N
amaku Andara biasa di panggil Dara. Aku sekarang duduk di SMA kelas 12 di sebuah sekolah swasta terkenal di kotaku. Aku seorang cewek tomboy, kulit kecoklatan dengan tinggi 170 centi, berat 48 kg, membuatku kurang percaya diri karena aku menjadi satu-satunya cewek paling tinggi di sekolahku. Aku hobi mojok di perpustakaan sambil membaca buku berat seperti buku falsafah dan buku sastra lama bersama Harry, sahabatku. Aku seorang cewek nerd yang selalu duduk di rangking ke dua di sekolah sementara rangking satu di pegang oleh Harry. Aku dan Harry selalu bersama, menghabiskan waktu kami dengan belajar baik di rumahku maupun di rumahnya. Di kelas, kami selalu duduk sebangku. Saat istirahat, kami juga selalu bersama. Pendek kata, dimana ada aku disitu
pasti ada Harry. Meskipun demikian, aku dan Harry tidak terlibat dalam hubungan pacaran. Hubungan kami murni persahabatan yang selalu berdampak positif, itu kata guru-guru kami. Walaupun beberapa teman mengatakan kami memiliki hubungan teman tapi mesra, diam-diam suka atau apalah tapi bagi kami berdua hal tersebut tidak menjadi masalah besar. Sejak kelas 11, aku dan Harry satu kelas dengan seorang cowok populer yang membuat hatiku luluh kepadanya. Dias namanya, dia vokalis band sekolah. Dia ganteng, keren, periang, anak seorang pengusaha berlian dan lebih dari pada itu, dia pemilik senyuman yang tidak akan bisa terlupakan. Senyum maut yang dapat membuat wanita dimanapun dan usia berapapun bisa klepek-klepek di buatnya, termasuk diriku di dalamnya.
Aku duduk menopang dagu di bangku kelas deretan paling belakang menatap Dias yang sedang bercengkerama bersama temanteman cewek sekelasku. Dias adalah matahari di kelasku, sementara aku adalah sebuah bayangan baginya. Tidak masalah meski hanya melihatnya dari kejauhan, toh matahari dan bumi jaraknya sangat jauh tapi kehangatannya tetap terasa menyengat bukan. “Apa sih hebatnya bocah itu. Cuma modal tampang sama harta ortunya doang udah di puja-puja begitu.” Tandas Harry. “Dia ganteng banget ya Har...” Kataku dengan kedua mata berbinar-binar. Harry memutar kedua bola matanya. Lelaki bongsor yang setia menjadi bodyguardku kemana-mana ini selalu mendengus setiap kali aku memuji Dias. Harry sih selalu begitu, dia selalu jutek setiap kali aku sedang menikmati keindahan Dias. Dias yang dipahat sempurna oleh sang Maha Kuasa. Dias yang asyik duduk diatas meja menoleh menatapku lalu ia melayangkan sebuah senyuman kepadaku. Aku yang sedang menatapnya, langsung kaget dan salting di buatnya. Aku segera berpura-pura menyibukkan diriku sendiri. Dias berjalan mendekatiku, aku jadi deg-degan di buatnya. Sport jantung yang semakin dahsyat meskipun Dias masih di radius satu meter jauhnya. Dias duduk di bangku di depanku membuatku semakin salah tingkah di buatnya. “Dara. Ehm, aku mau ngomong serius nih tapi jangan disini.” Tutur Dias tiba-tiba. “Mau ngomong apa?” Tanyaku penasaran. “Ada deh. Ntar ya, kita ketemuan di perpustakaan sekolah. Aku menunggumu.” Kata Dias lalu ia berdiri dan segera berlalu. Harry menatapku dengan tatapan yang tidak dapat kuartikan. Aku sendiri menjadi sibuk menerka-nerka apa yang akan di bicarakan Dias kepadaku. Aku yang sedang bahagia rasanya ingin melompat kegirangan, tapi berhubung aku masih ada di dalam kelas sebagai pelampiasan adalah mencubit pipi Harry keras-keras hingga Harry tampak kesakitan. “Oops. Sorry, Har.” Kataku sambil tersenyum. Harry yang tampak geram dengan tindakan anarkisku. Dias mengajakku ke perpustakaan saat
