MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG STUDI “ BASELINE” EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN DAN EKOSISTEM TERKAIT DI PERAIRAN BINTAN TIMUR DAN SEKITARNYA, KESEHATAN EKOSISTEM TERKAIT DI KABUPATEN 2014 KABUPATENBINTAN, BINTAN, 2014 Disusun oleh : Suharsono Susetiono Anna E.W. Manuputty Hendrik A.W. Cappenberg Suyarso Agus Budiyanto Johan Picasouw Priti Swasti I Wayan Eka Dharmawan Susi Rahmawati
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Kesehatan Ekosistem Terkait di Kabupaten 2014Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di perairan Bintan Studi BaselineBintan, Ekosistem © 2014 CRITC COREMAP - CTIBintan, LIPI 2014 Timur dan sekitarnya, Kabupaten Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Editor : Anna E.W. Manuputty Desain sampul dan tata letak : Foto-foto : Data : CRITC- Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Coral Reef Information and Training Center Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Gedung LIPI, Jl, Raden saleh 43,Jakarta 10330 Telepon : 021 3143080 Faximili : 021 3143082 Website : www.coremap.co.id
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan karunia berupa wilayah perairan laut Indonesia yang sangat luas dan keanekaragaman hayatinya yang dapat dimanfaatkan baik untuk kemakmuran rakyat maupun untuk obyek penelitian ilmiah. Sebagaimana diketahui, COREMAP yang telah direncanakan berlangsung selama 15 tahun yang terbagi dalam 3 Fase, kini telah melewati dua fase. Fase ke 3 (COREMAP CTI) sudah dimulai, dengan diadakan studi baseline di beberapa perairan kabupten,di wilayah ADB (Indonesia Barat). Kegiatan ini ditujukan untuk mengetahui perkembangan kondisi karang di lokasi-lokasi dalam wilayah Kawasan Konservasi Laut Daerah, dan juga untuk mengetahui kondisi ekosistem terkait lainnya yaitu padang lamun dan mangrove. Hasil kegiatan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan didalam menentukan kebijakan serta sebagai bahan evaluasi untuk terlaksananya kegiatan COREMAP-CTI . Dalam rangka kesinambungan penelitian di perairan laut Indonesia, maka pada bulan September 2014, telah dilakukan penelitian di daerah ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya, yang mengambil lokasi di Perairan Kabupaten Bintan. Data –data yang dikumpulkan akan disusun dalam bentuk laporan ilmiah yang akan dipakai sebagai “database” ataupun akan disebarkan sebagai masukkan ke pemerintah daerah setempat, untuk digunakan sebagai bahan acuan pengambil kebijakan untuk pengelolaan dan pemeliharaan ekosistem pesisir. Pada kesempatan ini pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam kegiatan penelitian lapangan dan analisa datanya, sehingga laporan tentang ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait ini dapat tersusun. Kami menyadari, laporan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu, diharapkan adanya suatu masukkan, kritik dan saran yang membangun untuk dapat menambah kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Jakarta, Desember 2014 Koordinator CRITC,
Drs. Susetiono MSc.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
i
ABSTRAK
Kabupaten Bintan merupakan sebuah kepulauan di Propinsi Kepulauan Riau yang memiliki luas 1.318 km2 yang terletak di bagian selatan Laut Cina Selatan .Ekosistem terumbu karang, padang lamun, ekosistem mangrove tersebar hampir di seluruh area kawasan pesisir. Tahun 2009, di wilayah kabupaten ini ditetapkan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Bintan sebagai satu-satunya kawasan konservasi tingkat kabupaten ditetapkan melalui SK Bupati No. 58/II/2009 memiliki luas 472.905 ha. Dasar penetapan kawasan menjadi wilayah konservasi adalah tingginya keanekaragaman terumbu karang namun dihadapkan pada tingginya gangguan antropogenik terhadap kondisi karang tersebut. Selain karang, wilayah ini memiliki luasan mangrove dan padang lamun yang cukup tinggi khususnya diwilayah selatan Pulau Bintan. Dalam rangka pelaksanaan kegiatan COREMAP