DAMPAK PENOLAKAN ITSBAT NIKAH TERHADAP HAK ANAK (STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA NOMOR : 0077/Pdt.P/2014/PA. SAL)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh Lilik Setyawan NIM : 21211003
JURUSAN AHWALAL- SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015
i
ii
iii
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
رواه البخا ر ى. خير كم مه تعلم القر ان و علمه
Sebaik-baiknya orang diantara kamu adalah orang yang mempelajari Al-qur’an dan mengajarkannya.
PERSEMBAHAN
Untuk orang tuaku, para dosenku, saudara saudaraku, sahabat-sahabatku seperjuangan.
v
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil’alamin, Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala nikmatNya, kesabaran, ketelitian dan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: ” Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Hak Anak (Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga Nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA. SAL)”, untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program S-1 Fakultas Syari’ah Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Penulisan skripsi ini tidak akan selesai apabila tanpa ada bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan meluangkan tenaga, fikiran dan waktunya guna memberikan bimbingan dan petunjuk yang berharga demi terselesaikannya pembuatan skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini penulis ingin mengahturkan terimakasih kepada: 1. Bapak Dr. Rahmat Heriyadi, M. Pd., Selaku Rektor IAIN Saltiga, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Ibu Dra. Siti Zumrotun selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.
vi
3. Bapak Syukron Makmun, M. Si., selaku Ketua Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah (AS) IAIN Salatiga yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyusun skripsi ini. 4. Bapak Drs.Machfudz, M. Ag. Selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 5. Bapak Drs. H. Umar Muchlis selaku Ketua Pengadilan Agama Salatiga yang telah berkenan memberikan izin penulis untuk melakukan penelitiaan di Pengadilan Agama Salatiga 6. Bapak Drs. Jaenuri, M.H sebagai hakim Pengadilan agama Salatiga yang telah membantu memberikan informasi dan data-data yang penulis butuhkan. 7. Para Dosen Syari’ah yang banyak memberikan ilmu, arahan serta do’a selama penulis menuntut ilmu di IAIN Salatiga. 8. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga atas bantuan semua pihak yang telah berkontribusi dalam skripsi ini sebagaimana disebutkan di atas mendapat limpahan berkah dan imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan Skripsi ini, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kasempurnaan tulisan ini serta bertambahnya pengetahuan dan wawasan penulis. Akhir kata penulis
vii
viii
ABSTRAK
Setyawan, Lilik. 2015. Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Hak Anak (Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga Nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA. SAL) Skripsi. Jurusan Ahwal Al-Shakhshiyyah. Fakultas syari’ah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing Drs. Machfudz M, Ag. Kata kunci : Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Hak Anak Perkawinan yang tidak dicatatkan adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya tetapi tidak di catatkan atau didaftarkan pada kantor urusan agama (KUA) dan kantor catatan sipil. Perkawinan yang tidak dicatatkan tentunya akan mempunyai akibat hukum. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menolak permohonan itsbat nikah nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL dan dampak penolakan itsbat nikah terhadap hak anak. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode yuridis normatif yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah suatu perbuatan hukum itu sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku atau tidak. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis stastistik atau cara kuantifikasi lainnya. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan metode observasi,wawancara, dokumentasi dan studi pustaka, sehingga menghasilkan data deskriptif analisis dari data yang diperoleh dari data tertulis. Peneliti ini menggunakan data primer penetapan pengadilan agama Salatiga no. 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL dan data sekunder UUP no.1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU no.23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan data yang bersumber dari buku-buku, peraturan perundang-undangan. Dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara Nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL adalah : undang-undang perkawinan no.1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencukupi umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain. Sedangkan dampak penolakan itsbat nikah terhadap hak anak, jika kedua orang tuanya bercerai anak sulit mendapatkan harta gono gini karena secara hukum pernikahannya dianggap belum pernah terjadi menurut Negara, Istri dan anak juga tidak berhak atas nafkah dan warisan jika suami meninggal dunia, Anak kesulitan mendapatkan akta kelahiran sebab orang tuanya tidak mempunyai akta nikah.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... NOTA PEMBIMBING .................................................................................. PENGESAHAN ............................................................................................. PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................... MOTTO DAN PERSEMBAHAN................................................................ KATA PENGANTAR ................................................................................... ABSTRAK ...................................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... BAB I : PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F. G.
Latar Belakang Masalah.................................................... Rumusan Masalah.............................................................. Tujuan Penelitian ............................................................... Kegunaan Penelitian .......................................................... Penegasan Istilah ................................................................ Kajian Pustaka ................................................................... Metodologi Penelitian ........................................................ 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian…………....….….......... 2. Kehadiran Peneliti……………...…………………......... 3. Lokasi Penelitian…………..…………………...…......... 4. Sumber Data……………...………………….…............. 5. Teknik Pengumpulan Data………...………………........ 6. Analisis Data……………………..………….................. 7. Pengesahan Keabsahan Data……..….............................. 8. Tahap-Tahap Penelitian…………..…….......................... H. Sistimatika Penulisan .................................................... BAB II : KAJIAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan ……………………................. 2. Rukun dan Syarat Perkawinan…………..……............. 3. Hukum Perkawinan……………..………….................. 4. Tujuan Perkawinan……………...…………................. B. Pencatatan Perkawinan 1. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan…....................... 2. Instansi Pencatat Perkawinan……………..................... 3. Tujuan Pencatatan Perkawinan…………...................... 4. Akibat Hukum Perkawinan Tidak Dicatatkan ..............
x
i ii iii iv v vi ix x 1 4 4 4 4 5 10 10 10 11 11 12 13 13 14 14
16 16 23 24 25 28 28 29
C. Itsbat Nikah 1. Pengertian Itsbat Nikah ................................................ 2. Dasar Hukum Itsbat Nikah……………...…................. Sebab-Sebab Diajukannya Permohonan Isbat Nikah…........................................................................ 4. Akibat Hukum Itsbat Nikah………............................. D. Pengertian Anak dan Hak-Hak Anak 1. Pengertian Anak Menurut Islam.................................. 2. Hak Anak dalam Hukum Islam................................... 3. Pengertian Anak Menurut Perundang-Undangan....... 4. Hak-Hak Anak Menurut Perundang-Undangan…….. BAB III : PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Profil Pengadilan Agama Salatiga 1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga………............................................................... 2. Batas Wilayah…………………………….................... 3. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama.……....... 4. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Salatiga…..….. 5. Visi dan Misi ……………............................................ 6. Struktur Organisasi B. Prosedur Itsbat Nikah 1. Proses Pengajuan Perkara .………………….….......... 2. Menghadiri Persidangan…………………….…........... 3. Putusan/Penetapan Pengadilan……………………..... C. Gambaran Perkara Nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL 1. Tentang Duduk Perkaranya…………….….…............ 2. Tentang Pertimbangan Hukum…………………….....
30 30
3.
BAB IV
31 33 33 34 36 37
39 39 40 41 43 44 44 46 47 47 49
: PEMBAHASAN A. Analisis Penetapan Nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL...… B. Dampak Yuridis Penolakan Itsbat Nikah No :0077/Pdt.P/2014/PA.SAL.. ......................................
51 55
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................... B. Saran ................................................................................... DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
57 59 60
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok dengan jalan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai mahkluk yang berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram dan rasa kasih sayang antara suami istri. Anak keturunan dari hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan (Basyir, 1996:1). Menurut undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 pengertian dan tujuan perkawinan terdapat dalam satu pasal, yaitu bab 1, pasal 1 menetapkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Sedangkan perkawinan menurut hukum islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian hidup keluarga, yang meliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang di ridhai Allah (Basyir, 1996:11). Dalam perkawinan tidak terlepas dari hak dan kewajiban suami istri, karena perkawinan adalah suatu lembaga yang luhur di dalam rumah tangga, perkawinan menjadi sarana
1
terbentuknnya keluarga besar yang asalnnya terdiri dari dua keluarga yang tidak saling mengenal,yakni kelompok keluarga suami dengan kelompok keluarga istri (Nasution, 2004:19). Perkawinan dalam Islam di pandang sebagai perjanjian, karena di dasari oleh saling persetujuan antara laki-laki dan perempuan. oleh karena itu, bisa bubar ketika hak dan kewajiban yang di tetapkan oleh hukum, tidak di penuhi (Ghazali, 1984:16). Perkawinan adalah salah satu asas pokok hidup, terutama dalam pergaulan atau bermasyarakat yang sempurna, selain itu perkawinan juga merupakan suatu pokok utama untuk menyusun masyarakat kecil, yang nantinya akan menjadi anggota dalam masyarakat yang besar. Dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 tentang perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan pasal 2 disebutkan bahwa dengan perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak
ada
perkawinan
diluar
hukum
rnasing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya itu, sesuai dengan undang-undang perkawinan. Pasal 7 ayat 1 perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Ayat 2 dalam hal penyimpangan dalam ayat (1), pasal ini dapat minta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
2
Berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan pasal 100 KUH perdata tersebut, adanya suatu perkawinan hanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah yang dicatat dalam register. Bahkan ditegaskan, akta perkawinan atau akta nikah merupakan satu-satunya alat bukti perkawinan. Dengan perkataan lain, perkawinan yang dicatatkan pada pegawai pencatat nikah (PPN) kantor urusan agama kecamatan akan diterbitkan akta nikah atau buku nikah merupakan unsur konstitutif (yang melahirkan) perkawinan. tanpa akta perkawinan yang dicatat, secara hukum tidak ada atau belum ada perkawinan. sedangkan menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan satu-satunya alat bukti keberadaan atau keabsahan perkawinan, karena itu walaupun sebagai alat bukti tetapi bukan sebagai alat bukti yang menentukan sahnya perkawinan, karena hukum perkawinan agamalah yang menentukan keberadaan dan keabsahan perkawinan. Terkait dengan dampak negatif dari maraknya praktek pernikahan siri terutama perempuan dan anak dengan adanya beberapa kasus, termasuk diantaranya tentang penolakan itsbat nikah yang diajukan ke pengadilan agama, maka penulis tertarik untuk mengangkat sebuah penelitian dengan judul “Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Hak Anak”.
