PEMANFAATAN RUANG OLEH ORANGUTAN Pongo pygmaeus morio (Owen, 1837) DI STASIUN PENELITIAN MENTOKO DAN PREFAB TAMAN NASIONAL KUTAI KALIMANTAN TIMUR
AGNES FERISA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemanfaatan Ruang oleh Orangutan Pongo pygmaeus morio (Owen, 1837) di Stasiun Penelitian Mentoko dan Prefab Taman Nasional Kutai Kalimantan Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014 Agnes Ferisa NIM 053100011
RINGKASAN AGNES FERISA. Pemanfaatan Ruang oleh Orangutan Pongo pygmaeus morio (Owen, 1837) di Stasiun Penelitian Mentoko dan Prefab, Taman Nasional Kutai Kalimantan Timur. Dibimbing oleh ANI MARDIASTUTI dan ENTANG ISKANDAR. Taman Nasional Kutai (TN Kutai) adalah salah satu habitat penting dari Pongo pygmaeus morio di Kalimantan Timur. The International Union for Conservation of Nature (IUCN) 2013, menyatakan status orangutan Kalimantan adalah genting atau “endangered” akibat adanya konversi habitat, kebakaran hutan, perburuan dan perdagangan satwa (Ancrenaz et al. 2008). Sehingga melestarikan orangutan dan habitatnya adalah menjadi penting. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Mei- September 2012. Lokasi penelitian dibagi menjadi dua, yaitu di stasiun penelitian Mentoko dan stasiun penelitian Prefab. Yang mana kedua lokasi tersebut berbeda menurut jangka waktu habituasi dan intensitas gangguan oleh manusia (Kabangnga 2010). Prefab telah digunakan sebagai areal penelitian selama lebih dari 20 tahun, dan saat ini juga dimanfaatkan sebagai salah satu tujuan wisata alam TN Kutai. Sedangkan Mentoko sendiri baru digunakan kembali untuk aktivitas penelitian sejak tahun 2009. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang pemanfaatan ruang oleh orangutan di TN Kutai dan mengetahui habitat yang seperti apa yang paling aktif digunakan. Pemanfatan ruang yang dimaksud terdiri dari jelajah harian, daerah jelajah, daerah inti, daerah tumpang tindih dan pemanfaatan strata tajuk. Data pergerakan direkam dengan menggunakan GPS dan dianalis menggunakan ArchGIS 10.1 diintegrasikan dengan Kernel Density Estimation (kde) yang terdapat dalam program Geospasial Modelling Enviroment, sedangkan orangutan diikuti dengan menggunakan metode focal animal sampling dan dijelaskan secara deskriptif. Berdasarkan analisis spasial. jelajah harian terjauh di Mentoko adalah 0.749 km/hari dan Prefab adalah 0.633 km/hari. Daerah jelajah terluas di Mentoko adalah 0. 401 km2, dan Prefab adalah seluas 0.197 km2. Tumpang tindih terjadi pada individu Darwin-Putri seluas 0.039 km2, sedangkan di Prefab tumpang tindih terjadi pada Bayur-Labu seluas 0.052 km2 dan Bayur-Mawar seluas 0.058 km2. Strata hutan yang paling aktif digunakan untuk beraktivitas adalah strata C (4-20 m) terutama pergerakan dan B (20-30 m) lebih aktif digunakan untuk mencari makan pada pohon-pohon yang tinggi. Sedangkan untuk bersarang orangutan di Mentoko maupun Prefab cenderung menggunakan tajuk tengah dan paling atas. Terdapat dua komunitas habitat yang dimanfaatkan orangutan pada saat itu, yaitu komunitas pinggiran sungai yang menyediakan variasi pakan dan komunitas bukan pinggiran sungai yang menyediakan pakan tertentu yang tidak dijumpai di pinggiran sungai.
Kata kunci: orangutan kutai, jelajah harian, daerah jelajah, daerah inti, tumpang tindih, strata tajuk
SUMMARY AGNES FERISA. Use of Space by Orangutan Pongo pygmaeus morio (Owen, 1837) in Mentoko and Prefab Research Station, Kutai National Park in East Kalimantan. Supervised by ANI MARDIASTUTI and ENTANG ISKANDAR. Kutai National Park (TN Kutai) is one of the important habitats of Pongo pygmaeus morio in East Kalimantan. The International Union for the Conservation of Nature (IUCN) 2013, declared a state of Borneo orangutan is precarious or "endangered" due to habitat conversion, forest fires, poaching and wildlife trade (Ancrenaz et al., 2008). Thus preserving orangutans and their habitat is becoming important. This study was implemented from May-September 2012. Location of research is divided into two, in Mentoko and Prefab research stations. The two locations are different according to the period of habituation and intensity of disturbance by humans (Kabangnga 2010). Prefab has been used as a research area for more than 20 years, and now also used as a natural tourist destination in Kutai, while Mentoko had just re-used for research activities since 2009. The purpose of this study is to find out about the use of space by orangutans in Kutai and knowing what kind of habitat are the most actively used. Use of space include daily range, home range, core areas, and overlapping and canopy strata. Movement data recorded using GPS and analyzed using ArchGIS 10.1 with Kernel Kernel Density Estimation (kde) in Geospatial Modeling Environment program, while orangutans followed by focal animal sampling method and described descriptively. Based on spatial analysis, daily range furthest in Mentoko was 0.749 km/day and Prefab was 0.633 km/day. Mentoko widest home range area was 0.401 km2, and an area of Prefab was 0.197 km2. Home range overlap occurs between DarwinPutri, covering 0.039 km2, while in Prefab overlap occurs between Bayur-Labu covering 0.052 km2 and Bayur-Mawar covering 0.058 km2. The most active forest strata used for daily activities was on C stratum (4-20 m), especially for locomotion and B (20-30 m) were actively used for foraging food in the high trees. Orangutans in Mentoko and Prefab tended to use middle and top canopy for nesting. There are two habitat communities that used by orangutan at the time, the riverin community that provides a variation of foodd and non-riverin communities that provide a particular food that is rarely found at the riverside. Keywords: Orangutan kutai, daily range, home range, core areas, overlapping, canopy strata
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PEMANFAATAN RUANG OLEH ORANGUTAN Pongo pygmaeus morio (Owen, 1837) DI STASIUN PENELITIAN MENTOKO DAN PREFAB TAMAN NASIONAL KUTAI KALIMANTAN TIMUR
AGNES FERISA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji luar pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Hadi S. Alikodra, MS
Judul Tesis:
Nama NIM
: :
Pemanfaatan Ruang oleh Orangutan Pongo pygmaeus morio (Owen, 1837) di Stasiun Penelitian Mentoko dan Prefab, Taman Nasional Kutai Kalimantan Timur Agnes Ferisa P053100011
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc Ketua
Dr Ir Entang Iskandar, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Primatologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Drh Dondin Sajuthi, MST, Phd
Prof Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian: 08 Agustus 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan September 2012 ini ialah Orangutan, dengan judul Pemanfaatan Ruang oleh Orangutan Pongo pygmaeus morio (Owen, 1837) di Stasiun Penelitian Mentoko dan Prefab Taman Nasional Kutai Kalimantan Timur. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc dan Dr Ir Entang Iskandar selaku pembimbing. Terimakasih kepada penguji luar komisi Prof Dr Ir Hadi S. Alikodra, MS atas masukan-masukan berharganya. Penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Prof Anne E. Russon yang telah membiayai studi dan penelitian ini beserta manejer (Purwo Kuncoro) dan staf Proyek Orangutan Kutai. Bapak Erly Sukrismanto selaku Kepala Balai Taman Nasional Kutai yang telah memberikan ijin dan beserta staf yang telah membantu selama pengumpulan data di lapangan. Terima kasih kepada Ayahanda Salunding Kiting, SPd, SE dan ibunda Dr Usup Riassy Christa atas motivasi, semangat, doa dan kasih sayang yang selalu diberikan kepada penulis dalam suka dan duka; adikku Lelly Margareth, MT dan Daniel Antonio beserta seluruh keluarga besar atas doa dan semangat yang diberikan. Terima kasih kepada: teman sekelasku Tri Atmoko dan Walberto Sinaga yang selalu memberi semangat. Staf pengajar PRM atas ilmu yang diberikan, sekretariat PRM mbak Yanti dan Yana yang selalu siap membantu. Staf herbarium Wanariset Samboja: pak Kade Sidiyasa (Alm), Arifin, dan kak Arbainsyah atas sharing dan bantuan mengidentifikasi tumbuhan. Bang Romie Jhonnerie dan bang Nurhalis Wahidin atas sharing ilmu dan bantuannya. Diza dan Irham. Lina dan Aron atas semangatnya. Tante Ayke dan amang Alex, Tante Rossi dan Om Toni atas dukungan dan doanya. Keluarga besar wisma Flora: Wanny, Widya, Ika, Septi, Kiki, Abrar, Firman, Fitri, Reza, Bang Rudi, kak Adelina, Lina dan Alif. Keluarga bapak dan ibu Edi, Erlin dan Rian yang selalu menemani. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas dukungan dan doanya selama ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik Bapak/Ibu/Saudara/i semuanya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014 Agnes Ferisa
i
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iv
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penelitian 1.3 Manfaat Penelitian
1 1 2 2
2 KONDISI UMUM TAMAN NASIONAL KUTAI 2.1 Sejarah Kawasan 2.2 Letak dan Luas 2.3 Topografi 2.4 Geologi 2.5 Iklim dan Hidrologi 2.6 Flora 2.7 Fauna
3 3 3 4 5 5 5 6
3 METODE 3.1 Tempat dan Waktu 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Pengumpulan Data 3.3.1 Pencarian dan Habituasi 3.3.2 Perekaman Jelajah Harian (Day Range) 3.3.3 Penentuan Daerah Jelajah (Home Range) dan Inti (Core Area) 3.3.4 Daerah Tumpang Tindih (Overlapping) 3.3.5 Pemanfaatan Strata Ketinggian dan Tajuk 3.3.6 Habitat
7 7 7 8 8 9 10 10 10 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Individu Orangutan 4.2 Jelajah Harian (Daily Range) 4.3 Daerah Jelajah (Home Range) dan Inti (Core Area) 4.4 Daerah Tumpang Tindih (Overlapping) 4.5 Pemanfaatan Strata Ketinggian dan Tajuk 4.6 Habitat
13 13 14 17 20 22 25
5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan 5.2 Saran
31 31 31
DAFTAR PUSTAKA
32
LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
