NILAI BUDAYA DALAM DONGENG BAKUMPAI (CULTURAL VALUES IN BAKUMPAI FOLKTALE) Mahmudi SMAN 1 Mandastana, Jl. Tabing Rimbah Mandastana, Kabupaten Barito Kuala, e-mail
[email protected] Abstract Cultural Values in Bakumpai Folktale. Folktale as one of oral literary which contain educative advice for the next generation. Folktale are imaginative or vicarious and fantasy stories in which the events do not really take place. The events which are notified in the story tend to be behavior/moral lessons. This research is aimed at obtaining objective description about three cultural values and Bakumpai folktales: (1) cultural values about human life, (2) cultural values about human’s viewpoints to the nature, (3) cultural values about human relationship one another. The theory used as basic of instrument development is oral literary theory and narratives Aarne and Stith Thomson, James Danandjaja, and the theory about C. Klucklohn cultural values. Data of this research is Bakumpai folktales which consist of 11 (eleven) folktales. The approaches used in this research are qualitative and sociology research, descriptive method and content analysis technique. The primary instrument is the researcher. The secondary instruments are the informants, Bakumpai folktales, tape recorder, cell phones and research notes. The data analysis is done during the collecting of data. The research results shows that there are three cultural values in Bakumpai folktales, those are cultural values of human life (55 items), cultural values about human’s viewpoints to the nature (24 items), cultural values about human relationship one another (31 items). The most dominant values about human relationship one another, especially in making a living to meet daily needs. Keywords: cultural value, bakumpai, folktale
Abstrak Nilai budaya dalam Dongeng Bakumpai. Dongeng sebagai salah satu sastra lisan yang berisi saran edukatif untuk generasi berikutnya. Dongeng adalah cerita imajinatif atau perwakilan dan fantasi di mana peristiwa tidak benar-benar terjadi. Peristiwa yang diberitahukan dalam cerita cenderung perilaku/pelajaran moral. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran obyektif tentang tiga nilai-nilai budaya dalam dongeng Bakumpai: (1) nilai-nilai budaya tentang kehidupan manusia, (2) nilai-nilai budaya tentang sudut pandang manusia terhadap alam, (3) nilai-nilai budaya tentang hubungan manusia satu sama lain. Teori yang digunakan sebagai dasar pengembangan instrumen adalah teori sastra lisan dan narasi Aarne dan Stith Thompson, James Danandjaja, dan teori tentang nilai-nilai C. Kluckholn budaya. Data dari penelitian ini adalah dongeng Bakumpai yang terdiri atas 11 (sebelas) dongeng. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dan penelitian sosiologi, metode deskriptif dan teknik analisis isi. Instrumen utama adalah peneliti. Instrumen sekunder adalah informan, dongeng Bakumpai, tape recorder, ponsel dan catatan penelitian. Analisis data dilakukan selama pengumpulan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga nilai-nilai budaya dalam dongeng Bakumpai, yaitu nilai-nilai budaya dari
kehidupan manusia (55 item), nilai-nilai budaya tentang sudut pandang manusia terhadap alam (24 item), nilai-nilai budaya tentang hubungan daya manusia satu sama lain (31 item). Yang paling dominan nilai-nilai tentang hubungan manusia satu sama lain, terutama dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kata-kata kunci: nilai budaya, bakumpai, dongeng
PENDAHULUAN Sastra telah menjadi bagian dari budaya dan pengalaman hidup manusia sebagai pengalaman batin pendukungnya mengenai kehidupan masyarakat dalam kurun waktu dan situasi budaya tertentu. Dari sastra kita memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang manusia, dunia dan kehidupannya (Sumardjo, 1986: 8). Sastra lisan berkembang di masyarakat karena jauh sebelum manusia mengenal karya sastra tertulis manusia bersastra secara lisan, dari mulut ke mulut. Sastra lisan berkembang sesuai dengan perkembangan budaya manusia (Kurnia, 1996: 48). Sastra lisan sebagai bagian dari hasil budaya masyarakat mengandung nilai didaktif dan ajaran moral. Masyarakat sangat menentukan untuk melahirkan karya sastra yang bersumber pada kebudayaannya. Manusia hidup seiring perkembangan budaya di tengah-tengah lingkungan material dan sosial. Kedua lingkungan itu saling berhubungan satu sama lain, terutama lingkungan sosial yang membentuk interaksi antara individu yang satu dengan individu yang lainnya (Koentjaraningrat, 2005: 66). Hal ini sejalan dengan pendapat Herusatoto (2000: 9) yang menyatakan bahwa lingkungan sosial adalah organisasi sosial, stratifikasi, gaya hidup bersastra dan sebagainya yang akan membentuk sosial budaya dalam masyarakat. Kehidupan manusia pada lingkungan sosialnya akan membawa manusia pada proses interaksi sosial antarindividu atau kelompok (Koentjaraningrat, 2005: 132). Kontak sosial ini akan membentuk imajinasi yang ekspresif untuk menerjemahkan makna akan arti hidup yang sebenarnya. Makna yang yang dikaitkan dengan manusia yang berada di sekitarnya sebab manusia adalah makhluk sosial yang selalu memerlukan orang lain ataupun benda lain. Karya sastra sebagai hasil buah tangan manusia memiliki berbagai fungsi dan makna bagi orang banyak sebagai pembelajaran kehidupan. Aktivitas dalam kehidupan bersastra ini akan melahirkan sastra lisan maupun tulisan. Sastra lisan mengawali kreativitas manusia sebagai manusia sosial yang berbudaya. William, dalam Damono (1998: 14) mengemukakan bahwa sosiologi budaya terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu (1) lembaga-lembaga budaya, (2) isi budaya, (3) efek budaya). Lembaga budaya akan menghasilkan produk budaya, isi budaya akan menghasilkan karya-karya budaya yang salah satunya sastra lisan dan tulisan, sedangkan efek budaya mengharapkan hasil dari proses budaya baik tertulis maupun secara lisan. Sastra lisan sebagai produk dari sosiologi budaya ini sangat berperan dalam menunjang nilai budaya yang bergerak secara positif. Nilai budaya sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat sebab nilai budaya memberikan sumbangan agar manusia dalam masyarakat dalam keadaan tertib (Samuel, 1997: 134). Dongeng adalah bagian dari sastra lisan dalam masyarakat. Dongeng di Kabupaten Barito Kuala dikenal sebagai sastra lisan Bakumpai dengan bahasa yang digunakan adalah bahasa Bakumpai memberikan corak tersendiri bagi perkembangan sastra di salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan ini. Karya sastra lisan ini sebagai pembelajaran hidup dalan lingkungan
