PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA DALAM PEMBELAJARAN PERSAMAAN EKSPONEN DAN LOGARITMA BERBASIS PROSES ABSTRAKSI
Oleh : Asep Saeful Ulum NIM : 0905793
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2011
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Allah swt atas bantuan yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ini. Dalam penyusunan karya tulis ini, penulis mengakui adanya bantuan dari berbagai pihak, yang kesemuanya itu tak ternilai harganya. Maka penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Kedua orang tua yang selalu kirimkan doa, nasehat, dan bantuan materil. 2. Bapak Prof. Didi Suryadi, selaku Dosen Metode Penelitian Pendidikan Matematika. 3. Nilah Karnilah yang telah memberikan beberapa sumber pustaka yang relevan. 4. Panitia GMM 2011 yang telah memberikan kesempatan penulis untuk berkarya. 5. Semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan karya tulis ini. Atas bantuan dari semua pihak tersebut, penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya tulis ini. Semoga Allah swt memberikan balasan yang sesuai dengan keikhlasan amalnya. Penulis menyadari adanya kekurangan dalam karya tulis ini. Penulis menerima dengan rendah hati datangnya saran dan kritik yang membangun. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat.
Penulis
DAFTAR ISI Kata Pengantar
ii
Daftar Isi
iii
Ringkasan
iv
BAB I Pendahuluan
1
1.1. Latar Belakang
1
1.2. Perumusan Masalah
2
1.3. Tujuan Penulisan Karya Tulis
2
BAB II Telaah Pustaka
4
2.1. Landasan Teoritis
4
2.2. Substansi Permasalahan
9
2.3. Alternatif Pemecahan Masalah
11
BAB III Kesimpulan dan Saran
18
3.1. Kesimpulan
18
3.2. Saran
18
3.2.1. Kepada Guru-guru
18
3.2.2. Kepada Peneliti yang Berminat
19
3.3. Keterbatasan Penelitian DAFTAR PUSTAKA
20 21
RINGKASAN
Pendidikan karakter kini mulai diterapkan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan menjiwai di setiap mata pelajaran. Bila pendidikan karakter tidak diterapkan ada kekhawatiran anak-anak Indonesia terancam mengalami keterpurukan moral. Kekhawatiran itu beralasan melihat banyaknya beredar video porno di kalangan pelajar, ketidakjujuran kalangan selebritas atas fakta video porno yang terjadi, perilaku seksual di kalangan anak muda, dan rasa hormat siswa terhadap guru dan orang tua yang mulai berkurang. Guru bidang studi matematika memiliki kesempatan untuk menyisipkan pendidikan karakter di kelas. Kesempatan ini diperkaya dengan banyaknya waktu berinteraksi dengan siswa menggunakan cara yang berbeda di setiap materi yang disampaikan.
Interaksi
yang
diharapkan
adalah
interaksi
yang
mampu
mengembangkan proses berpikir abstrak siswa. Karya tulis ini khusus membahas proses abstraksi pada pembelajaran Persamaan Eksponen dan Logaritma. Terdapat ruang yang belum cukup bagi siswa dalam melatih kemampuan berpikir abstrak dalam pembelajaran Persamaan Eksponen dan Logaritma. Di lain pihak, pemerintah kini menginginkan adanya pendidikan karakter di lingkungan sekolah. Maka ada hal yang dapat diambil sebagai suatu permasalahan yaitu bagaimanakah peran guru matematika dalam membentuk karakter siswa melalui proses belajar mengajar, khususnya dalam pembelajaran Persamaan Eksponen dan Logaritma. Sehingga karya tulis ini terkait dengan topik bidang ilmu pendidikan yakni pengembangan pendidikan guru matematika. Berdasarkan fenomena yang tertulis pada bagian latar belakang, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan karya tulis ini. Menurut Vygotsky (dalam John dan Thornton) menjelaskan bahwa proses peningkatan pemahaman pada diri siswa terjadi sebagai akibat adanya pembelajaran.
Diskusi yang dilakukan antara guru-siswa dalam pembelajaran, mengilustrasikan bahwa interaksi sosial yang berupa diskusi ternyata mampu memberikan kesempatan pada siswa untuk mengoptimalkan proses belajarnya. Interaksi seperti itu memungkinkan guru dan siswa untuk berbagi dan memodifikasi cara berpikir masing-masing. Khusus mengenai proses abstraksi, Mitchelmore dan White dalam tulisannya menyebutkan arti abstraksi dalam konteks pembelajaran. Mereka menjelaskan proses abstraksi yang terjadi dalam belajar matematika adalah Empirical Abstraction. Proses ini diawali dengan pemaknaan bahwa siswa belajar tentang objek matematika yang abstrak. Sementara ide fundamental objek matematika yang diajarkannya datang dari keadaan di kehidupan sehari-hari. Proses awal ini disebut Similarity Recognition (mengenali kesamaan). Proses selanjutnya saat siswa mengenali adanya kesamaan-kesamaan antara objek matematika dengan keadaan di kehidupan sehari-hari, siswa akan menghubungkan dua hal yang tadinya saling terpisah tersebut sehingga mereka dapat melakukan sesuatu terhadap keadaan di kehidupan sehari-harinya berdasarkan apa yang mereka pelajari sebagai objek matematika. Lebih dari itu, setelah melewati proses ini, mereka tidak akan kembali lagi ke saat mereka tidak dapat memperlakukan apapun terhadap keadaan di lingkungan sehari-harinya yaitu ketika belum mempelajari matematika. Proses similarity recognition yang kemudian diikuti dengan pembentukan ide baru tentang kesamaan itu disebut dengan Proses Abstarksi Empiris (Empirical Abstraction Process). Dalam melakukan pemecahan masalah, penulis sebagai mahasiswa calon guru matematika melakukan kegiatan studi pustaka yang intensif tentang karakter bangsa, dan proses abstraksi dalam matematika, serta pendekatan debat dan pendidikan agama dalam pembentukan karakter seseorang.