3
B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam penolakan permohonan itsbat nikah nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL? 2. Bagaimana dampak penolakan itsbat nikah terhadap hak anak? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam penolakan permohonan itsbat nikah nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL. 2. Untuk mengetahui dampak penolakan itsbat nikah terhadap hak anak. 3. Untuk Mengetahui kedudukan perkawinan yang itsbat nikahnya di tolak pengadilan agama. D. Kegunaan Penelitian 1. Secara akademis untuk memberikan kontribusi keilmuwan dalam bidang hukum, terutama dalam bidang pernikahan. 2. Secara praktis, skripsi ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran bagi mahasiswa dan masyarakat umum yang ingin mengetahui masalah hukum perkawinan khususnya dalam masalah itsbat nikah. E. Penegasan Istilah Penulis perlu memperjelas beberapa istilah yang di pakai dalam penelitian ini. Hal ini penulis maksudkan untuk menghindari terjadinnya kesalah pahaman terhadap istilah-istilah yang perlu di jelaskan sebagai berikut : 4
1. Itsbat nikah adalah : Pengesahan atas Perkawinan yang telah di langsungkan menurut syariat agama islam, akan tetapi tidak di catat oleh KUA atau PPN yang berwenang. 2. Itsbat nikah adalah : Penetapan atau Pengesahan Nikah oleh Pengadilan Agama (Summa, 2005:287). 3. Dampak : Pengaruh kuat yang mendatangkan akibat. F. Kajian Pustaka Untuk mendukung penelitian ini, maka peneliti kemukakan beberapa penelitian tentang itsbat nikah : Skripsi Maman badruzzaman yang berjudul Efektivitas itsbat nikah masal dalam meminimalisir terjadinnya pernikahan tanpa akta nikah (studi kasus di KUA kecamatan karang gampel kecamatan Indramayu tahun 2008-2012). Rumusan masalah : Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam penetapan itsbat nikah di kecamatan Indramayu? Bagaimana keberhasilan itsbat nikah masal dalam mengurangi terjadinya pernikahan tanpa akta nikah? Hasil penelitian : dasar hukum yang digunakan para hakim pengadilan agama Indramayu dalam penetapan itsbat nikah adalah kompilasi hukum islam pasal 7 (3). Program itsbat nikah masal di kabupaten Indramayu sangat efektif karena dapat membantu pasangan suami istri yang belum mempunyai akta nikah, dapat mengitsbatkan nikahnya tanpa dipungut biasa.
5
Skripsi Ayuhan yang berjudul : Legalisasi hukum pernikahan siri dengan itsbat nikah dipengadilan Jakarta pusat. Rumusan masalah : Bagaimana ketentuan itsbat nikah yang diatur dalam hukum islam dan perundang-undangan? Bagaimana hasil penetapan majlis hakim pengadilan agama Jakarta pusat dalam menetapkan itsbat nikah pernikahan siri? Apa yang menjadi dasar dan pertimbangan hukum pengadilan Jakarta pusat dalam menetapkan perkara itsbat tersebut? Hasil penelitian : Adapun ketentuan itsbat nikah yang diatur dalam hukum islam adalah : pernikahan yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan itu sendiri, karena pada hakekatnya rukun dan syarat pernikahan adalah hal yang penting dalam sebuah pernikahan, sedangkan dalam perundangundangan adalah telah sesuai dalam pasal 2 (1-2) undang –undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan juga pada kompilasi hukum islam pasal 7 ayat (14). Pada kasus ini, hasil penetapan majlis hakim pengadilan agama Jakarta pusat menetapkan bahwa perkawinan yang di lakukan antara pemohon I dan pemohon II dapat di itsbatkan dan juga perkawinannya sah karena telah sesuai dengan rukun dan syarat sahnya pernikahan, maka tidak adanya alasan lagi majlis hakim pengadilan agama Jakarta pusat untuk tidak menetapkan itsbat nikah tersebut. Adapun yang menjadi dasar dan pertimbangan hakim pengadilan agama Jakarta pusat dalam memutuskan perkara itsbat nikah ini adalah sesuai dengan penjelasan dan ketentuan pasal 49 ayat (2) undang-undang nomor 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan 6
agama dan dalam kompilasi hukum islam pasal 7 ayat (3) dan pasal 14 sampai 38 tentang rukun dan syarat perkawinan, oleh karena pertimbangan hukum diatas maka sudah jelas bagi hakim mengabulkan permohonan itsbat nikah tersebut. Skripsi Dian Syafrianto yang berjudul : Pelaksanaan Itsbat Nikah DiPengadilan Agama Semarang Setelah Berlakunnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Rumusan masalah : Bagaimana prosedur pengajuan itsbat nikah di pengadilan agama semarang setelah berlakunnya undang-undang nomor 1 tahun 1974? Dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan atau penetapan itsbat nikah di pengadilan Semarang? Hasil penelitian : Prosedur pengajuan itsbat nikah dipengadilan agama Semarang serta dengan menganalisis perkara itsbat nikah yang masuk disana bahwa secara keseluruhan tahap dan prosedurnya sudah sesuai dengan hukum acara peradilan agama sebagaimana yang ada di HIR/R.Bg. dan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Dasar pertimbangan pengadilan agama semarang dalam memberikan penetapan itsbat nikah yaitu dengan melihat dan memeriksa legal standing (kedudukan hukum) pemohon untuk mengajukan perkara itsbat nikah di pengadilan agama dan fundamentum petendi (posita) adalah dasar atau dalil gugatan yang berisi tentang peristiwa dan hubungan hukum itsbat nikah dan alasan atau tujuan dalam pengajuan itsbat nikah. Kajian pustaka berfungsi untuk mengetahui sejarah penelitian, membantu prosedur penyelesaian masalah, memahami latar belakang teori masalah,
7
mengetahui manfaat sebelumnya, menghindari terjadinya duplikat penelitian, memberikan pembenaran alasan pemilihan masalah penelitian. Perbedaan skripsi yang terdahulu dengan skripsi ini, skripsi Maman badruzzaman yang berjudul Efektivitas itsbat nikah masal dalam meminimalisir terjadinnya pernikahan tanpa akta nikah (studi kasus di KUA kecamatan karang gampel kecamatan Indramayu tahun 2008-2012). Hasil penelitian : dasar hukum yang digunakan para hakim pengadilan agama Indramayu dalam penetapan itsbat nikah adalah kompilasi hukum islam pasal 7 (3). Program itsbat nikah masal di kabupaten Indramayu sangat efektif karena dapat membantu pasangan suami istri yang belum mempunyai akta nikah, dapat mengitsbatkan nikahnya tanpa dipungut biasa. Skripsi Ayuhan yang berjudul : Legalisasi hukum pernikahan siri dengan itsbat nikah dipengadilan Jakarta pusat. Hasil penelitian : Adapun ketentuan itsbat nikah yang diatur dalam hukum islam adalah : pernikahan yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan itu sendiri, karena pada hakekatnya rukun dan syarat pernikahan adalah hal yang penting dalam sebuah pernikahan, sedangkan dalam perundang-undangan adalah telah sesuai dalam pasal 2 (1-2) undang –undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan juga pada kompilasi hukum islam pasal 7 ayat (1-4). Pada kasus ini, hasil penetapan majlis hakim pengadilan agama Jakarta pusat menetapkan bahwa perkawinan yang di lakukan antara pemohon I dan pemohon II dapat di itsbatkan dan juga perkawinannya sah karena telah sesuai dengan rukun dan syarat sahnya 8
pernikahan, maka tidak adanya alasan lagi
majlis hakim pengadilan agama
Jakarta pusat untuk tidak menetapkan itsbat nikah tersebut. Adapun yang menjadi dasar dan pertimbangan hakim pengadilan agama Jakarta pusat dalam memutuskan perkara itsbat nikah ini adalah sesuai dengan penjelasan dan ketentuan pasal 49 ayat (2) undang-undang nomor 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan agama dan dalam kompilasi hukum islam pasal 7 ayat (3) dan pasal 14 sampai 38 tentang rukun dan syarat perkawinan, oleh karena pertimbangan hukum diatas maka sudah jelas bagi hakim mengabulkan permohonan itsbat nikah tersebut. Skripsi Dian Syafrianto yang berjudul : Pelaksanaan Itsbat Nikah DiPengadilan Agama Semarang Setelah Berlakunnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.Hasil penelitian : Prosedur pengajuan itsbat nikah dipengadilan agama Semarang serta dengan menganalisis perkara itsbat nikah yang masuk disana bahwa secara keseluruhan tahap dan prosedurnya sudah sesuai dengan hukum acara peradilan agama sebagaimana yang ada di HIR/R.Bg. dan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Dasar pertimbangan pengadilan agama semarang dalam memberikan penetapan itsbat nikah yaitu dengan melihat dan memeriksa legal standing (kedudukan hukum) pemohon untuk mengajukan perkara itsbat nikah di pengadilan agama dan fundamentum petendi (posita) adalah dasar atau dalil gugatan yang berisi tentang peristiwa dan hubungan hukum itsbat nikah dan alasan atau tujuan dalam pengajuan itsbat nikah.
