PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK ANALISIS PERUBAHAN LAHAN DAN CURAH HUJAN TERHADAP ALIRAN PERMUKAAN DI DAS CILIWUNG
DWI PUTRI AFRINA
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Analisis Perubahan Lahan dan Curah Hujan terhadap Aliran Permukaan di DAS Ciliwung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013
Dwi Putri Afrina NIM G24090047
ABSTRAK DWI PUTRI AFRINA. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Analisis Perubahan Lahan dan Curah Hujan terhadap Aliran Permukaan di DAS Ciliwung. Dibimbing oleh YON SUGIARTO dan PARWATI. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan terjadinya perubahan lahan di DAS Ciliwung sehingga meningkatkan aliran permukaan yang memperbesar kemungkinan terjadinya banjir di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh perubahan kondisi lahan dan curah hujan terhadap aliran permukaan di DAS Ciliwung menggunakan metode Soil Conservation Services (SCS) berdasarkan data satelit penginderaan jauh. Hasil penelitian menunjukkan curah hujan yang tinggi di suatu wilayah menyebabkan aliran permukaan juga tinggi di wilayah tersebut. Distribusi curah hujan yang tidak merata di setiap sub-DAS menyebabkan tinggi rendahnya aliran permukaan tidak tergambar. Wilayah hulu DAS yang didominasi tegakan hutan dengan tipe kelompok hidrologi tanah (KHT) C memiliki koefisien aliran permukaan (C) paling rendah dibandingkan wilayah hulu dengan tipe KHT D. Wilayah tengah dan hilir DAS yang didominasi lahan pemukiman dan tanaman pertanian kering memiliki angka C yang paling tinggi. Penurunan luas hutan di hulu DAS sebesar 1.7% disertai peningkatan luas pemukiman dan kebun/perkebunan di tengah dan hilir DAS sebesar 17.7% dan 10.4% dari tahun 2002-2012 menyebabkan terjadinya peningkatan aliran permukaan dengan besar peningkatan C rata-rata bulanan sebesar 24%. Pengaruh fenomena ENSO seperti La Nina menyebabkan terjadinya peningkatan curah hujan di wilayah DAS Ciliwung sehingga terjadi genangan/banjir di wilayah hilir DAS (Jakarta dan sekitarnya) pada tahun-tahun tersebut. Kata kunci: perubahan lahan, aliran permukaan, curah hujan, DAS Ciliwung metode SCS
ABSTRACT DWI PUTRI AFRINA. Utilization of Remote Sensing Data for Analysis of Rainfall and Landuse Changes to Surface Run-off in Ciliwung Watershed. Supervised by YON SUGIARTO and PARWATI. The potential of flood occurrence in Jakarta has increased year by year. It caused by the presence of positive growth population that led the landuse change in the watershed (DAS) of Ciliwung. This landuse change has raised surface runoff in Jakarta and surrounding areas. This study aims to analyze the effect of landuse changes and precipitations to the surface runoff in Ciliwung watershed using Soil Conservation Services (SCS) method based on remote sensing satellite data. The results showed that the heavy rainfall has triggered the high runoff in the certain area. This heavy rainfall had various distributions in each sub-watershed so it was difficult to find runoff pattern in the watershed. Based on the soil hydrologic group (KHT), the forest area in upstream which has C type had lowest runoff coefficient (C) value than D type. The settlement and agricultural area in the central and downstream watershed had the highest C value. The decreasing of forest area in the upstream watershed was found around 1.7 % along with the increasing of settlement area and mix garden/plantation area in the central and downstream watershed that were 17.7 % and 10.4 %, respectively. Those conditions have caused the increasing of runoff coefficient around 24 % from year 2002 to 2012. The influence of ENSO phenomenon such as La Nina has caused high surface runoff in the Ciliwung watershed causing inundation/flooding in the downstream watershed area (Jakarta and surrounding areas) in those years.
Keywords: landuse, surface run-off, rainfall, Ciliwung watershed, SCS method
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK ANALISIS PERUBAHAN LAHAN DAN CURAH HUJAN TERHADAP ALIRAN PERMUKAAN DI DAS CILIWUNG
DWI PUTRI AFRINA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Analisis Perubahan Lahan dan Curah Hujan terhadap Aliran Permukaan di DAS Ciliwung Nama : Dwi Putri Afrina NIM : G24090047
Disetujui oleh
Yon Sugiarto, SSi MSc Pembimbing I
Parwati, SSi MSc Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Rini Hidayati, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 sampai Juni 2013 ini ialah banjir, dengan judul Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Analisis Perubahan Lahan dan Curah Hujan terhadap Aliran Permukaan di DAS Ciliwung. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Yon Sugiarto, SSi MSc. dan Ibu Parwati, SSi MSc. selaku pembimbing. Terima kasih atas bimbingan dan arahan dalam proses penulisan skripsi. 2. Ibu Ana Turyanti, SSi MT selaku pembimbing akademik penulis. 3. Bapak Ir Bregas Budianto, Ass.Dpl selaku penguji sidang tugas akhir penulis. 4. Ibu Dr Ir Rini Hidayati, MS yang telah memberikan masukkan dalam penyempurnaan penulisan skripsi penulis. 5. Bapak Dr Ir Rokhis Komarudin selaku Kepala Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di LAPAN Jakarta. 6. Ibu Dr Ir Indah Prasasti, MSi serta staf LAPAN Jakarta yang telah membantu selama proses pengumpulan dan pengolahan data. 7. Umak, Bapak, kakak, adik-adikku serta keluarga besar tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, doa, semangat dan dukungan salama ini. 8. Mario Andika yang selalu memberikan semangat, dukungan serta doa. 9. Cibantengers (Lidya, Wayan, Ika, Winda, Normi, dan Nita), terima kasih untuk kebersamaannya selama ini. 10. Anak-anak Asrama Mahasiswa Belitung dan GFM angkatan 46, terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013
Dwi Putri Afrina
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN
vi vi vi 1
Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA
1 2 2 3 3 3
Penginderaan Jauh Karakteristik Citra Landsat Karakteristik Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) Aliran Permukaan Metode Soil Conservation Services (SCS) METODE
3 3 4 5 5 6
Bahan Alat Prosedur Analisis Data Persiapan Data dan Pengolahan Citra Landsat a Tahap pre-processing b Tahap image processing Pengolahan Data TRMM Analisis Korelasi Curah Hujan Observasi dan Curah Hujan TRMM Analisis Aliran Permukaan Berdasarkan Metode SCS HASIL DAN PEMBAHASAN
6 6 7 7 7 8 8 8 8 11
Karakteristik Curah Hujan di DAS Ciliwung Analisis Korelasi Curah Hujan Observasi dengan Curah Hujan TRMM Analisis Penggunaan dan Perubahan Lahan di DAS Ciliwung Analisis Pengaruh Perubahan Lahan dan Curah Hujan terhadap Aliran Pemukaan di DAS Ciliwung Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) Aliran Permukaan dan Koefisien Aliran Permukaan SIMPULAN DAN SARAN
11 12 15
Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
23 23 23
RIWAYAT HIDUP
30
16 16 17 23
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
Kategori AMC (Antecedent Moisture Content) Nilai korelasi di 3 stasiun pengamatan DAS Ciliwung Penggunaan lahan di DAS Ciliwung tahun 1994, 2002, 2007, dan 2012 Perubahan luas penggunaan lahan di DAS Ciliwung Koefisien aliran permukaan rata-rata bulanan (C) di DAS Ciliwung Koefisien aliran permukaan tiap penggunaan lahan di DAS Ciliwung
6 13 15 16 20 21
DAFTAR GAMBAR Instrument satelit TRMM Citra Landsat sebelum (kiri) dan setelah (kanan) di GAPFILL Diagram alir penelitian Curah hujan rata-rata bulanan di DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah tahun 1998-2011 (a) Sumber: BPSDA Ciliwung-Cisadane; (b) Sumber: Analisis citra TRMM 5 Hubungan curah hujan observasi dengan curah hujan TRMM di stasiun Gunung Mas (a), Bendung Katulampa (b), dan Depok (c) 6 Pola time series curah hujan observasi dan curah hujan TRMM di stasiun Gunung Mas (a), Bendung Katulampa (b), dan Depok (c) 7 Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) DAS Ciliwung 8 Distribusi aliran permukaan, curah hujan dan koefisien aliran permukaan DAS Ciliwung di puncak musim hujan (Februari) tahun 2002 (a), 2007 (b) dan 2012 (c) 9 Distribusi aliran permukaan, curah hujan dan koefisien aliran permukaan DAS Ciliwung di puncak musim kemarau (Agustus) tahun 2002 (a), 2007 (b) dan 2012 (c) 10 Hubungan antara aliran permukaan dengan debit total di stasiun Bendung Katulampa tahun 2002 (a) dan 2007 (b)
1 2 3 4
4 7 10
11 13 14 16
18
19 22
