di mana tempat kami beribadah? Review Tematik Pelanggaran Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan tentang Rumah Ibadah & Hak Beribadah, Januari-Juli 2010
SETARA Institute, 26 Juli 2010
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI – 2
1 PENDAHULUAN – 3
2 DESKRIPSI PERISTIWA – 4
3 REVIEW FAKTA PERISTIWA – 9
4 KESIMPULAN & REKOMENDASI – 17
LAMPIRAN: MATRIK PERISTIWA PELANGGARAN
1 PENDAHULUAN
Sejak memasuki tahun 2010, eskalasi penyerangan terhadap rumah ibadah, khususnya terhadap jemaat Kristiani terus meningkat jika dibandingkan pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2008, terdapat 17 tindakan; pada tahun 2009, terdapat 18 tindakan1 pelanggaran pelanggaran yang menyasar jemaat Kristiani dalam berbagai bentuk. Dan, pada tahun 2010 sejak Juni-Juli, sebagaimana dalam review tematik ini tercatat 28 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan. Tidak seperti biasanya, SETARA Institute sebelumnya mengeluarkan laporan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan dan telah tiga kali mengeluarkan laporan tahunan. Namun demikian, untuk memperoleh gambaran kondisi kebebasan beragama/ berkeyakinan terkini, selain akan terus mengeluarkan laporan tahunan, SETARA Institute juga mengeluarkan review tematik berdasarkan tema-tema khusus. Dengan penyajian review tematik diharapkan negara cepat dan tanggap dalam memberikan respon aktual menyelesaikan masalah di tingkat lapangan. Review tematik yang bertajuk “di mana tempat kami beribadah?” merupakan gambaran tentang penyerangan, penyegelan, pencabutan izin, dan penghalangan kegiatan beribadah jemaat Kristiani. Serangan secara nyata menyasar pada keberadaan gereja/ rumah ibadah yang telah berdiri, pada rencana pendirian gereja, bahkan terhadap gerejagereja yang secara sah telah memiliki izin mendirikan bangunan. Sebagaimana dalam laporan tahunan, review tematik ini menggunakan kerangka hak asasi manusia yang meletakkan jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan sebagai hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh negara. Selain mendokumentasikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh institusi negara, review ini juga mencatat tindakan kriminal yang dilakukan oleh warga dan/ atau organisasi Islam yang aktif melakukan pelanggaran hukum, dalam hubungannya dengan rumah ibadah dan hak untuk beribadah. Kebebasan beragama termasuk dalam rumpun hak sipil dan politik, maka pendekatannya yang digunakan dalam kegiatan pemantauan adalah 'violations' atau pelanggaran. Pendekatan ini melihat pelanggaran terhadap sejumlah hak yang diakui ketimbang melihat langkah demi langkah yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi kewajibannya, seperti pada hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dan biarpun yang terjadi hanya satu kasus saja, tetap ia dipandang sebaga pelanggaran dan pemerintah harus menanganinya. Dalam review ini, SETARA Institute menghitung peristiwa pelanggaran. Definisi 'peristiwa' adalah sesuatu yang terjadi, mulai dari awal sampai akhir, dan bagaimana perkembangannya sehingga kemudian bisa ditarik sebuah kesimpulan yang logis. Dalam
1
Angka ini merupakan gabungan seluruh tindakan yang menyasar jemaat Kristiani.
peristiwa bisa terjadi sebuah tindakan tunggal, sejumlah tindakan berlanjut yang berkaitan, atau kombinasi dari sejumlah tindakan yang berkaitan dan terjadi bersamaan. Sedangkan 'tindakan' adalah suatu aksi atau gerakan, biasanya melibatkan penggunakan kekerasan, dilakukan oleh orang (individual atau kelompok) terhadap orang lain, tindakan semacam ini adalah 'act of commission' atau tindakan langsung. Tindakan bisa juga diartikan sebagai tidak adanya atau tidak munculnya aksi atau gerakan yang diharapkan atau dinginkan, tindakan semacam ini adalah 'act of ommission'. Dalam review ini, SETARA Institute selain mencatat peristiwa juga mencatat tindakan atau bentuk pelanggaran. Namun, karena berbagai keterbatasan, dalam review ini hanya tindakan utama saja yang dicatat. Review tematik tentang rumah ibadah dan hak untuk beribadah disusun atas himpunan data yang diperoleh dari monitoring SETARA Institute, Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ), dan media massa.
