OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK
BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI
BAGIAN KEDUA
OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK OPINI OPINI TAK
BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI BERTEPI
BAGIAN KEDUA
for my guardian angels: tuti, yuyun, nisa, usi
OPINI OPINI TAK BERTEPI BAGIAN KEDUA copyright©agus manshur achsany Sampul: GoesmanGoeshoer Foto: GoesmanGoeshoer Tata Letak: GoesmanGoeshoer Penerbit: Nisausi Press, Bandung Cetakan Pertama, Maret, 2011
OPINI 1 AGAMA DAN KEMISKINAN: CATATAN KAKI UNTUK PANGERAN CHARLES OPINI 2 KULIAH MORAL DARI TUAN BARROSO OPINI 3 BOGOTA: SEBUAH NAMA, SEBUAH CERITA OPINI 4 OTONOMI DAERAH: DENDAM YANG BERKEPANJANGAN, KERINDUAN YANG TERAMAT DALAM OPINI 5 OBAMA, AMERIKA, DAN REKAYASA OPINI 6 PEMIMPIN MASA KINI: CATATAN BUAT ORANG JAWA OPINI 7 BONGKAR PASANG, CUCI PIRING, DAN TEBAR PESONA OPINI 8 MALAY SIA SIA OPINI 9 IT’S ECONOMIC, STUPID! OPINI 10 PEMEKARAN DAERAH: SEBUAH CATATAN OPINI 11 KEMISKINAN: REALITAS YANG SEKSI UNTUK DIPERTONTONKAN OPINI 12 SOAL HUTANG: SEBUAH CATATAN UNTUK CALON MENTERI KEUANGAN YANG BARU OPINI 13 ANTISIPASI PASAR BEBAS: KEALPAAN DARI JANJI POLITIK OPINI 14 PANGLIMA OPINI 15 KESEDERHANAAN: KEJAM DAN JADUL! OPINI 16 LUPA LUPA INGAT: TAHI AYAM MASIH HANGAT OPINI 17 MEMBACA ELIZABETH E. GRAVES: PELAJARAN YANG HILANG DARI RANAH MINANG OPINI 18 MENGENANG MUHAMMAD JUSUF KALLA: CATATAN KAKI UNTUK KEPEMIMPINAN MODERN OPINI 19 BUKAN LAUTAN HANYA KOLAM SUSU OPINI 20 MENGEMBANGKAN KESEJAHTERAAN ATAU MEMBIAKKAN KESERAKAHAN OPINI 21 BINGKISAN LEBARAN DARI PITTSBURGH OPINI 22 TUJUH DOSA, TUJUH DUKA, TUJUH LUKA OPINI 23 ANTARA OBAMA DAN OSTROM: SEBUAH KETERGESAAN DAN SEBUAH KEPANTASAN OPINI 24 BELAJAR PERCAYA AMERIKA: CATATAN UNTUK HILLARY CLINTON OPINI 25 DIKLAT, BINTEK, SOSIALISASI, DAN SETERUSNYA OPINI 26 OASIS ITU BERNAMA JEAN-LOUIS TAURAN
OPINI 27 SEBUAH PATUNG DI TAMAN MENTENG OPINI 28 NEGERI YANG BERNAMA FREAKONESIA: SEBUAH REQUIEM UNTUK GUS DUR OPINI 29 CHINA PHOBIA, CHINA MANIA: SEBUAH IMPERATIF SEJARAH OPINI 30 PEMERINTAH: SIAPAKAH ENGKAU? OPINI 31 MEMBACA FRIEDMAN: BOM WAKTU YANG BISA MELEDAK SEWAKTU-WAKTU OPINI 32 NEGARA: DIMANAKAH ENGKAU? OPINI 33 NOTABENE ADALAH KETAKUTAN OPINI 34 MENCARI SANG PEMIMPI: JARUM HILANG DI TUMPUKAN JERAMI OPINI 35 KEBUN BINATANG BERNAMA INDONESIA OPINI 36 PERANG YANG MENJADI KENISCAYAAN SEKALIGUS KEBIASAAN YANG KEBABLASAN OPINI 37 KEKUASAAN YANG SUNYI, PENGUASA YANG KESEPIAN OPINI 38 BELAJAR DARI SEORANG KAPITALIS SEJATI OPINI 39 TERANG BULAN TAK LAGI DI PINGGIR KALI OPINI 40 CERITA TENTANG KANG DADANG: ENAM PELAJARAN DARI KARAWANG OPINI 41 APA KATA DUNIA: IKLAN MENYESATKAN DAN MEMBODOHKAN OPINI 42 KEKERASAN YANG TELANJUR AKRAB OPINI 43 SEBUAH MONUMEN, SEBUAH KEKONYOLAN, SEBUAH KEBODOHAN OPINI 44 SEKALI BERARTI, SUDAH ITU MATI OPINI 45 JANGAN PERNAH (BERHENTI) MENCINTAI AMERIKA OPINI 46 ANALISIS YANG “MISKIN” TENTANG KEMISKINAN: CATATAN UNTUK FAISAL BASRI OPINI 47 NO CHANGE NO FUTURE: PELAJARAN DARI NATUNA OPINI 48 SERAHKAN KEPADA AHLINYA? OPINI 49 DIKLAT FUNGSIONAL PERENCANA: SEBUAH GUGATAN SUBSTANSIAL OPINI 50 PELAJARAN KEBUDAYAAN DARI FILIPINA OPINI 51 KE PALANGKA RAYA KITA KAN KEMBALI? OPINI 52 OTOKRITIK TERHADAP DANA ALOKASI KHUSUS: KEBIJAKAN PALING KONYOL SECARA KUANTITATIF
SEKAPUR SIRIH
Alhamdulillah, puji syukur ke hadlirat Allah SWT, sang penguasa seluruh ilmu dan pengetahuan, atas selesainya penyusunan buku kumpulan tulisan ini dalam bentuk utuh. Tak ada daya dan kekuatan kecuali hanya berasal dari pertolongan Nya belaka. Amien, amien, ya robbal alamien. Buku ini sebagian besar masih membahas soal pembangunan. Kenapa? Pertama, pembangunan adalah tema besar kehidupan yang tak pernah habis dibicarakan, diulas, dikritisi, bahkan diteoritisasi, baik kekuatan atau kelemahannya, baik manfaat ataupun mudharatnya, baik oleh negara maju maupun negara berkembang. Kedua, penulis terlibat aktif didalamnya. Dengan menuliskannya maka penulis merasa telah memberikan sumbangan gagasan serta telah menciptakan “ruang” untuk menjaga jarak dari praktik pembangunan itu sendiri. Karenanya, buku ini merupakan semacam “tempat pelarian” untuk membebaskan diri sejenak dari silang sengkarut persoalan pembangunan dimana penulis terkait dengannya dan terlibat didalamnya. Tempat pelarian, meski sejenak, kadang diperlukan untuk bercermin sekaligus mengingatkan diri terhadap berbagai idealisme yang mungkin masih bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki praktik pembangunan itu sendiri Meneruskan apa yang sudah dilakukan sebelumnya membutuhkan kerja keras. Juga, menciptakan kebiasaan yang terus berlanjut dari apa yang sudah dilakukan sebelumnya membutuhkan keteguhan. Itulah perasaan yang dialami penulis ketika harus menerbitkan Opini Opini Tak Bertepi Bagian Kedua, yang notabene merupakan kelanjutan dari buku yang telah diterbitkan tiga tahun sebelumnya. Jarak tiga tahun antara penerbitan buku bagian pertama dan buku bagian kedua membuktikan bahwa ternyata memang tidak mudah untuk selalu rutin memberikan dan menuliskan opini terhadap berbagai persoalan pembangunan yang terjadi. Tetapi, penulis harus menuliskan opininya secara terus menerus. Dan ini memerlukan semacam “kerajinan” serta sedikit konsentrasi. Karena berbagai kesibukan pekerjaan seringkali menguras tenaga, fikiran, dan waktu penulis hingga untuk menuliskan catatan singkat berupa opini kadang membutuhkan sedikit perjuangan. Pun, dunia pekerjaan seringkali juga kadang “melemahkan” keinginan penulis untuk terus menerus menuliskan opininya. Paling tidak, dengan terbitnya buku ini penulis merasa telah mampu “lulus” secara “istiqomah” untuk menyuratkan kegelisahan, keyakinan, dan sikap penulis melalui sebuah opini yang sangat singkat.
Dalam penerbitan buku ini penulis harus mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Himawan Hariyoga, Suprayoga Hadi, Wariki Sutikno, Gunsairi, Samsul Widodo, Rohmad Supriyadi, Kuswiyanto, Moris Nuami, Rinella Tambunan, Dyah Lenggogeni, Rayi Paramita, Alen Ermanita, Jayadi, Toni Waskito, Pudji Nur Hanafi, Sutejo, Wignyo Adiyoso, Iwan Hamka, Trikawan Jati Iswono, Kholid Fathirius, Hendarto, Sartono, Eka Baskara Hadi, Ucok Damenta, Wawan Heryawan, Sawitri, Novi, Rosa, Fatien, Yona, Rayi, Cacha, Syari, Inne, Dhika, Nina, Fitri, Tatik, Yuli, Putri, Endang, Uda Zen, Bang Yen, Mas Antok, Mbak Muji, dan Rani, atas seluruh interaksi kemanusiaan kita selama ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh sahabat, kawan, rekan kerja, mitra kerja, teman-teman daerah, relasi bisnis, keluarga, dan kerabat yang tidak dapat disebutkan satu per satu disini. Akhirnya, penulis ingin mempersembahkan buku ini untuk keempat perempuan yang paling penting dalam kehidupan penulis saat ini: Moetiah Liek Astuti, Sri Wahyuni, Aisha Firdausy Chairunnissa, dan Aziza Firdausy Fauzadha. Barangkali hanya inilah yang bisa penulis berikan sekedar untuk membuktikan bahwa jarak yang terentang jauh antara Jakarta-Bandung-Blitar ternyata masih bisa “mendekatkan” kita semua kepada persoalan-persoalan nyata kehidupan. Buku ini membuktikan bahwa penulis masih bisa memelihara idealisme dan kritisisme yang tersisa. Akhirul kalam, thanks
God, it’s a book!
jalan lembang, menteng, jakarta rabiul awal, 1432 maret, 2011
AGAMA DAN KEMISKINAN: CATATAN KAKI UNTUK PANGERAN CHARLES
Dalam kunjungan ke Indonesia tahun ini, Pangeran Charles memberikan resep yang cukup sulit kita lakukan. Agama dapat (membantu) mengatasi kemiskinan. Demikian resep yang singkat, lugas, dan (lagi-lagi) cukup sulit kita lakukan untuk mengobati “penyakit kemiskinan” yang telanjur menahun di negeri ini. Saya bisa memaklumi pernyataanya. Demikian pula, saya sepenuhnya yakin (dan percaya) bila agama dapat berperan sebagai “panacea” untuk menyelesaikan masalah umat manusia. Termasuk kemiskinan itu sendiri. Masalahnya adalah saya tidak mampu memperoleh “justifikasi empiris” bahwa agama (apapun jenisnya) mampu dan pernah berhasil mengatasi kemiskinan di negeri ini. Kenapa? Karena penyelesaian masalah kemiskinan di negeri ini selama ini cenderung bersifat administratif. Maka wajar bila sejak Orde Baru hingga saat ini terkesan negara terlihat paling dominan dalam menyuarakan, mengkampanyekan, dan menggelontorkan uang untuk membiayai penanggulangan kemiskinan. Peran LSM, perguruan tinggi, dan lembaga agama selama ini relatif kurang terlihat, terdengar, dan terpinggirkan. Berbagai program dan kegiatan khusus maupun yang ”dikhususkan” untuk mengatasi kemiskinan telah dijalankan pemerintah. Berbagai diseminasi, sosialisasi, pelatihan, seminar, dan lokakarya telah dijalankan pemerintah untuk membedah sekaligus menanggulangi masalah kemiskinan. Konsultan, fasilitator, dan kader telah dicetak sedemikian banyaknya hingga semuanya terlibat dan dilibatkan dalam kegiatan penanggulangan kemiskinan. Dan, berbagai buku, majalah, dan buletin telah diterbitkan untuk mengulas sekaligus mengabarkan itu semua kepada publik.
Bila dulu program IDT disebut pemerintah sebagai ”payung” dari semua program penanggulangan kemiskinan. Maka, sekarang program PNPM dianggap pemerintah sebagai ”mangkok” yang akan mewadahi seluruh program penanggulangan kemiskinan. Pendek kata, pemerintah telah, sedang, dan akan terus menjalankan semua upaya untuk mengurangi bahkan (kalau bisa) menghapus kemiskinan dari peta republik ini. Dan itu semua telah menjadi bagian dari catatan statistik administrasi pemerintah secara reguler dari tahun ke tahun. Hingga kini. Lantas? Saya kebingungan mencari-cari peran agama, agamawan, dan lembaga agama didalamnya. Hampir semua program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan dijalankan secara ”positivistik” dan sedikit ”sekular”. Agama hanya dilibatkan secara ”artifisial” sekaligus ”marjinal” melalui pelibatan lembaga, kelompok, atau tokoh agama dalam kegiatan di lapangan. Saya belum pernah mendengar adanya pemanfaatan agama secara sadar dan ”substantif” sebagai ”spirit” untuk menumbuhkan sikap dan aksi ”anti kemiskinan” di masyarakat. Peran zakat dalam tradisi keimanan islam belum sepenuhnya dikonversi dan ditransformasikan kedalam bentuk ”mesin pemotong” lingkaran setan kemiskinan di masyarakat muslim. Fungsi kolekte dalam tradisi keimanan kristiani belum pula diterjemahkan kedalam bentuk media ”pengurangan” jumlah penduduk miskin di kalangan masyarakat kristen. Demikian pula untuk agama lainnya. Padahal Pangeran Charles tahu. Padahal sejarah mencatat bahwa etika protestan telah berhasil menjadi ”elan vital” yang menggerakkan kemajuan kapitalisme Barat. Bahkan Weber, Calvin, dan Bellah pun berteori bahwa etika protestan yang berkembang dari keimanan kristiani telah berhasil menumbuhkan rasionalitas kemajuan sekaligus modernitas peradaban Barat. Hingga kemakmuran pun bisa dicapai. Hingga kemiskinan pun dapat dikurangi. Padahal kita semua tahu. Padahal sejarah mencatat bahwa keimanan terhadap Taurad yang terbukti telah mendorong semangat ”Zionisme” di kalangan masyarakat Yahudi hingga mampu menguasai sistem perekonomian dan keuangan global, berhasil mendirikan negara Israel di tanah Palestina, serta sukses besar menjadikan Amerika Serikat hanya sebagai ”negara boneka” mereka. Dan, statistik dunia pun kesulitan menemukan orang Yahudi miskin dalam jumlah besar.
Padahal kita semua mengerti. Padahal sejarah mencatat bahwa keimanan terhadap ajaran Shinto telah melecut semangat ”samurai” hingga Jepang pun dalam tempo yang relatif singkat mampu bangkit dari trauma ”pecundang perang” menjadi ”pemenang persaingan” perekonomian global. Hingga, sejarah mencatat bahwa sebagai negara yang ”miskin sumberdaya alam” Jepang termasuk negara yang sangat kaya secara ekonomis dan finansial. Padahal kita semua faham. Padahal sejarah mencatat bahwa setidaknya keimanan terhadap ajaran ”agama” Konghucu telah mendorong China untuk membangkitkan ”the croucing tiger and the hidden dragon” nya dari tidur panjangnya. Hingga Konfusius telah menjadi ”sumber ilham” dan ”mata air kebajikan” yang - diakui atau tidak - telah dikawinkan dengan semangat komunisme secara tepat oleh Mao dan Deng untuk mewujudkan ”lompatan kedepan”, ”revolusi kebudayaan”, dan ”perjalanan ke selatan” yang hikmahnya secara agregat telah berhasil mendongkrak kemajuan ekonomi China yang teramat fantastis dan spektakuler. Dan, secara sosial telah berhasil mengurangi kemiskinan dan kelaparan dalam hitungan angka yang signifikan. Padahal Pangeran Charles dan kita pun tahu, mengerti, dan faham. Bahwa semua agama membenci kemiskinan. Kemiskinan akan menghasilkan kefakiran. Dan kefakiran akan lebih dekat dengan kekafiran. Dan kekafiran berarti pengingkaran terhadap keimanan. Karena itulah semua agama memusuhi kemiskinan. Karenanya, kemiskinan harus diperangi. Karenanya, kemakmuran harus dibagi. Hingga keimanan dapat terus terjaga, merata, dan semakin rasional. Yang kita semua dan (tentu saja) Pangeran Charles tidak tahu, tidak mengerti, dan tidak faham adalah fakta bahwa agama, agamawan, dan lembaga agama di negeri ini masih teramat sibuk dan menyibukkan diri dengan hiruk pikuk politik dan partai politik. Carut marut tentang teroris dan terorisme. Silang sengkarut tentang radikalisme dan fundamentalisme. Berdebat hebat tentang keimanan yang ”benar”. Berbantahan tentang halal haramnya makanan. Berdiskusi hingga nyeri tentang poligami. Berwacana tentang bisa tidaknya perempuan jadi presiden.
Dalam konteks kemiskinan, agama, agamawan, dan lembaga agama di negeri ini mungkin sedang kena kutukan Shakespeare hingga sibuk dengan ”much ado about nothing” dalam semua hal kecuali perihal kemiskinan. Karena, agama, agamawan, dan lembaga agama di negeri telanjur dan sudah ”kadung” memaknai kemiskinan hanya sekedar ”exercise” kesabaran dan melabeli kemakmuran cuma sekedar ”proxy” rasa bersyukur. Tanpa pernah secara serius mendekatkan, menyatukan, menginteraksikan keduanya secara utuh. Apalagi menginternalisasikan keduanya secara penuh di masyarakat. Yang saya jelas tahu, akhir-akhir ini agama, agamawan, dan lembaga agama di negeri sangat sibuk dan disibukkan dengan pornografi. Undang-undang yang mengatur kesusilaan telah menjadi komoditas yang teramat ”sexy” yang telah menjadi urusan agama, agamawan, dan lembaga agama di Indonesia. Dan, Pangeran Charles pun perlu diberitahu bahwa dalam hari-hari kedepan urusan ”kelamin” di negeri ini jauh teramat vital, politis, dan strategis ketimbang urusan ”perut” yang membuat kita semua lapar. Menteng, Jakarta, November 2008
KULIAH MORAL DARI TUAN BARROSO
Beberapa waktu yang lalu dalam pertemuan tahunan Asia-Eropa (ASEM) di Beijing, Presiden Komisi Eropa, Jose Manuel Barroso meminta bantuan khusus dari Jepang, China, dan India untuk bersama-sama Eropa membantu pemulihan krisis finansial Amerika Serikat. Barroso bahkan menggarisbawahi bahwa inilah saatnya momentum bagi Asia untuk memberikan kontribusi dan menunjukkan tanggung jawabnya dalam membantu meringankan dampak krisis finansial secara global. Dengan sedikit mengancam, Barroso bahkan mengingatkan bahwa hanya tersedia dua pilihan bagi Asia. Kita bisa berenang bersama. Atau kita bisa tenggelam bersama. Pernyataan Barroso secara jelas diungkapkan pula oleh Presiden Uni Eropa, Nicolas Sarkozy yang sangat serius berharap agar negaranegara kaya di Asia memberikan bantuan dan dukungan dalam mengatasi dampak dari krisis finansial yang terjadi di Amerika Serikat. Pada titik inilah sebenarnya seorang dengan kapasitas setinggi Barroso seharusnya terlebih dahulu membaca sejarah. Jauh sebelum memberikan kuliah tentang moralitas dan tanggung jawab kepada bangsa Asia. Atau barangkali Barroso sengaja melupakan sejarah sehingga lupa bahwa sepuluh tahun yang lalu Asia Tenggara juga menderita akibat krisis moneter yang merupakan dampak dari permainan ”domino effect” seorang Soros. Saat itu hampir tidak ada seruan dan himbuan moral ( moral suasion) dari negara Barat tentang pentingnya menolong dan membantu negara-negara Asia Tenggara untuk keluar dari krisis. Yang terjadi malahan Amerika Serikat dan Eropa Barat ”menari bersama-sama” dan ”berpesta pora” diatas penderitaan rakyat di kawasan Asia Tenggara. Betapa tidak. Setelah krisis kita mencatat adanya ”perpindahan paksa” kepemilikan berbagai lembaga bisnis dan keuangan di berbagai negara Asia Tenggara ke tangan-tangan lembaga bisnis dan keuangan Barat. Dan selanjutnya beberapa negara di Asia Tenggara dengan terpaksa antri menjadi pasien IMF. Setelah itu, negara-negara di Asia Tenggara dengan sangat menyakitkan harus pelan-pelan muncul ke permukaan agar tidak terus tenggelam di kubangan krisis moneter. Hingga kini.
Pelajaran sekaligus pengalaman (lessons learned) yang dapat diambil hikmahnya dari krisis moneter di kawasan Asia Tenggara adalah pertama, liar dan tidak terkontrolnya perilaku spekulasi kalangan swasta sehingga terjadi ”moral hazard” yang berlebihan di pasar; kedua, lemahnya peran dan fungsi pemerintah dalam mendeteksi kemungkinan terjadinya krisis moneter. Pelajaran pertama biasa dikenal dengan kegagalan pasar (market failure), sementara pelajaran kedua biasa disebut sebagai kegagalan pemerintah (government failure). Disaat kedua fenomena tersebut terjadi secara bersamaan maka hukum besi ekonomi akan memberikan hukuman yang setimpal. Dan, krisis moneter adalah ganjaran yang diberikan perekonomian terhadap keduanya. Dan, sisa-sisa dampaknya masih bisa kita rasakan hingga saat ini. Dan, tentunya ini sangat menyakitkan bagi siapa saja. Kegagalan pasar (market failure) sekaligus kegagalan pemerintah (government failure) barangkali itulah yang sedang terjadi di Amerika Serikat. Betapa tidak. Sebagai pionir kapitalisme modern - yang sekarang berubah bentuk menjadi neo liberalisme - Amerika Serikat tengah menuju ke tubir kehancuran. Mimpi-mimpi tentang kedigdayaan kapitalisme dan pasar bebas yang selama ini diekspor secara global saat ini tengah kualat kepada postulat ”supply and demand” yang sebenarnya. Kredit macet di sektor perumahan dan kekacuan perbankan telah membangkrutkan raksasa-raksasa lembaga keuangan Amerika Serikat seperti Lehman Brothers, Morgan Stanley, Merril Lynch, dan Goldman Sachs. Ikon-ikon kapitalisme Amerika Serikat lainnya seperti Chrysler, Ford, Xerox, Coca-Cola, Yahoo, Merck & Co, Citi Corp, dan Bank of America terpaksa memecat ribuan karyawannya. Dan setelah itu kita akan melihat barisan pengangguran yang panjang dan mengular antri mendapatkan jatah ”subsidi langsung tunai”. Dampaknya jelas. Hampir semua bursa saham dunia pun lumpuh. Hampir semua indeks harga saham dunia pun merosot. Hasilnya jelas. Bisa dipastikan hampir semua spekulan dunia yang kapitalistik - seperti Greco dalam film Wall Street - saat ini menjadi demikian tersiksa, merasa bodoh, dan tak lagi punya nyali untuk menyombongkan diri. Bahkan, seorang Alan Greenspan - mantan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat selama hampir 20 tahun - terpaksa mengakui di depan interogasi Kongres bahwa krisis yang terjadi di Amerika Serikat saat ini telah membongkar cacat pemikiran ekonomi yang diyakini, dipercayai, dan dianutnya seumur hidupnya. Greenspan bahkan mengalami ”shock” yang
teramat hebat serta mengalami krisis ”ketidakpercayaan” yang akut terhadap keampuhan sistem ekonomi pasar bebas. Pengakuan jujur seorang Greenspan di depan Konggres tak ubahnya seperti ”pengakuan dosa” dari seorang yang dikenal sebagai ”ikon” sistem ekonomi pasar bebas yang sebelumnya sangat dihormati di seluruh dunia. Di saat yang sama. Pemerintah Amerika Serikat saat ini juga tengah mengalami kebangkrutan finansial, kelumpuhan administratif, sekaligus kehabisan legitimasi dihadapan rakyatnya sendiri. Mimpi-mimpi tentang ”polisi dunia” yang memiliki kekuatan ”preemptive strike” untuk memerangi terorisme internasional demi keamanan dan demokrasi ternyata berbuah menjadi semacam ”nightmare” yang berkepanjangan di Afganistan dan Irak. Alih-alih menemukan senjata pemusnah massal dan berhasil menggantung Osama Bin Laden, Bush nyata-nyata telah membangkrutkan keuangan negara lewat pembiayaan ”war economic” yang tak jelas kapan berakhirnya. Pembelotan Colin Powell yang dengan lugas mengakui kesalahan masa lalunya dan secara terang benderang mendukung Barrack Obama semakin meyakinkan dunia bahwa Bush tidak hanya seorang pemimpin yang gagal tetapi juga sekaligus seorang pembohong global. Pada titik inilah sekali lagi seorang dengan kapasitas setinggi Barroso seharusnya mengerti bahwa akar dari semua krisis yang terjadi saat ini sebenarnya terletak kepada sifat keserakahan yang dibarengi dengan sifat spekulatif yang selama ini menjadi sifat dasar dan naluri dasar para kapitalis Barat dalam menjalankan kegiatan ekonomi produktifnya di tingkat global. Dan itu semua terwujud dalam praktik-praktik bisnis dan ekonomi yang selalu mendistorsi pasar global sehingga pembentukan harga di tingkat global selalu menguntungkan mereka sekaligus merugikan konsumen dan produsen dari negara-negara sedang berkembang. Dan, anehnya pemerintahan di negara-negara Barat sepertinya juga turut berkontribusi memelihara bahkan melanggengkan sistem perekonomian global yang timpang dan tidak adil seperti yang telah dihasilkan dalam dokumen Washington Consensus beberapa tahun yang lalu. Alhasil, bila ”output” dari kombinasi keserakahan dan spekulasi terlampau berlebihan di pasar maka secara teoritis dan empiris hukum ekonomi akan menertibkan semuanya hingga pasar kembali normal. Dan, kali ini hukuman itu bernama krisis finansial di Amerika Serikat yang pada gilirannya telah berdampak kepada Eropa.
Pada titik inilah (sekali lagi) seorang Barroso seharusnya mengerti bahwa keberhasilan penggalangan komitmen, bantuan, dan dana dari negara-negara Asia hanyalah sekedar ”tambal sulam” penyelesaian jangka pendek terhadap masalah jangka panjang yang kelewat serius dan sangat elementer ini. Alangkah eloknya apabila ”Tuan Barroso” terlebih dahulu introspeksi, mengaca diri, dan membenahi kerusakan moral yang dahsyat, yang selama ini menghinggapi pelaku bisnis dan pemerintah di negara-negara Barat sebelum menguliahi kita semua tentang moralitas pentingnya saling tolong menolong secara global. Karena hanya dengan cara itulah kita bisa mencegah karamnya perekonomian dunia secara bersama-sama. Sudikah Tuan? Menteng, Jakarta, November 2008
BOGOTA: SEBUAH NAMA, SEBUAH CERITA
Sama seperti Jakarta. Bogota adalah sebuah ibukota. Bahkan lebih parah, Bogota adalah ibukota Kolumbia. Negara yang sudah telanjur dan “kadung” dicap dan punya stigma sebagai negara pengekspor narkoba. Sekaligus markas Medellin Cartel dan Cali Mafia. Kartel dan mafia kokain yang sangat kejam dan tentu saja ganas. Pablo Emilio Escobar Gaviria dan Gilberto Rodriguez-Orejuela adalah nama-nama yang paling ditakuti dan momok yang menakutkan bagi siapa saja di Kolumbia. Sekaligus nama-nama yang menjadi “most wanted” dan paling diincar oleh para agen Drug Enforcement Administration. Untuk ditangkap atau kalau perlu dibunuh. Nama-nama yang menjadikan kekerasan pun berkembang biak, beranak pinak dan bercucuan di seantero Kolumbia. Hingga menjadi kebiasaan, keniscayaan, bahkan kepercayaan. Sama seperti Jakarta. Tahun 1998 reformasi melanda Bogota. Bedanya, Enrique Penalosa yang memulainya. Seorang calon walikota yang maju dalam “pilkada” dengan janji tentang perubahan. Disaat warga Bogota sudah “tidak percaya”, apatis, skeptis, sekaligus pesimis bahwa kotanya bisa berubah dengan baik. Bahkan grafik “ketidakpercayaan” warganya pernah menyentuh titik nadir. Hingga hanya sekitar 15 persen warga yang masih “percaya” dan menaruh harapan sekaligus punya “mimpi” tentang perubahan yang lebih baik. Sebuah fakta yang hampir sama ketika Bogota dipimpin Jaime Castro. Walikota yang menjabat pada awal tahun 90-an. Hampir 70 persen warga tidak percaya tentang perubahan. Dan itu berarti sekitar 15 persen lagi warga sudah tidak peduli lagi apakah Bogota bisa berubah. Menjadi lebih baik atau malah tambah buruk. Kalau di Jakarta barangkali orang sudah teriak: emang gue pikirin!
Kota ini sudah amburadul. Tak akan ada seorang pun yang mampu memperbaiknya. Demikian kurang lebih reaksi warga kota terhadap Penalosa. Ketika ia menyebarkan “leaflet” kampanyenya. Tapi Penalosa tidak mundur. Tidak pula menyerah. Visinya cuma satu. Merubah Bogota menjadi ibukota yang manusiawi. Yang menghargai harkat hidup dan martabat warganya sendiri. Fondasinya pun juga cuma satu. Demokrasi. Tapi ditangan Penalosa demokrasi menjadi sebuah kebajikan. Demokrasi tidak hanya melulu persoalan teknis akomodasi suara mayoritas dalam parlemen. Bukan pula sekedar “riuh rendah” voting yang disuarakan politisi. Lebih jauh dari itu, demokrasi dimaknai sebagai terwujudnya kepentingan publik diatas kepentingan perorangan. Atau bahkan “interest” kelompok. Demokrasi adalah benar-benar sebuah “prevalensi” dari azimat “vox populi vox dei” yang membumi sehari-hari. Penalosa akhirnya terpilih sudah. Sebuah nama telah terbilang. Sebuah cerita mulai berkembang. Reformasi lahan kota (urban land reform) adalah tonggak awal. Sekaligus penanda perubahan baru. Selanjutnya adalah “pemetaan” kawasan permukiman kumuh liar dan ilegal. Dengan populasi hampir 7 juta. Dengan luas wilayah sekitar 34 ribu hektar. Dengan kepadatan penduduk sekitar 210 jiwa per hektar. Bisa dibayangkan apa jadinya Bogota yang separuh wilayahnya adalah permukiman ilegal. Bisa dibayangkan separuh wilayahnya pasti dihuni kaum miskin. Bahkan jauh lebih primitif ketimbang Jakarta. Bogota masih memiliki banyak jalan tanah ditengah-tengah kota. Penalosa pun melanjutkan proyek reformasinya. Ideanya sederhana. Adanya subsidi dari kaum kaya kepada kaum miskin. Sebuah cara ekonomis untuk “meredistribusi” kesejahteraan. Bogota pun memiliki peta sebaran tingkat pendapatan. Dari yang paling “jelata” hingga yang paling “berpunya”. Lalu. Penalosa “memaksa” alih fungsi lahan di kawasan elit menjadi ruang publik untuk semua warganya. Bermula dari sebuah taman terbuka yang dibangun di kawasan “mahal”. Berlanjut kepada pembangunan sekolah, perpustakan umum, dan tempat penitipan anak di tengah-tengah kawasan kumuh. Semuanya dengan standar modern dan “selera” Eropa. Lengkap pula dengan area bermain anak-anak. Tak lupa fasilitas komputer dan akses internet untuk pengunjung perpustakaan. Masih pula ditambah dengan tersedianya “toilet” yang bersih, higenis, dan cukup mewah untuk anak-anak miskin. Hingga mereka pun sejak dini sudah belajar “hidup bersih dan sehat” meski masih tinggal di rumah kumuh.
Setelah itu. Kemacetan menjadi sasaran berikutnya. Gagasan Penalosa sangat radikal. Trotoar harus dibangun bagus, rata, dan cukup lebar di seluruh area. Meski masih banyak jalan tanah yang berlubang dan becek, trotoar harus bagus. Moda transportasi publik digalakkan dan diberi “ruang” seluas-luasnya. Sementara, kebebasan mobil pribadi dibatasi. Darisinilah “busway” akhirnya menjadi pilihan. Penalosa memaksa “perpindahan moda transportasi” dari moda privat ke moda publik. Dan “busway” pun menjangkau seluruh wilayah kota. Tanpa kecuali. Jalan untuk “busway” bahkan memiliki porsi ruas yang jauh lebih lebar ketimbang ruas jalan untuk mobil pribadi. Hingga warga menengah atas Bogota mulai rajin naik bis kota. Untuk keperluan bekerja atau apa saja. Bagi Bogota, Busway tak hanya sebuah moda semata. Busway pun berkembang menjadi semacam “mantra” kontemporer untuk seluruh kasta. Hasilnya. Kemacetan menurun drastis. Salah satu problematika klasik ibukota pun terpecahkan. Efisiensi lalu lintas meningkat. Intensitas mobilitas warga jadi semakin tinggi. Sebaliknya, “arogansi” warga kaya mulai berkurang. Dan, warga miskin pun mulai “pe-de”. Jalan raya Bogota pun menjadi ruang interaksi yang akrab, yang penuh dengan emansipasi, toleransi, sekaligus menjadi panggung “egalitarianisme” yang membanggakan seluruh warga. Kesuksesan “busway” menular kepada tumbuhnya moda transportasi yang lain. Penalosa kemudian mendorong warganya bersepeda. Dan jalur sepeda sepanjang 300 kilometer pun dibangun hingga mengelilingi dan menjangkau seluruh kawasan di Bogota. Sebuah jalur sepeda yang konon terpanjang di dunia untuk ukuran sebuah ibukota. Dan juga aman sekaligus nyaman. Sepeda dan bersepeda kemudian menjadi “ikon” hidup sehat sekaligus simbol baru bagi tumbuhnya kesetaraan warga kota. Penalosa belum berhenti sampai disini. Sepanjang jalur sepeda dan trotoar yang lebar lantas ditanami pohon yang rindang. Darisinilah tercipta jalur sepeda “Juan Amarillo Greenway” yang rapi, bersih, dan rindang. Dengan ketinggian sekitar 2.600 meter diatas permukaan laut, Bogota kini tak hanya semakin hijau tapi juga semakin sejuk. Produksi oksigen meningkat dan polusi udara berkurang tajam.
Penalosa (lagi-lagi) belum mau berhenti. Ia terus “berlanjut” dan melanjutkan reformasinya. Sebuah “beleid” tentang pembatasan penggunaan mobil disusun. Hasilnya luar biasa. Referendum warga kota yang didukung hampir 70 persen penduduk menyepakati bahwa hari Sabtu pertama di bulan Februari adalah hari bebas kendaraan bermotor (car free day) untuk seluruh wilayah kota. Dampaknya fantantis. Hingga “target” pun kemudian dipatok. Tahun 2015 disepakati seluruh warga kota sebagai tahun awal untuk tidak menggunakan mobil pada jam 6-9 pagi dan antara jam 16.30 sore hingga jam 10.30 malam setiap hari di seluruh jalan raya Bogota. Dan pada tahun 2015 itu semua berlaku untuk setiap hari dan setiap bulan. Tak hanya di hari Sabtu. Tak cuma di bulan Februari. Penalosa (sekali lagi) belum berhenti. Atas nama keindahan seluruh papan reklame dan “display” iklan musti ditata, dibatasi, sekaligus diatur ulang. Papan reklame di kota besar biasanya tumbuh liar, membuncah, mewabah, merusak wajah dan estetika sebuah kota. Jalanan kota besar akhirnya dipenuhi dan disesaki “pesan-pesan” kapitalisme yang masif dan massal. Penalosa sadar bahwa terlampau banyak papan reklame di Bogota ternyata semakin meningkatkan konsumsi yang “memboroskan” kehidupan sekaligus “menggerogoti” pendapatan warganya. Papan reklame yang tumbuh subur dan berkembang tak keruan akhirnya hanya memicu warga Bogota menjadi semakin konsumtif kepada hal-hal yang tidak perlu. Untuk sekian kalinya, Penalosa melakukan hal yang “benar” dengan cara yang “tepat”. Bogota pun menemukan kembali keindahannya. Sebuah kota yang penuh “etika” dan “estetika”. Serta terbebas dari beban dan jebakan “komersialisme” yang binal sekaligus banal. Penalosa (kali ini) akhirnya berhenti. Tapi Bogota tak mau hanya sampai disini. Antanas Mockus melanjutkan sekaligus memelihara perubahan yang telah terjadi. Selama tiga tahun periode pemerintahan Mockus tingkat kepercayaan warga Bogota selalu diatas 40 persen. Sementara, tingkat ketidakpercayaan warga justru semakin menurun mendekati 20 persen. Artinya, sekitar 80 persen warga Bogota semakin percaya kepada pemerintah dan yakin kepada hasil perubahan yang sedang dan akan terus dijalankan. Pada titik inilah seorang Penalosa telah memberikan “tongkat estafet” terbaiknya. Tidak hanya kepada Mockus dan calon walikota baru nantinya. Namun yang terpenting kepada seluruh warga Bogota.
Sampai disini saya jadi teringat kepada Bang Ali. Berikut sumbangan dan karya besarnya untuk Jakarta. Dua puluh tahun sebelum Penalosa, Bang Ali telah melakukan hal yang serupa. Bahkan lebih dahsyat. Ditangan Bang Ali Jakarta berganti wajah dari sebuah “kampung besar” menjadi metropolitan yang modern sekaligus menyenangkan bagi siapa saja. Kampung kumuh ditata dan dibenahi lewat proyek Muhammad Hoesni Thamrin. Pedagang tradisional mendapatkan rezekinya di proyek Senen. ABG bisa bebas bermainmain disetiap Gelanggang Remaja. Seniman memperoleh panggungnya di Taman Ismail Marzuki dan memiliki lembaga terhormat di Dewan Kesenian Jakarta. Aktivis hukum dan keadilan mendapatkan Lembaga Bantuan Hukum, yang bahkan boleh dan seringkali menggugat Bang Ali sebagai gubernur. Pelacur boleh mangkal dan beroperasi dengan bebas dan sehat di Kramat Tunggak. Penjudi pun boleh berpesta di Copacabana. Dan seterusnya. Dan semuanya mendapatkan bagian masing-masing. Pendeknya, ditangan Bang Ali Jakarta benar-benar menjadi “city for all”. Setelah itu. Semuanya berhenti. Semuanya mandeg. Semuanya tak berlanjut. Pengganti Bang Ali hanyalah antrian “gubernur” yang hanya bisa memerintah dengan setengah hati. Tidak dengan visi yang berisi. Tidak pula dengan misi yang berani. Pun, tak memberikan kepemimpinan yang lugas dan keteladanan yang jelas. Setelah itu. Jakarta kembali dikelola dengan “tambal sulam” dan pelan-pelan menjadi kampungan lagi. Disinilah barangkali letak bedanya dengan Bogota. Ironisnya Jakarta pun hanya bisa menjadi “follower” yang tanggung. Bang Yos hanya mampu mencontoh “busway” tanpa sekalipun mengadopsi “spirit” baru pembangunan kota yang tuntas dan komplit a la Penalosa. Hingga “busway” terpeleset jadi “bus wae” dan “monorail” terpeleset jadi “mana rel” nya. Hingga kita lupa bahwa Bang Foke pernah berjanji membuat “Jakarta Untuk Semua”. Hingga kita semua mengamini dalam hati bahwa Jakarta memang untuk “semua orang” yang punya “uang dan kekuasaan”. Jadi, kalau anda tak punya keduanya sebaiknya cepat-cepat keluar dari Jakarta sebelum kena operasi yustisi, diusir Satpol PP, dan disuruh menyanyikan lagu ....... siapa suruh datang Jakarta....siapa suruh datang
Jakarta.....sendiri susah...sendiri rasa.....
Menteng, Jakarta, Desember 2008
OTONOMI DAERAH: DENDAM YANG BERKEPANJANGAN, KERINDUAN YANG TERAMAT DALAM
Dalam sebuah esai yang berjudul “Bersama Sutardji Calzoum Bachri” sastrawan Taufik Ikram Jamil menulis demikian: … kenyataan bahwa Riau telah menyumbangkan emas
hitam (minyak) dan bahasanya kepada Indonesia, tapi hampir tak ada yang diterima saudara-saudaramu di Riau dari Indonesia. Selanjutnya, Taufik menulis: … sesuatu yang bertolak belakang dengan kepongahan Spanyol yang mengambil emas dari Amerika Latin, tetapi Amerika Latin memperoleh bahasa dari Spanyol. Barangkali Taufik secara eksplisit ingin mengatakan bahwa pengorbanan yang telah diberikan daerah (Riau) tidak sebanding dengan yang diberikan pusat (Indonesia) kepada daerah (Riau). Perasaan yang kurang lebih sama diungkapkan pula oleh Amos Yap yang menulis salah satu bab dalam buku “Bakti Pamong Praja Papua di Era Transisi Kekuasaan Belanda ke Indonesia” karangan Leontine E. Visser dan Amapon Jos Marey. Dalam bab yang berjudul “Merasa Bersalah Membantu Freeport” Amos Yap - seorang bekas Kepala Distrik Mimika menulis demikian: … pada waktu Freeport masuk Mimika. Saya banyak menolong
Freeport. Saya mengadakan pendekatan dengan masyarakat supaya mereka bisa menerima Freeport. Namun, sekarang saya merasa ikut bersalah kalau mendengar dan melihat apa yang dialami masyarakat. Hampir tidak ada manfaat yang didapat masyarakat. Malah mereka lebih banyak menderita, lingkungan hidup mereka menjadi rusak .
Perasaan Taufik dan Amos sama. Pun, keduanya merasakan adanya ketidakadilan. Daerah memberi terlalu banyak tetapi terlampau sedikit menerima. Sementara pusat kebanyakan mengambil tetapi terlampau pelit memberi. Karenanya ada ketidakseimbangan. Dan itu adalah ketimpangan. Sejarah mencatat bahwa Riau, Papua, Aceh, dan Kalimantan Timur selama rezim Orde Baru memang menjadi semacam ”sapi perahan” pemerintah pusat.
Keempatnya menjadi semacam ”lokus” dan ”fokus” dimana ”fulus” musti ditambang dan dihasilkan. Kemudian dari sana mengalirlah ”rupiah” dan ”dollar” hingga memenuhi keuangan negara dan pundi-pundi kekayaan perusahaan multinasional. Keempatnya harus menjadi ”bahan bakar” yang menghidupkan mesin pertumbuhan ekonomi dan kemajuan negara. Sekaligus, jadi ”tumbal” pembangunan yang harus sabar dengan kemiskinan, ketertinggalan, kebodohan, bahkan operasi militer. Selama hampir tiga dekade. Adalah reformasi yang merubah semuanya. Sentralisasi menjadi tak laku lagi. Pendekatan sentralistik menjadi berdosa untuk dilakukan. Desentralisasi lalu menjadi urgensi. Otonomi daerah lantas menjadi gairah. Tuntutan pun membuncah. Menuntut desentralisasi yang lebih cepat. Menuntut otonomi yang lebih luas. Bahkan mengancam untuk merdeka sekalian. Pemerintah pusat lantas meresponnya dengan mengeluarkan beleid tentang perimbangan keuangan. Menciptakan formula dana bagi hasil. Memberikan otonomi khusus. Meski hanya untuk Aceh dan Papua. Memberikan keleluasaan pergantian Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam. Memberikan kebebasan perubahan Irian Jaya menjadi Papua. Bahkan atas nama otonomi khusus di Aceh (eh..NAD) pun masyarakat “bolehboleh saja” mendirikan partai lokal. Bahkan Presiden Gus Dur memberikan “ijin” pengibaran bendera OPM bersama-sama dengan merah putih. Singkatnya, reformasi telah menumbuhkan ”lokalisasi” di banyak daerah. Daerah semakin bersemangat. Hingga akhirnya ”kebablasan”. Semua yang berbau ”lokal” menjadi semakin berharga. Semua yang berlabel ”nasional” tak lagi sakral. Yang terjadi adalah agregasi dendam daerah kepada pusat. Karenanya, daerah lantas balas dendam. Wajar bila Syaukani dengan gagah membangun ”golden gate” seraya membayangkan kelak Tenggarong akan berubah menjadi San Fransisco. Wajar pula bila bupati dan walikota memungut pajak dan retribusi seenaknya sambil membayangkan sebagai saudagar baru yang melimpah hartanya. Provinsi lantas ”dianggap sepi” dan tak lagi ”punya gigi” oleh kabupaten dan kota. Hingga, gubernur pun tak perlu sering-sering melakukan ”tour of duty” dan ”sidak” ke daerah-daerah. Malah, kabupaten dan kota tak lagi menganggap pusat sebagai yang ”terhebat”. Hingga, koordinasi menjadi barang basi. Hingga, hirarki menjadi mati suri. Karenanya, yang hilang adalah ”musyawarah”. Dan, yang muncul adalah ”rasa marah”.
Perasaan sebaliknya terjadi di pusat. Sebuah rasa rindu yang teramat dalam. Kita rindu untuk kembali ”mengatur” daerah. Untuk kembali “menasehati” daerah. Untuk kembali ”mendikte” daerah. Untuk kembali ”memberi petunjuk” kepada daerah. Untuk kembali memberikan ”arahan” kepada daerah. Untuk kembali dianggap sebagai ”orang pusat” yang harus dilayani orang daerah. Untuk kembali diperlakukan sebagai ”orang penting” yang harus diperhitungkan dan dilobi orang daerah. Untuk kembali dianggap sebagai ”orang pintar” yang harus didengar orang daerah. Dan masih banyak lagi sederet ”kerinduan” yang masih kita pendam. Karena daerah menjadi ”liar” tak ketulungan. Kita pun kembali ”gatal” untuk ”menertibkan” mereka. Karenanya, berbagai regulasi membengkak dan menjadi ”boom”. Karena daerah menjadi ”sakit” tak keruan. Kita pun kembali ”demam” memberikan ”resep” untuk menyehatkan mereka. Atas nama kerinduan kita mencatat tumbuh dan berkembangnya kebijakan dan regulasi serta beranak pinaknya satu aturan hingga menjadi ”anak”, ”cucu”, dan ”cicit” aturan turunannya. Undang-undang beranak menjadi ”peraturan” bercucuan menjadi ”keputusan” bercicitan menjadi ”surat edaran” hingga menjadi belantara yang rimbun. Pada titik inilah saya teringat nasehat Profesor Remi Proudhome saat kami terlibat dalam sebuah diskusi akrab di University of Paris beberapa tahun lalu. Profesor Remi mengatakan bahwa sentralisasi dan desentralisasi bahkan otonomi hanyalah sebuah ”tools” semata untuk mengelola kompleksitas masalah publik hingga semua persoalan menjadi jelas dan terang benderang untuk dipecahkan satu per satu. Menurutnya, desentralisasi bukanlah ”antitesis” sentralisasi. Desentralisasi bukan pula semacam ”deus ex machina” yang tiba-tiba mampu menyelamatkan sebuah krisis. Pun, tidak juga seperti ”panacea” yang bisa mengobati dan menyembuhkan persoalan yang kronis dengan seketika dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Sebaliknya, sentralisasi tak harus identik dengan ”konsentrasi” kekuasaan. Tak mesti sama dengan ”kekakuan” birokrasi. Pun, tak selalu berarti ”matinya” aspirasi daerah. Sentralisasi dan desentralisasi pada akhirnya membutuhkan niat baik dan kebajikan yang tulus. Tak sekedar butuh kebijakan. Tak melulu perlu peraturan. Tapi juga butuh kedewasaan. Tapi juga perlu akal sehat. Tanpa itu semua sentralisasi dan desentralisasi hanyalah ilusi.
Karenanya, biarlah daerah melampiaskan ”dendam” kepada ”kesumat” nya. Karenanya, biarlah pusat menuntaskan ”rindu” kepada ”kangen”nya. Hingga semuanya bertemu pada satu titik ”silaturahmi” yang tulus, akrab, masuk akal sekaligus sehat. Hingga pada akhirnya desentralisasi akan dimaknai sebagai upaya ”meringankan beban” pusat dengan membagi dan melimpahkan sebagian kekuasaan dan kewenangannya kepada daerah supaya semua ”urusan” cepat diurusi dan benar-benar diurus dengan tepat. Hingga pada akhirnya otonomi daerah akan difahami sebagai ”penyerahan amanat” kepada daerah untuk mengurus ”dirinya” sendiri dengan lebih baik dan lebih dewasa. Bila ini yang terjadi maka pusat semakin ”sehat” dan daerah semakin ”bergairah” dan masyarakat semakin bermartabat. Lahir dan batin. Bila tidak. Rasa-rasanya kita akan terus mencatat keduanya dalam sebuah kisah pertarungan rindu dendam yang berkepanjangan, yang teramat melelahkan untuk diikuti akhir ceritanya. Wallahu alam bissawab. Menteng, Jakarta, Desember 2008
OBAMA, AMERIKA, DAN REKAYASA
Mulai Februari 2009 kita akan mulai mencatat sebuah rekayasa baru. Sebuah idea dari Obama untuk Amerika. Sebuah solusi buat mengikis stagnasi. Sebuah “breakthrough” untuk “breaking the ice” persoalan krisis. Sebuah keputusan berani untuk membuat Amerika berjaya kembali. Sekaligus langkah tepat untuk mendorong ekonomi kembali sehat. Investasi pemerintah secara masif untuk membangun infrastruktur secara besarbesaran pula. Itulah yang akan ditawarkan Obama. Dan pasar telah menyambutnya. Dan pasar kembali menggeliat dan perlahan merangkak keluar dari tubir kegagalannya (market failure). Sebuah sinyal yang genial dari sektor riel untuk kebangkitan sektor finansial. Sekaligus “message” yang lugas untuk pasar global agar segera bergegas. Bursa dunia mulai bersuara. Indeks tak lagi mandeg. Segera saja kita teringat kepada “big push” a la Amerika selama periode 50-an. Strategi yang cerdas, yang terbukti menghasilkan “economic boom” sekaligus memakmurkan warga Amerika hingga lebih dari dua dasawarsa lamanya. Saya yakin Obama pasti membaca Keynes. Paling tidak dikelilingi dan diberi nasehat ekonom-ekonom Keynesian. Hingga dengan yakin berusaha memecahkan problema ekonomi jangka pendek dengan solusi pendek pula. Pengeluaran pemerintah yang tepat (smart expenditure). Membuang yang tak perlu. Menghemat yang tak mendesak. Merubah dari “warfare economic” menjadi “welfare economic”. Mengkonversi “senjata” menjadi “prasarana”. Mengurangi brigade “pasukan” di negeri orang dan menciptakan barisan “pekerja” baru di negeri sendiri. Ketika daya beli manjadi lumpuh maka “demand” harus ditingkatkan sehingga “power” ekonomi rakyat akan kembali tumbuh hingga mampu meramaikan pasar.
Saya percaya Obama pasti tak mau percaya (lagi) dengan postulat J.B. Say. Tak selamanya “supply creates its own demand” secara otomatis dan cepat. Obama pasti akan membalik rumus yang senantiasa dipegang kuat ekonom Neo Klasik. Ada saatnya “demand stimulates the new supply”. Karenanya, pemerintah musti turun tangan. Karenanya, pemerintah tak selamanya cukup jadi “wacthdog” untuk sekedar “mewasiti” jalannya permainan bisnis dan ekonomi. Obama pasti bukanlah seorang “minimalis” seperti Reagan. Yang memotong habis peran pemerintah dan menyerahkan persoalan kemakmuran sepenuhnya kepada berjalannya mekanisme pasar (invisible hand). Ditangan Reagan, pemerintah hanyalah fasilitator dan regulator yang sekedar menciptakan “environment” untuk menggerakkan mesin pertumbuhan “military industrial complex” Amerika dan selanjutnya mengekspor ke seluruh dunia sebagai komoditas yang harus dikonsumsi secara global. Bagi Reagan, pemerintah hanyalah “bottle neck” yang mengganggu bekerjanya pasar. Karenanya, perannya harus diminimalkan. Obama pasti bukan pula seorang “maksimalis” seperti Bush. Yang memboroskan defisit anggaran untuk membiayai “dendam” terhadap “Saddam”. Yang membiayai “nafsu perang” terhadap teroris dan terorisme global (baca: timur tengah). Yang membiayai “ilusi” sebagai “juru selamat” bagi demokrasi dan peradaban barat. Hingga keblinger dan lupa dengan para “teroris kapitalis”, “mafia ekonomika”, dan “berandal finansial” yang justru beranak pinak berkembang biak dan terbukti telah menciptakan teror dan horor yang menakutkan terhadap penggerogotan kesejahteraan rakyat di negerinya sendiri. Bagi saya, Obama adalah seorang “optimalis” yang realistis. Dengan segala kekuasaan dan kewenangannya ingin memecahkan masalah-masalah “riel” dengan optimal. Dengan segala keterbatasan dan kelemahannya hendak menawarkan perubahan cara pandang dan cara kerja pemerintah dalam mengatasi persoalan rakyatnya. Dengan rendah hati ingin mengakui bahwa pemerintah Amerika harus “perform” dan “good looking” terlebih dahulu di hadapan warganya di negeri sendiri. Ketimbang kelewat “outward looking” dan terkesan ingin cepat melakukan “amerikanisasi” seluruh tatanan dunia secara sepihak dan seenaknya sendiri. Obama tahu diri dan menyadari bahwa masalahnya memang ada di depannya sendiri. Bukan nun jauh di Timur Tengah sana.
Pada titik inilah kita musti “iri” dengan Amerika. Mereka selalu saja memiliki “stock” pemimpin yang tangkas. Mereka selalu saja mempunyai segudang rekayasa untuk keluar dari kejumudan. Mereka selalu saja punya banyak jalan keluar untuk mengatasi kesulitan. Selalu saja tersedia solusi untuk kembali menaikkan “gengsi” dan “harga diri” Amerika di hadapan komunitas Internasional. Terlebih dengan terpilihnya Obama. Rasa iri pun barangkali tak cukup. Kita harus menaruh hormat dan memberi apresiasi. Demokrasi di Amerika ternyata bukan sekedar selebrasi politik yang steril dan ahistoris. Saat ini demokrasi telah menemukan “spirit” sejatinya dan esensi yang sesungguhnya, yang pernah begitu lama hilang dari keseharian hidup di Amerika. Demokrasi telah meninggalkan ortodoksinya. Tak selamanya presiden Amerika harus berlabel WASP: White-Anglo-Saxon-Protestant. Kini mereka punya presiden diluar kategori dan tradisi WASP. Seorang dengan label “black-minority”. Bahkan dengan “unsual name” untuk orang Amerika. Seorang Afro-Amerika yang bahkan bernama tengah “Husein”. Bila Bush telah berhasil membunuh Saddam Husein maka rakyat Amerika telah sukses melahirkan seorang “Husein” baru untuk menjadi pemimpinnya. Bukankah ini sangat luar biasa. Sekaligus diluar kebiasaan mereka selama ini. Kita disini dan kini, tidak bisa dan barangkali belum siap membayangkan bahwa suatu saat negeri ini akan dipimpin seorang presiden perempuan, keturunan Tionghoa, non muslim, dari kalangan sipil, dan sekaligus berasal dari luar Jawa. Selama ini rumus kepemimpinan kita masih terjebak kepada dilematika antara Laki-laki-Perempuan; Pribumi-Non Pribumi; Muslim-Non Muslim; Sipil-Militer; dan Jawa-Luar Jawa. Pun, diperparah dengan kemestian untuk membuktikan berlakunya sekuen mitologi kepemimpinan No-To-Na-Go-Ro sebelum mencapai masyarakat adil dan makmur. Suka atau tidak itulah yang kita yakini hingga kini.
Obama dan Amerika telah membuktikan bahwa demokrasi tidak hanya sekedar persoalan mewujudkan “vox populi vox dei” yang telanjur menjadi barang keramat dan menjadi azimat para politisi saat kampanye. Jauh daripada itu, mereka telah berhasil melakukan transformasi dari sekedar mendengarkan dan menghitung “suara” menjadi “rekayasa” yang nyata untuk merubah realita. Mereka telah sukses melakukan transformasi dari “janji” menjadi “bukti”. Dari “visi” menjadi “aksi” nyata. Dari “misi” menjadi “strategi” yang riel dan lugas. Dari “pesta demokrasi” menjadi “solusi administrasi” yang benarbenar menghasilkan perubahan. Obama telah berjanji dan akan mengajak rakyat Amerika hingga “bersama-sama bisa” melakukan perubahan. Pemerintahan Obama tak hanya sekedar ingin menjalankan peran “governing the people” tapi juga melakukan “engineering the government” agar persoalan krisis dan pengangguran bisa berkurang di Amerika. Eloknya lagi, Obama juga akan menjalankan diplomasi “common understanding” agar terhindar dari “unnecessary war” dan pelan-pelan memberikan kontribusi dalam menciptakan perdamaian dunia. Keinginan Obama untuk berdialog dengan pemimpin negara-negara yang selama ini distigmatisasi oleh Bush sebagai “axis of evil” adalah langkah diplomatik yang proaktif, konstruktif, sekaligus emansipatif. Kita berharap Obama sukses dengan rekayasanya dan Amerika berhasil keluar dari bencananya. Hingga kita punya “best practice” dan “lesson learned” yang bisa menjadi teladan dan bisa dipelajari dari sebuah proses demokrasi yang fair, mekanisme pergantian kepemimpinan yang damai, dan praktik administrasi pemerintahan yang efektif dalam mengelola urusan negara dan mengurus keperluan warganya. Sekaligus optimal dalam menyelesaikan persoalan krisis dengan cara yang tepat dan realistis. Bukan dengan terus mengulang-ulang janji manis dengan bombastis, hiperbolis, dan tak habis-habis. Bukan dengan selalu mematut diri agar tampil manis dan sibuk tebar pesona agar “image” tetap terjaga. Bukan dengan menggelontorkan proyek-proyek populis yang membuat rakyat menjadi pengemis dan berebut jatah subsidi tak henti-henti. Yang kita butuhkan (sekali lagi) adalah pemimpin yang mampu menghadirkan “rekayasa” untuk merubah negeri ini menjadi lebih baik. Paling tidak seperti Obama. Menteng, Jakarta, Januari 2009
PEMIMPIN MASA KINI: CATATAN BUAT ORANG JAWA
Barangkali orang Jawa termasuk kategori manusia yang paling sabar di dunia. Betapa tidak. Tingkat kesabaran orang Jawa termasuk tinggi bahkan ketika menghadapi, menerima, melayani, dan menuruti para pemimpinnya yang termasuk despot, otoriter, totaliter, dan sadis sekalipun. Cerita tentang raja-raja Jawa yang kejam. Kisah tentang adipati-adipati yang lalim. Adalah tak hanya cerita tentang penyalahgunaan kekuasaan. Namun dibalik itu tersimpan rahasia tentang betapa sabarnya orang Jawa saat menghadapi, menerima, menuruti, dan melayani para pemimpinnya. Bahkan, yang (lagilagi) tergolong despot, otoriter, totaliter, dan sadis sekalipun. Maka tak aneh bila orang Jawa merasa “nyaman”, “tenteram”, dan “tenang” selama ratusan tahun dibawah penjajahan Belanda. Maka tak heran bila orang Jawa menerima saja disebut sebagai bangsa “koeli” alias menjadi “inlander” nya tuan-tuan “meneer” dari Netherlands. Sebuah kasta sosial-politik-ekonomi-budaya yang tentu saja paling rendah derajatnya dibanding orang Eropa, orang Cina, orang India, dan orang Arab. Dan itu semua berjalan “lancar” dan “adem ayem” selama ratusan tahun. Dan orang Jawa menjalaninya dengan “sabar” , “sumarah” dan “sumeleh”. Dan orang Jawa menerimanya pula sebagai keniscayaan suatu “zaman normal” yang biasa-biasa saja. Penjajahan berganti kemerdekaan. Namun, orang Jawa lagi-lagi dan berulang kali mengulangi lagi kesalahannya. Orde satu berganti orde yang lain. Rezim satu berganti rezim satunya. Presiden satu berganti presiden lainnya. Pergerakan berganti menjadi revolusi lantas berevolusi menjadi pembangunan dan bermutasi menjadi reformasi tak serta merta memberikan pencerahan baru. Kesulitan, kesusahan, dan keruwetan hidup tak lantas memberikan pembelajaran baru. Semuanya hanyalah masa pancaroba yang akan berhenti kelak. Semuanya cuma sekedar ”goro-goro” yang pasti akan berakhir. Semuanya
hanya sementara saja sebelum tiba masanya zaman keemasan. Selalu saja orang Jawa sabar menunggu datangnya sang ”ratu adil” yang akan mendatangkan kemakmuran sekaligus memberikan keadilan untuk semuanya. Senantiasa orang Jawa menanti datangnya sang ”mesiah” yang akan membebaskan dari rasa sakit yang berkepanjangan. Selalu saja dan senantiasa orang Jawa sabar dan berharap lahirnya seorang ”imam” yang akan memimpin dengan penuh kebajikan. Inilah barangkali satu-satunya ”mitos” yang selama ini selalu sabar ditunggu kehadirannya hingga pada akhirnya muncul masa kejayaan berupa ”Noto Nogoro” yang paripurna dan sempurna. Sekarang. Yang ditunggu tak datang-datang. Yang datang bukan yang sebenarnya ditunggu-tunggu. Faktanya, ”Noto Nogoro” berganti menjadi ”Tetuko” alias ”sing teko ora tuku-tuku, sing tuku ora teko-teko” atau ”yang datang bukan yang membeli, yang membeli belum datang-datang juga”. Persis ketika pesawat CN 235 kita nggak laku dijual dan terpaksa ditukar dengan beras ketan. Faktanya, yang datang bukan sang ”imam” yang ditunggu, malahan seorang ”Imam Samudra” yang telah menebar teror menjadi horor yang memilukan. Faktanya, yang muncul bukanlah sang ”ratu adil” tetapi malahan kita rajin mencetak dan mengekspor ”ratu kecantikan” untuk konsumsi sejagat. Boro-boro lahir seorang ”mesiah” dan ”al masih” baru. Yang sudah dan ”kadung” mencalonkan diri sebagai calon pemimpin negeri ini ”masih” yang itu-itu juga. Alias ”stock” lama semua. Sekarang. Sudah sewajarnya bila kita berhenti menunggu datangnya pemimpin ”masa depan” untuk negeri ini. Yang kita tunggu hanyalah seorang pemimpin ”masa kini” yang tidak terjebak, terjerat, dan terperangkap dosa-dosa sejarah ”masa lalu” yang kelam. Yang kita harapkan bukanlah orang yang ”luar biasa” sakti mandraguna yang akan memimpin kita berkat ”wahyu” ataupun ”wangsit” yang diterimanya. Bukan jenis ”manusia setengah dewa” seperti yang diangankan oleh seorang Iwan Fals. Yang kita nantikan justru pemimpin dari kalangan ”biasa-biasa” saja dan ”bisa” siapa pun juga. Asalkan yang ”terbiasa” dengan keluh kesah rakyatnya dan ”bisa” memecahkan persoalan masyarakatnya, baik sendiri ataupun bersama-sama. Yang kita perlukan bukanlah seorang ”satria piningit” yang selama ini tersembunyi atau malah sedang disembunyikan diamdiam. Yang kita butuhkan adalah seperti seorang mahasiswa trisakti yang bernama ”elang
satria” yang mau mengorbankan nyawanya demi sebuah perjuangan reformasi yang mungkin belum pasti akan dimenangkan dan dinikmatinya. Akhirul kalam. Marilah kita lupakan ramalan (atau malahan kutukan) Jayabaya yang spekulatif dan telah meninabobokkan kita selama ini. Marilah kita sudahi mimpi-mimpi tentang ”Noto Nogoro” ataupun ”Nata Nagara” dan kita ganti dengan kerja keras mewujudkan “Indonesia Raya” dalam keseharian masyarakat kita sehari-hari. Yang tak sekedar kita nyanyikan dalam perayaan kemerdekaan dan dinyanyikan dalam upacara kenegaraan sesekali waktu. Tapi boleh kita dendangkan sesuka hati dengan bebas dan bangga setiap harinya baik sambil ”dansa-dansi” ataupun menari ”poco-poco”. Oleh siapa pun, kapan pun dan dimana pun. Marilah kita akhiri penggunaan bahasa ”kekuasaan”, bahasa ”kekerasan”, bahasa ”kepentingan”, ataupun bahasa ”kelompok” yang semakin kaku serta tak tahu malu dan kita ganti dengan memakai hanya bahasa ”Indonesia” yang baik dan benar, yang boleh diucapkan siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Hanya dengan itulah barangkali ”lumpur-lumpur” kebobrokan perlahan-lahan akan hilang dari bangsa ini. Hanya dengan itulah mungkin ”banjir bandang” persoalan negeri ini pelan-pelan akan surut. Dan hanya itulah satu-satunya keyakinan saya (sebagai orang Jawa) yang tersisa terhadap kejayaan negara ini. Tak lebih dan tak kurang. Menteng, Jakarta, Maret 2009
BONGKAR PASANG, CUCI PIRING, DAN TEBAR PESONA
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ketika jadi presiden termasuk orang yang nekat. Karenanya, semboyan yang selalu digunakannya adalah “gitu aja kok repot”. Maka, dengan ringan tangan dan tanpa beban Gus Dur membongkar pasang kementerian berikut “mencopot dan melantik” menterinya dengan sesukanya. Akibatnya, Departemen Sosial dan Departemen Penerangan termasuk yang dibongkar habis alias dibubarkan. Urusan sosial lantas menjadi tanggung jawab masyarakat. Dan, setelah reformasi tidak diperlukan lembaga kementerian yang selalu memberikan “penerangan” sepihak kepada rakyat. Namun, ironisnya Gus Dur mengangkat (lebih dari satu) juru bicara kepresidenan. Ibarat seorang montir, Gus Dur membongkar “yang ditabukan” dan memasang “yang diragukan” oleh masyarakat dalam hitungan waktu yang singkat. Maka, tak heran bila warga tionghoa sangat senang karena hari raya Imlek boleh dirayakan dengan bebas. Demi alasan kebebasan beragama hal itu menjadi rasional untuk dilakukan. Maka, tak heran pula banyak yang was-was ketika Gus Dur memberi ijin pengibaran bendera OPM yang berdampingan dengan bendera merah putih. Demi alasan keberagaman kebudayaan hal itu pun menjadi sah untuk dilakukan. Dan, kita pun akhirnya maklum saat Gus Dur harus mundur (dan dimundurkan) akibat “impeachment” alias pemakzulan atau pemecatan oleh MPR. Dan, untungnya rakyat tidak “begitu repot-repot” terjebak dalam konflik politik yang berkepanjangan. Lain lagi dengan Megawati. Ketika jadi presiden ia tergolong pelit bicara. Karenanya, pepatah yang disukainya adalah “diam itu emas”. Atau, barangkali “sedikit bicara banyak bekerja”. Maka, tak heran bila selama periode pemerintahannya jarang sekali kita dengar “statement” yang cukup panjang lebar darinya. Namun, bukan berarti Megawati tak pernah memberikan pernyataan. Ketika bingung menghadapi persoalan negara kita
mencatat pernyataan sekaligus keluhannya “saya pusing mengurus negeri ini”. Dan, ketika banyak pihak memojokkannya dengan lambannya penegakan hukum dan mandegnya pemberantasan korupsi Megawati pun lagi-lagi mengeluh “saya khan hanya tukang cuci piring-piring kotor dari pemerintahan sebelumnya”. Maka, jangan harap akan mendapat penjelasan darinya saat banyak mantan menterinya ditangkap, diadili, diperiksa, atau setidaknya dicurigai telah mengotori dirinya dengan korupsi. Pun, jangan pula menanti penjelasannya ketika orang banyak kecewa karena partainya berubah dari “partai wong cilik” menjadi “partai wong licik”. Selanjutnya, kita mengenal seorang Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Seorang presiden yang memenuhi hampir seluruh kriteria kesempurnaan kepemimpinan. Seorang yang tinggi besar (diatas rata-rata ukuran orang Indonesia), seorang militer dengan pangkat tertinggi, dan seorang pelajar dengan titel akademik tertinggi pula. Sebagai bagian dari Orde Baru, SBY bahkan memiliki “rekam jejak” yang relatif bersih ketimbang “calon-calon” lainnya. Paling tidak, belum pernah terdengar kesangkut pelanggaran HAM. Minimal, belum pernah terdengar kesangkut kasus korupsi. Dengan sederetan karakteristik itu hampir dipastikan SBY mendekati idealita seorang pemimpin. Namun, SBY hanyalah “manusia biasa”. Bukan “manusia setengah dewa” seperti yang secara sarkastis pernah diidamkan oleh seorang Iwan Fals dalam sebuah lagunya untuk mengharapkan datangnya seorang pemimpin yang “baik” dan “hebat” untuk negeri ini. Karenanya, wajar pula bila SBY pun “terbiasa” dengan sikapnya yang terlalu hati-hati, mempertimbangkan setiap keputusan, memutuskan dengan penuh pertimbangan, menjaga betul penampilan, mengatur benar tata bahasa, memahami segala lapisan, merangkul semua kalangan, dan menghindari sekali konflik. Itulah “image” yang ingin dibangun dan diciptakan oleh seorang SBY. Karenanya, SBY termasuk presiden yang paling “concern” dan “aware” dengan penampilan yang kasat mata. Lawan-lawan politiknya menyindir pribadinya dengan istilah “jaim” yang selalu ingin mempesona siapa saja. Musuh-musuh politiknya menyindir tindakannya dengan istilah “tebar pesona” yang sengaja dilakukan kepada siapa saja. Bahkan, Yahya Ombara – salah satu anggota tim sukses SBY – secara eksplisit menyebut SBY sebagai “Presiden Flamboyan”. Sebuah label yang dalam sejarah pernah diberikan kepada seorang Soekarno dan John F. Kennedy atau JFK.