masyarakat melahirkan apreasiasi yang mendalam oleh banyak kalangan. Pembelajaran hidup pada masyarakat yang salah satunya adanya nilai budaya yang terkandung dalam dongengdongeng yang berada di masyarakat sejak zaman dahulu. Penelitian tentang budaya Bakumpai terutama sastra lisan antara lain (1) Ismail (1995) tentang cerita rakyat Bakumpai berupa legenda, sage, dan dongeng. (2) Durasid (1997) tentang Struktur Cerita Rakyat Bakumpai yang menjelaskan tentang susunan dan struktur cerita rakyat Bakumpai secara umum. (3) Maskuni (2008) tentang sastra daerah Kabupaten Barito Kuala yang mendeskripsikan sastra lisan yang berkembang di Barito Kuala dari zaman dulu sampai sekarang. Sementara yang akan diteliti oleh penulis adalah masalah unsur nilai budaya dalam dongeng Bakumpai berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat sehari-hari sebagai tatanan dan aturan yang dipatuhi oleh masyarakat pendukungnya. Masalah ini perlu diteliti mengingat bahwa: Pertama, sebagai salah satu sastra lisan dongeng Bakumpai mencerminkan adanya nilai budaya yang mengatur dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Kedua, fakta kesadaran kolektif akan nilai budaya dan fakta sosial dari masyarakat yang menghasilkannya. Ketiga, sebagai sastra lisan dongeng umumnya sangat berhubungan dengan hayalan, renungan dan pelajaran moral, serta hiburan (Danandjaja, 2002: 85). Tentunya, karena dongeng lahir di tengahtengah masyarakat, terutama masyarakat Bakumpai mengandung nilai tertentu dalam konteks norma sosial budaya. Aspek-aspek nilai budaya dipandang sebagai masalah dasar yang amat penting dalam kehidupan masyarakat Bakumpai sehari-hari. Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk meneliti masalah ini. Dengan kata lain, sastra lisan merupakan bagian dari tradisi yang berkembang di tengah rakyat yang menggunakan bahasa sebagai media utamanya, dan boleh dikatakan lebih dahulu lahir daripada sastra tulis. Sastra lisan dalam kehidupan sehari-hari, biasanya dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya, seorang pencerita kepada pendengarnya, seorang guru kepada para muridnya, atau antarsesama masyarakat. Dalam masyarakat berlangsung kebiasaan untuk menjaga sastra lisan ini dengan mewariskan secara turun-temurun kepada generasi selanjutnya. Sastra lisan tidak hanya untuk bersenang-senang tetapi juga untuk memperoleh makna dalam setiap peristiwa, seperti teka-teki dalam mempersubur tumbuhnya padi, untuk setiap peristiwa kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya. Selain itu, sastra lisan juga sebagai sarana mengajarkan perilaku kepada orang lain. Setiap sastra lisan, pada hakikatnya adalah ajaran moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan pendukungnya maupun hubungannnya dengan orang per orang. Sastra lisan bukan saja mengajarkan moral dalam arti yang sempit, yakni yang sesuai dengan kode atau suatu sistem tindak-tanduk, melainkan terlibat dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan yang lebih selektif dan evaluatif. Sastra lisan juga sebagai hasil gagasan dan imajinasi yang diwujudkan yang salah satunya adalah dongeng sama penting artinya mengetahui isi dan maknanya. Bahkan dapat dikatakan isi dan maknanya ditentukan oleh adanya pembelajaran hidup. Kita sebagai penikmat sastra, terutama sastra lisan harus dibekali ilmu yang memadahi untuk memaknai sastra lisan itu dalam kehidupan yang berbudaya (Damono, 1998: 4). Kita sebagai anggota masyarakat dapat mendekati sastra lisan dari dua arah: pertama, sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa. Kedua, sebagai tradisi, yakni kecenderungan-kecenderungan spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif. Bentuk dan isinya dengan sendirinya dapat mencerminkan perkembangan sosiologis, atau menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural atau budaya kita. Apabila kita mempunyai tradisi untuk mempelajari sastra, minimal kita dapat mendekatinya secara mendalam
dengan pemaknaan yang tinggi. Demikian juga dengan karya lisan yang sudah di kenal sejak dahulu oleh masyarakat pendukungnya memberikan pemaknaan tersendiri bagi masyarakat. Sastra lisan sebagai produk dari sosiologi budaya ini sangat berperan dalam menunjang nilai budaya yang bergerak secara positif. Nilai budaya sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat sebab nilai budaya memberikan sumbangan agar manusia hidup bermasyarakat masyarakat dalam keadaan tertib (Samuel, 1997:134). Dengan demikian, sastra lisan memberikan andil dalam membentuk perilaku masyarakat. Kejadian-kejadian yang diceritakan dalam dongeng cenderung bersifat hayal dan sulit diterima oleh logika (Wiki Media, 2010: 16.15’). Dongeng selalu menyelipkan unsur nasihat dan moral bagi pendengarnya. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran moral, atau bahkan sindiran (Danandjaja, 2002: 83). Dengan demikian, dongeng sebagai salah satu sastra lisan adalah eksprimen ajaran moral bagi kehidupan dan sumber pengetahuan. Menurut Endraswara (2006: 110), dongeng biasanya selalu diceritakan oleh orang tua atau yang dituakan sastra lisan ini dapat ditandai, yakni (1) lahir dari masyarakat yang polos, dan bersifat tradisional; (2) menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tidak jelas siapa penciptanya; (3) lebih menekankan aspek hayalan, sindiran, jenaka, dan pesan mendidik kepada anak-anak sebagai pesan kebajikan dan biasanya diceritakan sebelum tidur. Dengan kata lain, dongeng merupakan sebuah kisah atau cerita yang lahir dari hasil imajinasi manusia, dari hayalan manusia, walaupun sebenarnya bertentangan dengan kehidupan sehari-hari. Tujuan dongeng selain untuk menghibur pendengar juga menanamkan pesan, nasihat yang positif terutama kepada anak-anak tentang moral dan keperibadian. Penanaman dengan pesan moral ini biasanya ditampilkan lewat tokoh-tokohnya. Tokoh protagonis selalu ditampilkan dengan penampilan yang serba istimewa sehingga pendengar akan simpati dan mendukung apa yang diperbuatnya. Selain itu, penampilan tokoh antagonis digambarkan selalu berbuat jahat yang akhirnya akan menuai akibatnya. Penyelesaian ini yang diperlukan dalam dongeng sebagai muatan moral yang yang baik selalu menang, dan yang jahat akan mengalami kesengsaraan. Dongeng yang dituturkan secara lisan pada dasarnya memiliki urutan cerita yang biasanya menjadi patokan si pencerita. Pertama, pengenalan tokoh, waktu, dan tempat. Pengenalan ini digambarkan pada awal cerita dengan kata-kata seperti, pada zaman dahulu, pada suatu tempat, pada suatu hari, tersebutlah seorang bijak, ada seorang, dan lain-lain. Kedua, pengembangan konflik yang dikembangkan setahap demi setahap dengan menghadirkan tokoh anatagonis yang menyebabkan konflik dan masalah. Ketiga, penyelesaian konflik atau langkah yang diceritakan untuk merespon masalah sehingga masalah dapat diselesaikan. Keempat, penutup yang berisi ungkapan-ungkapan bahwa cerita itu sudah berakhir. Kelima, adanya koda yang menyatakan perubahan yang terjadi pada tokoh cerita dan pelajaran yang dapat dipetik dari dongeng itu. Pelajaran-pelajaran tentang moral ini banyak ditemukan dalam dongeng-dongeng umumnya, dan dongeng yang ada di masyarakat Bakumpai khususnya. Dongeng di Kabupaten Barito Kuala dikenal sebagai sastra lisan Bakumpai dengan bahasa yang digunakan adalah bahasa Bakumpai memberikan corak tersendiri bagi perkembangan sastra di salah satu kabupaten Kalimantan Selatan ini. Karya sastra dongeng ini sebagai pembelajaran hidup dalan lingkungan masyarakat melahirkan apreasiasi yang mendalam oleh banyak kalangan. Pembelajaran hidup pada masyarakat yang salah satunya adanya nilai budaya yang
terkandung dalam dongeng-dongeng yang berada di masyarakat sejak zaman dahulu sampai sekarang. Berdasarkan buku The Types of the Folktale, karangan Aarne dan Stith Thompson (1964) yang dikutip Danandjaja (2002: 87) membagi dongeng menjadi empat golongan: a. b. c. d.
