PANCASILA DALAM PERSPEKTIF AKSIOLOGI DAN TANTANGANNYA DI ERA REFORMASI DAN GLOBALISASI DI INDONESIA Oleh : Fadhilah ABSTRACT
The study literature review entitled: Five Principles of Axiology Perspectives and Challenges in the Era of Reform and Globalization in Indonesia. The method used in this study is an abstraction, which is the method to find the elements of an abstract (general / universal) contained in the precepts of Pancasila. Material object of this study is the Pancasila, and the formal object is the axiology. Pancasila as the foundation of civic life and community in axiological perspective comes from the essence of human nature that are mono plural (plural but unggal) which is a dual mono layout unity of nature, the nature of nature and the position of nature, containing the fundamental values that comes from the values moral, social, cultural and religious. These values are a holistic unity and become the foundation axiologis for nature and the existence of the precepts of Pancasila. The values contained in Pancasila sourced from the essence of human nature that are fixed, unchanged, in accordance with human nature. Intrinsic nature of human nature that is the reason, that the values of Pancasila personality is also essential. But in the Era of Reform and Globalization fact was challenged to change the view of the nature of value. The phenomenon of the shift of values in society as a result of the culture of consumerism in the global information age. Keywords: Pancasila, the essence of nature, man, monopluralis, axiology, reforms and globalization.
I.
PENDAHULUAN
Pancasila adalah dasar negara Indonesia dan merupakan pedoman bagi bangsa Indonesia dalam berperilaku sehari-hari, baik sebagai individu, maupun sebagai anggota masyarakat. Pancasila bukan hanya sebuah rumusan aturan/norma yang terbentuk secara instan tanpa memiliki sumber yang kuat, melainkan sebaliknya, bahwa Pancasila adalah rumusan dasar negara Indonesia yang bersumber pada nilai-nilai moral kepribadian bangsa Indonesia, baik nilai moral agama, sosial dan budaya yang telah mengakar dan melekat bersama eksistensi bangsa Indonesia. Dengan demikian pada dasarnya Pancasila adalah merupakan sistem nilai yang lahir dan terbentuk oleh unsur-unsur hakiki kepribadian bangsa Indonesia.
75
Bangsa Indonesia dalam perjalanan panjangnya memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah banyak menghadapi benturan berbagai nilai yang datang dari luar bangsa Indonesia sebagai dampak interaksi sosial, budaya, politik dan ekonomi, sehingga terkadang mengancam stabilitas nasional Indonesia. Berbagai upaya untuk mempertahankan nilai-nilai Pancasila agar tetap menjadi dasar moralitas bangsa telah dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pada masa Orde Baru upaya tersebut antara lain melalui proyek P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) perumusan dan pelaksanaan kurikulum nasional yang meletakkan pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran dasar dan mata kuliah wajib pada level program pendidikan tinggi di Indonesia. Demikian juga dalam setiap kegiatan pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia, nilai-nilai Pancasila dijadikan sebagai landasan dan tujuannya, baik dalam kegiatan resmi yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, maupun kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan yang bersifat sukarela dan insidental. Semua itu dilakukan oleh bangsa Indonesia demi tetap melekatnya nilainilai Pancasila dalam kepribadian bangsa Indonesia melalui internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam setiap aktivitas/kegiatan. Namun, keadaan tersebut di atas di Era Reformasi dan globalisasi sekarang ini, semangat membangun bangsa Indonesia nampak semakin banyak mengalami pergeseran nilai dengan adanya berbagai pengaruh budaya
luar melalui informasi global. Fenomena ini dapat kita
saksikan baik dalam wacana politik, maupun dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan yang mulai jauh dari semangat mempertahankan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar kebijakan pemerintah dalam merespon tuntutan dan
kebutuhan masyarakat, sehingga menimbulkan
berbagai gejolak masyarakat sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap pemerintahan Reformasi. Hal tersebut dengan mudah dapat dilihat melalui berbagai media massa, seperti: televisi, koran, internet dan lain-lain. Di era informasi yang semakin canggih dan transparan, memungkinkan masyarakat semakin cepat merespon terhadap segala perubahan situasi dan kondisi, baik sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Seperti diketahui, bahwa era globalisasi adalah era dimana informasi global begitu cepat dan mudahnya masuk dalam jaringan informasi dunia tanpa batas. Negara Indonesia hanyalah merupakan salah satu wilayah negara yang menerima dampak era globalisasi, baik pengaruh