jam istirahat tiba. Dias mengajakku duduk di pojok perpustakaan lalu ia mengambil setangkai bunga yang di berikannya kepadaku. “Dara. Sudah lama aku memperhatikanmu. Meskipun aku dikelilingi cewek. Tapi cuma kamu cewek yang ada di dalam hatiku. Dara, maukah kamu menjadi pacarku?” Tembak Dias membuat tubuhku serasa terbang ke angkasa. Beberapa lama aku terdiam hingga Dias melambaikan tangannya di depan wajahku. “Iya. Aku mau.” Jawabku tergugup. Hari ini kami resmi berpacaran. Bagai taman bunga bermekaran, itulah penggambaran yang paling tepat yang kurasakan saat tahu Dias, cowok yang selama ini kupuja menyatakan cinta di dalam perpustakaan sekolah. Perpustakaan yang selama ini memang menjadi tempat favoritku dan kini perpustakaan pula yang menjadi saksi bisu pernyataan pria yang kupuja yang kini adalah pacarku. Aku membagi kebahagiaan itu dengan Harry. Harry yang hari-hari tidak banyak ekspresi hanya menatapku tetap tanpa ekspresi. Aku sendiri tak mampu menahan senyum dimanapun aku berada. Aku pacaran sama Dias, aku benar-benar bagai pungguk mendapatkan bulan. “Selamat ya Dara. Semoga kamu bahagia.” Kata Harry yang membuatku semakin bahagia karena mengantongi restu dari sahabatku. Hatiku senang dan riang gembira. Sejak aku berpacaran dengan Dias, aku yang dulu bukan siapa-siapa kini tiba-tiba berubah menjadi cinderella. Demi cinta aku rela sering membuatkan catatan dan juga membuatkan PR untuknya, ah tapi Dias memang pacarku jadi sangat wajar kalo aku membantunya apalagi dia sangat sibuk dengan grup bandnya. Sayangnya, hubungan kami harus disembunyikan sementara waktu. Kata Dias, bandnya baru saja tanda tangan kontrak rekaman dan mengharuskan anggotanya tidak memiliki hubungan percintaan dengan siapapun. Aku sebagai pacar hanya bisa memakluminya karena band milik Dias baru saja meniti karirnya. Seminggu setelah jadian, aku dan Harry sedang sibuk mengerjakan karya ilmiah dimana aku, Dias dan Harry menjadi satu kelompok. Dias tidak dapat ikut kerja kelompok karena sedang mempersiapkan diri untuk launching album
perdananya. Sehingga aku dan Harry bersama-sama mengerjakan karya ilmiah yang dengan sangat mudah kami kerjakan bersama. Aku berdiri lalu merenggangkan ototototku yang kaku setelah hampir 3 jam duduk dan serius menyelesaikan tugas. Aku menumpuk 4 buku untuk kukembalikan ke dalam raknya. Aku berjalan menuju pojok perpustakaan dimana keempat buku itu seharusnya berada. Aku meletakkan kembali buku itu ketempatnya. Namun, tubuhku terpaku saat melihat sosok Dias bersama Imelda salah satu cewek populer di sekolah tengah berdiri berhadapan di sudut perpustakaan. Tempat dimana Dias menyatakan cinta padaku seminggu yang lalu. “Honey. Tidak ada seorangpun yang bisa menggantikanmu di hatiku.” Kata Dias. “Bohong.” Seru Imelda. “Aku jujur kok. Hatiku hanya untukmu.” Ucap Dias. “Kalo kamu cuma cinta aku. Kenapa kamu jadian sama Dara?” Tanya Imelda. Dias tertawa, tawa renyahnya bagai sebuah belati yang menusuk jantungku. Aku menyentuh dadaku, menahan rasa sakit yang kini menjalar ke seluruh tubuhku. “Aku cuma manfaatin dia doang. Kamu tahukan kalo Dara itu pinter, dia itu kujadikan pacar biar dia mau membuat catatan dan mau mengerjakan PRku. Lagian bagaimana bisa aku jatuh cinta sama cewek dekil, tomboy, item, kayak tiang listrik lagi.” Kata Dias merendahkanku. Imelda tersenyum lalu keduanya saling berpegangan tangan dengan mata beradu pandang. “I love you Imelda.” Ucap Dias membuat hatiku bagai di sambar petir. Secara perlahan aku mundur teratur, tidak perlu menunggu untuk mendengarkan jawaban Imelda karena melihat senyumnya saja aku sudah tahu jawabannya. Dengan setengah berlari aku segera kembali ke tempat dimana Harry masih duduk dan menyelesaikan tugas kami. Harry melihatku dengan wajah khawatir.
