OPTIMALISASI PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN Oleh : Dr. ALI HANAPIAH MUHI, MP *
ABSTRACT According to the Law No. 32 of 2004 on Local Government, the House of Representatives (DPRD) is a local governmental agency that carries out function as a local government partner. Its function may be reflected in supervising the running of the government. All the members of the House of Representatives (DPRD) should strive to enhance its role as a representative of the people who are active in supervising the government in their respective regions with all the best. The instrument can be used for that is all the legislation in force and budget plans that have been defined and agreed. However, there are indications that the supervision function of the House of Representatives (DPRD) is not yet optimal. The House of Representatives (DPRD) in carrying its supervision function needs to gather support information as much as possible from the public. Therefore, the members of DPRD should be diligent in collecting information from the public. Information can be gathered from the community by variety of ways by utilizing information technology, mass media, and crawl the information directly to the source through regular visits and unannounced visits to the community. Basic things that need to be addressed in order to optimize the DPRD supervision function among others are (1) formulate limits the scope of work and priorities of supervision, (2) formulate an accountability standard of supervision, (3) formulate a clear standard or measurement which can determine the success, failure, or deviation of a public policy from a predetermined RKPD, and (4) formulate recommendations and follow-up of the supervision. Keywords:
The Functions of the House of Representatives, Supervision, Optimalization, and Local Autonomy.
1
I. PENDAHULUAN Sejak jatuhnya rejim orde baru, berbagai perubahan fundamental dalam ketatakelolaan pemerintahan dikoreksi secara menyeluruh. Pemerintahan yang selama 32 tahun dibawah rejim Orde Baru bersifat sangat sentralistik, mengalami perubahan signifikan menjadi pemerintahan desentralistik. Hal ini ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian mengalami penyempurnaan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai dasar yuridis perubahan sistem pemerintahan di Indonesia. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah ini telah mengatur sedemikian rupa bahwa sebahagian besar kewenangan atau urusan didesentralisasikan kepada Daerah Otonom. Hal tersebut menandai lahirnya konsep The New Public Mangement di Indonesia, yang dipicu oleh merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi pemerintahan. Birokrasi selama ini hanya dijadikan sebagai alat politik bagi rejim yang berkuasa, rakyat menjadi sulit untuk menghargai apa yang dilakukan oleh pejabat pemerintah, birokrat atau unsur-unsur lain yang terdapat dalam birokrasi publik. Birokrasi dianggap sebagai penyebab inefisiensi dan penghambat bagi pembangunan. Kumorotomo, W. (2005) mengemukakan bahwa di masa mendatang, para pembuat keputusan/kebijakan memikul tugas yang berat untuk memperoleh kembali kepercayaan masyarakat seraya membuktikan bahwa seluruh proses politik dan pembuatan kebijakan yang terjadi akan memberi keuntungan bagi segenap unsur rakyat. Pemerintahan Daerah di era otonomi daerah dihadapkan pada berbagai tekanan dan tantangan untuk meningkatkan efisiensi dan profesionalisme birokrasi. Berbicara tentang pemerintahan daerah tidak terlepas dari dua unsur penting didalamnya, yaitu : (1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan lembaga pemerintahan daerah yang melaksanakan fungsi pemerintahan daerah sebagai mitra pemerintah daerah, dan (2) Lembaga eksekutif daerah (pemerintah daerah), yaitu Kepala Daerah beserta jajarannya. Wasistiono,S., dan Wiyoso, Y., (2009) memgemukakan bahwa kedudukan DPRD dalam sistem pemerintahan daerah sebagai bagian dari sistem pemerintahan negara mengalami perubahan yang sangat dinamis, seiring perubahan sistem desentralisasinya. Pada saat sistem pemerintahannya sangat desentralistik, maka kedudukan DPRD dibuat lemah. Sebaliknya, jika sistem pemerintahannya sangat desentralistik, maka kedudukan DPRD dibuat sangat kuat. Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara tegas dinyatakan bahwa DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Fungsi pengawasan
2
merupakan salah satu fungsi terpenting DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya berarti pemberian kewenangan dan kekuasaan kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal. Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, maka pemberian kewenangan dan kekuasaan yang luas tersebut harus diikuti dengan pengawasan yang kuat. Penguatan fungsi pengawasan ini dapat dilakukan salah satunya melalui optimalisasi fungsi dan peran DPRD sebagai kekuatan penyeimbang (balance of power) bagi eksekutif daerah (Mardiasmo, 2004). Pengawasan merupakan salah satu fungsi utama yang melekat pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) selain fungsi legislasi dan anggaran. Seyogyanya aspirasi masyarakat dalam bidang pengawasan, secara melembaga sudah terwakili melalui wakil-wakilnya yang duduk di DPRD. Fungsi pengawasan ini diharapkan bisa berjalan efektif sesuai harapan masyarakat, peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan DPRD bertujuan untuk menjamin agar pemerintah daerah menjalankan programnya sesuai dengan rencana dan ketentuan perundangan yang berlaku. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, pasal 343 bahwa pengawasan merupakan salah satu dari tiga fungsi DPRD. Fungsi ini diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang, Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah dan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 42 ayat (1) point c menyatakan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah. Pengawasan semestinya merupakan salah satu fungsi yang paling intensif yang dapat dilakukan lembaga DPRD. Fungsi pengawasan yang dijalankan DPRD dalam konteks sebagai lembaga politik merupakan bentuk pengawasan politik yang lebih bersifat strategis dan bukan pengawasan teknis administrasi. Ini menunjukkan bahwa fungsi pengawasan yang diemban DPRD dalam tataran pengendalian kebijakan guna menciptakan check and balances. Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD kepada eksekutif substansinya adalah mengarah pada pengawasan politik atau kebijakan. Sementara itu pengawasan administrasi dilakukan oleh lembaga yang dibentuk oleh negara/ pemerintah yakni Badan Pengawasan Keuangan (BPK), dan Lembaga Pengawasan Fungsional lainnya (BPKP, Irjen pada Kementerian/Lembaga Non Departemen, Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) di Propinsi dan Kabupaten/Kota). Salah satu bentuk pengawasannya adalah DPRD bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang dapat menyetujui atau bahkan menolak sama sekali ataupun menyetujui dengan perubahan-perubahan tertentu terhadap rancangan peraturan daerah yang akan ditetapkan menjadi Perda. Hal ini dapat dipahami bahwa
3
sebenarnya lembaga DPRD itu adalah lembaga politik. Pertama-tama yang harus dipahami sebagai lembaga politik adalah sifatnya sebagai lembaga politik tercermin dalam fungsinya untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perspektif sebagai lembaga politik, prasyarat pokok untuk menjadi anggota parlemen itu adalah kepercayaan rakyat, bukan prasyarat keahlian yang lebih bersifat teknis daripada politis. Meskipun seseorang bergelar Prof. Dr., jika yang bersangkutan tidak dipercaya oleh rakyat, ia tidak bisa menjadi anggota DPRD. Sebaliknya, meskipun seseorang hanya tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP), tetapi ia mendapat kepercayaan dari rakyat, maka yang bersangkutan “legitimate” untuk menjadi anggota DPRD (Priyono, W., tt.). Namun demikian, fungsi pengawasan yang dijalankan oleh DPRD dinilai sebagian masyarakat belum optimal. Masyarakat mengkritik bahwa anggota DPRD dinilai tidak professional. DPRD dianggap tidak professional karena belum/tidak mampu mengoptimalkan fungsi pengawasan, sehingga penyerapan anggaran oleh eksekutif berjalan nyaris tanpa pengawasan yang berarti. Akibatnya, pembangunan yang seharusnya bermanfaat untuk rakyat, cenderung dilaksanakan secara “asalasalan” oleh pemerintah daerah. Setidaknya ada tiga anggapan yang sering muncul tentang pelaksanaan fungsi DPRD. Pertama, DPRD dianggap kurang mampu melaksanakan fungsinya sebagai mitra yang seimbang dan efektif terhadap Kepala Daerah. Anggapan ini umumnya muncul dari para pengamat politik yang cenderung menilai peranan Kepala Daerah masih cukup dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kedua, DPRD dianggap terlalu jauh mencampuri bidang tugas Kepala Daerah, sehingga cenderung menyimpang dari fungsi utamanya sebagai badan pemerintahan daerah yang menyelenggarakan fungsi legislasi dan pengawasan. Anggapan ini muncul dari pejabat eksekutif daerah. Ketiga, DPRD dianggap tidak memperoleh kesempatan yang seimbang dengan Kepala Daerah untuk merumuskan kebijakan pemerintahan daerah. Anggapan ini umumnya muncul dari kalangan anggota DPRD (Halilintar, 2010). Hal tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD masih lemah. Lemahnya pengawasan oleh DPRD, diindikasikan dari banyaknya pengaduan masyarakat tentang ketidakberesan pelaksanaan pembangunan. Namun disayangkan tidak mendapat respons dan perhatian yang memadai oleh anggota DPRD. Fungsi pengawasan masih dianggap sepele oleh mayoritas anggota DPRD. Namun hal yang berbeda terjadi, apabila pengawasan terkait anggaran. Anggota cenderung lebih tanggap terhadap hilangnya anggaran. Kalau melaksanakan fungsi pengawasan anggaran, DPRD cukup tanggap dan sering berebut antara sesama anggota DPRD untuk menanganinya. Sebaliknya, hal yang berbeda terjadi jika terkait dengan pengawasan pembangunan, anggota DPRD cenderung kurang tanggap dan terkesan ogah-ogahan (Parjiyono, Y., 2010). Masih banyak diantara anggota dewan yang belum memahami fungsi pengawasan yang seharusnya dilaksanakan oleh DPRD dalam panyelenggaraan pemerintahan daerah. Perlu dipahami pula bahwa dalam sistem pengawasan selain meliputi pengawasan politik, dikenal pula pengawasan fungsional, pengawasan
4
melekat dan pengawasan masyarakat, sehingga dapat dihindari adanya tumpang tindih (over lapping) diantara berbagai lembaga pengawasan dalam melaksanakan fungsinya, pada giliranya diharapkan efektivitas sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah tertib dan lancar dalam suasana yang kondusif dapat tetap terjaga. Jika ini tidak dipahami oleh anggota DPRD, maka tidak mustahil akan terjadi gesekan antara DPRD dengan lembaga-lembaga pengawas yang ada (Prawiro, D.S., 2010).
