Morpin
Edisi 09/ Februari Buletin dwi mingguan Opini
Media Obyektif dan Kreatif Opini
Fokus
Ritual
DI BALIK BERDIRNYA CHANNEL “Dan bila mentari esok tak bersinar lagi….. tak terbayangkan setengah mati kehilanganmu…….”. penggalan lirik ADA Band di atas agaknya sangat cocok untuk buletin Morpin yang sudah lama tidak hadir di tengah rekan-rekan sekalian. Sama seperti redaksi yang merindukan Morpin, akhirnya dengan tekad bersama serta totalitas untuk buletin FISIP tercinta, kita sambut kembali kehadirannya…Welcome back Morpin…. Era teknologi komunikasi yang makin pesat, justru membuat Jurusan Komunikasi FISIP tidak mau ketinggalan jaman. Bersama-sama dengan beberapa mahasiswa D3, mereka menyatukan ide dan “menciptakan” stasiun TV kampus yang diberi nama Channel. Jikalau rekan-rekan bertanya-tanya tentang apa itu Channel maka jangan raguragu untuk menyimak rubrik fokus edisi kali ini. Tak ada kesempurnaan di muka bumi, hal itu sangat disadari redaksi, maka tak bosan-bosannya kami selalu mengharap partisipasi rekan-rekan untuk bersamasama memajukan media kampus tercinta. Bagaimanapun OPINI adalah wadah milik rekan-rekan FISIP untuk menuangkan aspirasi. Akhir kata selamat membaca…………… Red Bull
Di era globalisasi yang penuh dengan teknologi canggih ini, mahasiswa sebagai komunitas intelektual dituntut untuk semakin memperluas kemampuan dan pengetahuannya. Bidang komunikasi khususnya di bidang audio visual dan pertelevisian, sebuah bidang yang akhirakhir ini makin marak perkembanganya baik teknologinya maupun dalam segi keilmuannya yang semakin maju. Dalam hal ini FISIP melalui Jurusan Komunikasinya ditantang untuk mensiasati perkembangan teknologi komunikasi tersebut, sehingga produk lulusan Jurusan Komunikasi sendiri mampu untuk bersaing dalam dunia kerja yang semakin keras. Semakin maraknya dunia pertelevisian di Indonesia sekarang ini agaknya membawa udara segar bagi para mahasiswa khususnya mahasiswa komunikasi. Sebab hal ini berarti bahwa lapangan pekerjaan yang ada bagi mereka akan semakin bertambah luas. Namun harapan tersebut bisa jadi hanya sebuah mimpi indah yang tidak dapat dicapai, karena untuk masuk dalam dunia tersebut memerlukan tidak hanya intelektualitas saja namun juga kemampuan teknis untuk mengoperasikan alat-alat yang dipergunakan oleh media televisi. Jurusan Komunikasi sekarang ini bisa dikatakan mencoba untuk menjawab tantangan jaman tersebut dengan mendirikan sebuah stasiun televisi milik Jurusan Komunikasi. Stasiun televisi ini diberi nama stasiun televisi Channel, idenya sendiri memang berawal dari Jurusan Komunikasi didukung dengan adanya beberapa mahasiswa komunikasi yang tertarik pada bidang audio visual yang kebetulan mereka-mereka ini adalah asisten Edisi 9/Februari 2004
1
dosen yang mengajar mata kuliah audio visual. Channel dioperasikan oleh mahasiswa komunikasi ditambah beberapa orang yang telah ditunjuk oleh pihak jurusan. Jurusan Komunikasi bertindak sebagai pelindung, dan untuk masalah pendanaan Channel, dana berasal dari mahasiswa yang terlibat secara langsung dalam channel (seluruh kru Channel). Sedangkan jurusan hanya menyediakan tempat dan peralatan. Dalam hal perekrutan kru Channel, jurusan memprioritaskan mahasiswa-mahasiswa yang telah menjadi asisten dosen yang kemudian mereka