Cerpen-cerpen yang Dimuat di Koran Tempo (Minggu) dikumpulkan dan disusun oleh
Ardy Kresna Crenata
Daftar Isi Gangga Sri (Gus tf Sakai, 9 Maret 2014) Serimpi Sangopati (Karisma Fahmi Y., 2 Maret 2014) Enam Cerita (Agus Noor, 23 Februari 2014) Joseph dan Sam (Rilda A.Oe. Taneko, 16 Februari 2014) Neraka Kembar Rajab (Triyanto Triwikromo, 9 Februari 2014) Tok Mulkan dan Istrinya (Delvi Yandra, 2 Februari 2014) Gadis Berambut Panjang (Miguel Angel Asturias, 26 Januari 2014) Natasha (Putra Hidayatullah, 19 Januari 2014) Partikel-partikel Tuhan (Leopold A. Surya Indrawan, 12 Januari 2014) Katanya Saya Tak Akan Bosan (Ni Komang Ariani, 5 Januari 2014) Dongeng Penebusan (Mona Sylviana, 29 Desember 2013) Tentang Maulana dan Upaya Memperindah Purnama (A.S. Laksana, 22 Desember 2013) Batu (A. Muttaqien, 15 Desember 2013)
Gerimis di Kuta (Wendoko, 8 Desember 2013) Senja (Wladyslaw Reymont, 1 Desember 2013) Wajah Cinta Pertama (Amalia Achmad, 24 November 2013) Seorang Lelaki dan Sebuah Cermin (Ardy Kresna Crenata, 17 November 2013) Selamat Ulang Tahun, Bulan yang Menggantung di Langit (Clara Ng, 10 November 2013) “Nyctophilia” (Bernard Batubara, 3 November 2013) Rembulan (Zaim Rofiqi, 27 Oktober 2013) Bersin (Raudal Tanjung Banua, 20 Oktober 2013) Lelaki Kartu Pos (Anggun Prameswari, 13 Oktober 2013) Sapi Betina (Juan Rulfo, 6 Oktober 2013) Jawaban Raisa (Hikmat Gumelar, 29 September 2013) Di Market Square (Rilda A. Oe. Taneko, 22 September 2013) Rashida Chairani (A.S. Laksana, 15 September 2013) Aswatama Pulang (Gunawan Maryanto, 8 September 2013) Kapal Perang (Yusi Avianto Pareanom, 1 September 2013) Muslihat Membunuh Panglima Langit (Triyanto Triwikromo, 25 Agustus 2013) Kisah Seorang Pandai
(Bertolt Brecht, 18 Agustus 2013) Selembar Daun (A. Muttaqin, 4 Agustus 2013) Teman Kami (Dias Novita Wuri, 28 Juli 2013) Penembak Jitu (Liam O’Flaherty, 21 Juli 2013) Sangkar di Atas Leher (Adi Zamzam, 14 Juli 2013) Pintu (Yudhi Herwibowo, 7 Juli 2013) Orang-orang yang Setia (Ardy Kresna Crenata, 30 Juni 2013) Lapar (Jean Genet, 23 Juni 2013) Para Penjual Rumah Ustazah Nung (Ben Sohib, 16 Juni 2013) Hari yang Sempurna untuk Kangguru (Haruki Murakami, 9 Juni 2013) “To Be or Not To Be” (Mona Sylviana, 2 Juni 2013)
Gangga Sri Cerpen Gus tf Sakai
D
ARTO berontak, berusaha berteriak. Tetapi tenaganya bagai tak ada dan suaranya bagai tertahan di tenggorokan. Sepasang mata merah. Embus napas dingin. Saat jemari lentik itu semakin kuat mencekik, Darto tak lagi tahan. Tubuhnya seolah sudah hendak meledak ketika sesuatu, tiba-tiba, seperti mengguncang-guncang pundaknya. “Bangun, Darto! Bangun!” Darto terlepas dari cekikan. Napasnya gelagapan. Dibukanya mata. Wajah Tarno di hadapannya. “Kau mimpi, heh?” Mimpi? Ah iya. Benar mimpi. Gangga Sri.... “Ayo bangun! Tak kaulihat ini semua!” Darto menggerakkan tangan, mengusap-usap leher. Gangga Sri... cekikan itu benar-benar nyata. Sepasang mata merah. Embus napas dingin. Eh, dingin? Seiring dengan munculnya perasaan
lega, kesadaran Darto mulai sempurna. Ia rasakan tangannya yang dingin. Dan seperti basah. Air? “Sudah tinggi! Banjir!” Kalimat Tarno terakhir, tak pelak, membuat Darto terduduk. Barulah ia benar-benar sadar akan semua. Dan pikiran normalnya segera bekerja. Darto ingat, sebelum tadi ia tertidur air sudah masuk setinggi mata kaki. Tetapi lihatlah kini. Air sudah menenggelamkan kaki-kaki dipan, dan tak sampai sejengkal lagi akan mencapai bantal butut tempat kepalanya barusan tergeletak. Tiba-tiba Darto juga sadar, tangan kirinya yang dingin dan basah, yang tadi ia gunakan mengusap-usap leher, pastilah sebelumnya terjulur masuk ke air. Sudah pukul berapa ini? “Pukul tiga!” ujar Tarno, seperti tahu isi kepala Darto, bagai masih menghardik. Pukul tiga? Darto melayangkan pandang ke pintu yang masih terbuka. Di bawah cahaya samar pendar bohlam 15 watt, ia melihat ekor pik-ap Buk Madura juga masih tersorong ke depan pintu. Bibir air, yang sedikit beriak, hampir-hampir telah mencapai bibir bak mobil. “Kau... tak berangkat?” Darto bersuara.
“Berangkat bagaimana! Emang pik-ap itu sampan!” ketus Tarno.
A
DALAH biasa, bila pasang naik, rumah-rumah dan gubukgubuk di Muara Baru itu digenang air. Itulah sebab kenapa Darto juga berlaku biasa, tetap bisa tidur seperti malammalam lainnya. Malam-malam lain yang dimaksud Darto tentu saja adalah malam saat ia memutuskan tak pulang dan memilih tidur di kamar Tarno. Tentu saja tak tepat disebut kamar Tarno, karena sebenarnya kamar ini milik dan bagian dari rumah Buk Madura yang teletak di bagian samping, menempel ke rumah utama. Mereka berdua tak lebih cuma buruh yang bekerja pada Buk Madura lalu menumpang menginap di rumah juragannya. Dan karena pekerjaan Tarno adalah sopir yang bertugas menemani Buk Madura mengantar ikan ke berbagai pasar ikan yang berangkat malam dan pulang dinihari, Tarnolah yang selalu menginap. Itu sebab kenapa kamar ini disebut, tak hanya oleh Darto, tetapi juga oleh buruh-buruh pelabuhan lepas lain di sekitar, sebagai kamar Tarno. Dan sebenarnya pula, gubuk Darto tak begitu jauh. Hanya sekitar dua kilometer arah ke barat, di seberang, di bantaran Waduk Pluit. Tetapi selalu, bila pekerjaan mengangkut ikan dari Tempat Pelelangan Ikan ke rumah Buk Madura selesai telah sangat malam lalu diniharinya langsung disambut oleh pekerjaan lain, Darto memilih untuk menginap. Lebih praktis, tak harus bolak-balik. Begitu pulang ia bisa langsung tidur sepanjang siang. Tetapi hari ini, dinihari nanti, ah, air begini tinggi. Dan hujan mulai pula kembali turun. Tetapi, ah, yang kemudian terpikir dan kini mengganggu Darto: mimpi itu. Gangga Sri. Bukan hanya karena cekikan yang seakan nyata. Tetapi karena, sebelum
menjelma Ganga Sri makhluk halus penguasa waduk, sosok mengerikan itu hadir dalam wujud istrinya, Surti. Ah, mimpi yang aneh. Tetapi Darto tak bisa berpikir lama. Ada suara gerutu dari rumah utama, lalu teriakan memanggil Tarno. Buk Madura. Janda lima puluhan tahun yang nama aslinya Fatimah dan oleh anak-anaknya dipanggil Bo Pat itu ternyata cuma memberi tahu, meneriakkan tanggul Latuharhari bobol. Gerakan Tarno yang bergegas, yang seperti melompat dari dipan dan menimbulkan riak dan kecipak, menyadarkan Darto bahwa barang apa pun yang ada di dipan sudah harus dipindahkan. “Langsung ke atas saja,” kata Tarno saat kembali muncul di pintu. Ke atas yang dimaksud lelaki masih bujangan, walau sudah tiga puluhan tahun, seusia Darto, itu adalah ke rumah utama, ke tempat Buk Madura. Berbeda dari kamar Tarno yang terbuat dari papan, rumah utama adalah bangunan permanen dengan lantai lebih tinggi dan sebagian berlantai dua. Pasang, hujan, dan tanggul yang bobol. Jadi, inikah yang menyebabkan air begini tinggi?
W
ALAU sudah menduga, ketika melangkah memanggul barang-barang yang bisa dipanggul dan sampai di pintu kamar, Darto tercengang. Jalan, atau tepatnya gang utama, di depan rumah Buk Madura telah menjelma jadi sungai. Malam, atau tepatnya dinihari, juga tak lagi seperti dinihari karena kesibukan rumah-rumah di kiri kanan gang tak ubahnya bagai siang. Pintu-pintu dan jendela semua terbuka. Dalam serapah gaduh, di bawah tirai hujan dan buram cahaya, orang-orang bolakbalik mengangkat ini-itu ke tempat lebih tinggi atau ke lantai dua. Tak sampai satu jam, tinggi air mencapai satu meter. Sampahsampah terangkat, mengapung, ikut mengalir. Udara sehari-hari yang amis ikan, kini, berganti bau lumpur dan selokan. Pikiran
Darto berkelebat ke Surti, juga anaknya Cahyo, tetapi ia tak mungkin meninggalkan Tarno. Empat anak Buk Madura semua perempuan, hanya ia dan Tarno yang bisa mengangkat, memindahkan barang-barang berat. Lagi pula, sehari-hari, segala yang berkaitan dengan peti-peti, ember-ember, dan ikan-ikan, memang adalah tugas Darto dan Tarno. Listrik tiba-tiba mati, tetapi hari telah mulai terang. Saat Darto selesai membuat sampan dari potongan-potongan papan dan kulkas bekas, tak seorang pun lagi yang bertahan di lantai satu. Dan ketika Darto naik ke sampan lalu mulai mendayung, gang itu benar-benar telah serupa sungai: tak hanya sampan Darto, tetapi banyak sampan atau rakit lain, dari berbagai bahan darurat lain, telah hilir-mudik kian ke mari. Beberapa rumah setelah rumah Buk Madura, seorang Buk Madura lain minta menumpang di sampan Darto. “Sampai ujung gang,” katanya. Memang, ada banyak Buk Madura di kawasan pelabuhan Muara Baru. Mereka adalah para perempuan juragan ikan. Mereka menyebut diri mereka pelele, tetapi orang-orang lebih senang menyebut mereka Buk Madura karena perempuan-perempuan juragan ikan itu semua berasal dari Madura. Sampai di ujung gang, Buk Madura turun. Darto membantunya, menggapai naik ke teras lantai dua sebuah rumah. Hari semakin terang. Pagi telah menjelang. Saat Darto keluar dari gang dan masuk ke Jalan Muara Baru, sungai itu kini benar-benar nyata: tak hanya sampan-sampan atau rakit buatan, tetapi juga sampan-sampan sebenarnya. Juga perahu-perahu motor. Juga perahu karet. “Rumah pompa lumpuh! Pompa penyedot macet!” teriak orang-orang. Oh! Pantas! Setelah hujan, pasang, dan tanggul yang jebol, pompa-pompa di Waduk Pluit ternyata tak berfungsi. Tentu saja air cepat naik. Serta-merta tinggi. Telah berapa sentimeterkah ini?
Ah Surti. Ah Cahyo. Darto mendayung semakin gegas. Hari itu Kamis, 17 Januari 2013.
K
ELUAR dari Jalan Muara Baru, masuk ke sebuah gang, muncul di Waduk Pluit, astaga, Darto tak ubahnya bertemu laut! Di hadapannya hanya hamparan air, air, dan air. Bila tak sangat tahu bahwa di situ adalah waduk, mungkin Darto telah merasa ia salah arah, tersesat mendayung ke utara, ke arah laut. Tetapi toh Darto tak mungkin pangling. Nun di sana, di seberang, di belakang gubuk-gubuk bantaran waduk, Darto bisa melihat Apartemen Laguna, Hotel Aston Pluit, dan Emporium Pluit Mall tegak menjulang. Tak ada lagi daratan! Bila dilihat dari udara, waduk berluas 80 hektare yang kini tinggal 60 hektare karena gubuk-gubuk di bantaran itu, tentulah bagai menyatu dengan laut. Tak lagi turun hujan, tetapi Darto telah tak peduli pada apa pun, kecuali bergegas berdayung ke seberang, ke salah satu gubuk itu. Ada beberapa kawasan di pinggir barat waduk: Taman Burung, Gamas, dan Pohon Jati. Dan gubuk Darto terletak di kawasan Pohon Jati. Ah Surti. Ah Cahyo. Dua-tiga ratus meter lagi, tetapi Darto telah dengan jelas melihat pemandangan itu: gubuk-gubuk hampir tenggelam, orangorang berdiri di atap. Dada Darto berdetak, dirinya mendadak cemas. Adakah Surti dan Cahyo bersama orang-orang di atap itu? Usia Cahyo empat tahun, Surti tak pandai berenang. Beberapa orang terlihat diturunkan ke perahu, mungkin diselamatkan ke tempat lain. Sebuah jet ski melintas di depan Darto. Dua orang di atasnya. Melihat meluncur dari mana, jet ski itu sepertinya berasal dari perumahan mewah Pantai Mutiara. Sampai di dekat gubuknya, Darto tak melihat Surti dan Cahyo. Ia teriaki tetangga-tetangga di atap-atap gubuk, bertanya, tetapi
tak seorang pun menjawab pasti. Ada yang bilang Surti dan Cahyo menyelamatkan diri ke Pluit Junction, tetapi ada yang mengatakan mereka mengungsi ke Lions Club. Ada yang bilang melihat Cahyo dan Surti menumpang rakit ke halte Transjakarta Pluit, tetapi ada yang mengatakan, subuh sekali, bersama beberapa tetangga lain, mereka berombongan ke lapangan futsal Cometa. Ah... Darto memanggil, berteriak, “Surrtiiii! Cahyooo!” Tak ada jawaban. Darto ulangi beberapa kali. Tetap tak. Darto mendayung di sela atap-atap gubuk. Memasuki gang, terus ke Jalan Pluit Timur Raya. Lokasi paling dekat, lapangan futsal Cometa, adalah tempat pertama. Lebih satu jam Darto mencari, berteriak-teriak di sana, “Surrtiiii! Cahyooo!” Tak ada. Lions Club. Juga tak ada. Pluit Junction. Tetap tak. Ketika di tempat terakhir, halte Transjakarta Pluit, Surti dan Cahyo tetap tak ada, Darto mulai panik. Tiba-tiba ia ingat mimpinya: Gangga Sri, sebelumnya berwujud Surti. Oalah! Apakah? Bergegas, Darto kembali mendayung. Bukan ke tempat lain, tetapi kini kembali ke waduk. Di Jalan Pluit Utara Raya, seperti gila Darto berteriak. Bukan memanggil Surti dan Cahyo, tetapi kini, “Gangga Sriiii! Ganggaa Sriiiiii!(*)
Gus tf Sakai tinggal di Payakumbuh, Sumatera Barat. (Dimuat di Koran Tempo, 9 Maret 2014.) (Gambar oleh Mundzier Fadly.)
Serimpi Sangopati Cerpen Karisma Fahmi Y.
R
ARA Ireng menatap sekali lagi merah cermai yang lekat di bibirnya. Dipatutnya bayangan pada cermin lonjong di depannya. Sebelumnya ia tak pernah membayangkan tubuh dan rupanya akan sesempurna itu. Ia nyaris tak percaya bayangan itu adalah dirinya. Ia pernah pergi ke tengah kali dan menatap parasnya. Air bergelombang ketika gethek yang ditumpanginya berjalan pelan menyibak riak sungai yang kecokelatan. Ia merasa ikan-ikan mengikuti bayangannya, seolah mengolok rupanya yang sawo matang. Pada sekilas guratan air yang bergelombang itu, ia menemukan dirinya. Tapi di depan cermin lonjong malam itu, ia hampir tak dapat mengenali dirinya. Kulitnya langsat setelah aneka lulur diborehkan selama ia tinggal di keputren ini. Ia merasa asing dengan bayangan
itu. Di pantulan bayangan cermin ia kehilangan wajahnya, kehilangan rupa yang selama bertahun-tahun dimilikinya. Ia membenahi sanggulnya. Bokor mengkureb itu sungguh berat memasung kepala hingga lehernya. Dengan sanggul ini, kau tak bisa bergerak sembarangan. Sanggul ini akan menjadi kekuatanmu, kata mbah Yayi. Dua bulan penuh ia berlatih menari pada Mbah Yayi di pendopo keputren keraton. Itu bukan hal ringan. Ia bersama tiga anggota pasukan telik sandhi lain ditugaskan untuk mengikuti latihan menari Serimpi untuk menyambut kedatangan sang gupermen kumpeni. Bergeraklah dengan pikiranmu, jangan hanya menggerakkan tubuhmu. Biarkan gamelan membawa jiwamu. Bergeraklah dengan pelan, ringan, gemulai seperti mimpi. Bawalah tuanmu menuju mimpi. Itulah tujuan Serimpi, kata Mbah Yayi lagi, menjawil ujung dagunya. Jangan lupa tersenyum. Pentas tari adalah rahasia yang harus ia penuhi malam itu. Nyalinya benar-benar diuji. Tak seperti tugas-tugas biasanya ketika ia menjadi kesatria, menjadi mata-mata, pemburu atau bahkan pembunuh. Kali ini ia menjadi penari. Jelas ia tak akan mengenakan topeng penutup muka. Kini ia adalah tombak, yang langsung menghadapi lawan. Tugas berat itu
langsung diperintahkan Kanjeng Sinuhun padanya. Berbulanbulan ia melatih diri menjadi perempuan lembut sempurna dalam balutan gemulai tari agung putri kahyangan. Rara Ireng menarik napas dalam-dalam. Dadanya berdebar. Kelonengan gamelan di pendopo keraton mulai dimainkan. Sekali lagi dipatutnya kaca. Centhung, garudha mungkur, sisir jeram sa’ajar dan cundhuk menthul masih terpasang apik di sanggulnya. Ia merasa terlalu berlebihan. Namun ia tahu, bedak kuning yang dipasang di mukanya memang untuk menyembunyikan dirinya. Menyembunyikan jati dirinya. Gamelan berkeloneng merdu. Barisan abdi dalem duduk bersimpuh menunggu Kanjeng Sinuhun. Rara Ireng menghaturkan sembah takzim. Abdi dalem membawa bokor berisi air kembang, mengharap keselamatan dan keberhasilan. Kanjeng Sinuhun berjalan menuju pendopo utama. Dengan tangan menyembah, Rara Ireng berjinjit mengikut di belakang.
A
KU tak membayangkan pendopo akan sewingit ini. Ruangan menjadi lebih terang. Niyaga khidmat menabuh gamelan. Nada yang lamat-lamat terdengar menyayat. Aroma kamboja menyengat ruangan. Ini adalah tugas besar yang harus terlaksana. Upaya ini harus berhasil, Kanjeng Sinuhun harus bisa menyelamatkan pantai pesisir utara dari tangan serakah Belanda. Dan demi itulah aku berada di sini. Di garis depan. Pesisir utara adalah tanah air tempat segala cintaku bermula. Apa pun bisa terjadi hari ini. Senjata yang kusemat ini akan menjadi bekal ketika semua harus berakhir tak sesuai rencana. Tak ada lagi permainan. Peluru pun siap ditembakkan. Aku harus mengasah kesabaran. Inilah harga mahal untuk kemerdekaan. Panji-panji perang tegak berjajar di tepi ruangan. Semoga kumpeni merah itu tak peduli makna panji-panji ini. Aku
tersentak. Benar-benar kurang ajar cindhil raksasa ini. Mereka duduk sama tinggi dengan Kanjeng Sinuhun! Kalau bukan demi tugas ini pasti sudah kugorok leher mereka yang gendut berlipat itu dengan cundrik. Tapi aku sadar, kesombongan mereka memang harus ditaklukkan. Dan untuk itulah aku berada di sini. Mengelabui makhluk-makhluk merah itu dan menanggalkan keserakahan mereka. Lembut suara gamelan memenuhi ruangan. Gaungnya membawa siapa saja pada bayangan surga. Dadaku berdegup kencang. Akankah Serimpi Sangopati ini benar-benar menjadi jalan kematian? Aku menghyati alunan lembut itu. Senyum manis harus segera kurekahkan. Senyum yang melambangkan api yang beterbangan dalam diri manusia. Keserakahan dan kesombongan mereka harus ditumbangkan. Kini aku tahu mengapa aku harus merias diri sedemikian rupa untuk tarian ini. Karena itulah satusatunya hal yang dapat menjadi pembeda. Aku harus bisa melepas diriku sendiri dan benar-benar menjadi penari. Pupur tebal ini bahkan mengelabui diriku sendiri. Mungkin juga akan mengelabui mautku. Juga para kumpeni itu. Mereka tak boleh tahu arti semua ini. Mereka tak boleh tahu siapa aku, anggota pasukan telik sandhi yang biasa menyusup ke sarang mereka. Gayatri menangkap keresahanku dengan siaga. Dialah yang menjadi angin dalam pementasan ini. Serimpi Sangopati. Drama sederhana tentang pertarungan. Sebuah peperangan yang dilakukan dalam gerak halus gemulai swargaloka. Drama pertarungan manusia menuju mimpi sebelum menghadapi kematian. Dengung gong lembut bergema membawa angan ke dunia yang tak terjamah. Dunia tanpa bentuk Serimpi Sangopati. Benar nasihat Mbah Yayi, biarkan musik membawa dirimu menari. Aku
mengikuti arus itu, alunan yang menggerakkan raga begitu saja. Aku hanyut, menerbangkan para kumpeni ke alam mimpi. Api, tanah, air dan angin dalam tarian ini menembus ruang mata para kumpeni yang menganga larut dalam kelembutan. Gerak agung ini pun menyihirku. Berkali-kali takjub mataku menyaksikan cindhe kembang ungu tua yang kami kenakan bermekaran. Di ambang cahaya yang semakin temaram, kembangkembang itu merekah segar. Mereka hidup, menawarkan mimpi ungu surgawi dalam balutan perang berselubung gemulai tari. Arak pun mengisi ruangan. Inilah hidup yang sebenarnya, mampir ngombe. Dan inilah hidup yang sebenarnya bagi kami, panggung halus yang mencengkeram tulang belakang. Kami akan pertahankan tanah kelahiran kami. Cindhil merah itu terus menenggak arak ketan ke mulut mereka yang lebar. Beberapa kali roncean tiba dhadha tersibak, menebarkan wangi yang gaib. Aroma kematian. Aku menggigil dalam tarian. Musik bergelombang pelan. Angin berembus dingin menerbangkan harum melati, kantil dan kamboja, mengalahkan aroma kecut ragi ketan di cawan-cawan yang tak henti mereka reguk. Ketika gamelan menaikkan dan mempercepat bunyi, tubuhku mulai mengkilap oleh keringat. Gerak gemulai ini menghabiskan tenaga yang setara dengan seratus kali tikaman belati. Tubuhku duduk, berdiri dan berputar perlahan seperti api yang tenang membakar. Seperti angin jahat yang perlahan menerbangkan nafsu duniawi, seperti penggali tanah sebelum mengubur diri sendiri, seperti berenang melawan arus seribu pusar air di kedalaman. Tubuhku lelah, gamelan sendu terus mengalun. Kukibaskan sampir putih hingga jatuh ke pangkuan. Sampir putih yang menjadi bukti ketulusanku mengabdi pada negeri ini. Aku mengatur napas menolak lelah, tak sedetik pun aku boleh lengah. Aku terus menari.
Mata para kumpeni itu mulai memerah. Hanya cawan arak dan tuak itulah yang mengalihkan pandangan mereka dari pentas. Selebihnya, mata itu menatap kami dari kepala hingga ujung kaki. Jemparing, jebeng, pistol dan cundrik tersimpan rapi di lipatan kain kami. Kami harus terus bersiaga. Sesekali senjata-senjata itu tergenggam dalam adegan perang dalam tarian, dan lagi-lagi kami harus menahan diri dari kepungan mata laknat kumpeni. Kami harus bisa mengelabui kumpeni dengan siasat ini. Para kumpeni dan Kanjeng Sinuhun telah membahas perjanjian. Perjanjian perihal kedudukan pantai pesisir utara dan hutan-hutan jati di sekitarnya. Kupasang telinga dan kusiagakan mata. Arak dan tuak sudah bekerja. Suasana mulai gempita. Para kumpeni tertawa-tawa. Bau keringat mereka menguar ke udara. Bacin, kecut, seperti aroma keju campur cerutu. Waktu berjalan lamban. Aku yakin tak ada yang sia-sia. Aku percaya pada rencana yang telah dititahkan Kanjeng Sinuhun. Gamelan melantun sunyi. Sesaat sunyi mencekam, kawanan buto bule itu pun menandatangani kertas perjanjian. Cawan tuak kosong berserakan. Kanjeng Sinuhun mengerdipkan mata pada niyaga. Gamelan kembali menggema. Sesekali tawa mereka meledak memenuhi ruangan. Kanjeng Sinuhun tersenyum. Citacita kami telah tercapai. Kami berhasil menaklukkan mereka dalam perang yang gemulai dan tanpa pertumpahan darah. Pertunjukan usai. Kami bersimpuh duduk tegak takzim di pinggir ruangan, mengatur napas lelah agar tak terdengar. Letih luar biasa. Inilah sebenarnya pertarungan kesatria perempuan. Kanjeng Sinuhun telah menyiapkan kereta kencana dengan dua kuda putih di halaman. Sambil tertawa mereka berjalan sempoyongan, bersender di saka guru pendopo. Tubuh mereka doyong hampir rubuh. Beberapa prajurit jaga membantu mereka memasuki kereta. Mereka menyanyikan lagu berbahasa Belanda
dengan sumbang. Kanjeng Sinuhun berjalan ke depan, melepas tamu-tamu hingga hilang dari pandangan.
R
ARA Ireng membawa kudanya berlari menempuhi riakriak ombak di sepanjang pantai utara. Ia berhenti di ambang pantai. Dituntunnya Ireng, kudanya yang hitam mengkilat gagah berani. Berdua mereka berjalan beriringan di sepanjang pantai. Ditatapnya pasir pantai yang lolos dari cengkeraman kaum kumpeni. Inilah pesisir yang ia pertahankan dengan gemulai pusaka agung tarian perang beberapa bulan yang lalu agar tak jatuh ke tangan penjajah. Ditatapnya bulan sabit yang menghias langit. Sesaat lagi fajar merah akan merekahkan pantai. Ia menangkupkan telapak tangan untuk bersemadi. Dari arah selatan terdengar derap-derap kuda melaju. Ditajamkannya pandangan dan pendengaran. Gerombolan kuda itu tak berbendera, tak berpanji. Alis hitamnya segera menaut ketika matanya menangkap para penunggang kuda yang melaju ke arahnya. Seketika dicabutnya cundrik dari lipatan bajunya. Cundrik hadiah dari Kanjeng Sinuhun setelah pementasan tari serimpi itu. Ia tahu, makhluk-makhluk merah yang serakah itu akan mengkhianati perjanjian.(*)
Rumah Ladam, Januari 2014
Catatan Gethek: rakit dari bambu. Bokor mengkurep: jenis sanggulan rambut. Telik sandhi: regu mata-mata. Abdi dalem: pegawai istana. Niyaga: penabuh gamelan. Cindhil: anak tikus yang masih
merah. Cundrik: keris kecil. Cindhe kembang: salah satu jenis motif batik. Mampir ngombe: mampir minum, falsafah hidup orang jawa memahami hakikat hidup di dunia. Tiba dhadha: roncean kembang melati yang biasanya digunakan para pengantin, disampirkan di bagian samping dada. Jemparing: panah. Jebeng: tombak pendek. Buto: raksasa jahat. Saka guru: tiang bangunan.
Karisma Fahmi Y Lahir di Kota Pare, Kediri, Jawa Timur. Ia tinggal di Solo.
(Dimuat di Koran Tempo, 2 Maret 2014.) (Gambar oleh Munzir Fadly.)
Enam Cerita Cerpen Agus Noor
SENJA DI MATA YANG BUTA
B
ILA ada yang menceritakan padamu senja terindah yang pernah dilihatnya, dengan langit yang selalu kemerahan, dia pasti belum datang ke tempat kami. Senja terindah hanya ada di sini. Senja yang kuning keemasan, seolah madu lembut dan bening yang ditumpahkan ke langit hingga segala yang mengapung di permukaan air menjadi tampak kuning berkilauan. Senja yang tak hanya bening, tapi begitu hening. Selembar daun yang jatuh tak akan mengusik keheningannya. Angin sejuk selalu membiarkan daun-daun kelapa setenang bayang-bayang. Waname mengatakan pada saya, bahkan Tuhan pun selalu memilih tempat ini saat ingin menenangkan diri. Sejak kanakkanak kami suka duduk berdua menikmati senja. “Keindahan tak pernah abadi,” kata Waname. “Ketidakabadiannya itulah yang
membuatnya begitu berharga. Tataplah senja itu, Tikami. Rekam baik-baik, dan simpan dalam matamu.” Waname suka sekali berenang. Suara kecipak airnya terdengar begitu jerning hingga ke kejauhan teluk. Suatu hari Waname bersampan, dan tak pernah kembali. Padahal seminggu lagi ia akan melamarku dengan 50 ekor babi. Di gereja, penduduk Otikara mendoakan arwahnya sembari berbisik-bisik tentang orang-orang yang menculik Waname. Pastilah mereka pasukan terlatih, yang menganggap Waname harus dilenyapkan karena selalu menghasut penduduk. Segalanya memang berubah sejak pabrik tambang berdiri tak jauh dari teluk. Keindahan memang tak pernah abadi. Bila suatu hari kau datang ke tempat kami, kau tak akan melihat senja yang kuning berkilauan itu lagi. Tapi jangan kecewa. Bila beruntung, kau masih bisa melihat senja kuning berkilauan itu di mata seorang gadis buta yang setiap senja berdiri di tepi teluk. Namanya Tikami. Ia terus menyimpan senja itu dalam matanya. Ia satu-satunya yang melihat ketika Waname dihabisi. Pasukan terlatih itu telah merusak matanya. Epicentrum, 2 Februari 2014
PENIUP SERULING GAIB
I
NGATLAH Peniup Seruling Gaib bila suatu malam kau mendengar suara seruling mengalun penuh kepedihan. Bisa jadi seorang yang paling kau cintai akan mati. Atau kau akan menderita selamanya karena kehilangan telinga. Tak pernah ada yang melihat langsung Peniup Seruling Gaib itu. Orang-orang hanya menduga sosoknya yang serupa bayangbayang api berkobar, yang meninggalkan jerit tangis berkepanjangan begitu suara seruling itu lenyap di kejauhan. “Tutup telingamu rapat-rapat, pegang daun telingamu kuat-kuat, bila kau tak ingin tersayat,” ibu-ibu langsung berkata pada anakanak mereka setiap si Peniup Seruling Gaib lewat. Siapa pun yang tak tahan mendengar suara seruling itu akan mati mengenaskan. Bila pun hidup akan kehilangan telinga. Ada cerita yang dipercaya: ia dulu seorang peniup seruling paling hebat di kota ini. Ia berhasil memikat semua perempuan dengan tiupan serulingnya. Siapa pun yang mendengar alunan serulingnya, akan jatuh cinta dan terus-menerus disesah kerinduan yang tak tertanggungkan. Termasuk Putri Raja yang jelita. Sudah pasti Raja murka mengetahui anaknya jatuh cinta pada seorang peniup seruling yang tak jelas kerjaannya selain sepanjang hari sepanjang malam berjalan keliling meniup seruling. Ia perintahkan prajurit menangkapnya. Algojo punya gagasan brilian: cara terbaik menyiksa peniup seruling ialah dengan membuat tuli telinganya. “Dia memang akan masih bisa meniup seruling, tapi tak bisa lagi mendengar suara serulingnya sendiri. Pastilah peniup seruling akan menderita bila tak bisa mendengar suara seruling yang ditiupnya.” Algojo pun
merusak telinga si Peniup Seruling. Mengiris dan memotong daun telinganya. Mungkin Peniup Seruling Gaib itu muncul agar kau bisa memahami kemalangannya. Mungkin juga ia hanya ingin sekadar meminjam telinga; dengan memotong telingamu, supaya ia bisa mendengar lagi suara serulingnya. Bila kau mendengar suara seruling tengah malam, peganglah telingamu erat-erat. Jakarta, 22 Januari 2014
KISAH DUA BOCAH
B
OCAH itu ingin sekali menuruni tangga yang seolah terus menerus melambai padanya. Bocah itu ingin sekali naik tangga yang bagai menyimpan langit luas di ujungnya. Tapi tak bisa. “Jangan pernah turun ke tangga itu,” kata ibunya. “Kau hanya akan menjumpai kegelapan. Tempat hidup makhluk busuk yang akan menghisap kebahagiaanmu. Kau dengar suara-suara yang merayap di bawah itu?” Lalu bocah itu kembali mendengar jerit seorang anak yang disiksa sepanjang hari. “Kau akan dicabik-cabik seperti itu!” “Jangan pernah berpikir untuk naik tangga itu,” kata ayahnya. “Di atas sana kau hanya akan merasakan kehampaan. Jiwamu akan dimangsa makhluk terkutuk yang tak pernah mengenal kegembiraan. Kau dengar suara yang melayang di loteng itu?” Bocah itu memang selalu mendengar suara ganjil yang menakutkan berjalan di atas kepalanya. “Iblis-iblis di atas sana akan mencacah-cacah kakimu.”
Ibu menatap bocah itu, yang menunduk ketakutan. Sebelum pergi dan menutup pintu kamar, ia pastikan kembali rantai yang mengikat tubuh anaknya telah terkunci kuat. Sebelum keluar kamar, ayah mengelus kepala bocah itu, yang diam bersandar memandangi kedua kakinya yang terpasung. Terdengar langkah kaki menuruni tangga. Terdengar langkah kaki menaiki tangga. Sebentar tangga itu terlihat terang, seperti ada cahaya lampu dari pintu kamar yang perlahan terbuka. Kemudian kembali gelap. Kedua bocah itu mendengar dengus nafas busuk. Suara mengeram dalam kegelapan. Seperti ada iblis bersenggama. Yogyakarta, 30 Januari 2014
PERMAINAN ANAK-ANAK
A
PA permainan paling menyenangkan semasa kanakkanakmu? Ada permainan masa kecil yang kami sukai. Bukan gobak sodor, congklak, bola bekel atau petak umpet. Tapi memotong jari kelingking. Ini permainan sederhana. Kami berkumpul, dan setiap anak harus bicara jujur. Bila kami menganggapnya berbohong, maka anak itu harus membuktikan bahwa ia tidak berbohong dengan memotong jari kelingkingnya. Dan memang, setiap kali kami memotong jari kami, jari itu tetap utuh. Hidup tanpa kebohongan memang menyenangkan. Percayalah, kebohongan jauh lebih menakutkan dari kematian. Biarkan mereka menganggap kita hina, terbuang dan hidup sebagai budak kegelapan, tapi jangan pernah sekali-kali berbohong. Nasihat seperti itu membuat kami bahagia, meski
dikucilkan. Ada tembok mengelilingi tempat tinggal kami, yang tak boleh kami melewatinya. Kami hanya berani muncul malam hari ketika kegelapan membuat lembah ini menjadi semakin menakutkan: pohon-pohon tua dan angker, dengan sulur seperti usus berjuntaian, bayangan nisan dan pekuburan yang terlihat pucat. Hanya iblis dan orang-orang bermasalah yang nekat ke sini. Mereka mengendap-endap membuang mayat atau janin, lalu segera bergegas. Maka kami heran ketika melihat ada gadis kecil berjalan sendirian. Ia mungkin anak kampung seberang sungai yang tersesat. Atau mungkin ia mau mencuri buah mangga di pohon dekat gerbang pemakaman. Buahnya memang dikenal sangat manis. Ia tak kaget ketika kamu memergokinya. Ia bilang tak hendak mencuri mangga. Kami tak percaya. “Berani potong jari kalau saya bohong!” katanya. Kami pun mengajaknya bermain. Kami duduk melingkar. Ia mengulurkan tangannya, terus meyakinkan kami bahwa ia tak berbohong. Begitu tenang ia memotong kelingkingnya. Kami menjerit melihat jari itu berdarah, dan langsung lari ketakutan. Aku, yang sejak tadi sembunyi di pohon besar, memperhatikan anak itu. Aku mengenalnya. Ia anak tukang sulap yang tinggal di desa sebelah. Pastilah ia telah diajari trik kecil itu. Ia memungut jarinya yang putus. Pelan-pelan dari belakang kujulurkan tanganku yang rusak dan hitam, ke lehernya. VIN+ Jakarta, 31 Januari 2014
INSOMNIA
K
ANTUK adalah kutukan. Tidur adalah ancaman. Ia tak pernah lagi merasa tenang setiap matanya hendak terpejam sejak istri dan dua anaknya mati mengenaskan digorok dan dibacok rampok. Ia yang sedang di luar kota ditelepon tetangga, dan dalam bus matanya terus terjaga selama enam belas jam perjalanan pulang. Kepalanya penuh jeritan anaknya. Bahkan setelah dua hari penguburan masih saja ia mendengar jeritan itu. Ia terus melihat darah menggenangi lantai rumah. Sepanjang malam ia terus berjaga, duduk di kursi menatap pintu rumah, karena yakin para perampok itu akan datang lagi untuk membunuhnya. Pisau belati selalu tak jauh dari jangkauannya. Kawan dan rekan sekantor menasihatinya untuk istirahat. Kamu sudah seperti mayat hidup, kata mereka. Tidurlah. Tapi ia tak mau menyerah, meski tubuh telah begitu lelah. Tetap tak mau takluk oleh kantuk. Bergelas-gelas kopi. Segala obat yang bisa membuatnya tetap terjaga. Lampu selalu ia nyalakan. Atau ia pergi keluyuran menyusuri jalanan agar tak bosan. Belati terselip di pinggang. Di ujung gang seseorang terlihat berdiri menghadang. Ia bersiap menyerang. Ternyata itu sebuah tiang. Kota telah penuh bandit. Setiap saat para pembunuh itu akan menyerangnya. Sebelum bandit-bandit itu lenyap, tidur adalah neraka. Sebuah bayangan berkelebat. Ia segera mengejarnya. Tak ada siapa-siapa. Berminggu-minggu tak tidur telah membuatnya menjadi makhluk kumal dengan mata merah cekung, hingga siapa pun tak merasa nyaman di dekatnya. Tapi ia sudah mulai terbiasa sendirian. Mengurung diri dalam kamar bersama kecemasannya. Berbulan-bulan. Bertahun-tahun. Dan para kenalan mulai melupakannya. Sampai tetangga yang mencium bau busuk segera menelepon polisi. Ia ditemukan mati meringkuk dalam kelopak matanya.
Hotel Haris, 4 Februari 2014
PENARI SENJA
I
BUKU seorang penari, ia bercerita. Aku ingat, saat aku berusia 5 tahun, ibu mulai mengajariku menari, di pendopo rumah. Aku selalu tak pernah merasa mampu menari sebagus ibu. Tubuhnya mengalir lembut, begitu halus, seakan bergerak mengikuti angin. Aku selalu merasakan jiwa ibulah yang menari. Bahkan ketika tubuh ibu hanya berdiri dengan selendang di tangan, ia seperti tengah menarikan yang tak bisa kulihat: semesta seakan mengitarinya. Aku seperti mendengar gesekan bintangbintang nun jauh di kegelapan. Tak ada penari sebaik ibu. Setidaknya di kampungku. Ibu satu-satunya penari yang paling dikagumi. Ia diundang menari di banyak acara. Bahkan ketika Presiden Sukarno datang ke kota kabupaten, ibu menari di hadapannya. Sebulan setelah itu ibu ditangkap. Ia sedang mengajariku menari, bersama puluhan anak lain, ketika empat tentara datang, dan langsung menyeretnya. Ibu orang yang berbahaya begitu kudengar kemudian setelah aku dewasa. Aku sama sekali tak mengerti, kenapa seorang penari seperti ibu yang begitu lembut bisa dianggap membahayakan negara. Aku tak pernah bertemu ibu lagi. Mungkin ia mati disiksa di penjara. Tapi aku merasakan ibu dalam jiwa dan tubuhku. Ibu seolah ada dalam diriku: menuntunku untuk menari. Sering tengah malam aku tiba-tiba terbangun dan menari begitu saja. Tubuhku menari meski pun aku tak memaksudkannya menari. Kamu menari sebagus ibumu, kawan-kawan sering berkomentar.
Padahal aku sendiri selalu merasa kalau aku tak pernah bisa menari sebagus ibu. Jangankan menari sebagus ibu, menari dangdut yang acak-adut pun rasanya aku tak bagus-bagus amat. Tapi hidup memaksaku terus menari. Dan ia pun perlahan muai menari di depanku. Telanjang. Begitulah, setiap senja aku memandangi patung di depan gedung itu. Aku suka sekali menikmati tariannya yang begitu mempesona. Tentu saja, aku selalu diusir satpam setiap kali berlama-lama berdiri di dekat patung itu. Orang gila semacamku sudah pasti mengganggu pemandangan. Apalagi ketika patung itu menari setiap senja. Dan orang-orang kantoran yang lalu-lalang, berhenti sejenak memandanginya. Jakarta, 21 Januari 2014
Buku-buku Agus Noor yang akan terbit adalah Kitab Ranjang (novel) dan Cerita buat Para Kekasih (kumpulan cerita pendek).
(Dimuat di Koran Tempo, 23 Februari 2014.) (Gambar oleh Edward Richard.)
Joseph dan Sam Cerpen Rilda A.Oe. Taneko
“T
AHUKAH kamu di mana orang tua kami?” anak itu bertanya. Dan pertanyaan semacam itu, baginya, adalah pertanyaan paling menyedihkan yang bisa dilontarkan oleh seorang anak kecil.
B
UZZER kembali berdering. Ini untuk kali kedua. Kali pertama, anak itu membangunkan ia dari lelap yang baru saja akan nyenyak. Ia kembali melempar selimut dan berusaha bangkit dari tempat tidur. Kepalanya masih berat dan demam belum mau pergi dari tubuhnya. Terhuyung-huyung ia berjalan ke lorong rumah dan mengangkat gagang buzzer. “Ya?” “Bisakah kamu menolong untuk menghubungi orangtua kami?” Anak itu lagi. “Orangtuamu pasti datang sebentar lagi.”
Ia tidak mendengar jawaban dari anak itu. Ia menatap tombol bergambar kunci dan ragu untuk menekannya. Ia menggeleng dan menguatkan hati. “Tidak,” tekadnya, “tidak untuk kali ini.” Ia mendengar suara berbisik, “Tanya saja, bolehkan kita masuk ke rumahnya.” Ia tahu anak itu tidak sendiri. Ia bersama seorang adik perempuannya. Mereka baru saja pulang dari sekolah. “Tunggu saja,” ia kembali berkata. “Oh. OK.” Anak itu terdengar kecewa. Ia meletakkan gagang buzzer kembali ke tempatnya, menempel pada dinding lorong rumah. Biasanya, ia selalu mengundang anak-anak itu masuk ke rumahnya. Biasanya, ia menawarkan mereka segelas susu hangat dan setangkup roti selai stroberi. Tapi kali ini ia berusaha untuk tidak peduli. Ia merasa ia sudah terlalu banyak memedulikan orang lain dan menyampingkan perasaannya sendiri. “What about me? Aku toh sedang demam dan butuh istirahat,” pikirnya. Ia kembali ke tempat tidurnya dan berusaha memejamkan mata. Tapi tetap saja,
benaknya terus berpikir tentang anak-anak itu: “Mereka di luar sendirian, kedinginankah mereka? Mungkin sekali mereka lelah dan lapar.” Kemudian ia berusaha membunuh perasaannya. “Mengapa aku harus peduli, sementara orangtua anak-anak itu saja tidak?” Umur anak-anak itu enam dan lima tahun. Keduanya bertubuh kurus, bermata biru, berambut pirang kecokelatan dan berkulit sangat pucat. Mereka tiga bersaudara. Adik perempuan mereka masih berumur tiga tahun dan belum sekolah. Mereka semua terlihat serupa. Hanya saja yang perempuan berambut ikal panjang, hampir menyentuh pinggang. Bersama orangtua mereka, anak-anak itu tinggal di gedung apartemen yang sama dengan dia. Pertama pindah ke apartemen itu, enam bulan yang lalu, ia merasa senang mendapat tetangga yang baik. Ketika ia sedang sibuk mengatur barang-barangnya, tetangga itu mengetuk pintu rumahnya dan menyodorkan seloyang Victoria sponge cake. Saat itu ia mempersilakan mereka masuk ke rumahnya untuk berkenalan. Andy, Toni, Joseph, Sam dan Bobbie, demikian namanama mereka. “Anak-anakmu sungguh elok,” ia memulai percakapan. Toni mengangguk dengan bersemangat dan mulai memuji kebaikan anak-anaknya. Toni bertubuh kurus dan pendek, berbeda dengan Andy yang berbadan besar dan berleher lebar. Andy berkepala botak, sementara ia tidak pernah tahu warna asli rambut Toni. Seingatnya, selama ia tinggal di apartemen ini, rambut Toni selalu berganti-ganti warna: pirang, ginger, cokelat dan hitam. Mereka berdua selalu mengenakan pakaian olahraga bermerek Reebok, Nike atau Adidas. Mereka berdua senang tertawa-tawa kecil. Satu hari sejak hari itu, ia mendapati lorong lantai apartemen mereka, yang tadinya bersih dan lapang, kini dipenuhi mainan
anak-anak: tiga buah sepeda, tiga buah skuter, satu buah mobilmobilan, satu buah motor plastik dan dua buah kereta dorong.
I
A kembali menggeliat. Matanya tak juga bisa terpejam. Ia tidak mendengar suara-suara dari luar. Ia membayangkan anak-anak itu sedang duduk kedinginan di tangga. Ia ingin bangkit dari tempat tidur dan mengundang anak-anak itu masuk ke rumahnya. Namun ia kembali mengurungkan niat. Tidak, dia tidak kesal dengan anak-anak itu. Tidak sama sekali. Tapi kepada orangtua mereka, ia sungguh merasa gemas. Bagaimana bisa mereka membiarkan anak-anak mereka sendirian, tanpa penjagaan dan pengawasan orang dewasa? Ia berpikir, jika ia terus mengundang anak-anak itu bertandang ke rumahnya, bagaimana orangtua mereka bisa belajar dan kemudian mau berubah? Setidaknya dengan membiarkan anak-anak itu menunggu di luar, ia berharap mereka akan protes ke orangtua mereka dan kemudian orangtua mereka memikirkan hal tersebut lebih serius lagi: membagi waktu mereka berdua dengan lebih teliti atau membayar baby sitter untuk menjaga anak-anak mereka. Yang terjadi selama ini, Andy dan Toni seolah menganggap ia pasti selalu ada untuk anak-anak mereka. Seakanakan sudah seharusnyalah ia menjaga anak-anak mereka ketika mereka tidak ada. Terkadang, ia merasa dimanfaatkan secara licik oleh Toni dan Andy. Seminggu sejak ia pindah ke apartemen ini, Toni mengetuk pintu rumahnya. Toni mengundangnya minum teh dan ia memenuhi undangan tersebut. Di sela basa-basi tentang cuaca, segelas teh dan sepiring Hobnob, Toni bertanya, “Bisakah kamu menjaga Bobbie besok pagi? Tak lama, sekitar tiga jam saja. Dari jam 9 sampai jam 12.”
Ia tidak menyangka mendapat pertanyaan demikian di pertemuan pertama mereka, setelah perkenalan. Ia terdiam dan berpikir. Ia masih mengerjakan lukisan yang sama sejak dua bulan lalu, dan ia benar-benar ingin menyelesaikan lukisan itu secepatnya. Toni, yang melihat ia lama berpikir, segera menambahkan, “Bobbie anak yang baik. Dia tidak akan mengganggumu. Nanti aku bawakan beberapa mainan untuk dia. Dia akan duduk tenang dan bermain sendirian.” Setelah mendengar perkataan Toni yang seakan mendesaknya begitu, ia tahu ia tak bisa menolak. Akhirnya ia mengangguk. Keesokan harinya, Bobbie, dengan piyamanya yang pudar, ditinggalkan Toni di rumahnya. Bobbie membawa sebuah papan gambar, boneka Barbie lengkap dengan mobil-mobilan berwarna merah muda dan sebuah kotak makanan. Semua benda yang Bobbie bawa terlihat rusak dan kotor, termasuk kotak makanannya. Ia mempersilakan Bobbie duduk di sofa dan berkata jika Bobbie butuh sesuatu bilang saja, tak perlu sungkan. Ia pikir Bobbie akan duduk tenang bermain dengan mainannya. Tapi nyatanya tidak. Bobbie mengikuti ke mana pun ia melangkah sambil bertanya, “Apa itu?”, “Kamu sedang apa?” dan “Boleh saya ikut bermain denganmu?” Akhirnya ia menyerah. Ia meletakkan kembali cat dan kuas ke kotaknya. Sepertinya ia tidak akan bisa melukis selagi Bobbie ada di rumahnya. Ia menghabiskan waktu menemani Bobbie menggambar dan mewarnai. Tiga jam setengah berlalu ketika akhirnya Andy datang menjemput Bobbie. Lima hari sejak hari itu, ia berpapasan dengan Toni di Market Square. Dan Toni, dengan riangnya, berkata, “Terima kasih banyak sudah menjaga Bobbie. Rabu besok aku perlu bantuanmu lagi, boleh ya? Aku akan antar Bobbie jam 9 tepat ke rumahmu.”
Dan tanpa menunggu jawabannya, Toni melambaikan tangan dan berlalu dengan teman-temannya. Sepertinya ia tertidur sekejap tadi. Jantungnya berdebar keras dan kepalanya berdenyut. Ia lupa menutup tirai dan di luar hari sudah pekat. Ia sempat kehilangan orientasinya akan waktu. Apakah ini malam hari atau telah pagi? Ia berbalik dan melirik jam di dinding. Pukul 4:30. Ternyata hari masih sore dan ia hanya sempat tertidur selama 45 menit. Ia melangkah ke dapur, menghidupkan ketel dan menuangkan sebungkus bubuk Lemsip ke mug. Untuk kedua kalinya, Rabu itu, Bobbie ditinggalkan Toni di rumahnya. Untuk kedua kalinya, ia harus menemani Bobbie bermain selama hampir empat jam. Kali kedua ini, Bobbie terkencing di karpet ruang tamunya. Ia harus membersihkan karpet itu, membasuh Bobbie ke kamar mandi dan mencari pakaian yang bisa Bobbie kenakan (sebuah kaus yang menjadi daster bagi Bobbie). Ketika akhirnya Toni datang menjemput Bobbie, ia bertanya, “Sebenarnya apa yang kamu lakukan setiap Rabu pagi?” Toni dengan wajah lelah, dan seperti mengeluh, berkata, “Aku melakukan kerja sukarela di sebuah toko charity.” Toni mengucapkan terima kasih dan menghilang di balik pintu rumahnya. Sementara ia masih tercenung di depan pintu. Kerja sukarela? Ia hampir tak percaya apa yang ia dengar. Ia tak habis pikir bahwa Toni bisa meninggalkan anaknya untuk sekadar melakukan kerja sukarela. Tidak masuk akal baginya. Dulu, ia harus berhenti dari pekerjaannya demi mengurus anak-anaknya. Dan sekarang Toni menyuruh ia menjaga Bobbie secara sukarela, tanpa bayaran, demi Toni bisa pergi menjadi relawan? Ia menggeleng-gelengkan kepala. Sungguh ia tidak habis pikir.
Beberapa hari dari itu, Toni meminta tolong untuk hal yang sama dan dia menolak. Ia beralasan sibuk mengerjakan lukisannya. Toni terlihat tidak senang akan penolakannya itu. Ia memegang mug berisi Lemsip dengan kedua tangannya, mencoba menghangatkan tubuhnya yang menggigil. Beberapa kali, ia hirup Lemsip itu. Ia sudah terbiasa hidup sendiri. Sejak anakanaknya dewasa dan pindah ke kota lain, lalu suaminya meninggal setahun yang lalu, ia harus melakukan semua hal sendiri. Termasuk belanja dan memasak di kala ia sedang sakit. Ia tidak pernah meminta bantuan orang lain. Ia tidak ingin merepotkan dan membebani orang lain dengan urusannya. Selama ini, ia merasa bangga telah mengurus dan membesarkan anak-anaknya seorang diri. Tidak pernah sekalipun ia meninggalkan anakanaknya kepada orang lain, termasuk orangtuanya sendiri atau pun baby sitter. Tidak, ia mengingat-ingat, sekali pun tidak pernah ia mendahulukan kepentingan dan keinginannya sendiri. Sekarang suami dan anak-anaknya tidak lagi memerlukan pengasuhannya dan perawatannya, ia akhirnya bisa memperoleh kembali hal yang dulu dengan tulus ia serahkan kepada mereka: kebebasannya. Sekarang ia bisa melakukan apa pun yang ingin ia lakukan. Menjaga dan mengurus anak-anak kecil tidaklah termasuk dalam daftar hal-hal yang ingin ia lakukan. Namun, sejak ia tinggal di apartemen ini, rata-rata tiga kali seminggu ia harus membukakan pintu rumahnya untuk Joseph dan Sam. Beberapa kali, bahkan Toni dan Andy tidak kembali hingga jam delapan malam. Menelepon mereka pun percuma: mereka tidak pernah mengangkat telepon darinya. Karena Joseph dan Sam kelaparan, ia harus memasak dan menyediakan makan malam untuk mereka. Ia merasa harus melakukan semua itu. Ia merasa tidak tega. Tapi, tidak kali ini. Kali ini, ia bertekad untuk tidak menaruh belas kasihan.
I
A menghabiskan Lemsip di mugnya dengan sekali teguk, berharap sekejap lagi parasetamol akan bekerja dan menghilangkan nyeri di kepalanya. Ia baru saja berbaring di sofa dan berniat menonton televisi ketika ia mendengar ketukan di pintunya. Toni berdiri di depan pintu. Bobbie berdiri tak jauh darinya. Ia melihat ingus hijau di antara hidung dan bibir Bobbie. “Apa Joseph dan Sam ada di rumahmu?” Ia menggeleng. “Apa kamu tahu di mana mereka?” Ketika anak-anak menanyakan di mana orangtua mereka, baginya itu sungguh menyedihkan. Dan sekarang, ketika seorang ibu menanyakan di mana anak-anaknya berada, ia kehabisan kata. Ia kembali menggeleng. Toni mulai melihat khawatir. “Tolong kamu jaga Bobbie sebentar. Aku harus mencari Joseph dan Sam.” Toni gegas menuju pintu keluar. Ia mendengar Toni memanggil-manggil nama kedua anaknya. Ia mengajak Bobbie masuk ke rumahnya, mengambilkan segelas susu dan membuatkan setangkup roti stroberi untuk Bobbie. Sebelum Bobbie mulai makan, ia mengambil tisu dan mengelap ingus yang sedari tadi menggantung di hidung Bobbie. Ia duduk di hadapan Bobbie yang dengan lahap mengunyah rotinya. “Ke mana Joseph dan Sam pergi?” pikirannya melayang. “Apa mereka bosan menunggu di luar dan memutuskan main ke taman, tak jauh dari apartemen ini? Apa mereka pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli jajanan, demi menahan lapar?” Dua jam berlalu dan ia tak mendengar kabar dari Toni. Di luar apartemen, kapas-kapas putih salju melayang dalam pekat malam.
Pukul delapan malam, ia mendengar suara-suara pintu dibuka dan orang ramai bercakap-cakap. Ia membuka pintu rumahnya. Toni terlihat menangis tersedu-sedu sementara Andy memeluknya. Tiga orang polisi berdiri tak jauh dari mereka. “Kalian tahu bahwa kalian tak boleh meninggalkan anak-anak sendirian?” tanya seorang polisi. “Tapi biasanya mereka menunggu kami pulang. Tidak pergi ke mana-mana,” Andy mencoba membela diri. “Biasanya mereka pergi ke rumah tetangga kami,” Toni menimpali. Saat itu Toni menoleh ke arahnya dan menyadari keberadaannya. “Apa Joseph dan Sam memanggilmu tadi?” Ia mengangguk. Seperti menemukan harapan baru, mereka segera mendekatinya. “Lalu apa yang terjadi?” tanya seorang polisi. “Aku menyuruh mereka menunggu orangtua mereka.” “Kamu tidak membukakan pintu?” Ia menggeleng. “Mengapa?” “Aku sedang demam,” jawabnya. “Jam berapa itu?” “Sekitar setengah empat.” “Lalu apa yang kamu ketahui setelah itu?” Ia mengangkat bahu, “Aku tertidur.” Toni meraung, “Setidaknya kamu bisa membukakan pintu utama dan membiarkan mereka menunggu di lorong!” Ia terdiam. Mereka semua memandangnya lekat. Seakan menyalahkan ia.
“Bobbie! Bobbie! Kita harus pergi sekarang!” Toni berteriak, gegas mengambil Bobbie yang mncul dari dalam rumah. Ia berdiri canggung di depan pintu. Hingga akhirnya tiga polisi itu pergi keluar apartemen bersama Andy dan Toni membawa Bobbie masuk ke rumah mereka, membanting pintu sekuat ia bisa; ia menutup pintunya pelan-pelan.
L
IMA hari berlalu sejak hari itu. Beberapa kali polisi dan pekerja sosial datang ke rumahnya atau menghubunginya lewat telepon. Toni dan Andy tak pernah lagi menegurnya ketika mereka berpapasan di lorong apartemen. Di tiang-tiang lampu jalan dan dinding-dinding gedung di sekitar kota, selebaran dengan foto Joseph dan Sam ditempel. Di koran-koran dan televisi, berita tentang hilangnya mereka berdua menjadi pokok berita. Ia sering terbangun dari tidurnya di tengah malam dan menemui dirinya menangis dan berkeringat. Terkadang, ia berdiri berjam-jam di depan buzzer, mengangkat gagangnya, dan menekan tombol kunci, berkali-kali. Ia pun kerap berdiri di depan jendela, menunggu Joseph dan Sam pulang. Namun yang ia lihat hanyalah pekat malam, kapas-kapas salju yang terbang dipermainkan angin dan pantulan wajahnya di kaca jendela: seorang perempuan tua, bertubuh kecil dan kurus, berambut perak, berwajah keriput dan terlihat nelangsa. Ia acap kali merasa mendengar dering buzzer, bergegas berlari untuk mengangkat gagangnya, tapi hanya desir angin yang menyapa. Tidak lagi ia dengar suara Joseph dan Sam. “It’s too late,” gumamnya. Dan bukankah “terlambat” adalah kata yang paling menyedihkan yang bisa diucapkan manusia?(*)
Lancaster, Desember 2013
Rilda A.Oe. Taneko berasal dari Lampung dan sejak tahun 2005 ia menetap di Inggris. Kumpulan cerita pendeknya, Kereta Pagi Menuju Den Haag (2010).
(Dimuat di Koran Tempo, 16 Februari 2014) (Gambar oleh Yudha AF)
Neraka Kembar Rajab Cerpen Triyanto Triwikromo
T
AK boleh ada makhluk kembar di tanjung yang sepanjang malam warganya merasa memiliki 1.000 bulan itu. Jumlah pohon-pohon bakau yang tumbuh mengitari kampung pun tidak boleh berangka sama. Ketika mencapai 2.222 batang, dengan cepat Rajab, pemuda pemberang yang tidak pernah takjub pada misteri alam, akan menebas satu batang, sehingga orang tidak memiliki kesempatan mempercakapkan keajaiban pohon-pohon bakau. Juga saat jumlah bangau-bangau di tanjung menembus 1.111, dengan cekatan pula Rajab akan mencari cara membunuh makhluk-makhluk yang meliuk-liuk indah di antara cahaya matahari yang menyusup di sesela daun. Rajab bisa saja memanah kepala bangau hingga darah menetes-netes dan melayang-layang dari mata satwa berparuh besar, kuat, dan tebal itu. Rajab juga bisa menembak dengan senapan angin sehingga bulu-bulu hewan pemakan cacing dan serangga itu rontok, beterbangan.
Rajab juga pernah membantai sepasang kucing hanya karena bulu belang-belang hitam di tubuh cokelat satwa kesayangan Nabi itu mirip. Mula-mula Rajab menggantung secara terbalik kucingkucing itu, lalu berkali-kali kepala binatang yang terus mengeong tersebut dia hantam dengan linggis. Tentu saja kucing-kucing itu muntah-muntah dan darah segar mengucur dari mulut mereka. Karena itulah, sejak dulu warga kampung selalu menjauhkan apa pun yang kembar atau mirip dari mata Rajab. Mereka tidak ingin mengulang peristiwa yang menjijikan sekaligus mengenaskan pada masa-masa sebelumnya. Apalagi pada saat berusia 12 tahun. Rajab pernah memotong kelingking salah satu teman dengan parang tajam hanya karena tak ingin bermain-main dengan bocah kembar. Juga pada umur 15 tahun dia berusaha memancung kepala tiga bayi mungil karena di kening tiga malaikat kembar lucu itu ada semacam kaligrafi hitam berbunyi: Allah! Allah! Allah! “Jangan tertipu. Bayi-bayi ini jika tidak dibunuh kelak akan menjadi iblis!” teriak Rajab sambil
mengacungkan pedang samurai. Warga berang saat itu. Gemerenggeng kemarahan menguar, tetapi tak seorang pun berani melawan Rajab. Warga merasa akan sia-sia melawan remaja sableng yang kini telah kian menjadi berandal tengik itu. Warga yakin jika mereka gegabah, sangat mungkin pedang samurai Rajab benar-benar akan terayun dan memenggal batang leher bayi-bayi itu. Untunglah, pada saat kritis, Kiai Siti, tetua kampung yang selalu bertutur santun, menyeruak dari kerumunan. Dia mendekati Rajab, merangkul pemarah kesetanan itu, dan berbisik dengan lembut, “Siapa bilang mereka akan jadi iblis, Rajab? Juga siapa bilang ada kaligrafi Allah di kening bayi itu. Tak ada apa-apa di kening mereka. Juga tak seorang pun tahu apa yang bakal terjadi pada hari kemudian... Kau akan menyesali tindakanmu sekarang ini jika ternyata kelak mereka justru memuliakanmu?” Rajab tak melawan. Sejurus kemudian tanpa disentuh oleh Kiai Siti, Rajab terkulai. Pedang samurai terlepas dari genggaman. Setelah itu, warga tahu, pada hari-hari berikutnya dia menghilang dari kampung. Tak ada yang tahu ke mana dia pergi. Kabar samar menyatakan: Rajab belajar agama ke Kota Wali dan akan kembali setelah perangainya menjadi halus dan seluruh syariat melekat di hati yang lembut. “Rajab tidak lahir dari binatang,” kata Kiai Siti. “Siapa tahu kelak justru dia yang akan menjadi pemimpin kampung ini.”
R
AJAB memang bukan kepiting atau kambing. Akan tetapi justru karena itulah lulus belajar dari Kota Wali, kehendak untuk membunuh makhluk kembar, tak bisa hilang begitu
saja. Kehendak itu mula-mula hanya tersimpan di dalam kegelapan hati. Akan tetapi lama-lama membuncah juga ketika dia
mengungkapkan seluruh perasaan-perasaan hitam itu kepada Zaenab. Rajab tahu membicarakan apa pun kepada Zaenab, penunggu makam keramat Syeikh Muso—pendiri kampung yang sangat dimuliakan—bahwa pesan-pesannya tidak akan pernah keluar dari cungkup. Rajab juga tahu di telinga Zaenab, apa pun tidak pernah dimaknai secara benar, sehingga hanya kepada perempuan yang seluruh tubuhnya melepuh dan bersisik merah itu, dia berani membeberkan keinginan-keinginan jahat. Atau jika Zaenab, perempuan yang dianggap gila itu mau mendesiskan beberapa ungkapan yang terbalik-balik, Rajab akan memaknainya sebagai perintah sungsang. “Warga kampung kita memang bebal, Zaenab. Karena itu, jangan heran jika hingga sekarang mereka tak paham mengapa aku membenci segala makhluk kembar. Mereka tidak tahu Allah tidak pernah menciptakan nabi atau malaikat kembar,” gumam Rajab seperti berkata untuk dirinya sendiri. “Hujan! Hujan!” Zaenab malah berteriak sambil menunjuk matahari yang menyala merah di langit yang terang-benderang. Rajab tak memedulikan ucapan Zaenab. Dia tahu siang itu tak ada badai dan hujan yang bakal menenggelamkan kampung. “Iblis selalu memilih angka kembar untuk menampakkan dirinya kepada manusia. Karena itulah, agar salah satu dari kami menjadi manusia agung, ayahku menyingkirkan saudara kembarku ke kota. Karena itulah Syeikh Muso mesti terpisah dari Syeikh Bintoro, saudara kembar yang hendak membunuh panutan kita itu.” Zaenab masih terdiam. “Apakah kau tahu kini kita juga berhadapan dengan sepasang iblis kembar di kampung ini?” “Seribu matahari hanya untukku, seribu bulan hanya untukmu. Kau tidak perlu berzikir, kau tidak perlu selawat. Kau
tak perlu puasa, kau tak perlu salat, kau tak perlu berzakat, kau tak perlu berhaji, kau tak perlu bersyahadat. Seribu matahari hanya untukku, seribu bulan hanya untukmu.” Rajab tidak terlalu memperhatikan perintah sungsang Zaenab. Apa pun yang diungkapkan Zaenab, dia anggap tidak penting. Karena itulah, Rajab terus mencerocos mengenai sepasang iblis yang mulai bercokol di kampung. “Warga kampung ini buta semua. Mereka tidak tahu bahwa Kiai Siti dan Panglima Langit Abu Jenar itu kembar. Wajah Abu Jenar dan Kiai Siti memang tidak serupa. Tetapi ketahuilah hati pengkhotbah sok suci dari kota dan tetua kampung yang rapuh itu sama.” Tetap tak ada reaksi. Karena itulah, Rajab mendesis lagi, “Mereka sama-sama memberhalakan Allah. Abu Jenar merasa apa pun yang dikatakan paling benar dan seakan-akan dia jadi Tuhan bagi manusia lain, sedangkan Kiai Siti menganggap Allah mabuk pujian dan sesembahan. Karena itu, salah satu dari mereka harus dibunuh agar yang hidup jadi manusia agung...” Kali ini Zaenab terkejut. Dia memang membenci Abu Jenar, tetapi tak ada keinginan sedikit pun untuk membunuh Panglima Langit. Zaenab juga tidak ingin ada pertumpahan darah di kampung itu. Karena itu, dengan perintah sungsang, dia meminta Rajab mengurungkan niat membunuh Kiai Siti maupun Panglima Langit Abu Jenar. “Galilah Makam Syeikh Muso. Masuklah ke kubur. Tinggallah sepanjang hari di dalam kubur. Kiai Siti harus kau tusuk lambungnya dengan linggis. Panglima Langit Abu Jenar harus kausalib di tiang masjid,” perintah Zaenab tegas. Karena tahu bagaimana cara memaknai perkataan Zaenab, Rajab bergegas meninggalkan cungkup. Jika tidak segera meninggalkan Makam Syeikh Muso, bisa-bisa Zaenab akan mencekik atau mengungkapkan kemarahan dengan berbagai cara.
Meskipun begitu, sambil berlari, Rajab masih sempat berteriakteriak dan mengacung-acungkan tangan ke angkasa. “Dan ketahuilah, Zaenab, aku tak akan menyentuh Abu Jenar. Aku justru akan membunuh Kiai Siti, pemimpin yang rapuh itu. Kampung ini akan rusak jika dipimpin oleh lelaki yang lemah. Kampung ini akan hancur kalau Makam Syeikh Muso terus diberhalakan dan Kiai Siti membiarkan perilaku konyol warga dan para peziarah bodoh.” Zaenab tidak mendengarkan ancaman itu. Akan tetapi Zaenab tahu akan terjadi pertumpahan darah di kampung itu.
