Puslitbang tekMIRA Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211
Telp : 022-6030483 Fax : 022-6003373 E-mail :
[email protected]
Laporan Final Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang dan Pengelolaan Sumber Daya
OPTIMALISASI PENERAPAN PHYTOMINING PADA PERTAMBANGAN EMAS
oleh : Drs. Harry Tetra Antono Ali Rahmat Kurniawan, S.TP. Ir. M. Lutfi Wahyu Agus Setiawan, S.T. Dra. Sri Handayani, M.Si. Herni Khairunnisa, S.T. Wulandari Surono, S.Si. Lasmaria Sibarani, A.T. Nia Rosnia Hadijah, S.S., M.Si. Marsen Alimano, S.T. Hasniati Astika, S.T.
PUSLITBANG TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA – tekMIRA 2014
SARI
Salah satu cara untuk memperoleh kembali (recovery) logam-logam berharga, salah satunya emas (Au) dari ampas maupun lumpur sedimen dari aktivitas pertambangan dan pengolahan mineral adalah dengan metode phytomining. Penelitian dan pengembangan phytomining di Indonesia masih relatif baru dan berpeluang untuk dikembangkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam terkait dengan penerapan metode ini disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah rekomendasi tentang pelaksanaan metode phytomining pada skala lapangan berupa kajian aspek teknis. Penelitian phytomining emas skala rumah kaca dilakukan dengan memanfaatkan tiga jenis tanaman indigenous dari lokasi tambang emas yaitu rumput teki (Cyperus rotundus L.), akar wangi (Vetifer sp.) dan jenis paku-pakuan yang ditanam pada media lumpur sedimen PT Cibaliung Sumber Daya. Dalam penelitian ini ditetapkan dua perlakuan yaitu pemberian chelating agent dan bahan organik. Konsentrasi pemberian chelating agent Na-tiosulfat divariasikan yaitu 500, 1000 dan 1500 ml yang dikombinasikan dengan penambahan Cu sebagai katalis dalam reaksi pengikatan emas. Untuk penambahan bahan organik juga divariasikan yaitu 0,6; 1,2 gram dan tanpa bahan organik sebagai kontrol. Hasil penelitian menunjukkan penyerapan emas paling tinggi pada tanaman akar wangi sebesar 178 µg/kg berat kering dengan penambahan Na-tiosulfat 1000 ml; pada tanaman rumput teki 324 µg/kg berat kering dengan penambahan Natiosulfat 1500 ml dan pada tanaman paku-pakuan 2413 µg/kg berat kering dengan penambahan Na-tiosulfat sebesar 1000 ml. Penambahan bahan organik selain menunjang pertumbuhan juga mempengaruhi tingkat penyerapan emas.
Kata kunci : tanaman indigenous, phytomining, Au, lumpur sedimen, Na-tiosulfat
i
KATA PENGANTAR Logam emas (Au) merupakan logam berharga yang banyak digunakan untuk kepentingan industri maupun kebutuhan estetika manusia. Pada saat kegiatan penambangan emas pada umumnya logam emas (Au) masih dapat ditemukan pada area pembuangan tailing dan penimbunan limbah batuan. Salah satu cara untuk memaksimalkan perolehan logam-logam berharga tersebut adalah dengan metode phytomining. Melalui metode ini didapat dua keuntungan yaitu recovery logam berharga (phytomining) dan penanggulangan pencemaran logam-logam lain oleh tanaman yang dianggap sebagai bahan pencemar (fitoremediasi). Penerapan phytomining di Indonesia masih relatif baru dan berpeluang untuk dikembangkan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam sesuai dengan kondisi di Indonesia, baik dari aspek teknis, ekonomis, kebijakan, tingkat kelayakan dan efisiensi. Puslitbang tekMIRA sebagai instansi di bawah Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral ikut aktif memberikan masukan dan informasi hasil litbang salah satunya dari aspek lingkungan terkait dengan kegiatan penambangan dan pengolahan mineral. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan baru mengenai eksploitasi logam emas kadar rendah (low grade), pengelolaan logam-logam berharga lainnya dan pengelolaan lingkungan.
Bandung, Desember 2014 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Ir. Dede Ida Suhendra, M.Sc. NIP 19571226 198703 1 001
i
DAFTAR ISI Halaman
Kata Pengantar ..................................................................................
i
Sari .....................................................................................................
ii
Daftar Isi .............................................................................................
iii
Daftar Tabel ........................................................................................
v
Daftar Gambar ...................................................................................
vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.....................................................................
I-1
1.2. Ruang Lingkup Kegiatan......................................................
I-5
1.3. Tujuan .................................................................................
I-6
1.4. Sasaran ..............................................................................
I-6
1.5. Lokasi Kegiatan ..................................................................
I-6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA/STUDI LITERATUR 2.1. Phytomining .........................................................................
II-1
2.2. Tanaman hiperakumulator ...................................................
II-3
2.3. Mekanisme penyerapan logam oleh tanaman ......................
II-4
2.4. Chelating Agent...................................................................
II-8
BAB III PROGRAM KEGIATAN 3.1. Persiapan ...........................................................................
III-1
3.2. Pengambilan Contoh ..........................................................
III-1
3.3. Uji Pendahuluan ..................................................................
III-2
3.4. Uji Coba di Rumah Kaca ......................................................
III-2
3.5. Pelaporan ...........................................................................
III-3
BAB IV METODOLOGI 4.1. Skrining dan Pengujian Kandungan Au Tumbuhan ..............
IV-1
4.2. Preparasi dan Karakterisasi Awal Ampas dan Lumpur Sedimen 4.3. Pembuatan Pupuk Organik dan Pengujian Komposisi Kimia
IV-1 IV-3
ii
4.4. ............................................................................................. Perlakuan pada Ampas dan Lumpur Sedimen . ....................................
IV-3
4.5. ............................................................................................. Penanama n Tanaman Uji dan Penambahan Chelating Agent.. ............
IV-4
4.6. ............................................................................................. Pemanena n Tanaman Uji dan Pengujian Serapan Logam Au ..............
IV-5
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Karakteristik Ampas dan Lumpur Sedimen ..................
V-1
5.1.1. Komposisi Kimia Ampas dan Lumpur Sedimen ..........
V-1
5.1.2. Analisis XRD Ampas dan Lumpur Sedimen.................
V-7
5.2. Komposisi Pupuk Organik ....................................................
V-7
5.3. Screening Tanaman Lokal (Indigenous Plant) ......................
V-9
5.4 Analisis Pertumbuhan Tanaman ...........................................
V-10
5.5 Uji Kandungan Au .................................................................
V-14
5.5.1. Tanaman Akar Wangi (Vetiver sp.) .............................
V-14
5.5.2. Tanaman Caisin (Brassica juncea) ..............................
V-21
5.5.3. Tanaman Rumput Teki (Cyperus rotundus) ................
V-22
5.5.4. Tanaman Paku ............................................................
V-25
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................
VI-1
DAFTAR PUSTAKA
iii
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1.1. Rangkuman penelitian phytomining tahun 2012 dan 2013 ........
I-3
2.1. Penelitian penerapan phytomining skala rumah kaca ...............
II-2
4.1. Pengujian parameter percontoh dan metode uji .....................
IV-2
4.2. Parameter pengujian pupuk organik..........................................
IV-3
4.3. Komposisi perlakuan sebagai media tanam ..............................
IV-4
4.4. Komposisi chelating agents ......................................................
IV-5
5.1. Hasil analisis komposisi kimia awal contoh ampas dan lumpur sedimen ....................................................................................
V-1
5.2. Hasil analisis kandungan logam pada percontoh lumpur sedimen dan ampas................................................................................
V-5
5.3. Hasil analisis pupuk organik ......................................................
V-9
5.4. Hasil analisis awal kandungan Au pada tanaman .....................
V-9
5.5. Data pengamatan untuk desain acak sempurna .......................
V-12
5.6. Anava model tetap untuk desain acak sempurna........................ V-13 5.7. Hasil analisis laboratorium tajuk tanaman vetifer........................ V-15 5.8. Anava untuk disain tajuk tanaman akar wangi ........................ ..
V-17
5.9. Anava untuk disain akar tanaman akar wangi........................ ...
V-19
5.10. Anava untuk disain tanaman Caisin pada media tanam ampas
V-21
5.11. Anava untuk disain tanaman rumput teki ........................ ..........
V-23
5.12. Anava untuk disain akar tanaman rumput teki........................ ...
V-23
5.13. Anava untuk disain akar tanaman paku........................ .......
V-25
iv
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1.1. Road map penelitian phytomining ..............................................
I-2
1.2. Alur pikir kegiatan penelitian phytomining ..................................
I-5
1.3. Peta lokasi tambang emas PT. Cibaliung Sumber Daya ............
I-6
1.4. Peta lokasi rumah kaca Fakultas Pertanian UNWIM, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang ........................
I-7
2.1. Konsep phytomining ..................................................................
II-1
2.2. Mekanisme penyerapan logam oleh tanaman ............................
II-5
3.1. Pengambilan percontoh tanaman lokal (a) dan ampas (b) .........
III-2
3.2. Penanaman tanaman caisin (a) dan akar wangi (b) ...................
III-3
5.2. Tanaman Vetiver zizanoides di dalam rumah kaca ...................
V-11
5.3. Grafik hubungan penambahan bahan organik dan chelating agent terhadap serapan Au di tajuk tanaman akar wangi ..................
V-18
5.4. Grafik hubungan penambahan bahan organik dan chelating agent terhadap serapan Au di tajuk tanaman akar wangi ..................
V-20
5.5. Grafik hubungan penambahan bahan organik dan chelating agent terhadap penyerapan Au tanaman Caisin ................................
V-22
5.6. Grafik hubungan penambahan bahan organik dan chelating agent terhadap penyerapan Au pada rumput teki ..............................
V-23
5.7. Grafik hubungan penambahan bahan organik dan chelating agent terhadap penyerapan Au pada akar rumput teki ......................
V-24
5.7. Grafik hubungan penambahan bahan organik dan chelating agent terhadap penyerapan Au pada akar tanaman paku ..................
V-26
v
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Logam emas (Au) merupakan logam berharga yang banyak digunakan untuk kepentingan industri maupun kebutuhan estetika manusia. Pada saat kegiatan penambangan emas pada umumnya logam emas (Au) masih dapat ditemukan pada area pembuangan tailing dan penimbunan limbah batuan. Tailing yang dihasilkan dari industri pertambangan memiliki volume yang cukup besar dan masih mengandung logam berharga dalam konsentrasi tertentu. Pada beberapa kasus, tailing pertambangan emas masih menjadi produk yang ekonomis untuk diambil mineral berharganya. Akan tetapi pada kasus yang lain, pengolahan tailing menggunakan teknologi konvensional tidak mampu menghasilkan emas dalam jumlah yang ekonomis, karena membutuhkan biaya (cost) produksi yang lebih besar dibandingkan dengan keuntungan (benefit) yang dihasilkan. Sehingga pada umumnya tailing ini akan dibuang menjadi limbah dan menjadi sumber pencemar lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik dan benar. Salah satu cara untuk memperoleh logam-logam berharga dalam tailing adalah dengan metode phytomining. Phytomining merupakan teknologi eksploitasi logam berharga berkadar rendah dengan memanfaatkan biomassa tumbuhan sebagai media pengekstrak. Konsep phytomining secara umum sama dengan fitoremediasi yaitu berdasarkan penyerapan logam (fitoekstraksi), namun kedua teknologi tersebut memiliki tujuan akhir yang berbeda. Fitoremediasi bertujuan untuk menanggulangi pencemaran logam-logam yang dianggap sebagai bahan pencemar sedangkan fitomining bertujuan untuk memperoleh kembali logam-logam berharga yang tidak ekonomis lagi jika diolah dengan cara konvensional. Melalui metode ini didapat dua keuntungan yaitu recovery logam berharga dan penanggulangan pencemaran logam-logam lain oleh tanaman yang dianggap sebagai bahan pencemar. Penelitian dan pengembangan phytomining di luar negeri telah banyak dilakukan, sementara di Indonesia teknologi ini masih relatif baru dan berpeluang untuk dikembangkan. Mengingat adanya perbedaan karakteristik mineral, jenis tumbuhan serta kondisi lingkungan di setiap lokasi tambang maka diperlukan penelitian yang lebih mendalam baik dari segi teknis maupun ekonomi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam terkait dengan penerapan metode ini disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Disamping itu perlu dilakukan kajian dari aspek teknis, ekonomis, kebijakan, tingkat kelayakan dan efisiensi.
I-1
Dalam pelaksanaanya, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA) melakukan kolaborsi penelitian dengan pihak lain yakni dengan Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti (UNWIM) dalam hal penyediaan rumah kaca (Green House) dan PT Cibaliung Sumberdaya dalam hal penyediaan sampel ampas, lumpur sedimen dan tanaman indigenous. Selain itu, juga dilakukan tukar menukar informasi dengan peneliti dari Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya dan Universitas Mataram. Kegiatan penelitian ini merupakan suatu rangkaian panjang kegiatan penelitian yang dilakukan secara bertahap dan beberapa tahun (multy-year). Gambar 1.1 berikut merupakan road map kegiatan penelitian phytomining.
Gambar 1.1 Road Map penelitian phytomining Kegiatan penelitian phytomining dimulai pada tahun 2012 dalam skala rumah kaca, dilanjutkan pada tahun 2013 dengan skala lapangan/ demplot menggunakan jenis ampas yang berbeda (Tabel 1 dan 2). Tabel 1.1 Rangkuman penelitian phytomining tahun 2012 dan 2013
2012
Studi Eksploitasi Emas Artisanal dengan Metode Phytomining
Tujuan
Studi awal penerapan metode phytomining untuk mengetahui kemampuan tanaman untuk menyerap ion-ion emas yang masih terkandung dalam tailing sisa pengolahan bijih emas I-2
Tanaman
singkong karet
jenis tanaman lain yang diuji coba : • Caisim (Brassica juncea) mati • Akar wangi (Vetifer sp) mati
Tabel 2 Kegiatan phytomining tahun 2013
2013
Pengembangan Model Eksploitasi Emas (Bio-Ore) Artisanal pada Penambangan Skala Kecil dengan Metode Phytomining
Tujuan
menentukan kondisi ideal penyerapan Au oleh tanaman singkong karet
Tanaman
singkong karet
penanaman pada skala rumah kaca dan petak 2 x 2m
Ampas
amalgamasi (A)
kandungan Au : 0.26 ppm (S); 5.1ppm (A)
sianidasi (S)
chelating Agent : tiosulfat uji pendahuluan penentuan konsentrasi chelating agent Perlakuan : Pemberian thiosulfat periodik (setiap 2 mgg) dan final (menjelang akhir masa tanam) Analisis serapan Au per bagian tanaman (akar, batang, tangkai, daun)
Hasil
Akumulasi Au tertinggi pada bagian akar singkong karet dariampasamalgamasi dengan penambahan Na-tiosulfat 1% dan CaO 0,05% secara periodik sebesar 2,05 ppm. Pertumbuhan tanaman : sangat terhambat (amalgamasi << sianidasi < kontrol)
Saran
Diperlukan penelitian lanjutan : screening tanaman lain yang sesuai (sebaiknya tanaman lokal di lokasi tambang) uji sensitivitas tanaman mengetahui batas toleransi tanaman terhadap logam berat lainnya penentuan parameter fisik-kimia tanah/substrat yang sesuai untuk menunjang pertumbuhan dan penyerapan Au
I-3
dicari kembali jenis chelating agent lain yang memiliki rentang pH yang luas sehingga sesuai untuk pertumbuhan tanaman.
