumlah penduduk Jakarta, Bogor dan Depok mencapai 4.16 juta jiwa. Namun demikian, pada tahun 2000 telah mencapai 15.14 juta jiwa Tabel 10 Perkembangan penduduk Jabode Tahun 1961–2000 (x 1000 jiwa) Wilayah
SP 1961
SP 1971
SP 1980
SP 1990
SP 2000
Jakarta Pusat Jakarta Utara Jakarta Barat Jakarta Selatan Jakarta Timur DKI Jakarta Bogor + Depok Jabode
1 002.10 469.80 469.50 466.40 498.70 2 906.50 1 257.80 4 164.30
1 260.30 612.40 820.80 1 050.90 802.10 4 546.50 1 597.20 6 143.70
1 236.90 976.40 1 231.20 1 579.80 1 456.70 6 481.00 2 493.90 8 974.90
1 074.80 1 362.90 1 815.30 1 905.00 2 064.50 8 222.50 3 736.20 11 958.70
948.20 1 697.00 2 389.90 2 090.30 2 595.00 9 720.40 5 423.30 15 143.70
Sumber : Modifikasi Data BPS dalam BPDAS Ciliwung-Citarum (2007)
4.4.2 Kegiatan Ekonomi Masyarakat Kegiatan ekonomi masyarakat di wilayah DAS Ciliwung sangat beragam dan terus mengalami pergeseran sejalan dengan perkembangan Wilayah Jakarta, Depok, dan Bogor. Pergeseran kegiatan ekonomi masyarakat dari sektor pertanian ke sektor industri, perdagangan dan jasa telah terjadi secara nyata hampir di seluruh wilayah DAS Ciliwung. Sebagaimana diketahui sejak tiga dekade terakhir, khususnya kawasan puncak yang merupakan bagian dari wilayah hulu DAS Ciliwung telah terjadi proses komersialisasi lahan yang agresif. Hal ini akan menyumbangkan pengurangan penutupan vegetasi pada permukaan lahan yang penting untuk pemeliharaan fungsi wilayah hulu DAS Ciliwung sebagai daerah tangkapan hujan (water catchment area). Pola penguasaan lahan milik di DAS Ciliwung Hulu beragam. Ditemukan paling sedikit empat pola penguasaan lahan dalam usaha pertanian (BPDAS Ciliwung-Citarum 2007), yaitu :
32
a.
Lahan yang kepenguasaannya langsung di tangan warga masyarakat setempat, lahan ini dikelola sendiri oleh warga dengan usaha tani yang umumnya berupa tanaman hortikultur.
b.
Lahan yang kepenguasaannya berada di tangan orang luar desa, diusahakan oleh warga setempat dengan status sebagai penggarap.
Hasil panen
sepenuhnya menjadi milik penggarap dan bahkan pihak yang disebut terakhir masih mendapatkan upah bulanan sebagai imbalan karena telah berjasa menjaga dan memelihara lahan/tanah tersebut. c.
Lahan yang dimiliki orang luar desa diusahakan warga setempat dengan hasil panen menjadi milik petani. Bedanya mereka ini tidak menerima imbalan gaji.
d. Lahan yang dimiliki orang luar desa diusahakan oleh mereka sendiri dengan
menggaji buruh tani dari penduduk setempat.
5 5 5.1
HAS SIL PENELITIAN
Analissis Kriteria dan Indikaator Kerentaanan Pada saat s ini, perrubahan iklim merupakaan isu yangg sangat hanngat. Tidak
s sedikit orang yang meragukan adannya perubahhan iklim. G Gejala perubahan iklim t telah dirasakkan oleh sebagian besar m masyarakat DAS Ciliwuung (Gambarr 7). 120
Persentase
100
10 00 86 6.67 7 70
80 60
Ya
40 13.33
20
20
Tidak 10
Tidak tahu
0 Hulu
T Tengah
Hilir
Wilayah DAS
danya gejala perubahan iklim i Gamaabr 7 Persepssi masyarakaat tentang ad G 7 di d atas, terlihhat bahwa 100% responnden di DAS S Ciliwung Pada Gambar H Hulu merasaakan adanyaa perubahann iklim di daaerah merekka. Respondeen di DAS C Ciliwung Tengah, T 86.667% menyaatakan adanyya perubahaan iklim daan 13.33% m menyatakan tidak ada gejala peruubahan iklim m. Sedangkaan respondeen di DAS C Ciliwung hillir, 70% menyatakan addanya perubaahan iklim, 20% 2 menyattakan tidak a perubahhan iklim daan 10% mennyatakan tiddak tahu apaakah terjadi perubahan ada i iklim atau tidak. Berdassarkan perseepsi masyarrakat, perubbahan iklim yang terjaddi di DAS C Ciliwung b berpengaruh pada keteersediaan air a di DAS S Ciliwungg. Persepsi m masyarakat tentang t keteersediaan air di DAS Ciliiwung tersaji pada Gambbar 8. Pada G Gambar 8 terlihat bahw wa 100% responden di DAS Ciliwung Hulu menyatakan m a adanya peru ubahan keterrsediaan air di DAS Ciliiwung dan sekitarnya. s M Masyarakat d DAS Ciliiwung Tenggah, 70% meenyatakan ad di danya perubbahan keterssediaan air, 2 26.67% meenyatakan tidak t adanyya perubahaan keterseddiaan air dan d 3.33% m menyatakan tidak tahu u. Sedangkaan responden di DAS Ciliwung Hilir, H 80% m menyatakan adanya peruubahan keterrsediaan air dan 20% meenyatakan tiddak ada.
34
120 100 0
Persentase
100 80
80
7 70
60
Berubah
40
26.67
20
20
3.33
Tidak Tidak Tah hu
0 H Hulu
Tengah
Hilir
Wilayah DAS
Gam mbar 8 Perseepsi masyaraakat tentang perubahan p kketersediaan air AS Ciliwungg sangat diraasakan oleh Dampaak perubahaan ketersediaaan air di DA s sebagian bessar masyarak kat yang terrgantung padda ketersediaaan air di alaam, seperti p para petani atau a masyarrakat yang belum mengg gunakan fasiilitas PAM. Sedangkan m masyarakat yang telah menggunakkan fasilitass PAM, tiddak merasakkan adanya p perubahan k ketersediaan air. Selain itu, berdasaarkan perseppsi masyaraakat bahwa b berkurangny ya ketersediiaan air dissebabkan kaarena peninggkatan pendduduk dan b bangunan/ge edung. Namun n demikian, masyarakatt menyatakaan bahwa maasalah ketersediaan air d DAS Ciliiwung belum di m menjadi m masalah besaar bagi mereeka. Masyarrakat masih b beradap bisa ptasi dengann perubahan tersebut. Masyarakat M ddi DAS Ciliw wung Hulu k penggunaaan air sumu ke ur atau bekeerjasama denngan aparat pemerintah membuat s saluran darii mata air yang y lebih jauh. j Masyarakat di D DAS Ciliwun ng Tengah b beradaptasi dengan mem mbuat sumurr lebih dalam m atau beraliih ke PAM. Sedangkan m masyarakat di DAS Ciiliwung Hiliir beradaptaasi dengan cara c beralih h ke PAM, m membeli airr bersih, pen nggunaan air tanah. Naamun demikkian, masyarakat yang t tidak mampu u atau masyyarakat miskiin, mereka tetap t mengguunakan air yang y ada di s sungai yangg sudah terrcemar beraat. Tetapi kalau k pada musim kem marau atau k ketersediaan n air di alaam tidak adda, maka mereka m mennumpang kee tetangga. B Bahkan, adaa beberapa masyarakat m yang mengguunakan fasilitas air yang disediakan o pemerinntah, LSM, perusahaan oleh p aatau masyaraakat peroranngan.
35
Berdasarkan informasi tersebut, maka kriteria dan indikator kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung tersaji pada Tabel 11. Sedangkan cara perolehan nilai dari tiap-tiap indikator tersaji pada Lampiran 9. Tabel 11 Kriteria dan indikator kerentanan masyarakat Prinsip
Kriteria
Indikator
Ket
Singkapan
Perubahan Kondisi hidrologis di DAS Ciliwung (Alam_E)
Indeks penggunaan air (IPA) hasil proyeksi KNLH (1998)
Kepekaan
1 Permintaan air semakin tinggi (SDM_S)
Kepadatan penduduk/KP
2 Infrastruktur/sarana penyediaan air yang belum memadai. (Fisik_S)
Jumlah masyarakat yang tidak/belum menggunakan fasilitas PAM/ledeng (Kualitas infrastruktur/KI)
Asumsi : 1) kondisi ketersediaan air di seluruh wilayah sama; 2) kualitas air PAM bagus
3 Ketergantungan masyarakat akan lahan sangat tinggi (Ekon_S)
Persentase masyarakat yang bekerja pada sektor pertanian (Ketergantungan lahan /KL)
Asumsi: sektor pertanian sangat tergantung pada ketersediaan air.
1 Kualitas masyarakat yang tinggi (SDM_AC)
1 Tingkat pendidikan (TP) 2 Bisa baca tulis (MH) 3 Tingkat kesejahteraan (TK) 4 Perilaku konservasi (PK)
2 Harmonisnya hubungan antar masyarakat dan pemerintahan (Sosial_AC)
1. Tingkat konflik (KO) 2. Dukungan pemerintah kepada masyarakat (DP)
3 Terjaminnya pendapatan daerah perkapita (Ekon_AC)
Indeks pendapatan daerah perkapita IPDRB)
4 Adanya daerah resapan air yang berkualitas baik (Alam_AC)
Persentase luas lahan selain areal terbangun dan lahan terbuka (LH)
kemampuan adaptasi
Sumber : Hasil analisis
Asumsi: lahan selain areal terbangun dan areal terbuka mempunyai kemampuan untuk memperbesar infiltrasi air ke tanah, sedangkan besarnya kemampuan infiltrasi diabaikan.
36
Pada Tabel 11 terlihat bahwa seluruh aspek kehidupan (SDM, fisik/teknologi, ekonomi, sosial dan alam) berpengaruh pada penilaian kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung. Singkapan hanya dibatasi pada perubahan kondisi hidrologis (aspek alam) saja. Kepekaan masyarakat dipengaruhi oleh aspek ekonomi, SDM dan fisik. Sedangkan kemampuan adaptasi dipengaruhi oleh aspek SDM, ekonomi, sosial dan alam. 5.2
Analisis AHP Analisis AHP digunakan untuk melakukan analisis pembobotan atau
prioritas berdasarkan kepentingan relatif antar level. Alat yang digunakan untuk pengumpulan data nilai berupa daftar pertanyaan/kuisioner yang tersaji pada Lampiran 10. Data penilaian berdasarkan pertimbangan kebijakan dari pihakpihak yang berkepentingan. Data penilai atau responden AHP tersaji pada Lampiran 11. Hasil penilaian dari semua responden diolah menggunakan software expert choice. Hasilnya tersaji pada Lampiran 12. Hasil akhir analisis AHP menunjukkan bahwa nilai rasio inkonsistensi (inconcictency ratio/IR) sebesar 0.0 atau di bawah nilai inkonsistensi rasio yang diperbolehkan, yaitu sebesar 0.1. Dapat dikatakan bahwa bobot nilai yang diberikan oleh para responden penilai telah memenuhi syarat kekonsistenan. Nilai bobot dari tiap-tiap indikator hasil analisis AHP tersaji pada Gambar 9.