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Kriteria Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) menurut US SCS 1972 Nilai CN berdasarkan penggunaan lahan pada AMC II Peta penggunaan lahan di DAS Ciliwung Peta distribusi aliran permukaan di DAS Ciliwung tahun 2012 Peta distribusi curah hujan di DAS Ciliwung tahun 2012
26 26 27 28 29
PENDAHULUAN
Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan menuju satu sungai utama. Berdasarkan status penggunaan lahan, terdapat 16 DAS di Pulau Jawa yang tergolong sangat kritis. Menurut Undang-Undang nomor 26 tahun 2009 tentang penataan ruang, suatu DAS dikatakan kritis apabila penggunaan lahan vegetasi dibawah 20% dan tidak mencapai 30% dari yang dipersyaratkan (Marwadi 2010). DAS Ciliwung merupakan salah satu sungai utama yang bermuara di Jakarta dan tergolong DAS sangat kritis di Pulau Jawa. Peningkatan jumlah penduduk di suatu daerah menyebabkan kebutuhan akan penggunaan lahan semakin meningkat pula. Alih guna lahan yang terjadi di kawasan DAS Ciliwung menyebabkan terjadinya peningkatan aliran permukaan yang berpotensi banjir di wilayah hilir DAS. Aliran permukaan merupakan bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai/lautan. Hasil analisis yang dilakukan oleh Research Center for Water Resources (2012) menyebutkan selama tahun 2000-2009 terjadi penurunan luas hutan hutan di DAS Ciliwung bagian hulu sebesar 36.4% disertai dengan peningkatan luas area pemukiman sebesar 7%. Penurunan luas hutan disertai peningkatan luas pemukiman menyebabkan berkurangnya kapasitas resapan air sehingga terjadi peningkatan aliran permukaan yang akhirnya berdampak pada kejadian banjir di wilayah hilir DAS, yaitu DKI Jakarta. Menurut Richards (1955) dalam Suherlan (2001), banjir adalah meluapnya air sungai akibat debit yang melebihi daya tampung sungai pada kondisi curah hujan tinggi. Kodoatie dan Roestam (2008) membagi faktor yang menyebabkan terjadinya banjir ke dalam dua klasifikasi yaitu faktor alami dan faktor manusia. Faktor penyebab banjir akibat tindakan manusia meliputi perubahan tata guna lahan (landuse), pembuangan sampah, kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase, perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat, penurunan tanah dan rob. Sedangkan faktor alami penyebab banjir yaitu terjadinya erosi dan sedimentasi, curah hujan, pengaruh fisiografi/geofisik sungai, kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai, pengaruh air pasang, dan drainase lahan. Di Indonesia, banjir merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi. BNPB (2013) menyebutkan bahwa bencana banjir di Indonesia memiliki persentase tertinggi diantara bencana lainnya pada periode tahun 1815-2012 yaitu sebesar 38%. DKI Jakarta yang merupakan wilayah rawan banjir sangat berdampak besar terhadap faktor sosial ekonomi, terkait DKI Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian di Indonesia. Bappenas (2007) mengatakan bahwa DKI Jakarta mengalami banjir pada tahun 1621, 1654, 1918, 1976, 1996, 2002, 2007, dan kemudian awal tahun 2013. Banjir yang terjadi di DKI Jakarta selama 15-27 Januari 2013 menyebabkan 38 jiwa meninggal dan lebih dari 80.000 jiwa mengungsi (BNPB 2013). Mengingat bencana banjir yang terjadi di DKI
2 Jakarta memiliki pengaruh yang besar, maka perlunya diadakan pengelolaan bencana banjir di wilayah tersebut. Penyelenggaraan penanggulangan bencana terbagi atas 3 tahap yaitu tahap prabencana, tanggap darurat bencana dan pascabencana. Tahap prabencana meliputi tahap dalam situasi tidak terjadi bencana dan tahap dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana. Dalam hal ini, tahap potensi terjadinya bencana meliputi tahap siap siaga, peringatan dini dan upaya mitigasi (P2MB 2013). Penelitian ini hanya difokuskan pada penanggulangan prabencana (pre-disaster) dengan melakukan pemetaan debit aliran permukaan di DAS Ciliwung yang dapat menunjukkan potensi terjadinya banjir. Studi pemetaan banjir dapat dilakukan salah satunya dengan memanfaatkan tekonologi penginderaan jauh. Berbagai keunggulan kemajuan teknologi ini diantaranya yaitu kemudahan dalam memperoleh data citra secara cepat dan up to date meskipun objek atau daerah yang diamati sulit untuk dijelajahi dan dapat digunakan dalam pemetaan daerah bencana. Penelitian tentang pengaruh penggunaan lahan terhadap aliran permukaan di DAS Ciliwung telah banyak dilakukan, diantaranya oleh Trisakti et al. (2008), Susanto dan Nana (2010) serta Suwargana (2010) dengan asumsi curah hujan terdistribusi merata di seluruh DAS. Namun kenyataannya curah hujan merupakan salah satu elemen meteorologi yang bervariasi menurut ruang dan waktu sehingga perlu dilakukan analisis tersendiri mengenai pengaruh curah hujan di suatu DAS. Pada penelitian ini, analisis perubahan penggunaan lahan dan curah hujan secara multitemporal dapat dilakukan dengan memanfaatkan data citra Landsat dan Tropical Rainfall Meassuring Mission (TRMM).
Perumusan Masalah Alih guna lahan yang terjadi di DAS Ciliwung menyebabkan kerentanan terhadap ancaman bencana banjir semakin meningkat. Selain itu, adanya penyimpangan iklim seperti fenomena La Nina berdampak pada peningkatan curah hujan dan frekuensi kejadian banjir. Kondisi banjir dapat dilihat dari peningkatan aliran permukaan akibat perubahan lahan dan curah hujan yang terjadi. Berdasarkan uraian di atas dapat diidentifikasikan rumusan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimana dinamika perubahan tata guna lahan di DAS Ciliwung tahun 1994, 2002, 2007, dan 2012. 2. Bagaimana pengaruh perubahan penggunaan lahan dan curah hujan terhadap aliran permukaan di DAS Ciliwung.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perubahan kondisi lahan dan curah hujan terhadap aliran permukaan di DAS Ciliwung.
3 Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk perencanaan tata ruang wilayah dan usaha pengendali banjir sebagai wujud upaya mitigasi banjir di DAS Ciliwung bagian hilir seperti Jakarta dan sekitarnya sehingga kerugian sosial ekonomi akibat banjir dapat diminimalisir.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini hanya dilakukan di wilayah DAS Ciliwung. Aspek yang dibahas dalam penelitian ini adalah perubahan tata guna lahan dan curah hujan yang terjadi di wilayah sekitar DAS Ciliwung dari tahun 1994, 2002, 2007, dan 2012 terhadap aliran permukaan yang terjadi. Adapun analisis yang dilakukan yaitu kaitan perubahan kondisi lahan dan pengaruh curah hujan di DAS Ciliwung terhadap aliran permukaan menggunakan metode Soil Conservation Services (SCS).
TINJAUAN PUSTAKA
Penginderaan Jauh Lillesand dan Kiefer (1990) mengatakan bahwa penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek di permukaan bumi menggunakan sensor tertentu tanpa kontak langsung dengan objek yang diamati. Sistem penginderaan jauh berdasarkan pemancaran energi dibagi menjadi dua yaitu sensor aktif dan pasif. Sensor aktif tidak terpengaruh oleh pergantian siang dan malam serta mampu menembus halangan di atmosfer karena sifat panjang gelombangnya yang lebih panjang dari spektrum sinar matahai. Sensor pasif sangat tergantung pada sinar matahari dan kondisi atmosfer pada saat perekaman (Ekadinata et al. 2008). Berdasarkan penggunaannya, jenis sensor dalam penginderaan jauh dibagi menjadi 3 jenis yaitu: a). sensor pengamatan lahan; b). sensor pengamatan cuaca; c). sensor pengamatan maritim.
Karakteristik Citra Landsat Landsat (Land Satellite) merupakan salah satu satelit yang bertujuan memantau sumber daya lahan yang dikembangkan oleh NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat. Resolusi spasial citra Landsat cukup baik yaitu 30 m dengan kombinasi sensor radiometrik sebanyak 8 kanal. Selain itu, cakupan area per scene cukup luas yaitu 175 x 185 km dengan resolusi temporal 16 hari. Kelemahan citra Landsat terletak pada sensor yang bersifat pasif dimana sensor-
4 sensor tersebut sangat tergantung pada kondisi atmosfer pada saat perekaman (Ekadinata et al. 2008). Pada April 2008, Departemen Geology dan Survey Amerika Serikat (United States Geological Surver/USGS) mengumumkan bahwa seluruh koleksi data Landsat selama 35 tahun masa aktifnya akan dapat diakses oleh publik secara gratis melalui situs http://earthexplorer.usgs.gov. Namun pada akhir tahun 2002, salah satu pemindai (scanner) pada sensor Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper+ (ETM+) mengalami kerusakan yang mengakibatkan timbulnya kesalahan yang disebut striping/celah/gap sehingga membuat sebagian data menjadi hilang.