Karenanya, SBY pun memukau siapa saja. Grup band Jamrud pun terkesima ketika mendengar dan melihat bahwa lagu ”Pelangi Dimatamu” menjadi tembang favorit SBY di banyak acara. Tak cukup sampai disitu, sudah dua keping CD album lagu yang telah dihasilkan SBY sampai saat ini. Artinya, SBY juga pecinta seni. Atau, paling tidak seorang seniman. Dan, itu semua dilakukannya disaat seluruh masalah serius sedang terjadi di negeri ini. Bukankah ini luar biasa! Bukankah ini fantastis! Bukankah ini fenomenal! Sebuah ketenangan yang sangat luar biasa dari seorang SBY telah dipertontonkan kepada khalayak ketika rakyat tak bisa lagi ”tenang” menjalani kehidupannya. Ketika sebagian rakyat berkubang dalam ”lumpur sidoarjo”. Ketika sebagian rakyat terendam banjir bandang. Ketika sebagian rakyat susah payah menyelematkan diri dari timbunan tanah longsor. Ketika petani marah karena pupuk semakin mahal dan semakin hilang dari pasaran. Ketika nelayan resah karena solar semakin langka hingga tak bisa melaut. Ketika buruh gelisah karena ancaman PHK begitu jelas terlihat. Ketika ibu-ibu rumah tangga semakin tak berdaya karena harga-harga sembako dan harga-harga apa saja semakin membumbung. Ketika itu semua terjadi kita masih bisa ”terpesona” dengan ketenangan seorang SBY yang dengan tenangnya pula ”bisa” memetik gitar dan menyanyikan lagu ciptaannya sendiri. Sebentar lagi. Dan dalam hitungan bulan. Pemilihan ”pemimpin” negeri akan dilakukan. Sehingga jelas, sebentar lagi bakal ada ”yang memimpin” kita semua. Pertanyaannya, jenis pemimpin macam apa yang akan dihasilkan. Apakah yang gemar membongkar pasang seperti Gus Dur. Apakah yang rajin mencuci piring seperti Megawati. Ataukah yang senang menebarkan pesonanya. Kalau boleh memilih maka saya akan pilih ketiga-tiganya. Tetapi yang bisa membongkar habis seluruh ”kebobrokan” negeri ini selanjutnya mampu memasang seluruh ”puzzle” negeri ini secara utuh hingga akhirnya terbentuk ”nation” yang kuat dan bermartabat. Selanjutnya, yang bisa mencuci hingga bersih seluruh ”dosa” dan ”kesalahan” negeri ini hingga akhirnya tercipta tatanan ”governance” yang bersih dan sehat. Kemudian, yang bisa menjaga ”image” negara ini sebagai ”big country” yang akan senantiasa menebarkan ”pesona” nya keseluruh dunia. Hingga akhirnya, negeri ini benar-benar akan menjadi ”baldatun toyibatun wa robbun goffur” untuk kita semua dan bangsa ini sungguh-sungguh akan menjadi ”rahmatan lil alamin” untuk semua bangsa di dunia.
Barangkali itulah sisa-sisa keimanan saya sebagai orang Islam yang kebetulan lahir, besar, hidup, dan sampai saat ini masih tercatat sebagai warga negara Indonesia yang belum sepenuhnya ”baik”. Wassalam. Menteng, Jakarta, Maret 2009
MALAY SIA SIA
Ada yang selalu tidak beres dengan negara tetangga kita yang satu ini. Soal pertama adalah kecemburuan. Beberapa waktu yang lalu mereka membatasi - bahasa halus untuk melarang - pertunjukan artis-artis dari Indonesia. Alasannya kelewat naif. Saat ini terjadi “demam” kegandrungan masyarakat Malaysia terhadap artis Indonesia. Saat ini berbagai pertunjukan musik dan film Indonesia tak ubahnya seperti “tsunami” yang meluluhlantakkan pasar Malaysia. Pokoknya yang serba Indonesia jadi tren dan laris manis diserbu orang. Di saat yang sama, artis mereka sendiri mulai loyo, tak kreatif, tidak produktif, dan pelan-pelan tergusur dari panggung. Inilah yang jadi alasan kenapa mereka mulai membatasi gerak dan melarang pertunjukan artis-artis kita. Dan kita mencatat bahwa cara-cara primitif dalam dunia dagang kembali dipraktikkan negeri jiran ini. Cara-cara bisnis yang tidak fair, yang dijalankan orang yang sudah kehabisan akal. Ekonom menyebutnya sebagai proteksionisme. Padahal kita semua tahu pelarangan terhadap karya seni tak akan sepenuhnya berhasil. Bung Karno pernah melakukan terhadap musik pop Barat yang disebutnya musik “ngak-ngik-ngok” hingga Koes Plus pun harus masuk penjara. Dan, Bung Karno gagal. Sama seperti Harmoko yang melarang lagu cengeng, dan Habibie yang tidak suka lagu rap. Keduanya pun gagal. Mereka (orang Malaysia) lupa bahwa serbuan artis Malaysia pernah menyerang Indonesia sebelumnya. Grup musik seperti Search dan Iklim yang mengusung genre “rock melayu” yang mendayu-dayu sempat kita sukai. Penyanyi semacam Sheila Majid dan Siti Nurhaliza sempat kita senangi. Dan mereka boleh manggung seenaknya, sebebasnya, dan semaunya. Dimanapun dan kapanpun. Tanpa sekalipun pernah kita batasi atau kita larang. Cerita tentang sepak terjang mereka pun - dari yang remeh temeh hingga yang serius sempat menghiasi “headline” tabloid-tabloid kita. Sekali lagi, kita tak pernah sekalipun membatasi dan melarang mereka. Hingga pelan-pelan kabar tentang mereka pun meredup dan hilang dari pasaran.
Soal kedua adalah kesombongan. Perasaan ini muncul manakala mereka mencapai tingkat kemajuan ekonomi yang cukup pesat. Karenanya mereka lantas menjadi lebih kaya, lebih maju, dan tentu saja merasa lebih hebat ketimbang Indonesia. Petronas lantas dibandingkan dengan Pertamina. Menara Petronas pun kalau perlu disandingkan dengan gedung yang paling tinggi yang pernah dibangun Pertamina. Kami diatas kalian. Demikian “message” yang ingin mereka sampaikan secara lugas, singkat, dan sedikit congkak. Karenanya, mereka dengan penuh ejekan menyebut TKI sebagai barisan “Indon” yang berkonotasi negatif. Sementara, TKI Ilegal mereka sebut “pendatang haram” yang lebih banyak berbuat dosa dan mengotori tanah suci mereka. Ironisnya, kontribusi para “Indon” dan “pendatang haram” ini tak sekalipun mereka akui dalam catatan statistik kemajuan pembangunan berbagai infrastruktur di Kuala Lumpur dan peningkatan produksi kebun sawit di seantero Malaysia. Hal yang sama pernah dilakukan Jerman terhadap pekerja-pekerja Turki, yang nyata-nyata telah banyak membantu rekonstruksi infrastruktur dan rehabilitasi perekonomian pasca perang dunia kedua, disaat rakyat Jerman masih mengalami trauma psikologis “post-Hitler”. Soal ketiga adalah perasaan tak punya malu. Inilah penyakit Malaysia yang kelewat parah. Hingga atas nama turisme mereka terlampau ”pe-de” mengklaim negaranya sebagai ”truly asia” yang harus dikunjungi wisatawan manca negara Perasaan tak punya malu pula yang akhirnya mendorong mereka secara sepihak mengklaim angklung sebagai ”malay bamboo music”, mengakui kesenian reog ponorogo sebagai ”barong dance”, mendaftarkan hak cipta rendang padang sebagai salah satu kekayaan kuliner mereka dan batik sebagai salah satu produk kerajinan tekstil tradisional asli Malaysia. Perasaan tak punya malu ini sebenarnya telah menjadi penyakit ”laten” yang diawali dengan mengambil lagu keroncong ”Terang Bulan Di Pinggir Kali” sebagai lagu kebangsaan mereka hingga saat ini. Tentu saja supaya tidak ketahuan mereka merubah liriknya terlebih dahulu. Dalam ranah geopolitik, penyakit tak punya malu juga menjangkiti pemerintah Malaysia yang dengan ringan tangan mencaplok satu demi satu pulau-pulau terluar kita. Dan ironisnya, atas nama ”pemanfaatan secara efektif” mereka menang di Mahkamah Internasional atas Sipadan dan Ligitan. Dan mereka pun diam-diam terus melanjutkan usahanya untuk mencaplok lagi Ambalat lantas ”memanfaatkan secara efektif” pula. Masih
dalam ranah geopolitik, mereka tak segan-segan dan kelewat rajin mencabot patok-patok perbatasan Kalimantan-Serawak sekaligus memprovokasi pemuda-pemuda kita untuk jadi ”satpam perbatasan” dengan seragam yang garang dan berlabel ”Asykar Malaysia”. Bukankah seorang pencuri selalu memiliki ”sense of belonging” yang amat tinggi terhadap barang-barang milik orang lain? Kecemburuan, kesombongan, dan perasaan tak tahu malu adalah sifat kekinian yang saat ini menjadi tipikal perilaku orang Malaysia ketika memandang dan berhubungan dengan orang Indonesia. Dan itu semua terjadi disaat mereka memiliki tingkat kemakmuran diatas kita. Bukankah lebih gampang menguasai orang miskin ketimbang melawan orang kaya. Barangkali itulah kompleks psikologi yang secara ”bawah sadar” maupun ”atas kesadaran” mereka yakini saat ini. Dan tentu saja mereka banggakan hingga sekarang. Tapi dibalik itu semua, ada perasaan ketakutan yang sekarang ini sedang berjangkit di Malaysia. Suka atau tidak suka, kekalahan Barisan Nasional dalam pemilu legislatif beberapa waktu lalu telah memunculkan pesimisme baru di kalangan rezim yang sedang berkuasa tentang kemungkinan datangnya gelombang reformasi. Sesuatu yang pernah terjadi di Indonesia, yang kelewat mereka takutkan akibatnya. Korupsi, kolusi, nepotisme berikut kroni-isme di kalangan Barisan Nasional dan UMNO telah menjadi simbol jahat yang hendak dihancurkan oleh seorang Anwar Ibrahim bersama Barisan Oposisi Nasional yang mendukung dibelakangnya. Dan itu semua tinggal menunggu momentum untuk meledak. Dan karenanya pemerintahan Malaysia akhir-akhir ini tak ubahnya sedang menghitung hari untuk meredam ketidakpuasan rakyatnya sekaligus (kalau bisa) melanggengkan kekuasaannya. Lantas pelajaran apa yang bisa kita dapat dari perjalanan sebuah negara yang bernama Malaysia ini? Bagi saya ternyata tidak ada sama sekali. Malaysia bukanlah sebuah ”lessons learned” yang patut diambil hikmahnya. Pun, tidak juga sebagai ”best practices” yang perlu diteladani. Kenapa? Karena mereka hanya punya seorang ”Little Soekarno” yang pernah ditahbiskan kepada seorang Mahathir Muhammad yang hanya ”sesekali” berani melawan Barat, tapi disaat yang sama ”seringkali” melecehkan harga diri dan mencuri kekayaan negeri jirannya sendiri yang katanya ”saudara serumpun”. Kenapa? Karena kita benar-benar punya seorang ”Soekarno” yang ”berkali-kali” punya nyali besar dan berani melawan Barat seorang diri sekaligus dengan berani memimpin seluruh kekuatan baru di
seluruh Asia Afrika untuk bangkit dan melawan kolonialisme Barat. Kenapa? Karena sejarah selalu mencatat kita sebagai negara ”pelopor” dan bukan sebagai negara ”pengekor”. Kenapa? Karena kita bisa menjadi negara besar sekaligus terhormat dengan memanfaatkan seluruh kekayaan kita tanpa perlu merendahkan martabat dan mencuri kekayaan dari negara tetangga kita sendiri. Mengikuti jejak Malaysia? Mencontoh Malaysia? Meniru Malaysia?................ah barangkali pekerjaan yang sia-sia belaka. Atau mungkin kurang kerjaan! Menteng, Jakarta, Maret 2009
IT’S ECONOMIC, STUPID!
Tiba-tiba saja semua bicara ekonomi. Bahkan, kemampuan menangani masalah ekonomi menjadi “necessary condition” yang diperlukan sebagai modal politik yang signifikan bagi pasangan calon pemimpin negeri ini. SBY bahkan harus memilih seorang ekonom tulen sebagai wakilnya untuk mendampinginya dalam perebutan kursi kepresidenan. Dan, Boediono pun terpilih sudah. Seorang ekonom komplit dan paripurna yang diharapkan mampu membawa negara ini selamat dari jebakan krisis global. Mega pun terpaksa harus menggandeng dan berkompromi dengan Prabowo sekaligus memberi mandat dan tugas untuk menangani ekonomi “wong cilik”. Sementara, JK berjanji untuk memperbaiki kinerja perekonomian dengan “lebih baik dan lebih cepat”. Tiba-tiba saja semua bicara ekonomi. Bahkan semua berusaha menolak kapitalisme sekaligus liberalisme. Mega-Prabowo bertekad bulat menerapkan ekonomi kerakyatan sekaligus mewujudkan mimpi besar Bung Karno agar kita bisa “berdikari” secara ekonomi. Hingga kita nantinya cukup gagah untuk “berdiri diatas kaki sendiri” dan tidak lagi menjadi “bangsa koeli” yang terus menerus - dan keterusan - melayani dan menjadi budak negara maju. JK-Wiranto pun berjanji untuk merealisasikan ekonomi kebangsaan yang mandiri. Hingga, sebagai bangsa yang besar, kita akan memiliki kemandirian ekonomi yang kuat, yang tidak melulu bergantung, tergantung, dan menggantungkan diri kepada belas kasihan negara maju. SBY-Boediono cepat-cepat meralat bahwa mereka berdua bukanlah agen “neolib” sekaligus bukan pemuja habis “pasar bebas” yang kebablasan. Mereka berdua bukanlah “true believers” terhadap keampuhan azimat neoliberalisme ekonomi. Pun, tidak pula sebagai “true followers” terhadap kebenaran ekonomi pasar bebas global. Bahkan, Boediono berniat untuk tetap mengontrol pasar bebas sekaligus berteriak lantang untuk mengganyang kemiskinan dan ketergantungan.
Tiba-tiba saja semua bicara ekonomi. Dan ini menggembirakan. Sekaligus menjadi sinyal positif akan datangnya optimisme untuk lima tahun kedepan. Siapapun yang berkuasa. Pasangan manapun yang menang. Semuanya menjanjikan perubahan. Semuanya menawarkan perbaikan. Semuanya menerbitkan harapan. JK-Wiranto ingin membangun ekonomi lebih cepat dan lebih baik ketimbang sekarang. Mega-Prabowo ingin membangkitkan kembali ekonomi rakyat yang terpuruk dan merosot selama ini. SBYBoediono ingin tetap melanjutkan pemerintahan yang bersih, pemerintah yang bebas korupsi, dan masyarakat yang memiliki kebebasan agar mampu memberi landasan yang sehat bagi keberlanjutan eksistensi perekonomian nasional ditengah perekonomian global. Tiba-tiba saja semua bicara ekonomi. Semuanya dengan selera, keyakinan, dan jargon masing-masing. Mega-Prabowo mengusung jargon “Mega Pro” yang kira-kira hendak mewujudkan semangat membangun perekonomian yang “pro rakyat” sekaligus ingin secara “profesional” mengelola persoalan ekonomi di negeri ini. JK-Wiranto memasang slogan “JK Win” yang kemungkinan besar ingin membuktikan “lebih cepat” dan “lebih baik” dalam “memenangkan” kepentingan ekonomi nasional ditengah persaingan ekonomi global. SBY-Boediono pun menegakkan moto “SBY Berboedi” yang kurang lebih ingin tetap meneruskan keberlanjutan pembangunan ekonomi yang bersandar pada “budi”, pada “moralitas”, pada landasan tata kelola kepemerintahan yang baik dan bersih. Tiba-tiba saja semua bicara ekonomi. Semuanya berangkat dari kesadaran yang sama. Bahwa perekonomian kita sedang merosot. Meski secara makro, berbagai variabel ekonomi menunjukkan indikasi bahwa perekonomian kita masih relatif “sehat” namun tak dapat dipungkiri bahwa secara mikro kita menghadapi banyak masalah ekonomi. Ekspor menurun tajam, industri mulai memasuki fase “de-industrialisasi” yang parah, investasi mulai melambat lajunya, pengangguran membengkak, dan daya beli masyarakat pun anjlok. Tak usah diukur pun, tingkat kemiskinan pasti meningkat. Tak usah dihitung pun, tingkat ketimpangan pasti melebar. Tak usah dianalisis pun, tingkat keresahan pasti membuncah.
Tiba-tiba saja semua bicara ekonomi. Tiba-tiba saja semuanya ingin mengikuti jejak sukses Bill Clinton yang mampu mengalahkan George Bush Senior dalam pemilihan presiden Amerika Serikat. It’s economic, stupid! Dan, Clinton akhirnya menang sekaligus membuat Bush benar-benar bodoh karena tak lagi bisa memahami realitas yang terjadi dan kebutuhan riel yang diperlukan masyarakatnya. Tapi, Clinton benar-benar memberi bukti, tak sekedar memasang janji. Selama delapan tahun pemerintahannya, Clinton membawa perekonomian Amerika Serikat kedalam era “economic boom” yang luar biasa makmurnya dan luar biasa stabilnya. Tiba-tiba saja semua bicara ekonomi. Semuanya dengan tiba-tiba. Karena “pilpres” akan segera mulai. Semua ingin memenangi kursi kepresidenan. Karenanya, semuanya berjanji. Dan, janji yang mujarab kali ini memang hanya ekonomi. Tepatnya, perbaikan ekonomi. Untuk itulah sejarah akan mencatat apakah dalam lima tahun kedepan kita semua akan mengikuti sejarah sukses perekonomian Amerika Serikat dengan “Clintonomics” nya yang ampuh. Ataukah, sejarah akan mencatat kekecewaan kita semua seperti yang selama ini terjadi. Tentunya, masih hangat dalam ingatan kita betapa Mega pun akhirnya terjerembab kedalam jebakan “wong licik” hingga lupa dan melupakan kepentingan “wong cilik” ketika berkuasa. Tentunya, kita belum sepenuhnya lupa bahwa “triple track policy” nya SBY-JK yang hendak mewujudkan “pro job”, “pro poor”, dan “pro growth” ternyata sampai saat ini masih belum mampu menyejahterakan rakyat. Bila itu semua yang akan terjadi nantinya maka marilah kita hentikan bicara tentang ekonomi atau berhenti berharap akan datangnya perbaikan ekonomi. Yang perlu kita lakukan hanyalah bersuara lantang dan berteriak keras kepada mereka: It’s politic, stupid! Menteng, Jakarta, Mei 2009
PEMEKARAN DAERAH: SEBUAH CATATAN
Kalau disuruh memilih, jangan pernah mau tinggal dan hidup di kabupaten “Murung Raya” karena kemungkinan anda akan selalu murung dan bersedih. Lebih baik memilih tinggal dan hidup di kabupaten “Bener Meriah” karena insya Allah hidup anda akan benar-benar bahagia dan “bener-bener” akan jadi meriah. Itu barangkali salah satu “joke” terhadap kedua daerah otonom yang baru terbentuk. Nama-nama kabupaten seperti ”Maybrat”, ”Sigi”, ”Deiyai” , ”Tambrauw”, dan ”Sabu Raijua” adalah nama-nama baru yang mungkin akan terasa asing sekaligus aneh bagi anda. Dan, akan menjadi pertanyaan bagi anda semua. Dimanakah (tepatnya) posisi dan lokasinya dalam peta negara ini. Selanjutnya, banyak “kejutan-kejutan” yang lain, yang tentu saja mencengangkan kita semua apabila berbicara soal pemekaran daerah. Tercatat, selama sepuluh tahun terakhir telah terbentuk 7 provinsi baru, 165 kabupaten baru, dan 34 kota baru. Alias, secara total selama periode tersebut telah terbentuk 206 daerah otonom baru. Atau, secara ratarata setiap tahunnya terbentuk 20 daerah otonom baru. Tapi, jangan keburu kaget dulu. Sebab, prognosis yang dilakukan BPS tahun 2006, yang memprediksikan pertumbuhan jumlah kota baik kategori metropolitan, kota besar, kota menengah, dan kota kecil yang layak untuk menjadi daerah otonom, malah lebih fantastis lagi hasilnya. Pada tahun 2018 diperkirakan terdapat sekitar 1.888 kota baru di Indonesia. Jumlah tersebut berkembang dari sebanyak 1.312 kota yang layak berdiri sebagai daerah otonom pada tahun 1990. Artinya, selama periode 1990-2018 diperkirakan jumlah kota yang memenuhi kelayakan sebagai daerah otonom baru adalah sekitar 576 buah. Artinya pula, selama 28 tahun diperkirakan pertumbuhan kota yang layak menjadi daerah otonom baru sekitar 44 persen.
Sekarang kita tengok bagaimana justifikasi akademisnya. Terminologi pemekaran biasanya digunakan untuk menunjukkan adanya perkembangan, pertambahan, atau pertumbuhan dari sesuatu menjadi sesuatu yang lebih besar ukurannya. Karenanya, istilah pemekaran banyak digunakan dalam ranah ilmu biologi. Misalnya, kuncup “mekar” menjadi bunga. Namun, dalam konteks pemekaran daerah hal ini menjadi problematis. Satu daerah otonom yang akhirnya pecah menjadi dua daerah otonom biasanya disebut adanya pemekaran daerah. Meskipun luas wilayah geografisnya secara agregat tetap saja sama seperti sebelum “dipecah” atau “dipisahkan”. Faktanya, yang terjadi adalah adanya penambahan daerah otonom baru secara administratif. Hingga muncullah istilah “daerah induk” dan “daerah otonom baru”. Alih-alih mengunakan istilah ”pemekaran daerah”, kalau menurut saya istilah yang paling pas mungkin adalah “penambahan daerah otonom baru”. Bukankah, setelah pemekaran, jumlah daerah otonom pada akhirnya memang bertambah. Sementara, dalam ranah ilmu administrasi publik, biasanya justifikasi, argumentasi, sekaligus urgensi terjadinya pemekaran daerah adalah pada kebutuhan peningkatan kecepatan pelayanan publik melalui pengurangan rentang kendali atau “span of control” birokrasi dan administrasi pemerintahan daerah yang terlampau panjang. Rentang kendali yang panjang bisa disebabkan oleh besarnya jumlah populasi penduduk atau luasnya wilayah administratif. Asumsinya, rentang kendali yang panjang pada gilirannya akan menghambat atau memperlambat tingkat kecepatan pelayanan publik kepada semua warga dan kepada semua bagian wilayah administratif. Implikasinya, pengurangan rentang kendali dapat dilakukan salah satunya melalui pemisahan dan atau penambahan daerah otonom baru. Konsekuensinya, diperlukan upaya-upaya untuk membentuk daerah otonom sekaligus administrasi pemerintahan yang baru. Hasilnya, darisinilah cerita tentang “boom” sekaligus ”ironi” pemekaran daerah ini berawal. Fitria Fitriani, Hofman Bert, dan Kai Kaser dalam artikelnya yang berjudul Unity in Diversity? The Creation of New Local Government in a Decentralising Indonesia , Bulletin of Indonesia Studies, 2005 menyatakan bahwa pemekaran membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri. Selanjutnya, karena adanya tuntutan untuk menunjukkan kemampuan menggali potensi wilayah, maka
banyak daerah menetapkan berbagai pungutan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini menyebabkan terjadinya suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi. Selanjutnya, muncul pula ”kecaman” bahwa pemekaran daerah lebih banyak merupakan persoalan bisnis kelompok elit di daerah yang sekedar menginginkan jabatan dan posisi birokrasi. Euforia demokrasi nyata-nyata telah dimanfaatkan kelompok elit ini untuk menyuarakan aspirasinya dalam mendorong terjadinya pemekaran daerah. Sementara, pengamat yang lebih “pro” pemekaran daerah menggunakan argumentasi yang berbeda. Laode Ida dalam artikelnya yang berjudul Permasalahan Pemekaran Daerah di Indonesia (2005) membela bahwa pemekaran daerah secara politik merupakan salah satu bentuk upaya pengembangan demokrasi lokal melalui pembagian kekuasaan pada tingkat yang lebih kecil. Selengkapnya, silahkan baca hasil studi evaluasi dampak pemekaran daerah yang dilakukan Bappenas dan UNDP (2007). Namun, terlepas dari ”pro” dan ”kontra” yang ada, satu hal yang jelas adalah regulasi yang mengatur pemekaran daerah amatlah longgar. Perangkat hukum dan perundangundangan yang tersedia, yaitu Peraturan Pemerintah No. 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, harus kita akui masih terlalu banyak memiliki kekurangan. Pada gilirannya, ”proposal” pemekaran daerah menjadi teramat mudah untuk ”diloloskan” secara terus menerus. By politic, mau tidak mau, suka tidak suka, akhirnya pemekaran daerah berkembang menjadi ”bisnis politik” baru yang ”legal” dan benar-benar disenangi oleh siapapun, terutama politisi. Maka, jangan heran bila fungsi legislasi parlemen kita selama ini terbukti ”sangat maksimal” dan ”bener-bener meriah” apabila sedang berurusan dengan upaya ”meloloskan” usulan pemekaran daerah. Sebaliknya, legislasi untuk urusan lain terbukti ”minimalis” tingkat keseriusan sekaligus hasilnya. Dalam konteks pelayanan publik, kajian tentang percepatan pembangunan daerah otonom baru yang dilakukan Bappenas (2005) menunjukkan bahwa kualitas pelayanan masyarakat di daerah pemekaran cenderung stagnan atau memburuk. Hal ini disebabkan pemerintah daerah ”luar biasa” sibuk dengan penataan kelembagaan pemerintahan daerah. Selanjutnya, kajian tersebut menunjukkan pula bahwa tingkat kemiskinan di daerah
pemekaran cenderung lebih tinggi (21 persen) ketimbang daerah induknya (16 persen). Masih tingginya tingkat kemiskinan di daerah pemekaran lebih banyak disebabkan faktor geografis, minimnya infrastruktur dasar, dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Sementara, kajian lain tentang efektivitas pemekaran wilayah di era otonomi daerah yang dilakukan Puslitbang Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri (2005) secara umum menyimpulkan bahwa tidak ada satupun daerah otonom baru yang bisa dimasukkan kedalam kategori daerah mampu. Penyebab utamanya adalah “kegagalan” pemerintahan daerah otonom baru dalam menerjemahkan dan mengelola kewenangan dan urusannya sesuai dengan tuntutan kondisi, karakteristik, dan kebutuhan masyarakatnya sendiri. Dengan memperhatikan berbagai fakta dan fenomena diatas maka secara konseptual sekaligus administratif perlu dilakukan “kajian ulang” yang tuntas terhadap pemekaran daerah. Secara konseptual, paradigma dan legalitas tentang pemekaran daerah harus dikembalikan kepada “spirit” perbaikan kualitas pelayanan publik. Oleh karenanya, indikator utama untuk “memekarkan” atau “memecah” suatu daerah otonom adalah rasio kebutuhan pelayanan publik terhadap perkembangan ekonomi suatu daerah. Asumsinya, apabila tingkat pelayanan publik sudah tidak mampu lagi mengimbangi tuntutan perkembangan ekonomi masyarakat maka daerah tersebut dapat “dipertimbangkan” untuk dimekarkan atau dipecah dari daerah induknya. Digunakannya tingkat perkembangan ekonomi masyarakat sebagai faktor pembanding terhadap tingkat pelayanan publik memiliki justifikasi bahwa suatu daerah otonom baru harus mampu “mandiri” secara ekonomi maupun administratif sehingga tidak menjadi beban bagi daerah induk atau pemerintah pusat. Dengan demikian, syarat pemekaran daerah kedepan dengan sendirinya akan semakin ketat sehingga tidak diperlukan lagi kebijakan moratorium terhadap upaya pemekaran daerah. Mau tidak mau, hanya inilah opsi kebijakan yang harus ditempuh untuk mencegah terjadinya proliferasi pemekaran daerah akhir-akhir ini. Kalau tidak, kita akan semakin sering mencatat munculnya “daerah miskin baru” yang secara gegabah dan tergesa-gesa dimekarkan oleh “pihak-pihak yang berkepentingan” serta lahirnya “potensi kemiskinan baru” sebagai dampak pemekaran daerah yang jauh dari pertimbangan ekonomis. Menteng, Jakarta, Mei 2009
KEMISKINAN: REALITAS YANG SEKSI UNTUK DIPERTONTONKAN
Harian Kompas mengangkat tema tentang komodifikasi terhadap kemiskinan (Minggu, 30 Mei 2009). Bahkan, dengan judul yang seronok pula. Seksinya kemiskinan. Beberapa “feature” yang ditulis didalamnya memang mengulas tentang kemiskinan yang telah berubah menjadi “komoditas” yang layak dan menguntungkan untuk “diperjualbelikan” dan “dikemas” sebagai hiburan yang “disajikan” kepada masyarakat secara langsung, secara luas, sarat melodrama, dan tak lupa penuh kekonyolan dan komedi yang menyertainya. Adalah televisi yang menjadi pangkalnya. Sekaligus biangnya. Berbagai acara “live show” juga “reality show” tentang absurditas orang miskin berikut kompleksitas kemiskinannya telah memenuhi wajah televisi kita akhir-akhir ini. Acara-acara seperti “Minta Tolong”, “Bedah Rumah”, “Duit Kaget”, “Dibayar Lunas”, “Tukar Nasib”, “Pemberian Misterius”, “Tangan Diatas”, dan “Jika Aku Menjadi” adalah barisan acara komersial yang memiliki “rating” dan “ranking” lumayan. Serta teramat menguntungkan untuk terus ditayangkan, dikembangkan, dan (tak lupa) diperdagangkan. Bahkan, lewat acara “Jakarta Hidden Area Tour” orang asing - hanya dengan membayar sekitar 65 sampai 165 dolar AS - bisa ikut “piknik” untuk melihat kemiskinan secara telanjang dan “terlibat” secara langsung dengan orang miskin di kawasan kumuh Jakarta. Sebuah paket wisata interaktif untuk melihat derita kaum papa secara terbuka. Luar biasa! Apa yang salah dengan itu semua? Bagi kalangan industrialis televisi tentunya tidak ada kesalahan sama sekali. Bukankah televisi adalah sebuah “media demokrasi” yang sah dan berhak untuk mempertontonkan apa saja sepanjang tidak dan atau belum dilarang oleh para penegak hukum. Karenanya, bukan hal yang salah menayangkan berita dan cerita tentang orang miskin ditengah-tengah berita dan gosip tentang pejabat negara, pengusaha
sukses, dan kaum selebritis yang tengah naik daun. Bahkan, salah satu manajer televisi menyebutkan bahwa penanyangan orang miskin untuk menunjukkan adanya “variasi acara” sekaligus memastikan bahwa mereka (orang miskin) pun bisa dan lagi-lagi sah secara demokratis masuk televisi. Hingga, acara televisi kita nantinya akan “colourful” dan tidak membosankan karena hanya bisa menayangkan orang-orang yang secara ekonomi kaya, yang secara politik berkuasa, dan yang secara fisik lebih menarik penampilannya ketimbang orang miskin. Apa yang salah dengan itu semua? Bagi pasar tentunya tak ada yang salah sama sekali. Di era pasar yang semakin “global” dan “neoliberal” akhir-akhir ini tentunya hanya “harga” yang menjadi takaran moralitas satu-satunya terhadap apapun komoditas yang akan diperjualbelikan. Dan, hanya “harga” lah yang memandu kita semua dengan diamdiam (invisible hand). Dan, bagi industri pertelevisian “harga” yang ekonomis sekaligus “profitable” hanyalah seberapa tinggi “rating” yang didapat dan seberapa lama “rating” tersebut bisa dipertahankan dihadapan para pemasok iklan. Selama “rating” nya tinggi. Selama pemasang iklan menyenangi. Selama masyarakat menyukai. Selama regulasi tak membatasi. Maka sebuah acara bisa diproduksi dan direproduksi secara terus menerus, masif, dan berulang-ulang hingga ongkos produksi akan impas, hingga keuntungan akan terus menggunung, hingga konsumen sudah tak suka lagi mengkonsumsi acara itu. Selama itulah “reality show” tentang sepak terjang orang miskin berikut kemiskinannya akan ditayangkan dan dihargai. Bukankah ini mekanisme “supply and demand” yang teramat biasa! Apa yang salah dengan itu semua? Masyarakat tentunya tidak bersalah. Bukankah masyarakat kita memang sedang “sakit” sehingga terbiasa dengan “show of pain” yang kelewat masif dipertontonkan televisi, yang kelewat bombastis ditulis koran dan majalah, dan yang kelewat gratis dapat “diunduh” lewat internet dan pesan pendek telepon selular. Bukankah selama ini kita teramat “familiar” dan “enjoy” saja menikmati tampilan derita korban perang, terorisme, konflik sosial, kekerasan antar entnis, tragedi politik, bencana alam, kriminalitas, dan kecelakaan transportasi dengan “relax” dan tanpa beban psikologis apapun setelahnya. Sama “familiar” dan “enjoy” nya ketika menikmati acara yang berbau “entertainment” yang memang menghibur. Sekaligus tanpa beban psikologis apapun sesudahnya. Hingga, bagi masyarakat tak ada beda apakah sedang menonton
“penderitaan” yang berdarah-darah ataukah sedang menikmati “kegembiraan” yang melimpah ruah. Apa yang salah dengan itu semua? Orang miskin pun tak merasa bersalah apapun ketika kemiskinan yang tengah dideritanya dan sedang disandangnya pada akhirnya diliput dan dipertontonkan secara massal di layar kaca atau layar lebar. Pun, mereka (orang miskin) tak peduli lagi ketika “nasib” dan “kehidupan” nya selama ini telah dibahas, diperdebatkan, didiskusikan, dilokakaryakan, disimposiumkan, diseminarkan, dikonferensikan, dianalisis, dan dijadikan teori-teori mutakhir tentang ekonomi dan pembangunan. Mereka (orang miskin) hanya peduli terhadap apa yang bisa dimakan hari ini. Mereka (orang miskin) sudah lupa dengan masa lalu. Dan, mereka (orang miskin) pun tak berharap banyak tentang masa depan. Satu-satunya harapan adalah kenyataan yang mereka (orang miskin) hadapi hari ini. Satu-satunya kemewahan bagi mereka (orang miskin) adalah kekinian. Tak lebih. Tak kurang. Apa yang salah dengan itu semua? Barangkali tidak seluruhnya salah. Mungkin tidak semuanya keliru. Satu-satunya kesalahan adalah karena kita membiarkan (ignoring) orang miskin hanya sekedar menjadi “tontotan sesaat” demi memenuhi “syahwat” keingintahuan para “audience” dan para “tourist” serta demi melampiaskan “libido” kerakusan para “producer” dan para “shareholder” untuk membuat acara kreatif yang tidak “biasa-biasa” saja serta demi memuaskan “nafsu” ekonomis para “funder” yang ringan tangan merogoh koceknya membiayai itu semua sebagai sarana penjualan produknya kepada konsumen. Satu-satunya kesalahan yang ada adalah karena selama ini kita tak sepenuhnya mampu secara struktural-administratif menyelesaikan akar permasalahan kemiskinan yang pada gilirannya mereka (orang miskin) mampu keluar dari jebakan tirai kemiskinan dan lingkaran setan kemiskinan secara bertahap, terhormat, dan bermartabat. Hingga, pada gilirannya mereka (orang miskin) pun kelak tidak terjerembab kedalam kubangan kemiskinan yang sama seperti sebelumnya. Satu-satunya kesalahan adalah adanya persepsi yang salah dan preskripsi yang keliru bahwa secara ekonomi politik mereka (orang miskin) hanya perlu dikasihani dengan “bantuan langsung tunai” serta hanya butuh “proyek karitatif” yang menghasilkan keberdayaan instan bagi mereka (orang miskin). Satu-satunya kesalahan adalah bahwa kita semua dengan sengaja telah memperlakukan mereka (orang miskin) tak lebih hanya sebagai komoditas yang “sensual” yang telanjur
“sexy” untuk dikemas sebagai tontonan komersial di televisi. Bila itu semua yang terjadi, maka betapa bertumpuknya kesalahan kolektif kita kepada mereka (orang miskin) selama ini. Alih-alih seksi, tentunya ini bukanlah “realitas” yang terus menerus layak untuk kita pertontonkan bersama. Menteng, Jakarta, Juni 2009
SOAL HUTANG: SEBUAH CATATAN UNTUK CALON MENTERI KEUANGAN YANG BARU
Hutang adalah keniscayaan. Juga sebuah kewajaran. Dan, telah menjadi kelaziman. Bagi pelaku bisnis, hutang bukanlah “momok” yang perlu ditakuti. Bukan pula “aib” yang harus dihindari. Apalagi “penyakit” yang harus dicegah dan diobati. Hutang ka adalah “modal” yang dipinjam dari orang lain untuk dimanfaatkan dan dikelola hingga berbuah. Keuntungan bisnis sekaligus kemampuan membayar hutang. Inilah siklus “cost and benefit” yang terbukti mampu menggerakkan bisnis. Sekaligus alur perputaran uang yang dapat menumbuhkan perekonomian. Juga sebuah transaksi yang lazim, wajar, dan telah menjadi keniscayaan dalam perekonomian modern. Karenanya, hutang musti dikelola. Harus dikalkulasi. Secara cermat, dengan cerdas, sekaligus hati-hati. Bukan hanya sekedar mampu dibayarkan kembali. Tapi, juga harus bermanfaat sebesar-besarnya. Karenanya, “harga” sebuah hutang bukan hanya seberapa besar “suku bunga” berikut “cicilan” yang harus ditanggung. Tapi, juga seberapa besar “kemanfaatan” yang akan tercipta setelahnya. Dalam konteks negara. Atau bahkan pemerintah. Hutang seharusnya tak semata-mata dimaknai sebagai “tools” untuk sekedar menutup defisit anggaran setiap tahunnya. Hutang selayaknya dimengerti sebagai alternatif untuk memperluas rentang pilihan intervensi anggaran publik dan medium untuk tetap menumbuhkan keyakinan, harapan, sekaligus membiayai “rencana” pemerintah ditengah kelangkaan dan keterbatasan sumberdaya yang tersedia. Dengan demikian, hutang adalah salah satu “problem solver” yang dibutuhkan untuk memecahkan dan menyelesaikan “masalah” yang diharapkan tanpa menimbulkan “masalah baru” di kemudian hari. Dengan demikian, hutang bukan hanya masalah “nilai” tetapi juga persoalan “tempo” yang harus diperhitungkan batas dan akibatnya. Dengan demikian, hutang menjadi keniscayaan yang wajar dan lazim bagi
negara dan pemerintah untuk membiayai penyelenggaraan negara dan mengongkosi jalannya pemerintahan. Pemaknaan seperti itulah yang rasa-rasanya semakin jauh dan kabur di negeri ini. Enam puluh tahun lebih negeri ini merdeka. Empat puluh lebih negeri ini membangun. Empat puluh tahun lebih negeri ini belum sepenuhnya terbebas dari jerat, perangkap, dan penjajahan hutang. Empat puluh tahun lebih negeri ini “naik-turun” kemakmuran dan kesejahteraannya. Dimensi waktu ternyata tak selamanya berbanding lurus dengan dimensi manfaat. Terlampau sering negeri ini mengalami fluktuasi dan volatilitas perekonomian yang kelewat ekstrim. Sementara, hutang yang tertanggung - berbanding terbalik - justru terus bertambah besar jumlah dan panjang tempo pelunasannya. Hutang telah tumbuh berkembang beranak pinak dan bercucuan di negeri ini. Namun, ekonomi negeri ini belum sepenuhnya mampu memberikan kemakmuran dan menghasilkan kemajuan yang kokoh berurat berakar di masyarakat. Agregasi hutang belum sepenuhnya mampu menciptakan agregasi kesejahteraan secara otomatis. Orde Baru boleh berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Orde Reformasi. Tapi, soal hutang keduanya memiliki kegemaran (hobby) dan kebiasaan (habbit) yang seratus persen sama, persis, alias tak berbeda. Logika, justifikasi, argumentasi ataupun administrasi yang digunakannya pun persis sama. Tingkat “kepatuhan” dan tingkat “ketakutan” terhadap ancaman pemberi hutang nyaris tak berbeda. Di era Soeharto, hutang adalah satu-satunya indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat “kepercayaan” dunia barat kepada kita. Karenanya, “pembayaran hutang” adalah satu-satunya variabel yang dipakai untuk membuktikan “niat baik” dan “ketaatan” kita terhadap negara/lembaga kreditur internasional. Karenanya, tak boleh ada kata “ngemplang” dalam kamus hutang piutang negara ini. Makanya, kita begitu senang, girang, dan bangga mendapat julukan “good boy” secara berkepanjangan dari para kreditur. Disaat “boom” ataupun disaaat “crisis” kita tetap setia menyandang label “anak baik” yang tak pernah “nunggak” apalagi “ngemplang” hutang. Dan, kita pun pernah mabuk kepayang dipuja-puji sekaligus dimasukkan sebagai salah satu “negara ajaib” di Asia yang memiliki “fondasi” perekonomian yang kuat dan masa depan yang menjanjikan.
Pasca Soeharto, keyakinan dan cara kita menangani hutang masih saja sama. Banyak hal telah direformasi. Banyak soal telah direvisi. Banyak masalah telah diganti penyelesaiannya. Tapi, kita lupa mereformasi, merevisi, dan mengganti “cara pandang” dan “cara pemanfaatan” terhadap hutang. Satu-satunya perbedaan adalah adanya “diversifikasi” jenis, produk, dan orientasi hutang. Tak hanya hutang (loan) secara bilateral dan multilateral (pinjaman program dan pinjaman proyek) yang (masih saja) kita lakukan. Namun, kita mencatat adanya “kreativitas baru” untuk menerbitkan berbagai “varian” dan “turunan” dari surat utang (bond). Orde reformasi mencatat kelahiran dan proliferasi Surat Utang Pemerintah (SUP), Surat Utang Negara (SUN), Obligasi Republik Indonesia (ORI), dan Surat Utang Syariah (Sukuk). Singkatnya, tekanan bilateral dan multilateral “pelan-pelan” ingin dikurangi, selanjutnya perlahan-lahan kita akan bisa secara “independen” merencanakan dan menerbitkan portofolio hutang sendiri. Yang tentu saja lebih bebas dari intervensi asing dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Dulu, Faisal Basri pernah mengingatkan “kelemahan” logika, argumentasi, sekaligus justifikasi seperti ini. Pergeseran dari skema hutang bilateral dan multilateral menuju skema surat utang tak ubahnya seperti “lepas dari mulut singa, masuk kemulut buaya”. Artinya, tanpa manajemen hutang yang ekstra disiplin dan “super” hati-hati (prudential) maka surat utang bisa berkembang menjadi potensi bahaya yang merusak perekonomian dalam jangka panjang. Bisnis Amerika Serikat pernah nyaris bangkrut gara-gara “junk bond” yang berlebihan dan kebablasan. Juga, “T-Bond” yang diterbitkan pemerintah pada waktu itu hampir bermetamorfosa menjadi semacam “T-Rex” - nama populer untuk Tyranosaurus, binatang purba yang ganas - yang akan menerkam mentah-mentah seluruh kinerja ekonomi hingga tandas tak bersisa. Karenanya, hutang tak cukup hanya dicicil dan dilunasi. Hutang sekaligus perkembangannya perlu terus menerus dipantau dan dievaluasi tingkat keamanannya bagi perekonomian. Tapi celakanya, sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi, indikator yang digunakan untuk menunjukkan seberapa “aman” hutang dan pengaruhnya bagi perekonomian masih sama saja. Kita lebih nyaman dan terbiasa menggunakan indikator “debt service ratio” untuk menakar korelasi antara hutang dengan kinerja perekonomian yang terjadi. Artinya, selama rasio hutang terhadap “produk domestic bruto” masih rasional maka hutang kita pun masih tergolong aman. Lebih celakanya lagi, baru-baru
ini kita merasa “confident” bahwa rasio hutang terhadap PDB kita masih dibawah negara-negara maju seperti Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Kalau mau jujur, kenapa tidak menggunakan PNB sebagai nisbah pengukur tingkat keamanan hutang. Karena, realitasnya nilai PNB kita jauh lebih rendah ketimbang PDB. Lantas, apa pula perlunya membandingkan dengan rasio hutang yang dimiliki negara maju. Bukankah kekuatan, pengaruh, dan daya “recovery” ekonomi mereka jauh lebih besa, lebih kuat, dan lebih cepat ketimbang kita. Selanjutnya, saya juga sangat takjub ketika akhir-akhir ini kita merasa sedemikian “pede” dan berhasil mengelola hutang hanya atas dasar nilai hutang per kapita negeri ini lebih rendah ketimbang pendapatan per kapita. Bukankah ini adalah sebuah “common sense” yang biasa. Bukankah hutang memang harus menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi ketimbang nilai hutang itu sendiri. Kalau mau jujur, seharusnya yang disajikan adalah perkembangan nilai neto pendapatan per kapita (setelah dikurangi nilai hutang per kapita) dengan harga konstan yang diukur secara “time series” selama empat puluh tahun terakhir ini. Apakah selama rentang waktu itu telah tergambar grafik peningkatan pendapatan secara signifikan, konsisten, dan kontinyu. Hingga akan terlihat jelas perbandingan peningkatan pendapatan dari berbagai rezim pemerintahan. Hingga akan ketahuan siapa yang sukses dan siapa yang gagal. Siapa yang jujur dan siapa yang bohong. Akhirul kalam, pemaknaan kita terhadap hutang harus secepatnya diubah. Pun, politik dan pengelolaan hutang kita juga harus direvisi. Demikian pula, tujuan dan pemanfaatan atas hutang harus dikoreksi total. Seperti kaum “neolib” saya pun setuju bahwa hutang itu perlu dan karenanya bukan tabu. Saya pun mengamini pendapat kaum “nasionalis” bahwa tidak “tabu” pula untuk melakukan renegoisasi, restrukturisasi, dan penjadwalan ulang seluruh hutang demi mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan negeri ini. Saya pun mendukung sepenuhnya kaum “environmentalis” agar kita tak usah malumalu untuk memanfaatkan fasilitas “debt swap” sekaligus mekanisme “carbon trading” untuk merevitalisasi dan merehabilitasi kerusakan lingkungan yang sudah parah di negeri ini. Demikian pula, saya harus juga menyetujui pendapat kaum “strukturalis” yang berkeinginan untuk mengurangi jumlah hutang sekaligus meningkatkan kemandirian ekonomi. Saya setuju semua dengan semua pandangan dari semua aliran diatas. Satu hal
yang saya tidak setuju adalah apabila calon Menteri Keuangan kita nantinya berfikir bahwa hutang hanyalah sekedar alat untuk menutupi defisit anggaran. Dan, karenanya setiap tahun harus diciptakan jenis dan kesepakatan hutang baru. Dan, atau harus menjual satu demi satu kekayaan negeri ini. Kalau ini yang terus terjadi niscaya hutang akan menjadi tidak wajar, tak lazim, dan tabu untuk terus ditambah. Kalau ini terus dibiarkan, negeri ini akan terus menerus menggali lubang kuburnya sendiri. Hingga tak ada lagi “tanah” untuk kita “air-i” sendiri karena semua tlah tergadai! Menteng, Jakarta, Juni 2009
ANTISIPASI PASAR BEBAS: KEALPAAN DARI JANJI POLITIK
Apa yang terjadi setelah 2015. Sepertinya belum ada atau bahkan tak ada yang peduli. Bahkan, para calon pemimpin tertinggi negeri ini. Semuanya sibuk mengejar kekuasaan. Semuanya sibuk menakar kemungkinan. Semuanya sibuk terlibat pilpres. Semuanya sibuk kampanye. Atau bahkan debat. Semuanya sibuk dengan tim sukses. Semuanya sibuk dengan “ka-pe-u”. Semuanya sibuk dengan “de-pe-te”. Semuanya sibuk dengan “quick count”. Lantas, siapa yang peduli pada apa yang terjadi setelah 2015. Tahun itu pun rasanya masih terlalu lama bagi mereka. Sama seperti ketika memasuki tahun 2000. Sebuah milenium baru. Semuanya gagap. Semuanya tersentak. Semuanya kaget. Bukan kepalang. Dua ribu tahun setelah nabi Isa lahir ternyata melahirkan “millenium bugs” yang bisa memacetkan kemajuan teknologi informasi. Lantas, semua sibuk menyiapkan program untuk mengendalikan keliaran “Y2K”. Dan, itu dilakukan satu tahun sebelumnya. Luar biasa! ........ bodohnya. Tahun 2015 adalah penanda untuk hal baru. Adalah titik tolak untuk persoalan baru. Adalah gerbang untuk memasuki kemungkinan baru. Sekaligus, ketidakmungkinan baru. Tahun 2015 kita berada di kawasan yang berubah. Barangkali belum berbeda drastis. Tapi, pelan-pelan akan terjadi perkembangan yang lain ketimbang sebelumnya. Sebuah masyarakat ekonomi baru akan lahir di kawasan Asia Tenggara. Atau dikenal dengan “Masyarakat Ekonomi ASEAN”. Sebuah “sebutan” dan “besutan” yang menjanjikan sekaligus masih menyisakan banyak persoalan. Bahkan, banyak pertanyaan. Atau, barangkali penolakan.
ASEAN selama ini dikenal sebagai “paguyuban” negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk tujuan perdamaian dan keamanan. Karenanya, lebih berorientasi politik. Tentu saja dengan cita rasa “ASEAN Way” yang lebih longgar dan tidak saling mencampuri urusan domestik masing-masing. Krisis moneter pada 1997 lalu sedikit banyak telah mulai merubah orientasi ASEAN. Paling tidak, krisis telah menyadarkan perlunya kerjasama ekonomi yang lebih erat dan kuat. Hingga kawasan Asia Tenggara tidak lagi menjadi muara sekaligus korban dari “domino effect” serbuan krisis moneter. Juga, kawasan ini akan memiliki pertahanan yang kuat untuk menangkal dampak krisis ekonomi global. Dalam situasi normal, kerjasama ekonomi di kawasan ini diharapkan akan menumbuhkan salah satu bentuk kekuatan ekonomi baru. Baik sebagai basis produksi maupun pasar produk global. Sepuluh negara, dengan populasi lebih dari 550 juta penduduk, dengan nilai ekonomi lebih dari satu trilyun dollar, tentu saja merupakan potensi ekonomi yang menggiurkan dan cukup dahsyat. Kesadaran itulah yang mendasari perlunya “ASEAN Charter” yang akan memayungi upaya perwujudan integrasi perekonomian, pengurangan kemiskinan, dan pemerataan pembangunan melalui kerjasama yang saling menguntungkan diantara anggota ASEAN. Piagam yang diteken setelah krisis 1997 akan menandai evolusi dan transformasi ASEAN dari sekedar organisasi “neighbourhood” yang guyub dan penuh persaudaraan menjadi organisasi “rule based framework” yang rasional dan kohesif. Dari piagam ini akan lahir “economic community”, “security community” dan “socio-cultural community” di kawasan ASEAN. Singkatnya, piagam ini akan memastikan bahwa kawasan ini akan maju secara ekonomi, aman secara politik, dan secara sosial berbudaya. Kembali ke tahun 2015. Suka tidak suka, kita musti bicara ekonomi. Tepatnya, penyatuan ekonomi. Lebih jelasnya, regionalisasi ekonomi. Sebuah tahun yang menandai lahirnya pasar tunggal (single market) dan kesatuan basis produksi (production base) yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi kawasan, pertumbuhan ekonomi kawasan yang merata, dan percepatan integrasi ke perekonomian global. Konsekuensinya, peningkatan efisiensi melalui pengurangan restriksi pergerakan barang ( goods), jasa (services), modal (capital), investasi (investment), dan tenaga kerja terampil (skilled labour) diantara negara di kawasan ASEAN. Dengan kata lain, mulai 2015 akan terjadi
pergerakan barang, jasa, modal, investasi, dan tenaga terampil yang sangat bebas diseluruh negara anggota ASEAN. Kembali ke tahun 2015. Kita tak bisa lagi menahan serbuan produk-produk dari Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, atau Filipina. Juga, kita tak boleh “marah” bila Temasek, Petronas, atau Charoen Phokphan akan bebas menancapkan kukunya di negeri ini. Pun, kita tak bisa “sewot” bila jaringan rumah sakit, hotel, universitas, atau penerbangan mereka akan sangat leluasa membuka cabang disini dan menguasai pasar jasa negeri ini. Maka, para dokter, paramedis, akuntan, bankir, konsultan, insinyur, atau advokat mereka akan “head to head” bersaing dengan para profesional serupa di negeri ini. Singkatnya, “batas-batas” perekonomian nasional kita akan terbuka longgar. Paling tidak untuk para negara “jiran” dari ASEAN. Kembali ke tahun 2015. Alih-alih optimis dan siap. Malahan, saya jadi pesimis. Saya tak melihat strategi ekonomi apa yang akan digunakan untuk meningkatkan kesiapan daya saing penduduk negeri ini untuk menghadapi pasar bebas ASEAN. Sekaligus, strategi bisnis apa yang dipakai untuk memasuki dan membanjiri pasar ASEAN dengan barang-barang, jasa-jasa, dan modal-modal yang dihasilkan dan berasal sepenuhnya dari negeri ini. Hingga, perekonomian kita tidak saja hanya bisa “mandiri” secara nasional, tetapi juga harus “bergigi” secara regional di kawasan Asia Tenggara. Saya tak melihat itu semua dalam seluruh “janji politik” para calon presiden selama kampanye pilpres. Semua “visi dan misi” para calon presiden kelewat sibuk berjudi dengan “agenda domestik” hingga alpa dengan agenda untuk memenangi persaingan di pasar bebas ASEAN. Semuanya sibuk menggantang angan-angan untuk periode kekuasaan 2010-2014. Tapi tak ada yang menghitung hingga ke tahun 2015. Kembali ke tahun 2015. Saya berharap agar presiden terpilih akan merevisi seluruh janjinya. Paling tidak melakukan “review” agar janji-janji politiknya kelak akan “fit and proper” sekaligus “links and match” dengan kebutuhan untuk memenangi persaingan di pasar bebas ASEAN. Hingga, visi dan misinya dapat “dilanjutkan” dan “bisa” diterjemahkan kedalam rencana pembangunan selama lima tahun kedepan. Hingga, seluruh rencana pembangunan dapat “dilanjutkan” dan “bisa” diartikulasikan kedalam kegiatan-kegiatan pembangunan setiap tahunnya. Hingga, seluruh kegiatan pembangunan
dapat “dilanjutkan” dan “bisa” diaksentuasikan kedalam prioritas dan fokus yang jelas, lugas, dan terukur, baik alokasi, durasi, maupun lokasinya. Hingga, seluruh keluaran, hasil, dan dampak pembangunannya akan mampu “melanjutkan” upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara “lebih baik” dan “lebih cepat” serta “bisa” memperkuat ketahanan dan kemajuan ekonomi masyarakat menghadapi persaingan di pasar bebas manapun. Kalau tidak, maka yang kita peroleh hanyalah “kelanjutan” dari berbagai cerita kekalahan negeri ini sebelumnya dan rakyat akhirnya hanya “bisa” menjadi “koeli” di negeri sendiri. Entah sampai kapan. Menteng, Jakarta, Juli 2009
PANGLIMA
Salah satu kecintaan kita kepada militer barangkali adalah seringnya penggunaan kata “panglima” dalam kamus ketatanegaraan kita selama ini. Atau, barangkali salah satu keberhasilan militerisme di negeri ini. Paling tidak, ejekan politik Orde Baru terhadap kegagalan Orde Lama salah satunya adalah karena terbukti menerapkan “politik sebagai panglima” untuk menentukan arah dan cara mengurus negara. Hingga, seluruh urusan negara terlalu sarat dengan beban dan kepentingan politik yang berlebihan. Karenanya, negara diurus dengan pendekatan “dari, oleh, dan untuk politik”. Barangkali Orde Baru salah. Betapa tidak. Selama masa itu kita mencatat berbagai “political engineering” sekaligus “political innovation” yang sangat berani, berkualitas tinggi, sekaligus komplit. Sistem pemerintahan presidensial dan parlementer pernah dicoba kedua-duanya. Berbagai partai politik lahir, tumbuh, dan berkembang tak peduli ideologi dan alirannya. Semua boleh “exist” tanpa kecuali. Kaum nasionalis, kaum agamis, kaum sosialis, bahkan kaum komunis dan kaum “lokalis” boleh berkumpul dan berserikat secara bebas. Alih-alih diamandemen, konstitusi negara pun boleh dirubah, ditafsirkan, dan disusun kembali. Karenanya, konstituante boleh bekerja dengan leluasa. Barangkali Orde Baru keliru. Betapa tidak. Selama era itu kita mencatat tumbuh berkembangnya “political participation” dan “political culture” yang hebat, bersemangat, sekaligus santun. Rakyat tak hanya “terlibat” tapi terjun secara aktif dalam ranah pemikiran dan gelanggang politik praktis. Elite partai tak hanya sibuk mengejar kekuasaan tapi juga bekerja keras melakukan pendidikan politik kepada rakyat tanpa henti. Rakyat tak sekedar tahu dan menuntut “hak politik” tapi juga sadar terhadap “kewajiban politik” kepada sesama dan negaranya. Pendeknya, politik tak hanya membuncah tapi juga sangat bergairah dan mencerahkan. Budaya politik pun berkembang. Hingga, politik tak hanya sekedar persoalan “institusionalisasi” tapi juga berkembang menjadi “internalisasi” yang mengakar kuat di masyarakat. Politik tak jatuh
hanya menjadi “radikalisme” dan “fanatisme” belaka tapi justru sebaliknya berkembang secara normal dan damai. Konon, Aidit yang komunis bisa ngobrol santai dan ngopi bareng Natsir yang islamis selepas berdebat hebat di gedung konstituante. Tapi, Orde Lama pun tak sepenuhnya benar. Dua puluh tahun setelah merdeka, energi bangsa memang terkuras habis untuk keperluan integrasi bangsa dan kebutuhan eksplorasi politik. Stamina rakyat pun ada batasnya. Politik menjadi terlalu berlebihan. Pemerintahan terlalu sering berganti dan pendek umurnya. Kabinet terlalu sering berubah. Kebijakan nasional tak pernah tuntas benar. Perekonomian terbengkalai. Perencanaan macet. Pembangunan jalan ditempat. Ujung-ujungnya, kesejahteraan rakyat tak terurus. Disaat seperti itulah, titik balik pergantian sebuah orde kekuasaan menjadi sebuah keniscayaan sekaligus kebutuhan baru yang menggoda untuk dicoba. Karenanya, lingkaran politik musti dipotong. Antitesis musti diciptakan. Jarak musti diambil. Lantas, Orde Baru menjadi label yang benar-benar “baru” untuk kekuasaan dan penguasa yang baru. Dan, orde sebelumnya akhirnya dicap sebagai “orde kolot” alias Orde Lama. Tesis baru pun disusun. Politik dan berpolitik menjadi “berdosa”. Politik diberangus dan diperas hingga menjadi monolitik. Politik terlalu “berisik” hingga perlu distabilkan volumenya. Karenanya, ekonomi menjadi “panglima” baru untuk kita semua. Pembangunan menjadi mantra baru. Perencanaan menjadi kegairahan baru. Teknokrat menjadi profesi baru yang jauh lebih bergengsi ketimbang politisi. Namun, pembangunan juga melahirkan ketimpangan. Ekonomi juga menumbuhkan konglomerasi. Birokrasi juga mengembangkan korupsi. Pemerintahan juga menyuburkan pemusatan. Politik bukan lagi cara mengelola perbedaan tapi berubah jadi represi untuk memaksa keseragaman. Ideologi disterilkan menjadi asas tunggal. Partai terlalu disederhanakan. Mahasiswa terpaksa dinormalisasikan. Pers dibreidel bila terlalu bandel. Agama dilembagakan. Organisasi non pemerintah di “LSM” kan. Atas nama pertumbuhan, pembangunan, dan kemajuan semuanya harus tunduk dibawah komando panglima ekonomi. Bila Soekarno telah berhasil melakukan “nation building” dan “character building” maka Soeharto ingin dikenal dengan kesuksesannya melakukan “capacity building” untuk bangsanya. Celakanya, kapasitas ekonomi yang meningkat selama Orde Baru lantas merosot tajam dan amblas dihantam krisis.
