MODUL PERKULIAHAN
PANCASILA
PANCASILA DALAM KONTEKS PERJUANGAN BANGSA
Fakultas
Program Studi
MKCU
MARCOM
Tatap Muka
03
Kode MK
Disusun Oleh
MK90003
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Abstract
Kompetensi
Pancasila has a long history. the pancasila can also be seen in the context of the history of the struggle of the nation. to dig again pancasila, we must go into it.
Mahasiswa memiliki pendalaman yang memadai untuk melihat sejarah pancasila dalam konteks perjuangan bangsa. Setelah melihat pergulatan pemikiran pancasila dengan perumusannya, mahasiswa diharapkan bisa merekonstruksi pemikiran itu dalam hidup bernegara dewasa ini.
Materi Pengayaan BAB II PANCASILA DALAM KONTEKS PERJUANGAN BANGSA
2.1. Era BPUPKI & PPKI: Pertentangan Ideologi Nasionalis vs Islam Kekalahan tentara Belanda 1942 kepada tentara Jepang di Kalijati merupakan awal berkahirnya penjajahan Belanda di Indonesia. Kemenangan Jepang tersebut –semuladisambut gembira oleh rakyat Indonesia yang sejak awal tidak mempunyai harapan merdeka di bahwa penjajahan Belanda. Harapan mereka, Jepang sebagai sesama bangsa Asia akan memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia dalam waktu dekat1. Strategi Jepang untuk menjajah Indonesia memang cukup bagus, yaitu dengan membolehkan rakyat Indonesia mengibarkan bendera merah putih, menyanyikan lagi Indonesia Raya, dan untuk mengganti sementara waktu tenaga administratifnya yang ditenggelamkan Sekutu, pegawai pangreh praja Indonesia dinaikkan pangkatnya meskipun diturunkan gajinya. Tentara Jepang menyebut dirinya sebagai saudara tua bangsa Indonesia2. Dengan sangat strategis, tentara Jepang juga merekrut intelektual Indonesia dengan memberinya wadah Komisi Penyelidik Adat Istiadat dan Tata Negara tanggal 8 November 1942 yang bersama-sama 13 orang Jepang mendiskusikan idea-idea mereka tentang nilai-nilai budaya bangsa Indonesia baik untuk kepentingan Jepang maupun untuk kepentingan Indonesia merdeka yang mereka cita-citakan3. Bahkan setelah kegagalan Tiga A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Pemimpin Asia, maka didirikanlah Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang diketuai oleh empat serangkai, Sukarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan Mas Mansur, yang mendapat sambutan hangat dari rakyat. Setelah itu dibentuklah berbagai organisasi massa seperti Seinendan (Barisan Pemuda), Keibodan (Barisan Pembantu Polisi), Heiho yang terkenal dengan PETA yang diprakarsai Gatot Mangkupraja. Semuanya adalah strategi Jepang untuk ‘melunakkan’ hati rakyat Indonesia agar mau membantu Jepang melawan Sekutu. ‘Kekalahan’ Jepang secara beruntun dalam perang (PD II) melawan sekutu ‘memaksa’ pemimpin administrasi militer di Indonesia yaitu Hayashi menganjurkan kepada Pemerintah Jepang memberi janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, sebab berdasarkan pengamatannya
kesengsaraan
bangsa
Indonesia
di
1
bawah
pemerintah
Tentara
Suwarno, PJ., 1993, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 99 Sartono Kartodirdjo, 1977, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium sampai Imperium, Jilid I, Gramedia, Jakarta, hlm. 5-7 3 Suwarno, PJ. Ibid. hlm. 100 2
2016
2
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Pendudukan sudah tidak tertahankan lagi. Maka kalau Jepang secara eksplisit tidak memberikan janjir kemerdekaan itu kepada pemimpin-peminpin Indonesia tentu mereka akan berbalik melawan Jepang. Kalau itu terjadi, maka keadaan Jepang tentu tidak dapat diselamatkan lagi. Saran ini kemudian diterima oleh Pemerintah Jepang dibawah Perdana Menteri Koiso. Maka tanggal 7 September 1944, Koiso mengumumkan ke seluruh dunia di muka sidang ke-85 Parlemen Jepang bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan dalam waktu dekat4. Pemberian kemerdekaan dan bayangan kekalahan Jepang tersebut akhirnya ‘memaksa, mereka untuk mengumumkan pembentukan Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai yang disebut kemudian sebagai Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pada tanggal 1 Maret 1945. Pengangkatan 29 April 1945, Dr. KRT. Rajiman Wedyodiningrat diangkat ketua (kaityo), bukan Soekarno, yang pada waktu itu dianggap sebagai pemimpin nasional yang utama. Pengangkatan tersebut disetujui oleh Soekarno, alasannya, sebagai anggota biasa akan lebih mempunyai banyak kesempatan untuk aktif dalam diskusi-diskusi. Sidang pleno BPUPKI pertama diadakan dari tanggal 28 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945. Tanggal 28 Mei sidang dibuka dengan sambutan Saiko Syikikan, Gunseikan, yang menasehati BPUPKI agar mengadakan penelitian yang cermat terhadap dasar-dasar yang akan digunakan sebagai landasan negara Indonesia merdeka sebagai suatu mata rantai dalam lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya5. Dalam pidato pembukaannya, dr. Rajiman antara lain mengajukan pertanyaan kepada anggota sidang: “Apa dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk ini ?’