PELAKSANAAN KONSELING BEHAVIORAL DALAM MENGATASI PHOBIA KUCING SEORANG KLIEN DI RASAMALA 2 MENTENG DALAM TEBET JAKARTA SELATAN
Oleh: Yuni Rosita 101052022672
JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Konseling Behavioral Dalam Mengatasi Phobia Kucing Seorang Klien di Rasamala 2 Menteng Dalam Tebet Jakarta Selatan” telah diujikan dalam sidang ujian Skripsi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 26 Maret 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial Islam. Jakarta. 26 Maret 2008 Muna Qasah Ketua,
Sekretaris,
Dr. Murodi, MA NIP. 150 254 102
Nasichah, MA NIP. 150 276 102 Dengan Penguji,
Penguji I
Penguji II
Drs. Studi Rizal, LK, MA NIP. 150 262 876
Drs. M. Lutfi, MA NIP. 150 268 782 Pembimbing
Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, MA NIP. 150 299 324
LEMBAR PERSETUJUAN
PELAKSANAAN KONSELING BEHAVIORAL DALAM MENGATASI PHOBIA KUCING SEORANG KLIEN DI RASAMALA 2 MENTENG DALAM TEBET JAKARTA SELATAN Skripsi Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh: Yuni Rosita NIM. 101052022672
Di Bawah Bimbingan
Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A NIP : 150299 324
JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata I di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 29 Februari 2008
Yuni Rosita
ABSTRAK
Yuni Rosita Pelaksanaan Konseling Behavioral Dalam Mengatasi Phobia Kucing Seorang Klien Di Rasamala 2 Menteng Dalam Tebet Jakarta Selatan Zoophobia merupakan penyakit psikologis yang dapat disembuhkan jika ada upaya aktif dari penderita untuk menghilangkannya. Konseling behavioral adalah teknik yang menerapkan informasi-informasi ilmiah guna menemukan pemecahan masalah manusia. Sedangkan fungsi konselor hanya membantu saja, membantu agar penderita atau klien dapat mencapai perubahan sebagaimana yang diinginkan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan yang terjadi dari klien setelah dilakukan konseling. Subjek yang diteliti yaitu Putri, seorang anak perempuan berusia 12 tahun (masa akhir anak-anak), lahir di kota Bandung pada tanggal 8 Oktober 1994. ia adalah anak pertama dari seorang ayah yang berpendidikan SLTA dengan pekerjaan swasta dan ibu yang berpendidikan SLTA dengan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Ketakutan klien terhadap kucing sudah cukup kronis, hal ini ditandai dengan gelisah, gugup, tangan dan kakinya gemetar, banyak berkeringat, dan telapak tangan yang berkeringat jika melihat film dokumenter di televisi, dan akan berlari jika melihat kucing. Melalui konseling behavioral yang penulis lakukan selama 22 kali pertemuan dengan langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan pengenalan terhadap kucing melalui cerita, menonton film, mengadakan kontak secara bertahap mulai dari boneka, sampai akhirnya melakukan kontak langsung dengan kucing telah mampu mengobati phobia terhadap kucing yang diderita oleh Putri. Oleh karena itu, konseling behavioral telah tepat dalam menyembuhkan phobia terhadap kucing karena putri yang semula takut terhadap kucing, kini telah mampu melakukan kontak dengan binatang tersebut.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah swt karena rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, yang telah membawa umatnya mampu dalam mengenal, mencari, dan menjaga serta menegakkan syariat Islam. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengalami berbagai halangan dan rintangan, akan tetapi pada akhirnya penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis perlu menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya terutama kepada: 1. Dr. H. Murodi, M.A. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi dan para Pembantu Dekan. 2. Drs. M. Lutfi, M.A. Ketua Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ibu Nasichah, M.A. Sekretaris Jurusan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A. selaku dosen pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dan saran-saran selama penulisan skripsi ini.
ii
4. Para Penguji dan Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu-ilmunya dengan tulus ikhlas, sehingga menambah khazanah keilmuan penulis guna menghadapi perjuangan hidup selanjutnya. 5. Seluruh karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Dakwah dan Komunikasi yang telah membantu menyediakan dan memudahkan penulis terhadap referensi skripsi ini. 6. Regina Reksha Putri yang telah bersedia memberikan kesempatan dan meluangkan waktunya kepada penulis untuk menjadi klien. 7. Bapak Hendriya dan Ibu Marwanti yang telah memberikan kepercayaan, meluangkan waktu, sehingga penyusunan skripsi ini berjalan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. 8. Ayahanda Ach. Husaini dan Ibunda Suminah tercinta yang dengan tulus dan ikhlas mencurahkan perhatian, kasih sayang, do’a dan dukungan moril maupun meteril yang senantiasa mengiringi penulis. Jazakumullah khairan katsiiron. 9. Suami tercinta, Rahmat Hidayat yang selalu memberikan motivasi, do’a kepada penulis. 10. Ananda tersayang Sabrina Syifanadina yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis. 11. Kakanda dan Adinda Ach. Fauzie, SH.I dan Ach. Syariffudin yang telah memberikan dukungan, semangat, dan doa kepada penulis. iv
12. Rekan-rekan jurusan BPI angkatan 2001 yang telah memberikan dukungan dan kenangan yang manis kepada penulis selama ini. Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih kepada semua yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis tidak dapat membalas semua kebaikan teman-teman berikan kepada penulis, semoga Allah swt memberikan segala rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis.
Jakarta, 29 Februari 2008
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK...................................................................................................
i
KATA PENGANTAR.................................................................................
ii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
iv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................
7
D. Tinjauan Pustaka.....................................................................
8
E. Metodologi Penelitian .............................................................
8
F. Sistematika Penulisan..............................................................
11
TINJAUAN TEORI A. Konseling Behavioral..............................................................
13
1. Pengertian Konseling ........................................................
13
2. Pengertian Behavioral .......................................................
14
3. Tujuan Konseling Behavioral ............................................
16
4. Teknik Konseling Behavioral ............................................
17
B. Phobia.....................................................................................
19
1. Pengertian Phobia..............................................................
19
2. Macam-macam Phobia ......................................................
25
vi
3. Penyebab Timbulnya Phobia .............................................
26
BAB III PELAKSANAAN KONSELING BEHAVIORAL DALAM MENGATASI PHOBIA KUCING A. Gambaran Umum Obyek Penelitian ........................................
30
1. Data Klien dan Lingkungan Keluarga Klien ......................
30
2. Data Peneliti......................................................................
32
B. Pelaksanaan Konseling Behavioral..........................................
33
1. Keadaan klien sebelum diberikan konseling .....................
33
2. Tahap dan teknik konseling ...............................................
33
C. Hasil yang dicapai melalui konseling ......................................
44
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................
46
B. Saran.......................................................................................
47
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
48
LAMPIRAN ................................................................................................
51
vii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini saya: Nama
: HENDRIYA
Tempat Tanggal Lahir : Lampung, 28 Agustus 1961 Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Swasta
Alamat
: Jl. Rasamala II/35 Rt. 006/09 Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan
Dengan ini menyatakan bahwa anak saya yang bernama: REGINA REKSHA PUTRI, lahir di Bandung, tanggal 8 Oktober 1994, telah diberikan konseling oleh saudari Yuni Rosita (1010520672) seorang mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan hasil konseling yang diberikan sudah cukup bagus, karena anak saya sekarang sudah ada perubahan tingkah lakunya terhadap seekor kucing. Walaupun tidak 100% hilang traumanya itu, tetapi menurut saya, semua yang dilakukan oleh saudari Yuni Rosita sudah cukup mengesankan, untuk itu saya dan keluarga mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Demikian surat ini saya buat dengan sebenar-benarnya, apabila tidak benar saya bersedia mempertanggungjawabkannya sesuai peraturan yang berlaku.
Jakarta. 29 Februari 2008 Saya yang menyatakan
HENDRIYA
WAWANCARA DAN OBSERVASI
Sabtu, 11 Februari 2006 Peneliti
: Assalamu’alaikum Wr.Wb
Klien
: Waalaikumussalam
Peneliti
: Apa kabar Put?
Klien
: Baik
Peneliti
: Put, kenapa sih kamu masih takut sama kucing? Padahal kamu kan sudah besar?
Klien
: Ngak tahu ya, aku juga bingung kenapa? Ketakutanku sama kucing tuh muncul begitu saja, pokoknya kalo ada kucing aku langsung takut biar kucing itu jauh.
Peneliti
: Kalau lagi ngomongin kucing, kamu juga takut?
Klien
: Ngak, kalau sekedar bahan omongan dalam pikiranku juga kucing itu binatang yang jinak.
Peneliti
: Nah, kalu begitu coba dong dalam kenyataan kamu buat juga seperti itu. Kucing kan ngak berbahaya dibanding anjing yang suka menggonggong bahkan menggigit. Jadi coba dong untuk ngak takut sama kucing.
Klien
: Iya kak, saya coba.
Peneliti
: Oke, Put. Sampe di sini dulu pertemuan hari ini. Sampe besok ya, kita nonton film tentang kucing.
Klien
: Ya, sama-sama.
Minggu, 19 Februari 2006 Peneliti mengajak klien untuk menonton film kartun tentang kucing. Peneliti melihat tidak ada ciri-ciri fisik, behavioral, dan kognitif yang timbul dari diri klien.
Sabtu, 25 Februari 2006 Peneliti mengajak klien untuk menonton film nyata atau dokumenter tentang kucing. Pada pertemuan ini, peneliti melihat ciri-ciri fisik klien mulai mengalami phobia kucing berupa: gelisah, gugup, tangan dan kakinya gemetar, adanya sensasi dari pita ketat yang mengikat di sekitar dahi, banyak berkeringat, telapak tangan yang berkeringat, dan mengadukan ke peneliti bahwa ia merasa pening. Kemudian ia minta izin untuk pulang ke rumah yang merupakan reaksi yang bersifat behavioristik.
Minggu 26 Februari 2006 Peneliti
: Assalamu’alaikum Wr.Wb
Klien
: Waalaikumussalam
Peneliti
: Apa kabar Put?
Klien
: Baik
Peneliti
: Setelah kemarin kita menonton film tentang kucing kemarin, apa yang Putri pikirkan?
Klien
: Putri merasa khawatir sesuatu yang jelek akan menimpa ketika Putri melihat melihat kumis kucing bergerak-gerak, melihat kuku kucing mencakar-cakar lantai, dan kibasan bulunya ketika selesai dimandikan.
Peneliti
: Put, itu semua kan tidak membahayakan kamu, itu semua hanya terjadi di dalam film. Lagipula kuku kucing mencakar-cakar kan hanya di lantai saja, bukan ke manusia dan terbukti dalam film tersebut orang yang memegang bulu kucing, mencium kucing, dan memandikannya tidak mengalami apapun yang mencederai dirinya maupun menyakitinya.
