Pertama
Sal Dhomirok | 1
1
2 | Laung
2
Perth, 8 April 2011 “Where will you go, Sir?” “Perth Airport please.” Tidak sempat kukemas rapi, tiga potong pakaian kumasukkan percuma ke dalam tas ransel cokelat tua milikku. Tidak ada persiapan. Buku tebal di dalam tas adalah bodohku. Saking tergesanya, aku lupa untuk mengeluarkannya. Hampir melengkapi kebodohan atas tergesa-gesa membuatku pangling dan lupa memakai sepatu pengganti sendal jepit ini—sial. Kembali kuingat untuk ke sekian kalinya, al-anaatu minallah, wal‘ajalatu minas-syaithon1—dan sifat dasar manusia kembali mengalahkan pikiran jernih dan bersikap tenang. Kuhela napas panjang dan merilekskan tulang belakang, membenamkannya di jok taksi ini—dan, hmm... mantap. Punggung, bokong, paha, dan kakiku merileks manja. Aliran darah terasa mengalir lancar ke pembuluh darah. Sandaran ini juga membuat punggungku serasa dipijat. Pikiranku kembali normal. Jika bus rute 40 dari Esplanade Busport masih kutunggu—bisa pitam kepalaku dan menggerutu maksimal. Selain lalai karena tergesa, aku juga mengalami pilihan yang membuat harus menyabarkan diri. Pilihan pada taksi ini adalah pilihan yang bukan inginku. Menaiki taksi di kota ini akan memakan biaya yang sangat super mahal. Para pelajar biasanya mengandalkan jalur bus atau jalur kereta. Menaiki bus rute 40 dari Esplanade Busport adalah 1
H.R. Imam Tirmidzi yang berarti: ‘sikap hati-hati itu dari Allah, dan sikap tergesa itu dari syaitan.’
Sal Dhomirok | 3
tujuan awalku, tetapi bus itu hanya lewat pada waktu tertentu. Jika mengejar ke lokasi bus rute 37 dari halte 10121 berdekatan dengan sudut St. Georges Terrace dan William Street, mungkin hasilnya juga akan sama—samasama mempunyai waktu tertentu untuk lewat. Kedua rute bus itu akan berakhir di terminal domestik Bandar Udara Perth, sedangkan waktu memburuku untuk cepat. Memilih jalur kereta? Waktu untuk berpikir saja sudah menyita tiga menit, ditambah panggilan handphone di saku celana sudah berbunyi memaksa mengambil keputusan. Kuraih panggilan terlebih dahulu. “Afwan2 Boi, aku masih menunggu bus rute 40.” “Itu masih lama lewatnya. Sudah, naik taksi saja,” usulnya. Setelah berpikir singkat, “Oke.” Kumatikan panggilan dan pada akhirnya keputusan itu berasal dari teman yang sudah cukup lama menungguku di bandara. Untung taksi ini melewati Hackett Dr dan Mounts Bay Rd lalu mengelilingi Swan River yang begitu indah. Kusenderkan sisi kanan kepala di kaca taksi sehingga aku bisa melihat samar jejak luka di pelipis kiriku, dan melihat jelas lepas landas Swan River yang membentang luas. Bangunan kokoh tata kota Perth menambah keindahan khas kota produsen emas dan perak terbesar di dunia ini. Rasa sesal karena tergesa, lalai karena tidak mempersiapkan diri, dan biaya taksi yang mungkin nantinya sangat mahal perlahan terlupakan karena dimanjakan pemandangan indah Swan River di siang hari ini—walau mendung sedari tadi sudah menemani langit kota ini. 2
Maaf
4 | Laung
