PEMANFAATAN BELUT (Monoptherus albus Zuieuw) DALAM PEMBUATAN BAKSO
LUSI ANINDIA RAHMAWATI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
ABSTRACT LUSI ANINDIA RAHMAWATI. Utilization of Eel (Monoptherus albus Zuieuw) in Fishball Production. Supervised by Sri Anna Marliyati and Dodik Briawan. The objective of this research was to utilize eel in fishball production. The experimental design used in this research was a Complete Randomized Factorial Design. Factors used in this experimental design was A-factor which is type of flour (tapioca and sago flour) and B-factor which is amount of flour (10%, 20%, 30%, 40%). The organoleptic test showed eel fishball selected formula was A1B1 with the addition of tapioca flour 10% of the weight of the eel. Every 100 grams formula contains 84 kcal energy, 7.7 g carbohydrate, 0.9 g fat, 11.5 g protein, 185 mg phosphorus, and 490 mg calcium. Recommendation of fishball consumption per serving size was 80 g to met 15.4% protein, 24.6% phosphorus, and 49.0% calcium of Indonesian’s Daily References Value. Therefore, this formula can be considered as a good source of protein, and rich of phosphorus and calcium.
Keywords: fishball, eel, calcium, tapioca, sago flour
RINGKASAN Lusi Anindia Rahmawati. Pemanfaatan Belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam Pembuatan Bakso. (Dibimbing oleh Sri Anna Marliyati dan Dodik Briawan) Bakso ikan adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ikan (kadar daging ikan tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan (BSN 1995). Menurut Park (2004), bakso ikan adalah produk yang paling populer di Asia Tenggara yang berasal dari surimi. Pemanfaatan daging belut dalam pembuatan bakso diharapkan mampu menjadi alternatif produk olahan pangan hewani yang memiliki nilai gizi yang baik dan dapat diterima oleh konsumen. Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk memanfaatkan belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam pembuatan bakso. Selain itu, tujuan khusus pada penelitian ini adalah: 1) menganalisis sifat fisik, kandungan gizi, dan daya cerna protein belut, 2) menentukan formula yang tepat dalam pembuatan bakso belut, 3) mengkaji pengaruh dari penambahan jenis tepung dan konsentrasi penambahan tepung yang berbeda serta interaksi antar faktor terhadap sifat organoleptik bakso belut, 4) menganalisis sifat fisik, kandungan gizi, dan daya cerna bakso belut terpilih, 5) menilai kontribusi zat gizi bakso belut formula terpilih terhadap Acuan Label Gizi (ALG) serta menghitung biaya pembuatan bakso belut formula terpilih. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dua, yaitu alat untuk pembuatan bakso belut serta analisis fisik dan kandungan gizi. Pembuatan bakso memerlukan alat, antara lain food processor dan panci. Alat-alat yang digunakan dalam analisis fisik dan kimia adalah timbangan analitik, cawan, oven vakum, desikator, cawan alumunium, cawan porselin, tanur, gelas ukur, labu kjeldahl, buret, labu soxhlet, dan alat bantu lainnya. Bahan yang digunakan terdiri atas bahan utama, bahan pendukung, dan bahan kimia. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging belut yang diperoleh dari Pasar Anyar Kota Bogor. Bahan pendukung yang digunakan adalah tepung tapioka, tepung sagu, bawang putih, lada, garam dapur, dan es batu. Bahan kimia yang digunakan adalah aquades, air bebas ion, HCl, NaOH, H2SO4, Na2SO3, HNO3, buffer fosfat pH 6, enzim termamyl, pepsin, dan pankreatin. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Faktor yang digunakan dalam rancangan percobaan ini adalah faktor A yaitu jenis tepung (tepung tapioka dan tepung sagu) dan faktor B yaitu taraf penambahan tepung (10%, 20%, 30%, 40%). Unit percobaan pada penelitian ini adalah daging belut. Derajat keasaman (pH) belut adalah 6,1, sedangkan persentase air terikat (% mg H2O) belut adalah 63,1%. Kandungan gizi belut terdiri dari kadar air 80,1%, abu 0,9% (bb), lemak 0,6% (bb), protein 15,3% (bb), karbohidrat 3,1% (bb), kadar kalsium 387 mg/100g, kadar besi 109,7 mg/100g, kadar fosfor 217 mg/100g, dan daya cerna protein belut 84,9%. Pembuatan bakso belut diawali dengan pembersihan daging belut dari kotoran, tulang, serta ekor dan kepalanya. Rendemen akhir dari daging belut yang diperoleh ± 42,7%. Tahap selanjutnya adalah proses penggilingan daging belut dengan penambahan bahan-bahan lain yang terdiri dari garam sebanyak 3,5% dari berat total adonan dan es sebanyak 20% dari berat daging. Penggilingan kemudian dilanjutkan dengan menambahkan bahan pengisi, bawang putih, dan lada. Adonan yang sudah homogen selanjutnya dibentuk bulatan-bulatan dan dimasukkan ke dalam panci yang berisi air panas (80°C)
hingga mengapung. Bulatan bakso yang sudah mengapung kemudian dimasukkan ke dalam air es. Bulatan bakso kemudian direbus di dalam air mendidih hingga matang. Faktor jenis tepung yang berbeda memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu kecerahan warna. Faktor taraf penambahan tepung yang berbeda memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu kecerahan warna, aroma belut, tekstur, dan rasa belut, sedangkan interaksi antar kedua faktor hanya memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu kecerahan warna. Selain itu, faktor taraf penambahan tepung yang berbeda juga memberikan pengaruh nyata (p<0,05) untuk tingkat kesukaan panelis terhadap atribut rasa dan keseluruhan. Faktor jenis tepung yang berbeda dan interaksi antar kedua faktor tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis. Berdasarkan hasil uji organoleptik tersebut, formula bakso belut terpilih adalah bakso dengan penambahan tepung tapioka 10% (A1B1). Nilai rata-rata Aw bakso belut terpilih adalah 0,97. Hsu & chung (1998) menyatakan bahwa tekstur adalah karakteristik terpenting dari bakso dan konsumen lebih menyukai tekstur yang keras. Tingkat kekerasan (tekstur) bakso terpilih adalah 554,8 gf. Tingkat kekenyalan bakso belut terpilih adalah 40,7%. Kandungan gizi bakso belut terpilih terdiri dari kadar air 77,6%, kadar abu 2,4% (bb), kadar lemak 0,9% (bb), kadar protein 11,5% (bb), kadar karbohidrat 7,7% (bb), kadar kalsium 490 mg/100 g,p kadar besi 93,7 mg/100 g, kadar fosfor 185 mg/100 g, dan daya cerna protein belut 83,9 %. Anjuran konsumsi bakso belut per takaran saji adalah 80 g atau setara dengan 8 buah bakso dengan berat per buahnya ± 10 gram. Satu takaran saji bakso belut formula terpilih telah memenuhi 15,4% dari ALG protein, 24,6% dari ALG fosfor, dan 49,0% dari ALG kalsium. Harga jual untuk bakso belut formula terpilih yaitu Rp. 13.452,- per 100 gram. Rata-rata harga bakso ikan komersial yaitu Rp. 8.188,- per 100 gram. Bakso belut formula terpilih memiliki harga lebih mahal dibandingkan dengan harga bakso ikan komersial. Akan tetapi dengan mempertimbangkan zat gizi mikro yang terdapat dalam bakso formula terpilih, maka bakso belut direkomendasikan sebagai kudapan bergizi.
PEMANFAATAN BELUT (Monoptherus albus Zuieuw) DALAM PEMBUATAN BAKSO
LUSI ANINDIA RAHMAWATI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi :Pemanfaatan Belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam Pembuatan Bakso Nama
: Lusi Anindia Rahmawati
NIM
: I14080051
Menyetujui :
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi NIP: 19600205 198903 2 002
Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN NIP: 19660701 199002 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP: 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Pemanfaatan Belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam Pembuatan Bakso” ini dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini. 1. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi dan Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan saran dan kritik dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji yang telah memberikan saran dalam perbaikan skripsi ini. 3. Bapak Muryanto atas bantuan dana penelitiannya sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik. 4. Orangtua, Ayahanda Wahyudi, Spd dan Ibunda Sumini, Spd yang selalu bersedia mendengar keluh kesah penulis. Skripsi ini saya persembahkan untuk Bapak dan Ibu. 5. Oki Kurniawan Nur Cahyo yang telah membantu selama proses penelitian dan skripsi. 6. Bapak Mashudi dan seluruh laboran atas bantuannya selama proses penelitian ini berlangsung. 7. Ambar, Winda, Elok, Duti, Anggun, Indah, Dheanni, Ibnu, Agus, Anti, Rohadi, Yusti, Ai, Ade, Fani, Rahayu, Ayu Sekar, Leman. Terima kasih atas semangat dan bantuan yang telah diberikan selama ini . Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Bogor, Januari 2013
Lusi Anindia R.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Magetan, jawa Timur pada tanggal 27 Oktober 1989 dari Ayahanda Wahyudi dan Ibunda Sumini. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis mengawali pendidikan di SDN Magetan 1 pada tahun 1996-2002. Pada tahun 2002-2005, penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Magetan dan pada tahun 2005-2008 melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Magetan. Pada tahun 2008, penulis diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA) kabinet Pejuang Ekologi sebagai staf divisi Sosial dan Lingkungan (SOSLING). Penulis juga aktif sebagai panitia dalam kegiatan Bazar TPB, SAMISAENA, Fema Care and Share (FRESH), Kemah Riset (KERIS), dll. Tahun 2011 penulis mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang penelitian dan melaksanakan penelitian mengenai Fortifikasi Mikrokapsul Besi pada Permen Rasa Strawberry sebagai Salah Satu Upaya Mengatasi Anemia Gizi Besi pada Anak-Anak. Selain itu, pada tahun yang sama penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Donowangun, Kecamatan Talun, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Pada tahun 2012, penulis melaksanakan Internship Dietetik di RSUD Cibinong, Bogor. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Analisis Zat Gizi Mikro tahun ajaran 2011/2012 dan Analisis Zat Gizi Makro tahun ajaran 2012/2013.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ x DAFTAR GAMBAR ............................................................................................xi DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xii PENDAHULUAN ................................................................................................. 1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 Tujuan ..................................................................................................... 3 Kegunaan................................................................................................. 4 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 5 Belut (Monoptherus albus Zuieuw) ........................................................... 5 Bakso Ikan .............................................................................................. 7 Bahan Pembuatan Bakso Ikan ................................................................. 8 Proses Pengolahan ............................................................................... 11 Uji Organoleptik ..................................................................................... 11 Uji Hedonik ............................................................................................ 12 Uji Mutu Hedonik ................................................................................... 12 METODE .......................................................................................................... 13 Waktu dan Tempat ................................................................................. 13 Alat dan Bahan ...................................................................................... 13 Metode Penelitian .................................................................................. 13 Rancangan Percobaan .......................................................................... 18 Pengolahan dan Analisis Data ............................................................... 19 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ 20 Sifat Fisik dan Kandungan Gizi Belut .................................................... 20 Pembuatan Bakso Belut ......................................................................... 24 Karakteristik Organoleptik Bakso Belut ................................................. 27 Sifat Fisik Bakso Belut Terpilih ............................................................... 35 Kandungan Gizi Bakso Belut Terpilih .................................................... 37 Kontribusi Zat Gizi Bakso Belut terhadap Acuan Label Gizi (ALG) ......... 40 Analisis Biaya Pembuatan Bakso Belut Terpilih ..................................... 42 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 44 Kesimpulan ............................................................................................ 44 Saran ..................................................................................................... 45 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 46 LAMPIRAN ....................................................................................................... 50
IX
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Halaman Komposisi zat gizi belut, telur ayam dan daging sapi .................................... 6 Kandungan gizi belut dan beberapa jenis ikan lain ........................................ 7 Syarat mutu produk bakso ikan menurut SNI (1995) ...................................... 8 Komposisi kimia tepung tapioka dan sagu .................................................... 9 Formulasi bakso belut pada berbagai taraf penambahan es ....................... 14 Formula bahan dalam pembuatan bakso belut ........................................... 15 Kandungan gizi dan daya cerna protein fillet belut ...................................... 21 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik warna bakso ........................................ 27 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik aroma bakso ........................................ 29 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik tekstur bakso ....................................... 31 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik rasa ...................................................... 32 Hasil uji hedonik bakso secara keseluruhan ............................................... 34 Persentase penerimaan panelis untuk masing-masing formula .................. 35 Kandungan zat gizi dan daya cerna protein bakso belut formula terpilih ...... 37 Kandungan zat gizi bakso belut dan kontribusinya terhadap ALG per takaran saji ................................................................................................. 41 Perhitungan biaya pembuatan bakso belut formula terpilih .......................... 42
X
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Halaman Belut (Monoptherus albus Zuieuw) ................................................................ 5 Bakso ikan ..................................................................................................... 8 Diagram alir pembuatan bakso belut ........................................................... 17 Pemisahan tulang belut .............................................................................. 24 Daging belut tanpa tulang ........................................................................... 24 Proses pengulitan daging belut ................................................................... 25 Daging fillet belut ........................................................................................ 25 Bakso dengan bahan pengisi tepung tapioka .............................................. 26 Bakso dengan bahan pengisi tepung sagu ................................................. 26
XI
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Halaman Prosedur analisis fisik .................................................................................. 51 Prosedur analisis kandungan gizi dan daya cerna protein ........................... 53 Formulir organoleptik bakso belut ............................................................... 57 Hasil sidik ragam dan uji Duncan data uji organoleptik ............................... 59
XII
PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan dasar manusia. Makanan sehari-hari sebaiknya dipilih dengan baik agar dapat memberikan semua zat gizi
yang
dibutuhkan oleh tubuh. Makanan yang tidak dipilih dengan baik dapat mengakibatkan tubuh kekurangan zat-zat gizi tertentu yang hanya dapat diperoleh dari makanan (Almatsier 2004). Status gizi seseorang dipengaruhi oleh konsumsi makanan. Status gizi baik akan tercapai apabila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan perkembangan otak, pertumbuhan fisik, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum yang baik. Status gizi kurang terjadi apabila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial (Almatsier 2004). Salah satu zat gizi yang penting namun masih dikonsumsi dalam jumlah yang kurang untuk sebagian besar orang adalah protein. Protein mempunyai fungsi yang khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan hidup. Selain itu protein juga berfungsi untuk membentuk ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi, serta sumber energi (Almatsier 2004). Protein dapat diperoleh dari pangan hewani maupun nabati. Protein hewani lebih dianjurkan dibandingkan protein nabati. Hal ini dikarenakan protein hewani mangandung asam-asam amino esensial yang lebih lengkap dan lebih banyak yang sangat dibutuhkan manusia jika dibandingkan dengan protein nabati (Winarno 1997). Menurut Muchtadi (2010), protein hewani pada umumnya memiliki kandungan asam amino yang cukup serta daya cerna yang baik. Selain itu protein hewani mempunyai nilai biologis yang lebih baik dibanding protein nabati. Siagian (2008) menyatakan konsumsi protein hewani di Indonesia relatif rendah, yaitu 4,7 g/orang/hari. Konsumsi ini jauh dari target 6 g/orang/hari. Padahal konsumsi protein hewani di Malaysia, Thailand, dan Filipina, rata-rata 10 g/orang/hari. Salah
satu
bahan
pangan
sumber
protein
adalah
belut.
Belut
(Monoptherus albus Zuieuw) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sampai saat ini potensinya belum dimanfaatkan secara maksimal. Belut tergolong ikan yang memiliki kandungan protein sangat baik. Selain itu,
1
kandungan mineral seperti kalsium pada belut lebih tinggi dibandingkan pada beberapa jenis ikan lainnya (Persagi 2009). Kalsium merupakan salah satu mineral makro yang penting untuk pembentukan tulang dan gigi yang normal. Kalsium juga berperan dalam proses pembekuan darah, reaksi biologik, dan kontraksi otot (Almatsier 2004). Salah satu akibat dari kekurangan kalsium adalah osteoporosis. Hasil studi pada tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi osteoporosis di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 53,6% (wanita) dan 38% (pria) di atas usia 70 tahun, sedangkan untuk usia di bawah 70 tahun sebesar 18-36% (wanita) dan 20-27% (pria) (Rachman & Setiyohadi 2007 diacu dalam Ferazuma et al. 2011) Sejauh ini pemenuhan kebutuhan kalsium telah dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya adalah konsumsi suplemen tinggi kalsium. Namun, upaya tersebut dianggap kurang efektif karena hanya menitikberatkan pada pemenuhan salah satu zat gizi tanpa berkontribusi pada pemenuhan zat gizi lainnya. Salah satu alternatif yang dianggap efektif adalah penganekaragaman pangan. Usaha penganekaragaman pangan dapat dilakukan dengan mencari bahan pangan yang baru atau pemilihan bahan pangan yang sudah ada dengan kandungan gizi yang baik, kemudian dikembangkan menjadi produk pangan olahan yang beranekaragam. Diantara bahan pangan yang sudah ada, bahan pangan yang memiliki kandungan kalsium dan protein cukup baik adalah belut. Penelitian tentang pengolahan belut telah dilakukan sebelumnya seperti penelitian Dewi (2002) menjadi sosis, dan Sulistyarini (2007) menjadi produk keripik. Pembuatan belut menjadi bakso merupakan alternatif lain yang dapat dilakukan untuk menambah keanekaragaman produk dan meningkatkan daya tarik untuk mengkonsumsi belut. Menurut Wibowo (2006), bakso merupakan produk yang banyak dikonsumsi orang, mulai dari anak-anak, dewasa, hingga manula. Bakso adalah suatu produk dari daging yang dihaluskan, dibentuk bulatan-bulatan, kemudian direbus (Tarwotjo et al. 1971). Bakso yang beredar di pasaran antara lain bakso sapi, bakso udang, dan bakso ayam. Meskipun bakso ikan juga sudah banyak beredar di masyarakat, tapi masih jarang bakso yang memanfaatkan belut sebagai bahan utamanya. Menurut Park (2004), bakso ikan adalah produk yang paling populer di Asia Tenggara yang berasal dari surimi. Selain itu, menurut Wibowo (2006), permintaan masyarakat Indonesia untuk produk bakso sangat tinggi yaitu mencapai 160.000 ton bakso per tahun.