Dongeng binatang (animal tales) Dongeng biasa (ordinary folktales) Lelucon atau anekdote (joke and anecdote) Dongeng berumus (formula tales)
Dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi binatang peliharaan dan binatang liar, seperti binatang menyusui, burung, binatang melata, ikan dan serangga. Binatang itu dalam cerita dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia (Danandjaja, 2002: 86). Dongeng tentang binatang atau fabel mengandung ajaran moral, yakni ajaran baik buruk perbuatan dan kelakukan. Gambaran sifat binatang ini menyimbolkan sifat-sifat manusia, seperti kancil dan buaya. Di Indonesia tokoh kancil merupakan dongeng yang paling popular, banyak dikenal di berbagai daerah. Dongeng biasa adalah dongeng yang ditokohi oleh manusia dan biasanya kisah suka duka seseorang. Sifat dongeng ini universal sebab banyak persamaan dengan daerah lain baik masalah pokok maupun pesan moralnya (Danandjaja, 2002: 98). Cerita tentang watak dan tabiat tokoh yang baik dan buruk dilukiskan dengan saksama. Tokoh cerita pertama-tama menderita dan akhirnya bahagia. Di Indonesia, dongeng jenis ini yang popular adalah tipe Cinderella yang bersifat universal, karena hampir tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya, terdapat dongeng yang bertipe Cinderella, yaitu Ande-ande Lumut. Dongeng biasa ini keberadaannya hampir merata di pelosok daerah di Indonesia. Dongeng jenis ini banyak menggambarkan tradisi Melayu, seperti anak tiri perempuan, saudarasaudara perempuan. saudara perempuan bungsu, saudara-saudara laki-laki, ikan yang suka menolong, sapi yang suka menolong, makanan, tugas mencuci, binatang yang suka menolong, pembantaian terhadap binatang, menanam tulang-tulang, dari sisa-sisa jasadnya timbul sebatang pohon ajaib, ada yang dapat menyediakan makanan, ada yang dapat menyediakan kekayaan (Danandjaja, 2002: 101). Lelucon dan anekdot adalah dongeng yang dapat menimbulkan rasa menggelikan hati sehingga menimbulkan tawa bagi yang mendengarkan maupun yang menceritakan. Walaupun demikian, bagi tokoh tertentu yang menjadi sasaran dongeng itu, dapat menimbulkan rasa sakit (Danandjaja, 2002: 117). Lelucon ini bersifat fiktif yang lucu pribadi seorang tokoh atau beberapa tokoh yang diceritakan seolah-olah benar pernah terjadi. Lelucon ini menggambarkan sifat dan tabiat seseorang atau beberapa orang baik cerdik, maupun bodoh, sedangkan anekdot merupakan cerita fiktif lucu yang menggambarkan sifat, tabiat secara kolektif, seperti suku bangsa, bangsa, negara, dan ras. Dongeng berumus adalah dongeng yang strukturnya terdiri dari pengulangan, yaitu dongeng bertimbun banyak, dongeng untuk mempermainkan orang, dongeng yang tidak mempunyai akhir (Danandjaja, 2002: 139). Dongeng bertimbun banyak adalah dongeng dengan menambahkan keterangan lebih terperinci pada tiap pengulangan inti cerita. Dongeng untuk mempermainkan orang adalah cerita fiktif yang diceritakan khusus untuk memperdayai orang
karena akan mengeluarkan pendapat yang bodoh. Dongeng yang tidak mempunyai akhir adalah dongeng yang bila diceritakan terus tidak akan sampai pada batas akhir. Dongeng bertimbun di Indonesia yang lebih terkenal adalah cerita lelucon yang bersifat menghinaan suku bangsa lain, seperti pada contoh berikut (Danandjaja, 2002: 139): Pada suatu hari di suatu lorong sepi terlihat seorang nyonya lari kebirit-birit ketakutan karena diburu tikus kecil. Si tikus lari terbirit-birit ketakutan karena diburu oleh kucing. Si kucing lari terbirit-birit karena diburu seekor anjing. Si anjing lari kebirit-birit karena ketakutan diburu seorang Batak. Si Batak lari kebirit-birit ketakutan karena diburu seorang polisi. Dan seorang polisi lari kebirit-birit ketakutan karena diburu OPSTIB. Cerita menjadi lucu apabila kita memperhatikan dan mengetahui bahwa semua tokoh dalam cerita lari karena salah sangka. Si anjing takut kepada orang Batak karena takut dimakan. Orang Batak takut kepada polisi karena menurut stereotip penduduk Jakarta banyak tukang copet di Jakarta berasal dari Tapanuli. Dan polisi takut kepada OPSTIB atau operasi tertib,karena rupanya ia ini termasuk yang suka memeras rakyat. Dongeng untuk mempermainkan orang adalah cerita fiktif yang diceritakan khusus untuk memperdayai orang karena akan menyebabkan pendengar mengeluarkan pendapat yang bodoh. Bentuknya pun hampir sama dengan teka-teki untuk memperdayai orang lain. Hanya saja di dalamnya dimulai dengan sebuah cerita dan bukan hanya pertanyaan saja. Dongeng yang tidak mempunyai akhir adalah dongeng yang bila diceritakan terus tidak akan sampai pada batas akhir, selalu dapat dilanjutkan kembali. Dongeng ini tergantung pada kreativitas si pencerita sehingga menjadikan pendengar merasa penasaran. Jenis dongeng lainnya adalah penglipur lara. Penglipur lara adalah cerita yang dipakai sebagai penghibur hati yang gundah atau sedih. Cerita dalam penglipur lara ini biasanya dibawakan pada malam hari ketika bulan purnama, sehabis mereka bekerja berat sehari penuh. Pendengar dibawa ke dunia hayal yang penuh keindahan, ke negeri-negeri jauh dengan tokoh putra-putra raja yang gagah dan cantik, serta kemenangan dalam peperangan melawan makhluk yang jahat dan menyeramkan. Dalam penglipur lara ini digunakan kata-kata yang indah dan menarik, seperti peribahasa dan kata-kata kiasan sehingga membuat pendengar makin asyik mendengarkannya. Berdasarkan bentuknya dongeng terdiri atas (1) dongeng asli daerah tertentu tanpa ada campur tangan daerah lain. Dongeng ini memberikan khas tersendiri bagi daerah itu tanpa dimiliki oleh daerah lain. (2) dongeng yang mendapat pengaruh dari daerah lain atau dari budaya daerah lain sehingga terdapat persamaan-persamaan yang sifatnya universal. (3) dongeng yang sudah berasimilasi dengan budaya atau daerah lain sehingga seperti menyatu dan menjadi milik daerah itu. Dongeng sebagai salah satu sastra lisan di samping untuk menghibur, juga untuk memberi manfaat. Manfaat yang diperoleh dari dongeng adalah keindahan dan ajaran moral (Sugiarto, 2009: 9). Ajaran moral dan keindahan dipandang sebagai nilai karena hal itu berguna bagi kita. Nilai budaya merupakan hal yang dianggap baik, bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberikan arah dan orientasi kepada kehidupan warga masyarakat. Nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam
masyarakat. Suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum. Karena sifatnya yang umum, luas dan konkret itu, maka nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga (Koentjaraningrat, 1990: 190) Nilai budaya demikian kuat meresap dan berakar di dalam jiwa masyarakat sehingga sulit diganti. Sistem nilai budaya di dalam masyarakat menyangkut masalah pokok bagi kehidupan manusia. Nilai budaya dalam dongeng merupakan hasil ekspresi yang ditimba dari kebudayaan masyarakat tertentu. Nilai ini merupakan hal yang dianggap dan dipercaya sebagai pedoman budi yang baik dan berbudaya (Sumardjo, 1999: 2). Manusia adalah makhluk berbudaya, yaitu mendayagunakan segala kemampuan daya dan pikiran untuk bisa mengadakan komunikasi dengan sesamanya. Ada tiga ciri manusia berbudaya yaitu manusia susila, manusia warga negara yang demokratis, dan manusia sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab. Sastra lisan mencerminkan norma yang berlaku di masyarakat, yakni ukuran perilaku. Sastra juga mencerminkan nilai-nilai yang diusahakan oleh warganya dalam masyarakat. Hubungan sastra dengan kebudayaan sangat erat. Sastra adalah bagian kebudayaan. Sastra adalah produk kebudayaan. Sastra juga bisa menjadi sarana atau media untuk mentransformasi nilainilai budaya (Pradopo, 2003: 76). Gambaran nilai budaya dalam karya sastra dapat dilakukan dengan melihat sifat, sikap, tingkah laku tokoh cerita ketika berhadapan dengan konflik yaitu bagaimana menghadapi masalah, menyikapi, menyelesaikan, serta menindaklanjuti yang pada akhirnya bermuara pada nilai kehidupan (Saini, 1986: 9). Nilai budaya menurut C. Kluckhohn, dalam Samuel (1997: 34) terdiri atas lima jenis, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Nilai budaya tentang hidup manusia Nilai budaya tentang karya manusia Nilai budaya persepsi manusia tentang waktu Nilai budaya pandangan manusia terhadap alam Nilai budaya hubungan manusia dengan sesama.
