2
sectional study uses work engagement scale, organizational climate scale, and optimism scale for data collection. Subjects consisted of 61 employees of Psychology Faculty of Gadjah Mada University.Data is analysed by multiple linear regression analysis. Result shows optimism ism is partial mediator of organizational climates’ influence toward work engagement. Keywords: work engagement, organizational climate, optimisme.
Organisasi menjadi lebih tertarik pada work engagement setelah beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang engaged menunjukkan performansi kerja yang lebih baik (Demerouti & Cropanzano 2010; Christian, Garza & Slaughter 2011). Work engagement merupakan suatu konstrak penting dalam bidang psikologi organisasi positif. Work engagement mencakup pernyataan positif yang berkontribusi pada kesejahteraan karyawan (Ferreira, 2012). Konsep engagement pertama kali dikemukakan oleh Kahn (1990) yang menyatakan bahwa individu yang engaged terhadap pekerjaannya akan terhubung dengan peranannya dalam bekerja baik secara fisik, kognitif, maupun secara emosi. Bakker dan Sanz-Vergel (2013) menyatakan bahwa karyawan dapat memelihara kesejahteraan psikologis mereka dan mengatasi tuntutan pekerjaan yang dihadapi dikarenakan adanya interaksi antara tuntutan pekerjaan dan sumber daya pribadi. Kedua hal tersebutlah yang menjadi kunci dari work engagement. Schaufeli dan Bakker (2004) mengemukakan bahwa work engagement merupakan suatu kondisi dimana individu memiliki pikiran yang positif serta memiliki motivasi yang tinggi dalam kaitannya dengan pekerjaannya. Kondisi tersebut ditandai dengan semangat yang tinggi (vigor), dedikasi (dedication), dan kedalaman fokus (absorption). Sejalan dengan hal tersebut Bakker dan Xanthopoulou (2013) memaparkan bahwa work engagement merupakan suatu hal yang positif, fulfilling, pengalaman yang berhubungan dengan pekerjaan yang
3
meliputi tiga dimensi yang saling melengkapi, yaitu: energik (vigor), afektif (dedication), dan dimensi kognitif (absorption). Vigor mengacu pada tingkat energi yang tinggi saat bekerja. Dedication mengacu pada keterlibatan yang kuat dalam suatu pekerjaan dan menemukan makna pada pekerjaannya. Sementara absorption
dicirikan
dengan
konsentrasi
penuh
dan
bahagia
dengan
pekerjaannya. Oleh karena itu karyawan yang engaged merupakan karyawan yang aktif, antusias terhadap pekerjaannya dan seringkali tenggelam dalam pekerjaan mereka. Macey, Schneider, Barbera, dan Young (2009) menyatakan bahwa engagement mengacu pada pemfokusan energi yang diarahkan pada tujuan organisasi. Karyawan yang engaged akan bekerja lebih keras melalui peningkatan usaha dibandingkan dengan karyawan disengaged. Penelitian tentang work engagement hingga saat ini terus berkembang, namun masih banyak hal yang harus lebih dikaji terkait engagement itu sendiri. Sebagai contoh, tidak semua peneliti setuju pada definisi dan pengukuran work engagement (Bakker, 2011). Meskipun sebagian besar peneliti menggunakan model tiga dimensi dari Schaufeli dan Bakker (2004) yaitu vigor, dedication, dan absorption, beberapa peneliti berpendapat bahwa definisi work engagement harus mencakup dimensi perilaku (Macey dkk., 2009). Berdasarkan beberapa pemaparan di atas, peneliti mengacu pada definisi work engagement sesuai dengan yang dipaparkan oleh Schaufeli dan Bakker (2004) bahwa work engagement merupakan suatu kondisi dimana individu memiliki pikiran yang positif serta memiliki motivasi yang tinggi dalam kaitannya dengan pekerjaannya. Kondisi tersebut juga ditandai dengan semangat yang tinggi (vigor), dedikasi (dedication), dan kedalaman fokus (absorption). Meskipun demikian berdasarkan hasil wawancara pada beberapa karyawan menunjukkan
4