R
AJAB agaknya memang tidak punya pilihan lain. Dia sangat yakin bahwa membunuh Kiai Siti bukanlah dosa. Akan tetapi dengan cara apa dia harus membunuh tetua kampung yang selalu dikelilingi warga dan kini senantiasa mempercakapkan apa pun bersama Panglima Langit Abu Jendar di masjid itu? Sangat tidak mungkin mencampur racun di segelas kopi. Sangat tidak mungkin menembak sang kiai dengan senapan angin. Mendekati mereka, Rajab seperti berhadapan dengan dua pohon api yang senantiasa menyala. Mendekati mereka, Rajab seperti berada dalam amuk neraka kembar. Rajab berpikir: satu neraka harus dipadamkan agar satu surga bercahaya. Jika keduaduanya tetap ada, berarti kampung ini hanya berupa ½ surga atau ½ neraka. Jika ½ surga dan ½ neraka terus ada, bukan tidak mungkin manusia hanya menyembah ½ Tuhan. Ini berbahaya. Sangat berbahaya. Karena itulah, Rajab menyimpulkan: yang paling mungkin adalah mengendap-endap ke rumah Kiai Siti pada malam hari dan membakar tempat itu. Atau jika itu gagal, bisa saja dia membakar cungkup saat Kiai Siti memimpin doa para peziarah yang sedang tafakur mengelilingi nisan Syekh Muso. Jika terpaksa, apa boleh
buat, Rajab harus membakar masjid dengan segala isinya. Membakar—sebagaimana menghanguskan dan meludeskan pasar yang dilakukan orang akhir-akhir ini—menjadi pilihan karena Rajab tahu tak seorang pun bisa menangkap para pembakarnya. Rajab yakin para pembakar adalah malaikat-malaikat maut yang tak tersentuh.
A
KHIRNYA hari paling laknat itu datang juga. Rajab telah menyiram masjid dengan bensin. Sebentar lagi bom molotov akan dilemparkan. Sebentar lagi api akan menyala. Sebentar lagi tubuh-tubuh terbakar akan meleleh seperti adonan kue. Sebelum segalanya terbakar, Rajab mencoba meyakinkan diri bahwa segalanya berjalan lancar. Dia tidak ingin ketika melemparkan bom molotov, di langit dia justru melihat tiga rembulan menyala bersama-sama, di kubang masjid kaligrafi Allah berubah menjadi kembar tiga, dan yang tak terduga dari jauh tampak tiga tubuh Abu Jenar dan Kiai Siti bercahaya. Tidak mungkin segalanya—juga ayat-ayat Allah indah yang senantiasa kubaca—akan berubah menjadi kembar tiga sebagaimana pernah kulihat kaligrafi Allah di kening tiga bayi kembar, bukan? Belum ada jawaban. Otak Rajab serasa meledak. Dia merasa tidak mungkin membakar dirinya sendiri jika ternyata segala yang berada di tanjung, termasuk dirinya berubah menjadi kembar tiga. Apakah jumlah pohon bakau yang mengepungku juga berubah menjadi 6.666? Apakah jumlah bangau-bangau menjadi 3.333? Apakah Makam Syeikh Muso berlipat menjadi tiga? Apakah... Belum ada jawaban. Juga tak ada yang memberi tahu Rajab betapa beberapa saat lalu makan Syekh Muso telah diledakkan
oleh Panglima Langit Abu Jenar. Lalu ketika tiba-tiba dia juga melihat tiga sosok makhluk tinggi bersorban mengendap-endap di masjid, Rajab bergegas menyalakan bom molotov di tangannya...
Triyanto Triwikromo beroleh Penghargaan Sastra 2009 dari Pusat Bahasa. Buku cerita pendek terbarunya, Surga Sungsang, akan segera terbit. (Dimuat di Koran Tempo, 9 Februari 2014) (Gambar oleh Yudha AF)
Tok Mulkan dan Istrinya Cerpen Delvi Yandra
L
ELAKI itu berdiri di depan peti es krim. Ia tersenyumsenyum sambil mengisi sudut-sudut peti itu dengan bongkahan balok-balok es. Kemudian ia memandangi istrinya yang duduk agak jauh, dekat jendela di mana cahaya matahari menimpa dari langit-langit ruang, dari celah atap yang sedikit lubangnya. Ia bersandar di sana. Tak ada yang tahu berapa lama ia di sana menjahit pakaian seragam sekolah anaknya. Seekor kecoa lewat di celah dinding kayu yang tampak keropos. “Apa yang sedang kau pikirkan, istriku?” tanya Tok Mulkan. “Apakah kau sedang membayangkan kelak kau akan menjadi ibu seorang dokter?” Perempuan itu tertawa. “Kau berlebih-lebihan,” katanya. “Aku yakin betapa bangga dirimu dengan khayalan seperti itu.” “Aku tak menyangkalnya.” “Kau pasti bangga, bukan?”
“Ya, istriku. Mengapa aku harus berdusta? Tentu aku sangat bangga. Kita akan memiliki sebuah rumah yang besar. Aku akan memakai pakaian yang bersih. Coba pikirkan. Aku akan duduk di kedai kopi yang mahal, menyilangkan kaki dengan santai dan mengisap cerutu. Aku akan menjadi ayah seorang dokter. Ini bukan khayalan yang memalukan.” Perempuan itu meletakkan jahitannya di atas lutut dan menggosok matanya. “Aku bermimpi tentang hal itu sepanjang waktu. Kau tahu perumahan dokter yang di Jalan Sudirman? Ya, kita akan menetap di salah satu rumah yang besar di sana. Di pintunya ada terpajang papan nama anak kita. Boleh kukatakan sesuatu padamu? Setiap saat, dengan tanganku ini akan kubersihkan papan nama itu dengan sabun dan air. Aku berjanji aku tidak akan menjadi seorang ibu mertua yang buruk bagi menantuku. Aku juga akan mengasihi cucuku.” “Aku juga,” ujar Tok Mulkan. “Setiap sore aku akan membawa cucuku berjalan-jalan di taman. Seorang anak bagaikan sekuntum mawar. Ia harus menghirup udara bersih, mendapat cahaya matahari dengan baik.” “Aku akan menyapu lantai, aku akan mengunci
pakaian mereka dengan tanganku sendiri. Tidak baik meninggalkan pekerjaan yang terbengkalai, yang akan membuat rumah terlihat kotor. Tidak apa-apa. Aku juga akan menyetrika pakaian mereka.” “Kita akan diberi sebuah kamar di rumah mereka yang besar. Makan kita tentu tidak akan membutuhkan biaya yang besar. Lagi pula, kita akan segera menjadi tua lalu...” “Kita akan mati dalam damai dan dikubur seperti manusia selayaknya.” “Ah, aku tidak akan mau mati dalam damai. Suatu saat nanti, setelah anakku menjadi seorang dokter, aku masih mau menikmati hidup enak sebagai ayah seorang dokter. Tidak peduli berapa banyak cerutu yang kuhisap. Kalau kita sakit, kita tidak perlu memikirkan biaya berobat ke rumah sakit.” “Ya, mereka tidak perlu repot-repot menyiapkan sarapan. Pukul empat pagi kita akan terjaga dan menyiapkan semuanya.” “Tentunya mereka akan menyantap makanan mereka dengan garpu dan pisau. Kau pikir kita tidak akan bisa mengurus semua itu?” “Oh, mengapa kau begitu cemas? Setelah selesai semua pekerjaan, kita akan masuk ke kamar kita dan berdiam di sana.” “Kita tidak perlu muncul di depan tamu-tamu mereka. Apabila tamu-tamu itu datang, kita masuk ke kamar kita dan mengunci pintu...” “Ya, tamu-tamu itu tidak perlu tahu kalau kita tinggal satu rumah dengan mereka.” “Kita akan menyeduh kopi dan meletakkannya di meja sebelum mereka bertandang.” “Tentu saja, kita akan menyeduhkan kopi untuk mereka.”
“Istriku, andai saja aku bisa menyilangkan kaki di depan kawan-kawan dan menghisap cerutu mahal di usia tuaku. Andai saja aku bisa melakukannya...” “Ya. Selanjutnya?” “Selanjutnya, Tuhan boleh mengambil nyawaku saat itu juga.” Dengan tangannya yang kokoh, Tok Mulkan mulai menutup peti es krim yang sudah berisi balok-balok es itu. Istrinya meraih kembali pakaian seragam yang belum selesai dijahit.(*)
Delvi Yandra bermukim di Kubu, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. (Dimuat di Koran Tempo, 2 Februari 2014) (Gambar oleh Yudha Adetya)
Gadis Berambut Panjang Cerpen Miguel Angel Asturias
Dan El Cadejo, yang mencuri gadis-gadis beruntai-rambutpanjang dan mengikat surai kuda-kuda, muncul di lembah.
P
ADA saat itu, Bunda Elvira dari ordo Santo Fransiskus, biarawati di Biara Santa Katerina, masih menjadi calon biarawati yang bertugas memotong hosti di gereja. Dia gadis yang terkenal dengan kecantikannya dan cara berbicaranya yang memesona. Kata-kata laksana menjelma bunga kelembutan dan cinta kasih di bibirnya. Dari sebuah jendela lebar tanpa kaca, sang calon biarawati kerap menatap dedaunan yang diterbangkan angin kering musim panas, pepohonan yang bebunganya tengah bermekaran, dan bebuahan ranum yang jatuh di taman samping biara. Jendela itu adalah bagian dari bekas biara yang telah menjadi puing-puing, tempat dedaunan rimbun menyembunyikan dinding-dinding yang terluka dan atap-atap terbuka. Ruang-ruang tertutup dan kamar-
kamar berkhalwat bertiwikrama menjadi surga beraroma tanah liat dan mawar liar. Sementara, para biarawati digantikan oleh burung-burung dara berkaki merah jambu dan madah pujian mereka berganti kicauan burung kenari. Di luar jendela, di dalam ruang-ruang yang telah ambruk, bayangan kehangatan tempat sekawanan kupu-kupu mengubah debu di sayap mereka menjadi sutra, berpadu dalam kesunyian tanah terbuka yang hanya disela oleh gemerisik hilir-mudik kadal melata. Aroma lembut dedaunan menggandakan perasaan menenangkan dari pepohonan besar dengan akar-akar mencengkeram kuat ke dalam dinding-dinding puing kuno. Di dalam, tempat terdapat tubuh Kristus yang disalibkan, ditemani kehadiran indah Tuhan, Elvira menyatukan jiwa raganya dengan rumah masa kecilnya, dengan kunci-kunci berat dan mawar-mawar lembut, dengan pintu-pintunya yang menyamarkan isak tangis dengan semilir angin, dengan dinding-dindingnya yang memantulkan air mancur seperti ruap napas di atas kaca bening. Suara deru kota merusak kedamaian jendela Elvira: kesedihan terakhir para penumpan g di tengah kesibukan pelabuhan saat waktu berlayar tiba; derai tawa seorang pria saat berupaya
menghentikan kuda yang dinaikinya; putaran roda kereta; tangisan bocah papa yang dirundung duka. Kuda, kereta, pria, dan bocah papa melintas di depan mata Elvira, membangkitkan kenangan akan pemandangan pedesaan: di bawah langit tenang tampak mata air dan palung tempat makan hewan serta penderitaan panjang para perempuan pelayan. Dan bayangan-bayangan itu datang disertai aroma yang tercium. Langit beraroma serupa langit, bocah papa serupa aroma bocah papa, ladang beraroma serupa ladang kereta beraroma jerami, kuda beraroma mawar tua, pria beraroma orang suci, palung serupa bayangan, bayangan serupa libur hari Minggu, dan hari Minggu untuk beribadah serupa air segar pembasuh tubuh... Gelap mulai datang. Bayangannya menghapus kilau debu yang melayang dalam terpaan cahaya matahari. Lonceng gereja mendekatkan bibir mereka pada cangkir malam yang hening. Tapi siapakah yang berbicara tentang kecupan? Angin menggoyangkan bunga-bunga. Dan burung-burung memuaskan kerinduan mereka kepada Tuhan melalui bunga-bunga. Tapi siapakah yang berbicara soal kecupan? Detak tumit sepatu bergegas menyadarkan Elvira dari lamunannya. Suara itu menggema di lorong seperti pukulan tambur. Benarkah yang dia dengar? Apakah itu lelaki berbulu mata lentik yang kerap mampir pada Jumat malam untuk mengambil hosti dan membawanya sejauh sembilan kota dari tempat ini, menuju Lembah Perawan, tempat satu kerahiban yang menyenangkan terdapat di puncak sebuah bukit? Mereka menyebutnya lelaki-candu. Angin menggerakkan sepasang kakinya. Ketika bunyi langkah kakinya yang serupa langkah kambing berhenti, muncullah dia, serupa hantu: tangan
memegang topi, sepatu mungil sewarna emas, tubuh terbalut mantel biru. Dan dia menunggu kotak hosti di muka gerbang. Ya, itu memang dia. Tapi kali ini dia masuk dengan bergegas dan raut wajah ketakutan, seolah-olah harus mencegah datangnya sebuah bencana. “Nona!” teriaknya. “Mereka akan memotong rambutmu! Mereka akan memotongnya!” Ketika Elvira melihatnya muncul, wanita itu langsung bangkit dengan maksud hendak menuju pintu. Namun, mengenakan sepatu bekas yang diwarisi dari seorang biarawati lumpuh yang telah mengenakannya seumur hidup, ketka mendengar lelaki itu berteriak Elvira meraa biarawati lumpuh yang menghabiskan seumur hidupnya tanpa bergerak itu merasuki kakinya, dan dia tak mampu bergeser selangkah pun... Isakan menggugu di tenggorokan Elvira. Burung-burung seakan menggunting senja di antara reruntuhan kelabu. Dua pohon ekaliptus raksasa memadahkan doa. Terikat oleh kaki sesosok mayat, tak sanggup bergerak, Elvira menangis tersedu, menelan isakannya diam-diam seperti orang sakit yang anggota tubuhnya mengering dan membeku, satu demi satu. Dia merasa seolah-olah mati, terkubur di dalam tanah. Dia merasa di dalam kuburnya—baju kematiannya berlumur tanah merah—tumbuhlah serumpun mawar. Sedikit demi sedikit kegalauannya beralih menjadi kebahagiaan. Berjalan melintasi rumpun mawar, para biarawati memotong sekuntum demi sekuntum bunga untuk menghiasi altar Bunda Maria dan mawarmawar itu pun menjelma musim semi, jalinan aroma mewangi yang memerangkap sang Bunda Suci laksana seberkas cahaya. Namun, sensasi indah bahwa tubuhnya akan berbunga setelah kematian hanya berlangsung singkat.
Seperti layang-layang yang kehabisan tali di antara awan, bobot untaian rambutnya menarik jatuh kepalanya, bersama seluruh busananya, ke dasar neraka. Misteri bersembunyi di dalam rambutnya. Puncak kecemasan melandanya. Dia kehilangan kesadaran selama dua helaan napas dan baru merasa kembali menjejak bumi saat dia nyaris terperosok hingga ke ujung lubang bergolak tempat para iblis berada. Kenyataan terbuka mengelilinginya: malam yang dipermanis oleh pesta, pepohonan pinus yang beraroma serupa altar, serbuk sari kehidupan yang melayang di rambut udara, kucing tak berbentuk dan tak berwarna yang mencakar air dari palung mata air, dan lembaran-lembaran perkamen tua yang berserakan. Jendela jiwa Elvira dipenuhi oleh aroma surga... “Nona, ketika aku menerima komuni suci, Tuhan terasa seperti tangan lembutmu!” lelaki bermantel itu berbisik, ujung bulu matanya menyentuh kelopak bawah matanya. Elvira menarik tangannya dari hosti saat didengarnya perkataan kurang ajar yang menghujat Tuhan itu. Tidak, ini hanya mimpi! Lalu Elvira menyentuh lengannya sendiri, bahunya, lehernya, wajahnya, untaian rambutnya. Dia menahan napas saat menyentuh untaian rambut panjangnya, begitu lama seakan berlangsung seabad. Tidak, ini bukan mimpi! Di bawah segenggam hangat untaian rambutnya, dia merasa hidup, menyadari daya tarik kewanitaannya, ditemani kehadiran si lelaki-candu dan sebatang lilin yang menyala di ujung ruangan berbentuk persegi panjang serupa peti mati. Cahaya itu menerangi sosok nyata seorang lelaki yang menjulurkan tangan seperti Kristus, sedangkan tubuh yang disentuhnya adalah dagingnya sendiri! Terkungkung oleh kebutaan yang didapatnya dari bayangan neraka, Elvira memejamkan mata agar dapat meloloskan diri dari lelaki yang
mengelus tubuhnya dan menjadikannya sesosok wanita dewasa— dengan menyentuhnya sebagai seorang lelaki! Namun, begitu Elvira menutup kelopak matanya yang bulat pucat, si biarawati lumpuh terasa sirna dari kakinya. Elvira bersimbah air mata, bergegas membuka mata. Dia memberontak dalam kegelapan, membelalak, bola matanya nyalang, gelisah seperti tikus kena perangkap. Sepasang pipinya pucat pasi. Dia terpuruk di antara kepedihan ganjil yang dirasanya dalam sepasang kakinya yang hendak berlari dan siksaan untaian rambut sehitam batubara yang meliuk-liuk seakan membara seperti nyala api gaib di punggungnya. Dan itulah hal terakhir yang disadarinya. Seperti seseorang yang dikendalikan mantra sihir tak tertangkal, dengan isak tertahan di lidahnya yang seolah dipenuhi racun seperti juga hatinya, dia melarikan diri dari lelaki itu, separuh gila, melemparkan hosti ke segala arah demi mencari-cari gunting. Lalu, setelah berhasil menemukan gunting itu, dia memotong untaian rambut panjangnya... Terbebas dari pengaruh mantra, Elvira berlari mencari perlindungan biarawati kepala, tak lagi merasakan kelumpuhan yang tadi menyerang kakinya...
N
AMUN, ketika untaian rambut itu terjatuh, benda itu bukan lagi seuntai rambut panjang: ia bergerak, meliuk liar di atas hamparan hosti yang berserakan di atas lantai. Si lelaki-candu menoleh ke arah cahaya lilin. Air mata membasahi bulu mata lentiknya serupa nyala api mungil di ujung korek api yang nyaris padam. Dia merambat di sepanjang tepi dinding dengan napas terengah, tanpa bayangan, tanpa suara, siasia mencari nyala api yang diyakininya akan menjadi penyelamatnya. Namun, langkahnya yang semula terukur segera berubah menjadi langkah seribu ketakutan. Makhluk melata tanpa
kepala itu bergerak cepat melintasi serakan hosti dan terbang ke arahnya. Benda itu hinggap di bawah kakinya serupa darah hitam kental sesosok binatang mati. Sekonyong-konyong, saat lelaki itu hendak meraih lilin yang menyala, benda itu melompat dengan kecepatan air bah dan membelit melingkari lilin serupa cambuk. Lilin itu mencair, membakar diri sendiri, dan apinya pun padam. Sementara, jiwa si lelaki pun sirna bersamaan dengan padamnya nyala api lilin. Untuk selamanya. Dengan itu, si lelaki-candu yang hingga kini nasibnya masih ditangisi oleh kaktus-kaktus di lembah gersang, mencapai keabadian. Iblis melintas serupa desah napas dari untaian rambut yang kini teronggok diam tak bernyawa di atas lantai ketika nyala api lilin itu padam. Dan pada tengah malam, berubah wujud menjadi sesosok binatang panjang—bertambah panjang dua kali lipat saat bulan purnama, membesar seukuran pohon raksasa saat bulan muda— dengan kaki kambing, telinga kelinci, dan wajah serupa kelelawar, si lelaki-candu itu menyeret untaian rambut hitam sang gadis calon biarawati ke neraka. Itulah kisah asal-muasal iblis El Cadejo terlahir. Sementara, kelak, seiring berjalannya waktu, sang gadis menjelma menjadi Bunda Elvira Santa Fransiska. Di bawah lututnya, di dalam ruang khalwatnya, tersenyum laksana sesosok malaikat, sang biarawati bermimpi tentang bunga-bunga dan domba-domba yang gaib dan suci.(*)
Catatan El Cadejo adalah sejenis makhluk gaib berwujud serupa anjing yang kerap mengganggu manusia dalam cerita rakyat Guatemala.
Miguel Angel Asturias (1899-1974), pengarang Guatemala, memenangi Hadiah Perdamaian Lenin 1966 dan Hadiah Nobel Sastra 1967. Novelnya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia adalah Tuan Presiden. Cerita di atas dialihbahasakan Anton Kurnia dari terjemahan Inggris Hardie St. Martin.
(Dimuat di Koran Tempo, 26 Januari 2014) (Gambar oleh Yudha AF)
Natasha Cerpen Putra Hidayatullah
A
KU dan Abilio sudah memutuskan tidak akan mengintip perempuan itu lagi. Tapi Natasha selalu datang ke tempat ini dengan pakaian yang bisa membuat lelaki lupa pada istri mereka. Dia suka memakai baju tipis yang menonjolkan bentuk buah dadanya. Gerakan pinggulnya mirip kadal sedang memanjat perdu bambu. Dan itu telah membuat perhatian kami begitu tersita. “Kita tunggu sebentar lagi. Ia pasti datang!” “Tapi ini sudah malam, Abilio. Aku belum mengerjakan PR!” “Sebentar lagi. Sepuluh menit lagi!” Abilio berbisik. “Kau ini memang menyebalkan. Aku sudah tak tahan mendengar omelan Bu Joana.” “Memang menyebalkan dia! Apa setiap guru matematika begitu?” Abilio menghela napas. “Kenapa tidak Natasha saja?”
“Maksudmu?” “Mengajari kita.” Abilio memejamkan mata dan tersenyum. Dari jarak tampak orang-orang lalu lalang. Beberapa botol minuman keras berserakan di jalan. Kami telah melalui jalan pintas melewati dua kampung. “Abilio, apa ini yang dinamakan cinta?” “Kau kedengaran seperti orang dewasa saja, Justino.” Abilio tersenyum tipis. Di langit bintang kerlap-kerlip seperti warna emas. Pada bulan yang bulat tampak guratan mirip pohon di tanah tandus. “Mungkin iya.” Matanya berbinar. “Hei, bukankah Natasha itu memang menarik? Kalau tidak, untuk apa kita kemari?” Abilio tersenyum menatapku. Aku menggigit sebatang ranting kering. “Kukira kita memang sedang jatuh cinta, Justino. Jatuh cinta pada Natasha.” “Tapi apa mungkin kita jadi suaminya?” “Mungkin saja.” Abilio mengelap ingusnya. Beberapa nyamuk hinggap di tengkukku. Aku memukulnya dan meninggalkan darah pada telapak tanganku yang kurus. Sebuah mobil sedan mengkilap lewat. Kami menunduk dan bersembunyi tidak jauh dari
tempat parkir. Dari sana terdengar musik berdentam-dentam. Nyamuk semakin keranjingan menghajar. Embun sudah bermunculan di rerumputan. “Abilio, sudah jam 12 malam. Kita pulang saja. Mataku mulai berat. Aku ingin tidur.” “Kau selalu begitu. Itu sikap anak perempuan, Justino. Kau harus kuat. Kata almarhum ayahku, anak laki-laki tak boleh lemah begitu. Anak laki-laki harus siap melakukan apa pun termasuk tidur dalam kakus.” “Tidur di kakus? Siapa yang mau tidur di dalam kakus?” “Itu perumpamaan, Bodoh!” Abilio menepis sehelai daun bambu gading yang menyentuh pipinya. “Tapi aku sangat mengantuk, Abilio. Sebaiknya kita pulang saja. Di situ orang dewasa semua. Mereka akan mengusir kita, Abilio.” Aku menghela napas. Abilio menarik lenganku dan melihat jam tanganku. “Sebentar lagi. Kau ikut aku saja. Kita coba menyelinap ke belakang kafe itu dulu. Natasha pasti ke sini!” Abilio memicingkan matanya seperti membayangkan sesuatu dan menyungging senyum tipis. Oh Tuhan, kawan ini makin lama makin menjengkelkan.
S
AAT Abilio pertama kali datang ke rumahku, ia sudah seperti dirinya sendiri. Maksudku tidak ada teman-temanku lain yang berpenampilan sepertinya. Entah bagaimana ia melakukannya, ia menindik bagian bawah bibirnya. Lalu pada lubang halus itu ia pasang besi bulat kecil yang mirip anting perempuan. Rambutnya keriting dan tebal. Baju dan jins yang dipakainya selalu kumal. Dan satu hal lagi, aku tidak tahu kapan ingus di hidungnya akan berhenti naik-turun. “Kau sudah makan?”
Abilio menggeleng. Aku mengajaknya makan siang. Di dapur aku mendapati ibu di kursi belakang. Cahaya matahari menembus dari sela-sela ventilasi. Aku melihat mata ibu merah. Sesuatu mengalir di hidungnya yang mancung. Ia mengelap dengan sapu tangan. Rambutnya mulai beruban. Ibu tersenyum tapi senyumnya sungguh aneh. Ibu seperti ingin memberi tahuku sesuatu. Itu pertama kali Abilio ke rumah. Aku yakin ibu begitu sebab ketidaksenangannya pada Abilio. Pada hari kedatangan Abilio, wajah ayah juga tidak ramah. Ayah hanya mendelik sekali di balik kaca mata kemudian berlalu. Orang-orang memang ramai membicarakan keluarga Abilio. Abilio makan dengan lahap. Aku menatap mata ibu. Sebentar lagi, waktu Abilio sudah pulang, ayah dan ibu mungkin akan memperdebatkan sesuatu tentangnya. Aku mulai merasa tidak nyaman. Mungkin ayah dan ibuku sama seperti orang-orang dewasa di sekolah. Mulai dari penjaga sekolah sampai bibi-bibi penjual kue di kantin, mereka memandang Abilio dengan ujung hidung berkerut. Seolah-olah Abilio telah mencuri kue mereka. Tapi lebih sering mereka memang tak mau memandangnya. Aku tidak mengerti mengapa orang dewasa banyak yang aneh. Mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Beberapa hari kemudian aku mendengar beberapa temanku yang lain dilarang orang tuanya berteman dengan Abilio. Tapi bagi Abilio itu bukan masalah. Ia mungkin tak menyadari atau kukira ia memang tidak mau tahu. Ia punya dunia sendiri, lebih tepatnya kami. Kami punya dunia yang berbeda. Abilio temanku paling setia. Ia selalu membelaku waktu diganggu Otavio, ketua geng sekolah kami, meski tubuh Abilio lebih kecil. Dan Abilio-lah yang telah memberi tahuku perihal Natasha. Aku masih ingat, hari itu ia datang begitu cepat ke sekolah. Beberapa saat sebelum bel berbunyi ia telah berbisik padaku, “Kau
harus ke rumahku untuk melihatnya. Kau akan tergila-gila, Justino!” Abilio tersenyum. “Ia cewek Uzbek!” “Bagaimana kau tahu?” “Dia tetanggaku, Bodoh!” Hari itu aku gantian ke rumah Abilio. Halaman rumahnya ditumbuhi rumput dan tak terurus. Di dalam pot tumbuh bunga yang sebagiannya telah layu. Saat angin berembus menguar bau tahi kucing. Tahi burung berserakan sampai di pintu masuk. Di samping rumah ada tiang kayu. Di atasnya dipasang tempat tinggal merpati. Tapi aku tak melihat seekor merpati pun. Rumahnya seperti rumah tak berpenghuni. “Ibumu di mana?” “Entah,” jawab Abilio. Di balik tembok yang membatasi rumah Abilio dengan rumah Natasha, ada sebuah lubang sebesar apel. Abilio telah membuatnya diam-diam. Ia melubanginya dengan paku 10 inci. Dari lubang itu aku melihat Natasha duduk sendirian. Dia memakai celana pendek. Pahanya putih dan mulus. Dia sedang memotong kuku kakinya di kursi beranda. Jantungku berdesir. Kami bergantian melihatnya hingga beberapa kali. Keesokan harinya kami melakukan hal yang sama. Kadang kala melihat Natasha sedang menjemur pakaian di tali jemuran dengan pakaian minim. Kadang kala kami melihat ia tersenyumsenyum sendiri ketika telepon genggamnya dilekatkannya di telinganya. Kami tak mengerti bahasanya.
“A
BILIO, ayah akan mencariku! Sudah jam 1.” Abilio menghela napas. Raut wajahnya berkerut. Dia tampak kesal. “Ayolah, kau pikir ayahmu peduli? Aku pikir kau sudah ikuti saranku dengan baik. Bagaimana kau melakukannya?”
“Bantal guling. Aku menaruh bantal guling, menutupnya dengan selimut lalu keluar melalui jendela.” “Bagus!” “Tapi aku takut, Abilio.” “Kenapa?” “Pintu jendela kamarku selalu terayun kalau ada angin.” “Tidak, tenang saja!” Abilio memang paling bisa meyakinkan orang. Setidaknya aku sedikit tenang. Tapi mengertikah Abilio kalau aku sedang melakukan dua kesalahan? Pertama, keluar tanpa izin; dan kedua, telah melanggar perintah ayah agar tak berteman dengannya. Suatu hari karena melihat aku semakin dekat dengan Abilio, ayah memanggilku ke ruang tamu. Ia membetulkan letak kacamata, melipat koran, dan mulai menceramahiku. Kata ayahku, ibu Abilio seorang pelacur. Ibunya menjadi seperti itu semenjak ayah Abilio meninggal dibacok orang. Dua abang Abilio kemudian tumbuh menjadi preman di kota. Ayah bilang mereka memeras, dan kadang-kadang merampok atau membunuh orang. “Kau harus hati-hati, Justino! Bukan tidak mustahil sebentar lagi Bajingan kecil itu akan mengikuti jejak abangnya.” Aku hanya dapat mengangguk dan tak banyak bicara. Ketika ke sekolah keesokan harinya, aku bertanya pada Abilio apakah pelacur itu. Dia tertawa dan berkata setengah berbisik, “Pelacur itu seseorang seperti Natasha.” “Oya?” Aku tertegun. Berarti semua pelacur pasti cantik seperti ibu Abilio dan Natasha. Senyumku mengembang. Setiap pulang sekolah aku mulai sering ke rumah Abilio untuk mengintip melalui lubang kecil buatan Abilio itu. Semakin hari, aku dan Abilio semakin penasaran. Ia mencari tahu ke mana
Natasha pergi kalau malam. Pergi dengan siapa dan apa yang ia lakukan. “Aku sudah tahu tempatnya, Justino,” kata Abilio suatu hari, “tapi untuk ke sana kita harus punya uang.” “Aku tak punya uang.” “Aku sudah mengambil uang ibuku sedikit.” Abilio menoleh ke arahku dan tersenyum nakal. “Ambil uang ibumu juga. Uang dua orang ibu sudah cukup. Ibumu dan ibuku. Kalau kita ambil uang orang lain baru namanya mencuri.” Aku mendengar ragu-ragu. “Tapi jangan samapi ketahuan ibumu.” Demi Natasha, bukan demi Abilio, aku patuh pada usul itu. Itu pertama kali dan kuharap itu yang terakhir aku mengambil uang ibu secara diam-diam.
M
ALAM semakin larut. Dingin mencucuk hingga ke tulang. “Itu abangmu!” aku berbisik pada Abilio. Aku melihat seorang lelaki bertubuh tinggi dan tegap turun dari sepeda motor besar. Rambutnya pirangnya panjang hingga ke bahu. Celana jinsnya berlubang. Di bawah cahaya lampu, rantai yang bergantung di pinggangnya memantulkan sinar berwarna perak. Kami menunduk. Napas kami tersengal. “Apa abangmu akan menikah dengan Natasha?” “Bodoh. Tidak mungkin! Itu tidak boleh terjadi, Justino. Natasha milik kita.” Abilio menghela nafas. “Bangsat itu suka memukulku, Justino. Ia tidak boleh kawin dengan Natasha. Tidak boleh!” “Tapi abangmu jagoan, Abilio. Kalau di film-film, perempuan suka pada jagoan.”
“Tidak. Tidak, Justino. Kau tidak tahu, abangku itu seorang pembunuh. Tidak mungkin Natasha jatuh cinta pada seorang pembunuh. Natasha tidak akan...” Jantungku gemetar mendengar kata pembunuh. Aku teringat pada nasihat ayah. “Abilio.” “Iya.” “Kita pulang saja yuk!” “Kita sudah di tempat ini Justino. Tak bisa kau bayangkan berjalan tiga kilo meter pulang tanpa hasil apa-apa? Kau harus bersabar, Justino! Kita akan bertemu Natasha. Aku janji!” Aku menghela napas. Terdengar beberapa orang berkelakar. Ini sama sekali bukan ide baik. Seharusnya aku tidak pergi dan sedang berada di kamar mengerjakan PR. Abilio memang sungguh keras kepala. Kami mendengar sepeda motor abang Abilio berderum meninggalkan tempat itu. “Ia pergi! Ia pergi!”Abilio kegirangan. Angin berembus. Lampu-lampu di tempat itu semakin remang. “Benarkah?” Empat lelaki tampak sedang berjudi di sebuah meja hitam petak di halaman depan. Beberapa perempuan berjalan terhuyung-huyung bersama teman lelakinya. Kami tidak menemukan Natasha. Badanku lemas. Lututku mulai gemetar. Tapi aku sudah lelah mengajak Abilio untuk pulang. “Itu Natasha!” bisik Abilio tiba-tiba. Mataku berbinar, jantungku berdetak kencang. Keinginan untuk pulang tiba-tiba sirna. Kami kembali mengendap-endap. Ketika sudah agak dekat, kami menunduk. Senyum kami seketika memudar. Dalam remangremang kami melihat Natasha di sebuah sudut. Ia sedang dipeluk seorang lelaki. Kami memperhatikan itu dengan hati yang hancur.
Tangan itu berbulu dan menggerayangi tubuh Natasha di dekat pintu belakang. Semakin lama semakin liar. Dan ketika lelaki itu berbalik, aku melihat seraut wajah yang membuatku nyaris pingsan. “Bukankah itu ayahmu, Justino?”(*)
Putra Hidayatullah. Lahir pada 11 April 1988. Berkumpul di Komunitas Tikar Pandan, Banda Aceh. (dimuat di Koran Tempo, 19 Januari 2014) (gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Partikel-partikel Tuhan Cerpen Leopold A. Surya Indrawan
Odin
M
USIM dingin tiba-tiba membekukan wilayah Arktika1. Tak ada lagi yang sanggup meninggali Eranvej, kota yang sebelumnya hangat dan hijau itu. Sudah beberapa hari ini matahari tampak buram, seperti terpantul pada permukaan kolam yang keruh. Tiupan angin seperti hendak mengenyahkan segala sesuatu yang mencoba menantangnya. 1
Penganut Zoroastrianisme percaya bahwa leluhur mereka, bangsa Arya, berasal dari wilayah Arktika dan pernah membangun peradaban besar di sana sejak puluhan ribu tahun yang lalu sebelum Benua Arktika mengalami glasiasi. Mereka menyebut “tanah asal” mereka itu dengan nama Eranvej, Airyanam Vaejo, atau Airyanam Vaejah. Cerita ini terdapat dalam buku The Arctic Home in the Vedas (1903) karya Bal Gangadhar Tilak dan The Saga of The Aryan Race (1995) karya Porus Homi Havewalla.
Di antara hujan salju yang merintangi jarak pandang, samarsamar tampak seorang pemuda kurus ceking. Ia hanya membalut tubuhnya dengan kain wol tipis. Parasnya sudah membiru. Udara dingin membuat kulitnya terasa perih, dan lama-kelamaan menjadi kebal dan beku. Gigi-giginya bergemeletuk. Kedua tapak kakinya menyeret-nyeret salju di tanah. Meski merasa amat tersiksa, pemuda itu tetap berusaha menggerakkan lidah dan bibirnya untuk merapalkan puji-pujian kepada Ahura Mazda. Ia tak ingin rohnya ikut membeku bersama raganya. Sepekan lalu, Raja Yima, pemimpin bangsa Arya, mendapatkan penglihatan dari Ahura Mazda, bahwa iblis Angra Mainyu akan mendatangkan musim dingin abadi di Eranvej. Untuk itu, sang raja memerintahkan seluruh rakyatnya agar secara serempak pindah ke negeri selatan. Semua mematuhi titah itu, tanpa ada yang mempertanyakan kenapa bencana itu bisa terjadi di bawah kuasa Ahura yang tak tertandingi. Namun malapetaka tetap saja terjadi. Gempa bumi membelah jalur bersalju yang sedang dilalui oleh rombongan orang Arya itu, menciptakan jurang besar yang dasarnya tersaput bayang-bayang hitam. Untungnya, jika masih ada yang bisa
disebut untung, pemuda yang kini terseok-seok sendirian di bawah rajaman salju itu tak ikut mati bersama mereka yang terjatuh ke dalam jurang tersebut, tetapi ia terpisah dari rombongan seorang diri. Semua terjadi atas kehendak Ahura Mazda, demikian ia selalu percaya. Pemuda itu berhenti sejenak ketika langkahnya terasa semakin berat. Ia menarik napas panjang untuk menenangkan perasaannya. Namun, ketika melakukannya, tenggorokannya malah terasa beku. Tak ada pilihan, ia pun melanjutkan berjalan lagi dengan langkah-langkah yang kian goyah. Dari arah depan ia melihat bayang-bayang tinggi besar menghampirinya, seperti bebatuan yang menjelma raksasa. Ia mulai tak mampu memastikan apakah ia masih sepenuhnya sadar atau tidak. Apa yang hendak kau hadapkan padaku wahai, Ahura Mazda? Aku sudah terlalu gentar untuk bertambah gentar lagi! Tubuhnya yang menggigil bergetar semakin dahsyat. Sosok itu menampakkan diri: seorang lelaki berjanggut abuabu dengan mata yang tertutup sebelah. Masing-masing pundaknya dihinggapi seekor gagak. Lelaki itu mengenakan jubah hitam bertudung. Ia menunggangi seekor kuda dengan delapan kaki. Apakah ia seorang Rateshtar, kesatria berkuda yang gagah berani itu? Tetapi siapakah Rateshtar yang mengenakan jubah hitam dan menunggangi kuda dengan delapan kaki? “Apa yang hendak kaulakukan di tanahku?” lelaki berjubah itu bertanya. “A... aku hendak pergi ke selatan di bawah perintah tuhanku, Ahura Mazda.” “Tidak ada tuhan di atas tanah ini selain aku... Odin!” Pemuda itu tersentak. Ia mundur selangkah. Lelaki berjubah itu mengacungkan tombaknya ke arah pemuda itu. Sebuah bola bercahaya melontar dari ujung tombaknya, melesap ke dalam dada
pemuda itu, dan sekonyong-konyong menjalarkan hangat ke sekujur tubuhnya. “Jika kau hendak untuk singgah atau menetap di tanah ini, kau hanya boleh menyembahku!” lelaki berjubah itu berseru. Suaranya tak teredam oleh riuhnya angin. “Sebab aku adalah penguasa dari segala yang ada di atas tanah ini. Kau harus mematuhi perintah-perintahku yang telah kuturunkan pada orang-orangku. Atau sihir yang kutanam dalam tubuhmu itu akan membakarmu hingga tubuh dan jiwamu menjadi abu!” Pemuda itu bungkam dan menoleh ke belakang. Pikirnya, ia tak mungkin selamat jika harus kembali ke arah Eranvej. Lelaki berjubah itu, tanpa mengucapkan apa-apa lagi, lantas pergi meninggalkannya, melesat dan menyatu dengan bayang-bayang. Dahsyatnya badai salju seketika teralihkan oleh nama yang kini bergaung dalam benak pemuda itu. Odin! Di Bawah Pohon Sesawi
D
UA bocah lelaki berjongkok di bawah sebatang pohon sesawi yang tak begitu rimbun. Mereka tengah menekuri anak-anak burung bulbul yang terempas badai semalam dan terjatuh bersama sarangnya. Unggas-unggas mungil itu mati kedinginan. Bulu-bulu mereka yang kelabu masih mengkilap basah. “Kasihan sekali mereka! Aku akan mengambil sekop,” kata bocah pertama. Ia bernama Messhulam. “Kau mau menguburnya?” bocah kedua bertanya. Ia bernama Yeshua. Messhulam mengangguk dan berlari ke arah pemukiman, meninggalkan Yeshua sendirian. Kedua bocah itu awalnya bermaksud untuk bermain di padang rumput itu, seperti yang
sering mereka lakukan pada hari-hari sebelumnya. Mereka memang hampir setiap hari bermain bersama—dampu, kejarkejaran, gasing—dan menangkap katak saat hujan (yang terakhir ini selalu membuat keduanya dimarahi oleh ibu mereka). Mereka juga suka mengajak anak-anak lain, termasuk saudara-saudara sepupu mereka, yang tinggal berdekatan di Nazareth. Messhulam dan Yeshua tinggal bertetangga. Usia mereka tak berbeda jauh. Ayah mereka sama-sama bekerja sebagai tukang kayu. Ibu mereka sering menenun dan membuat roti bersama sambil mengobrolkan hal-hal remeh tentang rumah tangga masing-masing. Hari ini kedua ibu mereka bertemu di rumah Yeshua untuk membuat ash-tanur atau roti tabun. Sebenarnya, kegiatan itu hanya alasan kedua ibu itu untuk dapat bersua dan mengobrol sehingga mereka pergi bermain di luar selagi mereka sendiri asyik berkegiatan di dalam rumah. Messhulam diam-diam mengagumi Yeshua. Meski mereka masih sama-sama berusia sepuluh tahun, Yeshua sudah bisa memahat mainan binatang-binatangan sederhana dari kayu, sedangkan Messhulam sama sekali belum menuruni kemampuan ayahnya. Di samping itu, Yeshua punya wawasan yang luas. Ia bisa menjelaskan hal-hal muskil yang tak tercantum dalam kitab Taurat. Oleh sebab itu, Messhulam suka mendengarkan ucapan Yeshua; atau sengaja bertanya, meski seringkali ia tak begitu memahami berbagai jawaban teman karibnya itu. “Yeshua, apakah menurutmu cahaya yang bergelantung di langit itu, bintang-bintang itu? Apakah Allah tinggal bersama mereka?” “Cahaya itu menurutku adalah bola-bola api, Messhulam. Barangkali tak tepat demikian, tapi kurang lebih bisa dipahami seperti itu. Di atas sana begitu hampa, begitu hitam. Tak ada yang
bisa hidup, kecuali jika ada tempat seperti di Bumi ini. Lagi pula untuk apa pula Allah berada jauh di atas sana?” “Apakah bola-bola api itu akan jatuh menimpa kita?” “Kurasa tidak. Jarak mereka pasti begitu jauh dari Bumi.” “Seberapa jauh menurutmu?” “Sejauh jarak yang bisa kautempuh jika diberi hidup ribuan bahkan jutaan kali.” “Wuaaah.” Messhulam kerap memikirkan kata-kata Yeshua dengan penuh rasa takjub. Kelak ia akan menjadi pengkhotbah yang dikagumi banyak orang, pikir dia.
T
AK lama kemudian, Messhulam muncul kembali. Ia berlari tergopoh-gopoh membawa sekop yang ia ambil, dari gudang rumahnya. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Yeshua masih berjongkok di bawah pohon sesawi yang sama. Ketika Messhulam menghampiri, terdengar suara cicit anak-anak burung dari tempat yang ditujunya itu. Yeshua terlihat tengah tersenyum-senyum sambil mengusap-usap kepala anak-anak bulbul yang meloncat-loncat di dalam sarangnya itu. Messhulam serta merta menghentikan langkahnya dan tak lekas mendekati Yeshua. “Kita harus meletakkan mereka di atas ranting itu, Messhulam, supaya induknya tidak mencari-cari,” kata Yeshua. “Ba... baiklah, biar... em... aku yang memanjat!” Messhulam menyahut terbata-bata. Ia meletakkan sekopnya di tanah, tapi tak juga beranjak dari tempatnya. Kedai Kopi Odyssey
S
UASANA kelam dipekatkan oleh cuaca yang mendung. Hanya sedikit lampu yang menerangi kedai itu. Tiap mejanya disekat dengan balok kaca hitam yang menjulang. Di salah satu dindingnya terdapat barisan huruf sans serif bercahaya putih yang membentuk kalimat: “The very meaningless of life forces man to create his own meaning.” (Stanley Kubrick)2. Potongan musik Also Sprach Zarathustra dari Richard Strauss yang mendadak muncul membuat suasana kedai itu sejenak menjadi agak mencekam. Suara musik itu berasal dari film 2001: A Space Odyssey yang baru saja disetel di keempat televisi 32 inci yang tergantung di langit-langit. Di meja nomor 11 yang bersisian dengan jendela yang menghadap ke kota J, sepasang kekasih, lelaki dan perempuan, sedang seru membicarakan sesuatu. “Jadi, kamu percaya bahwa ada sesosok organisme omnipoten, yang mampu menciptakan langit dan bumi, dan mampu mengendalikan alam semesta?” “Tidak sepenuhnya, Rick. Entah bisa disebut organisme atau bukan. Aku hanya bilang bahwa aku percaya ada entitas superior yang menciptakan dan mengendalikan kita. Lagi pula, kenapa hanya manusia yang bisa membangun peradaban di antara spesies-spesies yang lain?” “Kebetulan, Rachel! Itu semua terjadi karena rangkaian kebetulan!” 2
Kata-kata Stanley Kubrick yang saya kutip dalam cerpen ini bersumber dari wawancara majalah Playboy pada 1968 yang pernah dimuat dalam salah satu artikel Maria Popova di blog Brain Pickings: “Stanley Kubrick on Mortality, the Fear of Flying, and the Purpose of Existence: 1968 Playboy Interview”. Stanley Kubrick (1928-1999) adalah sutradara berkebangsaan Amerika Serikat yang pernah membuat sejumlah film, antara lain Spartacus, Lolita, 2001: A Space Odyssey, dan A Clockwork Orange.
“Kau percaya dengan kebetulan?” “Tentu! Aku tak mau... apalagi jika untuk membenarkan segala perkara yang terjadi di dunia ini... percaya bahwa ada makhluk yang begitu peduli dengan kita, ingin mengatur segala sesuatu tentang kita. Apa pentingnya buat Dia? Jika hanya untuk disembah dan dipatuhi, betapa Ia begitu obsesif dan... hmmm... rapuh.” “Lantas, jika memang Tuhan... atau apa pun itu yang bisa disebut sebagai entitas superior... memiliki kepentingan, apakah itu salah?” “Barangkali tidak. Tetapi, Tuhan yang memiliki kepentingan adalah Tuhan yang ‘dimanusiakan’... dan itu sungguh banal, seperti khayalan orang-orang zaman dulu. Tuhan diibaratkan seorang bapak tua berjanggut, mengapung-apung di langit, seenaknya mengatur hidup-mati seseorang, doyan memerintah, senang disembah dan dipuji. Seperti Tuhan dalam Pentateuch, misalnya. Ia begitu pemarah, bertingkah layaknya seorang tiran. Apakah kau sudi percaya pada Tuhan yang seperti itu?” “Sifat-sifat itu, menurutku ya, hanya representasi dari apa yang tak mungkin ditafsirkan oleh indra manusia, Rick. Seperti seorang penulis memberi watak pada tokoh ceritanya.” “Dan itulah yang membuat orang-orang menjadi sesat, Rachael! Manusia menciptakan Tuhan yang menciptakan manusia! How amusing is that! Lagi pula, Rachael, terlepas dari siapa yang menciptakan siapa, dalam teisme selalu ada dua pihak yang merasa berkepentingan. Yang pertama merasa berkepentingan untuk mengatur segala sesuatu tanpa alasan yang jelas... orang-orang beriman dengan naif menyebut tindakan itu didasari oleh cinta agape... dan yang kedua merasa berkepentingan untuk senantiasa menyembah Sang Pengatur itu supaya Ia tidak murka dan mengabulkan doa-doa mereka.”
“Jadi maksudmu hubungan antara manusia dan Tuhan adalah pertemuan dua kepentingan yang sama-sama bersifat egois? Begitu?” “Persis, Rachael! Menurutku, jika kamu mau mempercayai Tuhan, kamu harus mencoba untuk menjadikan hubunganmu dengan-Nya lepas dari segala kepentingan.” “Yakni dengan cara apa?” “Dengan menjadi ateis sepertiku, Sayang!” “Itu artinya tidak ada jalan keluar!” Sepasang kekasih itu mendadak terdiam. Sebentar kemudian Rick mulai terkekeh. Serempak, keduanya tertawa terbahak-bahak hingga air mata mereka mengucur. Rachael menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengetuk-ngetuk meja kaca di depannya. “Kita seharusnya membicarakan rencana kursus pernikahan kita, Sayaaaang! Bukan ngomongin sesuatu yang enggak pernah ada ujungnya ini!” “Kurasa Romo akan senang mendengar apa yang kuungkapkan tadi.” “Kalau berani kita coba bicarakan di depan dia nanti. Ha-haha!” Rachael menyelesaikan sisa tawanya. Ia menyeka air mata yang tinggal setetes di pelupuk mata kanannya. “Sekarang aku mau ke toilet dulu, habis itu kita langsung ke Santo Fransiskus,” kata Rachael seraya bangkit berdiri menunjuk jendela di sampingnya. Jendela itu bergetar. Gelas dan piring di meja, bahkan lantai, ikut bergetar, berbarengan dengan terdengarnya bunyi dentuman yang merambat dari kejauhan. Asap hitam mengepul di tengah-tengah Kota J yang terlihat sebagian dalam jendela bundar itu. “Ini sama sekali enggak lucu,” desis Rick.
Rachael dan Rick menatap beku ke tempat yang sama. Di antara permukiman penduduk yang menghampar di bawah sana, hanya beberapa kilometer dari tempat mereka berada saat ini, Gereja Santo Fransiskus baru saja diruntuhkan oleh bom. Planet Knossos
S
EBUAH pesawat kapsul berbentuk bola mendarat di samping sepetak tanah garapan yang dikelilingi kerumunan semak. Seorang perempuan turun dari pesawat itu, mengenakan pakaian astronot yang ketat berwarna biru dengan helm kaca yang memantulkan hamparan langit penuh awan. Perempuan itu berjingkat ke arah tanah garapan itu. Ia memandang tunas-tunas yang tumbuh di situ dengan takjub. Selama ini ia hanya pernah melihat tumbuhan-tumbuhan transgenik di dalam rumah kaca laboratorium, terpisah jauh dari masyarakat umum. Di Bumi, banyak orang sudah tak pernah melihat tumbuhan lagi, kecuali para ahli botani dan buruh-buruh yang bekerja di laboratoriumnya. Sedangkan di Planet Knossos tumbuhan-tumbuhan liar masih banyak dan subur, menjalari tebing dan jurang, bahkan dasar laut. Tetapi, yang saat ini didapati oleh perempuan itu adalah tunas-tunas di atas tanah garapan, ditanam dengan sengaja oleh seseorang—atau sesuatu? Ketika ia mencoba mendeteksi tunas-tunas itu dengan alat pemindai yang terhubung dengan helmnya, ia tak menemukan informasi apa-apa. Data not found in database, demikian huruf-huruf muncul satu per satu di layar helmnya. Perempuan itu mengambil sebuah benda mirip pistol yang terikat di pinggangnya. Ia menekan pelatuk benda itu dan cahaya kuning memancar menyinari salah satu tunas di hadapannya. Dalam hitungan detik, tunas itu meninggi, merimbun, berbunga,
dan berbuah, sementara tanah di sekitarnya serta-merta memucat dan mengering. Buah-buah yang muncul menyerupai raspberry, berwarna jingga dan kuning. Perempuan itu membuka helmnya, memetik salah satu buah itu, memakannya, dan mengerjapngerjapkan matanya. Ia merasakan sesuatu yang sama sekali tak pernah dirasakannya di Bumi: sensasi renyah dan rasa manis yang begitu segar, begitu liar. Selagi ia asyik memetiki buah itu, sebuah pesawat kapsul lain mendarat di dekat pesawatnya. Seorang lelaki turun dari pesawat itu, mengenakan pakaian astronaut yang seragam dengan si perempuan. Lelaki itu membuka helmnya. “Hei, Marion! Kau di sini untuk meneliti, bukan untuk merusak laju evolusi sebuah planet yang masih baru!” ujar lelaki itu dengan ketus. “Kau bisa kena sanksi!” “Ah, kau terlalu banyak bicara, Henry! Cobalah makan ini!” Perempuan itu langsung menyodorkan buah yang ia petik ke dalam mulut lelaki itu. Henry mengunyah dan terdiam. Keduanya saling menatap dan mengulum senyum. “Kau tetap harus mengentikan ini!” kata Henry sambil asyik mengunyah. Marion bergeleng-geleng dan berdecak-decak. Menyusul percakapan mereka, sekonyong-konyong terdengar suara daun-daun yang bergesekan. Semak-semak di sekeliling tempat itu bergoyang-goyang. Puluhan makhluk kecil berbulu lebat muncul dari balik semak-semak itu. Makhluk-makhluk itu berlari dengan langkah-langkah kecil, berkerumun menghampiri Marion dan Henry. Henry buru-buru mengacungkan pistol lasernya. Akan tetapi, makhluk-makhluk berbulu cokelat itu malah bersujud menyembah mereka. Henry pun pelan-pelan menurunkan pistolnya.
“Jyuma pupile swaka nunabee!” Makhluk-makhluk itu serempak bersorak menyerupai paduan suara cempreng anakanak di bawah umur. “A...pa yang mereka inginkan?” Marion menoleh ke arah Henry. “Mereka menyembahmu, Bodoh! Mereka melihatmu menumbuhkan pohon itu dan mereka mengiramu dewa!” “Hei, jangan menyebutku ‘bodoh’ ya!” “Hei! Yangan menyebutku bodo! Hei! Yangan menyebutku bodo! Hei! Yangan menyebutku bodoooo!” makhluk-makhluk itu bersorak meniru ucapan Marion. Henry cepat-cepat menarik lengan Marion dan menatapnya lekat.
K
AU urus semua ini sampai beres, Marion! Jangan sampai ada ilmuwan lain yang menemukan makhluk-makhluk ini, memindai otak mereka, dan wajah kita—wajahku terutama!—terpampang di layar komputernya. Aku tak ingin dituduh terlibat dalam ulahmu mengacaukan peradaban planet ini!” “Kalau begitu kau harus menolongku!” “Aku tak mau terlibat lebih jauh, Marion! Kita akan bertemu di ruang rapat!” Henry pergi tanpa menoleh. Ia naik ke pesawatnya dan melesat ke balik pegunungan. “Dasar, astro-arkeolog sial!” Marion menggerutu. Ia lalu terbengong menatap puluhan makhluk cebol yang masih bersujud menyembah-nyembahnya itu. Dipuja-puja seperti Tuhan ternyata sama sekali tak menyenangkan, pikir dia. Marion menggaruk-garuk pipinya. Tiba-tiba sebuah ide terbersit di benaknya. Ah, sudah telanjur salah, kenapa tidak sekalian saja!
22 Desember 2013
Leopold A. Surya Indrawan lahir di Jakarta, 11 November 1989. Lulusan Program Studi Desain Komunikasi Visual, Universitas Pelita Harapan.
(dimuat di Koran Tempo, 12 Januari 2014) (gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Katanya Saya Tak Akan Bosan Cerpen Ni Komang Ariani
M
ULAI hari ini, saya akan menyibukkan diri pada halhal yang menurutnya penting. Saya akan rajin mengeramas rambut saya dengan sampo berbahan lidah buaya. Saya akan rajin merawat wajah saya dengan ramuan bunga mawar. Saya akan rajin mengikiri dan merapikan kuku, karena ia tidak suka jika kuku saya berantakan. Di waktu lain saya akan tekun menggosok telapak kaki saya, agar tak berserat kasar. Saya juga akan melatih cara saya mengunyah makanan. Saya akan melihat wajah saya di kaca, mengawasi agar mulut itu tertutup pada saat mengunyah makanan. Saya juga akan bangun pagi-pagi, mandi cepat-cepat, berdandan sedikit sebelum mengguncang tubuhnya untuk membangunkannya. Ternyata banyak sekali hal yang harus saya lakukan. Mungkin saya harus membuat daftarnya dengan rapi, sehingga tidak ada hal penting yang terlewatkan. Jadi inilah daftarnya:
(1) Menomori pakaian. Menurutnya, saya perlu memberi nomor pada pakaian saya dan pakaiannya. Agar ia tahu pakaian mana yang sudah dipakainya minggu ini, dan ia tidak memakainya dua kali di minggu yang sama. Mungkin saya harus membeli kancing bernomor. Ada warung di ujung jalan yang menjualnya. Besok pagi saya harus pergi ke sana. (2) Melingkari kalender. Menurutnya, saya harus cermat melingkari kalender. Saya harus tahu berapa lama sabun, sampo, minyak goreng, gas, air galon yang kami gunakan habis. Setelah itu saya harus membelinya dengan penghitungan yang cermat. Tanpa kekurangan apalagi berlebihan. (3) Mencatat belanjaan. Dia berulang-ulang mengatakan saya harus mencatat belanjaan saya selama sebulan. Beras, gula, mie instan, daging, bumbu dapur, sayur, sabun mandi, sabun cuci, sampo, semuanya, sampai yang terkecil. Jangan membeli secara berlebihan. Nanti mubazir. (4) Mencatat resep. Ia menasihati saya untuk menyalin resepresep masakan yang saya temukan di majalah. Mengumpulkannya dan mulai mempelajarinya. Memasak sendiri itu jauh lebih murah. Juga sehat. Selama tiga ratus enam puluh lima hari, saya sudah mencoba lima puluh jenis masakan. Ia tersenyum puas dan bangga setiap kali mengintip hasil masakan saya. Saya melambung ke awan mendengar pujiannya. (5) Merapikan receh. Setiap kali melihat ada koin yang tercecer di meja, ia selalu mengatakan saya tidak boleh menyepelekan uang sekecil apa pun. Aku mencarinya
dengan susah payah. Jangan dibuang-buang. Karena itu saya selalu meluangkan waktu untuk merapikan uang receh sisa membeli sayur, membayar parkir, naik angkot, dan lain sebagainya. Saya selalu membaginya berdasarkan nilainya. Lima puluh rupiah, seratus rupiah, dua ratus rupiah, lima ratus rupiah, seribu rupiah. Bila masingmasing sudah senilai seribu rupiah, saya menggunakan selotip untuk menyatukannya. Kadang-kadang saya sulit mendapat pasangan dari uang lima puluh rupiah. Untuk yang satu ini, saya terpaksa menyembunyikan di bawah lipatan baju, agar ia tidak tahu bahwa saya belum merapikannya. Apalagi, ya? Saya yakin masih banyak hal penting yang harus saya lakukan. Saya tidak ingin ada yang terlewat. Setiap kali saya mengerjakan apa yang diminta, dia akan memuji saya, membuat saya terbuai hingga ke awan yang paling tinggi. Ah, tidak ada salahnya melanjutkan esok hari. Mungkin besok saya akan teringat lagi hal apa saja yang harus saya lakukan. Mungkin saya perlu bertanya kepada ibu-ibu tetangga sebelah. Mereka mungkin memberi saya saran tentang apa yang harus saya lakukan. Saya yakin akan menemukan semuanya, tanpa ada yang terlewat.
D
IA benar. Dia selalu benar. Ternyata sangat mengasyikkan berada dalam kesibukan. Kalau tidak sibuk, kamu akan bosan. Buat apa membayar pembantu. Kelebihan uang bisa ditabung. Kamu juga bisa menggerakkan badan. Nanti badan bisa kaku, lho, kalau jarang digerakkan. Saya sangat menikmati hari-hari saya yang sibuk. Wajah saya memerah cerah setiap kali habis memasak di dapur. Embun hangat mengusap wajah saya. Menurutnya, wajah saya menjadi secantik bidadari
sehabis memasak. Semu merah itu semakin memerah karena saya tersipu malu. Mungkinkah tubuhmu dapat bergerak tanpa diperintahkan, jika berulang-ulang melakukan hal yang sama? Begitulah yang saya rasakan tentang hari-hari saya. Setiap jam lima pagi saya terbangun. Mandi cepat-cepat, lalu berdandan sedikit sebelum membangunkannya. Air hangat sudah siap di kamar mandi ketika ia dengan sempoyongan menuju kamar mandi. Saya menyambutnya dengan senyum manis di pipi. Ketika ia sedang sibuk mengenakan pakaiannya, saya memanggang pisang untuknya. Aroma kopi yang baru diseduh menghangatkan pagi. Ia menyantap sarapannya dengan kurang bersemangat. Capek. Selamam lembur. Kerjaan makin banyak. Masih ngantuk, nih. Saya memberinya sebuah senyuman manis. Berharap bisa menghiburnya. Namun ia terlihat mengacuhkan senyum saya. Terlihat sibuk dengan Blackberrynya. Hari ini hari ulang tahunku.
Maukah kau mengajakku makan malam hari ini? Ia kelihatan terkejut dengan kalimat saya. Oh sayang, maaf aku lupa kalau hari ini ulang tahunmu. Aku sibuk sekali. Bagaimana kalau besok pagi kita sarapan pizza. Ia mengecup bibir saya dengan bibirnya yang basah. Saya melambung. Saya menganggukkan kepala. Malam ini atau besok pagi, bukanlah masalah besar. Saya melepasnya pergi dengan senyuman. Saya masih harus mengerjakan banyak hal penting lainnya. Saya membuka catatan seperti biasanya, melihat apa yang sudah dan belum saya kerjakan. Setelah berputar-putar ke sana-kemari untuk menyelesaikan apa yang haru saya selesaikan menurut daftar saya, petang pun tiba. Dia betul. Dengan begitu banyak kegiatan, saya tidak mungkin merasa bosan. Hari lewat dengan cepat. Saya mendapati badan saya berbau keringat, saya harus bergegas mandi. Saya tidak mau ia sampai di rumah ketika saya masih berbau keringat. Usai mandi dan menyisir rambut, saya ingat ia akan pulang larut malam hari ini. Mungkin ia tidak akan marah kalau saya pergi ke luar sendiri. Saya bisa bilang saya harus pergi untuk membeli bahan-bahan kue untuk arisan di kompleks. Sudah lama saya tidak pergi. Melihat jalanan yang padat, suara angkot yang menjerit-jerit, lampu-lampu kota yang berkerlap-kerlip. Saya rindu ada di luar sana. Sesekali tidak ada salahnya saya ke luar. Walaupun ia selalu melarang saya. Jangan ke luar malam-malam. Berbahaya. Di luar sana banyak orang jahat. Saya bisa menjaga diri. Setidaknya saya akan agak berbohong kali ini. Saya akan bilang hanya pergi ke supermarket untuk membeli bahan-bahan kue.
S
AYA duduk di sudut kafe dengan gaun marun selutut yang melekat manis di tubuh. Beberapa laki-laki memandang saya dengan pupil mata melebar. Saya menyembunyikan senyum di hati, karena senyum saya hanya untuknya. Berada di luar rumah dan mencium bau kopi itu ternyata nikmat. Saya hampir lupa. Saya terlalu sibuk. Di hari ulang tahun, saya hanya ingin mengenangnya. Di sinilah kami bertemu. Kopi latte membuat saya dimabuk lamunan tentangnya. Saya teringat pada bibirnya yang basah tadi pagi. Pada setiap cerita selalu ada klimaks. Seperti kejutan yang disuguhkan malam. Dia masuk ke kafe ini. Seperti anak bandel yang menerobos keluar dari lamunan saya. Menggandeng seorang perempuan. Jam delapan malam. Saya baru saja memutuskan untuk pulang, karena saya harus ada di rumah sebelum ia pulang. Mereka duduk dalam impitan yang rapat. Dia mengecup bibir basah perempuan itu. Tubuh saya gemetar. Saya menyelinap pergi. Kepala saya dipenuhi oleh bibirnya yang mengecup bibir basah perempuan itu. Di hari ulang tahun saya. Saya meraih buku notes berisi catatan “semua hal penting” itu dan melemparkannya ke tempat sampah terdekat. Buku itu menghantam tutup kaleng tempat sampah dan terpental. Mendarat tepat di atas kotoran anjing. Saya hanya menyeringai dingin. Saya lanjutkan langkah melintasi malam, menghirup dalam-dalam segar dan bebasnya udara malam. Sekarang saya tahu saya tak akan bosan.(*)
Ni Komang Ariani dilahirkan di Bali, 19 Mei 1978. Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, Surabaya. Buku-bukunya antara lain Senjakala (novel, 2010) dan Bukan Permaisuri
(kumpulan cerita pendek, 2012). Ia sedang menuntut ilmu di Pascasarjana Linguistik Terapan Bahasa Inggris Universitas Atmajaya, Jakarta. (dimuat di Koran Tempo, 5 Januari 2014) (gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Dongeng Penebusan Cerpen Mona Sylviana
L
AKI-LAKI itu menoleh. Pucuk-pucuk daun kopi dan coklat bergunduk. Daun-daunnya bertaut. Menyiluet. Ranting-rantingnya bergesekan. Menyembilu. Samsu mendorong pintu setengah badan. Engselnya tidak berbunyi. Dia berhenti sejenak. Senyap di luar terberai suara televisi yang menggantung di sisi atas ruangan. Hampir semua orang bicara di warung kopi itu. Saling sahut mengomentari acara debat di televisi. Kalau saja bukan di tengah musim pancaroba setelah kemarau panjang, tidak akan ada yang tahu kedatangan Samsu. Tapi begitu lelaki itu masuk angin turut menyerbu. Daun-daun kering dan dingin pun menyerobot masuk. Beberapa laki-laki serentak menoleh. Samsu tersenyum, sekadar bersikap ramah. Dia cepat mengarah ke pojokan yang menghadap ke pintu kamar mandi.
Ditariknya kursi pelahan. Dia buka syal, kupluk, dan jaket tebal. Meletakkan semuanya, bersama, di atas meja. Sebelum Samsu menarik kursi, seseorang berkaos merah setengah berteriak, “Pesanlah kopi dulu, Pak. Nanti kami gabung. Kita lanjut cerita kemarin.” Kembali Samsu tersenyum. Kepalanya bergerak, seolah anggukan. Samsu meluruskan kaki kanannya. Bungkus rokok dan korek api dikeluarkan dari kantong kemeja. Tak sampai tiga isapan rokok, segelas kopi hitam mengepul ada di depannya. Seperti empat hari sebelumnya perempuan penunggu warung itu langsung berbalik. Sebelum duduk menunduk di balik rak, ia melap kaca yang terkena percik adukan kopi dan uap air. Laki-laki yang berkaos merah menarik kursi di samping Samsu. “Bagaimana, Pak?” “Hai, Buton. Tak kaulihat Bapak kita itu belum rampung merokok. Ke sinilah dulu. Jangan kau lari. Belum selesai kita tadi.” “Ah, sudahlah. Mana benar kalau kita bicara dengan televisi itu.”
“Ya. Ya. Bosan sudah kita, Bang,” sahut seseorang yang menutup pundaknya dengan sarung sambil menarik kursi di depan Samsu. “Ah, kalian. Macam apa itu? Tidak bisa cerdas kita kalau terima saja omongan pejabat di televisi. Iya tidak, Pak?” “Ah, saya sudah lama tidak nonton televisi,” sahut Samsu sambil menjentikkan abu rokok di lantai. Perempuan di belakang rak berdiri. Mengantarkan piring seng sebagai asbak dan kembali duduk. “Kalau begitu, pindahlah, Pak. Duduk di tengah sini.” “Iya, Pak. Biar semua dengar lanjut cerita kemarin.” “Sebenarnya saya tak pandai bercerita. Kemarin itu hanya kebetulan...” “Kemarin itu gara-gara si Munik ini bubar kita.” “Ayo, Pak.” Laki-laki bersarung membawakan kopi Samsu dan asbak ke meja tengah. Seseorang mengecilkan suara televisi. “Ah. Ah. Kenapa jadi begini? Kalian kan sedang ngobrol tadi.” “Tidak penting yang tadi, Pak. Kami sudah sejak tadi magrib ribut dengan televisi.” “Ya. Dan mana menang kita dengan televisi...” “Iya, Pak. Siapa tahu kita kalau Bapak nak balik ke sini lagi. Bisa mati penasaran awak tak dengar sambungan ceritanya.” “Hush! Jangan asal kau omong.” “Yalah. Maksudnya supaya Bapak kita ini mau cerita...” Akhirnya Samsu membawa bungkus rokoknya pindah ke meja tengah. Delapan orang laki-laki melingkar di sekitarnya. “Hmm, sampai mana? Oh, setelah laki-laki itu keluar dari penjara Wirogunan...” “Belum. Belum itu, Pak. Kemarin hampir sampai bagian yang itu.” “Apa itu bagian yang itu? Jorok sekali kau.”