(1) Nilai budaya tentang hidup manusia merupakan anggapan dari masyarakat terhadap hidup itu baik atau buruk. Selanjutnya, masyarakat menganggap bahwa hidup itu buruk. Oleh karena itu, manusia wajib berusaha agar kehidupan lebih baik dan bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun bermanfaat bagi masyarakat. Gambaran tentang hidup merupakan hal utama di dalam pembentukan sikap dan tingkah laku manusia. Setiap manusia mempunyai pandangan tentang hidup, meskipun tingkatannya berbeda-beda. Ada yang memandang hidup adalah sesuatu hal yang buruk dan manusia harus dapat mengusahakan untuk menjadi sesuatu yang baik. Ada pula yang memandang hidup itu baik ataupun ideal (Koentjaraningrat, 2005: 192). (2) Nilai budaya tentang karya manusia memandang bahwa karya manusia untuk membekali dan memungkinkannya untuk hidup. Masyarakat menganggap karya manusia untuk memberikan kedudukan yang penuh kehormatan. Untuk meningkatkan harkat dan derajat yang lebih tinggi manusia harus berkarya. Karya yang baik akan memberikan rangsangan agar manusia selalu berkarya lagi agar kehidupannya lebih baik dari sebelumnya. (3) Nilai budaya persepsi manusia tentang waktu memandang bahwa waktu yang telah kita lewati tidak dapat kita tinggalkan begitu saja. Selanjutnya, masyarakat memandang waktu sekarang juga harus dipandang sebagai sesutu yang penting dan harus digunakan sebaik mungkin. Demikian juga waktu yang akan datang juga harus dipersiapkan secara matang sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna.
(4) Nilai budaya pandangan manusia terhadap alam merupakan pandangan masyarakat tentang alam yang menyimpan sesutu yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia karena alam banyak menyimpan sumber daya alam yang bisa menghidupi manusia. Oleh karena itu, alam harus tetap dijaga keselarasannya oleh manusia. Masyarakat menganggap alam jangan saja dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, tetapi juga harus dilestarikan. (5) Nilai budaya hubungan manusia dengan sesama adalah pandangan terhadap hubungan manusia dengan sesama itu sangat penting sebagai makhluk sosial. Manusia dalam masyarakat bergantung kepada sesamanya dan harus berusaha menjaga hubungan baik. Kebersamaan merupakan suatu yang akan membawa kesejahteraan bersama. Akan tetapi, tidak semuanya harus bergantung kepada orang lain. Manusia sebagai anggota masyarakat juga harus bisa mandiri untuk mencapai tujuannya, tanpa memandang sebelah mata kepada orang lain. Manusia baru merasa berarti dan lengkap hidupnya setelah melakukan interaksi dengan orang lain. Manusia menyadari bahwa di samping dirinya masih ada orang lain. Hal itu berarti bahwa kehidupan tidak dapat lepas dari orang lain, sehingga artinya manusia pada hakikatnya dibentuk dan ditentukan oleh masyarakat lingkungan (Sedyawati, 2006: 44). Nilai budaya Bakumpai merupakan sesuatu hal yang dianggap baik, bernilai, berharga, dan penting dalam kehidupan masyarakat Bakumpai sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberikan arah dan orientasi kepada kehidupan warga masyarakat Bakumpai. Masyarakat Bakumpai yang dikenal sederhana, ramah, dan penuh toleransi telah dikenal sejak dulu. Hal ini terbukti banyaknya pedagang yang datang ke Bakumpai atau Marabahan untuk melakukan kerja sama, berdagang, dan transaksi lain (Maskuni, 2008: 4). Nilai budaya Bakumpai merupakan perwujudan yang ditimba dari kebudayaan masyarakat Bakumpai. Nilai ini merupakan hal yang dianggap dan dipercaya sebagai pedoman budi pekerti yang baik dan mulia. Pengaktualisasian nilai budaya ini dapat dilihat dari cara dan berperilaku masyarakat Bakumpai sehari-hari. Masyarakat Bakumpai sebagai petani misalnya, selalu memperhatikan dan menjaga kesuburan tanahnya dengan tidak memusnahkan kumpai tetapi malah dibuat untuk humus yang menyuburkan tanah. Nilai-nilai luhur masyarakat Bakumpai ini diwariskan oleh leluhurnya dari dulu sampai sekarang. Nilai budaya dalam bergotong royong misalnya, selalu dijaga oleh masyarakat sebagai rasa kebersamaan antarwarga masyarakat. Pandangan terhadap hubungan manusia dengan sesama itu sangat penting bagi masyarakat Bakumpai. Manusia dalam masyarakat bergantung kepada sesamanya dan harus berusaha menjaga hubungan baik antarsesama. Kebersamaan merupakan sesuatu yang akan membawa kesejahteraan bersama. Tetapi, bagi masyarakat Bakumpai tidak semuanya harus bergantung kepada orang lain. Manusia sebagai anggota masyarakat juga harus bisa mandiri untuk mencapai tujuannya, tanpa memandang sebelah mata kepada orang lain sehingga rasa kebersamaan tetap terjaga. Nilai-nilai budaya Bakumpai sebagai pedoman dan norma hidup tergambar dalam kandungan dongeng yang berkembang di masyarakat. Dongeng ini selalu menyelipkan unsur nasihat dan moral kepada masyarakat Bakumpai yang dipercayai sebagai sarana pembelajaran kepada generasi berikutnya (Kasmudin, 2003: 24). Cerita-cerita dalam dongeng Bakumpai mengandung arti dan isi tentang ajaran peri kehidupan, masalah alam, hubungan antarsesama manusia dalam masyarakat.