2
Salah satu bahan yang diperlukan dalam pembuatan bakso adalah bahan pengisi. Bahan pengisi merupakan bahan bukan daging yang biasa ditambahkan dalam pembuatan bakso. Menurut Pandisurya (1983) diacu dalam Afrianty (2002), bahan pengisi yang digunakan dalam pembuatan bakso mempunyai kadar karbohidrat tinggi, sedangkan kadar proteinnya rendah. Bahan pengisi yang umum digunakan dalam pembuatan bakso adalah tepung tapioka dan tepung sagu. Penggunaan bahan pengisi sangat berperan penting dalam memperbaiki elastisitas produk akhir, kemampuan mengikat air, warna, dan tekstur secara keseluruhan (Sekarwiyati 2000). Oleh karena itu, penggunaan bahan pengisi yang tepat sangat menentukan kualitas bakso yang dihasilkan. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengembangkan produk bakso dari belut. Bakso belut ini diharapkan mampu menjadi alternatif produk olahan pangan hewani yang memiliki nilai gizi yang baik dan dapat diterima oleh konsumen. Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam pembuatan bakso. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk : 1. Menganalisis sifat fisik, kandungan gizi, dan daya cerna protein belut (Monoptherus albus Zuieuw). 2. Menentukan formula yang tepat dalam pembuatan bakso belut. 3. Mengkaji pengaruh dari penambahan jenis tepung dan konsentrasi penambahan tepung yang berbeda serta interaksi antar faktor terhadap sifat organoleptik bakso belut. 4. Menganalisis sifat fisik, kandungan gizi, dan daya cerna bakso belut formula terpilih. 5. Menilai kontribusi zat gizi bakso belut formula terpilih terhadap Acuan Label Gizi (ALG) serta menghitung biaya pembuatan bakso belut formula terpilih.
3
Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan bakso yang dapat diterima oleh konsumen. Bakso yang dihasilkan diharapkan juga dapat dijadikan sebagai alternatif pangan hewani yang kaya zat gizi dan mampu meningkatkan nilai ekonomis belut.
4
TINJAUAN PUSTAKA Belut (Monoptherus albus Zuieuw) Sarwono (2003) mengemukakan bahwa klasifikasi perikanan yang berlaku di Indonesia untuk belut (Monoptherus albus Zuieuw) adalah belut termasuk ke dalam kelas pisces, subkelas Teleostomi, ordo Synbranchidae, genus Monopterus, dan spesies albus Zuieuw. Belut memiliki ciri-ciri antara lain tidak memiliki sirip (sirip dada, sirip punggung, dan sirip dubur pada belut berubah menjadi sembulan kulit yang tidak berjari-jari), tubuhnya tidak bersisik (Sarwono 2003). Kulit belut juga licin karena mengeluarkan lendir (Djajadireja et al 1977). Mata belut kecil lengkung, memiliki tiga pasang insang, bibirnya berupa lipatan kulit yang lebar di sekeliling mulutnya. Gigi belut runcing berbentuk kerucut, punggungnya berwarna kehijauan, dan perut kekuning-kuningan. Bagian badannya lebih panjang dari bagian ekornya yang pendek. Tinggi badannya kurang lebih 1/20 kali panjang tubuhnya, sedangkan panjang tubuhnya antara 20-50 cm (Djajadireja et al 1977). Gambar 1 menunjukkan bentuk tubuh dan warna dari belut.
Gambar 1 Belut (Monoptherus albus Zuieuw) (Leo 2012) Belut adalah salah satu jenis ikan yang sudah berhasil dibudidayakan dan pemeliharaannya relatif lebih mudah dibandingkan dengan ikan darat lainnya (Peranginangin & Yunizal 1992). Di Indonesia terdapat tiga jenis belut, yaitu belut sawah (Monoptherus albus Zuieuw), belut rawa (Synbranchus bengalensis Mc. Clell), dan belut bermata sangat kecil (Macrotema caligans Cant). Belut sawah merupakan jenis belut yang paling dikenal orang Indonesia karena seringnya belut ini terdapat di sawah-sawah, sedangkan belut rawa jumlahnya terbatas sehingga kurang begitu dikenal (Sarwono 2003). Belut hidupnya di lumpur, sehingga bau lumpur akan mempengaruhi produk olahan ikan ini. Untuk menghilangkan bau lumpur, maka perut ikan belut harus dikosongkan dengan membiarkan berada dalam air bersih yang mengalir selama satu hari (Peranginangin & Yunizal 1992).
5
Belut yang dimatikan dengan cara dipukul bagian kepalanya akan memiliki keadaan daging yang kenyal daripada dimatikan dengan penambahan konsentrasi garam 3%. Belut dapat dibersihkan dengan melumuri abu gosok ke seluruh permukaan tubuhnya sampai lendir hilang. Abu gosok memiliki daya serap tinggi dan bentuknya yang kasar mudah menyerap lendir selama tiga kali pemakaian (Rusiana 1988 diacu dalam Dewi 2002). Pengkulitan daging belut menurut Sarwono (2003) dapat dilakukan bagi yang sudah ahli. Namun, menurut Rusiana (1988) diacu dalam Dewi (2002), pengkulitan sulit dilakukan karena ikatan antara kulit dan daging sangat kuat sehingga apabila ditarik daging pun ikut tertarik. Di Indonesia, belut mulai dikenal dan digemari sejak tahun 1979. Hingga saat ini, belut banyak dibudidayakan dan menjadi salah satu komoditas ekspor. Belut termasuk ikan yang bercita rasa lezat. Belut umumnya dipasarkan dalam bentuk segar dan dapat bertahan hidup dalam waktu relatif lama asalkan kulitnya tetap lembab. Permintaan konsumen akan keberadaan belut semakin meningkat karena belut merupakan sumber protein hewani yang baik (Gaffar 2007). Komposisi zat gizi belut dibandingkan dengan komposisi telur ayam dan daging sapi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi zat gizi belut, telur ayam, dan daging sapi Zat Gizi Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Energi (kkal) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Kadar Air (g) Sumber: Persagi (2009)
Belut 14,6 0,8 1 70 49 155 1,5 0 81,5
Daging Sapi 18,8 14,0 0 201 11 170 2,8 9
66,0
Telur Ayam 12,4 10,8 0,7 154 86 258 3 61 74,3
Apabila dibandingkan dengan ikan-ikan lain, belut memiliki kandungan kalsium yang lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan kalsium pada jenis ikan lainnya. Kandungan gizi belut dan beberapa jenis ikan lain dapat dilihat pada Tabel 2.
6
Tabel 2 Kandungan gizi belut dan beberapa jenis ikan lain Zat Gizi Belut Protein (g) 14,6 Lemak (g) 0,8 Karbohidrat (g) 1 Energi (kkal) 70 Kalsium (mg) 49 Fosfor (mg) 155 Besi (mg) 1,5 Vitamin A (SI) 0 Kadar Air (g) 81,5 Sumber: Persagi (2009)
Bandeng 20 4,8 0 123 20 150 0,05 45 74
Ikan Mas 16 2 0 86 20 150 2 45 80
Kakap 20 0,7 0 92 20 200 1 9,1 77
Layur 18 1 0,1 82 48 229 2,2 4 80,1
Bakso Ikan Bakso adalah suatu produk dari daging yang dihaluskan, dibentuk bulatan-bulatan, kemudian direbus (Tarwotjo et al. 1971). Bakso diduga berasal dari daerah Cina, dan telah lama dikenal masyarakat Indonesia sebagai makanan jajanan yang dianggap murah (Sunarlim 1992). Dalam bahasa Cina, nama bakso atau baso berasal dari kata “baki” atau “ba” yang merupakan singkatan dari kata babi. Namun bakso yang populer di Indonesia dibuat dari daging sapi (Soekarto 1990). Bakso pada mulanya hanya dikenal dibuat dan dijual di daerah pemukiman orang Cina dan dijual di restoranrestoran Cina. Namun setelah tahun 1960-an, bakso mulai populer di masyarakat, selain di kota besar juga di kota kecil, terutama di pelosok dan daerah wisata. Konsumen bakso berasal dari golongan ekonomi atas sampai golongan berpenghasilan rendah sehingga bakso dapat dijumpai di restoran mewah, hotel berbintang, warung makan, pedagang kaki lima, dan pedagang keliling (Sunarlim 1992). Bakso merupakan produk emulsi daging. Bakso dibuat dari daging yang digiling halus, ditambah bahan pengisi pati atau tepung terigu, dan bumbubumbu. Daging yang baik untuk membuat bakso adalah daging yang segar dan belum mengalami rigor mortis, karena daya ikat air pada ikan segar lebih tinggi dibandingkan daging rigor mortis maupun pasca rigor (Buckle et al. 2010). Fase rigor mortis pada ikan berlangsung 1 – 7 jam setelah ikan mengalami kematian atau 3 – 120 jam setelah kematian pada ikan beku (Forrest et al. 1975). Berdasarkan bahan utama yang digunakan, bakso dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu bakso ikan, bakso sapi, dan bakso babi (Tarwotjo et al. 1971). Menurut BSN (1995), bakso ikan adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ikan (kadar daging ikan tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa pemberian
7
bahan tambahan pangan yang diizinkan. Gambar 2 menunjukkan bakso ikan yang umum beredar di masyarakat.
Gambar 2 Bakso ikan (Direktorat Pemasaran Dalam Negeri 2012) Adapun syarat mutu produk bakso ikan berdasarkan SNI (1995) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Syarat mutu produk bakso ikan menurut SNI (1995) No. Kriteria uji 1 Keadaan 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna 1.4 Tekstur 2 Air 3 Abu 4 Protein 5 Lemak 6 Boraks 7 Bahan tambahan makanan 8 Cemaran logam : 8.1 Timbal (Pb) 8.2 Tembaga (Cu) 8.3 Seng (Zn) 8.4 Timah (Sn) 8.5 Raksa (Hg) 9 Cemaran arsen (As) 10 Cemaran mikroba : 10.1 Angka lempeng total 10.2 Bakteri bentuk koli 10.3 Salmonella 10.4 Staphylococcus aureus 10.5 Vibrio cholerae Sumber: BSN (1995)
Satuan
Persyaratan
Normal, khas ikan Gurih Normal Kenyal % b/b Maks 80,0 % b/b Maks 3,0 % b/b Min 9,0 % b/b Maks 1,0 Tidak boleh ada Sesuai dengan SNI 01-0222-1995 mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks 2,0 Maks 20,0 Maks 100,0 Maks 40,0 Maks 0,5 Maks 1,0
Koloni/g APM/g Koloni/g -
Maks 1 x 10 2 Maks 4 x 10 Negatif 2 Maks 5 x 10 Negatif
7
Bahan Pembuatan Bakso Ikan Bahan Utama Bahan utama untuk bakso ikan adalah daging ikan adalah daging ikan dari satu jenis ikan atau campuran daging beberapa jenis ikan (Wibowo 2006). Daging yang digunakan untuk membuat bakso adalah daging yang masih dalam keadaan segar tanpa melalui proses penyimpanan atau pengawetan sehingga dapat menghasilkan mutu bakso yang lebih baik (Buckle et al. 2010). Adapun
8
bahan utama dalam penelitian pembuatan bakso ikan ini adalah daging ikan belut. Bahan Tambahan Bahan tambahan adalah bahan yang diperlukan untuk melengkapi bahan utama dalam proses produksi (Wibowo 2006). Adapun bahan tambahan dalam proses pembuatan bakso meliputi bahan pengisi, garam dapur, es, dan bumbubumbu. Bahan pengisi Bahan pengisi merupakan bahan bukan daging yang biasa ditambahkan dalam pembuatan bakso. Adapun penambahan pengisi bertujuan untuk mengurangi biaya produksi,
meningkatkan cita rasa,
dan memperkecil
penyusutan selama proses pemasakan (Kramlich 1971). Bahan pengisi yang umumnya digunakan pada pembuatan bakso adalah tepung tapioka atau sagu aren. Bahan tersebut memiliki kadar karbohidrat yang tinggi, namun kadar proteinnya rendah (Pandisurya 1983 diacu dalam Afrianty 2002). Perbedaan kandungan gizi yang terdapat pada tepung tapioka dan tepung sagu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi kimia tepung tapioka dan sagu Komponen Tapioka Sagu aren Air (%) 13,12 17,82 Protein (%) 0,13 0,11 Lemak (%) 0,04 0,04 Abu (%) 0,16 0,26 Karbohidrat (%) 86,55 81,77 Sumber : Pandisurya (1983) diacu dalam Afrianty (2002)
Bahan pengisi dapat meningkatkan daya ikat air, karena mempunyai kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemasakan. Bahan pengisi pati dapat mengabsorpsi air sampai dua kali lipat dari berat semula dan dapat menahannya. Pada proses pemanasan sampai 70°C, adonan daging akan membentuk gel, dan setelah dingin akan membentuk padatan (Ockerman 1983). Tapioka merupakan pati yang berasal dari ekstraksi umbi ketela pohon (Manihot utilissima Pohl.) yang telah mengalami pencucian dan pengeringan. Tapioka mengandung amilosa 17% dan 83% amilopektin (Haryanto & Pangloli 1991). Pati sagu mengandung amilosa 27% dan amilopektin 73%. Perbandingan amilosa dan amilopektin ini mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilosa, maka pati semakin bersifat kering dan kurang lengket (Wiranatakusumah et al. 1984 diacu dalam Sekarwiyati 2000).
9
Garam dapur (NaCl) Komponen lain yang penting dalam pembuatan bakso adalah garam. Garam sering digunakan sebagai bahan tambahan agar mutu bakso menjadi lebih baik. Penambahan garam dapur atau NaCl mempunyai fungsi untuk meningkatkan cita rasa bakso, sebagai pelarut protein sehingga dapat menstabilkan emulsi daging, sebagai pengawet karena dapat mencegah pertumbuhan mikroba sehingga memperlambat kebusukan, serta meningkatkan daya ikat air yang biasa dipadukan dengan sodium tripolifosfat (Lawrie 2003). Es Komponen berikutnya yang berperan penting adalah es. Es berfungsi untuk mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama proses penggilingan daging serta pembuatan adonan, serta agar produk tidak kering. Air dan es yang ditambahkan akan meningkatkan keempukan dan berperan sebagai fase pendispersi (Forrest et al. 1975). Suhu daging yang lebih tinggi dari 15°C 20°C dapat menyebabkan kerusakan emulsi (Wilson et al. 1981). Bumbu-bumbu Pembuatan bakso pada umumnya selalu perlu penambahan bumbubumbu. Tujuan penambahan bumbu yaitu untuk meningkatkan cita rasa yang disukai dari produk yang dihasilkan. Bumbu yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan adalah bawang putih, dan lada. Bawang putih (Allium sativum) merupakan bahan alami yang biasa ditambahkan ke dalam bahan pangan sehingga diperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera (Hitokoto et al. 1990). SNI 01-3717-1995 menyatakan bahwa merica atau lada putih bubuk adalah lada putih (Piper ningrumlin) yang dihaluskan, mempunyai aroma dan rasa khusus lada. Manfaat penambahan lada yaitu untuk menguatkan rasa yang terdapat pada makanan terutama rasa pedas. Proses Pengolahan Menurut Pandisurya (1983) diacu dalam Nurhayati (2009), pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri dari empat tahap. Tahap pertama adalah penghancuran daging dengan menggunakan alat atau tangan. Tahap kedua adalah penambahan bahan-bahan lainnya seperti tepung atau bumbu-bumbu lainnya. Tahap ketiga adalah pencetakan adonan menjadi bulat, dan yang terakhir adalah tahap pemasakan dengan cara merebus di dalam air mendidih.