Kegiatan penelitian yang dilakukan pada tahun 2014 akan difokuskan pada inventarisasi tumbuhan lokal dan hiperakumulator untuk penyerapan logam Au. Kemudian dilakukan penentuan chelating agent dan perlakuan yang tepat pada tumbuhan untuk optimalisasi penyerapan logam Au. Kegiatan pengujian tumbuhan terpilih dilakukan pada rumah kaca (green house).
Karakterisasi (ampas, lumpur sedimen) dan screening tanaman indigenous
Mati Penanaman di Green House Hidup
Tanaman indigenous yg hiperakumulator
Beberapa perlakuan media tanam dan I-4 chelating agent
Gambar 1.2 Alur pikir kegiatan penelitian phytomining
1.2. Ruang Lingkup Kegiatan Lingkup pekerjaan yang akan dilakukan adalah -
Karakterisasi media tanam (ampas atau lumpur sedimen yang diperkirakan mengandung Au
-
Pengambilan contoh indigenous plant
-
Analisis Au awal pada tanaman
-
Treatment untuk meningkatkan pengambilan Au oleh tanaman
1.3. Tujuan Tujuan dari kegiatan penelitian adalah rekomendasi tentang pelaksanaan metode phytomining pada skala lapangan berupa kajian aspek teknis.
1.4. Sasaran Tujuan dari kegiatan penelitian adalah : -
Mendapatkan jenis tanaman indigenous yang sesuai untuk ekstraksi Au I-5
-
Menentukan kondisi ideal bagi tanaman untuk menyerap Au secara maksimal
-
Menentukan tingkat kelayakan teknis dalam penerapan metode phytomining
1.5. Lokasi Kegiatan Contoh ampas, lumpur sedimen dan tanaman indigenous yang diduga memiliki sifat hiperakumulator terhadap logam Au diperoleh dari area tambang milik PT Cibaliung Sumberdaya, Pandeglang, Banten.Kegiatan penelitian percobaan penanaman dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti Tanjungsari, Sumedang. Analisis kimia dilakukan di Laboratorium Kimia Puslitbang tekMIRA.
Lokasi Tambang Emas PT Cibaliung Sumber Daya
Gambar 1.3. Peta lokasi tambang emas PT. Cibaliung Sumber Daya
I-6
Gambar 1.4 Peta lokasi rumah kaca Fakultas Pertanian UNWIM, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang
I-7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Phytomining Pemanfaatan tanaman untuk menyerap logam dikenal dengan istilah phytoekstraksi. Selama ini penyerapan logam terutama bertujuan untuk membersihkan/remediasi tanah dari bahan pencemar/ logam-logam berat (phytoremediasi). Kini konsep phytoekstraksi dikembangkan untuk tujuan memperoleh kembali (recovery) logam-logam berharga yang tidak ekonomis apabila ditambang dengan cara konvensional. Konsep ini dikenal dengan istilah phytomining. Dalam prakteknya terdapat tiga tahapan utama penerapan phytomining yaitu menanam jenis tanaman yang dapat mengakumulasi logam dalam konsentrasi tinggi (hiperakumulator); pemanenan biomassa dan pembakaran biomassa untuk menghasilkan bio-ore (Gambar 2.1)
Drying and Ashing Drying and Ashing Bio-ore Bio-ore Smelting Beberapa jenis logam berharga yang coba diperoleh kembali dengan metode ini adalah nikel (Ni), thallium (TI), Gambar 2.1(Ag) Konsep kobalt (Co), mangan (Mn), platinum (Pt), perak dan phytomining emas (Au). Berbagai penelitian phytomining mulai II-1
banyak dilakukan (Tabel 2.1), namun akhir-akhir ini penerapan phytomining lebih banyak ditujukan pada logam Au, karena nilai ekonomi Au yang cukup tinggi. Sejak awal abad 20, telah dilaporkan terkait akumulasi Au oleh tanaman, terutama pohon-pohonan. Penelitian menunjukkan bahwa tanaman konifer dapat mengakumulai sejumlah kecil Au dalam jaringannya. Studi lain juga menunjukkan terdapat beberapa spesies tanaman, salah satunya adalah Eucalyptus sp. (Lintern et. al., 2013) di lahan tambang skala kecil yang dapat melakukan penyerapan Au. Hal tersebut mendorong beberapa perusahaan tambang untuk menjadikan tanaman sebagai bioindikator keberadaan Au di tanah (McInnes et al., 1996 dalam Anderson et. al., 2012). Tabel 2.1 Penelitian penerapan phytomining skala rumah kaca Jenis tumbuhan
Kandungan Au dalam Substrat (g/t atau mg/kg)
Substrat
Chelating agent
Perlakuan (g/kg substrat)
Serapan Au maksium (mg/kg berat kering)
Referensi
Brassica juncea (sawi putih)
Pasir silika
-
NH 4 SCN
0,64
57
Anderson, 1998
Raphanus sativus (lobak)
Pasir silika
3,8
NH 4 SCN
1,0
220
Msuya, 2000
Brassica juncea (sawi putih)
Pasir silika
5
KCN
1,0
326
Lamb, 2001
Chilopsis linearis (willow)
Tanah
5
CH 4 N 2 S
0,76
296
Rodriguez, 2006
Brassica campestris (sawi hijau)
Pasir silika
3,8
NH 4 SCN
1,0
304
Wilson-Corall, 2008
Trifolium repens (semanggi)
Mineral
1,75
NaCN
1,0
27
Sorghum halepense (sejenis rumput)
Ampas
2,35
NaCN
1,0
31
Rodriguez-Lopez, 2009
Kalanchoe serrata (sejenis cocor bebek)
Ampas
2,35
NaCN
1,0
21
Wilson-Corral, 2011
Piccinin, 2007
Untuk penelitian skala lapangan dilakukan pertama kali pada tahun 2003 oleh Anderson, pada penelitian ini digunakan B. juncea (sawi putih) yang ditanam pada lahan ampas dengan kandungan Au 0,6 mg/kg; pH ampas 8,9-9,5 menghasilkan serapan Au dengan konsentrasi ± 39 mg/kg berat kering sawi. Penelitian yang II-2
sama dilakukan oleh
Wilson-Corral pada tahun 2009 menggunakan tanaman Helianthus annuus (bunga
matahari) yang ditanam pada ampas seluas 50 m2 dan diberi perlakuan penambahan sianida menghasilkan serapan Au sebesar 16 mg/kg berat kering daun; 21 mg/kg berat kering batang dan 21 mg/kg berat kering akar. Keberhasilan proses phytomining sangat bergantung kepada perolehan biomasa yang mencukupi, bioavailability logam dan akumulasi logam yang tinggi dalam jaringan tumbuhan. Sebagian besar logam bersifat immobile selain itu ketersediaan dan kondisinya untuk dapat diserap oleh akar (bioavailability) sangat terbatas. 2.2 Tanaman hiperakumulator Semua tumbuhan memiliki kemampuan menyerap logam tetapi dalam jumlah yang bervariasi. Sejumlah tumbuhan dari banyak famili terbukti memiliki sifat hipertoleran, yakni mampu mengakumulasi logam dengan konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan tajuknya, sehingga bersifat hiperakumulator. Istilah hiperakumulator diberikan pada tumbuhan yang dapat mengakumulasi logam pada bagian tajuk dengan konsentrasi 10 hingga 100 kali lebih besar dari konsentrasi logam pada tumbuhan non hiperakumulator pada lingkungan yang sama (Sheoran dkk., 2013; Robinson dkk., 1999). Dalam proses fitoekstraksi, logam berat diserap oleh akar tanaman dan ditranslokasikan ke tajuk untuk diolah kembali atau dibuang pada saat tanaman dipanen (Chaney et al. 1995 dalam Hidayati, 2005). Karakteristik tumbuhan hiperakumulator adalah: (i) tahan terhadap unsur logam dalam konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan tajuk; (ii) tingkat laju penyerapan unsur dari tanah yang tinggi dibanding tanaman lain; (iii) memiliki kemampuan mentranslokasi dan mengakumulasi unsur logam dari akar ke tajuk dengan laju yang tinggi (Brown et al. 1995a dalam Hidayati, 2005). Tanaman hiperakumulator memiliki nilai faktor biokonsentrasi (rasio konsentrasi logam di bagian tajuk tumbuhan dengan konsentrasi logam di tanah/substrat) >1 serta sangat toleran terhadap logam (Harris, 2009). Hiperakumulasi Au didefinisikan sebagai akumulasi Au yang mencapai konsentrasi lebih dari 1mg/kg berat kering tanaman (pada kondisi normal tanaman hanya dapat menyerap sebesar 0,01 mg/kg Au) (Anderson, 1999). Saat ini telah teridentifikasi sebanyak 440 jenis tanaman hiperakumulator dimana 75% nya merupakan tumbuhan hiperakumulator Ni. Sementara 25% lain merupakan tanaman hiperakumulator logam Arsenik (As), Kadmium (Cd), Mangan (Mn), Sodium (Ca), Thallium (TI) dan Seng (Zn). Meskipun demikian hingga saat ini belum diketemukan jenis tanaman yang spesifik dapat mengakumulasi Au. Penyerapan Au dalam konsentrasi tinggi bukan suatu mekanisme alami tumbuhan. Hal ini terjadi karena karakteristik Au dalam tanah yang sulit terlarut sehingga ketersediaannya (bioavailability) sangat kecil (Anderson, 1999). II-3
Secara umum karakteristik tumbuhan yang ideal untuk digunakan dalam phytomining adalah sebagai berikut (Ali dkk., 2013): a.
memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi;
b.
produksi biomassa tajuk (shoot) yang lebih banyak;
c.
memiliki percabangan akar yang banyak dan terdistribusi secara luas;
d.
mampu mengakumulasi sejumlah besar logam dari tanah/substrat (hiperakumulator);
e.
mampu mentranslokasi logam dari akar ke tajuk;
f.
toleran terhadap logam yang bersifat racun;
g.
mampu beradaptasi pada lingkungan (kekeringan, kadar garam dan suhu tinggi) serta iklim tertentu;
h.
tahan terhadap hama dan penyakit;
i.
mudah untuk dikultivasi (diperbanyak) dan dipanen;
j.
tidak dikonsumsi oleh herbivora untuk menghindari kontaminasi dalam rantai makanan.
2.3 Mekanisme penyerapan logam oleh tanaman Mekanisme penyerapan logam oleh tumbuhan (Gambar 2.2) terdiri atas tiga tahapan yaitu :
II-4
Gambar 2.2. Mekanisme penyerapan logam oleh tanaman 1.
Pelarutan logam-logam dalam matriks tanah dengan cara pengasaman (acidification) zona perakaran (rhizosphere); sekresi ligan oleh akar; adanya aktivitas mikroorganisme yang memproduksi senyawa yang dapat membantu pelarutan logam di zona perakaran. Pelarutan logam dalam tanah dapat ditingkatkan dengan mengasamkan zona perakaran yang disebabkan oleh adanya pelepasan ion-ion H+ oleh akar. Anderson et. al. (1998) menyebutkan bahwa beberapa jenis tanaman dapat mengeluarkan eksudat berupa asam dari rambut-rambut akar yang dapat mempengaruhi tingkat keasaman tanah di daerah sekitar akar dan penyerapan logam oleh tanaman. Target penyerapan Au dengan phytomining adalah logam-logam Au yang terletak disekitar zona perakaran (Anderson et. al., 2003). Akar tanaman mengeluarkan beberapa jenis ligan seperti asam organik (seperti asam malonat dan oksalat), senyawa pengkelat logam (phytosiderophores) dan enzim-enzim (reduktase) yang dapat mendorong terjadinya pelepasan logam dari matriks tanah sehingga ketersediaan logam dalam bentukan yang siap diserap tanaman meningkat. Zona perakaran tanaman memiliki populasi mikroorganisme yang cukup besar, utamanya berupa bakteri dan jamur mikoriza (mycorrhizal fungi). Koloni bakteri atau mikoriza pada akar berperan sebagai katalis dalam reaksi redox yang mengarah pada peningkatan kelarutan logam-logam di akar. Pengaruh aktivitas mikroorganisme dalam pelarutan logam tergantung pada kemampuan mikroorganisme tersebut untuk mengoksidasi logam dan kemapuannya untuk mensekresikan ligan yang dapat menstabilkan ion logam melalui pembentukan kompleks atau koloid.
II-5
Untuk pelarutan emas (Au) dalam tanah, bakteri berperan untuk memproduksi eksudat berupa asam organik yang dapat melarutkan Au. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis bakteri yang diisolasi dari endapan yang mengandung emas (auriferous deposit) mampu menghasilkan sejumlah besar asam aspartat dan glutamat serta beberapa jenis metabolit lain seperti asam nukleat, piruvat, laktat, oksalat, asetat dan format, beberapa diantara jenis metabolit tersebut dapat membentuk kompleks yang stabil dengan Au (Savvaidis et.al, 1998 dalam Sheoran et. al, 2013). Mekanisme lain dalam pelarutan logam oleh mikroorganisme adalah terkait aktivitas bakteri penghasil sianida (cyanogenic microbacteria) seperti Chromobacterium violaceum, Pseudomonas fluorescens, P. Aeruginosa, P. Putida, P. Syringae dan Bacillus megaterium yang dapat memproduksi sianida melalui membran yang berikatan dengan kompleks enzim HCN-sintase. Oksidasi dan pembentukan kompleks Au dengan sianida akan menghasilkan kompleks Au(CN) 2 - dengan persamaan sebagai berikut : Au + 2CN- + 1/2O 2 + H 2 O [Au(CN) 2 ]- + 2OHReaksi pelarutan Au yang melibatkan bakteri kemolitoautotrof dan bakteri pengoksidasi sulfur seperti Acidithiobacillus ferrooxidans, A. thiooxidans, A. thiopharus mensekresikan tiosulfat yang dengan bantuan oksigen dapat mengarah pada terjadinya oksidasi Au dan pembentukan kompleks dengan reaksi sebagai berikut : 2FeAsS(Au) + 7O 2 + H 2 O + H 2 SO 4 Fe 2 (SO 4 ) 3 +2H 3 AsO 4 + Au Au + 1/4O 2 +H+ + 2S 2 O 3 2- [Au(S 2 O 3 2-)] + 1/2H 2 O 2.