. Pertanyaan ini menjadi persoalan yang paling dominan sepanjang 29 Mei- 1 Juni 1945. Bahkan dalam rentang waktu tersebut hadir sejumlah pembicara yang mengajukan sejumlah gagasan mengenai dasar filosofis atas negara Indonesia yang hendak dibentuknya. Mereka misalnya Soekarno, Moh. Yamin dan Supomo6 yang secara argumentatif mengemukan pendapatnya tentang dasar negara tersebut, yang pada akhirnya secara ekplisit tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan pidatonya yang memberikan jawaban yang berisikan uraian tentang lima sila. Pidato kemudian diterbitkan dengan nama ‘Lahirnya Pancasila’. Menurut Mohamad Hatta7, pidato Soekarno itu dikatakan sebagai yang bersifat kompromois, dapat meneduhkan pertentangan yang mulai tajam antara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang menghendaki dasar negara sekuler, bebas dari corak agama. 4
Harry Benda, Irikura, dkk., 1965, Japanese Military Administration in Indonesia Selected Documents, Southeast Asia Studis, Yale University. hlm.244-345 5 Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Pertama, Prapantja, Jakarta, hlm. 803 6 Untuk lebih jelasnya tentang materi pidato, lihat Muh. Yamin. Ibid. Dan juga penelitian PJ. Suwarno, 1993, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Kanisius: Yogyakarta, hlm. 44-56 7 Mohammad Hatta, 1977, Pengertian Pancasila, Idayu Press, Jakarta, hlm. 9 2016
3
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Awal munculnya Pancasila disadari adalah bagian yang tidak terelakkan dari sejumlah pergulatan dan perdebatan founding fathers tatkala berbicara mengenai dasar negara. Harus diakui terdapat berbagai kesulitan dalam mempertemukan posisi-posisi ideologis anggota BPUPKI. Yang mengedepan di antaranya adalah posisi-posisi dari mereka yang menjadikan Islam sebagai dasar negara, mereka yang mencoba menegakkan suatu demokrasi konstitusional yang sekuler, dan mereka yang menganjurkan negara yang disebut sebagai negara integralistik. Perdebatan yang paling serius, emosional dan cenderung konfrontasional antara para anggota adalah usul agar Islam dijadikan sebagai dasar negara. Perdebatan tersebut memang pada akhirnya dimenangkan oleh kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, terbukti dengan ditetapkannya Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang merupakan suatu modus atau persetujuan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan. Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata rumusan dalam Piagam Jakarta yang mencantumkan kalimat,’.........dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemelukpemeluknya’, setelah Proklamasi Kemerdekaan yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, tidak diterbitkan sebagaimana draf awal. UUD yang akhirnya diterbitkan tidak berisi konsesikonsesi kepada posisi Islam sebagaimana dipaparkan dalam Piagam Jakarta. Juga tidak ada keharusan bahwa Presiden harus Islam. Mohammad Hatta dianggap berperan dalam penghapusan ketujuh kata tersebut. Ia berhasil membujuk komisis penulis UUD untuk menghilangkan acuan kepada Islam dalam draf akhir Pembukaan UUD. Hatta khawatir bahwa Indonesia timur yang mayoritas Kristen tidak akan bergabung dengan Republik kesatuan bila negara baru ini dirasakan mendukung Islam an sich, walau secara tidak langsung sebagai dasarnya8. Pencoretan tujuh kata inilah yang menimbulkan kekecewaan umat Islam terhadap pemerintahan Sukarno dan Mohammad Hatta. Hal ini juga menjadi problem ideologis pada masa pemerintahan Suharto. Pergulatan awal ini menjadi problem pertentangan pilihan ideologi yang menjadi sumber ‘ancaman’ bagi republik Indonesia. Dalam perkembangan lebih lanjut, kondisi ini ternyata tidak bisa diakhiri secara elegan, bahkan semakin lama menyimpan sejumlah persoalan yang berakhir dengan ketegangan-ketegangan ideologi, dari sejak awal negara Indonesia dibentuk sampai sekarang ini. Benar bila Carol Gluck 9 mengatakan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang ‘terlalu banyak meributkan masalah ideologi dibanding negara-negara lain’. Bahkan akhir-akhir ini utamanya tahun 1999 sejak reformasi digulirkan, ide untuk memunculkan kembali Piagam Jakarta semakin
