OPTIMALISASI JENIS STRESSOR TERHADAP PERKEMBANGAN WSSV PADA BENUR UDANG WINDU (Penaeus monodon) Arifuddin Tompo, Muliani Balai Penelitian Dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka 129, Maros, Sul-Sel 90511 Telp. (04110 371544; Fax (0411) 371545 E-mail:
[email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis stressor yang optimal memicu perkembangan WSSV pada benur udang windu (Penaeus monodon). Penelitian dilakukan di Laboratorium Basah Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP). Wadah yang digunakan adalah kontainer plastik yang bervolume 40 L diisi dengan air laut sebanyak 30 L dan dilengkapi dengan aerasi kecuali pada perlakuan penggunaan oksigen rendah. Setiap wadah ditebari benur windu (PL12) sebanyak 500 ekor yang diambil dari panti perbenihan skala komersil di Kab. Barru yang sebelumnya telah diketahui negatif WSSV melalui analisi PCR. Perlakuan yang dicobakan adalah (A) stressing dengan suhu 10±2 oC; (B) Stressing dengan suhu 20±2 oC; (C) Stressing dengan formalin 200 ppm; (D) Stressing dengan formalin 300 ppm; (E). stressing dengan pH 4; (F) Stressing dengan pH 5; (G) Stressing dengan oksigen 1 ppm; (H) Stressing dengan oksigen 3 ppm. Masing-masing perlakukan diulang 3 kali dengan waktu perendaman 15 menit, 30 menit, 45 menit, dan 60 menit. Untuk pengecekan WSSV menggunakan PCR konvensional, contoh benur diambil sebanyak 50-100 ekor/wadah. Untuk mengetehui pengaruh perlakuan terhadap perkembangan WSSV, data dianalisis secara deskriptif melalui pembacaan pita-pita DNA hasil elektroforesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis stressor yang paling optimal memicu perkembangan WSSV pada benur yang diambil dari perbenihan skala komersil adalah suhu 10oC, 200C, oksigen 3 ppm, dan 1 ppm. Hasil analisi PCR menunjukkan bahwa benur pada perlakuan ini positif WSSV pada taraf infeksi berat. Kata kunci: Udang windu, penyakit, WSSV, PCR, Skrening, Stresor Abstract: The experiment aimed to know the kinds of stressor optimally to induce WSSV development on tiger shrimp (Penaeus monodon) post larvae. This experiment was conducted in wet laboratory of the Research Institute for Coastal Aquaculture (RICA), Maros. Plastic container vol 40 L was used for post larvae rearing, filled 30 L sea water and aerated except on treatment low oxigen concentration. Each container stocked with 500 pieces of negative WSSV tiger shrimp post larvae (PL12) obtained from commercial hatchery in Barru. The treatment were (A) stressing with temperature 10±2 oC; (B) Sressing with temperature 20±2 oC; (C) Stressing with formaldehyde 200 ppm; (D) Stressing with formaldehyde 300 ppm; (E). stressing with pH 4; (F) Stressing with pH 5; (G) Stressing with oxygen 1 ppm; (H) Stressing with oxygen 3 ppm. Sampling conducted 15, 30, 45, and 60 minutes after bathing with 50-100 pieces of tiger
1
shrimp post larvae/aquaria for WSSV detected by PCR conventional technique. To know the effect of treatment on the development of WSSV on tiger shrimp post larvae, data analyzed descriptively by DNA pattern band on electroforesis result. The result showed that kinds of stressor optimally to induce development of WSSV on tiger shrimp post larvae obtained from hatchery were temperaature 10 oC and 20 oC, as well as oxygen 3 and 1 ppm. The result of PCR analysis showed that tiger shrimp post larvaein are positive WSSV for the treatment. Key Word: Black tiger shrimp postlarvae, WSSV, PCR, Screering, Stressor, Inducing