9
Dengan demikian skripsi yang saya angkat berbeda dengan skripsi-skripsi yang dibahas terdahulu, karena skripsi penulis akan membahas tentang Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Hak Anak (Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga Nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL). G. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan yuridis normatif. yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah suatu perbuatan hukum itu sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku atau tidak. Karena dengan pendekatan ini bisa mengetahui semua hal tentang pelaksanaan isbat nikah di pengadilan agama. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis stastistik atau cara kuantifikasi lainnya (Maleong, 2008:6). 2. Kehadiran Peneliti Dalam penelitian ini, penulis bertindak sebagai instrumen sekaligus menjadi pengumpul data. Instrumen lain yang digunakan perlengkapan tulis (pensil, bolpoin, penggaris dan buku catatan) serta alat dokumentasi (kamera dan alat perekam). Kehadiran penulis dilapangan sangat diperlukan, data lapangan
yang diperlukan
yaitu penetapan
itsbat nikah nomor
:
0077/Pdt.P/2014/PA.SAL dan masalah yang berkaitan dengan itsbat nikah.
10
Penulis berperan sebagai partisipan penuh membaur dengan subjek atau informan. Kehadiran penulis sebagai peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti oleh subjek atau informan. 3. Lokasi Penelitian Pengadilan agama Salatiga karena masyarakat Salatiga dan sekitarnya yang beragama Islam mengajukan itsbat nikah di pengadilan tersebut. 4. Sumber Data a. Data Primer 1) Penetapan pengadilan agama Salatiga No. 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL dan wawancara terhadap hakim, kemudian data itu di analisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang dikaji. b. Data Sekunder 1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan 2) Kompilasi Hukum Islam (KHI) 3) Undang-undang
nomor
23
tahun
2006
tentang
administrasi
kependudukan. 4) Data yang diperoleh dari studi kepustakaan (library risearsch) dari buku-buku literatur dan karangan ilmiah.
11
5. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Metode pengumpulan data dengan jalan pengamatan, peninjauan secara cermat dan penulisan secara langsung untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan (Riduwan, 2004:104). b. Wawancara Wawancara ini digunakan untuk memperoleh beberapa jenis data dengan komunikasi secara langsung mengenai pokok-pokok masalah tentang itsbat nikah, sasaran wawancara adalah para hakim di Pengadilan Agama Salatiga. c. Dokementasi Mencari data mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan itsbat nikah dari pengadilan agama Salatiga. Metode ini digunakan sebagai pelengkap dalam memperoleh data. d. Studi Pustaka Studi pustaka diperlukan untuk mengkaji beberapa literatur yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Literatur-literatur yang dimaksud di antaranya bersumber dari al-qur’an, peraturan perundangundangan, buku-buku dan literatur lain.
12
6. Analisis Data Penyusun akan menyusun data yang telah terkumpul secarakualitatif yang bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis. Berdasarkan hepotesis
yang dirumuskan berdasarkan data tersebut,
selanjutnya dicarikan data lagi secara berulang-ulang sehingga dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut diterima atau ditolak berdasrkan data yang terkumpul. Bila berdasarkan data yang dapat dikumpulkan secara berulang-ulang dengan teknik triangulasi, teryata hipotesis diterima, maka hipotesis tersebut berkembang menjadi teori (Sugiyono, 2010:335). 7. Pengecekan Keabsahan Data Peneliti menggunakan triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data, sedangkan pengertian triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Maleong, 2004:330). Untuk pengecekan keabsahan data, penulis menggunakan cara teknik-teknik perpanjangan kehadiran peneliti di lapangan, observasi, yang diperdalam, triangulasi (menggunakan beberapa sumber, metode, peneliti, teori), pembahasan sejawat, analisis kasus negatif, pelacakan kesesuaian hasil, dan pengecekan anggota. Selanjutnya perlu dilakukan pengecekan dapat-tidaknya ditransfer ke latar lain (transferability), ketergantungan pada konteksnya
13
(dependability), dan dapat-tidaknya dikonfirmasikan kepada sumbernya (confirmability). 8. Tahap-Tahap Penelitian Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan penelitian pendahuluan ke pengadilan agama Salatiga untuk mencari data awal mengenai kasus itsbat nikah, kemudian penulis melakukan pengembangan dari data awal tadi, kemudian penulis melakukan penelitian yang sebenarnya dan menulis hasil laporan tersebut. H. Sistematika Penulisan Sistematika ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan yang dapat
dijelaskan sebagai berikut : Bab Kesatu :Merupakan Bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab Kedua : Dalam bab ini berisi tentang kajian pustaka yang menjelaskan tentang gambaran umum perkawinan,itsbat nikah,pencatatan perkawinan dan hakhak anak dalam perkawinan menurut perundang-undangan. Bab Ketiga : Dalam bab ini berisi tentang gambaran pengadilan agama salatiga,
gambaran perkara nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL dan
dasar
pertimbangan hakim dalam penetapan perkara nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL. Bab Keempat : Dalam bab ini berisi tentang analisis penetapan hakimnomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL dan dampak yuridis terhadap hak anak. 14
Bab Kelima : Dalam bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran. Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
15
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan menurut undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa (Basyir, 1996:11). Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan gholidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah (Summa, 2004:286). Perkawinan dalam literatur fiqih berbahasa arab disebut dengan dua kata yaitu nikah ( )نكحdan zawaj ( ) زواج. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-qur’an dengan arti kawin, seperti dalam surat annisa ayat (3) : ... Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang…(Bafadal, Al-qur’an dan Terjemahannya, 2006:99).
16
Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-jadalam Al-qur’an dalam arti kawin, seperti dalam surat al ahzab ayat 37 : Maka tatkala zaid telah mengakhiri keperluan (menceraikan) istrinnya, kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) mantan istri-istri anak angkat mereka…(Bafadal, Al-qur’an dan Terjemahannya, 2006:598). Secara arti kata nikah atau zawaj berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad. dalam arti terminologis dalam kitab-kitab fiqih banyak
diartikan
akad
atau
perjanjian
yang
mengandung
maksud
memperbolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja (Syarifuddin, 2003:74). Perkawinan atau pernikahan dalam Islam dilakukan atas dasar hubungan yang halal, Sebagaimana dinyatakan dalam Al-qur’an, merupakan bukti dari kemaha bijaksanaan Allah. dalam mengatur mahkluknya, firman Allah : (An najm : 45).