II. PROSEDUR STUDI Penulisan makalah ini menggunakan disain library studies. Melakukan penelusuran terhadap literatur dan pemberitaan di media massa, kemudian melakukan penelaahan.
III. LANDASAN TEORITIS Pengawasan merupakan hal penting dalam upaya untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana dan tujuan dapat tercapai. Jika kita lihat dalam lingkup organisasi, maka pengawasan adalah merupakan proses untuk menjamin bahwa tujuan organisasi dan manajemen tercapai. Langkah awal dari pengawasan adalah dimulai dari perencanaan, penetapan tujuan, penetapan standar dan penetapan sasaran dari pelaksanaan suatu kegiatan. Pengawasan membantu penilaian, apakah perencanaan, pengorganisasian, penyusunan personalia dan pengarahan telah dilaksanakan secara efektif. Pengawasan pada hakikatnya suatu upaya sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan -tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan. Semua itu bertujuan untuk menjamin bahwa semua sumber daya dipergunakan dengan cara yang efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan-tujuan (Handoko, T.H., 1999). Kedudukan DPRD sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Terkait dengan hal tersebut dalam menjalankan tugas dan fungsinya DPRD memiliki alat kelengkapan (Kelangkapan Tetap, yaitu : Pimpinan DPRD, Panitia Musyawarah, Komisi-Komisi, Badan Kehormatan, dan Panitia Anggaran. Kelengkapan Tidak Tetap, yaitu alat kelengkapan lain yang diperlukan, seperti Panitia Khusus). Sebagai salah satu unsur pelaksana fungsi pemerintahan daerah, maka hubungan DPRD dengan Pemerintah Daerah adalah dalam bentuk hubungan kemitraan, yaitu sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing, sehingga antara Pemerintah Daerah dan
5
DPRD membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya mendukung dan bukan merupakan lawan atau pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing (Penjelasan atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Salah satu fungsi penting DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan DPRD lebih bersifat pengawasan politik dan kebijakan, bukan pengawasan teknis fungsional. DPRD pada hakekatnya merupakan organ pemerintahan di tingkat lokal yang mengemban harapan rakyat untuk berperan sebagai representasi dan agenda kepentingan rakyat melalui proses perumusan kebijakan dan pengawasan terhadap pemerintah daerah. Hak angket merupakan salah satu bentuk fungsi pengawasan DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan Kepala Daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (Wasistiono, S., dan Wiyoso, Y., 2009). Pengawasan DPRD bertujuan untuk mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya serta mengembangkan mekanisme checks and balances antara DPRD dan eksekutif demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Konsep dasar pengawasan DPRD meliputi pemahaman tentang arti penting pengawasan, syarat pengawasan yang efektif, ruang lingkup dan proses pengawasan. Dalam tata pemerintahan yang baik, pengawasan berperan memberikan informasi sedini mungkin sebagai bagian dari peringatan dini (early warning system) bagi pemerintah daerah. Pengawasan akan memberi umpan balik untuk perbaikan pengel olaan pembangunan, sehingga tidak keluar dari jalur/tahapan dan tujuan yang ditetapkan, agar aktivitas pengelolaan dapat mencapai tujuan dan sasaran secara efektif dan efisien (Wasistiono, S., dan Wiyoso, Y., 2009). Hal senada dikemukakan oleh Sunarso, S. (2005) bahwa DPRD berfungsi sebagai lembaga pengawasan politik. DPRD sebagai struktur politik akan mewujudkan pola berlaku sebagai wahana melaksanakan demokrasi sesuai dengan tugasnya, salah satunya melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu paradigma yang berkembang adalah akuntabilitas pemerintah daerah merupakan perwujudan kewajiban pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalannya . Konsep ini didasarkan pada responsibilitas pemerintah atas pelaksana an kewenangannya. Dengan demikian, akuntabilitas atas lembaga pemerintahan daerah yang melibatkan DPRD sebagai lembaga perwakilan dan aspirasi rakyat, akan melihat atau menjalankan fungsi pengawasannya terhadap akuntabilitas kinerja eksekutif dalam hal pelayanan publik, umum dan pembangunan termasuk peningkatan kompetensi institusi dan kompetensi aparatur. Pengawasan dikaitkan dengan otonomi daerah. Ada tiga aspek utama
6
yang mendukung keberhasilan otonomi daerah, yaitu pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan. Pengawasan mengacu pada tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh pihak diluar eksekutif (yaitu masyarakat dan DPRD) untuk mengawasi kinerja pemerintahan. Monitoring DPRD biasanya dilakukan pada tahap awal. Pengendalian (control) adalah mekanisme yang dilakukan oleh eksekutif (pemerintah daerah sendiri) untuk menjamin dilaksanakannya sistem kebijakan manajemen sehingga tujuan organisasi dapat dicapai. Pengendalian biasanya dilakukan pada tahap operasional dan pengendalian tugas (task control). Pemeriksaan (audit) merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki kompetensi professional untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah daerah telah sesuai