PENDAHULUAN Udang windu merupakan komoditas tambak unggulan di Indonesia namun telah mengalami penurunan produksi dari tahun ke tahun. Dari 130 ribu ton menjadi 100 ribu ton pada tahun 1994 menjadi 80 ribu ton pada tahun 1995 (Haris, 2000). Penyakit yang disebabkan virus berandil besar terhadap turunnya produksi. Salah satunya virus WSSV yang sampai saat ini masih merupakan jenis virus yang paling banyak menimbulkan kematian udang. Terutama di tambak pembesaran baik pada udang windu maupun udang vanname (Rajan, et al., 2000; Peng et al., 2001; Munn, 2004; Muliani et al., 2005 ; Peinado-Guevara et al., 2006; SanchesMartinez et al. 2008; Tan, et al., 2009; Martorelli, et al., 2010; Salehi 2010; Sanchez-Paz, 2010; Tendencia et al., 2010a; Walker and Winton 2010; Cavilla et al., 2011; Iqbal et al. 2011; Ashokkumar et al. 2012; Selvam et al., 2012). Untuk menu-runkan dampak lebih lanjut dari serangan virus diperlukan benur udang yang sehat. Untuk mendapatkannya bisa dengan metode skreening benur saat sebelum ditokolkan. Sehingga akan diperlukan sebuah metode skreening benur yang mudah dan baik untuk mengeliminir kemungkinan ada benur windu yang terinfeksi laten virus. Uji stressing digunakan sebagai cara atau metode utama untuk mengkaji
2
kualitas dari benur. Prinsip utama metode skrening benur adalah memberikan stresor kepada benur seperti yang sering terjadi di alam. Konsep ini didasarkan dari anggapan bahwa stres terjadi karena kurangnya kemampuan adaptasi organisme yang akan menyebabkan memicu perubahan dari metabolisme. Juga peningkatan protein hydrolisis, peningkatan protein cortisol dari kelenjar adrenal yang dapat memicu perubahan metabolisme dan penekanan sistem imun. Kondisi ini dapat dengan mudah memicu masuknya patogen (Hazen et al., 1978) Berbagai cara stresing telah dipakai dalam upaya pembenihan udang seperti pemakaian formalin (Samocha et al., 1998) kombinasi suhu dan salinitas yang rendah (Fegan, 1992) dan juga tingkat oksigen yang rendah (Ibarra, 1998). Penggunaan pH sebagai unsur stressor digunakan dalam uji stressing Portunus pelagicus (Talpur dan Ikhwanuddin, 2012) Uji stressing dengan metode salinitas merupakan yang paling sering dilakukan (Bray and Lawrence, 1992) meskipun tidak ada bukti tertulis hasil dari uji stressing ini berhubungan dengan kemampuan bertahan hidup dan pertumbuhan selama di tambak (Fegan, 1992). Penggunaan benur PL muda lebih lemah jika dibandingkan dengan PL tua (Samocha et al.,1998). Perbedaan spesies dapat berpengaruh terhadap keberha-
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 19, No. 2, Januari 2015
silan metode salinitas. Litopenaeus vanamei bisa lebih tahan dalam salinitas rendah jika dibandingkan Penaeus japonicus (Couttaeu et al., 1996). Formalin dengan konsentrasi 150 ppm dapat digunakan untuk stressing benur selama 30 menit. Benur yang lemah dan tidak sehat akan terpisah dari benur yang aktif berenang (Limsuwan 1997a). Suhu air merupakan faktor paling penting dalam pemeliharaan larva benur, karena dapat berpengaruh langsung terhadap metabolis-me. Juga konsumsi oksigen, pertumbuhan, tingkat makan, perkembangan abnormal, tingkat bertahan hidup dan komposisi biokimia dasar (Talpur dan Ikhwanudin, 2012). Oksigen terlarut tidak hanya akan berfungsi sebagai respirasi organ air namun juga mengontrol banyak reaksi b. oksidasi dan menjaga kondisi aerobik di air. Tingkat DO yang rendah dapat menyebabkan kondisi anaerobik, dan kadang juga menyebabkan perubahan senyawa nitrat menjadi amonia yang beracun dan meningkatkan pH (Gilles, 2001). Perubahan pH dapat mempengaruhi metabolisme dan proses fisiologis sebuah organisme. Penurunan pH menyebabkan toksisitas dengan meningkatkan nitrit dan hidrogen sulfida (Talpur dan Ikhwanudin, 2012). Uji stresing harus dilengkapi dengan metode deteksi yang sensitif terhadap perkembangan virus sekecil apapun di dalam tubuh benur. Penggunaan PCR dilaporkan bisa menurunkan tingkat risiko merebaknya WSSV di dalam tambak dan juga dapat mendeteksi jumlah virus yang kecil dalam tubuh organisme. Meskipun begitu metode ini tidak efektif jika populasi sangat besar dan hanya beberapa saja yang terinfeksi penyakit (Chanratchakool dan Limsuwan, 1998).
