PELUANG PENGEMBANGAN BAHAN TANAMAN JAHE UNGGUL UNTUK PENANGGULANGAN PENYAKIT LAYU BAKTERI Otih Rostiana Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik ABSTRAK
PENDAHULUAN
Kendala utama di dalam budidaya jahe adalah penyakit layu yang disebabkan oleh serangan bakteri Ralstonia solanaceraum. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan kerugian hasil akibat penyakit tersebut, mulai dari seleksi benih, manipulasi agronomis maupun aplikasi pestisida. Namun, sampai saat ini belum ada metode yang efektif untuk menanggulangi masalah tersebut. Penyediaan benih jahe sehat bebas penyakit melalui kultur jaringan, berhasil mengatasi masalah organisme pangganggu tanaman (OPT) tular benih, tetapi masih menemui banyak kendala. Upaya yang paling efisien dalam penanggulangan OPT adalah dengan penggunaan varietas tahan. Oleh karena itu, untuk menanggulangi penyakit layu pada jahe, perlu dilakukan perakitan varietas tahan. Untuk itu, metode yang efisien serta materi genetik dan dukungan teknologi lainnya seperti majemen tanaman di lapangan yang meliputi teknik budidaya dan upaya penekanan populasi OPT serta teknik pengendaliannya secara terpadu harus tersedia. Kendala dalam persilangan jahe secara konvensional adalah fertilitas polen yang rendah serta inkompatibilitas sendiri, sehingga perlu diaplikasikan metode inkonvesional seperti induksi mutasi, seleksi in vitro, produksi tanaman haploid, hibridisasi somatik, atau penyisipan gen, sehingga diperoleh ragam genetik baru sebagai bahan seleksi. Untuk itu perlu protokol regenerasi jahe in vitro serta materi genetik sebagai sumber ketahanan untuk hibridisasi somatik, harus tersedia. Peluang dan kendala dalam pengembangan bahan tanaman unggul jahe untuk penanggulangan penyakit layu bakteri, diuraikan dalam tulisan ini.
Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu komoditas ekspor penting dan bahan baku obat tradisional serta fitofarmaka yang banyak digunakan dalam industri obat herbal di Indonesia. Komoditas ini juga berperan cukup berarti dalam penyerapan tenaga kerja dan penerimaan devisa negara. Dalam sepuluh tahun terakhir, ekspor jahe dari Indonesia berupa rimpang jahe segar, jahe kering, acar jahe (pikel), dan minyak atsiri, berfluktuasi sangat tajam. Pasokan jahe di pasaran dunia saat ini dikuasai oleh India (50% dari kebutuhan dunia), sedangkan Indonesia baru mampu mengekspor sebesar 34.564 ton dengan nilai US $ 18.039.000 pada tahun 1997. Ekspor jahe tahun 2000 meningkat menjadi 43.192 ton, tetapi karena harganya menurun maka perolehan devisa hanya senilai US $ 14.120.000 (BPS, 2003). Tahun 2002, mengalami penurunan drastis hanya 7.471 ton dengan nilai US $ 4.029.000 (Ditjenbun, 2004). Pada tahun 2004, produksi jahe nasional (104 789 ton) mengalami penurunan sebesar 20 597 ton jika dibandingkan tahun 2003 (125 386 ton). Penurunan produksi tersebut disebabkan oleh turunnya produksi di sentra pengem-
77
bangan jahe utama (Jawa Barat) (BPS, 2004) akibat serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan budidaya yang kurang optimal. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sangat penting bagi petani dan penangkar benih untuk menggunakan bahan tanaman (benih) bermutu dari varietas yang sudah dirilis, bersertifikat, bebas OPT dan penerapan teknik budidaya anjuran yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik sudah melepas 1 varietas unggul jahe (Cimanggu-1) dengan produksi ratarata 2 kg/rumpun. Namun, varietas tersebut rentan terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum, padahal R. solanacearum merupakan OPT utama yang dapat menggagalkan hasil dan sulit ditanggulangi karena di samping menyerang jahe, juga dapat menyerang tanaman temu-temuan lainnya seperti kunyit dan kencur dan sayuran (tomat dan cabe), serta beberapa macam gulma (Supriadi et al., 1995). Hal ini mengindikasikan bahwa isolat R. solanacearum dari jahe mempunyai kisaran inang yang cukup luas. Serangan penyakit layu bakteri pada jahe semakin meluas akibat penggunaan benih yang sudah mengandung R. solanacearum. Beberapa usaha pengendalian masih belum efektif, terutama karena belum ada nomor-nomor jahe yang tahan terhadap R. solanacearum (Supriadi et al., 2000) dan belum adanya sistem perbanyakan benih jahe yang menghasilkan benih bebas penyakit (Hasanah et al., 2004). Di
78
Hawai, penyakit layu bakteri pada jahe sudah dapat dikendalikan dengan baik karena sudah ada sistem perbanyakan benih jahe yang menghasilkan rimpang benih bermutu asal kultur jaringan generasi ke-2 (Hepperly et al., 2004). Upaya pengadaan benih jahe sehat bebas penyakit dan perakitan varietas tahan penyakit layu bakteri menghadapi banyak kendala, antara lain sempitnya ragam genetik, hambatan fisiologis tanaman, dan teknologi yang belum tersedia. Di dalam tulisan ini dibahas peluang pengembangan bahan tanaman unggul untuk penanggulangan penyakit layu bakteri pada jahe, kendala dan pemecahannya. TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT Budidaya jahe sudah lama dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Tidak ada catatan resmi yang menyatakan kapan budidaya jahe dimulai di Indonesia, namun pada tahun 1936 sudah tercatat, 836 ton jahe Indonesia diekspor ke Eropa (Djakamihardja et al., 1996). Makin beragamnya manfaat jahe, baik sebagai rempah, bahan baku obat, industri makanan, minuman dan suplemen diet, semakin tinggi pula permintaan bahan baku. Sehingga upaya budidayanya pun semakin meningkat. Namun pengembangan jahe skala luas sampai saat ini belum didukung dengan upaya pembudidayaan yang optimal dan berkesinambungan. Untuk mencapai tingkat keberhasilan budidaya yang optimal diperlukan bahan tanaman dengan jaminan produksi dan mutu
yang baik serta stabil dengan cara menerapkan budidaya anjuran. Adanya penolakan ekspor jahe Indonesia di negara tujuan terutama Jepang, karena tingginya cemaran mikroorganisme, mengakibatkan anjloknya pendapatan petani jahe. Hal ini perlu segera diantisipasi dengan menerapkan budidaya anjuran terbaik di antaranya dengan penggunaan bahan tanaman sehat yang berasal dari varietas unggul yang terseleksi. Selain itu, karena kualitas simplisia bahan baku industri hilir ditentukan oleh proses budidaya dan pascapanennya, maka pembakuan standar prosedur operasional (SPO) budidaya jahe guna mendukung Good Agricultural Practices (GAP), perlu diterapkan oleh petani. Berbagai teknologi untuk mendukung pembudidayaan jahe telah dihasilkan oleh BALITTRO dan direkomendasikan kepada petani, seperti varietas unggul berproduksi tinggi, SPO budidaya dan pasca panen. Namun, kemampuan petani untuk mengadopsi teknologi hasil penelitian masih tergolong rendah. Sehingga belum mampu mengatasi masalah yang dihadapi. Terlebih lagi setelah merebaknya serangan berbagai OPT, baik di lapangan maupun di penyimpanan, terutama serangan penyakit layu bakteri. Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum di Indonesia, pertama kali ditemukan di Kuningan, Jawa Barat, pada tahun 1971 (Sitepu, 1991). Upaya penanggulangan penyakit ini telah dilakukan dengan berbagai cara budidaya anjuran, antara lain teknologi pencegahan dini melalui penyediaan bibit sehat (Januwati et al.,
1991; Januwati dan Rosita, 1997), penggunaan lahan bebas patogen, sanitasi, rotasi tanaman serta penggunaan pestisida dan musuh alami (Mulya et al., 2000; Supriadi et al., 2000), meskipun semua upaya tersebut belum memberikan hasil yang optimum. Selain di Indonesia, penyakit layu bakteri juga telah banyak menimbulkan kerugian pada pertanaman jahe di berbagai negara produsen seperti Hawaii, India, Cina, Malaysia dan Thailand. Di India, upaya penanggulangan penyakit layu bakteri terbawa benih dilakukan dengan pemanasan rimpang untuk bibit baik dengan menggunakan microwave maupun penjemuran dengan sinar matahari. Penjemuran rimpang selama 2 jam (dari jam 10-12 pagi), efektif menanggulangi patogen terbawa bibit tanpa mengganggu pertumbuhan di lapangan sampai tanaman berumur 3 bulan, demikian juga perlakuan pemanasan rimpang dengan microwave pada suhu 45-47°C selama 30 detik (Kumar et al., 2005). Teknik ini, tidak berbeda jauh dengan teknologi penyediaan benih sehat yang direkomendasikan BALITTRO dalam upaya mengurangi penyakit terbawa benih, yaitu dengan penjemuran rimpang untuk bibit menggunakan sinar matahari pagi (Januwati et al., 1991). Akan tetapi, upaya tersebut belum berhasil menanggulangi penyakit layu bakteri di lapangan seperti yang diharapkan. Berbagai hal dapat menjadi penyebab kekurang berhasilan penanggulangan penyakit layu bakteri terbawa benih di Indonesia. Pertama, varietas yang digunakan di Indonesia dan di