Karakteristik Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) TRMM memiliki orbit polar (non-sunsynchronous) dengan kemiringan 35° dari ekuator dan ketinggian orbit sejauh 403 km. Satelit ini mengitari bumi sebanyak 16 kali perhari yaitu setiap 92.5 menit. TRMM memiliki resolusi spasial yaitu 0.25°x0.25°; 0.5°x0.5°; 1.0°x1.0° dan 5.0°x5.0° dengan resolusi temporal setiap 3 jam-an (3 hourly) hingga bulanan (monthly). Nair et al. (2009) berpendapat bahwa ketinggian TRMM yang rendah memungkinkan resolusi pancaran awan mencakup area yang lebih sempit sehingga menghasilkan prakiraan curah hujan yang akurat dan baik digunakan untuk estimasi curah hujan di daerah tropis.
Gambar 1 Instrument satelit TRMM (Sumber: TRMM 2008). Data TMPA (TRMM Multisatellite Precippitation Analysis) merupakan hasil gabungan antara TRMM PR dan TMI dan memiliki akurasi yang lebih baik. TMPA terbagi dalam dua tipe data yaitu tipe 3B42 dengan resolusi temporal 3 jam dan harian serta tipe 3B43 dengan resolusi temporal bulanan. Pada penelitian ini, tipe data TMPA yang digunakan yaitu 3B42 dengan resolusi temporal 3 jam. Data curah hujan TRMM memiliki tingkat akurasi yang cukup tinggi terhadap data stasiun cuaca di Indonesia. Hal ini dibuktikan dari uji nilai koefisien determinasi yang dilakukan oleh Vernimmen et al. (2012) dan Suryantoro et al. (2008). Besarnya R-squared yang dihasilkan dari data curah hujan TRMM dengan curah hujan observasi di wilayah Jakarta, Bogor dan Bandung yaitu 0.78
5 (Vernimmen et al. 2012) dan 0.8 untuk wilayah Kemayoran, Jakarta (Suryantoro et al. 2008). Adanya penyimpangan iklim seperti fenomena ENSO (El Nino-Southern Oscillation) menyebabkan curah hujan di Indonesia mengalami peningkatan dan penurunan secara signifikan. Wilayah di Indonesia yang berpengaruh kuat terhadap fenomena ENSO yaitu wilayah dengan tipe hujan monsunal. DAS Ciliwung merupakan daerah dengan tipe hujan monsunal sehingga saat terjadi ENSO akan berdampak besar pada peningkatan dan penurunan curah hujan. Pada penelitian ini, data curah hujan yang dianalisis yaitu tahun 2002, 2007, dan 2012. Berdasarkan BOM (2013), tahun-tahun tersebut merupakan tahun terjadinya ENSO (El Nino dan La Nina).
Aliran Permukaan Aliran permukaan atau biasa dikenal dengan istilah air larian, limpasan permukaan dan run-off adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai, danau dan lautan. Aliran permukaan terjadi ketika jumlah curah hujan melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah (Asdak 2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan dikelompokkan ke dalam faktor iklim dan karakteristik daerah aliran sungai. Faktor iklim yang paling berpengaruh terhadap besarnya aliran permukaan adalah curah hujan. Pengaruh karakteristik DAS terhadap aliran permukaan adalah bentuk dan ukuran (morfometri) DAS, topografi dan tata guna lahan (Asdak 2002). Ada banyak metode yang dapat digunakan untuk menganalisis aliran permukaan, diantaranya yaitu metode rasional dan metode Soil Conservation Services (SCS). Hasil penelitian Pakoksung and Sucharit (tanpa tahun) menyimpulkan bahwa penurunan luas lahan hutan mempengaruhi volume aliran permukaan yang dijelaskan oleh peningkatan koefisien aliran permukaan dari tahun 2000 hingga 2006 sebesar 15%. Aliran permukaan di musim basah lebih tinggi dibandingkan musim kering. Selain itu, Alibuyog et al. (2009) juga berpendapat adanya konversi lahan padang rumput dan hutan sebesar 50% menjadi lahan pertanian diprediksi menghasilkan peningkatan aliran permukaan sebesar 3%. Konversi lahan di seluruh sub DAS menyebabkan peningkatan volume aliran permukaan sebesar 17%. Akibatnya terjadi penurunan aliran dasar sekitar 45-63%. Hal ini menunjukkan bahwa sebesar 39-45% dari curah hujan tahunan hilang sebagai aliran permukaan. Perubahan ini akan menyebabkan terjadinya erosi tanah, penurunan nutrisi tanah, mempercepat sedimentasi waduk dan meningkatkan banjir di dataran rendah atau hilir DAS.
Metode Soil Conservation Services (SCS) Metode SCS dikembangkan dari hasil pengamatan curah hujan selama bertahun-tahun dan melibatkan banyak daerah pertanian di Amerika Serikat. Dinas Konservasi Tanah Amerika atau US Soil Conservation Service (SCS) mengembangkan suatu metode yang berusaha mengkaitkan karakteristik DAS
6 seperti tanah, vegetasi, dan tata guna lahan dengan curve number yang menunjukkan potensi air limpasan untuk curah hujan tertentu. Klasifikasi grup tanah, tipe penutupan dan kondisi hidrologi digunakan untuk menentukan curve number (CN). Curve number menunjukkan potensi terjadinya limpasan. Angka CN bervariasi dengan selang antara 0–100 dimana nilai ini dipengaruhi oleh kondisi kelompok hidrologi tanah (KHT), AMC (Antecedent Moisture Content), penggunaan lahan dan cara bercocok tanam (Murtiono 2008). McCuen (1982) mengatakan bahwa KHT terdiri dari empat grup (A, B, C, dan D) berdasarkan karakteristik tanah, county soil surveys, dan tingkat infiltrasi minimum. AMC merupakan kondisi kelembaban awal tanah yang dihitung dengan menjumlahkan curah hujan selama 5 hari sebelumnya. Kondisi AMC dibagi menjadi 3 yaitu AMC I, II, dan III. Tabel 1 Kategori AMC (Antecedent Moisture Content) ∑ CH 5 hari AMC sebelumnya (mm) Ket I < 35.6 Kering II 35.6-53.3 Normal III >53.3 Basah
METODE
Bahan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Data citra Landsat path/row 122/64 dan 122/65 tanggal akusisi 22 September 1994, 18 Juli 2002, 26 September 2007, dan 27 Juli 2012. Data curah hujan bulanan dari pemantauan satelit TRMM 3B42 tahun 19982012 yang diekstrak dari data 3 jam-an. Data curah hujan stasiun Gunung Mas, Bendung Katulampa dan Depok tahun 1998-2011 dari BPSDA Ciliwung Cisadane. Peta jenis tanah dari Puslittanak Bogor. Peta sistem lahan DAS Ciliwung dari BPDAS Ciliwung Cisadane. Peta administrasi DAS Ciliwung. Data debit aliran di stasiun Bendung Katulampa tahun 2002 dan 2007 dari BPDAS Ciliwung Cisadane.
Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu seperangkat komputer/laptop dengan bantuan software Microsoft Office 2007, ER Mapper 7.1, Frame and Fill, dan Arc Gis 9.3.
7 Prosedur Analisis Data Prosedur analisis data pada penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu: 1. Persiapan data dan pengolahan citra Landsat 2. Pengolahan data TRMM 3. Analisis korelasi curah hujan observasi dengan curah hujan TRMM 4. Analisis aliran permukaan menggunakan metode SCS Persiapan Data dan Pengolahan Citra Landsat Tahap persiapan data meliputi pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jakarta, Balai Pendayagunaan Sumber Daya Air (BPSDA) wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak) Bogor, dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Ciliwung Cisadane. Tahap pengolahan data citra Landsat meliputi tahap pengolahan awal (pre-processing) dan tahap pengolahan citra (image processing). a
Tahap pre-processing - Pengisian gap/celah pada citra Landsat (GAPFILL) Proses GAPFILL dilakukan untuk meminimalisir gap/celah yang terjadi akibat kerusakan sensor Scan Line Corrector (SLC) pada Landsat ETM+ yang menyebabkan kehilangan data citra ± 20 %.