METODE PENELITIAN Pengambilan Sampel Awal Penelitian di lakukan di Laboratorium Basah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP). Benur yang akan digunakan diambil dari panti perbenihan skala rumah tangga di Kab. Barru, Sulawesi Selatan. Sebelum dilakuan stressing terlebih dahulu dilakukan pengambilan sampel untuk deteksi WSSV sebagai data awal. Untuk sampel awal, benur dimasuk-kan ke dalam botol sampel yang telah berisi bahan pengawet berupa ethanol 70%. Selanjutnya botol dibawa ke laboratorium Bioteknologi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP) untuk deteksi WSSV dengan PCR. Pengambilan benur Untuk Uji Stresing Benur yang akan distressing dibawa ke Laboratorium Basah BPPBAP dengan kantong plastik. Setiap kantong plastik diisi dengan 2000 benur PL 11. Sebelum benur dimasukkan ke bak penampungan terlebih dahulu diadaptasikan dengan mengapung-apungkan kantong plastik di dalam bak penampungan selama kurang lebih 30 menit (Gambar 1). Kantong plastik tadi kemudian dibuka dan secara perlahan, benur dibiarkan keluar dari kantong. Benur ditampung pada bak penampungan selama 2 hari sebelum uji stressing dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar benur dalam keadaan sehat sebelum distreskan sehingga jika benur mengalami stres pada saat perlakuan, maka akan dapat dipastikan bahwa benar-benar disebabkan karena pengaruh dari pelakuan. Setelah di tampung selama 2 hari benur kemudian ditebar dalam wadah penelitian sebanyak 500 ekor setiap wadah.
Arifudin T, Muliani: Optimalisasi Jenis Stressor Terhadap Perkembangan
3
Gambar 1. Adaptasi benur sebelum diuji stressing dengan formalin, Suhu rendah, oksigen rendah dan pH rendah Perlakuan dan Uji Stressing Pada penelitian ini dicobakan 8 kali perlakuan yaitu: (A) stressing dengan suhu 10±2 oC; (B) Stressing dengan suhu 20±2 oC; (C) Stressing dengan formalin 200 ppm; (D) Stressing dengan formalin 300 ppm; (E) Stressing dengan pH 4; (F) Stressing dengan pH 5; (G) Stressing dengan oksigen 1 ppm; (H) Stressing dengan oksigen 3 ppm. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali sehingga terdapat 24 unit perlakuan, dengan waktu perendaman 15, 30, 45, dan 60 menit. Wadah yang digunakan untuk uji stressing adalah kontainer plastik
(a)
bervolume 50 L yang diisi air laut sesuai dengan perlakuan sebanyak 30 Liter. Dilengkapi dengan aerasi sebagai sumber oksigen pada perlakuan yang membutuhkan oksigen. Untuk menurunkan suhu digunakan batu es yang dibuat dalam botol kemasan air minum sehingga tidak bisa mempengaruhi salinitas air dalam wadah penelitian (Gambar 2A). Penurunan kadar oksigen dilakukan dengan memasukkan ikan jenis nila ke dalam wadah agar dapat mengkomsumsi zat oksigen (Gambar 2B). Sedang untuk menurunkan pH digunakan H2SO4 (Gambar 2C).
(b)
(c)
Gambar 2. (a) Penurunan suhu air dengan batu es, (b) penrunan oksigen dengan ikan nila, dan (c) penurunan pH dengan penambahan H2SO Pengecekan WSSV - Ekstraksi DNA Untuk pengecekan WSSV contoh benur diambil sebanyak 50-100 ekor setiap wadah. Benur dimasukkan dalam
4
tabung mikro yang masih baru dan steril sebanyak 150 mg. Selanjutnya dihancurkan dengan ”Pounder” yang telah disterilkan.