ii
DAFTAR TABEL Tabel 4.1
Jenis kelamin dan jumlah waktu pengamatan individu orangutan
13
Tabel 4.2
Perbandingan rata-rata jelajah harian orangutan dari beberapa penelitian di Mentoko dan Prefab
15
Tabel 4.3
Perbandingan luas daerah jelajah orangutan dari beberapa penelitian di Mentoko
19
Tabel 4.4
Dominansi jenis tumbuhan pakan orangutan di Mentoko dan Prefab
24
Tabel 4.5
Bagian pakan yang dimakan orangutan di Mentoko dan Prefab
25
Tabel 4.6
Dominansi suku dari profil habitat di Mentoko dan Prefab
30
Tabel 4.7
Dominansi jenis dari profil habitat di Mentoko dan Prefab
30
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1
Peta Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur
3
Gambar 2.2
Peta topografi Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur
4
Gambar 2.3
Rata-rata curah hujan dan suhu tahun 2010-2012 di stasiun penelitian Mentoko
5
Gambar 3.1
Peta lokasi penelitian
7
Gambar 3.2
Ilustrasi kuadran strata ketinggian tajuk
11
Gambar 3.3
Plot profil habitat
12
Gambar 4.1
Individu orangutan
14
Gambar 4.2
Jelajah harian orangutan di Mentoko
16
Gambar 4.3
Jelajah harian orangutan di Prefab
16
Gambar 4.4
Daerah jelajah dan inti Darwin (Mentoko) dengan fixed kernel 95% dan 50%, bandwith SCV (Square Cross Validation), grid cell 1 x 1 m
18
Gambar 4.5
Daerah jelajah dan inti Bayur (Prefab) dengan fixed kernel 95% dan 50%, bandwith SCV (Square Cross Validation), grid cell 1 x 1 m
19
Gambar 4.6
Tumpang tindih daerah jelajah Darwin-Putri di Mentoko
21
iii
Gambar 4.7
Tumpang tindih daerah jelajah Bayur-Labu dan Bayur-Mawar di Prefab
21
Gambar 4.8
Pemanfaatan strata tajuk di Mentoko dan Prefab
23
Gambar 4.9
Dendogram kesamaan komunitas vegetasi di Mentoko dan Prefab
26
Gambar 4.10
Profil habitat plot SM di Mentoko
26
Gambar 4.11
Profil habitat plot PEK di Mentoko
27
Gambar 4.12
Profil habitat plot E di Mentoko
27
Gambar 4.13
Profil habitat plot TJ di Prefab
28
Gambar 4.14
Profil habitat plot SG di Prefab
28
Gambar 4.15
Profil habitat plot SMP di Prefab
29
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
Jelajah harian Darwin di Mentoko
34
Lampiran 2
Jelajah harian Putri di Mentoko
35
Lampiran 3
Jelajah harian JP4 di Mentoko
36
Lampiran 4
Jelajah harian Bayur di Prefab
37
Lampiran 5
Jelajah harian Labu di Prefab
38
Lampiran 6
Jelajah harian Mawar di Prefab
39
Lampiran 7
Daerah jelajah Putri di Mentoko
40
Lampiran 8
Daerah jelajah JP4 di Mentoko
41
Lampiran 9
Daerah jelajah Labu di Prefab
42
Lampiran 10
Daerah jelajah Mawar di Prefab
43
iv
31
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Orangutan merupakan kera besar satu- satunya yang hidup di Asia. Hidup secara arboreal di hutan-hutan tropis Kalimantan dan Sumatra. Orangutan menunjukkan kecenderungan kuat dalam mengkonsumsi buah-buahan (Yamagiwa 2004), sehingga dikualifikasikan sebagai frugivora dan generalis. Orangutan diklasifikasikan ke dalam dua spesies yang berbeda, yaitu Pongo abelii (Lesson, 1827) di Sumatra dan Pongo pygmaeus Linnaeus 1760 di Kalimantan (Delgado dan Schaik 2000; Groves 2001; Zhang et al. 2001), orangutan Kalimantan dibagi menjadi tiga sub-spesies, yaitu: Pongo pygmaeus pygmaeus (Linnaeus, 1760) di bagian Barat laut Kalimantan dan Serawak, Pongo pygmaeus wurmbii (Tiedemann, 1808) di Barat daya Kalimantan dan Pongo pygmaeus morio (Owen, 1837) di Timur Kalimantan dan Sabah (Warren et al. 2001). Berdasarkan daftar merah The International Union for Conservation of Nature (IUCN) 2013, status orangutan Kalimantan dinyatakan genting atau “endangered” (Ancrenaz et al. 2008). Begitu juga dalam Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) 2013, orangutan Kalimantan masuk dalam daftar Appendix I, dilindungi oleh UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya, PP No. 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, dan PP No. 8 tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar untuk melindungi keberadaan orangutan dan habitatnya. Taman Nasional Kutai (TN Kutai) adalah salah satu habitat penting Pongo pygmaeus morio yang ada di Kalimantan Timur dengan luas areal 198.629 ha. Areal yang berbatasan dengan TN Kutai dahulunya merupakan habitat alami orangutan, namun sudah berubah fungsi menjadi Hak Pengusaha Hutan Tanaman Industri (HPHTI), tambang batubara, migas, pupuk dan pemukiman. Dengan adanya konversi lahan di areal perbatasan tersebut, ditambah lagi dengan terjadinya perambahan dan dua kali kebakaran hutan (1982/83; 1997/98) di dalam areal TN Kutai menyebabkan terjadinya penurunan kualitas habitat yang dapat berdampak pada populasi dan perilaku orangutan. Populasi orangutan di TN Kutai saat ini diperkirakan sekitar 600 individu dalam luasan 75.000 ha (Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan 2007-2017, 2009). TN Kutai memiliki dua Stasiun Penelitian Orangutan yang masih aktif, yaitu Mentoko dan Prefab. Wilayah orangutan di kedua stasiun tersebut adalah berbeda menurut jangka waktu habituasi dan intensitas gangguan oleh manusia (Kabangnga 2010). Prefab telah digunakan sebagai areal penelitian selama lebih dari 20 tahun, dan saat ini juga dimanfaatkan sebagai salah satu tujuan wisata alam TN Kutai, sedangkan Mentoko digunakan kembali untuk aktivitas penelitian sejak tahun 2009. Penelitian Pongo pygmaeus morio di TN Kutai, dimulai sejak tahun 1970 oleh Peter Rodman, kemudian dilanjutkan oleh peneliti-peneliti lain sampai saat ini. Berdasarkan penelitian- penelitian sebelumnya diketahui bahwa orangutan kutai memiliki jelajah harian paling pendek dan daerah jelajah paling kecil jika dibandingkan dengan dua sub spesies Kalimantan lainnya (Singleton et al. 2009), dijumpai melakukan pergerakan terestrial di tanah dan pasca kebakaran mengkonsumsi kulit/kambium, tunas, daun muda, umbut dari pohon maupun liana
2
lebih banyak dari subspesies yang lain (Rodman 1977; Cambell 1992; Suzuki 1994; Kanamori at al. 2010). Namun demikian pembaruan informasi tentang pola pemanfaatan ruang (horizontal-vertikal) orangutan di TN Kutai belum banyak dilakukan, sehingga membuat penelitian ini penting guna meningkatkan pemahaman yang lebih baik dalam mendukung konservasi dan perlindungan habitat dan orangutan yang efektif. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Pemanfaatan ruang horizontal oleh orangutan morio yang meliputi: daily range, home range, core areal dan overlapping; 2. Pemanfaatan ruang vertikal yang meliputi penggunaan strata ketinggian dan preferensi pengguaaan tajuk oleh orangutan morio; 3. Kondisi habitat yang aktif digunakan, meliputi struktur vegetasi dan kesamaan komunitas vegetasi penyusun habitat. 1.3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang dapat digunakan untuk mendukung perlindungan dan konservasi Pongo pygmaeus morio, baik dalam pengambilan kebijakan maupun pengembangan program in-situ di TN Kutai, Kalimantan Timur. Selain itu, kiranya dapat menjadi sumbangan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi program studi pascasarjana Primatologi IPB dalam mendukung konservasi primata di Indonesia.
31
2 KONDISI UMUM TAMAN NASIONAL KUTAI
2.1 Sejarah Kawasan Kawasan ini semula berstatus sebagai hutan persediaan dengan luas 2.000.000 ha berdasarkan Surat Keputusan (SK) Pemerintah Belanda (GB) Nomor: 3843/AZ/1934, yang kemudian oleh Pemerintah Kerajaan Kutai ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa Kutai melalui SK (ZB) Nomor: 80/22-ZB/1936 dengan luas 306 000 ha. Mentri Kehutanan mengubah status Suaka Margasatwa Kutai menjadi Taman Nasional Kutai pada tahun 1995 melalu Surat Penunjukan SK Nomor: 352/Kpts-II/1995 dengan luasan 198.629 ha. TN Kutai membentang di sepanjang garis khatulistiwa mulai dari pantai Selat Makassar sebagai batas bagian timur menuju arah daratan sepanjang kurang dari 65 km. Kawasan ini juga dibatasi Sungai Sangata di sebelah utara, sebelah selatan dibatasi Hutan Lindung Bontang dan HPH PT Surya Hutani Jaya, dan sebelah barat dibatasi eks HTI PT Kiani Lestari dan HPH PT Surya Hutani Jaya. 2.2 Letak dan Luas TN Kutai (Gambar 2.1) secara geografis berada di 07’54” - 033’53” LU dan BT, sedangkan secara administrasi pemerintahan, kawasan dengan luas 198 629 ha ini terletak di Kabupaten Kutai Timur ( 80%), Kabupaten Kutai Kartanegara ( 17.48%) dan Kota Bontang ( 2.52%). 11658’48”-11735’29”
Gambar 2.1 Peta Taman Nasional Kutai, Kalimantan Tmur Deskripsi penutupan lahan dari interpretasi citra landsat yang dilakukan pada bulan September 2005, menunjukkan:
4
1) Hutan primer meliputi 29.78% dari luas kawasan. terdapat di bagian tengah kawasan dan menyebar ke arah barat sampai utara. 2) Hutan sekunder meliputi 43.22% dari luas kawasan. terdapat di bagian barat kawasan yang berbatasan dengan wilayah konsesi HPH. 3) Belukar meliputi 14.56% dari luas kawasan. akibat kebakaran dan aktivitas pembalakan. pemukiman. pertanian lahan kering oleh masyarakat. 4) Semak meliputi 1.23% dari luas kawasan. 5) Rawa meliputi 2.37% dari luas kawasan. 6) Belukar rawa meliputi 0.91% dari luas kawasan. 7) Mangrove meliputi 2.58% dari luas kawasan 8) Tanah terbuka meliputi 0.17% dari luas kawasan. 9) Konversi mangrove menjadi lahan terbuka meliputi 0.61% dari luas kawasan. 10) Tambak meliputi 0.08% dari luas kawasan. 11) Pertanian campuran 3.49% dari luas kawasan. 12) Lahan terbangun meliputi 0.29% dari luas kawasan. 13) Tubuh air meliputi 0.04% dari luas kawasan. 14) Areal yang belum terdata meliputi 0.32% dari luas kawasan. 2.3 Topografi Secara umum TN Kutai memiliki topografi datar yang tersebar hampir di seluruh luasan kawasan (92%) dan topografi bergelombang hingga berbukit-bukit tersebar pada bagian tengah kawasan yang membentang arah utara selatan (8%). Sebagian besar kawasan memiliki kelas ketinggian antara 0-100 m dpl (61%) yang tersebar pada bagian timur dan barat kawasan (Gambar 2.2). Tingkat ketinggian bagian tengah kawasan antara 100-250 m dpl (39%).