Gambar 2 Citra Landsat sebelum (kiri) dan setelah (kanan) di GAPFILL. - Koreksi geometrik dan radiometrik Koreksi geometrik dan radiometrik dilakukan untuk menghilangkan pengaruh distorsi-distorsi yang bersifat geometrik dan radiometrik berupa perbaikan posisi letak objek yang terekam pada citra dan perbaikan citra akibat adanya gangguan atmosfer (Supriatna W dan Sukartono 2002). - Pemotongan (cropping) citra Pemotongan citra dilakukan untuk memperoleh daerah kajian penelitian agar lebih memfokuskan pengamatan. Dalam penelitian ini, daerah yang menjadi fokus penelitian yaitu DAS Ciliwung.
8 b
Tahap image processing Klasifikasi citra bertujuan untuk mendapatkan kelas-kelas penutup/ penggunaan lahan dengan mengelompokkan piksel-piksel dari citra. Pada penelitian ini, klasifikasi penggunaan lahan dilakukan secara terbimbing (supervised) menggunakan metode Klasifikasi Kemungkinan Maksimum (Maximum Likelihood Classification). Pada proses klasifikasi ini akan diperoleh citra kelas penggunaan lahan dan luas penggunaan lahan dari masing-masing kelas. Adapun tahun-tahun yang akan dilihat perubahan penggunaan lahannya adalah tahun 1994, 2002, 2007, dan 2012. Pengolahan Data TRMM Data curah hujan yang digunakan merupakan data estimasi intensitas hujan satelit TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) Versi 6 dan 7 3B42: three-hourly combinated microwave-1R estimates. Dataset ini memuat parameter intensitas hujan dalam satuan mm/jam dengan resolusi temporal 3 jam kemudian diakumulasikan menjadi data curah hujan bulanan. Data curah hujan bulanan TRMM yang telah dihasilkan kemudian dilakukan pemotongan (cropping) wilayah untuk mendapatkan fokus data curah hujan di wilayah yang diinginkan yaitu wilayah DAS Ciliwung. Proses penyesuaian resolusi spasial wilayah kajian perlu dilakukan mengingat wilayah resolusi spasial yang dimliki oleh citra satelit TRMM yaitu 0.25° ~ 28 km. Untuk itu perlu dilakukan proses gridding menggunakan software ER Mapper 7.1 dengan tipe grid Minimum Curvature untuk memperhalus resolusi ukuran piksel menjadi 30 m atau 0.00027027°. Analisis Korelasi Curah Hujan Observasi dan Curah Hujan TRMM Hubungan antara curah hujan observasi dengan data curah hujan satelit TRMM dapat dilihat dengan melakukan analisis regresi linear. Korelasi yang baik ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi (r) yang mendekati 1 atau -1. Analisis Aliran Permukaan Berdasarkan Metode SCS Metode SCS (Soil Conservation Services) berusaha mengkaitkan karakteristik DAS seperti tanah, vegetasi dan tata guna lahan dengan bilangan kurva limpasan (curve number/CN). Nilai CN sangat dipengaruhi oleh kelompok hidrologi tanah (KHT), tipe penggunaan lahan dan kondisi kelembaban awal tanah (Antecedent Moisture Content/AMC). Pada penelitian ini, nilai AMC diasumsikan berada pada kondisi normal. Berikut ini adalah persamaan-persamaan yang digunakan dalam menghitung aliran permukaan menggunakan metode SCS. 5 C
- 5
dan
8
9 Analisis aliran permukaan hanya dilakukan pada tahun 2002, 2007 dan 2012. Hal ini dikarenakan, satelit TRMM baru diluncurkan pada tahun 1997 sehingga data curah hujan yang dimiliki hanya dari tahun 1998 hingga sekarang. Analisis koefisien aliran permukaan dilakukan karena distribusi curah hujan yang tidak merata di seluruh DAS sehingga perlu menstandarkan nilai curah hujan tersebut. Secara matematis, nilai C dapat dituliskan sebagai berikut.
Dimana: Q : limpasan permukaan bulanan (mm) P : curah hujan bulanan TRMM (mm) S : perbedaan antara curah hujan dan limpasan permukaan (mm) CN : curve number tiap penggunaan lahan pada AMC normal C : koefisien aliran permukaan
10
Data Landsat 7 ETM+ Multitemporal (1994, 2002,2007,2012)
Data TRMM (2002, 2007, 2012)
Pre-processing: GAPFILL, koreksi geometrik dan radiometrik
Image processing: Klasifikasi landuse Metode maximum likelihood
Peta jenis tanah dan sistem lahan
Ekstraksi Data Curah Hujan
Penggunaan lahan
Curve Number (CN) CH bulanan (P) S
Distribusi aliran permukaan (Q)
Koefisien aliran permukaan (C)
Gambar 3 Diagram alir penelitian.
11
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Curah Hujan di DAS Ciliwung Secara geografis, Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung terletak pada 6º 5’51”-6º 6’1 ”LS dan 106º 7’ 9”-1 7º ’ ”BT. Secara administratif, DAS Ciliwung berbatasan dengan DAS Cisadane di sebelah barat dan sebelah timur berbatasan dengan DAS Citarum. DAS Ciliwung terbagi menjadi 3 bagian yaitu hulu, tengah dan hilir dengan masing-masing stasiun pengamatan di Bendung Katulampa Bogor, Ratujaya Depok dan Pintu Air Manggarai Jakarta Selatan. Tipe iklim DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah menurut sistem klasifikasi Koppen adalah Af dengan kondisi selalu basah (curah hujan tiap bulan > 60 mm). Gambar 4 menunjukkan curah hujan rata-rata bulanan di DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah tahun 1998-2011 menurut hasil pengukuran BPSDA Ciliwung Cisadane dan analisis citra TRMM.
(a)
(b)
Gambar 4 Curah hujan rata-rata bulanan di DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah tahun 1998-2011 (a) Sumber: BPSDA Ciliwung- Cisadane; (b) Sumber: Analisis citra TRMM. Analisis curah hujan bulanan di DAS Ciliwung menurut hasil pengukuran BPSDA Ciliwung Cisadane menunjukkan pola hujan di wilayah tersebut tergolong tipe monsunal (Gambar 4a). Pola hujan dengan tipe monsunal memiliki satu puncak musim hujan yaitu bulan Februari. Adapun curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1998-2011 pada stasiun pengamat bagian hulu DAS Ciliwung yang diwakili oleh Bendung Katulampa dan Gunung Mas adalah 4043 mm dan 3918 mm, sedangkan curah hujan rata-rata tahunan di Depok (bagian tengah DAS Ciliwung) yaitu 2054 mm. Analisis citra satelit TRMM tahun 1998-2011 di tiga stasiun pengamatan DAS Ciliwung juga menunjukkan pola curah hujan yang tergolong dalam tipe monsunal (Gambar 4b). Curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1998-2011 pada stasiun pengamat Gunung Mas, Bendung Katulampa dan Depok secara berurutan yaitu 2538 mm, 2428 mm, dan 2036 mm. Hasil analisis menunjukkan bahwa curah hujan estimasi satelit TRMM berada di bawah curah hujan observasi atau mengalami underestimate. Hal ini
12 berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sasmito (2011) dimana terjadi overestimate antara data curah hujan dugaan dengan curah hujan observasi yang diperoleh dari analisis hubungan antara suhu kecerahan awan dari satelit MTSAT-1R dan laju hujan dari satelit TRMM. Mamenun (2013) berpendapat, wilayah dengan pola hujan monsunal dan equatorial memiliki intensitas hujan overestimate pada musim hujan dan mendekati data observasi pada musim kemarau. Sedangkan di wilayah lokal, intensitas hujan satelit TRMM cenderung underestimate. Namun, Gunawan (2008) menyebutkan bahwa pengukuran curah hujan melalui satelit tidak dapat mencapai kondisi ekstrim seperti yang terukur di permukaan. Hal ini disebabkan pengukuran curah hujan secara remote sensing dilakukan tidak secara langsung terhadap air hujan yang terukur oleh penakar curah hujan seperti di permukaan, tetapi menggunakan suatu gelombang yang dikonversi ke dalam satuan curah hujan. Fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation) menyebabkan terjadi keragaman penerimaan curah hujan di Indonesia. ENSO sangat berpengaruh besar di wilayah dengan tipe hujan monsunal, kecil di wilayah equatorial dan tidak jelas di wilayah lokal. Kondisi ENSO baik pada fase hangat (El Nino) maupun dingin (La Nina) dapat ditentukan berdasarkan kondisi ONI (Oceanic Nino Index). Fase hangat terjadi apabila anomali suhu permukaan laut (ASPL) selama lima bulan berturutturut sebesar +0.5, sedangkan fase dingin terjadi jika ASPL sebesar -0.5. Lebih lanjut, GGWeather (2013) membagi fase hangat dan dingin ke dalam 3 kelas yaitu lemah (ASPL 0.5-0.9), moderat (ASPL 1-1.4) dan kuat (ASPL lebih dari 1.5). Tanda positif (+) menunjukkan fase hangat/ El Nino dan negatif (-) menunjukkan fase dingin/ La Nina. Pada penelitian ini, analisis curah hujan dilakukan pada tahun 2002, 2007 dan 2012. Berdasarkan kondisi ONI, tahun 2002 tergolong ke dalam kategori El Nino. Sedangkan tahun 2007 dan 2012 tergolong dalam tahun La Nina. Jumlah curah hujan rata-rata di DAS Ciliwung tahun 2002, 2007 dan 2012 secara berurutan yaitu 2349 mm, 2589 mm, dan 2664 mm.