2 DESKRIPSI PERISTIWA
Pada tanggal 3 Januari 2010 terjadi penghalangan kegiatan ibadah yang dilakukan oleh massa. Kegiatan penghalangan berujung pada penyegelan Gereja HKBP Fialdelfia di Desa Jejalen, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi oleh Pemerintah Daerah Bekasi. Sekitar 300 orang menutup akses jalan menuju gereja dan menghalangi jemaat yang akan menyelenggarakan kebaktian. Penutupan ini merupakan lanjutan aksi penolakan warga yang terjadi pada 25 Desember 2009. Tindakan massa didasari argumen bahwa pendirian gereja tidak memiliki IMB. Atas dasar desakan massa, Bupati Bekasi H. Sa’duddin Menerbitkan Surat No. 300/ 695/ Kesbangpollinmas/ 09 tertanggal 31 Desember 2009, mengeluarkan Surat Penghentian Kegiatan Pembangunan dan Kegiatan Ibadah Gereja HKBP Filadelfia. Pada tanggal 5 Januari 2010 terjadi pengrusakan rumah ibadah di Jl. Pahlawan Kelurahan Tanjung Aman, Kotabumi Lampung Utara.Pengrusakan dilakukan oleh warga yang berjumlah 6 orang dengan melempari gedung yang dijadikan tempat ibadah dan rumah seorang pengurus gereja. Akibat penyerangan itu, beberapa kaca rumah serta kaca gedung pecah. Tidak diketahui alasan persis yang dilakukan oleh warga tersebut, karena tidak ada penyelidikan lebih lanjut atas peristiwa ini. Pada tanggal 21 Januari 2010 terjadi penyegelan gereja Blok I No. 7-8 Perumahan Sepatan Residen Desa Pisangan Jaya, Kec. Sepatan Kabupaten Tangerang yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah atas desakan kelompok Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbuttahrir Indonesia (HTI). Penutupan gereja dipicu oleh adanya selebaran
“Kristenisasi” dari pihak yang diduga disebarkan oleh kelompok HTI. Dengan alasan meresahkan warga, pada tanggal 21 Januari di gereja tersebut terpampang tulisan “Stop, bangunan ini menyalahi Perda No. 10/2006” [tentang pendirian bangunan]. Penutupan gereja dilakukan oleh pemerintah daerah atas desakan berbagai organisasi massa seperti FPI, HTI, MUI. Pada tanggal 22 Januari 2010 terjadi pembaran rumah ibadah di Sibuhuan, Padang Lawas Sumatera Utara oleh massa dan menimpa jemaat HKBP. Sekitar 1000 orang warga membakar rumah ibadah HKBP. Massa beralasan bahwa rumah ibadah ini semakin hari semakin banyak pengikutnya dan meresahkan masyarakat, padahal status bangunan tersebut bukanlah gereja yang telah memenuhi syarat pendirian. Rumah ibadah ini didirikan pada 1992. Sebelum peristiwa terjadi, Pemerintah Daerah memfasilitasi dialog dengan para pemuka agama dan diperoleh ‘kesepakatan’ bahwa umat Kristiani akan mengalihkan kegiatan ibadahnya di Kecamatan Sosa, 28 kilometer dari Sibuhuan. Kesepakatan yang ‘dipaksakan’ karena jauhnya jarak yang harus ditempuh, jemaat HKBP tetap melakukan ibadah di rumah ibadah dimaksud. Tidak ada tindakan apapun dari aparat setempat baik saat kejadian maupun pascakejadian. Padahal pasca peristiwa, muncul beberapa intimidasi dari orang yang tidak dikenal. Pada tanggal 22 Januari 2010 terjadi pembakaran rumah ibadah milik jemaat Gereja Pantekosta di Sibuhuan, Padang Lawas Sumatera Utara. Rumah ibadah ini hanya berjarak 500 meter dari gereja HKBP yang dibakar oleh massa dan pada waktu yang sama. Setelah melakukan pembakaran Gereja HKBP, massa melanjutkan aksinya dengan membakar rumah ibadah milik Jemaat Gereja Pantekosta. Alasan yang mengemuka juga sama dengan pembakaran yang dilakukan terhadap gereja HKBP. Demikian juga aparat penegak hukum tidak melakukan penanganan hukum. Pada tanggal 24 Januari 2010 terjadi penolakan pendirian gereja Jemaat Gereja Kristen Indonesia di Ciranjang, Cianjur, Jawa Barat. Rumah Ibadah ini ditolak oleh warga dengan alasan meresahkan masyarakat dan menyalahi peruntukan. Tidak hanya melarang pendirian tempat ibadah, ketika jemaat melakukan ibadah pun warga melakukan dengan pelarangan dengan alasan bahwa bangunan tersebut menyalahi peruntukkan dan meresahkan warga. Pada tanggal 24 Januari 2010 terjadi penolakan pendirian gereja Jemaat Gereja Kristen Pasundan (GKP) Ciranjang Cianjur Jawa Barat. Sama dengan keberadaan Gereja Kristen Indonesia, gereja ini juga Kristen Pasundan juga mengalami persoalan yang sama. Di tolak warga, dengan alasan salah peruntukkan dan meresahkan warga. Pada tanggal 24 Januari 2010 terjadi penghentian paksa kegiatan ibadah jemaat GBI Kairos di Duren Sawit Jakarta Timur. Penghentian dilakukan oleh massa yang berjumlah sekitar 200 orang. Pada saat jemaat sedang melakukan kebaktian, massa menyerang