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 19, No. 2, Januari 2015
Setelah hancur di tambahkan larutan Lysis Buffer sebanyak 500 l. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 95o C selama 10 menit dan kemudian disentrifuge pada kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit. Cairan bening yang terbentuk pada bagian atas diambil sebanyak 300 l menggunakan pipet mikro, kemudian dimasukkan ke dalam tabung mikro yang telah diisi etanol 95% dingin sebanyak 600 mL. Campuran ini divorteks hingga tercampur dan homogen, selanjutnya disentrifuse pada kecepatan 12. 000 rpm selama 5 menit. Cairan bening pada bagian atas dibuang dan pellet DNA yang terbentuk di dasar tabung kemudian dikering-anginkan selama 3-4 jam (bisa semalaman). Setelah pellet DNA kering, ditambah larutan TE atau ddH2O sebanyak 100l. Larutan DNA tersebut bisa langsung digunakan atau disimpan pada suhu -20 o C. Amplifikasi DNA WSSV Kit spesifik Untuk WSSV. DNA WSSV bisa diamplifikasi dengan menggunakan kit spesifik untuk WSSV, “IQ 2000TM WSSV Detection and Prevention System”. Untuk setiap sampel, disiapkan First PCR PreMix sebanyak 7,5 µL dicampur dengan Iqzyme DNA polimerase 0,5 µL dan DNA genom 2 µL. Untuk mengetahui proses amplifikasi berjalan baik atau tidak maka selain DNA genom, juga diamplifikasi DNA kontrol positif (DNA WSSV yang telah diketahui) dan kontrol negatif (Yeast tRNA atau ddH2O) yang telah disediakan. Selanjutnya dilarikan dalam PCR dengan kondisi reaksi “first PCR” 94 oC selama 30 detik; 62 oC selama 30 detik; 72 oC selama 30 detik sebanyak 5 siklus. Kemudian 94 oC selama 15 detik; 62 oC selama 15 detik; 72 oC selama 20 detik, sebanyak 15
siklus. Selanjutnya siklus terakhir adalah 72 oC selama 30 detik; 20 oC selama 30 detik. Sedangkan tahap “nested PCR” adalah 94 oC selama 20 detik; 62 oC selama 20 detik; 72 oC selama 30 detik; sebanyak 25 siklus, dan siklus terakhir adalah 72 oC selama 30 detik; 20 oC selama 30 detik (Anonim, 2002). Proses Elektroforesis Persiapan gel agarose Agarose ditimbang sesuai dengan keperluan, kemudian dilarutkan ke dalam larutan 1XTBE. Dalam penelitian ini konsentrasi agarose yang digunakan adalah 2%. Dengan menggunakan alat pemanas (hotplate), agarose dilarutkan sampai men-didih, setelah mendidih dibiarkan selama kurang lebih 25 menit sampai suhunya sekitar 50 oC, kemudian dicetak dalam Tray agarose yang telah dilengkapi dengan sisir agar bisa membentuk sumursumur gel. Dengan sangat hati-hati sisir tray diangkat kemudian gel dimasukkan dalam elektro-foresis apparatus, kemudian ditambahkan dengan 1XTBE sebagai buffer elektro-foresis. Running Elektroforesis. Untuk mengetahui apakah suatu sampel terinfeksi dengan WSSV atau tidak, maka hasil PCR sebanyak 10 L dalam 3 L “loading dye” dilarikan dalam gel elektro-foresis mini bersama-sama dengan DNA marker, kontrol positif, dan kontrol negatif (IQ 2000TM WSSV Detection and Prevention System). Setelah semua hasil PCR diinjeksikan ke dalam sumur-sumur gel elektroforesis, selanjutnya elektroforesis dapat dijalankan dengan kondisi 50 Volt, selama 150 menit.
Arifudin T, Muliani: Optimalisasi Jenis Stressor Terhadap Perkembangan
5
Visualisasi DNA Pewarnaan dan Dokumentasi Gel hasil elektroforesis direndam dalam larutan ethidium bromida (konsentrasi 1g/ml) selama 10 sampai 15 menit. Selanjutnya gel dicuci dengan akuades selama 5-10 menit. Untuk mengetahui ada tidaknya infeksi WSSV terhadap sampel-sampel yang dideteksi maka gel hasil elektroforesis diamati menggunakan gel documentation dan sekaligus dilakukan pengambilan foto (Suwanto et al. 2000, Anonim 2002, Sulandari dan Zei 2003). Sampel terinfeksi oleh WSSV jika pada lajur DNA genom muncul pita-pita DNA yang sama pada kontrol positif. Sebaliknya jika tidak ada pita atau pita DNA genom tidak sama dengan yang diperlihatkan pada kontrol positif maka menunjukkan sampel tidak terdeteksi WSSV. Jika pewarnaan kurang sempurna, seperti terdapat pita-pita DNA tapi terlihat masih buram, maka perendaman dalam ethidium bromida dan pencucian dengan akuades diulangi. Analisis Data Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap perkembangan WSSV, maka data dianalisis secara deskriptif melalui pembacaan pita-pita DNA hasil proses elektroforesis.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji stressing dengan menggunakan beberapa jenis stresor dengan konsentrasi yang berbeda disajikan pada Tabel 1. Pada tabel tersebut terlihat bahwa sebelum dilakukan uji stressing maka benur udang windu yang telah diambil dari panti perbenihan skala komersil yang ada di Kab. Barru menunjukkan hasil yang negatif WSSV. Akan tetapi setelah diuji stressing beberapa perlakuan menunjukkan hasil yang positif WSSV. Pada Tabel 1 terlihat bahwa semua perlakuan positif WSSV pada semua perendaman, Namun beberapa perlakuan memperlihatkan infeksi WSSV pada taraf yang berat (posoitif berat) yaitu perlakuan suhu rendah (10 oC dan 20 oC) dan oksigen rendah (1 dan 3 ppm), sedangkan pada perlakuan formalin 200 dan 300 ppm serta pH 4 dan pH 5 memperlihatkan hasil positif ringan. Pada penelitian sebelumnya juga dilaporkan bahwa penggunaan formalin 100-300 ppm memperlihatkan positif WSSV pada taraf sedang sampai ringan pada semua waktu perendaman yaitu 1, 3, dan 5 jam perendaman. Demikian juga bila dengan penggunaan pH 5 memperlihatkan infeksi WSSV pada taraf yang ringan (Muliani et al. 2012).