Dengan ditanamkannya konsep empiris langsung berupa topik karakter dan alat untuk memperoleh karakter, pembelajaran matematika di sekolah sedikit banyak akan berkontribusi dalam pembentukan karakter bangsa. Lebih jauh lagi, proses abstraksi menanamkan karakter olah pikir, yakni haus akan ilmu pengetahuan. Ini tidak lain karena siswa mengawali pembelajaran dengan situasi mereka sehari-hari atau dalam proses abstraksi disebut dengan konsep-konsep empiris. Beberapa kesimpulan yang diperoleh antara lain, abstraksi seharusnya dipandang sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa yang mempelajari matematika, yaitu Proses Abstraksi Empiris yang memulai dengan melihat konsep empiris kehidupan sehari-hari siswa kemudian menemukan kesamaan-kesamaan dengan objek matematika, lalu terjadi fomalisasi (proses abstraksi) sehingga siswa paham akan objek matematika yang sedang dipelajari. Beberapa saran dari penulis yaitu bagi para peneliti yang tertarik dengan proses abstraksi, disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan dengan tetap memandang abstraksi sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa. Selain itu, penelitian tentang abstraksi dapat pula dikaji pada bidang lain dalam pendidikan matematika, tidak hanya pada Persamaan Eksponen dan Logaritma dengan subjek penelitian yang memiliki jenjang pendidikan lebih tinggi seperti siswa SMA atau mahasiswa. Bagi para peneliti, perlu diperhatikan pula bahwa penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, sehingga bermula dari fenomena yang terjadi di masyarakat dan tidak ditujukan untuk membuat suatu generalisasi. Namun hasil dari penelitian ini dapat diterapkan dalam situasi-situasi lain yang analog dengan kajian empiris terhadap adanya keterkaitan konsep dengan penelitian yang akan dilakukan.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kabid Kurikulum Pendidikan Dasar Balitbang Kemendiknas, Utomo (2010) menyampaikan bahwa pendidikan karakter kini diterapkan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan, menjiwai di setiap mata pelajaran. Menurutnya, jika pendidikan karakter tidak diterapkan ada kekhawatiran anak-anak Indonesia terancam mengalami keterpurukan moral. Kekhawatiran itu beralasan melihat banyaknya beredar video porno di kalangan pelajar, ketidakjujuran kalangan selebritas atas fakta video porno yang terjadi, perilaku seksual di kalangan anak muda, dan rasa hormat siswa terhadap guru dan orang tua yang mulai berkurang. Staf Khusus Mendiknas bidang Media, Sukemi (2010), mengatakan pembenahan karakter generasi muda menjadi salah satu tugas Kementrian Pendidikan Nasional, dan pembenahan karakter dimulai dari para guru karena dengan melalui guru-lah murid-murid bisa terbentuk pendidikan yang berkarakter. Masih menurut Sukemi (2010), pendidikan karakter yang sedang dicanangkan sebagai program pendidikan nasional adalah yang berkutat pada empat hal yakni, oleh hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga. Olah pikir berarti cerdas, yaitu karakter yang selalu merasa membutuhkan pengetahuan. Di ranah inilah sebenarnya mata pelajaran matematika, melalui guru tentu saja, memiliki peluang berkontribusi dalam pendidikan karakter di sekolah. Sebagai mahasiswa yang dididik menjadi calon guru matematika, sudah sewajarnya untuk mengambil peranannya tersendiri –baik dalam diskusi maupun kajian ilmiahdemi memajukan pendidikan Indonesia melalui pendidikan berkarakter.
