Opini
Potensi Bisnis Kelautan di Negara Maritim Poros Dunia untuk Kesejahteraan Rakyat Indonesia Oleh: Yudi Wahyudin *) Indonesia memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mendudukkan posisinya sebagai negara maritim poros dunia. Bukan sebuah isapan jempol biasa bahwa bangsa ini memiliki “standing point” secara “geososekbud” strategik sebagai sebuah negara yang berkedudukan strategis penting untuk menjadi negara maritim poros dunia. Bagaimana tidak? Secara geografis, negara ini berada di tengah-tengah dua benua yaitu Asia dan Australia serta berada di jalur persimpangan sistem logistik dunia yang menghubungkan dua samudera terluas di dunia yaitu Hindia dan Pasifik. Posisi strategis ini tentu saja memiliki konsekuensi besar terhadap pola dan struktur ruang dunia untuk menempatkan wilayah RI sebagai perlintasan jalur perdagangan dan keamanan dunia. Posisi ini memberikan berkah bagi bangsa ini untuk turut berpartisipasi aktif dalam mengambil perannya sebagai negara maritim poros dunia. Jalur perdagangan dan sistem logistik dunia menggunakan media laut sebagai media perhubungan dan transportasi laut dunia. 80% lebih distribusi perdagangan barang dan jasa menggunakan media transportasi laut dan 40%nya melewati wilayah negara yang memanjang dari Sabang hingga Merauke dan melintang dari Miangas sampai Pulau Rote ini. Secara ekonomi berbasis sumber daya alam dan lingkungan, bangsa ini memiliki potensi yang tidak kalah mentereng dan menyilaukan nilainya. Ada tujuh spektrum ekonomi yang berpotensi memberikan kontribusi sektor maritim terhadap PDB nasional Indonesia. Ketujuh spektrum ekonomi kelautan itu diantaranya adalah perikanan, pariwisata bahari, transportasi laut, esdm lepas pantai, industri kelautan,
23
Volume 21 No. 1 Juni 2016
bangunan kelautan dan jasa kelautan (Kusumastanto, 2002; Dahuri, 2003; Bappenas, 2008). Potensi nilai ekonomi kelautan ini diperkirakan dapat mencapai minimal sebesar 8,22 triliun dollar per tahun. Sumber daya manusia Indonesia pada sektor kelautan sangatlah besar. Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia (sebanyak 255,71 juta jiwa) setelah Cina (1,40 miliar jiwa), India (1,28 miliar jiwa), dan Amerika Serikat (325,13 juta jiwa). Sebagian besar penduduk Indonesia (60%) hidup, bermukim dan berpenghidupan pada sektor kelautan. Artinya, bahwa secara kuantitas SDM kelautan Indonesia diestimasi sebesar 153,43 juta jiwa yang tersebar di pulau-pulau besar maupu pulau-pulau kecil. Keberadaan 153,71 juta jiwa ini menandakan bahwa modal sosial sebagai bagian dari input produksi perekonomian maritim sangat dibutuhkan sebagai pendamping atas penggunaan input alami dan kapital pada sektor maritim ini. Keberadaan SDM kelautan tersebut juga memberikan gambaran betapa kebudayaan berbasis maritim seharusnya juga menjadi input produksi yang bernilai guna, terutama dalam hal akselerasi internalisasi kinerja pembangunan kelautan nasional. Budaya maritim setidaknya juga menjadi faktor pengungkit dari bagaimana politik maritim juga diperankan agar benefit pembangunan kemaritiman dapat direngkuh secara optimal dan didistribusikan secara proporsional untuk sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat Indonesia.
Agrimedia
Bisnis Ekonomi Perikanan dan Industri Pendukungnya Kepmen KP RI No.45 Tahun 2014 menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia dan memiliki potensi sumber daya ikan yang melimpah sebagai modal bagi pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan perikanan sebagai bagian dari pembangunan ekonomi nasional mempunyai tujuan antara lain untuk meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan nelayan dan petani ikan. Potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia cukup besar untuk memberikan kontribusi yang signifikan dalam mencapai tujuan pembangunan nasional. Meskipun kenaikan produksi perikanan selama ini masih dapat dipertahankan atau mungkin dapat ditingkatkan, namun tingkat pemanfaatan sumber daya ikan masih belum merata. Sebagian wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia telah mengalami lebih tangkap (over fishing) dan sebagian lagi masih belum termanfaatkan secara optimal.