Tujuan :
Prinsip :
Kerentanan Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 100%
+ Exposure/ singkapan 21.8%
Sensitivity/Kepekaan Masyarakat 41.1%
Kriteria :
Alam_E 21.8%
SDM_S 20.9%
Fisik_S 7.4%
Ekon_S 12.8%
Indikator :
IPA 21.8%
KP 20.9%
KI 7.4%
KL 12.8%
Adaptive capacity/ Kemampuan Adaptasi Masyarakat 37.1% Sosial_AC 12.5%
SDM_AC 6.9% TP 1.4%
MH 1.6%
TK 1.8%
PK 2.2%
KO 4.8%
....................................................................... Alternatif :
Klasifikasi Kerentanan Masyarakat (Tinggi, Agak Tinggi, Sedang, Agak Rendah, Rendah)
Gambar 9 Hirarki hasil analisis AHP
DP 7.7%
Ekon_AC 5.8% IPDRB 5.8%
Alam_AC 11.9% LH 11.9%
37
Pada Gambar 9 di atas terlihat bahwa total nilai bobot adalah 100% atau 1. Pada tingkat prinsip atau level 1, terlihat bahwa bobot nilai untuk kepekaan paling tinggi, sebesar 41.1%. Berikutnya adalah kemampuan adaptasi sebesar 37.1%, dan singkapan sebesar 21.8%. Pada level 2, pada unsur kepekaan, indikator kepadatan penduduk (kriteria permintaan air semakin tinggi/aspek SDM) mempunyai bobot nilai yang lebih tinggi sebesar 20.9%, diikuti aspek ekonomi (kriteria ketergantungan pada lahan tinggi) sebesar 12.8% dan aspek fisik (kriteria infrastruktur/sarana penyediaan air yang belum memadai) sebesar 7.4%. Pada unsur kemampuan adaptasi terlihat bahwa aspek sosial (kriteria hubungan yang harmonis diantara masyarakat) mempunyai nilai bobot paling tinggi, sebesar 12.5%. Diikuti oleh aspek alam (kriteria tersedianya lahan resapan yang cukup) sebesar 11.9%, SDM (kriteria kualitas masyarakat yang tinggi) sebesar 6.9%, dan ekonomi (terjaminnya pendapatan daerah perkapita) sebesar 5.8%. Pada aspek SDM (kriteria kualitas masyarakat yang tinggi), indikator perilaku konservasi (PK) mempunyai bobot nilai yang lebih tinggi sebesar 2.2%, diikuti tingkat kesejahteraan (TK) sebesar 1.8%, melek huruf (MH) sebesar 1.6% dan tingkat pendidikan (TP) sebesar 1.4%. Sedangkan pada kriteria harmonisnya hubungan antara masyarakat (aspek sosial), dukungan pemerintah (DP) mempunyai nilai bobot lebih tinggi sebesar 7.7% dan konflik (KO) sebesar 4.8%. 5.3
Pemetaan Kerentanan Masyarakat
5.3.1 Pemetaan Singkapan Hasil pemetaan singkapan perubahan iklim terlihat pada Gambar 10 dan 11. Pada Gambar 10 terlihat bahwa indeks singkapan sebelum adanya perubahan iklim sebesar 0.44 dan dimasukkan dalam kategori agak rendah. Sedangkan pada Gambar 11 terlihat bahwa indeks singkapan setelah perubahan iklim sebesar 0.65 dan dimasukkan dalam kategori sedang. Perubahan nilai indeks singkapan sebelum dan sesudah singkapan menunjukkan bahwa DAS Ciliwung peka terhadap perubahan iklim dan memicu degradasi DAS Ciliwung semakin tinggi.
38
Gambar 10 Peta singkapan sebelum terjadi perubahan iklim
39
Gambar 11 Peta singkapan setelah terjadi perubahan iklim
5.3.2 Pemetaan Kepekaan Masyarakat Hasil pemetaan kepekaan masyarakat ditunjukkan dalam Gambar 12. Pada Gambar 12 terlihat bahwa kepekaan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung berbeda secara spasial. DAS Ciliwung Hilir mempunyai indeks kepekaan masyarakat sebesar 1.25 (ketegori kelas sedang). DAS Ciliwung Hulu
40
dan Tengah dikategorikan dalam kelas agak rendah dengan indeks kepekaan masing-masing sebesar 0.83 dan 0.63.
Gambar 12 Peta kepekaan masyarakat di DAS Ciliwung
5.3.3 Pemetaan Kemampuan Adaptasi Hasil pemetaan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung tersaji Pada Gambar 13. Pada Gambar 13 terlihat bahwa kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim berbeda secara spasial. DAS
41
Ciliwung Hulu mempunyai indeks kemampuan adaptasi sebesar 1.32 (kelas agak tinggi). DAS Ciliwung Tengah dan Hilir dalam kategori sedang dengan indeks kemampuan adaptasi masing-masing sebesar 1.17 dan 0.96.
Gambar 13 Peta kemampuan adaptasi masyarakat di DAS Ciliwung 5.3.4 Pemetaan Kerentanan Hasil pemetaan kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim tersaji pada Gambar 14. Pada Gambar 14 terlihat bahwa tingkat kerentanan masyarakat
42
terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung berbeda secara spasial. Tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung Hilir tergolong dalam kelas sedang dengan indeks kerentanan sebesar 0.94. Tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung Hulu dan Tengah termasuk kategori kelas agak rendah dengan indeks kerentanan masingmasing sebesar 0.16 dan 0.11
Gambar 14 Peta kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung
43
Secara detail, indeks tiap elemen kerentanan pada tiap tipologi DAS terlihat pada Gambar 15. Sedangkan proses untuk memperoleh nilai indeks dapat dilihat pada Lampiran 13.
Grafik Indeks 1.4 1.2 Singkapan
Nilai Indeks
1 0.8
Kepekaan
0.6 0.4
Kemampuan Adaptasi
0.2
Kerentanan
0 Hilir
Tengah
Hulu
Tipologi DAS
Gambar 15 Grafik indeks kerentanan Dari Gambar 15 di atas, terlihat indeks singkapan di seluruh DAS Ciliwung adalah sama sebesar 0.65. Indeks kepekaan paling tinggi di DAS Ciliwung Hilir sebesar 1.25, diikuti DAS Ciliwung Hulu dan Tengah sebesar 0.83 dan 0.63. Indek kemampuan adaptasi yang paling tinggi di DAS Ciliwung Hulu sebesar 1.32, selanjutnya adalah DAS Ciliwung Tengah dan Hilir sebesar 1.17 dan 0.96. Sedangkan indeks kerentanan yang paling tinggi di DAS Ciliwung Hilir sebesar 0.94, diikuti DAS Ciliwung Hulu dan Tengah sebesar 0.16 dan 0.11. Pada Gambar 12 juga menunjukkan hubungan antar elemen kerentanan. Kepekaan mempunyai hubungan yang sejajar dengan kerentanan, sebaliknya kemampuan adaptasi mempunyai hubungan terbalik dengan kerentanan. Disimpulkan bahwa tingkat kerentanan merupakan hubungan positif dari kepekaan masyarakat dan hubungan negatif dari kemampuan adaptasi masyarakat.
6 6.1
PEMBAHASAN
Analisis Kriteria dan Indikator Kerentanan Masyarakat Perubahan iklim telah terjadi di DAS Ciliwung. Pernyataan ini didukung
oleh beberapa hasil penelitian (Rozari et al. 1992; Tobing 2007) dan sebagian besar responden (Gambar 7). Responden menyatakan bahwa di DAS Ciliwung terjadi perubahan iklim dengan mengemukakan beberapa alasan, antara lain: a) terjadinya peningkatan suhu; b) berkurangnya kabut di Daerah Ciliwung Hulu; c) berkurangnya atau bahkan tidak ada embun di pagi hari; d) musim kemarau lebih panjang daripada musim hujan; e) perubahan musim yang tidak menentu, dimana hujan terjadi dimusim kemarau atau sebaliknya; f) curah hujan bertambah tinggi tetapi waktunya relatif pendek; g) bertambahnya bencana yang terkait iklim. Rozari et al. (1992) menguji terjadinya perubahan suhu dari tahun 19751990 di dua belas stasiun klimatologi, salah satunya adalah Stasiun Darmaga yang terletak di DAS Ciliwung. Hasilnya menunjukkan bahwa di Stasiun Darmaga telah terjadi kenaikan suhu yang beda nyata. Tobing (2007) mengamati indeks kekeringan di DAS Ciliwung dari tahun 1990 – 2004 dari seluruh stasiun yang ada di DAS Ciliwung dan dibagi menjadi tiga periode atau lima tahunan. Hasilnya menunjukkan bahwa indeks kekeringan di DAS Ciliwung sangat tergantung pada curah hujan dan tiap periode mempunyai kecenderungan lebih kering. Dapat dikatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian Tobing (2007) bahwa di DAS Ciliwung ada kecenderungan terjadinya penurunan curah hujan. Pada periode yang panjang terjadi gejala penurunan curah hujan di Pulau Jawa (Pawitan 1999) dan juga di Indonesia (Kaimuddin 2000). Berdasarkan pengamatan iklim tersebut, maka KNLH (1998) menggunakan model GCMs jenis CCCM untuk memprediksi dampak perubahan iklim di seluruh DAS di Jawa. Alasan KNLH menggunakan model GCMs jenis CCCM karena hasil keluaran CCCM menunjukkan terjadinya peningkatan suhu dan mempunyai kecenderungan penurunan curah hujan. Jenis GCMs lainnya menunjukkan bahwa di Indonesia mempunyai kecenderungan kenaikan curah hujan. Hasil keluaran CCCM lebih sesuai dengan kecenderungan iklim di Indonesia (Pawitan 1999; Kaimuddin 2000). Oleh karena itu, dalam penelitian ini,
45
untuk mengamati dampak perubahan iklim pada kondisi hidrologis di DAS Ciliwung menggunakan hasil proyeksi dari KNLH (1998). Berdasarkan proyeksi perubahan iklim oleh KNLH (1998) menunjukkan bahwa terjadi perubahan ketersediaan air di DAS Ciliwung. Hal ini didukung sebagian besar responden (Gambar 8), yang mengamati ketersediaan air, terutama debit atau limpasan di DAS Ciliwung pada musim hujan dan kemarau. Pada musim hujan ketersediaan air atau debit di DAS Ciliwung melimpah dan pada musim kemarau terjadi penurunan debit. Lebih lanjut dikatakan oleh sebagian responden bahwa fluktuasi debit yang terjadi pada musim hujan dan kemarau semakin tinggi. Fluktuasi debit di DAS Ciliwung dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Fluktuasi debit di DAS Ciliwung Stasiun Katulampa
Stasiun Ratujaya
Tahun
Qmax (m3/det)
Qmin (m3/det)
Qrataan (m3/det)
Qmin/ Qrataan (m3/det)
Qmax (m3/det)
Qmin (m3/det)
Qrataan (m3/det)
Qmin/ Qrataan (m3/det)
1993
44.40
3.70
12.20
0.30
151.60
1.51
14.10
0.11
1995 1997 1999 2001 2003
58.50 32.40 1571.65 394.78 62.88
3.31 0.00 0.71 0.37 7.67
10.40 3.37 7.60 12.75 20.01
0.32 0.00 0.09 0.03 0.38
95.50 41.80 591.84 103.04 281.30
1.38 0.02 0.02 13.29 0.05
15.80 6.78 7.93 31.50 8.50
0.09 0.00 0.00 0.42 0.01
3.41 1.16
8.89 8.47
0.38 0.14
151.57 820.89
1.01 0.00
13.95 11.46
0.07 0.00
2005 80.49 2007 205.36 Sumber : hasil analisis
Dari Tabel 12 di atas, terlihat bahwa kondisi fluktuasi debit di Stasiun Katulampa dan Ratujaya menunjukkan pola yang hampir sama. Nilai Qmax cenderung meningkat, Qmin dan Qrataan cenderung menurun. Kondisi ini menggambarkan bahwa fluktuasi debit di DAS Ciliwung tiap tahun cenderung makin besar. Perubahan fluktuasi debit yang semakin tinggi menunjukkan bahwa degradasi di DAS Ciliwung semakin meningkat. Peningkatan degradasi DAS Ciliwung menyebabkan ekosistem tidak dapat menyediakan fungsi dan jasa yang optimal bagi kehidupan manusia, sehingga berpengaruh pada tingkat kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung. Selain besarnya singkapan, tingkat kerentanan
46
masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung juga dipengaruhi oleh kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat. Masyarakat yang peka terhadap perubahan ketersediaan air di DAS Ciliwung adalah masyarakat di DAS Ciliwung yang masih menggunakan dan tergantung pada ketersediaan air di DAS Ciliwung. Kondisi masyarakat yang peka adalah sebagai berikut : a
Permintaan air di masyarakat semakin tinggi ( aspek SDM). Permintaan air yang semakin tinggi menuntut alam untuk menyediakan air yang lebih banyak, sedangkan alam mempunyai keterbatasan. Kondisi ini menyebabkan masyarakat kekurangan atau krisis air. Permintaan air yang semakin tinggi dicirikan dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Permintaan air yang tinggi menyebabkan masyarakat mengeksploitasi air di alam. Pada saat ini, 70% masyarakat tergantung pada pasokan air tanah karena kuantitas atau ketersediaan air di DAS Ciliwung tidak mencukupi kebutuhan masyarakat. Apabila penggunaan air tanah melebihi batas, dikhawatirkan terjadi penurunan permukaan air tanah yang menyebabkan sumur kering, amblesnya tanah dan intrusi air laut (Asdak 2007).
b
Kualias infrastruktur yang belum memadai (aspek fisik) Kualitas PAM yang disediakan oleh PDAM kurang memenuhi atau mencukupi, sehingga masih banyak masyarakat yang tidak atau belum menggunakan fasilitas PDAM. Apabila terjadi kekeringan atau kuantitas air di DAS Ciliwung menipis atau defisit, masyarakat golongan ini akan lebih peka. Ada beberapa alasan, masyarakat di DAS Ciliwung tidak menggunakan fasilitas PAM, yaitu : 1) 45% responden menyatakan masalah tidak sanggup membayar, karena harga PAM tidak sesuai dengn keuangan mereka; 2) 20% responden menyatakan kualitas air PAM tidak bagus atau sama dengan kondisi air di daerah mereka; 3) 35% responden menyatakan bahwa di daerah mereka belum tersedia fasilitas PAM.