dengan standar atau kriteria yang ada. Pemeriksaan biasanya dilakukan pada tahap akhir kegiatan dalam bentuk pemeriksaan kinerja, anggaran, dan laporan pertanggungjawaban dalam bentu k nota perhitungan APBD, neraca, laporan aliran kas, dan laporan surplus/defisit anggaran (Mardiasmo, 2004). Setiap manusia memiliki sifat khilaf dan salah, demikian pula halnya dengan pemerintah yang terdiri dari individu-individu yang diberi tugas, fungsi dan kewenangan tertentu dalam menjalankan roda pemerintah an. Oleh karena itu, pengawasan menjadi penting untuk membantu mengingatkan , mencegah dan menghindarkan terjadinya kesalahan (disengaja atau tidak) yang dapat menimbulkan akibat yang buruk bagi lembaga pemerintahan, daerah dan masyarakatnya. Pengawasan bukanlah merupakan kegiatan yang berusaha mencari kesalahan yang diperbuat oleh seseorang. Sebaliknya, pengawasan ditujukan untuk menemukan secara dini kesalahan-kesalahan atau penyimpangan-penyimpangan, sehingga dapat segera dilakukan perbaikan dan pelurusan kembali. Pengawasan dilakukan untuk penyempurnaan prosedur, baik yang bersifat preventif, pengendalian maupun represif (Widodo, J., 2001). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 42 ayat (1) point c dengan tegas menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan Kepala Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah. Selanjtnya pasal 42 ayat (1) point h menyatakan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, ini merupakan salah satu bentuk fungsi pengawasan DPRD. Menurut Prawiro, D.S. (2009) bahwa fungsi pengawasan yang diemban oleh DPRD adalah dalam tataran pengendalian kebijakan guna menciptakan check and balances. Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD sebagai mitra kerja pemerintah daerah kepada Kepala Daerah (Eksekutif) substansinya adalah mengarah pada pengawasan politik (kebijakan). Mengingat
7
dalam proses pengawasan terdapat evaluasi, maka apabila sampai menyentuh pada tataran implementasi kebijakan parameter untuk menilai seyogyanya tetap merujuk pada konteks kebijakan yang telah ditetapkan dalam formulasi kebijakan. Masih terdapat sesuatu yang belum “klop” antara cita-cita masyarakat dan praktek lembaga perwakilan di Indonesia, terutama DPRD. Masyarakat menuntut akan hadirnya wakil-wakil rakyat yang ideal. Kenyataannya terdapat gap antara anggota DPRD dengan masyarakat secara timbal balik. Dikarenakan sistem komunikasi yang tidak lancar dan kurang efektif atau karena minimnya kontak antara DPRD dengan rakyat yang diwakilinya. Oleh karena itu DPRD harus memaksimalkan fungsi yang melekat pada lembaga tersebut (Marbun, 1993). Ada beberapa tipe dasar pengawasan, yaitu : (1) Pengawasan Pendahuluan (Feedforward Control atau Steering Control); Suatu proses pengawasan yang dirancang untuk mengantisipasi masalah-masalah atau penyimpangan-penyimpangan dari standar atau tujuan yang memungkinkan koreksi dapat dibuat sebelum suatu tahap kegiatan tertentu diselesaikan. Pendekatan ini dengan mendeteksi masalahmasalah sedinimungkin dan mengambil tindakan yang diperlukan sebelum suatu masalah betul-betul terjadi dan menimbulkan kerugian yang besar. (2) Pengawasan Konkuren (Concurrent Control atau Screening Control)); Suatu proses pengawasan yang dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan. Pengawasan menghendaki bahwa dimana aspek tertentu dari suatu prosedur harus disetujui lebih dulu atau syarat tertentu harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum suatu kegiatan bisa dilanjutkan untuk menjamin ketepatan pelaksanaan suatu kegiatan. (3) Pengawasan Umpan Balik (Feedback Control atau Past-Action Control); Suatu proses pengawasan yang dilakukan dengan mengukur hasil-hasil dari suatu kegiatan yang telah diselesaikan. Pengawasan dilakukan setelah suatu kegiatan terjadi atau selesai. Penyimpanganpenyimpangan yang ditemukan, dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk dilakukan perbaikan pada kegiatan-kegiatan serupa di masa mendatang (Handoko, T.H., 1999). Pengawasan DPRD sebenarnya adalah suatu bentuk pengawasan terhadap kebijakan terkait dengan dampak dari kebijakan dengan menggunakan berbagai indikator atau standar. Pengawasan meliputi tingkat kepatuhan eksekutif terhadap peraturan perundang-undangan dan kebijakan serta dampak yang timbul dari implementasi peraturan perundang-undangan, kebijakan dan program, hambatan atau kendala dalam mengimplementasikan peraturan perundang-undangan, kebijakan dan program serta mengidentifikasi pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap implementasi peraturan perundang-undangan, kebijakan dan program. Hasil pengawasan akan memperlihatkan kesesuaian atau ketidaksesuaian antara kinerja peraturan perundang-undangan, kebijakan dan program yang diharapkan dan yang nyata terjadi, sehingga dapat ditemukan seberapa jauh peraturan perundang-undangan, kebijakan dan program tersebut dapat menyelesaikan suatu permasalahan publik, serta untuk mengetahui dimana letak kelemahan dari peraturan perundang-undangan, kebijakan dan program, dan membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali suatu peraturan perundang-undangan, kebijakan dan program (Dunn, W.N., 2004).