8
Adnan Buyung Nasution, 1992, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A SocioLegal Study of the Indonesian Konstituante, 1956-1959, Jakarta: Sinar Harapan, hlm. 59. 9 Dikutip Dougkas E. Ramage, 1995, Politics in Indonesia Democracy, Islam and the Ideologu of Tolerancy, London: Routledge, hlm. 334. 2016
4
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
mengedepan dalam konstelasi perpolitikan nasional. Kalangan Islam, utamanya partai politik yang berasaskan Islam, menjadi pilar utama bagi keinginan untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Dengan demikian melihat pada perkembangan perumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni sampai 18 Agustus 1945, maka dapat diketahui bahwa Pancasila mengalami perkembangan fungsi. Pada tanggal 1 dan 22 Juni, Pancasila yang dirumuskan oleh Paniyia Sembilan dan kemudian disepakati oleh sidang Pleno BPUPKI merupakan modus kompromi antara kelompok yang memperjuangkan dasar negara nasionalisme dan kelompok yang memperjuangkan dasar negara Islam. Akan tetapi pada tanggal 18 Agustus, Pancasila yang dirumuskan kembali oleh PPKI berkembang menjadi modus kompromi antara kaum nasionalis, Islam dan Kristen-Katolik dalam hidup bernegara. Di atas Pancasila yang merupakan modus kompromi itu UUD dirumuskan, dan selanjutnya UUD itu menjadi dasar untuk mendirikan Pemerintahan Republik Indonesia10.
2.2. Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia Pancasila yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 merupakan dasar filsafat negara Republik Indonesia, menurut M. Yamin bahwa berdirinya negara kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan yang ada, seperti kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit, sampai datangnya bangsa-bangsa lain ke Indonesia untuk menjajah dan menguasai beratus-ratus tahun lamanya. 2.2.1. Masa Pra-Kebangkitan. Kerajaan Kutai memberikan andil terhadap nilai-nilai Pancasila seperti nilai-nilai sosial politik dalam bentuk kerajaan dan nilai Ketuhanan dalam bentuk kenduri, sedekah pada brahmana. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang mengandalkan kekuatan laut, juga mengembangkan bidang pendidikan terbukti Sriwijaya memiliki semacam universitas agama Budha yang sangat terkenal di Asia. Masa kejayaan kerajaan Majapahit pada waktu rajanya Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada, hidup dan berkembang dua agama yaitu Hindu dan Budha. Majapahit melahirkan beberapa empu seperti empu Prapanca yang menulis buku Negara Kertagama (1365) yang didalamnya terdapat istilah “Pancasila”, sedangkan empu Tantular mengarang buku Sutasoma yang didalamnya tercantum seloka persatuan nasional “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya walaupun berbeda namun satu jua. Pada tahun 1331 Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpah Palapa yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya. Dengan berjalannya waktu, Majapahit runtuh pada permulaan abad XVI dengan masuk dan berkembangnya agama Islam. Setelah itu mulai
10
PJ. Suwarno, op.cit. hlm. 76-77
2016
5
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
berdatangan bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol untuk mencari rempah-rempah. Pada akhir abad XVI Belanda datang ke Indonesia dengan membawa bendera VOC (Verenigde Oast Indische Compagnie) atau perkumpulan dagang. 2.2.2. Kebangkitan Nasional Dengan kebangkitan dunia timur pada abad XX di panggung politik internasional tumbuh kesadaran akan kekuatan sendiri, seperti Philipina (1839) yang dipelopori Joze Rizal, kemenangan Jepang atas Rusia di Tsunia (1905), adapun Indonesia diawali dengan berdirinya Budi Utomo yang dipelopori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo pada 20 Mei 1908. Kemudian berdiri Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1909, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno, Cipto Mangunkusumo, Sartono dan tokoh lainnya. Sejak itu perjuangan nasional Indonesia mempunyai tujuan yang jelas yaitu Indonesia merdeka. Perjuangan nasional diteruskan dengan adanya gerakan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menyatakan satu bahasa, satu bangsa dan satu tanah air Indonesia.
