-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
PEER-CORRECTION DALAM PEMBELAJARAN MENULIS UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KAIDAH BAHASA INDONESIA TULIS Sumarwati FKIP Universitas Sebelas Maret
[email protected]
Abstract The preparation of this paper to describe the quality improvement process of correcting errors of language and mastery of the rules of written language students by applying peer-correction techniques or correction between friends. Strategy research is classroom action research conducted in the third and each cycle. The results showed the application of peer-correction techniques can improve the quality of the learning process of writing mainly on the activity of correcting errors in the language of his essay and mastery of Indonesian rule written on the students. As for how the implementation of peercorrection that can improve the quality of process and control rules of written language are as follows: students develop the framework into a draft essay, exchange with his friend, with the teachers de ine aspects of the rules of written language to be corrected, looking at examples of errors on aspects which have been set and how to mark, identify and give certain signs on fault location language discovery under the guidance of teachers, correct language errors in the essay each of which has diidenti ilasi his friends, restoring essay has inished corrected to the author, learn correction made friends on the essay so that if it inds a problem related to the correction results can discuss with the teachers, and rewrote the essay for display on a bulletin board Keyword: peer-correction, teaching writing, revising, editing
Pendahuluan Secara formal, pelajaran Bahasa Indonesia diberikan mulai kelas 1 SD sehingga oleh Kepala Pusat Bahasa diharapkan penguasaan bahasa tersebut pada siswa sekolah menengah atas sudah mencapai tingkat unggul atau mahir. Dengan demikian, para siswa yang duduk di SMP seharusnya telah mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia secara baik dan benar dan hal itu harus meningkat ketika berada di tingkat SMU. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa para siswa masih menghadapi masalah dalam menggunakan bahasa Indonesia, khususnya dalam berbahasa tulis, termasuk di dalamnya adalah para siswa kelas VIII A SMP Penda (Pendidikan Daerah) Mojogedang, Kabupaten Karanganyar, yakni sebuah sekolah swasta yang berada 18 kilometer sebelah utara Kota Karanganyar atau 40 kilometer sebelah timur Surakarta. Masalah dalam pemakaian bahasa Indonesia tulis yang dimaksud adalah masih banyaknya kesalahan bahasa dalam karangan siswa, baik pada aspek ejaan, kata, maupun kalimat. Sudah barang tentu hal tersebut berpengaruh terhadap nilai keterampilan menulis, yang selama ini nilai yang dicapai hanya berkisar 58 sampai dengan 72 (terendah dari rata-rata dua kelas lainnya). Hal tersebut diperkuat dengan hasil mengarang deskriptif yang dibuat siswa. Dari analisis peneliti (sebagai survei awal), kualitas pemakaian bahasa pada 31 karangan siswa (ratarata satu halaman folio) dijumpai adanya kesalahan pada hampir semua aspek bahasa. Sudah pasti hal ini selain berpengaruh pada nilai menulis juga pada nilai berbicara. Oleh Hendrickson (1981: 12) fenomena itu disebut sebagai fosilisasi kesalahan berbahasa, dalam arti kesalahan telah mengendap dalam long-term memory siswa. Jadi, kalau tidak segera diatasi, kesalahan itu akan terjadi saat mereka duduk di SMU, bahkan perguruan tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa faktor penyebab siswa mengulangulang kesalahan yang telah dikoreksinya adalah karena mereka tidak belajar dari kesalahan bahasanya sendiri, dengan cara menghindari kesalahan yang sama. Dari prosedur pembelajaran 527