47
c
Ketergantungan masyarakat akan lahan sangat tinggi (aspek ekonomi) Masyarakat yang mempunyai ketergantungan pada lahan akan membutuhkan air yang lebih banyak. Masyarakat ini umumnya kerja pada sektor pertanian (pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan). Dengan adanya peningkatan suhu, maka tanaman atau tumbuhan membutuhkan air yang semakin tinggi. Selain itu, ketersediaan air yang beerlimpah pada musim hujan (banjir) menyebabkan para petani mengalami resiko kegagalan panen yang tinggi. Berdasarkan hasil observasi, kondisi masyarakat di DAS Ciliwung pada
saat ini masih bisa beradaptasi dengan perubahan iklim yang terjadi. Ada beberapa kriteria yang berpengaruh pada kemampuan adaptasi masyarakat di DAS Ciliwung, yaitu: a
Kualitas masyarakat yang tinggi (aspek SDM). Kualitas masyarakat menggambarkan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim. Makin tinggi kualitas masyarakat maka makin tinggi kemampuan adaptasi masyarakat. Ada beberapa indikator yang mempengaruhi kualitas masyarakat, yaitu : 1) Tingkat pendidikan. Dihitung berdasarkan pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh masyarakat. Asumsi yang digunakan adalah semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin tinggi kualitas manusia/masyarakat di daerah tersebut. 2) Kemampuan membaca dan menulis. Asumsi yang digunakan adalah masyarakat yang bisa membaca dan menulis, mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang tidak bisa membaca dan menulis. Pendidikan informal/kursus dimasukkan dalam kategori ini, dengan asumsi masyarakat yang mengikuti kursus dan pendidikan informal lainnya diajarkan juga membaca dan menulis. 3) Tingkat
kesejahteraan.
Tingkat
kesejahteraan
menggambarkan
kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu daerah maka makin tinggi tingkat kemampuan adaptasi daerah tersebut. Tingkat kesejahteraan dalam
penelitian
ini
menggunakan
standar
BKKBN
yang
48
mengklasifikasikan tingkat kesejahteraan dalam empat kelompok, yaitu pra-ks, ks-1, ks-2 dan ks-3. Kelompok ks-2 dan ks-3 merupakan kelompok rumah tangga yang dinilai telah bisa memenuhi kebutuhan standar hidupnya. 4) Perilaku konservasi. Merupakan perilaku yang menggambarkan kesadaran masyarakat akan lingkungan di sekitarnya. Perilaku konservasi dinilai berdasarkan persepsi masyarakat tentang kesadaran masyarakat di sekitarnya. Perilaku konservasi yang semakin tinggi menunjukkan bahwa lingkungan di sekitar masyarakat semakin bagus, sehingga tingkat kemampuan adaptasi masyarakat semakin tinggi. b
Terciptanya hubungan yang harmonis antar masyarakat dan masyarakat dengan pemerintah (aspek sosial). Semakin tinggi tingkat kerukunan masyarakat maka makin tinggi kemampuan adaptasinya. Ada beberapa indikator yang digunakan dalam menilai hubungan antar masyarakat dan pemerintah, yaitu: 1) Tingkat konflik dalam masyarakat. Konflik yang dinilai adalah konflik yang terjadi dalam masyarakat, terutama masalah sumber daya alam. Semakin tinggi konflik maka kemampuan adaptasi masyarakat makin rendah, begitu juga sebaliknya. 2) Dukungan pemerintah kepada masyarakat. Dukungan pemerintah kepada masyarakat sangat membantu masyarakat untuk beradaptasi terhadap ancaman yang terjadi. Penilaian dukungan masyarakat berdasarkan persepsi masyarakat yang menilai kualitas pemerintah dalam mendukung kebutuhan masyarakat dan dilihat dari kepuasan masyarakat atas pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
c
Terjaminnya pendapatan daerah perkapita (aspek ekonomi). Pendapatan daerah perkapita yang semakin tinggi menunjukkan bahwa kemampuan atau tingkat pendapatan masyarakat juga makin tinggi dan berpengaruh pada kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan ekosistem. Pendapatan daerah perkapita diperoleh dari PDRB ( Produk Domestik Regional Bruto) perkapita di masing-masing wilayah kabupaten. PDRB perkapita menjadi
49
ukuran bagi pemerintah lokal untuk mengembangkan pemerintah lokal dan daerahnya termasuk pemdapatan masyarakat (Marwa et al. 2010). d
Adanya lahan resapan air yang cukup (aspek alam). Lahan resapan adalah lahan yang mempunyai kemampuan untuk menginfiltrasikan air. Biasanya ditandai dengan tingginya laju infiltrasi sehingga air yang mengalir ke lahan tersebut masuk ke dalam tanah dan menjadi air tanah (Asdak 2007). Kemampuan tutupan lahan untuk menginfiltrasi dan menyimpan air berbedabeda. Namun, dalam penghitungan ini diasumsikan bahwa lahan terbuka yang tidak ada tanaman dan areal terbangun tidak mempunyai kemampuan infiltrasi, sedangkan lahan selain lahan terbuka atau areal terbangun diasumsikan mempunyai kemampuan infiltrasi dan besarnya kemampuan infiltrasi diabaikan.
6.2
Analisis AHP Tujuan penggunaan AHP dalam penelitian ini adalah untuk memberikan
bobot atau prioritas pada tiap-tiap indikator berdasarkan kepentingan relatif antar level dalam susunan hirarki permasalahan. Hasil akhir analisis AHP menunjukkan bahwa nilai rasio inkonsistensi (Inconcictency ratio / IR) sebesar 0.0 atau di bawah nilai inkonsistensi rasio yang diperbolehkan atau sebesar 0.1. Dapat disimpulkan bahwa bobot nilai yang diberikan oleh para responden penilai telah memenuhi syarat kekonsistenan. Pada tingkat prinsip atau level 1, terlihat bahwa bobot nilai untuk kepekaan paling tinggi, sebesar 41.1%. Berikutnya adalah kemampuan adaptasi sebesar 37.1%, dan singkapan sebesar 21.8%. Kondisi ini menggambarkan bahwa mayoritas para penilai lebih mementingkan usaha untuk mengurangi dampak pada kehidupan masyarakat, baru meningkatkan kemampuan adaptasi dan mengatasi dampak
pada
alam/lingkungan.
Selain
itu,
penilaian
AHP
ini
juga
menggambarkan bahwa para penilai lebih mementingkan sistem manusia daripada sistem alam atau mayoritas masyarakat masih berpikiran antroposentrisme, yaitu memandang bahwa alam akan diutamakan daripada sistem manusia apabila memberikan manfaat kepada manusia.
50
Pada unsur kepekaan, indikator kepadatan penduduk (aspek SDM) mempunyai bobot nilai yang lebih tinggi sebesar 20.9%, diikuti aspek ekonomi (kriteria ketergantungan pada lahan tinggi) sebesar 12.8% dan aspek fisik (kriteria infrastruktur/sarana penyediaan air yang belum memadai) sebesar 7.4%. Dari hasil tersebut, terlihat bahwa para responden atau penilai lebih memfokuskan masalah bersama daripada masalah sebagian orang. Disadari masalah kepadatan penduduk merupakan masalah bersama atau global dan dampaknya mengenai semua masyarakat. Sedangkan aspek ekonomi dan fisik, merupakan masalah sebagian orang saja. Pada unsur kemampuan adaptasi terlihat bahwa aspek sosial (kriteria hubungan yang harmonis diantara masyarakat) mempunyai bobot yang lebih tinggi atau sebesar 12.5%. Diikuti oleh aspek alam (kriteria lahan resapan yang cukup) sebesar 11.9%, SDM (kriteria kualitas masyarakat yang tinggi) sebesar 6.9%, dan ekonomi (kriteria terjaminnya pendapatan daerap perkapita) sebesar 5.8%. Dari hasil ini terlihat bahwa masyarakat menyadari bahwa kehidupan rukun dan tolong menolong menjadi modal utama bagi mereka untuk menghadapi ancaman yang ada di daerah mereka, dimana pemerintah yang sangat mendukung dan memperhatikan kepentingan masyarakat lebih diutamakan. Selain itu, untuk menjaga kondisi DAS Ciliwung, para penilai berpendapat bahwa faktor alam atau adanya lahan resapan yang cukup sangat mendukung kemampuan adaptasi. Para penilai menyadari bahwa kondisi alam yang dikelola baik akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi mereka, tetapi apabila dikelola dengan tidak baik maka memberikan ancaman bagi kehidupan mereka. Sedangkan pada aspek SDM, perilaku konservasi mempunyai bobot nilai yang lebih tinggi sebesar 2.2%, diikuti tingkat kesejahteraan sebesar 1.8%, melek huruf sebesar 1.6% dan tingkat pendidikan sebesar 1.4%. Kondisi ini menunjukkan bahwa kualitas masyarakat yang baik adalah masyarakat yang mempunyai kesadaran terhadap lingkungan atau konservasi tinggi, karena ini disadari secara tidak langsung memberikan sumbangan bagi kehidupan masyarakat lainnya. Sedangkan indikator lain pada kualitas manusia dinilai hanya bermanfaat untuk individu itu sendiri.
51
6.3
Analisis Pemetaan Kerentanan Masyarakat Pada Gambar 10 dan 11 terlihat peta singkapan di DAS Ciliwung sebelum
dan sesudah terjadi perubahan iklim. Hasil perbandingan Gambar 10 dan 11 menunjukkan terjadinya perubahan kondisi hidrologis di DAS Ciliwung. Kuantitas air atau ketersediaan air di DAS Ciliwung setelah terjadi perubahan iklim mengalami perubahan. Indeks singkapan sebelum terjadi perubahan iklim sebesar 0.44 (kelas agak rendah) menjadi 0.65 (kelas sedang). Peningkatan indeks singkapan menunjukkan bahwa perubahan iklim berpengaruh pada kondisi hidrologis di DAS Ciliwung. KNLH (1998) dalam memproyeksikan perubahan iklim di DAS Ciliwung tidak memberikan informasi secara mendetil tentang kondisi hidrologis di DAS Ciliwung. Informasi hanya terbatas pada IPA dan perubahan iklim memberikan pengaruh pada IPA di DAS Ciliwung. Besarnya perubahan debit atau limpasan, surplus serta defisit air tidak ditampilkan atau dibahas. Apabila dalam suatu DAS terjadi surplus dan defisit air pada periode yang sama maka dipastikan terjadi peningkatan limpasan atau debit sehingga fluktuasi debit meningkat (Murdiyarso 2003). Penghitungan nilai IPA yang dihasilkan dalam model KNLH (1998) berbeda dengan IPA di DAS Ciliwung. Berdasarkan Tim IPB (2006) menyatakan bahwa IPA di DAS Ciliwung pada tahun 1996 sebesar 1.20 atau 129%. Hal ini disebabkan dalam proyeksi IPA oleh KNLH (1998) hanya memproyeksikan kebutuhan air pada sektor pertanian dan sektor industri tanpa memperhatikan kebutuhan air bagi penduduk di sekitar DAS Ciliwung. Apabila penghitungan model juga memproyeksikan kebutuhan masyarakat maka dijamin IPA di DAS Ciliwung lebih dari 1 atau dalam kondisi kritis. Disadari bahwa kepadatan penduduk di DAS Ciliwung sangat tinggi. Selain itu, sekitar 70% masyarakat di DAS Ciliwung sudah banyak yang beralih ke penggunaan air tanah karena ketersediaan air di DAS Ciliwung sudah tidak mencukupi. Namun demikian, hal ini tidak menjadi suatu masalah karena tujuan utama dari KNLH (1998) hanya ingin menunjukkan bahwa DAS Ciliwung peka atau lebih rentan dengan adanya perubahan iklim. Hal ini ditunjukkan dengan perubahan nilai IPA atau simpanan
52
air di DAS Ciliwung yang semakin kritis dibandingkan sebelum ada perubahan iklim. Penurunan nilai IPA atau simpanan air di DAS Ciliwung disebabkan karena hasil proyeksi model GCMs jenis CCCM menunjukkan terjadinya penurunan curah hujan. Gejala penurunan curah hujan di DAS Ciliwung juga diamati oleh Tobing (2007). Tobing (2007) mengamati curah hujan di DAS Ciliwung dalam jangka waktu 15 tahun dan dibagi menjadi 3 periode (5 tahunan). Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan penurunan curah hujan pada tiap periode. Hal serupa juga diamati di Pulau Jawa oleh Pawitan (1999) dan di Indonesia oleh Kaimuddin (2000). Hasilnya menunjukkan bahwa di Jawa dan di Indonesia terjadi kecenderungan penurunan curah hujan. Pawitan (1989) menunjukkan bahwa selama 11 tahun (1977-1987) terjadi fluktuasi debit yang cukup besar di DAS Ciliwung. Hubungan antara fluktuasi
Rata-rata jeluk debit bulanan (mm)
debit dan curah hujan di DAS Ciliwung tersaji pada Tabel 13 dan Gambar 16.