METODE Data dari penelitian ini adalah dongeng Bakumpai yang terdiri atas 11 (sebelas) dongeng. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dan penelitian sosiologi, metode deskriptif, dan teknik analisis isi. Instrumen utama adalah peneliti. Instrumen sekunder adalah informan, dongeng Bakumpai, tape recorder, ponsel dan catatan penelitian. Analisis data dilakukan selama pengumpulan data. HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Budaya tentang Hidup Manusia dalam Dongeng Burung Pipit dan Petani Dongeng tentang Burung Pipit dan Petani ini menceritakan kehidupan sebuah keluarga yang sederhana, yang dalam mencari nafkah dengan cara bertani dan berkebun. Mereka hidup penuh kesabaran dalam bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Seperti pada kutipan berikut. Pancaharian awen te manggilau lauk dengan batana. Awen melai si sungei Barito dengan mawi huma. Beken pada jite, awen melai batana dengan bakabun. Artinya: Pancaharian mereka adalah berburu dengan bertani. Mereka tinggal di rumah yang sederhana. Selain itu, mereka hidup dengan berkebun dalam mencukupi kebutuhannya. (Hm/1 Burung Pipit dan Petani). Bertani merupakan pekerjaan sebagian besar masyarakat Bakumpai. Hal ini disebabkan kebiasaan yang diwariskan dari leluhurnya adalah bertani. Tersedianya lahan pertanian yang luas mendorong mereka untuk mengelola lahan itu sebagai penyambung hidup. Mereka hidup penuh kesabaran dalam bekerja dari pagi sampai sore untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Hidup dengan kesabaran dan tidak mengeluh merupakan prinsip mereka dalam menjalani hariharinya agar hidup terasa damai dan tenang. Tenang dan damai di rumah yang sederhana. Seperti dalam kutipan tersebut, pada kalimat kedua. Tempat tinggal mereka sebuah rumah yang beratap rumbia yang diambit sendiri. Rumah yang lazimnya pada masyarakat Bakumpai dibangun dalam bentuk panggung dengan tongkat dari kayu Ulin. Ini mengingat tanahnya rawa dan biasanya berair, apalagi musim penghujan. Pada lapak bawah tongkat ulun diberi kayu galam. Masyarakat Bakumpai dalam bertani diawali dengan penyemaian atau manugal. Manugal biasanya dijalankan secara serentak dalam suatu lahan yang telah disepakati. Mereka bergotong royong dalam membersihakan tempat tugalan. Seperti pada kutipan berikut. Dalam mereka bertanam, sebelum padi ditanam ditugal lebih dahulu baru dilacak, kemudian ditanam. Artinya: Dalam mereka bertani, sebelum padi ditanam ditugal lebih dahulu baru dilacak, kemudian ditanam. (Hm/2/ Burung Pipit dan Petani).
Pada saat manugal, biasanya tugas dibagi dalam dua kelompok. Satu orang atau lebih membuat lubang dengan menggunakan kayu yang disebut halu. Caranya pun tidak sulit, hanya dengan cara menghentakkan halu ke tanah yang sudah dibersihkan. Sementara yang lain memasukkan benih ke dalam lubang. Setelah itu, lubang yang sudah berisi benih itu ditutup dengan tanah atau abu. Lahan untuk manugal ini bisa di sawah sebelum ada airnya, bisa juga di pamatang. Sebab biasanya manugal dipilih harinya ketika musim hujan baru tiba, di antara bulan September dan Oktober. Setelah rumpun tugal sudah besar, kira-kira berumur satu setengah bulan dipindah atau dilacak. Tempat lacak dibuat membujur lurus dengan sawah. Hal ini dilakukan agar ketika bertanam mudah menyediakan bibitnya, tidak jauh mengangkut. Sekitar bulan Februari sampai April masyarakat Bakumpai dikenal dengan musim tanam. Kebiasaan dalam bertanam padi ini dilakukan secara gotong royong. Baik secara bergantian atau bahandepan maupun secara upahan sehingga sawah yang luas akan dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak lama. Menanam padi secara bergotong royong ini dikerjakan dari pagi, sekitar pukul delapan sampai pukul dua belas atau tengah hari. Nilai Budaya tentang Hidup Manusia dalam Dongeng Raja Badandan dan Pembantunya Dongeng tentang Raja Badandan dan Pembantunya ini menceritakan kehidupan sebuah keluarga raja yang mempunyai kerajaan yang kaya dan makmur. Raja memimpin dengan adil dan bijaksana, serta peduli dengan lingkungan seperti taman dan kebun. Raja mempunyai seorang pembantu yang mencari nafkah dengan cara merawat kebun. Ia hidup penuh kesabaran dalam bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan selalu menjaga kepercayaan raja. Seperti pada kutipan berikut. Ada ji kungan panjaga kabun ji rajin, saing dengan iklas bagawian araei Sisung. Iye rajin bagawi mulai hayakjen sampai tukep sampalemei. Mandukuh babuaan dengan maharague sampai babuawa muna gawia ji inggawi tapi dada marasa uyuh. Raja te marasa suka bila mananjung si kabun babuaan, rasa sadengen dengan damai. Bila pas puhun babuaan jituh kana hamaSisung maharague dengan macam-macam cara sampai hamae te nihau. Auh kesah uluh te Sisung te lenge sadengenan bila badukuhan naraei be ji indukuh tumbu susbur dengan labat buwae. Artinya: Terdapatlah seorang penjaga kebun yang rajin dan ulet, serta tulus dalam bekerja yang bernama Sisung. Ia rajin bekerja sejak pagi sampai menjelang petang. Menanam buah-buahan dan merawatnya hingga berbuah adalah pekerjaan yang ditekuni tanpa merasa lelah. Sang raja merasa senang bila berjalan di kebun buahbuahan, terasa sejuk dan damai. Setiap kali pohon buah-buahan ini terkena hama Sisung merawatnya dengan berbagai cara hingga hama itu hilang. Konon ceritanya, Sisung bertangan dingin, setiap tumbuhan yang ditanam tumbuh subur dan berbuah lebat. (Hm/1/ Raja Badandan dan Pembantunya). Menjaga kebun merupakan pekerjaan dan pengabdian kepada raja dan negara. Kesetiaan kepada pekerjaan bagi masyarakat Bakumpai harus dijaga secara amanah. Hal ini disebabkan
adanya sebuah anggapan bahwa segala peraturan dan anjuran raja sebagai pemerintah harus ditaati dan dicintai secara tulus. Ini menjadi simbol masyarakat kecil yang hidup penuh kesabaran dalam bekerja dan menjaga amanah dari pagi hari sampai sore hari. Bukan saja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari tetapi karena cinta kepada junjungannya. Hidup dengan kesabaran dan tidak mengeluh merupakan prinsip bagi masyarakat dalam menjalani hari-harinya agar hidup terasa damai dan tenang. Sang raja sebagai simbol seorang pemimpin juga merasa senang dan bangga melihat orang yang dipercaya menjalankan pekerjaan dengan tekun dan penuh rasa cinta. Setiap pekerjaan hendaklah dikerjakan dengan keteguhan hati, bukan sekadarnya saja. Hal ini telah dilakukan oleh Sisung, penjaga kebun, untuk selalu bekerja dengan baik sehingga kebun akan selalu menghasilkan buah yang segar. Seperti pada kutipan: Raja te bila atei e pusang tulak kan taman dengan kabun akan mahibur atei ye. Maka bila jadi si kabun atei raja te rasa damai.Mun malang dadukuhan ji mahijau babuwa kawa mani atei dengan pikiran sanang. Artinya: Sang raja bila hatinya gundah pergi ke taman dan kebun untuk menghibur hatinya. Ternyata, setelah di kebun, hati Sang raja terasa damai. Sebab melihat tanaman yang hijau dengan buah yang lebat dapat menyenang hati dan jiwa. (Hm/2/ Raja Badandan dan Pembantunya). Nilai Budaya tentang Pandangan Manusia terhadap Alam dalam Dongeng Burung Pipit dan Petani Dalam kehidupan masyarakat Bakumpai terdapat hubungan timbal balik antara manusia dengan alam lingkungan sekitarnya. Hubungan ini dipengaruhi oleh kepribadian masyarakat yang melatarbelakangi watak khas, sistem nilai, dan norma masyarakat yang bersangkutan (Mulyadi, 1999: 52). Kepribadian yang selaras, yaitu apabila kepribadian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan lingkungan alam tempat mereka hidup, dan bertempat tinggal. Kemampuan ini adalah adanya hubungan timbal balik yang sama-sama tidak merugikan satu sama lain. Di satu pihak, masyarakat mampu mengoptimalkan eksploitasi kebutuhan hidupnya dari kekayaan alam di sekitarnya. Di lain pihak, lingkungan alam harus tetap asri dan lestari yang ditunjang oleh perilaku masyarakat yang ramah lingkungan. Seperti pada kutipan dongeng berikut. Andaw baganti andaw pambelume tatap kakate, mandukuh parei dengan sayuran, manggaduh, imbah te mamutike dengan sataruse. Huang mambuka lahan hanyar harus bahati-hati, harus tatap manjaga kalastarian alam. Awen bagantung dengan alam batana ukan awen melai. Artinya: Hari berganti hari, hidupnya tetap demikian, menanam padi dan sayuran, merawat, kemudian memetiknya, dan seterusnya. Dalam membuka lahan baru harus hati-hati, harus tetap menjaga kelestarian alam. Sebab mereka sangat tergantung dengan alam pertanian tempat mereka tinggal. (Ma/1 /Burung Pipit dan Petani).
