PANCASILA sebagai PARADIGMA PEMBANGUNAN PENDIDIKAN Disusun guna memenuhi tugas Pendidikan Pancasila Dosen Pengampu: Mohammad Idris .P, DRS, MM
STIMIK ”AMIKOM” YOGYAKARTA
Di susun oleh : Muhammad Arifin
11.12.5842
Kelompok I ”NUSA” Jurusan Sistem Informasi
STIMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan kepada dosen pembimbing Bapak Mohammad Idris .P, DRS, MM dan pengarang buku yang telah memberikan referensi dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis angat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga sengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin...
i
DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL Kata Pengantar i Daftar Isi ii BAB I 1.1 Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pendidikan 1 1.2 Rumusan Masalah 2
BAB II 2.1 Pendekatan Historis Sidang BPUPKI – 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945 5 Piagam Jakarta 22 Juni 1945 5 Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950) 5 Intruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968 6 2.2 Pendekatan Sosiologis 6 2.3 Pendekatan Yuridis 7 Pembahasan 9 BAB III Kesimpulan 10 Saran 10 Referensi 11
ii
BAB I 1. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pendidikan Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan / keahlian dalam kesatuan organis harmonis dinamis, di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Mengembangkan kepribadian dan kemampuan / keahlian, menurut Notonegoro ( 1973 ) merupakan sifat dwi tunggal pendidikan nasional. Pendidikan sebagai bagian dari Ilmu Humaniora memperlihatkan proses yang terus-menerus mengarah pada kesempurnaan, yang semakin manusiawi. Pendidikan pada dasarnya ialah pemanusiaan , dan ini membuat hominisasi dan humanisasi. Hominisasi proses pemanusiaan secara umum, yakni memasukkan manusia dalam lingkup hidup manusiawi secara minimal. Humanisasi adalah proses yang lebih jauh, kelanjutan hominisasi. Dalam proses ini, manusia bisa meraih perkembangan yang lebih tinggi, seperti nampak dalam kemajuan – kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan ( Driyakara, 2006 ). Salah satu agenda pending dalam mengatasi krisis dalam kehidupan bangsa kita adalah melalui pendidikan karakter, pendidikan nilai, pendidikan ahlak, pendidikan budi pekerti. Dalam penerapan pendidikan karakter, pendidikan nilai atau pendidikan moral, sebagai mana di kemukakan oleh D. Purpel & K. Ryan (Esd) dalam Colin J. Marsh ( 1996 ), hendaknya memperhitungkan baik kemampuan peserta didik untuk berfikir tentang persoalan – persoalan moral, maupun di mana seorang peserta didik benar – benar bertindak dalam situasi – situasi yang menyangkut benar dan salah. Pendidik (guru) adalah vital bagi kemajan dan juga keselamatan bangsa. Guru tidak hanya menyampaikan idea-idea, tetapi hendaknya menjadi sutu wakil dari suatu cara hidup yang kreatif, suatu simbol kedamaian dan ketenangan dalam suatu dunia yang di cemaskan dan di aniaya. Ia menjadi penjaga peradaban dan pelindung kemajuan ( Frederick Mayer, 1963 ). Keteladanan pendidik adalah suatu keniscayaan yang harus di wujudkan. Perilaku pendidik aka lebih di ikuti oleh para peserta didik dari pada yang di katakan guru. Pendidik (guru) yang memiliki ahlak, budi pekerti, karakter yang baik, akan sangat kondusif dalammewujudkan keberhasilan pendidikan moral, yang muaranya akan mendukung bagi peserta didik untuk memiliki karakter yang baik. Karakter yang baik mencakup secara organis harmonis dan dinamis komponen – komponen pengetahuan moral yang baik, perasaan moral yang baik, dan tindakan moral yang baik. Oleh karena itu, Lickona (1991) daam I Wayan Koyan (1997) menyatakan bahwa untuk mewujudkan karakter yang baik, memerlukan pendidikan moral yang komperhensif. Komponen – komponen karakter yang baik mencakup pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling) dan tindakan moral (moral action). Untuk pendidikan anak usia dini pendekatan ini perlu di sesuaikan dengan karakteristik anak, yang dalam pendidikannya lebih mengedepankan bentuk – bentuk bermain. Denagn bermain anak mengalami kegembiraan dalam mengekspresikan atau mengaktualisasikan dirinya.