diberi kewenangan untuk mencari tambahan orang untuk membantu mereka. alasan pihak Jurusan Komunikasi membuat kebijakan tersebut karena orang-orang tersebut dipandang mampu untuk mengoperasikan alat-alat yang ada di laboratorium audio visual, karena peralatan-peralatan tersebut memang memerlukan keahlian khusus dalam pengoperasiannya. Sampai saat ini menurut manajer Channel Feri J.K. secara keseluruhan jumlah kru adalah 42 orang yang semuanya adalah mahasiswa komunikasi. Channel rencananya akan mengudara pada tanggal 16 Februari 2004 tapi jadwal tersebut dapat berubah menyesuaikan dengan kesiapan peralatan yang ada, karena peralatan yang ada terbatas dan kebanyakan sudah berumur tua. Channel akan mengudara selama kurang lebih 2-3 jam 4 kali selama seminggu. Program acara yang akan ditayangkan adalah musik, sport, news, education, entertain, dan talk show. Menurut manajer Channel, kendala yang dialami oleh kru Channel adalah masalah peralatan yang terbatas dan umur dari perlatan audio visual yang ada sudah cukup tua sehingga memerlukan perlakuan khusus dalam pengoperasiannya. Selain itu masalah minimnya dana juga cukup merepotkan kru sehingga untuk proses awal penyiaran Channel agak tersendat-sendat. Untuk perkembangan di masa mendatang menurut manajer Channel, masalah rekrutmen Menurut pihak Jurusan dengan adanya Channel 2
Edisi 9/Februari 2004
ini, diharapkan mahasiswa dapat lebih memanfaatkan fasilitas audio visual lebih optimal. Karena tujuan dari pendirian Channel sendiri adalah tetap sebagai laboratorium untuk mengedukasi mahasiswa. Ketika ditanyakan baik kepada pihak Channel maupun pada pihak Jurusan mengenai adanya kemungkinan terganggunya kegiatan mahasiswa dengan Channel, kedua belah pihak menjawab akan memprioritaskan kebutuhan dan kepentingan mahasiswa dengan kata lain kegiatan Channel akan menyesuaikan dengan jadwal pemakaian studio oleh mahasiswa. Kedepan baik pihak Channel maupun pihak Jurusan merencanakan akan mengadakan pelatihanpelatihan untuk menambah kemampuan mahasiswa komunikasi dalam hal ketrampilan pengoperasian peralatan audio visual. Sedangkan perekrutan di masa mendatang jurusan tetap akan hanya mengambil kru dari mahasiswa komunikasi. Ketika kru Morphin mendatangi pihak fakultas untuk menggali informasi lebih lanjut, Dekan mengatakan bahwa pihak fakultas sudah mengetahui mengenai rencana pendirian Channel tersebut dan berharap bahwa Channel sebagai stasiun televisi milik kampus dapat berkembang menjadi UKM, hal ini berbeda dengan pendapat pihak jurusan yang menginginkan Channel hanya menjadi tempat kegiatan bagi mahasiswa komunikasi. Dengan berdirinya stasiun televisi milik kampus ini memang membawa harapan baru bagi mahasiswa khususnya mahasiswa komunikasi. Namun kembali sebuah pertanyaan muncul, akankah Channel akan benar-benar menjadi sebuah ajang pembelajaran bagi mahasiswa komunikasi secara keseluruhan baik mahasiswa reguler, ekstensi maupun D3, atau hanya dapat dimanfaatkan oleh segelintir orang yang mempunyai kedekatan khusus dengan pihak dosen? dan apakah mahasiswa jurusan lain juga akan memiliki kesempatan untuk memanfaatkan fasilitas tersebut?. Kita tunggu saja langkah dari pihak Channel dan kebijakan-kebijakan yang akan diambil di masa mendatang oleh fakultas dan jurusan.