adanya dimensi lain yang tidak termasuk pada ketiga dimensi work engagement yaitu dimensi kebermanfaatan. Dimensi kebermanfaatan di sini merupakan dimensi tambahan work engagement dengan muatan kearifan lokal yang tidak dapat digolongkan ke dalam ketiga dimensi work engagement. Vigor identik dengan energi yang tinggi dan memiliki resiliensi ketika bekerja. Karyawan bersedia untuk memberikan usaha yang lebih pada pekerjaanya, dan tetap tekun meskipun menghadapi kesulitan dalam pengerjaannya. Dedication mengacu pada keterlibatan yang kuat dalam suatu pekerjaan dan menemukan makna pada pekerjaannya. Individu merasa
antusias,
selalu
terinspirasi,
bangga,
dan
tertantang
dengan
pekerjaannya. Absorption identik dengan konsentrasi penuh dan bahagia dengan pekerjaannya. Individu merasa waktu berlalu dengan cepat dan sulit memisahkan diri dari pekerjaan yang dilakukannya (Schaufeli & Bakker, 2010). Sementara kebermanfaatan dalam penelitian adalah suatu kondisi dimana karyawan merasa lebih terlibat dengan pekerjaannya jika mampu memberikan manfaat baik pada diri sendiri dalam bentuk syukur dan mengambil hikmah maupun memberikan manfaat pada orang lain. “Yaa saya kira kok kalau kita bisa berbuat lebih baik ya kenapa tidak ya kalau saya. Saya kira juga kalau saya akan lebih seneng, lebih rasanya lebih seneng lebih gembira ketika kita bekerja secara ikhlas dan total dalam bekerja, tidak setengah-setengah. Yaa pokoknya selalu bersyukur” (S1, W1, 304-307) “mengambil hikmah dari itu semua. Kalau itu diambil hikmahnya secara positif begitu ya, kalau itu diambil hikmahnya secara positif maka yang keluar akan positif. Katakanlah dia menghadapi pekerjaan banyak, mahasiswa buanyak dan lain sebagainya. Nah itu dia kalau dia berpikirnya itu positif maka dia itu akan keluar ide-ide yang positif” (S6, W1, 431-435) “suatu kesenangan tersendiri bisa membantu mahasiswa” (S2, W1, 205)
5
“saya yang paling seneng bisa membantu biarpun saya ikut lari-lari kejar dosen sampai saya pulang jam 7 nunggu ujian.. saya malah seneng karena membantu mahasiswa” (S3, W1, 77-79) deLange, Witte, dan Nelaers (2008) mengemukakan bahwa work engagement merupakan emosi positif yang dapat membuat individu memperluas pemikirannya dan membangun lebih banyak sumber daya kerja. Karyawan yang engaged akan lebih baik memanfaatkan peluang
promosi yang
akan
meningkatkan kapasitas mereka dalam regulasi emosi (Hobfoll dalam deLange, dkk., 2008). Hasil penelitian longitudinal yang dilakukan oleh deLange, dkk. (2008) menunjukkan bahwa work engagement pada karyawan stayers akan mengalami penurunan sementara promotion makers akan menunjukkan peningkatan work engagement. Hasil penelitian longitudinal lebih lanjut yang dilakukan oleh Hakanen dan Schaufeli (2012) menunjukkan bahwa burnout diprediksi gejala depresi dan ketidakpuasan sementara work engagement memiliki efek negatif pada gejala depresi dan efek positif pada kepuasan kerja bahkan setelah disesuaikan untuk dampak burnout di setiap kesempatan. Adanya dimensi kebermanfaatan ini sebagai dimensi tambahan yang dimana didalamnya mencakup rasa syukur, mengambil hikmah, dan memberi pada orang lain menunjukkan adanya sisi religiusitas pada karyawan di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bickerton, Miner, Dowson, dan Griffin (2014) menunjukkan bahwa adanya spiritual resources dapat menjaga keberlanjutan work engagement karyawan. Work engagement telah banyak diteliti. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anteseden dari work engagement adalah job resources (Bakker & Xanthopoulou, 2013; Salanova & Schaufeli, 2008; Schaufeli& Bakker, 2004; Simbula, Panari, Guglielmi, & Fraccaroli, 2012), dan personal resources
6