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
yang biasa diterapkan di kelas diperoleh kesimpulan bahwa yang mengoreksi kesalahan bahasa siswa atau yang melakukan tahap revisi adalah guru. Dengan kata lain, teknik koreksi yang diterapkan adalah teacher correction (koreksi guru), yaitu gurulah yang mengidenti ikasi letak kesalahan, menemukan penyebab terjadinya kesalahan, dan membetulkannya sehingga umpan balik tentang letak-letak kesalahan dalam bahasa tulis siswa bersifat langsung (berupa feedback langsung). Oleh karena itu, perlu diterapkan teknik koreksi yang dilakukan siswa dan salah satu caranya adalah peer-correction. Dalam belajar bahasa, pembelajar tidak akan terlepas dari kesalahan-kesalahan berbahasa, begitu juga apa yang terjadi pada siswa yang sedang belajar bahasa. Kesalahan adalah bagian dari proses belajar dan koreksi kesalahan adalah hal yang akan membawa pembelajar ke arah kemajuan (Wood, 1997). Hal ini dapat dikaitkan dengan kesimpulan Sarigul (2005: 5) dan Choudron (2008:175) bahwa hasil koreksi yang dilakukan para pelajar merupakan re leksi dari hasil belajarnya. Selain itu, Choudron (1984:1) menemukan bahwa kesalahan berbahasa yang dilakukan siswa dapat menjadi pelajaran berharga bagi pemakaian bahasa selanjutnya, kalau mereka dilibatkan dalam mengoreksinya. Kalau siswa tidak dilibatkan berarti gurulah yang belajar dari kesalahan itu dan fenomena ini merupakan indikasi sebagai pembelajaran yang berpusat pada guru. Dengan demikian, untuk mengoptimalkan aktivitas dan kreativitas siswa, koreksi kesalahan bahasa harus dilakukan dengan melibatkan siswa. Kalaupun guru memberikan bantuan, sebatas pada pemberian feedback tak langsung untuk memandu siswa dalam menemukan letak kesalahan dan mengidenti ikasi penyebabnya. Prosedur ini lebih bersifat learner-oriented. Koreksi kesalahan berbahasa dapat berfungsi sebagai feedback karena pada dasarnya pembelajar bahasa ingin tahu pada hal apa ia masih kurang dan hal mana ia telah mengalami kemajuan (Walz, 1982:4). Oleh karenanya, menurut Choudron, feedback (umpan balik) merupakan hal penting yang pasti terjadi di dalam interaksi pembelajaran yang baik (2008, 133). Menurutnya apapun yang dilakukan oleh orang lain, yakni teman dan pengajar, pembelajar mendapatkan masukan. Adapun dari pandangan seorang pengajar bahasa, umpan balik merupakan alat utama yang bisa memberitahukan kepada siswa mengenai ketepatan dalam menggunakan bahasa yang sedang dipelajarinya. Penggunaan umpan balik dalam rangka memperbaiki kesalahan siswa di dalam belajar berbahasa merupakan sumber pengembangan berbahasa yang sangat potensial. Aktivitas koreksi kesalahan berbahasa menunjuk pada kegiatan menemukan sumbersumber (letak) kesalahan, mengenali penyebab, dan memperbaikinya dalam pemakaian bahasa (Chaudron, 2008:134). Ketiga komponen tersebut merupakan suatu kesatuan, dalam pengertian penguasaan pada salah satu komponen akan berpengaruh terhadap penguasaan komponen lainnya. Seorang pembelajar akan kesulitan menemukan penyebab kesalahan kalau letak suatu kesalahannya saja ia tidak tahu yang mana. Atau pembelajar akan terhambat melakukan pembetulan kalau ia tidak memahami penyebab terjadinya suatu kesalahan. Kalaupun ia dapat melakukannya, kegiatan tersebut lebih bersifat spekulatif sehingga