Tabel 1. Hasil analisis PCR benur udang windu yang berasal dari panti perbenihan skala rumah tangga di Kab. Barru sebelum dan sesudah uji stressing Kode/Code
Perlakuan/Treatment
Sebelum Stressing/Befor stressing A Suhu 10±2 o C/Temperature 10±2 o C
6
Waktu Perendaman/Bathing Periode 15 menit/ 30 menit/ 45 menit/ 60 menit/ 15 minutes 30 45 minutes 60 minutes minutes Negatif/Negative Positif Positif Positif Positif berat/ berat/ berat/ berat/ Severe Severe Severe Severe positive positive positive positive
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 19, No. 2, Januari 2015
Kode/Code
Perlakuan/Treatment
Sebelum Stressing/Befor stressing B Suhu 20±2 oC/ Temperature 20±2 oC
Waktu Perendaman/Bathing Periode 15 menit/ 30 menit/ 45 menit/ 60 menit/ 15 minutes 30 45 minutes 60 minutes minutes Negatif/Negative Positif Positif Positif Positif berat/ berat/ berat/ berat/ Severe Severe Severe Severe positive positive positive positive Positif Positif Positif Positif ringan/ ringan/ ringan/ ringan/ Light Light Light Light positive positive positive positive
C
Formalin 200 ppm /Formalin 200 ppm
D
Formalin 300 ppm/ Formalin 300 ppm
Positif ringan/ Light positive
Positif ringan/ Light positive
Positif ringan/ Light positive
Positif ringan/ Light positive
E
pH 4/ pH 4
Positif ringan/ Light positive
Positif ringan/ Light positive
Positif ringan/ Light positive
Positif ringan/ Light positive
F
pH 5/pH5
Positif ringan/ Light positive
Positif ringan/ Light positive
Positif ringan/ Light positive
Positif ringan/ Light positive
G
Oksigen 1 ppm/ oxygen 1 ppm
H
Oksigen 3 ppm/ oxygen 3 ppm
Positif berat/ Severe positive Positif berat/ Severe positive
Positif berat/ Severe positive Positif berat/ Severe positive
Positif berat/ Severe positive Positif berat/ Severe positive
Positif berat/ Severe positive Positif berat/ Severe positive
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa penggunaan suhu rendah dan oksigen rendah lebih baik jika dibanding penggunaan formalin 200 dan 300 ppm serta pH 4 dan 5 dalam membuat benur stres dan menginduksi perkembangan WSSV dalam tubuh benur. Temperatur dan kadar dari oksigen merupakan faktor stresor paling penting di lingkungan. Dua variabel ini dapat
memberikan pengaruh yang cepat dan signifikan terhadap sistem fisiologis dan pertahanan tubuh udang (Gunalan et al. 2010). Hal ini sesuai yang dilaporkan oleh Du et al., (2008) bahwa kasus kematian udang di tambak akibat serangan WSSV seringkali terkait dengan suhu air. Pada saat fluktuasi suhu yang terlalu ekstrim antara siang hari dan malam hari, terutama saat fajar yang
Arifudin T, Muliani: Optimalisasi Jenis Stressor Terhadap Perkembangan
7
biasanya disebut sebagai musim “bediding”, merupakan penyebab terjadi kasus kematian udang di tambak. Jika fluktuasi suhu sangat tajam akan membuat udang menjadi stress dan mudah terserang penyakit, terutama WSSV. Menurut Lu-Qing et al, (2007) bahwa suhu air merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh pada metabolisme, konsumsi oksigen, pertumbuhan dan sintasan udang yang dibudidayakan. Sedangkan menurut Murdjani et al. (2007) suhu air di tambak ideal untuk budidaya udang windu intensif adalah 26 – 29oC. Menurut Tendecia et al., (2010a) fluktuasi suhu yang ekstrim dan suhu air yang rendah merupakan faktor penyebab terjadi infeksi WSSV. Hal ini disebabkan karena pada suhu rendah, WSSV akan menggandakan diri lebih cepat. Fluktuasi suhu pada tambak yang terserang WSSV lebih tinggi (9,5 oC) dibanding fluktuasi suhu (4.75 oC) pada tambak yang tidak terinfeksi WSSV. Selanjutnya dikatakan bahwa infeksi WSSV pada udang windu dapat ditekan pada temperatur air yang