Kumpulan Cerpen
1
Cuplikan pertama di cerpen pertama
Pagi yang benar-benar cerah pada hari ini mengukir hati Anita yang sedang riang-gembira. Bahkan entah mengapa, akhir-akhir ini dia sering tersenyum bahagia. Tidak seperti biasanya. Mama dan Papanya hanya menggelengkan kepala melihat anak semata wayang mereka yang sedang senyumsenyum sendiri. Mereka menyangka, Anita sedang jatuh cinta… “Hai mama papa… Pagi!!” ucap Anita kepada orangtuanya dan mencium kening mereka. “Hai juga sayang!” jawab mamanya. “Oya Anita!! Daritadi mama dan papa lihat. Kamu senyum-senyum sendiri. Sepertinya kamu sedang bahagia sekali hari ini… Ada apa si sebenarnya sayang?” sambung mamanya. “HAHH? Masa ah ma? Anita ngerasa biasa-biasa aja kok ma. Hehe…” Papanya daritadi hanya diam saja pura-pura tidak mendengarkan ucapan Anita. Ia lebih memilih membaca koran dengan meneguk secangkir kopi panas. Maklum, seorang lelaki tak mau ikut campur urusan anaknya. Mungkin ia merasa, anaknya malu menjawab jika ditanya papanya. “Ah… Kamu jangan selalu menyimpan rahasia kepada mama. Mama tidak bisa dibohongi loh! Mama tahu… pasti kamu sedang… jatuh cinta sama seseorang ya?” tanya mama Anita sekali lagi. Anita menjawabnya dengan santai sambil minum segelas susu Hi-Lo hangat, “Jatuh cinta? Gak ah ma… Aku tuh lagi senang aja dekat sama teman kecilku. Dia perhatian banget dan pokoknya klop banget deh ma buat jadi sahabat aku! Aku pengen selalu ada di dekatnya.” Mama Anita mengangguk pelan dan tertawa kecil. Akhirnya, mengaku juga Anita! Meskipun dia berkata bahwa hanya sekedar senang saja dekat dengan teman sejak kecilnya. Tapi Anita mengatakan bahwa ada kata “perhatian” tentang teman kecilnya. Berarti dapat disimpulkan bahwa, Anita memang sedang jatuh cinta padanya. Mungkin dia belum mengerti bagaimana rasa cinta itu sebenarnya. Maklum, dia baru pertama kali merasakannya. Mungkin suatu saat nanti, dia akan berani mengungkapkan bahwa dia mencintainya. Itulah perkataan mamanya dalam hati. Sedangkan papanya, dibalik koran yang ia baca, hanya tertawa kecil saja. Anita memandang heran kepada mama dan papanya. Mengapa mereka tertawa-tertawa kecil sih? Padahal kan aku merasa biasa saja. Toh ini bukan jatuh cinta.
***
Cuplikan kedua di cerpen pertama
Esok hari, Anita dan Julia bertemu dengan Ray dan Maisy di café HardRock. Mereka bersalaman dahulu, lalu duduk. “Kamu Anita ya? Sahabat dari kecil sama Ray kan?” ujar Maisy.
2
“Iyah. Kok kamu tahu?” jawab Anita singkat. “Iyah aku tau. Dia banyak cerita tentang kamu kepada aku.” “Oh… kamu siapa namanya?” “Aku Maisy.” jawab Maisy lembut. Mereka terdiam satu sama lain. Julia menyenggolkan lengannya ke Anita supaya bicara dengan Ray dengan jelas. Tapi Anita menundukkan kepalanya. “Ya udah… gini aja! Gimna kalau Anita sama Ray aja yang ngomong. Aku sama teman Anita pindah tempat. Ngga apa-apa kan Ray?” kata Maisy. “Oke!” Lalu, Maisy dan Julia pindah tempat. Membiarkan Anita dan Ray untuk saling bicara dari hati ke hati.