79
India berbeda, kedua, kemungkinan biovar R. solanacearum di India berbeda dengan di Indonesia, sehingga tingkat patogenisitasnya pun berbeda pula. Klasifikasi berdasarkan marka molekular RFLP, R. solanacearum yang ada di Asia dikelompokkan ke dalam divisi 1 yang terdiri atas biovar 3, 4 dan 5. R. solanacearum yang ditemukan pada jahe di Indonesia tergolong biovar 3 dan 4, sama dengan di Jepang, Thailand dan Australia (Supriadi et al., 1995; Tsuchiya et al., 2005). Di Hawaii, penanggulangan penyakit layu bakteri dilakukan dengan cara memproduksi jahe sehat bebas penyakit di rumah kaca dengan menggunakan benih asal kultur jaringan generasi kedua yang ditanam di dalam karung-karung yang mengandung medium tumbuh steril berisi kompos dan senyawa anorganik (Hepperly et al., 2004). Selain penggunaan benih sehat bebas penyakit, dalam upaya mengurangi serangan penyakit tular tanah ini, juga dilakukan sanitasi lingkungan tumbuh sebelum dan setelah penanaman, penggunaan tanaman penutup tanah, dan aplikasi pupuk mineral yang terbuat dari bahan-bahan organik dan sisa panen tanaman famili Brassicacea, berhasil memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah serta menekan populasi bakteri layu dan nematoda yang mendukung upaya mengurangi resiko kegagalan panen jahe akibat OPT (Johnson et al., 2003). Manipulasi lingkungan melalui kultur teknik dengan menggunakan mulsa untuk memperoleh kondisi
80
optimum untuk pertumbuhan tanaman, tetapi tidak sesuai untuk perkembangan patogen, di Indonesia telah dilakukan pada tanaman kentang, dan berhasil memperlambat serangan penyakit layu bakteri pada awal pertumbuhan (Ruchjaningsih et al., 2002). Namun, belum sepenuhnya menghambat perkembangan OPT tersebut di dalam tanah, dan meningkatkan produktivitas tanaman. Pada tanaman tomat, aplikasi minyak atsiri yang berasal dari timi (Thymus vulgaris), palmarosa (Cymbopogon martini) dan serai dapur (Cymbopogon citratus), berpotensi menekan populasi R. solanaceraum di dalam tanah, dan menurunkan gejala layu tanaman pada taraf percobaan pot (Pradhanang et al., 2003). Metode ini perlu dikaji lebih lanjut dalam skala lapang untuk mengetahui efektivitas formula minyak atsiri dari tanaman tersebut di atas, bahkan beberapa tanaman lain dengan kandungan minyak atsiri yang potensial sebagai anti bakteri. Upaya penyediaan benih sehat bebas penyakit melalui kultur jaringan di Indonesia, belum mampu mengatasi masalah kehilangan hasil akibat serangan bakteri layu. Berbagai kendala dalam produksi benih jahe secara in vitro dengan kultur jaringan masih perlu ditindak lanjuti melalui penelitian yang berkesinambungan, sampai diperoleh protokol sistem perbanyakan benih yang akan menghasilkan rimpang berproduksi tinggi sesuai dengan standar ekspor.
PENYEDIAAN BENIH SEHAT BEBAS PENYAKIT Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah OPT jahe, terutama mengatasi masalah penyakti tular benih, adalah menyediakan benih sehat bebas penyakit melalui kultur jaringan. Upaya penyediaan benih bermutu melalui kultur jaringan, baik melalui induksi tunas langsung maupun fase kalus dengan menggunakan sumber eksplan vegetatif (Mariska dan Syahid, 1992) menghasilkan tanaman baru yang berimpang kecil bahkan pada tanaman generasi kedua (Syahid dan Hobir, 1996). Diduga telah terjadi perubahan genetik selama proses inisiasi dan regenerasi tanaman secara in vitro. Atau perubahan epigenetik yang disebabkan oleh tekanan fisiologis akibat kondisi kultur yang bersifat sementara (Bajaj, 1992). Oleh karena itu untuk mengeliminasi perubahan genetik selama proses in vitro, perlu memperhatikan sumber eksplan dan tingkat ploidi dari tanaman yang akan digunakan serta model regenerasi tanaman (Karp, 1991; Peschke dan Phillips, 1992; Chowdhury et al., 1994; Veilleux dan Johnson, 1998). Sistem regenerasi tanaman melalui kultur in vitro dapat dilakukan melalui 2 jalur yaitu jalur organogenesis dan jalur embriogenesis somatik. Untuk produksi bibit melalui kultur jaringan, pembentukan benih somatik dari embrio somatik dapat menghasilkan bibit yang jauh lebih banyak daripada hasil regenerasi melalui organogenesis. Di samping itu dalam perbaikan tanaman melalui kultur in
vitro dan melalui rekayasa genetik, regenerasi melalui jalur embriogenesis somatik lebih disukai karena dapat berasal dari satu sel sehingga kepastian hasil perbaikan sifat genetik lebih tinggi. Secara umum dinyatakan bahwa tanaman yang dihasilkan melalui proses embriogenesis somatik merupakan klon yang identik dengan induknya (Evans et al., 1984; Jimenez, 2001), meskipun beberapa perbedaan akan ditemukan tergantung dari jenis tanamannya. Induksi embrio somatik pada tanaman kehutanan Picea abies, terbukti menghasilkan tanaman baru yang identik dengan induknya (Heinze dan Schmidt, 1995). Keberhasilan menginduksi embriogenesis somatik dipengaruhi oleh tipe eksplan serta formulasi media tumbuh. Jaringan meristematik seperti mata tunas, anther/pollen, epi dan hipokotil memberikan tingkat keberhasilan lebih tinggi untuk pembentukan sel-sel embrioid (Mariska, 1997). Keberhasilan induksi embriogenesis somatik pada tanaman monokotil, sampai saat ini dilakukan dengan menggunakan eksplan generatif. Tetapi pada jahe dikendalai dengan rendahnya fertilitas pollen (fertilitas < 40%). Penggunaan bagian vegetatif seperti daun, umumnya banyak digunakan pada tanaman dikotil. Pada jenis rumput-rumputan (orchadgrass), induksi embriogenesis somatik dapat dilakukan dengan menggunakan eksplan daun melalui fase kalus embriogenik dengan penambahan auksin aktivitas kuat, seperti Dicamba (Bhojwani dan Razdan, 1996). Kackar et al. (1993) berhasil menginduksi
81
embriogenesis somatik jahe varietas Eruttupetta, dengan menggunakan eksplan daun aseptik dengan penambahan 2,4-D dan Dicamba melalui fase kalus, meskipun perkembangan yang simultan dari meristem akar maupun tunas embrio somatik tersebut belum diperoleh. Penggunaan sumber eksplan daun aseptik dan meristem dari jahe putih besar varietas Cimanggu-1, menunjukkan eksplan asal meristem memberikan potensi regenerasi lebih baik dari daun aseptik pada media tumbuh yang diaplikasikan untuk menginduksi embriogenesis somatik (Syahid dan Rostiana, 2007). Embriogenesis somatik pada kultur meristem jahe secara optimal dapat diperoleh dengan mengaplikasikan medium MS dengan penambahan 6% sukrosa (Rostiana dan Syahid, 2007a). Namun, kapasitas regenerasi dari embrio somatik yang dihasilkan masih tergolong rendah (51,2%/1 g kalus) yang menghasilkan rata-rata 15 plantlet, karena pada tahap akhir pertumbuhan embrio somatik yaitu fase terpedo, ditemukan beberapa hambatan fisiologis seperti pembentukan akar atau biasa disebut sebagai perkecambahan dini abnormal (Rostiana dan Syahid, 2007b). Peluang untuk memperoleh ukuran rimpang normal melalui sistem regenerasi ini cukup tinggi (Rostiana dan Syahid, 2007c), sehingga metode tersebut potensial untuk dikembangkan guna memperoleh benih jahe sehat bebas penyakit serta diaplikasikan untuk memperoleh varietas jahe tahan penyakit melalui seleksi in vitro dan
82