CTI, telah dilakukan penelitian untuk mengumpulkan data dasar (baseline study) , pada bulan September 2014. Kegiatan penelitian meliputi pengamatan ekosistem terumbu karang yaitu pengamatan karang, ikan karang dan biota megabentos, juga pengamatan ekosistem terkait yaitu ekosistem mangrove dan padang lamun. Lokasi yang diamati masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah, terletak di pesisir timur Pulau Bintan Kecamatan Bintan Timur, Pulau Mapur, Pulau Erapas, Pulau Numbing, yang merupakan stasiun lama pada COREMAP II, dan stasiun tambahan di Pulau Pangkil Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data dasar ekosistem terumbu karang, mengukur kesehatan hutan mangrove yang tumbuh di pesisir KKPD Kabupaten Bintan, dalam kaitannya juga dengan padang lamun . Metode yang digunakan ialah metode transek, dan masing-masing substansi mempunyai modifikasi transek tersendiri, karang dengan “Underwater Photo Transect, ikan karang dengan “Underwater Visual Census”, megabentos, dengan “Reef Check Benthos”. Untuk mangrove dengan transek tegaklurus garis pantai, dibantu dengan pembuatan petak, untuk lamun dengan transek (50 m),sejajar garis pantai. Untuk Sistem Informasi Geografis, menggunakan data citra sebagai peta dasar dan dengan pegecekan langsung di lapangan (ground truth). Hasil pengamatan, untuk karang, secara garis besarnya persentase tutupan karang bervariasi dari kategori jelek sampai dengan baik. Hasil sensus visual ikan karang kategori ikan indikator dan ikan target di Kabupaten Bintan pada 14 stasiun pengamatan mencatat sebany1.167 individu yang tergolong dalam 31 jenis dan suku 7 . Fauna megabentos yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan adalah sebanyak 5 jenis dengan total individu 1629 individu. Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara 63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Total lamun yang tercatat di seluruh transek permanen di Perairan Bintan adalah sembilan jenis, yaitu Enhalus acoroides (Ea), Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea rotundata (Cr), Cymodocea serrulata (Cs), Halodule uninervis (Hu), Halophila pinifolia (Hp), Syringodium isoetifolium (Si), Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis (Ho). Hasil selengkapnya untuk masing-masing substansi penelitian , disajikan dalam bentuk peta, grafik maupun tabel.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
iii
RINGKASAN EKSEKUTIF A. PENDAHULUAN Kabupaten Bintan terletak antara °00’ Lintang Utara 1°20’ Lintang Selatan dan 104°00’ Bujur Timur 108°30’ Bujur Barat. Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kecamatan Bintan Timur, P. Numbing, P. Mapur dan P. Erapas, yang termasuk dalam Kabupaten Bintan, memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan ini memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Seiring dengan berjalannya waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang berkelanjutan telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan perairannya. Kabupaten Bintan merupakan sebuah kepulauan di Propinsi Kepulauan Riau yang memiliki luas 1.318 km2 yang terletak di bagian selatan Laut Cina Selatan dan berbatasan dengan Kabupaten Batam dan Singapura. Topografi daratan yang cukup landai, banyak muara sungai dan teluk, membuat kawasan pesisir Kabupaten Bintan memiliki ekosistem pantai pesisir yang lengkap. Ekosistem mangrove di Kabupaten Bintan terbilang cukup unik. Dibandingkan dengan terumbu karang dan lamun, ekosistem mangrove tersebar hampir diseluruh area kawasan pesisir. Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Bintan sebagai satu-satunya kawasan konservasi tingkat kabupaten ditetapkan melalui SK Bupati No. 58/II/2009 memiliki luas 472.905 ha. Dasar penetapan kawasan menjadi wilayah konservasi adalah tingginya keanekaragaman terumbu karang namun dihadapkan pada tingginya gangguan antropogenik terhadap kondisi karang tersebut. Selain karang, wilayah ini memiliki luasan mangrove yang cukup tinggi khususnya diwilayah selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kesehatan hutan mangrove yang tumbuh di pesisir KKPD Kabupaten Bintan, dalam kaitannya dengan padang lamun dan selanjutnya ke arah laut dengan ekosistem terumbu karang. Dengan adanya kebijakan untuk mengelola ekosistem-ekosistem ini secara baik dan terpadu, diharapkan dapat menjaga kelestarian ekosistem pesisir dengan sumberdaya yang ada di dalamnya, untuk kesejahteraan masyarakat pesisir di wilayah ini.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