Kini, reformasi mengangkat panglimanya yang baru. Hukum sebagai panglima. Maka, kesibukan terbesar selama Orde Reformasi adalah “menghukum” sekaligus “menciptakan hukum”. Sepuluh tahun reformasi telah menciptakan eskalasi dendam dan tuntutan atas nama hukum. Demi otonomi, daerah dendam kepada pusat hingga kebablasan. Desentralisasi menjadi urgensi. Demi demokrasi, semua harus dipilih langsung. Pemilu menjadi bisnis baru. Demi hak asasi, kasus-kasus pelanggaran HAM dibuka dan dipersoalkan entah sampai kapan. Penyelidikan dan peradilan menjadi agenda yang berdesakan untuk dijalankan. Demi administrasi, negara harus ditata ulang dan dikelola dengan baik, benar, dan bersih. Good Governance dan Clean Goverment menjadi jargon baru. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kredo baru. Organisasi masyarakat madani lebih bergigi ketimbang birokrasi. Bila Orde Lama menciptakan “melek politik”. Dan, Orde Baru melahirkan “melek ekonomi”. Maka, Orde Reformasi sedang meningkatkan “melek hukum”. Tapi, reformasi juga menumbuhkan involusi. Sekaligus polusi. Serta distorsi. Otonomi tumbuh menjadi “auto-money” dan melahirkan raja-raja lokal. Demokrasi berkembang menjadi “demo-crazy” yang makin vulgar, binal, dan radikal. Hak asasi berubah menjadi cerita fiksi yang tak bertepi. Peradilan tergoda menjadi lembaga perniagaan. Bila militer “keteter” maka kepolisian dan kejaksaan sedang menggenggam kekuasaan. Kehakiman tak lagi “main hakim sendiri” tapi sudah “berjamaah” dengan siapa saja yang mau bekerja sama. Pengacara semakin bergaya dan tak malu menunjukkan kekayaannya. Singkatnya, hukum menjadi urusan yang “enak dijual dan mahal”. Lalu? Lantas? Kemudian? Inilah celakanya kita. Perjalanan tiga “orde” belum bisa mewujudkan pertumbuhan bangsa yang semakin maju, cerdas, berkemakmuran, dan berkeadilan. Orde hanya menjadi agregrasi kemarahan yang terus berulang. Orde belum menjadi integrasi kesejahteraan yang kontinyu. Kesadaran politik, kebangkitan ekonomi, dan kepatuhan hukum belum menjadi keberlanjutan dan kesinambungan perjalanan bangsa. Tiga orde dan tiga rezim hanya bisa saling “menegasikan” satu sama lain. Tiga orde dan tiga rezim hanya menjadi “puzzle” yang tak menyatu dalam kesatuan sejarah.
Akhirnya? Barangkali kita memang sudah tak butuh lagi panglima. Dan tak perlu lagi orde. Apapun bentuknya. Siapapun orangnya. Yang paling dibutuhkan barangkali semacam “kebesaran hati” untuk memaafkan masa lampau sekaligus “kerendahan hati” untuk mengumpulkan “karya terbaik” yang berserakan di masa lantas “keberanian hati” untuk menyatukannya dalam semangat baru membangun negeri yang lebih baik, lebih tepat, dan lebih cepat. Hanya dengan belajar dari kesalahan-kesalahan besar di masa lalu dan tak mengulanginya lagi di masa kini, kita akan menjadi bangsa besar di masa depan. Tanpa kesadaran seperti itu maka negeri ini akan terus menerus tersesat dalam labirin sejarah yang tak punya arah dan tak tahu jalan keluar dari masalahnya sendiri. Hingga, kita pun akan selalu bergantung kepada “referensi”, “donasi”, “fasilitasi”, dan “akreditasi” luar negeri sekedar mencari siapa yang terbaik untuk memimpin negeri ini, apa yang tepat untuk kebutuhan negeri ini, bagaimana cara yang pas untuk mengurus negeri ini, dan bilamana negeri ini sudah pantas menjadi negeri yang adil dan makmur di muka bumi. Menteng, Jakarta, Juli 2009
KESEDERHANAAN: KEJAM DAN JADUL!
Konon, Habibie pernah menangis ketika mengunjungi dan melihat langsung kediaman Ayatollah Khomeini ketika masih berkuasa sebagai imam besar Iran. Betapa tidak, seorang pemimpin para mullah, pemimpin revolusi Islam, pemimpin spiritual kaum syiah, sekaligus pemimpin tertinggi pemerintahan Iran hanya tinggal di rumah yang sempit dan lengang. Sama sekali tak ada tanda-tanda kemewahan didalamnya. Ironis memang. Di jaman modern mungkin hanya Khomeini - yang tentu saja bukan termasuk kaum ahlus sunnah wal jamaah - yang justru terbukti meneladani kesederhanaan Muhammad SAW. Hanya Khomeini yang masih i’tiba kepada sang Rasul Agung. Sementara, pemimpin negara Islam lainnya - yang tentu saja mengklaim sebagai bagian dari kaum sunni - malah bermewahmewah dengan kekuasaan. Mungkin karena itu pula seorang Habibie lantas menangis. Para “founding father” kita dulu pun juga sederhana. Bahkan, untuk seorang Soekarno yang terkenal flamboyan sekalipun. Meski terkenal “dendi” dan “necis” dalam berdandan, Soekarno tak lantas bermewah-mewah. Soekarno tetap dikenal sebagai pemimpin yang sederhana. Berbagai proyek mercu suar yang digagasnya waktu itu tak membuat Soekarno menjadi seorang kaya raya setelahnya. Tugu Monas, Masjid Istiqlal, Hotel Indonesia, Gedung DPR, Jembatan Semanggi, Jembatan Ampera, Gelora Senayan, bahkan Toserba Sarinah adalah sebagian dari “proyek raksasa” yang sengaja dibangun untuk menunjukkan bahwa Indonesia bisa sederajat dengan bangsa barat. Insinyur Indonesia pun bisa bersaing dengan insinyur barat. Setelahnya, kita mencatat seorang Soekarno meninggal dalam keadaan sederhana tanpa tumpukan harta benda yang melimpah untuk keturunannya. Bahkan, koleksi lukisannya lebih banyak digunakan untuk memperindah dekorasi Istana Merdeka, Istana Bogor, dan istana lainnya milik negara.
Demikian pula dengan Hatta dan Sjahrir. Keduanya pun hidup sederhana hingga tutup usia. Sebagai tokoh nasional, keduanya seringkali kehabisan uang untuk menafkahi keluarganya. Atau, barangkali keduanya tak sempat bekerja untuk keluarga. Sebagai bekas Wakil Presiden dan Perdana Menteri, keluarganya sering tak punya uang sepeser pun untuk sekedar membayar listrik. Apalagi untuk hidup berlebih di Jakarta. Demikian pula dengan Tan Malaka. Seorang penggagas konsep negara republik Indonesia yang namanya sangat ditakuti sekaligus disegani di seantero Eropa Barat, Eropa Timur, dan Asia akhirnya tewas mengenaskan tanpa sempat (berfikir) mengumpulkan kekayaan untuk keluarganya. Demikian pula dengan Jenderal Sudirman. Seorang panglima besar yang terus bergerilya melawan pendudukan kembali Belanda hingga harus ditandu oleh pasukannya, hingga harus melupakan penyakit bronkitis yang kronis, demi menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia masih berdaulat dan masih mampu menunjukkan perlawanan yang berarti terhadap agresi militer dari luar. Bahkan, Sudirman pun kelewat sederhana secara materi untuk ukuran seorang jenderal besar. Setelah itu kesederhanaan pelan-pelan mulai hilang. Selama Orde Baru kita mencatat bahwa kesederhanaan hanya ada dalam konsep, wacana, dan himbauan belaka. Rakyat seringkali dianjurkan untuk hidup sederhana, untuk “mengencangkan ikat pinggang”, tetapi para pemimpin negara justru menunjukkan kemewahan hidup. Rakyat terbiasa melihat di televisi bahwa seorang Soeharto seringkali memamerkan hobi yang sangat mewah untuk ukuran waktu itu. Main golf, memancing di laut, dan mengisap cerutu adalah kebiasaan “mewah” yang disukai Soeharto, yang ironisnya sering ditunjukkan secara langsung kepada rakyat. Meski pada saat yang sama, Soeharto menghimbau rakyat untuk hidup hemat dan sederhana. Demikian pula Soeharto bisa bicara fasih dan tampil memukau di hadapan petani, tetapi pada saat yang sama bisa dengan seenaknya memberikan konsesi dan proteksi kepada para konglomerat secara berlebihan. Soeharto pun seringkali menghimbau pentingnya gerakan koperasi, tetapi di saat yang sama juga sangat vulgar mempersiapkan konglomerasi untuk anak cucunya. Setelah itu kesederhaan perlahan mulai lenyap. Korelasi antara kekuasaan dan kekayaan yang dipamerkan Soeharto nyata-nyata telah menjadi “preseden” yang diikuti habishabisan oleh para pejabat negara dan pejabat daerah serta sanak keluarganya. Apabila seorang pejabat dan mantan pejabat hidup sederhana maka akan menjadi “keanehan”
dan “ketidakwajaran” pada masa itu. Pasti mereka tidak pintar menggunakan kekuasaan selama menjabat sebuah jabatan. Pasti mereka tidak cerdas memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Apabila anak seorang pejabat atau seorang bekas pejabat hidup dalam kesederhanaan maka akan menjadi “keganjilan” dan diluar “kebiasaan” normal. Pasti mereka tak cukup pintar mengoptimalkan kekuasaan orang tuanya untuk sebesar-besarnya meningkatkan kekayaan dan kemakmuran keluarga. Pasti mereka tak mampu mengkombinasikan antara konsep “extended power”, “extended family”, dan “extended prosperity” kedalam satu kesatuan utuh. Kini kesederhanaan telah mati. Karena orang mau membayar mahal untuk sebuah kursi. Karena orang mau berkorban habis-habisan untuk jadi politisi di parlemen. Karena orang mau menghamburkan amunisi untuk jadi bupati. Karena orang masih mau mati-matian untuk jadi menteri. Atau, masih banyak yang “deg-deg-an” menunggu telpon untuk diangkat jadi menteri. Maka, jabatan bukan lagi sebuah “amanat” melainkan “rezeki” yang harus direbut dan disyukuri. Ketika orang sudah duduk di kursi legislatif, sudah berhasil jadi bupati, sudah dipilih sebagai menteri, maka kita akan sering mendengar ucapan “alhamdulillah” berulang kali, maka kita akan sering melihat acara sujud syukur dan syukuran di televisi. Seolah seperti menerima durian runtuh dan rezeki nomplok yang terduga-duga sebelumnya. Amien, amien, ya robbal alamien. Karena jabatan adalah “gengsi” yang harus dibiayai maka jangan heran bila terlampau sering kita melihat munculnya barisan “orang kaya baru” atau lahirnya pengikut aliran “snobisme” baru yang suka tampil mematut diri dengan simbol-simbol “prestise” dan lambang-lambang “kebendaan” yang norak dan kasat mata. Semuanya harus terlihat “trendy” dan “gadget” di mata konstituen dan di hadapan rakyat. Karena jabatan adalah “rezeki” yang harus dicari maka jangan heran bila masa jabatan adalah periode “pengembalian modal” untuk membayar “biaya” yang sudah dibayarkan sekaligus “opportunity cost” yang harus dimanfaatkan secara efisien, efektif, dan optimal untuk menumpuk kekayaan sebagai bagian dari “cost and benefit” yang sudah diperhitungkan sejak awal. Calon pejabat pun sudah terlatih dengan “sense of business” sejak mula.
Akhirul kalam, bila semua ini terus berjalan, berlanjut, dan berkembang maka jangan harap kesederhanaan akan tumbuh subur di kalangan pemimpin dan jangan bermimpi kesederhanaan akan berkembang pesat dalam segenap kepemimpinan di negara ini. Karena bagi mereka, kesederhanaan hanyalah cerita usang yang ketinggalan jaman (kejam) sekaligus kisah basi dari jaman dulu (jadul). Dan, saya tak tahu apakah Habibie akan menangis kedua kalinya melihat kenyataan yang benar-benar nyata dan sedang terjadi di negerinya sendiri. Menteng, Jakarta, Juli 2009
LUPA LUPA INGAT: TAHI AYAM MASIH HANGAT
Dalam dunia politik di Indonesia selama ini dikenal adanya beberapa anomali. Pertama, terjadi “de-ideologi” dalam politik praktis, yang ditandai dengan makin merosotnya perolehan suara partai-partai politik yang berbasis ideologi tertentu. Karenanya, partaipartai Islam pada pemilu lalu anjlok suaranya. Beberapa diantaranya malahan harus bubar atau berganti nama. Demikian pula, dengan partai-partai yang berbasis agama katolik dan kristen protestan. Semua tak lolos jebakan “electoral threshold”. Pun, dengan partai-partai kecil yang menjual ideologi nasionalisme. Semuanya rontok. Jadi, yang lulus “fit and proper test” dalam pemilu hanyalah partai-partai besar yang berbasis nasionalisme-sekuler, yang notabene berideologi pragmatis. Barangkali ini memang keberhasilan Soeharto dulu yang memberangus berbagai partai politik yang masih memperjuangkan aliran ideologis tertentu. Keberhasilan Soeharto tampaknya berlanjut hingga kini. Mungkin, untuk masa-masa mendatang pula. Anomali kedua, terjadinya “ruralisasi politik”. Ketika pemilu berikut kampanyenya berjalan maka dapat dipastikan semua partai politik berebut suara dan pengaruh di kawasan perdesaan. Semua partai bicara tentang desa, “wong ndeso”, dan perlunya pembangunan pertanian, pembangunan perdesaan, dan penanggulangan kemiskinan. Fakta bahwa sebagian besar penduduk kita masih tinggal di kawasan perdesaan merupakan “kue politik” yang menarik untuk diperebutkan dan diperjuangkan dengan gigih, kalau memang mau menang pemilu. Fakta bahwa sebagian besar mereka berpendidikan rendah dan miskin merupakan “lumbung suara” yang berharga untuk dibujuk dan dipengaruhi (atau dibeli) dengan cara-cara yang mudah sekaligus murah. Fenomena ini tipikal negara berkembang. Sama seperti yang terjadi di India, Pakistan, atau negara-negara Afrika. Semua politisi melalukan “turba” ke desa-desa untuk merebut suara dan mendulang dukungan politik.
Anomali ketiga, terjadinya “urbanisasi politik”. Setelah pemilu selesai. Setelah politisi mendapatkan kursi. Setelah kabinet terbentuk. Dan, pemerintahan berjalan. Maka semua proses kebijakan politik yang terjadi akan lebih banyak diarahkan untuk men-servis orang-orang kota habis-habisan. Bila kawasan perkotaan tidak mampu dilayani atau dipuaskan maka jatuhlah pemerintahan. Sejarah mencatat, Soekarno dan Soeharto jatuh karena tak mampu mengendalikan “hyper inflation” dan “economic crisis” yang banyak memukul kehidupan orang-orang di kawasan perkotaan. Demikian pula, Habibie dan Gus Dur yang harus “kalah” karena kasus politik memalukan yang hanya bisa difahami orang-orang kota. Ketika mereka sudah tidak percaya maka umur politik sebuah rezim tinggal menunggu uzur. Jatuhnya kaisar-kaisar romawi ternyata menurut catatan sejarah lebih banyak disebabkan adanya “kegagalan” untuk terus menerus melayani dan memuaskan “selera” dan “nafsu” orang-orang terdidik di kota Roma. Maka, setelah pemilu usai persoalan melayani orang-orang kota (yang berpendidikan, yang kritis) menjadi sebuah urgensi. Anomali keempat, adalah adanya “amnesia politik”. Sebelum pemilu (legislatif ataupun presiden bahkan kepala daerah) semua membuncahkan janji-janji hingga ke sorga. Hampir semua partai atau elit politik menjanjikan “apa saja” asal bisa memenangi pemilu. Semua partai tak luput dari penyakit menjanjikan “program-program populis” untuk memenangkan dukungan politik sesaat dari rakyat. Bahkan, tak sedikit yang sudah menggelontorkan “duit” lewat berbagai program dan kegiatan yang langsung berdampak kepada kehidupan nyata masyarakat. Setelahnya. Sesudahnya. Partai dan politisi sudah “lupa” dan karenanya tak “ingat” lagi terhadap janji-janji yang telah disuarakan menjadi rayuan politik selama pemilu. Setelahnya. Sesudahnya. Kabinet terbentuk. Pemerintahan berjalan. Sekaliannya “lupa-lupa ingat” untuk mewujudkan kebijakan publik yang mampu merealisasikan “political list” yang pernah dijanjikan sebelumnya. Betapa kita masih ingat pertarungan “pilpres” yang penuh kubu, yang penuh amarah, yang penuh gugatan, yang penuh kecaman. Setelah, “EmKa” memutuskan siapa pemenang, siapa pecundang, maka semuanya kembali tenang. Yang ribut sekarang justru bukan menegakkan “koalisi” dan menguatkan “oposisi”. Yang nyata-nyata terjadi justru “merapatkan diri” atau “berkoalisi lagi” dengan pemenang pilpres yang baru demi “kemaslahatan negeri”. Siapa tahu ada kader partai yang bisa jadi menteri. Oposisi? Sudah lupa tuh! Amboi!
Anomali kelima, berkembangnya “skeptisisme politik” atau “sinisme politik”. Sistem politik kita yang secara teoritis adalah demokratis ternyata membuat sebagian besar rakyat mulai skeptis dan sinis. Sekian ratus proses dan ritual “election” ternyata belum menumbuhkan kesadaran politik yang kuat dan belum mengembangkan budaya politik yang bermartabat. Pilkada, Pileg, dan Pilpres secara empiris hanya menunjukkan bahwa demokrasi secara formal telah berjalan. Namun, kesadaran politik mengalami penurunan. Hak-hak politik sekaligus kewajiban-kewajiban politik belum mampu mencapai “level” dan kualitas yang diharapkan, yaitu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan yang luas di masyarakat. Tetapi, budaya politik juga belum berurat berakar dalam praktik politik. Pecundang tak siap dengan kekalahan. Pemenang pun pongah dan arogan dengan kemenangan. Politik pada gilirannya adalah medan pertarungan kepentingan yang menjurus kepada kebencian. Kebudayaan politik kita masih sangat dipengaruhi kultur, mitos, dan “image” yang berlebihan sehingga kurang menakar dan mengukur tentang “agenda politik” yang ditawarkan politisi. Di sisi lain, kaum terdidik kita masih suka menjadi bagian dari “golput” baik yang sengaja masuk dalam “golongan putih” alias tidak memilih secara sadar; maupun yang secara konyol masuk dalam “golongan luput” alias tidak bisa terdaftar sebagai pemilih, karena tak ada dalam “DePeTe” yang berteletele. Anomali pertama mungkin akan menjadi “pekerjaan rumah” bagi partai-partai yang masih (dan akan terus) mengangkat ideologi sebagai “roh” politik yang akan diperjuangkan. Persoalannya, mereka harus siap dengan semakin pragmatisnya masyarakat sehingga ideologi apapun yang akan diangkat harus dapat melakukan “rekonsiliasi” dengan tantangan kehidupan yang semakin pragmatis, yang nyata-nyata dijalani sebagian besar masyarakat. Anomali kedua dan ketiga akan semakin berkurang apabila aksesibilitas masyarakat terhadap pendidikan dan kesejahteraan semakin meningkat dalam masa-masa mendatang. Anomali keempat dan kelima bukanlah persoalan yang sederhana. Karenanya, membutuhkan “kebajikan politik” sekaligus “kesadaran politik” yang luas baik di kalangan elit politik maupun massa politik. Apabila, politik hanyalah sebuah upacara yang harus dikerjakan dan “diingat” setiap lima tahun sekali dan sesudahnya kita gampang “lupa” dan “melupakan” amanat yang telah diberikan masyarakat maka jangan salahkan rakyat untuk selalu skeptis dan sinis terhadap apapun yang akan dihasilkan dari sebuah
rezim pemerintahan. Karenanya, politik negeri ini akan selamanya dikutuk sebagai hanya sekedar “hangat-hangat tahi ayam” selebihnya produk politik yang dihasilkan akan menjadi kotoran yang baunya tak sedap. Dan, kalau ini yang terjadi maka bolehlah kelompok musik Kuburan mendendangkan tembangnya “.............lupa…..lupa…..lupa…..janjinya......ingat.....ingat…..ingat....kursinya..................... lupa....lupa.....lupa....partainya......ingat.....ingat.....ingat....menterinya......” demikian seterusnya hingga negeri ini akan benar-benar menjadi “kuburan” bagi politik yang berakal sehat, terhormat, bermartabat, dan tidak sesaat. Selamat datang di “republik plesetan” yang terus menerus “kepleset” dengan kebodohan! Menteng, Jakarta, September 2009
MEMBACA ELIZABETH E. GRAVES: PELAJARAN YANG HILANG DARI RANAH MINANG
Gus Dur pada pertengahan tahun delapan puluhan pernah menulis artikel di Kompas tentang semakin berkurangnya peran “kaum cerdik pandai” minangkabau dalam konstelasi politik dan kenegaraan pada era itu. Artikel Gus Dur sebenarnya ingin mempertanyakan hilangnya elit politik dan kaum terdidik dari minangkabau ketika Orde Baru mulai berkuasa. Dengan kata lain, Gus Dur merasa resah dan jengah dengan semakin hilangnya politisi dan intelektual minang dalam percaturan politik dan pemikiran pada saat itu. Padahal sebelumnya, sejak zaman kolonialisme Belanda hingga era berakhirnya Orde Lama, ranah minang telah memasok sedemikian banyak “urang awak terbaik” nya terhadap pergerakan, perjuangan kemerdekaan, serta pergulatan pemikiran ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Tan Malaka, Sjahrir, Hatta, Agus Salim, Natsir, dan Sjafruddin bukan sekedar “founding fathers” tetapi juga para “guru bangsa” yang sangat hebat dan komplit dalam membentuk Indonesia sebagai sebuah “nation”. Karenanya, nasionalisme orang minang tak bisa diragukan lagi. Bahkan sebelumnya, semangat perlawanan orang minang terhadap Belanda juga sangat tinggi. Perang Padri juga hampir berdampak seperti Perang Diponegoro bagi Belanda. Sama-sama sengit, berlangsung tahunan, dan sama-sama menguras kas VOC. Barangkali, PRRI-Permesta bisa menjadi jawaban terhadap mulai menyurutnya peran politik orang minang. Paling tidak, nasionalisme orang minang mulai “sedikit tercemar” (atau minimal mulai dipertanyakan) akibat pemberontakan separatisme daerah yang “tidak puas” dengan sentralisme Jakarta model Soekarno pada waktu itu. Tapi, barangkali dugaan itu salah. Atau, kesimpulan itu berlebihan. Yang jelas, sejak Orde Baru yang paling tampak mencolok justru peran ekonomi (atau bisnis) orang minang. Hingga sebutan orang minang sedikit banyak terdistorsi menjadi orang Padang. Yang secara stereotip pula diplesetkan menjadi “Pandai Dagang”. Sampai sekarang distorsi itu pun
masih berlangsung. Dan, stereotip itu pun masih berlaku. Selebihnya, budaya minang yang seringkali mendominasi alam bawah sadar kita hanyalah soal-soal seperti tingginya kedudukan perempuan dalam hak waris, budaya lelaki yang harus “dibeli” dalam perkawinan, dan kebiasaan merantau. Sialnya, itupun tanpa eksplorasi atau penjelasan yang lebih rinci dan lebih tepat secara substansi. Dalam konteks kebutuhan negara modern sekarang ini banyak pelajaran tentang modernitas yang bisa kita petik dari kebudayaan minangkabau untuk kita adopsi dan terapkan dalam situasi kekinian. Pelajaran pertama adalah perlindungan perempuan dan penghargaan gender. Dalam budaya minang dikenal adanya sistem harta waris yang bersifat matrilineal. Sistem pembagian harta waris ini dalam praktiknya memberikan porsi terbesar kepada perempuan. Biasanya untuk harta yang tidak bergerak. Dengan demikian, seorang perempuan tidak akan jatuh secara ekonomi dan sosial manakala ditinggal mati suaminya. Karena secara “basic need” sudah tercukupi kebutuhannya dengan mengelola warisan berupa harta tak bergerak seperti lahan sawah dan ladang. Bahkan, perempuan juga dimuliakan (dan diharuskan) untuk selalu tinggal di rumah gadang, dengan segala kebesarannya. Sementara, laki-laki yang beranjak dewasa harus tinggal di surau. Jadi, dalam soal penghargaan terhadap “gender” budaya minang tampaknya lebih maju ketimbang budaya barat.
Pelajaran kedua adalah perlindungan budaya dan kolektivitas kehidupan. Dalam budaya minang dikenal adanya daerah kesatuan adat yang berupa nagari. Berbeda dengan konsep desa di Jawa yang lebih bersifat administratif, konsep nagari merupakan perpaduan dari pengelolaan budaya (culture) dengan pengelolaan masyarakat (society) secara kohesif. Karenanya, nagari merupakan unit terkecil yang harus dipertahankan untuk “memelihara” dan “mengembangkan” adat sekaligus sebagai sumber penghidupan ekonomi warganya secara kolektif. Karenanya, tanah-tanah nagari merupakan tanah adat yang tidak bisa diperjualbelikan seenaknya. Inilah yang membedakan dengan konsep dusun di Jawa yang secara historis tidak lagi mengenal kepemilikan lahan secara kolektif. Yang terjadi di Jawa justru adanya tren “perpencaran tanah” atau pembagian lahan-lahan pertanian menjadi semakin sempit sebagai konsekuensi pembagian harta warisan. Singkatnya, konsep nagari akan mengharuskan perlindungan atau pemeliharaan terhadap tegaknya adat suatu kelompok budaya (cultural modes) sekaligus juga mengharuskan
adanya kecukupan pemenuhan kebutuhan hidup melalui kolektivitas pengelolaan tanahtanah produktif (economic modes) sebagai bentuk “trust fund” secara ekonomis. Bukankah ini lebih hebat ketimbang sistem komunal di negeri sosialis?
Pelajaran ketiga, adalah egaliterianisme kehidupan. Dalam budaya minang prinsip egaliterianisme telah lama dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada dasarnya budaya minang tidak mengenal sistem hirarki kebudayaan yang ketat seperti di Jawa. Hubungan antara penghulu adat, cerdik pandai, pemuka agama, dan warga nagari tidak “sekaku” hubungan serupa di Jawa. Semua bisa berinteraksi secara egaliter dan spontan. Karenanya, proses pengambilan keputusan di nagari lebih banyak didasarkan kepada kesepakatan dan musyawarah diantara pilar-pilar komunitas nagari tersebut ketimbang adanya pemaksaan sepihak oleh penghulu adat kepada seluruh pilar dan anggota nagari yang menjadi tanggung jawabnya. Bahkan, dalam bukunya yang berjudul “Asal Usul Elite Minangkabau Modern” Elizabeth E. Graves melukiskan kentalnya budaya egaliterianisme tersebut melalui persepsi seorang pemimpin militer tertinggi Belanda untuk Sumatera Barat terhadap tingginya kemerdekaan individu orang minang. Jenderal De Stuers pada tahun 1824 menyatakan bahwa terdapat sedikit saja perbedaan antara pemimpin dan rakyatnya. Dalam kata-kata Stuers “semua ingin memerintah, tak seorang pun mau diperintah”. Namun, budaya egaliter itu juga terjadi secara internal di tingkat keluarga. Dalam novelnya yang berjudul “Salah Pilih” Nur Sutan Iskandar dengan pas menggambarkan kesetaraan hubungan antara orang tua dan anaknya berkaitan dengan keputusankeputusan penting dalam kehidupan. Novel yang mengambil “setting” di wilayah Maninjau tersebut melukiskan betapa di tahun 1928 seorang ibu masih memberikan keleluasaan kepada seorang anaknya untuk menentukan calon istrinya. Bahkan, tokoh ibu yang bernama Mariati masih bisa memahami keinginan Asri (anaknya) untuk melakukan “pacaran” terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk melangsungkan perkawinan. Pada titik inilah, seorang ibu yang terdidik secara tradisional bisa melakukan rekonsialisasi secara egaliter dan “cair” terhadap perubahan budaya dalam konteks hubungan psikologis antara laki-laki dan perempuan. Saya yakin, pada masa itu masih banyak terjadi budaya “kawin paksa” di daerah-daerah lain.
Pelajaran keempat, adalah otonomi dan desentralisasi politik. Berkaitan dengan hal ini, Elizabeth E. Graves juga menggambarkan bahwa secara keseluruhan di wilayah Sumatera Barat pada zaman kolonialisme Belanda tidak dimungkinkan adanya pemerintahan langsung yang terpusat (sentralistik) seperti yang telah berhasil diterapkan di Jawa. Mengingat secara historis di ranah minang tidak pernah dikenal adanya kerajaan yang kuat dan sentralistik seperti kerajaan Majapahit dan Mataram di Jawa maka Belanda gagal untuk memaksakan sentralisme kekuasaan politik melalui hirarki pemerintahan yang ketat seperti di Jawa. Bahkan, satu-satunya kerajaan yang pernah ada di ranah minang, yaitu kerajaan Pagarruyung; bentuk, pola, dan sifat pemerintahannya sangat jauh berbeda ketimbang kerajaan di Jawa. Secara historis, kerajaan Pagarruyung lebih mirip dengan institusi “konfederasi” dari nagari-nagari yang tidak memiliki legitimasi untuk memaksa (coercive) sekaligus tidak menurunkan raja-rajanya berdasarkan keturunan. Singkatnya, kerajaan Pagarruyung bukanlah cerminan eksistensi sebuah dinasti yang kuat. Oleh karenanya, nagari-nagari di ranah minang memiliki “level” otonomi dan desentralisasi politik (bahkan budaya dan ekonomi) yang sangat tinggi. Menurut Graves, sebuah nagari lebih menyerupai “republik-republik yang otonom dan merdeka” yang “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi” dengan nagari-nagari lainnya. Nagari merupakan unit otonom yang harus melakukan kewajiban untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri secara otonom pula. Kegagalan seorang penghulu adat (pemimpin nagari) untuk memakmurkan dan mensejahterakan kehidupan warga di nagarinya maka akan berakibat bubar dan lepasnya kekuasaan otonomi sebuah nagari. Oleh karenanya, dalam menyiasati hal tersebut kolonial Belanda lantas mempraktikkan adanya pemerintahan “tidak langsung” serta menciptakan beberapa institusi lain (di luar adat) untuk melahirkan adanya institusi yang bersifat “supra-nagari”. Tapi, dalam hal ini pun kolonial Belanda tidak sepenuhnya berhasil melakukan sentralisasi pemerintahan di Sumatera Barat.
Pelajaran kelima, adalah budaya kewirausahawanan melalui merantau. Budaya atau kebiasaan merantau bagi laki-laki minang merupakan sebuah keniscayaan. Bahkan, keharusan dalam hidup. Merantau lantas lebih banyak menjadi sebuah “tugas mulia” untuk menentukan tingkat keberhasilan seorang laki-laki. Dengan merantau maka laki-laki tidak saja mengurangi beban “carrying capacity” sebuah nagari untuk menghidupinya
tetapi juga hasil dari keberhasilan sebuah proses merantau akan menjadi sumbangan penting untuk menciptakan “kapasitas baru” untuk membangun dan memakmurkan nagari di kemudian hari. Dalam hal merantau, Graves mencatat bahwa merantau artinya pergi ke rantau, yaitu pergi keluar nagari. Masih menurut Graves, merantau adalah petualangan pengalaman dan geografis. Karenanya, budaya rantau tidak semata-mata bersifat “outward looking” tetapi juga disifatkan oleh kepentingan “inward looking” setelahnya. Dalam konteks ini, budaya minang hampir mirip dengan budaya “Overseas Chinese” yang telah merambah ke seluruh penjuru dunia sekaligus mengalokasikan sebagian hasilnya untuk membangun “Mainland” demi mensejahterakan nenek moyang dan para leluhur di tanah asal. Dengan demikian, merantau adalah sebuah budaya “entrepreneurship” untuk melihat dunia luar sebagai bagian dari upaya untuk membuktikan keberhasilan sebagai laki-laki minang di hadapan warga nagari kelak. Jadi, merantau adalah persoalan perjudian hidup untuk membuktikan kemandirian ekonomi sekaligus kehormatan adat seorang laki-laki minang. Maka, Graves mencatat bahwa tidaklah mengherankan apabila sejak abad ke-19 para “overseas minang” telah menyebar ke hampir seluruh kota-kota utama di Indonesia. Namun, berbeda dengan pola merantau yang biasanya kuat tertanam dalam masyarakat pantai atau pesisir, penggerak utama budaya merantau di ranah minang justru berasal dari tanah pegunungan atau dataran tinggi. Fenomena yang berkebalikan dengan yang terjadi di Jawa, di mana masyarakat pegunungan justru lebih bersifat domestik dan jarang melakukan perjalananan jauh keluar daerahnya ataupun dengan mudah mengenal berbagai budaya yang berbeda di luar. Akhirul kalam, tulisan ini harus diakhiri sampai disini. Tentunya masih banyak lagi pelajaran budaya yang lainnya dari ranah minang. Dalam konteks Indonesia kini, tentunya kelima pelajaran tersebut sangat relevan dan signifikan untuk diterapkan dalam kebutuhan untuk membangun Indonesia sebagai sebuah negara modern. Kelima pelajaran tersebut sungguh merupakan budaya yang bersifat modern, yang tentu saja masih valid untuk diaplikasikan kedalam hal-hal yang bersangkut paut dengan persoalan politik, ekonomi, dan budaya secara keseluruhan di negeri ini. Jelasnya, permasalahanpermasalahan seperti demokratisasi, gender, otonomi daerah, bahkan penanggulangan kemiskinan rasa-rasanya dapat kita temukan beberapa jawabannya dari sebagian budaya
minang yang telanjur “hilang” dan “terlupakan” makna dan substansinya. Dan, hal ini tentu saja harus terus menerus digali dan dieksplorasi lebih jauh. Kalau tidak, maka saya bisa mengerti keresahan seorang Gus Dur yang pernah mempertanyakan “kemanakah hilangnya orang minang” lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Pun, saya bisa mengerti kalau suatu saat kelak seorang Elizabeth E. Graves ataupun yang lainnya (mungkin) akan datang lagi dengan jawaban-jawaban akurat yang mampu menjelaskan hilangnya “budaya” dan “orang” minang dalam pentas Indonesia modern. Pertanyaannya, haruskah kita menunggu selama itu? Onde....onde......larauik ...........sanjo.............
Antapani, Bandung, September 2009
MENGENANG MUHAMMAD JUSUF KALLA: CATATAN KAKI UNTUK KEPEMIMPINAN MODERN
Muhammad Jusuf Kalla atau yang dikenal dengan JK diakui atau tidak telah memberikan pembelajaran sekaligus pelajaran penting bagi negeri ini. Terus terang saja, saya salah satu pendukungnya dalam pilpres yang lalu. Tapi, karena masalah administrasi DPT yang amburadul oleh KPU terpaksa saya masuk “golput” alias golongan yang luput dari pemilu alias tidak bisa menyalurkan suaranya. Kembali kepada JK, meskipun beliau kalah (atau dikalahkan dari dalam?) tetapi bagi saya JK masih menggoreskan beberapa kenangan yang mengesankan tentang bagaimana seseorang musti tampil sebagai pemimpin. Paling tidak, JK telah menawarkan sebuah “kesegaran politik” dalam panggung pilpres yang lalu. Karenanya, dengan subyektif dan sadar saya pilih JK ketimbang dua calon lainnya. Kenapa? Karena dua calon lain hanya mampu menawarkan “konservatisme politik” alias “politik yang hanya itu-itu saja” dan tak ada kebaruan atau kesegaran didalamnya. Beberapa catatan pembelajaran sekaligus pelajaran yang bisa saya peroleh dari seorang JK adalah pertama, politik jalan tengah. JK (bersama Wiranto tentu saja) telah menawarkan kredo politik kebangsaan dan kemandirian atas dasar pragmatisme terhadap dinamika perkembangan global. Karenanya, JK tidak lantas terjebak membabi buta dengan hanya berorientasi domestik (inward looking) semata-mata dengan politik ekonomi kerakyatan yang cenderung “over” populis (the left). Pun, JK tidak serta merta merasa “siap” untuk secara totalitas “melanjutkan” politik ekonomi yang cenderung “over” globalis ( the right). JK justru secara pragmatis mengambil jalan tengah (the middle way) yang realistis terhadap tuntutan nasionalisme sekaligus antisipatif terhadap ancaman globalisme. Barangkali JK telah banyak membaca sejarah bahwa dalam era transisi keluar dari krisis maka kebijakan yang paling tepat adalah kebijakan “jalan tengah”.
Kedua, kecepatan aksi. Jargon kampanye JK-Win adalah “lebih cepat lebih baik”. Jargon ini tidak saja berarti JK harus lebih cepat dan lebih baik ketimbang pesaing lainnya tetapi justru JK mengartikan bahwa kita harus lebih cepat ketimbang negara lain kalau memang kita ingin lebih baik daripada negara lain. Saya mencatat bahwa jargon ini bukanlah jargon kosong. Paling tidak, “track record” JK sebagai wakil presiden yang lebih banyak “mengeksekusi” beberapa kebijakan publik penting dengan “lebih cepat” dan akhirnya membuahkan hasil yang “lebih baik” telah menunjukkan bukti bahwa JK memang telah benar-benar mengerti tugasnya sebagai pemimpin eksekutif yang efektif dan efisien. Bukankah indikator keberhasilan “eksekutif” adalah pada kecepatannya dalam mengeksekusi kebijakan publik? Tanpa kecepatan yang berarti maka seorang eksekutif akan dikenang sebagai “pemimpin yang lamban” atau “pemimpin yang ragu” dalam mengambil keputusan. Ternyata dalam perjalanan musim kampanye, jargon politik JK telah digunakan sebagai salah satu jargon politik salah satu pesaingnya, tetapi dengan sedikit mengubahnya menjadi “lebih cepat lebih tepat”. Berarti, jargon yang mengusung pentingnya “kecepatan aksi” a la JK telah diakui kebenarannya secara substansial.
Ketiga, keberanian politik. Dalam soal ini JK telah terbukti sangat konfiden. JK tidak merasa terbebani dengan masa lalu partai Golkar sekaligus dengan “ringan tangan” mengajak Wiranto sebagai calon wakil presiden yang mendampinginya. Padahal, tidak seluruh elit politik partai Golkar “yakin” dan merasa cukup berani untuk mencalonkan seorang Ketua Umumnya sebagai calon presiden, mengingat jebloknya perolehan suara dalam pemilu legislatif sebelumnya. Pun, JK tak merasa terbebani dengan rekam jejak Wiranto yang seringkali menjadi sasaran dan sandera masalah HAM di masa lalu. Bagi JK, pilpres adalah urusan untuk “merubah masa depan” bukan terus menerus mengutuki masa lalu yang telah lewat. Secara empiris, keberanian seorang JK telah dibuktikan dengan ketegasannya mengusir Herbert Ness, representatif IMF yang mencoba mendikte pemerintah ketika JK masih menjabat sebagai menteri, di saat semua menteri pada waktu itu tak punya “nyali” untuk sekedar mendebat proposal yang dipaksakan pihak IMF untuk mengatur negeri ini semaunya. Pun, keberanian JK terlihat ketika “sukses” mengambil alih penyelesaian kasus perdamaian Aceh, Ambon, dan Poso serta keberanian menandatangani “beleid” konversi penggunaan minyak tanah ke elpiji.
Keempat, kesederhanaan sikap dan pemikiran. Setelah Gus Dur, barangkali JK termasuk pemimpin yang tidak sepenuhnya tunduk kepada protokoler kenegaraan yang seringkali mengikat secara berlebihan. Sikap itu ditunjukkan dengan cara berbusana yang lebih bersahaja tapi menyiratkan pesan tentang kerja keras seorang pemimpin. Penampilan JK lebih mencerminkan seorang yang “siap bekerja” ketimbang seorang yang selalu “menjaga wibawa” alias jaim. Dalam hal ini JK lebih mirip dengan Ahmadinejad yang juga bersahaja dalam berbusana. Bahkan, secara ekstrim JK pun lebih nyaman memakai sepatu buatan Cibaduyut. Bukankah ini teladan yang paling tepat dari seorang pemimpin untuk mengkampanyekan kecintaan terhadap produk dalam negeri ketimbang harus meneriakkan slogan “aku cinta produk Indonesia” secara berlebihan. Selanjutnya, dalam pemikiran tentang tata cara mengurus pemerintahan JK juga terlihat lebih sederhana persepsinya. Kritikan atau bahkan kemarahan JK terhadap Kementerian Negara Riset dan Teknologi dan Departemen Perdagangan yang memiliki gedung kantor yang cukup besar dan megah tetapi belum mampu menunjukkan prestasi dan kinerja yang membanggakan adalah salah satu buktinya. Demikian pula, dengan kemarahannya atas macetnya program seribu “tower” rumah susun dan mandegnya proyek industri pengolahan baja di Kalimantan Selatan adalah beberapa bukti lainnya.
Kelima, keterbukaan dan kedewasaan politik. Ketika ditanya rencananya apabila tidak terpilih sebagai presiden JK secara terbuka dan spontan menjawab akan kembali “pulang kampung” melakukan kegiatan sosial, mengurus masjid, meneruskan bisnis keluarga, dan apabila diperbolehkan akan berkiprah dalam membantu mewujudkan perdamaian di Indonesia. Ketika ditanya siapakah yang paling layak memimpin negeri ini JK menjawab bahwa hanya “yang terbaik” yang akan terpilih memimpin negeri ini, apabila orang lain yang terpilih maka JK akan menghormatinya sebagai pemimpin tertinggi negeri ini. Kedua jawaban JK tersebut merupakan bentuk keterbukaan dan kedewasaan politik yang sangat “elegan” dan telah dicontohkan oleh seorang JK dengan lugas dan gamblang. Karenanya, selama debat capres JK selalu menyalami kedua pesaingnya dengan terbuka, santun, sekaligus riang. Karenanya, JK merupakan kandidat presiden yang pertama kali memberikan ucapan selamat kepada SBY secara langsung. Singkatnya, JK dengan terbuka dan dewasa “siap menang” sekaligus “siap kalah” dalam percaturan politik.
Keenam, sikap egaliterian. Hampir dalam seluruh wawancara atau presentasi kampanye pilpres dengan berbagai kalangan JK menunjukkan sikap yang lebih egaliter ketimbang calon presiden lainnya. Saya mencatat bahwa seluruh acara yang menghadirkan JK sebagai narasumber selalu “segar”, “terbuka”, terasa “wajar”, dan penuh “canda ria” yang menghibur. Jawaban-jawaban JK yang bernas, lugas, jelas, dan spontan telah memuaskan hampir seluruh panelis maupun audien. Hampir tidak ada “jarak” antara JK sebagai calon pemimpin dengan masyarakat yang sedang mempertanyakan kapasitasnya sebagai pemimpin. Bagi saya, disini barangkali kehebatan seorang JK dalam melakukan “public relations” sekaligus memberikan “public speaking” kepada masyarakat luas. Dan bagi saya, tentunya ini sangat menggembirakan mengingat biasanya seorang pemimpin negeri ini seringkali menempatkan dirinya sebagai “untouchable” yang tidak bisa berinteraksi dengan masyarakat kebanyakan secara egaliter. JK lebih bisa “dijangkau” oleh orang biasa. Bagaimanapun catatan kaki ini harus diakhiri. Keenam pembelajaran sekaligus pelajaran telah diberikan oleh seorang JK kepada kita semua. Keenam-enamnya adalah ciri-ciri kepemimpinan modern yang sangat diperlukan oleh siapa saja yang akan maju untuk memimpin Indonesia menjadi negeri yang lebih modern dan maju di masa mendatang. Sebagai rakyat, saya hanya bisa berharap bahwa pemimpin-pemimpin negeri ini kedepan dapat mengambil “lessons learned” yang telah diberikan sekaligus “best practices” yang telah dikerjakan oleh seorang JK. Sebagai pendukung, saya mengucapkan terima kasih atas seluruh “kesegaran” yang telah diberikan dalam kehidupan politik dan atas inovasi dalam kehidupan kenegaraan selama ini. Saya berharap pak JK benar-benar akan “pulang kampung” untuk memenuhi janjinya. Selamat jalan dan selamat menempuh hidup baru sebagai guru bangsa yang selalu menyegarkan! Antapani, Bandung, September 2009
BUKAN LAUTAN HANYA KOLAM SUSU
Baru-baru ini kita dihebohkan dengan berita penjualan beberapa pulau di wilayah Sumatera Barat. Bahkan penjualannya secara terbuka, on line via internet, dan lengkap dengan spesifikasi pulau berikut harganya. Segera saja rasa nasionalisme kita tersentak. Belum hilang dari ingatan, tarian pendet yang asli Bali telah secara sepihak (dan rutin) diklaim sebagai tari tradisional Malaysia. Karenanya, lantas muncul dalam iklan Visit Malaysia secara propagandis dan provokatif. Setelahnya kita mencatat satu demi satu pulau kita yang indah telah berpindah tangan. Dan, dikelola secara komersial sebagai daerah tujuan wisata di depan mata kita. Dan, oleh mereka (warga asing) bukan kita (warga negara sendiri). Saya sendiri tidak terlalu kaget dengan fenomena ini. Bukankah hal ini telah menjadi kebiasaan sekaligus keniscayaan selama ini. Jauh sebelumnya, dunia mencatat betapa konglomerat kita sendiri telah mengobral murah-murah hasil kayu dari hutan-hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Demi alasan menggenjot ekspor non migas dan menumbuhkan industri manufaktur di sektor kehutanan. Ironisnya, kita hanya mampu mengekspor kayu gelondongan dan rotan mentah. Sementara, pada saat yang sama terjadi pertumbuhan industri furnitur yang besar-besaran di Cina dan Taiwan. Pun, pada saat yang sama pula hampir sebagian besar industri furnitur dan pengrajin mebel dalam negeri menjerit karena kekurangan bahan baku kayu dan rotan. Kejadian serupa berulang untuk kasus batubara dan gas alam. Hampir sebagian besar batubara dan gas alam kita ekspor secara masif ke Cina dan Jepang. Tapi, didalam negeri kita mengalami krisis energi (tepatnya: krisis listrik) yang sangat akut. Pasokan listrik untuk konsumsi rumah tangga dan industri kita terganggu. Bahkan, pemadaman listrik telah menjadi kelaziman baru. Dampak ekonomisnya jelas, produktivitas terganggu sekaligus kenyamanan. Lantas, kapasitas ekonomi kita pun mulai menyurut. Akhirnya, apabila terus berlanjut maka merosotnya daya saing akan menjadi kenyataan yang benar-
benar terjadi. Sementara, kota-kota besar dan kawasan industri di Cina dan Jepang terus menerus terang benderang dan kemilau prestasinya. Di dalam negeri, pelan-pelan industrialisasi menjadi de-industrialisasi alias mulai mati suri. Demi mendongkar bisnis di daerah, kita masih mencatat adanya penjualan besar-besaran pasir laut di wilayah Kepulauan Riau kepada Singapura dengan harga yang terlalu murah. Hingga, pelan tapi pasti, Singapura dapat melakukan reklamasi yang masif sekaligus perlahan-lahan luas wilayah daratannya semakin bertambah dan semakin menjorok mendekati daratan kita sendiri. Sementara, kita terus menerus kehilangan satu demi satu pulau-pulau kecil akibat tenggelam karena penambangan pasir laut yang kebablasan. Hasil reklamasi berkat pasir laut kita itu pun sekarang berbuah dengan semakin maraknya pembangunan zona permukiman dan perkantoran baru yang nyaman di Singapura. Yang ironisnya justru dipasarkan lewat iklan besar-besaran di media massa kita untuk menjaring pembeli dari Indonesia. Luar biasa! Dengan perusakan lingkungan berarti kita telah membantu pembangunan dan perekonomian Singapura. Atas nama deregulasi perbankan, semua pengusaha mendirikan bank dengan gampang. Saking gampangnya, Anwar Nasution dulu pernah secara nyinyir menyindir bahwa bisnis bank sudah seperti usaha warung bakso. Siapapun bisa asalkan punya uang. Para taipan bisnis papan atas rame-rame bikin bank. Rame-rame pula menawarkan hadiah besar untuk menggaet tabungan masyarakat. Jor-joran memobilisasikan dana murah dari masyarakat. Lantas, secara berjamaah mulai menyalurkan kredit besar-besaran untuk membiayai usaha mereka sendiri, yang tingkat risiko dan spekulasinya sangat tinggi. Bahkan, sebagian juga membawa lari dana nasabah untuk diparkir dan disimpan di lembaga-lembaga keuangan luar negeri. Ketika, efek domino dari serangan Soros terhadap Bath mulai terasa jadilah bencana krisis moneter pertama di kawasan Asia Tenggara. Puluhan bank ambruk. Puluhan bank bangkrut. Puluhan lainnnya megap-megap mencari selamat. Setelahnya. Ratusan trilyun dana rekapitulasi perbankan digelontorkan demi alasan menyelamatkan sektor finansial perbankan. Sesudahnya, banyak bank yang telah “direkap” lantas dijual murah-murah kepada asing. Pada saat yang bersamaan terkuraslah dana masyarakat dan anggaran pemerintah sekedar untuk memberikan “biduk penyelamatan” bagi industri perbankan kita. Sementara, para taipan pemilik bank berhamburan kesana kemari melarikan diri dari tanggung jawabnya. Maka, kita bisa
setuju dengan Kwik Kian Gie yang menyebut mereka sebagai konglomerat hitam alias siluman bisnis yang dengan sengaja menggeroti perekonomian negaranya sendiri. Atas nama krisis ekonomi, seluruh lahan bekas hutan telah kita sulap sekejap menjadi hamparan kebun sawit tanpa pertimbangan ekologis yang matang. Dan, masyarakat Sumatera dan Kalimantan saat itu membanggakan diri karena tidak terimbas krisis yang menerpa wilayah pantai utara Jawa. Di saat semua orang miskin kota di pantura meradang dan menghujat krisis ekonomi, mereka justru mendapatkan “palm oil boom” dan berharap krisis tidak cepat berakhir. Setelahnya, kita tercatat sebagai negara pengekspor terbesar kelapa sawit. Sementara, penentuan harga internasional didikte Malaysia (price maker), sekaligus industri pengolahan minyak sawit benar-benar dikuasasi negeri jiran tersebut. Kita pun, lagi-lagi hanya kebagian peran sebagai “price taker” melulu karena cuma bisa menjual tandan buah segar atau paling banter kita baru bisa mengekspor “crude palm oil”. Selebihnya, industri turunan sawit yang modern dan yang besar keuntungannya berada jauh dari negeri sendiri. Pertanyaannya adalah kenapa kita dengan “ringan tangan” begitu gampang menjarah, mencuri, dan merampok sumberdaya milik negeri ini secara besar-besaran dan kemudian menjualnya secara obral murah kepada pihak luar demi alasan mengejar rente ekonomi? Jawabannya ada dua. Hiroyoshi Kano memberikan jawaban panjang lebar tentang lahir, tumbuh, dan berkembangnya “pseudo capitalist” di Asia Tenggara lewat para taipan bisnis yang kemudian bermetamorfosa menjadi konglomerat semu. Kano mencatat secara historis taipan bisnis Asia Tenggara tidak benar-benar ingin melakukan “transformasi bisnis” sekaligus “pendalaman bisnis” hingga pada akhirnya akan melahirkan industrialisindustrialis baru yang akan menggerakkan industrialisasi secara siginifikan di Asia Tenggara. Mereka tak sepenuhnya ingin meniru dan mengikuti langkah dan sejarah keberhasilan para samurai bisnis di Jepang yang suskses membangun dan menggerakkan perekonomian berbasis industri modern yang kuat. Karenanya, mentalitas taipan bisnis Asia Tenggara lebih banyak bersifat “aji mumpung” yang melihat peluang bisnis dalam “time frame” yang kelewat pendek. Mereka hanya pintar merebut “momentum sesaat” tanpa bisa mengembangkan lagi menjadi peluang dan kekuatan bisnis atau industri yang lebih kokoh dalam jangka panjang.
Jawaban kedua adalah karena takdir negeri ini sendiri. Negeri yang kaya raya, gemah ripah loh jinawi, gemah ripah repeh rapih, rangkaian ratna mutu manikam bagaikan zamrud di katulistiwa, adalah negeri yang terlampau banyak menyediakan “endowment” secara berlimpah, adalah negeri yang memiliki “carrying capacity” yang berlebih, adalah sangat sayang untuk tidak dieksplorasi dan dieksploitasi cepat-cepat dan besar-besaran. Negeri yang memanjakan anak negerinya dengan kemewahan kekayaan alam yang membuat silap ingin menyikatnya. Negeri yang membuat anak negerinya menjadi “malas” untuk mengolah seluruh bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya menjadi bentuk ekonomisasi yang profesional, modern, dan berkelanjutan. Negeri yang membuat “ayam” akhirnya mati kekenyangan di lumbung padi. Negeri yang tak sepenuhnya “disyukuri” kekayaannya untuk kemudian dikembangkan guna mewujudkan “baldatun toyibatun warobbun ghofur” yang berkah, sakinah, wa rahmah mawaddah. Negeri yang tidak pernah disayangi dengan segenap cinta hingga akan melahirkan etos kerja “memayu hayuning bawono”.
Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada topan tiada badai kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah sorga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Orang bilang tanah kita tanah sorga tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Demikianlah barangkali cara pandang kita terhadap negeri sendiri. Kita hanya terpukau dengan kekayaan alamnya. Tapi tak pernah kita olah dengan semestinya. Kita hanya suka memetik hasilnya. Tapi tak suka menanam kembali dengan lebih baik. Kita hanya senang mengeruk potensinya. Tapi tak pernah memikirkan akibatnya kelak. Kita hanya pandai menjual mentah-mentah. Kita hanya pintar mengobral murah-murah. Tapi tak mau belajar dan berusaha terus menerus meningkatkan nilai tambahnya. Barangkali Koes Plus benar. Tapi kita semua keblinger dalam kesalahan yang sama, yang tak pernah berakhir. Sekarang kita menuai hasilnya. Kini kita menerima akibatnya. Dan kalau boleh, syair lagu Koes Plus musti diubah dan digubah ulang agar sesuai dengan kenyataan yang akhirakhir ini benar-benar terjadi.
Bukan kolam susu tapi lautan. Kail dan jala tak cukup menghidupimu. Banyak topan banyak badai dan tsunami. Ikan dan udang sudah banyak hilang. Orang bilang tanah kita tanah bencana. Tongkat kayu dan batu tak jadi tanaman. Orang bilang tanah kita tanah sorga. Tongkat kayu dan batu sudah habis termakan. Menteng, Jakarta, September 2009
MENGEMBANGKAN KESEJAHTERAAN ATAU MEMBIAKKAN KESERAKAHAN
Adam Smith tentunya berniat mulia ketika menyusun teorema ekonomikanya. Bukunya saja berjudul “The Wealth of Nations”. Karenanya, negara manapun yang ingin makmur harus membangun perekonomiannya dengan sungguh-sungguh. Hingga, perekonomian akan tumbuh berkembang secara wajar di lingkungan yang tepat. Karenanya, perekonomian harus dijauhkan dengan “virus-virus” yang akan menggerogoti pertumbuhannya sekaligus membelokkannya menjadi “urusan” yang tak lagi bersangkut paut dengan pasar. Kenapa? Karena selalu tersedia “the invisible hand” yang akan menuntun perekonomian kepada rasionalitas. Bukan kepada belas kasihan sosial. Apalagi kepada kekuasaan politik. Demikianlah sabda nabi ilmu ekonomi yang masih bergaung hingga kini. Demikian pula J.B. Say yang menaruh kepercayaan kepada bekerjanya perekonomian berdasarkan rasionalitas sekaligus ekspektasi yang prospektif bahwa “supply creates it’s own demand”. Bukankah ini bagian dari rasa percaya diri terhadap perubahan dan dinamika yang akan terjadi di masa depan. Bukankah ini bagian dari “membebaskan” perekonomian dari ramalan-ramalan sesat para ahli nujum yang seringkali memberikan nasehat yang tidak masuk akal. Bukankah ini berarti perekonomian harus digerakkan dengan akal sehat dan dikelola dengan rasa percaya diri yang kuat bahwa yang bekerja akan mendapatkan hasilnya, bahwa yang menanam akan memanen buahnya. Sampai disini perekonomian atau bahkan ilmu ekonomi menjadi filsafat nilai yang mampu memuliakan derajat kehidupan manusia. Dan, perubahan itu adalah sebuah kerja keras untuk mengembangkan kesejahteraan hidup manusia.
Tetapi, sejarah tak sepenuhnya percaya kepada niat mulia. Pun, kepada nilai-nilai luhur kemanusiaan. Sejarah adalah saksi yang kejam atas berbagai penyelewengan yang terjadi di dunia nyata. Atas nama apapun. Agama, filsafat, bahkan kesenian. Ketika perekonomian berjumpa dengan kekuasaan dan berkelindan dengan kepercayaan maka segera saja sejarah mencatat lembaran-lembaran hitam kolonialisme sebagai bagian dari moda ekonomi yang eksplosif. Maka, demi “gold, glory, and gospel” seorang Cortes bisa menggabungkan ketiga postulat itu kedalam perampasan “kekayaan ekonomi” dan “harta benda kebudayaan” yang begitu agung yang telah terbangun di Meksiko. Demi kejayaan sebuah kerajaan. Demi kebenaran sebuah kitab suci. Darah pun harus tumpah hanya karena sebuah “indikator” kemakmuran ekonomi yang begitu berharga pada waktu itu. Nyawa pun harus merenggang demi berpundi-pundi emas yang akan dikapalkan menuju Spanyol. Sementara, Meksiko dan Amerika Latin hanya mendapatkan nestapa, kematian, sekaligus kemiskinan setelahnya. Sesudahnya, sejarah masih mencatat dengan lembaran hitamnya. Kita tak sepenuhnya lagi percaya adanya kemuliaan dibalik praktik perekonomian ataupun dibalik indahnya ilmu ekonomi. Kolonialisme yang diterapkan hampir semua kerajaan dan bahkan beberapa negara modern di Eropa Barat kemudian bersinggungan dengan sebuah ketamakan, sebuah kerakusan, dan sebuah keserakahan. Kejayaan ekonomi lantas diukur dengan seberapa luas lautan yang dikuasai, seberapa luas daratan-daratan asing (terra incognita) yang telah ditemukan, ditundukkan, dan dijajah. Perekonomian kemudian tidak hanya urusan mempraktikkan politik ekonomi tetapi sudah harus memperhatikan geopolitik dengan serius. Setelahnya, bola dunia kita terbagi kedalam segregasi geografis yang timpang. Semata-mata berdasarkan penguasaan sumberdaya dan nilai tambah yang diperoleh dari hasil penguasaan itu. Yang luput dari catatan sejarah perekonomian waktu itu adalah adanya penjajahan dan penghisapan ekonomi secara masif tak hanya di Amerika Latin, tapi meluas ke Asia dan Afrika. Sementara, di saat yang sama, Eropa Barat menikmati “surplus nilai” yang timpang dan berlebihan hingga berkembang menjadi kawasan makmur, modern, dan berkilau kebudayaan dan peradabannya.
