KERTAS POSISI LEMBAGA NASIONAL HAM KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (KOMNAS HAM) DAN KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (KOMNAS PEREMPUAN) PELANGGARAN HAK MENDIRIKAN RUMAH IBADAH GKI YASMIN BOGOR 22 September 2016
Kertas Posisi ini disusun bersama oleh Lembaga Nasional HAM berdasarkan hasil temuan laporan dan fakta di lapangan. Kertas Posisi ini disusun setelah langkah advokasi telah dilakukan masing-masing lembaga, namun belum ada kemajuan dalam pemenuhan Hak Konstitusional Jamaah GKI Yasmin Bogor. Kertas Posisi ini disusun bertujuan, antara lain: a. Memberikan informasi yang berimbang terkait Kasus GKI Yasmin dalam mendirikan rumah Ibadah. Informasi ini digali dari laporan pengaduan, hasil pemantauan dan wawancara mendalam serta dokumen-dokumen resmi dari Pemerintah, Lembaga Negara serta Pengadilan; b. Memberikan pandangan dan keteguhan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberikan Jaminan Beribadah dan Mendirikan Rumah Ibadah bagi Jamaah GKI Yasmin; dan c. Mencegah tidak berulangnya tindak kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi kepada komunitas Jemaat GKI Yasmin, khususnya Perempuan dan Anak. I. POSISI KASUS 1. Pada tanggal 10 Maret 2008, Pengurus dan Panitia pembangunan GKI Yasmin menyampaikan pengaduan kepada Komnas HAM. Substansi pengaduan tersebut pada intinya adalah: a. Pengadu telah menempuh semua prosedur hukum untuk mendapatkan IMB GKI Yasmin sehingga memperoleh Surat Keputusan Walikota No. 645.8-372 tahun 2006 tentang IMB GKI Yasmin; b. Kemudian Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan (KDTKP) Kota Bogor mengeluarkan Surat tertanggal 14 Februari 2008 No. 503/208-OTKP perihal pembekuan IMB GKI Yasmin, karena ada desakan dari Forum Ulama dan Ormas 1
2.
3.
Islam se-Kota Bogor. Pengadu mempertanyakan penyelesaian masalah ini yang dilakukan tanpa mengindahkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006/Nomor 8 Tahun 2006 yang mengatur tentang Pendirian Rumah Ibadat dimana dalam Pasal 21 dijelaskan mengenai penyelesaian perselisihan dilakukan dengan cara (1) musyawarah oleh masyarakat setempat, (2) musyawarah oleh bupati/walikota dibantu kepala kantor departemen agama kabupaten/kota, (3) diselesaikan melalui Pengadilan setempat; c. Surat Pembekuan IMB GKI Yasmin dikeluarkan KDTKP Kota Bogor disinyalir kuat karena adanya desakan dari sejumlah masyarakat yang menolak pembangunan GKI Yasmin. Hal ini dapat disimpulkan karena pada tanggal 10 Februari 2008, terjadi demonstrasi sejumlah massa di DPRD Kota Bogor yang menuntut Walikota Bogor mencabut IMB GKI Yasmin. Dan empat hari setelahnya (14 Februari 2008), Panitia Pembangunan GKI Yasmin menerima surat Pembekuan IMB dari KDTKP tersebut. Selain itu, salah satu alasan yang tertuang dalam surat KDTKP tersebut: adanya pengaduan dari Forum Ulama dan organisasi kemasyarakatan Islam Se-Bogor; d. Selain Surat pembekuan IMB dari KDTKP tersebut, pada tanggal 25 Februari 2008 Walikota Bogor juga telah mengeluarkan surat Pembatalan Rekomendasi No. 503/367.Huk, yang menyatakan alasan pembatalan Rekomendasi tersebut karena adanya sikap keberatan dan protes dari masyarakat kepada Pemerintah Kota Bogor terhadap pembangunan gedung gereja sejak diterbitkannya IMB tahun 2006; e. Pengadu juga menyampaikan bahwa sebagai respons atas terbitnya surat pembekuan IMB dan surat Pencabutan Rekomendasi Walikota Bogor tersebut, pada tanggal 28 Februari 2006 Panitia Pembangunan telah mengirim surat No.64 MJ-GKI Bogor/II/2008 perihal Keberatan kepada Walikota Bogor. Surat tersebut ditembuskan kepada KDTKP Kota Bogor, Kepala Badan Pengawasan Daerah Kota Bogor, Kepala Bagian Hukum Setda Kota Bogor, Kepala Satpol PP Kota Bogor dan Forum Ulama serta Ormas Islam se-Kota Bogor; f. Sebagai dokumen tambahan, Pengadu menyampaikan IMB yang ditebitkan Walikota Bogor melalui Surat Keputusan (SK) Walikota Bogor No.645.8 – 372 Tahun 2006 tertanggal 13 Juli 2006. Pada konsideran Menimbang SK tersebut dinyatakan bahwa IMB GKI Yasmin diterbitkan setelah memeriksa Permohonan IMB yang diajukan. Selain menyampaikan pengaduan kepada Komnas HAM, pada tanggal 7 Mei 2008, pihak Gereja telah melakukan upaya hukum dengan menggugat KDTKP Kota Bogor ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung dengan objek gugatannya berupa Surat KDTKP Kota Bogor Nomor 503/208-DTKP tanggal 14 Februari 2008 Perihal Pembekuan Ijin; Pada tanggal 4 September 2008, Majelis Hakim PTUN Bandung telah memutuskan mengabulkan gugatan aquo dan Surat KDTKP tersebut dinyatakan batal. Hakim juga memerintahkan agar KDTKP Kota Bogor selaku Tergugat mencabut surat tersebut dan menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara; 2
4. 5.
6.
7.
8.
9.