Gambar 16 Rata-rata jeluk debit bulanan di DAS Ciliwung Tahun 1977 – 1987 (Sumber: Pawitan (1989)) Pada Gambar 16 terlihat bahwa selama 11 tahun (1977-1987) terjadi fluktuasi yang sangat besar. Jeluk debit di Stasiun Katulampa selalu lebih besar daripada Stasiun Ratujaya dan Kebon Baru. Hal ini menunjukkan bahwa DAS Ciliwung Hulu mempunyai kontribusi yang besar terhadap banjir di Jakarta.
53
Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa limpasan permukaan dari DAS Ciliwung Hulu menunjukkan nisbah yang berlebihan dengan variasi antara 10 sampai 60%. Selain itu, pada Tabel 13 juga terlihat bahwa curah hujan yang semakin tinggi cenderung memberikan limpasan dan nisbah banjir yang makin besar. Tabel 13 Nisbah banjir di DAS Ciliwung Hulu Episode Banjir 13-24 Agustus 1978 21-31 Januari 1979 17-30 Januari 1980 5-18 April 1980 21-31 Januari 1981 1-12 Februari 1981 10-21 April 1982 1-13 November 1983 1-13 Februari 1984 12-24 Oktober 1985
Total Aliran Langsung (m3/s) (mm) 178.0 171.5 108.8 48.9 184.4 116.4 51.7 176.7 62.9 107.7
105.4 101.5 64.4 28.9 109.1 68.9 30.6 104.6 37.2 63.7
CH (mm) 206.7 209.0 324.1 88.1 252.6 161.1 195.2 254.5 187.7 196.4
Nisbah Banjir (%) 51 49 20 33 43 43 16 41 20 32
Sumber : Pawitan (1989)
Kejadian banjir di Jakarta bukan hanya karena kiriman limpasan, tetapi juga pengaruh curah hujan. Pengaruh curah hujan pada kejadian banjir terlihat pada kejadian banjir di Jakarta pada Tahun 2002 (Nugroho 2002; Fakhruddin 2003). Pada Gambar 17 terlihat bahwa tinggi muka air di DAS Ciliwung pada tahun 1996 lebih besar daripada tahun 2002, tetapi kejadian banjir di Jakarta pada tahun 2002 lebih besar daripada tahun 1996. Pada Gambar 18 terlihat bahwa pada kejadian banjir di Jakarta pada tahun 2002, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan curah hujan di Jabotabek. Dapat disimpulkan bahwa kejadian banjir di Jakarta pada tahun 2002 disebabkan karena curah hujan yang tinggi di Jakarta dan sekitarnya, sedangkan banjir pada tahun 1996 merupakan banjir limpasan dari hulu.
54
Gambar 17 Fluktuasi tinggi muka air di Stasiun Ratujaya (Sumber : Fakhruddin (2003))
Gambar 18 Rata-rata curah hujan Daerah Jabotabek 17 Jan - 9 Feb 2002 (Sumber : Nugroho (2002)) Dari informasi di atas, terlihat bahwa perubahan curah hujan menyebabkan intensitas banjir di Jakarta meningkat. Selain itu, perubahan curah hujan juga berpengaruh pada limpasan (fluktuasi debit) dan ketersediaan air di DAS Ciliwung (Pawitan et al. 2000; Singgih 2000; Pawitan 2002; Fakhruddin 2003; BPDAS Ciliwung Citarum 2007). Berdasarkan hasil proyeksi dari KNLH (1998) serta informasi pengaruh curah hujan pada fluktuasi debit di DAS Ciliwung maka
55
dapat disimpulkan bahwa perubahan iklim di DAS Ciliwung memicu terjadinya degradasi DAS Ciliwung semakin tinggi. Perubahan degradasi DAS Ciliwung akibat perubahan iklim berpengaruh pada tingkat kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung. Pada Gambar 14 terlihat bahwa tingkat kerentanan masyarakat berbeda pada semua wilayah. Tingkat kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung Hilir berada pada kelas sedang dengan indeks kerentanan sebesar 0.94. DAS Ciliwung Hulu dan Tengah pada kelas agak rendah dengan indeks kerentanan masing-masing sebesar 0.16 dan 0.11. Perbedaan tingkat kerentanan disebabkan karena perbedaan tingkat kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat di DAS Ciliwung. Pada Gambar 15 menunjukkan bahwa tingkat kerentanan di DAS Ciliwung Hilir paling tinggi disebabkan karena tingkat kepekaan di DAS Ciliwung Hilir paling tinggi sedangkan kemampuan adaptasinya paling rendah. Sebaliknya di DAS Ciliwung Hulu dan Tengah, tingkat kerentanan masyarakat sedang disebabkan karena kepekaannya cenderung agak rendah dan kemampuan adaptasinya cenderung agak tinggi. Dengan kata lain, pada Gambar 15 terlihat suatu pola hubungan antara kepekaan, kemampuan adaptasi dan kerentanan. Dimana tingkat kerentanan merupakan fungsi positif dari kepekaan dan fungsi negatif dari kemampuan adaptasi. Pada Gambar 12 terlihat bahwa tingkat kepekaan masyarakat di DAS Ciliwung Hilir paling tinggi dibandingkan dengan DAS Ciliwung Hulu dan Tengah. Kondisi ini disebabkan karena kepadatan penduduk di DAS Ciliwung Hilir sangat padat sebesar 17.23 ribu jiwa/km2 atau melebihi rata-rata DAS Ciliwung (7.78 ribu jiwa/km2). Selain itu, berdasarkan hasil AHP, indikator kepadatan penduduk mempunyai nilai bobot yang lebih tinggi dibandingkan indikator kepekaan lainnya. Sedangkan tingkat kepekaan masyarakat di DAS Ciliwung Tengah dan Hulu berada pada posisi yang sama. Tetapi apabila dilihat pada Gambar 15 menunjukkan bahwa indeks kepekaan di DAS Ciliwung Hulu dan Tengah berbeda, dimana Ciliwung Hulu mempunyai indeks yang lebih tinggi (0.83) atau lebih peka daripada Ciliwung Tengah (0.63). Hal ini disebabkan karena nilai pada aspek ekonomi (kriteria ketergantungan masyarakat akan lahan
56
tinggi) dan fisik (kriteria infrastruktur yang belum memadai) di DAS Ciliwung Hulu lebih rendah dibandingkan DAS Ciliwung Tengah. Pada Gambar 13 terlihat bahwa kemampuan adaptasi di DAS Ciliwung Hilir paling rendah dibandingkan hulu dan tengah. Indikator yang paling dominan membedakan tingkat kemampuan adaptasi di DAS Ciliwung adalah aspek alam atau tersedianya lahan resapan yang cukup. Lahan resapan dalam penelitian ini menggunakan asumsi bahwa lahan selain areal terbangun dan lahan terbuka mempunyai
kemampuan
infiltrasi
diasumsikan sama. Berdasarkan
serta
besarnya
kemampuan
tersebut
data penggunaan lahan tahun 2007 terlihat
bahwa DAS Ciliwung Hilir daerah resapannya sebesar 1.7%, diikuti DAS Ciliwung Tengah sebesar 32% dan DAS Ciliwung Hulu sebesar 94%. Sedangkan lahan non resapan di DAS Ciliwung Hilir sebesar 97%, DAS Ciliwung Tengah sebesar 67% dan DAS Ciliwung Hulu sebesar 5.4%. Dapat disimpulkan bahwa alam mempunyai peranan yang penting bagi manusia untuk beradaptasi terhadap perubahan atau ancaman yang ada karena alam menyediakan jasa dan ekosistem yang sangat vital bagi manusia (Alcamo et al. 2003). 6.4
Analisis Adaptasi Berbasis Ekosistem Hutan Dari hasil pemetaan kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim
terlihat bahwa perubahan iklim bersifat global, tetapi tingkat kerentanan sistem alam dan masyarakat berbeda secara lokal. Selain itu, Gambar 10 dan 11 menunjukkan bahwa DAS Ciliwung rentan terhadap perubahan iklim. Kondisi ini akan berpengaruh pada tingkat kerentanan masyarakat di sekitar DAS Ciliwung. Masyarakat yang lebih peka dan mempunyai kemampuan adaptasi yang lebih rendah akan lebih rentan, begitu juga sebaliknya. Untuk menghadapi perubahan iklim diperlukan usaha mitigasi dan adaptasi. Usaha mitigasi merupakan usaha manusia untuk mencegah terjadinya perubahan iklim dengan cara mengurangi sumbernya (IPCC 2001). Usaha ini antara lain: hemat energi listrik, mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, menghentikan penebangan dan pembakaran hutan dan mendesak penggunaan energi terbarukan seperti matahari, air dan angin yang ramah lingkungan. Semenjak berdirinya kerangka kerja konvensi perubahan iklim (UNFCC-United Nations Framework Convention on Climate Change) sampai Protokol Kyoto, mitigasi merupakan
57
primadona atau fokus utama. Protokol Kyoto mewajibkan negara Annex 1 (negara maju) untuk menurunkan emisi GRK rata-rata sebesar 5.2% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008-2012. Hal ini bisa dilakukan melalui tiga mekanisme yaitu: a) JI (Joint Implementation)); b) CDM (Clean Development Mechanism); dan c) ET (Emission Trading). Selain itu, pada COP ke-13 di Bali tahun 2007 menghasilkan suatu konsep mitigasi perubahan iklim lewat mekanisme REDD (reducing emission from deforestation and forest degradation) Kebijakan-kebijakan mitigasi di atas, sampai saat ini belum efektif dan membutuhkan waktu lama. Selain itu, perubahan iklim tidak bisa dikurangi secara tuntas sehingga perubahan iklim akan terus berlangsung dan memberikan dampaknya secara perlahan-lahan kepada alam dan masyarakat. Perubahan iklim, terutama curah hujan sangat berpengaruh pada kondisi hidrologis, terutama debit di DAS Ciliwung (KNLH 1998; Pawitan et al. 2000; Singgih 2000; Pawitan 2002; Fakhruddin 2003; BPDAS Ciliwung Citarum 2007). Perubahan kuantitas atau ketidakseimbangan kondisi hidrologis di DAS Ciliwung berpengaruh pada tingkat kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung. Oleh karena itu, diperlukan usaha adaptasi terhadap dampak perubahan iklim ke depan. Keseimbangan hidrologis di DAS Ciliwung, selain dipengaruhi oleh perubahan iklim juga topografi serta penggunaan lahan (Singgih 2000; Pawitan 2002; Fakhruddin 2003; Asdak 2007). Dari ketiga unsur tersebut, penggunaan lahan merupakan salah satu unsur yang dapat dikendalikan oleh manusia. Penggunaan lahan di DAS Ciliwung tiap tahun mengalami perubahan. Perubahan penggunaan lahan hampir pasti mengikuti pola dari jenis penggunaan hutan ke pertanian, perkebunan dan berlanjut ke pemukiman sejalan dengan perkembangan wilayah perkotaan (Pawitan 2002). Pola perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung pada tahun 1996 dan tahun 2007 tersaji pada Tabel 14. Pada Tabel 14 terlihat bahwa pengunaan lahan di DAS Ciliwung pada tahun 1996 dan tahun 2007 telah mengalami perubahan. Lahan untuk hutan dan tubuh air mengalami penurunan. Sedangkan lahan untuk areal terbangun mengalami peningkatan.