Analisis Korelasi Curah Hujan Observasi dengan Curah Hujan TRMM Analisis korelasi antara data estimasi curah hujan satelit TRMM dengan data observasi di tiga stasiun pengamatan DAS Ciliwung untuk melihat keeratan hubungan diantara kedua variabel tersebut. Adapun stasiun pengamat curah hujan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari sub-DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah yaitu Gunung Mas, Bendung Katulampa dan Depok dengan panjang data curah hujan bulanan dari tahun 1998 hingga 2011. Hasil korelasi di tiga stasiun pengamatan menunjukkan rata-rata korelasi yang baik yaitu 0.77 dengan besar korelasi tiap stasiun pengamatan berada diatas 0.70.
13 Tabel 2 Nilai korelasi di 3 stasiun pengamatan DAS Ciliwung Lokasi Koordinat Stasiun Pengamatan Korelasi Lintang Bujur Gunung Mas 06° 42 ' 34 " 106° 58 ' 03 " 0.80 Bendung Katulampa 06° 38 ' 00 " 106° 50 ' 07 " 0.79 Depok 06° 24 ' 19 '' 106° 45 ' 32 '' 0.71 Rata-rata 0.77 Jika dilihat dari hasil regresi linier sederhana antara data estimasi curah hujan satelit TRMM dengan curah hujan observasi di tiga stasiun pengamatan tersebut, nilai koefisien determinasi atau R-squared pada masing-masing stasiun diatas 0.5 (Gambar 5). Angka ini menginterpretasikan bahwa lebih dari 50% keragaman curah hujan TRMM merepresentasikan keragaman curah hujan observasi.
(a)
(b)
(c) Gambar 5 Hubungan curah hujan observasi dengan curah hujan TRMM di stasiun Gunung Mas (a), Bendung Katulampa (b), dan Depok (c). Analisis pola time series antara data curah hujan TRMM dengan curah hujan observasi di 3 stasiun pengamatan (Gambar 6) menunjukkan bahwa curah hujan TRMM mengikuti pola curah hujan observasi di 3 stasiun pengamatan tersebut. Berdasarkan tiga pernyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa curah hujan estimasi satelit TRMM dapat mewakili curah hujan observasi dan dapat
14 digunakan sebagai pelengkap database curah hujan dari suatu wilayah apabila wilayah tersebut tidak terdapat pos pengukuran hujan.
(a)
(b)
(c) Gambar 6 Pola time series curah hujan observasi dan curah hujan TRMM di stasiun Gunung Mas (a), Bendung Katulampa (b), dan Depok (c).
15 Analisis Penggunaan dan Perubahan Lahan di DAS Ciliwung Jenis penggunaan lahan di DAS Ciliwung mengacu pada penggolongan penggunaan lahan yang dilakukan oleh BPDAS Ciliwung Cisadane. Hasil penggolongan penggunaan lahan di DAS Ciliwung berdasarkan hasil klasifikasi citra Landsat terdiri dari badan air, semak/ belukar, hutan, kebun campuran, perkebunan, pemukiman, rumput/ tanah kosong, sawah, dan ladang/ tegalan. Pada tahap klasifikasi, kelas perkebunan dan kebun campuran dipisahkan. Kebun campuran merupakan lahan pertanian yang umumnya ditanami tanaman tahunan (sayuran dan pangan) dan yang diselingi oleh bambu atau pohon-pohon dimana lokasi kebun ini tidak jauh dari halaman rumah. Sedangkan perkebunan merupakan lahan yang ditanami oleh tanaman monokultur seperti teh dan kelapa sawit. Tabel 3 Penggunaan lahan di DAS Ciliwung tahun 1994, 2002, 2007, dan 2012 Penggunaan Lahan
1994 Luas (ha)
Badan Air
2002 %
Luas (ha)
2007 %
Luas (ha)
2012 %
Luas (ha)
%
76.8
0.2
77.6
0.2
125.9
0.3
93.6
0.2
453.2
1.2
186.8
0.5
872.9
2.3
1008.9
2.6
Hutan
5265.5
13.7
4888.3
12.8
4451.9
11.6
4251.6
11.1
Kebun Campuran
3810.2
9.9
3604.1
9.4
5370.9
14.0
6751.5
17.6
Perkebunan
2638.4
6.9
2049.8
5.3
2606.2
6.8
2874.6
7.5
Pemukiman Rumput/Tanah Kosong
8168.4
21.3
11886.1
31.0
12946.7
33.8
14947.2
39.0
Semak/Belukar
Sawah Ladang/Tegalan Total
128.0
0.3
123.2
0.3
299.1
0.8
258.8
0.7
16271.4
42.4
13381.5
34.9
10620.1
27.7
7147.5
18.6
1526.4
4.0
2140.7
5.6
1044.5
2.7
1004.5
2.6
38338.2
100
38338.2
100
38338.2
100
38338.2
100
Tabel 3 menunjukkan penggunaan lahan di DAS Ciliwung pada tahun 1994 dan 2002 masih didominasi oleh lahan sawah yaitu sebesar 42.4 dan 34.9%. Sedangkan tahun 2007 dan 2012, penggunaan lahan di DAS Ciliwung telah didominasi oleh lahan pemukiman yaitu sebesar 33.8 dan 39.0%. Adanya peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya menyebabkan kebutuhan lahan seperti pemukiman, perkebunan dan kebun campuran terus meningkat. Hal ini menyebabkan penurunan luas penggunaan lahan baik lahan sawah, hutan, maupun ladang/tegalan. Namun, luas lahan badan air di tahun 2007 mengalami peningkatan yang sangat signifikan dibandingkan dua tahun sebelumnya. Hal ini kemungkinan besar terjadi kesalahan dalam proses klasifikasi citra dimana sebagian dari lahan sawah teridentifikasi sebagai badan air. Analisis citra Landsat dari tahun 1994 hingga 2012 menunjukkan bahwa lahan sawah mengalami penurunan luas lahan terbesar yaitu 9123.8 ha, sedangkan pemukiman mengalami peningkatan luas lahan terbesar selama periode tahun tersebut yaitu 6778.8 ha (Tabel 4). Peningkatan luas lahan pemukiman sangat besar terjadi di DAS Ciliwung bagian tengah dan hilir (terlampir). Hal ini dikarenakan wilayah DAS bagian tengah dan hilir seperti Depok dan Jakarta merupakan wilayah pusat pemerintahan di Indonesia sehingga kebutuhan penggunaan lahan di wilayah tersebut sangat tinggi.
16 Tabel 4 Perubahan luas penggunaan lahan di DAS Ciliwung Perubahan Luas Lahan (ha)
Penggunaan Lahan 1994-2002
2002-2007
2007-2012
1994-2012
0.8
48.3
-32.3
16.8
Semak/Belukar
-266.4
686.1
136.0
555.7
Hutan
-377.2
-436.4
-200.3
-1013.9
Kebun Campuran
-206.0
1766.8
1380.6
2941.4
Perkebunan
-588.6
556.4
268.4
236.2
Pemukiman
3717.7
1060.6
2000.5
6778.8
-4.8
175.9
-40.3
130.8
-2889.9
-2761.4
-3472.6
-9123.8
614.3
-1096.2
-40.1
-521.9
Badan Air
Rumput/Tanah Kosong Sawah Ladang/Tegalan
Ket : (-) menunjukkan penurunan luas penggunaan lahan (ha)
Analisis Pengaruh Perubahan Lahan dan Curah Hujan terhadap Aliran Pemukaan di DAS Ciliwung Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) Berdasarkan tingkat infiltrasi minimum, kelompok hidrologi tanah DAS Ciliwung didominasi oleh KHT D dimana potensi aliran permukaan tinggi dan permeabilitas rendah di wilayah ini. Sedangkan KHT di DAS Ciliwung bagian hulu terutama wilayah pegunungan dengan kemiringan lereng yang tinggi (4160%) tergolong ke dalam KHT C. Berdasarkan tingkat infiltrasi minimum, KHT C mampu menginfiltrasikan air 1-4 mm/jam. Sedangkan KHT D hanya mampu menginfiltrasikan air 0-1 mm/jam. Rendahnya kemampuan tanah dalam menyerap air pada KHT D menyebabkan perlunya kewaspadaan yang dapat menimbulkan terjadinya genangan/banjir di wilayah tersebut saat hujan dengan intensitas tinggi.