Selanjutnya pada tanggal 2 Februari 2009, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) Jakarta menguatkan putusan PTUN Bandung tersebut di atas; Pada tanggal 9 Desember 2010, dalam Putusan Peninjauan Kembali (PK) atas Putusan PT.TUN Jakarta, Mahkamah Agung memperkuat putusan PT.TUN Jakarta dan menyatakan permohonan Peninjauan Kembali KDTKP Kota Bogor tidak dapat diterima; Berdasarkan Putusan PK Mahkamah Agung, pada 8 Maret 2011 Walikota Bogor (bukan KDTKP selaku Tergugat!) menerbitkan Keputusan tentang pencabutan Surat KDTKP Kota Bogor, perihal Pembekuan Ijin tanggal 14 Februari 2008. Dengan terbitnya Keputusan Walikota tersebut, maka Keputusan Walikota Bogor No. 645.B-372 tahun 2006 tentang IMB GKI Pengadilan di Jl. KH Abdullah Bin Nuh No. 31 Kota Bogor kembali mempunyai kekuatan hukum untuk melanjutkan pembangunan gedung gereja tersebut; Namun hanya berselang 3 hari kemudian, yaitu pada tanggal 11 Maret 2011, Walikota Bogor kembali menerbitkan Keputusan yang berisi antara lain: Kesatu, Mencabut IMB GKI Yasmin; Kedua, mengembalikan semua biaya perizinan; Ketiga, membeli tanah dan bangunan GKI Yasmin atau mengganti dengan tanah dan bangunan di lokasi lain; Keempat, menfasilitasi lokasi baru sebagai pengganti GKI Yasmin; Salah satu alasan pencabutan IMB oleh Walikota Bogor tersebut adalah adanya keresahan masyarakat Kota Bogor, khususnya di sekitar rencana pembangunan GKI Yasmin berupa protes dan demo secara terus menerus kepada Pemerintah Kota Bogor dengan mengemukakan berbagai alasan yang salah satunya menyatakan adanya kebohongan dalam pengajuan pernyataan tidak keberatan dari warga. Dan menurut Walikota Bogor, adanya keresahan tersebut telah menimbulkan situasi dan kondisi tidak aman dan tidak kondusif yang dapat menimbulkan perpecahan, terganggunya persatuan dan kesatuan serta kerukunan nasional; Merespons terbitnya Keputusan Walikota Bogor tersebut, Pengurus GKI Yasmin telah menyampaikan pengaduan kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Dan pada tanggal 8 Juli 2011, ORI mengeluarkan Rekomendasi yang meminta Walikota Bogor mencabut Keputusan Walikota Bogor tanggal 11 Maret 2011 tersebut dengan alasan, antara lain: Pertama, bahwa tindakan Walikota Bogor menerbitkan Keputusan pencabutan IMB GKI Yasmin merupakan tindakan Maladministrasi berupa perbuatan melawan hukum dan pengabaian kewajiban hukum serta bertentangan dengan keputusan PK Mahkamah Agung; Kedua, bahwa dengan menerbitkan Keputusan tersebut, Walikota Bogor tidak menunjukkan komitmen untuk melaksanakan Putusan PK Mahkamah Agung. Selain itu, pada tanggal 12 Oktober 2011, ORI menyampaikan surat kepada Presiden RI perihal Rekomendasi ORI yang tidak dilaksanakan Walikota Bogor dan Gubernur Jawa Barat. Dalam Surat tersebut, ORI menyebutkan adanya alasan Walikota Bogor tidak melaksanakan Rekomendasi ORI karena terdapat kasus tindak pidana pemalsuan surat dan penipuan pernyataan tidak keberatan dari warga yang merupakan
3
salah satu syarat pengajuan izin GKI Yasmin yang telah diputus Pengadian Negeri Bogor; 10. Menurut ORI, putusan pengadilan pidana pemalsuan tersebut tidak terkait proses administrasi IMB GKI Yasmin, karena surat tidak keberatan warga yang diajukan pihak GKI untuk memperoleh IMB adalah surat tanggal 10 Maret 2002 dan bukan surat tanggal 15 Januari 2006 yang dipidanakan. Fakta tersebut diperkuat dengan Rekomendasi pembangunan gereja yang dikeluarkan Walikota Bogor tanggal 15 Februari 2006 berdasarkan atas permohonan Rekomendasi yang diajukan tanggal 25 Oktober 2005. Dengan keluarnya Rekomendasi Walikota Bogor tersebut menunjukkan telah terpenuhi syarat-syarat pendirian gereja. Dengan demikian alasan Walikota Bogor di atas tidak dapat diterima untuk tidak melaksanakan Rekomendasi ORI; 11. Hingga saat ini permasalahan pencabutan IMB GKI Yasmin oleh Walikota Bogor tersebut belum terselesaikan. Akibatnya, hak-hak jemaat GKI Yasmin untuk mendirikan tempat ibadah serta melaksanakan ibadah di tempat ibadah mereka tidak bisa dilaksanakan. Sebagai alternatif, jemaat GKI Yasmin melaksanakan ibadah secara berpindah-pindah di rumah anggota jemaatnya dan sekali dalam dua minggu melaksanakan ibadah di seberang Istana Kepresidenan kawasan Monumen Nasional Jakarta. II. PENANGANAN KOMNAS HAM 12. Menindaklanjuti pengaduan tanggal 10 Maret 2008 tersebut, Komnas HAM mengeluarkan surat No. 592/K/PMT/IV/08 tertanggal 7 April 2008 yang meminta Menteri Agama untuk menyelesaiakan permasalahan GKI Yasmin dengan memperhatikan hak asasi manusia, khususnya hak untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM; 13. Pada tanggal 3 Maret 2009, Komnas HAM menerima surat tanggapan dari Menteri Agama RI No. B.VII/1/BA.01.1/418/2009 tertanggal 27 Februari 2009 yang intinya menyatakan bahwa penyelesaian sengketa GKI Yasmin telah ditempuh melalui jalur hukum dan diminta untuk menghormati serta menunggu hasil putusan PT.TUN Jakarta. Komnas HAM kemudian meneruskan tanggapan dari Menteri Agama RI tersebut kepada Pihak GKI melalui surat No.1.738/K/PMT/V/09 tertanggal 28 Mei 2009; 14. Komnas HAM menerima surat pengaduan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) No. 39/MJ-GKIBgr/II/2010 tertanggal 3 Februari 2010 dari Pihak GKI. Inti pengaduannya adalah bahwa aparat kepolisian dari Polresta Bogor sedang melakukan proses kriminalisasi terhadap salah seorang pengurus Gereja yang selama ini aktif memperjuangkan HAM dalam rangka pembangunan gedung GKI Yasmin a.n Thomas Wadudara. Selain itu, disampaikan juga bahwa terjadi penganiayaan terhadap H. Ujang Sujai, SH selaku Kuasa Hukum Pengadu oleh massa intoleran. Menindaklanjuti aduan tersebut, Komnas HAM melakukan langkah-langkah sebagai berikut : 4
15.
