Cerpen-cerpen yang Dimuat di Koran Tempo (Minggu) dikumpulkan dan disusun oleh
Ardy Kresna Crenata
Daftar Isi Jawaban Raisa (Hikmat Gumelar, 29 September 2013) Di Market Square (Rilda A. Oe. Taneko, 22 September 2013) Rashida Chairani (A.S. Laksana, 15 September 2013) Aswatama Pulang (Gunawan Maryanto, 8 September 2013) Kapal Perang (Yusi Avianto Pareanom, 1 September 2013) Muslihat Membunuh Panglima Langit (Triyanto Triwikromo, 25 Agustus 2013) Kisah Seorang Pandai (Bertolt Brecht, 18 Agustus 2013) Selembar Daun (A. Muttaqin, 4 Agustus 2013) Teman Kami (Dias Novita Wuri, 28 Juli 2013) Penembak Jitu (Liam O’Flaherty, 21 Juli 2013) Sangkar di Atas Leher (Adi Zamzam, 14 Juli 2013) Pintu (Yudhi Herwibowo, 7 Juli 2013) Orang-orang yang Setia (Ardy Kresna Crenata, 30 Juni 2013) Para Penjual Rumah Ustazah Nung (Ben Sohib, 16 Juni 2013) Hari yang Sempurna untuk Kangguru (Haruki Murakami, 9 Juni 2013)
Jawaban Raisa Cerpen Hikmat Gumelar
A
BDUL tersentak. Dan mendadak rona muka dosen mata kuliah cerita pendek ini jadi seperti batu bata dalam lio. Terlebih saat 67 mahasiswa menatapnya. Dan semua tatapan tampak sebagai mata pisau berkilau. Ia jadi merasa matanya mendadak buta. Ruang kelas mendadak gelap. Kerongkongannya penuh kerikil tajam. Dada dan kepalanya penuh asap. Memang Abdul dosen senior. Sudah puluhan tahun keluarmasuk kelas. Sudah puluhan tahun bergaul dengan ribuan mahasiswa. Sudah kenal beragam kecenderungan mereka. Sudah hapal cara menyiasati perkara-perkara yang bertalian dengan mereka. Tapi, yang sekarang terjadi belum pernah dihadapinya. Yang terjadi benar-benar anyar.
Abdul merasa gudang pengalamannya yang luas dan penuh ternyata tak berguna untuk melepaskan dirinya dari perkara pelik dan buas yang tiba-tiba menelikungnya. Apalagi sejak Kamis pekan kemarin, diam-diam ia telah menyusun rencana untuk Kamis ini. Ia akan melakukan lagi yang pernah dilakukannya. Begitu selesai perkuliahan, ia akan panggil Raisa. Ia akan ajak lagi mahasiswa semester lima ini ke kantornya. Dan ia telah membuat kolegakoleganya untuk tak mengganggu. Menyelesaikan disertasi ia sampaikan sebagai alasan. Alasan ini manjur. Mereka, dengan cara masingmasing, berjanji tak akan mengetuk pintu kantornya. Jadilah Abdul masuk ruang kuliah dengan langkah ringan dan muka sumringah. Ia masuk kelas seperti Mike Tyson di masa jaya naik ring. Tapi, Raisa ternyata jauh dari rencana yang sudah disusun Abdul. Memang gadis asal Indramayu ini masuk kuliah. Bahkan ia maju sesuai kewajibannya. Tetapi, tiba-tiba ia sangat beda. Biasanya Raisa memakai rok panjang dan blus warna gelap. Kini Raisa yang berkulit margarin memakai kaos kerah dan celana panjang kanvas yang berwarna sama. Hijau daun muda. Sepatunya pun bukan pantofel hitam, tapi sepatu kets merah muda.
Rambutnya lebih beda lagi. Semula panjang sampai menyentuh pinggul dan selalu tergerai. Kini dipotong model bop. Tengkuknya jadi terbuka. Keruan semua kawan seangkatannya terkejut. Apalagi Raisa masuk kelas setelah semua kawannya duduk. Dan begitu masuk, Raisa langsung mengambil kursi meja paling pinggir di barisan belakang. Ia membawanya dan meletakkannya tepat di tengah depan papan tulis. Seketika kelas jadi ruang penuh gumam. Raisa tentu mendengarnya. Pun tahu gumaman dengung ribuan lebah itu tak lain karena kawan-kawannya baru pertama melihat dirinya yang sekarang. Tapi ia tak tampak kikuk. Bahkan pandangannya, yang selama ini nyaris selalu tampak lugu dan mengandung ragu, sekarang serupa mata elang ketika mengincar mangsa. Pandangannya ini pun jadi sorotan dan menyemburkan gumaman yang lain lagi, yang sebagian disertai geseran tubuh dan kursi sehingga dengung ribuan lebah jadi lebih nyaring. Abdul pun sebenarnya kaget. Tapi, ia merasa harus menyembunyikan yang ia alami. Kecuali itu, di matanya Raisa kini jadi lebih mengundang. Tengkuknya serupa paha. Jika birahinya mulai mendidih, bulu-bulu halusnya akan serempak berdiri. Liang-liang reniknya akan mengembang meruapkan hawa panas yang kian menyulut gairah mencapai ledakan nikmat yang meruntuhkan ruang-waktu. Maka Abdul memulai dengan berpurapura batuk. Namun, gumaman tak lenyap. Tetap sebagai dengung ribuan lebah Tapi, bagi Abdul, ini justru seperti mobok manggih gorowong. Ia segera memulainya untuk melontar kata, “Baik, saudara-saudara. Raisa, sahabat terbaik kita, ternyata menyiapkan diri lebih daripada yang kita duga-duga. Lihatlah, saudarasaudara! Demi presentasinya pada Kamis siang ini, sahabat terbaik kita ini mengubah dirinya dari kepala sampai kaki. Dan dengan itu
niscaya ia menjadi jauh lebih siap. Luar biasa! Sungguh luar biasa! Tapi cerita pendek apa gerangan yang mesti dibahas Raisa?” Bukan Raisa yang menjawab, tapi Sadam dan Mardian. Keduanya menjawab serempak, “Jangan Main-main dengan Kelaminmu!” “Apa? Apa?” Ditambah beberapa mahasiswa lain, Sadam dan Mardian menyebut lagi judul cerita pendek karya Jenar Maesa Ayu itu. Tapi, setelah dari kursinya di dekat jendela melirik ke arah Raisa, Abdul kembali meminta judul cerita pendek itu disebut. “Masa anak muda suaranya lemah. Tidak kompak pula. Coba semua sebutkan judul yang mau dibahas Raisa.” Serempaklah 67 mahasiswa memenuhi yang diminta Abdul. “Sekali lagi!” “Jangan Main-main dengan Kelaminmu!” “Nah, begitu. Tapi saudara-saudara tahu, kenapa saudarasaudara dituntut begitu? Saudara-saudara harus menjawab. Bukan saling lirik seperti lagi nyontek atau nyolek. Kelamin! Itu, saudarasaudara. Kita semua punya kelamin. Ini berarti kelamin itu penting. Bahkan mahapenting. Tapi oleh karena itu, kita justru harus hati-hati. Jangan main-main dengan kelaminmu! Apa, saudara-saudara?” “Jangan main-main dengan kelaminmu!” “Nah, camkan itu. Jangan main-main dengan kelaminmu. Tapi, bagaimana gerangan dengan kelamin Jenar? Mari semua kita dengar bagaimana gerangan presentasi Raisa. Setelah presentasi sahabat terbaik kita selesai, kita masuk sesi diskusi. Kita masuk sesi seperti yang ditulis Sutardji Calzoum Bachri, kuterjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu.” Sebagian mahasiswa tertawa.
“Kenapa tertawa? Diskusi itu kan saling menerjemahkan kelamin. Kita jadi mesin kawin,” ucap Abdul serius. Tapi ia terus melanjutkan dengan menggoyang-goyangkan pantat dan suarasuara seperti orang tengah senggama, “Tiktaktiktaktiktak no no no no no no no no no no zzzzzz zzzzzz zzzzzz...” Sebagian mahasiswa tadi tertawa lebih lantang. “Ah, sudah. Sekarang saatnya kita mendengarkan presentasi sahabat terbaik kita. Silakan, Embak Raisa. Kami semua siap mendengarkan embak.” Raisa, yang duduk sendiri di depan sejak tadi, bergeming. Ia sama sekali tidak terpancing oleh yang dilakukan Abdul dan reaksi kawan-kawannya. Ia duduk dengan punggung lurus. Hanya jemari tangan kanannya terus memainkan smarphone. Ketika mendengar Abdul menyilakannya, ia serentak mengangkat dagu hingga lehernya tegak. Matanya nanap memandangi kawan-kawannya. Tanpa memedulikan Abdul, Raisa mulai bersuara, “Selamat siang, teman-teman.” Serempak kawan-kawannya menjawab, “Siaaaang!” “Saya akan membongkar borok.” “Borok?” cetus Mardian. “Ah, jorok.” “Iye, Mar,” timpal Sadam. “Masa di kelas omong...” “Jangan bicara bukan pada waktunya. Kalian tadi sudah banyak bicara. Sekarang kesempatan Raisa.” Mardian dan Sadam saling lirik. Mereka kesal. Namun, keduanya hanya dapat memendamnya. “Silakan, Raisa,” ucap Abdul sambil kembali ke kursinya, yang sejajar dengan kusri-meja Raisa, hanya saja berjarak empat meter. “Baik, teman-teman,” kata Raisa dengan nada suara seperti sebelumnya. Datar namun jelas. “Sekali lagi, saya akan membongkar borok. Tapi borok apa? Borok siapa?”
Tak seorang pun paham. Tak seorang pun dapat menerka ke mana arah Raisa. Tapi ini justru membuat mereka penasaran. Mereka lihat Raisa agak menunduk. Tangannya yang kanan mengambil dua spiker dari ransel di samping kiri kursi-meja. Dua spiker sebesar teh kotak ukuran terkecil ini ditata di atas meja. Menghadap ke kawan-kawannya. Namun yang satu agak ke sudut kanan. Yang satu ke sudut kiri. Sebuah kabel menyambungkan keduanya dengan smartphone. “Mau ngapain si die?” tanya Mardian setengah berbisik. “Tau. Gua kagak ngerti,” jawab Hendi dengan volume sama. “Iye. Ribet. Kapan ngomonging kelaminnye?” cetus Sadam. “Kini saatnya kita mengetahui borok apa, borok siapa,” kata Raisa sambil lantas menyalakan rekaman. Suara seorang lelaki terdengar jelas. Si lelaki melontarkan banyak kata yang memuji-muji perempuan. Mula-mula yang dipuji adalah suara yang merdu dan tutur kata yang santun. Lalu disiplinnya, kerajinannya. Lalu mata dan bibir yang sensual. Lalu terdengar seperti suara kursi bergeser. “Mau ke mana?” “Lepaskan! Lepaskan tangan saya!” Suara seperti kursi jatuh. Suara seperti pintu dibuka dan ditutup dengan bantingan. “Nah, teman-teman. Itulah. Saya kira jelas sudah. Suara perempuan itu suara saya. Suara laki-laki itu suara dia!” Semua mata 67 mahasiswa serempak mengikuti tangan Raisa yang tega menunjuk ke arah Abdul. Yang ditunjuk melihat mata 67 mahasiswa seperti mata pisau berkilauan. Ia jadi merasa matanya mendadak buta. Ruang kelas mendadak gelap. Kerongkongannya penuh kerikil tajam. Dada dan kepalanya penuh asap. Kumis tebal dan janggut lebatnya seperti terbakar. “Kejadiannya hari...” “Stop! Jangan asal ngomong! Fitnah lebih kejam dari pembunuhan! Kemarikan ponselnya!”
“Jangan, Raisa!” teriak Rita. “Iya!” tegas Marni lantang. “Jangan diberikan!” “Tidak. Lagian saya sudah menggandakan rekamannya. Saya akan...” Abdul menggebrak meja. “Kalian berani melawan dosen! Rasakan akibatnya! Rasakan...” “Apa?” potong Mudofar sambil bangkit. “Rasakan apa?” “Eh, kamu nantang!” Dari barisan kursi-meja paling belakang, Mudofar yang kekar dan tingginya 180 sentimeter maju. Beberapa temannya serempak berdiri. Abdul yang tingginya 156 sentimeter celingukan. Ia lantas menyambar tas dan setengah lari memburu pintu. “Ha! Pengeut!” teriak Mardian. “Cabul!” pekik Hendi. “Sudah, Raisa,” lontar Sadam. “Tenang aje. Kagak usah takut. Kita kompak. Kita lawan. Gimane?” “Iya, Raisa.” Timpal Hendi. “Dosen cabul kayak gitu mesti dikasi pelajaran. Bener nggak, temen-temen?” Sebagian serempak menjawab, “Ya!” “Tuh kan,” lontar Sadam lagi. “Semua akur. Sepakat. Kompak. Kita lawan. Gimane, Raisa?” Raisa kehabisan kata. Hanya saja matanya basah. Berkacakaca. Mungkin itu jawaban Raisa.(*)
Hikmat Gumelar giat di Institut Nalar di Jatinangor, Sumedang. (Dimuat di Koran Tempo, 29 September 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Di Market Square Cerpen Rilda A. Oe. Taneko
Satu
M
ATAHARI 25 Celsius jatuh di market square. Ada kakek berdiri di dekat museum. Ia memanggul papan bertuliskan Come, let us return to the Lord dan membagikan lembaran berita kiamat pada orang-orang yang lewat. Seorang pria menerima selebaran yang ia sodorkan. Pria itu tampak sekilas membaca, lalu mengangguk sopan dan melanjutkan langkah. Satu-dua langkah, ia mendekat ke kotak hitam bertuliskan Litter dengan huruf emas kusam di satu sudut pertokoan, meremas kertas selebaran dan membuangnya ke dalam kotak. Di tangga batu museum, remaja duduk berkelompokkelompok, mengobrol dan tertawa. Satu kelompok, yang berada di
sisi dekat toko perhiasan H. Samuel, seluruhnya berkepala botak sebelah atau berambut gaya Mohawk. Di sudut lain, di antara remaja berambut berwarna-warni—merah muda, biru, ungu dan hijau—dan ada yang mengenakan sweater dengan tulisan LU Pokemon Society. Beberapa pemudi mengenakan lipstik berwarna hitam atau ungu gelap. Di alis, hidung, telinga dan atau sudut bibir mereka tersemat anting-anting perak. Sedikit dari mereka bermain skateboard. Bersebelahan dengan kumpulan remaja itu, para mahasiswa berkaus putih dengan nama dan logo sebuah universitas duduk menghadap meja kayu cemara. Di atas meja terdapat beragam alat menggambar: spidol, krayon, cat, kelir, paket art and craft, setumpuk kertas putih, gelas-gelas plastik berisi air dan kuas berbagai ukuran. Di satu sisi meja, kanvas lebar disandarkan di atas tripod kayu. Seorang mahasiswa terlihat mengajak anak-anak yang lewat untuk menggambar di kanvas. Anak-anak itu baru saja keluar dari perpustakaan di sebelah kiri museum. Kebanyakan dari mereka menenteng buku-buku karya Enid Blyton, Roald Dahl, Charles Dickens dan J.R.R. Tolkien. Mereka meletakkan bukubuku di atas meja dan mulai menggambar. Berhadapan dengan tempat kanvas didirikan, seorang wanita berambut sepinggang, pirang dan gimbal, mengenakan pakaian rajut berwarna serupa pelangi, sedang memilih sayuran di tenda sayur organik, sebelah tangannya memegang kereta dorong balita. Aroma babi panggang menguar dari tenda sebelah, berbaur dengan harum masakan dari tenda makanan khas Cina dan India. Di belakang tenda makanan khas India, seorang gembel berwajah jelaga, rambutnya gimbal, mengenakan sweater hitam kumal, celana jins lusuh yang robek di bagian dengkul dan tidak beralas kaki, terlihat tertidur. Ia bersandar pada pintu kaca sebuah toko yang tutup karena bangkrut.
Dua
D
UA wanita duduk di bangku kayu, di bawah pohon Lime yang kuncup dedaunnya merekah hijau muda dan seolah transparan, tersinari matahari 25 Celsius yang jatuh di market square. Mereka membelakangi TK-Maxx, Vodafone dan Greggs. Satu dari dua wanita itu bertubuh kurus, berambur pirang ikal, bermata hazel, berhidung lancip dan di wajahnya terdapat bercak-bercak kecokelatan. Ia mengenakan kardigan merah tipis, terusan rok hitam pendek tanpa lengan, legging hitam dan sepatu bot merah pendek. Tas kulit hitam berbentuk empat persegi panjang tersampir di sisinya. Ia bernama Amelia. Perempuan satunya lagi berambut lurus panjang pirang kecokelatan, berdahi lebar, berkulit pucat, ujung hidungnya bulat dan berbibir tipis. Ia mengenakan kemeja jins berlengan pendek, rok panjang putih berenda, sandal kulit putih tanpa hak dan scarf cokelat tipis, senada dengan gagang kaca mata hitam yang ia kenakan. Namanya Emma. Sedari tadi, pandangan mereka terlihat berpindah-pindah dari tenda-tenda yang menjual sayur-
mayur, bantal-seprai, bunga segar, pancake dan cupcake, ke pertokoan di seberang mereka, ke orang-orang yang berlalu-lalang, atau yang duduk di bangku membentuk lingkaran di tengah lapangan. Orang-orang itu terlihat santai dan tak terbebani pakaian tebal. Banyak dari mereka mengenakan kacamata hitam, menghadang silau mentari. “Kemarin toko buku di Penny Street, lalu HMV,” Amelia berkata. “Butik baju dan toko pakaian dalam di ujung sana juga tutup,” Emma menimpali, menunjuk ke arah toko H. Samuel, “Juga restoran Italia di New Street.” “Ya, dan toko pakaian gunung di Cheapside, tepat di depan McDonalds, juga pailit bulan lalu,” Amelia mencoba mengingatingat. Di depan museum, anak-anak tertawa. Masing-masing menunjukkan gambar yang mereka buat: gambar diri, pohon, dinosaurus, boneka atau robot. Mahasiswa yang berdiri di dekat mereka berulang-ulang berkata, “Well done... well done.” Amelia menghela napas. “Krisis ekonomi. Banyak orang yang susah sekarang.” “Iya, kami juga jadi ikut susah.” Amelia menoleh, “Mengapa? Bukankah pekerjaan suamimu mapan dan bergaji tinggi?” “Iya, untuk saat ini memang demikian. Tapi tidak tahu tahun depan atau tahun berikutnya. Krisis ini membuat kami cemas.” “Tak perlu mencemaskan hal yang belum terjadi,” Amelia tersenyum, mencoba menghibur, “Yang terpenting, sekarang kalian masih bisa hidup layak. Kamu tidak perlu bekerja. Rumah kalian besar. Kalian bahkan punya tukang kebun dan tukang bersih-bersih.”
“Tapi tidak untuk setiap hari,” Emma menukas, “Hanya tiga kali seminggu, dan tukang kebun hanya tiga minggu sekali. Bayangkan! Aku harus melihat debu di atas meja dan memandang serakan daun di hari-hari selain itu.” “Hmm, menurutku, tetap saja kamu tak perlu terlalu khawatir.” “Kami juga hanya punya dua mobil. Satu untukku dan satu untuk suamiku. Itu pun bukan mobil mewah. Hanya Toyota matic saja.” Emma memutar-mutar cincin berlian yang melingkari jari manis tangan kirinya. Amelia tersenyum lebar, “Tapi setidaknya kamu memiliki dua mobil. Jika terdesak masih bisa menjual satu. Aku tidak punya mobil, satu pun juga.” Seorang gembel berjalan ke arah mereka, lalu ia berdiri mematung di dekat pohon lime. Kepalanya teleng ke kanan, mengamati burung-burung merpati yang ramai mematuki remah roti yang ditaburkan anak-anak. Emma mengibaskan tangan di depan wajahnya, seakan mengusir lalat, “Kami juga dulu begitu. Tidak punya mobil. Dan tahu tidak? Dulu kami tinggal di rumah dua kamar saja. Waktu itu aku punya bayi, rumah terasa sempit dan tentunya sulit pergipergi.” “Tapi, aku punya anak kembar dan kami tinggal di rumah dua kamar. Dan itu cukup bagi kami.” “Oh ya? Ah, aku juga sempat mengalami itu. Waktu anak keduaku lahir, kami masih tinggal di rumah dua kamar itu, berbulan-bulan lamanya. Bayangkan! Kami tidak memiliki ruang kerja dan ruang musik, seperti sekarang. Aku tidak mungkin menemukan ketenangan di rumahku sendiri jika harus mendengar bunyi dari komputer dan alat pencetak, piano dan violin setiap hari. Beruntung sekarang kami memiliki rumah lima kamar. Aku
benar-benar perempuan yang beruntung, memiliki suami yang mau bekerja keras untuk keluarga.” Mata Amelia melebar, seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar.
Tiga
S
ATU-DUA orang yang berdiri di dekat bangku di tengah lapangan terlihat merokok sambil menggerakkan keretakereta dorong bayi, maju-mundur, maju-mundur, berupaya menidurkan bayi-bayi mereka. Amelia menggigit bibir. Ia tidak suka perokok, terutama karena mereka tak peduli orang-orang lain di sekitar mereka, dan Amelia lebih-lebih tak suka pada orang tua yang merokok di dekat bayi-bayi mereka. Amelia mengalihkan pandang, mengamati Emma yang asyik memainkan kalung emas putih berinisial E dengan taburan berlian yang melingkari lehernya. Ia berpaling pada gembel yang berdiri di dekat mereka, lalu Amelia menelengkan kepalanya, ikut mengamati burung-burung merpati yang mematuk-matuki remah roti. Lirih, Amelia menggumam, “Krisis ekonomi. Orang-orang jadi sulit mendapat kerja. Temanku, sarjana filsafat, malah kerja di restoran cepat saji, melayani pembeli dan membersihkan toilet. Yang lulus Menulis Kreatif, bekerja paruh-waktu di bar.” “Ah, tapi setidaknya mereka sudah lulus kuliah. Aku malah tidak pernah kuliah. Kamu lebih beruntung, sudah bergelar master pula.” “Tapi, lulus kuliah pun mereka tidak bisa mendapat pekerjaan yang sesuai. Dan sekarang mereka punya utang, harus membayar student loan. Aku memang lulus master degree menulis, tapi
krisis ini pemerintah mencabut subsidi bidang seni. Aku bisa kehilangan pekerjaanku kapan saja.” “Setidaknya kamu lulusan master degree. Aku juga ingin bergelar master.” “Lalu mengapa tidak kuliah?” Amelia kembali memandang Emma yang sedang mengamati remaja yang bergerombol di depan museum. “Dulu aku menikah muda, saat lulus sekolah tinggi. Kemudian aku punya dua anak.” “Aku punya anak waktu kuliah bachelor. Lalu ketika melanjutkan master degree, suamiku mengalami kecelakaan dan meninggal. Aku harus menguatkan diri, terus berjuang untuk masa depan kami, untuk aku dan anak-anakku. Memang berat sekali, aku harus bisa membagi waktu dan bekerja lebih giat daripada mahasiswa lainnya.” Emma tidak mengucap sepatah kata pun. Ia asyik memandangi cerlang-cemerlang sinar mentari yang memantul di cincin berliannya. Amelia pun diam, benaknya dipenuhi kenangan akan kematian suaminya: ia dilanggar sebuah mobil ketika bersepeda selepas pulang bekerja di malam hari. Pengemudi mobil itu orang berada. Ia mampu membayar pengacara yang mahal dan lepas dari vonis kurungan. Suaminya menyumbang salah: tidak mengenakan pakaian keselamatan, demikian kata hakim. Amelia ingat penabrak itu mengendarai mobil mewah buatan Jepang berwarna perak. Amelia menggeleng-gelengkan kepala, mengusir bayangan di benaknya. Kemudian ia berkata, “Kamu bisa kuliah sekarang. Anak-anakmu sudah besar, sudah sekolah semua.” Emma menggeleng, “Aku ini sibuk, sibuk sekali. Aku harus menjamu teman-teman seminggu sekali, lalu ada tiga pertemuan
lain: merajut, pertemanan antarbangsa dan kerajinan tangan. Belum lagi pertemuan makan siang di kafe.” “Tapi jika benar kamu ingin kuliah, kamu harus bersedia mengurangi waktumu bergaul.” “Aku tidak bisa. Aku butuh bergaul. Butuh sekali. Dan aku juga tidak ingin waktu untuk keluargaku terganggu,” Emma beralasan. “Itu hanya masalah pembagian waktu.” Emma mengalihkan pandang, melihat ke arah penjual bunga yang sedari tadi berteriak-teriak: “Daffodil, tiga ikat hanya 1 quid!” Teriakan penjual bunga itu bersaing-saing dengan tawaran penjual buah: “Pisang! 50 p saja!” Kemudian ia bertanya, “Mengapa kamu tak pernah lagi datang ke kafe?” “Enam quid untuk setangkup Panini dan segelas teh terlalu mahal untukku,” Amelia tersenyum. “Ah, hanya satu kali dalam seminggu. Ayolah, janganlah terlalu berhitung seperti itu,” Emma tertawa, kemudian ia melanjutkan, “Kamu juga bisa datang ke pertemuan-pertemuan lainnya.” “Mungkin nanti. Sekarang aku sedang menyiapkan pameran cerita dan Festival Sastra tahun ini,” Amelia menjawab sembari memperhatikan seorang tua di kursi roda bertenaga listrik yang mencoba menembus keramaian pasar. “Nah, itulah bedanya kamu dengan aku. Kamu tidak butuh bertemu dan bergaul dengan orang lain.” Dahi Amelia berkerut. “Tentu saja aku butuh. Hanya saja, dengan kegiatanku sekarang, aku harus punya prioritas. Sepulang kerja, aku juga harus mengurus anak-anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ketika anak-anak sudah tidur, aku sempatkan waktu untuk menulis cerita pendek dan novel.”