76
positif maupun negatif. Dampak tersebut sekaligus mempengaruhi situasi dan kondisi
berbagai
bidang kehidupan bangsa Indonesia, baik sosial, ekonomi, politik ,budaya, dan lain-lain. Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam tulisan ini penulis mencoba memahami Pancasila melalui pendekatan aksiologi (filsafat nilai) dan relevansinya dengan era informasi dan globalisasi di Indonesia. Oleh karena itu judul tulisan ini adalah Pancasila dalam Perspektif Aksiologi di Era Informasi dan Globalisasi di Indonesia. Dengan demikian, pembahasan tema dalam tulisan ini lebih menekankan kajian tentang Pancasila sebagai sistem filsafat bangsa Indonesia dengan objek formal aksiologi dan objek material: sila-sila Pancasila Pentingnya pendekatan aksiologis terhadap Pancasila bagi cabang filsafat nilai (aksiologi ) antara lain menambah khazanah tentang hakekat nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila dan relevansinya antara sila yang satu dengan sila lainnya. Selain itu, kajian ini juga bertujuan memberikan informasi lebih banyak tentang pentingnya nilai-nilai yang terkandung dalam sila Pancasila bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, baik sebagai makhluk individu, maupun sebagai makhluk sosial, terutama di era Pemerintahan Reformasi dan era globalisasi yang penuh dengan benturan berbagai nilai kehidupan manusia. II.
PEMBAHASAN
1. Pancasila Sebagai Kesatuan Sistem Filsafat Bangsa Indonesia Hakekat Pancasila yang terdiri atas lima sila merupakan suatu sistem filsafat. Pengertian sistem adalah suatu kesatuan yang utuh antara bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk suatu tujuan tertentu. Sistem lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a)
Suatu kesatuan bagian-bagian
b) Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri c)
Saling berhubungan dan saling ketergantungan
d) Keseluruhannya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu (tujuan sistem). e)
Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore dan Voich,1974).
77
Kesatuan sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja, namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila. Kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidal, digunakan untuk menggambarkan hubungan hierakhis sila-sila Pancasila dalam urut-urutan luas (kuantitas) dan dalam pegertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila itu dalam arti formal logis. Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarkhi dalam hal kuantitas juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-sila Pancasila (lihat Notonegoro, 1984: 61 dan 1975: 52-57). Secara filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki dasar ontologis, dasar epistemologis, dan dasar aksiologis
sendiri yang berbeda dengan sistim filsafat yang lainnya misalnya
materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme dan paham lain filsafat di dunia. Dalam kaitannya Pancasila sebagai sistem filsafat yang memiliki dasar aksiologis inilah, maksud dari pembahasan tema tulisan ini. 2. Susunan Kesatuan Sila-Sila Pancasila yang Bersifat Organis Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan dasar filsafat Negara Indonesia terdiri dari atas lima sila yang masing-masing dan merupakan suatu asas peradaban bangsa Indonesia. Sila-sila tersebut merupakan unsur (bagian yang mutlak) dari Panacasila. Dengan kata lain, Panacasila merupakan suatu kesatuan majemuk tunggal. Sebagai konsekuensinya setiap sila tidak dapat berdiri sendiri-sendiri terlepas dari sila-sila lainnya serta di antara sila satu dan lainnya tidak saling bertentangan. Kesatuan sila-sila Pancasila yang bersifat organis tersebut pada hakikatnya secara filosofis bersumber pada hakikat dasar ontologis manusia sebagai pendukung inti dan isi dari sila-sila Pancasila yaitu hakikat manusia ‘monopluralis’ yang memiliki unsur-unsur, ‘susunan kodrat’ jasmani rohani, ‘sifat kodrat’ individu-makhluk sosial, dan ‘kedudukan kodrat’ sebagai pribadi berdiri sendiri dan sekaligus sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Unsur-unsur hakikat manusia tersebut merupakan suatu kesatuan yang bersifat organis dan harmonis. Setiap unsur memiliki fungsi yang saling berhubungan. Oleh karena silasila Pancasila merupkan penjelmaan hakikat manusia yang bersifat ‘monopluralis’ sebagai kesatuan organis, maka sila-sila Pancasila juga memiliki kesatuan yang bersifat organis pula.
