PELAKSANAAN VESSEL MONITORING SYSTEM (VMS) DI INDONESIA
YOSEP HADINATA
MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pelaksanaan Vessel Monitoring System (VMS) di Indonesia adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan sebelumnya maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2010 Yosep Hadinata
ABSTRAK YOSEP HADINATA, C44053474. Pelaksanaan Vessel Monitoring System (VMS) di Indonesia. Dibimbing oleh BUDHI HASCARYO ISKANDAR dan FIS PURWANGKA.
Vessel Monitoring System (VMS) merupakan program pengawasan kapal perikanan yang dibentuk oleh Departemen Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2003. Informasi mengenai VMS bagi pelaku perikanan masih sangat kurang. Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi sistem kerja VMS (Vessel Monitoring System) dan mengetahui persepsi para pelaku perikanan tentang VMS yang telah dilaksanakan di Indonesia. Metode yang digunakan studi kasus untuk menggambarkan prosedur-prosedur yang berkaitan dengan Vessel Monitoring System (VMS) dan menganalisis persepsi pelaku perikanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat transmitter online dan offline dalam sistem ini. Hasil yang ditemukan terdapat beberapa kelebihan yang merupakan keberhasilan tujuan pelaksanaan VMS, sedangkan kelemahan ditemukan dari pendapat pelaku perikanan yang menggunakan transmitter. Kelemahan yang terjadi diantaranya rumitnya prosedur mengenai transmitter, mahalnya biaya transmitter, tidak mengurangi IUU fishing dan kurangnya sosialisasi mengenai transmitter. Kata kunci : persepsi pelaku perikanan, transmitter, vessel monitoring system (VMS)
© Hak cipta IPB, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
PELAKSANAAN VESSEL MONITORING SYSTEM (VMS) DI INDONESIA
YOSEP HADINATA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul Skripsi
:
Pelaksanaan Vessel Monitoring System (VMS) di Indonesia
Nama Mahasiswa
:
Yosep Hadinata
NRP
:
C44053474
Mayor
:
Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Disetujui :
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si. NIP: 19670215 199103 1 004
Fis Purwangka, S.Pi., M.Si. NIP: 19720502 200701 1 002
Diketahui : Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. NIP: 19621223 198703 1 001
Tanggal Lulus : 25 Januari 2010
KATA PENGANTAR Skripsi ditujukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah Pelaksanaan Vessel Monitoring System (VMS) di Indonesia. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si. dan Fis Purwangka, S.Pi, M.Si. selaku dosen pembimbing atas segala saran, arahan, perhatian dan motivasi yang sungguh tak ternilai harganya selama penelitian ini berlangsung; 2. Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.sc selaku Ketua Departemen PSP dan Dr. Ir. Mohammad Imron, M.Si. selaku komisi pendidikan Departemen PSP; 3. Kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan, perhatian dan doa dalam menghadapi segala sesuatunya; 4. Bapak Iyus, Bapak Nias, serta pengawas di Pangkalan PPS Nizam Zachman yang telah membantu proses pengambilan data dan wawancaraBapak Budi dan semua petugas di sekretariat VMS selaku narasumber yang telah memberikan informasi dan bantuan yang sangat berarti; 5. Margaretha Angela Dian Indrawatie buat dukungan dan semangat yang sudah diberikan selama ini. 6. Teman-teman PSP dan khususnya PSP’42 yang selalu memberikan semangat dan menjadi keluarga baru. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga diharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2010 Yosep Hadinata
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Desember 1987 dari pasangan Suwandi dan Inawati. Penulis adalah anak ke dua dari tiga bersaudara. Tahun 1992 penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-kanak Putra IV Jakarta Barat dan pada tahun 1993 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 05 Pagi Tg. Duren Selatan Jakarta Barat, Tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 69 Jakarta dan pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum Negeri 16 Jakarta. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Mayor Teknologi dan Manakemen Perikanan Tangkap. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Penulis
pernah
menjabat
sebagai
anggota
Departemen
Penelitian
dan
Pengembangan Keprofesian HIMAFARIN periode 2006-2007 dan 2007-2008. Selain itu, penulis juga menjadi asisten Mata kuliah Tingkah Laku Ikan tahun 2007-2008. Tahun 2009, penulis melakukan penelitian dengan judul ” Pelaksanaan Vessel Monitoring System (VMS) di Indonesia” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan
Tangkap,
Departemen
Pemanfaatan
Sumberdaya
Perikanan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. x DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xii 1
PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4
2
Latar belakang ...................................................................................... 1 Perumusan masalah .............................................................................. 2 Tujuan ................................................................................................... 3 Manfaat ................................................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Vessel Monitoring System (VMS) ...................................................... 4 2.1.1 Pengertian ................................................................................... 4 2.1.2 Manfaat ....................................................................................... 5 2.1.3 Perlengkapan .............................................................................. 6 2.2 Kapal Perikanan ................................................................................... 9 2.3 Perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ............................................ 9 2.4 Dasar Hukum ....................................................................................... 10 2.5 Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) ......................... 11 2.6 Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing ......................... 13 2.7 Monitoring, Controlling, and Surveillance (MCS) ............................. 15 2.8 Pengawasan ......................................................................................... 17 2.9 Pengawasan Kapal Perikanan .............................................................. 19 2.10 Persepsi ................................................................................................ 20 2.10.1 Definisi Persepsi ....................................................................... 20 2.10.2 Faktor yang mempengaruhi persepsi ........................................ 21
3
METODOLOGI 3.1 3.2 3.3 3.4
4
Waktu dan tempat penelitian ............................................................... 23 Metode penelitian ................................................................................ 23 Jenis dan sumber data .......................................................................... 23 Metode pengumpulan data ................................................................... 24
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Hasil ..................................................................................................... 25 4.1.1 Sistem pemantauan kapal perikanan .......................................... 25 4.1.2 Provider ...................................................................................... 27 4.1.3 Pusat pemantauan kapal perikanan ............................................. 29 4.1.4 Transmitter ................................................................................. 36 4.1.5 Transmitter offline ...................................................................... 55 4.1.6 Website Vessel Monitoring System (VMS) ................................. 56 4.1.7 Pelanggaran ................................................................................ 58 4.1.8 Sanksi ......................................................................................... 61 viii
4.2
5
Pembahasan ......................................................................................... 65 4.2.1 Persepsi pelaku perikanan .......................................................... 65 4.2.2 Persepsi peneliti ......................................................................... 69
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 5.2
Kesimpulan .......................................................................................... 78 Saran .................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 80 LAMPIRAN ......................................................................................................... 82
ix
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Daftar penyedia transmitter VMS.................................................................. 28 2.
Pembagian operator berdasarkan alat tangkap ............................................... 32
3.
Toolbar website VMS .................................................................................... 57
4.
Ketaatan kapal berpangkalan berdasarkan SLO tahun 2008 ......................... 60
5.
Tingkat pengetahuan tentang VMS ............................................................... 68
6.
Jenis tindak pidana ........................................................................................ 75
7.
Data keaktifan transmitter ............................................................................. 76
8.
Kelebihan dan kelemahan VMS ................................................................... 77
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Skema jaringan VMS ..................................................................................... 4 2. Wilayah perairan Indonesia terjadinya IUU fishing ....................................... 15 3. Skema Monitoring, Controlling and Surveillance (MCS) ............................. 16 4. Pangkalan Kapal Pengawas DITJEN PSDKP ................................................ 19 5. Warna pola pergerakkan kapal ........................................................................ 31 6. Prosedur pemasangan transmitter negara ....................................................... 39 7. Prosedur pengembalian transmitter milik ....................................................... 40 8. Prosedur izin docking kapal ............................................................................ 46 9. Prosedur penggantian transmitter ................................................................... 47 10. Prosedur penggantian surat izin ...................................................................... 48 11. Prosedur izin yang sedang menjalani proses hukum ..................................... 50 12. Prosedur izin kapal tidak beroperasi .............................................................. 51 13. Prosedur izin bila terjadi kerusakan transmitter ............................................. 54 14. Pola pergerakkan kapal melakukan pelanggaran pair trawl .......................... 59 15. Grafik keaktifan transmitter tahun 2008 ........................................................ 76
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Form surat keterangan aktivasi transmitter ................................................... 83
2.
Form 2 Lembar peminjaman transmitter ....................................................... 84
3.
Form 3 Lembar pemasangan transmitter ....................................................... 85
4.
Form 4 Lembar pengembalian transmitter .................................................... 86
5.
Form 6 Lembar pemeriksaan transmitter....................................................... 87
6.
Surat keterangan aktivasi dan bukti pembayaran airtime dari provider VMS ............................................................................ 88
7.
Surat pendaftaran transmitter ........................................................................ 89
8.
Surat pernyataan (transmitter milik negara) .................................................. 90
9.
Surat pernyataan pinjam pakai (transmitter milik negara) ............................ 91
10. Surat pernyataan (transmitter milik sendiri) .................................................. 92 11. Surat perpanjangan transmitter ...................................................................... 93 12. Tampilan website www.VMSdkp.dkp.go.id .................................................. 94 13. Kegiatan pendaftaran dan pemasangan transmitter ....................................... 95 14. Transmitter dari setiap provider .................................................................... 96 15. Ruang server FMC ........................................................................................ 97 16. Ruang pemantauan FMC ............................................................................... 98 17. Pemasangan junction box di dalam wheelhouse ............................................ 99 18. .. Pemasangan transmitter di atas kapal ..........................................................100
xii
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Departemen Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2003 telah melakukan pengawasan dengan menggunakan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan atau yang sering disebut dengan Vessel Monitoring System (VMS). Sistem ini merupakan salah satu program pengawasan yang dilakukan dalam menjaga sumberdaya kelautan dan perikanan Indonesia. Program ini menjadi komponen pelaksanaan Monitoring, Controlling, and Surveillance (MCS) dalam memerangi IUU fishing. Program VMS diatur dalam Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, Peraturan Menteri No.PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap dan Peraturan Menteri No.PER.05/MEN/2007 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. Peraturan tersebut mengamanatkan kewajiban kapal-kapal perikanan untuk memasang transmitter Vessel Monitoring System. Berdasarkan Peraturan Menteri No.PER.05/MEN/2007 pasal 2, dalam pelaksanaannya VMS bertujuan meningkatkan efektivitas pengelolaan sumberdaya ikan melalui pengendalian dan pemantauan terhadap kapal perikanan; meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan usaha perikanan yang dilakukan oleh perusahaan perikanan; meningkatkan ketaatan kapal perikanan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; serta memperoleh data dan informasi kegiatan kapal perikanan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Sejak dilaksanakannya program ini, dirasakan bahwa masih kurang informasi yang dapat diperoleh oleh masyarakat khususnya pelaku perikanan tangkap.
Kekurangan
tersebut antara lain: kegunaan VMS, cara kerja, prosedur pemasangan transmitter, manfaat yang akan diterima, dan masih banyak hal mengenai VMS yang belum mereka ketahui. Kurangnya sosialisasi yang dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan menyebabkan hal ini terjadi. Pelaku perikanan selama ini hanya diwajibkan memasang transmitter yang telah menjadi peraturan dalam bidang perikanan tangkap. Kelebihan atau kekurangan program VMS yang telah dijalankan hingga kini tidak banyak diketahui oleh masyarakat. Informasi ini lebih sering diterima oleh instansi terkait atau orang/perusahaan perikanan yang telah cukup besar usahanya, sedangkan
2
masyarakat kecil pelaku perikanan hanya dapat kabar dari orang-orang yang belum tentu kebenarannya. Sejak dilaksanakannya program Vessel Monitoring System (VMS) di Indonesia, penelitian mengenai VMS hingga saat ini masih sangat sedikit dilakukan.
Tujuan,
manfaat, komponen ataupun mengenai sistem kerja VMS masih banyak masyarakat yang belum paham. Bahkan tak sedikit yang tidak mengetahui apa itu VMS. Selain itu yang menjadi pertanyaan adalah apakah program ini memiliki kelebihan ataupun kekurangan sejak dilaksanakannya tahun 2003. Berdasarkan itu, maka penelitian ini sangat perlu untuk dilakukan agar dapat memberikan informasi mengenai Vessel Monitoring System (VMS) kepada masyarakat khususnya pelaku perikanan di Indonesia. 1.2 Perumusan Masalah
Vessel Monitoring System (VMS) adalah salah satu dari penerapan Monitoring, Controlling and Surveillance (MCS) yang berbasiskan pengawasan dengan satelit. Indonesia sendiri telah menerapkan sistem ini sejak tahun 2003. Prosedur atau tata cara pelaksanaan vessel monitoring system (VMS) masih banyak yang belum diketahui terutama oleh pelaku perikanan (nelayan/pemilik kapal).
Sistematis pelaksanaan mulai dari pemasangan, pendaftaran hingga
pelaporan hasil yang dilakukan Fisheries Monitoring Centre (FMC) hingga saat ini hanya beberapa orang atau instansi yang mengetahuinya. Secara sistematis penelitian ini akan membahas beberapa permasalahan sebagai berikut: 1)
Bagaimana sistem kerja program VMS dilaksanakan?;
2)
Apa saja kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam pelaksanaan program VMS?; dan
3)
Manfaat apa yang diterima bagi para pelaku perikanan (nelayan/pemilik kapal) dengan adanya VMS?
3
1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1)
Mengidentifikasi sistem kerja Vessel Monitoring System (VMS) yang ada di Indonesia;
2)
Mengetahui persepsi para pelaku perikanan tentang VMS yang telah dilaksanakan di Indonesia; dan
3)
Mengidentifikasi manfaat yang diterima oleh pemerintah dan pemilik kapal atau nelayan.
1.4 Manfaat Manfaat dari yang ingin dicapai penelitian ini :
1)
Sebagai informasi kepada pelaku perikanan khususnya pemilik kapal mengenai prosedur pelaksanaan program VMS yang ada di Indonesia;
2)
Sebagai salah satu informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan; dan
3)
Sebagai acuan untuk penelitian tentang VMS selanjutnya.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Vessel Monitoring System (VMS) 2.1.1 Pengertian Menurut
peraturan
menteri
kelautan
dan
perikanan
Nomor
PER.05/MEN/2007 tentang penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan, sistem pemantauan kapal perikanan adalah salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang penangkapan dan/atau pengangkutan ikan, yang menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan yang telah ditentukan. Sistem pemantauan kapal perikanan/Vessel Monitoring System (VMS) adalah sebuah program pengawasan kegiatan perikanan, yang menggunakan peralatan yang terpasang di kapal perikanan memberikan informasi mengenai kegiatan dan posisi kapal (FAO, 2009). Pada Gambar 1 di bawah ini merupakan skema jaringan VMS.
Sumber: P2SDKP, 2008 Gambar 1 Skema Jaringan VMS. Berdasarkan
peraturan
menteri
kelautan
dan
perikanan
Nomor
PER.05/MEN/2007, penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan/Vessel Monitoring System (VMS) bertujuan untuk: 1) Meningkatkan efektivitas pengelolaan sumberdaya ikan melalui pengendalian dan pemantauan terhadap kapal perikanan; 2) Meningkatkan efektivitas pengelolaan usaha perikanan yang dilakukan oleh perusahaan perikanan;
5
3) Meningkatkan
ketaatan
kapal
perikanan
yang
melakukan
kegiatan
penangkapan dan/atau pengangkutan ikan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 4) Memperoleh data dan informasi tentang kegiatan kapal perikanan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. 2.1.2 Manfaat Vessel Monitoring System (VMS) sangat berguna dalam manajemen perikanan diantaranya adalah (FAO, 1998): 1) VMS dapat meningkatkan pemantauan, pengendalian dan pengawasan (MCS) perikanan dengan biaya yang efektif. MCS metode tradisional, seperti patroli udara dan darat tidak efisien dan mahal dalam penggunaan personil dan peralatannya, serta jangkauan metode tradisional ini relatif terbatas; 2) VMS dapat berperan dalam keselamatan kapal perikanan; 3) Membantu operator atau petugas pengawasan dalam melaksanakan peraturan perikanan, karena adanya tindakan penyelewengan hukum dari kegiatan penangkapan ikan yang tidak legal yang telah terdeteksi; 4) VMS dapat memberikan dokumentasi dari kapal perikanan dan dugaan pelanggaran. Peralatan VMS di atas kapal secara otomatis menghasilkan laporan posisi kapal, yang kemudian divalidasi dan disusun di pusat pemantauan perikanan.
Sistem pengamanan informasi dengan cara yang
sesuai dengan bukti-aturan dan pedoman penanganan potensial untuk proses hukum.
Informasi dapat ditindak segera, atau dapat disimpan untuk
investigasi berikutnya; 5) Efisien patroli dapat direncanakan dengan menggunakan VMS. VMS perikanan yang memungkinkan lembaga-lembaga untuk menyebarkan patroli aset efektif. Pencarian perjalanan waktu berkurang karena lokasi armada kapal telah diketahui; 6) VMS efektif membantu dalam melakukan pengawasan di pelabuhan. VMS yang dapat memberitahukan ke petugas pengawasan di pelabuhan mengenai kedatangan rutin kapal-kapal perikanan, dan juga memberitahukan tentang kedatangan kapal yang menjadi target pengawasan; dan
6
7) VMS menawarkan layanan komunikasi yang terjangkau dan aman. Contohnya pengaturan penjualan ikan di atas kapal di laut, tanpa melakukan pendaratan ikan di pelabuhan terlebih dulu. Adapun manfaat sistem pemantauan kapal perikanan bagi pemerintah Indonesia adalah (Mukhtar, 2008): 1) Dapat melindungi ZEEI Indonesia dari kegiatan-kegiatan kapal perikanan, melacak dan mengidentifikasi tindakan-tindakan illegal fishing, dan dengan demikian menegakkan hukum Indonesia dan melindungi kepentingankepentingan ekonomi; 2) Dapat menunjukkan penyebaran kapal-kapal di wilayah penangkapan ikan dan membantu penegak hukum terkait untuk memeriksa apakah kapal-kapal tersebut sungguh-sungguh beroperasi di areal penangkapan ikan yang telah ditetapkan; dan 3) Memberikan informasi segera mengenai posisi kapal-kapal yang meminta bantuan sehingga dapat terlacak dan bereaksi secara cepat dan efektif dalam situasi-situasi darurat, seperti perampokan, atau kecelakaan-kecelakaan. Manfaat sistem pemantauan kapal perikanan bagi pengusaha/pemilik kapal adalah (Mukhtar, 2008) : 1) Dapat memanfaatkan informasi dari Vessel Monitoring System untuk memantau keberadaan dan perilaku kapal di laut melalui Website; dan 2) Dapat memanfaatkan informasi Vessel Monitoring System untuk keadaan darurat (pembajakan, kebakaran, tenggelam dan lain-lain). 2.1.3 Perlengkapan VMS merupakan suatu sistem yang menggabungkan antara teknologi dan sumberdaya manusia. Secara teknis VMS memiliki tiga elemen umum yaitu (FAO, 1998): 1) Peralatan di atas kapal Peralatan elektronik yang terpasang pada sebuah kapal adalah kebutuhan utama kapal untuk berpartisipasi dalam program VMS. Alat ini biasanya terdiri dari beberapa kombinasi antena dan transceiver, sumber daya eksternal dan kabel. Menurut permen kelautan dan perikanan No. 5/MEN/2007, Transmitter adalah alat yang berfungsi untuk melakukan pemantauan kapal perikanan secara
7
langsung yang dipasang dan dioperasikan di atas kapal perikanan yang telah ditentukan serta dipergunakan untuk menerima/mengirimkan data posisi kapal perikanan ke pengelola sistem (FAO, 1998). Teknologi VMS memiliki fungsi dalam menyediakan informasi umum dalam laporan data VMS seperti unit identifier (ID transmitter kapal), tanggal dan waktu, serta garis lintang dan bujur. Penyediaan informasi mengenai posisi kapal menggunakan sistem GPS.