**to be continued.**
3
Cuplikan pertama di cerpen ketujuh Sejak kecil, Sully begitu menyukai salju setiap winter di Damaskus tiba. Ia selalu riang-gembira ketika hujan salju menyelimuti tanah bumi syam itu. Selain itu, kegembiraan yang ia rasakan tak ingin hanya dia saja yang merasakannya. Ia ingin berbagi kebahagiaannya bersama orang-orang terdekatnya, seperti orangtuanya, adik kandungnya, dan sahabat-sahabatnya. Sesaat Sully tengah beraktifitas di pagi hari… Ia bangun dari tempat tidurnya dan bergegas keluar dari kamarnya. Tetapi seketika… Ringtone hp LG-Lollipopnya berwarna biru muda berbunyi. Yeah! Listen to this! Even though darkness wraps around me. Even though I can see one inch before me because It’s dark. The hurt heart, heart, heart of hers that got wounded. I will wrap around I promise. I’m gonna be down… (ringtone from MBLAQ-One Better Day song *english version*) “Humphhh… Balik lagi deh ke tempat tidurku ngambil hapeku. Siapa sih pagi-pagi yang menelefon?” Sully berkata lirih seakan-akan ia berkata sendiri dan mengajak berbicara dengan hatinya sendiri. “Hey Sully! Salju loh di luar.” Oh! Ternyata Tasyfa teman sekelasku yang menelepon. Duh ganggu kegiatan pagiku aja nih, Tasyfa… Sully berkata dalam hati. Lagipula Sully kan sudah tahu hari ini saljunya lebat. Sepertinya Tasyfa tidak ada kerjaan di rumah pagi-pagi, sehingga iseng menelefon orang. “Iyah. Aku udah tahu daritadi, sayang. Mau main nggak ke Bloudan atau nggak ke Ya’four? Mumpung hari Jum’at ni, Tasyfa… Kita main-main salju yuk! Sambil piknik gitu…” rengek Sully secara lembut pada Tasyfa. “Oke, then. If you want it, I’ll ask to them first.” “Who’s them that you mean?” tanya Sully yang tak tahu siapa yang dimaksud Tasyfa. “Sahabat kita-laaaaaah, Sully.” “Oalah heheheh. Oke oke. Call them first. After that, you call me back what they have answered to you.” “Iyaaah nona yang cantik, manis, dan tralalatrilili…” Tasyfa seraya mengejek si Sully yang memang ceriwis dan cerewet. “Ih apaan sih kamu ini, Tasyfa. Nggak ada bedanya ah nih dari kecil. Masih aja kalo ngomong nggak jelas gitu deh. Wuuuu.” batin Sully yang sedikit malas mendengar Tasyfa berbicara aneh seperti itu. “Hahaha. Oke. Bye Sully. Take care.” “Bye Tasyfa sayang. Muaaahh…” KLIK! Putuslah sudah perbincangan mereka. Senangnya Sully, mempunyai sahabat yang baik dan setia menemaninya. Ingin selalu bersamanya kemana-mana. Suka dan duka ditanggung bersama. Sulit mungkin baginya untuk berpisah jauh dengan mereka.
4
Dan hari ini, hari yang pas untuk Sully pergi bersama sahabatnya. Winter in Damascus kali ini akan Sully jadikan sebagai kenangan terindah bagi dia bersama sahabat-sahabat tercintanya. Tetapi ia juga ingin mengisi Winter in Damascus tahun 2011 bulan Januari ini dengan keluarga. Entah, ia tak ingin masa-masa ini menjadi kosong, hampa, dan terlewati begitu saja. Begitu keluar dari kamarnya, Sully tersenyum bahagia. Menghela nafas panjang dan tersenyum lagi. Bisa dibayangkan, ia seperti kesurupan. Senyum-senyum sendiri. Ibunya hanya geleng-geleng kepala melihat anak sulungnya itu. “Ayo Sully, Jeremy, dan Dimasqy. Sarapan dulu yuk! Mama udah siapin roti tawar putih sama martadella goreng. Pasti kalian suka deh. Yuk!” ajak Ibu Rasty (ibunya Sully) kepada anak-anaknya sembari menyiapkan piring-piring di atas meja makan. “Oke maaaa… Yuk adek-adekku sayang kita makan. Seperti biasa Jeremy, kita makan dulu baru mandi deeeh.” jawab Sully pada ajakan ibunya dan merangkul pundak Jeremy. “Iya Sully… Gue tahu. Udah biasa deh kita kayak gini. Lo masih aja ngomong kayak gitu.” Jeremy, adik pertama Sully yang hanya beda satu tahun umurnya dengannya biasa memanggil kakaknya dengan tidak menggunakan “kak” karena Sully menyuruhnya untuk memanggil namanya saja. Maka tidak salah lagi, mereka begitu dekat dibandingkan dengan adek bungsunya -si Dimasqy- yang masih berumur 7 tahun. “Sully! Jeremy! Ayo makan!” ajak Ayah mereka. “Oke papa… Yuk Jeremy! Daritadi sih kita ngobrol-ngobrol mulu. Jadi nggak kesana-sana. Huuuu!” jawab Sully pada Ayah dan berbisik sebentar dengan Jeremy. Jeremy hanya melirik sinis pada kakaknya. Lalu, Sully menarik tangan Jeremy untuk menuju ke ruang makan. “Ayooook, myyyyy! Laper.”