78
Hakekat
kemanusiaan
yang
yang
bersifat
“monopluralis”
oleh
Notonagoro
digambarkan pada Gambar 1. :
* tumbuhan/vegetatif Unsur * animal Jasmani : * kimia/benda mati Mono dualis Susunan Kodrat
Monodualis Sifat Kodrat
Unsur * akal Rohani: * rasa * kehendak Makhluk Individu Makhluk Sosial
Monodualis Kedudukan Kodrat
Makhluk Berdiri Sendiri
Makhluk Tuhan (Sumber: Notonagoro, 1984, Pancasila Ilmiah Populer, hlm 94-105) Gambar 1. Hakekat Kemanusiaan Monopluralisme Berdasarkan hakikat yang terkandung dalam sila-sila Pancasia dan Pancasila sebagai dasar filsafat Negara, maka segala hal yang berkaitan dengan sifat dan hakikat Negara harus sesuai dengan landasan sila-sila Pancasila. Hal itu berarti hakikat dan inti sila-sila Pancasila adalah sebagai berikut: sila pertama Ketuhanan adalah sifat-sifat dan keadaan Negara harus sesuai dengan hakikat Tuhan, sila kedua kemanusiaan adalah sifat-sifat dan keadaan Negara yang harus sesuai dengan hakikat manusia, sila ketiga persatuan adalah sifat-sifat dan keadaan Negara harus sesuai dengan hakikat satu, sila keempat kerakyatan sifat-sifat dan keadaan Negara
79
yang harus sesuai dengan hakikat rakyat, sila kelima keadilan adalah sifat-sifat dan keadaan Negara yang harus sesuai dengan hakikat adil. (Notonegoro, 1975: 50). Kesesuaian yang dimaksud adalah kesesuaian antara hakikat nilai-nilai sila-sila Pancasila dengan Negara, dalam pengertisn kesesuaian sebab dan akibat. Makna kesesuaian tersebut adalah sebagai berikut, bahwa hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa (sebagai sebab) (hakikat sila I dan II) yang membentuk persatuan mendirikan Negara dan persatuan manusia dalam suatu wilayah disebut rakyat (hakikat sila III dan IV), yang ingin mewujudkan suatu tujuan bersama yaitu suatu keadilan dalam suatu persekutuan hidup masyarakat Negara (keadilan social) (hakikat sila V). Dengan demikian, maka secara konsisiten Negara haruslah sesuai dengan hakikat Pancasila. 3. Rumusan Hubungan Kesatuan Sila-sila Pancasila yang Saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi Kesatuan sila-sila Pancasila yang ‘Majemuk Tunggal’, hierarkhis piramidal’ juga memiliki sifat saling mengisi dan saling mengkualifikasi. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam setiap sila terkandung nilai keempat sila lainnya, atau dengan lain perkataan dalam setiap sila senantiasa dikualifikai oleh keempat sila lainnya. Adapun rumusan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifilikasi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Sila Ke Tuhanan Yang Maha Esa adalah berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan berkeadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. 2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan beradab, adalah ber-Ketuhanan yang Maha Esa, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 3. Sila Persatuan Indonesia, adalah ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikamat kebijakasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, adalah ber-Ketuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 5. Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah ber-Ketuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan
80