Emma, seolah tidak mendengar yang Amelia utarakan, berkata cepat, suaranya meninggi, “Kamu tahu, penulis terkenal saja tidak perlu menulis setiap hari. Aku ada kenalan seorang penulis terkenal. Dan kamu tahu, ia hanya menulis satu bulan dalam setahun, selebihnya untuk keluarga dan teman-teman.” Amelia terdiam. “Dan dia terkenal sekali. Terkenal di seluruh dunia,” Emma kembali menekankan. Amelia tetap membisu. “Bahkan, banyak orang yang menjadikan menulis sekadar hobi sampingan. Weekend writers. Mereka juga bisa menghasilkan satu novel dalam sebulan.”
Empat
M
ATAHARI 25 Celsius jatuh di market square. Amelia merasa gerah. Luar biasa gerah. Ia diam memandangi ujung sepatu merahnya. Ia berusaha mengingat-ingat awal mula ia bertemu dengan Emma, bagaimana mereka bisa berkenalan, bisa berteman, dan ia sepenuhnya menyesali pertemuan itu. Amelia berharap Emma akan menanyakan kegiatannya, hingga ia bisa menjelaskan kalau ia tidak bisa menggunakan akhir pekannya untuk menulis: Minggu ia gunakan untuk pergi berbelanja, memasak dan merapikan kebun. Sementara setiap Sabtu ia harus mengantar anak-anaknya ke kelas renang mereka di siang hari dan kelas karate di sore hari. Di pagi Sabtu ia bisa sedikit berlega di rumah dan membaca buku, atau sesekali mengantar anak-anaknya ke sinema dan McDonalds, untuk merayakan ulang tahun teman-teman mereka. Di saat itulah, pada
beberapa jam saat menunggu anak-anaknya selesai dari acara ulang tahun itu, ia kerap duduk di bangku kayu di bawah pohon lime dan menikmati keramaian pasar. Dan di saat seperti itu pula, ia berharap dapat menemukan ketenangan dan bukan malah kebetulan bertemu seorang kenalan yang kemudian membuat hatinya gundah gulana. Tambahan lagi, Amelia tidak percaya sebuah novel dapat dikerjakan dalam satu bulan, apalagi hanya dikerjakan dua hari dalam empat minggu. Tapi Emma tidak bertanya apa-apa. Emma kembali asyik memandangi cerlang mentari di cincin berliannya. “Aku harus pergi sekarang,” Emma bangkit dari bangku kayu, mengibas-ngibaskan belakang roknya. Amelia masih diam, memandang kosong ke arah tenda sayurmayur. Emma menyisir rambutnya dengan jari-jemari dan menyampaikan alasan, “Aku hanya membayar parkir untuk satu jam tadi.” Amelia tak menanggapi, pandangan matanya tetap tertuju pada tenda sayur. Ketika Emma hendak melangkah pergi, Amelia menggumam tanya, seolah mengingau, “Mobil suamimu itu, apa warnanya sama dengan mobilmu, hitam? Atau mungkin... perak?” Emma menggeleng, “Mobilnya berwarna merah. Mengapa?” “Tak apa,” Amelia menggeleng. Emma mengangkat bahu. Tak lama, ia berlalu dan menghilang ditelan keramaian pasar dan sudut gedung museum. Mata Amelia basah. Ia memandang ke atas, ke arah dedaunan lime yang hijau cerah, sembari berharap tak ada air mata yang bergulir jatuh dari matanya. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan mengembuskannya. Perlahan pula, Amelia kembali memandang sekitar, ke keramaian pasar dan tenda-tenda, lalu ia membuka tasnya, mengambil sepucuk surat.
Lama Amelia tercenung melihat surat itu. Surat pemberhentian kerja yang diterimanya kemarin siang. Alasan ia diberhentikan adalah pemotongan subsidi bidang seni yang tak terhindari. Tak terhindari, demikian penjelasan dari pemerintah. Tak terhindari! Amelia paham bahwa pemerintah baru saja memangkas GBP 11,7 juta dari British Art Council. Namun, ia pun tahu untuk prosesi pemakaman Margaret Thatcher, pemerintah menghabiskan GBP 10 juta dari kas negara. Kakek pemanggul papan bertuliskan Come, let us return to the Lord berdiri di dekatnya, mengulurkan selembar berita kiamat. Amelia menerima lembaran itu dan berusaha tersenyum sopan. Anak-anak di depan museum masih tertawa-tawa, sementara mahasiswa yang memandu mereka terus saja berkata, “Well done... well done.” Gembel yang tadi berdiri di bawah pohon lime kini berjongkok di depan Greggs. Ia tampak mengendus-endus, membaui aroma kue-kue dan pastry.(*)
Lancaster, Mei 2013
Rilda A. Oe. Taneko berasal dari Lampung dan kini menetap di Inggris. Buku cerita pendeknya adalah Kereta Pagi Menuju Den Haag (2010). (Dimuat di Koran Tempo, 22 September 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Rashida Chairani Cerpen A.S. Laksana
I
BU memintaku mengingat nama-nama: tiga lelaki dan satu perempuan dan salah satu dari ketiga lelaki itu sudah pasti ayahku. Ia telah mengatakan hal ini sejak aku kanak-kanak dan mengulanginya berkali-kali sepanjang hidupnya seolah takut aku lupa. Sesungguhnya ia sudah menyampaikannya sejak aku masih janin. Aku tahu karena ibu memberi tahu, namun ingatanku tak mampu menjangkau apa saja yang dikatakannya saat aku masih di dalam perut. “Leluhurku adalah para bajak laut, orang-orang yang menolak tunduk dan pantang dipermalukan,” katanya. Itu kalimat pertama yang bisa kuingat darinya. “Dan para bajingan itu telah mempermalukanku. Aku meninggalkan rumah untuk mendapatkan sekolah yang baik. Aku bekerja di toko pakaian sepulang sekolah dan malam itu mereka
menerkamku saat aku pulang kerja dan menyeretku ke tempat sunyi.” Kami berbaring di dipan kayu dan ibu suka bercerita sebelum kami tidur. Suaranya berbaur dengan suara-suara serangga di luar sana. Rumah kami dikelilingi alang-alang dan aku mendengar suara-suara serangga tiap malam, selain suara ibu. Seringkali aku tertidur sebelum ia selesai bercerita dan aku menanyakan kelanjutannya pada malam berikut dan ia biasa mengulang beberapa bagian sebelum meneruskan ceritanya. Mula-mula aku sering bertanya jika ada kata-kata yang aku tak paham—bajak laut itu apa, leluhur itu apa, bajingan itu apa—dan ia terus saja bercerita tanpa pernah menjawab pertanyaanku. “Dua bulan setelah kejadian itu aku menghadap kepala sekolah di ruangannya dan menyampaikan apa yang telah mereka lakukan kepadaku. Baru sekali itu aku bertemu langsung dengannya. Selama ini aku mengenalnya hanya dari cerita teman-teman. Kudengar ia tegas dan baik hati dan tidak pernah menghukum siswa. “Seorang temanku pernah bercerita tentangnya suatu hari: ‘Ia datang ke kantin saat istirahat dan aku sedang merokok di sana. Cepat-cepat kumatikan rokokku namun ia terlanjur melihat. Ia mendekatiku dan memintaku menyulut rokok yang tadi kumatikan
dan menungguiku merokok sampai habis. Rasanya sungguh tersiksa, kau tahu. Tapi ia benar-benar baik hati. Waktu itu ia bilang, kuharap ini rokok terakhirmu di sekolah... kau boleh saja memutuskan jadi perokok, dengan risiko yang kau tanggung sendiri, tapi kau juga harus menghormati peraturan bahwa tak ada satu orang pun boleh merokok di lingkungan sekolah.’ “Temanku masih tetap merokok di sekolah setelah kejadian itu, namun ia lebih berhati-hati. Aku benci padanya. Ia tak menghargai kebaikan kepala sekolah kami. “Ketika aku masuk ke ruangannya, kepala sekolah sedang membaca berkas-berkas. Ia mengangkat mukanya dan menanyakan ada apa dan dengan suara lemah aku mengatakan: ‘Mereka memperkosa saya.’ Kepala sekolah mengamatiku agak lama, aku menunduk. “‘Apa kau bilang?’ tanyanya. “‘Mereka memperkosa saya,’ ulangku. “‘Siapa mereka?’ tanyanya. “Kusebutkan nama ketiga bajingan itu—semuanya murid kelas tiga. Aku kelas dua. Kepala sekolah diam beberapa waktu, menyentuh kacamata besarnya, dan kemudian mengeluarkan gumaman, seperti desah: ‘Ini akan menyusahkan kita semua.’ “‘Bukan keinginan saya,’ kataku. “‘Lalu, apa yang hendak kau lakukan?’ tanyanya. “Aku menggeleng dan balik bertanya, ‘Menurut Ibu, apa yang harus saya lakukan?’ “Ia memandangiku seperti menebak-nebak apa yang ada di dalam kepalaku. Lalu ia membuat suaranya terdengar lebih berhati-hati dan lebih berputar-putar. Ia bilang dua dari tiga anak yang kusebutkan itu adalah andalan tim basket sekolah kami dan mereka dikenal sebagai murid-murid yang baik. Dan yang satu lagi adalah anak walikota. ‘Selama ini ia tidak pernah aneh-aneh dan
ayahnya orang baik,’ katanya. Ia memberi tahu bahwa ayahnya banyak menyumbang untuk sekolah. “‘Anaknya memperkosa saya,’ kataku. ‘Ia dan dua temannya.’ “‘Kuharap kau tidak membesar-besarkan masalah ini hanya karena ayahnya walikota.’ “‘Saya menyampaikan kepada Ibu apa yang saya alami. Saya ingin mendengar dari Ibu apa yang bisa saya lakukan dan apa yang akan dilakukan sekolah ini terhadap mereka.’ “Kepala sekolah menggeleng pelan dalam gerak yang seperti tidak disadarinya. Tiba-tiba aku khawatir itu adalah isyarat bahwa ia dan pihak sekolah tidak akan melakukan apa-apa terhadap mereka. “‘Bagaimana kau akan membuktikan bahwa mereka akan memperkosamu?’ tanyanya. “‘Saya mengatakan yang sebenarnya,’ kataku. “‘Dan setiap orang akan mempercayaimu karena kau bilang saya mengatakan yang sebenarnya?’ “‘Ibu tidak mempercayai saya?’ “‘Kau tahu, Nak... siapa namamu?’ “‘Rashida,’ kataku. ‘Rashida Chairani.’ “‘Kau tahu, Rashida, jika setiap pernyataan tak perlu dibuktikan, nanti akan ada gadis lain datang ke sekolah ini dan mengaku ia diperkosa oleh anak walikota dan kami harus mempercayainya karena ia bilang saya menyampaikan yang sebenarnya.’ “Aku datang kepadanya karena kudengar ia baik hati. Namun rasa-rasanya siang itu ia menutup celah. Aku merasa ia bahkan tidak sudi menunjukkan simpatinya atas nasib buruk yang menimpaku. “Dua bulan berikutnya aku harus keluar dari sekolah karena perutku mulai membesar. Padahal aku sudah bertekad untuk terus
bertahan di sana, tidak peduli seperti apa pun keadaanku. Jika sekolah tidak mengambil tindakan sama sekali terhadap ketiga bajingan itu, aku akan membongkar apa yang mereka lakukan. Perutku yang akan mengungkapkan perbuatan mereka. Perutku akan kian membengkak dan setiap orang di sekolah akan menggunjingkan kehamilanku dan aku akan memberi tahu mereka siapa saja yang telah menjarahku. Tetapi kepala sekolah memanggilku ke ruangannya dan mengatakan bahwa aku tidak bisa lagi melanjutkan sekolah. “‘Ini akan terdengar pahit, Rashida. Tapi peraturan sekolah harus ditegakkan,’ katanya. ‘Kau tidak bisa lagi melanjutkan sekolah di sini karena hamil.’ “‘Itu hukuman bagi orang yang menjadi korban para bajingan?’ tanyaku. “‘Bicaralah santun, kau tahu dengan siapa kau bicara?’ katanya. “‘Jadi saya harus keluar dari sekolah karena mereka memperkosa saya?’ “‘Karena kau hamil, Rashida. Sekolah ini tidak mengizinkan murid-muridnya hamil, terlebih hamil tanpa suami.’ “Mendengar jawaban itu, aku tiba-tiba seperti kehilangan suara. Tak ada yang bisa kusampaikan lagi kepadanya, sebab saat itu aku hanya merasa ingin mencakar mukanya. Lalu seseorang masuk, guru Bahasa Indonesia, dan mereka bicara perihal pertukaran pelajar dari Norwegia yang akan datang minggu depan. “Dulu, kau tahu, aku bertekad harus bisa masuk sekolah itu setamat SMP karena kupikir ia sekolah yang hebat. Pernah kubaca di koran bahwa hampir tiap tahun ada siswa dari negara lain yang belajar di sana.” Suaranya terdengar getir di bagian ini, seperti suara orang yang dikhianati. Ibu datang dari pulau lain. Ia menyeberangi laut
dengan kapal penumpang selama tiga hari dan menetap di kota R untuk mendapatkan sekolah yang lebih baik—dan ia mendapatkan bayi di dalam rahimnya. “Orangtuaku percaya diri melepasku sendirian menyeberangi laut pada umur lima belas. Mereka yakin para leluhur melindungiku. Mata ibuku berkaca-kaca ketika melepasku, tetapi ia tidak menangis. ‘Kami akan selalu mendoakanmu,’ katanya. Ayahku terlihat bangga, tapi suaranya agak bergetar: ‘Sekarang kau berlayar ke Jawa. Kelak kau akan berlayar keliling dunia dan pulang dengan dunia di dalam genggamanmu.’ “Dan aku karam pada tahun kedua. Layarku dikoyak oleh tiga bajingan. Tanganku menggapai-gapai mengharap pertolongan, tetapi kepala sekolah tidak mengulurkan tangannya. Ia seperti bongkahan batu. “‘Apa peraturan sekolah untuk pelaku pemerkosaan?’ tanyaku kepadanya, suaraku agak meninggi. “‘Itu bukan urusanmu,’ jawabnya. ‘Yang jelas, mulai besok kau tidak perlu masuk karena kau bukan lagi murid sekolah ini.’ “Ia memutuskan nasibku hari itu, tapi aku tak ingin berhenti di situ. Sebelum meninggalkan ruangannya aku mengatakan: ‘Saya akan melaporkan masalah ini ke polisi. Saya akan membawanya ke pengadilan.’ “‘Keluar sekarang juga dari ruanganku,’ katanya. “Kepala sekolah itu bernama Rustini. Kau haru mengingat nama perempuan ini baik-baik. Ia mengusirku padahal aku sendiri sudah berniat meninggalkan ruangannya. Aku benar-benar bertekad membawa masalah ke pengadilan meski aku tak tahu caranya. Keesokannya aku datang ke kantor polisi. Seseorang menemuiku dan mencatat dengan malas apa yang kusampaikan dan aku tidak tahu apa yang kemudian dilakukan polisi itu setelah mencatat. Para bajingan itu tak pernah diadili dan beberapa waktu
kemudian pemilik kos mengusirku karena perutku kian membesar.” Ia mengutuk pemilik kos yang mengusirnya, tapi tak memintaku mengingat namanya. “Aku minta waktu kepada pemilik kos sampai urusanku selesai dengan pihak sekolah dan para bajingan itu, tetapi ia tidak memberi waktu. ‘Kalaupun aku menyetujui permintaanmu, anakanak lain yang tinggal di tempat ini akan mengusirmu,’ katanya. “Sekarang kau tahu, Nak, ketika kau karam, tidak mungkin bagimu meminta belas kasih kepada orang lain yang hidupnya nyaman. Hari itu aku tak punya tempat lagi di kota R dan tak punya muka untuk pulang ke rumah orangtuaku. Aku bahkan tidak mengirim kabar sama sekali kepada mereka—sampai hari ini. “Mungkin mereka pernah datang ke kota R untuk mencariku, tapi aku berharap tidak. Aku tidak ingin mereka bertemu dengan kepala sekolah atau ke tempat kosku dan bertemu pemilik kos. Lebih baik mereka menganggapku hilang atau sudah mati. Dan aku juga mencoba tidak memikirkan mereka. Sebenarnya aku bisa saja membohongi mereka bahwa semuanya baik-baik saja, dan mengirimkan kabar-kabar yang bahkan lebih baik dari hari sebelumnya, seolah-olah semuanya berjalan sesuai doa mereka untukku. “Sekarang aku berpikir bahwa mestinya aku melakukan itu, mengirimi mereka kabar-kabar yang sesuai harapan mereka, namun keadaanku saat itu tidak memungkinkan. Tak bisa kuceritakan tentang cahaya kepada mereka ketika mataku hanya bisa melihat kegelapan. Aku bahkan tidak tahu apakah esok pagi aku akan meneruskan hidup atau mengakhirinya.” “Kenapa tak kau lakukan, Ibu?” tanyaku. “Apa maksudmu?” tanyanya.
Biasanya ia tidak pernah menanggapi pertanyaanku. Itu kali pertama ia melakukannya, suaranya terdengar sengit dan matanya mengawasiku lekat-lekat. “Kau pikir aku sebaiknya mati?” lanjutnya. “Tidak akan! Aku tidak akan mempermalukan para leluhur dengan tindakan pengecut.”
I
BU hidup memencilkan diri setelah diusir dari tempat kos. Ia pergi ke kota lain dan melamar pekerjaan pada pemilik warung makan di daerah pinggiran. Malam hari ia tidur di warung itu dan mengajak bercakap-cakap perutnya yang kian membengkak. Aku tidak pernah punya ingatan tentang warung tersebut. Satu-satunya tempat tinggal yang bisa kuingat adalah rumah kecil yang dikelilingi alang-alang, jauh dari siapa pun. Di tempat ini Ibu membesarkanku, dengan rasa kecewa karena ia berharap anak lelaki. Ia menyampaikan kekecewaannya kepadaku pada hari pertama aku masuk sekolah. Kami menuruni setapak yang menurun dan berkelak-kelok dan rasanya kami tidak akan pernah sampai ke sekolahan. Di sekolah aku mendapatkan nama Sutanto sebagai ayahku. Ibu mengatakan kepada guru, pada hari pendaftaran, bahwa aku tidak punya surat-surat dan tidak punya ayah. “Semua anak punya ayah,” kata guru. “Saya sudah menyampaikan apa adanya,” kata ibu. “Tulis saja Susanto atau apa pun,” kata guru. Ibu mengikutinya. Ia menuliskan nama Sutanto di lembaran data siswa dan nama itu bisa kau baca di semua raporku dan di semua lembaran yang aku harus mengisikan data diriku. Nama ayah: Sutanto. Itu orang yang tak pernah ada.
Aku menangis ketika harus masuk kelas dan duduk di sebuah ruangan bersama anak-anak lain dan harus mendengarkan omongan perempuan dewasa yang bukan ibuku. Aku tidak pernah mengenal orang lain kecuali ibu. Kadang-kadang aku melihat anak-anak lain dari kejauhan. Kadang-kadang aku berpapasan dengan orang dewasa saat mencari kayu bakar. Namun hanya dengan ibu aku bercakap-cakap. Dalam perjalanan pulang kubilang kepadanya aku tak mau sekolah. “Jangan membuatku marah,” katanya. “Kau tahu, kau sudah mengecewakan aku sejak hari kelahiranmu. Sekarang jangan bikin aku marah.” Sebagaimana ia telah berterus terang tentang apa saja mengenai dirinya, pada hari itu ibu mengatakan bahwa sebetulnya ia menginginkan anak lelaki. Ia membangun rencana dengan harapan bahwa anaknya lelaki dan aku membuat segala rencana di dalam kepalanya berantakan karena aku perempuan. “Jadi aku tak ada gunanya bagimu, Ibu?” tanyaku. “Tak ada gunanya bagi rencanaku,” jawabnya. “Dan apa rencanamu, Ibu?” tanyaku. Ibu diam saja sampai kami tiba di rumah dan ia baru menjawab pertanyaanku dua tahun kemudian: “Demi darah leluhur yang mengaliri tubuhku, aku akan membuat perhitungan dengan mereka. Karena itu aku ingin anakku lelaki. Ia akan melakukan apa yang harus dilakukan.” Kalimat ini kudengar saat aku sedang mengerok punggungnya dengan uang logam. Ia masuk angin. Kulit punggungnya menjadi merah tua pada jalur-jalur bekas kerokanku. Empat tahun kemudian, ketika umurku tiga belas, ia mengulangi kalimat yang kurang lebih serupa. Aku mengingatkannya.
“Kau tidak pernah melahirkan anak lelaki, Ibu. Aku anakmu dan aku selalu mengingat nama-nama.” “Tapi kau perempuan,” gerutunya. “Aku bisa mengingat nama-nama mereka meski aku perempuan dan kau bisa mengatakan kepadaku apa yang harus kulakukan.” Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Jika ibu mengatakan kepadaku apa yang harus kulakukan, aku akan melakukannya. Di dalam tubuhnya mengalir darah bajak laut leluhur kami. Di dalam diriku mengalir separuh darahnya dan separuh darah bajingan yang menghancurkan hidupnya. Di atas semua itu, aku berutang nyawa kepadanya. Ia tidak menyingkirkan aku dari rahimnya meski aku menyusup tanpa ia kehendaki. Dan aku berterima kasih ia telah berterus terang kepadaku tentang keadaannya, juga tentang asal muasalku, sejak aku masih di dalam perut. Namun, sampai hari kematiannya dua bulan lalu, ia tidak pernah menyebutkan apa yang harus kulakukan. Aku memohon kepadanya dan menggenggam tangannya kuat-kuat hari itu. Ia hanya memandangiku. Bibirnya bergetar namun ia tetap tidak mengatakan apa pun sampai kurasakan tangannya menjadi dingin. Umurku 33 saat itu dan aku memahami seluruh kepedihannya. Meski ia tidak pernah mengatakan kepadaku apa yang harus kulakukan, di depan makamnya aku mengucapkan janji: “Darah leluhur kita juga mengalir di dalam diriku, Ibu, dan aku selalu mengingat nama-nama mereka. Maka, tenteramlah tidurmu di sana, aku pasti melakukan apa yang harus kulakukan. Mungkin caraku tidak sesuai dengan caramu, tetapi aku anakmu dan aku tahu apa yang harus kulakukan.”
A.S. Laksana tinggal di Jakarta. Buku cerita pendeknya yang mutakhir adalah Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantuhantu. (Dimuat di Koran Tempo, 15 September 2013) (Gambar oleh Yuyu Nurrachman)
Aswatama Pulang Cerpen Gunawan Maryanto
“A
KHIRNYA kuda itu datang, Anakku. Menolongku.” Aswatama menghela napasnya. Panjang. Di kejauhan terdengar ringkik kuda dari sebuah padang—seperti sebuah panggilan pulang. Cukup. Kalimat itu sudah menjawab seluruh pertanyaannya. Ia tak memerlukan kelanjutan cerita itu. Cukup! Ibuku adalah seekor kuda! Jadi benar kata tetangga. Jadi benar kata teman-teman sekolahnya dulu. Krepi bukan ibu kandungku. Tubuh Aswatama bergetar. Kebenaran itu membuatnya gentar. Matanya menatap tajam tubuh bapaknya yang tergolek di ranjang. Tubuh lelaki tua itu tampak lebih kecil dari yang seharusnya. Mulutnya terbuka seperti hendak melanjutkan cerita. Tapi tak keluar suara apa pun dari mulut itu.
Aswatama pun tak sanggup berkata apa-apa. Ia hanya bisa mengepalkan kedua tangannya. Sekuat-kuatnya. Menggenggam kekosongan yang tiba-tiba menguasai seluruh dirinya. Kekosongan yang menghapus kehadirannya pelan-pelan. Sekali lagi ia menghela napasnya. Seperti berusaha mengisi tubuhnya dengan udara atau apa saja. Ia tak mau hilang. Tapi tak ada yang datang. Bahkan seekor kuda.
