61
4
4.1
GAMBARAN UMUM SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN/ VESSEL MONITORING SYSTEM (VMS) DI INDONESIA Kebijakan Sistem Pemantauan Kapal Ikan (VMS) Berdasarkan buku petunjuk pemasangan transmitter dan penggunaan
Website VMS yang diterbitkan oleh Direktorat Sarana dan Prasarana Pengawasan P2SDKP, edisi I tahun 2005, disebutkan bahwa sistem pemantauan kapal perikanan di Indonesia adalah pemantauan terhadap kegiatan atau aktivitas kapal ikan berdasarkan posisi kapal yang terpantau dimonitor VMS di Pusat Pemantauan (FMC) di Jakarta atau di daerah, yaitu di RMC-Batam dan di RMCAmbon (terpantaunya posisi kapal karena transmitter yang dipasang di kapal memancarkan data posisi kapal ke satelit, kemudian diolah di Processing Centre dan disampaikan ke Pusat Pemantauan (FMC) Ditjen P2SDKP Departemen Kelautan dan Perikanan RI di Jakarta. Pembangunan Vessel Monitoring System ((VMS) di Departemen Kelautan dan Perikanan merupakan kerjasama antara Bagian Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Pengawasan (PSP) Departemen Kelautan dan Perikanan RI dengan Collecte Locatisation Satellites (CLS) France dengan Kontrak No. PL.343/PSKP-PSP/SPPK/XII/2002, yang ditandatangani tanggal 30 Desember 2002. Tahap awal pembangunan Vessel Monitoring System (VMS) di Indonesia diawali dengan adanya bantua softloan dari pemerintah Perancis ke pemerintah Indonesia sebesar 9.365.347
(sembilan juta tiga ratus enam puluh lima ribu tiga
ratus empat puluh tujuh Euro), yang merupakan realisasi dari Financial Protocol tanggal 11 Februari 2002. Dana ini merupakan pinjaman lunak untuk masa pembayaran 20 tahun termasuk grace period 5 (lima) tahun, dengan interest rate 2,35% per tahun Mulai berlakunya secara resmi penerapan VMS di Indonesia adalah sejak ditandatanganinya dasar hukum berupa Kepmen No. 29/MEN/2003 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan pada tanggal 12 Agustus
62 2003. Sebelumnya tidak ada satupun peraturan yang secara langsung dan rinci mengatur tentang penerapan VMS. Hanya ada dua Kepmen Kelautan dan Perikanan yang pada pasal tertentu menyinggung kewajiban memakai transmitter yaitu Kepmen No. 60/MEN/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di ZEEI dan Kepmen No. 10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Hasil wawancara penulis dengan Professor Martin Tsamenyi, Director Centre For Maritime Policy, University of Wollongong pada tanggal 27 juni 2003 ketika berkunjung ke Indonesia dalam acara konsultasi “Legal Framework VMS” di Departemen Kelautan dan Perikanan RI, serta komunikasi melalui e-mail (
[email protected]) diperoleh kesimpulan bahwa walaupun terdapat banyak sekali peraturan yang mengatur tentang perikanan di Indonesia, tapi tidak satupun dari peraturan tersebut yang secara khusus/spesial mengatur tentang VMS, sehingga Indonesia membutuhkan peraturan baru untuk dapat menerapkan VMS secara efektif. Dasar hukum yang paling berhubungan dengan pelaksanaan VMS di Indonesia, antara lain adalah : (1)
Dalam
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor:
KEP.60/MEN/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia disebutkan bahwa kapal perikanan yang diperoleh dengan cara usaha patungan, beli angsur atau lisensi, wajib memasang transmitter untuk kepentingan sistem pemantauan kapal Vessel Monitoring System (VMS). (2)
Demikian pula halnya dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan Bab XI Pasal 65 yang menetapkan bahwa setiap kapal perikanan wajib memasang transmitter untuk pemasangan sistem pemantauan kapal (Vessel Monitoring System).
(3)
Dan yang paling berkaitan langsung dengan pelaksanaan VMS di Indonesia adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 29/MEN/2003 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan, yang ditandatangani dan disahkan pada bulan Agustus 2003.
63 (4)
Dasar hukum yang sangat kuat mendukung pelaksanaan pengawasan perikanan adalah Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, dimana pada Bab XII Pasal 68 diamanatkan bahwa pemerintah mengadakan sarana dan prasarana pengawasan perikanan, konsekuensi dari amanat undang-undang ini adalah pemerintah harus melakukan pengawasan terhadap seluruh aktivitas pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan. Pemerintah harus segera merumuskan kebijakan kebijakan yang mendukung pelaksanaan pengawasan perikanan di Indonesia.
Keberadaan peraturan di atas, termasuk Kepmen No. 29 yang menjadi landasan utama pelaksanaan kebijakan penerapan VMS di Indonesia belum seutuhnya mampu mendorong pelaksanaan VMS di Indonesia. Sehingga pemerintah dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan membutuhkan kebijakan-kebijakan pendukung yang lebih rinci untuk dapat menerapkan VMS secara efektif, termasuk kebijakan di bidang finansial yang menyangkut pembiayaan alat transmitter dan biaya airtime. Adapun tujuan dari kebijakan penerapan VMS di Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : Kep.29/MEN/2003 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (Lampiran 3) adalah : (1)
Meningkatkan pengelolaan sumber daya ikan dengan meningkatkan pengendalian dan pemantauan terhadap kapal perikanan.
(2)
Meningkatkan pengeloaan usaha perikanan yang dilakukan oleh perusahaan perikanan.
(3)
Meningkatkan ketaatan kapal perikanan yang melakukan kegiatan penangkapan
dan/atau
pengangkutan
terhadap
ketentuan
peraturan
perundangan yang berlaku. (4)
Memperoleh data dan informasi tentang kegiatan kapal perikanan dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan secara lestari dan berkelanjutan.
64 4.2
Rencana dan Skenario Awal Pelaksanaan VMS Dalam melaksanakan kebijakan penerapan VMS ini, pada tahap awal
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) memprioritaskan untuk tahun 2003 target peserta VMS adalah kapal kapal penangkap ikan yang bobot GTnya 100 keatas (baik lokal maupun asing) sebanyak 500 kapal. Pada tahap kedua, yaitu pada tahun 2004 ditargetkan sebanya 1.000 kapal dengan bobot yang sama. Sehingga jumlah kapal penangkap ikan yang ikut dalam program VMS menjadi 1.500 kapal. Jumlah ini sesuai dengan ketentuan bantuan softloan dari Perancis. Tahap selanjutnya sesuai dengan Kepmen No. 29 tahun 2003, semua kapal di atas 30 GT yang izinnya dari pusat wajib ikut program VMS. Masalahnya apakah DKP mampu menanggung seluruh biaya untuk jumlah kapal yang diperkirakan mencapai 6.000 kapal. Apakah kita harus tergantung dengan softloan, tentunya harus dicarikan alternatif yang menguntungkan semua pihak dan memperhatikan keinginan para pengusaha. Adapun gambaran rencana awal atau skenario awal pelaksanaan VMS dapat secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: (1)
Rencana Pemasangan VMS 1) Tahun 2003, direncanakan pada tahun 2003 telah berhasil dipasang alat VMS terhadap 500 kapal perikanan asing dan lokal dengan bobot 100 GT ke atas. Seluruhnya diharapkan dapat berfungsi secara aktif sehingga dapat dilakukan pengawasan secara efektif. 2) Tahun 2004, direncanakan telah berhasil dipasang alat VMS terhadap 1.000 kapal perikanan asing dan lokal dengan bobot 50 GT ke atas, sehingga diharap sampai dengan tahun 2004 seluruh kapal Perikanan yang telah ikut secara aktif program VMS adalah sebanyak 1.500 kapal (baik lokal maupun asing).
(2)
Skenario Prioritas Target VMS. Oleh karena jumlah kapal perikanan Indonesia yang harus ikut program VMS diperkirakan mencapai lebih dari 5.000 kapal perikanan, dan jumlah kapal asing diperkirakan berjumlah 750 kapal, maka DKP membuat
65 skenario prioritas pemasangan VMS terhadap kapal perikanan sebagai berikut : 1) Prioritas Pertama, yaitu diberlakukan terhadap kapal penangkap dengan jenis alat tangkap : Pukat Udang, Pukat Ikan, Tuna Longline dan Purse Seine. 2) Prioritas Kedua, yaitu terhadap Kapal Pengangkut 3) Prioritas terakhir akan diberlakukan terhadap Kapal Pengumpul (3)
Skenario Finansial Untuk tahap awal pelaksanaan VMS, pemilik kapal tidak akan dikenakan biaya atau gratis, namun tahap pelaksanaan setelah 1.500 Transmitter terpasang, semua pengusaha aau pemilik kapal yang menggunakan TX dari DKP akan dikenakan pungutan VMS yang terdiri dari pungutan airtime dan pengutan biaya pengganti Tx.
4.3
Pelaksanaan Sosialisasi Penerapan VMS Kegiatan sosialisasi merupakan kegiatan awal yang cukup menentukan
keberhasilan rencana pelaksanaan VMS (Vessel Monitoring System) di Indonesia yang penyelenggara atau operatornya adalah Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Republik Indonesia. Dalam menyelenggarakan sistem pemantauan kapal perikanan di lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, Kepmen No. 29 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan bertindak sebagai Pengelola Sistem. Tujuan dari pelaksanaan sosialisasi tahap awal ini adalah: (1)
Sesegera mungkin menyampaikan kepada calon target program VMS bahwa sejak tahun 2003 akan dilaksanakan penerapan VMS di Indonesia, khususnya terhadap 500 kapal asing dan lokal dengan ukuran 100 GT ke atas. Dan pada tahun 2004 terhadap 1.000 kapal asing dan lokal yang bobot nya 50 GT ke atas.
(2)
Mendapatkan masukan dan saran dari calon target program VMS tentang semua aspek yang berkaitan dengan penerapan VMS.
66 (3)
Menjelaskan kepada pengusaha bahwa tujuan dari VMS adalah antara lain sebagai berikut: Vessel Monitoring System/ (VMS) atau Sistem Pemantauan Kapal Perikanan merupakan suatu sistem pemantauan kapal dengan menggunakan peralatan transmitter dan satelit guna mempermudah pengawasan gerak kapal-kapal ikan untuk mengidentifikasi kapal, memonitor posisi kapal dan aktivitas kapal. Adapun tujuan diselenggarakannya VMS adalah :
(1)
Memonitor posisi kapal perikanan yang sedang melakukan penangkapan atau pengangkutan.
(2)
Mempercepat informasi kegiatan dan hasil penangkapan
(3)
Meningkatkan ketaatan dan penegakan hukum
(4)
Menunjang
fungsi
Sistem
Pengawasan
Berbasis
Masyarakat
(SISWASMAS). (5)
Kesemuanya
ini
dilaksanakan
untuk
menjaga
dan
mengendalikan
sumberdaya ikan agar dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan dan tetap lestari. (6)
Memudahkan bagi pemilik kapal untuk ikut mengawasi kegiatan penangkapan ikan, posisi kapal dan mempercepat penyelamatan apabila terjadi kecelakaan di laut. Sosialisasi dilakukan di beberapa daerah yang dinilai tingkat kegiatan
usaha penangkapan ikannya tinggi, seperti Jakarta, Kendari, Bitung, Sorong, Denpasar, Medan dan Pekalongan, adapun tempat dan tanggal pelaksanaan sosialisasi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Tempat dan Tanggal Pelaksanaan Sosialisasi Penerapan VMS di Indonesia No 1 2 3 4 5 6 7
Lokasi Jakarta Kendari Bitung Sorong Denpasar Medan Pekalongan
Sumber : Data DKP, 2005
Tanggal Pelaksanaan 16 Juli 2003 3 September 2003 5 September 2003 20 September 2003 24 Oktober 2003 14 Nopember 2003 18 Nopember 2003
67 Materi yang disampaikan dalam acara sosialisasi ini dibagi dalam 4 (empat) bagian, yaitu : (1)
Materi pertama adalah tentang Legal Framework VMS, khususnya Kepmen No. 29 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (materi terlampir) dan peraturan lain yang terkait.
(2)
Materi
kedua
adalah
penjelasan
tentang
proses
pengelolaan
dan
pemanfaatan sumberdaya ikan yang dikaitkan dengan konsep MCS sebagai fungsi monitoring (materi terlampir). (3)
Materi ketiga adalah penjelasan rencana pemasangan VMS di Indonesia, teknik pemasangan dan skenario pembiayaannya (materi terlampir).
(4)
Materi keempat adalah penjelasan teknis pemasangan transmitter dan prosedur pengoperasiannya.
Beberapa lokasi yang telah dilakukan sosialisasi yang dihadiri sejumlah perusahaan perikanan, baik asing maupun lokal, beberapa asosiasi yang berhubungan dengan perikanan dan kelautan serta dari kalangan pemerintah (Departemen Kelautan dan Perikanan), diperoleh hasil diskusi dari peserta soialisasi berkenaan dengan pelaksanaan VMS di Indonesia, yaitu sebagai berikut: (1)
Penggunaan VMS hanya dapat memantau kapal-kapal yang legal dan berizin, sehingga perlu ada teknologi lain seperti radar untuk efektifitas penerapan VMS dan tujuan untuk mengurangi IUU terpenuhi.