Klien
: Iya sih, tapi Putri ngak tau kenapa Putri takut melihat itu semua?
Peneliti
: Oke, biar Putri ngak merasa takut lagi, kita coba nonton lagi film
kucing lagi ya, kapan-kapan? Klien
: Dicoba ya kak?
Peneliti
: Oke, kakak tunggu, kalo Putri dah enakan.
Sabtu, 4 Maret 2006 Peneliti
: Assalamu’alaikum Wr.Wb
Klien
: Waalaikumussalam
Peneliti
: Apa kabar Put?
Klien
: Baik
Peneliti
: Gimana, kalau hari ini kita nonton film kucing lagi?
Klien
: Jangan sekarang deh kak, minggu depan aja ya?
Peneliti
: Oke kita ketemu minggu depan
Sabtu, 18 Maret 2006 Peneliti
: Assalamu’alaikum Wr.Wb
Klien
: Waalaikumussalam
Peneliti
: Apa kabar Put?
Klien
: Baik
Peneliti
: Gimana, kalau hari ini kita nonton film kucing lagi?
Klien
: Oke, Putri dah siap?
Selama film ditayangkan peneliti masih melihat ciri-ciri fisik masih dialami oleh klien walaupun klien tidak merasa pening. Peneliti kemudian mengakhiri film pada pertengahannya karena peneliti melihat klien mulai menunjukkan gejala-gejala untuk menghindar dan pulang ke rumah.
Minggu, 19 Maret 2006 Peneliti
: Assalamu’alaikum Wr.Wb
Klien
: Waalaikumussalam
Peneliti
: Apa kabar Put?
Klien
: Baik
Peneliti
: Put, Apakah suatu saat Putri mau mempunyai peliharaan seperti kucing?
Klien
: Sebenarnya sih mau, tapi ngak tau ya kapan?
Peneliti
: Put, sekarang kita main boneka kucing aja yuk?
Klien
: Oke.
Peneliti melihat tidak ada ciri-ciri fisik phobia yang timbul ketika klien bermain dengan boneka kucing yang dipegangnya.
Sabtu, 25 Maret 2006 peneliti mengajak klien menonton film dokumenter tentang kucing. Peneliti melihat ciri-ciri fisik yang timbul hanya keringat yang keluar dari tangan.
Minggu, 26 Maret 2006 Peneliti
: Assalamu’alaikum Wr.Wb
Klien
: Waalaikumussalam
Peneliti
: Apa kabar Put?
Klien
: Baik
Peneliti
: Gima perasaan kamu sekarang setelah beberapa kali kita nonton film kucing?
Klien
: Alhamdulillah sekarang mulai nyaman tapi masih merasa takut.
Peneliti
: Ya, ngak apa-apa, yang penting kamu ada perkembangan lebih baik, mudah-mudahan rasa takutnya cepet sembuh!
Klien
: Amiin.
Minggu, 2 April 2006 peneliti kemudian melakukan teknik modeling dengan membawa seekor anak kucing dan mengelus bulu-bulunya. Klien hanya memperhatikan peneliti dari jarak 2 meter dan kemudian ciri-ciri fisik phobia kembali muncul sampai muncul rasa pening dan klien menghindar dengan kembali ke rumahnya. Minggu, 9 April 2006 Peneliti mengulang kembali teknik modeling sebagaimana yang dilakukan pada pertemuan sebelumnya atau pertemuan kesepuluh. Namun, kali ini jarak klien dengan objek phobianya berjarak jauh, yaitu 5 meter. Peneliti
: Gimana Put, apakah kamu merasa pening?
Klien
: Ngak, cuma tangan Putri berkeringat?
Peneliti
: Tenang Put, kucing ini ngak berbahaya kok, kan kucingnya juga masih kecil.
Klien masih terlihat ragu dan masih menjaga jarak. Sabtu, 15 April 2006 Peneliti kembali melakukan hal yang sama seperti pertemuan kesepuluh dan kesebelas, namun jarak klien dengan objek phobia di dekatkan pada jarak 2 meter. Kali ini, peneliti kembali melihat munculnya ciri-ciri fisik phobia, namun rasa pening tidak dialami oleh klien.
Minggu, 16 April 2006 Peneliti memberikan tongkat dan kemudian meminta klien untuk menyentuh bulu dari kucing yang peneliti pegang dengan tongkat tersebut. Klien tanpa ragu-ragu. Peneliti kemudian menuntun tongkat tersebut dan melepaskannya ketika mulai menyentuh bulu kucing tersebut. Klien tampak gugup dan berkeringat, tetapi kemudian ia mulai terbiasa dan terlihat kegugupan serta keringatnya mulai berkurang.
Minggu, 23 April 2006 Peneliti mulai menuntun tangan klien yang dilapisi sarung tangan untuk menyentuh bulu kucing. Sempat terlihat ciri-ciri fisik phobia yang keluar walau tidak sampai pada timbulnya rasa pening.
Sabtu, 29 April 2006 Kembali peneliti mengulang teknik seperti di pertemuan keempat belas. Kali klien mulai tenang dan mulai menikmati.
Minggu, 30 April 2006 Peneliti
: Assalamu’alaikum Wr.Wb
Klien
: Waalaikumussalam
Peneliti
: Apa kabar Put?
Klien
: Baik
Peneliti
: Gima perasaan kamu sekarang setelah mencoba beberapa kali kita berinteraksi dengan kucing dengan perantara?
Klien
: Alhamdulillah sekarang mulai berkurang rasa takutnya dibanding sebelumnya.
Peneliti
: Kalau begitu, gimana kalau besok dicoba untuk bersentuhan langsung dengan kucing tanpa memakai apa-apa, mau?
Klien
: Insya Allah, Putri coba ya kak?
Peneliti
: Oke.
Sabtu, 6 Mei 2006 Untuk pertama kalinya klien memegang bulu kucing tanpa harus memakai perantara, baik tongkat maupun sarung tangan. Pada awalnya, peneliti masih turut memegang tangan klien. Peneliti melihat masih ada ciri-ciri fisik phobia yang keluar dari klien walaupun tanpa pening kepala. Peneliti melihat klien sangat gugup dan merasakan
tangan klien berkeringat cukup banyak. Namun peneliti tetap meyakinkan klien bahwa hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi dan meminta klien untuk merasa rileks saja saat menyentuh dan mengelusnya. Sekitar setengah jam berlalu, peneliti melihat klien mulai sedikit menikmatinya walau terlihat masih gugup dan tangan masih banyak mengeluarkan keringat. Peneliti kemudian mengakhiri pertemuan.
Minggu, 7 Mei 2006 Peneliti
: Assalamu’alaikum Wr.Wb
Klien
: Waalaikumussalam
Peneliti
: Apa kabar Put?
Klien
: Baik
Peneliti
: Gimana perasaan kamu sekarang setelah mencoba mengelus bulu kucing secara langsung?
Klien
: Masih rada takut dan masih khawatir hal buruk akan menimpa diriku.
Peneliti
: Ngak apa-apa kok, kalo cuma ngelus bulu kucing doang. Ngak dicakar kan sama kucing tadi?
Klien
: Iya sih.
Minggu, 14 Mei 2006 kembali peneliti mengajak klien untuk mengelus bulu kucing secara langsung. Kali ini, peneliti tidak menuntun tangannya tetapi masih tetap memegang kucingnya. Klien masih belum bereaksi, ia terdiam beberapa saat. Peneliti memberikan isyarat kepadanya agar segera menyentuhnya, setelah menyentuh bulu kucing tersebut peneliti langsung menghentikannya. Peneliti kemudian mewawancarai klien. Peneliti
: Gima perasaan kamu sekarang?
Klien
: Alhamdulillah, aku udah bisa menikmatinya?
Peneliti
: Alhamdulillah
Minggu, 21 Mei 2006 Kembali peneliti mengajak klien untuk mengelus bulu kucing secara langsung tanpa dituntun. Kali ini pelan-pelan, klien menyentuhnya selama kurang lebih setengah jam walau kucing masih dipegang peneliti. Tidak ada ciri-ciri fisik yang keluar selain terlihat masih ada kegugupan dan keringat masih keluar dari telapak tangannya. Peneliti kemudian menghentikan pertemuan.
Minggu, 28 Mei 2006 Peneliti meminta klien mengelus-elus bulu kepala kucing yang sedang tidur. Klien tampak gugup, ia terlihat ragu. Kemudian peneliti memberikan peragaan kepada klien kemudian menuntun tangan klien untuk menyentuh bulu kepala kucing tersebut. Peneliti masih melihat keringat keluar dari telapak tangannya dan terlihat klien masih gugup. Baru saja tangan klien menyentuh bulu kepala kucing yang sedang tertidur, peneliti menghentikannya.
Minggu, 2 Juni 2006 Peneliti memberikan jeda waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar satu minggu dari pertemuan sebelumnya. Peneliti
: Assalamu’alaikum Wr.Wb
Klien
: Waalaikumussalam
Peneliti
: Apa kabar Put?
Klien
: Baik
Peneliti
: Gimana perasaan kamu sekarang setelah mengelus bulu kepala kucing yang sedang tertidur?
Klien
: Sedikit cemas, takut, dan gugup.
Peneliti
: Coba perhatiin kakak, gimana kakak mengelus kepala kucing! Gimana mau coba lagi?
Klien
: Oke, saya coba!
Peneliti
: Put, kalau kamu menyentuh langsung bulu kepala dari kucing yang sedang tidur dengan waktu yang cukup lama, kakak bisa nyatakan kamu sembuh dari phobia, berani?
Klien
: Berani!
Kemudian klien perlahan-lahan mulai menyentuh bulu kepala kucing dan ia pun mulai mengelus-ngelusnya sampai seperempat jam. Peneliti hanya melihat klien sedikit gugup dan tangannya sedikit berkeringat.
Jakarta, 29 Februari 2008
REGINA REKSHA PUTRI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
َُ ًَِ ً َ وَْ!َ َْ ا ِ َ َْ ََآُا ِْ َِِْْ ذُر#ُا ا$ %َ!َْ ِْْ!ََ& ا ُُا *َْ)ً (َ'ِ 'ًا$َ!َْو Artinya Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. 4:9) Setiap orang tua menginginkan anaknya terlahir dengan sempurna, baik fisik maupun kejiwaannya. Namun keinginan tersebut tak selamanya didapatkan. Allah Maha Tahu atas segala yang terbaik baik makhluknya. Orang tua yang memiliki anak yang mengalami masalah kejiwaan, buka berarti Allah tidak sayang kepada hambanya, tapi itu merupakan suatu ujian bagi orang tua agar sabar dengan apa-apa yang Allah berikan kepadanya. Sabar dalam arti yang sebenarnya bukan berarti pasrah tanpa berbuat apa pun terhadap apa yang menimpa kita. Sabar yang sebenarnya bersifat aktif, orang sakit bisa dikatakan sabar apabila ia telah berusaha untuk menyembuhkan penyakit tersebut, dan menyerahkan sepenuhnya kesembuhan penyakitnya kepada Allah. Begitu juga jika kita memiliki anak yang mengalami gangguan kejiwaan, perlu ada suatu tindakan agar gangguan kejiwaan tersebut dapat sembuh dari anak kita.