2.2.3. Penjajahan Jepang Janji penjajah Belanda tentang Indonesia merdeka hanyalah suatu kebohongan belaka, sehingga tidak pernah menjadi kenyataan sampai akhir penjajahan Belanda tanggal 10 Maret 1940. Kemudian penjajah Jepang masuk ke Indonesia dengan propaganda “Jepang pemimpin Asia, Jepang saudara tua bangsa Indonesia”. Pada tanggal 29 April 1945 bersamaan dengan ulang tahun Kaisar Jepang, penjajah Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, janji ini diberikan karena Jepang terdesak oleh tentara Sekutu. Bangsa Indonesia diperbolehkan memperjuangkan kemerdekaannya, dan untuk mendapatkan simpati dan dukungan bangsa Indonesia maka Jepang menganjurkan untuk membentuk suatu badan yang bertugas untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyumbi Tioosakai. Pada hari itu juga diumumkan sebagai Ketua (Kaicoo) Dr. KRT. Rajiman Widyodiningrat, yang kemudian mengusulkan bahwa agenda pada sidang BPUPKI adalah membahas tentang dasar negara. 2.3. Rumusan dan Pergulatan Pancasila 2.3.1. Latar Belakang Jepang memberikan janji kemerdekaan di kelak kemudian hari. Janji ini diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso pada tanggal 7 September 1944. Oleh karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan
2016
6
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura). Dalam maklumat itu sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia. Keanggotaan badan ini dilantik pada tanggal 28 Mei 1945, dan mengadakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 – 1 Juni 1945. Dalam sidang pertama ini yang dibicarakan khusus mengenai calon dasar negara untuk Indonesia merdeka nanti. Pada sidang pertama itu, banyak anggota yang berbicara, dua di antaranya adalah Muhammad Yamin dan Bung Karno, yang masing-masing mengusulkan calon dasar negara untuk Indonesia merdeka. Muhammad Yamin mengajukan usul mengenai dasar negara secara lisan yang terdiri atas lima hal, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Peri Kebangsaan Peri Kemanusiaan Peri Ketuhanan Peri Kerakyatan Kesejahteraan Rakyat
Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga terdiri atas lima hal, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Ketuhanan Yang Maha Esa Persatuan Indonesia Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Usulan ini diajukan pada tanggal 29 Mei 1945, kemudian pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengajukan usul mengenai calon dasar negara yang terdiri atas lima hal, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia) Internasionalisme (Perikemanusiaan) Mufakat atau Demokrasi Kesejahteraan Sosial Ketuhanan yang Berkebudayaan
Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Lebih lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu: 1. Sosio nasionalisme 2. Sosio demokrasi 3. Ketuhanan
Berikutnya tiga hal ini menurutnya juga dapat diperas menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong.
2016
7
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Menurut Yudi Latief yang menulis buku Negara Paripurna, pidato-pidato dan rumusan tersebut barulah bersifat perorangan. Dengan demikian, rumusan Pancasila yang ada baru bersifat pribadi. Bukan dalam kapasitas sebagai otoritas yang memadai untuk dijadikan pedoman dasar sebuah negara yang sangat besar. Oleh karena itu, selesai sidang pertama, pada tanggal 1 Juni 1945 para anggota BPUPKI sepakat untuk membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya adalah menampung usul-usul yang masuk dan memeriksanya serta melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat tanggal 20 Juni 1945. Anggota panitia kecil ini terdiri atas delapan orang, yang dikenal dengan panitia delapan. Anggotanya adalah: 1. 2. 3. 4.
Ir. Soekarno Ki Bagus Hadikusumo K.H. Wachid Hasjim Mr. Muh. Yamin
5. 6. 7. 8.
M. Sutardjo Kartohadikusumo Mr. A.A. Maramis R. Otto Iskandar Dinata Drs. Muh. Hatta
Secara ideologis, tokoh-tokoh tersebut kurang berimbang. 3 orang adalah dari kelompok Islam sedangkan 5 yang lain dari kelompok kebangsaan atau nasionalis. Melihat adanya ketidakseimbangan ini, maka, Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia Kecil, dengan para anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta. Hasil yang dicapai antara lain disetujuinya dibentuknya sebuah Panitia Kecil Penyelidik Usul-Usul/Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas sembilan orang, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Ir. Soekarno Drs. Muh. Hatta Mr. A.A. Maramis K.H. Wachid Hasyim Abdul Kahar Muzakkir
6. 7. 8. 9.
Abikusno Tjokrosujoso H. Agus Salim Mr. Ahmad Subardjo Mr. Muh. Yamin
Panitia sembilan ini terdiri dari 4 tokoh Islam dan 4 tokoh kebangsaan, sedangkan Soekarno ada di tengah-tengahnya sebagai ketua. Mereka kemudian melanjutkan sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”. Dalam sidang BPUPKI kedua, tanggal 10-16 juli 1945, hasil yang dicapai adalah merumuskan rancangan Hukum Dasar. Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, dan sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia, yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan sidang, dengan acara utama (1) mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan preambulnya (Pembukaannya) dan (2) memilih Presiden dan Wakil Presiden.