Bisnis Pariwisata Bahari Berbasis Kawasan Konservasi dan Kebutuhan Industri Turunannya Indonesia dikenal sebagai negara tujuan wisata dunia, karena Indonesia mempunyai kemampuan untuk menyediakan surga bawah laut dan ruang pantai sebagai atraksi daya tarik wisatawan. Kehadiran wisata bahari di Indonesia tentu saja membawa konsekuensi akan hadirnya potensi ekonomi yang berbasis kemaritiman, karena kegiatan wisata ini membutuhkan dukungan penyediaan aksesibilitas (transportasi udara, darat dan laut) dan juga dukungan industri turunannya, seperti industri penyediaan jasa akomodasi (hotel, guest house, wisma, pondok dan sebagainya), penyediaan konsumsi (makanan dan minuman, termasuk penyediaan ikan konsumsi yang merupakan basis minat wisatawan di bidang kebaharian), penyediaan souvenir, dan sebagainya. Tentu saja, kegiatan turunan dari aktivitas wisata bahari ini akan memberikan gairah ekonomi lokal dan pada gilirannya dapat meningkatkan potensi devisa negara yang dibutuhkan bagi pembangunan nasional secara menyeluruh.
Potensi sumber daya perikanan laut cukup besar dan tersebar di 11 wilayah pengelolaan perikanan dengan potensi pemanfaatan lestari mencapai sebesar 9,93 juta ton per tahun (Kepmen KP RI No.47 Tahun 2016) atau setara dengan nilai sebesar 29,80 milyar US dollar per tahun bilamana harga ikan dirata-ratakan sebesar 3 US dollar per satuan kilonya. Nilai ini tentu saja dapat bertambah bilamana digabungkan dengan potensi produksi perikanan dari kegiatan budi daya yang diperkirakan mencapai sebesar 9 juta ton (perkiraan 2 ton per hektar per tahun, potensi lahan 4,5 juta hektar). Artinya bahwa potensi ekonomi perikanan budi daya diperkirakan dapat mencapai sebesar 18 milyar US dollar per tahun. Sektor perikanan disebutkan di atas hanya baru merupakan sektor primer (produksi) saja, sedangkan sektor perikanan dalam arti luas juga meliputi industri pengolahan hasil perikanan yang mempunyai nilai investasi yang juga tidak kalah besarnya, sehingga tidaklah mengherankan bilamana kemudian sektor perikanan merupakan salah satu spektrum ekonomi maritim yang mampu menjadi andalan bagi perekonomian nasional.
Agrimedia
Volume 21 No. 1 Juni 2016
24
Opini Pemanfaatan potensi wisata bahari ini sangat erat kaitannya dengan bagaimana promosi wisata dapat dilakukan untuk memenuhi target dan potensi kunjungan wisata yang telah dicanangkan pemerintah RI. Target dan potensi kunjungan wisata mancanegara ke Indonesia diharapkan sebanyak 20 juta wisatawan (Kemenpar, 2016). 20 juta wisatawan ini tentu saja akan berdampak ekonomi bagi Indonesia, baik secara langsung (direct economic impact) maupun tidak langsung (indirect economic impact), disamping juga mendorong terjadinya dampak ekonomi turunan (induced demand) yang tidak sedikit. Artinya bilamana setiap wisatawan memberikan dampak ekonomi (economic impact) yang dihitung berdasarkan pengeluaran kunjungan wisata yang dilakukan sebesar 1000 US dollar saja (tidak termasuk biaya transportasi), maka potensi pemasukan devisa negara dari sektor ekonomi pariwisata bahari ini dapat mencapai sebesar 20 miliar US dollar per tahun. Tentu saja biaya transportasi yang hadir di dalamnya akan memberikan dampak ekonomi tersendiri, diantaranya pengeluaran untuk tiket pesawat, jasa transportasi darat (rental, taxi, dsb) dan jasa transportasi laut (rental, pelayaran, dsb). Atraksi wisata bahari di Indonesia biasanya berada di dalam suatu kawasan konservasi perairan. Kawasan konservasi perairan. Kawasan konservasi ini tentu saja menyimpan begitu banyak jasa-jasa ekosistem, baik jasa penyediaan/produksi (provisioning service), seperti ikan konsumsi dan biota lainnya, jasa pengaturan