“P
ULANGLAH segera. Bapakmu sekarat di rumah sakit.” Suara perempuan itu datar. Hampir-hampir tanpa tekanan. Tanpa tanda baca. Aswatama tak bisa membaca perasaan apa pun dalam percakapan telepon yang begitu singkat itu. Bukan percakapan sebenarnya. Aswatama bahkan tak sempat mengatakan sepatah kata apa pun. Telepon di seberang sudah ditutup saat Aswatama menyadari bahwa dirinya telah terdiam begitu lama sambil menempelkan ponsel di pipinya. Ia terdiam seperti patung Dewi Windradi di pusat kota. Patung tersedih yang pernah disaksikannya— di tengah kolam dengan tiga ekor kera yang sedang berenang mengitarinya. Konon ketiga ekor kera itu adalah anak dari sang Dewi yang terkutuk jadi kera karena berebut Cupu Manik Astagina. Tapi Aswatama tak sedang bersedih sepert Dewi Windradi yang tengah
melihat ketiga anaknya menjadi kera. Aswatama tak tahu perasaan macam apa yang telah menguasainya. Tapi yang jelas bukan kesedihan. Ia tak bisa menamai perasaannya yang lempang dan lengang seperti jalan-jalan di Sokalima yang telah 20 tahun ditinggalkannya. Dan kini sebuah kabar dengan nada yang datar memanggilnya pulang ke Sokalima. Krepi, ibunya, menelepon. “Pulanglah segera.” Krepi. Aswatama terbayang wajah ibunya—perempuan yang selama bertahun-tahun dianggapnya sebagai ibu. Di dadanyalah ia kerap menghabiskan airmatanya ketika masih bocah, saat teman-teman sepermainannya mengolok-olok sepasang kakinya yang mirip kaki kuda. “Aswa anak kuda! Aswa anak kuda!” Aswatama berlari secepat kuda mencari ibunya. Di rumah, di pasar, di sawah, di jalan atau di mana saja. Ia mencari dada Krepi. Dan menangis di sana. Dada Krepi adalah rumahnya. Tempat paling aman dan nyaman di seluruh dunia. Hingga Aswatama beranjak remaja, dada Krepi adalah dunianya. Apakah dada itu masih hangat seperti saat terakhir ditinggalkannya? Masih digelayuti sepasang payudara yang putih dan lembut? Bau tubuh Krepi kembali datang mengurung Aswatama. Dan tanpa bisa dicegah kemaluannya menegang. “Ibu... Krepi...” Bibir Aswatama bergetar membisikkan namanya. Malam jahanam itu kembali datang mengunjungi Aswatama. Sebuah malam di mana ia sama sekali tak bisa memejamkan mata. Hatinya gelisah tanpa alasan. Seperti ada yang terus-menerus mengganggunya. Umurnya hampir 17 tahun waktu itu. Masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Dengan malas ia keluar kamar setelah yakin tak akan bisa tidur malam itu. Ia melangkah menuju beranda. Mungkin dengan merokok di teras sambil menikmati malam rasa gelisahnya akan berkurang.
Saat itulah ia dengar isak tangis seorang perempuan dari kamar orangtuanya. Aswatama berjingkat pelan menuju kamar mereka. Isak tangis itu makin jelas terdengar. Pintu kamar separuh terbuka. Aswatama merapatkan tubuhnya ke dinding lalu bergerak pelan mendekati pintu kamar. Isak tangis itu makin mengeras seperti menyambut kedatangannya. Suara tangis Krepi, ibunya. Aswatama makin gelisah. Sesuatu mungkin baru saja terjadi. Ia menajamkan pendengarannya. Hanya tangis ibunya yang terdengar. Ia sama sekali tak mendengar tangis Durma, bapaknya. Ke mana dia? Aswatama bertanya-tanya. Atau jangan-jangan sesuatu telah terjadi pada bapaknya. Masih dengan penuh kehatihatian Aswatama melongok ke dalam kamar orangtuanya. Dalam remang cahaya ia menangkap sosok ibunya. Duduk di tepi ranjang. Membelakanginya. Bapaknya tak ada. Hanya ibunya sendirian. Duduk, tertunduk dan menangis. “Ibu...” Aswatama berbisik memanggilnya. Tangis itu seketika terhenti. Krepi menoleh ke arah pintu kamar dengan kaget. Dengan gugup ia menelan airmatanya begitu tahu Aswatamalah yang berdiri di ambang pintu. “Oh, kamu, Aswa. Masuklah.” Aswatama buru-buru masuk dan memeluk Krepi. “Ibu kenapa nangis? Bapak ke mana?” Krepi kembali terdiam. Airmatanya kembali mengalir deras seperti Bengawan Silugangga. Aswatama mengguncang-guncang tubuh ibunya, “Kenapa, Bu?” Krepi tetap tak menjawab. Isak tangisnya kembali terdengar. Lebih keras. Lebih panjang. Ia memeluk Aswatama sekencangkencangnya. Aswatama gugup. Jantungnya berdegup dengan cepat. Perempuan yang tengah memeluknya itu terasa bukan ibunya. Aswatama seperti tengah memeluk seseorang yang baru saja dikenalnya. Seorang perempuan yang membuat seluruh bulu
tubuhnya meremang. Tubuh Krepi yang terbalut gaun tidur tipis begitu menggetarkan Aswatama. Aswatama menatap mata Krepi. Krepi menatap mata Aswatama. Dan bibir keduanya pun bertemu. Entah berapa lama mereka berdua saling pagut. Saling gigit dan berguling-guling di ranjang. Hingga kemudian Aswatama menatap mata kiri Krepi dalam-dalam. “Banyu suci pitung prakara, sadurunge tumetes, manggon aneng dhangkeling rikinaningsung, nuli ingsun tetesake saka pucuking braja, manggon ana cupu kang ana tengah dadi rasa mulya, tumibaa manungsa kang mulya.”1 Krepi menjerit menerima kedatangan Aswatama dalam tubuhnya. “Ae, rahmu. Ae, rahku. Ae, rasamu. Ae, rasaku. Rasamu kalah kaya rasaku.”2 Ia menghirup napas Aswatama dalam-dalam. “Masuki aku, Aswa! Masuki tubuhku!” Dan kemudian tak ada suara lagi. Sokalima diam seribu bahasa. Jalanan lengang ditinggalkan para pejalan. Serangga-serangga malam masuk kembali ke dalam liangnya. Awan hitam menghapus bulan dan bintang-bintang. Sebuah malam yang kosong tanpa penghuni. Paginya Aswatama pergi meninggalkan Sokalima untuk selama-lamanya. Malam itu adalah malam terakhir ia bertemu dengan Krepi. Tak akan ada malam-malam yang lain dengan Krepi. Dengan ibunya sendiri. Aswatama berusaha lari sejauhjauhnya. Dikejar rasa bersalah yang berlebihan. Dua puluh tahun ia berhasil meninggalkan Krepi. Hingga beberapa saat yang lalu, perempuan itu memanggilnya pulang. 1
Air tujuh rupa, sebelum menetes, berdiam di dalam akarku, segera kuteteskan dari ujung pusakaku, berdiamlah dalam lubang tengahmu dan jadilah rasa mulia, jadilah manusia mulia. (Mantra Jawa sebelum bersetubuh) 2 Aih, darahmu. Aih, darahku. Aih, rasamu. Aih, rasaku. Rasamu kalah sebagaimana rasaku. (Juga mantra Jawa sebelum bersetubuh)
S
EPANJANG jalan menuju Sokalima Aswatama berusaha menggambar wajah bapaknya. Sekena-kenanya. Dua puluh tahun mungkin telah mengubah banyak hal. Tapi mungkin juga tidak. Durma barangkali masih tetap seperti saat terakhir ditinggalkannya. Tak ada yang berubah. Durma tetap seorang guru olah raga di sebuah SD yang bertangan dingin dan tak banyak bicara. Seorang bapak yang begitu mencintai anaknya lebih dari segalanya. Seorang lelaki dengan tubuh yang cacat dan penuh luka. Dan kini sedang terbaring sendirian di rumah sakit. Menanti ajalnya tiba. Ingatannya melayang pada sebuah petang. Pada sebuah pelajaran memanah di tanah lapang. Aswatama, yang berumur lima tahun saat itu, memegang busur panjang melebihi tinggi tubuhnya. Ia sudah memasang sebatang anak panah dan mengarahkannya pada sebuah sasaran; orang-orangan sawah dengan wajah yang ditempeli gambar seseorang yang tak dikenalnya. “Tatap mata orang itu, Aswa. Dan lepaskan panahmu saat kedua mata itu telah menjadi satu di matamu!” Durma berdiri di samping anak lelakinya satu-satunya itu. Aswatama kecil menatap sasarannya. Menatap mata seseorang yang tak dikenalnya. “Siapa dia, Pak? Gambar siapa yang Bapak tempel di sana?” “Seseorang yang paling jahat di muka bumi ini. Seseorang yang pantas untuk mati. Tatap matanya, Aswa, jangan lepaskan!” Aswatama menatap sepasang mata itu. Ia tak menemukan pancaran kejahatan di sana. Ia justru menemukan cahaya yang begitu lembut dan penuh dengan kasih sayang. Wajah seorang bapak yang begitu teduh. “Tapi siapa dia? Apa kejahatan yang telah dilakukannya?”
“Lihat baik-baik bapakmu. Kamu akan tahu kejahatan apa yang telah dilakukannya!” Aswatama menoleh tanpa menurunkan busurnya. Ia menatap tajam bapaknya. Berusaha mencari jawabannya di sana. Di hadapannya tegak berdiri seorang lelaki dengan kaki pincang, tangan pengkor dan wajah yang rusak. Aswatama terhenyak seolah baru saja menyadari keadaan tubuh bapaknya yang porak poranda itu—seperti sebatang pohon randu rusak yang masih tegak sehabis dihantam badai bertubi-tubi. Selama ini ia menganggapnya sebagai sebuah kewajaran, sebuah kelaziman, bahwa bapaknya memang ditakdirkan dalam keadaan demikian. Dan demikianlah bapaknya seharusnya. “Tatap lagi mata itu. Dan lepaskan panahmu sebanyak bisa kamu mulai sore ini. Kelak jika saatnya telah tiba kamu akan berhadapan dengannya. Namanya Sucitra. Kini ia berdiam menjadi seorang pemimpin di Wirata.” Aswatama terbangun dari lamunannya. Kereta tengah berhenti entah di stasiun mana. Ia melihat ke luar jendela. Ia mencari papan nama yang bisa dibacanya. Tak lama kemudian ia telah menemukannya, tersembunyi di balik kerumunan orangorang yang berdiri menunggu keretanya masing-masing. Stasiun Banyu Tinalang. Masih dua stasiun lagi. Aswatama melihat jam tangannya. Tepat tengah malam mungkin ia akan sampai di Sokalima dan segera bertemu dengan bapaknya. Apa yang mesti dikatakannya? Maaf telah lari dari rumah? Maaf telah menyetubuhi istrinya? Maaf tak bisa membalaskan dendam itu? Maaf karena telah jadi seorang pecundang? Di luar itu ia tak punya apa-apa yang bisa diceritakan. Sesuatu yang barangkali akan bisa membuat bapaknya bangga dan mati dengan tenang. Ia bukan Arjuna. Bukan Bima. Bekas teman-teman sekolahnya. Bekas murid-murid bapaknya
yang kini telah menjadi orang-orang besar. Bahkan ia bukan Duryudana, si murid paling bego yang kini telah jadi pemimpin itu. Ia bukan siapa-siapa. Tak seorang pun mengenalnya. Meski kemampuannya setanding dengan Arjuna, ia tetap hanya seorang pecundang. Aswatama membuang wajahnya ke luar jendela kereta. Gelap. Tak ada apa-apa di luar sana. Kereta terus menyeretnya menuju Sokalima. Membawanya kembali berhadapan dengan berbagai kenyataan. Aswatama menghela napasnya. Memejamkan mata dan mencoba tidur. Ia ingin bangun di sebuah tempat yang tak dikenalnya. Menuntaskan 6000 tahun pengembaraannya sebagai seorang ciranjiwin—hidup abadi dan tak mengenal cinta.(*)
Jogjakarta, 2013
Gunawan Maryanto giat di Teater Garasi, Jogjakarta. Buku puisinya yang mutakhir adalah The Queen of Pantura (2013).
(Dimuat di Koran Tempo, 8 September 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrahman)
Kapal Perang Cerpen Yusi Avianto Pareanom
Semarang, 1975-1981
S
ATU hal yang lebih menjengkelkan Abdullah Yusuf Gambiranom daripada harus membersihkan lantai rumahnya pada sembarang pagi setelah banjir surut adalah pertanyaan tidak perlu dari tetangga-tetangganya tentang suatu perkara yang sudah terang-benderang bagi semuanya: “Ngepel, Pak Yus?” Kepada penanya pertama Abdullah Yusuf akan memberi senyum palsu, kepada penanya kedua ia akan mengangguk dan ujung bibirnya tertarik ke bawah, dan kepada penanya ketiga dan seterusnya ia tak memberi tanggapan apa-apa selain memalingkan tubuh ke dalam rumah sembari menggerutu, “Hei, wong sudah ngerti , kok masih tanya.” Kejengkelan Abdullah Yusuf ini akan terasa lebih legit lagi jika kau mendengarnya dalam versi aslinya,
bahasa Jawa Semarangan. Pertanyaan itu mungkin tak dimaksudkan tetangganya sebagai ejekan, tetapi Abdullah Yusuf tetap sulit menerimanya sebagai kepedulian. Rasa gusar yang muncul akibat pertanyaan itu makin membesar dari tahun ke tahun. Lagi-lagi karena perkaranya memang sudah terang sehingga ia merasakannya seperti penegasan bahwa ia tak kunjung sanggup memutar balik peruntungannya. Para tetangganya sebenarnya tidak lebih punya duit ketimbang dirinya, beberapa malah lebih rudin. Bahkan, kalau kata yang satu ini punya arti, ia ketua RT di kampungnya, yang tanda tangannya dibutuhkan para tetangga jika mereka hendak membuat surat jalan. Hanya saja, tetangga-tetangganya memang sedikit lebih beruntung saat banjir datang. Sekalipun sama-sama kebanjiran, banjir di rumah Abdullah Yusuf lebih lama surutnya karena rumahnya yang berada di ujung timur Kampung Karangapi lebih rendah ketimbang jalanan. Terkadang banjir baru berlalu sehari setelah rumah para tetangga kering.
Karangapi bukan kampung kumuh. Letaknya di tengah kota, sekitar tiga kilometer sebelah timur-laut Simpang Lima. Namun banjir sering sekali bertamu dan khusus di rumah Abdullah Yusuf ia kerasan singgah berhari-hari. Situasinya tidak selalu seperti itu. Banjir mulai datang sejak dua jalan besar yang mengapit kampung ini, Jalan Mataram di sebelah barat dan Jalan Dr. Cipto di sebelah timur, ditinggikan pemerintah kota. Kalau saja Abdullah Yusuf punya kuasa, ingin betul ia menjadikan Karangapi kampung tertinggi di Semarang sehingga untuk mencapainya orang luar mesti menggunakan tangga berjalan seperti yang ia dan juga kebanyakan orang Semarang lainnya lihat pertama kali di pertokoan Kanjengan di kawasan Pasar Johar. Namun, ia tahu itu hiburan kosong. Penghasilan bulanannya, gaji pegawai perusahaan percetakan milik negara dan uang setoran dari beberapa becak yang ia miliki, mesti ia bagi ke tiga jurusan: rumah Karangapi yang ia tinggali bersama ibu dan ketiga anak lelakinya dari perkawinan pertamanya, rumah kontrakan di Rejosari yang ditinggali mantan istrinya dan anak perempuan bungsu mereka, dan rumah Kampung Wotkapal—yang ia tinggali secara bergantian dengan rumah Karangapi—yang ditempati istri keduanya dan ketiga anak mereka. Mantan istrinya bekerja sebagai guru SD dan punya penghasilan sendiri, tapi tak mungkin Abdullah Yusuf lepas tangan. Sebetulnya ketiga anak lelakinya yang tinggal di Karangapi bersamanya tak pernah terlihat risau saat banjir tiba. Malah mereka senang bermain air. Mereka memang masih kanak-kanak. Tetapi, lidah Abdullah Yusuf terasa pahit setiap melihat ibunya yang sudah berumur enam puluh tahun lebih harus berbasahbasah. Ia tak mungkin meminta ibunya berjalan di atas dua kursi
yang bergantian dimajukan seperti dirinya jika tak ingin menyentuh air. Kadang Abdullah Yusuf membayangkan peruntungannya akan berbeda sekiranya paman-paman dan bibinya dari pihak ibu tidak gila judi dan gemar kawin cerai. Sejatinya, kakeknya adalah tuan tanah yang cukup kaya. Selain di Karangapi, kakeknya juga memiliki rumah-rumah di kampung sebelah timur Karangapi seperti Tirtayasa, Pancakarya, dan Rejosari. Sayangnya kekayaan ini dengan cepat berpindah tangan setelah kakeknya meninggal dunia karena keempat pamannya dan bibinya selalu butuh uang cepat dan enggan bekerja. Pengarai bibinya, bungsu dari keenam bersaudara, malah lebih grusa-grusu sekalipun nama yang disandangnya Sabar. Hanya ibu Abdullah Yusuf, Siti Aminah, anak sulung keluarga itu, yang berbeda. Siti Aminah adalah Muslim taat dan harga dirinya tinggi—terlalu tinggi di mata orang-orang. Ia tak pernah mau ribut soal pembagian harta penjualan tanah warisan sehingga adik-adiknya dengan enteng menyisihkan untuknya bagian yang jauh lebih kecil daripada haknya. Baginya, bertengkar soal uang memalukan. Satu-satunya yang tak pernah adik-adik Siti usik adalah rumah yang ditinggalinya bersama Abdullah Yusuf. Ketika adik-adiknya hidup dengan uang warisan, Siti Aminah memilih berjualan udang dan blenyik—semacam bakso udang ebi yang baunya kuat—di Pasar Langgar. Siti Aminah masih terus berjualan sampai Abdullah Yusuf berkeluarga dan mempunyai anak. Abdullah tak sanggup melarang ibunya karena bekerja adalah salah satu kegembiraan utama Siti Aminah. Siti Aminah juga tak mempan saat dibujuk berhenti oleh cucu-cucunya dari anak pertamanya, kakak sulung Abdullah Yusuf. Anak pertamanya ini didapatkan Siti Aminah dari suami pertamanya, bukan ayah Abdullah Yusuf. Cucu-cucu ini sudah
dewasa, salah seorang bahkan sudah menjadi pengurus teras Nahdlatul Ulama sekaligus anggota DPRD Jawa Tengah dari Partai Persatuan Pembangunan. Mereka tak enak hati dengan anggapan orang bahwa mereka membiarkan nenek mereka terus bekerja sementara mereka sudah sanggup menyantuni. Siti Aminah baru mau berhenti setelah seorang pedagang daging babi membuka kios tepat di samping titik ia biasa berjualan. Abdullah Yusuf tak sempat benar-benar mengenal kakeknya karena kakeknya meninggal dunia ketika ia baru berusia tiga tahun. Abdullah Yusuf juga praktis tak mengenal ayahnya, Haji Abdul Mukri, pedagang kap lampu dari Buyaran, Demak. Ayahnya jarang hadir sejak ia kecil karena sepertinya selalu berkeliling Jawa menjajakan kap-kap lampu yang didatangkan dari Eropa. Ia tak tahu apakah kedua orangtuanya bercerai atau tidak, yang ia dengar dari ibunya adalah ayahnya punya banyak keluarga lain. Ia tak pernah mendesak ibunya soal ini, sampai akhirnya ada kabar Abdul Mukri meninggal dunia saat ia remaja. Abdullah Yusuf melayat setelah ayahnya dimakamkan di kampung halamannya. Ayahnya tak meninggalkan apa-apa. Ketika Abdullah Yusuf beranjak dewasa, paman-paman dan bibinya mulai hidup susah. Setelah Abdullah Yusuf bekerja, mereka tak malu-malu meminta uang sekalipun tak membebankan seluruh hidup mereka kepadanya. Mereka semua meninggal terlebih dahulu daripada Siti Aminah. Abdullah Yusuf yang mengurus semua pemakaman mereka. Dari kelimanya hanya seorang pamannya yang mempunyai anak yang kemudian tinggal di samping rumah Abdullah Yusuf. Sepupu perempuannya ini salah satu dari sedikit orang yang tak cerewet saat melihatnya mesti mengepel pagi-pagi setelah banjir surut.
N
ABI Nuh Alaihi Salam membangun bahtera raksasa untuk mengangkut umatnya yang percaya dan semua hewan yang kasat mata—masing-masing sepasang—setelah mendapatkan wahyu tentang banjir bandang yang sedemikian menakutkan besarnya yang akan menenggelamkan dunia selama berhari-hari. Abdullah Yusuf Gambiranom membuat perahuperahu kertas yang ia pasangi mercon setelah mendapatkan keyakinan bahwa kampungnya bakal kebanjiran lagi setidaktidaknya setengah meter setelah hujan deras turun tanpa ampun satu jam lamanya dan belum menunjukkan gejala ingin berhenti pada suatu malam. Keinginan membuat perahu ini timbul karena Abdullah Yusuf tahu bahwa keesokan pagi atau lusanya ia mesti mengepel rumahnya dan tetangga-tetangganya akan melontarkan pertanyaan yang sama. Nabi Nuh membangun kapalnya di lapangan selama berbulanbulan dan selalu mendapatkan cibiran, bahkan dari anggota keluarganya sendiri. Abdullah Yusuf melipat-lipat kertas di ruang depan rumahnya di bawah tatapan kagum ketiga anak lelakinya. Abdullah Yusuf terberkati dengan tangan terampil, sesuatu yang kelak hanya diwarisi salah seorang anak lelakinya, perahu-perahu kertas buatannya kuat dengan alas sedatar meja. Kecakapan tangannya sebetulnya tak mengherankan ketiga anak lelakinya— mereka pernah melihat ayahnya membuat layang-layang, menjahit, bertukang, bermain gitar, dan masih banyak lagi. Tapi, pemasangan mercon di atas perahu sungguh tak terduga. Merconmercon ini sisa lebaran semalam sebelumnya. “Bapak, ayo nyalakan sekarang,” kata anak lelaki ketiganya. “Sekarang masih hujan,” ujar Abdullah Yusuf. Ketika hujan berhenti dan kampung mulai kebanjiran, anakanak Abdullah Yusuf kembali mendesak ayah mereka segera menyundut mercon di perahu sebelum mereka makin mengantuk.
Tetapi, ia meminta ketiganya bersabar sampai tengah malam karena pasti bakal lebih seru. Mata ketiga anak lelakinya membelalak bersamaan. Mereka sudah bisa membayangkan para tetangga yang bakal terkaget-kaget dan tawa mereka tak terbendung. Perasaan girang ini menumpas kantuk mereka sepenuhnya. Setelah lewat tengah malam, Abdullah Yusuf dan ketiga anaknya membawa keluar perahu-perahu itu dan menaruhnya di buk depan rumah mereka. “Aku mau menyundutnya,” kata anak pertama Abdullah Yusuf. “Tidak, kalian menonton saja, berbahaya,” kata Abdullah Yusuf. Mereka sedikit kecewa tetapi patuh. Abdullah Yusuf memberi sumbu tambahan sebelum menghanyutkan perahu. Selain untuk keamanan juga agar perahu bisa mencapai tengah kampung sebelum mercon meledak. Perasaan berdebar selama berjam-jam menunggu tengah malam sebelum perahu dibawa keluar ternyata pucat saja bila dibandingkan dengan sekitar tiga puluh detik menunggu ledakan dari perahu pertama yang bergerak ke arah barat. Beberapa orang keluar rumah, ada yang hanya melongok dari balik jendela atau pintu begitu mercon pertama meledak. Potongan kertas sisa perahu mengambang di air, beberapa masih melayang di udara. Ketika mereka masih bertanya-apa, Abdullah Yusuf sudah menghanyutkan perahu kedua dan ketiganya. Mercon di perahu ketiga adalah jenis yang istimewa, Gatotkaca, yang meledak dua kali—setelah ledakan pertama ada bagiannya yang mumbul ke udara sampai lima belas meter dan meledak lagi. Malam itu sembilan belas perahu bermercon yang Abdullah Yusuf luncurkan. Setelah perahu kelima, tetangga-tetangga yang
sempat melongok keluar sudah menghilang ke dalam lagi kecuali satu orang yang menyaksikan sampai selesai. Mereka tidak berkata apa-apa. Abdullah Yusuf tak sempat memikirkan apakah tetanggatetangganya memaki-maki di dalam rumah mereka. Malam itu ia begitu berbahagia melihat paras bungah dan tawa berderai ketiga anaknya.
K
EESOKAN paginya banjir surut dan Abdullah Yusuf harus mengepel lagi. Tapi, kegirangan semalam masih kental. Bukan karena tak ada lagi orang yang melontarkan pertanyaan tentang suatu perkara yang sudah terang-benderang bagi semuanya—ia mengepel—melainkan karena pemikiran bahwa ia bakal bisa bergembira lagi dengan cara yang sama bersama anak-anaknya jika kelak banjir datang lagi. Ia masih mempunyai amunisi cukup. Dan, betul saja, peluncuran perahu-perahu bermercon masih terjadi beberapa kali sampai ia dan anakanaknya bosan sendiri.
P
ADA 1981, bisnis percetakan swasta yang Abdullah Yusuf dan dua temannya rintis setelah keluar dari tempat mereka bekerja mulai cerah. Mereka banyak mendapatkan proyek dari pemerintah daerah Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun itu pula ia merenovasi total rumahnya. Yang paling mencolok adalah ia meninggikannya hampir satu setengah meter. Ketika kemudian pada tahun yang sama banjir besar melanda Semarang dan semua rumah di kampungnya kebanjiran lebih dari satu meter, rumahnya tetap kering. Hari itu ia sudah melupakan perahu-perahu bermerconnya, tapi ia sungguh berharap air makin tinggi saja.(*)
Yusi Avianto Pareanom mengelola penerbit Banana di Jakarta. Buku cerita pendeknya adalah Rumah Kopi Singa Tertawa (2011).
(Dimuat di Koran Tempo, 1 September 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrahman)
Muslihat Membunuh Panglima Langit Cerpen Triyanto Triwikromo
T
AK ada yang memperhatikan dua perempuan yang tengah mempercakapkan rencana pembunuhan di Dante Coffee yang sunyi itu. Musik mengalun pelan dan bisikbisik mereka nyaris tak terdengar. “Aku meminta tolong kamu membunuh Panglima Langit Abu Jenar untuk Tuhan,” kata perempuan cantik berumur 40-an itu kepada Widanti. “Membunuh untuk Tuhan?” “Ya, siapa pun yang bisa membunuh Abu Jenar akan menyelamatkan sebuah tanjung, sebuah dunia. Dan menyelamatkan dunia, berarti menyelamatkan Tuhan, bukan?”