transformasi gen (rekayasa genetik). Namun rendahnya embrio membentuk plantlet akibat perkecambahan dini, masih perlu ditindak lanjuti dengan memperbaiki medium tumbuh yang diaplikasikan sehingga diperoleh protokol regenerasi jahe in vitro yang akan menghasilkan benih sehat bebas penyakit berimpang normal. Konsentrasi senyawa osmotik dari medium menjadi faktor penting untuk pertumbuhan embrio (Vasil et al., 1982; Raghavan, 2003). Umumnya produksi embrio meningkat pada medium yang tekanan osmotiknya tinggi (Percy et al., 2000). Tekanan osmotik tersebut dapat ditentukan oleh sukrosa, yang juga berfungsi sebagai sumber karbon (Van Creij et al., 1999). Osmolaritas medium atau keseimbangan hormonal yang berperanan dalam mengendalikan perkecambahan dini, juga dapat dilakukan dengan penambahan ABA ke dalam medium (Mohan dan Krishnamurthy, 2002; Raghavan, 2003). Konsentrasi senyawa osmotik dari medium menjadi faktor penting untuk pertumbuhan embrio (Vasil et al., 1982; Raghavan, 2003). Pendewasaan embrio normal dapat diperoleh dengan cara mengkulturkan massa proembriogenik pada konsentrasi sukrosa 3 – 6%. Sukrosa yang dihidrolisis oleh enzim invertase menjadi glukosa dan fruktosa, akan menjadi substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan (Merkle et al., 1990). Gula juga dapat berfungsi sebagai molekul sinyal yang mengendalikan ekspresi gen dan proses perkembangan tumbuhan, meningkatkan produksi embrio somatik dan men-
dukung pembentukan embrio somatik menjadi plantlet (Sakhanokho et al., 2004), serta dapat mempengaruhi morfogenesis embrio somatik (Bogunia dan Przywara, 2000). Medium tanpa ZPT yang mengandung 6% sukrosa, juga efektif pada pendewasaan embrio somatik dari embrio zigotik Zea mays L. (Bronsema et al., 1997) dan pada embrio zigotik P. monticola, setelah 4 minggu kultur (Percy et al., 2000). Namun, adanya perkembangan akar yang dominan pada kultur meristem jahe masih perlu diantisipasi dengan mengaplikasikan asam absisik (ABA). Penambahan perak nitrat (AgNO3) ke dalam medium pendewasaan embrio juga diketahui dapat meningkatkan frekuensi pendewasaan embrio somatik pada beberapa tanaman. Untuk memperbaiki protokol regenerasi kultur meristem jahe in vitro, aplikasi sukrosa yang dikombinasikan dengan ABA atau perak nitrat merupakan salah satu metode yang dapat ditempuh sehingga mampu meningkatkan perkecambahan embrio somatik normal yang akan menghasilkan plantlet dalam jumlah yang optimal. PEMULIAAN JAHE UNTUK KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI Upaya yang paling efisien dan efektif dalam mengatasi masalah OPT pada tanaman budidaya adalah dengan penggunaan varietas tahan. Pemuliaan untuk ketahanan terhadap penyakit layu bakteri telah dilakukan pada berbagai tanaman budidaya penting, seperti tomat, kentang, tembakau, terung, cabai
dan kacang tanah. Namun demikian, sama halnya seperti upaya perbaikan varietas untuk ketahanan terhadap penyakit lainnya, proses pemuliaan untuk ketahanan terhadap penyakit layu bakteri sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya adalah sumber gen ketahanan, korelasi antara sifat ketahanan dengan karakter agronomi lainnya, perbedaan patogenisitas antar strain, mekanisme interaksi antara patogen dengan tanaman, serta metode pemuliaan yang digunakan. Proses pemuliaan atau seleksi untuk ketahanan terhadap penyakit layu bakteri, pertama kali berhasil dilakukan pada tanaman kacang tanah di Indonesia pada tahun 1910-an. Sehingga, pada awal tahun 1920-an, Schwarz 21 dikenal sebagai genotipe kacang tanah pertama di dunia yang memiliki tingkat ketahanan relatif tinggi terhadap R. solanacearum (Boshou, 2005). Selain pada kacang tanah dan tanaman famili Solanaceae, penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum juga merupakan masalah yang sangat serius dalam budidaya jahe di berbagai sentra produksi di dunia seperti di Hawaii, Filipina, Cina, Jepang, Thailand, Indonesia, Malaysia, India dan Mauritius. Di Hawaii, masalah layu bakteri sejak tahun 1993 sampai tahun 1999 telah menyebabkan kerugian hasil lebih dari 45% (Yu et al., 2003; Hepperly et al., 2004). Karena belum ada varietas tahan, upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut diantaranya adalah dengan penggunaan benih sehat bebas penyakit (Alvarez et al., 2005). Sementara di
83
Indonesia sendiri, serangan penyakit ini dapat menyebabkan kerugian hasil lebih dari 90% (Asman dan Hadad, 1989), dengan kondisi yang hampir serupa yaitu tidak tersedia varietas tahan. Sumber keragaman genetik jahe Jahe dikenal sebagai tanaman yang daerah asalnya tidak diketahui dengan pasti, kemungkinan dari daerah tropis di Asia, seperti India atau Cina. Keberadaan jahe di Indonesia telah diketahui sejak abad ke-13. Marcopolo pada masa perjalanannya tahun 12711297 menemukan jahe tumbuh di Cina, Sumatera dan Malabar (Purseglove et al., 1981). Sejak masa itu diperkirakan jahe telah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan bentuk, warna, aroma rimpang serta komposisi kimianya, selama ini di Indonesia dikenal tiga tipe utama jahe, yaitu jahe putih besar atau jahe gajah, jahe putih kecil atau jahe emprit, dan jahe merah atau jahe sunti (Sri Yuliani dan Risfaheri, 1990; Rostiana et al., 1991). Upaya pengumpulan plasma nutfah jahe dari berbagai sentra produksi di Indonesia sudah pernah dilakukan. Sampai tahun 1996 telah terkumpul 45 nomor koleksi dari berbagai tipe, namun sebagian besar koleksi telah mati, di antaranya akibat serangan bakteri layu, yang tersisa saat ini hanya 18 nomor (Bermawie et al., 1997). Evaluasi berdasarkan sifat morfologi terhadap 18 nomor aksesi jahe yang dikumpulkan dari berbagai sentra produksi di Indonesia, variasinya sangat rendah meskipun variasi produksi dan kandungan minyak atsirinya ada
84
perbedaan (Bermawie et al., 2004a). Analisis kekerabatan dengan menggunakan marka molekuler AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) juga menunjukkan rendahnya variabilitas genetik dari koleksi plasma nutfah jahe, dengan nilai indeks variabilitas sebesar 0.22 (Wahyuni et al., 2003; Bermawie et al., 2004b). Berdasarkan data tersebut, nampak jelas bahwa keragaman genetik plasma nutfah jahe di Indonesia sempit. Hal ini mungkin terjadi karena jahe selalu diperbanyak secara vegetatif. Meskipun perbedaan iklim, tanah dan cara budidaya di berbagai daerah sentra produksi menghasilkan berbagai tipe jahe yang bervariasi dalam produksi maupun komposisi kimianya. Adaptasi suatu populasi dari spesies tanaman pada daerah tertentu akan membentuk suatu ekotipe, demikian halnya yang terjadi dengan jahe, sehingga populasi jahe dari sentra produksi yang berbeda menunjukkan karakteristik yang berbeda pula. Akan tetapi, secara genetik tidak berbeda. Rendahnya variabilitas genetik plasma nutfah jahe yang ada, menyebabkan peluang untuk memperoleh sumber gen ketahanan terhadap penyakit layu bakteri semakin kecil. Pengujian pada tiga tipe jahe (jahe putih besar, putih kecil dan jahe merah) menunjukkan bahwa jahe putih besar paling peka terhadap penyakit layu bakteri, sedangkan jahe merah paling toleran (Hadad et al., 1989). Selain itu, hambatan fisiologis karena adanya sifat inkompatibilitas sendiri (selfincompatibility) serta rendahnya ferti-
litas polen pada populasi jahe yang ada turut memperkecil peluang memperoleh varietas jahe tahan penyakit layu bakteri. Meskipun jahe merah yang relatif toleran serta jahe putih besar dengan produktivitas tinggi sudah dilepas sebagai varietas unggul (Cimanggu-1), dapat dijadikan tetua untuk persilangan, hibridisasi konvensional untuk memperoleh varian baru yang tahan terhadap penyakit layu bakteri tidak dapat dilakukan. Inkompatibilitas sendiri yang dikontrol secara sporophytic ditemukan pada jahe baik pada diploid maupun tetraploid (Ramachandhran dan Chandrasekharan Nair, 1992). Oleh karena itu, untuk memperoleh varietas jahe tahan penyakit layu bakteri perlu dilakukan pendekatan lain, di antaranya peningkatan keragaman genetik melalui induksi mutasi, seleksi in vitro, produksi tanaman haploid, hibridisasi somatik (fusi protoplas) atau transformasi gen. Induksi mutasi Upaya peningkatan keragaman genetik jahe dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan di antaranya adalah dengan induksi mutasi. Mutasi dapat dilakukan dengan menggunakan mutagen fisik dengan menggunakan irradiasi sinar gamma atau mutagen kimia seperti colchicine dan EMS (ethyl methane sulphonate). Penggunaan mutagen fisik pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif, lebih banyak mengakibatkan kimera yang secara ekonomis kurang menguntungkan, kecuali untuk tanaman hias. Terlebih lagi kalau sifat yang diinginkan adalah ketahanan terhadap penyakit,