Gambar 2.2 Peta Topografi Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur
5
2.4 Geologi Berdasarkan peta tanah Kalimantan Timur (1986), jenis tanah yag terdapat pada kawasan TN Kutai adalah alluvial dan organosol gleihumus (daratan), podsolik merah kuning (bukit dan pegunungan lipatan), podsolik-latosol-litosol (pegunungan patahan). Sedangkan formasi geologi kawasan ini sebagian besar meliputi tiga bagian berdasarkan peta geologi Kalimantan Timur, yaitu: 1) Bagian pantai terdiri dari batuan sedimen alluvial induk dan terumbu karang. 2) Bagian tengah terdiri dari batuan miosen atas. 3) Bagian barat terdiri dari batuan sedimen bawah. 2.5 Iklim dan Hidrologi Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, TN Kutai beriklim tipe B dengan nilai Q berkisar antara 14.3 %-33.3 %. Curah hujan rata-rata setahun 1543.6 mm atau rata-rata 128.6 m dengan rata-rata hari hujan setahun 66.4 hari atau ratarata bulanan 5.5 hari. Suhu rata-rata adalah 26⁰C (berkisar antara 21-34⁰ C) dengan kelembaban relatif 67%-90% dan kecepatan angin normal rata-rata 2-4 knot/jam (Rencana Kawasan Pariwisata TN Kutai 1995). Informasi curah hujan dan suhu di stasiun penelitian Mentoko yang dikelola oleh Proyek Orangutan Kutai tahun 20102012 pada Gambar 2.3. TN Kutai dialiri oleh sungai-sungai, antara lain: Sungai Sangata, Sungai Banu Muda, Sungai Sesayap, Sungai Sangkima, Sungai Kandolo, Sungai Selimpus, Sungai Teluk Pandan, Sungai Palakan, Sungai Menamang Kanan, Sungai Menamang Kiri, Sungai Tawan, Sungai Melawan dan Sungai Santan.
Gambar 2.3 Rata- rata curah hujan dan suhu tahun 2010-2012 di stasiun penelitian Mentoko 2.6 Ekosistem Flora Tipe-tipe ekosistem yang terdapat di TN Kutai menurut Wirawan (1985), terbagi atas 6 (enam) tipe vegetasi utama yaitu : 1) Vegetasi Hutan Pantai Terdapat di sepanjang pantai Selat Makassar. Jenis dominan adalah bakaubakauan Rhizophora spp. dan tancang Bruguiera spp. Jenis vegetasi yang terdapat pada daerah yang berpasir di sepanjang garis pantai antara lain: cemara laut (Causuarina equisetifolia) dan waru laut (Hibiscus tiliaceus).
6
2) Vegetasi Hutan Rawa Air Tawar Umumnya terdapat pada daerah kantong-kantong hutan sepanjang sungai yang mengandung endapan lumpur banjir. Jenis pohon yang tumbuh di daerah ini adalah jambu-jambuan (Eugenia spp.), pulai (Alstonia spp.), ara (Ficus spp.), simpur (Dillenia spp.) dan perupuk (Lophopetalum spp.). 3) Vegetasi Hutan Kerangas Hutan kerangas terdapat di daerah bukit sebelah barat Teluk Kaba. Vegetasi hutannya tumbuh kurang baik, pohon-pohonnya kecil-kecil akibat kekeringan dan terbakar. Jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di daerah ini adalah adalah meranti (Shorea spp.), Ulin (Eusideroxylon zwageri), terap (Artocarpus spp.), mangga hutan (Mangifera spp.) dan jambu-jambuan (Eugenia spp.). 4) Vegetasi Hutan Tergenang Bila Banjir Umumnya terdapat pada daerah sepanjang sungai yang drainase tanahnya kurang baik sampai sedang. Jenis tumbuhan yang terdapat pada daerah ini adalah binuang (Octomeles sumatrana), bayur (Pterospermum javanicum) dan ketapang (Terminalia spp.) 5) Vegetasi Hutan Campuran Ulin-Meranti-Kapur Tipe vegetasi ini terdapat di bagian barat TN Kutai yang tumbuh pada daerah dengan drainase kurang baik sampai sedang dan mencakup hampir 50% dari luas Taman Nasional Kutai. Jenis pohon antara lain: ulin (Eusideroxylon zwageri), kapur (Dryobalanops spp.) dan lain-lain. 6) Vegetasi Hutan Dipterocarpaceae Campuran Tipe vegetasi ini terdapat didaerah yang drainase tanahnya baik. Jenis-jenis pohon yang terdapat didaerah ini antara lain adalah meranti Shorea spp, kapur (Dryobalanops palembanica), keruing (Dipterocarpus spp.), banggeris (Koompassia exelsa), tebu hitam (Koordersiodendron pinnatum), puspa (Schima wallichii), pulai (Alstonia spp.), simpur (Dillenia spp.) dan kayu arang (Diospyros spp.). 2.7 Fauna Menurut Wirawan (1985), jenis-jenis fauna yang terdapat di TN Kutai antara lain: 1) Primata, diantaranya adalah orangutan (Pongo pygmaeus morio), bekantan (Nasalis larvatus), owa-owa (Hillobates muelleri), klossi (Presbytis rubicunda), kukang (Nycticebus coucang), monyet abuabu (Macaca fascicularis), dan bangkui (Macaca nemestrina). 2) Ungulata, diantaranya adalah banteng (Bos javanicus), rusa (Rusa unicolor),kijang (Muntiacus muntjak),dan kancil (Tragulus javanicu). 3) Carnivora, diantaranya adalah beruang madu (Helarctos malayanus). 4) Reptilia diantaranya: buaya muara (Crocodylus porosus), dan buaya senyulong (Crocodylus schlegellii). 5) Aves, tercatat 300 jenis burung dalam 47 suku. Jenis-jenisnya antara lain rangkong badak (Buceros rhinoceros), cekakak (Halcyon spp), raja udang (Alcedo sp.), tiong emas (Gracula religiosa), bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus), pecuk ular (Anhinga spp), punai (Treron spp), peregam (Ducula spp), burung kipas (Rhipidura spp.), elang laut perut putih (Haliaetus leucogaster), ayam hutan (Gallus spp.).
31
3 METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September 2012. di stasiun penelitian Mentoko (hutan sekunder tua, 00⁰33’33.2”- 00⁰33’56.6” LU dan 117⁰25’57”- 117⁰26’34” BT) dan Prefab (hutan primer, 00⁰33’1”- 00⁰32’36.5” LU dan 117⁰27’28.7”- 117⁰28’1” BT), TN Kutai, Kalimantan Timur (Gambar 3.1).
Gambar 3.1 Lokasi penelitian Stasiun penelitian Mentoko dan Prefab terletak saling berdekatan (± 6 km dari timur ke barat), namun demikian kondisi orangutan berbeda berdasarkan waktu habituasinya. Stasiun penelitian Mentoko pertama kali didirikan sekitar tahun 1970 oleh Peter Rodman dan aktif sampai dengan tahun 1986. Kemudian diaktifkan kembali tahun 2009 sampai saat ini oleh Anne E. Russon Profesor psikologi dari Universitas York, Canada. Karena kawasan baru dimanfaatkan kembali untuk aktifitas penelitian, maka orangutan di Mentoko masih lebih sensitif dengan keberadaan manusia sehingga memerlukan waktu habituasi lebih lama. Stasiun penelitian Prefab aktif digunakan sebagai tempat penelitian sejak tahun 1983 sampai sat ini dengan keberadaan Dr. Akira Suzuki dari Universitas Kyoto, Jepang. Prefab juga merupakan salah satu kawasan wisata untuk TN Kutai, sehingga orangutan yang menetap disana lebih terbiasa dengan keberadaan manusia sehingga waktu yang diperlukan untuk habituasi tidak selama di Mentoko. 3.2 Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: Global Positioning System (GPS) receiver Garmin 60 CSx, kompas Suntou, teropong Brunton 8 x 40 mm, jam tangan Casio, kamera digital, roll meter, pita diameter, tagging tape, alumunium tag, paku, parang, lembar observasi.
8
Bahan yang digunakan adalah kertas koran, tali rafia, kantong plastik ukuran 40 x 100 cm dan ziplock untuk sampel buah dan bunga, label nomor, kertas millimeter blok, peta TN Kutai Kalimantan Timur. Perangkat alat lunak yang digunakan: Mapsource, ArcGIS 10.1, Geospasial Modelling Environment, Minitab 17, Corel Draw X4 dan Microsoft Office Excel 2010. 3.3 Pengumpulan Data 3.3.1 Pencarian dan Habituasi Pencarian dilakukan apabila: i) orangutan sasaran belum ditemukan di lokasi penelitian, ii) menghilang saat proses habituasi atau pengambilan data sedang berlangsung atau masa pengambilan data untuk satu individu telah berakhir. Pencarian dilakukan dengan berjalan pelan menelusuri jalur-jalur transek yang sudah tersedia baik di lokasi penelitian atau mencari ke daerah jelajah yang biasa dilewati oleh individu target yang telah diketahui dari penelitian sebelumnya. Misalnya daerah pinggiran sungai, mendatangi liana dan pohon pakan penting yang sedang berbuah. Mendengar patahan dahan atau vokalisasi, melihat pergerakan perpindahan dari satu pohon ke pohon lainnya atau pergerakan makan di antara vegetasi jahe-jahean (Zingiberaceae), mencium bau orangutan (urin, tinja, tubuh) dan mencari sisa-sisa makanan di tanah, juga sangat membantu pengamat untuk menemukan orangutan. Setelah orangutan target ditemukan, pengamat mulai menyesuaikan diri (habituasi) dengan orangutan target, kemudian mengikuti dan sebisa mungkin tidak mengganggu aktifitasnya. Identifikasi orangutan dilakukan dengan mengenali ciriciri (pola dan warna rambut) atau tanda khusus pada fisik jika ada (luka atau cacat tubuh), dibantu asisten peneliti senior dari masing-masing stasiun penelitian. Masa habituasi tiap orangutan target bervariasi, tergantung dari berapa lama individu tersebut pernah diikuti peneliti-peneliti sebelumnya di masing-masing stasiun penelitian. Kemudian dilakukan pengamatan dan pencatatan jelajah harian dan aktivitasnya dalam memanfaatkan strata tajuk. Pendugaan umur dan jenis kelamin dilakukan menggunakan klasifikasian MacKinnon (1974), yang mengklasifikasikan umur orangutan berdasarkan berat badan dan karakteristik masing- masing jenis kelamin, seperti di bawah ini: 1) Bayi; umurnya berkisar 0-2.5 tahun dengan berat badan diperkirakan 2-15 kg. Badan sangat kecil dan menempel dengan induk dan sangat bergantung untuk makan dan pergerakan. 2) Anak; kisaran umur 2.5-7 tahun dengan berat badan diperkirakan 10-30 kg. Masih bertubuh kecil, sudah tidak menempel dan bergantung dengan induk untuk makan dan pergerakan, namun masih bersama induk. 3) Remaja; umurnya berkisar 7-10 tahun dengan berat badan 20-40 kg. Ukuran badan sedang dan sudah mandiri dari induk. 4) Dewasa (betina); umurnya > 8 tahun dengan berat badan 35-50 kg. Berbadan sedang sampai besar, dan biasanya bersama anaknnya. 5) Pradewasa (jantan); umurnya berkisar 10-15 tahun dengan berat 40-55 kg. Badan besar, dengan bantalan pipi keras yang belum berkembang. 6) Dewasa (jantan); umurnya > 15 tahun dengan berat badan di atas 45-100 kg. Berbadan sangat besar dengan bantalan pipi yang sudah berkembang, berjanggut, memiliki kantung suara dan rambut yang panjang.