Karenanya, John Stuart Mills bersuara keras tentang “good will” sekaligus “political will” untuk mendistribusikan hasil kemakmuran yang tercipta dari penerapan hukum-hukum ekonomi. Karenanya, Karl Marx begitu hebat, lengkap, sekaligus demikian gamblangnya mengulas adanya penghisapan nilai kapital atas satu kelompok terhadap kelompok lainnya di Eropa Barat. Hingga, bukunya yang berjudul “Das Kapital” menjadi “textbook” yang paling sahih untuk melihat kelemahan, kekurangan, sekaligus kebobrokan kapitalisme modern. Bahkan, seorang Gandhi pun harus mengingatkan tentang ilmu ekonomi modern yang telah “kebablasan” arah dan tujuan mulianya. Gandhi sampai harus mengatakan “ilmu ekonomi tanpa nilai-nilai seperti mengaduk pasir untuk membuat mentega”. Apapun cara bisa digunakan asalkan kita semua akan makan roti dengan olesan mentega. Meski itu dari pasir sekalipun. Apapun muslihat dapat ditempuh asalkan tujuan tercapai. Inilah bentuk “machiavelianisme” yang telah bermetamorfosa secara kasat mata kedalam moda perekonomian. Saya lantas teringat sebuah film yang berjudul “Blood Diamond” yang diperankan dengan penuh karakter oleh seorang Leonardo Di Caprio. Film itu memberikan dua pelajaran kepada saya perihal kesalahan ekonomi. Meskipun dengan berdarah-darah sebuah intan harus didapatkan dan harus dikapalkan ke Belgia demi memenuhi “stock” bahan baku yang akan digunakan untuk memasok industri perhiasaan ke seluruh dunia. Dengan cara apapun. Dengan mesiu. Dengan nyawa. Dengan konflik antar suku dan antar kelompok di Afrika. Dengan kematian dan harga diri yang sangat murah. Dengan itulah, sebuah intan akan menemukan harganya yang sangat tinggi. Dan karenanya, sah untuk diperebutkan. Pelajaran pertama, tentu saja soal keserakahan. Pelajaran kedua, tentang konsep kelangkaan (scarcity). Dalam kasus intan, ternyata kelangkaan bukanlah keniscayaan melainkan “kesengajaan” untuk terus menerus memelihara keyakinan pasar (sekaligus konsumen) bahwa persediaan intan sangat terbatas. Karenanya harus dibeli dengan harga yang sangat mahal. Bukankah rasional bila penawaran (supply) terbatas sementara permintaan (demand) terus melimpah maka harga (price) pun akan menjadi melangit tingginya. Kenyataannya, inilah hukum besi ilmu ekonomi yang sampai sekarang terus dipelihara oleh “baron-baron” industrialis intan permata, yang secara sengaja menyembunyikan “stock” intan dalam jumlah yang besar, yang ditimbun dan dijaga ketat di gudang-gudang bawah tanah di kota Antwerpen. Dan kemudian, mereka mengeluarkan sebutir demi sebutir intan dengan hati-hati dan perlahan-lahan untuk kemudian
dipasarkan secara internasional. Jumlah pasokan intan ( supply) ke pasar selalu diawasi dan dibatasi hingga harga yang terbentuk pun akan senantiasa mahal. Bukankah, ini sebuah keserakahan yang teramat jahat karena mereka telah berhasil melipat dan menekuk “the invisible hand” nya Adam Smith hingga pasar sepenuhnya hanya milik De Beers dan industrialis perhiasan intan lainnya. Mereka adalah “the untouchables” yang tidak mampu dijangkau dan ditundukkan oleh pasar, perekonomian, bahkan ilmu ekonomi yang teramat mulia itu. Demikian pula dengan yang telah ditunjukkan oleh berlangsungnya “the great depresion” alias zaman malaise tahun 20-an, ambruknya “the wall street” tahun 80-an, bangkrutnya Asia Timur dan Asia Tenggara lewat “monetary crisis” tahun 90-an, dan terpuruknya Amerika Utara dan Eropa Barat dengan “financial crisis” baru-baru ini. Semua kenyataan itu menunjukkan kesalahan fatal sekaligus berlangsungnya “dosa elementer” dari penerapan ilmu ekonomi yang salah kaprah, ngawur, dan kebablasan serakahnya. Maka, “the invisible hand” pun butuh “the visible hand” alias campur tangan pemerintah yang efektif untuk menjinakkan keliaran pasar hingga kita pun mengamini sabda nabi ilmu ekonomi yang lain, yaitu John Maynard Keynes. Maka, korporasi pun tak bisa seenaknya hingga lahirlah “good corporate governance” dan berbagai skema “pengaman” bisnis lainnya agar kapitalisme tidak ambruk terserang virus yang mematikan. Maka, “IMF’s Panacea” pun harus diterima dengan mufakat dan dijalankan dengan ketat hingga “the chicago boys” pun harus dibangkitkan dari kuburnya untuk menyelematkan perekonomian dari sergapan krisis yang berkepanjangan. Hingga, kita perlu membaca khotbah “Abad Prahara” dari Greenspan dengan takzim. Hingga, sampai sekarang pun kita harap-harap cemas mendoakan Obama agar mampu (kembali) membangkitkan ekonomi Amerika. Sampai disini kita masih optimis bahwa perekonomian dunia pasti akan menemukan arahnya yang tepat hingga kembali ke jalan yang “benar”. Pun, sebagian besar dari kita pasti akan terus mempercayai ceramah Peter L. Berger tentang kemampuan kapitalisme untuk dapat terus menerus melakukan “revolusi” nya hingga mampu bertahan agar tidak jatuh kedalam kubangan sosialisme yang menjemukan. Atau, paling tidak suara-suara Schumpeter masih lebih kita terima kebenarannya ketimbang igauan-igauan Marx dari dalam kuburnya. Bahkan, lirik dan musik Pink Floyd yang berkepanjangan itu pun masih nyaman kita dengarkan sekedar untuk merayakan tumbangnya komunisme dan kalahnya
sosialisme dihadapan kedigdayaan liberalisme dan kejayaan kapitalisme. Selalu tersedia “way out” sekaligus “exit strategy” manakala kita meyakini kebenaran pasar bebas dan ekonomi berbasis kapital yang berlaku global. Karenanya, kita terus menerus percaya dan ingin tetap memelihara tingkat kepercayaan kita hingga tanpa sadar kita pun menjadi makhluk beriman sejati (true believers) yang sepenuhnya yakin kepada “kebenaran” kapitalisme sebagai satu-satunya jalan menuju kemakmuran. Tetapi, selama ini kita tak sekalipun mengindahkan kerugian yang terjadi. Pun, tak pernah menghitung seberapa jauh kerusakan yang muncul sekedar untuk terus menerus mengembangkan kemakmuran dan lantas kesejahteraan kita. Padahal, kemampuan bumi untuk melayani manusia semakin terbatas. Alam semesta mengalami degradasi “carrying capacity” untuk terus menerus memuaskan kebutuhan manusia yang tak terbatas. Rusaknya ozon dan lingkungan hidup lantas meluasnya “climate change” adalah “early warning system” yang telah memberitahukan kepada kita betapa bumi sudah sangat lelah menuruti keserakahan material manusia yang tak pernah lelah. Bahkan, peringatan dari “Club of Rome” perihal bahaya bencana Malthusian telah lama ditertawakan orang. Bahkan, “green revolution” yang mengubah wajah dunia sekarang semakin sering menuai kegagalannya, hingga kita pun sibuk membuat “blue revolution”. Sampai disini, saya harus menyetujui salah satu butir dari “the Native American’s Ten Commandments” yang berbunyi “take from the earth is needed, and nothing more”. Sampai disini, saya harus setuju dengan Rendra bahwa orang kaya dan orang miskin pun sama-sama berbahaya, karena sama-sama serakah. Yang kaya serakah dengan hartanya. Yang miskin serakah dengan penderitaannya. Sampai disini, saya harus setuju dengan Gandhi. Kalau tidak, maka saya akan terus menerus memberi makan istri dan anak-anak saya dengan roti yang berlapis mentega..........dan……..bercampur pasir! ....................Masya Allah! Menteng, Jakarta, Oktober 2009
BINGKISAN LEBARAN DARI PITTSBURGH
Ada tiga hal yang membuat saya senang pada lebaran kali ini. Pertama, hampir semua sepakat untuk merayakan pada hari yang sama. Pemerintah, NU, Muhammadiyah, seluruhnya akur. Kedua, tentu saja ini sangat personal sifatnya. Akhirnya, saya bisa pulang mudik ke kampung dengan anak istri setelah empat tahun berturut-turut (terpaksa) harus menghabiskan idul fitri di Jakarta dan Bandung. Ketiga, hasil pertemuan G-20 yang baru usai digelar di Pittsburgh, Amerika Serikat. Perihal ketiga inilah yang tentu saja menggembirakan kita semua. Paling tidak, sedikit menumbuhkan harapan akan datangnya perubahan konstelasi perekonomian dunia pada tahun-tahun mendatang. G-20 sendiri secara “title” sudah menyejukkan. Bukan semata karena Indonesia masuk didalamnya. Tapi, lebih karena berbagai perubahan yang terjadi. Sejarah mencatat krisis minyak dunia pada awal dekade 70-an telah memaksa enam negara industri utama dunia bertemu dan bersepakat membentuk sebuah kelompok ekonomi. Bagaimanapun, krisis minyak dunia telah memukul industrialisasi yang sedang membuncah waktu itu. Karenanya, Valery Giscard d’Estaing, presiden Perancis pada waktu itu mengundang kelima kepala negara dari Amerika Serikat, Inggris, Italia, Jerman Barat, dan Jepang untuk membahas masa depan industrialisasi dan (tentu saja) eksistensi keenam negara industri itu secara global. Karenanya, sebuah kastil Ramouillet di dekat kota Paris pada tahun 1975 menandai pertemuan dan kesepakatan pembentukan G-6. Setelahnya, mereka setuju untuk bertemu setiap tahun secara rutin. Setahun kemudian, Kanada pun bergabung hingga G-6. Hingga, G-6 berkembang menjadi G-7. Perkembangan terus terjadi setelah pertemuan puncak di Napoli, Italia yang ditandai dengan keinginan Rusia untuk bertemu secara terpisah dengan para elit G-7, tentu saja secara informal. Pertemuan itu lantas dikenal sebagai Politik-8 atau P-8, alias G-7 plus 1. Adalah Tony Blair, perdana menteri Inggris, dan Bill Clinton, presiden Amerika Serikat yang berjasa untuk memformalisasikan pertemuan informal dengan Rusia menjadi sebuah
undangan formal untuk membentuk G-8 pada tahun 1997. Duabelas tahun kemudian, di Pittsburgh sejarah mencatat proliferasi G-8 yang bermetamorfosa secara maksimal menjadi G-20. Atau, lebih tepatnya 19 negara plus Uni Eropa bergabung bersama dalam sebuah forum ekonomi utama dunia (premier economic forum), termasuk didalamnya Indonesia. Sebuah kumpulan negara yang secara agregat menyumbang sekitar 90 persen produk domestik bruto dunia. Nilai nominal yang setara dengan 60 trilyun dollar AS. Kembali ke Pittsburgh. Yang menyenangkan dari pertemuan puncak G-20 adalah beberapa hasil positif yang diperkirakan berdampak bagi perbaikan tata kelola perekonomian dunia kedepan. Secara global, tata kelola perekonomian dunia akan sedikit berubah dengan diberikannya sekitar lima persen hak suara negara berkembang di Dana Moneter Internasional atau IMF. Paling tidak, suara dan aspirasi negara berkembang di IMF akan mulai didengarkan dan diperhitungkan. Meskipun masih sekitar lima persen, tapi paling tidak eksistensi negara berkembang sudah mulai dihitung dalam proses pengambilan keputusan di IMF. Selanjutnya, dari delapan kesepakatan, paling tidak separuhnya berisi rencana untuk meningkatkan upaya preventif sekaligus antisipatif dalam meningkatkan “prudential level” dan “adequacy level” bisnis sektor finansial secara internasional. Sebuah imperatif manajerial yang strategis dan memiliki urgensi untuk segera dijalankan agar krisis finansial global tidak berulang kembali di masa mendatang. Perbaikan kuantitas dan kualitas permodalan perbankan, penyempurnaan dan penerapan standar global akuntansi, penertiban “keliaran” penjualan aset derivatif, dan penerapan kebijakan rasionalisasi terhadap kompensasi para eksekutif perbankan adalah hal utama yang diharapkan mampu mendorong sektor perbankan sebagai sektor finansial yang sehat, kuat, transparan, dan akuntabel. Dari perihal itu, yang menggembirakan adalah beban kompensasi berupa gaji dan bonus multi tahunan yang selama ini dinikmati secara berlebihan oleh para bankir internasional akan dipangkas (atau disesuaikan nilainya). Karena, memang hal inilah yang selama ini membebani biaya operasional sekaligus meningkatkan tingginya risiko perbankan (excessive risk taking) dalam praktik bisnis keuangan internasional Perihal yang secara signifikan berdampak negatif dan turut mendorong terjadinya krisis finansial global.
Untuk soal yang satu ini, saya teringat hasil observasi mendalam seorang teman di Bappenas tentang betapa tidak rasionalnya gaji dan bonus bankir di negeri ini. Menurut teman saya, rata-rata gaji seorang bankir di Indonesia bahkan melebihi gaji seorang Presiden! Ini juga termasuk gaji Gubernur dan Deputi Gubernur Bank Indonesia. Padahal, mereka hanya mengelola sektor moneter. Padahal, Presiden harus mengelola semua sektor yang nilai finansialnya tenjtu saja jauh diatas sektor moneter. Itupun masih sekedar soal gaji. Belum termasuk bonus multi tahunan yang setiap tahun diterima mereka. Karenanya, masih menurut teman saya, seorang yang akan bekerja sebagai bankir atau direksi salah satu bank sudah dilimpahi dengan berbagai fasilitas “yahud” baik untuk perumahan, kendaraan, pelayanan kesehatan, fasilitas olah raga mewah, serta berbagai keanggotaan “luxurious club” yang sudah menjadi syarat dan keharusan untuk eksekutif perbankan. Semua fasilitas itu diberikan tanpa melihat apakah yang bersangkutan memiliki kinerja yang baik atau bahkan buruk. Sukses ataupun gagal, semua fasilitas itu musti diberikan. Sebuah bank boleh turun profitnya atau bahkan bangkrut sekalipun. Tapi fasilitas para bankirnya tidak boleh berkurang sedikitpun. Karenanya, saya tidak heran melihat usulan yang sangat “tidak masuk akal” dari Gubernur dan Deputi Gubernur Bank Indonesia beberapa tahun lalu kepada DPR untuk mengesahkan kenaikan gaji mereka. Padahal, nilai rupiah belum begitu kuat dan stamina sektor moneter masih rawan terhadap krisis. Padahal, arsitektur perbankan Indonesia masih belum terwujud dalam sebuah bangunan industri perbankan yang maju, sehat, dan mampu menggerakkan sektor riel dengan semestinya. Padahal, dana BLBI belum seluruhnya jelas akuntabilitas dan penyelesaiannya. Padahal, uang negara (catat: uang rakyat!) yang digunakan untuk membiayai rekapitulasi perbankan masih terus mengalir alokasinya. Padahal, “credit gap” masih sangat tinggi hingga usaha masyarakat masih terus menerus “mengemis” untuk mendapatkan modal dari kucuran kredit perbankan. Bagaimana dengan level staf? Untuk soal ini saya teringat seorang tetangga saya yang pernah dengan bangga dan bersyukurnya mengatakan kepada saya bahwa secara nominal gaji yang diterimanya dihitung dua kali dari yang dibayarkan setiap bulan. Artinya, selama setahun mereka menerima gaji sebesar dua puluh empat bulan. Hebat khan! Disaat orang lain kesulitan mengejar peluang dan kesempatan kerja untuk bisa mendapatkan gaji bulanan, mereka malah menerima penghasilan dua kali lipat setiap
bulannya. Masih menurut tetangga saya, itu pun baru soal gaji. Lantas, mereka mendapatkan fasilitas kredit super murah karena bunganya nol untuk keperluan apapun. Kok bisa? Pertanyaan naif saya dijawab tetangga saya dengan tertawa “ya iya lah, kami khan mengelola uang tabungan dan simpanan masyarakat, kami khan bekerja untuk anda semua, karenanya kami duluan yang harus menikmati uang itu, ha...ha...ha....mantap tho....enak tho....”. Akhirul kalam, saya hanya berharap agar hasil pertemuan Pittsburgh segera ditindaklanjuti dengan langkah-langkah nyata dan segera diterapkan, khususnya di negeri ini. Agar perekonomian segera menggeliat kembali. Agar sektor riel kembali bangkit. Agar sektor moneter kembali “sadar” dari kekeliruan, kejumudan, dan kebejatannya hingga mereka tidak terus menerus “arogan” hanya karena mengelola uang. Agar seluruh usaha ekonomi rakyat dapat terbiayai dengan layak hingga negara tidak terus menerus memberi subsidi dan memberi barang gratisan. Bila ini terjadi, maka bingkisan lebaran dari Pittsburgh benar-benar mantap dan enak. Dan, jangan kaget kalau rakyat akan berterima kasih kepada para pemimpinnya sembari mengatakan “........I......love...you...full..! Menteng, Jakarta, Oktober 2009
TUJUH DOSA, TUJUH DUKA, TUJUH LUKA
Mahatma Gandhi biasanya kita kenal dengan sebuah simbol perlawanan terhadap kekuasaan secara damai. Karenanya, Gandhi terkenal dengan anjuran moralnya berupa “swadeshi”, “ahimsa” ataupun “satyagraha” kepada bangsa India untuk melawan kolonialisme Inggris. Tapi, Gandhi juga dikenal sebagai kritisi sosial yang tajam dan lugas dalam mencermati distorsi sosial yang terjadi di India sekaligus yang mungkin terjadi di negara mana saja. Kritiknya terhadap persoalan kemasyarakatan dibungkus kedalam kredo “tujuh dosa sosial” yang menguraikan silang sengkarut persoalan sosial yang terus menerus terjadi dari berbagai aspek kehidupan. Dosa sosial pertama menurut Gandhi adalah “kekayaan tanpa kerja”. Secara ekonomis, kekayaan biasanya merupakan pemupukan hasil keuntungan dari sebuah usaha ekonomi produktif. Karenanya, menurut Gandhi kekayaan yang dihasilkan tanpa proses bekerjanya usaha ekonomi produktif adalah salah satu dosa sosial yang harus dihilangkan. Kenapa? Karena, ia (kekayaan) bisa berasal dari proses “pemerasan sosial” sekaligus “penyelewengan kekuasaan” yang berlebihan. Pada titik inilah Gandhi sekaligus melabelkan dosa sosial kepada para kriminal, pengusaha yang curang, serta penguasa yang korup, yang tanpa “berkeringat sedikitpun” akan selalu menerima “upeti”, “rente”, “setoran” dari siapa saja yang dikuasainya. Maka, benarlah bila Lord Acton pernah mengingatkan kita semua “power tends to corrupt”. Demikian pula, tidak salah bila Profesor Gunawan Sumodiningrat seringkali (dan berulang-ulang) mengatakan “yang menanam yang menghasilkan, yang menghasilkan haruslah yang menanam”. Bila tidak, itu “dholim” namanya! Kenikmatan tanpa nurani. Demikian dosa sosial kedua menurut Gandhi. Saat ini hedonisme telah menjadi kebudayaan. Karenanya, kenikmatan adalah “kultur post modernisme” yang sekarang berkembang biak dengan pesat tanpa rasa bersalah sedikitpun terhadap sejarah peradaban. Kenikmatan hidup telah menjadi barometer untuk
mengukur sukses atau gagalnya seseorang dalam kebudayaan kontemporer. Acara televisi, film bioskop, sinetron, billboard, iklan di majalah dan koran, brosur, booklet, leaflet, secara masif telah memprogandakan kenikmatan hidup yang tidak rasional sekaligus memprovokasi siapa saja untuk mengejar kenikmatan hidup, tanpa sekalipun memberikan informasi tentang moralitas untuk mencapai itu semua. Tujuan menghalalkan cara. Maka, kita semua telah menjadi Machiavelian dengan kesadaran penuh! Dosa sosial ketiga adalah ilmu tanpa kemanusiaan. Gandhi telah meramalkan dengan jitu kemungkinan terpisahnya atau diceraikannya ilmu dari tujuan kemanusiaan. Ilmu berkembang pesat dari yang pernah diperkirakan sebelumnya. Tapi hakikat kemanusiaan mengalami defisit dan degradasi yang parah secara bersamaan. Arogansi ilmuwan dan kesombongan keilmuan telah membangun kredo agung “dari ilmu untuk ilmu itu sendiri” hingga kita masih mencatat banyaknya “menara gading ilmu” yang berdiri gagah dan terhormat ditengah-tengah realitas kemanusiaan yang timpang dan mengenaskan yang mengelilinginya. Perkembangan ilmu hanya secara sempit ditujukan untuk sekedar memuaskan rasa penasaran keilmuan itu sendiri hingga melupakan tujuan mulia untuk mencerdaskan, memuliakan, dan mensejahterakan kehidupan umat manusia di dunia. Sejalan dan berkaitan dengan itu, Gandhi mencatat dosa sosial yang keempat, yaitu pengetahuan tanpa karakter. Bila ilmu telah semakin jauh dari hakikat kemanusiaan maka pengetahuan yang terkumpul darinya pun berkembang tanpa karakter yang kuat dan keteguhan yang kokoh untuk merubah derita kemanusiaan menjadi kebahagiaan umat manusia. Untuk menyelesaikan permasalahan kemanusiaan dengan solusi yang tepat dan bermartabat. Pengetahuan yang dimiliki seseorang pada gilirannya hanya sekedar agregasi dari data dan informasi yang tak punya integritas dan niat mulia untuk digunakan sebagai “tools” untuk membuat kehidupan semakin baik, semakin mudah, dan lebih berkeadilan. Politik tanpa prinsip adalah dosa sosial kelima menurut Gandhi. Demokratisasi yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa reformasi pada akhirnya melahirkan kehidupan politik yang gegap gempita dan barisan politisi yang pintar “berkata-kata saja” dan “berwacana melulu” tanpa benar-benar serius untuk memperbaiki keadaan. Prinsip politik yang semestinya merupakan alat perjuangan untuk merubah masyarakat menuju “civil
society” yang cerdas, terhormat, dan berkeadilan ternyata bergeser hanya menjadi pelayan abadi dari berbagai kepentingan sesaat. Politik yang seharusnya menuntun kehidupan demokrasi kedalam persaingan sehat dan interaksi kritis antara yang memegang “posisi” dan yang menjadi “oposisi” ternyata telah menumbuhkan sindikasi politik jangka pendek yang penuh dengan aroma transaksional “dagang sapi” yang kasat mata dan tak tahu malu. Karenanya, politik telah menjadi “poli-intrik” yang semakin jauh dari idealisme. Karenanya, partai lantas dikelola seperti layaknya sebuah usaha dagang yang terus menerus terbelit, terlilit, dan terjebak dalam kompleksitas persoalan uang dan kekuasaan. Karenanya, pemilu lantas dibelokkan menjadi sekedar alat legitimasi demi tegaknya sebuah kursi kekuasaan setiap lima tahun sekali. Karenanya, demokrasi lantas dibungkus bak sebuah pesta mewah yang menguras sumberdaya masyarakat dan negara, tanpa pernah dipersoalkan dampak dan kaitannya dengan perkembangan dan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat. Karenanya, suara rakyat ditahbiskan sebagai suara tuhan, yang setelah terkumpul tidak pernah dipersoalkan akuntabilitas spiritual dan moralitasnya dalam kehidupan sehari-hari. Dosa keenam menurut Gandhi adalah bisnis tanpa moralitas. Ungkapan “business is business” yang seharusnya mengandung profesionalisme, etika, dan moral yang tinggi telah diplesetkan maknanya menjadi pemisahan antara urusan bisnis dan urusan lainnya. Hingga kita hanya mengenal segregasi yang akut dan menyesatkan, yang secara lugas dan tegas membedakan antara usahawan dan rohaniawan pada posisi yang saling berhadap-hadapan. Usahawan dengan mudahnya dikonversi menjadi profesi yang hanya mengejar keuntungan belaka, sementara rohaniawan dibaptis menjadi profesi yang diasumsikan tidak pernah mengejar keuntungan duniawi. Karenanya, moralitas hanya hadir secara artifisial dan temporer belaka dalam kehidupan bisnis. Ia hanya hadir saat dibutuhkan sebagai perayaan rasa syukur atas keberhasilan ekspansi bisnis atau menandai awal rencana bisnis. Pun, ia hanya eksis saat dunia bisnis harus berpartisipasi dan terpaksa berkontribusi dalam ritual perayaan keagamaan tahunan yang telah menjadi komoditas rutin yang membosankan. Karenanya, kita bisa memahami ketika sebuah konglomerasi bisnis yang telah menenggelamkan ribuan rumah penduduk kedalam kubangan lumpur panas justru menyalahkan alam sebagai penyebabnya dan melakukan negoisasi yang berkepanjangan sekedar untuk mengganti kerugian massal yang timbul. Serta pada saat yang sama mampu memberikan penghargaan terhormat kepada orang-
orang yang telah mengabdikan hidupnya dalam pergulatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Demikian pula, kita tak heran menyaksikan sebuah perusahaan raksasa yang telah merusak dan menghancurkan lingkungan dengan bangganya memamerkan sebagian kecil keuntungannya atas nama “corporate social responsibility” dalam bentuk proyekproyek “community development” berskala kecil atau dalam bentuk pemberian beasiswa pendidikan. Semua dipertontonkan secara kasat mata dan telanjang! Ibadah tanpa pengorbanan adalah dosa ketujuh. Saya lantas ingat, beberapa tahun yang lalu Emha Ainun Najib dengan cerdas dan berani mengkritik fenomena dan tren ketaatan ibadah masyarakat urban lewat puisi panjangnya yang berjudul “lautan jilbab”. Saat itu, Emha khawatir jika kesadaran mengenakan jilbab di kalangan perempuan perkotaan (terutama kaum terdidik) hanyalah sekedar arus mode spiritual belaka. Yang sesaat. Yang tak bersangkut paut dengan ketaatan dan kesungguhan dalam menjalankan ibadah sosial dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula dengan maraknya ritual-ritual ibadah di kalangan profesional kota lewat “boom” pengajian, larisnya buku-buku tentang sufisme, dan lahirnya “uztad-uztad” muda selebritis, yang “instant”, yang “trendy”, yang tampil wah, dan piawi dalam menggunakan media komunisasi massa. Sementara, kita mencatat masih membengkaknya kemiskinan dan kebodohan di masyarakat. Yang tak hanya butuh “ceramah” dan “pencerahan” semata. Sementara, kita mencatat belum sepenuhnya zakat, infaq, dan shodaqoh berhasil menjadi medium sekaligus “tools” yang efektif dalam mengikis kemelaratan umat dan ketimpangan sosial yang kronis. Sementara, kita mencatat distorsi makna jihad kedalam aksi-aksi terorisme yang penuh pengorbanan yang sia-sia sekaligus menyesatkan. Sementara, kita mencatat “pengorbanan” dan “ketidaksabaran” luar biasa para ulama untuk bisa masuk kedalam dunia bisnis-politik hingga lupa “berkorban” untuk mendidik para santrinya dengan akidah dan ibadah yang benar dengan penuh keikhlasan, kesabaran, dan kemandirian, tanpa embel-embel kepentingan apapun. Saya membayangkan ketujuh dosa tersebut telah lama ada, berada, dan (masih) berkembang biak di sekitar kita. Saya membayangkan, ketujuh-tujuhnya telah lama dianggap hanya sekedar “persoalan sosial” yang lumrah dan biasa. Bukan lagi sebagai sebuah “aib” dan “dosa” yang luar biasa memalukan, yang terus menerus terjadi di negeri ini. Terus terang, saya hanya mampu membayangkan apa yang telah terjadi. Terus
terang, saya tak kuasa membayangkan konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi bila negeri ini terus menerus membiarkan ketujuh dosa sosial itu berlangsung. Terus terang, saya tak mampu membayangkan tanggungan beban akibat pembiaran itu. Terus terang, saya tak kuat membayangkan adanya kesengajaan untuk tidak lekas-lekas menemukan jalan pertobatan yang total sebagai jalan keluar dari seluruh kesesatan sosial ini. Terus terang, tulisan ini harus diakhiri sampai disini. Karena, saya takut hanya bisa berkatakata saja. Tak lebih. Tak kurang. Astaghfirullah!
Menteng, Jakarta, Oktober 2009
ANTARA OBAMA DAN OSTROM: SEBUAH KETERGESAAN DAN SEBUAH KEPANTASAN
Tahun ini akan dikenang sebagai tahun yang luar biasa. Juga sebagai tahun yang mengagetkan banyak orang. Paling tidak dalam tradisi pemberian hadiah Nobel. Siapa yang menyangka Obama akan mendapatkan Nobel Perdamaian. Meski, Obama diakui telah membuat sejarah baru. Meski, Obama dipercayai akan mencipta sejarah baru. Bagi Amerika dan dunia. Tapi, rasa-rasanya anugerah hadiah perdamaian itu kelewat cepat diberikan kepadanya. Dalam skala waktu, performansi Obama dalam berkontribusi menciptakan dunia yang lebih damai belumlah teruji. Paling tidak, bila dibandingkan dengan Mandela yang telah berdarah-darah sekian puluh tahun lamanya untuk menentang dan menghapus rezim dan ideologi apartheid dari bumi Afrika Selatan. Sebuah perjuangan yang terlampau panjang, menyakitkan, menakutkan, dan tentu saja berbahaya untuk menegakkan hakikat keadilan dan kemanusiaan secara nyata. Hingga, hadiah Nobel sekalipun tak akan pernah cukup untuk mengganti darah, nyawa, dan kehormatan yang telah hilang. Karenanya, Nobel bagi Mandela adalah sebuah keniscayaan, kealpaan, sekaligus keterlambatan sejarah. Paling tidak, bila dibandingkan dengan Arafat yang begitu liat semangatnya dan begitu kuat keyakinannya untuk memperjuangkan berdirinya negeri Palestina dengan diplomasi damai yang teramat panjang dan melelahkan. Sebuah kemustahilan daya juang yang muskil bertahan ditengah determinasi dan intensitas teror sekaligus horor yang dijalankan secara konsisten oleh rezim yahudi Israel. Karenanya, Nobel bagi Arafat hanyalah simbol pengakuan yang sangat pantas diterimanya dari komunitas internasional.
Paling tidak, bila dibandingkan dengan Yunus yang begitu panjang kesabaran dan keyakinannya untuk membuktikan bahwa kaum papa dan melarat berhak serta mampu berhubungan dengan bank untuk membiayai usahanya. Sebuah pembuktian panjang (bahkan perlawanan) bahwa si miskin layak (feasible) dan mampu mengakses sekaligus membayar kredit (bankable) untuk secara bermartabat pelan-pelan mampu mengurangi derajat kemiskinannya dengan usaha yang diciptakan dan dijalankan sendiri. Berpuluh tahun Yunus membuktikan kesalahan persepsi, asumsi, dan valuasi kaum bankir dalam memperlakukan kaum miskin. Yunus secara empiris membuktikan bahwa kaum miskin tak melulu harus diberi subsidi terus menerus. Mereka ternyata bisa berdikari dan mandiri menyelesaikan persoalan kemiskinannya dengan hukum-hukum ekonomi pasar sebagaimana layaknya pelaku pasar lainnya. Maka, Nobel untuk Yunus dan Grameen Bank nya adalah sebuah kemestian yang harus diberikan. Kejutan kedua datang dari Ostrom. Seorang perempuan. Seorang profesor politik dari Indiana University yang menamatkan seluruh pendidikannya di University of California, Los Angeles. Seorang ilmuwan perempuan pertama yang meraih penghargaan bergengsi “The Johan Skytte”, “The William H Riker” dan “The James Madison” dalam bidang ilmu politik di Amerika Serikat. Yang mengejutkan, Elinor Ostrom mencetak sejarah sebagai perempuan pertama sekaligus ilmuwan politik pertama yang menerima hadiah Nobel Ekonomi. Sebuah penghargaan yang telah diberikan sejak empat puluh tahun yang lalu. Yang biasanya hanya diberikan kepada para ekonom. Kelaziman (catat: keharusan) dan tradisi (catat: restriksi) yang bertahan dengan arogannya selama empat dekade akhirnya diruntuhkan oleh kelembutan dan kesejukan teorema dari seorang Ostrom. Bersama Oliver Williamson, dunia pun musti menaruh hormat dan memberi pengakuan sekelas Nobel untuk Ostrom atas kerja keras, ketekunan, kesabaran, dan keyakinan keilmuan yang dimilikinya. Kearifan lokal, komunitas lokal, dan kerjasama lokal adalah tiga “mantra” yang diyakini Ostrom sangat “sakti” dan teramat diperlukan untuk mengelola sumberdaya alam sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Ketiganya menurut Ostrom adalah kunci persoalan sekaligus solusi permasalahan manajemen sumberdaya alam yang selama ini kadung dan cenderung didominasi oleh pemerintah dan swasta. Bagi Ostrom, dalam hal sumberdaya alam pemerintah telah gagal (government failure) dan swasta pun tak
berhasil (market failure) mengelola kemanfaatan dari berkah “endowment” yang telah disediakan alam dan lingkungan. Demikian pula dalam soal kemiskinan. Ostrom bahkan secara sarkastik menyimpulkan bahwa organisasi non pemerintah lebih efektif dan lebih efisien dalam membangkitkan ekonomi rakyat kecil ketimbang program dan proyek pemerintah. Bagi Ostrom, pemerintah bukan segala-segalanya dalam penuntasan masalah kemiskinan. Bagi saya, Ostrom telah membukakan mata dunia bahwa “government intervention” tak selamanya “smart” dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pun, “market mechanism” tak selamanya “digdaya” dalam ekonomisasi sumberdaya alam. Keduanya bagi Ostrom telah gagal. Keduanya bagi Ostrom telah menjadi “common fallacy” yang begitu lama dan secara berlebihan telah dipercayai sebagai pilihan solusi secara global. Bahwa swasta berikut pasar telah gagal, saya sangat meyakininya. Deforestasi besar-besaran yang dilakukan konglomerat selama Orde Baru di Kalimantan dan Sumatera nyata-nyata telah menghancurkan hutan tropis alami berikut kekayaan yang terkandung didalamnya di negeri ini. Sementara, suku-suku pedalaman yang tinggal didalamnya terpaksa hanya bisa jadi “penonton” yang baik, patuh, dan terus melarat. Penambangan masif yang dilakukan Freeport di Papua jelas-jelas merusak lingkungan di bumi Timika. Sementara, warga asli Papua hanya mampu “gigit jari” dan sesekali melawan dengan tombak dan anak panah untuk menunjukkan keberanian melawan hegemoni ultra kapitalisme yang akut, arogan, dan terlalu lama bercokol disana. Bahwa pemerintah pun gagal, saya juga sangat mempercayainya. Betapa “beleid” yang disusun dan dikeluarkan pemerintah (bersama wakil rakyat) seringkali telah mendorong (atau mempermudah) adanya legalisasi “praktik-praktik ilegal”, legitimasi “praktik-praktik tak pantas”, dan proteksi “praktik-praktik kriminal” yang secara diam-diam dan terencana melakukan alih fungsi lahan hutan lindung, utilisasi taman nasional yang menyimpang, okupasi rawa-rawa dan situ-situ untuk tujuan komersial, dan komersialisasi “buffer zone” dan “catchment area” atas nama mengembangkan properti swasta. Setelah maraknya “global warming” dan membuncahnya “climate change” yang bermuara pada rangkaian bencana alam yang berkepanjangan barulah kita semua terbelalak dan membuka mata lebar-lebar bahwa kebijakan dan praktik “trial and error” yang selama ini dilakukan telah benar-benar mengakibatkan “human error” yang berulang-ulang dan
berlebihan. Hingga, tuhan pun mulai bosan melihat tingkah laku kita. Hingga, alam pun mulai enggan bersahabat dengan kita. Hingga, kita pun hanya bisa bertanya kepada rumput yang bergoyang! Sekali lagi, kita musti berterima kasih kepada Ostrom. Yang telah memberikan pencerahan yang berarti sekaligus pelajaran yang berharga agar kita selalu “buka mata dan telinga” untuk tidak lekas-lekas percaya kepada “kemanjuran” mekanisme pasar, “kehebatan” wirausaha, dan “kekuatan” pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam dan melestarikan lingkungan. Selebihnya, marilah kita tunggu “keampuhan” Obama untuk membuktikan kerendahan hatinya dan kemuliaan niatnya untuk menjadi kampiun perdamaian dunia dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Karena dunia telah begitu tergesa-gesa memberikan hadiah Nobel kepadanya. Piss man! Menteng, Jakarta, Oktober 2009
BELAJAR PERCAYA AMERIKA: CATATAN UNTUK HILLARY CLINTON
Dalam sebuah artikelnya di Kompas, Hillary Rodham Clinton, seorang ex-first lady, mantan senator dan sekarang menteri luar negeri Amerika Serikat demikian tangkas, lugas, dan cerdas menuliskan pandangannya sekaligus sikap resmi pemerintahannya terhadap isu ketahanan pangan dan kelaparan global. Menurutnya, keberhasilan mewujudkan ketahanan pangan sekaligus kesuksesan menghilangkan kelaparan global akan sangat berpengaruh terhadap keamanan dan perekonomian global. Hillary merujuk kepada data statistik yang secara empirik mencatat adanya konflik di 60 negara akibat kelaparan. Demikian pula, referensi tentang tiga perempat kaum miskin dunia yang menggantungkan diri pada pertanian sebagai asumsi betapa strategisnya pengaruh persoalan “pangan” dalam konstelasi perekonomian global. Namun, yang paling mencengangkan proposisinya perihal adanya kegagalan dan kekeliruan negara-negara barat dan lembaga-lembaga asing dalam memberdayakan petani, menggerakkan pertanian, sekaligus mewujudkan ketahanan pangan secara internasional. Sekaligus, mengakui bahwa strategi paling efektif adalah berasal dari orang-orang yang selama ini dekat dengan masalah pertanian itu sendiri. Bukan dari pemerintah atau lembaga donor asing. Luar biasa! Selanjutnya, Hillary memaparkan kelima prinsip yang melandasi kebijakan pemerintahan Amerika Serikat soal prakarsa ketahanan pangan. Prinsip pertama adalah pengakuan bahwa tidak ada model tunggal untuk seluruh penyelesaian masalah pangan. Serta adanya niat baik untuk bekerja sama dengan masing-masing negara mitra sesuai kebutuhan domestik. Prinsip kedua adalah rencana investasi untuk segala hal yang berhubungan dengan pertanian sekaligus petani. Tak lupa “special attention” untuk petani perempuan. Prinsip ketiga aksentuasi pada pentingnya koordinasi tingkat lokal, regional, dan global
untuk penghapusan kelaparan. Prinsip keempat adanya dukungan terhadap peran strategis lembaga multilateral. Prinsip kelima adanya janji komitmen bantuan keuangan jangka panjang yang akan dikelola secara good governance. Dengan kelima prinsip itu saya sepenuhnya setuju seratus persen. Terlepas dari segala ”aksesoris tambahan” nya, kelima prinsip itu memang strategis dan harus menjadi urgensi yang secepatnya dilaksanakan. Saya melihat ada tiga hal yang secara implisit terkandung dalam lima prinsip yang ingin ditegakkan untuk menjalankan prakarsa strategis Amerika Serikat dalam memerangi kelaparan global. Pertama adanya pengakuan diri (self confession). Pemerintahan Obama (dan negara barat) akhirnya mengaku bahwa resep tunggal berupa revolusi hijau (green revolution) bukanlah sebuah ”panacea” yang ampuh untuk membangun pertanian dan memberdayakan petani di seluruh dunia. Revolusi hijau telah gagal. Karenanya, diperlukan berbagai model dan pendekatan yang baru. Dan, yang lebih penting, yang cocok secara domestik. Kedua, adanya kemauan baik (good will). Pemerintahan Obama punya niat mulia dan kemauan baik untuk menggunakan cara-cara multilateralisme dan meninggalkan cara-cara uniteralisme untuk menyelesaikan masalah ketahanan pangan dan kelaparan global. Mereka mulai percaya dengan penggunaan ”dialog” dan mulai meninggalkan ”monolog”. Pun, mulai menghormati ”koordinasi” ketimbang ”subordinasi”. Ketiga, adanya kemauan politik (political will). Pemerintahan Obama bersama negara-negara industri utama dunia telah berkomitmen untuk menyediakan dana sebesar 22 milyar dollar untuk merevitalisasi pertanian sebagai ujung tombak pertumbuhan ekonomi dunia dalam tempo tiga tahun. Saya mengharapkan ketiga hal itu memang benar-benar yang menjiwai kelima prinsip yang akan digunakan sebagai dasar prakarsa strategis global yang dicanangkan pemerintahan Obama dan negara barat. Dengan demikian ada ”garis pembatas” dan ”faktor pembeda” yang jelas dan tegas dengan rezim-rezim pemerintahan sebelumnya dalam menyikapi dan menindaklanjuti persoalan-persoalan strategis global. Bukankah sangat indah kalau sebuah upaya perbaikan didahului dengan pengakuan atas sebuah kesalahan, lantas ditebus dengan sebuah niat mulia untuk berubah, dan akhirnya disempurnakan dengan tindakan-tindakan nyata untuk melahirkan sebuah perubahan. Kalau ini yang terjadi maka sejak sekarang saya harus mulai benar-benar ”belajar” untuk percaya dan mempercayai Amerika Serikat (dan negara barat) dengan setulus-tulusnya.
Kalau ini yang terjadi maka sejak saat ini saya musti mulai menghilangkan bahkan membuang habis prasangka-prasangka buruk (su’udzon) berupa pesimisme, skeptisisme, dan apatisme terhadap seluruh niat dan upaya mulia Amerika dan menggantikannya dengan mulai menerapkan prasangka-prasangka baik (husnudzon) kepada mereka. Terus terang, itulah keinginan saya sebenarnya. Tapi, saya masih penasaran. Hingga masih menyimpan sedikit keragu-raguan bahkan sedikit kritisme. Saya melihat artikel Hillary masih belum mengungkapkan ”dosa terbesar” yang selama ini secara kasat mata ditutuptutupi Amerika Serikat (dan negara barat) dalam konstelasi sektor pertanian di dunia internasional. Kita semua tahu bahwa Amerika Serikat selama ini mensubsidi sektor pertanian domestiknya secara besar-besaran dan berkelanjutan. Hingga sekarang. Hingga produk pertanian mereka bisa terus menerus berjaya di pasar internasional, terutama untuk tujuan ekspor ke negara-negara berkembang. Demikian pula dengan negara-negara barat di kawasan Eropa Barat. Karenanya, sampai detik ini perihal subsidi sektor pertanian masih menjadi ”kerikil tajam” yang menganggu interaksi perdagangan antara Amerika Serikat dan Eropa Barat. Kejelasan perihal subsidi domestik inilah yang seharusnya diungkapkan terlebih dahulu oleh Hillary (dan pemerintahan Obama) sebelum menawarkan sebuah prakarsa strategis kepada dunia internasional, terutama negaranegara sedang berkembang. Berkelindan dengan persoalan itu, soal yang kedua adalah ”kecurigaan” saya adanya pengkaitan agenda domestik mereka dengan perubahan model pendekatan diplomasi internasional yang sedang ditawarkan kepada negara-negara sedang berkembang. Kalau dulu ”national interest” mereka perjuangkan habis-habisan melalui pemaksaan model unilateralisme yang secara sepihak menempatkan negara-negara sedang berkembang menjadi subordinat mereka, jangan-jangan sekarang ”kepentingan domestik” nya disembunyikan dan ditumpangkan secara diplomatis sekaligus plastis kedalam diplomasi dan forum yang bersifat multilateral, yang lebih luas ”support” dan ”compliance” nya. Hebat khan!
Karenanya, saya masih penasaran dan ragu-ragu mencermati (apalagi menerima) proposal perubahan global yang sedang ditawarkan pemerintahan Obama via diplomasi Hillary ini. Terlebih kedua soal diatas belum sepenuhnya ”gamblang” diterangkan secara teknis dan detail. Bila kedua perihal itu masih sangat ”sumir” dan ”under covered” maka bolehlah kita meragukan ketulusan, kemauan baik, dan kemauan politik Amerika Serikat (dan negara-negara barat) untuk benar-benar membantu negara-negara sedang berkembang keluar dari jebakan dan lingkaran setan ancaman kelaparan global sekaligus mampu merealisasikan ketahanan pangan yang berkelanjutan dan tata ekonomi serta bisnis sektor pertanian internasional yang lebih berkeadilan di masa mendatang. Bila kecurigaan saya memang berlebihan dan ternyata memang benar-benar tidak terbukti di lapangan maka sejak saat ini saya akan mulai belajar untuk mempercayai satu per satu hal yang berasal dari Amerika Serikat. Am I right, Uncle Sam? Menteng, Jakarta, November 2009
DIKLAT, BINTEK, SOSIALISASI, DAN SETERUSNYA ..........
Dalam tiga tahun terakhir ini saya termasuk “aktivis” yang rajin (diundang) dan tentu saja aktif mengajar di berbagai forum pendidikan dan pelatihan (diklat) atau bimbingan teknis (bintek) perencanaan pembangunan di berbagai daerah. Baik diundang pemda, lembaga pelatihan ataupun event organizer. Kesan pertama, tentu saja senang, apalagi kalau honorariumnya gede. Meski, kadang-kadang dapat daerah yang kelewat “remote” tapi honornya pun tak besar-besar amat. Tentu saja yang paling enak bila honornya gede tapi ngajarnya cukup di Jakarta. Kesan kedua, berkaitan dengan persoalan terminologi atau bahkan nomenklatur. Seringkali kita tidak bisa membedakan antara diklat, bintek, atau sekedar sosialisasi (tepatnya diseminasi). Hingga, dengan gampangnya dan tanpa beban kita sering seenaknya menggunakan atau “mempertukarkan” ketiga jenis forum tersebut untuk keperluan acara yang sama. Pengalaman saya selama ini adalah daerah lebih banyak yang membutuhkan sosialisasi ketimbang diklat atau bintek apabila menyangkut tentang sistem perencanaan pembangunan nasional. Singkatnya, daerah ingin tahu lebih banyak tentang materi dan substansi UU 25/2004 tentang SPPN sebagai “background” informasi untuk menyusun berbagai produk perencanaan pembangunan daerah. Kesan ketiga, kita seringkali tidak “serius” dalam melaksanakan ketiganya. Panitia hanya berorientasi agar “pengajar” nya bisa datang lantas mengajar dan peserta “yang diajar” bisa memenuhi ruangan. Peserta pun hanya sekedar melakukan “formalitas” memenuhi penugasan dari pimpinan untuk mengikuti kegiatan. Sementara, pengajar, pelatih, atau instruktur hanya sekedar memenuhi undangan dan membawakan materi yang hanya “ituitu” saja. Padahal antara diklat, bintek, dan sosialisasi, kadar keseriusannya beda-beda. Sosialisasi bolehlah agak “santai”, tapi bintek harus serius. Apalagi diklat.
Kesan keempat, seringkali “stakeholder” atau “audience” untuk ketiga kegiatan ini sama saja. Untuk sosialisasi kebijakan dan peraturan barangkali “stakeholder” atau “audience” nya bisa lebih luas, termasuk melibatkan unsur di luar pemerintah. Tapi, untuk bintek, pesertanya lebih khusus (targeted audience). Apalagi untuk diklat. Kesan kelima, jarang sekali ada tindak lanjut setelah selesai kegiatan. Hasil kegiatan bintek seharusnya dilanjutkan dengan fasilitasi penyusunan dokumen yang lebih rinci secara teknis. Dan karenanya seorang instruktur harus terus dilibatkan dalam proses itu. Kalau tidak, maka tidak ada jaminan tentang quality control dari dokumen yang benarbenar akan disusun sebagai produk kebijakan. Paling tidak, korespondensi antara instruktur dengan client harus dijaga selama proses penyusunan dokumen. Hal ini penting juga untuk akuntabilitas terhadap kualitas materi yang diberikan seorang instruktur kepada client. Selama saya mengajar di daerah hanya satu kabupaten yang masih melakukan korespondensi dengan saya, sekedar untuk memastikan bahwa yang disusunnya sesuai dengan materi yang telah saya ajarkan sebelumnya. Kesan keenam, jarang ada materi diklat atau bintek yang benar-benar mencerminkan kebutuhan riel daerah. Selama ini terjadi generalisasi yang berlebihan dalam materi (substansi) bintek atau diklat. Pendeknya, apa yang sedang ”ngetren” di pusat akan semakin sering dan gampang direplikasi sebagai bahan ajar di daerah. Setelah itu, kita semua akan menunggu ”trend” berikutnya. Padahal, persoalan pembangunan di daerah sangatlah banyak dan kompleks. Juga, sangat nyata dan praktis. Tapi, sayangnya materi diklat atau bintek yang mampu memberikan kontribusi dan solusi untuk menyelesaikan masalah di daerah kelewat sedikit. Dengan seluruh kesan tersebut maka diperlukan ”evaluasi tuntas” sekaligus ”revitalisasi yang pas” terhadap konsepsi dan praktik penyelenggaraan bintek, diklat, ataupun sosialisasi bagi aparatur pemerintah daerah. Evaluasi dibutuhkan untuk mengkaji efektivitas sekaligus optimalitas penyelenggaraan diklat, bintek, dan sosialisasi, baik untuk kebutuhan pusat maupun daerah. Tentu saja hal ini berkaitan dengan persoalan substansi, materi, ataupun malah berhubungan dengan teknis penyelenggaraannya. Baik pusat maupun daerah, keduanya membutuhkan ”amunisi”, aksentuasi, artikulasi, maupun tata cara yang berbeda satu sama lainnya.
Sementara, revitalisasi diperlukan agar diklat, bintek, dan sosialisasi dapat berperan secara ”vital” sekaligus proporsional sebagai ”tools” sekaligus medium untuk mengkonversi berbagai informasi kebijakan dan regulasi kedalam pemaknaan administratif yang jelas, lugas, dan pas; serta kedalam penerjemahan operasionalisasi secara teknis di lapangan. Karenanya, revitalisasi dibutuhkan untuk menghasilkan standardisasi terhadap materi, instruktur, dan lembaga penyedia (provider) sekaligus sertifikasi terhadap proses dan hasil kegiatan yang telah dilakukan. Tanpa evaluasi yang tuntas sekaligus revitalisasi yang pas, rasa-rasanya apapun bentuk dan jenis diklat, bintek, atau sosialisasi yang akan dilakukan tak lebih dari sekedar ”ritual administratif” yang kelewat reguler dan membosankan sekaligus sekedar ”media” yang paling efektif untuk menghabiskan anggaran yang ”nyaman” dan ”aman” meskipun jelas-jelas akan memboroskan belanja pemerintah setiap tahunnya. Tanpa keduanya, rasarasanya saya merasa bahwa inilah semacam ”moral hazard” yang pelan-pelan secara sadar kita (termasuk saya!) lakukan berulang-ulang, terus menerus, dan seterusnya .......................... akan menjadi kegiatan yang sama sekali tidak mencerdaskan. Bagi siapa saja. Tanpa terkecuali! Menteng, Jakarta, Desember 2009
OASIS ITU BERNAMA JEAN-LOUIS TAURAN
Agama, dialog, dan perdamaian. Tiga kata yang begitu susah difahami. Demikian pula sulit diwujudkan bersamaan. Apalagi berkelanjutan. Ketiganya telah menjadi potensi konflik yang semakin “laten” dan semakin “radikal”. Di Eropa dan Amerika. Di Asia dan Afrika. Di belahan bumi mana saja. Maka, jangan heran bila Samuel Huntington pun menulis “Clash of Civilization” dengan penuh amarah. Hingga, dengan gegabah menyimpulkan bahwa satu-satunya ketidakcocokan peradaban yang paling serius dan berbahaya adalah antara Barat dan Islam. Dan, itu sumber konflik potensial yang musti diwaspadai negara-negara barat. Barangkali Huntington lupa. Atau terlampau subjektif. Atau terlalu distortif. Bukankah sampai saat ini di Irlandia Utara (yang tergolong negara barat) kaum katholik dan kristen protestan masih terus menerus berkonflik. Alias, belum sepenuhnya bisa berdamai. Satu sama lainnya. Pun, di bumi Amerika Serikat sendiri selama ini seorang Presiden pun - paling tidak sebelum Obama jadi presiden - musti berasal dari spesies demografis dengan label “White-Anglo-Saxon-Protestant” alias WASP. Artinya, seorang kulit putih yang kebetulan bukan keturunan dari “Anglo Saxon” dan beragama katholik tidak layak didukung jadi presiden. Karena keluar dari pakem yang sangat diskriminatif, yang secara kebetulan telah dilahirkan dalam sejarah pemilihan presiden di Amerika Serikat selama ini. Dan, karenanya potensial akan menimbulkan konflik. Agama, dialog, dan perdamaian. Bagaimana kita menjelaskan ketiga kata itu kepada masyarakat barat setelah meledaknya World Trade Center, JW Marriot Hotel, Ritz Charlton Hotel, Bom Bali I dan Bom Bali II? Bila agama (baca: Islam) lantas distigmatisasi sebagai biang terorisme yang selalu menebarkan horor menakutkan bagi mereka, lantas apa yang tersisa untuk kita bicarakan. Bukankah Bush melabeli perang melawan terorisme dengan “Holly War” yang setara dengan Perang Salib? Bukankah Amerika Serikat selalu menyebut Irak, Iran, dan Korea Utara sebagai “axis of evil” yang harus terus menerus diperangi
dan ditumpas hingga amblas. Maka, kita bisa memaklumi bila Christopher Hitchens lewat bukunya “God is Not Great: How Religion Poisons Everything” bersuara keras tentang ketidakberdayaan agama dalam menyelesaikan persoalan umat manusia. Tak ada gunanya kita beragama karena agama telah meracuni semuanya. Demikian kata Hitchens. Sebuah repetisi tema yang sama, yang sebelumnya disuarakan Karl Marx. Agama ibarat candu. Karenanya akan merusak kesehatan. Sekaligus akan menyesatkan rasionalitas. Agama, dialog, dan perdamaian. Demikian susah ketiganya. Tapi harus dikerjakan. Suka atau tidak. Demikian kata Jean-Louis Tauran. Seorang kardinal yang santun kelahiran Bourdeaux, Perancis. Seorang Presiden dari lembaga yang bernama “Pontifical Council for Interreligious Dialogue” yang sebelumnya selama 13 tahun menjadi Menteri Luar Negeri Vatikan. Tauran percaya bahwa agama masih berguna dan perdamaian masih bisa diwujudkan. Tentu saja, Tauran percaya dengan fungsi dialog untuk memperkokoh keduanya. Karenanya, Tauran mampu memahami kompleksitas masalah konflik Lebanon. Pun, bisa dengan leluasa berdiskusi dengan bekas presiden Iran, Khatami. Tanpa terbebani stigma buruk tentang negara Iran. Kuncinya adalah kembali kepada kemanusiaan. Semua manusia sama dihadapan Tuhan. Demikian Tauran menyimpulkan. Karenanya, dialog harus dilakukan diantara pemeluk agama. Lebih jauh Tauran menyarankan agar diantara pemeluk agama yang berbeda-beda mulai mengenali, menghargai, bahkan mungkin menimba keunggulan spiritualitas dari agama-agama lain. Tentu saja, dengan tetap memegang keyakinan masing-masing. Karena, musuh terbesar dialog adalah ketidaktahuan terhadap yang lainnya. Karenanya, Tauran percaya kepada peran pendidikan untuk menumbuhkan sikap saling mengenal diantara pemeluk agama. Dengan adanya pengajaran sejarah Islam di bangku pendidikan maka murid di sekolahsekolah di Perancis bisa memahami Islam sebagai realitas agama yang memiliki nilai religius dan kemanusiaan yang tinggi. Tak sekedar hanya melihat dari apa yang secara kasat mata dilakukan oleh imigran-imigran dari Aljazair, Maroko, dan Turki. Demikian Tauran memberikan contoh yang konkrit.
Yang menarik adalah penolakan Tauran untuk menggunakan terminologi toleransi dalam dialog antar pemeluk agama. Toleransi menurut Tauran hanyalah bersifat merumuskan batas dan bertujuan untuk menghindari konflik semata. Namun, ketika batas yang telah ditetapkan dalam toleransi terlewati maka konflik akan mudah terjadi. Namun, dengan saling mengenal dan saling mencintai maka tidak ada batasan yang menghalangi diantara pemeluk agama. Toleransi saja menurut Tauran tidak pernah cukup untuk mewujudkan kerukunan umat beragama. Hanya dengan pendidikan maka rasa saling mengenal dan mencintai sesama pemeluk agama dapat ditumbuhkan dengan kokoh. Namun, Tauran mengingatkan bahwa dialog antar agama bukanlah sebuah strategi yang bertujuan untuk menarik orang lain menjadi pemeluk agama tertentu. Karena Tauran yakin bahwa menjadi pemeluk agama atau mengimani agama tertentu adalah sebuah misteri antara manusia dan Tuhan. Yang tidak bisa dengan mudah diubah, dikendalikan, sekaligus diatur. Karenanya, dialog antar agama harus dilandasi ketulusan yang penuh dan tingkat pendidikan yang matang, terutama di masyarakat akar rumput (grass root). Hal menarik lainnya adalah soal perdamaian. Tauran melihat bahwa terwujudnya perdamaian tidak bisa diukur dari berkurangnya atau bahkan tidak adanya perang di muka bumi. Namun, indikator utama sekaligus prasyarat penting terwujudnya perdamaian abadi adalah tercukupinya kebutuhan pangan sekaligus terwujudnya keadilan bagi semua umat manusia. Kelaparan dan ketidakadilan merupakan musuh abadi perdamaian. Selanjutnya Tauran membagi perdamaian diantara pemeluk agama kedalam tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah terwujudnya toleransi. Menurut Tauran toleransi adalah konsep damai yang paling dangkal karena lebih mengutamakan perasaan hati seseorang atau sekelompok orang. Tingkat kedua adalah saling menghormati. Menurut Tauran sikap saling menghormati adalah merupakan konsep dasar dalam menjalin hubungan antara sesama manusia. Sementara, tingkat ketiga adalah saling bekerja sama. Menurut Tauran sikap dan perbuatan saling bekerja sama merupakan tingkat perdamaian tertinggi karena semua umat beragama bahu membahu dan bekerja bersama untuk kepentingan publik yang lebih luas, melampaui kepentingan kelompok agama tertentu.
Melihat pemikiran Tauran saya lantas teringat sebuah film epik sejarah yang sangat bagus sekaligus menyentuh, yaitu “Kingdom of Heaven”. Dalam film itu dikisahkan keberanian sekaligus ketulusan seorang Richard yang mau menerima tawaran perdamaian dari seorang Shalahuddin Al Ayyubi dalam akhir masa perang salib. Sebagai raja Inggris yang bergabung dalam lasykar perang salib Eropa, Richard “Lion Heart” lebih mengutamakan terwujudnya perdamaian ketimbang harus terus menerus berperang habis-habisan demi mempertahankan Jerusalem sebagai kota suci umat kristiani. Richard memahami bahwa Jerusalem adalah kota suci bagi umat kristen, islam, sekaligus yahudi, karenanya hanya dengan perdamaianlah maka Jerusalem akan terhindarkan dari kehancuran total sekaligus akan terpelihara sebagai sebuah kota suci bersama. Dan, eloknya Richard percaya bahwa Shalahuddin Al Ayyubi sebagai penguasa kota Jerusalem yang baru akan mampu menjaga perdamaian sekaligus memberikan perlindungan yang sama bagi ketiga umat beragama yang berbeda untuk beribadah didalamnya. Sebagai orang Islam, saya meyakini sepenuhnya bahwa Shalahuddin Al Ayyubi pasti terinspirasi oleh strategi Rasulullah Muhammad SAW ketika berhasil menaklukkan kota Mekkah beberapa abad sebelumnya. Bahkan, dalam penaklukan kota Mekkah, Muhammad SAW dan pasukan jihadnya sama sekali tidak menumpahkan satu tetes darah sekalipun dari pasukan kaum jahiliyah Quraish dan sekutunya. Dan, ketika kemenangan sudah ditangan, Muhammad SAW berseru lantang kepada musuhnya “bagiku agamaku, bagimu agamamu”, dan berpesan kepada umatnya “kita telah melewati perang kecil, setelah ini kita akan menghadapi perang akbar yang melelahkan, yaitu perang melawan nafsu diri sendiri”. Dan, sejak itulah zaman kebesaran Islam mulai ditancapkan. Dan, sejak itu pula perdamaian antar pemeluk agama tercipta dan terwujud di Mekkah. Semua agama boleh berkembang dan semua pemeluk agama boleh beribadah sesuai keyakinannya masingmasing. Dan, semuanya dijamin keamanannya dan dilindungi kebebasannya oleh rasul agung itu. Sebagai orang yang (masih) beragama, saya musti menaruh respek dan penghormatan yang setinggi-tingginya terhadap Kardinal Jean-Louise Tauran yang telah datang ke negeri ini untuk tidak saja sekedar membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki jutaan umat muslim yang moderat dan memiliki segudang tokoh dan cendekiawan muslim yang selama ini mau dan mampu mewujudkan toleransi, sikap saling menghargai, dan
sikap dan perbuatan saling bekerja sama dengan tokoh dan cendekiawan dari agamaagama lainnya. Tetapi, juga untuk mengingatkan kita semua bahwa apa yang telah disampaikannya merupakan sebuah “oasis kecil” yang harus terus menerus dirawat dan dijaga agar terbukti mampu membasahi lautan “gurun pasir” kebudayaan dan peradaban negara-negara barat yang belum sepenuhnya mau (dan mampu) mewujudkan toleransi, saling menghargai, dan saling bekerja sama dengan negara-negara sedang berkembang dan terbelakang secara bermartabat, setara, dan berkeadilan. Apapun jenis agamanya. Apapun bentuk keyakinannya. Menteng, Jakarta, Desember 2009
SEBUAH PATUNG DI TAMAN MENTENG
Lantas bagaimana menjelaskan sebuah patung di taman menteng? Sebuah patung kecil baru-baru ini dipahat dan ditancapkan disana. Diresmikan seorang walikota. Direstui seorang gubernur. Diamini seorang presiden. Tentunya begitu penting. Tentu saja berkaitan dengan sejarah. Paling tidak terkait dengan masa lalu. Lantas bagaimana menjelaskan sebuah patung di taman menteng? Sebuah patung kecil untuk mengenang seseorang yang pernah menghabiskan tiga tahun hidupnya di menteng. Suka mandi di kali dan tak lupa senang nasi goreng. Selebihnya, ia hanya murid sekolah dasar yang teramat biasa. Tak luar biasa prestasinya. Hanya saja ia pernah sekolah di menteng. Sebuah kawasan elit di negeri ini. Sebuah daerah yang masuk “ring satu”. Lantas bagaimana menjelaskan sebuah patung di taman menteng? Sang murid itu sekarang menjadi presiden negara adi kuasa satu-satunya di dunia. Obama namanya. Besar kekuasaannya. Luas pengaruhnya. Tinggi popularitasnya. Ia bukan saja seorang “public figure” tapi telah menjadi “selebritis” yang menghibur seluruh dunia. Sekaligus rajin menabur harapan ke seluruh dunia. Lantas bagaimana menjelaskan sebuah patung di taman menteng? Itulah penjelasannya. Karena, konon kabarnya tahun depan ia akan datang kesini. Karenanya, sambutan hangat musti diberikan. Tepatnya, disiapkan. Jadi? Apalah artinya sebuah patung kecil di sebuah taman kecil yang kebetulan berada di kawasan elit dan daerah ring satu, yang bernama menteng. Bukankah itu tanda kelaziman sebuah keramahtamahan. Bukankah itu bukti bahwa kita pun pernah menjadi bagian dari masa kecil seorang penguasa dunia. Bukankah itu normal. Bukankah itu wajar. Gitu aja kok repot-repot! Sebuah patung di taman memang sebuah kelaziman. Sekaligus sebuah keniscayaan. Juga sebuah kelengkapan. Barangkali tak cukup sebuah. Mungkin lebih banyak lagi. Tergantung ukuran dan jenis taman. Karenanya, taman-taman di negara-negara eropa dan amerika, juga di asia, tak hanya butuh pepohonan yang rimbun, dan bunga-bunga yang berkembang molek dan warna-warni. Tapi, kehadiran dan keberadaan sebuah atau
bahkan beberapa patung dibutuhkan sebagai keseimbangan, pelengkap keindahan, bahkan mungkin sebagai penanda atas sesuatu yang patut dikenang. Tanpa itu, sebuah taman tak ada bedanya dengan hamparan kebun. Hanya layak untuk bercocok tanam belaka. Sebuah patung di taman bisa menggambarkan apa saja. Atau, bisa mewakili apa pun. Karenanya, bisa dalam bentuk sosok manusia yang kebetulan menjadi pahlawan. Atau, bahkan seniman. Atau, malah bukan siapa-siapa. Di taman di tengah-tengah kota Vienna kita bisa melihat patung Mozart yang tersembunyi dibalik rindangnya pepohonan. Sebuah penanda untuk sebuah pencapaian yang gilang gemilang di masa silam. Sekaligus sebuah penghormatan untuk seorang “Amadeus” yang telah memberikan komposisi-komposisi klasik yang sangat indah kepada Vienna, Austria, Prusia, sekaligus dunia. Karenanya, sebuah patung di taman harus punya arti. Di taman Lapangan Banteng kita bisa mendongakkan kepala tinggi-tinggi melihat patung seorang lelaki yang perkasa, yang seolah berteriak kencang karena berhasil membebaskan diri dari rantai panjang yang selama ini membelenggunya. Patung atau monumen itu menggambarkan peristiwa pembebasan Irian Barat dari cengkeraman penjajahan kolonial Belanda. Taman atau lapangan ini pada zaman penjajahan Belanda bernama Waterloo Plein. Tapi oleh penduduk Jakarta disebut sebagai taman Lapangan Singa. Hanya karena ada patung yang berbentuk singa didalamnya. Setelah keberhasilan pembebasan Irian Barat, taman ini diubah menjadi taman Lapangan Banteng. Alasannya, banteng adalah salah satu satwa asli Indonesia. Bukankah Batavia telah kita rubah jadi Jakarta. Demikian pula dengan patung tujuh jenderal angkatan darat di taman Lubang Buaya yang dengan tegas dan lugas ingin menggambarkan sebuah lembaran hitam sejarah negeri ini. Hingga ketujuh-tujuhnya musti dibantai dengan kejam sebagai tumbal sebuah revolusi. Atau bahkan sebuah akibat dari gerakan politik yang kotor dan berdarah-darah. Pesan tersirat dari patung atau monumen revolusi itu adalah mereka tetap berdiri tegak lengkap dengan seragam kebesaran dan bintang kehormatan meskipun pada akhirnya harus menghadang maut demi sebuah pengorbanan untuk negeri ini. Sebuah pesan tentang keberanian sekaligus kegagahan dan kegigihan militer untuk menghadapi tantangan, walau harus berujung kematian sekalipun.