Hmm, aku bukan siapa-siapa, batin Widanti. Aku bukan Aomame yang memiliki alat pemecah es ramping yang bisa digunakan untuk membunuh siapa pun. Bahkan jika aku punya senjata penghilang nyawa itu, aku belum tentu berani menusukkan ujung jarum yang halus itu ke titik maut di tengkuk lelaki yang belum kukenal. “Kau tidak perlu memikirkan dengan apa kau harus membunuh Panglima Langit,” kata perempuan berwajah dingin itu, seperti mengerti apa pun yang ada di benak orang lain. “Siapa Abu Jenar?” “Dia sesungguhnya orang yang pernah berada dalam kekuasaanku juga,” kata perempuan itu masih dalam nada datar. Widanti tidak suka pada ungkapan berada dalam kekuasaanku. Selama 15 tahun melepaskan diri dari kehidupan karut-marut keluarga dan memilih tinggal sendiri di kos-kosan pada usia 15 tahun, dia telah menjadi perempuan yang nyaman jika tidak berada dalam pengaruh orang lain. “Dia orang yang kau suruh membunuh orang-orangmu juga?” tanya Widanti. Perempuan yang menguarkan harum Dior itu menggeleng. Kini dia tampak berhati-hati memilih kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan itu. “Aku tidak pernah bertemu dengan Abu Jenar. Aku hanya meminta orang-orang suruhanku agar dia menghancurkan makam keramat Syekh Muso dan menjadikan seluruh keluarga di jantung itu bertekuk lutut kepadanya. Setelah tak ada lagi yang berani melawan Panglima Langit, orang-orang suruhanku akan merebut seluruh jengkal tanah dan menjadikannya sebagai resor.” Widanti masih menangkap kejemawaan dalam ucapan perempuan itu.
“Sayang sekali,” perempuan itu mencerocos, “Abu Jenar kemudian tidak bisa dikendalikan. Dia ingin sekali menjadi syekh baru di kampung itu. Siapa pun telah bisa dia kendalikan. Kiai Siti, tetua kampung, tampak sudah bertekuk lutut. Rajab, pemuda pemberang yang diharapkan menjadi pemimpin masa depan, juga tak memiliki taring lagi. Kufah, bocah kencur manis, bahkan akan dijadikan istri. Dan menurut perhitungan kami, dia akan menolak menjadikan tanjung itu sebagai resor. Dia akan meledakkan makam, tetapi tidak akan menghilangkan apa pun yang pernah ada di tanjung itu. Dia tak akan mengusir bangau-bangau dan membabat hutan bakau...” Ada rasa ngeri yang berkecamuk di otak Widanti saat membayangkan sosok Panglima Langit Abu Jenar. Dia pasti lakilaki bertubuh kokoh, mahir bersilat, memiliki mata yang menyihir, dan mungkin tak bisa dikalahkan oleh perempuan mana pun. “Kau tidak perlu takut,” perempuan itu lagi-lagi seperti bisa membaca apa pun yang dipikirkan oleh Widanti. “Aku tak takut. Aku hanya...” “Kau tidak perlu khawatir,” perempuan yang mungkin paling pas digambarkan sebagai Gong Li bersetelan Calvin Klein itu mencoba meyakinkan, “Semua yang kau butuhkan untuk membunuh Abu Jenar sudah kami siapkan. Bahkan orang-orang yang akan membantumu melenyapkan Panglima Langit itu juga sudah kami hubungi...”
Widanti terdiam. Dia hanya membatin: Pasti perempuan ini tidak akan memberikan pistol baja otomatis Heckler & Koch 9 mm—sebagaimana dihadiahkan seorang bodyguard kepada Aomame—untuk sewaktu-waktu kutembakkan kepada orang lain atau diri sendiri. Apalagi aku bukan pembunuh bayaran. Aku hanya lulusan antropologi budaya yang rapuh dan perempuan yang suka mendongeng. Karena itu, aku harus berusaha mendapatkan pistol itu. Dari mana pun. Dari siapa pun. Karena penasaran, Widanti memotong perkataan perempuan itu. Dia tidak ingin terlibat dalam urusan lenyap-melenyapkan nyawa. “Tugas itu terlalu berat untukku. Aku tak tahu mengapa kau memilihku.” “Justru karena kau antropolog budaya dan pendongeng, aku memilihmu. Hanya pendongeng dan antropolog yang bisa mengalahkan pembual. Percayalah, kau akan gampang menyusup ke tanjung itu. Kau hanya akan pura-pura menulis riwayat tanjung itu, berwawancara dengan Panglima Langit Abu Jenar, bersahabat dengan Zaenab dan Rajab, bermain-main dengan Kufah, mengawasi segala hal yang terjadi di kampung itu dan melaporkan kepadaku.” Widanti mencoba menghapalkan nama-nama yang disebut dan membenamkan ke otak dalam-dalam. Dia seperti dipaksa merapal mantra. “Lalu kapan aku harus membunuh Abu Jenar dan dengan apa aku menghabisi nyawa Panglima Langit yang tak bisa dikendalikan itu?” “Kau tidak perlu memikirkan dengan apa harus membunuh Abu Jenar. Semua akan berlangsung spontan. Senjata apa pun akan mematikan. Kau juga tidak perlu mengetahui kapan waktu yang tepat untuk membunuh. Jika waktunya telah datang kau akan dengan gampang membunuhnya.”
“Tapi melihat kecoa pun aku takut. Bagaimana aku harus membayangkan pria yang kubayangkan sebagai raksasa itu?” Widanti berbohong. “Aku yakin kau akan bisa melakukannya.” “Mengapa kau begitu yakin aku akan mau melakukan tugas gila ini?” kata Widanti sambil mengingat kali pertama dia menyiramkan bensin pada anjing yang telah dia salib di tiang dan membakarnya hidup-hidup. “Sudah kubaca semua tulisanmu. Aku tahu kau adalah penulis kolom di berbagai media yang sangat habis-habisan menyerang siapa pun pemuja pedofil di negeri ini Kau juga tak suka menentang pemujaan individu yang berlebihan. Waktu remaja kau bahkan penentang utama Soeharto.” “Ya, tetapi semua kulakukan dengan tulisan,” kata Widanti berbohong lagi sebab pada usia 15 tahun dia pernah menendang kemaluan teman sepermainan yang kurang ajar mencolek payudaranya yang mulai membesar, “Sedikit pun aku tak menggunakan kekerasan.” “Kau tidak akan menggunakan pistol, kau tidak akan menggunakan pisau, kau hanya akan menjadi bagian dari kisah pembunuhan yang kami rancang.” “Kalau aku menolak, apakah kau akan melakukannya juga?” “Kau tak akan bisa menolak.” “Tak bisa menolak?” “Ya, kami sudah menculik ibumu dan akan kami bunuh jika kau menolak tugas ini,” kata perempuan itu sambil menunjukkan beberapa foto. Widanti terkejut. Dia melihat beberapa pria bertopeng mengikat ibunya di sebuah kursi di sebuah tempat yang tidak dia kenal. Dia tidak menyangka keluarganya akan terlibat dalam urusan berat yang membuat perutnya mual. Sebenarnya kalian
culik ibuku, aku tak peduli. Sudah sejak lama kami bermusuhan. Hanya, sangat biadab jika dia harus mati karena terlibat dalam urusanku. Karena itu, apa boleh buat, aku tak akan menolak tawaran untuk membunuh Abu Jenar, musuh konyolmu itu. Widanti membatin lagi: Perempuan ini benar-benar serupa Don Corleone. Dia memberikan tawaran yang tak mungkin kutolak. Tentu aku tak ingin kepala ibuku dihajar dengan tongkat pemukul bola kasti hingga pecah, hingga otaknya memburai dan berhamburan tak karuan. Widanti berpendapat: Permusuhanku dengan ibuku akan imbang jika dia tak diancam oleh siapa pun. Karena itu membunuh Abu Jenar lebih merupakan upayaku untuk menyelamatkan ibuku. Aku tak punya kepentingan lain kecuali mengembalikan kemerdekaan ibuku untuk membenci dan memusuhiku. “Mulai besok hiduplah dengan duniamu yang baru. Lihatlah dengan cermat foto-foto Abu Jenar, Kiai Siti, Kufah, Zaenab, dan Rajab. Belajarlah mengenakan hijab dan bertingkahlah sebagai muslimah yang memesona,” perempuan itu berkata sambil menyerahkan map merah. “Pelajari apa pun yang membuatmu nyaman tinggal di tanjung itu.” Widanti tercenung. Dia dan perempuan itu tak pernah meminum cappuccino dan espresso yang telah disediakan pramusaji. Mereka juga tidak pernah mendengarkan “Imagine” John Lennon dan lagu-lagu lain yang mengalun sepanjang percakapan. Mereka bergegas meninggalkan kafe seakan-akan tak ada waktu lagi untuk membunuh hewan bantaian.
S
ESEORANG telah memaksa agar aku tak menjadi diriku sendiri, Widanti membatin di depan cermin di atas wastafel. Dia merasa meskipun sepanjang waktu akan mengenakan
kerudung tipis warna ungu, wajahnya sebentar lagi akan bermetamorfosis dari kelinci manis menjadi serigala yang menyeringai. Dia tidak membayangkan sebelumnya bagaimana seorang pendongen dan antropolog yang rapuh harus terlibat dalam rencana pembunuhan yang sangat mungkin membahayakan. Tak apa-apa. Ini takdir dan nasib yang harus kujalani. Widanti lalu mencoba membayangkan aneka satwa sehabis menancapkan taring di daging segar dan menemukan wajah paling mengerikan yang akan dia kenakan saat selesai membunuh Panglima Langit. Celaka! Dia merasa tak menemukan wajah itu. Dia justru dipaksa menatap wajah teduh berkerudung ungu. Wajah yang mungkin bakal dia temukan di surga. Saat itu, cermin seakan-akan bilang, “Kau bunuh seribu orang pun wajahmu bukan wajah pembunuh.” Widanti sekali lagi memeriksa wajahnya. Aku akan bisa menghilangkan wajah itu kalau aku bunuh diri. Tapi aku tak akan bunuh diri. Aku masih harus menyelamatkan ibuku. Menyelamatkan? Mungkin tidak. Widanti hanya ingin bertarung secara imbang dengan ibunya. Lebih tepat lagi, dia ingin membalas segala perbuatan sang ibu pada masa lalu. Dia lalu teringat betapa pada usia 10 tahun setiap sehabis mendengar ibu dan ayahnya bertengkar, saling gigit, dan terengah-engah di ruang tamu sang ibu dengan mata menyala menghajar punggung rapuhnya dengan ban dalam sepeda motor. “Sudah bilang jangan mengintip kami, masih juga kau lakukan perbuatan busukmu ini. Dasar anak anjing!” Meskipun tak pernah paham mengapa diperlakukan semacam itu, Widanti tidak pernah merasa lahir dari rahim anjing. Dia juga tak pernah berani membayangkan di wajah ibunya yang cantik tumbuh moncong panjang penuh liur.
Tetapi setelah dua puluh tahun, kini dia tahu siapa yang sesungguhnya layak disebut sebagai anjing. Dia selalu menghajarku setelah menjerit-jerit ketika bercumbu dengan ayah. Sebelum kutinggal minggat ke rumah nenek, ibu bahkan berusaha menusukku dengan pisau dapur. Saat itu aku tahu ayah dan ibu mabuk berat sebelum mereka bercinta di sofa. “Kau masih suka mengintip percumbuan kami ya? Kau kira hanya ayahmu yang sanggup menyiksaku? Kau sangka aku tak berani membunuhmu?” kata ibuku dengan geram sambil mengacungkan pisau. Tak kujawab pertanyaan itu, tetapi sejak itu aku mulai paham ada darah hewan berliur yang menjijikan di tubuhku. Saat itu pula sambil menghindar dari amuk ibu aku berkhayal menjadi anjing herder kuat yang sewaktu-waktu bisa menancapkan taring kokoh di tengkuk satwa tua yang kian dan rapuh. Kini kau kian tahu mengapa aku berhasrat menyelamatkan ibuku, bukan? Widanti tidak pernah ingin menjawab pertanyaan itu. Dia lebih memilih bergegas ke ruang tamu. Dia membuka map merah berisi foto-foto dan keterangan singkat orang-orang yang akan ditemui di tanjung yang belum pernah dia kunjungi itu. Ketika dengan cermat Widanti menatap foto seorang pria tinggi berjenggot dan bersorban, ponselnya berbunyi. Sebuah nama muncul di layar dan dia tidak mungkin menolak ajakan bicara dari perempuan yang siang tadi memberi instruksi agar Widanti membunuh Panglima Langit Abu Jenar. “Jangan pernah menganggap dia sebagai Ayatullah Khomeini meskipun sorban yang dia kenakan sama,” kata suara dari seberang. “Yang harus kau mengerti dia merasa diutus oleh Allah untuk menyelamatkan tanjung dari kemungkaran. Sihir terkuat yang paling dia miliki, Abu Jenar hapal hampir seluruh ayat Allah.
Ini membuat warga tanjung, termasuk Kiai Siti, tak berani melawan segala yang dia inginkan. Sebelum ke tanjung, dia sudah memiliki tiga istri. Setelah tiba di tanjung, dia ingin memperistri Kufah. Kau tahu berapa umur Kufah?” “Berapa?” “Baru 11 tahun. Kau pasti bisa membayangkan bagaimana bocah sekencur itu dipaksa bercumbu oleh lelaki kekar yang seharusnya jadi kakeknya.” “Tentu mengerikan,” darah Widanti mendidih dan mulai punya alasan utnuk membenci Abu Jenar. “Dan lelaki semacam itu tidak boleh dibiarkan hidup, bukan?” Hening. Widanti bungkam. “Bukan hanya itu kejahatan yang dia lakukan.” “Dia suka membunuh perempuan-perempuan yang dipersitri?” “Tidak. Justru dia sangat menyayangi mereka.” “Lalu apalagi yang dia lakukan?” “Dia suka menyodomi laki-laki kencur.” “Hah!” Widanti kaget. “Sungguh sangat bajingan Abu Jenar. Mengapa tak seorang pun menghentikan perbuatan busuk itu?” “Karena hampir semua orang tanjung—kecuali Zaenab yang dianggap Abu Jenar sebagai perempuan gila—percaya dia bisa melakukan keajaiban apa pun yang dimiliki para nabi. Dia dipercaya bisa menguras air laut dan menjadikan dasar samudera sebagai jalanan, berjalan di atas air, atau menari di mulut ikan hiu raksasa.” “Kau percaya Abu Jenar memiliki keajaiban semacam itu?” “Aku meragukan seluruh kecakapan yang dia miliki. Tetapi hingga sekarang aku belum bisa membuktikan kebohongan Abu Jenar. Karena itu segeralah ke tanjung. Beri tahu aku apakah dia benar-benar lelaki digdaya.”
“Kau mengira aku akan pergi ke sana karena menuruti perintahmu?” Widanti tiba-tiba memotong percakapan perempuan yang tampaknya menelepon dari sebuah kamar yang sangat sunyi itu. “Kini tidak lagi. Tidak kau suruh pun aku akan ke tanjung itu.” Tak menunggu jawaban, Widanti mematikan ponsel. Dia merasa terbebas dari tekanan.
P
ERLU dua minggu untuk mendapatkan pistol baja otomatis 9 mm Heckler & Koch. Seorang penjual barang antik yang memperoleh senjata itu dari penyelundup di pelabuhan menjual murah alat pembunuh yang canggih pada masa 1984-an dan belum teruji jika dipakai pada 2010 itu. Akan tetapi ternyata justru lebih sukar mencapai tanjung yang kelak disebut oleh Widanti sebagai dunia setengah jadi atau surga ½ tuhan itu pada saat kegelapan sudah menyuruk dan di langit tergantung bulan purnama yang begitu indah. Sopir taksi sebenarnya tak mau mengantar andai saja Widanti tidak membayar tiga kali lipat. “Menuju ke kawasan itu kita akan seperti memasuki tahuntahun saat Soeharto membunuh para gali,” kata sopir taksi. “Maksudmu kita akan menemukan begitu banyak mayat tergeletak di jalan?” “Tentu saja tidak,” jawab sopir taksi itu tanpa melihat Widanti yang duduk di jok belakang. “Tetapi jika kita melihat rumahrumah, lampu-lampu, atau model pagar, serta mendengarkan percakapan orang-orang di warung, kita seperti berada pada tahun 1980-an.” “Jangan membual. Aku ini seorang pendongeng. Aku tahu mana bualan mana kenyataan.” “Buktikan saja,” kata sopir taksi lagi-lagi tanpa memandang Widanti.
Ya, akan kubuktikan. Dan Widanti memang membuktikan betapa ketika memasuki jalan kecil bergelombang dia merasa seperti memasuki gerbang selamat datang ke tahun-tahun silam. Kian menyuruk ke dalam dia seperti terputus dengan masa kini dan masa depan. Sepeda dan sepeda motor yang berpapasan rasanya memang berasal dari tahun 1980-an. Pakaian orang-orang yang bisa dilihat dari taksi juga berasal dari masa lalu. “Saya hanya bisa mengantar sampai di sini,” kata sopir taksi begitu sampai di kampung yang menghubungkan kota dengan tanjung. “Untuk sampai ke tanjung, Sampean harus menyeberang dengan perahu.” Perahu? Seumur hidup aku tak pernah berlayar di tasik yang tenang. O, mengapa untuk membunuh Abu Jenar, aku harus berjuang menghilangkan ketakutanku terhadap amuk badai terlebih dulu?
T
ENTU saja perahu bukanlah Siratal Mustaqim. Akan tetapi Widanti—yang kini telah berkerudung tipis warna ungu— merasa perahu itu merupakan jembatan yang memungkinkan dia bertemu dengan Abu Jenar. Karena itu dia menganggap tukang perahu yang nyaris tidak pernah tersenyum itu, sebagai sesosok malaikat yang bakal membantu mencabut nyawa Panglima Langit dengan cepat. Akan tetapi tampaknya tukang perahu terlalu rapuh untuk berhadapan dengan Abu Jenar. “Akulah yang mengantar Panglima Langit ke tanjung itu. Aku tak tahu apakah dia berwajah tampan atau tidak. Aku tak berani menatap wajahnya yang bercahaya. Aku takut buta,” kata tukang perahu setengah berteriak untuk mengimbangi suara mesin perahu.
“Apakah di bahunya tumbuh semacam sayap? Apakah dia bisa berjalan di dasar laut Apakah dia bisa menari di perut ikan hiu raksasa?” Widanti juga tak kalah keras berteriak. “Aku tidak tahu,” kata tukang perahu. “Yang jelas badai reda ketika dia mengibaskan jubahnya.” “Menurutmu apakah dia lelaki yang berbahaya?” “Aku tidak tahu. Bertahun-tahun aku mengantarkan para peziarah ke Makam Syekh Muso, bertahun-tahun pula kucium bau mawar di tubuh para pemuja Sang Junjungan. Tetapi entah mengapa ketika mengantar Panglima Langit, aku mencium bau bangkai.” Tukang perahu tidak meneruskan percakapan. “Apa maknanya?” Tukang perahu tetap diam. “Hoe, apa maknanya? Mengapa tercium bau bangkai di tubuhnya?” teriak Widanti. “Sebaiknya jika tak perlu benar, urungkan niat Sampean untuk bertemu dengannya.” “Mengapa?” “Bahaya. Apalagi Sampean cuma seorang perempuan.” “Hmm, jadi hanya karena aku perempuan, kamu anggap aku tidak berani membunuhnya?” “Membunuhnya?” tanya tukang perahu kaget. “Jangan mainmain. Sampean hanya ingin mengaji kitab kuning kepada Panglima Langit, bukan?” Widanti tidak menjawab. Dia membiarkan tukang perahu takjub pada segala perkataannya.
M
ULAI terdengar suara ribuan bangau ketika Widanti meloncat ke daratan penuh pohon bakau itu. Dia bingung apakah akan menuju ke makam menemui Zaenab terlebih dulu atau langsung ke mesjid dan langsung
bergabung dengan para pembunuh Abu Jenar. Jika bertemu Zaenab, apakah perempuan penunggu makam pembenci Abu Jenar, itu juga akan langsung bergegas menusukkan pisau ke ulu hati Panglima Langit? Aku kira meminta Zaenab membunuh Abu Jenar dengan berbagai cara merupakan pilihan terbaik. Tak perlu ada cipratan darah di tanganku. Hanya, apakah tindakan ini menjadi bagian dari rencana pembunuhan yang sudah dirancang? Bingung menjawab pertanyaan itu, membuat Widanti memutar otak. Aku harus menggunakan bagian otakku yang miring untuk merancang pembunuhan Abu Jenar. Aku tak mau mengikuti rancangan dari siapa pun. Pada saat-saat kritis semacam itu, pada saat dia tidak memercayai muslihat apa pun yang dilakukan orang lain, Widanti memiliki gagasan sableng. Kegilaan harus dilawan dengan kegilaan. Widanti berencana menggunakan kemolekan tubuh untuk menghancurkan Panglima Langit. Aku akan menari telanjang di mesjid. Aku berharap Abu Jenar menganggapku kesurupan dan tertantang menghilangkan setan dalam tubuhku. Saat sudah begitu dekat, aku akan melihat wajahnya. Aku berharap wajahnya tidak menyilaukan sehingga aku akan dengan gampang menggapai pistol yang kusembunyikan di pinggang, mengacungkan senjata mematikan itu, menarik pelatuk, meletuskan berkali-kali, sehingga membuat kepala Abu Jenar pecah dan otaknya memburai. Memikirkan tindakan itu dan mulai melangkah, tubuh Widanti yang hanya mengenakan celana panjang bergetar hebat di bawah bulan purnama yang amis. Lalu ketika dari mesjid, dia mendengar semacam dzikir, semacam salawat, Widanti
memutuskan segera menari dan meneriakkan aneka ayat Allah yang dia gabung secara serampangan. Apakah kau akan mampu melawan muslihatku, wahai Panglima Langit? Apakah kau akan mampu menatap tubuh molekku? Apakah kau mampu menghindar dari tembusan peluru pistol cantikku?(*) Semarang, 24 Juli 2013
Catatan: 1. Aomame adalah tokoh perempuan dalam novel 1Q84 karya Haruki Murakami. Widanti pernah secara serampangan membaca novel yang strukturnya mirip Linghan atau Gunung Jiwa karya Gao Xingjian itu. 2. Gong Li adalah bintang film yang mendapat Hongkong Film Award untuk permainannya dalam Curse of The Golden Flower pada tahun 2006. 3. Widanti pernah menonton sepak terjang Don Corleone yang menciutkan nyali lawan atau kawan dalam film The Godfather.
Triyanto Triwikromo mendapat Penghargaan Sastra Pusat Bahasa untuk kumpulan cerita pendeknya Ular di Mangkuk Nabi (2009). Buku cerita pendek terbarunya Celeng Satu Celeng Semua (2013).
(Dimuat di Koran Tempo, 25 Agustus 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Kisah Seorang Pandai Cerpen Bertolt Brecht
A
LKISAH, hiduplah seorang anak lelaki yang pandai. Sangai pandai. Bahkan luar biasa pandai. Karena kepandaiannya ia dapat mendengar tanaman yang sedang tumbuh di kesunyian malam, dan bahkan kadal yang sedang batuk sekalipun. Ya, kepandaiannya masih banyak lagi. Semua orang mempercayainya, dan tentu saja yang paling percaya adalah dirinya sendiri. Mau tidak mau ia menjadi teladan bagi setiap orang. Ia sendiri juga menyadarinya. Syahdan, suatu ketika ia pun menjadi orang yang sangat pandai. Ia begitu sangat dihargai. Akan tetapi ia masih punya kepandaian lain yang ratusan.. bukan.. ribuan.. bukan.. ratusan ribu kali lebih terhormat. Oleh karenanya ia pun tidak pernah berpikir lamban seperti seekor keledai atau unta; yang menurutnya tidak mungkin terjadi sama sekali. Ya, tentu saja tidak mungkin! Ia berkata pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari hal ini. Bukankah begitu?