2016
8
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Untuk pengesahan Preambul, terjadi proses yang cukup panjang. Sebelum mengesahkan Preambul, Bung Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang menemuinya. Intinya, rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea keempat preambul, di belakang kata “ketuhanan” yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Jika tidak maka rakyat Indonesia bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang baru saja diproklamasikan. Usul ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya kepada para anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Muh. Hatta berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena pendekatan yang terus-menerus dan demi persatuan dan kesatuan, mengingat Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan dicoretnya “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan “Yang Maha Esa”. Ada yang menarik untuk melihat kembali runtutan perumusan Pancasila. Sebagai rumusan dasar negara, Pancasila memang tidak sekali jadi seperti yang kita kenal sekarang. Dari beberapa sumber, setidaknya ada beberapa rumusan Pancasila yang telah atau pernah muncul. Rumusan Pancasila yang satu dengan rumusan yang lain ada yang berbeda namun ada pula yang sama. Selain rumusan versi Muh Yamin dan Soekarno sebagaimana sudah kita lihat di atas, ada beberapa versi lain perumusan Pancasila. Rohnya sama, hanya saja bentuknya berbeda dengan konsekwensi yang bisa ditafsirkan secara berbeda pula. Beberapa rumusan itu ada dalam Piagam Jakarta, Hasil BPUPKI, Hasil PPKI, Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959), Versi Berbeda, dan Versi populer yang berkembang di masyarakat. 2.3.2. Rumusan versi Piagam Jakarta11 Dalam menentukan hubungan negara dan agama anggota BPUPKI terbelah antara golongan Islam yang menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan golongan Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara sekuler di mana negara sama sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang agama. Persetujuan di antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”. Dokumen ini pula yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin. Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir paragraf keempat dari dokumen
11
Rumusan-rumusan ini saya ambil dari wikipedia.com tentang Pancasila.
2016
9
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
“Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan kemerdekaan/proklamasi/ declaration of independence). Rumusan ini merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para “Pendiri Bangsa”. Di dalamnya, tentang dasar negara dikatakan, “… dengan berdasar kepada: keTuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Alternatif pembacaan rumusan kalimat rancangan dasar negara pada Piagam Jakarta dimaksudkan untuk memperjelas persetujuan kedua golongan dalam BPUPKI sebagaimana terekam dalam dokumen itu dengan menjadikan anak kalimat terakhir dalam paragraf keempat tersebut menjadi sub-sub anak kalimat. “… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan [A] dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar, [A.1] kemanusiaan yang adil dan beradab, [A.2] persatuan Indonesia, dan [A.3] kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan[;] serta [B] dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Selain itu, ada rumusan dengan penomoran yang utuh dan berdiri sendiri. Rumusannya adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab Persatuan Indonesia Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 5. Serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan populer Versi populer rumusan rancangan Pancasila menurut Piagam Jakarta yang beredar di masyarakat adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya Kemanusiaan yang adil dan beradab Persatuan Indonesia Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan versi BPUPKI Pada sesi kedua persidangan BPUPKI yang berlangsung pada 10-17 Juli 1945, dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (baca Piagam Jakarta) dibahas kembali secara resmi dalam rapat pleno tanggal 10 dan 14 Juli 1945.
2016
10
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” tersebut dipecah dan diperluas menjadi dua buah dokumen berbeda yaitu Declaration of Independence (berasal dari paragraf 1-3 yang diperluas menjadi 12 paragraf) dan Pembukaan (berasal dari paragraf 4 tanpa perluasan sedikitpun). Rumusan yang diterima oleh rapat pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 hanya sedikit berbeda dengan rumusan Piagam Jakarta yaitu dengan menghilangkan kata “serta” dalam sub anak kalimat terakhir. Rumusan rancangan dasar negara hasil sidang BPUPKI, yang merupakan rumusan resmi pertama, jarang dikenal oleh masyarakat luas. “… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Seperti halnya perumusan pancasila dalam piagam Jakarta, BPUPKI juga menghasilkan rumusan dengan nomor-nomor yang utuh. Bunyinya adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab Persatuan Indonesia Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 5. Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan versi PPKI Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang mendadak dan diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa Indonesia (lebih awal dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat XVI Jepang) menimbulkan situasi darurat yang harus segera diselesaikan. Sore hari tanggal 17 Agustus 1945, wakil-wakil dari Indonesia daerah Kaigun (Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan), diantaranya A. A. Maramis, Mr., menemui Sukarno menyatakan keberatan dengan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dasar negara. Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Sukarno segera menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam. Semula, wakil golongan Islam, diantaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul penghapusan itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sebuah “emergency exit” yang hanya bersifat sementara dan demi keutuhan Indonesia.