16.
17.
18.
a. Mengeluarkan surat No.385/K/PMT/II/10 tertanggal 9 Februari 2010 yang ditujukan kepada Kapolri yang intinya meminta Kapolri, melalui jajaran dibawahnya, melakukan pemeriksaan terhadap oknum-oknum kepolisian setempat yang patut diduga melanggar disiplin; b. Mengeluarkan surat No. 386/K/PMY/II/2010 tertanggal 9 Februari 2010 yang ditujukan kepada Menteri Agama. Komnas HAM meminta Menteri Agama untuk memberikan persoalan-persoalan GKI Yasmin yang masih terjadi, seperti maraknya massa intoleran yang melakukan intimidasi, penyerangan, dan pengrusakan di lokasi GKI Yasmin; c. Mengeluarkan surat No.387/K/PMT/II/10 tertanggal 9 Februari 2010 yang ditujukan kepada Kapolresta Bogor. Komnas HAM RI meminta Kapolresta Bogor untuk menindaklanjuti tindak penganiayaan terhadap H. Ujang Sujai, SH dan menyelesaikan permasalahan kriminalisasi terhadap Thomas Wadudara; Komnas HAM menerima pengaduan lanjutan dari Pihak GKI yang intinya keberatan dengan adanya Surat Perintah Penghentian Pekerjaan Pembangunan (SP4) No. 645.8/204-CKTR tertanggal 15 Februari 2010 yang ditandatangani oleh Ir. Alan Tandiyar, MT a.n. Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang. Menindaklanjuti aduan tersebut, Komnas HAM mengeluarkan surat No. 416/K/PMT/II/10 tertanggal 19 Februari 2010 yang intinya meminta Walikota Bogor c.q. Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor untuk mencabut Surat Perintah Penghentian Pekerjaan Pembangunan (SP4) No. 645.8/204-CKTR tertanggal 15 Februari 2010 dan memberikan perlindungan terhadap pelaksanaan pembangunan GKI Yasmin; Pada tanggal 21 Mei 2010, Komnas HAM menerima pengaduan langsung dari Pihak GKI yang intinya melaporkan tentang penanganan Laporan Polisi No. LP/106/I/2010/JBR/WIL BGR/RESTA BGR tertanggal 30 Januari 2010 tentang tindak pidana pemalsuan surat terkait keluarnya IMB GKI Yasmin. Menindaklanjuti aduan tersebut, Komnas HAM mengeluarkan surat No. 1.094/K/PMT/V/2010 tertanggal 24 Mei 2010 yang intinya meminta Kapolresta Bogor untuk memberikan kepastian hukum terhadap penanganan Laporan Polisi tersebut dan menindaklanjuti adanya dugaan rekayasa dalam kasus tersebut; Pada tanggal 21 Mei 2010, Komnas HAM menerima pengaduan langsung dari Pihak GKI yang intinya melaporkan tentang penanganan Laporan Polisi No. LPB/221/IV/2010/Biro Ops tertanggal 22 April 2010 tentang tindak pidana merintangi pelaksanaan ibadah (upacara agama) jemaat GKI Yasmin. Menindaklanjuti aduan tersebut, Komnas HAM mengeluarkan surat No. 1.095/K/PMT/V/2010 tertanggal 24 Mei 2010 yang intinya meminta Kapolda Jabar untuk menindaklanjuti dan memberikan kepastian hukum atas laporan polisi tersebut; Pada tanggal 12 Juli 2010 Komnas HAM kembali menerima pengaduan dari Pihak GKI yang intinya meminta Polresta Bogor untuk melakukan pemeriksaan kembali terhadap warga Kelurahan Curug a.n Sdr. Jumat, Sdr. Ahmad Saleh Ibrahim, Sdr. Adang, Sdr. 5
19.
20.
21.
22.
Sodiman, Sdr. Dian, Sdr. Ace Sukandi, dan Sdr. Lie Sun Tok als Suntawijaya terkait Laporan Polisi No. LP/106/I/2010/JBR/WIL BGR/RESTA BGR tertanggal 30 Januari 2010 tentang tindak pidana pemalsuan surat terkait keluarnya IMB GKI Yasmin. Menindaklanjuti aduan tersebut, Komnas HAM mengeluarkan surat No. 1.710/K/PMT/VII/10 tertanggal 19 Juli 2010 yang intinya mendesak Kapolresta Bogor untuk menindaklanjuti permintaan pengadu; Komnas HAM menerima pengaduan dari Pihak GKI yang intinya menyampaikan bahwa Walikota Bogor C.q. Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor masih belum melaksanakan putusan Mahkamah Agung RI tentang GKI Yasmin Bogor Nomor 127 PK/TUN/2009 tanggal 9 Desember 2010 yang telah menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Tergugat KDTKP terkait izin mendirikan bangunan (IMB) GKI Yasmin yang inti putusannya adalah “menyatakan batal surat Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor No.503/208-DTKP perihal Pembekuan Izin tertanggal 14 Pebruari 2008”. Menindaklanjuti aduan tersebut, Komnas HAM melalui surat No. 488/K/PMT/III/2011 tertanggal 2 Maret 2011 meminta Walikota Bogor C.q. Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor untuk memenuhi kewajibannya melaksanakan perintah pengadilan tersebut yang telah berkekuatan hukum tetap; Pada tanggal 18 Desember 2012, Komnas HAM menerima pengaduan dari The Wahid Institute beserta beberapa lembaga swadaya masyarakat lainnya. Inti pengaduannya adalah meminta dukungan dari Komnas HAM terkait rencana perayaan Natal pada 25 Desember 2012 di Gedung GKI Yasmin di Jl. KH. Abdullah bin Nuh No. 31 Bogor. Menindaklanjuti aduan tersebut, Komnas HAM mengeluarkan surat rekomendasi No. 2.887/K/PMT/XII/2012 tertanggal 21 Desember 2012 yang ditujukan kepada Walikota Bogor yang isinya berupa dukungan terhadap rencana perayaan Natal pada 25 Desember 2012 di Gedung GKI Yasmin di Jl. KH. Abdullah bin Nuh No. 31 Bogor; Pada akhir Juni 2015, Komnas HAM menerima dua tembusan surat dari masing-masing: (a) Surat Tembusan dari Badan Pengurus Setara Institute No. 93/Eks./Ket.HD/VI/2015 tertanggal 29 Juni 2015 perihal Mohon Perhatian kepada Yth. Walikota Bogor agar menindaklanjuti tawaran solusi agar di lokasi lahan yang dimiliki GKI Yasmin didirikan sebuah gedung yang diperuntukkan untuk kepentingan publik yang lebih luas, terutama untuk kegiatan-kegiatan yang mendukung kebhinekaan, sedangkan rumah ibadah berupa Gereja GKI Yasmin yang juga dapat digunakan oleh umat Kristen dengan denominasi lain, menjadi bagian dari “Gedung Kebhinekaan” tersebut; (b) Surat Tembusan dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta No. 757/SK-LIT/VI/2015 tertanggal 30 Juni 2015, perihal Dukungan dan Apresiasi atas Itikad Baik Pemerintah Atas Penyelesaian Kasus GKI Yasmin kepada Walikota Bogor; Menanggapi dua surat tembusan di atas, Komnas HAM telah menyampaikan surat kepada Walikota Bogor No.2.970/K/PMT/VIII/2015 pada tanggal 7 Agustus 2015 berisi apresiasi atas gagasan tersebut. Komnas HAM menyatakan mendukung upaya penyelesaian yang menitikberatkan pada pelaksanaan kewajiban negara yang menjamin 6
hak setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Adapun alasan Komnas HAM mendukung gagasan tersebut adalah: a. Dari aspek hak asasi manusia, solusi tersebut sangat sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang menempatkan negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam memberikan jaminan perlindungan dan penghormatan terhadap hak beragama dan beribadah bagi setiap warga negara. Solusi tersebut sangat sejalan dengan Pasal 28E, 28I dan Pasal 29 UUD 1945, Pasal 18 Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 4 dan Pasal 22 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; b. Dari aspek hukum, solusi tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Sebaliknya, solusi tersebut telah memberi kepastikan hukum bagi Jemaat GKI Yasmin, karena dapat digolongkan sebagai pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung pada tahun 2008 dan Rekomendasi Ombudsman RI tahun 2011 yang sekaligus pula pada saat yang sama Pemerintah Kota Bogor telah melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab hukumnya, sekaligus membuktikan anggapan beberapa pihak yang selama ini menilai Pemerintah Kota Bogor telah melakukan pembangkangan hukum sebagai hal yang tidak benar; c. Dari aspek politik, solusi tersebut memperkuat dan meningkatkan wibawa politik pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Kota Bogor sebagai penjaga kebhinekaan dari gangguan pihak-pihak yang selama ini menentang kebhinekaan. Selain itu, solusi tersebut akan meningkatkan dukungan dari mayoritas warga masyarakat Bogor yang menghendaki penyelesaian masalah GKI Yasmin dilaksanakan dengan cara damai dan bermartabat; d. Dari aspek resolusi konflik, penyelesaian permasalahan GKI Yasmin dapat menjadi model penyelesaian konflik keagamaan di berbagai wilayah di Indonesia. Para pemimpin Daerah yang menghadapi persoalan yang sama dapat belajar menemukan model-model penyelesaian konflik yang memadukan antara kearifan lokal di satu sisi dan penegakan hukum pada sisi yang lain. Selain itu, Komnas HAM telah berhasil memediasi penyelesaian permasalahan Masjid Nur Musafir di Batuplat, Kota Kupang, NTT yang pada 2012 melahirkan aksi kekerasan berupa perusakan dan pembakaran kantor Kelurahan Batuplat, sehingga menjadikan permasalahan menjadi berlarut-larut. Dalam mediasi tersebut, Komnas HAM telah berhasil mendorong penyelesaian tuntas dari masalah tersebut. Belajar dari fakta tersebut, jika masalah GKI Yasmin dapat terselesaikan, maka dapat ditunjukkan kepada publik bahwa sengketa rumah ibadah dapat terselesaikan; e. Dari aspek sosial, solusi tersebut dapat mempererat kohesi sosial dan hubungan antar umat beragama, baik pada level masyarakat di Kota Bogor maupun secara nasional. Selain itu, solusi tersebut dapat mempererat hubungan antar berbagai pihak, baik di internal GKI maupun umat Kristen pada umumnya;
7