Anak itu tumbuh dewasa, bertambah bijaksana dan baik. Keluarganya sungguh-sungguh memikirkan masa depannya dan apakah ada banyak orang sepandai anak ini? Sementara itu saudara-saudara dan teman-temannya berembuk dan membicarakan persoalan besar sekali lagi: harus menjadi apa anak muda yang sangat pandai ini? Pertanyaan penting yang sangat mendesak ini juga menghantui dirinya. Ia bimbang antara menjadi seorang bangsawan sastrawan atau panglima bala tentara. Kedua pekerjaan ini sama baiknya. Seorang bangsawan sastrawan? Hmm, kalau ini setiap orang mudah melakukannya. Keluarganya juga tidak memungkirinya. Ia telah menulis sajak-sajak indah. Bakatnya jelas telah terbukti. Sajak indahnya yang berjudul “Cinta” adalah sebuah mahakarya klasik yang terindah. Salah satu baitnya berbunyi demikian:
Cinta yang indah penuh berkah Dari seluruh hati yang terasa Adalah naluri nan indah, Mengalahkan segala derita
telah mendapatkan banyak pujian. Keistimewaan sajaknya yang lain telah ditunjukkannya, yaitu sajak serupa yang muncul di dalam karya terbarunya berjudul “Dangau”. Menjadi bangsawan sastrawan sudah dipertimbangkannya. Yang kedua, menjadi panglima bala tentara. Juga tidak lazim. Tentu saja di bawah kekuasaan Kekaisaran Perancis-Spanyol, pemuda pandai ini tidak bisa berbuat apa-apa. Mustahil! Cukup mudah baginya untuk menaklukkan mereka. Karena ia mudah menjalin persahabatan dengan Raja Portugis yang sedang berkuasa. Maka saat ia kembali ke Spanyol bersama mereka, ia pun bertitah sebagai seorang Kaisar; tentu saja setelah ia membunuh kaisarnya lebih dahulu. Sangat mudah! Bukankah begitu? Kepandaian militernya ia tunjukkan di usia sangat muda. Menjadi panglima bala tentara tidaklah jelek! Tangannya tampak menimbang-nimbang. Anak pandai ini sekarang terombang-ambing di antara dua pilihan pekerjaan ke sana ke mari. Dua pekerjaan yang sama-sama mempunyai kejelekan dan kebaikan masing-masing. Bangsawan sastrawan, sayangnya, harus dapat menulis sesuatu. Panglima bala tentara juga pertama-tama harus mencari seorang raja yang bodoh, yang nantinya bakal digantikannya. Lama ia menimbang-nimbang. Akhirnya ia memutuskan menjadi pegawai di sebuah toko. Dan ia pun melakukannya karena sekali ia memutuskan bahwa itu akan dilaksanakannya. Beruntung sekali ia kini berada di antara kaleng-kaleng ikan haring dan peti-peti berisi topi.
Idealnya sekarang adalah menjadi pengusaha. Tapi ia sudah lebih dahulu dikenal sebagai pengemis muda yang sosialis. Karena kini usianya menginjak lima belas tahun, ia pun mengalami suatu peristiwa. Lelaki muda yang pandai itu jatuh cinta. Gejala pertamanya adalah eros bunga mawar yang lapar menghinggapi penjaga toko alias bangsawan sastrawan sehingga membuatnya menulis sebuah sajak.. oh.. oh sajak apa itu? Sajaknya bagaikan sebuah wahyu. Panjangnya dua puluh bait dengan kalimat panjang-panjang. Tiap bait terdiri dari sepuluh baris, tiap baris terdiri dari dua belas kata. Sangat kolosal. Mahakarya luar biasa! Tapi itu adalah karya yang pertama. Untuk karya yang kedua ia bersumpah akan menulis sajak berjudul “Mata Hitam Nan Indah” untuk wanita itu. Ia pun bersumpah disaksikan cahaya lilin malam yang terdiam dan juga janggutnya yang panjang, yang sayangnya salah satunya tercabut tidak sengaja. Kemudian mulailah. Terlihat bangsawan sastrawan kita yang tercinta melakukan satu kesalahan kecil. Ia menjadi malu-malu. Semakin sering ia bertemu dengan calon istrinya, semakin ia khawatir menjadi jauh dari pergaulannya yang lain. Bulan demi bulan berlalu. Tahun demi tahun. Dekade demi dekade. Abad demi abad. Ya.. sekarang aku jadi bertindak terlalu jauh sekali. Semua ini terjadi hanya dalam tempo dua bulan. Kemudian suatu hari saat hujan turun, ia melihat wanita itu sedang bergandengan tangan dengan lelaki lain. Bagaimana ia akan pulang malam ini ia tidak peduli lagi. Ia duduk di kamarnya yang kecil seorang diri. Dijauhi Tuhan dan manusia-manusia lainnya. Lalu ia pun menangis. Pertanda buruk jika seorang lelaki sejati menangis.. Tetapi kemudian ia menjadi kesal dengan janggutnya. Selanjutnya dicabutnya helai janggut terakhir di dagunya. Ia menjadi murung. Duduk seharian dengan pikiran kacau. Berbaring di balik peti ikan
haring sambil melamun. Melamunkan sebuah persoalan. Persoalan yang tidak biasa. Pokok persoalannya adalah bagaimana mungkin seseorang yang sangat pandai berpikir lamban? Lama ia duduk dan berpikir... Karena waktu ia pun menjadi gila. Ia selalu bergumam: Aku tidak berpikir lamban. Kalau sampai hari ini belum mati juga, maka aku masih terus hidup...(*)
Bertolt Brecht (1898-1956) adalah penyair, penulis naskah drama dan sutradara Jerman. Cerita pendek di atas diterjemahkan dari versi aslinya, “Die Geschicte von einem, der nie zu Spat Kam” oleh Riva Julianto. (Dimuat di Koran Tempo, 18 Agustus 2013.) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman.)
Selembar Daun Cerpen A Muttaqin
D
AUN ini, entah daun apa—bentuknya bergerigi dan gerigi itu masih seperti beranak-pinak lagi, seperti kombinasi daun sakun, pepaya dan daun ganja—yang entah jatuh dari ranting mana, memintaku jadi pohon. Suatu sore, di jalan pulang, tepat di sisi kelokan yang menghubungkkan langgar, pasar krempyeng, pos ronda dan klinik bersalin, daun itu tiba-tiba bangkit dari tanah dan menghadang langkahku. “Aku mohon, jadilah kau pohon, agar aku bisa menggantungkan tubuhku. Aku daun yang terkutuk. Angin telah menerbangkan aku ke tujuh penjuru, tapi tanah dan air tetap menolak. Aku mohon, jadilah pohon....”
Daun terkutuk? Kenapa selembar daun terkutuk? Apa dosa yang telah diperbuat daun ini, sehingga air dan tanah tak menerima jasadnya? Kembali kuamati daun itu. Geriginya lima. Warnanya merah. Merah tua agak kehitaman, seperti ada dendam diredamnya. Ia berdiri dengan dua gerigi bawah yang bentuknya mirip kaki. Sedang gerigi kanan dan kiri di bawah satu gerigi lain, seperti tangan yang kadang membuat gerakan-gerakan kecil ketika daun itu bicara. Sementara satu gerigi lagi di atas tangannya yang sebelah kanan tak henti-henti bergerak ke atas dan ke bawah. Anehnya, setelah kuamati dengan teliti, daun ini ternyata tidak punya mata. Ia hanya punya mulut yang bergelambir dan hampir-hampir selebar mulut manusia. Dari selingkar mulut itu urat-urat menjalar ke sekujur badan daun, seolah mulut itulah pusat rahasia dan uratnya. Melihat posisi mulutnya, aku curiga mulut itu juga pusat tenaga yang menghembuskan angin sehingga si daun sanggup bergentayangan kemana-mana. Tiga semut keranggang
merambat ke badannya, namun daun itu bergeming dan terus memintaku jadi pohon. “Aku mohon, jadilah pohon...” Tubuhku mulai gemetar. Aku teringat cerita tentang kakekku yang menjelma jadi ulat setelah didatangi maut yang berwujud selembar daun. Semula, aku menganggap cerita itu isapan jempol belaka. Aku menduga, karena kakek seorang petani militan, ia mengenali beragam hal ihwal (termasuk sang maut) dengan perangkat tanaman. Bukan hanya itu. Kakek bahkan menyebut padi sebagai Dewi. Pohon jati ia panggil Kiai. Dan segerumbul bambu suwung di ujung ladang kami ia sebut Ki Blungki. Begitulah. Dan pada sepertiga malam, ketika bulan bundar dan dingin melebar, selembar daun datang mengetuk pintu. Kakek yang tersohor punya semacam linuwih segera mengenali siapa gerangan daun itu. Dan ternyata, taksiran kakek tidak meleset. Daun itu bilang, bahwa jatah umur kakek telah habis, bahwa rohnya telah ditunggu Sang Pohon, di mana segerumbul roh telah menggantung menunggu dan menunggu sampai datang kiamat. Untungnya kakek berhasil mengecoh daun itu. Kakek yang sudah tahu bahwa si daun sesungguhnya utusan maut yang menyamar, segera menjelma jadi seekor ulat. Dengan santun ia berkata pada daun itu: “Wahai daun, karena jiwaku lember dan anakku jelek, aku perlu menempuh laku sebagai ulat bulu. Beri aku waktu menebus dosaku, meringankan siksa yang kelak di hari pembalasan akan memberati punggungku...” Konon, setelah menjadi ulat, bulu-bulu di tubuh kakek berkilat-kilat sehingga daun itu terjingkat lalu terjungkal ke gerumbul kembang di pojok halaman. Kemudian daun itu lenyap. Bersama lenyapnya daun itu, lenyap pula kakekku. “Aku mohon, jadilah pohon, agar aku bisa menggantungkan tubuhku.”
Tubuhku gemetar. Daun itu tiba-tiba melebar dan kini berdiri sama tinggi dengan tubuhku. Kulihat mulut daun itu terus komatkamit seolah ingin menguntal tubuhku. Aku ingin menjadi ulat seperti kakek. Kurapal doa dan mantra. Tapi entah mengapa mantra yang kubaca tidak manjur. Tubuhku kian gemetar. Dan di tengah geletar itu kusaksikan tanganku bercabang dan jemariku memanjang. Kakiku kemudian menelusup ke haribaan tanah dan jemarinya memanjang seperti akar yang menyusup celah-celah tanah. Sementara tubuhku mengeras dan kulitku terkelupas. Seperti yang diminta daun itu, aku pun pelan-pelan jadi pohon. “Jadilah pohon.” Itulah suara terakhir yang kudengar dari daun itu, sebelum kupingku saling dempet menempel dan menjelma menjadi selembar daun yang bentuknya mirip daun waru. Angin bertiup. Tubuhku gemetar. Daun yang memintaku jadi pohon juga gemetar. Dan di tengah gemuruh getar itu, kusaksikan daun yang memintaku jadi pohon itu kembali mengisut dan menempel di rerantingku. Rantingku pun kini punya dua daun. Kau tahu, daun itu—seperti halnya daun jelmaan kupingku—membuat aku bisa mendengar suara-suara lembut dari jauh hingga segala suara seperti terbuka untukku. Kini tubuhku seperti pohon gundul di musim kemarau. Ada dua daun menggigil di rantingku. Sementara sepasang mataku menjadi kuncup. Anak-anak yang pulang mengaji sore itu takjub melihat kuncup yang terjelma dari mataku. Seorang dari mereka bahkan memetik satu di antara kuncup mataku dan menciumnya bergantian. Dengan dua daun dan satu kuncup yang bertengger di ranting, aku melihat tubuhku seperti satu-satunya pohon nekad yang selamat dari penebangan. Dengan dua daun dan satu kuncup itu, aku seperti pohon yang bersikeras tumbuh di ruas jalan ini, di
mana langgar, pasar krempyeng, pos ronda dan klinik bersalin dulu dijaga pohon-pohon asam yang berjajar seperti barisan Kompeni berbaju hijau. Seekor kupu-kupu datang dan hinggap di salah satu batangku. Kepada sepasang daunku kupu-kupu itu mengaku sebagai kakekku. Si kupu-kupu bilang, setelah menjadi ulat dan menempuh puasa di sebujur kepompong, kesabaran memberinya sungut dan sayap sehingga jadilah ia kupu-kupu. Kupu-kupu itu kemudian mengibaskan sebelah sayapnya di satu kuncup yang tertinggal di rerantingku. Kuncup terakhir yang terjelma dari mataku itu pun jatuh. Bersamaan dengan itu, kusaksikan daundaun di langit juga jatuh. Seperti hujan turun dari pohon raksasa yang tampak sudah sangat tua dan teduh, tapi tak selembar pun daun itu menempel di tubuhku. Aku ingin tersedu. Tapi tak bisa. Sebab aku sudah tidak punya mata. Dengan susah payah kukumpulkan tenaga. Dan akhirnya aku terbangun. Entah bagaimana mulanya tadi aku bisa tertidur. Ternyata kompor belum kumatikan. Panciku gosong. Dan bayam yang kumasak telah hangus.(*)
Surabaya, 2013
A. Muttaqin dilahirkan di Gresik dan tinggal di Surabaya. (Dimuat di Koran Tempo, 4 Agustus 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Teman Kami Cerpen Dias Novita Wuri
“N
AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi permintaan-permintaanmu. Kami datang saat kau panggil, dan kami sudah membantu
membuatmu kaya tanpa kau harus bekerja apa-apa seumur hidupmu. Kau sudah punya sebuah mobil yang nilainya hampir dua ratus juta mata uangmu, kau berhasil menikahi perempuan cantik itu (tadinya ia benci padamu, tentu saja, dan selalu mengerutkan alisnya tiap kali kau muncul di depan pagar rumahnya, tapi kami punya cara untuk membujuknya, mengisiki hatinya dengan tipu daya), dan kini kau punya dua rumah—besar dan terletak di lokasi yang bagus, meskipun tidak
megah. Kau berkecukupan tanpa harus berusaha, karena perempuanmu yang bekerja seumur hidupnya hingga kalian punya semua itu. Ia cantik, serba-bisa, dan pintar, ia yang bekerja membanting tulang di sebuah bank asing selama dua puluh lima tahun sementara tugasmu hanya menjemputnya setiap sore di kantornya. Itu pun kau selalu mengeluh. Kau marah-marah, memukulkan kepalan tanganmu ke klakson mobil, memaki-maki pengendara lain saat jalanan macet. “Jadi sekarang biarkan kami berbuat semau kami padamu.” Saat usianya menginjak lima puluh lima, pelan-pelan kami membuatnya gila. Kami membuat dunianya tampak tak lagi masuk akal di matanya. Kami mengosongkan otaknya, mengacaukan segala sistem di tubuhnya. Kami menjadikannya boneka kami. Awalnya hanya seranganserangan tak berarti para
yang dokter
artikan sebagai “stroke ringan”:
ia
kehilangan kendali akan otot-otot di kaki dan tangannya,
menjatuhkan
gelas
saat
sedang
memegangnya, lupa arah dan menerobos lampu-lampu merah saat mengemudi. Pelan-pelan kami membuat semua itu memburuk. Ia
mulai berteriak-teriak karena hal-hal sepele. Kemudian ia juga kehilangan kemampuannya bicara. Ia tidak lagi dapat memahami dan dipahami. Ini rahasia. Kalian tidak perlu tahu keberadaan kami. Namun, jika kalian cukup mampu, kalian akan bisa melihat kami di sana, mengelilinginya. Kami duduk ketika ia duduk, berdiri ketika ia berdiri, berbaring ketika ia mengistirahatkan tubuhnya yang kian lama kian kami buat renta, tubuh yang dagingnya menyusut dari hari ke hari seberapa pun banyaknya ia makan. Kami ada bersamanya ketika ia dikunci dalam kegelapan kamarnya, di atas kasur kapuk yang telah mengeras dengan seprai yang bercakbercak air seni dan liur, hanya ditemani sebuah televisi kecil yang menayangkan saluran belanja-dari-rumah yang tak ada habishabisnya, dua puluh empat jam sehari. Kami menyenangi rumahnya. Tempat itu dipadati berbagai patung kayu dan lukisan: kesukaaan kami adalah sesosok dewi berkepala dan sayap burung rajawali tapi bertubuh manusia. Kadang kami akan berkerumun saja di sekitar dewi burung itu untuk mengagumi sepasang payudara bulat montok pada dada telanjangnya. Itu, dan lukisan gadis sedang memandangi lilin, dinaungi bayangannya sendiri. Oh, bagaimana kami bisa tidak senang. Ada alat-alat musik juga, segala yang berdenting dan bergemerincing. Tempat itu bagaikan surga bagi kami. Kalau kalian bisa melihat kami, temukan kami di sudut tergelap dari sebuah ruangan yang gelap.
S
ETIAP pagi, sebelum semua orang bangun, kami akan menyuruhnya buang air besar. Ia selalu menurut. Sama
sekali tidak pernah melawan. Kami memilihkan tempat terbaik untuk melakukannya. “Dapur,” kami berkata. “Tahukah kamu, di dapurmu itu kita bisa menemui seorang teman. Ia kadang-kadang ada di sana. Ia jiwa yang penuh dendam, yang suka mewujud menjadi seorang kakek tua berlumuran darah di mata mereka yang mampu melihat. Dapur juga tempat istrimu memasak berbagai makanan, menanak nasi, dan merebus air. Sana, pergi dan kotori tempat itu.” Setiap pagi ia ke sana dan memelorotkan celana kolornya, lalu celana dalamnya, lalu berjalan berkeliling sambil melaksanakan hajat. Ceprot-ceprot-ceprot. Tahinya yang encer berair pun berjtuhan di mana-mana dan kami bersorak kegirangan. “Lagi. Lebih banyak lagi! Ambil tahi itu dengan tanganmu, lalu usapkan tanganmu ke bajumu.” Ia melakukannya. Lebih banyak lagi tahi berjatuhan. Seperti bom, atau seperti buah masak yang jatuh ke tanah dari tangkainya. Tak lupa ia bermain-main dengan tahinya sendiri dan mengusapkan tangannya ke bajunya. Lalu bau tajam akan menguar membangunkan istrinya. Ia keluar dari kamarnya sendiri—bukan, tentunya bukan dari kamar yang dulu ia bagi denganmu, Teman, sekarang istrimu telah membangun sarangnya sendiri jauh darimu—mengenakan daster dan melangkah tergopoh-gopoh dengan sisa-sisa mimpi masih menyelubungi pikirannya (dan mimpinya kebetulan sebuah mimpi aneh yang indah, nanti akan ia ceritakan ke anak perempuannya). Namun ia selalu tahu itu ulah suaminya, karena ini merupakan
skenario sehari-hari. Kami mengamati wajahnya yang kini berkeriput dan pucat, gelung rambutnya longgar menyentuh tengkuk. Tiga puluh tahun yang lalu, ia merupakan kembang desa di kampung halamannya di Pati. Ia membuat pria-pria tak terhitung banyaknya bertekuk lutut di kakinya, kemudian mematahkan hati mereka semua. Dua puluh lima tahun yang lalu ia datang ke kota metropolitan ini untuk mencari pekerjaan. Dua puluh tahun yang lalu ia bertemu dengan teman kami yang gila ini. “Papa!” ia berseru. Benaknya yang gusar bertanya-tanya mengapa ia masih bisa merasa marah, teramat sangat marah, padahal ia mengalami kejadian ini setiap hari. Suaminya hanya berdiri menatapnya, seperti biasa dengan kedua bahu yang kini telah bungkuk. Kami beri tahu kalian, bahu itu membungkuk sedemikian rupa karena ia harus memanggul kami, bukan? Ya, ia memanggul kami selama ini. “Sana, Papa minggir dulu,” ujar si istri di antara gigi yang terkatup
beradu.
Gigi
itu
berfungsi
sebagai
penahan
kemarahannya, yang sudah menggelak ingin menyembur keluar. Tapi suaminya gila. Mana mungkin orang yang masih waras punya hak untuk memarahi orang tak waras? Lagi pula tidak ada gunanya. “Masuk kamar lalu pakai celana yang bersih. Tunggu, tunggu. Langsung masuk kamar mandi, nanti aku mandikan sehabis aku kelar membersihkan kotoranmu.” Tapi semua itu tidak pernah dilakukan. “Lepaskan bajumu. Keluar ke halaman tanpa baju,” kata kami. Itulah yang dilakukannya. Kami gembira menyaksikan istrinya kalang-kabut, dikerjai, merasakan hatinya yang tersayat perlahan. “Kalau besok begini
lagi, Pa,” ancamnya, “nanti Papa dikirim ke rumah sakit jiwa. Mau?” Wah, itu sudah pernah terjadi, tapi tidak bertahan lama Karena tahukah kalian berapa biaya rumah sakit jiwa per harinya? Jadi kemudian istrinya pun harus menghadapi hal ini setiap hari di rumah, tanpa kami berikan jeda. Kami gembira menyaksikan kedua tangannya yang dulu indah kini pelan-pelan menguning dan kering. Karena air pel, usia tua, dan tahi. Setiap siang kami menurunkan sedikit tenaga teman kami itu. Tiap kali ia diberi makan, kami akan melipatgandakan rasa laparnya. Kami ikut makan, jadi ia tak pernah merasa kenyang. Kami membuatnya berkeliling mencari wadah-wadah makanan yang disembunyikan, lalu ia akan mengobok-obok makanan dalam wadah-wadah itu dengan jari gilanya yang kotor. Kesukaan kami adalah kembang sepatu mentah (istrinya punya persediaan kembang sepatu untuk dimasak jadi kimlo), juga gula pasir, dan sisa-sisa kopi bekas menyuguhi tamu, dan terutama makanan dalam wadah-wadah yang disembunyikan.
S
ETELAH setengah tahun, pelan-pelan kami membuatnya semakin sakit. Kali ini para dokter bisa dengan percaya diri memberikan diagnosis yang bukan lagi hasil meraba-raba
seperti “stroke ringan” senjata pamungkas mereka yang dulu itu. Kali ini “pecah pembuluh darah otak”, “level kolesterol mendekati titik bahaya”, dan ia pun dilarikan ke Unit Gawa Darurat rumah sakir anyar milik sebuah universitas. Hari itu sudah lewat tengah malam, istri dan anak laki-lakinya tampak duduk menemani teman kami di dalam mobil ambulan. Tentunya kami juga ikut
berada di sana, kami duduk dengan leluasa di antara orang-orang yang saling berdesakan. Si anak perempuan ditinggal di rumah untuk menjaga rumah. Di dalam ambulan, kami bersenang-senang dengan ikut berguncang-guncang kapan pun roda mobil masuk ke gerowong di aspal atau melewati gundukan polisi tidur. Si istri mengenakan dasternya lagi. Si anak laki-laki tampak tegar dan kokoh menyerupai laki-laki dewasa (tanpa disadarinya, sudah lama ia menjadi kepala keluarga). Malam itu teman kami mengalami koma, tapi ia kembali lagi. Kami tahu ia belum akan mati. Semua ada waktunya. Malam demi malam terlewati, keluarganya menunggui di rumah sakit itu kecuali si anak perempuan teman kami yang membencinya. Ia tak pernah memunculkan batang hidungnya, ia menetap di benteng kamarnya di malam hari dan bekerja keras mengurus rumah di pagi hari sampai suatu ketika ibunya memaksanya datang. “Kalau Papa meninggal, nanti kamu menyesal.” Jadilah si anak perempuan pun muncul hari itu dengan berat hati, ditemani kawan laki-lakinya. “Mama pulang ya, ganti kamu jaga Papa di sini,” kata ibunya, dan si anak perempuan tak berkomentar apaapa. Malam itu kami menggoda si anak perempuan. Kami bisikkan di telinga teman kami, “Bangun, mari kita berkeliling. Bangun, kau harus buang air besar. Bangun, kau harus buang air kecil tapi tidak melalui selang goblok itu. Kau cabut selang itu.” Anak perempuannya sedang tidur meringkuk di lantai yang beralaskan sajadah untuk sembahyang dan berselimut sehelai sarung, ketika teman kami terbangun dan mulai mencabuti keteter air seni
hingga air kuning pesing berceceran di lantai. Noda tahi tertinggal di seprai. Makanan rumah sakit di atas nampan berjatuhan. “Papa mau ke mana?” seru si anak perempuan. “Jalan-jalan,” jawab ayahnya dengan bahasa yang tak jelas. “Nggak boleh, Pa, lagian mau jalan-jalan ke mana? Papa mesti di tempat tidur, nggak boleh ke mana-mana!” Tapi tentu saja ia tak mendengarkan. Anak perempuannya menahannya, tapi kami sangat kuat. Kami buat dia menyambar tangan kurus milik anak perempuannya, memuntir tangan itu, menggigit tangan itu hingga berdarah-darah. Si anak perempuan menjerit-jerit, perawat berdatangan ke dalam kamar itu. Kami tertawa puas sekali, seluruh peristiwa ini lucu sekali. Lalu si anak perempuan berdiri di sudut, menyaksikan para perawat dan kawan lelakinya menangani ayahnya yang mengamuk, menangis sedikit tapi segera meraih kain serbet yang dibawa dari rumah dan mulai membersihkan kencing yang tercecer di lantai. Kami ulangi kesenangan itu beberapa kali dalam minggu itu, kami buat anak perempuannya hancur hingga kebencian di hatinya berakar semakin kokoh, tidak tergoyahkan.
S
ETELAH setengah tahun lagi, kami tahu perjalanan teman kami ini akan segera berakhir. Hari itu berlangsung sebagaimana biasanya baginya
(karena setiap hari selalu berlangsung sebagaimana biasanya baginya). Kami menghabiskan waktu-waktu terakhir itu dengan berbaring bersamanya di ranjang, semua lampu dimatikan, televisi menyala dengan suara keras, kasur berbau ompol, semua jendela
dan pintu ditutup. Keluarganya sedang tidak ada, hanya ada anak laki-lakinya, tetapi ia sedang tidur pulas (istrinya pergi mengunjungi salah satu sahabat karibnya yang sakit, anak perempuannya sedang pergi ke bandara untuk mengantar pacarnya kembali ke Jogjakarta). Hari itu ia tidak tampak betulbetul sakit ataupun sepenuhnya gila. Hanya biasa-biasa saja. Tetapi, ia akan mati. Kami mendampinginya. “Tahukah kau,” kata kami dengan mendayu-dayu, mendesikan dongeng menjelang tidur abadi ke telinganya yang kisut, “tahukah kau, di depan rumahmu ada sesosok jiwa. Ia berdiam di tiang listrik, terkadang ia akan memanjat dan bertengger di puncak, terkadang ia akan duduk saja di tanah. Ia juga jiwa yang penuh dendam, yang suka mewujud menjadi gadis pucat berbokong tipis di mata mereka-mereka yang mampu melihat. Ketika ia sangat marah, ia akan mengaburkan penglihatan manusia-manusia yang berkendara melewatinya hingga mereka terjatuh dan menabrak tiang listrik tempatnya berdiam. Lalu manusia-manusia itu akan terluka parah, kaki mereka patah, kepala mereka pecah. Belum ada yang mati, tapi itu akan terjadi suatu saat nanti. “Tahukah kau, kami datang dari kerajaan yang besar di dasar samudera. Kami tertarik dengan panggilanmu dan dedaunan yang kau bakar di atas tungku, dengan jampi-jampi yang kau lantunkan dan garam kasar yang kau tebar, mantra-mantra yang kau simpan di dalam dompetmu. Kami tertarik dengan busuk di dasar hatimu dan bagian belakang kepalamu. Kami mencintai dirimu ketika muda, dan karena itulah kami menyertaimu hingga tua.
