PERANAN BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA DALAM MENUNJANG PENINGKATAN KUALITAS HIDUP DI KOTA BITUNG (Suatu Studi di Kecamatan Aertembaga Bitung Timur) Oleh : Steffi Talitha Durian
Abstrak Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan daerah dibidang pemberdayaan perempuan, keluarga berencana, keluarga sejahtera dan perlindungan anak. Dan menyiapkan kegiatan peningkatan kualitas hidup perempuan merupakan bagian dari program dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana . Faktor Pendukung dan Penghambat Dengan adanya faktor-faktor yang mendukung Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Bitung, maka dapat dilihat bahwa baik internal maupun eksternal menjadi kunci keberhasilan Badan pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Bitung dalam melaksanakan pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan Gender di Kota Bitung. Kata Kunci: Peran, Badan Pemberdayaan Perempuan, Keluarga Berencana
Pendahuluan Peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan sangat diperlukan karena kualitas kehidupan perempuan masih jauh lebih rendah daripada lakilaki. Demikian pula halnya dengan anak, yang merupakan generasi penerus, perlu ditingkatkan kesejahteraan dan pelindungannya. Secara umum, pembangunan pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak telah menunjukkan hasil yang menggembirakan, tetapi berbagai permasalahan masih dihadapi, seperti masih tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih adanya kesenjangan pencapaian hasil pembangunan antara perempuan dan laki-laki, yang tercermin dari masih terbatasnya akses sebagian besar perempuan ke layanan kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang lebih luas. Selain itu, juga masih banyaknya hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan, dan belum peduli anak. Masalah lain adalah masih lemahnya kapasitas kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak, terutama di tingkat kabupaten/ kota. Untuk itu, perlu diambil langkahlangkah kebijakan untuk mengatasinya dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan dan peran perempuan serta kesejahteraan dan pelindungan anak. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 – 2015 mengamanatkan, bahwa untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan perlu dibentuk satu lembaga yang mampu mengemban kebijakan nasional dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, dan anak. Sejalan dengan era desentralisasi, timbul masalah kelembagaan dan jaringan di daerah (provinsi dan kabupaten/kota) terutama yang menangani pemberdayaan
perempuan dan anak. Karena program pemberdayaan perempuan merupakan program lintas bidang, maka diperlukan koordinasi mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan dan evaluasi. Perempuan Indonesia perlu ditingkatkan perannya dalam pembangunan mengingat sebagian besar dari jumlah penduduk Indonesia adalah perempuan. Penduduk Indonesia berjumlah kurang lebih 254,9 juta jiwa dan merupakan negara keempat berpenduduk terbesar di dunia (China, India, Amerika Serikat dan Indonesia). Dari jumlah perempuan tersebut, 65% berada pada usia produktif 15 – 64 tahun dan belum berperan optimal karena kualitas hidupnya yang masih rendah. Sebenarnya potensi perempuan merupakan asset nasional yang besar, yang harus dapat dikembangkan untuk membangun Indonesia. Sebaliknya, jika penduduk perempuan tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya, maka perempuan dapat menjadi beban bangsa serta mengurangi nilai hasil pembangunan yang telah dan akan dicapai. Untuk itu, optimalisasi penduduk sebagai sumber daya pembangunan harus senantiasa berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup, baik laki-laki maupun perempuan, untuk berperan dalam pembangunan. Penting untuk dipahami bahwa negara menjamin pelaksanaan prinsip kesamaan (equity) sesuai dengan prioritas pembangunan yang ditetapkan. Oleh sebab itu pembangunan yang berperspektif gender berdasarkan pada prinsip utama kesamaan memperoleh akses, peran, kontrol dan manfaat serta kesempatan berpartisipasi dalam program pembangunan harus menjadi perhatian bersama. Untuk menjaga kelangsungan diri dan keluarga, umumnya mereka bekerja pada sektor informal, perdagangan dan jasa, sektor pertanianburuh tani, dan buruh pabrik. Mereka