Sehubungan dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nisa tersebut, sebagai orang tua kita diingatkan agar kita merasa khawatir terhadap anak-anak yang lemah. Lemah dalam pengertian di sini bisa lemah iman, ilmu, kejiwaan ataupun materi/harta benda. Kelemahan iman akan membuat seseorang mudah goyah akidahnya dan akan dengan mudah pindah ke agama lain. Lemah ilmu akan membuat seseorang menjadi bodoh, dan akan sulit dapat memperoleh kehidupan yang layak. Kemiskinan atau lemah harta akan membuat orang sengsara, bahkan Nabi pernah bersabda ”Kadang kefakiran mendekati kekufuran.” Dan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah kelemahan jiwa dalam bentuk ketakutan yang berlebihan. Kecemasan dan ketakutan yang wajar akan mampu diatasi oleh kemampuan mekanisme pertahanan diri dalam menghadapi konflik yang dialami, namun pada kenyataannya ada yang tidak mampu menghadapi konflik-konflik tersebut, sehingga mengakibatkan perilaku yang tidak wajar dan menderita gangguan mental. Sangat beragam bentuk-bentuk gangguan mental yang dapat diderita oleh semua orang sesuai dengan tingkat kesulitan, kondisi mental dan lingkungan orang tersebut, akibatnya makin banyak permasalahan psikologis yang menjadi beban pemikiran manusia untuk dicari jalan keluarnya.
Salah satu bentuk gangguan mental adalah phobia memiliki arti sebagai ketakutan yang berlebihan dan irrasional terhadap ”something”.1 ”Something” ini menjadikan phobia memiliki tambahan kata, misalnya sesuatu itu adalah hewan, maka disebut sebagai zoophobia (ketakutan dan ketidaksukaan yang ekstrim dan tidak normal terhadap hewan). Bahkan penderita jenis ini memiliki spesifikasi khusus, misalnya phobia terhadap kecoa, ular, tikus, kucing atau kepada yang lainnya. Orang yang menderita phobia jika dirinya pada situasi menurut orang lain situasi tersebut dianggap wajar, sementara menurut dirinya itu adalah situasi sulit, penuh dengan ketegangan dan ketakutan sehingga panik dan gemetar, tentu akan menambah kekalutan dan problem tersendiri yang berakibat mereka menjadi rendah diri, malu dan tak mampu beraktivitas sebagaimana mestinya. Jelaslah pada situasi ketakutan yang berlebihan tersebut dapat menganggu aktivitas yang semestinya dijalankan. Hal ini tentulah tidak dapat dibiarkan dan perlu dicari jalan atau upaya untuk menyembuhkan phobia. Fahmi Musthofa menyatakan bahwa ”takut-takut tersebut dapat dianggap sebagai tanda tidak wajar, penderita tidak mengetahui sebabnya dan tidak dapt melepaskan diri daripadanya atau sanggup menguasainya, disamping itu ia merasa bahwa dalam berbagai situasi
1
AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (New York: Oxford University Press, 1995), Fifth Edition, p. 867.
kelakuannya menimbulkan ketakutan dan kecemasan serta menyebabkan tertawaan orang”.2 Ketidakwajaran perilaku yang dialami penderita phobia secara langsung telah banyak merugikan perkembangan kepribadian dan sosial dirinya, tentunya hal ini memerlukan penanganan yang lebih serius dan khusus lagi. Dapat dipahami jika para ahli psikologi mencari solusi yang tepat untuk menanggulagi dan meringankan beban terhadap permasalahan tersebut, ternyata kesembuhan penderita phobia juga memerlukan bantuan orang-orang disekitarnya, bukan hanya psikolog saja, yang dimaksudkan di sini adalah keluarga sang penderita phobia yang terdiri dari ayah, ibu, dan saudaranya seperti yang dikatakan David Lewis: ”Jenis dukungan yang tepat sangatlah bermanfaat bila anda menderita kesulitan yang sangat mengikat, Agoraphobia (takut meninggalkan rumah) terutama sangat bergantung pada orang lain, ketergantungan ini dapat dengan cepat menjadi kebiasaan baik bagi penderita phobia maupun rekan atau keluarganya”.3 Phobia merupakan gejala yang sangat jarang timbul bagi kebanyakan orang, tak seorang pun tahu dengan tepat berapa orang yang menderita phobia. Witri Suarti menyatakan bahwa ”tidak sedikit orang yang sangat terkenal atau seorang bintang film Hollywood yang menderita phobia seperti Nicole Kidman yang ternyata phobia terhadap kupu-kupu, juga Orlando Bloom mengaku takut pada babi, sementara lalu Madonna yang takut mendengar suara gemuruh halilintar, Keanu Reeves yang takut gelap, dan Jennifer Aniston, Colin Farrel, Whoopi Goldberg, hingga Aretha Franklin yang takut akan ketinggian”.4 Tentunya hal ini membuktikan bahwa phobia dapat diderita oleh siapa saja tidak mengenal strata sosial dan jenis kelamin. Apalagi sekarang ini dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan semakin bertambah pula jenis phobia 2
Fahmi Musthofa, terjemahan Zakiah Daradjat, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Erlangga, 1991), Jilid II, h. 87. 3 David Lewis, Taklukan Phobia Anda seri Psikologi Popular, (Jakarta: Arcan, 1987), h. 49. 4
Witri Suarti, ”Phobia Bikin Susah”, Wanita Indonesia, Edisi 909 / 7 - 13 Mei / 2007.
yang ada, sehingga makin banyak pula penderita phobia yang perlu ditolong. Lalu muncullah beberapa fenomena yang
mengiringi hal tersebut
diantaranya
bermunculan buku-buku terbaru mengenai teknik mengatasi phobia yang ditulis para ahli psikologi yang dapat dijalankan sendiri oleh penderitanya dan menjadi artikel yang tetap pada majalah kesehatan terbitan ibukota serta para penderita yang tidak malu-malu lagi mengungkapkan phobianya kepada orang sekitarnya. Phobia sudah menjadi masalah umum dan mungkin sering terjadi, kalau melihat fenomena yang timbul di sekitarnya. Di Indonesia diperkirakan terdapat 10 juta penderita kecemasan phobia, namun angka ini belum mencakup phobia ringan yang dapat diartikan sebagai suatu ketakutan yang tidak terlalu mengganggu kehidupan.5 Phobia merupakan masalah yang cukup serius yang dapat diderita oleh orang-orang disekitarnya jika tidak ditangani dan diatasi dengan seksama dan sungguh-sungguh dapat menyebabkan perilaku yang menyimpang, timbulnya kecemasan secara berlebihan serta gejala yang mengiringi phobia seperti ketegangan otot, rasa panik, sakit kepala, jantung berdebar, sakit perut, gemetar, rasa lelah yang berlebihan dan ingin menangis. Perkembangan psikologis individu penderita phobia terganggu, merasa dirinya tidak berguna, bodoh dan pasif yang pada akhirnya menganggap dirinya gagal, akibat lain dari phobia yang tidak ditangani. Disinilah seseorang memerlukan kondisi yang wajar dan normal sebagai seorang yang sehat yang dapat mendorong 5
1994.
Anindhita Maharrani, “Phobia Aneh Para Selebritis”, Majalah Higina, No. 028, Januari
dirinya agar tampil sebagaimana mestinya, sebagai layaknya orang disekitarnya bukan seorang yang mengalami perilaku yang menyimpang sebagai seorang penderita phobia. Penderita phobia, khususnya zoophobia, tidak dapat disembuhkan hanya dengan tindakan bimbingan (guidance), tetapi harus dengan tindakan konseling. Hal ini dikarenakan, phobia merupakan penyakit psikologis yang dapat disembuhkan jika ada upaya aktif dari penderita untuk menghilangkannya. Sedangkan fungsi konselor hanya membantu saja, membantu agar penderita atau klien dapat mencapai perubahan sebagaimana yang diinginkan, dan ini merupakan ciri serta tujuan dari pada pskologi konseling.6 Adapun pendekatan dari psikologi konseling yang digunakan adalah pendekatan behavioral. Pendekatan ini menekankan pada perilaku spesifik, yaitu perilaku yang memang berbenturan atau yang berlawanan dengan lingkungan dan diri klien sendiri. Pendekatan ini lebih bersifat suatu pelatihan terhadap perilaku klien, sehingga pendekatan ini menekankan pada teknik dan prosedur untuk memfasilitasi perubahan perilaku pada diri klien. Maka, pendekatan behavioral ini lebih
mementingkan
penggunaan
teknik
pengubah
perilaku
(behavioral
modivication). Peran konselor di sini sebagai model bagi klien daripada kualitas hubungan konseling.7
6
Abu Bakar Baraja, Psikologi Konseling dan Teknik Konseling, (Jakarta: Studia Press, 2004), h. 2. 7
Ibid., h. 22-23.
Dari keterangan di atas penulis tertarik untuk menjadikan zoophobia (ketakutan terhadap binatang) sebagai objek penelitian untuk skripsi ini, dengan melakukan konseling terhadap klien yang menderita phobia kucing. Klien adalah seorang anak perempuan penderita phobia kucing berusia 12 tahun. Untuk itu penulis mengambil judul ”PELAKSANAAN KONSELING BEHAVIORAL DALAM MENGATASI PHOBIA KUCING SEORANG KLIEN DI RASAMALA 2 MENTENG DALAM TEBET JAKARTA SELATAN”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Permasalahan pada skripsi ini dibatasi hanya pada persoalan konseling behavioral terhadap seorang klien phobia kucing berusia 12 tahun yang berdomisili di Jl. Rasamala 2, Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. Adapun rumusan masalahnya adalah bagaimanakah pelaksanaan konseling behavioral dalam mengatasi phobia kucing seorang klien yang berdomisili di Jl. Rasamala 2, Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengahapus/menghilangkan tingkah laku maldaptif (masalah) untuk digantikan dengan tingkah laku baru yaitu tingkah laku adaptif yang diinginkan klien. Tingkah laku adaptif yang ingin dituju adalah secara bertahap klien dapat berinteraksi langsung dengan kucing tanpa dibantu oleh siapapun untuk berinteraksi tersebut. Manfaat penelitian ini adalah:
1. Sebagai penambah khazanah pengetahuan di bidang psikologi konseling yang berguna bagi mahasiswa, psikolog, kalangan akademisi dan pihakpihak terkait. 2. Sebagai syarat bagi penulis untuk meraih gelar sarjana strata satu (S1) Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I) di Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. D. Tinjauan Pustaka Penulis juga melakukan kajian pustaka untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dan relevan dengan penelitian ini yang bersumber dari buku, majalah, internet, dokumen-dokumen, dan sumber-sumber lainnya.
E. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Metode ini dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian pada saat sekarang (atau setelah dilakukan konseling) berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.8 Hal ini dikarenakan, penelitian ini bersifat kualitatif dimana tidak membutuhkan populasi atau hanya menyelidiki satu obyek penelitian. 2. Tempat dan Waktu Penelitian 8
Handari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), Cet. ke-8, h. 63.
Penelitian dilakukan di rumah peneliti dan di rumah klien yang berdomisili di wilayah yang sama, yaitu di Jl. Rasamala 2 Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 11 Februari sampai dengan 2 Juni 2006. 3. Subyek dan Obyek Penelitian a. Subyek Penelitian Subyek dari penelitian ini adalah ibu dari klien yang berpendidikan SLTA dengan bekerja sebagai ibu rumah tangga, yang didampingi oleh peneliti sebagai mahasiswi Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta b. Obyek Penelitian Obyek dari penelitian ini adalah seorang klien yang mengalami phobia kucing, seorang anak perempuan berusia 12 tahun (masa akhir anakanak) dengan nama Regina Reksha Putri. Penelitian dilakukan sebelum ia masuk ke jenjang pendidikan SLTP.
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah : a. Wawancara, adalah teknik dialog yang dilakukan pewawancara (interviewer)
untuk
memperoleh
informasi
dari
terwawancara
(interviewee).9 Di dalam psikologi konseling, wawancara merupakan 9
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 144.
teknik yang tepat untuk digunakan. Dengan wawancara, konseling dapat berjalan dengan lancar dan sesuai tujuan serta dapat menciptakan hubungan yang baik, harmonis, dan kooperatif antara klien dan konselor.10 Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah antara pembimbing dengan klien, dan peneliti dengan orang tua klien. b. Observasi. Observasi adalah sebuah metode ilmiah berupa pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki.11 Observasi yang dilakukan adalah dengan mengamati keadaan sosial ekonomi keluarga klien dan kondisi lingkungan tempat tinggal klien. c. Studi pustaka. Studi pustaka adalah sebuah metode ilmiah berupa pencarian literatur berupa buku, makalah ilmiah, jurnal, artikel, internet, dan sebagainya berupa tulisan dari ahli yang berkenaan dengan konseling behavioral dan phobia.
5. Teknik Analisa Data Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, maka penelitian ini termasuk penelitian non hipotesis yang bukan bertujuan untuk membuktikan ataupun menguji suatu teori, namun hanya ingin menggambarkan suatu fenomena yang terjadi dan membandingkan dengan standar yang telah
10
Abubakar Baraja (1998), op.cit. h. 33. Jalaludin Rachmat, Metodologi Penelitian Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1999). Cet. ke-7, h. 83. 11
dibakukan. Maka teknik analisi data yang digunakan dalam penelitian ini ada beberapa tahapan yaitu: a. Data Collection Pada tahap kegiatan ini data dikumpulkan melalui observasi, dan wawancara yang mendalam. Dari kedua teknik tersebut akan diperoleh data kualitatif. Data yang diperoleh melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi dicatat sebagai catatan data lapangan. b. Data Reduction Adalah kegiatan merangkum dan meringkas catatan lapangan dengan memilih dan menilai data informasi yang penting dan berhubungan dengan fokus masalah penelitian. Catatan data atau informasi yang akurat sangat diperlukan. Untuk lebih meyakinkan data yang terkumpul agar lebih grounded (berdasar pada data) maka verifikasi dilakukan selama penelitian tingkat kepercayaan hasil penelitian akan lebih terjamin. c. Data Display Adalah kegiatan merangkum hasil penelitian dalam susunan yang teratur dan sistematis. Pada kegiatan ini data dirangkum secara deskriptif dan sistematik, sehingga akan memudahkan mencari tema sentral sesuai dengan fokus penelitian, dan memudahkan dalam memberi makna yang sesuai. 6. Teknik Penulisan
Untuk teknik penulisan, maka penulis mengacu kepada buku pedoman penulisan yang diterbitkan oleh UIN Pres pada tahun 2007 yang berjudul Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi cetakan ke-2.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dari skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I merupakan bagian pendahuluan dari skripsi, yang terdiri dari atas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penyusunan. BAB II suatu tinjaun teori yang berisi teori-teori tentang konseling behavioral dan phobia. BAB III merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang membahas tentang pelaksanaan konseling behavioral dalam mengatasi phobia kucing, yang terdiri dari gambaran umum obyek penelitian, pelaksanaan konseling behavioral, dan hasil yang dicapai melalui konseling. BAB IV adalah bagian akhir dari skripsi ini yang merupakan penutup, terdiri atas kesimpulan dan saran. Daftar pustaka dan lampiran merupakan penunjang dan satu kesatuan dari penulisan skripsi ini.
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Konseling Behavioral 1. Pengertian Konseling Menurut Prayitno dan Erman Amti istilah konseling, secara etimologis, berasal dari bahasa Latin, yaitu ”consilium” yang berarti ”dengan” atau ”bersama” yang dirangkai dengan ”menerima” atau ”memahami”. 12 Selanjutnya mereka menyatakan dalam bahasa Anglo-Saxon, istilah konseling berasal dari ”sellan” yang berarti ”menyerahkan” atau ”menyampaikan”. 13 Menurut Michael E. Cavanagh konseling adalah ”a relationship between a trained helper and a person seeking help in which both the skills of the helper and the atmosphere that he or she creates help people learn to relate with themselves and others in more growth-producing ways.”14 Yang artinya hubungan antara seorang penolong yang terlatih dan seorang yang mencari pertolongan, di mana keterampilan si penolong dan situasi yang diciptakan olehnya menolong orang untuk belajar berhubungan dengan dirinya sendiri dan orang lain dengan terobosan-terobosan yang semakin bertumbuh.
12
Prayitno dan Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Rineka Cipta dan Pusat Perbukuan Depdiknas, 2004), Cet.ke-2, h. 99. 13 Ibid. 14 Michael E. Cavanagh, Books, The Counseling Experience. A Theoretical and Practical Approach, (New York: Cole Publishing Company, 1982), h. 5.
13
Sementara
itu
Departemen
Pendidikan
Nasional
mendefinisikan
konseling sebagai pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar, dan perencanaan karier melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku.15
2. Pengertian Behavioral Konseling behavioral adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Konseling ini menyertakan penerapan yang sistematis prinsip-prinsip belajar pada pengubahan tingkah laku ke arah cara-cara yang lebih adaptif.16 Dalam konseling behavioral, gejala-gejala gangguan yang dilihat adalah hasil dari pembelajaran, bukan dari dorongan tak sadar, konseling memusatkan dua hal utama, yakni tingkah laku yang tampak adalah sesuatu yang dapat diamati dan diukur. Kedua pada ABC tingkah laku yaitu antecedents (stimulus apakah yang menjadi pemicu prilaku), behavior (tingkah laku apa yang ditunjukkan), dan consegneces (apakah yang menjadi penguatan bagi tingkah laku tersebut) melalui penerapan teknik pembelajaran sosial, seperti modeling,
15
Departemen Pendidikan Nasional, “Panduan Model Pengembangan Diri untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah”, ktsp.diknas.go.id/download/ktsp_sma/13.ppt, 2004, h. 7. 16 Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling Psikokonseling, (Bandung: Refika Aditama, 1999), h. 321.
pengkondisian klasikal dan operah, klien mampu mengubah tingkah laku yang tidak diinginkan dengan mempelajari tingkah laku yang baru.17 Menurut Corey, konseling tingkah laku berbeda dengan sebagian besar pendekatan konseling lainnya, ditandai oleh : a. Pemusatan perhatian pada tingkah laku yang tampak dan spesifik. b. Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment. c. Perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah . d. Penaksiran objektif atas hasil-hasil konseling.18
Sedangkan Winkel berpandangan bahwa konseling behavioral pada dasarnya berpegang pada keyakinan bahwa prilaku manusia merupakan hasil suatu proses belajar dan dapat diubah dengan mempelajari hal yang baru. Dengan demikian, proses konseling pada dasarnya di pandang sebagai suatu proses belajar.19 Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan sesuatu yang menjadi ciri khas dari konseling behavioral yaitu tingkah laku adalah sesuatu yang dipelajari dan dapat diukur lewat pembelajaran juga.
17
Stephen M. Kosslyn & Robin S. Rosenberg, Psychology, (The Brain, The Person, The World, Allyn & Bacon, USA), h. 96. 18 Gerald Corey (1999), loc. cit. 321. 19 Ibid., h. 326.
3. Tujuan Konseling Behavioral Krumboltz dalam Ray Colledge mengemukakan tiga prinsip dalam membentuk tujuan dalam proses konseling: a. Setiap tujuan disesuaikan pada tiap klien. d. Tujuan tidak harus memenuhi nilai-nilai konselor, namun setidaknya tujuan tersebut harmonis. e. Sasaran yang ingin dicapai harus dapat diamati (abservable). 20
Selain dalam proses konseling ditentukan tujuan yang ingin dicapai, setiap klien yang terlibat dalam proses konseling juga memiliki tujuan individu, antara lain : a. Mengendalikan perilaku yang tidak tepat. b. Menguatkan tingkah laku yang lebih sesuai. c. Mengurangi atau menghilangkan tingkah laku yang menyimpang. d. Menaklukan kelemahan reaksi cemas. e. Mencapai kemampuan untuk tetap bersikap tenang. f. Mempunyai kapasitas untuk bersikap asertif. g. Memiliki keterampilan sosial yang baik. h. Mencapai kompetensi dalam fungsi seksual. i.
Memiliki pengendalian diri.21
20
Ray Colledge, Mastering Counseling Theory, (New York: Pal Grave Master Service, 2002), h. 35.