“Kamu kenapa Dara?” Tanya Harry kebingungan. Airmataku mengalir begitu deras. Tanpa banyak kata, aku meraih tas dan segera berlari keluar perpustakaan. Hatiku hancur berkepingkeping, setelah hampir dua tahun memendam rasa lalu rasa itu terbang jauh ke angkasa dan kini aku bagai di hempaskan ke bumi rasanya sakit luar biasa. Dias, kupikir dia memang mencintaiku tapi ternyata Dias mau denganku hanya untuk mamanfaatkanku. “Bodoh. Bodoh. Bodoh.” Makiku menyalahkan diriku sendiri. Semenjak kejadian itu, aku memilih diam. Aku pura-pura tidak tahu dan tetap mengerjakan tugas dan PR Dias meski aku menjadi enggan. Hubunganku dengan Dias sebenarnya mulai merenggang. Dias selalu mengatakan sibuk dengan latihannya meskipun aku tahu dia diamdiam menjalin cinta dengan Imelda. Hingga akhirnya kesabaranku telah diambang batas. Aku tidak sanggup lagi menerima luka yang di torehkan oleh Dias dan Imelda. Aku tidak sanggup mendengarkan gosip kedekatan mereka berdua yang mulai merebak ke seantero sekolah namun mengatakan putus aku masih merasa berat. Sepulang sekolah, aku pergi ke mall seorang diri. Jalan ke mall, mencuri baca di toko buku, window shopping dan nongkrong di food court adalah hal yang aku senangi untuk melepas stres. Aku berjalan tidak tentu arah sambil memperhatikan sepasang muda-mudi yang sedang jalan bermesraan. Keduanya tampak akrab dan kedua tangan mereka saling menggenggam erat. Aku menghela nafas berat, pupus sudah harapanku untuk bisa jalan berdua ke mall bersama Dias. Dias, kamu sangat menyebalkan. Sampai hati kamu memperlakukanku seperti ini, apa salahku padamu. Aku memang buta, sudah tahu Dias selingkuh tapi mau-maunya aku melakukan perintahnya. Aku memang tuli, sudah tahu Dias suka meledekku di depan Imelda tapi kenapa aku tidak bisa meminta putus padanya. Aku bodoh karena aku diam meski sudah jelas aku di tipunya mentah-mentah. Aku menatap kulit lenganku yang memang hitam, kulihat sepatu converse dan tas gunungku aku memang tomboy dan soal tinggi badan yang
seperti tiang listrik. Aku sekali lagi menghela nafas berat, aku terus melangkahkan kakiku hingga tanpa sengaja aku menabrak punggung seorang wanita. Secara reflek wanita itu membalikkan tubuhnya menatapku. Aku meminta maaf atas perbuatanku. Wanita itu berdiri terpaku, menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki lalu senyumnya tiba-tiba merekah sambil menjentikkan dua jarinya. Aku jadi bingung dengan entah apa yang ada dalam pikirannya. “Ikut aku.” Kata wanita itu. Wanita itu menarik tanganku dan membawaku ke sebuah convention hall yang sedang di kerumuni banyak orang. Mulutku terbuka lebar saat tahu wanita itu adalah seorang designer pakaian yang membutuhkan model untuk hasil rancangannya. Wanita bernama Deswita ini kehilangan model-nya karena kecelakaan sehingga ia sangat membutuhkanku karena aku memiliki tinggi badan dan postur tubuh yang sesuai dengan model yang di perlukannya. “Saya tidak bisa bu.” Kataku masih berusaha menolak. Bu Deswita menatapku dengan tatapan mengiba. Ia