yang dipimpin oleh hikmat kebijakasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Notonegoro, 1975:43,44). 4. Pancasila Sebagai Landasan Filosofis Bagi Kepribadian Bangsa Indonesia Pancasila sebagai landasan filosofis bagi kepribadian bangsa berhubungan dengan dasar antropologis, sebagaimana pandangan Notonagoro, yaitu bahwa Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat tidak hanya kesatuan yang meyangkut sila-sila saja melainkan juga meliputi hakikat dasar dari sila-sila Pancasila atau secara filosofis meliputi dasar ontologis silasila Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasa ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelasakan sebagai berikut: bahwa yang berKetuhanan yang Maha esa yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebikasanaan dalam permusyawaratan /perwakilan serta yang berkeadilan social pada hakikatnya adalah manusia (Notonegoro, 1975:23). Demikian juga jikalau kita pahami dari segi filsafat Negara bahwa Pancasila adalah dasar filsafat Negara, adapun pendukung pokok Negara adalah rakyat dan unsur rakyat adalah manusia itu sendiri, sehingga tepatlah jikalau dalam filsafat Pancasila bahwa hakikat dasar antopologis sila-sila Pancasila adalah manusia. Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa jasmani dan rokhani, sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosia, serta kedududukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi milik sendiri dan sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan inilah maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa mendasari dan menjiwai kempat sila-sila Panacasila yang lainnya (Notonegoro, 1975 : 53). Sesuai dengan skema tentang konsep hakekat manusia Indonesia yang bersifat monopluralis tersebut, maka sila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, di
dalamnya
terkandung makna adanya kesesuaian dengan hakekat manusia yang memiliki tabiat saleh, yaitu
81
sifat-sifat keutamaan pribadi manusia yang relatif permanen melekat dalam pribadi manusia. Sifat-sifat tersebut meliputi: a)
Watak penghati-hati/kebijaksanaan : berbuat sesuai dengan pertimbangan akal, rasa dan kehendak. b) Watak keadilan: memberikan apa yang menjadi hak dirinya dan hak orang lain. c) Watak kesederhanaan: tidak melampaui batas dalam hal kemewahan, kenikmatan dan rasa enak. d) Watak keteguhan: tidak melampaui batas dalam hal menghindari diri dari: duka dan hal yang enak. Sebagai penyeimbang watak kesederhanaan Dari sifat dan tabiat saleh tersebut terkandung nilai-nilai moral yang berhubungan hakekat adil dan beradab. III.
LANDASAN AXIOLOGIS SILA PANCASILA
Landasan axiologis merupakan landasan filosofis yang berdasarkan pandangan tentang hakekat nilai.
Berbagai filosof membahas tentang hakekat nilai berdasarkan pandangan
ontologisnya masing-masing tentang realitas. 1. Hakekat Nilai Salah satu sumber yang dapat dipakai untuk memahami hakekat nilai, antara lain apa yang dikemukakan oleh Scheler, bahwa nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung pada benda; benda adalah sesuatu yang bernilai. Ketidaktergantungan ini mencakup setiap bentuk empiris, nilai adalah kualitas apriori. Ketidaktergantungan tidak hanya mengacu pada objek yang ada di dunia (benda-benda), maupun tindakan manusia dll, melainkan juga reaksi kita terhadap benda dan nilai. Nilai sebagai kualitas yang independen tidak berbeda dengan benda. Ketidaktergantungan nilai pada benda, menyebabkan nilai tidak berubah, bersifat absolut (mutlak), tidak dikondisikan oleh perbuatan, tanpa memperhatikan hakekatnya, nilai bersifat historis, sosial, biologis atau murni individual (Riseri Frondizi, 2007: 114 - 115). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hakekat Nilai adalah: kualitas yang tidak real, membutuhkan pengemban tempat berada, tidak independen (Husserl), tidak memiliki substansi, bergantung pada objek yang bernilai/dinilai dan tidak memberi/menambah eksistensi objek. Niliai bukanlah objek itu sendiri, melainkan kualitas objek tersebut. 82