sulit mendapatkan akses sumberdaya termasuk sumberdaya keuangan seperti kredit dari lembaga keuangan yang ada karena dianggap tidak layak, lokasi terpencil, tidak ada penjamin, yang sebagian persoalan ini terkait dengan issue gender. Sebagai akibatnya mereka menjadi tergantung , usaha tidak berkesinambungan, terjepit hutang, dan tetap dalam lingkaran kemiskinan. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat,tetapi juga pranatapranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras (hard working), kemandirian (self reliance), hemat (efficiency), keterbukaan (open mind), sikap tanggung jawab (responsible), adalah merupakan bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan daerah dibidang pemberdayaan perempuan, keluarga berencana, keluarga sejahtera dan perlindungan anak. Dan menyiapkan kegiatan peningkatan kualitas hidup perempuan merupakan bagian dari program dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana . Upaya yang dilakukan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana di Kota Bitung khususnya di kecamatan Aertembaga telah mampu menggugah partisipasi perempuan untuk meningkatkan kualitas hidup karena Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana itu sendiri memfasilitasi perempuan miskin dengan pemberian ketrampilan, pemberian bantuan permodalan dengan bunga rendah, pemberian KB gratis, dicanangkannya Posyandu Cerdas oleh Dirjen Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, bahkan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana bersama Komisi Penanggulangan Aids
melakukan infentarisasi bagi perempuan pekerja malam di Kota Bitung. Aertembaga (sebelumnya bernama Bitung Timur) adalah salah satu kecamatan di Kota Bitung, Sulawesi Utara, Indonesia. Kecamatan Aertembaga merupakan salah satu kecamatan dari 8 (delapan) kecamatan yang ada di Pemerintah Kota Bitung. Kecamatan Aertembaga (dahulu Bitung Timur) berdiri pada tanggal 16 Maret 1996, Sebagai Kecamatan hasil pemekaran dari Kecamatan Bitung Timur sejak tahun 2007 menjadi Kecamatan Aertembaga, dengan memiliki luas wilayah 3.309.6 Ha. Di Kecamatan Aertembaga terdapat Pasar Sentral dengan berbagai perdagangan yang ada, juga tersedia Pertokoan baik berskala kecil (warung warga) sampai skala besar seperti Toko Kelontongan, Toko Sembako, Swalayan dan Minimarket. Hampir sama pembagian mata pencaharian masyarakat kecamatan Aertembaga adalah Nelayan dan Tani, mengingat wilayah yang dikelilingi oleh Laut dan Hutan (perkebunan). Berdasarkan pengamatan awal penulis maka dirasa perlu untuk mengetahui atau mengidentifikasi apa yang mempengaruhi peran dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Bitung khususnya di Kecamatan Aertembaga dalam meningkatkan kualitas hidup perempuan. Atas Uraian tersebut, pemberdayaan perempuan sangat diperlukan dalam upaya pemerintah daerah Kota Bitung melalui Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kota Bitung melalui usaha-usaha yang bersifat terencana, sistemik, dan berkesinambungan untuk membangun kemandirian sosial, ekonomi, dan politik masyarakat dengan mengelola potensi sumber daya yang
mereka miliki untuk mencapai kesejahteraan sosial yang bersifat berkelanjutan. Untuk itu upaya pemberdayaan masyarakat dirasa sangat penting dalam mensejahterakan masyarakat Kota Bitung. Konsep Peranan Pengertian Peranan adalah proses dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya. ( Soekanto, 2009:212-213). Kedudukan seseorang dalam masyarakat selain ditentukan oleh jabatan resminya berdasarkan hukum, ditentukan pula oleh adat, nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku, serta juga oleh kemampuan dan peranannya dalam masyarakat, misalnya: kedudukannya sebagai isteri tugas yang melekat dalam dirinya atau peranannya adalah mengatur rumah tangga; kedudukannya sebagai Lurah/Kepala Desa, peranannya mengatur desanya supaya sejahtera; kedudukannya Kepala Adat, peranannya menyelenggarakan upacara adat dan bertanggung jawab dalam membina kepercayaan/pengikutnya. Jadi kedudukan seseorang menentukan peranannya, sebaliknya peranan yang dilakukan oleh seseorang dapat mempengaruhi dan merubah kedudukannya dalam masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa didalam peranan tedapat dua macam harapan yaitu: Pertama, harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran, dan Kedua, harapanharapan yang dimiliki oleh pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap
orang-orang yang dengannya dalam peranannya atau kewajibannya.