GPS yang telah terintegrasi dengan unit dapat
menentukan posisi secara langsung termasuk laporan posisinya, atau sistem satelit yang dapat menentukan posisi dengan mengukur pergeseran sinyal Doppler yang dikirim dari unit di atas kapal (perubahan frekuensi dari gelombang ketika emitted electromagnetic penerima yang berada dalam gerakan relatif terhadap satu sama lain) (FAO, 1998). Peralatan kapal (transmitter) yang mengirimkan laporan posisi dan informasi dalam beberapa cara. Sistem satu arah secara otomatis mengirimkan laporan dalam pra-interval yang telah ditetapkan, dan dapat juga mengirimkan informasi tambahan. Sistem dua arah, laporan juga dikirim secara otomatis dalam pra-interval yang ditetapkan. pusat pemantauan perikanan memungkinkan untuk meminta informasi dari kapal, termasuk laporan posisi kapal yang terbaru atau status peralatan, dan juga mengubah interval pelaporan. Arah pergerakkan dan kecepatan kapal dapat dihitung secara langsung dan dikirim bersama-sama dengan laporan posisi kapal, atau dapat juga dihitung dengan software di pusat pemantauan perikanan, yang berdasarkan waktu dan jarak antara posisi laporan (FAO, 1998). Jenis transmitter yang paling banyak digunakan dalam program ini termasuk VMS Argos transmitters, Inmarsat-C dan Inmarsat-D+ transceivers, Qualcomm unit (EutelTRACS dan Boatracs), dan Orbcomm sistem. Kebanyakan dari peralatan ini merupakan integrasi dari GPS untuk mendapatkan posisi (FAO, 1998). 2) Sistem komunikasi Sistem komunikasi membawa laporan posisi dan pesan lainnya dari peralatan yang berada di atas kapal, melalui ruang angkasa dan jalur darat, menuju pusat pemantauan perikanan. Provider yang menggunakan segmen ruang angkasa
8
dalam program VMS di bidang perikanan adalah Argos, dan Inmarsat-C dan Inmarsat D+. Sistem Argos (CLS) memiliki orbit satelit di daerah kutub dan dioperasikan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration USA. Orbital satelit di daerah kutub memberikan cakupan pengawasan yang baik pada daerah lintang tinggi, dan prosesnya satu arah, dari kapal langsung ke pantai. Inmarsat-C dan Inmarsat D+ menggunakan satelit geostationary sepanjang khatulistiwa, memberikan wilayah cakupan pengawasan hampir global dua arah. Karena lokasi satelit di khatulistiwa, maka tidak dapat melakukan cakupan pada wilayah lintang tinggi. Inmarsat menawarkan beberapa jenis layanan komunikasi, tetapi Inmarsat-C dan Inmarsat D+ adalah yang paling sesuai untuk aplikasi VMS karena biaya-efektif untuk pesan teks dan paket data (FAO, 1998). 3) Pusat pemantauan perikanan Pusat pemantauan perikanan/Fisheries Monitoring Centre (FMC) adalah sebuah pusat yang memantau dan menerima laporan yang dikirimkan melalui transmitter dan kemudian menyimpannya ke dalam database dari semua kegiatan kapal penangkap ikan yang telah menggunakan sistem VMS. Pengawas di FMC mengawasi seluruh kegiatan penangkapan dari monitor dan dianalisis jika terjadi indikasi pelanggaran untuk segera diambil tindakan. FMC merupakan lokasi yang aman dimana hanya personil atau petugas pengawasan yang berwenang yang dapat mengakses data VMS.
Semua data dilindungi dari kesengajaan atau
kebetulan atau memperlihatkan kerusakan. Informasi mengenai posisi kapal sangat berharga dan sensitif karena untuk kegiatan komersial.
Dengan demikian, lembaga pengawasan harus berusaha
untuk menjamin keamanan dari fisik peralatan dan operasional kapal, komunikasi, dan pusat pemantauan perikanan.
Keamanan adalah penting bagi manajer
perikanan untuk memastikan bahwa informasi dari VMS asli dan non-repudiated, memiliki integritas yang tinggi, dan bersifat pribadi. Program VMS tidak hanya menjadi solusi teknis dalam memantau kapal perikanan. Komponen tambahan dari program VMS kebanyakan adalah manusia, yaitu orang-orang yang membuat kebijakan dan kerangka hukum, teknisi yang memasang dan memelihara peralatan di atas kapal, orang-orang yang menggunakan link komunikasi dan staf pusat pemantauan perikanan, serta petugas
9
pengawasan, penyelidik dan para personil hukum yang menganalisis dan menanggapi informasi yang diberikan oleh VMS. Operator kapal dan industri perikanan yang berperan dalam penangkapan ikan bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam program ini (FAO, 1998).
2.2 Kapal Perikanan Menurut Fyson (1985) kapal perikanan adalah kapal yang dibangun untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan usaha penangkapan ikan dengan ukuran, rancangan bentuk dek, kapasitas muat, akomodasi, mesin serta berbagai perlengkapan yang secara keseluruhan disesuaikan dengan fungsi dalam rencana operasi.
Menurut Nomura & Yamazaki (1977) mengemukakan bahwa kapal
perikanan adalah kapal yang digunakan dalam kegiatan perikanan yang mencakup penggunaan atau aktivitas penangkapan atau mengumpulkan sumberdaya penangkapan atau mengumpulkan sumberdaya perairan, serta penggunaan dalam beberapa aktivitas seperti riset, training dan inspeksi sumberdaya perairan. Berdasarkan Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang perikanan bahwa kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk melakukan
penangkapan
ikan,
mendukung
operasi
penangkapan
ikan,
pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan.
2.3 Perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ZEE adalah suatu jalur laut yang berada diluar dan berbatasan dengan laut teritorial yang batas terluarnya diukur dari suatu garis pangkal atau surut terendah ke arah laut bebas sejauh tidak melebihi jarak 200 mil laut. ZEE merupakan suatu rezim hukum khusus dimana negara pantai memiliki hak dan kedaulatan untuk melakukan kegiatan eksploitasi dan ekplorasi sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati, termasuk yuridikasi lainnya, sedang kepentingan masyarakat internasional seperti kebebasan berlayar tetap berlaku (Wirjono, 1984). Berdasarkan pengumuman pemerintah RI tanggal 21 mei 1980 tentang ZEE Indonesia dan lahirnya konfensi dewan PBB tentang hukum laut internasional tahun 1982, maka sejak saat itu hak kedaulatan Indonesia atas wilayah perairan
10
laut bertambah sekitar 2,7 juta km2. Dengan demikian maka segala kekayaan sumberdaya yang berada di dalamnya seperti salah satunya sumberdaya hayati laut menjadi hak bangsa Indonesia untuk mengelola dan memanfaatkannya (Dirjen Perikanan, 1994).
2.4 Dasar Hukum Terdapat beberapa dasar hukum yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan sistem pemantauan kapal perikanan atau VMS, yaitu: 1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan pada Pasal 7 ayat 1 butir j ”Dalam mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan” dan Pasal 7 ayat 2 ”Setiap orang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan”; 2) Kepmen Nomor 60/MEN/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di ZEEI pada Pasal 32 Ayat 1 “Kapal perikanan yang diperoleh dengan cara usaha patungan, beli-angsur atau lisensi, wajib memasang transmitter untuk kepentingan sistem pemantauan kapal (Vessel Monitoring System / VMS)”; 3) Permen Nomor 05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap pada Pasal 88 ayat (1) Setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera asing, wajib memasang dan mengaktifkan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan (Vessel Monitoring System / VMS). Ayat (2) Setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia berukuran lebih dari 30 (tiga puluh) GT wajib memasang dan mengaktifkan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan (Vessel Monitoring System/VMS). Ayat (3) Pelaksanaan pemasangan dan pengaktifan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan (VMS) sebagaimana dimaksud ayat 1 dan ayat 2 dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai penyelenggaraan system pemantauan kapal perikanan; 4) Permen Nomor 03/MEN/2007 tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan pada Pasal 8 ayat (1) Persyaratan kelayakan teknis operasional bagi kapal penangkap ikan meliputi keberadaan dan keaktifan alat pemantauan kapal
11
perikanan yang dipersyaratkan. Ayat (2) Bagi kapal perikanan yang dinyatakan tidak memenuhi syarat administrasi dan kelayakan teknis operasional tidak diterbitkan SLO; dan 5) Permen Nomor 05/MEN/2007 tentang Penyelengaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan pasal 11, pasal 12 dan pasal 13. Kapal perikanan Indonesia berukuran 60 GT keatas dan seluruh kapal perikanan asing wajib dilengkapi transmitter yang diadakan sendiri oleh pengguna transmitter.
Kapal
perikanan Indonesia berukuran 60 GT sampai dengan kurang dari 100 GT dapat menggunakan transmitter milik negara sepanjang masih tersedia. Kapal perikanan Indonesia berukuran diatas 30 GT sampai dengan 60 GT wajib dilengkapi transmitter offline. Kapal perikanan Indonesia berukuran 60 GT keatas dan seluruh kapal perikanan Asing yang telah dilengkapi SIPI dan/atau SIKPI dapat dioperasionalkan apabila telah dilengkapi dengan Surat Keterangan Aktivasi Transmitter.
2.5 Code of Conduct for Resposible Fisheries (CCRF) Code of Conduct for Responsible Fisheries atau juga disebut CCRF merupakan hasil kesepakatan dalam konferensi Committee on Fisheries (COFI) ke-28 FAO tanggal 31 Oktober 1995. Di dalam resolusi Nomor : 4/1995 secara resmi mengadopsi dokumen Code of Conduct for Responsible Fisheries, serta meminta FAO berkolaborasi dengan anggota dan organisasi yang relevan untuk menyusun technical guidelines yang mendukung pelaksanaan Code of Conduct for Responsible Fisheries tersebut. Berikut ini adalah prinsip-prinsip umum Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995): 1) Pelaksanaan hak untuk menangkap ikan bersamaan dengan kewajiban untuk melaksanakan hak tersebut secara berkelanjutan dan lestari agar dapat menjamin keberhasilan usaha konservasi dan pengelolaannya; 2) Pengelolaan
sumber-sumber
perikanan
harus
menggalakkan
upaya
mempertahankan kualitas, keanekaragaman hayati dan kelestarian sumbersumber perikanan dalam jumlah yang mencukupi untuk kepentingan generasi sekarang dan akan datang;
12
3) Pengembangan armada perikanan harus mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya sesuai dengan kemampuan reproduksi demi keberlanjutan pemanfaatannya; 4) Perumusan kebijakan dalam pengelolaan perikanan harus didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang terbaik, dengan memperhatikan pengetahuan tradisional tentang pengelolan sumber-sumber perikanan serta habitatnya; 5) Dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumber-sumber perikanan, setiap negara dan organisasi perikanan regional harus menerapkan prinsip kehatihatian (precautionary approach) seluas-luasnya; 6) Alat-alat penangkapan harus dikembangkan sedemikian rupa agar semakin selektif dan aman terhadap kelestarian lingkungan hidup sehingga dapat mempertahankan keanekaragaman dan populasinya; 7) Cara penangkapan ikan, penanganan, pemrosesan dan pendistribusiannya harus dilakukan sedemikian rupa agar dapat mempertahankan nilai kandungan nutrisinya; 8) Habitat sumber-sumber yang kritis sedapat mungkin harus dilindungi dan direhabilitasi; 9) Setiap
negara
harus
mengintegrasikan
pengelolaan
sumber-sumber
perikanannya ke dalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir; 10) Setiap negara harus mentaati dan melaksanakan mekanisme monitoring, controlling and surveillance (MCS) yang diarahkan pada penataan dan pengakuan hukum di bidang konservasi sumber-sumber perikanan; 11) Negara bendera harus mampu melaksanakan pengendalian secara efektif terhadap kapal-kapal perikanan yang mengibarkan benderanya guna menjamin pelaksanaan CCRF ini secara efektif; 12) Setiap negara harus bekerjasama melalui organisasi regional untuk mengembangkan cara penangkapan ikan secara bertanggung jawab, baik di dalam maupun di luar wilayah yuridiksinya; 13) Setiap negara harus mengembangkan mekanisme pengambilan keputusan secara transparan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap pengembangan peraturan dan kebijakan pengelolaan di bidang perikanan;
13
14) Perdagangan perikanan harus diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prisip, hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam persetujuan World Trade Organization (WTO); 15) Apabila terjadi sengketa, setiap negara harus bekerjasama secara damai untuk mencapai penyelesaian sementara sesuai dengan persetujuan internasional yang relevan; 16) Setiap negara harus mengembangkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi melalui pelatihan dan pendidikan, serta melibatkan di dalam proses pengambilan keputusan; 17) Setiap negara harus menjamin bahwa segala fasilitas dan peralatan perikanan serta lingkungan kerjanya memenuhi standar keselamatan internasional; 18) Setiap negara harus memberikan perlindungan terhadap lahan kehidupan nelayan dengan mengingat kontribusinya yang besar terhadap penyediaan kesempatan kerja, sumber penghasilan dan keamanan pangan; serta 19) Setiap negara harus mempertimbangkan pengembangan budidaya perikanan untuk menciptakan keragaman sumber penghasilan dan bahan makanan.
2.6 Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing IUU fishing merupakan kegiatan perikanan yang sangat merugikan dapat mengancam manajemen perikanan yang bertanggung jawab. IUU fishing dapat dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu (Widodo, 2003) : 1) Illegal fishing, mengacu kepada berbagai kegiatan : (1) Dilakukan oleh kapal-kapal nasional atau asing di dalam perairan di bawah yuridikasi suatu negara, tanpa ijin dari negara itu, atau dalam keadaan melawan hukum dan regulasi negara tersebut. (2) Dilakukan oleh kapal-kapal berbendera negara beranggota dari suatu organisasi pengelolaan yang relevan tetapi beroperasi melawan aturanaturan konservasi dan pengelolaan sumberdaya yang diadopsi oleh organisasi tersebut, dimana negara-negara tersebut terikat, atau melawan hukum internasional yang sedang dilaksanakan; atau melanggar hukum nasional, atau kewajiban internasional, termasuk yang dilaksanakan oleh
14
negara-negara yang bekerjasama dengan suatu organisasi pengelolaan yang relevan. 2) Unreported fishing, mengacu pada kegiatan penangkapan : (1) Tidak dilaporkan, atau dilaporkan secara tidak benar (misreported), kepada otoritas nasional yang relevan, bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan; atau (2) Dilakukan di dalam area di bawah kompetensi sebuah organisasi pengelolaan perikanan regional yang tidak dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar, bertentangan dengan prosedur pelaporan dari organisasi tersebut. 3) Unregulated fishing, mengacu pada kegiatan penangkapan : (1) Di dalam area suatu organisasi pengelolaan regional yang dilakukan kapal tanpa nasionalitas, atau oleh kapal dengan bendera suatu negara bukan anggota dari organisasi tersebut, atau oleh suatu fishing entity dengan cara yang tidak konsisten dengan atau melawan aturan konservasi dan pengelolaan organisasi tersebut; atau (2) Di area dari berbagai stok ikan yang berkaitan dengan tiadanya aturan (tindakan) konservasi dan pengelolaan yang diaplikasikan dan dimana aktivitas penangkapan dilakukan dengan cara-cara yang tidak konsisten dengan tanggung jawab negara bagi konservasi sumberdaya hayati kelautan di bawah tanggung jawab hukum internasional. IUU fishing terjadi di wilayah perairan Indonesia karena beberapa alasan, yaitu (Widodo, 2003): 1) Industri
pengolahan
ikan
di
negara-negara
tetangga
membutuhkan
sumberdaya ikan yang cukup banyak agar kegiatan industri dapat tetap berjalan; 2) Sedikitnya jumlah sumberdaya ikan yang dimiliki oleh negara lain; 3) Rasionalisasi kapal perikanan; 4) Perbedaan harga ikan khususnya untuk ikan-ikan ekonomis penting yang menjadi komoditas utama pasar dunia; 5) Sangat terbukanya teritorial perairan Indonesia yang menyebabkan mudahnya akses masuk kapal-kapal penangkapan asing; dan
15
6) Terbatasnya
kapasitas
pengawasan
(wilayah,
sarana
dan
prasarana,
sumberdaya manusia dan dana). Jenis-jenis IUU Fishing yang sering terjadi di Indonesia diantaranya (Latar, 2004): 1) Kegiatan penangkapan ikan tanpa memiliki ijin penangkapan; 2) Penggunaan ijin palsu dalam kegiatan penangkapan ikan; 3) Tidak melaporkan hasil penangkapan ikan di pelabuhan perikanan; 4) Penggunaan alat tangkap yang dilarang digunakan di wilayah perairan Indonesia; 5) Melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan yang dilarang untuk dilakukannya kegiatan penangkapan ikan; dan 6) Melakukan penangkapan ikan di wilayah yang tidak sesuai dengan ijin penangkapan yang telah diberikan. Kasus-kasus pelanggaran penangkapan ikan di wilayah Indonesia terjadi di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan di perairan teritorial Indonesia. Gambar 2 wilayah Indonesia yang menjadi focal point atau wilayah utama sering terjadinya kegiatan IUU fishing adalah Laut Sulawesi bagian utara dan Laut Natuna yang berada di ZEE Indonesia berbatasan dengan Laut Cina Selatan dan Samudera Pasifik, serta Laut Arafura yang berada di bagian timur Indonesia.
Sumber: P2SDKP, 2008
Gambar 2 Wilayah perairan Indonesia terjadinya IUU fishing. 2.7 Monitoring, Controlling and Surveillance (MCS) Monitoring, Controlling and Surveillance (MCS) merupakan salah satu kebijakan manajemen perikanan dalam memerangi masalah IUU fishing yang terjadi di dunia (P2SDKP, 2008). MCS telah disepakati dalam konferensi FAO di Roma dengan uraian sebagai berikut :
16
1) Monitoring : the continuous requirement for the measurement of fishing effort characteristics and resources yield; 2) Control : the regulatory conditions under which the exploitation of the resource may be conducted; dan 3) Surveillance : the degree and types of observation required to maintain with the regulatory control imposed on fishing activities. Pada Gambar 3 dibawah ini merupakan contoh skema MCS yang telah disepakati dalam konferensi FAO.
Sumber: P2SDKP, 2008
Gambar 3 Skema Monitoring, Controlling and Surveillance (MCS). Ditjen Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) mendefinisikan MCS sebagai berikut (Mukhtar, 2008): 1) Monitoring (pemantauan) adalah pencarian dan pengumpulan data, informasi, fakta yang dilakukan setiap saat secara berkelanjutan untuk memperoleh kejelasan serta akibat peristiwa yang terjadi; 2) Controlling (pemeriksaan) adalah upaya menemukan terjadinya sebuah peristiwa yang dilakukan di luar ketentuan perundang-undangan yang berlaku; dan 3) Surveillance (pengamatan) adalah tindakan hukum yang dilakukan terhadap suatu tindak pidana yang disengaja atau tidak disengaja oleh seseorang atau badan hukum.
17
2.8 Pengawasan Handayaningrat (1994) yang dikutip oleh Mansur (2007), menyatakan pengawasan dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan, penyimpangan, ketidaksesuaian, penyelewengan dan lainnya yang tidak sesuai dengan tugas dan wewenang yang telah ditentukan. Tujuan pengawasan adalah agar pelaksanaan pekerjaan diperoleh secara berdaya guna dan berhasil guna sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Berikut adalah macam-macam pengawasan (Handayaningrat, 1994 yang dikutip oleh Mansur, 2007) : 1) Pengawasan dari dalam adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat atau unit pengawasan yang dibentuk dari dalam organisasi itu sendiri, aparat pengawas bertindak untuk dan atas nama pimpinan organisasi.
Aparat
pengawas ini bertugas mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan oleh pimpinan organisasi untuk perbaikan atau kebijaksanaan lebih lanjut; 2) Pengawasan dari luar adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat atau unit dari luar organisasi itu. Aparat atau unit pengawasan bertindak atas nama atasan dari pimpinan organisasi itu, atau atas nama pimpinan organisasi itu atas permintaannya; 3) Pengawasan
preventif
adalah
pengawasan
sebelum
suatu
rencana
dilaksanakan, pengawasan untuk mencegah terjadinya kekeliruan, kesalahan dalam pelaksanaan kegiatan; serta 4) Pengawasan represif, pengawasan kapal ikan dimaksudkan untuk memastikan bahwa tidak terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam pelaksanaan ijin oleh kapal ikan tersebut, berupa surveillance dengan cara melakukan pemeriksaan secara langsung pelaksanaan kegiatan kapal ikan tersebut di laut. Metode pengawasan terdiri dari enam jenis (Handayaningrat, 1994 yang dikutip oleh Mansur, 2007) : 1) Pengawasan langsung adalah apabila aparat pengawasan atau pimpinan organisasi melakukan pemeriksaan langsung pada tempat pelaksanaan pekerjaan, baik dengan sistem inspektif, verifikatif, maupun investigative. Metode ini dimaksudkan agar segera dapat dilakukan tindakan perbaikan dan penyempurnaan dalam pelaksanaan pekerjaan;
18
2) Pengawasan tidak langsung adalah apabila aparat pengawasan atau pimpinan organisasi melakukan pemeriksaan pelaksanaan pekerjaan hanya melalui laporan-laporan yang masuk padanya. Laporan dapat berupa deretan angkaangka statistik dan lain-lain tentang kemajuan pelaksanaan pekerjaan. Kelemahan laporan ini tidak segera mengetahui kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan pekerjaan sehingga dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar; 3) Pengawasan formal adalah pengawasan yang dilakukan oleh unit atau aparat pengawas yang bertindak atas nama pimpinan organisasi itu atau atasan dari pimpinan organisasi tersebut. Dalam pengawasan ini telah diatur prosedur, hubungan dan tata kerja, dan periode waktunya. Aparat pengawasan ini harus melakukan pengawasan dan pelaporan pengawasannya secara periodik, laporan harus disertai saran-saran perbaikan atau penyempurnaan; 4) Pengawasan informal adalah pengawasan yang tidak melalui saluran formal atau prosedur yang telah ditentukan.