Gambar 7 Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) DAS Ciliwung.
17 Aliran Permukaan dan Koefisien Aliran Permukaan Analisis aliran permukaan di DAS Ciliwung dilakukan menggunakan metode SCS (Soil Conservation Services) dengan mempertimbangkan faktor perubahan kondisi lahan serta curah hujan terhadap perubahan aliran permukaan. Data curah hujan yang digunakan merupakan data curah hujan multitemporal satelit Tropical Rainfall Meassuring Mission (TRMM) tahun 2002, 2007, dan 2012. Peta penggunaan lahan diperoleh dari hasil klasifikasi citra Landsat pada tahun yang sama. Analisis trend aliran permukaan pada puncak musim hujan (Februari) di DAS Ciliwung selama tiga tahun pengamatan menunjukkan nilai yang berfluktuatif. Gambar 8 merupakan distribusi aliran permukaan, curah hujan dan koefisien aliran permukaan di DAS Ciliwung tahun 2002, 2007 dan 2012 pada bulan Februari. Analisis SCS yang dilakukan di tahun 2002 menunjukkan bahwa wilayah hulu DAS Ciliwung yang mendapat curah hujan kisaran 401-500 mm menghasilkan aliran permukaan sebesar 301-400 mm. Sedangkan wilayah hilir DAS dengan besar curah hujan kisaran 451- >500 mm menghasilkan aliran permukaan 401-500 mm. Jika dibandingkan tahun 2002, tahun 2007 memperoleh curah hujan yang hampir merata di seluruh bagian DAS yaitu kisaran 451- >500 mm. Namun aliran permukaan yang dihasilkan di hulu DAS lebih besar dibandingkan di hilir DAS. Hal serupa juga terjadi pada tahun 2012 dimana wilayah hulu DAS dengan curah hujan tinggi menghasilkan aliran permukaan yang tinggi pula. Tingginya aliran permukaan tidak tergambar karena adanya pengaruh distribusi curah hujan yang tidak merata di setiap sub-DAS. Curah hujan yang tinggi akan menghasilkan aliran permukaan tinggi, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu untuk menstandarisasi besarnya curah hujan yang terjadi, maka dilakukan analisis koefisien aliran permukaan. Koefisien aliran permukaan (C) merupakan nisbah antara besarnya aliran permukaan terhadap besarnya curah hujan (Asdak 2002). Nilai C berkisar antara 0-1 dan menunjukkan kondisi fisik suatu DAS. Semakin besar nilai C maka kondisi fisik DAS tersebut semakin terganggu sehingga semakin banyak air hujan yang menjadi aliran permukaan. Analisis koefisien aliran permukaan yang dilakukan pada bulan Februari di tiga tahun pengamatan tersebut menunjukkan bahwa nilai C terendah terdapat di wilayah hulu DAS dengan tipe kelompok hidrologi tanah (KHT) C. Wilayah hulu DAS Ciliwung terdiri dari 2 tipe KHT, yaitu KHT C dan KHT D. Tipe KHT C memiliki laju infiltrasi minimum yang lebih besar dibandingkan KHT D yaitu 1-4 mm/jam. Oleh sebab itu curah hujan yang jatuh akan lebih banyak diserap tanah dengan tipe KHT C. Analisis citra yang dilakukan menunjukkan wilayah hulu DAS Ciliwung pada tipe KHT C merupakan wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sehingga didominasi oleh tegakan hutan yang akan memperkecil aliran permukaan. Adapun besar nilai C pada wilayah hulu DAS dengan tipe KHT C pada tahun 2002, 2007 dan 2012 secara berurutan adalah 0.71-0.80; 0.81-0.90; dan 0.71-0.80. Wilayah tengah dan hilir DAS pada tiga tahun pengamatan memiliki nilai C tertinggi yaitu kisaran 0.81- >0.9. Angka C yang tinggi dikarenakan penggunaan lahan di kedua wilayah tersebut didominasi oleh lahan pemukiman dan tanaman pertanian kering sehingga potensi terjadinya aliran permukaan tinggi akibat kapasitas resapan air yang rendah.
18 Koefisien aliran permukaan yang tinggi pada puncak musim hujan tahun 2002, 2007 dan 2012 menunjukkan potensi terjadinya banjir di wilayah hilir DAS Ciliwung sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan kondisi sesungguhnya dimana terjadi banjir besar pada bulan Februari tahun 2002 dan 2007 di wilayah Jakarta dan sekitarnya akibat tingginya curah hujan dan meluapnya debit air di DAS Ciliwung.
(a)
(a)
(a)
(b)
(c)
(b)
(b)
(c)
(c)
Gambar 8 Distribusi aliran permukaan, curah hujan dan koefisien aliran permukaan DAS Ciliwung di puncak musim hujan (Februari) tahun 2002 (a), 2007 (b) dan 2012 (c).
19 Analisis aliran permukaan di DAS Ciliwung pada puncak musim kemarau tidak terlihat jelas dari layout yang dihasilkan karena besar aliran permukaan dan curah hujan di DAS tersebut di bawah 50 mm (Gambar 9). Namun jika dilihat dari distribusi koefisien aliran permukaan pada tiga tahun pengamatan menunjukkan nilai yang lebih berfluktuatif. Rendahnya aliran permukaan yang dilihat dari koefisien aliran permukaan di DAS Ciliwung pada puncak musim kemarau menyebabkan potensi terjadinya kekeringan sangat tinggi, pada bulan Agustus.
(a)
(a)
(a) Gambar 9
(b)
(c)
(b)
(b)
(c)
(c)
Distribusi aliran permukaan, curah hujan dan koefisien aliran permukaan DAS Ciliwung di puncak musim kemarau (Agustus) tahun 2002 (a), 2007 (b) dan 2012 (c).
20 Tabel 5 menunjukkan besar aliran permukaan terhadap curah hujan dan dinyatakan dalam koefisien aliran permukaan. Hasil analisis menunjukkan adanya peningkatan koefisien aliran permukaan rata-rata bulanan di DAS Ciliwung dari tahun 2002, 2007 dan 2012 yaitu 0.58; 0.66; dan 0.72. Peningkatan nilai C menggambarkan kondisi fisik di DAS Ciliwung semakin terganggu. Salah satu faktor penyebab semakin meningkatnya nilai C yaitu adanya aktivitas perubahan penggunaan lahan sehingga mengurangi kapasitas resapan. Hal ini akan berdampak pada peningkatan aliran permukaan sehingga potensi terjadinya banjir akan lebih besar. Tabel 5 Koefisien aliran permukaan rata-rata (C) di DAS Ciliwung Q (mm)
Bulan
P (mm)
C
2002
2007
2012
2002
2007
2012
2002
2007
2012
Jan
635
210
357
689
259
408
0.92
0.81
0.88
Feb
421
552
278
474
606
328
0.89
0.91
0.85
Mar
241
201
153
291
251
199
0.83
0.80
0.77
Apr
156
210
214
204
259
262
0.76
0.81
0.82
May
73
87
74
115
130
114
0.63
0.67
0.65
Jun
19
76
27
49
118
59
0.39
0.64
0.46
Jul
110
9
2
155
31
4
0.71
0.29
0.50
Aug
2
10
2
17
36
5
0.12
0.28
0.40
Sep
3
15
357
17
43
408
0.18
0.35
0.88
Oct
1
118
87
11
164
129
0.09
0.72
0.67
Nov
129
148
267
175
195
316
0.74
0.76
0.84
Dec Mean
107
444
381
152
497
432
0.70 0.58
0.89 0.66
0.88 0.72
Ket: Q = aliran permukaan; P = curah hujan; C= koefisien aliran permukaan Adanya penurunan luas hutan di wilayah hulu DAS sebesar 1.7% disertai dengan peningkatan luas pemukiman dan kebun/perkebunan di wilayah tengah dan hilir DAS sebesar 17.7% dan 10.4% dari tahun 2002-2012 menyebabkan terjadinya peningkatan aliran permukaan dengan besar peningkatan koefisien aliran permukaan rata-rata bulanan dari tahun 2002-2012 sebesar 24%. Penurunan luas hutan di wilayah hulu DAS menyebabkan kemampuan tanah dan vegetasi dalam menyerap (infiltrasi dan intersepsi) hujan yang jatuh di wilayah tersebut menjadi berkurang sehingga banyak hujan yang menjadi aliran permukaan. Begitu juga dengan peningkatan luas pemukiman di wilayah tengah dan hilir DAS dan peningkatan luas kebun/perkebunan menyebabkan semakin besar potensi aliran permukaan di DAS Ciliwung. Suwargana (2010) menyebutkan bahwa banjir yang terjadi di wilayah DAS Ciliwung disebabkan oleh kondisi run-off yang cukup tinggi terutama di daerah tutupan lahan pemukiman dan perkebunan. Perkebunan memiliki laju aliran permukaan tinggi karena tanaman teh meskipun memiliki daun yang rindang namun dibawahnya tidak ditumbuhi semak sehingga akar-akar tanaman tersebut tidak dapat menahan air dalam tanah saat terjadi hujan. Tabel 6 menunjukkan potensi aliran permukaan tertinggi terdapat di wilayah pemukiman/ non vegetasi dan terendah di wilayah hutan. Wilayah hulu DAS Ciliwung yang didominasi oleh tegakan hutan memiliki kapasitas infiltrasi yang