berhubungan menjalankan kewajiban-
Konsep Peningkatan Menurut Adi D. (2001), dalam kamus bahasanya istilah peningkatan berasal dari kata tingkat yang berarti berlapis-lapis dari sesuatu yang tersususun sedemikian rupa, sehingga membentuk suatu susunan yang ideal, sedangkan peningkatan adalah kemajuan dari seseorang dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa. Peningkatan adalah proses, cara, perbuatan untuk menaikkan sesuatu atau usaha kegiatan untuk memajukan sesuatu ke suatu arah yang lebih baik lagi daripada sebelumya. Konsep Kualitas Hidup Stiglitz, Sen & Fitoussi mengajukan ada tiga pendekatan konseptual untuk mengukur kualitas hidup, yaitu : Pendekatan pertama, yang dikembangkan erat dengan riset psikologis, dipijakkan pada gagasan tentang kesejahteraan subjektif. Pendekatan ini terkait erat dengan tradisi utilitarian, yang menyatakan bahwa mengupayakan manusia untuk “bahagia‟ dan “puas‟ dengan hidup mereka merupakan tujuan universal eksistensi manusia. Pendekatan kedua berakar pada gagasan tentang kapabilitas. Pendekatan ini melihat hidup seseorang sebagai kombinasi antara berbagai “kegiatan dan kedirian‟, (functionings) dan kebebasannya untuk memilih di antara fungsi-fungsi tersebut (capabilities). Dasar pendekatan kapabilitas ini memiliki akar kuat pada ide filosofis mengenai keadilan sosial, mencerminkan fokus pada tujuan manusia dan menghargai kemampuan individu untuk
mengejar dan merealisasikan tujuan yang dia yakini, serta memainkan peran prinsip-prinsip etis dalam merancang masyarakat yang “baik‟.
Mana di antara indikator-indikator ini yang yang lebih relevan bergantung pada taraf pembangunan suatu negara dan pada tujuan proses evaluasi itu sendiri.
Pendekatan ketiga, yang dikembangkan dalam tradisi ilmu ekonomi, didasarkan pada gagasan tentang alokasi yang adil. Dasar pemikirannya, banyak ditemui dalam ilmu ekonomi kesejahteraan, adalah menimbang berbagai dimensi non-moneter kualitas hidup (melampaui barang dan jasa yang diperdagangkan di pasar) dengan suatu cara yang menghargai preferensi seseorang. Kemudian Stiglitz, Sen & Fitoussi menyebutkan ada beberapa bidang yang terkait dengan kualitas hidup, diantaranya yaitu : kesehatan, pendidikan, aktivitas personal, hak suara politik dan tata kelola pemerintahan, koneksi sosial, kondisi lingkungan, serta ketidakamanan pribadi. Karena penelitian ini terkait dengan pendidikan maka penulis hanya akan membahas pendidikan. Lebih lanjut terkait pendidikan, Stiglitz, Sen & Fitoussi mengatakan bahwa pendidikan penting bagi kualitas hidup, terlepas dampaknya pada pendapatan dan produktivitas masyarakat, dimana masyarakat yang lebih terdidik pada umumnya memiliki status kesehatan yang lebih baik, pengangguran yang lebih sedikit, koneksi sosial yang lebih banyak, dan keterlibatan yang lebih besar dalam kehidupan sipil dan politik. Indikator pendidikan yang tersedia sekarang meliputi beragam bidang. Beberapa mengacu pada input (tingkat pendaftaran sekolah, anggaran pendidikan, dan sumber daya sekolah), sementara yang lain mengacu pada throughput dan output (tingkat kelulusan, lamanya tahun bersekolah, pengukuran berbasis tes standar atas tingkat melek huruf dan melek angka).
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif Kualitatif. Penelitian deskriptif menurut Masri Singarimbun (1982), bertujuan untuk mendeskripsikan secara terperinci tentang fenomena sosial tertentu. Dalam penelitian ini, menurut Bungin (2004), tim peneliti tidak melakukan kuantifikasi terhadap data yang diperoleh. Data yang diperoleh akan dianalisis serta dideskripsikan berdasarkan penemuan fakta-fakta penelitian di lapangan. Hasil Penelitian Dan Pembahasan Pembahasan dalam penulisan ini ditekankan melalui Peran Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana dalam menunjang Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan di Kota Bitung. Upaya-upaya membantu kelompok masyarakat miskin di daerahdaerah telah banyak dilakukan baik oleh pemerintah dengan tahapan-tahapan pembangunan maupun oleh kelompok masyarakat yang bersangkutan untuk keluar dari belenggu kemiskinan. Berbagai program pembangunan pedesaan baik disektor pertanian dan diluar sektor pertanian diterapkan dengan pendekatan-pendekatan struktural maupun kultural., individu maupun kelompok-kelompok sosial ekonomi masyarakat tersebut. Meski secara persentase upaya-upaya pembangunan telah menunjukkan penurunan angka atau jumlah penduduk miskin pedesaan secara nasional, namun pembangunan itu sendiri seringkali menimbulkan kesenjangan, ketidakmerataan bahkan ketiadakadilan diantara kelompok- kelompok sosial tertentu.