Pengawasan informal ini biasanya
dilakukan oleh Pejabat Pimpinan dengan melalui kunjungan yang tidak resmi (pribadi), atau secara incognito.
Hal ini berguna untuk menghindari
kekakuan hubungan antara atasan dan bawahan, sehingga tercipta suasana keterbukaan dalam memperoleh informasi tentang pelaksanaan pekerjaan, usul dan saran-saran dari bawahan; 5) Pengawasan administratif adalah pengawasan meliputi bidang keuangan, kepegawaian dan material; dan 6) Pengawasan teknis adalah pengawasan terhadap hal-hal yang bersifat fisik, misalnya pemeriksaan terhadap pembangunan gedung, pembuatan kapal dan sebagainya. Prinsip-prinsip pengawasan (Handayaningrat, 1994 yang dikutip oleh Mansur, 2007) adalah : 1) Pengawasan berorientasi pada tujuan organisasi; 2) Pengawasan harus objektif, jujur dan mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi; 3) Pengawasan
harus
berorientasi
pada
kebenaran
menururt
peraturan
perundangan yang berlaku (wetmatigheid), berorientasi pada kebenaran atas
19
prosedur yang telah ditetapkan (rechtmatigheid), dan berorientasi terhadap tujuan atau manfaat dalam pelaksanaan pekerjaan (doelmatifheid); 4) Pengawasan harus menjamin daya guna dan hasil guna pekerjaan; 5) Pengawasan harus berdasarkan atas standar yang objektif, teliti dan tepat; 6) Pengawasan harus bersifat terus menerus; dan 7) Hasil pengawasan harus dapat memberikan umpan balik terhadap perbaikan dan penyempurnaan pelaksanaan, perencanaan dan kebijaksanaan di masa depan.
2.9 Pengawasan Kapal Perikanan Pengawasan kapal perikanan adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pengawas yang ditunjuk oleh Menteri Kelautan dan Perikanan atau Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dan Gubernur Propinsi atau pejabat yang ditunjuk atas nama pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap kapal perikanan yang masuk, membongkar ikan hasil tangkapan serta kapal perikanan yang keluar pelabuhan dengan tata cara dan prosedur sebagaimana ditetapkan. Pelaku utama pengawasan kapal perikanan adalah pemerintah atau petugas yang ditunjuk atas nama pemerintah.
Pertimbangan pemerintah utamanya adalah
efektifitas dan bukan efesiensi, karena sulit untuk mengukur efisiensi dalam pekerjaan pemerintah (Handayaningrat 1994 yang dikutip oleh Mansur 2007). Gambar 4 merupakan pangkalan kapal pengawas yang tersebar di beberapa pelabuhan di Indonesia.
HIU 007
HIU 006 TARAKAN
BELAWAN
HIU 002
BITUNG
GORONTALO BUNGUS
BARRACUDA 01
PAOTERE
TODAK 02
HIU 008
MARLIN 08
HIU 001
SORONG
KETAPANG
BARRACUDA 02
KOTABARU
MARLIN 07
KENDARI
TODAK 01 MARLIN 05
MUNA
HIU MACAN 001 HIU 003
MARLIN 09
MANOKWARI
BANJARMASIN
TG. PANDAN
MARLIN 11
MARLIN 04 HIU MACAN 002
JAKARTA
TUAL
SEMARANG CILACAP
TIPE KAPAL PENGAWAS:
MARLIN 03
KP. HIU MACAN (36 METER)
MARLIN 01 & 02 MARLIN 10 BENOA
MATARAM
MERAUKE
BIMA
MARLIN 06
HIU 004
KUPANG
KP. HIU (28 METER)
HIU 005
KP. TODAK (18 METER) KP. BARRACUDA (17 METER) MARLIN (SPEEDBOAT)
PANGKALAN KAPAL PENGAWAS DITJEN PSDKP
Sumber: P2SDKP, 2008
Gambar 4 Pangkalan kapal pengawas DITJEN PSDKP.
20
Pengawasan kapal ikan sebagai pengawasan represif dapat menggunakan beberapa sistem (Handayaningrat, 1994 yang dikutip oleh Mansur, 2007) yaitu : 1) Sistem komparatif yaitu mempelajari laporan penangkapan ikan (Fishing Log Book) dibandingkan dengan lamanya trip penangkapan dan jenis ikan yang tertangkap,
mengadakan
analisa
dan
memberikan
penilaian
serta
penyempurnaan; 2) Sistem verifikatif yaitu pemeriksaan berdasarkan pedoman atau petunjuk teknis dan dibuat laporan periodik, melihat perkembangan dan penilaian hasil pelaksanaan serta memutuskan tindakan-tindakan lebih lanjut; 3) Sistem inspektif yaitu dengan cara mengecek kebenaran dari suatu laporan penangkapan ikan dengan pemeriksaan di tempat (on the spot inspection); dan 4) Sistem investigative yaitu pemeriksaan dengan titik berat pada penyelidikan atau penelitian yang lebih mendalam terhadap indikasi adanya pelanggaran perikanan, baik dari laporan masyarakat atau laporan dari masyarakat atau dari pengamatan langsung di lapangan, tujuannya untuk memberi keyakinan tentang kebenaran laporan atau dugaan pelanggaran yang telah diterima sebelumnya. Keempat sistem tersebut saat ini digunakan dalam pelaksanaan kebijakan pengawasan kapal ikan di Indonesia. Kebijakan tersebut dikenal dengan sistem MCSI yang merupakan singkatan dari Monitoring, Controlling, Surveillance, and Investigation.
2.10 Persepsi 2.10.1 Definisi Persepsi Persepsi (perception) dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana cara orang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas adalah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana cara seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Leavitt, 1978). Persepsi secara umum bergantung pada faktor-faktor perangsang, cara belajar, keadaan jiwa atau suasana hati, dan faktor-faktor motivasional. Menurut Sukmalana (2004) yang dikutip oleh Herryanto (2008) persepsi adalah proses pemberian arti (kognitive) terhadap lingkungan oleh seseorang
21
kepada stimulus. Demikian setiap individu yang berbeda akan melihat hal yang sama dengan cara yang berbeda-beda. Maka arti suatu objek atau suatu kejadian objektif ditentukan baik oleh kondisi perangsang maupun faktor-faktor organisme. Dengan alasan demikian, persepsi mengenai dunia oleh pribadi-pribadi yang berbeda juga akan berbeda karena setiap individu menanggapinya berkenaan dengan aspek situasi yang mengandung arti khusus sekali bagi dirinya. 2.10.2 Faktor yang mempengaruhi persepsi Persepsi pada prinsipnya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Selain itu faktor lain yang mempengaruhi proses persepsi adalah faktor stimulus itu berlangsung (faktor eksternal). Sedangkan salah satu faktor internal yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah usia. Karakteristik populasi seperti usia, kecerdasan, karakteristik biologis, mempengaruhi persepsi anggota-anggota populasi itu (Rakhmat, 2003). Setiap orang punya persepsi yang berbeda-beda, (Yuniarti, 2000 yang dikutip oleh Herryanto, 2008) hal itu disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: 1) Keadaan pribadi yang mempersepsikan Hal ini adalah suatu faktor yang terdapat dalam diri seseorang. Kebutuhan akan sesuatu, suasana hati, pengalaman akan masa lalu mempengaruhi persepsi seseorang terhadap sesuatu hal. 2) Karakteristik target yang dipersepsikan Hubungan antar target dan latar belakang serta kedekatan akan beberapa hal yang dipersepsikan juga dapat mempengaruhi pandangan seseorang terhadap sesuatu. 3) Konteks terjadinya persepsi Waktu ataupun faktor-faktor eksternal yang lain seperti lokasi memiliki kekuatan untuk membuat persepsi seseorang akan sesuatu objek menjadi berbeda dengan persepsi orang lain yang juga memandang sesuatu objek yang sama. Ketiga faktor di atas dapat menyebakan berbedanya persepsi setiap orang terhadap objek yang sama. Faktor yang paling mendasar mempengaruhi persepsi seseorang terhadap dunia menurut Leavitt (1978), adalah relevansinya terhadap kebutuhan dirinya, dimana besar kecenderungan seseorang melihat sesuatu berarti
22
jika hal-hal itu mereka anggap dapat memenuhi kebutuhan mereka dan mengabaikan hal-hal yang mengganggu mereka, serta kemudian melihat pada gangguan yang berlangsung lama dan cenderung meningkat.
Kecenderungan
diperolehnya persepsi atau pandangan yang berbeda-beda dari beberapa orang terhadap suatu objek yang sama wajar. Dalam pembahasannya mengenai persepsi sosial, Rakhmat (2003) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dapat dirinci sebagai berikut: 1) Faktor stimuli yang terdiri dari nilai, familiaritas, arti emosional, dan intensitas; 2) Faktor yang berhubungan dengan ciri-ciri khas kepribadian seseorang; 3) Faktor pengaruh kelompok; dan 4) Faktor perbedaan latar belakang kultural yang menyangkut antara lain: kekayaan bahasa dan pembentukkan konsep-konsep serta pengalaman khusus seseorang anggota kebudayaan tertentu. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Caphlin (1999) yang dikutip oleh Herryanto (2008) adalah: 1) Kemampuan dan keterbatasan fisik dari alat indera dapat mempengaruhi persepsi untuk sementara waktu maupun permanen; 2) Kondisi lingkungan; 3) Pengalaman masa lalu. Bagaimana cara individu untuk menginterpretasikan atau bereaksi terhadap suatu stimulus tergantung dari pengalaman masa lalunya; 4) Kebutuhan dan keinginan. Ketika seseorang individu membutuhkan atau menginginkan sesuatu maka ia akan terus berfokus pada hal-hal yang dibutuhkan dan diinginkannya tersebut; dan 5) Kepercayaan, prasangka, dan nilai. Individu akan lebih memperhatikan dan menerima orang lain yang memiliki kepercayaan dan nilai yang sama dengannya.
3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama adalah pengumpulan data yang dilaksanakan pada bulan Juni hingga Agustus 2009 di Fisheries Monitoring Centre (FMC) Direktorat P2SDKP Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta Pusat, dan Pangkalan Pengawasan P2SDKP di PPS Nizam Zachman Jakarta. Tahap kedua adalah tahap pengolahan data dan penulisan yang dilakukan pada bulan September hingga Oktober 2009.
3.2 Metode Penelitian Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study). Studi kasus merupakan cara yang logis dan individu-individu yang diteliti dibandingkan dan dianalisis (Myers, 1999 yang dikutip oleh Herryanto, 2008). Menurut Suryabrata (1995) yang dikutip oleh Herryanto (2008), keunggulan penelitian kasus terutama sangat berguna untuk informasi mengenai latar belakang permasalahan guna perencanaan penelitian yang lebih besar karena intensif sifatnya dan studinya menerangkan variabel-variabel yang penting, proses-proses dan interaksi-interaksi yang memerlukan perhatian lebih luas. Studi kasus bertujuan untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus ataupun status dari individu yang kemudian dari sifat-sifat khas diatas akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum (Nazir, 1985). Penelitian ini menggunakannya metode studi kasus bertujuan agar mampu menggambarkan dan menganalisis sistem kerja Vessel Monitoring System yang telah dijalankan serta menganalisis persepsi pelaku perikanan baik nelayan, pemilik usaha perikanan, maupun pengawas perikanan. Untuk itu dilakukan pengamatan langsung dan wawancara dengan pihak yang terkait.
3.3 Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua jenis yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer dikumpulkan dengan melakukan wawancara
24
kepada pengawas kapal perikanan yang berada di PPS Nizam Zachman maupun di Fisheries Monitoring Centre (FMC) serta unit kerja yang berhubungan dengan VMS dan kepada pelaku perikanan (nelayan ABK, kapten kapal, pemlik kapal) yang telah menggunakan transmitter pada kapalnya. Wawancara ini dimaksudkan untuk mengetahui pendapat mereka dan mendapatkan gambaran terkait dengan sistem pemantauan kapal perikanan. Serta mengetahui permasalahan mendasar dalam pelaksanaan dan pengembagan serta solusi yang diambil untuk mengatasi permasalahan. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain data keaktifan transmitter. Data sekunder ini merupakan data dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebelum dan setelah dilakukannya sistem pengawasan kapal perikanan.
3.4 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan
data
yang digunakan dalam penelitian
ini
menggunakan teknik purposive sampling. Teknik ini digunakan untuk menentukan responden dalam melakukan wawancara. Responden yang dipilih telah ditentukan sebelumnya menjadi nelayan ABK, kapten kapal, pemilik kapal yang telah memasang transmitter pada kapalnya. Ini untuk mengetahui tanggapan (persepsi) dari pelaku perikanan tentang Vessel Monitoring System. Wawancara kepada pengawas perikanan dilakukan untuk mengetahui kinerja dari VMS yang telah dilakukan hingga saat ini.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Hasil
4.1.1 Sistem pemantauan kapal perikanan Sistem pemantauan kapal perikanan ini merupakan sistem pemantauan dengan menggunakan satelit dan peralatan transmitter yang ditempatkan pada kapal perikanan. Di dalam sistem pemantauan kapal perikanan memiliki sistem kerja yang dibagi menjadi tiga berdasarkan pelakunya yaitu sebagai pemasang dan penyedia layanan, pemantau, dan penindak. Pemasang dan penyedia layanan dilakukan oleh provider. Provider sebagai penyedia layanan bertugas menyediakan transmitter dan layanan satelit dalam pelaksanaanya. Sebagai pemasang, provider bertugas melakukan pemasangan unit-unit transmitter ke setiap kapal perikanan yang telah diwajibkan untuk memasang. Akan tetapi terkadang pula pemasangan transmitter dilakukan oleh pengawas di tiap-tiap pelabuhan. Pemantau dalam sistem pemantauan kapal perikanan dilakukan oleh pengawas atau operator di Fisheries Monitoring Centre (FMC) atau sekretariat VMS dan pengawas di pelabuhan. Operator melakukan pemantauan dengan mengamati pergerakkan kapal-kapal perikanan yang telah memasang transmitter dari layar monitor. Operator menganalisis setiap pergerakkan kapal berdasarkan data-data kapal yang telah divalidasi. Selain pengawas di FMC terdapat juga pengawas di pelabuhan yang bertugas memeriksa kondisi transmitter yang ditempatkan di setiap kapal perikanan. Penindak di dalam sistem pemantauan kapal perikanan adalah Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP). Dirjen P2SDKP memiliki tugas mengambil keputusan dalam kegiatan sistem pemantauan kapal perikanan jika terjadi pelanggaran kapal perikanan yang berada di Indonesia. Keputusan tersebut dilakukan berdasarkan laporan dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh operator di sekretariat VMS. Sistem pemantauan kapal perikanan atau Vessel Monitoring System (VMS) telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2003. Di tahun 2007, sistem ini berubah dan berkembang. Pengaturan penggunaan transmitter dibedakan menjadi
26
dua, transmitter online dan transmitter offline. Penggunaan transmitter online berlaku bagi Kapal Ukan Indonesia (KII) berukuran 60GT keatas dan seluruh Kapal Ikan Asing (KIA), sedangkan transmitter offline dipasangkan pada kapal berukuran 30GT hingga 60GT. Rangkaian cara kerja dari sistem pemantauan kapal perikanan ini adalah sebagai berikut : 1) Setiap Kapal Perikanan Asing (KIA) dan Kapal Ikan Indonesia (KII) di atas 60 GT wajib memasang transmitter pada kapalnya; 2) Transmitter yang telah terpasang akan mengirimkan sinyal kepada satelit provider masing-masing. Pengiriman sinyal dilakukan secara otomatis oleh transmitter dengan interval waktu satu jam; 3) Sinyal-sinyal yang diterima oleh satelit teruskan atau dikirimkan kembali ke processing centre untuk diolah data-data yang telah dikirimkan satelit. Lokasi processing centre ini berbeda-beda tergantung provider. Untuk argos lokasinya berada di Perancis dan inmarsat di Inggris; 4) Setelah diolah menjadi data-data posisi kapal, kemudian data dikirimkan ke pusat pemantauan kapal perikanan. Di FMC, data tersebut diolah serverserver yang dimiliki untuk dapat tampilan gambar pergerakan kapal serta data-data lainnya; 5) Di FMC data kapal di analisis. Jika terdapat pelanggaran maka akan dilakukan pemeriksaan; 6) Tampilan posisi kapal yang telah diterima FMC, kemudian akan di beritahukan kepada para pemilik kapal. Ini dilakukan dengan menggunakan fasilitas website yang dikelola oleh FMC; dan 7) Pemilik yang ingin mengetahui posisi kapalnya dapat mengakses website ke http://VMSdkp.dkp.go.id, dapat dilihat pada Lampiran 1. Tampilan yang dapat dilihat oleh pemilik berupa gambar sejarah pergerakan kapal beserta posisinya. Pelanggaran yang dilakukan oleh kapal perikanan dapat terpantau melalui pergerakkan kapal di layar pengawasan FMC. Pelanggaran-palanggaran yang terpantau adalah pelanggaran yang dilakukan pada saat pengawasan ataupun
27
pelanggaran yang dilakukan di waktu yang lampau. Pelanggaran yang dilakukan kapal perikanan seperti : 1) Mematikan transmitter secara disengaja; 2) Menggunakan alat tangkap yang dilarang; 3) Melakukan penangkapan di wilayah yang tidak sesuai izin penangkapan; 4) Melakukan penangkapan di wilayah yang dilarang; 5) Melakukan penangkapan atau kapal berlayar melewati wilayah ZEE Indonesia; 6) Melakukan ketidaktaatan berlabuh di pelabuhan pangkalan; dan 7) Melakukan transshipment.
4.1.2 Provider Provider merupakan suatu perusahaan yang bekerjasama dengan pemerintah dalam menyelenggarakan sistem pemantauan kapal perikanan.
Provider
bekerjasama dalam menyediakan alat dan perlengkapan komunikasi sistem satelit. Provider yang bekerjasama kini berjumlah empat perusahaan provider. Keempat perusahaan tersebut adalah PT. CLS Argos Indonesia, PT. Amalgam Indocorpora, PT. SOG Indonesia, dan PT. Pasifik Satelit Nusantara. Tiga dari empat provider tersebut adalah perusahaan swasta asing yang berada di Indonesia. Jumlah provider yang bekerjasama dengan pemerintah tersebut merupakan perbaikan atau peningkatan dalam pelaksanaan sistem pemantauan kapal perikanan. Pada awal pelaksanaan periode pertama sistem ini yaitu tahun 2003 hingga 2006, provider yang bekerjasama hanya PT. CLS Argos Indonesia. Provider ini menyediakan segala kebutuhan alat transmitter dan sarana sistem satelit untuk kapal perikanan dan pusat pemantauan kapal perikanan dalam melaksanakan sistem ini. Pada periode kedua pelaksanaannya, pemerintah telah bekerjasama dengan empat provider. Akan tetapi hanya tiga provider yang telah aktif dalam pelaksanaanya. PT. Amalgam Indocorpora hingga saat ini belum aktif dalam kegiatan sistem pemantauan kapal perikanan. Provider-provider tersebut memiliki peranan dalam menyediakan alat dan sarana komunikasi yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan.
Provider menyediakan kebutuhan transmitter yang akan
28
dipasangkan pada kapal-kapal perikanan. Dalam satu unit transmitter tersebut memiliki kelengkapan seperti: 1) Kabel catu daya; 2) Kabel data; 3) Junction box (Lampiran 2); 4) Bracket; 5) Tiang; dan 6) Buku petunjuk. Satelit dan tipe transmitter yang dimiliki oleh setiap perusahaan berbedabeda dapat dilihat pada Lampiran 3. Satelit ini berfungsi sebagai alat dan sarana komunikasi dalam pemantauan kapal perikanan. Tipe transmitter yang disediakan merupakan keputusan hasil kerjasama dengan pemerintah.