Tapi sebuah patung atau tugu atau monumen sekalipun kadang gagal mewujudkan pesannya. Contoh yang paling gamblang adalah patung proklamator Soekarno-Hatta yang dibangun di taman proklamator. Keduanya berdiri tegak membelakangi ketujuhbelas pilar yang menandai tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Selebihnya, tak ada informasi, dokumen, atau bahkan peninggalan sejarah lainnya yang ada di monumen ini untuk memberikan penjelasan yang lebih jelas dan lebih rinci bahwa di tempat inilah sebuah negara, sebuah republik, yang bernama Indonesia resmi diproklamasikan kepada seluruh dunia. Bahkan, rencana Gubernur Ali Sadikin untuk membangun miniatur rumah Soekarno di tempat ini pun gagal dilakukan. Atau, barangkali telah digagalkan. Kegagalan monumen ini berikut kawasan yang melingkupinya adalah karena keterbatasannya dalam menggambarkan dan mengungkapkan sebuah peristiwa yang paling historis dalam sejarah negara Indonesia. Kegagalan lainnya adalah taman yang dibuat untuk menandai kawasan ini pun tak terawat, kotor, dan kumuh. Bahkan, lampu-lampu taman yang berfungsi menerangi kawasan ini di malam hari hampir sebagian besar rusak dan mati. Hanya satu dua lampu taman yang berfungsi. Tapi, taman proklamator berikut patung atau monumen proklamasi tak sepenuhnya gagal. Terbukti, taman ini begitu terbuka untuk kegiatan apapun. Di pagi dan sore hari kita bisa menemukan banyak aktivitas sekaligus berbagai lapisan masyarakat yang berkerumun di kawasan ini. Mulai dari penjaja makanan yang mengadu peruntungan, anak-anak kecil yang bermain-main, hingga remaja dan manula yang berolah raga. Saking egaliternya, di taman ini semua aktivitas bisa dilangsungkan. Mulai dari unjuk rasa, demonstrasi, acara partai, bahkan resepsi pernikahan. Saking egaliternya, bahkan aktivitas mesum pun bisa dilakukan di tempat ini. Tentunya di malam hari. Saat lampu-lampu taman tak sepenuhnya mampu menerangi kegelapan di taman ini. Tapi, taman proklamator berikut patung atau monumen proklamasi tak sepenuhnya gagal. Terbukti, penyair Hammid Jabbar pernah membacakan teks proklamasi kemerdekaan kedua di tempat ini. Sebuah sajak yang galak yang menggugat kesalahan pengurusan negara oleh rezim otoriter Orde Baru sekaligus menyatakan (kembali) kemerdekaan Indonesia untuk kedua kalinya, yang ingin lepas dari penjajahan bangsa sendiri. Sebuah art performance yang kelewat berani, yang dipentaskan di tahun 1992. Tahun di mana otoritarianisme pemerintah Orde Baru sedang kuat-kuatnya dan galak-galaknya. Terbukti pula, politisi, intelektual, dan LSM pun berkali-kali menyatakan sikap politik dan
perlawanannya di tempat ini. Sebuah tempat yang gagal menandai kebesaran dan kehebatan sejarah masa lalu, tapi berkembang menjadi tempat yang terbuka untuk siapa saja yang ingin dan akan membuat sejarah apapun di masa depan. Kembali kepada pertanyaan awal. Lantas bagaimana menjelaskan sebuah patung di taman menteng? Jujur saja saya tidak bisa. Terus terang saya tidak mampu. Kalau boleh memilih rasa-rasanya masih banyak (almarhum) tokoh yang layak dibuat patungnya di taman menteng. Atau, di taman di tempat lain di Jakarta. Muhammad Husni Thamrin, Bang Ali Sadikin, bahkan Benyamin Suaib nyata-nyata telah bertahun-tahun hidup, tinggal, dan berbuat banyak untuk Jakarta dan Indonesia. Mereka terbukti telah berjuang, membela, membangun, mewarnai, dan mencintai Jakarta. Rasa-rasanya mereka lebih layak dikenang. Meski hanya dengan sebuah patung di sebuah taman. Tak harus di menteng. Bisa dimana saja. Kenapa? Karena mereka semua menghabiskan seluruh hidupnya di Jakarta dan untuk Jakarta. Bahkan, untuk Indonesia. Tak hanya sekedar tiga tahun saja. Dan yang pasti, mereka berjuang bukan untuk Amerika! Menteng, Jakarta, Desember 2009
NEGERI YANG BERNAMA FREAKONESIA: SEBUAH REQUIEM UNTUK GUS DUR
Gus Dur pernah membuat “joke” tentang tiga presiden Indonesia sebelumnya. Tentu saja sebelum Gus Dur menjadi presiden yang keempat. Katanya, Soekarno adalah “gila wanita” atau pemuja perempuan. Karenanya, Soekarno melakukan poligami. Dilakukan secara terbuka dan blak-blakan. Eloknya, semua istrinya cantik-cantik. Ambooi! Dan, semuanya tenteram dan rukun-rukun saja. Enak tho! Mantep tho! Daripada satu istri, lebih baik menggendong banyak istri. Konon, Ratu Sirikit dari kerajaan Siam pun pernah dipuji (tepatnya dirayu) setinggi langit di depan suaminya sendiri. Kata Soekarno, istrinya sangat cantik sekali. Dan, sang raja menjawab dengan santun sambil tersenyum. Benar tuan, tapi sayang sekali hanya ada satu, dan sayangnya pula sudah jadi milik saya. Ha ha ha ha ha. Selanjutnya. Soeharto adalah “gila harta”. Karenanya, Soeharto sangat suka dan gemar menumpuk kekayaan. Eloknya, untuk tujuh keturunan. Eloknya pula, semua hartanya aman-aman saja “daripada” perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme. Gila khan! Karena gila harta maka Soeharto suka “membangun” apa saja. Pokoknya, “memasyarakatkan pembangunan dan membangun masyarakat” adalah semboyan baru untuk orde yang baru pula. Jadi, boleh dong mengangkat diri sendiri sebagai Bapak Pembangunan “daripada” Bangsa Indonesia. Untuk “semangkin” afdhol, boleh juga khan menabalkan diri sendiri sebagai “Jenderal Besar” yang setara dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Soeharto yang dulunya mengharamkan “marxisme” untuk negeri ini, setelahnya malah menghalalkan “narsisme” untuk dirinya sendiri. Dengan segala cara. He he he he he.
Kemudian, Habibie adalah “gila beneran”. Karenanya, ia membuat pesawat terbang. Disaat semua negara Asia dan Afrika belum satupun yang berani memproduksi pesawat terbangnya sendiri. Gila khan! Yang lebih gila lagi ketika nama pesawatnya adalah “tetuko”. Plesetannya adalah sing teko ora tuku-tuku, sing tuku ora teko-teko. Atawa, yang datang nggak pada beli, yang beli kagak datang-datang. Alias, pesawatnya nggak laku. Jadi, musti dibarter atau ditukar dengan beras ketan dari Thailand. Hebat nggak! Kita memproduksi pesawat, setelah itu kita bisa membuat “kue lemper” sebanyakbanyaknya. Teknologi tinggi tercapai. Kuliner tradisional pun terpenuhi. Huebaat khaaan! Mak nyuus! Habibie pun “cemburu” dengan Singapore. Karena bagi Habibie, Singapore adalah “noktah kecil” yang arogan. Dan “negara mini” yang patut disaingi. Dan diberi pelajaran. Karenanya, ia menyulap Batam menjadi “economic zone” yang mampu menyaingi Singapore. Hebat nggak! Kemudian, ia pun melahirkan 13 KAPET. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu di 13 provinsi. Satu di Kawasan Barat Indonesia. Dua belas lainnya di Kawasan Timur Indonesia. Sialnya, semuanya direncanakan untuk dibangun serentak. Malangnya pula, tak satupun yang terwujud. Apalagi berhasil. Sampai kini. Benar-benar celaka ke-13. Ho ho ho ho ho. Yang paling gila ketika Habibie bersedia ditahbiskan jadi ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau ICMI. Padahal, sepanjang hidupnya tidak pernah melahirkan pemikiran tentang keislaman. Hanya karena seorang muslim. Dan, kebetulan sangat jenius bak cendekiawan. Maka, layaklah ia jadi ketua ICMI. Konyolnya pula, setelah ICMI berdiri, banyak tokoh agama dan intelektual lainnya ikut-ikutan jadi “pengekor” . Lantas mendirikan organisasi cendekiawan berdasarkan agama! Kalau yang ini benar-benar gila beneran! Baru kali ini sekelompok cendekiawan “kok mau-maunya” dikerangkeng dalam “kotak-kotak” agama. Sebuah kegilaan (baca: kegoblokan) yang tidak rasional dan memalukan! Ada lagi? Oh ya. Kegilaan (atau barangkali kejeniusan) Habibie lainnya adalah soal Timor Timur. Bagi Habibie, Timor Timur itu ibarat “kerikil dalam sepatu”. Kecil tapi sangat menganggu kenyamanan. Karenanya, perlu diambil dan dibuang keluar dari sepatu yang bermerek “NKRI”, yang asli buatan dalam negeri. Jadi, daripada ribut melulu apa
salahnya diberi “referendum” sehingga rakyat Timtim bisa “menjajaki” keinginan dan menentukan “pendapatnya” sendiri. Masih mau memakai merek “NKRI” atau kepingin ganti label yang lain. Gilanya, jajak pendapat membuktikan merek “NKRI” tak layak jual karenanya musti diganti dengan “brand” yang lebih keren, yaitu “Timor Leste”. Setelah itu rakyat Timtim menyanyi riang Xa na na na na na.........Xa na na na na na.......dan seterusnya. Habibie yang gila. Tapi, yang goblok kita semua. Kenapa? Kalau dulu kita diprovokasi Australia dan Amerika Serikat untuk menganeksasi Timor Timur karena mereka “ciut” dengan gerakan komunisme disana. Maka, setelahnya kita di “fait a compli” oleh Australia dan Amerika Serikat untuk keluar dari Timtim dengan sangat tidak terhormat dalam tempo sesingkat-singkatnya. Bahkan, mereka secara sepihak telah mem “persona non grata” kan sekaligus mengucilkan Indonesia dari kategori negara beradab. Timor Timur akhirnya merdeka. Sementara, kita hanya mendapatkan “stempel” sebagai pelanggar HAM berat. Bukankah kita lebih gila dan lebih pandir ketimbang seekor keledai. Kita ditipu dua kali oleh negara-negara yang sama! Yang itu-itu melulu! Mentahmentah pula! Lantas bagaimana Gus Dur musti melabeli dirinya sendiri? Kata Gus Dur, ia adalah presiden yang membuat orang “pada gila” semua. Dengan jurus “dewa mabuk” semua orang dibuat “klenger” dan terkaget-kaget. Khonghucu pun diakui sebagai agama resmi. Imlek pun boleh dirayakan. Barongsai juga boleh meliuk-liuk dengan bebas. Biar orangorang tionghoa pada gembira. Kalau mereka senang kita juga akan nyaman. Gitu aja kok repot! Ketika parlemen ribut terus, Gus Dur mengatai lembaga mereka seperti “taman kanakkanak” yang kerjaannya main-main melulu. Buktinya, anggota “de-pe-er” yang terhormat masih suka minta “uang saku” dan “uang jajan” kepada siapa saja. Dan, masih suka “jalan-jalan” dan “jajan-jajan” kemana-mana. Persis seperti anak kecil. Persis seperti anak TK. Maka, tempat mereka bersidang, berkomisi, dan berpansus memang seperti layaknya taman kanak-kanak.
Kelompok Islam “garis keras” pun pernah marah besar. Hanya karena Gus Dur ingin membuka kontak dagang dengan Israel. Yang kebetulan Yahudi pula. Gus Dur sudah dianggap keblinger nggak ketulungan. Padahal, bukankah Muhammad SAW pernah berbisnis dan bahkan punya hutang dengan tetangganya. Yang kebetulan yahudi. Bukankah Gus Dur jelas-jelas melakukan i’tiba’ atau meneladani Rasulullah untuk menghargai toleransi dan menjunjung tinggi pluralisme sekaligus membuktikan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin bagi siapa saja, termasuk bagi yahudi tanpa terkecuali. Justru ironisnya, selama ini harta kekayaan emir-emir negara-negara Arab yang kaya raya lebih suka disimpan dan dikelola oleh bankir-bankir yahudi di Eropa dan Amerika. Ironisnya pula, sangat sedikit yang dibisniskan dan diinvetasikan secara “islami”, atau “syariah” di negara-negara yang mayoritas penduduknya jelas-jelas muslim seperti Indonesia. Megawati pernah “ngambek” sama Gus Dur. Amien Rais pun sangat marah karena betulbetul dibuat “senewen” dengan langkah Gus Dur yang memabukkan. Karenanya, “impeachment” musti dijatuhkan dan Gus Dur harus “dilengserkan supaya tidak membuat gila semua rakyat. Gus Dur pun tersingkir dari panggung kekuasaan. Jelasnya, disingkirkan secara “sistemik” dan sangat sistematis oleh para proponennya sendiri. Yang pernah mengangkatnya jadi presiden lewat “poros tengah”. Sebuah jalan tengah yang sengaja dibangun Amien Rais untuk membendung Habibie yang masih kental aroma Orde Baru nya sekaligus untuk menghalang-halangi Megawati jadi presiden, hanya karena kebetulan “mbak Mega” adalah perempuan. Sebuah taktik politik yang “jeli” sekaligus “menggelikan” kita semua. Tapi, Amien Rais memang punya hobi me “reformasi” apa saja. Termasuk mereformasi (baca: merevisi) ideologi politiknya sendiri. Karena sudah tak bisa lagi mengendalikan Gus Dur maka “boleh-boleh saja” dan “sah-sah saja” sekaligus “sudah saatnya” segenap anak bangsa memiliki presiden perempuan. Maka, “Buloggate” yang berkelindan dengan “Tukang Pijit” adalah entry point untuk memakzulkan Gus Dur sekaligus mengangkat tinggi-tinggi Mega ke langit kekuasaan. Ini politik bung! Ini soal kekuasaan bung! Semuanya bersangkut paut dengan kepentingan. Semuanya sesaat. Semuanya sesat.
Supaya tidak repot tulisan ini musti diakhiri. Seorang teman pernah mengeluhkan kondisi dan situasi negeri ini akhir-akhir ini. Katanya, sekarang kita kehilangan huruf “n” di negeri ini. Pemimpin hilang, karena lebih suka jadi Pemimpi. Hingga, dengan yakin dalam waktu 10 tahun lagi Indonesia akan menjadi salah satu negara lima besar dunia (baca: terjadi di tahun 2020). Parlemen atau Dewan kehilangan huruf “n” lantas semuanya ingin jadi Dewa. Karenanya, mereka semua suka menerima “sesaji” dari rakyatnya sendiri sekaligus suka mengumbar “kata-kata dewa” dan gemar memakai “bahasa langit” untuk mengumbar janji sekaligus membohongi rakyat. Maka jangan heran kalau rakyatnya masih gemar “ngerumpi” soal kisah seru “rani dan antasari”, perihal skandal “century dan sri mulyani”, tentang intrik “susno duaji dan ari mulyadi”, dan juga kesombongan “omni”. Dengan berbagai “asumsi” dan “teori” sekaligus “prediksi” hingga ber “hari-hari” dan belum ber “henti” sampai “kini”. Ditayangkan di “televisi” di pagi “hari”, siang “hari”, dan malam “hari”. Dan, kita semua masih belum tahu apa jawaban dari semua “ini” dalam seratus “hari”. Padahal, kemiskinan belum hilang dari “negeri ini” meski sudah terlalu banyak program yang “mandiri”. Pengangguran semakin membengkak karena “de-industrialisasi” sangat marak. Pangan belum bisa di “produksi” dan di “cukupi sendiri” hingga garam pun harus diimpor. Karena tak cukup bisa dihasilkan dari “pantai sendiri”. Kebutuhan “energi” tak ter “penuhi” karena batubara dan gas “bumi” diekspor “ramai-ramai” ke luar “negeri” hingga listrik “seringkali” padam alias hidup “mati”. Hutan-hutan di “gunduli” dan bukit-bukit disulap jadi “properti” hingga banjir dan tanah longsor men “jadi-jadi”. Desentralisasi dan otonomi “mati suri” karena uang daerah lebih suka diparkir di “SBI” ketimbang untuk “alokasi” pelayanan publik di wilayahnya “sendiri”. Dan masih terlampau banyak “lagi” bermacam “anomali” yang “terjadi”. Serta masih tersisa segudang persoalan, permasalahan, dan pekerjaan rumah yang belum “selesai” di “negeri” yang katanya “gemah ripah loh jinawi”. Yang sebentar lagi me “masuki” pasar bebas China-ASEAN tanpa kesiapan “diri” dan rencana yang “pasti”. Yang akan membuat kita semua jadi “ngeri” dengan masa depan “negeri sendiri”.
Hingga tanpa di “sadari” kita dikagetkan dengan “pergi” nya salah satu guru bangsa “negeri ini” yang selama “ini” telah “mengajari” kita semua bahwa mengurus bangsa dan negara “ini” harus dengan “demokrasi”, “toleransi”, percaya “diri” dan “berani” , juga dengan penuh rasa humor. Agar kita tidak stres, “depresi” , gila “sendiri” dan “mengulangi” kegilaan dan kesalahan yang telah “terjadi” sebelumnya. Menteng, Jakarta, Januari 2010
CHINA PHOBIA, CHINA MANIA: SEBUAH IMPERATIF SEJARAH
Tahun 2010. Tahun baru. Perayaan. Kembang Api. Lantas, kegembiraan pelan-pelan berganti kecemasan. Sukacita berubah jadi kekhawatiran. Karena, ada yang berganti mulai tahun ini. Sebab, ada yang berubah sejak tahun ini. Sebuah pasar bebas. Sebuah relasi dagang. Sebuah koneksitas bisnis. Sebuah kesepakatan China-AFTA. Yang mengikat ASEAN dan China dalam konstelasi ekonomi yang baru. Termasuk kita. Kecemasan? Kekhawatiran? Jelas sudah. Karena kita terikat dengan “sang naga raksasa” yang menyemburkan apinya kemana-mana. Karena kita sepakat dengan “sang macan raksasa” yang runcing kukunya mencakar siapa saja. Karena kita telah bersepakat dengan China untuk melakukan “free trade” secara “head to head”. Sejak tahun ini. Dan untuk tahun-tahun sesudahnya. Kita akan menjadi saksi bahwa “crouching tiger and hidden dragon” telah mulai menunjukkan kedigdayaannya secara terbuka. Kecemasan? Kekhawatiran? Terang benar. Kekuatan domestik yang belum sepenuhnya berjaya akan segera bergabung dengan kekuatan negara yang sangat dahsyat skala dan determinasi ekonominya. Betapa tidak. Lihatlah angka statistik ini. Separoh konsumsi semen dunia diserap China. Sepertiga konsumsi baja internasional dilahap China. Hingga, saat ini China adalah negara dengan tingkat pembangunan infrastruktur tertinggi di dunia. Jalan, jembatan, dan bangunan terbangun dalam jumlah banyak dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Karenanya, kapasitas China jelas-jelas melebihi “ambang batas” kemampuan negara lain dalam menyediakan dukungan sarana dan prasarana untuk menggerakkan ekonomi dan bisnis secara terus menerus. Kecemasan? Kekhawatiran? Sudah jelas dan terang benar. Negara yang paling gemar dan rakus memburu cadangan energi dunia. Minyak bumi, gas alam, dan batubara mengalir deras ke daratan China. Karenanya, pasokan energi melimpah untuk menggerakkan
industri manufakturnya. Sementara kita yang melimpah ruah sumber energinya hanya bisa mencatat seringnya terjadi kelangkaan BBM, seretnya pasokan Elpiji, dan padamnya listrik. Hingga, jangan heran bila “elektrifikasi” tidak merata ke semua pulau-pulau besar. Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi masih belum “terang terus” dan “terus terang” pasokan listriknya masih kurang. Padahal, ekplorasi dan eksploitasi sumber energi di tiga pulau ini sangatlah masif. Jadi, jangan bermimpi industri manufaktur akan “menjamur” dalam waktu segera. Kecemasan? Kekhawatiran? Tanpa perlu lagi penjelasan. Sebuah negara yang mampu menundukkan dua “isme” besar dalam sistem perekonomian dunia. Sosialisme dan kapitalisme takluk dua-duanya di China. Jebolnya tembok Berlin yang menghanyutkan sosialisme dan membangkrutkan komunisme di Eropa Timur dan Rusia tak bisa menghancurkan kokohnya “tembok besar” komunisme di China. Sebaliknya, membuncahnya kapitalisme global justru disambut meriah oleh rezim komunis China. Hal yang sangat diharamkan rezim pemerintahan yang sama di Korea Utara dan Kuba. Sementara, di negeri kita sosialisme berujung kepada pembantaian komunisme yang teramat bengis dan melahirkan “bahaya laten PKI” hingga kini. Selanjutnya, kapitalisme hanya berhenti kepada penolakan “neo-lib” semata-mata. Hingga, terus menerus kita akan disibukkan untuk mencari-cari “isme” apa yang paling tepat dan “aman” untuk dikonsumsi negeri ini. Sementara, China tak peduli lagi. Mau kucing hitam atau kucing putih tak penting lagi, yang penting bisa menangkap tikus. Sementara, kita disini masih “kucing-kucingan” dan “malu-malu kucing” untuk berani dan jujur mengakui bahwa kita termasuk sosialis ataukah kapitalis. Tahun 2010. Dan tahun-tahun setelahnya kita akan mencatat untuk kedua kalinya China akan segera menundukkan dan menaklukkan dunia. Setelah ratusan tahun sebelumnya China telah melakukan untuk pertama kalinya. Dalam bukunya yang berjudul “1421: The Year China Discovered The World” seorang Gavin Menzies menuliskan ilustrasi yang begitu mengejutkan. Pada tanggal 2 Februari 1421, China menundukkan semua negara di dunia.
Pada perayaan Tahun Baru China, para raja dan duta besar dari seluruh wilayah Asia, Arab, Afrika, dan Samudera Hindia berkumpul di tengah-tengah kemegahan Beijing untuk memberikan penghormatan kepada Kaisar Zhu Di, sang Putra Langit. Iring-iringan armada kapal mengarungi samudera dengan tingkat ketepatan navigasi yang tinggi, membawa
para raja serta utusannya memberikan penghormatan kepada Kaisar dan menyaksikan pembukaan tembok agung dan misterius, Kota Terlarang. Tidak kurang dari dua puluh delapan kepala negara hadir. Namun, Kaisar Suci Roma, Kaisar Byzantium, Doge Venesia, dan Raja Inggris, Perancis, Castille dan Portugal tidak tampak diantara mereka yang hadir. Mereka tidak diundang, karena negara yang begitu terbelakang, kekurangan barang dagangan atau pengetahuan itu dianggap rendah dalam skala prioritas Kaisar China. Menzies mencatat bahwa sepanjang 1421-1423, laksamana-laksamana China seperti Hong Bao, Zhou Man, Zhou Wen, dan Yang Qing telah mengelilingi dunia dan mengarungi semua samudera. Lima belas tahun sebelumnya bahkan laksamana Cheng Ho telah mengelilingi Afrika Timur dan menghadiahkan seekor jerapah kepada Kaisar Zhu Di pada tanggal 16 November 1416. Jauh sebelum Bartolomeu Diaz menemukan Tanjung Harapan di ujung selatan Afrika. Jauh sebelum Vasco Da Gama menyeberangi Samudera Hindia menuju India. Jauh sebelum Christopher Columbus “kesasar” dan menemukan Amerika. Jauh sebelum Ferdinand Magellan menemukan selat antara Atlantik dan Pasifik lantas terbunuh di Filipina. Jauh sebelum James Cook menemukan Selandia Baru. Jauh sebelumnya, Hong Bao, Zhou Man, Zhou Wen, dan Yang Qing telah menemukan “terra incognita” yang sebelumnya tidak diketahui laksamana-laksamana Eropa. Jadi, kalau saat ini sejarah sedang berfihak ke China jangan kaget. Karena, memang berabad-abad sebelumnya China telah menuliskan sejarahnya sendiri dengan tinta emas yang gilang gemilang. Sejak tahun 486 sebelum masehi, dinasti Wu telah mulai membangun Kanal Utama (The Grand Canal) yang menghubungkan wilayah selatan dan utara China sepanjang 1.800 kilometer hingga tercatat sebagai “sungai buatan” terpanjang yang pernah dibuat manusia. Bukan hanya terpanjang, tapi juga terbanyak memakan nyawa para pekerja hingga mencapai enam juta orang tewas selama pembangunannya. Bahkan, jauh sebelumnya kaisar China pertama Qin Shi Huangdi telah merintis pembangunan Tembok Besar (The Great Wall) pada tahun 221 sebelum masehi. Setelah selama 1600 tahun terbengkalai, Kaisar Zhu Di membangun kembali renovasi tembok besar sepanjang 5.000 kilometer bahkan memperpanjangnya hingga bertambah sekitar 1.400 kilometer. Sebuah tembok pertahanan yang mengular memanjang dari Pasifik hingga sejauh pegunungan Heavenly di Asia Tengah.
Jadi, kalau semua orang saat ini takut lantas fobia terhadap China, itu tidak mengherankan. Demikian pula, kalau semua orang sekarang banyak membicarakan, membahas, sekaligus mengalami kegilaan untuk mengorek lebih jauh kehebatan China, itupun juga tak mengagetkan. Karena, sejarah memang mengharuskan begitu. Sebuah imperatif historis yang berkembang menjadi keniscayaan. Bukan hanya seorang Gavin Menzies yang telah membuka kembali kenyataan sejarah China yang mengejutkan. Bahkan, rasul agung Muhammad SAW pun jauh-jauh sebelumnya telah menganjurkan umatnya untuk belajar hingga ke negeri China. Akhirul kalam. Kita musti berbenah. Kita harus bergegas. Tak bisa menunggu seratus hari selesai. Tak bisa menanti selesainya “century”. Di awal tahun 2010 semua harus dikerjakan. Strategi. Antisipasi. Diplomasi. Seluruhnya harus diletakkan pada sebuah “road map” untuk meningkatkan ekonomisasi negeri ini secara lebih serius, total, dan tuntas yang terintegrasi kedalam episentrum ekonomi dunia yang telah digerakkan China. Bukan untuk menyaingi China dalam segala hal, tapi untuk mengambil manfaat ekonomis dari besarnya skala dan determinasi perekonomian China dalam beberapa hal yang memang menjadi kekuatan domestik kita sendiri. Strategi, antisipasi, diplomasi, bahkan muslihat yang “cerdas” perlu sungguh-sungguh dikerjakan. Sama seperti yang pernah dilakukan Raden Wijaya ketika mengelabuhi dan menipu lasykar Tartar hingga mereka semua pulang ke China dengan tangan hampa dan terpotong telinganya. Hingga, Kaisar Ku Bilai Khan pun sangat marah dan kecewa karena tak sanggup lagi menundukkan Jawa. Dan setelahnya sejarah mencatat lahirnya Kerajaan Majapahit yang menaklukkan Madagaskar hingga Formosa berkat sumpah sakti seorang Mahapatih Gadjah Mada. Persoalannya, mampu dan beranikah para pemimpin kita sekarang mengulangi sejarah yang sama dan membawa negeri ini menjadi salah satu “mercu suar” dunia yang menyilaukan siapa saja. Bukan membawa negeri ini menjadi “pesakitan” yang gampang takut, lekas menyerah, dan mudah terpukau dengan “kuman-kuman di seberang lautan” sementara lupa bahwa “gajah telah demikian nyata dan tampak di depan pelupuk mata”. Hingga, pelan-pelan masa depan negeri ini meredup dan suram. Menteng, Jakarta, Januari 2010
PEMERINTAH: SIAPAKAH ENGKAU?
Dalam Catatan Pinggir nya, Goenawan Muhammad pernah menulis tentang siapakah sebenarnya pemerintah itu. GM - demikian ia biasa dipanggil - memberikan definisi yang sederhana namun lugas. Pemerintah kurang lebih tak ubahnya seperti sebuah “panitia kecil” yang kebetulan dipercaya untuk menyelenggarakan sebuah hajatan. Barangkali GM berlebihan. Mungkin terlalu mereduksi empirisme. Atau, bahkan terlalu apatis sekaligus skeptis. Karena, pengertian itu diberikan saat Soeharto sedang kuat-kuatnya berkuasa. Saat otoritarianisme menjadi azimat. Jadi, kombinasi antara rasa cuek dan keputusasaan. Hasilnya, sebuah katarsis yang membebaskan diri dari beban sejarah. Sebuah definisi sederhana tapi perlu. Sebuah pengertian jenaka sekaligus serius. Sebuah perlawanan meski cuma kecil-kecilan. Saat reformasi dimenangkan dan transisi demokrasi berlangsung, seorang teman yang kebetulan “pegawai negeri sipil” yang baru lulus sekolah dari Amerika Serikat menasehati saya untuk keluar dari pemerintahan. Menurutnya, pemerintah atau birokrasi tak lagi punya peran penting lagi. Alasannya sangat pragmatis. Bahkan kelewat ekonomis. Atau terkesan komersial. Kesejahteraan untuk pegawai pemerintah tak kunjung membaik, sementara kecaman terhadap peran dan posisinya terlampau memburuk. Bahkan, untuk lebih meyakinkan pendapatnya, teman saya memberikan “best practices” dari beberapa teman kantor saya yang telah berhasil naik kesejahteraannya setelah keluar dari instansi pemerintah dan pindah kerja di lembaga internasional. Konkritnya, gaji tinggi dan fasilitas hidup yang cukup sekaligus nyaman. Hebatnya lagi, teman saya - yang diceritakannya itu - saat ini menduduki posisi yang menentukan dan memiliki peran yang penting untuk membuat sekaligus mengatur agenda perubahan untuk negeri ini kedepan. Bila GM saat itu gemas karena melihat bahwa pemerintah akhirnya berkembang dan bermetamorfosa menjadi “panitia besar” sekaligus “panitia tetap” yang terus menerus mendikte apa saja yang terbaik untuk disajikan dalam sebuah hajatan. Sebaliknya, teman
saya saat itu gamang bahkan cemas bahwa pemerintah bukan lagi “sesuatu yang penting” dan sebuah komunitas yang tidak lagi layak untuk dipertahankan. Barangkali GM benar bahwa saat itu pemerintah harus “disadarkan” dari kejumudan yang terlalu kebablasan sehingga pemerintah harus diletakkan kembali perannya hanya sebagai “events organizer” yang harus mengelola acara dengan baik sekaligus mampu memuaskan semua undangan dan tetamu yang hadir. Juga, teman saya mungkin tak sepenuhnya keliru. Karena pemerintah sudah tidak “sexy” lagi, kekurangan “gizi”, dan turun “gengsi” nya hanya sebagai pesakitan yang terus menerus dikecam kiri kanan dan gampang dijadikan kambing hitam. Karena pemerintah tak bisa lagi “main perintah” kesana kesini dan kepada siapa saja. Alhasil, saya tak kaget ketika seorang GM mendukung liberalisasi harga Bahan Bakar Minyak. Tak ubahnya seorang ekonom profesional, GM sangat percaya kepada keampuhan dan keajaiban mekanisme pasar untuk membentuk harga sekaligus menciptakan ekuilibrium yang nir-kepentingan. Karenanya, kenaikan harga BBM harus didukung sesuai dengan standar harga internasional. Biarkan pasar yang menjadi “price maker” yang bijak dan “invisble” untuk semua orang. Dan, pemerintah cukuplah menjadi “organizer” yang musti melancarkan seluruh urusan yang berkaitan dengan upaya menyesuaikan harga domestik (baca: menaikkan harga) terhadap harga pasar minyak global. Demikian pula, saya tak heran ketika teman saya benar-benar keluar dari instansinya dan bekerja dengan gagah dan merasa nyaman di sebuah lembaga internasional. Sebuah posisi baru. Sebuah peran baru. Sebuah rezeki baru. Dan, sebuah “kekuasaan” baru untuk mengatur apa yang terbaik untuk negeri ini. Bukankah ini semua terasa lebih “mak-nyus” ketimbang posisi dan peran sebelumnya. Definisi lain tentang pemerintah saya dapatkan dari teman lain yang kebetulan “gandrung” dengan ilmu kebijakan publik. Menurutnya, saat ini pemerintah harus bergerak cepat meninggalkan perannya sebagai “pangreh praja” dan menuju kepada “pamong praja”. Sebuah pergeseran dari posisi “penguasa” masyarakat menuju “pelayan” masyarakat. Aparatur pemerintah harus menjadi “public servant” yang benar-benar memberikan pengabdiannya untuk melayani seluruh kepentingan publik tanpa terkecuali dan tanpa pamrih. Seorang pelayan yang baik harus memuaskan kebutuhan majikan atau tuannya tanpa banyak “cing-cong”. Karenanya, menurut teman saya yang lain ini, jargon
birokrasi haruslah diubah seperti ini “kalau bisa dipermudah kenapa harus dipersulit, kalau bisa dipercepat kenapa harus diperlambat, kalau bisa dilakukan sekarang kenapa harus ditunda-tunda besok, kalau bisa gratis kenapa harus bayar, kalau bisa murah kenapa harus mahal”. Pengertian selanjutnya - masih - tentang pemerintah saya peroleh dari teman yang lain lagi, yang juga kebetulan “maniak” ilmu pemerintahan modern. Menurutnya, pemerintah tidak bisa semata-mata bertindak sebagai seorang “administratur” dan “ambtenaar” yang cuma bisa mengatur dan selalu merasa paling benar, tapi harus berubah orientasinya dan terbuka wawasannya untuk menjadi seorang “enterprenur” yang mampu mem-wirausahakan birokrasi agar sehat, bersih, efisien, efektif, dan tanggap terhadap perubahan dan dinamika tuntutan pasar atau publik. Karenanya, pemerintahan tak bisa lagi dikelola dengan prinsip “manajemen tukang sate” yang “semau gue” menyiapkan dan melaksanakan segala sesuatunya sendiri. Tapi harus berubah dan berbenah untuk menjadi “manajer perubahan” yang mampu mengelola dinamika masyarakat bersama-sama dengan “stakeholders” guna memuaskan “shareholders” secara luas. Perubahan dari peran “rowing” menjadi “steering” yang mampu mengarahkan kapal agar mampu berlayar dengan aman, tepat arah, dan sampai ke tujuan sesuai dengan rencana perjalanan sebelumnya. Tetapi, seorang teman yang lain daripada yang lain, memberikan definisi atau pengertian yang berbeda - untuk tidak mengatakan lebih gila dari yang lainnya. Katanya pemerintah sekarang ini (baca: setelah reformasi) tak ubahnya seperti memakan buah simalakama. Dimakan ibu mati, tak dimakan bapak tewas. Dengan sinis bahkan teman saya yang satu ini mengatakan bahwa “bertindak, pemerintah salah, tidak bertindak, pemerintah lebih keliru”. Dengan sinis pula teman saya menyatakan bahwa kalau dulu pemerintah begitu gampang menggebrak, melabrak, dan main tembak, sekarang pemerintah merosot jatuh dan seringkali menjadi “sasaran tembak” dari semua penjuru dan dari seluruh lapisan masyarakat. Karenanya, lebih baik (baca: lebih aman) pemerintah sekarang ini melakukan tindakan yang “seperlunya saja” agar tidak terlalu salah dan tidak terlampau keliru. Oleh sebab itu, cukup bekerja “ala kadarnya” sebatas kemampuan yang dimiliki, sesuai dengan gaji yang dinikmati, dan sepanjang jam kerja resmi. Tak usah berlebihan tapi juga jangan
kurang-kurang amat. Wajar-wajar saja. Normal-normal saja. Yang sedang-sedang saja. Yang penting jangan terlihat “letoy” atau jangan malah terkesan “lebay”. Kenapa? Karena kita ini hanyalah sebuah “panitia kecil” yang harus sadar diri bahwa saat ini sudah tidak terlalu seksi, yang selalu kekurangan gizi, sudah turun gengsinya, yang belum siap benar menjadi pelayan, apalagi menjadi wirausaha. Karenanya, yang penting harus pintar-pintar mematut diri agar tidak terlihat “tegang” dan “gusar” setelah seratus hari selesai dan pandai-pandai membawa diri agar terkesan “tegar” dan “sabar” menghadapi keluhan-keluhan, tuntutan-tuntutan, kecaman-kecaman, dan hujatan-hujatan yang belum sepenuhnya selesai. Selebihnya, marilah kita kerjakan semuanya dengan caracara yang selama ini dikenal dan biasa dilakukan (business as usual) dan berharap agar tidak terjadi hal-hal yang luar biasa (extraordinary) dalam tempo sesingkat-singkatnya. Yang penting, everybody paling tidak sedikit happy, dan tidak ada ancaman revolusi (lagi). Menteng, Jakarta, Januari 2010
MEMBACA FRIEDMAN: BOM WAKTU YANG BISA MELEDAK SEWAKTU-WAKTU
Bagaimana menjelaskan pemanasan global dan perubahan iklim kepada para ekonom? Bagaimana menjelaskan kerusakan dan perusakan lingkungan kepada para politisi? Bagaimana menjelaskan merosotnya daya dukung bumi kepada para birokrat? Pertanyaanpertanyaan itulah yang secara lugas, gamblang, dan sederhana telah dijelaskan Thomas L. Friedman dalam bukunya yang berjudul “Hot, Flat, and Crowded: Why We Need Green Revolution”. Sebuah buku yang merupakan sekuel lanjutan dari buku sebelumnya ”The World Is Flat” yang sukses menjadi ”best seller” secara internasional. Lebih dari sekedar penjelasan, Friedman mengeksplorasi secara tuntas bagaimana pemanasan global, populasi penduduk dunia yang meningkat pesat, serta proliferasi sekaligus ekspansi kelas menengah dunia yang berkelindan dengan globalisasi telah menciptakan dunia yang panas (hot), rata (flat), sekaligus sesak (crowded). Sebuah ironi keberhasilan bekerjanya mesin kapitalisme global yang tak diimbangi dengan ”pengaturan” pertumbuhan penduduk dan yang berdampak sistemik dan sistematis kepada meningkatnya suhu bumi akibat menipis serta ”bolong” nya lapisan ozon. Kata kuncinya ada tiga yaitu ekonomi, demografi, dan lingkungan. Dan, sialnya ketiganya tak mampu menemukan titik persinggungan yang seimbang, harmonis, dan saling menguatkan satu sama lainnya. Friedman menjelaskan bahwa bumi menjadi panas (hot) karena kemajuan teknologi telah mempercepat laju peningkatan emisi gas-gas rumah kaca ke atmosfer yang menghambat pelepasan hawa panas dari bumi ke ruang angkasa. Bumi menjadi rata ( flat) karena kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi memungkinkan siapa pun, di mana pun, dapat saling berhubungan dan saling bersaing dalam segala hal dengan mudah seolaholah bumi seperti berada diatas sebuah pinggan yang datar. Bumi menjadi penuh sesak
(crowded) karena penduduk yang makin banyak, akibat keberhasilan upaya menekan angka kematian, dan industrialisasi, bertumpuk di kawasan perkotaan dan sekitarnya tanpa upaya yang seimbang dalam pembenahan sarana dan prasarana. Membaca tuntas bukunya, kita seperti melihat sebuah gambaran suram tentang masa depan bumi yang mencemaskan. Tentu saja, apabila berbagai saran dan solusi alternatif yang ditawarkan Friedman tidak diikuti. Atau, kita masih meneruskan ”cara-cara lama” dalam mengelola kehidupan berikut segala kebutuhan dan permasalahannya. Singkatnya, bila yang terjadi adalah ”business as usual” maka dapat dipastikan kekuatan daya dukung (carrying capacity) bumi akan semakin merosot. Dan itu pertanda datangnya ”kiamat” bagi peradaban umat manusia. Terlepas apakah akan terjadi pada tahun 2012. Ataukah setelahnya. Ataukah malah lebih cepat dari ramalan warisan kebudayaan kuno itu. Tapi, Friedman bukanlah seperti seorang Malthus yang kelewat murung dan pesimis. Juga tidak seperti “Club of Rome” yang meneruskan tradisi pesimisme Malthusian secara berjamaah. Lebih jauh dari itu, Friedman secara jujur membuka berbagai ”borok” dan ”cacat bawaan” dari seluruh kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang keliru sekaligus keblinger pasca targedi sebelas september. Sebuah tragedi dan ironi kebijakan dari ”stupid white man” yang melahirkan dan membuncahkan kecemasan-kecemasan dan ketakutan-ketakutan baru yang diekspor dan dikampanyekan secara global. Amerika Serikat dibawah administrasi Bush adalah mimpi buruk bagi rakyatnya sendiri sekaligus bagi seluruh negara di dunia. Perlawanan terhadap terorisme akhirnya kebablasan menjadi pembiakan “horor-isme” sekaligus “error-isme” global yang sangat sepihak. Dan, tentu saja zalim. Pada titik ini, Friedman merisaukan turunnya derajat dan prestise Amerika Serikat yang sebelumnya selalu memberikan inspirasi tentang demokrasi dan kebebasan yang menumbuhkan harapan-harapan baru bagi negara sedang berkembang menjadi merosot ke titik nadir sebagai ”negara pesakitan” yang terlampau berlebihan membiakkan kecemasan dan menyuburkan ketakutan baru ke seluruh penjuru dunia. Kecenderungan negatif lainnya yang mengerikan menurut Friedman adalah warisan ”politik semau gue” ala koboi pasca dekade 80-an. Sebuah arogansi sekaligus “ignoransi” Washington terhadap berbagai ”moral hazard” yang kadung akut, yang pada gilirannya
merongrong prinsip mulia kapitalisme modern seperti semangat kerja keras, transparansi, dan akuntabilitas. Serta, sebuah rigiditas bahkan ”kebebalan” Amerika Serikat yang secara sengaja mengabaikan pentingnya kontribusi mereka dalam mengurai dan menyelesaikan persoalan ekonomi dan lingkungan global secara fair dan berkelanjutan. Penolakan keras Amerika Serikat terhadap ”Protokol Kyoto” yang begitu lama dan ”kekeuh” adalah bukti nyata adanya kenekatan untuk terus menerus ”cuek” terhadap inisiatif dan kesepakatan global yang cukup mulia. Selama itu pula Amerika Serikat sengaja melabelkan dirinya sebagai ”anti lingkungan” yang kronis dan cenderung fasis. Sementara, penundaan bahkan ”pembiaran” terhadap penuntasan sistem pelayanan kesehatan, pembangunan kembali infrastruktur yang berantakan, reformasi penanganan imigrasi, pemberesan sistem tunjangan sosial, kebijakan energi yang tepat, penyehatan sistem perbankan, dan pengaturan kredit perumahan adalah bukti yang teramat kasat bahwa Amerika Serikat sedang menghancurkan kebijakan publik sekaligus fondasi-fondasi dasar dari praktik perekonomian modern yang fair dan sehat. Satu-satunya kecenderungan positif yang dicatat Friedman barangkali tumbuh berkembangnya prakarsa masyarakat secara swadaya untuk terus menerus melakukan inovasi-inovasi kreatif yang cerdas, menggerakkan aksi sosial yang bersifat ”voluntary” dan independen untuk menyelesaikan persoalan sosial di lingkungan terdekat, serta tumbuhnya kesadaran anak muda untuk menggali dan merevitalisasi peninggalan sejarah Amerika Serikat yang membanggakan sebelumnya. Friedman menyebutnya sebagai tumbuhnya kesadaran untuk menggalakkan ”nation-building at home” yang tentu saja sangat memberikan harapan ketimbang hanya mengutuki ”kebodohan-kebodohan” yang dipamerkan secara telanjang oleh elit-elit politik Washington. Berbeda dengan Malthus ataupun ”Club of Rome”, Friedman menyodorkan solusi tunggal yang logis dan praktis. Revolusi hijau. Sebuah revolusi global tentang perubahan drastis dari gaya hidup dan praktik perekonomian yang lebih sehat, bersih, dan berkelanjutan. Kalau dulu Amerika Serikat bersemangat mematahkan teori Malthus sekaligus bertekad menggugurkan postulat Ricardo tentang batas kemampuan perekonomian untuk mengatasi tuntutan demografis melalui ”Revolusi Hijau” yang mampu menciptakan keajaiban dunia pertanian modern, maka saat ini Amerika Serikat menurut Friedman perlu menyusun kembali ”Revolusi Hijau” nya yang baru, yang lebih pro-lingkungan dan lebih aman
dalam jangka panjang. Sebuah revolusi gaya hidup, modus bisnis, dan sikap politik yang mampu melampaui persoalan ekonomi, demografi, sekaligus lingkungan secara bersamaan. Bahwa perekonomian musti tumbuh adalah tuntutan yang wajar, tapi tak musti harus merusak lingkungan. Bahwa penduduk harus dikendalikan jumlah dan pertumbuhannya adalah keniscayaan yang masuk akal, tapi tak musti didekati dengan pesimisme. Bahwa lingkungan yang sehat, berimbang, dan lestari adalah prasyarat keberlanjutan ekosistem umat manusia yang mutlak diwujudkan, tapi tak perlu dengan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Membaca Friedman adalah membaca tanda-tanda alam raya sekaligus membaca kebutuhan-kebutuhan jagat raya yang selama ini terabaikan dan terpinggirkan oleh sikap cuek dan kerakusan manusia. Membaca Friedman seperti melihat serial reportase yang mengerikan tentang kesalahan dalam memaknai pemenuhan kebutuhan manusia yang berlangsung lama tetapi juga sekaligus seperti membaca kumpulan alternatif solusi yang pragmatis sekaligus idealistis. Bila hanya ”laporan” dan ”catatan” Friedman yang kita baca maka kita akan menyetujui nasehat bijak Mahatma Gandhi bahwa ”dunia cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tapi dunia tak pernah cukup untuk melayani kerakusan dan ketamakan manusia”. Namun, bila berbagai saran dan anjuran Friedman kita baca pula maka kita akan mampu menciptakan inovasi-inovasi baru dan segar yang berguna tidak saja untuk ”exit strategy” dari belitan persoalan yang ada tetapi juga kita akan merasa gembira dan bersemangat untuk kembali menemukan harapan-harapan baru yang rasional untuk terus menerus meningkatkan kualitas kehidupan manusia di masa depan. Namun, apabila kita hanya menganggap ”sepi” berbagai isu yang telah diulas secara blak-blak-an oleh Friedman maka kita hanya akan menunda penuntasan seluruh permasalahan. Dan, itu berarti kita harus siap menerima ancaman ”bom waktu” yang akan meledak sewaktu-waktu. Dan, konyolnya kita tidak tahu kapan ”waktu ledakan” itu akan terjadi. Dan, seberapa besar “daya rusak” yang akan ditimbulkan. Wallahualam bissawab. Menteng, Jakarta, Februari 2010
NEGARA: DIMANAKAH ENGKAU?
Negara adalah sebuah konsep yang belum sepenuhnya selesai. Pun, belum jelas benar. Negara hanya “clear” dan “exist” dalam konteks administratif. Atau bahkan militer. Selebihnya, beribu pertanyaan mengemuka. Selebihnya, sedikit jawaban yang tersedia. Untuk menerangkan keberadaan dan peran dari sebuah negara. Karenanya, konsep tentang negara bisa berubah-ubah atau bervariasi. Tergantung ideologi politik dan sikap ilmiah tertentu yang melatarbelakanginya. Dalam Webster’s New World College Dictionary, negara didefinisikan sebagai the power or authority represented by a body of people politically organized under one government . Dalam pengertian ini, negara adalah merupakan simbol kekuasaan politik dan pemerintahan. Definisi lain yang diberikannya adalah sebagai the sphere of highest governmental authority and administration. Dalam pengertian kedua ini, negara merupakan ruang tempat kekuasaan tertinggi pemerintahan dan administrasi terwadahi. Dalam pengertian yang paling lugas dan objektif sekalipun seperti yang tercantum dalam sebuah kamus bahasa, negara didefinisikan baik sebagai “kata sifat” maupun “kata benda”. Artinya, memang tidak ada definisi tunggal tentang negara. Karenanya, negara bukan semata-mata konseptual, tetapi juga kontekstual, sekaligus plastis. Tentang peran negara, kapitalisme dan sosialisme tidak hanya bertarung vis a vis secara diametral. Tapi juga saling mempengaruhi satu sama lain. Kapitalisme biasanya dikenal mendewakan pasar sebagai kekuatan untuk mengatur kehidupan kita. Pasar adalah keniscayaan sejarah yang paling berguna untuk menjawab problematika “demand and supply” secara efisien. Karenanya, aliran ekonomi klasik, neo-klasik, bahkan neo-liberal selalu menempatkan negara hanya sebagai “watchdog” semata. Seorang penjaga malam yang tugas dan fungsinya hanya melindungi berlangsungnya seluruh transaksi di pasar. Tanpa perlu campur tangan terlalu jauh. Maka, konsep negara adalah begitu minimalis dalam pengertian aliran-aliran itu. Karena, pasar adalah “invisible hand” yang bijak.
Sementara, negara seringkali menjadi “visible hand” yang keliru mengelola persoalan dan sering terjebak kedalam kegagalan yang akut dan kebodohan yang laten. Sebaliknya, sosialisme dihujat karena kelewat mengkeramatkan negara. Tidak saja untuk menguasai preferensi politik warganya tetapi juga untuk menentukan “apa yang terbaik” yang harus diproduksi, didistribusi, dikonsumsi, dan diinvestasikan masyarakat. Negara adalah entitas yang sangat sakral untuk dipertanyakan apalagi dipersoalkan kebenarannya. Maka, negara amat vital dan sangat berkuasa. Melawan negara sama dengan melawan tuhan. Karenanya, tidak saja berdosa tapi juga bisa dihukum sangat berat dan keji. Sementara, ekonomi atau pasar bisa “dikomando” secara subordinat oleh kekuatan dan kekuasaan negara. Pasar bagi sosialisme adalah soal pengaturan. Soal disiplin. Soal kepatuhan. Sekaligus, soal rasa syukur dan kesabaran. Pasar bukanlah arena yang ramai dan bergairah tetapi tak lebih dari sebuah saluran barang dan jasa yang telah ditentukan bentuknya. Menjadi kaya (dan bercita-cita menjadi kaya) di negaranegara sosialis-komunis adalah sebuah dosa tak terampunkan. Sementara, menjadi berkuasa adalah impian setiap orang sosialis. Karena, hanya dengan berkuasa maka seseorang dapat menikmati “privilese” sekaligus sesekali dapat mencicipi dan menikmati produk-produk kapitalis dengan diam-diam. Maka, kita tak bisa menyalahkan seorang Kenichi Ohmae yang memimpikan terwujudnya “borderless state” yang akan menjebol tembok-tembok kekakuan administratif antar negara sekaligus yang akan membiakkan globalisasi dan internasionalisasi secara lebih cepat. Atas nama efisiensi maka skala dan ukuran perekonomian sekaligus bisnis harus diglobalkan secara lintas batas. Bahkan, kalau perlu tak ada batas yang menghalangi aliran barang, jasa, modal, dan informasi di seluruh negara. Pun, kita juga tak bisa menganggap keliru seorang Fidel Castro dan Kim Il Sung yang sangat “keukeuh” mendirikan tembok-tembok tinggi untuk membentengi pengaruh buruk dari luar yang akan meracuni dan merusak kehidupan masyarakat sosialis-komunis yang damai di Kuba dan Korea Utara. Hingga kini. Atas nama ideologi maka kemandirian ekonomi harus ditegakkan. Meski kelaparan massal seringkali terjadi. Meski kebosanan teramat panjang. Bahkan, kalau perlu dengan berkuasa selamanya.
Tapi kapitalisme modern tak berwajah tunggal. Kapitalisme modern tak cuma mengenal konsep minimalisme negara sekaligus maksimalisme pasar seperti yang dipraktikkan dan digembor-gemborkan Amerika Serikat. Kapitalisme modern juga mengenal konsep “welfare state” yang dijalankan Eropa Barat secara sistemik, sistematis, dan berkelanjutan. Sebuah “rekonsiliasi paradigma” yang nyaman dan bermanfaat antara kapitalisme dan sosialisme dalam sebuah sistem administrasi dan penyelenggaraan negara. Kebebasan bisnis didorong dan dilindungi. Tapi juga dicegah dan diatur agar tidak menimbulkan “moral hazard” di masyarakat. Sejak dini, potensi kegagalan pasar (market failure) dideteksi lantas secara institusional diproteksi dengan intervensi pemerintah yang cerdas dan tepat ( smart intervention) namun tidak berlebihan sehingga kegagalan pemerintah ( government failure) pada saat yang sama juga mampu dihindari. Pun, wajah sosialisme tak melulu membosankan. Kuba dan Korea Utara barangkali merupakan sisa-sisa fosil sosialisme yang kelewat kolot dan historis. Tapi China adalah contoh yang sama sekali lain. Negeri yang sangat teguh memegang tradisi komunisme Lenin pada akhirnya jauh lebih “smart” ketimbang negara-negara eks-komunis di Eropa Timur yang “banting stir” memeluk kapitalisme secara membabi buta pasca jebolnya tembok Berlin. Pun, lebih bijak ketimbang Kuba dan Korea Utara. Sosialisme China terbukti mampu menjinakkan kapitalisme dan mengambil manfaat ekonomis besar daripadanya secara global. Transformasi dari Mao ke Deng hingga penerusnya merupakan “lompatan besar” yang menumbuhkan semangat modernisme yang membuncah sekaligus tak musti cepat-cepat meruntuhkan rezim komunisme dan menggantikannya dengan demokrasi liberal. Karenanya, di China negara sangat “eksis” sementara pasar pun menggeliat dengan bebasnya untuk menemukan “level” ekuilibrium yang semakin bertambah tinggi. Negara dan pasar bukanlah seperti “Tom and Jerry” yang selalu bermusuhan dan saling menundukkan satu sama lainnya. Di China, negara dan pasar adalah pasangan yang saling melengkapi untuk menggerakkan modernisme secara bersamaan. Dan, kombinasi itulah yang sekarang ini membuat China sangat ditakuti seluruh negara di dunia. Selebihnya, interaksi antara negara dan pasar di negara sedang berkembang bervariasi tergantung kepada kecenderungan dan kecondongan orientasi pemerintah yang sedang berkuasa. Sama seperti negara kita, periode pemerintahan Soekarno dan Soeharto -
meskipun berbeda gaya dan selera - peran negara sangat dominan dan kuat dalam menentukan arah kehidupan warganya. Setelah itu, pelan-pelan negara kehilangan kendali atas banyak hal. Pun, setelah reformasi. Ironisnya, kondisi di Indonesia saat ini justru seperti “anomali” yang sama sekali berlainan. Di mana negara kadang hadir begitu kuat dan kasat tetapi setelahnya justru melemah dan pelan-pelan menghilang. Hingga, banyak kegagalan negara (state failure) yang terjadi. Bahkan, sampai terjadi situasi dimana negara “absen” dari seluruh persoalan (stateless). Di sisi lain, pasar mengalami hal yang serupa. Pada titik tertentu, pasar sangat “mendikte” seluruh wacana dan selera di masyarakat hingga kebablasan. Tetapi, pada saat yang berlainan dan pada sektor yang berbeda, pasar tidak bekerja sesuai mekanismenya yang wajar dan sehat. Hingga, disinipun sering terjadi kegagalan pasar (market failure). Melihat persoalan yang membuncah akhir-akhir ini kita juga dihadapkan pertanyaan penting tentang keberadaan negara yang terus menerus “invisible” dan perannya yang pelan-pelan mulai kabur. Kasus Century Gate yang berkepanjangan, pasar bebas ChinaASEAN yang mengancam barisan pekerja sektor manufaktur, fenomena de-industrialisasi yang berkelanjutan, kelangkaan bahkan hilangnya energi dari pasaran, memburuknya infrastruktur yang merata di semua daerah, melemahnya investasi, hilangnya beberapa pulau dari teritorial NKRI yang secara sepihak diklaim negara lain, meningkatnya “illegal logging” dan “illegal fishing” yang membabi buta, tercurinya beberapa warisan budaya tradisional oleh negara jiran, dan merosotnya prestasi olah raga nasional di kancah internasional hanyalah sebagian kecil bukti dimana negara telah mulai menghilang dan merosot keberadaan dan perannya. Negara tak lagi “exist” tetapi malahan “exit” dari banyak persoalan. Hingga, pemerintah tak sepenuhnya berkuasa. Hingga, penguasa tak lagi mampu memerintah. Hingga, warga kehilangan negaranya. Dan, tak tahu kemana perginya. Dan, tak tahu (lagi) bagaimana cara mencarinya. Menteng, Jakarta, Februari 2010
NOTABENE ADALAH KETAKUTAN
Konon, pada zaman Stalin berkuasa banyak rakyat Rusia yang mengalami gangguan pencernakan. Singkatnya, banyak diare. Alias, mencret. Stalin gusar lantas memerintahkan Partai Komunis Rusia dan tentu saja KGB untuk mencari jawabannya. Setelah melalui pengamatan yang tuntas dan penyelidikan yang mendalam ternyata jawabannya cuma satu. Rakyat mencret karena terlalu takut dengan penguasa saat itu. Karena takut, mereka tertekan, fikiran gelisah, dan muaranya perut pun terganggu. Dan, setelah mendapatkan hasil pengamatan dan penyelidikan, Stalin pun mahfum tersenyum. Tetapi, cerita tentang ketakutan rakyat kepada penguasa barangkali merupakan kisah sejarah yang sangat panjang dan seringkali berulang. Penguasa begitu berkuasanya, sementara rakyat tak berdaya sama sekali. Hampir seluruh situs peninggalan sejarah telah membuktikan bahwa otoritarianisme, absolutisme, dan despotisme selalu berhubungan dengan perasaan tertekan dan rasa takut yang berlebihan di masyarakat. Bisa jadi, berbagai “heritage” yang sekarang ini bisa kita nikmati kebesaran, kemegahan, keindahan, sekaligus keajaibannya mungkin terbangun dari semangat pengorbanan umat manusia yang begitu tinggi serta ketakutan yang begitu besar kepada para raja, kaisar, atau sultan. Peninggalan kebudayaan Inca, Maya, Syailendra, Pharaoh, hingga dinasti kekaisaran China boleh jadi terbangun dari rasa takut rakyatnya. Dan, tentu saja rasa pongah dan sikap zalim para penguasanya. Tetapi, dalam kadar tertentu ketakutan mungkin diperlukan. Sekedar untuk mengingatkan bahwa ada kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan yang “lebih besar” dari kita. Hingga, kita pun mampu menyeimbangkan tuntutan terpenuhinya “hak” dengan perwujudan “kewajiban” secara pas. Hingga, tak ada hak yang tak terpenuhi dan tak ada kewajiban yang tak dituntasi. Ketakutan dalam bentuk lain juga dibutuhkan. Ketakutan terhadap ancaman gempa yang terus menerus terjadi telah mendorong orang Jepang melakukan inovasi dalam rancang bangun perumahan dan gedung yang tahan gempa. Ketakutan
terhadap tenggelamnya daratan membuat orang Belanda secara kreatif dan cerdas mampu membangun dam-dam penahan gelombang laut sekaligus membuat mampu menciptakan sistem hidrologi yang paling canggih di dunia. Ketakutan terhadap ancaman dari utara telah memprovokasi kekaisaran di China untuk membangun tembok besar di sepanjang pegunungan. Dalam bentuk lain, ketakutan berkaitan dengan sikap disiplin dan ketertiban. Takut negaranya menjadi “jorok” mendorong pemerintah Singapura mengetatkan larangan membuang sampah, merokok, bahkan mengunyah permen karet di tempat-tempat umum. Begitu ketatnya pelarangan itu hingga teman saya yang kebetulan pernah menjadi dosen tamu di National University of Singapore mengeluhkan bahwa Singapura telah menjadi “Sick City” yang memuja higienisme secara berlebihan. Hingga, berada di kota Singapura seperti berada di rumah sakit. Demikian pula yang pernah terjadi di Jepang. Pemujaan mereka terhadap disiplin dan ketertiban telah membuat mereka dijuluki sebagai bangsa “robot” yang sangat kaku. Bahkan, peristiwa kecelakaan besar kereta super cepat Shinkansen dari Amagasaki disebabkan adanya ketakutan masinisnya untuk tidak terlambat “sekian detik” di stasiun berikutnya. Karena, sebelumnya sudah terlambat sekian detik. Lantas, demi mengejar waktu (sekaligus menebus keterlambatan) tingkat kecepatan kereta pun ditambah. Alhasil, terjadilah kecelakan maut itu. Sebuah ketakutan yang berlebihan sekaligus disiplin yang ketat akhirnya justru menewaskan 106 orang dan melukai 555 orang di tahun 2005. Ketakutan yang berlebihan juga terlihat di Amerika Serikat pasca “sebelas september” yang mengagetkan Bush sekaligus menggetarkan kedigdayaan negeri Paman Sam. Melalui program “pre-emptive strike” Bush mengobarkan “perang suci” melawan terorisme global secara unilateral untuk mengejar Al Qaeda, menjatuhkan rezim Saddam, serta memporakporandakan Irak dan Afghanistan. Sementara, lewat program “Homeland Security” seluruh penjuru negeri diperketat dan disiagakan terutama menghadapi orang asing. Khususnya orang Timur Tengah. Lebih khusus lagi yang kebetulan punya nama berbau Arab. Prinsipnya, cegah, tangkal, dan tangkap. Akhirnya, program ini berkembang terlalu jauh dan berkembang biak menjadi semacam “program kecurigaan nasional” yang kebablasan.
Ketakutan yang persis sama dengan “Mc Carthy-ism” yang pernah digerakkan Senator sekaligus seorang “demagog” yang berbahaya, yaitu Joseph R. McCarthy untuk memerangi komunisme di Amerika Serikat pasca berakhirnya perang dunia kedua pada dekade 50-an. Sebuah aksi “anti komunisme” yang membuncah akhirnya menjadi simbol ketidakpercayaan dan kecurigaan secara nasional hingga menyisakan mimpi buruk bagi Amerika Serikat secara keseluruhan. Bahkan, Edgar J. Hoover, Direktur FBI yang sangat fenomenal itu pun terjebak untuk mengeluarkan dan menyebarluaskan pemahaman tentang komunisme yang keliru sekaligus menggelikan. Hoover mengatakan bahwa komunisme akan “mengancam kebahagiaan masyarakat, mengancam keselamatan setiap
individu, mengancam ketenangan hidup di setiap rumah tangga dan tempat-tempat perapian, komunisme akan menghancurkan perdamaian suatu negeri dan mendorong negeri itu masuk kedalam kehidupan anarki dan tanpa hukum serta immoralitas yang tak bisa dibayangkan”. Bahkan, tidak berhenti sampai disini. Fobia terhadap komunisme telah mendorong pemerintah Amerika Serikat untuk menyusun undang-undang untuk membasmi bahaya komunisme sekaligus ancaman yang ditujukan kepada komplotan yang ingin menggulingkan pemerintah melalui “Smith Act” pada tahun 1940. Selanjutnya, tahun 1950 dikeluarkan lagi undang-undang “Internal Security Act” dan tahun 1954 dikeluarkan pula undang-undang “Communist Control Act”. Lantas, pengadilan terhadap “gembong” Partai Komunis Amerika pun digelar selama tahun 1949. Sebelas dari duabelas pimpinan nasional partai itu dinyatakan bersalah. Hanya satu yang tidak diadili yaitu, William Z. Foster, yang kebetulan sakit. Bahkan, yang paling “tragis” sekaligus “ironis” adalah ditangkapnya sarjana atom Rosenberg sekeluarga, yang akhirnya dihukum mati. Hanya karena kebetulan ia menjadi pemimpin proyek pembuatan bom atom yang telah dicurigai menjadi agen komunis yang membocorkan rahasia bom atom kepada Uni Sovyet. Ketakutan seorang pemimpin kepada rakyatnya secara cerdas, sedikit urakan, dan kontemplatif pernah disuarakan oleh Rendra dalam sajaknya yang berjudul “Khotbah”. Dalam sajaknya Rendra melukiskan situasi sulit yang dihadapi seorang padri muda yang terpaksa (dan dipaksa) memberikan khotbahnya dihadapan jemaat yang penat, suntuk, dan kelaparan. Dalam ketakutannya, padri muda yang digambarkan Rendra memiliki wajah molek dan suci serta matanya manis seperti kelinci mengatakan “ Orang-orang ini
minta pedoman. Astaga. Tuhanku, kenapa disaat ini kautinggalkan daku. Sebagai
sekelompok serigala yang malas dan lapar mereka mengangakan mulut mereka. Udara panas. Dan aku terkencing di celana. Bapak. Bapak. Kenapa kau tinggalkan daku. Tapi, jemaat yang telanjur penat, terlampau suntuk, dan kelewat lapar sudah tidak mau mendengarkan keluhan sang padri muda. Mereka meracau, merusak gereja, dan berteriak kelaparan. Dan, padri muda hanya berkhotbah “ Astaga. Ingatlah penderitaan Kristus. Kita semua putra-putranya yang mulia. Lapar harus diatasi dengan kebijaksanaan. Tapi, jemaat sudah tak mau mendengarkannya. Mereka akhirnya maju menggasak mimbar, menyeret
padri muda itu dari mimbar, merobek-robek jubahnya, memperkosanya, mencincang tubuhnya, memakan dagingnya, meminum darahnya, menghisap sumsum tulangnya , tanpa tersisa. Dan, Rendra menutup sajaknya dengan kata: fantastis.
Akhirul kalam. Hari-hari ini saya begitu galau, was-was, dan takut membayangkan sajak Rendra diatas benar-benar bisa terjadi dalam kehidupan nyata di negeri ini. Barisan penganggur, antrian orang miskin, sekawanan orang-orang yang kecewa, segerombolan orang-orang putus asa, dan sekumpulan orang-orang yang marah akan berkumpul menjadi jemaat yang terus menguat karena disatukan oleh rasa penat, rasa bosan, rasa lelah, dan rasa suntuk yang telah lama dipendam, ditahan, dan tidak tersalurkan terhadap negerinya sendiri yang selama ini belum memberinya pekerjaan yang layak, kesejahteraan yang cukup, kemakmuran yang merata, keadilan yang tak memihak, dan hukum yang pasti, yang telah sepuluh tahun lebih telah disuarakan dan diperjuangkan secara terus menerus tanpa kenal lelah, tanpa letih. Terus terang saya takut membayangkan akibatnya bila itu terjadi. Karena, sejarah kita punya potensi anarkis yang laten. Malari dan tragedi Mei telah membuktikannya. Karena, bila itu benar-benar terjadi maka saya tak mampu menutupnya dengan mengatakan: fantastis!