Suara tawa memenuhi warung. Tak ada yang melihat perempuan dari balik rak mematikan televisi. “Ya, mana saya tahu. Kalau sudah hampir sampai kamar. Berdua. Ya, apa bisa dibuat?” “Aih, mana enak cerita tanpa rokok. Liat. Rokok Bapak sudah habis. Mak, coba antar satu untuk Bapak kita ini. Aku yang bayar.” “Wah, menang lotre kau ya...” “Bukan. Kata orang tua kita harus melayani tamu.” Perempuan di balik rak menoleh. Membuka bungkus rokok. “Jangan kasih Bapak kita satu batang, Mak. Malu aku. Kemarikan saja satu bungkus itu.” Perempuan itu mengantar satu bungkus rokok. Kembali duduk. Terdengar samar-samar musik dari radio yang mungkin ada di kolong meja. Hari itu saya merasa sudah berjalan jauh. Sangat jauh. Mungkin hanya perasaan saya. Sedari lepas hari gelap saya mulai. Ketika saya mengendap masuk halaman rumah itu terdengar azan dari langgar. Saya sudah berjalan semalaman. Sebentar lagi hari terang. Sebentar lagi orang-orang akan ke sumur di belakang rumah. Lutut kaku sudah dibengkokkan. Bebatan kaos di betis kanan mulai terasa berdenyut. Nyeri. Saya terduduk di bawah jendela. Sebelum muazin yang berteriak karena pengeras suara sepertinya mati, seperti juga penerang di seluruh desa, saya ketuk jendela kayu itu. Pelan. Sangat pelan. Saya takut ada yang mendengarnya. Demikian pelan hingga saya pun takut ia tidak mendengar. Pinggiran jendela berdenyit. Terbuka. Sedikit. Saya melihat matanya. Bersinar seperti kucing. “Abang?” Suara Laksmi bertahan.
Bibir saya pecah-pecah dan rapat. Darah kering di pelipis membuat saya sulit untuk hanya mengerjapkan mata. Saya gerakkan kepala. Mudah-mudahan tempias cahaya dari dalam kamar mengantar semacam anggukan itu padanya. Mata Laksmi mengerjap. Ia terlihat kaget. Mungkin karena seluruh muka saya lengket oleh warna coklat dan merah. Perempuan itu membuka lebar daun jendela. Saya mendorong dada melewati muka jendela. Tangan Laksmi menarik ketiak saya. Dengkul dan tulang kering terasa ngilu. Cermin di meja dekat tempat tidurnya tak sengaja terkait jari kaki. “Laksmi, kenapa kau?” terdengar suara tua dari sumur belakang rumah. “Tak apa, Wak Min. Hanya cermin. Tak sengaja tersenggol,” Laksmi cepat menjawab. Saya menahan napas. Jongkok di kaki tempat tidur. Laksmi keluar kamar. Perempuan itu membawa segelas air. Ia mengunci pintu. Mematikan cempor yang menggantung dekat pintu kamar. “Saya tidak tahu haru ke mana, Las...” “Mamak dan Abah antar Bi Sis ke kota, Bang.” “Saya tidak tahu harus ke mana, Las...” Terasa panas mengaliri pipi. Mata saya tak berhenti mengucurkan air. Desakan bonggol pisang yang semalaman mengganjal tenggorokan saya melesak. Saya sesenggukan. Laksmi menarik kain dari tempat tidur. Membersihkan muka saya. Mengeringkan air mata di seluruh muka. “Truk itu datang, Las. Mereka tembak Pak Munir di halaman sekolah politik. Kami bersepuluh dilempar seperti karung ke truk. Banyak orang. Saya bertumpuk dengan orang-orang mati. Saya tidak tahu harus ke mana, Las...”
Laksmi mengangguk. Rambut panjangnya menyentuh lantai, belum sempat ia sanggul. Saya baru kali ini melihatnya tanpa kerudung. “Abang tidak bisa di sini. Setiap hari mereka masih keluar masuk desa.” Leher saya terasa berat. Baru terasa tidak bisa digerakkan. Asap cempor menguar di seluruh kamar. Tiba-tiba pintu depan digedor. Kami berdua menahan napas. “Buka!” Lagi pintu digedor. “Saya buka pintu. Abang sembunyi dulu di kandang.” “Jangan dibuka, Las...” “Percuma, Bang. Nanti mereka yang akan buka paksa. Abang cepat sembunyi.” Saya mengangguk. “Buka!” “Ya.” Laksmi menyahut. Ia sengaja menyentak dan menyeret kakinya ke ruang depan agar terdengar. Bersamaan dengan tangan Laksmi sengaja membanting daun pintu depan, saya membuka palang pintu dapur. Nyelinap ke lubang kandang setinggi pinggang tak jauh dari pintu dapur. Meringkuk di sudut. Mulut kambing memamah daun nangka menyentuh kepala. Kaki tertutup lumpur dan kotoran kambing. Bau pesing membekap. Nyamuk seliweran. Berdenging. Di depan pintu belakang Wak Min ada sandal. Tercecer. Mungkin perempuan tua itu berlari ke langgar ketika truk tadi berhenti. Semua pintu tetangga di belakang dan samping tertutup. Gambar mati seperti gerak awan. Terdengar pintu, mungkin pintu kamar Laksmi, dihempas. Terdengar gelas pecah. Ah, kami lupa menyembunyikan gelas
itu. Badan saya semakin menciut ketika mereka mendekat. Mereka masuk dapur. Panci jatuh. Tempat beras digeser. “Benar kamu liat, Jaman?” “Iya. Iya, Pak.” “Di mana?” “Saya lihat ada yang masuk lewat jendela...” “Kamu sembunyikan komunis ya?” Tidak ada suara. Terdengar pecahan beling. Suara kaleng jatuh. Suara berdebam. Suara Laksmi menahan tangis. Dekat. Mungkin ia didorong, terduduk dekat pintu dapur. Seseorang melongok dari pintu dapur. Kambing mengembik. Seseorang itu kembali masuk. “Bersih, Komandan.” “Ayo jawab. Atau mau dibawa?” “Dia anak Kiai Munaf, Pak.” Saya tahan gigi saya yang bergemeletuk. “Heh! Jangan diam. Oh mau dirayu dulu biar bersuara.” “Jaman... Bilang. Tidak ada siapa...” Lirih sekali suara Laksmi. “Diam kamu!” Seorang laki-laki, Jaman, keluar. Menyalakan rokok tak jauh dari tempat saya meringkuk. Matanya tampak berkacakaca. Suara kain sobek. Tangis Laksmi makin samar. Warung itu hening. Hanya suara samar musik dari radio. “Laki-laki itu hanya diam di kandang kambing?” “Sst...” Saya menutup dua lubang telinga. Tapi suara isak Laksmi masih terdengar. Lumat. “Ayo, Jaman.”
Suara tajam seseorang memanggil Jaman menginjak batang rokok dengan telapak kaki. Laki-laki satu kelas dengan Laksmi itu berbalik masuk dapur. Suara sepatu lars terdengar memudar. Suara truk menghilang. Saya mengendap keluar kandang. Di luar masih kelabu. Langit sembunyi di rimbun hutan bambu. Matahari belum nampak, masih ingin sepi, tak mau diganggu. Dengan betis yang terkena sabetan parang, saya tertatih menjauh. Berlari. Tak lagi terdengar Isak Laksmi. “Bajingan sekali. Tak dilihatnya sebentar saja keadaan Laksmi?” Samsu mengisap rokok hingga memenuhi ronga paru-parunya terdalam. “Benar-benar bajingan laki-laki itu.” “Aku jadi mau ketemu istriku. Aku pulang dululah.” “Sama-samalah kita pulang. Besok pagi benar awak ‘nak jemur coklat.” “Terima kasih cerita Bapak. Besok ke sini lagi?” Samsu tidak menjawab. Laki-laki itu menekan batang rokok di asbak. Berkali-kali. “Datanglah, Pak. Kalau tidak, kami membusuk dengar cakap koruptor di televisi itu.” “Ya, Pak. Tapi besok janganlah cerita sedih...” “Mari, Pak.” Delapan laki-laki itu menghampiri meja dekat pintu keluar. Mereka membayar kopi. Pintu setengah badan terbuka dan tertutup. Angin masuk dan terhenti. Samsu merapatkan kedua tangannya di dada. Perempuan di balik rak mematikan radio. Samsu memakai kupluk, jaket, dan syalnya. Memberikan selembar uang. Sambil
membereskan gelas-gelas kopi, perempuan itu bergumam, “Tak usahlah kau datang lagi, Bang...” “Saya mau minta maaf, Las.” Perempuan itu memberikan kembalian. Ia menutup mulutnya dengan jari tangan kirinya. Menutupi delapan gigi depannya yang tanggal dihantam ujung bedil.(*) 2013
Mona Sylviana giat di Institut Nalar Jatinangor, Sumedang. Buku cerita pendeknya adalah Wajah Terakhir (2011).
(dimuat di Koran Tempo, 29 Desember 2013) (gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Tentang Maulana dan Upaya Memperindah Purnama Cerpen A.S. Laksana
K
USAMPAIKAN sekarang tentang hati yang gentar dan kabut tebal dan ia yang melarikan gelisahnya ke wajah bulan. Aku sendiri menyukai pantai, sebab di sana ada debur ombak yang bisa mengalahkan debar jantung. Aku menyukai warna fajar di pantai, warna dari masa kecil yang seperti lekat selamanya dalam ingatan. “Itu matahari,” kata ayah. Jarinya menunjuk bulatan jingga di langit timur. Kami jalan-jalan berdua saja, umurku mungkin lima waktu itu, menikmati angin pagi dan pasir pantai dan bau tiram. Kelak aku tahu bahwa warna fajar sama dengan warna senja, namun hari tidak berubah jadi hitam setelahnya dan matahari tidak membenamkan dirinya ke laut.
Aku juga menyukai purnama, tetapi tidak kularikan gelisahku di sana; tidak kusembunyikan apa pun pada bayang-bayang hitam di permukaannya. Maulana yang melakukan itu. Ia empat puluh satu tahun dan aku tiga puluh tiga dan kami bertemu terakhir kali pada Kamis sore di sebuah pantai. Hari Jumat tubuhku terbang menjauhinya, menjauhi pantai yang aku tak ingin mengunjunginya lagi setelah itu. Esok hari pesawat akan mendarat dan tubuh kami terpisah 12 ribu kilometer jauhnya, tetapi ingatanku tak pernah bisa pergi darinya dan, sementara pesawat membawa tubuhku pergi, ingatanku selalu pulang ke hari kemarin, ke langit jingga tahun lalu, ke lelaki yang menggesek biola pada senja hari menjelang purnama. Ia memainkan lagi itu-itu saja, lagu ciptaannya sendiri yang mengkhayalkan seandainya bulan tidak bersinar lagi, seandainya matahari tak terbit esok hari, seandainya bunga-bunga semuanya layu dan mati. Burung dan kelelawar memenuhi langit, cahaya jingga menembus kaca jendela. Di kamar itu Maulana menggesek biolanya, di depan para penonton yang selalu sama: sederet boneka anjing kecil yang berbaris rapi di lemari pajangan; serombongan kura-kura dan kucing keramik, sepasang kadal dari kayu, dan ayam-ayam tembikar yang berkeliaran di atas meja di samping lemari pajangan. Aku ingat datang pertama kali ke
rumah Maulana pada bulan Juli, namun di ruangannya waktu membeku dan bulan selalu September pada kalender dinding tak pernah ditanggalkan sejak delapan tahun lalu. Di pintu ruangan, seorang anak perempuan delapan tahun berdiri dengan kepala menyandar pada kusen; tangan kirinya memegang gagang pintu, tangan kanannya terjuntai ke bawah memegangi kertas gambarnya. Maulana bermain dengan mata terpejam dan lagunya sekarang sudah tiba di bagian akhir, bagian paling meratap, yang sepertinya sanggup membuat kadal, kurakura, dan semua binatang pajangan di ruangan itu mengamuk dan saling menyalahkan. Aku di samping gadis kecil itu, berdiri di tempat yang Maulana tidak bisa segera melihatku pada saat ia nanti menyelesaikan permainannya dan membuka mata. “Lagunya itu melulu,” kata si gadis ketika lagu berakhir. “Oh, kenapa hanya berdiri di pintu, Nona Manis?” kata Maulana. “Masuklah dan ambil tempat dudukmu dan akan kumainkan lagu kesukaanmu. Kau minta lagu apa?” “Tapi sebetulnya aku juga suka lagu tadi.” “Kalau begitu akan kumainkan sekali lagi.” “Tidak usah. Ayah harus lekas mandi. Kita akan jalan-jalan nanti malam, kan?” “Masih sore sekarang.” “Sudah magrib. Kalau tidak mandi sekarang, nanti kau lupa.” “Eh, kau menggambar apa lagi hari ini?” Gadis kecil itu lekas-lekas menyembunyikan kertas gambarnya ke balik punggung. “Mandi dulu baru boleh lihat,” katanya. “Baiklah, Tuan Putri. Tapi aku akan memainkan lagu itu sekali lagi untukmu.”
“Tidak usah! Kau mandi saja. Lagi pula... lihat, siapa di sebelahku ini...” Si anak meraih tanganku dan menarikku ke ambang pintu. “Astaga!” Maulana tampak setengah tak percaya aku ada di depannya. “Kau datang memberi kejutan atau menagih naskah, Ratri?” Maulana sedang menyelesaikan novel ketiganya dan ia berjanji akan merampungkan penulisannya tiga bulan lagi. Dua novelnya terdahulu kami yang menerbitkan dan aku yang menyunting keduanya. Pada kedatangan pertama itu aku tidak meneleponnya lebih dulu. “Kebetulan lewat,” kataku, “lalu tibatiba ingat alamat rumahmu, lalu aku mampir. Tapi kalau ditolak...” Dari depan rumah terdengar suara anak lelaki memanggilmanggil: Tasya! Tasya!
A
NGIN menggoyangkan daun-daun akasia di luar pagar. Anto sedang berdiri di balik pagar melihat jalanan. Sepedanya ia sandarkan di pokok akasia. Ia membalikkan tubuh ketika aku sudah berada dekat dengannya. “Mari kita nengok Angga,” ajaknya. “Kasihan, sudah dua hari sakit.” “Besok saja sepulang sekolah,” sahutku. “Sekarang aku mau pergi sama ayahku.” “Sekarang saja, besok mungkin dia sudah sembuh.” “Tapi sekarang aku mau pergi.” Ia diam beberapa saat, lalu mengambil sepedanya yang tersandar di pokok akasia, lalu memutar sepeda itu dan mengayuhnya. Aku memandanginya dari balik pagar sampai ia hilang ditelan tikungan. Ayah belum ke kamar mandi juga saat aku masuk. Ia berdiri di depan meja makan dengan handuk tersampir di pundak dan
membuka tudung lauk dan mengamat-amati hamparan makanan di atas meja makan itu. Aku hapal apa yang sebentar lagi ia lakukan. Ia akan mencomot sepotong tempe goreng dan memakannya, lalu sepotong lagi, lalu sepotong lagi. “Tanganmu harus dipotong kalau kau suka mencuri, Yah,” kataku. Beberapa langkah di sebelah sana, sekilas kulihat Tante Ratri tersenyum. Mbak Rina datang dari dapur membawa nampan dan memindahkan piring-piring lauk yang ada di nampan ke atas meja. “Kau akan pulang hari apa, Rina?” tanya Ayah. “Kayaknya tidak jadi, Pak, kasihan si adik. Tak ada yang menemani dia nanti kalau Bapak pergi kerja,” sahut Mbak Rina. “Pulanglah. Kakakmu nikah tidak berkali-kali. Untuk ngurus adik, biar nanti kucarikan ganti sementara.” Menurutku Mbak Rina harus pulang dan Ayah tidak perlu repot-repot mencari orang untuk menemaniku. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Yang penting sekarang adalah Ayah cepat mandi. Kuseret tangannya dan kubawa ia ke kamar mandi dan kemudian aku menemui Tante Ratri. Ayah pernah mengajakku dua kali ke kantor penerbitan tempat Tante Ratri bekerja dan kami bercakap-cakap dan aku suka bercakap-cakap dengannya. Kami bercakap-cakap di teras rumah sampai ayah keluar dan kami siap berjalan-jalan. Tante Ratri tidak ikut jalan-jalan bersama kami. Ia bilang harus segera pulang karena ada pekerjaan yang perlu diselesaikan. “Lain kali Tante ikut,” katanya. Orang-orang dewasa sering mengatakan ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Ayah juga seperti itu. “Kita bareng sampai ke taman?” kata Tante Ratri saat ia menghidupkan mesin mobilnya.
“Kami jalan saja,” kata ayah. Ayah melangkah santai, tetapi aku harus setengah berlari agar selalu bisa berjalan di sampingnya. Kadang-kadang kami harus turun dari trotoar untuk menghindar dari warung tenda dan naik lagi ke trotoar setelah melewati warung tenda itu. Aku agak repot karena aku menggendong Mimi sepanjang jalan. Sebenarnya ia ringan, hanya saja boneka beruang ini hampir sama besarnya dengan aku. Kadang aku ingin meninggalkannya di rumah, tetapi kasihan. Ia juga pasti ingin bertemu Ibu. Kami hanya bisa bertemu pada saat purnama. Jika ia kutinggal di rumah, ia baru akan bertemu Ibu pada purnama berikutnya. Setelah tiga kelokan, kami tiba di mulut jembatan. Ada sebuah pulau di tengah sungai di bawah sana, segunduk tanah dengan ilalang lebat dan beberapa batang pisang, dan aku pernah menanyakan kepada ayah apakah ada orang yang tinggal di pulau itu. Kubayangkan di sana ada orang-orang Liliput, manusia sebesar kelingking yang menunggang kuda sebesar kecoa. Ayah suka membaca dan ia pernah membacakan untukku cerita tentang manusia-manusia sebesar kelingking dan aku ingin berkawan dengan mereka. Kukatakan kepada ayah bahwa aku ingin menjadi kapten kapal dan berlayar ke negeri Liliput. “Kupikir kau ingin menjadi peri biru,” kata ayah. Memang. Aku ingin menjadi peri biru agar bisa melindungi anak-anak perempuan yang dinakali oeh anak-anak lelaki bandel. “Apakah peri biru tak bisa menjadi kapten kapal?” tanyaku. “Belum pernah ada, tapi kau bisa memulainya,” kata ayah. Dari jembatan bulan tampak jelas, seperti bola besar dengan cahaya yang lembut di mata. Kata ayah, ibuku ada di sana. Ia terbang pada hari aku lahir. Ayah selalu memainkan biola untuk Ibu menjelang malam purnama.
“Waktu kau main biola, apakah ibu mendengarnya?” tanyaku. “Tentu saja. Ibu sangat menyukai lagu itu,” kata ayah. “Tapi ia tak pernah datang.” “Kau tak merasakan kedatangannya?” “Aku tak pernah melihat ibu datang.” “Ada hal-hal yang tidak bisa dilihat dan hanya bisa dirasakan.” “Teman-temanku bisa melihat ibu mereka.” Ayah mengisap rokoknya. Kadang-kadang ia berhenti bicara agak lama dan mengisap rokoknya. Lalu kulihat ia menundukkan kepala, lalu mendongakkan kepala, lalu menyedot rokoknya sekali lagi. “Kau bisa merasakan udara yang kauhisap waktu bernapas?” tanya ayah. “Bisa,” kataku. “Bisa melihatnya?” “Udara memang tidak bisa dilihat.” “Tapi kauyakin udara itu ada?” “Ya.” “Begitu pun Ibu. Ia bersama kita, namun kita tidak melihatnya, sebab ia sudah meninggal.” Aku mengangguk-angguk. “Ibu meninggal lalu menjadi udara?” “Bukan menjadi udara. Ibu sudah meninggal. Mata kita tak bisa melihatnya, namun kita bisa merasakannya saat ia datang.” “Kau bilang Ibu sangat mencintai kita. Kenapa ia meninggal kalau benar-benar mencintai kita?” “Semua orang bisa meninggal. Dan itu urusan Tuhan.” “Kadang-kadang aku jengkel sama Tuhan. Kenapa orang yang mencintai kita dibikin meninggal?”
L
AMPU-LAMPU mulai menyala pada tiang-tiang yang tegak berjajar di sepanjang pembatas jalan. Dari arah belakang terdengar suara mesin motor meraung. Tiba-tiba ia menyalipku dengan cara bajingan. Anak-anak muda sering menjengkelkan, mereka berubah menjadi babi ngepet saat berada di atas jok motornya. Sore tadi aku lari dari Robi dan merasa tidak ingin bertemu dia selama-lamanya dan dengan pikiran kusut kubawa begitu saja mobilku menuju rumah Maulana. Robi lelaki yang baik dan untuk kesejuta kalinya ia mengajakku bicara soal pernikahan dan aku tidak ingin membicarakan urusan itu. Setidaknya dalam waktu dekat dan entah sampai kapan aku tidak ingin membicarakan urusan pernikahan dengannya. Ia anak tunggal dan aku tidak mungkin punya anak dan aku tak ingin nantinya dipersalahkan sebagai penyebab terputusnya silsilah keluarga mereka. “Pertengahan tahun ini aku harus berangkat ke Venezuela,” katanya, “dan aku ingin kita berangkat ke sana bersama-sama...” “Bisa kita bicara hal lain, Rob?” tanyaku. “Sebenarnya aku menginginkan Cile dan kita bisa mengunjungi Isla Negra. Itu masih tempat favoritmu, bukan?” “Rob...” Ia membawakan untukku novel Il Postino suatu hari dan mengatakan bahwa itu novel yang bagus sekali dan ia benar. Aku menyukainya, cerita tentang pemuda malas dari sebuah desa nelayan yang enggan melaut seperti ayahnya dan memilih bekerja sebagai tukang pos. Si pemalas Mario Jimenez secara lugu belajar metafora kepada Pablo Neruda, satu-satunya orang di Isla Negra yang menjadi pelanggan posnya, dan mereka kemudian menjadi sangat dekat dan Mario menggunakan puisi-puisi si Penyair untuk merayu perempuan pujaannya. Aku terpukau pada nama tempat di novel itu. Isla Negra.
“Suatu saat aku pasti ke sana, Rob,” kataku, seperti bersumpah. Sungguh Robi lelaki yang baik dan ia memiliki karier yang bagus di departemen luar negeri tempatnya bekerja dan aku tidak pernah ragu bahwa ia mencintaiku. Tujuh tahun kami berpacaran dan pada tahun keempat ia menungguiku di rumah sakit dan selalu berupaya membesarkan hatiku pada hari-hari sulit: rahimku harus diangkat. Aku menginginkan operasi itu dilakukan sejauh mungkin dari rumah agar tak ada satu pun tetangga mengetahui apa yang terjadi padaku dan memandangiku dengan belas kasihan ketika aku keluar dari rumah sakit. Karena itu kupikir operasi harus dilakukan di luar negeri. Robi mengambil cuti dan menemaniku. “Aku tak akan bisa punya anak, Rob.” Itu yang kusampaikan pertama kali ketika aku siuman dari bius yang melelapkanku selama operasi. Robi di sebelahku, lelah dan mengantuk, tetapi tampak sangat bahagia ketika melihatku membuka mata. “Kau baik-baik saja dan tak ada yang perlu disesali,” katanya. Aku menggeleng, bukan untuk menyatakan tidak, tetapi hanya menggeleng. Warna-warna seperti kelabu di depan mata dan, dengan kepala menempel pada bantal, beberapa waktu lamanya aku terus menggelengkan kepala. Mungkin sejak itu aku lebih banyak menggelengkan kepala. Tapi aku baik-baik saja dan kuharap jangan pernah ada yang menyangka aku menyesali keadaanku. Setiap perempuan punya rahim dan jika rahim itu diangkat karena ada masalah padanya, itu hal yang lumrah, sama lumrahnya dengan seseorang harus merelakan kaki kirinya dipotong karena ada masalah pada organ itu.
Jadi segalanya normal bagiku. Hanya sejak itu aku mengembangkan kebiasaan menggelengkan kepala dan itu seperti jawaban otomatis untuk setiap situasi yang aku tak yakin harus menjawab apa. Begitupun ketika Tasya memintaku ikut jalan-jalan. Purnama adalah milik mereka berdua dan aku tidak ingin mengganggu dengan kehadiranku. Tidak, pada hari ketika aku sendiri butuh menentramkan hati. Maulana pernah menceritakan kepadaku tentang istrinya yang meninggal di bulan September saat melahirkan dan bagaimana ia merawat rasa cintanya kepada perempuan itu dan bagaimana ia menyampaikan kenyataan itu kepada Tasya, satu-satunya anak mereka, dan bagaimana ayah dan anak itu menikmati purnama sebagai ritual sebulan sekali untuk bertemu dengan orang yang mereka cintai. Kuakui bahwa ayah dan anak itu membuatku jatuh hati dan aku mengunjungi mereka ketika telingaku tak tahan menerima ajakan menikah dari Robi, namun aku datang di saat mereka sedang bersiap menyambut waktu istimewa dan aku tak ingin menjadi bagian dari ritual purnama mereka. Belum ingin. Kelak, kautahu, aku menjadi terlampau dekat dengan mereka dan ada keinginan kuat padaku untuk menjadi bagian dari mereka. Cerita tentang itu masih sangat panjang, dengan rentetan sebab akibat yang akan memakan banyak halaman, namun secara ringkas cukuplah kusebutkan sebab utamanya: kepalaku sudah terbiasa menggeleng.(*)
A.S. Laksana tinggal di Jakarta. Buku cerita pendeknya yang mutakhir adalah Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantuhantu (2013).
Batu Cerpen A. Muttaqien
B
EGINI, Saudara, kuceritakan semuanya secara berurut saja. Betul, ini tentang lelaki yang kini menggegerkan kampung kita itu. Maaf kalau cerita ini membuat tidak enak Saudara yang kebetulan kerabat, kawan kental, atau kolega lelaki itu. Ketimbang banyak gosip menyembul seperti bisul, izinkan aku membeberkan kisah yang betul. Mula-mula, kalau tak salah sejak tujuh hari lalu, lelaki itu tak bisa tidur. Setiap telentang di ranjang, plafon rumahnya terbuka. Dan di langit, ia melihat sesosok perempuan telanjang tersenyum. Saudara bisa bayangkan bagaimana perasaan lelaki itu, bukan? Apalagi perempuan itu memancing dengan senyuman. Nah... Berkali-kali begitu. Dan, di hari ketujuh, menjelang dinihari, lelaki itu tak kuat lagi. Ia pun memutuskan pergi ke pantai. Di pantai belakang kompleks perumahan kita itulah ia tiba-tiba tertumbuk sebongkah batu—batu hitam kehijau-hjauan. Sang batu, setidaknya menurut dugaan lelaki itu, bukan batu
sembarangan. Dan, sesungguhnya, dari batu itulah cerita ini bermula. Saudara tahu, lelaki itu yakin betul kalau sang batu baru saja jatuh dari langit. “Kau akan kuberi wujud,” ia berkata, “biar bumi tahu, kau termasuk batu yang sujud.” Alamak, puitis betul. Tapi memang demikian, Saudara. Mohon Saudara mengerti, lelaki ini, seperti yang kita ketahui bersama, selain gandrung pada patung dan kopi, juga pecandu puisi. Ia bahkan mengaku pernah didatangi Haujal, jin yang sejak zaman Arab-Jahiliah dipercaya sebagai pembimbing para penyair untuk menciptakan puisi cemerlang, begitu cemerlang hingga seperti buah kata yang dipetik dari langit. Maka, jangan heran bila ia sering mencibir penyair yang gemar membikin puisi ruwet, seolah penyair demikian memang anak buah Huwair, jin yang menyesatkan para penyair pada keruwetan bahasa hingga puisi mereka seperti belantara gelap dan sekali-kali tak bisa dimengerti, kecuali oleh Tuhan Yang Maha Esa. Nah, begitulah, Saudara. Tentang pandangannya terhadap puisi, kiranya tak perlu saya beberkan lebih rinci
lagi. Puisi barangkali sekadar renik kecil yang turut andil atas raibnya lelaki itu. Dan marilah kita kembali pada batu. Yaitu, batu yang dengan susah-payah digotong ke rumahnya. Lelaki itu seperti Sisyphus gendeng dan sempat membikin si ibu yang pulang subuhan pagi itu kaget lantaran melihat ia berjalan sempoyongan dan ngos-ngosan. Seperti yang Saudara ketahui bersama, para tetangga memang sering heran akan tabiat si lelaki yang kerap jadlab itu. Tapi kali ini, ketika fajar jauh dan burung-burung belum keluar sarang, ibu yang kakinya pincang sebelah itu sungguh dibuat kaget. Kaget betul, Saudara. Bagaimana tidak kaget? Jam-jam begini, mestinya maling yang pulang menggotong TV atau peti colongan. Tapi yang ia dapati malah si lelaki semprul sedang menggotong batu. Mata si ibu pun mengekor lelaki itu sampai menekuk di ujung gang. Kaki kirinya yang pincang nyaris terperosok ke got. Dan ketika si ibu tahu, lelaki itu memasuki rumah no. IX—tujuh rumah dari jajaran kiri rumahnya yang no. II—barulah si ibu pincang ini maklum dan tak perlu menduga-duga untuk apa kiranya sebongkah batu buat lelaki yang oleh warga dicap senewen. Sampai di rumah, si lelaki sangat hati-hati menaruh batu itu di atas ranjang. Semula ia berniat menaruh batu itu di kamar mandi agar sang batu bisa segera dicuci. Ketahuilah, Saudara, lelaki itu amat menghormati batu itu. Ketika mendapati kamar mandinya berantakan, ia berpikir keras agar sang batu beroleh tempat paling nyaman. Dan tempat paling nyaman di rumah lelaki itu tak lain adalah kamarnya, yang ia namai Abqorie. Kata lelaki itu, Abqorie adalah aran pemberian Haujal. Dan kalau tak salah ingat, seorang kiai pernah bilang bahwa abqorie adalah sejenis hunian jin.
Di kamarnya yang lembap, ia amati batu itu dengan teliti. Ia menerka-nerka umur batu itu yang mungkin setua nenek dari neneknya, atau bahkan tujuh juta kali lebih tua ketimbang nenek dari neneknya. Entahlah. Yang jelas, melihat wujud sang batu, mereka yang pernah mempelajari jenis batuan akan sepakat jika umur sang batu pastilah amat tua. Mereka yang entah sejak kapan gemar pada perkara takhayul itu percaya sang batu pastilah memiliki semacam tuah. Tak terkecuali lelaki itu. “Wahai batu,” lelaki itu berkata, “kita memang berjodoh. Puji Tuhan Yang Maha Cermat, kau diturunkan pada tangan yang tepat.” Lelaki itu lalu membuka peti kayu. Seperti semua perabot rumahnya yang tampak kuno, peti itu juga tampak kuno. Lelaki itu mengeluarkan semua isi peti: ada palu, palet, pisau, tata, dan betel. Seperti peti itu, seperangkat alat pahat itu juga tampak kuno. Beberapa berwujud keemasan dan beberapa lagi cokelat tua kehitaman. Lelaki itu lalu mengambil bak besar. Bak itu ia isi air. Dan air itu ia taburi kembang tujuh rupa. Air dan kembang itu ia aduk ke kanan tujuh kali. Ke kanan. Dan bukan ke kiri, Saudara. Saudara tahu, kembang memang selalu ada di rumah lelaki itu. Saudara sekalian yang gemar keluar-masuk pasar pastilah pernah memergoki lelaki itu berburu kembang. Jangan heran. Ini kebiasaan turunan belaka. Kedekatan dengan kembang itu ruparupanya diwarisi dari neneknya dari garis ayah yang selalu menaruh boreh, mawar, dan kenanga di tiap likat rumah. Konon, si nenek gemar makan melati untuk menjaga keharuman badan. Lelaki itu mulai menyalakan dupa. Dan wangi dupa pun menyebar. Pelan-pelan, lelaki itu memandikan—maksudku mencuci—batu itu. Mungkin “memandikan” lebih tepat. Kukatakan “memandikan” sebab gerak-gerik lelaki itu memang
sangat telaten dan hati-hati, seperti memandikan bayi, bukan mencuci sebongkah batu. Mula-mula, ia turunkan batu itu dari ranjang. Lalu, dengan khusyuk lelaki itu menuang sampo. Ia ratakan busa sampo ke sekujur batu. Setelah sampo ia bilas dengan kembang, kini giliran sabun. Pelan-pelan ia ratakan sabun ke sekujur batu. Pelan-pelan. Ia hampir memekik ketika menemukan dua tonjolan aneh pada batu itu. Dan ketika ia menyabun bagian bawah, entah bagaimana mulanya, telunjuk lelaki itu tiba-tiba menemukan semacam celah. Lelaki itu semakin yakin, sang batu pastilah jelmaan perempuan yang tiap malam tersenyum di langit itu. Kini, lelaki itu mengerti kenapa sang batu terasa hangat saat ditemukan. Dan ia tak heran akan perihal yang demikian. Dari pelajaran fisika ia ingat, di langit sana sang batu pastilah menebar cahaya seperti batu-batu langit pada umumnya. Dan, menurut tafsiran lelaki itu, jika nantinya ia memberi rupa sang batu dengan wujud perempuan, sebetulnya tangan si lelaki sekadar pahat dan palu yang digerakkan oleh tangan Tuhan. Soal keterlibatan Tuhan pada perkara yang demikian, salah satu dari Saudara pasti ada yang pernah mendengar dari lelaki itu, bukan? Apalagi batu itu telah memberi petanda dua tonjolan lucu dan celah cilik khas kepunyaan para perempuan. Lelaki itu pun mengakhiri ritual memandikan sang batu. Bilasan terakhir ia siramkan. Lalu, dengan handuk ungu, ia keringkan sekujur batu. Ia meniup-niup bagian celah batu yang digenangi air. Setelah meneliti dengan seksama dan mendapati batu itu kering betul, lelaki itu membuka jendela dan mulutnya mulai komat-kamit sambil menebar bunga di sekujur batu. “Wahai Batu, akan kuabadikan senyummu yang bercahaya,” begitu kata lelaki itu sambil mulai menggurat batu itu dengan pahat. Ia mengambil palu dan bekerja dengan khusyuk. Ia bahkan
tak berani berlaku sembrono, misalnya merokok atau memutar musik yang tidak perlu. Kali ini, ia ingin berfokus. Fokus dan serius dengan suasana kudus.
S
EKIAN menit berlalu. Dan mulai tampak bagian atas batu yang dibuat melingkar di satu sisi dan melingkarmemanjang di sisi lain. Tentu sudah gampang ditebak bahwa lingkaran macam itu pastilah calon wujud kepala. Lelaki itu membuat beberapa goresan halus pada lingkaran muka sang batu, seperti cetakan mata, hidung, dan bibir. Ia tampak begitu teliti dan hati-hati. Ia menukar pahat besar dengan pahat yang lebih kecil. Sesekali pahat itu dipalupalukannya dengan lembut. Begitu seterusnya, dengan kekhusyukan yang sama, dan jadilah berturut-turut mata, hidung, dan bibir. Ketiga organ itu tampak begitu tajam dan serasi. “Kubentuk hidung, alis, dan bibirmu khas Mesir, agar kau tampak seperti bidadari gurun pasir,” begitu kata lelaki itu ketika bagian kepala hampir rampung. Kini batu itu memiliki wajah. Lelaki itu pun kembali menotolkan pahat ke batu, memukul dengan palu, dan sesekali mengusap debu sisa pahatan itu. Berkali-kali begitu. Maka, di bawah kepala batu itu, mulai tampak setapak leher. Leher jenjang. Ia usap-usap debu di leher itu dan ia termangu. Mungkin ia ingat, di leher macam itu banyak mata lelaki menjelma jadi bara api. Setelah merampungkan bagian wajah dan leher, lelaki itu pindah ke bawah, ke bagian dada. Lelaki itu melemaskan jemarinya. Mengatur napasnya. Ia tahu, akan memasuki bagian gampang belaka: mencipta dua tonjolan. Namun ia tetap waspada. Ia mengusap lagi dua tonjolan bawaan sang batu. Seperti takdir yang menggumpal bagai sepasang susu. Pelan-pelan, lelaki itu meraba tonjolan itu, seolah sedang mencari denyut batu.
Lelaki itu lalu memejamkan mata. Ia mengatur napas dan memusatkan pikiran. Kembali ia menukar pahat dan palu. Menggores-gores pahat ke atas dan ke bawah. Kemudian memukul pahat dengan palu. Berkali-kali begitu. Dan jadilah susu yang menjulang utuh. Lelaki itu memegang susu ciptaannya. Ia merasai teksturnya dan mencucup susu itu berkali-kali seperti ingin kembali menjadi bayi. Ia memasuki fantasi yang lucu dan sepi, kemudian memekik kecil setelah mendapati ujung bibirnya berdarah. Ia meratakan darahnya dari pucuk susu dan tersenyum ketika melihat darahnya menyatu ke sekujur susu patung itu. Serampung bagian dada, dengan sedikit senyum, lelaki itu mengira tak ada lagi perkara sulit. Tapi tidak. Setelah dada, memang ia cukup lancar merampungkan bagian tangan, perut, dan punggung. Tapi tidak demikian ketika membikin bulatan bokong. Pekerjaannya tampak tersendat. Lelaki itu menimbang kemungkinan membikin bokong yang indah. Namun tetap mendapati bahwa bokong itu hanya bagian tubuh yang sukar ditampilkan keindahannya. Lelaki itu pun memutuskan untuk menutup bokong patung itu. Keputusan ini diambilnya demi keindahan dan kesantunan, sebab dengan bokong telanjang pasti membeber pula bagian paling rawan organ perempuan. Bagian itu agak riskan. Dan lagi, seperti Saudara tahu, bagian ini—kalau ia tak berhati-hati—tentu bahaya bagi bocah belum akil balig dan sekelompok kaum picik. Lelaki itu akhirnya membikin selendang kepang yang menggantung di ujung bokong patung itu. Namun, ketika bagian selempang penutup bokong rampung dan lelaki itu harus berganti ke bagian depan, yakni bagian yang lazim diukir sebagai organ intim, sebagian syaraf lelaki itu menegang. Berlebih-lebihan ia mengayunkan dan memukulkan
palu. Bagian batu sekitar itu rompal beberapa kepal. Untung ia tergolong pematung cekatan. Rompalan batu itu ia samarkan seperti lipatan kain cekung ke dalam. Maka, jadilah sang patung, berwujud perempuan ¾ telanjang dengan bagian bokong dan organ rawan yang aman. Kini lelaki itu tinggal menggarap bagian kaki. Sebagaimana umumnya kaki, ini pasti bagian sepele saja. Anehnya, ketika tengah menggarap betis, ia memasuki semacam suasana mistis. Mungkin ia terbawa cerita tua tentang sepasang betis manis yang mengilhami bandit macam Ken Arok nekat meracik siasat licik yang kini menjadi pedoman bagi para politisi tengik. Tapi sekali lagi, ia bukan golongan pematung kacangan, Saudara. Ia cukup fasih—kendati sebenarnya cukup letih— merampungkan sepasang kaki sang patung. Hasilnya, kaki indah dengan betis memesona, persis kaki bidadari yang membeku belaka. Nah, begitulah urutannya, Saudara. Sang patung pun rampung. Dan tampak demikian hidup. Berkali-kali lelaki itu menatap patung itu, lalu tersenyum seolah mengenang sesuatu. Ditatapnya sang patung lekat-lekat. Tiba-tiba, entah dapat bisikan dari mana, ia meniup bagian atas patung itu seolah hendak menyusupkan nyawa ke ubun batu. Apa yang terjadi selanjutnya adalah adegan yang sungguh susah diterima akal sehat. Lelaki itu tetap bersikeras meniup ubun-ubun patung itu. Berkali-kali ia meniup begitu, tak putusputusnya, sampai tubuh lelaki itu menjadi merah, merah marun, kemudian menjadi jingga, lalu menguning, memutih, dan pelanpelan menjadi bening, bertambah bening, bertambah bening lagi, hingga yang tampak hanyalah jeans dan kaus oblong yang melorot ke lantai. Tapi, cerita ini tak berhenti di sini.
Setelah tubuh lelaki itu tembus pandang dan menghilang dari pandangan—seperti yang saudara ketahui bersama—justru sekeliling kampung menjadi gempar. Beberapa tetangga ngotot malam-malam mendengar lelaki itu bernyanyi meniru gaya Robin Gibb The Bee Gees: I started a joke, which started the whole world crying... I started to cry, which started the whole world laughing...* Mereka yakin nyanyian itu berasal dari sang patung ciptaan lelaki itu. Bahkan beberapa dari mereka bilang si lelaki telah menyatu, manunggal dengan batu. Perihal yang demikian itu, terus terang aku ragu, Saudara. Sebagai bayangan lelaki itu, aku tak berani bersaksi soal yang begitu, sebab diriku pun pelan-pelan lenyap terisap lampu, bersama raibnya tubuh si lelaki. Kuceritakan ini pada Saudara sekalian, agar Saudara tak terbawa terlalu jauh oleh cerita warga yang kian kecanduan wabah sinetron misteri itu. Tapi, seperti lampu yang mengisap wujudku, bukankah Saudara juga tak mampu mendengar suaraku?(*)
Surabaya, 2013
A. Muttaqin lahir di Gresik, Jawa Timur, dan tinggal di Surabaya.
(dimuat di Koran Tempo, 15 Desember 2013) (gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Gerimis di Kuta Cerpen Wendoko
I
A duduk di teras kafe itu. Sudah lewat setengah sepuluh malam. Hujan baru saja reda. Dari tepi kanopi hijau-lumut di atasnya, ia melihat sisa hujan mengucur, seperti tirai air. Teras kafe itu agak lengang. Selain dirinya, ada perempuan berambut poni di ujung dekat kaca. Matanya berciri oriental dan hidungnya kecil, pada muka yang bulat. Perempuan itu sedang berbicara dengan perempuan lain yang membelakanginya. Ia hanya melihat rambutnya yang lembap seperti habis dikeramas, dan tubuhnya dalam balutan kaus dan celana jins ketat. Tak jauh dari kedua perempuan itu, seorang lelaki kurus melamun. Rambutnya kusut. Muka dan lehernya kurus, tapi mata itu rasanya terlalu besar. Ia sedang berada di Kuta Square, kawasan pertokoan di sisi barat Bali, dan ia sedang duduk di teras Dulang Cafe. Sebetulnya malam ini ia tak punya rencana untuk singgah ke kafe itu. Sekitar satu jam yang lalu, ia baru saja merampungkan acara bincang-
bincang tentang buku koleksi fotonya di Times, toko buku tak jauh dari Dulang Cafe. Ia selesai menjawab berbagai pertanyaan, menandatangani beberapa buku, lalu bercakap sebentar dengan manajer Times yang dipanggilnya Pak Putu—salah seorang sahabatnya di Bali—sebelum mereka berjabat tangan dan ia keluar dari Times. Malam ini berencana berjalan kaki ke hotelnya di tepi Pantai Kuta sambil menikmati suasana di Kota Square. Tetapi, belum jauh ia berjalan, hujan mendadak turun, seperti tumpah dari langit. Ia berlari-lari di trotoar, dan akhirnya tertahan di teras kafe itu. Mulanya ia tak tahu kalau ia berhenti di teras Dulang Cafe, tempat yang pernah disinggahinya tiga tahun lalu. Ia baru menyadari setelah ia terpaksa duduk karena tak bisa ke manamana, dan memesan segelas Guinnes. Meja-kursi di teras itu sudah berganti, tak seperti tiga tahun yang lalu. Tanaman sejenis alang-alang yang dulu dijepit agar berdiri tegak di tepi trotoar— sebagai pembatas antara trotoar dengan jalan di depannya— sekarang sudah tidak ada. Tapi ia tak mungkin melupakan kanopi berwarna hijau-lumut itu. Atau interior kafe yang bernuansa kuning-jingga, dengan aksen dinding cokelat dan pilar berlapis batu. Juga sarung pembungkus kursi yang berwarna jingga. Di teras kafe itulah ia duduk, dan diam hampir selama satu jam. Ia mendesah lambat. Seharusnya pada jam-jam seperti sekarang, kawasan ini masih sangat ramai, setidaknya sampai satu jam ke depan. Tapi, sejak tadi hanya beberapa orang yang melintas di trotoar. Lalu dua-tiga mobil melewati jalan yang dipisah dengan pembatas kansten selebar 60 sentimter. Di tengah cahaya yang menyorot dari etalase dan papan-papan reklame, kawasan ini terlihat lengang. Apakah karena hujan itu? Ia memandang ke dalam kafe, ke ruangan di balik kaca. Ia melihat hanya sedikit meja-kursi yang terisi.
Lalu kenangan itu muncul. Kenangan mengenai perempuan itu. Naomi!
I
A pernah mengenal perempuan yang bernama Naomi. Baginya, Naomi adalah musim gugur ketiga, setelah hubungannya dengan dua perempuan lain—yang disebutnya musim gugur pertama dan kedua—berakhir kandas. Ia mengenal perempuan itu di suatu tempat di pesisir selatan Cile. Mereka terperangkap di hotel ketika badai kabut dan selama tiga hari tak bisa ke mana-mana. Mereka sempat kehilangan kontak setelah itu dan baru bertemu lagi tiga bulan kemudian. Saat itulah ia menyebut Naomi “panorama senja yang paling indah”, waktu mereka berpapasan di suatu jalur pedestrian pada senja akhir musim gugur. Perempuan itu bertubuh ramping. Kulitnya sangat bening. Berwajah oval, dengan hidung lancip dan mata agak sipit. Mereka berhubungan selama satu tahun. Tetapi, dalam satu tahun itu, tak banyak yang ia ketahui tentang Naomi. Ia tahu Naomi bekerja sebagai jurnalis lepas untuk beberapa penerbitan di Eropa, dan karena itu
Naomi kerap bepergian. Ia tahu Naomi tak punya jadwal yang tepat, dan karena itu ia tak pernah tahu di mana Naomi berada— sampai tiba-tiba ia menerima surel dari banyak kota. Milan, Paris, Rotterdam... Uniknya, perempuan itu selalu dapat menemukan dirinya, meskipun ia tengah memotret di lain kota atau negara. Sebagai fotografer muda, ia juga kerap bepergian. Kadang Naomi muncul begitu saja di apartemennya, dan mereka melewati beberapa hari bersama. Naomi juga enggan bercerita tentang masa lalunya. Misalnya di mana ia tinggal waktu kecil, di mana ia lahir, atau tentang kerabatnya. Hubungan mereka memang berjalan dengan cara seperti itu. Naomi enggan bercerita dan tak menuntut cerita darinya. Tapi ia mencintai perempuan itu. Sejak mengenal Naomi, ia tak lagi memotret matahari terbenam, padahal ia menyukai kegiatan itu. Ia selalu menyukai senja dengan matahari terbenam, karena baginya itulah panorama yang paling indah. Tetapi ia berpikir, untuk apa lagi memotret senja kalau ia sudah mendapatkan “panorama senja yang paling indah”. Tiga tahun lalu ia mengajak Naomi ke Bali. Jauh-jauh hari ia sudah mendengar banyak cerita dari sahabat-sahabatnya tentang pulau itu. Tentang pantai-pantai bermandi cahaya matahari dan bukit-bukit lengkap dengan kehijauannya. Sangat menarik sebagai obyek foto-fotonya, begitu kata mereka. Di Bali, tiga tahun lalu, ia memilih hotel yang menghadap Pantai Kuta. Sejak memasuki halaman hotel ia sudah merasakan suasana itu. Hotel berlantai empat itu, yaitu Mercure Kuta, adalah bangunan bergaya modern dengan pengaruh lokal, dengan konsep bungalo. Atapnya punya banyak bukaan kaca, sementara unsur kayu sangat menonjol pada bingkai jendela, pembatas balkon dan pilar-pilar. Bahkan beberapa ornamen yang sangat khas, seperti bata yang digosok dan batu paras, juga ditonjolkan. Area hotel dipenuhi tanaman palem dan—
ini yang paling menarik—pohon berbunga kuning, berdahan panjang, dengan daun berbentuk lonjong dan agak jarang, yang disebut jepun Bali. Suatu senja, sewaktu ia berdua saja dengan Naomi di kolam renang hotel, ia mendapati pemandangan yang menakjubkan. Kolam renang yang terletak di lantai empat itu menghadap Pantai Kuta. Ketika itu menjelang matahari terbenam. Ia melihat langit tiba-tiba berubah jingga. Matahari tinggal bola yang menggantung kemerahan. Begitu kuatnya warna jingga itu sampai-sampai seluruh langit menjadi jingga. Laut, pasir, dan pepohonan di pantai juga berubah jingga. Bahkan air kolam renang dan lantai di sekitarnya juga berubah semu-jingga. Ia terperangah. Barulah ia teringat, seorang sahabatnya pernah menyebut pantai itu sebagai “pantai matahari terbenam”. Malam itu ia berkata pada Naomi, bahwa ia ingin memotret matahari terbenam. Esoknya, ia berjalan-jalan ke pantai. Ia mengamati titik matahari dari beberapa sudut. Menjelang matahari terbenam, selama tiga puluh menit, ia memperhatikan tiap perubahan lanskap: warna langit, bentuk awan, garis gelombang, dan warnawarna pada pasir dan pepohonan. Ia terus mengamati sampai matahari lenyap ke batas laut. Esok hariya ia kembali ke pantai dengan peralatan memotretnya. Ia mengambil beberapa foto dari berbagai sudut. Bahkan ia masih terus memotret meski matahari sudah hilang dari langit. Setelah itu ia mempelajari hasilnya sambil duduk di teras Hard Rock Cafe di seberang Pantai Kuta. Tak puas akan hasil jepretan itu, esok ia kembali ke pantai. Kali ini ia datang lebih awal dan menyiapkan kamera di titik-titik yang ia inginkan. Ia begitu larut dalam kesibukan itu, dan baru kembali ke hotel setelah jam makan malam.
Begitu membuka pintu kamar, ia merasakan sesuatu yang janggal. Kamar hotel itu sangat rapi. Ada kartu terlipat menggeletak di meja nakas. Ia tahu Naomi suka meninggalkan pesan dengan cara itu, jika ingin ke luar sendiri atau tiba-tiba harus pergi karena pekerjaannya. Tapi tak seharusnya kamar itu serapi sekarang! Ia membuka lipatan kartu. Pesan dari Naomi, diawali kalimat: Aku pergi. Lalu coretan yang ditulis tergesa: Mari kita berjanji untuk bertemu di pulau ini setahun lagi, pada hari dan jam yang sama seperti malam ini, di bungalo tempat kita bersantap malam. Jika salah seorang dari kita tak muncul hari itu, berarti kita sudah membuat keputusan. Ia mengomel dalam hati. Before Sunrise. Ya, Before Sunrise! Ia tahu Naomi menyukai film garapan Richard Linklater itu. Juga lanjutannya, Before Sunset. Mereka pernah menonton film itu di apartemennya dan Naomi berkata bahwa cinta seperti itu sungguh tak biasa. Tapi tak berarti mereka harus meniru adegan dalam film itu! Ia menelepon Naomi. Tak ada jawaban. Ia mengirim pesan, yang setelah berjam-jam tak juga dibalas. Ia mengirim surel dan sampai esok pagi tak ada balasan. Lalu ia mengerti, Naomi serius mengenai pesan itu. Akhirnya ia menghabiskan sisa waktu di Bali sendirian. Setahun kemudian ia kembali ke Bali. Ia memesan kamar yang sama di Mercure Kuta. Ia juga memesan bungalo di samping kolam renang—bungalo yang sama dengan pemandangan ke pantai. Tapi sampai larut malam, Naomi tak muncul. Malam itu, dua tahun yang lalu, ia gelisah. Ia menelepon. Ini telepon pertama setelah satu tahun. Komputerlah yang menjawab: the number you’re calling is not registered. Ia mengirim surel— surel pertama setelah satu tahun—yang langsung ditolak setelah sepuluh detik. Lewat seorang sahabatnya, ia memeriksa
penerbangan ke Bali dalam tiga hari terakhir. Nama Naomi tidak terdaftar. Ia masih mencoba menelepon beberapa buletin tempat Naomi menjadi kontributor. Jawaban yang ia terima: Naomi tak lagi menjadi kontributor di sana. Sejak itu Naomi seperti lenyap ditelan bumi.
D
UA perempuan di ujung dekat kaca itu berdiri. Ia mengamati sewaktu keduanya menyusuri trotoar, menjauh dari teras kafe. Hujan sudah sepenuhnya reda. Ia tak lagi melihat tirai air, tapi gumpalan air yang menetes-netes dari tepi kanopi. Jalan komblok di depannya basah, dan mengilap waktu tersentuh cahaya dari kaca-kaca atau papan reklame, bergalur-galur antara gelap dan terang. Lalu ia melihat gerimis, yang seolah merupakan jatuhan jarum-jarum kecil. Ia tersenyum, lalu menghabiskan sisa Guinnes dalam gelasnya. Ia masih di teras kafe itu. Seorang lelaki di usia tiga puluh lima tahun. Berambut ikal, kulit agak gelap, dan bermata cokelat. Hari ini adalah kunjungannya yang ketiga kali ke Bali, dan ia mulai menyukai apa pun yang ada di pulau ini. Ia menyukai langit dan embusan anginnya. Ia menyukai pantai-pantai, biru laut, gelombang, dan warna pasirnya. Ia menyukai bukit-bukit dan gunung. Juga alunan musik dan arsitektur lokalnya. Sekarang ia malah menyukai gerimis itu... Ia tersentak ketika seorang perempuan tiba-tiba berdiri di depannya. “Sir, tolong tanda tangani buku ini untuk saya.” Perempuan itu menyodorkan buku ke arahnya. Sedetik ia hampir saja berdiri dan berteriak: Naomi. Tapi sedetik kemudian ia sadar. Bukan! Perempuan di depannya bukan Naomi. Wajahnya memang oval dengan mata agak sipit, sangat
mirip Naomi. Kulitnya juga bening. Hanya, bentuk hidung dan mulutnya berbeda. Ia melihat perempuan itu memegang buku koleksi foto yang tadi didiskusikan di Times. “Untuk Miss...? “Luna.” Ia menulis nama itu dan sebaris ucapan di bawahnya, lalu menggoreskan tanda tangan di halaman pertama buku. Dua tahun lalu, setelah Naomi pergi, ia mengumpulkan foto-foto hasil jepretannya, yang kemudian dibukukannya. Setelah buku itu terbit, ia menerima undangan diskusi dari berbagai komunitas fotografi. Ia juga diminta terlibat dalam beberapa pameran foto internasional. Selama satu tahun terakhir ia sangat sibuk, dan untuk itulah ia berada di Bali hari ini. “Sir, ada yang ingin kutanyakan.” Perempuan itu duduk di depannya, lalu mulai membuka-buka halaman buku. Ia memandang perempuan itu. Kadang ia berpikir, Tuhan pasti bukanlah makhluk yang kreatif. Jika kau percaya Tuhan yang menciptakan manusia, maka Tuhan pasti hanya menciptakan beberapa wajah. Kemudian Tuhan tinggal mencomot bagian dari satu wajah dan menggabungkan secara acak dengan wajah lain. Karena itu ia sering melihat mata yang sama, hidung yang sama, mulut yang sama, atau dagu yang sama, meski pada wajah-wajah yang berbeda. “Kau kehujanan...?” Rambut sebahu perempuan itu agak basah. Jaket tipis yang dikenakannya juga basah di bagian bahu. “Aku terlambat sampai ke Times. Waktu aku tiba, diskusi sudah selesai. Kata Pak Putu, manajer di sana, kau baru saja berjalan ke arah ini. Buru-buru aku menyusul. Lalu turun hujan lebat. Setelah hujan, kupikir kau pasti sudah jauh. Jadi aku berbalik... dan aku melihatmu di kafe ini, Sir.”
“Kalau begitu kau melewatiku waktu terburu-buru tadi.” Perempuan itu tersenyum. Usianya masih muda. Mungkin sekitar dua puluh lima. “Ini,” perempuan itu menunjuk sebuah foto di buku. Foto yang memperlihatkan langit dalam warna kuning dan jingga, matahari bundar yang bercahaya kuning, laut yang juga jingga dengan tekstur hitam, lalu tiga orang berjalan di pasir. Itu foto matahari terbenam di Pantai Kuta tiga tahun yang lalu. “Bagaimana cara menghasilkan foto seperti ini?” “Kau suka fotografi, Miss...?” “Luna. Ya, aku suka memotret. Tapi aku tak tahu teknik memotret yang baik.” “Hmm... memotret matahari terbenam butuh kesabaran. Juga persiapan. Karena momen itu tak berlangsung lama. Kau harus mengenal tempat yang menjadi obyek foto. Juga titik atau sudut terbaik di tempat itu, untuk mendapatkan foto terbaik. Foto yang baik adalah foto yang bercerita, karena itu maksimalkan siluet pada foto matahari terbenam. Gunakan manual focus. Atau jika kau menginginkan warna foto yang lebih lembut, kau tinggal mengatur kamera white balance ke cloudy, atau scene mode ke sunset...” Ia tak melanjutkan, ketika dilihatnya perempuan itu tak mengerti. Kuta Square mulai lengang. Beberapa ruko telah memadamkan lampu dan papan reklame. Kawasan yang semula dipenuhi warna-warna cahaya itu berangsur temaram. Di trotoar, beberapa orang masih melintas atau menyeberang. “Luna, ini malam terakhirku di Kuta. Kau mau menemaniku minum di kafe ini? Kau mau bir?” “Terima kasih, Sir...?” “Zack.”
Perempuan itu tertawa. “Ya, Zack! Aku harus kembali ke hotel. Tapi bukankah kafe ini sudah mau tutup?” Selain dirinya dan perempuan itu, tak ada lagi yang duduk di teras Dulang Cafe. Lelaki kurus yang tadi duduk di dekat kaca sudah lama pergi. Dari ruangan di balik kaca, ia melihat tinggal lima pengunjung yang masih menggerombol di dua meja. Sekarang hampir pukul sebelas malam. “Kau tinggal di hotel dekat pantai?” “Ya.” “Kalau begitu kita searah. Kuharap kau tak keberatan berjalan bersamaku.” Perempuan itu menatapnya. Ah, ia berpikir, apa mungkin ia pernah bertemu perempuan itu sebelum malam ini? Tatapan itu rasanya tidak asing... Mereka melewati deretan ruko dan trotoar yang basah. Di beberapa tempat tampak genangan kecil, karena lantai trotoar yang tak rata. Lampu jalan menyorot ke pohon palem dan tanaman semak di pembatas jalan, meninggalkan bercak mengilap di daun-daun. Langit masih menumpahkan gerimis. Sebetulnya kawasan ini agak ruwet. Kuta Square dipenuhi ruko tiga lantai dengan atap saling menyambung. Di sepanjang jalan, yang paling mencolok adalah papan reklame dalam aneka warna dan ukuran. Juga tampilan fasad ruko dalam rupa-rupa bentuk, kaca berbagai ukuran, dan etalase yang melebar atau memanjang. Tapi ia tak pernah tak menyukai keruwetan itu. Apalagi waktu malam ketika masing-masing ruko menyalakan lampu. Baginya, ada perpaduan yang unik antara redup-terang dan warna pada cahaya itu. Di ujung jalan, mereka menyeberang dan berbelok ke kiri. “Luna, kau sering ke Bali?” “Tiap tahun aku ke Bali. Aku tinggal di Melbourne.”
Jalan itu menikung. Mereka berbelok ke kanan dan sampai di Jl. Pantai Kuta. Jalan itu membagi hamparan pasir di kiri dan deretan bangunan di sisi kanan. Mereka melihat Hard Rock Cafe, lalu Hard Rock Hotel. Dari arah pantai ada suara gemuruh. Gelombang berjajar menjangkau pantai, dan bulan muncul di langit. Sehabis hujan, angin menjadi lebih dingin. “Zack, ini bukumu yang kedua, kukira,” kara perempuan itu. Ia tersenyum. “Kau benar. Tapi boleh dibilang buku semata wayang. Buku pertama terbit hampir empat tahun lalu, dalam jumlah terbatas. Setelah itu aku tak menginginkan dicetak ulang. Kukira kau belum pernah melihat buku itu.” “Aku punya buku itu, lengkap dengan tanda tanganmu.” Ia memandang perempuan itu tak percaya. “Betul, Zack. Aku punya buku itu, lengkap dengan tanda tanganmu.” “Di mana kau mendapatkan buku itu, dan kapan aku memberimu tanda tangan?” “Aku menemukannya di sebuah toko di Denpasar. Lalu aku bertemu denganmu di Hard Rock Cafe.” Sekarang ia ingat! Tiga tahun lalu, waktu ia duduk di teras Hard Rock Cafe sambil mempelajari foto-foto hasil jepretannya, seorang perempuan mendekat dan menyodorkan buku pertama itu. Ia agak terperangah, karena sebetulnya edisi buku itu sudah tak beredar. Ia memandang perempuan itu agak lama, sampai perempuan itu menunduk. Ya, perempuan yang sama! Perempuan bertubuh langsing, berkulit bening, dengan rambut sebahu, wajah oval, dan mata agak sipit. Dan mata itu, mata yang seolah tersenyum tiap kali perempuan itu berbicara. Tiga tahun lalu ia bertanya, di mana buku itu didapatkan—dan perempuan itu menjawab: sebuah toko di Denpasar. Pantas ia merasa mengenali tatapan perempuan itu!
Mereka sampai di depan Mercure Kuta. “Di sini aku menginap. Ada baiknya kuantar kau ke hotelmu,” katanya. “Aku menginap di hotel ini juga.” Ia menatap perempuan itu lekat-lekat. Perempuan itu balas menatapnya—di bawah gerimis yang seolah jatuhan jarum-jarum kecil.(*)
Wendoko telah menerbitkan beberapa buku puisi, yang terakhir adalah Jazz! (2012). Sebagian puisinya telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan terbit dengan judul Selected Poems (2012).
(dimuat di Koran Tempo, 8 Desember 2013) (gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Senja Cerpen Wladyslaw Reymont
S
OKOL terbaring sekarat. Dia telah terkapar seperti ini cukup lama. Dia jatuh sakit dan kini disingkirkan seperti bangkai tak berguna. Orang-orang baik itu mengatakan bahwa membunuh dia adalah perbuatan yang salah walaupun kulitnya yang kencang bisa dimanfaatkan untuk membuat barang kulit yang bagus. Ya, tapi orang-orang baik itu membiarkannya mati pelan-pelan dan terlupakan. Orang-orang berjiwa baik itu sesekali menendangnya untuk mengingatkannya bahwa dia sekarat terlalu lama. Namun, mereka tak mempedulikannya. Terkadang anjing-anjing berburu yang kerap beradu lari dan berkejaran dengannya mendatanginya. Tapi anjing-anjing itu berjiwa buruk (akibat terlalu banyak bergaul dengan manusia). Sehingga, setiap kali para majikan mereka memanggil, mereka bergegas tunggang-langgang meninggalkan Sokol. Hanya Lappa, anjing Siberia tua yang buta, yang kerap tinggal lebih lama menemani Sokol ketimbang anjing-anjing lain.
Dia terbaring terkantuk-kantuk setelah diberi makan, menatap sedih dan ketakutan pada Sokol yang mata lebarnya seakan memohon dan bersimbah tangis. Maka, kuda tua itu pun ditinggalkan mereka sendirian. Hanya hari demi hari yang menemaninya. Hari-hari yang keemasan dan kemerahan, atau yang kelabu dan kasar menyakitkan, memenuhi istal itu dengan tangisan. Hari-hari itu mengintip ke celah kelopak matanya, lalu pergi diam-diam, seakan-akan bersikap takzim. Namun, Sokol takut pada malam hari. Malam-malam bulan Juni yang pendek, hening, mencekik, dan menakutkan. Pada malam-malam seperti itulah dia benar-benar merasa tengah sekarat. Dan dia nyaris kalut gara-gara takut. Dia hendak merenggut tali lehernya, memukulkan ladamnya ke dinding istal. Dia ingin melarikan diri. Berlari dan terus berlari. Suatu hari, saat matahari terbenam, dia bangkit. Dia menatap cercah cahaya yang mengintip dari celah dinding dan meringkik panjang penuh keluh. Tak satu suara pun menjawabnya dari keheningan hari yang tengah beranjak pergi. Burung layanglayang melintas terbang atau berkicau dari sarangnya, atau mematuk seranggaserangga keemasan laksana anak panah
berbulu dan terbang di antara pendar terakhir cahaya matahari. Dari padang-padang rumput di kejauhan terdengar bunyi sibuk desing dan desau sabit. Sementara, dari ladang-ladang gandum dan kebun bunga terdengar suara-suara gemerisik, gumam, dan bisik. Namun, bagi Sokol, hanya ada keheningan pekat dan mengerikan yang membuatnya gemetar. Kepanikan yang muram merundungnya. Dia mulai menarik-narik tali kekangnya. Tali itu putus dan ia pun berlari ke lapangan. Silau matahari membutakannya, sementara rasa sakit yang liar menggigiti ususnya. Dia menunduk dan berdiri tak bergerak, seakan-akan tersihir. Sedikit demi sedikit dia berhasil kembali menguasai diri. Ingatan-ingatan samar tentang hutan, ladang, dan padang rumput berlintasan di benaknya. Dan bangkitlah hasrat tak terbendung di dalam dirinya untuk berlari: kerinduan untuk menundukkan jarak yang membentang, rasa haus untuk kembali hidup. Dia mulai mencari-cari jalan keluar dari lapangan. Lapangan itu berbentuk persegi panjang yang tertutupi berbagai bangunan. Dia terus mencari-cari jalan dengan sia-sia. Dia tetap mencoba walau dia nyaris tak mampu lagi berdiri tegak di atas keempat kakinya, meski setiap gerakan membuatnya disiksa rasa sakit tak tertahankan, biarpun darah terus mengucur dari luka lamanya. Akhirnya dia menubruk pagar kayu. Dari situ bisa dilihatnya rumah si pemilik tanah. Dipandanginya halaman penuh bunga di depan pagar itu, tempat anjing-anjing biasa berjemur, ditatapnya rumah yang jendela-jendelanya berkilau keemasan oleh cahaya matahari. Dia meringkik kesakitan mengundang iba. Seandainya ada seseorang yang menghampirinya dan mengatakan kata-kata manis kepadanya, atau mengelus lembut
bulu-bulunya, dia akan rela membaringkan diri dan mati saat itu juga. Namun yang ada hanyalah keheningan yang panjang. Dengan putus asa, dia mulai menggigiti tepian pagar, mencoba merenggut pintu pagar, bersandar padanya dengan seluruh bobot tubuhnya. Pintu itu terbuka dan dia pun berjalan gontai menuju halaman berbunga. Dia mendekati beranda, masih meringkik lirih. Tapi tak seorang pun mendengarnya. Cukup lama dia berdiri di sana, menatap jendela-jendela bertirai, bahkan mencoba mendaki tangga naik ke beranda. Lalu dia berjalan memutari rumah itu. Sekonyong-konyong dia seakan lupa segalanya. Yang ada dalam pandangannya hanya bayangan ladang-ladang, laksana samudra tak berbatas, membentang hingga sejauh mata memandang. Sejauh jarak tak terbatas, sejauh cakrawala. Terpesona oleh bayangan-bayangan menggoda ini, dia berjalan terhuyung-huyung dengan segenap daya yang tersisa, dan terpuruk jatuh. Sokol gemetar. Matanya berkabut oleh derita tak terperi. Dia bernapas berat, terengah-engah. Disurukkannya moncongnya ke rerumputan untuk mendinginkan lubang hidungnya yang terasa panas. Dia sangat kehausan. Tapi terus dicobanya maju dengan terseok-seok, didorong oleh kepanikan yang galau dan naluri tak tertahankan untuk melarikan diri. Saat dia kembali terpuruk di atas onggokan gandum dan jagung di tepi ladang, kaki-kakinya terasa makin berat. Galur ladang itu bagaikan jurang; rerumputan tinggi dan ilalang membelit kakinya, menjatuhkannya. Semaksemak menghalangi langkahnya. Seluruh bumi seolah-olah menarik tubuhnya. Berkali-kali bebulir gandum menghalangi pandangannya dari cakrawala. Jiwanya yang malang dan bodoh terjerumus kian dalam di kegelapan rasa takut. Tak dapat mengenali apa pun, dia terus
terhuyung-huyung jatuh bangun, seakan-akan terngungun kalut dalam kelimun kabut. Seekor ayam hutan, yang tengah memandu anak-anaknya, terbang tiba-tiba di antara kedua kaki Sokol, membuatnya ketakutan dan terdiam, tak berani bergerak. Burungburung gagak yang terbang hening di ladang berhenti untuk menatapnya, bertengger di atas sebuah pohon pir, lalu berkaokkaok jahat. Kuda itu menyeret diri ke padang rumput dan terjerembab kelelahan di atas tanah. Dia merentangkan kaki-kakinya, menengadah ke angkasa, dan mendesah penuh iba. Burungburung gagak turun dari pohon dan melompat di atas bumi, makin mendekati kuda itu. Pohon jagung membungkuk ke arahnya dan menatapnya dengan matanya yang kemerahan. Burung-burung gagak makin mendekat, mengasah paruh di atas tumpukan rumput keras. Beberapa ekor terbang di atasnya berkaok ganas. Gagak-gagak itu terbang makin rendah hingga dia dapat melihat mata bulat mereka yang mengerikan dan paruh yang separuh terbuka. Tapi dia tak mampu bergerak. Dia mencoba menggarukkan kakinya ke tanah, berupaya bangkit, membayangkan dia kembali berdiri, melompat, dan berlari kencang di sepanjang ladang, berkejaran dengan anjing-anjing yang berlarian di sampingnya dan menggonggong riang. Dia merasa terbang seperti angin. Kepedihannya makin mencekam sehingga dia melontarkan ringkikan liar dan serentak bangkit. Gagak-gagak itu terbang menjauh, berkaok-kaok. Namun, dia tak bisa melihat apa pun, tak mengerti apa pun. Segalanya melayang-layang di sekitarnya, berputaran, berlompatan, bertabrakan. Dia merasakan dirinya terbenam, seakan-akan terperosok dalam kubangan lumpur yang dalam. Gigil yang dingin merajai tubuhnya dan dia pun terkapar diam.