Kemudian berdasarkan penelitian Nikmah (2011) diperoleh hasil bahwa sebanyak 50,5% siswa dalam menyelesaikan soal Persamaan Eksponen dan Logaritma salah dalam melakukan penerapan rumus. Permasalahan sejenis sebenarnya juga terjadi untuk materi ajar lain dalam pelajaran matematika. Untuk lebih memperdalam proses kajian, cakupan materi yang menjadi perhatian utama dalam penelitian ini adalah berkenaan dengan definisi Eksponen dan Logaritma. Berdasarkan fenomena tersebut, guru matematika memiliki kesempatan untuk menyisipkan pendidikan karakter di kelas. Ini diperkaya dengan kesempatan berinteraksi dengan siswa menggunakan cara yang berbeda di setiap materi yang disampaikan, yakni interaksi yang diharapkan mampu mengembangkan proses berpikir abstrak siswa. 1.2 Perumusan Masalah Pembelajaran Eksponen dan Logaritma biasanya dilakukan melalui sajian sifat-sifat dasar, penjelasan sifat melalui sajian contoh, serta latihan penyelesaian soal. Proses pembelajaran tersebut pada umumnya dilaksanakan sejalan dengan pola sajian sebagaimana yang tersedia pada buku rujukan utama. Hal ini memberikan ruang yang belum cukup bagi siswa dalam melatih kemampuan berpikir abstrak. Di lain pihak, pemerintah kini menginginkan adanya pendidikan karakter di lingkungan sekolah. Berdasarkan hal tersebut, maka ada hal yang dapat diambil sebagai suatu permasalahan yaitu bagaimanakah peran guru matematika dalam membentuk karakter siswa melalui proses belajar mengajar, khususnya dalam pembelajaran Persamaan Eksponen dan Logaritma. 1.3 Tujuan Penulisan Karya Tulis Karya tulis ini terkait dengan topik bidang ilmu pendidikan yakni pengembangan pendidikan guru matematika. Berdasarkan fenomena yang tertulis pada bagian latar belakang, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan karya tulis ini. Di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui bagaimana pembelajaran saat ini memandang abstraksi siswa yang belajar matematika. 2. Mengetahui bagaimana seharusnya memandang abstraksi siswa yang belajar matematika. 3. Mengetahui proses abstraksi siswa yang belajar persamaan eksponen dan logaritma dengan menggunakan model konvensional. 4. Mengetahui bagaimana pembentukan karakter dapat dibentuk dalam pembelajaran persamaan eksponen dan logaritma berbasis proses abstraksi.
BAB II TELAAH PUSTAKA
2.1. Landasan Teoritis Riedesel, Schwartz, dan Clements (1996) mengemukakan beberapa makna matematika dan kemampuan yang bisa dikembangkan melalui matematika. Di antaranya dalam poin satu dan poin lima disebutkan bahwa matematika bukan sekedar aritmetika serta matematika merupakan cara dan alat berpikir. Dalam poin satu, jika berbicara tentang matematika, masyarakat seringkali memandangnya secara sempit yakni hanya sebagai aritmetika. Dengan demikian, kurikulum matematika, terutama untuk sekolah dasar, hanya dipandang sebagai kumpulan keterampilan berhitung seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian bilangan. Akibatnya, penguasaan dengan baik keterampilan tersebut dipandang sebagai hal yang memadai bagi anak dalam belajar matematika khususnya untuk tingkat sekolah dasar. Padahal, jika kita perhatikan lebih jauh lagi, matematika memuat keterampilan lebih luas dari sekedar berhitung. Matematika pada hakekatnya merupakan suatu cara berpikir serta memuat ide-ide yang saling berkaitan. Seperti yang diungkap dalam poin lima. Dalam poin lima, karena cara berpikir yang dikembangkan dalam matematika menggunakan kaidah-kaidah penalaran yang konsisten dan akurat, maka matematika dapat digunakan sebagai alat berpikir yang sangat efektif untuk memandang berbagai permasalahan, baik permasalahan dalam matematika itu sendiri atau permasalahan di luar matematika. Berdasarkan keterangan Riedesel, Schwartz, dan Clements tersebut maka ada aspek yang bisa digunakan untuk membentuk karakter, yaitu cara berpikir. Cara berpikir dalam matematika disebut berpikir matematis. Inilah aspek yang bisa dimanfaatkan oleh guru matematika dalam menyisipkan pendidikan karakter kepada
siswa. Lebih khusus lagi, aspek berpikir matematis yang akan coba diulas dalam tulisan ini adalah proses abstraksi dalam memperoleh pengetahuan matematika baru. Hasil kajian Dienes (1969, h.181) tentang bagaimana anak mengkonstruksi pengetahuan matematika baru, memiliki dua hal yang perlu pengkajian serta penelitian lebih lanjut dan mendalam yaitu menemukan pola membentuk generalisasi dan menemukan keterkaitan membentuk abstraksi. Dalam kajiannya disebutkan bahwa anak mengkonstruksi pengetahuan matematika baru melalui refleksi terhadap aksi-aksi yang dilakukan baik yang bersifat fisik maupun mental. Mereka melakukan observasi untuk menemukan keterkaitan dan pola, serta membentuk generalisasi dan abstraksi. Lebih jauh lagi, menurut Vygotsky (dalam John dan Thornton, 1993), proses peningkatan pemahaman pada diri siswa terjadi sebagai akibat adanya pembelajaran. Diskusi yang dilakukan antara guru-siswa dalam pembelajaran, mengilustrasikan bahwa interaksi sosial yang berupa diskusi ternyata mampu memberikan kesempatan pada siswa untuk mengoptimalkan proses belajarnya. Interaksi seperti itu memungkinkan guru dan siswa untuk berbagi dan memodifikasi cara berpikir masing-masing. Dalam hal pembentukan sikap, matematika berperan membelajarkan dengan cara berpikir. Sangzhi, Zhang, dan Siming (2001) menyebutkan bahwa salah satu cara agar siswa dapat berpikir matematis adalah dengan mengembangkan pemikiran matematika abstrak. Menurutnya, untuk mengembangkan pemikiran matematika abstrak, siswa harus dilibatkan dalam proses penerapan simbol-simbol dan bilangan sehingga tercipta makna tentang bilangan dan simbol-simbol. Ironisnya, menurut Suryadi (2011) proses abstraksi dalam pembelajaran matematika di Indonesia masih dianggap sebagai konsep yang diberikan secara langsung kepada siswa. Di Indonesia, abstraksi belum dipandang sebagai salah satu proses tahapan berpikir matematis.