58
Tabel 14 Pola perubahan tata guna lahan di DAS Ciliwung Jenis Penggunaan Lahan Hutan Ladang/tegalan Sawah Lahan terbuka Areal terbangun Tubuh air
Ciliwung Hulu (Ha)
Ciliwung Tengah (Ha)
Ciliwung Hilir (Ha)
1996
2007
1996
2007
1996
2007
6 089.24 7 292.64
5 748.89 7 537.82
110.09 5 327.22
110.09 5 499.69
14.11 115.95
0.00 208.40
0.00 0.00 758.75 0.00
0.00 16.81 761.79 0.00
30.66 160.11 11 703.73 165.61
72.20 0.00 11 772.99 38 42
0.00 235.76 17 821.99 119.08
0.00 0.00 17 949.98 107.84
Total 14 140.62 14 065.30 17 497.41 17 493.38 18 306.90 18 266.22 Sumber : Analisis peta penggunaan lahan tahun 1996 (Lampiran 5) dan tahun 2007 (Lampiran 7)
Pola perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung umumnya menyimpang dari rencana tata ruang wilayah (RTRW). Pola penyimpangan RTRW di DAS Ciliwung tersaji pada Tabel 15. Pada Tabel 15 terlihat bahwa telah terjadi penyimpangan tata ruang pada berbagai arahan penggunaan kawasan. Penyimpangan terbesar terjadi pada pemukiman perkotaan seluas 22096.30 Ha (31.68%), diikuti pemukiman pedesaan seluas 5153.6 Ha (29.44%) dan kawasan pertanian lahan kering seluas 14661.5 Ha (19.27%). Berdasarkan fungsi kawasan hutan, penyimpangan yang terjadi relatif kecil, yaitu 1.11% di hutan lindung dan 7.52% di hutan produksi. Tabel 15 Penyimpangan RTRW di DAS Ciliwung Hulu dan Tengah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Arahan Tata ruang
Kawasan lindung Kawasan hutan produksi Kawasan pertanian lahan kering Kawasan pertambangan Kawasan pariwisata Kawasan pemukiman pedesaan Kawasan waduk Kawasan perkotaan Kawasan industri Kawasan pertanian lahan basah Total Sumber : Karyana (2007)
Luas RUTRW (Ha) 38 144.60 42 266.00 76 089.10 2 397.10 2 324.90 17 507.50 1 950.00 69 754.00 4 487.70 40 631.00 295 551.90
Penyimpangan (Ha) 424.90 3 179.40 14 661.50 225.00 5 153.60 22 096.30 647.00 883.50 47 271.20
% 1.11 7.52 19.27 9.39 29.44 31.68 14.42 2.17 15.99
59
Selain terjadi pola perubahan penggunaan lahan, di DAS Ciliwung juga terjadi degradasi lahan. Penyebaran lahan kritis di DAS Ciliwung tersaji pada Tabel 16. Tabel 16 Penyebaran lahan kritis di DAS Ciliwung No 1 2 3
Kawasan
Luas (Ha)
Luar kawasan Kawasan lindung non hutan Dalam kawasan a) hutan produksi b) Hutan konservasi
1211.20 800.00 32.70 240.00
Jumlah Sumber : Karyana (2007)
2283.90
Pada Tabel 16 terlihat bahwa luas lahan kritis di luar kawasan adalah 53%, kawasan lindung non hutan sebesar 35.03% dan dalam kawasan sebesar 11.94%, dimana 10% berada pada kawasan hutan konservasi. Selain itu, terlihat juga bahwa lahan kritis tidak hanya terjadi pada kawasan hutan. Degradasi lahan pada kawasan hutan, umumnya disebabkan karena proses pembalakan (Alikodra & Syaukani 2008; Marwa et al. 2010). Lebih lanjut dikatakan oleh Alikodra & Syaukani (2008) bahwa pada Perum Perhutani III Jawa Barat, pada tahun 1988 – 1977 intensitas pembalakan naik sebesar 180%. Tahun 1998 – 1999 naik sebesar 600%. Selain itu, 50 ribu Ha hutan di bawah BKSDA mengalami rusak berat karena pembalakan liar. Degradasi dan perubahan penggunaan lahan, terutama ekosistem hutan di DAS Ciliwung telah memberikan pengaruh pada respon hidrologi di DAS Ciliwung (Singgih 2000; Fakhruddin 2003; Pawitan 2006; Lisnawati 2006) dan kemampuan potensial tanah untuk menahan hujan dan aliran permukaan (Yusmandhany
2004).
Berdasarkan
persepsi
sebagian
besar
responden
menyatakan bahwa kuantitas air di DAS Ciliwung dipengaruhi oleh deforestasi dan degradasi hutan di DAS Ciliwung Hulu (Gambar 19).
60
120
100 0
Persentase
100 80
61.67
60
38.33
40
63 3.33 36.67
ya Tidak
20 0 Hu ulu
Teengah
Hilir
Wilayyah DAS
G Gambar 19 Persepsi P massyarakat adaanya pengaruuh hutan padda kuantitas air di DAS Ciliwung C Padaa Gambar 199 terlihat bahhwa 100% responden r ddi DAS Ciliw wung Hulu b berpendapat t bahwa kuuantitas atauu ketersediaaan air di ddaerah mereeka sangat d dipengaruhi oleh kerussakan dan aalih fungsi lahan l hutann menjadi penggunaan p l lahan. Respponden di DAS D Ciliwuung Hulu menyadari m ppentingnya hutan h bagi k kehidupan mereka m dan mereka sanggat tergantung pada huttan. Selain itu, i mereka m menyadari bahwa b ekosisstem hutan ddi daerah mereka sudahh rusak karenna kegiatan p pembalakan liar dan konversi lahann hutan ke penggunaan p lain. Akibatt kerusakan h hutan telah merubah m kuaantitas dan ketersediaan k air di daerahh mereka. Pada musim k kemarau terj rjadi kekerinngan sedanggkan pada musim m hujann terjadi bannjir (terjadi p pada Bulann Februari 2008 2 yang merusak seekitar 24 baangunan di Kampung N Naringgul, Tugu T Selatann, Cisarua, Bogor). B Konndisi ini sangat ironis kaarena DAS C Ciliwung Hu ulu harusnyaa menjadi daaerah konserrvasi dan perrlindungan bagi b daerah t tengah dan hilir. 61.677% dan 63.333% respond den di DAS Ciliwung Tengah T dan H Hilir menyaatakan bahw wa kuantitas air di DAS S Ciliwung tterdapat penngaruh dari r rusaknya ekkosistem hutan di DAS Ciliwung Huulu ditandaii dengan adaanya banjir k kiriman yan ng tiba-tiba sedangkan s d daerah mereeka tidak terrjadi curah hujan h yang t tinggi. Sedaangkan 38.33 3% dan 36.667% respondden di DAS Ciliwung Tengah T dan H Hilir manyaatakan bahw wa kuantitaas air di daaerah merekka disebabkkan karena k kuranya daerah resapan dan adanya curah hujann yang tinggii. Perseepsi sebagiaan besar reesponden inni juga diddukung olehh beberapa p penelitian laainnya (Gam mbar 16 daan Tabel 133) (Pawitan 1989; Sing ggih 2000;
61
Fakhruddin 2003). Simulasi perubahan penggunaan lahan terhadap debit puncak dan limpasan terlihat pada Tabel 17 di bawah ini. Tabel 17 Simulasi perubahan penggunaan lahan Tahun Penggunaa n Lahan 1990 1996
Stasiun Katulampa Ro(%) Qp 3 (m /dt) 100.33 205.37
23 38
Stasiun Ratujaya Qp (m3/dt) Ro(%) 167.67 320.81
30 48
Stasiun manggarai Qp (m3/dt) Ro(%) 191.29 383.11
36 54
Sumber : Modifikasi Fakhruddin (2003)
Pada Tabel 17 terlihat bahwa perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung telah meningkatkan debit puncak (Qp) dan limpasan (Ro). Peningkatan debit puncak dan limpasan ini terkait dengan penurunan kapasitas infiltrasi dan tampungan air permukaan. Hutan yang mempunyai seresah di permukaan tanah berfungsi untuk memperlambat aliran permukaan dan meningkatkan bahan organik tanah sehingga tanah mempunyai kapasitas infiltrasi yang besar. Selain itu akar tumbuhan juga meningkatkan kapasitas infiltrasi maupun permeabilitas air. Apabila terjadi degradasi dan deforestasi ekosistem hutan, maka siklus hidrologi akan terganggu dan bila terjadi hujan sebagian besar menjadi limpasan dan cepat sampai outlet DAS. Ekosistem hutan juga berfungsi sebagai pengatur karbon. Ekosistem hutan, terutama hutan tropis dapat menyerap emisi sebesar 3.0 GtC per tahun (Broadmeadow & Matthews 2003). Lebih lanjut dikatakan oleh Broadmeadow & Matthews (2003) menyatakan bahwa ekosistem hutan (hutan alam tropis) dapat menyumbangkan emisi sebesar 1.6 GtC1 per tahun melalui kegiatn deforestasi. Di Indonesia, deforestasi hutan menyumbangkan emisi terbesar sekitar 64% (Meiviana et al. 2003). Selain itu, ekosistem hutan juga berfungsi sebagai pengaturan suhu. Suhu pada ekosistem hutan 10 0C lebih rendah daripada suhu di luar ekosistem hutan (Handadhari 2009). Tim IPB (1987) menyatakan bahwa suhu di bawah tegakan pohon pada siang hari lebih rendah dan pada malam hari lebih tinggi 1
1 GTC (1 gigaton C) = 1000 juta ton carbon = 1015 g carbon
62
dibandingkan suhu di luar tegakan pohon. Lebih lanjut dikatakan, bahwa pohon merupakan pendingin alami melalui proses evapotranspirasi. Dalam satu pohon dapat mentranspirasikan 4000 liter air per hari apabila air tanah tersedia. Jumlah ini setara dengan rata-rata 5 buah unit mesin pendingin yang berkapasitas 2500 kcal per jam selama 20 jam. Berdasarkan informasi di atas dan berkaitan dengan dampak perubahan iklim di DAS Ciliwung, ekosistem hutan berfungsi sebagai pengatur siklus hidrologi atau tata air dan pengatur suhu. Selain fungsi tersebut, ekosistem hutan juga menyediakan berbagai jasa dan fungsi lainnya yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan dapat mengurangi kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, ekosistem hutan dapat digunakan sebagai salah satu adaptasi terhadap perubahan iklim. Strategi adaptasi berbasis ekosistem hutan memberikan manfaat ganda bagi manusia dan alam, termasuk diantaranya melindungi dari bencana alam yang ekstrim, mengurangi korban jiwa dan menurunkan kerugian ekonomi akibat perubahan iklim. Strategi adaptasi berbasis ekosistem hutan bukan saja meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menghadapi dampak perubahan iklim, namun juga menyumbang pada kelayakan jangka panjang upaya pembangunan berkelanjutan. Selain itu, strategi adaptasi berbasis ekosistem hutan merupakan pemecah masalah penting dan berbiaya efektif dalam upaya perancangan masa depan dengan perubahan iklim yang tak terelakkan. Strategi adaptasi berbasis ekosistem hutan dapat dilakukan melalui kegiatan pengelolaan hutan yang lestari (Sustainable Forest Management/SFM). Adapun caranya, antara lain : a Konservasi yaitu usaha untuk menyelamatkan ekosistem hutan dari kepunahan. Disadari bahwa ekosistem hutan di DAS Ciliwung juga rentan terhadap perubahan iklim. Adapun usaha konservasi dapat dilakukan dengan: 1 Membantu ekosistem hutan bertahan terhadap gangguan iklim, seperti mengontrol atau melindungi spesies yang rentan terhadap perubahan iklim;
63
2 Membantu ekosistem hutan untuk berevolusi dengan baik pada kondisi atau tatanan baru sesuai dengan iklim yang terjadi. b Rehabilitasi lahan kritis. Dapat dilakukan melalui dua kegiatan, yaitu: 1 Reboisasi, merupakan kegiatan penanaman di kawasan hutan negara. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat dengan cara mendirikan hutan tanaman rakyat atau hutan kemasyarakatan. 2 Penghijauan, merupakan kegiatan penanaman yang dilaksanakan di luar kawasan hutan. Kegiatan ini dapat dilaksanakan pada lahan milik rakyat (hutan rakyat), sepadan sungai atau ruang terbuka hijau (hutan kota). Dalam kegiatan rehabilitasi, terutama berkaitan dengan perubahan iklim, harus diperhatikan : a) Daerah tangkapan air dengan tutupan vegetasi yang cukup untuk menahan erosi tanah dan dapat mengantisipasi curah hujan yang intensitasnya makin tinggi sebagai akibat perubahan iklim; b) Memilih jenis pohon yang lebih toleran terhadap suhu yang lebih tinggi dan cuaca yang ekstrim. c Melaksanakan kegiatan pemanenan yang ramah lingkungan atau RIL (reduced impact logging).
Kegiatan adaptasi berbasis ekosistem hutan dapat dilakukan secara cepat dan tepat, apabila akar dari permasalahan tersebut dalam kegiatan pengelolaan ekosistem hutan dapat terselesaikan. Berdasarkan beberapa literatur, permasalahan serta akar permasalahan pengelolaan ekosistem hutan di DAS Ciliwung tersaji pada Tabel 18.