karena teknik irradiasi banyak menyebabkan perubahan pada klorofil. Demikian juga penggunaan mutagen kimia. Rendahnya penetrasi atau penyerapan mutagen pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif sering menjadi alasan mengapa mutagen kimia jarang digunakan untuk menginduksi mutasi, kecuali apabila konsentrasi dan waktu pemberian mutagen yang tepat sudah ditemukan. Keberhasilan menginduksi mutasi dengan mutagen kimia banyak memberikan hasil yang positif ketika dilakukan secara in vitro, seperti pada tebu, pepermint dan nenas. Terlepas dari kemungkinan bahwa proses in vitro itu sendiri yang menginduksi mutasi. Induksi mutasi dengan menggunakan teknik irradiasi sinar gamma pada tunas jahe yang dikulturkan secara in vitro, menghasilkan tunas yang berdaun kimera sebesar 10% dan terus meningkat sejalan dengan proses sub kultur (Mariska et al., 1994). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa efektivitas sinas gamma dalam menginduksi mutasi untuk meningkatkan keragaman genetik jahe belum sejalan dengan tujuan untuk memperoleh varian baru yang tahan terhadap penyakit layu bakteri. Hasil yang sama juga diperoleh ketika irradiasi sinar gamma dilakukan terhadap rimpang jahe (in vivo), dimana > 30% tunas yang tumbuh dari rimpang yang diradiasi berdaun kimera (Rostiana dan Taryono, 1989). Salah satu karakter morfologi dari jahe merah yang relatif toleran terhadap penyakit layu bakteri adalah sifat perakarannya yang kokoh, cende-
85
rung lebih banyak dan besar dibandingkan dengan dua tipe jahe lainnya (Rostiana et al., 1991). Oleh karena itu, salah satu pendekatan yang mungkin dilakukan untuk meningkatkan ketahanan jahe putih besar terhadap penyakit layu bakteri adalah dengan penggunaan mutagen kimia yang dapat meningkatkan ketebalan sel epidermis akar. Selain itu, dari hasil karakterisasi kandungan bahan aktif, kadar fenol total jahe merah yang sudah dilepas sebagai varietas unggul, relatif tinggi dibandingkan dengan tipe jahe lainnya. Menurut Marco et al., (2005) peningkatan produksi zat fenolik di dalam tanaman inang mampu menginduksi resistensi tanaman dan mengontrol perkembangan bakteri. Hal serupa ditemukan pada tomat, dimana aktivasi metabolit sekunder zat fernolik terbukti memberikan kontribusi yang positif terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri di dalam tanaman inang (Vasse et al., 2005). Dengan meningkatkan kandungan total fenol di dalam rimpangnya, diharapkan dapat meningkatkan sifat ketahanan jahe terhadap bakteri layu. Keragaman somaklonal (seleksi in vitro) Pada era tahun 1980-an sampai 1990-an, berbagai keberhasilan dalam peningkatan kualitas tanaman budidaya melalui induksi keragaman somaklonal sudah banyak dilaporkan (Veilleux dan Johnson, 1998). Meskipun dapat mempercepat proses pembentukan varian baru yang memiliki arti ekonomis, tidak berarti induksi variasi somaklonal menggantikan metode pemuliaan kon-
86
vensional secara keseluruhan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan nilai ekonomi tanaman budidaya melalui induksi keragaman somaklonal, perlu memahami terlebih dahulu perubahan apa yang mungkin terjadi selama kultur in vitro. Berbagai perubahan dapat terjadi selama kultur in vitro, mulai dari penampilan morfologi, sifat genetik atau epigenetik, kariotik, fisiologis, biokimia dan tingkat molekular lainnya (Bajaj, 1992). Timbulnya keragaman genetik selama proses kultur in vitro, dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal (Karp, 1991). Faktor internal yang berpengaruh antara lain genotipa tanaman itu sendiri, sumber eksplan yang digunakan dan tingkat ploidi (Karp, 1991; Peschke dan Phillips, 1992; Chowdhury et al., 1994). Semakin rendah tingkat ploidi, semakin stabil suatu genotip tanaman selama proses kultur in vitro. Sedangkan faktor eksternal adalah komposisi media, zat pengatur tumbuh (ZPT) serta proses regenerasi seperti fase kalus dan periode kultur terutama dalam fase kalus (Karp, 1991; Veilleux dan Johnson, 1998). Pada umumnya tahapan regenerasi melalui proses pembentukan kalus akan menginduksi variasi genetik. Penggunaan auksin kuat yang menginduksi kalus seperti 2,4-D dan Dicamba, pada konsentrasi tinggi dan periode kultur yang panjang terbukti menimbulkan keragaman somaklonal yang relatif signifikan (Veilleux dan Johnson, 1998). Keragaman somaklonal yang ditunjukkan dengan sifat fenotif akibat
proses in vitro kultur jaringan, melibatkan perubahan genetik seperti aberasi kromosom, gen amplifikasi dan de-amplifikasi, mutasi gen tunggal, ekspresi multi gen famili, mobilisasi elemen trasposisi, dan metilasi DNA (Peschke dan Phillips, 1992). Induksi keragaman somaklonal pada tingkat morfologi dan beberapa karakter kuantitatif terbukti dapat memperbaiki sifat agronomis penting pada beberapa tanaman budidaya seperti bunga matahari, Cyclamen, gandum, kentang, krisan, padi dan tomat (Van den Bulk et al., 1990; Wattanasiri and Walton, 1993; Antonetti dan Pinon, 1993; Kawata et al., 1995; Symillides et al., 1995; Dillen et al., 1996; Wallner et al., 1996). Dalam dua puluh tahun terakhir, lebih dari 100 publikasi tentang peningkatan ketahanan terhadap 40 patogen melalui seleksi in vitro pada 30 spesies tanaman sudah dilakukan (Svabova dan Labuda, 2005). Pada tanaman seledri, induksi keragaman somaklonal melalui kultur kalus in vitro dengan penambahan filtrat jamur Septoria apiicola, selama 7-10 hari periode kultur, menghasilkan varian baru (somaklon) yang tahan terhadap patogen tersebut (Evenor et al., 1994). Hasil yang sama juga ditunjukkan pada seleksi in vitro pada tanaman tahunan Populus sp., dengan menggunakan medium selektif filtrat S. musiva (Ostry dan Skilling, 1988). Induksi ketahanan terhadap patogen pada kultur kalus geranium in vitro dengan mengaplikasikan filtrat jamur patogen (Altenaria alternata) juga memberikan hasil yang cukup
signifikan dalam upaya memperoleh kultivar geranium baru tahan terhadap patogen tersebut (Saxena et al., 2007). Meskipun filtrat atau toksin bakteri R. solanacearum belum pernah diaplikasikan sebagai medium selektif untuk seleksi in vitro, pada jenis bakteri lain seperti Clavibacter michiganensis dan Pseudomonas syringae, seleksi in vitro dengan menggunakan toksin maupun filtrat sebagai agen seleksi, terbukti menghasilkan somaklon tomat dan protoklon tembakau yang tahan terhadap patogen tersebut (Svabova dan Labuda, 2005). Selain menggunakan agen seleksi filtrat atau toksin dari patogen, elisitor kimia juga bisa diaplikasikan sebagai agens seleksi untuk menginduksi ketahanan tanaman terhadap patogen (Pradhanang et al., 2005). Selain itu, beberapa jenis bakteri endofit yang digunakan sebagai agens hayati pengendali OPT, juga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman sekaligus menginduksi ketahanan (Kloepper et al. 1992), sehingga dapat diaplikasikan sebagai agens seleksi untuk menginduksi ketahanan kalus terhadap OPT, secara in vitro. Bakteri endofit yang berperan di dalam menginduksi ketahanan tanaman antara lain Pseudomonas sp strain PsJN yang menginduksi ketahanan tomat terhadap infeksi layu Verticillium sp. dan Pseudomonas fluorescent WCS417 terhadap layu Fusarium, serta Serratia marcescens 90-166 yang menginduksi ketahanan mentimun terhadap infeksi Pseudomonas siringae pv. lachrymans (Liu et al., 1995).