gereja dan mendesak penghentian kegiatan ibadah. Selain dianggap salah peruntukkan, gereja tersebut juga dianggap meresahkan warga. Pada tanggal 5 Februari 2010 terjadi penutupan paksa gereja HKBP di Karawang Wetan, Kec. Karawang Timur, Kabupaten Karawang Jawa Barat. Massa dari desa sekitar melakukan penutupan paksa gereja. Penutupan paksa ini dipicu oleh kekecewaan warga yang sudah berulang kali meminta agar Pemerintah Daerah Karawang menutup gereja karena dianggap meresahkan warga, tapi tidak dipenuhi oleh pemerintah daerah. Gereja ini sebenarnya memiliki izin lengkap ini telah beroperasi. Pada tanggal 7 Januari 2010 terjadi penolakan keberadaan gereja HKBP Pondok Timur Kota Bekasi Jawa Barat. Massa yang berjumlah sekitar 100 orang melakukan orasi saat kebaktian berlangsung. Mereka menolak keberadaan gereja. Alasan yang muncul adalah bahwa gereja tersebut sebenarnya adalah rumah tinggal yang digunakan untuk beribadah. Gereja ini memiliki jemaat 300 kepala keluarga dan berdiri sejak tahun 2007. Pada tanggal 15 Februari 2010 terjadi penghentian paksa kegiatan ibadah di gereja Perumahan Taman Galaxy, Jaka Setia, Bekasi Selatan, Kota Bekasi Jawa Barat. Aksi ini dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI), Forum Silaturahmi Masjid dan Mushala Galaxi, Forum Remaja Islam Medan Satria, FKUB Bekasi, Persatuan Islam (PERSIS), Komite Penegak Syariah (KPS), Muhammadiyah, Gerakan Pemuda Islam (GPI), Masyarakat Peduli Syariah (MPS), Gabungan Remaja Islam (GARIS). Massa beralasan bahwa keberadaan Gereja Galilea telah meresahkan warga. Pada tanggal 18 Februari 2010 terjadi desakan penutupan gereja Jemaat Kapel Katolik Stasi Capar Sumber Cirebon, Jawa Barat. Saat misa berlangsung, Ustadz Abu, pimpinan organisasi GARIS Cirebon, telah menunggu di Masjid di depan Gereja. Setelah selesai misa, Rm. Franki menemui Ustadz Abu di Pasturan. Pada saat itu, Ustadz Abu mendesak agar gereja ditutup karena menganggu warga yang sedang salat Maghrib. Abu juga menyoal IMB dan mengancam jika tidak ada IMB maka mereka akan membekukan gereja, yang sudah beroperasi sejak zaman Orde Baru ini. Desakan untuk membuat surat pernyataan di atas materai pun di tolak oleh Rm. Franki. Lurah Sidawangi menolak kemungkinan penutupan gereja tersebut, dengan alasasn GARIS bukanlah kelompok masyarakat yang berdomisili di sekitar gereja, jadi alasan meresahkan warga tidak benar. Pada tanggal 28 Februari 2010 terjadi penghentian paksa kegiatan ibadah. Peristiwa ini menimpa jemaat gereja HKBP Pondok Timur Indah Kota Bekasi. Dengan modus yang sama dan berulang, jemaat HKBP dipaksa menghentikan kegiatan keagamaan akibat protes massa dengan alasan meresahkan warga/ desakan warga. Untuk menghindari amuk massa, Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan) yang terdiri dari Camat, Kapolsek, dan lain-lain, mendatangi pihak gereja dan meminta agar kegiatan ibadah dihentikan.
Pada tanggal 1 Maret 2010 terjadi penyegelan gereja milik jemaat HKBP Pondok Timur Indah Kota Bekasi. Penyegelan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui aparatusnya merupakan lanjutan dari desakan massa sebelumnya. Atas desakan massa, Pemerintah Kota Bekasi melalui Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan (P2B) melakukan penyegelan terhadap Rumah Ibadah HKBP. Penyegelan ini dianggap tidak sah jemaat HKBP karena P2B melampaui kewenangannya bahkan tanpa berita acara. Atas dasar inilah makan jemaat HKBP membuka tanda segerl ini dan tetap menggunakan rumah ibadah ini untuk beribadah. Pada tanggal 11 Maret 2010 terjadi penyegelan gereja GKI Taman Yasmin Bogor Barat, Kota Bogor Jawa Barat. Penyegelan dilakukan oleh Pemerintah Daerah atas desakan Forkami (Forum Komunikasi Muslim Indonesia) Bogor. Penyegelan dilakukan karena secara resmi Pemkot Bogor telah mencaubut IMB atas gereja ini. Pencabutan IMB dilakukan karena keberadaan gereja dinilai meresahkan warga. Saat penyegelan Satpol PP didampingi oleh Polresta Bogor dan Koramil. Pada tanggal 12 Maret 2010 terjadi penghalangan kegiatan ibadah terhadap Jemaat Katolik Stasi Santa Maria Immaculata di Perumahan Citra Garden City III dan IV