Di lain pihak, fungsi matematika sekolah menurut Depdiknas (2004) adalah sebagai salah satu unsur masukan instrumental, yang memiliki obyek dasar abstrak dan berlandaskan kebenaran konsistensi, dalam sistem proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan sekolah. Masih menurut Depdiknas (2004) tujuan umum diberikannya matematika di jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah sebagai berikut. 1) Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif dan efisien. 2) Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Dengan demikian tujuan umum pendidikan matematika pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah memberi tekanan pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa serta juga memberi tekanan pada keterampilan dan penerapan matematika. Dari poin satu dan dua di atas, secara implisit dapat dilihat bahwa matematika sekolah di antaranya bertujuan untuk membentuk karakter siswa dengan menekankan pada penataan nalar (cara berpikir). Khusus mengenai proses abstraksi, Mitchelmore dan White (2004) dalam tulisannya menyebutkan arti abstraksi dalam konteks pembelajaran. Mereka menjelaskan proses abstraksi yang terjadi dalam belajar matematika adalah Empirical Abstraction. Proses ini diawali dengan pemaknaan bahwa siswa belajar tentang objek matematika yang abstrak. Sementara ide fundamental objek matematika yang diajarkannya datang dari keadaan di kehidupan sehari-hari. Proses awal ini disebut Similarity Recognition (mengenali kesamaan).
Proses selanjutnya saat siswa mengenali adanya kesamaan-kesamaan antara objek matematika dengan keadaan di kehidupan sehari-hari, siswa akan menghubungkan dua hal yang tadinya saling terpisah tersebut sehingga mereka dapat melakukan sesuatu terhadap keadaan di kehidupan sehari-harinya berdasarkan apa yang mereka pelajari sebagai objek matematika. Lebih dari itu, setelah melewati proses ini, mereka tidak akan kembali lagi ke saat mereka tidak dapat memperlakukan apapun terhadap keadaan di lingkungan sehari-harinya yaitu ketika belum mempelajari matematika. Proses similarity recognition yang kemudian diikuti dengan pembentukan ide baru tentang kesamaan itu disebut dengan Proses Abstarksi Empiris (Empirical Abstraction Process). Contoh yang paling bagus tentang Proses Abstraksi Empiris adalah seperti yang dijelaskan oleh Mitchelmore (1997) bahwa saat siswa di sekolah dasar mempelajari tentang sudut, mereka terlebih dahulu sudah memiliki gambaran tentang bentuk-bentuk sudut dalam kehidupan sehari-hari, yaitu pojok ruangan, tanjakan, dan belokan, dimana satu atau dua kaki sudut harus dapat dibayangkan oleh mereka. Proses ini membantu siswa yang kesulitan mempelajari matematika. Mitchelmore dan White (1995) memberikan bukti bahwa kesulitan siswa dalam mempelajari matematika selama ini adalah mereka kesulitan mencari hal-hal yang sesuai dengan objek abstrak matematika dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Proses Abstraksi Empiris justru sebaliknya, dan itu membantu siswa berpikir abstrak. Melalui Proses Abstraksi Empiris, ada tiga kegiatan yang terjadi pada siswa yang mempelajari ide fundamental matematika yaitu mereka belajar sebuah konsep yang empiris, mereka belajar tentang objek matematika, dan mereka belajar tentang hubungan antara konsep empiris dengan objek matematika. Bila dikaji lebih dalam lagi, konsep empiris justru sering lebih sulit untuk didefinisikan. Sebagai contoh konsep empiris dari lingkaran adalah sebuah objek yang dibuat bulat sempurna. Tapi “kebulatan yang sempurna” hanya dapat didefinisikan dengan memperlihatkan
contoh. Lingkaran menjadi objek matematika hanya ketika lingkaran didefinisikan sebagai kumpulan titik-titik yang berjarak sama dari satu titik tertentu (definisi yang jelas seperti ini pun dijumpai di setiap objek-objek matematika). Walaupun sebenarnya untuk memaknai definisi lingkaran, seseorang bisa saja melihat bahwa kumpulan titik-titik yang berjarak sama dari satu titik tertentu memberikan jaminan objek tersebut bulat sempurna, atau melihat sebaliknya. Penjelasan di atas memberikan gambaran pada kita bahwa yang dipelajari dalam matematika adalah sesuatu yang abstrak. Maka sudah sewajarnya jika kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa yang belajar matematika adalah kemampuan berpikir abstrak. Proses Abstraksi Empiris dijelaskan oleh Mitchelmore dan White (2004) melalui diagram seperti di bawah ini (Gambar 1).
Gambar 1 Kerangka Kerja Proses Abstraksi Empiris.
Pada praktiknya, konsep empiris yang berkaitan dengan objek matematika yang diformulasi (diabstraksi) menjadi objek matematika yang fundamental kadang terjadi secara bersamaan, khususnya apabila dalam konteks pembelajaran matematika sekolah. Terkadang pula More advanced mathematical objects terhubung langsung dengan konsep empiris, tidak harus melalui formalisasi objek fundamental matematika.