2016
11
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat pleno terdapat usulan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dari Ki Bagus Hadikusumo. Rumusan dasar negara yang terdapat dalam paragraf keempat Pembukaan UndangUndang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua dan nantinya akan dipakai oleh bangsa Indonesia hingga kini. UUD inilah yang nantinya dikenal dengan UUD 1945. Rumusan kalimat “… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Rumusan dengan penomoran (utuh) : 1. 2. 3. 4.
ke-Tuhanan Yang Maha Esa Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 5. Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan versi Konstitusi RIS Pendudukan wilayah Indonesia oleh NICA menjadikan wilayah Republik Indonesia semakin kecil dan terdesak. Akhirnya pada akhir 1949 Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta (RI Yogyakarta) terpaksa menerima bentuk negara federal yang disodorkan pemerintah kolonial Belanda dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) dan hanya menjadi sebuah negara bagian saja. Walaupun UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 tetap berlaku bagi RI Yogyakarta, namun RIS sendiri mempunyai sebuah Konstitusi Federal (Konstitusi RIS) sebagai hasil permufakatan seluruh negara bagian dari RIS. Dalam Konstitusi RIS rumusan dasar negara terdapat dalam Mukaddimah (pembukaan) paragraf ketiga. Konstitusi RIS disetujui pada 14 Desember 1949 oleh enam belas negara bagian dan satuan kenegaraan yang tergabung dalam RIS. Rumusan kalimat “…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.”
Rumusan dengan penomoran (utuh): 1. ke-Tuhanan Yang Maha Esa, 2. perikemanusiaan, 3. kebangsaan,
2016
12
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
4. kerakyatan 5. dan keadilan sosial
Rumusan versi UUD Sementara Segera setelah RIS berdiri, bentuk negara ini mulai menempuh jalan kehancuran. Hanya dalam hitungan bulan negara bagian RIS membubarkan diri dan bergabung dengan negara bagian RI Yogyakarta. Pada Mei 1950 hanya ada tiga negara bagian yang tetap ada yaitu RI Yogyakarta, NIT, dan NST. Setelah melalui beberapa pertemuan yang intensif RI Yogyakarta dan RIS, sebagai kuasa dari NIT dan NST, menyetujui pembentukan negara kesatuan dan mengadakan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara. Perubahan tersebut dilakukan dengan menerbitkan UU RIS No 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (LN RIS Tahun 1950 No 56, TLN RIS No 37) yang disahkan tanggal 15 Agustus 1950. Rumusan dasar negara kesatuan ini terdapat dalam paragraf keempat dari Mukaddimah (pembukaan) UUD Sementara Tahun 1950. Rumusan kalimat “…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, …” Rumusan dengan penomoran (utuh) : 1. 2. 3. 4. 5.
ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial
Rumusan versi UUD 1945 Kegagalan Konstituante untuk menyusun sebuah UUD yang akan menggantikan UUD Sementara yang disahkan 15 Agustus 1950 menimbulkan bahaya bagi keutuhan negara. Untuk itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia saat itu, Sukarno, mengambil langkah mengeluarkan Dekrit Kepala Negara yang salah satu isinya menetapkan berlakunya kembali UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 menjadi UUD Negara Indonesia menggantikan UUD Sementara. Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 maka rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi yang digunakan. Rumusan ini pula yang diterima oleh MPR, yang pernah menjadi lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat antara tahun 1960-2004, dalam berbagai produk ketetapannya, diantaranya: 1. Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
2016
13
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, dan 2. Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangundangan.
Rumusan kalimat “… dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh) 1. 2. 3. 4.
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan 5. Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Versi Berbeda dari DPR-GR Selain mengutip secara utuh rumusan dalam UUD 1945, MPR pernah membuat rumusan yang agak sedikit berbeda. Rumusan ini terdapat dalam lampiran Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Rumusannya adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan Keadilan sosial.
Rumusan Versi Populer Rumusan terakhir yang akan dikemukakan adalah rumusan yang beredar dan diterima secara luas oleh masyarakat. Rumusan Pancasila versi populer inilah yang dikenal secara umum dan diajarkan secara luas di dunia pendidikan sebagai rumusan dasar negara. Rumusan ini pada dasarnya sama dengan rumusan dalam UUD 1945, hanya saja menghilangkan kata “dan” serta frasa “serta dengan mewujudkan suatu” pada sub anak kalimat terakhir. Rumusan ini pula yang terdapat dalam lampiran Tap MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
Rumusan 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2016
14
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
2. 3. 4. 5.