9
Metode yang digunakan untuk mengamati perilaku adalah Focal animal sampling (Lehner 1979; Martin-Beteson 2007; Morrogh-Bernard et al. 2009), yaitu dengan mengikuti dan mengamati satu individu orangutan, mulai dari keluar sarang di pagi hari sampai individu tersebut kembali membuat sarang untuk tidur pada saat menjelang malam. Pencatatan dilakukan secara continuous (Martin-Beteson 2007; MorroghBernard et al. 2009), yaitu dengan mencatat setiap perilaku individu berdasarkan perubahan tingkah laku dengan menggunakan satuan waktu jam dan menit. Metoda ini dipilih dengan tujuan untuk mendapatkan pola, durasi dan frekuensi aktifitas yang mendekati sebenarnya. Setiap individu yang ditemukan, masing-masing 5 sampai 7 hari secara berturut-turut apabila memungkinkan. Hal ini dilakukan agar menjaga orangutan tersebut terhindar dari cekaman akibat tingkat perjumpaan dengan manusia yang tinggi. Aktivitas harian orangutan yang diamati dibagi menjadi empat aktivitas utama (William dan Dunbar 1999), yaitu: 1) Pergerakan: meliputi seluruh waktu yang digunakan individu target dalam melakukan gerak berpindah dari satu cabang pohon ke cabang lainnya ataupun dari satu tempat ke tempat lain. Seperti: berjalan bipedal atau quadrupedal, berayun-ayun dari satu cabang pohon ke cabang pohon yang lain, memanjat atau berjalan dengan menggoyangkan/ membengkokkan pohon. 2) Makan: meliputi seluruh waktu yang digunakan untuk memilih, memegang, mengambil dan memasukkan makanan ke dalam mulut hingga mengunyahnya. Misalnya: buah, (matang dan mentah), bunga, daun tua, makan daun muda, serangga, kulit kayu (Russon 2009). 3) Istirahat: meliputi seluruh waktu yang digunakan orangutan target dengan relatif tidak melakukan kegiatan dalam periode waktu tertentu baik di dalam maupun di luar sarang, seperti: merebahkan diri, tidur, duduk, berdiri maupun menggantung. 4) Sosial: meliputi seluruh waktu yang digunakan individu target dalam melakukan kontak dengan individu lain. Beberapa kategori yang dimasukkan ke dalam aktivitas sosial antara lain : agresif, bermain, menelisik dan reproduksi. Informasi lain yang dicatat dalam borang antara lain: cuaca harian (cerah/mendung/hujan), waktu saat aktivitas dilakukan, posisi ketinggian (dalam meter) saat melakukan aktivitas, jarak antara pohon sarang malam ke pohon pakan pertama pada pagi harinya dan keberadan primata lain jika ada (jenis dan jarak dari orangutan yang diamati). 3.3.2 Perekaman Jelajah Harian (Day Range) Perekaman data jelajah dilakukan terhadap enam individu orangutan, tiga individu di stasiun Mentoko dan tiga individu di stasiun Prefab. Perolehan data jelajah harian dilakukan melalui perekaman alur pergerakan aktivitas penuh orangutan target (track) dalam satu hari, yaitu sejak orangutan keluar dari sarang pagi hari sampai masuk ke sarang sore/malam harinya. Selain perekaman track, juga dilakukan perekaman: i) titik koordinat pergerakan orangutan dengan interval waktu 15 menit. ii) titik koordinat untuk pohon sarang dan pohon pakan serta catatan tambahan tentang jenis dan karakteristik pohonnya (tinggi pohon, tinggi bebas cabang, diameter setinggi dada) untuk mengetahui apakah terdapat preferensi terhadap jenis pohon tertentu.
10
Pohon sarang, yaitu pohon yang digunakan orangutan untuk membuat sarang baik sarang siang maupun sarang malam. Penentuan pohon pakan penting mengacu pada Galdikas (1988), yang mengkategorikan pohon pakan penting apabila orangutan yang diamati melakukan aktifitas makan pada pohon tersebut dalam jangka waktu lebih dari 10 menit. Pengambilan titik koordinat dilakukan bersamaan dengan pengambilan data perilaku, peneliti dibantu oleh satu orang asisten lapangan. 3.3.3 Penentuan Daerah Jelajah (Home Range) dan Inti (Core Area) Daerah jelajah orangutan dimodelkan melalui analisis spasial. Data perekaman jelajah orangutan dikonversi menjadi data titik (point). Setiap titik merepresentasikan keberadaan orangutan target di suatu tempat berdasarkan durasi waktu. Data titik setiap individu digabung (merge) sehingga diperoleh data daerah jelajah selama penelitian dilakukan. Data tersebut digunakan untuk analisis spasial penentuan daerah jelajah dan daerah inti. Analisis spasial yang digunakan adalah Kernel Density Estimation (KDE) yang terdapat pada program Geospasial Modelling Environment (GME) Bayer (2012). KDE digunakan untuk menghitung kepadatan di lingkungan sekitar suatu fitur. Untuk menghasilkan daerah jelajah digunakan fungsi perhitungan volume permukaan. Dalam penelitian ini digunakan nilai 0.95 yang berarti bahwa home range dihasilkan dari 95% volume permukaan data KDE. Sementara core area digunakan nilai 0.5. Bandwith SCV (Square Cross Validation) dan gride cell 1x1m ntuk membuat tampilan gambar yang halus. 3.3.4 Daerah Tumpang Tindih (Overlapping) Untuk memperoleh overlapping dari masing-masing home range dan core area individu orangutan, dilakukan operasi tumpang tindih (union, dissolved) data spasial (daerah jelajah dan daerah inti) melalui aplikasi ArcGIS 10.1, dan informasi derivatif dari masing-masing proses tumpang susun dapat dihasilkan dan disimpan pada atribut data spasial. 3.3.5 Pemanfaatan Strata Ketinggian dan Tajuk Strata ketinggian yang digunakan dikelompokan berdasarkan stratifikasi yang terdapat di hutan hujan tropis (Soerianegara & Indrawan 1982; Ewusie 1990; Arief 1994), diuraikan sebagai berikut. 1) Strata A, yaitu lapisan tajuk hutan paling atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya >30m, bertajuk lebar dan membentuk lapisan discontinue. 2) Strata B, yaitu lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh pepohonanyang tingginya 20-30 m, bentuk tajuk membulat atau memanjang, cenderung membentuk lapisan continuous. 3) Strata C, yaitu lapisan tajuk ketiga dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 4-20 m, mempunyai bentuk tajuk yang berubah-ubah tetapi membentuk suatu lapisan tajuk yang tebal, dan berasosiasi dengan berbagai populasi epifit, tumbuhan memanjat dan parasit (Vickery 1984). 4) Strata D, yaitu lapisan tajuk keempat dari atas yang dibentuk oleh tumbuhan semak, perdu dan anakan pohon, palma kecil, herba besar dan paku-pakuan besar yang tingginya 1-4 m.
11
5) Strata E, yaitu lapisan paling bawah yang dibentuk oleh tumbuhan penutup tana yang tingginya 0-1 m, memiliki keanekaragaman jenis sedikit. Strata tajuk yang digunakan oleh orangutan dibagi atas sembilan kuadran semu untuk mengetahui ada atau tidaknya preferensi terhadap posisi tertentu dalam ruang tajuk (Gambar 3.2). Data yang didapatkan disajikan dalam bentuk grafik dan dianalisis secara deskriptif.
Gambar 3.2 Ilustrasi kuadran strata ketinggian tajuk Keterangan: 1= tepi atas barat 2= tepi tengah barat 3= tepi bawah barat Tt= Tinggi total
4= tengah atas 5= tengah inti 6= tengah bawah Tbc = Tinggi bebas cabang
7= tepi atas timur 8= tepi tengah timur 9= tepi bawah timur D= Diameter
3.3.6 Habitat Diagram profil hutan dapat menunjukkan situasi nyata posisi pepohonan dalam hutan, sehingga dapat langsung dilihat ada tidaknya strata hutan secara visual dan kualitatif. Diagram profil hutan dibuat dengan meletakkan 3 plot di masingmasing areal penelitian. Posisi plot ditentukan dari beberapa daerah inti dari orangutan yang diikuti. Plot masing- masing berukuran 10 x 100 m, berbentuk empat persegi panjang (Gambar 3.3). Pembuatannya dimulai dengan menentukan posisi setiap pohon, mengukur tinggi total, diameter setinggi dada (±130 cm dari permukaan tanah), tinggi cabang pertama, serta mengukur proyeksi (penutupan) tajuk terhadap permukaan tanah dari sisi kanan, kiri, depan, dan belakang terhadap pohon.Kemudian menggambar arsitekturnya berdasarkan skala tertentu pada kertas millimeter blok, discan dan diolah menggunakan program Corel Draw 13.
12
Pengidentifikasian nama ilmiah setiap pohon yang ditemukan pada plot dibantu Dr. Kade Sidiyasa (Alm) dari Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumberdaya Alam Samboja, Kalimantan Timur.
Gambar 3.3 Plot profil habitat Data vegetasi ditabulasi dan dianalisis dengan menggunakan program Excel 2010 untuk mendapatkan nilai kerapatan, dominansi suku dan jenis. Analisa kesamaan struktur vegetasi antar daerah inti, baik di Mentoko maupun di Prefab, dilakukan dengan menggunakan statistik multivariate yang terdapat dalam program Minitab 17.
13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Individu Orangutan Selama pengamatan dijumpai 5 individu orangutan di Mentoko dan 6 individu orangutan di Prefab (Gambar 4.1 dan Tabel 4.1). Namun demikian, yang berhasil diikuti hanya 3 individu dari masing-masing lokasi dan hampir semua orangutan dijumpai di areal pinggiran sungai yang tidak jauh dari camp sedang makan dari pohon: sengkuang (Dracontomelon dao/Anacardiaceae), ara bendang (Ficus piramidata/Moraceae) dan dari liana: belaran (Merremmia mammosa/ Convolvulaceae), serapet (Mucuna sp/Leguminosae). Dari penelitian sebelumnya juga telah diindikasi bahwa jenis-jenis tersebut masuk dalam daftar pakan penting orangutan di Mentoko dan Prefab (Rodman 1977; Cambell 1992). Pencarian dan pengambilan data dimulai dari areal Mentoko pada bulan Mei, kemudian masuk pertengahan Mei sampai pertengahan Juni orangutan di Mentoko sangat sulit ditemukan maka diputuskan untuk mengambil data di Prefab dan kemudian kembali ke Mentoko setelahnya. Selama penelitian, individu orangutan di Prefab lebih mudah dijumpai dan diikuti daripada individu orangutan yang berada di Mentoko, hal tersebut dikarenakan orangutan di Prefab sudah lebih terhabituasi dengan aktivitas penelitian. Tabel 4.1 Jenis kelamin dan jumlah waktu pengamatan individu orangutan Individu
Jenis Kelamin
∑ hari ikut
∑ hari penuh
∑ waktu pengamatan (menit)
Mentoko Putri
Betina dewasa- anak
8
7
4907
Darwin
Jantan remaja
8
7
5389
JP4
Jantan pradewasa
4
3
2350
20
17
12646
Prefab Labu
Betina dewasa-bayi
7
7
4687
Bayur
Betina dewasa-anak
7
5
4031
Mawar
Betina dewasa-anak
7
6
3576
21
18
12294
Orangutan yang ditemukan lebih banyak adalah individu betina dewasa, hal tersebut dikarenakan oleh sifat orangutan betina dewasa yang cenderung memiliki daerah jelajah tetap (philopatric) dibandingkan dengan jantan yang cenderung menjelajah lebih jauh. Tidak ada satu pun dari orangutan jantan dewasa yang dijumpai berhasil diikuti karena perilakunya yang cenderung agresif terhadap keberadaan peneliti. Kendala lain yang ditemukan adalah adalakanya orangutan mencoba menghindar dari keberadaan peneliti yaitu dengan secara sengaja turun ke tanah dan lari masuk ke dalam semak, bambu-bambu dan menyeberang sungai melalui sambungan tajuk ataupun melewati jalur tebing sampai tidak bisa terlihat
14
lagi. Hal tersebut terjadi ketika mengikuti individu Darwin dan JP4 di Mentoko dan Bayur di Prefab.