Kutipan tersebut menggambarkan masyarakat Bakumpai dalam membuka sawah baru, tidak menebang semua pohon-pohon yang ada, terutama pohon galam. Mereka menyisakan di pinggir areal persawahan. Hal ini dilakukan selain untuk tempat naungan, juga sewaktu-waktu memerlukan untuk membangun pondok tidak susah mencari kayu galam. Dewasa ini, eksploitasi kayu galam secara besar-besaran banyak dilakukan oleh oknum masyarakat yang hanya mementingkan materi sejenak tanpa memperhatikan lingkungan. Kayu galam yang sering kita jumpai telah ditebang habis dan diangkut ke kota-kota besar untuk bahan bangunan. Kabupaten Barito Kuala yang didiami oleh berbagai suku bangsa yang salah satunya masyarakat Bakumpai merupakan penghasil kayu galam. Kayu galam inilah yang dijadikan pondasi bangunan rumah, gedung, dan bangunan lainnya yang ada ke kota Banjarmasin dan sekitarnya. Hal ini berakibat pada penebangan kayu galam secara membabi buta. Bahkan yang masih berumur satu tahun juga ditebang. Keseimbangan tidak hanya milik flora saja tetapi juga fauna yang harus mendapatkan perhatian dari manusia. Manusia di sini memegang peranan yang penting dalam menjaga dan melestarikan hewan agar tidak punah. Kutipan berikut menggambarkan tentang petani yang menghargai burung Pipit. “Ui burung pipit kawalku, munketu balau nginan be pareiku saadane, tapi lihi akan akih sakaluarga kuman sabab ikih mandukuh lapar banar”, auh Pak tani dengan kawanan burung pipit. Kawanan burung pipit te umbet kuman parei jite, awen benyem mahiningan Pak tani jite tulus. Artinya: “Wahai burung Pipit sahabatku, kalau kalian lapar makanlah padiku secukupnya, tapi tinggali kami sekeluarga untuk makan kami sebab kami menanam penuh jerih payah”, ujar Pak tani kepada kawanan burung Pipit. Kawanan burung Pipit pun berhenti memakan padi itu, mereka diam memperhatikan kata-kata Pak tani yang penuh ketulusan. (Ma/2 /Burung Pipit dan Petani).. Kutipan itu memesankan bahwa kita harus menghormati dan memberi makanan kepada hewan sekali pun. Bila kita memberi dengan tulus dan ikhlas, akan dibalas dengan kebaikan di dunia atau nanti di akhirat. Ketulusan ini sering kita jumpai pada masyarakat petani di pedesaan. Mereka, bila menolong dengan hati tulus tanpa mengharapkan imbalan. Seperti pada kutipan di bawah ini. “O, ada burung pipit ji bahimang ampie, mamparamas,” garunum Pak tani lalu inue burung pipit jite hambalahun. Imbahte imbite buli kan huma maubat himunge. Artinya: “Oh, ada burung Pipit terluka rupanya, kasihan”, gumam Pak tani. Kemudian dipungutlah burung Pipit itu dengan mesra. Lalu dibawa pulang ke rumah untuk diobati luka-lukanya. (Ma/3 /Burung Pipit dan Petani). . Ketulusan dan kasih sayang akan memberikan rasa nyaman dan damai bagi orang-orang di sekitar kita. Demikian juga, walaupun itu burung Pipit, ia pun akan merasa terharu atas
pertolongan Pak tani yang penuh kasih sayang. Kasih sayang Pak tani membuktikan bahwa ia berhati mulia, seperti pada kutipan: “Untung ikau inyupa Pak tani jite. Iye muna baus atei makai itah harus mambalas dengan kabaikan,” auh kapala rumbungan pipit jite dengan bijak. Ji beken mahiningan dada basuara dengan mandam. Artinya: “Untung kau ditemukan Pak tani itu. Dia memang berhati baik dan mulia sehingga kita pun harus membalasnya dengan kebaikan”, kata kepala rombongan pipit itu dengan bijak. Sementara yang lain mendengarkan dengan diam dan takjub. (Ma/4 /Burung Pipit dan Petani). Sudah sepantasnya kita sebagai makhluk sosial memberikan balasan kepada orang yang telah menolong kita. Kebaikan harus dibalas dengan kebaikan, tanpa melihat siapa yang berbuat baik kepada kita. Begitulah penjelasan dari kutipan tersebut yang memberikan pencerahan agar setiap manusia membantu menjaga dan melestarikan alam sekitar kita, termasuk makhluk hidup lainnya. Nilai Budaya tentang Pandangan Manusia terhadap Alam dalam Dongeng Raja Badandan dan Pembantunya Masyarakat Bakumpai memandang hubungan antara manusia dengan alam lingkungan sekitarnya harus dijaga. Hubungan ini menggambarkan kepribadian masyarakat tentang norma masyarakat terhadap alam (Mulyadi, 1999: 62). Kepribadian yang selaras, yaitu apabila kepribadian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan lingkungan alam tempat mereka hidup, dan bertempat tinggal. Kemampuan ini adalah adanya hubungan timbal balik yang sama-sama tidak merugikan satu sama lain. Alam termasuk tumbuh-tumbuhan harus dijaga agar tetap asri dan lestari yang ditunjang oleh perilaku masyarakat yang memperdulikan tanaman. Seperti pada kutipan dongeng berikut. Sining pas puhun babuaan jituh takana hama Sisung maharagu dengan macammacam cara sampai hama jitu Nihau. Auh kesah uluh Sisung lengee dinginan,sining daduhuhan ji indukuhe tumbu subur dengan labat babuwa. Artinya: Setiap kali pohon buah-buahan ini terkena hama, Sisung merawatnya dengan berbagai cara hingga hama itu hilang. Konon ceritanya, Sisung bertangan dingin, setiap tumbuhan yang ditanam tumbuh subur dan berbuah lebat. (Ma/1/ Raja Badandan dan Pembantunya). Kutipan tersebut menggambarkan dan memesankan agar kita memperhatikan tanaman dari hama yang menyerangnya. Apabila kita rajin dan tekun merawat, hasil buahnya akan banyak. Tanaman yang menghasilkan buah yang baik tentunya harus diimbangi dengan pemupukan, penyiangan dari rumput dan gulma, serta penyemprotan terhadap hama. Masyarakat bakumpai yang mayoritas petani banyak menanam buah-buahan secara tumpang sari di sawah atau kebun. Tananam buah-buahan yang lazim ditanam seperti mangga, sawo, jeruk, ketapi, pisang, dan nenas.