Artikel TRADISI INTELEKTUAL MELALUI BUDAYA BACA, TULIS DAN DISKUSI
“Membaca dapat mengetahui sesuatu yang baru, Menulis dapat merekamnya lebih permanen dan pemerdekaan apresiasi serta diskusi akan membantu menganalisanya dan memperdalam pemahaman dan juga pembebasan terhadap interprestasi. “ ( Taufik Akbar Syam ) Mahasiswa yang disebut kaum literariness praktis menjadikan budaya baca sebagai sebuah kebutuhan primer. Sepantasnyalah menjadi akrab dengan buku. Sudah merupakan konsepsi umum bahwa membaca akan membantu untuk memperkaya wawasan dan horison keilmuan. Pun ada yang mengatakan bahwa membaca (buku khususnya) berarti telah menikmati suatu karya besar yang tidak diciptakan langsung oleh Tuhan. Kebutuhan membaca sendiri seringkali mengalami dikotomi, disatu sisi mahasiswa membaca sesuatu hanya karena kebutuhan pragmatis, misalkan karena kebutuhan mengerjakan tugas kuliah atau dalam suasana ujian, jadi bukan karena budaya baca itu sendiri. Namun adapula yang memang menjadikan kebiasaan membaca sebagai sebuah budaya sehingga menjadi tidak valid ketika kebutuhan dan motif membaca itu digeneralisasikan . Budaya membaca akan mempertegas label keilmuan karena dengan sendirinya memperluas cakrawala pengetahuan, namun menjadikan budaya baca sebagai salah satu parameter keintelektualan juga mengalami preferensi untuk tidak refresentativ terhadap variabel intelektualitas itu sendiri, apalagi bila dalam membaca tidak disertai dengan sikap kritis. Berbicara budaya membaca, tak bisa dilepaskan dari budaya menulis karena sudah sepantasnya mahasiswa yang gemar membaca juga terbiasa untuk menulis sebagai sebuah pemerdekaan terhadap apresiasi dan dengan menulis akan membantu merekam suatu pengetahuan lebih permanen yang sering dianalogikan mengikat ilmu . Tulisan adalah cermin keilmuan dan salah satu variabel keintelektualan, karena dalam proses kreatif, seorang penulis harus bisa menangkap, membaca dan
memahami realitas kongkret untuk dituangkan dalam tulisannya, baik itu untuk tulisan ilmiah maupun tulisan imajinatif dimana realitas kongkret menjadi pembanding untuk menuangkan ide kreatif yang imajinatif sehingga seorang penulis senantiasa harus bersentuhan dengan realitas kongkret. Sartre dengan slogannya yang pupuler “nulla dies sine linea”, tiada hari tanpa baris baris tulisan mengukuhkan diri sebagai intelektual lewat tulisantulisan yang dihasilkannya dengan merekam realitas dan menawarkan ide kreatif. Juga bagi seorang penulis Perancis , Simone de Beauvior , merumuskan bahwa menulis adalah vocation, jawaban terhadap suatu panggilan jiwa yang terdengar sejak awal kehidupan. Jadi menjadi faktual ketika aktivitas menulis dilakoni maka secara otomatis orang tersebut harus terlibat secara kritis dengan realitas. Menulis, secara filosofis juga menuntut kita untuk banyak membaca sebagai pelengkap referensi karena dengan banyak membaca, maka menjadi mudah untuk mengeluarkan sesuatu dalam bentuk tulisan karena banyaknya referensi yang ada. Menulis adalah merupakan salah satu bentuk pengaktualisasian intelektualitas, karena sebuah tulisan menjadi pilar peradaban dan saksi dari kesejarahan paling tidak sejarah bagi penulisnya sendiri . Menulis menjadi kawah pergulatan eksistensi, seperti yang dikatakan Hernowo2 bahwa menulis berarti membebaskan diri, mengekspresikan diri, menemukan diri, bentuk kecintaan mengikat ilmu serta pengukuran pertumbuhan rohani sehingga budaya baca dan tulis memang menjadi aktifitas yang seharusnya dibudayakan karena merupakan katalisator yang efektif bagi pencapaian intelektualitas . Bila budaya baca dan tulis dapat mendukung untuk pencapaian intelektualitas, maka budaya diskusi yang akan menguatkannya.. Diskusi adalah merupakan salah satu wacana yang dapat membantu menganalisa sesuatu , akan memperdalam pemahaman serta merupakan katarsis terhadap interprestasi.. Diskusi secara alamiah akan menjadikan kita kritis terhadap suatu permasalahan dan dapat