Matahari telah sirna. Temaram senja melingkupi segala benda dengan jubah keheningan. Gonggong anjing terdengar kian nyaring di kejauhan. Lappa berlari menghampiri kawannya, tapi Sokol tak mengenalinya. Anjing tua itu menjilatinya, mencakar-cakar bumi, berlari ke sana-kemari melintasi ladang seraya menyalak ribut. Dia mencoba mencari pertolongan, tapi tak seorang pun datang. Rumput yang bergoyang menatap mata Sokol yang terpentang lebar. Pepohonan menghampirinya, mengulurkan cecabang dan rerantingnya yang tajam serupa cakar kepadanya. Burung-burung terdiam. Ribuan makhluk mulai melata merayapi jasadnya; mencubit, mencakar, dan mengoyak dagingnya. Gagak-gagak hitam berkaok-kaok menakutkan. Lappa, si anjing tua buta, mendengking dengan bulu-bulu meremang ketakutan, lalu melolong aneh.(*)
Wladyslaw Stanislaw Reymont (1867-1925) adalah penulis Polandia. Ia mendapat Nobel Sastra pada 1924. Cerita di atas diterjemahkan Anton Kurnia dari versi Inggris seorang penerjemah anonim.
(dimuat di Koran Tempo, 1 Desember 2013) (gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Wajah Cinta Pertama Cerpen Amalia Achmad
C
INTA pertama begitu samar-samar baginya. Dia duduk dengan buku sketsa bersampul warna hitam di pangkuan. Buku itu terbuka menunjukkan kertas kosong. Tangan kanannya memegang sebatang pensil yang cermat diraut hingga tebal goresan grafit akan sesuai kehendaknya: tidak terlalu tebal dan tidak terlalu halus. Teh panas di cangkir dengan tangkai berukir sulur daun mengepulkan asap. Sementara ruangan itu mewangi bunga lavender. Semua harus sesempurna keinginannya, sebab ia sedang membayangkan wajah cinta pertama. Sepertinya wajah itu berbentuk hati dengan garis rahang lembut. Apakah rambutnya sebahu? Kalau tidak salah, matanya selalu tampak redup dinaungi alis melengkung yang seperti busur panah. Di salah satu pipinya ada cekungan kecil yang tampak setiap cinta pertama itu tersenyum.
Ya, kalau ia tak salah mengingat, seperti itulah wajah cinta pertamanya. Pensil di tangannya mulai bekerja. Tetapi berkali-kali ia mengutuk: tak ada garis yang benar. Terlalu melebar, terlalu pendek, terlalu keras, terlalu dan terlalu. Memang kenangan akan wajah cinta pertama begitu jauh ia simpan di laci paling berdebu dalam ingatan yang jarang ditengoknya lagi. Mungkin ia perlu waktu lebih lama untuk mencari-cari. Untuk membuka lapis kenangan-kenangan satu demi satu. Angin kering bulan Juni menepuk-nepuk pipinya, membawanya melamun lama. Sebuah dapur. Wangi kue wafel dan kopi. Aku bersembunyi di bawah meja makan. Kaki-kaki telanjang Ibu lalu lalang. Suaranya lirih menyenandungkan sebuah lagu. Mengapa ia tidak juga menengok ke bawah meja untuk mencariku? “Di mana anakku yang tampan, ya?” Ah, Ibu menggodaku. Tentu ia tahu tempat persembunyianku. Aku menutup mulut, menahan geli di perut sebelum meledak menjadi gelak. “Aduh, padahal ada kue wafel kesukaannya. Tapi di mana dia, ya? Hmm...” Kulihat sepasang kaki Ibu yang cantik.
Betisnya yang kecil terlihat kencang dan kulitnya berkilat-kilat licin. Ia berpura-pura kebingungan, kaki-kakinya lincah berpindah-pindah seperti sedang mencari sesuatu, mencariku. Tentu aku tahu, ia sedang bermain peran. Aku mengikik dari bawah meja. Ini permainan kami berdua. Sepasang kaki yang lain datang. Kaki-kaki yang jelek. Pemiliknya menyeret-nyeret langkah dengan kasar, terhuyunghuyung dan sembarangan. Ibu diam, ia tak bergerak lagi, ia berhenti berpura-pura mencariku. Aku diam, hilang keinginan untuk tertawa. Aku menahan nafas sampai kurasa telapak tangan dingin dan agak biru. Tak kulihat wajah Ibu. “Mas, silakan sarapannya.” Suara patuh Ibu mengingatkan aku pada pelayan restoran. Begitu dibuat-buat dan berjarak. Aku tidak suka. Ke mana hilangnya suara hangat menggoda tadi? Kata-kata Ibu dijawab gumaman yang tak jelas dan turun naik. Aku menutup telinga. Aku tidak suka. Wangi wafel dan kopi yang enak di dapur tercampur bau laki-laki yang membawa sepasang kaki jelek itu. Aku mencium tembakau dan bau-bau aneh lainnya. “Kopinya dingin. Heh! Ini kopinya dingin.” “Maaf, Mas. Saya ambilkan yang panas di teko.” “Lain kali bikin kopi yang bener!” Prak! Cangkir kopi berguling dari atas meja lalu pecah di atas lantai, keping-kepingnya berserakan. Aku tak mendengar suara Ibu. Sama sekali sepi. Hanya dengung berisik mesin lemari es dan suara gerak kipas gantung di langit-langit memenuhi sudut-sudut dapur. Dari bawah meja, aku mengamati tumpahan kopi turun dari tepian, mula-mula deras dan tiba-tiba lalu pelan hingga menyisakan rintik-rintik hitam seperti rinai hujan pada sore yang gelap.
Tangannya turun naik dengan cepat. Ia menekan pensilnya terlalu keras, dan krek bunyi grafit patah terdengar. Diraihnya peraut. Matanya nanar sementara tangannya memutar-mutar badan pensil yang ramping. Pisau peraut bekerja hingga ujung pensil jadi setajam mata panah. Aku selalu berpura-pura sedang tersesat di kedalaman hutan pinus setiap kali kumasuki kamar Ibu. Selalu tercium aroma kulit pohon bercampur rumput basah di sini. Pelapis dinding dari kertas bermotif bunga-bunga mawar sudah mulai berubah warna, menjadi kusam karena usia dan cuaca. Sebuah ranjang dengan kelambu yang tak pernah diturunkan berada tepat di tengah-tengah. Di sebelahnya, ada meja rias dengan cermin berbentuk oval. Di sanalah, di kursi meja rias itu, aku biasa menemukan Ibu. Kadang ia sedang menyisir pelan rambut gelapnya yang sebahu. Kadang kusaksikan ia menyapu hati-hati wajahnya dengan perona. Kadang ia hanya mematut-matut diri, merapikan kerah blus yang terlipat tanpa ia ketahui, menghapus noda lipstik yang melenceng dari bibir, atau melatih sesungging senyum sampai ia tertipu sendiri, sampai ia merasa bahwa dirinya benar-benar bahagia. Semua itu dilakukannya sambil tak henti-henti bersenandung. Tetapi aku tahu, rambut yang diperlakukannya bak mahkota itu habis kena jambak hingga rontok berhelai-helai. Perona yang dipakainya sekadar menutupi bekas lebam tamparan. Kerah blus bukan terlipat tak rapi tanpa alasan, seseorang menariknya sampai berantakan. Warna lipstik tak keluar dari garis bibir dengan sendiri: sebuah tangan telah menempelengnya kasar. Aku tahu, ia tak bisa berhenti bersenandung karena jeda sebentar apapun akan mengubah nyanyian menjadi tangisan,
dan jika itu terjadi bagaimana mungkin ia bisa berlatih tersenyum Aku tersesat di lebat hutan pinus ciptaan Ibu. Ada kebun bunga-bunga mawar dan seorang bidadari di sini. Bersandar pada punggung bidadari itu, aroma kulit pohon semakin jelas tercium, menguar dari tubuhnya. Ujung jari tangan kananku menggambar sepasang sayap pada punggungnya. Semoga suatu hari nanti sayap-sayap itu betul-betul tampak, betul-betul nyata, dan kepaknya akan membawa Ibu pergi dari hutan persembunyiannya. Ibu menutup mata, lalu mulai berhitung, “Satu... dua... tiga...” Itulah tanda permainan dimulai. Aku ingin memekik kegirangan. Ada pompa dalam aliran darahku yang membuat jantungku bekerja dua kali lebih cepat. Kutarik tubuhku ke bawah ranjang Ibu, lebih dalam, jauh lebih dalam lagi. “Sepertinya aku melihat anakku yang tampan di sini, tapi di mana dia sekarang, ya?” Sudah berulang kali kudengar katakata itu, tetapi masih juga seperti mantra sakti pembawa kegembiraan setiap kali itu berhasil melepaskan tawa yang kutahan-tahan. Aku melihat kaki-kaki telanjang Ibu. Sepasang kaki itu lalu berputar-putar mengelilingi seluruh ruangan kamar. Mataku tak berhenti mengikutinya. Ujung-ujung gaun Ibu yang menyentuh betisnya melayang ringan setiap ia memutar tubuh. Tiba-tiba pintu kamar dibuka. Hempasan daun pintu pada dinding melenyapkan hutan pinus, memaksa sang bidadari untuk melarikan diri. Sepasang kaki Ibu diam dengan patuh di tepi ranjang. Langkah berat yang memaku lantai keramik dari sepasang kaki bersepatu kotor itu meninggalkan jejak-jejak lumpur. Kaki-kaki itu mendekat ke arah Ibu berdiri. Dengan
sekali dorongan kasar, Ibu terjatuh ke ranjang. Kaki-kaki Ibu menjuntai-juntai. “Mas, ada anak kita, Mas.” “Hah! Terus kenapa?” “Mas, sebentar Mas, biar dia pergi dulu, Mas.” “Ah! Diam!” Aku menutup telinga rapat-rapat, tapi tak ayal suara-suara dari atas ranjang mencuri jalan sampai ke pendengaran. Suara pukulan, suara teriakan tertahan. Aku benci, benci! “Heh! Mau ke mana kamu? Heh!” Kusaksikan sepasang kaki kesukaanku itu meronta. Setelah berhasil membebaskan diri, ia berlari, menjauh. Ibu tak juga menengok ke bawah ranjang. Ia pergi. Aku ada di bawah ranjang, Ibu. Hujan turun tiba-tiba. Dia terengah-engah. Seperti kehabisan nafas. Titik-titik keringat muncul di dahi dan di atas bibirnya. Sepasang kaki dengan betis kecil dan kencang tergambar di atas kertas buku sketsa di pangkuannya. Seperti kemarin dan kemarin lusa, seperti hari yang sudah-sudah, ia gagal. Kertas-kertas sudah penuh coretan sepasang kaki, tapi wajah cinta pertamanya tak juga mampir pada ingatan. Hari ini, ia gagal lagi. Kelak kau akan mendengar sebuah kisah tentang seseorang yang melukis wajah cinta pertamanya. Begitu indah wajah itu sehingga kau akan tersedak oleh rasa haru hanya karena menatapnya. Ya, kelak, bukan sekarang, bukan hari ini. Hari ini, ia gagal lagi.(*)
Amalia Achmad lahir di Bandarlampung, 12 Februari 1985. Menyelesaikan pendidikan pascasarjana dalam linguistik terapan di Universitas Negeri Yogyakarta. Kini tinggal di Yogyakarta.
(dimuat di Koran Tempo, 24 November 2013) (gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Seorang Lelaki dan Sebuah Cermin Cerpen Ardy Kresna Crenata
I
A tak habis pikir bagaimana bisa cermin itu terpasang utuh di dinding kamarnya, padahal ia baru saja memecahkannya beberapa jam sebelumnya. Ia ingat, pecahan-pecahan cermin itu berserakan di lantai kamarnya, membuatnya menyesali apa yang dilakukannya itu; ia harus mengumpulkan dan membuang pecahan-pecahan cermin itu, sehingga ia sedikit terlambat menjemput pacarnya dan karenanya perempuan itu memarahinya. Telunjuk tangan kanannya pun terluka akibat ia terburu-buru dan ceroboh ketika mengumpulkan pecahanpecahan cermin itu dan ia lihat plester cokelat muda itu masih melekat di telunjuk tangan kanannya. Pastilah tadi siang ketika aku memecahkan cermin ini aku tidak sedang bermimpi, pikirnya.
Mengapa ia memecahkan cermin itu? Untuk bisa menjawabnya aku harus membawamu ke dua minggu sebelumnya. Saat itu ia merasa aneh menemukan sesuatu terbungkus kertas cokelat tersandar di pintu kamarnya. Tak ada siapa-siapa. Ia mencari keterangan yang tertulis di benda itu dan hanya menemukan bahwa benda itu ditujukan padanya. Namanya tertulis jelas di sana dan ia yakin di tempat itu atau di mana pun tak ada yang memiliki nama seperti itu selain dirinya. Maka, meski heran dan bingung dan cemas, ia membawa benda yang terbungkus kertas cokelat itu ke kamarnya, dan ia semakin bingung menemukan bahwa benda yang terbungkus di dalamnya ternyata adalah sebuah cermin besar; cukup besar sehingga ia bisa melihat dirinya secara utuh jika berdiri di hadapannya. Ia merasa ada seekor tikus yang berdecit-decit di dalam kepalanya. Disandarkannya cermin besar itu di salah satu dinding kamarnya dan ia mulai menebak-nebak siapa orang iseng yang telah meletakkan benda itu di depan kamarnya. Siapa pun ia, tentunya ia tahu bahwa aku suka sekali bercermin dan bahwa
cerminku baru saja pecah—karena terjatuh—dan kubuang tadi pagi, pikirnya. Tapi ia gagal menemukan satu nama atau sebuah wajah atau suatu sosok. Memang ada beberapa orang yang tahu betul bahwa ia suka sekali bercermin dan karenanya ia selalu membeli cermin baru tak lama setelah cermin lamanya pecah. Tapi, ia merasa tak pernah memberi tahu siapa pun tentang pecahnya cermin-cerminnya itu. Tidak kali itu. Tidak kali-kali sebelumnya. Siapa pun si pengirim, pastilah ia memiliki cara untuk mengetahui apa-apa yang terjadi di kamar ini meski tak kukatakan, pikirnya. Ia pun menengadah dan mencari-cari sesuatu serupa kamera tersembunyi yang mungkin telah dipasang di kamar itu tanpa pernah ia tahu. Ia mencarinya, di sudut-sudut kamar, di tempat-tempat yang mencurigakan. Namun pencariannya sia-sia. Ia merasa lelah dan memutuskan untuk memikirkan lagi cermin besar itu nanti. Dijatuhkannya kasur busa yang semula tersandar di dinding dan ia rebahkan tubuhnya di sana. Beberapa menit kemudian ketika ia berada di kamar mandi ia kembali berusaha menebak-nebak siapa orang yang telah iseng mengiriminya cermin besar itu dan kembali ia menghela napas. Sungguh aneh, pikirnya. Kecuali aku menceritakannya secara tak sadar, maka tak ada siapa pun yang bisa tahu bahwa aku saat ini membutuhkan cermin baru, sambungnya. Sekeluarnya dari kamar mandi ia menelepon pacarnya dan menanyakan apakah perempuan itu tahu-menahu soal cerminnya yang rusak itu dan cermin besar yang baru saja menjadi miliknya itu. Seperti yang ia duga, pacarnya tidak tahu apa-apa. Upayanya justru menjadi bumerang baginya sebab si pacar mengatakan sesuatu yang membuatnya kembali merasakan seekor tikus berdecit-decit di dalam kepalanya, “Jangan-jangan kau punya perempuan lain dan dialah yang mengirimimu cermin itu.”
Ia harus menghela napas dulu beberapa kali sebelum akhirnya berusaha meyakinkan perempuan itu bahwa ia orang yang setia dan ia meminta maaf telah mengganggu perempuan itu dengan pertanyaan bodoh soal cermin besar itu. Setelah percakapan berakhir, sebelum ia berbaring dan terlelap, ia menyandarkan cermin besar itu di tempat yang menurutnya tepat, lantas beberapa lama mematut-matut diri di depannya. Lumayan juga. Dengan cermin sebesar ini aku bisa melihat seluruh tubuhku yang sempurna ini, diriku yang mengagumkan ini, pikirnya. Ia semakin yakin bahwa seseorang yang telah iseng mengiriminya cermin itu pastilah tahu betul soal kebiasaannya bercermin dan mengagumi diri sendiri. Siapa pun kau, untuk sementara ini aku berterima kasih kepadamu, pikirnya. Cermin ini sungguh besar dan aku menyukainya, sambungnya. Namun besok harinya ketika ia terbangun dan mematut-matut diri di depan cermin, ia menemukan sosok dirinya di cermin itu bukanlah yang biasanya ia temukan. Tak ada kesempurnaan yang memancar. Baik wajah maupun tubuh maupun tangan maupun kaki tak sanggup membuatnya ingin berlama-lama melihatnya. Aneh, gumamnya. Ia menggesek-gesek matanya dan menatap lagi dirinya di cermin itu setelah mengerjap-ngerjapkannya beberapa kali. Sama saja. Antara cermin itu telah salah memantulkan dirinya atau ia masih terlampau linglung pagi itu. Begitulah yang ia simpulkan. Setengah jam kemudian ketika ia berdiri di depan cermin itu sambil berpakaian, dengan tubuh yang bersih-wangi dan rambut yang menurutnya tertata rapi, masih saja, sosok di cermin itu tak mencerminkan ia yang biasanya. Malamnya ketika ia berdiri lagi di depan cermin itu, ia lihat, sosok dirinya begitu lusuh. Tak pernah selama ini ia melihat dirinya selusuh itu.
C
ERMIN itu menampakkan dirinya dalam wujud yang lebih buruk. Ia pikir, jika ia sedang dalam kondisi segar, kesegaran itu hilang. Jika ia sedang kuyu, kekuyuan itu bertambah. Seperti ada proses pengurangan kualitas atas sosoknya sebelum akhirnya permukaan cermin itu memantulkannya. Itulah yang ia yakini setelah melakukan upacara bercermin di pagi hari dan malam hari dan menemukan di cermin itu sosoknya tak semengagumkan yang ia ingat. Ia telah menceritakan keanehan cermin itu kepada dua orang teman terdekatnya—yang satu rekan kantor dan yang satu mantan pacar—dan tanggapan kedua orang itu menurutnya sama saja: tak menanggapinya dengan serius dan malah mengolok-oloknya. Menurut rekan kerjanya, ia mungkin terlalu sibuk bekerja beberapa bulan terakhir ini dan karenanya lelah dan akibatnya sering mengalami salah lihat. “Tapi tak mungkin salah lihat kualami sampai tujuh hari berturut-turut,” bantahnya. Mantan pacarnya menduga ia terlalu sering menonton video porno sehingga penglihatannya mulai memburuk. “Tapi ketika aku bercermin di cermin lain aku temukan sosokku yang mengagumkan seperti biasanya,” sergahnya. Hal itu memang benar. Selama tujuh hari itu ia telah bercermin di beberapa cermin yang ia temui. Di kaca spion, di toilet kantor, di bioskop. Bahkan ketika sedang berjalan santai menyusuri trotoar dengan pacarnya, ia menyempatkan diri untuk berhenti saat menemukan sosoknya di sebuah jendela toko atau rumah makan. Dan sosoknya itu, di cermin-cermin dan jendelajendela itu, adalah sosok yang ia kenali. Wajah itu, tubuh itu, tangan itu, kaki itu. Semuanya membuat ia tertahan untuk berlama-lama melihatnya. Ketika diceritakannya hal itu kepada pacarnya, perempuan itu memberinya sebuah pemahaman yang membuatnya tersentak, “Mungkin dirimu yang sebenarnya adalah
yang kau lihat di cermin barumu itu. Di cermin-cerminmu sebelumnya, kau hanya melihat apa yang kau bayangkan tentang dirimu.” Ia terdiam berbelas-belas menit lamanya mendengar pernyataan itu terlontar dari pacarnya. “Jadi, maksudmu, selama ini yang kulihat ketika aku bercermin adalah apa yang kubayangkan di kepalaku tentang diriku sendiri?” tanyanya. “Bisa jadi,” jawab pacarnya. “Dan itu berarti aku yang sebenarnya tidaklah mengagumkan seperti yang kulihat itu. Begitu maksudmu?” “Mungkin saja, kan?” Ia tidak senang mendengar pernyataan itu terlontar dari pacarnya dan lebih tak senang lagi karena jawaban-jawaban pendek perempuan itu seperti sebuah penyangkalan atas keyakinannya tentang dirinya selama ini. Lalu, sebuah ide melintas di benaknya. Ia mengatakan kepada pacarnya bahwa malam itu ia ingin membawa perempuan itu ke kamarnya. Pacarnya tersenyum, mungkin mengira kalimat itu adalah ajakan halus untuk bercinta. Mereka memang bercinta malam itu. Tapi sebelum ritual dua mingguan itu dilakukan, perempuan itu sempat dimintanya berdiri di depan cermin. Ia merangkul perempuan itu dari belakang, mengecupnya di leher, lantas bertanya, “Bagaimana? Apa yang kau lihat di cermin itu? Bagaimana rupaku, juga rupamu?” Jawaban pacarnya itu sama sekali tak membuatnya puas karena perempuan itu hanya tersenyum lantas menciumnya dan berkata, “Sama seperti biasanya. Tak ada yang berbeda.” Besoknya dan besoknya dan besoknya ia menghubungi pacarnya itu dan mengajukan pertanyaan yang sama seolah-olah mengharapkan jawaban lain akan didengarnya. Tapi tidak. Jawaban yang diberikan pacarnya itu tetap sama. Lima kali ia mengajukan
pertanyaan itu, lima kali pula ia mendengar jawaban itu. Pada kali keenam ia akan mengajukan pertanyaan itu lagi, nomor pacarnya sedang tak aktif.
P
ACARNYA mengatakan padanya bahwa ia baru akan menerima ajakannya untuk bertemu jika ia sudah bisa mengatasi masalah cermin itu. Maka begitulah, pada suatu siang ia memecahkan cermin itu. Pecahan-pecahan cermin itu berserakan dan telunjuk tangan kanannya terluka akibat ia ceroboh saat berusaha mengumpulkan pecahan-pecahan cermin itu dan malam harinya, ia temukan cermin itu terpasang utuh di dinding kamarnya. Ia sempat berpikir untuk memecahkan lagi cermin itu saat itu juga, namun tak jadi dan hanya mencuci muka dan menggosok gigi, lantas berbaring dan terlelap. Besoknya saat terbangun dan berdiri di depan cermin itu, ia merasa marah, dan akhirnya melempar setrikaan dan cermin itu pun pecah. Namun, malam harinya, saat ia memasuki kamar, ia temukan lagi cermin itu terpasang utuh, di tempat yang sama, dengan posisi yang sama. Dan ia memecahkannya lagi besok paginya. Dan malam harinya ia temukan cermin itu seperti tak tersentuh sama sekali. Selama lima hari berturut-turut hal itu terus terjadi dan ia mulai merasa seekor tikus benar-benar ada di dalam kepalanya dan semakin hari decitannya semakin mengganggunya. Pada hari keenam, ia putuskan untuk menghubungi pacarnya dan mengakui bahwa ia sesungguhnya belum berhasil mengatasi masalah cermin itu, dan ia meminta perempuan itu mengerti dan mungkin membantunya. “Memangnya bantuan apa yang bisa kuberikan?” tanya pacarnya.
“Entahlah. Tapi kupikir kau bisa melakukan sesuatu,” jawabnya. “Sesuatu apa?” “Entahlah.” Percakapan berakhir di situ dan setelahnya ia tak bisa lagi menghubungi si pacar. Seorang diri ia memikirkan apa yang sebenarnya tengah dialaminya, bagaimana hal ini bisa terjadi dan bagaimana cara mengakhirinya—jika cara itu ada. “Selama ini, apakah kau pernah memecahkan cermin yang kau miliki?” tanya rekan kerjanya. “Tak pernah,” jawabnya. “Tapi, cerminmu yang satu ini sampai berkali-kali kau pecahkan?” “Ya, berkali-kali.” Ia tahu apa yang ingin disampaikan rekan kerjanya itu, tapi ia diam saja. “Menurutku, sudah saatnya kau mengalah,” cetus mantan pacarnya. “Bisa jadi apa yang seharusnya kau lakukan adalah membiasakan diri dengan sesuatu yang bagimu baru ini,” lanjutnya. “Membiasakan diri?” “Ya, membiasakan diri.” “Akankah itu membantuku?” “Cobalah.” Di kepalanya seekor tikus itu kembali berdecit-decit. Decitannya begitu mengganggu sampai-sampai ia hanya bisa berbaring dan baru bisa terlelap ketika hari sudah berganti. Dua bulan kemudian ia berdiri di depan cermin itu dan tersenyum kepada sesosok perempuan yang dilihatnya merangkul sosoknya di cermin itu dari belakang. Perempuan itu, kau tahu,
bukanlah perempuan yang pernah berdiri di depan cermin itu sepuluh minggu sebelumnya.(*) Bogor, Agustus 2013
Ardy Kresna Crenata tinggal di Dramaga, Bogor.
(dimuat di Koran Tempo, 17 November 2013.) (gambar oleh Yuyun Nurrachman.)
Selamat Ulang Tahun, Bulan yang Menggantung di Langit Cerpen Clara Ng
P
ESAWAT dari Singapura mendarat pada jam dua siang di landasan pacu bandara Soekarno-Hatta. Suara salah satu kru kabin menggema, memberikan laporan penutup tentang kondisi cuaca Jakarta dan mengingatkan penumpang agar tidak menyalakan telepon genggam sebelum pesawat berhenti total. Lima belas menit kemudian, Irena bersama tumpahan penumpang lainnya berjalan melewati lorong imigrasi. Telepon genggamnya bergetar. “Mam, sudah tiba?” “Barusan.” “Sori, Mam, Lori nggak bisa menjemput. Banyak pasien.” Irena sudah menduganya. “Nanti Pak Rudi menunggu di luar. Lori menitip kunci apartemen sama Pak Rudi.”
Telepon dimatikan. Irena memasukkan telepon genggam di kantung bajunya. Dia berjalan dengan tenang, melewati konter imigrasi dengan mulus, dan berbelok untuk mengambil satu koper kecil di tempat pengambilan tas. Kedatangan Irena ke Jakarta bukan karena keinginannya, tapi karena undangan dari Lia, saudara sepupunya yang menyiapkan pesta ulang tahun ayahnya yang kesembilanpuluh, yang jatuh pada dua hari lalu. Ayahnya adalah paman Irena, suami dari adik ibunya. Perayaan ulang tahun itu terpaksa diubah tanggalnya karena Paman harus melakukan cek kesehatan. Tapi tidak apa. Justru karena itu, Irena mendapatkan tiket Singapura-Jakarta pulangpergi dengan harga lebih murah. Di teras bandara, Irena bertemu dengan Pak Rudi, supir pribadi anaknya. Lelaki itu langsung mengambil alih koper seretnya dan membantu Irena menuju tempat parkir mobil. Barusan Irena menutup pintu mobil, telepon genggamnya bergetar lagi. “Ren, nanti pestanya jam enam. Tapi kalau mau datang sekarang, boleh juga.” “Aku pulang dulu ke apartemen Lori, Kak Lia.”
“Oke, terserah.” Irena nyaris menutup percakapan, tapi Lia masih melanjutkan. “Oya, hari ini kamu ulang tahun, kan? Selamat ulang tahun, Ren. Yang keberapa nih?” “Lima-lima.” Setelah bertukar basa-basi, telepon pun dimatikan. Irena duduk menyender di jok belakang mobil. Dia memejamkan matanya. Sudah berapa tahun berlalu sejak dia meninggalkan rumah keluarga Paman di Kebayoran Baru? Dulu waktu selesai SMA, Irena pergi ke Jakarta untuk kuliah. Dia tinggal di sana sampai menikah dengan Yogi, lalu pindak ke Depok. Pikirannya melayang-layang. Sejak dulu, Irena tidak pernah dekat dengan saudara sepupunya walaupun mereka tinggal bersama-sama di rumah Kebayoran Baru. Lia lebih suka menghabiskan waktunya dari malam sampai subuh di antara bar dan kafe. Pekerjaannya sebagai fotografer fashion menyeret Lia memiliki gaya hidup yang tidak sama dengan Irena. Ganjil juga ketika dua minggu lalu, Irena menerima SMS dari Lia. Saat itu Irena sedang memasak bubur untuk cucunya yang sedang tertidur di buaian. Dia sendirian di dapur. Jam sepuluh pagi, tidak ada suara apa-apa kecuali televisi yang dinyalakan dengan volume paling rendah. Anaknya bersama suaminya yang berkewarganegaraan Singapura sudah keluar sejak jam enam pagi, mengejar kereta bawah tanah MRT seperti para eksekutif muda lainnya. Lia mengundang Irena untuk datang ke pesta ulang tahun ayahnya. Pesta kecil-kecilan, begitu katanya di SMS. Merayakan Papa yang mencapai usia sembilan puluh tahun. Bisakah Irena pulang ke Jakarta pada hari itu? Please. Pikiran Irena terputus ketika mobil tiba di apartemen Lori di bilangan Kuningan. Irena melewati penjagaan sekuriti tanpa masalah, masuk ke lift menuju lantai dua belas. Dia membuka
pintu dengan kunci yang dititipkan Pak Rudi. Keheningan apartemen langsung menyambut dirinya. Keheningan yang janggal, yang tak pernah dimiliki Irena. Irena berjalan ke dapur, meninggalkan kopernya di sana. Tak ada suara sedikit pun dari sol sepatunya yang menyentuh marmer. Dapur bersih mengilat seakan-akan tidak pernah tersentuh. Irena berdiri beberapa menit di sana tanpa melakukan apa-apa, lalu dia berjalan ke ruang tengah. Dengung mesin kulkas terdengar lirih, cukup jelas dari tempatnya berada. Irena duduk bersandar di sofa. Dia tidak tahu apakah tertidur atau tidak, mungkin di antara itu, tapi cukup lama waktu berlalu. Matahari mulai turun di arah barat. Irena bergerak perlahan menuju kamar mandi. Saatnya merapikan diri.
P
AMAN berjalan dengan bantuan tongkat di usianya yang sembilan puluh tahun. Pundaknya tidak melengkung seperti kebanyakan lelaki tua lainnya. Kepala Paman telah botak seluruhnya, meninggalkan wajah dengan tulang pipi yang tirus. Irena mengambil gelas sambil melirik Paman. Lelaki tua itu ternyata sedang memandangnya dari ujung ruangan. Sinar mata Paman tetap sama seperti puluhan tahun lalu, hangat dan maskulin. Tatapan mereka bertemu di udara. Irena meneguk air minumnya dengan tenang. Dari ujung matanya, dia melihat Paman menghampiri Irena dengan gerakan menyeret. “Selamat ulang tahun, Ren.” Suara Paman terdengar berat, tapi usia tua membuat suara itu menjadi serak dan lebih kering. “Selamat ulang tahun, Paman.” Irena meletakkan gelas lalu mengulurkan tangannya. Jari-jemari Paman terasa kurus dan kasar. “Saya meminta Lia agar mengundangmu ke Jakarta, apa pun caranya. Terima kasih sudah datang.”
Irena mengangguk maklum. Pantas, Lia tidak pernah sengotot ini kepadanya. “Sembilan puluh tahun. Apa rasanya berada di usia sembilan puluh tahun, Paman?” Paman tersenyum, menampilkan giginya yang sangat sempurna. Irena tahu, itu gigi palsu. Ujung matanya menciptakan kerut-kerut yang tampak seperti cakar di sepanjang dahi. Dia menepuk punggung tangan Irena dengan pelan. “Mari, kita duduk di perpustakaan.” Irena menguntit Paman dan duduk di salah satu sofa; namun Paman bangkit dari tempat duduknya, lalu tertatih pindah ke sebelah Irena. Dia merebahkan tongkatnya di dekat kakinya. “Apa rasanya berada di usia lima puluh lima?” tanya Paman dengan nada yang persis sama dengan yang diucapkan Irena ketika bertanya kepadanya. Irena tidak menjawab. Dia mengangkat bahunya. “Saya berada di usiamu ketika kamu datang pertama kali di rumah ini.” Paman berbicara dengan suara lamban. “Waktu itu, rambutmu panjang. Bergelombang. Kenapa kamu memotongnya sependek ini?” “Karena panas.” Irena tidak mengatakan bahwa sejak usia empat puluh tahun, rambutnya sering rontok sehingga menjadi tipis. Memotongnya pendek-pendek adalah usahanya agar kerontokan tidak semakin menjadi-jadi. “Ribet kalau mengurus Alena. Dia baru bisa belajar jalan.” “Cucumu?” “Cucu perempuan.” Irena mengangkat jari telunjuknya. “Baru satu. Akan bertambah satu lagi di tahun depan.” Paman tersenyum sekali lagi. “Luar biasa.” Dia terus tersenyum, namun senyumnya pelan-pelan berubah menjadi
tatapan panjang ke arah Irena. Tatapan yang tak memiliki kedip. “Saya senang mendengar kamu punya cucu. Kamu bahagia?” Irena merapatkan bibirnya dengan sedikit kaget. Apakah dia bahagia? Irena tidak tahu. Ini adalah pertanyaan yang sederhana, tapi terdengar rumit. Apakah perlu dijawab dengan sederhana? Atau tidak? Irena tidak sempat menimbang-nimbang terlalu lama. Paman memandangnya seakan-akan membutuhkan jawaban dengan cepat. Akhirnya dia mengangguk. “Baguslah. Saya senang kamu bahagia.” “Kalau Paman sendiri?” “Saya?” Paman terkekeh. Bibirnya pecah-pecah di kedua ujungnya. “Di usia sembilan puluh tahun, tidak ada lagi yang bisa saya minta. Saya sudah memiliki semuanya. Tentu saja saya bahagia.” “Bahagia dengan almarhumah Bibi?” Mata Paman bersinar. “Bahagia,” sahutnya pendek. Ada jeda beberapa detik, sebelum dia melanjutkan dengan nada perlahan dan serak, “Bahagia juga waktu denganmu.” Tatapan Irena menerawang. “Waktu itu saya masih sangat muda. Dua puluh tahun.” “Ya, saya ingat. Gadis yang pintar dan cantik.” Irena menggeleng. “Buruk rupa dan bodoh.” Paman ikut menggeleng. Matanya tersenyum. “Sangat pintar dan cantik. Sampai sekarang.” Irena mengangkat dagunya, tertawa salah tingkah. “Paman masih belum berubah. Masih pandai merayu.” “Ini bukan rayuan. Saya tidak pernah salah menilaimu.” Irena melirik ke pintu perpustakaan. Dia baru sadar, pintu itu tertutup rapat. Tamu-tamu masih berkeliaran di luar, tapi tidak ada yang datang ke perpustakaan. Ini hanya sekadar waktu. Sebentar lagi pasti ada yang sadar si ulang tahun tidak berada di
antara mereka. Tatapannya kembali ke arah Paman. Dia memutuskan untuk bertanya sesuatu yang sering menghantui tidur malamnya. “Adakah perempuan lain setelah saya?” “Tidak ada.” Irena tidak percaya, tapi dia memutuskan untuk percaya. Demi ulang tahun Paman. Demi ulang tahunnya. Demi tahuntahun yang telah hilang di antara mereka. “Bagaimana denganmu? Setia dengan Yogi, selama-lamanya?” “Selama-lamanya.” Mata Paman berkedip. Irena tahu, Paman tidak percaya, tapi dia tidak berkata apa-apa. Ini bukan momen kesaksian. Tidak ada yang harus percaya dengan apa yang dikatakannya. Tangan Paman bergerak. Dia meletakkan telapak tangannya di paha Irena, lalu mengusap-usapnya dengan lembut. Jari-jari lelaki tua itu bergetar hebat. Irena tidak tahu apakah karena grogi atau penyakit syaraf di usia senja. Sentuhan itu membangkitkan kenangan yang terasa sangat jauh dan samar-samar. Waktu seakan berpindah tempat. Irena mengulurkan tangan, menyentuh tangan Paman yang penuh dengan bintik-bintik cokelat, lalu menggenggamnya. Selama dua menit, mereka bertukar masa lalu dalam jari-jemari yang saling bertaut. Irena tahu, waktunya tidak banyak. Dia bisa melakukannya sekarang atau tidak sama sekali. Lelaki itu rupanya memiliki semburan pikiran yang sama. Sebelum Irena bergerak, kepala Paman maju dan mencium bibir Irena. Irena balas menciumnya. Bukan sekadar mencium, yapi juga memagut. Dengan lemah lembut, Irena melekatkan dirinya ke arah Paman, memberikan kehangatan dari tubuhnya yang malam ini dipenuhi ribuan gelombang pasang.
L
ORI tidak datang ke pesta ulang tahun Paman. Pasiennya masih banyak dan tidak habis-habis. Irena pulang sendirian bersama Pak Rudi ke apartemen Lori yang kosong dan hening. Dia tidak menyalakan lampu ketika mendorong pintu apartemen. Cahaya bulan masuk lewat jendela, merembes di bak cuci piring. Irena masuk ke dapur, berdiri sendirian; merasa seakan-akan baru keluar dari mesin waktu. Kepalanya berputar cepat. Jam sepuluh. Irena bersender di kulkas, merasakan dengungan listrik di punggung tubuhnya. Malam ini dia mendapat kesempatan menjadi perempuan paling kesepian di alam semesta. Namun tidak apa-apa. Kesepian adalah hadiah sempurna untuk sebuah perayaan ulang tahun. Irena mendongak, memandang bulan dari balik jendela. Selamat ulang tahun, bisiknya dari bibir yang terkatup rapat, bulan yang menggantung di langit.(*)
31 Oktober 2013
Clara Ng tinggal di Jakarta. Buku-bukunya yang mutakhir adalah Blackjack (novel) dan Pintu Harmonika (novel anak-anak), keduanya terbit pada 2013.
(dimuat di Koran Tempo, 10 November 2013) (gambar oleh Yudha AF)
“Nyctophilia” Cerpen Bernard Batubara
A
KU kira Levin Limark tak akan lagi bertemu dengan Josephine, perempuan bermata kucing itu, ketika pada suatu malam beberapa bulan yang lalu aku melihat mata malaikatnya menembus mataku di kedalaman dan menyentuh kalbuku. Sudah begitu lama aku tak lagi merasakan cinta, dan lelaki itu mengembalikan perasaan beruntung saat ia memelukku dan menciumiku dan kami bercampur dalam kegelapan seperti malam-malam sebelumnya. Levin Limark meyakinkanku bahwa aku adalah satu-satunya kekasihnya. Aku tak mudah percaya. Kau tahu, setelah disisihkan dari orang-orang terkasihmu dan kau dibuang dari kehidupan, kau tak akan mudah percaya kepada siapa pun. Mungkin ketika kau sampai pada sebuah keberhasilan, orang-orang yang melecehkanmu akan datang kembali dan bermanis-manis padamu, tapi kau hanya mendengar kata-kata kosong mereka dan kau lalu meninggalkan mereka tanpa minat.
Semula itulah yang kulakukan pada Levin Limark. Aku menolak cinta lelaki itu sebab kukira ia sedang mabuk dan kami bertemu pertama kali di sebuah bar. Dan memang ia sedang mabuk. Aku hanya minum sedikit sebab malam itu aku sedang berminat pada hal lain. Seorang teman membuka toko lingerie yang amat mewah dan koleksinya teramat bagus. Aku sudah menaksir beberapa, tetapi mungkin nanti aku baru membelinya jika ada lukisanku terjual. “Selamat malam, Cantik. Siapa gerangan yang berani meninggalkan bidadari sendirian di tempat seperti ini?” Levin Limark duduk di sebelahku dan bicara dengan nada seorang lelaki murah. Aku belum mengenalnya saat itu. Kukatakan kepadanya dengan nada datar. “Aku tak berminat.” “Ayolah, Cantik. Malam ini terlalu indah untuk dilewati tanpa siraman cinta!” Aku menoleh, dan saat itulah kulihat mata Levin Limark yang layaknya malaikat. Namun ketika itu ia sedang mabuk dan sinarnya tak begitu cemerlang. Setengah kepalaku masih memikirkan lukisan dan seperempatnya lagi membayangkan lingerie baru merah marun. Aku menatap minumanku dan dentuman musik masih mengisi udara penuh asap rokok dan bau keringat manusia.
“Pergilah,” kataku. “Aku hanya ingin mengajakmu makan malam, dan melihat bintang-bintang. Langit Prancis tak mengizinkanmu untuk menghabiskan waktu dalam kemurungan, Nona.” “Dengar, orang asing. Aku tak berminat denganmu.” Aku meneguk minumanku hingga tandas lalu bangkit dari tempatku duduk. “Lagipula ini Jakarta. Bukan Prancis.” Kutinggalkan Levin Limark yang tampak kebingungan. Kurasa dia mabuk cukup berat hingga mengira ia sedang berada di Prancis. Tapi aku merasa sedikit bersalah telah menyadarkannya bahwa ini masih Jakarta. Masih kota penuh debu dan kecurangan, tipu muslihat, dan tentu saja orang-orang bertopeng yang merasa dirinya lebih suci dari Tuhan.
“O
H, Jamelia. Aku mencintaimu.” Levin Limark tergeletak di atas kasur dengan napas terengah, memanggil namaku dengan bahasa Indonesia dan aksen Spanyol yang agak samar. Oleh lidahnya, aku adalah Hamelia, bukan Jamelia. Setelah percintaan kami yang pertama, barulah ia bercerita tentang asalnya. Lelaki itu peranakan Korea-Amerika. Namun separuh umurnya hingga sebelum ia bertemu denganku telah dihabiskannya di Prancis. Dan ketika itulah aku mengenal nama Josephine dari cerita-ceritanya. “Sesungguhnya Prancis lebih indah dari Jakarta, Jamelia.” Ia membelai rambutku dalam kegelapan. Lampu kamar masih belum kunyalakan. “Lalu mengapa kau ke Jakarta?” “Aku mencari Josephine.” “Siapa Josephine?” “Ah, dia perempuan yang membuatku rela menyerahkan seluruh harta benda milikku kepadanya. Bahkan jiwa dan ragaku,
Jamelia! Tapi hubungan kami tak berjalan baik. Ia meninggalkan Prancis dan kabar terakhir yang kudengar ia berada di Jakarta. Eh, tak apa-apa aku cerita soal ini? Maaf jika aku membuatmu tak nyaman.” Aku menggeleng. Aku tahu ia bukan milikku. Tanpa kata-kata atau perjanjian, kami sepakat untuk berhubungan demi kesenangan belaka. Memang aku menghindari hubungan yang merepotkan, seperti yang berkomitmen misalnya. Bukan berarti aku tak ingin, hanya saja dengan kondisi diriku seperti ini aku tak yakin bisa menemui seseorang yang mampu mencintaiku dengan tulus tanpa prasangka. Setelah memiringkan tubuhnya, Levin Limark meraih sebungkus rokok di atas meja di dekat kasur. Aku memperhatikan garis lekuk otot dan tulang belakangnya. Kulit lelaki itu seperti hangus. Aku lebih suka lelaki berkulit putih, tapi Levin Limark menyihirku dengan pesona mata malaikatnya yang kecil dan berkilau. Maka aku mulai menyukai bagian dirinya yang lain. “Aku belum pernah ke Prancis,” kataku seraya menarik selimut hingga leher. “Oh, Jamelia. Kau harus ke sana. Lebih banyak lagi romantika yang membahagiakanmu dan kau tak perlu berseteru dengan asap dan tipu muslihat Jakarta.” Aku menyukai Levin Limark karena ia juga membenci Jakarta. “Jamelia?” “Ya?” Lelaki itu sekarang memiringkan tubuhnya ke arahku. Aku tak bisa menghindar dari tatapan matanya yang seperti tak berkelopak itu. “Apa kau selalu bercampur dalam gelap, seperti ini?” “Hmm.”
“Aku ingin melihat wajahmu, Jamelia. Maksudku, saat kita bercinta.” “Apa pentingnya wajahku, Sayang? Bukankah kau sudah menguasai tubuhku sepenuhnya?” “Ya. Tapi aku ingin menikmati wajahmu juga. Dan tak bisakah aku melakukannya dari depan? Ini sudah percintaan kita yang kelimabelas dan kau selalu memintaku untuk melakukannya dari belakang.” Levin Limark mengembuskan asap rokoknya, membentuk bulatan-bulatan. “Mungkin... Aku bosan. Aku ingin yang berbeda.” “Besok kita pakai gaya kuda.” “Bukan begitu, Jamelia.” Levin Limark mengernyitkan dahinya dan memandangku dengan kekhawatiran seorang ayah. “Aku merasa ada yang kau sembunyikan dariku.” “Tidak ada, Sayang. Aku hanya tak bisa kalau melakukannya di bawah cahaya benderang. Aku malu.” Aku mengusap lembut rahangnya yang kasar dan tegas. “Kenapa malu, Jamelia? Kau teramat cantik dan tubuhmu, aduh, bahkan Josephine pun akan memujamu.” Aku tersipu juga saat ia berkata seperti itu. Kurasa dia banyak belajar menggombal di Prancis sana. Tapi malam itu kutinggalkan dia tanpa jawaban. Dia tak melanjutkan pertanyaannya sebab kurasa dia lelah. Kupandangi Levin Limark ketika ia sudah tertidur pulas. Sejak mengenalnya, keberuntungan seolah selalu berada di pihakku. Lukisanku semakin banyak terjual. Levin Limark membawa teman-temannya para pengusaha dan kolektor lukisan ke setiap pameranku. Aku bisa mengirim uang lebih ke rumah, ke kampung. Ke Ibu.
S
AAT pertama kali aku bertemu Levin Limark yang mabuk dan kutinggalkan ia pergi, ternyata lelaki itu menyusulku dan tak membiarkan aku lepas dari pantauannya. Tiba-tiba saja aku jadi ngeri, sekaligus tersanjung. Ia mengikutiku hingga ke apartemen namun aku tak berteriak panik seperti seorang perempuan sedang dikuntit oleh perampok atau pemerkosa. Kubiarkan ia berada dalam keinginannya mengenalku dan ketika aku sampai di depan apartemen, ia berdiri tiga meter di belakangku. “Langit Jakarta di malam hari juga baik. Maukah kau makan malam denganku?” Kurasa pengaruh alkohol masih belum hilang dari kepalanya. Aku membalikkan badan dan berjalan mendekatinya. Sepatu hak tinggiku meninggalkan bunyi tuk-tuk-tuk yang anggun. “Dengar ya, Tuan...” “Limark. Levin Limark. Terima kasih mau bicara denganku, Nona...” “Tuan Levin. Aku tak tahu apa maumu tapi ini sudah larut dan aku lelah dan tak ingin makan. Carilah teman lain.” Untuk kedua kalinya, aku meninggalkan lelaki itu dan berjalan hendak masuk ke dalam apartemen. Saat berdiri di depan pintu masuk, aku menoleh lagi dan hanya ingin memastikan bahwa lelaki itu telah pergi. Namun ia masih berdiri di sana dengan keteguhan seorang pejuang dan ia tak melepaskan tatapannya dariku. Pada saat itu aku tahu ia tak akan pergi sebelum keinginannya terpenuhi. Maka aku berjalan kembali mendekatinya dan suara sepatuku meninggalkan bunyi tuk-tuk-tuk. “Baik, Tuan Levin. Di dekat sini ada market 24 jam. Aku tidak makan tapi aku akan menemanimu. Setelah itu, kau harus pergi.” Levin Limark tersenyum lebar dan matanya yang bagai malaikat berubah menjadi garis.
Malam itu Levin Limark menghabiskan tiga potong croissant daging dan sebungkus roti coklat. Aku hanya minum susu kotak dan melihatnya dengan biasa. Kemudian ia meneguk kopinya hingga habis dan mulai bercerita lagi. Aku hanya ingin cepat-cepat pulang ke apartemen dan menghempaskan tubuhku ke kasur. “Dunia ini penuh orang-orang aneh, Jamelia.” Saat itu aku terpaksa menyebut namaku sebab tak ingin ia memanggilku dengan ‘Nona’ atau ‘Cantik’ lagi. Itu terdengar panggilan yang gombal dari lelaki murah pemabuk. “Katakan kepadaku.” “Aku bercerita kepada teman-temanku di sini bahwa aku meninggalkan Prancis menuju Jakarta untuk mencari dan menemui perempuan yang kucinta, dan mereka semua tertawa seolah aku gila.” “Kau memang gila.” “Kapankah cinta tidak membuatmu gila, Jamelia?” Aku tak menjawab itu dan hanya menanggapi dengan bibir yang terangkat sebelah. “Ibuku bilang, jika kau belum gila karena cinta, maka kau masih memberi hatimu setengah-setengah. Dan kau tak hanya akan gagal mendapatkan cinta, tapi hal-hal yang lain juga dalam hidupmu jika kau memberi hati setengah-setengah.” Aku tak tahu apakah Levin Limark masih mabuk saat ia mencerocos tentang hal-hal tersebut. Tetapi ketika aku kembali ke apartemen bayangan Ibu melayang-layang di depan wajahku. Tiba-tiba aku ingin menangis karena merasa aku telah melakukan kesalahan yang sangat banyak. Dan mungkin sudah tak ada waktu lagi bagiku untuk memperbaiki semuanya. Namun aku tahu hanya Ibu yang masih menerimaku. Aku ingin suatu saat menemuinya, dan ketika tiba saat itu kurasa aku telah berani untuk pulang dan menceritakan hal-hal yang terjadi padaku.
Tetapi tidak untuk saat ini.
P
ADA percintaan kami yang keduapuluh, Levin Limark bertemu dengan Josephine. Aku sedikit cemburu, tapi aku tak menunjukkannya. Kubiarkan ia berkisah dengan semangat seorang bocah lelaki dan kuusap rambutnya yang berwarna burgundy. Darinya aku tahu bahwa Josephine adalah seorang psikolog dan Levin Limark jatuh cinta kepada perempuan itu setelah menyadari bahwa hanya Josephine yang sanggup bertahan dengan kegilaannya. “Jamelia, aku bercerita banyak kepada Josephine tentangmu.” “Oh, ya?” Aku tersipu. “Ya. Kata Josephine, mungkin kau mengidap nyctophilia.” “Nycto... apa?” “Nyctophilia. Katanya, kau menemukan rasa nyaman dalam kegelapan. Bahkan, kau mencintai kegelapan.” “Aku tak tahu ada istilah untuk itu. Aku memang lebih menyukai malam hari daripada siang atau pagi karena pada waktu-waktu itu aku masih mengantuk dan tak ingin melakukan apa-apa. Tapi nyctophilia, hmm, itu terdengar seperti sebuah kelainan.” “Kalaupun itu kelainan, tak akan itu mengubah apa pun cintaku padamu, Jamelia.” “Benarkah?” Aku tersipu lagi. Levin Limark meredam cemburuku yang tak ia ketahui dengan percintaan tambahan. Ia membalikkan tubuhku dan dengan segera memasukiku dari belakang, seperti biasa. Aku sedang lelah tetapi ia tampak bersemangat. Maka kubiarkan kegelapan menyelimutiku agar tetap nyaman dan menerima serangan-serangan lelaki terkasihku itu.
Setelah selesai, ia tergeletak di sebelahku. Aku menarik selimut hingga leher dan Levin Limark menyalakan rokoknya. Terdiam beberapa saat, aku keluar dari selimut dan berjalan ke kamar mandi. Kurasa sebelum pulang tadi aku terlalu banyak minum. Lalu tiba-tiba saja Levin Limark berdiri di pintu kamar mandi yang lupa kukunci. Ia terkejut melihatku seperti aku yang terkejut melihatnya. Aku tak sempat mengambil apa-apa untuk menutupi bagian tubuhku ketika Levin Limark dengan terbata-bata dan tatapan amat jijik berkata: “Kau, Jamelia, kau...” Kemudian yang terjadi adalah sesuatu yang tak bisa kukendalikan. Aku terkejut, takut, dan panik. Segera kuraih kepala Levin Limark dengan kedua tangan dan kuhantamkan ke pinggiran wastafel berkali-kali hingga ia pingsan dan terjatuh di lantai kamar mandi. Di bawah cahaya lampu, sebuah rahasia telah terkuak bagi Levin Limark. Namun ia tak perlu mengingat rahasia itu. Aku tak ingin ia melihat dan mengingatku sebagai sesuatu yang sama dengannya, seorang laki-laki. Aku ingin ia mengingatku sebagai Jamelia, Nona Cantik yang ia kagumi di antara tipu muslihat cahaya kota dan orang-orang suci Jakarta. Bukan sebagai Jamil, seorang laki-laki yang sedang rindu kembali pada kegelapan di kedalaman rahim Ibu.(*)
Bernard Batubara lahir di Pontianak, 9 Juli 1989. Sekarang tinggal di Yogyakarta. Kumpulan cerita pendeknya adalah Milana (2013)
(dimuat di Koran Tempo, 3 November 2013) (gambar oleh Yudha AF)
Rembulan Cerpen Zaim Rofiqi
S
ISUINEJ jatuh hati, jatuh cinta pada putri tiriku: Rembulan. Dan aku tahu, cintanya tak bertepuk sebelah tangan: Rembulan juga mencintainya. Dalam usia yang telah setua diriku, aku tahu, tak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini. Setiap peristiwa, ada sebabnya; setiap kejadian ada karena kejadian lainnya. Demikian juga cinta Sisuinej: benih-benih asmara yang tumbuh dalam dirinya tak muncul tiba-tiba, cintanya pada Rembulan muncul karena berbagai kejadian sebelumnya. Dan sebagaimana yang umum diketahui oleh makhluk-makhluk yang telah sutua diriku, makhluk-makhluk yang telah mengenal betul pahit-manis, sukaduka, kehidupan di dunia, cinta hanya bisa ada karena pertemuan, cinta hanya bisa muncul karena saling kenal, cinta hanya bisa tiba karena percakapan. Pendeknya, dalam hal cinta, pepatah lama tanah Jawa ini selalu terbukti kebenarannya: witing trisna jalaran
suka kulina, cinta datang karena terbiasa—terbiasa bertemu, bicara, percaya, dan seterusnya. Sebagaimana orang-orang pada umumnya, pada mulanya Sisuinej tidak begitu memedulikan Rembulan—meskipun, aku tahu, Rembulan sangat memperhatikannya. Seperti umumnya orang di kampungnya yang kumuh, apa yang lebih sering menyibukkannya adalah keluarga, pekerjaan, dan hal-ihwal lain yang berhubungan dengan uang. Dari kesibukan dan kebiasaannya selama ini, aku tahu ia terbiasa pulang dan sampai di gubuknya sekitar isya, antara pukul tujuh dan delapan. Menjelang atau setelah isya, aku hampir memastikan Sisuinej akan muncul di ujung gang bersama gerobak birunya yang bertuliskan “Mie Ayam Pangsit”, berjalan menuju gubuknya. Kadang ia muncul dengan wajah yang begitu cerah dan ia mendorong gerobak itu dengan begitu bersemangat, seolah-olah ia sudah tak sabar untuk segera sampai di gubuknya dan bertemu anak-istrinya. Kadang ia muncul dengan wajah kusut semrawut, seolah habis melakukan sebuah perjalanan panjang yang begitu melelahkan, dan raut mukanya seperti berkata bahwa ia telah begitu lelah dan ingin segera rebah.
Begitu sampai di gubuknya, ia biasanya langsung merebahkan diri di atas sebuah dipan bambu di dalam satu-satunya kamar yang ada di gubuknya. Untuk beberapa saat ia biasanya hanya terbaring, mungkin ingin segera melepaskan lelah. Lazimnya, istrinya akan segera menghampirinya sambil membawa segelas kopi atau teh. Kadang, atau sering, ia langsung memeluk istrinya itu dan menggumulinya di atas dipan bambu beralas tikar untuk beberapa saat. Kadang, atau sering, istrinya sedikit memberontak dan memintanya untuk mandi atau mencuci muka dulu sebelum menggumulinya. Namun seringkali Sisuinej mengabaikan saran istrinya itu dan langsung saja memeluk dan menciuminya. Setelah itu, ia biasanya mandi, lalu bermain-main dengan putri tunggalnya, sementara istrinya membereskan barang-barang di gerobaknya sebelum kemudian menyiapkan makan malam untuk mereka bertiga. Setelah makan malam, mereka biasanya langsung menonton siaran televisi bersama hingga sang buah hati tertidur, dan ketika putri tunggalnya itu telah terlelap, Sisuinej lazimnya menggunakan kesempatan itu untuk kembali menggauli dan menicumi istrinya selama yang ia dan istrinya suka. Namun kebahagiaan dan kemesraan seperti itu ternyata berlangsung tak lama. Berangsur-angsur, semuanya berubah. Seiring dengan semakin dewasanya sang buah hati, kebutuhan hidup Sisuinej pun bertambah. Dulu, sebelum sang putri tercinta itu masuk sekolah, penghasilannya dari berjualan mie ayam— kadang ia juga sesekali menjadi makelar sepeda motor—bisa dibilang cukup untuk menghidupi mereka bertiga. Ia bahkan kadang bisa menyisihkan uang untuk ditabung hingga ia bisa membeli sebuah televisi kecil. Namun setelah muncul tambahan biaya untuk uang sekolah, seragam, buku-buku pelajaran, dan biaya-biaya lain yang terkait dengan sekolah putrinya, Sisuinej pun jadi kelimpungan. Mereka pun harus benar-benar berhemat.
Imbasnya, kadang dalam sehari ia dan istrinya hanya makan dua kali, itu pun dengan lauk yang seadanya. Kesulitan hidup Sisuinej ini menjadi lebih parah karena keadaan yang juga berubah: permintaan untuk memakelari penjualan sepeda motor sudah sangat jarang. Selain itu, jumlah penjual mie ayam di kampungnya juga bertambah: jika dulu hanya ia dan Mat Tabot yang berjualan, kini Fasni dan Isal juga berjualan barang yang sama. Bertambahnya jumlah penjual mie ayam di kampungnya itu berarti meningkatnya persaingan dan hal ini sangat mungkin juga berarti menurunnya pendapatannya. Dan memang apa yang dikhawatirkan Sisuinej terjadi. Tak seperti dulu saat ia hampir selalu pulang dengan gerobak yang kosong, setelah Fasni dan Isal ikut berjualan mie ayam, dagangannya nyaris tak pernah habis. Imbasnya, ia dan istrinya mulai kebingungan mengatur keuangan rumah-tangganya. Istrinya mulai sering mengeluh karena uang yang ia berikan tak pernah cukup untuk menutupi kebutuhan mereka bertiga ditambah biaya sekolah putrinya. Jika sudah mulai mendapat keluhan dari istrinya, Sisuinej biasanya hanya diam, meski kadang ia juga berusaha menenangkan istrinya dengan berkata, “Mudahmudahan besok rejeki yang kita dapat lebih banyak.”
B
EBAN hidup Sisuinej yang mulai terasa berat jadi tambah berat saat suatu ketika putri tercinta mereka tiba-tiba sakit. Pada suatu Minggu sore, jika aku tak salah ingat, setelah bermain bersama anak-anak sekampungnya, badan sang buah hati itu tiba-tiba sangat panas. Bibirnya pucat membiru, selalu terkatup rapat, dan hanya terbuka sedikit saat batuk memaksa kedua bibir kecil itu membuka. Melihat hal ini, tentu saja Sisuinej dan istrinya panik. Tanpa menunggu lama, ia dan istrinya segera membawa putrinya ke klinik terdekat. Meski
akhirnya lega setelah diberitahu oleh dokter bahwa putrinya hanya menderita panas demam biasa, namun ketika sampai di gubuknya, masalah baru segera menghadang Sisuinej: dari mana ia mendapatkan uang belanja untuk berjualan mie ayam yang tadi telah ia gunakan untuk membayar dokter? Apakah besok ia tak berjualan? Dari mana mereka bertiga makan jika besok ia tak berjualan? Sisuinej menghampiri istrinya yang terbaring di samping putrinya dan bertanya apakah dia punya simpanan yang bisa ia gunakan untuk berbelanja bahan-bahan mie ayam besok? Mendengar pertanyaan itu, istrinya malah menangis lalu memeluk erat putrinya. Melihat hal ini, Sisuinej segera ke luar kamar, lalu duduk meringkuk di belakang gubuknya. Ia berpikir keras tentang siapa kira-kira orang yang bisa ia datangi untuk meminjam uang. Akhirnya, wajah Mat Tabot terbayang di kepalanya, dan ia pun bergegas mendatangi rumah tetangganya itu. Sejak banyak hal dalam hidupnya berubah menjadi lebih buruk, kehidupan rumah-tangga Sisuinej tak pernah sebahagia dulu lagi. Jika dulu sepulang berjualan mie ayam ia selalu dihampiri istrinya dengan senyuman, kini yang didapatinya adalah wajah muram istrinya, dan hawa gubuknya yang penuh kemurungan. Istrinya pun mulai sering menolak saat sepulang kerja Sisuinej berusaha memeluknya dan menggumulinya. Aku juga mulai sering mendengar kemarahan dan omelan istrinya saat dia mendapati gerobak Sisuinej masih berisi barang-barang yang tak habis terjual. “Apa aku harus ikutan kerja, ha?”, “Laki kalo gak becus cari uang ya bukan laki!”, “Mosok tiap hari tak pernah habis! Mau makan apa kita?!” Mendengar kemarahan dan omelan istrinya ini, Sisuinej biasanya hanya diam, atau menghampiri si kecil dan mengajaknya bermain-main sambil berusaha sebisa mungkin tak menanggapi omelan istrinya itu.
Perubahan kondisi rumah-tangganya ini tentu saja sangat berpengaruh pada kebiasaan Sisuinej. Jika dulu ia biasa pulang sekitar isya, kini, mungkin karena sangat ingin mendapatkan uang yang lebih demi memenuhi kebutuhan keluarganya, ia sering kali muncul di ujung gang bersama gerobaknya dua atau tiga jam lebih lama. Jika dulu ia muncul di ujung gang dengan wajah yang kadang terlihat sumringah, kini tiap kali terlihat di ujung gang, wajahnya bisa kupastikan muram. Jika dulu saat pulang ke gubuknya ia bisa sedikit senang karena bisa langsung rebahan ditemani secangkir kopi atau teh buatan istrinya dan diberi kesempatan menggumuli istrinya sesukanya, kini yang sangat sering dijumpainya adalah gubuknya yang dalam keadaan sepi, dan apa yang kemudian sering ia lakukan adalah duduk tercenung di depan atau belakang gubuknya dengan hanya ditemani secangkir kopi atau teh yang ia buat sendiri. Ada kebiasaan lain Sisuinej yang sangat sering kulihat setelah kehidupannya jadi tambah berat: ia jadi sering melamun. Ya, sejak rumah-tangganya tak sebahagia dulu lagi, sejak istrinya lebih sering mengomelinya dan bersikap dingin terhadapnya, sejak putrinya mulai dihinggapi penyakit, aku jadi sering melihatnya murung, duduk sendirian di depan atau belakang gubuknya, sementara matanya menatap jauh ke cakrawala, seperti tak menatap apa-apa. Dari kebiasaan baru duduk tercenung sendirian, aku curiga, Sisuinej mulai menjalin hubungan dengan putri tiriku, Rembulan. Sering, saat istrinya mulai datang amarahnya karena uang yang ia berikan kepadanya tak seperti yang dia harapkan, Sisuinej menghindar dan apa yang ia lakukan adalah duduk meringkuk di belakang gubuknya, tercenung, melamun, hingga amarah dan omelan istrinya reda. Sering juga di dini hari buta, saat pekat kelamku menyeragamkan dan membungkam seluruh
perkampungan kumuh itu, Sisuinej tiba-tiba terbangun dari tidurnya, dan apa yang ia lakukan adalah membuat segelas teh atau kopi, lalu duduk tercenung sendirian di depan atau belakang gubuknya. Pada saat-saat ia tercenung, melamun, sendirian inilah aku sering mendengar ia menggumamkan hal-hal yang tak aku mengerti artinya, hal-hal yang sepertinya sangat pribadi, hal-hal yang aku tak yakin pernah ia ungkapkan kepada istrinya sendiri. Pernah, suatu ketika, saat ia sedang duduk tercenung di belakang gubuknya, putri tunggalnya terbangun, lalu menangis. Setelah beberapa saat tak berhasil ditenangkan istrinya, sang buah hati itu akhirnya ia ajak untuk ikut menemaninya duduk di belakang gubuknya. Setelah berhasil meredakan tangisnya, Sisuinej berusaha menghibur sang buah hati itu dengan menunjuk-nunjuk ke putri tiriku yang saat itu sedang bulat sempurna. “Tuh lihat, di langit bulan cantik banget, pengen gak Ayah ambilkan bulan?” Putrinya mendongak, menatap ke cakrawala: “Kok cantik, Yah? Emang bulan itu perempuan ya?” Sisuinej sedikit terhenyak mendengar tanggapan anaknya itu, dan hanya menjawab: “Ya, rembulan adalah perempuan yang kesepian. Mau nggak Ayah ambilkan bulan?” Mata anaknya berbinar: “Mau.”