4. Teknik Konseling Behavioral Menurut Gilbert dalam Ray Colledge, hal yang paling penting untuk mengajarkan teknik behavioral pada klien yang bertujuan membantu klien mengendalikan tingkah lakuknya dan menjadi konselor bagi dirinya sendiri. Hal ini menjadi sesuatu yang esensi ketika klien mencapai tahap akhir program konseling, mereka memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan yang dapat muncul di kemudian hari.22 Berikut ini adalah teknik-teknik utama dalam konseling tingkah laku bagi para penderita phobia. a. Latihan asertif b. Desensitisasi Sistematis c. Pengkondisian Aversi d. Pembentukan Tingkah laku Model23
Latihan asertif digunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan
perasaan
tersinggung,
kesulitan
menyatakan
tidak,
mengungkapkan afeksi dan respon positif lainnya. Cara yang digunakan adalah
21
Ibid. Ibid., h. 55. 23 Sugiharto, “Pendekatan Konseling Behavioral”, http://akhmadsudrajat.wordpress.com/, 23 Januari 2008, h. 2-3. 22
dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini. Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. Pengkondisian Aversi dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut. Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya tingkah laku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan. Pembentukan Tingkah laku Model digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada klien, dan memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam
hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial. Secara umum para konselor adalah menciptakan hubungan yang hangat dan penuh empati dengan kliennya. Berikut ini adalah fungsi konseling dalam konseling tingkah laku. a. Mengarahkan klien dalam menentukan bentuk target yang ingin dicapai dan langkah-langkah untuk mencapainya. b. Menganalisa tingkah laku klien baik yang ingin di ubah maupun yang akan dipelajari. c. Mengembangkan atmosfer kepercayaan dengan memperhatikan bahwa ia menerima dan memahami klien. 24
B. Phobia 1. Pengertian Phobia David Lewis mengatakan Phobia adalah suatu perasaan ketakutan yang ditimbulkan oleh sesuatu yang tidak memperlihatkan ancaman yang sejati terhadap kelangsungan hidup. Responnya mungkin sesuatu yang cenderung mental, mengingat fakta yang mudah diingat sekalipun dan kebanyakan suatu
24
Ray Colledge (2002), op.cit. h. 56.
sensasi panik buta. Mungkin sama halnya dengan reaksi fisik yang mengakibatkan gejala yang melumpuhkan, misalnya perut melilit, mual, pusing, mulut kering, gemetar, tersipu-sipu, berdebar-debar, dan pernafasan tak teratur.25 Sedangkan menurut pengertian yang diambil dari Kamus Psikologi karya Dali Gulo mengatakan: ”Ketakutan yang berlebih-lebihan terhadap benda atau situasi tertentu yang seringkali tidak beralasan dan tidak berdasarkan kenyataan”.26 Phobia merupakan ketakutan yang tidak wajar serta dimunculkan dalam bentuk kecemasan yang berlebihan yang mengganggu psikis dan fisiknya yang hanya bukan sekedar rasa takut biasa karena adalah hal yang manusiawi jika setiap orang mempunyai rasa takut, hal ini disebabkan rasa takut sedikit banyak merupakan manifestasi dari mekanisme pertahanan diri (defence mechanisme) yang esensial, dengan mempunyai rasa takut dapat lebih dini mendeteksi bahaya yang mungkin datang, tetapi jika takut itu mulai mengganggu dan berlebihlebihan maka hal itu menyimpang atau menderita gangguan phobia.27 Sangat beragam phobia dapat diderita oleh seseorang dan setiap orang mempunyai ketakutan yang berbeda-beda dan ketakutan mempunyai cakupan yang lebih luas lagi, daripada hanya sekedar perasaan tidak suka, namun rasa
25
David Lewis, Taklukan Phobia Anda seri Psikologi Popular, (Jakarta: Arcan, 1987), h. 5. Dali Gulo, Kamus Psikologi, (Bandung: Tarsito, 1987), h.212. 27 Anindhita Maharrani, ”Apakah Phobia Itu?”, Majalah Higina, Edisi 031, April 1994. 26
takut dan kecemasan tersebut memang variatif tergantung yang menjadi faktor penyebab terjadinya phobia.28 Phobia dapat menyebabkan seseorang mengalami ketakutan yang luar biasa terhadap apa yang dianggap oleh orang lain sebagai suatu hal biasa dan tak perlu ditakuti sementara buat dirinya merupakan yang perlu dihindari dan terkadang jika dihadapi emosi penderita phobia sering tak terkendali. “Kengerian atau ketakutan yang tidak terkendali pada umumnya disebabkan oleh sifat abnormal atau sifat yang sakit terhadap situasi atau obyek tertentu.”29 Berdasarkan beberapa uraian dan teori yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa phobia merupakan ketakutan yang tidak rasional dan berlebihlebihan sehingga menimbulkan kecemasan yang melibatkan emosinya terkadang tidak terkendali pada situasi atau obyek tertentu yang memicu ketakutan tersebut. Kadang penderitaan orang yang mengalami phobia ditambah oleh perasaan yang timbul dari dirinya sendiri, karena ia merasa bahwa ketakutannya hanya dirinya sendiri yang mengalaminya sehingga menimbulkan rasa malu dan minder. Hasilnya, penderitaan sang phobik semakin parah, jika hal ini didiamkan tanpa dicari solusi yang tepat maka kita tentu dapat membayangkan apa yang terjadi kelak, tentu seumur hidup sang phobik dilanda ketakutan, kecemasan
28 29
Ibid. James Derver, Kamus Psikologi, (Bandung: Tarsito 1988), h. 78.
yang terus menerus dan berakibat pada terganggunya aktivitas yang biasa dilakukan kebanyakan orang. Menurut Kartini Kartono phobia adalah ketakutan atau kecemasan yang abnormal, tidak rasional dan tidak bisa dikontrol terhadap suatu situasi atau obyek tertentu, merupakan ketakutan yang khas neurotis, sebagai symbol dari konflik-konflik
neurotis
yang
kemudian
menimbulkan
ketakutan
dan
kecemasan.30. Phobia seringkali merupakan ketakutan yang tidak rasional yang disembunyikan rapi terselubung oleh orang yang menderitanya diakibatkan dari konflik-konflik neurotis yang menimbulkan ketakutan dan kecemasan. Mereka yang menderita phobia mencoba menyembunyikan dari teman, tetangga atau rekan sejawat, kadang bahkan dari anggota keluarga sendiri, merasa malu dengan apa yang terjadi, penderita merasa bodoh, ngeri akan olokolok dan penghinaan serta merasa bahwa apa yang mereka derita diyakini sebagai suatu penyakit mental yang serius, menyebabkan banyak sekali penderita phobia menanggung kesedihannya dengan diam-diam dan rahasia.” Penderita phobia seringkali menganggap dirinya bodoh atau lemah.”31 Adakalanya penderitaan mereka ditambah oleh perasaan bersalah dan depresi, mereka sedih karena kekhawatiran dan kecemasan membatasi
30
Kartini Kartono, Peranan Keluarga Memandu Anak (Seri Psikologi Terapan), (Jakarta: CV. Rajawali, 1981), Jilid I, h. 320. 31
David Lewis (1987), op. cit. 15.
kehidupan mereka, menghalangi untuk melakukan apa yang menjadi kegemaran mereka dan melenyapkan kesenangan mereka, merasa tidak atau sering kurang dihargai oleh kebanyakan orang, tidak bisa melakukan aktivitas yang biasa dilakukan, mereka mungkin merasa bersalah dengan apa yang diakibatkan phobia terhadap dirinya, baik nyata maupun khayalan, kepada orang yang mereka kasihi, sering menganggap bahwa dirinya sebagai orang yang gagal sehingga mengecewakan suami, istri, anak, saudara dan orangtua mereka. David Lewis menyatakan ”phobia apa saja jenisnya sangat tidak menyenangkan, beberapa begitu mengikat sehingga membelenggu korbannya kedalam cara hidup yang amat memprihatinkan dan mengecewakannya”.32 Phobia akan dapat menyerang siapa saja ia tidak peduli jenis kelamin dan usia, siapa saja mempunyai kemungkinan untuk menjadi penderita phobia dan bukan merupakan penyakit jiwa tetapi merupakan hasil pembelajaran dari situasi tertentu, dan merupakan problem yang sangat jarang dan sedikit dipahami. Pada dasar-dasar suatu survey di Inggris para psikolog membuat perkiraan bahwa hampir 15 juta warga Amerika menderita phobia, tetapi diperkirakan hanya 44.000 orang saja yang sedemikian besar ketakutannya sehinga sangat mengganggu kegiatan sehari-hari. 33 Biarpun sangat sedikit orang yang mengalami phobia jika tidak ditangani secara serius menanggulanginya maka berakibat pada terganggunya perkembangan kepribadian dan sosialisasi penderita, bahkan dapat melumpuhkan aktivitas 32
33
Ibid., h. 17.
Linda L Davidoff, Psikologi Suatu Pengantar terj. Mari Jumati (Jakarta: Erlangga, 1991), Edisi ke-2 Jilid II, h.227.
yang biasa dilakukan hingga penderita tidak dapat berbuat apa-apa. “Phobia dipandang sebagai gangguan phobia bila gangguan tersebut sudah sedemikian rupa parahnya sehingga yang bersangkutan seperti dilumpuhkan.” 34
Melihat yang terjadi akibat dari phobia yang mungkin saja diderita satu anggota keluarga seseorang, tentu orang tersebut tidak tinggal diam dan menutup mata serta hanya merasa bersimpati saja terhadap penderita phobia, tetapi bagaimana memikirkan masalah tersebut untuk segera ditanggulangi dan dicari jalan untuk pemecahannya. Masalah phobia bukan hanya masalah yang harus ditangani oleh psikiater atau psikolog saja melainkan juga semua pihak yang dapat membantu proses-proses penyembuhan diantaranya adalah teman dekat, rekan sejawat, guru dan keluarganya. Dalam penanganannya harus ditangani secara serius dan sungguhsungguh serta berkesinambungan, karena semua orang menyadari bahwa berperilaku wajar dan normal seperti orang kebanyakan merupakan sikap yang harus dimunculkan dalam bermasyarakat tanpa harus mengalami halangan dan hambatan demi tercapainya manusia Indonesia yang sehat lahir dan batin seutuhnya. Dari kenyataan tersebut di atas, salah satu tindakan yang dilakukan adalah dengan melakukan usaha pencegahan atau preventif. Upaya yang dilakukan dengan memberikan pengertian dan menciptakan kondisi sesuai dengan tingkat usia dan pengetahuan serta mampu mengarahkan jika terjadi gejala kecenderungan dan ketakutan yang lebih dini sehingga dapat dicegah untuk menjadi akut dan cenderung menetap.
34
Ibid.