menangkupkan kedua tanganku dan memasang puppy eyesnya memohon padaku agar aku mau membantunya. “Ayolah Dara. Kamu cuma jalan diatas catwalk memutarinya dan gak perlu berlenggak lenggok kayak model beneran.” Pinta Bu Deswita. Beberapa lama bu Deswita merajuk, melihatnya lama-lama aku jadi tidak tega. Setelah beberapa lama aku berpikir, akhirnya aku menuruti permintaannya. Setelah aku setuju, Bu Deswita dengan penuh semangat memanggil salah satu asistennya untuk membantuku bersiap. Aku sedang berdiri di cermin sambil mengenakan gaun malam berwarna hitam berbentuk kemben dengan rok melembung seperti balon. Wajahku di rias sedemikian rupa membuatku terlihat sangat berbeda. Riasan dengan smooky eyes, membuatku tampak seperti seorang wanita misterius dengan sebuah pesona di dalamnya, keajaiban make up memang luar biasa. Belum puas menikmati kecantikan diriku, Bu Deswita menggiringku ke belakang panggung catwalk. “Dara. Kamu perhatikan cara jalan model
itu. Kamu ikuti saja caranya.” Perintah Bu Deswita. Aku hanya bisa menghela nafas sambil meliriknya. Bu Deswita nyengir kuda sambil garuk-garuk kepala yang aku yakin sebenarnya tidak gatal. Aku berdiri di tepi panggung dengan dua tangan berkacak pinggang bersama empat model lainnya. Seluruh mata perhatiannya tertumpu pada kami berlima. Ini pertama kalinya aku menjadi pusat khalayak ramai. Satu persatu model mulai melangkahkan kaki berjalan dengan anggun mengelilingi catwalk sepanjang lima meter jauhnya lalu melenggak lenggok membuatku semakin tidak percaya diri namun aku harus melakukannya. Andara pasti bisa, seruku dalam hati. Tiba giliranku berjalan diatas catwalk dengan memakai heels setinggi 12 cm membuatku semakin jauh tinggi bahkan lebih tinggi dari empat model lainnya. Aku berusaha agar aku bisa seperti model lainnya, berjalan dengan anggun dan menunjukkan diriku sebagai misterious girl sesuai dengan konsep acaranya. Pada awalnya aku merasa rendah diri namun semakin lama aku semakin merasa senang melihat ekspresi penonton yang duduk di antara catwalk. Setelah turun dari panggung, aku bisa bernafas lega. Bu Deswita tersenyum lalu memelukku. “You are amazing. You born to be a model.” Kata Bu Deswita. “Mana ada model item kayak saya bu.” Kataku masih kurang percaya diri. “Hei, jangan salah. Banyak kok model berkulit hitam. Dan kamu bukan hitam say. Kamu eksotis. Wanita asia dengan kulit kecoklatan akan membuat iri orang kaukasia.” Tutur bu Deswita membuatku memutar kedua bola mataku. Semenjak acara itu, Bu Deswita sering memintaku untuk menjadi model dadakan. Keberadaanku di tengah model profesional mening-