yang mencakup, self efficacy (Federici & Skaalvik, 2011; Simbula, Guglielmi, & Fraccaroli, 2011), resilience (Othman, Ghazxali, & Ahmad, 2013), ataupun personal resources secara umum (Bakker & Xanthopoulou, 2013; Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2009). Job resources mengacu pada aspekaspek fisik, sosial, maupun organisasi yang berfungsi sebagai media dalam pencapaian tujuan, sementara personal resources merupakan evaluasi diri yang positif yang mengacu pada perasaan individu mengenai kemampuannya dalam mengontrol dan mempengaruhi lingkungannya dengan sukses (Bakker & Demerouti, 2008). Meskipun demikian sangat sedikit studi yang menunjukkan prediktor maupun hasil dari work engagement yang secara berkelanjutan dalam satu model yang lebih menyeluruh (Bakker & Xanthopoulou, 2013). Gagasan iklim organisasi merupakan dasar untuk mempelajari organisasi dan secara luas dianggap sebagai faktor penentu penting dari hasil sikap, perilaku, dan kinerja terkait (Reichers & Schneider, 1990). Zhang dan Liu (2010) mengemukakan bahwa iklim merupakan representasi dan tujuan dari organisasi dimana dapat digunakan sebagai alat serta cara untuk mencapai hasil yang diinginkan. Lebih lanjut Vardi (2001) memaparkan bahwa iklim organisasi merupakan
persepsi
karyawan
terhadap
kebijakan
perusahaan
dan
pelaksanaannya, serta prosedur-prosedur yang ada baik formal maupun nonformal. Meskipun terdapat beberapa konsep yang berbeda mengenai iklim organisasi, terdapat kesepakatan yang berlaku secara luas bahwa iklim organisasi mengacu pada persepsi karyawan tentang struktur formal dan informal organisasi, peristiwa, kebijakan dan prosedur, serta harapan karyawan dalam konteks organisasi mereka (Reichers & Schneider, 1990).
7
Bakker, Albrecht, dan Leiter (2011) mengemukakan bahwa terdapat enam komponen kehidupan kerja berpotensi sebagai jalan untuk mengonsepkan ''climate for engagement''. Adapun keenam komponen tersebut, yaitu beban kerja, kontrol, reward, komunitas, keadilan, dan nilai-nilai (Leiter & Maslach, 2005). Keenam komponen tersebut telah dikaitkan baik secara teoritis maupun empiris dengan burnout dan engagement (Laba, 2012; Neiva & Nery, 2012). Selanjutnya, ketika diukur sebagai konstruk iklim (pada tingkat unit atau organisasi), enam komponen dapat dimodelkan untuk mempengaruhi persepsi karyawan terhadap tuntutan pekerjaan dan sumber daya kerja, yang pada gilirannya telah terbukti mempengaruhi engagement (Bakker, dkk. 2011). Berdasarkan pemaran di atas maka iklim organisasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah persepsi karyawan tentang struktur formal dan informal organisasi, peristiwa, kebijakan dan prosedur, serta harapan karyawan dalam konteks organisasi. Adapun konteks dari iklim organisasi yang dimaksudkan mengacu pada komponen six areas of worklife yang dipaparkan oleh Leiter & Maslach (2005), yaitu beban kerja, kontrol, reward, komunitas, keadilan, dan nilai-nilai. Hasil penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Maslach dan Leiter (2008) pada 466 karyawan menunjukkan bahwa ketidakkonsistenan pada enam area kerja membuat karyawan cenderung untuk berubah dan mengalami burnout pada pengukuran kedua. Lebih lanjut Bakker, dkk. (2011) menyatakan bahwa ketika karyawan merasa bahwa organisasi mereka memberikan dukungan, melibatkan,
dan
memberikan
iklim
yang
menantang,
yang
karenanya
mengakomodasi kebutuhan psikologis karyawan, karyawan lebih cenderung
8