2. Kategori Nilai Kategori Nilai dibedakan menjadi 3, yaitu subjektif, objektif dan intersubjektif. Subjektif mengandung pengertian: relatif, tergantung pada subjek yang menilai. Objektif, artinya bahwa nilai terletak pada objek yang dinilai. Sedangkan intersubjektif berarti bahwa masing-masing subjek memberikan penilaian yang sama terhadap suatu objek. 3. Hakekat Pancasila Sesuai dengan Hakekat Kodrat Manusia Hakekat Kodrat manusia yang bersifat mono pluralis: jamak tetapi unggal, merupakan kesatuan dari mono dualis susunan kodrat, sifat kodrat dan kedudukan kodrat, mengandung nilainilai fundamental yang bersumber dari nilai-nilai moral, sosial, budaya dan agama . Nilai-nilai tersebut merupakan kesatuan yang holistik dan menjadi landasan axiologis bagi Sila Kedua Pancasila (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab). Dengan kata lain, jika dihubungkan dengan sila-sila lain dari Pancasila yang merupakan satu kesatuan, maka dapat disimpulkan bahwa hakekat nilai sila kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang adil dan beradab yang: ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila bersumber dari hakekat kodrat manusia yang bersifat tetap, tidak berubah, sesuai dengan sifat hakiki manusia. Sifat hakiki dari kodrat manusia itulah yang menjadi alasan, bahwa nilai kepribadian Pancasila juga bersifat hakiki. Hakekat Sila Kedua Pancasila: Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab berisi tentang hakekat nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, yaitu meliputi:hakekat adil, hakekat beradab, dan hakekat kodrat manusia. Jika dihubungkan dengan hakekat nilai yang bersifat objektif dari nilai-nilai Pancasila , maka hakekat nilai adil dan beradab merupakan hakekat nilai moral kepribadian Pancasila yang bersifat tetap pula. Hal ini secara eksistensial menjadi keharusan untuk melekat dalam kepribadian bangsa Indonesia. Keharusan ini menjadi tanggungjawab segenap masyarakat Indonesia sebagai subjek pengemban nilai untuk selalu
83
menginternalisasikannya dalam setiap aktifitas kehidupan sehari-hari, baik sebagai individu, maupun sebagai anggota masyarakat Indonesia. 4. Hakekat Pancasila Sebagai Nilai Kepribadian Bangsa Indonesia dan Tantangannya di Era Reformasi dan Globalisasi Secara konseptual, hakekat nilai Pancasila sebagai nilai kepribadian bangsa Indonesia berdasar argumentasi rasional memiliki sifat /nilai kebenaran universal. Begitu juga secara ontologis, nilai-nilai yang terkandung dalam sila tersebut bersifat tetap, tidak berubah. Namun persoalannya apakah hal tersebut masih dapat dipertanggungjawabkan secara rasional melihat kenyataan adanya fenomena pergeseran nilai-nilai sosial budaya di Era Reformasi dan Globalisasi. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia untuk tetap mempertahankan ideologi Pancasila sebagai nilai kepribadian bangsa Indonesia. Konsep tentang hakekat manusia yang telah dijelaskan oleh Notonagoro di atas dalam fenomena kehidupan masyarakat di Era Reformasi dan Globalisasi menjadi sebuah renungan filosofis di abad kontemporer. Pandangan tentang relativitas nilai menjadi salah satu alasan untuk mempertanyakan kembali tentang universalitas dan objektivitas dari hakekat nilai. Demikian juga dengan nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila. Apakah pergeseran nilai sosial budaya juga ikut mempengaruhi hakekat nilai-nilai Pancasila. Hakekat sila-sila Pancasila, antara lain di
dalamnya terkandung makna adanya
kesesuaian dengan hakekat manusia yang memiliki tabiat saleh, yaitu sifat-sifat keutamaan pribadi manusia yang relatif permanen melekat dalam pribadi manusia sebagaimana diterangkan oleh Notonagoro , tersebut di atas. Sifat-sifat tersebut meliputi: 1. Watak penghati-hati/kebijaksanaan: berbuat sesuai dengan pertimbangan
akal, rasa dan
kehendak. 2. Watak keadilan: memberikan apa yang menjadi hak dirinya dan hak orang lain. 3. Watak kesederhanaan : tidak melampaui batas dalam hal kemewahan, kenikmatan dan rasa enak. 4. Watak keteguhan: tidak melampaui batas dalam hal menghindari diri dari: duka dan hal yang enak. Sebagai penyeimbang watak kesederhanaan (Notonagoro, 1984: 98-99)