***
Cuplikan kedua di cerpen ketujuh Kejadian di Bloudan… Di tengah-tengah perbincangan mereka, Glen dan Jeremy berbisik-bisik, dan Glen menyodorkan handphone-nya kepada Jeremy untuk melihat. Sully dan Dita yang daritadi memerhatikan mereka, seperti ada yang berbeda dari raut wajah mereka. Raut wajah mereka tiba-tiba berubah menjadi (seperti) musuh seketika. Sully dan Dita penasaran dengan apa yang mereka bicarakan sejak awal duduk di rumah makan ini. Sully mengingat-ingat, apa mereka terpengaruh oleh laki-laki itu yang suka mengolokolok sekolah kita? Sungguh kejam jika Glen dan Jeremy benar-benar terpengaruh dan menjauhi kita karena “dia”. Kalau sampai Jeremy benar-benar terpengaruh, tidak akan aku maafkan. Selain karena aku kakaknya, ia juga anak guru Sekolah Indonesia Damaskus. Seharusnya malu bersikap seperti “dia”. “Glen! Aku tahu kamu emang deket banget sama Wisnu semenjak acara apkres SILN tahun kemarin. Dan kamu sempat cuekin aku sama Frista pas acara itu. Kamu agak berubah. Cuma akhir-akhir ini, kamu emang jadi baik lagi sama kita. Tapi kok….” Belum selesai Dita berbicara, Glen menjawabnya, “Tapi kok apa? Mau ngomong, gue terpengaruh Wisnu lagi sekarang? Eh lo tau nggak. SID emang nggak ada apa-apanya buat gue. Apaan murid dikit, kelas dikit, lo semua nggak punya kelebihan, tempat buat nge-dance aja nggak ada. Wisnu ada benernya-lah gue pindah sekolah aja. Ke sekolahnya, Sekolah Indonesia Kuala Lumpur tuh kan lebih baik dari S-I-D. Ya nggak, Jeremy? Banyak kelas, murid, trus ada……”
5
BRUUUUUUK! Veno dan Sully sama-sama marah mendengar perkataan Glen yang sungguh menyakitkan hati sebagai seorang murid SID. Mereka berdua sama-sama menggertakkan kedua kepalan tangannya ke meja. “Baru pertama kali ada yang diantara kita ngingkarin janji kita. Janji untuk setia membela SID dan nggak jelek-jelekkin SID. Kacau! Sumpah kacau lo, Glen. Lo selain dosa, lo udah ngebuat Sully dan yang lain sakit hati termasuk gue. Gue nggak nyangka lo di belakang ini terpengaruh sama Wisnu yang nggak suka sama SID pas acara apkres SILN kemaren.” Secara spontan dan sederhana Veno mengatakan itu semua pada Glen. “Lo mau ngajak berantem, huh?”Lawan Glen dan Jeremy. “GLEN! JEREMY! Kamu berdua tuh sakit. Sakit dan nggak normal. Pantes aja akhir-akhir ini lo berdua pernah nyuruh kita stop latihan nge-dance, main band, apalah itu keahlian kita. AAAAAAAAAAAAAAAAARKH! Aku benar-benar marah banget sama kalian. Aku sakit hati tau nggak. Glen, kita sahabat. Jeremy, apalagi kita kakak-adik dilahirkan satu ayah dan ibu. Kamu malu harusnya Jeremy! Kamu anak guru SID.Kok malah jelek-jelekkin SID? Sejak kapan kamu berubah? Sully nggak pernah tahu.” Sambil menghapus air matanya, ia berbicara lagi, “Glen. Aku nggak nyangka kamu kayak gitu. Wisnu salah satu anak SIKL yang benci banget sama SID. Malah kamu deketin. Aku heran. AAAAAAAAAAARKH! Kalian berdua udah ngehancurin perasaan kebahagiaanku di winter tahun ini. Gila, aku bener-bener kecewa sama kalian. Terutama sama kamu Jeremy.” Glen dan Jeremy tidak menghiraukan perkataan Sully, Veno, dan Dita. Mereka tetap saja diam seribu bahasa dan pura-pura tidak mendengar. Mereka masing-masing mengeluarkan headset untuk mendengarkan lagu di i-Phone mereka. Sully tidak tahan dengan perbuatan mereka. Ia benar-benar kecewa dengan sikap mereka. Mereka sudah menghancurkan rencana Sully hari ini untuk dijadikan kenangan yang terindah sepanjang masanya. Ia menahan tangis dan isaknya menuju meja makan yang lain. Ia memilih untuk duduk dekat dengan meja Ibu-ibu dan Bapak-bapak di pojok sebelah kanan dari pintu masuk tempat para koki memasak. Disusul dengan Veno, Dita, Frista, Tasyfa, dan Cecil untuk duduk bersama. Ibu-ibu mereka heran melihat Sully dan lima sahabatnya pindah tempat dan meninggalkan Jeremy bersama Glen. Sedangkan orang-orang Arab di sekitarnya hanya menggelengkan kepala, mungkin karena tidak paham apa yang sedang terjadi di antara Sully dan sahabat-sahabatnya. Tetapi tadi, ada yang diantara mereka kaget melihat Sully dan Veno menggertakkan kepalan tangannya dengan keras ke meja. “Guys, udah jadi loh satenya!!!” Haikal yang tak tahu apa yang sedang terjadi diantara sahabatnya. Ia masih terlihat senang. Padahal Sully dan sahabatnya (kecuali Glen) sedang mengalami masalah yang luar biasa menyakitkan hati mereka. Haikal bingung seketika melihat sahabatnya yang lemas. Tidak seperti biasanya mereka lemas seperti itu dan Glen terpisah dari mereka. Lalu Veno menarik tangan Haikal dan mengajaknya keluar untuk berbincang tentang apa yang terjadi.
**to be continued**
6