1
Dan pemerintah bertanggung jawab atas rakyat sebagai wakil mereka untuk mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan kenegaraan. Dalam pancasila sila ke empat yang berbunyi ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang di mana di dalamnya mengandung makna: Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat. Seluruh kekayaan alam dan sebagainya dipergunakan bagi kebahagiaan bersama menurut potensi masing-masing. Melindungi yang lemah agar kelompok warga masyarakat dapat bekerja sesuai dengan bidangnya. Yang mana yang di maksud bukan lain merupakan hak yang sama yang di dapatkan warga negara indonesia yang berkaitan dengan pendidikan, baik dari kota, desa, maupun pelosok kaya maupun miskin. Mereka mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak agar mereka tidak kalah dengan daerah, wilayah, bahkan negara tetangga kita. Selanjutnya dalam makalah ini akan di bahas mengenai : 1. Moral knowing 2. Moral Feeling 3. Moral Action
2. Rumusan Masalah a. Moral Knowing - ”Moral awareness”, kesadaran moral atau hati nurani, yang terdiri dari dua aspek yaitu : pertama, tanggung jawab moral, ialah menggunakan kecerdasan untuk melihat jika situasi meminta penilaia atau pertimbangan moral, dan berfikir secara hati-hati tentang apa yang benar dari perilaku tersebut ; aspek kedua, ialah “is taking trouble to be informed”. - ”Knowing moral values”, atau pengetahuan tentang nilai-nilai moral. Nili-nilai tersebut antara lain : rasa hormat tentang kehidupan dan kebebasan, tanggung jawab, kejujuran, keterbukaan, toleransi, kesopanan, disiplin diri, integritas, kebaikian, perasaan kasihan dan keteguhan hati. Deangan mengetahui nilai-nilai, berarti mngerti bagaimana mengaplikasikan dalam berbagai situasi. - “Perspectives-taking”, atau perspektif yang mengikat hati, adalah kemampuan untuk memberi pandangan pada orang lain, melihat situasi seperti yang dia lihat, membayangkan bagaimana dia harus berfikir, berkreasi, dan merasakan. Ini merupakan syarat memberi pertimbangan moral. Kita tidak dapat memberi rasa hormat kepada orang lain dan berbuat sesuai kebutuhannya, jika tidak memahami mereka. Tujuan fundamental dari pendidikan moral adalah untuk membantu peserta didik memahami keadaan dunia dan bagaimana memandang orang lain, khususnya dalam keadaan yang berbeda dengan diri mereka sendiri. - ”Moral reasoning”, atau pertimbangan – pertimbangan moral, adalah pengertian tentang apa yang di maksud dengan bermoral, dan mengapa kita harus bermoral. Alasan-alasan atau pertimbanganpertimbangan moral untuk berperilaku tertentu dalam berbagai situasi. Untuk ini di perlukan berbagai simulasi yang relevan dengan karakteristik anak usia dini.
2
- ”Decision-making”, atau pengambilan keputusan, adalah kemampuan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah-masalah moral. Apabila saya ; apakah akibat yang tmbul dari keputusan yang di ambil, dan keputusan mana yang membawa akibat baik paling banyak. - ”Self-knowledge”, atau mengenal diri sendiri, adalah kemampuan mengenal atau memahami diri sendiri, dan hal ini paling sulit di capai, tetapi hal ini penting untuk pengembangan moral. Untuk menjadi bermoral, dituntut adanya kemampuan untuk dapat melihatkembali perilaku yang pernah di perbuat, dan menilainya.