Penyerapan logam oleh akar Penyerapan logam oleh akar merupakan langkah awal proses akumulasi logam pada tanaman. Ada dua cara transport air (serta nutiri dan logam) pada tanaman (dari korteks ke lingkaran pusat akar) yaitu : a. Transport pasif : logam-logam terlarut dapat memasuki simplas akar dengan melalui plasma membran sel endodermis akar b. Transport aktif : logam-logam terlarut masuk melalui ruang antar sel Sel akar sangat selektif dalam hal penyerapan logam-logam esensial dan sangat terbatas untuk logamlogam non esensial (termasuk Au). Pitman (1972 dalam Sheoran 2013) menyebutkan adanya pemanfaatan ATPase untuk transport logam-logam ke pembuluh xylem dengan menciptakan perbedaan elektrokimia negatif di sel-sel parenkim. ATPase bertanggungjawab sebagai pembawa (carrier) sejumlah ion selain proton (K+, Na+, Ca+ dan Cu+) dan mungkin pula berperan dalam transport Au. II-6
3.
Translokasi ke tajuk, distribusi, detoksifikasi dan sekuestrasi ion logam Setelah logam-logam berada dalam pembuluh xylem, logam tersebut akan segera ditranslokasikan ke bagian tajuk. Beberapa jenis protein berperan dalam proses translokasi ini, untuk masing-masing logam, protein pembawanya pun akan berbeda-beda. Hingga saat ini belum diketahui protein dan gen yang terlibat dalam mekanisme penyerapan Au. Anderson (1999b) dan Girling dan Peterson (1980) menyebutkan bahwa evapotransportasi merupakan mekanisme yang mungkin terjadi pada proses transportasi Au dari akar ke tajuk. Pada saat logam telah berada dalam pembuluh xylem, logam akan terbawa oleh aliran dalam xylem sap menuju ke bagian daun dari bagian/lokasi sel yang berbeda-beda. Logam yang ditranslokasikan ke bagian tajuk akan disimpan di dalam sel pada bagian trichome (jaringan apoplas), apidermis, mesofil, dinding sel dan bagian lain dimana logam tersebut tidak akan menimbulkan kerusakan pada sel. Aripove dan Talipov (1966) menyebutkan bahwa daun (bagian ujung daun, vakuola dan dinding sel (Girling dan Peterson (1980)) merupakan organ terakhir tempat akumulasi Au. Penelitian lokalisasi logam Au menggunakan metode micro-proton induced X-Ray emission yang dilakukan oleh Bali et. al. (2010) menyatakan akumulasi Au tertinggi terdapat sel-sel epidermis dan vascular bundles pada tanaman Brassica juncea dan Medigo sativa. Tahap akhir dari proses akumulasi logam adalah sekuestrasi. Logam atau kompleks logam-ligan harus ditransportasikan menuju vakuola membran dimana proses sekuestrasi terjadi. Protein pengikat logam seperti methallothioneins (MTs) dan phytochelatins (PCs) memegang peranan penting dalam proses sekuestrasi dan mendorong mekanisme toleransi serta akumulasi logam. MTs dan PCs membentuk kompleks ion-ion logam menjadi tidak aktif dan mentransportasikan kompleks ion tersebut ke vakuola.
2.4 Chelating agent Kelarutan (solubility) dan ketersediaan (bioavailability) logam merupakan salah satu kunci utama phytomining (Piccinin et. al., 2007 dalam Sheoran, 2013). Dalam kondisi normal, tanaman tidak mengakumulasi Au dalam bentuk tidak terlarut (Au(0)). Oleh karena itu Au harus dalam bentuk terlarut agar dapat diserap oleh tanaman. Untuk meningkatkan kelarutan logam, tanaman hiperakumulator alami mengeluarkan asam organik atau menurunkan pH di zona perakaran. Karakteristik tanaman jenis ini adalah pertumbuhannya yang lambat dan II-7
biomassanya yang sedikit sehingga menghambat laju penyerapan logam (Ebbs et. al., 1997). Penambahan chelating agent
diyakini merupakan
solusi untuk meningkatkan laju penyerapan
logam (induce
hyperaccumulation). Chelat adalah senyawa dengan berat molekul tinggi yang berperan dalam pembentukan kompleks logamorganik agar dapat terlarut dalam air sehingga meningkatkan kelarutan logam serta perubahan bentuk logam dari immobile menjadi mobile. Dengan kondisi demikian baik tanaman berbiomassa tinggi maupun non hiperakumulator dapat didorong untuk mengakumulasi logam lebih banyak. Beberapa penelitian menunjukkan beberapa
jenis
chelating
(ethylenediaminetetraacetic
agent
yang
acid),
dapat
NTA
membantu
penyerapan
(nitrolenetriaceticacid),
Au asam
antara
lain
sitrat,
EDTA DTPA
(diethylenetriaminepentaacetic acid), EDDS (ethylenediaminedisuccinic acid), sodium sianida (NaCN), tiosianat, tiourea dan tiosulfat (Sheoran, 2009, 2013).
II-8
BAB III PROGRAM KEGIATAN Tahapan kegiatan yang dilaksanakan dalam kegiatan penelitian ini meliputi: 3.1
Persiapan -
Pembuatan Rencana Operasional Kerangka acuan kerja dibuat sebagai panduan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian, didalamnya termuat tahapan pelaksanaan kegiatan, personil pelaksana serta jadwal kegiatan.
-
Studi literatur. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan referensi mengenai ekstraksi emas dengan metode phytomining.
-
Persiapan Administratif Pada tahap ini dilakukan koordinasi dengan instansi terkait dengan penelitian, diskusi dan konsultsi dengan narasumber.
-
Persiapan Bahan dan Peralatan Pada tahap ini dilakukan persiapan bahan (contoh tanaman, ampas polybag/pot, bahan kimia) serta peralatan (cangkul, sekop) untuk pengambilan contoh tanaman dan penanaman di pot.
Keluaran : rencana operasional, literatur pendukung, bahan dan peralatan 3.2
Pengambilan contoh Kegiatan lapangan pengambilan contoh dilakukan di lokasi tambang PT Cibaliung Sumber Daya di Kampung Citeluk, Desa Mangkualam-Padasuka Kecamatan Cimanggu Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten. Contoh yang diambil berupa lumpur sedimen sebanyak 2.500 kg pada lokasi sedimen pond, ampas pengolahan emas sebanyak 500 kg pada lokasi TPS (Tempat Penyimpanan Sementara) ampas pengolahan emas. Selain itu, dilakukan pengambilan tanaman lokal yang hidup pada lokasi sedimen pond dan TSF. Tanaman-tanaman ini diduga kuat meiliki karakteristik hiperakumulator terhadap logam Au. Keluaran : contoh lumpur sedimen 2.500 kg, ampas pengolahan emas 500 kg, tanaman lokal hiperakumulator.
III-1
(a)
(b)
Gambar 3.1 Pengambilan contoh tanaman lokal (a) dan ampas (b) 3.3
Uji pendahuluan -
Karakterisasi awal ampas/lumpur sedimen sianidasi Ampas dan lumpur sedimen yang digunakan sebagai media tanam dikomposit untuk kemudian diuji kandungan logam, mineral serta parameter kesuburan tanah
-
Uji kandungan logam awal pada tanaman Contoh tanaman yang diperoleh dari lokasi tambang diuji kandungan logam-logamnya terutama kandungan Au pada jaringan tanaman.
Keluaran : kandungan logam dan mineral 3.4
Uji coba di rumah kaca (green house) Pada kegiatan uji coba di rumah kaca dilakukan beberapa kegiatan yaitu: -
Penambahan bahan
-
Penanaman tanaman di lakukan dengan variasi tertentu sehingga diketahui komposisi perlakuan yang
-
Perawatan tanaman secara rutin dan pengawasan pertumbuhan fisik tanaman
-
Analisis serapan logam pada jaringan tanaman.
-
dan perlakuan tertentu untuk meningkatkan penyerapan Au pada ampas
pengolahan emas. paling optimal. Pemanenan dilakukan setelah tanaman mencapai usia dewasa
Keluaran : data hasil serapan logam oleh tanaman
III-2
(a)
(b)
Gambar 3.2 Penanaman tanaman caisin (a) dan akar wangi (b) 3.5
Pelaporan Pelaporan merupakan isi dari seluruh kegiatan yang ditulis secara ilmiah dengan memasukkan segala data yang diperoleh, hasil analisis yang dilakukan, perancangan atau metode yang dibuat, serta kesimpulan yang ditarik dan rekomendasi yang diberikan untuk kegiatan penelitian selanjutnya. Keluaran : Draft Final Laporan, Executive Summary dan Karya Tulis Ilmiah
III-3
BAB IV METODOLOGI Secara umum kegiatan phytomining mencakup dua jenis kegiatan pokok yakni kegiatan pemilihan tanaman hiperakumulator dan metoda untuk phytomining 4.1 Skrining dan pengujian kandungan Au tanaman Kegiatan skrining dilakukan pada lokasi penimbunan ampas (TSF) dan lumpur sedimen PT Cibaliung Sumber Daya. Pada lingkungan penimbunan ampas dan lumpur sedimen ditemukan sebanyak 15 jenis tanaman yang hidup pada kedua lokasi tersebut. Kemudian dari 15 jenis tanaman indigeneous tersebut, dilakukan pengujian kandungan logam Au. Prosedur pengujian logam Au pada tanaman adalah sebagai berikut: a. Dilakukan penimbangan berat basah sampel tanaman. Kemudian dilanjutkan dengan pengeringan pada oven dengan suhu 105 0C selama 2 x 24 jam untuk mengurangi kadar air pada tanaman. Kemudian dilanjutkan dengan penimbangan berat kering. b. Sampel tanaman kering tersebut kemudian digerus mengunakan ringmill. Kemudian diambil sampel seberat 3 gram untuk tiap tanaman. c. Dilakukan proses pegabuan dengan furnace pada suhu 550 0C selama lebih kurang 3 jam. Kemudian abu ditimbang. d. Proses pelarutan dengan aqua regia (15 ml HCl ditambah 5 ml HNO 3 kemudian dipanaskan pada suhu 100 0C. Proses pelarutan dilakukan hingga diperoleh sisa abu yang berwarna putih. e. Proses penyaringan dengan menggunakan kertas saring whattman 40 kedalam labu ukur 25 ml (ditepatkan dengan larutan HNO 3 dengan perbandingan 1 :24). Kemudian larutan dimasukkan kedalam botol sampel. f.
Dilakukan pengukuran kandungan Au dalam tanaman dengan menggunakan GT-AAS.
4.2 Preparasi dan karakterisasi awal ampas dan lumpur sedimen Sebanyak lebih kurang 1 kg ampas dan lumpur sedimen diambil secara komposit dari sampel yang telah diambil dari PT Cibaliung Sumber Daya. Sampel tersebut kemudian dikering-udarakan selama beberapa hari sehingga kadar airnya turun. Kemudian dilakukan pengujian yang meliputi : a. Pengujian komposisi mineral melalui XRD b. Pengujian kandungan Au c. Pengujian komposisi kimia ( mengukur tingkat kesuburan tanah) yang terdiri atas :
Tabel 4.1 Pengujian parameter contoh dan metode uji
IV-1
Parameter
Satuan
Metode uji
pH H2O
Elektrometri/PU 3002 KT
pH KCl 0.1 M
Elektrometri/PU 3003 KT
C Organik
%
Titrimetri (Wakley Black)/ PU 3004 KT
N Total
%
Kjelhdal/PU 3005 KT
P Total
%
Spektrofotometri
K Total
%
AAS
me/100g
Volumetri
Fe
%
AAS
Cu
mg/Kg
AAS
Zn
mg/Kg
AAS
Pb
mg/Kg
AAS
Cr
mg/Kg
AAS
Mn
mg/Kg
AAS
K-dd
mg/Kg
AAS
Ca-dd
mg/Kg
AAS
Na-dd
mg/Kg
AAS
Mg-dd
mg/Kg
AAS
Al
%
AAS
Hg
mg/Kg
VGA
CN Total
mg/Kg
Spektrofotometri
KTK
4.3. Pembuatan pupuk organik dan pengujian komposisi kimia
IV-2
Pupuk organik dipilih untuk ditambahkan pada media lumpur sedimen dan ampas, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas kesuburan media tanam tersebut. Adapun pupuk organic yang digunakan berasal dari campuran beberapa bahan seperti sisa tanaman pertanian, kotoran hewan (kambing), EM4 dan sebagainya. Setelah melalui proses pematangan yang membutuhkan lebih kurang 7-10 hari, maka dilakukan analisis beberapa komposisi kimia yaitu: Tabel 4.2 Parameter pengujian pada pupuk organik Satuan
Parameter pH H 2 O Kadar air
%
C-Total
%
N-Total
%
C/N P2O5
%
K2O
%
Pb
ppm
Cd
ppm
As
ppm
Hg
Ppm
4.4. Perlakuan pada ampas dan lumpur sedimen Setelah diketahui kandungan komposisi kimia dari ampas pengolahan emas dan lumpur sedimen, maka dilakukan beberapa perlakuan yakni ; a. Dilakukan pengeringan beberapa hari pada suhu kamar didalam rumah kaca sehingga diperoleh sampel lumpur sedimen dengan kandungan air sekitar 15 %. b. Dilakukan pembersihan dan pensortiran terhadap sampel lumpur sedimen dari bahan lain yang tidak dikehendaki c. Ditentukan komposisi media dari hasil perhitungan adalah sebagai berikut :
Tabel 4.3. Komposisi perlakuan sebagai media tanam Bahan Ampas dan lumpur sedimen
Bahan organik (kg) IV-3
(kg) 6
0
6
0.6
6
1.2
d. Setelah itu dilakukan penimbangan terhadap sedimen ore untuk dimasukkan kedalam pot sesuai dengan Tabel 4.1. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. e. Pengukuran kapasitas lapang dilakukan untuk melihat kandungan maksimum tanah dan menentukan jumlah air pengairan yang diperlukan untuk membasahi tanah sampai lapisan di bawahnya. f.
Dilakukan inkubasi selama lebih kurang 1 minggu. Selama proses inkubasi, dilakukan penyiraman secara berkala terhadap media tersebut.
4.5. Penanaman tanaman uji dan penambahan chelating agent a. Penanaman tanaman uji dilakukan untuk tanaman Brassica chinensis (caisin) pada media tanam sedimen dan tailing serta akar wangi pada media tanam sedimen. Sebelum dilakukan penanaman, dilakukan pemupukan dasar NPK sesuai dengan perhitungan yakni sebanyak 1 mg per pot. Pemupukan ini berguna untuk menunjang pertumbuhan awal tanaman caisin di tahap awal. b.