f. Dari aspek pergaulan Indonesia di tingkat global, model penyelesaian yang mengedepankan kebersamaan seperti ini juga dapat menjadi contoh bagi dunia internasional dalam menyelesaikan konflik sosial berbasis agama. Dalam kaitan itu, solusi ini juga menunjukkan bagaimana masyarakat Muslim Indonesia sebagai mayoritas mengayomi dan melindungi kelompok-kelompok minoritas. III. UPAYA DAN PENANGANAN KOMNAS PEREMPUAN 23. Pertemuan Komnas Perempuan dengan Jemaat Perempuan GKI Yasmin Bogor dan Pemantauan Lapangan. Pada tanggal 23 September 2011, Tim Komnas Perempuan memantau jalannya ibadat minggu dan bertemu dengan seluruh Jemaat GKI Yasmin di Bogor. Temuan yang didapatkan dalam pemantauan tersebut, antara lain: - Ibadat dilakukan dibawah pengawasan ketat ratusan polisi dengan pengerahan alat-alat pengaman yang berlebihan, namun ternyata hasilnya tidak efektif. Polisi tidak melakukan tindakan pencegahan terhadap massa yang berteriak-teriak dan mengganggu jalannya ibadat. Terdapat sebuah spanduk yang dipasang di depan jalan, berisi penolakan pendirian GKI Yasmin. - Jemaat Perempuan menyampaikan kepada tim Komnas Perempuan bahwa menjelang ibadat setiap minggu, mereka mengalami ketakutan dan tidak tenang, karena membayangkan akan menghadapi ancaman dan tekanan dari kelompok intoleran selama ibadat. - Selain mengurus jemaat dan advokasi gereja, ibu-ibu jemaat juga berhadapan dengan situasi dimana anak-anak mereka mengalami trauma dan tekanan, karena menyaksikan kekerasan dan tekanan yang dilakukan oleh Ormas-Ormas tertentu terhadap jemaat GKI Yasmin. - Anak-anak tidak dapat beribadat bersama orang tuanya karena alasan keamanan, sehingga mereka beribadat di gereja Induk di Jalan Pengadilan. 24. Atas temuan Lapangan tersebut, Komnas Perempuan mengeluarkan Putusan Paripurna yang ditindaklanjuti dengan Putusan Nomor 1/SK/PJS.SETJEN/III/2013 tentang Penunjukan Pelapor Khusus untuk Pemantauan Kondisi Perempuan atas Kekerasan dan Diskriminasi pada Jaminan Kebebasan Beragama dan Kepercayaan yang bertugas antara lain melakukan pemantauan terhadap kasus Jemaat GKI Yasmin. 25. Pertemuan dan Konsultasi Pelapor Khusus dengan Jemaat GKI Yasmin dan pendeta Gereja Kristen Indonesia, berlangsung pada 4 April 2012. 26. Komnas Perempuan kemudian mengirimkan Surat kepada Walikota Bogor Diani Budiarto dengan Nomor: 01/KNAKTP/Pimpinan/1/2012 Tanggal 19 Januari 2012 tentang Penegakan Hukum dalam Kasus GKI Yasmin. 27. Komnas Perempuan mengeluarkan beberapa Siaran Pers yang menyebutkan situasi pelanggaran Jaminan Kebebasan Beragama dimana Pemerintah telah mengabaikan putusan Pengadilan atas Izin pendirian rumah ibadah GKI Yasmin, sebagai berikut: 8
28.
29. 30.
31.
- Siaran Pers tanggal 21 April 2013, “Rawat Kebhinekaan, Pertahankan Kemerdekaan, dan Hapus Kekerasan” (menyebutkan situasi GKI Yasmin yang masih disegel); - Siaran Pers tanggal 15 Mei 2013, “15 Tahun Reformasi” (menyebutkan Pelanggaran atas Kebebasan Beragama dam Tindakan Intoleransi pada Jemaat GKI Yasmin); - Siaran Pers tanggal 15 Agustus 2013, memperingati hari Kemerdekaan, menyebutkan pemerintah telah melakukan pengabaian atas putusan pengadilan atas izin pendirian gereja GKI Yasmin; - Siaran Pers tanggal 22 Agustus 2013, “Kebijakan Diskriminatif yang Bertentangan dengan Konstitusi” (menyebutkan pemerintah melakukan pengabaian atas putusan pengadilan atas izin pendirian gereja GKI Yasmin); - Siaran Pers tanggal 22 Desember 2014, menyebutkan bahwa Pelapor Khusus meminta Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memastikan jaminan keamanan terhadap penyelenggaraan Natal Jemaat GKI Yasmin. Pada tanggal 22 Desember 2014, Komnas Perempuan mengeluarkan Laporan Pelapor Khusus atas hasil pemantauan Jaminan Kebebasan Beragama, termasuk situasi kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh GKI Yasmin. Komnas Perempuan mengirimkan surat kepada Walikota Bogor Bima Arya pada tanggal 1 Oktober 2015 untuk dialog secara khusus terkait Kasus GKI Yasmin. Komnas Perempuan mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi, Menteri Agama RI, Menteri Dalam Negeri tanggal 8 Desember 2015, Surat Nomor 171/KNAKTP/ Pimpinan/XII/2015 tentang Dukungan Penyelesaian Kasus GKI Yasmin. Pada tanggal 5 April 2016, Komnas Perempuan menyelenggarakan konsultasi terbatas dengan perwakilan Jemaat GKI Yasmin, beberapa organisasi dan tokoh yang mendukung advokasi kasus gereja GKI Yasmin. Konsultasi ini merekomendasikan kepada 3 lembaga HAM Nasional (Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI) untuk mengeluarkan pernyataan sikap bersama perihal penyelesaian kasus GKI Yasmin.
