JURNAL AGROTEKNOS Maret 2012 Vol.2. No.1. hal. 9-20 ISSN: 2087-7706
PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN BENTUKLAHAN DI DAS MORAMO Use of Remote Sensing and Geographic Information System for Mapping the Landform in Moramo Watershed M. TUFAILA1*) JUFRI KARIM 2),SYAMSU ALAM1) 1)
Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Anduonohu Kendari Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Anduonohu Kendari
2)
ABSTRACT Research on utilization of remote sensing and geographic information system for mapping landforms in the watershed (DAS) Moramo . The research was conducted on Moramo basin, District of Moramo South Konawe . This research was conducted with image processing techniques on the image of ALOS AVNIR-2 and visual interpretation was based on analytic approach with the help of Geographic Information Systems for on screen digitizing . The research result obtained 15 (fifteen ) units of landforms, namely: Alluvial plain (F1), Alluvial Plain-Koluvial (F1.1), Flood Plain (F7), Alluvial Plain Briny Beach ( M11), Structural Terdenudasi Eroded hills Strong (D1/4), Structural Terdenudasi Eroded Hills Moderate (D1/3), Eroded Hills Terdenudasi Structural Lightweight (D1/2) , Eroded Hills Isolated Strong (D4/4), Barely Plain (peneplain) Eroded Very Lightweight (D5/1), Slope Leg Eroded hills Structural Terdenudasi Strong (D7/4), Slope Foot hills Eroded Structural Terdenudasi Medium (D7/3), Slope Foot hills Terdenudasi Eroded Structural Lightweight (D7/2), Piedmont Eroded Lightweight (D9/2), Piedmont Eroded Very Light (D9/1) and the hills Dome (Dome) Eroded Strong (S11/4). Based on their genesis, they were grouped into four landforms : marine origin, the origin of fluvial landforms, landforms denudasional origin, and the origin of structural landforms. Accuracy of landform interpretation was 89,06 % and processing of the composite image 341 had an excellent capability to identify the location of landforms in the study area of watershed Moramo. Keyword : remote sensing, GIS, watershed, image processing, landform mapping
1PENDAHULUAN
Bentukan alam di permukaan bumi terjadi karena proses pembentukan tertentu melalui serangkaian evolusi tertentu. Bentukan pada permukaan bumi sebagai hasil perubahan bentuk permukaan bumi oleh proses-proses geomorfologis yang beroperasi di permukaan bumi. Penyebab perubahan tersebut adalah gaya dari dalam bumi (gaya endogen) dan gaya dari luar bumi (gaya eksogen). Proses geologi adalah semua aktivitas yang terjadi di bumi baik yang berasal dari dalam bumi (endogen) maupun yang berasal dari luar bumi (eksogen). Gaya endogen adalah gaya yang berasal dari dalam bumi seperti orogenesa dan *)
Alamat Korespondensi: HP: 081342643205; E-mail:
[email protected]
epirogenesa, magmatisme dan aktivitas volkanisme, sedangkan gaya eksogen adalah gaya yang bekerja di permukaan bumi seperti pelapukan, erosi dan mass-wasting serta sedimentasi. Gaya endogen maupun eksogen merupakan gaya-gaya yang memberi andil terhadap perubahan bentuk bentangalam (landscape) yang ada di permukaan bumi (Noor, 2010). Bentuklahan merupakan bagian dari permukaan bumi yang memiliki bentuk topografi khas, akibat pengaruh kuat dari proses alam dan struktur geologis pada material batuan dalam ruang dan waktu kronologis tertentu. Geomorfologi memiliki hubungan dengan kehidupan manusia dengan
10
TUFAILA ET AL.
adanya pegunungan-pegunungan, lembah, bukit, baik yang ada di darat maupun di dasar laut. Adanya keterkaitan dengan kehidupan mendorong manusia untuk melakukan pengamatan dan mempelajari bentukbentuk geomorfologi baik yang berpotensi berbahaya maupun aman, s ehingga dilakukan pengamatan dan identifikasi bentuk lahan. Selain memiliki potensi tersebut, juga memiliki fungsi dan layanan bentanglahan (landscape) seperti (a) fungsi produksi (penyedia jasa); (b) fungsi regulasi (pengatur jasa); (c) fungsi habitat mempertahankan struktur ekologi dan proses memberikan jasa pendukung (keanekaragaman hayati meningkatkan struktur landscape); dan fungsi informasi memberikan layanan budaya dan kemudahan pelayanan (Costanza and others 1997; de Groot and others 2002; MA 2005; Hein and others 2006 dalam Kienast et al., 2009). Analisis bentanglahan (landscape) dilakukan pada unit analisis yang lebih rinci dan sesuai yaitu unit bentuklahan (landform). Oleh karena itu, untuk menganalisis dan mengklasifikasi bentanglahan selalu mendasarkan pada kerangka kerja bentuklahan. Bentuklahan dikaji secara kuantitatif maupun kualitatif (morfometri) dimana tujuannya mendiskripsikan relief bumi, baik yang sifatnya konstruksional seperti gunung api, patahan, lipatan, dataran, plato, dome dan pegunungan kompleks maupun bentuk lahan destruksional meliputi bentuk lahan erosional, residual dan deposisional. Geomorfologi yang berfokus pada deskripsi/klasifikasi bentukan lahan,
proses karakterisasi dan hubungan antara bentang alam dan prosesnya, sedangkan penginderaan jauh dapat memberikan informasi tentang lokasi/distribusi bentang alam, permukaan komposisi/bawah permukaan dan permukaan elevasi (Smith and Pain, 2009).