10
Pengahancuran daging dilakukan dengan cara mencacah (mincing), menggiling (grinding), atau mencincang sampai lumat atau halus (chopping) (Wilson et al. 1981). Pembentukan adonan menjadi bakso umumnya dilakukan dengan cara membuat adonan menjadi bola-bola kecil berdiameter 2-7 cm dengan tangan, kemudian memasaknya dalam air bersuhu 60°C - 80°C (Elviera 1988). Pemasakan pada suhu yang terlalu tinggi tidak disarankan, karena dapat mengakibatkan lemak terpisah dari emulsi. Hal ini disebabkan lemak mengembang dan protein mengkerut secara mendadak sehingga matriks protein pecah dan lemak keluar dari campuran (Sugiyono 1991 diacu dalam Putri 2001). Uji Organoleptik Menurut Soekarto (1985), penilaian dengan indera disebut juga penilaian organoleptik atau penilaian sensorik merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif. Penilaian dengan indera ini banyak digunakan untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan makanan. Penilaian cara ini banyak disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Kadang-kadang penilaian ini dapat memberi hasil penilaian yang sangat teliti. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif. Sistem penilaian organoleptik telah dapat dibakukan dan dijadikan alat penilaian dalam laboratorium, dunia usaha, dan perdagangan. Penilaian organoleptik
telah
digunakan
sebagai
metode
dalam
penelitian
dan
pengembangan. Dalam hal ini prosedur penilaian memerlukan pembakuan baik dalam cara penginderaan maupun dalam melakukan analisis data (Soekarto 1985). Uji Hedonik Uji hedonik disebut juga uji kesukaan. Dalam uji hedonik panelis dimintakan
tanggapan
pribadinya
tentang
kesukaan
atau
sebaliknya
ketidaksukaan. Di samping panelis mengemukakan tanggapan senang, suka, atau kebalikannya, mereka juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkattingkat kesukaan ini disebut skala hedonik (Setyaningsih et al. 2010). Uji Mutu Hedonik Berbeda dengan uji hedonik, uji mutu hedonik tidak menyatakan suka atau tidak suka, melainkan menyatakan kesan tentang baik atau buruk. Kesan baik-buruk ini disebut kesan mutu hedonik. Kesan mutu hedonik lebih spesifik
11
daripada sekedar kesan suka atau tidak suka. Mutu hedonik dapat bersifat umum yaitu baik-buruk dan bersifat spesifik seperti empuk-keras untuk daging, pulenkeras untuk nasi, serta renyah-lembek untuk mentimun. Rentangan skala hedonik berkisar dari ekstrim baik sampai ke ekstrim jelek (Setyaningsih et al. 2010).
12
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari bulan Mei 2012 sampai bulan Agustus 2012. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah Laboratorium Percobaan Makanan, Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan 1, Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan 2, Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan 3, dan Laboratorium Organoleptik Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dua, yaitu alat untuk pembuatan bakso belut dan analisis fisik dan kandungan gizi. Pembuatan bakso memerlukan alat, antara lain food processor dan panci. Alat-alat yang digunakan dalam analisis fisik dan kimia adalah timbangan analitik, cawan, oven vakum, desikator, cawan alumunium, cawan porselin, tanur, gelas ukur, labu kjeldahl, buret, labu soxhlet, dan alat bantu lainnya. Bahan yang digunakan terdiri atas bahan utama, bahan pendukung, dan bahan kimia. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging belut yang diperoleh dari Pasar Anyar Kota Bogor. Bahan pendukung yang digunakan adalah tepung tapioka, tepung sagu, bawang putih, lada, garam dapur, dan es batu. Bahan kimia yang digunakan adalah aquades, air bebas ion, HCl, NaOH, H2SO4, Na2SO3, HNO3, buffer fosfat pH 6, enzim termamyl, pepsin, dan pankreatin. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi penelitian untuk menentukan persentase es yang paling tepat, sedangkan penelitian utama terdiri dari dua tahap. Tahap pertama terdiri dari analisis fisik dan kimia daging belut, penentuan formula bakso, dan pembuatan bakso. Tahap kedua terdiri dari uji organoleptik bakso yang dihasilkan serta analisis fisik dan kimia formula bakso terpilih. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan persentase es yang akan ditambahkan ke dalam adonan. Persentase penambahan es yang
13
digunakan pada penelitian pendahuluan ini adalah 10% (F1), 15% (F2), dan 20% (F3) dari berat daging. Penentuan jumlah es yang ditambahkan didasarkan pada penambahan es pada adonan bakso domba hasil penelitian Nurhayati (2009) dengan mempertimbangkan daya mengikat air pada masing-masing daging yang digunakan. Nilai daya mengikat air ditentukan melalui pengukuran kandungan air daging yang dinyatakan dalam persen air yang terikat (% mg H2O). Semakin besar persentase mg H2O, semakin rendah kemampuan daging untuk mengikat air (Soeparno 2005). Berdasarkan hasil penelitian Nurhayati (2009), untuk daging domba dengan persentase mg H2O sebesar 38,66 ± 2,95% dibutuhkan penambahan es sebanyak 30% dari berat daging yang digunakan. Oleh karena itu, untuk daging belut dengan persentase mg H2O sebesar 63,11% atau hampir dua kali lipat daging domba, maka dibutuhkan es sebanyak setengah dari penambahan es pada daging domba atau kurang lebih 15%. Formula bakso belut dengan persentase penambahan es yang berbeda kemudian diuji secara organoleptik terhadap parameter tekstur. Formula yang menghasilkan bakso dengan tekstur yang paling disukai panelis dinyatakan sebagai komposisi terbaik, kemudian digunakan dalam penelitian selanjutnya. Formulasi awal bakso belut dengan taraf penambahan es yang berbeda disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Formulasi bakso belut pada berbagai taraf penambahan es Bahan Daging belut Tepung tapioka Es batu Garam dapur Bawang putih Lada
Persentase es yang ditambahkan 10% 15% 20% 100 100 100 20 20 20 10 15 20 5 5 0,5 1 1 1 0,5 0,5 0,5
Penelitian Utama Penelitian utama terdiri dari dua tahap. Tahap pertama terdiri dari analisis fisik dan kandungan gizi serta daya cerna daging belut, penentuan formula bakso, dan pembuatan bakso. Tahap kedua terdiri dari uji organoleptik bakso yang dihasilkan dan analisis fisik, kandungan gizi, serta daya cerna protein formula bakso terpilih. Penelitian tahap pertama Pada penelitian tahap pertama dilakukan analisis fisik dan kandungan gizi serta daya cerna protein belut. Analisis fisik meliputi pH dan Daya Mengikat Air
14
(DMA). Nilai pH suatu makanan menunjukkan derajat keasaman makanan. Nilai pH dapat dijadikan sebagai indikator kualitas daging karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya ikat air, dan masa simpan (Lukman et al. 2007). Menurut Aberle et al. (2001), pH daging akan mempengaruhi daya mengikat air yang dihasilkan. Daya mengikat air diartikan sebagai kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan, penggilingan, pemanasan, dan pengolahan (Soeparno 2005). Daya mengikat air pada daging merupakan faktor yang berperan terhadap kualitas bakso yang dibuat (Buckle et al. 1987). Analisis kandungan gizi, meliputi analisis proksimat, analisis kadar kalsium, besi, dan fosfor daging belut. Selain itu juga dilakukan analisis daya cerna protein dari daging belut. Prosedur analisis fisik dan kandungan gizi secara lengkap disajikan pada Lampiran 1 dan 2. Setelah dilakukan analisis fisik dan kandungan gizi belut, kemudian dilakukan penentuan formula bakso. Formula bakso tersebut diperoleh secara trial and error, yaitu untuk mencari perbandingan komposisi yang optimal dari adonan. Perlakuan yang diberikan pada masing-masing formula adalah penambahan jenis tepung yang berbeda dan taraf penambahan tepung. Terdapat dua jenis tepung yang digunakan pada penelitian ini yaitu tepung tapioka dan tepung sagu. Penambahan masing-masing tepung terdiri dari empat taraf, yaitu 10%, 20%, dan 30%, dan 40% dari berat daging belut pada masingmasing formula. Berikut adalah formula bahan dalam pembuatan bakso secara lengkap (Tabel 6). Tabel 6 Formula bahan dalam pembuatan bakso belut Formula A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4
Daging belut (g) 100 100 100 100 100 100 100 100
Tapioka (g) 10 20 30 40 -
Sagu (g) 10 20 30 40
Es batu (g) 20 20 20 20 20 20 20 20
Garam (g) 3,85 4,2 4,55 4,9 3,85 4,2 4,55 4,9
Bawang putih (g) 1,1 1,2 1,3 1,4 1,1 1,2 1,3 1,4
Lada (g) 0,44 0,48 0,52 0,56 0,44 0,48 0,52 0,56
Setelah diperoleh formula bakso belut yang tepat, kemudian dilakukan pembuatan bakso. Pembuatan bakso ini menggunakan proses pengolahan bakso modifikasi Nurhayati (2009). Modifikasi yang dilakukan adalah mengganti penggunaan daging domba sebagai bahan utama dengan daging belut, komposisi bahan-bahan dan es, tahap perendaman bakso setangah matang di
15
dalam air es, serta lamanya waktu yang dibutuhkan pada masing-masing tahapan. Pembuatan bakso diawali dengan penentuan jenis belut yang akan digunakan. Belut yang digunakan dalam penelitian ini adalah belut segar dengan ukuran kurang lebih 40-55 cm dengan berat antara 75-125 gram. Pemilihan ukuran belut ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam proses pengulitan. Belut segar ini kemudian dimatikan dengan cara membungkus belut didalam kantong plastik dan membantingnya kuat-kuat ke lantai. Belut yang sudah mati kemudian dibersihkan isi perutnya dengan cara memotong belut pada bagian leher. Apabila leher belut sudah setengah terbuka, maka isi perut dikeluarkan dengan membuka tubuh belut mengikuti bentuk tubuh belut dari leher hingga ekornya. Setelah semua isi perut terlihat, isi perut belut kemudian dikeluarkan. Untuk memisahkan daging belut dengan tulangnya, pengirisan dilanjutkan dengan cara mengikuti tulang belakang pada belut. Kepala dan ekor sebaiknya tidak dibuang terlebih dahulu untuk memudahkan dalam memisahkan daging dan tulang belakang. Apabila tulang belakang belut sudah terpisah dari dagingnya, ekor dan kepala kemudian dipotong bersamaan dengan tulang belakang. Pemisahan daging dan tulang dengan cara menghancurkan tulangnya terlebih dahulu sebaiknya dihindari karena selain menghasilkan rendemen yang lebih sedikit, akan terdapat sisa hancuran tulang belakang yang menempel di daging dan sulit dipisahkan. Daging belut yang sudah terlepas dari tulang, kepala, dan ekor kemudian dikuliti dengan cara membentangkannya secara vertikal disebuah papan, kemudian menyayat dagingnya dengan pisau tajam. Cara ini akan menghasilkan rendemen yang lebih banyak dibandingkan apabila menarik kulitnya. Selain itu, daging fillet belut yang dihasilkan dengan cara ini juga lebih utuh dan rapi. Daging fillet belut yang diperoleh kemudian dibersihkan dengan air mengalir dari kotoran yang melekat. Agar bau amis dari belut berkurang, fillet belut kemudian direndam dalam air jeruk nipis selama 15 menit. Perendaman sebaiknya tidak dilakukan terlalu lama karena dapat menyebabkan rasa daging sedikit asam. Tahap berikutnya yaitu penggilingan belut yang telah difillet dan ditambahkan es serta garam dapur. Penggilingan daging belut dilakukan dengan menggunakan food processor selama
3 menit. Daging yang sudah halus
kemudian ditambah tepung dan bumbu-bumbu lainnya dan digiling selama 5 menit. Adonan yang terbentuk kemudian didiamkan selama 3 menit dan dicetak
16
berbentuk
bulatan-bulatan.
Bulatan-bulatan
bakso
tersebut
kemudian
dimasukkan ke dalam panci yang berisi air panas (80°C) hingga melayang di permukaan air. Bakso yang sudah melayang kemudian diambil dan direndam di dalam air es selama 3 menit. Bakso yang telah mengeras selanjutnya dimasak dalam air mendidih (100°C) selama 3 menit. Setelah masak, bakso diangkat dan ditiriskan selama 15 menit selanjutnya siap diuji. Berikut adalah diagram proses pembuatan bakso belut secara lengkap (Gambar 3). 100 g daging belut yang telah difillet dimasukkan ke dalam penggilingan daging * Ditambahkan 20% es, 3,5% NaCl* Digiling halus selama 3 menit* Ditambahkan 0,4% lada, 10,20,30, 40% tepung, 1% bawang putih* Digiling kembali selama 5 menit*
Adonan yang terbentuk didiamkan selama 3 menit*
Adonan dicetak berbentuk bulatan-bulatan bakso kemudian dimasukkan ke dalam panci yang berisi air panas (80°C) hingga mengapung*
Bulatan-bulatan bakso dimasukkan ke dalam air es selama 3 menit*
Bulatan-bulatan bakso dimasak dalam air mendidih (100°C) selama 3 menit*
Bakso diangkat dan ditiriskan selama 15 menit
Bakso siap diuji organoleptik serta dianalisa Keterangan : * yang modifikasi
Gambar 3 Diagram alir pembuatan bakso belut (Nurhayati 2009 dengan beberapa modifikasi) Penelitian tahap kedua Penelitian tahap kedua diawali dengan uji organoleptik. Uji organoleptik yang digunakan adalah uji hedonik (kesukaan) dan mutu hedonik. Panelis yang
17
digunakan sebanyak 30 orang dengan dua kali ulangan. Parameter yang diuji meliputi rasa, aroma, warna, tekstur, dan keseluruhan. Pada uji hedonik, panelis diminta untuk menyatakan tingkat kesukaannya terhadap bakso yang diberikan. Penilaian uji hedonik menggunakan tujuh skala. Skala yang diberikan untuk parameter yang diuji, yaitu (1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3) suka, (4) biasa, (5) agak suka, (6) suka, (7) sangat suka. Penilaian uji mutu hedonik menggunakan tujuh skala. Skala untuk kecerahan warna, yaitu (1) sangat gelap, (2) gelap (3) agak gelap, (4) biasa, (5) agak cerah, (6) cerah, (7) sangat cerah. Skala untuk aroma belut, yaitu (1) sangat kuat, (2) kuat, (3) agak kuat, (4) biasa, (5) agak lemah, (6) lemah, (7) sangat lemah. Skala untuk aroma bumbu, yaitu (1) sangat lemah, (2) lemah, (3) agak lemah, (4) biasa, (5) agak kuat, (6) kuat, (7), sangat kuat. Skala untuk tekstur, yaitu (1) sangat alot, (2) alot, (3) agak alot, (4) biasa, (5) agak kenyal dan renyah, (6) kenyal dan renyah, (7) sangat kenyal dan renyah. Skala untuk rasa belut, yaitu (1) sangat kuat, (2) kuat, (3) agak kuat, (4) sedang, (5) agak lemah, (6) lemah, (7) sangat lemah. Setelah diperoleh formula bakso terpilih berdasarkan uji organoleptik, penelitian tahap kedua dilanjutkan dengan melakukan analisis sifat fisik dan kandungan gizi serta daya cerna protein dari formula bakso yang terpilih tersebut. Analisis sifat fisik meliputi tekstur (kekerasan dan kekenyalan), Aw, dan pH. Analisis kandungan gizi meliputi analisis proksimat, kadar kalsium, besi, dan fosfor, serta daya cerna protein bakso belut terpilih.
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Faktor yang digunakan dalam rancangan percobaan ini adalah faktor A yaitu jenis tepung (tepung tapioka dan tepung sagu) dan faktor B yaitu taraf penambahan tepung (10%, 20%, 30%, 40%). Unit percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah daging belut yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan jenis tepung dan taraf penambahan tepung yang berbeda terhadap sifat organoleptik bakso belut. Model matematika dari rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut: 𝑌𝑖𝑗k = μ + A𝑖 + B𝑗 + AB𝑖𝑗 + ŋ𝑖𝑗k Keterangan : 𝑌𝑖𝑗k = Peubah respon akibat pengaruh faktor A pada taraf ke-i dan faktor B pada taraf ke-j pada ulangan ke-k
18
μ
= nilai rata-rata umum
A𝑖
= pengaruh faktor A (jenis tepung) pada taraf ke-i
B𝑗
= pengaruh fator B (taraf penambahan tepung) pada taraf ke-j
AB𝑖𝑗 = interaksi antara faktor A dan faktor B pada taraf ke-i dan ke-j ŋ𝑖𝑗k = galat dari setiap perlakuan pada taraf ke-i, ke-j dan ulangan ke-k Pengolahan dan Analisis Data Data hasil uji organoleptik baik hedonik maupun mutu hedonik diolah menggunakan Microsoft Excel 2007. Data selanjutnya dianalisis dengan SPSS 16.0 for Windows melalui uji one way ANOVA untuk mengetahui produk terbaik. Apabila hasil analisis menunjukkan pengaruh yang nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan (Andi 2010). Untuk mengetahui pengaruh faktor A dan faktor B serta interaksinya, digunakan uji General Linear Model.
19
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik dan Kandungan Gizi Belut Sifat fisik belut yang dianalisis adalah derajat keasaman (pH), dan daya mengikat air (WHC). Kandungan gizi belut
yang dianalisis adalah kadar air,
kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat (metode by difference), kadar kalsium, kadar besi, dan kadar fosfor, serta daya cerna protein. Sifat Fisik Belut Derajat keasaman (pH). Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu faktor penting yang menentukan daya tahan bahan pangan terhadap kontaminasi mikroorganisme (Silvia 2002). Pada pH rendah, sifat fungsional protein sebagai emulsifier sangat dibutuhkan dalam pembuatan bakso. Protein dapat mengikat air pada sisi luar yang bersifat hidrofil dan mengikat lemak pada sisi dalam yang bersifat hidrofob (Soeparno 2005). Derajat keasaman fillet belut hasil analisis adalah 6,1. Menurut Buckle et al (2010), sebagian besar mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6,0-8,0 dan nilai pH di luar kisaran 2,0-10,0 biasanya bersifat merusak. Beberapa mikroorganisme dalam bahan pangan tertentu, seperti khamir dan bakteri asam laktat tumbuh dengan baik pada kisaran nilai pH 3,0-6,0 dan sering disebut sebagai asidofil. Daya mengikat air (WHC). Menurut Aberle et al. (2001), beberapa sifat fisik daging seperti warna, tekstur, dan kekerasan daging mentah serta sari minyak (juiceness) dan keempukan daging masak dipengaruhi oleh daya mengikat air. Hampir semua prosedur penyimpanan dan pengolahan daging dipengaruhi oleh daya mengikat air jaringan. Nilai daya mengikat air ditentukan melalui pengukuran kandungan air daging yang dinyatakan dalam persen air yang terikat (% mg H2O). Persentase mg H2O fillet belut hasil analisis adalah 63,1%. Menurut Soeparno (2005), semakin besar persentase mg H2O yang terikat, semakin rendah kemampuan daging untuk mengikat air. Kandungan Gizi dan Daya Cerna Protein Belut Analisis kandungan gizi belut meliputi kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat (by difference), kalsium, besi, dan fosfor. Selain itu juga dilakukan analisis daya cerna protein belut. Data hasil analisis sifat kimia belut disajikan pada Tabel 7.