di Kalideres, Jakarta Barat. Warga melakukan pemblokiran jalan menuju gereja. Sedangkan jemaat hendak melakukan ibadah di gereja tersebut. Warga menyoal IMB, padahal pihak gereja menyatakan bahwa gereja tersebut sudah memiliki IMB dari pemerintah daerah. Penghalangan kegiatan ibadah dilakukan karena keberadaan gereja dianggap meresahkan warga. Pada tanggal 1 April 2010 terjadi penghalangan kegiatan ibadah Jemaat Gereja Katholik Paroki Santo Johannes Baptista oleh massa yang memberikan ancaman. Penghalangan dalam bentuk ancaman dilaporkan kepada Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika). Atas saran dan fasilitas aparat negara, jemaat melakukan ibadah di tempat lain. Pada tanggal 4 April 2010 terjadi pembakaran gereja Jemaat Gereja Kristen Jawa Sukorejo di Pepanthan Curug Sewu, Weleri, Kendal Jawa Tengah. Pembakaran dilakukan oleh orang yang tidak teridentifikasi. Atas bantuan warga yang menolong, gereja ini hanya terbakar di bagian pintu gereja saja. Pada tanggal 27 April 2010 terjadi pembakaran properti milik Badan Pendidikan Kristen (BPK) Penabur di Jl. Taman Safari Cibeureum, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pembakaran dilakukan oleh Massa (Komunitas Muslim Jalur Puncak). Ratusan warga menyerang dan membakar pembangunan wisma milik BPK Penabur. Tiga unit bangunan dan 2 unit mobil dan alat-alat kerja juga dihancurkan. Warga menolak keberadaan bangunan ini karena menduga akan menjadi pusat kegiatan keagamaan dan meresahkan warga. Padahal secara administratif, fasilitasi pendidikan ini telah mendapat izin pembangunan dari pemerintah daerah. Namun demikian, setelah peristiwa ini Wakil Bupati Bogor menghentikan proses pembangunan.
Pada tanggal 13 Juni 2010 terjadi ancaman penggrebekan gereja yang menimpa jemaat gereja di Cirebon. Ancaman datang dari FPI, FUI, GAPAS (Gerakan Anti Pemurtadan Aliran Sesat). Merespon ancaman dan intimidasi ini pihak gereja dengan fasilitasi FAHMINA Institute Cirebon melaporkan kepada MUSPIDA (Musayawarah Pimpinan Daerah) Cirebon. Muspida berkomitmen melindungi gereja dan menghimbau bagi gereja yang belum memiliki izin untuk mengajukan izin. Pada tanggal 20 Juni 2010 terjadi penyegelan gereja jemaat HKBP Pondok Timur Indah Kota Bekasi. Pemerintah Kota Bekasi menyegel gereja HKBP dengan alasan telah terjadi perubahan fungsi dari rumah tinggal menjadi tempat peribadatan. Sebelumnya 1 Maret, saat gereja ini disegel untuk pertama kalinya, pemerintah kota Bekasi berjanji akan mencarikan lahan baru untuk HKBP, tapi belum direalisasikan. Pemerintah Kota menyegel gereja atas desakan massa dan pelanggaran peruntukkan bangunan. Pada tanggal 21 Juni 2010 terjadi penyegelan rumah ibadah di Jl. Harapan Ujung, Kelurahan Tembilahan Hulu, Kecamatan Tembilahan Hulu, Indrigiri Hilir. Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir melalui Kepala Satpol PP melakukan penyegelan 3 bangunan Rumah Ibadah dengan alasan melanggar Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 8 dan Nomor 9 tahun 2006 pasal 14 tentang pendirian rumah ibadah. Juga melanggar Peraturan Daerah (Perda) Indragiri Hilir Nomor 21 tahun 2008 pasal 8 tentang Ketertiban Umum dan Perda Indragiri Hilir No 37 tahun 2002 tentang Izin Mendirikan Bangunan. Pada Bulan Juni 20102 terjadi penolakan pendirian gereja di Cilangkap Jakarta Timur. Rencana pendirian gereja oleh Jemaat Gereja Katolik St. Yohanes Maria ini telah berlangsung sejak lama dan tidak pernah memperoleh izin dengan alasan meresahkan masyarakat setempat. Pihak gereja telah mengupayakan IMB dari Gubernur DKI Jakarta dan Biro Dik Mental Kementerian Agama selama 12 tahun dan belum juga diperoleh. Massa menolak tanah yang dipilih oleh pihak gereja untuk dijadikan gereja. Penolakan terjadi sudah berulang kali dan berulang kembali pada Juni 2010 di mana telah muncul spanduk-spanduk penolakan dari masyarakat yang semuanya berdalih bahwa rencana pendirian gereja tersebut meresahkan masyarakat. Pada Bulan Juni 20103 terjadi penolakan pendirian gereja Jemaat Gereja Katolik St. Kalvari Pondok Gede Jakarta Timur. Sama dengan rencana pembangunan gereja di Cilangkap, jemaat gereja ini pun telah mengupayakan perolehan izin. Sambil menunggu perolehan izin, selama ini mereka beribadah di Kapel Sekolah Santo Markus II Pondok Gede Bekasi.