Gambar 4.1 Individu orangutan Stasiun penelitian Mentoko danPrefab lokasinya terletak saling berdekatan (± 6 km dari timur ke barat), namun demikian kondisi orangutannya berbeda berdasarkan waktu habituasinya. Jumlah orangutan di Mentoko yang berhasil teridentifikasi sampai dengan 2013 sekitar 42 individu. Sedangkan jumlah orangutan yang telah teridentifikasi di Prefab sampai dengan sekarang adalah sekitar 30 individu. 4.2 Jelajah Harian (Daily Range) Jelajah harian didefinisikan oleh Galdikas (1986) sebagai jarak yang benarbenar ditempuh orangutan semenjak keluar dari sarang malam pada pagi hari sampai masuk ke sarang untuk malam berikutnya. Hasil analisis dengan ArcGIS 10.1 menjukan bahwa rata- rata jarak jelajah yang ditempuh individu orangutan yang ada di areal Mentoko adalah 0.503 km/hari (selang 0.339-0.749 km/hari) dan di areal Prefab adalah 0.589 km/hari (selang 0.563-0.633 km/hari). Kecepatan ratarata yang ditempuh di Prefab adalah 0.055 km/jam (selang 0.031-0.073 km/jam), sedangkan di Prefab adalah 0.049 km/jam (selang 0.39-0.058 km/jam). Hal ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilaporkan oleh Rodman (1977), Mitani (1989) dan Cambell (1992) di Mentoko-Prefab, dimana rata-rata jarak tempuh orangutan dari penelitian ini adalah lebih panjang. Tabel 4.2 memperlihatkan perbandingan rata-rata jelajah harian orangutan dari hasil penelitian sekarang dengan hasil penelitian di Mentoko dan Prefab sebelumnya. Rodman (1977) melakukan penelitian sebelum terjadi kebakaran pertama tahun 1983/1983, dimana habitat masih terjaga secara alami dan orangutan rata- rata menempuh jarak 0.305 km dalam sehari. Mitani (1989) melaporkan enam tahun setelah kebakaran kedua (1997/1998), jelajah harian orangutan di Mentoko
15
menjadi lebih panjang, yaitu 0.480 km per hari. Sepuluh tahun setelahnya, sudah banyak pohon-pohon muda tumbuh membentuk hutan sekunder, Cambell (1992) melaporkan bahwa jarak jelajah harian orangutan kembali mendekati selang awal yaitu 0.379 km. Singleton (2000) menyatakan bahwa lokasi sumber pakan yang tersebar disuatu habitat dapat mempengaruhi pola jelajah. Tabel 4.2 Perbandingan rata-rata jelajah harian orangutan dari beberapa penelitian di Mentoko dan Prefab
No
Peneliti
Tahun
Waktu (bulan)
1
Rodman
1977
15
2 3
Mitani Cambell
1989 1992
18 12
Jelajah harian (km)
Jumlah orang utan
Metode
Lokasi
0.305
15
Grid
Mentoko
0.480
18
Grid
Mentoko
0.379
12
Grid
Mentoko
0.880
4
GPS
Prefab
GPS
Mentoko
GPS
Frefab
4
Krisdijantoro
2008
5a
Ferisa
2012
3
0.504
3
5b
Ferisa
2012
2
0.589
3
4
Ketiga hasil tersebut memperlihatkan bahwa orangutan bisa menyesuaikan jelajah hariannya dengan kondisi habitat. Pada habitat sangat terganggu jarak jelajah harian semakin panjang karena diperlukan untuk mencari makan dan begitu pula sebaliknya. Namun demikian, hampir 30 tahun setelah kebakaran kedua terjadi, jarak jelajah harian orangutan di Mentoko-Prefab dilaporkan lebih panjang lagi. Hal tersebut bisa saja terjadi karena adanya gangguan lain terhadap habitatnya seperti illegal logging dan konversi lahan disekitar TN Kutai, sehingga kualitas habitat yang menurun membuat orangutan harus mencari makan lebih jauh. Pada waktu tertentu, orangutan di Mentoko maupun di Prefab tidak dijumpai di pinggiran sungai maupun di sekitar stasiun penelitian. Hal ini pun terjadi pada saat penelitian ini dilakukan, dimana orangutan tidak ditemukan dimanapun di sekitar areal stasiun penelitian selama satu bulan. Sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti sejauh mana orangutan di Mentoko dan Prefab menjelajah. Kemungkinan lain karena metode yang digunakan untuk menghitung jarak jelajah yang berbeda. Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa selain waktu penelitian dan jumlah orangutan yang diikuti berbeda, kedua hasil analisis jelajah harian yang direkam menggunakan GPS terlihat lebih panjang daripada yang menggunakan system grid. Hal tersebut tentunya perlu diteliti lebih lanjut, karena penelitian ini hanya bisa melaporkan jarak jelajah harian orangutan pada musim dimana penelitian dilakukan.
16
Gambar 4.2 Jelajah harian orangutan di Mentoko.
Gambar 4.3 Jelajah harian orangutan di Prefab.
17
Gambar 4.2 memperlihatkan pola pergerakan orangautan yang ada di Mentoko (Darwin, Putri dan JP4). Gambar 4.3 memperlihatkan pergerakan orangutan yang ada di Prefab (Bayur, Mawar dan Labu). Pada kedua gambar jelas terlihat bahwa daerah pinggiran sungai lebih intensif digunakan dibandingkan dengan daerah yang bukan pinggir sungai. Di Prefab pergerakan orangutan benar- benar terpusat di tanjung atau areal dataran rendah yang menjorok ke sungai, karena di daerah tersebut memiliki pakan yang bervariasi mulai dari jenis pohon, liana maupun herba. Cambell (1992) melaporkan hal yang serupa, dan menambahkan bahwa areal penelitian di sebelah timur (Prefab) adalah areal yang sering digunakan dibandingkan dengan areal penelitian yang di sebelah Barat (Mentoko). Jika dilihat per lokasi dan per individu, rata-rata jelajah harian terpendek yang ditemukan di Mentoko adalah JP4 yaitu 0.339 km/hari dengan kecepatan 0.031 km/jam dan yang terpanjang adalah Darwin 0.749 km/hari dengan kecepatan 0.062 km/jam. JP4 adalah satu-satunya jantan pradewasa yang dijumpai pada saat itu. Ditemukan di pinggiran sungai yang jaraknya ± 1 km ketimur dari lokasi ditemukannya individu Darwin pada saat memakan liana belaran (Merremia mammosa). Cambell (1992) menyebutkan jantan pradewasa memiliki jelajah harian yang panjang, namun ini tidak terlihat pada JP4, pergerakannnya pun sangat lamban. Namun hal tersebut dapat dijelaskan karena individu ini hanya berhasil diikuti selama 3 hari secara penuh sehingga tidak cukup untuk bisa melihat jarak jelajah sebenarnya. Di Prefab, jelajah harian yang terpendek dimiliki oleh Labu yaitu 0.563 km/hari dengan kecepatan sekitar 0.039 km/hari, sedangkan yang memiliki jelajah harian terpanjang adalah Bayur yaitu 0.633 km/hari dengan kecepatan 0.051 km/jam. Dari ketiga betina dewasa dengan anak yang di temukan di Prefab, individu Bayur yang sedikit sulit untuk diikuti, karena kecendrungannya untuk menghidar dari peneliti dengan melewati jalur-jalur yang sulit seperti bambubambu, pinggiran tebing, sungai-sungai. Hal yang serupa dilakukan oleh individu Darwin di Mentoko. Hal menarik adalah, kedua individu ini juga ditemukan melakukan pergerakan terestrial di tanah. Bayur dijumpai jalan di tanah melintasi areal terbuka menuju pohon ara bendang (Ficus piramidata) yang berada di pinggiran sungai. Kasus berbeda untuk Darwin, individu ini ditemukan jalan dan berlari di tanah ketika ingin menghindar dari penglihatan peneliti. Bayur terlihat lebih biasa di tanah daripada Darwin, jika melihat perbedaan waktu habituasi di kedua lokasi tersebut. Rodman (1977) dan Mitani (1989) juga menjumpai orangutan di Mentoko yang melakukan pergerakan terestrial di tanah. Untuk peta pergerakan dari masing-masing individu baik di Mentoko maupun di Prefab disajikan pada Lampiran 1-6. 4.3 Daerah Jelajah (Home Range) dan Inti (Core Area) Analisis Kernell Density Estimation (kde) menunjukkan bahwa rata-rata luas home range orangutan Mentoko adalah 0.169 km2 (selang 0.045 km2-0.401 km2) dan di Prefab rata-rata seluas 0.117 km2 (selang 0.061 km2-0.197 km2). Daerah jelajah yang paling luas di areal Mentoko dimiliki oleh individu Darwin yaitu 0.401 km2 dengan daerah inti 0.113 km2 (Gambar 4.4). Daerah jelajah paling luas dimiliki oleh individu Bayur yaitu 0.197 km2 dengan luas daerah inti 0.079 km2 (Gambar 4.5). Daerah jelajah yang diperoleh masih sangat kecil jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, mengingat waktu penelitian yang pendek
18
ditambah sulitnya menemukan individu yang bisa diikuti. Sehingga, luas home range yang didapatkan pada penelitian ini merupakan luasan jelajahnya pada musim itu saja. Metode baru pertama kali digunakan di Mentoko dan Prefab pada penelitian ini.
Gambar 4.4 Daerah jelajah dan inti Darwin (Mentoko) dengan fixed kernel 95% dan 50%, bandwith SCV (Square Cross Validation),grid cell 1 x 1 m Cowlishaw dan Dunbar (2000) menyatakan bahwa ukuran dan fitur dari luas home range ditentukan terutama oleh faktor-faktor ekologi, seperti kelimpahan pakan dan distribusi sumber daya penting temporal berupa pakan, air atau perlindungan (Altmann 1974). Daerah inti sangat bergantung pada kelimpahan dan distribusi pakan, sehingga lokasi dan ukurannya kemungkinan bersifat temporal. Saat pergantian musim, produktifitas buah akan berpindah pada areal yang lain, keberadaan individu orangutan pun akan ikut berpindah. Dengan demikian, sama halnya dengan home range, ukuran dan lokasi daerah inti yang dihasilkan dari penelitian ini merupakan hasil pada waktu penelitian ini saja. Daerah inti digambarkan dengan warna kuning sampai ke merah.
19
Rata-rata luas daerah inti di areal Mentoko adalah 0.045 km2 (selang 0.007 km2-0.113 km2), dan di Prefab adalah 0.038 km2 (selang 0.009 km2-0.079 km2). Core area yang paling luas di Mentoko dimiliki individu Darwin, sedangkan di Prefab dimiliki individu Bayur.