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi sehingga membentuk satu kesatuan (Asdak, 2007). DAS sebagai sistem alami, menjadi tempat berlangsungnya proses-proses biofisik hidrologis maupun kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang kompleks (Dirjen RLPS, 2009). Proses alami maupun kegiatan
AGROTEKNOS
yang terjadi pada wilayah dapat memungkinkan terjadi perubahan terhadap bentanglahan yang ada di wilayah DAS. Seiring pesatnya perkembangan bidang teknologi penginderaan jauh, terutama pada setiap satelit sumberdaya alam yang memiliki saluran (band) dan resolusi sensor yang tinggi, maka kenampakan hasil citra menggambarkan banyak kenampakan fisik dan kultur di permukaan tanah termasuk kenampakan geomorfologi (Bauer, 2004; Smith and Pain, 2009). Salah satu citra penginderaan jauh yang terbaru yaitu citra sumberdaya alam ALOS (Advance Land Observation Satelite). Penggunaan teknologi informasi spasial modern, seperti sistem informasi geografis (GIS), elevasi digital pemodelan dan penginderaan jauh telah menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru untuk penelitian perbaikan (Martinez-Casasnovas 2003) dalam pemetaan bentuklahan yang ekonomis karena rendahnya biaya serta kecepatan (Raoofi et al., 2004). Citra ALOS terdiri atas tiga sensor utama, yaitu PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping), AVNIR-2 (AdvanceVisible and Near Infrared Radiometer Type 2), dan PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar) (Kusumowidagdo et al., 2007). Sensor AVNIR-2 merupakan sensor multispektral dengan 4 saluran warna yaitu biru, hijau, merah, dan inframerah dekat. Sensor multispektral ini memungkinkan penyusunan komposit warna untuk mempermudah interpretasi visual. Keunggulan sensor AVNIR-2 adalah dengan resolusi spasial 10 meter dan luas liputan (coverage) 70 km, memungkinkan untuk memiliki area liputan dan pengamatan yang cukup luas, sehingga memungkinkan untuk melakukan interpretasi unsur-unsur lahan seperti bentuklahan, pola aliran, kerapatan aliran, batuan, penggunaan lahan, dan vegetasi alami. Untuk mengetahui kelebihan dan keterbatasan berbagai teknik pengolahan citra penginderaan jauh terhadap kenampakan obyek atau fenomena bentuklahan dapat dilakukan dengan penilaian kemampuan secara kualitatif terhadap kejelasan dari suatu objek/fenomena yang dikaji. Ketepatan informasi yang dihasilkan dari ekstraksi citra penginderaan jauh dapat diketahui melalui tingkat kepercayaan data yang telah dikumpulkan dari hasil uji ketelitian.
Vol. 2 No.1, 2012
Pemanfaatan Penginderaan Jauh
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan citra ALOS AVNIR-2 untuk identifikasi bentuklahan, memetakan bentuklahan semi detil skala 1:50.000 berdasarkan pendekatan analitik dengan bantuan Sistem Informasi Geografis (SIG), dan mengevaluasi citra ALOS AVNIR-2 dalam pemetaan bentuklahan (landform).
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Moramo Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan, seluas 12.627,95 Ha. Secara geografis terletak 122031'25,17" 0 122 40'10,35" BT dan 404'51,34" sampai 4014'46,16" LS. Penelitian ini menggunakan alat penginderaan jauh dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) melalui analisis bentanglahan
11
(landscape) dengan pendekatan analitik. Analisis citra dilakukan dengan berbagai teknik pengolahan citra dan interpretasi citra secara visual/manual, melalui teknik citra komposit, pemfilteran dan penajaman. Analisis Digital Elevation Model (DEM) dilakukan untuk mengetahui relief yang lebih jelas dalam interpretasi secara visual dari bentuklahan, pola drainase, kerapatan drainase, relief, geologi dan hidrologi (Astras and Killin, 1992 dalam Javed et al., 2011). Pemetaan bentuklahan dilakukan dengan cara digitasi layar (on screen digitizing) berdasarkan unsur dasar pengenalan citra. Keunggulan pemetaan secara digital dapat mempercepat dan lebih akurat dan meningkatkan manajemen data
(Mau-Crimmins and Orr 2005 dalam Christensen, et al., 2011).
Tabel 1. Tahapan Penelitian, Alat Analisis, Sumber Data, dan Teknik Analisis Tahapan Penelitian a. Pengolahan Citra Registrasi RBI
Alat Analisis
Sumber
Teknik Analisis/Pengolahan
ArcGIS 9.3
Koreksi Geometrik Citra Komposit Pemfilteran Spasial Penajaman Kontras Delineasi DAS Interpretasi citra dan pembuatan Peta Bentuklahan
ENVI 4.5 ArcGIS 9.3
ArcGIS 9.3
Citra ALOS AVNIR-2
Citra ALOS AVNIR-2 Peta RBI, DEM RBI Citra ALOS AVNIR-2, DEM RBI
b. Ground Check Pengamatan aspek eksternal c. Analisis Citra Reinterpretasi Citra
Peta
Interpretasi visual (unsur dasar interpretasi ) dari bentuklahan Identifikasi relief, densitas, dan lokasi (Verstappen,1977) Uji interpretasi (field check) dan pengamatan lapangan
Analisis Kemampuan Uji Ketelitian Pembuatan Bentuklahan
Transformasi nilai piksel menjadi nilai koordinat peta Image to map, Ground Control Point (GCP) Kombinasi saluran (RGB) High pass filter Ekualisasi histogram Delineasi
ArcGIS 9.3
Hasil interpretasi dan Ground check Bentuklahan
Penelitian ini merupakan integrasi antara penginderaan jauh dan sistem informasi geografi, dimana penginderaan jauh berperan sebagai sumber data utama sedangkan sistem informasi geografis berperan dalam pengolahan dan analisis data. Perolehan data
Interpretasi ulang berdasarkan hasil pengecekan lapangan dan data baru dari hasil pengamatan Penilaian secara kualitatif terhadap teknik pengolahan citra (sangat jelas, jelas, kurang jelas, dan tidak jelas) Matriks uji ketelitian (metode Short, 1982). Layout peta bentuklahan dengan skala 1:50.000 berdasarkan kaidah kartografi.