Dan bahwasanya dialah yang menciptakan berpasang-pasang pria dan wanita (Bafadal, Al-qur’an dan Terjemahannya, 2006:766). Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadannya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih
17
dan sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (ar rum : 21) (Bafadal, Al-qur’an dan Terjemahannya, 2006:766). Kedua ayat diatas menyatakan kepada kita bahwa Islam merupakan ajaran yang menghendaki adannya keseimbangan hidup antara jasmani dan rohani, antara duniawi dan ukhrawi, antara materiil dan spiritual. oleh sebab itu selain merupakan sunnatullah yang bersifat kodrati, perkawinan dalam Islam juga merupakan sunnah Rasul (Saleh, 2008:296). 2. Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun dan syarat adalah hal yang penting dan bila ditinggalkan akan menyebabkan sesuatu itu tidak sah, demikian halnnya dalam perkawinan. Perkawinan yang syarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau perbuatan hukum (misalnya akad perkawinan), baik dari segi para subjek hukum maupun objek hukum yang merupakan bagian dari perbuatan hukum atau peristiwa hukum (akad nikah) ketika peristiwa hukum tersebut berlangung (Djubaidah, 2010:90). Syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum akibat tidak terpenuhinya syarat adalah tidak dengan sendirinya membatalkan perbuatan hukum atau peristiwa hukum, namun perbuatan hukum atau peristiwa hukum tersebut dapat dibatalkan (Djubaidah, 2010:92). a. Syarat perkawinan menurut UU no 1 tahun 1974 pasal (6) yaitu : 18
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai 2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua 3) Dalam hal salah satu orang dari kedua orang telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang di maksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknnya 4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknnya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknnya 5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang- orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini
19
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Sudarsono, 2005:3). b. Menurut KHI pasal 14 rukun dalam perkawinan adalah sebagai berikut : 1) Calon suami 2) Calon istri 3) Wali nikah 4) Dua orang saksi 5) Ijab dan qobul (Summa, 2004:289). c. Menurut agama Islam 1) Akad nikah Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang berakad dalam bentuk ijab dan qobul. Ijab penyerahan dari pihak pertama sedangkan qobul adalah penerimaan dari pihak kedua. Adapun syarat-syarat akad adalah : a) Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qobul b) Materi ijab dan qobul tidak boleh berbeda, seperti nama perempuan secara lengkap dan bentuk mahar c) Ijab dan qobul harus diucapkan secara bersambung tanpa terputusputus walaupun sesaat,jelas dan terus terang d) Ijab dan qobul tidak boleh menggunakan lafaz yang mengandung maksud membatasi perkawinan untuk masa tertentu 20
2) Laki-laki dan perempuan yang kawin Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak boleh lain dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan, karena ini yang tersebut dalam al-qur’an. Adapun syarat-syarat yang dipenuhi laki-laki dan perempuan yang akan kawin ini adalah sebagai berikut : a) Keduannya jelas keberadaannya, identitasnnya dan beragama Islam b) Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan c) Keduannya telah mencapai usia yang layak untuk perkawinan 3) Wali Wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Keberadaan seorang wali dalam akad nikah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. ini adalah pendapat jumhur ulama. adapun syarat-syarat menjadi wali adalah : a) Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali b) Laki-laki, muslim, merdeka,adil, tidak dalam pengampuan dan tidak sedang dalam ihram
21
4) Kerelaan perempuan untuk dinikahkan Meskipun perempuan waktu akad nikah tidak dapat melakukan sendiri pernikahannya tetapi dilakukan oleh wali, namun kerelaan perempuan untuk dinikahkan merupakan suatu keharusan, wali mesti meminta izin dan kerelaan perempuan yang dinikahkan bila perempuan itu masih perawan, Sedangkan bila perempuan itu sudah janda tidak cukup minta izin, tetapi perempuan itu sendiri untuk minta dinikahkan. 5) Saksi Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari. adapun syarat-syarat saksi dalam pernikahan adalah sebagai berikut : a) Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang, beragama islam, merdeka, laki-laki dan dapat mendengar dan melihat b) Kedua saksi bersifat adil dan tidak pernah melakukan dosa 6) Mahar Mahar ialah pemberian khusus laki-laki kepada perempuan yang melangsungkan perkawinan pada waktu akad nikah. Hukum pemberian mahar itu adalah wajib dengan arti laki-laki yang
22
mengawini seorang perempuan mesti menyerahkan mahar kepada istrinnya itu (Syarifuddin, 2003:97). 3. Hukum Perkawinan : a. Wajib Hukum nikah menjadi wajib bagi seseorang yang memiliki kemampuan biaya nikah, mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan yang baik dengan istri yang dinikahinya, dan ia mempunyai dugaan kuat akan melakukan perzinaan apabila tidak menikah (Azzam, 2009:45). b. Sunnat Perkawinan hukumnya sunnat bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban
dalam perkawinan, tetapi apabila
tidak kawin juga tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina (Basyir, 1996:12). c. Haram Hukum nikah haram bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan nafkah nikah dan yakin akan terjadi penganiayaan jika menikah.
23
d. Makruh Nikah makruh bagi seseorang yang dalam kondisi campuran, seseorang mempunyai kemampuan harta biaya nikah dan tidak dikhawatirkan terjadi maksiat zina, tetapi di khawatirkan terjadi penganiayaan istri yang tidak sampai ke tingkat yakin (Azzam, 2009:46). e. Mubah Perkawinan yang hukumnya mubah bagi orang yang mempunyai harta, tetapi apabila tidak kawin tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikata kawinpun tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan kewajibannya terhadap istri. perkawinan dilakukan sekadar untuk memenuhi syahwat dan kesenangan dan bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga keselamatan hidup beragama (Basyir, 1996:14). 4. Tujuan Perkawinan Tujuan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir batin di sebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih
sayang
antar
anggota
keluarga.
Ada
beberapa
tujuan
dari
disyari’atkannya perkawinan atas umat Islam, diantaranya adalah : a. Untuk mendapatkan anak keturunan bagi melanjutkan generasi yang akan datang. hal ini terlihat dari surat an nisa ayat (1) : 24
Wahaisekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang menjadikanmu kamu dari diri yang satu dari padannya Allah menjadikan istri-istri dan dari keduannya Allah menjadikan anak keturunan yang banyak, laki-laki dan perempuan (Bafadal, Alqur’an dan Terjemahannya, 2006:99). b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang. Hal ini terlihat dari surat ar rum ayat ( 21) : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Bafadal, Al-qur’an dan Terjemahannya, 2006:572). B. Pencatatan Perkawinan 1. Dasar hukum pencatatan perkawinan a. Menurutundang-undang nomor 1 tahun 1974: Pencatatan perkawinan menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai pencatatan peristiwa penting bukan sebagai peristiwa hukum. Hal itu dapat dilihat lebih jelas lagi dalam penjelasan umum pada angka 4 huruf b undang-undang nomor 1 tahun 1974, seperti kutipan langsung berikut ini : Dalam
25
undang-undang ini di nyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana di lakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Djubaidah, 2010: 215). b. Menurut UU no. 22 th1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk: Nikah yang dilakukan menurut agama islam, selanjutnya disebut nikah diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh menteri agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama islam selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah. Pasal ini berarti bahwa nikah, talak dan rujuk menurut agama islam harus dicatat agar mendapat kepastian hukum dalam negara yang teratur segala sesuatu yang menyangkut kependudukan seperti kelahiran,kematian dan perkawinan perlu dicatat agar tidak menjadi kekacauan. c. Menurut (KHI) : Pencatatan diatur dalam pasal 5 KHI : 1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus di catat. 2) Pencatatan perkawinan sebagaimana ayat (1) dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana di atur dalam undang undang nomor 22 tahun 1946 jo. Undang-undang nomor 32 nomor 1954.Pasal 5 KHI
26
yang memuat tujuan pencatatan perkawinan adalah agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam, oleh karena itu perkawinan harus dicatat, merupakan ketentuan lanjutan dari pasal 2 ayat (2) undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang pelaksanaannya dimuat dalam peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 bab II tentang pencatatan perkawinan. Pasal 6 KHI merumuskan bahwa : a) Untuk memenuhi ketentuan pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah b) Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum (Djubaidah, 2010:220). d. Pencatat perkawinan dalam perspektif PP nomor 9 tahun 1975 pasal 3 : 1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan. 2) Pemberian tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. 3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama bupati kepala daerah. e. Pencatatan perkawinan dalam undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan : 27
1) Perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan wajib di laporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana dimana tempat terjadinnya perkawinan yang paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. 2) Berdasarkan laporan sebagaimana di maksud pada ayat (1) pejabat pencatat sipil mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan. 3) Kutipan akta perkawinan sebagaimana yang di maksud pada ayat (2) masing-masing diberikan kepada suami dan istri. 4) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang beragama islam dilakukan olehKUA kecamatan. 5) Data hasil pencatatan peristiwa sebagaimana di maksud pada ayat (4) dan dalam pasal 8 ayat (2) wajib di sampaikan oleh KUA kecamatan kepada instansi pelaksana dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh hari) setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan. 6) Hasil pencatatan data sebagaimana di maksud pada ayat (5) tidak memerlukan penerbitan kutipan akta pencatatan sipil. 7) Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada instansi pelaksana (Djubaidah, 2010: 225). 2. Instansi pencatat perkawinan : a. Kantor urusan agama kecamatan untuk nikah, talak dan rujuk bagi orang yang beragama islam. 28
b. Kantor catatan sipil (begerlijk stand) untuk perkawinan non muslim (Manan, 2006:14). 3. Tujuan pencatatan perkawinan Pencatatan perkawinan akan memberikan kepastian hukum terkait dengan hak-hak suami atau istri, kemaslahatan anak maupun dampak lain dari perkawinan itu sendiri seperti masalah harta, hak-hak anak dalam perkawinan. Perkawinan yang dilakukan dibawah pengawasan atau dihadapan pegawai pencatat nikah akan mendapatkan akta nikah sebagai bukti outentik telah dilangsungkan sebuah perkawinan, jadi akta perkawinan syarat wajib yang ditetapkan oleh Negara (Nuruddin, 2006:137). 4. Akibat hukum perkawinan tidak dicatatkan : a.