Sebagaimana diketahui bahwa Kecamatan Pinangunian merupakan areal dengan ekosistem Kebun tadah hujan, maka untuk menunjang pembangunan pertanian serta kegiatan lain, pemerintah dalam hal ini pihak pengairan telah mengupayakan agar desa ini memiliki pengairan, tetapi hal ini hanya sebatas pembebasan lokasi pengairan dan kelanjutan pengerjaannya belum terlaksana sampai sekarang. Juga berbagai upaya dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana yang telah dilaksanakan baik dalam hal sosialisasi, pengadaan sarana kesehatan bagi ibu dan anak, pemberian KB gratis, pemberian ketrampilan bagi para perempuan, dan para istri nelayan yang juga dapat memperoleh pekerjaan lewat hasil tangkapan ikan dari suaminya lewat dana simpan pinjam yang dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana. Tugas pokok dan fungsi dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga tupoksi yang ada. Khususnya di bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang kemudian disempitkan pada Subbidang Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan dan Pengarusutamaan Jender. Hal itu diimplementasikan dengan adanya berbagai kegiatan yang ada seperti Pelatihan dan Sosialisasi Aneka Olahan Ikan, Pelatihan Keterampilan Anyaman Bambu, Pelatihan Keterampilan Pangan Non Beras, dan pelatihan merajut benang, pelatihan menjahit, pelatihan pembuatan kue, pun yang tertinggal untuk mewujudkan itu. Hal ini berarti Badan pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Bitung dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan implementasinya. Faktor Pendukung dan Penghambat Dengan adanya faktorfaktor yang mendukung Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga
Berencana Kota Bitung, maka dapat dilihat bahwa baik internal maupun eksternal menjadi kunci keberhasilan Badan pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Bitung dalam melaksanakan pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan perempuan yang aktif dalam setiap kegiatan pelatihan maupun sosialisasi terkait dengan pembinaan dan keterampilan yang dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana . Dalam melakukan pembinaan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana tidak sendirian. Pasalnya Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana mendatangkan fasilitator dari lembaga yang ahli dibidang tersebut untuk memberikan pengarahan pada masyarakat Bitung. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Bitung tidak terlepas dengan adanya suatu faktor yang memicu kendala dalam pelaksanaan kegiatan maupun programnya. Hal ini dikarenakan program dan kegiatan yang dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana ini sangat menghambat dari luar Badan pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana. Dimana dari sisi pendidikan atau intelektual masyarakat Bitung kurang memahami keadilan dan kesetaraan jender.. Pasalnya masih banyak desa di Bitung yang semestinya diberikan modal bantuan itu. Sehingga untuk dapat mengembangkan nilai kearifan lokal yang dimiliki desa tersebut kurang mencukupi. Kemudian dari segi teknologi dan informasi masih dirasa kurang, tidak adanya pemanfaatan teknologi secara benar dan masyarakat masih sangat tradisional. Selain hambatan diatas masih ada lagi hambatan dari segi budaya. Dimana masyarakat tidak ingin berkembang atau
maju, dikarenakan masih pemikiran yang tradisional.
adanya
Kesimpulan Dalam menunjang pembangunan terutama dalam Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan di Kota Bitung Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana melakukan peningkatan kualitas hidup perempuan dengan pelibatan peran perempuan yang akan memberi pengaruh tertentu pada perempuan dengan menjalankan beraneka ragam tugas; Meningkatkan kualitas hidup masyarakat sehat dan sejahtera melalui program keluarga berencana dengan pelayanan KB gratis bagi masyarakat serta melaksanakan isu grand strategi yaitu : pendewasaan usia perkawian, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga dan peningkatan kesejahteraan keluarga. Program Peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan di Kota Bitung oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana berupaya memberikan peluang terhadap peran perempuan serta organisasi/lembaga perempuan. Hasilnya akan terlaksananya & terciptanya keterlibatan peran perempuan yang akan memberi pengaruh tertentu pada perempuan dalam menjalankan beraneka ragam tugas. 2. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Bitung memberdayakan perempuan dengan membekali serta melatih para perempuan di Bitung. Hal itu nampak dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Pelaksanaan pemberdayaaan perempuan ini secara langsung menciptakan atau mewujudkan keadilan dan kesetaraan jender di bidang ekonomi. Mengingat bahwa kesempatan bagi perempuan untuk meraih kesempatan kerja yang