8
IV. PEMBAHASAN 4.1. Fungsi DPRD Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 41 dengan jelas menyatakan bahwa DPRD memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Secara detail masing-masing fungsi tersebut adalah sebagai berikut : A. Fungsi Legislasi DPRD dalam melaksanakan fungsi legislasi berperan sebagai pembuat kebijakan (policy maker) dan bukan pelaksana kebijakan (policy implementer) di daerah. Artinya, antara DPRD sebagai pejabat publik dengan masyarakat sebagai stakeholders ada kontrak sosial yang dilandasi dengan fiduciary duty (Kartiwa, A., 2006). Oleh karena itu, fiduciary duty ini harus dijunjung tinggi dalam setiap proses fungsi legislasi. Fungsi legislasi meliputi : a. Mencabut Peraturan Daerah (perda) yang usang. b. Mengusulkan perda baru. c. Perubahan dan revisi perda yang tidak sesuai dengan peraturan di atasnya. d. Membuat perda baru. e. Adanya insiatif dari anggota DPRD untuk perda. f. Adanya insiatif dari masyarakat untuk perda dan memprogram semua Rancangan Peraturan Daerah (raperda) dalam periode setahun yang berkoordinasi dengan pihak ekskutif. Secara umum tugas dewan pada aspek legislasi sudah dapat dilaksanakan dengan cukup baik, akan tetapi masih lemah dalam membuat perda inisiatif. Beberapa kelemahan dari anggota DPRD terkait dengan tugas legislasi ini, antara lain :LA a. Belum maksimalnya kemampuan anggota DPRD dalam keilmuan legal drafting. b. Kurangnya sosialisasi perda terhadap masyarakat. c. Kurang adanya konsultasi publik, sehingga masyarakat kurang berpartisipasi dalam pembuatan perda yang partisipatif d. Belum adanya staf ahli di bidang hukum untuk pendalaman dan perancangan perda inisiatif DPRD. e. Perlu ditingkatkan adanya kajian raperda dari beberapa komponen masyarakat sesuai dengan perda yang akan dibahas. •ASPEK FUNGSI BUDGETTING/ ANGGARAN
B. Fungsi Anggaran DPRD Fungsi penganggaran merupakan penyusunan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja daerah bersama-sama pemerintah daerah. DPRD dalam menjalankan fungsi ini harus terlibat secara aktif, proaktif, dan bukan reaktif dan sebagai legitimator usulan APBD ajuan pemerintah daerah (Kartiwa, A., 2006).
9
DPRD berperan dalam membahas dan menyetujui Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Terkait fungsi anggaran, beberapa prinsip yang terkandung di dalamnya antara lain : a. DPRD harus memegang teguh prinsip kemanfaatan anggaran bagi masyarakat; b. Anggaran diarahkan pada anggaran berbasis kinerja; c. Disiplin anggaran; d. Transparansi anggaran, dan value of money yang merupakan aspek ekonomi, effisiensi dan efektif. e. Semua bentuk pengadaan barang, pengelolaannya, serta pengelolaan keuangan yang terukur. C. Fungsi Pengawasan DPRD Fungsi pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menjamin pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan serta memastikan tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Fungsi pengawasan ini mengandung makna penting, baik bagi pemerintah daerah maupun pelaksana pengawasan. Bagi pemerintah daerah, fungsi pengawasan merupakan suatu mekanisme peringatan dini (early warning system), untuk mengawal pelaksanaan aktivitas mencapai tujuan dan sasaran. Sedangkan bagi pelaksana pengawasan, fungsi pengawasan ini merupakan tugas mulia untuk memberikan telaahan dan saran, berupa tindakan perbaikan (Kartiwa, A., 2006). Tujuan utama pengawasan DPRD, antara lain: a. Menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana; b. Menjamin kemungkinan tindakan koreksi yang cepat dan tepat terhadap penyimpangan dan penyelewengan yang ditemukan; c. Menumbuhkan motivasi, perbaikan, pengurangan, peniadaan penyimpangan; d. Meyakinkan bahwa kinerja pemerintah daerah sedang atau telah mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Lingkup fungsi pengawasan, antara lain : a. Pengawasan terhadap pelaksanaan perda. b. Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan lainnya. c. Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan kepala daerah. d. Pengawasan terhadap pelaksanaan APBD. e. Pengawasan terhadap kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah. DPRD memiliki kebebasan dalam menentukan cara melaksanakan fungsi pengawasan asalkan saja tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Ada beberapa cara yang selama ini sering digunakan oleh DPRD dalam melaksanakan fungsi pengawasan, antara lain : a. Mendalami pelaksanaan pengelolaan keuangan lewat pembahasan usulan anggaran untuk APBD. b. Mendalami realisasi anggaran tahun sebelumnya dan laporan keuangan triwulan, satu semester atau pada Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah. c. Membuat peringatan, pertanyaan, usulan perbaikan atas kebijakan pemerintah daerah lewat sambutan pandangan umum atau pandangan akhir dari fraksi-