Dewasa ini, pembukaan lahan gambut besar-besaran banyak dilakukan oleh oknum masyarakat yang hanya mementingkan materi sejenak tanpa memperhatikan lingkungan. Namun, bagi yang mempunyai pandangan ekonomis, lahan yang ditebang itu dibuat gundukan atau tokongan yang kemudian ditanami jeruk atau mangga. Jeruk bagi masyarakat Bakumpai sekarang dikembangkan dengan sistem pertanian yang lebih maju sehingga hasilnya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Keseimbangan alam terutama buah-buahan harus mendapatkan perhatian dari manusia. Sebab buah-buahan dapat menghasil serat yang sangat berguna bagi kesehatan manusia. Manusia di sini, memegang peranan yang penting dalam menjaga dan melestarikan buah-buahan agar tetap segar dan bergizi. Kutipan berikut menggambarkan tentang manfaat buah bagi kesehatan. Babuaan ji are mulai pakulih kabun te are banar makae sining ada karasmin si kerajaan pasti be ada mahias ruangan. Uluh ji rapat kilau wajir dengan panglima suka banar kuman babuaan ji sigar. Cucuk ai bila awen belom sehat. Sisung jadi pamandean uluh tarus iye pang harat manjaga dengan maharagu babuaan. Artinya: Buah-buahan yang banyak dari hasil kebun itu melimpah hingga setiap ada acara di kerajaan selalu menghiasi ruangan. Peserta rapat seperti wajir dan panglima senang sekali makan buah-buahan yang segar. Pantas kalau mereka hidup sehat. Sisung selalu dibicarakan orang karena kemahirannya menjaga dan merawat buah-buahan. (Ma/2/ Raja Badandan dan Pembantunya). Kutipan itu memesankan bahwa, kita harus menjaga dan mengkonsumsi buah-buahan agar tetap hidup dalam keadaan sehat. Buah-buahan yang diambil langsung dari alam akan lebih baik dan lebih sehat. Alam telah menyediakan agar manusia dapat mengelolanya dengan baik sehingga akan menghasilkan manfaat bagi orang banyak. Seperti pada kutipan tersebut para peserta rapat dan wajir dapat menikmati buah-buahan yang ditanam oleh Sisung. Alam ternyata dapat menghasilkan bukan saja buah-buahan tetapi juga obat-obatan, seperti pada kutipan: Imbahte tapahining ada habar mun si padalaman ada jikungan hatue ji harat maubati uluh habau dengan ramuan ubat bi ulat kayu dengan dadawenan bi saputar padang kayu. Lalu raja manyuhu prajurite manggau hatue jite. Artinya: Kemudian terdengar sebuah kabar kalau di daerah terpencil terdapat seorang pemuda yang pandai mengobati orang sakit dengan ramuan obat dari akar-akaran dan dedaunan dari hutan sekitarnya. Maka raja menyuruh prajuritnya mencari pemuda itu. (Ma/3/ Raja Badandan dan Pembantunya). Akar-akaran, seperti pasak bumi banyak kita jumpai di daerah tepian Barito. Akar ini dapat digunakan sebagai obat-obatan dan herbal. Ketulusan dan kasih sayang Sisung untuk menolong orang lain dengan menggunakan akar-akaran dan dedauanan. Hal ini, memberikan pesan bahwa alam juga menghasilkan tanaman obat yang bisa dimanfaatkan untuk kesehatan dan
kebaikan bagi orang banyak. Selain itu, hutan juga menghasilkan kayu bakar yang dapat digunakan untuk memasak dan dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Seperti pada kutipan berikut. Si huma panggung halus ji barasih hituhlah hatue jite melai kabuate. Sining andaw iye aur dengan tulak kan padang kayu manggau kayu akan barapi dengan bahan-bahan ramuan ubat ji ahapa uluh jisaputare. Iye mambantu uluh dada babalasan dengan dada baupah narai-narai. Artinya: Di sebuah rumah panggung kecil yang bersih inilah pemuda itu bertempat tinggal seorang diri. Hari-harinya disibukan dengan pergi ke hutan mencari kayu bakar dan bahan-bahan ramuan obat yang diperlukan warga di sekitarnya. Ia menolong orang tanpa pamrih dan imbalan apapun. (Ma/4/ Raja Badandan dan Pembantunya). Gambaran tentang hutan yang asri harus tetap dilestarikan agar hutan tetap sebagai jati dirinya yang menghasilkan berbagai macam keperluan hidup masyarakat. Masyarakat yang bijak akan memandang hutan adalah sebagai penyeimbang ekosistem. Ekosistem yang dihuni oleh berbagai makhluk hidup dan makhluk tak hidup, yang kesemuanya itu makhluk tuhan alam semesta. Nilai Budaya tentang Hubungan Manusia dengan Sesamanya dalam Dongeng Burung Pipit dan Petani Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu memerlukan orang lain dalam hidupnya. Pada masyarakat Bakumpai seperti masyarakat lainya, hubungan ini ditandai dengan adanya perkawinan dalam membentuk rumah tangga. Setiap individu memegang peranan dalam rumah tangga, termasuk dalam bermusyawarah, seperti pada kutipan: Huang awen batana, hindai parei indukuh inugal halu hanyar ilacak, imbahte indukuh. Pak tani induhup sawae dengan anke manngani e dengan badaduhupan. Lagi hinadi mulai, awen barunding mangau anadaw ji bagus akan manugal. Artinya: Dalam mereka bertani, sebelum padi ditanam ditugal lebih dahulu baru dilacak, kemudian ditanam. Pak tani dibantu istri dan anaknya melakukan ini dengan gotong royong. Sebelumnya, mereka berunding mencari hari yang baik untuk menugal. (Mm/1 /Burung Pipit dan Petani). Kutipan tersebut menggambarkan jiwa gotong royong selalu ada pada masyarakat Bakumpai di pedesaan sebab masyarakat desa pada dasarnya memiliki kepedulian yang tinggi dalam hubungannya dengan orang lain. Jiwa gotong royong dan menghargai pendapat orang lain ini tentunya patut dihargai sebagai tonggak demokrasi yang tulus, tanpa iming-iming. Hubungan dalam rumah tangga, seperti pada hubungan antara ayah dengan anak ditandai dengan pewarisan nilai-nilai luhur melalui contoh yang baik. Memberi pelajaran moral dengan
contoh akan lebih efektif pada seorang anak. Sebab anak dipandang sebagai pewaris masa depan negara harus mempunyai karakter yang handal dan mantap. Termasuk di dalamnya harus memiliki raya kasih sayang. Seperti pada kutipan: Kaluarga patani te dengan ji kungan anak hatue. Awen belom si huma ji sadarhana banar. Humae basarubung dawen rumbia dengan dindinge papan kayu. Sining andaw ilepahan si kabun dengan tana sambil mandukuh parei dengan papuhunan akan pambelum awen,pambelum awensaadae tapi tatap basyukur lalu dada parasaan marista dengan nasibe. Artinya: Keluarga petani ini dengan seorang anak laki-laki. Mereka hidup dalam sebuah rumah yang sangat sederhana. Rumah yang beratap Rumbia dan berdinding papan kayu. Hari-harinya dihabiskan di ladang dan di sawah untuk menanam padi dan sayur-sayuran untuk keperluan hidup mereka. Hidupnya sederhana dengan penuh rasa syukur sehingga tidak ada rasa mengeluh akan nasibnya. (Mm/2 /Burung Pipit dan Petani). Kutipan tersebut menasihatkan tentang ketegaran dan rasa syukur dalam menjalani kehidupan di dunia. Hidup dalam rumah tangga yang sederhana akan menempa seorang anak agar tidak manja, dan akan