v
B. METODE PEMANTAUAN YANG DIGUNAKAN Lokasi yang diamati masuk dalam zona kawasan konservasi laut, terletak di pesisir timur Pulau Bintan Kecamatan Bintan Timur, Pulau Mapur, Pulau Erapas, Pulau Numbing, yang merupakan stasiun lama pada COREMAP II, dan stasiun tambahan di Pulau Pangkil. Posisi stasiun ditentukan dengan menggunakan GPS. SIG (Sistem Informasi Geografis) Untuk keperluan peta habitat laut dangkal, data citra penginderaan jauh (indraja) digunakan sebagai data dasar. Data citra inderaja yang dipakai dalam studi ini adalah citra digital Landsat 8 pada saluran spektrum tampak, saluran infra-merah dekat, serta saluran inframerah tengah (band 2, 3, 4, 5, 6, dan 7). Sedangkan saluran inframerah dekat dan tengah (saluran 5 serta 6 dan 7) tetap dipakai karena band 5 masih berguna untuk perairan dangkal, serta band 6 dan 7 berguna untuk membedakan ekosistim mangrove. Pemetaan habitat laut dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan klasifikasi multispektral. Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan kolom air, sehingga objek dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman yang digunakan adalah transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang dikembangkan
oleh
Lyzenga
(1981).
Klasifikasi
multispektral
dilakukan
untuk
mengelompokkan piksel citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi beberapa kelompok berdasarkan objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar laut dangkal. Pemetaan mangrove dilakukan menggunakan citra landsat 8 liputan September 2014 melalui komposit saluran (band) 5,6 dan 3. Mangrove merupakan vegetasi yang mempunyai kaandungan klorofil sangat tinggi dibanding vegetasi lain di sekitarnya. Pada citra komposit tersebut akan terlihat sebaran mangrove di Pulau Bintan. Selanjutnya menggunakan metode digitasi manual, akan diperoleh penyebaran vegetasi mangrove beserta luasannya Survei lapangan (ground truth) diperlukan
untuk mengetahui kenampakan
sebenarnya dilapangan yang terekam oleh citra satelit. Pengambilan titik pengamatan dilakukan secara sistematis dengan membuat jalur transek mulai dari garis pantai hingga ujung terumbu atau tubir. Pengamatan dilakukan menggunakan teknik snorkeling serta berhenti sejenak untuk mencatat ketika terjadi perubahan kenampakan didasar perairan. Setiap titik pengamatan dicatat lokasinya menggunakan alat receiver GPS.
vi
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
Karang Metode yang digunakan ialah dengan UPT (Underwater Photo Transect), dengan bantuan bingkai (frame) ukuran 44 x 58 cm.. Pita transek dibentangkan sepanjang 50 meter, sejajar garis pantai. Pemotretan dimulai dari meter ke 1 pada bagian sebelah kiri garis transek (bagian yang lebih dekat dengan daratan) sebagai ”Frame 1” ,
dilanjutkan dengan
pengambilan foto pada meter ke-2 pada bagian sebelah kanan garis transek (bagian yang lebih jauh dengan daratan) sebagai ”Frame 2” dan seterusnya Pemotretan dilakukan pada panjang transek 50 m dimulai dari frame ke-1 hingga ke-50 dengan luas bidang pemotretan 2
minimal 1200 cm untuk setriap framenya. Kegiatan ini dilakukan dengan penyelaman dengan menggunakan peralatan selam SCUBA. Teknik analisis foto menggunakan 30 sampel titik acak dari masing=masing frame. 2
Luas bidang 1200 cm per frame dapat dihasilkan dari pemotretan menggunakan kamera SW dengan jarak pemotretan 60 cm dari dasar dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom).