2
Peristiwa penolakan sudah berlangsung sejak lama dan kembali menguat pada Juni 2010. Dalam review ini tidak dicantumkan tanggal. Pencantuman “Bulan Juni” merujuk pada diterimanya laporan penolakan ini oleh SETARA Institute. 3
ibid
Pada Bulan Juni 20104 terjadi penolakan pendirian gereja milik Jemaat Gereja Katolik St Leo Agung Jatibening Jakarta Timur. Pemerintah Daerah menolak memberikan izin pembangunan gereja yang pada tahun 2000 pernah dibakar oleh massa. Laporan Bulan Juni 20105 terjadi penolakan pendirian gereja jemaat Gereja Katolik St Ratu Rosary Lenteng Agung Jakarta Selatan. Sementara belum memperoleh ijin, jemaat melakukan kegiatan ibadah di sebuah sekolah Desa Putra, Yayasan Budi Murni, Jakarsa, Jakarta Selatan. Penolakan warga juga terlihat dari spanduk yang terbentang di daerah lokasi rencana pembangunan gereja. Pada 28 Maret 2010 misalnya terlihat spanduk “Kami masyarakat Ciganjur Cipedak dan Jemaah Majelis Taklim Nurul Musthofa Menolak Pembangunan Gereja di Wilayah kami”. Spanduk tersebut berada di Jalan Raya Cipedak, Ciganjur. Pada tanggal 18 Juli 2010 terjadi penyerangan kegiatan ibadah jemaat Gereja HKBP di Ciketing Mustika Jaya, Kota Bekasi. Jemaat HKBP ini merupakan jemaat gereja Pondok Timur yang disegel gerejanya dan belum memperoleh tempat ibadah baru. Jemaat HKBP yang sedang melakukan ibadah didatangi massa sekitar 600 orang yang menolak kegiatan ibadah. Pada 19 Juli 2010 terjadi penyegelan gereja Jemaat Pantekosta di Celeungsi Kabupaten Bogor oleh pemerintah daerah melalui Satpol PP Kabupaten Bogor. Penyegelan dilakukan oleh Satpol PP dengan membawa surat perintah dari Bupati Bogor. Penyegelan disaksikan oleh Wakapolres Bogor. Dalam proses penyegelan ini terjadi perlawanan dari pihak gereja dan timbul bentrokan. Alasan penyegelan ini karena selain meresahkan warga, gereja ini dianggap menyalahi peruntukan.
3 REVIEW FAKTA PERSITIWA
Sejak Januari-Juli 2010, SETARA Institute mencatat 28 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang menyasar jemaat Kristiani. Kebebasan yang diserang dalam 28 peristiwa tersebut adalah hak untuk bebas beribadah dan hak untuk mendirikan rumah ibadah. Peristiwa terbanyak terjadi pada Bulan Januari (8 peristiwa), pada Bulan Juni (7 peristiwa), dan pada Bulan Februari (5 peristiwa).
4
ibid
5
ibid
Grafik 1: Sebaran Waktu Terjadinya 28 Peristiwa
Grafik 2: Perbandingan Penyerangan terhadap Jemaat Kristiani
Untuk jenis peristiwa yang sama, di tahun 2008, 2009, peristiwa pelanggaran kebebasan beragama terhadap jemaat Kristiani mengalami kenaikan. Pada tahun 2008 terjadi 17 peristiwa pelanggaran dan pada tahun 2009 terjadi 18 peristiwa pelanggaran. Lihat Garafik 2. Selain peristiwa lanjutan yang menimpa jemaat Kristiani pada tahun 2009, di tahun 2010 juga terdapat peristiwa-peristiwa baru. Ditinjau dari wilayah terjadinya pelanggaran, penyerangan gereja/ rumah ibadah terjadi sebagian besar di wilayah Jawa Barat (16 peristiwa), Jakarta (6 peristiwa), Sumatera Utara (2 peristiwa), selanjutnya masing-masing 1 peristiwa yaitu, Riau, Lampung, Jawa Tengah, dan Banten. Dua wilayah teratas, Jawa Barat dan Jakarta, selama 3 tahun berturut-turut (2007, 2008, 2009) selalu membukukan tingkat pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan tertinggi.