P
UNCAK kesulitan hidup Sisuinej, aku kira, terjadi saat suatu ketika aku mendengar harga barang-barang naik, akibat naiknya harga bahan bakar minyak. Beberapa waktu setelah itu, putrinya jatuh sakit: badan si buah hati itu mendadak sangat panas, bibirnya pucat membiru, kini disertai sesak napas dan kejang-kejang. Sisuinej dan istrinya panik: uang yang mereka miliki telah habis untuk membeli bahan-bahan untuk berjualan mie ayam. Mereka bingung harus membayar dengan apa jika harus ke klinik. Sisuinej berpikir sejenak lalu segera meninggalkan gubuknya, melesat mendatangi Mat Tabot, Fasni, Isal, dan
beberapa tetangganya yang lain untuk meminjami uang. Namun hasilnya nihil: mereka juga sedang mengalami kesulitan keuangan. Akhirnya, ia dan istrinya tak jadi membawa putrinya ke klinik, dan hanya mengompresnya dengan es batu yang dibalut selendang agar panasnya turun. Namun upaya ini tampaknya tak membuahkan hasil: panas putrinya tak juga menurun. Beberapa saat kemudian, badan sang buah hati itu malah semakin panas, dan dari mulut mungilnya mulai keluar busa. Melihat hal ini, Sisuinej dan istrinya tentu saja semakin panik. Akhirnya mereka memutuskan untuk nekad membawa si kecil ke klinik terdekat, meskipun ia sama sekali tak punya uang untuk membatar ongkos pengobatan. Namun, di atas ojek, dalam perjalanan menuju klinik, sang buah hati itu menghembuskan napas terakhirnya. Kematian putri tunggalnya ini tampaknya sangat memukul istri Sisuinej, hingga setelah peristiwa itu istrinya nyaris tak pernah lagi bicara kepadanya. Selain terus mengomelinya, istrinya juga sering seenaknya mengatakan bahwa kematian sang buah hati itu adalah karena kesalahannya. Kondisi seperti ini tentu saja membuat Sisuinej jadi tambah sering menyendiri, tercenung, melamun, kadang bahkan sambil menggumamkan kata-kata atau kalimat-kalimat tertentu yang tak begitu jelas bagiku. Dalam berbagai gumamnya, aku sering mendengar ia menyebut-nyebut nama putri tirinya, Bunga, dan nama putri tiriku, Rembulan. Pernah, suatu ketika, saat omelan dan racauan istrinya terdengar mengoar keras dari dalam gubuknya, aku melihat Sisuinej duduk menggumamkan sesuatu sendirian di belakang gubuknya, wajah dan matanya menatap jauh ke angkasa, sementara tangannya melingkar ke depan dadanya seperti sedang memangku sesuatu atau seseorang: “Tuh cantik banget, kan? Bunga masih pengen gak Ayah ambilkan bulan? Ya udah, Ayah janji, nanti pasti Ayah ambilkan.”
Setelah putrinya meninggal, Sisuinej praktis hidup sendirian: istrinya jadi sering pergi entah ke mana, dan pulang sesuka harinya. Pernah beberapa kali Sisuinej mencoba bertanya mengapa dia jadi sering ke luar rumah dan ke mana, namun istrinya lebih sering hanya diam dan mengabaikannya, dan ketika menjawab pun, apa yang keluar dari mulut istrinya adalah amarah. Mungkin karena merasa tak punya daya untuk menghalangi istrinya—sejak kematian putrinya, istrinya praktis tak pernah lagi meminta uang kepadanya—akhirnya Sisuinej hanya menyibukkan dirinya dengan tetek-bengek yang terkait dengan usaha mie ayamnya. Meskipun dari hari ke hari aku lihat Sisuinej semakin jadi pendiam, ia masih setia mendorong gerobak birunya itu ke luar dari perkampungan kumuhnya sebelum sinar matahari pertama terlihat di angkasa. Meskipun hari demi hari aku lihat wajahnya semakin kusut, namun menjelang atau selepas isya aku masih dapat memastikan ia muncul di ujung gang, berjalan terseok-seok melewati jalanan tak beraspal menuju gubuknya. Ya, kesibukan berjualan mie ayam ini masih terus dijalaninya selama sekitar dua atau tiga minggu setelah kematian putri tercintanya, hingga suatu ketika, saat pulang dari berjualan, ia mendapati gubuknya telah kosong melompong. Istrinya tak ada, dan hampir seluruh barang di gubuknya itu lenyap. Sisuinej segera memeriksa kamarnya, dan di sana praktis sudah tak ada apa-apa: yang tersisa hanya tiga buah baju, sebuah celana yang panjang, dan sebuah celana pendek miliknya. Mengetahui hal itu, Sisuinej tentu saja sangat terkejut dan kelabakan. Ia segera mendatangi beberapa tetangganya untuk menanyakan apakah mereka tahu di mana istrinya berada, namun mereka semua menggelengkan kepala. Untuk beberapa saat ia mencoba menerka-nerka ke mana istrinya pergi, namun ia sama sekali tak punya gagasan tentang
tempat yang mungkin dituju istrinya. Ia mencoba mengingatingat, namun seingatnya ia atau istrinya sama sekali tak punya sanak atau saudara di ibukota. Tak tahu apa yang harus ia lakukan, ia pun lalu hanya merebahkan diri di atas dipan. Rasa lelahnya setelah seharian berjualan semakin menjadi-jadi saat tahu kini ia benar-benar sendirian. Lama ia hanya merebahkan badan, dan apa yang ia lakukan hanyalah melamun, menerawang ke keluasan langit yang membentang seperti tak berbatas. Matanya yang mulai basah menatap jauh ke angkasa. Beberapa saat kemudian, sebuah benda di kelam cakrawala mengusiknya. Matanya yang tadi terlihat kosong kini terlihat sedikit bercahaya dan mengarah pada satu benda di angkasa: Rembulan. Ia tampak seperti baru menyadari bahwa di angkasa putriku sedang bulat sempurna dan terlihat begitu anggun memesona. Ia masih terus merebahkan badan sambil memandang dan hanya memandang putri tiriku itu. Mungkin tanpa disadarinya, sebuah nama terucap pelan dari mulutnya: Bunga. Beberapa saat kemudian ia bangkit dari dipannya, berjalan ke belakang gubuk sambil membisikkan gumam pelan: Aku harus pergi, ya, pergi meninggalkan gubuk ini, kampung ini, meninggalkan semua ini. Aku harus pergi menepati janji untuk putriku tercinta. Sesaat sebelum Siuinej memutuskan meninggalkan semua yang ada di sekelilingnya, sesaat sebelum ia pergi demi menepati janji untuk sang buah hati tercinta, sebuah suara menggema di dalam batok kepalanya, dan mungkin hanya aku yang mendengarnya: Jalan-jalan yang telah ditinggalkan, bayang-bayang pepohonan dan rerumah, pintu-pintu yang tertutup— Aku melihat rembulan menjelma sesosok perempuan,
yang membuka susunya, dengan lembut, di tepi sebuah gubuk. Di bawah, bumi biru, sebuah sungai penuh bayang-bayang yang diam. Sebuah daun, juga sekejap gelembung, mengambang Dan kemudian pecah, dengan lembut. Pucat, semua pucat, sangat pucat, pelan, lembut. Anggur yang dingin itu, tertuang ke dalam gelasku, dan mawar-mawar di tanganmu, Rembulan, juga botol dan gelas, terlihat seperti ringkasan sebuah mimpi, yang mandek, untuk sesaat. Dan kemudian semua itu meleleh, dengan lembut. Sekali lagi, hatiku kini menjanjikan cinta, yang lembut. Kau berkata, “Kecup aku, namun dengan lembut.” Rembulan, sambil menghembuskan napas saat dia turun perlahan, berkata: “Lagi, tapi yang lebih lembut.”
Jakarta, 2013
Catatan Puisi di atas berjudul “Vista” karya Faiz Ahmed Faiz, penyair Pakistan (1911-1984). Dikutip dengan sedikit variasi dan tambahan.
Zaim Rofiqi tinggal di Jakarta. Buku kumpulan puisinya, Lagu Cinta Para Pendosa (2009), dan buku kumpulan cerpennya, Matinya Seorang Atheis (2011).
(dimuat di Koran Tempo, 27 Oktober 2013) (gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Bersin Cerpen Raudal Tanjung Banua
D
I tengah suasana hening dan tenang, mungkin dengan kekhidmatan atau bahkan ketegangan, sebuah bersin niscaya bisa jadi pemantik yang membalik keadaan. Ia bisa mengubah hidung menjadi meriam yang menyalak tiba-tiba di tubir benteng pengintaian. Di kampungku bertahun-tahun lalu, terjadi sebuah perampokan disertai pembunuhan. Korbannya seorang nenek yang tinggal sendirian, namun rutin mendapat kiriman uang dari anak-anaknya di rantau. Uang itu dikumpulkannya untuk membeli emas. Meski ia tinggal sendiri, emas berupa kalung dan cincin itu sering ia pakai ke mana-mana. Dan tentu saja itu menerbitkan liur penjahat budiman sekalipun. Tidak jelas benar apakah si perampok membunuh nenek karena kepergok, atau perempuan malang itu dihabisi sebelum ia beraksi. Yang jelas, si nenek ditemukan tewas berlumuran darah, bersamaan dengan raibnya kalung dan cincinnya. Bahkan juga
sepasang subangnya yang dari suasa. Seorang cucunya, di antara isak tangis dan ingus yang dilecitkan hidung, mengatakan bahwa si nenek berencana mengganti subang suasa itu dengan emas pula, meski niat itu belum lagi kesampaian. Perampokan itu telah merenggut segalanya. Tidak lama kemudian polisi berhasil meringkus pelaku yang tak lain tetangga korban, yang ternyata masih ada hubungan darah. Proses penangkapannya cukup mudah, selayaknya si pelaku bersin di tengah orang-orang yang mengerubungi lokasi dengan khidmat ketika petugas memasang garis polisi serta mencatat sanasini. Seorang polisi menemukan sepotong puntung rokok merek tertentu di bawah pohon kopi dekat sudut dapur. Dan dengan naluri anjing pelacak, si polisi menggerutu—jelas, ia pun berusaha mempertahankan suasana yang tenang jika bukan tegang itu. “Ha, puntung rokok!” Seorang rekannya membungkuk, dan tanpa menyentuh puntung kecil itu, ikut bergumam. “Hmm, masih baru, sisa semalam...”
Tak dinyana, seorang laki-laki ceking tetangga si nenek, dengan tergesa menimpali—seolah ia digelitik bersin tak tertahan. “Rokok saya bukan merek itu, Pak!” Sontak semua mata memandang kepada asal suara yang memecah ketenangan, seakan bunyi “Hasyi!” membesar jadi halilintar. Menyambar dan mengurak kekhidmatan orang-orang. Sejenak mencairkan ketegangan tapi sekaligus menciptakan ketegangan baru. Tanpa banyak bicara, polisi menggiring laki-laki itu ke atas mobil patroli. “Mari tunjukkan di kantor kalau rokok bapak bukan merek itu,” kata si polisi penemu puntung rokok. Si ceking pun tak menolak, seolah ia diajak ke kantor polisi benar-benar hanya untuk perkara puntung rokok. Maka tanpa raung sirene, mobil patroli membawanya pergi. Itu hanya karena perkara bersin. Hasyi!
P
ERISTIWA di masa remajaku itu, bertahun-tahun kemudian, terhubung secara agak ajaib dengan pengalamanku membaca sebuah tulisan tentang bersin di jurnal kebudayaan cukup terkenal. Tulisan itu menceritakan tentang pengarang Belanda—konon cemerlang—yang mati muda, Frans Kellendonk namanya. Suatu hari ia menyeberangi Sungai Amstel, Amsterdam, naik kapal feri. Sambil bergerak perlahan di bawah matahari musim gugur ke tepi seberang, ia dan penumpang lain mengalami suatu rasa khidmat yang hening dan dalam, tenang dan tenteram. Tetapi ketika harmoni alam mulai meresap penuh di sekitar, mendadak ia terserang sebuah refleks yang datang dari rongga hidung berbunyi keras: bersin. Maka berantakanlah semua.
Ketentraman dan suasana damai bagai diusir sekali kibasan tangan!3 Bukan kebetulan, sebagaimana Kellendonk, aku pernah mengalami peristiwa serupa. Ketika itu, aku sedang menghabiskan rasa bosan dengan berkeliling ibu kota kabupaten tempatku tinggal, Bantul, melewati pohon-pohon angsana yang berderet rimbun di tepi jalan. Selepas Masjid Raya dengan gentong sisa rekor Muri di depannya—dan kini dibiarkan tengadah hampa ke langit kota—aku melihat orang ramai menuju sebuah lapangan. Dan tiba-tiba, entah tangan gaib apa yang menarikku untuk ikut serta membelokkan setang motor ke sana. Ternyata di lapangan itu ada panggung campursari untuk Peringatan Hari Jadi Kabupaten Bantul. Setelah memarkir motor (bayarnya di muka dengan harga dua kali lipat), aku telah begitu saja berada di tengah-tengah penonton yang duduk di lapangan rumput. Penonton yang di belakang berdiri, tapi tidak sedikit pun suasana terasa gaduh. Padahal pengunjung lapangan membludak, sejumlah orang dari kampung-kampung sekitar Bantul bahkan rela datang naik gerobak yang ditarik traktor sawah! Nah, jangan tergoda dengan moda gerobak yang ditarik traktor sawah, sebab di Bantul yang diguyoni sebgai ndeso itu, memang ada-ada saja kreasi orangnya. Jangankan untuk seni tradisi yang mereka gemari, untuk mengelola hal-hal keseharian pun mereka terbilang mumpuni. Coba, mereka biasa membawa jerami untuk pakan ternak di atas motor atau sepeda ontel dengan mengikutinya memanjang ke samping kiri dan kanan. Saking panjangnya, ujung jerami sampai hendak memalang jalan; toh pengendaranya santai saja melewati lalu-lintas yang ramai. Pengendara lain yang malah mesti pandai-pandai menghindar, 3
Will Derks, “Tubuh Liar, ‘Realisme Grotesk’ dalam Cerita Melayu” (Kalam No 15, 2000).
dengan sikap tahu sama tahu. Tak ada soal. Jangan kaget pula jika suatu ketika anda melihat sebuah Datsun tua membawa sekam dengan muatan yang buncit seperti seekor sapi mengandung, melenggang acuh memasuki jalan kampung. Itu biasa. Santai wae, Dab! Malahan sebuah padepokan seni di sekitar Sendang Kasihan, telaga pemandian Putri Pembayun di masa lalu, bisa dengan ringan—sebenarnya keterlaluan—membuat tajuk acara seperti “Tari Imaji Nari”, “Niru Imaji Niru”, “Masak Musik Masyuk” atau “Main Mime Menggelikan”. Terlepas dari itu semua, sebuah jurnal kebudayaan yang terbit di Bantul toh pernah dengan bangga mengadopsi spirit Bantul ndeso itu! Dipikir-pikir spirit begini memang barokah. Hasyi! Sebenarnya aku ingin merejan bersin saat menceritakan bagian ini, supaya, bayangan anda tentang mBantul ndeso buyar sudah. Tapi, bersin tak bisa direjan, bukan? Maka dengan sesadar-sadarnya kumohon kepada anda untuk tidak tergoda tetek-bengek Bantul. Mohon perhatikanlah ungkapan “penonton yang duduk di lapangan rumput”. Tepatnya, “...aku telah begitu saja berada di tengah-tengah penonton yang duduk di lapangan rumput.” Ganjil? Tidak. Sebab, berbeda dengan tontonan jenis musik lain, campursari benar-benar sebuah tontonan santai, adem-ayem, ora neko-neko. Lihatlah, sepasang pembawa acaranya, laki-perempuan, berbusana sopan seturut tata krama. Yang laki-laki mengenakan pakaian Jawa lengkap (meski tanpa keris), dan yang perempuan berkebaya dengan rambut disanggul bulat lonjong seperti bentuk Gunung Merapi. Mereka masuk dari samping panggung dengan membungkuk-bungkukkan diri. Dari tempat saya berdiri mereka tampak seolah-olah mengendap-endap. Setelah mengucap “Assalammualaikum” berbarengan, mereka menyapa penonton—
kami semua—dengan sapaan yang akrab sekali. “Pendemen campursari sekalian....” Meski sejatinya aku bukan pendemen atau penggemar campursari, mendengar sapaan itu aku merasa ada suatu ikatan yang tak biasa menguat dalam diriku. Entah apa. Aku pun segera memantapkan posisiku: duduk dengan ketakziman penuh beralaskan sandal di lapangan rumput. Penonton lain juga begitu, sebagian dari kami duduk beradu siku dan lutut, dan terasa ada ikatan suci halus yang mempersatukan kami. Tak lama kemudian, lagu-lagu campursari mengalunlah. Penyanyinya bukan namanama terkenal, tapi tak jadi soal. Toh lagu-lagu yang mereka bawakan—kadang berduet, kadang sendirian—tetap renyah di kuping. Aku sendiri tak yakin bisa membedakan rasa lagu yang dibawakan penyanyi terkenal atau tak terkenal. Bagiku, sesuai namanya, campursari itu persis gado-gado yang bumbu dan rasanya standar. Tapi bukan itu yang penting. Aku, bersama ratusan mata dan telinga yang lain, telah dibuat mengalir dalam ketenangan dan kekhidmatan malam yang agung. Kami seolah berada dalam lindungan bintang-bintang adiluhung. Khusyuk, merasuk. Akan tetapi ternyata kiamat dini meski kami tanggungkan ketika bulan di langit yang jernih perlahan bergeser ke bukit-bukit arah Goa Selarong. Pembawa acara, masih menyapa dengan “pendemen campursari”, mengumumkan bahwa sesi pertama pertunjukan malam itu sudah berakhir, dan sesi berikutnya akan diisi deretan para penyanyi dangdut pilihan. Tiba-tiba suasana berubah gaduh. Orang-orang serentak berdiri. Ada yang berdiri untuk langsung berjingkrak dan bersorak-sorai, ada yang berdiri sambil menggerutu, lantas pergi. Aku sendiri terlambat bangun, tapi segera menyadari bahwa surga kami telah bubrah, direnggutkan. Deretan penyanyi dangdut yang
namanya cukup dikenal di seantero Yogya, seperti Denok Renita dan Ana Sanjaya, segera menggoyang panggung. Meskipun aku yakin mereka pasti juga bisa bercampur sari, jelas bukan untuk itu mereka diundang. Mereka mesti menggoyang panggung dengan suara dan gaya yang lebih menantang. Jadi ketika Ana Sanjaya berduet dengan Pak Camat Plered membawakan “Malam Terakhir”, itu justru lagu pembuka yang mengurak ketenangan panggung: dan penonton pun bergoyang. Pengalaman itu aku tulis di sebuah harian lokal sebaai “bersin kultural.”4 Hasyi!
K
INI, sebuah bersin yang tak terduga-duga menguak kedamaian dan ketenraman tempat aku tinggal. Sebuah kampung yang teratur dan tertib, dengan anak-anak yang mengaji dan penduduk rajin bersembahyang ke mushala yang bersih. Mushala itu dijaga ustad Marwan yang tak banyak cakap, kecuali saat berkhotbah. Hidupnya hanya untuk berbuat. Dan khotbah adalah perbuatan. Aku kira tak ada kampung lain sedamai tempat tinggalku. Ciri damai pertama ala novel romantik dapat kusebutkan: burungburung berkicau riang di ranting-ranting pohon pacar, dan di sebalik gerumbul daun pisang. Setiap petang merpati berpacu di atas atap, dilepas remaja tanggung yang bersorak gembira dari tepi sisa sawah terakhir. Meskipun kudengar mereka bertaruh kecilkecilan, mereka tak pernah berkelahi. Sementara itu, kedamaian kedua ala novel detektif dapat kuceritakan lewat sosok seorang warga. Kami memanggilnya Mas Dobleh. Dalam sore yang longgar, selalu longgar, laki-laki anggota kethoprak tobong yang hampir tutup itu, sering terlihat bermain 4
Raudal Tanjung Banua, “Kudeta di Jagad Kultural” (Bernas Minggu Legi, 5 Januari 2003).
senapan angin di balai-balai depan rumahnya. Tapi senjata itu lebih banyak menemaninya, leyeh-leyeh, dilap dan diminyaki, lalu dibaringkan di sampingnya, sehingga tak mengancam perdamaian. Hanya saja, sesekali ia menembak iseng burung yang terbang atau membidik layang-layang rusak yang nyangkut di tiang listrik atau bubungan rumah. Bagian terakhir ini rasanya cukup mengancam, namun senyumnya yang teduh seolah dinaungi kumisnya yang tebal, sungguh membuat kita terbebas dari rasa terancam. Apalagi Mas Dobleh, entah sudah berapa lama, menjabat sebagai kepala keamanan. Sebuah senapan angin kukira cocok belaka dengan tugas sebagai kepala keamanan. Hubunganku dengan Mas Dobleh tergolong baik. Ia tahu aku seorang wartawan. Meskipun aku dalam berbagai kesempatan bilang aku bukan wartawan, melainkan penulis tanpa ikatan, tetap saja ia—sebagaimana orang kampung lainnya—memanggil aku “Mas Wartawan”. Dan jika melihat aku pagi-pagi berdiri di depan pagar rumah, mereka—sebagaimana Mas Dobleh—akan samasama menyapa, “Prei, Mas?” Maksudnya, libur atau tak ke kantor? Aku cukup menjawab ya atau mengangguk sopan, meski sepanjang hari aku tak pernah ke kantor karena memang tak punya kantor; toh bangun siang terbukti menyelamatkanku dari sapaan ramah itu. Tapi lebih dari itu semua, bagi Mas Dobleh aku adalah wartawan karena wartawan mendapat jatah koran (padahal aku berlangganan), dan karena itu, ia bisa ikut nebeng membaca rubrik Kriminal. Itulah yang membuat kami dekat meski belum tentu saling mengenal. Sesekali pada malam hari, aku beserta bocah-bocah kampung diajak Mas Dobleh mencari burung. Kami membawa lampu stromking ke tepi sawah di mana berderet pohon-pohon mahoni. Deretan pohon mahoni dekat sungai kecil itu kami goyang-goyang, dan anehnya, dan gerombolan burung pipit akan ke luar mengejar
nyala lampu sehingga kami tinggal memungut burung-burung itu di udara. Makhluk liar yang tiba-tiba jinak itu kami masukkan ke dalam kain sarung yang sudah diikat. Begitu jinaknya, bersuara pun burung-burung itu tidak. Suatu malam, bukan burung-burung yang kami bawa pulang, tapi suara-suara. Betapa tidak. Ketika kami berjalan di kampung yang tenang dan lewat di depan rumah Bu Gendhuk, yang juga tenang, tiba-tiba telingaku mendengar sesuatu dari rumah semi permanen itu. Bersin! Begitu pekanya telingaku akan bersin, sehingga malam yang tenang itu kurasakan meletupkan bebunyian asing di bubungan. Bagi kebanyakan orang, juga anda, bersin mungkin tak lebih letup berisik ujung. Tapi bagiku yang sangat peka, berkat pengalaman yang sudah-sudah, bersin bisa membuatku kenal jenis kelamin dan usia pemiliknya. Begitulah, yang kudengar malam itu bukan bersin perempuan, bukan pula milik anak laki-laki kecil Bu Gendhuk. Soalnya adalah, suami Bu Gendhuk bekerja di Semarang dan hanya pulang tiap Sabtu malam. Minggu malam ia meluncur lagi ke Semarang. Total hidupnya dihabiskan bolak-balik antara pantai selatan dan pantai utara Jawa. Tanpa harus mengokang senapan angin, Mas Dobleh tahu situasi, aku kira. Sebagai kepala keamanan dan pemain kethoprak, ia pasti hafal nama-nama hari. Tapi jika lupa, kewajibaku mengingatkannya, “Ini hari Selasa, Mas, dan bersin yang kudengar barusan milik laki-laki dewasa!” “Hus, ngawur kamu!” Mas Dobleh cepat-cepat menarik tanganku dan segera berlalu. Ajaibnya, bocah-bocah calon petualang yang berbaris di tengah kami segera ikut ambil bagian. Naluri bocah tampaknya membuat mereka mengerti. “Wis yo, kita intip!” Mulyono tiba-tiba saja berbisik. Mas Dobleh mencegahnya, tapi Mulyono bukan burung
yang jinak. Anak laki-laki itu sudah berlari ke samping rumah Bu Gendhuk, diikuti beberapa bocah lainnya. Kami menanti. Tiba-tiba Mulyono berteriak, “Ada bapak-bapak!” “He, jangan bikin masalah kowe!” teriak Mas Dobleh tertahan. Tapi lagi-lagi keajaiban malam menggerakkan tungkai-tungkai beberapa bocah untuk lari menyusul. Aku pun tak luput dari keajaiban. Naluri kanak-kanak membawaku berlari ke arah dapur. Mas Dobleh ikut berlari. Tepat, seorang laki-laki berkelebat ke luar dari pintu, dan kucekal lengannya. Susah-payah ia melepaskan diri, dan akhirnya berhasil lolos. Tapi itu tak penting lagi. Kami telah mengenali siapa dia. Sukarji!
B
ESOKNYA ada gempar lebih besar. Bu Gendhuk disidang di rumah Ketua RT. Dalam sidang yang dipimpin Dalijo— mantan anggota FPI—terungkap bahwa Sukari bukan satusatunya yang berkelebat keluar dari pintu dapur. Ada Dulrokhim. Ada Solihin. Dan yang lebih mengagetkan: juga Pak RT, Ustad Marwan dan Mas Dobleh! Mataku nanar. Aku merasa semua orang mendadak bersin, serentak dan bertubi-tubi. Tak sanggup aku mengenali bersin itu, berhari-hari, berminggu-minggu, membuat kampung kecilku demam membaca melebihi sakit segala flu! Kedamaian dan ketentraman mendadak sirna dari bumi.(*)
Rumahlebah Yogyakarta, 2013 (untuk Indra Tranggono)
Raudal Tanjung Banua, mengelola Komunitas Rumahlebah dan Jurnal Cerpen Indonesia di Yogyakarta. Buku cerita pendek terbarunya, Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai, akan segera terbit.
(dimuat di Koran Tempo, 20 Oktober 2013) (gambar oleh Yudha AF)
Lelaki Kartu Pos Cerpen Anggun Prameswari
A
KU tidak ingat pasti kapan aku berkenalan dengannya. Mungkin setahun lalu, atau enam bulan silam, entahlah. Waktu terkadang sering memanjang dan memendek tanpa permisi. Saat itu aku hanya duduk menikmati sandwich di sebuah bangku panjang. Siang itu adalah siang yang membosankan seperti kemarin-kemarin. Bocah-bocah berlarian, dengan pekik-pekik girang, yang dengan cepat kuabaikan. Kupukupu melayang-layang, berpadu sempurna dengan aroma rumput basah bekas hujan dini hari. Dan dia datang, seperti meletup muncul begitu saja, di hadapanku, memintaku membeli selembar kartu posnya. Awalnya aku mendongak, dengan sandwich masih tergenggam di tangan dan dahi berkerut. Reaksi paling wajar seorang wanita yang duduk sendiri dan dihampiri lelaki asing adalah, tentu saja, mendirikan tembok benteng setinggi-tingginya, setebal-tebalnya, sekokoh-kokohnya. Aku tidak suka bertemu
dengan orang baru. Pernah dengar pepatah “setiap orang datang ke hidupmu dengan membawa koper masa lalunya”? Siapa yang tahu apa isi orang ini? Mungkin berlembar-lembar foto kenangan, setoples kunang-kunang jelmaan kuku pacarnya yang sudah mati, atau rangkaian bola mata orang-orang yang pernah menyakitinya—semua diuntai menjadi sebentuk syal penghangat tubuh. Aku bergidik, tapi wajah di depanku tetap tenang menawariku membeli selembar kartu pos. “Kartu pos ini saya lukis sendiri,” ujarnya. “Kenapa tiba-tiba anda menawari saya kartu pos? Saya tidak mengenal anda,” jawabku ketus, berharap lelaki gila ini cepat pergi. Dia malah duduk di sampingku. Senyumnya mengembang. “Karena saya melukis kartu pos ini untuk anda.” Tangannya terulur. Selembar kertas mengilap berukuran 12 x 23 cm, menunggu tanganku menyambutnya. Dahiku makin berkerut. Apa maunya orang ini? Dari ujung mataku, kulihat gambar yang diakunya dilukis untukku. Mungkin gambar rangkaian bunga, atau pemandangan pantai, atau semburat senja di bangunan tua, seperti khas kartu
pos pada umumnya. Napasku terhenti saat itu juga. Sebuah gambar perempuan berkaus tanpa lengan dan celana pendek putih, meringkuk di sudut ruang, dengan jendela terkuak lebar dan tirai berkibar oleh angin. Dia tertunduk dalam helai kelam rambutnya, seakan menyembunyikan rinai air mata. Tanpa sadar tanganku terulur menarik kartu pos itu darinya. Kuperhatikan gambar itu makin erat. Ada bilur-bilur biru di sekujur lengan dan kaki perempuan itu. Gurat-menggurat tak beraturan. Makin kulihat, makin nyata lebam di sekujur tubuhnya, makin nyaring isak tertahannya, makin gelap langit yang dibingkai jendela. Tanpa sadar, aku meraba lengan kiriku yang tertutup blus lengan panjang. Masih tersisa nyeri yang berdenyut-denyut di sana. Pikiran cepat berkelebat. Semalam kekasihku pulang ke apartemen dengan rambut kusut masai dan dasi menggantung selonggar mungkin. Tas, sepatu, kaus kaki, dan dasi beterbangan ke segala sisi, termasuk tamparannya. Sudah lama dia menggantikan ciuman dengan pukulan. Terlalu sering, sampai akhirnya aku terbiasa. Pekerjaannya hari ini tak sempurna. Dan dia menyalahkanku yang juga tak sempurna menghidupkan cintanya. Bahkan ketika dia mencumbuku dengan pagutan setan, lebam-lebam mulai menghiasi tubuhku. Di ujung malam, dia mendengkur tanpa beban. Menyisakan aku yang meringkuk di bawah jendela yang terkuak lebar dengan tirai berkibar disambar angin. Persis kucing yang menjilati lukanya sendiri, kucoba mengobati nyeri dengan air mata. “Kartu pos ini... kenapa anda menggambar ini?” tanyaku menoleh ke lelaki itu. Hanya desau angin yang menjawabku. Dia entah pergi ke mana, seakan tak pernah ada. Aku melemparkan pandangan ke
sekeliling. Bahkan aku menangkap tangan seorang anak, dan kutanya apa dia melihat laki-laki yang menawariku kartu pos. Anak itu hanya menggeleng setengah ketakutan. Aku menarik napas. Kulihat lagi kartu pos itu. Aku bahkan belum bertanya sapa nama lelaki itu.
K
INI setiap siang, aku selalu makan siang di bangku panjang itu. Sengaja aku mengunyah lamat-lamat, agar waktuku habis lebih lama, agar aku bisa bertemu dengan lelaki kartu pos ini. Namun, nihil. Dia tidak datang lagi. Semakin aku berharap bertemu dengannya, semakin lesap kenyataannya. Di sebuah siang, saat baru saja kutandaskan sandwich terakhir, ibu mengirimiku pesan pendek. Bapak operasi jantung hari ini, datanglah. Aku menghela napas. Jika pilihannya adalah menjadi anak yang berbakti atau menuruti sakit hati, aku sungguh kehilangan arah. Dan suara lembut itu kembali, nyaris membuatku terlonjak, menawariku kartu pos seperti kala itu. Kali ini pelan kutelisik penampilannya. Dia tampak sederhana dengan baju hangat hitam, jeans, dan sepatu pantofel. Kacamata retro membingkai wajahnya yang tegas dengan rambut halus bekas bercukur. Aku tidak tahu seperti apa rambutnya karena topi pet kelabu menutupi kepalanya. “Kali ini apa yang anda gambar?” tanyaku ragu. Dia tersenyum lagi. Lengkungannya mengingatkanku pada bulan sabit. Kuterima kartu pos itu dengan ragu. Hatiku berlompatan ke sana ke mari, mencoba menebak apa yang tergambar di sana. Kartu pos itu bergetar di tanganku. Mataku mengabur. Aku mengerjap beberapa kali, memastikan benar apa yang kulihat. Seorang ibu memeluk anak perempuannya yang sekuat tenaga memejamkan mata, sama-sama saling mendekap, saling
mengumandangkan doa di dalam hati. Lelaki tegap itu mengayunkan lengan besar berbulu, seperti tukang kayu yang menetak bongkah-bongkah kayu bakar. Wajah-wajah yang tergambar di sana tak asing, seakan melompat dari tumpukan masa lalu yang berdebu. Tanganku bergetar makin hebat. Air mataku berjatuhan, mencurah tanpa izin. Aku menoleh ke arahnya. Kali ini dia tidak menghilang. Dia tetap duduk tenang dengan mata tepat menembak ke arahku. “Siapa anda? Kenapa anda melukis gambar ini dan menjualnya pada saya?” Dia bergeming, seakan tahu bahwa aku punya jawab. Dadaku makin sesak dengan kenangan masa kecil yang mendesak-desak. Bapak yang pemarah, yang matanya bergelimang merah, yang tangannya siap terulur menyambar apa pun yang bisa meredakan badai di hatinya. Pipi ibu. Lengan ibu. Punggung ibu. Apa pun yang ibu punya. Termasuk aku. Luka yang dibuat bapak di tubuh kami memang cepat sembuh, tapi tidak di batin kami. Orang bilang sejarah berulang. Kini aku menjalani hidup ibuku bertahun-tahun lalu, yang pernah kukutuk dan kusumpahi tidak akan kujalani. Namun, cinta pertama anak perempuan adalah bapaknya, dan mereka bilang cinta pertama tak akan mati. Kutemukan cinta pada lelaki serupa bapak, yang lebih mudah menjabarkan cinta di dalam luka-luka di tubuh yang dikasihinya. Itulah cinta yang kukenal sejak kecil, kujunjung tinggi, dan kini diruntuhkan lelaki asing yang tiba-tiba muncul menawariku membeli kartu pos buatannya sendiri. “Saya harus bayar berapa untuk kartu pos ini?” tanyaku menoleh. Seperti sebelumnya, seharusnya sudah bisa kutebak, dia tak lagi di sana.
Namun perempuan macam apa aku ini, yang mencari kedamaian dalam selembar kartu pos?
D
I SANA aku mendapatinya, di atas ranjang yag seprainya setiap pagi kutata secantik mungkin agar dia bahagia. Dan dia mencumbu perempuan lain, di balik selimut yang juga menutupi tubuh kami satu malam lalu. Kekasihku tergeragap, menyampirkan selimut ke tubuh molek di sisinya. Aku mematung, berusaha menemukan reaksi paling tepat. Mungkin meluapkan marah. Mungkin menjerit. Mungkin menangis. Namun, aku bergeming. Di tanganku tersembul selembar kartu pos. Aku bahkan belum menggigit sandwich-ku saat lelaki kartu pas itu datang. Wajahnya selalu tenang saat dia menawariku kartu pos ketiga. Aku mulai mengira-ngira harus kubayar berapa untuk ini semua, tapi kesadaranku teralihkan saat melihat apa yang dia lukis di sana kali ini. Kekasihku memagut perempuan lain. Di ranjang kami. Dibalut selimut kami. Dengan gairah yang lebih membakar, bahkan terlalu membara sampai-sampai bisa menyulut api di dadaku. Aku langsung bergegas menuju apartemen, tak mempedulikan lelaki kartu pos yang duduk di sana, mungkin menanti beberapa lembar rupiah untuk ketiga kartu posnya yang kini kupunyai. Dan benarlah. Apa yang digambarkan di kartu pos seakan menjelma di hadapanku. Ngeri merayapi tengkukku. Seharusnya aku gemetar membayangkan gambar-gambar di kartu pos seorang lelaki misterius yang mendatangiku di taman saat makan siang. Setiap gambarnya begitu nyalang melukiskan diriku, seakan dia mengenal dan menyaksikan semuanya sendiri. Seharusnya aku ketakutan tiap dia datang mengulurkan kartu posnya, karena
gambar yang dia lukis di sana adalah nyata-nyata yang coba kukubur. Mirip bangkai. Bukankah mengerikan bila ternyata ada orang asing yang lebih mengenalmu ketimbang dirimu sendiri? Tapi aku malah berdiri, menantang kekasihku yang tubuhnya dua kali lebih besar dariku. Badanku mengeriput takut, seakan hapal kebiasaannya, tanpa perlu kuperintah. Semua jejak memar dan bekas luka telah terpindai dan terekam sempurna. Namun aku bergeming. Membiarkan dia menarik tubuhku, mencengkeramku, melemparkanku ke segala arah. Sakit mulai merambat ke sepenjuru tubuh. Namun, itu semua seakan tak bisa membalut nyeri di hati sendiri. Ini nyeri paling sempurna, membuat empunya mati rasa. Di kepalaku melayang-layang banyak pertanyaan. Kenapa aku? Kenapa seperti ini hidupku? Kenapa aku mencintai dengan cara ini? Siapa lelaki kartu pos itu? Apa maksud gambar-gambar di kartu pos yang dia bawa padaku? Sepasang mata tenang lelaki kartu pos itu, bening mirip permukaan danau yang entah menyimpan apa, memenuhi benakku yang kosong. Awalnya satu, lalu jadi dua. Dari dua berlipat empat. Makin malam makin cepat beranak pinak, memenuhi kepala. Ketenangan itu, kedamaian di matanya— bisakah aku memilikinya? Tanganku terulur, bahkan sebelum otakku memerintahkan. Yang pertama kuraih adalah pajangan porselen sebesar bayi, yang dibawa kekasihku sepulang perjalanan dinasnya dari Cina. Benda pertama yang dia bawa saat dia pindah ke apartemenku bertahuntahun lalu. Saat cinta masih berupa tunas, yang kutanam bersama harapan-harapan.
Selanjutnya yang kuingat hanya suara-suara yang saling bertindihan. Derak benda pecak. Erangan yang memenuhi udara. Pekikan yang membelah hening. Debam tubuh tersungkur di lantai. Serta tarikan nafas lega di dalam dadaku sendiri, untuk pertama kalinya.
S
EBUAH lampu sorot tergantung, mengayun-ayun, berusaha sekuat tenaga memendarkan cahayanya yang lemah ke penjuru ruang remang ini. Entah sudah berapa lama aku duduk di sini. Juntai rambutku mulai terasa kering. Ujungujungnya mencuat di sana-sini. Ujung-ujung jariku mulai membeku. Kuraba dadaku sendiri. Ah, ternyata masih ada detaknya. Artinya aku masih hidup. Namun, hidup seperti apa yang aku jalani? Apakah aku akan kembali membuat keputusankeputusan yang salah, yang menenggelamkan diri dalam jalan yang salah, yang memaksaku tetap menjalani? Karena kukira itulah yang Tuhan ingin aku jalani sebagai hukuman? Pintu di depanku terbuka. Seorang pria muncul, seakan dimuntahkan dari kegelapan. Sejenak kukira dia lelaki kartu pos yang menawariku kartu pos keempat. Ternyata bukan. Hanya lelaki asing, dengan kumis dan cambang rimbun melintangi wajah, dalam seragam apak berwarna cokelat tua. “Bisa anda jelaskan kejadian siang itu, bersama kekasih anda?” Berapa harga yang harus kubayar untuk tiga kartu pos, yang gambarnya dia lukis dengan tangannya sendiri itu? “Dengan pecahan beling terbesar, anda menikam...” Namun pelan-pelan kuingat: wajah lelaki kartu pos itu tidaklah seasing yang kubayangkan. “Anda mendengarkan pertanyaan saya?”
Kutatap bayanganku sendiri, di cermin salah satu sisi ruangan. Buram memang, tapi sepasang mata tenang itu mendadak kudapati di sana. Lelaki kartu posku. Senyumku pelan mengembang. “Aku ingin mengirim kartu pos,” ujarku dengan senyum merentang, persis pelukan. “Kartu pos yang kulukis sendiri.” Pria di depanku mengernyitkan dahi tak mengerti. “Mau anda kirim untuk siapa?” Kini aku tahu, bagaimana harus kubayar ketiga kartu pos itu. Seperti ada tangan-tangan tak kasat mata melukis di benakku. Gambar-gambar bertumpukan, warna-warna melintang pukang, kusut tapi indah. Aku memejamkan mata, dengan satu tarikan napas, aku membukanya kembali. Tatapan mataku yang tersembul di pantulan cermin. Ah, seharusnya aku tahu kenapa lelaki kartu pos itu tidak lagi terasa asing. “Untuk siapa saja. Apa anda ingin membeli kartu posku?” tanyaku dengan kilat mata tenang. Setenang permukaan danau yang entah menyembunyikan apa di dalamnya.(*) GM, 5 Juli 2013
Anggun Prameswari menamatkan pendidikan S1 di Sastra Inggris Binus University. Saat ini bekerja sebagai guru bahasa Inggris di SMP-SMA Harapan Bangsa, Tangerang.
(dimuat di Koran Tempo, 13 Oktober 2013) (gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Sapi Betina Cerpen Juan Rulfo
D
I SINI segalanya berubah dari buruk ke makin buruk. Minggu lalu Bibi Jacinta meninggal. Lalu, pada hari Sabtu, setelah kami memakamkannya dan kami merasa tak lagi terlalu sedih, hujan mulai turun. Ayahku murka karena seluruh hasil panen gandum yang telah kering di bawah cahaya matahari menjadi basah kuyup. Badai datang begitu cepat sehingga kami tak sempat lagi menutupi gandum itu. Yang bisa kami lakukan hanyalah duduk-duduk berkerumun, menyaksikan hujan menghancurkan hasil panen kami. Dan kemarin, saat adik perempuanku Techa berulang tahun kedua belas, banjir menghanyutkan sapi betina yang diberikan ayahku sebagai hadiah ulang tahunnya. Sungai mulai meluap sebelum subuh tiga malam lalu. Aku tertidur lelap, tapi banjir menyebabkan suara ribut di tepian sungai sehingga aku terjaga dan terlompat dari ranjang dengan selimut tercekal di tangan,
seolah-olah aku bermimpi atap rumah kami runtuh. Setelahnya, aku kembali tidur karena aku tahu itu hanya suara arus sungai dan aku segera terlelap. Saat aku bangun langit dipenuhi awan hitam dan suara bising sungai terdengar makin nyaring. Bunyi itu terdengar amat dekat dan mengandung bau busuk banjir yang seperti bau timbunan sampah. Saat aku menengoknya, permukaan sungai sudah meluap melebihi tepi-tepinya. Air sungai naik sedikit demi sedikit sepanjang jalan dan masuk ke dalam rumah seorang perempuan berjuluk Genderang. Kau bisa mendengar percikan air mengaliri kandang ayam melewati pintunya. Genderang bergegas hilir-mudik, melemparkan ayam-ayam ke jalanan agar mereka bisa mencari tempat bersembunyi yang tak bisa dicapai aliran air. Di sisi lain dekat kelokan sungai, arus banjir tampaknya telah menghanyutkan pohon asem di ujung bebatuan di rumah Bibi Jacinta karena pohon itu tak terlihat lagi. Itu satu-satunya pohon asem di desa kami, jadi semua orang tahu inilah banjir terbesar yang melanda sungai ini selama bertahun-tahun.
Aku dan adik perempuanku kembali pada siang hari untuk menonton banjir. Air sungai lebih keruh dan lebih kental dan meluap hingga ke batas jembatan semula berada. Kami bertahan di sana berjam-jam, hanya menonton, tanpa merasa letih. Lalu kami berjalan sepanjang tepi jurang untuk mendengar apa kata orang. Jauh di bawah, dekat sungai, arus air menghasilkan suara bising sehingga kita hanya bisa melihat mulut orang-orang yang terbuka dan mengatup tanpa dapat mendengar kata-kata mereka. Mereka juga melihat ke sungai di sepanjang tebing dan mencoba mengukur seberapa parah kerusakan yang disebabkan banjir. Di sanalah aku baru tahu bahwa banjir telah menghanyutkan La Serpentina, sapi betina yang dihadiahkan ayahku kepada Tacha sebagai hadiah ulang tahunnya. La Serpentina memiliki sebelah kuping berwarna putih dan sebelah lagi kemerahan, serta sepasang mata indah. Aku tak tahu mengapa sapi itu memutuskan mencoba menyeberangi sungai walaupun dia pasti tahu itu bukan lagi sungai yang sama. La Serpentina tak sebodoh itu. Dia pasti berjalan dalam tidur dan terhanyut seperti itu tanpa alasan. Saat aku membuka pintu kandang pada pagi hari dia telah berdiri di sana sepanjang hari dengan mata terpejam, melenguh dengan cara sapi melenguh saat dia tertidur. Maka, apa pun yang terjadi padanya, dia pasti tengah tertidur. Mungkin dia terbangun saat merasakan air menghantam iganya. Dia jadi ketakutan dan mencoba balik ke kandang, tapi terjangan arus air membuatnya terjengkang dan hanyut oleh banjir. Kuduga dia berupaya melenguh meminta tolong. Dia hanya bisa melenguh dan hanya Tuhan yang tahu bagaimana semua itu terjadi. Kami menemukan seorang lelaki yang melihat sapi betina itu ketika air sungai menyeretnya. Aku bertanya kepadanya apakah dia tak melihat seekor anak sapi bersama sapi betina itu. Dia
bilang dia tak ingat. Dia hanya ingat melihat seekor sapi bertotoltotol yang melintas di depannya dalam arus air dengan kukukukunya teracung ke langit. Lalu, sapi itu tenggelam dan dia tak lagi bisa melihat kukunya, atau tanduknya, atau apa pun dari sapi itu. Dia begitu sibuk menarik cabang-cabang dan dahan-dahan pohon dari air untuk dibuat kayu bakar sehingga tak punya waktu untuk memperhatikan apakah sapi itu timbul lagi dari aliran air. Jadi, kami tak tahu apakah anak sapi itu masih hidup atau dia mengikuti induknya hanyut di sungai. Semoga Tuhan menolong keduanya jika itu terjadi. Permasalahan rumah tangga kami bisa makin rumit karena Tacha kini tak punya apa-apa lagi. Maksudku, ayahku telah bekerja keras untuk membeli La Serpentina saat dia masih anak sapi mungil agar ayahku bisa menghadiahkannya kepada Tacha. Dengan begitu, Tacha akan memiliki sedikit modal dan tak akan tumbuh menjadi pelacur seperti kedua kakak perempuanku. Menurut ayahku, kedua kakakku menjadi pelacur karena kami sangat miskin. Mereka tidak puas dan mulai menggerutu saat beranjak remaja. Begitu mereka dewasa, mereka mulai berkeliaran dengan lelaki-lelaki berandal, belajar segala hal buruk. Dan mereka belajar dengan cepat. Mereka mengerti siulan lirih ketika para lelaki berdiri di luar rumah kami dan memanggil mereka di tengah malam. Belakangan, mereka bahkan berani melakukannya saat siang hari. Mereka akan pergi ke sungai beberapa kali sehari dan terkadang kau akan mengagetkan mereka saat membuka pintu kandang dan tanpa sengaja menemukan mereka bergumul tanpa busana dengan tubuh si lelaki menindih di atas. Akhirnya, ayahku mengusir mereka. Dia telah berusaha mengurus mereka sebisa-bisanya, tapi akhirnya dia tak tahan lagi dan menendang mereka ke jalanan. Mereka lalu pergi ke Ayutla
atau ke suatu tempat, aku tak yakin ke mana. Tapi aku tahu mereka menjadi perempuan jalang. Itu sebabnya ayahku sangat cemas soal Tacha. Dia tak ingin Tacha mengikuti jejak kedua kakaknya. Ayahku ingin Tacha tumbuh menjadi perempuan baik-baik dan menikahi lelaki yang baik. Dan La Serpentina akan menjadi tabungan baginya jika dia dewasa. Dengan sapi itu, Tacha tidak akan terus-menerus memikirkan betapa miskinnya kami. Tapi kini semuanya menjadi sulit. Padahal, bisa dibilang siapa pun akan berani menikahinya jika saja dia tetap memiliki sapi cantiknya itu. Satu-satunya harapan kami adalah bahwa anak si sapi betina masih hidup. Semoga Tuhan tak membiarkan anak sapi mungil itu mengikuti jejak induknya masuk ke sungai. Sebab, jika itu yang terjadi, adikku Tacha akan terancam memilih jalan yang salah dan ibuku tak mau itu terjadi. Ibuku bilang, dia tak tahu mengapa Tuhan menghukum kami begitu berat dengan memberinya anak-anak perempuan sejalang itu. Tak pernah ada wanita jalang di dalam keluarganya sebelumnya sejak neneknya hingga kini. Mereka semua dibesarkan untuk takut kepada Tuhan serta patuh dan penuh rasa hormat. Dia mencoba mengingat kesalahan apa yang pernah diperbuatnya sehingga dia sampai melahirkan pelacur demi pelacur dari rahimnya. Namun, dia tak bisa mengingat dosa atau kejahatan apakah yang pernah diperbuatnya. Setiap kali dia teringat kedua anak perempuannya itu, dia menangis dan berkata, “Semoga Tuhan memberikan kebaikan kepada mereka.” Namun, ayahku bilang tak ada gunanya memikirkan mereka. Mereka memang jalang. Yang perlu dicemaskan adalah Tacha. Dia tumbuh begitu cepat dan dadanya mulai kelihatan ranum seperti kakak-kakak perempuannya, mencuat dan membusung sehingga membikin kami cemas.
“Ya,” ujar ayahku, “semua lelaki menatapnya penuh minat dan dia membalasnya. Tunggulah saatnya tiba dan dia pun akan berakhir menjadi jalang seperti kakak-kakaknya.” Maka, Tacha menjadi kecemasan terbesar ayahku. Dan kini Tacha menangis karena dia tahu sungai telah membunuh La Serpentina. Dia berdiri di sampingku, berbaju merah, menatap sungai dan menangisi sapi betinanya. Air mata tak henti mengaliri wajahnya, membuat kita membayangkan dia memiliki sungai di dalam dirinya. Aku melingkarkan sebelah tangan merangkulnya untuk menghibur hatinya, tapi dia tak mengerti. Dia menangis lebih nyaring dan suara isakannya bagaikan arus banjir yang memukulmukul tepian sungai. Kini seluruh tubuh Tacha menggigil. Banjir terus meluap dan percikan air kotor dari sungai mengotori wajah adikku itu. Sepasang payudara mungilnya bergerak naik turun saat dia tersedu seakan-akan hendak meledak dan menghancurkannya.(*)
Juan Rulfo (1917-1986) adalah penulis Meksiko. Cerita pendek di atas dialihbahasakan oleh Anton Kurnia dari terjemahan Inggris George Schade.
(Dimuat di Koran Tempo, 6 Oktober 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Jawaban Raisa Cerpen Hikmat Gumelar
A
BDUL tersentak. Dan mendadak rona muka dosen mata kuliah cerita pendek ini jadi seperti batu bata dalam lio. Terlebih saat 67 mahasiswa menatapnya. Dan semua tatapan tampak sebagai mata pisau berkilau. Ia jadi merasa matanya mendadak buta. Ruang kelas mendadak gelap. Kerongkongannya penuh kerikil tajam. Dada dan kepalanya penuh asap. Memang Abdul dosen senior. Sudah puluhan tahun keluarmasuk kelas. Sudah puluhan tahun bergaul dengan ribuan mahasiswa. Sudah kenal beragam kecenderungan mereka. Sudah hapal cara menyiasati perkara-perkara yang bertalian dengan mereka. Tapi, yang sekarang terjadi belum pernah dihadapinya. Yang terjadi benar-benar anyar. Abdul merasa gudang pengalamannya yang luas dan penuh ternyata tak berguna untuk melepaskan dirinya dari perkara pelik dan buas yang tiba-tiba menelikungnya. Apalagi sejak Kamis
pekan kemarin, diam-diam ia telah menyusun rencana untuk Kamis ini. Ia akan melakukan lagi yang pernah dilakukannya. Begitu selesai perkuliahan, ia akan panggil Raisa. Ia akan ajak lagi mahasiswa semester lima ini ke kantornya. Dan ia telah membuat kolegakoleganya untuk tak mengganggu. Menyelesaikan disertasi ia sampaikan sebagai alasan. Alasan ini manjur. Mereka, dengan cara masingmasing, berjanji tak akan mengetuk pintu kantornya. Jadilah Abdul masuk ruang kuliah dengan langkah ringan dan muka sumringah. Ia masuk kelas seperti Mike Tyson di masa jaya naik ring. Tapi, Raisa ternyata jauh dari rencana yang sudah disusun Abdul. Memang gadis asal Indramayu ini masuk kuliah. Bahkan ia maju sesuai kewajibannya. Tetapi, tiba-tiba ia sangat beda. Biasanya Raisa memakai rok panjang dan blus warna gelap. Kini Raisa yang berkulit margarin memakai kaos kerah dan celana panjang kanvas yang berwarna sama. Hijau daun muda. Sepatunya pun bukan pantofel hitam, tapi sepatu kets merah muda. Rambutnya lebih beda lagi. Semula panjang sampai menyentuh pinggul dan selalu tergerai. Kini dipotong model bop. Tengkuknya jadi terbuka.
Keruan semua kawan seangkatannya terkejut. Apalagi Raisa masuk kelas setelah semua kawannya duduk. Dan begitu masuk, Raisa langsung mengambil kursi meja paling pinggir di barisan belakang. Ia membawanya dan meletakkannya tepat di tengah depan papan tulis. Seketika kelas jadi ruang penuh gumam. Raisa tentu mendengarnya. Pun tahu gumaman dengung ribuan lebah itu tak lain karena kawan-kawannya baru pertama melihat dirinya yang sekarang. Tapi ia tak tampak kikuk. Bahkan pandangannya, yang selama ini nyaris selalu tampak lugu dan mengandung ragu, sekarang serupa mata elang ketika mengincar mangsa. Pandangannya ini pun jadi sorotan dan menyemburkan gumaman yang lain lagi, yang sebagian disertai geseran tubuh dan kursi sehingga dengung ribuan lebah jadi lebih nyaring. Abdul pun sebenarnya kaget. Tapi, ia merasa harus menyembunyikan yang ia alami. Kecuali itu, di matanya Raisa kini jadi lebih mengundang. Tengkuknya serupa paha. Jika birahinya mulai mendidih, bulu-bulu halusnya akan serempak berdiri. Liang-liang reniknya akan mengembang meruapkan hawa panas yang kian menyulut gairah mencapai ledakan nikmat yang meruntuhkan ruang-waktu. Maka Abdul memulai dengan berpurapura batuk. Namun, gumaman tak lenyap. Tetap sebagai dengung ribuan lebah Tapi, bagi Abdul, ini justru seperti mobok manggih gorowong. Ia segera memulainya untuk melontar kata, “Baik, saudara-saudara. Raisa, sahabat terbaik kita, ternyata menyiapkan diri lebih daripada yang kita duga-duga. Lihatlah, saudarasaudara! Demi presentasinya pada Kamis siang ini, sahabat terbaik kita ini mengubah dirinya dari kepala sampai kaki. Dan dengan itu niscaya ia menjadi jauh lebih siap. Luar biasa! Sungguh luar biasa! Tapi cerita pendek apa gerangan yang mesti dibahas Raisa?”
Bukan Raisa yang menjawab, tapi Sadam dan Mardian. Keduanya menjawab serempak, “Jangan Main-main dengan Kelaminmu!” “Apa? Apa?” Ditambah beberapa mahasiswa lain, Sadam dan Mardian menyebut lagi judul cerita pendek karya Jenar Maesa Ayu itu. Tapi, setelah dari kursinya di dekat jendela melirik ke arah Raisa, Abdul kembali meminta judul cerita pendek itu disebut. “Masa anak muda suaranya lemah. Tidak kompak pula. Coba semua sebutkan judul yang mau dibahas Raisa.” Serempaklah 67 mahasiswa memenuhi yang diminta Abdul. “Sekali lagi!” “Jangan Main-main dengan Kelaminmu!” “Nah, begitu. Tapi saudara-saudara tahu, kenapa saudarasaudara dituntut begitu? Saudara-saudara harus menjawab. Bukan saling lirik seperti lagi nyontek atau nyolek. Kelamin! Itu, saudarasaudara. Kita semua punya kelamin. Ini berarti kelamin itu penting. Bahkan mahapenting. Tapi oleh karena itu, kita justru harus hati-hati. Jangan main-main dengan kelaminmu! Apa, saudara-saudara?” “Jangan main-main dengan kelaminmu!” “Nah, camkan itu. Jangan main-main dengan kelaminmu. Tapi, bagaimana gerangan dengan kelamin Jenar? Mari semua kita dengar bagaimana gerangan presentasi Raisa. Setelah presentasi sahabat terbaik kita selesai, kita masuk sesi diskusi. Kita masuk sesi seperti yang ditulis Sutardji Calzoum Bachri, kuterjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu.” Sebagian mahasiswa tertawa. “Kenapa tertawa? Diskusi itu kan saling menerjemahkan kelamin. Kita jadi mesin kawin,” ucap Abdul serius. Tapi ia terus melanjutkan dengan menggoyang-goyangkan pantat dan suara-
suara seperti orang tengah senggama, “Tiktaktiktaktiktak no no no no no no no no no no zzzzzz zzzzzz zzzzzz...” Sebagian mahasiswa tadi tertawa lebih lantang. “Ah, sudah. Sekarang saatnya kita mendengarkan presentasi sahabat terbaik kita. Silakan, Embak Raisa. Kami semua siap mendengarkan embak.” Raisa, yang duduk sendiri di depan sejak tadi, bergeming. Ia sama sekali tidak terpancing oleh yang dilakukan Abdul dan reaksi kawan-kawannya. Ia duduk dengan punggung lurus. Hanya jemari tangan kanannya terus memainkan smarphone. Ketika mendengar Abdul menyilakannya, ia serentak mengangkat dagu hingga lehernya tegak. Matanya nanap memandangi kawan-kawannya. Tanpa memedulikan Abdul, Raisa mulai bersuara, “Selamat siang, teman-teman.” Serempak kawan-kawannya menjawab, “Siaaaang!” “Saya akan membongkar borok.” “Borok?” cetus Mardian. “Ah, jorok.” “Iye, Mar,” timpal Sadam. “Masa di kelas omong...” “Jangan bicara bukan pada waktunya. Kalian tadi sudah banyak bicara. Sekarang kesempatan Raisa.” Mardian dan Sadam saling lirik. Mereka kesal. Namun, keduanya hanya dapat memendamnya. “Silakan, Raisa,” ucap Abdul sambil kembali ke kursinya, yang sejajar dengan kusri-meja Raisa, hanya saja berjarak empat meter. “Baik, teman-teman,” kata Raisa dengan nada suara seperti sebelumnya. Datar namun jelas. “Sekali lagi, saya akan membongkar borok. Tapi borok apa? Borok siapa?” Tak seorang pun paham. Tak seorang pun dapat menerka ke mana arah Raisa. Tapi ini justru membuat mereka penasaran. Mereka lihat Raisa agak menunduk. Tangannya yang kanan mengambil dua spiker dari ransel di samping kiri kursi-meja. Dua
spiker sebesar teh kotak ukuran terkecil ini ditata di atas meja. Menghadap ke kawan-kawannya. Namun yang satu agak ke sudut kanan. Yang satu ke sudut kiri. Sebuah kabel menyambungkan keduanya dengan smartphone. “Mau ngapain si die?” tanya Mardian setengah berbisik. “Tau. Gua kagak ngerti,” jawab Hendi dengan volume sama. “Iye. Ribet. Kapan ngomonging kelaminnye?” cetus Sadam. “Kini saatnya kita mengetahui borok apa, borok siapa,” kata Raisa sambil lantas menyalakan rekaman. Suara seorang lelaki terdengar jelas. Si lelaki melontarkan banyak kata yang memuji-muji perempuan. Mula-mula yang dipuji adalah suara yang merdu dan tutur kata yang santun. Lalu disiplinnya, kerajinannya. Lalu mata dan bibir yang sensual. Lalu terdengar seperti suara kursi bergeser. “Mau ke mana?” “Lepaskan! Lepaskan tangan saya!” Suara seperti kursi jatuh. Suara seperti pintu dibuka dan ditutup dengan bantingan. “Nah, teman-teman. Itulah. Saya kira jelas sudah. Suara perempuan itu suara saya. Suara laki-laki itu suara dia!” Semua mata 67 mahasiswa serempak mengikuti tangan Raisa yang tega menunjuk ke arah Abdul. Yang ditunjuk melihat mata 67 mahasiswa seperti mata pisau berkilauan. Ia jadi merasa matanya mendadak buta. Ruang kelas mendadak gelap. Kerongkongannya penuh kerikil tajam. Dada dan kepalanya penuh asap. Kumis tebal dan janggut lebatnya seperti terbakar. “Kejadiannya hari...” “Stop! Jangan asal ngomong! Fitnah lebih kejam dari pembunuhan! Kemarikan ponselnya!” “Jangan, Raisa!” teriak Rita. “Iya!” tegas Marni lantang. “Jangan diberikan!” “Tidak. Lagian saya sudah menggandakan rekamannya. Saya akan...”
Abdul menggebrak meja. “Kalian berani melawan dosen! Rasakan akibatnya! Rasakan...” “Apa?” potong Mudofar sambil bangkit. “Rasakan apa?” “Eh, kamu nantang!” Dari barisan kursi-meja paling belakang, Mudofar yang kekar dan tingginya 180 sentimeter maju. Beberapa temannya serempak berdiri. Abdul yang tingginya 156 sentimeter celingukan. Ia lantas menyambar tas dan setengah lari memburu pintu. “Ha! Pengeut!” teriak Mardian. “Cabul!” pekik Hendi. “Sudah, Raisa,” lontar Sadam. “Tenang aje. Kagak usah takut. Kita kompak. Kita lawan. Gimane?” “Iya, Raisa.” Timpal Hendi. “Dosen cabul kayak gitu mesti dikasi pelajaran. Bener nggak, temen-temen?” Sebagian serempak menjawab, “Ya!” “Tuh kan,” lontar Sadam lagi. “Semua akur. Sepakat. Kompak. Kita lawan. Gimane, Raisa?” Raisa kehabisan kata. Hanya saja matanya basah. Berkacakaca. Mungkin itu jawaban Raisa.(*)
Hikmat Gumelar giat di Institut Nalar di Jatinangor, Sumedang. (Dimuat di Koran Tempo, 29 September 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Di Market Square Cerpen Rilda A. Oe. Taneko
Satu
M
ATAHARI 25 Celsius jatuh di market square. Ada kakek berdiri di dekat museum. Ia memanggul papan bertuliskan Come, let us return to the Lord dan membagikan lembaran berita kiamat pada orang-orang yang lewat. Seorang pria menerima selebaran yang ia sodorkan. Pria itu tampak sekilas membaca, lalu mengangguk sopan dan melanjutkan langkah. Satu-dua langkah, ia mendekat ke kotak hitam bertuliskan Litter dengan huruf emas kusam di satu sudut pertokoan, meremas kertas selebaran dan membuangnya ke dalam kotak. Di tangga batu museum, remaja duduk berkelompokkelompok, mengobrol dan tertawa. Satu kelompok, yang berada di sisi dekat toko perhiasan H. Samuel, seluruhnya berkepala botak sebelah atau berambut gaya Mohawk. Di sudut lain, di antara
remaja berambut berwarna-warni—merah muda, biru, ungu dan hijau—dan ada yang mengenakan sweater dengan tulisan LU Pokemon Society. Beberapa pemudi mengenakan lipstik berwarna hitam atau ungu gelap. Di alis, hidung, telinga dan atau sudut bibir mereka tersemat anting-anting perak. Sedikit dari mereka bermain skateboard. Bersebelahan dengan kumpulan remaja itu, para mahasiswa berkaus putih dengan nama dan logo sebuah universitas duduk menghadap meja kayu cemara. Di atas meja terdapat beragam alat menggambar: spidol, krayon, cat, kelir, paket art and craft, setumpuk kertas putih, gelas-gelas plastik berisi air dan kuas berbagai ukuran. Di satu sisi meja, kanvas lebar disandarkan di atas tripod kayu. Seorang mahasiswa terlihat mengajak anak-anak yang lewat untuk menggambar di kanvas. Anak-anak itu baru saja keluar dari perpustakaan di sebelah kiri museum. Kebanyakan dari mereka menenteng buku-buku karya Enid Blyton, Roald Dahl, Charles Dickens dan J.R.R. Tolkien. Mereka meletakkan bukubuku di atas meja dan mulai menggambar. Berhadapan dengan tempat kanvas didirikan, seorang wanita berambut sepinggang, pirang dan gimbal, mengenakan pakaian rajut berwarna serupa pelangi, sedang memilih sayuran di tenda sayur organik, sebelah tangannya memegang kereta dorong balita. Aroma babi panggang menguar dari tenda sebelah, berbaur dengan harum masakan dari tenda makanan khas Cina dan India. Di belakang tenda makanan khas India, seorang gembel berwajah jelaga, rambutnya gimbal, mengenakan sweater hitam kumal, celana jins lusuh yang robek di bagian dengkul dan tidak beralas kaki, terlihat tertidur. Ia bersandar pada pintu kaca sebuah toko yang tutup karena bangkrut.
Dua
D
UA wanita duduk di bangku kayu, di bawah pohon Lime yang kuncup dedaunnya merekah hijau muda dan seolah transparan, tersinari matahari 25 Celsius yang jatuh di market square. Mereka membelakangi TK-Maxx, Vodafone dan Greggs. Satu dari dua wanita itu bertubuh kurus, berambur pirang ikal, bermata hazel, berhidung lancip dan di wajahnya terdapat bercak-bercak kecokelatan. Ia mengenakan kardigan merah tipis, terusan rok hitam pendek tanpa lengan, legging hitam dan sepatu bot merah pendek. Tas kulit hitam berbentuk empat persegi panjang tersampir di sisinya. Ia bernama Amelia. Perempuan satunya lagi berambut lurus panjang pirang kecokelatan, berdahi lebar, berkulit pucat, ujung hidungnya bulat dan berbibir tipis. Ia mengenakan kemeja jins berlengan pendek, rok panjang putih berenda, sandal kulit putih tanpa hak dan scarf cokelat tipis, senada dengan gagang kaca mata hitam yang ia kenakan. Namanya Emma. Sedari tadi, pandangan mereka terlihat berpindah-pindah dari tenda-tenda yang menjual sayurmayur, bantal-seprai, bunga segar, pancake dan cupcake, ke pertokoan di seberang mereka, ke orang-orang yang berlalu-lalang,
atau yang duduk di bangku membentuk lingkaran di tengah lapangan. Orang-orang itu terlihat santai dan tak terbebani pakaian tebal. Banyak dari mereka mengenakan kacamata hitam, menghadang silau mentari. “Kemarin toko buku di Penny Street, lalu HMV,” Amelia berkata. “Butik baju dan toko pakaian dalam di ujung sana juga tutup,” Emma menimpali, menunjuk ke arah toko H. Samuel, “Juga restoran Italia di New Street.” “Ya, dan toko pakaian gunung di Cheapside, tepat di depan McDonalds, juga pailit bulan lalu,” Amelia mencoba mengingatingat. Di depan museum, anak-anak tertawa. Masing-masing menunjukkan gambar yang mereka buat: gambar diri, pohon, dinosaurus, boneka atau robot. Mahasiswa yang berdiri di dekat mereka berulang-ulang berkata, “Well done... well done.” Amelia menghela napas. “Krisis ekonomi. Banyak orang yang susah sekarang.” “Iya, kami juga jadi ikut susah.” Amelia menoleh, “Mengapa? Bukankah pekerjaan suamimu mapan dan bergaji tinggi?” “Iya, untuk saat ini memang demikian. Tapi tidak tahu tahun depan atau tahun berikutnya. Krisis ini membuat kami cemas.” “Tak perlu mencemaskan hal yang belum terjadi,” Amelia tersenyum, mencoba menghibur, “Yang terpenting, sekarang kalian masih bisa hidup layak. Kamu tidak perlu bekerja. Rumah kalian besar. Kalian bahkan punya tukang kebun dan tukang bersih-bersih.” “Tapi tidak untuk setiap hari,” Emma menukas, “Hanya tiga kali seminggu, dan tukang kebun hanya tiga minggu sekali.