(2)
Perlu adanya kejelasan mengenai aturan main VMS termasuk kriteriakriteria pelanggaran VMS beserta sanksinya.
(3)
Perlu adanya kejelasan manfaat atau layanan yang akan diterima pengusaha dari pemerintah bagi kapal-kapal yang telah memasang dan membayar pungutan VMS.
(4)
Perlu adanya kejelasan mengenai penggunaan sistem pemantauan kapal lainnya selain Argos termasuk kapal-kapal yang telah dilengkapi dengan transmitter sendiri.
68 Berdasarkan hasil wawancara dan tanya-jawab dengan beberapa pengusaha yang hadir dalam acara sosialisasi di masing-masing lokasi sosialisasi diperoleh beberapa tanggapan dan pendapat dari para pengusaha tentang kebijakan penerapan VMS di Indonesia, yaitu sebagai berikut : (1) Lokasi Jakarta : 1) Tanggapan para pengusaha penangkapan ikan di lokasi sosialisasi Jakarta, sebagian besar pada prinsipnya sangat mendukung diterapkannya VMS di Indonesia, namun mereka merasa keberatan jika dibebankan biaya. 2) Pengusaha mengusulkan agar pemasangan transmitter yang dilakukan oleh petugas dari Departemen Kelautan dan Perikanan memberikan jadwal pemasangan paling lambat 2 minggu sebelumnya. Pengusaha atau pemilik kapal bersedia melaporkan ke DKP tentang jadwal dan pelabuhan sandar kapal-kapal perikanan yang menjadi target pemasangan transmitter. (2) Lokasi Kendari : 1) Sebagian besar pengusaha pada dasarnya tidak keberatan untuk dipasangi transmitter, dengan catatan tidak dikenakan biaya lagi dan kerahasiaan data terjamin. 2) Terdapat pengusaha yang mengusulkan agar data yang disampaikan kepada pemerintah melalui sistem VMS ini tidak dibocorkan kepada siapapun, terutama kepada para pesaing lainnya. (3) Lokasi Bitung 1) Kesediaan para pengusaha untuk mengikuti program VMS dengan dipasang transmitter terasa kurang bergairah, mereka menilai kebijakan ini akan menambah biaya. Hal ini terbukti dengan sedikitnya pengusaha yang hadir, walaupun sudah diberitahu sebelumnya. 2) Menurut pengusaha, program VMS ini lebih untuk kepentingan pemerintah, dimana pemerintah mohon dibantu oleh para pengusaha untuk menyampaikan informasi atau data yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya ikan, sehingga pemerintah dapat melakukan pengelolaan dan perencanaan dengan mudah. Oleh karena itu sebaiknya semua biaya ditanggung pemerintah.
69 (4) Lokasi Sorong 1) Pengusaha memahami bahwa penggunaan VMS dapat membantu perusahaan untuk melakukan pemantauan terhadap kegiatan operasional kapal perikanan dengan tingkat akurasi yang cukup baik. Selama ini pemantauan dilakukan hanya dengan mengandalkan komunikasi melalui radio/SSB. 2) Kesediaan para pengusaha untuk mengikuti program VMS dengan dipasang transmitter terasa cukup mendapat respon baik, hal ini dikarenakan pendekatan kepala pelabuhan kepada para pengusaha selama ini cukup kondusif, terbukti telah terpasang sebanyak 20 transmitter pada Nopember 2003, dan sampai Agustus 2005 sebanyak 60 kapal lokal dan 8 kapal asing. (5) Lokasi Denpasar 1) Beberapa pengusaha yang diwawancarai menyatakan protes agak keras terhadap kebijakan penerapan VMS, mereka menolak Kebijakan VMS ini karena khawatir akan dikenakan biaya, padahal selama ini mereka telah dikenakan biaya pungutan berupa PPP dan PHP. 2) Keberatan para pengusaha juga berkaitan dengan jenis alat tangkap yang mereka miliki, dimana sebagian besar jenis alat tangkapnya adalah Long Line, yang menurut pandangan mereka merupakan alat tangkap yang sangat selektif, sehingga tidak perlu diawasi karena tidak merusak sumberdaya dan lingkungan. 3) Sebagian pengusaha juga meminta jaminan kepastian kepada pemerintah untuk tidak dikenakan biaya selama mengikuti program VMS. 4) Mereka menyatakan secara terus terang akan menolak dan tidak mau mengikuti program ini jika pemerintah akhirnya membebankan biaya. (6) Lokasi Medan 1) Pada dasarnya setelah mendapat penjelasan dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bahwa pemasangan transmitter dan biaya airtime untuk selama 2 tahun gratis, maka pengusaha tertarik untuk mempertimbangkan mengikuti program VMS ini.
70 2) Ketika ditanyakan tentang kemungkinan dikenakan biaya setelah 2 tahun, mereka berpendapat agar pemerintah memberikan kepastian dan kejelasan berapa besar biaya yang harus ditanggung. Apabila terasa sangat memberatkan pengusaha, maka mereka akan mempertimbangkan kembali dan cenderung menolak. 3) Oleh karena itu para pengusaha minta agar DKP segera memberikan kejelasan jumlah pungutan VMS yang akan dibebankan kepada pengusaha, agar mereka dapat memutuskan untuk ikut program VMS atau tidak . (7) Lokasi Pekalongan 1) Para pengusaha akan lebih tertarik untuk ikut program VMS jika pihak DKP sebagai pengelola sistem dapat memberikan manfaat dan keuntungan bagi para pengusaha dalam melakukan usaha penangkapan ikan. 2) Pengusaha menilai bahwa penerapan kebijakan VMS terhadap kapal mereka justru akan
merugikan para pengusaha karena wilayah
penangkapan mereka akan diketahui oleh orang lain. 3) Dan para pengusaha merasa keberatan, apabila penerapan VMS terhadap kapal mereka dikenakan pungutan atau biaya. Karena selama ini sudah banyak biaya-biaya yang harus mereka bayar dalam usaha penangkapan ikan. 4) Jika pemerintah dapat menjamin tidak dikenakan biaya selama mengikuti program VMS
maka mereka akan lebih tertarik untuk bersedia ikut
program VMS.
Setelah dilakukan sosialisasi dibeberapa daerah tersebut di atas, yaitu daerah-daerah yang dinilai tingkat kegiatan usaha penangkapan ikannya tinggi, seperti Jakarta, Kendari, Bitung, Sorong, Denpasar, Medan dan Pekalongan, sampai pertengahan bulan Nopember 2003, baru terdapat 83 kapal penangkap ikan yang dapat dipasang alat transmitter sebagai bukti kesediaan ikut dalam program VMS. Dan belum ada satupun kapal asing yang sudah berhasil diikutkan
71 dalam program VMS ini. Padahal kapal asing merupakan target utama penerapan VMS di Indonesia. Oleh karena itu pemerintah secara terus menerus melanjutkan sosialisasi kebijakan VMS kepada pengusaha dan hasilnya untuk tahun 2004 dan 2005 akan dijelaskan pada bagian 4.6 tentang penerapan VMS di Indonesia. Hasil pengumpulan data untuk mengetahui tanggapan pengusaha atau pemilik kapal melalui kuesioner yang mempertanyakan bagaimana tanggapan para peserta sosialisasi yang terdiri dari pengusaha dan pemilik kapal. Dan hasilnya diperoleh informasi sebagai berikut : (1)
89%, atau sebanyak 25 orang menyatakan tetap menolak dan 7% atau sebanyak 2 orang menyatakan berpura-pura menerima terhadap pertanyaan tentang reaksi pengusaha jika VMS diterapkan secara tegas. (Gambar 11 menggambarkan persentase reaksi pengusaha terhadap penerapan kebijakan VMS). 4%
7%
Keterangan : Tetap menolak Berpura-pura menerima 89%
Terpaksa mengikuti
Gambar 11 Grafik Reaksi Diterapkannya VMS. (2)
84% dari pengusaha yang tidak setuju diterapkan VMS atau sebanyak 20 orang menyatakan bahwa penerapan VMS akan menambah beban biaya dan merugikan pengusaha. Perbedaan alasan responden terhadap tidak setujunya diterapkan VMS sekaligus persentasenya dapat dilihat pada Gambar 12. Keterangan : 8%
8%
Menambah merugikan
biaya
dan
Tidak ada manfaat 84%
Kerahasiaan data diketahui umum
Gambar 12 Grafik Alasan Tidak Setuju Diterapkannya VMS.
72 (3)
Terhadap pertanyaan tentang kemauan ikut VMS jika ada manfaatnya, diketahui 57% (16 orang) menyatakan mau asal biaya ringan dan 32% (9 orang) menyatakan mau asal gratis dan tidak ada denda. Grafik alasan setuju dan persyaratan diterapkannya VMS dapat dilihat pada Gambar 13. Keterangan : 11%
Biaya tidak memberatkan Gratis dan tidak didenda
32%
57%
Mau membayar
Gambar 13 Grafik Alasan Kemauan Mengikuti Diterapkannya VMS. 4.4
Organisasi Pengelola Sistem VMS Dalam menyelenggarakan sistem pemantauan kapal perikanan di
lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Kepmen Nomor 29 tahun 2003, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) bertindak sebagai Pengelola Sistem. Untuk melaksanakan tugas sebagai Pengelola Sistem sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan didukung oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap ( DJPT) dan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP). Adapun tugas dan kewenangan masing-masing adalah sebagai berikut : (1)
Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan sebagai pengelola sistem sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Kepmen 29 tahun 2003 mempunyai tugas : 1)
Menetapkan kebijakan teknis operasional,
2)
Menyediakan
sarana
dan
prasarana
yang
diperlukan
untuk
penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan, 3)
Mengadakan dan/atau memfasilitasi pengadaan transmitter dan perangkat pendukungnya,
4)
Melaksanakan perikanan,
pengelolaan
sistem
pemantauan
kegiatan
kapal
73 5)
Menetapkan standar pelaporan kegiatan pemantauan kapal perikanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
6)
Melakukan penyeliaan dan evaluasi terhadap pelaksanaan program sistem pemantauan kapal perikanan.
(2)
Penetapan kebijakan teknis operasional sebagaimana dimaksud dalam angka (1) di atas meliputi antara lain : 1)
Penetapan Prosedur Operasi Standar (Standard Operating Procedure),
2)
Penetapan tatacara teknis pengoperasian transmitter,
3)
Pengamanan teknis atas transmitter dan alat kelengkapan lain yang terkait, baik sebelum pemasangan, saat pemasanan, dan saat tertentu setelah pemasangan,
4)
Pengecekan fisik secara berkala terhadap kelayakan teknis dan fungsi transmitter,
5)
Pemantauan dan pengawasan pembangunan sistem serta persetujuan terhadap
hasil
pengujian
akhir
pemasangan
sistem
jaringan
pemantauan kapal perikanan. (3)
Dalam rangka pemantauan kegiatan kapal perikanan sebagaimana dimaksud dalam point (1) angka 4), Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan menyelenggarakan kegiatan antara lain : 1)
Penerimaan data, pengolahan data, dan distribusi data,
2)
Pengelolaan website (situs web) sistem pemantauan kapal perikanan,
3)
Pelaporan kegiatan pemantauan kapal perikanan,
4)
Koordinasi hubungan teknis dan administratif dengan pihak-pihak yang terkait dalam sistem pemantauan kapal perikanan sesuai dengan kewenangannya.
(4)
Dalam rangka mendukung penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) Kepmen 29 tahun 2003, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap mempunyai tugas : 1)
Memberikan data tentang perusahaan perikanan dan kapal perikanan dalam rangka pelaksanaan program sistem pemantauan kapal perikanan, serta menyiapkan kapal perikanan yang akan dipasang transmitter,
74 2)
Mencantumkan nomor identitas transmitter ke dalam dokumen perizinan usaha penangkapan ikan,
3)
Menetapkan tahapan dan melaksanakan pemasangan transmitter,
4)
Menyiapkan
data
perizinan
usaha
penangkapan
ikan
untuk
diintegrasikan dengan sistem pemantauan kapal perikanan, 5)
Memberitahukan nomor identitas transmitter yang telah dipasang kepada Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan sebagai Pengelola Sistem.