Ikan Karang Metode yang digunakan dalam melakukan pemantauan ikan karang adalah metode Underwater Visual Census (UVC) yang sudah dimodifikasi (Dartnall and Jones, 1986). Pemantauan dilakukan di garis transek yang sama dengan kegiatan penelitian karang, agar sekaligus mendapatkan data bentik yang menggambarkan habitatnya. Penamaan ikan karang mengacu pada buku panduan ikan karang (Allen & Swainston, 1993; Allen & Steene, 1996; Allen, 1999; Allen et al., 2003; Kuiter & Debelius, 1994). Jenis ikan yang diamati dalam penelitian ini
dibatasi pada semua
jenis
ikan
indikator (suku Chaetodontidae), dan ikan-ikan target (6 suku), dari suku: Haemulidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Scaridae, Serranidae, dan Siganidae. Hal ini lebih untuk melihat dampak antara kedua kelompok ikan ini terhadap kondisi terumbu karang, mengingat kelompok ikan indikator sebagian besar merupakan ikan pemakan polip karang. Sedangkan ikan target adalah kelompok ikan pangan yang memiliki nilai ekonomis, baik itu untuk dikonsumsi masyarakat maupun diperjual belikan. Jadi kedua kelompok ikan ini secara langsung bisa memberi gambaran mengenai kondisi terumbu karang itu sendiri. Sensus dilakukan pada garis transek sepanjang 70 m dengan lebar pengamatan 5 m, sehingga total luas daerah pengamatan pada tiap stasiun adalah 350 m2. Pengamatan
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
vii
dilakukan pada satu kedalaman berkisar antara 5 – 7 m. Pengamatan ikan karang dibagi dalam 2 kategori yakni ikan indikator dan ikan target.
Megabentos Pengamatan megabentos, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting dan berperan langsung di dalam ekosistem dapat dijadikan indikator dari kesehatan terumbu karang. Pengamatan dilakukan menggunakan metode Reef Check. Semua fauna yang berada 1 meter di sebelah kiri dan kanan pita berukuran 70 meter tadi dihitung jumlahnya, sehingga luas bidang yang teramati per-transeknya yaitu (2 x 70 m2) = 140 m2. Adapun fauna megabentos yang dicatat jenis dan jumlah individunya sepanjang garis transek terdiri dari : •
Lobster (udang karang)
•
”Banded coral shrimp” (udang karang kecil yang hidup di sela cabang karang
•
Acanthaster planci (bintang bulu seribu)
•
Diadema setosum (bulu babi hitam)
•
“Pencil sea urchin” (bulu babi seperti pensil)
•
“Large Holothurian” (teripang ukuran besar)
•
“Small Holothurian” (teripang ukuran kecil)
•
“Large Giant Clam” (kima ukuran besar)
•
“Small Giant Clam” (kima ukuran kecil)
•
Trochus niloticus (lola)
•
Drupella ( sejenis Gastropoda / keong yang hidup di atas atau di sela-sela karang terutama karang bercabang)
Mangrove Untuk mengetahui struktur dan komposisi mangrove di kawasan lokasi penelitian akan dilakukan pencuplikan data dengan menggunakan transek. Transek dilakukan dengan cara membuat garis tegak lurus pantai kearah darat dengan membuat petak-petak (Cox, 1969). Sebelum melakukan pencuplikan data dilakukan pengamatan lapangan yang meliputi seluruh kawasan hutan yang bertujuan untuk melihat secara umum keadaan fisiognomi dan komposisi tegakan hutan serta keadaan pasang surutnya.
viii
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
Data vegetasi dari setiap transek dicuplik dengan menggunakan metode kuadrat (Qosting 1956) yang ukurannya sebagai berikut : -
10 x 10 meter untuk pohon (diameter batang > 10 cm),
-
5 x 5 meter untuk anak pohon (diameter 2 - < 10 cm)
-
1 x 1 meter untuk semai (diameter 2 cm dan kurang dari 1,5 meter).
Pada setiap petak tersebut semua tegakan diidentifikasi jenisnya, diukur diameternya dan tingginya serta dihitung jumlah individu masing-masing jenis. Data yang diperoleh dianalisa dengan cara Cox (1967). Lamun Transek permanen dilakukan sepanjang 50 m, diletakkan pada padang lamun dengan persentase penutupan yang relatif homogen. Tiga titik permanen dibuat dengan patok besi pada titik 0 m, 25 m, dan 50 m . Posisi transek berada relatif dekat pantai. Kemudian, koordinat setiap transek dicatat dengan menggunakan GPS. Parameter yang dihitung adalah persentase penutupan dan panjang daun setiap jenis lamun yang dominan pada suatu transek permanen. Frame berukuran 0,25 m2 diletakan secara acak dengan 12 kali pengulangan untuk menentukan penutupan total lamun dan penutupan lamun perjenis. Sampel lamun untuk pengukuran panjang diambil secara acak pada awal, tengah, dan akhir transek. Kriteria kondisi lamun berdasarkan penutupan mengacu pada KepMenLH nomor 200 tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun.