melalui interpretasi citra ALOS AVNIR-2 dengan menggunakan beberapa data bantu seperti peta RBI, peta geologi, kontur digital RBI, dan data pengamatan lapangan.
12
TUFAILA ET AL.
AGROTEKNOS
Secara ringkas kegiatan penelitian, alat analisis, sumber data, dan teknik analisis disajikan sebagaimana pada Tabel 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan Citra Koreksi Geometrik. Koreksi geometrik merupakan tahap pra-pengolahan citra yang dilakukan untuk mengembalikan posisi piksel ke posisi yang sebenarnya baik bentuk dan posisi di permukaan bumi pada peta dengan proyeksi tertentu (Danoedoro, 1992). Koreksi dilakukan dengan metode image to map, dilakukan dengan pembuatan GCP (Grouth Control Point). Perubahan posisi piksel pada citra terkoreksi dilakukan dengan proses resampling nilai spektral dengan menggunakan algoritma nearest neighbour (tetangga terdekat) (Lillesand and Keifer 2006 dalam Avtar et al., 2011). Menurut Jensen (1986), nilai batas maksimal kualitas koreksi geometrik adalah 0,5 untuk RMS total. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan software ENVI 4.5 nilai RMSerror dari citra ALOS
AVNIR-2 pada daerah penelitian adalah 0,306932. Pembuatan Citra Komposit. Pemilihan komposit citra RGB (341) atau citra warna semu, hal ini dikarenakan pada kombinasi saluran ini dapat menonjolkan vegetasi dengan warna hijau, lahan terbuka (kondisi kering) dari endapan pasir dengan warna pink, tanah lembab berwarna keunguan, dan air berwarna ungu kebiruan serta pemukiman dengan warna pink kecerahan. Komposit RGB (341) juga dapat memperlihatkan dengan baik kenampakan bentuklahan, topografi, serta litologi di daerah penelitian. Sehingga dengan kombinasi saluran tersebut dapat memudahkan dalam menginterpretasi bentuklahan. Pemfilteran Spasial. Pemfilteran dalam pengolahan citra digital sangat bermanfaat untuk mendapatkan citra dengan kenampakan yang tajam dan menonjolkan kelompok spasial tertentu. Besarnya kemampuan hasil penajaman berbagai jenis filter disajikan sebagaimana pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan kemampuan hasil penajaman dengan filter directional dan undirectional.
No 1
Jenis Filter Directional
2
Undirectional (Laplacian)
Analisis Visual Hasil pemfilteran dengan filter directional bersifat memperlihatkan kenampakan linear pada dua arah yang saling tegak lurus. Hasil yang diperoleh berupa kenampakan citra yang cukup terang dan di dominasi oleh garis-garis kecil dengan batas tepi yang tidak dapat dikenali. Kenampakan ini menyulitkan dari proses identifikasi dan analisis pola struktur, dan batas litologi serta bentuklahan. Hasil pemfilteran dengan filter undirectional (Laplacian) yang bersifat menonjolkan kenampakan citra ke segala arah dan mampu menonjolkan batas tepi yang berbentuk yang cenderung melengkung yang bukan kelurusan ideal. Hasil pemfilteran ini baik untuk identifikasi dan analisis struktur geologi, batas litologi yang tegas, dan kelurusan.
Tabel 2. menunjukan bahwa jenis filter high pass undirectional (Laplacian) memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi dan menganalisis struktur geologi, batas geologi, serta satuan bentuklahan (landform). Penajaman Kontras. Penajaman yang digunakan dalam penelitian adalah penajaman ekualisasi histogram yang secara otomatis akan mereduksi kontras sangat terang atau gelap dan tingkat keabuan sedang ke arah tinggi dan rendah. Berdasarkan hasil penajaman citra komposit RGB 341 dengan penajaman ekualisasi histogram memudahkan
dalam interpretasi citra secara visual khususnya dalam membedakan batas litologi dan struktur geologi. Hasil pengolahan citra disajikan sebagaimana pada Gambar 1.
Vol. 2 No.1, 2012
Gambar 1.