Singkatnya, pembelajaran matematika akan sangat efektif bila berbasiskan pada proses pengenalan kesamaan yang diikuti dengan proses abstraksi. 2.2.Substansi Permasalahan Pada bagian ini akan disajikan tiga hal yang menjadi substansi permasalahan. Pertama, pendidikan seharusnya mampu menghasilkan manusia yang berbudaya, manusia yang tidak mudah terbawa arus dan terhindar dari keterpurukan moral. Sekolah, dengan segala kegiatannya, seharusnya mampu untuk menghasilkan itu. Salah satu cara menangkal berbagai kasus akibat keterpurukan moral adalah setiap individu harus mampu menahan diri untuk tidak terbawa arus. Semakin kuat karakter seseorang, semakin tidak mudah dia untuk terbawa arus yang tidak sesuai dengan prinsipnya. Di sinilah peran pendidikan karakter menjadi penting sifatnya dalam upaya membentuk karakter bangsa. Pendidikan karakter sebenarnya adalah upaya mempercepat individu memiliki karakter yang kuat sehingga tidak mudah terpengaruh oleh opini yang merusak kualitas moral. Lingkungan sekolah adalah tempat yang paling mungkin agar proses percepatan itu dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. Pelatihan debat, pendidikan agama dan mata pelajaran matematika ialah dua di antara sekian banyak kegiatan di sekolah yang bisa dimanfaatkan guna membangun karakter bangsa. Tiga hal itulah yang ingin penulis kombinasikan dalam penulisan karya tulis ini. Substansi permasalahan yang kedua yaitu di Indonesia, aspek matematika yang berpeluang besar membentuk karakter seseorang justru belum dipahami secara benar sehingga matematika masih belum menunjukkan kontribusinya yang signifikan di lingkungan sekolah dalam upaya pendidikan karakter. Aspek matematika itu adalah proses berpikir abstrak (abstraksi). Abstraksi masih belum dipandang sebagai proses yang harus ditempuh oleh siswa. Padahal jika siswa terlatih untuk melakukan
pemikiran abstrak, mereka sebenarnya juga terlatih untuk memiliki karakter diri yang kuat. Substansi permasalahan yang ketiga adalah tentang debat dan pendidikan agama. Di masyarakat, debat masih disalahartikan sebagai proses adu mulut yang tidak ada hentinya. Frame keliru tersebut dapat diubah oleh siswa melalui kegiatankegiatan mereka di sekolah. Debat sebenarnya adalah upaya tercepat membentuk karakter kuat seseorang. Dalam debat, melalui kegiatan ekstrakurikuler sekolah atau saat pembelajaran Vocational English, siswa paham bahwa butuh proses panjang untuk dapat menyimpulkan jika suatu hal tidak lebih baik dari hal yang lain dan bukan hal yang mudah untuk sampai pada kesimpulan bahwa suatu hal adalah lebih baik dari hal yang lain. Ditambah pula bahwa dalam debat tidak semua informasi dapat digunakan sebagai landasan argumen yakni harus menggunakan informasiinformasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, dalam debat ada nilai-nilai moral yang terkandung yaitu mendengarkan pendapat orang lain, meyakinkan orang lain tentang hal yang benar, bahkan mengakui bahwa pendapat orang lain lebih kuat dari pendapatnya sendiri. Sehingga dengan proses yang demikian panjang, dan nilai-nilai karakter yang demikian kaya, wajar jika debat adalah upaya tercepat membentuk karakter seseorang meskipun ini masih belum disadari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam
konteks
keindonesiaan,
kurikulum
sekolah
(termasuk
yang
menanamkan nilai karakter) hendaklah berfungsi meraih tujuan pendidikan nasional. Mencetak manusia yang berakhlak mulia adalah poin penting dalam tujuan pendidikan nasional. Sehingga pendidikan karakter pun harus mampu sejalan dengan kegiatan lain di sekolah dalam mencetak generasi yang berakhlak mulia. Mata pelajaran Pendidikan Agama secara langsung memiliki andil besar dalam pembentukan akhlak mulia.