Menteng, Jakarta, Februari 2010
MENCARI SANG PEMIMPI: JARUM HILANG DI TUMPUKAN JERAMI
Yang hebat dari novel “Sang Pemimpi” karya Andrea Herata adalah moral cerita yang menuturkan tentang tingginya semangat dan daya juang remaja-remaja Belitong untuk merubah dan memperbaiki nasib sekaligus memelihara obsesi dan fantasi mereka terhadap kebudayaan peradaban negara-negara maju. Betapa tidak, sekumpulan anak muda yang semula berasal dari “Laskar Pelangi” yang orang tuanya pun tak cukup mampu, yang tempat tinggalnya pun tak cukup makmur, yang daerahnya pun tak begitu diperhitungkan dalam peta bumi republik ini, yang kekayaan daerahnya pun tak mampu menyejahterakan mereka, berani bermimpi untuk “menaklukkan” Paris. Dan, bukan hanya sekedar ingin “menundukkan” Jakarta. Bagi anak muda kampung Manggar seperti Ikal dan Arai, Jakarta hanyalah tujuan antara (intermediate goal) sebelum menuju ke Paris. Jakarta hanyalah sebuah “transit” semata. Mimpi sebenarnya berada di Paris. Dan itu terletak di Sorbonne University. Membaca novel dan melihat filmnya rasa-rasanya saya menemukan “oase” yang hilang. Sebuah idealita yang telah lama menjauh, kabur, dan pelan-pelan menghilang di negeri ini. Sebuah keberanian untuk bermimpi. Sebuah keberanian yang selama ini tergerus oleh arus besar yang bernama pragmatisme dan terlolosi oleh taufan akbar yang bertajuk globalisasi. Hingga, kita mendapatkan pemimpin yang sekedar bertindak seperti seorang “administratur” dengan segala rutinitas upacara birokrasi dan kelaziman yang mengakar di pemerintahan. Sebuah keajegan yang membosankan yang terbungkus tata krama dan tata laksana peraturan dan perundang-undangan. Padahal, hidup bukan semata-mata pragmatis. Pun, kehidupan tak melulu soal mengikuti globalisasi. Kehidupan kita sekarang ini lebih membutuhkan seorang “leader” yang kuat “leadership” nya, yang mampu “inspiring the people” secara cerdas, serta yang berani untuk “bermimpi” dan berjuang
mewujudkan “mimpinya” dengan sepenuh hati. Hingga, tertanam kuat di bumi nya sendiri. Kita berhutang banyak kepada “founding fathers” yang tak sekedar berani menawarkan “mimpi indah” kepada bangsanya tetapi juga secara total dan ikhlas berjuang matimatian mewujudkan “mimpi-mimpi” nya hingga tercipta banyak “keindahan” di negeri ini. Adalah Tan Malaka yang pertama kali berani memimpikan kemerdekaan Indonesia. Lewat bukunya yang berjudul “Menuju Republik Indonesia” Tan Malaka adalah seorang pelopor yang menulis dengan lugas dan tegas bahwa impian tentang berdirinya sebuah negara yang bernama Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat adalah bukan sekedar “mimpi di siang hari bolong” ataupun sebuah “tabu” apalagi “dosa” bagi kaum bumiputera. Kalau, Soekarno-Hatta dikenal sebagai “proklamator” maka bolehlah Tan Malaka kita akui sebagai “deklarator” pertama republik Indonesia. Dan, Tan Malaka tak sekedar menulis buku. Ataupun sedang berwacana. Dengan keberaniannya, Tan Malaka bergerilya mengobarkan revolusi dan gerakan bawah tanah. Tidak hanya di tanah air. Tetapi juga di banyak negara di Eropa dan Asia. Tidak hanya sebelum kemerdekaan. Tetapi juga setelah kemerdekaan Tan Malaka masih melanjutkan sikap perlawanan nonkooperasi dan anti-kolaborasi terhadap Jepang dan Belanda. Tan Malaka begitu ditakuti oleh bangsa barat hingga menjadi mitos bahkan legenda yang terus menerus menghantui mereka. Meski akhirnya harus mati konyol tertembak tentara negeri sendiri, Tan Malaka telah membuktikan bahwa mimpinya telah terwujud dan terbayar lunas. Adalah Sutan Sjahrir yang berani memimpikan kemajuan peradaban dan modernisme Indonesia. Si “Bung Kecil” ternyata berani punya “nyali besar” dan “mimpi besar” untuk membangun kecerdasan rakyat banyak dan memajukan kehidupan masyarakat luas. Penjara demi penjara bahkan tak mampu “memenjarakan” niat mulia dan obsesinya untuk melihat Indonesia berdiri sebagai negara yang maju, modern, sekaligus yang cerdas rakyatnya. Karenanya, Sjahrir meletakkan perjuangannya pada pendidikan politik rakyat, pemikiran keilmuan, sekaligus diplomasi internasionalnya yang sangat lihai, logis, dan cerdas. Kita berhutang banyak kepada Sjahrir tentang perlunya pendidikan tinggi dan pemahaman politik bagi masyarakat. Meski harus mati sebagai “tawanan” di negaranya sendiri, Sjahrir telah memberikan inspirasi yang luar biasa tentang pentingnya kemajuan dan pencerahan bagi bangsanya yang baru merdeka. Untuk itu, layaklah bila Sjahrir kita
sebut sebagai “edukator” besar bagi bangsanya. Tak hanya disitu, Sjahrir juga telah memberikan “pelajaran berharga” bahwa “level” dan “kapasitas” diplomasi internasional negara Indonesia sudah “setara” dan “sederajat” dengan negara-negara barat. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Forum-forum perjanjian dan perundingan internasional telah mencatat Sjahrir dengan tinta emas sebagai “diplomator” yang ulung. Bahkan, para pemimpin negara barat secara “implisit” mengakui bahwa Sjahrir adalah “otak” dari keberlanjutan negara republik Indonesia yang jauh lebih “berbahaya” dan “pintar” ketimbang Soekarno dan Hatta sekalipun. Bahkan, Romo Mangunwijaya pun secara “eksplisit” menuliskan kekaguman yang luar biasa terhadap kecerdasan dan posisi strategis seorang Sjahrir dalam sebuah novelnya yang indah, yang berjudul “BurungBurung Manyar”. Kemudian Soekarno. Sang putra fajar yang mampu menyilaukan “kegelapan” kolonialisme barat dan memberikan inspirasi sekaligus mampu menyerap aspirasi bangsa-bangsa yang ingin merdeka di seluruh Asia dan Afrika. Lewat “Indonesia Menggugat” Soekarno berani membuktikan kecintaannya kepada negara dan bangsanya sekaligus tak takut membuktikan “kebencian” nya kepada kezaliman kolonialisme dan imperialism bangsa barat. Bersama Sjahrir dan Hatta, Soekarno menghabiskan penjara demi penjara untuk memperjuangkan keyakinan sekaligus kepercayaannya kepada “mimpi-mimpi besar” nya untuk kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Kejeniusan Soekarno dalam menggelorakan api semangat revolusi rakyat hingga membuatnya sangat terkenal dalam melakukan “mobilisasi massa” yang luar biasa besar pengaruh dan dampaknya bagi perlawanan semesta terhadap penjajahan Belanda. Tapi, Soekarno tak berhenti disini. Lewat bukunya “Dibawah Bendera Revolusi” Soekarno membangkitkan harga diri dan martabat kaum bumiputera untuk “berdaulat secara politik”, “berdikari secara ekonomi”, dan “berkepribadian nasional” dihadapan dunia internasional. Bahkan, Soekarno membakar semangat kebangkitan bangsa-bangsa di kawasan Asia dan Afrika untuk “berani” merdeka dan “tidak takut” menghentikan kolonialisme barat selama-lamanya. Konferensi AsiaAfrika, KTT Non-Blok, Conefo, Ganefo, sekaligus pernyataan keluar dari Perserikatan Bangsa Bangsa adalah sikap dan langkah politik yang terbukti mampu membuat “keder” dunia barat. Gagasan tentang perlunya “Poros Jakarta-Peking” dan “Poros Jakarta-Pnom Phen” adalah “kreativitas” lainnya yang sempat menakutkan dan membuat “gerah” Amerika Serikat dan Eropa Barat. Bagi mereka, Soekarno adalah “the biggest rebel” yang
terus menerus ingin menggoyang kemapanan konstelasi ekonomi dan politik internasional yang ingin mereka paksakan untuk negara-negara terbelakang. Tapi Soekarno juga bersuara keras kepada kaumnya sendiri. Soekarno sangat membenci “mentalitet” feodal dan “inferiority complex” yang masih menghinggapi sebagian besar elit dan rakyat. Dengan lantang, Soekarno menyebut mereka sebagai masih “bermental tempe” yang lebih suka “diinjak-injak” penjajah sekaligus masih ingin terus “menginjakinjak” rakyatnya sendiri. Kepada kaum muslim Soekarno memberi peringatan agar jangan sekali-kali menjadi umat “Islam Sontoloyo” yang hanya mempermainkan ayat-ayat suci untuk melegalisasikan dan melegitimasikan sikap dan tindakan yang sebetulnya jelas-jelas “melenceng” dari ajaran tuhan. Kemudian, kepada para pemuda Soekarno menantang nyali mereka untuk tidak takut dan ragu “menggantungkan cita-cita setinggi langit” demi kemajuan bangsanya. Dan, hebatnya puluhan, ratusan, bahkan ribuan pemuda telah terkobar semangat nasionalismenya dengan “propaganda” dan “provokasi” Soekarno yang menggelegar dan meledak-ledak. Pada titik inilah, Soekarno kita catat sebagai “komunikator politik” terhebat yang mampu membakar massa secara ideologis dan militan. Setelahnya, hanya Soeharto dan Gus Dur yang berani bermimpi. Mimpi besar Soeharto bermula ketika melihat pesawat terbang Belanda melintas diatas dusunnya ketika ia sedang asyik berdiri di pematang sawah. Mimpi itu diwujudkan setelah berkuasa. Demi mimpinya Soeharto memanggil Habibie untuk merealisasikan sebuah industri pesawat terbang. Sebagai anak petani, Soeharto mewujudkan mimpi besarnya untuk menjadikan negaranya sebagai lumbung pangan secara swasembada. Hingga, bermimpi mengkoversi sejuta hektar lahan gambut menjadi sejuta hektar sawah baru. Juga Gus Dur. Yang berani memimpikan tumbuhnya demokratisasi, civil society dan pluralisme di negeri ini. Karenanya, Gus Dur minta maaf kepada sanak keluarga bekas PKI atas musibah pembantaian massal tahun 1965. Karenanya, Gus Dur berani melucuti kekuasaan militer sekaligus melolosi budaya militerisme dari panggung politik. Karenanya, Gus Dur ingin men-de-sakralisasi-kan negara sekaligus ingin memberdayakan dan menegakkan masyarakat madani, meski konsekuensinya harus membubarkan Departemen Penerangan yang selama ini sering melakukan “pembohongan publik” dan Departemen
Sosial yang selama ini sering mencampuri urusan yang seharusnya sudah bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat. Karenanya, Gus Dus berani mencabut restriksi terhadap peran dan kebudayaan masyarakat Tionghoa serta berdiri di depan membela kelompok minoritas lainnya dari ancaman kaum mayoritas. Ditangan Gus Dur, semboyan Bhineka Tunggal Ika tidak hanya menjadi deretan kata-kata kosong tetapi mewujud dalam bentuk tumbuhnya pluralisme politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan yang nyata di masyarakat. Setelahnya, pemimpin kita begitu sibuknya memerintah. Tak ada lagi inspirasi yang kuat untuk rakyat dan bangsanya. Semuanya berjeratan dengan masalah. Semuanya berkelindan dengan administrasi. Semuanya berkaitan dengan kolaborasi dan koalisi. Semuanya berhubungan dengan partai. Semuanya berebutan ingin jadi pemimpin partai. Semuanya berdesakan ingin jadi politisi. Semuanya begitu sibuk membersihkan diri, mematut diri, dan menjaga jarak dari rakyatnya sendiri. Semuanya serba “instan” sekaligus “artifisial” juga kelewat “komersial”. Demokrasi kehilangan substansi. Partai tak punya ideologi. Politik cuma dipenuhi “klik” dan “intrik”. Kekuasaan sekedar representasi kursi dan transaksi kerakusan. Pemilu akhirnya hanya membuat “pilu” para pemilihnya. Dan, pemerintahan pada gilirannya hanya menjadi “ladang” perburuan jabatan yang menguntungkan dan posisi yang penting. Sementara, rakyat banyak dan masyarakat luas terus menerus harus menjaga impiannya tentang datangnya sang “ratu adil”, seorang “satria piningit”, sebuah “zaman keemasan”, dan sebuah negara yang “adil makmur” yang mampu membayar lunas seluruh impian dan mewujudkan tuntas seluruh harapan. Entah terwujud atau tidak. Entah sampai kapan. Menteng, Jakarta, Februari 2010
KEBUN BINATANG BERNAMA INDONESIA
Entah kenapa kita punya kebiasaan menggunakan binatang atau hewan untuk mendeskripsikan, menganalogikan, dan mengasosiasikan sesuatu yang negatif atau hal yang buruk. Karenanya, kita punya banyak sekali idiom, label, bahkan stigma yang berasal dari “peminjaman” berbagai jenis binatang untuk menggambarkan sikap atau perilaku yang tak layak, tak elok, tabu, atau kurang patut di masyarakat. Atau bahkan pada saat kita marah dan ingin memaki orang lain yang teringat dengan mudah di fikiran kita adalah nama-nama atau jenis-jenis binatang tertentu. Ketika marah, seringkali tanpa sadar kita memaki “anjing lu”, “babi kamu”, atau “sapi kau” kepada teman atau orang lain yang tak kita kenal. Hal yang persis sama dilakukan orang jawa dengan menyebut “kirik kowe” atau “jangkrik sampeyan”. Mungkin kegemaran kita menggunakan (tepatnya: menyalahgunakan) nama dan jenis binatang untuk tujuan menggambarkan betapa buruknya perilaku orang lain sekaligus mengungkapkan tingkat kemarahan kita berkaitan dengan kebudayaan dan tradisi orang Cina untuk menamai tahun dalam bentuk Shio. Cuma, bedanya kita hanya mengeksploitasi dan mengeksplorasi sisi negatifnya saja. Sementara, orang Cina lebih berimbang dengan menjelaskan sisi positif dari lambang binatang untuk penamaan tahun. Dalam politik, seringkali para pemimpin dengan gampangnya mencari “kambing hitam” sebagai alasan dari sebab musabab terjadinya sebuah kegagalan, musibah, atau bencana. George Soros barangkali pernah begitu lama menjadi “kambing hitam” krisis moneter dan ekonomi di Indonesia dan Asia Tenggara. Padahal, sejatinya struktur dan fondasi perekonomian dan sistem moneter kita pada waktu memang sangat “vulnerable” dan begitu “fragile” terhadap goncangan fluktuasi ekonomi global. Demikian pula untuk menggambarkan betapa politisi, partai, dan parlemen di zaman Orde Baru yang tak punya nyali dan hanya menuruti semua perintah dan keinginan pemerintah dapat diasosiasikan sebagai “kerbau yang dicocok hidungnya” hingga hanya berperan sebagai “cap stempel” untuk semua kebijakan pemerintah. Karenanya, kuatnya posisi rezim Orde
Baru maka jangan heran bila pemerintah sesukanya dan seenaknya mengorbankan rakyat sebagai “kelinci percobaan” dari rekayasa dan uji coba berbagai kebijakan pemerintah. Setelah reformasi, demokratisasi membuncah, pemerintah tak lagi populer dan menentukan lagi, saatnya politisi, partai, dan parlemen yang berkuasa. Karenanya, menyeruak banyak “politik dagang sapi” dan masih ada sisa-sisa feodalisme politik dalam bentuk kesengajaan untuk “membeli kucing dalam karung” dalam setiap transaksi politik. Akhirnya, niat luhur dan tujuan mulia reformasi politik untuk meningkatkan derajat demokratisasi di negeri ini tersandera dan terdistorsi oleh para “binatang politik” yang tak sungkan-sungkan untuk melakukan “politik adu domba” seperti layaknya politik “devide et impera” ala VOC serta tak tahu malu untuk melakukan “komersialisasi politik” demi mereguk dan mengeruk keuntungan finansial dibalik jargon-jargon dan langkahlangkah politik yang disuarakan dan dilakukan. Politik tak ubahnya sebuah pasar. Demokrasi turun derajat sebagai arena transaksi. Berpolitik lantas seperti berjual-beli atau berdagang. Berdemokrasi kemudian seperti bertransaksi dengan partai dan konstituen yang sudah jelas tingkat harga dan waktu pembayarannya. Bahkan kalau perlu mengorbankan idealisme dan ideologi politik demi sebuah “tujuan politik” dan “kepentingan politik” jangka pendek hingga kalau perlu merendahkan dirinya jadi “ular berkepala dua” yang siap mematuk lawan-lawan politiknya sekaligus “menggandakan” keuntungan dari kedua belah pihak yang berlawanan. Padahal dulu, berpolitik adalah berjuang. Karenanya, Jenderal tua yang bernama H.R. Dharsono, yang berjuang melawan otoritarianisme Orde Baru lewat Petisi 50 dihormati layaknya “maung siliwangi” yang begitu gagah dan tak kenal rasa takut kepada Soeharto yang sangat berkuasa pada waktu itu. Sebuah pengecualian dari penggunaan nama dan jenis binatang untuk tujuan positif. Seperti layaknya dalam tradisi olah raga sepakbola. Untuk memberikan semangat tinggi dan memberikan kesan gagah beberapa klub sepakbola menggunakan nama dan jenis binatang tertentu sebagai jargonnya. Sebut saja, PSMS Medan yang ingin dikenal sebagai “Ayam Kinantan”, Persija Jakarta yang maunya gagah dengan sebutan “Macan Kemayoran”, Persib Bandung yang “keukeuh” dengan sebutan “Maung Bandung”, Persebaya yang nekat dan garang dengan sebutan “Bajul Ijo” alias “Buaya Hijau”, bahkan Arema Malang ingin lebih gila lagi dengan sebutan “Singo Edan” alias “Singa Gila”.
Dalam ranah kesenian, kita mencatat kegalauan seniman terhadap stagnasi politik dan pembodohan rakyat membuat Rendra tampil gagah bak “rajawali” sekaligus tampil elok bak “burung merak” yang mengepak-ngepakkan sayapnya saat membacakan langsung sajak-sajaknya. Dan, Nano Riantiarno ajeg mementaskan “kejumudan” dan “kebobrokan” masyarakatnya lewat pentas teater yang bertajuk “Opera Ikan Asin” dan “Opera Kecoa” yang anehnya selalu laris, dibanjiri penonton, dan yang lebih penting lolos dari sensor penguasa. Tapi, sebelumnya kita mencatat bahwa banyak sekali seniman “Old Crack” yang terus menerus melestarikan kesenian musik keroncong hingga pada zaman keemasannya dulu banyak sekali “Buaya Keroncong” yang mampu membius dan menghipnotis gadis-gadis molek dengan nyanyian merdu mereka. Dalam konteks seksual, pemanfaatan nama dan jenis binatang selalu berkonotasi negatif. Banyak orang tua yang berpesan kepada anak gadisnya untuk selalu menghindari dan menjauhi lelaki dengan kelakuan seperti “buaya darat” karena tidak bisa dipercaya. Meskipun dalam keadaan bersedih, mereka (baca: lelaki) hanya meneteskan “air mata buaya” yang tak sungguh-sungguh menangis karena kesedihannya alias hanya berpurapura. Dan, masyarakat akan marah besar bila “si bandot tua” masih saja ingin merasai dan mengawini gadis-gadis muda meski umur sudah uzur dan sudah beranak pinak dan bercucuan. Tua-tua keladi. Makin tua makin menjadi-jadi kelakuan dan nafsunya! Tapi kaum lelaki jangan patah arang dulu karena faktanya kini banyak perempuan atau wanita yang rela menjadi “ayam peliharaan” dan “bisa dipakai” dan dibeli, baik itu “ayam kampung” atau “ayam sayur” atau malahan “ayam kampus” sesuai asal usul dan tentu saja tingkat harganya masing-masing. Akhirul kalam. Situasi politik akhir-akhir ini sangat memanas. Bahkan, mendidih. Gonjangganjing politik terjadi. Hingga, sebagian pengamat politik meramalkan akan adanya “tsunami politik” yang segera terjadi. Apalagi kalau bukan karena kasus Century. Atau sebelumnya karena pertarungan yang tidak seimbang antara “Cicak dan Buaya” yang menggelikan. Hingga, wajar kalau seringkali ada demonstrasi. Dan, malangnya binatang pun terbawa-terbawa. Tepatnya dibawa ke tengah-tengah arena demo. Hingga, presiden pun marah besar karena diplesetkan dan dilecehkan seperti “kerbau”, dan wakil presiden yang bekas gubernur bank sentral pun mengelus dada karena disamakan dengan “babi”, serta menteri keuangan juga harus menahan kesabarannya karena disamakan dengan
“anjing” yang kesemuanya dituntun dan dipertontonkan kepada khalayak ramai dan tak lupa terus menerus diliput dan ditayangkan televisi. Karenanya, tulisan ini harus diakhiri sampai disini. Kalau tidak, maka saya takut kalau-kalau negeri ini akan menjadi “republik hewan” sekaligus menjadi “kebun binatang” yang masih saja bernama Indonesia. Kurang lebihnya mohon dimaafkan dan kalau ada yang tersinggung saya hanya bisa mengucapkan.......ayam sorry...lah yauw.....................he...he...he... Menteng, Jakarta, Februari 2010
PERANG YANG MENJADI KENISCAYAAN SEKALIGUS KEBIASAAN YANG KEBABLASAN
Kalau mau berdamai siaplah berperang. Mungkin sekarang ini hanya Amerika Serikat (AS) yang terus mempercayai adagium itu. Betapa tidak. Di zaman modern pasca Perang Dunia Kedua tidak ada satupun negara yang terlalu banyak terlibat perang kecuali AS. Karenanya, bolehlah saya menafsirkan dan mengartikan secara sepihak lambang negara AS sebagai “berperang untuk meraih kemakmuran”. Persis semboyan kolonialisme dan imperialisme Eropa Barat dulu yang menjelajah sekaligus menjajah seluruh benua Asia, Afrika, Australia, dan Amerika dengan berlindung dibalik postulat “gold, gospel, and glory”. Cobalah lihat “Elang Amerika” yang menggenggam anak panah sekaligus jalinan gandum di jari-jari kakinya. Keberhasilan mengusir bala tentara kerajaan Britania dibawah pimpinan Jenderal George Washington yang akhirnya menandai “Independence Day” ternyata berlanjut dengan berlarut-larutnya “Civil War” antara kaum “Federalist” dan “Unionist” atau antara kelompok “Utara” dan “Selatan” yang melelahkan, memilukan, memakan terlampau banyak korban jiwa sekaligus penderitaan dan dendam yang berkepanjangan. Hingga, jejak-jejaknya masih bisa kita rasakan sampai saat ini. Sesudahnya, AS tumbuh damai, makmur, dan sejahtera. Sementara, Eropa masih berjibaku dengan Perang Dunia Kesatu yang melelahkan. Situasi ini berlanjut hingga pada masa awal Perang Dunia Kedua saat Adolf Hitler, Mussolini, dan Tenno Heika berbagi kekuasaan untuk melakukan neo-kolonialisme dan neo-imperialisme baru di Eropa, Afrika, dan Asia. Saat Nazi Jerman mulai tajam mencengkeram Eropa dan Dai Nippon mulai melahap Asia Timur Raya maka “tergodalah” AS untuk masuk secara sengaja kedalam kancah Perang Dunia Kedua dan bergabung kedalam lasykar besar Sekutu. Hasilnya, Jerman bertekuk lutut dan Jepang luluh lantak karena bom atom. Ironisnya, Mussolini digantung hingga mati dimuka umum, Hitler melakukan bunuh diri bersama, dan Tenno Heika sang dewa matahari terpaksa merendahkan diri dan menyerah serendah-rendahnya. Tapi, apakah AS
berhasil menjadi pemenang? Jawabannya tidak begitu meyakinkan. Karena, faktanya Rusia lah yang terlebih dahulu datang dan membebaskan Berlin. Sekaligus kemudian membangun Tembok Berlin untuk memisahkan Jerman Barat yang kapitalis dan Jerman Timur yang komunis, meluaskan Rusia hingga menjadi Uni Sovyet, dan juga mengkomunis-kan seluruh Eropa Timur. Eisenhower dan Churchil pun terkaget-kaget dengan manuver taktis Tentara Merah Rusia sekaligus “hasil perang” yang diluar dugaan mereka. Perjalanan panjang serta pengorbanan berat Montgomery dan Patton memburu tentara Nazi Jerman tak pernah tuntas hingga ke Berlin, meski seluruh kekuatan militer Jerman telah dilumpuhkan seluruhnya. Tapi, apakah AS berhasil menjadi pemenang? Berakhirnya Perang Korea justru membagi semenanjung Korea menjadi dua negara yang berlainan sistem politiknya, Korea Selatan yang pro Amerika dan Korea Utara yang berkiblat ke Rusia. Kegagalan Amerika Serikat bertambah dan berlanjut di Vietnam. Perang Vietnam bahkan menyisakan kekalahan dan kepiluan yang teramat dalam di negeri Paman Sam. Kekalahan telak dari pasukan gerilyawan Vietkong yang sangat militan dan nasionalis telah menciptakan trauma dan sindrom perang yang menyakitkan di dalam negeri. Banyak film produksi Hollywood yang telah menceritakan betapa keterlibatan AS dalam perang Vietnam adalah sesuatu yang sia-sia. Atau layaknya seperti “struggling for nothing” yang tak pernah jelas dan pantas untuk dimenangkan. Film-film seperti “Platoon”, “Ecapolypse Now”, “Born on Fourth July” dan “First Blood” adalah kisah getir dan konyol dari kekalahan AS di belantara Vietnam sekaligus kisah tragis para veteran perang yang “tertolak” dan “ditolak” di negerinya sendiri sekembalinya dari medan perang. Para veteran perang Vietnam hanyalah jadi “pecundang besar” dan pesakitan yang tergagap-gagap di tanah airnya. Seperti Rambo yang kehilangan heroisme dan kegagahan lantas menangis meraung-raung karena merasa terasing di rumahnya sendiri. Setelah Perang Vietnam berakhir, AS bersama Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) memasuki era Perang Dingin (Cold War) yang panjang dan berhadapan secara diametral dengan Uni Sovyet yang didukung Pakta Warsawa. Pada era ini modus peperangan sempat berubah kepada perlombaan kekuatan senjata nuklir dan medan peperangan sempat berpindah ke ruang angkasa. Namun, dalam periode perang dingin ini AS beberapa kali terlibat secara tidak langsung dalam “konflik-konflik regional” baik di
Timur Tengah maupun di Amerika Latin. Yang paling terlihat adalah “bantuan” yang diberikan secara sembunyi-sembunyi kepada pejuang perlawanan rakyat Afghanistan dalam menghadapi agresi Uni Sovyet yang mendukung “presiden boneka” Babrak Kamal. Juga, keterlibatannya secara “terbatas” dalam beberapa “perang kecil” di Semenanjung Balkan, Afrika Utara, dan Amerika Tengah. Upaya untuk “memberi pelajaran dan hukuman terhadap rezim pemerintahan otoriter” adalah istilah yang digunakan untuk melegitimasi keterlibatan AS dalam berbagai “perang kecil” tersebut. Pasca jebolnya Tembok Berlin, disaat negara-negara di seluruh dunia berharap akan datangnya masa-masa perdamaian, AS justru sedang memulai Perang Teluk (Desert War) untuk mengusir pasukan Saddam Husein dari Kuwait. Perang Teluk tercatat sebagai pagelaran perang modern yang cukup besar setelah Perang Falkland dan Perang Afghanistan. Sebuah perang yang akhirnya menabalkan AS sebagai satu-satunya “polisi dunia” yang berhak menghukum siapa saja. Karenanya, Irak harus diberi pelajaran (baca: dihukum) agar keluar dari Kuwait. Dan, tentu saja Kuwait dan Saudi Arabia harus membayar uang “fee” pengusiran Irak oleh AS dalam bentuk petro dollar yang lumayan banyak. Tapi, apakah AS berhasil menjadi pemenang? Sampai sebelum terjadinya tragedi pemboman gedung WTC di New York - yang kemudian dikenang sebagai “september eleventh” - barangkali mayoritas orang akan mengatakan ya. Alias, menyakini bahwa tak satu pun kekuatan atau negara yang akan berani menantang kekuasaan, kekuatan, dan kedigdayaan AS di muka bumi. Betapa tidak. Kekuatan militer AS baik di darat, laut, dan udara sangat kokoh, canggih, sekaligus “raksasa”. Bahkan, salah satu pilar bisnis dan ekonomi terpenting di AS adalah “industrial-military complex” yang terus berkembang dan diproteksi ketat sebagai salah satu “economic growth engine” disamping industri hiburan dan perfilman. Tapi, ketika WTC hancur lebur, luluh lantak, dan rata dengan bumi, mayoritas warga negara AS mulai meragukan kesaktian “super power” AS. Sebelas september yang kemudian diplesetkan menjadi “911” adalah benar-benar merupakan tamparan keras dan sebuah “panggilan darurat” bagi AS bahwa pemerintahan Bush ternyata tak mampu menangkal dan mencegah penyerangan yang langsung mengenai sasaran di tanah air sendiri. Sebelas september akhirnya menjadi peristiwa yang “memalukan” bagi militer, kepolisian, sekaligus intelijen AS. Alih-alih mengambil pelajaran dari peristiwa itu,
pemerintahan Bush malahan menerapkan “New-McCarthysm” yang membiakkan kecurigaan terhadap orang asing (baca: orang Islam atau Arab) secara berlebihan melalui pembentukan Departemen “Homeland Security” yang mengatur secara ketat arus keluar masuk orang ke AS secara restriktif dan membabi buta. Alih-alih mengambil hikmah, Bush dan para sekondannya justru menjadikan serangan sebelas september sebagai “legalisasi” sekaligus “legitimasi” untuk menghalalkan sebuah “Holly War” secara global untuk memerangi terorisme dan memburu sekaligus menumpas Al Qaeda dimanapun berada. Momentum itulah yang kemudian dilabelisasi dalam terminologi baru yaitu “War Against Terrorism” yang memberikan kekuasaan unilateral secara sepihak bagi AS untuk menumbangkan Saddam Husein sekaligus melakukan “Pre-Emptive Strike” terhadap negara-negara lainnya yang diduga secara potensial akan membahayakan keamanan AS. Sebuah kekuasaan “agresi” dan “invasi” baru yang menakutkan bagi perdamaian dunia. Tapi, apakah AS berhasil menjadi pemenang? Tumbangnya Saddam Husein dan kalahnya Taliban tak membuat Irak dan Afghanistan lantas aman, sejahtera, dan demokratis. Sampai saat ini, bayang-bayang kegagalan telah jelas terlihat dengan carut marutnya situasi politik, rentannya tingkat keamanan, dan kaburnya derajat kesejahteraan di kedua negara itu. Perang Irak hanya membuktikan satu hal. Bahwa AS berhasil “memenangkan” pasokan minyak bumi yang melimpah guna mengamankan cadangan energi domestik. Sebuah pertukaran yang menyakitkan antara “darah” dan “minyak”. Tapi, apakah AS berhasil menjadi pemenang? Faktanya, kredibilitas Bush dan Partai Republik merosot. Sekaligus, integritas demokrasi AS mulai ditertawakan dan dipertanyakan “nilai-nilai mulia” nya. Bahkan, oleh seorang Osama Bin Laden, yang sampai sekarang belum mampu ditemukan dan ditangkap militer dan intelijen AS. Bahkan, oleh seorang Ahmadinejad, yang sampai saat ini belum mampu dijungkalkan AS. Perang melawan “terrorism” ternyata dibangun dengan konstruksi logika yang penuh “errorism” karena adanya “kebohongan publik” secara global yang dilakukan Bush terkait “mass destruction weapon” yang akhirnya tidak benar-benar ditemukan dan terbukti keberadaannya di Irak. Tapi, apakah AS berhasil menjadi pemenang? Bahkan, orang Amerika sendiri menyebut Bush sebagai “Stupid White Man” yang menjadi produk “paling memalukan” dari sejarah kebesaran demokrasi AS. Tapi, Bush, Cheney, Rumsfeld, dan Condoleza bukanlah sekumpulan orang bodoh atau bukanlah sekawanan orang naif. Merekalah pemenang dari
seluruh “ending” cerita perang yang paling mutakhir itu. Tentu saja, berikut berbagai perusahaan minyak, konstruksi, dan logistik yang mereka miliki. Nilai-nilai demokrasi Amerika boleh tercemar ataupun tergerus, tapi bendera neo-liberalisme global tak boleh berhenti berkibar. Singkatnya, pemenang sejatinya adalah “keserakahan” sementara pencundang sebenarnya adalah seluruh rakyat AS berikut nilai-nilai mulia yang selama ini mereka junjung dan sebarkan ke seluruh dunia. Tapi, apakah AS berhasil menjadi pemenang? Setelah Bush berhenti sebagai presiden, ekonomi AS pun mandeg dan tergerogoti hutang yang luar biasa besarnya. Karenanya, Demokrat pun menang mudah. Dan, Obama pun jadilah presiden yang mengejutkan seluruh kalkulasi politik. Hingga, inflasi harapan masyarakat akan datangnya perubahan besar membebani pundak Obama. Tapi sayang, krisis finansial global mengganggu “seratus hari” nya Obama. Dan, sayang juga Obama belum mampu sepenuhnya “menjinakkan” dampak krisis dan memberikan “solusi cepat” untuk membuka jutaan lapangan kerja dan kesempatan kerja baru. Sementara, Irak masih bergolak. Sementara, Iran masih terus mengancam. Sementara, Afghanistan masih saja rentan. Sementara, Palestina belum merdeka sepenuhnya. Sementara, Yahudi Israel terus menjadi-jadi kebiadabannya. Sementara, saya mulai takut bila seorang Obama akan mulai “tergoda” untuk mengatakan “yes, we can” terhadap kebiasaan AS untuk menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan konflikkonflik regional dan internasional. Sebuah keniscayaan yang selama ini kebablasan dilakukan. Menteng, Jakarta, Februari 2010
KEKUASAAN YANG SUNYI, PENGUASA YANG KESEPIAN
Mantan bos saya yang sekarang menjadi pejabat eselon satu di salah satu kementerian pernah mengatakan bahwa semakin tinggi jabatan, orang akan semakin kesepian. Dan, semakin sedikit teman. Sebelumnya saya tak percaya. Kenapa? Karena di negeri ini jabatan masih menjadi simbol prestise yang menggiurkan banyak orang sekaligus menjanjikan banyak keuntungan. Jabatan ibarat ”gula” yang manis rasanya, yang gampang mengundang ”semut” untuk berkerumun di sekelilingnya. Karenanya, pepatah ”ada gula ada semut” bisa kita ubah menjadi ”ada jabatan ada banyak yang datang”. Maka, tak heran setiap lima tahun sekali kita melihat tayangan langsung televisi yang menyiarkan seorang tokoh masyarakat bersama keluarga dan koleganya yang menyimak pengumuman susunan kabinet yang dibacakan presiden. Dan, ketika ia terpilih menjadi menteri atau pejabat negara maka pecahlah suasana kegembiraan dan meluapnya rasa syukur yang membuncah pada hari itu di rumahnya. Lantas, berbagai ucapan selamat lewat es-em-es ataupun karangan bunga mulai berdatangan bertubi-tubi sesudahnya. Jadi, darimana datangnya kesepian? Atau, darimana asalnya kesunyian? Bila jabatan selalu mengundang keramaian dan keriuhan. Benar. Kata mantan bos saya. Tapi, setelah itu semuanya akan mulai berubah. Prosedur administrasi dan tata cara birokrasi pemerintahan satu per satu kemudian mulai mengatur ”apa yang boleh” dan ”apa yang tidak boleh” dilakukan pejabat. Juga, mendikte ”siapa yang harus ditemui” dan ”siapa yang harus dihindari”. Hingga, semuanya menjadi semacam ”upacara-upacara” yang menjurus ajeg dan cenderung rutin. Pada saat itu, kata mantan bos saya, pelan-pelan sang pejabat mulai ”teratur” irama kehidupannya dan mulai ”terbatas” lingkup pergaulannya. Pada saat itulah kesepian bermula hingga perlahan-lahan melahirkan kesunyian. Sedikit demi sedikit saya mulai mempercayainya. Meskipun terus terang saya masih ragu.
Tapi sejarah ternyata memberikan cerita yang kurang lebih sama. Soekarno pernah mengeluhkan tentang kesepian yang dihadapinya dengan mengatakan ” ditinjau secara
keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil, seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah, bukan pikiranmu, mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu…..”. Dalam wawancaranya dengan
penulis wanita Amerika Serikat, Cindy Adams, yang dibukukan dalam ”Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat”, bahkan Soekarno mengungkapkan kebingungannya terhadap reaksi sekaligus harapan rakyat kepada dirinya. Soekarno mengeluh ” aku dikutuk seperti bandit dan pada saat yang sama dipuja bagai dewa” . Karenanya, semasa diasingkan oleh Soeharto di Wisma Yaso, Soekarno benar-benar merasa kesepian. Tak boleh keluar rumah. Tak boleh membaca koran. Tak boleh mendengarkan radio. Tak boleh menonton televisi. Tak boleh menerima kunjungan tamu. Bahkan, kunjungan sanak keluarga pun dibatasi dan diawasi dengan ketat. Keberjarakan dan keterpisahan dengan khalayak ramai akhirnya yang “membunuh” Soekarno dengan pelan-pelan hingga ia wafat dalam kesunyian yang teramat senyap. Tapi, kesepian Soekarno yang sebenarnya bermula ketika Hatta mulai meninggalkannya dan Sjahrir semakin menjauhinya. Dwi-tunggal dan tri-tunggal kemudian hanya menyisakan Soekarno yang sendirian. Soekarno lantas asyik menyetubuhi dan menafsirkan revolusi untuk bangsanya tanpa kritikan dan “antitesis” sedikitpun dari tokoh-tokoh politik yang sederajat dengannya. Berbagai pemikiran, kebijakan dan langkah politik Soekarno lantas berkembang menjadi “ajaran” yang harus diindoktrinasikan kepada rakyat untuk dilaksanakan. Sementara, kata-kata Soekarno kemudian menjadi semacam “azimat” yang harus dipercayai kebenarannya. Puncak kesepiannya adalah ketika Soekarno dinobatkan sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan ditahbiskan sebagai Presiden Seumur Hidup lantas mendeklarasikan Demokrasi Terpimpin. Soekarno benar-benar menjadi “single fighter” yang benar-benar bertarung sendirian.
Demikian pula Soeharto. Pada masa-masa akhir kekuasaannya Soeharto hanya didampingi seorang Saadilah Mursyid yang menemaninya membacakan pernyataan pengunduran diri dari kursi kepresidenan. Bahkan, sebelumnya Soeharto merasa kecewa karena ”para pembantu” setianya yang selama ini duduk dalam kabinet sepakat bersama-sama menjauhi dan meninggalkan dirinya. Para pembantu yang sebelumnya dibina dan dibesarkan dan diberi jabatan empuk. Lantas, tawaran untuk membentuk Komite Reformasi Nasional sebagai ”solusi jalan tengah” untuk melunakkan tuntutan reformasi yang mengganas telah ditolak mentah-mentah oleh banyak tokoh masyarakat. Soeharto mengeluh ”kalau Nurcholish Madjid saja yang moderat saja menolak masuk bergabung dalam komite yang akan saya bentuk, apalagi yang lainnya........”. Karenanya, Soeharto pun berdiri lemas dan membacakan pengunduran dirinya. Tak didampingi para menterinya yang sudah ”tinggal gelanggang colong playu” dan tunggang langgang menyelamatkan dirinya masing-masing. Yang tinggal cuma seorang Saadilah Mursyid. Satusatunya menteri yang masih setia menemaninya hingga detik akhir kekuasaan orde baru. Setelahnya, Soeharto pun tenggelam dalam kesepian dan kesunyian jalan Cendana hingga maut menjemput. Akhir kisah Soeharto pun lantas mirip dengan Don Corleon yang mati di usia tua di Sisilia setelah sekian lamanya menjadi Godfather yang menakutkan dan berkuasa penuh atas seluruh klan mafia Italia di Amerika. Sama seperti Soekarno, kesepian Soeharto berawal dari ditabalkannya sebagai Bapak Pembangunan dan diangkatnya sebagai Jenderal Besar. Pada “level” seperti itu siapa pun warga sipil yang akan melawannya akan dengan gampang dicap sebagai “anti pembangunan” dan karenanya itu berarti subversif. Demikian pula, hampir dipastikan tidak ada seorang pun jenderal militer yang mampu mempertanyakan seluruh kebijakan dan perintahnya. Jenderal M. Jusuf yang menjadi Menhankam Pangab paling populer di kalangan prajurit dan sangat “merakyat” yang digadang-gadang rakyat sebagai “calon pemimpin alternatif” pun akhirnya musti tahu diri dan tak ingin menjadi “matahari kembar” yang menyaingi Soeharto. Demikian pula, Jenderal Beny Murdani yang sempat melakukan manuver politik akhirnya menciut nyalinya setelah Soeharto mengancamnya akan “digebuk”. Setelahnya, Soeharto pun semakin “pe-de” dengan keyakinan-keyakinan politiknya karena “lawan politik” dan “musuh politik” nya satu per satu berguguran tak mampu memberikan perlawanan yang sepadan. Sesudahnya, sang “smiling general” itu pun menjadi mabuk kekuasaan dan pelan-pelan semakin menjauh dari rasionalitas politik
dan kekuasaan hingga akhirnya terkaget-kaget ketika krisis moneter mulai menghantam Indonesia. Saat itulah kesepian seorang Soeharto pun menjadi sempurna dan paripurna. Ada gula ada semut. Maka, Gus Dur ketika menjadi presiden tak ingin selamanya terjebak kepada ”semut-semut” yang mengerumuninya dengan sejuta kepentingan di belakangnya. Karenanya, Gus Dur tak hanya sekedar bertanya atau lantas percaya kepada para menterinya. Atau, kepada para pembisiknya. Atau, kepada tukang pijitnya. Gus Dur bahkan rajin melakukan ziarah ke makam-makam para ulama besar di seluruh Jawa. Dan, ketika ”teman-teman” nya yang kebetulan penasaran dan kritis bertanya tentang motif dan tujuan ziarah kubur yang terlalu sering dilakukannya, Gus Dur dengan ringan menjawabnya ”sengaja saya mendatangi kuburan dan bertanya sekaligus minta nasehat kepada orang mati, karena orang yang sudah mati sudah tak lagi memiliki kepentingan apapun di dunia”. Gus Dur sejak awal memang tak ingin mensakralkan kekuasaannya hingga sejak berkuasa Gus Dur membuka lebar-lebar pintu Istana Merdeka dan Istana Negara untuk seluruh lapisan masyarakat. Keberanian Gus Dur adalah melakukan “desakralisasi” istana sekaligus kekuasaan kepresidenan yang sebelumnya terkesan “angker” dan berjarak terhadap rakyat. Bahkan, pada malam terakhir meninggalkan Istana Merdeka setelah “impeachment” Gus Dur menemui pendukungnya hanya dengan kaos oblong dan celana pendek seraya melambaikan tangannya. Sebuah akhir kekuasaan Gus Dur yang begitu “cair”, “santai”, egaliter dan damai hingga setelahnya tak sedikitpun darah yang tertumpah karena konflik horisontal di masyarakat. Dan, sejarah mencatat bahwa Gus Dur tak mengalami kesepian dan kesunyian seperti yang pernah dialami Soekarno dan Soeharto pada akhir masa kekuasaannya. Jauh sebelumnya, Harun Al Rasyid melakukan hal yang serupa. Seorang sultan Irak yang terkenal bijak dan adil malahan selalu mengundang pelawak sekaligus sufi terkenal untuk senantiasa memberikan nasehat, kritikan pedas, bahkan cemoohan tajam terhadap dirinya sendiri dan kekuasaannya. Abu Nuwas - yang kemudian salah dibaca menjadi Abu Nawas - adalah seorang ”joker”, “filsuf”, sekaligus ”pengkritik terbesar” yang berani dan bebas bicara langsung dihadapan sang Sultan sekaligus sering memenangkan hadiah besar karena selalu bisa menjawab teka-teki dan pertanyaan Harun Al Rasyid. Second opinion. Itulah yang selalu dibutuhkan Harun Al Rasyid untuk mengimbangi saran dan masukan yang cenderung ”Asal Bapak Senang” yang berasal dari para menterinya di istana
Baghdad. Karena, selama ini para pembantunya seringkali menjadi ”yes-man” dan senantiasa meng-iya-kan kebijakan yang dibuatnya. Karenanya, Harun Al Rasyid butuh ”no-man” yang bisa mengkritik tanpa terbebani kepentingan ataupun takut kehilangan jabatan. Dan, Abu Nuwas akhirnya yang selalu berani mengatakan ”tidak” kepadanya sambil tertawa terbahak-bahak atau tersenyum sinis sekaligus memberikan jawaban yang cerdas atas pertanyaan-pertanyaan sulit serta menguraikan secara jelas seluruh persoalanpersoalan pelik yang diajukan oleh Harun Al Rasyid. Karena ”second opinion” dan peran ”no-man” lah maka kesultanan Harun Al Rasyid bisa terjaga dan terbebas dari nafsu kekuasaan yang memabukkan. Juga, kebiasaan Harun Al Rasyid yang secara rutin menyelinap keluar istana untuk melakukan “turba” dengan menyamar secara “incognito” menjadi orang biasa sekedar ingin mengetahui secara langsung kondisi sebenarnya dari masyarakatnya sekaligus mencatat perkembangan sikap rakyatnya terhadap dirinya dan kepemimpinannya dari waktu ke waktu. Karena tak ingin terjebak dalam istana megah yang selalu melayaninya maka Harun Al Rasyid mampu berkuasa dengan penuh rasa keadilan dan dicintai rakyatnya dalam waktu yang lama. Sekaligus terbebas dari “kesepian” dan “kesunyian” karena seringkali menghadirkan Abu Nuwas yang mampu menemani, mengkritik, meledek, mencemooh, tapi tak jarang memberikan nasehat yang bijak dan berharga. Karenanya, supaya tidak kesepian dan merasa sunyi sendirian, seorang pemimpin negeri atau pejabat negara harus sering-sering “turun ke bawah” membelalakkan mata lebarlebar melihat apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat. Menebalkan daun telinga untuk selalu sabar mendengarkan keluh kesah, aspirasi, bahkan protes rakyatnya. Menguatkan hati dan perasaannya untuk selalu sabar, “sumarah”, tidak gampang marah dan lekas naik darah menghadapi kecaman, cercaan, dan hinaan dari rakyatnya sendiri. Dan, meneguhkan semangat dan keberaniannya untuk tidak mudah menyerah sekaligus tidak sering mengeluh atau “curhat” kepada rakyat atau malah kepada “konstituen” nya sendiri. Bila sang pemimpin mulai “menciutkan penglihatan matanya”, “menipiskan daun telinganya”, “lemah hatinya”, “kendor semangatnya”, “ciut nyalinya”, dan “sering mengeluh” maka tunggulah saatnya kelak ketika sedikit demi sedikit rakyat sudah mulai tidak percaya dan perlahan-lahan mulai menjauhi dan meninggalkannya sendiri. Dan, ketika hal itu terjadi maka “silent revolution” mulai dilakukan dan digalakkan oleh “silent majority” yang sudah pesimis, skeptis, apatis, dan sinis terhadap apa saja yang
dilakukan para pemimpin untuk meyakinkan rakyatnya bahwa dirinya selama ini telah bekerja keras untuk memenuhi harapan rakyat banyak. Dan, jangan kaget kalau rakyat dengan santainya dan tanpa beban akan mengatakan “emang gue pikirin” lantas ngeloyor pergi. Wassalam................... Menteng, Jakarta, Februari 2010
BELAJAR DARI SEORANG KAPITALIS SEJATI
Apa yang bisa dipelajari dari seorang kapitalis? Tentunya, kerja keras sekaligus vitalitas. Dan juga, kreativitas sekaligus inovasi. Semuanya membentuk sebuah “elan vital” untuk melakukan perubahan. Sebuah spirit untuk merubah sesuatu yang semula “nothing” menjadi “something” yang sangat penting. Sebuah keinginan untuk mengkonversi sebuah “peluang” menjadi “keuntungan”. Dan, semuanya dilakukan berdasarkan keyakinan terhadap pasar yang rasional sekaligus persaingan yang sehat. Sebuah mekanisme pembentukan harga yang berperan sebagai “invisible hand” yang memandu teralokasikannya sumberdaya dan faktor produksi secara efisien. Itulah moralitas seorang kapitalis. Sekaligus etika kapitalisme. Karenanya, sebelum menulis “opus magnum” nya yang berjudul “The Wealth of Nations” seorang Adam Smith bahkan harus memulainya dengan menulis buku yang berjudul “Moral Sentiment”. Pun, banyak teoritikus ekonomi yang meyakini peran dan kontribusi etika protestan, yang akhirnya menggerakkan pertumbuhan kapitalisme pada abad pertengahan di Eropa Barat. Karenanya, seorang kapitalis waktu itu sekaligus juga otomatis seorang “calvinis” yang berfikir rasional, bersikap sederhana, dan selalu bekerja keras untuk menumbuhkembangkan usaha produktifnya. Karenanya, bagi seorang kapitalis tak ada sesuatu yang “gratis” di dunia ini. There are no such free lunch in the world. Semua kenyamanan. Semua kemakmuran. Semua kesejahteraan. Haruslah diperjuangkan dengan kerja keras dan fikiran cerdas. Karenanya, dalam kapitalisme sebuah “benefit” yang akan diperoleh musti dibayar dengan “cost” yang setimpal. Prinsipnya, seorang kapitalis “harus berkorban dengan biaya tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal”. Tak ada logika “dengan biaya minimal mengharapkan keuntungan yang maksimal” dalam diri seorang kapitalis.
Nilai-nilai mulia seorang kapitalis sejati inilah yang saat ini tersisa dari dalam diri seorang Warren Buffet. Dalam sebuah biografi yang ditulisnya dengan judul “Buffet: The Making of an American Capitalist” Roger Lowenstein mengupas tuntas sisi-sisi positif dari seorang Warren Buffet yang sangat berkarakter. Buffet tak hanya seorang kapitalis yang sukses dan tentu saja kaya raya. Tapi, Buffet memiliki karakter kapitalis sejati yaitu: sabar, disiplin, dan rasional. Dengan kesabaran, kedisiplinan, dan rasionalitasnya Buffet selama empat puluh tahun mampu mengungguli kinerja bursa saham dengan margin keuntungan yang menakjubkan sekaligus tanpa perlu mengambil risiko yang berlebihan. Buffet bahkan “mematahkan” teori, konsep, dan strategi yang sering digunakan pakar pasar saham, pialang, sekaligus kalangan akademisi. Prinsipnya, Buffet bukanlah seorang spekulan. Dan karenanya, bagi Buffet pasar saham bukanlah arena spekulasi atau “ladang perjudian” yang oportunistik, pragmatis, sekaligus instant. Karenanya, hukum besi bursa saham yang menggunakan trik utama permainan meraup dana publik lantas menjual habis pada saat yang tepat tidak pernah diikuti Buffet. Pada dasarnya, Buffet adalah seorang investor yang memiliki “nafas panjang” sekaligus komitmen jangka panjang untuk membangun kapitalisasi usaha secara berkelanjutan. Dengan kerja keras, kesabaran, kedisiplinan, dan rasionalitasnya, Buffet telah berhasil membangun Berkshire Hathaway Inc. menjadi sebuah konglomerasi bisnis dengan kepemilikan di hampir 80 perusahaan besar dan menguasai kapitalisasi pasar seluruh saham hingga mencapai nilai 180 milyar dollar. Jumlah yang bahkan melebihi angka APBN Indonesia saat ini. Dengan nilai kapital sebesar itulah maka pada tahun 2008 Buffet tercatat sebagai orang paling kaya sejagat. Bahkan, pada tahun berikutnya Buffet hanya kalah satu tingkat dengan Bill Gates. Kejeniusan sekaligus inovasi Buffet selama ini pada akhirnya diikuti oleh para “fund manager” di seluruh dunia. Strategi pasar a la Buffet lantas menjadi semacam “benchmarking” yang diteladani para pialang saham di bursa manapun. Taktik bisnis Buffet pun menjadi indikator bagi para investor untuk membeli atau malahan menjual sahamnya. Karenanya, Buffet cenderung bersikap transparan dan mau berbagi informasi pasar hingga banyak “follower” dan “true believer” yang mengikuti sepak terjangnya pada gilirannya mendapatkan banyak keuntungan dari setiap transaksi di bursa saham.
Melihat sosok Buffet kita seperti melihat seorang “calvinis modern” yang bekerja mencari kekayaan dengan nilai-nilai mulia kapitalisme. Kerja keras, kesabaran, kedisiplinan, dan rasionalitas sekali lagi telah membentuk jiwa persaingan bisnis yang sehat, menyuburkan intuisi bisnis yang tajam, dan merangsang inovasi bisnis yang berkelanjutan. Dengan mempraktikkan persaingan bisnis yang fair maka seorang Buffet tak mau terjebak kedalam kalkulasi bisnis sesaat dalam jangka pendek serta tak mau terperosok hingga menjadi seorang “greedy capitalist”. Karenanya, Buffet terhindar dari jebakan krisis akibat maraknya praktik “greedy business” sekaligus “instant and speculative business” yang selama ini berkali-kali telah membangkrutkan pelaku bisnis di Amerika Serikat. Kasuskasus seperti “Junk Bond” dan “Subprime Mortgage” yang membangkrutkan raksasaraksasa bisnis Amerika dan Eropa sama sekali tak menyentuh dan berimbas kepadanya. Dengan mengasah intuisi bisnisnya secara tajam dan mandiri serta menghindarkan diri dari “kejumudan bisnis” yang berlaku di pasar, Buffet akhirnya layak dijuluki sebagai seorang “Oracle of Omaha” yang mampu menjadi “cenayang” bisnis modern yang tajam dan menjadi panutan banyak pelaku bisnis dalam mengambil keputusan. Dengan merangsang tumbuhnya kekuatan inovasi bisnisnya, Buffet akhirnya benar-benar mampu mewujudkan idealita kapitalis sejati yang dicita-citakan Schumpeter dan Berger, karena berani melakukan inovasi dan “revolusi” kapitalisme. Buffet layaknya seorang “entreprenuer” yang tak ragu-ragu melakukan “creative destruction” untuk mempertahankan eksistensi sekaligus memperpanjang “umur” dan siklus bisnisnya dalam medan persaingan bisnis yang keras dan teramat kejam. Warren Buffet dan Bill Gates adalah seorang wirausaha yang sukses sekaligus orang yang kaya raya. Buffet dan Gates bukanlah semata-mata seorang “pengusaha” ataupun “pedagang” tetapi mereka benar-benar menjadi “pioner-pioner bisnis” yang tangguh, tahan banting, dan telah teruji kemampuannya untuk tidak saja “menaklukkan” pasar tetapi sekaligus juga mampu “menciptakan” pasar-pasar yang baru. Buffet dan Gates bukanlah tipe “Orang Kaya Baru” yang selalu mempertontonkan dan memamerkan kekayaannya secara telanjang dan berlebihan, tetapi mereka adalah “Orang Kaya” yang begitu lama mampu menumpuk dan menikmati kekayaannya tanpa harus terjebak dalam sindroma snobisme yang hedonistik dan sesaat.
Sayangnya itu semua hanya terjadi di Amerika sana. Disini kita hanya mencatat kisah suram dan cerita mengerikan dari para kapitalis domestik yang hanya mampu “mengekor” dan menjiplak para kapitalis sejati hanya dalam satu hal: mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya. Tetapi, itupun dilakukan dalam ”tempo yang sesingkatsingkatnya” dan “menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan”. Maka tak aneh bila Hiroyoshi Kano dengan sinis menyebut konglomerat Indonesia sebagai “erzat capitalist” atau kapitalis semu (pseudo capitalist) seperti para konglomerat lainnya di Asia Tenggara. Sebuah sebutan untuk para konglomerat yang mulanya tumbuh dari para pedagang, kemudian pelan-pelan berkembang menjadi industrialis “instant” yang hanya mengandalkan “lobi kekuasaan” untuk menguasai sektor bisnis manufaktur yang bersifat monopolistik dan oligopolistik. Kano menyebutnya sebagai “industrialis semu” yang tidak benar-benar serius untuk memperdalam struktur industrinya ataupun melakukan inovasi industri yang benar-benar serius dalam jangka panjang. Setelahnya, ketika mereka sukses membaptis dirinya sebagai industrialis kemudian ramerame memasuki bisnis jasa keuangan dan perbankan. Hebatnya, itupun dilakukan secara “instant” pula dan masih memanfaatkan “beleid” pemerintah yang memihak kepada mereka. Setelah berbagai “paket kebijakan” liberalisasi keuangan dan perbankan yang kebablasan akhirnya mereka rame-rame pula mendirikan bank dengan sangat mudah dan sangat cepatnya. Anwar Nasution dulu pernah secara nyinyir menghujat bahwa bisnis bank tak ubahnya bisnis “tukang bakso” yang serta merta begitu gampang dilakukan, tetapi juga begitu mudah bubar. Ketika likuiditas mulai seret sementara nafsu ekspansi bisnis semakin menggebu maka jalan satu-satunya yang ditempuh adalah “meminjam” dari bank sendiri dan “merampok” uang nasabah yang telah dimobilisasi dalam jumlah besar. Dan, ketika keserakahan bisnis semakin menjadi-jadi maka pasar menjadi “sakit” dan hargaharga yang terbentuk di pasar menjadi “abnormal”. Dan, satu-satunya obat hanyalah “krisis moneter” yang dipicu oleh gebrakan Soros dan “domino effect” dari krisis serupa yang pertama terjadi di Thailand. Darisinilah cerita muram tentang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) berawal. Darisinilah kisah mengerikan tentang para konglomerat hitam - meminjam istilah dari Kwik Kian Gie - bermula. Sepak terjang para konglomerat hitam sekaligus kapitalis semu yang merampok uang negara hingga ratusan trilyun rupiah. Jumlah yang hampir setara
dengan nilai APBN kita akhirnya habis dilahap para “penjahat ekonomi” yang hingga kinipun masih tak keruan jelas penyelesaiannya. Sejak itulah negeri ini mulai menderetkan akronim-akronim yang mengerikan: BLBI, KLBI, PMS, FPJP, KKSK, KSSK, dan Pansus. Sejak itulah kita mulai akrab dengan nama-nama yang menjengkelkan: Edy Tanzil, Eka Cipta, Hendra Raharja, Sukanto Tanoto, Syamsul Nursalim, Artalyta Suryani, hingga Robert Tantular. Sejak itulah kita tak pernah benar-benar mendapatkan pelajaran yang berharga dari sepak terjang para kapitalis dan praktik kapitalisme di negeri ini. Dan, sialnya (lagi-lagi) kita musti belajar dari seorang Warren Buffet dan (lagi-lagi) kita pun harus mengambil pelajaran dari praktik kapitalisme di Amerika Serikat. Negeri yang terlampau jauh untuk dijangkau dan terlampau sulit untuk dimengerti. Hingga kini. Menteng, Jakarta, Maret 2010
TERANG BULAN TAK LAGI DI PINGGIR KALI
Cobalah baca laporan dari sebuah koran sore ini: lebarnya dulu 70 meter, sekarang menyusut menjadi 15 meter, kedalamannya dulu sampai 10 meter, sekarang mendangkal hingga menjadi hanya 2 meter. Laporan itu bercerita tentang perubahan drastis sungai Ciliwung. Sebagai sungai yang melintasi “antar kota antar provinsi” sejauh lebih dari 100 kilometer, Ciliwung tidak saja berubah tetapi sudah tak kuat lagi menanggung beban yang berlebihan. Ahli planologi mungkin akan menyebut sebagai merosotnya “carrying capacity” dari sebuah sungai untuk mengimbangi tantangan jaman. Karenanya, Ciliwung sekarang tak ubahnya “tempat pembuangan akhir” dari seluruh limbah dan sampah. Baik rumah tangga atau pabrik. Karenanya, Ciliwung tak hanya rusak secara biologis tapi juga secara hidrologis. Polusi, sedimentasi, dan alih fungsi, semuanya teragregasi disana. Pemerintah, politisi, perencana kota, dan ahli hidrologi semuanya gagal disana. Ciliwung menjadi “bahaya laten” sekaligus “ancaman rutin” yang ditakuti warga Jakarta setiap tahunnya. Dan, bertahuntahun pula tak ada penyelesaian disana. Solusi sepertinya hanya menjadi ilusi. Alih-alih merawat “sungai alam” pemerintah Jakarta malahan lebih suka membangun “sungai buatan” untuk menaklukkan banjir. Maka, jangan heran bila alokasi uang untuk Ciliwung selalu tak sebanding dengan meningkatnya kerusakan yang ada. Banjir Kanal adalah proyek yang prestisius sekaligus ambisius untuk mengurangi banjir. Dan, idenya mengembangkan Banjir Kanal Barat sekaligus membangun Banjir Kanal Timur. Dan, banjir kiriman dari Bogor via Ciliwung akan secara tuntas “dikirimkan” dalam tempo sesingkatsingkatnya ke Teluk Jakarta. Hingga, Jakarta akan terbebas dari “kutukan Katulampa” yang berkepanjangan. Dan, tentu saja harapan Jakarta bebas banjir akan segera menjadi kenyataan. Sebuah pendekatan penanganan masalah yang sangat teknokratik sekaligus sangat matematik khas ala “tukang insinyur”.
Padahal Ciliwung bukan sekedar masalah infrastruktur belaka. Seorang teman yang kebetulan jadi “aktivis” lingkungan pernah menguliahi saya soal penyelesaian masalah banjir Jakarta sekaligus masalah kerusakan terumbu karang di Teluk Jakarta. Menurutnya, penyelesaian kedua masalah itu harus dimulai sejak dari kawasan Puncak hingga ke wilayah Jakarta. Sebuah solusi yang mau tak mau harus bersifat komprehensif, holistik, integratif, sekaligus total. Jadi, jawaban untuk kedua masalah itu harus “beyond Jakarta” dan “beyond infrastructure”. Saat itu saya hanya manggut-manggut lantas mengamini “kuliah umum” yang sangat panjang dari teman saya. Bukankah dulu pemerintah juga pernah menetapkan kawasan Bogor-Puncak-Cianjur atau Bopunjur sebagai wilayah penyangga (buffer zone) sekaligus area konservasi yang diproteksi dan diberi alokasi oleh pemerintah pusat. Hingga, Jakarta akan mampu “disangga” secara ekologis. Lagi-lagi, saya membenarkan pendapat yang akurat dari teman saya.