Setelah dilakukan penanaman dan pemupukan, maka perawatan terhadap tanaman rutin dilakukan dengan cara penyiraman sebanyak 1 liter air setiap hari.
c. Selain dilakukan perawatan, dilakukan pula pengamatan fisik pertumbuhan tanaman secara umum. d. Penambahan chelating agents dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan daya serap terhadap logam dan transfer logam dari akar ke tajuk tanaman. Dalam proses pengkelatan ini diperkirakan unsur logam Au akan mudah terserap dalam bentuk kompleks logam kelat yang lebih mudah diserap akar dan ditranslokasi ke tajuk tanaman. Pemberian chelating agents dilakukan kepada pada saat tanaman menjelang fase generative. Dalam penelitian ini, aplikasi kelat yang digunakan adalah Na 2 S 2 O 4 (natrium thiosinat) dan unsur Cu. Adapun formulasi pemberian chelating agents adalah sebagai berikut : Tabel 4.4 Komposisi chelating agents Chelating agent (a: Na2S2O4 , b: Cu) dlm (gram/pot tanaman) 34.2 (a)
34.2 (a)
+ 0.15 (b)
68.4 (a)
68.4 (a) + 0.15 (b)
IV-4
102.6 (a)
102.6 (a) + 0.15 (b)
4.6. Pemanenan tanaman uji dan pengujian serapan logam Au a. Satu sampai dengan dua minggu setelah aplikasi chelating agents, maka akan terjadi reaksi terhadap tanaman sehingga tanaman secara fisik akan mengalami penurunan metabolism. Ditandai dengan terjadinya gejala seperti klorosis sampai kemudian tanaman mati. b. Tanaman kemudian dipanen, dengan diambil seluruh bagian tubuhnya mulai dari akar, batang dan daun. c. Kemudian dilakukan penimbangan berat basah tanaman. d. Prosedur pengujian kandungan Au pada tanaman seperti yang telah dijelaskan pada bagian diatas (poin 4.1)
IV-5
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Ampas dan Lumpur Sedimen 5.1.1. Komposisi Kimia Ampas dan Lumpur Sedimen Data hasil analisis komposisi kimia awal dari contoh ampas dan lumpur sedimen ditunjukkan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Hasil analisis komposisi kimia awal contoh ampas dan lumpur sedimen Kode Percontoh
Satuan
Lumpur Sedimen
Kriteria
Ampas
Kriteria
pH H 2 O
9.24
Alkalis
8.65
Alkalis
pH KCl 0.1 M
8.90
Alkalis
8.40
Alkalis
C Organik
%
0.29
Sangat Rendah
0.30
Sangat Rendah
N Total
%
0.03
Sangat Rendah
0.03
Sangat Rendah
P Total
%
0.06
Sangat Rendah
0.02
Sangat Rendah
K Total
%
0.25
Sangat Rendah
0.14
Sangat Rendah
me/100g
29.5
Tinggi
7.96
Rendah
Ca-dd
mg/kg
25.7
Sangat Tinggi
4.42
Rendah
Na-dd
mg/kg
0.50
Sedang
0.99
Tinggi
Mg-dd
mg/kg
1.90
Sedang
0.37
Sangat Rendah
%
0.34
Sangat Rendah
0.06
Sangat Rendah
1.63
Sangat Rendah
4.13
Sangat Rendah
KTK
Al CN Total
Analisis tanah dilakukan terhadap percontoh tanah yang diambil di lapangan dengan metode yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Analisis tanah di laboratorium dilakukan terhadap parameter kimia tanah meliputi pH, kapasitas tukar kation (KTK) , nitrogen, kalium, fosfor, kalsium, magnesium (hara makro), hara mikro (Fe, Cu, Zn) serta beberapa logam berat yaitu Pb, Cr, Mn, Hg. Kadar unsur hara tanah yang diperoleh dari data analisis tanah kemudian dibandingkan dengan kebutuhan unsur hara bagi masing masing jenis tanaman dan batas standar kriteria kesuburan tanah sehingga dapat diketahui status atau kadar unsur hara dalam tanah tersebut dikategorikan sangat rendah, rendah, sedang, cukup, tinggi dan sangat tinggi berdasarkan pada kriteria kesuburan tanah. Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hydrogen (H+) di dalam tanah. Kemasaman tanah yang diukur yakni pH aktual (pH H 2 O) dan pH KCl. pH aktual merupakan pH tanah yang umum digunakan untuk mengetahui konsentrasi ion H+ di dalam tanah, khususnya untuk kondisi lingkungan pada saat pengukuran V-1
dilakukan. Sedangkan pH KCl digunakan sebagai salah satu parameter untuk mengetahui keberadaan mineral terubahkan di dalam tanah. Hasil analisis kimia terhadap pH tanah aktual pada lumpur sedimen dan ampas masing-masing sebesar 9.24 dan 8.65. Sedangkan hasil analisis untuk pH KCl diperoleh nilai 8.65 untuk lumpur sedimen dan 8.4 untuk ampas. Sesuai dengan klasifikasi tanah menurut (Hardjowigeno, 1995) kedua contoh tersebut digolongkan dalam kriteria alkalis. Sedangkan dalam hal mineral terubahkan, dapat diketahui dengan mencari ΔpH. Nilai ΔpH diperoleh dari pengurangan nilai pH KCl dengan pH H 2 O atau secara matematik ditulis ΔpH = pH KCl - pH H 2 O Dari hasil pengujian, diketahui ΔpH sedimen sebesar 0.34 dan ΔpH ampas sebesar 0.25. Jika ΔpH bernilai positif, nol atau negatif rendah (< - 0,5) menunjukkan bahwa contoh lumpur sedimen dan ampas didominasi mineral terubahkan (Sutanto, 1995 dan Theng, 1980). Menurut Foth (1998), pengaruh dominan pH terhadap tanaman adalah terhadap tersediaan unsur hara di dalam tanah. Lebih lanjut Hardjowigeno (1989) menyatakan bahwa pH tanah akan menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman. Pada umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman pada pH tanah sekitar netral. pH tanah juga menjadi indicator keberadaan unsur beracun, misalnya pada tanah masam banyak ditemukan ion -ion Al di dalam tanah, pH tanah juga akan berpengaruh terhadap perkembangan mikroorganisme. Karena pH percontoh lumpur sedimen dan ampas tergolong alkalis (>5.5 ), maka jenis bakteri yang biasanya mampu berkembang biak adalah jenis bakteri nitrifikasi. Dalam kegiatan dengan fitoekstraksi (phytomining), maka pH tanah menjadi faktor yang berpengaruh langsung selain faktor spesies tanaman, kelat yang digunakan dan jumlah ketersediaan logam dalam media. Kemasaman media berpengaruh sangat besar karena berhubungan dengan kelarutan logam dan pembentukan kelat dalam tanah. Perilaku dari unsur beracun dalam tanah akan sangat dipengaruhi oleh pH seperti ketersediaan Zn yang menjadi rendah bila pH tanah lebih dari 7.0 karena unsur ini hanya terlarut pada kondisi masam. Sementara alumunium (Al) meningkat dengan meningkatnya pH. pH tanah yang optimum untuk pertumbuhan tanman berkisar antara 5.0 – 8.0 (Hidayati, 2009). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa manipulasi pH dan kesuburan tanah dapat meningkatkan akumulasi Zn, Ni, dan Cd pada tanaman. Unsur yang diperlukan tanaman menurut Gardner dkk., (1991) ada 16 unsur yang diperlukan tanaman yaitu karbon (C), hidrogen (H), nitrogen (N), oksigen (O), fosfor (P), kalium (K), calsium (Ca), belerang (S),
V-2
tembaga (Cu), boron (B), molybdenum (Mo), magnesium (Mg), besi (Fe), mangan (Mn), seng (Zn) dan klor (Cl). Unsur hara tersebut tergolong unsur hara essensial. Berdasarkan jumlah kebutuhannya yang diperlukan bagi tanaman, dikelompokkan menjadi dua yaitu unsur hara makro dan unsure hara mikro. Unsur hara makro yakni unsur hara yang diperlukan tanaman dalam jumlah besar meliputi N, P, K, Ca, Mg, S. Sedangkan unsur hara mikro yakni unsur hara yang diperlukan tanaman dalam jumlah kecil meliputi Fe, Mn, B, Mo, Cu, Zn, Cl. Tanaman dapat mengalami defisiensi unsur essensial, bila unsur tersebut tidak terdapat di dalam tanah, atau terdapat dalam kuantitas yang besar dalam tanah tetapi sangat sedikit terlarut atau tersedia untuk menopang kebutuhan tanaman (Foth, 1998). Jika unsur-unsur hara dalam keadaan terikat atau terjerap dalam misel tanah maka akan sulit bagi akar tanaman untuk meyerap unsur tersebut. Nilai C pada percontoh sedimen pada hasil pengukuran di laboratorium diketahui sebesar 0.29 % dan pada ampas sebesar 0.3 %. Kedua nilai C pada percontoh dikategorikan sangat rendah. Sementara nilai N pada percontoh sedimen dan ampas diperoleh nilai yang sama sebesar
0.03 % dan dikategorikan sangat
rendah berfungsi untuk sintesa asam amino dan protein dalam tanaman, merangsang pertumbuhan pertumbuhan vegetatif ( warna hijau ) seperti daun. Tanaman yang kekurangan unsur N gejalanya pertumbuhan lambat, daun hijau kekuningan, daun sempit, pendek dan tegak, daun-daun tua cepat menguning dan mati. Status rasio C/N pada ampas dan lumpur sedimen sebesar 1.63 dan 4.13. Kedua nilai rasio C/N tersebut dimasukkan dalam kategori sangat rendah. Rasio C/N menjadi faktor utama yang mempengaruhi ketersediaan N dalam tanah. Hasil analisis terhadap unsur fosfor pada contoh lumpur sedimen dan ampas, masing-masing diperoleh nilai sebesar 0.06 dan 0.02 %. Kedua nilai tersebut dikategorikan sebagai sangat rendah. Fosfor pada umumnya diambil oleh akar dalam bentuk H 2 PO 4 - dan HPO 4 =. Sebagian besar fosfor di dalam tanaman adalah sebagai zat pembangun dan terikat dalam senyawa-senyawa organik. Hanya sebagian kecil terdapat dalam bentuk anorganik sebagai ion-ion fosfat. Beberapa bagian tanaman sangat banyak mengandung zat ini, yaitu bagian-bagian yang berkaitan dengan pembiakan generatif, seperti daun-daun bunga, tangkai sari, kepala sari, butir tepung sari, daun buah dan bakal biji. Jadi untuk pembentukan bunga dan buah sangat banyak diperlukan unsur fosfor. Selain itu fosfor berperan juga pada sintesa hijau daun. Fosfor mendorong pertumbuhan akar-akar muda yang berguna bagi resistensi terhadap kekeringan. Menurut Foth (1998), kation tukar umumnya terdiri dari kalsium (Ca), natrium (Na), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) dan Kalium (K). Hasil analisis terhadap unsur kalsium dapat ditukar pada lumpur sedimen sebesar 25.7 terkategori sangat tinggi, sedangkan pada ampas nilainya berkebalikan yakni sebesar 4.42 yang digolongkan dalam kategori rendah. Unsur kalium di dalam tanah termasuk unsur hara essensial untuk tanaman, diserap dalam bentuk ion K+. Menurut Hardjowigeno (1989) unsur K pada tanaman berfungsi mengaktifkan enzim, pembentukan pati. Unsur ini tidak merupakan unsur penyusun jaringan tanaman. V-3
Kekurangan unsur K pada tanaman menurut Saifuddin Sarief (1985) umumnya menunjukkan gejala-gejala seperti bercak -berak dan atau keriput pada daun. Bercak-bercak ini meliputi seluruh permukaan daun kecuali pada tulang tengah, selanjutnya daun mengering. Hasil analisis terhadap unsur Na pada contoh lumpur sedimen sebesar 0.50 mg/kg, dikategorikan sebagai nilai yang sedang. Pada ampas unsur Na diketahui lebih tinggi sebesar 0.99 mg/kg , dikategorikan sebaga nilai yang tinggi. Natrium sebenarnya bukan termasuk unsur hara yang diperlukan untuk tanaman baik sebagai unsur hara mikro apalagi sebagai unur hara makro. Natrium yang terbentuk sebagai akan memelihara keadaan turgor tanaman dan pada kondisi kalium sangat kurang, keberadaan natrium akan menggantikan peran kalium tersebut. Hasil analisis kandungan Ca dapat di tukar pada lumpur sedimen dan ampas sebesar 25,7 (sangat tinggi) dan 4.42 mg/kg (rendah). Kalsium di dalam tanah diambil akar tanaman dalam bentuk Ca++ fungsinya adalah untuk penyusunan dinding dinding sel tanaman, pembelahan sel dan untuk perpanjangan sel (Hardjowigeno, 1989). Salah satu sifat kimia tanah yang terkait erat dengan ketersediaan hara bagi tanaman dan menjadi indikator kesuburan tanah adalah Kapasitas Tukar Kation (KTK) atau Cation Exchangable Cappacity (CEC). KTK merupakan jumlah total kation yang dapat dipertukarkan (cation exchangable) pada permukaan koloid yang bermuatan negative. Hasil analisis KTK pada percontoh sedimen menunjukkan nilai sebesar 29.5 me/100g yang termasuk dalam kategori tinggi. Sedangkan pada ampas, nilai KTK sebesar 7.96 me/100g yang tergolong dalam kategori rendah. KTK tergolong rendah, menggambarkan bahwa pada contoh ampas pengolahan emas mempunyai kemampuan sangat rendah dalam menahan dan mempertukarkan kation (Nyakpa dkk., 1988). Sifat-sifat pertukaran kation dalam tanah banyak digunakan dalam menilai tingkat kesuburan tanah dan klasifikasi tanah. Kapasitas tukar kation berhubungan dengan kapasitas penyediaan Ca, Mg, dan K, efisiensi pemupukan dan pengapuran pada lapisan olah. Hasil analisis terhadap unsur Mg dapat ditukar percontoh lumpur sedimen sebesar 1.90 mg/kg (kategori sedang), sedangkan pada ampas diperoleh nilai Mg sebesar 0.37 mg/kg (kategori sangat rendah). Mg termasuk unsur hara essensial (makronutrien). Menurut Gardner dkk, (1991), Mg merupakan bagian dari molekul klorofil suatu activator enzim-enzim fotosintesis serta respirasi dan diperlukan untuk sintesis protein. Sementara itu hasil analisis terhadap unsur Al dapat ditukar pada contoh lumpur sedimen sebesar 0.34 %. Jumlah ini tergolong kriteria sangat rendah. Sedangkan pada contoh ampas diperoleh nilai sebesar 0.06 % dan juga tergolong kriteria sangat rendah. Dari beberapa parameter di atas, dapat diketahui bahwa status kesuburan tanah pada percontoh lumpur sedimen dan ampas pengolahan emas tergolong sangat rendah
V-4
dengan faktor pembatas pada ketersediaan unsur makro seperti N, P, K. Faktor pembatas lainnya seperti ketersediaan C-organik dan KTK yang rendah. Tabel 5.2. Hasil analisis kandungan logam pada percontoh lumpur sedimen dan ampas Kisaran standar logam berat Logam
Satuan
Lumpur Sedimen
Ampas
(ppm)*
Fe
%
5.18
2.85
Hg
mg/kg
0.19
0.04