IV. ANALISIS HUKUM 32. Mahkamah Agung (MA) dalam Putusannya 9 Desember 2010 menolak Peninjauan Kembali (PK) KDTKP Kota Bogor selaku Tergugat dalam perkara pembekuan IMB GKI Yasmin. Pengadilan pun menyatakan batal surat Tergugat No.503/208-DTKP perihal Pembekuan Izin tertanggal 14 Pebruari 2008. Dengan Putusan No.127 PK/TUN/2009 jo. No.241/B/2008/PT.TUN.JKT jo. No.41/G/2008/ PTUN-BDG, maka IMB tersebut sah karena telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), tetapi Tergugat tetap tidak mau mencabut surat pembekuan tersebut. 33. Dalam analisis hukum yang dilakukan Desk KBB Komnas HAM dalam kasus pencabutan IMB GKI Yasmin, setidaknya ditemukan 12 kekeliruan yang dapat digunakan sebagai dasar untuk memperbaiki kebijakan sebelumnya, khususnya SK Walikota No.645.45-137 Tahun 2011 tentang Pencabutan Keputusan Walikota Bogor
9
No.645.8 – 372 Tahun 2006 tentang IMB GKI Yasmin di Jalan K.H. Abdullah bin Nuh No.31 Bogor tertanggal 11 Maret 2011. 34. IMB GKI Yasmin diterbitkan dengan Surat Keputusan (SK) Walikota Bogor No.645.8 – 372 Tahun 2006 tentang IMB tertanggal 13 Juli 2006, sedangkan pembekuannya dilakukan sekitar 1,5 tahun kemudian oleh bawahan Walikota Bogor, yaitu Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor dengan menerbitkan Surat No.503/208 – DTKP tertanggal 14 Pebruari 2008. Surat tersebut menjadi objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Jakarta serta telah dinyatakan batal oleh MA. Pembekuan IMB ini dilakukan setelah mencul demontrasi dan desakan dari kelompok intoleran yang dalam Putusan PTUN Bandung No.41/G/2008/PTUN-BDG (hlm.24) disebutkan pemimpin demontrasi tersebut kaderkader Partai Politik tertentu, lengkap dengan nama-namanya. a. Pertama, secara yuridis-normatif KDTKP Kota Bogor tidak dapat membekukan SK atasannya (Walikota Bogor), apalagi karena desakan dan demontrasi kelompok intoleran yang dilakukan dengan alasan yang variatif, mulai dari alasan mayoritas penduduk di sekitar lokasi pembangunan beragama Islam, tuduhan kristenisasi, keberatan karena nama jalan KH. Abdullah bin Nuh yang notabene Ulama besar sehingga tidak boleh ada gereja di jalan tersebut, tuduhan pemurtadan, hingga tuduhan kepada Panitia Pembangunan Gereja ini tentang pemalsuan tandatangan pernyataan tidak keberatan warga sekitar. b. Kekeliruan pertama tersebut dilanjutkan dengan kekeliruan kedua, yaitu Walikota Bogor mengklaim KDTKP Kota Bogor telah melaksanakan Putusan MA tersebut. Benarkah klaim Walikota Bogor tersebut? Jawabnya: tidak benar!, sebab yang terjadi adalah Walikota Bogor yang notabene bukan Tergugat yang melaksanakan Putusan MA tersebut yang pada 8 Maret 2011 menerbitkan SK Walikota Bogor No.503.45-135 Tahun 2011 tentang Pencabutan Surat Tergugat No.503/208-DTKP Perihal Pembekuan Izin Tanggal 14 Februari 2008. Surat Walikota Bogor inilah yang dipahaminya sebagai seolah-olah pelaksanaan Putusan MA. Dikatakan “seolah-olah”, sebab yang diperintah oleh Pengadilan untuk mencabut Surat Tergugat bukanlah Walikota Bogor, melainkan Tergugat sendiri yang dalam hal ini KDTKP Kota Bogor. Bagaimana mungkin dapat dibenarkan secara yuridis-normatif Surat Walikota tersebut diklaim sebagai pelaksanaan Putusan MA, karena yang diperintahkan melaksanakannya adalah Tergugat, bukan Walikota Bogor! Mengapa bukan Tergugat saja yang melaksanakannya?. Itulah sebabnya butir 3 Fatwa MA No.45/Td.TUN/VI/2011 (1 Juni 2011) menegaskan, “Bahwa demi terwujudnya asas keadilan dan asas kepastian hukum, dijamin adanya supremasi hukum dalam Negara Hukum Indonesia maka kepada para pihak yang bersengketa wajib melaksanakan putusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap aquo”. Penegasan ini karena Tergugat belum melaksanakannya. MA secara limitatif yang memerintahkan Tergugat untuk melaksanakannya dan Walikota 10
c.
d.
e.
f.
Bogor tidak dapat menggantikan legal standing Tergugat dalam perkara tersebut, sebab dalam Putusan tersebut dinyatakan “Memerintahkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor No.503/208 – DTKP Perihal Pembekuan Izin tertanggal 14 Pebruari 2008”. Kekeliruan kedua tersebut masih berlanjut dengan kekeliruan ketiga, yaitu 3 (tiga) hari setelah diterbitkannya SK Walikota 8 Maret 2011 (yang seolah-olah Tergugat telah melaksanakan Putusan MA), tepatnya pada 11 Maret 2011 Walikota Bogor menerbitkan SK Walikota No.645.45-137 Tahun 2011 tentang Pencabutan Keputusan Walikota Bogor No.645.8 – 372 Tahun 2006 tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas nama Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pengadilan Bogor yang Terletak di Jalan K.H. Abdullah bin Nuh Nomor 31 Taman Yasmin Kelurahan Curug Mekar Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor. Dengan penerbitan SK Walikota 11 Maret 2011 tersebut, Walikota Bogor mengklaim bahwa IMB GKI Yasmin tersebut telah dicabut, padahal Tergugat belum pernah “mencairkan” pembekuannya tertanggal 14 Pebruari 2008. Kekeliruan keempat adalah SK Walikota Bogor 8 Maret 2011 maupun 11 Maret 2011 diterima sekaligus oleh pihak GKI pada 14 Maret 2011, dimana antara 8 Maret 2011 dan 11 Maret 2011 tidak pernah terjadi pembukaan segel dan gembok yang terpasang di gerbang bangunannya di Jl. K.H. Abdullah bin Nuh No.31 Taman Yasmin Kelurahan Curug Mekar, sehingga SK Walikota 8 Maret 2011 tersebut tidak juga pernah dilaksanakan. Itulah sebabnya Todung Mulya Lubis dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi III DPR RI pada 15 September 2011 yang juga dihadiri Walikota Bogor menyatakan bahwa Walikota Bogor telah melakukan “penelikungan hukum”. Oleh karena itu, Walikota Bogor Diani Budiarto dalam hal ini patut diduga telah menyalahgunakan wewenang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 421 KUHP dengan ancaman pidana 2 tahun 8 bulan penjara. Walikota Bogor dalam pertimbangannya menerbitkan SK Pencabutan IMB tertanggal 11 Maret 2011 tersebut adalah karena “… ketika pembangunan GKI dimulai ternyata menimbulkan dampak keresahan masyarakat Kota Bogor khususnya di sekitar rencana pembangunan GKI berupa sikap keberatan dan protes/demo dari masyarakat secara terus menerus kepada Pemerintah Kota Bogor dengan mengemukakan berbagai alasan yang salah satunya menyatakan adanya kebohongan dalam mengajukan pernyataan tidak keberatan dari warga, sehingga syarat yang diajukan tersebut menjadi cacat hukum” (vide: butir c Konsiderans MENIMBANG). Pertimbangan Walikota tersebut tergolong sebagai kekeliruan kelima, karena keberatan dan protes/demo dijadikan sebagai pertimbangan dalam menerbitkan SK Pencabutan IMB tersebut. Kekeliruan keenam, dalam pertimbangannya tersebut, Walikota Bogor juga menuduh “adanya kebohongan” yang dilakukan Jemaat GKI Yasmin. Mengenai tuduhan ini dapat dicatat bahwa salah seorang Panitia Pembangunan Gereja bernama Thomas Wadudara pada 2010 pernah dilaporkan oleh kelompok intoleran ke Polresta Bogor 11
g.