25
Volume 21 No. 1 Juni 2016
(regulating service) seperti iklim dan pencegahan abrasi pantai, jasa budaya (cultural service), seperti estetika alam, dan jasa pendukung (supporting service), seperti siklus nutrien. Republik Indonesia menargetkan sebanyak 20 juta hektar kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil didaulat untuk ditetapkan menjadi kawasan konservasi laut, saat ini baru tersedia seluas 13,52 juta hektar. Merujuk pada Costanza et al. (2014) dengan pendekatan nilai ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang, nilai jasa ekosistem kawasan konservasi diestimasi sebesar 575.008 US dollar per hektar per tahun. Dengan demikian dapat diestimasi bahwa potensi nilai ekonomi jasa kelautan dari keberadaan kawasan konservasi laut saat ini (13,52 juta hektar) adalah sebesar 7.774,11 miliar US dollar per tahun. Bisnis Transportasi Laut, Industri Galangan Kapal dan Kepelabuhanan Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yaitu mencapai sebanyak 17.504 buah pulau kecil dan besar, sedangkan 2/3 wilayahnya merupakan perairan. Salah satu yang pasti adalah bahwa sistem distribusi logistik dan pelayaran nasional menggunakan armada transportasi laut. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bilamana kemudian KADIN Indonesia (2015) memberikan taksiran bahwa Indonesia memiliki potensi bisnis transportasi laut sebesar 20 miliar dollar per tahun.
Agrimedia
Perikanan merupakan salah satu spektrum ekonomi maritim yang sangat membutuhkan transportasi laut untuk mendistribusikan produk hasil perikanannya, baik dalam bentuk primer maupun olahan. Tentu saja kebutuhan distribusi produk hasil perikanan memerlukan penanganan yang khusus, sehingga jenis transportasi laut yang digunakan juga harus mampu menyediakan ruang khusus yang dibutuhkan agar kualitas produk yang dibawa dapat dipertahankan hingga sampai tujuan pasarnya. Selain perikanan, pariwisata bahari merupakan spektrum ekonomi maritim yang juga sangat membutuhkan kehadiran dan ketersediaan sarana transportasi laut. Akses terbatas ke daerah-daerah khusus yang menyediakan atraksi wisata bahari sangatlah terpencil dan cenderung langka dikunjungi transportasi laut yang disediakan secara publik. Oleh karena itu, dibutuhkan jenis transportasi khusus yang mampu memenuhi kebutuhan angkutan wisatawan dengan dilengkapi sistem keamanan pelayaran yang memadai. Oleh karena itu, hadirnya industri turunan akan penyediaan sarana transportasi (industri galangan kapal) ini menjadi hal yang diperlukan agar kegiatan wisata bahari dapat memenuhi target wisata yang ditetapkan dan pada gilirannya akan memberikan dampak lebih signifikan bagi perekonomian nasional. Potensi kebutuhan galangan kapal untuk menyediakan sarana transportasi laut ini memang menjadi mutlak diperlukan kehadirannya. Bappenas (2015) menyebutkan bahwa potensi pemenuhan kebutuhan kapal dari industri perkapalan Indonesia mencapai per tahunnya dapat mencapai sebanyak 1000 kapal. Artinya bahwa bilamana rata-rata harga kapal tersebut diduga dapat mencapai sebesar 10 juta dollar saja, maka potensi industri kelautan sektor perkapalan ini diperkirakan sebesar 10 miliar US dollar per tahun. Bisnis industri kelautan sendiri seperti dalam taksiran KADIN Indonesia (2015) diperkirakan mencapai senilai 171 miliar per tahun, termasuk industri perkapalan, pengolahan ikan, penyediaan sarana alat tangkap, penyediaan alat selam, mesin kapal, dsb. Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua (95.181 km) di dunia setelah Kanada tentu saja membutuhkan konektivitas antar pulau yang dipenuhi dengan penyediaan sarana transportasi laut yang
Agrimedia