C. HASIL Habitat laut dangkal yang dapat dipetakan terdiri dari tiga kelas yaitu karang, makroalgae, dan substrat terbuka. Habitat karang pada peta ini merupakan hamparan yang didominasi oleh karang hidup serta karang mati baik yang tertutup algae maupun tidak. Habitat tersebut biasanya ditemui pada ujung wilayah rataan terumbu yang menghadap ke arah laut, mulai dari reef crest, tubir (reef edge) hingga lereng terumbu (reef slope). Makroalgae merupakan hamparan yang didominasi oleh makroalgae dengan tutupan karang hidup yang sedikit. Substrat terbuka pada peta merupakan permukaan dasar perairan yang tidak didominasi oleh tutupan biota maupun vegetasi, dapat berupa pasir, batu, maupun lumpur. Habitat perairan dangkal yang diperoleh, terdiri atas 4 klas yang disajikan pada
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
ix
Tabel luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove di perairan Bintan Timur di bawah ini. Habitat
Karang Pasir Substrat campuran: terdiri dari pasir, spot karang hidup dan karang mati, pecahan dan bongkah karang serta algae/sargasum. Lamun Mangrove
Luas (Ha) 2445.19 3586.20 3790.36 700.13 2852.57
Persentase tutupan karang hidup yang dicatat di lokasi transek berkisar antara 1,20% 54,80%, dengan tutupan tertinggi terdapat di stasiun KRIL A, yaitu 54,80% dan terendah di KRIL17 (1,20%). Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa tutupan karang hidup berada pada kondisi “jelek” hingga “baik”. Umumnya karang yang dicatat dalam pengamatan ini, didominasi oleh karang jenis Non-Acropora. Pertumbuhan karang batu pada 14 lokasi transek didominasi oleh Galaxea fascicularis dan Porites cylindrica (sub-massive), serta Porites lobata dan Porites lutea (massive). Dari hasil pengamatan, dicatat hanya 3 (tiga) stasiun yang kondisi karangnya masuk dalam kategori “baik” (50 % - 74,99%) yaitu stasiun KRIL 77, KRIL 81 dan KRIL A. Untuk kategori “sedang” (25 % - 49,99 %) ditemukan di 7 (tujuh ) stasiun, berturut-turut di stasiun KRIL 92, KRIL18, KRIL B, KRIL 90, KRIL 13, KRIL 15 dan KRIL 74.Sisanya ada 4 (empat) stasiun dalam kondisi “jelek”. Persentase tutupan DCA ( karang mati beralga) dicatat tertinggi di stasiun KRIL17 (80,80 %). Stasiun ini terletak di bagian timur Pulau Mapur dan berhadapan dengan laut lepas yang sering menerima tekanan ombak yang besar.yang menarik di lokasi ini didominasi oleh karang dengan bentuk pertumbuhan bercabang. Jenis karang yang dominan di lokasi ini yaitu dari jenis Caulastrea furcata dan dari marga Acropora terutama A. brueggemanni, dan marga Montipora yaitu M.foliosa. Kelompok Acropora diketahui untuk tumbuh baik, memerlukan sirkulasi arus yang juga baik. Hasil sensus visual ikan karang kategori ikan indikator dan ikan target di Kabupaten Bintan pada 14 stasiun pengamatan mencatat sebany1.167 individu yang tergolong dalam 31 jenis dan suku 7 . Ikan indikator yang ditemukan sebanyak 2 jenis yakni dari suku Chaetodontidae yaitu Chaetodon oktofasciatus dan Chelmon rostratus, sedangkan ikan target
x
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
yang ditemukan sebanyak 29 jenis dari 6 suku. Penelitian di Kabupaten Bintan terbagi atas dua lokasi yakni di lokasi Sekitar Bintan Timur (8 stasiun) dan lokasi sekitar P. Mapur (6 stasiun). Hasil sensus visual ikan target ditemukan sebanyak 49 jenis dari 10 suku dengan total kehadiran sebanyak 1302 individu atau kepadatan ikan mencapai 0, 2657 ekor/m2 atau 2657 ekor/ha. Suku Caesionidae
memiliki kelimpahan individu
tertinggi sebesar 587