b. Moral Feeling - “Conscience”, kata hati atau hati nurani, yang memiliki dua sisi, yaitu sisi kognitif ( pengetahuan tentang apa yang benar ), dan sisi emosi ( rasa wajib berperilaku menurut kebenaran itu). Banyak orang tahu tentang kebenaran tetapi sedikit yang merasa wajib berperilaku menurut kebenaran itu, - “Self-esteem”, atau harga diri. Mengukur harga diri kita sendiri berarti kita menilai diri sendiri. Jika kita menilai diri sendiri, berarti kita merasa hormat terhadap diri kita sendiri, dan dengan demikian kita aka mengurangi penyalahgunaan pikiran atau badan kita sendiri. Jika kita memiliki harga diri, kita akan mengurangi ketergantungan pada persetujuan orang lain. Tugas para pendidik adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan secara positif harga diri atas dasar nilai – nilai, seperti tanggung jawab, kejujuran, dan kebaikan atas dasar keyakinan kemampuan mereka untuk berbuat baik. - ”Empathy”, atau empati, adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, seolah – olah mengalami sendiri apa yang di alami orang lain, atau merasakan apa yang oarang lain rasakan. Ini bagian dari emosi, yaitu kemampuan memandang orang lain. Bagi pendidik moral, tugasnya adalah mengembangkan empari yang bersifat umum. - ”Loving the good” , atau cinta pada kebaikan, jika orang cinta akan kebaikan, maka mereka akan berbuat baik, dan mereka akan memiliki moralitas. - ”Self-control”, atau kontrol diri, adalah kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri, dan hal ini di perlukan juga untuk mengekang kesenangan diri sendiri. - ”Humility”, atau kerendahan hati (”lembah manah” ), adalah merupakan kebaikan moral yang kadang – kadang di lupakan atau di abaikan, padahal ini merupakan hal terpenting dari karakter yang baik. Kerendahan hati merupakan bagian dari aspek afektif dari pengetahuan terhadap diri sendiri. Ini merupakan keterbukaan dan ketertarikan terhadap kebenaran serta kemampuan bertindak untuk mengkoreksi kelemahan atau kekurangan.
3
c. Moral Action - ”Competence”, atau kompetrensi moral, adalah kemampuan untuk menggunakan pertimbangan-pertimbangan moaral dan perasaan dalam perilaku moral yang efektif. Sebagai contoh untuk mengatasi pertentangan atau konflik memerlukan ketrampilan praktis, seperti ketrampilan mendengarkan, ketrampilan berkomunikasi dengan jelas, dan memutuskan suatu bersama suatu pemecahan masalah yang dapat di terima secara timbale-balik. - ”Will” atau kemauan, adalah kemauan yang sering menuntut tindakan nyata dari kemauan, memobilisasi energ moral untuk bertindak tentang apa yang kita pikirkan, apa yang harus kita kerjakan. Kemauan berada pada keberanian moral inti. - ”Habit” atau kebiasaan. suatu kebiasaan untuk bertinda secara baik dan benar perlu senantiasa di kembangkan. Peserta didik perlu di berikan kesempatan yang cukup untuk mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan mempraktekanya bagaimana menjadi orang yang baik.
BAB II Pendekatan : A. Historis Pembahasan historis Pancasila dibatasi pada tinjauan terhadap perkembangan rumusan Pancasila sejak tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan keluarnya Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968. Pembatasan ini didasarkan pada dua pengandaian, yakni: 1) Telah tentang dasar negara Indonesia merdeka baru dimulai pada tanggal 29 Mei 1945, saat dilaksanakan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI); 2) Sesudah Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 tersebut, kerancuan pendapat tentang rumusan Pancasila dapat dianggap tidak ada lagi. Permasalahan Pancasila yang masih terasa mengganjal adalah tentang penghayatan dan pengamalannya saja. Hal ini tampaknya belum terselesaikan oleh berbagai peraturan operasional tentangnya. Dalam hal ini, pencabutan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 (Ekaprasetia Pancakarsa) tampaknya juga belum diikuti upaya penghayatan dan pengamalan Pancasila secara lebih „alamiah‟. Tentu kita menyadari juga bahwa upaya pelestarian dan pewarisan Pancasila tidak serta merta mengikuti Hukum Mendel. Tinjauan historis Pancasila dalam kurun waktu tersebut kiranya cukup untuk memperoleh gambaran yang memadai tentang proses dan dinamika Pancasila hingga menjadi Pancasila otentik. Hal itu perlu dilakukan mengingat bahwa dalam membahas Pancasila, kita terikat pada rumusan Pancasila yang otentik dan pola hubungan sila-silanya yang selalu merupakan satu kebulatan yang utuh.