10
fraksi DPRD atau peringatan langsung ketika mengadakan kunjungan kerja atas pelaksanaan proyek-proyek pembangunan dan kegiatan pelayanan publik. Pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD selama ini dirasakan oleh masyarakat belum dapat berjalan secara maksimal. Beberapa kelemahan dalam pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD, antara lain : a. Belum maksimalnya penyusunan rencana kerja DPRD dalam setahun kerja. b. Bentuk pengawasan lebih banyak bersifat reaktif dan sporadik. c. Masih jarang DPRD menyediakan atau memanfaatkan ruang laporan terbuka (seperti Kotak Pos) sebagai wadah laporan masyarakat. d. Belum adanya metodologi pengawasan yang berkenaan dengan masalah metode pengawasan pembagian dari satuan anggota komisi, jangka waktu pengawasan, cara pencarian data yang maksimal. e. Kurang proaktif dalam memfasilitasi aspirasi masyarakat terkait usulan kegiatan pembangunan termasuk di daerah pemilihannya. f. DPRD cenderung hanya berperan secara normatif dan tidak bisa melakukan pengawasan secara detail karena kepala daerah menyerahkan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk diperiksa dan diamati. DPRD tinggal menerima hasil akhir untuk menandatangani persetujuan. Selain kelemahan pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD, terdapat pula beberapa faktor penghambat bagi DPRD dalam melaksanakan fungsi pengawasan, antara lain : (1). Tidak adanya peraturan yang jelas dan tegas yang mengatur tentang tata cara yang dapat dilakukan oleh DPRD didalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk mengawasi penggunaan keuangan daerah. (2). Belum adanya peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terkait dengan fungsi pengawasan DPRD. (3) Kurang pahamnya anggota DPRD atas kondisi riil yang terjadi di masyarakat sehingga kebijakan yang diputuskan dan dijalankan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (4). Tidak adanya peraturan yang menguatkan posisi DPRD untuk menjalankan tugas dan wewenangnya untuk bisa berperan dalam pengawasan secara optimal.
4.2. Optimalisasi Fungsi Pengawasan DPRD DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan, diharapkan benar-benar dapat memastikan bahwa pemerintah daerah berpihak pada kepentingan publik, dan harus mampu mewujudkan tujuan dan kepentingan bersama yang sudah disepakati dalam proses legislasi dan penganggaran. Aspirasi masyarakat pada hakekatnya secara melembaga sudah terwakili melalui wakil-wakilnya di DPRD, khususnya dalam bidang pengawasan. Namun demikian, fungsi pengawasan yang dijalankan oleh DPRD belum/tidak dirasakan masyarakat sehingga timbul anggapan pengawasan kurang efektif dan tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Fungsi pengawasan
11
DPRD dinilai sebagian besar masyarakat belum optimal. Sesungguhnya pengawasan yang dilakukan oleh DPRD merupakan sistem pengawasan politis yang lebih bersifat strategis dan bukan pengawasan teknis administrasi (Anonim dalam Koran Kaltim, 2009; dan Sumenep News, 2010). Anggota DPRD yang sekaligus menjadi anggota partai politik tertentu semestinya dapat menjadi bagian dari sistem yang mengkritisi kinerja eksekutif. Akan tetapi, tidak semua anggota DPRD memiliki sikap yang kritis terhadap Pemerintah Daerah. Kondisi ini bukan hanya meliputi anggota dewan yang berasal dari partai yang berkuasa, tetapi juga anggota DPRD di luar partai yang berkuasa seringkali berpihak pada partai yang berkuasa (Munir, D., 2010). DPRD dinilai tidak profesional karena tidak mampu menjalankan fungsi pengawasan secara optimal, sehingga penyerapan anggaran oleh eksekutif berjalan nyaris tanpa pengawasan yang berarti. Hal ini berakibat pada pelaksanaan pembangunan oleh pemerintah daerah yang cenderung kurang maksimal, sehingga manfaat pembangunan kurang dirasakan oleh rakyat. Seringkali anggota DPRD tidak melakukan inspeksi untuk meninjau proyek yang dikerjakan oleh eksekutif. Walaupun banyak pengaduan masyarakat tentang ketidakberesan pelaksanaan pembangunan. Sebenarnya DPRD adalah lembaga politik. Sifatnya sebagai lembaga politik tercermin dalam fungsinya untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Prasyarat pokok untuk menjadi anggota DPRD adalah kepercayaan (legitimasi) rakyat, bukan prasyarat keahlian yang lebih bersifat teknis. Faktanya, para anggota DPRD berasal dari berbagai latar berlakang yang sangat