(5)
Dalam rangka mendukung penyelenggaraan pemantauan kapal perikanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) Kepemen 29 tahun 2003, Badan Riset Kelautan dan Perikanan mempunyai tugas : 1)
Menetapkan spesifikasi teknologi sistem pemantauan kapal perikanan, termasuk sistem integrasi dan standar teknis sarana dan prasarana,
2)
Menetapkan penyedia dan penyelenggara sistem komunikasi berbasis satelit (satellite provider),
3)
Memberikan pertimbangan kepada Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan mengenai aspek teknologi dalam rangka penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan,
4)
Melakukan
evaluasi
aspek
teknologi
terhadap
kinerja sistem
pemantauan kapal perikanan, 5)
Melakukan pengembangan teknologi sistem pemantauan kapal perikanan. Hasil wawancara dengan Direktur PMO VMS PSDKP diketahui bahwa
bentuk organisasi pengelola VMS dirumuskan melalui beberapa kajian dan diskusi. Bentuk Struktur Organisasi Pengelola Sistem VMS adalah sebagai berikut (Gambar 14).
75
Gambar 14 Struktur Organisasi Pengelola VMS – DKP. Struktur Organisasi Pengelola VMS seperti tampak pada Gambar 14 di atas dibagi ke dalam 2 bagian atau kelompok, yaitu bagian operator yang melibatkan dua Direktorat Jenderal (Dirjen Perikanan Tangkap dan Ditjen PSDKP) dan satu lembaga riset yaitu BRKP. Kelompok yang lain adalah kelompok organisasi pengelola yang dinamakan organisasi PMO VMS (Project Management Office – Vessel Monitoring System). PMO VMS dibantu oleh Tim Teknis VMS dan Direktur PSDI. Dibawah PMO VMS terdapat empat divisi yang mendukung fungsi operasonalnya. Khusus untuk fungsi monitoring atau pemantauan kapal ikan PMO didukung oleh satu FMC (Fishing Monitoring Centre) di DKP Jakarta dan dua RMC (Regional Monitoring Centre) di Ambon dan Batam. Pada tanggal 31 Maret 2003 dengan Keputusan Pimpinan Bagian Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Pengawasan Nomor KEP 389/PSKP-
76 PSP/III/2003 dibentuk struktur personil organisasi pengelola proyek VMS, yaitu sebagai berikut : PERSONIL PMO Ir. Takhwin Oesman, CES selaku Ketua (PSDKP) Ir.Agusdin Subiantoro, MMA selaku Aspim.Bid.Administrasi dan Umum (PSDKP) Ir.Iwan G.Wardhana, MA selaku Aspim Bid.Perenc. & Pengembangan (PSDKP) Ir. Djoko Martoyo SM.,MM selaku Aspim Bid.Operasional (PSDKP) Anggota Ir.Ida Kusuma W (Ditjen P3K)
Supranawa Yusuf, SH.LLM (Ro Kum)
Drs. Aris Rustandi, BE (PSDKP)
Jaja Jaelani, S.St.Pi (PSDKP)
Mufti Manurus, SE (Biro Keuangan)
Ir. Badrudin (DitjenTangkap)
Ir. Suharta (PSDKP)
Drs.Munir Abduh (PSDKP)
Taufiq Dwi Ferindra, BE(BRKP)
Adi Budi Wicaksono, S.Pi (PSDKP)
Gambar 15 Struktur Personil Organisasi Pengelola VMS. Sedangkan tim teknis VMS yang bertujuan mendukung organisasi PMO VMS dalam menjalankan fungsinya di bentuk berdasarkan Surat Keputusan Dirjen PSDKP Nomor : 140B/PSKP/XI/2002 tanggal 27 Nopember 2002. Adapun personil tim teknis dapat dilihat pada Gambar 16 berikut ini: Ir. Samuel Hutabarat (Dir. Sarpras) selaku Ketua Ir. Heriyanto Marwoto, MS (Dir. PSDI) selaku Wakil Ir.Wignyo Handoko (Sesditjen PSDKP) selaku Sekretaris Anggota Narmoko P, SH.Ma (Biro Hukum dan Organisasi)
Ir.Ida Kusuma W (Ditjen P3K)
Ir. Saut P Hutagalung, Msc. (Biro Perenc.dan KLN)
Ir. Takhwin Oesman, CES (Ditjen PSDKP)
Dr.Ir.Hartanta Tarigan (BRKP)
Drs. Aris Rustandi, BE (Ditjen PSDKP)
Sumali, SH (Biro Keuangan)
Taufiq Dwi Ferindra, BE (BRKP)
Dr.Ir.Purwanto, PhD (DJPT)
Ir.Agusdin Subiantoro, MMA (Ditjen PSDKP)
Ir. Indro Buwono (Ditjen PSDKP)
Gambar 16 Personil Tim Teknis Pengelola VMS.
77 Dengan bentuk struktur organisasi pengelola VMS dan gambaran struktur personil pengelola VMS seperti di atas, lembaga pengelola VMS (PMO/Project Management Office) banyak mengalami berbagai kendala dalam menjalankan tugas tugas dan fungsinya. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu antara lain : (1)
Lembaga Pengelola VMS dalam bentuk PMO VMS yang sangat bersifat operasional tidak sesuai dengan semangat dan kemauan Pemerintah termasuk DKP dalam hal mengemban tugas pemerintah sebagai Regulator, Fasilitator dan Akselerator.
(2)
Pejabat pejabat atau personil yang menjadi pimpinan atau anggota organisasi pengelola VMS (PMO VMS) seluruhnya masih mengemban tugas fungsional di unitnya masing masing, sehingga terjadi tumpang tindih antara tugas dan fungsi pengembangan VMS dengan tugas dan fungsi di Unitnya masing-masing. Hal ini mengakibatkan opersional VMS tidak dapat berjalan secara optimal.
(3)
Oleh karena terdapat beberapa personil organisasi Pengelola VMS (PMO VMS) dan Tim Teknis VMS yang berasal dari luar PSDKP dan pangkat eselonnya lebih tinggi, maka kerjasama dan koordinasi dalam menjalankan penerapan VMS terasa lamban dan kadang sulit dilakukan. Bahkan kedudukan PMO VMS yang berada dibawah pejabat eselon satu telah membuat organisasi PMO sulit melakukan koordinasi dengan kelompok organisasi operator yang terdiri dari 2 Ditjen (DJPT dan PSDKP) dan satu lembaga Riset (BRKP).
(4)
Keputusan keputusan penting yang harus dirumuskan dan dibahas dalam menunjang Implementasi VMS juga menjadi terhambat, dan hal ini sangat mempengaruhi efektivitas penerapan VMS di Indonesia.
4.5
Gambaran Industri Penangkapan Ikan di Indonesia Tidak ada industri pangan di dunia ini yang begitu mempunyai sifat
sangat global seperti industri perikanan. Lebih dari 75% hasil tangkapan ikan dunia dewasa ini sekitar 80 juta ton lebih per tahun diperdagangkan di pasar internasional (Laporan Kompas, Mei 2005). Sektor perikanan memainkan peranan
78 penting dalam upaya pengentasan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan protein hewani. Produk Domestik Bruto (PDB) sektor kelautan dan perikanan selama tahun 2000 – 2004 meningkat 26,06% lebih tinggi dari kenaikan PDB nasional sebesar 12,14%. Bahkan kontribusi sektor perikanan terhadap PDB nasional yang semula dibawah 1,0 persen kini telah menjadi 10% (Kompas, 2005). PDB tersebut didukung oleh peningkatan produksi perikanan. Pada tahun 2000 produksi perikanan hanya mencapai 5,107 juta ton, sedangkan tahun 2004 meningkat menjadi 6,231 juta ton. Kontribusi terbesar berasal dari perikanan tangkap, yakni sebesar 4,837 juta ton. Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2004, Indonesia menjadi negara produsen ikan terbesar ke 5 di dunia. Sepuluh tahun lalu (1994), Indonesia menempati urutan ke 7 setelah Cina, Peru, Jepang, Chile, India, dan Kanada. Bahkan menurut laporan Kompas bulan Mei 2005, Indonesia berada di urutan ke 4 dengan total produksi 4,5 juta ton, sedikit di bawah Amerika Serikat (4,9 juta ton) dan di atas Jepang (4,4 juta ton). Tahun 2003 Indonesia telah mampu mengekspor hasil perikanan senilai US$ 2,004 milyar dengan volume ekspor 696.290 ton. Volume ekspor tahun 2000 – 2004 meningkat rata-rata 11% sedangkan impor hasil perikanan bernilai US$ 116,71 juta, sehingga neraca perdagangannya surplus US$ 1,887 milyar lebih. Data Departemen Kelautan dan Perikanan yang disampaikan ke komisi IV DPR tahun 2005 menyebutkan bahwa rata-rata produksi perikanan tangkap di laut tahun 2004 naik 2,79%. Pada tahun 2003 produksi perikanan tangkap di laut sebesar 4.708.900 ton dan pada tahun 2004 naik menjadi 4.836.510 ton. Dan sasaran pembangunan kelautan dan perikanan tahun 2006 menargetkan produksi perikanan tangkap mencapai 5,1 juta ton. Sampai dengan April tahun 2005 jumlah kapal resmi yang dimiliki perusahaan penangkapan ikan Indonesia yang sudah terdaftar sebanyak 5.811 Kapal Indonesia, sedangkan jumlah kapal yang dimiliki perusahaan asing yang sudah terdaftar berjumlah 774 kapal. Selain angka tersebut masih terdapat ribuan kapal yang belum didaftarkan sebagai kapal penangkapan ikan yang mencari ikan di wilayah Indonesia dan sering disebut sebagai kapal
79 ilegal. Dan menurut FAO (2001) ikan yang ditangkap secara ilegal 1,5 juta ton per tahun, sehingga menambah jumlah kerugian menjadi US$ 4 miliyar. Kondisi kapal penangkapan ikan Indonesia yang telah memiliki izin secara resmi di tahun 2001 nampaknya masih sedikit yaitu sebesar 9 kapal, sedangkan di tahun 2002 meningkat tajam menjadi sebesar 1.215 kapal, hal ini disebabkan adanya kebijakan DKP melalui Kepmen 45 yang mewajibkan seluruh kapal ikan Indonesia maupun asing melakukan pendaftaran ulang. Selanjutnya pada tahun 2004 jumlah kapal ikan Indonesia meningkat menjadi sebesar 3.903 kapal. Dan pada tahun 2005, tepatnya pada bulan April perkembangan jumlah kapal Indonesia telah mencapai 5.811 kapal yang resmi melakukan penangkapan di wilayah Indonesia. Sehingga rata-rata pertumbuhan kapal Indonesia tahun 2001-2005 adalah sebesar 64.467%. Dan rata-rata pertumbuhan kapal Indonesia tahun 2004-2005 adalah sebesar 14%. Untuk kapal asing di tahun 2002 hanya terdapat 3 kapal asing yang mendaftar secara resmi, dan di tahun 2003 meningkat menjadi 80 kapal yang mendaftar, sedangkan untuk tahun 2004 terjadi peningkatan jumlah kapal asing yang cukup tajam yaitu sebesar 511 kapal. Tahun 2005, sampai dengan bulan April 2005 jumlah kapal asing mencapai 774 kapal. Angka perubahan kapal asing tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan jumlah kapal penangkap asing di Indonesia. Seperti yang diperlihatkan pada Tabel 6 di bawah ini terlihat rata-rata pertumbuhan yang tinggi terjadi antara tahun 2002-2005, yaitu sebesar 25.700%. Dan rata-rata pertumbuhan antara tahun 2004-2005 adalah sebesar 51%. Tabel 6 Pertumbuhan Kapal Penangkap Ikan di Indonesia Tahun
Pertumbuhan (%)
No
Kapal Ikan
2001
2002
2003
2004
1
Kapal Lokal
9
1.215
3.393
5.095
2
Kapal Asing
3
80
1.218
3.473
Total
9
2005 (sd April)
20012005
20042005
5.811
64.467%
14%
511
774
25.700%
15%
5.606
6.585
-
-
Sumber : diolah dari data perizinan DKP, April 2005
80 4.6
Gambaran Jumlah Kapal Perikanan Lokal
4.6.1
Berukuran Berukuran 30 GT Sampai di bawah 100GT
(1)
Berdasarkan Alat Tangkap Berdasarkan Kepmen No. 29, disebutkan bahwa seluruh kapal ikan yang ukuran GT 30 keatas diwajibkan menggunakan transmitter dan wajib ikut VMS, walaupun dalam pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dan yang menjadi target awal adalah kapal kapal berukuran 100GT ke atas. Beberapa jenis alat tangkap yang digunakan kapal ikan Indonesia, yaitu berkisar 23 jenis alat tangkap, maka dapat diketahui bahwa jenis alat tangkap yang paling banyak digunakan oleh kapal Indonesia berukuran 30 GT sampai di bawah 100 GT (sebanyak 3.085 kapal ikan) adalah jenis alat tangkap ”Tuna Long Line”, yaitu sebanyak 842 buah atau sebesar 27,29%. Peringkat kedua terbanyak jenis alat tangkap yang digunakan adalah ”Purse Seine Pelagis Kecil”, yaitu sebanyak 525 buah atau sebesar 18,28% dan peringkat ketiga adalah jenis alat tangkap Pukat Cincin, yaitu sebanyak 557 buah atau sebesar 18,06%. Kondisi ini menyimpulkan bahwa untuk kapal ikan berukuran antara 30 sampai 100 GT masih sedikit yang menggunakan alat
tangkap
yang
tergolong
berpotensi
menggganggu
kelestarian
sumberdaya ikan seperti Pukat Udang, Pukat Ikan, Gillnet dan Purse Seine. Adapun gambaran kondisi penggunaan alat tangkap oleh kapal Indonesia berukuran antara 30 sampai di bawah 100 GT dapat dilihat pada Tabel 7.