4
a. Sidang BPUPKI – 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945 Dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin menyampaikan telaah pertama tentang dasar negara Indonesia merdeka sebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan; 2) Peri Kemanusiaan; 3) Peri Ketuhanan; 4) Peri Kerakyatan; 5) Kesejahteraan Rakyat. Ketika itu ia tidak memberikan nama terhadap lima (5) azas yang diusulkannya sebagai dasar negara. Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang yang sama, Ir. Soekarno juga mengusulkan lima (5) dasar negara sebagai berikut: 1) Kebangsaan Indonesia; 2) Internasionalisme; 3) Mufakat atau Demokrasi; 4) Kesejahteraan Sosial; 5) Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Dan dalam pidato yang disambut gegap gempita itu, ia mengatakan: “… saja namakan ini dengan petundjuk seorang teman kita – ahli bahasa, namanja ialah Pantja Sila …” (Anjar Any, 1982:26). b. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Rumusan lima dasar negara (Pancasila) tersebut kemudian dikembangkan oleh “Panitia 9” yang lazim disebut demikian karena beranggotakan sembilan orang tokoh nasional, yakni para wakil dari golongan Islam dan Nasionalisme. Mereka adalah: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Mr. Achmad Subardjo, K.H. Wachid Hasjim, Mr. Muhammad Yamin. Rumusan sistematis dasar negara oleh “Panitia 9” itu tercantum dalam suatu naskah Mukadimah yang kemudian dikenal sebagai “Piagam Jakarta”, yaitu: 1) Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemelukknya; 2) Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5) Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, “Piagam Jakarta” diterima sebagai rancangan Mukadimah hukum dasar (konstitusi) Negara Republik Indonesia. Rancangan tersebut – khususnya sistematika dasar negara (Pancasila) – pada tanggal 18 Agustus disempurnakan dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. c. Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950) Dalam kedua konstitusi yang pernah menggantikan UUD 1945 tersebut, Pancasila dirumuskan secara „lebih singkat‟ menjadi: 1) Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Perikemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan; 5) Keadilan sosial. Sementara itu di kalangan masyarakat pun terjadi kecenderungan menyingkat rumusan Pancasila dengan alasan praktis/ pragmatis atau untuk lebih mengingatnya dengan variasi sebagai berikut: 1) Ketuhanan; 2) Kemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan atau Kedaulatan Rakyat; 5) Keadilan sosial. Keanekaragaman rumusan dan atau sistematika Pancasila itu bahkan tetap berlangsung sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang secara implisit tentu mengandung pula pengertian bahwa rumusan Pancasila harus sesuai dengan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
5
d. Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968 Rumusan yang beraneka ragam itu selain membuktikan bahwa jiwa Pancasila tetap terkandung dalam setiap konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, juga memungkinkan terjadinya penafsiran individual yang membahayakan kelestariannya sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Menyadari bahaya tersebut, pada tanggal 13 April 1968, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968 yang menyeragamkan tata urutan Pancasila seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
B. Pendekatan Sosiologis Pancasila bukanlah dasar negara yang hanya bersifat statis, melainkan dinamis karena ia pun menjadi pandangan hidup, filsafat bangsa, ideologi nasional, kepribadian bangsa, sumber dari segala sumber tertib hukum, tujuan negara, perjanjian luhur bangsa Indonesia, yang menuntut pelaksanaan dan pengamanannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam praksis kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, peranan atau implementasi Pancasila secara multidimensional itu dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut: Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi dasar/ tumpuan dan tata cara penyelenggaraan negara dalam usaha mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia. Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila menghidupi dan dihidupi oleh bangsa Indonesia dalam seluruh rangkaian yang bulat dan utuh tentang segala pola pikir, karsa dan karyanya terhadap ada dan keberadaan sebagai manusia Indonesia, baik secara individual maupun sosial. Pancasila merupakan pegangan hidup yang memberikan arah sekaligus isi dan landasan yang kokoh untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia. Sebagai filsafat bangsa, Pancasila merupakan hasil proses berpikir yang menyeluruh dan mendalam mengenai hakikat diri bangsa Indonesia, sehingga merupakan pilihan yang tepat dan satu-satunya untuk bertingkah laku sebagai manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilainilai budaya bangsa yang terkandung dalam Pancasila telah menjadi etika normatif, berlaku umum, azasi dan fundamental, yang senantiasa ditumbuhkembangkan dalam proses mengada dan menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Sebagai ideologi nasional, Pancasila tidak hanya mengatur hubungan antarmanusia Indonesia, namun telah menjadi cita-cita politik dalam dan luar negeri serta pedoman pencapaian tujuan nasional yang diyakini oleh seluruh bangsa Indonesia. Sebagai kepribadian bangsa, Pancasila merupakan pilihan unik yang paling tepat bagi bangsa Indonesia, karena merupakan cermin sosio-budaya bangsa Indonesia sendiri sejak adanya di bumi Nusantara. Secara integral, Pancasila adalah meterai yang khas Indonesia.
Sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum, Pancasila menempati kedudukan tertinggi dalam tata perundang-undangan negara Republik Indonesia. Segala peraturan, undang-undang, hukum positif harus bersumber dan ditujukan demi terlaksananya (sekaligus pengamanan) Pancasila. Sebagai tujuan negara, Pancasila nyata perannya, karena pemenuhan nilai-nilai Pancasila itu melekat erat dengan perjuangan bangsa dan negara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga kini dan di masa depan. Pola pembangunan nasional semestinya menunjukkan tekad bangsa dan negara Indonesia untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Sebagai perjanjian luhur, karena Pancasila digali dari sosio-budaya bangsa Indonesia sendiri, disepakati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai milik yang harus diamankan dan dilestarikan. Pewarisan nilainilai Pancasila kepada generasi penerus adalah kewajiban moral seluruh bangsa Indonesia. Melalaikannya berarti mengingkari perjanjian luhur itu dan dengan demikian juga mengingkari hakikat dan harkat diri kita sebagai manusia.
C. Pendekatan Yuridis Meskipun nama “Pancasila” tidak secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945 sebagai dasar negara, tetapi pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 itu secara jelas disebutkan bahwa dasar negara Indonesia adalah keseluruhan nilai yang dikandung Pancasila. Dengan demikian tepatlah pernyataan Darji Darmodihardjo (1984) bahwa secara yuridiskonstitusional, “Pancasila adalah Dasar Negara yang dipergunakan sebagai dasar mengaturmenyelenggarakan pemerintahan negara. … Mengingat bahwa Pancasila adalah Dasar Negara, maka mengamalkan dan mengamankan Pancasila sebagai Dasar Negara mempunyai sifat imperatif/ memaksa, artinya setiap warga negara Indonesia harus tunduk-taat kepadanya. Siapa saja yang melanggar Pancasila sebagai Dasar Negara, ia harus ditindak menurut hukum, yakni hukum yang berlaku di Negara Indonesia.” Pernyataan tersebut sesuai dengan posisi Pancasila sebagai sumber tertinggi tertib hukum atau sumber dari segala sumber hukum. Dengan demikian, segala hukum di Indonesia harus bersumber pada Pancasila, sehingga dalam konteks sebagai negara yang berdasarkan hukum (Rechtsstaat), Negara dan Pemerintah Indonesia „tunduk‟ kepada Pancasila sebagai „kekuasaan‟ tertinggi. Dalam kedudukan tersebut, Pancasila juga menjadi pedoman untuk menafsirkan UUD 1945 dan atau penjabarannya melalui peraturan-peraturan operasional lain di bawahnya, termasuk kebijaksanaankebijaksanaan dan tindakan-tindakan pemerintah di bidang pembangunan, dengan peran serta aktif seluruh warga negara. Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa seluruh undang-undang, peraturan-peraturan operasional dan atau hukum lain yang mengikutinya bukan hanya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, sebagaimana dimaksudkan oleh Kirdi Dipoyudo (1979:107): “… tetapi sejauh mungkin juga selaras dengan Pancasila dan dijiwai olehnya …” sedemikian rupa sehingga seluruh hukum itu merupakan jaminan terhadap penjabaran, pelaksanaan, penerapan Pancasila.