Grafik 3: Sebaran Wilayah 28 Peristiwa
Jika di lihat per kabupaten/ kota, khususnya di Propinsi Jawa Barat, maka peristiwaperistiwa itu terjadi justru di kawasan perkotaan dan masyarakat urban. Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Bogor, dan Jakarta Timur, adalah wilayah yang dalam 7 bulan terakhir mencatatkan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan. [Lihat Grafik 4] Wilayah-wilayah kabupaten/ kota sebagaimana disebutkan di atas adalah wilayah urban yang sebenarnya berpenduduk heterogen dan plural. Namun daerah-daerah ini juga merupakan pemasok massa dalam aksi-aksi massa yang digerakkan oleh berbagai organisasi Islam. Wilayah Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok selain pilihan masyarakat untuk bertempat tinggal dan berpenduduk padat, juga menjadi ‘wilayah dakwah utama’ kelompok-kelompok Islam puritan, seperti ditunjukkan dengan sejumlah indikator: upaya politik penyeragaman atas nama agama dan moralitas, tumbuhnya pengajian-pengajian oleh kelompok Islam puritan, munculnya desakan pemberlakuan syariat Islam, dan konsentrasi massa muda yang rentan idiologisasi.6 Sebagai tempat hunian dan berpenduduk padat, kebutuhan tempat ibadah untuk menjalankan ibadah jelas merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindari. Pembangunan rumah ibadah jelas mengikuti keberadaan kuantitas penduduk. Semakin tinggi jumlah penduduk maka kebutuhan mendirikan tempat ibadah semakin tinggi. Peristiwa pelanggaran dalam review ini menunjukkan kebutuhan nyata para jemaat akan tempat ibadah. Sebaliknya, sebagai ‘wilayah dakwah utama’ kelompok Islam puritan menjadikan
6
Lihat Toleransi dalam Pasungan: Pandangan Generasi Muda terhadap Kebangsaan, Pluralisme, dan Kepemimpinan Nasional, SETARA Institute, 2008
isu penentangan pendirian rumah-rumah ibadah sebagai bagian exercise implementasi dakwah dari keyakinan yang dianutnya. Pertemuan antara dua kutub kepentingan ini yang salah satunya menjadi pemicu tingginya pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang menyasar para jemaat Kristiani. Demikian juga, secara umum Jawa Barat yang menyimpan akar geneologis gerakan Islam yang cukup kuat di masa lalu, turut berkontribusi pada terjadinya berbagai pelanggaran. Grafik 3: Sebaran Wilayah 28 Peristiwa
Grafik 4: Bentuk Tindakan dalam 28 Peristiwa
Dari 28 peristiwa, bentuk-bentuk tindakan utama yang tercatat didominasi oleh penolakan pendirian rumah ibadah/ gereja (6 peristiwa), dan penyegelan rumah ibadah/ gereja (6 peristiwa). Masing-masing (3 peristiwa) adalah pembakaran rumah ibadah/ gereja, penghalangan kegiatan ibadah, dan penghentian paksa kegiatan ibadah. Selain menyerang rumah ibadah, pelanggaran juga menyasar pada properti jemaat, seperi BPK Penabur di Cisarua. [lihat grafik 4]. Pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang terdokumentasikan selama 7 bulan terakhir, semuanya dilandasi oleh argumen bahwa keberadaan rumah ibadah telah mengganggu dan meresahkan masyarakat. Argumen ini muncul di semua peristiwa. Selain ‘meresahkan masyarakat’ pelanggaran juga dijustifikasi oleh alasan bahwa bangunan/ rencana pembangunan tidak sesuai dengan peruntukkan atau menyalahi konsep tata ruang. Soal Izin Mendirikan Bangunan (IMB) juga menjadi pembenar semua persekusi yang terjadi. Melihat bentuk tindakan yang terjadi, jelas sekali bahwa perihal pelanggaran kebebasan/ beragama/ berkeyakinan melibatkan elemen negara [Pemerintah Daerah, Sat Pol PP, Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan –P2B, Kepolisian, TNI, dan institusi lainnya] dan elemen masyarakat. Untuk tindakan yang dilakukan oleh elemen negara maka tindakan tersebut dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM; sedangkan yang melibatkan masyarakat tidakan tersebut dikualifikasi sebagai tindakan pidana. [Lihat Grafik 5].
Grafik 5: Pelaku Pelanggaran dalam 28 Peristiwa
Hampir seluruh tindakan negara (baca: pemerintah daerah) dalam bentuk penyegelan dilandasi semata-mata atas desakan massa dan alasan meresahkan warga. Terhadap rumah-rumah ibadah yang sudah didirikan pun penyegelan tetap dilakukan sebagaimana menimpa sejumlah rumah ibadah. Dalam konteks yang demikian, tampak sekali bahwa institusi negara bertindak bukan atas dasar hukum yang berlaku melainkan atas desakan massa. Situasi ini sama persis dengan rentetan peristiwa yang terjadi di tahun 2007 di mana negara tunduk pada penghakiman massa.7 Sedangkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh massa atau organisasi massa tertentu, selain argumen meresahkan warga semuanya dilandasi oleh ekspresi idiologis tentang pentingnya “amar makruf nahi munkar” yang mewujud dalam proteksi berlebihan dan tidak perlu atas umat Islam. Pelanggaran dalam berbagai bentuk tindakan sepanjang 7 bulan yang menimpa jemaat Kristiani merupakan bentuknya nyata pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hak konstitusional warga negara. Beribadah dan menjalankan ibadah adalah hak yang dijamin oleh UU RI No. 12/ 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Demikian juga UUD Negara RI 1945. Pasal 18 Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik menyebutkan: Pasal 18 Ayat (1): Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
Sedangkan Pasal 28 E UUD Negara RI 1945: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarga-negaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkan-nya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Pendirian rumah ibadah dalam disiplin hak asasi manusia merupakan hak dalam rumpun forum externum yang memungkinkan dibatasi. Namun demikian, pembatasan harus tetap dilaksanakan dengan standa-standar pembatasan yang ditetapkan oleh disiplin hak asasi manusia. Selain soal pembatasan, pendirian rumah ibadah bukan semata soal Izin Mendirikan Rumah Ibadah (IMB) tetap hak orang untuk beribadah. Bagaimana mungkin jemaat bisa beribadah jika rumah ibadah tersebut tidak bisa didirikan. Dan bagaimana pula jemaat bisa beribadah dengan tenang, jika terus menerus keberadaannya selalu diganggu lantaran dianggap meresahkan warga.