Perkawinan dianggap tidak sah, meskipun perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun dimata Negara perkawinan itu tidak sah, jika belum dicatatkan di kantor urusan agama dan kantor catatan sipil.
b.
Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan atau perkawinan yang tidak dicatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (pasal 42 dan 43 undang-undang perkawinan) sedangan hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.
c.
anak dan ibu tidak berhak atas nafkah dan warisan, akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak dicatat.
29
C. Itsbat Nikah 1. Pengertian Itsbat Nikah Menurut bahasa itsbat nikah terdiri dari dua kata yaitu kata itsbat yang merupakan masdar atau asal kata dari atsbata yang memiliki arti menetapkan, dan kata
nikah yang berasal dari kata nakaha yang memiliki arti saling
menikah, dengan demikian kata itsbat nikah memiliki arti yaitu penetapan pernikahan.Itsbat nikah sebenarnya sudah menjadi istilah dalam Bahasa Indonesia dengan sedikit revisi yaitu dengan sebutan isbat nikah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, isbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah. Itsbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang berwenang (Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan). 2. Dasar Hukum dari Itsbat Nikah Pada bab XIII pasal 64 ketentuan peralihan undang-undang perkawinan yaitu untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubugan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan lama adalah sah sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku I, pasal 7, yang terkandung pasal 64 undangundang perkawinan no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tersebut
30
dikualifikasikan sebagai upaya hukum yang disebut
itsbat nikah.Seperti
dalam kompilasi hukum islam (KHI) pasal 7 ayat 1 dan 2 menyebutkan : a. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah. b. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah dapat diajukan itsbat nikahnya ke pengadilan agama (Summa, 2004:287). 3. Sebab-Sebab diajukannya Permohonan Isbat Nikah Itsbat nikah yang dilaksanakan oleh pengadilan agama karena pertimbangan mashlahah bagi umat islam. Itsbat nikah sangat bermanfaat bagi umat islam untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya yang berupa suratsurat atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masingmasing pasangan suami istri. Adapun sebab-sebab yang melatar belakangi adanya permohonan itsbat nikah ke PA itu sendiri, dalam praktek, khususnya di PA pihak-pihak yang mengajukan permohonan itsbat nikah dapat ditemukan kebanyakannya : a. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU no 1 th 1974. Untuk hal ini biasanya dilatar belakangi: 1) Guna untuk mencairkan dana pensiun pada PT. Taspen 2) Untuk penetapan ahli waris dan pembagian harta waris b. Adanya perkawinan yang terjadi sesudah berlakunya UU no 1 tahun 1974. Ini biasanya dilatar belakangi (Karena akta nikah hilang) : 31
1) Bisa karena untuk pembuatan akta kelahiran anak 2) Bisa juga digunakan untuk gugat cerai 3) Bisa juga untuk gugat pembagian harta gono-gini Untuk kasus akta nikah hilang seperti ini, biasanya pihak pemohon
dianjurkan untuk memintakan duplikat kutipan akta nikah
dimana tempat nikahnya itu dilaksanakan, tapi kadangkala ditemukan juga pihak KUA nya menerangkan perkawinannya tidak terdaftar di KUA yang bersangkutan tersebut, atau ada juga arsip di KUA nya telah tidak ditemukan, hal terakhir ini biasanya itsbat nikah yang dikumulasi dengan gugat cerai. Sedangkan tidak punya akta nikah, Dalam hal ini kebanyakan diajukan itsbat nikah: a) Karena sudah nikah dibawah tangan dengan alasan sudah hamil duluan dan nikah dilangsungkan karena menutupi malu. b) Karena nikah dibawah tangan sebagai isteri kedua dan belum dicatatkan c) Ada juga itsbat nikah yang semata-mata diajukan untuk memperoleh kepastian hukum dalam status sebagai isteri, yang pernikahannya dilakukan dibawah tangan, dan ternyata dibalik itu semua terkandung maksud upaya melegalkan poligami.
32
4. Akibat Hukum Itsbat Nikah Setelah dikabulkan itsbat nikah, maka yang berkepentingan akan mendapatkan bukti outentik tentang pernikahannya yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk persoalan di pengadilan agama nantinya. dengan demikian pencatatan pernikahan merupakan persyaratan formil sahnya perkawinan, persyaratan formil ini bersifat prosedural dan administratif. Itsbat nikah punya implikasi memberi jaminan lebih kongkrit secara hukum atas hak anak jika pasangan suami istri bercerai. Dengan adanya pencatatan perkawinanmaka eksestensi perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi dua syarat: a. Telah memenuhi ketentuan hukum materiil, yaitu telah dilakukan memenuhi syarat dan rukun menurut hukum Islam. b. Telah memenuhi ketentuan hukum formil, yaitu telah dicatatkan pada pegawai pencatat nikah yang berwenang. D. Pengertian Anak dan Hak-Hak Anak 1. Pengertian Anak Menurut Islam Menurut ajaran islam, anak adalah amanah allah SWT dan tidak bisa dianggap sebagai harta benda yang bisa diperlakukan sekehendak hati oleh orang tuannya. Sebagai amanah anak harus dijaga sebaik mungkin oleh orang tua yang mengasuhnya. Anak adalah manusia yang memiliki nilai kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan dengan alasan apapun (Shihab, 2004:614).Salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh agama Islam dengan 33
mensyariatkan perkawinan, ialah lahirnya seorang anak sebagai pelanjut keturunan, bersih keturunannya, jelas bapaknya dengan perkawinan ibunya. 2. Hak Anak dalam Hukum Islam a. Hak atas suatu nama Anak berhak mendapatkan nama dan identitas diri dalam islam. Untuk nama anak, allah telah mengisyaratkan dalam al-qur’an bahwa anak harus diberi nama allah berfirman dalam(QS. Maryam: 7).
Hai zakaria, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya yahya, yang sebelumnya kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia(Bafadal, Al-qur’an dan Terjemahannya, 2006:419). b. Anak berhak atas status dan mengetahui orang tuanya. Allah berfirman dalam (QS. Al-Ahzab:5) ) ه: (سورة األحساب... Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka…” (Bafadal, Al-qur’an dan Terjemahannya, 2006:591). Bagi anak yang terlahir dalam ikatan perkawinan yang sah tidak ada ikhtilaf dalam nasab, sedangkan bagi anak yang dilahirkan di luar ikatan pernikahan terdapat perbedaan di kalangan fuqoha. Perbedaan tersebut dikarenakan adanya ikhtilaf dalam memahami arti nikah sehingga berujung terhadap perbedaan memahami teks al-Qur’an dan teks hadis.