memadai untuk memenuhi kebutuhan distribusi logistik nasional. Sarana ini tentu saja memerlukan pelabuhan sebagai prasarana dasar agar konektivitas antar pulaupulau di Indonesia dapat didistribusi secara merata ke seluruh daratan pulau. Konektivitas antar pulau ini perlu didesain dengan sistem koridor dan hubungan utama yang akan berfungsi menjadi pelabuhan utama yang akan dihubungkan dan menghubungkan kota-kota bandar di nusantara. Dalam konteks inilah, “Tol Laut” perlu diintegrasikan dengan jaringan jalan nasional dan ferry penyeberangan sebagai jembatan bergerak (movable bridge). Perpaduan konsep “Tol Laut”, jaringan jalan, ferry penyeberangan, diharapkan dapat membentuk jaringan nautical freeway yang menjadi kunci konektivitas domestik. Kebutuhan untuk menunjang implementasi konektivitas ini, dibutuhkan sebanyak 24 pelabuhan utama yang akan didukung oleh 36 pelabuhan pengumpul dan 7 pelabuhan pengumpan (BPIW, 2016). Potensi ekonomi kelautan yang dapat dihadirkan oleh keberadaan bangunan kelautan ini diantaranya berupa dampak ekonomi langsung (direct economic impact), tidak langsung (indirect economic impact), dan dampak permintaan turunan (induced demand). Mengacu pada kajian dampak pelabuhan perikanan yang dilakukan KKP (2015), dampak ekonomi dari keberadaan pelabuhan perikanan di PPS Jakarta dapat mencapai 0,48 miliar US dollar. Bilamana koefisien pengungkit dampak pelabuhan umum diestimasikan sama rata sebesar 3 kali dari dampak ekonomi keberadaan pelabuhan perikanan, maka potensi ekonomi bangunan kelautan ini dapat mencapai sebesar 95,30 milyar US dollar per tahun. Bisnis Migas Lepas Pantai Spektrum ekonomi perikanan, pariwisata bahari, transportasi laut dan industri kelautan tentu saja sangat memerlukan dukungan kehadiran sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) dalam rangka menyediakan kebutuhan akan energi penggerak dan pendukung keempat spektrum tersebut. Oleh karena itu, kehadiran ESDM mutlak diperlukan untuk menjaga pasokan energi yang dibutuhkan empat spektrum ekonomi maritim terkait tersebut tetap dapat memberikan manfaat ekonomi bagi bangsa Indonesia. Kebutuhan keempat spektrum ekonomi maritim
Volume 21 No. 1 Juni 2016
26
Opini tersebut sangatlah besar, terutama dalam hal penyediaan bahan bakar minyak sebagai kebutuhan primer bagi beroperasinya kapal-kapal pengangkut barang dan jasa serta kapal-kapal penangkap ikan yang tersebar di seluruh wilayah perairan di Indonesia. Khusus untuk kapal perikanan, sebanyak lebih dari 40% (Wahyudin, 2012) biaya operasi penangkapan ikan yang dilakukannya merupakan kebutuhan akan BBM (bahan bakar minyak), sehingga tidaklah mengherankan bilamana sektor ini merupakan salah satu sektor yang sangat tergantung pada ketersediaan stok BBM yang dapat disediakan negara. Demikian halnya dengan transportasi laut yang lebih dari 60% biaya operasionalnya adalah untuk kebutuhan BBM. Oleh karena itu, sektor ESDM dapat menjadi sektor kunci (prasyarat) bagi pengembangan ekonomi maritim Indonesia, selain tentu saja diperlukan upaya pengembangan penyediaan energi alternatif yang dapat menjadi pelengkap atau bahkan pengganti kebutuhan bahan bakar berbasis fosil. Saat ini, potensi sumber daya minyak dan gas di laut yang menakjubkan juga dimiliki Indonesia. Data BPPT (1998) menunjukkan bahwa sampai saat ini Indonesia mempunyai potensi ketersediaan minyak dan gas dari wilayah laut sebanyak 106,2 miliar barel setara minyak atau senilai 5,30 triliun US dollar bilamana asumsi harga minyak tetap sebesar 50 US dollar per barel. Bilamana diperkirakan potensi tersebut habis dalam 50 tahun ke depan, potensi sektor ini diperkirakan mencapai sebesar 106,2 miliar per tahun.