“Kau tidak punya teman lain, tidak ada yang lain kecuali kami. Tapi sekarang kami harus meninggalkanmu karena tugas kami sudah usai.” Ia memandangi kami dengan matanya yang kuyu dan merah berurat-urat. “Bagaimana perasaanmu, Teman?” tanya kami. “Seumur hidupmu kau bukanlah siapa-siapa.” Perlahan-lahan, satu per satu dari kami melepaskan diri darinya. Kami terbang ke langit seraya memandanginya meregang nyawa. Apakah kami merasa sedih? Ia memandangi kami, dan kami merasa sedih karena ia tampak begitu bahagia telah lepas dari kami, begitu lega karena ia akan mati. Kemudian kami beterbangan untuk mencari petualangan baru di tempat baru, dan terutama, teman yang baru.(*)
Dias Novita Wuri lahir di Jakarta, 11 November 1989. Lulus dari Program Studi Rusia, Universitas Indonesia. Ia tinggal di Jakarta.
(Dimuat di Koran Tempo, 28 Juli 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Penembak Jitu Cerpen Liam O’Flaherty (Diterjemahkan oleh An. Ismanto)
P
ETANG bulan Juni yang panjang telah pudar menjadi malam. Selain redup sinar bulan, yang menerobos bongkah-bongkah awan putih lembut dan menyiramkan berkas-berkas pucat di jalanan dan perairan gelap di sekitar Liffey, hanya kegelapan yang menyelimuti Dublin. Di sekitar Four Courts yang terkepung, senjata berat meletup-letup. Di seluruh penjuru kota itu, senapa mesin dan bedil mencabikcabik kesunyian malam tanpa henti seperti anjing yang menyalaknyalak di sebuah peternakan terpencil. Kaum pendukung Republik dan Free State masih sengit bertempur. Seorang penembak jitu Republik berjaga di atap sebuah gedung dekat Jembatan O’Bridge. Senapan teronggok di sisinya
dan tali teropong terkulai di atas bahunya. Wajahnya adalah wajah seorang mahasiswa yang tirus dan mirip pertapa, namun dengan tatapan seorang fanatik yang berkilat-kilat di matanya. Mata itu dalam dan bijak, mata seorang lelaki yang telah terbiasa menatap kematian. Ia tengah makan sandwich dengan lahap. Perutnya belum kemasukan apa-apa sejak pagi. Ia terlalu gugup untuk makan. Ia menandaskan sandwich, mengambil sebotol wiski dari sakunya, dan meneguk sekali. Ia terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah ia berani mengambil risiko dengan merokok. Sangat berbahaya. Kerlip api dapat terlihat dalam kegelapan dan banyak musuh sedang berjaga di luar sana. Ia memutuskan untuk mengambil risiko itu. Setelah menjepitkan sebatang rokok di antara bibirnya, ia menyalakan sebatang korek api, menghisap asap cepat-cepat dan mematikan korek. Hampir seketika itu juga, sebutir peluru menghantam dinding pembatas atap. Si penembak jitu menghisap rokok sekali lagi lalu mematikannya. Ia memaki dengan suara pelan dan merayap ke kiri. Dengan hati-hati, ia mendongak dan mengintip melalui dinding kecil pembatas atap. Kerlipan api terlihat lalu sebutir
peluru mendesing di atas kepalanya. Cepat-cepat ia tiarap. Ia telah melihat kerlipan api di seberang jalan itu. Ia berguling ke arah cerobong di bagian belakang atap lalu pelan-pelan berlindung di balik cerobong hingga matanya sejajar dengan bagian atas dinding kecil pembatas atap. Tak terlihat apa pun—hanya garis tepi atap rumah seberang yang tampak kabur berlatar langit biru. Musuhnya tersembunyi. Sebentar kemudian, sebuah mobil lapis baja melintasi jembatan dan melaju pelan di jalan. Mobil itu berhenti di seberang, sekitar lima puluh yard dari si penembak jitu. Ia dapat mendengar deru mesin mobil itu. Jantungnya berdetak lebih keras. Itu mobil musuh. Ia ingin menembak, namun ia tahu akan sia-sia saja. Pelurunya tak akan pernah sanggup mengoyak lempengan baja yang melapisi monster abu-abu itu. Lalu, dari sudut sebuah gang, muncul seorang wanita tua berkerudung selendang compang-camping. Ia berbicara kepada tentara yang bersiap di menara senjata mobil itu. Ia menunjuknunjuk atap tempat si penembak jitu tiarap. Seorang informan. Menara senjata terbuka. Kepala dan bahu seorang lelaki tampak dan menatap ke arah si penembak jitu. Si penembak jitu membidik dan menembak. Kepala itu tersentak ke dinding menara senjata. Si wanita tua lari tergopoh-gopoh ke seberang jalan. Si penembak jitu kembali menembak. Wanita tua itu terhuyung sebentar lalu roboh seraya mengerang di selokan. Tiba-tiba dari atas gedung seberang jalan sebuah letusan terdengar dan si penembak jitu melemparkan senapannya seraya menyumpah-nyumpah. Senapannya terlempar dengan suara berisik di atap. Si penembak jitu berpikir bunyi gaduh itu bisa membangkitkan orang mati. Ia berkisar untuk meraih senapan itu
tetapi ia tak mampu mengangkatnya. Lengannya tak terasa. “Aku tertembak,” gumamnya. Tiarap di atap, ia merangkak kembali ke dinding kecil pembatas atap. Dengan tangan kirinya, ia meraba lengan kanannya yang terluka. Darah mengucur membasahi lengan bajunya. Tak ada rasa sakit—hanya sensasi tanpa rasa, seolah-olah lengan itu telah terpotong. Cepat-cepat ia menghunus belati dari saku, membukanya di dinding pembatas atap, lalu mengoyak lengan bajunya. Sebuah lubang menganga di tempat peluru itu masuk. Di sisi lainnya tidak ada lubang. Peluru itu bersarang dalam tulang. Tulangnya pasti sudah hancur. Ia menekuk siku di bawah luka itu. Sikunya terkulai begitu saja. Ia mengertapkan gigi untuk mengatasi rasa sakit. Lalu, setelah mengeluarkan perban, ia menyobek bungkusan itu dengan belati. Ia membuka leher botol yodium dan menuang cairan dingin itu pada lukanya. Rasa perih yang hebat meluapi sekujur tubuhnya. Ia meletakkan kapas di atas lukanya. Rasa perih yang hebat meluapi sekujur tubuhnya. Ia meletakkan kapas di atas luka dan melilitkan perban di atasnya. Ia menyimpulkan perban itu dengan giginya. Lalu ia tiarap tanpa bergerak di samping dinding kecil pembatas atap dan, setelah memejamkan mata, ia menghimpun tekad untuk mengatasi rasa sakit. Di bawah sana, jalan sepi sekali. Mobil lapis baja telah mundur dengan sigap ke jembatan, dengan kepala penembak senapan mesin terkulai tanpa nyawa di menara senjata. Mayat wanita tua itu masih teronggok di selokan. Selama beberapa saat, si penembak jitu tetap bertiarap untuk merawat lengannya yang terluka dan menyusun rencana untuk meloloskan diri. Dia tidak boleh tetap di atap dalam keadaan
terluka saat pagi tiba. Musuh di atap gedung seberang pasti menutup setiap jalan keluar. Ia harus membunuh musuh itu, namun ia tak bisa menggunakan senapannya. Ia hanya dapat menggunakan revolver. Lalu sebuh rencana terbersit di pikirannya. Ia melepaskan topi lalu meletakkannya di moncong senapan. Lalu ia mendorong senapan itu perlahan-lahan ke atas dinding kecil pembatas atap sehingga topi dapat terlihat dari gedung di seberang jalan. Hampir seketika itu juga terdengar letusan, dan sebutir peluru mengoyak topi itu. Si penembak jitu memiringkan senapannya ke depan. Topi terjatuh ke jalan. Lalu, sambil memegang bagian tengah senapan, si penembak jitu menjatuhkan tangan kirinya di atap dan membiarkannya menggelantung tanpa bergerak. Sejenak kemudian, ia melepaskan senapannya ke jalan. Lalu ia merayap mundur di atas atap seraya menarik tangannya. Seraya berdiri dengan cepat, ia mengintip dari sudut atap. Siasatnya berhasil. Penembak jitu musuh itu, karena melihat topi dan senapan yang jatuh, mengira ia telah berhasil membunuh sasarannya. Sekarang ia berdiri di depan barisan cerobong, menatap ke arah seberang, dengan kepala yang membentuk siluet terlihat dengan jelas berlatar langit barat. Penembak jitu Republik itu tersenyum dan mengangkat revolvernya ke tepi dinding kecil pembatas atap. Jaraknya sekitar lima puluh yard—tembakan yang sulit dalam cahaya remang dan lengan kanannya sakit bukan kepalang. Ia membidik. Tangannya gemetar karena gembira. Seraya mengatupkan bibir, ia menghela napas melalui hidung dan menembak. Ia hampir tuli oleh bunyi letupan itu dan lengannya bergetar oleh rekoil. Lalu, saat asap menyisih, ia mengintip dan berseru gembira. Musuhnya tertembak. Lelaki itu terhuyung-huyung sekarat di dinding kecil pembatas atap. Ia berjuang untuk berdiri, namun
dengan pelan ia terhuyung ke depan seperti dalam mimpi. Senapan terlepas dari tangannya, membentur dinding kecil pembatas atap, terpelanting membentur tiang sebuah kios tukang cukur di bawah dan kemudian berderak di trotoar. Si penembak jitu melihat musuhnya terjatuh dan ia menggigil. Gairah pertempuran dalam dirinya telah padam. Ia tercekam penyesalan. Butir-butir keringat mengucuri keningnya. Lemah karena luka dan puasa yang panjang di hari musim panas dan berjaga di atap, ia mengalihkan pandangan dari jasad remuk musuhnya yang telah mati itu. Giginya gemeretak, ia mulai meracau, mengutuk perang, mengutuk dirinya sendiri, mengutuk semua orang. Ia menatap revolver yang masih berasap di tangannya, lalu seraya memaki ia melemparkan revolver itu ke atap. Suara letupan menyusul jatuhnya revolver itu dan peluru mendesing di samping kepala si penembak jitu. Terkejut, ia kembali merasakan ketakutan. Syarafnya kembali tenang. Kabut ketakutan berhamburan dari pikirannya dan ia tertawa. Setelah mengambil botol wiski dari sakunya, ia mengosongkan botol itu dengan sekali teguk. Ia merasa nekat karena pengaruh minuman keras itu. Ia memutuskan untuk meninggalkan atap sekarang dan melapor kepada komandan kompinya. Sepi ada di mana-mana. Tidak berbahaya jika menyeberang jalan. Ia meraih revolver dan menyarungkannya lagi. Lalu ia merangkak menuruni jendela loteng rumah di bawahnya. Saat mencapai gang yang sejajar dengan jalan, tiba-tiba si penembak jitu merasa ingin tahu identitas penembak jitu musuh yang baru saja dibunuhnya. Ia menganggap musuhnya itu cukup jitu, siapa pun dia. Ia bertanya-tanya apakah ia mengenal musuhnya itu. Mungkin mereka pernah satu kompi sebelum pemisahan Angkatan Darat. Ia memutuskan untuk mengambil
risiko dengan memeriksa musuhnya itu. Ia mengintip dari sudut Jalan O’Connell. Ada tembak-menembak sengit di hulu jalan, namun di sekitar sini hanya ada kesunyian. Si penembak jitu melesat menyeberangi jalan. Sebuah senapan mesin menghamburkan peluru yang mencabik-cabik tanah di sekitarnya namun ia berhasil lolos. Cepat-cepat ia bertiarap di samping mayat itu. Senapan mesin telah sepi. Lalu si penembak jitu membalikkan mayat itu dan melihat wajah kakak laki-lakinya sendiri.(*)
Liam O’Flaherty (1896-1984) adalah penulis novel dan cerita pendek Irlandia. Ia pernah bertempur di pihak Republik dalam Perang Saudara Irlandia yang berlangsung sebelas bulan, tak lama setelah Irish Free State didirikan pada 6 Desember 1922. Irish Free State mencakup seluruh Irlandia, termasuk daerah yang kini dikenal sebagai Republik Irlandia Utara. Irish Free State resmi dibubarkan pada 29 Desember 1937. Cerita pendek di atas diterjemahkan oleh An. Ismanto.
(Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Sangkar di Atas Leher Cerpen Adi Zamzam
A
KAN kuceritakan kepadamu tentang keanehan yang kualami sejak empat hari kemarin, yang terus saja menyiksaku hingga detik ini. Adalah kicauan seekor
burung terdengar seperti permintaan tolong dan kadang terdengar pula seperti ratapan. Kicauan itu terus bergema dalam kepalaku. Tak henti-henti. Ya, di dalam kepalaku! Saat kicauan itu berdenging di telinga kiriku, segera saja kusumpal lubang telinga kiriku. Pun ketika kicauan itu meriuhi telinga kananku, segera saja kusumpal lubang telinga kananku. Tapi semua itu sia-sia belaka. Kicauan itu justru kemudian meloncat ke atas.
Lalu, setelah kugetok-getok ubun-ubunku, kicauan itu pun menghindar ke bawah. Seperti ada seekor burung dalam kepalaku. Dan ia tengah riuh mencari pintu keluar. Kicaunya membuatku serasa memiliki sangkat di atas leher. Sekarang kau tentu dapat mengukur kadar siksaan yang tengah menderaku. Aku
telah
mencoba berbagai cara untuk mengusir burung terkurung
yang dalam
kepalaku itu. Pernah kedua telinga kusumpal dengan headset telepon genggam. Kicau itu memang
segera
tersingkir. Namun itu hanya sementara karena aku takut jika gendang
telingaku
rusak karenanya. Aku juga pernah hampir seharian hanya tidur dan tidur. Dua kali aku melakukannya. Suara kicau itu hanya hilang saat aku terlelap. Tapi begitu aku bangun, burung itu ikut bangun juga. Cara ini akhirnya
kuakhiri karena hanya membuang-buang waktu. Hanya akan membuatku semakin tertekan saja.
“W
AH, saran apa? Apa kau sudah menceritakannya kepada Toto?” ujar Rani ketika kuceritakan perihal kicau burung dalam kepala yang amat
menyiksa itu.
“Belum. Aku dikurungnya di rumah, dan dia begitu terobsesi dengan pekerjaan. Sedikit sekali waktu yang disisakannya untukku.” Kuhela napas berat sambil memandang foto si kecil Nia yang terpajang manis di dalam bulet di ruang tamu. Terasa ada yang menyumpal dalam dadaku. “Jika kau butuh teman, datang saja ke rumah Mami,” Rani menatapku erat. Mungkin dia coba memahami keadaanku. “Kau pasti berpikir bahwa aku sedang tertekan,” aku balas menatapnya lekat. Mencoba melawan prasangkanya. “Tidaklah. Aku hanya ingin memberi tahu, sekarang di sana sudah banyak perubahan. Tidak seperti dulu lagi. Siapa tahu itu bisa memberi hawa segar buatmu. Siapa tahu jika ketemu dengan kawan-kawan lama itu bisa mengendapkan masalahmu.” Aku coba mendengar bujukan Rani. “Ayolah, Mami masih sering menanyakanmu. Kau dulu murid kesayangannya. Kaulah yang paling berbakat di antara kami,” cerocos Rani lagi, yang seperti sepoi angin saja di telingaku. Aku tertegun sejenak. Kesadaranku tersedot ke sebuah imajinasi masa depan. Andai aku kembali ke tempat Mami lagi. Menari. Setiap hari menari. Merentangkan sayap. Kembali
menikmati kebebasan. Kembali merasai gairah ketika mendapatkan tepuk tangan dari penonton. Tapi sepertinya itu amat mustahil. Aku bukan Rani. Suamiku juga tak seperti suami Rani. Ingatanku tiba-tiba kembali ke sebuah peristiwa ganjil suatu pagi. Sebuah kejadian tak disengaja, namun membuatku terganggu hingga kini. Membangunkan sesuatu yang telah cukup lama tertidur dalam dada. Itu terjadi ketika aku pulang dari toko perlengkapan bayi. Langkahku terhenti di sebuah kerumunan yang riuh. Semuanya lelaki. Dan kemudian aku tahu, pusat dari kerumunan itu adalah seekor burung mungil yang dilelang oleh pemiliknya. Aku tidak tahu itu burung apa. Mungil. Terlihat begitu cantik. Warnanya adalah perpaduan kuning, hijau tua, dan sedikit merah. Membuat burung itu tampak tiada duanya. Baru kali ini aku tersihir oleh seekor burung. Juga oleh kicauannya. Tapi inilah yang kemudian terjadi dalam pandanganku. Ia hanya burung kecil yang malang. Di telingaku, kicaunya yang riuh justru terdengar seperti minta tolong. Orang-orang riuh menawar harganya. Sementara aku sibuk menyandarkan diri sendiri. Sepanjang perjalanan pulang, suara kicau burung itu tak mau pergi dari dalam kepalaku. Seolah kepalaku telah menjadi sangkarnya. Bahkan hingga detik ini, ketika semuanya aku ceritakan kepada Rani, juga kepadamu. “Baiklah. Kapan-kapan aku akan kembali ke sana. Titip salam buat Mami ya,” ujarku, meski tak yakin. Wajah Toto membayang ganjil.
Rani menepuk pundakku.
T
AK semudah yang kubayangkan. Bahkan hanya untuk sekadar menengok rumah Mami demi mengobati rindu.
Tujuh tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk membuat kaku semua persendianku. Meski ternyata kurang lama untuk mengikis rindu kepada suara musik yang menghentakhentak. Tubuhku bahkan masih panas-dingin tiap kali menyaksikan para penari bermunculan. Mereka tampak selalu muda, segar, dan lincah sekali. Mereka terlihat begitu menikmati kebebasannya. Dan siksaan ringan semacam itu kini bertambah dengan adanya burung malang yang meratap dalam kepalaku. “Burung kecil? Yang mana? Lihat, di sini banyak sekali burung kecil,” ujar lelaki yang kulihat pernah melelang burung kecil itu tempo hari. Melihat puluhan burung yang terkurung dalam sangkar, aku semakin tersiksa saja. Membuatku ingin bergegas ke tempat
Mami.
Melemaskan
seluruh
persendian
tubuh.
Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Lalu membebaskan semua burung itu. “Yang memiliki warna perpaduan kuning, hijau tua, dan sedikit merah. Yang kemarin kau lelang di depan banyak orang.” “Oh, yang itu,” katanya sambil menyemprot seekor burung dalam salah satu sangkar dengan semprotan kecil. Kicaunya yang begitu riuh, serta loncatannya yang tak terkendali, menjadi seperti siksaan di mataku. Meski lelaki itu terlihat senang. “Sudah dibeli orang, Mbak.” “Boleh saya tahu siapa orangnya?”
“Memang ada apa, Mbak?” Keningnya berlipat oleh rasa heran. “Apa kau punya alamatnya?” “Mbak mau membelinya?” Ia menatap tak percaya. “Aku serius.” Lelaki itu malah tertawa. “Sungguh, baru kali ini saya mendapati
penggemar
burung
yang
seorang
perempuan,”
suaranya terdengar nakal. “Burung satu itu memang raja di berbagai lomba. Tapi lihat-lihatlah dulu, di sini juga masih banyak yang kicaunya bisa dipertandingkan.” “Beri aku alamatnya.” Tak kupedulikan ocehannya yang tak penting itu. “Baiklah, catatlah alamatnya baik-baik. Tapi dengarkanlah saranku. Sebaiknya jangan kau perlihatkan hasratmu di depannya. Itu akan dipakainya untuk menaikkan harga semau-maunya.” Itu nasihat yang sama sekali tak berguna bagiku.
Y
ANG terpenting bagiku adalah ketika akhirnya mendapati burung malang itu. Suaranya terdengar semakin menyayat-nyayat dada. Semakin membuat kepalaku
berdenyut hebat. Aku pun langsung menawarkan harga di atas harga keuntungannya. “Baru saja beberapa hari yang lalu saya memilikinya. Saya belum berniat menjualnya. Maaf,” ujarnya ringan. Kepalaku bertambah pening. Pandangan mataku mengabur. Kutatap tajam wajah lelaki itu. Aku melihat Toto di sana.
“Apa kau tak lihat? Dia rindu kebebasan. Apa kau ingin dia merelakan seluruh hidupnya untukmu. Sampai kapan kau akan mengurungnya?” kusemburkan semua yang menyumpal dalam dada ke wajah Toto itu. “Maksud mengerti.
anda?”
Dahinya
mengernyit.
Pura-pura
tak
“Kau ingin menghargainya berapa?” “Sudah saya bilang saya belum berniat menjualnya. Saya baru beberapa hari memilikinya.” Kedua tanganku gemetar. Aku tahu ini ilusi. Aku tak tahu apa yang membuat mataku jadi seperti ini. Aku melihat burung itu menjelma seorang perempuan mungil dalam sangkar. Ia melompat ke sana-ke mari demi mencari pintu keluar. Riuh kicaunya berubah seperti riuh suara kesedihanku sendiri! “Jika kau tak membebaskannya, perlahan-lahan dia akan mati dalam sangkar,” rahangku mengeras. Raut lelaki itu mulai menunjukkan rasa khawatir. “Bebaskanlah. Berikan padaku. Berapa pun harganya,” ujarku mendesak.
“M
AAF, Mbak. Buat apa Mbak membawa sangkar burung ke mall ini?” tanya seorang satpam. “Pintu atap? Buat apa Mbak membawa
sangkar burung itu ke atap gedung?” tanya seorang pramuniaga. Dari tempatku berdiri sekarang, angin begitu suka-suka mempermainkan rambut dan pakaianku. Udara kehilangan bau apa pun—bau bensin, makanan, manusia, bahkan debu. Dunia
terlihat begitu datar, lapang, seolah tak bertepi. Menggoda hasratku untuk segera membebaskan diri. Hawa kebebasan telah berembus kuat dalam kepala. Suara kicau burung yang beberapa hari lalu menyesaki kepala kini telah sirna entah ke mana. Saat pintu sangkar di tangan kananku kubuka lebar-lebar, pintu dalam kepalaku juga ikut terbuka lebar. Membuat penghuninya terbang keluar entah ke mana. Dan kini aku hanya menyisakan kekosongan yang paling kosong. “Terbanglah. Ayo, bebaskan dirimu!” kuangkat tinggi-tinggi sangkar di tangan kananku. Berharap si burung kecil segera membebaskan diri. Terbang sesuka hati ke mana pun ia mau. Ya, lelaki itu akhirnya memang bersedia melepasnya, meski aku harus menebusnya dengan harga lima kali lipat. Dan burung kecil itu akhirnya terbanglah. Menuju awan. Menuju kebebasan. Aku pun bisa merasakannya. Ada sayap yang tumbuh di punggungku. Lalu tubuhku tiba-tiba saja menjadi ringan, begitu ringan. Semenit, dua menit, tiga menit... Kubiarkan angin meniup keras-keras semua yang berkecamuk dalam dadaku. Alangkah lega rasanya. Semua yang menyesak dalam dada langsung menguap. Rani yang membujuk aku untuk kembali kepada Mami, Toto yang membuang semua kostum penariku, Toto yang membuat rumah jadi sangkar dengan sepatah kalimat “demi si kecil Nia”—semuanya berlesatan satu per satu. Dan aku semakin ke tepi. Merentangkan sayap. “Lia, ini aku, Lia. Lihat aku, Lia,” sebuah suara yang amat kukenal tiba-tiba menyeruak ke telinga. Membuatku menoleh.
Toto! Sementara di sampingnya, menatapku dengan cemas.
beberapa
pasang
mata
Adakah makhluk yang bernama Lia di sini? Adakah burung yang dipanggil Lia di sini? Tapi tak ada burung lain selain aku. “Ke sini lah, Lia. Ayo pulang. Demi Nia,” ujar lelaki itu lagi. Siapa Lia? Siapa Nia? Lelaki itu pasti sudah gila. Aku tak kenal mereka. Aku seekor burung sekarang. Aku ingin bebas!(*)
Adi Zamzam tinggal di Desa Banyuputih di kawasan Jepara, Jawa Tengah.