7
Lihat Tunduk pada Penghakiman Massa, Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2007, SETARA Institute, Desember 2007. www.setara-institute.org
Persoalan hak untuk bebas menjalankan ibadah mensyaratkan adanya jaminan kebebasan mendirikan tempat ibadah. Sifat interdependesi dalam memahami Pasal 18 Kovenan Sipil dan Politik menjadi mutlak diperlukan karena tidak mungkin seseorang bisa beribadah tanpa rumah ibadah. Perihal pendirian rumah ibadah, dalam konstruksi hukum di Indonesia di atur dengan Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9 Tahun 2006 Nomor: 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah Dalam Pemelihara Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Produk hukum ini dianggap oleh pemerintah sebagai jalan moderat pengaturan pendirian rumah ibadah. Dalam konstruksi hukum hak asasi manusia dan Ilmu Perundang-undangan, materi muatan yang terkandung dalam peraturan ini terlampau jauh mereduksi jaminan-jaminan yang justru tercantum dalam Kovenan Sipil dan Politik juga yang tercantum dalam Konstitusi. PBM dengan perangkat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di setiap kabupaten/ kota dan provinsi bukan menjadi solusi kebutuhan jemaat mendirikan rumah ibadah tapi justru menjadi pemasung kebebasan mendirikan rumah ibadah itu sendiri. Untuk menunaikan hak untuk bebas beribadah dan mendirikan rumah ibadah dipasung oleh matematikan dukungan warga yang dalam konteks masyarakat Indonesia mutakhir sangat sulit untuk diperoleh. Tidak jarang kalaupun syarat minimum 90 orang jemaat dan 60 orang di sekitar tempat pendirian rumah ibadah telah terpenuhi, tekanan massa mengaburkan syarat administratif ini. Alhasil, FKUB memilih jalan menegasikan kelompok minoritas dengan turut serta melarang pendirian rumah ibadah. Pasal 14 PBM tentang Pendirian Rumah Ibadah menyebutkan: (1) Pendirian rumah ibadat wajib memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. (2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah Ibadan paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3); b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota. (3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersediannya lokasi pembangunan rumah Ibadan.
Pengaturan sebagaimana kutipan di atas bukan saja diskriminatif tapi bertentangan dengan jaminan kebebasan yang ada dalam Konstitusi RI dan Kovenan Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Jika pun menggunakan dalil pembatasan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 J (2) pengaturan yang ada di dalam
PBM tetap tidak memenuhi standar pembatasan yang lazim dalam disiplin hak asasi manusia. Peraturan Bersama Menteri juga merupakan instrumen dan cara pemerintah pusat melempar tanggung jawab soal pemenuhan hak untuk bebas beribadah dan mendirikan rumah ibadah kepada pemerintah daerah. Padahal dalam konstruksi politik otonomi daerah, soal agama bukanlah urusan yang didesentralisasi ke pemerintah daerah. Sekalipun bisa dipahami bahwa tidak mungkin semua urusan pendirian rumah ibadah diurus oleh pemerintah pusat, tapi kelalaian yang terus menerus yang dipertunjukkan oleh pemerintah pusat dalam menangani persekusi kebebasan beragama/ berkeyakinan di Indonesia, nampak jelas pemerintah pusat telah melempar tanggung jawab ke pemerintah daerah. Pada saat yang bersamaan, dinamika politik otonomi daerah menunjukkan performa yang destruktif bagi jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan. Harus diakui bahwa soal agama merupakan salah satu kapital politik yang cukup menarik untuk memikat dukungan politik publik. Di tengah kemiskinan gagasan berpolitik elit politik daerah dan mekanisme akuntabilitas politik yang lemah, isu agama cukup murah dan meriah untuk dijadikan komoditas politik. Meskipun bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh dalam proses politik Pilkada misalnya, tapi faktor isu agama menjadi salah satu preferensi publik menentukan pilihan. Sementara, di tingkat nasional isu jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan bukanlah isu utama yang menjadi perhatian publik. Selain pemerintah pusat yang melempar tanggung jawab, DPR RI juga tidak pernah menunjukkan keberpihakannya pada pemenuhan jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan. Janji-janji Komisi III dan Komisi VIII DPR RI untuk memberikan perhatian pada praktik persekusi massa atas nama agama dan moralitas, tidak pernah terpenuhi. Selain faktor konstruksi hukum yang diskriminatif, rendahnya perhatian para elit politik, praktik persekusi massa atas kebebasan beragama/ berkeyakinan terjadi karena: pertama, kelompok-kelompok yang melakukan tindakan kriminal selama ini tidak pernah diproses secara hukum. Impunitas pelaku kekerasan atas nama agama ini menjadi