Cobalah baca lagi laporan dari situs internet ini: Citarum telah mendapatkan kategori sebagai sungai “terjorok” di dunia, padahal sungai ini merupakan penyedia dari 80 persen air di Jakarta. Di sekitar sungai Citarum di wilayah Bekasi sedikitnya sekitar 2.000 pabrik yang mengalirkan limbahnya. Di wilayah Bandung sebanyak 217 industri telah mencemari sungai Citarum. Selain itu, daerah aliran sungai Citarum seluas 45 ribu hektar sudah tercemar logam berat. Laporan ini menggambarkan parahnya tingkat pencemaran sungai Citarum sebagai akibat adanya kesengajaan untuk memperlakukan Citarum tak ubahnya sebagai tempat pembuangan akhir limbah sekaligus tempat penimbunan sampah yang paling gampang dan murah. Citarum akhirnya menjadi “halaman belakang” tempat semua orang buang hajat, buang sampah, dan buang limbah. Citarum pun sekarang bukan lagi jadi “berkah” yang harus disyukuri, tapi sudah jadi bagian “masalah” yang musti ditangani. Saya lantas teringat Eropa. Disana hampir semua negara memperlakukan sungai tak ubahnya bagai “dewa” yang harus disembah dan dihormati. Bahkan, dirawat, dipelihara, dan dikembangkan menjadi “landmark” sebuah kota. Sungai di Eropa bukanlah “backyard” yang musti dibelakangi tetapi menjadi beranda depan yang dihargai fungsinya, dipelihara kebersihannya, sekaligus dikelola alirannya. Sungai tak musti harus jernih airnya, tetapi yang penting bebas dari sampah, dan alirannya lancar. Maka, tak heran
kota-kota di Eropa banyak yang berkonsep “water front city” dengan mengandalkan kepada aliran sungai yang menjadi modal utamanya. Pendeknya, sungai di Eropa berperan sebagai “media transportasi”, “lokus turisme”, sekaligus “perangkat hidrologis”. Apa jadinya Paris tanpa sungai Seine. Apa jadinya Florence tanpa sungai Arno. Apa jadinya Dresden tanpa sungai Elbe. Apa jadinya London tanpa sungai Thames. Apa jadinya Praha tanpa sungai Vltava. Apa jadinya Budapest tanpa sungai Donau. Apa jadinya Maastricht tanpa sungai Maas. Apa jadinya Oslo tanpa sungai Akerselva. Apa jadinya Heidelberg tanpa sungai Neckar. Tentunya, sebuah lanskap kota-kota yang menjemukan karena hanya dipenuhi bangunan-bangunan gedung tua dan patung-patung sejarah masa lalu. Karenanya, sungai kemudian berfungsi sebagai “penyegar” pemandangan kota sekaligus sebagai wahana yang mempercantik tata kota. Maka, sungai bagi masyarakat Eropa adalah sebuah ikon kebudayaan sekaligus peradaban. Peradaban yang terbentuk di sepanjang sungai Ruhr di Jerman terbagi atas 53 kota yang dihuni sekitar 5,3 juta penduduk. Jutaan masyarakat yang hidup di sepanjang aliran sungai Ruhr dikenal sebagai kelompok pecinta seni dan sejarah. Maka, tak heran bila hingga kini mereka tetap setia menjaga dan memelihara kelestarian sekitar 120 gedung teater, 100 gedung konser, dan 200 museum. Tapi, sungai juga sebuah persoalan politik. Karenanya, sungai seringkali jadi pemicu pertentangan politik bahkan penyebab terjadinya peperangan diantara negara di Eropa. Kekaisaran Romawi dan kerajaan Kartago dari semenanjung Iberia menjadikan sungai Ebro sebagai objek perebutan kekuasaan. Saat kota Saguntum di selatan Ebro dimasukkan kedalam daerah protektorat Romawi maka Hannibal pun marah besar hingga kemudian pecahlah “perang Punic kedua”. Sungai Ebro juga menjadi penanda sekaligus tempat dimulainya serangan Republik Spanyol kedua dalam “perang saudara” hingga terkenal dengan nama “pertempuran Ebro” yang akhirnya menjadikan kaum republik sebagai pecundang. Demikian pula dengan sungai Rhein. Kekaisaran Romawi dalam sebuah pertempuran Teutoburg akhirnya harus menerima fakta bahwa sungai Rhein adalah batas utara wilayah mereka. Dalam perang dunia kesatu, sungai Rhein menjadi objek Perjanjian Versailles yang mengakhiri perang antara Perancis dan Prusia. Tapi, dalam perang dunia kedua sungai Rhein kembali diduduki Nazi Jerman hingga menaikkan popularitas Adolf Hitler.
Karenanya, sungai Rhein - dan sungai-sungai lainnya - akhirnya disepakati menjadi batas alam antar negara di Eropa. Sungai yang bermata air berhulu di pegunungan Alpen di wilayah Graubunden, Swiss ini membagi dan melintasi wilayah delapan negara, yaitu Swiss, Italia, Liechtenstein, Austria, Jerman, Perancis, Luxemburg, dan Belanda. Karenanya, sah-sah saja bila beberapa negara menyebutnya dengan nama berbeda-beda. Orang Jerman menyebutnya Rhein. Orang Perancis menyebutnya Rhin. Orang Belanda menyebutnya Rijn. Bahkan, orang Keltik malah menyebutnya Renos. Tapi, Rhein bukanlah sekedar ajang politik belaka. Rhein telah menjadi “best practices” sekaligus “lessons learned” yang berharga tentang bagaimana sebuah sungai musti dikelola, dipelihara, dan diamankan secara bersama-sama oleh banyak negara. Sebuah forum yang bernama “International Commission for the Protection of the Rhine” telah dibentuk pada bulan Juli 1950. Segala soal termasuk polusi, manajemen, dan berbagai solusi dibicarakan dalam forum ini. Itupun belum cukup. Pada tahun 1998 disusun pula “Rhine Action Plan Against Chemical Pollution” dan “Rhine Action Plan on Flood Defense”. Sebuah forum kerjasama sekaligus rencana aksi bersama untuk menyelesaikan problematika pencemaran sungai, mengatur pengelolaan sungai secara ekonomis, sekaligus membagi tanggung jawab dan peran masing-masing negara secara administratif. Sungai pun bahkan jadi inspirasi kesenian. Tak heran bila pada saat krisis sungai Rhein akibat pengaturan sepihak soal perbatasan sungai Rhein oleh Adolphe Thiers, seorang Perdana Menteri Perancis, bangsa Jerman lantas menggubah lagu yang berjudul “Die Wacht am Rhein”. Sebuah lagu yang bahkan digunakan sebagai lagu kebangsaan Jerman untuk memompa semangat nasionalisme dan perlawanan untuk merebut kembali sungai Rhein sekaligus mempertahankan Rheinland. Bahkan, lagu itu dipakai selama perang dunia kesatu berlangsung. Dalam bentuk yang lain, Johann Strauss menggubah lagu walz yang berjudul “The Blue Donau” untuk menghormati sungai yang mengalir di kota Wina, yang notabene terkenal sebagai ibukota musik aliran Walz atau sering disebut sebagai “Walzer Stadt”. Dalam kaitan ini, saya lantas teringat dengan seorang Gesang yang pernah menggubah lagu keroncong “Bengawan Solo” yang begitu fenomenal. Sebuah lagu yang bahkan sangat disenangi masyarakat Jepang secara fanatik. Tapi bedanya dalam lagu itu Gesang justru berkeluh kesah dan prihatin dengan sungai yang hanya tinggal sebagai riwayat sejarah
yang memilukan. Saat lagu itu diciptakan Gesang teramat sadar bahwa “Bengawan Solo” sudah tak lagi seperti dulu keadaan dan kegunaannya. Juga, dulu pernah ada lagu keroncong terkenal yang berjudul “Terang Bulan Di Pinggir Kali. Saking terkenalnya, para “buaya keroncong” negeri ini wajib hukumnya untuk menyanyikannya saat pentas. Ironisnya, Malaysia akhirnya “mengklaim” sekaligus “mencurinya” lantas menggubah liriknya hingga digunakan sebagai lagu kebangsaan mereka hingga kini. Inilah barangkali benih awal “kleptokrasi” yang sekarang gencar dilakukan negeri jiran itu terhadap produk-produk kesenian dan kebudayaan kita. Akhirul kalam, berbagai pelajaran dari negara-negara di Eropa harusnya menjadi inspirasi bagi segenap “pemangku kepentingan” untuk melakukan “revitalisasi” sungai secara sistemik, menyeluruh, tuntas, dan berkelanjutan. Sungai-sungai kita haruslah dikembalikan makna, peran, dan fungsinya yang vital dan strategis untuk tujuan ekonomis, ekologis, kebudayaan, sekaligus peradaban secara bersamaan. Tanpa kesadaran budaya yang tinggi dan gerakan politik yang nyata tampaknya sungai-sungai kita hanyalah menjadi sumber masalah yang setiap tahun merepotkan dan tak pernah terselesaikan. Tanpa solusi administratif yang cerdas dan bijaksana tampaknya kita tak bisa lagi menikmati indahnya “terang bulan” di malam hari di pinggir sungai Ciliwung, Cisadane, Citarum, Brantas, dan sungai-sungai atau “kali-kali” lainnya. Karena, cahaya rembulan yang ada hanya berbayang-bayang sampah, limbah, dan kotoran manusia diantara keruhnya air sungai. Ironis! Menteng, Jakarta, Maret 2010
CERITA TENTANG KANG DADANG: ENAM PELAJARAN DARI KARAWANG
Karawang barangkali terkenal karena empat hal. Sajak Chairil Anwar, Rengasdengklok, lumbung beras, dan tentu saja goyang karawang. Selebihnya, tak banyak yang bisa dibahas ataupun dapat diceritakan tentang Karawang. Selebihnya, Karawang hanyalah “tempat persinggahan sementara” untuk sekedar beristirahat sejenak selama perjalanan panjang menyusuri lintas pantura. Karawang adalah sebuah transit. Dan juga konektor antar kota. Oleh sebab itulah, selama ini saya pun tak pernah secara sengaja ingin meluangkan waktu untuk pergi dan berkunjung ke Karawang. Demikian pula teman-teman saya. Selebihnya, hanya empat hal itulah yang mengingatkan kita kepada Karawang. Tapi kesan saya berubah total. Sebuah dinas luar kota dari kantor yang saya lakukan baru-baru ini telah mengubah semuanya. Persepsi dan ekspektasi saya tentang Karawang berubah dan berkembang dengan lebih baik. Sengaja kami memilih Karawang sebagai “sampel” uji coba kajian strategis yang tengah kami lakukan. Pemilihan itupun didasarkan kepada pertimbangan yang terkesan “main-main” belaka. Jaraknya cukup dekat dari Jakarta. Tempatnya belum pernah kami kunjungi sebelumnya. Dan, tentu saja rasa penasaran untuk membuktikan dan melihat secara langsung “cerita-cerita miring” tentang Karawang. Karenanya, tak ada ruginya kami berkunjung kesana. Toh, ini semua hanya sekedar “uji coba” semata dari pekerjaan kantor yang harus diselesaikan dengan segera. Paling-paling kami hanya setengah hari disana. Presentasi, diskusi, dan tanya jawab. Sesudah itu selesai sudah semuanya. Tapi kami benar-benar kaget bukan kepalang. Karena mereka (baca: aparatur pemerintah daerah) ternyata benar-benar serius menyambut kami dan ingin berdiskusi panjang lebar dengan kami. Yang paling mengagetkan adalah Bupati Karawang sendiri bersedia menerima sekaligus memimpin acaranya. Seorang Bupati yang sebentar lagi habis masa
jabatannya ternyata demikian bersemangatnya menjelaskan berbagai persoalan pembangunan dengan lancar, lugas, dan jelas. Dadang S. Mochtar demikian nama lengkapnya. Urang Sunda yang ramah, impresif, sekaligus humoris. Bekas militer yang panjang rekam jejaknya. Doktorandus gelarnya. Dan, sudah haji pula. Pernah mengalami kejayaan dan keruntuhan Orde Baru sekaligus tak gamang menghadapi Orde Reformasi. Sebuah kombinasi variabel yang teramat komplit untuk seorang kepala daerah. Karenanya, Kang Dadang adalah tipe pemimpin yang tahu benar apa yang musti dilakukan, dimana sekaligus kapan berbagai persoalan pembangunan daerahnya harus diuraikan dan diselesaikan. Pun, sangat mengerti bagaimana harus menjalankan roda pemerintahan sekaligus dengan siapa musti berkolaborasi dan bekerja sama. Paling tidak ada enam pelajaran yang bisa dipelajari (lessons learned) sekaligus contoh terbaik (best practices) dari kualitas manajemen dan “leadership” Kang Dadang selama memimpin Karawang. Pelajaran pertama, adalah kepemimpinan yang kuat (strong leadership) sebagai modal dasar pemerintahan yang efektif. Berkaitan dengan perihal ini, Kang Dadang sangat sadar dan faham betul bahwa sebagai bupati ia harus memimpin dengan visi yang kuat, misi yang tepat, serta strategi yang pas untuk menggerakkan berbagai perubahan di masyarakat secara konsisten, sistemik, dan berkelanjutan. Karenanya, setelah jadi bupati Kang Dadang terlebih dahulu menyamakan persepsi “anak buah” nya melalui “diklat” kepemimpinan yang dilakukan untuk seluruh aparatur birokrasinya. Setelahnya, berbagai “diklat” untuk masyarakat pun dilakukan pula dengan intensitas yang sama. Tak hanya sekedar menyelenggarakan, Kang Dadang pun terjun langsung menjadi “instruktur” sekaligus narasumber tetap untuk seluruh rangkaian “diklat” itu. Hasilnya, persepsi birokrasi dan masyarakat pun sama. Juga, komunikasi antara pemimpin dan “yang dipimpin” nya pun terbuka, cair, dan lancar. Saya lantas teringat kepada model “diklat” kepemimpinan yang pernah dilakukan presiden Korea Selatan melalui Semaul Undong, yang terbukti mampu menggerakkan seluruh “stakeholder” untuk bangkit membangun masyarakat dan negara industri yang maju. Karenanya, tak aneh bila Kang Dadang mengidolakan Soekarno, Soeharto, sekaligus Jenderal Soedirman. Kebetulan ketiganya adalah tipe pemimpin yang kuat, tegas, berani, dan percaya diri. Saking “pe-de” nya Kang Dadang memahami dan mengartikan jabatan bupati dengan kalimat tegas seperti ini “Jabatan bupati ini khan bukan maunya orang,
tapi maunya saya. Kenapa? Karena saya ingin berbuat lebih baik. Artinya, supaya lebih memberi arti dan makna dalam diri saya pribadi bahwa hidup ini akan berakhir. Nah, sebelum berakhir itulah, akan lebih memberikan arti dan makna dengan suatu karya atau pekerjaan. Itulah makna dan pengertian jabatan menurut tafsiran saya”. Luar biasa khan? Pelajaran kedua, penguasaan detail permasalahan pembangunan. Karenanya, Kang Dadang tahu betul bagaimana merencanakan dan melaksanakan pembangunan di Karawang. Visinya jelas. Terwujudnya masyarakat Karawang yang sejahtera melalui pembangunan di bidang pertanian dan industri yang selaras dan seimbang berdasarkan iman dan taqwa. Visi ini tidaklah dipungut dari langit tapi jelas berpijak pada kenyataan yang ada di lapangan. Masyarakat Karawang selama ini memang sebagian besar bergerak di sektor pertanian, namun perlahan tapi pasti sektor industri mulai tumbuh dan berkembang. Paling tidak, adanya kawasan industri modern di Karawang akan menjadi “engine of growth” yang potensial di masa depan. Sementara, pertanian pun musti “dilindungi” lahannya serta diberdayakan petaninya. Karenanya, kedua sektor musti tumbuh bersama, selaras, dan seimbang. Karena mengerti betul pembangunan secara rinci maka Kang Dadang hanya mengeluarkan tiga program prioritas yang menjadi andalannya, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi kerakyatan. Prinsipnya, masyarakat Karawang kedepan haruslah terdidik, sehat, dan berpenghasilan cukup serta didukung dengan penyediaan infrastruktur yang memadai.
Pelajaran ketiga, kebijakan anggaran yang efektif dan efisien. Dalam pengelolaan anggaran Kang Dadang tahu persis bagaimana mengarahkan alokasi anggaran untuk membiayai program-program prioritasnya. Karenanya, hampir 70 persen dana APBD Karawang dialokasikan untuk mendanai bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pengembangan ekonomi kerakyatan. Sementara, sekitar 30 persen sisanya untuk membiayai aparatur pemerintah daerah dan DPRD. Eloknya lagi, anggaran untuk bidang pendidikan malah melampaui proporsi alokasi yang dilakukan pemerintah pusat, yaitu sekitar 37,5 persen dari total APBD sebesar Rp. 1,3 trilyun. Dari ilustrasi itu dapat disimpulkan bahwa efektivitas pengalokasian anggaran untuk pembiayaan pelayanan dasar publik sangat tinggi. Sementara, efisiensi anggaran dilakukan Kang Dadang dengan penerapan penghematan anggaran untuk pembangunan berbagai bangunan untuk sekolah
dan kantor pemerintahan tetapi sama sekali tidak mengorbankan kualitas dan tampilan fisiknya.
Pelajaran keempat, inovasi yang tak kenal henti. Berbagai inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan praktik pembangunan dilakukan Kang Dadang secara terus menerus dan konsisten. Pemberantasan buta huruf dalam 32 hari; pemberantasan buta aksara Al Qur’an juga dalam 32 hari; peningkatan kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris untuk seluruh aparat, lagi-lagi juga hanya dalam 32 hari; penggabungan SD, SMP, dan SMA dalam satu gedung yang efisien sekaligus mentereng; pemberdayaan pedagang pasar melalui penyaluran modal usaha oleh pengelola pasar; wajib baca lewat mobil taman bacaan masyarakat, beasiswa untuk mahasiswa; pengamanan ketersediaan obat melalui gudang obat; penerapan jaminan kesehatan masyarakatdan asuransi kesehatan untuk orang miskin; dan pembangunan berbagai infrastruktur dasar yang dilakukan secara masif. Semua itu, adalah contoh-contoh nyata dari inovasi Kang Dadang yang masih terus berjalan. Bahkan, Kang Dadang pun berani melakukan inovasi (tepatnya: efisiensi) terhadap biaya penyelenggaraan pilkada dengan memangkas tempat pemungutan suara dan petugas yang terlampau banyak.
Pelajaran kelima, kedekatan dengan rakyat. Selama memimpin Karawang, Kang Dadang selalu berinteraksi secara lepas, terbuka, dan hangat dengan seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu. Bahkan, kadang-kadang Kang Dadang tampil tanpa memperdulikan aturan protokoler birokrasi. Mulai dari “menghibur” dan “menenangkan” para pelajar yang tidak lulus ujian nasional, terjun langsung memantau pemadaman kebakaran, komunikasi yang intensif dengan pedagang kecil dan petani, mengunjungi berbagai masjib sekaligus menjadi khotib pada sholat Idul Fitri, menggalang kerjasama dengan pengusaha lokal, pengusaha pendatang, dan kalangan industrialis, menjadi narasumber berbagai seminar, lokakarya, dan “talk show” di radio, hingga tampil tanpa beban dalam acara parodi “democrazy” di Metro TV. Semuanya dijalankan dengan penuh semangat dan energi yang meluap-luap.
Pelajaran keenam, kesadaran terhadap pluralisme. Kang Dadang menyadari bahwa Karawang adalah sebuah perlintasan, yang suka atau tidak suka pasti banyak didatangi dan dihuni orang dari berbagai suku dan etnis. Karenanya, Kang Dadang selalu bersikap
“welcome” terhadap semua orang sekaligus tak harus terlalu “chauvinistik” dengan menganakemaskan orang sunda. Sikapnya yang menjunjung tinggi pluralisme tercermin dari kata-katanya “Kabupaten Karawang adalah kampung halaman kita bersama. Siapa
pun yang tinggal dan menetap di Karawang adalah pemilik daerah ini. Baik itu berasal dari suku Sunda, Jawa, Palembang, Padang, Lampung, Tionghoa, Madura, dan sebagainya. Semuanya itu orang Karawang. Semua putra daerah”. Hebat khan!
Demikianlah sekilas cerita tentang Kang Dadang dan Karawang. Tak ketinggalan, enam pelajaran yang bisa kita petik bersama hikmahnya. Saya hanya berharap agar tidak saja para kepala daerah lainnya bisa mengikuti sepak terjang Kang Dadang, tetapi juga seluruh pemimpin di negeri ini. Kalau tidak, maka kita harus siap-siap untuk hanya memiliki pemimpin-pemimpin yang lemah kepemimpinannya, yang tidak pernah mau belajar dan mengerti tentang permasalahan pembangunan di daerahnya, yang kebijakan anggarannya tidak pernah efektif sekaligus tidak mungkin efisien, yang tidak pernah melakukan inovasi atau paling tidak memberikan solusi terhadap kesulitan hidup rakyatnya, yang selalu “jaga imej”, “jaga wibawa”, “jaga jarak” dan menjauh dari rakyatnya sendiri, dan yang hanya mampu “memuaskan” kelompok tertentu. Bila ini yang terjadi maka secepatnya kita musti kembali berkunjung ke Karawang. Bukan untuk belajar sajak. Bukan untuk belajar menanam padi. Bukan untuk belajar sejarah. Ataupun, bukan untuk belajar menari. Tapi, hanya untuk belajar kepada Kang Dadang. Belajar bagaimana caranya memimpin negeri ini. Tak lebih. Tak kurang. Bukan besok. Tapi sekarang! Menteng, Jakarta, Maret 2010
APA KATA DUNIA: IKLAN MENYESATKAN DAN MEMBODOHKAN
Akhir-akhir ini saya punya tiga keberatan terhadap Kementerian Keuangan atau lebih tepatnya Direktorat Jenderal Pajak. Pertama, saya keberatan ketika kalimat “apa kata dunia” digunakan sebagai “tag line” iklan kampanye untuk menggalakkan kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak. Alasan pertama, tampilan iklannya cenderung “nyinyir” atau terkesan “melecehkan” masyarakat yang menjadi sasaran iklan. Bagaimana mau mendorong orang bayar pajak kalau sama sekali tak ada kalimat ajakan atau himbauan yang positif. Justru yang muncul sederetan kata-kata sinis yang cenderung negatif. Sebuah kampanye publik yang ceroboh, penuh cemooh, serampangan, dan terkesan arogan untuk sebuah tujuan mulia. Alasan kedua, karena konteks kalimat itu justru berarti sebaliknya. Adalah aktor Deddi Mizwar yang pertama kali mengucapkannya dalam film komedi “Nagabonar” karya sutradara Asrul Sani. Ucapan itupun (tentu saja dalam film itu) lebih ditujukan kepada sang pengucap alias Nagabonar yang merasa malu bahwa sebenarnya betapa konyolnya dia dihadapan orang banyak. Karena malu bila diketahui “boroknya” maka Nagabonar pun spontan mengucapkan kalimat itu. Jadi, kalimat itu lebih ditujukan sebagai bentuk introspeksi untuk dirinya sendiri. Dan, sama sekali bukan untuk orang lain.
Kedua, saya juga keberatan dengan iklan pajak lainnya yang berbunyi “orang pintar bayar pajak”. Kalimat iklan itu menyesatkan karena pajak sejatinya harus dibayarkan semua orang yang masuk kategori wajib pajak. Tak peduli ia pintar atau bodoh. Bahkan semua warga negara secara hukum sebenarnya merupakan wajib pajak yang harus membayar pajak kepada negara. Persoalannya, ada yang masih belum mampu membayar pajak karenanya negara memberikan “subsidi” alias menerapkan “negative tax” kepada mereka. Baik karena belum berpenghasilan ataupun karena penghasilannya belum cukup
untuk secara finansial dipungut pajaknya. Itupun hanya untuk kategori pajak penghasilan. Untuk pajak pertambahan nilai (value added tax) semua orang tanpa terkecuali harus membayar saat membeli barang atau membayar jasa yang diterimanya. Karenanya, sekali lagi, demi logika iklan pajak diatas harus segera dicabut karena tidak logis dan mengada-ngada.
Ketiga, saya keberatan pula dengan iklan pajak lainnya yang berbunyi “lunasi pajaknya dan awasi penggunaannya”. Kita semua tahu bahwa setelah reformasi pengawasan penggunaan dana publik semakin meningkat baik derajat maupun intensitasnya. Termasuk pula pemeriksaan tentang penyelewengannya. Lembaga audit keuangan negara, lembaga penegak hukum, lembaga profesi, lembaga swadaya masyarakat, sekaligus masyarakat sendiri selama ini begitu bersemangat dan intensif dalam mengkritisi, menyoroti, dan mengawasi dana-dana publik seperti APBN dan APBD. Hasilnya, banyak mantan menteri, bekas pejabat tinggi, gubernur, bupati, walikota, anggota parlemen, dirjen, direktur, dan kepala dinas yang ditangkap dan dipenjarakan karena kasus korupsi penyelewengan danadana publik. Termasuk pula para pengusaha swasta yang berkolaborasi dengan mereka semua. Sekaliannya sudah mendapatkan ganjaran hukum yang setimpal dengan perbuatannya. Karenanya, anggaran pemerintah sekarang ini tak hanya harus “dipertanggung jawabkan” semata tetapi harus juga mampu “dipertanggung gugatkan” kepada publik. Tak cukup dengan “responsibility” belaka tapi harus pula dengan “accountability” yang jelas. Itupun masih belum cukup. Anggaran pemerintah harus disampaikan secara transparan kepada masyarakat luas. Bila prinsip akuntabilitas dan transparansi anggaran tidak terpenuhi maka jangan harap masyarakat akan mendukung jalannya roda pemerintahan. Bila nirakuntabilitas dan nir-transparansi yang terjadi maka disitu sedang terjadi korupsi anggaran. Dan setelahnya, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan akan menjadi keniscayaan yang akan terjadi dengan sendirinya. Dan sesudahnya, akronim-akronim seperti Bareskrim, Jampidsus hingga KPK akan bergiliran memenuhi ruang “pro justitia” sampai berakhirnya semua pelaku meringkuk di kamar “hotel prodeo”. Jadi, kalimat “bayarkan pajaknya dan awasi penggunaannya” sebenarnya sudah berjalan di masyarakat. Dan, saya haqqul yakin bila kedepan hal ini akan terus meningkat intensitas dan realisasinya di lapangan.
Yang membuat saya jengah adalah ada kata-kata yang sengaja dihilangkan disana. Kalau mau fair dan jujur seharusnya bunyi iklan tersebut dirubah menjadi seperti ini “lunasi pajaknya, awasi pengumpulannya, dan awasi penggunaannya”. Dengan demikian seluruh proses sejak dari pembayaran, pengumpulan, hingga kepada penggunaan pajak secara lengkap harus ditingkatkan kualitas, akuntabilitas, dan transparansinya. Dengan demikian pula, himbauan yang baru tersebut akan memberikan tekanan kepada seluruh stakeholder yang terkait. Kepada masyarakat agar selalu membayar pajak dengan tepat jumlah dan tepat waktu. Kepada Ditjen Pajak agar selalu mengumpulkan pajak dengan kerja keras, menghitung jumlah pajak yang terkumpul dengan jujur, dan melaporkan jumlah pengumpulan pajak secara transparan. Kepada seluruh kementerian/lembaga dan satuan kerja perangkat daerah agar selalu menggunakan anggaran yang salah satunya berasal dari uang pajak dengan bijaksana, efektif, sekaligus efisien. Kepada lembaga audit keuangan negara, lembaga penegak hukum, lembaga profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat agar terus menerus meningkatkan intensitas pengawasan, pemeriksaan, dan penegakan hukum terhadap pengumpulan pajak dan penggunaannya. Tetapi dari seluruh stakeholder yang terkait, yang pertama kali harus membuktikan performansi, integritas, dan kredibilitasnya adalah justru Ditjen Pajak sendiri. Kenapa? Karena selama berpuluh tahun lamanya di masyarakat luas terdapat kecurigaan dan ketidakpercayaan yang kuat bahwa aparat dan lembaga Ditjen Pajak selalu curang dan gampang menyelewengkan kekuasaannya untuk mengumpulkan, menghitung, dan melaporkan jumlah pajak dengan benar dan tepat jumlahnya. Bukankah sudah menjadi rahasia umum bahwa pembayaraan pajak dan penyelesaian sengketa pajak bisa dinegosiasikan dan “diatur secara adat” dengan aparat Ditjen Pajak. Bukankah sudah menjadi isu publik bila aparat Ditjen Pajak hidupnya selalu enak dan mewah diatas ratarata pegawai negeri pada umumnya yang hanya mengandalkan gaji bulanan semata-mata. Bukankah sudah menjadi cerita dimana-mana bila selama ini banyak orang tua yang berharap dan berdoa agar anaknya bisa diterima dan bekerja di Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai, ataupun di Bank Indonesia agar mampu hidup berkecukupan sekaligus mampu membahagiakan keluarganya kelak. Diakui atau tidak, dalam alam bawah sadar masyarakat telah terdapat persepsi yang kuat bahwa di ketiga lembaga itulah “peluang” dan “kemungkinan” untuk mendapatkan kekayaan ekstra diluar gaji bulanan sangat besar dan terbuka lebar.
Saya menyarankan agar Dirjen Pajak ataupun Menteri Keuangan sejak sekarang harus bekerja keras membuktikan kepada rakyat bahwa jajaran aparat perpajakan mampu mewujudkan kinerjanya sebagai pengumpul pajak yang hebat dan profesional. Yang memiliki kejujuran dalam menghitung pajak yang terkumpul. Dan, yang dapat menghasilkan laporan pengumpulan pajak yang bisa dipercaya semua orang. Mau tidak mau, kerja keras itu harus dilakukan karena selama ini mereka telah menerima gaji (baca: remunerasi) yang jauh lebih tinggi ketimbang pegawai negeri sipil lainnya di negeri ini. Suka atau tidak suka, anda berdua harus terlebih dahulu menerapkan “disiplin dan penertiban yang keras” terhadap anak buah sekaligus melakukan “pembersihan dan reformasi total” di dalam kantor sebelum “berkoar-koar” mengejar-ngejar masyarakat untuk taat bayar pajak tepat waktu dan tepat jumlah lewat berbagai iklan layanan masyarakat yang menyesatkan dan membodohkan akal sehat. Akhirul kalam, Pak Dirjen dan Bu Menteri tampaknya anda berdua harus interospeksi diri, mawas diri, rendah hati sekaligus menyadari bahwa reformasi birokrasi yang dijanjikan dan tengah dijalankan serta tingginya renumerasi yang telah diterima ternyata belum sepenuhnya terbukti keberhasilannya. Kenapa? Karena “Markus” dan “Gayus” ternyata masih banyak bermunculan dan bergentayangan di kantor anda meskipun gaji dan tunjangannya sudah tinggi. Tanpa kesadaran seperti ini saya takut jangan-jangan nantinya justru anda berdua yang pertama kali akan “diawasi” sekaligus akan “ditertawakan” oleh masyarakat. Kalau ini yang terjadi, apa kata dunia! Menteng, Jakarta, April 2010
KEKERASAN YANG TELANJUR AKRAB
Beberapa hari yang lalu Tanjung Priok bergejolak. Setelah sekian puluh tahun lamanya. Mungkin modusnya berbeda. Mungkin fokusnya tak sama. Mungkin ”trigger” nya pun lain. Pun, zaman sudah berubah. Tapi ada yang tak berubah. Perusakan dan kerusakan menjadi ”pertunjukan” yang telanjang. Korban luka dan orang mati menjadi semacam ”reality show” yang nyata. Semuanya jelas. Semuanya kasat. Yang tak pernah berubah adalah kekerasan yang ada. Yang sama adalah kesia-siaan, kengerian, sekaligus kepiluan. Dan juga, kegagalan. Selalu saja kita tak pernah berhasil mengelola perbedaan. Sekaligus gampang terjerembab kedalam kekerasan. Konflik yang muncul begitu mudah jadi anarki. Karenanya, insiden Tanjung Priok seperti menjadi repetisi historis yang setiap saat bisa terjadi. Dan, sampai hari ini kita pun gamang karenanya. Sejarah telah salah mengajarkan kepada kita tentang betapa mudah sekaligus ”enteng” nya kekerasan digunakan sebagai solusi yang instan. Meski sejarah telah banyak pula mengajarkan tentang kearifan hidup. Maka, kita bisa memahami perbuatan Amangkurat yang telah memancung sekian puluh leher rakyatnya dengan penuh amarah di alun-alun keraton. Sebuah arogansi (atau kegilaan) kekuasaan yang ingin dibuktikan sang penguasa kepada rakyat yang dikuasainya. Absolutisme kekuasaan memang biasanya gampang bersentuhan dan berkelindan dengan kegilaan. Sama seperti Hitler yang dengan entengnya memerintahkan pengiriman sekian ratus ribu kaum Yahudi Eropa ke kamar gas. Atau, Westerling yang menembak mati ratusan ”inlander” di lapangan terbuka demi menunjukkan bahwa kolonial Belanda harus ditakuti. Ataupun, Nero yang menyuruh membakar kota Roma hanya karena ingin membangunnya dari awal dengan lebih indah dan megah. Sebuah pembuktian betapa mereka telah berkuasa dan memiliki kekuasaan untuk melakukan apa saja. Dengan akibat apapun.
Demikian pula politik. Kita bisa mengerti ketika Raden Wijaya yang memotong seluruh telinga bala tentara Tartar sebelum kembali ke Cina setelah sebelumnya dengan sukses mereka ”dikadali” untuk menyerang kerajaan lain. Sebuah diplomasi politik yang lugas sekaligus keras untuk memberikan jawaban yang tegas kepada Kaisar Ku Bilai Khan bahwa jangan sekali-kali berusaha menduduki dan menjajah tanah Jawa. Pun, kita bisa memaklumi pembantaian besar-besaran kaum komunis dan antek PKI oleh angkatan darat selepas peristiwa 65. Sebuah pesan politik yang jelas bahwa komunisme telah diharamkan dan ditetapkan secara sepihak sebagai bahaya laten yang harus diberangus di negeri ini. Pada titik kesadaran tertentu kita bisa memahami, mengerti, ataupun memaklumi anarkisme yang terjadi. Meski, tentu saja tidak mudah untuk menerimanya secara akal sehat dan fikiran waras. Teramat sulit bagi kita untuk mendukung apalagi menyetujuinya sebagai bentuk pemecahan terhadap sebuah masalah. Kita pun sukar untuk menerimanya sebagai sebuah justifikasi atas sebuah tindakan yang perlu dilakukan. Karenanya, saya salut kepada Gus Dur yang secara terbuka telah meminta maaf atas ”partisipasi” kaum NU (tepatnya Banser) yang telah ikut secara ”head to head” menumpas PKI. Meski secara politis NU seringkali dirugikan tapi Gus Dur sadar betul bahwa anarkisme tak bisa diterima dengan logika dan alasan apapun juga. Langkah politik Gus Dur pun akhirnya bisa memotong ”lingkaran setan” kesalahan politik masa lalu sekaligus mencegah terjadinya ”political revenge” yang lebih akut di masa depan. Tapi kekerasan tak melulu bersangkut paut dengan kekuasaan dan politik. Kesulitan hidup pun bisa menjadi pemicu terjadinya anarkisme sosial. Ketika kemarau terlampau panjang dan air terlalu sedikit mengalir maka kebutuhan untuk irigasi pertanian rentan menjadi konflik sosial antar petani yang gampang memakan korban. Kenyamanan hidup pun bisa meletupkan konflik. Kita mencatat betapa anak-anak muda usia tanggung di kawasan perkotaan telah terbiasa membentuk ”gang” sebagai sebuah kelompok yang cenderung ingin berhadapan dan bermusuhan dengan kelompok lainnya. Kenakalan remaja sekian lama telah berubah menjadi kebrutalan remaja. Sekolah, jalanan, terminal, area pentas musik, dan klub malam lantas menjadi ”panggung-panggung” dimana kekerasan anak muda ditunjukkan dan dipentaskan secara masif. Karena ”ruang-ruang publik” yang tersedia di kota untuk menyalurkan ”kemudaan” mereka telah hilang. Karenanya, dulu Bang Ali banyak membangun gelanggang remaja untuk meredam ”tawuran anak sekolah”
dan melokalisasikan mereka untuk berkreasi secara bebas dan positif dalam bidang seni dan olah raga. Sebuah solusi cerdas untuk menekan kriminalitas anak muda di Jakarta. Boleh jadi militerisme juga bisa disalahkan. Rasanya sampai saat ini seluruh partai politik besar selalu melengkapi organisasinya dengan semacam ”satgas” lengkap dengan seragam yang meniru militer. Karena bukan tentara perilaku mereka pun akhirnya cenderung menyimpang dan keras. Terutama saat musim kampanye pemilu. Demi mengamankan pesan atau tujuan politik tertentu barisan satgas partai dengan gampangnya mengobral kekerasaan. Kita masih ingat tentang betapa beringasnya ”Pam Swakarsa” bentukan militer pada masa awal reformasi yang berhadapan langsung dengan masyarakat sipil lainnya. Militerisasi masyarakat sipil yang dibungkus kepentingan politik akhirnya menjadi semacam anomali dalam kamus politik di Indonesia sampai saat ini. Lantas, agama juga bisa dikambinghitamkan atas nama anarkisme. Terbentuknya Jamaah Islamiyah, Front Pembela Islam, Lasykar Jihad, dan Barisan Pecalang di Bali adalah agregrasi dari digunakannya agama sebagai sebuah variabel sekaligus asumsi yang sepihak untuk menakar perilaku seseorang atau kelompok tertentu yang dipandang sebagai ”kafir”. Karenanya, agama lantas didegradasikan sebagai simbol yang anarkis dan lugas. Atas nama syariat Islam maka diskotik, karaoke, pub, kafe, dan tempat hiburan malam lainnya bisa digrebek, dirusak, ataupun dibakar. Atas nama syariat Islam pula maka kelompok yang dianggap ”sempalan” bisa diobrak-abrik secara paksa untuk disadarkan kembali agar tunduk dan tidak ”murtad” terhadap syariat yang baku. Pun, atas agama dan tradisi Hindu maka barisan pecalang sah-sah saja melakukan ”sweeping” untuk menentukan siapa yang musti boleh tinggal dan bekerja dengan leluasa di pulau Bali. Setelah Tanjung Priok bergejolak kita disadarkan bahwa keseharian hidup di negeri ini telanjur akrab bersangkut paut dengan kekerasan dalam segala bentuk dan segala alasannya. Sejarah, politik, budaya, dan kehidupan beragama selama ini telah memberikan kontribusi yang signifikan atas terjadi dan tumbuh suburnya anarkisme. Pemerintah, militer, sekaligus masyarakat sipil pun selama ini telah gagal mengelola perbedaan dan mengendalikan konflik secara wajar, sabar, damai, dan menggunakan akal sehat. Setelah Tanjung Priok bergejolak kita disadarkan bahwa sekarang ini kita butuh figur pemimpinpemimpin seperti Gus Dur dan Bang Ali yang berani dan tegas menghadapi konflik
namun sangat terbuka sekaligus cerdas untuk mengkonversi potensi konflik menjadi sebuah energi kreatif yang memberikan kedamaian sekaligus pencerahan di masyarakat. Tanpa pemimpin sekelas mereka rasa-rasanya kita harus siap-siap untuk menerima satu demi satu konflik akan menemukan panggungnya dan mementaskan anarkisme secara bergantian dan secara telanjang dihadapan kita. Masya Allah! Menteng, Jakarta, April 2010
SEBUAH MONUMEN, SEBUAH KEKONYOLAN, SEBUAH KEBODOHAN
Sebuah monumen tentunya berkaitan dengan persoalan yang serius. Pun, bersangkut paut dengan peristiwa sejarah yang penting. Jadi, pembangunan monumen adalah bentuk “penanda” terhadap masa lalu yang sangat berarti agar kelak generasi setelahnya akan mengingatnya sekaligus mengambil “lessons learned” ataupun barangkali mencontoh “best practices” dari jejak-jejak peristiwa masa silam. Boleh jadi, sebuah monumen adalah semacam agregasi sekaligus kulminasi dari berbagai spirit kuat dan pengorbanan besar yang telah lampau, yang kemudian direpresentasikan kedalam kekinian untuk kepentingan masa depan. Karenanya, Bung Karno membangun Tugu Monas sebagai penanda kemerdekaan negeri ini sekaligus sebagai pengingat bahwa kemerdekaan negeri ini harus terus menerus dipertahankan. Juga, patung pembebasan Irian Barat dari kolonialisme Belanda yang berdiri kokoh di lapangan Banteng. Sebuah simbol yang lugas dan tegas bahwa rantairantai penjajahan di bumi papua telah berhasil diputuskan oleh patriot-patriot tanah air. Karenanya, tak boleh ada lagi “neo-kolonialisme” di negeri ini dalam bentuk apapun. Jadi, sebuah monumen harus memiliki “justifikasi historis” yang kuat sekaligus “tampilan arsitektural” yang indah, megah, berkarakter, dan punya ciri khas yang jelas. Tanpa itu semua, sebuah monumen hanyalah seonggok bangunan fisik yang mati, kaku, dan tak punya arti apa-apa. Tapi, bagaimana menjelaskan sebuah monumen di Kediri yang telah dibangun seorang bupatinya? Adalah seorang Sutrisno, sang bupati yang telah menggagas monumen Simpang Lima Gumul sejak tahun 2003 dan menyelesaikan pembangunannya pada tahun 2008. Bangunan yang berjarak dua kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Kediri ini sangat mirip (baca: mencontek habis) dengan monumen Arch de Triomphe yang berada
tepat di jantung simpang lima kota Paris, Perancis. Karenanya, monumen Simpang Lima Gumul yang tepatnya berada desa Tugu Rejo, kecamatan Ngasem ini pun diletakkan dalam koordinat di tengah-tengah lima jalur jalan ke arah Pare, Kediri, Plosoklaten, Pamenang, dan Pesantren. Selain itu, monumen Simpang Lima Gumul juga dimaksudkan sebagai “pengingat” terhadap niat Raja Kediri yang ingin menyatukan “lima” wilayah di Kerajaan Kediri pada abad keduabelas. Luas bangunan utama monumen Simpang Lima Gumul sekitar 804 meter persegi. Tinggi bangunannya mencapai 25 meter dan disangga tiga tangga setinggi 3 meter dari lantai dasar. Angka-angka itu menggambarkan tanggal, bulan, tahun, hari jadi Kabupaten Kediri, yakni 25 Maret 804 Masehi. Supaya tidak terlalu “mirip habis” dengan Arch de Triomphe maka relief di dinding luar monumen dibentuk untuk menggambarkan budaya kehidupan sehari-hari masyarakat Kediri, sementara di luar monumen diletakkan empat patung Ganesha di masing-masing sudut bangunan. Dan, supaya lebih fungsional maka di dalam monumen dibangun berbagai fasilitas antara lain ruang pertemuan di gedung utama, "auditorium hall" di lantai atas yang beratap “dome” serta ruangan untuk diorama, dan ruang serba guna di lantai dasar. Juga, tak ketinggalan sebuah “mini market” dan sebuah kantor yang digunakan salah satu stasiun televisi lokal Jawa Timur. Bukan hanya itu saja. Setiap malam minggu di kawasan monumen Simpang Lima Gumul dipentaskan berbagai hiburan, kesenian tradisional, dan tak ketinggalan pasar malam. Padahal Arch de Triomphe sendiri adalah sebuah gapura besar yang dibangun pada tahun 1806 atas titah kaisar Napoleon Bonaparte sebagai simbol kemenangan Perancis sekaligus penghormatan atas jasa-jasa dan keberanian bala tentara (grand armee) kekaisaran Perancis yang memenangi berbagai peperangan di Eropa. Nama lengkapnya adalah Arch de Triomphe de l'Étoile. Karena berdiri ditengah-tengah kawasan Place de l'Étoile. Tepatnya, di ujung barat kawasan Avenue des Champs Élysées dan tepat ditengah-tengah di persimpangan lima jalan raya. Secara harafiah, Arc de Triomphe berarti gapura kemenangan. Karenanya, monumen ini dibangun setelah kemenangan pasukan Napoleon dalam peperangan di Austerlitz.
Informasi dari Wikipedia menyebutkan bahwa Arc de Triomphe pertama kali diarsiteki oleh Jean Francois Chalgrin, yang lantas diteruskan oleh Jean-Nicolas Huyot. Pembangunannya pun sempat dihentikan selama masa restorasi Bourbon. Dan, kemudian diteruskan, diselesaikan, dan diresmikan oleh Louis-Philippe pada tahun 1836. Tinggi bangunannya sekitar 55 meter dan lebarnya sekitar 45 meter. Terdapat enam relief dasar yang diukir di empat sisi yang menggambarkan perkembangan masa revolusi dan masa kekaisaran Perancis. Bangunan ini juga dihias dengan 30 perisai dan pedang. Dibawah lengkungan besar, dan diatas perisai terukir nama-nama perang besar yang terjadi selama periode tersebut. Pada bagian lengkungan kecil terdapat nama-nama tokoh sejarah, sementara nama-nama korban yang meninggal digarisbawahi. Dibawah lengkungan monumen terdapat makam prajurit tak dikenal. Dari keterangan diatas jelaslah sudah bahwa Arc de Triomphe - yang notabene dijiplak habis-habisan oleh monumen Simpang Lima Gumul - bukanlah sekedar monumen tapi lebih dari itu sebuah tonggak sejarah yang sangat berarti bagi Paris dan Perancis. Lantas, bagaimana dengan monumen ala Sutrisno di Kediri? Saya sendiri tak habis mengerti kenapa monumen semacam itu perlu dibangun di negeri ini. Pertama, monumen ini tak punya sedikitpun orisionalitas aristektural. Sutrisno hanyalah pencontek yang kebablasan. Alih-alih mengadopsi arsitektur tradisional yang lebih berpijak di bumi sendiri, Sutrisno malahan menggunakan arsitektur Eropa yang tak ada penjelasan estetika dan kaitan sejarahnya dengan kebudayaan di Kediri. Kedua, monumen ini terkesan konyol karena mencampuradukkan cita rasa bangunan Eropa yang tanggung dengan racikan lokal yang teramat canggung secara tradisional. Sangat terasa bahwa relief di monumen Simpang Lima Gumul seperti tempelan fisik yang tak berjiwa dan tak logis secara historis. Saya membayangkan seharusnya relief yang ada harus mampu menggambarkan kebesaran Raja Kediri sekaligus kehebatan Kerajaan Kediri secara totalitas. Ketiga, monumen ini terkesan membodohkan rakyat. Bukankah berbagai peninggalan artefak yang ada di negeri ini telah terbukti memiliki ciri khas dan karakteristik yang sangat kuat sekaligus telah diakui keindahannya oleh dunia. Borobudur dan Prambanan adalah contoh terbaik bagaimana sebuah monumen harus dibangun. Pada kedua candi itu bahkan orang awam pun dapat belajar sejarah secara mudah sekaligus bisa mengagumi keindahan dan keaslian aristektur tradisional secara gampang. Kenapa bentuk dan pola arsitektur kerajaan hindu atau budha yang selama ini telah mewarnai berbagai peninggalan
arkeologis di negeri ini tidak lantas dijadikan “role model” untuk membangun sebuah monumen yang mampu mengekpslorasikan kehebatan salah satu kerajaan penting di Jawa. Keempat, saya tak habis pikir kenapa monumen “kampungan” seperti ini bisa dibangun pada zaman reformasi seperti sekarang ini. Pertanyaannya, kemana suara-suara politisi, akademisi, mahasiswa, dan lembaga swadaya masyarakat selama ini hingga semuanya diam dan mengamini pembangunan monumen “antah berantah” ini. Apakah sedemikian hebatnya seorang Sutrisno hingga mampu tak hanya menjadi seorang bupati tetapi juga mampu “menyihir” dan berhasil “membungkam” suara-suara minor yang menentang pembangunan monumen ini. Kalau gejala ini diteruskan. Dan, kalau prakarsa seperti ini terus menerus didiamkan dan disetujui. Saya khawatir nantinya akan banyak lagi bupati, walikota, dan gubernur yang membangun monumen di daerahnya dengan memindahkan dan mencontek berbagai monumen yang ada di Eropa dan Amerika lantas dimodifikasi seperlunya dengan kandungan tradisi lokal. Bila ini terjadi maka anda semua harus siap dan jangan kaget bila tiba-tiba telah terbangun semacam menara Eiffel, tugu miring Pisa, Coloseum Roma, menara Big Ben, gedung White House, dan gedung Capitol yang dicampuradukkan dan “ditempeli” dengan ornamen-ornamen tradisional hanya sekedar untuk mengenang sebuah peristiwa sejarah di daerah. Anda pun harus siap apabila di Banda Aceh akan dibangun monumen menyerupai Ka’bah dan Masjidil Haram untuk menandai bahwa bumi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai “Serambi Mekkah” ataupun akan dibangun monumen semacam Masjid Qubbah As Sakhrah (Dome of the Rock) di Jerusalem, Palestina atau Masjid Sultan Ahmad (Blue Mosque) di Istambul, Turki, untuk menandai bahwa di tanah Aceh telah berlaku syariat Islam. Pun, anda jangan kaget bila di kota Manado, Ambon, atau Kupang akan berdiri monumen gereja yang menyerupai katedral Notre Dame di Paris atau Saint Peter’s Basilica di Vatican, Italia, untuk menandai mayoritas umat kristen disana. Akhirul kalam, supaya kita semua tidak konyol, bodoh, dan “keblinger” maka ada baiknya mulai sekarang kita (dan terutama Sutrisno) harus mengunjungi masjid Said Naum karya Adhi Moersid di Tanah Abang, Jakarta yang memenangi The Aga Khan Award for Architecture Honorable Mention. Menara Masjid Kudus yang dibangun Ja’far Shadiq
atau Sunan Kudus, yang mampu menyandingkan budaya Islam dan Hindu sekaligus. Gereja Sendang Sono karya Romo Mangunwijaya di Kulon Progo, Yogyakarta, yang mampu menyandingkan spiritualitas katolik dengan unsur arsitektur Jawa dan harmonisasi dengan lingkungan alam perdesaan. Atau, kalau masih belum puas silahkan berkunjung ke Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana di Jimbaran, Bali untuk melihat kemegahan patung raksasa replika Dewa Wisnu yang menunggangi burung garuda karya I Nyoman Nuarta. Kunjungan ke beberapa tempat diatas “insya Allah” akan membuat kita semakin cerdas, bijak, dan hati-hati untuk tidak gampang membuat sebuah monumen yang “asal-asalan” atau membangun sebuah “penanda sejarah” yang hanya asal jadi, atau, asal beda, atau malah asal njiplak! Menteng, Jakarta, Mei 2010
SEKALI BERARTI, SUDAH ITU MATI
Dalam sajaknya yang berjudul “Diponegoro” penyair Chairil Anwar telah menyuratkan sendiri takdirnya dengan lugas. Sekali berarti, sudah itu mati. Sebuah kalimat yang bisa menyemangati perjuangan orang banyak. Sekaligus mampu mencambuk diri sendiri untuk memberikan apa yang terbaik dalam hidup. Meski tak sempat melihat hasilnya dengan mata kepala sendiri. Karenanya, jalan hidup Chairil Anwar mungkin seperti meteor yang melesat jatuh dari angkasa dan bersinar terang meski hanya sebentar. Karenanya, sinar pesona Chairil Anwar memang benar-benar menyilaukan jagat sastra Indonesia pada waktu itu. Bahkan, H.B. Jassin, sang paus sastra kita pun lantas merasa perlu dan berkepentingan untuk mentahbiskannya sebagai salah satu pelopor Angkatan 45 sekaligus sebagai peletak dasar puisi modern Indonesia. Tapi, tak seperti meteor yang cepat padam. Kemilau sinar pesona Chairil Anwar masih menyala terang hingga saat ini. Yang padam hanyalah bilangan umur Chairil Anwar yang kelewat pendek. Sang “penguak takdir” yang lahir pada 26 Juli 1922 di Medan akhirnya harus menghembuskan nafas terakhirnya di Jakarta pada 28 April 1949. Usia yang belum genap 27 tahun. Sekali berarti, sudah itu mati. Tuberkulosis dan penyakit lainnya akhirnya mengantarkan sang “binatang jalang” menuju Karet pada umur yang masih sangat muda. Dan sesudahnya, pengaruh Chairil Anwar masih menancap kuat di gelanggang sastra tanah air hingga detik ini. Dan hebatnya, belum mati-mati hingga kini. Sama seperti Chairil, sosok Soe Hok Gie adalah seorang yang punya nyali dan keberanian besar, percaya diri tinggi, kecenderungan untuk memberontak, sangat idealis, tapi juga sekaligus faham realitas sehari-hari. Karenanya, Gie menulis dalam buku hariannya kalimat-kalimat yang lugas seperti ini “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami
katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah
air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung”. Karenanya, Gie menyerang Soekarno sekaligus Soeharto. Kritiknya tajam, pedas, dan lugas. Bahkan, semua teman Gie sesama aktivis mahasiswa yang saat itu telah duduk menjadi anggota parlemen di zaman awal Orde Baru dikirimi “lipstik dan beha” supaya mereka “berdandan” hingga kelihatan “cantik dan manis” dihadapan penguasa. Gie melakukan itu semua karena “jengah” melihat teman seperjuangannya hanya duduk manis di parlemen tanpa sedikitpun pernah bersuara lantang untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Sama seperti Chairil, Gie pun tak sempat melihat hasil perjuangannya. Gas beracun di puncak gunung Semeru telah menamatkan usia Gie dan sahabatnya, Idhan Dhanvantari Lubis, tepat tiga hari sebelum ulang tahunnya yang ke-27. Karenanya, dalam buku hariannya, Gie menulis dengan meminjam kata-kata seorang filsuf Yunani “nasib terbaik
adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua, rasa-rasanya memang begitu, bahagialah mereka yang mati muda”. Buku harian yang kemudian diterbitkan dengan judul “Catatan Seorang Demonstran”. Gie sekaligus buku hariannya lantas menjadi sedemikian fenomenal. Gie kemudian dikenal sebagai “ikon” aktivisme mahasiswa sekaligus “simbol” seorang demonstran sejati. Dan, buku hariannya kemudian menjadi semacam “text book” yang menjadi inspirasi di kalangan aktivis mahasiswa.
Keresahan dan kegelisahan yang sama juga dirasakan oleh Ahmad Wahib. Tapi dalam bentuk yang lain. Dalam buku hariannya, Ahmad Wahib menulis kalimat “ Aku bukan
nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudahmudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia”.
Ahmad Wahib selama kuliah di Yogyakarta aktif dalam organisasi sekaligus kelompok studi. Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam tapi berani “indekost” di Asrama Katolik Realino. Aktif dalam pergulatan kebudayaan dan pemikiran Islam tapi sangat terbuka dan toleran. Dalam konteks inilah, Wahib digolongkan sebagai pemikir Islam yang berani sekaligus liberal, yang lincah dan tanpa ragu menerobos batasan-batasan fanatisme yang sempit. Ini tercermin dari kalimat dalam buku hariannya “ Cara bersikap kita terhadap ajaran Islam,
Qur’an dan lain-lain sebagaimana terhadap Pancasila harus berubah, yaitu dari sikap sebagai insan otoriter menjadi sikap insan merdeka, yaitu insan yang produktif, analitis dan kreatif”.
Kumpulan catatan permenungan singkat dalam buku hariannya kemudian diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam”. Sebuah buku lain yang lantas juga menjadi semacam “text book” yang wajib hukumnya untuk dibaca aktivis mahasiswa muslim. Wahib dan bukunya pun dicatat sejarah sebagai salah satu tonggak penting yang meletakkan liberalisasi pemikiran Islam di Indonesia. Tapi, Wahib pun bernasib sama dengan Chairil dan Gie. Kematian yang ironis telah merenggut nyawanya sebelum usia 31 tahun. Bila Chairil mati diterkam tuberkulosis. Bila Gie mati disergap gas beracun. Wahib lebih konyol lagi, mati karena kecelakaan kendaraan bermotor. Charil Anwar, Soe Hok Gie, dan Ahmad Wahib telah membuktikan bahwa sebuah keberanian harus diungkapkan secara lugas, sebuah gagasan dan pemikiran harus dilontarkan secara berani, dan sebuah sikap harus diwujudkan secara jujur. Selebihnya, biarlah sejarah yang sibuk mencatatnya. Setelahnya, biarlah orang yang suntuk mengingatnya. Ketiganya telah memberi pelajaran penting kepada kita semua tentang spontanitas, orisinalitas, dan vitalitas yang meluap-luap dalam relativitas kehidupan yang teramat singkat dan kejam. Puisi dan catatan harian mereka menjadi daya ungkap yang tepat sekaligus daya dobrak yang kuat untuk melawan tirani “kemandegan” dan jebakan “kenyamanan” sekaligus mampu menjadi “benih-benih” yang bernas untuk perubahanperubahan penting di tanah air setelahnya. Puisi dan catatan harian mereka menjadi medium penyaluran yang pas dari “kegelisahan jiwa muda” sekaligus dari “keberanian tenaga muda” yang membuncah. Barangkali, puisi dan buku harian mereka bukanlah sebuah adikarya yang tuntas. Tapi, siapapun tak bisa menyangkal bahwa puisi dan buku
harian mereka sangat pantas dan menjadi sesuatu yang sangat berarti sebagai inspirasi untuk lahirnya karya-karya besar di negeri ini. Spontanitas, orisinalitas, dan vitalitas. Sekali lagi, sekarang kita berhutang tiga hal tersebut kepada Chairil Anwar, Soe Hok Gie, dan Ahmad Wahib. Ketiga perihal yang pelan-pelan mulai digantikan dengan rekayasa, pencitraan, siasat, tipu muslihat, kebohongan publik, semangat untuk mengekor, dan keinginan untuk menjiplak hingga kita kehilangan “jati diri” sebagai bangsa besar dan merasa nyaman untuk menyerahkan seluruh keputusan penting dalam hidup kita kepada orang lain, kepada negara lain, kepada bangsa lain, hingga kita kehilangan “kepercayaan” untuk menyelesaikan seluruh persoalan dengan berani tegak “berdiri diatas kaki sendiri” dan berani “menguak takdir” dan “menentukan nasib” di tangan kita sendiri. Bila itu semua terus terjadi maka rasarasanya kita jauh lebih tragis ketimbang Chairil Anwar, Soe Hok Gie, dan Ahmad Wahib: kita tak pernah menghasilkan sesuatu yang berarti dan kita terlalu lama hidup dalam kesia-siaan…………………………….
Menteng, Jakarta, Mei 2010
JANGAN PERNAH (BERHENTI) MENCINTAI AMERIKA
Sri Mulyani Indrawati (SMI) telah mengundurkan diri. Empat perihal telah tersampaikan. Integritas, profesionalisme, keberanian, dan rasa cinta kepada tanah air. Paling tidak, itulah yang telah disuarakan para pembela “bu ani” kepada publik. Dengan jejak rekam yang dimilikinya selama ini siapapun memang tak bisa membantah bahwa SMI memiliki integritas yang sedemikian tinggi sekaligus sangat profesional. Bahkan, SBY memuji habishabisan sekaligus menasbihkan sebagai salah satu putri terbaik negeri ini. Sebuah pujian sekaligus pembelaan ketika kasus Century mulai dipersalahkan secara politik. Pujian dari media internasional pun sebelumnya bertubi-tubi ditujukan kepadanya. Singkatnya, SMI adalah sosok “menkeu” terbaik sekaligus salah satu dari sedikit orang yang mampu membawa “pengaruh” vital dan signifikan terhadap dunia. Soal keberanian, siapapun tahu kalau SMI punya nyali untuk menyuarakan keyakinannya secara lugas, tegas, dan konsisten. Tak kurang dari mantan menteri dan mantan wakil presiden pernah dibuat “sewot” dengan keberaniannya yang ditunjukkan secara blakblakan dan tanpa basa-basi. Bahkan, dalam sebuah sesi pada rapat kerja presiden dengan seluruh gubernur beberapa waktu yang lalu di Istana Tampak Siring, Bali, SMI bahkan secara lugas berani “menegur” wakil presiden agar tidak memberikan tanggapannya dalam forum yang kebetulan sedang dipimpinnya. Apa nggak hebat, menteri kok berani melarang bicara wakil presiden. Itulah beberapa contoh keberanian seorang SMI. Lantas, soal cinta kepada tanah air, SMI pun secara verbal mengatakannya kepada pers dalam sebuah wawancara segera setelah mundur dari jabatannya. Dengan berbagai masalah yang telah dihadapinya, SMI berpesan agar “kita” tak pernah berhenti mencintai Indonesia. Dan, rasa cinta itulah yang harus diwujudkan dalam bentuk kerja keras untuk mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih dan pasar yang sehat.
Perihal integritas, profesionalisme, keberanian, bahkan kesederhanaan saya sepenuhnya setuju dengan para pendukung SMI. Tapi, soal cinta kepada tanah air rasa-rasanya saya belum pernah mendapatkan bukti empiris yang kuat dan “track record” yang jelas bahwa seorang SMI memang memiliki nasionalisme yang tinggi terhadap negerinya sendiri. Secara substansial, saya belum pernah mendengar gagasan SMI sebagai seorang ekonom tentang “nasionalisme ekonomi”. Sebuah idealisme untuk membangun kekuatan ekonomi nasional yang tangguh dihadapan ancaman globalisasi yang semakin menggila. Sebuah kebijakan yang bersifat “affirmative action” untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing pelaku ekonomi domestik untuk mampu melakukan kegiatan ekonomi produktif secara profesional dan berkelanjutan serta mampu melakukan penetrasi dan ekspansi ke pasaran internasional secara signifikan. Sebuah kebijakan ekonomi makro yang dibarengi dengan kebijakan ekonomi mikro yang seimbang sehingga secara makro perekonomian kita sehat dan secara mikro bisnis kita berkembang. Paling tidak, hal-hal seperti itulah yang selama ini belum pernah sekalipun saya dengar telah dilakukan oleh seorang SMI. Apakah permintaan saya terlalu berlebihan? Rasanya tidak! Kenapa? Karena, kekuasaan SMI sebagai menteri keuangan sangatlah luar biasa besar. Sedikitnya ada empat kekuasaan yang dipegang SMI yaitu, kekuasaan mengumpulkan penerimaan negara, kekuasaan mengelola kekayaan negara, kekuasaan mengelola kebijakan fiskal, dan kekuasaan mengawasi dan membina lembaga keuangan Singkatnya, seluruh urusan pendapatan, belanja, perbendaharaan, dan lembaga keuangan non bank berada ditangannya. Singkatnya, hanya urusan “uang” dalam arti moneter yang tidak dikuasainya. Hebat, nggak! Jadi, kalau saya berharap lebih dari seorang SMI adalah sangat wajar. Karena kekuasaan SMI memang sangat besar. Dalam soal penerimaan negara, SMI tergolong sangat “prudential” sekaligus “ortodoks”. Intinya, basis penerimaan pajak harus diperluas sekaligus proporsi penerimaan pajak dalam total penerimaan negara harus terus meningkat. Tapi hanya sampai disitu saja ceritanya. Tak lebih. Padahal, pajak dalam ilmu ekonomi bukanlah sesuatu yang “rigid” dan “steril”. Pajak adalah salah satu bentuk kewajiban warga negara untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada negara karena warga negara tersebut telah mendapatkan berbagai manfaat dari negara. Jadi, seluruh warga negara pada dasarnya adalah wajib pajak. Persoalannya, ada yang sudah mampu dan ada yang belum mampu membayar
pajak. Yang sudah mampu dikejar pajaknya secara intensif. Yang belum mampu diberikan subsidi agar mampu menjalankan kegiatan usaha produktifnya hingga kelak secara finansial mampu membayarkan pajaknya secara proporsional. Karenanya, subsidi dan atau keringanan pajak tidak tabu untuk diberikan kepada pelaku ekonomi, sektor ekonomi, atau lokasi dimana kegiatan ekonomi dilakukan. Petani dan nelayan kecil perlu diberikan subsidi pajak. Sektor ekonomi yang menyumbang devisa perlu diberi subsidi pajak. Daerah yang tertinggal, terpencil, ataupun daerah yang akan membangun atau mengembangkan kawasan ekonomi baru perlu pula diberi subsidi pajak. Dengan demikian, ada diferensiasi pajak antar pelaku ekonomi, antar sektor, ataupun antar daerah. Tergantung tingkat kemajuan dan kemampuannya secara finansial. Bukankah tanah air kita sangat heterogen tingkat perkembangan ekonominya? Mulai dari yang sangat maju dan modern hingga yang masih subsisten dan primitif. Untuk perihal ini, kebijakan SMI hanya satu, pajak yang “one size for all” atau pajak yang memiliki “one price for the whole nation”. Dalam soal belanja negara, SMI terkenal sangat disiplin dan kaku. Kalau kita lihat postur dan proporsi APBN dapat disimpulkan bahwa ada “sesuatu” yang dari dulu tak pernah berani “diutak-atik”, yaitu porsi cicilan hutang luar negeri. Artinya, kita selama ini (dan sampai saat ini) memang tergolong “good boy” yang selalu patuh dan rajin membayar cicilan hutang berikut bunganya secara tertib, disiplin, dan ajeg. Tak pernah sekalipun kita berusaha untuk meminta “keringanan hutang” atau “penjadwalan hutang” atau mengkaitkan hutang dengan persoalan lingkungan (debt swap) sehingga secara finansial hutang luar negeri tidak terlalu membebani APBN. Artinya, diplomasi politik ekonomi dalam pengelolaan hutang luar negeri kita selama ini sangat lemah atau barangkali memang tidak pernah kita lakukan. Karenanya, banyak pengamat ekonomi yang kritis menyebutkan bahwa manajemen hutang luar negeri kita selama ini seperti berada dalam keadaan “anomali” yang teramat susah untuk diubah. Dalam soal pengelolaan kekayaan negara, SMI terkesan hanya melanjutkan proses “asingisasi” terhadap sumber-sumber kekayaan yang telah dikuasai negara. Atas nama pasar, banyak “aset-aset” vital dan strategis nasional telah berpindah tangan kepada pihak asing dengan harga yang sangat murah dan tidak wajar. Perpindahan kepemilikan bank-bank swasta nasional - yang sebelumnya dikuasai negara melalui kebijakan rekapitalisasi perbankan sebagai akibat krisis moneter - kepada investor asing berjalan sangat mulus
dan cepat tanpa adanya valuasi yang cermat sekaligus evaluasi yang sangat hati-hati perihal dampak yang akan ditimbulkannya kelak. Faktanya, investor asing banyak yang membeli dengan harga murah plus masih menikmati fasilitas “dana rekap” dari APBN yang terus berjalan hingga sekarang. Semuanya bisa terjadi karena yang dikejar adalah “setoran” kepada APBN dari hasil penjualan saham-saham pemerintah di lembaga perbankan itu. Atas nama setoran kepada APBN pun pemerintah (baca: kementerian keuangan) pernah akan menjadikan kompleks kawasan olah raga Bung Karno (kompleks Senayan) sebagai “agunan” untuk menerbitkan obligasi negara. Bukankah seharusnya pemerintah mampu menginventarisasikan, memetakan sekaligus menertibkan legalitas seluruh kekayaan negara termasuk kekayaan alam baik yang sudah “existing” maupun yang masih potensial untuk kemudian disusun strategi pemanfaatan dan pengelolaannya secara tepat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat berdasarkan valuasi yang benar dan evaluasi yang tepat. Mana yang bisa dijual kepada investor asing, mana yang harus dijual kepada investor domestik, dan mana yang seharusnya masih tetap dikuasai oleh negara. Soal pembinaan lembaga keuangan, saya belum pernah mendengar adanya kebijakan SMI untuk menata sekaligus menyusun “arsitektur lembaga keuangan non bank” termasuk didalamnya lembaga keuangan mikro sehingga mampu menciptakan infrastruktur pembiayaan yang sistemik, profesional, dan berkelanjutan untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya kegiatan ekonomi produktif baik dikalangan usaha mikro, kecil, dan menengah. Dengan arsitektur lembaga keuangan non bank sekaligus infrastruktur pembiayaan yang kuat saya yakin bahwa kegiatan ekonomi produktif masyarakat akan lebih bergairah sekaligus kokoh. Dan, pada gilirannya kelak, itu semua akan menumbuhkan potensi sumbangan pajak yang sangat besar bagi negara. Soal atau perihal diatas hanyalah sebagian kecil yang tentunya bisa dikerjakan oleh seorang SMI. Bukankah ia adalah salah satu menteri keuangan terbaik di Asia? Bukankah ia adalah salah satu putri terbaik yang dimiliki Indonesia? Tentunya, masih banyak hal yang bisa dilakukan oleh seorang SMI dengan segala kekuasaannya (sekaligus kepintarannya) untuk benar-benar menjadi seorang “chief financial officer” yang mampu mengelola sumberdaya keuangan negeri ini guna mendorong tumbuh dan berkembangnya perekonomian nasional secara lebih sehat, kuat, berkeadilan, sekaligus berkelanjutan.