pembetulan itu belum tentu benar Padahal, kemampuan berbahasa tulis merupakan kemampuan yang sangat penting karena kurang memadainya penguasaan tersebut dapat menjadi hambatan dalam berkomunikasi secara tertulis. Ini disebabkan banyaknya kesalahan dalam pemakaian bahasa tulis menjadikan ide yang disampaikan sulit dipahami audien (pembaca) atau bisa memunculkan salah interpretasi. Bahkan Hendrickson (1981: 9) menyatakan bahwa menulis dengan banyak kesalahan bahasa merupakan kegiatan yang sia-sia karena tulisannya tidak akan dibaca orang. Sebaliknya, karangan dengan kesalahan bahasa yang minimal memungkinkan pembaca dapat memahami isinya secara optimal. Oleh karena itu, sudah seharusnya dilakukan upaya agar para siswa melakukan kesalahan seminimal mungkin dalam karangannya. 528
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Dengan menerapkan peer-correction (koreksi antarteman) berarti karang seorang siswa akan dibaca dan dievaluasi oleh orang lain, selain guru. Tentunya mereka merasa malu kalau karangannya buruk. Ini dapat dikaitkan dengan temuan Witder (Tompkins,1995: 62) bahwa kelompok siswa yang karangannya dipajang sehingga bisa dibaca banyak orang memiliki motivasi menulis sebaik-baiknya lebih tinggi dibandingkan yang tidak dipajang. Penemuan letak kesalahan dan pengenalan penyebab terjadinya kesalahan bahasa orang lain (teman), setidaknya akan mere leksi ke dalam diri pengoreksi, sehingga ia akan menghindari kesalahan yang sama pada kegiatan menulisnya. Aktivitas identi ikasi seperti itu akan lebih tahan lama dalam ingatan siswa. Dengan begitu, siswa tidak lagi melakukan banyak kesalahan berbahasa dalam penyusunan karangannya sehingga nilai menulis yang dicapai akan meningkat. Pemikiran tersebut dapat divisualisasikan sebagai berikut:
Data Hasil Penerapan Peer-Correction Dari pelaksanaan tindakan siklus I sampai dengan III diperoleh hasil yang dapat dibuat rekapitulasi seperti pada tabel 1 berikut ini. Tabel 1: Rekapitulasi Ketercapaian Indikator Penelitian Siklus I, II, dan III No Indikator Persentase yang Dicapai Siklus 1 Siklus 2 Siklus 3 1 Siwa aktif dan bersungguh-sungguh dalam 55% 80% 90% melaksanakan peer-correction 2 Siswa mampu mengidenti ikasi letak kesalahan 50% 70% 80% bahasa dalam karangan temannya 3 Siswa mampu membetulkan kesalahan bahasa 50% 60% 75% dalam karangan temannya 4 Siswa minimal mencapai skor KKM menulis 50% 60% 75% Perbandingan persentase yang dicapai pada siklus I, II, dan III menunjukkan adanya peningkatan pada keenam indikator. Peningkatan paling banyak terdapat pada indikator pertama, jumlah siswa yang menunjukkan keaktifan dan kesungguhan dalam mengoreksi kesalahan bahasa temannya, dari siklus I ke siklus II yaitu sebesar 25%. Peningkatan yang tinggi juga terjadi pada indikator kedua, kemampuan mengidenti ikasi letak kesalahan, dari siklus II ke siklus III, yakni 20%. Adapun secara umum dapat dinyatakan bahwa peningkatan keempat indikator dari siklus II ke III lebih tinggi dibandingkan dari siklus I ke II. Namun demikian, secara keseluruhan ada peningkatan persentase pada semua indikator dari satu siklus ke siklus berikutnya. Banyaknya siswa yang tidak aktif dan bersungguh-sungguh melakukan koreksi bahasa pada karangan temannya disebabkan mereka lebih tertarik membaca isi karangan temannya. Ini dapat dikaitkan dengan topik karangan yang ditugaskan, yaitu laporan perjalanan ke tempat wisata yang berkesan. Sudah barang tentu pengalaman yang dimiliki para siswa bervariasi sehingga isi karangannya juga berbeda-beda. Hal itulah yang sangat ingin diketahui dan menarik perhatian siswa lain. 529