0.01-0.3 (rerata 0,03)
Pb
mg/kg
22.4
13.7
2-200 (rerata 10)
Zn
mg/kg
215
78.6
10-300 (rerata 50)
Mn
mg/kg
988
392
300 - 2000
Cu
mg/kg
59.2
65.1
1-300 (rerata 20)
Sumber : *Darmono (1995)
Hasil analisis terhadap unsur besi (Fe), diketahui bahwa pada lumpur sedimen sebesar 5.18 %, sedangkan pada ampas lebih rendah yakni sebesar 2.85 %. Fe merupakan unsur mikro yang diserap dalam bentuk ion feri (Fe3+) ataupun fero (Fe2+). Fe dapat diserap dalam bentuk khelat (ikatan logam dengan bahan organik). Penyerapan Fe lewat daun dianggap lebih cepat dibandingkan dengan penyerapan lewat akar, terutama pada tanaman yang mengalami defisiensi Fe. Fungsi Fe antara lain sebagai penyusun klorofil, protein, enzim, dan berperanan dalam perkembangan kloroplas. Fungsi lain Fe ialah sebagai pelaksana pemindahan elektron dalam proses metabolisme. Gejala kekahatan pertumbuhan berhenti, klorosis di antara tulang daun yaitu pada daun muda, jika parah daun berwarna putih. Hasil analsis terhadap kandungan merkuri (Hg) pada lumpur sedimen, diketahui sebesar 0.19 mg/kg. Sedangkan pada ampas, lebih rendah sebesar 0.04 mg/kg. Menurut Darmono (1995) nilai rerata pada tanah yang tidak terkontaminasi adalah 0,01 - 0,3 mg/kg, sehingga dapat disimpulkan kandungan merkuri pada kedua percontoh lumpur sedimen, masih dibawah ambang batas. Hasil analisis terhadap kandungan logam timbal (Pb) pada sedimen lumpur sebesar 22.4 mg/kg, sedangkan pada ampas sebesar 13.7 mg/kg. Mengacu pada Darmono (1995), kisaran standar logam Pb pada tanah sebesar 2-200 ppm dengan rerata 10 ppm. Jadi nilai Pb pada kedua percontoh, di atas rerata. Perpindahan Pb dari tanah ke tanaman tergantung komposisi dan pH tanah, serta KTK. Konsentrasi timbal yang terlalu tinggi berpengaruh toksik pada proses fotosintesa dan pertumbuhan. Tanaman dapat menyerap logam Pb pada saat kondisi kesuburan tanah, kandungan bahan organik, serta KTK tanah rendah. Pada keadaan ini logam berat Pb akan terlepas dari ikatan tanah dan berupa ion yang bergerak bebas pada larutan tanah. Jika logam lain tidak mampu menghambat keberadaannya, maka akan terjadi serapan Pb oleh akar tanaman (Charlena, 2004) V-5
Hasil analisis terhadap logam Zn pada contoh lumpur sedimen diketahui sebesar 215 mg/kg. Sedangkan pada ampas pengolahan emas, mengandung Zn sebesar 78.6 mg/kg. Jika dibandingkan dengan rerata kadar Zn dalam tanah sebesar 50 mg/kg, maka jumlah tersebut sudah melebihi nilai standar Zn dalam tanah. Logam Zn diserap oleh tanaman dalam bentuk ion Zn++ dan dalam tanah alkalis mungkin diserap dalam bentuk monovalen Zn(OH)+. Di samping itu, Zn diserap dalm bentuk kompleks khelat. Zn dapat diserap tanaman melalui daun. Fungsi Zn antara lain sebagai pengaktif enzim beberapa enzim seperti asam oksalat dekarboksilase, lesitimase. Kandungan logam mangan (Mn) pada lumpur sedimen dan ampas sebesar 988 dan 392 mg/kg. Jumlah ini berada dalam kisaran jumlah Mn dalam tanah sebesar 300-2000 mg/kg. Mn diserap dalam bentuk ion Mn2++. atau dalam kompleks organik. Mn berfungsi dalam fotosintesis yakni memecah air dan evolusi oksigen. Seperti hara mikro lainnya, Mn dianggap dapat diserap dalam bentuk kompleks khelat dan pemupukan Mn sering disemprotkan lewat daun. Kandungan logam tembaga (Cu) pada percontoh lumpur sedimen dan ampas sebesar 59.2 dan 65.1 mg/kg. Cu diserap dalam bentuk ion Cu++ dan mungkin dalam bentuk senyawa kompleks organik. Fungsi Cu diantaranya yaitu dalam metabolisme protein dan karbohidrat, berperan terhadap perkembangan tanaman generatif, berperan terhadap fiksasi N secara simbiotis dan penyusunan lignin. 5.1.2. Analisis XRD Ampas dan Lumpur Sedimen Disamping pengujian secara kimia, dilakukan pula analisis mineralogi dengan menggunakan metode XRD (X-ray Diffraction). Berdasarkan analisis mineraloginya, diketahui bahwa sedimen tersusun dari kuarsa, kalsit, anortit, pirit, kaolinit dan Monmorilonit. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Hasil analisis XRD 5.2 Komposisi Pupuk Organik V-6
Efektifitas phytomining dapat ditingkatkan dengan memperbaiki faktor internal seperti potensi genetik dan fisiologis tanaman ataupun faktor eksternal termasuk manajemen pengolahan tanah dan perlakuan yang diberikan pada tanah. Salah satu perlakuan terhadap tanah dilakukan dengan kegiatan pemupukan. Setiap logam memiliki
respon yang berbeda terhadap perlakuan pH maupun pupuk. Pemupukan dapat
meningkatkan serapan logam oleh tanaman (Rahmansyah, 2009).
Berdasarkan hasil analisis kimia dan kesuburan pada contoh lumpur sedimen dan ampas yang dijadikan sebagai media tanah, maka digunakanlah pupuk organik yang terbuat dari kotoran ternak dan sisa tanaman hasil pertanian. Beberapa keuntungan yang akan diperoleh dari penggunaan pupuk organik antara lain : bahan organik dalam proses mineralisasi akan melepaskan hara tanaman dengan lengkap (N, P, K, Ca, Mg, S, serta hara mikro) dalam jumlah tidak tentu dan relatif kecil, dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan daya menahan air (water holding capacity),permeabilitas dan KTK tanah.
Gambar 5.1 Pupuk organik Acuan yang digunakan untuk mengukur kualitas pupuk organik didasarkan pada aturan Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006. Beberapa baku mutu pupuk organic yang ditetapkan pada aturan tersebut yaitu memiliki pH 4-8. Sedangkan baku mutu untuk beberapa logam berat untuk logam As ≤ 10 ppm , Hg ≤ 1 ppm , Pb ≤ 50 ppm , Cd ≤ 10 ppm dan memiliki rasio C/N antara 10 – 25. Hasil analisis terhadap pupuk organik yang digunakan dalam penelitian ini, ditampilkan pada Tabel 5.3. pH pupuk organik sebesar 6.2 sehingga masih pada kisaran standar baku mutu. Rasio C/N pada pupuk organik sebesar 13, sehingga masih berada pada kisaran baku mutu. Kandungan logam Pb pada pupuk organik sebesar 9 ppm dan masih jauh di bawah baku mutu. Sedangkan untuk logam Cd dan hasil As, hasil V-7
pengujian laboratorium menunjukkan tidak terdeteksi, sehingga dikategorikan dibawah ambang batas kadar logam yang ditetapkan. Demikian pula untuk kandungan Hg sebesar 0.27 ppm, masih berada dibawah ambang batas. Dapat disimpulkan bahwa pupuk organik memiliki komposisi kimia yang mampu meningkatkan kualitas kesuburan media tanam lumpur sedimen dan ampas serta akan mendukung pertumbuhan tanaman.
Tabel 5.3 Hasil analisis pupuk organik Terhadap percontoh asal pH H 2 O
Kadar
(1:5)
Air %
6.2
20.56
CNS Analyzer C-Total
C/N
N-Total
P2O5
------ % ------10.70
0.83
T o t a l HNO 3 K2O
Pb
------% ----13
2.15
2.45
Cd
As
Hg
----------ppm---------9
td
td
0.27
Keterangan : td : tidak terdeteksi kecil sekali (<0.0021 ppm)
5.3 Screening Tanaman Lokal (Indigenous Plant) Dari lokasi tambang emas Cibaliung diperoleh 15 jenis tanaman, 3 (tiga) jenis tanaman dari area kolam pembuangan ampas (TSF, Tailing Storage Facility); 12 jenis tanaman dari area kolam sedimen (Sediment pond). Keseluruhan percontoh tanaman diuji kandungan Au awalnya di Laboratorium Kimia Lingkungan tekMIRA. Hasil analisis kandungan Au dalam tanaman percontoh disajikan pada Tabel 5.4 berikut : Tabel 5.4 Hasil analisis awal kandungan Au pada tanaman Kode Percontoh
Kandungan Au (ppb)
TSF 8
<1,0
10
5,2
6
1,9
2
<1,0
V-8
Kode Percontoh
Kandungan Au (ppb)
3
<1,0
5
4,3
7
<1,0
4
<1,0
14
<1,0
9
<1,0
1
<1,0
12
<1,0
11
0,72
15
<1,0
13
<1,0
SP
Hasil analisis kandungan awal Au pada percontoh tanaman dijadikan acuan untuk pemilihan jenis tanaman indigenous yang akan digunakan pada penelitian. Dari hasil analisis tersebut diperoleh 3 (tiga) jenis tanaman yang dinilai berpotensi untuk menyerap logam yaitu tanaman akar wangi (Vetifer sp.); rumput teki (Cyperus rotundus); dan jenis paku-pakuan.
Dari berbagai penelitian terkait dengan penyerapan logam oleh
tumbuhan, tanaman akar wangi dan beberapa jenis rumput-rumputan dikenal sebagai tanaman hiperakumulator (Purwantari, 2007). Secara umum karakteristik tumbuhan yang ideal untuk digunakan dalam phytomining adalah sebagai berikut (Ali, 2013): a.
Memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi;
b.
produksi biomassa tajuk (shoot) yang lebih banyak;
c.
memiliki percabangan akar yang banyak dan terdistribusi secara luas;
d.
mampu mengakumulasi sejumlah besar logam dari tanah/substrat (hiperakumulator);
e.
mampu mentranslokasi logam dari akar ke tajuk (shoot);
f.
toleran terhadap logam yang bersifat racun;
g.
mampu beradaptasi pada lingkungan (kekeringan, kadar garam dan suhu tinggi) serta iklim tertentu;
h.
tahan terhadap hama dan penyakit;
i.
mudah untuk dikultivasi (diperbanyak) dan dipanen;
j.
tidak dikonsumsi oleh herbivora untuk menghindari kontaminasi dalam rantai makanan.
Jenis tumbuhan yang dipilih sebaiknya merupakan tumbuhan yang endemik atau native dan diketahui tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim, dapat tumbuh di area dengan kandungan logam tinggi, menghasilkan biomasa besar dan tumbuh dengan cepat (Anderson dkk., 2005). Menurut Malik dkk., (2010) jenis rumput-rumputan lebih sesuai digunakan dalam phytoekstraksi logam dibandingkan dengan jenis herba V-9
(shrubs) atau pohon (trees) karena tingkat pertumbuhannya yang cepat, memiliki biomasa yang besar (tumbuhan yang dapat dipanen beberapa kali dalam satu kali periode pertumbuhan sangat berpotensi untuk dimanfaatkan dalam fitoekstraksi logam) dan lebih mampu beradaptasi pada lingkungan yang ekstrim. 5.4 Analisis pertumbuhan tanaman Parameter pengamatan pertumbuhan tanaman yang paling sering dilakukan khususnya pada tanaman setahun adalah biomassa tanaman. Biomassa tanaman mula-mula (pada awal pertumbuhan) meningkat perlahan, kemudian cepat dan akhirnya perlahan sampai konstan dengan pertambahan umur tanaman. Liku demikian dapat simetris, yaitu setengah bagian pangkal sebanding dengan setengah bagian ujung jika titik belok terletak diantara dua asimptot. Proses atau mekanisme yang mengajukan pertanyaan mengenai proses atau menggambarkan hubungan biomassa dengan waktu, dan faktor-faktor yang mengendalikannya dapat ditampilkan secara bersama dalam suatu bentuk bahasa matematik yaitu model matematik. Berbagai model pertumbuhan telah dikembangkan atas dasar pendekatan ini, diantaranya dengan istilah model mekanistik yang telah umum dijumpai. Model tersebut yang biasanya merupakan hasil integrasi dari persamaan differensial akan diturunkan dari persamaan sederhana. Beberapa cara tersedia dalam pendekatan kepada sistem seperti sistem tanaman dengan produk biomassa yang meningkat secara sigmoid dengan waktu untuk mendapatkan faktor-faktor dan proses hipotetik. Menerapkan fenomena yang sudah dikenal cukup baik kepada suatu sistem yang sedang dipelajari merupakan suatu pendekatan yang umum dilakukan. Sehubungan dengan hal ini tanaman dalam pertumbuhannya dapat dipandang pada tahap awal sebagai suatu sistem yang berbentuk ruangan (kompartemen) yang dibagi dua oleh dua sekat pemisah yang lolos air dan kedap zat tertentu contohnya Iodium. Untuk sistem tanaman suatu kompertemen dapat dianggap sebagai tempat substrat dan kompertemen lain sebagai tempat produk yang dapat berupa senyawa organik atau biomassa (berat kering) jaringan, organ atau keseluruhan tumbuhan (Sitompul,1995).
V-10
Gambar 5.2. Tanaman Vertiver zizanoides di dalam rumah kaca Pertumbuhan itu lebih mudah digambarkan dari pada di defenisikan. Pertumbuhan berarti pembelahan sel dan pembesaran sel. Kedua proses ini memerlukan sintesis protein dan merupakan proses yang tidak dapat berbalik. Proses differensiasi seringkali dianggap pertumbuhan. Pertumbuhan tanaman memerlukan proses differensiasi. Pertumbuhan tanaman di tunjukkan oleh pertambahan ukuran dan berat kering yang tidak dapat balik. Pertambahan ukuran dan dari suatu organisme mencerminkan bertambahnya protoplasma, yang tejadi karena baik ukuran sel maupun jumlahnya bertambah. Pertambahan ukuran sel mempunyai batas yang diakibatkan hubungan antar volume dan luas permukaan. Proses-proses pembelahan sel menentukan dasar untuk pertumbuhan akan tetapi pembelahan sel adalah proses-proses yang diatur secara biokimia, dan tidaklah perlu selalu diatur langsung oleh hubungan antara volume dan luas permukaannya (Bhima, 2010).
Analisis variansi untuk disain acak sempurna Untuk analisis data yang diperoleh berdasarkan disain eksperimen, khususnya disain acak sempurna, akan ditinjau disain dengan sebuah observasi tiap unit eksperimen. Misalkan ada k buah perlakuan di mana terdapat ni unit eksperimen untuk perlakuan ke i (i = 1, 2, ...., k). Jika data pengamatan dinyatakan dengan Yij (i = 1, 2, .....k) dan (j = 1, 2, ......nj), Yij berarti nilai pengamatan daripada unit eksperimen ke j karena perlakuan ke i, maka untuk keperluan analisisnya, data tersebut sebaiknya disusun dalam daftar seperti berikut: Tabel 5.5 Data pengatan untuk disain acak sempurna (tiap perlakuan berisi ni pengamatan) Perlakuan
Blok 1 2 . . b
2.