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penutup: Sebuah Resensi Buku Negara Paripurna Kondisi kritis biasanya ditandai dengan titik liminal. Itu seperti momen berayun antara pekatnya kegelapan dan cemerlangnya terang, antara kesesakan tak tertanggungkan dan kelegaan yang didambakan. Pada momen itu, kematian dan kelahiran kembali bagaikan saudari kembar yang memanggil-manggil dengan suara bersahutan. Itulah perasaan saya saat membaca buku ini. Ketika pada banyak tikungan peristiwa selama sekian tahun terakhir bau kematian menyesakkan negeri ini, buku Yudi Latif menuliskan kemungkinan kelahiran kembali (renaissance). Renaissans adalah penciptaan ulang dengan kembali ke asal mula: bagaimana menciptakan kembali Indonesia dengan pulang ke momen kelahiran. Itulah pesan yang dibawa buku setebal 694 halaman ini. Seperti ditulis dalam Pendahuluan: ”Di republik korup dan jahil, persahabatan madani sejati hancur”, ”anak-anak negeri berusaha mencari kunci jawaban atas persoalan negerinya dari luar rumah” (hal 48, 49, 50). Mengapa? ”Karena rumah kami gelap” (hal 50). Dalam kesesakan itu, yang dibutuhkan adalah renaissans: ”Mengikuti cara Soekarno, menggali kembali mutiara terpendam, mengargumentasikan, mengontekstualisasikan dalam kehidupan semasa, dan mengupayakan aktualisasinya dalam kehidupan masa kini dan masa depan” (hal 50). Itulah agenda kembali ke Pancasila. Meringkas buku tebal dalam ruang sesempit ini tentu usaha semena-mena. Namun, jika didesak, dengan terbata-bata saya akan berangkat dari pertanyaan sederhana. Mengapa cita-cita membentuk Indonesia sebagai bangsa tidak/belum juga tercapai (intended but unrealised)? Pertanyaan besar itu punya banyak kemungkinan jawaban. Yang pasti, setiap proyek manusiawi tidak pernah purna sebab hasrat manusia selalu berlipat ganda. Ideologis Buku ini rupanya menjawab begini: itu karena kita mengabaikan landasan ideologis yang melahirkan terbentuknya Indonesia, yaitu Pancasila. Mengapa Pancasila kunci? Dan mengapa pengabaian itu fatal? Sebab, Pancasila bukan hanya sedimentasi nilai-nilai kebaikan hidup bersama masa lalu kita, melainkan juga panduan bagaimana Indonesia melintasi segala cuaca ke depan. Karena membentuk negara-bangsa adalah jerih payah menciptakan sebuah ”kita”, para pendiri Indonesia mengerahkan seluruh keluhuran dan kebijaksanaan mereka dengan merumuskan ”kita” sebagai tata kehidupan bersama yang dibentuk dan disatukan oleh lima sila. Itulah mengapa ketika mencari-cari landasan pembentuk dan pengikat lain di luar lima sila (entah landasan agama, ekonomi, atau lainnya), Indonesia menjadi berantakan. Indonesia yang berantakan memang kondisi yang lebih dialami ketimbang dibuktikan. Namun, itu sudah cukup menggerakkan penulis mengerahkan daya untuk menuangkan buku ”bersifat sugestif” ini sebagai panduan solusi. Rute yang ditempuh berisi tiga lapis. Pertama, penulis masuk dengan menggali sejarah. Lapis kedua, yang ditemukan dalam penggalian itu lalu diangkat untuk dipertanggungjawabkan pada daya nalar. Lapis ketiga, akhirnya tiap sila dijadikan cermin untuk menakar kondisi berantakan dewasa ini. Itulah mengapa buku ini punya subjudul Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Becermin pada lima sila, dapat dikatakan hampir semua sisi kehidupan bersama dan bernegara dewasa ini ditandai nilai merah. Bukan hanya kerukunan beragama yang diremuk kaum fanatik, atau keadilan yang dibusukkan oleh uang, tetapi demokrasi juga merosot jadi pemerintahan calo, koruptor, dan massa beringas. Bayang-bayang Dalam bayang-bayang itu, saya membaca dengan takjub bagaimana para pendiri Indonesia berdebat merumuskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Perdebatan terjadi sengit, namun dipandu bukan oleh kepentingan-kepentingan sempit, tetapi oleh pencarian kebaikan bersama (common good). Sebagai bagian telaah historis, perdebatan sila-sila dalam perumusan Pancasila dan Konstitusi pada semua bab utama (Bab 2-6) merupakan bagian paling kuat dan indah dari buku ini. Setiap pembelajaran Pancasila perlu membaca cermat bagian ini. Pada bagian itu pula tersimpan rahasia Pancasila sebagai ideologi terbuka. Ia terbuka karena disimpulkan melalui bahasa nalar yang menempuh diskusi dan perdebatan publik. Baik 2016
15
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