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Berbeda halnya dengan kondisi pada siklus II yang menunjukkan sebagian besar siswa sudah aktif melakukan koreksi terhadap pemakaian bahasa dalam karangan temannya. Sebagaimana diuraikan di depan, yang menjadi topik tugas menulis pada siklus ini adalah menulis surat resmi, tepatnya surat permohonan (meminjam tempat atau meminjam peralatan). Tentu saja, isi karangan yang berupa itu surat tidak begitu menarik untuk dibaca sehingga mayoritas siswa dapat memfokuskan perhatiannya kepada pemakaian bahasanya. Kondisi yang sama, yakni mayoritas siswa fokus pada pemakaian bahasa dalam karangan temannya, juga terjadi pada siklus III. Bahkan semakin banyak siswa yang aktif atau terjadi peningkatan jumlah siswa yang aktif dalam mengoreksi karangan temannya. Ternyata hal itu tersebut juga dilatarbelakangi oleh isi karangan yang hampir sama antara siswa satu dengan yang lain, yaitu tentang membuat kerajinan tangan yang prosesnya sudah dikenal para siswa. Akan tetapi, anehnya, dengan alasan yang sama justru menyebabkan 10% atau 4 siswa tidak memotivasi siswa untuk membaca karangan temannya, termasuk mengoreksi bahasanya. Peer-Correction: Realisasi Berbagi Tulisan Antarsiswa Berdasarkan fenomena banyaknya siswa yang tidak aktif dan bersungguh-sungguh dalam mengoreksi kesalahan bahasa dalam karangan temannya karena lebih tertarik pada isinya menunjukkan bahwa pada dasarnya para siswa memiliki minat yang besar untuk membaca karya temannya. Jadi, pada dasarnya para siswa memiliki minat yang besar untuk membaca, terutama terhadap karya temannya. Tentu saja hal tersebut dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan minat baca pada siswa. Selain itu, koreksi bahasa yang dilakukan oleh teman memungkinkan siswa mendapatkan bahan belajar dari pemakaian bahasa oleh temannya (Ayken, 2010:26). Dalam laporan penelitiannya, Rollinson (2005) mendapati, jika siswa membaca tulisannya sendiri, ia sering tidak dapat menemukan kekurangan dan kesalahan yang dilakukannya. Maka. beliau merekomendasi agar teknik peer-correction sering dilatihkan pada para siswa karena dengan cara ini guru dapat membimbing untuk mengenali kesalahan berbahasa sesuai konteks bahasa mereka sendiri dan lebih penting lagi karena pada dasarnya kesalahan bahasa teman juga mere leksikan sebagai kesalahan bahasa yang dilakukan siswa yang lain, termasuk yang mengoreksi. Penelitian Falchikov (2006) dan Makino (2013) juga menemukan bahwa dengan melakukan koreksi terhadap kesalahan bahasa dalam konteks siswa, mereka akan mereaksi atau memberikan sikap baik secara internal maupun secara eksternal. Secara internal, ia akan mengkritik diri sendiri ketika menyadari kesalahan temannya juga sering dilakukannya dan akan menjadi kritis terhadap kesalahan sendiri dan mencoba untuk menghindari kesalahan yang sama. Secara eksternal, siswa akan menerima kritik dari orang lain (guru atau teman) tentang kesalahan yang dibuatnya. Lebih dari itu, ia pun akan mengkritik orang lain (temannya) yang berbuat salah dan penilaiannya itu akan sekaligus mere leksi ke dalam dirinya, sehingga akan turut menghindari kesalahan yang sama. Selain itu, hasil penelitian Falchikov (2004). dan Wood (1997) menemukan bahwa penerapan peer-correction dalam pembelajaran menulis memiliki nilai plus sebagai berikut: (1) dapat mengembangkan penguasaan dan ketepatan berbahasa pada siswa, (2) memungkinkan siswa untuk tidak selalu bergantung