64
Tabel 18 Identifikasi masalah pengelolaan ekosistem hutan di DAS Ciliwung Permasalahan
Akar Masalah
1
Perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai RTRW
2
Degradasi lahan lahan kritis
1
Aspek Kelembagaan a Tidak sinkronnya peraturan perundang-undangan b Lemahnya kapasitas dan peran serta Institusi pemerintah (pusat maupun daerah) yang menyebabkan lemahnya kebijakan maupun implementasinya, serta menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi transaksi atau hubungan struktural antara pemerintah dengan masyarakat c Perbedaan persepsi dalam pengelolaan ekosistem
2
Aspek Ekonomi a Pendapatan masyarakat yang rendah b Distribusi pendapatan yang tidak merata
3
Aspek Sosial a Terbatasnya hak akses masyarakat terhadap hutan b Persepsi masyarakat bahwa hutan sebagai sumber daya yang open akses
4
Aspek Teknologi a Teknologi yang tidak ramah lingkungan b Kearifan lokal terabaikan c Kemampuan teknologi yang kurang
atau
Sumber : Hasil analisis
Pada Tabel 18 di atas terlihat, bahwa permasalahan pengelolaan ekosistem hutan di DAS Ciliwung adalah masalah deforestasi (penggunaan lahan yang tidak sesuai RTRW) dan juga degradasi hutan. Sedangkan akar permasalahannya meliputi aspek kelembagaan, ekonomi, sosial dan teknologi. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, antara lain: a Menuntut pemerintah menata ulang kebijakan atau peraturan yang selama ini dikeluarkan, terutama masalah pada sektor kehutanan, seperti: 1) pemantapan kawasan hutan; 2) peraturan pembalakan, terutama masalah pembalakan liar baik secara lokal, nasional maupun internasional; serta 4) masalah penyalahgunaan dana atau korupsi. b Menyelaraskan persepsi pengelolaan ekosistem secara multi pihak maupun multi sektoral. Disadari bahwa selama ini persepsi pengelolaan ekosistem hutan berbeda, tergantung pada kepentingan pihak atau sektor tertentu. Sehingga kebijakan yang dibuat saling bertentangan antara satu dengan
65
lainnya. Contoh: kasus izin pendirian bangunan yang mendapat izin dari pihak atau sektor tertentu, sedangkan pihak lain atau sektor lain memandang bahwa pada lahan tersebut tidak boleh didirikan bangunan. c Memberikan kedaulatan hutan kepada masyarakat. Kedaulatan yang dimaksud adalah melibatkan masyarakat di sekitar hutan untuk secara bersama menyusun tata kelola hutan dengan konsensus yang tidak berasal dari satu pihak. Dalam kasus ini, pemerintah memberikan pengawasan serta dukungan kepada masyarakat sehingga masyarakat menjadi mandiri. Seharusnya pemerintah dapat belajar dari kasus pengelolaan hutan bersama masyarakat di Guatemala atau negara lainnya. d Pengelolaan hutan seharusnya melibatkan kearifan lokal. Masyarakat di sekitar hutan, terutama masyarakat adat yang sangat tergantung pada ekosistem hutan, berusaha menjaga hutan sebaik mungkin untuk mengelola hutan, tempat mereka menggantungkan hidupnya. Dalam menjaga hutan, mereka mempunyai kearifan sendiri dalam mengelola hutan. Dalam tulisan Raden & Nababan (2001) mengungkapkan bahwa kelestarian hutan tercapai pada tahun 1970-an dimana kearifan lokal masih mendominasi. Namun demikian, setelah tahun 1970-an, kelestarian hutan mulai terancam dengan kebijakan pemerintah tentang penebangan hutan komersial dengan sistem konsesi HPH.
7 7.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1 Perubahan iklim, terutama suhu dan curah hujan meningkatkan degradasi DAS Ciliwung. Indeks singkapan sebelum perubahan iklim dan sesudah perubahan iklim meningkat sebesar 0.11 (dari 0.44 (kelas agak rendah) menjadi 0.65 (kelas sedang)). Perubahan singkapan ini menunjukkan bahwa DAS Ciliwung rentan terhadap perubahan iklim. 2 Kepekaan masyarakat di DAS Ciliwung berbeda secara spasial. Indeks kepekaan di DAS Ciliwung Hulu sebesar 0.83 (kelas agak rendah), Tengah sebesar 0.63 (kelas agak rendah), dan Hilir sebesar 1.25 (kelas sedang). Perbedaan indeks kepekaan masyarakat disebabkan nilai bobot dan skor dari tiap indiaktor kepekaan berbeda. Indikator kepekaan tersebut adalah: kepadatan penduduk (aspek SDM), kualitas infrastruktur (aspek fisik) dan ketergantungan pada lahan (aspek ekonomi). 3 Kemampuan adaptasi masyarakat di DAS Ciliwung berbeda tergantung nilai bobot dan skor dari indikator kemampuan adaptasi. Adapun indikator kemampuan adaptasi adalah: aspek SDM (tingkat pendidikan, melek huruf, perilaku konservasi, tingkat kesejahteraan), aspek ekonomi (PDRB perkapita), aspek sosial (tingkat konflik dan dukungan pemerintah), dan aspek alam (lahan resapan yang cukup). Indeks kemampuan adaptasi masyarakat di DAS Ciliwung Hulu sebesar 1.32 (kelas agak tinggi), Tengah sebesar 1.17 (kelas sedang) dan Hilir sebesar 0.96 (kelas sedang). 4 Tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung berbeda tergantung besarnya indeks singkapan, kepekaan dan kemampuan adaptasi. Indeks kerentanan merupakan fungsi positif dari singkapan dan kepekaan serta fungsi negatif dari kemampuan adaptasi. Indeks kerentanan di DAS Ciliwung Hulu sebesar 0.16 (kelas agak rendah), Tengah sebesar 0.11 (kelas agak rendah), dan Hilir sebesar 0.94 (kelas sedang).
67
5 Perubahan iklim tidak dapat dikurangi secara tuntas dan memberikan dampaknya secara perlahan dan pasti. Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan adaptasi terhadap perubahan iklim. 6 Degradasi DAS Ciliwung meningkatkan kerentanan masyarakat. Degradasi DAS Ciliwung disebabkan karena cuaca (perubahan iklim, terutama suhu dan curah hujan), topografi serta penggunaan lahan. Faktor penggunaan lahan merupakan faktor yang bisa dimanipulasi oleh manusia. 7 Konversi lahan hutan menjadi penggunaan lainnya lahan memicu degradasi DAS Ciliwung. Ekosistem hutan berfungsi sebagai pangatur tata air atau siklus hidrologi dan suhu sehingga dapat menurunkan degradasi DAS Ciliwung dan kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung. Oleh karena itu, Ekosistem hutan dapat digunakan sebagai salah satu adaptasi terhadap perubahan iklim. 8 Strategi adaptasi berbasis ekosistem hutan dapat dilakukan dengan pengelolaan ekosistem hutan yang lestari, melalui kegiatan antara lain: konservasi, rehabilitasi hutan dan lahan kritis, serta pemanen yang ramah lingkungan.
7.2
Saran a Pengelolaan ekosistem hutan secara lestari dapat tepat, efisien dan efektif apabila akar permasalahan yang terjadi selama ini dapat diselesaikan atau diminimalkan sekecil mungkin. Untuk meninimalkan tersebut, dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: 1
Menata ulang kebijakan atau peraturan yang selama ini dikeluarkan;
2
Menyelaraskan persepsi pengelolaan ekosistem secara multi pihak maupun multi sektoral;
3
Memberikan kedaulatan hutan kepada masyarakat;
4
Melibatkan kearifan lokal.
68
b Berkaitan dengan perubahan iklim, usaha konservasi pada ekosistem hutan, dapat dilakukan dengan cara: 3 Membantu ekosistem hutan bertahan terhadap gangguan iklim, seperti mengontrol atau melindungi spesies yang rentan terhadap perubahan iklim; 4 Membantu ekosistem hutan untuk berevolusi dengan baik pada kondisi atau tatanan baru sesuai dengan iklim yang terjadi tanpa adanya gangguan . c Dalam kegiatan rehabilitasi lahan, harus diperhatikan: 1 Luas serta tutupan vegetasi yang cukup pada daerah tangkapan air untuk menahan erosi dan antisipasi curah hujan dengan intensitas yang tinggi sebagai akibat perubahan iklim; 2 Memilih jenis pohon atau tanaman yang lebih toleran terhadap suhu yang lebih tinggi serta cuaca yang ekstrim. d Pemerintah baik tingkat lokal, regional maupun nasional untuk menyediakan dana adaptasi terhadap perubahan iklim karena Indonesia, termasuk DAS Ciliwung rentan terhadap perubahan iklim. Dana adaptasi bisa berasal dari APBD, APBN dan kolaborasi dengan pihak swasta. e Perlu penelitian lebih lanjut untuk menilai kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung dengan singkapan yang representatif atau multi singkapan (misalnya : perubahan tata guna lahan, globalisasi, kepadatan penduduk).
8
DAFTAR PUSTAKA
Alcamo J et al. 2003. Ecosystem and Human Well-being: A Framework for Assessment/Millenium Ecosystem Assessment. Island Press. Washington DC. Alikodra HS, Syaukani HR. 2008. Global Warming: Banjir dan Tragedi Pembalakan Hutan. PT. Nuansa. Asdak. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan keempat (revisi). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. [BPDAS Citarum-Ciliwung]. Balai Penelitian Daerah Aliran Sungai CitarumCiliwung. 2007. Laporan Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai Ciliwung untuk Pengendalian Banjir Tahun 2007. [Tidak dipubilkasikan] Broadmeadow M, Matthews R. 2003. Forest, Carbon and Climate Change : the UK Contribution. Forestry Commission. June 2003. [Dephut]. Departemen Kehutanan. 1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta. Dwidjoseputro. 1991. Ekologi Manusia dengan Lingkungannya. Penerbit Erlangga. Jakarta. [Dir. Pengairan dan Irigasi]. Direktorat Pengairan dan Irigasi. 2006. BUKU 2. Identifikasi Pengelolaan SDA di Pulau Jawa. Fakhrudin M. 2003. Kajian Respon Hidrologi Akibat Perubahan Penggunaan Lahan DAS Ciliwung dengan Model Sedimot II. [Tesis]. Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Forner C. 2006. An Introduction To The Impacts Of Climate Change And Vulnerability Of Forests. Background Document For The South East Asian Kick-Off Meeting Of The Project Tropical Forests And Climate Change Adaptation (“Trofcca”). Bogor, 29 – 30 Mei 2006. Fussel MH. 2007. Vulnerability: A Generally Applicable Conceptual Framework for Climate Change Research. Global Environment Change 17 : 155-167. Handadhari T. 2009. Kepedulian yang Terganjal: Menguak Belantara Permasalahan Kehutanan Di Indonesia. PT. Elek Media Komputindo. [IPCC]. Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate change 2001. Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge, UK, and New York, Cambridge University Press.