menilai suatu hal dari berbagai sudut pandang. Diskusi merupakan tahap pertengahan antara teori dan praksis, Dikelompok diskusi persoalan diutarakan dan dikaji untuk selanjutnya diupayakan sebuah sulosi sehingga hasil akhir dari sebuah diskusi, paling tidak berupa pencerahan pemikiran dan atau aksi riil yang merupakan follow up dari hasil diskusi. Diskusi mempersatukan konsepsi dan tendensi bersama karena merupakan sintetis dari berbagai ide dan pikiran . TATARAN KEMAHASISWAAN Mengidentifikasi tradisi intelektual melalui budaya baca, tulis dan diskusi pada tataran kemahasiswaan menjadi menarik untuk dicermati mengingat mahasiswa adalah komunitas intelektual yang notabene harus akrab Edisi 9/Februari 2004
3
dengan budaya baca, tulis dan diskusi tersebut. Dari absraksi aposteriori penulis terhadap perwajahan budaya baca, tulis dan diskusi pada tataran kemahasiswaan cukup memprihantinkan , bahkan penulis dengan meminjam salah satu idiom dapat mengillustrasikan bahwa sebagian besar mahasiswa saat ini. Idiom tersebut yaitu rabun membaca, lumpuh menulis bahkan ditambahkan oleh penulis sendiri juga kelu berdiskusi. Budaya membaca pada mahasiswa umumnya hanyalah sebatas urgensi yang pragmatis (mungkin termasuk penulis) seperti pemenuhan tugas - kuliah dan menjadi proggressif ketika akan memasuki suasana ujian, pun buku atau materi bacaan hanya berkisar pada disiplin ilmunya sendiri sehingga untuk pengembangan wawasan dan pola pikir menjadi stagnan. Buku atau materi bacaan yang diluar dari disiplin ilmunya seringkali dianggap tidak relevan dan tidak esensial untuk dikomsumsi karena adanya konsepsi yang ortodoks dalam menilai suatu bacaan. baca bisa dimulai dengan bacaan-bacaan yang agak ngepop yang mungkin akan menarik minat mahasiswa untuk membaca, atau membaca buku pun bisa dilakukan dengan ngemil, yang selanjutnya akan membuat budaya baca itu mentradisi dan menghapus idiom sebagai komunitas yang rabun membaca, namun membaca harus disertai sikap yang kritis sehingga apa yang dibaca tidak dikonsumsi begitu saja, tapi juga dapat diolah dan dimaknai . Seperti halnya budaya baca, budaya tulis dikalangan mahasiswa pun merupakan potret buram, padahal bila dicermati setiap individu mempunyai kapabilitas untuk itu, terbukti dari kemampuan untuk membuat tugas kuliah, paper, makalah maupun skripsi. Ironisnya, potensi menulis atau potensi kreatiff menjadi hilang ketika itu tidak dibudayakan dan menjadi patologi intelektual yang kronis. Menulis merupakan aktivitas yang sangat penting karena akan berakibat langsung pada pertumbuhan pengetahuan penulisnya. Ali Bin Abi Thalib3 mengatakan “ikatlah ilmu dengan menuliskannya”, artinya dengan menulis, maka sebuah ilmu- sebuah pengetahuan atau informasi baru yang kita peroleh dapat “diikat” atau diingat dengan baik apabila kita menuliskannya, atau seperti pula yang dikatakatan oleh Ludwig Van Bethoven,4 “apabila saya tidak segera mencatat temuan-temuan saya, maka tentu saya akan melupakannya, tapi apabila aya mencatatnya, maka saya akan pernah melupakannya dan tak perlu saya lihat lagi”. Hal ini menegasklan bahwa dengan menulis, maka hal yang kita tulis tersebut akan terekam dengan baik dalam pikiran kita. Jadi akankah kita tetap menjadi mahasiswa yang lumpuh menulis ?. Melengkapi potret buram budaya baca dan tulis dikalangan mahasiswa, budaya diskusi pun adalah pemandangan yang langka, pun bila ada, itu dalam tingkatan kelompokp kecil bahkan bisa dikatakan bahwa umumnya diskusi tersebut terjadi secara spontan. Hal ini mengakibatkan transformasi keilmuan dan penyatuan 4
Edisi 9/Februari 2004