20
Tabel 7 Kandungan gizi dan daya cerna protein fillet belut Atribut Air (%) Abu (%) Lemak (%) Protein (%) Karbohidrat (%) Kalsium (mg/100 gr) Besi (mg/ 100 gr) Fosfor (mg/ 100 gr) Daya cerna protein (%)
Belut bb 80,1 0,9 0,6 15,3 3,1 387 109,7 217 84,9
bk 4,7 2,8 76,7 15,8 -
Kadar air. Kadar air dalam suatu bahan pangan akan menentukan penerimaan dan daya tahan bahan tersebut (Winarno 1997). Hasil analisis menunjukkan kadar air fillet belut sebesar 80,1% (bb). Kandungan air pada daging ikan berkisar antara 60-84% (Afrianto & Liviawati 1993 diacu dalam Suhartini & Hidayat 2005).
Kadar air belut berdasarkan hasil penelitian
Vishwanath et al. (1998) adalah sebesar 77,00 ± 0,08 %. Hasil analisis kadar air belut tidak berbeda jauh dengan literatur dan masih berada dalam rentang yang normal untuk daging ikan. Kadar air belut hasil analisis sedikit lebih tinggi daripada literatur. Perbedaan komposisi pada daging dapat terjadi dan dipengaruhi oleh proses pemotongan, perbedaan spesies, keturunan, usia, jenis kelamin, tipe pemberian makanan, dan lain-lain (Colmenero et al. 2001). Kadar air memegang peranan penting pada pertumbuhan bakteri. Kadar air yang rendah dapat memperlambat kerusakan ikan (Stansby 1963 diacu dalam Vishwanath et al. 1998). Kadar abu. Abu merupakan bahan anorganik yang tidak terbakar pada proses pembakaran. Abu menunjukkan elemen mineral suatu bahan pangan (Winarno 2008). Kadar abu fillet belut adalah sebesar 0,9% (bb) atau 4,7% (bk). Kadar abu belut menurut Vishwanath et al. (1998) adalah sebesar 7,00 ± 0,57 % (bk). Kadar abu belut hasil analisis lebih kecil dibandingkan literatur. Menurut Govindan (1985), kandungan abu pada ikan dapat digunakan untuk mengetahui komponen mineral dalam daging ikan seperti kalsium, sodium, dan potassium. Selain itu, ada komponen yang lebih kecil kandungannya seperti besi, tembaga, dan magnesium. Kadar lemak. Lemak merupakan bahan yang tidak larut dalam air yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan (Buckle et al 2010). Kadar lemak fillet belut sebesar 0,6% (bb) atau 2,8% (bk). Menurut Persagi (2009), kadar lemak belut adalah 0,8 g/100 g atau 0,8% (bb). Kadar lemak belut hasil analisis sedikit
21
lebih kecil dibandingkan literatur. Perbedaan komposisi pada daging dapat terjadi dan dipengaruhi oleh proses pemotongan, perbedaan spesies, keturunan, usia, jenis kelamin, tipe pemberian makanan, dan lain-lain (Colmenero et al. 2001). Kadar protein. Kandungan protein dalam bahan pangan bervariasi baik dalam jumlah maupun jenisnya. Bahan pangan hewani (seperti telur, daging, susu, dan ikan), leguminose (seperti kacang-kacangan), dan serealia (seperti beras, gandum, dan jagung) umumnya mengandung protein yang tinggi (Andarwulan et al. 2011). Kadar protein fillet belut hasil analisis sebesar 15,3% (bb) atau 76,7% (bk). Menurut Vishwanath et al. (1998), kadar protein kasar pada belut sebesar 79,00 ± 0,20% (bk). Kadar protein belut hasil analisis tidak berbeda jauh dengan literatur dan cederung lebih kecil. Hampir semua asam amino yang terdapat pada protein hewan juga terdapat pada protein daging ikan dan di antara asam-asam amino tersebut terdapat asam amino esensial, yaitu valin, histidin, isoleusin, lisin, leusin, methionin, threonin, triptofan, dan fenilalanin (Irianto & Giyatmi 2009). Kadar karbohidrat. Kadar karbohidrat fillet belut sebesar 3,1% (bb) atau 15,8% (bk). Menurut USDA (2002), belut tidak mengandung karbohidrat. Kadar karbohidrat hasil analisis menunjukkan adanya karbohidrat pada daging belut dalam jumlah yang tidak terlalu tinggi. Menurut Irianto dan Giyatmi (2009), ikan mengandung karbohidrat dalam jumlah yang sangat rendah dibandingkan dengan tanaman. Karena kandungannya yang sangat kecil, maka dapat diabaikan. Kadar kalsium. Kalsium adalah salah satu mineral makro yang penting bagi tubuh. Kalsium dibutuhkan di semua jaringan tubuh, khususnya tulang (Arisman 2004). Kadar kalsium fillet belut sebesar 387 mg/100 g. Menurut Ruiter (1995), kadar kalsium belut berkisar 15 - 188 mg/100 g. Berdasarkan hasil analisis, kadar kalsium belut jauh lebih tinggi dibandingkan literatur. Namun demikian, kadar kalsium hasil analisis masih dalam rentang normal kadar kalsium ikan menurut FAO/WHO (2002) diacu dalam James (2006), yaitu berkisar antara 17 – 1751 mg/100 g. Menurut Ruiter (1995), perbedaan kadar kalsium yang jauh dapat terjadi disebabkan perbedaan jumlah tulang dan cangkang. Kadar besi. Besi dalam makanan dapat berada dalam bentuk besi hem dan besi non-heme. Besi hem terutama berasal dari hemoglobin dan mioglobin dan banyak ditemukan pada pangan hewani (Almatsier 2004).
22
Kadar besi fillet belut berdasarkan hasil analisis adalah sebesar 109,7 mg/100g. Menurut Ruiter (1995), kadar besi pada belut berkisar antara 0,5 – 5,44 mg/ 100 g. Menurut FAO/WHO (2002) diacu dalam James (2006), kadar besi ikan berkisar antara 0,6 – 9,2 mg/ 100 g. Kadar besi belut hasil analisis menunjukkan hasil yang jauh lebih tinggi dibandingkan literatur. Menurut Ruiter (1995), perbedaan kadar besi yang besar dapat terjadi dikarenakan kontaminasi logam serta perbedaan dalam metode analisis. Selain itu kondisi belut yang hidup di lumpur juga diduga dapat mempengaruhi kadar besinya. Kadar fosfor. Fosfor terdapat di dalam semua makanan, terutama makanan kaya protein seperti daging, ayam, ikan, telur, susu dan hasilnya, kacang-kacangan dan hasilnya, serta serealia (Almatsier 2004). Kadar fosfor fillet belut berdasarkan hasil analisis adalah sebesar 217 mg/100 g. Menurut Ruiter (1995), kadar fosfor belut berkisar antara 196 – 501 mg/ 100 g. Kadar fosfor belut hasil analisis menunjukkan hasil yang sesuai dengan literatur. Kalsium dan fosfor adalah mineral yang paling banyak terdapat pada ikan, manusia, dan organisme hidup lainnya. Kurang lebih 99% kalsium dan 80 – 85% fosfor terdapat pada tulang dalam bentuk kalsium fosfat (Ruiter 1995). Daya Cerna Protein. Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam amino oleh enzim-enzim pencernaan dikenal dengan istilah daya cerna protein (Muchtadi 1989). Latar belakang penilaian mutu protein ialah karena tidak semua protein yang dikonsumsi dapat dicerna dan dimanfaatkan oleh tubuh. Berdasarkan hasil analisis, daya cerna protein fillet belut adalah 84,9%. Daya cerna fillet belut lebih rendah apabila dibandingkan dengan daya cerna protein ikan mas. Menurut Layly (2002), daya cerna protein ikan mas berkisar antara 96,9% - 97,8%. Perbedaan daya cerna protein ini dapat terjadi karena jenis bahan pangan yang berbeda. Selain itu, menurut Bender (2002), ada faktorfaktor yang mempengaruhi aktivitas enzim dalam mencerna protein, yaitu pH saat inkubasi atau lingkungan, suhu, konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, dan adanya inhibitor atau aktivator yang akan mempengaruhi daya cerna protein.
23
Pembuatan Bakso Belut Pembersihan daging belut Pembuatan bakso diawali dengan pembersihan daging belut dari kotoran, tulang, serta ekor dan kepalanya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan daging belut yang diinginkan. Belut yang digunakan pada penelitian ini merupakan belut segar yang diperoleh dari pasar Anyar. Belut yang sudah dimatikan kemudian dibersihkan dari kotoran yang ada di dalam perutnya. Dalam penanganan ikan, menurut Wibowo (2006), ikan disiangi bertujuan agar isi perut yang menjadi sumber enzim dan bakteri tidak merusak daging ikan. Setelah semua isi perut dibersihkan, pengirisan dilanjutkan mengikuti tulang belakang belut hingga tulang belakang terpisah dari dagingnya. Apabila tulang belakang sudah terpisah, kepala dan ekor dipotong sehingga hanya diperoleh daging belut tanpa tulang. Daging belut yang sudah terlepas dari tulang, kepala, dan ekor kemudian dikuliti dengan cara membentangkannya secara vertikal disebuah papan, lalu menyayat dagingnya dengan pisau tajam. Rendemen akhir dari daging belut yang diperoleh ± 42,8%. Dalam penanganan ikan, menurut Wibowo (2006), rendemen yang diperoleh dari proses fillet dan pelumatan berkisar antara 40 – 60% dari berat ikan, tergantung jenis ikannya. Daging belut kemudian dicuci dengan air mengalir untuk membersihkan kotoran dan darah yang menempel pada daging. Daging belut yang sudah bersih kemudian direndam di dalam air perasan jeruk nipis selama 15 menit. Setelah perendaman selesai, daging dicuci kembali untuk menghilangkan rasa asam dari air jeruk nipis yang masih menempel pada daging. Selanjutnya daging belut dipotong kecil-kecil untuk mempermudah proses penggilingan. Penghancuran daging ini bertujuan untuk memecah serabut daging, sehingga protein yang larut dalam garam akan mudah keluar. Berikut ini disajikan beberapa gambar proses pembersihan daging belut (Gambar 4-7).
Gambar 4 Pemisahan tulang belut
Gambar 5 Daging belut tanpa tulang 24
Gambar 6 Proses pengulitan daging belut
Gambar 7 Daging fillet belut
Pembuatan Bakso Tahap pembuatan bakso diawali dengan proses penggilingan daging belut dengan penambahan garam dan es. Penambahan garam dalam pembuatan produk seperti bakso berfungsi untuk merenggangkan protein-protein miofibril serta untuk meningkatkan kemampuan mengemulsi (Lawrie 2003). Persentase garam yang ditambahkan adalah sebesar 3,5% dari berat total daging dan tepung yang digunakan. Persentase ini diperoleh melalui trial and error, sedangkan persentase penambahan es didasarkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil uji organoleptik terhadap tekstur bakso pada penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa penambahan es sebanyak 20% dari berat daging menghasilkan tekstur yang terbaik. Oleh karena itu, pada proses pembuatan bakso selanjutnya digunakan persentase penambahan es sebanyak 20% dari berat daging. Menurut Hsu dan Yu (1999), penambahan lebih dari 2,2% garam dan air kurang dari 22% dapat menghasilkan bakso yang dapat diterima. Pada tahap pembuatan bakso, selain menggunakan daging juga ditambahkan bahan lain berupa bahan pengisi dan bumbu-bumbu yang terdiri dari bawang putih dan lada. Bahan pengisi adalah fraksi bukan daging yang ditambahkan dalam pembuatan bakso. Bahan pengisi yang digunakan dalam pembuatan bakso ini adalah tepung tapioka untuk formula pertama dan tepung sagu untuk formula kedua. Masing-masing formula terdiri dari empat taraf penambahan, yaitu 10%, 20%, 30%, dan 40%. Menurut Standar Nasional Indonesia mengenai baso ikan, baso ikan adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ikan dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan. Kadar daging ikan yang digunakan tidak kurang dari 50% (BSN 1995). Persentase bawang putih
25
dan lada yang ditambahkan diperoleh melalui trial and eror untuk menghasilkan rasa bakso yang terbaik. Setelah daging belut halus, penggilingan dilanjutkan kembali dengan menambahkan bahan pengisi dan bumbu. Adonan yang sudah homogen didiamkan selama 3 menit lalu dicetak berbentuk bulatan-bulatan dan dimasukkan ke dalam panci yang berisi air panas (80°C) hingga mengapung. Pemanasan lebih dari suhu 80°C akan menyebabkan emulsi rusak yang ditandai dengan rusaknya elastisitas produk dan keluarnya lemak dari produk (Tanikawa 1971). Bulatan bakso yang sudah mengapung kemudian dimasukkan ke dalam air es. Air es ini berfungsi untuk menghasilkan tekstur yang lebih kompak dan kenyal. Bulatan bakso kemudian direbus di dalam air mendidih. Perebusan kembali ini perlu dilakukan karena menurut Dewi (2002), proses pemanasan yang suhunya kurang dari 100°C tidak dapat membunuh semua bakteri pembusuk, terutama bakteri yang bersifat tahan pada suhu tinggi. Setelah bakso matang, bakso diangkat dan ditiriskan. Berikut adalah gambar bakso yang dihasilkan (Gambar 8 dan 9).
A1B1
A1B2
A1B3
A1B4
Gambar 8 Bakso dengan bahan pengisi tepung tapioka
A2B1
A2B2
A2B3
A2B4
Gambar 9 Bakso dengan bahan pengisi tepung sagu
26
Karakteristik Organoleptik Bakso Belut Karakteristik organoleptik belut diamati dengan menggunakan uji mutu hedonik dan uji hedonik. Uji mutu hedonik yang dilakukan terhadap bakso belut meliputi beberapa atribut, yaitu kecerahan warna, aroma belut, aroma bumbu, tekstur, dan rasa belut. Uji hedonik yang dilakukan terhadap bakso meliputi tingkat kesukaan pada atribut warna, aroma, tekstur, dan rasa. Kecerahan Warna. Nilai rata-rata hasil uji mutu hedonik dan hedonik bakso belut untuk atribut warna pada setiap formula dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik warna bakso
Keterangan
Formula Mutu kecerahan warna Tingkat kesukaan b a A1B1 4,24 4,33 b a A1B2 4,15 4,41 e a A1B3 5,31 4,58 e a A1B4 5,32 4,49 bc a A2B1 4,44 4,34 a a A2B2 3,61 4,29 cd a A2B3 4,73 4,65 de a A2B4 4,89 4,50 : A1: tepung tapioka, A2: tepung sagu; B1: taraf 10%, B2: taraf 20%, B3: taraf 30%, B4: taraf 40%. Nilai rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (Uji Duncan).
Warna adalah kesan pertama yang muncul dalam penilaian produk pangan. Konsumen seringkali melalui sifat warnanya telah dapat memberikan penilaian, baik mengenai kualitas maupun kesukaan terhadap suatu jenis hidangan (Dewi 2002). Warna bakso belut yang dihasilkan adalah putih keabuabuan. Hal ini disebabkan warna dasar daging belut yang putih keabu-abuan. Hasil uji mutu hedonik terhadap kecerahan warna bakso berkisar antara 3,61 – 5,32. Nilai ini berkisar antara biasa sampai agak cerah. Nilai kecerahan warna yang semakin rendah menunjukkan mutu kecerahan warna bakso belut yang semakin gelap. Bakso belut dengan konsentrasi tepung tapioka 40% memiliki nilai kecerahan warna yang paling tinggi atau mendekati agak cerah, sedangkan bakso belut dengan konsentrasi tepung sagu sebanyak 20% memiliki nilai kecerahan warna yang paling kecil atau mendekati biasa. Hasil
sidik
ragam
(Lampiran
4)
menunjukkan bahwa
perlakuan
penambahan jenis tepung yang berbeda berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu kecerahan warna bakso belut. Penambahan tepung tapioka menghasilkan bakso yang memiliki tingkat kecerahan warna yang lebih tinggi dibandingkan penambahan tepung sagu. Selain itu, perlakuan taraf penambahan tepung juga berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu kecerahan warna bakso belut
27
(Lampiran 4). Semakin tinggi taraf penambahan tepung akan menghasilkan bakso yang memiliki tingkat kecerahan warna yang lebih tinggi atau mendekati cerah. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang nyata (p<0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (taraf penambahan tepung). Penggunaan jenis tepung yang berbeda pada berbagai taraf penambahan mempengaruhi mutu kecerahan warna bakso. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mutu kecerahan warna formula bakso belut A2B2 berbeda nyata dengan mutu kecerahan warna bakso belut A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B3, dan A2B4. Begitu juga dengan mutu kecerahan warna formula bakso belut A1B2 tidak berbeda nyata dengan bakso belut A1B1 dan A2B1. Mutu kecerahan warna bakso belut A2B1 tidak berbeda nyata dengan bakso belut A2B3. Mutu kecerahan warna formula bakso belut A2B3 tidak berbeda nyata dengan bakso belut A2B4, namun berbeda nyata dengan mutu kecerahan warna pada formula bakso belut A1B3 dan A1B4. Hasil uji hedonik untuk tingkat kesukaan terhadap warna bakso belut menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap warna bakso berkisar antara 4,29 – 4,65 atau berada pada kisaran biasa sampai agak suka. Panelis memberikan nilai tingkat kesukaan tertinggi terhadap bakso belut A2B3 dengan nilai 4,65 atau berada pada kisaran agak suka dan terendah formula bakso A2B2. Bakso belut yang paling disukai panelis adalah bakso yang memiliki mutu kecerahan warna agak cerah, sedangkan yang paling tidak disukai adalah bakso yang memiliki mutu kecerahan warna agak gelap. Hasil
sidik
ragam
(Lampiran
4)
menunjukkan bahwa
perlakuan
penggunaan jenis tepung yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut warna, begitu juga perlakuan taraf penambahan tepung yang tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut warna (Lampiran 4). Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi (p>0,05) antara penggunaan jenis tepung yang berbeda dengan taraf penambahan tepung terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut warna bakso belut. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap atribut warna bakso belut A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B2, A2B3, dan A2B4 tidak berbeda nyata.