beragam. Sistem Pemilihan Umum Indonesia yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber dan jurdil) memang membuka peluang bagi semua komponen dalam masyarakat untuk memilih dan dipilih sebagai wakil rakyat (anggota DPRD). Keberagaman yang ada dalam keanggotaan DPRD semestinya dijadikan sebagai kekuatan dalam menjalankan tugas dan fungsi DPRD. Para anggota DPRD seyogyanya melakukan introspeksi dan menyadari bahwa masih terdapat berbagai kekurangan atau kelemahan, sehingga kekurangan dan kelemahan tersebut dapat dicarikan solusi guna memperbaiki dan menguatkan pelaksanaan fungsi yang melakat pada lembaga DPRD. DPRD di masa mendatang tidak boleh lagi menutupi kelemahannya dengan berlindung di balik ketidakseragaman latar belakang anggotanya. Semua anggota DPRD seyogyanya berupaya untuk meningkatkan perannya sebagai wakil rakyat yang secara aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan di daerah masing-masing dengan sebaik-baiknya. Instrumen yang dapat digunakan untuk itu adalah segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan rencana anggaran yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Setiap anggota DPRD semestinya menyadari dan melaksanakan fungsi-fungsi yang melekat pada dirinya sebagai anggota DPRD (fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan) secara optimal. DPRD dalam melaksanakan fungsi tersebut perlu menghimpun dukungan informasi seluasluasnya dari masyarakat. Artinya, DPRD membuka peran serta atau partisipasi aktif
12
masyarakat untuk turut melakukan pengawasan terhadap pemerintah daerah termasuk dalam mengawasi sepak terjang DPRD itu sendiri. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh DPRD untuk mengatasi berbagai kekurangan dan kelemahannya. DPRD dimungkinkan untuk menggunakan tenaga ahli atau pakar di bidangnya yang berasal dari luar anggota DPRD. Para ahli atau pakar dapat direkrut oleh DPRD menjadi staf ahli atau dalam bentuk mitra bestari. Para anggota DPRD juga harus rajin mengumpulkan informasi dari masyarakat. Informasi dari masyarakat dapat dikumpulkan dengan berbagai cara, seperti penjaringan informasi melalui kotak pos, layanan pengaduan melalui telepon/handphone, penjaringan informasi melalui media elektronik seperti internet (website, facebook, e-mail dan sebagainya), melaui media massa, dan penjaringan informasi langsung ke sumbernya melalui kunjungan secara berkala dan inspeksi mendadak ke masyarakat. Semua informasi yang dibutuhkan oleh DPRD tersedia dalam masyarakat, tergantung bagaimana DPRD dapat menggali informasi yang mereka dibutuhkan. DPRD semestinya menjalin hubungan baik dengan semua komponen masyarakat di berbagai level dan bidang seperti LSM, tokoh agama, tokoh pemuda, mahasiswa, pengusaha, organisasi profesi, budayawan, seniman, tokoh pendidikan, forum Kepala Desa, organisasi kerukunan tani dan nelayan, majelis ta’lim dan sebagainya. Hal ini penting dilakukan mengingat intensitas DPRD dalam menjalin komunikasi dengan pihak masyarakat relatif terbatas. Selama ini terkesan bahwa DPRD kurang dekat dengan warga masyarakat yang diwakilinya. DPRD cenderung sibuk dengan kepentingan dan urusannya sendiri, sehingga kepentingan masyarakat yang diwakilinya cenderung terabaikan. Kondisi ini memunculkan kesan dalam masyarakat, seolah-olah para anggota DPRD hanya membutuhkan rakyat atau mau dekat dengan rakyat pada saat pemilihan umum saja, setelah terpilih dan dilantik menjadi anggota DPRD rakyat ditinggalkan. Langkah mendasar untuk menguatkan fungsi pengawasan (Malik, M., 2008) dapat dilakukan sebagai berikut : Pertama, merumuskan batasan tentang lingkup kerja dan prioritas pengawasan; Kedua, merumuskan standar akuntabilitas yang baku dalam pengawasan yang dapat diterima oleh lembaga yang menjadi sasaran dan mitra pengawasannya. Standar akuntabilitas yang baku harus dimiliki dan dipahami oleh DPRD, agar dapat menghindarkan diri dari politisasi fungsi pengawasan dan terhindar dari dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya; Ketiga, merumuskan standar atau ukuran yang jelas untuk menentukan sebuah kebijakan publik dikatakan berhasil, gagal atau menyimpang dari Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang telah ditetapkan; Keempat, merumuskan rekomendasi serta tindak lanjut dari hasil pengawasan, baik itu pada tingkat kebijakan, proyek, atau kasus-kasus tertentu. Semua itu harus dirumuskan dalam Tata Tertib DPRD, sehingga alat kelengkapan dewan yang akan melakukan fungsi pengawasan memiliki satu pemahaman yang sama meskipun berasal dari fraksi yang berbeda-beda.