Selain dengan pelajaran Vocational English, Matematika dapat bersanding dengan pelajaran Pendidikan Agama dalam upaya pembentukan karakter siswa. Peran matematika yang disandingkan dua pelajaran itulah yang menjadi substansi permasalahan yang ketiga dalam penulisan ini. 2.3. Alternatif Pemecahan Masalah Dalam melakukan pemecahan masalah, penulis sebagai mahasiswa calon guru matematika melakukan kegiatan studi pustaka yang intensif tentang karakter bangsa, dan proses abstraksi dalam matematika, serta pendekatan debat dan pendidikan agama dalam pembentukan karakter seseorang. Sebagai salah satu bagian yang terintegrasi dalam kurikulum sekolah, matematika sudah seharusnya memberikan kontribusinya dalam pembentukan karakter bangsa, baik secara langsung atau pun tidak langsung. Penulis mencoba memposisikan diri untuk menyumbangkan hasil pemikiran bahwa secara tidak langsung matematika berpeluang membentuk karakter bangsa yaitu dengan Proses Abstraksi Empiris dalam pembelajaran matematika. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian landasan teoritis, bahwa untuk dapat melakukan formulasi (proses abstraksi) siswa harus dibimbing untuk memulai dengan konsep-konsep empiris, yaitu konsep-konsep yang mereka temui sebagai kegiatan sehari-hari. Alternatif pemecahan masalah karakter bangsa dalam penulisan ini adalah dengan mengkombinasi antara proses abstraksi matematika dengan kegiatan debat dan pelajaran Pendidikan Agama yang dua hal itu dipandang sebagai konsep-konsep empiris. Selain topik tentang karakter itu sendiri yang dijadikan sebagai konsep empiris yang lain. Lalu pertanyaannya, bagaimana guru matematika dapat mengembangkan proses berpikir abstrak siswa? Guru bidang studi matematika dapat memulai pembelajaran dengan berdiskusi dengan siswa. Pada materi pembelajaran Persamaan Eksponen dan
Logaritma, kegiatan diskusi pada awal pertemuan bukan hal yang tidak mungkin untuk dilakukan. Dalam landasan teoritis telah disebutkan bahwa dengan interaksi antara siswa dan guru berupa diskusi dapat mengoptimalkan proses belajar siswa. Maka proses pertama yang dapat guru matematika lakukan untuk membentuk karakter siswa adalah dengan mengajak siswa berdiskusi tentang materi ajar yang akan disampaikan. Dalam pembelajaran Persamaan Eksponen dan Logaritma, guru matematika dapat langsung membawa topik pembicaraan seputar karakter seseorang saat memulai berdiskusi dengan siswa-siswanya. Memulai topik diskusi bisa melalui pertanyaan seperti berikut. “Apa yang kalian ketahui tentang orang yang memiliki karakter yang kuat?” Kemudian, setelah diajukan pertanyaan tentang karakter. Ingatkan mereka tentang materi debat dalam pelajaran Vocational English. “Mungkinkah kalian datang ke arena debat tanpa punya prinsip yang mana yang benar dan yang mana yang salah?” “Apakah persiapan menghadapi arena debat membuat seseorang memiliki karakter yang kuat?” “Apa kesimpulan kalian tentang karakter seseorang dengan debat?” Guru bidang studi matematika dapat membimbing siswa hingga sampai pada kesimpulan bahwa debat adalah alat untuk seseorang mempunyai karakter yang kuat. Karakter yang tidak mudah terbawa oleh arus yang tidak jelas benar atau salahnya. Karakter yang mampu meyakinkan dan mengajak orang lain pada sesuatu yang diyakini benar. Karakter yang berani mengatakan bahwa benar adalah benar, dan salah adalah salah.
Kemudian guru dapat masuk pada bahasan objek matematika, dengan contoh kalimat perintah berikut ini. “Sekarang coba bayangkan bilangan 2. Dua apabila dikali dengan dua akan sama dengan empat. Kita juga bisa memperoleh 8 dari bilangan 2, yaitu 2 X 2 X 2. Artinya, dengan bilangan yang sama, hasilnya dapat berbeda-beda.” Setelah perintah membayangkan diutarakan, diskusi kelas dapat dilanjutkan kembali dengan pertanyaan seperti berikut. “Andai bilangan adalah seseorang, dan bilangan yang lebih besar berarti memiliki karakter yang lebih kuat, maka bilangan 2 yang mana yang memiliki karakter lebih kuat?” Secara intensif siswa dibimbing hingga sampai pada kesimpulan 2 X 2 X 2 lebih kuat karakternya dari 2 X 2. Tidak lupa, guru menyampaikan bahwa dalam matematika, 2 X 2 X 2 ditulis 23 dibaca “dua pangkat tiga.” Seorang siswa dapat diajak untuk menuliskan di depan kelas 2 X 2 dalam bentuk perpangkatan (22). Kemudian, agar siswa masuk pada tahapan formalisasi seperti yang terlihat pada Gambar 1, guru matematika dapat mengajukan pertanyaan seperti berikut. “Andai n adalah bilangan yang lebih dari m, maka mana yang hasilnya lebih besar? 2n atau 2m ?” Saat diajukan pertanyaan demikian, Proses Abstraksi Empiris mulai bekerja di cara berpikir siswa. Dengan membayangkan bahwa n adalah tingkat karakter yang lebih kuat dari m, maka siswa sampai pada kesimpulan bahwa 2n lebih dari 2m. Kini guru bidang studi matematika dapat mulai mengingatkan siswa tentang pelajaran Pendidikan Agama. Dalam Pendidikan Agama, orang yang tidak berakhlak
mulia (selalu berbuat kerusakan di muka bumi) sebenarnya dapat dikategorikan lebih rendah derajatnya dari manusia. Singkatnya, mereka bukan manusia meskipun memiliki raga yang sama dengan manusia lainnya. Diskusi kelas dapat dimulai kembali misalnya seperti berikut ini. “Bila ada kelompok manusia yang tidak bermoral, lalu bagaimana dengan karakternya?” Guru matematika selanjutnya membimbing siswa hingga sampai pada kesimpulan bahwa karakter kuat untuk tidak bermoral bagi seseorang mengakibatkan kerusakan yang dia ciptakan justru semakin luas. Kemudian, guru dapat menghubungkan kesimpulan tersebut dengan ingatan siswa bahwa 1 adalah bilangan yang kecil, dan
lebih kecil dari 1,
lebih kecil lagi dari 1. Siswa mulai mengingat
kembali bilangan pecahan. “Bila 1, 2, 3, … dan seterusnya diibaratkan manusia-manusia yang berakhlak mulia, sehingga dengan karakter yang kuat mereka akan semakin berbuat baik, maka dan seterusnya adalah ibarat kelompok manusia yang tidak berakhlak mulia.” Diskusi serupa dapat kembali dilakukan seperti terhadap bilangan 2. Awalnya siswa sampai pada kesimpulan manusia yang diibaratkan bermoral dari
karena yang pertama hasilnya ( ) lebih kecil dari yang
kemudian ( ). Tidak lupa guru menyampaikan bahwa ditulis
lebih tidak
dalam matematika
. Formalisasi abstraksi berikutnya kembali guru dapat mengajukan
pertanyaan yang serupa terhadap bilangan 2.