81 Tabel 7 Jumlah Kapal Indonesia Per Alat Tangkap, Dengan Ukuran 30 GT Keatas sampai di bawah 100GT No
Alat Tangkap
1
Bagan Apung
2
Bouke Ami (Stick Held Dift Net)
3
Bubu (Portable Trap)
4
Jml Kapal
Persentase
8
0.26
90
2.92
101
3.27
Huhate (Pole dan Line)
93
3.01
5
Jaring Insang (Gillnet) Hanyut Dasar/Liong Bun
31
1.00
6
Jaring Insang (Gillnet) Hanyut Oseanik
79
2.56
7
Jaring Insang (Gillnet) Hanyut Pantai
157
5.09
8
Long Bag Set Net
4
0.13
9
Pancing Cumi (Squid Jigging)
2
0.06
10
Pancing Prawai Dasar (Bottom Long Line)
148
4.80
11
Payang
16
0.52
12
Pukat Ikan ZEEI Arafura
6
0.19
13
Pukat Ikan ZEEI Laut Cina Selatan
141
4.57
14
Pukat Ikan ZEEI S. Hindia (Barat Sumatra)
11
0.36
15
Pukat Ikan ZEEI Selat Malaka
29
0.94
16
Pukat Udang
141
4.57
17
Purse Seine (Pukat Cincin) Pelagis Besar
8
0.26
18
Purse Seine (Pukat Cincin) Pelagis Kecil
557
18.06
19
Purse PB Armada (Light Boat)
18
0.58
20
Purse PB Armada (Penangkap)
24
0.78
21
Purse Seine Pelagis Kecil (P. Utara Jawa)
564
18.28
22
Purse Seine PK Armada (Penangkap)
15
0.49
23
Rawan Tuna (Tuna Long Line)
842
27.29
TOTAL
3.085
100.00
Sumber : Diolah Penulis dari data DKP April 2005
(2)
Berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Apabila dilihat berdasarkan wilayah pengelolaan perikanan, maka dapat diketahui bahwa wilayah pengelolaan perikanan yang paling banyak dipilih sebagai wilayah operasi adalah wilayah Samudra Hindia yaitu berjumlah 1.229 kapal atau sekitar 22,65%, posisi kedua wilayah pengelolaan perikanan yang menjadi operasi penangkapan kapal lokal
82 adalah wilayah Laut Cina Selatan dan Laut Natuna yaitu berjumlah 880 kapal atau sekitar 16,21%. Sedangkan posisi ketiga wilayah yang diminati kapal lokal sebagai wilayah operasi penangkapan adalah wilayah Laut Arafura, yaitu sebanyak 757 kapal atau sekitar 13,95%. Tabel 8 menguraikan secara rinci jumlah realisasi unit kapal Indonesia berdasarkan wilayah pengelolaan perikanan.
Total Alat Tangkap
Samudra Hindia
Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik
Laut Arafura
Laut Seram dan Teluk Tomini
Laut Banda
Selat Makasar dan Laut Flores
Laut Jawa dan Sebagian Selat Sunda
Jenis Alat Tangkap
Selat Malaka
No
Laut Cina Selatan dan Laut Madura
Tabel 8 Jumlah Kapal Indonesia Berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan
1
Bagan Apung
0
2
0
0
0
0
0
0
2
4
2
Bouke Ami (Stick Held Dift Net)
0
35
12
32
2
1
19
1
0
102
3
Bubu (Portable Trap)
0
3
19
34
0
11
5
0
32
105
4
Handline (Pole dan Line)
0
0
0
0
0
3
0
1
0
4
5
Huhate
0
0
0
5
11
40
3
30
6
96
6
Jaring Insang (Gillnet) Hanyut Dasar
0
2
1
2
0
0
0
0
0
5
7
Jaring Insang (Gillbet) Hanyut Oseanik
0
36
0
1
1
0
129
15
10
195
8
Jaring Insang (Gillbet) Hanyut Pantai
0
76
25
29
2
8
50
3
22
216
9
Long Bag Set Net
3
0
0
0
0
0
0
0
0
3
10
Pancing Cumi (Squid Jigging)
0
1
0
0
0
0
11
1
0
12
11
Pancing Prawai Dasar
0
12
6
22
3
16
48
1
37
145
12
Payang
0
21
0
0
0
0
0
0
0
21
13
Pengangkut Pengumpul
0
0
0
0
0
0
0
0
0
693
14
Pengangkut Pengumpul Grup
0
2
0
1
1
2
0
54
2
62
15
Pukat Ikan
111
159
0
0
0
0
260
4
24
558
16
Pukat Udang
0
0
0
0
0
0
224
107
0
331
17
Purse Seine Pelagis Besar
0
5
0
0
0
6
2
99
6
118
18
Purse Seine Pelagis Kecil
88
527
164
174
4
17
0
17
70
1.06 1
19
Rawan Tuna (Tuna Long Line)
0
1
0
4
453
4
5
214
1016
1697
TOTAL PER WPP
202
880
229
305
480
109
757
549
1229
5428
PERSENTASE (%)
3.73
16.2
4.22
5.63
8.84
2.01
13.9
10.1
22.6
100
Sumber : diolah Penulis dari data DKP April 2005
Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa jenis alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah Rawai Tuna sebanyak 1.697 buah dan
83 ternyata yang sebagian besar jenis alat tangkap tersebut dioperasikan di wilayah Laut Banda, yaitu sebanyak 453 buah. Terbanyak kedua atau berikutnya adalah jenis alat tangkap Purse Seine Pelagis Kecil sebanyak 1.061 buah dimana sebagian besar dioperasikan di wilayah Laut Cina Selatan & Laut Natuna, yaitu sebanyak 527 buah. Jenis Pukat Ikan (558 buah) dan Pukat Udang (331 buah) keduanya banyak dioperasikan di wilayah Laut Arafura, yaitu masing-masing sebanyak 260 dan 224 buah. Gambar 17 merupakan grafik tentang jumlah kapal Indonesia berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan tidak termasuk jenis alat tangkapnya.
25,00% 20,00% 15,00%
22,65% Keterangan
16,21%
Samudra Hindia
13,95% 10,11%
10,00% 5,00%
8,84%
Laut Cina Selatan dan Laut Madura Laut Arafura Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik Lainnya
0,00%
Gambar 17 Grafik Kapal Penangkap Ikan Indonesia Berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan.
84 1800 Samudra Hindia 1600 Laut Sulaw esi dan Samudra Pasifik 1400
Laut Arafura Laut Seram dan Teluk Tomini
1200
Laut Banda 1000 Selat Makasar dan Laut Flores 800
Laut Jaw a dan Sebagian Selat Sunda Laut Cina Selatan dan Laut Madura
600 Selat Malaka 400
200
ne t) H an yu be tD t) In as H sa ar a ng ny ut (G O i ll se be an t) ik H an yu tP L on Pa an g ta nc Ba i in g g S C um et N i( et S qu Pa id nc Ji gg in g in Pr g) aw ai Da sa r Pe ng Pa an ya Pe gk ng ng ut an Pe gk ng ut u m Pe pu ng l um pu lG ru p Pu ka tI ka Pu n Pu rs e ka Se tU in da e n Pe g Pu la rs gi e s Se R B aw es in e ar an Pe Tu la na gi s (T Ke un ci a l Lo ng Li ne ) (G i ll
In sa ng
(G i ll Ja ri n g
In sa ng Ja ri n g
Ja ri n g
Li ne )
H uh at e
da n
ol e
in e
(P
et )
Tr ap )
N Di ft
or ta bl e
(P
H el d
Bu bu
H an dl
Bo uk e
A
m i(
St ic k
Ba ga n
Ap un g
0
Gambar 18 Grafik Alat Tangkap Kapal Indonesia Berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan.
4.6.2
Kapal Berukuran 100 GT ke Atas Berdasarkan Alat Tangkap Untuk kapal ikan Indonesia yang berukuran 100 GT ke atas yaitu
sebanyak 1.694 kapal, jenis alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah jenis Tuna Long Line, yaitu sebanyak 774 buah atau sebesar 45, 69%, sedangkan peringkat kedua terbanyak adalah jenis Pukat Ikan, yaitu sebayak 257 buah atau sebesar 15,17%, dan selanjutnya berurutan adalah jenis alat tangkap Pukat Udang dan Gillnet, masing-masing sebanyak 160 buah (9,45%) dan 130 buah (7,67%). Untuk jenis alat tangkap Pukat Ikan hanya sebanyak 83 buah atau sebesar 4,90%. Tabel 9 menggambarkan jumlah kapal berukuran 100GT ke atas berdasarkan jenis alat tangkap.
85 Tabel 9 Jumlah Kapal Ikan Indonesia Per Alat Tangkap dengan Ukuran 100 GT ke Atas No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Alat Tangkap
Jml Kapal
Huhate (Pole and Line) Jaring Insang (Gillnet) Hanyut Dasar/LION BON Jaring Insang (Gillbet) Hanyut Oseanik Jaring Insang (Gillbet) Hanyut Pantai Pancing Cumi (Squid Jigging) Pancing Prawai Dasar Pukat Ikan ZEEI Arafura Pukat Ikan EEI Laut Cina Selatan Pukat Ikan ZEEI S. Hindia (Barat Sumatra) Pukat Ikan ZEEI Selat Malaka Pukat Udang Purse Seine Pelagis Besar Purse Seine Pelagis Kecil Purse Seine PB Armada (Penangkap) Purse Seine Pelagis Kecil (P. Utara Jawa) Rawan Tuna (Tuna Long Line) TOTAL
1 5 130 13 16 6 257 20 7 83 160 29 48 17 128 774 1.694
Persentase (%) 0.06 0.30 7.67 0.77 0.94 0.35 15.17 1.18 0.41 4.90 9.45 1.71 2.83 1.00 7.56 45.69 100.00
Sumber : Diolah Penulis dari data DKP April 2005
4.6.3
Kapal Pengangkut Lokal Pengertian kapal angkut dalam usaha penangkapan ikan adalah kapal
yang berfungsi melakukan pengumpulan ikan dari beberapa armada kapal penangkap yang dimiliki. Jumlah kapal pengangkut dengan ukuran antara 30 GT sampai 100 GT sebanyak 310 kapal dan jumlah kapal pengangkut dengan ukuran 100 GT ke atas adalah sebanyak 536 kapal. Adapun rinciannya dapat dilihat pada Tabel 10 dan Tabel 11. Tabel 10 Jumlah Kapal Pengangkut Dengan Ukuran Antara 30 GT Sampai 100 GT No.
ALAT TANGKAP
Jml Kapal
Persentase
1
Pengangkut/Pengumpul
242
78.06%
2
Purse Seine PB Armada (Pengumpul dan Pengangkut)
63
20.32%
3
Purse Seine PK Armada (Pengumpul dan Pengangkut)
5
1.61%
Total
310
100.00%
Sumber : Diolah Penulis dari data DKP April 2005
86 Tabel 11 Jumlah Kapal Pengangkut Indonesia Dengan Ukuran 100 GT ke Atas No.
ALAT TANGKAP
Jml Kapal
persentase
1
Pengangkut/Pengumpul
507
94.59%
2
Purse Seine PB Armada (Pengumpul dan Pengangkut)
27
5.04%
3
Purse Seine PK Armada (Pengumpul dan Pengangkut)
2
0.37%
Total
536
100.00%
Sumber : Diolah Penulis dari data DKP April 2005
4.7
Gambaran Jumlah Kapal Asing
4.7.1
Berdasarkan Alat Tangkap Daftar izin kapal asing yang berhasil penulis dapatkan dari hasil
observasi di Departemen Kelautan dan Perikanan periode 2002 sampai April 2005 sebanyak 780 buah kapal asing. 780 kapal asing yang terdaftar terdapat sebanyak 618 kapal yang berukuran 100 GT ke atas, sisanya sebanyak 112 kapal berukuran antara 30 GT sampai di bawah 100 GT. Kapal asing yang berjumlah 618 berukuran 100 GT ke atas diketahui bahwa jenis alat tangkap yang paling banyak digunakan kapal asing adalah Pukat Ikan ZEEI Arafura, yaitu sebanyak 526 kapal atau sebesar 85,11%. Peringkat kedua terbanyak adalah jenis alat tangkap Gillnet, yaitu sebanyak 51 kapal atau sebesar 8,25%. Sisanya masing-masing adalah alat tangkap Purse Seine PB Armada, Pukat Ikan ZEEI Laut Cina Selatan dan Purse Seine Pelagis Besar. Kapal asing yang berukuran di bawah 100 GT dengan jumlah total 112 kapal, sebanyak 63 kapal menggunakan jenis alat tangkap Purse Seine PB Armada atau sebesar 56,25%. Selanjutnya sebanyak 23 kapal atau 20,54% menggunakan Pukat Ikan ZEEI Arafura. Sisanya mengunakan Gillnet, Pukat Ikan Laut Cina dan Pukat Cincin. Untuk lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 12 dan Tabel 13.