.......
k
Y11
Y21
.......
Yk1
J10
Y12
Y12
.......
Yk2
J20
.....
.....
.....
.
......
......
......
.
......
......
......
.
......
......
......
.
......
Yb2
......
Yb1 Jumlah
Jumlah
1.
J01
J02
.......
Ybp
Jb0
J0p
Ji
Rata-Rata
V-11
Banyak Pengamatan
n1
n2
.......
k
nk
� ni i=1
Rata-rata
Ῡ01
Ῡ02
......
Ῡ0p
Ῡ00
-
Setelah harga-harga di atas diperoleh, maka dapat disusun dalam sebuah daftar analisis variansi, disingkat ANAVA. Dari data hasil pengamatan dan daftar ANAVA yang diperoleh dapat ditarik kesimpulan khususnya mengenai efek-efek perlakuan. Akan tetapi, sebelum hal ini dilakukan, beberapa asumsi perlu diambil supaya pengujian statistis yang diambil menjadi berlaku. Asumsi yang biasa diambil dalam ANAVA adalah sifat aditif, linieritas, normalitas, indipenden dan homogenitas variansi. Modelnya yang diandalkan adalah model linier dengan persamaan : Yij = μ + τi + εij ; i= 1,2,…, k ; j=1,2,…, nk
dengan :
Yij
= variable yang akan dianalisis, dimisalkan berdistribusi normal,
μ
= efek umum atau efek-efek rata-rata sebenarnya,
τ
= efek yang sebenarnya dari pada perlakukan ke i
εij
= efek yang sebenarnya daripada unit eksperimen ke j yang berasal dari perlakuan ke i
Daftar analisis yang digunakan adalah ANAVA model tetap seperti dibawah ini : Tabel 5.6 Anava model tetap untuk disain acak sempurna Sumber Variasi
Dk
JK
RJK
ERJK
Rata-rata
1
Ry
R
-
Blok
b-1
By
B
σ2ε+pΣβi/(b-1)
Antar Perlakuan
p–1
Py
P
σ2ε+ bΣπ2i/(p-1)
Kekeliruan
(b-1)(p-1)
Ey
E
Jumlah
bp
ΣY2
-
-
Harga-harga ini dapat dilihat dalam daftar di atas. Selanjutnya diperlukan: ∑ Y2
= Jumlah kuadrat-kuadrat (JK) semua nilai pengamatan
V-12
= ∑ki=1
∑ki=1
Yij2
Ry
= Jumlah kuadrat-kuadrat (JK) untuk rata-rata
Py
= J2 / ∑ki=1 ni
= Jumlah kuadrat-kuadrat (JK) antar perlakuan = ∑ki=1 ni (Yi - Y )
Ey
=∑ki=1�Ji2 ⁄ni � − R y
= ΣY2 –Ry - Py
5.5 Uji kandungan Au 5.5.1 Tanaman Akar Wangi (Vetifer sp.) Berdasarkan hasil uji laboratorium diperoleh data seperti pada Tabel 5.7 Hasil analisa akumulasi emas (Au) di dalam tanaman akar wangi pada bagian akar dan tajuk disajikan pada Tabel 5.7. Hasil tersebut didapat dari penanaman akar wangi di sedimen yang berbobot 6 kg.
V-13
Tabel 5.7. Hasil analisis laboratorium tajuk tanaman vertifer
Tajuk
Kering Akar
Total
13.65 8.61 6.98 2.19 38.87 14.08 27.21 84.30 20.45 67.79 38.80 62.02 20.15 49.45 61.79 33.73 47.33 19.41 23.92 24.85 36.80
20.11 8.94 14.55 14.65 10.59 22.88 11.99 41.05 25.94 47.88 21.80 31.80 16.99 35.76 21.22 28.53 28.81 22.92 27.41 20.68 40.62
33.76 17.54 21.53 16.84 49.46 36.96 39.20 125.35 46.39 115.67 60.60 93.82 37.14 85.22 83.02 62.27 76.14 42.33 51.33 45.53 77.42
Berat Sampel Tajuk Akar Total (gr) 2.94 3.01 2.91 3.01 1.84 3.00 2.99 3.00 3.00 3.02 3.00 3.01 2.99 2.92 2.94 3.00 3.00 3.01 3.01 3.01 3.03
3.06 2.96 2.98 2.98 3.01 3.02 2.97 3.04 3.00 2.98 3.00 3.01 2.97 2.95 2.99 2.99 3.02 1.99 3.02 2.92 2.95
6.00 5.97 5.89 5.98 4.84 6.02 5.97 6.03 6.00 5.99 6.00 6.02 5.96 5.87 5.93 5.99 6.01 5.00 6.03 5.93 5.99
Kadar Au
Tajuk
Abu Akar
Total
1.17 1.09 0.44 0.44 0.36 1.08 0.31 0.37 0.52 0.41 0.58 0.47 0.64 0.33 0.46 0.75 0.48 0.66 0.39 0.70 0.35
1.01 0.74 0.77 1.03 0.54 0.95 0.88 0.66 0.56 1.11 0.72 0.83 0.68 0.57 0.46 0.85 0.87 0.43 0.62 0.97 0.46
2.18 1.83 1.20 1.47 0.91 2.03 1.19 1.03 1.08 1.53 1.29 1.30 1.31 0.90 0.93 1.59 1.36 1.10 1.01 1.68 0.80
Tajuk Akar (ppb) 21.00 12.50 8.30 4.80 5.50 14.10 4.10 2.60 11.30 19.60 5.10 3.00 3.50 2.10 8.00 17.50 5.40 3.20 1.00 1.40 0.29
0.97 25.00 19.80 22.00 9.70 14.80 18.10 17.60 13.10 15.40 13.60 11.50 15.80 9.70 9.40 11.10 14.80 18.20 11.00 19.40 7.10
Bobot Total Au
Efisiensi Sorpsi Au
Tajuk
Akar (gr)
Total
0.000525 0.000313 0.000208 0.000120 0.000138 0.000353 0.000103 0.000065 0.000283 0.000490 0.000128 0.000075 0.000088 0.000053 0.000200 0.000438 0.000135 0.000080 0.000025 0.000035 0.000007
0.000024 0.000625 0.000495 0.000550 0.000243 0.000370 0.000453 0.000440 0.000328 0.000385 0.000340 0.000288 0.000395 0.000243 0.000235 0.000278 0.000370 0.000455 0.000275 0.000485 0.000178
0.000549 0.000938 0.000703 0.000670 0.000380 0.000723 0.000555 0.000505 0.000610 0.000875 0.000468 0.000363 0.000483 0.000295 0.000435 0.000715 0.000505 0.000535 0.000300 0.000520 0.000185
Tajuk 4.86 2.89 1.92 1.11 1.27 3.26 0.95 0.60 2.62 4.54 1.18 0.69 0.81 0.49 1.85 4.05 1.25 0.74 0.23 0.32 0.07
Akar (%)
Total
0.22 5.79 4.58 5.09 2.25 3.43 4.19 4.07 3.03 3.56 3.15 2.66 3.66 2.25 2.18 2.57 3.43 4.21 2.55 4.49 1.64
5.09 8.68 6.50 6.20 3.52 6.69 5.14 4.68 5.65 8.10 4.33 3.36 4.47 2.73 4.03 6.62 4.68 4.95 2.78 4.81 1.71
V-14
Tabel 5.7 menunjukkan hasil analisa kadar Au di tajuk dan akar tanaman Akarwangi. Hasil penyerapan maksimum terjadi pada perlakuan percobaan tanpa penambahan bahan organik, dengan penambahan Cu, dan dengan kelat sebesar 3,4 gram/L. Efisiensi penyerapan total yang terjadi mencapai 8,68%, dengan bobot emas total mencapai 549 mg.
Pada Tabel 5.7 pun ditunjukkan hasil penyerapan Au yang lebih baik oleh tanaman dengan penambahan agen pengelat dibandingkan dengan yang tidak ditambahkan agen pengelat. Hal tersebut berlaku baik untuk bagian akar maupun bagian tajuk. Pada akar tanaman yang tidak diberikan bahan organik, penambahan agen pengelat memberikan hasil akumulasi Au terbanyak di angka 0,625 mg. Pada akar tanaman yang tidak diberikan agen pengelat memiliki hasil 0,453 mg. Sedangkan pada tajuk, hasil terbaik dengan penambahan agen pengelat adalah 0,525 mg dan pada tanaman tanpa penambahan agen pengelat sebesar 0,103 mg. Hal ini dikarenakan agen pengelat berfungsi untuk memacu ketersediaan dan transfer logam dari media tanam ke biomassa. Logam akan terserap oleh tanaman dalam bentuk terlarut dan dalam mekanisme pengelatan unsur Au akan diubah kedalam bentuk kompleks logam agen pengelat (Salt, 2000 dalam Hidayati, 2005). Dalam hal ini unsur Au yang direaksikan dengan agen pengelat ammonium thiosulphate akan membentuk senyawa Au(S2O3) yang memiliki ukuran senyawa lebih kecil sehingga lebih mudah untuk diserap tanaman. Pada perlakuan tanpa penambahan bahan organik ternyata agen pengelat yang lebih besar (102,6 gr/L) memberikan dampak yang lebih baik pada proses translokasi Au ke bagian tajuk. Hal ini menunjukkan bahwa ammonium thiosulphate tidak berkompetisi dalam mengikat Au. Kondisi tersebut sedikit berbeda pada perlakuan penambahan bahan organik, baik 0,6 gram maupun 1,2 gram. Pada tanaman yang diberikan perlakuan penambahan bahan organik, Au lebih lambat ditranslokasikan ke tajuk. Hal ini dapat terjadi karena bahan organik memiliki asam organik yang dapat berfungsi sebagai agen pengelat juga. Agen pengelat ammonium thiosulphate akan berkompetisi dengan asam organik yang dihasilkan dari bahan organik untuk mengikat Au.
Secara keseluruhan, penambahan agen pengelat tidak serta merta meningkatkan akumulasi Au, baik di tajuk maupun di akar. Hal ini dikarenakan sulfat yang berikatan dengan Au memiliki sifat antagonis terhadap penyerapan unsur phospor kedalam tanaman sehingga rasio yang tidak berimbang akan menghambat penyerapan unsur phospor. Kekurangan unsur phospor akan meningkatkan afinitas unsur lain oleh tanaman dan hal ini akan memberikan pengaruh yang berbeda pada setiap tanaman. Selain itu, proses pengelatan membutuhkan unsur Cu sebagai katalisator dan stabilisator dari ammonium thiosulphate tersebut dan pada akhirnya unsur Cu akan menghambat efisiensi penyerapan Au oleh tanaman. Hambatan tersebut terjadi karena afinitas Cu (dalam kapasitasnya sebagai unsur hara mikro) akan lebih diutamakan daripada unsur Au, karena Au bukan merupakan unsur yang dibutuhkan tanaman dalam pertumbuhannya. V-15
Dengan membandingkan nilai atau berat Au yang terkumpul antara tajuk dan akar maka dapat dipastikan bahwa berat Au di akar untuk semua perlakuan memiliki bobot yang lebih besar dibandingkan dengan akar pada parameter yang sama. Menurut Brown, et al, (1995) dalam Hidayati (2005) hal ini mengindikasikan dua kemungkinan, yaitu tanaman akar wangi telah teracuni oleh Au dan/atau proses translokasi logam Au dari akar ke tajuk memerlukan waktu proses yang lebih lama.
Daftar Anava untuk tanaman akar wangi disajikan pada Tabel 5.8 berikut: Tabel 5.8 Anava untuk disain tajuk tanaman akar wangi Ftab dk
JK
RJK
F
Rata-rata
1 82921,15 82921,15
Blok
6
Perlakuan
2 23386,48 11693,24
Kekeliruan
12 23974,46 1997,872
Jumlah
21 137691,3
(5%)
7409,23 1234,872
-
5,852847 2,85 -
Untuk mengetahui tingkat perbedaan mengenai rata-rata efek tiap perlakuan dengan melakukan uji hipotesis. Hipotesis uji yang digunakan adalah: H0 : πj= 0 (tidak ada perbedaan mengenai rata-rata efek tiap perlakuan ) H1 : πj ≠ 0 (ada perbedaan mengenai rata-rata efek tiap perlakuan) Dengan menggunakan analisis uji F
F=
P RJK (antarperlakuan) = E RJK (kekeliruaneksperimen)
dimana apabila Fhit > Fα(ν1, ν2) maka tolak H0 atau nilai signifikansi α, derajat kebebasan (dk) pembilang, ν1 =p-1dk penyebut ν2 =(b-1)(p-1). Dengan α =0,05 bahwa F hitung = 5,85 > F tabel (2,85) maka terdapat perbedaan efek tiap perlakuannya. Adapun rata-rata efek perlakuan yang berbeda adalah antara perlakuan 2 (penambahan kelat 500+Cu) dengan kontrolnya yaitu perbandingannya yaitu 96,47 berbanding 83,83; antara perlakuan 2 (500+Cu)
V-16
dengan 5 (1500) (78,67 berbanding 76,19); antara perlakuan 2 (500+Cu) dengan 4 (1000+Cu) (78,67 berbanding 76,19). Hubungan penambahan bahan organik dengan kadar Au seperti terlihat pada Gambar 5.3
Serapan Au pada tajuk tanaman akar wangi
Kadar Au (ppm)
200 500
150
500+Cu 1000
100
1000+Cu 1500
50
1500+Cu 0 0
0,6
1,2
Penambahan Bahan Organik (Kg)
Gambar 5.3 Grafik hubungan penambahan bahan organik dan chelating agent terhadap serapan Au di tajuk tanaman akar wangi
V-17
Daftar Anava untuk akar tanaman akar wangi adalah sebagai berikut (Tabel 5.9) Tabel 5.9 Anava untuk disain akar tanaman vertifer dk Rata2 Blok Perlakuan Kekeliruan Jumlah
1 6 2 12 21
JK 315204,8 1071,003 22326,68 30202,96 368805,4
RJK F Ftab (5%) 315204,8 6 11163,34 4,435329 3 2516,914
Untuk mengetahui tingkat perbedaan mengenai rata-rata efek tiap perlakuan dengan melakukan uji hipotesis. Hipotesis uji yang digunakan adalah: H0 : πj= 0 (tidak ada perbedaan mengenai rata-rata efek tiap perlakuan ) H1 : πj ≠ 0 (ada perbedaan mengenai rata-rata efek tiap perlakuan) Dengan menggunakan analisis uji F
F=
P RJK (antarperlakuan) = E RJK (kekeliruaneksperimen)
dimana apabila Fhit > Fα(ν1, ν2) maka tolak H0 atau nilai signifikansi α, derajat kebebasan (dk) pembilang, ν1 =p-1dk penyebut ν2 =(b-1)(p-1). Dengan α =0,05 bahwa F hitung = 4,43 > F tabel (2,85) maka terdapat perbedaan efek tiap perlakuannya. Adapun rata-rata efek perlakuan yang berbeda adalah antara perlakuan 4 (penambahan kelat 1000+Cu) dengan perlakuan 5 (penambahan kelat 1500) yaitu perbandingannya yaitu 86,63 berbanding 85,52; antara perlakuan 4 (1000+Cu) dengan 1 (penambahan kelat 500) (98,5 berbanding 79,64).