21 tinggi sehingga air hujan akan sedikit mengalami aliran permukaan. Sedangkan wilayah hilir yang didominasi oleh pemukiman/lahan terbangun memiliki kapasitas infiltrasi yang rendah karena tanah tertutup semen/ bahan bangunan sehingga wilayah tersebut menjadi wilayah kedap air dan ketika hujan jatuh akan menyebabkan air hujan banyak menjadi aliran permukaan. Adanya penurunan luas hutan di wilayah hulu DAS menyebabkan terjadinya peningkatan koefisien aliran permukaan sebesar 0.16 dari tahun 2002 hingga 2012. Begitu juga dengan peningkatan luas pemukiman dari tahun 2002-2012 menyebabkan peningkatan nilai C sebesar 0.17. Hasil perhitungan nilai koefisien aliran permukaan tiap penggunaan lahan di DAS Ciliwung tahun 2002 masih berada dalam kisaran nilai C hasil perhitungan Suwargana (2010), kecuali untuk lahan pemukiman yang berada diatas kisaran nilai C perhitungan sebelumnya. Peningkatan luas pemukiman dan perkebunan memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan koefisien aliran permukaan di DAS Ciliwung, hal ini ditunjukkan oleh angka C untuk perkebunan dan pemukiman tahun 2012 yaitu 0.70 dan 0.74. Tabel 6 Koefisien aliran permukaan tiap penggunaan lahan di DAS Ciliwung C perhitungan
Penggunaan Lahan
C*
2002
2007
2012
2002
Hutan
0.46
0.53
0.64
0.40-0.50
Semak
0.54
0.58
0.67
Perkebunan
0.52
0.63
0.70
0.50-0.60
Sawah
0.58
0.67
0.69
0.40-0.60
Kb Campur
0.57
0.64
0.68
Tegalan
0.58
0.67
0.69
Rumput
0.54
0.57
0.66
Pemukiman
0.67
0.74
0.74
0.40-0.60 0.50-0.65
Ket: * merupakan hasil perhitungan Suwargana (2010) Aliran permukaan yang dilihat dari koefisien aliran permukaan di DAS Ciliwung di 3 tahun pengamatan selain disebabkan adanya perubahan penggunaan lahan, namun juga disebabkan adanya peningkatan dan penurunan curah hujan akibat fenomena ENSO. Berdasarkan Oceanic Nino Index (ONI), tahun 2002 termasuk ke dalam fase El Nino, sedangkan tahun 2007 dan 2012 termasuk ke dalam fase La Nina. Curah hujan yang tinggi tahun 2002 karena adanya gangguan atmosfer dalam bentuk osilasi gelombang Maden-Julian Oscillation (MJO). Tahun 2002 tergolong ke dalam fase aktif MJO dimana fenomena ini terkait langsung dengan pembentukan kolam panas di Samudera Hindia bagian timur dan Samudera Pasifik di bagian barat sehingga pergerakan MJO ke arah timur bersama angin baratan (westerly wind) sepanjang ekuator selalu diikuti dengan konveksi awan kumulus tebal. Awan ini yang menyebabkan tingginya intensitas hujan di Indonesia sehingga menyebabkan banjir di Jakarta tahun 2002 (Lestari 2009). Tingginya aliran permukaan di DAS Ciliwung tahun 2002, 2007 dan 2012 menyebabkan potensi terjadinya banjir di wilayah hilir DAS sangat tinggi. Banjir merupakan suatu kondisi dimana sungai tidak dapat menampung kelebihan debit akibat tingginya curah hujan yang menjadi aliran permukaan. Berikut ini adalah
22 grafik hubungan antara total volume aliran permukaan dengan debit total di stasiun pengamatan Bendung Katulampa pada tahun 2002 dan 2007.
(a)
(b)
Gambar 10 Hubungan antara aliran permukaan dengan debit total di stasiun Bendung Katulampa tahun 2002 (a) dan 2007 (b). Gambar 10 menunjukkan adanya hubungan/korelasi yang baik antara volume aliran permukaan dengan total debit aliran di stasiun pengamatan Bendung Katulampa pada tahun 2002 dan 2007. Hal ini dilihat dari nilai koefisien determinasi (R-squared) antara dua variabel di kedua tahun tersebut yaitu 66.7 dan 88.7%. Semakin tinggi volume aliran permukaan maka semakin besar total debit aliran yang dihasilkan. Berdasarkan hasil perhitungan BPSDA CiliwungCisadane, total debit aliran tertinggi pada tahun 2002 dan 2007 terjadi pada bulan Februari yaitu 124 juta m3 dan 142 juta m3. Sedangkan hasil perhitungan volume aliran permukaan menggunakan metode SCS di stasiun Bendung Katulampa menunjukkan volume aliran permukaan tertinggi tahun 2002 dan 2007 juga terjadi pada kisaran bulan Januari dan Februari yaitu sebesar 87 juta m3 dan 91 juta m3. Volume aliran permukaan dihasilkan dari perhitungan besar aliran permukaan di Bendung Katulampa dengan menggunakan metode SCS dan dikalikan dengan luas DAS Ciliwung hulu yaitu sebesar 146 km2. Tingginya volume aliran permukaan dan total debit aliran di stasiun Bendung Katulampa pada bulan Januari dan Februari di kedua tahun pengamatan menunjukkan potensi terjadinya banjir juga tinggi di wilayah hilir DAS. Hal ini sesuai dengan kondisi sebenarnya bahwa terjadi banjir di Jakarta pada Januari dan Februari tahun 2002 dan 2007 dimana peristiwa ini tergolong ke dalam peristiwa banjir besar di Jakarta dan merupakan banjir siklus lima tahunan.
23
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perubahan penggunaan lahan dan variasi curah hujan di DAS Ciliwung pada tahun 2002, 2007 dan 2012 menyebabkan terjadinya peningkatan aliran permukaan. Curah hujan yang tinggi di suatu wilayah menyebabkan aliran permukaan juga tinggi di wilayah tersebut. Distribusi curah hujan yang tidak merata di setiap sub-DAS menyebabkan tinggi rendahnya aliran permukaan tidak begitu tergambar sehingga dilakukan analisis koefisien aliran permukaan untuk menstandarkan nilai curah hujan tersebut. Adanya penurunan luas hutan di wilayah hulu DAS sebesar 1.7% disertai dengan peningkatan luas pemukiman dan kebun/perkebunan di wilayah tengah dan hilir DAS sebesar 17.7% dan 10.4% dari tahun 2002-2012 menyebabkan terjadinya peningkatan aliran permukaan dengan besar peningkatan koefisien aliran permukaan rata-rata bulanan dari tahun 20022012 sebesar 24%. Peningkatan luas pemukiman dan perkebunan memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan aliran permukaan di DAS Ciliwung. Pengaruh fenomena ENSO seperti La Nina menyebabkan terjadinya peningkatan curah hujan di wilayah DAS Ciliwung sehingga terjadi genangan/banjir di wilayah hilir DAS (Jakarta dan sekitarnya) pada tahun-tahun tersebut.
Saran Analisis pengaruh curah hujan terhadap aliran permukaan sebaiknya dilakukan pada tahun ENSO yaitu El Nino, La Nina dan normal sehingga dapat dilihat perbandingan tinggi rendahnya aliran permukaan di ketiga kondisi tersebut. Selain itu, penelitian ini menggunakan bilangan kurva (curve number) pada kondisi kelembaban tanah awal (AMC) normal. Hal ini tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan, sehingga perlu dipisahkan AMC pada kondisi tanah kering, normal maupun basah sehingga hasil yang diperoleh diharapkan mendekati kondisi sebenarnya di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA Alibuyog NR, VB Ella, MR Reyes, R Srinivasan, C Heatwole, T Dillaha. 2009. Predicting the effect of land use change on runoff and sediment yield in Manupali River Subwatersheds using SWAT Model. International Agricultural Engineering J. 18(1-2):15-25. Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pr. Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID): UGM Pr.