“Andai q adalah bilangan yang lebih dari p, maka mana yang hasilnya lebih besar?
atau
?”
Kerangka Proses Abstraksi Empiris kembali bekerja di cara berpikir siswa. Dengan membayangkan bahwa
adalah jenis manusia yang tidak bermoral, dan q
adalah tingkat karakter yang lebih tak bermoral dari p, maka siswa sampai pada kesimpulan bahwa bilangan
lebih besar dari
.
Bagian akhir, siswa dapat diingatkan kembali dengan pernyataan mereka bahwa debat adalah alat untuk seseorang mempunyai karakter yang kuat. Bila karakter adalah bilangan yang menjadi pangkat. Maka sama halnya dengan debat sebagai alat untuk memperoleh karakter, harus ada pula alat dalam matematika untuk memperoleh pangkat. “Debat adalah alat untuk memperoleh karakter. Setelah kita tahu tadi bahwa karakter disamakan dengan bilangan yang menjadi pangkat, di matematika, alat untuk memperoleh bilangan yang menjadi pangkat tersebut dinamakan logaritma.” Guru matematika dapat menggunakan bentuk pertanyaan lain untuk memberitahu siswa tentang istilah logaritma. Agar siswa lebih paham bahwa logaritma adalah alat untuk mencari bilangan yang menjadi pangkat, mulai kembali dengan ilustrasi, misalnya seperti berikut. “23 = 8 diibaratkan seperti 2 dengan karakter 3, mempunyai kualitas moral 8. Kalau kita ingin mencari nilai karakternya (mencari 3), maka alat itu disebut di matematika disebut logaritma.” Lalu, guru dapat memperjelas siswa dengan notasi
. Setelah siswa
memperoleh pemahaman tentang notasi logaritma, guru dapat memberikan pertanyaan lain agar siswa terampil menggunakan notasi logaritma.
“Apabila dengan debat, 2 mempunyai kualitas moral 16, maka berapa karakternya?” Bilangan-bilangan lain dapat secara acak disampaikan oleh guru. Hingga di akhir kelas, siswa melakukan Proses Abstraksi Empiris untuk setiap bilangan acak a, b, dan c, jika ab = c maka
.
Proses pembelajaran di atas bila digambarkan dalam bentuk diagram akan seperti yang terlihat pada (Gambar 2) di bawah ini.
Pemahaman tentang matematika
Objek matematika tingkat lanjut
Objek matematika eksponen dan logaritma Formalisasi (proses abstraksi)
Karakter dengan pangkat, debat dengan logaritma, dan manusia dengan
Konsep empiris : karakter, debat, dan manusia di pendidikan agama
Kehidupan / situasi siswa sehari-hari Gambar 2 Kerangka Proses Abstraksi Empiris Pembelajaran Persamaan Eksponen dan Logaritma.
Dengan ditanamkannya konsep empiris langsung berupa topik karakter dan alat untuk memperoleh karakter, pembelajaran matematika di sekolah sedikit banyak telah berkontribusi dalam pembentukan karakter bangsa. Lebih jauh lagi, proses abstraksi menanamkan karakter olah pikir, yakni haus akan ilmu pengetahuan. Ini tidak lain karena siswa mengawali pembelajaran dengan situasi mereka sehari-hari atau dalam proses abstraksi disebut dengan konsep-konsep empiris.