Hubungan penambahan bahan organik dengan kadar Au seperti terlihat pada Gambar 5.4
V-18
Serapan Au pada akar tanaman akar wangi 250 500
Kadar Au (ppm)
200
500+Cu
150
1000 1000+Cu
100
1500
50
1500+Cu Kontrol
0 0
0,6
1,2
Penambahan bahan organik (Kg)
Gambar 5.4 Grafik hubungan penambahan bahan organik dan khelat terhadap penyerapan Au pada akar tanaman akar wangi
V-19
5.5.2
Tanaman Caisin (Brassica juncea)
Daftar Anava untuk tanaman caisin adalah Tabel 5.10 Anava untuk disain tanaman caisin pada media tanam ampas dk Rata-rata Blok Perlakuan Kekeliruan Jumlah
1 6 2 12 21
JK 125037,8 59199,37 71385,93 178161,8 433784,9
RJK F hit Ftab(5%) 125036,8 9866,562 35692,97 2,404082 2,85 14846,82
Untuk mengetahui tingkat perbedaan mengenai rata-rata efek tiap perlakuan dengan melakukan uji hipotesis. Hipotesis uji yang digunakan adalah: H0 : πj= 0 (tidak ada perbedaan mengenai rata-rata efek tiap perlakuan ) H1 : πj ≠ 0 (ada perbedaan mengenai rata-rata efek tiap perlakuan) Dengan menggunakan analisis uji F
F=
P RJK (antarperlakuan) = E RJK (kekeliruaneksperimen)
dimana apabila Fhit > Fα(ν1, ν2) maka tolak H0 atau nilai signifikansi α, derajat kebebasan (dk) pembilang, ν1 =p-1dk penyebut ν2 =(b-1)(p-1). Dengan α =0,05 bahwa F hitung = 2,40 < F tabel (2,85) maka tidak terdapat perbedaan efek tiap perlakuannya. Hubungan penambahan bahan organik dengan kadar Au seperti terlihat pada Gambar 5.5 berikut
V-20
Caisin 120
Kadar Au (ppm)
100
50 50+Cu
80
200
60
200+Cu 400
40
400+Cu
20
Kontrol
0 0
0,6
1,2
Penambahan Bahan Organik (Kg)
Gambar 5.5 Grafik Hubungan penambahan bahan organik dan khelat terhadap penyerapan Au pada Caisin
5.5.3
Tanaman Rumput Teki (Cyperus rotundus)
Daftar Anava untuk tanaman rumput teki adalah Tabel 5.11 Anava untuk disain tanaman rumput teki dk Rata-rata Blok Perlakuan Kekeliruan Jumlah
1 6 2 12 21
JK 54417 6854,4 3384,5 5189 69845
RJK
F
1142,4 1692,2 432,41
3,9135
Ftab (5%)
3
Untuk mengetahui tingkat perbedaan mengenai rata-rata efek tiap perlakuan dengan melakukan uji hipotesis. Hipotesis uji yang digunakan adalah: H0 : πj= 0 (tidak ada perbedaan mengenai rata-rata efek tiap perlakuan ) H1 : πj ≠ 0 (ada perbedaan mengenai rata-rata efek tiap perlakuan) Dengan menggunakan analisis uji F
V-21
F=
P RJK (antarperlakuan) = E RJK (kekeliruaneksperimen)
dimana apabila Fhit > Fα(ν1, ν2) maka tolak H0 atau nilai signifikansi α, derajat kebebasan (dk) pembilang, ν1 =p-1dk penyebut ν2 =(b-1)(p-1). Dengan α =0,05 bahwa F hitung = 3.9 < F tabel (3) maka terdapat perbedaan efek tiap perlakuannya. Hubungan penambahan bahan organik dengan kadar Au seperti terlihat pada Gambar 5.6
Rumput Teki 120
kadar Au (ppm)
100 500
80
500+Cu 1000
60
1000+Cu 40
1500 1500+Cu
20
Kontrol
0 0
0,6
1,2
Bahan Penambahan Organik (kg)
Gambar 5.6. Grafik Hubungan penambahan bahan organik dan khelat terhadap penyerapan Au pada rumput teki
Daftar Anava untuk akar tanaman rumput teki adalah sebagai berikut : Tabel 5.12 Anava untuk disain akar tanaman rumput teki dk Rata-rata Blok Perlakuan kekeliruan kekeliruan
1 6 2 12 21
JK 191620,8 30697,81 28751,24 73030,19 324100
RJK
F
5116,302 14375,62 2,362139 6085,849
Ftab (5%)
3
V-22
Untuk mengetahui tingkat perbedaan mengenai rata-rata efek tiap perlakuan dengan melakukan uji hipotesis. Hipotesis uji yang digunakan adalah: H0 : πj= 0 (tidak ada perbedaan mengenai rata-rata efek tiap perlakuan ) H1 : πj ≠ 0 (ada perbedaan mengenai rata-rata efek tiap perlakuan) Dengan menggunakan analisis uji F
F=
P RJK (antarperlakuan) = E RJK (kekeliruaneksperimen)
dimana apabila Fhit > Fα(ν1, ν2) maka tolak H0 atau nilai signifikansi α, derajat kebebasan (dk) pembilang, ν1 =p-1dk penyebut ν2 =(b-1)(p-1). Dengan α =0,05 bahwa F hitung = 2,40 < F tabel (2,85) maka tidak terdapat perbedaan efek tiap perlakuannya. Hubungan penambahan bahan organik dengan kadar Au seperti terlihat pada Gambar 5.7
Rumput Teki 120
kadar Au (ppm)
100 500
80
500+Cu 1000
60
1000+Cu
40
1500 1500+Cu
20
Kontrol
0 0
0,6
1,2
Bahan Penambahan Organik (kg)
Gambar 5.7. Grafik Hubungan penambahan bahan organik dan khelat terhadap penyerapan Au pada akar rumput teki 5.5.4
Tanaman Paku V-23
Daftar Anava untuk tanaman rumput teki adalah Tabel 5.13 Anava untuk disain akar tanaman paku dk Rata-rata Blok Perlakuan Kekeliruan Jumlah
1 6 2 12 21
JK RJK F Ftab (5%) 4936815 918610,6 153101,8 1419968 709984 3,230459 3 2637336 219778 9912730
Untuk mengetahui tingkat perbedaan mengenai rata-rata efek tiap perlakuan dengan melakukan uji hipotesis. Hipotesis uji yang digunakan adalah: H0 : πj= 0 (tidak ada perbedaan mengenai rata-rata efek tiap perlakuan ) H1 : πj ≠ 0 (ada perbedaan mengenai rata-rata efek tiap perlakuan) Dengan menggunakan analisis uji F
F=
P RJK (antarperlakuan) = E RJK (kekeliruaneksperimen)
dimana apabila Fhit > Fα(ν1, ν2) maka tolak H0 atau nilai signifikansi α, derajat kebebasan (dk) pembilang, ν1 =p-1dk penyebut ν2 =(b-1)(p-1). Dengan α =0,05 bahwa F hitung = 3.23 > F tabel (3) maka terdapat perbedaan efek tiap perlakuannya. Adapun rata-rata efek perlakuan yang berbeda adalah antara perlakuan penambahan kelat 1000 dengan perlakuan penambahan kelat 500 yaitu perbandingannya yaitu 810.67 berbanding 545.75. Hubungan penambahan bahan organic dengan kadar Au seperti terlihat pada Gambar 5.8.
Akar tanaman paku 2500 2000
V-24
Gambar 5.8. Grafik Hubungan penambahan bahan organik dan khelat terhadap penyerapan Au pada akar tanaman paku
Pembahasan Berdasarkan hasil analisis, secara umum penyerapan Au masih sangat kecil (dalam satuan ppb) kecuali pada tanaman paku-pakuan (serapan Au-nya mencapai 2 ppm), sementara kandungan Au dalam sedimen adalah sebesar 1,8 mg/kg. Anderson dkk. (1998) menyatakan bahwa hiperakumulasi Au tercapai bila konsentrasi serapannya lebih besar dari 1 mg/kg. Menurut Wilson-Corral (2011) diperlukan minimal 1 mg/kg Au dalam substrat (sedimen ore/tailing) untuk mencapai keekonomian dari penerapan metode fitoekstraksi. Sementara berdasarkan studi pemodelan keekonomian phytomining oleh Anderson dkk. (2005) diperlukan minimal 2 mg/kg Au dalam substrat untuk dapat menghasilkan 100 mg/kg Au dalam tanaman. Berdasarkan hal tersebut, maka sedimen yang digunakan dalam penelitian berpotensi untuk diolah dengan metode phytomining. Adapun pada hasil penelitian menunjukkan penyerapan Au yang tidak maksimal, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain Sheoran (2009) : faktor terkait tanaman: jenis dan biomassa tanaman; faktor terkait substrat: bioavailability logam, jenis chelating agent, kandungan organik substrat dan pH. a. Faktor terkait tanaman Pada penelitian ini digunakan beberapa jenis tanaman yaitu rumput teki (Cyperus rotundus L.), akar wangi (Vetifer sp.) dan jenis paku-pakuan. Ketiga tanaman tersebut merupakan tanaman indigenous di lokasi
V-25
tambang emas Cibaliung. Menurut Anderson dkk. (2005) jenis tumbuhan yang dipilih sebaiknya merupakan tumbuhan yang endemik atau native dan diketahui tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim, dapat tumbuh di area dengan kandungan logam tinggi, menghasilkan biomasa besar dan tumbuh dengan cepat). Malik dkk., (2010) menyebutkan bahwa jenis rumput-rumputan lebih sesuai digunakan dalam fitoekstraksi logam dibandingkan dengan jenis herba (shrubs) atau pohon (trees) karena tingkat pertumbuhannya yang cepat, memiliki biomasa yang besar (tumbuhan yang dapat dipanen beberapa kali dalam satu kali periode pertumbuhan sangat berpotensi untuk dimanfaatkan dalam fitoekstraksi logam) dan lebih mampu beradaptasi pada lingkungan yang ekstrim. Sebagai pembanding digunakan pula caisin (Brassica juncea) yang telah sering digunakan sebagai tanaman uji pada beberapa penelitian phytomining terdahulu (Anderson dkk. (1998); Lamb dkk. (1998); Bali dkk.(2010)). Dua dari tiga jenis tanaman indigenous yang dipilih sebagai tanaman uji dikenal sebagai jenis tanaman hiperakumulator logam-logam (terutama pada kegiatan fitoremediasi). Akar wangi dikenal sebagai akumulator berbagai logam berat (Roongtanakiat (2009); Chen dkk. (2012)); rumput teki dikenal sebagai akumulator logam kadmium (Cd), timbal (Pb) dan timah (Sn) (Anoliefo dkk. (2008); Ahn (2011); Ashraf dkk. (2012)). Dengan kemampuan tersebut tanaman diharapkan dapat pula mengakumulasi Au. Berdasarkan hal tersebut maka jenis tanaman yang digunakan sebagai tanaman uji dinilai berpotensi dalam penelitian ini. Meskipun telah banyak penelitian yang melaporkan tentang kemampuan tanaman dalam menyerap logam, namun belum ada penelitian yang mengidentifikasi jenis tanaman hiperakumulator Au (Wilson-Corral, 2011). Hasil penelitian menunjukkan serapan Au yang rendah dan akumulasi lebih tinggi pada bagian akar (root) daripada bagian tajuk (shoot) pada seluruh tanaman uji. Merujuk pada hasil analisis sedimen menunjukkan adanya kandungan logam berat dengan konsentrasi yang cukup tinggi dibandingkan dengan konsentrasi Au sehingga terjadi kompetisi dalam hal penyerapan logam. Anderson (2005) menyatakan bahwa keberadaan logam-logam lain yang terlarut dalam substrat akan mempengaruhi konsentrasi penyerapan logam target. Bila diasumsikan bahwa penyerapan Au mengikuti aliran massa dan tanaman tidak memiliki mekanisme untuk menghalangi penyerapannya maka akumulasi logam akan terus terjadi selama tumbuhan mampu melakukan penyerapan dan terus mengalami transpirasi. Beberapa jenis logam termasuk sebagai unsur esensial namun Au tidak termasuk didalamnya. Tanaman tentunya akan lebih dulu menyerap logam-logam esensial. Meskipun demikian penyerapan logam esensial dalam jumlah besar dapat berakibat toksik bagi tanaman. Kecepatan evapotranspirasi pada tanaman akan menurun jika konsentrasi logam pada akar dan daun mencapai tingkat beracun (phytotoxic level) (Wilson-Corall, 2011). Untuk mengatasi hal tersebut maka dilakukan mekanisme detoksifikasi dan toleransi terhadap logam (Cosio, 2004) dimana tanaman akan mentranslokasi logam dari akar ke tajuk (shoot) sehingga logam tersebut tidak bersifat racun bagi tumbuhan V-26
atau melakukan immobilisasi logam di vakuola akar (Nazir, 2011). Mekanisme immobilisasi logam tersebut diduga merupakan penyebab tingginya akumulasi logam di akar. Logam-logam yang tidak memiliki peranan penting dalam fisiologi normal tanaman (contohnya logam Au) akan disimpan pada daun atau akar. (Bali dkk, 2010). Hal ini juga menjelaskan besarnya akumulasi Au di akar. Translokasi logam oleh tanaman melibatkan senyawa-senyawa pembawa logam (metal ions tranporter) dan ligan yang berbeda-beda untuk beberapa jenis logam. Meskipun dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis senyawa pembawa logam apa yang terdapat dalam tanaman uji. Namun merujuk pada hasil penelitian diduga terjadi kompetisi dalam hal pengikatan logam (afinitas senyawa-senyawa dalam tanaman untuk mengikat logam selain Au lebih besar). Sebagai contoh kasus, pada tanaman Arabidopsis thaliana logam Mn dan Fe berbagi transporter yang sama, namun afinitas transporter terhadap Mn lebih tinggi dibanding terhadap Fe sehingga jika Mn lebih banyak terikat maka terjadi defisiensi Fe (Cailliate dkk. (2010)). Menurut Manara (2012), tanaman memiliki beberapa jenis transporter seperti ZIP family (untuk mentrasportasikan Fe2+, Mn 2+, Zn2+ dan Cd2+); NRAMP (untuk mentransportasikan Mn2+, Zn2+, Cu2+, Fe2+, Cd2+, Ni2+ dan Co2+); dan CTR (The Copper Transporters) Family. Seperti diketahui bahwa akar merupakan organ utama penyerapan nutrisi (mikro/makronutrien (unsur esensial) dan air) pada tanaman. Penyerapan logam terutama terjadi disekitar zona perakaran (rhizosphere). Pada bagian permukaan rhizhosfer banyak terdapat mikroorganisme yang berfungsi untuk mempercepat proses infiltrasi bahan/logam ke dalam tanaman. Oleh karena itu pertumbuhan akar yang baik serta jangkauan akar yang jauh dalam substrat juga akan mempengaruhi tingkat penyerapan logam. Pada penelitian ini, tanaman akar wangi memiliki biomassa akar paling besar (dilihat dari pertumbuhan akarnya), namun serapan Au-nya masih lebih kecil dibandingkan dengan rumput teki dan paku-pakuan. Pertumbuhan akarnya yang cukup pesat tidak sebanding dengan luasan pot penanaman sehingga merusak morfologi akar dan mempengaruhi penyerapan Au.