34
c. Hak mendapatkan perlindungan Hak anak yang paling utama adalah pelindungi , pelindungan disini terutama dari segala situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan yang dapat membuat anak menjadi terlantar atau menjadi manusia yang di murkai tuhan. Allah berfirman : Di sanalah Zakaria berdoa kepada tuhan-nya. Dia berkata, Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-mu, sesungguhnya engkau maha mendengar doa (Q.S. ali imran ayat 38) (Bafadal, Al-qur’an dan Terjemahannya, 2006:68). d. Hak mendapatkan pendidikan Setelah masa penyusuan lewat, mulailah tugas orang tua (ayah dan ibu) untuk mendidik anak , terutama pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti. e. Hak untuk mendapatkan nafkah dan harta waris Sesuai dengan aturan yang digariskan Allah. hak nafkah bagi seorang anak wajib dipenuhi oleh ayahnya ketika ayah dan ibunya bercerai. Dalam sebuah hadis : Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nama yang baik, mengajarkan sopan santun, mengajari menulis, berenang dan memanah, memberikan nafkah yang baik dan halal dan mengawinkan bila saatnya tiba (H.R hakim). Hak anak dalam pandangan Islam memberikan gambaran bahwa tujuan dasar kehidupan
35
umat Islam adalah membangun umat manusia yang memegang teguh ajaran Islam dengan demikian, hak anak dalam pandangan Islam meliputi aspek hukum dalam lingkungan hidup seseorang untuk Islam (Juhari, 2003:87). 3. Pengertian Anak Menurut Perundang-Undangan : Pengertian anak menurut undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, Anak adalah : amanah dan karunia tuhan yang maha esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnnya.Menurut
undang-undang
nomor
4
tahun
1979
tentang
kesejahteran anak, Anak adalah : potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnnya.Menurut UUP nomor 1 tahun 1974 tentang kedudukan anak yaitu :Pasal 42 ayat (1) Anak yang sah adalah : anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan pasal 43 ayat (1): anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluar ibunya (Summa, 2004:240). Ketentuan dalam undang-undang perkawinan, kelahiran anak tanpa disertai dengan adanya perkawinan yang sah (anak luar kawin) maka anak hanya akan memiliki ibu sebagai orang tuannya, sedangkan KUHperdata menganut prisip yang lebih ekstrim bahwa tanpa pengakuan dari kedua orang tuannya, maka si anak dapat dipastikan tidak akan memiliki ayah maupun ibu
36
secara yuridis. Seorang anak dilahirkan didunia melalui proses yang panjang mulai dari adanya pertemuan biologis antara benih dari seorang laki-laki dan sel telur seorang perempuan sampai terjadinnya proses kehamilan sampai bayi lahir di dunia, tahapan tersebut akan menentukan status dan kedudukan anak di hadapan hukum, menurut sudut pandang hukum tahapan proses yang dilalui sampai terjadinnya kelahiran dapat digolongkan menjadi : a. jika proses yang dilalui sah (legal), baik menurut hukum agama maupun hukum negara, maka ketika lahir anak akan menyandang predikat sebagai anak yang sah b. jika proses yang dilalui tidak sah (ellegal), baik menurut hukum agama maupun negara, maka ketika lahir anak akan menyandang predikat sebagai anak yang tidak sah 4. Hak-Hak Anak Menurut Perundang-Undangan : a. Menurut undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak : Pasal 4 : Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dan diskriminasi. Hak ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 28B ayat (2) undang-undang dasar 1945 dan prinsip-prinsip pokok yang dicantumkan dalam konvensi hak -hak anak.Pasal 5 : Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan sebagai status kewarganegaraan sedangkan Pasal 27 :
37
1) Identitas diri anak harus diberikan sejak kelahirannya. 2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran. b. Dalam konvensi anak : Konvensi hak anak terdiri atas 54 pasal (lima puluh empat) pasal yang berdasarkan materi hukumnya mengatur mengenai hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh Negara peserta yang meratifikasi konvensi hak anak. Materi hukum mengenai hak- hak anak dalam konvensi hak anak tersebut, dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak yaitu : 1) hak terdapat kelangsungan hidup : hak-hak anak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. 2) hak terhadap perlindungan yaitu : hak-hak anak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi 3) hak untuk tumbuh kembang yaitu hak-hak anak dalam konvensi hak anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. (Joni, 1999:35). 38
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Profil Pengadilan Agama Salatiga Jl. Raya lingkar selatan, dusun. Jagalan kelurahan. Cebongan, kecamatan argomulyo kota salatiga, propinsi jawa tengah 50736. TELP : (0298) 322853 FAX
:(0298)
325243
Email
:
[email protected]
:
[email protected] : www.pa-salatiga.go.id 1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga : a. Staatsblaad tahun 1882 Nomor 152 tentang pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. b. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI KMA Nomor 76 tahun 1983 Tanggal 10 Nopember 1983 tentang penetapan perubahan wilayah Hukum Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah Propinsi dan Pengadilan Agama serta Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah
2. Batas Wilayah : a. Utara : Kecamatan Kedungjati Kab. Grobogan, Kecamatan Bawen Kab.Semarang b. Timur : Kecamatan Kedungjati Kab. Grobogan, Kecamatan Karanggede Kab. Boyolali
39
c. Selatan : Kecamatan Ampel Kab. Boyolali, Kecamatan Ngablak Kab. Magelang d. Barat : Kecamatan Banyubiru Kab. Semarang, Kecamatan Ngablak Kab. Magelang 3. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Pengadilan Agama merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman yang memberikan layanan hukum bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009. Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang berpuncak pada Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai Pengadilan Negara tertinggi. Seluruh pembinaan baik pembinaan teknis peradilan maupun pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pengadilan Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama yang bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara di tingkat pertama di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam serta waqaf, zakat, infaq dan shadaqah serta ekonomi Syari’ah sebagaimana di atur dalam Pasal 49 UU Nomor 50 Tahun 2009. Tugas Pokok Pengadilan Agama
40
a. Menerima, memeriksa, mengadili, menyelesaikan/memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 1970 b. Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan Peradilan guna menegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan Pancasila, demi tersenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia c. Pasal 49 UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama diubah dengan UU Nomor 3 tahun 2006 dan Perubahan kedua Nomor 50 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan Perkara di tingkat Pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, dan Ekonomi Syari’ah serta Pengangkatan Anak d. Pasal 52 a menyebutkan Pengadilan Agama memberikan Itsbat Kesaksian Rukyatul Hilal dan Penentuan Awal bulan pada tahun Hijriyah. 4. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Salatiga Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI KMA Nomor 76 tahun 1983 Tanggal 10 Nopember 1983 tentang penetapan perubahan wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syariah Propinsi serta Pengadilan
41
Agama/Mahkamah Syariah, maka Pengadilan Agama Salatiga memiliki wilayah yuridiksi sebagai berikut : a.
Kecamatan Sidorejo, terdiri dari 6 kelurahan : 1) Kelurahan Pulutan 2) Kelurahan Blotongan 3) Kelurahan Bugel 4) Kelurahan Salatiga 5) Kelurahan Kauman Kidul 6) Kelurahan Sidorejo Lor
b.
Kecamatan Argomulyo, terdiri dari 6 Kelurahan : 1) Kelurahan Cebongan 2) Kelurahan Ledok 3) Kelurahan Tegalrejo 4) Kelurahan Noborejo 5) Kelurahan Kumpulrejo 6) Kelurahan Randuacir
c.
Kecamatan Tingkir, terdiri dari 5 Kelurahan : 1) Kelurahan Tingkir Tengah 2) Kelurahan Tingkir Lor 3) Kelurahan Sidorejo Kidul 4) Kelurahan Kutowinangun
42
5) Kelurahan Gendongan d.
Kelurahan Sidomukti, terdiri dari 4 Kelurahan : 1) Kelurahan Dukuh 2) Kelurahan Mangunsari 3) Kelurahan Kalicacing 4) Kelurahan Kecandran
5. Visi dan misi a. Visi : terwujudnya pengadilan agama Salatigayang agung b. Misi : meningkatkan kualitas pelayanan di bidanghukum yang prima berbasis teknologi informasi, meningkatkan kualitas aparatur peradilanagama yang professional. Meningkatnya martabat dan wibawapengadilan agama Salatiga
43
6. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Salatiga
www.pa-salatiga.go.id B. Prosedur Itsbat Nikah 1. Proses Pengajuan Perkara Aturan pengesahan nikah/itsbat nikah, dibuat atas dasar adanya sebuah peristiwa perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan aturan yang ditentukan oleh agama akan tetapi tidak memenuhi persyaratan yang diatur oleh negara yaitu
44
tidak dicatat oleh PPN yang berwenang.Adapun prosedur dalam permohonan pengesahan nikah/Itsbat nikah samahalnya dengan prosedur-prosedur pengajuan perkara perdata yang lain, tata cara berperkara di pengadilan agama yaitu : a. Daftar dan datang ke kantor pengadilan b. Mendatangi kantor pengadilan agama di wilayah tempat tinggal yang terdekat bahwa dirinya ingin mengajukan gugatan atau permohonan gugatan dapat di ajukan dalam bentuk surat atau secara lisan. c. Membuat surat permohonan itsbat nikah, mengisi formulir, melampirkan surat-surat yang diperlukan antara lain keterangan dari KUA bahwa pernikahannya tidak dicatat d. Penggugat wajib membayar panjar perkara e. Panitera mendaftarkan perkara menyampaikan gugatan kepada bagian berperkara sehingga gugatan secara resmi dapat siterima dan didaftarkan dalam buku register f. Setelah didaftarkan gugatan diteruskan kepada ketua pengadilan agama dan diberi catatan mengenai nomor, tanggal perkara dan di tentukan kapan hari sidangnnya. g. Ketua pengadilan agama menentukan majelis hakim yang akan mengadili dan menentukan hari siding
45
2. Menghadiri Persidangan Datang ke pengadilan sesuai dengan tanggal dan waktu yang tertera dalam surat panggilan. untuk datang tepat waktu dan jangan terlambat.Hakim ketua atau anggota majelis hakim (yang akan memeriksa perkara) memeriksa kelengkapan surat gugatan, panitera memanggil penggugat dan tergugat dengan membawa surat panggilan sidang secara patut, semua proses pemeriksaan perkara dicatat dalam berita acara persidangan (BAP), untuk sidang pertama, bawa serta dokumen seperti surat panggilan persidangan, fotokopi formulir permohonan yang telah diisi. Dalam sidang pertama ini hakim akan menanyakan identitas para pihak misalnya KTP atau kartu identitas lainnya yang asli. Dalam kondisi tertentu hakim kemungkinan akan melakukan pemeriksaan isi permohonan, untuk sidang selanjutnya, hakim akan memberitahukan kepada pemohon/termohon yang hadir dalam
sidang
kapan
tanggal
dan
waktu
sidang
berikutnya.