2. Macam-macam Phobia Phobia sebagai perilaku yang irasional dialami oleh sebagian orang pada umumnya berdampak pada terganggu dan terhambatnya perkembangan kepribadian dan sosialisasi sehingga tidak mampu beraktivitas secara maksimal, bila hal ini tidak mendapat perhatian tentu saja akan terjadi penderitaan yang berlarut-larut, bukan saja terhadap penderita phobia itu sendiri tetapi menyangkut juga orang banyak disekitarnya. Adapun macam-macam phobia yang cenderung banyak terjadi dan beberapa macam sumber ketakutan menurut David Lewis adalah sebagai berikut : 1. Ketakutan akan air (Hydrophobia) 2. Ketakutan akan air mani (Spematophobia) 3. Ketakutan akan angka 13 (Triskaidekaphobia) 4. Ketakutanakan anjing (Sino phobia) 5. Ketakutan akan api (Fir phobia) 6. Ketakutan akan aurat wanita (Europhobia) 7. Ketakutan akan benda suci (Hierophobia) 8. Ketakutan akan benta tinggi (Batophobia) 9. Ketakutan akan berpergian (Homophobia) 10. Ketakutan akan binatang (Zoophobia).35 Bentuk-bentuk dan macam sumber phobia menunjukkan beragam dan banyak jenis phobia yang dapat diderita oleh orang disekitarnya. Hal ini tentu mendorong untuk mengarahkan agar penderita phobia agar bersikap dan berperilaku seperti yang diharapkan melalui bimbingan serta tuntutan yang dapat membantu penderita phobia agar sembuh dan terhindar phobia yang berkepanjangan sehingga dapat berperilaku wajar dan normal sesuai dengan norma dan nilai yang berkembang di masyarakat. Dengan mengetahui berbagai
35
Davis Lewis (1987), op cit. h. 6.
jenis phobia diharapkan mampu menggolongkan jenis phobia yang diderita oleh salah satu anggota keluarga.
3. Penyebab Timbulnya Phobia Linda L Dovidoff menyatakan pandangan modern mengenai phobia yang diterima oleh kebanyakan spesialis dan didukung oleh banyak bukti klinis maupun riset, ialah bahwa hal itu diakibatkan oleh proses pembelajaran yang patut disayangkan namun seluruhnya normal.36 Phobia tercipta dari pengkondisian akan situasi seperti yang telah diuraikan di atas, diungkapkan lebih jelas penyebab timbulnya phobia, ”ketakutan dapat timbul berdasarkan penciptaan situasi responden sedemikian rupa ketika rangsangan netral sebelumnya dihubungkan dengan obyek-obyek yang menimbulkan kecemasan”.37. Dari teori yang telah dikemukakan dapat dipahami bahwa salah satu penyebab phobia adalah melalui proses pembelajaran dari pengkondisian perilaku atau situasi tertentu sehingga akan dapat perilaku yang cenderung mengalami kecemasan dan ketakutan. Sementara itu David Lewis dalam bukunya “Taklukkan Phobia Anda” mencoba menjelaskan penyebab phobia dengan menggunakan konsep SHCI, Hal ini dilakukan agar lebih mudah menjelaskan terjadinya phobia. (S) adalah Stimulus, (C) adalah keCemasan, (H) adalah pengHindaran, dan (I) adalah Imbalan. Contohnya sebagai berikut, jika seseorang menderita phobia Sinophobia (ketakutan pada Anjing) binatang anjing adalah pencetusnya atau stimulusnya (S) yang mengakibatkan keCemasan (C) ditandai dengan perasaan gemetar, jantung berdebar keras dan takut luar biasa, lalu muncullah kebutuhan akan pengHindaran (H) terhadap Anjing tersebut dengan menjauhkan diri atau mencoba menghindarinya dengan berlari, hal ini membawanya pada peredaan ketakutan yang memberikan sang phobic Imbalan (I) yaitu merasa aman dari jangkauan anjing, segala reaksi phobic berkembang sebagai akibat urutan peristiwa yang sama, oleh karena itu SHCI melengkapi perangkat pembentukan penghambat psikologis yang menjadi sumber phobia sehingga seseorang mengalami ketakutan yang cenderung menetap.38
36
Linda L Dovidoff (1991), loc. cit. h. 277.
37
Ibid., h. 228. David Lewis (1987), op. cit. 26.
38
Para ahli psikologi aliran Behavioral berpendapat bahwa penyebab phobia adalah proses pembelajaran terhadap situasi tertentu seperti yang diungkapkan sebelumnya dihalaman atas, lain halnya dengan pandangan aliran psikoanalisa mengenai penyebab phobia seperti yang diungkap pada contoh berikut oleh seorang tokoh psikoanalisa Sigmund Freud “Hans seorang anak laki-laki berusia 9 tahun, sangat ketakutan kalau-kalau ia diterjang seekor kuda sehingga sama sekali tidak berani bermain di luar rumah. Freud melakukan pengamatan terhadap perilaku Ayah Hans, lalu menganalisis perilaku Hans. Beliau menemukan bahwa anak tersebut sangat mencintai ibunya, dan menginginkan kasih sayang ibunya secara berlebihan, dan amat khawatir kalaukalau saingannya yaitu ayahnya akan menghalangi hasratnya dengan cara menjauhkan dirinya dari ibunya. Freud melihat hal ini kecemasan anak berkaitan dengan Oedipus komplek yang kemudian dialihkan pada ketakutan pada kuda.”39
Dari uraian contoh yang dikemukakan oleh Freud maka dapat disimpulkan bahwa penyebab phobia adalah konflik yang dipendam kemudian dialihkan kepada kecemasan dan ketakutan pada sesuatu kondisi atau benda, melihat hal ini tepatlah jika pakar psikologi psikoanalisa berpendapat ”phobia sebagai reaksi kecemasan yang dialihkan, mereka mengasumsikan bahwa
39
Linda L. Davidoff (1991), loc. cit. h. 228.
ketakutan secara tidak sadar dialihkan dari pengalaman pertama membangkitkan kecemasan kepada obyek yang kurang membahayakan”. 40 Sangatlah tepat jika apa yang dirumuskan oleh Kartini Kartono mengenai penyebab phobia, yang merupakan gabungan teori-teori yang telah dikemukakan di atas diantaranya adalah sebagai berikut : a. Pernah mengalami ketakutan hebat, pengalaman traumatis shock hebat (tekanan batin yang hebat). b. Pengalaman asli dibarengi perasaan malu dan bersalah lalu ditekan kedalam ketidaksadaran untuk melupakannya. c. Jika mengalami rangsangan yang serupa menimbulkan ketakutan yang bersyarat sungguhpun pengalaman aslinya sudah dilupakan, respon ketakutan hebat selalu muncul melenyapkan respon-respon tadi dalam ketidaksadaran.41.
Dengan demikian kiranya sudah dapat dipahami penyebab terjadinya phobia pada seseorang yang mungkin ada di sekitar dan menjadi acuan untuk menghindari terjadi kondisi dan situasi yang memicu terjadinya ketakutan yang cenderung menetap serta mengganggu aktivitas terutama dalam keluarga.
40 41
Ibid. Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), Jilid I, h.321-322.
BAB III PELAKSANAAN KONSELING BEHAVIORAL DALAM MENGATASI PHOBIA KUCING
A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Data Klien dan Lingkungan Keluarga Klien Klien bernama Putri, seorang anak perempuan berusia 12 tahun (masa akhir anak-anak), lahir di kota Bandung pada tanggal 8 Oktober 1994. ia adalah anak pertama dari seorang ayah yang berpendidikan SLTA dengan pekerjaan swasta dan ibu yang berpendidikan SLTA dengan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pada saat ini, klien telah masuk pendidikan SLTP. Awal pertama kali Putri terkenal phobia kucing dari usia kurang lebih 2 tahun. Ia mengalami peristiwa traumatik di usia tersebut ketika seekor kucing melompati wajahnya. Pada saat phobia menerpa, ciri-ciri fisik yang timbul dari Putri adalah takut dan langsung lari jika bertemu dengan kucing walau dalam jarak yang cukup jauh. Phobia juga tidak hanya dialami Putri, tetapi kedua orang tuanya juga mengalaminya. Ayahnya Putri terkena phobia terhadap tikus sedangkan ibunya terkena phobia terhadap cacing, bahkan sampai saat ini. Phobia Putri terhadap kucing tidak pada keseluruhan dari tubuh kucing itu, melainkan hanya pada bagian-bagian tertentu saja, yaitu bulu dan kuku. Jika
dilihat dari peristiwa traumatik pada Putri di usia kurang lebih 2 tahun yang menimbulkan phobia terhadap kucing sampai usia 12 tahun atau telah berlangsung kurang lebih 10 tahun dan belum adanya tanda-tanda menghilang sebelum dilakukan konseling, maka peneliti dapat mendiagnosis bahwa klien (Putri) mengalami phobia yang sudah masuk kategori phobia kronis yag signifikan secara klinis. Karena itu, untuk memberikan konseling kepadanya perlu diketahui terlebih dahulu kondisi psikologi anak seusianya. Pada kasus Putri, pada masa bayinya ia telah mengalami peristiwa yang telah membentuk pola perilaku, minat, dan sikapnya terhadap kucing dengan menjadikannya sebagai hewan yang menakutkan dan ini berlangsung sampai sebelum konseling dilakukan. Terlebih kini, Putri memasuki masa akhir anakanak dan sebentar lagi akan memasuki masa puber. Pada masa akhir anak-anak ini terdapat beberapa bahaya psikologis, yaitu bahaya dalam berbicara, bahaya emosi, bahaya sosial, bahaya bermain, bahaya dalam konsep diri, bahaya moral, bahaya menyangkut minat, dan bahaya dalam penggolongan seks. 42 Sehingga, jika phobia kucing pada masa ini tidak tertangani, maka phobia ini akan sulit sekali untuk disembuhkan karena pada masa akhir anak-anak sangat menentukan kesehatan psikologisnya di masa remaja, dewasa, dan masa tuanya. 42
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan terj. (Jakarta: Erlangga, 2004), cet. ke-II, h. 78.
Adapun dari bahaya-bahaya psikologis tersebut yang terkait dari usaha peneliti untuk membebaskan klien dari phobia terhadap kucing adalah bahaya emosi dan konsep diri. Dengan konseling ini, peneliti berupaya mencegah timbulnya emosi yang meledak-ledak dari diri klien karena klien dianggap tidak matang kepribadiannya oleh teman-teman sebaya maupun orang dewasa karena phobia kucing yang dideritanya sehingga kurang disenangi oleh orang-orang lain. Juga untuk menjaga agar klien merasa puas dengan dirinya sendiri.
2. Data Peneliti Peneliti adalah Yuni Rosita, seorang ibu rumah tangga yang masih aktif sebagai mahasiswa di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dilahirkan di Jakarta, 19 Juni 1982. Peneliti berdomisili di Jl. Rasamala II/36 Rt. 007/09 Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. Pendidikan terakhir Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
B. Pelaksanaan Konseling Behavioral 1. Keadaan klien sebelum diberikan konseling Keadaan klien sebelum diberikan konseling adalah klien merasa phobia terhadap kucing, baik dalam bentuk asli maupun dalam bentuk gambar, baik dari jauh apalagi dekat, sehingga klien sama sekali tidak dapat melakukan
kontak dengan kucing baik dalam bentuk sebenarnya maupun dalam gambar. Kondisi ini mengakibatkan klien suka ”diganggu” teman-temannya dengan kucing, sehingga klien merasa malu ketika bermain dengan teman-temannya.