Bayangkan! Aku harus melihat debu di atas meja dan memandang serakan daun di hari-hari selain itu.” “Hmm, menurutku, tetap saja kamu tak perlu terlalu khawatir.” “Kami juga hanya punya dua mobil. Satu untukku dan satu untuk suamiku. Itu pun bukan mobil mewah. Hanya Toyota matic saja.” Emma memutar-mutar cincin berlian yang melingkari jari manis tangan kirinya. Amelia tersenyum lebar, “Tapi setidaknya kamu memiliki dua mobil. Jika terdesak masih bisa menjual satu. Aku tidak punya mobil, satu pun juga.” Seorang gembel berjalan ke arah mereka, lalu ia berdiri mematung di dekat pohon lime. Kepalanya teleng ke kanan, mengamati burung-burung merpati yang ramai mematuki remah roti yang ditaburkan anak-anak. Emma mengibaskan tangan di depan wajahnya, seakan mengusir lalat, “Kami juga dulu begitu. Tidak punya mobil. Dan tahu tidak? Dulu kami tinggal di rumah dua kamar saja. Waktu itu aku punya bayi, rumah terasa sempit dan tentunya sulit pergipergi.” “Tapi, aku punya anak kembar dan kami tinggal di rumah dua kamar. Dan itu cukup bagi kami.” “Oh ya? Ah, aku juga sempat mengalami itu. Waktu anak keduaku lahir, kami masih tinggal di rumah dua kamar itu, berbulan-bulan lamanya. Bayangkan! Kami tidak memiliki ruang kerja dan ruang musik, seperti sekarang. Aku tidak mungkin menemukan ketenangan di rumahku sendiri jika harus mendengar bunyi dari komputer dan alat pencetak, piano dan violin setiap hari. Beruntung sekarang kami memiliki rumah lima kamar. Aku benar-benar perempuan yang beruntung, memiliki suami yang mau bekerja keras untuk keluarga.”
Mata Amelia melebar, seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar.
Tiga
S
ATU-DUA orang yang berdiri di dekat bangku di tengah lapangan terlihat merokok sambil menggerakkan keretakereta dorong bayi, maju-mundur, maju-mundur, berupaya menidurkan bayi-bayi mereka. Amelia menggigit bibir. Ia tidak suka perokok, terutama karena mereka tak peduli orang-orang lain di sekitar mereka, dan Amelia lebih-lebih tak suka pada orang tua yang merokok di dekat bayi-bayi mereka. Amelia mengalihkan pandang, mengamati Emma yang asyik memainkan kalung emas putih berinisial E dengan taburan berlian yang melingkari lehernya. Ia berpaling pada gembel yang berdiri di dekat mereka, lalu Amelia menelengkan kepalanya, ikut mengamati burung-burung merpati yang mematuk-matuki remah roti. Lirih, Amelia menggumam, “Krisis ekonomi. Orang-orang jadi sulit mendapat kerja. Temanku, sarjana filsafat, malah kerja di restoran cepat saji, melayani pembeli dan membersihkan toilet. Yang lulus Menulis Kreatif, bekerja paruh-waktu di bar.” “Ah, tapi setidaknya mereka sudah lulus kuliah. Aku malah tidak pernah kuliah. Kamu lebih beruntung, sudah bergelar master pula.” “Tapi, lulus kuliah pun mereka tidak bisa mendapat pekerjaan yang sesuai. Dan sekarang mereka punya utang, harus membayar student loan. Aku memang lulus master degree menulis, tapi krisis ini pemerintah mencabut subsidi bidang seni. Aku bisa kehilangan pekerjaanku kapan saja.”
“Setidaknya kamu lulusan master degree. Aku juga ingin bergelar master.” “Lalu mengapa tidak kuliah?” Amelia kembali memandang Emma yang sedang mengamati remaja yang bergerombol di depan museum. “Dulu aku menikah muda, saat lulus sekolah tinggi. Kemudian aku punya dua anak.” “Aku punya anak waktu kuliah bachelor. Lalu ketika melanjutkan master degree, suamiku mengalami kecelakaan dan meninggal. Aku harus menguatkan diri, terus berjuang untuk masa depan kami, untuk aku dan anak-anakku. Memang berat sekali, aku harus bisa membagi waktu dan bekerja lebih giat daripada mahasiswa lainnya.” Emma tidak mengucap sepatah kata pun. Ia asyik memandangi cerlang-cemerlang sinar mentari yang memantul di cincin berliannya. Amelia pun diam, benaknya dipenuhi kenangan akan kematian suaminya: ia dilanggar sebuah mobil ketika bersepeda selepas pulang bekerja di malam hari. Pengemudi mobil itu orang berada. Ia mampu membayar pengacara yang mahal dan lepas dari vonis kurungan. Suaminya menyumbang salah: tidak mengenakan pakaian keselamatan, demikian kata hakim. Amelia ingat penabrak itu mengendarai mobil mewah buatan Jepang berwarna perak. Amelia menggeleng-gelengkan kepala, mengusir bayangan di benaknya. Kemudian ia berkata, “Kamu bisa kuliah sekarang. Anak-anakmu sudah besar, sudah sekolah semua.” Emma menggeleng, “Aku ini sibuk, sibuk sekali. Aku harus menjamu teman-teman seminggu sekali, lalu ada tiga pertemuan lain: merajut, pertemanan antarbangsa dan kerajinan tangan. Belum lagi pertemuan makan siang di kafe.”
“Tapi jika benar kamu ingin kuliah, kamu harus bersedia mengurangi waktumu bergaul.” “Aku tidak bisa. Aku butuh bergaul. Butuh sekali. Dan aku juga tidak ingin waktu untuk keluargaku terganggu,” Emma beralasan. “Itu hanya masalah pembagian waktu.” Emma mengalihkan pandang, melihat ke arah penjual bunga yang sedari tadi berteriak-teriak: “Daffodil, tiga ikat hanya 1 quid!” Teriakan penjual bunga itu bersaing-saing dengan tawaran penjual buah: “Pisang! 50 p saja!” Kemudian ia bertanya, “Mengapa kamu tak pernah lagi datang ke kafe?” “Enam quid untuk setangkup Panini dan segelas teh terlalu mahal untukku,” Amelia tersenyum. “Ah, hanya satu kali dalam seminggu. Ayolah, janganlah terlalu berhitung seperti itu,” Emma tertawa, kemudian ia melanjutkan, “Kamu juga bisa datang ke pertemuan-pertemuan lainnya.” “Mungkin nanti. Sekarang aku sedang menyiapkan pameran cerita dan Festival Sastra tahun ini,” Amelia menjawab sembari memperhatikan seorang tua di kursi roda bertenaga listrik yang mencoba menembus keramaian pasar. “Nah, itulah bedanya kamu dengan aku. Kamu tidak butuh bertemu dan bergaul dengan orang lain.” Dahi Amelia berkerut. “Tentu saja aku butuh. Hanya saja, dengan kegiatanku sekarang, aku harus punya prioritas. Sepulang kerja, aku juga harus mengurus anak-anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ketika anak-anak sudah tidur, aku sempatkan waktu untuk menulis cerita pendek dan novel.” Emma, seolah tidak mendengar yang Amelia utarakan, berkata cepat, suaranya meninggi, “Kamu tahu, penulis terkenal
saja tidak perlu menulis setiap hari. Aku ada kenalan seorang penulis terkenal. Dan kamu tahu, ia hanya menulis satu bulan dalam setahun, selebihnya untuk keluarga dan teman-teman.” Amelia terdiam. “Dan dia terkenal sekali. Terkenal di seluruh dunia,” Emma kembali menekankan. Amelia tetap membisu. “Bahkan, banyak orang yang menjadikan menulis sekadar hobi sampingan. Weekend writers. Mereka juga bisa menghasilkan satu novel dalam sebulan.”
Empat
M
ATAHARI 25 Celsius jatuh di market square. Amelia merasa gerah. Luar biasa gerah. Ia diam memandangi ujung sepatu merahnya. Ia berusaha mengingat-ingat awal mula ia bertemu dengan Emma, bagaimana mereka bisa berkenalan, bisa berteman, dan ia sepenuhnya menyesali pertemuan itu. Amelia berharap Emma akan menanyakan kegiatannya, hingga ia bisa menjelaskan kalau ia tidak bisa menggunakan akhir pekannya untuk menulis: Minggu ia gunakan untuk pergi berbelanja, memasak dan merapikan kebun. Sementara setiap Sabtu ia harus mengantar anak-anaknya ke kelas renang mereka di siang hari dan kelas karate di sore hari. Di pagi Sabtu ia bisa sedikit berlega di rumah dan membaca buku, atau sesekali mengantar anak-anaknya ke sinema dan McDonalds, untuk merayakan ulang tahun teman-teman mereka. Di saat itulah, pada beberapa jam saat menunggu anak-anaknya selesai dari acara ulang tahun itu, ia kerap duduk di bangku kayu di bawah pohon
lime dan menikmati keramaian pasar. Dan di saat seperti itu pula, ia berharap dapat menemukan ketenangan dan bukan malah kebetulan bertemu seorang kenalan yang kemudian membuat hatinya gundah gulana. Tambahan lagi, Amelia tidak percaya sebuah novel dapat dikerjakan dalam satu bulan, apalagi hanya dikerjakan dua hari dalam empat minggu. Tapi Emma tidak bertanya apa-apa. Emma kembali asyik memandangi cerlang mentari di cincin berliannya. “Aku harus pergi sekarang,” Emma bangkit dari bangku kayu, mengibas-ngibaskan belakang roknya. Amelia masih diam, memandang kosong ke arah tenda sayurmayur. Emma menyisir rambutnya dengan jari-jemari dan menyampaikan alasan, “Aku hanya membayar parkir untuk satu jam tadi.” Amelia tak menanggapi, pandangan matanya tetap tertuju pada tenda sayur. Ketika Emma hendak melangkah pergi, Amelia menggumam tanya, seolah mengingau, “Mobil suamimu itu, apa warnanya sama dengan mobilmu, hitam? Atau mungkin... perak?” Emma menggeleng, “Mobilnya berwarna merah. Mengapa?” “Tak apa,” Amelia menggeleng. Emma mengangkat bahu. Tak lama, ia berlalu dan menghilang ditelan keramaian pasar dan sudut gedung museum. Mata Amelia basah. Ia memandang ke atas, ke arah dedaunan lime yang hijau cerah, sembari berharap tak ada air mata yang bergulir jatuh dari matanya. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan mengembuskannya. Perlahan pula, Amelia kembali memandang sekitar, ke keramaian pasar dan tenda-tenda, lalu ia membuka tasnya, mengambil sepucuk surat. Lama Amelia tercenung melihat surat itu. Surat pemberhentian kerja yang diterimanya kemarin siang. Alasan ia
diberhentikan adalah pemotongan subsidi bidang seni yang tak terhindari. Tak terhindari, demikian penjelasan dari pemerintah. Tak terhindari! Amelia paham bahwa pemerintah baru saja memangkas GBP 11,7 juta dari British Art Council. Namun, ia pun tahu untuk prosesi pemakaman Margaret Thatcher, pemerintah menghabiskan GBP 10 juta dari kas negara. Kakek pemanggul papan bertuliskan Come, let us return to the Lord berdiri di dekatnya, mengulurkan selembar berita kiamat. Amelia menerima lembaran itu dan berusaha tersenyum sopan. Anak-anak di depan museum masih tertawa-tawa, sementara mahasiswa yang memandu mereka terus saja berkata, “Well done... well done.” Gembel yang tadi berdiri di bawah pohon lime kini berjongkok di depan Greggs. Ia tampak mengendus-endus, membaui aroma kue-kue dan pastry.(*)
Lancaster, Mei 2013
Rilda A. Oe. Taneko berasal dari Lampung dan kini menetap di Inggris. Buku cerita pendeknya adalah Kereta Pagi Menuju Den Haag (2010). (Dimuat di Koran Tempo, 22 September 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Rashida Chairani Cerpen A.S. Laksana
I
BU memintaku mengingat nama-nama: tiga lelaki dan satu perempuan dan salah satu dari ketiga lelaki itu sudah pasti ayahku. Ia telah mengatakan hal ini sejak aku kanak-kanak dan mengulanginya berkali-kali sepanjang hidupnya seolah takut aku lupa. Sesungguhnya ia sudah menyampaikannya sejak aku masih janin. Aku tahu karena ibu memberi tahu, namun ingatanku tak mampu menjangkau apa saja yang dikatakannya saat aku masih di dalam perut. “Leluhurku adalah para bajak laut, orang-orang yang menolak tunduk dan pantang dipermalukan,” katanya. Itu kalimat pertama yang bisa kuingat darinya. “Dan para bajingan itu telah mempermalukanku. Aku meninggalkan rumah untuk mendapatkan sekolah yang baik. Aku bekerja di toko pakaian sepulang sekolah dan malam itu mereka menerkamku saat aku pulang kerja dan menyeretku ke tempat sunyi.”
Kami berbaring di dipan kayu dan ibu suka bercerita sebelum kami tidur. Suaranya berbaur dengan suara-suara serangga di luar sana. Rumah kami dikelilingi alang-alang dan aku mendengar suara-suara serangga tiap malam, selain suara ibu. Seringkali aku tertidur sebelum ia selesai bercerita dan aku menanyakan kelanjutannya pada malam berikut dan ia biasa mengulang beberapa bagian sebelum meneruskan ceritanya. Mula-mula aku sering bertanya jika ada kata-kata yang aku tak paham—bajak laut itu apa, leluhur itu apa, bajingan itu apa—dan ia terus saja bercerita tanpa pernah menjawab pertanyaanku. “Dua bulan setelah kejadian itu aku menghadap kepala sekolah di ruangannya dan menyampaikan apa yang telah mereka lakukan kepadaku. Baru sekali itu aku bertemu langsung dengannya. Selama ini aku mengenalnya hanya dari cerita teman-teman. Kudengar ia tegas dan baik hati dan tidak pernah menghukum siswa. “Seorang temanku pernah bercerita tentangnya suatu hari: ‘Ia datang ke kantin saat istirahat dan aku sedang merokok di sana. Cepat-cepat kumatikan rokokku namun ia terlanjur melihat. Ia mendekatiku dan memintaku menyulut rokok yang tadi kumatikan dan menungguiku merokok sampai habis. Rasanya sungguh tersiksa, kau tahu. Tapi ia benar-benar baik hati. Waktu itu ia
bilang, kuharap ini rokok terakhirmu di sekolah... kau boleh saja memutuskan jadi perokok, dengan risiko yang kau tanggung sendiri, tapi kau juga harus menghormati peraturan bahwa tak ada satu orang pun boleh merokok di lingkungan sekolah.’ “Temanku masih tetap merokok di sekolah setelah kejadian itu, namun ia lebih berhati-hati. Aku benci padanya. Ia tak menghargai kebaikan kepala sekolah kami. “Ketika aku masuk ke ruangannya, kepala sekolah sedang membaca berkas-berkas. Ia mengangkat mukanya dan menanyakan ada apa dan dengan suara lemah aku mengatakan: ‘Mereka memperkosa saya.’ Kepala sekolah mengamatiku agak lama, aku menunduk. “‘Apa kau bilang?’ tanyanya. “‘Mereka memperkosa saya,’ ulangku. “‘Siapa mereka?’ tanyanya. “Kusebutkan nama ketiga bajingan itu—semuanya murid kelas tiga. Aku kelas dua. Kepala sekolah diam beberapa waktu, menyentuh kacamata besarnya, dan kemudian mengeluarkan gumaman, seperti desah: ‘Ini akan menyusahkan kita semua.’ “‘Bukan keinginan saya,’ kataku. “‘Lalu, apa yang hendak kau lakukan?’ tanyanya. “Aku menggeleng dan balik bertanya, ‘Menurut Ibu, apa yang harus saya lakukan?’ “Ia memandangiku seperti menebak-nebak apa yang ada di dalam kepalaku. Lalu ia membuat suaranya terdengar lebih berhati-hati dan lebih berputar-putar. Ia bilang dua dari tiga anak yang kusebutkan itu adalah andalan tim basket sekolah kami dan mereka dikenal sebagai murid-murid yang baik. Dan yang satu lagi adalah anak walikota. ‘Selama ini ia tidak pernah aneh-aneh dan ayahnya orang baik,’ katanya. Ia memberi tahu bahwa ayahnya banyak menyumbang untuk sekolah.
“‘Anaknya memperkosa saya,’ kataku. ‘Ia dan dua temannya.’ “‘Kuharap kau tidak membesar-besarkan masalah ini hanya karena ayahnya walikota.’ “‘Saya menyampaikan kepada Ibu apa yang saya alami. Saya ingin mendengar dari Ibu apa yang bisa saya lakukan dan apa yang akan dilakukan sekolah ini terhadap mereka.’ “Kepala sekolah menggeleng pelan dalam gerak yang seperti tidak disadarinya. Tiba-tiba aku khawatir itu adalah isyarat bahwa ia dan pihak sekolah tidak akan melakukan apa-apa terhadap mereka. “‘Bagaimana kau akan membuktikan bahwa mereka akan memperkosamu?’ tanyanya. “‘Saya mengatakan yang sebenarnya,’ kataku. “‘Dan setiap orang akan mempercayaimu karena kau bilang saya mengatakan yang sebenarnya?’ “‘Ibu tidak mempercayai saya?’ “‘Kau tahu, Nak... siapa namamu?’ “‘Rashida,’ kataku. ‘Rashida Chairani.’ “‘Kau tahu, Rashida, jika setiap pernyataan tak perlu dibuktikan, nanti akan ada gadis lain datang ke sekolah ini dan mengaku ia diperkosa oleh anak walikota dan kami harus mempercayainya karena ia bilang saya menyampaikan yang sebenarnya.’ “Aku datang kepadanya karena kudengar ia baik hati. Namun rasa-rasanya siang itu ia menutup celah. Aku merasa ia bahkan tidak sudi menunjukkan simpatinya atas nasib buruk yang menimpaku. “Dua bulan berikutnya aku harus keluar dari sekolah karena perutku mulai membesar. Padahal aku sudah bertekad untuk terus bertahan di sana, tidak peduli seperti apa pun keadaanku. Jika sekolah tidak mengambil tindakan sama sekali terhadap ketiga
bajingan itu, aku akan membongkar apa yang mereka lakukan. Perutku yang akan mengungkapkan perbuatan mereka. Perutku akan kian membengkak dan setiap orang di sekolah akan menggunjingkan kehamilanku dan aku akan memberi tahu mereka siapa saja yang telah menjarahku. Tetapi kepala sekolah memanggilku ke ruangannya dan mengatakan bahwa aku tidak bisa lagi melanjutkan sekolah. “‘Ini akan terdengar pahit, Rashida. Tapi peraturan sekolah harus ditegakkan,’ katanya. ‘Kau tidak bisa lagi melanjutkan sekolah di sini karena hamil.’ “‘Itu hukuman bagi orang yang menjadi korban para bajingan?’ tanyaku. “‘Bicaralah santun, kau tahu dengan siapa kau bicara?’ katanya. “‘Jadi saya harus keluar dari sekolah karena mereka memperkosa saya?’ “‘Karena kau hamil, Rashida. Sekolah ini tidak mengizinkan murid-muridnya hamil, terlebih hamil tanpa suami.’ “Mendengar jawaban itu, aku tiba-tiba seperti kehilangan suara. Tak ada yang bisa kusampaikan lagi kepadanya, sebab saat itu aku hanya merasa ingin mencakar mukanya. Lalu seseorang masuk, guru Bahasa Indonesia, dan mereka bicara perihal pertukaran pelajar dari Norwegia yang akan datang minggu depan. “Dulu, kau tahu, aku bertekad harus bisa masuk sekolah itu setamat SMP karena kupikir ia sekolah yang hebat. Pernah kubaca di koran bahwa hampir tiap tahun ada siswa dari negara lain yang belajar di sana.” Suaranya terdengar getir di bagian ini, seperti suara orang yang dikhianati. Ibu datang dari pulau lain. Ia menyeberangi laut dengan kapal penumpang selama tiga hari dan menetap di kota R
untuk mendapatkan sekolah yang lebih baik—dan ia mendapatkan bayi di dalam rahimnya. “Orangtuaku percaya diri melepasku sendirian menyeberangi laut pada umur lima belas. Mereka yakin para leluhur melindungiku. Mata ibuku berkaca-kaca ketika melepasku, tetapi ia tidak menangis. ‘Kami akan selalu mendoakanmu,’ katanya. Ayahku terlihat bangga, tapi suaranya agak bergetar: ‘Sekarang kau berlayar ke Jawa. Kelak kau akan berlayar keliling dunia dan pulang dengan dunia di dalam genggamanmu.’ “Dan aku karam pada tahun kedua. Layarku dikoyak oleh tiga bajingan. Tanganku menggapai-gapai mengharap pertolongan, tetapi kepala sekolah tidak mengulurkan tangannya. Ia seperti bongkahan batu. “‘Apa peraturan sekolah untuk pelaku pemerkosaan?’ tanyaku kepadanya, suaraku agak meninggi. “‘Itu bukan urusanmu,’ jawabnya. ‘Yang jelas, mulai besok kau tidak perlu masuk karena kau bukan lagi murid sekolah ini.’ “Ia memutuskan nasibku hari itu, tapi aku tak ingin berhenti di situ. Sebelum meninggalkan ruangannya aku mengatakan: ‘Saya akan melaporkan masalah ini ke polisi. Saya akan membawanya ke pengadilan.’ “‘Keluar sekarang juga dari ruanganku,’ katanya. “Kepala sekolah itu bernama Rustini. Kau haru mengingat nama perempuan ini baik-baik. Ia mengusirku padahal aku sendiri sudah berniat meninggalkan ruangannya. Aku benar-benar bertekad membawa masalah ke pengadilan meski aku tak tahu caranya. Keesokannya aku datang ke kantor polisi. Seseorang menemuiku dan mencatat dengan malas apa yang kusampaikan dan aku tidak tahu apa yang kemudian dilakukan polisi itu setelah mencatat. Para bajingan itu tak pernah diadili dan beberapa waktu
kemudian pemilik kos mengusirku karena perutku kian membesar.” Ia mengutuk pemilik kos yang mengusirnya, tapi tak memintaku mengingat namanya. “Aku minta waktu kepada pemilik kos sampai urusanku selesai dengan pihak sekolah dan para bajingan itu, tetapi ia tidak memberi waktu. ‘Kalaupun aku menyetujui permintaanmu, anakanak lain yang tinggal di tempat ini akan mengusirmu,’ katanya. “Sekarang kau tahu, Nak, ketika kau karam, tidak mungkin bagimu meminta belas kasih kepada orang lain yang hidupnya nyaman. Hari itu aku tak punya tempat lagi di kota R dan tak punya muka untuk pulang ke rumah orangtuaku. Aku bahkan tidak mengirim kabar sama sekali kepada mereka—sampai hari ini. “Mungkin mereka pernah datang ke kota R untuk mencariku, tapi aku berharap tidak. Aku tidak ingin mereka bertemu dengan kepala sekolah atau ke tempat kosku dan bertemu pemilik kos. Lebih baik mereka menganggapku hilang atau sudah mati. Dan aku juga mencoba tidak memikirkan mereka. Sebenarnya aku bisa saja membohongi mereka bahwa semuanya baik-baik saja, dan mengirimkan kabar-kabar yang bahkan lebih baik dari hari sebelumnya, seolah-olah semuanya berjalan sesuai doa mereka untukku. “Sekarang aku berpikir bahwa mestinya aku melakukan itu, mengirimi mereka kabar-kabar yang sesuai harapan mereka, namun keadaanku saat itu tidak memungkinkan. Tak bisa kuceritakan tentang cahaya kepada mereka ketika mataku hanya bisa melihat kegelapan. Aku bahkan tidak tahu apakah esok pagi aku akan meneruskan hidup atau mengakhirinya.” “Kenapa tak kau lakukan, Ibu?” tanyaku. “Apa maksudmu?” tanyanya.
Biasanya ia tidak pernah menanggapi pertanyaanku. Itu kali pertama ia melakukannya, suaranya terdengar sengit dan matanya mengawasiku lekat-lekat. “Kau pikir aku sebaiknya mati?” lanjutnya. “Tidak akan! Aku tidak akan mempermalukan para leluhur dengan tindakan pengecut.”
I
BU hidup memencilkan diri setelah diusir dari tempat kos. Ia pergi ke kota lain dan melamar pekerjaan pada pemilik warung makan di daerah pinggiran. Malam hari ia tidur di warung itu dan mengajak bercakap-cakap perutnya yang kian membengkak. Aku tidak pernah punya ingatan tentang warung tersebut. Satu-satunya tempat tinggal yang bisa kuingat adalah rumah kecil yang dikelilingi alang-alang, jauh dari siapa pun. Di tempat ini Ibu membesarkanku, dengan rasa kecewa karena ia berharap anak lelaki. Ia menyampaikan kekecewaannya kepadaku pada hari pertama aku masuk sekolah. Kami menuruni setapak yang menurun dan berkelak-kelok dan rasanya kami tidak akan pernah sampai ke sekolahan. Di sekolah aku mendapatkan nama Sutanto sebagai ayahku. Ibu mengatakan kepada guru, pada hari pendaftaran, bahwa aku tidak punya surat-surat dan tidak punya ayah. “Semua anak punya ayah,” kata guru. “Saya sudah menyampaikan apa adanya,” kata ibu. “Tulis saja Susanto atau apa pun,” kata guru. Ibu mengikutinya. Ia menuliskan nama Sutanto di lembaran data siswa dan nama itu bisa kau baca di semua raporku dan di semua lembaran yang aku harus mengisikan data diriku. Nama ayah: Sutanto. Itu orang yang tak pernah ada.
Aku menangis ketika harus masuk kelas dan duduk di sebuah ruangan bersama anak-anak lain dan harus mendengarkan omongan perempuan dewasa yang bukan ibuku. Aku tidak pernah mengenal orang lain kecuali ibu. Kadang-kadang aku melihat anak-anak lain dari kejauhan. Kadang-kadang aku berpapasan dengan orang dewasa saat mencari kayu bakar. Namun hanya dengan ibu aku bercakap-cakap. Dalam perjalanan pulang kubilang kepadanya aku tak mau sekolah. “Jangan membuatku marah,” katanya. “Kau tahu, kau sudah mengecewakan aku sejak hari kelahiranmu. Sekarang jangan bikin aku marah.” Sebagaimana ia telah berterus terang tentang apa saja mengenai dirinya, pada hari itu ibu mengatakan bahwa sebetulnya ia menginginkan anak lelaki. Ia membangun rencana dengan harapan bahwa anaknya lelaki dan aku membuat segala rencana di dalam kepalanya berantakan karena aku perempuan. “Jadi aku tak ada gunanya bagimu, Ibu?” tanyaku. “Tak ada gunanya bagi rencanaku,” jawabnya. “Dan apa rencanamu, Ibu?” tanyaku. Ibu diam saja sampai kami tiba di rumah dan ia baru menjawab pertanyaanku dua tahun kemudian: “Demi darah leluhur yang mengaliri tubuhku, aku akan membuat perhitungan dengan mereka. Karena itu aku ingin anakku lelaki. Ia akan melakukan apa yang harus dilakukan.” Kalimat ini kudengar saat aku sedang mengerok punggungnya dengan uang logam. Ia masuk angin. Kulit punggungnya menjadi merah tua pada jalur-jalur bekas kerokanku. Empat tahun kemudian, ketika umurku tiga belas, ia mengulangi kalimat yang kurang lebih serupa. Aku mengingatkannya.
“Kau tidak pernah melahirkan anak lelaki, Ibu. Aku anakmu dan aku selalu mengingat nama-nama.” “Tapi kau perempuan,” gerutunya. “Aku bisa mengingat nama-nama mereka meski aku perempuan dan kau bisa mengatakan kepadaku apa yang harus kulakukan.” Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Jika ibu mengatakan kepadaku apa yang harus kulakukan, aku akan melakukannya. Di dalam tubuhnya mengalir darah bajak laut leluhur kami. Di dalam diriku mengalir separuh darahnya dan separuh darah bajingan yang menghancurkan hidupnya. Di atas semua itu, aku berutang nyawa kepadanya. Ia tidak menyingkirkan aku dari rahimnya meski aku menyusup tanpa ia kehendaki. Dan aku berterima kasih ia telah berterus terang kepadaku tentang keadaannya, juga tentang asal muasalku, sejak aku masih di dalam perut. Namun, sampai hari kematiannya dua bulan lalu, ia tidak pernah menyebutkan apa yang harus kulakukan. Aku memohon kepadanya dan menggenggam tangannya kuat-kuat hari itu. Ia hanya memandangiku. Bibirnya bergetar namun ia tetap tidak mengatakan apa pun sampai kurasakan tangannya menjadi dingin. Umurku 33 saat itu dan aku memahami seluruh kepedihannya. Meski ia tidak pernah mengatakan kepadaku apa yang harus kulakukan, di depan makamnya aku mengucapkan janji: “Darah leluhur kita juga mengalir di dalam diriku, Ibu, dan aku selalu mengingat nama-nama mereka. Maka, tenteramlah tidurmu di sana, aku pasti melakukan apa yang harus kulakukan. Mungkin caraku tidak sesuai dengan caramu, tetapi aku anakmu dan aku tahu apa yang harus kulakukan.”
A.S. Laksana tinggal di Jakarta. Buku cerita pendeknya yang mutakhir adalah Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantuhantu. (Dimuat di Koran Tempo, 15 September 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Aswatama Pulang Cerpen Gunawan Maryanto
“A
KHIRNYA kuda itu datang, Anakku. Menolongku.” Aswatama menghela napasnya. Panjang. Di kejauhan terdengar ringkik kuda dari sebuah padang—seperti sebuah panggilan pulang. Cukup. Kalimat itu sudah menjawab seluruh pertanyaannya. Ia tak memerlukan kelanjutan cerita itu. Cukup! Ibuku adalah seekor kuda! Jadi benar kata tetangga. Jadi benar kata teman-teman sekolahnya dulu. Krepi bukan ibu kandungku. Tubuh Aswatama bergetar. Kebenaran itu membuatnya gentar. Matanya menatap tajam tubuh bapaknya yang tergolek di ranjang. Tubuh lelaki tua itu tampak lebih kecil dari yang seharusnya. Mulutnya terbuka seperti hendak melanjutkan cerita. Tapi tak keluar suara apa pun dari mulut itu. Aswatama pun tak sanggup berkata apa-apa. Ia hanya bisa mengepalkan kedua tangannya. Sekuat-kuatnya. Menggenggam kekosongan yang tiba-tiba menguasai seluruh dirinya. Kekosongan
yang menghapus kehadirannya pelan-pelan. Sekali lagi ia menghela napasnya. Seperti berusaha mengisi tubuhnya dengan udara atau apa saja. Ia tak mau hilang. Tapi tak ada yang datang. Bahkan seekor kuda.
“P
ULANGLAH segera. Bapakmu sekarat di rumah sakit.” Suara perempuan itu datar. Hampir-hampir tanpa tekanan. Tanpa tanda baca. Aswatama tak bisa membaca perasaan apa pun dalam percakapan telepon yang begitu singkat itu. Bukan percakapan sebenarnya. Aswatama bahkan tak sempat mengatakan sepatah kata apa pun. Telepon di seberang sudah ditutup saat Aswatama menyadari bahwa dirinya telah terdiam begitu lama sambil menempelkan ponsel di pipinya. Ia terdiam seperti patung Dewi Windradi di pusat kota. Patung tersedih yang pernah disaksikannya— di tengah kolam dengan tiga ekor kera yang sedang berenang mengitarinya. Konon ketiga ekor kera itu adalah anak dari sang Dewi yang terkutuk jadi kera karena berebut Cupu Manik Astagina. Tapi Aswatama tak sedang bersedih sepert Dewi Windradi yang tengah melihat ketiga anaknya menjadi kera. Aswatama tak tahu perasaan macam apa yang telah menguasainya. Tapi yang jelas bukan kesedihan. Ia tak bisa menamai perasaannya yang lempang dan
lengang seperti jalan-jalan di Sokalima yang telah 20 tahun ditinggalkannya. Dan kini sebuah kabar dengan nada yang datar memanggilnya pulang ke Sokalima. Krepi, ibunya, menelepon. “Pulanglah segera.” Krepi. Aswatama terbayang wajah ibunya—perempuan yang selama bertahun-tahun dianggapnya sebagai ibu. Di dadanyalah ia kerap menghabiskan airmatanya ketika masih bocah, saat teman-teman sepermainannya mengolok-olok sepasang kakinya yang mirip kaki kuda. “Aswa anak kuda! Aswa anak kuda!” Aswatama berlari secepat kuda mencari ibunya. Di rumah, di pasar, di sawah, di jalan atau di mana saja. Ia mencari dada Krepi. Dan menangis di sana. Dada Krepi adalah rumahnya. Tempat paling aman dan nyaman di seluruh dunia. Hingga Aswatama beranjak remaja, dada Krepi adalah dunianya. Apakah dada itu masih hangat seperti saat terakhir ditinggalkannya? Masih digelayuti sepasang payudara yang putih dan lembut? Bau tubuh Krepi kembali datang mengurung Aswatama. Dan tanpa bisa dicegah kemaluannya menegang. “Ibu... Krepi...” Bibir Aswatama bergetar membisikkan namanya. Malam jahanam itu kembali datang mengunjungi Aswatama. Sebuah malam di mana ia sama sekali tak bisa memejamkan mata. Hatinya gelisah tanpa alasan. Seperti ada yang terus-menerus mengganggunya. Umurnya hampir 17 tahun waktu itu. Masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Dengan malas ia keluar kamar setelah yakin tak akan bisa tidur malam itu. Ia melangkah menuju beranda. Mungkin dengan merokok di teras sambil menikmati malam rasa gelisahnya akan berkurang. Saat itulah ia dengar isak tangis seorang perempuan dari kamar orangtuanya. Aswatama berjingkat pelan menuju kamar mereka. Isak tangis itu makin jelas terdengar. Pintu kamar separuh terbuka. Aswatama merapatkan tubuhnya ke dinding lalu
bergerak pelan mendekati pintu kamar. Isak tangis itu makin mengeras seperti menyambut kedatangannya. Suara tangis Krepi, ibunya. Aswatama makin gelisah. Sesuatu mungkin baru saja terjadi. Ia menajamkan pendengarannya. Hanya tangis ibunya yang terdengar. Ia sama sekali tak mendengar tangis Durma, bapaknya. Ke mana dia? Aswatama bertanya-tanya. Atau jangan-jangan sesuatu telah terjadi pada bapaknya. Masih dengan penuh kehatihatian Aswatama melongok ke dalam kamar orangtuanya. Dalam remang cahaya ia menangkap sosok ibunya. Duduk di tepi ranjang. Membelakanginya. Bapaknya tak ada. Hanya ibunya sendirian. Duduk, tertunduk dan menangis. “Ibu...” Aswatama berbisik memanggilnya. Tangis itu seketika terhenti. Krepi menoleh ke arah pintu kamar dengan kaget. Dengan gugup ia menelan airmatanya begitu tahu Aswatamalah yang berdiri di ambang pintu. “Oh, kamu, Aswa. Masuklah.” Aswatama buru-buru masuk dan memeluk Krepi. “Ibu kenapa nangis? Bapak ke mana?” Krepi kembali terdiam. Airmatanya kembali mengalir deras seperti Bengawan Silugangga. Aswatama mengguncang-guncang tubuh ibunya, “Kenapa, Bu?” Krepi tetap tak menjawab. Isak tangisnya kembali terdengar. Lebih keras. Lebih panjang. Ia memeluk Aswatama sekencangkencangnya. Aswatama gugup. Jantungnya berdegup dengan cepat. Perempuan yang tengah memeluknya itu terasa bukan ibunya. Aswatama seperti tengah memeluk seseorang yang baru saja dikenalnya. Seorang perempuan yang membuat seluruh bulu tubuhnya meremang. Tubuh Krepi yang terbalut gaun tidur tipis begitu menggetarkan Aswatama. Aswatama menatap mata Krepi. Krepi menatap mata Aswatama. Dan bibir keduanya pun bertemu.
Entah berapa lama mereka berdua saling pagut. Saling gigit dan berguling-guling di ranjang. Hingga kemudian Aswatama menatap mata kiri Krepi dalam-dalam. “Banyu suci pitung prakara, sadurunge tumetes, manggon aneng dhangkeling rikinaningsung, nuli ingsun tetesake saka pucuking braja, manggon ana cupu kang ana tengah dadi rasa mulya, tumibaa manungsa kang mulya.”5 Krepi menjerit menerima kedatangan Aswatama dalam tubuhnya. “Ae, rahmu. Ae, rahku. Ae, rasamu. Ae, rasaku. Rasamu kalah kaya rasaku.”6 Ia menghirup napas Aswatama dalam-dalam. “Masuki aku, Aswa! Masuki tubuhku!” Dan kemudian tak ada suara lagi. Sokalima diam seribu bahasa. Jalanan lengang ditinggalkan para pejalan. Serangga-serangga malam masuk kembali ke dalam liangnya. Awan hitam menghapus bulan dan bintang-bintang. Sebuah malam yang kosong tanpa penghuni. Paginya Aswatama pergi meninggalkan Sokalima untuk selama-lamanya. Malam itu adalah malam terakhir ia bertemu dengan Krepi. Tak akan ada malam-malam yang lain dengan Krepi. Dengan ibunya sendiri. Aswatama berusaha lari sejauhjauhnya. Dikejar rasa bersalah yang berlebihan. Dua puluh tahun ia berhasil meninggalkan Krepi. Hingga beberapa saat yang lalu, perempuan itu memanggilnya pulang.
5
Air tujuh rupa, sebelum menetes, berdiam di dalam akarku, segera kuteteskan dari ujung pusakaku, berdiamlah dalam lubang tengahmu dan jadilah rasa mulia, jadilah manusia mulia. (Mantra Jawa sebelum bersetubuh) 6 Aih, darahmu. Aih, darahku. Aih, rasamu. Aih, rasaku. Rasamu kalah sebagaimana rasaku. (Juga mantra Jawa sebelum bersetubuh)
S
EPANJANG jalan menuju Sokalima Aswatama berusaha menggambar wajah bapaknya. Sekena-kenanya. Dua puluh tahun mungkin telah mengubah banyak hal. Tapi mungkin juga tidak. Durma barangkali masih tetap seperti saat terakhir ditinggalkannya. Tak ada yang berubah. Durma tetap seorang guru olah raga di sebuah SD yang bertangan dingin dan tak banyak bicara. Seorang bapak yang begitu mencintai anaknya lebih dari segalanya. Seorang lelaki dengan tubuh yang cacat dan penuh luka. Dan kini sedang terbaring sendirian di rumah sakit. Menanti ajalnya tiba. Ingatannya melayang pada sebuah petang. Pada sebuah pelajaran memanah di tanah lapang. Aswatama, yang berumur lima tahun saat itu, memegang busur panjang melebihi tinggi tubuhnya. Ia sudah memasang sebatang anak panah dan mengarahkannya pada sebuah sasaran; orang-orangan sawah dengan wajah yang ditempeli gambar seseorang yang tak dikenalnya. “Tatap mata orang itu, Aswa. Dan lepaskan panahmu saat kedua mata itu telah menjadi satu di matamu!” Durma berdiri di samping anak lelakinya satu-satunya itu. Aswatama kecil menatap sasarannya. Menatap mata seseorang yang tak dikenalnya. “Siapa dia, Pak? Gambar siapa yang Bapak tempel di sana?” “Seseorang yang paling jahat di muka bumi ini. Seseorang yang pantas untuk mati. Tatap matanya, Aswa, jangan lepaskan!” Aswatama menatap sepasang mata itu. Ia tak menemukan pancaran kejahatan di sana. Ia justru menemukan cahaya yang begitu lembut dan penuh dengan kasih sayang. Wajah seorang bapak yang begitu teduh. “Tapi siapa dia? Apa kejahatan yang telah dilakukannya?” “Lihat baik-baik bapakmu. Kamu akan tahu kejahatan apa yang telah dilakukannya!”
Aswatama menoleh tanpa menurunkan busurnya. Ia menatap tajam bapaknya. Berusaha mencari jawabannya di sana. Di hadapannya tegak berdiri seorang lelaki dengan kaki pincang, tangan pengkor dan wajah yang rusak. Aswatama terhenyak seolah baru saja menyadari keadaan tubuh bapaknya yang porak poranda itu—seperti sebatang pohon randu rusak yang masih tegak sehabis dihantam badai bertubi-tubi. Selama ini ia menganggapnya sebagai sebuah kewajaran, sebuah kelaziman, bahwa bapaknya memang ditakdirkan dalam keadaan demikian. Dan demikianlah bapaknya seharusnya. “Tatap lagi mata itu. Dan lepaskan panahmu sebanyak bisa kamu mulai sore ini. Kelak jika saatnya telah tiba kamu akan berhadapan dengannya. Namanya Sucitra. Kini ia berdiam menjadi seorang pemimpin di Wirata.” Aswatama terbangun dari lamunannya. Kereta tengah berhenti entah di stasiun mana. Ia melihat ke luar jendela. Ia mencari papan nama yang bisa dibacanya. Tak lama kemudian ia telah menemukannya, tersembunyi di balik kerumunan orangorang yang berdiri menunggu keretanya masing-masing. Stasiun Banyu Tinalang. Masih dua stasiun lagi. Aswatama melihat jam tangannya. Tepat tengah malam mungkin ia akan sampai di Sokalima dan segera bertemu dengan bapaknya. Apa yang mesti dikatakannya? Maaf telah lari dari rumah? Maaf telah menyetubuhi istrinya? Maaf tak bisa membalaskan dendam itu? Maaf karena telah jadi seorang pecundang? Di luar itu ia tak punya apa-apa yang bisa diceritakan. Sesuatu yang barangkali akan bisa membuat bapaknya bangga dan mati dengan tenang. Ia bukan Arjuna. Bukan Bima. Bekas teman-teman sekolahnya. Bekas murid-murid bapaknya yang kini telah menjadi orang-orang besar. Bahkan ia bukan Duryudana, si murid paling bego yang kini telah jadi pemimpin
itu. Ia bukan siapa-siapa. Tak seorang pun mengenalnya. Meski kemampuannya setanding dengan Arjuna, ia tetap hanya seorang pecundang. Aswatama membuang wajahnya ke luar jendela kereta. Gelap. Tak ada apa-apa di luar sana. Kereta terus menyeretnya menuju Sokalima. Membawanya kembali berhadapan dengan berbagai kenyataan. Aswatama menghela napasnya. Memejamkan mata dan mencoba tidur. Ia ingin bangun di sebuah tempat yang tak dikenalnya. Menuntaskan 6000 tahun pengembaraannya sebagai seorang ciranjiwin—hidup abadi dan tak mengenal cinta.(*)
Jogjakarta, 2013
Gunawan Maryanto giat di Teater Garasi, Jogjakarta. Buku puisinya yang mutakhir adalah The Queen of Pantura (2013).
(Dimuat di Koran Tempo, 8 September 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrahman)
Kapal Perang Cerpen Yusi Avianto Pareanom
Semarang, 1975-1981
S
ATU hal yang lebih menjengkelkan Abdullah Yusuf Gambiranom daripada harus membersihkan lantai rumahnya pada sembarang pagi setelah banjir surut adalah pertanyaan tidak perlu dari tetangga-tetangganya tentang suatu perkara yang sudah terang-benderang bagi semuanya: “Ngepel, Pak Yus?” Kepada penanya pertama Abdullah Yusuf akan memberi senyum palsu, kepada penanya kedua ia akan mengangguk dan ujung bibirnya tertarik ke bawah, dan kepada penanya ketiga dan seterusnya ia tak memberi tanggapan apa-apa selain memalingkan tubuh ke dalam rumah sembari menggerutu, “Hei, wong sudah ngerti , kok masih tanya.” Kejengkelan Abdullah Yusuf ini akan terasa lebih legit lagi jika kau mendengarnya dalam versi aslinya, bahasa Jawa Semarangan. Pertanyaan itu mungkin tak dimaksudkan tetangganya sebagai ejekan, tetapi Abdullah Yusuf
tetap sulit menerimanya sebagai kepedulian. Rasa gusar yang muncul akibat pertanyaan itu makin membesar dari tahun ke tahun. Lagi-lagi karena perkaranya memang sudah terang sehingga ia merasakannya seperti penegasan bahwa ia tak kunjung sanggup memutar balik peruntungannya. Para tetangganya sebenarnya tidak lebih punya duit ketimbang dirinya, beberapa malah lebih rudin. Bahkan, kalau kata yang satu ini punya arti, ia ketua RT di kampungnya, yang tanda tangannya dibutuhkan para tetangga jika mereka hendak membuat surat jalan. Hanya saja, tetangga-tetangganya memang sedikit lebih beruntung saat banjir datang. Sekalipun sama-sama kebanjiran, banjir di rumah Abdullah Yusuf lebih lama surutnya karena rumahnya yang berada di ujung timur Kampung Karangapi lebih rendah ketimbang jalanan. Terkadang banjir baru berlalu sehari setelah rumah para tetangga kering. Karangapi bukan kampung kumuh. Letaknya di tengah kota, sekitar tiga kilometer sebelah timur-laut Simpang Lima. Namun
banjir sering sekali bertamu dan khusus di rumah Abdullah Yusuf ia kerasan singgah berhari-hari. Situasinya tidak selalu seperti itu. Banjir mulai datang sejak dua jalan besar yang mengapit kampung ini, Jalan Mataram di sebelah barat dan Jalan Dr. Cipto di sebelah timur, ditinggikan pemerintah kota. Kalau saja Abdullah Yusuf punya kuasa, ingin betul ia menjadikan Karangapi kampung tertinggi di Semarang sehingga untuk mencapainya orang luar mesti menggunakan tangga berjalan seperti yang ia dan juga kebanyakan orang Semarang lainnya lihat pertama kali di pertokoan Kanjengan di kawasan Pasar Johar. Namun, ia tahu itu hiburan kosong. Penghasilan bulanannya, gaji pegawai perusahaan percetakan milik negara dan uang setoran dari beberapa becak yang ia miliki, mesti ia bagi ke tiga jurusan: rumah Karangapi yang ia tinggali bersama ibu dan ketiga anak lelakinya dari perkawinan pertamanya, rumah kontrakan di Rejosari yang ditinggali mantan istrinya dan anak perempuan bungsu mereka, dan rumah Kampung Wotkapal—yang ia tinggali secara bergantian dengan rumah Karangapi—yang ditempati istri keduanya dan ketiga anak mereka. Mantan istrinya bekerja sebagai guru SD dan punya penghasilan sendiri, tapi tak mungkin Abdullah Yusuf lepas tangan. Sebetulnya ketiga anak lelakinya yang tinggal di Karangapi bersamanya tak pernah terlihat risau saat banjir tiba. Malah mereka senang bermain air. Mereka memang masih kanak-kanak. Tetapi, lidah Abdullah Yusuf terasa pahit setiap melihat ibunya yang sudah berumur enam puluh tahun lebih harus berbasahbasah. Ia tak mungkin meminta ibunya berjalan di atas dua kursi yang bergantian dimajukan seperti dirinya jika tak ingin menyentuh air.
Kadang Abdullah Yusuf membayangkan peruntungannya akan berbeda sekiranya paman-paman dan bibinya dari pihak ibu tidak gila judi dan gemar kawin cerai. Sejatinya, kakeknya adalah tuan tanah yang cukup kaya. Selain di Karangapi, kakeknya juga memiliki rumah-rumah di kampung sebelah timur Karangapi seperti Tirtayasa, Pancakarya, dan Rejosari. Sayangnya kekayaan ini dengan cepat berpindah tangan setelah kakeknya meninggal dunia karena keempat pamannya dan bibinya selalu butuh uang cepat dan enggan bekerja. Pengarai bibinya, bungsu dari keenam bersaudara, malah lebih grusa-grusu sekalipun nama yang disandangnya Sabar. Hanya ibu Abdullah Yusuf, Siti Aminah, anak sulung keluarga itu, yang berbeda. Siti Aminah adalah Muslim taat dan harga dirinya tinggi—terlalu tinggi di mata orang-orang. Ia tak pernah mau ribut soal pembagian harta penjualan tanah warisan sehingga adik-adiknya dengan enteng menyisihkan untuknya bagian yang jauh lebih kecil daripada haknya. Baginya, bertengkar soal uang memalukan. Satu-satunya yang tak pernah adik-adik Siti usik adalah rumah yang ditinggalinya bersama Abdullah Yusuf. Ketika adik-adiknya hidup dengan uang warisan, Siti Aminah memilih berjualan udang dan blenyik—semacam bakso udang ebi yang baunya kuat—di Pasar Langgar. Siti Aminah masih terus berjualan sampai Abdullah Yusuf berkeluarga dan mempunyai anak. Abdullah tak sanggup melarang ibunya karena bekerja adalah salah satu kegembiraan utama Siti Aminah. Siti Aminah juga tak mempan saat dibujuk berhenti oleh cucu-cucunya dari anak pertamanya, kakak sulung Abdullah Yusuf. Anak pertamanya ini didapatkan Siti Aminah dari suami pertamanya, bukan ayah Abdullah Yusuf. Cucu-cucu ini sudah dewasa, salah seorang bahkan sudah menjadi pengurus teras Nahdlatul Ulama sekaligus anggota DPRD Jawa Tengah dari
Partai Persatuan Pembangunan. Mereka tak enak hati dengan anggapan orang bahwa mereka membiarkan nenek mereka terus bekerja sementara mereka sudah sanggup menyantuni. Siti Aminah baru mau berhenti setelah seorang pedagang daging babi membuka kios tepat di samping titik ia biasa berjualan. Abdullah Yusuf tak sempat benar-benar mengenal kakeknya karena kakeknya meninggal dunia ketika ia baru berusia tiga tahun. Abdullah Yusuf juga praktis tak mengenal ayahnya, Haji Abdul Mukri, pedagang kap lampu dari Buyaran, Demak. Ayahnya jarang hadir sejak ia kecil karena sepertinya selalu berkeliling Jawa menjajakan kap-kap lampu yang didatangkan dari Eropa. Ia tak tahu apakah kedua orangtuanya bercerai atau tidak, yang ia dengar dari ibunya adalah ayahnya punya banyak keluarga lain. Ia tak pernah mendesak ibunya soal ini, sampai akhirnya ada kabar Abdul Mukri meninggal dunia saat ia remaja. Abdullah Yusuf melayat setelah ayahnya dimakamkan di kampung halamannya. Ayahnya tak meninggalkan apa-apa. Ketika Abdullah Yusuf beranjak dewasa, paman-paman dan bibinya mulai hidup susah. Setelah Abdullah Yusuf bekerja, mereka tak malu-malu meminta uang sekalipun tak membebankan seluruh hidup mereka kepadanya. Mereka semua meninggal terlebih dahulu daripada Siti Aminah. Abdullah Yusuf yang mengurus semua pemakaman mereka. Dari kelimanya hanya seorang pamannya yang mempunyai anak yang kemudian tinggal di samping rumah Abdullah Yusuf. Sepupu perempuannya ini salah satu dari sedikit orang yang tak cerewet saat melihatnya mesti mengepel pagi-pagi setelah banjir surut.
N
ABI Nuh Alaihi Salam membangun bahtera raksasa untuk mengangkut umatnya yang percaya dan semua hewan yang kasat mata—masing-masing sepasang—setelah
mendapatkan wahyu tentang banjir bandang yang sedemikian menakutkan besarnya yang akan menenggelamkan dunia selama berhari-hari. Abdullah Yusuf Gambiranom membuat perahuperahu kertas yang ia pasangi mercon setelah mendapatkan keyakinan bahwa kampungnya bakal kebanjiran lagi setidaktidaknya setengah meter setelah hujan deras turun tanpa ampun satu jam lamanya dan belum menunjukkan gejala ingin berhenti pada suatu malam. Keinginan membuat perahu ini timbul karena Abdullah Yusuf tahu bahwa keesokan pagi atau lusanya ia mesti mengepel rumahnya dan tetangga-tetangganya akan melontarkan pertanyaan yang sama. Nabi Nuh membangun kapalnya di lapangan selama berbulanbulan dan selalu mendapatkan cibiran, bahkan dari anggota keluarganya sendiri. Abdullah Yusuf melipat-lipat kertas di ruang depan rumahnya di bawah tatapan kagum ketiga anak lelakinya. Abdullah Yusuf terberkati dengan tangan terampil, sesuatu yang kelak hanya diwarisi salah seorang anak lelakinya, perahu-perahu kertas buatannya kuat dengan alas sedatar meja. Kecakapan tangannya sebetulnya tak mengherankan ketiga anak lelakinya— mereka pernah melihat ayahnya membuat layang-layang, menjahit, bertukang, bermain gitar, dan masih banyak lagi. Tapi, pemasangan mercon di atas perahu sungguh tak terduga. Merconmercon ini sisa lebaran semalam sebelumnya. “Bapak, ayo nyalakan sekarang,” kata anak lelaki ketiganya. “Sekarang masih hujan,” ujar Abdullah Yusuf. Ketika hujan berhenti dan kampung mulai kebanjiran, anakanak Abdullah Yusuf kembali mendesak ayah mereka segera menyundut mercon di perahu sebelum mereka makin mengantuk. Tetapi, ia meminta ketiganya bersabar sampai tengah malam karena pasti bakal lebih seru. Mata ketiga anak lelakinya membelalak bersamaan. Mereka sudah bisa membayangkan para
tetangga yang bakal terkaget-kaget dan tawa mereka tak terbendung. Perasaan girang ini menumpas kantuk mereka sepenuhnya. Setelah lewat tengah malam, Abdullah Yusuf dan ketiga anaknya membawa keluar perahu-perahu itu dan menaruhnya di buk depan rumah mereka. “Aku mau menyundutnya,” kata anak pertama Abdullah Yusuf. “Tidak, kalian menonton saja, berbahaya,” kata Abdullah Yusuf. Mereka sedikit kecewa tetapi patuh. Abdullah Yusuf memberi sumbu tambahan sebelum menghanyutkan perahu. Selain untuk keamanan juga agar perahu bisa mencapai tengah kampung sebelum mercon meledak. Perasaan berdebar selama berjam-jam menunggu tengah malam sebelum perahu dibawa keluar ternyata pucat saja bila dibandingkan dengan sekitar tiga puluh detik menunggu ledakan dari perahu pertama yang bergerak ke arah barat. Beberapa orang keluar rumah, ada yang hanya melongok dari balik jendela atau pintu begitu mercon pertama meledak. Potongan kertas sisa perahu mengambang di air, beberapa masih melayang di udara. Ketika mereka masih bertanya-apa, Abdullah Yusuf sudah menghanyutkan perahu kedua dan ketiganya. Mercon di perahu ketiga adalah jenis yang istimewa, Gatotkaca, yang meledak dua kali—setelah ledakan pertama ada bagiannya yang mumbul ke udara sampai lima belas meter dan meledak lagi. Malam itu sembilan belas perahu bermercon yang Abdullah Yusuf luncurkan. Setelah perahu kelima, tetangga-tetangga yang sempat melongok keluar sudah menghilang ke dalam lagi kecuali satu orang yang menyaksikan sampai selesai. Mereka tidak berkata apa-apa. Abdullah Yusuf tak sempat memikirkan apakah tetangga-
tetangganya memaki-maki di dalam rumah mereka. Malam itu ia begitu berbahagia melihat paras bungah dan tawa berderai ketiga anaknya.
K
EESOKAN paginya banjir surut dan Abdullah Yusuf harus mengepel lagi. Tapi, kegirangan semalam masih kental. Bukan karena tak ada lagi orang yang melontarkan pertanyaan tentang suatu perkara yang sudah terang-benderang bagi semuanya—ia mengepel—melainkan karena pemikiran bahwa ia bakal bisa bergembira lagi dengan cara yang sama bersama anak-anaknya jika kelak banjir datang lagi. Ia masih mempunyai amunisi cukup. Dan, betul saja, peluncuran perahu-perahu bermercon masih terjadi beberapa kali sampai ia dan anakanaknya bosan sendiri.
P
ADA 1981, bisnis percetakan swasta yang Abdullah Yusuf dan dua temannya rintis setelah keluar dari tempat mereka bekerja mulai cerah. Mereka banyak mendapatkan proyek dari pemerintah daerah Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun itu pula ia merenovasi total rumahnya. Yang paling mencolok adalah ia meninggikannya hampir satu setengah meter. Ketika kemudian pada tahun yang sama banjir besar melanda Semarang dan semua rumah di kampungnya kebanjiran lebih dari satu meter, rumahnya tetap kering. Hari itu ia sudah melupakan perahu-perahu bermerconnya, tapi ia sungguh berharap air makin tinggi saja.(*)
Yusi Avianto Pareanom mengelola penerbit Banana di Jakarta. Buku cerita pendeknya adalah Rumah Kopi Singa Tertawa (2011).
(Dimuat di Koran Tempo, 1 September 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrahman)
Muslihat Membunuh Panglima Langit Cerpen Triyanto Triwikromo
T
AK ada yang memperhatikan dua perempuan yang tengah mempercakapkan rencana pembunuhan di Dante Coffee yang sunyi itu. Musik mengalun pelan dan bisikbisik mereka nyaris tak terdengar. “Aku meminta tolong kamu membunuh Panglima Langit Abu Jenar untuk Tuhan,” kata perempuan cantik berumur 40-an itu kepada Widanti. “Membunuh untuk Tuhan?” “Ya, siapa pun yang bisa membunuh Abu Jenar akan menyelamatkan sebuah tanjung, sebuah dunia. Dan menyelamatkan dunia, berarti menyelamatkan Tuhan, bukan?” Hmm, aku bukan siapa-siapa, batin Widanti. Aku bukan Aomame yang memiliki alat pemecah es ramping yang bisa digunakan untuk membunuh siapa pun. Bahkan jika aku punya
senjata penghilang nyawa itu, aku belum tentu berani menusukkan ujung jarum yang halus itu ke titik maut di tengkuk lelaki yang belum kukenal. “Kau tidak perlu memikirkan dengan apa kau harus membunuh Panglima Langit,” kata perempuan berwajah dingin itu, seperti mengerti apa pun yang ada di benak orang lain. “Siapa Abu Jenar?” “Dia sesungguhnya orang yang pernah berada dalam kekuasaanku juga,” kata perempuan itu masih dalam nada datar. Widanti tidak suka pada ungkapan berada dalam kekuasaanku. Selama 15 tahun melepaskan diri dari kehidupan karut-marut keluarga dan memilih tinggal sendiri di kos-kosan pada usia 15 tahun, dia telah menjadi perempuan yang nyaman jika tidak berada dalam pengaruh orang lain. “Dia orang yang kau suruh membunuh orang-orangmu juga?” tanya Widanti. Perempuan yang menguarkan harum Dior itu menggeleng. Kini dia tampak berhati-hati memilih kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan itu. “Aku tidak pernah bertemu dengan Abu Jenar. Aku hanya meminta orang-orang suruhanku agar dia menghancurkan makam keramat Syekh Muso dan menjadikan seluruh keluarga di jantung itu bertekuk lutut kepadanya. Setelah tak ada lagi yang berani melawan Panglima Langit, orangorang
suruhanku akan merebut seluruh jengkal tanah dan menjadikannya sebagai resor.” Widanti masih menangkap kejemawaan dalam ucapan perempuan itu. “Sayang sekali,” perempuan itu mencerocos, “Abu Jenar kemudian tidak bisa dikendalikan. Dia ingin sekali menjadi syekh baru di kampung itu. Siapa pun telah bisa dia kendalikan. Kiai Siti, tetua kampung, tampak sudah bertekuk lutut. Rajab, pemuda pemberang yang diharapkan menjadi pemimpin masa depan, juga tak memiliki taring lagi. Kufah, bocah kencur manis, bahkan akan dijadikan istri. Dan menurut perhitungan kami, dia akan menolak menjadikan tanjung itu sebagai resor. Dia akan meledakkan makam, tetapi tidak akan menghilangkan apa pun yang pernah ada di tanjung itu. Dia tak akan mengusir bangau-bangau dan membabat hutan bakau...” Ada rasa ngeri yang berkecamuk di otak Widanti saat membayangkan sosok Panglima Langit Abu Jenar. Dia pasti lakilaki bertubuh kokoh, mahir bersilat, memiliki mata yang menyihir, dan mungkin tak bisa dikalahkan oleh perempuan mana pun. “Kau tidak perlu takut,” perempuan itu lagi-lagi seperti bisa membaca apa pun yang dipikirkan oleh Widanti. “Aku tak takut. Aku hanya...” “Kau tidak perlu khawatir,” perempuan yang mungkin paling pas digambarkan sebagai Gong Li bersetelan Calvin Klein itu mencoba meyakinkan, “Semua yang kau butuhkan untuk membunuh Abu Jenar sudah kami siapkan. Bahkan orang-orang yang akan membantumu melenyapkan Panglima Langit itu juga sudah kami hubungi...” Widanti terdiam. Dia hanya membatin: Pasti perempuan ini tidak akan memberikan pistol baja otomatis Heckler & Koch 9 mm—sebagaimana dihadiahkan seorang bodyguard kepada
Aomame—untuk sewaktu-waktu kutembakkan kepada orang lain atau diri sendiri. Apalagi aku bukan pembunuh bayaran. Aku hanya lulusan antropologi budaya yang rapuh dan perempuan yang suka mendongeng. Karena itu, aku harus berusaha mendapatkan pistol itu. Dari mana pun. Dari siapa pun. Karena penasaran, Widanti memotong perkataan perempuan itu. Dia tidak ingin terlibat dalam urusan lenyap-melenyapkan nyawa. “Tugas itu terlalu berat untukku. Aku tak tahu mengapa kau memilihku.” “Justru karena kau antropolog budaya dan pendongeng, aku memilihmu. Hanya pendongeng dan antropolog yang bisa mengalahkan pembual. Percayalah, kau akan gampang menyusup ke tanjung itu. Kau hanya akan pura-pura menulis riwayat tanjung itu, berwawancara dengan Panglima Langit Abu Jenar, bersahabat dengan Zaenab dan Rajab, bermain-main dengan Kufah, mengawasi segala hal yang terjadi di kampung itu dan melaporkan kepadaku.” Widanti mencoba menghapalkan nama-nama yang disebut dan membenamkan ke otak dalam-dalam. Dia seperti dipaksa merapal mantra. “Lalu kapan aku harus membunuh Abu Jenar dan dengan apa aku menghabisi nyawa Panglima Langit yang tak bisa dikendalikan itu?” “Kau tidak perlu memikirkan dengan apa harus membunuh Abu Jenar. Semua akan berlangsung spontan. Senjata apa pun akan mematikan. Kau juga tidak perlu mengetahui kapan waktu yang tepat untuk membunuh. Jika waktunya telah datang kau akan dengan gampang membunuhnya.” “Tapi melihat kecoa pun aku takut. Bagaimana aku harus membayangkan pria yang kubayangkan sebagai raksasa itu?” Widanti berbohong.
“Aku yakin kau akan bisa melakukannya.” “Mengapa kau begitu yakin aku akan mau melakukan tugas gila ini?” kata Widanti sambil mengingat kali pertama dia menyiramkan bensin pada anjing yang telah dia salib di tiang dan membakarnya hidup-hidup. “Sudah kubaca semua tulisanmu. Aku tahu kau adalah penulis kolom di berbagai media yang sangat habis-habisan menyerang siapa pun pemuja pedofil di negeri ini Kau juga tak suka menentang pemujaan individu yang berlebihan. Waktu remaja kau bahkan penentang utama Soeharto.” “Ya, tetapi semua kulakukan dengan tulisan,” kata Widanti berbohong lagi sebab pada usia 15 tahun dia pernah menendang kemaluan teman sepermainan yang kurang ajar mencolek payudaranya yang mulai membesar, “Sedikit pun aku tak menggunakan kekerasan.” “Kau tidak akan menggunakan pistol, kau tidak akan menggunakan pisau, kau hanya akan menjadi bagian dari kisah pembunuhan yang kami rancang.” “Kalau aku menolak, apakah kau akan melakukannya juga?” “Kau tak akan bisa menolak.” “Tak bisa menolak?” “Ya, kami sudah menculik ibumu dan akan kami bunuh jika kau menolak tugas ini,” kata perempuan itu sambil menunjukkan beberapa foto. Widanti terkejut. Dia melihat beberapa pria bertopeng mengikat ibunya di sebuah kursi di sebuah tempat yang tidak dia kenal. Dia tidak menyangka keluarganya akan terlibat dalam urusan berat yang membuat perutnya mual. Sebenarnya kalian culik ibuku, aku tak peduli. Sudah sejak lama kami bermusuhan. Hanya, sangat biadab jika dia harus mati karena terlibat dalam
urusanku. Karena itu, apa boleh buat, aku tak akan menolak tawaran untuk membunuh Abu Jenar, musuh konyolmu itu. Widanti membatin lagi: Perempuan ini benar-benar serupa Don Corleone. Dia memberikan tawaran yang tak mungkin kutolak. Tentu aku tak ingin kepala ibuku dihajar dengan tongkat pemukul bola kasti hingga pecah, hingga otaknya memburai dan berhamburan tak karuan. Widanti berpendapat: Permusuhanku dengan ibuku akan imbang jika dia tak diancam oleh siapa pun. Karena itu membunuh Abu Jenar lebih merupakan upayaku untuk menyelamatkan ibuku. Aku tak punya kepentingan lain kecuali mengembalikan kemerdekaan ibuku untuk membenci dan memusuhiku. “Mulai besok hiduplah dengan duniamu yang baru. Lihatlah dengan cermat foto-foto Abu Jenar, Kiai Siti, Kufah, Zaenab, dan Rajab. Belajarlah mengenakan hijab dan bertingkahlah sebagai muslimah yang memesona,” perempuan itu berkata sambil menyerahkan map merah. “Pelajari apa pun yang membuatmu nyaman tinggal di tanjung itu.” Widanti tercenung. Dia dan perempuan itu tak pernah meminum cappuccino dan espresso yang telah disediakan pramusaji. Mereka juga tidak pernah mendengarkan “Imagine” John Lennon dan lagu-lagu lain yang mengalun sepanjang percakapan. Mereka bergegas meninggalkan kafe seakan-akan tak ada waktu lagi untuk membunuh hewan bantaian.