tinggi, dan fluktuasi salinitas yang kecil. Keberadaan bakteri vibrio yang koloninya kuning lebih tinggi jika dari pada yang koloninya hijau. Hal senada disampaikan oleh You et al., (2010) bahwa temperatur yang lebih tinggi (31±0,5 oC) sangat nyata mengurangi jumlah kematian udang yang terinfeksi WSSV dibanding suhu rendah (27±0,5 oC). Hal ini menunjukkan bahwa temperatur yang tinggi bisa menghambat proses replikasi virus WSSV dan sekaligus meningkatkan respon immun udang. Sedang Vidal et al., (2001) melaporkan bahwa ditemukan kematian 100% pada udang yang terserang WSSV yang dipindahkan dari 32 oC ke 25,8±0.7 oC. Hal ini berbeda apa yang dilaporkan oleh Du et al., (2008) bahwa tidak ditemukan ada
8
kematian pada cryfish (Procambarus clarkii) yang dipelihara pada suhu 10±1 oC setelah diuji tantang dengan WSSV. Akan tetapi ditemukan 100% kematian cryfish setelah ditrasnfer ke suhu 24±1 oC. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan peningkatan jumlah virion WSSV, dimana pada suhu 10±1 oC meningkat dari 106 menjadi 108 copy/mg jaringan insang sedangkan pada suhu 24±1 oC meningkat dari 106 menjadi 1010 copy/mg jaringan insang. Hasil penelitian juga menunjukkan penurunan DO dapat menginduksi udang untuk stres dan menurunkan sistem imunitasnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Madenjian et al., (1987) bahwa kadar oksigen yang rendah dapat menyebabkan tingkat stres yang tinggi dan berakibat pada kematian. Muliani et al, (2012) melaporkan bahwa stressor terbaik yang merangsang perkembangan WSSV pada benur adalah oksigen rendah, suhu rendah, pH, dan penggunaan formalin. Kecenderungan semakin lama waktu perendaman, semakin memicu perkembangan WSSV pada benur udang windu. Konsentrasi oksigen yang optimal untuk memelihara udang adalah 5 ppm dan kondisi kritis pada 3,7 ppm (Chen, 1985). Terdapat bukti bahwa aktivitas fagositosis Penaeus monodon menurun 50 % ketika berada dalam kondisi hipoksia (Direkbusarakom dan Danayadol, 1998). Kondisi hipoksia juga akan berpengaruh pada penurunan jumlah total hemosit ( Le moullac et al., 1998). DO berperan penting untuk pertumbuhan dan perkembangan. Kadar DO yang rendah dapat menyebabkan keracunan pada udang dan peningkatan kadar sisa metabolisme yang akan berujung pada toksisitas (Gunalan et al. 2010). Stresing benur dengan formalin 200, 300 ppm, kemudian pH 4, dan pH 5
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 19, No. 2, Januari 2015
menunjukkan hasil yang kurang bagus, jika dibandingkan dengan stresing benur dengan suhu dan pH meskipun benur tetap menunjukkan hasil positif WSSV. Hasil penelitian Chanratchakool dan Charol (1998) menunjukkan bahwa formalin yang digunakan sebagai metode stresor benur udang terbukti sensitif saat dideteksi dengan PCR. pH merupakan salah sau faktor yang penting dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang, dapat juga berpengaruh terhadap metabolisme dan proses fisiologis udang. Rentang pH optimal untuk udang adalah 6,8-8,7. Udang akan banyak terserang virus WSSV saat kondisi tambak dengan suhu yang rendah dan pH yang tinggi (Gunalan et al. 2010). pH merupakan salah sau faktor pembatas pada proses budidaya, karena sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme udang dan fisiologis udang, dan juga berefek kepada pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang. Lemonniera et al., (2004) melaporkan bahwa pada pH air yang rendah (5,9) menyebabkan pertumbuhan udang windu menurun akibat stress. Selanjutnya dikatakan bahwa penurunan pH air dari 7,0 menjadi 6,5 menyebabkan tekanan osmotik udang menurun secara nyata. Tentunya ini akan berakibat pada penurunan vitalitas dari udang sehingga udang akan lebih stress dan terserang penyakit (WSSV). Dengan kombinasi suhu rendah dan pH rendah membuat udang lebih stress sehingga akan lebih mudah terinfeksi oleh WSSV. Effek pH sebaliknya, dilaporkan oleh Gunalan et al., (2010), dimana dikatakan bahwa pada temperatur rendah dan pH yang tinggi dapat menyebabkan infeksi WSSV pada budidaya udang windu dan berakibat pada kematian udang. Lebih lanjut dikatakan bahwa penurunan temperatur dari 27 oC ke 18 oC menyebabkan adanya