87
Hal yang sama dapat dilakukan pada jahe dengan cara menginduksi keragaman somaklonal jahe berproduksi tinggi (Cimanggu-1) melalui seleksi in vitro dengan menggunakan medium selektif, berupa filtrat bakteri patogen atau non patogen maupun elisitor kimia, sehingga dapat diperoleh ragam genetik baru sebagai bahan seleksi untuk memperoleh varietas baru tahan terhadap OPT. Masalahnya, protokol kultur in vitro jahe yang dapat menghasilkan tanaman baru dengan rimpang normal, belum tersedia. Produksi tanaman haploid (kultur anter) Salah satu keuntungan regenerasi tanaman melalui kultur anter adalah didapatkannya tanaman haploid yang dapat digandakan kromosomnya untuk memproduksi tanaman diploid homozigot, yang dapat dijadikan tetua untuk menghasilkan hibrida baru. Tersedianya tetua tanaman haploid, akan meningkatkan peluang untuk memperoleh hibrida baru dengan tingkat homosigositas tinggi serta memudahkan dalam proses seleksi, termasuk dalam upaya memperoleh varietas jahe tahan terhadap penyakit layu bakteri. Pada kultur anter asparagus (Asparagus officinalis) in vitro, penambahan filtrat Fusarium oxysforum f. sp. asparagi ke dalam medium menekan perkecambahan pollen, namun meningkatkan purtumbuhan saluran pollen (pollen tube) dari kultivar yang peka terhadap penyakit busuk batang Fusarium. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada tanaman asparagus, seleksi in vitro untuk ketahanan terhadap penyakit
88
tersebut, secara efisien dapat dilakukan pada tingkat pollen, karena akan menghasilkan genotipe dalam jumlah banyak dan meningkatkan peluang memperoleh kultivar tahan (Pontarolli et al., 2000). Namun demikian, karena tingkat keberhasilan regenerasi pada kultur anter tanaman monokotil jauh lebih rendah daripada tanaman dikotil, perlu dikaji kondisi kultur dan komposisi media serta fase perkembangan anter yang akan dijadikan eksplan. Fase pertumbuhan yang ideal untuk dikulturkan adalah pada fase mid- atau lateuninucleate. Selain itu, penurunan nitrogen ammonia didalam media tumbuh atau substitusi nitrogen nitrat serta penambahan nitrogen organik dalam bentuk asam amino seperti glutamin, secara signifikan meningkatkan keberhasilan kultur anter. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah penambahan zat pengatur tumbuh auxin kuat pada konsentrasi tinggi serta sumber karbon yang tepat. L-proline yang ditambahkan ke dalam medium perkecambahan embrio dari eksplan antera akan meningkatkan daya kecambah embrio (Hu dan Guo, 1999). Sedangkan penambahan PAA, hormon tumbuh yang memiliki aktivitas auksin, pada taraf 100 mg/l meningkatkan regenerasi tanaman normal pada kultur anter tanaman barley dan gandum (Zaiuddin et al., 1992). Pada jahe, induksi tunas dari eksplan inflorensen yang ditanam di dalam medium dasar MS dengan penambahan 10 mg/l BA dan 0,2 mg/l 2,4-D menghasilkan 5-25 tunas multipel (Babu et al., 1992), tetapi bukan tanaman haploid, karena
berasal dari jaringan dengan dua set kromosom (diploid), dan bukan dari haploid spora. Untuk kultur anter diperlukan tepungsari yang fertil. Jahe diploid diketahui memiliki tingkat sterilitas tepung sari yang tinggi, sedangkan pada jahe tetraploid, tingkat fertilitas tepung sari mencapai 85% (Ramachandran dan Chandrasekharan Nair, 1992). Jahe putih besar dan jahe merah yang ada di Indonesia tergolong tanaman diploid dengan kisaran jumlah kromosom 2n = 22-24 (Rugayah, 1994). Tidak mengherankan apabila fertilitas pollennya rendah (< 40%), sehingga menyulitkan untuk memperoleh tanaman haploid melalui kultur anter. Terbukti ketika anter jahe putih besar (Cimanggu-1) dijadikan sebagai sumber eksplan untuk menginduksi embriogenesis somatik dan organogenesis, tidak memberikan respon terhadap berbagai medium yang diaplikasikan (Rostiana et al., 2002; Syahid dan Rostiana, 2007). Kemungkinan menghasilkan tanaman haploid melalui kultur anter pada jahe masih terbuka dengan cara meningkatkan fertilitas pollen dari tanaman induk (sumber eksplan), melalui manipulasi fisiologis atau genetik. Pada tanaman cabe (Capsicum annum L.), perlakuan pemanasan anter pada suhu 35°C dalam kondisi gelap selama 8 hari dan kondisi terang 4 hari, mampu menstimulasi pembelahan mikrospora sehingga meningkatkan androgenesis (Koleva-Gudeva et al., 2007). Sedangkan pada kultur anter mentimun (Cucumis sativus L.), androgenesis
optimum diperoleh dengan perlakuan suhu rendah (4°C) terhadap bakal bunga (Kumar et al., 2003). Hal yang sama juga terjadi pada kultur anter Eriobotrya japonica L. (Li et al., 2007). Di China, untuk meningkatkan fertilitas pollen varietas jahe lokal, dilakukan manipulasi genetik, yaitu menginduksi tanaman tetraploid dengan mengaplikasikan 0,2% kolkisin terhadap kultur tunas in vitro di dalam medium MS yang ditambahkan 2 mg/L BA dan 0,05 mg/L NAA (Adaniya dan Shirai, 2001). Perlakuan suhu rendah (4°C), pernah dicoba untuk meningkatkan viabilitas dan fertilitas pollen jahe putih besar, namun upaya tersebut belum memberikan hasil yang signifikan (Rostiana et al., 2002). Fusi protoplas (hibridisasi somatik) Fusi protoplas merupakan teknik penggabungan inti dan atau sitoplasma dari genotipa yang berbeda untuk meningkatkan keragaman genetik atau memperbaiki sifat unggul tanaman yang diinginkan. Fusi protoplas dari genotipa yang berbeda dapat menghasilkan hibrida somatik dengan 3 kategori yaitu, hibrida simetrik dimana kedua inti dari dua tetua tergabung secara sempurna, kedua, hibrida asimetrik dimana hanya sebagian saja inti dari salah satu tetua bergabung dengan inti tetua lainnya, serta tipe cibrid dimana inti dari salah satu tetua terakumulasi di dalam gabungan protoplasma kedua tetua. Oleh karena itu, variasi rekombinan sifat genetik di dalam tanaman hasil fusi akan sangat beragam dalam frequensi yang berbeda (Bhojwani dan Razdan, 1996). Fusi
89
protoplas Solanum melongena dan S. torvum secara elektrik (electrofusion) menghasilkan tanaman baru dengan sifat morfologi dan jumlah kromosom yang berbeda (Sihachakr et al., 1989). Sedangkan fusi protoplas kentang dihaploid (Solanum tuberosum) dengan S. circaeifolium menghasilkan hibrida somatik yang tahan terhadap Phytopthora infestans (Mattheij et al., 1992). Fusi protoplas secara elektik juga telah berhasil dilakukan untuk memindahkan gen ketahanan terhadap penyakit layu yang disebabkan oleh bakteri R. solanacearum berasal dari tanaman leunca (Solanum torvum) dan terong liar (S. sisymbrifolium) pada tanaman terong (S. melongena) dan menghasilkan hibrida baru yang tahan terhadap patogen tersebut (Collonnier et al., 2003a; 2003b). Untuk mendapatkan hibrida somatik yang tahan terhadap penyakit layu bakteri, tanaman hasil fusi antara jahe merah dan jahe putih besar diharapkan tetap mencirikan keunggulan tetuanya yaitu berproduksi tinggi dengan ukuran rimpang normal. Sementara, protokol regenerasi untuk menghasilkan tanaman jahe berimpang normal melalui kultur in vitro belum diperoleh, hibridisasi somatik belum dapat dilakukan. Padahal tersedianya protokol regenerasi jahe in vitro, merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam upaya menghasilkan benih jahe sehat bebas penyakit serta varietas unggul jahe tahan penyakit layu bakteri melalui seleksi in vitro, fusi protoplas maupun penyisipan gen (transformasi gen).