preseden bagi kelompok lain di tempat lain untuk melakukan hak serupa, karena bagi mereka apa yang dilakukan bukanlah pelanggaran hukum. Di sini peran institusi hukum sangat menentukan prospek persekusi serupa di masa yang akan datang. Tanpa penindakan hukum, mustahil kelompok-kelompok Islam puritan yang gemar melakukan kekerasan atas nama agama dan moralitas menghentikan aksi-aksinya; kedua, pelanggaran kebebasan beragaman/ berkeyakinan sangat mungkin terjadi karena adanya pertemuan kepentingan masing-masing pihak. Pemerintah daerah, sebagaimana disinggung sebelumnya kerap kali menggunakan isu agama sebagai salah satu kapital politik. Pemerintah daerah juga berkepentingan terhadap dukungan publik atas kepemimpinannya, sehingga dalil mayoritas menjadi pembenar langkah pemerintah daerah mengambil tindakan pelanggaran, misalnya menyegel gereja. Sedangkan
kelompok penekan dan pelaku persekusi memiliki kepentingan untuk secara terus menerus mendongkrak bargaining position di hadapan elit politik daerah dan juga di aras publik. Cara ‘dakwah’ dengan menegakkan ‘amar makruf nahi munkar’ dan proteksi umat atas bahaya kristenisasi, liberalisme, dan lain-lain diyakini cukup efektif untuk tetap diperhitungkan sebagai stakeholder dari berbagai kebijakan publik di tingkat daerah. Kepentingan ekonomi bagi kelompok penekan menjadi salah satu manfaat dari peningkatan posisi tawar yang demikian. Langkah yang dilakukan oleh elit politik daerah dibalut dalil mayoritas dan dalam rangka menjaga stabilitas dan ketertiban umum; sedangkan bagi kelompok-kelompok penekan seluruh aksi dan kepentingannya dibalut dengan idiologi pembelaan terhadap Islam.
4 KESIMPULAN & REKOMENDASI
KESIMPULAN: 1.
Pemerintah Pusat telah lalai memberikan perhatian terhadap berbagai persekusi dan kekerasan yang menimpa jemaat Kistiani. Jika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono malu soal video prono, tapi SBY tidak pernah malu dan memberi respon atas berbagai peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan, termasuk dalam warga negaranya yang melakukan ibadah di trotoar dan berpindah-pindah.
2.
Pemerintah Daerah telah gagal menjalankan mandat PBM karena ketidakmampuannya memfasilitasi kebutuhan jemaat untuk mendirikan rumah ibadah. Alih-laih berupaya mencari jalan keluar, pemerintah daerah lebih gemar mengikuti suara ‘mayoritas’ kelompok-kelompok penekan.
3.
Institusi Polri belum menunjukkan kesungguhannya menegakkan hukum dengan menghukum para pelaku kriminal yang melakukan pengrusakan dan penyerangan terhadap rumah ibadah. Alasan kesulitan identifikasi massa dalam penyerangan jelas tidak memadai, karena Polri sesungguhnya mahir dalam mendeteksi pihakpihak yang harus bertanggung jawab dalam sebuah demonstrasi.
4.
Organisasi-organisasi massa yang melakukan aksi-aksi penolakan dan penyerangan terhadap rumah ibadah dan kegiatan ibadah semakin menyebar dan tidak dominasi oleh kelompok tertentu saja.
REKOMENDASI 1.
Presiden Republik Indonesia melakukan evaluasi terhadap Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9 Tahun 2006 Nomor: 8 Tahun 2006
2.
Presiden Republik Indonesia mengambil langkah dan terobosan dalam rangka memfasilitasi pendirian-pendirian rumah ibadah yang mengalami penolakan baik penolakan oleh masyarakat, penolakan perolehan IMB, dan ketidaktersediaan lahan. Presiden dapat memerintahkan Bupati/ Walikota untuk memberikan penanganan cepat bagi penyediaan rumah ibadah.
3.
DPR RI agar memberikan perhatian kepada berbagai pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan dengan mengefektifkan peran pengawasan, khususnya kepada Menteri Agama RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Dalam Negeri, Jaksa Agung dan Kepolisian RI. Selain mengintegrasikan isu pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan dalam kinerja pengawasan dewan, DPR RI dapat membentuk Kelompok Kerja Parlemen untuk Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan untuk mendorong legislasi yang konstruktif bagi jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan.
4.
Kepolisian RI harus melakukan penindakan terhadap pelaku-pelaku kekerasan dan pengrusakan tempat ibadah. Polri harus memiliki panduan kerja bagi aparat kepolisian di lapangan dalam penanganan kasus-kasus yang berhubungan dengan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan.
5.
Kepada Jemaat Kristiani yang mengalami kerugian, pelanggaran HAM, dan korban perbuatan melawan hukum dari institusi negara dan dari kelompok masyarakat lain, terus menerus dapat melakukan upaya hukum untuk memperoleh keadilan. Secara bersama-sama elemen masyarakat lain dapat memperkarakan setiap peristiwa sebagaimana dilakukan oleh beberapa gereja di Depok pada 2009 dan juga dilakukan olah Jemaat HKBP Pondok Timur. []