Bagi
pemohon/termohon yang tidak hadir dalam sidang,untuk persidangan berikutnya akan dilakukan pemanggilan ulang kepada yang bersangkutan melalui surat, untuk sidang kedua dan seterusnya, ada kemungkinan harus mempersiapkan dokumen dan bukti sesuai dengan permintaan hakim. dalam kondisi tertentu, hakim akan meminta menghadirkan saksi-saksi yaitu orang yang mengetahui pernikahan tersebut diantaranya wali nikah dan saksi nikah, atau orang-orang terdekat yang mengetahui pernikahannya.
46
3. Putusan/Penetapan Pengadilan Permohonan jika dikabulkan pengadilan akan mengeluarkan putusan atau penetapan itsbat nikah. Salinan putusan atau penetapan itsbat nikah akan siap diambil dalam jangka waktu setelah 14 hari dari sidang terakhir. Salinan putusan atau penetapan itsbat nikah dapat diambil sendiri dikantor pengadilan atau mewakilkan kepada orang lain dengan surat kuasa. Setelah mendapatkan salinan putusan atau penetapan tersebut, bisa meminta KUA setempat untuk mencatatkan pernikahan dengan menunjukkan bukti salinan putusan atau penetapan pengadilan tersebut. C. Gambaran Perkara Nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL 1. Tentang Duduk Perkaranya Pengadilan agama Salatiga yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama dalam persidangan Majelis telah menjatuhkan penetapan dalam perkara itsbat nikah yang di ajukan oleh : Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 27 oktober 2014 yang terdaftar di kepaniteraan pengadilan agama Salatiga nomor 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL. Pemohon I (laki-laki) umur 17 tahun, agama islam, pekerjaan buruh harian lepas bertempat tinggal di kota Salatiga dan pemohon II (perempuan) umur 17 tahun, agama Islam bertempat tinggal di kabupaten Semarang. Mereka telah mengajukan hal-hal sebagai berikut : Bahwa mereka telah melangsungkan pernikahan menurut agama Islam pada tanggal 10 Februari 2014
47
dikabupaten Semarang, dengan wali nikah ayah kandung perempuan tersebut dengan mahar berupa seperangkat alat sholat dibayar tunai dan yang menjadi munakih (yang menikahkan/penghulu) dan saksikan 2 orang saksi. Pernikahan mereka tidak tercatat pada kantor urusan agama kecamatan Argomulyo, namun saat ini registernya tidak ada/rusak, sewaktu akan menikah pemohon I (laki-laki) berstatus jejaka, dalam usia 16 tahun sementara pemohon II (perempuan) berstatus perawan dalam usia 16 tahun. Setelah menikah hingga permohonan ini diajukan mereka tidak/belum pernah mendapat atau mengurus akta nikah tersebut, dari perkawinan mereka telah dikaruniai anak.Mereka sangat membutuhkan bukti pernikahan tersebut untuk kepastian hukum dan untuk pengurusan akta kelahiran anak mereka, di antara mereka tidak ada hubungan mahram maupun susuan dan sejak melangsungkan perkawinan sampai sekarang tidak pernah bercerai maupun pindah agama. Untuk kepastian hukum dan tertib administrasi kependudukan sebagaimana yang dimaksud pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang no.3 tahun 2006 tentang adminstrasi kependudukan maka para pemohon akan melaporkan penetapan pengadilan atas perkara ini kepada KUA kecamatan Argomulyo untuk dicatat dalam dahtar yang disediakan untuk itu pemohon sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini, berdasarkan hal-hal tersebut diatas pemohon memohon agar ketua pengadilan agama Salatiga dan majelis hakim dapat menerima, memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan
48
penetapan yang amarnya berbunyi sebagai berikut : Primer Mengabulkan permohonan para pemohon, menetapkan sah perkawinan mereka yang dilangsungkan pada tanggal 10 Februari 2014 di kabupaten semarang dan membebankan perkara kepada para pemohon. Subsider : Apabila majelis hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya, bahwa pada hari dan tanggal sidang
yang ditetapkan mereka datang sendiri
dipersidangan. Selanjutnya dibacakan permohonan para pemohon yang isinnya tetap dipertahankan oleh para pemohon. tentang jalannya sidang pemeriksaan perkara ini, semuannya telah tercatat didalam berita acara persidangan sehingga untuk mempersingkat uraian putusan ini, cukuplah menunjukkan berita acara tersebut. 2. Tentang Pertimbangan Hukum Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan mereka adalah sebagaimana tersebut diatas. Mereka bertempat tinggal diwilayah hukum pengadilan agama Salatiga menurut Undang-Undang no. 3 tahun 2006 dan Undang-Undang no.50 tahun 2009 tentang peradilan agama , maka pengadilan agama Salatiga baik relatif maupun absolut berwenang untuk mengadili dan menyelesaikan perkara ini, Dalam posita permohonan mereka menyatakan bahwa sewaktu akan menikah mereka berumur 16 tahun. Berdasarkan pasal 7 (1) dan (2) undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencukupi umur 19 tahun dan
49
pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Dalam penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain. Pemohon I pada saat dilangsungkan perkawinan belum mencapai usia 19 tahun dan tidak mendapatkan dispensasi dari pengadilan maka majelis hakim berpendapat bahwa permohonnan mereka untuk pengesahan nikah (itsbat nikah) harus dinyatakan ditolak. Oleh karena permohonan pengesahan nikah (itsbat nikah) ini termasuk bidang perkawinan, maka sesuai pasal 89 (1) undang-undang no.7 tahun 1989 yang telah diubah dengan undang-undang no.3 tahun 2006 dan diubah dengan undang-undang nomor 50 tahun 2009 maka biaya perkara dibebankan kepada pemohon. Mengingat segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum syara’ yang berkaitan dengan perkara ini. Menurut Drs. Jaenuri, MH hakim pengadilan agama Salatiga pengesahan itsbat nikah dinyatakan ditolak oleh pengadilan agama Salatiga karena waktu melaksanakan pernikahan umur mereka tidak memenuhi persyaratan yang di tetapkan dalam UUP no.1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yaitu perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Mereka tidak melakukan upaya atau langkah-langkah hukum selanjutnya (kasasi) maka status perkawinan mereka sah menurut islam karena sudah terpenuhi rukun dan syaratnya, sedangkan menurut negara belum sah karena syarat waktu melaksanakan perkawinan belum terpenuhi.
50
BAB IV PEMBAHASAN A. Analisis Penetapan Nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL Itsbat nikah yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan ke pengadilan agama adalah penetapan tentang pernikahan yang telah dilakukan oleh seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Pernikahan yang terjadi sudah sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam hukum islam sah secara agama yaitu telah terpenuhinnya syarat dan rukun pernikahan (Arto, 1996:94). Melakukan pernikahan sesuai dengan prosedur administrasi pernikahan yang sah berguna untuk menjamin terpeliharannya hak-hak suami, istri maupun anak. Melalui pencatatan pernikahan suami atau istri akan lebih bertanggung jawab menjalankan kewajiban dalam berumah tangga. Dalam agama islam pencatatan perkawinan tidak berakibat pada legalitas perkawinan sepanjang perkawinan itu memenuhi syarat dan rukun yang telah di tentukan agama islam, sedangkan akibat hukum pencatatan dalam hukum positif berakibat pada legalitas perkawinan di mata hukum. Dalam pandangan hukum positif perkawinan yang tidak dicatat dan tidak mendapatkan pengakuan hukum di anggap perkawinan itu tidak pernah terjadi di mata hukum. Seorang hakim dalam memutuskan perkara haruslah mempunyai sebuah landasan agar putusan atau penetapan yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan, baik kepada pihak yang berperkara, masyarakat maupun Allah. Seorang hakim dalam memutuskan sesuatu perkara yang diajukan ke pengadilan haruslah mempunyai landasan hukum materil
51
maupun formil. Landasan hukum materiil adalah hukum yang memuat peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan. Sedangkan hukum formil disebut juga hukum acara. Hakim dalam mengambil keputusan suatu perkara akan melihat dan memperhatikan posita (duduk perkara) dan haruslah sesuai dengan prosedur yang telah ada antara lain menghadirkan para saksi dalam persidangan dan menunjukkan bukti-bukti yang ada sebagai bahan pertimbangan (Arto, 1996:271). Karena di satu sisi harus tunduk peraturan perundang-undangan, namun disatu sisi pula seorang hakim harus mempertimbangkan kemaslahatan umat serta menggali hukum yang berlaku di masyarakat. Dalam perkara itsbat nikah yang merupakan kompetensi absolut peradilan agama, kirannya merupakan perkara yang cukup krusial, karena didalamnya terdapat akibat hukum yang berantai di antaranya kewarisan, akta kelahiran, pengakuan nasab dan lain-lain. Menurut hakim pengadilan salatiga Drs.Jaenuri .MH itsbat nikah yang dapat di ajukan ke pengadilan agama terbatas mengenai : 1. Adanya perkawinan dalam rangka menyelesaikan perceraian 2. Hilangnya akta nikah 3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan 4. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU no.1 tahun 1974 5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan.