27
Volume 21 No. 1 Juni 2016
Arahan Kebijakan dan Pembangunan Negara Maritim Poros Dunia Menutur pada beberapa ringkasan kebijakan para pemimpin terdahulu, maka tidaklah kemudian menjadi kendala untuk menuangkan pandanganpandangan tersebut menjadi suatu rumusan kebijakan pembangunan negara maritim poros dunia. Kebijakan tersebut tentu saja harus dijalankan agar cita-cita tersebut dapat terwujud, dimana kebijakan pembangunan negara maritim poros dunia ini harus dilakukan secara holistik, integratif, tematik dan spasial (HITS, merujuk Menteri ATR, 2016). Kebijakan pertama, merujuk pada deklarasi Juanda (13 Desember 1957), yaitu menyatukan pulau-pulau dalam kesatuan negara kepulauan. Artinya bahwa konsep pembangunan nasional harus diarahkan dan berbasis pada pembangunan kelautan. Dalam konten ini, Prof. Tridoyo Kusumastanto (2010) menyodorkan pentingnya membangun 3 pilar pembangunan kelautan, yaitu (i) pilar kebijakan kelautan, (ii) pilar ekonomi kelautan, dan (iii) pilar tata kelola kelautan. Ketiga pilar pembangunan kelautan ini harus dimiliki dan diimplementasikan secara holistik, integratif, tematik dan terdistribusi secara spasial.
Agrimedia
Kebijakan kedua, merujuk pada pidato Presiden RI pertama pada “First Maritime Convention” pada tahun 1963, yaitu bahwa “negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan dan untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada yang seimbang”. Artinya, bahwa transportasi laut dan industri galangan kapal harus memegang peranan penting dalam menguasai laut, termasuk dalam bagaimana memanfaatkan potensi kelautan yang ada secara optimal dan berkelanjutan. Kebijakan ketiga, merujuk pada pandangan Presiden RI kedua, dimana dalam kepemimpinannya tersirat pandangan bahwa “maritim tidak hanya laut, tetapi juga kebudayaan, jadi marilah kita memanfaatkan laut kita kita yang luas ini dengan baik”. Artinya, bahwa perlu upaya peningkatan SDM yang profesional dan proporsional agar dapat mengelola dan memanfaatkan sumber daya kelautan dengan baik (baca: optimal dan berkelanjutan). Kebijakan keempat, merujuk pada pidato Presiden RI ketiga pada Deklarasi Bunaken pada 26 September 1998, yaitu bahwa “visi pembangunan dan persatuan nasional Indonesia harus juga berorientasi ke laut, dengan memberikan perhatian pada pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan potensi kelautan Indonesia”. Artinya, bahwa kebijakan pengembangan IPTEK kelautan sangat diperlukan agar potensi kelautan yang ada dapat dimanfaatkan secara ekonomi dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian sumber dayanya. Selain itu, pandangan ini mengobarkan pentingnya pembangunan yang berorientasi dan berbasis kelautan. Kebijakan kelima, merujuk pada semangat membangun kelautan yang diimplementasi oleh Presiden RI keempat dengan membentuk departemen khusus yang mengurusi kelautan. Keberadaan departemen ini tentu saja merupakan salah satu komitmen yang harus tetap dijaga dan diaktifkan oleh siapa saja penerus tongkat estafet kepemimpinan negara ini. Kebijakan keenam, merujuk pada pidato Presiden RI kelima pada acara deklarasi “Seruan Sunda Kelapa, 27 Desember 2001”, yaitu bahwa “perlu mengembangkan industri dan jasa maritim secara optimal dan lestari bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, antara
Agrimedia