2. Tahap Konseling behavioral Pada tahap ini, peneliti membaginya dalam lima tahap, yaitu: pertama, peneliti menyatakan kepedulian atau keprihatinan dan membentuk kebutuhan akan bantuan. Kedua, peneliti membentuk hubungan dengan klien. Ketiga, peneliti menentukan tujuan dan mengeksplorasi pilihan konseling pada klien. Keempat, peneliti menangani masalah klien dengan teknik mengubah perilaku (behavioral modivication) yang ada pada tahap ini dilakukan beberapa kali. Kelima, peneliti menilai hasil dan mengakhiri konseling.43
a. Konseling Tahap Pertama Konseling tahap pertama, peneliti menyatakan kepedulian atau keprihatinan dan membentuk keutuhan akan bantuan, dilakukan pada akhir bulan Januari 2006. Peneliti melakukan satu tindakan di luar kelaziman konseling karena klien masih anak-anak, yaitu mendatangi rumah klien dan mengajaknya bermain agar terjadi interaksi serta membuka komunikasi dengan memintanya untuk bercerita tentang phobia kucing yang dialaminya.
43
Sugiharto, “Pendekatan Konseling Behavioral”, http://akhmadsudrajat.wordpress.com/, 23 Januari 2008, h. 3.
Dalam interaksi ini, peneliti menyatakan kepedulian bahwa peneliti merasa prihatin dan turut sedih dengan apa yang diderita klien. Kemudian peneliti menawarkan kesediaan untuk membantunya keluar dari phobia terhadap kucing yang tawaran ini belum diresponnya secara penuh dan terlihat adanya keraguan klien kepada peneliti dengan menyatakan, ”Mbak kita main aja yuk!” sambil menundukkan kepalanya ke bawah.
b. Konseling Tahap Kedua Pada tahap kedua ini, peneliti berupaya membentuk hubungan dengan klien yang dilaksanakan pada awal bulan Februari 2006 minggu pertama. Selama tiga hari berturut-turut, peneliti berinteraksi dengan klien sepulangnya klien dari sekolah atau pada saat sore hari. Pada hari pertama peneliti menawarkan diri untuk membantu klien menyelesaikan ”PR” sekolahnya sebagai bantuan yang bertujuan untuk membentuk hubungan yang lebih erat, agar klien membuka diri dan bersedia ditangani. Tujuan kedua untuk mencapai tujuan tersebut, di kesempatan itu peneliti meminta klien agar tidak memanggil peneliti dengan panggilan mbak tetapi dengan panggilan kakak. Pada hari kedua, hubungan peneliti dan klien mulai terbentuk. Pada hari ketiga peneliti meminta klien untuk datang ke tempat peneliti. Pada hari ketiga inilah klien mulai membuka diri dengan menceritakan kesulitan-kesulitan yang dialaminya kepada peneliti selama menderita phobia kucing.
c. Konseling Tahap Ketiga Konseling tahap ketiga, yang dilakukan pada minggu kedua bulan Februari 2006 adalah tahap menentukan tujuan dan mengeksplorasi pilihan konseling kepada klien. Di tahap ini, peneliti memberikan masukan kepada klien agar ia mau dibantu peneliti untuk menghilangkan phobianya terhadap kucing dan klien mengiyakan dengan menyatakan bahwa ia ingin sekali dibantu.
d. Konseling Tahap Keempat Konseling tahap keempat adalah peneliti menangani masalah klien dengan teknik pengubah perilaku (behavioral modivication). Tahap ini berlangsung cukup lama, yaitu dari minggu kedua bulan Februari sampai dengan bulan Juni 2006 atau dibagi ke dalam 22 kali pertemuan. Pada pertemuan pertama, (Sabtu, 11 Februari 2006) peneliti menjelaskan kepada klien tentang kucing sebagai hewan peliharaan yang tidak terlalu berbahaya dibanding hewan peliharaan lain, seperti anjing. Peneliti kemudian menyatakan kepada klien kenapa klien masih merasa takut. Klien menjawabnya bahwa ketakutannya kepada kucing muncul secara tiba-tiba ketika ia berhadapan dengan hewan tersebut walau dalam jarak yang jauh. Ia sendiri merasa aneh, sebab jika kucing dijadikan sebagai bahan pembicaraan seperti ini, ia tidak merasa takut dan menganggap kucing memang hewan jinak.
Pertemuan kedua (Minggu, 19 Februari 2006), peneliti mengajak klien untuk menonton film kartun tentang kucing. Peneliti melihat tidak ada ciri-ciri fisik, behavioral, dan kognitif yang timbul dari diri klien. Pada pertemuan ketiga (Sabtu, 25 Februari 2006), peneliti mengajak klien untuk menonton film nyata atau dokumenter tentang kucing. Pada pertemuan ini, peneliti melihat ciri-ciri fisik klien mulai mengalami phobia kucing berupa: gelisah, gugup, tangan dan kakinya gemetar, adanya sensasi dari pita ketat yang mengikat di sekitar dahi, banyak berkeringat, telapak tangan yang berkeringat, dan mengadukan ke peneliti bahwa ia merasa pening. Kemudian ia minta izin untuk pulang ke rumah yang merupakan reaksi yang bersifat behavioristik. Pada pertemuan keempat (Minggu 26 Februari 2006), peneliti mendatangi klien masih merasa belum nyaman terhadap pertemuan ketiga itu. Pada pertemuan ini, peneliti menanyakan tentang apa yang dipikirkan, klien menjawab bahwa ia merasa khawatir tentang sesuatu yang buruk dan mengerikan akan menimpa dirinya tanpa bisa dijelaskan olehnya secara lebih rinci ketika melihat kumis kucing bergerak-gerak, melihat kuku kucing mencakar-cakar lantai, dan kibasan bulunya ketika selesai dimandikan. Peneliti kemudian memberikan pengertian kepada klien bahwa hal-hal
tersebut tidak membahayakan klien, terbukti dalam film tersebut orang yang memegang bulu kucing, mencium kucing, dan memandikannya tidak mengalami apapun yang mencederai dirinya maupun menyakitinya. Pada pertemuan kelima (Sabtu, 4 Maret 2006), peneliti kembali mengajak klien menonton film dokumenter tersebut. Namun klien merasa enggan. Peneliti kembali meyakinkan klien, bahwa menonton kucing dari layar kaca tidak akan membahayakan dirinya. Klien setuju namun ia meminta tidak pada minggu-minggu ini. Pada pertemuan keenam atau minggu kedua setelah pertemuan kelima (Sabtu, 18 Maret 2006), klien bersedia menonton lagi film dokumenter tentang kucing. Kali ini, peneliti memeluk dirinya saat ia menonton untuk memberi rasa aman. Selama film ditayangkan peneliti masih melihat ciri-ciri fisik masih dialami oleh klien walaupun klien tidak merasa pening. Peneliti kemudian mengakhiri film pada pertengahannya karena peneliti melihat klien mulai menunjukkan gejala-gejala untuk menghindar dan pulang ke rumah. Pada pertemuan ketujuh (Minggu, 19 Maret 2006), peneliti mulai mencoba menghilangkan rasa tersiksa klien masih ada saat menyaksikan film dokumenter
kucing
tersebut
dengan
melakukan
pengalihan
teknik
pengubahan perilaku dengan melakukan wawancara mengenai persoalan kucing dengan pertanyaan apakah suatu saat klien mau mempunyai peliharaan seperti kucing? Klien kemudian menjawab bahwa sebenarnya ada keinginan tesebut tetapi ia belum mengetahui kapan hal itu terjadi. Pertemuan ini diselingi dengan bermain-main dengan boneka-boneka kucing. Peneliti melihat tidak ada ciri-ciri fisik phobia yang timbul ketika klien bermain dengan boneka kucing yang dipegangnya. Pada pertemuan kedelapan (Sabtu, 25 Maret 2006), peneliti mengajak klien menonton film dokumenter tentang kucing. Peneliti melihat ciri-ciri fisik yang timbul hanya keringat yang keluar dari tangan. Pada pertemuan kesembilan (Minggu, 26 Maret 2006), peneliti mewawancari klien mengenai apa yang dirasakan ketika menonton film dokumenter tentang kucing pada hari kemarin. Klien kemudian menjawab bahwa ia merasa nyaman walau masih merasa ada ketakutan. Pada pertemuan kesepuluh (Minggu, 2 April 2006), peneliti kemudian melakukan teknik modeling dengan membawa seekor anak kucing dan mengelus bulu-bulunya. Klien hanya memperhatikan peneliti dari jarak 2 meter dan kemudian ciri-ciri fisik phobia kembali muncul sampai muncul rasa pening dan klien menghindar dengan kembali ke rumahnya.
Pada pertemuan kesebalas (Minggu, 9 April 2006), peneliti mengulang kembali teknik modeling sebagaimana yang dilakukan pada pertemuan sebelumnya atau pertemuan kesepuluh. Namun, kali ini jarak klien dengan objek phobianya berjarak jauh, yaitu 5 meter. Peneliti menanyakan kepada klien apa ia merasa pening, klien menjawab tidak, tetapi tangannya berkeringat. Peneliti terus meyakinkan klien bahwa apa yang ia lakukan dapat pula dilakukan oleh klien karena kucing bukan hewan yang membahayakan manusia. Klien masih terlihat ragu dan masih menjaga jarak. Pada pertemuan kedua belas (Sabtu, 15 April 2006), peneliti kembali melakukan hal yang sama seperti pertemuan kesepuluh dan kesebelas, namun jarak klien dengan objek phobia di dekatkan pada jarak 2 meter. Kali ini, peneliti kembali melihat munculnya ciri-ciri fisik phobia, namun rasa pening tidak dialami oleh klien. Pada pertemuan ketiga belas (Minggu, 16 April 2006), peneliti memberikan tongkat dan kemudian meminta klien untuk menyentuh bulu dari kucing yang peneliti pegang dengan tongkat tersebut. Klien tanpa raguragu. Peneliti kemudian menuntun tongkat tersebut dan melepaskannya ketika mulai menyentuh bulu kucing tersebut. Klien tampak gugup dan berkeringat, tetapi kemudian ia mulai terbiasa dan terlihat kegugupan serta keringatnya mulai berkurang.