Tetapi, apabila kemudian yang terjadi hanyalah seorang SMI yang sekedar menjadi “juru bayar negara” dan “akuntan negara” yang teramat sibuk menjaga performansi ekonomi makro sekaligus teramat santai mendorong kinerja ekonomi mikro, yang selalu serius dengan penilaian internasional atas perekonomian domestik tapi mengabaikan kritikan dari dalam negeri, yang “keukeuh” membela kebijakan “bail out” Bank Century tanpa pernah berani memberikan penjelasan yang gamblang dan terbuka, yang sebagai “pejabat politik” tapi tak mau bertarung habis-habisan secara politis dengan parlemen dan malahan lebih suka menerima tawaran kerja di Amerika; maka dengan amat menyesal saya akhirnya menyatakan bahwa ternyata SMI memang belum menjadi seorang “menteri keuangan terbaik” yang pernah dimiliki Indonesia. Akhirul kalam, pesan saya untuk SMI hanya satu: jangan pernah (berhenti) mencintai Amerika. Kenapa? Karena, disana semuanya serba mudah, serba teratur, serba terukur, serba maju, dan serba profesional. Sedangkan disini segalanya masih susah, masih belum teratur, masih belum terukur, masih belum maju, dan masih belum profesional. Hanya dengan memahami silang sengkarut, centang perenang, coreng moreng, dan carut marut persoalan disini sekaligus berani bertahan hidup didalamnya dan berjuang tanpa putus asa untuk merubah keadaan maka rasa cinta kita kepada negeri ini akan benar-benar teruji dan tak akan pernah berakhir. Shall you return now, Bu Ani? Menteng, Jakarta, Juni 2010
ANALISIS YANG “MISKIN” TENTANG KEMISKINAN: CATATAN UNTUK FAISAL BASRI
Dalam sebuah kolomnya di koran Kompas beberapa waktu yang lalu, Faisal Basri - yang selama ini dikenal sebagai ekonom kritis - mempersoalkan tentang betapa salah arahnya strategi pembangunan kita sekarang ini. Sebagai akibatnya, pemerintah gagal menghapuskan orang miskin di negeri ini, yang sampai saat ini masih tersisa hingga sebanyak 35 juta jiwa, yang hidup dibawah garis kemiskinan absolut. Selanjutnya, Faisal Basri tak lupa membandingkan prestasi penanggulangan kemiskinan kita dengan beberapa negara di Asia Tenggara dan Asia Timur seraya menyimpulkan betapa selama ini kinerja penanggulangan kemiskinan kita tak cukup menggembirakan. Sebagai sebuah analisis ekonomi dari seorang ekonom kondang rasa-rasanya analisis Faisal Basri terkesan sangat “general”, meloncat-loncat, dan terlampau kering. Yang saya harapkan dari analisis seorang Faisal Basri tentang persoalan kemiskinan tentunya bukan hanya sekedar “display” data-data makro belaka tetapi jauh lebih dari itu saya berharap adanya analisis yang tajam dan kritis tentang kenapa hingga saat ini pemerintah masih gagal mengentaskan sebanyak 35 juta penduduknya dari kubangan kemiskinan. Padahal, selama ini jumlah anggaran yang telah digelontorkan untuk membiayai program penanggulangan kemiskinan sudah menembus angka ratusan trilyun rupiah. Tentu saja, saya berharap agar Faisal Basri tak cuma berkutat dengan angka-angka ekonomi makro dan melulu menyalahkan kebijakan ekonomi makro pemerintah. Tapi, saya menginginkan adanya telaah yang lebih mendalam tentang penyebab kemiskinan, tipologi kemiskinan, sekaligus solusi alternatif untuk menuntaskan masalah kemiskinan di negeri ini. Bukankah permintaan saya ini tidak berlebihan untuk seorang ekonom sekaliber Faisal Basri!
Kegundahan saya ini sangat beralasan. Kenapa? Karena perdebatan data-data makro dan kebijakan ekonomi makro tentang kemiskinan telah begitu lama dilakukan sejak tahun 1993. Tahun dimana Soeharto mulai memberikan perhatian tentang perlunya kebijakan khusus untuk mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan. Tahun dimana Soeharto mulai meluncurkan program penanggulangan yang cukup komplit, mulai dari memberikan bantuan modal, pembangunan prasarana dasar, dan pengerahan fasilitator untuk membantu kaum miskin. Bahkan, disaat negara Asia lainnya masih sibuk berkutat untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, Soeharto telah memulai langkah besar untuk tidak saja mengakui bahwa di negerinya masih banyak penduduk miskin tetapi juga berkeinginan untuk memerangi dan mengurangi persoalan kemiskinan secara nyata dan langsung. Karenanya, sejak tahun 1993 telah terjadi “kesadaran baru” di kalangan pemerintah sekaligus kalangan non pemerintah tentang perlunya upaya ekstra keras untuk terus menerus mengurangi jumlah orang miskin di Indonesia. Sejak tahun itu pula telah berkembang berbagai analisis yang kaya dan beragam tentang kemiskinan dan orang miskin. Lagi-lagi, kegundahan saya ini sangat beralasan. Kenapa? Karena setelah hampir dua puluh tahun ternyata masih saja ada analisis tentang kemiskinan yang begitu “miskin” dan sangat elementer yang ditulis seorang ekonom ternama. Faisal Basri sekarang ini terkesan “sangat malas” untuk lebih mengulas tentang fenomena kemiskinan yang lebih detail sekaligus untuk mengkaji lebih kritis kenapa kebijakan penanggulangan kemiskinan selama ini masih terkesan sentralistik, formalistik, dan generik untuk seluruh daerah di Indonesia. Seorang Faisal Basri seharusnya mengkritisi penggunaan hutang luar negeri sebagai sumber dana untuk membiayai program penanggulangan kemiskinan sekaligus mewaspadai betapa masih kuatnya tekanan lembaga internasional dalam formulasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan kita sampai saat ini. Seorang Faisal Basri seharusnya mempersoalkan kenapa “menu-menu” yang ditawarkan dalam program penanggulangan kemiskinan sampai saat ini masih yang “itu-itu” saja. Bukankah kemiskinan itu merupakan persoalan yang “unik” sekaligus “lokal” sehingga memerlukan solusi yang khas, yang harus dikembangkan oleh pemerintah atau masyarakat lokal. Karenanya, untuk membasmi masalah kemiskinan tak ada “obat generik” yang ampuh untuk semua orang dan semua daerah. Kenapa seorang Faisal Basri tak menganalisis tentang perlunya desentralisasi penanganan masalah kemiskinan secara total kepada
pemerintah daerah sehingga dana untuk penanggulangan kemiskinan bisa dimasukkan secara integral kedalam Dana Perimbangan yang ditransfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sekali lagi, kegundahan saya ini sangat beralasan. Kenapa? Karena Faisal Basri sama sekali tak menganalisis tentang pemetaan masalah kemiskinan secara sektoral sehingga persoalan kemiskinan akan dapat pula diselesaikan secara sektoral pula. Bukankah International Labor Organization telah lama menyarankan bahwa solusi yang ampuh untuk menanggulangi kemiskinan adalah kerja, kerja, dan kerja! Artinya, akses terhadap sumbersumber penghidupan merupakan hal yang sangat vital untuk mengangkat derajat kaum miskin agar lepas dari jebakan kemiskinan yang akut. Bukankah, Marguerete Robinson lewat bukunya “Revolusi Keuangan Mikro” telah lama menyarankan pemetaan yang tuntas secara sektoral terhadap jenis kemiskinan yang sehingga penyelesaian masalah kemiskinan harus dilakukan secara “spesifik” sesuai dengan kondisi dan tuntutan persoalan dari berbagai jenis penyebab kemiskinan. Mulai dari yang paling rendah lewat subsidi pangan dan kesehatan untuk kaum “the poorest of the poor” hingga yang telah melewati garis kemiskinan melalui akses terhadap kredit perbankan untuk memperkuat permodalan dari usaha ekonomi produktif yang dilakukan kelompok mikro. Dengan demikian tak ada lagi “solusi tunggal” untuk membereskan persoalan kemiskinan. Akhirul kalam, saya berharap agar seorang Faisal Basri untuk tidak malu lagi untuk “kembali belajar” tentang berbagai teori kemiskinan dan problematika kemiskinan di negeri ini sebelum menuliskan analisnya di sebuah harian ternama. Dengan demikian, saya berharap suatu saat analisis Faisal Basri tentang orang miskin dan kemiskinan di Indonesia akan jauh lebih tajam, lebih kritis, lebih detail, lebih aktual, lebih kontekstual, dan lebih komprehensif pula. Dengan tingkat pendidikan, kapasitas profesional, dan nama besarnya saya yakin seyakin-yakinnya bila Faisal Basri akan mampu melakukan itu semua. Tanpa itu, rasa-rasanya analisis seorang Faisal Basri hanya akan seperti “gonggongan anjing ompong” kepada “para kafilah” yang telah lama tidak mau mendengarkan suara-suara kritis serta selalu saja “keukeuh” untuk terus menerus melaksanakan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang hanya “itu-itu” saja dan hanya “mengulang-ulang” apa yang telah dilakukan Soeharto sejak dua puluh tahun yang lalu, tanpa menyadari bahwa apa yang sekarang dilakukan telah “ketinggalan
jaman” alias jadul. Rasa-rasanya seorang Faisal Basri tak akan rela dan ihklas apabila pada gilirannya kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah hanya sekedar bagian dari “proyek politik” yang bersifat artifisial dan yang berkesan populis serta hanya dilakukan sekedar untuk menjaga “image” bahwa pemerintah Indonesia telah memiliki “concern” dan komitmen untuk mewujudkan sasaran pembangunan milenium global kepada dunia internasional. Tak peduli apakah berhasil atau malah gagal sama sekali! Menteng, Jakarta, Agustus, 2010
NO CHANGE NO FUTURE: PELAJARAN DARI NATUNA
Biasanya tentara paling suka dengan semboyan. Bagi mereka, semboyan dibutuhkan untuk membangkitkan keberanian sekaligus menyurutkan ketakutan. Atau, untuk menguatkan keyakinan sekaligus mengurangi keraguan. Karenanya, semboyan menjadi semacam “amunisi” tambahan untuk menjaga moral dan semangat tentara. Saat saya mengikuti pendidikan pra jabatan di Resimen Induk Kodam Jaya, Condet, Jakarta beberapa tahun yang lalu, salah satu semboyan yang terpampang jelas di markas mereka berbunyi “Esa Hilang Dua Terbilang, Mati Satu Tumbuh Seribu”. Sebuah semboyan dengan “message” yang jelas dan lugas bahwa tentara kita punya nyali kuat dan pantang menyerah. Angkatan Laut pun punya semboyan yang gagah pula “Jalesveva Jayamahe” alias “Di Laut Kita Jaya”. Meski kita semua tahu, setelah reformasi justru di lautan kita yang berjaya malahan orang lain. Armada pencuri ikan sekaligus armada angkatan laut negeri jiran justru yang sering mengangkangi menyatroni teritorial kita. Meski bukan tentara, pasukan pemadam kebakaran kita pun punya semboyan yang tak kalah gagahnya. Pantang Pulang Sebelum Padam. Hebat khan! Yang mengagetkan saya, justru semboyan yang saya temui di pangkalan udara di kabupaten Natuna. Di pintu masuk pangkalan udara - yang sekaligus juga berfungsi sebagai bandara penerbangan sipil - terpampang tulisan “No Change No Future”. Saya kaget dua kali. Pertama, baru kali ini semboyan salah satu angkatan perang kita menggunakan bahasa Inggris. Kedua, semboyan itu jelas mengindikasikan adanya kebutuhan atau kemauan untuk melakukan perubahan alias reformasi. Sesuatu yang jarang terjadi di kalangan militer. Tapi, ternyata semboyan itu tak hanya sederetan katakata kosong. Atau, sekedar basa-basi. Ketika saya menunggu antrian untuk naik pesawat justru para tentara angkatan udara memberikan pelayanan yang optimal untuk para penumpang. Mulai dari pengaturan antrian, sopir bus bandara, sampai dengan petugas pengatur rambu keberangkatan pesawat. Mereka bersama pegawai sipil bahu membahu
memberikan pelayanan kepada seluruh penumpang. Betul-betul terkesan sebagai kerjasama militer-sipil yang ideal. Tanpa perubahan kita tidak akan memiliki masa depan. Menurut saya, semboyan itulah yang seharusnya terus menerus kita praktikkan. Apapun profesi kita. Dimanapun kita berada. Terlebih setelah reformasi. Terutama saat ekonomi kita masih belum pulih sepenuhnya dari krisis. Pemerintah, militer, swasta, ataupun unsur masyarakat lainnya harus melakukan perubahan dari waktu ke waktu bila memang masih ingin punya masa depan yang lebih baik. Tapi, dari Natuna saya belajar satu hal penting. Betapa selama ini kita lamban berubah. Malas merubah diri. Atau, malahan tak mau berubah sama sekali. Paradigma, strategi, dan kebijakan kita terhadap Natuna selama ini terkesan “biasa-biasa saja” alias Natuna kita perlakukan seperti layaknya “business as usual”. Selama puluhan tahun, perlakuan kita terhadapnya tak mengalami perubahan yang signifikan. Natuna kita administrasikan seperti kabupaten lainnya di Indonesia. Hanya sekedar sebagai daerah otonom. Padahal, dalam takaran geo-politik dan geo-ekonomi, bahkan geo-logi sekalipun, Natuna teramat “luar biasa” strategis posisi, potensi, dan fungsinya bagi kita semua. Pendeknya, di Natuna lah salah satu masa depan kita terletak dengan jelas dan terhampar dengan luas. Karenanya, negara (baca: pemerintah pusat) mutlak “eksis” dan hadir disana secara eksplisit dan kontinyu. Betapa tidak, Natuna adalah salah satu titik terluar negeri ini yang langsung berbatasan dengan Singapura, Malaysia, Vietnam, dan China sekaligus. Lantas, perairan laut Natuna begitu kaya deposit minyak, gas, sekaligus timah dalam jumlah yang raksasa. Jadi, paling tidak secara militer kalkulasinya adalah pangkalan armada barat angkatan laut harus secepatnya dipindahkan kesana. Plus, dilengkapi dengan penyediaan skuadron pesawat tempur canggih yang “ready to use” sekaligus “ready to attack” di pangkalan angkatan udaranya. Kalau perlu, segera dibentuk satu Kodam khusus sehingga lengkap sudah sistem pertahanan kita di Natuna, darat, laut, dan udara. Kemudian, dalam aspek geo-ekonomi, sudah saatnya Natuna ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang berbasis industri perminyakan dan gas, serta industri perikanan dan kelautan. Dengan demikian, Natuna akan menjadi sebuah “economic-military estate” yang modern dan strategis. Bersama-sama Batam dan Bintan, logikanya Natuna akan menjadi bagian dari sebuah
“Strategic Economic Region” yang utuh, vital, dan berdaya saing, yang akan langsung “head to head” bersaing dengan negara-negara tetangga. Tanpa perubahan kita tidak akan memiliki masa depan. Tanpa “extraordinary policy” sekaligus “special effort” yang luar biasa serius, pelan-pelan kita akan mulai kehilangan Natuna, Batam, sekaligus Bintan. Tanpa perubahan yang cepat dan berarti, kita harus rela bila akhirnya Natuna akan berkembang menjadi kabupaten yang terus menerus mengandalkan kue “bagi hasil” migas untuk membiayai APBD nya sekaligus menjadi “penonton yang baik” lalu lalang armada asing dan korporasi asing yang terus menerus menancapkan kuku dan menguras kekayaan alam di wilayah lautnya. Kita terpaksa akan melihat Batam sebagai sebuah “proyek mercu suar” yang gagal. Dan, kita hanya melihat Bintan sebagai sebuah ibukota provinsi kepulauan yang biasa-biasa saja. Tak lebih dan tak kurang. Akhirnya, perlahan tapi pasti Natuna, Batam, dan Bintan hanya kita kenal nama dan letaknya dalam peta bumi negeri ini. Hanya sekedar menjadi bagian toponimi yang kurang berarti. Tanpa perubahan kita tidak akan memiliki masa depan. Tentara kita di Natuna telah menuliskannya secara lugas dan tegas. Dalam bahasa Inggris pula. Persoalannya kemudian, apakah kita semua (baca: terutama pemerintah pusat) mau melakukan perubahan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, untuk selanjutnya mampu merebut masa depan yang lebih baik di sana. Ataukah, kita masih “enjoy aja” dengan kelambanan, kemalasan, dan kesantaian seperti biasanya dan pada gilirannya akan terus menerus “terkaget-kaget” ketika negeri-negeri jiran mulai unjuk gigi, pamer kekuatan, dan tanpa malu melanggar tapal batas kita dan merebut petak demi petak teritorial serta tanpa sungkan menguras kekayaan alam disana hingga pada gilirannya secara telanjang mempertontonkan “masa depan” mereka yang lebih berkilau dan jauh lebih baik ketimbang kita. Sementara disini, kita masih saja suntuk dan hiruk pikuk berwacana sekaligus repot membebaskan dan membersihkan diri dari belitan persoalan-persoalan “masa lalu” yang tak berujung dan semakin tak keruan. Ranai, Natuna, Oktober, 2010
SERAHKAN KEPADA AHLINYA?
Bila suatu urusan kamu serahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kerusakannya. Jadi, bila mau sukses, mau tidak mau seluruh urusan harus dikerjakan oleh para ahli di bidangnya masing-masing. Demikianlah kurang lebih pesan Muhammad SAW tentang betapa pentingnya profesionalisme dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah idealita tentang “the right man on the right place” yang menjamin penanganan dan pengelolaan suatu masalah secara tepat. Namun, dalam kehidupan di jaman modern dan post-modern seperti sekarang ini tak sepenuhnya profesionalisme mampu menjamin keberhasilan manajemen kehidupan. Banyak kaum profesional lahir tapi banyak pula terjadi distorsi profesionalisme dalam hidup. Kaum profesional lantas banyak yang amatiran kerjanya. Pun, hasil kerjanya jauh dari harapan. Bila Julien Benda pernah melontarkan kecaman tentang “pengkhianatan kaum intelektual” maka sudah selayaknya bila masyarakat awam saat ini menghujat adanya “pengkhianatan kaum profesional” di segala bidang kehidupan. Contoh paling nyata dan kasat mata adalah soal pengelolaan Jakarta. Dulu saat kampanye pemilihan gubernur, Fauzi Bowo atau bang foke dalam jargon kampanyenya menjual kecap nomor wahid “serahkan pada ahlinya” maka bereslah urusan Jakarta. Kenapa tidak, bang foke adalah profesional dalam bidang penataan kota. Doktor pula pendidikannya. Puluhan tahun pula pengalaman kerjanya di birokrasi pemerintahan DKI Jakarta. Plus, lima tahun jadi wakil gubernur Jakarta. Jadi, kurang bukti apalagi untuk secara haqqul yakin memilihnya jadi gubernur yang baru. Singkat cerita, jualan kecap bang foke pun laris manis. Masyarakat Jakarta masih percaya akal sehat. Masyarakat Jakarta masih menghargai profesionalisme. Dan, masyarakat Jakarta pun akhirnya memilihnya secara langsung untuk menjadi gubernur mereka lima tahun kedepan.
Maka, ketika profesionalisme ditagih janjinya, masyarakat mulai menuntut bang foke untuk membereskan masalah klasik Jakarta: banjir dan kemacetan. Tapi, kenyataan berbicara lain. Dan, realitas memberikan gambaran yang berbeda. Dua tahun terakhir ini Jakarta dibekap banjir yang menggila. Bahkan, diramalkan akan segera tenggelam. Reaksi bang foke sangat sederhana: masyarakat tak bisa membedakan antara banjir dan genangan. Mau banjir atau genangan, yang terjadi adalah Jakarta seringkali terjebak dalam kubangan air yang berlebihan. Solusi bang foke sangat jelas: bangun banjir kanal timur. Selesai persoalan? Ternyata tidak. Faktor alam seringkali dijadikan alasan dan disalahkan sebagai penyebab kenapa banjir tak pernah hilang dari ibukota. Demikian pula dengan kemacetan. Satu tahun terakhir ini kemacetan di Jakarta semakin menjadi-jadi dan semakin menggila. Pertumbuhan bahkan ledakan jumlah mobil dan motor baru semakin dahsyat dan berjalan konsisten. Sementara, jumlah dan panjang ruas jalan tak mungkin ditambah secara signifikan. Pun, moda transportasi publik jauh dari harapan untuk menjadi solusi alternatif mengurangi kemacetan. Proyek monorel yang macet di jaman bang yos menjadi “landmark” baru tentang kegagalan sebuah rencana pembangunan. Di era bang foke belum terdengar “follow up” yang cepat dan tepat soal kelanjutan proyek monorel. Pun, busway - yang sempat menjadi primadona baru ternyata rencana perluasan jangkauan dan penambahan koridornya berjalan lambat di tangan bang foke. Alhasil, sampai sekarang pemerintahan bang foke masih belum mengeluarkan “extraordinary policy” atau “special intervention” yang secara bertahap mampu meredam kemacetan bahkan menghilangkannya dari wilayah ibukota. Jadi, jangan marah kalau banyak pakar mengatakan bahwa pengelolaan masalah transportasi di Jakarta masih seperti “business as usual” semata-mata. Dan ini sudah berjalan tahun demi tahun. Serahkan kepada ahlinya? Jargon ini bisa sedemikian menyesatkan kalau kita bicara soal keadilan dan penegakan hukum. Kasus Gayus, Susno, dan Antasari membuktikan bahwa ketika persoalan hukum atau penegakan hukum diserahkan kepada para ahlinya justru yang terjadi adalah distorsi. Selebihnya, manipulasi, kolusi, dan korupsi. Sekarang yang terjadi adalah lonjakan “bulan madu” kaum yudikatif alias tumbuh berkembangnya libido penegak hukum untuk mengeruk keuntungan sekaligus memanfaatkan situasi atas penegakan hukum. Bila orde baru dikenal dengan dominasi eksekutif. Saat itu profesi
yang paling membanggakan adalah birokrat. Selanjutnya, awal orde reformasi dikenang sebagai “pesta pora” kaum legislatif. Hingga, politisi menjadi jenis spesies yang memenangkan pertarungan kekuasaan di negeri ini. Nah, sekarang ini setelah reformasi berjalan sepuluh tahun lebih yang terjadi justru tumbuh berkembangnya “keleluasaan dan kekuasaan” kaum yudikatif dalam menentukan jalannya sekaligus “menggerogoti” penyelenggaraan pemerintahan. Maka, giliran para penegak hukum, praktisi hukum, dan siapapun yang memiliki akses terhadap peraturan yang mendapatkan “priviledge” tinggi. Serahkan kepada ahlinya? Sekarang jargon ini bisa menyesatkan sekaligus menghancurkan. Dan, itu berarti timbulnya kerusakan. Betapa tidak, bang foke yang ahli tata kota pun tak sanggup menata Jakarta lebih nyaman sekaligus aman dari banjir dan kemacetan yang sudah sangat rutin dan teramat laten. Bang foke yang sudah puluhan tahun “karatan” jadi birokrat di pemda DKI, yang sudah tahu seluk beluk persoalan Jakarta pun gagal menyelesaikan kedua persoalan itu dengan “cara seksama” dan “dalam tempo sesingkat-singkatnya”. Jakarta masih dan akan terus banjir sekaligus macet. Dan, kita pun tak pernah tahun kapan kedua masalah itu mulai menyurut atau menghilang dari ibukota. Serahkan kepada ahlinya? Ditangan seorang Gayus, persoalan pajak menjadi multi tafsir sekaligus distortif. Seorang aparat “pemungut pajak” yang gajinya sudah tinggi masih saja tergoda untuk membantu para wajib pajak dalam menghindari atau mengurangi kewajiban setor pajak kepada negara. Seorang Gayus adalah pegawai negeri sipil sekaligus “konsultan” pajak bagi perusahaan swasta. Hebat khan! Karenanya, puluhan milyar yang diperoleh Gayus akhirnya menjadi sebuah keniscayaan. Karenanya, sejak kasusnya bergulir, masyarakat dihadapkan pada dua wajah aparatur dan lembaga pemungut pajak yang saling kontradiktif satu sama lain. Disatu sisi, masyarakat terus didorong dan dipropaganda - dengan kampanye publik yang jelek - untuk selalu taat dan teratur bayar pajak. Disisi lain, aparatur Ditjen Pajak justru “menggarong” pajak secara terus terang dan telanjang. Profesionalisme tanpa moralitas adalah kesia-siaan belaka. Tanpa kadar moral yang cukup maka profesionalisme mudah tergerus oleh berbagai kepentingan yang pada gilirannya akan mendistorsi nilai dan praktik dari profesionalisme itu sendiri. Seorang Gayus, Susno,
dan Antasari musti lebih banyak belajar soal ini. Namun, profesionalisme juga butuh “kerendahan hati” secara sosial. Betapa, seorang Mahbub Ul Haq pun akhirnya mengakui kegagalan teori-teori pembangunan yang semula dibelanya. Bahkan, Alan Greenspan dengan rendah hati pula mengakui bahwa keyakinan sekaligus kepercayaannya terhadap keampuhan sistem kapitalisme dan liberalisme ekonomi akhirnya runtuh saat terjadi mega krisis finansial di Amerika Serikat. Seorang Fauzi Bowo atau bang foke harus mengakui bahwa titel pendidikan yang disandangnya dan pengalaman kerja yang diperolehnya selama ini belum berarti banyak untuk setidaknya “mengurangi” beban persoalan Jakarta. Tanpa kerja keras, profesionalisme tak berarti apa-apa. Pada titik inilah, bang foke harus banyak belajar dengan rendah hati kepada salah satu pendahulunya yang berhasil. Bang foke harus belajar banyak kepada kerja keras dan ketegasan seorang Bang Ali yang berhasil membangun sekaligus menyulap Jakarta sebagai ibukota negara yang membanggakan dan metropolitan yang nyaman “untuk semua” warganya. Tanpa kerja keras dan sikap tegas, profesionalisme atau “keahlian” bang foke tak ada artinya apa-apa bagi kita dan bagi Jakarta! Menteng, Jakarta, Desember, 2010
DIKLAT FUNGSIONAL PERENCANA: SEBUAH GUGATAN SUBSTANSIAL
Baru-baru ini saya ikut (persisnya: disuruh mengikuti) diklat penjenjangan fungsional perencana madya. Tempatnya masih sama, di LPEM FEUI Jakarta. Bahkan, mungkin menu “snack” dan makanannya pun masih sama pula kualitas dan kuantitasnya. Pendeknya, kuliner yang minimalis (ha…ha…ha). Cuma, waktu diklatnya agak pendek. Meski, absensinya ketat. Tapi, bukan itu yang ingin saya bahas dalam tulisan ini. Semua yang saya sebutkan tadi bagi saya tidak ada masalah sama sekali. Semua bisa saya lewati dengan sabar dan lancar serta sukses. Yang ingin saya persoalkan adalah substansi diklatnya. Lebih tepatnya, materi diklatnya. Plus, sedikit catatan untuk beberapa pengajarnya. Berikut ini beberapa catatan yang ingin saya berikan:
Pertama, materi diklat terkesan disusun seperti kurikulum perkuliahan semata. Ada pelajaran di kelas. Ada tanya jawab. Ada diskusi. Ada beberapa konsep atau teori yang diterangkan. Ada beberapa pengalaman praktis yang diceritakan. Setelahnya, ada ujian berupa “quiz”. Sesudahnya, ada tugas makalah kelompok dan tentu saja presentasi makalah kelompok. Dan, akhirnya bila kita bisa melewati semua tahap sebelumnya maka ujian akhir harus dilalui. Lantas keluarlah nilai kita. Selesai sudah. Keberatan saya bukanlah pada sistem penilaiannya. Tapi, lebih kepada bentuk penilaian yang masih secara “akademik” memasukkan unsur ujian baik ujian dalam bentuk “quiz” maupun ujian akhir. Rasa-rasanya, seluruh peserta diklat adalah mereka yang sudah lolos sekaligus lulus berbagai ujian sebelum diterima sebagai pegawai negeri sipil. Karenanya, untuk menilai kualitas seorang yang telah menjadi “PNS” sekaligus seorang pejabat fungsional perencana tidak diperlukan lagi pembuktian secara akademis melalui sebuah ujian untuk menjawab soal yang diberikan. Baik soal yang menanyakan tentang teori atau konsep maupun soal yang menanyakan tentang pendangan atau pendapat peserta tentang suatu isu atau persoalan. Atas nama substansi, hendaknya bentuk ujian tertulis
ini harus dihapus dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dan diganti dengan sistem penilaian yang lebih membumi dan yang lebih mencerminkan kebutuhan seorang fungsional perencana (kontekstual).
Kedua, materi diklat seharusnya disusun berdasarkan kebutuhan ( needs) seorang fungsional perencana sesuai dengan “level” fungsionalitasnya. Beberapa teori atau konsep bolehlah diajarkan kepada peserta sebagai bahan atau amunisi akademik untuk melakukan sebuah analisis kebijakan, menyusun sebuah kebijakan, menyusun sebuah program, dan menyusun sebuah kegiatan. Jadi, teori atau konsep yang diajarkan tidak perlu “diujikan” lagi secara tertulis. Melainkan harus bisa dinilai dari makalah yang dihasilkan seorang peserta. Apakah teori atau konsep yang telah diajarkan mampu dijadikan “pisau analisis” yang tajam untuk mengulas, mengupas, dan membahas sebuah persoalan atau sebuah isu kebijakan, sekaligus membantu untuk mencari beberapa alternatif solusi dalam bentuk rekomendasi kebijakan yang diperlukan. Atas nama substansi, saya mengusulkan agar materi diklat disusun berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang ada, yang terdapat dalam buku pedoman penilaian fungsional perencana atau yang kita kenal sebagai “buku hijau” yang menjadi kitab suci (sementara ini) untuk menilai kelayakan, kepatutan, dan kepantasan seseorang untuk diangkat sebagai pejabat fungsional perencana sesuai dengan “maqam” yang telah ditentukan didalamnya. Karenanya, secara substansial harus ada “korelasi” yang “signifikan” dan “relevan” antara buku hijau dengan materi diklat yang akan disusun nantinya. Tanpa itu, nilai dan kadar fungsionalitasnya dari hasil diklat agaknya masih rendah (untuk tidak mengatakan gagal sama sekali).
Ketiga, komposisi materi diklat agaknya harus dirubah total. Kalkulasi saya mungkin seperti ini: teori atau konsep cukuplah sekitar 20 persen; diskusi atau bedah kasus mungkin bisa sekitar 30 persen; dan penyusunan makalah kelompok dan makalah individual harus sekitar 50 persen (tentu saja termasuk presentasinya). Semakin tinggi jenjang fungsional maka porsi diskusi atau bedah kasus dan penyusunan makalah harus lebih tinggi persentasenya. Dengan komposisi seperti ini, penilaian terhadap peserta akan dilakukan berdasarkan keaktifan mereka dalam berpartisipasi untuk mendiskusikan dan membedah sebuah kasus kebijakan serta kreativitas mereka untuk menuliskan analisis dan
pandangannya tentang sebuah persoalan kedalam makalah (kelompok dan individual) yang terstruktur, sistematis, akademis, sekaligus kontekstual. Sekali lagi, teori atau konsep tidak perlu diujikan secara tertulis! Saya percaya dan yakin seyakin-yakinnya, apabila ketiga hal diatas bisa kita adopsi kedalam perbaikan dan penyempurnaan materi dan bentuk penilaian diklat fungsional perencana kedepan maka mutu (kualitas) dan kegunaan (fungsionalitas) dari seorang peserta diklat akan benar-benar berbeda. Dengan kata lain, mereka yang lulus diklat akan mampu meningkat kualitas dan fungsionalitasnya pada saat bekerja kembali di kantornya masing-masing. Dan, setiap instansi akan memperoleh “value added” yang nyata dari peningkatan kontribusi seorang pejabat fungsional perencana terhadap perbaikan dan penyempurnaan proses penyusunan kebijakan publik yang telah menjadi tupoksinya masing-masing. Bukankah ini tujuan dari diklat fungsional perencana? Akhirul kalam, tentu saja disamping materi diklat juga perlu dievaluasi tentang instruktur diklatnya. Pengalaman saya dua kali mengikuti diklat fungsional perencana adalah masih adanya instruktur yang bersikap dan bertindak seperti seorang “dosen” yang agak kaku dan seenaknya dalam memberikan materi di kelas. Mereka masih menyamakan peserta diklat seperti mahasiswa atau mahasiswinya yang harus dikuliahi. Kedepan, yang kita butuhkan bukan jenis “dosen” seperti ini, tapi seorang “fasilitator” dan “mentor” diklat yang mampu merangsang semangat dan yang bisa menantang peserta diklat untuk lebih serius dan tekun mengasah kemampuan analisisnya dalam memetakan, mengkaji, dan memberikan solusi terhadap berbagai kasus atau persoalan yang terkait dengan kebijakan publik (apapun bentuknya). Fasilitator dan mentor diklat yang “bergairah” dan bersemangat serta memiliki kompetensi di bidangnya lebih dibutuhkan sebagai instruktur diklat ketimbang “nama-nama besar” dengan sederet gelar akademik yang disandangnya tapi tak mampu memberikan materi yang bagus dan berguna. That’s all! Menteng, Jakarta, Desember, 2010
PELAJARAN KEBUDAYAAN DARI FILIPINA
Pertengahan bulan November yang lalu saya mendapatkan undangan dari GTZ German ke Filipina. Tepatnya ke kota San Fernando, ibukota dari provinsi La Union, untuk mengikuti konferensi tentang pengelolaan keuangan daerah. Setelah sekian lama tidak ke luar negeri, rasanya undangan ini begitu menarik sekaligus menggoda. Meski hanya empat hari, saya mendapat banyak pengalaman yang sangat berharga sekaligus impresif. Pertama adalah soal keramahtamahan. Selama disana saya disambut dengan keramahtamahan yang tulus dari tuan rumah. Meski secara teknis penyelenggaraan acaranya masih kalah jauh dibanding dengan kita, tapi mereka berusaha keras untuk selalu menyambut dan melayani kami dengan ramah. Dalam sebuah sesi foto bersama setelah acara konferensi selesai, panitia tetap memaksa agar kami berdiri paling depan. Meskipun sebenarnya saya lebih ingin berbaur bebas dengan seluruh peserta. Saya sempat mendebatnya. Tapi mereka bilang dengan sopan bahwa tamu undangan adalah orang yang paling penting. Karenanya, harus yang paling kelihatan dan tentu saja harus berada paling depan. Bahkan, mereka bilang “our guests are more important than our boss”. Terus terang saat itu perasaan saya “mongkog” alias melambung. Ha..ha…ha…. Pelajaran kedua adalah kepercayaan diri. Meski lama dijajah Spanyol, mayoritas masyarakat Filipina justru cukup fasih berbahasa Inggris. Bahkan, bahasa Inggris menjadi bahasa nasional kedua setelah Tagalog. Mereka pun tak merasa malu bicara dalam bahasa Inggris dengan logat Tagalog yang “medhok”. Bahkan, beberapa “pronounciation” nya masih terdengar seperti bahasa Spanyol. Mereka sangat percaya diri mengkomunikasikan semua gagasannya dalam bahasa Inggris yang kental beraroma lokal. Mereka menyebutnya Tagalish alias Tagalog-English. Kepercayaan diri pula yang membuat rakyat Filipina sangat tegas kepada Amerika Serikat (AS). Setelah penutupan pangkalan angkalan laut AS di Subic beberapa tahun yang lalu, mereka pun masih bersikap tegas dan bertindak keras menentang rencana militer AS untuk menyewa kembali lahan yang akan digunakan sebagai kawasan militer yang jauh lebih kecil “scope” dan “scale” nya
ketimbang sebuah pangkalan angkatan laut. Singkatnya, mereka menolak kehadiran tentara AS di bumi Filipina selamanya. Bandingkan dengan kita yang seringkali tak berani membantah kemauan negeri paman Sam. Keseriusan adalah pelajaran ketiga dari Filipina. Ini terlihat dari betapa sungguhsungguhnya upaya mereka untuk mengirimkan “pekerja migran” keluar negeri. Bagi Filipina, barisan tenaga kerja yang dikirim keluar negeri adalah benar-benar dianggap sebagai “pahlawan ekonomi” bagi negaranya. Jadi, bukan hanya sekedar “diperas” untuk menghasilkan devisa semata-mata. Para pekerja migran itu pula yang membuat Filipina terkenal sebagai pencetak dan pengirim tenaga kerja profesional seperti perawat dan “baby sitter” yang tentu saja derajatnya lebih tinggi ketimbang “babu” atau pembantu rumah tangga. Keseriusan dan kesungguhan mereka termasuk dalam usaha melindungi dan mengadvokasi para pekerja migrannya yang sedang menghadapi masalah di luar negeri. Saking seriusnya, Presiden Arroyo pernah menyambut salah satu pekerja migran yang menjadi korban kekerasaan langsung dari depan pintu pesawat terbang ketika mendarat di Manila. Kondisi ini jelas jauh berbeda dengan disini. Para TKI atau TKW adalah sebuah beban. Sekaligus “sapi perahan” yang selalu “dikerjain” ketika akan berangkat, “dicuekin” ketika bekerja di negeri orang, dan “dikompas” ketika pulang ke negeri sendiri. Karenanya, setiap tahun terus menumpuk ribuan kasus kekerasan ataupun penipuan terhadap TKI dan TKW kita. Pelajaran keempat adalah soal rasa hormat. Selama empat hari disana terkesan mereka sangat “respek” kepada orang Indonesia. Meski tidak pernah menyebut sebagai saudara serumpun, mereka percaya bahwa nenek moyangnya berasal dari Indonesia. Atau paling tidak, mereka merasa ada jalinan kekerabatan dan kekeluargaan antara orang Indonesia dengan Filipino pada masa lalu. Coba bandingkan dengan Malaysia. Kaum melayu semenanjung itu selalu menyebut kita sebagai saudara serumpun. Tapi, mereka pula yang kerap memanggil kita dengan sebutan “indon” alias orang bodoh. Ketika kemajuan ekonomi meningkat, orang Malaysia semakin menurun drastis rasa hormatnya kepada kita. Mereka semakin congkak dan kurang ajar. Maka, jangan kaget kalau dulu Bung Karno pernah ingin mengganyang Malaysia! Padahal, Anwar Ibrahim yang melayu tulen secara jujur pernah mengakui bahwa kontribusi para “indon” atau “pendatang haram” sangat besar dalam membangun Kuala Lumpur sekaligus memajukan perekonomian
Malaysia. Tanpa kerja keras TKI dari Indonesia mustahil berbagai proyek pembangunan infrastruktur dan pengembangan industri kelapa sawit di Malaysia dapat dijalankan dengan mulus dan sukses. Keramah tamahan, kepercayaan diri, keseriusan, dan rasa hormat. Keempat-empatnya adalah modal yang berharga bagi Filipina. Dengan keempat perihal itu saya percaya mereka akan mampu mencapai kemajuan dalam segala bidang kehidupan. Dan saya berharap keempat-empatnya senantiasa tetap mereka pertahankan meski kemajuan ekonomi telah diraihnya secara penuh. Dengan tingkat demokratisasi yang jauh lebih baik ketimbang Malaysia, Singapura, dan Thailand, saya optimis dengan masa depan Filipina yang kelak bisa lebih cerah dibanding ketiganya. Dengan sumberdaya manusia yang mampu bersaing dan memiliki “inner quality” yang bagus maka tak ada lagi ruang pesimisme bagi Filipina untuk menjadi pesaing yang serius bagi ketiganya. Kelemahan Filipina hanyalah satu: belum adanya momentum yang kuat, yang mampu menggerakkan dan menyatukan seluruh kekuatan dan kelebihannya hingga mampu dikonversikan kedalam sebuah orde perekonomian yang lebih maju dan berdaya saing tinggi. Tapi, ini hanya soal waktu saja. Sekali lagi, dengan keramah tamahan, kepercayaan diri, keseriusan, dan rasa hormat yang melekat kuat pada rakyatnya, datangnya momentum ekonomi akan lebih gampang ditangkap, dikelola, dan dikembangkan menjadi sebuah daya ekonomi yang besar sekaligus berkelanjutan. Akhirul kalam, saya harus mengucapkan salamat (terima kasih) kepada rakyat Filipina atas beberapa pengalaman sekaligus pelajaran kebudayaan yang mereka berikan selama empat hari saya disana. Salamat, dan selamat berjuang kawan! Antapani, Bandung, Desember, 2010
KE PALANGKA RAYA KITA KAN KEMBALI?
Tahun 1957 Bung Karno pernah berkata “Jadikanlah kota Palangka Raya sebagai modal
dan model, jangan membangun bangunan di sepanjang tepi sungai Kahayan, dan lahan di sepanjang tepi sungai tersebut hendaknya diperuntukkan bagi taman sehingga pada malam yang terlihat hanyalah kerlap-kerlip lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut”. Kata-kata itu diucapkannya saat peletakan batu pertama yang menandai tahap
persiapan pembangunan kota Palangka Raya sebagai ibukota provinsi Kalimantan Tengah sekaligus kandidat ibukota negara yang baru. Tepatnya, tanggal 17 Juli 1957 di kampung Dayak. Sebuah mimpi besar. Sebuah gagasan besar. Dan tentu saja, sebuah rencana besar. Pemindahan ibukota dari Jakarta ke Palangka Raya adalah perkara yang sangat serius. Karenanya, Bung Karno tak sedang bermimpi di siang bolong. Atau, sekedar melontarkan gagasan kosong. Saking seriusnya, Bung Karno bahkan pernah menyewa insinyur Rusia terkenal untuk membuat jalan aspal di tanah bergambut di beberapa ruas di Palangka Raya. Saking semangatnya, Bung Karno bahkan merancang tata kota Palangka Raya hingga menyerupai atau menyaingi kota Washington. Jalan-jalan raya yang lebar, tamantaman kota yang luas, bundaran-bundaran jalan kota yang besar, jalan pedestrian yang lebar, dan berbagai gedung istana pemerintahan yang cukup megah. Saking rincinya, didepan istana presiden, Bung Karno bahkan telah merancang untuk membangun bundaran besar silang delapan. Desain silang delapan untuk menunjukkan simbol bulan kemerdekaan republik Indonesia. Sekaligus, untuk menunjukkan simbol bahwa Palangka Raya berada pada persimpangan delapan rumpun kepulauan besar di Indonesia (Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Irian Jaya), dan delapan sungai besar di Kalimantan Tengah yaitu Barito, Kapuas, Katingan, Mentaya, Seruyan, Kahayan, Arut dan Lamandau.
Kenapa Palangka Raya? Karena Bung Karno ingin membangun sebuah ibukota negara yang terbebas dari beban masa lalu, yang terlepas dari pengaruh sejarah kolonial Belanda. Sebuah “kota baru” yang benar-benar secara fisik baru dibangun. Kenapa Palangka Raya? Karena Bung Karno ingin meletakkan ibukota ditengah-tengah wilayah Indonesia. Karena posisi Palangka Raya tepat berada di titik tengah garis imajiner yang ditarik dari posisi paling barat, yaitu Sabang hingga ke posisi paling timur, yaitu Merauke. Juga, posisi Palangka Raya tepat di tengah-tengah garis imajiner yang ditarik ke utara dan selatan wilayah Indonesia. Kenapa Palangka Raya? Karena Bung Karno ingin meletakkan Ibukota yang langsung berhadapan dengan perbatasan negara lain sehingga sangat strategis dari aspek pertahanan. Kenapa Palangka Raya? Karena Bung Karno ingin meletakkan ibukota di wilayah yang terbebas dari ancaman bencana alam. Karena jalur gempa bumi dan barisan gunung berapi tidak melalui Palangka Raya. Kenapa Palangka Raya? Karena Palangka Raya luasnya mencapai 2.678 kilometer persegi, sedangkan Jakarta cuma 661 kilometer persegi. Jadi secara ukuran, Palangka Raya mampu menjadi ibukota negara yang sangat luas dan lapang, yang tak kalah dengan ibukota Amerika Serikat. Jadi, Palangka Raya bukan sekedar “mimpi besar” tapi sebuah gagasan besar yang telah direncanakan secara matang, cermat, penuh pertimbangan, dan didasarkan pada visi yang kuat kedepan. Sayang usaha Bung Karno gagal. Keuangan negara saat itu terkuras habis untuk membiayai persiapan Asian Games sekaligus Games of the New Emerging Forces (Ganefo). Susahnya pengadaan material juga menjadi faktor penghambat yang serius. Terlebih lagi, kondisi medan yang sangat sulit secara geografis menjadi kendala yang berat. Faktor finansial yang berkelindan dengan faktor teknis dan geografis akhirnya menggugurkan rencana besar Bung Karno untuk memindahkan ibukota dari Jakarta ke Palangka Raya. Tapi, Bung Karno tidak salah. Karena Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum pun pernah ingin memindahkan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandoeng. Setelah merdeka, ibukota republik Indonesia pun berpindah dari Batavia ke Yogyakarta. Bahkan setelahnya, sebuah “Panitia Agung Ibukota Negara” pada tahun 1947 telah mengusulkan dan mengkaji kemungkinan kota-kota seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang, dan Malang untuk ditetapkan sebagai ibukota negara. Saat masih berkuasa, Soeharto ingin memindahkan ibukota ke Jonggol. Sekali lagi, Bung Karno tidak keliru. Karena negara-negara lain juga melakukan hal yang sama, memindahkan ibukotanya
secara bertahap dan terencana. Arab Saudi, Jepang, Australia, Jerman, dan Brasil telah melakukannya. Dari Jeddah ke Riyadh, dari Kyoto ke Tokyo, dari Sindey ke Canberra, dari Bonn ke Berlin, dan dari Rio de Jeniro ke Brasilia. Yang salah barangkali kita sekarang. Karena terlalu lama mempertahankan Jakarta sebagai ibukota negara. Padahal, daya dukung Jakarta sudah terlampau lemah untuk menopang jalannya pemerintahan, berlangsungnya bisnis, dan berjalannya kehidupan sosial warganya. Kemacetan yang parah, banjir yang teramat rutin, polusi yang terus meningkat, dan abrasi yang makin mengancam adalah beberapa bukti bahwa Jakarta sudah tidak efisien sebagai pusat bisnis sekaligus sudah tidak efektif sebagai pusat pemerintahan. Jakarta adalah metropolitan yang semakin sempoyongan menanggung terlalu banyak beban dan menjalankan terlampau banyak fungsi. Banjir kanal timur, koridor busway, jalur monorel, bahkan pembangunan subway sekalipun tak akan mampu mengurangi silang sengkarut persoalan drainase dan transportasi Jakarta yang kelewat akut. Kenapa? Karena selama ini Jakarta tak pernah secara sungguh-sungguh direncanakan untuk menjadi ibukota negara. Perencanaan pembangunan Jakarta selama ini terkesan tambal sulam dan inkremental. Perubahan radikal hanya terjadi saat Bang Ali berhasil menyulap Jakarta dari sebuah “kampung besar” menjadi metropolitan yang cukup membanggakan untuk ukuran Asia pada waktu itu. Selebihnya, konsep besar Bang Yos tentang perlunya membangun megapolitan “ja-bo-de-ta-bek-pun-jur” akhirnya hanya menjadi wacana kosong dan perdebatan yang tak pernah berhenti hingga kini. Yang dibutuhkan saat ini adalah sebuah keberanian. Juga, ketegasan dan keseriusan. Lima puluh tahun lebih setelah gagasan Bung Karno tentang Palangka Raya nampaknya saat ini menjadi momentum yang kuat bagi kita semua untuk melakukan sebuah langkah besar: memindahkan ibukota negara ke luar pulau Jawa. Kenapa? Karena sudah tidak tersedia lagi lahan yang luas dan lapang di Jawa. Kenapa? Karena penduduk di Jawa sudah kelewat padat. Kenapa? Karena Indonesia bukan Kerajaan Mataram yang ibukotanya harus di Jawa. Kenapa? Karena kita pun sebelumnya pernah memindahkan ibukota dari Yogyakarta ke Jakarta. Dan, kalau pilihannya adalah ke Palangka Raya maka rencana besar yang pernah pernah ada tinggal dikaji ulang dan dipindahkan kedalam rencanarencana teknis dan finansial secara bertahap, terencana, dan terukur. Dan, kalau memang jadi ke Palangka Raya, paling-paling kita hanya perlu mengusulkan kepada Koes Plus
untuk merubah judul lagunya menjadi “Kembali ke Palangka Raya”. Gampang khan? Dan, sesekali kita pun masih bisa pergi ke Jakarta. Paling tidak, sekali setahun untuk mudik setiap lebaran, atau merayakan hari natal dan tahun baru, atau merayakan hari imlek. Enak khan! Antapani, Bandung, Desember, 2010
OTOKRITIK TERHADAP DANA ALOKASI KHUSUS: KEBIJAKAN PALING KONYOL SECARA KUANTITATIF
Secara harafiah, Dana Alokasi Khusus (DAK) diartikan sebagai dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dengan definisi tersebut maka terdapat empat kata kunci yang berkaitan dengan DAK, yaitu daerah tertentu; kegiatan khusus; urusan daerah; dan prioritas nasional. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan pengertian daerah tertentu diperjelas secara eksplisit sebagai daerah yang mendapatkan alokasi DAK berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kegiatan khusus dijelaskan sebagai bagian dari program nasional yang menjadi prioritas nasional, yang menjadi urusan daerah. Sementara, program yang menjadi prioritas nasional dijelaskan sebagai program yang dimuat dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun anggaran bersangkutan. Jadi, secara substansial maupun metodologis DAK memiliki batasan-batasan yang jelas dan spesifik, yang pada gilirannya akan berimplikasi kepada ”kejelasan” dan ”kekhususan” dalam perencanaan, pengalokasian, dan penganggaran. Namun, dalam praktiknya kebijakan pengalokasian DAK selama ini cenderung tidak konsisten dengan batasanbatasan yang telah secara eksplisit diatur baik dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah yang ada. Selama 2003-2010 telah terjadi perkembangan DAK secara luar biasa baik dari aspek jumlah alokasi, jumlah bidang, maupun jumlah daerah penerima. Selama periode tersebut telah terjadi peningkatan alokasi secara nasional hingga sekitar 831 persen, jumlah bidang meningkat hingga sekitar 180 persen, dan jumlah daerah penerima meningkat
hingga sekitar 47 persen. Maka, dapat disimpulkan bahwa secara finansial telah terjadi peningkatan yang signifikan dari alokasi DAK, yang ditunjukkan dari adanya konsistensi tren peningkatan alokasi setiap tahunnya. Sayang, peningkatan alokasi tersebut secara substansial tidak terlalu berarti, mengingat pada saat yang sama juga diikuti dengan semakin banyaknya jumlah bidang dan jumlah daerah penerima. Dengan semakin banyaknya bidang dan daerah penerima maka peningkatan alokasi tidak mampu memberikan dampak yang optimal untuk menuntaskan penanganan pelayanan publik di daerah secara selektif, terfokus dan terukur. Dengan kata lain, dampak yang terjadi hanyalah pada meningkatnya pemerataan alokasi untuk daerah sekaligus bertambahnya bidang dan cakupan kegiatan yang bisa ditangani. Yang lebih ekstrim, selama 2007-2009 tercatat seluruh kabupaten/kota memperoleh alokasi DAK. Hal ini berarti bahwa pengalokasian DAK telah menyerupai pola pengalokasian DAU, yang notabene secara otomatis dan secara reguler diberikan kepada seluruh kabupaten/kota setiap tahunnya. Dengan pola pengalokasian seperti ini maka terminologi ”daerah tertentu” yang digunakan sebagai penentuan daerah yang layak menerima alokasi DAK telah secara inkonsisten digantikan dengan pengalokasian untuk ”seluruh daerah”. Sebagai bagian dari Dana Perimbangan, DAK memiliki fungsi yang berbeda dibanding dengan Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Secara finansial, DBH berfungsi sebagai ”tools” alokasi untuk mengurangi ketimpangan fiskal secara vertikal (vertical imbalance) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selanjutnya, DAU berfungsi sebagai ”tools” alokasi untuk mengurangi ketimpangan fiskal secara horisontal (horizontal imbalance) antar pemerintah daerah seluruh Indonesia. Jadi, fungsi pengalokasian DBH dan DAU lebih banyak diarahkan untuk ”memeratakan” kapasitas fiskal sehingga daerah mampu membiayai penyelanggaraan pemerintahan daerah termasuk pembangunan daerah dan pelayanan publik didalamnya. Sementara itu, DAK lebih diarahkan untuk membiayai ”pengamanan” berbagai program yang menjadi prioritas nasional, yang merupakan urusan daerah, yang masih memerlukan pendanaan khusus dari pemerintah pusat. Jadi, secara substansial dan metodologis
seharusnya pola pengalokasian DAK tidak terkait atau ”dikaitkan” dengan upaya untuk lebih memeratakan kapasitas fiskal daerah, tetapi justru harus difokuskan untuk mendanai berbagai urusan daerah yang masih menjadi prioritas nasional, yang harus diamankan pencapaian programnya. Dari analisis koefisien variasi untuk seluruh komponen Dana Perimbangan selama 20052010 terbukti bahwa pola pengalokasian DAK lebih terkesan sebagai ”tools” pemerataan kapasitas fiskal ke daerah ketimbang untuk menjaga dan mengamankan berbagai prioritas nasional. Terbukti bahwa dengan pengalokasian DAK, nilai koefisien variasi Dana Perimbangan secara keseluruhan mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini berarti bahwa pengalokasian DAK memberikan kontribusi yang signifikan untuk lebih memeratakan Dana Perimbangan sebagai unsur pembentuk utama kapasitas fiskal daerah. Secara metodologis, alokasi DAK diarahkan untuk membantu daerah yang memiliki kemampuan keuangan rendah dalam membiayai pelayanan publik di daerah. Hal ini juga tercermin dari arah kebijakan tahunan DAK yang dituangkan kedalam dokumen RKP, yang dimulai sejak penyusunan RKP 2008. Konsekuensinya, pengalokasian DAK seharusnya lebih diarahkan dan difokuskan (targeting) untuk daerah-daerah yang secara relatif memiliki alokasi DAU yang tinggi. Mengingat, semakin tinggi alokasi DAU suatu daerah maka daerah tersebut tergolong sebagai daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang relatif rendah. Namun, selama 2005-2010 terlihat adanya kecenderungan inkonsistensi dalam pengalokasian DAK. Dengan menggunakan analisis yang sederhana, yaitu kuadran antara DAK dan DAU, secara sekilas dapat digambarkan inkonsistensi pengalokasian DAK selama ini. Seharusnya daerah penerima alokasi DAK secara mayoritas berada di kuadran 1 (alokasi DAK tinggi dan alokasi DAU tinggi). Namun, mayoritas daerah penerima alokasi DAK berada di kuadran 3, di mana secara relatif alokasi DAK nya rendah (sementara alokasi DAU nya juga rendah pula). Jadi, dapat disimpulkan bahwa targeting DAK atau pola pengalokasian DAK selama ini masih belum sepenuhnya konsisten dengan amanat peraturan perundangundangan dan arah kebijakan tahunan DAK.
Berdasarkan regulasi yang ada, metode penghitungan alokasi DAK dilakukan melalui dua tahapan, yaitu pertama, penentuan daerah tertentu yang menerima DAK, dan kedua, penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah. Selanjutnya, penentuan daerah tertentu harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Lantas, besaran alokasi DAK masing-masing daerah ditentukan dengan perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Dengan metode tersebut, terkesan bahwa secara metodologis penghitungan alokasi DAK sangat kompleks, cenderung bias, dan berpotensi mengalami ”redundancy” baik dalam penentuan eligibilitas daerah penerima alokasi maupun dalam penentuan besaran alokasi per daerah. Kompleksitas dan bias dalam penentuan daerah yang layak menerima alokasi DAK terlihat dari digunakannya 3 (tiga) kriteria alokasi secara bersamaan. Sementara, potensi ”redundancy” terjadi ketika dalam penentuan besaran alokasi per daerah masih juga menggunakan indeks yang diturunkan dari ketiga kriteria alokasi, yang notabene telah digunakan sebelumnya untuk ”menyaring” jumlah daerah yang layak menerima alokasi DAK. Kompleksitas, bias, dan potensi ”redundancy” dalam proses penghitungan alokasi DAK terlihat dari ”cara” menentukan kelayakan daerah penerima alokasi DAK. Apabila daerah yang bersangkutan berdasarkan kriteria umum - yang notabene lebih mencerminkan kapasitas keuangan daerah - dianggap tidak layak maka daerah tersebut masih dilihat kelayakannya berdasarkan kriteria khusus. Selanjutnya, apabila berdasarkan kriteria khusus masih juga belum layak maka akan dilihat kelayakannya berdasarkan kriteria teknis. Konsekuensinya, secara metodologis dimungkinkan apabila suatu daerah yang kapasitas keuangannya tidak tergolong rendah pada akhirnya akan mendapatkan alokasi DAK, selama memenuhi kriteria khusus dan kriteria teknis. Jadi, dapat difahami apabila pada akhirnya jumlah daerah yang layak menerima alokasi DAK akan mengalami tren peningkatan hingga menyamai jumlah daerah penerima alokasi DAU (2007-2009). Pun, dapat difahami pula bila pola pengalokasian DAK selama ini tidak konsisten dan sesuai dengan arah kebijakan tahunan DAK, yang notabene lebih banyak diarahkan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan keuangan rendah.
Dalam konteks penyempurnaan metode penghitungan alokasi DAK, secara intensif Bappenas melalui berbagai kajian sebenarnya telah menghasilkan alternatif penghitungan alokasi DAK yang lebih sederhana, rasional, sekaligus konsisten dengan arah kebijakan tahunan DAK sesuai RKP. Secara umum, konsepsi Bappenas memisahkan secara tegas antara proses penetapan daerah dan proses penghitungan alokasi per daerah. Dalam proses penetapan kelayakan daerah penerima alokasi DAK konsepsi Bappenas lebih mendasarkan kepada penggunaan kriteria umum sebagai satu-satunya ”filter” untuk menyaring jumlah daerah yang memang benar-benar layak untuk ditetapkan sebagai daerah penerima alokasi DAK. Selanjutnya, jumlah daerah yang telah ”tersaring” melalui kriteria umum akan dikategorikan berdasarkan jenis bidang DAK sesuai dengan karakteristik dan kekhususan daerah melalui penggunaan kriteria khusus. Sebagai contoh, apabila daerah tersebut merupakan daerah ketahanan pangan maka prioritas bidang DAK yang akan diterimanya adalah yang berkaitan dengan upaya untuk menjaga tingkat ketahanan pangan, yaitu bidang DAK Pertanian dan DAK Irigasi. Lantas, dalam proses penetapan alokasi DAK per daerah akan digunakan kriteria teknis yang ditentukan oleh kementerian/lembaga teknis untuk menghitung besaran alokasi masing-masing bidang per daerah. Dengan pola tersebut maka proses penetapan daerah dan proses penghitungan alokasi masing-masing daerah akan dapat dilakukan secara sistematis, rasional, serta menghindari adanya ”mis-match” alokasi antara aspek kapasitas fiskal, aspek karakteristik dan kekhususan daerah, dan aspek teknis. Disamping itu, hasil penetapan daerah dan penghitungan alokasi masing-masing daerah akan konsisten dan sesuai dengan arah kebijakan tahunan DAK secara nasional. Kedepan, mau tidak mau, suka tidak suka, harus dilakukan peninjauan ulang terhadap metode dan metodologi penghitungan alokasi DAK yang lebih konsisten dengan arah kebijakan tahunan sekaligus mampu mengurangi ”mis-match” alokasi. Kedepan, kriteria alokasi DAK harus lebih sederhana dan lebih rasional untuk menghasilkan penetapan daerah dan penghitungan alokasi masing-masing daerah yang sesuai dengan arah kebijakan tahunan sehingga prioritas nasional dapat dijaga dan diterjemahkan secara tepat kedalam alokasi.
Kedepan, harus digunakan data pendukung yang lebih tepat dalam penyusunan kriteria dan indeks alokasi sehingga mampu menghasilkan proses penetapan daerah dan penghitungan alokasi masing-masing yang lebih cepat agar mampu secara transparan diinformasikan kepada daerah sebelum dimulainya proses perencanaan pembangunan di kabupaten/kota. Dengan demikian, informasi tentang alokasi DAK akan dapat digunakan sebagai ”input” yang signifikan, relevan, dan valid bagi kabupaten/kota dalam mensinkronisasikan kegiatan DAK dengan kegiatan daerah lainnya. Kedepan, proses pengalokasian DAK harus terkait dan terintegrasi kedalam proses dan mekanisme perencanaan pembangunan nasional serta sudah dikerangka dalam konteks penganggaran berbasis kinerja dan dihitung dalam kerangka pengeluaran jangka menengah. Tanpa berbagai perbaikan tersebut maka pengalokasian DAK kedepan akan menjadi proses yang ”menggelikan” dan hanya membuang-buang uang negara tanpa hasil yang jelas dan nyata. Mau tidak mau, suka tidak suka, kekonyolan sekaligus kejumudan dalam pengalokasian DAK selama ini harus diakhiri. Kalau tidak, secara kuantitatif kita akan ”diketawai” anak cucu kita kelak, karena ternyata selama ini kita tak pandai berhitung, tetapi hanya pintar mengotak-atik angka-angka belaka. Taman Suropati, Jakarta, Desember, 2010
Agus Manshur Achsany lahir di Blitar, 27 Agustus 1967. Lulus dari FE UGM Yogyakarta (1992) dan Development Studies, Institute of Social Studies, Den Haag, Netherlands (2002). Belajar tentang transformasi struktural dan pemberdayaan masyarakat perdesaan di Semaul Undong Central Training Institute, Korea Selatan (1997). Terlibat dalam diskusi pembangunan infrastruktur di OECF, Tokyo, Jepang (1997). Terlibat dalam diskusi desentralisasi dan kebijakan publik di Université Paris dan UNESCO, Paris, Perancis (2002). Terlibat dalam perjalanan hedonistik ke Belgia, Perancis, Jerman, Ceko, Hungaria, Austria dan Luxemburg (2001-2002). Terlibat dalam konferensi internasional tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di San Fernando, La Union dan Manila, Filipina (2010). Menerbitkan buku-buku secara independen, antara lain: Opini Opini Tak Bertepi Bagian Satu (2008), Not For Sale (2008), Uncensored (2011), dan Not Yet (2011). Saat ini masih bekerja di Bappenas.