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini disajikan pembahasan tentang hasil penelitian berupa kesimpulan dan saran, terkait dengan hasil yang diperoleh. Selain itu, akan dikemukakan pula keterbatasan dalam penelitian ini. Keterbatasan tersebut memunculkan peluang yang potensial untuk penelitian lanjutan. 3.1. Kesimpulan Sesuai dengan tujuan penulisan karya tulis, berikut terdapat empat kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini. Kesimpulan tersebut dijelaskan dalam butir-butir berikut. 1) Saat ini abstraksi dalam pembelajaran matematika belum dipandang sebagai proses yang harus ditempuh oleh siswa. 2) Abstraksi seharusnya dipandang sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa yang mempelajari matematika, yaitu Proses Abstraksi Empiris yang memulai dengan melihat konsep empiris kehidupan sehari-hari siswa kemudian menemukan kesamaan-kesamaan dengan objek matematika, lalu terjadi fomalisasi (proses abstraksi) sehingga siswa paham akan objek matematika yang sedang dipelajari. 3) Siswa yang belajar Persamaan Eksponen dan Logaitma dengan model konvensional tidak mengalami Proses Abstraksi Empiris. 4) Pembentukan karakter dalam pembelajaran Persamaan Eksponen dan Logaritma dapat dibentuk dengan Proses Abstraksi Empiris dengan konsepkonsep yang digunakan berupa topik karakter, dan debat dalam Vocational English, serta kualitas manusia dalam Pendidikan Agama. 3.2. Saran 3.2.1. Kepada Guru-guru
a. Untuk guru bidang studi matematika disarankan agar memperkaya materi ajar demi terbentuknya karakter siswa dalam pembelajaran matematika. b. Untuk guru bidang studi matematika disarankan agar memulai pembelajaran Persamaan Eksponen dan Logaritma dengan diskusi terkait konsep-konsep empiris objek matematika yang terdapat pada materi. Interaksi intensif antar guru dan siswa dapat memunculkan proses abstraksi dalam pembentukan konsep yang dilakukan oleh siswa. c. Untuk guru bidang studi matematika disarankan untuk membuat soal-soal pemecahan masalah terkait diskusi tentang konsep empiris yang potensial untuk memunculkan aspek-aspek abstraksi yang beragam untuk menggali potensi siswa terkait dengan kemampuan abstraksinya. d. Untuk guru bidang studi matematika disarankan agar menggunakan model pembelajaran konvensional hanya pada topik-topik tertentu yang jauh lebih sulit jika diterangkan secara empiris seperti topik tentang perpangkatan bilangan negatif. Karena setelah tahap formalisasi, siswa dapat mudah memahami objek matematika yang tidak terkait secara empiris karena sudah masuk pada daerah More advanced mathematical objects. 3.2.2. Kepada Peneliti yang Berminat Bagi para peneliti yang tertarik dengan proses abstraksi, disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan dengan tetap memandang abstraksi sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa. Selain itu, penelitian tentang abstraksi dapat pula dikaji pada bidang lain dalam pendidikan matematika, tidak hanya pada Persamaan Eksponen dan Logaritma dengan subjek penelitian yang memiliki jenjang pendidikan lebih tinggi seperti siswa SMA atau mahasiswa. Bagi para peneliti, perlu diperhatikan pula bahwa penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, sehingga bermula dari fenomena yang terjadi di masyarakat dan tidak ditujukan untuk membuat
suatu generalisasi. Namun hasil dari penelitian ini dapat diterapkan dalam situasi-situasi lain yang analog dengan kajian empiris terhadap adanya keterkaitan konsep dengan penelitian yang akan dilakukan. 3.3. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, antara lain diuraikan seperti berikut. 1. Penelitian ini hanya memiliki penekanan pada deskripsi proses abstraksi siswa yang berlangsung dalam belajar definisi Eksponen dan Logaritma. 2. Penelitian ini tidak membahas lebih jauh tentang abstraksi dipandang sebagai suatu kemampuan. 3. Penelitian ini tidak membahas lebih jauh tentang penjenjangan kemampuan abstraksi siswa. 4. Penelitian ini tidak membahas lebih jauh tentang korelasi antara abstraksi siswa dengan karakter siswa yang terbentuk.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2004. Kurikulum Pendidikan Dasar. Jakarta : Depdiknas. Dienes, Z.P. 1969. Mathematics in The Primary School. London: Macmillan and Co Ltd. John, G.A., dan Thornton, C.A. 1993. Vygotsky Revisited: Nurturing Young Children’s Understanding of Number. Focus on Learning Problems in Mathematics, 15, Halaman 18-28. Mitchelmore, M. C. 1997. Children’s Informal Knowledge of Physical Angle Situations. Learning and Instruction,7, Halaman 1-19. Mitchelmore, M. C., dan White, P. 1995. Abstraction In Mathematics: Conflict, Resolution and Application. Mathematics Education Research Journal, 7(1), Halaman 50-68. Mitchelmore, M. C., dan White, P. 2004. Abstraction In Mathematics and Mathematics Learning. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education (Vol. 3, Halaman 329-336). Program Committee. Nikmah, N. 2011. Analisis Kesalahan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Persamaan Eksponen Dan Logaritma Kelas II SMU Negeri 1 Pecangaan Kabupaten Jepara. Surakarta : Universitas Muhammadiyah. Riedesel,C.A., Schwartz, J.E., dan Clements, D.H. 1996. Teaching Elementary School Mathematics. Boston: Allyn and Bacon. Sangzhi, W., Zhang, D., dan Siming, Z. 2001. Mathematical Thinking In Primary Schooland Junior High School. Capital Normal University : China. Sukemi. 2000. Pendidikan Karakter Diterapkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. http://republika.co.id/berita/pendidikan/berita/10/08/09/128972 [09 Agustus 2010]. Suryadi, D. 2011. Kuliah Metode Penelitian Pendidikan Matematika. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.
Utomo, E. 2000. Pendidikan Karakter Diterapkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. http://republika.co.id/berita/pendidikan/berita/10/08/09/128972 [09 Agustus 2010]. Vygotsky, L. S. (1978). Mind in Society. Cambridge, MA : Harvard University Press.