Setiap transmitter
dilengkapi dengan nomor ID yang diberikan oleh pihak provider. Nomor ID tersebut berbeda-beda pada setiap transmitter. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesamaan penomoran ID transmitter pada kapal yang berbeda. Karena nomor ID yang sama akan membuat kesalahan analisis yang akan dilakukan oleh pengawas. Dapat dilihat pada Tabel 1 Satelit dan tipe transmitter tersebut adalah : Tabel 2 Daftar penyedia transmitter VMS No Nama perusahaan 1 2 3
4
Satelit
PT. CLS Argos Indonesia PT. Amalgam Indocorpora PT. SOG Indonesia
ARGOS
Tipe transmitter Mar-GE
Iridium
Iridium
Inmarsat C Inmarsat D+
PT. Pasifik Satelit Nusantara
Garuda 1
Thrane & Thrane mini C Satamatic D+ (SAT 201) Byru Marine Tracking
ID transmitter 5 angka
Dimulai angka 496
Dimulai angka 8681
Sumber: Ditsarpras pengawasan, 2008.
Provider mengeluarkan surat keterangan aktivasi.
Surat tersebut
dikeluarkan setelah dilaksanakannya pemasangan transmitter dan pembayaran airtime oleh pemilik kapal atau pengguna transmitter.
Transmitter yang
29
dibuatkan surat keterangan aktivasi yaitu transmitter yang telah terpasang dan diaktifkan di atas kapal. Harga satu unit transmitter berbeda pada setiap transmitter. Harga tersebut berkisar dua puluh juta hingga dua puluh lima juta untuk satu unit transmitter. Selain itu terdapat pula biaya airtime transmitter yang harus dibayarkan oleh pengguna. Biaya airtime berkisar enam juta hingga tujuh juta setiap transmitter. Biaya tersebut merupakan biaya yang harus dibayarkan oleh pengguna untuk penggunaan transmitter yang telah mengirimkan sinyal setiap satu jam. Pembayaran tersebut dilakukan untuk jangka waktu satu tahun penggunaan.
4.1.3 Pusat pemantauan kapal perikanan Pusat pemantauan kapal perikanan adalah tempat pemantauan dan pengelolaan sistem pemantauan kapal perikanan. Di Indonesia, pusat pemantauan kapal perikanan ini berada di Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta. Selain Fisheries Monitoring Centre (FMC), Direktorat Jenderal Pengawasan memiliki dua Regional Monitoring Centre (RMC) yang berada di Batam dan Ambon. Fisheries Monitoring Centre (FMC) di Indonesia terletak di Sekretariat VMS Departemen Kelautan dan Perikanan. Sekretariat VMS merupakan tim kerja yang berada di bawah tanggung jawab Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan yang bertugas untuk menangani operasional pelaksanaan VMS. FMC bertugas memantau dan mengawasi kegiatan kapal perikanan yang melakukan operasi penangkapan di perairan Indonesia. Kegiatan ini berlaku bagi kapal-kapal yang telah memasang transmitter pada kapal.
Hal ini untuk
mengawasi indikasi tindak pelanggaran yang dilakukan oleh kapal penangkapan ikan. Selain itu pusat pemantauan kapal perikanan juga mengelola website yang digunakan sebagai fasilitas kepada pemilik kapal untuk mengakses posisi kapalnya. 1) Keadaan pusat pemantauan kapal perikanan FMC memiliki delapan unit perangkat komputer yang digunakan untuk memantau kapal perikanan yang sedang beroperasi dapat dilihat pada Lampiran 4. Komputer tersebut digunakan oleh masing-masing operator dalam melakukan pengawasan.
Selain komputer untuk proses pengawasan kapal, FMC juga
30
memiliki empat unit komputer yang digunakan sebagai server. Serta tujuh unit komputer yang digunakan untuk pengentrian database kapal yang telah mendaftarkan ke sekretariat dan untuk kepentingan pembuatan laporan hasil pemantauan.
FMC juga memiliki satu unit monitor layar lebar yang dapat
digunakan sewaktu-waktu jika dibutuhkan ketika proses pengawasan. Pusat pemantauan kapal perikanan memiliki sepuluh unit server, dapat dilihat pada Lampiran 5. Server-server tersebut digunakan untuk menjalankan program dan sebagai database untuk kapal-kapal perikanan yang telah mendaftarkan transmitternya ke sekretariat VMS. Server beroperasi selama dua puluh empat jam dalam seharinya tanpa henti. Setiap satu unit server hanya menjalankan satu program yang ada di FMC. Di dalam melakukan pemantauan, FMC menggunakan program-program software yang dapat membaca data yang masuk ke Pusat Pemantauan Kapal Perikanan. FMC menggunakan software Terravision untuk menampilkan data kapal pada layar monitor. Data tersebut adalah data posisi kapal, pergerakan kapal, kecepatan, ID transmitter, nama kapal. Dari data tersebut pengawas dapat menganalisis kegiatan kapal tersebut. Selain software Terravision, sistem pengawasan ini didukung juga dengan software lain seperti Display x, Indonesian Map 007i, Traffic table, DB Eksplorer, dan DB Mapper. Fungsi software-software ini ialah untuk mendukung kerja Terravision, seperti Indonesian Map 007i untuk menampilkan peta wilayah Indonesia yang merupakan wilayah pengawasan kapal perikanan di perairan Indonesia. Software lain berfungsi untuk menyimpan data tentang kapal-kapal yang telah memasang transmitter. Hasil yang ditampilkan pada layar monitor dapat beragam tergantung kebutuhan pengawasan.
Posisi kapal, ID transmitter, nama kapal, kecepatan
kapal, tanggal serta pergerakannya dapat dilihat. Namun pada umumnya data yang ditampilkan posisi kapal, tanggal dan pergerakannya.
Hal ini karena
pengawas hanya akan menganalisis pergerakan kapal yang diindikasi melakukan pelanggaran. Pergerakan yang ditampilkan pada layar monitor ditunjukan dengan bentuk garis. Kapal yang bergerak akan digambarkan dengan garis lurus. Garis-garis ini
31
merupakan hasil dari sinyal yang dikirimkan transmitter. Pada setiap jamnya transmitter akan mengirimkan sinyal, dan interval waktu tersebut dihubungkan dengan garis pada layar monitor. Garis-garis tersebut menyatakan posisi terakhir kapal tersebut berada. Tampilan garis pergerakan kapal juga berhubungan dengan kecepatan kapal tersebut bergerak yang dapat dilihat pada gambar 5. Garis pada tampilan tersebut memiliki warna yang mengartikan besar kecepatan kapal bergerak.
Arti dan
Warna-warna tersebut adalah: 1) Hijau, kecepatan > 4 knots; 2) Hijau tua, kecepatan 3 – 4 knots; 3) Coklat, kecepatan 2 – 3 knots; 4) Merah tua, kecepatan 1 – 2 knots; dan 5) Merah, kecepatan 0 knots.
Sumber: P2SDKP, 2008
Gambar 5 Warna pola pergerakan kapal. . Pusat pemantauan kapal perikanan atau disebut juga sekretariat VMS memiliki sembilan orang petugas pengawasan, satu orang petugas server, dan satu orang kepala sekretariat VMS yang bertanggung jawab atau semua kegiatan di Sekretariat VMS. Petugas server bertugas menangani server yang rusak dan menjaga agar dapat bekerja dengan baik.
Petugas pengawasan atau operator
32
tersebut bertugas mengawasi kapal perikanan sesuai dengan jenis alat tangkapnya. Masing-masing operator menangani kapal dengan jenis alat tangkap tertentu. Selain itu pengawasan yang dilakukan, operator melakukan pengentrian data kapal. Berikut kapal dengan jenis alat tangkapnya yang telah diklasifikasikan untuk masing-masing operator seperti dapat dilhat pada Tabel 2.
Tabel 2 Pembagian operator berdasarkan alat tangkap No 1 2 3
Jenis alat tangkap Bouke ami
Operator Deddy
Jaring insang (gillnet) Jaring insang (gillnet) hanyut organik Pancing cumi
Nanang Bambang
Hand line 4
Huhate (pole and line)
Totok
Payang Pancing rawai dasar
5
Pengangkut atau pengumpul
Aning
6
Pukat ikan
Atik
7
Pukat udang
Ferry
Purse seiner Purse seine (pukat cincin) besar 8
Purse seine (pukat cincin) kecil Purse seine PB armada (light)
Herry
Purse seine PB armada (pengangkut) Purse seine PK armada (pengangkut) 9
Rawai tuna (tuna longline)
Danang
Sumber : Sekretariat VMS, 2009
Petugas operator bertugas mengawasi kapal perikanan setiap hari selama jam kerja (Senin-Jum’at).
Akan tetapi petugas operator juga melakukan
pengawasan jika diperlukan selain di jam kerjanya.
Setiap operator harus
melakukan pengentrian database kapal-kapal perikanan berdasarkan alat tangkap
33
yang menjadi tanggung jawabnya masing-masing. Jumlah kapal yang banyak membuat kerja operator dalam pemantauan menjadi kurang optimal. 2) Cara kerja pusat pemantauan kapal perikanan Setiap minggunya setiap operator membuat laporan analisa dari hasil pengamatan minimal dua laporan analisa. Hasil laporan analisis yang dibuat oleh operator wajib disampaikan kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. diserahkan satu kali dalam seminggunya.
Laporan-laporan tersebut
Direktur Jenderal Pengawasan dan
Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, dan Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan wajib melakukan evaluasi kegiatan tersebut dari laporan-laporan yang telah diberikan.
Hasil
evaluasi tersebut kemudian wajib dilaporkan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan sekurang-kurangnya satu kali dalam tiga bulan. Jika didapatkan terjadi tindak pelanggaran yang dilakukan atau transmitter yang tidak aktif, maka operator wajib memberitahukan kepada nakhoda atau pemilik kapal dan membuat laporannya.
Laporan tentang pemantauan wajib dilaporkan kepada Direktur
Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Laporan tersebut seperti terjadinya indikasi terjadinya pelanggaran kapal perikanan. Pelanggaran tersebut dapat diketahui oleh operator setelah dianalisis. Kegiatan analisis tersebut dilakukan dengan sangat teliti melihat data yang diperoleh pusat pemantauan kapal perikanan. Cara menganalisis dan menetapkan kapal terbukti melakukan pelanggaran berbeda-beda. Keahlian dan pengalaman dalam menganalisis tindak pelanggaran sangat dibutuhkan dalam hal ini. Cara menganalisis tersebut adalah: (1) Mematikan transmitter secara disengaja Operator menetapkan bahwa kapal perikanan melakukan pematian transmitter secara disengaja dengan melihat pergerakan dan kecepatan kapal yang tiba-tiba menjadi nol knot. Hal ini ditandai dengan garis berwarna merah. Sinyal akan kembali diterima dan tampilan di layar akan membentuk garis lurus berwarna merah. Akan tetapi matinya transmitter dapat terjadi karena kerusakan.
34
Maka sebelum menetapkan pelanggaran operator memberitahu dan menanyakan terlebih dahulu kondisi transmitter. (2) Menggunakan alat tangkap yang dilarang Penggunaan alat tangkap yang dilarang dapat diketahui dengan melihat data kapal yang telah didaftarkan. Jenis alat tangkap apa yang digunakan kapal pada awal pendaftarannya. Jika digunakan alat tangkap yang dilarang dapat diketahui dengan
pergerakan
dan
kecepatan
kapal
dalam
melakukan
operasi
penangkapannya. (3) Melakukan penangkapan yang tidak sesuai dengan izin penangkapan Penentuan pelanggaran ini diketahui dengan melihat wilayah operasi dilakukanya penangkapan yang dicocokkan dengan jenis alat tangkap dan ukuran GT kapal.
Alat tangkap dan ukuran GT kapal telah diatur wilayah
penangkapannya.
Kapal-kapal yang telah mengajukan izin terhadap wilayah
penangkapannya akan ditetapkan telah melakukan pelanggaran dan akan diberi sanksi. (4) Melakukan penangkapan di wilayah yang dilarang. Operator menetapkan pelanggaran telah dilakukan oleh kapal yang melakukan penangkapan di wilayah yang dilarang. Hal ini dibuktikan dengan pergerakan penangkapan yang dilakukan apakah dilakukan di wilayah yang dilarang beroperasinya alat tangkap tersebut.
Jika terbukti operator langsung
menetapkan kapal tersebut melakukan pelanggaran dan membuat laporannya. (5)
Melakukan penangkapan atau kapal berlayar melewati wilayah ZEE Indonesia. Kapal-kapal dengan ukuran GT tertentu dilarang untuk melakukan
penangkapan melewati wilayah ZEE Indonesia. Jika hal tersebut dilakukan, maka kapal tersebut terbukti telah melanggar peraturan. Operator mencocokan data kapal yang dimiliki dengan pergerakan yang telah dilakukannya. (6) Melakukan ketidaktaatan berlabuh di pelabuhan pangkalan. Pada saat pendaftaran, kapal perikanan juga mencantumkan pelabuhanpelabuhan yang menjadi tempat pendaratan hasil tangkapannya. Petugas operator bertugas mengawasi ketaatan kapal perikanan tersebut agar mendaratkan hasil tangkapan hanya di pelabuhan yang telah didaftarkan sebagai lokasi pendaratan.
35
Jika diketahui terdapat kapal yang melakukan pendaratan atau berhenti di pelabuhan lain, maka kapal tersebut telah melakukan pelanggaran.
Tugas
operator untuk menetapkan dan membuatkan laporan yang berisikan bahwa kapal tersebut telah melakukan pelanggaran. (7) Melakukan transshipment. Transshipment atau penjualan ikan di tengah laut secara ilegal merupakan salah satu pelanggaran yang cukup sering terjadi. Operator berkewajiban untuk mengawasi agar tindakan ini tidak terjadi. Petugas yang mengawasi dari layar monitor pengawasan dapat mengetahui tindakan transshipment dengan pergerakan dan posisi kapal yang merapat kepada kapal lain dengan kurun waktu yang cukup lama. Tampilan gambar tersebut diyakini petugas bahwa kapal telah menjual hasil tangkapannya. Petugas membuat laporan tentang terjadinya pelanggaran transshipment dengan bukti yang dimiliki. Akan tetapi terdapat pengecualian untuk kapal-kapal yang bertindak sebagai pengangkut untuk kapal-kapal kelompoknya. Kapal pengangkut tersebut menerima hasil tangkapan dari kapalkapal yang menjadi kelompoknya. Tindakan tersebut dibenarkan pelaksanaannya oleh Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Perikanan. Pusat pemantauan kapal perikanan dapat memberikan laporan rekaman pergerakan kapal ketika dibutuhkan saat proses penegakan hukum di persidangan. Rekaman tersebut sebagai barang bukti dalam persidangan untuk kasus pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal perikanan. Hal ini dilakukan untuk memperkuat tindakan yang telah dilakukan kapal perikanan ketika melakukan pelanggaran. Selain itu petugas pengawasan di FMC juga dapat dijadikan saksi ahli selama proses persidangan. Pusat pemantauan kapal perikanan melayani perusahaan atau pemilik kapal yang ingin mendaftarkan transmitternya. Pelayanan ini dilakukan dari hari senin hingga jum’at selama jam kerja. Pendaftaran dilakukan dengan mengisi buku acara tentang maksud dan tujuannya terlebih dahulu. Petugas yang menerima permohonan tersebut akan mencek kelengkapan pendaftaran sesuai dengan syarat telah ditentukan. Lengkapnya berkas dokumen pendaftaran yang diberikan akan diterima dan diberikan kepada operator yang menangani kapal berdasarkan alat tangkapnya. Operator akan memeriksa apakah transmitter yang telah dipasang
36
telah terpantau pada sistem pemantauan. Transmitter yang telah aktif ditandai dengan terdeteksinya transmitter tersebut di layar pemantauan. Hal kemudian yang dilakukan operator adalah membuatkan Surat Keterangan Aktivasi Transmitter dan disahkan oleh direktur sarana dan prasarana pengawasan. SKAT yang telah disahkan dapat diberikan kepada pemohon. Setelah pendaftaran dan SKAT telah diterima, kapal dapat melakukan operasi penangkapan dengan menempatkan SKAT bersama dokumen yang lainnya di atas kapal.
4.1.4 Transmitter 1) Prosedur pemasangan transmitter Dalam pemasangan unit transmitter di atas kapal memiliki dua prosedur yaitu pemasangan transmitter milik sendiri dan transmitter milik negara. Pemasangan transmitter milik sendiri dimulai dengan pembelian unit transmitter di provider dan membayarkan biaya airtime untuk masa jangka waktu satu tahun dan selanjutnya diperpanjang setiap tahun hingga izin berakhir. Pemasangan unit transmitter yang dilakukan harus disaksikan oleh pengawas perikanan di pelabuhan setempat dan mengisi Form 3 lembar pemasangan transmitter yang ditandatangani oleh pemasang yang dapat dilihat pada Lampiran 6 dan pada Lampiran 7 (bawah) adalah kegiatan pemasangan transmitter yang dilakukan oleh pengawas.
Apabila pemasangan transmitter dilakukan di negara lain maka
pengisisan Form 3 ditandatangani pemasang, nakhoda, dan wakil perusahaan serta oleh pengawas pada saat dilakukan pemeriksaan kapal di pelabuhan pangkalan. Setelah pemasangan selesai dilakukan maka tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah mendaftarkan transmitter. Pendaftaran transmitter ini dilakukan untuk mandapatkan Surat Keterangan Aktivasi Transmitter (SKAT). Pendaftaran dilakukan di Sekretariat VMS (FMC) pusat yang berada di Departemen Kelautan dan Perikanan, dapat dilihat pada Lampiran 7 (atas).
Pendaftaran transmitter yang telah dipasang di kapal
perikanan harus dilengkapi surat pendaftaran transmitter (Lampiran 8) dengan mencantumkan data-data seperti: nomor ID transmitter, nomor seri, jenis, tipe, merk, spesifikasi dan provider, dokumen pembelian transmitter dan pembayaran airtime, bukti aktivasi dari provider dan Form 3 Lembar Pemasangan Transmitter
37
serta surat pernyataan transmitter milik sendiri (Lampiran 9). Setelah pendaftaran dilakukan oleh pemilik kapal, maka kemudian Surat Keterangan Aktivasi Transmitter (Form FMC 1) akan dikeluarkan oleh Direktorat Sarana dan Prasarana, Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dapat dilihat pada Lampiran 10. Form FMC 1 (pada Lampiran 10) sebagai bukti telah terpantaunya kapal perikanan tersebut oleh Sistem Pemantauan Kapal Perikanan, sehingga kapal diizinkan untuk beroperasi melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan di perairan Indonesia. Kewajiban selanjutnya yang harus dilakukan oleh pemilik kapal atau nakhoda kapal adalah meletakkan SKAT bersama dokumen perizinan lainnya di atas kapal. Hal ini dimaksudkan agar mempermudah pemeriksaan kapal ketika berada di laut ataupun di pelabuhan pangkalan. Pemasangan transmitter milik Negara dimulai dengan mengajukan permohonan peminjaman berupa surat pinjam pakai transmitter milik Negara (Lampiran 11) ke Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan c.q. Direktur Sarana dan Prasarana. Di dalam surat permohonan tersebut dicantumkan nama kapal, nama perusahaan, jenis atau status atau alat tangkap atau GT kapal, bendera dan SIPI atau SIKPI serta SIUP. Peminjaman transmitter milik Negara dapat dilakukan bila persediaan transmitter tersebut masih ada. Peminjaman transmitter milik negara, hanya diperbolehkan bagi kapal ikan Indonesia (KII) berukuran 30 GT hingga 60 GT. Ketentuan ini berlaku sejak tahun 2007 hingga sekarang. Hal ini dikarenakan keterbatasan unit transmitter yang dimiliki oleh negara. Pemilik kapal atau perusahaan perikanan yang berhasil meminjam transmitter milik Negara selanjutnya akan diberikan nomor ID transmitter. Nomor ID transmitter tersebut diberikan oleh sekretariat VMS. Kemudian pihak pemohon harus menghubungi provider transmitter sesuai dengan yang diberikan. Hal ini dilakukan untuk menyelesaikan biaya airtime yang nantinya harus dibayarkan terlebih dahulu. Setelah pembayaran diselesaikan dan mendapatkan bukti dokumen pembayaran airtime dan bukti aktivasi dari pihak provider (pada Lampiran 12),
38
maka selanjutnya pihak pemohon dapat menerima transmitter dan semua kelengkapannya
dari
Direktorat
Jenderal
Pengawasan
dan
Pengelolaan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Penerimaan transmitter dilengkapi dengan bukti penerimaan dan lembar peminjaman transmitter Negara (Form 2) yang dapat dilihat pada Lampiran 13. Di dalam Form 2 tersebut harus diisi dengan data seperti nama kapal, nama perusahaan, jenis atau status atau alat tangkap atau GT kapal, nomor SIPI atau SIKPI, penerima transmitter, petugas yang menyerahkan transmitter, dan diketahui oleh wakil perusahaan. Pemasangan
transmitter
milik
Negara
diketahui/disaksikan oleh pengawas perikanan.
di
atas
kapal
harus
Saat pemasangan harus
melakukan pengisian Form 3 Lembar Pemasangan Transmitter dan ditandatangani oleh pemasang, nakhoda, wakil perusahaan dan pengawas perikanan setempat. Seperti pada pemasangan transmitter milik sendiri, pemasangan transmitter yang dilakukan di Negara lain proses pengisian Form 3 dilakukan saat pemeriksaan terhadap kapal perikanan ketika berlabuh di pelabuhan pangkalan. Proses pendaftaran dan meminta Surat Keterangan Aktivasi Transmitter (SKAT) dilakukan setelah pemasangan selesai dan Form 3 telah diisi dan ditandatangani.