untuk merespon dengan investasi waktu dan energi serta menjadi terlibat secara psikologis dalam pekerjaan organisasi mereka. Work engagement merupakan variabel kunci atau mekanisme jelas yang menjelaskan bagaimana variabel kontekstual seperti iklim dan sumber daya pekerjaan mempengaruhi variabel hasil organisasi (Bakker, dkk., 2011). Lebih lanjut Bakker dan Sanz-Vergel (2013) mengemukakan bahwa karyawan yang engaged memiliki kecenderungan untuk percaya bahwa mereka umumnya akan mengalami hasil yang baik dalam hidup. Scheier dan Carver (1985) mengemukakan bahwa optimisme dan pesimisme dapat didefinisikan sebagai kecenderungan umum untuk mengharapkan hasil positif atau negatif dalam kehidupan seseorang. Prinsip-prinsip teoritis yang mendasari konsep optimisme diambil dari expectancy-value models. Expectancy-value models menyatakan bahwa individu berperilaku untuk mencapai suatu tujuan. Expectancy-value models terdiri dari goals yaitu suatu hal yang menjadi hasrat dan expectancy individu, yaitu rasa percaya atau keraguan dalam pencapaian goals. Scheier, Carver, dan Bidges (2002) menyatakan bahwa expectancies merupakan hal yang penting dalam menggambarkan teori mengenai optimisme. Paulik (2001) mendefinisikan optimisme sebagai kecenderungan individu untuk menganggap situasi yang sulit dan masalah yang dihadapi akan berhasil dikelola dan diselesaikan, dan bahwa segala sesuatu akan berakhir dengan baik. Sejalan dengan hal tersebut Peterson dan Basio (2002) mendefinisikan optimisme sebagai suatu keyakinan yang menyebabkan individu untuk mendekati dunia secara aktif. Individu yang optimis percaya bahwa masa depan merupakan peluang positif dengan hasil yang sukses.
9
Individu yang optimis adalah individu yang mengharapkan hasil yang positif meskipun pada hal yang sulit. Optimisme berkaitan dengan problem-focused coping secara positif, khususnya ketika situasi yang penuh tekanan dianggap menjadi hal yang dapat dikontrol. Optimisme juga berkaitan dengan positive reframing yaitu kecenderungan untuk menerima realita dari situasi yang dihadapi meskipun
dalam
situasi
yang
dianggap
tidak
terkontrol.
Hal
tersebut
mengindikasikan bahwa individu yang optimis, tidak hanya menggunakan problem-centered coping tetapi juga emotion-focus coping, dengan berusaha untuk menerima realita dari situasi sulit dan menempatkan situasi dalam kemungkinan terbaik (Scheier, Carver, & Bidges, 2002). Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti menggunakan definisi optimisme sebagaimana yang dikemukakan oleh Scheier dan Carver (1995) bahwa optimisme merupakan suatu pemikiran positif yang merefleksikan ekspektasi positif pada masa yang akan datang. Definisi ini akan menjelaskan bagaimana seorang karyawan optimis pada pekerjaannya sehingga mampu memberikan hasil yang positif ke depannya. Terdapat beberapa penelitian terkait mengenai peran optimisme. Peterson (Jezzi, 2006) menyatakan bahwa individu yang optimis secara aktif engaged terhadap apa yang dikerjakannya. Lebih lanjut Hobfoll dan Freedy (Jezzi, 2006) melakukan penelitian mengenai personal resources (self efficacy, resilience, optimism, hope) terhadap intervensi (mengajar dengan dukungan sosial). Hasilnya menunjukkan bahwa individu yang memiliki personal resources yang cukup dapat menggunakan intervensi dukungan sosial dengan tepat dalam meningkatkan keterampilan, pengetahuan, serta kapasitas coping yang dimiliki. Meskipun demikian, penelitian terkait pada kondisi tertentu seperti apa karyawan
10
mendapatkan keuntungan dari karakteristik pribadi positif tergolong masih kurang (Bakker & Sanz-Vergel, 2013). Lebih lanjut Bakker dan Sanz-Vergel (2013) menyatakan bahwa optimisme menjadi lebih menonjol dan merupakan prediktor yang lebih baik terhadap work engagement di bawah kondisi kerja tertentu. Konsep The Job Demands-Resources model yang dikembangkan oleh Schaufeli dan Bakker (2004) menyatakan bahwa karakteristik lingkungan kerja dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori umum yaitu job demands dan resources. Tingkat tuntutan pekerjaan yang tinggi dan sumber daya yang terbatas dalam hal ini optimisme cenderung mengakibatkan gangguan kesejahteraan dan mencegah pencapaian tujuan karyawan. Selain itu, The JD-R model juga menunjukkan bahwa job resources bersama dengan personal resources memberikan dampak pada keterlibatan dan kesejahteraan karyawan (Bakker & Demerouti 2007). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa karyawan merasa lebih terlibat ketika diberikan beban kerja yang sesuai. Sementara optimisme karyawan yang tinggi membuat karyawan lebih nyaman dan melihat hambatan dalam bekerja sebagai tantangan yang harus diselesaikan. Pengembangan The JD-R model juga telah dilakukan oleh Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, dan Schaufeli (2007) dengan menguji peran personal resources dalam hal ini optimisme, efikasi diri, dan OBSE (organizational based self esteem). Hasil penelitian tersebut memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengembangan The JD-R model dengan menambahkan beberapa fungsi dari personal resource dalam kerangka The JD-R model, sebagaimana di bawah ini:
11
Gambar 1. Pengembangan JD-R model dengan personal resources sebagai fokusnya (Xanthoupoulou, dkk., 2007) Berdasarkan dari JD-R model yang telah dikembangkan Xanthopoulou, dkk. (2007), peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana iklim organisasi yang dalam hal ini konteksnya dapat berupa job demands dan job resouces yaitu beban kerja, kontrol, reward, komunitas, keadilan, dan nilai-nilai dalam mempengaruhi optimisme pada karyawan yang pada akhirnya dapat membuat karyawan engaged terhadap profesinya. Cho, Laschinger, dan Wong (2006) menyatakan bahwa beban kerja mempengaruhi work engagement dan komitmen organisasi pada karyawan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada salah satu karyawan menyatakan bahwa karyawan memiliki beban kerja yang cukup besar dimana seringkali diberikan deadline untuk masing-masing pekerjaannya di samping dengan tugas tambahan lainnya.
12
“Kita di deadline harus mengerjakan ini selesai.. padahal kalau kita kan tidak hanya melayani mahasiswa kan gitu ya.. kita harus buat laporan.. pada saat kondisi itu mahasiswa juga mengejar minta ini harus selesai, disatu sisi saya juga harus mengerjakan tugas yang lain jadi rasanya aduuuhh.. jadipiye yo.. jadi gemes sendiri” (S3, W1, R 109-113). Lebih lanjut sumber daya pribadi dalam hal ini optimisme dapat menjadi prediktor yang lebih baik terhadap work engagement di bawah kondisi kerja tertentu. Setiap masalah yang dihadapi dianggap sebagai tantangan kerja dan memandangnya sebagi hal yang positif. “Itu memberikan suatu tantangan bagi saya, dan saya harus memberikan contoh, dan ini selalu saya katakana sama yang mudamuda terutama, kalau kamu mau sukses, pokoknya dikasih apa pun, ga usah ngu*** sami’na wa ato’na tapi kalau ada apa-apa saya nanti minta bantuan bapak, udah gitu aja. Ini untuk bisa meningkatkan keterlibatan.” (S9, W1, 232-236). “Sangat, ya,, saya istilahnya diuji kesabarannya, saya ambil hikmahnya bahwa saya harus menghadapi yang ini harus bersabar, seperti itu. Betul-betul nek kayak anak cilik itu, ya digandeng, gitu (tertawa) tapi itu apa ya mba ya, tantangan ya, karena saya ga boleh nyerah toh seperti itu, karena bagi saya, kalau saya bisa e, apa namanya satu menularkan ilmu saya ke mereka, kemudian membangkitkan semangat mereka, kemudian bahkan mereka bisa menunjukkan pekerjaan yang baik, yang bagus, istilahnya diakui oleh fakultas, ya saya senang” (S1, W1, 436-443) “tapi yo nek aku mikir akhirnya aku kembali lagi kembali lagi berpikir yoweslah ditandangi wae apapun pasti eee… seapes-apese aku pasti ono sing iso aku pelajari neng ono” (S5, W1, 295-297). Hasil survei terbaru dari Southeast Asian Nation yang dilakukan oleh Gallup (2013) menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam urutan terbawah terkait mengenai engagement pada karyawan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
hanya
8%
dari
karyawan
Indonesia
yang
engaged
terhadap
pekerjaannya, sementara 15% karyawan actively disengaged yang menempati tingkatan tertinggi di antara di wilayah tersebut.