pada guru dalam mengoreksi kesalahan bahasanya, (3) memungkinkan siswa dapat membimbing temannya. Dari kajian lebih lanjut ditemukan bahwa para siswa yang dapat mengoreksi karangan temannya dengan baik menunjukkan peningkatan nilai karangannya. Hal ini berarti bahwa siswa dapat belajar dari kesalahan orang lain untuk memperbaiki diri sendiri., termasuk dalam hal pemakaian bahasa. Fenomena ini sejalan dengan hasil penelitian Brown (1994) yang menyimpulkan bahwa dengan melakukan koreksi terhadap bahasanya sendiri, pembelajar akan mereaksi atau memberikan sikap baik secara internal maupun secara eksternal. Secara 530
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
internal, ia akan mengkritik diri sendiri, dapat terjadi semacam kon lik dalam dirinya tentang kesalahan yang diperbuatnya. Ketika menyadari telah membuat kesalahan, ia akan menjadi kritis terhadap kesalahan sendiri dan mencoba menghindari kesalahan yang sama pada kesempatan yang lain. Secara eksternal, pembelajar akan menerima kritik orang lain (pengajar atau teman) tentang kesalahan yang dibuatnya. Bahkan lebih dari itu, ia akan mengkritik orang lain (misal temannya) yang berbuat salah dan penilaiannya itu akan sekaligus mere leksi ke dalam dirinya, sehingga turut mencoba menghindari kesalahan yang sama. Adapun dengan melakukan koreksi terhadap bahasa orang lain, pembelajar akan mendapatkan masukan mengenai model-model kesalahan yang dia sendiri belum pernah melakukannya sehingga ia akan belajar dari hal itu. Koreksi Kesalahan Teman sebagai Feedback bagi Siswa Dalam melakukan koreksi kesalahan bahasa, seorang pembelajar yang baru pada awal proses belajar sering kali tidak dapat menemukan sumber-sumber kesalahan terlebih terhadap pemakaian bahasanya sendiri atau bahasa teman sebaya. Dalam pandangannya, semuanya adalah benar, semua unsur bahasa yang dipakai tidak ada yang salah. Menghadapi hal ini, hendaknya pengajar harus memberikan berbagai bantuan agar kegiatan koreksi bisa berjalan, dan itu juga berupa feedback. Langkah tersebut juga dilakukan guru dalam penelitian ini, yaitu membantu siswa agar dapat menemukan kesalahan pemakaian kata dari bahasa Jawa dan bahasa populer pada karangan temannya dengan memberikan tanda-tanda bantuan, yaitu KBJ untuk kata dari bahasa Jawa dan KBP untuk kata dari bahasa populer. Nyatanya dengan bantuan guru itu, semakin banyak jumlah siswa yang dapat mengidenti ikasi kesalahan pada aspek itu. Dengan demikian, tahap koreksi bahasa atau pengeditan dapat digunakan untuk mengevaluasi kemampuan siswa dalam menguasai aspek kebahasaan atau memberikan pelajaran mengenai aspek mekanis yang dirasa masih sulit bagi siswa. Untuk itu, guru perlu memberikan penjelasan ulang secara singkat, kemudian siswa mempraktikkan pemahamannya dengan mengoreksi tulisannya. Menurut Calkins (dalam Tompkins, 1995:90) cara tersebut lebih efektif untuk mengajarkan masalah kebahasaan dari pada pengajaran yang bersifat hafalan. Dalam setiap pembelajaran yang melibatkan aktivitas pembelajar dan pengajar, respons yang diberikan pembelajar dapat dijadikan tolok ukur tingkat keberhasilan pembelajaran tersebut. Sudah barang tentu respons yang diberikan pembelajar diharapkan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Berkaitan dengan masalah respons siswa, Borich (1996:264-268) membedakannya menjadi 4 kategori, yaitu: (1) benar, cepat, dan tepat, (2) benar tetapi kurang tepat, (3) salah karena kurang teliti atau ceroboh, dan (4) salah karena kurang pengetahuan. Di antara keempat respons