h.
i.
j.
dengan tuduhan pemalsuan tanda tangan, tetapi tidak terbukti. Selanjutnya mereka mencari-cari kesalahan Ketua RT Munir Karta, tetapi lagi-lagi kesalahan Munir Karta itu tidak terkait dengan proses administrasi IMB GKI Yasmin, sebagaimana yang ditegaskan Ombudsman RI dalam Rekomendasinya No.075/ORI-SRT/X/2011 tertanggal 12 Oktober 2011 yang ditujukan kepada Presiden RI. Kekeliruan ketujuh, sayangnya tuduhan itu tetap saja disebarluaskan oleh pihak-pihak intoleran yang seolah-olah Sdr. Munir Karta adalah Panitia Pembangunan Gereja GKI Yasmin, padahal beliau bukanlah Jemaat GKI Yasmin, melainkan Ketua RT yang secara yuridis tidak terkait dengan proses administrasi IMB GKI Yasmin, sebab Pernyataan Tidak Keberatan Warga yang digunakan dalam mengajukan permohonan IMB tersebut bukanlah Pernyataan Tidak Keberatan Tahun 2006 yang dipermasalahkan dalam perkara Munir Karta, melainkan Pernyataan Tidak Keberatan Warga tahun 2002 (170 orang) dan tahun 2003 (97 orang) yang diserahkan kepada Pemerintah Kota Bogor pada Agustus 2005, sebagaimana ditegaskan Ombudsman RI dalam Rekomendasinya. Kekeliruan kedelapan, dokumen asli pernyataan tidak keberatan warga tahun 2006 (15 Januari) yang dipermasalahkan dalam perkara Munir Karta sejak dibuat dipegang oleh Lurah Agus Ateng dan baru diserahkannya kepada Kabag Pemerintahan Kota Bogor Anas S. Resmana pada 4 Maret 2010. Pihak GKI tidak pernah memegang dokumen asli tersebut, sebagaimana yang ditegaskan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Saksi Agus Ateng (Lurah setempat) dan BAP Saksi Anas S. Rasmana (Kabag Pemerintahan Kota Bogor) dalam perkara Munir Karta. Dengan demikian sesungguhnya berdasarkan Rekomendasi Wajib Ombusman tersebut dan BAP Lurah Agus Ateng dan Kabag Pemerintahan Kota Bogor Anas S. Resmana, maka tuduhan Walikota tersebut tidak terbukti. Kekeliruan kesembilan, Ombudsman dalam Rekomendasinya No.0011/REK/0259.2010/BS-15/VII/2011 Tanggal 08 Juli 2011 pada intinya menegaskan bahwa SK Walikota Bogor No.645.45-137 Tahun 2011 tertanggal 11 Maret 2011 yang mencabut IMB Gedung Gereja ini tergolong sebagai bentuk maladministrasi berupa perbuatan melawan hukum dan pengabaian kewajiban hukum serta bertentangan dengan putusan PK MA No.127 PK/TUN/2009 tanggal 9 Desember 2010. Rekomendasi Ombusdman ini bersesuaian dengan butir 3 Fatwa MA RI No.45/Td.TUN/VI/2011 tertanggal 1 Juni 2011, sebagaimana telah dikutipkan di atas. Meski demikian, Walikota Bogor tetap berkukuh dengan persepsinya sendiri. Kekeliruan kesepuluh, benar dalam butir 5 Fatwa MA No.45/Td.TUN/VI/2011 tertanggal 1 Juni 2011 dinyatakan, “Bahwa dalam hal saudara merasa dirugikan atas diterbitkannya Surat Keputusan Walikota Bogor No.645.45-137 Tahun 2011 tertanggal 11 Maret 2011 Tentang Pencabutan Keputusan Walikota Bogor No.645.8 – 372 Tahun 2006 tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas nama Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pengadilan Bogor yang Terletak di Jalan K.H. Abdullah bin Nuh 12
Nomor 31 Taman Yasmin Kelurahan Curug Mekar Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor, maka secara hukum saudara dapat mengajukan upaya hukum gugatan ke Pengadilan yang berwenang yurisdiksinya”. Atas dasar butir 5 Fatwa MA tersebut, Walikota Bogor mengklaim bahwa oleh karena GKI Yasmin tidak menggugat SK Walikota tertanggal 11 Maret 2011 tersebut ke PTUN dalam jangka waktu 90 hari sejak diterbitkan, maka pencabutan IMB tersebut menurut Walikota Bogor menjadi berlaku permanen. Klaim Walikota Bogor tersebut keliru, karena butir 5 Fatwa MA tersebut menyangkut ganti-rugi. Padahal, yang dituntut oleh Jemaat gereja ini bukanlah ganti-rugi, melainkan hak asasi manusia, in casu gedung gereja GKI di Jl. K.H. Abdullah bin Nuh Kav.31 yang tergolong sebagai hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Butir 5 Fatwa MA tersebut juga bersifat opsional, karena menggunakan kata “dapat”. Oleh karena bersifat opsional, maka pilihan untuk tidak mengajukan gugatan ganti-rugi tidaklah menimbulkan akibat hukum apa pun kepada Pihak GKI. Dengan kata lain, kewajiban Tergugat melaksanakan Putusan MA sebagaimana ditegaskan dalam butir 3 Fatwa MA tersebut tidak gugur karena pihak GKI tidak mengajukan gugatan gantirugi yang notabene tergolong ke dalam yurisdiksi (kewenangan absolut) Peradilan Umum, bukan kewenangan absolut PTUN, sebagaimana yang disalahpahami oleh Walikota Bogor. Selain Diktum KESATU SK Walikota 11 Maret 2011 tersebut yang pada intinya mencabut IMB GKI Yasmin, terdapat pula Diktum KEDUA yang selengkapnya adalah sbb: “Pencabutan Keputusan Walikota Bogor sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU disertai dengan tanggungjawab Pemerintah Kota Bogor sebagai berikut: a. mengembalikan semua biaya perizinan yang telah dikeluarkan; b. membeli tanah dan bangunan GKI Pengadilan Bogor yang terletak di Jalan K.H. Abdullah bin Nuh Nomor 31 Taman Yasmin Kelurahan Curug