Pemanfaatan Penginderaan Jauh
13
Hasil Pengolahan Citra ALOS AVNIR-2
Interpretasi Bentuklahan dan Persebarannya Interpretasi bentuklahan DAS Moramo dilakukan secara manual berdasarkan unsur interpretasi. Unsur interpretasi citra ALOS AVNIR-2 yang digunakan untuk identifikasi dan klasifikasi bentuklahan adalah rona, tekstur, penggunaan lahan, dan kondisi topografi (Paine,1993 dalam Kusumowidagdo et al., 2007; Nobi et al., 2010). Hal ini sejalan dengan Alavipanah, (2004) bahwa
penggunaan unsur interpretasi dari citra
satelit
cocok
untuk mempelajari permukaan, termasuk
kenampakan bentuklahan. Identifikasi dan klasifikasi satuan bentuklahan dilakukan secara on screen digitizing pada layar computer, berpedoman pada sifat genesis, relief (konfigurasi permukaan), dan batuan. Pemberian nama satuan bentuklahan pada penelitian ini mencerminkan sifat-sifat tersebut dengan menggunakan klasifikasi bentuklahan untuk pemetaan geomorfologi Indonesia yang dirumuskan oleh Bakosurtanal dan Fakultas
14
TUFAILA ET AL.
Geografi UGM (1985). Berdasarkan hasil interpretasi citra ALOS AVNIR-2 pada komposit RGB 341 dan didukung data-data sekunder yang ada serta pengecekan lapangan, daerah penelitian secara genesa terdiri atas 4 (empat) macam bentuklahan yaitu bentuklahan asal marin, bentuklahan asal fluvial, bentuklahan asal struktural, dan bentuklahan asal denudasional. Berdasarkan keseragaman sifat batuan, dan topografi, empat macam bentukan asal tersebut di wilayah penelitian dirinci menjadi 15 satuan bentuklahan. 1). Bentuklahan asal Proses Marin (M) Bentuklahan asal marin (M) merupakan bentuklahan yang terjadi karena aktivitas marin. Bentuklahan asal marin memiliki wilayah yang tidak begitu luas dan berada di muara sungai atau wilayah estuaria. Luas keseluruhan satuan bentuklahan asal marin di wilayah penelitian, yaitu sekitar 130,94 ha atau sekitar 1,04% dari total luas wilayah DAS Moramo. Satuan bentuklahan asal proses marin meliputi bentuklahan dataran aluvial pantai payau formasi Aluvium (M11). Dataran aluvial pantai payau menempati bagian Timur Laut daerah penelitian atau pada bagian muara Sungai Moramo yang merupakan wilayah estuaria dari DAS moramo. Topografi pada bentuklahan ini datar, tersusun dari bahan lumpur, lempung, pasir, kerikil dan kerakal yang merupakan formasi aluvium. Pada citra ALOS AVNIR-2 dengan komposit RGB 341, bentuklahan ini mudah diinterpretasi berdasarkan rona gelap ungu kebiruan menandakan areal yang selalu tergenang air, tekstur halus sampai sedang, topografi datar, situs muara sungai dengan penggunaan lahan mangrove, dan berdasarkan interpretasi secara visual beracuan bahwa pada areal ini telah berasosiasi dengan tambak. Berdasarkan hasil interpretasi dipadukan dengan batas wilayah administrasi, bahwa bentuklahan M11 terdapat pada Desa Moramo. 2). Bentuklahan asal proses Fluvial (F) Bentuklahan hasil proses fluvial (F) di daerah penelitian meliputi dataran alluvial (F1), dataran aluvial-koluvial (F1.1) dan dataran banjir (F7). Luas keseluruhan satuan bentuklahan asal fluvial di wilayah penelitian, yaitu sekitar 2.147,18 ha atau sekitar 17% dari total luas wilayah DAS Moramo. Bentuklahan dataran aluvial (F1) pada citra ALOS AVNIR-2 komposit RGB 341 diselingi
AGROTEKNOS
dengan rona pink kecerahan dan keunguan dan tekstur halus serta berasosiasi dengan pola sungai yang menjalin. Rona keunguan yang diinterpretasi bahwa terdapat kandungan air dangkal. Sedangkan pada rona pink kecerahan diinterpretasi merupakan lahan terbuka yang dimanfaatkan sebagai lahan tegalan dengan tanaman semusim seperti padi dan tanaman sayur-sayuran. Sehingga pada saat perekaman berwarna cerah dan biasanya berasosiasi dengan pemukiman. Berdasarkan identifikasi dari peta lereng dan kenampakan topografi pada citra, bentuklahan dataran aluvial umumnya mempunyai topografi yang datar dengan kemiringan 0-3% yang berada di daerah dengan ketinggian dari 4-17 m dpl. Material penyusunnya berupa batupasir, konglomerat, napal pasiran, serpih, dan kalkarenit. Bentuklahan ini banyak dimanfaatkan untuk pemukiman, sawah, tegalan, kebun campuran dan semak belukar dengan vegetasi seperti padi, kakao, kelapa, gamal, dan krinyu serta alang-alang. Dataran aluvial menempati areal seluas 1.448,39 ha atau 11,47% dari luas keseluruhan wilayah DAS Moramo. Berdasarkan hasil interpretasi yang dipadukan dengan peta batas administrasi, bentuklahan ini hanya terdapat di Desa Tambosupa, Amohola, dan Lambuea. Bentuklahan dataran Aluvial-koluvial (F1.1) jika dicermati di lapangan, bentuklahan ini merupakan bentuklahan dataran aluvial, khususnya dataran aluvial-koluvial yang datar sampai landai dengan kemiringan lereng 0-8% yang berada di daerah dengan ketinggian dari 31-37 m dpl sehingga terlihat adanya topografi yang sedikit landai. Bentuklahan ini terletak pada kaki lereng dari bentuklahan struktural terdenudasi Formasi Boepinang, Eemoiko, dan Laonti yang berbatuan batupasir, konglomerat, napal pasiran dan napal serta serpih. Pada citra ALOS AVNIR-2 komposit RGB 341, bentuklahan ini ronanya pink kecerahan dan ungu agak gelap, serta teksturnya halus. Rona ungu agak gelap yang diinterpretasi adanya kandungan air dangkal atau mungkin selalu tergenang yang menunjukkan permeabilitas tanah sangat lambat akibat pengaruh endapan material yang ada diatasnya. Proses yang terjadi pada unit ini ialah proses aluvial dan koluvial. Proses koluvial terjadi pada bagian-bagian punggung dan proses fluvial terjadi pada bagian lembah, sehingga tanah yang terbentuk di tempat