b. Faktor terkait substrat (sedimen) Pengaruh penambahan chelating agent terhadap penyerapan Au Berdasarkan hasil analisis, penambahan chelating agent Natrium tiosulfat meningkatkan serapan Au oleh tanaman uji secara signifikan. Penyerapan Au paling tinggi pada tanaman akar wangi sebesar 178 µg/kg berat kering dengan penambahan Na-tiosulfat 1000 ml; pada tanaman rumput teki 324 µg/kg berat kering dengan penambahan Na-tiosulfat 1500 ml dan pada pada tanaman paku-pakuan 2413 µg/kg berat kering dengan penambahan Na-tiosulfat sebesar 1000 ml. Anderson dkk. (1998) dan Wilson-Corral dkk. (2011) menyatakan bahwa penambahan chelating agent bertujuan untuk meningkatkan penyerapan logam-logam, metode ini dikenal dengan istilah induced-hyperaccumulation. Meskipun mobilitas Au cukup tinggi, namun V-27
dalam kondisi normal di alam, Au bersifat sulit terlarut (low solubility) sehingga bioavalability (ketersediaan Au dalam bentuk yang siap diserap tanaman) logam ini sangat rendah yang berdampak berkurangnya potensi phytomining. Bioavailibility merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam penerapan phytomining (Gardea-Torresdey dkk (2005)). Dalam pelaksanaan induced hyperaccumulation, faktor geokimia substrat (pH, Eh dan kimia-fisika logam Au) sangat berperan dalam menentukan jenis chelate yang digunakan (Krisnayanti dkk. (2012). Beberapa jenis chelating agent dilaporkan pernah digunakan dalam penelitian phytomining terdahulu antara lain NaCN (Natrium sianida), KCN (Kalium sianida), (NH4)2S2O3 (Ammonium tiosulfat), NaSCN (Natrium tiosianat) (Lamb dkk (2001); Wilson-Corral (2011)). Untuk substrat dengan pH rendah maka digunakan chelating agent tiosianat sedangkan untuk substrat dengan pH tinggi digunakan chelating agent tiosulfat (Anderson dkk, 1999) pada rentang pH 5-9 (Handayanto dkk. (2014)) atau pada rentang 8-9 (SGS, 2008); sedangkan sianida baik digunakan pada kondisi basa (pH>10). pH substrat (sedimen) yang digunakan pada penelitian ini adalah 9, maka diputuskan untuk menggunakan Na-tiosulfat sebagai chelating agent. Sianida, meskipun dalam banyak penelitian terbukti efektif dalam pelarutan Au, tidak digunakan dalam penelitian ini karena adanya kekhawatiran terkait dengan penanganannya pada saat pelaksanaan percobaan. Penambahan chelating agent pada substrat tidak hanya akan meningkatkan konsentrasi logam-logam yang terlarut tetapi juga mengubah mekanisme penyerapannya. Tinggi atau rendahnya penyerapan bergantung pada jenis logam, jenis tumbuhan dan konsentrasi chelate (Nowack dkk, 2006). Hal tersebut menjelaskan adanya perbedaan penyerapan logam yang berbeda-beda pada setiap jenis tanaman dan konsentrasi perlakuan. Hasil serapan Au yang rendah pada beberapa tanaman uji boleh jadi diakibatkan oleh kurang optimalnya kelarutan Au dalam substrat yang akhirnya menurunkan bioavailability Au. Logam Au membentuk kompleks yang stabil dengan tiosulfat dalam fasa larutan/aqueous dengan persamaan reaksi sebagai berikut (Keskinen, 2013): Au + 2S 2 O 3 2– Au (S 2 O 3 ) 2 3– + eProses pelindian Au oleh tiosulfat memerlukan oksigen sebagai pengoksidasi dan ion tembaga (Cu) sebagai katalis dalam reaksi dan dalam suasana basa. Persamaan reaksi dalam pelarutan Au oleh tiosulfat adalah sebagai berikut :
4Au + 8S 2 O 3 2– + O 2 + 2H 2 O → 4Au (S 2 O 3 ) 2 3– + 4OH
-
V-28
Pelarutan Au oleh tiosulfat bersama dengan adanya oksigen membutuhkan katalis yang sesuai, karena jika tidak demikian maka proses pelindian akan berlangsung sangat lambat. Katalis Cu(II) merupakan katalis yang sangat efisien dalam reaksi ini. Menurut Aylmoir dan Munir (2001), ion-ion Cu dalam larutan akan mempercepat pelarutan Au bahkan hingga 20 kalinya. Berdasarkan hasil analisis serapan Au pada tanaman akar wangi paling tinggi sebesar 185 ppb dengan pemberian tiosulfat 1000 ml dan penambahan katalis Cu, namun pada tanaman lain hasil serapan Au tertinggi diperoleh pada tanaman yang diberi perlakuan tiosulfat saja (tanpa penambahan Cu). Pengaruh penambahan bahan organik/pupuk terhadap penyerapan Au Penambahan bahan organik/pupuk bertujuan untuk membantu meningkatkan kualitas tanah serta menyokong pertumbuhan tanaman sehingga diharapkan biomassa tanaman akan meningkat. Biomassa tanaman merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan penerapan metode phytomining (Sheoran, 2013). Dalam penelitian ini terlihat bahwa penyerapan Au tertinggi pada beberapa tanaman (tanaman paku-pakuan dan rumput teki) justru diperoleh pada substrat tanpa penambahan bahan organik, sementara pada tanaman akar wangi perolehan Au tertinggi diperoleh pada kondisi substrat dengan penambahan bahan organik sebesar 1,2 kg. pH substrat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelarutan, karena mempengaruhi efektifitas kerja chelating agent, dan tentu saja bioavailability logam-logam dalam substrat. Na-tiosulfat sebagai chelating agent diketahui efektif melarutkan Au pada kondisi basa (pH 8-9). Adanya penambahan bahan organik pada substrat diduga menurunkan pH dan mempengaruhi kelarutan Au yang pada akhirnya menurunkan penyerapan Au. Bahan tambahan yang dapat menurunkan pH substrat diantaranya adalah pupuk, asam organik dan inorganik serta sulfur (Sheoran, 2009).
V-29
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dan saran yang didapat dari percobaan ini adalah: -
agen pengelat Na-tiosulfat memiliki kemampuan meningkatkan efisiensi penyerapan emas hingga 10 kali lipat di tajuk dan 6 kali lipat di akar.
-
dosis maksimum induksi agen pengelat tidak serta merta meningkatkan penyerapan emas oleh tanaman, sehingga perlu dilakukan percobaan lanjutan untuk mengetahui dosis optimum agen pengelat yang akan diberikan.
-
percobaan lanjutan terkait waktu penanaman dan penginduksian agen pengelat pun perlu dilakukan untuk mengetahui breakthrough performance dari kegiatan penyerapan logam emas oleh tanaman tersebut.
VI-1
DAFTAR PUSTAKA
Ali, H., Khan, E., Sajad, M.A. 2013. Phytoremediation of heavy metals - Concept and Applications. Chemospher. 9 : 869-881. Anderson C., Brooks R.R., Stewart R.B. and Simcock R.1998. Harvesting a crop of gold in plants. nature. 395: 553-554. Anderson C., Moreno, F. dan Meech, J. 2005. A field demonstration of gold phytoextraction technology. Minerals engineering. 18 : 385-392. Anderson, C.W.N., Brooks, R., Stewart, R.,Simcock, R., Robinson, B., (1999), The Phytoremediation and Phytomining of Heavy Metals. Pacrim 99, Ball, Indonesia, pp. 127–135 Anderson, C.W.N., Brooks, R.R., Stewart, R.B., and Simcock, R., 1998b. Gold uptake by plants. Gold Bulletin, 32 (2), p.48-51. Doi:10.1007/BF03214790 Anderson, C.W.N., Stewart, R.B., Moreno,F.N., Wreesmann, C.T.J., Gardea-Torresdey, J.L., Robinson, B.H., Meech, J.A. 2003. Gold phytomining “Novel developments in a plantbased mining system”. Proceedings of the Gold Conference New Industrial Application of Gold. Canada. Brown SL, Chaney RL, Angle JS, Baker JM. 1995a. Zinc and cadmium uptake by hyperaccumulator Thlaspi caerulescens grown in nutrient solutionn. Soil Sci Soc Am J 59:125-133 Chaney RL et al. 1995. Potential use of metal hyperaccumulators. Mining Environ Manag 3:9-11. Channey, R.L., Angle, J.S., Broadhurst, C.L., Peters, C.A., Tappero, R.B. dan Sparks, D.L. 2007. Improved understanding of hyperaccumulatin yields commercial phytoextraction and phytomining technologies. Journal Environmental Quality. 36 : 1429-1433. Charlena. 2004. Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) dan Cadmium (Cd) Pada Sayur-sayuran. Falsafah Sain Program Pascasarjana (S3) Institut Pertanian Bogor
Darmono, 1995. Logam dalam sistem biologi mahluk hidup. Cetakan Pertama,Universitas Indonesia, Jakarta, Ebbs D.S., M.M. Lasat, D.J. Brady, J. Cornish, R. Gordon, dan L.V. Kochian, 1997, Phytoextraction of cadmium and zinc from a contaminated site. J. Environ. Qual. 26: 1424-1430. Ebbs S, Kochian L, Lasat M, Pence N, Jiang T. 2000. An integrated investigation of the phytoremediation of heavy metal and radionuclide contaminated soils: from laboratory to the field. Di dalam: Wise DL, Trantolo DJ, Cichon EJ, Inyang HI, Stottmeister U (ed). Bioremediation of Cotaminated Soils. New York: Marcek Dekker Inc. hlm 745-769 Ferguson, J.E. 1990. The Heavy Elements : Chemistry, environmental impact and health effects. Pergamon Press, Oxford,. Foth, H. D. 1998. Dasar-dasar ilmu tanah. Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Gardner, F.P. ; Perce,R.B. ; Mitchell,R.L. 1991. Fisiologi tanaman budidaya. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta Girling, C.A., Peterson, P.J., 1980. Gold in plants. Gold Bulletin. 13: 151-157. Harris, A.T., Naidoo, K., Nokes, J., Walker, T. dan Orton, F. 2009. Indicative asessment of the feasibility of Ni and Au phytomining in Australia. Journal of Cleaner Production. 17 : 194-200. Hardjowigeno, S., 1993. Ilmu tanah. Penerbit Mediyatama Sarana Perkasa. Bogor. Hidayati, N. Maret 2005. Fitoremediasi dan potensi tumbuhan hiperakumulator. Hayati, hlm. 35-40. Vol. 12, No. 1. ISSN 0854-8587. Hidayati, N., Juhaeti, T., & Syarif, F. 2009. Mercury and cyanide contaminations in gold mine environment and possible solution of cleaning up by using phytoextraction. Hayati Journal of Biosciences, 16(3), 88-94. Lamb, A.E., Anderson, C.W.N., and Haverkamp, R.G., 2001. The extraction of gold from plants and its applications to phytomining. Chemistry in New Zealand, 3, p.1-33.
Lintern M., Anand R., Ryan C., et.al, 2013, Natural Gold particles in Eucalyptus leaves and their relevance to exploration for buried gold deposits, Nature Communications, accessed at : www.nature.com/ncomms/2013/131022/ncomms3614/.../ncomms3614.ht (10 Januari 2013) Msuya, F.A., Brooks, R.R., Anderson, C.W.N., 2000. Chemically-induced uptake of gold by root crops: Its Significance for Phytomining. Gold Bulletin. 33: 134-137. Malik, R.N., Husain, S.Z. dan Nasir, I. 2010. Heavy metal contamination and accumulation in soil and wild plant species fron industrial area of Islamabad, Pakistan. Pakistan Journal Botany. 42: 291-301. Piccinin, R.C.R., Ebbs S.D., Reichman S.M., Kolev S.D., Woodrow I.E. dan Baker A.J.M. 2007. A screen of somenative Australian flora and exotic agricultural species for their potential application in cyanide-induced phytoextraction of gold. Minerals Engineering. 20: 1327-1330. Rahmansyah, M., N. Hidayati, T. Juhaeti. 2009. Tumbuhan Akumulator Untuk Fitoremediasi Lingkungan Tercemar Merkuri Dan Sianida Penambangan Emas. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor. Robinson, B.H., Brooks, R.R. dan Clothier, B.E. 1999. Soil amendments affecting nickel and cobalt uptake by Berkheya Coddii : Potential Use for Phytomining and Phytoremediation. Annals of Botany. 84: 689-694. Rodríguez, E., Peralta-Videa, J.R., Israr, M., Sahi, S.V., Pelayo, H., Sánchez-Salcido, B. dan GardeaTorresdey, J.L. 2009. Effect of mercury and gold on growth, nutrient uptake, and anatomical changes in Chilopsis Linearis. Environmental and Experimental Botany. 65: 253–262 Saeni, M.S., Zat-zat pencemar udara, bahan pengajaran kimia lingkungan, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor, 131-133, 1989. Saifuddin Sarief., E., Dr. Ir. (1985). Konservasi tanah dan air. Bandung: PT. Pustaka Buana. Sanchez, P. A. 1992. Sifat dan pengelolaan tanah tropika.P Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Sheoran, V., Sheoran, A.S. dan Poonia, P. 2009. Phytomining : A Review. Minerals Engineering. 22(12): 1007-1019 SGS Minerals Services. 2008. Thiosulphate leaching: an alternative to cyanidation in gold processing. Sutanto, R. 1995. Fisika dan kimia tanah, konsep perkembangan tanah dan pembentukan horison diagnosis. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Theng, B. K. G. 1980. Soil with variable charge. Offset Publisations, Palmerston North. Nyakpa, M. Y., Lubis, A.M., Pujung, M.A., Amrah, G., Munawar, A., Hong, G. B. Dan Hakim, N. 1988. Kesuburan tanah. Universitas Lampung, Bandar Lampung. Vameralli, T., Bandiera, M. dan Mosca, G. 2010. Fields crops for phytoremedation of metalcontaminated land. A Review. Environmental Chemistry. Lett. 8: 1-17. Wilson-Corral, V., Anderson, C., Rodriguez-Lopez, M., Arenas-Vargas, M. dan Lopez-Perez, J. 2011. Phytoextraction of gold and copper from mine tailings with Helianthus annuus L. and Kalanchoe serrata L. Minerals Engineering. 24: 488-1494. Wilson-Corral, V., Anderson, C., Rodriguez-Lopez, M. 2012. Gold Phytomining. A review of the relevance of this technology to mineral extraction in The 21st Century. Journal Envronmental Management. 111: 249-257. Https://Nasih.Wordpress.Com/