87 Tabel 12 Jumlah Kapal Asing Per Alat Tangkap Dengan Ukuran 100 GT ke Atas No
Alat Tangkap
Jml Kapal
1
Jaring Insang (Gillnet) Hanyut Oseanik
2
Pukat Ikan ZEEI Arafura
3
Persentase
51
8.25%
526
85.11%
Pukat Ikan ZEEI Laut Cina Selatan
12
1.94%
4
Purse Seine (Pukat Cincin) Pelagis Besar
10
1.62%
5
Purse Seine PB Armada (Penangkap)
19
3.07%
618
100.00%
Total
Sumber : diolah Penulis dari data DKP April 2005
Tabel 13 Jumlah Kapal Asing Per Alat Tangkap Dengan Ukuran Antara 30 GT Sampai 100 GT No
Jml Kapal
Alat Tangkap
Persentase
1
Jaring Insang (Gillnet) Hanyut Oseanik
10
8.93%
2
Pukat Ikan ZEEI Arafura
23
20.54%
3
Pukat Ikan ZEEI Laut Cina Selatan
10
8.93%
4
Purse Seine (Pukat Cincin) Pelagis Besar
6
5.36%
5
Purse Seine PB Armada (Light Boat)
63
56.25%
Total
112
100.00%
Sumber : diolah penulis dari data DKP April 2005
600
526
500 400 30 - 100 GT
300
> 100 GT
200 100
51 10
0
63 23
10 12
6 10
19
Jaring Insang Pukat Ikan Pukat Ikan Purse Seine Purse Seine (Gillnet) ZEEI Arafura ZEEI Laut Cina (Pukat Cincin) PB Armada Hanyut Selatan Pelagis Besar (Light Boat) Oseanik
Gambar 19 Grafik Jumlah Kapal Penangkap Ikan Berdasarkan Alat Penangkap Yang Digunakan.
88 4.7.2
Berdasarkan Wilayah Pengelolaan Untuk kapal asing, jika dilihat berdasarkan wilayah pengelolaan
perikanan, maka dapat diketahui bahwa yang paling banyak dipilih kapal asing sebagai wilayah operasi adalah wilayah Laut Arafura yaitu berjumlah 668 kapal atau sekitar 88,4%, posisi kedua wilayah pengelolaan perikanan yang menjadi operasi penangkapan kapal Asing adalah wilayah Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik yaitu berjumlah 67 kapal atau sekitar 8,8%. Sedangkan posisi ketiga wilayah yang diminati kapal asing sebagai wilayah operasi penangkapan adalah wilayah Samudera Hindia, yaitu sebanyak 13 kapal atau sekitar 1,7 %. Tabel 14 berikut ini menguraikan secara rinci jumlah realisasi unit kapal asing berdasarkan wilayah pengelolaan perikanan.
Total Alat Tangkap
Samudra Hindia
Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik
Laut Arafura
Jenis Alat Tangkap
Laut Cina Selatan dan laut Natuna
Tabel 14 Jumlah Realisasi Unit Kapal Asing Berdasarkan Wilayah Pengelolaan (s/d April 2004)
Jaring Hanyut Oseanik
0
55
0
0
55
Pengangkut dan pengumpul Group
0
0
24
2
27
Pukat Ikan
0
613
0
0
613
Purse Seine Pelagis Besar
6
0
43
11
60
Purse Seine Pelagis Kecil
1
0
0
0
1
Total Per WPP
7
668
67
13
755
Persentase (%)
0.9
88.4
8.8
1.7
100
Sumber : diolah Penulis dari data DKP April 2005
Berdasarkan Tabel 14 dapat pula diketahui bahwa jenis alat tangkap yang paling banyak digunakan di wilayah Pengelolaan Laut Arafura adalah Pukat Ikan, yaitu sebanyak 613. Jenis alat tangkap berikutnya adalah Purse Seine Pelagis besar yang digunakan di wilayah Laut Sulawesi dan Samudera Hindia. Sebagai catatan, bahwa pada daerah Selat Malaka, Laut Jawa dan sebagian Selat Sunda, Selat Makasar dan Laut Flores, Laut Banda, Laut Seram dan Teluk Tomini, tidak terdapat realisasi kapal asing yang ada. Sementara itu, total GT kapal asing yang
89 paling besar adalah kapal-kapal yang beroperasi di wilayah laut Arafura, yaitu sebesar 126.445, dari jumlah ini sebesar 119.543 GT jenis alat tangkapnya adalah Pukat Ikan. Adapun informasi secara rinci tentang besarnya jumlah ukuran GT untuk masing-masing wilayah tangkap dapat dilihat pada Tabel 15.
Total Per Alat Tangkap
Samudra Hindia
Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik
Laut Arafura
Selat Makasar dan laut Flores
Laut Jawa dan Sebagian Selat Sunda
Jenis Alat Tangkap
Laut Cina Selatan dan Laut natuna
Tabel 15 Jumlah Realisasi GT Kapal Asing Berdasarkan Wilayah Pengelolaan Dan Alat Tangkap (s/d April 2004)
Jaring Hanyut Oseanik
0
0
0
6.902
0
0
6902
Pengangkut dan pengumpul Group
0
0
0
0
5.81
1.02
7055
Pukat Ikan
0
0
0
119.543
0
0
119.543
Purse Seine Pelagis Besar
408
0
0
0
4.13
2.51
7.771
Purse Seine Pelagis Kecil
28
14
14
0
10.94
0
55
436
14
14
126.445
126.445
3.53
141.326
Total Per WPP
Sumber : diolah Penulis dari data DKP April 2005
4.8
Penerapan VMS di Indonesia
4.8.1
Mekanisme Kerja VMS dan Infrastruktur Sistem Vessel Monitoring System atau sistem pemantauan kapal perikanan
berbasis satelit yang sedang dijalankan di Indonesia saat ini dapat digambarkan mekanisme kerjanya seperti pada Gambar 20 tentang Skema Operasionalisasi VMS di Indonesia. Penjelasan cara kerja sistem pemantauan kapal perikanan dapat dijelaskan secara berurutan berdasarkan nomor urut, yaitu: Pertama, kapal perikanan ditempatkan alat yang disebut transmitter (Automatic Location Communicator) yang terdiri dari komponen penerima sinyal dari satelit navigasi/GPS satelit dan komponen pengirim data ke satelit komunikasi; Kedua, posisi kapal diterima dari satelit GPS oleh transmitter dan dikirim secara otomatis ke satelit komunikasi (Argos); Ketiga, dari satelit komunikasi data dikirim ke
90 stasiun bumi di Toulus, Perancis; Keempat, melalui stasiun bumi data dikirim ke Fishing Monitoring Center (FMC) Jakarta di kantor pusat Departemen Kelautan dan Perikanan atau disebut Pusdal (Pusat Pengendalian). Hasil pemantauan terhadap kegiatan penangkapan kapal perikanan diolah dan dianalisis di Pusdal untuk diambil tindak lanjut yang diperlukan. Kelima, data hasil analisis yang berkaitan dengan kegiatan penangkapal di wilayah/regional Batam dan Ambon dikirim ke RMC (Regional Monitoring Center) di Batam dan Ambon. Terakhir, melalui fasilitas Website yang disediakan oleh pengelola VMS, perusahaan kapal penangkap ikan dapat mengakses informasi yang berkaitan dengan kapal atau armada milik mereka sendiri. VMS Operational Scheme
2 5
3 5
1 5
RMC Batam
5
4
RMC Ambon
internet
Perusaha
6 5
FMC Jakarta (Pusat Pengendalian) PPSDKP - DKP
Gambar 20 Skema Operasionalisasi VMS di Indonesia. Infrastruktur Vessel Monitoring System (VMS) yang terdapat di Fishing Monitoring Center (FMC) Jakarta atau Pusdal PPSDKP, terdiri dari : (1)
Dua Unit komputer Server, yaitu : 1)
Communication server seperti pada Gambar 21, alat ini berfungsi sebagai penghubung antara Argos Processing Center di Toulouse
91 Perancis dengan Fishing Monitoring Center (FMC) di DKP Jakarta dan tempat penyimpanan data pergerakan kapal yang diterimanya.
Gambar 21 Communication Server. Spesifikasi dari alat communication server tersebut diuraikan sebagai berikut : a. Merek Dell PowerEdge 1550 b. Processor Single Intel Pentium III, 1 GHz/133 256 K Cache c. Memory 512 MB PC 133 SDRAM (2x256 MB 133 MHz DIMMs) d. Harddisk 18 GB 10.000 rpm 1” Ultra 3 U 160 SCSI e. CD ROM Max IDE 24x f. Operating system Microsoft Windows 2000 Advanced Server 2)
Data base server yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan data dan aplikasi Database Management System (DBMS) Vessel Monitoring System. DBMS yang digunakan adalah Oracle Server Enterprise Edition versi 9.0.1.(lihat Gambar 22).
Gambar 22 Data Base Server. Spesifikasi dari database server ini adalah sebagai berikut : a. Merek Dell PowerEdge 4400 b. Processor Two Intel Pentium III Xeon, 1 GHz/133 256 K Cache c. Redundant power supply 320 W
92 d. Memory 512 MB PC 133 SDRAM (2x256 MB 133 MHz DIMMs) e. Harddisk 4x36 GB 10.000 rpm 1” Ultra 3 U 160 SCSI, RAID 5 with Hot Spare f. Internal Tape Backup PV 100T 20/40 GB DDS-4 LVD DAT g. Operating system Microsoft Windows 2000 Advanced Server (2)
Satu unit Rak Server, yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan server, alat ini dapat dilihat pada Gambar 23. Adapun spesifikasinya adalah : Merek Dell PowerEdge Half Height 24U Rack, power distribution unit (PDU) outlet box one low power 6 socket, power supply APC smart UPS 2200i rack mount 3U, 1600 W, dan monitor 14.1” Flat screen LCD
Gambar 23 Rak Server. (3)
Empat unit Komputer Workstation, yang berfungsi sebagai komputer client Vessel Monitoring System, yang masing-masing bentuknya dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24 Komputer Workstation.
93 Spesifikasi alat ini adalah : a. Merek Dell OptiPlex GX150 b. Processor Intel Pentium IV, 1,1 GHz 128 K Cache c. Memory 256 MB Non-ECC 133 MHz SDRAM d. Harddisk 20 GB 5.400 rpm e. Video Card Integrated Intel 3D Graphics with Direct AGP f. Monitor Dell 1702FP 17” Flat screen LCD g. DVD/CD RW IDE 20/48x h. Sound card integrated Sound Blaster Compatible Sound (AC97 Audio) i. Network card Integrated 3Com® EtherLink 10/100 j. Keyboard Enhanced QuietKey® spacesaver PS/2 with 3 programmable hotkeys k. Mouse Dell 2 buttons PS/2 l. Operating system Microsoft Windows 2000 Profesional (SP1) (4)
Satu paket piranti lunak FMC GIS Software Safire, yang berfungsi untuk menampilkan data yang bersumber dari database server dalam bentuk graphical user interface (GUI) yang menggambarkan seluruh posisi kapal ikan. Tampilan softwarenya dapat dilihat pada Gambar 25.
94
Gambar 25 Piranti Lunak FMC GIS Software Safire. (5)
Perangkat keras Firewall yang berfungsi sebagai pengaman jaringan internal terhadap akses dari luar yang tidak dikenal identitasnya.
(6)
Jaringan komunikasi data (LAN) yang berfungsi sebagai media komunikasi data di ruang FMC yang memiliki topologi star dengan menggunakan 1 unit HUB 8 port untuk menghubungkan seluruh komputer server, komputer workstation dan printer. Hardware, software dan jaringan komunikasi data di atas membentuk satu
infrastruktur pusat pengendalian (PUSDAL) VMS di DKP Pusat. Adapun bentuk dan kondisi ruangan Pusdal VMS tersebut dapat dilihat pada Gambar 26.