konsepsi antar mahasiswa pun menjadi stagnan dan yang memiriskan, tatkala kita akan menyikapi persoalan yang ada, maka menjadi mengambang karena tidak adanya forum yang dibangun untuk itu, yang selanjutnya mematikan fungsi intelektualitas. Lalu, tetapkah kita kan menjadi mahasiswa yang kelu berdiskusi ? MEMAKNAI INTELEKTUALITAS “ Ketika pengetahuan sudah menjadi budaya populer yakni bentuk permukaan yang simple dan mudah dicerna maka terjadi pendangkalan karena tidak menjadikan mahasiswa kritis , justru menjadi ‘silence society’, komunitas yang diam . Budaya intelektual menjadi hilang karena hilangnya sifat kritis tersebut “ ( YASRAF A.P )5 Mahasiswa yang identik sebagai kaum yang terpelajar atau yang lebih acap disebut intelektual , sebagai intelek yang merasa telah mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, mahasiswa seringkali merasa eksklusif, menjadi kaum elitis sehingga tidak dapat dinafikan bila digambarkan sebagai penghuni di atas menara gading yang memandang realitas disekelilingnya menjadi kecil dan kurang nampak. Menjadi sebuah keharusan untuk menyikapi fenomena mengenai eksistensi mahasiswa dalam statusnya sebagai kaum intelektual yang bertradisi keilmuan. Untuk itu perlu adanya sebuah konsepsi yang sama tentang pemahaman intelektulitas. Merunut dari banyaknya defenisi tentang intelelektualitas itu sendiri maka penulis merujuk dari beberapa tafsiran yang dikemukakan oleh para pemikir antara lain seperti yang dikatakan oleh seorang pemikir Islam kontemporer, Ali Syari’ati6 bahwa intelektual adalah orang atau sekumpulan orang yang berpengetahuan dan atau telah mengenyam pendidikan dan merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, menawarkan dan membantu memecahkan masalah di masyarakatnya . Atau seperti yang digambarkan oleh James Burns 7 bahwa intelektual adalah a devotee of ideas, knowledge, value. Intelektual ialah orang yang terlibat secara kritis dengan nilai tujuan, cita-cita yang mengatasi kebutuhan praktis di dalam masyarakatnya dan membentuk lingkungannya dengan gagasan analitis dan normatifnya. Dalam bahasa persia intelektual dianalogikan sebagai rausyanfikr yang berarti “pemikir yang tercerahkan “. Dari beberapa defenisi diatas dapat dikatakan bahwa intelektual adalah orang yang memiliki pengetahuan dan sadar akan tanggung jawabnya terhadap msyarakat sebagai orang yang berpengetahuan untuk membuat perubahan didalam masyarakat menjadi lebih baik. Sebagai mahasiswa yang dengan sendirinya menyandang predikat sebagai intelektual diharap untuk mempertanggung jawabkan ke intelektualitasannya, namun sejauh mana mahasiswa memiliki tradisi ntelektual dan telah menjalankan fungsi itu menjadi sebuah wacana yang patut dikedepankan.
Mempertanyakan aktualisasi fungsi intelektualitas dalam tataran kemahasiswaaan seperti melihat potret buram sebagaimana yang telah digambarkan sebelumnya diatas karena kurangnya tradisi intelektual yang terbangun dikalangan mahasiswa itu sendiri. Status mahasiswa dan kampus sebagai salah satu kawah candradimuka keilmuan harus diakui tidak banyak dioptimalkan oleh mahasiswa itu sendiri. Sehingga untuk berharap banyak pada mahasiswa untuk menciptakan perubahan dalam masyarakat hampir menjadi sebuah utopia. Tidak menjadi naif bila ada klaim bahwa mahasiswa berada di atas sebuah menara gading yang dengan megahnya berdiri disekeliling bangunan bangunan kecil yang gelap atau bahkan juga kumuh, namun orang orang di atas menara gading ini tidak dapat melihat realitas kongkret dan tidak merasa terpanggil untuk turun dan mengubah keadaan karena terlena akan kenikmaatan di atas menara gadingnya, mahasiswa menjadi asyik sendiri, tak ada sensibilitas terhadap kondisi sosial kemasyarakatan lantas menjadi apatis, elitis dan eksklusif . Banyak hal yang melatari keadaan tersebut, diantaranya adalah bahwa mahasiswa sendiri kurang berkeinginan untuk membangun tradisi intelektualitas dalam dirinya karena memandang pendidikan yang dijalaninya hanyalah sekedar kebutuhan pragmatis untuk memperoleh gelar guna menjadi nilai jual untuk mencari kerja sehingga peningkatan kualitas diri cenderung diabakan dan hanya sekedarnya. Kuliah dianggap simple, dianggap sebagai ritual biasa. Aktifitas rutin dan monoton, kuliah, pulang, istirahat, nonton, jalan jalan (mungkin