28
Aroma. Nilai rata-rata hasil uji mutu hedonik dan hedonik bakso belut untuk atribut aroma, baik aroma belut maupun aroma bumbu pada setiap formula dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik aroma bakso Formula
Mutu aroma Mutu aroma belut bumbu a a A1B1 3,52 3,69 a a A1B2 3,45 3,82 a a A1B3 3,65 3,92 a a A1B4 3,86 3,84 a a A2B1 3,39 3,86 a a A2B2 3,49 3,78 a a A2B3 3,87 3,89 a a A2B4 3,85 3,59 Keterangan : A1: tepung tapioka, A2: tepung sagu; B1: taraf taraf 30%, B4: taraf 40%. Nilai rata-rata pada diikuti huruf yang sama menunjukkan nilai yang Duncan).
Tingkat kesukaan a
4,20 a 4,21 a 3,99 a 3,84 a 3,89 a 3,98 a 3,98 a 3,94 10%, B2: taraf 20%, B3: kolom yang sama yang tidak berbeda nyata (Uji
Aroma dari suatu produk dapat dideteksi ketika aromanya menguap dan masuk melalui hidung. Penguapan dari produk dipengaruhi oleh suhu dan komponen alami yang terkandung di dalamnya (Meilgaard et al 1999). Hasil uji mutu hedonik terhadap atribut aroma belut pada bakso menunjukkan bahwa nilai rata-rata mutu aroma belut pada bakso adalah 3,39 – 3,87 atau berada pada kisaran agak kuat sampai biasa. Nilai aroma belut yang semakin rendah menunjukkan mutu aroma belut pada bakso yang semakin kuat. Hasil
sidik
ragam
(Lampiran
4)
menunjukkan bahwa
perlakuan
penambahan jenis tepung yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu aroma belut pada bakso, sedangkan perlakuan taraf penambahan tepung berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu aroma belut pada bakso (Lampiran 4). Semakin tinggi taraf penambahan tepung akan menghasilkan bakso yang memiliki aroma belut yang semakin lemah. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi (p>0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (penambahan tepung pada berbagai taraf) terhadap mutu aroma belut pada bakso. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mutu aroma belut pada bakso A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B2, A2B3, dan A2B4 tidak berbeda nyata. Selain atribut aroma belut, parameter aroma yang diukur adalah aroma bumbu. Hasil uji mutu hedonik terhadap atribut aroma bumbu pada bakso menunjukkan bahwa nilai rata-rata mutu aroma bumbu pada bakso adalah 3,59 –
29
3,92 atau berada pada kisaran agak lemah sampai biasa. Nilai yang semakin rendah menunjukkan mutu aroma bumbu pada bakso yang semakin lemah. Hasil
sidik
ragam
(Lampiran
4)
menunjukkan bahwa
perlakuan
penambahan jenis tepung yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu aroma bumbu pada bakso. Begitu juga perlakuan taraf penambahan tepung yang tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu aroma bumbu pada bakso (Lampiran 4). Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi (p>0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (taraf penambahan tepung) terhadap mutu aroma bumbu pada bakso. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mutu aroma belut pada bakso A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B2, A2B3, dan A2B4 tidak berbeda nyata. Baik perlakuan penambahan jenis tepung yang berbeda, taraf penambahan tepung, maupun interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak mempengaruhi mutu aroma bumbu pada bakso yang dihasilkan. Hasil uji hedonik untuk tingkat kesukaan terhadap aroma bakso menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap atribut aroma bakso berkisar antara 3,84 – 4,21 atau berada pada kisaran biasa sampai agak suka. Panelis memberikan nilai tingkat kesukaan tertinggi terhadap bakso belut A1B2 (4,21) dan terendah A1B4 (3,84). Bakso yang paling disukai panelis adalah bakso yang memiliki aroma belut agak kuat dan aroma bumbu yang biasa. Hasil
sidik
ragam
(Lampiran
4)
menunjukkan bahwa
perlakuan
penggunaan jenis tepung yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut aroma, begitu juga perlakuan taraf penambahan tepung yang tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut aroma (Lampiran 4). Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi (p>0,05) antara penggunaan jenis tepung yang berbeda dengan taraf penambahan tepung terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut aroma bakso belut. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap atribut warna bakso belut A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B2, A2B3, dan A2B4 tidak berbeda nyata. Tekstur. Nilai rata-rata hasil uji mutu hedonik dan hedonik bakso belut untuk atribut tekstur pada setiap formula dapat dilihat pada Tabel 10.
30
Tabel 10 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik tekstur bakso Formula
Mutu tekstur d
Keterangan
Tingkat kesukaan
A1B1 5,17 cd A1B2 4,71 a A1B3 3,83 ab A1B4 4,14 cd A2B1 5,10 bc A2B2 4,61 a A2B3 3,96 a A2B4 3,86 : A1: tepung tapioka, A2: tepung sagu; B1: taraf taraf 30%, B4: taraf 40%. Nilai rata-rata pada diikuti huruf yang sama menunjukkan nilai yang Duncan).
a
4,37 a 4,26 a 4,18 a 3,86 a 4,35 a 4,04 a 3,86 a 3,99 10%, B2: taraf 20%, B3: kolom yang sama yang tidak berbeda nyata (Uji
Hasil uji mutu hedonik terhadap atribut tekstur bakso menunjukkan bahwa tekstur bakso berkisar antara 3,83 – 5,17 atau berada pada rentang biasa hingga agak kenyal dan renyah. Nilai rata-rata tertinggi dimiliki oleh bakso A1B1 yang berada pada rentang agak kenyal dan renyah. Nilai rata-rata terendah atau berada pada rentang biasa dimiliki oleh bakso A1B3. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) untuk mutu tekstur bakso menunjukkan perlakuan penambahan jenis tepung yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu tekstur bakso. Perlakuan taraf penambahan tepung berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu tekstur bakso (Lampiran 4). Semakin tinggi taraf penambahan tepung akan menghasilkan bakso yang memiliki tekstur yang lebih rendah atau alot. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi (p>0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (taraf penambahan tepung) terhadap mutu tekstur bakso. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa mutu tekstur bakso A1B4 tidak berbeda nyata dengan bakso A1B3, A2B4, A2B3, dan A2B2. Mutu tekstur bakso formula A2B2 berbeda nyata dengan bakso A1B1, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan mutu tekstur formula bakso A1B2 dan A2B1. Begitu juga dengan mutu tekstur formula bakso A1B1 berbeda nyata dengan bakso A1B3, A1B4, A2B2, A2B3, dan A2B4, tetapi tidak berbeda nyata dengan bakso A1B2 dan A2B1. Hsu & chung (1998) menyatakan bahwa tekstur adalah karakteristik terpenting dari bakso dan konsumen lebih menyukai tekstur yang keras. Hasil uji hedonik untuk tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur bakso berada pada kisaran 3,86 – 4,37 atau berada pada kisaran biasa sampai agak suka. Panelis memberikan nilai tingkat kesukaan tertinggi terhadap bakso A1B1 (4,37) dan
31
terendah A1B4 (3,86). Bakso yang paling disukai panelis adalah bakso dengan tekstur agak kenyal dan renyah. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa baik perlakuan penambahan jenis tepung maupun taraf penambahan tepung tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada atribut tekstur bakso. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi (p>0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (taraf penambahan tepung) terhadap tingkat kesukaan panelis pada atribut tekstur bakso. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis untuk atribut tekstur bakso secara keseluruhan tidak berbeda nyata. Rasa. Nilai rata-rata hasil uji mutu hedonik dan hedonik bakso belut untuk atribut rasa pada setiap formula dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Hasil uji mutu hedonik dan hedonik rasa
Keterangan
Formula Mutu rasa belut Tingkat kesukaan a c A1B1 3,68 4,96 a bc A1B2 3,76 4,57 a a A1B3 3,96 4,01 a ab A1B4 4,06 4,08 a c A2B1 3,69 4,81 a c A2B2 3,76 4,63 a ab A2B3 3,82 4,08 a a A2B4 4,24 3,79 : A1: tepung tapioka, A2: tepung sagu; B1: taraf 10%, B2: taraf 20%, B3: taraf 30%, B4: taraf 40%. Nilai rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (Uji Duncan).
Hasil uji mutu hedonik tehadap atribut rasa belut pada bakso berkisar antara 3,68 – 4,24 atau berada pada rentang agak kuat sampai agak lemah. Nilai rata-rata mutu rasa belut terendah atau pada kisaran agak kuat dimiliki oleh bakso A1B1, sedangkan bakso A2B4 memiliki nilai mutu tertinggi yaitu pada kisaran agak lemah. Nilai rasa belut yang semakin tinggi menunjukkan mutu rasa belut pada bakso yang semakin lemah. Hasil
sidik
ragam
(Lampiran
4)
menunjukkan bahwa
perlakuan
penambahan jenis tepung yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu rasa belut pada bakso. Perlakuan taraf penambahan tepung berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu rasa belut pada bakso (Lampiran 4). Semakin tinggi taraf penambahan tepung akan menghasilkan bakso yang memiliki rasa belut yang lebih lemah.
32
Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi (p>0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (taraf penambahan tepung) terhadap mutu rasa belut pada bakso yang dihasilkan. Berdasarkan uji lanjut Duncan dapat diketahui bahwa mutu rasa belut pada bakso A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B1, A2B2, A2B3, dan A2B4 tidak berbeda nyata. Hasil uji hedonik untuk tingkat kesukaan terhadap rasa bakso belut berkisar antara 3,79 – 4,96 atau berada pada kisaran biasa sampai agak suka. Panelis memberikan nilai tingkat kesukaan tertinggi terhadap bakso belut A1B1 dengan nilai rata-rata 4,96 atau berada pada kisaran agak suka. Nilai tingkat kesukaan terendah diberikan panelis pada bakso A2B4 dengan nilai rata-rata 3,79 atau berada pada kisaran biasa. Rasa bakso yang disukai panelis adalah bakso dengan rasa belut yang agak kuat mendekati sedang, sedangkan rasa bakso yang tidak disukai panelis adalah bakso yang memiliki rasa belut sedang mendekati agak lemah. Hasil
sidik
ragam
(Lampiran
4)
menunjukkan bahwa
perlakuan
penambahan jenis tepung yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap rasa bakso. Perlakuan taraf penambahan tepung berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada atribut rasa bakso (Lampiran 4). Semakin tinggi taraf penambahan tepung maka tingkat kesukaan panelis terhadap rasa bakso semakin menurun. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi (p>0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (taraf penambahan tepung) terhadap tingkat kesukaan panelis pada atribut rasa bakso. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis untuk atribut rasa bakso A1B2 tidak berbeda nyata dengan bakso A2B2, A2B1, A1B1, A1B4, dan A2B3. Begitu juga dengan tingkat kesukaan panelis untuk atribut rasa bakso A2B4 tidak berbeda nyata dengan bakso A1B3, A1B4, dan A2B3. Akan tetapi tingkat kesukaan panelis untuk aribut rasa pada bakso A2B4 dan bakso A1B3 berbeda nyata dengan bakso A1B2, A2B2, A2B1, dan A1B1. Keseluruhan. Nilai rata-rata hasil uji hedonik bakso belut secara keseluruhan pada setiap formula dapat dilihat pada Tabel 12.
33
Tabel 12 Hasil uji hedonik bakso secara keseluruhan Formula
Keseluruhan d
Keterangan
A1B1 4,57 bcd A1B2 4,39 abc A1B3 4,11 ab A1B4 4,01 cd A2B1 4,44 abcd A2B2 4,29 abc A2B3 4,05 a A2B4 3,95 : A1: tepung tapioka, A2: tepung sagu; B1: taraf 10%, B2: taraf 20%, B3: taraf 30%, B4: taraf 40%. Nilai rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (Uji Duncan).
Hasil uji hedonik tingkat kesukaan terhadap keseluruhan bakso menunjukkan nilai rata-rata 3,95 – 4,57 atau berada pada kisaran biasa sampai agak suka. Panelis memberikan tingkat kesukaan tertinggi untuk atribut keseluruhan terhadap bakso A1B1 dengan nilai rata-rata 4,57 atau berada pada kisaran agak suka. Tingkat kesukaan terendah untuk atribut keseluruhan diberikan panelis terhadap bakso A2B4 dengan nilai rata-rata 3,95 atau berada pada kisaran biasa. Hasil
sidik
ragam
(Lampiran
4)
menunjukkan bahwa
perlakuan
penambahan jenis tepung yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) untuk tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan bakso. Perlakuan taraf penambahan tepung berpengaruh nyata (p<0,05) untuk tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan bakso (Lampiran 4). Semakin tinggi taraf penambahan tepung, maka tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan bakso semakin menurun. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) juga menunjukkan tidak terdapat interaksi (p>0,05) antara perlakuan A (penambahan jenis tepung yang berbeda) dengan perlakuan B (taraf penambahan tepung) untuk tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan bakso. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis untuk atribut keseluruhan bakso A2B4 berbeda nyata dengan bakso A1B2, A2B1, dan A1B1, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan tingkat kesukaan panelis untuk atribut keseluruhan bakso A1B4, A2B3, A1B3, dan A2B2. Tingkat kesukaan panelis untuk atribut keseluruhan bakso A2B2 tidak berbeda nyata dengan semua formula bakso. Tingkat kesukaan panelis untuk atribut keseluruhan bakso A1B2 berbeda nyata dengan bakso A2B4, namun tidak berbeda nyata dengan formula lainnya. Bakso A2B1 memiliki tingkat penerimaan
34
terhadap atribut keseluruhan yang berbeda nyata dengan bakso A2B4 dan A1B4, tetapi tidak berbeda nyata dengan bakso A2B3, A1B3, A2B2,A1B2, dan A1B1. Tingkat kesukaan panelis untuk atribut keseluruhan bakso A1B1 tidak berbeda nyata dengan bakso A2B2, A1B2, dan A2B1, namun berbeda nyata dengan tingkat kesukaan panelis untuk atribut keseluruhan bakso A2B4, A1B4, A2B3, dan A1B3. Berdasarkan hasil uji hedonik yang meliputi atribut warna, aroma, tekstur rasa, dan keseluruhan, formula bakso yang paling disukai panelis adalah A1B1 dengan penambahan tepung tapioka sebanyak 10% dari berat daging belut yang digunakan. Rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap atribut rasa, tekstur, dan keseluruhan bakso A1B1 lebih tinggi dibandingkan formula bakso yang lainnya. Selain itu, penentuan bakso belut formula terpilih juga didasarkan pada persentase penerimaan yang dihitung berdasarkan banyaknya panelis yang menyatakan dapat menerima masing-masing formula (memberikan skor penilaian ≥ 4,0). Persentase penerimaan panelis untuk masing-masing formula disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Persentase penerimaan panelis untuk masing-masing formula Formula Jumlah panelis yang menyatakan suka % Penerimaan
A1B1
A1B2
A1B3
A1B4
A2B1
A2B2
A2B3
A2B4
43
39
30
31
41
41
34
31
71,7%
65,0%
50,0%
51,7%
68,3%
68,3%
56,7%
51,7%
Berdasarkan tabel di atas, formula A1B1 memiliki persentase penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan formula lain, yaitu sebesar 71,7%. Oleh karena itu, formula A1B1 ditetapkan sebagai formula terpilih karena memiliki karakteristik yang lebih disukai panelis berdasarkan uji hedonik dan memiliki persentase peneriman yang lebih tinggi dibandingkan formula lain. Bakso A1B1 lebih disukai panelis karena memiliki kecerahan warna agak cerah, aroma belut biasa, aroma bumbu biasa, tekstur yang kenyal dan renyah, serta rasa belut yang sedang. Hasil ini sesuai dengan Wibowo (2006) yang menyatakan bahwa agar bakso lezat, tekstur bagus, dan bermutu tinggi, jumlah tepung yang digunakan sebaiknya sekitar 10 – 15% dari berat daging. Sifat Fisik Bakso Belut Terpilih Water Activity (Aw). Kandungan air dalam bahan pangan mempengaruhi daya tahan bahan pangan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan
35
Aw yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Winarno 2008). Berdasarkan hasil pengukuran, Aw bakso belut formula terpilih adalah 0,97. Menurut Buckle et al. (2010), bahan pangan dengan kadar air tinggi (nilai Aw: 0,95-0,99) umumnya dapat ditumbuhi oleh semua jenis mikroorganisme, tetapi karena bakteri dapat tumbuh lebih cepat daripada kapang dan khamir, maka kerusakan akibat bakteri lebih banyak dijumpai. Tekstur (kekerasan). Kekerasan bahan pangan didefinisikan sebagai gaya yang diperlukan untuk menyebabkan bahan pangan patah atau pecah (Nurhayati 2009). Kekerasan bakso belut terpilih yang diukur dengan Texture Analyzer adalah 554,8 gf. Bakso ikan komersial memiliki kekerasan 643,9 gf. Apabila dibandingkan dengan bakso ikan komersial, bakso belut memiliki kekerasan yang lebih rendah. Berdasarkan hasil penelitian Sunarlim (1992), konsumen dan pengusaha restoran menginginkan bakso yang empuk, tetapi pedagang (produsen) bakso keliling dan rumah makan sederhana menginginkan bakso yang agak keras. Kekerasan bakso belut yang dihasilkan dipengaruhi beberapa faktor. Menurut Soeparno (2005), kekerasan bakso dipengaruhi oleh DMA dan pH daging. Selain itu jenis dan jumlah tepung juga mempengaruhi kekerasan bakso (Nurhayati 2009). Menurut Hsu dan Yu (1999), peningkatan jumlah air juga berpengaruh terhadap tekstur bakso, yaitu semakin tinggi jumlah air yang ditambahkan, maka akan menurunkan kekerasan produk. Kekenyalan. Kekenyalan berhubungan dengan kemampuan bakso untuk menahan tekanan dari luar dan kembali ke bentuk (Nurhayati 2009). Kekenyalan bakso belut terpilih yang diukur dengan Texture Analyzer adalah 40,7%. Bakso ikan komersial memiliki kekenyalan sebesar 27,4%. Apabila dibandingkan dengan bakso ikan komersial, bakso belut memiliki kekenyalan yang lebih tinggi. Tingginya kekenyalan bakso tanpa penambahan bahan pengenyal seperti STPP disebabkan karena daging yang digunakan adalah daging yang masih segar. Selain itu, perlakuan perendaman bakso pada air es setelah bakso setengah matang juga dapat meningkatkan kekenyalan. Menurut Hsu dan Yu (1999), penambahan garam lebih dari 2,2% dan air kurang dari 22% dapat menghasilkan bakso dengan kekenyalan yang dapat diterima.