Di kaca taksi, sedikit rintik hujan sudah turun membasahi. Mungkin lagu Ratih Purwati yang terkenal di tahun 80-an akan terngiang sebentar lagi. Hujan, turun lagi, di bawah payung hitam kuberlindung.... Hmm… mungkin begitulah kira-kira liriknya. Perth adalah kota yang terkenal dengan tempat liburan yang tenang, sejuk, dan nyaman. Ibu Kota Australia Barat ini merupakan salah satu kota yang mendapat julukan “kota lampu”. Apalagi kota ini langsung berhadapan dengan luasnya Samudra Hindia. Banyak tempat wisata yang sangat menarik dan indah yang bisa dijadikan tujuan wisata. Selain terkenal dengan Sungai Foreshore, King Park and Botanic Garden, Bell Tower, Nortbridge, Hay Street Perth, dan tempat wisata lainnya, Perth juga dikenal dengan kota pelajar. Hampir puluhan ribu pelajar dan mahasiswa internasional dari berbagai negara datang dan belajar tiap tahunnya di kota ini, termasuk aku dan salah satu teman karibku yang menunggu di bandara. Ditambah lagi fasilitas kerja part time yang disediakan bagi pelajar internasional. Tempat kerja sengaja disediakan bagi pelajar sehingga mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, atau bahkan membayar uang sekolah sendiri. Kurang lebih sudah satu tahun aku dan temanku tinggal dan menuntut ilmu di kota ini. Jalur beasiswa mengantarku ke University of Western Australia (UWA) program Master of Biotechnology Majoring in Genetics and Breeding. Kecintaanku pada tumbuhan mengarahkanku ke sini. Sementara itu, teman karibku berada di Curtin University program Master Management. Keberuntunganku dari temanku, University Sal Dhomirok | 5
of Western Australia berada di tepi Swan River yang begitu indah. Pemandangan yang memanjakan mata selalu kurasakan setiap harinya dan membantu merilekskan diri dari kepenatan belajar program S-2. Kini aku sudah berada di Great Eastern Hwy dan sebentar lagi akan sampai. Jarak tempuh kurang lebih setengah jam. Temanku sudah lebih dulu sampai ke bandara karena lokasinya lebih dekat. Jarak dari bandara kurang lebih lima belas menit jika ia melewati Lawson St dan menuju Leach Hwy. Di senderan kaca taksi dan tepi rintik gerimis yang membasahi bumi perlahan, kulihat selembar foto ukuran postcard yang kugenggam dari tadi. Pada lembar foto itu terpampang sembilan belas remaja yang sangat akrab di masa laluku. Jumlah yang banyak dengan ukuran postcard yang kusam membuat wajah sembilan belas remaja itu tampak tidak jelas. Namun, ingatanku masih sangat hafal wajah konyol mereka. Sangat konyol. Dilihat dari gaya berfoto konyol mereka membuatku tersadar kalau dulu gaya ini sangat amat norak, termasuk juga aku. Salah satu teman karib yang tercetak di lembar foto kusam ini adalah orang yang menunggu di bandara. Ia teman pesantrenku saat di Kota Medan dulu. Hari ini ia sudah susah payah mengurus penerbangan yang tidak direncanakan menuju Indonesia. Ya, ada suatu hal yang harus kami temui segera. Kurang lebih dua jam yang lalu— aku, teman yang menunggu di bandara dan beberapa teman karib yang terpampang di foto mendapat berita. Berita itu mendadak dan mengharuskan kami berjumpa untuk suatu hal yang penting, sangat penting. 6 | Laung
Mereka datang dari Aceh, Medan, Padang, dan Pekanbaru dengan konsekuensi meninggalkan pekerjaan dan sekolah mereka. Komplotan yang dulu sampai sekarang sangat percaya diri kami sebut, 1708. Sudah hampir empat tahun lebih aku tidak berjumpa mereka. Hanya lewat handphone dan jejaring sosial cara berkomunikasi yang kami bisa. Terasa rindu juga ingin melihat mereka, menjitak kepala mereka, kalau bisa kubotakin sekalian. Namun, keinginan konyolku itu harus diurung. Perjumpaan ini bukan reuni atau pertemuan yang direncanakan. Perjumpaan ini terjadi tidak disengaja, tiba-tiba, dan tergesa-gesa karena kami harus pergi menemui seorang wanita yang dulunya kami kenal berwajah putih cantik jelita. Sekarang ia terkulai lemas di salah satu rumah sakit di Yogyakarta. Dia, wanita itu sedang diopname karena