Vol. 2 No.1, 2012
tersebut juga berbeda. Pada citra terlihat bahwa bentuklahan ini dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, semakbelukar, dan hutan. Bentuklahan ini menempati areal seluas 253,76 ha atau 2,01% dari total luas wilayah DAS dan hanya terdapat pada Desa Amohola dan Lamokula. Bentuklahan dataran banjir (F7) pada citra ALOS AVNIR-2 komposit RGB 341 nampak dengan rona ungu agak gelap dan tekstur sangat halus serta berasosiasi dengan sungai yang berada di pinggir atau kiri kanan sungai, dan situsnya berada pada cekungan atau lembah antar perbukitan terdapat pola sungai yang menjalin. Rona ungu agak gelap yang diinterpretasi bahwa terdapat kandungan air dangkal atau kelembaban tanah tinggi. Berdasarkan identifikasi dari peta lereng dan kenampakan topografi pada citra, bentuklahan dataran banjir mempunyai topografi datar dengan kemiringan 0-3% yang berada di daerah dengan ketinggian dari 45-73 m dpl. Material penyusunnya berupa batupasir, konglomerat, dan serpih. Bentuklahan ini banyak dimanfaatkan untuk pemukiman, sawah, tegalan, kebun campuran dan semak belukar dengan vegetasi seperti padi, kakao, kelapa, gamal, dan krinyu serta alang-alang. Dataran banjir menempati areal seluas 445,03 ha atau 3,52% dari luas keseluruhan wilayah DAS Moramo. Berdasarkan hasil interpretasi yang dipadukan dengan peta batas administrasi, bentuklahan ini hanya terdapat di Desa Mekar Jaya. 3). Bentuklahan asal proses Denudasional (D) Bentuklahan hasil proses denudasional (D) di daerah penelitian terkait dengan proses degradasi oleh erosi dan mass-wasting (pengikisan) serta proses sedimentasi. Berdasarkan kenampakan pada citra komposit RGB 341 dan dipadukan dengan peta lereng dan peta geologi DAS Moramo tampak pada bentuklahan ini memiliki tekstur yang sedang sampai kasar yang menunjukkan konfigurasi permukaan hasil sisa erosi dengan adanya timbulan yang membulat sebagai indikator dari perbukitan. Interpretasi visual citra dibantu dengan peta geologi dan peta lereng derivasi dari DEM, diperoleh bentuklahan di daerah ini merupakan hasil proses denudasional dari bentuklahan struktural, diklasifikasikan menjadi 5 (lima) satuan yaitu perbukitan struktural terdenudasi (D1), Perbukitan terisolasi (D4), dataran nyaris
Pemanfaatan Penginderaan Jauh
15
(peneplain) (D5), lereng kaki perbukitan struktural (D7), dan Piedmont (D9). Bentuklahan Perbukitan Struktural Terdenudasi (D1) di daerah penelitian merupakan bentuklahan asal struktural yang telah didominasi oleh proses denudasional yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh proses denudasional berkembang lebih tinggi dibanding dengan proses struktural yang terjadi. Berdasarkan interpretasi secara visual, bentuklahan perbukitan struktural terdenudasi (D1) dibagi menjadi perbukitan struktural terdenudasi terkikis kuat (D1/4), perbukitan struktural terdenudasi terkikis sedang (D1/3), dan perbukitan struktural terdenudasi terkikis ringan (D1/2). Material penyusunnya adalah batugamping malih, kalkarenit, batugamping koral, pualam, filit, lempung pasiran, batupasir, konglomerat, dan napal pasiran. Bentuklahan ini terjadi karena adanya perbedaan proses pelapukan, erosi, gerak massa batuan serta proses sedimentasi yang terjadi. Kenampakan pada citra komposit RGB 341, bentuklahan ini dicirikan dengan topografi yang berbukit, rona gelap keunguan, pola pengaliran serta kerapatan alir yang sedang sampai tinggi dengan proses erosi yang sedang sampai tinggi sehingga kenampakan tekstur sedang sampai kasar. Bentuklahan di wilayah ini dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, kebun campuran, hutan, dan semak belukar. Penyebaran bentuklahan ini terdapat pada Desa Amohola, Lamokula, Margacinta, dan Mekar Jaya. Bentuklahan ini di wilayah penelitian menempati areal seluas 5.097,34 ha atau 40,06% dari luas wilayah DAS. Satuan bentuklahan Perbukitan Terisolasi Terkikis Kuat (D4/4) merupakan bukit terisolasi yang terdapat di tengah-tengah suatu dataran. Reliefnya berbukit dengan lereng agak curam sampai curam (30-45%). Unit ini terbentuk dari batuan lempung pasiran, napal pasiran, dan batupasir, termasuk dalam Formasi Boepinang. Bentuklahan ini menempati luas 585,56 ha atau 4,64% dari luas wilayah DAS. Kenampakan pada citra ALOS AVNIR-2 Komposit RGB 341 yaitu reliefnya berbukit tampak muncul di tengah-tengah suatu dataran, lereng curam, tekstur kasar, dan kerapatan alur tinggi sehingga berbeda dengan daerah sekitarnya. Oleh sebab itu bentuklahan ini mudah dibedakan. Penggunaan lahan pada satuan ini masih didominasi oleh hutan.