tersebut, respons pembelajar yang paling positif adalah yang pertama, sedangkan respons kedua hingga keempat termasuk yang negatif sehingga kemunculannya tidak diharapkan oleh pengajar. Jika dikaitkan dengan penelitian ini, respons yang dimaksud seperti di atas relevan dengan aktivitas siswa pada saat melakukan koreksi kesalahan bahasa dalam karangan temannya. Dari data yang termuat pada tabel rekapitulasi di atas mengindikasikan adanya peningkatan jumlah siswa yang menunjukkan respons yang positif meski ada yang menunjukkan respons negatif. Akan tetapi, dari siklus I ke siklus berikutnya, jumlah siswa yang menunjukkan respons negatif semakin menurun. Itu terjadi karena guru selalu berupaya memperbaiki kualitas pembelajaran dengan berbagai strategi yang inovatif. Adapun salah satu strategi yang tampak berhasil meningkatkan kemampuan siswa dalam mengoreksi kesalahan bahasa temannya adalah diberinya tanda bantuan atau feedback dari guru. Hal tersebut sejalan dengan temuan Borich (1996:269) bahwa adanya respons positif maupun negatif sedikit banyak terpengaruh oleh strategi pembelajaran yang diterapkan pengajar. Adapun Strategi yang baik adalah yang dipenuhi dengan feedback (umpan balik) yang dapat mendorong diberikannya respons positif itu. Tanpa adanya feedback, pembelajaran tentu 531
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
akan sepi dari respons pembelajar dan jikalau pun muncul respons, pastilah respons-respons tersebut menyebar pada keempat kategori (Borich, 1996:270 Feedback merupakan hal penting yang pasti terjadi di dalam interaksi pembelajaran yang baik (Chaudron, 2008: 133). Menurutnya apapun yang dilakukan oleh pengajar, pembelajar mendapatkan masukan. Dari pandangan seorang pengajar bahasa, adanya umpan balik merupakan alat utama yang bisa memberitahukan kepada pembelajar mengenai ketepatan dalam menggunakan bahasa. Penggunaan umpan balik dalam rangka koreksi kesalahan berbahasa merupakan sumber pengembangan berbahasa yang sangat potensial. Bahkan oleh Allwright (1975: 98) dikatakan bahwa feedback mempunyai 3 fungsi, yakni sebagai pemberi reinforcement ‘penguatan”, information ‘informasi’, dan motivation ‘motivasi’. Feedback dapat memberikan pertimbangan pada pembelajar untuk mengulangi pemakaian pola-pola bahasa yang benar. Informasi yang ada pada feedback dapat digunakan oleh pembelajar untuk membenarkan atau tidak membenarkan dugaan-dugaan yang telah muncul dalam pikirannya terhadap suatu bentuk pemakaian bahasa. Adapun sebagai pemberi motivasi, feedback dapat mempengaruhi pembelajar untuk mencoba memperbaiki kesalahan bahasa yang terjadi. Ini disebabkan tidak adanya feedback akan timbul kecemasan akan gagal.. Dalam kegiatan koreksi kesalahan bahasa semua yang dilakukan guru dapat berfungsi sebagai feedback, seperti pengajar melakukan pengulangan pada ujaran yang salah (repetition), melakukan kon irmasi, melakukan klari ikasi, melakukan interupsi, memberikan contoh, memberi tanda cek atau tanda lainnya (clues), atau menerangkan (Walz, 1982:4). Pemilihan bentuk feedack harus disesuaikan dengan tingkat penguasaan kaidah oleh pembelajar, kemajuan belajar yang telah dicapai, dan tujuan pembelajaran. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, Day (dalam Chaudron, 2004:2) membedakan teknik pemberian feedback dalam kegiatan koreksi kesalahan menjadi 3, yaitu kegiatan koreksi tanpa feedback, dengan feedback secara langsung, dan dengan feedback secara tak langsung. Teknik koreksi tanpa feedback dapat diterapkan pada kelas advance (mahir) atau untuk mengukur tingkat penguasaan berbahasa seorang pelajar, tetapi disarankan tidak digunakan untuk yang masih pada tahap belajar (Sumarwati, 2010). Pembelajar akan mengalami kebingungan kalau tidak diberi feedback ketika ia tidak bisa mempertimbangkan mana yang salah (Hendrickson, 1981). Koreksi dengan feedback langsung yaitu memberikan tanda-tanda bantuan (clues) yang ditempatkan pada sumber kesalahan sehingga pembelajar bisa langsung membetulkannya. Kegiatan koreksi dengan feedback tak langsung yaitu memberi tanda-tanda bantu tertentu baik secara lisan maupun tertulis yang dapat digunakan pembelajar untuk mengarahkannya dalam menemukan sumber-sumber kesalahan. Penutup Berdasarkan deskripsi pada hasil yang dicapai penelitian tindakan kelas ini, dapat disimpulkan sebagai berikut ini. Pertama, teknik peer-correction pada tahap pengeditan bahasa dapat meningkatkan keaktifan dan kesungguhan dalam mengoreksi kesalahan bahasa siswa dalam melakukan aktivitas menulis. Ini ditunjukkan dari meningkatnya persentase jumlah siswa yang memenuhi kriteria pada indikator tersebut. Selain itu, penerapan teknik peer-correction juga dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menemukan letak kesalahan bahasa pada karangan temannya serta kemampuan membetulkannya. Kedua, teknik peer-correction juga dapat meningkatkan kualitas hasil pembelajaran menulis karena organisasi isi, relevansi judul dan isi, penggunaan ejaan, pemilihan kata, dan penyusunan kalimat pada tulisan siswa lebih baik.
532
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Daftar Pustaka Ayken, Serra. (2010). Encouraging Self and Peer-correction, Dalam English Teaching Forum. 38 (5), 25-32. Brown, H. Douglas. (1994). Principles of Languge Learning and Teaching. Englewood Cliffs: Prentice-Hall Choudron, C. (2004). The Effects of Feedback on Students’ Composition Revisions: RELC Journal. 15:1-14. ______________. (2008). Second Language Classrooms: Research on Teaching and Learning. New York: Cambridge University Press Falchikov, N. (2006). Product Comparisons and Process Bene its of Collabo-rative Self and Peer Group Assessments. Assessment and Evalu-ation in Higher Education, 11(2), 146-166. _______. (2004). Learning from peer feedback marking: student and teacher perspectives. In Group and Interactive Learning (Eds Foote, H.C., Howe, C.J., Anderson, Hendrickson, J. (1981). Error Analysis and Error Correction in Language Teaching. Singapore: RELC, Occasional Papers, 10. Makino, Taka-Yoshi. (2013). “Learner Self-correction and Peer-correction in ESL. written composition”. ELT Journal. 47:337-341. Rollinson, P. (2005) Using Peer-correction in the ESL Writing Class, Dalam ELT Journal 2005 59(1):23-30. Sarigul, M. (2005). Effective Mistake Correction in Writings and an Aplication: The Maltepe University (Istambul) Project. Dalam http://www.beta-iatelf.hit.bg/pdfs/papers Diakses 13 April 2007. Sumarwati. (2010). Penerapan Pendekatan Proses 5 Fase untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Menulis Siswa Sekolah Dasar. Wacana Akademika, 3 (7), 623-638. Tompkins, G. E. (1990). Teaching Writing: Balancing Process and Product. New York: Macmillan Publishing Company. Tompkins, G. E. & Hoskisson, Kenneth. (1995). Language Arts: Content and Teaching Strategies. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Walz, J. C. (1982). Correction Techniques for the Foreign Language Classroom.Language in Education: Theory and Practice Series No. 50. Washington D.C.: Center for Applied Linguistics.
533