Pada pertemuan keempat belas (Minggu, 23 April 2006), peneliti mulai menuntun tangan klien yang dilapisi sarung tangan untuk menyentuh bulu kucing. Sempat terlihat ciri-ciri fisik phobia yang keluar walau tidak sampai pada timbulnya rasa pening. Pada pertemuan kelima belas (Sabtu, 29 April 2006), kembali peneliti mengulang teknik seperti di pertemuan keempat belas. Kali klien mulai tenang dan mulai menikmati. Pada pertemuan keenam belas (Minggu, 30 April 2006), peneliti melakukan wawancara dengan klien mengenai apa yang dirasakan dari yang dialaminya ketika berinteraksi walau tidak langsung dengan objek phobianya. Klien menjawab bahwa ia mulai merasa berkurang rasa takutnya dibanding pada waktu sebelum konseling dengan berinteraksi bersama objek phobianya. Peneliti kemudian menyatakan bahwa besok, pada pertemuan ketujuh belas, ia bersama peneliti akan bersentuhan dengan objek phobianya secara langsung tanpa adanya perantara. Peneliti kemudian menanyakan kepada klien apakah ia bersedia? Agak lama, klien kemudian menjawab bahwa ia bersedia. Pada pertemuan ketujuh belas (Sabtu, 6 Mei 2006), untuk pertama kalinya klien memegang bulu kucing tanpa harus memakai perantara, baik tongkat maupun sarung tangan. Pada awalnya, peneliti masih turut memegang tangan klien. Peneliti melihat masih ada ciri-ciri fisik phobia
yang keluar dari klien walaupun tanpa pening kepala. Peneliti melihat klien sangat gugup dan merasakan tangan klien berkeringat cukup banyak. Namun peneliti tetap meyakinkan klien bahwa hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi dan meminta klien untuk merasa rileks saja saat menyentuh dan mengelusnya. Sekitar setengah jam berlalu, peneliti melihat klien mulai sedikit menikmatinya walau terlihat masih gugup dan tangan masih banyak mengeluarkan keringat. Peneliti kemudian mengakhiri pertemuan. Pada pertemuan kedelapan belas (Minggu, 7 Mei 2006), peneliti melakukan wawancara dengan klien dan menanyakan perasaan yang dialaminya saat menyentuh bulu kucing secara langsung. Klien menjawab bahwa ia merasakan takut dan masih khawatir bahwa hal buruk akan menimpa dirinya saat mengelus bulu kucing walau ketakutan dan kekhawatiran tersebut mulai berkurang. Pada pertemuan kesembilan belas (Minggu, 14 Mei 2006), kembali peneliti mengajak klien untuk mengelus bulu kucing secara langsung. Kali ini, peneliti tidak menuntun tangannya tetapi masih tetap memegang kucingnya. Klien masih belum bereaksi, ia terdiam beberapa saat. Peneliti memberikan isyarat
kepadanya agar
segera
menyentuhnya, setelah
menyentuh bulu kucing tersebut peneliti langsung menghentikannya. Peneliti kemudian mewawancarai klien, dan klien menjawab ia mulai bisa menikmatinya.
Pada pertemuan kedua puluh (Minggu, 21 Mei 2006), kembali peneliti mengajak klien untuk mengelus bulu kucing secara langsung tanpa dituntun. Kali ini pelan-pelan, klien menyentuhnya selama kurang lebih setengah jam walau kucing masih dipegang peneliti. Tidak ada ciri-ciri fisik yang keluar selain terlihat masih ada kegugupan dan keringat masih keluar dari telapak tangannya. Peneliti kemudian menghentikan pertemuan. Pada pertemuan kedua puluh satu (Minggu, 28 Mei 2006), peneliti meminta klien mengelus-elus bulu kepala kucing yang sedang tidur. Klien tampak gugup, ia terlihat ragu. Kemudian peneliti memberikan peragaan kepada klien kemudian menuntun tangan klien untuk menyentuh bulu kepala kucing tersebut. Peneliti masih melihat keringat keluar dari telapak tangannya dan terlihat klien masih gugup. Baru saja tangan klien menyentuh bulu kepala kucing yang sedang tertidur, peneliti menghentikannya. Untuk pertemuan kedua puluh dua (Minggu, 2 Juni 2006), peneliti memberikan jeda waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar satu minggu dari pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan kedua puluh dua ini, peneliti menanyakan mengenai apa yang dirasakan klien ketika menyentuh bulu kepala kucing yang sedang tertidur. Klien menjawabnya bahwa ada sedikit kecemasan, ketakutan, dan gugup, tetapi ketika melihat peneliti begitu menikmati dan dapat melakukannya, ia pun mencoba untuk menghilangkan rasa kecemasan, ketakutan, dan gugupnya. Untuk pertemuan ini peneliti menyatakan kepada klien bahwa ia akan sembuh dari rasa phobia terhadap
kucing jika dapat menyentuh langsung bulu kepala dari kucing yang sedang tidur dengan waktu yang cukup lama, yaitu seperempat jam. Kemudian klien perlahan-lahan mulai menyentuh bulu kepala kucing dan ia pun mulai mengelus-ngelusnya sampai seperempat jam. Peneliti hanya melihat klien sedikit gugup dan tangannya sedikit berkeringat.
e. Konseling Tahap Kelima Peneliti menyatakan kepada klien bahwa
ia telah berhasil
menghilangkan phobia kucing walau masih belum penuh. Peneliti kemudian mengakhiri konselingnya dengan menyarankan agar ia mulai akrab untuk bermain-main dengan kucing walau rasa ketakutan masih tetap ada.
C. Hasil yang Dicapai Melalui Konseling Dari konseling yang dilakukan, peneliti melihat bahwa klien mengalami phobia yang cukup kronis sehingga pada tahap keempat harus dilakukan dengan banyak pertemuan dan dengan berbagai macam teknik, yakni terapi dengan memperkenalkan kucing melalui cerita maupun melalui media film agar klien mengenal kucing yang sebenarnya. Setelah memperkenalkan kucing, peneliti mencoba mengadakan kontak langsung antara klien dengan kucing mulai dari boneka, bulu, mencoba memegang sampai akhirnya dapat memegang kucing. Tahapan-tahapan ini bisa dikatakan berhasil karena klien sudah berani bersentuhan
langsung dengan objek phobianya walau masih gugup dan keringat masih keluar dari tangannya. Terapi ini dapat dicoba untuk terapi-terapi phobia terhadap binatang jinak lainnya dengan tahapan yang sama. Hal yang terpenting dari terapi ini adalah bagaimana klien tetap mempertahankan kesembuhan phobianya. Peran keluarga tentu akan sangat berperan untuk mempertahankan kesembuhan klien. Masalahnya pada kasus si Putri adalah kedua orang tuanya juga mengalami phobia terhadap binatang lainnya yakni tikus dan cacing. Sehingga diperlukan tindakan lanjutan bagi terapi orang tuanya agar dapat membantu mempertahankan kondisi Putri yang sudah sembuh.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Ada beberapa tahap yang dilakukan peneliti dalam mengatasi phobia kucing yaitu peneliti menyatakan kepedulian atau keprihatinan dan membentuk keutuhan akan bantuan, dengan mendatangi rumah klien dan mengajaknya bermain agar terjadi interaksi serta membuka komunikasi dengan meminta untuk bercerita tentang phobia kucing yang dialaminya. 2. Peneliti berupaya membentuk hubungan dengan klien yaitu dengan menawarkan diri untuk membantu klien menyelesaikan ”PR” sekolahnya dan meminta klien untuk memanggil peneliti dengan panggilan kakak, disinilah hubungan peneliti dengan klien mulai terbentuk, lalu klien mulai membuka diri dengan menceritakan masalah-masalah yang dialaminya. 3. Dengan menentukan tujuan dan mengeksplorasi pilihan konseling kepada klien, peneliti memberi masukan kepada klien agar mau dibantu peneliti untuk menghilangkan phobianya terhadap kucing. 4. Menangani masalah klien dengan teknik pengubah perilaku (behavioral modivication) yaitu langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan
pengenalan terhadap kucing melalui cerita, menonton film dokumenter, mengadakan kontak secara bertahap mulai dari boneka, sampai akhirnya melakukan kontak langsung dengan kucing. Konseling ini dapat dikatakan berhasil karena si klien sudah mau melakukan kontak dengan kucing. 5. Klien merasa senang dapat sembuh dari phobia terhadap kucing. Kini klien tidak merasa minder lagi akibat dari rasa takut tersebut. Dan klien mempunyai keinginan memelihara kucing di rumahnya.
B. Saran Pada kesempatan ini, penulis memberikan saran-saran: 1. Kepada para mahasiswa, peneliti hendaknya mau mengembangkan konseling behavioral untuk mengatasi phobia seperti yang dialami oleh Putri sehingga dapat mengurangi jumlah anak-anak yang mengalami phobia terhadap binatang ternak pada umumnya dan kucing pada khususnya. 2. Pengembangan konseling behavioral diperlukan guna menambah khazanah pengetahuan tentang cara-cara mengatasi phobia terhadap binatang sehingga banyak cara yang dapat ditempuh oleh peneliti untuk mengatasi phobia terhadap binatang.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1998. Baraja, Abu Bakar, Psikologi Konseling dan Teknik Konseling, Jakarta: Studia Press, 2004. Cavanagh, Michael E, Books, The Counseling Experience. A Theoretical and Practical Approach, New York: Cole Publishing Company, 1982. Colledge, Ray, Mastering Counseling Theory, New York: Pal Grave Master Service, 2002. Corey, Gerald, Teori dan Praktek Konseling Psikoterapi, Bandung: Refika Aditama, 1999. Davidoff, Linda L Psikologi Suatu Pengantar terj. Mari Jumati, Jakarta: Erlangga, 1991, Edisi ke-2 Jilid II. Departemen Pendidikan Nasional, “Panduan Model Pengembangan Diri untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah”, ktsp.diknas.go.id/download/ktsp_sma/13.ppt, 2004.
Derver, James, Kamus Psikologi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1988. Gulo, Dali, Kamus Psikologi, Bandung: Tarsito, 1987. Hornby, AS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, New York: Oxford University Press, 1995 Fifth Edition. Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan terj. Jakarta: Erlangga, 2004. Kartono, Kartini Patologi Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, Jilid I, 1983. ______, Peranan Keluarga Memandu Anak (Seri Psikologi Terapa, Jakarta: CV. Rajawali, 1981, Jilid I.
Kosslyn, Stephen M. & Rosenberg, Robin S., Psychology, The Brain, The Person, The World, Allyn & Bacon, USA. Lewis, David, Taklukan Phobia Anda seri Psikologi Popular, Jakarta: Arcan, 1987. Maharrani, Anindhita “Phobia Aneh Para Selebritis”, Majalah Higina, No.028, Januari 1994. _______,”Apakah Phobia Itu?”, Majalah Higina Edisi 031, April 1994. Musthofa, Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, terj Zakiah Derajat, Jakarta, Erlangga, 1991, Jilid II. Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998, Cet ke-8. Prayitno dan Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Rineka Cipta dan Pusat Perbukuan Depdiknas, 2004, Cet.ke-2. Rachmat, Jalaludin, Metodologi Penelitian Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999, Cet ke-7. Suarti, Witri, ”Phobia Bikin Susah”, Wanita Indonesia, Edisi 909 / 7 - 13 Mei / 2007. Sugiharto, “Pendekatan Konseling .wordpress.com/, 23 Januari 2008.
Behavioral”,
http://akhmadsudrajat