individu, terdiri dari 4 jenis , diikuti suku Lutjanidae sebanyak 198 individu (6 jenis), suku Scaridae sebanyak 125 individu dan Serranidae sebanyak 85 individu sedangkan yang terendah adalah suku Lethrinidae sebanyak 8 individu (3 jenis) dan Haemulidae sebanyak 4 individu (2 jenis) Fauna megabentos yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan adalah sebanyak 5 jenis dengan total individu 1629 individu. Megabenthos yang ditemukan terbagi dalam 2 kelompok, yaitu Ekinodermata terdiri dari Acanthaster planci dan Diadema sp. (2 jenis) dan kelompok Moluska terdiri dari Drupella spp., Tridacna sp. dan Trochus sp. Jumlah jenis terbanyak terdapat di stasiun KRIL16 (4 jenis) sedangkan yang terendah di stasiun KRIL74, KRIL81 dan KRIL90 (masing-masing 2 jenis). Dilihat dari jumlah individu, stasiun KRIL14 memilik jumlah individu tertinggi, yaitu sebanyak 305 individu/m2, diikuti KRIL17 (203 individu/m2) dan KRIL85 (181 individu/m2). Kontribusi Diadema sp. terhadap tingginya jumlah individu megabentos pada stasiun KRIL14 sangat dominan, sebesar 92,79% dari total individu pada stasiun tersebut. Jenis ini memiliki sebaran yang sangat luas dan hadir pada semua stasiun pengamatan. Sedangkan jumlah individu terendah di catat pada stasiun KRIL81 (3 individu/m2) dan hanya terdiri dari 2 jenis megabentos yaitu Diadema sp. dan Drupella sp. Hasil pengamatan menunjukkan jumlah individu dari setiap jenis yang ditemukan pada masing-masing stasiun didominasi oleh kehadiran Diadema sp. Kehadiran jenis ini erat kaitannya dengan substrat sebagai tempat hidup, ketersediaan makanan serta mampu beradaptasi dengan lingkungan. Hampir semua stasiun pengamatan memiliki substrat yang didominasi oleh pasir. Umumnya jenis ini sering ditemukan dalam jumlah individu yang menonjol pada substrat pasir dengan kondisi perairan yang relatif tenang. Diadema termasuk hewan herbivor, makanan utama Diadema setosum dan bintang laut lainnya adalah alga bentik. Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
xi
63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Pulau Numbing memiliki persentase tutupan mangrove yang paling tinggi di dua stasiun penelitiannya BINM01 dan BINM02 yang tidak berbeda secara statistik (P<0.05). Persentase tutupan mangrove yang paling rendah ditemukan di Pulau Pangkil, stasiun BINM03. Berdasarkan data kerapatan pohon, stasiun BINM10 di Pulau Mapur memiliki kerapatan pohon tertinggi, yaitu 4.200,00 ± 1.449,14 pohon/ha sedangkan terendah di stasiun BINM03, Pulau Pangkil dengan kerapatan pohon lebih kecil dari 1000. Berdasarkan hal tersebut kawasan hutan mangrove pada stasiun BINM03 termasuk dalam kategori kurang baik/jarang. Dua stasiun di Pulau Pangkil, BINM03 dan BINM04 memiliki perbedaan pada kondisi substrat dan arus. Stasiun BINM03 didominasi oleh substrat pasir berbatu dan merupakan wilayah dengan arus yang cukup kuat. Oleh karena itu, kawasan BINM03 memiliki substrat yang padat dan tidak berlumpur sehingga rendah organik. Jenis yang mendominasi di kawasan ini adalah Bruguierra gymnorrhiza. Kawasan BINM04 memiliki substrat yang yang lebih berlumpur dan sedikit lebih terlindung dibandingkan dengan BINM03. Jenis yang mendominasi di kawasan ini adalah Rhizophora stylosa dengan indeks nilai penting 127.87%. Kawasan BINM03 yang lebih dinamis dibandingkan dengan BINM04 memiliki keanekaragaman jenis lebih tinggi. Satu stasiun di kawasan muara Sungai Kawal, BINM05, merupakan salah satu wilayah yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Pada kawasan ini ditemukan enam jenis mangrove,
yang mendominasi di kawasan ini berasal dari kelompok Rhizophora.