90
Rekayasa genetik Kehadiran teknologi rekayasa genetik memberikan wahana baru bagi pemulia tanaman untuk memperoleh kelompok gen baru yang lebih luas. DNA sekuen, di antaranya Ds/Ac transposable element atau T-DNA, yang ditransfer ke dalam genom suatu tanaman untuk membentuk tanaman transgenik bisa berasal dari spesies lain seperti bakteri, virus, atau tanaman (Bennet, 1993) maupun sintetik. Transposable element, baik Ac (Activator) maupun Ds (Dissociation) element diketahui sebagai aset penting yang mampu menimbulkan mutasi. Gen ketahanan yang sudah diisolasi dan dikonstruksi dapat dipindahkan ke dalam genom tanaman melalui teknik transformasi secara langsung (penembakan partikel, elektroporasi), maupun secara tidak langsung dengan bantuan Agrobacterium tumefaciens (Prakash dan Varadarajan, 1992; Oliveira et al., 1996). Sistem transformasi ini telah banyak digunakan pada tanaman dikotil, namun sekarang tidak menutup kemungkinan dapat dilakukan pada tanaman monokotil. Bahkan pada padi, sistem ini sudah stabil dan banyak dikembangkan di beberapa negara (Hiei et al., 1994). Transformasi plasmid yang mengandung promoter Certified f35S dan transposon (Ac/Dselements) yang diperoleh dari Wageningen University Research (WUR), dengan menggunakan Agrobacterium tumefaciens terbukti lebih efektif dalam menghasilkan tanaman transgenik yang memiliki jumlah inser T-DNA yang lebih rendah dibandingkan dengan me-
toda particle bombartment. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa hampir 50% dari tanaman transgenik yang dihasilkan dari suatu kegiatan transformasi memiliki satu inser T-DNA (Koerniati, 2005). Tidak menutup kemungkinan memperoleh varietas jahe tahan terhadap penyakit layu bakteri, dengan melakukan transformasi gen penginduksi mutasi yang disisipkan ke dalam plasmid kemudian dipindahkan ke dalam genom tanaman jahe, sehingga dapat diperoleh tanaman baru dengan ragam genetik yang lebih luas dan dapat dijadikan bahan seleksi untuk memperoleh varietas tahan terhadap penyakit layu bakteri. Keberhasilan memproduksi tanaman transgenik ditentukan oleh empat komponen utama, yaitu : tersedianya vektor yang sesuai, tersedianya marker seleksi (selectable marker), teknik transformasi yang efisien dan teknik regenerasi (Kung, 1993). Meskipun vektor yang sesuai sebagai pembawa gen penginduksi mutasi sudah diperoleh dan marker seleksi sudah tersedia, untuk memperoleh varian jahe baru melalui rekayasa genetik, dibatasi oleh belum tersedianya teknik transformasi dan sistem regenerasi yang efisien. ARAH PENELITIAN Dalam upaya penanggulangan penyakit layu pada jahe yang disebabkan oleh bakteri R. solanacearum, perakitan varietas jahe tahan penyakit layu merupakan langkah yang strategis. Untuk itu, metode yang efisien serta materi genetik dan dukungan teknologi lainnya seperti manajemen tanaman di
lapangan yang meliputi teknik budidaya dan upaya penekanan populasi OPT serta teknik pengendaliannya secara terpadu harus tersedia. Upaya pengendalian bakteri layu di lapangan melalui kultur teknis, sampai saat ini belum mencapai hasil yang optimal. Oleh karena itu, peluang untuk mendapatkan teknologi pengendalian yang efisien serta ramah lingkungan perlu terus digali. Misalnya, keberhasilan menekan populasi OPT tular tanah (Soil borne disease), khususnya bakteri layu pada tomat dengan menggunakan minyak atsiri perlu dicoba pada jahe, mengingat masih luasnya ragam tanaman penghasil minyak atsiri yang tumbuh di Indonesia dan belum digali potensinya sebagai anti bakteri. Selain itu, peluang penekanan OPT menggunakan teknologi polatanam tumpang gilir jahe dengan tanaman famili Brassicaceae seperti yang dilakukan di Hawaii, belum dimanfaatkan. Perakitan varietas jahe tahan penyakit secara konvensional dihambat oleh kondisi fisiologis tanaman (fertilitas polen yang rendah serta inkompatibilitas sendiri). Metode alternatif yang dapat digunakan adalah melalui persilangan inkonvensional (fusi protoplas/hibridisasi somatik). Untuk keberhasilan teknik tersebut, protokol regenerasi jahe in vitro perlu disiapkan. Selain itu, materi genetik sebagai sumber ketahanan, yaitu jahe merah, perlu diverifikasi tingkat ketahanannya terhadap R. solanacearum. Pendekatan lain yang dapat dilakukan untuk memperoleh varietas jahe tahan penyakit layu adalah dengan
91
meningkatkan keragaman genetik jahe putih besar berproduksi tinggi melalui induksi mutasi, seleksi in vitro atau penyisipan gen penginduksi mutasi, sehingga akan diperoleh ragam genetik baru sebagai bahan seleksi. Induksi mutasi pada jahe, dapat dilakukan dengan menggunakan mutagen kimia EMS, untuk mempertebal epidermis akar yang merupakan salah satu indikator ketahanan. Mengacu kepada keberhasilan meningkatkan ketahanan terhadap bakteri layu pada tomat dan pear, seleksi in vitro untuk meningkatkan keragaman genetik jahe dapat dilakukan dengan cara pengkulturan kalus jahe putih besar yang berproduksi tinggi, di dalam medium selektif baik berupa filtrat atau toksin bakteri, serta elisitor kimia. Oleh karena itu, untuk menunjang keberhasilan program perakitan varietas jahe tahan penyakit layu bakteri, protokol regenerasi jahe in vitro yang optimal sangat diperlukan. KESIMPULAN Upaya penanggulangan penyakit layu bakteri pada jahe yang disebabkan oleh R. solanaceraum, belum berhasil dilakukan secara optimal. Pendekatan yang paling efisien untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan perakitan varietas tahan yang didukung dengan tersedianya paket teknologi pendukung yaitu manajemen tanaman di lapangan mulai dari kultur teknis sampai paket pengendalian OPT yang terintegrasi. Persilangan konvensional pada jahe dibatasi oleh rendahnya fertilitas polen dan inkompatibilitas sendiri.
92
Pendekatan inkonvensional yang paling memungkinkan untuk ditempuh dalam upaya memperoleh varietas jahe tahan penyakit layu bakteri, adalah induksi mutasi dengan mutagen kimia untuk menghasilkan varietas jahe dengan selsel epidermis akar lebih tebal; seleksi in vitro menggunakan medium selektif untuk menghasilkan ragam genetik baru; dan hibridisasi somatik untuk memindahkan sifat toleran jahe merah pada jahe putih besar berproduksi tinggi. Untuk keberhasilan proses tersebut, harus tersedia protokol regenerasi jahe in vitro yang optimal. DAFTAR PUSTAKA Adaniya, S and D. Shirai, 2001. In vitro induction of tetraploid ginger (Zingiber officinale Roscoe) and its pollen fertility and germination ability. Sci. Hort. 88: 277-287. Alvarez, A.M., K.J. Trotter, M.B. Swafford, J.M. Berestecky, Q. yu, R. Ming, P.R. Hepperly and F. Zee, 2005. Characterization and detection of Ralstonia solanacearum strains causing bacterial wilt of ginger in Hawaii. In: Allen et al., (Eds). Bacterial Wilt Disease and the Ralstonia solanaceraum Species Complex. The American Phytopathological Society Press, St. Paul, Minnesota, USA. p. 471477. Antonetti, P.L.E. and J. Pinon, 1993. Somaclonal variation within poplar (Populus sp.). Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 35: 99-106.
Arnold, D.L., A. Flegmann and J.M. Clarkson, 1995. Somaclonal variation in water cress for resistance to crook root disease. Plant Cell Rep. 14: 241-244. Asman, A. dan Hadad, EA., 1989. Pemberian agrimisin, abu sekam ekstrak bawang merah dan bawang putih pada tanah terkontaminasi P. solanacearum untuk pertanaman jahe. Buletin Peneltian Tanaman Rempah dan Obat IV (2): 64-69. Babu, K.N.K., K. Samsudeen and P.N. Ravindran, 1992. Direct regeneration of plantlets from immature inflorescence of ginger (Zingiber officinale Rosc.) by tissue culture. J. of Spice and Aromatic Crops 1 : 43-48. Bajaj, Y.P.S., 1992. Somaclonal variation-Origin, induction, cryopreservation, and implication in plant breeding. In: Bajaj, Y.P.S. (ed.). Biotechnology in Agriculture and Forestry 11: Somaclonal Variation in Crop Improvement I. SpringerVerlag, Berlin. p. 3-48. Bennet, J., 1993. Genes for crop improvements. Genetic Engineering 16: 93-113. Bermawie, N., Hadad EA., B. Martono, Nur Ajijah dan Taryono, 1997. Plasma Nutfah dan Pemuliaan. Dalam: Sitepu et al., (Eds.). Jahe. Monograf No. 3. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hal. 18-33.
Bermawie, N., S. F. Syahid and N.N. Kristina, 2004a. Inventory and conservation of medicinal plants. In: Proceedings of International Symposium on Biomedicines, Bogor Agricultural University, 1819 September 2003, Bogor. p. 349355. Bermawie, S.F. Syahid, Nur Ajijah and S. Wahyuni, 2004b. Yield, quality and genetic evaluation of ginger (Zingiber officinale Rosc.). In: Proceedings of International Symposium on Biomedicines, Bogor Agricultural University, 1819 September 2003, Bogor. p, 145155. Bhojwani, S.S. and M.K. Razdan, 1996. Plant Tissue Culture : Theory and Practice, a Revised Edition. Elsevier, Amsterdam. p. 167-214. Bogunia, H. and L. Przywara, 2000. Effect of carbohydrates on callus induction and regeneration ability in Brassica napus L. Acta Bio. Crac. Series Bot. 42 (1): 79-86. Boshou, L., 2005. Breeding and development of wilt-resistant crops. A broad review and perspective on breeding. In: Allen et al., (Eds). Bacterial Wilt Disease and the Ralstonia solanaceraum Species Complex. The American Phytopathological Society Press, St. Paul, Minnesota, USA. p. 225-238. Bronsema, F.B.F., W.J.F. van Oostneen and A.A.M. van Lammeren, 1997. Comparative analysis of callus formation and
93
regeneration on cultured immature maize embryos of the inbred lines A 118 and A 632. Plant Cell Tissue and Org. Cult. 50 : 57-65. BPS., 2003. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Hlm. BPS., 2004. Statistik Tanaman Obatobatan dan Hias. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 36 Hlm. Chowdhury, M.K.V., V. Vasil and I.K. Vasil, 1994. Molecular analysis of plants regenerated from embryogenic cultures of wheat (Triticum aestivum L.). Theor. Appl. Genet. 87: 821-828. Collonnier C., I. Fock, M.C. Daunay, A. Servaes, F. Vedel, S. SiljakYakovlev, V. Souvannavong and D. Sihachakr, 2003a. Somatic hybrids between Solanum melongena and S. sisymbribrifolium, as a useful source of resistance against bacterial and fungal wilts. Plant Sci. 164: 849-861. Collonnier C., I. Fock, I. Mariska, A. Servaes, F. Vedel, S. SiljakYakovlev, V. Souvannavong and D. Sihachakr, 2003b. GISH confirmation of somatic hybrids between Solanum melongena and S. torvum: assessment of resistance to both fungal and bacterial wilts. Plant Physiol. and Biochem. 41: 459-470. Djakamihardja, S., C. Permadi dan N. Hermiati, 1996. Jahe (Z. officinale Rosc.). Budidaya dan prospek pengembangannya di Indonesia.