7
Demikianlah tinjauan historis dan yuridis-konstitusional secara singkat yang memberikan pengertian bahwa Pancasila yang otentik (resmi/ sah) adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Pelaksanaan dan pengamanannya sebagai dasar negara bersifat imperatif/ memaksa, karena pelanggaran terhadapnya dapt dikenai tindakan berdasarkan hukum positif yang pada dasarnya merupakan jaminan penjabaran, pelaksanaan dan penerapan Pancasila. Pemilihan Pancasila sebagai dasar negara oleh the founding fathers Republik Indonesia patut disyukuri oleh segenap rakyat Indonesia karena ia bersumber pada nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri atau yang dengan terminologi von Savigny disebut sebagai jiwa bangsa (volkgeist). Namun hal itu tidak akan berarti apa-apa bila Pancasila tidak dilaksanakan dalam keseharian hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sedemkian rupa dengan meletakkan Pancasila secara proporsional sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya bangsa dan pandangan hidup bangsa. Pendidikan Pancasila memiliki landasan yuridis yang dapat di lihat rasionalnya di mulai dari tujuan negara Indonesia yang termuat di dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai konsekuensinya dari tujuan negara tersebut, maka negara berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan nasional untuk warga negaranya. Sistem Pendidikan Nasional Indonesia di atur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 : Bab I. Ketentuan Umum : -
Pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang berakar pada nilainilai agama, kebudayaan nasional indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Bab II. Dasar, Fungsi dan Tujuan -
Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi pendidik agar menjadi manusia yang beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Bab III. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan -
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan keadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dari uraian pasal-pasal tersebut dapat di simpulkan bahwa pendidikan bangsa indonesia bersumber pada Pancasila, maka tujuan pendidikan nasional juga mencerminkan terwujudnya nilai-nilai Pancasila dalam diri anak didik sebagai warga negara Indonesia.
8
Pembahasan Mengapa
perlu
ada
pengembangan
karakter
yang
baik
dalam
proses
pendidikan?
1. ” Self-disciplinne atau disiplin diri perlu di tanamkan pada para mahasiswa/siswa, dosen/guru, pelatih, pembimbing, dan semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran. 2. ”Compassion” atau rasa terharu. Rasa terharu yang di sertai rasa kasih sayang dapat di tenamkan melalui ceritera-ceritera atau peribahasa yang bermanfaat seoptimal mungkin. 3. ”Responsibility” atau tanggung jawab. Orang yang tidak bertanggung jawab adalah suatu cirri bahwa orang tersebut belum matang, sebaliknya ada rasa tanggung jawab, kita sesngguhnya membantu mereka untuk menjadi matang. Anak perlu di latih mengerjakan tugas-tugas ruimah, tugas-tugas sekolah dan belajar bekerja secara suka rela di mana perlu. 4. ”Friendship” atau persahabatan. Ceritera-ceritera yang di sampaikan pada mahasiswa/siswa mengenai persahabatan yang baik merupakan paradigma moral bagi semua hubungan antar manusia. Kita Harus mengajarkan kepada siswa bagaimana memilih teman (sahabat) yang baik. Tuntutan suatu persahabatan adalah kejujuran, keterbukaan, setia, pengorbanan diri, yang ini semua adalah sangat potensial untuk mendorong terwujudnya kematangan moral dan kejujuran yang mantap. 5. ”Work” atau bekerja. Lngkah pertama dalam mengerjakan sesuatu adalah belajar, bagaimana cara mengerjakan sesuatu. Dalam hal ini perlu di tanmkan bahwa semua pekerjaan adalah baik dan mulia, cara menikmati mengerjakan seuatu, cara bekerja sama, memberi dorongan dan apresiasi terhadap usaha-usaha mereka, bekerja denagn penuh riang gembira, disertai dengan pembeian contoh yang teliti dan cermat. 6. ”Courage” atau keberanian dan keteguhan hati. Hati ini perlu di tanamkan dalam menghadapi perasaan takut, sifat ragu-agu, gugup, bimbang, dan sifat-sifat lain yang sering mengganggu. Anak perlu di dorong dan di bangkitkan motivasiny untuk berlatih dengan menggunakan kecerdasan. 