36
Kandungan Gizi Bakso Belut Terpilih Kandungan zat gizi bakso belut terpilih yang dianalisis meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, kadar kalsium, kadar besi, kadar fosfor, serta daya cerna protein. Kandungan zat gizi bakso terpilih disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Kandungan zat gizi dan daya cerna protein bakso belut formula terpilih Atribut Air (%) Abu (%) Lemak (%) Protein (%) Karbohidrat (%) Kalsium (mg/100 gr) Besi (mg/ 100 gr) Fosfor (mg/ 100 gr) Daya Cerna Protein (%)
Formula terpilih (bb) 77,6 2,4 0,9 11,5 7,7 490 93,7 185 83,9
Kadar Air. Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan kita. Selain itu, kandungan air dalam bahan pangan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan itu (Winarno 2008). Kadar air bakso formula terpilih berdasarkan hasil analisis adalah 77,6% (bb). Hasil penelitian Dewi (2002), kadar air sosis belut berkisar antara 68,5 – 68,9% (bb). Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang bakso ikan, kadar air maksimal adalah 80% (bb) (BSN 1995). Kadar air bakso belut yang dihasilkan dapat dikatakan telah memenuhi syarat mutu SNI untuk kadar air pada bakso ikan. Kadar Abu. Kadar abu dari suatu bahan pangan menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam bahan tersebut, kemurnian, serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan (Andarwulan et al. 2011). Berdasarkan hasil analisis, kadar abu bakso formula terpilih adalah 2,4% (bb). Apabila dibandingkan dengan olahan belut dalam bentuk keripik, kadar abu pada bakso belut lebih rendah. Namun, kadar abu bakso belut hampir sama dengan kadar abu pada sosis belut. Pada olahan belut dalam bentuk keripik, kadar air yang terkandung didalamnya adalah sebesar 9,5% (bb) (Sulistyarini 2007), sedangkan olahan belut dalam bentuk sosis memiliki kandungan abu berkisar antara 2,1 – 2,7% (bb) (Dewi 2002). Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang bakso ikan, kadar abu maksimal adalah 3,0% (bb) (BSN 1995). Kadar abu bakso belut
37
yang dihasilkan dapat dikatakan telah memenuhi syarat mutu SNI untuk kadar abu pada bakso ikan. Kadar Lemak. Lemak dalam bahan pangan berfungsi untuk memperbaiki rupa dan struktur fisik bahan pangan, menambah nilai gizi, serta memberikan cita rasa gurih pada bahan pangan (Ketaren 2005). Berdasarkan hasil analisis, kadar lemak bakso formula terpilih sebesar 0,9% (bb). Berdasarkan hasil penelitian Dewi (2002), olahan belut berupa sosis memiliki kadar lemak berkisar antara 2,8 – 4,8% (bb). Olahan belut dalam bentuk keripik memiliki kadar lemak sebesar 18,9% (bb) (Sulistyarini 2007). Perbedaan kadar lemak yang lebih tinggi pada bakso belut dibandingkan produk olahan belut yang lain dikarenakan pengolahan bakso belut tidak menggunakan minyak maupun bahan-bahan yang memiliki kandungan lemak yang tinggi. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang bakso ikan, kadar lemak maksimal adalah 1,0% (bb) (BSN 1995). Kadar lemak bakso belut yang dihasilkan dapat dikatakan telah memenuhi syarat mutu SNI untuk kadar lemak pada bakso ikan. Kadar Protein. Protein merupakan salah satu zat gizi yang diperhatikan dalam produk bakso. Berdasarkan hasil analisis, kadar protein bakso formula terpilih adalah sebesar 11,5% (bb). Berdasarkan hasil penelitian Dewi (2002), olahan belut berupa sosis memiliki kadar protein antara 12,1 – 18,1% (bb), sedangkan olahan belut dalam bentuk keripik memiliki kadar protein sebesar 63,9% (bb) (Sulistyarini 2007). Apabila dibandingkan dengan produk olahan belut yang lain, bakso belut memiliki kadar protein yang lebih rendah. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang bakso ikan, kadar protein minimal yang harus ada pada bakso ikan adalah sebesar 9,0% (bb) (BSN 1995). Kadar protein bakso belut yang dihasilkan dapat dikatakan telah sesuai syarat mutu SNI untuk kadar protein pada bakso ikan. Kadar Karbohidrat. Karbohidrat mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan pangan, misalnya rasa, warna, tekstur, dan lain sebagainya (Winarno 2008). Kadar karbohidrat dihitung dengan menggunakan metode by difference, yaitu hasil dari 100% dikurangi kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein. Kadar karbohidrat bakso belut formula terpilih hasil analisis adalah 7,7% (bb). Apabila dibandingkan dengan produk olahan belut yang lain seperti keripik, kandungan karbohidrat pada bakso belut sedikit lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Sulistyarini (2007), kadar karbohidrat pada keripik belut sebesar 6,8% (bb). Kadar karbohidrat yang lebih tinggi pada bakso
38
belut diduga karena penambahan tepung tapioka yang memiliki kandungan karbohidrat sebesar 88,7 g/100 g bahan (USDA 2002). Kadar Kalsium. Kalsium adalah salah satu mineral makro yang penting bagi tubuh (Winarno 2008). Berdasarkan hasil analisis, kadar kalsium bakso formula terpilih sebesar 490 mg/100 g. Menurut BPOM (2004), suatu pangan dapat diklaim kaya akan zat gizi tertentu apabila pangan tersebut mengandung vitamin, mineral, protein, serat makanan, atau kalium sedikitnya 20% dari Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan per takaran saji. ALG kalsium untuk kelompok konsumen umum adalah sebesar 800 mg/hari. Kontribusi total kalsium yang terkandung dalam bakso belut per takaran saji (80 gram) terhadap acuan label gizi untuk kelompok konsumen umum adalah sebesar 49,0%. Oleh karena itu, bakso belut dapat dikategorikan kaya kalsium. Kadar Besi. Besi merupakan mineral makro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan (Almatsier 2004). Berdasarkan hasil analisis, kadar besi bakso formula terpilih sebesar 93,7 mg/100 g. Kandungan besi pada bakso ini jauh di atas ALG untuk zat besi yaitu 26 g. Kandungan besi daging belut sendiri menurut United States Development of Agricultural (USDA) (2002) sebesar 0,5 mg/100 g. Menurut Ruiter (1995), perbedaan kadar besi yang besar dapat terjadi dikarenakan kontaminasi logam serta perbedaan dalam metode analisis. Kontaminasi diduga terjadi pada tahapan proses karena banyak alat-alat berunsur logam yang kontak dengan bahan mulai dari food processor sampai pemasakan. Selain itu, sedimen besi pada air tanah yang merupakan habitat belut juga diduga mempengaruhi kadar besi belut. Kadar Fosfor. Fosfor terdapat di dalam semua makanan, terutama makanan kaya protein seperti daging, ayam, ikan, telur, susu dan hasilnya, kacang-kacangan dan hasilnya, serta serealia (Almatsier 2004). Berdasarkan hasil analisis, kadar fosfor bakso formula terpilih sebesar 185 mg/100 g. ALG fosfor adalah sebesar 600 mg. Kontribusi fosfor yang terkandung dalam bakso belut per takaran saji (80 gram) terhadap angka label gizi untuk kelompok konsumen umum adalah sebesar 24,6%. Oleh karena itu, bakso belut dapat dikategorikan kaya fosfor. Daya Cerna Protein. Menurut Budianto (2009) daya cerna protein adalah jumlah fraksi nitrogen dari bahan pangan yang dapat diserap oleh tubuh. Menurut Muchtadi (2010), pengolahan bahan pangan yang tidak terkontrol dengan baik
39
(misalnya: reaksi pencokelatan non enzimatis) dapat menurunkan nilai gizi suatu protein. Hasil analisis daya cerna protein bakso belut formula terpilih adalah 83,9%. Daya cerna protein bakso belut sedikit lebih rendah dibandingkan daya cerna protein fillet belut yaitu 84,9%. Menurut Grosch (1999), denaturasi protein dapat meningkatkan daya cerna protein pada pengolahan suhu 70ºC - 90ºC. Pengolahan makanan pada suhu tinggi (>90ºC) dapat berdampak pada pembentukan sub produk yang terbentuk dari asam amino dan dapat berakibat pada penurunan nilai biologis protein. Kontribusi Zat Gizi Bakso Belut terhadap Acuan Label Gizi (ALG) Nilai gizi pada produk pangan merupakan salah satu informasi yang terdapat pada label pangan. Salah satu keterangan yang dicantumkan dalam informasi nilai gizi adalah jumlah zat gizi yang terdapat pada produk pangan tersebut. Menurut BPOM (2004), suatu pangan dapat diklaim merupakan sumber yang baik dari suatu zat gizi apabila mengandung vitamin, mineral, protein, serat makanan, atau kalium sedikitnya 10% - 19% dari Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan per takaran saji. Klaim kaya akan zat gizi tertentu
hanya
diperbolehkan apabila pangan tersebut mengandung vitamin, mineral, protein, serat makanan, atau kalium sedikitnya 20% dari Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan per takaran saji. Berdasarkan keputusan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 39 HK.00.05.52.6291 tahun 2007 tentang Acuan Label Gizi, keterangan tentang kandungan gizi harus dinyatakan dalam persentase dari Acuan Label Gizi (ALG). ALG adalah Angka Kecukupan Gizi untuk pelabelan. Acuan Label Gizi untuk protein sebesar 60 g, kalsium 800 mg, dan fosfor 600 mg bagi kelompok konsumen umum. Produk bakso belut pada penelitian ini menekankan kontribusi protein dan mineral yang meliputi kalsium dan fosfor yang diberikan terhadap pemenuhan untuk kelompok konsumen umum. Protein yang harus dipenuhi pertakaran saji untuk kelompok konsumen umum sehingga pangan dapat dikatakan sebagai sumber protein adalah 10% - 19% dari 60 gram protein. Begitu juga dengan mineral baik kalsium maupun fosfor. Kalsium yang harus dipenuhi sebesar 10% 19% dari 800 mg per takaran saji agar dapat dikatakan pangan sumber kalsium
40
serta 10% - 19% dari 600 mg fosfor per takaran saji agar dapat dikatakan sebagai sumber fosfor. Berat satu buah bakso belut ± 10 g. Satu takaran saji bakso ikan yang umum digunakan di masyarakat adalah 8 buah bakso. Oleh karena itu, anjuran konsumsi bakso belut per takaran saji adalah 8 buah bakso atau setara dengan 80 g dengan berat per buahnya ± 10 gram. Kandungan zat gizi bakso belut formula terpilih serta kontribusinya terhadap ALG per takaran saji dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Kandungan zat gizi bakso belut dan kontribusinya terhadap ALG per takaran saji. Zat gizi Energi Karbohidrat Lemak Protein Fosfor Kalsium
Satuan Kkal g g g mg mg
Kandungan zat gizi/100 g 84 7,7 0,9 11,5 185 490
Kandungan Zat Gizi/Takaran Saji (80 g) 68 6,3 0,7 9,2 148 392
ALG 2007 2000 300 62 60 600 800
% ALG 3,4 2,0 1,1 15,4 24,6 49,0
Berdasarkan analisis kontribusi zat gizinya, bakso formula terpilih memberi kontribusi protein sebesar 15,4%, fosfor 24,6%, dan kalsium 49,0% dari ALG untuk kelompok konsumen umum, sehingga produk bakso belut dapat diklaim sebagai sumber protein yang baik, serta kaya kalsium dan fosfor. Apabila dibandingkan dengan bakso daging yang umum dikonsumsi masyarakat, bakso belut memiliki kandungan gizi yang jauh lebih tinggi. Menurut Erhardt (2007), kandungan bakso yang umum dikonsumsi per 100 g adalah energi 123 Kal; karbohidrat 5,8 g; lemak 7,1 g; protein 9,0 g; fosfor 66 g; dan kalsium 13 g.
41
Analisis Biaya Pembuatan Bakso Belut Terpilih Analisis biaya pembuatan bakso dilakukan untuk mengetahui harga jual produk bakso formula terpilih. Analisis biaya pembuatan produk dihitung berdasarkan harga masing-masing komponen penyusun, bahan bakar, listrik, transportasi, kemasan, dan keuntungan yang ingin diperoleh. Perhitungan biaya pembuatan bakso formula terpilih disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Perhitungan biaya pembuatan bakso belut formula terpilih Jenis Pengeluaran (Rp) Bahan baku : - Fillet belut - Tepung tapioka - Es batu - Bawang putih - Garam - Lada - Jeruk nipis Total harga bahan baku Transportasi Upah tenaga kerja Kemasan Listrik/gas Harga produksi Harga sesuai rendemen Harga per 100 gram Keuntungan (20%) Harga jual per 100 gram
Harga/kg (Rp) 50.000 9.000 1.000 16.000 1.500 500 20.000
Berat (gr)
Harga Sesuai Pemakaian (Rp)
100 10 20 1,1 3,85 0,44 20
5.000 90 20 17,6 23,1 110 400 5.660 1.000 2.000 500 1.000 10.160 12.331 11.210 2.242 13.452
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa harga jual untuk bakso formula terpilih adalah Rp 13.452,- per 100 gram. Harga bakso ikan komersial yang dijual di pasaran rata-rata Rp 8.188,- per 100 gram. Jika dibandingkan dengan harga bakso ikan komersial maka bakso belut formula terpilih memiliki harga yang jauh lebih mahal. Selain itu, apabila dilihat dari harga zat gizi khususnya protein, bakso belut masih tergolong mahal, yaitu Rp 1.167,- per gram protein, sedangkan harga per gram protein pada bakso ikan komersial adalah Rp 744,-. Bakso belut memiliki keunggulan lain yaitu kaya fosfor dan kalsium. Harga per mg fosfor pada bakso belut adalah Rp 73,- dan harga per mg kalsium adalah Rp 27,-, sedangkan bakso ikan komersial tidak mencantumkan informasi kandungan fosfor dan kalsium sehingga tidak dapat dianalisis harga untuk kedua zat gizi tersebut. Dibandingkan dengan harga zat gizi mikro yang ada pada daging sapi, harga zat gizi mikro yang ada pada bakso belut tergolong lebih murah. Rata-rata
42
harga per mg fosfor pada daging sapi adalah Rp 44,-, sedangkan harga per mg kalsium adalah Rp 681,-. Bakso ikan komersial di produksi dalam skala industri sehingga dapat menekan biaya produksi dan dapat dijual dengan harga yang lebih murah. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan zat gizi mikro yang terdapat dalam bakso formula terpilih, maka bakso belut direkomendasikan sebagai kudapan bergizi.