24 [BAPPENAS] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (ID). 2007. Laporan Perkiraan Kerusakan dan Kerugian Pasca Bencana Banjir Awal Februari 2007 di Wilayah JABODETABEK. Jakarta (ID): Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. [BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana (ID). 2013. Definisi dan jenis bencana [Internet]. [diunduh 2013 Mar 17]. Tersedia pada: http://www.bnpb.go.id/-page/read/5/definisi-dan-jenis-bencana. [BOM] Berau of Meteorology Australian Government (AU). 2013. El Nino Southern Oscillation (ENSO) [Internet]. [diunduh 2013 Mar 20]. Tersedia pada http://www.bom.gov.au/climate/enso/. Ekadinata A, Sonya D, Danan PH, Dudy KN, Feri J. 2008. Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Bentang Lahan Berbasis Sumber Daya Alam. Buku 1: Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh Menggunakan ILWIS Open Sources. Bogor (ID): World Agroforestry Centre. [GGWeather] Golden Gate Weather Services (US). 2013. El Nino and La Nina years and intensities based on Oceanic Nino Index (ONI) [Internet]. [diunduh 2013 Mei 15]. Tersedia pada: http://ggweather.com/enso/oni.htm. Gunawan D. 2008. Perbandingan curah hujan bulanan dari data pengamatan permukaan, satelit TRMM dan model permukaan NOAH. J Meteorologi dan Geofisika. 9(1):65-77. Kodoatie RJ, Roestam S. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, Ed. Kedua. Yogyakarta (ID): C.V Andi Offset. Lestari D. 2009 Feb 14. Cold surge-BJO barang baru pemicu banjir bandang. Antaranews. [Internet]. [diunduh 2013 Mei 13]. Tersedia pada: http://www.antaranews.com/view/?i=1234596326&c=WBM&s=. Lillesand TM, Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbahri, Prapto S, Hartono, Suharyadi, penerjemah. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Terjemahan dari: Remote Sensing and Image Interpretation. Mamenun. 2013. Pengembangan model penduga curah hujan bulanan menggunakan data satelit TRMM pada tiga pola hujan di Indonesia [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Marwadi I. 2010. Kerusakan daerah aliran sungai dan penurunan daya dukung sumberdaya air di Pulau Jawa serta upaya penanggulangannya. J Hidrosfir Indonesia. 5(2):1-11. McCuen RH. 1982. A Guide to Hydrologic Analysis Using SCS Methods. New York (US): Prince Hall. Murtiono UH. 2008. Kajian model estimasi volume limpasan permukaan, debit puncak aliran, dan erosi tanah dengan model Soil Conservatin Service (SCS), rasional dan Modified Universal Soil Loss Equation (MUSLE), Studi kasus di DAS Keduang, Wonogiri. J Forum Geografi. 22(2):169-185. Nair S, Srinivasan G, Nemani R. 2009. Evaluation of multi-satellite TRMM derived rainfall estimates over a Western State of India. J meteorology Society of Japan. 87:927-939. [NASDA] National Space Development Agency of Japan. 2001. TRMM Data Users Handbook. Japan (JP): Earth Observation Center. [P2MB] Pusat Pendidian Mitigasi Bencana Universitas Pendidikan Indonesia (ID). 2013. Tentang bencana [Internet]. [diunduh 2013 Mar 18]. Tersedia pada: http://p2mb.geografi.upi.edu/Tentang_Bencana.html.
25 Pakoksung K, Sucharit K. Tanpa tahun. The effect of landuse change on runoff in the Nan Basin. Water Resources System Research Unit; Thailand (TH); Departemen of Water Resources Engineering. [diunduh 2013 Jul 20]. Tersedia pada: http://management.kochi-tech.ac.jp/ssms_papers/sms118256_f934f7bfb6937776b49e0fb13ffb7313.pdf. Research Center for Water Resources. 2012. Study on effect of land use change on hydrological characteristic of watersheds. Final Report Institutional Strengthening Integrated Water Resources Management (IWRM); 2012 Nov. [diunduh 2013 Jul 19]. Tersedia pada: http://citarum.org/knowledge_center/upload/document/04_STUDY_EFFECT_of_LANDUSE_CHAN GE_on_HYDROLOGICAL_CHARACTER_2012.pdf. Ria J. 2008. Identifikasi aliran permukaan di setiap kecamatan DKI Jakarta menggunakan metode SCS [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sasmito SD. 2011. Pendugaan curah hujan dengan data satelit (MTSAT-1R) dan gelombang mikro imager (TRMM) Studi kasus: DAS Citarum [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suherlan E. 2001. Zonasi tingkat kerentanan banjir Kabupaten Bandung menggunakan sistem informasi geografis [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Supriatna W, Sukartono. 2002. Teknik perbaikan data digital (koreksi dan penajaman) citra satelit. Bul Teknik Pertanian. 7(1):4-6. Suryantoro A, Halimurrahman, Teguh H. 2008. Aplikasi satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) untuk prediksi curah hujan di wilayah Indonesia. [Paper Akhir Penelitian]. Bandung (ID): Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Susanto, Nana S. 2010. Model penentuan debit aliran/sungai untuk pengelolaan sistem DAS menggunakan data penginderaan jauh (Studi kasus DAS Ciliwung). Prosiding Seminar Nasional Limnologi V; 2010; Bandung, Indonesia. Bandung (ID): Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. hlm 626-639. Suwargana N. 2010. Model kajian sebaran run-off untuk mendukung pengelolaan sistem DAS menggunakan data penginderaan jauh (Studi kasus DAS Ciliwung). Prosiding Seminar Nasional Limnologi V; 2010; Bandung, Indonesia. Bandung (ID): Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. hlm 640-654. Trisakti B, Kuncoro T, Susanto. 2008. Kajian distribusi spasial debit aliran permukaan di Daerah Aliran Sungai (DAS) berbasis data satelit penginderaan jauh. J Penginderaan Jauh. 5:45-55. [TRMM] Tropical Rainfall Meassuring Mission. 2008. TRMM background [Internet]. [diunduh 2013 Mar 17]. Tersedia pada: http://trmm.gsfc.nasa.gov/overview_dir/background.html. Vernimmen REE, Hooijer A, Mamenun AE, Dijik AIJM. 2012. Evaluation and bias correction of satellite rainfall data for drought monitoring in Indonesia. J of Hidrol. Earth Syst. Sci. 16:133-146.
26 Lampiran 1 Kriteria Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) menurut US SCS 1972 (Arsyad 2000) KHT A
B
C
D
Keterangan Potensi aliran permukaan rendah, termasuk tanah liat berpasir dengan solum dalam dan permeabilitas cepat. Potensi aliran permukaan agak rendah, seperti pada kelompok A tetapi bersolum dangkal dan permeabilitas sedang - tinggi. Potensi aliran permukaan agak tinggi, tekstur berliat, solum dalam, kandungan liat tinggi dan permeabilitas rendah. Potensi aliran permukaan tinggi, tekstur berliat, solum dangkal, kandungan liat tinggi dan permeabilitas rendah.
Laju Infiltrasi (mm/jam) 8 – 12
4–8
1–4
0-1
Lampiran 2 Nilai CN berdasarkan penggunaan lahan pada AMC II (Sumber: BPDAS Ciliwung-Cisadane dalam Ria Junika 2008) Penggunaan Lahan Hutan Semak/Belukar Rumput/Tanah Kosong Tegalan/Ladang Kebun/Perkebunan Pemukimam_3 Gedung Sawah irigasi Sawah tadah hujan Air tawar Rawa
HSG A 25 36 39 49 45 74 98 61 61 100 75
B 55 60 61 69 66 83 98 73 73 100 80
C 70 73 74 79 77 89 98 81 81 100 85
D 77 79 80 84 83 91 98 84 84 100 90
27 Lampiran 3 Peta penggunaan lahan di DAS Ciliwung
28 Lampiran 4 Peta distribusi aliran permukaan di DAS Ciliwung tahun 2012
29 Lampiran 5 Peta distribusi curah hujan di DAS Ciliwung tahun 2012
30
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tanjungpandan, Belitung tanggal 30 April 1992. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara pasangan ayahanda Marwansyah dan ibunda Suzana Yulfiyanti. Tahun 2003, penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMPN 2 Tanjungpandan, Belitung. Selanjutnya penulis diterima di SMAN 1 Tanjungpandan, Belitung pada program kelas unggulan tahun 2006 hingga 2009. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor untuk program studi Meteorologi Terapan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan seperti HIMAGRETO (Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi) dan menjabat sebagai Bendahara pada Devisi Kewirausahaan, dan IKPB (Ikatan Keluarga Pelajar Belitung) Cabang Bogor dan menjabat sebagai Bendahara. Penulis juga pernah melakukan magang kerja di LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) Bandung. Pada tahun terakhir, sebagai syarat lulus, penulis melakukan penelitian di LAPAN Jakarta dibawah bimbingan Yon Sugiarto, SSi, MSc. dan Parwati, SSi, MSc.