16
TUFAILA ET AL.
Penyebaran bentuklahan ini hanya terdapat pada Desa Amohola. Dataran nyaris (peneplain) terkikis sangat ringan (D5/1) merupakan satuan bentuklahan dari proses denudasional yang bekerja pada wilayah perbukitan secara terus menerus akibat proses pendataran strata batuan sedimen berlapis oleh kegiatan erosi yang cukup lama sehingga permukaan lahan cenderung menurun ketinggiannya dengan membentuk topografi yang hampir datar. Kenampakan pada citra dicirikan dengan tekstur sedang sampai halus, topografi yang datar sampai bergelombang dengan kemiringan 3-8% yang berada di daerah dengan ketinggian dari 43-94 m dpl. Material penyusun dari bentuklahan adalah batuan batupasir dan napal pasiran dari Formasi Boepinang. Penggunaan lahan pada bentuklahan ini didominasi oleh tegalan dan hutan. Bentuklahan ini di wilayah penelitian menempati areal seluas 466,70 ha atau 3,70% dari luas wilayah DAS. Penyebaran bentuklahan ini terdapat pada Desa Amohola dan Margacinta. Bentuklahan Lereng Kaki Perbukitan Struktural Terdenudasi (D7) di wilayah penelitian menempati areal seluas 3.749,85 ha atau 29, 69% dari luas wilayah DAS. Berdasarkan hasil interpretasi secara visual citra komposit RGB 341, bentuklahan lereng kaki terdenudasi diklasifikasi menjadi lereng kaki perbukitan struktural terdenudasi kuat (D7/4), lereng kaki perbukitan struktural terdenudasi sedang (D7/3), dan lereng kaki perbukitan struktural terdenudasi ringan (D7/2). Kenampakan bentuklahan ini berada pada situs lereng-lereng kaki dari perbukitan, pola pengaliran serta kerapatan alir yang rendah sampai sedang dengan proses erosi yang sedang sampai tinggi sehingga kenampakan tekstur sedang sampai halus, bertopografi landai sampai berbukit dengan kemiringan lereng berkisar antara 3-15% yang berada pada ketinggian 61-123 m dpl. Material penyusun dari bentuklahan ini adalah batupasir, konglomerat, lempung pasiran, napal pasiran, pualam, dan filit. Bentuklahan di wilayah ini dimanfaatkan sebagai kebun campuran, hutan, dan semak belukar. Penyebaran bentuklahan ini terdapat pada Desa Amohola, Lamokula, Margacinta, dan Mekar Jaya.
AGROTEKNOS
Piedmont (D9) merupakan daerah endapan yang berasal dari lahan diatasnya yang tersebar di kaki bukit yang memanjang sungai. Berdasarkan hasil interpretasi secara visual citra komposit RGB 341, bentuklahan piedmont diklasifikasi menjadi piedmont terkikis ringan (D9/2) dan piedmont terkikis sangat ringan (D9/1). Kenampakan bentuklahan ini pada citra ALOS AVNIR-2 Komposit RGB 341 adalah tekstur halus, situs berada di kaki bukit sepanjang sungai, reliefnya berombak dengan lereng landai sampai bergelombang (3-15%) dan kerapatan alur rendah. Unit ini tersusun atas batuan konglomerat, batupasir, serpih, dan kalkarenit, termasuk dalam Formasi Langkowala. Bentuklahan ini menempati luas 166,23 ha atau 1,32% dari luas wilayah DAS. Penggunaan lahan pada satuan ini berupa kebun dan tegalan. Penyebaran bentuklahan ini hanya terdapat pada Desa Mekar Jaya dan Lombuea. 4). Bentuklahan asal Struktural (S) Kenampakan bentuklahan perbukitan dome (kubah) terkikis kuat (S11/4) pada citra ALOS AVNIR-2 komposit RGB 341 nampak dengan rona ungu agak gelap dan tekstur sangat kasar, bentuk membulat seperti kubah (dome). Rona ungu agak gelap yang diinterpretasi akibat material penyusunnya. Berdasarkan identifikasi dari peta lereng dan kenampakan topografi pada citra, bentuklahan ini mempunyai topografi berbukit dengan kemiringan 15-30% yang berada di daerah dengan ketinggian dari 37-316 m dpl. Material penyusunnya berupa batugamping malih, pualam, dan filit. Penggunaan lahan dari bentuklahan ini berupa hutan. Perbukitan dome (kubah) terkikis kuat menempati areal seluas 322,15 ha atau 2,55% dari luas keseluruhan wilayah DAS Moramo. Berdasarkan hasil interpretasi yang dipadukan dengan peta batas administrasi, bentuklahan ini hanya terdapat di Desa Amohola. Uji Ketelitian Interpretasi Bentuklahan Uji ketelitian interpretasi perlu dilakukan, mengingat tingkat ketelitian hasil interpretasi mempengaruhi besarnya kepercayaan yang diberikan terhadap data yang digunakan. Uji ketelitian interpretasi dilakukan dengan cara mencocokkan antara hasil interpretasi citra ALOS AVNIR-2 dengan kondisi sebenarnya di lapangan dengan metode Short (1982) dalam Ashar (2010).