katkan tingkat kepercayaan diriku apalagi sekarang aku masuk ke sebuah agency model membuatku semakin sibuk dengan dunia modelling. Meski sibuk, aku justru sangat menikmatinya karena kesibukan ini justru membuatku tidak punya waktu memikirkan tentang Dias. Suatu hari aku di dapuk menjadi brand ambasador sebuah merk perhiasan dari perusahaan terkenal. Managerku Daniela, diam-diam mengatur kontrak kerjanya dan kini sebagai brand ambasador, aku semakin sibuk dengan pekerjaanku. Beruntung Daniela masih menghormatiku dengan membuat kontrak kerja dimana pekerjaannya tidak mengganggu jadwal sekolahku. Lelah mendera setelah satu hari harus bergaya di depan kamera. Setelah seharian wajahku tertutup make up tebal, kini saatnya aku bisa bernafas lega. Daniela datang kepadaku dengan wajah sumringah. “Bos besar mengadakan pesta. Kamu wajib hadir.” Kata Daniela. Pekerjaan model memang membuatku sering ikut ke pesta jamuan makan malam. Aku sebenarnya enggan namun sebagai brand ambasador aku berkewajiban datang pada jamuan itu. Acara diadakan di sebuah restoran terkenal. Selain Daniela dan Pak Edwin, CEO perusahaan perhiasan yang kini menaungiku. Tidak ada lagi yang kukenal, membuatku merasa tidak nyaman berada di tengah-tengah mereka. “Papa.” Seru seorang pria yang datang lalu memeluk tubuh pak Edwin. “Dias. Akhirnya kamu mau juga menemui papamu.” Ucap pak Edwin membuatku memicingkan mata. Pria yang di panggil Dias kini berdiri di depanku membuat kedua mataku melebar karena Dias yang di sebutnya tak lain adalah Dias pacarku. Pacar yang telah selingkuh di belakangku. Seperti aku, Dias menatapku dari kepala hingga kaki. Aku yakin Dias kaget melihat penampilanku yang jauh berbeda dengan diriku di sekolah. “Dara.” Pekik Dias kaget.
Pak Edwin menatap kami berdua dengan tatapan heran. “Kalian sudah kenal?” Tanya pak Edwin. Dias menunjukku namun wajahnya menatap pak Edwim. “Dia brand ambasador untuk brand baru kita.” Kata pak Edwin. Dias menatapku kembali. “Kamu...” Dias masih tampak kebingungan. “Kalian...” Pak Edwin yang juga kebingungan. Melihat wajah Pak Edwin dan Dias yang tampak kaget membuatku hanya bisa tersenyum. “Saya teman sekelas Dias.” Kataku mengenalkan diri. Pak Edwin tersenyum senang. “Dunia memang tidak selebar daun kelor ya.” Kata pak Edwin. Semenjak hari itu. Sikap Dias terhadapku berubah 180°. Setiap hari Dias memilih bersamaku, dia bahkan tanpa malu-malu menyebutku sebagai pacarnya. Di kelas, aku kini duduk sebangku dengan Dias dan ikut dalam lingkaran anak-anak populer di sekolah. Dias dengan bangga memperkenalkanku sebagai Andara sang model namun entah mengapa, hal ini justru semakin lama semakin membuatku tidak bahagia. Diam-diam aku merindukan Harry. Harry yang hobi membedah buku bersamaku. Aku menjadi suka membandingkan sikap Dias dan sikap Harry, keduanya bagai langit dan bumi. Jalan dengan Dias tidak sama dengan jalan bersama Harry. Dengan Dias aku selalu berada di tempat keramaian. Dias suka membawaku ke acara bandnya ataupun hang out bersama teman-temannya sementara dengan Harry, kami suka di perpustakaan atau jalan ke pasar buku bekas lalu duduk di taman saling membacakan buku yang kami beli. Aku merindukanmu Harry. Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu Har. Aku rasa, kamulah yang terbaik untukku. Aku rasa, aku mencintaimu Har. Karena perasaan inilah, akhirnya aku meminta putus dari Dias. Dias marah karena merasa tidak ada alasan khusus bagi kami untuk berpisah. Disini, di pojok perpustakaan kami saling beradu mulut. Dias membuatku menga-