70
[IPCC]. Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. Climate change 2007. Synthesis report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta Kaimuddin. 2000. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Keseimbangan Air Wilayah Sulawesi Selatan (Studi Kasus DAS Walanae Hulu dan DAS Sandang). [Tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Karyana A. 2007. Analisis Posisi dan Peran Lembaga serta Pengembangan Kelembagaan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. [Disertasi]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Kasperson RE et al. 2005. Vulnerable Peoples and Places. Di dalam Millennium Ecosystem Assessment. Ecosystem and Human Well-Being: Current State and Trends. Hal: 143-164 http://www.millenniumassessment.org/ documents/document.275.aspx.pdf. [15 Juli 2008] [KNLH]. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 1998. Vulnerability and Adaptaion Assessments of Climate Change in Indonesia. [KNLH]. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Laporan Status Lingkungan Hidup di Indonesia. Disampaikan pada Hari Lingkungan Hidup Indonesia tentang Iklim Berubah Waspadalah terhadap Bencana Lingkungan. 5 Juni 2007. Lasco RD, Pulhin FB, Cruz RVO, Pulhin JM, Roy SSN. 2009. Vulnerability of Forest Ecosystems and Other Land Cover Types to Climate Change in The Philippines. http://gis.esri.com/library/userconf/proc07/papers/papers/ pap1835. pdf [09 Feb 2009] Lee J, Son WLY, Cho Y, Hong H, Lee M. 2009. Vulnerability Assessment of Korean Forest to Climate Change using CEVSA Model with ArcGis. http://proceedings.esri.com/library/userconf/proc07/papers/papers/pap_1835 .pdf [22 Feb 2009] Locatelli B, Kanninen M, Brockhaus M, Colfer CJP, Mudiyarso D, Santoso H. 2008. Facing An Uncertain Future: How Forest And People Can Adapt To Climate Change. Forest Perspective No.5. Cifor Bogor. Lourdes VR, Irma TV. 1997. Assessment of The Vulnerability of Forest Ecosystems to Climate Change in Mexico. Climate research. Vol.9:87-93 Lisnawati Y. 2006. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Dan Pengaruhnya Terhadap Debit Sungai Dan Daya Dukung Lahan Di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor. [Tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
71
Marten GG. 2001. Human Ecology : Basic Concept for Sustainable Development. Eartscan Publication. Ltd. Marwa J, Purnomo H, Nurrochmat DR. 2010. Managing the Last Frontier of Indonesian Forest in Papua. Fakultas Kehutanan.IPB.Bogor. Mendoza GA, Macoun P, Prabhu R, Sukadri D, Purnomo H, Hartanto H. 1999. Guidelines for Applying Multi_Criteria Analysis to the Assessment of Criteria and Indicators. Cifor. Bogor Meiviana A, Sulistiowati DR, Soejachmoen MH. 2004. Bumi Makin Panas: Ancaman Perubahan Iklim Di Indonesia. Yayasan Pelangi. Jakarta. Murdiyarso D. 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim. PT.Kompas Media Nusantara.Jakarta. Nugroho SP. 2002. Evaluasi dan Analisis Curah Hujan sebagai Faktor Penyebab Bencana Banjir Jakarta. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca 3 (2): 91-97 Olmos S. 2001. Vulnerability And Adaptation To Climate Change : Concepts, Issues, Assessment Methods. http://www.cckn.net/pdf/va_foundation_final. pdf. [14 juli 2008] O’Brien K et al. 2004. Mapping Vulnerability to Multiple Stressor : Climate Change and Globalization in India. http:// geography.rutgers.edu/people/ faculty/leichenko/publications/obrienetal.pdf. [14 Juli 2008]. Paimin, Sukresno, Purwanto. 2006. Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sungai (Sub Das). Gintings, A.N, Editor: P3HKA. Departemen Kehutanan. Pawitan H. 1989. Karakterisasi Hidrologi dan Daur Limpasan Permukaan DAerah Aliran Sungai Ciliwung. Laporan akhir proyek. IPB. Bogor Pawitan H. 1999. Penilaian Kerentanan dan Daya Adaptasi Sumber Daya Air terhadap Perubahan Iklim.Makalah Lokakarya Nasional-Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta, Februari 1999. Pawitan H, Hendero, Fakhrudin. 2000. Karakteristik Curah Hujan Deras Wilayah Ciliwung Hulu. Makalah Hasil Penelitian Limnologi-LIPI. Pawitan H. 2002. Hidrologi DAS Ciliwung dan Andilnya terhadap Banjir di Jakarta. Makalah disajikan dalam Lokakarya Pendekatan DAS dalam Menanggulangi Banjir Jakarta. Diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian IPB bekerjasama dengan Andersen Consult. Jakarta, 8 Mei 2002. Pawitan H. 2006. Kajian Dampak Perambahan Hutan Taman Nasional Lore Lindu Terhadap Fungsi Hidrologi dan Beban Erosi: Laporan Akhir Penelitian
72
Hibah Bersaing (XIII) Tahun Anggaran 2005-2006. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat. Iinstitut Pertanian Bogor. Puntodewa A, Sonya D, J Tarigan. 2003. SIG untuk pengelolaan Sumber Daya Alam. CIFOR. Bogor. Raden B, Nababan A. 2001. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat: Antara Konsep dan Realitas. Disampaikan dalam Kongres Kehutanan III, 2528 Oktober 2001. Robledo C, Forner C. 2005. Adaptation of Forest Ecosystem and The Forest Sector to Climate Change. Forest and Climate Change Working Paper 2. FAO USA Swiss Agency for Development and Cooperation. Rome. Rozari MB, Koesoebiono, Sinukaban N, Mudiyarso D, Makarim K. 1991. SocioEconomic Impacts of Climate Change. Agromet Jurnal Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia 1 (VII).1991. Rozari MB, Hidayati R, Effendi MM. 1992. Perubahan Iklim Di Indonesia. Agromet Jurnal Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia 1 (VIII).1992. Saaty. TL. 1993. Pengambilan keputusan – Bagi para pemimpin: Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Liana S, Penerjemah; Kirti P, Editor; PT. Gramedia. Terjemahan dari: Decision Makeing for Leaders: The Analytical Hierarchy Process for Decisions in Complex World. Sobirin. 2008. Kondisi Air di Negara Kita. http://sobirin-xyz.blogspot.com/2008/ 03/ kondisi-air-di-negara-kita.html [13 Agustus 2009] Singgih I. 2000. Kajian Hidrologi Daerah Aliran Sungai Ciliwung Menggunakan Model HEC-1. [Tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Susetyo B, Mudiyarso D, Hidayati R. 1994. Model Simulasi Proses-proses Hidrologi Berdasarkan Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan (Studi Kasus Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum). Buletin Agrometeorologi I (1994), 34-45. Tobing RDAL. 2007. Pemetaan Indeks Kekeringan Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Sekitarnya dengan Menggunakan Metode Palmer. [Skripsi]. sarjana. Institut Pertanian Bogor. Thow A, Mark DB. 2008. Climate Change and Human Vulnerability: Mapping Emerging Trends and Risk Hotspots for Humanitarian Actors. Volume 2Technical Annex and Additional Maps. Edition 2. https://www.care.dk/files/ClimateChangeandhumanvulnerabilitytechnicalan nex.pdf [7 Maret 2009]
73
Tim IPB. 1987. Konsepsi Pengembangan Hutan Kota. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. [ tidak dipublikasikan] Tim IPB. 2006. Menuju Sistem Pembayaran Bagi Jasa-Jasa Perbaikan Lingkungan dalam Kaitannya dengan Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air di DAS Citarum. Laporan Akhir Model Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lahan pada Kerjasama Ekonomi Internasional untuk Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Wilayah.[tidak dipublikasikan]. Waggoner et al. 1990. Climate Change and U.S. Water Resources. Waggoner P.E, Editor; John Willey & Sons Inc. Canada Wibowo, A. 2004. Sistem Informasi Geografi untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam. Disampaikan pada Pelatihan Dosen Tentang Teknologi Informasi untuk Manajemen Sumber Daya Alam. Bogor, 9-12 Agustus 2004. Yusuf, Fransisco. 2009 Climate Change Vulnerability in Southest Asia : Climate Matters in Southeast Asia. www.epsea.org. [03 Feb 2009] Yusmandhany. 2004. Kemampuan Potensial Tanah Menahan Air Hujan dan Aliran Permukaan Berdasarkan Tipe Penggunaan Lahan di Daerah Bogor bagian tengah. Buletin Teknik Pertanian 9 (1). 2004.
LAMPIRAN
75
Lampiran 1 Daftar istilah a. A/R CDM : Salah satu mekanisme dalam Protokol Kyoto yang membantu negara industri untuk memenuhi target penurunan emisi melalui kegiatan aforestasi dan reforestasi. b.
Adaptive capacity : Kemampuan adaptasi yaitu kemampuan sistem untuk menyesuaikan atau merespon dampak perubahan iklim atau perubahan ekosistem.
c.
Adaptation
: Adaptasi yaitu usaha manusia untuk mempersiapkan atau menyesuaikan terhadap dampak perubahan dan variabilitas iklim. Adaptasi tergolongkan menjadi dua, yaitu adaptasi otomatis dan adaptasi terencana.
d.
CCCM
: Canadian Climate Centre Model, salah satu jenis model model GCMs
e.
Exposure
: Pembukaan atau singkapan yaitu derajat besarnya atau taraf ekosistem tersebut disingkap atau dibuka atas terjadinya perubahan iklim.
f.
ERK
: Efek rumah kaca, yaitu efek yang ditimbulkan GRKy ketika GRK menahan radiasi balik matahari yang dipancarkan bumi dalam bentuk panas sehingga memanaskan atmosfer bumi.
g.
GRK
: Gas rumah kaca, yaitu gas yang dihasilkan dari kegiatan manusia yang berfungsi untuk menyerap radiasi matahari sehingga menghangatkan bumi.
h.
GCMs
: Global Circulation Models, atau model sirkulasi umum, yaitu suatu model yang memprediksikan adanya perubahan iklim dengan skenario “2 x CO2.
i.
IPA
: Indeks penggunaan air, yaitu rasio antara permintaan air dengan ketersediaan air.
j.
Mitigation
: Mitigasi yaitu usaha manusia untuk mengurangi sumber atau mendukung pengurangan gas rumah kaca / green house gases (GHGs).
k.
Penghijauan
: Kegiatan penanaman di luar kawasan hutan negara
76
l.
Pemanasan global : Meningkatnya suhu rata-rata atmosfer bumi dari tahun ke tahun yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim
m. Perubahan iklim
: Suatu perubahan rata-rata jangka panjang yang ditentukan dari nilai tengah parameter cuaca dalam mengukur kondisi iklim atau variabilitasnya.
n.
Potential impact
: Dampak
potensial
yaitu
potensi
dampak
yang
ditimbulkan adanya perubahan iklim, dan merupakan fungsi dari exposure dan sensitivity. o.
Reboisasi
: Kegiatan penanaman di kawasan hutan negara
p.
Rehabilitasi
: Pemulihan kembali sehingga hutan atau lahan dapat berfungsi seperti semula.
q.
Senstitivity
: Kepekaan sistem yaitu tingkat dimana suatu sistem akan merespon atau terpengaruhi adanya perubahan ekosistem/lingkungan.
r.
SFM
: Sustainable Forest Management, pengelolaan hutan lestari, yaitu pengurusan dan penggunaan hutan dan lahan melalu cara dan pada tingkat yang dapat mempertahankan
keanekaragaman
hayatinya,
produktivitasnya, kapasitas regenerasi, kemampuan mempertahankan
hidupnya,
dan
potensi
untuk
memenuhinya, pada saat ini dan di masa yang akan datang, fungsi-fungsi ekologi yang sesuai, ekonomis, dan sosial, pada tingkat lokal, nasional, dan global, dan yang tidak menyebabkan kerusakan pada ekosistem lainnya. s.
Vulnerability
: Kerentanan yaitu taraf atau tingkat dimana suatu sistem terserang atau tidak dapat menyesuaikan atau mengatasi dampak dari perubahan ekosistem. Ini merupakan fungsi positif dari dampak potensial (exposure dan sensitivity) dan fungsi negatif dari adaptive capacity.