lebih asyik dengar pacar ) dan malam belajar . Sekilas tampak ideal namun bila dicermati tak ada upaya untuk mengembangkan pola pikir dan mempertanggung jawabkan status sebagai kaum intelektual. Kondisi ini yang berkembang dikalangan mahasiswa kini. Boleh jadi pula kita terjebak seperti apa yang disinyalir oleh Yasraf A.Piliang8 bahwa hilangnya budaya intelektual itu karena terseret oleh budaya hedon lewat gaya hidup konsumerisme sehingga kita hanya mementingkan yang bersifat permukaan, image, penampilan dan gaya yang mengakibatkan kita melupakan yang subtansial. Dari pluralnya permasalahan yang mengakibatkan hilangnya budaya intelektual dikalangan mahasiswa menjadi penegas bahwa kepekaan sosial yang harusnya dimiliki menjadi kabur ketika mahasiswa menjadi asyik sendiri dalam menara gadingnya dan terjadi distorsi dalam memaknai eksistensinya. Distorsi yang dimaksud adalah adalah ketika dimaknai bahwa pendidikan yang dijalani sekarang adalah sekedar untuk menjadikan kita pandai tanpa menyadari tanggung jawab dibalik itu sehingga kita menjadi apatis dan mengikuti konsepsi umum bahwa pendidikan yg kita kecap akan melahirkan pekerja bukan kreator yang akan mengubah masyarakatnya. Bayangkan semisal masing-masing kita menjadi altruis (mengadikan
ilmu bagi masyarakat) sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasai . Aktualisasi intelektualitas yang seperti ini akan memberikan sumbangsih yang besar bagi masyarakat.. Walau bagaimanapun kesadaran untuk menjalankan fungsi intelektualitas tersebut lebih bersifat normatif dan tergantung dari kesadaran kita, namun dapat dipastikan bahwa bila semua intelektual hanya terpaku dalam menara gadingnya maka masyarakat akan mengalami kejahiliyaan. Penulis menjadi teringat dengan kisah para intelektual muda Iran yang turun dari ruang kuliah menuju ke kampungkampung rakyat miskin yang gersang , menyediakan perumahan , membangun perairan , membuka sekolah , menyebarkan kesadaran atau yang mereka sebut : Jihad Pembangunan seperti yang tercatat dalam Ideologi Kaum Intelektual.9 Kerja yang sarat ideologis memang , namun bukan hal mustahil pula bagi kita sebagai mahasiswa yang memang dijuluki sebagai agent of change untuk melakukan kerja yang ideal bagi masyarakat. kita, paling tidak dalam tataran pemikiran. PERSFEKTIF NORMATIF Aktualisasi intelektualitas juga menjadi persoalan normatif dimana akhirnya kita memilih. Antonio Gramsci mengatakan bahwa semua orang bisa menjadi intelektual, namun tidak semua orang menjalankan fungsi intelektual dalam masyarakatnya . Berbicara dalam tataran normatif berarti tidak lepas dari nilai yang praktis pula berkorelsi linear dengan persfektif kaagamaan. Dari telaah keagamaan maka menjadi jelas bahwa intelektual memikul tanggung jawab yang mesti diembannya. Para nabi yang terpilih adalah intelektual (yang di didik langsung oleh Tuhan) yang dengan sendirinya wajib menjalankan fungsi intelektual tersebut untuk dapat mengubah masyarakatnya menjadi lebih baik dan ketika pengingkaran terhadap fungsi itu dilakukan maka ada konsekuensi yang harus ditanggung seperti Nabi Yunus yang tertelan ikan karena meninggalkan tanggung jawab untuk merubah kaumnya. Seperti para kiai maupun pendeta yang harus membimbing masyarakatnya dalam tatanan keagamaan karena mereka adalah intelektual dalam hal tersebut. Menjadi wajib bagi mereka untuk menangkap permasalahan tentang keagamaan di dalam masyarakat dan membantu untuk memecahkanya sebagai bentuk pertanggung jawaban keintelektualannya dalam ilmu agama . Seperti yang termaktub dalam Injil Matius 5 ayat 13-16 yang esensinya agar manusia menjadi garam dunia dan terang dunia dan hal itu adalah manifestasi dari intelektualitas . “Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang , melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang yang ada di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga “. (Matius 5 Edisi 9/Februari 2004
5