Gambar 4.5 Daerah jelajah dan inti Bayur (Prefab) dengan fixed kernel 95% dan 50%, bandwith SCV (Square Cross Validation) grid cell 1 x 1m Jantan remaja Darwin memiliki daerah jelajah paling luas (0.401 km2) di Mentoko dan betina dewasa-anak Bayur (0.197 km2) di Prefab, namun demikian luasnya masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan luas daerah jelajah orangutan yang dilaporkan oleh peneliti-peneliti sebelumnya (Tabel 4.3). Tabel 4.3 Perbandingan luas daerah jelajah orangutan dari beberapa penelitian di Mentoko No 1 2 3
Peneliti Rodman Mitani Cambell
Tahun
Waktu (bln)
Betina dewasa (km2)
Jantan dewasa (km2)
Metode
1977 1989 1992
15 18 12
0.4-0.6 1.50 1.38
0.8-1.20 > 1.50 0.425
Grid Grid Grid
20
Adanya nilai luas jelajah yang bervariasi dari tiap penelitian, memeperlihatkan bahwa orangutan tidak memiliki luas daerah jelajah yang tetap. Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa lama waktu penelitian, luas areal penelitian, keberadaan sumber pakan dan metode yang digunakan sangat mempengaruhi estimasi luas daerah jelajah orangutan. Sehingga diperlukan penelitian jangka panjang secara berkelanjutan dengan menggunakan metode yang sesuai untuk dapat memperoleh estimasi luas yang benar-benar dapat mewakili. Berdasarkan frekuensi kunjungan dalam core area diketahui beberapa pohon dan liana yang secara aktif dikunjungi oleh orangutan seperti sengkuang (Dracontomelon dao), ara (Ficus sp.), serapet (Mucuna sp.) dan belaran (Meremmia mammosa) untuk areal pinggir sungai dan nayup (Geunsia pentandra) dan leban (Vitex pinnata) untuk areal lebih ke dalam hutan. Pada penelitian sebelumnya jenisjenis tersebut merupakan pakan penting orangutan yang dijadikan salah satu indikator untuk menemukan keberadaan orangutan (Rodman 1977; Cambell 1992; Krisdijantoro 2007). Penelitian sebelumnya di Mentoko dan Prefab, tidak dilakukan perhitungan sampai ke core area sehingga tidak bisa dilakukan perbandingan. Gambar daerah jelajah dari empat individu lainnya disajikan dalam Lampiran7-10. 4.4 Daerah Tumpang Tindih (Overlapping) Hasil analisis dengan ArchGIS 10.1 menggunakan metode kernel, menggambarkan bahwa tumpang tindih daerah jelajah tidak terjadi pada setiap individu yang diamati baik di Mentoko maupun di Prefab. Di Mentoko tumpang tindih daerah jelajah terjadi antara individu Darwin dengan Putri yaitu seluas 0.039 km2 (Gambar 4.6). Individu JP4 tidak bersinggungan sama sekali baik dengan individu Darwin maupun Putri karena berada pada lokasi yang sedikit lebih jauh (± 1 km) ke Timur. Di Prefab, tumpang tindih terjadi antara individu Bayur dengan Labu seluas 0.052 km2 dan Bayur dengan Mawar seluas 0.058 km2. Namun, antara Labu dan Mawar tidak terjadi tumpang tindih (Gambar 4.7). Rodman (1977) melapokan bahwa overlapping juga terjadi di Mentoko dengan betina dewasa seluas 0.4-0.6 km2 dan pada jantan bisa dua kali lebih besar dari betina. Namun metode yang digunakan Rodman masih dasar yaitu dengan menggambar batas keliling areal terkecil di atas grid yang mencakup semua observasi tiap unit. Adanya tumpang tindih daerah jelajah memungkinkan terjadinya interaksi sosial. Dari data perilaku di Mentoko diketahui bahwa Darwin bertemu Putri ketika mendatangi sumber pakan berdekatan (sengkuang). Darwin mencoba mendekat dan berinteraksi langsung dengan Putri namun Putri memilih untuk menghindar dan pergi, begitu juga yang terjadi di Prefab. Hal menarik dari pertemuan yang terjadi tidak sengaja antar betina dewasa dengan anak ini adalah adanya perilaku yang saling menghidar atau mengacuhkan satu sama lain ketika bertemu. Satu kali, Bayur bertemu dengan Labu ketika keduanya tiak sengaja sama-sama mendatangi sumber pakan yang sama (serapet) yang banyak terdapat di pohon-pohon pingir sungai, sangat jelas terlihat bahwa keduanya mencoba untuk saling menghindar namun karena anak Bayur mendatangi anak Labu untuk bermain kedua induk mencoba untuk bertoleransi dengan tetap berbagi tempat makan namun posisi tubuh saling membelakangi sampai Bayur memutuskan untuk pergi lebih dulu. Bayur terlihat memiliki posisi kuat di areal Prefab pada saat itu, karena dari ketiga betina yang diikuti, Bayur terlihat memiliki akses paling luas untuk masuk ke daerah jelajah
21
betina yang lain. Hal tersebut menguatkan pernyataan Singleton dan van Schaick (2001) bahwa daerah tumpang tindih terjadi disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi seperti sumber pakan, luas habitat dan keberadaan orangutan betina.
Gambar 4.6 Tumpang tindih daerah jelajah Darwin-Putri di Mentoko
22
Gambar 4.7 Tumpang tindih daerah jelajah Bayur-Labu dan Bayur-Mawar di Prefab
4.5 Pemanfaatan Strata Ketinggian dan Tajuk Aktifitas penggunaan strata tajuk pada orangutan kurang lebih dipengaruhi oleh kondisi habitat yang meliputi keberadaan pakan, kondisi pohon dan struktur tajuk. Dari hasil analisa plot profil menunjukkan bahwa struktur vegetasi hutan Mentoko dan Prefab rata- rata memiliki 4 strata yaitu A (>30 m), B (20-30 m), C (4-20 m) dan D (1-4). Orangutan di Mentoko maupun di Prefab paling aktif menggunakan strata C (Gambar 4.8). Pohon- pohon yang membentuk strata C diketahui banyak berasosiasi dengan liana dan epifit, dimana dari data pakan diketahui bahwa orangutan pada saat itu baik di Mentoko maupun di Prefab lebih banyak memgkonsumsi kulit/kambium dari liana Mucuna sp. dan Merremia mammosa (Tabel 4.3), bedanya di Mentoko orangutan masih dominan memilih buah dan di Prefab lebih dominan memilih kulit/kambium. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Cambell (1992) dimana orangutan di Mentoko paling aktif melakukan aktifitas di ketinggian 15 m. Namun sedikit berbeda dengan hasil
23
penelitian dari Krisdijantoro (2008) yang menyatakan bahwa struktur habitat di Mentoko terdiri dari 3 strata yaitu A, B dan C, dan orangutan paling aktif di strata B. Hal tersebut terjadi karena lokasi pegerakan yang diteliti oleh Kridijantoro berbeda dengan penelitian yang sekarang, kemudian pada saat itu salah satu pohon pakan penting yang menjadi tujuan orangutan adalah leban (Vitex pinnata) dimana rata-rata ketinggiannya lebih dari 20 m. 100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 A (>30 m)
B (20-30 m) Putri
Darwin
C (4-20 m) JP4
Labu
D (1-4 m) Bayur
E (0-1 m)
Mawar
Gambar 4.8 Pemanfatan strata tajuk di Mentoko dan Prefab Aktifitas bergerak diketahui paling banyak dilakukan di strata C, hal ini dikarenakan pada strata ini kondisi pohon tumbuh rapat sehingga tajuk bisa saling bertautan kemudian keberadaan liana yang cukup melimpah mendukung pergerakan arboreal dari orangutan. Selain itu orangutan banyak memanfaatkan liana sebagai alat bantu untuk bergerak pindah maupun sebagai pakan. Pergerakan terestrial di tanah juga dijumpai walaupun jarang, baik di Mentoko maupun di Prefab yaitu pada Darwin, Bayur dan Labu. Bayur dan Labu melakukan pergerakan terestrial di tanah untuk tujuan mencari makan, sedangkan Darwin melakukan terestrial karena ingin menghindar dari peneliti. Jika dilihat dari persentase pemanfaatan ketinggian pohon dari permukaan tanah, orangutan di Mentoko rata-rata aktif di posisi ketinggian 82.84%, begitu juga dengan orangutan di Mentoko rata-rata aktif di posisi ketinggian 81.14%. Artinya, walaupun orangutan di kedua lokasi tersebut aktif di strata C (menengah kebawah), namun ruang yang dimanfaatkan adalah ruang tajuk bagian atas. Orangutan di Mentoko cenderung berada di ketinggian lebih rendah (di posisi ketinggian 68.52%) dalam melakukan aktifitas makannya dibandingkan dengan yang di Prefab (di posisi ketinggian 80.52%). Namun demikian, orangutan di Mentoko memanfaatkan ruang lebih tinggi (di posisi ketinggian 83.23%) untuk beristirahat dibandingkan di Prefab (di posisi ketinggian 75.58%). Ini menunjukkan bahwa posisi orangutan dalam memanfaatkan ruang mencari makan maupun istirahat juga bergantung pada kondisi dari struktur hutannya. Dari diagram profil yang terdapat
24
di plot SM Mentoko dapat dilihat kondisi tegakan disana lebih kecil dan pendek dibandingkan dengan kondisi tegakan yang ada di plot TJ Prefab. Tabel 4.4 Dominansi jenis tumbuhan pakan orangutan di Mentoko dan Prefab No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Mentoko Mucuna sp Meremmia mammosa Cananga odorata Dracontomelon dao Geunsia pentandra Kleinhovia hospita Ficus sp Vitex pinnata Croton argyratus Dillenia reticulata
(%)
Habitus
Prefab
(%)
Habitus
18.75 16.83 14.42 14.42 12.02 6.25 5.29 5.29 3.37 3.37
Liana Liana Pohon Pohon Pohon Pohon Liana Pohon Pohon Pohon
Mucuna sp Merremia mammosa Ficus sp Kleinhovia hospita Vitex pinnata Meliosma sumatrana Endospermum peltatum Spatholobus sp Sterculia macrophylla Diospyros macrophylla
33.33 26.67 10.48 9.05 5.71 3.81 3.81 2.86 2.38 1.90
Liana Liana Liana Pohon Pohon Pohon Pohon Liana Pohon Pohon
Dari Tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa orangutan cenderung mencari makan dari liana. Berdasarkan laporan penologi Proyek Orangutan Kutai di Mentoko tahun 2012, pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli merupakan bulan dengan paling sedikit buah, hanya buah sengkuang (Dracontomelon dao) di pingiran sungai yang sedang banyak berbuah. Kondisi ini memperkuat penjelasan mengapa orangutan pada saat itu lebih dominan dalam mengkonsumsi pakan dari liana. Tabel 4.5 menunjukkan ada perbedaan preferensi bagian yang dimakan, dimana di Mentoko pakan buah masih menjadi yang paling banyak dikonsumsi, sedangkan di Prefab konsumsi kulit/kambium sangat tinggi. Rodman (1977), melaporkan bahwa orangutan di Mentoko banyak mengkonsumsi buah sengkuang pada bulan Maret-April, sedangkan pada masa penelitian Cambell (1992) orangutan banyak mengkonsumsi buah sengkuang pada bulan Agustus. Pada penelitian ini di Mentoko orangutan banyak mengkonsumsi buah sengkuang pada bulan Mei-Juni kemudian September, sedangkan di Prefab tidak dijumpai orangutan mengkonsumsi buah sengkuang. Ketersediaan buah masak terlihat tidak merata dan karena waktu penelitian yang pendek tidak jelas apakah di Prefab sengkuang berbuah lebih dulu dari Mentoko atau malah sebaliknya. Musim orangutan mengkonsumsi sengkuang dari ketiga penelitian tersebut terlihat berbeda, namun kemungkinan masih dalam satu pola musim berbuah yaitu bulan Maret-September. Di Mentoko, konsumsi dari daun dan umbut lebih tinggi dari di Prefab, hal tersebut dikarenakan Mentoko adalah hutan sekunder dimana masih banyak pohon yang menyediakan batang-batang muda, seperti simpur (Dillenia reticullata) dan kubung (Macaranga gigantea). Cambell (1992) menyebutkan bahwa orangutan mengkonsumsi daun dan kulit/kambium paling sedikit dari 20-26 jenis pohon dan liana, sebagian besar dari jenis tumbuhan memanjat seperti Ficus sp. dan pohon hutan sekunder dari suku Rutaceae dan Euphorbiaceae. Pada penelitian Rodman (1977), salah satu jenis liana yang menjadi pakan kunci adalah dari suku Annonaceae, karena ketersediannya yang melimpah. Sejak peneltian Cambell (1992) setelah kebakaran, jenis liana ini tidak terlalu banyak ditemukan dan dikonsumsi oleh orangutan. Di penelitian yang sekarang, pada Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa liana yang paling dominan dikonsumsi adalah Merremia mammosa (Convolvulaceae) dan Muccuna sp. (Leguminosae), karena ketersediaannya yang
25
cukup melimpah terutama di areal pinggiran sungai. Hal ini menguatkan salah satu kesimpulan Cambell (1992), bahwa orangutan dapat makan dari banyak sumber pakan tetapi tetap terdapat beberapa jenis pakan yang menjadi pilihan penting, walaupun tidak harus konsisten. Tabel 4.5 Bagian pakan yang dimakan orangutan di Mentoko dan Prefab No.