penyakit yang tidak kutahu defenisi jelasnya apa. Meningitis Sindrome namanya. Tidak mengerti apakah itu sudah parah atau tidak. Yang kutahu, aku, kami, dan terkhususnya mereka harus berada di sana. Mereka yang memiliki rangkaian cerita terkenang bersama wanita yang berwajah putih cantik jelita itu. Sama denganku. Mungkin sekarang wanita itu tak lagi seputih dan secantik dulu. Putih kulitnya mungkin sudah memucat pudar, wajah cantik jelita juga mungkin sudah tertutup penyakit yang menguras keceriaannya. Ah, tapi itu hanya pikiran bodohku saja. Semoga Allah melindunginya. Amin. Aku sudah sampai. “Thank you, Sir,” ucapku sambil memberi upah. Laki-laki berwajah Dutch menerima upah imbalan itu dengan senyum merekah sempurna. Sal Dhomirok | 7
Handphone-ku kembali berbunyi. “Ya shohiby, washoltu kholash 3,” hadangku dengan menyapa lebih dulu. “Fi aina tantazhir?4” lalu alihku pada pertanyaan supaya ia tidak nyerocos kesal karena sudah cukup lama menunggu. “Antazhiru qoribun min makani boarding past5,” jawabnya datar. “Oke, daqiqoh, abhasu hunaka 6.” Kumatikan segera sebelum lepas landas berkomentar. Selang beberapa detik, panggilan penerbangan sudah terdengar. Kupercepat dengan lari ringan sampai menemuinya berdiri tegak tanpa ekspresi saat melihatku. Kukembangkan senyum khasku agar ia luluh. Cukup lima detik, senyum khas persahabatan yang sudah sangat lama mengalahkan ego dan kesalahan yang kuperbuat. Manjur. “Oke, sudah cukup senyam-senyumnya dari wajah tidak bersalahmu itu,” komentarnya singkat sambil memberi tiketku dan bergerak cepat. Aku tidak mau mengomentari, aku masih tetap cengengesan sendiri. Setibanya di pesawat, kami langsung duduk tenang dan mengenakan sabuk pengaman. Kembali kurasakan senderan tempat duduk, memanjakan tulang belakangku. Sambil mendengarkan penjelasan keamanan, pandanganku beralih ke jendela kaca pesawat dengan tatapan tenang dan mengenang. Suasana hujan di luar kini kuhiraukan. 3 4 5 6
Ya teman, aku sudah sampai. Di mana kau tunggu? Aku menunggu dekat tempat boarding past. Sebentar, aku akan mencarimu di sana.
8 | Laung
Pesawat ini akan melakukan penerbangan dari Bandara Perth menuju Bandara Ngurah Rai Denpasar. Lama penerbangan memakan waktu hampir empat jam. Di Bandara Ngurah Rai nantinya kami transit dulu kurang lebih empat jam. Lalu dari Bandara Ngurah Rai langsung menuju Bandara Adi Sucipto Yogyakarta kurang lebih satu jam. Dari jumlah waktu, mungkin mereka yang di Indonesia lebih dahulu sampai dan menunggu kami berdua di sana. Suara dengkuran membuatku tersadar dari lamunan. Suara itu berasar dari temanku yang sudah lebih dulu masuk alam mimpi. Mungkin ia cukup kelelahan beraktivitas dan ditambah menungguku di bandara tadi. Kubiarkan saja ia pulas dalam tidurnya. Kuganti offline airplane menjadi flight mode. Kulihat kembali lembar foto postcard kusam yang kugenggam di tangan. Kuperhatikan kembali kesembilan belas teman lamaku itu—dan terfokus ke salah satu dari empat wanita yang berpose di pinggir paling kanan. Itu dia, wanita yang entah kenapa menjadi fokus pikiranku satu tahun terakhir ini. Aku hafal wajah putih dan cantik jelitanya. Senyumannya sangat manis. Jilbab besarnya membuat keanggunannya ada. Anganku pun terlempar ke masa lalu—ke masa lembarlembar lama yang terlipat rapi. Ke masa hari-hari yang tak mungkin datang kembali. Ke masa rotasi cerita yang berputar bersamanya—dia, si pemilik wajah putih cantik nan jelita. ***
Sal Dhomirok | 9