(Dimuat di Koran Tempo, 14 Juli 2013) (Gambar oleh Yudha AF)
Pintu Cerpen Yudhi Herwibowo
P
INTU itu ada di ujung halaman belakang. Mengusam karena waktu. Tersembunyi di antara pohon-pohon besar yang tak henti membayanginya, seakan sengaja menyatukan kegelapan. Tanaman rambat yang entah
berakar di mana kemudian membuatnya semakin sempurna tak terlihat. Tak mengherankan bila mata gadis kecil itu mendapatinya, ia akan selalu merasa takut. Pintu itu seperti mampu menarik dirinya. Padahal sejak dulu, ia selalu teringat teriakan ayah dan
ibunya bila ia muai bermain bersama teman-temannya, “Jangan sampai melewati pintu itu!” Dan ia selalu menurut. Pintu itu memang seakan menakutkannya. Menatapnya saja membuat bulu kuduknya berdiri. Bahkan bayang-bayang yang terbentuk dari pohon-pohon di sekitarnya, menghentikan jantungnya untuk beberapa saat.
seperti
bisa
Namun entah kenapa, perlahan-lahan gadis kecil itu semakin merasa tertarik pada pintu itu. Mungkin karena hanya di dekatnya ia bisa merasakan rasa ingin tahu yang tak biasa. Terlebih semenjak pohon besar di dekat
pintu
rubuh
itu
terkena
petir, pintu itu semakin mudah tertangkap
oleh
matanya. Sejak itulah muncul berulangkali pertanyaan di kepalanya: apa yang ada di balik pintu itu? Ini memang terasa berlebihan. Saat teman-temannya datang, ia memang akan melupakan sejenak pertanyaan itu. Ketika teman-
temannya itu pulang, ia akan kembali lagi mengalihkan pandangannya ke arah pintu itu. Pernah suatu kali, gadis kecil itu bertanya pada Bi Ijah, pembantu di keluarganya yang asli orang desa. Bi Ijah hanya mengangkat bahu dengan enggan, “Kata orang-orang, di situ rumah para lelembut. Ada peri-peri jahat yang suka menculik anak-anak!” Gadis itu terkesiap. Peri-peri? Entah kenapa begitu saja terbayang olehnya makhluk-makhluk kecil bersayap rapuh yang kerap dilihatnya di film-film. Sosok-sosok yang beterbangan dengan jejak cahaya. Tapi tentu saja ia tak puas dengan jawaban itu. Ia pikir para peri tak akan membuatnya ketakutan. Maka ia kemudian menanyakan pada ayah salah satu temannya, yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan rumahnya. Konon, puluhan tahun lalu, tepat di belakang rumah ini adalah sebuah kuburan tua. Itulah yang membuat pemilik rumah sebelumnya membangun tembok tinggi untuk menghalangi pandangan para penghuninya ke arah situ. Ini jawaban yang lebih masuk akal bagi otaknya yang masih terlalu belia. Ketakutannya selama ini pada pintu itu pun jadi beralasan. Maka ia tak lagi bertanya-tanya soal pintu itu dan apa yang ada di baliknya. Ia akan bermain saja di teras belakang. Bila teman-teman belum datang, ia akan bermain sendiri tanpa memperhatikan pintu itu.
Seperti hari ini. Gadis kecil itu masih menunggu temantemannya datang sambil memainkan bola bekelnya sendiri. Ia memantulkan, meraup, menangkap, memantulkan lagi, meraup lagi, menangkap bola itu lagi. Tapi hari ini ada sekali ia luput menangkap bola bekel itu. Bola itu memantul jauh. Gadis kecil itu mencoba mengejarnya. Namun bola bekel itu terus memantul dengan sempurna di batu-batu di halaman belakang rumah ini. Arahnya menjadi tak menentu. Semakin jauh, dan begitu saja mengarah pada pintu itu. Lalu bola bekel itu hilang ke salah satu celah pintu itu! Gadis itu terkesiap. Tiba-tiba saja ia mendapati dirinya sudah berdiri di depan pintu itu sedemikian dekat. Ia menelan ludah. Ia pastilah sempat berpikir kalau ia harus pergi saja. Ayah dan ibunya tentu bisa membelikannya bola bekel yang baru. Tapi entah mengapa, ia seperti tak rela kehilangan miliknya. Maka dengan tangan gemetar ia meraih gagang pintu itu.
A
KU lebih baik mati di sini! Kebosanan telah sampai pada puncaknya. Tak ada artinya lagi hidup di sini. Kesepian telah merasuk ke
dalam diriku dari tahun ke tahun. Telah ratusan tahun aku hidup di sini. Telah sepanjang hidup, aku menemani tubuh-tubuh yang dikuburkan di sini. Ya, tanah ini awalnya memang penuh dengan tubuh-tubuh yang pergi dengan doa dan tangisan. Namun itu dulu. Dulu sekali. Sebelum tanah ini ditinggalkan. Sekian lama kurasakan
kesendirian, tak terusik selama puluhan tahun. Kesendirian yang mengundang burung-burung untuk bersarang di pucuk-pucuk ranting, juga ular-ular berbisa di liang-liang akar. Kupikir aku akan mati dalam suasana seperti itu. Tua dan terlupakan. Namun ternyata beberapa tahun lalu, semuanya berubah. Ini diawali dengan datangnya beberapa orang yang membuat sebuah lubang besar di sini. Mereka bekerja hampir sehari penuh, seperti mengusir burung-burung dan ular-ular itu. Kau tahu, sebuah lubang biasanya berarti awal kehidupan. Aku ingat ketika orang-orang menanam pohon-pohon di sini. Mereka mengawalinya dengan membuat lubang-lubang di hamparan tanah ini. Aku pun menebak bahwa lubang itu pun sebuah awal kehidupan. Tentu aku tak berpikir bahwa mereka akan menanam sebuah pohon raksasa. Tidak. Yang kubayangkan, mereka akan membuat sebuah kolam besar yang nantinya penuh dengan ikan-ikan beraneka rupa. Tapi dugaanku salah! Beberapa hari kemudian, segerombolan orang kembali datang dalam dua truk besar. Satu kelompok yang berseragam dan memegang senjata, tampak memerintah kelompok lainnya yang terikat tangannya. Mereka dijejerkan di pinggir lubang. Lalu tanpa banyak bicara, seseorang yang tampaknya pemimpin kelompok berseragam itu menembaki mereka satu demi satu. Tubuh-tubuh itu langsung jatung ke dalam lubang. Sejak itulah, suasana di sini menjadi berbeda. Entahlah, telah puluhan tahun aku berakar di sini, di atas tubuh-tubuh manusia yang mati, namun baru kali ini aku mendengar suara-suara dari
dalam tanah. Raungan menyayat. Teriakan minta tolong. Ratapan berkepanjangan. Sepanjang hari. Sepanjang bulan. Sepanjang tahun. Tempat ini benar-benar tumbuh menjadi lebih mengerikan daripada sebelumnya. Namun itu belum selesai. Beberapa tahun kemudian, ada sekelompok laki-laki menarik seorang gadis kecil ke sini. Mereka orang-orang tak bertuhan, sehingga mereka mengabaikan keberatan kami. Deru angin yang mengencang, guguran daun yang menerpa wajah mereka, desis ular dari dalam tanah, semuanya mereka sepelekan. Mereka menyumpal mulut gadis kecil itu dan melucuti bajunya dan bergiliran mengerjainya. Lalu, setelah semuanya selesai, salah satu dari mereka mencekik leher gadis itu hingga ajal menjemputnya. Jenazah gadis kecil itu mereka tinggalkan begitu saja. Gadis kecil itu menangis di sampingku. Memandangi tubuhnya yang tergeletak tak lagi bergerak. Mula-mula air matanya hanyalah air mata biasa. Namun, sewaktu ia melihat tubuhnya semakin membusuk dan hancur, air matanya pun bercampur dengan tetesan darah. Aku mencoba menghiburnya. Mengatakan padanya bahwa banyak sekali musibah terjadi tiba-tiba tanpa terelakkan. Ia tak mau mendengar ucapanku. Untunglah, waktu selalu bisa menyembuhkan luka. Beberapa tahun kemudian, aku mulai mendengar suara senandungnya. Aku tahu, sebenarnya ia gadis periang. Awalnya ia hanya menyanyikan lagu-lagu sedih. Namun,
setelah ia tahu kami semua mendengarkannya di sini, ia mulai menyanyikan lagu-lagu riang. Aku suka suaranya. Dan ternyata, tak hanya aku yang menyukainya. Rusa, ular, kera, dan beberapa binatang lainnya mulai berdatangan padanya. Ini membuatnya semakin gembira. Ia kini tak hanya sekadar menyanyi, ia juga menari. Tampaknya ia telah dapat melupakan apa yang terjadi padanya. Namun itu tak berlangsung lama. Sewaktu orang-orang dari desa menemukan tubuhnya dan membacakan doa untuknya, sosoknya lenyap dari sisiku, menyatu dengan udara. Sungguh, aku terus berharap ia muncul kembali. Ia telah membuat suasana hutan belukar ini menjadi lebih gembira. Tapi inilah yang kemudian terjadi: sebuah rumah besar dibangun di tanah yang terbentang di depan kami. Sebuah tembok bata yang sisi luarnya tak disemen didirikan menutupi wilayah kami. Sejak itu aku tak lagi bisa melihat ke depan. Hanya sebuah pintu berwarna kusam di dinding itu yang selalu memunculkan harapan bagiku. Namun itu pun ternyata harapan yang sia-sia. Sampai bertahun-tahun, pintu itu tak pernah terbuka. Aku sungguh tak habis pikir, bagaimana mungkin sebuah pintu dibuat tanpa pernah dibuka? Hingga akhirnya aku benar-benar merasa lelah. Kesendirian ini membuatku ingin mati saja. Namun di puncak keinginan inilah tiba-tiba saja dari sebuah celah pintu itu sesuatu memantul ke arah kami. Sebuah bola karet kecil. Kulihat gagang pintu mulai bergerak pelan.
Napasku seakan berhenti. Angin menepi. Daun-daun berhenti bergerak. Kicau burung dan desis ular lenyap. Suara-suara teriakan itu pun tak terdengar. Semua mendadak senyap. Lalu seorang gadis kecil kulihat muncul dari balik pintu. Sungguh, ia begitu mirip dengan gadis kecil yang dulu pernah datang ke mari. Wajahnya cantik, dengan mata berbinar dan rambut panjang yang terkuncir dua. Aku tahu wajahnya penuh ketakutan saat memandangi kami semua. Tapi bola karet kecil yang tak berhenti memantul itu seakan membuat ketakutannya lenyap. Ah, gadis kecil, kemarilah! Jangan takut! Sungguh, aku dan semua yang ada di sini telah siap menyambutmu di langkah pertamamu di tanah kami.(*)
Yudhi Herwibowo giat di buletin sastra Pawon, Solo.
(Dimuat di Koran Tempo, 7 Juli 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Orang-orang yang Setia Cerpen Ardy Kresna Crenata
S
EPERTI biasa, ia tak menoleh ketika aku menggeliat mengeluarkan suara manja. Aku pun bangkit. Kubiarkan selimut yang semula menempel di dada akhirnya terjatuh. Dingin memang. Tapi itu justru memberiku
cukup alasan untuk bersegera merangkak mendekatinya dan menekankan payudaraku ke punggungnya. “Sudah terbangun cukup lama?” tanyaku. Ia masih saja tak menghiraukanku dan tampak bersungguh-sungguh menatap layar laptopnya yang penuh sesak oleh kata-kata.
Aku dan lelaki ini pertama kali bertemu tujuh bulan yang lalu. Saat itu kami sedang sama-sama menghadiri malam pemberian hadiah bagi para pemenang sebuah sayembara penulisan puisi tingkat nasional di luar kota. Kebetulan, ialah yang jadi pemenang pertama. Aku saat itu menghampirinya, sebagai seorang penggemar. Sebelum malam itu aku telah banyak membaca puisipuisinya yang dimuat di beberapa koran nasional dan jujur saja aku sangat menyukainya. Dan aku senang, karena ia merespon ajakan pertemananku itu dengan hangat. Dan aku lebih senang lagi, karena rupanya lelaki itu tertarik kepadaku—bisa kupastikan itu dari tatapan matanya yang sesekali terarah ke
beberapa
bagian di tubuhku. Sebelum akhirnya maju ke panggung, untuk menerima piala dan berkata-kata di podium, ia meminta nomorku yang bisa ia hubungi. Kuberikan. Beberapa jam setelah
kami
berpisah
malam
itu,
ia
mengirimiku SMS. Dua hari kemudian, ia meneleponku. Lima hari setelahnya, ia mengatakan ingin sekali bertemu denganku. Maka kubilang, “Ke sinilah. Mungkin kita bisa sekalian ngobrol-ngobrol soal puisi dan kamu bisa memberitahuku bagaimana caranya
memenangkan sebuah sayembara penulisan puisi.” Rupanya, ia menanggapi perkataanku itu dengan serius. Pada hari kedelapan belas sejak malam penghadiahan itu kami bertemu di etalase sastra sebuah toko buku di Botani Square. Ada rasa tersengat, tentu saja, melihat sosoknya itu berdiri (lagi) di hadapanku. Singkat kata kami pun berbicara tentang berbagai hal sambil berkeliling melihat-lihat dan mengomentari buku-buku yang ada di sana. Malamnya, kami berada di sebuah kamar. Ia sempat mengabulkan permintaanku dengan mengajakku berdebat soal baik-buruknya puisi esai lalu mengajariku bagaimana membuat sebuah puisi khusus untuk memenangkan sayembara sebelum akhirnya ia menciumiku di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. “Aku menyukaimu dan ingin kembali bertemu denganmu,” katanya besok harinya, sesaat sebelum ia memasuki bis. Aku tersenyum. Dua bulan setelah saat itu ia datang lagi, dan mengajakku berdebat lagi dan mengajariku lagi menulis puisi khusus untuk sayembara lantas menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. Kalau kuhitung-hitung, dengan yang tadi malam, sudah tiga belas kali kami melakukannya. Di salah satu malam yang kami lalui bersama, aku pernah menanyakan padanya bagaimana sesungguhnya perasaannya padaku. Ia bilang, ia menyukaiku, tapi tak lebih dari itu. Tak bisa. “Kenapa?” tanyaku. “Karena aku sudah memiliki seseorang,” jawabnya. “Dan aku berniat menikahinya, meski tidak dalam waktu dekat,” lanjutnya. Aku pun mengerti. Ia sempat cemas dan bertanya apakah kejujurannya itu mengusikku. Kujawab dengan menciuminya. Pada malam selanjutnya kami bersama ia
memberiku sebuket mawar merah dan beberapa buku. “Ini untuk mengurangi rasa bersalahku,” katanya. Kukatakan bahwa itu tak perlu, sebab aku sama sekali tak pernah menganggap ia bersalah. “Tapi aku merasa bersalah,” desaknya. Jadi kuterima saja. Namun rupanya itu tak menghentikannya untuk menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. “Kamu tahu, kurasa aku mulai mencintaimu,” ucapnya suatu hari. “Apakah itu berbahaya?” tanyaku. “Sangat,” jawabnya. Namun lagi-lagi rupanya itu tak menghentikannya untuk menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher, di bahu..
S
EBULAN lamanya sejak saat itu kami tak berkomunikasi melalui telepon maupun SMS. Kukira saat itu ia akhirnya
memutuskan untuk berhenti dan mulai sepenuhnya mempersiapkan diri untuk membangun masa depannya yang sesungguhnya dengan seseorang itu. Akan tetapi, suatu pagi, ia membangunkanku, dan mengatakan betapa ia merindukanku dan tak bisa berhenti memikirkan malam-malam yang kami lalui bersama itu. “Aku juga,” kataku, yang kemudian kusesali. Beberapa hari setelahnya kami kemudian bertemu. Kali itu aku yang berkunjung ke kota tempat ia tinggal. Di kamarnya itu, ia begitu antusias menunjukkan padaku buku-buku tentang puisi yang ia miliki. Ia pun seperti berteori, memintaku menanggapi pendapatnya dan akhirnya kami berdua terjebak dalam suatu diskusi panas yang nyaris saja membuat kami saling meneriaki satu sama lain. Aku ingat, untuk mengakhiri perdebatan itu aku sampai harus mengalah dengan menyetujui
tuduhannya bahwa kredo penyair Malna itu berbahaya bagi para penulis muda, bahwa kematangan teknik harus lebih dulu dimiliki untuk menyelami kredo itu. “Jangan sampai seseorang meloncat justru karena ia tak bisa melangkah biasa. Itu namanya melarikan diri,” katanya. Aku mengangguk-angguk saja meski sesungguhnya begitu dongkol dan dalam hati terus bergumam: seorang pelukis surealis toh tidak perlu lebih dulu piawai membuat lukisanlukisan realis. Ketika ketegangan sudah benar-benar menghilang, ia akhirnya tersenyum, meraih tanganku, dan berkata, “Aku merindukanmu beberapa hari ini. Sangat.” Beberapa detik setelahnya ia membawaku bersandar di dinding kamarnya lantas menciumiku di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. Dini harinya ketika akhirnya aku terbangun kutemukan ia tengah duduk memunggungiku, dan sepertinya sedang menatap layar laptopnya lekat-lekat. “Kamu sedang menulis puisi?” tanyaku, dan ia sama sekali tak menggubrisnya.
S
ETELAH beberapa kali menginap di kamar kostnya, barulah aku mengerti bahwa ia memang seperti itu ketika menulis puisi: sama sekali tak bisa diganggu. Beberapa kali
usai menulis puisi itu ia meminta maaf, dan selalu langsung kujawab dengan “tak apa”. Di satu waktu ia menjelaskan padaku bahwa puisi yang baru saja dibuatnya itu akan dikirimkannya ke sebuah sayembara dan ia merasa luar biasa puas karena puisi itu seperti apa yang diinginkannya. “Kurasa ini karena aku habis tidur denganmu,” katanya, sebelum menciumku tiga kali. Kukatakan
padanya (dengan maksud menggodanya) bahwa sebelumnya ia telah beberapa kali tidur denganku namun sesuatu seperti yang dikatakannya itu tak pernah terjadi. “Itu karena saat itu aku memang tak berniat menulis puisi,” sanggahnya cepat. “Waktu kita kan singkat. Sayang sekali kalau harus kuhabiskan dengan menulis puisi,” sambungnya. Dan kalau kupikir-pikir sekarang, yang dikatakannya itu ada benarnya juga. Selama ini peristiwa aku terbangun dini hari dan menemukan punggungnya yang telanjang hanya terjadi ketika aku berkunjung ke kota tempat ia tinggal, menginap dua atau tiga malam di kamar kosnya. Dan kalau kupikir-pikir lagi, rupanya, lelaki ini cukup pintar mengatur waktu. Sejauh ini aku sudah beberapa kali mengunjunginya di kota tempat ia tinggal, menginap dua-tiga malam di kamar kosnya, dan selalu sepanjang waktu itu ia habiskan berdua saja denganku. Kadang itu membuatku bertanya-tanya, apakah ia dan seseorang itu masih bersama-sama. Suatu malam akhirnya kuutarakan keherananku itu padanya dan ia menjawab cepat, “Masih kok.” Sambil sesekali menatap mataku ia menjelaskan bahwa apapun yang telah terjadi di antara kami, ia tak akan mengubah keputusannya untuk mempersunting seseorang itu kelak. “Apakah kau mencintainya?” tanyaku. “Tentu saja,” jawabnya, dengan raut muka seperti awan gelap yang memadat. Ketika kuungkapkan keherananku dengan sikapnya itu, betapa ia bersikeras memilih seseorang itu sebagai istri namun tak juga berhenti tidur denganku yang berarti ia terus saja mengkhianatinya, ia mengatakan sesuatu yang membuatku terdiam, “Ia tahu kok apa yang kita lakukan ini.” Lima detik, dua
belas detik, kuhabiskan dengan ternganga. “Benarkah itu?” tanyaku. “Ya,” jawabnya. Di sisa malam itu aku terus memikirkannya dan akhirnya aku jadi tak bisa menikmati persetubuhan kami, membuatnya cemberut. Dua minggu setelah saat itu, aku memberanikan diri untuk menemui seseorang itu dan mengajaknya bercakap-cakap. Sebenarnya, lelaki itu sudah sejak lama mewanti-wanti agar aku tak mencoba-coba menemui seseorang itu. Jika ia tahu pertemuan dan percakapan kami itu, ia tentu akan benar-benar memarahiku. Tapi aku sudah memikirkannya masak-masak selama dua minggu dan kusimpulkan bahwa hari-hariku tak akan tenang jika aku dan seseorang itu tak bertemu. Maka, ketika pertemuan riskan itu terjadi, besar harapanku seseorang itu memberikan pernyataan yang entah bagaimana bisa menghapuskan kegelisahanku. Namun ternyata, yang terjadi adalah sebaliknya. Usai kuutarakan kepadanya apa yang dikatakan lelaki itu malam itu, respon seseorang itu bukannya tersenyum atau mengangguk atau menyentuh tanganku dan berkata, “Ya. Aku tahu.” Yang kulihat saat itu, sorot matanya memudar, dan tak lama setelahnya setetes air mata meluncur di pipinya yang kiri. Seseorang itu, rupanya tak pernah tahu apa-apa soal kedekatan lelaki itu denganku, soal malam-malam yang kami lalui bersama, soal keputusan lelaki itu untuk melamarnya kelak. Dengan kikuk, aku meminta maaf dan berjanji akan mengakhiri hubunganku dengan lelaki itu, bahkan sekalian saja menghilang dari kehidupan mereka jika memang seseorang itu menginginkannya. Aku sedih, melihat ia seperti itu.
Aku membayangkan aku lah yang berada di posisinya. Pastinya hatiku hancur. Namun apa yang dikatakannya kemudian benarbenar tak bisa kupercaya. Ia memintaku untuk meneruskan hubungan rahasiaku dengan lelaki itu. Dan katanya tegas, “Jangan khawatir. Itu tak akan mengganggu hubungan kami. Kami akan baik-baik saja. Dan suatu saat nanti, kami akan menikah.” Sejak saat itu, aku sebisa mungkin menghindari pertemuan dengan lelaki itu. Alasan demi alasan kuberikan. Rindu demi rindu aku simpan. Hingga akhirnya, pertemuan itu tak terhindarkan lagi. Ia menciumiku di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. “Menurutmu, apakah aku ini orang yang setia?” tanyanya. Aku terpaku, lantas menggeleng. “Entahlah,” kataku. “Kau bilang apapun yang terjadi di antara kita, istrimu nanti adalah dia. Kurasa, itu suatu wujud kesetiaanmu padanya. Tapi kita...” “Tak berhenti melakukan hal ini?” potongnya. “Ya,” jawabku. Ia diam, beberapa detik. “Bukankah itu suatu wujud kesetiaanku padamu, bahwa meskipun kelak aku akan menikahi perempuan lain, aku tetap memberikan diriku padamu?” Giliranku yang terdiam. Benarkah itu? pikirku. Dan senyum di wajah lelaki itu seperti berkata, “Ya.” Maka aku pun tak lagi ambil pusing dengan semua itu. Biarlah ia kelak menikah dengan seseorang itu dan kami masih terus bertemu seperti ini. Biarlah ia terus mengatakan padaku bahwa seseorang itu baik-baik saja dan apa yang kami lakukan ini tak
akan mengganggu hubungan mereka. Satu hal kutanyakan, “Dulu di malam penghadiahan itu, kau sendirian. Mengapa dia tak mendampingimu?” Sambil menyentuh-nyentuh bibirku, ia menjawab, “Malam itu, kami sedang bertengkar.” Oh.. Aku pun sepertinya mengerti mengapa malam itu ia begitu hangat merespon ajakan pertemananku, mengapa malam itu ia mengirimiku
SMS
dan
beberapa
hari
setelahnya
dengan
menggebu-gebu ia meneleponku. “Aku mencintaimu,” bisiknya, sebelum akhirnya ia menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. Dan saat ini adalah dua puluh tujuh malam setelah saat itu. Baru saja, ia memintaku kembali ke tempat tidur. Baru saja, ia mematikan laptop dan menoleh menatapku penuh arti. Baru saja, ia menanyakan sesuatu yang membuat pipiku rasanya memerah, “Setelah aku dan ia menikah nanti, maukah kau terus menemaniku seperti ini? Masihkah kau akan setia kepadaku?” Sambil menunggu ia merangkak menghampiriku, aku memikirkan pertanyaannya itu. Barangkali bagi lelaki ini, aku, juga seseorang itu, adalah orang-orang yang akan selalu setia—kepadanya.(*) Ardy Kresna Crenata tinggal di Dramaga, Bogor. Ia lulusan Matematika Institut Pertanian Bogor. Kumpulan cerita pendeknya, Pendamping (2012). (Dimuat di Koran Tempo, 30 Juni 2013) (Gambar oleh Imam Yunni)
Para Penjual Rumah Ustazah Nung Cerpen Ben Sohib
K
AU harus melihat sendiri bagaimana si bungsu itu memainkan drama di hadapan ibunya. Ia tahu ibunya selalu merasa iba kepadanya dan lekas terharu pada apa pun yang dikeluhkannya. Lelaki itu memang
bebal dalam banyak hal, tapi tidak untuk urusan yang satu ini. Ketiga kakaknya, dua perempuan dan satu laki-laki, dibuat tak berkutik dan hanya bisa pasrah saat ibu akhirnya menuruti keinginannya: menjual rumah pusaka.
“Dulah tsudah tak tahan hidup tsendiri. Dulah ingin menikah lagi tsecepatnya,” itu yang ia katakan sambil tangannya mengusap sepasang pipi tembam yang basah oleh air mata. Lihat, dia selalu berbicara dengan memanggil namanya sendiri, menegaskan bahwa ia memang anak bontot yang manja. Memang benar dia anak bungsu dari empat bersaudara. Tapi usianya 38 tahun, berperut buncit, berkepala botak, dan tak fasih melafalkan “s” karena dua gigi depannya sudah rompal (soal kenapa dua gigi depannya rompal akan kuceritakan nanti). Aku tak tahu apa yang ada di pikiranmu jika kau berada di sana menyaksikan rapat keluarga sore itu, melihat seorang lelaki dewasa berbicara dengan memanggil sendiri,
namanya
sesuatu
yang
hanya pantas dilakukan anak balita atau paling tidak
gadis
remaja.
