TENTANG PENGARANG Ajun Komisaris Besar Polisi yang kepincut pada Cerpen sejak belia ini, menyelesaikan SD dan SMP didesa kelahirannya, Kedungwungu, Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi. Kemudian hijrah ke Yogyakarta pada tahun 1981, menimba ilmu di SMA Muhammadiyah II dan melanjutkan pendidikan di Fakultas Teknik Kimia UGM. Ketika duduk di semester VII, suami dari Eni Rifayati IM S.Ag ini lolos seleksi Sekolah Perwira Beasiswa ABRI dan mengikuti pendidikan militer di Komando Pendidikan TNI AL, Bumimoro, Surabaya. Pada Juni 1988 dilantik sebagai Letnan Dua Polisi dan kembali ke kampus UGM sebagai perwira ABRI tugas belajar dan diwisuda sebagai insinyur kimia pada 1991. Tahun 2003, polisi cerpenis ini mendapatkan beasiswa “Chevening” dari British Council untuk menempuh pendidikan Master di University of Stirling, Skotlandia, Inggris. Dua tahun sepulang dari Inggris (tahun 2007), Khotib tetap Masjid Agung Tabanan dan Masjid Besar Al Huda Kediri Tabanan ini berkesempatan mengikuti Post Blast Investigation Course di International Law Enforcement Academy (ILEA), Bangkok, Thailand. Atas peran sertanya dalam pengungkapan berbagai kasus Bom di Bali, Kasubbid Dokupalfor Laboratorium Forensik cabang Denpasar ini tampil sebagai narasumber pada International Forensic Symposium 2008 di Fakultas Kedokteran UNUD membawakan makalah berjudul “The Bali Bombing Investigations : Forensic Under Siege”. Tahun 2009 kembali mendapatkan kesempatan mengikuti High Level Peace Keeping Operation Management Course di Pusat Pendidikan Carabiniery (Brimobnya polisi Italia) di Vicenza, Italia.
Mulai menulis cerpen tahun 1981, dengan “Sang Juara” sebagai naskah pertama yang dimuat di majalah anak-anak Gatot Kaca Yogyakarta. Sebagian cerpen dalam buku ini pernah dimuat di Koran, Majalah atau Antologi Cerpen. Penulis dapat dihubungi di
[email protected]
Apalah arti sebuah nama ! kata Shakespeare suatu ketika. Anda setuju ?! Saya berpendapat nama adalah sesuatu yang sangat bermakna bagi seseorang. Seorang sahabat saya –yang menolak dianggap orang penting meskipun tamu yang datang ke rumahnya sebagian besar adalah para pejabat; yang sejak belia sudah sangat gemar laku prihatin, tapa brata dan yang paling penting dalam hal ini adalah saya tahu persis, bahwa dia tidak pernah membual– berkisah tentang seseorang yang diketahuinya luar dalam. Begini karib saya itu bercerita : Senja itu yang masih nyangkut di kolong ingatan adalah dia sedang menunggu Neneng sambil leyeh-leyeh di bed mendut mentul kamar villanya yang sangat mewah. Wanita yang dua bulan terakhir ini selalu menemaninya melewatkan malam minggu itu sungguh telah menuntaskan seleranya. Perawakan tinggi agak gemuk berkulit kuning langsat yang selalu terbalut kebaya ketat itu, wajah bulat telor mata blalak-blalak namun sayu penuh kepasrahan itu, senantiasa berhasil meledakan kelelakiannya ke langit lapis yang ke tujuh dimana dia menobatkan dirinya sendiri menjadi lelananganing jagad, pria paling perkasa di seantero muka bumi. Broto, ajudannya, memang piawai mengejawantahkan imajinasinya tentang seorang perempuan. Ruangan ini sungguh asing, namun dia tidak sempat berpikir tentang kamar pengap ini. Hatinya begitu saja mengendap, tintrim. Dihadapannya – mereka dipisahkan oleh sebuah meja– duduk seorang laki-laki dengan tatapan menusuk, menerobos masuk dan menancap tepat di ulu hati. Wajah laki-laki itu sungguh sangat dikenalnya. Kepala yang nyaris bulat, jidat itu mulai melebar karena rambut depan yang terus saja rontok, tepat diatas alis kanan terdapat bekas luka sekitar dua senti, hidung besar itu tampak menempel tepat diatas mulut yang juga oversize. Wajah berminyak itu sungguh tidak asing baginya karena selalu muncul dihadapannya jika dia sedang bercermin. Ya, wajah itu
adalah roman mukanya sendiri. Laki-laki itupun menggigil, dia merasa sedang duduk di depan cermin gaib yang sangat mengerikan. “Si ……. si ……..siapa kau ?” kalimat tanya yang bergetar ini baru berhasil dilontarkannya melalui perjuangan keras selama beberapa puluh detik. Lelaki di hadapannya menyeringai, mengejek dam melecehkan sekali. “Teja Baskara !” dia mendengar suaranya sendiri keluar dari seringai itu,”Ya, aku adalah namamu sendiri, Teja. Teja Baskara adalah cahaya matahari, yang setiap detik, dari jam ke jam, dari satu masa ke masa yang lain senantiasa memberikan energi kehidupan bagi seluruh makhluk di muka bumi. Cahaya yang akan terus mengabdi dan berbhakti, terus menerus, tanpa diminta, tiada mengharap balasan. Tetapi apa yang telah kau perbuat dengan nama besar itu, Teja ?! Engkau telah menenggelamkannya di dasar comberan !” Kemudian hening, sepasang mata itu masih menancap di wajah Teja. Waktu yang merambat sangat pelan telah membantunya untuk menguasai diri. Keakuannya sebagai seorang pejabat penting menggeliat membangkitkan rasa ketersinggungan. Laki-laki ini benar-benar kurang ajar. Seingatnya Gubernur sekalipun belum pernah memperlakukan dia seperti ini. Sebarisan sumpah serapah berteronjolan diujung bibir, aneh, yang keluar adalah lenguhan tanpa arti,” Ah ………uh………ah…….huh,” Otaknya mendidih, mengelegak, seperti akan segera meledakan batok kepala. Tangannya mengepal, tetapi seperti mulutnya, tangan itu seperti terikat seutas buhul nirnyata. Yang deras keluar adalah keringat dingin dari sekujur tubuh. Akhirnya disadarinya bahwa perlawanannya akan sia-sia, urat-uratnyapun mengendor, hati keras itu melintuh pasrah tanpa daya.