94
Prosiding I Seminar Pembudidayaan Tanaman Obat. Univ. Jend. Sudirman, Purwokerto. hal. 13-24. Dillen, W., I. Dijkstra and J. Oud, 1996. Shoot regeneration in longterm callus cultures derived from mature flowering plants of Cyclamen persicum Mill. Plant Cell. Rep. 15: 545-548. Ditjenbun, 2004. Statistik Perkebunan Indonesia. Diektorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. 26 hlm. Evans, D.A., W.R. Sharp and H.P. Medina-Filho, 1984. Somaclonal variation and gametoclonal variation. Amer. J. Bot. 71(6) : 759-774. Evenor, D., E. Pressman, Y. BenYephet and L. Rappaport, 1994. Somaclonal variation in celery and selection by coculturing toward resistance to Septoria apiicola. Plant Cell Tissue and Organ Cult. 39: 203-210. Hadad E.A., 1989. Ketahanan beberapa klon jahe terhadap penyakit busuk rimpang Pseudomonas solanacearum. Buletin Penelitian tanaman rempah dan Obat IV (1): 54-58. Hasanah M, Sukarman, Supriadi, M. Januwati dan R. Balfas, 2004. Keragaan perbenihan jahe di Jawa Barat. Jurnal Penelitian Tanaman industri 10 (3) : 118-125. Heinze, B. and J. Schmidt, 1995. Monitoring genetic fidelity vs somaclonal variation in Norway Spruce (Picea abies) somatic
embryogenesis by RAPD analysis. Euphytica 85 : 341-345.
genous hormones. R. Bras. Fisiol. Veg. 13 (2): 196-223.
Hepperly P., F. Zee, R. Kai, C. Arakawa, M. Meisner, B. Kratky, K. Hamamoto, and D. Sato, 2004. Producing bacterial wilt-free ginger in green house culture. Soil and Crop Management June 2004. SCM-8. College of Tropical Agriculture and Human Resources. University of Hawaii. 6 pp.
Johnson, H. and B. Shaffer, 2003. Prevention of soil borne pests in organic edible ginger. Sustainable Agriculture Research and Education. 4 pp.
Hiei. Y., Ohta, S., Komari, T. and T. Kumashiro, 1994. Efficient transformation of rice (Oryza sativa) mediated by Agrobacterium and sequence analysis of the boundaries of the T-DNA. Plant Journal 6: 271-282. Hu, H. and X. Guo, 1999. In vitro induced haploids in plant genetic and breeding. In “Morphogenesis in Plant Tissue Culture”, Soh and Bhojwani (eds.), Kluwer Academic Press, London. p. 329-361. Januwati, M. O. Rostiana, Rosita SM dan D. Sitepu, 1991. Pedoman Pengadaan Rimpang Jahe Sehat Bebas Penyakit untuk Bibit. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. 18 hlm. Januwati, M., dan Rosita SMD., 1997. Perbanyakan benih. Dalam: Sitepu et al., (Eds.). Jahe. Monograf No. 3. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hal. 40-50. Jimenez, V.M., 2001. Regulation of in vitro somatic embryogenesis with emphasis on the role of endo-
Kackar, A., S.R. Bhat, K.P.S. Chandel and S.K. Malik, 1993. Plant regeneration via somatic embryogenesis in ginger. Plant Cell Tissue and Org. Cult. 32 : 289-292. Karp, A., 1991. On the current understanding of somaclonal variation. Oxford Survey of Plant Mol. and Cell Biol. 7: 1-58. Kawata, M., A. Ohmiya, Y. Shimamoto and K. Oono, 1995. Structural changes in the plastid DNA of rice (Oryza sativa L.) during tissue culture. Theor. Appl. Genet. 90: 364-371. Kloepper, J.W., R. Rodriguez-Kabana, J.A. McInroy and R.W. Young, 1992. Rhizosphere bacteria antagonistis to soybean cyst (Heterodera glycines) and root knot (Meloidogyne incognita) nematodes: Identification by fatty acid analysis and foliar diseases. Aust. Plant Pathol 28 (1):21-26. Koerniati, S., 2005. Development of Transactivator System for Rice and Its Application for Studies of Floral Development. PhD Thesis. The Australian National University, Canberra-Australia. 187 pp.
95
Koleva-Gudeva, L. R., M. Spasenoski and F. Trajkova, 2007. Somatic embryogenesis in pepper anther culture: The effect of incubation treatments and different media. Sci. Hortic 111: 114-119. Kumar, A., M. Anandaraj and Y.R. Sarma, 2005. Rhizome solarization and microwave treatment: Ecofriendly methods for disinfecting ginger seed rhizomes. In: Allen et al., (Eds). Bacterial Wilt Disease and the Ralstonia solanaceraum Species Complex. The American Phytopathological Society Press, St. Paul, Minnesota, USA. p. 185195. Kumar, H.G.A., H.N. Murthy and K.Y. Paek, 2003. Embryogenesis and plant regeneration from anther culture of Cucumis sativus L. Sci. Hort. 98: 213-220. Kung, S., 1993. From hybrid plants to transgenic plants. In: Kung and Wu (eds.). Transgenic Plants Vol. I: Engineering and Utilization. Academic Press, Inc., Toronto. p. 1-12. Li, J., W. Yongqing, L. Lihua, Z. Lijun, L. Nam, D. Qunxian, X. Junren, H. Chunxia and Q. Yuan, 2007. Embryogenesis and plant regeneration from anther culture in loquat (Eriobotrya japonica L.). Sci. Hort. Doi: 10.1016/j.scientia.2007.10. 007. http://www.elsevier.com/ locate/scihorti <21 Nopember 2007>.
96
Liu L, Kloepper JW, Tuzun S., 1995. Induction of systemic resistance in cucumber by plant growthpromoting rhizobacteria: duration of protection and effect of host resistance on protection and root colonization. Phytophatology 85: 1064-1068. Marco, Y., A. Trigalet, J. Vasse, J. Olivier, D.X. Feng and L. Deslandes, 2005. Host resistance to Ralstonia solanacearum. In: Allen et al., (Eds). Bacterial Wilt Disease and the Ralstonia solanaceraum Species Complex. The American Phytopathological Society Press, St. Paul, Minnesota, USA. p. 275283. Mariska, I. dan S.F. Syahid, 1992. Perbanyakan vegetatif melalui kultur jaringan pada tanaman jahe. Buletin Littri (4) : 1-5. Mariska, I., 1997. Embriogenesis somatik tanaman kehutanan. Seminar Intern Balitbio, 27 Juni 1997. 13 hal. Mariska, I., D. Sukmadjaja dan S. F. Syahid, 1994. Peningkatan keragaman genetik tanaman jahe melalui keragaman somaklonal. Buletin Penelitian Tan. Industri 7: 1-6. Mattheij, W.M., R. Eijlander, J.R.A. de Koning and K.M. Lovwes, 1992. Interspesific hybridization between the cultivated potato Solanum tuberosum L. and the wild species S. cercaeifolium subsp. Circaeifolium Bitter exhibiting resistance to Phytophthora infestans (Mont)
de Bary and Globodera pallida (Stone) Behrens I: Somatic hybrid. Theor. Appl. Genet. 83: 459-466. Merkle, S.A., W.A. Parrott, and E.G. Williams, 1990. Application of somatic embryogenesis and embryo cloning. In S.S. Bhojwani (ed.) Plant tissue culture: Applications and limitations. Elsevier, Amsterdam, Oxford, New York, Tokyo. p. 67-93. Mulya, K., Supriadi, Esther M. Adhi, Sri Rahayu, dan Nuri Karyani, 2000. Potensi bakteri antagonis dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri jahe. J. Penelitian Tanaman Industri 6 (2): 37-43. Mohan, M.L and K.V. Krishnamurthy, 2002. Somatic embryogenesis and plant regeneration in pigeonpea. Biol. Plant. 45 (1): 19-25. Oliveira, M.M., C.M. Miquel, and M.H. Raquel, 1996. Transformation studies in woody fruit species. Plant Tissue Culture and Biotechnology 2 (2): 76-93. Ostry, M.E. and D.D. Skilling, 1988. Somatic variation i resistance of Populus to Septoria musiva. Plant Disease 72 (8): 724-728. Percy, R.E., K. Klimaszewska, and D.R. Cyr, 2000. Evaluation of somatic embryogenesis for clonal propagation of western white pine. Can. J. For. Res. 30: 1867-1876.