kematian pada udang yang cukup tinggi. Menurut (Tendencia et al., 2010b), bahwa fluktuasi suhu dan pH dapat memicu infeksi WSSV pada udang dan menyebabkan kematian. Oleh karena itu penurunan dan peningkatan suhu dari pH dapat juga digunakan untuk melakukan skrening dengan metode stresing benur sebelum benur ditebar di tambak. Moser et al., 2012, melaporkan bahwa penggu-naan metode stresing suhu sebelum uji PCR dilakukan akan mengurangi negatif false yang sering terjadi pada hasil analisis PCR yang disebabkan oleh konsentrasi viral yang rendah, dengan demikian penyebaran dari WSSV dapat dicegah.
SIMPULAN Stresing benur yang diambil dari panti perbenihan skala komersil di Kab. Barru menggunakan suhu rendah (10 oC dan 20 oC) dan oksigen rendah (1 dan 3 ppm) lebih baik dibanding perlakuan lainnya karena dapat memicu perkembangan WSSV sehingga memperlihatkan hasil infeksi WSSV pada taraf serangan berat.
DAFTAR RUJUKAN Anonim 2002. Instruction Manual. Detection and Prevention System for White Spot Syndrom Virus (WSSV). Taiwan. 18 pp. Chen. J. 1985. Water quality criteria for farming tha grass shrimp Penaeus Monodon. Proceeding of the first International Conference on the culture of Penaeid Prawn, SEAFDEC, Illio, Philippines, p 165 Direkbusarakom, S., Yaowanit Danayadol. 1998. Effect of oxygen depletion on
Arifudin T, Muliani: Optimalisasi Jenis Stressor Terhadap Perkembangan
9
some parameter of the immune system in black tiger shrimp (penaeus monodon). In flegel TW. Advance shrimp bioteknology. National Center for Genetik Engineering and Biotechnology, Bangkok Du, H., Dai, W., Han, X., Li, W., Xu, Y., Xu, Z. 2008. Effect of low water temperatur on viral replication of white spot syndrome virus in Procambarus clarkii. Aquaculture, 277:149-151 Fegan, D.F., 1992. Recent development and issue in the penaied shrimp hatcery industri. In: Wyban, J. (ed.), proceeding of the special session on shrimp farming. World Aquaculture Society, Baton Rouge, pp. 55-70 Gunalan, B., P. Soundarapandilan., dan G.K. Dinakara., 2010. The effect of temperature and pH on WSSV infection in Culture Marine Shrimp Penaeus Monodon (Fabricius). Centre of Advanced Study in Marine Biology Annamalai University. Parangiettai-608 502 Tamil Nadu. India Haris, E. 2000. Shrimp Culture Health Managemen(SCHM). Manajemen Operasional Tambak Udang Untuk Mencapai Target Protekan 2003. Makalah Disampaikan pada Sarasehan Akuakultur Nasional 5-6 Oktober, FPK-IPB. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 11 halaman. Ibara, A.M., Palacios, E., Perez-Rostro, C.I., Ramirez, J.L., HernandezHerrera, R., Racotta, I.S., 1998. Effect of family variance for resistence to low oxygen and low salinity of pacific white shrimp, Penaeus vanamei, postlarvae. Aquaculture 98. World aquaculture Society, Las Vegas, USA, p. 260
10