43
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Derajat keasaman (pH) belut adalah 6,1, sedangkan persentase air terikat (% mg H2O) belut adalah 63,1%. Kandungan gizi belut terdiri dari kadar air 80,1%, abu 0,9% (bb), lemak 0,6% (bb), protein 15,3% (bb), karbohidrat 3,1% (bb), kadar kalsium 387 mg/100g, kadar besi 109,7 mg/100g, kadar fosfor 217 mg/100g, dan daya cerna protein belut 84,9%. Formula bakso ditentukan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang bakso ikan. Persentase es yang ditambahkan sebanyak 20% yang ditetapkan berdasarkan penelitian pendahuluan. Tepung yang digunakan sebagai bahan pengisi adalah tepung tapioka dan tepung sagu. Taraf penambahan tepung pada masing-masing formula adalah 10%, 20%, 30%, dan 40%. Selain itu, pembuatan bakso juga menggunakan bumbu yang terdiri dari garam sebanyak 3,5%, lada sebanyak 0,4%, serta bawang putih sebanyak 1% dari berat masing-masing adonan. Faktor jenis tepung yang berbeda memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu kecerahan warna. Faktor taraf penambahan tepung yang berbeda memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu kecerahan warna, aroma belut, tekstur, dan rasa belut, sedangkan interaksi antar kedua faktor hanya memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu kecerahan warna. Selain itu, faktor taraf penambahan tepung yang berbeda juga memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap atribut rasa dan keseluruhan. Faktor jenis tepung yang berbeda dan interaksi antar kedua kedua faktor tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis. Berdasarkan hasil uji organoleptik tersebut, formula bakso terpilih adalah bakso dengan penambahan tepung tapioka 10% (A1B1). Nilai rata-rata Aw bakso belut terpilih adalah 0,97. Tingkat kekerasan (tekstur) bakso terpilih adalah 554,8 gf. Tingkat kekenyalan bakso belut terpilih adalah 40,7%. Kandungan gizi bakso belut terpilih terdiri dari kadar air 77,6%, kadar abu 2,4% (bb), kadar lemak 0,9% (bb), kadar protein 11,5% (bb), kadar karbohidrat 7,7% (bb), kadar kalsium 490 mg/100 g, kadar besi 93,7 mg/100 g, kadar fosfor 185 mg/100 g, dan daya cerna protein belut 83,9 %. Satu takaran saji bakso belut formula terpilih telah memenuhi 15,4% dari ALG protein, 24,6% dari ALG fosfor, dan 49,0% dari ALG kalsium. Harga jual untuk bakso belut formula terpilih yaitu Rp. 13.452,- per 100 gram. Rata-rata
44
harga bakso ikan komersial yaitu Rp. 8.188,- per 100 gram. Bakso belut formula terpilih memiliki harga lebih mahal dibandingkan dengan harga bakso ikan komersial. Saran Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan adalah pembuatan bakso belut sebaiknya menggunakan bahan pengisi berupa tepung tapioka karena akan menghasilkan bakso yang lebih disukai oleh konsumen. Selain itu, daging yang akan digunakan dalam pembuatan bakso sebaiknya daging yang masih segar dan belum melalui proses penyimpanan agar dapat menghasilkan bakso dengan tekstur yang lebih baik.
45
DAFTAR PUSTAKA Aberle ED, Forest JC, Gerrard DE, Mills EW. 2001. Principles of Meat Science. IOWA: Kendall/Hunt Publishing Company. Afrianty. 2002. Sifat fisiko-kimia dan palatabilitas bakso dengan bahan utama daging sapi beku pada waktu pembekuan yang bereda [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta: PT. Dian Rakyat. Andi. 2010. SPSS 17. Yogyakarta: Elcom. [AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 1995. Official Methods of analysis. Washington DC: Association of Official Analytical Chemist. Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC. Bender DA. 2002. Introduction to Nutrition Metabolism 3rd ed. London: Taylor and Francis Press. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Jakarta: Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan. ___________________________________. 2007. Acuan Label Produk Pangan HK.00.05.52.6291. http://www.pom.go.id/ [17 September 2012]. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. Bakso Ikan – SNI 01-3819-1995. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. ______________________________. 1995. Lada Putih Bubuk – SNI 01-37171995. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 2010. Ilmu Pangan. . Terjemahan Purnomo H, Adiono. Jakarta: UI Press. Budianto AK. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Malang: UMM Press. Colmenero JF, Carballo J, Cofrades S. 2001. Healthier meat and meat products: their role as functional foods. Meat Science 59: 5-13. Dewi TQ. 2002. Pemanfaatan belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam pembuatan sosis ikan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Direktorat Pemasaran Dalam Negeri. 2012. Profil produk perikanan dalam negeri – Bakso ikan. www.pdn.kkp.go.id [15 Des 2012].
46
Djajadireja R, Hatimah S, Arifin Z. 1977. Buku Pedoman Sumber Perikanan Darat: Jenis-jenis Ikan Ekonomis Penting. Jakarta: Dinas Perikanan. Elviera G. 1988. Pengaruh pelayuan daging sapi terhadap mutu bakso [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Erhardt J. 2007. Nutrisurvey for Windows. Jakarta: SEAMEO-TROPMED RCCN, University of Indonesia. Ferazuma H, Marliyati SA, Amalia L. 2011. Substitusi tepung kepala ikan lele dumbo (Clarias gariepinus sp) untuk meningkatkan kandungan kalsium crackers. Journal of Nutrition and Food 6 (1): 18-27. Forrest JG, Aberle ED, Hendrick HB, Judge MD, Merkel RA. 1975. Principle of Meat Science. San Fransisco: WH Freeman & Co. Gaffar AK. 2007. Sudahkah anda tahu? Belut sawah (Monoptherus albus). http://www.dkp.go.id [4 Mar 2012] Govindan TK. 1985. Fishing Processing Technology. New Delhi: Oxford & IBH Publishing. Grosch B. 1999. Food Chemistry. 11th Edition. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Haryanto B, Pangloli P. 1991. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Bogor: Kanisius. Hitokoto H, Morozomi S, Wauke T, Sakai, Kurata H. 1990. Inhibitory effect of spices on growth amd toxin production of toxigenic fungsi. Journal Appl Environmental Microbial 39(4): 818-822. Hsu SY, Chung HY. 1998. Effects of processing factors on qualities of emulsified meatball. Journal of Food Engineering 36: 337-347. Hsu SY, Yu SH. 1999. Effect of phosphate, water, fat, and salt on qualities of lowfat emulsified meatball. Journal of Food Engineering 39: 123-130. Irianto HE, Giyatmi S. 2009. Materi Pokok Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Universitas Terbuka. James DG. 2006. The impact of aquatic biodiversity on the nutrition of rice farming households in the Mekong basin: Consumption and composition of aquatic resources. Journal of Food Composition and Analysis 19: 756-757. Ketaren S. 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press Kramlich WE. 1971. Sausage product. Di Dalam: Price JF, Schweigert. The Science of Meat and Meat Product. San Fransisco: W.H. Freeman and Co.
47
Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging penerjemah Parakkasi A. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Layly AR. 2002. Keberadaan merkuri dan pengaruh perendaman larutan asam terhadap kandungan gizi serta daya cerna protein pada ikan mas (Cyprinus carpio L.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Leo G. 2012. Asian Swamp Eel- Monopterus albus. http://fl.biology.usgs.gov [15 Des 2012] Lukman DW et al. 2007. Higiene Pangan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques. Florida: CRC Press. Muchtadi D. 2010. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Bandung: Alfabeta. Nurhayati E. 2009. Sifat fisik dan organoleptik bakso daging domba pada lama postmortem dan taraf penambahan tepung tapioka yang berbeda [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ockerman HW. 1983. Chemistry of Meat Tissue. Ohio: Departement of Animal Science. Park JW. 2004. Surimi and Surimi Seafood. New York: Taylor & Francis Group. Pearson AM, Tauber FW. 1984. Processed Meats. Connecticut: The AVI publishing Co. [Persagi] Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Putri DE. 2001. Pengaruh pemanasan pada penanganan ikan sapu-sapu (Hypostomus sp) terhadap mutu fisik bakso ikan yang dihasilkan [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ruiter A. 1995. Fish and Fishery Products – Composition, Nutritive Properties, and Stability. UK: Cab International. Rukmana R. 2003. Budi Daya Belut. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Sarwono B. 2003. Budi Daya Belut dan Sidat. Jakarta: Penebar Swadaya. Sekarwiyati I. 2000. Pengaruh konsentrasi garam dan jenis tepung terhadap karakteristik mutu fisik bakso ikan layaran (Isthiophorus orientalis) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. 2010. Analisis Sensori. Bogor: IPB Press. 48
Siagian V. 2008. Peningkatan protein hewani untuk ketahanan pangan. www.litbang.deptan.go.id [ 27 Mei 2012]. Silvia. 2002. Pembuatan yogurt kedelai (soygurt) dengan menggunakan kultur campuran Bifidobacterium bifidum dan Streptococcus thermophillus [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Soekarto TS. 1985. Penilaian Organoleptik. Jakarta: Batara Karya Aksara _______. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Suhartini S, Hidayat N. 2005. Olahan Ikan Segar. Surabaya: Trubus Agrisarana Sulistyarini D. 2007. Pemanfaatan belut (Monoptherus albus) dalam pembuatan kripik [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sunarlim R. 1992. Karakteristik mutu bakso sapi dan pengaruh penambahan natrium klorida Tripolifosfat terhadap perbaikan mutu [disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tanikawa E. 1971. Marine Product in Japan. Tokyo: Koseisha-Koseikaku. Tarwotjo, Hartini IS, Soekirman S, Sumartono. 1971. Komposisi Tiga Jenis Bakso di Jakarta. Jakarta: Akademi Gizi. [USDA] United States Development of Agricultural. 2002. USDA National Nutrient Database for Standard Reference – Release 24. Betsville: Agricultutarl Research Service. Vishwanath W, Lilabati H, Bijen M. 1998. Biochemical, nutrition and microbiological quality of fresh and smoked mud eel fish Monopterusalbus - a comparative study. Food Chemistry 61: 153-156. Wibowo S. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Jakarta: Penebar Swadaya. Wilson NRP, Dyet EJ, Hughes RB, Jones CRV. 1981. Meat and Meat Product: Factors Affecting Quality Control. London: Applied Science Publishers. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.
49
LAMPIRAN
50
Lampiran 1 Prosedur analisis fisik 1. Analisis Tekstur (kekerasan dan kekenyalan) Kekerasan adalah gaya yang dibutuhkan untuk menekan suatu bahan atau produk sehingga terjadi perubahan bentuk yang diinginkan. Kekenyalan merupakan komponen yang tidak terpisahkan dengan kekerasan. Menurut SNI 01-3818-1995, bakso yang baik adalah bakso yang memiliki tekstur kenyal. Sifat kenyal adalah sifat fisik produk dalam hal daya tahan untuk pecah akibat gaya tekan. Sifat kenyal dan keras sebenarnya sama-sama menyatakan daya tahan untuk pecah, tetapi bedanya adalah sifat keras untuk menyatakan sifat benda atau produk pangan yang bersifat deformasi, sedangkan sifat kenyal adalah sifat reologi pada produk plastis yang bersifat deformasi (Soekarto 1990). Kekerasan dan kekenyalan diukur dengan menggunakan alat Texture Analyzer TAXT2. Cara kerja alat ini adalah pisau pada alat akan memotong sampel (berukuran 2x2x2 cm3) sebanyak 2 kali. Pemotongan pertama akan terbentuk kurva tertinggi menyatakan nilai kekerasan sampel, kemudian pada pemotongan berikutnya akan diperoleh kurva kedua. Kekenyalan sampel diperoleh dengan membandingkan time different antara kedua kurva tersebut. 2. Analisis Aktivitas Air (Aw) Aktivitas air (Aw) suatu bahan atau produk diukur dengan menggunakan Aw meter yang sebelumnya sudah dikalibrasi dengan menggunakan larutan BaCl2 selama 24 jam. Larutan BaCl2 memiliki nilai aktivitas air (Aw) sebesar 0,9 (Syarief & Halid 1993). Sample dimasukan ke dalam wadah kemudian wadah ditutup dengan Aw meter. Sampel jangan terlalu banyak agar tidak mengganggu alat. Pembacaan skala Aw meter dilakukan setelah 3 jam pengukuran. Aktivitas air ditentukan dengan Rumus: Aw = Skala + [(suhu-200C) x 0.002] 3. Analisis pH Alat pH meter dikalibrasi dahulu dengan menggunakan larutan standar dengan pH netral (pH 7). Elektoda kemudian dimasukkan ke dalam sampel adonan yang akan diukur pH nya sehingga dapat terbaca nilai pH adonan. 4. Analisis Daya Mengikat Air (DMA) DMA dianalisis dengan metode kertas saring (modifikasi metode Garm & Hamm 1972). Sampel diletakan di tengah 2 lembar kertas saring dan ditekan dengan tekanan 35 kg per cm2 selama 5 menit. DMA relatif dinyatakan
51
sebagi luasan air yang tertera pada kertas saring. Kategori kemampuan DMA (berdasarkan luasan air bebas): < 6 cm2
= sedang
2
= rendah
8-9 cm > 8 cm
= tinggi
2
Jumlah air bebas (mg)
= Luasan air bebas (cm2) – 8............................ (A) 0.0948
Jumlah air sampel (mg) = % kadar air sampel x berat sampel............... (B) %DMA
= B-A x100 B
52
Lampiran 2 Prosedur analisis kandungan gizi dan daya cerna protein 1. Kadar Air (AOAC 1995) Sampel sebanyak lima gram dikeringkan selama 15 jam dalam oven 10 sampai beratnya konstan. Kadar air dihitung dengan rumus: Kadar Air (%) = a – b x 100% c Keterangan : a = Berat wadah dan sampel awal b = Berat dan sampel setelah dikeringkan c = Berat sampel 2. Kadar Abu Metode Gravimetri (AOAC 1995) Cawan kosong dipanaskan dalam oven kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit. Sampel ditimbang kurang lebih 3 g dan diletakkan dalam cawan, kemudian dibakar dalam kompor listrik sampai tidak berasap. Cawan kemudian dimasukkan ke dalam tanur. Pengabuan dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama pada suhu sekitar 450 suhu 550
dan tahap kedua pada
, pengabuan dilakukan sekitar 2-3 jam. Cawan kemudian
didinginkan dalam desikator. Setelah dingin, cawan kemudian ditimbang. Persentase dari kadar abu dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: Abu (%) = Bobot abu (g) x 100% Bobot sampel (g) 3. Kadar Protein metode mikro kjeldahl (AOAC 1995) Kadar protein dalam sampel dianalisis dengan menggunakan metode Kjeldahl yang merupakan analisis kadar total N. Sejumlah sampel 0,3 g dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan dengan katalis secukupnya dan 25 ml H2SO4 pekat. Campuran dipanaskan dalam pembakar Bunsen. Sampel didestruksi hingga jenuh dan berwarna hijau kekuningan. Labu destruksi didinginkan dan larutan dimasukkan ke dalam labu penyuling kemudian diencerkan dengan 300 ml air yang tidak mengandung N dan ditambahkan dengan NaOH 33%. Labu penyuling dipasang dengan cepat di atas alat penyuling sehingga 2/3 cairan dalam labu penyuling yang menguap ditangkap oleh larutan H2SO4 dalam erlenmeyer dititar dengan menggunakan larutan NaOH 0,3 N (Z ml) sampai terjadi perubahan warna menjadi kehijauan kemudian dibandingkan dengan titar blanko (Y ml).