ayat 15 -1). Dalam bingkai ke Islam-an sendiri sangat banyak di jelaskan mengenai kaum intelektual baik yang berupa firman maupun hadist. Sebagai contoh sebuah ayat dalam Al Qur’an yang berbunyi “ Allah mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu pengetahuan “, ayat ini mengandung tafsiran yang transendental, namun penulis menafsirkan epistimologis, yaitu bahwa Allah mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu pengetahuan dengan analogi bahwa ketika seseorang beriman dan berilmu pengetahuan (baca : intelektual) maka dia berada diatas menara gading yang bersamaan dengan itu pula dia diberikan tanggung jawab untuk merefleksikan pengetahuan yang diberikan. Mengubah menara gading yang megah namun semu menjadi mercu suar yang menjadi pedoman arah bagi manusia yang lain agar tidak tersesat dalam mengarungi lautan kehidupan.. Menjadi aksioma bahwa seorang intelektual harus menangkap realitas yang ada dan berusaha untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Dari manusia pertama Adam dan Hawa yang melegenda dengan sejarah buah Khuldinya yang dalam terminologi Kristen disebut buah pengetahuan, maka sejarah intelektualitas diukir dan membimbing masyarakat menjalani eksistensinya. Dan ketika penyebar Kristen, Yesus hadir di tengah kaumnya maka yang dilakukannya adalah memperbaiki tatanan masyarakat ke arah yang lebih beradab. Pun ketika intelektual agung Islam (baca : Nabi) Muhammad SAW hadir di tengah kejahiliyaan masyarakat arab, maka beliau mengubahnya menjadi kaum yang beradab pula dan dengan itu Dia mempertanggung jawabkan anugerah intelektualnya, tidak hanya sebatas pada ritus dan religiusitas agama, tapi pertama kali pada tataran sosial. Nah, setelah era para nabi ,yang mesti bertanggungjawab untuk melanjutkan hal tersebut adalah para intelektual kini . KESIMPULAN Menjadi gamblang bahwa ada tanggung jawab yang mesti kita emban sebagai kaum intelektual, bukan hanya karena status kemahasiswaan, tetapi sebagai intelek yang mana tanggung jawab itu akan semakin berlipat bila status mahasiswa kita telah selesai dan menjadi seorang praktisi yang terjun lansung menhadapi persoalan sosial kemasyarakatan. Dan kesadaran untuk itu harus dibangun dari sekarang untuk membiasakan bersentuhan dengan realitas sosial yang kongkret untuk menumbuhkan sensibilitas, dan mahasiswa sebagai komunitas intelektual tidak menjadi silence society karena seperti yang dikatakan (baca : sabda) Nabi Muhammad bahwa “orang yang berilmu tapi tidak mengamalkannya seperti pohon yang rindang, namun tidak berbuah“. Jangan sampai semasa mahasiswa kita terjebak apa yang dinamakan “onani intelektual” dan kelak terbenam lagi sebagai “pelacur intelektual”. 6
Edisi 9/Februari 2004
Obituari UKM PRISMA Ke Jogja Pada tanggal 17 Januari 2004 lalu, PRISMA sebagai UKM fotografi di UNDIP mengadakan kunjungan ke UGM dan UAD dalam rangka study banding PRISMA dengan UKM fotografi di dua Universitas tersebut. Selain kunjungan ke UGM dan UAD, PRISMA juga mengadakan hunting foto ke Taman Sari dan daerah sekitar Malioboro pada hari yang sama. Menurut Ghani sebagai ketua panitia, acara kunjungan dan hunting foto ke Jogja diikuti oleh sekitar 50 peserta, yang terdiri dari Mahsiswa UNDIP, yang juga anggota PRISMA, baik itu angkatan lama maupun yang baru. Dana untuk melaksanakan kegiatan ini berdasarkan iuran tiap anggota PRISMA, bantuan dari alumni PRISMA, serta dana UKM yang telah disediakan oleh pihak Rektorat. Harapan dari terlaksananya kegiatan ini, menurut Ghani adalah untuk menjalin hubungan yang baik dengan beberapa Universitas di Jogja yang memiliki UKM fotografi, serta studi banding yang menguntungkan kedua belah pihak. Disamping itu, lanjutnya dari kegiatan hunting yang diadakan oleh PRISMA, semoga dapat menambah
Kacang Goreng Aku Mahasiswa Pilihan Tim Morpin
Kekerasan akan dipakai ketika otak kita tak lagi mampu berpikir. Karenanya orang yang selalu memakai kekerasan pastilah jarang memakai otaknya.