95
Sumber : Data PMO VMS
Gambar 26 Pusat Pengendalian (Pusdal) VMS di DKP Pusat. 4.8.2
Pentahapan Pelaksanaan Pemasangan Alat VMS Tim pelaksana pemasangan transmitter VMS yang dibentuk dengan
Surat Keputusan Dirjen Perikanan Tangkap No. 7231/DPT.0/PI.340.S4/XI/03 tanggal 18 November 2003 yang diketuai oleh Dirjen Perikanan Tangkap menyepakati prioritas pelaksanaan pemasangan transmitter sebagai berikut : (1) kapal ikan asing (penangkap dan pengangkut), (2) kapal pengangkut Indonesia, (3) kapal ikan Indonesia (pukat ikan dan pukat udang), (4) kapal ikan Indonesia (penangkap). Menurut data perencanaan, pada tahun 2003 diharapkan telah terpasang 500 kapal perikanan asing dan lokal dengan bobot 100 GT ke atas dan pada tahun 2004 diharapkan terpasang 1.000 kapal perikanan asing dan lokal dengan bobot 50 GT ke atas. 4.8.3
Prosedur Pemasangan Alat VMS Pemasangan transmitter dilakukan pada kapal dalam kategori yang harus
dipasang transmitter. Prosedur yang harus dilalui adalah sebagai berikut : (1)
Pemasangan Rutin (pemasangan oleh petugas pengawas perikanan di pelabuhan perikanan atau terhadap kapal yang mendarat dan belum memiliki transmitter) 1) Menetapkan waktu pemasangan. 2) Menghubungi FMC, Jakarta untuk pemberitahuan akan adanya pemasangan. 3) Melakukan pemasangan. 4) Melakukan pengecekan hasil pemasangan.
96 5) Melakukan
pengisian
dan
penandatanganan
form
administrasi
pemasangan. 6) Mengirim berkas administrasi pemasangan ke FMC/PMO-VMS, Ditjen P2SDKP di Jakarta. Bentuk alat transmitter dan contoh pemasangannya di kapal penangkap ikan secara benar dan tidak terhalang menghadap langit disajikan pada Gambar 27 berikut ini.
Sumber : Foto Koleksi PMO VMS DKP
Gambar 27 Bentuk Transmitter dan Contoh Pemasangannya di Kapal. (2)
Pemasangan Khusus 1) Pemasangan dalam rangka pengurusan surat izin baru, peranjangan izin, dan pelaksanaan cek fisik. Prosedur yang harus dilalui adalah sebagai berikut : a. Mempersiapkan waktu pemasangan sebelum melakukan proses perizinan dan cek fisik (minimal 1 minggu). b. Mengajukan surat permohonan pemasangan transmitter VMS. c. Menyelesaikan hal-hal financial yang terkait dengan penggunaan transmitter. d. Menyelesaikan masalah administrative/surat-surat dan form isian terkait dengan penggunaan transmitter. e. Mengambil dan memeriksa kelengkapan transmitter. f. Menghubungi FMC, Jakarta untuk pemberitahuan akan adanya pemasangan. g. Melakukan pemasangan.
97 h. Melakukan pengecekan hasil pemasangan. i. Melakukan pengisian dan penandatanganan form administrasi pemasangan. j. Mengirim satu berkas administrasi pemasangan ke FMC/PMO-VMS, Ditjen P2SDKP di Jakarta. 2) Pemasangan transmitter dalam operasi pengawasan Pemasangan sebagai akibat tertangkapnya kapal perikanan yang tidak memiliki transmitter VMS dalam suatu operasi pengawasan. a. Pelaksanaan operasi pengawasan yang terkait dengan pemasangan transmitter ini dilaksanakan setelah jangka waktu pemasangan yang diberikan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan kepada pihak pengusaha
pemilik
kapal
dinyatakan
selesai
sesuai
Surat
Pemberitahuan dari Ditjen Perikanan Tangkap. b. Terhadap kapal perikanan yang tertangkap PPNS/tenaga pengawas perikanan/petugas yang ditunjuk pada kapal patroli/pengawas segera melakukan sebagai berikut : (i) memeriksa ada/tidaknya dan keaslian dokumen kapal dan SPI/SIKPI; (ii) menetapkan apakah kapal tersebut termasuk dalam tahapan dan prioritas pemasangan pada saat itu; (iii) memeriksa apakah kapal tersebut telah memiliki transmitter VMS yang dapat dipantau di FMC, Ditjen P2SDKP Jakarta; (iv) terhadap kapal ikan asing yang dioperasikan dalam rangka kerja sama dengan perusahaan lokal, harus memperlihatkan Naskah Surat Perjanjian yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak dan dianggap sah dalam proses perizinan; (v) pemasangan dilakukan sesuai prosedur pemasangan rutin yang dilaksanakan oleh teknisi kapal pengawas dibantu oleh teknisi kapal perikanan yang bersangkutan; (vi) prosedur selanjutnya mengenai pengecekan hasil pemasangan tetap dilakukan seperti halnya pemasangan rutin; dan (vii) bagi kapal perikanan yang tertangkap dan tetap tidak mau dipasang transmitter, segera dibuatkan Surat Pernyataan Nahkoda yang akan menjadi dasar bagi pelaksanaan sanksi sesuai ketentuan.
98 3) Pemasangan transmitter milik sendiri a. Mempelajari dan memahami sistem jaringan VMS yang telah dibangun Ditjen P2SDKP, Departemen Kelautan dan Perikanan dan ketentuan-ketentuan tentang transmitter yang diadakan sendiri oleh Pemilik Kapal dan Perusahaan. b. Mengajukan permohonan tentang pengadaan transmitter sendiri dan melengkapinya dengan spesifikasi dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh BRKP dalam buku Pedoman Pengadaan transmitter Sendiri. c. Melampirkan surat persetujuan dari BRKP dan jadwal pemasangan. d. Melampirkan surat pernyataan akan selalu mengaktifkan transmitter dan memelihara, menjaga, membayar air time, sehingga posisi kapal selalu terpantau. e. Menghubungi petugas monitor di Ditjen P2SDKP (FMC) pada saat pemasangan. f. Meminta dan mendapatkan form FMC-03 E sebagai bukti terpantaunya posisi kapal dan transmitter telah terpasang dengan baik, untuk digunakan dalam pengurusan izin atau diperlihatkan pada saat ada pemeriksaan. 4.8.4
Bentuk Kerjasama dan Ruang Lingkup Pekerjaan Pembangunan VMS di Departemen Kelautan dan Perikanan merupakan
kerjasama antara Bagian Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Pengawasan (PSP) Departemen Kelautan dan Perikanan RI dengan Collecte Localisation Satellites (CLS) Perancis yang diageni oleh PT. Dharma Dwitunggal Utama, dengan nomor kontrak No. PL.343/PSKP-PSP/SPPK/XII/2002, ditandatangani tanggal 30 Desember 2002. Tahap awal pembangunan VMS di Departemen Kelautan dan Perikanan diawali dengan bantuan softloan dari pemerintah Perancis ke pemerintah Indonesia sebesar 9,365,347
(sembilan juta tiga ratus enam puluh lima tiga ratus
empat puluh tujuh Euro) yang merupakan realisasi dari Financial Protocol tanggal 11 Februari 2002.
99 Dana ini merupakan pinjaman lunak untuk masa pembayaran 20 tahun termasuk grace period 5 (lima) tahun, dengan interest rate 2,35% per tahun. Kegiatan meliputi : (1)
Penyediaan 1.500 transmitter,
(2)
Pembangunan sistem VMS,
(3)
Pembangunan FMC dan RMC,
(4)
Pelaksanaan pelatihan teknis, sosialisasi, legal framework/SOP,
(5)
Pemeliharaan dan pengembangan,
(6)
Instalasi kapal patroli.
4.8.5
Pendistribusian Alat VMS di Pelabuhan Perikanan Kondisi penyebaran transmitter atau alat VMS terhadap kapal Indonesia
bersadarkan pelabuhan pangkalan yang terpasang belum mampu memenuhi target pemasangan VMS yang memprioritaskan jenis alat tangkap tertentu seperti Pukat Ikan dan Pukat Udang. Tabel 16 Hasil Pemasangan Alat VMS Berdasarkan Pelabuhan Pangkalan NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Pelabuhan Pangkalan Ambon Banyuwangi Batam Belawan Benoa Biak Bitung Cilacap Dobo Kendari Kupang Manokwari Merauke Muara Baru Pekalongan Pontianak Sorong Tanjung Pinang Ternate Tual Jumlah
INDONESIA Pasang Existing Tx 59 1127 7 9 21 137 0 26 24 0 57 1 0 26 173 52 3 60
153 799 164 196 42 91 7 121 208 397 3 71
3 65
45
714
3.433
Sumber : Data PMO VMS, Juni 2005
ASING Pasang Existing Tx 197 602 0 35 13 19 0 10 23 47 32 0 2 18 0 4 74 8 2 0 0 7 1 0 195 575
714
Total Terpa sang 256 7 0 40 137 10 73 24 2 75 1 4 100 175 52 3 67 0 3 260 1.289
100
Pelabuhan pangkalan yang paling banyak kapalnya dipasang alat VMS adalah Pelabuhan Muara Baru dan Pelabuhan Benoa. Padahal jenis alat tangkap Pukat Udang dan Pukat Ikan banyak digunakan di wilayah Arafura, dimana pelabuhan pangkalannya diperkirakan di lokasi Ambon, Sorong dan Tual. Hal ini disebabkan karena penyebaran alat VMS hanya berdasarkan random dan berdasarkan kesediaan pemilik kapal di pangkalannya masing-masing. Tabel 16 menggambarkan sebaran pemasangan alat VMS berdasarkan pelabuhan pangkalan. 4.8.6
Pemasangan Alat VMS Kapal Asing Berdasarkan Bendera Kapal asing merupakan target utama kebijakan penerapan VMS, dari 714
kapal asing yang beroperasi di Indonesia yang dipasang alat VMS adalah sebanyak 575 kapal. Apabila dilihat dari latar belakang atau bendera negara asal, maka kapal asing yang paling banyak telah dipasang alat VMS adalah kapal asing yang berbendera Thailand sebanyak 328 kapal. Posisi kedua adalah bendera asal Cina yaitu sebanyak 192 kapal dan posisi ketiga adalah berbendera Philipina sebanyak 42 kapal. Tabel 17 menggambarkan secara rinci penyebaran pemasangan alat VMS bagi kapal asing berdasarkan bendera negara asal.
Tabel 4.17 Hasil Pemasangan Alat VMS Kapal Asing Berdasarkan Bendera Negara Asal No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Negara Thailand Cina Hong Kong Korea Panama Filipina Vietnam Taiwan Dominica JUMLAH
Asing Pasang Tx Existing 328 311 192 314 6 0 6 42 89 0 0 1 575 714
Sumber : Data PMO VMS, Juni 2005
Total Terpasang 328 192 6 0 6 42 0 0 1 575
101 4.8.7
Pemasangan Alat VMS Berdasarkan Alat Tangkap. Oleh karena jumlah kapal perikanan Indonesia yang harus ikut program
VMS diperkirakan mencapai lebih dari 5.000 kapal perikanan, dan jumlah kapal asing diperkirakan berjumlah 750 kapal, maka DKP membuat skenario prioritas pemasangan alat VMS terhadap kapal perikanan dengan prioritas pertama adalah kapal penangkap dengan jenis alat tangkap Pukat Udang, Pukat Ikan, Tuna Longline dan Purse Seine. Apabila dilihat dari hasil pemasangan alat VMS yang telah dilakukan berdasarkan alat tangkap, maka dapat diketahui hasilnya seperti pada Tabel 18. Tabel 18 Hasil Pemasangan Alat VMS Berdasarkan Alat Tangkap NO.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Alat Tangkap Pukat Ikan Pukat Udang Puese Seine Long Line Pancing Cumi Bouke Ami Gill Net Payang Huhate Light Net Set Net Bubu Pole and Line Lain lain Jumlah
INDONESIA Pasang Tx Existing
68 109 54 275 3 2 12 0 0 0 0 0 54 577
565 302 1489 1633 17 102 424 16 102 8 4 102 102 61 4.927
ASING Pasang Tx Existing
489 0 21 0 0 0 11 0 0 0 0 0 1 0 522
558
TOTAL
61
557 109 75 275 3 2 23 0 0 0 0 0 55
714
1.099
95
Sumber : Data PMO VMS, Juni 2005
Tabel 18 memberikan gambaran hasil pemasangan alat VMS berdasarkan alat tangkap (di luar kapal pengangkut/pengumpul) dapat diperoleh informasi bahwa kapal Indonesia (lokal) yang jenis alat tangkap terbanyak telah dipasang alat VMS adalah kapal dengan jenis alat tangkap Long Line yaitu sebanyak 275 kapal, kemudian posisi kedua adalah kapal dengan jenis alat tangkap Pukat Udang sebanyak 109 kapal dan disusul kapal dengan jenis alat tangkap Pukat Ikan sebanyak 68 kapal. Padahal DKP telah memprioritaskan untuk tahap pertama adalah pukat udang dan pukat ikan, dan jika kebijakan itu diterapkan maka ketersediaan alat VMS pada tahap awal yaitu sebanyak 1.500 alat mencukupi
102 untuk seluruh kapal Indonesia yang berjenis alat tangkap Pukat Udang dan Ikan, kemudian sisanya diwajibkan kepada kapal asing. Sesuai data dari Tabel 18 diperoleh gambaran bahwa kapal asing yang paling banyak dipasang alat VMS adalah kapal dengan jenis alat tangkap Pukat Udang, yaitu sebanyak 558 kapal. Kondisi ini sudah sesuai dengan harapan dan rencana prioritas sasaran VMS yang dirumuskan DKP. 4.8.8
Pemasangan Alat VMS Berdasarkan Jenis Kapal Berdasarkan
Surat
keputusan
Dirjen
Perikanan
Tangkap
No.