Peschke, P.M. and R.L. Phillips, 1992. Genetic implication of somaclonal variation in plants. Adv. Genet. 30: 41-75. Pontaroli, A.C., E.L. Camadro, F.J. babinee and A. Ridao, 2000. Responses of Asparagus officinalis pollen to the culture filtrate of Fusarium oxysforum f. sp. asparagi. Sci. Hortic. 86: 349-356. Pradhanang, P.M., M.T. Momol, S.M. Olson and J.B. Jones, 2003. Effects of plant essential oils on Ralstonia solanacearum population density and bacterial wilt incidence in tomato. Plant Disease 87 (4): 423427. Pradhanang, P.M., P. Ji., M.T. Momol and S.M. Olson, 2005. Application of Acibenzolar-S-Methyl enhances host resistance in tomato aginst Ralstonia solanacearum. Plant Disease 89 (9): 989-993. Prakash, C.S., and U. Varadarajan, 1992. Genetic transformation of sweet potato by particle bombardment. Plant Cell Rep. 11: 5357. Purseglove, J.W., E.G. Brown, C.L. Green and S.R.J. Robbins, 1981. Spices Vol. 2, Longman, New York. 813 pp. Raghavan, V., 2003. One hundred years of zygotic embryo culture investigations. In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant. 89: 437-442. Ramachandran, K. and P.N. Chadrasekharan Nair, 1992. Cytological
97
studies on diploid and autotetraploid ginger (Zingiber officinale Rosc.). J. Spices and Aromatic Crops 1 (2): 125-130. Rostiana, O., A. Abdullah, Taryono dan Hadad, E.A., 1991. Jenis-jenis tanaman jahe. Edisi Khusus Littro VII (I): 7-10. Rostiana, O. dan Taryono, 1989. Pertumbuhan tunas jahe hasil irradiasi sinar gamma (tidak dipublikasikan). Rostiana, O., S.F. Syahid, D. Seswita, Rosita SMD, S. Aisyah, dan D. Surahman, 2002. Regenerasi in vitro jahe melalui kultur anther dan embrio somatik. Laporan Teknik Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bagian proyek penelitian tanaman rempah dan obat, Bogor. hal. 122-138. Rostiana, O dan S.F. Syahid, 2007a. Pengaruh media dasar MS dan N6 terhadap perkembangan embrio somatik pada kultur meristem jahe (Zingiber officinale Rosc.). Berita Biol. 9 (2) (In press). Rostiana, O., and S.F. Syahid, 2007b. Somatic embryogenesis in meristem culture of ginger (Zingiber officinale Rosc.) (Unpublished). Rostiana, O dan S.F. Syahid, 2007c. Karakteristik rimpang tanaman jahe (Zingiber officinale Rosc.) var. Cimanggu-1 hasil kultur jaringan. Makalah pada Seminar Nasional Perkembangan Teknologi Tanaman Obat dan Aromatik, Puslitbang-
98
bun. Bogor, 9 September 2007. 6 hal. Ruchjaningsih, R. Setiamihardja, Murdaningsih H.K., dan W. Marma Jaya, 2002. Efek mulsa pada variabilitas genetik dan heritabilitas ketahanan terhadap Ralstonia solanacearum pada 13 genotip kentang dataran medium Jatinangor. Zuriat 13 (2): 73-80. Rugayah, 1994. Status taksonomi jahe putih dan jahe merah. Puslitbang Biologi, LIPI. Floribunda 1 (14): 53-55. Sakhanokho, H.F., A. Zipf, K. Rajasekaran, S. Saha, G.C. Sharma, and P.W. Chee, 2004. Somatic embryo initiation and germination in diploid cotton (Gossypium arboreum L.). In vitro Cell. Dev. Biol. Plant. 40: 177-181. Saxena, G., P.C. Verma, L. Rahman, S. banerjee, R.S. Shukla and S. Kumar, 2007. Selection of leaf blight-resistant Pelargonium graveolens plants regenerated from callus resistant to a culture filtrate of Alternaria alternata. Crop Prot. (2007), doi: 10.1026/j.cropro.2007. 08.01.3. Sihachakr, D., Z. Haicour, M.H. Chaput, E. Baricontas, G. Ducrex and L. Rossignol, 1989. Somatic hybrid plants produced by electrofusion between Solanum melongena L. and Solanum torvum Sw. Theor. Appl. Genet. 77 : 1-6. Sitepu, D., 1991. Strategi penanggulangan penyakit layu Pseudo-
monas solanacearnum pada tanaman industri kasus pada tanaman jahe. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. 32 hal. Sri Yuliani dan Risfaheri, 1990. Identifikasi berbagai klon minyak jahe. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat V (2): 65-72. Supriadi, J.G. Elphinstone, S.J. EdenGreen and S.Y. Hartati, 1995. Physiological, seroplogical and pathological variation amongst isolates of Pseudomonas solanacearum from ginger and other hosts in Indonesia. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 1 (2) : 88-98. Supriadi, K. Mulya and D. Sitepu, 2000. Strategy for controlling wilt disease of ginger caused by Pseudomonas solanacearum. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 19 (3): 106-111. Syahid, S.F. dan O. Rostiana, 2007. Pengaruh sumber eksplan terhadap induksi kalus embriogenik pada kultur in vitro jahe (Zingiber officinale Rosc.). Dalam: Prosiding Seminar Nasional XIII Persada. Persada Cabang Bogor-Institut Pertanian Bogor. Bogor, 9 Agustus 2007. Hlm. 304-308. Syahid, S.F. dan Hobir, 1996. Pertumbuhan dan produksi rimpang jahe asal kultur jaringan. Jurnal Littri 2 (2) : 95-100. Symillides, Y., Y. Henry and J. de Buyser, 1995. Analysis of chinese
spring regenerants obtained from short- and long-term wheat somatic embryogenesis. Euphytica 82: 263268. Svabova, L. and A. Labuda, 2005. In vitro selection for improved plant resistance to toxin-producing pathogens. J. Phytopathology 153: 52-64. Toth, K.F. and M.L. Lacy, 1991. Increasing resistance in celery to Fusarium oxysforum f. sp. apii. race 2 with somaclonal variation. Plant Disease 75 (10): 1035-1037. Tsuchiya, K., K. Yano, M. Horita, Y. Morita, K. Kawada and C.M. d’Ursel, 2005. Occurence and epidemia adaptation of new strains of Ralstonia solanacearum associated with Zingiberaceae plants Ander agro-ecosystem in Japan. In: Allen et al., (Eds). Bacterial Wilt Disease and the Ralstonia solanaceraum Species Complex. The American Phytopathological Society Press, St. Paul, Minnesota, USA. p. 463469. Van Creij, M.G.M., D.M.F. Kerckhoffs, S.M. De Bruijn, D. Vreugdenhil, and J.M. Van Tuyl, 1999. The effect of medium composition on ovary-slice culture and ovule culture in intraspecific Tulipa gesneriana L. crosses. http://www.liliumbreeding.ne/creymed.htm. <12/06/2004>. Vasil, I.K., V. Vasil, C. Lu, P. OziasAkins, Z. Haydu, and D. Wang, 1982. Somatic embryogenesis in
99
cereals and grasses. In: E.D. Earle and Y. Demarly (ed.) Variability in plants regenerated from tissue culture. Praeger Scientific, New York, USA. p. 3-34. Vasse, J., S. Danoun and A. Trigalet, 2005. Microsopic studies of root infection in resistant tomato cultivar Hawaii7996. In: Allen et al., (Eds). Bacterial Wilt Disease and the Ralstonia solanaceraum Species Complex. The American Phytopathological Society Press, St. Paul, Minnesota, USA. p. 285291. Veilleux, R.E. and A.A. Johnson, 1998. Somaclonal Variation: Molecular Analysis, Transformation, Interaction and Utilization. In: J. Janick (ed.). Plant Breeding Reviews, Vol. 16. John Willey & Sons Inc., New York, Chichester, Weinheim, Brisbane, Singapore, Toronto. p. 229260. Wahyuni, S., D.H. Xu, N. Bermawie, H. Tsunematsu and T. Ban, 2003. Genetic relationships among ginger accessions based on AFLP marker. J. Bioteknologi Pertanian 8 (2): 6068. Van den Bulk, R.W., H.J.M. Löffler, W.H. Lindhout and M. Koornneef, 1990. Somaclonal variation in tomato: Effect of explant source and a comparison with chemical mutagenesis. Theor. App. Genet. 80: 817-825.
100
Wallner, E., K. Weising, R. Rompf, G. Kahl and B. Kopp, 1996. Oligonucleotide fingerprinting and RAPD analysis of Achillea species: Characterization and long-term monitoring of micropropagated clones. Plant Cell Rep. 15: 647652. Wattanasiri, C. and P.D. Walton, 1993. Effect of growth regulators on callus cell growth, plant regeneration and somaclonal variation of smooth bromegrass (Bromus inermis Leyss.). Euphytica 69: 7782. Yu, Q., A.M. Alvarez, P.H. Moore, F. Zee, M.S. Kim, A. de Silva, P.R. Hepperly and R. Ming, 2003. Molecular diversity of Ralstonia solanacearum isolated from ginger in Hawaii. Phytopathology 93 (9): 1124-1130. Zaiuddin, A., A. Marsolais, E. Sirimon and K.J. Kasha, 1992. Improved plant regeneration from wheat anther and barley microspore culture using phenylacetic acid (PAA). Plant Cell Reports 11: 489498.