S
ESEORANG telah memaksa agar aku tak menjadi diriku sendiri, Widanti membatin di depan cermin di atas wastafel. Dia merasa meskipun sepanjang waktu akan mengenakan kerudung tipis warna ungu, wajahnya sebentar lagi akan bermetamorfosis dari kelinci manis menjadi serigala yang
menyeringai. Dia tidak membayangkan sebelumnya bagaimana seorang pendongen dan antropolog yang rapuh harus terlibat dalam rencana pembunuhan yang sangat mungkin membahayakan. Tak apa-apa. Ini takdir dan nasib yang harus kujalani. Widanti lalu mencoba membayangkan aneka satwa sehabis menancapkan taring di daging segar dan menemukan wajah paling mengerikan yang akan dia kenakan saat selesai membunuh Panglima Langit. Celaka! Dia merasa tak menemukan wajah itu. Dia justru dipaksa menatap wajah teduh berkerudung ungu. Wajah yang mungkin bakal dia temukan di surga. Saat itu, cermin seakan-akan bilang, “Kau bunuh seribu orang pun wajahmu bukan wajah pembunuh.” Widanti sekali lagi memeriksa wajahnya. Aku akan bisa menghilangkan wajah itu kalau aku bunuh diri. Tapi aku tak akan bunuh diri. Aku masih harus menyelamatkan ibuku. Menyelamatkan? Mungkin tidak. Widanti hanya ingin bertarung secara imbang dengan ibunya. Lebih tepat lagi, dia ingin membalas segala perbuatan sang ibu pada masa lalu. Dia lalu teringat betapa pada usia 10 tahun setiap sehabis mendengar ibu dan ayahnya bertengkar, saling gigit, dan terengah-engah di ruang tamu sang ibu dengan mata menyala menghajar punggung rapuhnya dengan ban dalam sepeda motor. “Sudah bilang jangan mengintip kami, masih juga kau lakukan perbuatan busukmu ini. Dasar anak anjing!” Meskipun tak pernah paham mengapa diperlakukan semacam itu, Widanti tidak pernah merasa lahir dari rahim anjing. Dia juga tak pernah berani membayangkan di wajah ibunya yang cantik tumbuh moncong panjang penuh liur. Tetapi setelah dua puluh tahun, kini dia tahu siapa yang sesungguhnya layak disebut sebagai anjing. Dia selalu
menghajarku setelah menjerit-jerit ketika bercumbu dengan ayah. Sebelum kutinggal minggat ke rumah nenek, ibu bahkan berusaha menusukku dengan pisau dapur. Saat itu aku tahu ayah dan ibu mabuk berat sebelum mereka bercinta di sofa. “Kau masih suka mengintip percumbuan kami ya? Kau kira hanya ayahmu yang sanggup menyiksaku? Kau sangka aku tak berani membunuhmu?” kata ibuku dengan geram sambil mengacungkan pisau. Tak kujawab pertanyaan itu, tetapi sejak itu aku mulai paham ada darah hewan berliur yang menjijikan di tubuhku. Saat itu pula sambil menghindar dari amuk ibu aku berkhayal menjadi anjing herder kuat yang sewaktu-waktu bisa menancapkan taring kokoh di tengkuk satwa tua yang kian dan rapuh. Kini kau kian tahu mengapa aku berhasrat menyelamatkan ibuku, bukan? Widanti tidak pernah ingin menjawab pertanyaan itu. Dia lebih memilih bergegas ke ruang tamu. Dia membuka map merah berisi foto-foto dan keterangan singkat orang-orang yang akan ditemui di tanjung yang belum pernah dia kunjungi itu. Ketika dengan cermat Widanti menatap foto seorang pria tinggi berjenggot dan bersorban, ponselnya berbunyi. Sebuah nama muncul di layar dan dia tidak mungkin menolak ajakan bicara dari perempuan yang siang tadi memberi instruksi agar Widanti membunuh Panglima Langit Abu Jenar. “Jangan pernah menganggap dia sebagai Ayatullah Khomeini meskipun sorban yang dia kenakan sama,” kata suara dari seberang. “Yang harus kau mengerti dia merasa diutus oleh Allah untuk menyelamatkan tanjung dari kemungkaran. Sihir terkuat yang paling dia miliki, Abu Jenar hapal hampir seluruh ayat Allah. Ini membuat warga tanjung, termasuk Kiai Siti, tak berani melawan segala yang dia inginkan. Sebelum ke tanjung, dia sudah
memiliki tiga istri. Setelah tiba di tanjung, dia ingin memperistri Kufah. Kau tahu berapa umur Kufah?” “Berapa?” “Baru 11 tahun. Kau pasti bisa membayangkan bagaimana bocah sekencur itu dipaksa bercumbu oleh lelaki kekar yang seharusnya jadi kakeknya.” “Tentu mengerikan,” darah Widanti mendidih dan mulai punya alasan utnuk membenci Abu Jenar. “Dan lelaki semacam itu tidak boleh dibiarkan hidup, bukan?” Hening. Widanti bungkam. “Bukan hanya itu kejahatan yang dia lakukan.” “Dia suka membunuh perempuan-perempuan yang dipersitri?” “Tidak. Justru dia sangat menyayangi mereka.” “Lalu apalagi yang dia lakukan?” “Dia suka menyodomi laki-laki kencur.” “Hah!” Widanti kaget. “Sungguh sangat bajingan Abu Jenar. Mengapa tak seorang pun menghentikan perbuatan busuk itu?” “Karena hampir semua orang tanjung—kecuali Zaenab yang dianggap Abu Jenar sebagai perempuan gila—percaya dia bisa melakukan keajaiban apa pun yang dimiliki para nabi. Dia dipercaya bisa menguras air laut dan menjadikan dasar samudera sebagai jalanan, berjalan di atas air, atau menari di mulut ikan hiu raksasa.” “Kau percaya Abu Jenar memiliki keajaiban semacam itu?” “Aku meragukan seluruh kecakapan yang dia miliki. Tetapi hingga sekarang aku belum bisa membuktikan kebohongan Abu Jenar. Karena itu segeralah ke tanjung. Beri tahu aku apakah dia benar-benar lelaki digdaya.” “Kau mengira aku akan pergi ke sana karena menuruti perintahmu?” Widanti tiba-tiba memotong percakapan
perempuan yang tampaknya menelepon dari sebuah kamar yang sangat sunyi itu. “Kini tidak lagi. Tidak kau suruh pun aku akan ke tanjung itu.” Tak menunggu jawaban, Widanti mematikan ponsel. Dia merasa terbebas dari tekanan.
P
ERLU dua minggu untuk mendapatkan pistol baja otomatis 9 mm Heckler & Koch. Seorang penjual barang antik yang memperoleh senjata itu dari penyelundup di pelabuhan menjual murah alat pembunuh yang canggih pada masa 1984-an dan belum teruji jika dipakai pada 2010 itu. Akan tetapi ternyata justru lebih sukar mencapai tanjung yang kelak disebut oleh Widanti sebagai dunia setengah jadi atau surga ½ tuhan itu pada saat kegelapan sudah menyuruk dan di langit tergantung bulan purnama yang begitu indah. Sopir taksi sebenarnya tak mau mengantar andai saja Widanti tidak membayar tiga kali lipat. “Menuju ke kawasan itu kita akan seperti memasuki tahuntahun saat Soeharto membunuh para gali,” kata sopir taksi. “Maksudmu kita akan menemukan begitu banyak mayat tergeletak di jalan?” “Tentu saja tidak,” jawab sopir taksi itu tanpa melihat Widanti yang duduk di jok belakang. “Tetapi jika kita melihat rumahrumah, lampu-lampu, atau model pagar, serta mendengarkan percakapan orang-orang di warung, kita seperti berada pada tahun 1980-an.” “Jangan membual. Aku ini seorang pendongeng. Aku tahu mana bualan mana kenyataan.” “Buktikan saja,” kata sopir taksi lagi-lagi tanpa memandang Widanti. Ya, akan kubuktikan. Dan Widanti memang membuktikan betapa ketika memasuki jalan kecil bergelombang dia merasa
seperti memasuki gerbang selamat datang ke tahun-tahun silam. Kian menyuruk ke dalam dia seperti terputus dengan masa kini dan masa depan. Sepeda dan sepeda motor yang berpapasan rasanya memang berasal dari tahun 1980-an. Pakaian orang-orang yang bisa dilihat dari taksi juga berasal dari masa lalu. “Saya hanya bisa mengantar sampai di sini,” kata sopir taksi begitu sampai di kampung yang menghubungkan kota dengan tanjung. “Untuk sampai ke tanjung, Sampean harus menyeberang dengan perahu.” Perahu? Seumur hidup aku tak pernah berlayar di tasik yang tenang. O, mengapa untuk membunuh Abu Jenar, aku harus berjuang menghilangkan ketakutanku terhadap amuk badai terlebih dulu?
T
ENTU saja perahu bukanlah Siratal Mustaqim. Akan tetapi Widanti—yang kini telah berkerudung tipis warna ungu— merasa perahu itu merupakan jembatan yang memungkinkan dia bertemu dengan Abu Jenar. Karena itu dia menganggap tukang perahu yang nyaris tidak pernah tersenyum itu, sebagai sesosok malaikat yang bakal membantu mencabut nyawa Panglima Langit dengan cepat. Akan tetapi tampaknya tukang perahu terlalu rapuh untuk berhadapan dengan Abu Jenar. “Akulah yang mengantar Panglima Langit ke tanjung itu. Aku tak tahu apakah dia berwajah tampan atau tidak. Aku tak berani menatap wajahnya yang bercahaya. Aku takut buta,” kata tukang perahu setengah berteriak untuk mengimbangi suara mesin perahu. “Apakah di bahunya tumbuh semacam sayap? Apakah dia bisa berjalan di dasar laut Apakah dia bisa menari di perut ikan hiu raksasa?” Widanti juga tak kalah keras berteriak.
“Aku tidak tahu,” kata tukang perahu. “Yang jelas badai reda ketika dia mengibaskan jubahnya.” “Menurutmu apakah dia lelaki yang berbahaya?” “Aku tidak tahu. Bertahun-tahun aku mengantarkan para peziarah ke Makam Syekh Muso, bertahun-tahun pula kucium bau mawar di tubuh para pemuja Sang Junjungan. Tetapi entah mengapa ketika mengantar Panglima Langit, aku mencium bau bangkai.” Tukang perahu tidak meneruskan percakapan. “Apa maknanya?” Tukang perahu tetap diam. “Hoe, apa maknanya? Mengapa tercium bau bangkai di tubuhnya?” teriak Widanti. “Sebaiknya jika tak perlu benar, urungkan niat Sampean untuk bertemu dengannya.” “Mengapa?” “Bahaya. Apalagi Sampean cuma seorang perempuan.” “Hmm, jadi hanya karena aku perempuan, kamu anggap aku tidak berani membunuhnya?” “Membunuhnya?” tanya tukang perahu kaget. “Jangan mainmain. Sampean hanya ingin mengaji kitab kuning kepada Panglima Langit, bukan?” Widanti tidak menjawab. Dia membiarkan tukang perahu takjub pada segala perkataannya.
M
ULAI terdengar suara ribuan bangau ketika Widanti meloncat ke daratan penuh pohon bakau itu. Dia bingung apakah akan menuju ke makam menemui Zaenab terlebih dulu atau langsung ke mesjid dan langsung bergabung dengan para pembunuh Abu Jenar. Jika bertemu Zaenab, apakah perempuan penunggu makam pembenci Abu
Jenar, itu juga akan langsung bergegas menusukkan pisau ke ulu hati Panglima Langit? Aku kira meminta Zaenab membunuh Abu Jenar dengan berbagai cara merupakan pilihan terbaik. Tak perlu ada cipratan darah di tanganku. Hanya, apakah tindakan ini menjadi bagian dari rencana pembunuhan yang sudah dirancang? Bingung menjawab pertanyaan itu, membuat Widanti memutar otak. Aku harus menggunakan bagian otakku yang miring untuk merancang pembunuhan Abu Jenar. Aku tak mau mengikuti rancangan dari siapa pun. Pada saat-saat kritis semacam itu, pada saat dia tidak memercayai muslihat apa pun yang dilakukan orang lain, Widanti memiliki gagasan sableng. Kegilaan harus dilawan dengan kegilaan. Widanti berencana menggunakan kemolekan tubuh untuk menghancurkan Panglima Langit. Aku akan menari telanjang di mesjid. Aku berharap Abu Jenar menganggapku kesurupan dan tertantang menghilangkan setan dalam tubuhku. Saat sudah begitu dekat, aku akan melihat wajahnya. Aku berharap wajahnya tidak menyilaukan sehingga aku akan dengan gampang menggapai pistol yang kusembunyikan di pinggang, mengacungkan senjata mematikan itu, menarik pelatuk, meletuskan berkali-kali, sehingga membuat kepala Abu Jenar pecah dan otaknya memburai. Memikirkan tindakan itu dan mulai melangkah, tubuh Widanti yang hanya mengenakan celana panjang bergetar hebat di bawah bulan purnama yang amis. Lalu ketika dari mesjid, dia mendengar semacam dzikir, semacam salawat, Widanti memutuskan segera menari dan meneriakkan aneka ayat Allah yang dia gabung secara serampangan.
Apakah kau akan mampu melawan muslihatku, wahai Panglima Langit? Apakah kau akan mampu menatap tubuh molekku? Apakah kau mampu menghindar dari tembusan peluru pistol cantikku?(*) Semarang, 24 Juli 2013
Catatan: 1. Aomame adalah tokoh perempuan dalam novel 1Q84 karya Haruki Murakami. Widanti pernah secara serampangan membaca novel yang strukturnya mirip Linghan atau Gunung Jiwa karya Gao Xingjian itu. 2. Gong Li adalah bintang film yang mendapat Hongkong Film Award untuk permainannya dalam Curse of The Golden Flower pada tahun 2006. 3. Widanti pernah menonton sepak terjang Don Corleone yang menciutkan nyali lawan atau kawan dalam film The Godfather.
Triyanto Triwikromo mendapat Penghargaan Sastra Pusat Bahasa untuk kumpulan cerita pendeknya Ular di Mangkuk Nabi (2009). Buku cerita pendek terbarunya Celeng Satu Celeng Semua (2013).
(Dimuat di Koran Tempo, 25 Agustus 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Kisah Seorang Pandai Cerpen Bertolt Brecht
A
LKISAH, hiduplah seorang anak lelaki yang pandai. Sangai pandai. Bahkan luar biasa pandai. Karena kepandaiannya ia dapat mendengar tanaman yang sedang tumbuh di kesunyian malam, dan bahkan kadal yang sedang batuk sekalipun. Ya, kepandaiannya masih banyak lagi. Semua orang mempercayainya, dan tentu saja yang paling percaya adalah dirinya sendiri. Mau tidak mau ia menjadi teladan bagi setiap orang. Ia sendiri juga menyadarinya. Syahdan, suatu ketika ia pun menjadi orang yang sangat pandai. Ia begitu sangat dihargai. Akan tetapi ia masih punya kepandaian lain yang ratusan.. bukan.. ribuan.. bukan.. ratusan ribu kali lebih terhormat. Oleh karenanya ia pun tidak pernah berpikir lamban seperti seekor keledai atau unta; yang menurutnya tidak mungkin terjadi sama sekali. Ya, tentu saja tidak mungkin! Ia berkata pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari hal ini. Bukankah begitu?
Anak itu tumbuh dewasa, bertambah bijaksana dan baik. Keluarganya sungguh-sungguh memikirkan masa depannya dan apakah ada banyak orang sepandai anak ini? Sementara itu saudara-saudara dan teman-temannya berembuk dan membicarakan persoalan besar sekali lagi: harus menjadi apa anak muda yang sangat pandai ini? Pertanyaan penting yang sangat mendesak ini juga menghantui dirinya. Ia bimbang antara menjadi seorang bangsawan sastrawan atau panglima bala tentara. Kedua pekerjaan ini sama baiknya. Seorang bangsawan sastrawan? Hmm, kalau ini setiap orang mudah melakukannya. Keluarganya juga tidak memungkirinya. Ia telah menulis sajak-sajak indah. Bakatnya jelas telah terbukti. Sajak indahnya yang berjudul “Cinta” adalah sebuah mahakarya klasik yang terindah. Salah satu baitnya berbunyi demikian:
Cinta yang indah penuh berkah Dari seluruh hati yang terasa Adalah naluri nan indah, Mengalahkan segala derita
telah mendapatkan banyak pujian. Keistimewaan sajaknya yang lain telah ditunjukkannya, yaitu sajak serupa yang muncul di dalam karya terbarunya berjudul “Dangau”. Menjadi bangsawan sastrawan sudah dipertimbangkannya. Yang kedua, menjadi panglima bala tentara. Juga tidak lazim. Tentu saja di bawah kekuasaan Kekaisaran Perancis-Spanyol, pemuda pandai ini tidak bisa berbuat apa-apa. Mustahil! Cukup mudah baginya untuk menaklukkan mereka. Karena ia mudah menjalin persahabatan dengan Raja Portugis yang sedang berkuasa. Maka saat ia kembali ke Spanyol bersama mereka, ia pun bertitah sebagai seorang Kaisar; tentu saja setelah ia membunuh kaisarnya lebih dahulu. Sangat mudah! Bukankah begitu? Kepandaian militernya ia tunjukkan di usia sangat muda. Menjadi panglima bala tentara tidaklah jelek! Tangannya tampak menimbang-nimbang. Anak pandai ini sekarang terombang-ambing di antara dua pilihan pekerjaan ke sana ke mari. Dua pekerjaan yang sama-sama mempunyai kejelekan dan kebaikan masing-masing. Bangsawan sastrawan, sayangnya, harus dapat menulis sesuatu. Panglima bala tentara juga pertama-tama harus mencari seorang raja yang bodoh, yang nantinya bakal digantikannya. Lama ia menimbang-nimbang. Akhirnya ia memutuskan menjadi pegawai di sebuah toko. Dan ia pun melakukannya karena sekali ia memutuskan bahwa itu akan dilaksanakannya. Beruntung sekali ia kini berada di antara kaleng-kaleng ikan haring dan peti-peti berisi topi.
Idealnya sekarang adalah menjadi pengusaha. Tapi ia sudah lebih dahulu dikenal sebagai pengemis muda yang sosialis. Karena kini usianya menginjak lima belas tahun, ia pun mengalami suatu peristiwa. Lelaki muda yang pandai itu jatuh cinta. Gejala pertamanya adalah eros bunga mawar yang lapar menghinggapi penjaga toko alias bangsawan sastrawan sehingga membuatnya menulis sebuah sajak.. oh.. oh sajak apa itu? Sajaknya bagaikan sebuah wahyu. Panjangnya dua puluh bait dengan kalimat panjang-panjang. Tiap bait terdiri dari sepuluh baris, tiap baris terdiri dari dua belas kata. Sangat kolosal. Mahakarya luar biasa! Tapi itu adalah karya yang pertama. Untuk karya yang kedua ia bersumpah akan menulis sajak berjudul “Mata Hitam Nan Indah” untuk wanita itu. Ia pun bersumpah disaksikan cahaya lilin malam yang terdiam dan juga janggutnya yang panjang, yang sayangnya salah satunya tercabut tidak sengaja. Kemudian mulailah. Terlihat bangsawan sastrawan kita yang tercinta melakukan satu kesalahan kecil. Ia menjadi malu-malu. Semakin sering ia bertemu dengan calon istrinya, semakin ia khawatir menjadi jauh dari pergaulannya yang lain. Bulan demi bulan berlalu. Tahun demi tahun. Dekade demi dekade. Abad demi abad. Ya.. sekarang aku jadi bertindak terlalu jauh sekali. Semua ini terjadi hanya dalam tempo dua bulan. Kemudian suatu hari saat hujan turun, ia melihat wanita itu sedang bergandengan tangan dengan lelaki lain. Bagaimana ia akan pulang malam ini ia tidak peduli lagi. Ia duduk di kamarnya yang kecil seorang diri. Dijauhi Tuhan dan manusia-manusia lainnya. Lalu ia pun menangis. Pertanda buruk jika seorang lelaki sejati menangis.. Tetapi kemudian ia menjadi kesal dengan janggutnya. Selanjutnya dicabutnya helai janggut terakhir di dagunya. Ia menjadi murung. Duduk seharian dengan pikiran kacau. Berbaring di balik peti ikan
haring sambil melamun. Melamunkan sebuah persoalan. Persoalan yang tidak biasa. Pokok persoalannya adalah bagaimana mungkin seseorang yang sangat pandai berpikir lamban? Lama ia duduk dan berpikir... Karena waktu ia pun menjadi gila. Ia selalu bergumam: Aku tidak berpikir lamban. Kalau sampai hari ini belum mati juga, maka aku masih terus hidup...(*)
Bertolt Brecht (1898-1956) adalah penyair, penulis naskah drama dan sutradara Jerman. Cerita pendek di atas diterjemahkan dari versi aslinya, “Die Geschicte von einem, der nie zu Spat Kam” oleh Riva Julianto. (Dimuat di Koran Tempo, 18 Agustus 2013.) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman.)
Selembar Daun Cerpen A Muttaqin
D
AUN ini, entah daun apa—bentuknya bergerigi dan gerigi itu masih seperti beranak-pinak lagi, seperti kombinasi daun sakun, pepaya dan daun ganja—yang entah jatuh dari ranting mana, memintaku jadi pohon. Suatu sore, di jalan pulang, tepat di sisi kelokan yang menghubungkkan langgar, pasar krempyeng, pos ronda dan klinik bersalin, daun itu tiba-tiba bangkit dari tanah dan menghadang langkahku. “Aku mohon, jadilah kau pohon, agar aku bisa menggantungkan tubuhku. Aku daun yang terkutuk. Angin telah menerbangkan aku ke tujuh penjuru, tapi tanah dan air tetap menolak. Aku mohon, jadilah pohon....” Daun terkutuk? Kenapa selembar daun terkutuk? Apa dosa yang telah diperbuat daun ini, sehingga air dan tanah tak menerima jasadnya?
Kembali kuamati daun itu. Geriginya lima. Warnanya merah. Merah tua agak kehitaman, seperti ada dendam diredamnya. Ia berdiri dengan dua gerigi bawah yang bentuknya mirip kaki. Sedang gerigi kanan dan kiri di bawah satu gerigi lain, seperti tangan yang kadang membuat gerakan-gerakan kecil ketika daun itu bicara. Sementara satu gerigi lagi di atas tangannya yang sebelah kanan tak henti-henti bergerak ke atas dan ke bawah. Anehnya, setelah kuamati dengan teliti, daun ini ternyata tidak punya mata. Ia hanya punya mulut yang bergelambir dan hampir-hampir selebar mulut manusia. Dari selingkar mulut itu urat-urat menjalar ke sekujur badan daun, seolah mulut itulah pusat rahasia dan uratnya. Melihat posisi mulutnya, aku curiga mulut itu juga pusat tenaga yang menghembuskan angin sehingga si daun sanggup bergentayangan kemana-mana. Tiga semut keranggang merambat ke badannya, namun daun itu bergeming dan terus memintaku jadi pohon. “Aku mohon, jadilah pohon...” Tubuhku mulai gemetar. Aku teringat cerita tentang
kakekku yang menjelma jadi ulat setelah didatangi maut yang berwujud selembar daun. Semula, aku menganggap cerita itu isapan jempol belaka. Aku menduga, karena kakek seorang petani militan, ia mengenali beragam hal ihwal (termasuk sang maut) dengan perangkat tanaman. Bukan hanya itu. Kakek bahkan menyebut padi sebagai Dewi. Pohon jati ia panggil Kiai. Dan segerumbul bambu suwung di ujung ladang kami ia sebut Ki Blungki. Begitulah. Dan pada sepertiga malam, ketika bulan bundar dan dingin melebar, selembar daun datang mengetuk pintu. Kakek yang tersohor punya semacam linuwih segera mengenali siapa gerangan daun itu. Dan ternyata, taksiran kakek tidak meleset. Daun itu bilang, bahwa jatah umur kakek telah habis, bahwa rohnya telah ditunggu Sang Pohon, di mana segerumbul roh telah menggantung menunggu dan menunggu sampai datang kiamat. Untungnya kakek berhasil mengecoh daun itu. Kakek yang sudah tahu bahwa si daun sesungguhnya utusan maut yang menyamar, segera menjelma jadi seekor ulat. Dengan santun ia berkata pada daun itu: “Wahai daun, karena jiwaku lember dan anakku jelek, aku perlu menempuh laku sebagai ulat bulu. Beri aku waktu menebus dosaku, meringankan siksa yang kelak di hari pembalasan akan memberati punggungku...” Konon, setelah menjadi ulat, bulu-bulu di tubuh kakek berkilat-kilat sehingga daun itu terjingkat lalu terjungkal ke gerumbul kembang di pojok halaman. Kemudian daun itu lenyap. Bersama lenyapnya daun itu, lenyap pula kakekku. “Aku mohon, jadilah pohon, agar aku bisa menggantungkan tubuhku.” Tubuhku gemetar. Daun itu tiba-tiba melebar dan kini berdiri sama tinggi dengan tubuhku. Kulihat mulut daun itu terus komatkamit seolah ingin menguntal tubuhku. Aku ingin menjadi ulat
seperti kakek. Kurapal doa dan mantra. Tapi entah mengapa mantra yang kubaca tidak manjur. Tubuhku kian gemetar. Dan di tengah geletar itu kusaksikan tanganku bercabang dan jemariku memanjang. Kakiku kemudian menelusup ke haribaan tanah dan jemarinya memanjang seperti akar yang menyusup celah-celah tanah. Sementara tubuhku mengeras dan kulitku terkelupas. Seperti yang diminta daun itu, aku pun pelan-pelan jadi pohon. “Jadilah pohon.” Itulah suara terakhir yang kudengar dari daun itu, sebelum kupingku saling dempet menempel dan menjelma menjadi selembar daun yang bentuknya mirip daun waru. Angin bertiup. Tubuhku gemetar. Daun yang memintaku jadi pohon juga gemetar. Dan di tengah gemuruh getar itu, kusaksikan daun yang memintaku jadi pohon itu kembali mengisut dan menempel di rerantingku. Rantingku pun kini punya dua daun. Kau tahu, daun itu—seperti halnya daun jelmaan kupingku—membuat aku bisa mendengar suara-suara lembut dari jauh hingga segala suara seperti terbuka untukku. Kini tubuhku seperti pohon gundul di musim kemarau. Ada dua daun menggigil di rantingku. Sementara sepasang mataku menjadi kuncup. Anak-anak yang pulang mengaji sore itu takjub melihat kuncup yang terjelma dari mataku. Seorang dari mereka bahkan memetik satu di antara kuncup mataku dan menciumnya bergantian. Dengan dua daun dan satu kuncup yang bertengger di ranting, aku melihat tubuhku seperti satu-satunya pohon nekad yang selamat dari penebangan. Dengan dua daun dan satu kuncup itu, aku seperti pohon yang bersikeras tumbuh di ruas jalan ini, di mana langgar, pasar krempyeng, pos ronda dan klinik bersalin dulu dijaga pohon-pohon asam yang berjajar seperti barisan Kompeni berbaju hijau.
Seekor kupu-kupu datang dan hinggap di salah satu batangku. Kepada sepasang daunku kupu-kupu itu mengaku sebagai kakekku. Si kupu-kupu bilang, setelah menjadi ulat dan menempuh puasa di sebujur kepompong, kesabaran memberinya sungut dan sayap sehingga jadilah ia kupu-kupu. Kupu-kupu itu kemudian mengibaskan sebelah sayapnya di satu kuncup yang tertinggal di rerantingku. Kuncup terakhir yang terjelma dari mataku itu pun jatuh. Bersamaan dengan itu, kusaksikan daundaun di langit juga jatuh. Seperti hujan turun dari pohon raksasa yang tampak sudah sangat tua dan teduh, tapi tak selembar pun daun itu menempel di tubuhku. Aku ingin tersedu. Tapi tak bisa. Sebab aku sudah tidak punya mata. Dengan susah payah kukumpulkan tenaga. Dan akhirnya aku terbangun. Entah bagaimana mulanya tadi aku bisa tertidur. Ternyata kompor belum kumatikan. Panciku gosong. Dan bayam yang kumasak telah hangus.(*)
Surabaya, 2013
A. Muttaqin dilahirkan di Gresik dan tinggal di Surabaya. (Dimuat di Koran Tempo, 4 Agustus 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Teman Kami Cerpen Dias Novita Wuri
“N
AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu membuatmu kaya tanpa kau harus bekerja apaapa seumur hidupmu. Kau sudah punya sebuah mobil yang nilainya hampir dua ratus juta mata uangmu, kau berhasil menikahi perempuan cantik itu (tadinya ia benci padamu, tentu saja, dan selalu mengerutkan alisnya tiap kali kau muncul di depan pagar rumahnya, tapi kami punya cara untuk membujuknya, mengisiki hatinya dengan tipu daya), dan kini kau punya dua rumah—besar dan terletak di lokasi yang bagus, meskipun tidak megah. Kau berkecukupan tanpa harus berusaha, karena perempuanmu yang bekerja seumur hidupnya hingga kalian punya semua itu. Ia cantik, serba-bisa, dan pintar, ia yang bekerja membanting tulang di sebuah bank asing selama dua puluh lima
tahun sementara tugasmu hanya menjemputnya setiap sore di kantornya. Itu pun kau selalu mengeluh. Kau marah-marah, memukulkan kepalan tanganmu ke klakson mobil, memaki-maki pengendara lain saat jalanan macet. “Jadi sekarang biarkan kami berbuat semau kami padamu.” Saat usianya menginjak lima puluh lima, pelan-pelan kami membuatnya gila. Kami membuat dunianya tampak tak lagi masuk akal di matanya. Kami mengosongkan otaknya, mengacaukan segala sistem di tubuhnya. Kami menjadikannya boneka kami. Awalnya hanya serangan-serangan tak berarti yang para dokter artikan sebagai “stroke ringan”: ia kehilangan kendali akan otototot di kaki dan tangannya, menjatuhkan gelas saat sedang memegangnya, lupa arah dan menerobos lampu-lampu merah saat mengemudi. Pelan-pelan kami membuat semua itu memburuk. Ia mulai berteriak-teriak karena hal-hal sepele. Kemudian ia juga kehilangan kemampuannya bicara. Ia tidak lagi dapat memahami dan dipahami. Ini rahasia. Kalian tidak perlu tahu keberadaan kami. Namun, jika kalian cukup mampu, kalian akan bisa melihat kami di sana, mengelilinginy a. Kami duduk ketika ia duduk, berdiri ketika ia berdiri, berbaring ketika ia mengistirahatk an tubuhnya yang kian lama kian kami buat
renta, tubuh yang dagingnya menyusut dari hari ke hari seberapa pun banyaknya ia makan. Kami ada bersamanya ketika ia dikunci dalam kegelapan kamarnya, di atas kasur kapuk yang telah mengeras dengan seprai yang bercak-bercak air seni dan liur, hanya ditemani sebuah televisi kecil yang menayangkan saluran belanja-dari-rumah yang tak ada habis-habisnya, dua puluh empat jam sehari. Kami menyenangi rumahnya. Tempat itu dipadati berbagai patung kayu dan lukisan: kesukaaan kami adalah sesosok dewi berkepala dan sayap burung rajawali tapi bertubuh manusia. Kadang kami akan berkerumun saja di sekitar dewi burung itu untuk mengagumi sepasang payudara bulat montok pada dada telanjangnya. Itu, dan lukisan gadis sedang memandangi lilin, dinaungi bayangannya sendiri. Oh, bagaimana kami bisa tidak senang. Ada alat-alat musik juga, segala yang berdenting dan bergemerincing. Tempat itu bagaikan surga bagi kami. Kalau kalian bisa melihat kami, temukan kami di sudut tergelap dari sebuah ruangan yang gelap.
S
ETIAP pagi, sebelum semua orang bangun, kami akan menyuruhnya buang air besar. Ia selalu menurut. Sama sekali tidak pernah melawan. Kami memilihkan tempat terbaik untuk melakukannya. “Dapur,” kami berkata. “Tahukah kamu, di dapurmu itu kita bisa menemui seorang teman. Ia kadang-kadang ada di sana. Ia jiwa yang penuh dendam, yang suka mewujud menjadi seorang kakek tua berlumuran darah di mata mereka yang mampu melihat. Dapur juga tempat istrimu memasak berbagai makanan, menanak nasi, dan merebus air. Sana, pergi dan kotori tempat itu.” Setiap pagi ia ke sana dan memelorotkan celana kolornya, lalu celana dalamnya, lalu berjalan berkeliling sambil melaksanakan
hajat. Ceprot-ceprot-ceprot. Tahinya yang encer berair pun berjtuhan di mana-mana dan kami bersorak kegirangan. “Lagi. Lebih banyak lagi! Ambil tahi itu dengan tanganmu, lalu usapkan tanganmu ke bajumu.” Ia melakukannya. Lebih banyak lagi tahi berjatuhan. Seperti bom, atau seperti buah masak yang jatuh ke tanah dari tangkainya. Tak lupa ia bermain-main dengan tahinya sendiri dan mengusapkan tangannya ke bajunya. Lalu bau tajam akan menguar membangunkan istrinya. Ia keluar dari kamarnya sendiri—bukan, tentunya bukan dari kamar yang dulu ia bagi denganmu, Teman, sekarang istrimu telah membangun sarangnya sendiri jauh darimu—mengenakan daster dan melangkah tergopoh-gopoh dengan sisa-sisa mimpi masih menyelubungi pikirannya (dan mimpinya kebetulan sebuah mimpi aneh yang indah, nanti akan ia ceritakan ke anak perempuannya). Namun ia selalu tahu itu ulah suaminya, karena ini merupakan skenario sehari-hari. Kami mengamati wajahnya yang kini berkeriput dan pucat, gelung rambutnya longgar menyentuh tengkuk. Tiga puluh tahun yang lalu, ia merupakan kembang desa di kampung halamannya di Pati. Ia membuat pria-pria tak terhitung banyaknya bertekuk lutut di kakinya, kemudian mematahkan hati mereka semua. Dua puluh lima tahun yang lalu ia datang ke kota metropolitan ini untuk mencari pekerjaan. Dua puluh tahun yang lalu ia bertemu dengan teman kami yang gila ini. “Papa!” ia berseru. Benaknya yang gusar bertanya-tanya mengapa ia masih bisa merasa marah, teramat sangat marah, padahal ia mengalami kejadian ini setiap hari. Suaminya hanya berdiri menatapnya, seperti biasa dengan kedua bahu yang kini telah bungkuk. Kami beri tahu kalian, bahu itu membungkuk sedemikian rupa karena ia harus memanggul kami, bukan? Ya, ia memanggul kami selama ini.
“Sana, Papa minggir dulu,” ujar si istri di antara gigi yang terkatup beradu. Gigi itu berfungsi sebagai penahan kemarahannya, yang sudah menggelak ingin menyembur keluar. Tapi suaminya gila. Mana mungkin orang yang masih waras punya hak untuk memarahi orang tak waras? Lagi pula tidak ada gunanya. “Masuk kamar lalu pakai celana yang bersih. Tunggu, tunggu. Langsung masuk kamar mandi, nanti aku mandikan sehabis aku kelar membersihkan kotoranmu.” Tapi semua itu tidak pernah dilakukan. “Lepaskan bajumu. Keluar ke halaman tanpa baju,” kata kami. Itulah yang dilakukannya. Kami gembira menyaksikan istrinya kalang-kabut, dikerjai, merasakan hatinya yang tersayat perlahan. “Kalau besok begini lagi, Pa,” ancamnya, “nanti Papa dikirim ke rumah sakit jiwa. Mau?” Wah, itu sudah pernah terjadi, tapi tidak bertahan lama Karena tahukah kalian berapa biaya rumah sakit jiwa per harinya? Jadi kemudian istrinya pun harus menghadapi hal ini setiap hari di rumah, tanpa kami berikan jeda. Kami gembira menyaksikan kedua tangannya yang dulu indah kini pelan-pelan menguning dan kering. Karena air pel, usia tua, dan tahi. Setiap siang kami menurunkan sedikit tenaga teman kami itu. Tiap kali ia diberi makan, kami akan melipatgandakan rasa laparnya. Kami ikut makan, jadi ia tak pernah merasa kenyang. Kami membuatnya berkeliling mencari wadah-wadah makanan yang disembunyikan, lalu ia akan mengobok-obok makanan dalam wadah-wadah itu dengan jari gilanya yang kotor. Kesukaan kami adalah kembang sepatu mentah (istrinya punya persediaan kembang sepatu untuk dimasak jadi kimlo), juga gula pasir, dan sisa-sisa kopi bekas menyuguhi tamu, dan terutama makanan dalam wadah-wadah yang disembunyikan.
S
ETELAH setengah tahun, pelan-pelan kami membuatnya semakin sakit. Kali ini para dokter bisa dengan percaya diri memberikan diagnosis yang bukan lagi hasil meraba-raba seperti “stroke ringan” senjata pamungkas mereka yang dulu itu. Kali ini “pecah pembuluh darah otak”, “level kolesterol mendekati titik bahaya”, dan ia pun dilarikan ke Unit Gawa Darurat rumah sakir anyar milik sebuah universitas. Hari itu sudah lewat tengah malam, istri dan anak laki-lakinya tampak duduk menemani teman kami di dalam mobil ambulan. Tentunya kami juga ikut berada di sana, kami duduk dengan leluasa di antara orang-orang yang saling berdesakan. Si anak perempuan ditinggal di rumah untuk menjaga rumah. Di dalam ambulan, kami bersenang-senang dengan ikut berguncang-guncang kapan pun roda mobil masuk ke gerowong di aspal atau melewati gundukan polisi tidur. Si istri mengenakan dasternya lagi. Si anak laki-laki tampak tegar dan kokoh menyerupai laki-laki dewasa (tanpa disadarinya, sudah lama ia menjadi kepala keluarga). Malam itu teman kami mengalami koma, tapi ia kembali lagi. Kami tahu ia belum akan mati. Semua ada waktunya. Malam demi malam terlewati, keluarganya menunggui di rumah sakit itu kecuali si anak perempuan teman kami yang membencinya. Ia tak pernah memunculkan batang hidungnya, ia menetap di benteng kamarnya di malam hari dan bekerja keras mengurus rumah di pagi hari sampai suatu ketika ibunya memaksanya datang. “Kalau Papa meninggal, nanti kamu menyesal.” Jadilah si anak perempuan pun muncul hari itu dengan berat hati, ditemani kawan laki-lakinya. “Mama pulang ya, ganti kamu jaga Papa di sini,” kata ibunya, dan si anak perempuan tak berkomentar apaapa. Malam itu kami menggoda si anak perempuan. Kami bisikkan di telinga teman kami, “Bangun, mari kita berkeliling. Bangun, kau
harus buang air besar. Bangun, kau harus buang air kecil tapi tidak melalui selang goblok itu. Kau cabut selang itu.” Anak perempuannya sedang tidur meringkuk di lantai yang beralaskan sajadah untuk sembahyang dan berselimut sehelai sarung, ketika teman kami terbangun dan mulai mencabuti keteter air seni hingga air kuning pesing berceceran di lantai. Noda tahi tertinggal di seprai. Makanan rumah sakit di atas nampan berjatuhan. “Papa mau ke mana?” seru si anak perempuan. “Jalan-jalan,” jawab ayahnya dengan bahasa yang tak jelas. “Nggak boleh, Pa, lagian mau jalan-jalan ke mana? Papa mesti di tempat tidur, nggak boleh ke mana-mana!” Tapi tentu saja ia tak mendengarkan. Anak perempuannya menahannya, tapi kami sangat kuat. Kami buat dia menyambar tangan kurus milik anak perempuannya, memuntir tangan itu, menggigit tangan itu hingga berdarah-darah. Si anak perempuan menjerit-jerit, perawat berdatangan ke dalam kamar itu. Kami tertawa puas sekali, seluruh peristiwa ini lucu sekali. Lalu si anak perempuan berdiri di sudut, menyaksikan para perawat dan kawan lelakinya menangani ayahnya yang mengamuk, menangis sedikit tapi segera meraih kain serbet yang dibawa dari rumah dan mulai membersihkan kencing yang tercecer di lantai. Kami ulangi kesenangan itu beberapa kali dalam minggu itu, kami buat anak perempuannya hancur hingga kebencian di hatinya berakar semakin kokoh, tidak tergoyahkan.
S
ETELAH setengah tahun lagi, kami tahu perjalanan teman kami ini akan segera berakhir. Hari itu berlangsung sebagaimana biasanya baginya (karena setiap hari selalu berlangsung sebagaimana biasanya baginya). Kami menghabiskan waktu-waktu terakhir itu dengan berbaring bersamanya di ranjang, semua lampu dimatikan, televisi
menyala dengan suara keras, kasur berbau ompol, semua jendela dan pintu ditutup. Keluarganya sedang tidak ada, hanya ada anak laki-lakinya, tetapi ia sedang tidur pulas (istrinya pergi mengunjungi salah satu sahabat karibnya yang sakit, anak perempuannya sedang pergi ke bandara untuk mengantar pacarnya kembali ke Jogjakarta). Hari itu ia tidak tampak betulbetul sakit ataupun sepenuhnya gila. Hanya biasa-biasa saja. Tetapi, ia akan mati. Kami mendampinginya. “Tahukah kau,” kata kami dengan mendayu-dayu, mendesikan dongeng menjelang tidur abadi ke telinganya yang kisut, “tahukah kau, di depan rumahmu ada sesosok jiwa. Ia berdiam di tiang listrik, terkadang ia akan memanjat dan bertengger di puncak, terkadang ia akan duduk saja di tanah. Ia juga jiwa yang penuh dendam, yang suka mewujud menjadi gadis pucat berbokong tipis di mata mereka-mereka yang mampu melihat. Ketika ia sangat marah, ia akan mengaburkan penglihatan manusia-manusia yang berkendara melewatinya hingga mereka terjatuh dan menabrak tiang listrik tempatnya berdiam. Lalu manusia-manusia itu akan terluka parah, kaki mereka patah, kepala mereka pecah. Belum ada yang mati, tapi itu akan terjadi suatu saat nanti. “Tahukah kau, kami datang dari kerajaan yang besar di dasar samudera. Kami tertarik dengan panggilanmu dan dedaunan yang kau bakar di atas tungku, dengan jampi-jampi yang kau lantunkan dan garam kasar yang kau tebar, mantra-mantra yang kau simpan di dalam dompetmu. Kami tertarik dengan busuk di dasar hatimu dan bagian belakang kepalamu. Kami mencintai dirimu ketika muda, dan karena itulah kami menyertaimu hingga tua. “Kau tidak punya teman lain, tidak ada yang lain kecuali kami. Tapi sekarang kami harus meninggalkanmu karena tugas kami sudah usai.”
Ia memandangi kami dengan matanya yang kuyu dan merah berurat-urat. “Bagaimana perasaanmu, Teman?” tanya kami. “Seumur hidupmu kau bukanlah siapa-siapa.” Perlahan-lahan, satu per satu dari kami melepaskan diri darinya. Kami terbang ke langit seraya memandanginya meregang nyawa. Apakah kami merasa sedih? Ia memandangi kami, dan kami merasa sedih karena ia tampak begitu bahagia telah lepas dari kami, begitu lega karena ia akan mati. Kemudian kami beterbangan untuk mencari petualangan baru di tempat baru, dan terutama, teman yang baru.(*)
Dias Novita Wuri lahir di Jakarta, 11 November 1989. Lulus dari Program Studi Rusia, Universitas Indonesia. Ia tinggal di Jakarta.
(Dimuat di Koran Tempo, 28 Juli 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Penembak Jitu Cerpen Liam O’Flaherty (Diterjemahkan oleh An. Ismanto)
P
ETANG bulan Juni yang panjang telah pudar menjadi malam. Selain redup sinar bulan, yang menerobos bongkah-bongkah awan putih lembut dan menyiramkan berkas-berkas pucat di jalanan dan perairan gelap di sekitar Liffey, hanya kegelapan yang menyelimuti Dublin. Di sekitar Four Courts yang terkepung, senjata berat meletup-letup. Di seluruh penjuru kota itu, senapa mesin dan bedil mencabikcabik kesunyian malam tanpa henti seperti anjing yang menyalaknyalak di sebuah peternakan terpencil. Kaum pendukung Republik dan Free State masih sengit bertempur. Seorang penembak jitu Republik berjaga di atap sebuah gedung dekat Jembatan O’Bridge. Senapan teronggok di sisinya dan tali teropong terkulai di atas bahunya. Wajahnya adalah wajah seorang mahasiswa yang tirus dan mirip pertapa, namun dengan
tatapan seorang fanatik yang berkilat-kilat di matanya. Mata itu dalam dan bijak, mata seorang lelaki yang telah terbiasa menatap kematian. Ia tengah makan sandwich dengan lahap. Perutnya belum kemasukan apa-apa sejak pagi. Ia terlalu gugup untuk makan. Ia menandaskan sandwich, mengambil sebotol wiski dari sakunya, dan meneguk sekali. Ia terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah ia berani mengambil risiko dengan merokok. Sangat berbahaya. Kerlip api dapat terlihat dalam kegelapan dan banyak musuh sedang berjaga di luar sana. Ia memutuskan untuk mengambil risiko itu. Setelah menjepitkan sebatang rokok di antara bibirnya, ia menyalakan sebatang korek api, menghisap asap cepat-cepat dan mematikan korek. Hampir seketika itu juga, sebutir peluru menghantam dinding pembatas atap. Si penembak jitu menghisap rokok sekali lagi lalu mematikannya. Ia memaki dengan suara pelan dan merayap ke kiri. Dengan hati-hati, ia mendongak dan mengintip melalui dinding kecil pembatas atap. Kerlipan api terlihat lalu sebutir peluru mendesing di atas kepalanya. Cepat-cepat ia tiarap. Ia telah melihat kerlipan api di seberang jalan itu.
Ia berguling ke arah cerobong di bagian belakang atap lalu pelan-pelan berlindung di balik cerobong hingga matanya sejajar dengan bagian atas dinding kecil pembatas atap. Tak terlihat apa pun—hanya garis tepi atap rumah seberang yang tampak kabur berlatar langit biru. Musuhnya tersembunyi. Sebentar kemudian, sebuah mobil lapis baja melintasi jembatan dan melaju pelan di jalan. Mobil itu berhenti di seberang, sekitar lima puluh yard dari si penembak jitu. Ia dapat mendengar deru mesin mobil itu. Jantungnya berdetak lebih keras. Itu mobil musuh. Ia ingin menembak, namun ia tahu akan sia-sia saja. Pelurunya tak akan pernah sanggup mengoyak lempengan baja yang melapisi monster abu-abu itu. Lalu, dari sudut sebuah gang, muncul seorang wanita tua berkerudung selendang compang-camping. Ia berbicara kepada tentara yang bersiap di menara senjata mobil itu. Ia menunjuknunjuk atap tempat si penembak jitu tiarap. Seorang informan. Menara senjata terbuka. Kepala dan bahu seorang lelaki tampak dan menatap ke arah si penembak jitu. Si penembak jitu membidik dan menembak. Kepala itu tersentak ke dinding menara senjata. Si wanita tua lari tergopoh-gopoh ke seberang jalan. Si penembak jitu kembali menembak. Wanita tua itu terhuyung sebentar lalu roboh seraya mengerang di selokan. Tiba-tiba dari atas gedung seberang jalan sebuah letusan terdengar dan si penembak jitu melemparkan senapannya seraya menyumpah-nyumpah. Senapannya terlempar dengan suara berisik di atap. Si penembak jitu berpikir bunyi gaduh itu bisa membangkitkan orang mati. Ia berkisar untuk meraih senapan itu tetapi ia tak mampu mengangkatnya. Lengannya tak terasa. “Aku tertembak,” gumamnya.
Tiarap di atap, ia merangkak kembali ke dinding kecil pembatas atap. Dengan tangan kirinya, ia meraba lengan kanannya yang terluka. Darah mengucur membasahi lengan bajunya. Tak ada rasa sakit—hanya sensasi tanpa rasa, seolah-olah lengan itu telah terpotong. Cepat-cepat ia menghunus belati dari saku, membukanya di dinding pembatas atap, lalu mengoyak lengan bajunya. Sebuah lubang menganga di tempat peluru itu masuk. Di sisi lainnya tidak ada lubang. Peluru itu bersarang dalam tulang. Tulangnya pasti sudah hancur. Ia menekuk siku di bawah luka itu. Sikunya terkulai begitu saja. Ia mengertapkan gigi untuk mengatasi rasa sakit. Lalu, setelah mengeluarkan perban, ia menyobek bungkusan itu dengan belati. Ia membuka leher botol yodium dan menuang cairan dingin itu pada lukanya. Rasa perih yang hebat meluapi sekujur tubuhnya. Ia meletakkan kapas di atas lukanya. Rasa perih yang hebat meluapi sekujur tubuhnya. Ia meletakkan kapas di atas luka dan melilitkan perban di atasnya. Ia menyimpulkan perban itu dengan giginya. Lalu ia tiarap tanpa bergerak di samping dinding kecil pembatas atap dan, setelah memejamkan mata, ia menghimpun tekad untuk mengatasi rasa sakit. Di bawah sana, jalan sepi sekali. Mobil lapis baja telah mundur dengan sigap ke jembatan, dengan kepala penembak senapan mesin terkulai tanpa nyawa di menara senjata. Mayat wanita tua itu masih teronggok di selokan. Selama beberapa saat, si penembak jitu tetap bertiarap untuk merawat lengannya yang terluka dan menyusun rencana untuk meloloskan diri. Dia tidak boleh tetap di atap dalam keadaan terluka saat pagi tiba. Musuh di atap gedung seberang pasti menutup setiap jalan keluar. Ia harus membunuh musuh itu,
namun ia tak bisa menggunakan senapannya. Ia hanya dapat menggunakan revolver. Lalu sebuh rencana terbersit di pikirannya. Ia melepaskan topi lalu meletakkannya di moncong senapan. Lalu ia mendorong senapan itu perlahan-lahan ke atas dinding kecil pembatas atap sehingga topi dapat terlihat dari gedung di seberang jalan. Hampir seketika itu juga terdengar letusan, dan sebutir peluru mengoyak topi itu. Si penembak jitu memiringkan senapannya ke depan. Topi terjatuh ke jalan. Lalu, sambil memegang bagian tengah senapan, si penembak jitu menjatuhkan tangan kirinya di atap dan membiarkannya menggelantung tanpa bergerak. Sejenak kemudian, ia melepaskan senapannya ke jalan. Lalu ia merayap mundur di atas atap seraya menarik tangannya. Seraya berdiri dengan cepat, ia mengintip dari sudut atap. Siasatnya berhasil. Penembak jitu musuh itu, karena melihat topi dan senapan yang jatuh, mengira ia telah berhasil membunuh sasarannya. Sekarang ia berdiri di depan barisan cerobong, menatap ke arah seberang, dengan kepala yang membentuk siluet terlihat dengan jelas berlatar langit barat. Penembak jitu Republik itu tersenyum dan mengangkat revolvernya ke tepi dinding kecil pembatas atap. Jaraknya sekitar lima puluh yard—tembakan yang sulit dalam cahaya remang dan lengan kanannya sakit bukan kepalang. Ia membidik. Tangannya gemetar karena gembira. Seraya mengatupkan bibir, ia menghela napas melalui hidung dan menembak. Ia hampir tuli oleh bunyi letupan itu dan lengannya bergetar oleh rekoil. Lalu, saat asap menyisih, ia mengintip dan berseru gembira. Musuhnya tertembak. Lelaki itu terhuyung-huyung sekarat di dinding kecil pembatas atap. Ia berjuang untuk berdiri, namun dengan pelan ia terhuyung ke depan seperti dalam mimpi. Senapan terlepas dari tangannya, membentur dinding kecil
pembatas atap, terpelanting membentur tiang sebuah kios tukang cukur di bawah dan kemudian berderak di trotoar. Si penembak jitu melihat musuhnya terjatuh dan ia menggigil. Gairah pertempuran dalam dirinya telah padam. Ia tercekam penyesalan. Butir-butir keringat mengucuri keningnya. Lemah karena luka dan puasa yang panjang di hari musim panas dan berjaga di atap, ia mengalihkan pandangan dari jasad remuk musuhnya yang telah mati itu. Giginya gemeretak, ia mulai meracau, mengutuk perang, mengutuk dirinya sendiri, mengutuk semua orang. Ia menatap revolver yang masih berasap di tangannya, lalu seraya memaki ia melemparkan revolver itu ke atap. Suara letupan menyusul jatuhnya revolver itu dan peluru mendesing di samping kepala si penembak jitu. Terkejut, ia kembali merasakan ketakutan. Syarafnya kembali tenang. Kabut ketakutan berhamburan dari pikirannya dan ia tertawa. Setelah mengambil botol wiski dari sakunya, ia mengosongkan botol itu dengan sekali teguk. Ia merasa nekat karena pengaruh minuman keras itu. Ia memutuskan untuk meninggalkan atap sekarang dan melapor kepada komandan kompinya. Sepi ada di mana-mana. Tidak berbahaya jika menyeberang jalan. Ia meraih revolver dan menyarungkannya lagi. Lalu ia merangkak menuruni jendela loteng rumah di bawahnya. Saat mencapai gang yang sejajar dengan jalan, tiba-tiba si penembak jitu merasa ingin tahu identitas penembak jitu musuh yang baru saja dibunuhnya. Ia menganggap musuhnya itu cukup jitu, siapa pun dia. Ia bertanya-tanya apakah ia mengenal musuhnya itu. Mungkin mereka pernah satu kompi sebelum pemisahan Angkatan Darat. Ia memutuskan untuk mengambil risiko dengan memeriksa musuhnya itu. Ia mengintip dari sudut
Jalan O’Connell. Ada tembak-menembak sengit di hulu jalan, namun di sekitar sini hanya ada kesunyian. Si penembak jitu melesat menyeberangi jalan. Sebuah senapan mesin menghamburkan peluru yang mencabik-cabik tanah di sekitarnya namun ia berhasil lolos. Cepat-cepat ia bertiarap di samping mayat itu. Senapan mesin telah sepi. Lalu si penembak jitu membalikkan mayat itu dan melihat wajah kakak laki-lakinya sendiri.(*)
Liam O’Flaherty (1896-1984) adalah penulis novel dan cerita pendek Irlandia. Ia pernah bertempur di pihak Republik dalam Perang Saudara Irlandia yang berlangsung sebelas bulan, tak lama setelah Irish Free State didirikan pada 6 Desember 1922. Irish Free State mencakup seluruh Irlandia, termasuk daerah yang kini dikenal sebagai Republik Irlandia Utara. Irish Free State resmi dibubarkan pada 29 Desember 1937. Cerita pendek di atas diterjemahkan oleh An. Ismanto.
(Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Sangkar di Atas Leher Cerpen Adi Zamzam
A
KAN kuceritakan kepadamu tentang keanehan yang kualami sejak empat hari kemarin, yang terus saja menyiksaku hingga detik ini. Adalah kicauan seekor burung terdengar seperti permintaan tolong dan kadang terdengar pula seperti ratapan. Kicauan itu terus bergema dalam kepalaku. Tak henti-henti. Ya, di dalam kepalaku! Saat kicauan itu berdenging di telinga kiriku, segera saja kusumpal lubang telinga kiriku. Pun ketika kicauan itu meriuhi telinga kananku, segera saja kusumpal lubang telinga kananku. Tapi semua itu sia-sia belaka. Kicauan itu justru kemudian meloncat ke atas. Lalu, setelah kugetok-getok ubun-ubunku, kicauan itu pun menghindar ke bawah. Seperti ada seekor burung dalam kepalaku. Dan ia tengah riuh mencari pintu keluar. Kicaunya membuatku serasa memiliki
sangkat di atas leher. Sekarang kau tentu dapat mengukur kadar siksaan yang tengah menderaku. Aku telah mencoba berbagai cara untuk mengusir burung yang terkurung dalam kepalaku itu. Pernah kedua telinga kusumpal dengan headset telepon genggam. Kicau itu memang segera tersingkir. Namun itu hanya sementara karena aku takut jika gendang telingaku rusak karenanya. Aku juga pernah hampir seharian hanya tidur dan tidur. Dua kali aku melakukannya. Suara kicau itu hanya hilang saat aku terlelap. Tapi begitu aku bangun, burung itu ikut bangun juga. Cara ini akhirnya kuakhiri karena hanya membuang-buang waktu. Hanya akan membuatku semakin tertekan saja.
“W
AH, saran apa? Apa kau sudah menceritakannya kepada Toto?” ujar Rani ketika kuceritakan perihal kicau burung dalam kepala yang amat menyiksa itu. “Belum. Aku dikurungnya di rumah, dan dia begitu terobsesi dengan pekerjaan. Sedikit
sekali waktu yang disisakannya untukku.” Kuhela napas berat sambil memandang foto si kecil Nia yang terpajang manis di dalam bulet di ruang tamu. Terasa ada yang menyumpal dalam dadaku. “Jika kau butuh teman, datang saja ke rumah Mami,” Rani menatapku erat. Mungkin dia coba memahami keadaanku. “Kau pasti berpikir bahwa aku sedang tertekan,” aku balas menatapnya lekat. Mencoba melawan prasangkanya. “Tidaklah. Aku hanya ingin memberi tahu, sekarang di sana sudah banyak perubahan. Tidak seperti dulu lagi. Siapa tahu itu bisa memberi hawa segar buatmu. Siapa tahu jika ketemu dengan kawan-kawan lama itu bisa mengendapkan masalahmu.” Aku coba mendengar bujukan Rani. “Ayolah, Mami masih sering menanyakanmu. Kau dulu murid kesayangannya. Kaulah yang paling berbakat di antara kami,” cerocos Rani lagi, yang seperti sepoi angin saja di telingaku. Aku tertegun sejenak. Kesadaranku tersedot ke sebuah imajinasi masa depan. Andai aku kembali ke tempat Mami lagi. Menari. Setiap hari menari. Merentangkan sayap. Kembali menikmati kebebasan. Kembali merasai gairah ketika mendapatkan tepuk tangan dari penonton. Tapi sepertinya itu amat mustahil. Aku bukan Rani. Suamiku juga tak seperti suami Rani. Ingatanku tiba-tiba kembali ke sebuah peristiwa ganjil suatu pagi. Sebuah kejadian tak disengaja, namun membuatku terganggu hingga kini. Membangunkan sesuatu yang telah cukup lama tertidur dalam dada. Itu terjadi ketika aku pulang dari toko perlengkapan bayi. Langkahku terhenti di sebuah kerumunan yang riuh. Semuanya lelaki. Dan kemudian aku tahu, pusat dari kerumunan itu adalah seekor burung mungil yang dilelang oleh pemiliknya. Aku tidak tahu itu burung apa. Mungil. Terlihat begitu cantik. Warnanya
adalah perpaduan kuning, hijau tua, dan sedikit merah. Membuat burung itu tampak tiada duanya. Baru kali ini aku tersihir oleh seekor burung. Juga oleh kicauannya. Tapi inilah yang kemudian terjadi dalam pandanganku. Ia hanya burung kecil yang malang. Di telingaku, kicaunya yang riuh justru terdengar seperti minta tolong. Orang-orang riuh menawar harganya. Sementara aku sibuk menyandarkan diri sendiri. Sepanjang perjalanan pulang, suara kicau burung itu tak mau pergi dari dalam kepalaku. Seolah kepalaku telah menjadi sangkarnya. Bahkan hingga detik ini, ketika semuanya aku ceritakan kepada Rani, juga kepadamu. “Baiklah. Kapan-kapan aku akan kembali ke sana. Titip salam buat Mami ya,” ujarku, meski tak yakin. Wajah Toto membayang ganjil. Rani menepuk pundakku.
T
AK semudah yang kubayangkan. Bahkan hanya untuk sekadar menengok rumah Mami demi mengobati rindu. Tujuh tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk membuat kaku semua persendianku. Meski ternyata kurang lama untuk mengikis rindu kepada suara musik yang menghentakhentak. Tubuhku bahkan masih panas-dingin tiap kali menyaksikan para penari bermunculan. Mereka tampak selalu muda, segar, dan lincah sekali. Mereka terlihat begitu menikmati kebebasannya. Dan siksaan ringan semacam itu kini bertambah dengan adanya burung malang yang meratap dalam kepalaku. “Burung kecil? Yang mana? Lihat, di sini banyak sekali burung kecil,” ujar lelaki yang kulihat pernah melelang burung kecil itu tempo hari. Melihat puluhan burung yang terkurung dalam sangkar, aku semakin tersiksa saja. Membuatku ingin bergegas ke tempat Mami. Melemaskan seluruh persendian tubuh.
Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Lalu membebaskan semua burung itu. “Yang memiliki warna perpaduan kuning, hijau tua, dan sedikit merah. Yang kemarin kau lelang di depan banyak orang.” “Oh, yang itu,” katanya sambil menyemprot seekor burung dalam salah satu sangkar dengan semprotan kecil. Kicaunya yang begitu riuh, serta loncatannya yang tak terkendali, menjadi seperti siksaan di mataku. Meski lelaki itu terlihat senang. “Sudah dibeli orang, Mbak.” “Boleh saya tahu siapa orangnya?” “Memang ada apa, Mbak?” Keningnya berlipat oleh rasa heran. “Apa kau punya alamatnya?” “Mbak mau membelinya?” Ia menatap tak percaya. “Aku serius.” Lelaki itu malah tertawa. “Sungguh, baru kali ini saya mendapati penggemar burung yang seorang perempuan,” suaranya terdengar nakal. “Burung satu itu memang raja di berbagai lomba. Tapi lihat-lihatlah dulu, di sini juga masih banyak yang kicaunya bisa dipertandingkan.” “Beri aku alamatnya.” Tak kupedulikan ocehannya yang tak penting itu. “Baiklah, catatlah alamatnya baik-baik. Tapi dengarkanlah saranku. Sebaiknya jangan kau perlihatkan hasratmu di depannya. Itu akan dipakainya untuk menaikkan harga semau-maunya.” Itu nasihat yang sama sekali tak berguna bagiku.
Y
ANG terpenting bagiku adalah ketika akhirnya mendapati burung malang itu. Suaranya terdengar semakin menyayatnyayat dada. Semakin membuat kepalaku berdenyut hebat.
Aku pun langsung menawarkan harga di atas harga keuntungannya. “Baru saja beberapa hari yang lalu saya memilikinya. Saya belum berniat menjualnya. Maaf,” ujarnya ringan. Kepalaku bertambah pening. Pandangan mataku mengabur. Kutatap tajam wajah lelaki itu. Aku melihat Toto di sana. “Apa kau tak lihat? Dia rindu kebebasan. Apa kau ingin dia merelakan seluruh hidupnya untukmu. Sampai kapan kau akan mengurungnya?” kusemburkan semua yang menyumpal dalam dada ke wajah Toto itu. “Maksud anda?” Dahinya mengernyit. Pura-pura tak mengerti. “Kau ingin menghargainya berapa?” “Sudah saya bilang saya belum berniat menjualnya. Saya baru beberapa hari memilikinya.” Kedua tanganku gemetar. Aku tahu ini ilusi. Aku tak tahu apa yang membuat mataku jadi seperti ini. Aku melihat burung itu menjelma seorang perempuan mungil dalam sangkar. Ia melompat ke sana-ke mari demi mencari pintu keluar. Riuh kicaunya berubah seperti riuh suara kesedihanku sendiri! “Jika kau tak membebaskannya, perlahan-lahan dia akan mati dalam sangkar,” rahangku mengeras. Raut lelaki itu mulai menunjukkan rasa khawatir. “Bebaskanlah. Berikan padaku. Berapa pun harganya,” ujarku mendesak.
“M
AAF, Mbak. Buat apa Mbak membawa sangkar burung ke mall ini?” tanya seorang satpam. “Pintu atap? Buat apa Mbak membawa sangkar burung itu ke atap gedung?” tanya seorang pramuniaga.
Dari tempatku berdiri sekarang, angin begitu suka-suka mempermainkan rambut dan pakaianku. Udara kehilangan bau apa pun—bau bensin, makanan, manusia, bahkan debu. Dunia terlihat begitu datar, lapang, seolah tak bertepi. Menggoda hasratku untuk segera membebaskan diri. Hawa kebebasan telah berembus kuat dalam kepala. Suara kicau burung yang beberapa hari lalu menyesaki kepala kini telah sirna entah ke mana. Saat pintu sangkar di tangan kananku kubuka lebar-lebar, pintu dalam kepalaku juga ikut terbuka lebar. Membuat penghuninya terbang keluar entah ke mana. Dan kini aku hanya menyisakan kekosongan yang paling kosong. “Terbanglah. Ayo, bebaskan dirimu!” kuangkat tinggi-tinggi sangkar di tangan kananku. Berharap si burung kecil segera membebaskan diri. Terbang sesuka hati ke mana pun ia mau. Ya, lelaki itu akhirnya memang bersedia melepasnya, meski aku harus menebusnya dengan harga lima kali lipat. Dan burung kecil itu akhirnya terbanglah. Menuju awan. Menuju kebebasan. Aku pun bisa merasakannya. Ada sayap yang tumbuh di punggungku. Lalu tubuhku tiba-tiba saja menjadi ringan, begitu ringan. Semenit, dua menit, tiga menit... Kubiarkan angin meniup keras-keras semua yang berkecamuk dalam dadaku. Alangkah lega rasanya. Semua yang menyesak dalam dada langsung menguap. Rani yang membujuk aku untuk kembali kepada Mami, Toto yang membuang semua kostum penariku, Toto yang membuat rumah jadi sangkar dengan sepatah kalimat “demi si kecil Nia”—semuanya berlesatan satu per satu. Dan aku semakin ke tepi. Merentangkan sayap. “Lia, ini aku, Lia. Lihat aku, Lia,” sebuah suara yang amat kukenal tiba-tiba menyeruak ke telinga. Membuatku menoleh.
Toto! Sementara di sampingnya, beberapa pasang mata menatapku dengan cemas. Adakah makhluk yang bernama Lia di sini? Adakah burung yang dipanggil Lia di sini? Tapi tak ada burung lain selain aku. “Ke sini lah, Lia. Ayo pulang. Demi Nia,” ujar lelaki itu lagi. Siapa Lia? Siapa Nia? Lelaki itu pasti sudah gila. Aku tak kenal mereka. Aku seekor burung sekarang. Aku ingin bebas!(*)
Adi Zamzam tinggal di Desa Banyuputih di kawasan Jepara, Jawa Tengah.
(Dimuat di Koran Tempo, 14 Juli 2013) (Gambar oleh Yudha AF)
Pintu Cerpen Yudhi Herwibowo
P
INTU itu ada di ujung halaman belakang. Mengusam karena waktu. Tersembunyi di antara pohon-pohon besar yang tak henti membayanginya, seakan sengaja menyatukan kegelapan. Tanaman rambat yang entah berakar di mana kemudian membuatnya semakin sempurna tak terlihat. Tak mengherankan bila mata gadis kecil itu mendapatinya, ia akan selalu merasa takut. Pintu itu seperti mampu menarik dirinya. Padahal sejak dulu, ia selalu teringat teriakan ayah dan ibunya bila ia muai bermain bersama teman-temannya, “Jangan sampai melewati pintu itu!” Dan ia selalu menurut. Pintu itu memang seakan menakutkannya. Menatapnya saja membuat bulu kuduknya berdiri. Bahkan bayang-bayang yang
terbentuk dari pohon-pohon di sekitarnya, seperti bisa menghentikan jantungnya untuk beberapa saat. Namun entah kenapa, perlahan-lahan gadis kecil itu semakin merasa tertarik pada pintu itu. Mungkin karena hanya di dekatnya ia bisa merasakan rasa ingin tahu yang tak biasa. Terlebih semenjak pohon besar di dekat pintu itu rubuh terkena petir, pintu itu semakin mudah tertangkap oleh matanya. Sejak itulah muncul berulangkali pertanyaan di kepalanya: apa yang ada di balik pintu itu? Ini memang terasa berlebihan. Saat teman-temannya datang, ia memang akan melupakan sejenak pertanyaan itu. Ketika temantemannya itu pulang, ia akan kembali lagi mengalihkan pandangannya ke arah pintu itu. Pernah suatu kali, gadis kecil itu bertanya pada Bi Ijah, pembantu di keluarganya yang asli orang desa. Bi Ijah hanya mengangkat bahu dengan enggan, “Kata orang-orang, di situ rumah para lelembut. Ada periperi jahat yang suka menculik anak-anak!” Gadis itu terkesiap. Periperi? Entah kenapa begitu saja terbayang olehnya
makhluk-makhluk kecil bersayap rapuh yang kerap dilihatnya di film-film. Sosok-sosok yang beterbangan dengan jejak cahaya. Tapi tentu saja ia tak puas dengan jawaban itu. Ia pikir para peri tak akan membuatnya ketakutan. Maka ia kemudian menanyakan pada ayah salah satu temannya, yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan rumahnya. Konon, puluhan tahun lalu, tepat di belakang rumah ini adalah sebuah kuburan tua. Itulah yang membuat pemilik rumah sebelumnya membangun tembok tinggi untuk menghalangi pandangan para penghuninya ke arah situ. Ini jawaban yang lebih masuk akal bagi otaknya yang masih terlalu belia. Ketakutannya selama ini pada pintu itu pun jadi beralasan. Maka ia tak lagi bertanya-tanya soal pintu itu dan apa yang ada di baliknya. Ia akan bermain saja di teras belakang. Bila teman-teman belum datang, ia akan bermain sendiri tanpa memperhatikan pintu itu. Seperti hari ini. Gadis kecil itu masih menunggu temantemannya datang sambil memainkan bola bekelnya sendiri. Ia memantulkan, meraup, menangkap, memantulkan lagi, meraup lagi, menangkap bola itu lagi. Tapi hari ini ada sekali ia luput menangkap bola bekel itu. Bola itu memantul jauh. Gadis kecil itu mencoba mengejarnya. Namun bola bekel itu terus memantul dengan sempurna di batu-batu di halaman belakang rumah ini. Arahnya menjadi tak menentu. Semakin jauh, dan begitu saja mengarah pada pintu itu. Lalu bola bekel itu hilang ke salah satu celah pintu itu! Gadis itu terkesiap. Tiba-tiba saja ia mendapati dirinya sudah berdiri di depan pintu itu sedemikian dekat. Ia menelan ludah. Ia pastilah sempat berpikir kalau ia harus pergi saja. Ayah dan ibunya
tentu bisa membelikannya bola bekel yang baru. Tapi entah mengapa, ia seperti tak rela kehilangan miliknya. Maka dengan tangan gemetar ia meraih gagang pintu itu.