77
Lampiran 2 Peta topografi DAS Ciliwung
78
Lampiran 3 Peta jenis tanah DAS Ciliwung
79
Lampiran 4 Peta curah hujan DAS Ciliwung
80
Lampiran 5 Peta penggunaan lahan DAS Ciliwung Tahun 1996
81
Lampiran 6 Peta penggunaan lahan DAS Ciliwung Tahun 2007
82
Lampiran 7 Peta lahan kritis DAS Ciliwung
83
Lampiran 8 Peta kepadatan penduduk
84
Lampiran 9 Kriteria dan indikator kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung Indikator
Besaran
Kategori Nilai
Skor
Teknik Perolehan Data
A Singkapan Perubahan kondisi hidrologis akibat perubahan iklim (Alam_E)
Terjadinya perubahan nilai IPA (Indeks Penggunaan Air)
<0.3 0.3 – 0.5 0.5 – 0.8 0.8 – 1.0 >1.0
Rendah Agak rendah Sedang Agak tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
IPA = kebutuhan air (m3)/ penggunaan air (m3)
KNLH (1998)
B Kepekaan 1 Permintaan air semkain tinggi (SDM_S)
Kepadatan Penduduk (KP)
< Rata DAS = Rata DAS > Rata DAS
Rendah Sedang Tinggi
1 3 5
KP = Jumlah penduduk / luas wilayah
Data BPS
Infrastruktur / sarana penyediaan air yang belum memadai. (Fisik_S)
Persentase RT yang tidak memakai fasilitas PAM (PAM) (%)
0-20% 20-40% 40-60% 60-80% 80-100%
Rendah Agak rendah Sedang Agak tinggi Tinggi
5 4 3 2 1
PAM= ( RT yang tidak memakai fasilitas PAM/ Jumlah RT ) * 100
Data BPS
3 Ketergantung an pada lahan sangat tinggi (Ekon_S)
masyarakat yang bekerja pada sektor pertanian (KL) (%)
0-12.5% 12.5 – 25% 25 – 37.5% 37.5 – 50% >50%
Rendah Agak rendah Sedang Agak tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
KL = Jumlah penduduk bekerja pada sektor pertanian / jumlah penduduk yang bekerja) *100
Data BPS
<50% 50-75% >75%
Rendah Sedang Tinggi
1 3 5
TP = ((rata lama sekolah – 0 ) / (12-0))*100
Data BPS
< 50% 50-75% >75%
Rendah Sedang Tinggi
1 3 5
LR= (penduduk >10th yang mampu baca tulis /jumlah penduduk >10th ) * 100
Data BPS
< 60% 60 – 70% 70 – 80% 80 – 90% > 90%
Rendah Agak rendah Sedang Agak tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
TK= ((jumlah RT Ks-2 + jumlah RT ks3) / jumlah RT) * 100
Data BPS
Kriteria
2
C Kemampuan adaptasi 1 Kualitas a Indeks masyarakat pendidikan yang tinggi (TP)(%) (SDM_AC) b Melek Huruf (MH) (%)
c Tingkat kesejahteraa n (TK) (%)
Ket
85
Lampiran 9 Lanjutan Kategori Nilai
Skor
< 17% 17-28% 28-39% 39-50% >50%
Rendah Agak rendah Sedang Agak tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
PK = ((JR tinggi*0,5) + (JR sedang*0,33) + (JR rendah*0,17)) / 60 *100
Indeks PDRB perkapita (IPDRB)(%)
0 – 20% 20 – 40% 40 – 60% 60 – 80% 80 – 100%
Rendah Agak rendah Sedang Agak tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
IPDRB=(LOG (PDRB kapita/9.000)LOG(100)) / (LOG(40000) LOG(100)) * 100
a Konflik (KO)(%)
< 17% 17-28% 28-39% 39-50% >50%
Rendah Agak rendah Sedang Agak tinggi Tinggi
5 4 3 2 1
KO = ((JR ada dan tidak teratasi*0,5) + (JR ada dan teratasi*0,33) + (JR tidak teratasi*0,17)) / 60 *100
Survey/FGD
b Dukungan pemerintah kepada masyarakat (DP)
< 17% 17-28% 28-39% 39-50% >50%
Rendah Agak rendah Sedang Agak tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
KO = ((JR tinggi*0,5) + (JR sedang*0,33) + (JR rendah*0,17)) / 60 *100
Survey/FGD
Persentase luas lahan resapan
< 20% 20 – 30% 30 - 40% 40 - 50% > 50%
Rendah Agak rendah Sedang Agak tinggi Tinggi
1 2 3 4 5
PL = (Luas lahan selaian areal terbangun dan areal terbuka/ Luas SUB DAS) * 100
Peta penggunaan lahan dari BPDAS Ciliwung
Kriteria
Indikator d Perilaku konservasi (PK)(%)
2
Terjaminnya pendapatan daerah (Ekon_AC)
3 Harmonisnya hubungan antara masyarakat dan pemerintahan (Sosial_AC)
4
Adanya lahan resapan yang berkualitas baik (Alam_AC)
Sumber : Hasil analisis
Besaran
Teknik Perolehan Data
Ket Survey/FGD JR = jumlah responden 0.5 Æ nilai untuk jawaban tinggi 0.33 Æ nilai untuk jawaban sedang 0.17 Æ nilai untuk jawaban rendah Data BPS 9.000 = nilai tukar rupiah ke dolar
86
Lampiran 10 Daftar pertanyaan AHP
PROSES AHP DALAM MENILAI KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DAN ADAPTASI BERBASIS EKOSISTEM HUTAN DI DAERAH DAS CILIWUNG
No. Urut Responden
:
...........................................................
Nama Responden
:
...........................................................
Alamat (desa/kec)
:
...........................................................
:
...........................................................
:
...........................................................
Hari/Tanggal Wawancara
MAYOR ILMU PENGELOLAAN HUTAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
87
Pengisian dilakukan dengan cara: - Membandingkan setiap kriteria satu sama lain secara berpasangan - Dari dua kriteria yang dibandingkan tentukan mana yang lebih penting, kemudian tentukan seberapa besar tingkat kepentingannya dibandingkan memberikan bobot penilaian dari skala terendah sama tertinggi (1-9) - Jika kriteria yang disebelah kiri lebih penting daripada yang disebelah kanan maka pilih nilai dari 1 sampai 9 yang disebelah kiri sedangkan jika aspek yang disebelah kanan lebih penting maka pilih angka 1 sampai 9 yang di sebelah kanan.
Arti dari setiap bobot yang diberikan adalah: 1 3
Bobot
Artinya Sama pentingnya Sedikit lebih penting
5 7 9 2,4,6,8
Agak lebih penting Jauh lebih penting Mutlak lebih penting Nilai antara angka di atas
Keterangan Elemen satu lebih dipilih dari elemen lainnya Yang satu dipilih dari yang lainnya Yang satu lebih dipilih dan dominasi nyata Satu elemen lebih dipilih secara tegas Jika diperlukan kompromi
1. Ada tiga unsur yang perlu dipertimbangkan dalam menilai kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung, yaitu : a. Exposure/singkapan (E); yaitu derajat besarnya ekosistem tersingkap atas terjadinya perubahan iklim. b. Sensitivity/kepekaan masyarakat (S); yaitu tingkat dimana masyarakat akan terkena dampak/peka dengan perubahan ekosistem (ketersediaan air). c. Adaptive capacity/kemampuan adaptasi (AC); yaitu kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan dengan perubahan ekosistem (ketersediaan air). Menurut Bapak/ibu, bagaimana urutan kepentingan relatif dari setiap aspek (perbandingkan dilakukan secara berpasangan) E
9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
S
E
9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
AC
S
9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
AC
88
2. Dalam unsur sensitivity/kepekaan masyarakat, tedapat beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan, yaitu : a. Jumlah masyarakat yang membutuhkan air semakin tinggi (SDM_S); diindikasikan dengan kepadatan penduduk (KP) di daerah tersebut. b. Infrastruktur/sarana penyediaan air yang belum memadai (Fisik_S); ditandai dengan jumlah masyarakat yang belum menggunakan fasilitas PAM/ledeng. c. Berkurangnya pendapatan perkapita dalam sektor pertanian (Ekon_S); ditandai dengan persentase masyarakat yang tergantung atau sumber pendapatan berasal dari sektor pertanian (KL). Menurut Bapak/ibu, bagaimana urutan kepentingan relatif dari setiap aspek (perbandingkan dilakukan secara berpasangan) SDM_S 9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9 Fisik_S
SDM_S 9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9 Ekon_S
Fisik_S 9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9 Ekon_S
3. Dalam unsur adaptive capacity/kemampuan adaptasi, ada beberapa kriteria yang harus dipertimbangan, yaitu: a. Kualitas masyarakat yang tinggi (SDM_AC); b. Harmonisnya hubungan antar masyarakat, serta masyarakat dengan pemerintah (sosial_AC). c. Terjaminnya pendapatan daerah perkapita (ekon_AC); ditandai dengan PDRB perkapita. d. Penggunaan lahan yang baik (alam_AC); ditandai dengan persentase tutupan hutan. Menurut Bapak/ibu, bagaimana urutan kepentingan relatif dari setiap aspek (perbandingkan dilakukan secara berpasangan) SDM_AC
9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
Sosial_AC
SDM_AC
9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
Ekon_AC
SDM_AC
9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
Alam_AC
Sosial_AC 9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
Ekon_AC
89
Sosial_AC Ekon_AC
9 8 7 6 5 4 3 2 9 8 7 6 5 4 3 2
1 1
2 3 4 5 6 7 8 9 Alam_AC 2 3 4 5 6 7 8 9
Alam-AC
4. Dalam kriteria kualitas masyarakat yang tinggi, ada beberapa indikator yang perlu dipertimbangkan, yaitu: a. Tingkat pendidikan (TP) b. Melek huruf (MH) c. Tingkat kemiskinan (TK) d. Perilaku konservasi (PK) Æ kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Menurut Bapak/ibu, bagaimana urutan kepentingan relatif dari setiap aspek (perbandingkan dilakukan secara berpasangan) TP
9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
MH
TP
9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
TK
TP
9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
PK
MH
9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
TK
MH
9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
PK
TK
9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
PK
5. Dalam kriteria harmonisnya hubungan antar masyarakat serta pemerintah, ada beberapa indikator yang dipertimbangkan, yaitu: a. Tingkat konflik (KO) b. Dukungan pemerintah ke masyarakat (DP) Menurut Bapak/ibu, bagaimana urutan kepentingan relatif dari setiap aspek (perbandingkan dilakukan secara berpasangan) KO
9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
DP
6. Lain-lain (tuliskan jika ada saran/pendapat lain yang belum termuat dalam daftar pertanyaan ini!).
TERIMA KASIH ATAS WAKTU DAN BANTUAN YANG ANDA BERIKAN!
90
Lampiran 11 Daftar responden AHP No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nama Haji Munawar Subandi Haji Tutang Badrutaman Iwan Suwanto Badri Cheppy Jajat Sudrajat Murti H. Aisiah Sulaiman Syarif Hidayat Soemantri Mulyani H. Syahrudin Dudung Jaya Reni Lukman Surya Evi Agus Haji Usman Hasanuddin Munawir Mukhtardin Iya Mulia Martono Arif Istofani Ningsih
Organisasi Tokoh masyarakat Tokoh masyarakat Pemerintah Pemerintah Ketua Kelompok tani Kelompok tani Guru/akademisi Guru/akademisi Ulama/Ibu RT Swasta Pemerintah Pemerintah Tokoh masyarakat Tokoh masyarakat Kelompok petani Kelompok petani Guru/akademisi Guru/akademisi Buruh Ibu RT Tokoh masyarakat Tokoh masyarakat Pemerintah Pemerintah Guru/akademisi Guru/akademisi Wiraswata Karyawan Karyawan Ibu RT
Ket Hulu Hulu Hulu Hulu Hulu Hulu Hulu Hulu Hulu Hulu Tengah Tengah Tengah Tengah Tengah Tengah Tengah Tengah Tengah Tengah Hilir Hilir Hilir Hilir Hilir Hilir Hilir Hilir Hilir Hilir
91
Lampiran 12 AHP hasil olahan expert choice
92
Lampiran 12 Lanjutan
Lampiran 13a. Nilai dan bobot singkapan Skor Hilir Tengah Hulu
Indeks
Bobot 3 3 3
0.218 0.218 0.218
Kelas
0.654 0.654 0.654
KET: KP = kepadatan penduduk KI = kualitas infrastruktur/masyarakat yang tidak pakai PAM KL = ketergantungan pada lahan/masyarakat bekerja sektor pertanian TP = tingkat pendidikan MH = melek huruf TK = tingkat kesejahteraan PK = perilaku konservasi IPDRB = indeks PDRB perkapita KO = tingkat konflik DP = dukungan pemerintah dalam masyarakat LH = persentase luas tutupan pohon/hutan AC = kemampuan adaptasi E = singkapan S = kepekaan
Sedang Sedang Sedang
Lampiran 13b. Nilai dan bobot kepekaan Bagian DAS
KP
KI
KL
Kepekaan
Skor
Bobot
skor
Bobot
Skor
Bobot
Indeks
5 1 1
0.209 0.209 0.209
1 4 1
0.074 0.074 0.074
1 1 5
0.128 0.128 0.128
1.25 0.63 0.83
Hilir Tengah Hulu
Kelas Sedang Agak Rendah Agak Rendah
Lampiran 13 Nilai dan bobot kerentanan
Perubahan ekosistem/ IPA
Lampiran 13c. Nilai dan bobot kemampuan adaptasi Bagian DAS
TP
MH
TK
PK
IPDRB
KO
DP
LH
AC
Skor
Bobot
skor
Bobot
Skor
Bobot
Skor
Bobot
skor
Bobot
Skor
Bobot
Skor
Bobot
skor
Bobot
Indeks
Hilir
5
0.014
5
0.016
4
0.018
2
0.022
4
0.058
4
0.048
2
0.077
1
0.119
0.96
Sedang
Kelas
Tengah Hulu
5 3
0.014 0.014
5 5
0.016 0.016
3 1
0.018 0.018
3 3
0.022 0.022
2 3
0.058 0.058
4 4
0.048 0.048
3 2
0.077 0.077
3 5
0.119 0.119
1.17 1.32
Sedang Agak Tinggi
Lampiran 13d. Nilai dan bobot kerentanan Bagian DAS
Singkapan
Kepekaan
Kemampuan Adaptasi
Kerentanan
Kelas
Indeks
Kelas
Indeks
kelas
Indeks
Kelas
Hilir Tengah
0.654 0.654
Sedang Sedang
1.25 0.63
Sedang Agak Rendah
0.96 1.17
Sedang Sedang
0.94 0.11
Sedang Agak Rendah
Hulu
0.654
Sedang
0.83
Agak Rendah
1.32
Agak Tinggi
0.16
Agak Rendah
93
Indeks