Mentoko
Persen (%)
Prefab
Persen (%)
1
Buah
37.82
Kulit/kambium
44.23
2
Kulit/cambium
28.36
Buah
20.00
3
Daun
16.00
Biji
13.46
4
Daun muda
8.73
Daun muda
9.62
5
Umbut
6.18
Daun
6.92
6
Bunga
2.55
Bunga
3.46
7
Biji
0.36
Umbut
2.31
Dalam membuat sarang malam, orangutan di Mentoko cenderung memilih tajuk antara bagian tengah sampai paling atas, namun polanya masih bervariasi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan umur dan jenis kelamin. Sedangkan di Prefab orangutan memilih 53% posisi bersarangnya di posisi puncak, hal ini dikarenakan orangutan yang diikuti di Prefab adalah betina dewasa dengan anak dan bayi. Sehingga, pemilihan posisi sarang di tengah dan tempat yang paling tinggi adalah untuk alasan keamanan. Jenis pohon yang paling sering digunakan untuk membuat sarang di kedua lokasi penelitian pada saat itu adalah Dracontomelon dao. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Cheyne (2013), orangutan tidur di pohon pakan 75% dari seluruh pohon yang digunakan untuk bersarang. Orangutan di Mentoko maupun di Prefab pada penelitian ini juga menggunaan pohon pakan sebagai tempat bersarang sebesar 75% dari seluruh jenis pohon yang digunakan untuk sarang. 4.6 Habitat Berdasarkan 6 plot profil habitat yang dibuat pada daerah inti orangutan yang diteliti di Mentoko dan Prefab, menunjukkan vegetasi pohon (diameter ≥ 10 m) yang rapat yaitu 443 pohon/ha. Krisdijantoro (2008) melaporkan bahwa kerapatan pohon di Prefab adalah 167 pohon/ha, jumlah yang lebih kecil daripada yang ditemukan sekarang. Dari 3 plot di mentoko hanya ditemukan satu jenis pohon yang dapat ditemukan di ketiganya, yaitu: Melicope lunu-akenda (Rutaceae). Di Prefab, ditemukan dua jenis pohon yang terdapat di ketiga plot yaitu Cananga odorata (Annonaceae) dan Dillenia excelsa (Dilleniaceae). Berdasarkan dendogram kesamaan komunitas vegetasi (Gambar 4.9), komunitas yang menyusun habitat di Mentoko dan Prefab dikelompokkan menjadi 2 komunitas besar, yaitu komunitas pinggiran sungai (plot PEK, SG, TJ dan SM , selang kesamaan 50.25-66.50 %) dan komunitas bukan pinggiran sungai (plot E dan SMP selang kesamaan 43.89%). Kesamaan antara kedua komunitas besar ini hanya 30.37 %.
26
Jenis herba dan liana yang ditemukan pada plot antara lain: Alpinia sp. (Zingiberaceae), Etlingera sp. (Zingiberaceae), Muccuna sp. (Leguminosae), Merremia mammosa (Convolvulaceae), Merremia peltata (Convolvulaceae) Calathea sp. (Marantaceae). Bentuk struktur tegakan di masing-masing plot digambarkan dengan diagram profil pada Gambar 4.10-4.15.
Persen (%)
30.37
53.58
76.79
100.00 Mentoko SM
Montoko PEK
Prefab SG
Prefab T J
Montoko E
Prefab SM
Plot Profil Habitat
Gambar 4.9 Dendogram kesamaan komunitas vegetasi di Mentoko dan Prefab
Keterangan: Actinodaphne glabra: Actinidaphne sp Aglaia sp Alseopdaphne sp Bridellia glauca Cananga odorata Croton argyratus Cryptocarya sp
Dendrocnide sp Dracontomelon dao Fordia spendidisima Gluta macrocarpa Kleinhovia hospital Litsea garciae Litsea sp Mallotus lackey
Mallotus paniculatus Melicope lunu-ankenda Oroxylum indicum Paranaphelium sp Pometia pinnata Sterculia stipularis
Herba dan liana: Alpinia sp Poikilospermum sp Merremia peltata
Gambar 4.10 Profil habitat pada plot SM di Mentoko
27
Keterangan: Cananga odorata: Chisocheton sp: Croton argyratus Dillenia excels Dimocarpus longan Diospyros macrophylla Dracontomelon dao Elicia sp Endospermum peltatum Eusideroxcylon zwageri
Dracontomelon dao Elicia sp Endospermum peltatum Eusideroxylon zwageri Melicope lunu-ankenda Nauclea subdita Paranaphelium sp Pometia pinnata Ptenandra caerulescen Syzygium sp
Pometia pinnata Ptenandra caerulescen Syzigium sp Cayratia sp Embelia javanica Merremiamammosa Muccuna sp Uvaria sp
Herba dan liana: Alpinia sp Poikilospermum sp Asplenium sp
Gambar 4.11 Profil habitat pada plot PEK di Mentoko
Keterangan: Actinodapne glabra: Aporosa dioica: Atuna recemosa Casearia sp Diospyros bixufolia Durio excelsus Eusideroxylon zwageri Garcinia sp.1 Geunsia pentandra Horsfieldia cornosa
Macaranga gigantea Macarangan pearsonii Melicope glabra Melicope lunu-ankenda Ormosia sp Paquium stenophyllum Parinari oblongifolia Sarcotheca diversivolia Shorea leprosula Shorea ovalis
Shore asp.1 Syzygium leptostemon Xanthophyllum obscurum
Herba dan liana: Alpinia sp Etlingera sp
Gambar 4.12 Profil habitat pada plot E di Mentoko
28
Keterangan: Aglaia sp: Alangium histrutum: 28lphonse asp. Alseodaphne sp Baccaurea tetandra Bridelia glauca Cananga odorata Chisocheton sp
Croton argyratus Chyatocalix sp Dillenia 28xcels Prunus sp Dracontomelon dao Pterospermum javanicum Dysoxylum cf Syzygium sp Ficus variegata Vitex pinnata Mallotus sumatranus Octomeles sumatrana Planchonia valida
Herba dan liana: Alpinia sp Merremia mammosa Tetrasigma sp Muccuna sp
Gambar 4.13 Profil habitat pada plot TJ di Prefab
Keterangan: Cananga odorata: Chisocheton sp: Croton argyratus Dillenia excels Dimocarpus longan Diospyros macrophylla Dracontomelon dao Elicia sp Endospermum peltatum Eusideroxcylon zwageri
Dracontomelon dao Elicia sp Endospermum peltatum Eusideroxylon zwageri Melicope lunu-ankenda Nauclea subdita Paranaphelium sp Pometia pinnata Ptenandra caerulescen Syzygium sp
Pometia pinnata Ptenandra caerulescen Syzigium sp
Herba dan liana: Alpinia sp Muccuna sp:
Gambar 4.14 Profil habitat plot SG di Prefab
29
Keterangan: Cananga odorata: Chisocheton sp: Croton argyratus Dillenia excels Dimocarpus longan Diospyros macrophylla Dracontomelon dao Elicia sp Endospermum peltatum Eusideroxcylon zwageri
Dracontomelon dao Elicia sp Endospermum peltatum Eusideroxylon zwageri Melicope lunu-ankenda Nauclea subdita Paranaphelium sp Pometia pinnata Ptenandra caerulescen Syzygium sp
Pometia pinnata Ptenandra caerulescen Syzigium sp
Herba dan liana: Alpinia sp
Gambar 4.15 Profil habitat pada plot SMP di Prefab Dari struktur tegakan juga terlihat jelas bahwa kondisi tegakan di plot E dan SMP yang berada di areal bukan pinggiran sungai terlihat memiliki kerapatan tegakan yang jarang. Keberadaan liana dan herba pun tidak terlalu banyak dijumpai. Bentuk tajuk cenderung memanjang dan tidak begitu terhubung satu sama lain, sehingga cukup menjelaskan mengapa orangutan lebih memilih daerah pinggiran sungai yang memiliki vegetasi yang lebih bervariasi dengan strata tajuk yang lebih lengkap. Hanya saja di hutan bukan pinggiran sungai juga terdapat jenis pohon pakan yang disukai orangutan yang keberadaanya jarang ditemukan atau tidak ada di areal pinggiran sungai (contoh: durian /Durio sp., nayup/Geunsia pentandra). Keberadaan herba juga penting, karena pada saat penilitian dilakukan banyak dijumpai bekas koyakan dan gigitan pada batang Etlingera sp. dan Alpinia sp. di tanah, baik di habitat pinggiran sungai maupun di habitat bukan pinggiran sungai. Selama mengikuti orangutan tidak ditemukan secara langsung orangutan yang sedang memakan umbut dari herba tersebut. Hanya ditemukan satu kali ketika peneliti melakukan pencarian terhadap orangutan. Ini dapat menjadi catatan, bahwa orangutan di Mentoko dan di Prefab tidak selalu melakukan aktivitasnya di atas pohon, tetapi juga di atas tanah. Perilakku pergerakan ini pun sudah dilaporkan sejak dulu untuk orangutan di TN Kutai. Rodman (1977) melaporkan bahwa 20% orangutan di Mentoko menggunakan waktu pergerakannya di tanah. Tiga jenis vegetasi dominan yang dijumpai di plot Mentoko adalah Croton argyratus (12%), Cananga odorata (12%) dan Dillenia excelsa (10%). Sedangkan di Prefab yang terlihat sangat dominan adalah Endospermum peltatum (17.17%), Pterospermum javanicum (9.09%) dan Alagium hirsutum (7.07%). Komposisi jenis
30
vegetasi dominan di kedua lokasi di sajikan pada Tabel 4.7. Plot di Mentoko maupun Prefab menunjukkan jenis yang bervariasi, namun demikian hanya dua suku yang terlihat mendominasi, yaitu Euphorbiaceae dan Lauraceae (Tabel 4.6). Tabel 4.6 Dominansi suku dari profil habitat di Mentoko dan Prefab No.