13
Berdasarkan hal tersebutlah sehingga peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai bagaimana work engagement di Indonesia, khususnya dalam lingkup universitas. Bastedo (2012) menyatakan bahwa organisasi modern dibangun di atas penelitian pada perguruan tinggi dan universitas. Beberapa teori seperti organizational culture (Clark, 1970, 1972, 2008 dalam Bastedo, 2012), dan garbage can theory (Cohen & March, 1986 dalam Bastedo, 2012) berdasarkan dari hasil penelitian di perguruan tinggi dan universitas. Hingga saat ini studi topik organisasi pada pendidikan tinggi mengalami penurunan tajam. Sementara pada satu sisi penelitian pada perguruan tinggi dapat memberikan kontribusi mengenai gambaran organisasi secara menyeluruh. Staf pendukung dalam hal ini staff nonakademik di lembaga pendidikan tinggi memainkan peran penting dalam menciptakan pelayanan berkualitas tinggi dan mewakili kompetensi lembaga (Burke, Koyuncu, Fiksenbaum & Tekin, 2013). Smerek dan Perterson (2007) menyatakan bahwa karyawan nonakademik merupakan komponen kunci dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi karena tanggung jawab mereka untuk operasional lembaga. Banata dan Kuh (dalam Rothmann & Essenko, 2007) juga menambahkan bahwa hampir tidak mungkin untuk mencapai tujuan fakultas atau departemen dalam pengembangan intelektual dan pribadi tanpa bantuan dari staf non akademik. Rothmann dan Essenko (2007) lebih lanjut menjelaskan bahwa staf nonakademik memainkan peran utama dalam penciptaan dan peningkatan pengetahuan dan modernisasi di perguruan tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Barkhuizen, Mogwere, dan Schutte (2014) pada 60 staf nonakademik lembaga-lembaga perguruan tinggi di Afrika Selatan menunjukkan bahwa work engagement memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan pemberian pelayanan yang berkualitas.
14
Universitas Gadjah Mada (UGM) menduduki posisi teratas sebagai universitas terbaik di Indonesia berdasarkan rangking yang disusun oleh Webometrics 2014. Meskipun demikian, peringkat UGM di dunia masih jauh tertinggal dimana UGM hanya memempati posisi 598 (tescaindonesia, 2014). Sementara Fakultas Psikologi UGM merupakan salah satu dari 18 Fakultas di UGM yang sedang melakukan persiapan internasionalisasi (Universitas Gadja Mada, 2014). Berdasarkan hal tersebut di atas maka adapun rumusan permasalahan dari penelitian ini adalah apakah optimisme merupakan mediator terhadap hubungan antara iklim organisasi dengan work engagement pada karyawan Fakultas Psikologi UGM? Hipotesis Berdasarkan uraian di atas maka adapun hipotesis penelitian ini, yaitu: 1. Iklim organisasi berpengaruh terhadap work engagement karyawan 2. Iklim organisasi memiliki peranan positif terhadap work engagement dengan optimisme sebagai mediatornya. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini, yaitu: 1.
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh iklim organisasi terhadap work engagement karyawan.
2. Untuk mengetahui apakah optimisme berperan sebagai variabel merdiator atas pengaruh iklim organisasi terhadap work engagement.