Li, Q., Yang, F., Zhang, J., Chen Y. 2003. Proteomic analysis of protein that bands specifically to the homologous repeat regions of white spot syndrome virus. Biol. Pharm. Bull. 26 :1517-1522. Lo, C. F., Chang, Y. S., Cheng, C. T., Kou, G. H. 1998. PCR monitoring of cultured shrimp for White Spot Syndrome Virus (WSSV) infection in Growth Ponds. p:281-286. In Flegel TW. (Ed.). Advances in shrimp biotechnology. BIOTEC. The National Center for Genetic Engineering and Biotechnology, Thailand. Lu-Qing, P., Fang bo, Ling-Xu, J., Jing, L. 2007. The effect of temperature on selected immune parameters of white shrimp, Litopenaeus vannamei. Journal of the World Aquaculture Society 38 (2) : 326 – 332. Martorelli, S. R., Overstreet, R. M., Jovonovich, J. A. 2010. First report of viral pathogens WSSV and IHHNV in Argentine crustaceans. Bulletin Of Marine Science, 86(1): 117–131 Muliani, Tampangallo, B. R., Atmomarsono, A. 2011. Penggunaan beberapa metode stressing pada skrining benur udang windu dengan teknik polymerase chain reaction (PCR). Hal: B2-63B274 dalam Taufiqurrahman, M., Winarno, A., Hardianto, D. (Eds). Prosiding Seminar Nasional KelautanVII. Universitas Hang Tua. Surabaya. Muliani, Tanpangallo, B. R., Kurniawan, K. 2012. Beberapa metode stressing untuk menginduksi perkembangan White Spote Syndrome Virus (WSSV) pada benur udang wuindu (Penaeus monodon). J. Riset Aq. Hal 465-475
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 19, No. 2, Januari 2015
Murdjani, Arifin, Z., Adiwidjaya, D., Komaruddin, U., Nur, A., Susanto, A., Taslihan, A., Ariawan, K., Mardjono, M., Sutikno, E., Supito, Latief, M. S., Cokarkin, C dan T. P. Proyoutomo. 2007. Penerapan best management practices (BMP) pada budidaya udang windu (Penaeus monodon Fabricus) intensif. Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Besar pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara. 67 hlm. Rajan, P.R., Ramasamy, P., Purushothaman, V., Brennam, G. P. 2000. White spot baculovirus syndrome in Indian shrimp Penaeus monodon and P. Indicus. Aquaculture, 184:31-44. Salehi, H. 2010. The economic impacts of WSSV on shrimp farming production and export in Iran. Aquatic Animal Health. 28 (2):29-30 Sulandari, S. dan Zein, M. S. 2003. Panduan praktis Laboratorium DNA. Bidang Zoologi. Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 125 hal. Suwanto, A., Yogiara, Suryanto, D., Tan, I., Puspitasari, E. 2000. Selected protocols. Training Course on Advances in Molecular Biology Techniques to Assess Microbial Diversity. Bogor. 28 pp. Tan, Y., Xing, Y., Zhang, H., Feng, Y., Zhou, Y., Shi, Z. L. 2009. Molecular detection of three shrimp viruses and genetic variation of white spot syndrome virus in Hainan province, China, in 2007. Journal of Fish Diseases, 32:777-784 Tendencia, E. A., Bosma, R. H., Usero, R. C., Verret, J. A. J. 2010a. Effect of rainfall and atmospheric
temperature on the prevalence of white spote syndrome virus in pond culture Penaeus monodon. Aquaculture Research. 41:594-597. Vaseeharan, B., Jayakumar, R., Ramasamy, P. 2003. PCR-base detection of white spot syndrome virus in cultured and captured crustaceans in India. Lett. Appl. Microbiol, 37:443-447. Vidal, O.M., Granja, C. B., Aranguren, F., Brock, J. A., Salazar, M. 2001. A profound effect of hypothermania on survival of Litopenaeus vannamei juveniles infected with white Spot Syndrome Viurs. J. World. Aqua. Soc. 32:364-372. Yoganandhan, K., Musthaq, S. S., Sudhakaran, R., Balasubramanian, G., Hameed, A. S. S. 2006. Temporal analysis of VP28 gene of Indian white spot syndrome virus isolate (WSSV) in different crustacean host. Aquaculture, 253:71-81. You, x. X., Su, Y. Q., Mao, Y., Liu, M., Wang, J., Zhang, M., Wu, C. 2010. 2010Effect of high water temperature on mortality, immune response and viral replication of WSSV-infected Marsupenaeus japonicus juveniles and adults. Aquaculture, 305:133-137.
Arifudin T, Muliani: Optimalisasi Jenis Stressor Terhadap Perkembangan
11
12