1384/DPT.0/PI.340.S4/IV/05 tentang Prosedur dan Tata Cara Pemasangan Transmiter Sistem Pemantauan Kapal Perikanan, maka pencapaian hasil pemasangan alat VMS dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Rekapitulasi Komposisi Hasil Pemasangan Alat VMS Berdasarkan Jenis Kapal No
Jenis Kapal
Terpasang
Jumlah Eksisting
Sisa
1
Kapal Ikan Asing (Penangkap + Pengangkut
601
970
369
2
Kapal Pengangku Indonesia
141
310
169
187
523
336
394
1.158
764
1.323
2.961
1.638
3 4
Kapal Ikan Indonesia (pukat ikan dan pukat udang Apal Ikan Indonesia > 100 GT (Penangkap) TOTAL
Prioritas I Tahun 2005 II Tahun 2005 Tahun 2006
Sumber : Data PMO VMS, Agustus 2005
Berbeda dengan data bulan Juni 2005, maka pada bulan Agustus 2005 terjadi peningkatan total kapal yang berhasil dipasang alat VMS dari 1.289 kapal menjadi 1.323 kapal. Pada Tabel 19 dapat diketahui bahwa berdasarkan jenis kapal baik Lokal maupun asing, maka diperoleh informasi bahwa jumlah kapal asing (baik penangkap atau pengangkut) yang telah berhasil dipasang alat VMS adalah berjumlah 610 kapal. Jenis kapal pengangkut asal Indonesia yang telah dipasang alat VMS sebanyak 141 kapal. Jenis kapal lokal yang alat tangkapnya Pukat Udang dan Pukat Ikan yang telah dipasang VMS adalah sebesar 187 kapal.
103 Keseluruhan kapal penangkap Indonesia diluar Pukat Udang dan Pukat Ikan adalah sebesar 394 kapal. Jadi keseluruhan kapal lokal maupun asing yang telah mengikuti VMS dan dipasang alat VMS adalah berjumlah 1.323 kapal. 4.8.9
Kondisi atau Status Alat VMS Terpasang Salah satu ukuran keberhasilan penerapan kebijakan teknologi VMS
adalah terpenuhinya target sebanyak 1.500 kapal yang ikut program VMS pada tahun 2004, namun yang terjadi adalah jauh dari harapan, karena pada akhir tahun 2004, dari 987 kapal ikan (lokal maupun asing) yang sudah dipasang alat Transmitter hanya 549 (55,6%) yang aktif berfungsi dan dan dapat dipantau. Kemajuan di tahun 2005 juga belum menunjukkan hasil yang optimal, dimana sampai sekarang seluruh kapal yang terlibat dalam program VMS baru berjumlah 1.323 kapal (kapal asing sebanyak 601, dan kapal lokal sebanyak 722). Berdasarkan segi ketaatan dalam mengaktifkan alat VMS (transmitter) atau berfungsinya alat VMS menunjukkan bahwa data per 30 Agustus 2005, diperoleh informasi, dari 722 kapal lokal yang sudah berhasil dipasang alat VMS, ternyata yang dapat berfungsi atau dapat dimonitor oleh pusat pengendalian (Pusdal) di DKP hanya sebanyak 247 kapal atau hanya sebesar 34,2%, yang lainnya tidak berfungsi karena berbagai alasan antara lain dimatikan, dilepas karena alasan keamanan, tidak dapat koneksi dengan pusat dan tidak diterima satelit. Sedangkan untuk kapal asing dari 601 yang dipasang alat VMS ternyata hanya 281 yang berfungsi atau sebesar 46,8%. Tabel 19 menunjukkan bahwa total keseluruhan kapal perikanan (baik kapal lokal maupun kapal asing) yang telah mengikuti VMS dan alat transmitter dinyatakan telah dipasang adalah sebanyak 1.323 kapal (Lampiran 4). Kapal perikanan yang status alatnya aktif terus (OK) atau befungsi dan dapat dipantau oleh Pusdal DKP adalah sebanyak 528 kapal atau sebesar 39,9%. Alat transmitter yang statusnya OK tetapi sering mati terdapat sebanyak 118 kapal atau sebesar 8,9%. Kapal-kapal yang memutuskan power supply dengan sengaja 547 kapal (41,3 %), dan kapal yang transmitter-nya mati tanpa tanda/disengaja terdapat sebanyak 110 kapal (8,3%). Terdapat pula kasus dimana alat transmitter mati sejak awal yaitu sebanyak 20 kapal (1,5%) dan kapal yang tidak memasang
104 transmitter tapi sudah mengambil alat tersebut, terdapat sebanyak 82 kapal dari 49 perusahaan Tabel 20 Permasalahan dan Ketaatan Pengusaha dalam Pengaktifan Transmitter
Terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kapal penangkapan ikan dalam kaitan dengan pemasangan transmitter di atas, pemerintah dalam hal ini DKP telah melakukan tindakan tegas dengan memberikan berbagai macam tindakan administratif, antara lain berupa : (1)
Surat Pemberitahuan
: 201 perusahaan/501 kapal
(2)
Surat Peringatan I
: 142 perusahaan/297 kapal
(3)
Surat Peringatan II
: 474 perusahaan/ 756 kapal
(4)
Surat Pemanggilan
:
2 perusahaan/6 kapal
(5)
Surat Pengembalian transmiter
:
4 perusahaan/20 kapal
(6)
Rekomendasi pencabutan SIPI/SIKPI
: 15 perusahaan/39 kapal
(7)
Perbaikan dan penggantian Tx
: 25 perusahaan/25 kapal
105 4.8.10
Kemampuan Teknologi VMS saat ini Hasil wawancara dengan pimpinan PMO VMS di DKP, maka peran atau
fungsi yang telah dapat dilakukan teknologi VMS dalam rangka pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan (SDI) adalah antara lain : (1)
Monitoring gerak kapal yang menyangkut : Yaitu kemampuan memonitor posisi, kecepatan, jalur lintasan (tracking), dan waktu terjadinya pelanggaran. Kemampuan monitoring ini dapat membantu DKP memperoleh informasi tentang adanya indikasiindikasi pelanggaran (berkaitan dengan kegiatan penangkapan maupun dokumen perizinan) yang dilakukan oleh kapal penangkap ikan yang terdaftar dan memasang transmitter, yaitu antara lain : 1) Indikasi Pelanggaran Izin Kapal Penangkap Ikan Walaupun kemampuan teknologi VMS saat ini masih terbatas, namun dengan program pengintegrasian data secara terpisah Pusat Koordinator Pengendalian VMS di DKP mampu mengidentifikasi adanya kapal penangkap ikan yang masa berlaku izinnya habis namun tetap beroperasi. Gambar 28 menggambarkan hasil pemantauan Puskodal VMS DKP yang memberikan informasi adanya pelanggaran oleh kapal penangkap ikan, yaitu sebagai berikut :
106
Sumber : PMO VMS, PSDKP- Departemen Kelautan dan Perikanan
Gambar 28 Indikasi Pelanggaran Izin Oleh Kapal Penangkap Ikan. Berdasarkan Gambar 28, dapat diketahui bahwa Puskodal VMS DKP telah mampu melakukan pemantauan terhadap kapal kapal penangkap ikan yang masa berlaku izinnya habis namun tetap beroperasi, informasi ini sangat penting bagi Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap untuk ditindaklanjuti dengan pemberian peringatan atau pemberian sanksi administrasi, karena telah merugikan negara. Seperti yang terlihat pada Tabel 21, terdapat lima kapal penangkap ikan yang masa berlaku izinnya habis tetapi tetap beroperasi, antara lain kapal dengan
nama
Putra
Mandiri
dimana
masa
berlaku
izinnya
penangkapannya adalah sampai 13 Agustus 2005, masih tetap beroperasi melakukan penangkapan.
107 Tabel 21 Kapal Penangkap Ikan Yang Terpantau Masa Berlaku Izinnya Habis TX ID 35288 33500 50254
Putra Mandiri Mekar Gloria Indah Surya Teja II
50205
F/V Randvy T-3
35295
Liao Chang YU 6033
Nama Perusahaan
No. SPI
Satimin Fabian Sebastian Kiang Sukam Sapta Samudra, PT Bintang Laut Nusantara, PT Gold Net Internusa, PT
02.02.0069.04.03093 02.02.0239.04.04583 11.03.0028.03.06166
Tanggal berakhir SPI 13/08/2005 22/08/2005 09/08/2005
12.04.0028.07.08505
02/04/2005
12.04.0028.03.07873
06/01/2005
Nama Kapal
Sumber : Hasil Analisis
Berdasarkan pengamatan peneliti dan hasil wawancara dengan personil Puskodal VMS DKP, ternyata hasil pemantauan tersebut diatas tidak dilakukan secara online. Sementara ini teknologi VMS yang ada baru mampu mengidentifikasi Nomor ID Transmitter kapal penangkap ikan yang terpantau pada layar. Kemudian secara manual nomor ID transmitter ini diintegrasikan dengan program lain untuk mengetahui nama pemilik kapal, nomor SPI dan sekaligus melihat masa berlakunya izin. 2) Indikasi Pelanggaran Pemasangan Transmitter Teknologi VMS mampu melakukan pemantauan terhadap kapalkapal yang sudah terdaftar dan mengambil transmitter tapi tidak dipasang di kapal yang bersangkutan. Berdasarkan data pada tanggal 30 Agustus 2005 yang diperoleh dari PMO VMS dan Puskodal VMS, diketahui terdapat 82 kapal penangkap ikan yang berasal dari 49 perusahaan melakukan pelanggaran pemasangan transmitter, setelah izin dikeluarkan oleh DKP dan transmitter telah diambil oleh pengusaha, namun tidak dipasang di kapal yang bersangkutan. Hal ini sangat menyulitkan lembaga pengelola VMS karena tidak dapat memantau kapal yang telah terdaftar dalam program VMS. Pemanfaatan teknologi tertentu oleh Puskodal masih tetap dapat memantau keberadaan transmitter walaupun tidak dipasang di kapal dan tidak dihidupkan. Gambar 29. menggambarkan kemampuan Puskodal dalam memantau
108 transmitter yang tidak dipasang di kapal tetapi ditemukan di sebuah kantor di Jakarta.
Sumber : PMO VMS, PSDKP- Departemen Kelautan dan Perikanan
Gambar 29 Indikasi Pelanggaran Pemasangan Transmitter. 3) Indikasi Pelanggaran Alat Tangkap Adanya keluhan nelayan tradisional terhadap kapal asing maupun lokal yang berukuran besar menggunakan alat tangkap terlarang dapat dibuktikan melalui pemantauan kapal dengan teknologi VMS (seperti pada Gambar 30).
Kedua Kapal selalu Bersamaan Dalam Waktu yang sangat lama Dan Melakukan Kegiatan
Penangkapan ( Kecepatan)
Sumber : PMO VMS, PSDKP- Departemen Kelautan dan Perikanan
Gambar 30 Indikasi Pelanggaran Alat Tangkap.
109 Pada Gambar 30 menyajikan hasil pemantauan Puskodal VMS DKP terhadap kapal penangkap ikan yang melanggar alat tangkap. Hasil pemantauan menunjukkan adanya dua kapal penangkap ikan yang selalu bersamaan, yaitu kapal dengan nama masing-masing Zhe Fu Yu 30077 dan Zhe Fu Yu 30078. Kedua kapal tersebut terpantau selalu bersamaan dalam waktu yang sangat lama dan melakukan kegiatan penangkapan dengan kecepatan rendah. Dengan ciri-ciri seperti itu Puskodal menilai bahwa kapal tersebut menggunakan alat tangkap terlarang Pair Trawl. 4) Indikasi Pelanggaran Wilayah Penangkapan Pelanggaran wilayah penangkapan oleh kapal-kapal asing dan lokal sering dilaporkan baik oleh aparat pengawas maupun nelayan tradisional, bahkan sering terjadi konflik langsung antara kapal asing dengan kapal tradisional di perairan 4 mil yang merugikan kapal-kapal tradisional. Gambar 31 menunjukkan hasil pemantauan teknologi VMS yang berhasil menemukan adanya indikasi pelanggaran wilayah penangkapan.
Batas ZEE Indonesia Kapal-Kapal Thailand Alat Tangkap Pukat Ikan ZEEI Laut Cina Selatan Penangkap Ikan di daerah Terlarang/Teritorial Batas Perairan Teritorial
Sumber : PMO VMS, PSDKP- Departemen Kelautan dan Perikanan
Gambar 31 Indikasi Pelanggaran Wilayah Penangkapan.