Pendaftaran transmitter harus dilengkapi dengan bukti
pembayaran airtime, bukti aktivasi dari provider, Surat pernyataan transmitter milik negara (Lampiran 14), dan lembar Form 3. Setelah kapal pemohon tersebut dapat terpantau pada sistem pemantauan kapal perikanan di FMC, maka selanjutnya akan dikeluarkannya Surat Keterangan Aktivasi Transmitter. Surat ini nantinya harus ditempatkan bersama dengan dokumen perizinan lainnya. Prosedur pemasangan transmitter milik sendiri ataupun milik negara dapat dilihat pada Gambar 6.
39
Mulai
Prosedur pemasangan transmitter sendiri
Prosedur pemasangan transmitter milik negara
Pembelian unit transmitter
Pemberian nomor ID transmitter
Pemasangan transmitter diketahui oleh pengawas perikanan
Pembayaran airtime oleh pihak pemohon
Penerimaan transmitter dan kelengkapannya Mendaftarkan dan meminta Surat Keterangan Aktivasi Transmitter (SKAT) Pemasangan transmitter di atas kapal dan pengisian form 3 Lembar Pemasangan Transmitter Pengeluaran SKAT oleh Direktorat Sarana dan Prasarana Pengawasan Mendaftarkan dan meminta SKAT SKAT asli ditaruh bersama dokumen perizinan pada kapal perikanan.
Selesai
Pengeluaran SKAT oleh Direktorat Sarana dan Prasarana Pengawasan
SKAT asli ditaruh bersama dokumen perizinan pada kapal perikanan.
Selesai
Gambar 6 Prosedur pemasangan transmitter.
2) Prosedur pengembalian transmitter Prosedur pengembalian hanya dilakukan untuk transmitter milik Negara. Masa peminjaman transmitter milik Negara hanya berlaku untuk jangka waktu satu tahun. Dan setelah jangka waktu tersebut selesai transmitter yang telah tersebut wajib di kembalikan ke Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Selain karena jangka waktu peminjaman yang telah berakhir, pengembalian juga dilakukan karena suatu sebab izin dinonaktifkan, dicabut, atau tidak diperpanjang. Pengembalian transmitter
40
ditujukan kepada Direktur Sarana dan Prasarana P2SDKP.
Prosedur
pengembalian transmitter milik negara dapat dilihat pada Gambar 7 dibawah ini.
Mulai
Pengecekan kelengkapan dan berfungsinya transmitter
Penerimaan lembar pengembalian transmitter milik negara
Selesai
Gambar 7 Prosedur pengembalian transmitter milik negara. Pengembalian transmitter dilakukan setelah masa peminjaman berakhir. Pengembalian dilakukan di Sekretariat VMS. Di sekretariat tersebut, transmitter yang akan dikembalikan diperiksa kelengkapan dan fungsi transmitter. Pemeriksaan ini dilakukan oleh petugas dan hasil pemeriksaan dilaporkan ke dalam Form 4 Lembar Pengembalian Transmitter (Lampiran 15). Form tersebut berisikan tanggal pengembalian, nama kapal, nama perusahaan, jenis atau alat tangkap, GT kapal, nomor SIPI atau SIKPI, pengecekan kelengkapan dan fungsi transmitter, petugas yang menerima, dan wakil perusahaan yang menyerahkan. Ketidaklengkapan ataupun tidak berfungsinya transmitter menjadi tanggung jawab peminjam dan dikenakan sanksi.
Peminjam wajib mengganti atau
memperbaiki kerusakan yang telah terjadi pada transmitter.
Pengembalian
tersebut harus menyertakan surat pernyataan sanggup memperbaiki atau menggantinya di atas materai enam ribu rupiah dan mempunyai kekuatan hukum. Ketidakpatuhan dalam mengembalikan, memperbaiki, atau mengganti transmitter milik Negara yang rusak atau hilang akan diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemilik yang ingin memperpanjang transmitternya baik milik sendiri atau milik negara harus mengirimkan surat perpanjangan transmitter dan menyertakan SIUP/SIKPI, bukti pembayaran airtime, bukti aktivasi dari provider, Form
41
pemeriksaan transmitter, kartu identitas pemilik kapal, dan SKAT asli yang lama. Surat perpanjangan transmitter dapat dilihat pada Lampiran 16. 3) Pemeriksaan transmitter Pemeriksaan transmitter adalah kegiatan yang dilakukan pada kapal-kapal ikan yang telah memasang transmitter untuk mengetahui keadaan atau kondisi transmitter. Pemeriksaan dilakukan untuk melakukan konfirmasi terhadap fisik, fungsi, dan lingkungan transmitter. Pemeriksaan ini meliputi hal sebagai berikut : (1) Pemasangan dilakukan sesuai atau benar pada kapal perikanan, seperti yang tertera pada saat pengajuan pemasangan transmitter. (2) Hasil kualitas pemasangan, dibuktikan dengan terpantaunya posisi kapal di layar monitor Pusat Pemantauan Kapal Perikanan. (3) Penempatan transmitter tidak mengganggu dan terganggu oleh, peralatan navigasi, komunikasi dan peralatan komunikasi lainnya. Pemeriksaan transmitter ini dilakukan sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan. Kegiatan ini dilakukan oleh pengawas perikanan di pelabuhan, staf Direktorat Sarana dan Prasarana Pengawasan atau oleh staf Direktorat Jenderal P2SDKP. Hasil dari pemeriksaan tersebut dicatat ke dalam Form Pemeriksaan Transmitter (Form 6) dapat dilihat pada Lampiran 17. dilaporkan kepada Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan. Lembar pemeriksaan transmitter (Form 6) berisikan : (1) Lokasi pemeriksaan; (2) Tanggal pemeriksaan; (3) Nama kapal; (4) Nama perusahaan; (5) Jenis/status/alat tangkap/GT kapal; (6) Call sign dan frekuensi; (7) Nomor SIPI/SIKPI; (8) Transmitter; a) Merk; b) Tipe; c) No. ID/No. Seri; dan d) Provider.
Hasil pemeriksaan
42
(9) Pengecekan kelengkapan dan fungsi transmitter; serta (10) Petugas pemeriksa. Bila dalam hasil pemeriksaan ditemukan adanya pelanggaran, maka Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan akan menindaklanjuti dengan memberikan peringatan dan sanksi. Kerusakan atau ketidakaktifan pada transmitter milik sendiri ataupun transmitter milik negara akan menjadi kewajiban pihak pengguna untuk memperbaiki atau mengganti transmitternya. Jika terjadi ketidaktaatan dari pihak pengguna, maka pihak pengguna akan dikenakan sanksi administrasi atau pidana. 4) Kewajiban pengguna transmitter Dalam sistem pemantauan kapal perikanan setiap kapal diatas 60 GT ke atas memiliki kewajiban diantaranya : (1) Wajib memasang dan mengaktifkan transmitter. (2) Dalam melakukan kegiatan perikanan tangkap di Indonesia, setiap kapal perikanan wajib ikut serta dalam sistem pemantauan kapal perikanan. Salah satu peran sertanya dalam kegiatan ini adalah setiap kapal wajib memasang dan mengaktifkan transmitter pada kapalnya masing-masing. Transmitter ini dapat berupa transmitter milik sendiri ataupun transmitter milik negara yang telah dipinjam. (3) Wajib membayar airtime. (4) Setiap pemilik ataupun perusahaan yang telah memasang transmitter pada kapalnya wajib membayarkan biaya airtime.
Pembayaran biaya airtime
dilakukan pada awal pemasangan transmitter dan setiap satu tahun berikutnya. Airtime ini merupakan biaya pengiriman posisi yang dilakukan transmitter selama satu tahun dengan interval pengiriman posisi setiap satu jam sekali. (5) Wajib mendaftarkan transmitter (6) Pendaftaran transmitter merupakan salah kewajiban penting yang harus dilakukan oleh pengguna transmitter. Hal ini dikarenakan agar transmitter terdaftar dalam sistem pemantauan kapal perikanan dan dapat terpantau dalam FMC.
Pendaftaran transmitter dilakukan di Sekretariat VMS dan
ditujukan kepada Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian
43
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.
Proses pendaftaran transmitter,
pemohon menyerahkan Form 3 Lembar Pemasangan Transmitter, bukti pembayaran airtime dan aktivasi dari provider, serta dilengkapi dengan dokumen pembelian transmitter. (7) Wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan hal-hal yang terkait dengan kapal atau transmitter, dengan ketentuan batas waktu sebagai berikut: a) Docking kapal, selambat-lambatnya satu bulan sebelum pelaksanaan docking. b) Penggantian transmitter, selambat-lambatnya satu minggu sebelum dilaksanakan penggantian c) Penggantian
surat
izin,
selambat-lambatnya
satu
bulan
sebelum
dilaksanakan penggantian. d) Perubahan pemilik, nama, fungsi, dan keagenan kapal perikanan selambatlambatnya satu minggu sebelum dan satu minggu sesudah dilaksanakan perubahan. e) Proses penegakan hukum yang sedang dijalani, selambat-lambatnya dua hari sejak dimulai penyelidikan. f) Tidak beroperasinya kapal perikanan, selambat-lambatnya satu minggu sejak kapal tidak beroperasi. g) Tidak diperpanjang izinnya kapal perikanan, selambat-lambatnya satu bulan sebelum habisnya masa berlaku izin. h) Force Majeure, selambat-lambatnya satu minggu sesudah kejadian dilengkapi dengan laporan kejadian dan berita acara dari pihak berwajib. (8) Laporan sebagaimana dimaksud angka empat dengan tembusan kepada: Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan, Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautaan dan Perikanan. (9) Wajib menempatkan Surat Keterangan Aktivasi Transmitter bersama dengan dokumen perizinan.
SKAT yang telah diterima ditempatkan bersama
dokumen-dokumen lain di atas kapal. SKAT yang ditaruh adalah SKAT asli yang
diberikan
oleh
sekretariat
VMS.
Hal
ini
bertujuan
agar
44
mempermudahkan proses pemeriksaan perizinan kapal saat berada di laut ataupun ketika berada di pelabuhan. (10) Wajib menjaga, memelihara dan memperlakukan transmitter dengan baik. Transmitter yang ada di atas kapal wajib dijaga dan dipeliahara dengan baik kondisinya oleh nakhoda ataupun ABK kapal. Ini bertujuan agar transmitter dapat tetap berfungsi secara teknis dan dapat menyampaikan data kegiatan penangkapan atau pengangkutan ikan. (11) Wajib memelihara lingkungan teknis transmitter. Lingkungan sekitar tempat transmitter di pasang juga wajib dipelihara dan dijauhkan dari segala macam gangguan termasuk alat komunikasi dan alat komunikasi lainnya di atas kapal.
Upaya ini dilakukan agar pengiriman atau penerimaan data yang
dilakukan transmitter dapat berfungsi dengan baik. (12) Wajib menempatkan transmitter pada posisi yang tepat seperti dapat dilihat pada Lampiran 18.
Penempatan posisi transmitter di atas kapal sangat
penting. Posisi transmitter yang tepat di atas kapal akan mempengaruhi kerja transmitter sehingga dapat mengirimkan data posisi kapal dengan baik dan tidak menggangu peralatan navigasi, peralatan komunikasi atau peralatan elektronik lainnya serta terhindar dari gangguan lain yang menyebabkan terhalangnya fungsi teknis dan komunikasi. (13) Wajib
membalas,
menanggapi,
pemberitahuan/peringatan
dari
menindaklanjuti
Direktorat
Jenderal
setiap
surat
Pengawasan
dan
Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. (14) Wajib menerima petugas atau pengawas dan kapal pengawas perikanan untuk melakukan pemeriksaan transmitter.
Setiap pengawas yang hendak
memeriksa keadaan dan kondisi transmitter di atas kapal harus diperbolehkan kegiatannya. Pemeriksaan ini dilakukan karena adanya laporan dari FMC ataupun sekedar untuk memeriksa kondisi fisik transmitter di atas kapal. (15) Wajib mematuhi petunjuk teknis tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan atau Standar Operasional Prosedur yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.
45
5) Pengaturan lain transmitter Di dalam pelaksanaan sistem pemantauan kapal perikanan, setiap kapal wajib memasang dan mengaktikan transmitter secara terus-menerus. Pengguna transmitter wajib melaporkan kepada Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan mengenai hal-hal yang terkait dengan transmitternya atau kapalnya. Wajib lapor ini seperti izin kapal untuk melakukan docking, penggantian transmitter, penggantian surat izin (SIPI atau SIKPI), perubahan pemilik kapal, proses hukum yang sedang dijalani, sedang tidak beroperasinya kapal, izin yang tidak diperpanjang, izin dicabut, transmitter dalam keadaan rusak, kapal mengalami force majeure. (1) Docking kapal Kapal ikan yang akan melakukan docking di pelabuhan wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan c.q. Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan. diberikan
berupa
laporan
tertulis
dan
diberikan
satu
bulan
Izin yang sebelum
dilaksanakannya proses docking. Di dalam izin tersebut berisikan jangka waktu, tempat pelaksanaan, dan saat dimulainya docking.
Pada saat docking
dilaksanakan, disampaikan pula laporan tertulis susulan yang dilengkapi dengan surat keterangan dari galangan kapal. Di dalam surat tersebut menyatakan bahwa kapal tersebut sedang melakukan docking.
Setelah surat izin disampaikan,
transmitter pada kapal dapat dinonaktifkan pada saat dimulainya sampai dengan selesai docking. Pihak pengguna wajib melaporkan kembali docking yang telah selesai dilaksanakan kepada Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan c.q. Direktorat Sarana dan Prasarana Pengawasan. Laporan tersebut menyatakan bahwa docking kapal telah selesai dilaksanakan dan transmitter sudah diaktifkan kembali. Prosedur perizinan untuk kapal yang akan melakukan docking dapat dilihat pada Gambar 8.
46
Mulai
Docking kapal
Laporan tertulis alasan penggantian
Docking dilakukan
Transmitter non aktif
Docking selesai
Transmitter aktif
Izin tertulis selesai docking
Selesai
Gambar 8 Prosedur izin docking kapal.
(2) Penggantian transmitter Penggantian transmitter yang dilakukan oleh pemilik kapal atau perusahaan perikanan wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Laporan tersebut dikirimkan selambat-lambatnya satu minggu sebelum dilaksanakannya penggantian. Dalam izin tersebut, pihak pengguna menyebutkan alasan penggantian transmitter serta spesifikasi transmitter pengganti yang dilengkapi identitas transmitter tersebut. Penggantian transmiter yang baru di atas kapal harus diketahui atau disaksikan oleh pengawas perikanan di pelabuhan.
Proses pemasangan
transmitter pengganti sama seperti pemasangan transmitter baru pada kapal perikanan. Pengisian Form 3 lembar pemasangan transmitter harus dilakukan kembali dan ditandatangani oleh nakhoda, pemasang transmitter, wakil perusahaan dan pengawas perikanan yang menyaksikannya.
47
Setelah pemasangan transmitter pengganti selesai, selanjutnya pemilik kapal atau perusahaan mendaftarkan dan meminta Surat Keterangan Aktivasi Transmitter pengganti. Surat Keterangan Aktivasi Transmitter diberikan setelah posisi transmitter terpantau pada Pusat pemantauan kapal perikanan.
Surat
tersebut nantinya wajib ditempatkan bersama dengan surat izin lainnya di atas kapal.
Gambar 9 berikut merupakan prosedur untuk melakukan penggantian
transmitter pada kapal perikanan.
Mulai
Penggantian transmitter
Izin tertulis pelaksanaan docking
Pemasangan transmitter pengganti
Pendaftaran transmitter dan meminta SKAT
SKAT diterima
SKAT ditempatkan di atas kapal
Selesai
Gambar 9 Prosedur penggantian transmitter.
(3) Penggantian surat izin (SIPI atau SIKPI) Penggatian surat izin penangkapan ikan (SIPI) atau surat izin kapal penangkapan ikan (SIKPI) yang dimiliki oleh kapal perikanan wajib melaporkannya.
Pengguna wajib melaporkan selambat-lambatnya satu bulan
sebelum dilaksanakannya penggantian. Penggantian surat izin tersebut meliputi : a)
Penggantian izin karena perpanjangan masa berlakunya izin;
b) Penggantian izin karena perubahan fungsi kapal (dari kapal pengangkut menjadi kapal penangkap dan sebaliknya);
48
c)
Penggantian izin karena perubahan pemilik;
d) Penggantian izin karena perubahan nama kapal; dan e)
Penggantian izin karena perubahan keagenan kapal perikanan. Proses penggantian yang telah selesai dilaksanakan harus dilaporkan
kembali ke Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dengan melampirkan dokumen perizinan yang baru selambat-lambatnya satu minggu setelah selesai penggantian izin. Selama proses penggantian izin tersebut, transmitter tetap diaktifkan.
Gambar 10 berikut
merupakan prosedur untuk melakukan penggantian surat izin bagi kapal yang memiliki transmitter.
Mulai
Penggantian Surat Izin
Melaporkan izin yang ingin diganti
Proses penggantian izin
Transmitter aktif
Melaporkan dan menyertakan izin baru
Selesai
Gambar 10 Prosedur penggantian surat izin.
(4) Perubahan pemilik kapal Pengguna transmitter wajib melaporkan perubahan kepemilikan kapal, nama, fungsi, dan keagenan kapal perikanan.
Perubahan tersebut dilaporkan
selambat-lambatnya satu minggu sebelum dan sesudah dilaksanakannya perubahan. Surat tersebut dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan
49
Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan beserta dengan dokumen perubahan yang baru. Apabila pengguna menggunakan transmitter milik negara, maka pemilik kapal yang baru harus membuat surat pernyataan peminjaman transmitter milik negara. Selama proses perubahan pemilik, nama, fungsi, dan keagenan kapal perikanan transmitter harus tetap diaktifkan. (5) Pemilik sedang menjalani proses hukum Perusahaan atau pemilik kapal yang sedang menjalani proses pengadilan atau penegakan hukum wajib melaporkannya kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan c.q Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan. Kewajiban ini dilakukan selambat-lambatnya dua hari sejak dimulainya proses penyidikan.
Di dalam laporan tersebut
dijelaskan tentang kasus yang sedang dihadapi, tempat pelaksanaan penyidikan dan perkiraan lamanya proses pengadilan tersebut. Laporan tersebut dilengkapi dengan surat keterangan dari penyidik atau pengadilan setempat. Setelah proses pengadilan selesai dijalani, perusahaan perikanan atau pemilik kapal memberikan laporan tertulis kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan c.q Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan yang menyatakan bahwa proses pengadilan telah selesai dijalani dengan melampirkan bukti-bukti hasil penetapan pengadilan. Apabila keputusan pengadilan menyatakan bahwa kapal perikanan miliknya disita untuk negara, maka transmitter negara wajib dikembalikan ke sekretariat VMS. Jika pengadilan menyatakan atau menetapkan putusan bebas terhadap kapal perikanan tersebut, maka perusahaan atau pemilik kapal wajib melaporkan bahwa proses peradilan telah selesai dilaksanakan. Selama proses peradilan dilaksanakan, transmitter pada kapal perikanan dapat dinonaktifkan. Dan setelah masa proses peradilan selesai, kapal tersebut harus mengaktifkan kembali transmitternya. Pada Gambar 11 berikut prosedur perizinan bagi kapal bertransmitter yang sedang menjalani proses hukum.