Mentoko
(%)
Prefab
(%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Euphorbiaceae Lauraceae Dipterocarpaceae Sapindaceae Anacardiaceae Chrysobalanaceae Ebenaceae Meliaceae Myrtaceae
23.53 23.53 8.82 8.82 5.88 5.88 5.88 5.88 5.88
Euphorbiaceae Lauraceae Alangiaceae Annonaceae Meliaceae Sapindaceae Anacardiaceae Moraceae Rubiaceae
25.00 15.63 9.38 9.38 9.38 9.38 6.25 6.25 6.25
10
Rutaceae
5.88
Apocynaceae
3.13
Tabel 4.7 Dominansi jenis dari profil habitat di Mentoko dan Prefab No.
Mentoko
%
Prefab
%
1
Croton argyratus
12.00
Endospermum peltatum
17.17
2
Cananga odorata
12.00
Pterospermum javanicum
9.09
3
Dillenia excelsa
10.00
Alangium hirsutum
7.07
4
Paranephelium sp.
10.00
Croton argyratus
6.06
5
Geunsia pentandra
7.00
Dillenia excelsa
6.06
6
Eusideroxylon zwageri
6.00
Baccaurea tetandra
5.05
7
Dracontomelon dao
5.00
Cananga odorata
5.05
8
Macaranga gigantea
5.00
Dimocarpus longan
5.05
9
Pometia pinnata
5.00
Dracontomelon dao
5.05
10
Melicope lunu-ankenda
4.00
Syzygium sp.
5.05
11
Ptenandra caerulescen
4.00
Chisocheton sp.
4.04
12
Alseodaphne sp.
3.00
Dysoxylum cf.
4.04
13
Litsea garciae
3.00
Neo-nauclea gigantefolia
4.04
14
Melicope glabra
3.00
Eusideroxylon zwageri
3.03
15
Actinodaphne glabra
2.00
Pometia pinnata
3.03
16
Dendrocnide sp.
2.00
Vitex pinnata
3.03
17
Diospyros buxifolia
2.00
Actinodaphne sp.
2.02
18
Kleinhopia hospita
2.00
Aglaia sp.
2.02
19
Sterculia stipularis
2.00
Alseodaphne sp.
2.02
20
Actinodaphne sp.
1.00
Ficus variegata
2.02
31
Jika dilihat dari hasil analisis pada profil habitat, jenis yang dominan ternyata tidak sesuai dengan jenis pakan dominan yang diminati orangutan pada saat itu. Namun demikian, dari hasil pengamatan di lapangan jenis liana yang menjadi pakan dominan pada saat itu hampir semua berasosiasi dengan jenis pohon yang terindentifikasi pada profil habitat. Hal ini, menunjukkan bahwa untuk menilai suatu habitat yang diminati orangutan tidak cukup hanya dengan melakukan analisis vegetasi pohon biasa, tapi juga perlu memahami waktu musim buah secara umum, terutama pada daerah yang berhutan mosaic karena ada kalanya keberadaan orangutan disuatu tempat dengan waktu tertentu bergantung pada keberadaan satu atau dua jenis pohon pakan penting.
5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan 1.
2.
3.
Jelajah harian rata-rata di Mentoko adalah 0.563 km/hari dan Prefab adalah 0.609 km/hari. Daerah jelajah rata-rata di Mentoko adalah 0.169 km2 dengan core area 0.045 km2, dan Prefab seluas 0.117 km2 dengan core area 0.038 km2. Tumpang tindih terjadi pada individu Darwin-Putri seluas 0.039 km2, sedangkan tumpang tindih yang terjadi pada Bayur-Labu seluas 0.052 km2 dan Bayur-Mawar seluas 0.058 km2. Orangutan cenderung lebih aktif menggunakan habitat yang memiliki strata lebih lengkap. Strata hutan yang paling aktif digunakan untuk beraktivitas adalah strata C (4-20 m) terutama pergerakan dan B (20-30 m) lebih aktif digunakan untuk mencari makan pada pohon-pohon yang tinggi, seperti Dracontomelon dao, Vitex pinnata, Diospiros sp., Ficus variegata. Terdapat dua komunitas yang dimanfaatkan orangutan, yaitu komunitas pinggiran sungai yang menyediakan variasi pakan seperti Mucuna sp dan Merremia mammosa. Jenis pohon ini termasuk ke dalam komunitas pohon dengan ketinggian strata C merupakan spesies penting yang selalu menjadi tujuan orangutan di Mentoko dan Prefab. Komunitas kedua adalah bukan pinggiran sungai yang menyediakan pakan tertentu yang jarang dijumpai di pinggiran sungai seperti Durio sp. dan Geunsia pentandra. 5.2 Saran
1.
2.
Tidak semua kawasan TN Kutai merupakan habitat orangutan. Untuk itu sangatlah penting menjaga dan melestarikan kawasan-kawasan yang sudah diketahui sebagai habitatnya, antara lain hutan pinggiran sungai (tanjung), ataupun hutan sekunder, habitat dengan strata C. Memperluas areal penelitian dan melakukan survei penologi secara berkala guna memberikan pemahaman yang lebih baik tentang fluktuasi musim berbuah di TN Kutai, sehingga membantu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kebutuhan dan daya jelajah orangutan kutai.
31
DAFTAR PUSTAKA Ancrenaz M, Lackman-Ancrenaz I. 2004. Orangutan status in Sabah: Distribution and population size. Hutan-SWD Report, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Bayer. 2012. Geospasial Modelling Environment. http://www.spatialecology.com [diunduh 2014 Januari]. Cambell JL. 1992. Biology of Bornean Orang-utan (Pongo pygmaeus) in Drought and fire affected Lowlan Rainforest [Tesis]. The Pennsylvania State University. [CITES] Convention on International Trade in Endangered Species. 2013. Appendices I, II, III. Zwitzerland. [Ditjen PHKA] Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2009. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan 2007-2017. Jakarta: PHKA. Cheyne SM, Rowland D, Hoing A, Husson S. 2013. How Orangutan Choose Where To Sleep: Comparison of Nest-Site Variables. Asian Primates Journal. 3 (1). Cowlishsaw G & RIM Dunbar. 2000. Primate Conservation Biology. Chicago University Press, Chicago (US). Delgado R, van Schaik CP. 2000.The behavioral ecology and conservation of the orangutan (Pongo pygmaeus): A tale of two islands. Evolutionary Anthropology, 9, 201-18. Galdikas. 1988. Orangutan Diet, range, and activity at Tanjung Putting, Central Borneo. International Journal of Primatology. 9:1-35. Groves CP. 2001. Primate Taxonomy. Smithsonia Institution Press. Washington DC (US). [IUCN] The International Union for Conservation of Nature. 2013. The IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org/search [diunduh 2013 Desember]. Kabangnga L. 2010. Pendugaan umur dan laju pembuatan sarang orangutan Pongo pygmaeus morio Groves 2001 di stasiun prefab dan Mentoko Taman Nasional Kutai [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Krisdijantoro A. 2007. Analisis pola penggunaan ruang dan waktu Pongo pygmaeus morio Linneaus 1760 di hutan Mentoko Taman Nasional Kutai Kalimantan Timur [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mitani JC. 1989. Orangutan activity budgets: monthly variations and effects of body size, parturition, and sociality. Journal of Primatology. 18:87-100. Morrogh-Bernard H, Husson S, McLardy C. 2002. Orang-utan data collection standardization. LSB Leacky Foundation Orang-utan Culture Workshop, Febuari. San Anselmo, California. Rijksen HD. 1978. A field study on Sumatran orangutans (Pongo pygmaeus abelii Lesson, 1827). Ecology, Behaviour and Conservation. Agricultural University, Wageningen. Netherlands. Rodman PS. 1973a. Synecology of Bornean Primates with Special Reference to Behavior and Ecology of Orangutans [Disertasi]. Universitas Harvard. Cambridge. Rodman PS. 1977. Feeding Behavior of Orang-utans of The Kutai Nature Reserve. Dalam: Clutton-Brock T editor Primate Ecology: Feeding and Ranging Behavior of Lemurs, Monkeys, and Apes. Academic Press, London (GB). 383-413. Singleton I & van Schaik CP. 2001. The Social Organisation of a population of Sumatran orang-utans. Folia Primatologica. 73:1-20.
33
Susanto TS. 2012. Pola Jelajah dan Pemanfaatan Habitat Orangutan Pongo pygmaeus wurmbii) Di Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat [tesis]. Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Suzuki A. 1986. The ecological survey of the effects of the forest fires and droughts in 1982-83 and the distributions and populations of primates along the middle upper streams of Sungai Sangata in Kutai National Park, East Kalimantan, Indonesia. Universitas Kyoto: Laporan Penelitian Studi Primata Asia 5:13-22. Warren KS, Verschoor EJ, Langenhuijzen S, Heriyanto, Swan RA, Vigilant L, Heeney JL. 2001. Speciation and intrasubspecivic variation of Bornean orang-utans, Pongo pygmaeus pygmaeus. Molecular Biology and Evolution. 18:472-480. Yamagiwa J. 2004. Diet and foraging of the great apes: Ecological constraints on thei social organizations and implications for their divergence. Dalam: Russon AE and Begun DR, editor, The evolution of thought: Evolutionary origin of great ape intelligence. Cambridge: Cambridge University Press. PP 210-233. Zhang YW, Ryder O.A d, Zhang YP. 2001. Genetic Divergence of Orangutan Subspecies Pongo pygmaeus). Journal of Molecular Evolution. 52, 516-26.
Lampiran 1 Jelajah harian Darwin di Mentoko
34
35
Lampiran 2 Jelajah harian Putri di Mentoko
Lampiran 3 Jelajah harian JP4 di Mentoko
36
Lampiran 4 Jelajah harian Bayur di Prefab
37
Lampiran 5 Jelajah harian Labu di Prefab
38
Lampiran 6 Jelajah harian Mawar di Prefab
39
40 Lampiran 7 Daerah jelajah Putri di Mentoko
41 Lampiran 8 Daerah jelajah JP4 di Mentoko
42 Lampiran 9 Daerah jelajah Labu di Prefab
43 Lampiran 10 Daerah jelajah Mawar di Prefab
44
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palangka Raya pada tanggal 22 Februari 1982 sebagai anak pertama dari ayah Salunding Kiting, SPd, SE dan ibu Dr Usup Riassy Christa, MM. Penulis lulus dari SMU Negeri 2 Palangka Raya pada tahun 1999 dan melanjutkan pendidikan sarjana di Program Studi Manajemen Hutan, Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Palangka Raya, dan lulus pada tahun 2005. Penulis juga bekerja sebagai staf peneliti orangutan di Orangutan Social Learning and Cultures Project (OSLCP) dan Orangutan Kutai Project di bawah Prof A.E. Russon dari Departemen Psikologi, Universitas York Canada, sejak tahun 2004-sekarang. Pada tahun 2010, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan magister sains di Program Studi Primatologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Selain itu, penulis beberapa kali mengikuti berbagai kegiatan ilmiah seminar maupun pelatihan yang berkaitan dengan studi penulis. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Sains, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Pemanfaatan Ruang oleh Orangutan Pongo pygmaeus morio (Owen, 1837) di Stasiun Penelitian Mentoko dan Prefab Taman Nasional Kutai Kalimantan Timur” dibawah bimbingan Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc dan Dr Ir Entang Iskandar, MSi.