52
Itsbat nikah diistilahkan berlaku surut yaitu sejak perkawinan itu dilakukan, penolakan itsbat nikah kebanyakan alasanya masih terikat perkawinan dengan orang lain (dalam proses perceraian), belum cukup umur waktu melakukan perkawinan, dalam perkara itsbat nikah dikabulkan pernikahan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, itsbat nikah di tolak karena ketika perkawinan dilakukan tidak memenuhi syarat dalam UUP dan KHI. Dasar yang digunakan oleh majelis hakim dalam penetapan nomor : 0077/Pdt.P/2014/PA.SAL adalah undang-undang perkawinan no.1 tahun 1974 pasal 7 (1) dan (2) yang menyatakan bahwa perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencukupi umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain. Dalam perkara ini, salah satu pihak belum memenuhi persyaratan perkawinan karena belum cukup umur dan tanpa mendapatkan despensasi dari pengadilan agama, maka dalam pasal 22 undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan menegaskan bahwa pernikahan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pernikahan. Jadi dapat di simpulkan bahwa dispensasi dari pengadilan agama bagi yang belum cukup umur harus ada dan apabila hal tersebut tidak ada. Maka pernikahannya dapat dibatalkan. Karena dispensasi merupakan persyaratan dalam undang-undang perkawinan, apabila belum terpenuhi syarat tentang batas minimal melangsungkan
53
pernikahan. Akan berakibat hukum lain. Menurut perundang-undangan, hakim pengadilan agama Salatiga dalam menolak permohonan itsbat nikah sudah sesuai dengan undang-undang perkawinan no.1 tahun 1974 pasal 7 (1) dan (2) yang menyatakan bahwa perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencukupi umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain. Penulis mengambil kesimpulan sepanjang perkawinan itu telah memenuhi syarat dan rukun menurut agama Islam sah, sedangkan perkawinan yang belum di catatkan di KUA atau kantor catatan sipil menurut negara tidak sah.Dalam pandangan hukum positif perkawinan yang tidak dicatat dan tidak mendapatkan pengakuan hukum di anggap perkawinan itu tidak pernah terjadi dimata hukum. Apabila akan melakukan perkawinan tetapi belum cukup umur dapat minta dispensasi
dari
pengadilan
agama,
dalam
perkara
Nomor
:
0077/Pdt.P/2014/PA.SAL untuk pengesahan nikah dinyatakan ditolak karena salah satu pihak belum mencukupi umur sewaktu melaksanakan perkawinannya, untuk pengesahan harus melakuakan nikah ulang dan harus dicatatkan dikantor KUA. Karena isbat nikahnya ditolak jadi belum mempunyai kekuatan hukum dan kepastian hukum.
54
B. Dampak
Yuridis
Penolakan
Itsbat
Nikah
Nomor
:
0077/Pdt.P/2014/PA.SAL 1. Dampak terhadap suami Hampir tidak ada dampak yang merugikan bagi suami yang menikah di bawah tangan,suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan dianggap tidak sah di mata negara, suami tidak ada tanggungan kewajiban menafkahiistri maupun anaknya dan tidak ada pembagian harta seperti warisan dan harta gono gini. Dalam pandangan hukum positif perkawinan yang tidak dicatatkan tidak mendapatkan pengakuan hukum, perkawinan itu dianggap tidak pernah terjadi dimata hukum, walaupun perkawinan itu sudah dilakukan berdasarkan ketentuan agama atau kepercayaannya. 2. Dampak terhadap istri Secara hukum tidak dianggap sebagai istri sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika suaminnya meninggal dunia, tidak berhak atas harta gono gini jika terjadi perceraian karena secara hukum perkawinan tidak pernah terjadi. Meski secara agama dianggap sah, namun pernikahan yang dilakukan di luar pengetahuan dan
pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki
kekuatan hukum dan di anngap tidak sah dimata hukum.
55
3. Dampak terhadap anak Status anak : dianggap anak yang tidak sah, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, dalam UUP pasal 42 anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, pasal 43 ayat (1) anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya dan KHI pasal 100 anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, dalam status kelahiran anak di anggap sebagai anak luar nikah hanya mencantumkan nama ibu. Ketidak jelasan status anak di mata hukum mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah bukan anak kandungnya, hal ini jelas merugikan anak tersebut karena tidak berhak atas biaya kehidupan, pendidikan dan warisan dari ayahnya
56
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari permasalahan
yang diangkat dalam skripsi ini maka penulis
menyimpulkan sebagai berikut : 1. Dasar
pertimbangan
hakim
dalam
memutuskan
perkara
Nomor
:
0077/Pdt.P/2014/PA.SAL adalah Undang-Undang perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencukupi umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain. 2. Apabila terjadi penolakan itsbat nikah maka perkawinan itu belum mempunyai kekuatan hukum, karena perkawinannya belum dicatatkan di KUA atau kantor catatan sipil maka dampak penolakan itsbat nikah terhadap hak anak : a.
jika kedua orang tuanya bercerai anak sulit mendapatkan harta gono gini karena secara hukum pernikahannya dianggap belum pernah terjadi menurut Negara. Hubungannya anak dengan harta gono gini, karena bapak atau ibu tetap memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bapak yang bertanggung jawab atas semua pemeliharaan dan pendidikan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat
57
memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. b.
Istri dan anak juga tidak berhak atas nafkah dan warisan jika suami meninggal dunia.
c.
Anak kesulitan mendapatkan akta kelahiran sebab orang tuanya tidak mempunyai akta nikah. Hubungan akta kelahiran dengan ayah tidak punya akta nikah. Karena dengan tidak adanya akta nikah orang tua, maka akta kelahiran anak tersebut tidak menyantumkan nama ayah biologisnya dan hanya menyantumkan nama ibu yang melahirkan. Status anak tersebut dianggap anak luar kawin sehingga tidak bisa melakukan hubungan hukum keperdataan dengan ayah biologisnya, anak hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya.
58
B. Saran Adapun saran yang dapat penulis berikan : 1. Kepada penegak keadilan atau hakim, KUA dan kantor catatan sipil di sarankan untuk perlu mensosialisasikan tentang pentingnya pencatatan perkawinan 2. Bagi pasangan yang ingin melakukan perkawinan hendaknya mencatatkan perkawinan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat dan melindungi hak-hak suami,istri dan anak.
59
DAFTAR PUSTAKA
Arto,
Mukti. 1996. Praktek Perkara Agama.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Perdata
pada
Pengadilan
Ayuhan. 2011. Legalisasi Hukum Pernikahan Siri dengan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Jakarta. Bafadal, Fadhal. 2006. Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Pustaka Agung Harapan. Badruzzaman, maman. 2013. Efektivitas Itsbat Nikah Masal dalam Meminimalisir Terjadinnya Pernikahan Tanpa Akta Nikah (Studi Kasus di KUA Kecamatan Karang Gampel Kecamatan Indramayu Tahun 2008-2012).Yogyakarta. Bazhir, Ahmad Azhar. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Yogakarta: Pustaka Pelajar Omset. Djubaidah, Neng. 2010. Pencatatan Perkawinan & Perkawinan tidak dicatat Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Menurut
Ghazali, Imam. 2004. Rumahku Surgaku Panduan Perkawinan dalam Ihya. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Joni, Muhammad. 1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak-Hak Anak. Bandung:Citra Aditya Bhakti. Juhari, Imam. 2003. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Keluarga Poligami. Jakarta:Pustaka Bansa Press. Nasution, Choiruddin.2004. Hukum Perkawinan I. Yogyakarta: Akademia Tazzafa. Nurudin, Amiur. 2006. Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta:Kencana. Meleong, Lexy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja RosdaKarya. Muhammad Azzam, Abdul Aziz. 2009. Fiqih Munakahat Khitbah, Nikah dan Talak. Jakarta: Sinar Grafika Offset. Manan, Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group. Riduwan. 2004. Metode Riset. Jakarta: Reneka Cipta.
60
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Asdi Mahasatya. Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta:Prenada Media Saleh, Hasan.2008. Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Summa, Muhammad Amin. 2004. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Shihab, Quraish. 2004. Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. Syafrianto, Dian. 2013. Pelaksanaan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Semarang Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Semarang. http://www.pa-salatiga.go.id/index.php/news/struktur-dan-organisasi.html, September 2015
diakses
29
http://www.pa-salatiga.go.id/index.php/news/visi-a-misi.html, diakses 29 September 2015 http://www.pa-salatiga.go.id/index.php/news/tupoksi.html, diakses 29 September 2015 http://www.pa-salatiga.go.id/index.php/news/yurisdiksi.html, diakses 29 September 2015
61
LAMPIRAN-LAMPIRAN
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74