50
Mulai
Menjalani proses hukum
Melaporkan hukum yang dijalani
Proses penyidikan dijalani
Transmitter dinonaktifkan
Pelaporan hasil pengadilan
Ditetapkan tidak bersalah
Ditetapkan bersalah
Melaporkan dan menyertakan hasil pengadilan
Transmitter Negara dikembalikan
Transmitter diaktifkan kembali
Selesai
Selesai
Gambar 11 Prosedur izin yang sedang menjalani proses hukum.
(6) Kapal tidak beroperasi Kapal perikanan yang tidak beroperasi wajib dilaporkan oleh pemilik kapal selambat-lambatnya satu minggu sejak kapal tidak beroperasi. Pada Gambar 12 dapat dilihat prosedur perizinan bagi kapal bertransmitter yang tidak beroperasi. Laporan tidak beroperasinya kapal dilengkapi dengan informasi mengenai sebabsebab yang saat dipertanggung jawabkan perihal tidak beroperasinya kapal. Kapal yang tidak beroperasi dilaporkan lokasi dan jangka waktu tidak beroperasinya kapal dengan melampirkan surat keterangan dari pengawas perikanan atau galangan kapal tempat perbaikan. Selama kapal tidak beroperasi, transmitter dapat dinonaktifkan.
51
Setelah perbaikan selesai dan kapal siap beroperasi, pihak pengguna memberikan laporan tertulis kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan c.q Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan.
Laporan tersebut menyatakan bahwa kapal siap
beroperasi kembali dan transmitter sudah diaktifkan kembali. Apabila posisi kapal tidak terpantau di Pusat Pemantauan Kapal Perikanan, maka Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan akan memberikan surat pemberitahuan kepada pengguna, kapal belum diizinkan beroperasi dan pengawas perikanan tidak akan menerbitkan SLO. Kapal yang tidak beroperasi seterusnya, maka transmitter milik negara harus segera dikembalikan ke sekretariat VMS.
Pengembalian transmitter
tersebut harus dalam keadaan lengkap dan berfungsi serta dilengkapi Lembar Pengembalian Transmitter (Form 4).
Mulai
Kapal tidak beroperasi
Melaporkan dan menuliskan sebab kapal tidak beroperasi
Kapal rusak
Kapal tidak beroperasi selamanya
Menyertakan surat keterangan pengawas perikanan
Transmitter Negara dikembalikan
Selesai Transmitter dinonaktifkan
Melaporkan kembali kapal telah diperbaiki
Transmitter diaktifkan kembali
Selesai
Gambar 12 Prosedur izin kapal tidak beroperasi
52
(7) Izin tidak diperpanjang Perusahaan atau pemilik kapal perikanan wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan tentang tidak diperpanjangnya izin kapal perikanan.
Kewajiban tersebut
dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum habisnya masa berlaku izin. Dalam laporan tersebut menyebutkan nomor ID transmitter, nama kapal, nama perusahaan, nomor SIPI atau SIKPI. Pemilik kapal wajib mengembalikan transmitter milik negara yang telah dipinjam dalam keadaan baik dan lengkap dengan dilengkapi Form 4 lembar pengembalian transmitter.
Transmitter yang mengalami kerusakan harus
diperbaiki atau diganti oleh pihak peminjam. (8) Izin dicabut Pemilik kapal melaporkan kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian
Sumberdaya
Kelautan
dan
Perikanan
perihal
izin
yang
dinonaktifkan atau dibekukan atau dicabut. Waktu pemilik kapal melaporkan hal ini selambat-lambatnya dua hari setelah izin dinonaktifkan atau dicabut.
Isi
laporan tersebut disebutkan nomor ID transmitter, nama kapal, nama perusahaan, nomor SIPI atau SIKPI. Pemilik kapal wajib mengembalikan transmitter milik negara yang telah dipinjam dalam keadaan baik dan lengkap dengan dilengkapi Form 4 lembar pengembalian transmitter.
Transmitter yang mengalami kerusakan harus
diperbaiki atau diganti oleh pihak peminjam. (9) Transmitter dalam keadaan rusak Pemilik kapal wajib menyediakan pengganti transmitter yang mengalami kerusakan.
Transmitter yang tidak terpantau di Pusat Pemantauan Kapal
Perikanan ketika kapal sedang beroperasi akan diberitahukan kepada pemilik kapal melalui sarana komunikasi yang tersedia. Nakhoda atau pemilik kapal wajib memberitahukan kepada provider tentang kerusakan transmitternya setelah informasi diterima dari Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Kapal yang sedang beroperasi ketika terjadi kerusakan pada transmitternya wajib menyampaikan posisi kapal ke Sekretariat VMS dan kepala UPT atau
53
pelabuhan pangkalan, minimal satu kali dalam dua puluh empat jam secara terus menerus. Kapal diwajibkan merapat ke pelabuhan terdekat untuk melakukan pemeriksaan.
Bagi kapal yang memiliki transmitter cadangan dapat terus
melakukan operasi setelah melaporkan penggunaan serta berfungsinya transmitter cadangan yang dibuktikan dengan terpantaunya posisi kapal di Pusat Pemantauan Kapal Perikanan. Pengawas perikanan wajib melakukan pemeriksaan transmitter setelah kapal merata di pelabuhan. Hasil pemeriksaan transmitter tersebut dituangkan ke dalam Form 6 untuk kemudian dilaporkan ke Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan.
Transmitter yang mengalami kerusakan setelah dilakukan
pengecekan harus diperbaiki atau diganti oleh pemilik kapal. Proses penggantian transmitter baru harus melaksanakan prosedur pemasangan transmitter dengan mengisi Form 3 dan melapokannya ke Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Transmitter yang telah terpantau akan diberikan Surat Keterangan Aktivasi Transmitter kepada pemilik kapal dan ditempatkan bersama dokumen perizinan lain di atas kapal. Perbaikan atau penggantian transmitter yang belum dapat terpantau posisinya tidak akan dikeluarkannya Surat Laik Operasi (SLO) oleh pengawas perikanan.
Gambar 13 berikut merupakan prosedur perizinan bila
terjadi kerusakan pada transmitter.
54
Mulai
Transmitter rusak
Diberitahukan bahwa transmitter tidak aktif
Memberitahukan kepada provider terjadi kerusakan transmitter
Menyampaikan posisi terakhir
Merapat ke pelabuhan terdekat
Mengganti dengan transmitter baru
Dilakukan pemeriksaan
Melaporkan penggunaannya
Penggantian atau perbaikan transmitter
Tetap beroperasi
Pendaftaran untuk penggantian transmitter
Selesai
Kapal beroperasi kembali
Selesai
Gambar 13 Prosedur izin bila terjadi kerusakan transmitter.
(10)
Kejadian force majeure Kejadian force majeure adalah peristiwa yang terjadi yang tidak
diperkirakan sebelumnya sebagai akibat terjadinya perubahan kondisi cuaca, kondisi alam, dan atau kejadian lainnya yang tidak dapat dikendalikan dan diluar unsur kesengajaan yang mengakibatkan kecelakaan antara lain: a)
Tenggelam di laut;
b) Tersambar petir; dan c)
Kebakaran di kapal.
55
Kehilangan atau kerusakan yang diakibatkan kejadian force mejeure wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan c.q Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan selambatlambatnya satu minggu sesudah kejadian dilengkapi dengan berita acara laporan kejadian dari pihak berwajib. Apabila kapal perikanan tersebut menggunakan transmitter milik negara, maka wajib mengganti dengan transmitter yang sejenis.
4.1.5 Transmitter offline Transmitter offline merupakan alat yang berfungsi untuk melakukan pemantauan kapal perikanan secara tidak langsung, yang dipasang dan dioperasikan di atas kapal perikanan yang telah ditentukan serta dipergunakan untuk menerima atau mengirimkan data posisi kapal perikanan ke pengelola sistem. Transmitter offline diwajibkan penggunaannya pada kapal perikanan yang berukuran 30 GT hingga 60 GT. Transmitter ini dipinjamkan oleh pemerintah kepada kapal perikanan yang telah ditetapkan.
Unit transmitter offline yang
dimiliki oleh pemerintah sebanyak 500 unit. Dan baru 400 unit yang dipasangkan pada kapal perikanan 30 GT hingga 60 GT. Jenis transmitter yang digunakan dalam transmitter offline sama seperti transmitter online. Di dalam sistem penggunaannya transmitter offline tidak jauh berbeda dengan transmitter online. Perbedaan terdapat pada proses pengiriman sinyal data oleh transmitter dan pemantauan yang dilakukan pengawas. Transmitter offline tidak mengirimkan sinyal data melalui satelit. Transmitter ini hanya menyimpan data kegiatan yang telah dilakukan oleh kapal perikanan. Kapal perikanan yang memasang transmitter offline akan menjalani pemeriksaan oleh pengawas perikanan. Sesampainya di pelabuhan pangkalan, transmitter offline yang dipasang pada kapal perikanan akan diolah data-datanya. Pengawas perikanan mendatangi kapal dengan transmitter offline untuk melihat apa saja yang telah dilakukan kapal selama melakukan operasi. transmitter ditransfer ke laptop pengawas perikanan.
Data dari
Dari data-data tersebut
pengawas akan melihat kegiatan kapal. Pengawas akan menganalisis kegiatan tersebut, apa ada indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh kapal tersebut. Jika dari hasil analisis terbukti kapal melakukan pelanggaran, maka pengawas tersebut
56
berkewajiban menindak dan membuat berita acaranya. Pengawas lapangan akan menyerahkan berkas tersebut kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Keterampilan dan kemampuan dari pengawas perikanan di pelabuhan sangat dibutuhkan.
Hal ini dikarenakan proses kegiatan kapal penangkapan yang
dilakukan cukup lama, jadi pengawas harus menganalisa seluruh kegiatan dari awal keberangkatan hingga kapal tersebut kembali ke pelabuhan.
4.1.6 Website Vessel Monitoring System (VMS) Website Vessel Monitoring System (VMS) merupakan alat komunikasi yang disediakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai layanan fasilitas untuk para perusahaan atau pemilik kapal yang telah mengikuti program VMS. Website ini beralamat di http://dkpVMS.dkp.go.id dapat dilihat pada Lampiran 1. Sistem informasi ini memungkinkan perusahaan perikanan untuk memantau kapal perikanan yang dimilikinya tanpa memandang letak geografisnya. Website ini dapat digunakan untuk melakukan kegiatan pemantauan kapal perikanan dengan mengakses internet kapanpun dan di manapun pengguna berada. Fasilitas website VMS hanya bisa digunakan oleh perusahaan atau pemilik kapal yang telah memiliki user account dan password.
User account dan
password diberikan oleh sekretariat VMS kepada pemilik kapal setelah terlebih ahulu mendaftarkan transmitternya. User account dan password tersebut pribadi dan rahasia, maka pemilik kapal hanya dapat melihat posisi kapal perikanannya sendiri. Kapal milik orang lain tidak dapat terpantau atau dilihat dengan password yang berbeda. User dan password tidak boleh digunakan sembarangan dan harus dijaga kerahasiaannya. Tata tertib pengguna user dan password adalah sebagai berikut: 1) User dan password diberikan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan kepada pengusaha atau pemilik kapal dalam amplop tertutup dan dikirim langsung untuk dipergunakan sebagaimana mestinya; 2) User dan password tidak boleh diberitahukan kepada pihak lain;
57
3) User dan password menjadi tanggung jawab perusahaan perikanan atau pemilik kapal dan pengelola (DKP) tidak bertanggung jawab atas pemberian password yang telah diseahkan ke user; dan 4) Administrator
Direktorat
Jenderal
Pengawasan
dan
Pengendalian
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dapat melakukan perubahan user dan password apabila dianggap perlu dan perusahaan perikanan atau pemilik kapal diberitahukan perubahan tersebut dalam amplop tertutup yang dikirimkan secara langsung. Pada halaman daftar kapal terdapat empat menu dengan masing-masing kegunaan sebagai berikut : 1) Available unit, adalah daftar nama kapal yang memasang transmitter. Memilih lebih dari satu kapal gunakan tombol SHIFT atau CTRL disertai dengan klik kiri mouse; 2) Position labeling, adalah menampilkan informasi label di posisi peta; 3) History mode, adalah menampilkan sejarah pergerakan kapal; dan 4) Centre on mobile, adalah untuk menampilkan posisi di peta. Di bawah peta terdapat toolbar yang berisikan sekumpulan tombol perintah untuk navigasi peta seperti terlihat pada Tabel 3 dibawah ini. Tabel 3 Toolbar website VMS No 1
Nama tombol
Zoom into selected Untuk memperbesar target atau daerah. Gunakan point or region
2
3
Keterangan
Zoom
away
klik kiri mouse atau membuat seleksi daerah from Untuk memperkecil target atau daerah. Gunakan
selected point
klik kiri mouse
Click to recentre
Untuk membuat target berada di tengah-tengah layar jendela peta
4
Pan map
Untuk menggeser peta
5
Measure distance
Mengukur jarak
6
Position
Informasi posisi di peta
Sumber: Ditsarpras pengawasan, 2008
58
4.1.7 Pelanggaran 1) Bentuk pelanggaran Di dalam penggunaan transmitter pada kapal perikanan masih banyak ditemukan pelanggaran yang dilakukan.
Bentuk-bentuk pelanggaran tersebut
diantaranya : (1) Tidak memasang transmitter VMS bagi kapal perikanan 60 GT keatas dan seluruh kapal asing. (2) Memasang transmitter tetapi tidak memberikan informasi secara terus menerus dengan periode waktu setiap jam sekali. (3) Memasang transmitter tetapi dengan sengaja tidak mengaktifkan seperti : 1) Melakukan pemutusan arus listrik dengan sengaja, sehingga transmitter tidak berfungsi dan tidak dapat terpantau di Pusat Pemantauan Kapal Perikanan. 2) Melakukan sesuatu terhadap transmitter dan peralatan pendukungnya seperti menutup transmitter dengan sesuatu atau karena perlakuan lain, sehingga mengakibatkan transmitter tidak dapat terpantau di Pusat Pemantauan Kapal Perikanan (4) Tidak mendaftarkan transmitter (yang dilengkapi nomor ID, nomor seri, jenis, tipe, merk, spesifikasi, provider, dokumen pembelian, dokumen pembayaran airtime, bukti aktivasi dari provider), kepada Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang dipasang pada kapal perikanan berukuran di atas 60 GT dan seluruh Kapal Ikan Asing. (5) Tidak melengkapi Surat Keterangan Aktivasi Transmitter yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (Form FMC 1) untuk kapal perikanan di atas 60 GT dan seluruh Kapal Ikan Asing. (6) Tidak melaporkan kepada Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, sesuai dengan waktu yang ditetapkan pada saat docking kapal, penggantian transmitter, penggantian surat izin, perubahan pemilik, nama fungsi, dan keagenan kapal perikanan, proses
59
penegakan hukum yang sedang dijalani, tidak beroperasinya kapal perikanan, tidak diperpanjangnya izin kapal perikanan dan force majeure. (7) Tidak melaporkan perubahan kepemilikan, keagenan, nama, spesifikasi, dan perizinan kapal perikanan, serta perubahan nomor ID transmitter, kepada Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.
2) Pelanggaran operasional kapal perikanan Pelanggaran operasional kapal perikanan adalah pelanggaran yang dilakukan oleh kapal perikanan terhadap ketentuan-ketentuan perizinan dan ketentuan-ketentuan lain yang berlaku yang dapat diketahui dari hasil pemantauan VMS terhadap kapal perikanan yang telah memasang transmitter seperti : (1) Perizinan (SIPI/SIKPI/SIUP); (2) Dokumen kapal/Spesifikasi; (3) Wilayah penangkapan; (4) Wilayah tertutup/terbatas; (5) Alat tangkap; dan (6) Indikasi pelanggaran seperti ; transshipment, ketaatan berlabuh di pelabuhan pangkalan, dan lain-lain. Gambar 14 berikut merupakan contoh pola pergerakkan kapal melakukan pelanggaran pair trawl yang berhasil terdeteksi. Dan pada Tabel 4 merupakan data ketaatan kapal berpangkalan berdasarkan SLO tahun 2008.
Sumber: P2SDKP, 2008
Gambar 14 Pola pergerakan kapal melakukan pelanggaran pair trawl.
60
Tabel 4 Ketaatan kapal berpangkalan berdasarkan SLO tahun 2008
N0
Pelabuhan
1 PPS Belawan 2 PPS Bungus 3 PPS Cilacap 4 PPS Nizam 5 PPN Pemangkat Zachman 6 PPN Pekalongan 7 PPN Kejawanan 8 PPN Sibolga 9 PPN Pelabuhan 10 Juwana Ratu 11 Tegalsari/Tegal 12 PU Probolinggo 13 Tanjung Pandan 14 Sungai Liat 15 Sei Rengas 16 Batam 17 Natuna/Ranai 18 TB Asahan 19 Muara Angke 20 PPN Bitung 21 PPS Kendari 22 PPN Ambon 23 PPN Ternate 24 PPN Tual 25 Pel. Benoa 26 Pel. Benjina 27 PPP Kupang 28 PPP Merauke 29 PPP Sorong 30 Pel. Dobo 31 Pel Biak 32 Kaimana Avona 33 Melanguane 34 Timika Sumber: P2SDKP, 2008
Jumlah kapal yang memiliki izin berpangkalan 249 109 365 1528 59 407 20 326 54 187 105 178 13 7 90 323 62 68 59 1306 345 1933 332 1207 1674 334 363 1079 525 407 425 96 14 87
Jumlah ketaatan kapal berpangkalan Sesuai izin 203 7 65 394 50 246 15 268 4 104 33 92 0 0 10 133 24 46 15 444 73 227 1 142 618 139 87 92 126 67 33 30 5 13
Tidak sesuai izin 9 28 7 202 12 70 6 11 32 76 16 15 5 14 23 2 5 40 74 33 20 11 0 8 32 26 15 24 16 54 3 20 0 6
Kapal yang tidak berpangkalan
46 102 300 1134 9 161 5 58 50 83 72 86 13 7 80 190 38 22 44 862 272 1706 331 1065 1056 195 276 997 399 340 392 66 9 74
Tingkat ketaatan (%)
81,53 6,42 17,81 25,79 84,75 60,44 75,00 82,21 7,41 55,61 31,43 51,69 0 0 11,11 41,18 38,71 67,65 25,42 34,00 21,16 11,74 0,30 11,76 36,92 41,62 23,97 8,53 24,00 16,46 7,76 31,25 35,71 14,94
61
3) Proses penanganan pelanggaran Proses penanganan pelanggaran kapal perikanan yang telah terjadi yaitu dengan : (1) Dilakukan proses hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan mengenakan sanksi administratif dan sanksi pidana; dan (2) Dilakukan pemantauan terhadap tindak lanjut penanganan pelanggaran.
4.1.8 Sanksi Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No.PER.03/MEN/2007, tentang Surat Laik Kapal Perikanan 1) Sesuai dengan pasal 10 dinyatakan bahwa : bagi kapal perikanan yang dinyatakan tidak memenuhi persyaratan adminitrasi dan kelayakan teknis operasional, tidak diterbitkan Surat Laik Operasi (SLO); 2) Bagi kapal perikanan yang tidak memenuhi syarat untuk diterbitkan SLO, pengawas perikanan merekomendasikan kepada syahbandar untuk tidak menerbitkan Surat Izin Berlayar (SIB); 3) Sesuai dengan pasal 8 dinyatakan bahwa: persyaratan kelayakan teknis operasional, diantaranya keberadaan dan keaktifan alat pemantau perikanan; serta 4) Dengan demikian apabila kapal perikanan tidak dilengkapi dengan transmitter atau dilengkapi transmitter tetapi tidak aktif/ tidak dapat terpantau di pusat pemantauan kapal perikanan, maka tidak diterbitkan SLO Berdasarkan
peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No.