A
KU lebih baik mati di sini! Kebosanan telah sampai pada puncaknya. Tak ada artinya lagi hidup di sini. Kesepian telah merasuk ke dalam diriku dari tahun ke tahun. Telah ratusan tahun aku hidup di sini. Telah sepanjang hidup, aku menemani tubuh-tubuh yang dikuburkan di sini. Ya, tanah ini awalnya memang penuh dengan tubuh-tubuh yang pergi dengan doa dan tangisan. Namun itu dulu. Dulu sekali. Sebelum tanah ini ditinggalkan. Sekian lama kurasakan kesendirian, tak terusik selama puluhan tahun. Kesendirian yang mengundang burung-burung untuk bersarang di pucuk-pucuk ranting, juga ular-ular berbisa di liang-liang akar. Kupikir aku akan mati dalam suasana seperti itu. Tua dan terlupakan. Namun ternyata beberapa tahun lalu, semuanya berubah. Ini diawali dengan datangnya beberapa orang yang membuat sebuah lubang besar di sini. Mereka bekerja hampir sehari penuh, seperti mengusir burung-burung dan ular-ular itu. Kau tahu, sebuah lubang biasanya berarti awal kehidupan. Aku ingat ketika orang-orang menanam pohon-pohon di sini. Mereka mengawalinya dengan membuat lubang-lubang di hamparan tanah ini. Aku pun menebak bahwa lubang itu pun sebuah awal kehidupan. Tentu aku tak berpikir bahwa mereka akan menanam sebuah pohon raksasa. Tidak. Yang kubayangkan, mereka akan membuat sebuah kolam besar yang nantinya penuh dengan ikan-ikan beraneka rupa. Tapi dugaanku salah! Beberapa hari kemudian, segerombolan orang kembali datang dalam dua truk besar. Satu kelompok yang
berseragam dan memegang senjata, tampak memerintah kelompok lainnya yang terikat tangannya. Mereka dijejerkan di pinggir lubang. Lalu tanpa banyak bicara, seseorang yang tampaknya pemimpin kelompok berseragam itu menembaki mereka satu demi satu. Tubuh-tubuh itu langsung jatung ke dalam lubang. Sejak itulah, suasana di sini menjadi berbeda. Entahlah, telah puluhan tahun aku berakar di sini, di atas tubuh-tubuh manusia yang mati, namun baru kali ini aku mendengar suara-suara dari dalam tanah. Raungan menyayat. Teriakan minta tolong. Ratapan berkepanjangan. Sepanjang hari. Sepanjang bulan. Sepanjang tahun. Tempat ini benar-benar tumbuh menjadi lebih mengerikan daripada sebelumnya. Namun itu belum selesai. Beberapa tahun kemudian, ada sekelompok laki-laki menarik seorang gadis kecil ke sini. Mereka orang-orang tak bertuhan, sehingga mereka mengabaikan keberatan kami. Deru angin yang mengencang, guguran daun yang menerpa wajah mereka, desis ular dari dalam tanah, semuanya mereka sepelekan. Mereka menyumpal mulut gadis kecil itu dan melucuti bajunya dan bergiliran mengerjainya. Lalu, setelah semuanya selesai, salah satu dari mereka mencekik leher gadis itu hingga ajal menjemputnya. Jenazah gadis kecil itu mereka tinggalkan begitu saja. Gadis kecil itu menangis di sampingku. Memandangi tubuhnya yang tergeletak tak lagi bergerak. Mula-mula air matanya hanyalah air mata biasa. Namun, sewaktu ia melihat tubuhnya semakin membusuk dan hancur, air matanya pun bercampur dengan tetesan darah. Aku mencoba menghiburnya. Mengatakan padanya bahwa banyak sekali musibah terjadi tiba-tiba tanpa terelakkan. Ia tak
mau mendengar ucapanku. Untunglah, waktu selalu bisa menyembuhkan luka. Beberapa tahun kemudian, aku mulai mendengar suara senandungnya. Aku tahu, sebenarnya ia gadis periang. Awalnya ia hanya menyanyikan lagu-lagu sedih. Namun, setelah ia tahu kami semua mendengarkannya di sini, ia mulai menyanyikan lagu-lagu riang. Aku suka suaranya. Dan ternyata, tak hanya aku yang menyukainya. Rusa, ular, kera, dan beberapa binatang lainnya mulai berdatangan padanya. Ini membuatnya semakin gembira. Ia kini tak hanya sekadar menyanyi, ia juga menari. Tampaknya ia telah dapat melupakan apa yang terjadi padanya. Namun itu tak berlangsung lama. Sewaktu orang-orang dari desa menemukan tubuhnya dan membacakan doa untuknya, sosoknya lenyap dari sisiku, menyatu dengan udara. Sungguh, aku terus berharap ia muncul kembali. Ia telah membuat suasana hutan belukar ini menjadi lebih gembira. Tapi inilah yang kemudian terjadi: sebuah rumah besar dibangun di tanah yang terbentang di depan kami. Sebuah tembok bata yang sisi luarnya tak disemen didirikan menutupi wilayah kami. Sejak itu aku tak lagi bisa melihat ke depan. Hanya sebuah pintu berwarna kusam di dinding itu yang selalu memunculkan harapan bagiku. Namun itu pun ternyata harapan yang sia-sia. Sampai bertahun-tahun, pintu itu tak pernah terbuka. Aku sungguh tak habis pikir, bagaimana mungkin sebuah pintu dibuat tanpa pernah dibuka? Hingga akhirnya aku benar-benar merasa lelah. Kesendirian ini membuatku ingin mati saja. Namun di puncak keinginan inilah tiba-tiba saja dari sebuah celah pintu itu sesuatu memantul ke arah kami. Sebuah bola karet kecil. Kulihat gagang pintu mulai bergerak pelan.
Napasku seakan berhenti. Angin menepi. Daun-daun berhenti bergerak. Kicau burung dan desis ular lenyap. Suara-suara teriakan itu pun tak terdengar. Semua mendadak senyap. Lalu seorang gadis kecil kulihat muncul dari balik pintu. Sungguh, ia begitu mirip dengan gadis kecil yang dulu pernah datang ke mari. Wajahnya cantik, dengan mata berbinar dan rambut panjang yang terkuncir dua. Aku tahu wajahnya penuh ketakutan saat memandangi kami semua. Tapi bola karet kecil yang tak berhenti memantul itu seakan membuat ketakutannya lenyap. Ah, gadis kecil, kemarilah! Jangan takut! Sungguh, aku dan semua yang ada di sini telah siap menyambutmu di langkah pertamamu di tanah kami.(*)
Yudhi Herwibowo giat di buletin sastra Pawon, Solo.
(Dimuat di Koran Tempo, 7 Juli 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Orang-orang yang Setia Cerpen Ardy Kresna Crenata
S
EPERTI biasa, ia tak menoleh ketika aku menggeliat mengeluarkan suara manja. Aku pun bangkit. Kubiarkan selimut yang semula menempel di dada akhirnya terjatuh. Dingin memang. Tapi itu justru memberiku cukup alasan untuk bersegera merangkak mendekatinya dan menekankan payudaraku ke punggungnya. “Sudah terbangun cukup lama?” tanyaku. Ia masih saja tak menghiraukanku dan tampak bersungguh-sungguh menatap layar laptopnya yang penuh sesak oleh kata-kata. Aku dan lelaki ini pertama kali bertemu tujuh bulan yang lalu. Saat itu kami sedang sama-sama menghadiri malam pemberian hadiah bagi para pemenang sebuah sayembara penulisan puisi tingkat nasional di luar kota. Kebetulan, ialah yang jadi pemenang pertama. Aku saat itu menghampirinya, sebagai seorang
penggemar. Sebelum malam itu aku telah banyak membaca puisipuisinya yang dimuat di beberapa koran nasional dan jujur saja aku sangat menyukainya. Dan aku senang, karena ia merespon ajakan pertemananku itu dengan hangat. Dan aku lebih senang lagi, karena rupanya lelaki itu tertarik kepadaku—bisa kupastikan itu dari tatapan matanya yang sesekali terarah ke beberapa bagian di tubuhku. Sebelum akhirnya maju ke panggung, untuk menerima piala dan berkata-kata di podium, ia meminta nomorku yang bisa ia hubungi. Kuberikan. Beberapa jam setelah kami berpisah malam itu, ia mengirimiku SMS. Dua hari kemudian, ia meneleponku. Lima hari setelahnya, ia mengatakan ingin sekali bertemu denganku. Maka kubilang, “Ke sinilah. Mungkin kita bisa sekalian ngobrol-ngobrol soal puisi dan kamu bisa memberitahuku bagaimana caranya memenangkan sebuah sayembara penulisan puisi.” Rupanya, ia menanggapi perkataanku itu dengan serius. Pada hari kedelapan belas sejak malam penghadiahan itu kami bertemu di etalase sastra sebuah toko buku di Botani Square. Ada rasa tersengat, tentu saja, melihat sosoknya itu berdiri (lagi) di hadapanku. Singkat kata kami pun berbicara tentang berbagai hal sambil berkeliling melihat-lihat dan mengomentari buku-buku yang ada di sana. Malamnya, kami
berada di sebuah kamar. Ia sempat mengabulkan permintaanku dengan mengajakku berdebat soal baik-buruknya puisi esai lalu mengajariku bagaimana membuat sebuah puisi khusus untuk memenangkan sayembara sebelum akhirnya ia menciumiku di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. “Aku menyukaimu dan ingin kembali bertemu denganmu,” katanya besok harinya, sesaat sebelum ia memasuki bis. Aku tersenyum. Dua bulan setelah saat itu ia datang lagi, dan mengajakku berdebat lagi dan mengajariku lagi menulis puisi khusus untuk sayembara lantas menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. Kalau kuhitung-hitung, dengan yang tadi malam, sudah tiga belas kali kami melakukannya. Di salah satu malam yang kami lalui bersama, aku pernah menanyakan padanya bagaimana sesungguhnya perasaannya padaku. Ia bilang, ia menyukaiku, tapi tak lebih dari itu. Tak bisa. “Kenapa?” tanyaku. “Karena aku sudah memiliki seseorang,” jawabnya. “Dan aku berniat menikahinya, meski tidak dalam waktu dekat,” lanjutnya. Aku pun mengerti. Ia sempat cemas dan bertanya apakah kejujurannya itu mengusikku. Kujawab dengan menciuminya. Pada malam selanjutnya kami bersama ia memberiku sebuket mawar merah dan beberapa buku. “Ini untuk mengurangi rasa bersalahku,” katanya. Kukatakan bahwa itu tak perlu, sebab aku sama sekali tak pernah menganggap ia bersalah. “Tapi aku merasa bersalah,” desaknya. Jadi kuterima saja. Namun rupanya itu tak menghentikannya untuk menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. “Kamu tahu, kurasa aku mulai mencintaimu,” ucapnya suatu hari. “Apakah itu berbahaya?” tanyaku. “Sangat,” jawabnya. Namun lagi-lagi rupanya itu tak menghentikannya untuk menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher, di bahu..
S
EBULAN lamanya sejak saat itu kami tak berkomunikasi melalui telepon maupun SMS. Kukira saat itu ia akhirnya memutuskan untuk berhenti dan mulai sepenuhnya mempersiapkan diri untuk membangun masa depannya yang sesungguhnya dengan seseorang itu. Akan tetapi, suatu pagi, ia membangunkanku, dan mengatakan betapa ia merindukanku dan tak bisa berhenti memikirkan malam-malam yang kami lalui bersama itu. “Aku juga,” kataku, yang kemudian kusesali. Beberapa hari setelahnya kami kemudian bertemu. Kali itu aku yang berkunjung ke kota tempat ia tinggal. Di kamarnya itu, ia begitu antusias menunjukkan padaku buku-buku tentang puisi yang ia miliki. Ia pun seperti berteori, memintaku menanggapi pendapatnya dan akhirnya kami berdua terjebak dalam suatu diskusi panas yang nyaris saja membuat kami saling meneriaki satu sama lain. Aku ingat, untuk mengakhiri perdebatan itu aku sampai harus mengalah dengan menyetujui tuduhannya bahwa kredo penyair Malna itu berbahaya bagi para penulis muda, bahwa kematangan teknik harus lebih dulu dimiliki untuk menyelami kredo itu. “Jangan sampai seseorang meloncat justru karena ia tak bisa melangkah biasa. Itu namanya melarikan diri,” katanya. Aku mengangguk-angguk saja meski sesungguhnya begitu dongkol dan dalam hati terus bergumam: seorang pelukis surealis toh tidak perlu lebih dulu piawai membuat lukisanlukisan realis. Ketika ketegangan sudah benar-benar menghilang, ia akhirnya tersenyum, meraih tanganku, dan berkata, “Aku merindukanmu beberapa hari ini. Sangat.” Beberapa detik setelahnya ia membawaku bersandar di dinding kamarnya lantas menciumiku di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. Dini harinya ketika akhirnya aku terbangun kutemukan ia tengah duduk memunggungiku, dan sepertinya sedang menatap layar laptopnya lekat-lekat. “Kamu
sedang menulis puisi?” tanyaku, dan ia sama sekali tak menggubrisnya.
S
ETELAH beberapa kali menginap di kamar kostnya, barulah aku mengerti bahwa ia memang seperti itu ketika menulis puisi: sama sekali tak bisa diganggu. Beberapa kali usai menulis puisi itu ia meminta maaf, dan selalu langsung kujawab dengan “tak apa”. Di satu waktu ia menjelaskan padaku bahwa puisi yang baru saja dibuatnya itu akan dikirimkannya ke sebuah sayembara dan ia merasa luar biasa puas karena puisi itu seperti apa yang diinginkannya. “Kurasa ini karena aku habis tidur denganmu,” katanya, sebelum menciumku tiga kali. Kukatakan padanya (dengan maksud menggodanya) bahwa sebelumnya ia telah beberapa kali tidur denganku namun sesuatu seperti yang dikatakannya itu tak pernah terjadi. “Itu karena saat itu aku memang tak berniat menulis puisi,” sanggahnya cepat. “Waktu kita kan singkat. Sayang sekali kalau harus kuhabiskan dengan menulis puisi,” sambungnya. Dan kalau kupikir-pikir sekarang, yang dikatakannya itu ada benarnya juga. Selama ini peristiwa aku terbangun dini hari dan menemukan punggungnya yang telanjang hanya terjadi ketika aku berkunjung ke kota tempat ia tinggal, menginap dua atau tiga malam di kamar kosnya. Dan kalau kupikir-pikir lagi, rupanya, lelaki ini cukup pintar mengatur waktu. Sejauh ini aku sudah beberapa kali mengunjunginya di kota tempat ia tinggal, menginap dua-tiga malam di kamar kosnya, dan selalu sepanjang waktu itu ia habiskan berdua saja denganku. Kadang itu membuatku bertanya-tanya, apakah ia dan seseorang itu masih bersama-sama. Suatu malam akhirnya kuutarakan keherananku itu padanya dan ia menjawab cepat, “Masih kok.” Sambil sesekali menatap mataku ia menjelaskan bahwa apapun yang telah terjadi di antara
kami, ia tak akan mengubah keputusannya untuk mempersunting seseorang itu kelak. “Apakah kau mencintainya?” tanyaku. “Tentu saja,” jawabnya, dengan raut muka seperti awan gelap yang memadat. Ketika kuungkapkan keherananku dengan sikapnya itu, betapa ia bersikeras memilih seseorang itu sebagai istri namun tak juga berhenti tidur denganku yang berarti ia terus saja mengkhianatinya, ia mengatakan sesuatu yang membuatku terdiam, “Ia tahu kok apa yang kita lakukan ini.” Lima detik, dua belas detik, kuhabiskan dengan ternganga. “Benarkah itu?” tanyaku. “Ya,” jawabnya. Di sisa malam itu aku terus memikirkannya dan akhirnya aku jadi tak bisa menikmati persetubuhan kami, membuatnya cemberut. Dua minggu setelah saat itu, aku memberanikan diri untuk menemui seseorang itu dan mengajaknya bercakap-cakap. Sebenarnya, lelaki itu sudah sejak lama mewanti-wanti agar aku tak mencoba-coba menemui seseorang itu. Jika ia tahu pertemuan dan percakapan kami itu, ia tentu akan benar-benar memarahiku. Tapi aku sudah memikirkannya masak-masak selama dua minggu dan kusimpulkan bahwa hari-hariku tak akan tenang jika aku dan seseorang itu tak bertemu. Maka, ketika pertemuan riskan itu terjadi, besar harapanku seseorang itu memberikan pernyataan yang entah bagaimana bisa menghapuskan kegelisahanku. Namun ternyata, yang terjadi adalah sebaliknya. Usai kuutarakan kepadanya apa yang dikatakan lelaki itu malam itu, respon seseorang itu bukannya tersenyum atau mengangguk atau menyentuh tanganku dan berkata, “Ya. Aku tahu.” Yang kulihat saat itu, sorot matanya memudar, dan tak lama setelahnya setetes air mata meluncur di pipinya yang kiri. Seseorang itu, rupanya tak pernah tahu apa-apa soal kedekatan lelaki itu denganku, soal malam-malam yang kami lalui bersama, soal keputusan lelaki itu
untuk melamarnya kelak. Dengan kikuk, aku meminta maaf dan berjanji akan mengakhiri hubunganku dengan lelaki itu, bahkan sekalian saja menghilang dari kehidupan mereka jika memang seseorang itu menginginkannya. Aku sedih, melihat ia seperti itu. Aku membayangkan aku lah yang berada di posisinya. Pastinya hatiku hancur. Namun apa yang dikatakannya kemudian benarbenar tak bisa kupercaya. Ia memintaku untuk meneruskan hubungan rahasiaku dengan lelaki itu. Dan katanya tegas, “Jangan khawatir. Itu tak akan mengganggu hubungan kami. Kami akan baik-baik saja. Dan suatu saat nanti, kami akan menikah.” Sejak saat itu, aku sebisa mungkin menghindari pertemuan dengan lelaki itu. Alasan demi alasan kuberikan. Rindu demi rindu aku simpan. Hingga akhirnya, pertemuan itu tak terhindarkan lagi. Ia menciumiku di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. “Menurutmu, apakah aku ini orang yang setia?” tanyanya. Aku terpaku, lantas menggeleng. “Entahlah,” kataku. “Kau bilang apapun yang terjadi di antara kita, istrimu nanti adalah dia. Kurasa, itu suatu wujud kesetiaanmu padanya. Tapi kita...” “Tak berhenti melakukan hal ini?” potongnya. “Ya,” jawabku. Ia diam, beberapa detik. “Bukankah itu suatu wujud kesetiaanku padamu, bahwa meskipun kelak aku akan menikahi perempuan lain, aku tetap memberikan diriku padamu?” Giliranku yang terdiam. Benarkah itu? pikirku. Dan senyum di wajah lelaki itu seperti berkata, “Ya.” Maka aku pun tak lagi ambil pusing dengan semua itu. Biarlah ia kelak menikah dengan seseorang itu dan kami masih terus bertemu seperti ini. Biarlah ia terus mengatakan padaku bahwa seseorang itu baik-baik saja dan apa yang kami lakukan ini tak
akan mengganggu hubungan mereka. Satu hal kutanyakan, “Dulu di malam penghadiahan itu, kau sendirian. Mengapa dia tak mendampingimu?” Sambil menyentuh-nyentuh bibirku, ia menjawab, “Malam itu, kami sedang bertengkar.” Oh.. Aku pun sepertinya mengerti mengapa malam itu ia begitu hangat merespon ajakan pertemananku, mengapa malam itu ia mengirimiku SMS dan beberapa hari setelahnya dengan menggebu-gebu ia meneleponku. “Aku mencintaimu,” bisiknya, sebelum akhirnya ia menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. Dan saat ini adalah dua puluh tujuh malam setelah saat itu. Baru saja, ia memintaku kembali ke tempat tidur. Baru saja, ia mematikan laptop dan menoleh menatapku penuh arti. Baru saja, ia menanyakan sesuatu yang membuat pipiku rasanya memerah, “Setelah aku dan ia menikah nanti, maukah kau terus menemaniku seperti ini? Masihkah kau akan setia kepadaku?” Sambil menunggu ia merangkak menghampiriku, aku memikirkan pertanyaannya itu. Barangkali bagi lelaki ini, aku, juga seseorang itu, adalah orang-orang yang akan selalu setia—kepadanya.(*)
Ardy Kresna Crenata tinggal di Dramaga, Bogor. Ia lulusan Matematika Institut Pertanian Bogor. Kumpulan cerita pendeknya, Pendamping (2012). (Dimuat di Koran Tempo, 30 Juni 2013) (Gambar oleh Imam Yunni)
Lapar Cerpen Jean Genet (Dialihbahasakan oleh Anton Kurnia)
T
ELAH lama ia menderita karena lapar dan siksaan dingin di sebuah kamar sempit yang tunggakan sewanya belum terlunasi. Satu malam ia tak tahan lagi. Kelaparan menggerakkannya. Dirasanya pedih itu di lambungnya— sesuatu yang terus meremas-remas alat pencernaannya. Rasa masam naik dari lambungnya ke mulut, lenyap, menelanjangi diri sebagai sebuah hasrat. Ia berbalik di ranjangnya dan memikirkan Paulo yang telah memberinya dasi berbahan lembut yang digantungkannya pada sebuah paku di dinding. Persahabatan tak mencegahnya berpikir untuk menjual gombal sutra usang itu demi mendapatkan uang sekadar pembeli roti. Kepada siapa ia bisa menjualnya? Itu cendera mata, tapi Paulo akan mengerti jika dasinya digunakan untuk mengenyahkan kelaparan seorang kawan.
“Jika kakiku terluka, ia tak akan keberatan aku menghentikan perdarahan dengan dasinya biarpun dasi itu akan rusak karenanya.” Satu pertanda muncul di tubuhnya, sesuatu serasa jika sesosok tangan lembut melipat ususnya. Ia bangkit. Kamar itu mungil, sekejap saja ia telah sampai di pintu dan beranjak ke luar. Dengan sedikit gerakan yang dibuatnya untuk menuruni tangga, terlupakanlah rasa laparnya. Namun, begitu ia sampai di tepi jalan, bimbang hendak berbelok ke kiri atau kanan, rasa lapar itu kembali mengentaknya dengan kecepatan seekor kuda yang berpacu. Ia merasa seakan terempas ke bumi diterkam seekor binatang perkasa yang telah menaklukkannya hingga akhir masa. Ia berbelok ke kanan. Jalanan itu tampak muram. Pepohonan seakan hidup dengan keriangan yang mengerikan. Ia harus menggantungkan diri pada keajaiban. Di pelataran sebuah rumah, di kisi sebuah jendela—itu kamar si penjaga rumah—ia melihat seekor kucing. Riton berhenti dan, tanpa membelainya, merengkuh binatang itu. Si kucing diam dalam
pelukannya. Rasa senang memberi Riton sepasang sayap untuk mempercepat langkahnya, ditingkahi harapan dan perut yang seolah telah kenyang. Kucing jantan itu besar dan gemuk. Membantai ia pasti akan sangat sengit. Mula-mula Riton mencoba membunuhnya dengan palu. Merasa ganjil karena ia sebagai pembunuh merasa tak terlalu bersalah saat pukulannya meleset dan upaya sia-sia berikutnya untuk membunuh binatang itu membuatnya merasa sebagai pesakitan, ia melemparkan palu itu. Hanya kulit si kucing yang tersentuh lemparan palu. Binatang itu bersembunyi di kolong ranjang. Namun, sempitnya kamar itu membuat Riton dapat segera menangkapnya. Tertawan, binatang itu mencoba mencakarnya. Kucing itu melawan. Riton membalut tangan kirinya dengan handuk dan mencengkeram buntut si kucing. Tangan kanannya menggaplok kepala si kucing dengan palu, tapi meleset. Kucing itu hanya terkena punggung palu dan menyerang balik dengan gerakan seekor ular terdesak. Binatang itu mengeong marah. Dirasanya maut telah dekat. Makhluk itu tahu kematian tak terhindarkan lagi. Riton kembali menyerang. Tapi luput. Palu itu membentur udara kosong. Ia menyerang lagi. Tapi lagi-lagi gagal. “Jahanam!” Adegan menjadi sunyi dari awal hingga akhir. Riton berjuang dalam sunyi melawan kesunyian itu sendiri, orang-orang dengan kejahatan kanak-kanak dan pikiran putus asa, serta ketakutan si kucing—yang baginya menjelma musuh karena kebandelan untuk tetap hidup terlepas dari segala kesakitan yang dialaminya, karena keterampilan tubuhnya menghindari hantaman, lembut dan sekaligus menyentuh hati Riton. Hatinya dilimpahi lautan melankoli, yang bunyi gelombangnya memekakkan telinga Riton.
Sesungguhnya ia ingin membelai lembut kucing besar dan berbulu kelabu itu. Bisa dibayangkannya seorang bocah memanggul kucing itu, si kucing memanjat bahunya, dan di situ ia duduk muram dekat wajah si bocah, mengeong senang. Bersamaan dengan munculnya gagasan membunuh kucing itu dengan palu, tebersit pula gagasan mencekiknya yang kini kian pasti. Namun Riton tak mau meninggalkan ia demi mencari seutas talli. Ia membuka pasak sabuknya, melepaskannya dari lubang sabuk celananya, dan dengan satau tangan membuat jerat dari sabuk itu. Si kucing menunggu dengan hening. Dengan kaki menjejak kepala mungil itu, Riton menarik ujung sabuknya, tapi ia tak mencekik binatang itu, yang masih segar bugar seperti sedia kala. Riton terombang-ambing dalam kelembutan yang mematahhatikan serupa mimpi. Ia memasang sabuk itu di sebuah paku yang terpasang di dinding dan menggantung si kucing. Kucing itu berupaya membebaskan diri, mencakar dinding, mencoba memanjat naik. Sekonyong-konyong tubuh Riton menggigil gemetar saat selintas pikiran menyergapnya bahwa para tetangganya mengintip di balik pintu, menguping upaya pembunuhan itu dari balik dinding. Bukan karena mereka mendengar pekikan, erangan, rintihan si korban, melainkan karena tindakan pembunuhan itu sendiri telah memenuhi ruangan dengan kelembutan yang menembus dinding lebih dahsyat daripada sinar rontgen. Lalu, Riton menyadari keganjilan pikirannya dan ia melanjutkan menyerang korbannya bersenjatakan palu dengan satu tangan, sementara tangan lain memegangi celananya yang melorot. Kucing itu makin beringas akibat tersudut oleh bahaya, kesakitan, dan rasa takut. Masih tak ada darah tumpah, tapi Riton telah letih. Lalu ia dirasuki rasa takut bahwa binatang ini
sesungguhnya sesosok setan yang berubah wujud menjadi kucing agar dapat merasuki jiwa manusia dengan lebih mudah. “Jika dia setan, mampuslah aku!” Ia menimbang untuk menurunkan si kucing, tapi ia takut bahwa setan itu—yang bisa berdiri dengan dua kaki—akan merobek perutnya dengan sekali sabetan tongkat trisulanya. Kisah-kisah yang didengarnya bercerita betapa tiga tetes air suci yang dikibaskan pada seekor kucing jejadian cukup untuk mengembalikan wujud setannya ke dalam bentuk serupa manusia. Tak ada air suci di kamar itu, atau ranting kayu salib, atau bahkan lukisan komuni pertama. Bagaimana jika ia membuat tanda salib? Setan itu masih terus menggantung. Saat berubah wujud serupa manusia mungkin dia akan tetap seukuran kucing. Apa yang bisa dilakukannya dengan mayat setan seukuran kucing? Riton tak berani bergerak sebab takut secara tak sengaja membuat tanda salib ke arah si kucing setan. Letih, kuyup peluh, pucat pasi, saat ia akhirnya melepaskan ikatan kucing itu dan memasukkannya ke dalam kantong terpal yang lalu ditutupnya, ia menghantamkan palu sekuat-kuatnya pada makhluk misterius mengerikan dan terus merintih itu. Si kucing masih hidup. Saat Riton yakin kepala mungil itu telah remuk, ia mengeluarkan binatang itu yang ternyata masih menggeliat-geliat sekarat. Akhirnya, ia memancarkan jasad itu pada paku di dinding dan mengulitinya. Pekerjaan itu memakan waktu lama. Rasa lapar, yang sempat lenyap tiba-tiba, kini mendadak kembali ke perut Riton. Kucing itu masih hangat, meruapkan asap, saat ia memotong kedua pahanya dan merebusnya di dalam panci. Duduk berhadapan dengan onggokan sisa tubuh binatang itu, dengan kulit serupa sarung tangan berlumur darah, Riton melahap potongan daging yang nyaris masih mentah, terasa hambar, sebab ia tak punya garam.
Sejak hari itu, Riton menyadari kehadiran seekor kucing menandai tubuhnya—tepatnya, perutnya, serupa bordiran lukisan binatang dalam brokat emas pada gaun kaum perempuan di masa silam. Entah sebab kucing itu memang sedang sakit atau terjangkit mala selama penyiksaannya—dan juga murka—atau dagingnya belum cukup dingin, atau perkelahian mereka meletihkannya, malam itu Riton merasa kesakitan dari ujung kepala hingga kaki. Ia yakin tubuhnya telah keracunan dan ia mencoba berdoa khusyuk untuk kucing itu. Esoknya Riton mendaftar masuk milisi. Betapa menyenangkan bagiku mengetahui ia telah menandai daging terdalam inti tubuhnya dengan cap kemuliaan yang diperolehnya dari rasa lapar.
Jean Genet (1910-1986) adalah penulis Prancis. Cerita di atas diindonesiakan oleh Anton Kurnia dari versi Inggris William Barrett.
(dimuat di Koran Tempo, 23 Juni 2013) (gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Para Penjual Rumah Ustazah Nung Cerpen Ben Sohib
K
AU harus melihat sendiri bagaimana si bungsu itu memainkan drama di hadapan ibunya. Ia tahu ibunya selalu merasa iba kepadanya dan lekas terharu pada apa pun yang dikeluhkannya. Lelaki itu memang bebal dalam banyak hal, tapi tidak untuk urusan yang satu ini. Ketiga kakaknya, dua perempuan dan satu laki-laki, dibuat tak berkutik dan hanya bisa pasrah saat ibu akhirnya menuruti keinginannya: menjual rumah pusaka. “Dulah tsudah tak tahan hidup tsendiri. Dulah ingin menikah lagi tsecepatnya,” itu yang ia katakan sambil tangannya mengusap sepasang pipi tembam yang basah oleh air mata. Lihat, dia selalu berbicara dengan memanggil namanya sendiri, menegaskan bahwa ia memang anak bontot yang manja.
Memang benar dia anak bungsu dari empat bersaudara. Tapi usianya 38 tahun, berperut buncit, berkepala botak, dan tak fasih melafalkan “s” karena dua gigi depannya sudah rompal (soal kenapa dua gigi depannya rompal akan kuceritakan nanti). Aku tak tahu apa yang ada di pikiranmu jika kau berada di sana menyaksikan rapat keluarga sore itu, melihat seorang lelaki dewasa berbicara dengan memanggil namanya sendiri, sesuatu yang hanya pantas dilakukan anak balita atau paling tidak gadis remaja. Mungkin kau ingin menamparnya. Ketiga kakaknya ingin sekali membunuhnya. “Kau tak memikirkan Umi?” tanya salah seorang kakak perempuannya. “Umi bitsa membeli rumah kecil di kampung dekat-dekat tsini. Buat apa rumah sebetsar ini jika penghuninya cuma Ummi dan Dulah? Lagipula, kalau nanti menikah Dulah kan juga ingin punya rumah tsendiri, punya mobil, punya utsaha, tseperti kalian semua!” Namanya memang Abdulah, dan ia memang dipanggil Dulah, tapi percayalah, kau akan merasa jengah melihat seorang lelaki dewasa dengan potongan seperti yang sudah kugambarkan tadi,
berbicara dengan gaya memanggil namanya sendiri. Dan kejengahanmu akan menjadi-jadi setiap kali ada kata yang mengandung huruf “s” di tengah-tengah pembicaraannya. “Tapi Umi belum tentu betah di rumah baru,” sergah kakak perempuannya yang lainnya. “Betul, selain banyak kenangan dengan almarhum Abah, Umi kan ada majelis taklim di rumah ini. Itu hiburan tersendiri buat masa tua Umi,” kali ini kakak laki-lakinya yang angkat bicara. Si bungsu berdiri. “Hiburan? Hiburan buat kalian karena kalian tsudah punya tsegalanya! Kalian egoits! Kalian...” Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia kembali duduk dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Sekarang ia tersedu. Kakak-kakaknya yang duduk di depannya terdiam, sementara sang ibu yang duduk di sampingnya tampak seperti linglung. Mungkin ia bingung menghadapi situasi seperti ini, apalagi pikirannya masih terganggu dengan kata-kata Abdulah seminggu yang lalu. Saat menyampaikan niatnya hendak menikah lagi setelah delapan tahun menduda, anak bungsunya itu mengawali dengan keluh-kesah bahwa ia tak pernah merasa bahagia sepanjang hidupnya, dan bahwa sekarang ia ingin menikmati hidup selagi usianya belum terlanjur tua. Pikiran Ustazah Nung— demikian perempuan itu dipanggil—makin ruwet ketika ia tahu dengan siapa anaknya hendak menikah (soal dengan siapa Abdulah hendak menikah juga akan kuceritakan nanti). Setelah tangisnya mereda, si bungsu melanjutkan bicaranya, “Kalian tak pernah memikirkan hidup Dulah yang hancur, yang ketsepian, yang tak punya rumah tangga, yang tak punya apa-apa!” “Kami semua memikirkan hidupmu, dan kau bebas mengawini setan mana pun yang kau suka, tapi jelas kami tak setuju dengan usulmu menjual rumah ini, kita juga harus
memikirkan kehidupan Umi!” kata kakak perempuannya yang pertama. “Umi akan baik-baik tsaja, kalian berlebihan! Ini mumpung tsekarang harga tsedang tinggi, mau menunggu apa lagi? Kalian tega melihat Dulah hidup merana tseperti ini bertahun-tahun? Kalau begitu teruts, Dulah bitsa-bitsa duduk dan jalan-jalan telanjang di depan rumah!” “Akan kujual rumah ini, dan kubagi-bagikan uangnya sesuai hak waris masing-masing!” akhirnya Ustazah Nung ambil keputusan. Perempuan tua itu berbicara tegas dan lantang, dengan suara bergetar.
K
INI tiba saatnya aku bercerita tentang bagaimana dua gigi depan Abdulah rompal, dan beberapa hal lainnya. Giginya masih utuh seandainya ia tak berbuat bodoh. Bahkan rumah tangganya juga mestinya masih utuh. Tapi ia terlalu bodoh untuk mempertahankan keutuhan gigi depan maupun rumah tangganya. Itu bermula dari petualangannya dengan seorang perempuan bernama Lola. Saat itu Abdulah sudah beristri. Tapi, dua tahun usia pernikahan tampaknya masih terlalu singkat untuk bisa memadamkan api cinta pertamanya kepada Lola. Ia memang sudah tergila-gila kepada perempuan itu sejak ia masih murid SLTA. Mereka belajar di sekolah yang sama. Abdulah murid kelas 3, Lola duduk di bangku kelas 1. Tapi mereka lulus dalam waktu yang bersamaan lantaran dua kali Abdulah tak naik kelas (Abdulah juga pernah tak naik kelas sebelumnya, dua kali saat di SD, sekali di SLTP). Selama tiga tahun menjadi teman satu sekolahan, Abdulah tak berhasil menjadikan Lola sebagai pacarnya, tapi ia cukup senang telah berhasil membuat Lola bersedia menerima apa saja yang ia
berikan, baik berupa barang maupun uang. Tak sekali pun pemberiannya pernah ditolak Lola. Rasa bahagia Abdulah berlipat-ganda saat Lola mulai berani meminta uang jajan seminggu sekali, yang langsung ia terjemahkan sebagai kesediaan gadis itu untuk menjadi istrinya. “Lola memang cantik, tapi sepertinya dia bukan gadis baikbaik, aku sering melihat ia merokok di warung Bu Mameh,” kata Ustazah Nung saat Abdulah memintanya untuk meminang Lola, enam bulan setelah mereka berdua lulus SLTA. “Lola cinta pertama Dulah, tak ada yang bisa menggantikannya,” jawab Abdulah. Dengan berat hati Ustazah Nung akhirnya melangkah ke rumah Lola menemui ibunya, menyampaikan niat Abdulah. Dan ia pulang dengan membawa kabar buruk untuk anak laki-laki terkasihnya: Lola “sudah ada yang punya”, seorang pengusaha biro perjalanan. Mereka akan menikah tahun depan. Sejak saat itu Abdulah menjadi pemurung dan sering melamun. Keadaan yang membuat Ustazah Nung risau ini berlangsung selama hampir dua tahun, sampai salah seorang kakak perempuannya datang bersama seorang perempuan bernama Hilda. “Ini adik temanku. Dia dari Tasikmalaya, ke Jakarta mau mencari pekerjaan,” katanya saat memperkenalkan kepada Abdulah. Mereka menikah enam bulan kemudian. Ustazah Nung menjual sebidang tanah di Kebon Baru untuk biaya perkawinan, dan sebagian sisanya diberikan kepada Abdulah untuk modal usaha membuka warung sate kambing di Jalan Otista. Di luar dugaan banyak orang yang mengenalnya. Abdulah berhasil mengelola warung itu dengan baik. Kian hari Warung Sate Kambing “Bang Dulah” kian banyak mendapatkan pelanggan.
Dalam waktu dua tahun, Abdulah sudah berani mengambil kredit mobil. Saat itulah Lola kembali muncul dalam kehidupannya. Lola yang tak kunjung menikah, baik dengan pengusaha biro perjalanan atau biro apa pun juga, datang ke warung itu. “Satemu enak,” katanya saat akan membayar di meja kasir. “Kau tak perlu membayar,” jawab Abdulah dengan gemetar. Lola mengeluarkan dua lembar kertas, selembar uang kertas pecahan lima puluh ribu dan selembar lainnya kertas putih bertuliskan nomor telepon genggamnya. Abdulah menerimanya dengan tangan bergetar seperti orang sakit buyutan. Dan Lola sengaja menyentuhkan jemari tangannya ke telapak tangan Abdulah yang berkeringat dingin. Abdulah buru-buru memasukkan kedua lembar kertas itu ke laci, dan lupa memberikan uang kembalian. Tak sampai dua minggu setelah kunjungan itu, kabar bahwa Abdulah sering pergi berdua dengan Lola sudah santer terdengar di seantero kampung. Menurut sas-sus yang beredar di antara warga, Abdulah memberi Lola uang bulanan. Sepeda motor bebek baru yang dikendarai Lola konon juga merupakan pemberian Abdulah. Kabar-kabar burung itu akhirnya hinggap di telinga Hilda. Saat Abdulah ke dapur hendak mengambil segelas air pada satu sore di hari Minggu, Hilda yang sedang mencuci wajan bertanya, “Benarkah semua yang aku dengar dari orang tentang hubunganmu dengan Lola?” Entah apa yang saat itu ada di benak Abdulah. Awalnya ia diam saja, matanya sebentar memandang Hilda, sebentar memandang ke jendela. Lalu mendadak ia lancar berbicara setelah si itri berkata, “Ceritakan saja yang sebenarnya, aku lebih senang mendengar dari mulutmu sendiri.”
Abdulah membenarkan semua yang diceritakan orang dan didengar istrinya. Ia menutup pengakuannya dengan “Mungkin Dulah masih mencintai Lola” yang ia ucapkan sambil tersenyum. Hantaman punggung wajan di mulutnya itu begitu keras, dua gigi depannya langsung rompal. Mendengar suara ribut-ribut, Ustazah Nung yang sedang rebahan di kamar bergegas menghampiri sumber suara. Ia menjerit melihat mulut Abdulah penuh darah. Malam itu juga Hilda pulang ke Tasikmalaya dan tak pernah kembali ke Jakarta. Sementara Lola memilih hengkang ke kampungnya. Ia tinggal bersama salah seorang sepupunya di daerah Kota. Konon di sana ia bekerja di sebuah restoran yang juga menyediakan karaoke. Sebulan sekali ia pulang ke rumahnya. Abdulah kembali menjadi pemurung dan sering melamun. Entah karena sebab yang mana. Warung satenya dibiarkan tak terurus dan tutup tiga bulan kemudian, mobilnya dibawa pergi oleh dua orang debt collector yang datang ke rumahnya tak lama setelah itu. Pada tahun pertama setelah kejadian itu, juga pada tahun-tahun selanjutnya, Abdulah lebih banyak menghabiskan waktunya dengan duduk sambil merokok, berpindah-pindah dari satu kursi di ruang tamu, ke kursi lainnya di teras belakang atau teras depan. Setiap kali ibunya menganjurkan menikah lagi, selalu ia tanggapi dengan gelengan kepala. Hingga pada satu malam di tahun yang kedelapan, setelah beberapa minggu sebelumnya sering terlihat berdiri di depan cermin memegang sisir, berusaha sedemikian rupa menyisir ke kanan sejumput rambut yang tumbuh di sisi kiri kepalanya agar bagian atas kepalanya yang botak licin itu tampak seolah-olah masih ditumbuhi rambut tipis, Abdulah tiba-tiba menghampiri ibunya dan mengatakan hendak menikah dengan Lola. Abdulah bercerita bahwa Lola sudah beberapa kali menemuinya dalam sebulan terakhir ini. Ia berkata bahwa Lola
yang sekarang berstatus janda itu mencintai dirinya, bahwa Lola ingin ia menjadi ayah baru yang bertanggungjawab bagi anaknya satu-satunya. Mata Abdulah berkaca-kaca saat menceritakan bagaimana anak lelaki berusia tiga tahun itu, dalam waktu demikian singkat, sudah terbiasa memanggilnya “Papa”.
“T
AK ada cacatnya” adalah istilah yang digunakan para calo tanah dan rumah yang banyak berkeliaran di daerah ini ketika mereka mengomentari rumah Ustazah Nung. Ukurannya ideal, surat-suratnya “bersih”. Rumah tua itu berada tepat di pinggir jalan Raya Kampung Melayu Besar. Lebar depannya 30 meter, sementara panjangnya mencapai 50 meter, sangat bagus untuk gedung berlantai empat. Bukan sekali dua kali para pengembang dan spekulan tanah yang menanyakan rumah Ustazah Nung kepada Bang Sanip, makelar bangkotan yang menguasai seluk-beluk pertanahan di daerah ini. Bang Sanip hapal hampir seluruh riwayat rumah dan tanah di wilayang yang—sejak dibangunnya jalan layang ke pusat kota—menjadi incaran para pengembang dan spekulan tanah itu. Sejak jalan layang mulai dibangun tiga tahun lalu, harga rumah dan tanah yang terletak di pinggir jalan raya itu melambung. Kebanyakan warga memilih menjual rumahnya dan pindah ke daerah pinggiran yang harga tanahnya jauh lebih murah. Hanya tersisa beberapa gelintir warga yang memilih mempertahankan rumah dan tanah warisan leluhurnya, dan Ustazah Nung termasuk salah seorang dari mereka. “Ini kesempatan emas, harganya bagus. Ustazah bisa membeli rumah baru, naik haji lagi, atau umroh. Sisa uang Ustazah bisa disimpan di bank syariah, tujuh turunan tidak bakal habis,” bujuk Bang Sanip pada suatu sore. Sudah tiga kali ia bersama dua temannya datang menemui Ustazah Nung dalam setahun ini.
“Aku masih betah di sini,” jawab Ustazah Nung. Bang Sanip dan kedua rekannya meninggalkan Ustazah Nung setelah menenggak habis air putih yang disuguhkan, tapi tenggorokannya masih terasa kering. Air liurnya nyaris habis setelah hampir satu jam ia merayu Ustazah Nung dengan berbagai jurus agar mau melepas rumahnya. Tapi perempuan berkerudung itu seperti tidak mengenal kalimat lain kecuali “Aku masih betah di sini”. Entah sudah berapa kali Ustazah Nung mengucapkan katakata ini. Dan setiap kali kalimat itu terucap, Bang Sanip dan kedua temannya merasa seperti dicekik. Jawaban singkat yang diberikan Ustazah Nung setiap kali Bang Sanip menyelesaikan kalimatnya yang panjang lebar, benarbenar membuat pemimpin makelar itu putus asa. Kedua temannya yang bertugas membenarkan semua yang diucapkan Bang Sanip ikut putus asa. Mereka merasa kalimat-kalimat pendek seperti “itu benar”, “tepat sekali”, dan “betul sekali”, yang mereka sisipkan di tengah-tengah pembicaraan Bang Sanip, terbukti tak berpengaruh apa-apa. Begitu sampai di luar pagar rumah Ustazah Nung, sebelum melanjutkan langkahnya, Bang Sanip menoleh dan menatap rumah tua itu beberapa waktu. Aih, rumah yang sangat cantik seandainya si pemilik tak suka mengulang-ulang kalimat “aku masih betah di sini”. Saat itulah Bang Sanip melihat Abdulah muncul dari dalam rumah, berjalan sambil membetulkan gulungan sarungnya menuju sofa tua yang diletakkan di pojok teras. Abdulah duduk mengangkat kedua kakinya sebelum menyalakan rokok. Wajahnya kusut seperti orang yang tak tidur berhari-hari. Tiba-tiba Bang Sanip mengusap mulut, menyembunyikan senyumnya. Lalu ia berjalan dengan cepat, bergegas menyusul
kedua temannya. Benaknya dipenuhi wajah Lola. Ingatannya dengan cepat menyusun kembali riwayat percintaan dan perselingkuhan yang melibatkan Abdulah dan Lola. Bang Sanip tahu di mana Lola bisa ditemui, dan ia juga tahu apa yag sedang dibutuhkan perempuan itu saat ini. Malamnya, para makelar itu menggelar rapat hingga menjelang dini hari.(*)
Ben Sohib giat di Komunitas Majelis Sastra Masjid Al-Makmur di Cililitan, Jakarta Timur. (Dimuat di Koran Tempo, 16 Juni 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Hari yang Sempurna untuk Kangguru Cerpen Haruki Murakami (Dialihbahasakan oleh Habi Hidayat)
A
DA empat ekor kangguru di kandang—satu jantan, dua betina, dan satu ekor lagi adalah bayi kangguru yang baru lahir. Aku dan pacarku berdiri di depan kandang kangguru. Kebun binatang ini tidak terlalu populer di pagi hari Senin seperti ini, jumlah binatangnya melebihi jumlah pengunjung. Tidak ada yang menarik di kebun binatang ini. Hal yang menarik kami mendatangi kebun binatang ini adalah seekor bayi kangguru. Maksudku, apa lagi coba yang bisa dilihat di kebun binatang ini?
Sebulan sebelumnya, di sebuah rubrik di sebuah koran lokal, kami tak sengaja membaca sebuah pemberitahuan tentang lahirnya seekor bayi kangguru, dan sejak saat itulah kami sudah menunggununggu sebuah pagi yang sempurna untuk mengunjungi bayi kangguru tersebut. Namun bagaimana pun juga, hari yang tepat tidak juga datang. Suatu pagi, turun hujan deras, dan kami cukup yakin hujan bakal turun lagi di hari-hari berikutnya, dan angin pun berembus-embus kencang untuk dua hari berturutturut. Suatu pagi, pacarku mengeluh sakit gigi, dan di pagi yang lain aku punya urusan yang harus aku selesaikan di pusat kota. Aku tidak hendak membuat pernyataan yang dibesar-besarkan di sini, namun aku berani untuk mengatakan bahwa: Inilah kehidupan. Jadi bagaimana pun juga satu bulan itu waktu yang singkat. Selama sebulan sesuatu bisa berlalu apa adanya. Aku tidak pernah benar-benar mengingat sesuatu yang sudah kulakukan
selama sebulan. Sewaktu-waktu, seolah-olah aku sudah melakukan banyak hal, namun sewaktu-waktu yang lain aku merasa tidak menyelesaikan satu hal pun. Satu hal yang membuatku sadar kalau satu bulan telah berlalu adalah ketika lelaki yang mengantarkan koran harian datang ke rumah untuk menagih uang langganan. Ya, itulah hidup. Pada akhirnya, pagi yang kami tunggu-tunggu untuk melihat bayi kangguru datang juga. Kami bangun dari tidur pada pukul enam pagi, membuka gorden, dan yakin hari itu adalah hari yang sempurna untuk kangguru. Kami buru-buru membersihkan diri, sarapan, memberi makan kucing, buru-buru mencuci baju lalu mengenakan topi untuk menghalau sinar matahari, dan kami pun berangkat. “Apa kau pikir bayi kangguru itu masih hidup?” pacarku bertanya saat kami di kereta. “Aku yakin ia masih hidup. Tak ada satu berita pun yang mengabarkan bahwa bayi kangguru itu mati. Jika saja ia mati, aku yakin kita sudah membacanya di koran.” “Mungkin saja tidak mati, tapi bisa saja ia sakit dan dirawat di rumah sakit.” “Ya, tapi kalau pun itu terjadi, kita sudah membaca di koran.” “Bagaimana jika kangguru itu ketakutan dan bersembunyi di sudut kandang?” “Apa bayi kangguru punya rasa takut?” “Bukan bayinya. Tapi ibunya! Mungkin ia mengalami trauma dan menyudutkan diri bersama bayinya di kandang yang gelap.” Seorang wanita memang selalu memikirkan setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Trauma? Trauma macam apa coba yang bisa menyerang seekor kangguru? “Jika aku tak melihat bayi kangguru hari ini, aku pikir aku tidak akan punya kesempatan untuk melihatnya lagi,” katanya.
“Kupikir juga begitu.” “Maksudku, pernahkah kau melihat bayi kangguru?” “Tidak, aku tak pernah melihatnya.” “Apa kau yakin kau bakal punya kesempatan lain untuk melihat bayi kangguru?” “Aku tak tahu.” “Nah, karena itulah aku gelisah.” “Ya, tapi dengar dulu,” kataku nyerocos balik. “Aku tak pernah melihat seekor jerapah melahirkan, atau bahkan melihat hiu yang berenang-renang. Jadi apa masalahnya dengan bayi kangguru?” “Ya karena ia bayi kangguru,” katanya. “Karena itulah.” Aku pun menyerah dan mulai membalik-balikkan halaman koran. Aku tidak pernah satu kali pun menang-argumen dengan seorang perempuan.
B
AYI kangguru itu, sesuai perkiraan, masih hidup dan sehat, ia (entah jantan atau betina) terlihat tampak jauh lebih besar dibandingkan dengan gambarnya yang dimuat di koran, bahkan ia melompat-lompat di sekitar pagar kandang. Ia tak lagi seekor bayi kangguru, hanya kangguru mini. Pacarku pun kecewa. “Ia bukan bayi lagi,” katanya. “Tentu saja ia masih bayi,” kataku mencoba menghiburnya. Aku melingkarkan tanganku ke pinggangnya dan menggoyang-goyangkan tubuhnya pelan. Ia cuma menggelengkan kepala. Aku ingin berbuat sesuatu untuk menghiburnya, tapi apa pun yang kukatakan tidak bakal mengubah kenyataan bahwa si bayi kangguru ternyata sudah besar. Jadi aku cuma diam. Aku bergegas menuju warung kudapan dan membeli dua cokelat es krim, dan ketika aku kembali ia masih bersandar
menghadap kandang kangguru, menatap bayi kangguru itu lekatlekat. “Ia bukan lagi seekor bayi kangguru.” “Kau yakin?” kataku seraya memberinya es krim. “Seekor bayi kangguru mesti berada di kantung induknya.” Aku mengangguk dan menjilat es krimku. “Tapi yang ini tidak lagi berada di kantung induknya.” Kami berusaha mengenali induk kangguru. Sang ayah, mudah untuk dilihat, ia tampak paling besar dan begitu tenang di antara lainnya. Layaknya seorang komposer yang bakatnya telah memudar, ia hanya diam saja, menatapi dedaunan yang menjadi makanannya. Dua kangguru lainnya adalah betina, terlihat dari bentuk, warna, dan air muka mereka. Salah satunya mesti ibu si bayi kangguru. “Satu di antara dua kangguru itu mesti ibu si bayi, dan satu lagi bukan,” kataku berkomentar. “Um.” “Jadi yang mana yang bukan ibunya?” “Aku tak tahu,” katanya. Kami tak sadar bahwa ternyata bayi kangguru itu melompatlompat di pagar kandang, lalu sesekali mengorek-ngorek tanah untuk alasan yang tidak jelas. Ia (entah jantan atau betina) tampaknya menemukan cara untuk membuat dirinya sibuk. Si bayi kangguru melompat-lompat di sekitar bapaknya berdiri, mengunyah sedikit dedaunan, dan mengorek-ngorek lumpur, mengganggu kangguru betina, lalu berbaring di tanah, berdiri lalu melompat-lompat lagi. “Bagaimana bisa kangguru melompat-lompat begitu cepat?” “Agar bisa melarikan diri dari musuh?” “Musuh apa?”
“Manusia,” kataku. “Manusia membunuh mereka dengan bumerang dan menyantap mereka.” “Kenapa bayi kangguru sanggup naik ke kantong ibunya?” “Agar bayi kangguru bisa menyelamatkan diri bersama ibunya. Bayi kangguru tidak bisa berlari cepat.” “Jadi mereka terlindungi?” “Ya,” kataku. “Sang ibu melindungi anak-anaknya.” “Berapa lama sang ibu melindungi anak-anaknya seperti itu?” Aku sadar aku seharusnya membaca beberapa hal tentang kangguru di sebuah ensiklopedia sebelum kami bertamasya kecil seperti ini. Rentetan pertanyaan seperti ini memang sudah seharusnya aku perkirakan. “Sebulan sampai dua bulan, aku bayangkan.” “Tapi bayi itu cuma berumur sebulan sekarang,” katanya seraya menunjuk bayi kangguru. “Jadi mestinya ia masih di kantung ibunya.” “Ya, aku pikir juga begitu.” Matahari mengangkasa di atas kepala, dan kami tak bisa mendengar teriakan anak-anak di kolam renang di dekat kami. Sepotong awan putih melintasi kami. Seorang pelajar tengah bekerja di warung hotdog yang dibentuk layaknya sebuah minivan dengan beberapa kotak pengeras suara yang mengedarkan alunan suara Stevie Wonder dan Billy Joel saat aku menunggu hotdog yang tengah dimasak. Saat aku kembali ke kandang kangguru, pacarku buru-buru berkata, “Lihat!” menjerit, seraya menunjuk satu di antara kangguru betina. “Kau lihat, bukan? Bayi kangguru di kantong ibunya!” Aku cukup yakin bayi kangguru itu sudah meringkuk di kantung ibunya (anggap saja kangguru betina itu adalah benarbenar ibunya). Kantung kangguru betina itu benar-benar terisi
penuh, dan sepasang telinga mungil dan sepucuk ujung ekor mengintip dari balik kantungnya. Ini benar-benar pemandangan yang luar biasa dan benar-benar membuat tamasya kami tak siasia. “Mungkin terasa berat membawa bayi kangguru di dalam kantung,” katanya. “Jangan khawatir, kangguru itu hewan yang kuat.” “Betul begitu?” “Ya, tentu. Karena itulah mereka bertahan hidup.” Meski hidup dengan panasnya matahari, ibu kangguru tidak menderita. Pacarku terlihat layaknya seorang perempuan yang baru saja menyelesaikan belanjaan sorenya di supermarket di sekitar wilayah Aoyama yang indah, dan tengah bersantai istirahat menikmati secangkir kopi di warung kopi. “Ibu kangguru itu benar-benar melindungi bayinya, bukan?” “Ya.” “Aku bayangkan bayi kangguru itu tidur lelap.” “Ya, mungkin saja.”
K
AMI menyantap hotdog dan meminum kola seraya berjalan meninggalkan kandang kangguru. Saat kami pergi, sang ayah kangguru masih menatapi makanannya seolah mencari sesuatu yang hilang. Sang ibu kangguru dan bayinya menyatu, istirahat di antara aliran waktu yang tenang, ketika satu kangguru misterius lainnya melompatlompat di pagar seolah-olah ingin melarikan dirinya dari kandang. Hari itu rupanya jadi hari yang panas, hari yang panas pertama bagi kami setelah beberapa waktu yang lama. “Hei, kau ingin minum bir?” taya pacarku. “Ayo.”(*)
(Dimuat di Koran Tempo, 9 Juni 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
“To Be or Not To Be” Cerpen Mona Sylviana
D
ARA langsung menutup lagi pintu. Tapi asap putih dan bau knalpot telanjur menyerbu masuk kamar. Sambil menyisipkan kain penutup jendela di paku kusen, membuka kaca nako dan pintu triplek, tangannya mengibas-ngibaskan sarung. Ah, kenapa knalpot Mas Anwar nyemburnya persis di depan kamar? Jaka tersenyum melihat muka Dara memberengut dan melemparkan sarung sembarang ke dalam kamar. Tak lama, perempuan itu melenggang dengan membawa tumpukan pakaian. Nah, nah, dia lupa lagi nutup pintu.... Jaka masuk membatalkan langkahnya masuk kamar. Terdengar kran air dibuka. Dari beranda lantai atas, laki-laki itu memerhatikan pintu kamar Dara yang menganga. Kok enggak belajar dari pengalaman?
Dua minggu lalu kamar Pak Karyo yang persis di seberang kamar Dara dimasuki maling. “Aku merasa salah banget, Jek. Aku inget muka orang itu. malah dia sempat tanya kamar kosong. Aku bilang ada satu lagi, itu yang di seberang, tapi tanya aja ke Pak Haji. Terus dia tanya rumah Pak Haji. Ya, aku kasih tau. Tapi perasaan memang enggak enak, Jek, makanya aku ngunci pintu sebelum ke kamar mandi. Kayaknya pas itu dia ke kamar Pak Karyo. Dan Pak Karyo lagi mau makan siang. Dia hanya sebentar ke kamar mandi. Aku denger dia nyanyi-nyanyi sambil nyuci sendok. Pintunya memang terbuka. Aduh, kasian ya. Itu kan uang hasil parkiran, hasil kerja dia dari pagi. Aduh, beneran, Jek. Aku merasa salah banget. Harusnya aku liatin tu orang.” Setelah kejadian itu, hampir semua penghuni kamar mengingatkan Dara dan Pak Karyo, yang selalu teledor, untuk tidak lupa menutup pintu. Masih aja lupa.... Dara mengaduk-aduuk pakaian. Busa sabun meluapi ember. Perempuan itu mematikan kran. Matahari pukul 10 merayapi atap asbes, tali jemuran, dan sliweran kabel. Tetes air terlihat mengkilap di sepanjang lengan perempuan itu. “Ehm... ehm....” Dara tengadah, “Hai. Tumben belum mandi. Kok melotot?” Jaka menunjuk pintu kamar dengan dagunya yang belum dicukur. “Berapa kali
diingatkan...” “Apaan sih?” “Nada dasarnya ketinggian. Itu tu. Pintu kamarmu.” “Eh iya. Lupa....” Dara mengerling. Menyembunyikan malu dengan menyapu rambut di dahi. Perempuan itu mengangkat kain pel. “Aku beberes dulu ya.” Jaka tahu apa yang dikatakan Dara dengan beberes. Kain pel basah diletakkan di atas tempat sampah kecil di dekat pintu kamar. Ia menepuk-nepuk kasur kapuk, menekuknya jadi dua. Lalu melipat sarung, meletakkan di atas lekukan kasur, di samping bantal. Memindahkan tumpukan buku ke atas dus. Mengeluarkan piring dan gelas kotor. Memunguti rontokan rambut, semut-semut mati, serta abu rokok. Setelah itu, barulah ia yang selalu lupa membeli sapu itu mengepel kamar ukuran 2,5 x 3 meter. Sambil menunggu kering, biasanya Dara duduk di teras kamar sambil membersihkan daki di sela-sela jari kaki. Tapi.... Perempuan berambut pendek itu menuju kamar samping kamar mandi. “Kak Maria, aku boleh minta kresek bekas ya. Mana Kris? Pagipagi enggak denger dia sepeda-sepedaan. Biasanya kan jam segini udah hilir mudik depan kamarku....” “Diajak papanya ke sekolah.” “Oh....” “Dari malem Kris sudah gelisah. Tadi jam 5 dia langsung minta mandi.” Dara tertawa. “Kris mandi pagi? Tumben... Dia kan sama kayak aku, males mandi.” “Itu juga yang papanya bilang. Enggak kuliah?” “Nanti siang. Eh, makasih ya, Kak.” “Ya....”
Mata Dara mengarah ke deretan kamar di lantai atas, “Hai, penggemar misterius. Ngapain masih di situ? Ngintip aku ya? Sana mandi....” Jaka melotot. Menyeringai. Laki-laki itu menarik handuk dari pembatas setinggi perut di kamarnya. Dara membalikkan tempat sampah plastiknya. Kertas buntelan rambut rontok, puntung rokok, plastik bungkus sayur, tisu, kapas, menggelosor dalam kresek. Serpihan sampah yang tidak tertampung disapu sembarang dengan samping kaki. Sambil mengikat ujung kresek Dara menyeret sandal jepit ke depan gang selebar dua rentangan tangan. Berjarak tiga langkah kaki dari tempat sampah, Dara melempar. Buntelan kresek tersangkut di tanaman bunga kertas. Tiga orang laki-laki yang duduk di depan warung sudut gang menoleh. Mereka tersenyum. Mungkin ingat dua hari lalu dikejutkan jeritan Dara ketika melihat bangkai tikus di tempat sampah. Dara membalas senyum mereka dengan anggukan kepala. Baru saja perempuan itu hendak melangkah, sebuah sepeda berhenti. Persis di samping tempat sampah, sebuah bak mandi bekas biru kusam. Tempat sampah untuk delapan kamar itu diletakkan di atas jejeran kayu. Yang menutupi selokan yang airnya hitam pekat seperti adonan dodol. Penuh jentik dan kecebong. “Hai....” Si pengendara sepeda menyeka keringat di ujung hidungnya. “Saya kebetulan lewat. Dan di waktu yang tepat.” Dara memutar torsonya. Sekitar dua puluh langkah di belakang terlihat seorang ibu berkerudung menyeret anak laki-laki yang meronta. Dari dua lubang hidung anak kecil itu ingus masih meleler. Mata sipitnya bengkak. Sisa tangisan masih terdengar. Laki-laki itu tegak di atas sepeda di hadapan Dara.
“Saya dari Sumatera. Kalau di kampung kami, ini namanya pucuk dicinta ulam tiba. Sesuatu yang diharapkan akhirnya datang juga. Saya percaya di setiap daerah di Nusantara ini pasti ada pepatah sejenis. Itu semacam kepercayaan dan kerendahhatian pada berkah, rejeki. Nah, kalau waktu kamu pulang malammalam, itu bukan berkah. Kamu ingat kan? Tepat tanggal 10 minggu lalu. Kamu pakai jins dan kaos hijau. Rambutmu diikat ke belakang. Dan tanpa jaket. Padahal itu jam 11 malam. Saya ingat persis, karena saya sempat lihat jam di warung itu.... Kembali ke soal berkah. Nah, kalau dilihat kejadian malam itu, saya sedang dalam perjalanan pulang, sama seperti kamu. Itu artinya kita berjodoh. Tapi sayangnya waktu itu saya sedang bawa banyak barang. Baru selesai kegiatan dies di kampus dan koordinator logistik. Ah, lagi pula, ini yang terpenting, tidak elok rasanya ngobrol malam-malam. Ini yang kadang banyak dilupakan. Etika. Coba bayangkan, apa yang akan dipikirkan orang kalau saya menghampiri kamu, lalu kamu mengajak saya ngobrol, walau hanya di teras? Sangat tidak....” Bibir si pengendara distop klakson. Sebuah kepala bertopi melongok dari jendela bajaj. “Kurang, kurang.... Mepet sonoan dikit.” “Iya, Bang.” Laki-laki itu memundurkan sepedanya, memepetkan ke tembok. “Yak. Ngepas. Tengkyu, fren....” Dara menarik kresek yang tersangkut. Duri di batang bunga kertas melubanginya. Puntung rokok dan remasan kertas jatuh ke selokan. Dengan kayu dan serok dari samping tempat sampah, Dara mengambil yang terjatuh. Kertas seketika memburam. Puntung rokok malah menyatu dengan lumpur.
Bajaj lalu dengan knalpot bising dan kepulan asap tebal serupa selimut kapas. Laki-laki itu menyenderkan stang ke tembok. Kaki kanannya menahan sepeda. Matahari membuat kepala di bawah helm itu basah. Keringat meluncur dari pelipis ke pipi. “Sebenarnya warga sini sudah sadar pentingnya hidup sehat. Gang sempit ditanami tanaman untuk mengisap polusi. Tapi belum cukup, belum maksimal. Contohnya sampah itu. Coba kalau dari sini, di hulu, sampah rumah tangga sudah dipisahkan. Sampah basah. Sampah kering. Minimal warga punya kompos. Selain berfungsi sebagai pupuk juga mengurangi volume sampah. Kamu tau berapa jumlah sampah rumah tangga di Jakarta? Enam ribu lima ratus ton per hari. Gila. Itu seukuran empat kali lapangan bola. Gila... Tapi, kembali ke soal waktu dan tempat. Kita memang harus memikirkannya secara serius. Karena waktu memang serius. Orang tua kita dulu, bahkan sampai sekarang, masih mencari waktu baik untuk melakukan sesuatu. Untuk menanam padi, untuk hajatan, bahkan untuk bepergian. Itu bukan takhayul atau mistik. Sangat, sangat rasional.... Kalau memang mau dirasionalisasi. Waktu itu berkaitan dengan putaran matahari, putaran bumi, pergerakan kosmos. Gerakan itu langsung atau tidak mempengaruhi para penghuni kosmos. Jadi jangan pernah rendahkan kepercayaan orang tua kita.” Tangan kiri Dara memegang kayu. Tangan kanannya menepuk paha. Nyamuk gepeng melekat bersama darah. “Eits, hati-hati dengan nyamuk. Selain jadi penanda pergantian musim dan kadar kebersihan, binatang itu sangat berbahaya. Malaria, demam berdarah, chikungunya... ribuan orang mati. Siapa sangka? Saya ada cerita soal makhluk-makhluk kecil lain yang mempengaruhi dunia. Tapi nantilah. Kita kembali soal waktu. Mungkin nanti sore atau di hari lain ya? Walau
menurut saya... sore ini baik. Cuaca mendung tapi tidak akan turun hujan, udara tidak terlalu panas. Sama seperti udara waktu kita ketemu di jalan Murbai. Oya, saya hampir lupa. Waktu itu saya sudah mau nyebrang, mau bantu kamu bawa belanjaan, eh kamu malah masuk lagi. Pasti ada yang lupa dibeli. Kamu kan sering begitu. Susah payah saya nyeberang, tau sendiri kan jalan itu. Padat. Semrawut. Waktu saya sudah nyebrang, masuk ke toserba, eh kamu enggak ada. Aneh. Padahal kamu pakai kemeja coklat yang sejujurnya sangat saya, jadi harusnya saya bisa cari kamu.... Sore ini? baik. Baik. Nantilah kita lihat. Sekarang kan kamu harus siap-siap kuliah...” Laki-laki itu mengangkat sepedanya. Berbalik. Mengayuh sadel seirama kolecer yang dibawa lari lima anak berpakaian seragam sekolah. Menghilang di ujung gang. “Hayo.... Bengong.” Perempuan itu tersentak. Ia tidak melihat kedatangan, terlebih kibasan jari Jaka di depan matanya. “Siapa tu si klimis?” Dara menarik celananya yang kedodoran. “Dara....” “Apaan?” “Pura-pura dalam perahu.... To be or not to be?” “Jangan aneh deh, Jek. Aku baru aja disambangi makhluk super-aneh.” “Super-aneh gimana?” “Ya, itu. To be or not to be.” “Aduh.... Bicara yang jelas.” “Ini sudah pakai bahasa Indonesia. Masih kurang jelas?” “Ya. Ya. Terus?” Jaka menguntit Dara. “Kok terus.... Yang kautanyakan itu, mukanya aja baru kulihat barusan.” Kaki Jaka berhenti.
“Aneh kan, Jek....” Bayangan tubuh Dara di retakan semen jalan menuju kamar kontrakan menjauh. Laki-laki itu mematung, dikerubungi nyamuk-nyamuk. To be or not to be. Mei 2013
Mona Sylviana giat di Institut Nalar Jatinangor, Sumedang. Buku cerita pendeknya adalah Wajah Terakhir (2011).
(dimuat di Koran Tempo, 2 Juni 2013) (gambar oleh Yuyun Nurrachman)