Vol. 2 No.1, 2012
Uji ketelitian bentuklahan dilakukan dengan membandingkan hasil interpretasi dengan kondisi di lapangan. Dari 64 titik sampel yang ditentukan, yang benar 57 titik. Sehingga ketelitian bentuklahan didapat sebesar 89,06%. Berdasarkan Tabel 3 diperoleh ketelitian hasil interpretasi bentuklahan mencapai 89,06%. Bila dikaitkan dengan batas ketelitian yang harus dipenuhi oleh Short (1982) yaitu 85%, maka ketelitian interpretasi bentuklahan adalah baik. Hasil interpretasi dengan kondisi lapangan tidak menunjukkan perbedaan yang
Gambar 2. Peta Bentuklahan Di DAS Moramo
Pemanfaatan Penginderaan Jauh
17
signifikan, dimana kesalahan interpretasi pada bentuklahan di wilayah penelitian, lebih disebabkan pada penentuan tingkat pengikisan karena dari kenampakan pada citra tidak terlalu jelas karena tertutup vegetasi terutama pada vegetasi rapat. Sedangkan bentuklahan yang lain mudah dikenali pada citra. Uji ketelitian klasifikasi bentuklahan disajikan sebagaimana pada Tabel 3. Hasil interpretasi bentuklahan (peta bentuklahan) di wilayah DAS Moramo disajikan pada Gambar 2.
Tabel 3. Matriks Uji Ketelitian Klasifikasi Bentuklahan di DAS Moramo
Hasil Lapangan
F1 F1.1 F7 M11 D1/4 D1/3 D1/2 D4/4 D5/1 D7/4 D7/3 D7/2
F1
F1.1
11 1
1 2
F7
M11
D1/4
D1/3
D1/2
Hasil Interpretasi D4/4 D5/1 D7/4
D7/3
D7/2
D9/1
S11/4
3 4 6 1
1 5 1
2 2 2 3 4 1
1
9
D9/2 D9/1 S11/4 ∑
D9/2
1 1 2 12
3
3
4
7
Keterangan :
F1 = Dataran Aluvial F1.1 = Dataran Aluvial-Koluvial F7 = Dataran Banjir M11 = Dataran Aluvial Pantai Payau D1/4= Perbukitan Struktural Terdenudasi Terkikis Kuat D1/3= Perbukitan Struktural Terdenudasi Terkikis Sedang D1/2= Perbukitan Struktural Terdenudasi Terkikis Ringan
7
3
2
2
3
5
9
D4/4= Perbukitan Terisolasi Terkikis Kuat D5/1= Dataran Nyaris (peneplain) Terkikis Sangat Ringan D7/4= Lereng Kaki Perbukitan Struktural Terdenudasi Terkikis Kuat D7/3= Lereng Kaki Perbukitan Struktural Terdenudasi Terkikis Sedang D7/2= Lereng Kaki Perbukitan Struktural Terdenudasi Terkikis Ringan D9/2= Piedmont Terkikis Ringan D9/1= Piedmont Terkikis Sangat Ringan S11/4= Perbukitan Dome (Kubah) Terkikis Kuat
Ketelitian Interpretasi = ((11+2+3+4+6+5+2+2+2+3+4+9+1+1+2)/64)x 100% = 89,06 %
1
1
2
∑ 12 3 3 4 7 6 3 2 2 3 4
Ketelitian Pemetaan 91,67 66,67 100,00 100,00 85,71 83,33 66,67 100,00 100,00 100,00 100,00
11 1 1
81,82 100,00 100,00
2 64
100,00
Vol. 2 No.1, 2012
Pemanfaatan Penginderaan Jauh
Evaluasi Kemampuan Citra ALOS AVNIR-2 Hasil perbandingan hasil olahan citra ALOS AVNIR-2 meliputi citra komposit, filtering, dan penajaman untuk interpretasi bentuklahan. Kemampuan citra ALOS AVNIR-2 untuk identifikasi parameter satuan lahan disajikan sebagaimana pada Tabel 4. Tabel 4. Kemampuan Citra ALOS AVNIR-2 Untuk Identifikasi Bentuklahan
Fenomena Bentuklaha n: Denudasion al Struktural Fluvial Marin
Citra ALOS AVNIR-2 Citra Penajam Kompos an it 341 A A A A
A A B A
Filterin g B A B A
Keterangan : A) Sangat jelas; B) Jelas; C) Kurang jelas
Berdasarkan Tabel 4. menunjukkan bahwa Citra ALOS AVNIR-2 memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi bentuklahan dengan menggunakan pengolahan citra melalui pembuatan citra komposit 341 dari sangat jelas sampai jelas. Untuk penajaman dari sangat jelas sampai jelas. Sedangkan kemampuan pemfilteran spasial untuk parameter satuan lahan dari sangat jelas sampai kurang jelas.