lain wisata bahari, mengelola kawasan-kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi secara serasi dan berkelanjutan. Artinya, bahwa perlu akselerasi pembangunan dan pengembangan industri kelautan dan jasa kelautan serta mengoptimalkan penerapan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (integrated coastal management, ICM). Kebijakan ketujuh, merujuk pada pidato Presiden RI keenam pada acara World Ocean Convention pada bulan Mei 2009, yaitu “we must come to the rescue of the ocean and we must preserve them as our legacy for our future generations, so that they may live free from the shackles of poverty”. Artinya, bahwa peningkatan kawasan konservasi laut perlu diakselerasi dan diwujudkan dengan baik agar kawasan tersebut dapat menjadi warisan bagi upaya pemenuhan kesejahteraan masyarakat di masa mendatang. Dan masyarakat sekarang dan masa mendatang memperoleh benefit yang minimal sama sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang telah menjadi kesepakatan bersama bangsa-bangsa di dunia. Berdasarkan tujuh arahan kebijakan tersebut, maka tidaklah mengherankan bilamana kemudian Presiden RI ketujuh membuat sebuah kesimpulan cerdas untuk meramu, merangkai dan menyatukan seluruh cita-cita dari para pendahulunya agar menempatkan sektor maritim sebagai motor penggerak utama pembangunan nasional dengan cara membangun Indonesia sebagai negara maritim poros dunia. Tentu saja, bukanlah menjadi keputusan gegabah bilamana menempatkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, karena secara geografis, sosial, ekonomi dan budaya, Indonesia memang mempunyai kapasitas dan kapabilitas untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, proses yang dilakukan secara holistik, terintegrasi, bertematik, serta didistribusikan secara spasial proporsional harus dilakukan agar perencanaan pembangunan, perencanaan ruang, dan implementasi pembangunannya dapat berjalan dalam harmoni untuk mewujudkan misi ketujuh yang tercantum dalam UU No.17 Tahun 2007 tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional 2005-2025, yaitu “mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional”.
Volume 21 No. 1 Juni 2016
28
Opini REFERENSI Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah. 2016. Pengembangan Infrastruktur Kawasan Berbasis Kemaritiman. Disampaikan dalam acara Focus Group Discussion“Pengembangan Kawasan Ekonomi Maritim”, Jakarta, 11 Agustus 2016. Bappenas. 2015. Arahan Pembangunan Nasional Bidang Kemaritiman 2015-2025. Strategic Report. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia. Jakarta. Bappenas. 2008. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2009-2014. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta. BPPT. 1998. Potensi Minyak Indonesia. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. Costanza,R., de Groot, R., Sutton, P., van der Ploeg, S., Anderson, S.J., Kubiszewski, I., Farber, S., and Turner, R.K. 2014. Changes in the global value of ecosystem services. Global Environmental Change 26 (2014) 152–158. Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. KADIN Indonesia. 2015. Potensi Bisnis Transportasi Laut di Indonesia Capai USD 20 Milyar. Ruang Bisnis. Hetanews.com. Selasa, 26 Mei 2015. http://www.hetanews.com/article/21780/
potensi-bisnis-transportasi-laut-di-indonesiacapai-usd-20-milyar. Kemenpar. 2016. Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nasional. Kementerian Pariwisata Republik Indonesia. Jakarta. KKP. 2015. Kajian Evaluasi Dan Analisis Dampak Pembangunan Pelabuhan Perikanan Terhadap Perekonomian Kawasan. Laporan Akhir. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta. Kusumastanto, T. 2002. Reposisi Ocean Policy dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar, Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), Bogor. Kusumastanto, T. 2010. Kebijakan Tatakelola Kelautan Indonesia (Indonesia Ocean Governance Policy). Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Wahyudin, Y. 2012. Perlukah Impor Ikan? Opini pada Harian Bisnis Indonesia. Jakarta, 15 Juni 2012. http://www.researchgate.net/ publication/282604773_Perlukan_Impok_ Ikan?ev=prf_pub
*) Kepala Divisi Kebijakan Ekonomi dan Kelautan PKSPL IPB Mahasiswa Doktoral Program Studi Ekonomi Sumber daya Kelautan Tropika IPB
29
Volume 21 No. 1 Juni 2016
Agrimedia