13
Perlu diingat bahwa Kepala Daerah sebagai mitra kerja DPRD tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan hanya sebatas menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepada DPRD yang berupa progress report kinerja pemerintah daerah selama satu tahun anggaran. Berarti bahwa pengawasan yang dilakukan oleh DPRD tidak lagi dalam kapasitas untuk menerima atau menolak pertanggungjawaban Kepala Daerah. Pemerintah dan DPRD bukanlah berada pada posisi yang saling berhadapan, oleh karena itu memposisikan Pemerintah Daerah dan DPRD pada dua kutub yang berlawanan: antara utara - selatan atau timur - barat adalah sebuah tindakan yang tidak tepat dalam kontek otonomi daerah, karena kedua lembaga publik ini merupakan bagian dari Pemerintahan Daerah.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai bertikut : 1. Fungsi pengawasan DPRD sesungguhnya merupakan sistem pengawasan politis yang lebih bersifat strategis dan bukan pengawasan teknis administrasi. Pengawasan politis sangat terkait dengan kepentingan masyarakat yang ditujukan untuk memastikan bahwa pemerintah daerah berpihak pada kepentingan masyarakat. 2. Pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD sampai saat ini dinilai masih belum optimal dalam mengawasi jalannya pemerintahan di daerah. Fungsi pengawasan yang dijalankan DPRD belum/tidak dirasakan masyarakat sehingga timbul anggapan bahwa pengawasan DPRD kurang efektif dan tidak sesuai dengan harapan masyarakat. 3. Berbagai cara dapat dilakukan oleh para anggota DPRD dalam upaya mengoptimalkan pelaksanaan fungsi pengawasan dengan mengefektifkan penjaringan informasi dari masyarakat, antara lain : mengoptimalkan layanan pengaduan melalui penyediaan kotak pos, telepon/handphone, media elektronik, media massa dan penjaringan informasi langsung ke sumbernya melalui kunjungan secara berkala dan inspeksi mendadak ke masyarakat. 4. Hal-hal mendasar yang perlu dibenahi dalam upaya mengoptimalkan fungsi pengawasan DPRD antara lain (1) Merumuskan batasan lingkup kerja dan prioritas pengawasan; (2) Merumuskan standar akuntabilitas yang baku dalam pengawasan; (3) Merumuskan standar atau ukuran yang jelas untuk menentukan sebuah kebijakan publik dikatakan berhasil, gagal atau menyimpang dari RKPD yang telah ditetapkan; dan (4) Merumuskan rekomendasi serta tindak lanjut dari hasil pengawasan.
14
5.2. Saran Berdasarkan uraian di atas, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut : 1. DPRD disarankan untuk membentuk/membuat peraturan atau pedoman pokok yang dapat menguatkan posisi DPRD dalam menjalankan tugas dan wewenangnya agar bisa berperan dalam pengawasan secara optimal. 2. DPRD disarankan untuk membuka/menyediakan wadah komunikasi yang setiap saat dapat diakses secara mudah, murah dan luas oleh masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan informasi kepada DPRD. 3. Mengingat DPRD terdiri dari individu-individu dengan beragam latar belakang. Untuk memperkuat kemampuan DPRD dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan, maka perlu dilakukan kegiatan orientasi bagi anggota dewan secara terarah dan berkesinambungan sampai mereka betul-betul dapat memahami tugas dan fungsinya.
DAFTAR BACAAN Dunn, W.N., 2004. Public Policy Analysis : An Introduction. Pearson Printice Hall. New Jersey. Halilintar, 2010. Fungsi Pengawasan DPRD dalam Pembangunan Daerah. http://id-id.facebook.com/topic.php?uid=128377427186820&topic=127 Handoko, 1999. Manajemen. BPFE. Yogyakarta. Kartiwa, A., 2006. Implementasi Peran dan Fungsi DPRD dalam Rangka Mewujudkan “good governance”. Pusat Informasi Proses Legislasi Indonesia, www.parlemen.net. Koran Kaltim, 2009. Fungsi Pengawasan DPRD Belum Optimal. http://korankaltim. com/index.php?option=com_content&view=article&id=532:fungsi-pengawasan-dprd-belum-optimal-&catid=44:paser&Itemid=111 Kumorotomo, W., 2005. Akuntabilitas Birokrasi Publik Sketsa pada Masa Transisi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Malik, M., 2008. Funggsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah : Antara Pengawasan Politik dan Manuver Politik. http://cetak.bangkapos.com/ opini/read/187/Fungsi+Pengawasan+DPRD.html Marbun, 1994. DPRD: Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya. Erlangga. Jakarta.
15
Munir, D., 2010. Hak Interpelasi Bantu Fungsi Pengawasan. http://www.pikiranrakyat.com/node/112046 Parjiyono, Y., 2010. Fungsi Pengawasan Lemah, Pimpinan DPRD DKI Dikritik. http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=260941 Prawiro, D.S., 2009. Memahami Fungsi Pengawasan DPRD Bojonegoro. http://www.harianbhirawa.co.id/opini/5825-memahami-fungsi-pengawasandprd-bojonegoro Priyono, W., tt. Optimalisasi Fungsi Dprd Dalam Pengawasan Pemerintah Daerah. http://pekikdaerah.wordpress.com/artikel-makalah/optimalisasi-fungsi-dprd-da lam-pengawasan-pemerintah-daerah/ Sumenep News, 2010. Implementasikan Fungsi Pengawasan, Komisi-Komisi Dewan Sumenep Lakukan Kunjungan Kerja. http://ciptakarya.sumenep.go.id/ mainx.php?smnp=Z289YmVyaXRhJnhrZD0xMTg3Mg%3D%3D Sunarso, S., 2005. Hubungan Kemitraan Badan Legislatif dan Eksekutif Daerah. Mandar Maju. Bandung. Wasistiono, S., dan Wiyoso, Y., 2009. Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Fokusmedia.Bandung. Widodo, J., 2001. Good Governance : Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendikia. Surabaya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
* Dr. ALI HANAPIAH MUHI, MP adalah dosen/pelatih Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor.
16