Mungkin kau menamparnya.
ingin Ketiga
kakaknya ingin membunuhnya.
sekali
“Kau tak memikirkan Umi?” tanya salah seorang kakak perempuannya.
“Umi bitsa membeli rumah kecil di kampung dekat-dekat tsini. Buat apa rumah sebetsar ini jika penghuninya cuma Ummi dan Dulah? Lagipula, kalau nanti menikah Dulah kan juga ingin punya rumah tsendiri, punya mobil, punya utsaha, tseperti kalian semua!” Namanya memang Abdulah, dan ia memang dipanggil Dulah, tapi percayalah, kau akan merasa jengah melihat seorang lelaki dewasa dengan potongan seperti yang sudah kugambarkan tadi, berbicara dengan gaya memanggil namanya sendiri. Dan kejengahanmu akan menjadi-jadi setiap kali ada kata yang mengandung huruf “s” di tengah-tengah pembicaraannya. “Tapi Umi belum tentu betah di rumah baru,” sergah kakak perempuannya yang lainnya. “Betul, selain banyak kenangan dengan almarhum Abah, Umi kan ada majelis taklim di rumah ini. Itu hiburan tersendiri buat masa tua Umi,” kali ini kakak laki-lakinya yang angkat bicara. Si bungsu berdiri. “Hiburan? Hiburan buat kalian karena kalian tsudah punya tsegalanya! Kalian egoits! Kalian...” Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia kembali duduk dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Sekarang ia tersedu. Kakak-kakaknya yang duduk di depannya terdiam, sementara sang ibu yang duduk di sampingnya tampak seperti linglung. Mungkin ia bingung menghadapi situasi seperti ini, apalagi pikirannya masih terganggu dengan kata-kata Abdulah seminggu yang lalu. Saat menyampaikan niatnya hendak menikah lagi setelah delapan tahun menduda, anak bungsunya itu mengawali dengan keluh-kesah bahwa ia tak pernah merasa bahagia
sepanjang hidupnya, dan bahwa sekarang ia ingin menikmati hidup selagi usianya belum terlanjur tua. Pikiran Ustazah Nung— demikian perempuan itu dipanggil—makin ruwet ketika ia tahu dengan siapa anaknya hendak menikah (soal dengan siapa Abdulah hendak menikah juga akan kuceritakan nanti). Setelah tangisnya mereda, si bungsu melanjutkan bicaranya, “Kalian tak pernah memikirkan hidup Dulah yang hancur, yang ketsepian, yang tak punya rumah tangga, yang tak punya apa-apa!” “Kami semua memikirkan hidupmu, dan kau bebas mengawini setan mana pun yang kau suka, tapi jelas kami tak setuju dengan usulmu menjual rumah ini, kita juga harus memikirkan kehidupan Umi!” kata kakak perempuannya yang pertama. “Umi akan baik-baik tsaja, kalian berlebihan! Ini mumpung tsekarang harga tsedang tinggi, mau menunggu apa lagi? Kalian tega melihat Dulah hidup merana tseperti ini bertahun-tahun? Kalau begitu teruts, Dulah bitsa-bitsa duduk dan jalan-jalan telanjang di depan rumah!” “Akan kujual rumah ini, dan kubagi-bagikan uangnya sesuai hak waris masing-masing!” akhirnya Ustazah Nung ambil keputusan. Perempuan tua itu berbicara tegas dan lantang, dengan suara bergetar.
K
INI tiba saatnya aku bercerita tentang bagaimana dua gigi depan Abdulah rompal, dan beberapa hal lainnya.
Giginya masih utuh seandainya ia tak berbuat bodoh. Bahkan rumah tangganya juga mestinya masih utuh. Tapi ia
terlalu bodoh untuk mempertahankan keutuhan gigi depan maupun rumah tangganya. Itu bermula dari petualangannya dengan seorang perempuan bernama Lola. Saat itu Abdulah sudah beristri. Tapi, dua tahun usia pernikahan tampaknya masih terlalu singkat untuk bisa memadamkan api cinta pertamanya kepada Lola. Ia memang sudah tergila-gila kepada perempuan itu sejak ia masih murid SLTA. Mereka belajar di sekolah yang sama. Abdulah murid kelas 3, Lola duduk di bangku kelas 1. Tapi mereka lulus dalam waktu yang bersamaan lantaran dua kali Abdulah tak naik kelas (Abdulah juga pernah tak naik kelas sebelumnya, dua kali saat di SD, sekali di SLTP). Selama tiga tahun menjadi teman satu sekolahan, Abdulah tak berhasil menjadikan Lola sebagai pacarnya, tapi ia cukup senang telah berhasil membuat Lola bersedia menerima apa saja yang ia berikan, baik berupa barang maupun uang. Tak sekali pun pemberiannya pernah ditolak Lola. Rasa bahagia Abdulah berlipat-ganda saat Lola mulai berani meminta uang jajan seminggu sekali, yang langsung ia terjemahkan sebagai kesediaan gadis itu untuk menjadi istrinya. “Lola memang cantik, tapi sepertinya dia bukan gadis baikbaik, aku sering melihat ia merokok di warung Bu Mameh,” kata Ustazah Nung saat Abdulah memintanya untuk meminang Lola, enam bulan setelah mereka berdua lulus SLTA. “Lola cinta pertama Dulah, tak ada menggantikannya,” jawab Abdulah.
yang
bisa
Dengan berat hati Ustazah Nung akhirnya melangkah ke rumah Lola menemui ibunya, menyampaikan niat Abdulah. Dan ia pulang dengan membawa kabar buruk untuk anak laki-laki terkasihnya: Lola “sudah ada yang punya”, seorang pengusaha biro perjalanan. Mereka akan menikah tahun depan. Sejak saat itu Abdulah menjadi pemurung dan sering melamun. Keadaan yang membuat Ustazah Nung risau ini berlangsung selama hampir dua tahun, sampai salah seorang kakak perempuannya datang bersama seorang perempuan bernama Hilda. “Ini adik temanku. Dia dari Tasikmalaya, ke Jakarta mau mencari pekerjaan,” katanya saat memperkenalkan kepada Abdulah. Mereka menikah enam bulan kemudian. Ustazah Nung menjual sebidang tanah di Kebon Baru untuk biaya perkawinan, dan sebagian sisanya diberikan kepada Abdulah untuk modal usaha membuka warung sate kambing di Jalan Otista. Di luar dugaan banyak orang yang mengenalnya. Abdulah berhasil mengelola warung itu dengan baik. Kian hari Warung Sate Kambing “Bang Dulah” kian banyak mendapatkan pelanggan. Dalam waktu dua tahun, Abdulah sudah berani mengambil kredit mobil. Saat itulah Lola kembali muncul dalam kehidupannya. Lola yang tak kunjung menikah, baik dengan pengusaha biro perjalanan atau biro apa pun juga, datang ke warung itu. “Satemu enak,” katanya saat akan membayar di meja kasir. “Kau tak perlu membayar,” jawab Abdulah dengan gemetar.
Lola mengeluarkan dua lembar kertas, selembar uang kertas pecahan lima puluh ribu dan selembar lainnya kertas putih bertuliskan nomor telepon genggamnya. Abdulah menerimanya dengan tangan bergetar seperti orang sakit buyutan. Dan Lola sengaja menyentuhkan jemari tangannya ke telapak tangan Abdulah yang berkeringat dingin. Abdulah buru-buru memasukkan kedua lembar kertas itu ke laci, dan lupa memberikan uang kembalian. Tak sampai dua minggu setelah kunjungan itu, kabar bahwa Abdulah sering pergi berdua dengan Lola sudah santer terdengar di seantero kampung. Menurut sas-sus yang beredar di antara warga, Abdulah memberi Lola uang bulanan. Sepeda motor bebek baru yang dikendarai Lola konon juga merupakan pemberian Abdulah. Kabar-kabar burung itu akhirnya hinggap di telinga Hilda. Saat Abdulah ke dapur hendak mengambil segelas air pada satu sore di hari Minggu, Hilda yang sedang mencuci wajan bertanya, “Benarkah semua yang aku dengar dari orang tentang hubunganmu dengan Lola?” Entah apa yang saat itu ada di benak Abdulah. Awalnya ia diam saja, matanya sebentar memandang Hilda, sebentar memandang ke jendela. Lalu mendadak ia lancar berbicara setelah si itri berkata, “Ceritakan saja yang sebenarnya, aku lebih senang mendengar dari mulutmu sendiri.” Abdulah membenarkan semua yang diceritakan orang dan didengar istrinya. Ia menutup pengakuannya dengan “Mungkin Dulah masih mencintai Lola” yang ia ucapkan sambil tersenyum.
Hantaman punggung wajan di mulutnya itu begitu keras, dua gigi depannya langsung rompal. Mendengar suara ribut-ribut, Ustazah Nung yang sedang rebahan di kamar bergegas menghampiri sumber suara. Ia menjerit melihat mulut Abdulah penuh darah. Malam itu juga Hilda pulang ke Tasikmalaya dan tak pernah kembali ke Jakarta. Sementara Lola memilih hengkang ke kampungnya. Ia tinggal bersama salah
seorang sepupunya di
daerah Kota. Konon di sana ia bekerja di sebuah restoran yang juga menyediakan karaoke. Sebulan sekali ia pulang ke rumahnya. Abdulah kembali menjadi pemurung dan sering melamun. Entah karena sebab yang mana. Warung satenya dibiarkan tak terurus dan tutup tiga bulan kemudian, mobilnya dibawa pergi oleh dua orang debt collector yang datang ke rumahnya tak lama setelah itu. Pada tahun pertama setelah kejadian itu, juga pada tahun-tahun selanjutnya, Abdulah lebih banyak menghabiskan waktunya dengan duduk sambil merokok, berpindah-pindah dari satu kursi di ruang tamu, ke kursi lainnya di teras belakang atau teras depan. Setiap kali ibunya menganjurkan menikah lagi, selalu ia tanggapi dengan gelengan kepala. Hingga pada satu malam di tahun yang kedelapan, setelah beberapa minggu sebelumnya sering terlihat berdiri di depan cermin memegang sisir, berusaha sedemikian rupa menyisir ke kanan sejumput rambut yang tumbuh di sisi kiri kepalanya agar bagian atas kepalanya yang botak licin itu tampak seolah-olah masih ditumbuhi rambut tipis, Abdulah tiba-tiba menghampiri ibunya dan mengatakan hendak menikah dengan Lola.
Abdulah bercerita bahwa Lola sudah beberapa kali menemuinya dalam sebulan terakhir ini. Ia berkata bahwa Lola yang sekarang berstatus janda itu mencintai dirinya, bahwa Lola ingin ia menjadi ayah baru yang bertanggungjawab bagi anaknya satu-satunya. Mata Abdulah berkaca-kaca saat menceritakan bagaimana anak lelaki berusia tiga tahun itu, dalam waktu demikian singkat, sudah terbiasa memanggilnya “Papa”.
“T
AK ada cacatnya” adalah istilah yang digunakan para calo tanah dan rumah yang banyak berkeliaran di daerah ini ketika mereka mengomentari rumah
Ustazah Nung. Ukurannya ideal, surat-suratnya “bersih”. Rumah tua itu berada tepat di pinggir jalan Raya Kampung Melayu Besar. Lebar depannya 30 meter, sementara panjangnya mencapai 50 meter, sangat bagus untuk gedung berlantai empat. Bukan sekali dua kali para pengembang dan spekulan tanah yang menanyakan rumah Ustazah Nung kepada Bang Sanip, makelar bangkotan yang menguasai seluk-beluk pertanahan di daerah ini. Bang Sanip hapal hampir seluruh riwayat rumah dan tanah di wilayang yang—sejak dibangunnya jalan layang ke pusat kota—menjadi incaran para pengembang dan spekulan tanah itu. Sejak jalan layang mulai dibangun tiga tahun lalu, harga rumah dan tanah yang terletak di pinggir jalan raya itu melambung. Kebanyakan warga memilih menjual rumahnya dan pindah ke daerah pinggiran yang harga tanahnya jauh lebih murah. Hanya tersisa beberapa gelintir warga yang memilih
mempertahankan rumah dan tanah warisan leluhurnya, dan Ustazah Nung termasuk salah seorang dari mereka. “Ini kesempatan emas, harganya bagus. Ustazah bisa membeli rumah baru, naik haji lagi, atau umroh. Sisa uang Ustazah bisa disimpan di bank syariah, tujuh turunan tidak bakal habis,” bujuk Bang Sanip pada suatu sore. Sudah tiga kali ia bersama dua temannya datang menemui Ustazah Nung dalam setahun ini. “Aku masih betah di sini,” jawab Ustazah Nung. Bang Sanip dan kedua rekannya meninggalkan Ustazah Nung setelah menenggak habis air putih yang disuguhkan, tapi tenggorokannya masih terasa kering. Air liurnya nyaris habis setelah hampir satu jam ia merayu Ustazah Nung dengan berbagai jurus agar mau melepas rumahnya. Tapi perempuan berkerudung itu seperti tidak mengenal kalimat lain kecuali “Aku masih betah di sini”. Entah sudah berapa kali Ustazah Nung mengucapkan katakata ini. Dan setiap kali kalimat itu terucap, Bang Sanip dan kedua temannya merasa seperti dicekik. Jawaban singkat yang diberikan Ustazah Nung setiap kali Bang Sanip menyelesaikan kalimatnya yang panjang lebar, benarbenar membuat pemimpin makelar itu putus asa. Kedua temannya yang bertugas membenarkan semua yang diucapkan Bang Sanip ikut putus asa. Mereka merasa kalimat-kalimat pendek seperti “itu benar”, “tepat sekali”, dan “betul sekali”, yang mereka sisipkan di tengah-tengah pembicaraan Bang Sanip, terbukti tak berpengaruh apa-apa.
Begitu sampai di luar pagar rumah Ustazah Nung, sebelum melanjutkan langkahnya, Bang Sanip menoleh dan menatap rumah tua itu beberapa waktu. Aih, rumah yang sangat cantik seandainya si pemilik tak suka mengulang-ulang kalimat “aku masih betah di sini”. Saat itulah Bang Sanip melihat Abdulah muncul dari dalam rumah, berjalan sambil membetulkan gulungan sarungnya menuju sofa tua yang diletakkan di pojok teras. Abdulah duduk mengangkat kedua kakinya sebelum menyalakan rokok. Wajahnya kusut seperti orang yang tak tidur berhari-hari. Tiba-tiba Bang Sanip mengusap mulut, menyembunyikan senyumnya. Lalu ia berjalan dengan cepat, bergegas menyusul kedua temannya. Benaknya dipenuhi wajah Lola. Ingatannya dengan cepat menyusun kembali riwayat percintaan dan perselingkuhan yang melibatkan Abdulah dan Lola. Bang Sanip tahu di mana Lola bisa ditemui, dan ia juga tahu apa yag sedang dibutuhkan perempuan itu saat ini. Malamnya, para makelar itu menggelar rapat hingga menjelang dini hari.(*)
Ben Sohib giat di Komunitas Majelis Sastra Masjid Al-Makmur di Cililitan, Jakarta Timur. (Dimuat di Koran Tempo, 16 Juni 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Hari yang Sempurna untuk Kangguru Cerpen Haruki Murakami (Dialihbahasakan oleh Habi Hidayat)
A
DA empat ekor kangguru di kandang—satu jantan, dua betina, dan satu ekor lagi adalah bayi kangguru yang baru lahir.
Aku dan pacarku berdiri di depan kandang kangguru. Kebun binatang ini tidak terlalu populer di pagi hari Senin seperti ini, jumlah binatangnya melebihi jumlah pengunjung. Tidak ada yang menarik di kebun binatang ini.
Hal yang menarik kami mendatangi kebun binatang ini adalah seekor bayi kangguru. Maksudku, apa lagi coba yang bisa dilihat di kebun binatang ini? Sebulan sebelumnya, di sebuah rubrik di sebuah koran lokal, kami tak sengaja membaca sebuah pemberitahuan tentang lahirnya seekor bayi kangguru, dan sejak saat itulah kami sudah menunggununggu pagi
sebuah yang
sempurna untuk mengunjungi bayi kangguru tersebut. Namun bagaimana pun juga, hari yang tepat tidak juga datang. Suatu pagi, turun hujan deras, dan kami cukup yakin hujan bakal turun lagi di hari-hari berikutnya, angin
dan pun
berembus-embus kencang untuk dua hari berturut-turut. Suatu pagi, pacarku mengeluh sakit gigi, dan di pagi yang lain aku punya urusan yang harus aku selesaikan di pusat kota. Aku tidak hendak
membuat pernyataan yang dibesar-besarkan di sini, namun aku berani untuk mengatakan bahwa: Inilah kehidupan. Jadi bagaimana pun juga satu bulan itu waktu yang singkat. Selama sebulan sesuatu bisa berlalu apa adanya. Aku tidak pernah benar-benar mengingat sesuatu yang sudah kulakukan selama sebulan. Sewaktu-waktu, seolah-olah aku sudah melakukan banyak hal, namun sewaktu-waktu yang lain aku merasa tidak menyelesaikan satu hal pun. Satu hal yang membuatku sadar kalau satu bulan telah berlalu adalah ketika lelaki yang mengantarkan koran harian datang ke rumah untuk menagih uang langganan. Ya, itulah hidup. Pada akhirnya, pagi yang kami tunggu-tunggu untuk melihat bayi kangguru datang juga. Kami bangun dari tidur pada pukul enam pagi, membuka gorden, dan yakin hari itu adalah hari yang sempurna untuk kangguru. Kami buru-buru membersihkan diri, sarapan, memberi makan kucing, buru-buru mencuci baju lalu mengenakan topi untuk menghalau sinar matahari, dan kami pun berangkat. “Apa kau pikir bayi kangguru itu masih hidup?” pacarku bertanya saat kami di kereta. “Aku yakin ia masih hidup. Tak ada satu berita pun yang mengabarkan bahwa bayi kangguru itu mati. Jika saja ia mati, aku yakin kita sudah membacanya di koran.” “Mungkin saja tidak mati, tapi bisa saja ia sakit dan dirawat di rumah sakit.” “Ya, tapi kalau pun itu terjadi, kita sudah membaca di koran.”
“Bagaimana jika kangguru itu ketakutan dan bersembunyi di sudut kandang?” “Apa bayi kangguru punya rasa takut?” “Bukan bayinya. Tapi ibunya! Mungkin ia mengalami trauma dan menyudutkan diri bersama bayinya di kandang yang gelap.” Seorang wanita memang selalu memikirkan setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Trauma? Trauma macam apa coba yang bisa menyerang seekor kangguru? “Jika aku tak melihat bayi kangguru hari ini, aku pikir aku tidak akan punya kesempatan untuk melihatnya lagi,” katanya. “Kupikir juga begitu.” “Maksudku, pernahkah kau melihat bayi kangguru?” “Tidak, aku tak pernah melihatnya.” “Apa kau yakin kau bakal punya kesempatan lain untuk melihat bayi kangguru?” “Aku tak tahu.” “Nah, karena itulah aku gelisah.” “Ya, tapi dengar dulu,” kataku nyerocos balik. “Aku tak pernah melihat seekor jerapah melahirkan, atau bahkan melihat hiu yang berenang-renang. Jadi apa masalahnya dengan bayi kangguru?” “Ya karena ia bayi kangguru,” katanya. “Karena itulah.” Aku pun menyerah dan mulai membalik-balikkan halaman koran. Aku tidak pernah satu kali pun menang-argumen dengan seorang perempuan.
B
AYI kangguru itu, sesuai perkiraan, masih hidup dan sehat, ia (entah jantan atau betina) terlihat tampak jauh
lebih besar dibandingkan dengan gambarnya yang dimuat di koran, bahkan ia melompat-lompat di sekitar pagar kandang. Ia tak lagi seekor bayi kangguru, hanya kangguru mini. Pacarku pun kecewa. “Ia bukan bayi lagi,” katanya. “Tentu saja ia masih bayi,” kataku mencoba menghiburnya. Aku melingkarkan tanganku ke pinggangnya dan menggoyang-goyangkan tubuhnya pelan. Ia cuma menggelengkan kepala. Aku ingin berbuat sesuatu untuk menghiburnya, tapi apa pun yang kukatakan tidak bakal mengubah kenyataan bahwa si bayi kangguru ternyata sudah besar. Jadi aku cuma diam. Aku bergegas menuju warung kudapan dan membeli dua cokelat es krim, dan ketika aku kembali ia masih bersandar menghadap kandang kangguru, menatap bayi kangguru itu lekatlekat. “Ia bukan lagi seekor bayi kangguru.” “Kau yakin?” kataku seraya memberinya es krim. “Seekor bayi kangguru mesti berada di kantung induknya.” Aku mengangguk dan menjilat es krimku. “Tapi yang ini tidak lagi berada di kantung induknya.” Kami berusaha mengenali induk kangguru. Sang ayah, mudah untuk dilihat, ia tampak paling besar dan begitu tenang di antara lainnya. Layaknya seorang komposer yang bakatnya telah memudar, ia hanya diam saja, menatapi dedaunan yang menjadi makanannya. Dua kangguru lainnya adalah betina, terlihat dari
bentuk, warna, dan air muka mereka. Salah satunya mesti ibu si bayi kangguru. “Satu di antara dua kangguru itu mesti ibu si bayi, dan satu lagi bukan,” kataku berkomentar. “Um.” “Jadi yang mana yang bukan ibunya?” “Aku tak tahu,” katanya. Kami tak sadar bahwa ternyata bayi kangguru itu melompatlompat di pagar kandang, lalu sesekali mengorek-ngorek tanah untuk alasan yang tidak jelas. Ia (entah jantan atau betina) tampaknya menemukan cara untuk membuat dirinya sibuk. Si bayi kangguru melompat-lompat di sekitar bapaknya berdiri, mengunyah sedikit dedaunan, dan mengorek-ngorek lumpur, mengganggu kangguru betina, lalu berbaring di tanah, berdiri lalu melompat-lompat lagi. “Bagaimana bisa kangguru melompat-lompat begitu cepat?” “Agar bisa melarikan diri dari musuh?” “Musuh apa?” “Manusia,” kataku. “Manusia membunuh mereka dengan bumerang dan menyantap mereka.” “Kenapa bayi kangguru sanggup naik ke kantong ibunya?” “Agar bayi kangguru bisa menyelamatkan diri bersama ibunya. Bayi kangguru tidak bisa berlari cepat.” “Jadi mereka terlindungi?” “Ya,” kataku. “Sang ibu melindungi anak-anaknya.” “Berapa lama sang ibu melindungi anak-anaknya seperti itu?”
Aku sadar aku seharusnya membaca beberapa hal tentang kangguru di sebuah ensiklopedia sebelum kami bertamasya kecil seperti ini. Rentetan pertanyaan seperti ini memang sudah seharusnya aku perkirakan. “Sebulan sampai dua bulan, aku bayangkan.” “Tapi bayi itu cuma berumur sebulan sekarang,” katanya seraya menunjuk bayi kangguru. “Jadi mestinya ia masih di kantung ibunya.” “Ya, aku pikir juga begitu.” Matahari mengangkasa di atas kepala, dan kami tak bisa mendengar teriakan anak-anak di kolam renang di dekat kami. Sepotong awan putih melintasi kami. Seorang pelajar tengah bekerja di warung hotdog yang dibentuk layaknya sebuah minivan dengan beberapa kotak pengeras suara yang mengedarkan alunan suara Stevie Wonder dan Billy Joel saat aku menunggu hotdog yang tengah dimasak. Saat aku kembali ke kandang kangguru, pacarku buru-buru berkata, “Lihat!” menjerit, seraya menunjuk satu di antara kangguru betina. “Kau lihat, bukan? Bayi kangguru di kantong ibunya!” Aku cukup yakin bayi kangguru itu sudah meringkuk di kantung ibunya (anggap saja kangguru betina itu adalah benarbenar ibunya). Kantung kangguru betina itu benar-benar terisi penuh, dan sepasang telinga mungil dan sepucuk ujung ekor mengintip dari balik kantungnya. Ini benar-benar pemandangan yang luar biasa dan benar-benar membuat tamasya kami tak siasia.
“Mungkin terasa berat membawa bayi kangguru di dalam kantung,” katanya. “Jangan khawatir, kangguru itu hewan yang kuat.” “Betul begitu?” “Ya, tentu. Karena itulah mereka bertahan hidup.” Meski hidup dengan panasnya matahari, ibu kangguru tidak menderita. Pacarku terlihat layaknya seorang perempuan yang baru saja menyelesaikan belanjaan sorenya di supermarket di sekitar wilayah Aoyama yang indah, dan tengah bersantai istirahat menikmati secangkir kopi di warung kopi. “Ibu kangguru itu benar-benar melindungi bayinya, bukan?” “Ya.” “Aku bayangkan bayi kangguru itu tidur lelap.” “Ya, mungkin saja.”
K
AMI menyantap hotdog dan meminum kola seraya berjalan meninggalkan kandang kangguru. Saat kami pergi, sang ayah kangguru masih menatapi
makanannya seolah mencari sesuatu yang hilang. Sang ibu kangguru dan bayinya menyatu, istirahat di antara aliran waktu yang tenang, ketika satu kangguru misterius lainnya melompatlompat di pagar seolah-olah ingin melarikan dirinya dari kandang. Hari itu rupanya jadi hari yang panas, hari yang panas pertama bagi kami setelah beberapa waktu yang lama. “Hei, kau ingin minum bir?” taya pacarku. “Ayo.”(*)
(Dimuat di Koran Tempo, 9 Juni 2013) (Gambar oleh Yuyun Nurrachman)