“Kuliah dimana”? “Di PTN A Bu …” … jawab Andi bangga. “Waduh, pinter ya …” Si Andi hanya tersenyum mendengar “pujian” sang ibu tadi. Bukan karena ia bangga dengan sebutan “pintar” tapi karena ada rasa malu di dalam hati!!!. Hanya karena gengsi orang tua dan ada “Kebutuhan PTN”, segepok uang melancarkan status Andi menjadi mahasiswa PTN. Secuek-cueknya kita menutup mata terhadap lingkungan sekitar toh kita tidak dapat menutup mata. Itulah realita yang ada … ada uang …, ada pendidikan. Lalu kemana semboyan yang mengatakan “Gantungkan cita-citamu setinggi langit” yang ada hanya “Berkhayallah bagimu yang tak punya uang, karena cita-cita hanya sebuah impian”. Sebuah PTN dianggap bergengsi karena selalu dianggap oleh masyarakat sebagai tempat anak pintar… ya setidaknya dulu! Karena untuk memasuki sebuah PTN tidak butuh uang yang besar tapi karena otak yang pintar (sekali lagi ……… itu DULU!!!). Sekarang semua gengsi itu hilang. Entahlah ... apakah mahasiswa PTN-PTN itu masih bangga dengan status “negeri” mereka?. Kalau hal seperti ini akan selalu terjadi, jangan heran kalau anak cucu kita tidak akan menggapai “Impian mereka” walaupun sudah mengefisienkan pengeluaran, menabung terus-menerus tapi biaya untuk pendidikan tidak akan mereka jangkau. Orang-orang akan berlomba-lomba menambah “Sumbangan-sumbangan gelapnya” agar anaknya jadi mahasiswa/i PTN. Kalau melihat semua ini apakah tidak seperti arena lelang : “Sejuta ….. dua juta …… tiga juta” dan palu pun berbunyi dengan tawaran tertinggi !!!. Nophie D3 PR ‘01
Edisi 9/Februari 2004
7
Rehat
Nurani
Pesta demokrasi di depan mata Awas “barang” (caleg) palsu Ada caleg yang “nyolong start” kampanye Baru calon sudah “maling” gimana kalo jadi….. UU Pilpres disahkan tanpa “ribut-ribut” Yang penting semua bisa maju (tahu sama tahu) Terdakwapun bisa jadi capres nanti Jangan heran kalau menterinya maling semua Subsidi berkurang, biaya pendidikan melambung Nggak usah bingung, lulus SLTA bisa nyalon presiden Otonomi kampus “memaksa” PTN mandiri alias cari duit sendiri Coba, apa bedanya PTN sama BUMN Sepuluh tahun lalu masih bisa mimpi pendidikan gratis Sekarang? Jangankan mimpi, tidur saja tak nyenyak. (Bagaikan pungguk merindukan bulan!) Subsidi berkurang karena negara kebanyakan utang Siapa yang ngutang, siapa yang dapat uang, lalu siapa yang bayar… Operasi militer di Aceh masih berjalan Maaf saudaraku, kalau deritamu belum jua berakhir. Entah sampai kapan… Satu wartawan jadi korban di Aceh Dimana-mana perang selalu ada korban.. Wabah flu burung melanda Indonesia Rakyat Indonesia deritanya tiada akhir…………. Kalo hujan atap OPINI suka bocor Gimana Pak Dekan? Si Bull BULETIN MORPIN. Penanggung Jawab: Dimas Prasetya Tim Kreatif : Pemimpin Umum: Adji Nugrohodjati Pemimpin Redaksi: Bintang Div.Prus: Wisnu M, A. Ghani Div. Produksi: Pinto B., Agus R., Yulianto Reporter: A.Rumli, Erik S, Ridlowi, Esdras, M Hartantyo, Retno W, Siti , Ernawati, Iffah Redaksi menerima tulisan, saran, kritik dan berhak menyunting tulisan yang masuk untuk dimuat di buletin
8
Edisi 9/Februari 2004