takan bahwa aku tahu dulu dia selingkuh, kukatakan juga kepadanya bahwa dia tidak mencintaiku apa adanya. Dias mencintaiku sebagai Dara seorang model sementara Dara di hatiku adalah Dara si cewek tomboy, dekil, item dan tinggi seperti tiang listrik. Setelah pengakuanku, Dias mau tidak mau menerima keputusanku. Aku bisa bernafas lega karenanya. Keesokan paginya saat jam istirahat, aku berjalan masuk ke perpustakaan berharap Harry duduk dan terpekur dengan bacaannya. Aku menyapu seluruh ruangan perpustakaan lalu saat melihat tubuh jangkung Harry aku tersenyum lalu sengaja duduk di sebelahnya. Harry melirikku dengan lirikan tajamnya. “Dias dimana?” Tanya Harry datar. “Aku putus sama dia.” Jawabku cepat sambil tertawa riang. Harry menoleh lalu menatapku tajam. “Kenapa?” Tanya Harry dingin. “Karena aku kangen sama cowok yang hobi mengajakku membedah buku.” Kataku terus terang. Harry tersenyum, ia menopang kepala dengan satu tangan sambil menatapku. Aku ikut menopang kepala dengan satu tangan sambil menatap Harry. “Jadi. Kita taruhan apa untuk UAS kali ini?” Tanyaku kepada Harry. “Kamu tidak akan menang dariku.” Jawab Harry penuh keyakinan. “Kalo aku menang...” Tantangku. “Aku akan mengabulkan semua permintaanmu tuan putri.” Kata Harry sambil menganggukkan kepalanya ringan. “Kalo aku rangking pertama. Aku mau kamu jadi pacarku Harry.” Kataku penuh keyakinan. Harry tersenyum lalu mengacak-acak rambutku. Aku pura-pura manyun membuat Harry tergelak dengan sikap manjaku. Kami tertawa bersama, membuatku semakin bahagia melihat tawanya. Satu tahun kemudian Aku dan Harry duduk di perpustakaan kampus, tangan kami saling menggenggam erat. Kuletakkan kepalaku di bahunya menikmati suara baritonnya yang sedang membacakan
cerita kepadaku. Hasil UAS tujuh tahun lalu membuat hubungan kami resmi berpacaran. Meskipun aku tahu Harry sengaja menurunkan nilainya agar aku duduk di rangking satu dan mendapatkan apa yang aku mau yaitu menjadi pacarnya. Setelah lulus sekolah, kami nekat meningkatkan hubungan kami ke jenjang pernikahan. Tidak mudah meluluhkan hati orang tua kami namun keseriusan kami membuat mereka akhirnya pasrah pada keputusan kami. Aku menjalani kehidupan rumah tanggaku sebagai istri sekaligus sebagai mahasiswi. Harry bekerja keras untuk menghidupi kehidupan kami termasuk membiayai kuliah kami yang cukup tinggi. Meski sulit, Harry tetap memaksaku untuk tidak melanjutkan karir modellingku. Sejak tujuh tahun yang lalu, Harry merintis usaha di bidang IT. Kini perusahaannya sudah kian membesar bahkan telah memiliki lima orang pekerja. Kini, dalam kandunganku ada seorang janin yang telah berusia delapan bulan masa kandungan. Perpustakaan ini, adalah perpustakaan yang penuh kenangan. Kenangan akan luka sekaligus kenangan akan cinta. Perpustakaan ini adalah perpustakaan yang menumbuhkan sebuah bibit yang tumbuh di hati kami berdua. Bibit yang dinamakan dengan CINTA. ***