PER.05/MEN/2007, tentang Penyelenggaran Sistem Pemantauan Kapal Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan dapat memberikan sanksi apabila orang atau badan hukum atau pengusaha atau pemilik kapal melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan sistem pemantauan kapal perikanan, dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Setiap orang dan/atau badan hukum yang menggunakan kapal perikanan berukuran 60GT ke atas dan seluruh kapal perikanan asing yang tidak dilengkapi transmitter dikenakan sanksi pidana berdasarkan pasal 100 undang-undang no. 31 tentang perikanan;
62
2) Setiap orang dan/atau badan hukum yang menggunakan kapal perikanan berukuran 60GT ke atas dan seluruh kapal perikanan asing yang tidak mengaktifkan transmitter secara terus menerus dan membayar air time dikenakan sanksi pidana berdasarkan pasal 100 Undang-Undang No. 31 tentang perikanan. 3) Bagi pengguna transmitter yang: (1) Tidak mendaftarkan transmitter (yang dilengkapi no. ID, no. Seri, jenis, tipe, merk, spesifikasi, provider, dokumen pembelian, dokuman pembayaran air time, bukti aktifasi dari provider), kepada Direktorat Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan Perikanan dan Kelautan yang dipasang pada kapal perikanan berukuran di atas 60GT dikenakan sanksi pidana sesuai dengan pasal 100 undang-undang no. 31 tentang perikanan; (2) Tidak melakukan perubahan kepemilikan, keagenan, nama, spesifikasi dan perizinan kapal perikanan, serta perubahan ID transmitter kepada Direktorat Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan Perikanan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan pasal 100 UndangUndang No. 31 tentang perikanan; serta (3) Menggunakan kapal perikanan berukuran di atas 60 GT dan seluruh kapal perikanan asing yang dilengkapi SIPI dan/atau SIKPI tetapi tidak dilengkapi surat keterangan aktivasi transmitter yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan Perikanan (FORM FMC 1), dikenakan sanksi pidana sesuai dengan pasal 100 Undang-Undang No. 31 tentang perikanan. 4)
Bagi pengguna transmitter yang: (1) Tidak memberi informasi posisi kapal perikanan ke pusat pemantauan kapal perikanan, Direktorat Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya kelautan perikanan, sekurang-kurangnya setiap jam sekali kecuali dalam keadaan docking dan/atau kapal perikanan sedang tidak beroperasi, dikenakan sanksi adminitratif berupa penerbitan surat peringatan I, II, dan III disertai surat rekomendasi pencabutan izin
63
dan/atau sanksi pidana sesuai dengan pasal 100 Undang-Undang No. 31 tentang perikanan. (2) Tidak
melaporkan
kepada
Direktorat
Jendral
Pengawasan
dan
Pengendalian Sumberdaya Kelautan Perikanan mengenai hal-hal yang terkait dengan kapal dan/atau transmitter sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan seperti : a) Docking kapal, selambat-lambatnya satu bulan sebelum pelaksanaan docking; b) Penggantian transmitter, selambat-lambatnya satu minggu sebelum dilaksanakan penggantian; c) Penggantian surat izin, selambat-lambatnya satu bulan sebelum dilaksanakan penggantian; d) Perubahan pemilik, nama, fungsi, dan keagenan kapal perikanan selambat-lambatnya satu minggu sebelum dan satu minggu sesudah dilaksanakan perubahan; e) Proses penegakan hukum yang sedang dijalani, selambat-lambatnya dua hari sejak dimulai penyelidikan; f) Tidak beroperasinya kapal perikanan, selambat-lambatnya satu minggu sejak kapal tidak beroperasi; g) Tidak diperpanjang izinnya kapal perikanan, selambat-lambatnya satu bulan sebelum habisnya masa berlaku izin; dan h) Force Majeure, selambat-lambatnya satu minggu sesudah kejadian dilengkapi dengan laporan kejadian dan berita acara dari pihak berwajib. Sanksi administratif akan dikenakan berupa surat peringatan I, II dan III disertai surat rekomendasi pencabutan izin dan/atau sanksi pidana sesuai dengan pasal 100 Undang-Undang No. 31 tentang perikanan 5) Sanksi administratif dan/atau pidana sebagai mana yang dimaksud pada ayat (3), dikenakan dengan tahapan sebagai berikut: (1) Diberikan peringatan I oleh Direktorat Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan Perikanan;
64
(2) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak terbitnya peringatan tertulis I, pengguna transmitter tidak melaksanakan isi peringatan tertulis I, diberikan peringatan II; (3) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak terbitnya perimgatan tertulis II, pengguna transmitter tidak melaksanakan isi peringatan tertulis I, diberikan peringatan III, disertai dengan rekomendasi pencabutan izin kepada Direktur Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan Perikanan tidak menerbitkan Surat Laik Operasi; dan (4) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak terbitnnya
perimgatan
tertulis
III,
pengguna
transmitter
tidak
melaksanakan isi peringatan tertulis III dan Direktur Jendral Perikanan Tangkap tidak mencabut izin, penyidik pegawai negeri sipil perikanan berhak menahan izin kapal perikanan yang bersangkutan dan dilakukan proses hukum berdasarkan pasal 100 Undang-Undang No. 31 tentang perikanan. 6)
Sanksi terhadap penggunaan transmitter milik negara: (1) Kerusakan yang mengakibatkan tidak berfungsinya transmitter maka perusahaan atau pemilik kapal atau agen perusahaan dikenakan sanksi berupa penggantian tranmitter baru; (2) Kerusakan yang terjadi pada keseluruhan ataupun bagian-bagian dari transmitter, maka pihak pengguna wajib memperbaiki dan/atau mengganti dengan transmitter baru; dan (3) Kehilangan transmitter karena berbagai sebab, termasuk force majeure, maka pihak pengguna wajib mengganti dengan transmitter baru yang sejenis
65
4.2
Pembahasan
4.2.1 Persepsi pelaku perikanan Di dalam pelaksanaan sistem pemantauan kapal perikanan (VMS) di Indonesia, banyak ditemukan pendapat-pendapat atau persepsi dari para pelaku perikanan. Dari mereka dapat diketahui berbagai hal teknis dalam pelaksanaan VMS, baik itu berupa kelebihan maupun kekurangan yang ditimbulkan dari program ini. Dan itu semua di dapat dari pengalaman-pengalaman mereka selama berpartisipasi dalam program VMS. Salah satu kekurangannya adalah biaya yang harus mereka keluarkan untuk kepartisipasian dalam program ini menurut mereka dinilai terlalu mahal. Mereka harus membeli transmitter untuk dipasang pada kapal mereka yang harga satu unitnya berkisar dua puluh juta hingga tiga puluh juta rupiah. Biaya airtime yang harus dibayarkan setiap satu tahunnya yang juga tidak kecil yaitu berkisar enam juta hingga delapan juta rupiah pertahunnya. Biaya ini tentunya akan menambah biaya tetap dan biaya operasional penangkapan ikan. Menurut kebanyakan kapten dan ABK kapal, biaya ini masih terlalu mahal karena dengan bertambahnya biaya ini akan mengurangi pendapatan mereka. Selain biaya pembelian dan pembayaran airtime, biaya tersebut akan bertambah jika terjadi kerusakan terhadap transmitter. Kerusakan yang terjadi akan menjadi tanggung jawab pemilik kapal.
Kerusakan transmitter tersebut
harus segera diperbaiki oleh provider. Perbaikan ini tentunya akan mengeluarkan biaya perbaikan. Biaya perbaikkan untuk teknisinya sekitar satu juta lima ratus ribu rupiah per satu kali perbaikkan. Biaya tersebut belum termasuk dengan komponen yang harus diganti jika terdapat yang rusak. Karena dalam setiap pembelian tidak berlaku garansi yang diberikan pihak provider. Jika transmitter tersebut tidak dapat diperbaiki, maka harus diganti dengan yang baru. Dengan demikian akan terus menambah biaya yang harus dikeluarkan pemilik kapal. Menurut pengawas perikanan di pelabuhan bahwa pada awal pelaksanaan periode kedua program vessel monitoring system, banyak ditemukan terjadinya kerusakan transmitter. Kerusakan yang terjadi disebabkan oleh kejadian force majeure atau lebih sering dikarenakan kondisi kapal yang tidak mendukung. Kerusakan yang sering dialami adalah putusnya sikring pada transmitter atau
66
kabel yang putus karena gigitan tikus. Hal ini dapat terjadi karena kondisi wheel house yang terlalu berantakan disekitar transmitter. Seharusnya kejadian ini tidak harus terjadi jika saja terdapat pengetahuan yang cukup dari kapten kapal ataupun ABK. Transmitter yang tidak aktif di tengah laut sering dianggap bahwa sengaja dilakukan oleh kapten kapal. Akan tetapi tidak semuanya kejadian tersebut benar, karena sering ditemukan kapal yang transmitternya mati bukan karena sengaja dimatikan akan tetapi kapten atau ABK kapal tidak tahu kalau transmitternya telah tidak aktif.
Jika seperti ini keadaannya akan menghalangi kegiatan
penangkapan, karena transmitter pada kapal tersebut harus segera diperbaiki dan jika tidak kapal harus segera merapat ke pelabuhan terdekat yang selanjutnya dilakukan perbaikan oleh pengawas perikanan di pelabuhan tersebut. Kerusakan tersebut harusnya dapat diatasi sendiri oleh kapten ataupun ABK kapal perikanan. Namun karena kurangnya pengalaman dan sosialisasi kepada mereka dalam menangani kerusakan kecil transmitter diatas kapal, membuat mereka merasa takut untuk bertindak.
Walaupun telah terdapat panduan
pemeliharaan transmitter yang diberikan oleh pihak provider, mereka tetap tidak mengetahui cara pelaksanaannya.
Hal ini disebabkan tidak adanya tindakan
langsung dalam latihan penanganan pemeliharaan transmitter. Salah satu pemilik kapal yang juga merupakan anggota Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) menyatakan bahwa kewajiban menggunakan transmitter sangat berpengaruh besar terhadap usaha perikanannya. Setiap kapal penangkapan ikan tuna untuk ekspor wajib memiliki transmitter.
Hal ini
disebabkan ikan tuna yang ditangkap oleh kapal yang tidak memiliki transmitter akan dikembalikan kembali atau ditolak untuk pasar ekspor. Ketetapan ini sudah menjadi keputusan atau peraturan dalam asosiasi tuna longline dunia. Pemeriksaan yang dilakukan pengawas perikanan terhadap kapal perikanan di tengah laut, menurut salah satu kapten kapal mengatakan bahwa pemeriksaan pertama kali adalah pengecekan transmitter. Saat ini pemeriksaan kapal lebih diutamakan kelengkapan transmitter yang dimiliki kapal ukuran 30 GT ke atas. Pengecekan ini untuk mengetahui kondisi transmitter yang telah terpasang. Jika di kapal tidak dilengkapi transmitter atau transmitter tidak aktif, maka pengawas
67
langsung melakukan hendrik (kegiatan membawa kapal perikanan ke pelabuhan terdekat oleh pengawas kapal perikanan yang terbukti melakukan pelanggaran) terhadap kapal tersebut. Ketika dalam penerimaan sinyal dari unit transmitter setelah dilakukan pemasangan di atas kapal terdapat pula kendala yang dihadapi.
Menurut
pengawas perikanan di pelabuhan, bahwa sering terjadi keterlambatnya penerimaan sinyal oleh pusat pemantauan kapal perikanan dalam menerima sinyal dari transmitter yang telah diaktifkan. Kendala tersebut seharusnya tidak terjadi, karena setelah dilakukan pengecekan kepada pihak provider, bahwa transmitter tersebut telah terpantau oleh provider. Kendala tersebut akan merugikan pihak nelayan. Terjadinya hal ini akan menghambat kegiatan penangkapan. Pemilik kapal sesekali mengecek posisi kapalnya. Akan tetapi tampilan gambar yang ada menurutnya masih sangat kurang.
Tampilan yang hanya
berbentuk titik dan garis pola pergerakkan belum sepenuhnya dapat mewakili kegiatan kapal tersebut. Mereka belum mengetahui cara mengartikan tampilan tersebut. Beda halnya jika tampilan tersebut berupa gambar asli yang direkam oleh satelit.
Seperti salah satu program internet Google Earth yang pernah
mereka lihat. Tampilan gambar yang disajikan dapat memperlihatkan keadaan muka bumi dari satelit. Jika seperti ini tentunya akan membantu mereka melihat kapalnya di laut. Pengawas perikanan berpendapat bahwa program VMS tidak dapat mengurangi praktek IUU fishing yang dilakukan oleh kapal perikanan. Menurut mereka jika hanya mengandalkan VMS untuk mengurangi illegal fishing sangat kecil peluangnya. Setiap kapal perikanan akan terus mencari cara untuk terhindar dari pengawasan dan akan tetap mencari keuntungan dari sumberdaya ikan yang ada di Indonesia. Jadi menurut mereka VMS hanya dapat mengawasi pergerakan kapal. Hasil rekaman pergerakkan dapat sebagai bukti persidangan jika terdapat kapal yang telah melakukan pelanggaran. Salah satu tindakan yang dilakukan ABK kapal perikanan agar terhindar dari pengawasan adalah memindahkan transmitter kepada kapal lain. Menurut pengawas perikanan bahwa sering ditemui pelanggaran seperti ini. Cara ini yang sering dilakukan ABK kapal perikanan saat ini.
Jadi seharusnya terdapat
68
perbaikkan dalam instalasi pemasangan dari provider yang membuat agar transmitter tersebut tidak dapat dipindah-pindahkan. Setiap unit transmitter yang dikeluarkan oleh provider juga memiliki kelemahan.
Menurut pengawas perikanan, transmitter-transmitter tersebut
memiliki kelemahan mengirimkan sinyal di wilayah perairan tertentu. Di dalam pengawasan, transmitter tertentu tidak dapat terdeteksi di pusat pemantauan kapal perikanan. Seperti argos yang tidak dapat terdeteksi di wilayah perairan timur Indonesia.
Hal ini karena posisi satelit yang orbit lintasannya tidak dapat
mendeteksi daerah tersebut. Jika seperti ini tentunya akan menghambat proses pengawasan.
Oleh karena itu kapal perikanan yang wilayah operasi
penangkapannya di daerah tersebut harus memasang transmitter yang dapat terdeteksi di daerah tersebut. Manfaat yang seharusnya diterima juga sangat kurang atau tidak dirasakan langsung oleh pengguna transmitter. Menurut beberapa nelayan bantuan sering terlambat ataupun tidak ada bantuan sama sekali ketika terjadi masalah terhadap kapalnya. Hal ini membuat pengguna transmitter merasa tidak mendapatkan keuntungan dari pemasangan transmitter. Selain itu manfaat yang diberikan dari VMS yaitu pemilik dapat memantau kapalnya bagi mereka tidak berpengaruh besar. Menurut mereka hal semacam itu dapat mereka lalukan dengan radio komunikasi ataupun telepon selular. Cara ini cukup mudah dilakukan dan murah. Jika dilihat tingkat pengetahuan tentang VMS dari nelayan pemilik kapal, kapten, maupun ABK kapal sangat berbeda. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini: Tabel 5 Tingkat pengetahuan tentang VMS
Nelayan ABK Nakhoda Pemilik
Sangat tidak mengetahui 15 4 0
Mengetahui 5 4 2
Sangat mengetahui 0 2 3
Jumlah 20 10 5
Berdasarkan Tabel 5 diatas, masih banyak ditemukan kekurang-pahaman dari para pelaku perikanan seperti pemilik kapal, nakhoda, serta ABK kapal. Hasil wawancara yang dilakukan pada kapal perikanan di PPS Nizam Zachman
69
menunjukkan bahwa masih banyak pelaku perikanan tidak mengetahui maksud, tujuan, maupun manfaat dari sistem pemantauan kapal perikanan ini. Hasil wawancara sebanyak lima belas orang dari dua puluh responden pada posisi sebagai ABK dihasilkan bahwa mereka sangat tidak mengetahui tentang VMS.
Lima
orang ABK lainnya mengetahui VMS.
Akan tetapi tingkat
kepahaman mereka hanya sebatas tentang fungsinya. Mereka mengatakan bahwa VMS dapat menampilkan posisi kapal mereka di layar monitor. Pengetahuan ini mereka dapat dari informasi yang berasal dari kapten kapal mereka. Hal yang sama terjadi pada posisi nakhoda atau kapten kapal. Tingkat pemahaman mereka tentang VMS masih belum terlalu banyak. Dari sepuluh orang responden pada posisi nakhoda, terdapat empat orang sangat tidak mengetahui, empat orang mengetahui, dan dua orang yang sangat mengetahui. Mereka mendapatkan pengetahuan tentang VMS dari lingkungan dan pemilik kapal. Dua orang nakhoda yang sangat mengetahui tentang VMS mengatakan bahwa tidak ada sosialisasi yang diberikan tentang VMS. Akan tetapi mereka telah mengetahui fungsi, cara kerja, dan manfaat yang dapat diterima dengan pemasangan transmitter pada kapalnya. Di lain pihak pemahaman tentang VMS yang dimiliki oleh pemilik kapal sangat berbeda dengan nakhoda ataupun kapten kapal.
Fungsi, tujuan, manfaat, bahkan cara kerja sistem ini cukup mereka
ketahui. Teknologi informasi yang membantu pemilik kapal mengetahui semua tentang VMS.
4.2.2 Persepsi peneliti Vessel monitoring system (VMS) memiliki fungsi dan manfaat untuk memantau kapal perikanan yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia. Di dalam PERMEN No PER. 05/MEN/2007 tentang penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan terdapat empat tujuan penyelenggaraan. Keempat tujuan tersebut telah terlaksana dengan baik yang menjadi kelebihan sistem ini. Selain kelebihan yang diperoleh, jika dilihat pada pelaksanaannya masih banyak kekurangan atau kendala yang terjadi. pengguna maupun di tingkat pengawasan.
Kendala tersebut terjadi di tingkat
70
Tujuan pertama yaitu meningkatkan efektivitas pengelolaan sumberdaya ikan melalui pengendalian dan pemantauan terhadap kapal perikanan hingga saat ini sudah dijalankan dengan baik. Dengan pemasangan transmitter pada kapal perikanan akan memudahkan pemantauan kapal perikanan yang akan berdampak langsung terhadap peningkatan efektivitas pengelolaan sumberdaya ikan. Akan tetapi terdapat pula kelemahan dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Pemantauan terhadap kapal ikan belum sepenuhnya dapat mengelola sumberdaya ikan. Masih sering ditemukan pelanggaran yang dilakukan kapal perikanan dalam operasinya. Kapal ikan melakukan pelanggaran dengan memanfaatkan kelemahan dari sistem ini, seperti mematikan transmitter ditengah laut. Pusat pemantauan kapal perikanan mengetahui hal ini dan mengirimkan surat peringatan kepada pemilik kapal untuk disampaikan kepada kapten kapalnya. Tetapi apakah transmitter yang tidak aktif benar karena kerusakan yang terjadi di atas kapal atau memang kesengajaan yang dilakukan kapal perikanan. Di dalam kasus ini pengawas di FMC hanya mengawasi dan tidak dapat bukti, maka VMS belum sepenuhnya efektif dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Tujuan yang kedua meningkatkan efektivitas pengelolaan usaha perikanan yang dilakukan oleh perusahaan perikanan.
Sebelum VMS dilaksanakan di
Indonesia, para pengusaha perikanan yang dalam hal ini adalah pemilik kapal, tidak dapat mengetahui keberadaan dan kondisi kapal mereka ketika melakukan operasi penangkapan. Komunikasi yang dilakukan hanya dengan menggunakan radio atau telepon satelit.
Ini tidak membantu banyak dalam mengetahui
keberadaan kapalnya. Salah satu pelaksanaannya adalah dengan memberikan fasilitas website VMS yang dikelola oleh Direktorat Sarana dan Prasarana Pengawasan. Website tersebut akan menampilkan pergerakan dan posisi kapal perikanan di perairan Indonesia. Tujuan tersebut diharapkan dapat membantu perusahaan perikanan. Efeknya sudah cukup dirasakan oleh perusahaan perikanan, akan tetapi masih terdapat sedikit kekurangan. Tampilan yang menggambarkan pola garis pergerakan kapal menyulitkan perusahaan perikanan mengartikannya.
Perlu
dilakukan sosialisasi kepada pengguna website dalam mengartikan maksud pola pergerakan tersebut, serta perbaikkan tampilan gambar di website.
71
Tujuan ketiga meningkatkan ketaatan kapal perikanan yang melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini ketaatan hanya terjadi dengan pemasangan transmitter pada kapal perikanan yang melakukan operasi penangkapan ikan di Indonesia. Pelaksanaan operasi perikanan di laut, masih banyak pelanggaran yang dilakukan kapal perikanan. Di dalam penangkapan, masih terdapat kapal perikanan yang berusaha mencari cara untuk terhindar dari pengawasan. Hal ini disebabkan tujuan mereka mencari ikan sebanyak mungkin. Jadi peningkatkan efektivitas ketaatan kapal perikanan tidak akan terlaksana dengan program ini, jika tidak ada kerjasama dari kapal perikanan tersebut. Tujuan keempat memperoleh data dan informasi tentang kegiatan kapal perikanan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Tujuan keempat ini telah terlaksana dengan baik. Terpasangnya transmitter pada kapal perikanan akan diperoleh data dan informasi mengenai posisi dan pergerakan kapal. Hal tersebut akan membantu pengelolaan sumberdaya perikanan. Berdasarkan empat tujuan dari penyelengaraan sistem pemantauan kapal perikanan yang dilakukan oleh DKP hanya tiga tujuan dirasakan dapat terlaksana dengan baik. Ketiga tujuan tersebut seperti meningkatkan efektivitas pengelolaan sumberdaya ikan melalui pengendalian dan pemantauan terhadap kapal perikanan, meningkatkan efektivitas pengelolaan usaha perikanan yang dilakukan oleh perusahaan perikanan, dan memperoleh data dan informasi tentang kegiatan kapal perikanan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Hal ini menjadi suatu manfaat yang diterima oleh pemerintah dari pelaksanaan sistem pemantauan kapal perikanan.