Mekar Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor atau mengganti (ruislag) tanah dan bangunan GKI Pengadilan Bogor tersebut dengan tanah dan bangunan di lokasi lain milik Pemerintah Kota Bogor; c. memfasilitasi lokasi baru sebagai alternatif pengganti GKI Pengadilan Bogor yang terletak di Jalan K.H. Abdullah bin Nuh Nomor 31 Taman Yasmin Kelurahan Curug Mekar Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor”. k. Kekeliruan kesebelas, pelaksanaan Diktum KEDUA SK Walikota tersebut masih memerlukan persetujuan instansi lain in casu Majelis Sinode Wilayah GKI Jawa Barat selaku pemilik tanah lokasi gereja GKI Yasmin. Andai pun gugatan hendak diajukan oleh pihak GKI quad non (padahal tidak), tetapi karena adanya Diktum KEDUA, maka berdasarkan Pasal 2 UU No.5 Tahun 1986 jo. UU No.9 Tahun 2004 jo. UU No.51 Tahun 2009, SK Walikota tertanggal 11 Maret 2011 tersebut tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara, sebagaimana ditegaskan, “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini … Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan”. Gugatan 13
yang dimaksud Walikota hanya dapat diajukan pihak GKI ke Peradilan Umum, bukan ke PTUN, karena dalam Penjelasan UU No.5/1986 jo. UU No.9/2004 jo. UU No.51/2009 dinyatakan, “Yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan adalah keputusan untuk dapat berlaku masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain ... Keputusan yang masih memerlukan persetujuan akan tetapi sudah menimbulkan kerugian dapat digugat di Pengadilan Negeri”. Kekeliruan ini terjadi karena Bagian Hukum Pemerintah Kota Bogor mungkin kurang akurat memberi penjelasan kepada Walikota Bogor. l. Kekeliruan keduabelas, pengembalian semua biaya perizinan yang dimaksud dalam butir a Diktum KEDUA SK Walikota tersebut haruslah terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Sinode Wilayah GKI Jawa Barat sebagai pemilik tanah. Demikian pula halnya dengan jual-beli atau ruislag tanah dan bangunannya juga harus persetujuan pemiliknya tersebut, sehingga hal ini bersesuaian pula dengan ketentuan dalam Penjelasan Pasal UU No.5/1986 jo. UU No.9/2004 jo. UU No.51/2009 tersebut. Oleh karena itu, fakta ini lagi-lagi menunjukkan bahwa SK Walikota tertanggal 11 Maret 2011 tersebut tidak dapat digugat di PTUN. Inilah kekeliruan keduabelas. Tambahan pula, dalam butir b dan c Diktum KEDUA SK Walikota tersebut mengandung kekeliruan, sebab tanah tersebut diklaim oleh Walikota sebagai tanah GKI Pengadilan Bogor, padahal bukan. 35. Dengan 12 kekeliruan tersebut, maka cukup alasan bagi Walikota Bogor yang baru Bima Arya untuk memperbaiki SK Walikota tertanggal 11 Maret 2011, lebih-lebih lagi karena Diktum KEDUA SK tersebut tidak dapat dilaksanakan setelah lebih dari 5 tahun diterbitkan. V. REKOMENDASI 1. Meminta kepada Presiden RI Bapak Joko Widodo selaku kepala negara untuk memberi jaminan pemenuhan atas hak beribadah dan mendirikan tempat ibadah kepada Jemaat GKI Yasmin Bogor, karena hingga saat ini hak untuk mendapatkan tempat ibadah Jemaat GKI Yasmin Bogor sebagaimana dijamin Konstitusi UUD 1945 belum terpenuhi, sebab Pemerintah Kota Bogor masih belum melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini telah mengakibatkan pelaksanaan ibadah Jemaat GKI Yasmin Bogor dilaksanakan secara berpindah-pindah, termasuk ibadah 2 minggu sekali di seberang istana negara. 2. Meminta kepada Kementrian Dalam Negeri untuk mengingatkan Pemerintah Kota Bogor agar melaksanakan kewajiban Pemerintah Daerah dalam menghormati dan melindungi hak dan kebutuhan nyata pendirian tempat ibadah bagi Jemaat GKI Yasmin sebagaimana datur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006. 3. Mendesak Kepada Menteri Agama untuk melaksanakan fungsi pembinaan kepada kelompok-kelompok yang selama ini belum dapat menerima keberadaan pembangunan 14
gedung gereja GKI Yasmin yang telah sah secara hukum di Jl KH. Abdullah Bin Nuh No.31 Taman Yasmin Kota Bogor. 4. Mendesak kepada Walikota Bogor untuk melaksanakan putusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dengan memerintahkan KDTKP Kota Bogor selaku Tergugat untuk mencabut surat No.503/208-OTKP perihal pembekuan IMB GKI Yasmin tertanggal 14 Februari 2008. Hal ini karena hingga saat ini KDTKP Kota Bogor belum melaksanakan Putusan Mahkamah Agung tersebut. 5. Mendesak Walikota Bogor mencabut SK Walikota No.645.45-137 tanggal 11 Maret 2011 tentang Pencabutan Keputusan Walikota Bogor No.645.8 – 372 Tahun 2006 tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Gereja Kristen Indonesia tersebut. Karena dalam penerbitan SK tersebut diduga telah terjadi menyalahgunakan wewenang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 421 KUHP. 6. Mendesak kepada Walikota Bogor untuk mengupayakan kondisi pemulihan atas peristiwa traumatik yang dialami oleh Jemaat GKI Yasmin, khususnya ibu-ibu dan anakanak, karena tindakan penyegelan dan intoleransi yang dialami atas Gereja GKI Yasmin.
15