“Dulu kau memang pantas menyandang nama Teja Baskara. Aku sungguh bangga melihat kepeloporanmu dalam membela kepentingan rakyat kecil. Aku masih suka membayangkan kepiawaianmu dalam berdebat dan beradu argumentasi dengan pihak eksekutif dan legislatif yang kompak mendukung pembuatan lapangan golf pertama di kabupaten ini. Engkaulah yang paling lantang menyatakan, apa gunanya kabupaten ini mempunyai lapangan golf, jika ratusan periuk nasi milik rakyat bergelimpangan karena tidak lagi mempunyai lahan garapan. Kamu tahu, pada saat itu hampir semua orang tua di kabupaten ini bermimpi mempunyai anak laki-laki seperti kamu. Mereka yakin dikaulah mentari kehidupan rakyat,” NAMA, sebuah cerpen
Mestinya laki-laki itu merasa berbahagia atau paling tidak berbangga hati. Hampir bisa dipastikan pemaparannya akan diliput oleh seluruh media masa. Bagaimanapun dia seorang manusia biasa, di pelosok hatinya tersimpan juga hasrat menjadi terkenal. Dan jelas dia akan menjadi sangat terkenal saat memberikan kesaksiannya di depan sidang pengadilan itu sebagai seorang ahli. Namun pada akhirnya semua itu hanya menjadi beban yang luar biasa berat setelah kesimpulan hasil pemeriksaan yang telah dilakukannya selama hampir satu bulan ternyata bertentangan dengan yang diharapkan. Dokumen yang berkop lambang Negara itu hanya berupa selembar kertas putih berukuran 8 cm X 15 cm, berisi tulisan lima belas nama yang harus “diamankan”. Kertas memo itu menjadi sangat luar biasa karena di ujung kanan bawah terdapat tanda paraf yang diduga milik mantan presiden negeri besar berpenduduk ratusan juta itu. Mantan penguasa itu telah memerintah selama lebih dari tiga dekade, sebagian besar diantaranya dengan sangat otoriter. Di ujung kekuasaannya, kurang lebih sepuluh tahun lalu, sang diktator diduga telah memerintahkan satuan khusus pengawalnya untuk melenyapkan lima belas aktifis yang sampai detik ini tidak diketahui keberadaannya. Seperti halnya para keluarga korban, para aktivis Hak Azasi Manusia, dan sebagian besar penduduk Negara, superintendan polisi yang sangat bersahaja itu juga berharap bahwa paraf itu benar-benar dibuat oleh sang diktator. Seorang pemeriksa tanda tangan tidak bisa main-main dengan pekerjaannya paling tidak karena tiga hal. Pertama, tanda tangan selalu berkaitan dengan harta benda, kehormatan atau bahkan nyawa seseorang. Kedua, barang bukti dokumen akan tetap utuh setelah diperiksa, sehingga jika si pemeriksa melakukan penyimpangan maka dapat dipastikan penyelewengannya akan terungkap di belakang hari.
Dan yang ketiga kasus dokumen selalu melibatkan paling tidak dua belah pihak yang saling berhadapan. SAKSI AHLI, cerpen
Namun akhirnya kusadari bahwa terlalu sulit bagiku untuk tetap berhati embun. Ruang pengadilan itu telah membekukan embun di kalbuku. Aku menumpahkan tiga butir peluru. Satu untuk kepala hakim ketua, sebutir untuk komandanku dan satu lagi untuk kepala istriku yang sebenarnya masih sangat kucintai itu. Darah muncrat kemana-mana, namun aku sama sekali tidak merasa bersalah. Adakah yang lebih bijaksana selain meledakkan kepala-kepala itu ?! Keputusan pengadilan telah menetapkan bahwa mereka tidak terbukti bersalah karena melakukan perbuatan itu secara suka sama suka. Kemudian gelap pekat, aku hanya ingin segera menyusul arwah rama dan ibu. Peduli setan dengan trah Senaprawira. Alinea terakhir dari CATATAN SEORANG NARAPIDANA