Sedangkan apa yang
menjadi manfaat bagi pemilik kapal dengan mengikuti program ini. Di dalam pelaksanaan sistem pemantauan kapal perikanan manfaat bagi pengusaha/pemilik kapal menurut Mukhtar (2008) terdapat dua yaitu dapat memanfaatkan informasi dari Vessel Monitoring System untuk memantau keberadaan dan perilaku kapal di laut melalui website dan dapat memanfaatkan informasi Vessel Monitoring System untuk keadaan darurat (pembajakan, kebakaran, tenggelam dan lain-lain). Akan tetapi hingga saat ini pemilik kapal
72
hanya menerima satu dari dua manfaat yaitu memudahkan pemantauan kapalnya ketika beroperasi.
Sedangkan jika terjadi kecelakaan atau sesuatu hal yang
menimpa tidak dengan cepat bantuan yang dijanjikan datang ke lokasi. Berdasarkan
perbandingan
jumlah
manfaat
yang
diperoleh
antara
pemerintah dan pemilik kapal/nelayan sangat tidak berimbang. Jumlah manfaat yang diperoleh pemerintah lebih banyak dibandingkan dengan pemilik kapal. Jika dilihat dari pelaksanaannya pemerintah hanya sebagai pengelola sistem, sedangkan pemilik kapal sebagai pengguna yang harus mengeluarkan biaya pembelian transmitter dan pembayaran airtime setiap tahunnya. Pemilik kapal merasa dengan penggunaan transmitter sangat tidak menguntungkan. Karena dengan penambahan penggunaan transmitter di kapal, akan meningkatkan beban biaya operasional. penangkapan
yang
dilakukan
kapal
Selain itu kerahasiaan operasi
perikanan
akan
mudah
diketahui.
Kenyataannya setiap kapal menginginkan daerah penangkapan ikan yang menguntungkan tidak diketahui oleh kapal lain. Oleh karena itu pelaksanaan sistem ini dirasakan masih belum dapat terlaksana dengan baik dan tidak mampu menguntungkan pemerintah dan pelaku perikanan, sehingga kekurangan masih terjadi dalam sistem pemantauan kapal perikanan. Berdasarkan hasil observasi masih banyak ditemukan kekurangan atau hambatan dalam pelaksanaan sistem pemantauan kapal perikanan. Seperti dalam pemasangan dan pendaftaran transmitter. Prosedur yang harus dilakukan oleh perusahaan perikanan terlampau lama dan rumit. transmitter,
pengguna
harus
mendaftarkannya
Ketika mendaftarkan
sekretariat
VMS
gedung
Departemen Kelautan dan Perikanan. Akan menggangu atau mempersulit kapal atau pemilik yang berada jauh dari Departemen Perikanan dan Kelautan dalam mendaftarkan transmitternya.
Ini menjadi hambatan besar bagi perusahaan
perikanan. Ketika pendaftaran transmitter untuk mendapatkan SKAT juga harus menunggu transmitter pada kapalnya dapat terpantau di Pusat Pemantauan Kapal Perikanan.
Server yang terlambat atau tidak dapat menerima sinyal akan
menghambat kapal yang akan melakukan operasi. diaktifkan dan dapat terpantau pada monitor provider.
Padahal transmitter telah
73
SKAT yang dikeluarkan harus disahkan dengan ditandatangani oleh Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan.
Akan tetapi akan menjadi satu
hambatan lagi bagi pengguna transmitter jika direktur tidak berada ditempat atau sedang menjalani tugas lain.
Kapal yang seharusnya sudah dapat berangkat
beroperasi menjadi terhambat dengan terjadinya hal ini. Jika hambatan-hambatan tersebut dapat diminimalisir atau tidak ada sama sekali akan membantu cepatnya proses pemasangan dan pendaftaran transmitter. Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan sistem ini. Transmitter negara yang dipinjam oleh pemilik kapal terdapat prosedur yang merumitkan para peminjam. Peminjam harus melakukan permohonan izin peminjaman yang rumit. Transmitter milik negara yang seharusnya membantu nelayan yang tidak mampu membeli transmitter, kini merasa disusahkan dengan prosedur yang rumit. Pengguna transmitter langsung dalam hal ini adalah kapten dan ABK kapal sering dipersulit jika transmitternya rusak. Kurangnya sosialisasi kepada kapten atau ABK kapal membuat pelaksanaanya terhambat. Meskipun telah terdapat panduan pemeliharaan dan perbaikan transmitter, mereka masih segan atau takut bertindak untuk memperbaiki. Hal ini karena mereka tidak mengetahui maksud dan cara penanganannya jika hanya dengan membaca panduan.
Komponen-
komponen pada transmitter belum mereka ketahui. Jadi jika terjadi kerusakan, kapten kapal tidak tahu komponen mana yang rusak pada transmitter. Jarak tempat atau lokasi pengguna transmitter dengan FMC akan menjadi kendala dalam pelaksanaan sistem ini. Jarak ini akan mempersulit pengguna ketika akan melakukan perizinan terhadap kapalnya. Pengguna yang berada jauh akan menggunakan jasa agen yang tentu akan menambah biaya yang dikeluarkan. Seperti yang banyak terjadi di PPS Nizam Zachman, pemilik kapal yang berada jauh sedangkan kapalnya berpangkalan di Jakarta akan menggunakan jasa agen untuk mengurus perizinannya. Jasa agen ini yang selama ini membantu perizinan kapal yang pemiliknya berada jauh. Jarak yang menjadi hambatan selama ini mungkin akan dapat teratasi dengan membuat tempat pengawasan transmitter tersebut di setiap pelabuhan pangkalan kapal perikanan.
Seperti pelaksanaan transmitter offline, bahwa
74
pengawas perikanan di pelabuhan dapat langsung melihat kegiatan kapal setelah kapal berlabuh dengan pengawasan langsung ke kapal tersebut. Jika pemantauan transmitter online juga dilaksanakan di pelabuhan pangkalan dengan terdapat unit alat pegawasan, tentunya akan mempersingkat waktu penindakan pelanggaran jika terbukti terdapat pelanggaran. Proses pengawasan kapal perikanan yang dilakukan di Pusat Pemantauan Kapal Perikanan dirasakan juga memiliki sedikit kekurangan.
Di dalam
pengawasan kapal perikanan hanya dilakukan oleh sepuluh orang operator yang telah dibagi berdasarkan alat tangkap. kurang jika dilihat kefektifannya.
Jumlah operator ini dirasakan sangat
Kapal perikanan yang telah memasang
transmitter pada kapal yang sudah mencapai dua ribu sembilan ratus unit pada tahun 2008. Jika dilihat maka setiap operator harus mengawasi kapal perikanan sekitar dua ratus sembilan puluh unit. Pengawasan terhadap kapal perikanan tiap harinya tidak optimal. Dengan keterbatasan operator maka pengawasan terhadap satu unit kapal tidak dapat dilakukan setiap harinya. Dengan begitu akan mengurangi proses pengawasan kapal perikanan. Kapal yang tidak terawasi pada saat melakukan pelanggaran tidak akan dapat langsung diambil tindakan penegakkan sanksi. Kapal perikanan yang telah memasang transmitter tidak menutup kemungkinan tetap melakukan pelanggaran. Hal ini disebabkan yang terawasi hanya pola pergerakan kapal dan posisinya. Pelaku perikanan akan mencari cara untuk tetap melakukan pelanggaran. VMS yang diharapkan dapat menghilangkan praktek IUU fishing, tidak mungkin dapat terjadi. Hal ini dikarenakan fungsi sistem ini yang hanya melakukan pengawasan tidak dapat kegiatan yang dilakukan kapal perikanan secara langsung. Berikut Tabel 6 berisikan jenis tindak pidana yang dilakukan oleh kapal perikanan selama tahun 2004 hingga 2008.
75
Tabel 6 Jenis tindak pidana Jenis tindak pidana Tanpa ijin Alat tangkap terlarang Tanpa ijin dan alat tangkap Pemalsuan dokumen Dokumen tidak lengkap Electrical fishing Bahan peledak/Bom Fishing ground Fishing ground dan alat tangkap Pengangkutan ikan (transhipment) Menampung ikan tidak sesuai SIKPI Tanpa keterangan jenis tindak pidana sTranshipment dan alat tangkap Tidak ada transmitter Pencurian terumbu karang Alat tangka tidak sesuai ijin (SIPI) Jumlah
2004 53 70 9 2 1 9 7 14 5 4 174
Tahun 2005 2006 26 29 36 19 37 33 1 34 9 2 24 8 18 1 11 6 1 2 5 2 165 139
2007 48 3 25 15 1 9 1 2 4 1 7 116
2008 25 2 22 7 2 3 6 10 77
Sumber: P2SDKP, 2008
Berdasarkan Tabel 6 tersebut diketahui bahwa terjadi pengurangan tindak pidana yang dilakukan kapal perikanan. Pengurangan tersebut tidak terjadi hanya dengan melakukan sistem pemantauan kapal perikanan.
Jika dilihat bahwa
pelanggaran yang terjadi sebagian besar adalah tindak pelanggaran yang kemungkinan bukan karena hasil pengawasan dengan VMS. Selama tahun 2008, jumlah pengguna transmitter terus bertambah. Dalam setiap bulannya mulai Januari hingga Desember terdapat peningkatan kapal perikanan yang memasang transmitter. Pada bulan Januari transmitter yang telah terpasang berjumlah 1278 unit transmitter dan diakhir tahun yaitu bulan Desember kapal yang memasang transmitter sebanyak 2902 unit. Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 7 data keaktifan transmitter dan Gambar 15 grafik keaktifan transmitter berikut :
76
Tabel 7 Data keaktifan transmitter Bulan Januai Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Transmitter terpasang Transmitter aktif 1278 871 1405 917 1760 1106 1959 1268 2129 1130 2320 1273 2522 1426 2638 1403 2715 1408 2798 1260 2863 983 2902 1288 Rata-rata prosentase keaktifan
Prosentase keaktifan 68 65 63 65 53 55 57 53 52 45 34 44 54.5
Sumber: P2SDKP, 2008
Desember
November
Oktober
September
Agustus
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Transmitter Terpasang Transmitter Aktif
Pebruari
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Januai
Jumlah
Data Keaktifan Transmitter Tahun 2008
Bulan
Sumber: P2SDKP, 2008
Gambar 15 Grafik keaktifan transmitter tahun 2008. Berdasarkan Tabel 7 tersebut dapat dilihat bahwa tingkat keaktifan transmitter sekitar 54,5%. Jadi walaupun telah terdapat peraturan untuk selalu mengaktifkan transmitter pada kapal perikanan, masih terdapat kapal yang tidak mengaktifkan transmitternya. Persentase terbesar hanya sekitar 68% dan terendah 34%. Dari sini terbukti bahwa tidak semua peraturan tersebut dapat terlaksana seluruhnya.
77
Berikut disajikan Tabel 8 mengenai kelemahan dan kelebihan yang terjadi dalam sistem pemantauan kapal perikanan. Kelebihan dan kelemahan tersebut diperoleh dari wawancara dan observasi yang telah dilakukan.
Tabel 8 Kelebihan dan kelemahan VMS Kelebihan
Kelemahan
Efektif dalam pengelolaan sumberdaya Prosedur pengurusan mengenai perikanan.
transmitter rumit dan lama.
Membantu perusahaan perikanan
Biaya pembelian, airtime, dan
dalam mengetahui kondisi keberadaan
perbaikkan mahal.
kapal. Diperoleh data dan informasi kegiatan
Pengetahuan penanganan dan
kapal perikanan.
pemeliharaan transmitter masih rendah.
Membantu pengawasan perikanan
Penerimaan sinyal oleh pusat
dalam program MCS.
pemantauan kapal perikanan terganggu.
Dapat menjadi bukti pelanggaran
Tampilan gambar pergerakkan kapal
dalam persidangan.
di website sulit dimengerti.
VMS membantu pengusaha tuna
VMS tidak menghentikan kegiatan
longline dalam mengekspor ikan.
IUU fishing. Tidak ada manfaat langsung yang diterima nelayan. Masih kurang sosialisasi mengenai VMS.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
1)
Sistem kerja Vessel Monitoring System (VMS) dibagi menjadi tiga, yaitu pemasang yang dilakukan oleh provider atau pengawas lapangan, pemantau oleh petugas atau operator pengawasan, dan penindak oleh Ditjen P2SDKP.
2)
Pengelolaan sistem VMS dilakukan oleh Fisheries Monitoring Centre (FMC) Jakarta sebagai pusat dan dua Regional Monitoring Centre (RMC) di Batam dan Ambon sebagai pengelolaan pendukung.
3)
Sistem pemantauan kapal perikanan memiliki dua jenis sistem pemantauan yang diterapkan pada kapal perikanan di Indonesia yaitu pemantauan dengan sistem transmitter online dan offline yang dibedakan berdasarkan dengan ukuran GT kapal.
4)
Transmitter online berlaku untuk Kapal Ikan Indonesia (KII) berukuran 60 GT ke atas dan semua Kapal Ikan Asing (KIA), sedangkan transmitter offline berlaku pada kapal berukuran 30 GT hingga 60 GT.
5)
Pelaksanaan sistem ini terdapat ketentuan mengenai transmitter yaitu prosedur pemasangan transmitter, prosedur pengembalian transmitter, pemeriksaan transmitter, kewajiban pengguna transmitter, serta pengaturan lain transmitter.
6)
Pelanggaran kapal perikanan teknis maupun operasional dikenakan sanksi berdasarkan
peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No.
PER.05/MEN/2007, tentang penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan. 7)
Persepsi pelaku perikanan mengenai VMS berpendapat bahwa sistem ini memiliki beberapa kelebihan dan masih banyak kekurangannya. Diantara persepsi tersebut pengusaha perikanan mudah memantau kapalnya. Pendapat pelaku perikanan lebih banyak menyatakan bahwa VMS lebih banyak menyulitkan dan merugikan nelayan baik dari pengadaan transmitter maupun pelaksanaannya.
79
8)
Manfaat yang diterima oleh pemerintah adalah meningkatkan efektivitas pengelolaan sumberdaya ikan melalui pengendalian dan pemantauan terhadap kapal perikanan, meningkatkan efektivitas pengelolaan usaha perikanan yang dilakukan oleh perusahaan perikanan, dan memperoleh data dan informasi tentang kegiatan kapal perikanan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan
9)
Manfaat yang diterima pemilik kapal atau nelayan hanya sebatas untuk memantau keberadaan dan perilaku kapal di laut yang dilakukan melalui Website.
5.2
Saran
1)
Direktorat Perikanan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan hendaknya perlu melakukan perbaikan sistem pemantauan kapal perikanan dalam proses pengurusan transmitter, proses analisis data transmitter, pelaksanaan transmitter di kapal dan penampilan gambar pada website VMS.
2)
Perlu dilakukan sosialisasi dan pelatihan terhadap pelaku perikanan (pengusaha, nakhoda, dan ABK kapal) mengenai tujuan, manfaat, cara teknis pengelolaan, dan perawatan transmitter.
3)
Perlu penelitian tentang pengaruh VMS terhadap pelanggaran kapal perikanan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Caphlin, J. P. 1999. Kamus Lengkap Psikologi. Edisi 5. Jakarta: Raja Grafindo Persada. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No: Kep 60/MEN/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di ZEEI. Jakarta: DKP. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. UU No. 31 Tentang Perikanan. Jakarta: DKP [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: Permen. 03/MEN/2007 tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: Permen. 05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Jakarta: DKP. Direktorat Jenderal Perikanan. 1994. Pola Pengembangan dan Pengelolaan Berkelanjutan di ZEEI. Jakarta: Departemen Pertanian. 141 hal. Direktorat Sarana dan Prasarana Pengawasan. 2008. Standar Operasional Prosedur Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (Vessel Monitoring System). Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 34 hal. FAO. 1995. Code of Conduct For Responsible Fisheries. ROMA. 218 hal. FAO. 1998. Technical Guidelines for Rensponsible Fisheries - Fishing Operaions - 1 Suppl. 1 - 1. Vessel Monitoring Systems. Roma Fyson, J. 1985. Design of Small Fishing Vessels. England: Fishing News Book. Handayaningrat. 1994. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen CV. Haji Mas Agung. Jakarta. 172 hal. Herryanto, D. 2008. Persepsi Masyarakat Pesisir di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Latar, A.R. 2004. Strategi Kebijakan Untuk Penanggulangan Kegiatan IUU Fishing di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia Utara Papua [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
81
Leavitt, Hj. 1978. Psikologi Manajemen. Muslichah Zarkasi, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Managerial Psychology. Mansur, A. 2007. Kinerja Pengawasan Kapal Perikanan (Studi Kasus di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta). [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Mukhtar. 2008. Pengaturan Penggunaan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (Vessel Monitoring Sistem). [terhubung tidak berkala]. www.mukhtarapi.blogspot.com/2008/09/pengaturan-penggunaan-vms.html. [17 Juli 2009]. Myers, D. 1999. Social Psychology. USA: Mc Grow-Hill College. Nomura, M dan T. Yamazaki. 1977. Fishing Techniques I. Tokyo: Japan Internasional Cooperation Agency.206 hal. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: Permen. 05/MEN/2007. Tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. P2SDKP. 2008. IUU Fishing in Indonesia. Jakarta P2SDKP. 2008. The Policy of Surveillance and Control for Marine Resources and Fisheries. Jakarta Rakhmat, J. 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sukmalana, S. 2004. Peranan dalam MSDM Organisasi Bisnis Global. Modul (tidak dipublikasikan). Bandung. Widodo. 2003. Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Perairan ZEE Indonesia dan Sekitarnya. Balai Riset Perikanan Laut. Jakarta: Departemen Kelautan Perikanan. 37 hal. Wirjono, P. 1984. Hukum Laut Bagi Indonesia. Bandung: PT. Sumur Bandung. 205 hal. Yuniarti, NT. 2000. Persepsi Masyarakat Pesisir Terhadap Pendidikan Formal di Pantai Pemayang. Kabupaten Tasikmalaya. Skripsi. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
83
Lampiran 1 Tampilan website www.VMSdkp.dkp.go.id
Sumber: Dirsarpras, 2008
84
Lampiran 2 Pemasangan junction box di dalam wheelhouse
85
Lampiran 3 Transmitter dari setiap provider
Argos –Argos MARGE V2
D+ SOGInmarsat Indonesia – Inmarsat D+ SAT201
Byru Marine Tracking
Iridium
PSN – Byru Marine
Amalgam – Iridium
86
Lampiran 4 Ruang pemantauan FMC
87
Lampiran 5 Ruang server FMC
88
Lampiran 6 Form 3 Lembar pemasangan transmitter
Sumber: Dirsarpras, 2008
89
Lampiran 7 Kegiatan pendaftaran dan pemasangan transmitter
Kegiatan pendaftaran transmitter
Kegiatan pemasangan transmitter
Argos - MARGE
90
Lampiran 8 Surat pendaftaran transmitter
Sumber: Dirsarpras, 2008
91
Lampiran 9 Surat pernyataan (transmitter milik sendiri)
Sumber: Dirsarpras, 2008
92
Lampiran 10 Form surat keterangan aktivasi transmitter
Sumber: Dirsarpras, 2008
93
Lampiran 11 Surat pernyataan pinjam pakai (transmitter milik negara)
Sumber: Dirsarpras, 2008
94
Lampiran 12 Surat keterangan aktivasi dan bukti pembayaran airtime dari provider VMS
Sumber: Dirsarpras, 2008
95
Lampiran 13 Form 2 Lembar peminjaman transmitter
Sumber: Dirsarpras, 2008
96
Lampiran 14 Surat pernyataan (transmitter milik negara)
Sumber: Dirsarpras, 2008
97
Lampiran 15 Form 4 Lembar pengembalian transmitter
Sumber: Dirsarpras, 2008
98
Lampiran 16 Surat perpanjangan transmitter
Sumber: Dirsarpras, 2008
99
Lampiran 17 Form 6 Lembar pemeriksaan transmitter
Sumber: Dirsarpras, 2008
100
Lampiran 18 Pemasangan transmitter di atas kapal