7. ”Persevarance” atau ketekunan. Bagaimana caranya mendorong para mahasiswa/siswa supaya tekun dan tetap melaksanakan usaha-usaha untuk meningkatkan keberanian dan ketekunannya. Mereka perlu di bimbing dan di arahkan serta di beri contoh-contoh yang positif, denagan mengedepankan prinsip “Tut Wuri Handayani”. 8. ”Honesty” atau kejujuran. Peserta didik perlu di didik menjadi pribadi yang jujur, berbuat secara nyata, secara murni, dan dapat di percaya. Kejujuran di wujudkan tau di ekspresikan dalam bentuk rasa hormat kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Hal ini perlu di latih dan di pelajari, yang hakikatnya sepanjang hidup, supaya menjadi orang yang memiliki integritas dan kemauan yang mulia. Kejujuran adalah hal yang sangat penting bagi pemeliharaan hubungan-hubungan kemanusiaan, bagi persahabatan sejati di dalam masyarakat. Hal ini harus di miliki dan di aplikasikan secara serius supaya menjadi seseorang yang baik dan bijansana. 9. “Loyality” atau loyalitas. Loyalitas atau kesetiaan yang berkaitan dengan hubungan kekeluargaan, persahabatan, afilisiasi keagamaan, kehidupan profesional dan lain-lain, yang kesemuanya itu dapat berubah dan di kembangkan ke arah yang baik dan mulia. 9
10. “Faith” atau keyakinan. Keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan dimensi yang sangat penting, yang merupakan sumber moral manusia. Keyakinan juga merupakan sumber disiplin dan kekuatan yang sangat berarti dalam kehidupan manusia, dapat membantu kesetabilan sosial dan perkembangan moral individu dan masyarakat. Oleh karena itu hal ini perlu di miliki oleh anak-anak sedini mungkin sesuai dengan tahap-tahap perkembangan mereka.
BAB III KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas banyak kesimpulan tentang Pancasila sebagai paradigma pembangunan pendidikan, di antaranya pancasila sebagai pembentuk kepribadian yang baik. Kesadaran/ moral yang tercermin dalam pancasila sangat lah universal dan dapat di terima semua golongan, karena Pancasila sangat lah menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Selain itu Pancasila merupakan cikal bakal pengembangan moral yang sangat baik karena Pancasila memiliki asas-asas keadilan yang sesuai dengan hati nurani bangsa Indonesia sebagai bangsa timur yang menjunjung tinggi adat istiadat yang sangat menjunjung tinggi gotong royong. Pendidikan yang selaras dengan Pancasila dapat menumbuhkan rasa cinta tanah air yang di perlukan negeri ini, akan terciptanya hati nurani yang bersih yang akan membangun negeri ini denga kejujuran sehingga dapat meminimalisir kasus yang terjadi di negeri ini. Dan dari hal tersebut maka semua masyarakat akan mendapatkan tunjangan kesejahteraan pendidikan demi memperbaiki stabilitas ekonomi orang tersebut dan negara. Pembentukan pribadi yang kontrol diri untuk mencapai kebersihan jasmani rohani yang bertumpu pada sila ke lima ”Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sehingga tercipta keadilan merata untuk seluruh rakyat Indonesia dalam dunia Pendidikan. SARAN Sebagai warga indonesia yang baik, orang tua adalah jembatan utama untuk memberikan pendidikan pancasila yang benar ke pada anak-anak mereka, sehingga sejak kecil sudah tertanam kebaikan pancasila untuk memajukan bangsa Indonesia. Sehingga sebuah kebiasaan dari kecil untuk mengilhami Pancasila yang benar adalah sebuah keputusan yang baik untuk kemajuan pendidikan. Selain itu, perangkat desa juga harus bertanggung jawab atas warganya tentang masalah pendidikan, baik fisik maupun non-fisik. Karena sebaiknya perangkat desa mampu memberikan pengarahan dan pembekalan tentang Pendidikan dan Pancasila kepada warganya, sehingga kepala keluarga ataupun salah satu keluarga dapat menularkan sebuah kebaikan demi kemajuan Pendidikan di daerahnya masing-masing dan di Indonesia.
10
Referensi - Nana Sudjana dan Ibrahim, 1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru. - L. Andriani Purwastuti ...(et al:), ---Ed. 1, Cet. A,--- Yogyakarta : UNY Pres/2008
11