SIMPULAN 1. Kemampuan citra ALOS AVNIR-2 melalui pengolahan citra komposit 341, penajaman, dan pemfilteran yang dilakukan secara visual on screen digitizing, dapat mempercepat penyediaan data dalam pemetaan bentuklahan (landform) pada tingkat semi detil (skala 1:50.000). 2. Bentuklahan secara genesa pada wilayah DAS Moramo terdiri atas 4 (empat) macam bentuklahan yaitu bentuklahan asal marin, bentuklahan asal fluvial, bentuklahan asal struktural, dan bentuklahan asal denudasional. Bentuklahan asal denudasional merupakan bentuklahan terluas sebesar 10.027, 68 ha atau 79,41 % dan terendah pada bentuklahan asal marin seluas 130,94 ha atau 1,04% dari total luas wilayah DAS Moramo.
19
3. Bentuklahan wilayah DAS Moramo terdiri atas 15 satuan bentuklahan yaitu Dataran Aluvial (F1), Dataran Aluvial-Koluvial (F1.1), Dataran Banjir (F7), Dataran Aluvial Pantai Payau (M11), Perbukitan Struktural Terdenudasi Terkikis Kuat (D1/4), Perbukitan Struktural Terdenudasi Terkikis Sedang (D1/3), Perbukitan Struktural Terdenudasi Terkikis Ringan (D1/2), Perbukitan Terisolasi Terkikis Kuat (D4/4), Dataran Nyaris (peneplain) Terkikis Sangat Ringan (D5/1), Lereng Kaki Perbukitan Struktural Terdenudasi Terkikis Kuat (D7/4), Lereng Kaki Perbukitan Struktural Terdenudasi Terkikis Sedang (D7/3), Lereng Kaki Perbukitan Struktural Terdenudasi Terkikis Ringan (D7/2), Piedmont Terkikis Ringan (D9/2), Piedmont Terkikis Sangat Ringan (D9/1) dan Perbukitan Dome (Kubah) Terkikis Kuat (S11/4). 4. Tingkat ketelitian interpretasi bentuklahan menggunakan citra ALOS AVNIR-2 dapat mencapai 89,06%.
DAFTAR PUSTAKA Alavipanah, S.K. 2004. Application of remote sensing in the earth sciences (soil). Second ed., University of Tehran Press, Tehran, Iran. Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Ashar, K.L. 2010. Aplikasi Citra Landsat-7 ETM+ dan Sistem Informasi Geografi Dalam Survei dan Pemetaan Bitumen Padat (Kasus di Kabupaten Buton Utara dan Sekitarnya Provinsi Sulawesi Tenggara). Tesis. Program Studi Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Avtar, R., C.K. Singh, S. Shashtri, and S. Mukherjee. 2011. Identification of erosional and inundation hazard zones in Ken–Betwa river linking area, India, using remote sensing and GIS. Environ Monit Assess. 182:341–360. Bakosurtanal dan Fakultas Geografi UGM. 1985. Klasifikasi Satuan Bentuklahan Untuk Pemetaan Geomorfologi Sistematik Wilayah Indonesia. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. Bauer, B.O. 2004: Geomorphology. In Goudie, A.S., editor, Encyclopedia of Geomorphology, 1:428– 35. Christensen, S.D., C.V. Ransom, K.A. Edvarchuk and V.P. Rasmussen. 2011. Efficiency and accuracy of
20
TUFAILA ET AL.
wildland weed mapping methods. Invasive Plant Science and Management, 4(4):458-465. Danoedoro, P. 1996. Pengolahan Citra Digital. Teori dan Aplikasinya dalam Bidang Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS). 2009. Lampiran Peraturan Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta. Javed. A., M.Y. Khanday and S. Rais. 2011. Watershed Prioritization Using Morphometric And Land Use/Land Cover Parameters: A Remote Sensing And GIS Based Approach. Journal Geological Society of India. 78:63-75. Kienast, F., J. Bolliger, M. Potschin, R.S. de Groot, P.H. Verburg, I. Heller, D. Wascher, R. HainesYoung. 2009. Assessing Landscape Functions with Broad-Scale Environmental Data: Insights Gained from a Prototype Development for Europe. Environmental Management, 44:10991120. Kusumowidagdo, M., T.B. Sanjoto, E. Banowati, D.L. Setyowati, dan B. Semedi. 2007. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Buku Pengantar Penginderaan Jauh (bagi kalangan pendidik, praktisi dan ilmuwan berbagai kalangan). Pusat Data Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Jurusan Geografi Universitas Negeri Semarang (UNNES). Jakarta.
AGROTEKNOS Martinez-Casasnovas, J.A. 2003. A spatial information technology approach for the mapping and quantification of gully erosion. Catena, 50(2-4): 293-308. Nobi, E.P., A. Shivaprasad, R. Karikalan, E.T. Dilipan, Thangaradjou, and K. Sivakumar. 2010. Microlevel Mapping of Coastal Geomorphology and Coastal Resources of Rameswara Island, India: A Remote sensing and GIS Prespective. Journal of Coastal Research. 26(3):424-428 Noor, D. 2010. Geomorfologi. Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknik. Universitas Pakuan. Edisi Kedua. Bogor. Raoofi, M., H. Refahi, N. Jalali dan F. Sarmadian. 2004. A study of the efficiency of digital processing methods of satellite images to map and locate soil erosion. Iranian J Agric Sci, 35(4):797-807. Short, N. M. 1982. Landsat Tutorial Workbook – Basics of Satellite Remote Sensing. Washington DC: NASA. Smith, M.J. and C.F. Pain. 2009. Applications of remote sensing in geomorphology. Progress in Physical Geography. 33(4):568–582. Verstappen, H. 1977. The Used of Aerial Photograph in Geomorphological Mapping. Nedherlands: Enschende-ITC.