lebih baik terbatas dengan statusnya sebagai ibu rumah tangga, maka Pemerintah Kota dapat mengembangkan kegiatan industri rumah tangga. Meningkatkan sumberdaya manusia dengan keterampilan perempuan sangat penting sebagai kelengkapan pendidikan formalnya, agar perempuan selalu mampu mandiri dan menolong diri sendiri. Peranan wanita dibidang pertanian dan perikanan, industri kecil, perikanan, telah dibuktikan secara empirik bahwa pekerjaan usaha tani banyak dikerjakan oleh perempuan. Saran 1. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana merupakan unsur strategis dalam upaya memberdayakan perempuan untuk bisa berperan di segala bidang terutama dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga. Atasnya peran lembaga ini perlu didorong dengan maksimal terutama dalam hal sumber daya manusia, anggaran, maupun manajemennya. 2. Pemberdayaan perempuan harus selalu diangkat untuk mempercepat tujuan pembangunan Kota Bitung. DAFTAR PUSTAKA Adi, D K. 2001. Kamus Praktis Bahasa Indonesia. Penerbit “Fajar Mulya” Surabaya Buchori, Mochtar. 2000, ”Pengantar”. Walter Fernandes dan Rajesh Tandon (eds) Riset Partisipatoris- Riset Pembebasan. Penyunting Wardaya dan Hardiman. Gramedia Pustaka Umum Elizabeth, R., 2007. “Peran Ganda Wanita tani Sebagai Pelaku Usaha Mencapai Strategi Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani di Perdesaan”, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Friedman, Marilyn M. 1992. Family Nursing. Theory and Practice. 3/E. Debora Ina R. L (1998) (alih bahasa) Jakarta Ginanjar Kartasasmita. 1995. Pembangunan Menuju Bangsa Yang Mandiri . Hastuti, 2004, Pemberdayaan Petani dan Kelembagaan Lokal dalam Perspektif Gender. Working Paper No. 50 Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. Hayati, Amelia, 2007, “Studi terhadap Pemberdayaan Perempuan dalam Pengembangan UMKM”, disampaikan pada Seminar “Membangun Garut Melalui Sumber Daya Lokal Berpotensi Global”‟ Kerjasama Pemerintah Daerah Kabupaten Garut dan Lembaga Penelitian UNPAD. Tanggal 11 Desember 2007. Jamasy Owin, 2004, ”Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan, Blantika Mizan. John M. Cohen dan Norman T. Uphoff. 1977. Rural Developent Participation: Concept and Mesures for Project Design, Implementation and Evaluation. Rural Development Monograph No. 2. Cornell University. Joseph Stiglitz, Amartya Sen dan Jean Paul Fitoussi. 2011. Mengukur kesejateraan. Marjin Kiri Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2006, Rencana aksi peningkatan Kualitas Hidup Perempuan (PKHP), Jakarta. Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Novirianti, D., 2005. Pemberdayaan hukum Perempuan Untuk Melawan Kemiskinan, Jurnal Perempuan No. 42 Sarman, Mukhtar dan Sajogyo, 2000, Masalah Penanggulangan Kemiskinan Refleksi dari kawasan Timur Indonesia, Puspa swara. Sajogyo, 2000, Peranan Wanita dalam Perkembangan Ekonomi, Obor Jakarta. Sebuah Tinjauan Mengenai Berbagai Paradigma, Problematika, dan Peran Birokrasi Dalam Pembangunan. Pidato Penerimaan Penganugrahan Gelar Doktor Honoris Causa Dalam Ilmu Administrasi Pembangunan dari Universitas Gajah Mada. Soerjono Soekanto;2009, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Baru, Rajawali Pers Jakarta Sudarta, W. 2010. Peran Wanita dalam Pembangunan Berwawasan Gender. Sudaryanto, T. 2010. Anggaran Berbasis Gender mengakomodir semua Golongan. Artikel dimuat dalam Sinar Tani, Edisi 6 - 12 Januari 2010 No.3336 Tahun XL, hal. 14. Sudirja, R. 2007. Partisipasi Perempuan dalam Penyusunan Program Pembangunan Pertanian di Pedesaan. Makalah disampaikan dalam Pelatihan PRA bagi Tenaga Pemandu Dinas Tenaga Kerja seKabupaten/Kota di Indonesia tanggal 8 – 13 Juli 2007, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jawa Barat. Sugiono. 2008. Metode Penelitian Kualitatif, Kualitatif Dan R&D.Alfabeta: Bandung. Zulminarni, Nani, 2004, lembaga Keuangan Mikro Dalam Rangka Pemberdayaan