110 Dari hasil pemantauan Pusdal VMS seperti tampak pada Gambar 30, diketahui banyak ditemukan kapal-kapal berbendera Thailand dengan menggunakan alat tangkap Pukat Ikan ZEEI Laut Cina Selatan melakukan operasi penangkapan di wilayah terlarang. Pada layar komputer Sistem Pemantauan menunjukkan kapal-kapal tersebut berada di wilayah perairan laut teritorial. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahawa kemampuan software sitem pemantauan kapal penangkap ikan dengan teknologi VMS saat ini masih terbatas, dimana dalam menganalisis adanya indikasi pelanggaran wilayah penangkapan, Puskodal VMS DKP hanya mampu mengidentifikasi kapal-kapal yang melanggar wilayah melalui gerak kapal atau jalur lintasan penangkapan ikan (tracking) dan ID transmitter-nya, untuk mengetahui data kapal penting lainnya (seperti nama, jenis alat tangkap, asal perusahaan, nomor izin dan wilayah tangkap) perlu dilakukan integrasi data dengan program lain, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama. Departemen Kelautan dan Perikanan harus terus meningkatkan kemampuan teknologi VMS ke arah sistem pemantauan kapal secara on line dan software yang ada di sistem pemantauan Puskodal DKP kususnya berkaitan dengan kemampuan analisis indikasi pelanggaran wilayah
operasi
penangkapan
harus
ditingkatkan
dengan
cara
menyempurnakan software sistem pemantauan yang memiliki peta zonasi di 9 daerah penangkapan. Standarisasi wilayah perizinan dibuat dengan koordinat yang jelas. Sehinga jika terjadi pelanggaran wilayah penangkapan (keluar dari koordinat yang telah ditetapkan dalam izin) oleh kapal penangkap ikan maka secara otomatis sistem mengeluarkan peringatan sebagai tanda adanya pelanggaran wilayah penangkapan. Fungsi pengawasan yang dilakukan Puskodal dapat lebih efektif jika zonasi penangkapan diterapkan secara konsisten dan terintegrasi antara sistem perizinan dengan VMS.
111 5) Indikasi Pelanggaran Transhipment Kegiatan transhipment merupakan tindakan pelanggaran yang merugikan negara, karena hasil tangkapan tidak dibawa ke pelabuhan pangkalan atau pelabuhan lapor untuk dilaporkan (Unreported) dan dilakukan pengecekan hasil tangkapan tapi langsung dipindahkan di tengah laut untuk diekspor ke negara lain. Dalam beberapa kali acara diskusi antara pengusaha, asosiasi dan pemerintah, dan yang terakhir dilakukan pada tanggal 30 Agustus 2005, topik transhipment selalu menarik untuk dijadikan pembicaraan. Dirjen PPSDKP dalam diskusi tersebut menyatakan bahwa dari data-data pelanggaran di bidang perikanan selama 3 tahun ini pelanggaran yang paling banyak adalah jenis ”Unreported” disamping ”Illegal” dan ”Unregulated”. Ditegaskan pula, bahwa kontribusi kerugian
negara
paling
besar
adalah
dari
pelanggaran
jenis
”Unreported”. Berbeda dengan para pengusaha, mereka mendukung jika transhipment dibolehkan, dan DKP bertugas mengawasi pelaksanaan transhipment agar tidak merugikan negara. Karena dengan harga BBM yang mahal ditambah biaya perjalanan ke pelabuhan lapor yang memerlukan waktu dan biaya, pengusaha memilih untuk tidak ke pelabuhan lapor namun memilih transhipment di tengah laut. Gambar 32 menunjukkan adanya indikasi transhipment di tengah laut. Hasil pemantauan VMS di Puskodal DKP menunjukkan adanya dua kapal yang berdempetan (Kapal Merina dan Syrtary) jenis penangkap dan pengangkut yang berada di posisi koordinat yang sama, dalam waktu bersamaan dan dengan kecepatan 0 knot atau berhenti. Kondisi seperti ini dapat dianalisis bahwa kapal tersebut melakukan kegiatan transhipment. Sehingga perlu dilakukan pengecekan, dan jika benar harus dilakukan tindakan hukum.
112
Terdapat dua kapal ( Merina dan Syrtary) jenis penangkap dan Pengangkut Posisi Sama (0°38’31”LU/139°10’01”BT)
Waktu Sama : 15 02 2005 jam 13.00 Kecepatan : 0 Knot (berhenti)
Sumber : PMO VMS, PSDKP- Departemen Kelautan dan Perikanan
Gambar 32 Indikasi Pelanggaran Transhipment. 6) Indikasi Pelanggaran Kapal Tidak Pernah ke Pelabuhan Pangkalan. Adanya keinginan sebagian pengusaha yang banyak disampaikan dalam acara diskusi antara pengusaha, asosiasi dan DKP agar mereka diperbolehkan untuk tidak ke pelabuhan pangkalan dengan alasan efisisensi (dari segi waktu dan biaya), keamanan pelabuhan dan juga menghindari banyaknya pungutan ternyata menunjukkan gambaran yang nyata di lapangan. Banyak informasi mengenai adanya kapal-kapal penangkap ikan yang tidak pernah melapor ke pelabuhan pangkalan selama satu tahun. Gambar 33 menunjukkan adanya kapal penangkap ikan yang tidak pernah ke pelabuhan pangkalan.
113
PLOT POSISI MV. LIAO CHANG YU 6033 SELAMA 1 TAHUN (1 SEP 2004 – 29 AGT 2005)
Sumber : Data PMO VMS Gambar 33 Indikasi Pelanggaran Kapal Tidak Pernah Ke Pelabuhan Pangkalan. Hasil pemantauan melalui teknologi VMS seperti yang terlihat pada Gambar 33 menunjukkan adanya kapal penangkap ikan yang selama satu tahun tidak pernah ke pelabuhan pangkalan, diketahui nama kapal tersebut adalah MV. Liao Chang Yu 6033. Menurut pihak pengelola Puskodal kondisi ini bisa disimpulkan bahwa kapal yang bersangkutan selalu melakukan kegiatan transhipment di tengah laut. (2)
Keamanan Pelayaran : Disamping
kemampuan
melakukan
indikasi
adanya
berbagai
pelanggaran yang dilakukan kapal penangakap ikan, maka teknologi VMS juga mampu membantu memberikan informasi posisi kapal dalam beberapa kasus kejahatan di laut (kehilangan kontak, pembajakan, kecelakaan).
114 (3)
Manajemen Sumber Daya Ikan : Yaitu mengetahui dengan lebih nyata di lapangan bagaimana peta usaha penangkapan ikan dilakukan, di perairan mana saja, intensitasnya berapa, sehingga perkiraan sumber daya yang telah dimanfaatkan dapat diketahui
(4)
Integrasi dengan sistem lain : Dengan sistem radar satelit atau alat deteksi lainnya, maka VMS dapat mengidentifikasi kapal yang tidak memiliki transmitter dan merupakan indikasi kapal ilegal.
Berdasarkan informasi tentang berbagai kemampuan teknologi VMS di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa DKP melalui lembaga pengelola VMS (PMO VMS dan Puskodal VMS) harus terus meningkatkan teknologi VMS dengan menyempurnakan software pada sistem pemantauan sehingga mampu melakukan pemantauan secara online. Setiap pelanggaran yang terjadi langsung bisa diketahui seluruh informasi yang berkaitan dengan data kapal yang bersangkutan. Demikian pula halnya dengan standarisasi zonasi dengan koordinat yang jelas harus sudah di integrasikan dalam software sistem pemantauan. Berdasarkan kemampuan monitoring, pusat pengendalian VMS di DKP sudah mampu mendeteksi secara otomatis kapal-kapal yang mematikan transmitter (Tx) tapi belum mampu secara online melarang kapal-kapal yang mematikan Tx untuk keluar dari pelabuhan. Terhadap kapal-kapal yang melakukan pelanggaran jalur penangkapan Pusdal DKP juga belum mampu secara langsung mengetahui nomor izin kapal yang besangkutan untuk dilakukan penindakan secara tegas.
4.8.11
Alasan Pemilik Kapal Terhadap Tidak Aktifnya Transmitter Berdasarkan informasi tentang banyaknya alat VMS (transmitter) yang
tidak berfungsi karena berbagai alasan, maka dilakukan wawancara dengan beberapa pemilik kapal atau pengusaha yang mendapat surat peringatan dari DKP untuk mengetahui alasan yang menyebabkan alat VMS mereka tidak aktif.
115 Adapun alasan-alasan yang diungkapkan pemilik kapal/pengusaha terhadap surat peringatan tentang tidak aktifnya transmitter di kapal antara lain : (1)
Menyatakan bahwa transmitter tetap aktif, tetapi tidak terpantau di Puskodal DKP Jakarta.
(2)
Menyatakan bahwa kapal sedang melakukan docking sehingga transmitter terpaksa dimatikan.
(3)
Transmitter menyebabkan gangguan pada peralatan lain di kapal.
(4)
Menyayakan bahwa alat transmitter dalam keadaan rusak
(5)
Sedang dalam proses pengadilan
(6)
Kapal sedang dalam keadaan rusak
(7)
Perwakilan/agen
sedang
menunggu
jawaban
terhadap
pemasangan
transmitter. (8)
Sedang melakukan perubahan spesifikasi kapal dan tidak melaut
(9)
Surat izin atau SPI tidak diperpanjang.
4.8.12
Hambatan atau Kesulitan Pemasangan Organisasi pengelola VMS DKP yang dalam pelaksanaan dilakukan oleh
PMO VMS DKP mengalami berbagai hambatan dalam melaksanakan penerapan VMS. Ketidakmampuan PMO VMS dalam memasang alat VMS sesuai urutan prioritas yang telah dirumuskan disebabkan oleh beberapa hambatan sebagai berikut : (1)
Tidak ada jadwal pendaratan kapal yang pasti di pelabuhan pangkalan (ketidaktaatan dalam mendarat di pelabuhan pangkalan).
(2)
Tidak mampu mendeteksi jumlah pengeluaran izin sesuai prioritas pemasangan.
(3)
Pelaksanaan pemasangan transmitter menjumpai beberapa kendala dari pengusaha atau pemilik kapal yang melakukan penolakan dengan berbagai alasan dan cara.
(4)
Masih besarnya resistensi dari pengusaha atau pemilik kapal dengan berbagai alasan seperti : kekhawatiran diketahuinya posisi atau tracking kapal yang semula tidak dapat diawasi, kehawatiran akan adanya dana tambahan atas penggunaan alat transmitter, tidak mau memahami manfaat
116 VMS bagi manajemen sumberdaya ikan yang terkait dengan efektivitas perizinan dan kelestarian sumberdaya ikan.
4.8.13
Pelayanan Website VMS Website Vessel Monitoring System (VMS) Departemen Kelautan dan
Perikanan
yang
beralamat
di
http://www.vms.dkp.go.id
dibangun
untuk
memfasilitasi kegiatan pelayanan pengawasan kapal perikanan kepada perusahaan perikanan yang telah mengikuti program VMS. Melalui sistem website VMS ini memungkinkan perusahaan perikanan untuk memantau kapal perikanan yang mereka miliki tanpa memandang letak geografisnya, dan diharapkan melalui penyediaan fasilitas pelayanan ini dapat merupakan insentif atau rangsangan bagi pengusaha perikanan untuk tertarik mengikuti program VMS. Untuk mengakses website VMS dapat dilakukan dengan menggunakan web browser seperti internet explorer, netscape communicator, mozilla dan lain lain melalui alamat http://www.vms.dkp.go.id. Dapat pula diakses melalui website Departemen Kelautan dan Perikanan melalui link yang sudah tersedia pada halaman utama tampilan website. Sebelum menggunakan fasilitas website VMS, harus terlebih dahulu memiliki user account dan password dengan cara mendaftar terlebih dahulu. User account dan password dikeluarkan oleh administrator VMS Ditjen P2SDKP di ruang Pusat Pemantauan Kapal Perikanan (FMC) gedung Departemen Kelautan dan Perikanan lantai 15. Pemilik kapal dapat mengakses posisi armada kapal perikanannnya masing-masing, sedangkan posisi kapal, kapal lain yang bukan miliknya tidak dapat dilihat. Sehingga kegunaan fasilitas website ini antara lain : (1) Untuk menampilkan data nama dan alamat perusahaan pemilik kapal, (2) Untuk pencarian kapal-kapal ikan milik perusahaan yang bersangkutan yang terpasang transmitter VMS dengan keterangan posisi kapal terakhir, status power supply dan GPS dan (3) Untuk menampilakan posisi terakhir seluruh kapal kapal yang terdaftar sebagai milik user ke dalam peta. Perusahaan pemilik kapal juga dapat melihat posisi pergerakan salah satu kapal yang dimiliki dengan cara mengklik nama kapal yang dipilih setelah terlebih dahulu masuk ke menu ”Daftar Kapal”, setelah itu akan muncul posisi-posisi pergerakan kapal selama 10 hari. Melalui informasi ini pemilik kapal dapat mengetahui dan menelusuri pergerakan
117 kapal-kapal miliknya melakukan aktivitas penangkapan, sehingga kemungkinan adanya kecurangan oleh awak kapal dalam mengoperasikan kapalnya dapat dihindari.