53
% N = (Y – Z) x NaOH x 0,014 x 100% gram contoh % Protein = % N x 6,25 (faktor koreksi) 4. Kadar lemak (AOAC 1995) Labu lemak terlebih dahulu dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C, dan didinginkan dalam desikator serta dihitung beratnya. Contoh sebanyak 5 gram dalam bentuk kering dibungkus dalam kertas saring, kemudian dimasukkan ke dalam alat ekstrasi soxhlet. Alat kondensor diletakkan di atas dan labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan refluks selama minimal 6 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstrasi dikeringkan dalam oven bersuhu 1050C untuk mengeluarkan sisa pelarut hingga mencapai berat yang konstan, kemudian didinginkan dalam desikator. Labu lemak kemudian ditimbang dan berat lemak dapat diketahui. Kadar lemak (% bb) = Berat lemak (gram) x 100% Berat contoh (gram) 5. Kadar Karbohidrat (Winarno 1997) Kadar karbohidrat ditentukan by difference yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan kadar abu, sehingga kadar karbohidrat tergantung karbohidrat sangat berpengaruh kepada faktor kandungan zat gizi lainnya. Penentuan dengan cara ini kurang akurat dan merupakan pertimbangan kasar sebab karbohidrat dihitung termasuk serat kasar yang tidak menghasilkan energi. Serat kasar adalah fraksi karbohidrat yang sukar dicerna. Karbohidrat (%) = 100% - % kadar (air + protein + lemak + abu) 6. Analisis Fosfor Metode Vanadat-Molibdat (Sulaeman et al. 1994) a. Persiapan pereaksi Vanadat-molibdat Ammonium molibdat sebanyak 20 gram dilarutkan dalam 400 ml akuades hangat kemudian didinginkan. Sebanyak 1,0 gram vanadat dan dilarutkan ke dalam 300 ml akuades mendidih. Setelah dingin, ditambahkan asam sitrat pekat sambil diaduk. Larutan molibdat dimasukkan ke dalam larutan vanadat dan diaduk. Larutan molibdat + vanadat diaduk lalu diencerkan hingga volume 1 liter. b. Persiapan larutan fosfat standar Sebanyak 3,834 gram potasium dihidrogen fosfat kering dilarutkan di dalam akuades dan diencerkan hingga volume 1 liter. Sebanyak 25 ml
54
larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml dan diencerkan sampai tanda tera (1 ml = 0.2 P2O5). c. Pembuatan kurva standar Larutan fosfat standar diambil sebanyak 0; 0,25; 5; 10; 20; 30; 40 dan 50 ml lalu dimasukkan dalam labu takar 100 ml. masing-masing ditambah 25 ml pereaksi vanadat-molibdat kemudian ditera. Larutan didiamkan selama 10 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 400 nm. d. Penetapan sampel Sampel yang telah dipreparasi dipipet 1 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. tambahkan 25 pereaksi pereaksi vanadatmolibdat pada masing-masing labu takar dan diencerkan sampai tanda tera. Setelah didiamkan, sampel diukur absorbansinya pada penjang gelombang 400 nm. Konsentrasi fosfor dapat diketahui melalui kurva standar berdasarkan absorbans yang terbaca. Perhitungan : % P2O5 = (100/1000 x fp x konsentrasi fosfor x 100)/ mg sampel 7. Analisis Kalsium Metode AAS (Apriyanto et al. 1989) Analisis kalsium diawali dengan preparasi sampel. Preparasi sampel dilakukan dengan pengabuan basah. Sampel ditimbang sebanyak ± 1 gram dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 10 ml H2SO4 dan 10 ml HNO3 dipanaskan perlahan-lahan sampai larutan tidak berwarna gelap (semua zat organik telah teroksidasi). Larutan ditambah akuades hingga menjadi tidak berwarna atau menjadi kuning, dididihkan sampai berasap. Setelah itu didinginkan dan dienserkan dalam labu takar 100 ml sampai tera. Blanko dipersiapkan seperti proses diatas. Larutan standar kalsium, sampel dan blanko diukur pada panjang gelombang 427. Hasil pengukuran selanjutnya di tetapkan ke dalam kurva. %kalsium =
100 1000
x fp x absorban sampel −absorban blanko x 100) mg sampel
8. Analisis Daya Cerna Protein secara in vitro (Sounders et al. 1973) Pengukuran daya cerna protein secara in vitro dilakukan dengan menggunakan
250 mg sampel. Sampel dimasukkan ke dalam labu
erlenmayer 50 ml kemudian ditambahkan 15 ml HCl 0,1 N yang mengandung 1,5 mg enzim pepsin. Selanjutnya campuran dalam labu
55
erlenmayer dikocok dengan menggunakan shaker waterbath dengan kecepatan 50 rpmdan suhu 37°C selama 3 jam. Larutan dinetralkan (pH 7) dengan NaOh 0.5 N yang diukur dengan pH meter kemudian ditambahkan 7,5 ml larutan buffer fosfat 0,2 M (pH 8) yang mengandung natrium azida 0.005 M dan 4 mg enzim pankreatin. Larutan selanjutnya dikocok pada shaker waterbath dengan kecepatan 50 rpm dengan suhu 37°C selama 24 jam. Padatan yang diperoleh dari akhir penyaringan, disaring dengan kertas saring Whatman 41 (sebelumnya bobot kertas saring sudah dicatat) yang dihubungkan dengan alat penghisap uap. Berat padatan ditimbang, kemudian dianalisis kadar proteinnya (% protein sisa) dengan menggunakan metode mikro Kjeldahl. Perhitungan daya cerna protein dilakukan dengan rumus : % Daya cerna protein = Protein Kasar – Protein Sisa x 100% Protein Kasar
56
Lampiran 3 Formulir uji organoleptik bakso belut Lembar Uji Mutu Hedonik Nama Panelis :
Tanggal Pengujian:
Jenis Kelamin : L/ P Nama Produk : Bakso Belut Dihadapan Saudara/i disajikan 8 sampel bakso belut dengan kode tertentu. Saudara diminta untuk memberikan penilaian terhadap mutu organoleptik sampel dan tidak membandingkan antar sampel, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pengisian dilakukan dengan cara membuat garis vertikal pada setiap mistar sesuai dengan ketentuan dan kode sampel. b. Diharapkan saudara minum terlebih dahulu dengan air mineral sebelum mencoba ke sampel lainnya. Kode Sampel : Kecerahan warna : I----------I----------I----------I----------I----------I----------I Sangat gelap Gelap tidak cerah tidak Sangat cerah Aroma belut : I----------I----------I----------I----------I----------I----------I Sangat kuat biasa Sangat lemah Aroma bumbu : I----------I----------I----------I----------I----------I----------I Sangat lemah biasa Sangat kuat Tekstur : I----------I----------I----------I----------I----------I----------I Sangat alot biasa Sangat kenyal dan renyah Rasa belut : I----------I----------I----------I----------I----------I----------I Sangat kuat Sedang Sangat lemah Komentar/ saran : ................................................................................................................................ ................................................................................................................................ TERIMA KASIH
57
Lembar Uji Hedonik (Kesukaan) Nama Panelis :
Tanggal Pengujian:
Jenis Kelamin : L/ P Nama Produk : Bakso Belut Dihadapan Saudara/i disajikan 8 sampel bakso belut dengan kode tertentu. Saudara diminta untuk memberikan penilaian terhadap sampel sesuai dengan tingkat kesukaan saudara dan tidak membandingkan antar sampel, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pengisian dilakukan dengan cara membuat garis vertikal pada setiap mistar sesuai dengan ketentuan dan kode sampel. b. Diharapkan saudara minum terlebih dahulu dengan air mineral sebelum mencoba ke formula lainnya. Kode Sampel: Warna
: I----------I----------I----------I----------I----------I----------I Sangat tidak suka Biasa Sangat suka
Aroma
: I----------I----------I----------I----------I----------I----------I Sangat tidak suka Biasa Sangat suka
Tekstur
: I----------I----------I----------I----------I----------I----------I Sangat tidak suka Biasa Sangat suka
Rasa
: I----------I----------I----------I----------I----------I----------I Sangat tidak suka Biasa Sangat suka
Komentar/ saran
:
……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ................................................................................................................................. TERIMA KASIH
58
Lampiran 4 Hasil sidik ragam dan uji duncan data uji organoleptik a. Hasil analisis statistik data mutu hedonik bakso Tabel 1 Hasil sidik ragam (ANOVA) mutu kecerahan warna bakso Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
146.891
7
Within Groups
623.466
472
Total
770.357
479
F
20.984 15.886
Sig. .000
1.321
Tabel 2 Uji lanjut (Duncan) data mutu kecerahan warna bakso Faktor_AB A2B2 A1B2 A1B1 A2B1 A2B3 A2B4 A1B3 A1B4 Sig.
Subset for alpha = 0.05
N
1
2
3
4
5
60 3.6133 60 4.1533 60 4.2433 60 4.4400 4.4400 60 4.7283 4.7283 60 4.8950 4.8950 60 5.3133 60 5.3150 1.000 .200 .170 .427 .058
Tabel 3 Hasil sidik ragam (GLM) mutu kecerahan warna bakso Source Type III Sum of Squares a Corrected Model 146.891 Intercept 10102.593 Faktor_A 13.635 Faktor_B 121.424 Faktor_A * Faktor_B 11.832 Error 623.466 Total 10872.950 Corrected Total 770.357
df 7 1 1 3 3 472 480 479
Mean Square F 20.984 15.886 10102.593 7.648E3 13.635 10.323 40.475 30.642 3.944 2.986 1.321
Sig. .000 .000 .001 .000 .031
Tabel 4 Uji Independent T-test data mutu kecerahan warna bakso Faktor_A Kecerahan_Warna Tepung Tapioka Tepung Sagu
N 240 240
Mean 4.7562 4.4192
Std. Deviation Std. Error Mean 1.29717 1.21802
.08373 .07862
59
Tabel 5 Uji lanjut (Duncan) data mutu kecerahan warna bakso Faktor_B
Subset
N
20% 10% 30% 40% Sig.
1
120 120 120 120
2
3
3.8833 4.3417
1.000
1.000
5.0208 5.1050 .571
Tabel 6 Hasil sidik ragam (ANOVA) data mutu aroma belut pada bakso Aroma_Belut
Sum of Squares
Between Groups Within Groups Total
16.807 713.287 730.095
df
Mean Square
7 472 479
2.401 1.511
F
Sig.
1.589
.136
Tabel 7 Hasil sidik ragam (GLM) data mutu aroma belut pada bakso Source
Type III Sum of Squares
df
a
Corrected Model Intercept Faktor_A Faktor_B Faktor_A * Faktor_B Error Total Corrected Total
16.807 6348.165 .108 14.860 1.839 713.287 7078.260 730.095
Mean Square
7 1 1 3 3 472 480 479
F
2.401 6348.165 .108 4.953 .613 1.511
Sig.
1.589 4.201E3 .071 3.278 .406
.136 .000 .789 .021 .749
Tabel 8 Uji lanjut (Duncan) data mutu aroma belut pada bakso Faktor_B 10% 20% 30% 40% Sig.
Subset
N
1
120 120 120 120
2
3.4558 3.4725 3.7608 .069
3.7608 3.8575 .543
Tabel 9 Hasil sidik ragam (ANOVA) data mutu aroma bumbu pada bakso Aroma_Bumbu Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 5.224 646.353 651.577
df 7 472 479
Mean Square .746 1.369
F .545
Sig. .800
60
Tabel 10 Hasil sidik ragam (GLM) data mutu aroma bumbu pada bakso Source
Type III Sum of Squares
df
a
Corrected Model Intercept Faktor_A Faktor_B Faktor_A * Faktor_B Error Total Corrected Total
5.224 6922.083 .161 2.349 2.713 646.353 7573.660 651.577
7 1 1 3 3 472 480 479
Mean Square
F
.746 .545 6922.083 5.055E3 .161 .118 .783 .572 .904 .661 1.369
Sig. .800 .000 .732 .634 .577
Tabel 11 Hasil sidik ragam (ANOVA) data mutu tekstur bakso Tekstur
Sum of Squares
Between Groups Within Groups Total
126.108 907.058 1033.166
df
Mean Square
7 472 479
18.015 1.922
F
Sig.
9.375
.000
Tabel 12 Uji lanjut (Duncan) data mutu tekstur bakso Faktor_ AB A1B3 A2B4 A2B3 A1B4 A2B2 A1B2 A2B1 A1B1 Sig.
Subset for alpha = 0.05 N
1 60 60 60 60 60 60 60 60
2
3.8283 3.8550 3.9617 4.1417
3
4.1417 4.6083
.265
.066
4
4.6083 4.7117 5.1033 .064
4.7117 5.1033 5.1667 .090
Tabel 13 Hasil sidik ragam (GLM) data mutu tekstur bakso Source Corrected Model Intercept Faktor_A Faktor_B Faktor_A * Faktor_B Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares a
126.108 9386.314 .768 122.668 2.671 907.058 10419.480 1033.166
df 7 1 1 3 3 472 480 479
Mean Square
F
18.015 9.375 9386.314 4.884E3 .768 .400 40.889 21.277 .890 .463 1.922
Sig. .000 .000 .528 .000 .708
61
Tabel 14 Uji lanjut (Duncan) data mutu tekstur bakso Faktor_B
Subset
N
30% 40% 20% 10% Sig.
1 120 120 120 120
2
3
3.8950 3.9983 4.6600 .564
5.1350 1.000
1.000
Tabel 15 Hasil sidik ragam (ANOVA) data mutu rasa belut pada bakso Rasa
Sum of Squares
Between Groups Within Groups Total
16.561 884.898 901.459
df
Mean Square
7 472 479
2.366 1.875
F
Sig.
1.262
.267
Tabel 16 Hasil sidik ragam (GLM) data mutu rasa belut pada bakso Source
Type III Sum of Squares
df
a
Corrected Model Intercept Faktor_A Faktor_B Faktor_A * Faktor_B Error Total Corrected Total
16.561 7201.301 .027 15.004 1.530 884.898 8102.760 901.459
Mean Square
7 1 1 3 3 472 480 479
F
2.366 1.262 7201.301 3.841E3 .027 .014 5.001 2.668 .510 .272 1.875
Sig. .267 .000 .905 .047 .846
Tabel 17 Uji lanjut (Duncan) data mutu rasa belut pada bakso Faktor_B 10% 20% 30% 40% Sig.
Subset
N
1 120 120 120 120
2
3.6892 3.7600 3.8917 .283
3.8917 4.1525 .141
62
b. Hasil analisis statistik data uji hedonik bakso Tabel 18 Hasil sidik ragam (ANOVA) data uji hedonik warna bakso Warna
Sum of Squares
Between Groups Within Groups Total
7.222 636.877 644.100
df
Mean Square
7 472 479
1.032 1.349
F
Sig.
.765
.617
Tabel 19 Hasil sidik ragam (GLM) data uji hedonik warna bakso Source Corrected Model Intercept Faktor_A FAktor_B Faktor_A * FAktor_B Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares a
7.222 9502.530 .011 6.621 .590 636.877 10146.630 644.100
df 7 1 1 3 3 472 480 479
Mean Square
F
Sig.
1.032 .765 9502.530 7.042E3 .011 .008 2.207 1.636 .197 .146 1.349
.617 .000 .928 .180 .932
Tabel 20 Hasil sidik ragam (ANOVA) data uji hedonik aroma bakso Aroma
Sum of Squares
Between Groups Within Groups Total
7.858 629.539 637.397
df
Mean Square
7 472 479
1.123 1.334
F .842
Sig. .553
Tabel 21 Hasil sidik ragam (GLM) data uji hedonik aroma bakso Source Corrected Model Intercept Faktor_A FAktor_B Faktor_A * FAktor_B Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares a
7.858 7689.603 1.633 2.863 3.361 629.539 8327.000 637.397
df 7 1 1 3 3 472 480 479
Mean Square
F
1.123 .842 7689.603 5.765E3 1.633 1.225 .954 .715 1.120 .840 1.334
Sig. .553 .000 .269 .543 .472
Tabel 22 Hasil sidik ragam (ANOVA) data uji hedonik rasa bakso Rasa Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 76.038 919.412 995.450
df 7 472 479
Mean Square 10.863 1.948
F 5.577
Sig. .000
63
Tabel 23 Uji lanjut (Duncan) data uji hedonik rasa bakso Faktor_AB
Subset for alpha = 0.05
N
A2B4 A1B3 A1B4 A2B3 A1B2 A2B2 A2B1 A1B1 Sig.
1 60 60 60 60 60 60 60 60
2
3.7967 4.0117 4.0783 4.0817
3
4.0783 4.0817 4.5733
.315
4.5733 4.6267 4.8067 4.9567 .174
.066
Tabel 24 Hasil sidik ragam (GLM) data uji hedonik rasa bakso Source
Type III Sum of Squares df Mean Square
Corrected Model Intercept Faktor_A FAktor_B Faktor_A * FAktor_B Error Total Corrected Total
a
76.038 7 9151.660 1 .713 1 72.750 3 2.574 3 919.412 472 10147.110 480 995.450 479
F
10.863 5.577 9151.660 4.698E3 .713 .366 24.250 12.449 .858 .441 1.948
Sig. .000 .000 .545 .000 .724
Tabel 25 Uji lanjut (Duncan) data uji hedonik rasa bakso FAktor_B 40% 30% 20% 10% Sig.
Subset
N
1
120 120 120 120
2
3.9375 4.0467
.545
4.6000 4.8817 .119
Tabel 26 Hasil sidik ragam (ANOVA) data uji hedonik tekstur bakso Tekstur Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 17.743 767.600 785.344
df 7 472 479
Mean Square 2.535 1.626
F 1.559
Sig. .146
64
Tabel 27 Hasil sidik ragam (GLM) data uji hedonik tekstur bakso Source
Type III Sum of Squares df Mean Square a
Corrected Model Intercept Faktor_A FAktor_B Faktor_A * FAktor_B Error Total Corrected Total
17.743 7 8124.656 1 1.344 1 12.651 3 3.748 3 767.600 472 8910.000 480 785.344 479
F
2.535 1.559 8124.656 4.996E3 1.344 .826 4.217 2.593 1.249 .768 1.626
Sig. .146 .000 .364 .052 .512
Tabel 28 Hasil sidik ragam (ANOVA) data uji hedonik keseluruhan bakso Keseluruhan
Sum of Squares
Between Groups Within Groups Total
21.448 468.445 489.892
df
Mean Square
7 472 479
3.064 .992
F
Sig.
3.087
.003
Tabel 29 Uji lanjut (Duncan) data uji hedonik keseluruhan bakso FAktor_ AB
Subset for alpha = 0.05 N
A2B4 A1B4 A2B3 A1B3 A2B2 A1B2 A2B1 A1B1 Sig.
1 60 60 60 60 60 60 60 60
2
3.9548 4.0062 4.0512 4.1140 4.2873
3
4.0062 4.0512 4.1140 4.2873 4.3915
.105
.058
4
4.0512 4.1140 4.2873 4.3915 4.4380 .057
4.2873 4.3915 4.4380 4.5672 .164
Tabel 30 Hasil sidik ragam (GLM) data uji hedonik keseluruhan bakso Source Corrected Model Intercept Faktor_A FAktor_B Faktor_A * FAktor_B Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares df Mean Square a
21.448 7 8573.455 1 .906 1 20.424 3 .118 3 468.445 472 9063.348 480 489.892 479
F
3.064 3.087 8573.455 8.639E3 .906 .913 6.808 6.860 .039 .040 .992
Sig. .003 .000 .340 .000 .989
65
Tabel 31 Uji lanjut (Duncan) data uji hedonik keseluruhan bakso Faktor_B 40% 30% 20% 10% Sig.
N 120 120 120 120
Subset 1
2
3.9805 4.0826
.428
4.3394 4.5026 .205
66