peneguhan maupun kritik dilakukan secara publik melalui argumentasi yang bersifat publik pula. Dalam nalar publik, mayoritas tidaklah identik dengan yang terbaik (hal 429). Ketololan publik bahkan sering muncul dari suara mayoritas. Para pendiri Indonesia itu begitu menakjubkan lantaran mereka mengerti persis negara bangsa yang demokratis tidak mungkin didasarkan pada ”perintah Tuhan”. Sebab, pembenaran dengan memakai ”perintah Tuhan” hanyalah cara menutup kemungkinan perdebatan melalui penalaran dan argumentasi yang bersifat publik. Mungkin itulah mengapa saya melihat urutan Pancasila dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945 jauh lebih bertenaga daripada urutan resmi sekarang. Sila pertama adalah Kebangsaan Indonesia: ”Kita hendak mendirikan suatu negara…; dasar pertama yang baik dijadikan dasar buat Negara Indonesia ialah dasar kebangsaan” (hal 15). Dalam pidato itu, ”Ketuhanan yang Berkebudayaan” menempati urutan kelima. Bung Karno menyebut susunan itu bukan urutan logis, tapi hanya sekuensial. Namun, dengan banyaknya tafsiran serampangan dewasa ini— bahwa Ketuhanan adalah dasar negara Indonesia—susunan Pancasila dalam pidato 1 Juni 1945 itu menampilkan keunggulannya. Bukan karena sila Ketuhanan kurang penting, tapi karena proyek membentuk Indonesia adalah agenda yang mesti dapat dipertanggungjawabkan dalam kategori kausalitas manusiawi. Pokok ini sentral sebab kita manusia (warga negara) sendiri yang mesti bertanggung jawab atas berhasil-tidaknya membentuk Indonesia. Itulah mengapa perlu didasarkan pada ”tata bahasa bersama” khas manusia, yaitu nalar publik. Dengan kata lain, Tuhan tidak dapat diserahi tanggung jawab atas sukses-gagalnya membentuk Indonesia sebagai bangsa. Buku ini masih menyimpan banyak mutiara yang tak mungkin disebut satu per satu di sini. Salah satunya, Pancasila adalah nama Indonesia bagi Demokrasi-Sosial (Social Democracy). Dalam buku berbahasa Indonesia, ada baiknya kutipan-kutipan panjang berbahasa Inggris diterjemahkan (misal hal 458). Juga banyak literatur rujukan tidak tercantum di daftar pustaka (misal hal 261, 361, 503, 552, 558). Beberapa kesalahan tipografis, yang saya temukan sekurangnya pada 22 titik, tentu sulit dicegah dalam buku setebal ini. Selebihnya, buku ini layak menjadi bacaan wajib pelajar SMA, mahasiswa/i, pejabat pemerintah, pendukung maupun pengkritik Pancasila, dan segenap khalayak. Para peneliti Pancasila juga akan menemukan banyak ilham dan persoalan baru yang ditinggalkan buku ini. Bonus liber optimus magisterbuku bermutu adalah guru terbaik. Di pucuk waktu antara kondisi berantakan dan kelahiran kembali Indonesia, buku ini hadir sebagai olokan dan tantangan. Kerdilnya komitmen dan wawasan telah membuat kita bagai api yang padam di hadapan nyala keluhuran para pendiri Republik. Dan kehendak kita untuk kembali menyala mesti dimulai dengan pulang ke asal-mula. Pada mulanya adalah Pancasila. B Herry Priyono Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
2016
16
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka 1. Effendi, Tadjuddin N., Panca Sila Dalam Konstelasi Perubahan Masyarakat, makalah untuk Simposium Nasional “Restorasi Panca Sila Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas,” Fisip UI, 31 Mei 2006 2. Ongkokkham dan Achdian, Andi, Pancasila: Dari Kontrak Sosial Menjadi Ideologi Negara, makalah untuk Simposium Nasional “Restorasi Panca Sila Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas,” Fisip UI, 31 Mei 2006. 3. Sjafrudin Prawiranegara, “Pancasila as the Sole Foundation,” Indonesia, Vol. 38 (October, 1984 4. Dikutip dari Arinanto, Satya, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pada http://www.cetro.or.id/pustaka/puud45satya.html diakses pada 23 April 2008. 5. Roeslan Abdulgani, “Pantja-Sila Sebagai Landasan Demokrasi Terpimpin,” dalam Notosoetardjo, Kembali Kepada Djiwa Proklamasi 1945: Apakah Demokrasi Terpimpin Itu? (Djakarta: Harian “Pemuda,” 1959) 6. Andre Gunder Frank, “The Development of the Underdeveloped,” Pdf copy, dalam Monthly Review, Vol. 18, No. 4 (September 1966) 7. Syahrial Syarbaini, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004 8. P. J. Suwarno, Pancasila budaya bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1993 9. Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011 10. Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2002 11. Goenawan Mohamad, Menggali Pancasila Kembali, Naskah pidato pada peluncuran situs www.politikana.com di Gedung Teater Komunitas Salihara, Jakarta, Senin 27 April 2009 12. R. Soeprapto, Pancasila Menjawab Globalisasi, Yayasan Taman Pustaka,Tangerang, 2004 13. Panji Setijo, Pendidikan Pancasila, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010 14. St. Sularto dkk., Rindu Pancasila: Merajut Nusantara, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010
2016
17
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id