84
Sifat-sifat dan tabiat saleh tersebut yang secara ontologis terkandung nilai-nilai moral yang berhubungan hakekat adil dan beradab sebagai nilai moral kepribadian bangsa Indonesia, apakah di Era Reformasi dan globalisasi masih tetap dianggap sebagai kebenaran objektif dan universal. Hal ini mengingat bahwa di Era Reformasi dan globalisasi ukuran/standar nilai sosial budaya masyarakat global ikut mempengaruhi eksistensi kepribadian bangsa pada umumnya dan khususnya bagi bangsa Indonesia. Kenyataan tersebut dapat kita rasakan selama ini baik dalam praktek pemerintahan, maupun fenomena kehidupan masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Budaya konsumerisme yang jauh dari nilai kesederhanaan merupakan bukti nyata adanya pergeseran nilai dalam pandangan posmodernisme dan masyarakat kontemporer di Era Reformasi dan globalisasi di Indonesia. Begitu juga kecenderungan sikap permisif, hedonis dan pragmatis yang jauh dari sifat “keteguhan” (salah satu dari tabiat saleh, terbentuk secara melembaga dalam masyarakat budaya kontemporer di era informasi global, sebagai dampak negatif atas kecanggihan teknologi modern. Hal tersebut adalah bukti nyata munculnya perubahan pandangan tentang hakekat nilai, termasuk nilai-nilai moral budaya dan kemanusiaan. Prinsip dan nilai-nilai kesederhanaan telah digantikan dengan semboyan “modern” (up to date) yang cenderung konsumtif (boros), gaul, modis, demi prestis/gengsi, dan-lain-lain. Sebaliknya, sikap sederhana dianggap kuno, tidak modis, kurang gaul, dan sebagainya. IV.
KESIMPULAN
Demikianlah refleksi filosofis tentang hakekat sila Pancasila sebagai nilai kepribadian bangsa indonesia dan tantangannya di Era Reformasi dan Globalisasi di Indonesia dalam perspektif aksiologis. Analisis dan pembahasan tentang hakekat sila Pancasila berdasarkan perspektif aksiologis merupakan upaya kritis dalam menghadapi dampak era informasi dan globalisasi di Indonesia akhir-akhir ini terhadap pandangan moral budaya masyarakat. Cepatnya perkembangan arus informasi di era globalisasi di era pemerintahan Reformasi di Indonesia telah membawa pengaruh luas terhadap aktualisasi nilai-nilai moral kepribadian Pancasila bagi bangsa Indonesia. Semua konsep /pandangan Notonagoro tentang hakekat kodrat manusia dan hakekat Pancasila menjadi acuan dalam merenungkan kembali tentang hakekat
85
nilai-nilai tersebut bagi kepribadian bangsa Indonesia dalam eksistensinya memasuki era baru pemerintahan Reformasi dan era globalisasi. Pandangan relativisme terhadap nilai dapat menjadi acuan alternative terhadap kelemahan pandangan Max Scheler tentang hakekat nilai di era kontemporer. DAFTAR
PUSTAKA
1. Frondizi, Risieri, 2007, Pengantar Filsafat Nilai, cetakan kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2. Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila, cetakan KedelapanPenerbit Paradigma, Yogyakarta. 3. Magnis – Soeseno, Franz. 1989. Etika Sosial, buku panduan Mahasiswa, PT. Gramedia , Jakarta. 4. Notonagoro. 1984 . Pancasila Secara Ilmiah Populer ,cetakan keenam.Bina Aksara, Jakarta. 5. Rawls, John. 1997. Theori of Justice, Harvard University Press, Cambridge , Massachusetts. 6. Saefudin, AM. 1998.Percikan Pemikiran Seputar Reformasi Politik dan Ekonomi,Penerbit Misaka Galiza, Jakarta. 7. Sunoto. 1985. Mengenal Filsafat Pancasila, cetakan kelima, PT.Hanindita, Yogyakarta. 8. Sunoto.1985. Mengenal Filsafat Pancasila Melalui Pendekatan Etika
Pancasila,cetakan
ketiga, PT. Hanindita, Yogyakarta. 9. Sunoto. 1987. Mengenal Filsafat Pancasila Seri 4: Filsafat Sosial Politik Pancasila, cetakan pertama, edisi revisi Andi Offset, Yogyakarta.
86