membentuk jiwa yang tegar, tidak mudah rapuh menghadapi cobaan hidup. Hidup harus dihadapi dengan keyakinan akan lebih baik bila kita mau berusaha memperbaiki. Nilai Budaya tentang Hubungan Manusia dengan Sesamanya dalam Dongeng Raja Badandan dan Pembantunya Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu memerlukan orang lain dalam hidupnya. Pada masyarakat Bakumpai seperti masyarakat lainnya, hubungan ini ditandai dengan adanya perkawinan dalam membentuk rumah tangga. Orang tua mempunyai peranan yang penting dalam mengawinkan anak-anaknya, seperti pada kutipan: Wajir menanga caruman akan maadaan sayembara. Lalu iyadaan sayembara yaweh ji supamangelehan raja akan ijadian binantue oleh raja baisi due anak hatue dengan bawi. Artinya: Wajir memberikan saran agar diadakan sayembara. Maka diadakan sayembara siapa yang dapat menyembuhkan raja akan menjadi menantunya sebab raja mempunyai dua anak laki-laki dan perempuan. (Mm/1/ Raja Badandan dan Pembantunya). Kutipan tersebut menggambarkan peranan orang tua dalam membentuk rumah tangga baru bagi anak mereka. Jiwa seorang raja tentunya akan memilih menantu yang mempunyai kelebihan. Pada masyarakat Bakumpai memilih menantu cenderung memilih yang mempunyai akhlak dan ilmu agama. Sebab masyarakat Bakumpai memiliki kepedulian yang tinggi terhadap moral yang sesuai dengan ajaran agama. Dalam hubungannya dengan orang lain, jiwa tolong-
menolong dan menghargai orang lain ini masih menjadi kebiasaan. Hal ini tentunya patut dihargai sebagai rasa kebersamaan yang tulus tanpa pamrih, seperti pada kutipan: Limbah raja sigar, Sisung harawey handak buli kan humae da mamarlu upah bi raa ji handak mangawinan iye dengan anake. Ye manduhup dengan rida dada baharap upah. Iye mamilih melai si kampunge ji kejau dengan kuta akan manduhup uluh ji mamalu iye. Artinya: Setelah raja sehat, Sisung pamitan untuk pulang ke rumahnya tanpa menghiraukan imbalan dari Raja yang akan mengawinkan ia dengan anaknya. Ia membantu dengan iklas tanpa mengharapkan imbalan. Ia memilih tinggal di kampungnya yang jauh dari kota untuk menolong orang-orang yang membutuhkannya. (Mm/2/ Raja Badandan dan Pembantunya). Pada kutipan tersebut memberi pelajaran moral tentang jiwa sosial, menolong sesama manusia yang membutuhkannya. Apabila masyarakat membutuhkan pertolongan, kita tidak boleh menolaknya. Ajaran moral seperti ini akan lebih efektif diajarkan kepada anak agar nantinya dapat bermanfaat bagi orang lain. Seperti pada kutipan: “Jida be Yang Mulia, jite ela imander hindai. Ji panting Paduka jadi sigar”, tambah Sisung. Imbah te Sisngmaharagu Sang Raja dengan kalau katabiban iyawe macam-macam ransum panginan bi sari babuaan oleh Sisung. Raja mulai baisut umbet haban dengan batambah sigar kungaye limbah mihup sari babuaan jite, dengan tatarusan badua dengan Yang Maha Kuasa. Artinya: “Sudahlah Yang Mulia, itu jangan dibicarakan lagi. Yang penting Paduka sudah sehat”, jawab Sisung. Setelah itu, Sisung merawat Sang raja dengan kemampuan tabibnya. Dibuatlah berbagai macam ransum makanan dari sari buah-buahan oleh Sisung. Raja pun lambat laun sembuh dan tambah segar badannya setelah minum sari buah-buahan itu. (Mm/3/ Raja Badandan dan Pembantunya). Kutipan tersebut menasihatkan tentang ketulusan dan rasa peduli terhadap orang lain. Hidup harus diisi dengan kebaikan dan keyakinan akan adanya balasan atas perbuatan baik itu di kemudian hari. Sudah sepantasnya kita sebagai makhluk sosial memberikan bantuan kepada orang dengan cara menolong sesuai dengan kemampuan kita. Demikian penjelasan dari kutipan tersebut, yang memberikan pencerahan agar setiap manusia membantu orang lain yang sedang membutuhkannya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dongeng di Kabupaten Barito Kuala dikenal sebagai sastra lisan Bakumpai dengan bahasa yang digunakan adalah bahasa Bakumpai. Dongeng Bakumpai memberikan corak tersendiri bagi perkembangan sastra di salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan ini. Karya sastra lisan ini sebagai pembelajaran hidup dalam lingkungan masyarakat melahirkan apresiasi yang mendalam oleh banyak kalangan. Dongeng bagi masyarakat Bakumpai selain untuk menghibur anak-anak sebagai pendengar juga untuk menanamkan pesan, nasihat yang positif terutama kepada anak-anak tentang moral dan kepribadian. Penanaman dengan pesan moral ini biasanya ditampilkan lewat tokoh-tokohnya. Tokoh protagonis selalu ditampilkan dengan penampilan yang serba istimewa sehingga pendengar akan simpati dan mendukung apa yang diperbuatnya. Selain itu, penampilan tokoh antagonis digambarkan selalu berbuat jahat yang akhirnya akan menuai akibatnya. Penyelesaian ini yang diperlukan dalam dongeng sebagai muatan moral yang baik selalu menang dan yang jahat akan mengalami kesengsaraan. Saran Kepada para peneliti berikutnya, disarankan agar melakukan penelitian nilai-nilai kearifan lokal dalam dongeng Bakumpai. Selain itu, disarankan pula kepada peneliti berikutnya untuk meneliti nilai-nilai pendidikan dalam dongeng Bakumpai. Di samping itu, disarankan juga kepada peneliti berikutnya untuk melakukan penelitian nilai-nilai moral dalam dongeng Bakumpai.
DAFTAR RUJUKAN Damono, Sapardi Djoko. 1998. Sosiologi Sastra. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia- Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti. Durasid, Durdje. 1997. Struktur Cerita Rakyat Bakumpai. Banjarmasin: FKIP Unlam. Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Presindo. Herusatoto. 2000. Sosiologi. Bandung: Ganesa. Ismail, Abdurachman. 1995. Cerita Rakyat Bakumpai. Banjarmasin: FKIP Unlam. Jassin, H.B. 1985. Kesusastraan Modern dalam Kritik Esai. Jakarta: Gramedia Pustaka. Kasmudin. 2003. Gambaran Identitas Etnik dalam Cerita Rakyat Bakumpai. Banjarmasin: STKIP. Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi. Jakarta: Gramedia. Kurnia. 1996. Dongeng- Salah Satu Sastra Lisan. Jakarta: Grafindo. Maskuni. 2008. Sastra Daerah Kabupaten Barito Kuala. Marabahan: Dinas LHPB. Mulyadi, Yad. 1999. Pengantar Antropologi. Jakarta: Depdikbud. Pradopo, Rahmad Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Samuel, 1997. Sosiologi. Jakarta: Depdikbud. Saini, KM. 1986. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Angkasa. Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sugiarto, Eko. 2009. Mengenal Dongeng dan Prosa Lama. Jakarta: Pustaka Widyatama. Sumardjo, Jakob. 1986. Ikhtisar Sejarah Teater Barat. Bandung: Angkasa. Sumardjo, Jakob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung: Yayasan Adikarya Ikapi. Wiki Media. http//Search creative Commons, org/#. 19 Juni 2010:16.15.