Kawasan Sungai Kawal memiliki keragaman substrat yang cukup tinggi. Pada transek yang dekat dengan muara sungai, substrat didominasi oleh lumpuran sedangkan pada wilayah yang lebih jauh dari sungai memiliki substrat berpasir. Hal ini yang menyebabkan keanekaragaman jenis mangrove cukup tinggi. Persentase tutupan mangrove di kawasan ini mencapai 75.07 ± 7.07% dengan kerapatan 1188.89 ± 483.33 pohon/ha. Nilai ini menunjukkan bahwa kondisi komunitas mangrove di muara Sungai Kawal termasuk dalam kategori baik. Stasiun Pulau Beralas Bakau, merupakan satu-satunya stasiun penelitian di wilayah utara kawasan konservasi. Pulau ini memiliki substrat pasir dengan kondisi perairan yang cukup dinamis. Stasiun BINM06 didominasi dengan baik oleh R. mucronata dengan nilai INP 125.95%. Kondisi komunitas mangrove di stasiun BINM06 tergolong baik dengan persentase tutupan 71.34 ± 14.89% dan kerapatan pohon 1333.33 ± 321.46 pohon/ha. Lokasi di Pulau Mapur, terdiri dari empat stasiun penelitian dimana semuanya difokuskan pada wilayah selatan dan timur pulau. Stasiun di wilayah timur pulau, BINM10
xii
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
memiliki hutan mangrove yang cukup lebar, dengan substrat bervariasi dari pasir lumpuran sampai berlumpur
menyebabkan keanekaragaman jenisnya yang cukup tinggi. Kondisi
komunitas mengrove pada stasiun tersebut juga paling baik diantara ketiga stasiun lainnya. Jenis yang mendominasi pada kawasan ini berasal dari kelompok Rhizophora, baik R. apiculata maupun R. mucronata. Total lamun yang tercatat di seluruh transek permanen di Perairan Bintan adalah sembilan jenis, yaitu Enhalus acoroides (Ea), Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea rotundata (Cr), Cymodocea serrulata (Cs), Halodule uninervis (Hu), Halophila pinifolia (Hp), Syringodium isoetifolium (Si), Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis (Ho) (Tabel 1). Dari ketiga lokasi, Pantai Trikora memiliki jumlah jenis lamun terbanyak (9 jenis), sedangkan daerah Numbing dan Pulau Pangkil memilik jenis lamun paling sedikit (2 dan 3 jenis lamun). Berdasarkan persentase penutupan, jenis T. hemprichii dan E. acoroides paling melimpah pada semua transek permanen di stasiun monitoring (dengan total lebih dari 50%). Jenis lainnya yang cukup mendominasi adalah C. rotundata dan C. serrulata, sedangkan jenis yang lain memiliki kelimpahan yang rendah. Stasiun monitoring dikelompokan menjadi tiga berdasarkan arah mata angin dan jarak. Nilai penutupan lamun terlihat jelas berbeda. Lokasi Pantai Trikora dan P. Beralas Pasir memiliki lamun yang padat dan kondisi yang baik, sedangkan rata-rata di kedua sublokasi memiliki nilai lamun yang kurang baik (jarang). Rata-rata lamun secara keseluruhan pada transek permanen monitoring lamun di Peraiaran Bintan menunjukkaan nilai 38,38 % dengan jenis dominan Thalasi hemprichii dan Enhalus. acoroides. Berdasarkan KepMEnLH No 200 Tahun xxx, kondisi lamun di Perairan Bintan kurang sehat, namun berbeda halnya apabila dilihat per sub- lokasi.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
xiii
DAFTAR ISI hal Prakata ................................................................................................................................
i
Abstrak ................................................................................................................................
iii
Ringkasan Eksekutif ..........................................................................................................
v
Daftar Isi .............................................................................................................................
xv
Daftar Gambar .................................................................................................................... xvii Daftar Tabel ........................................................................................................................ xvii Daftar Lampiran .................................................................................................................. BAB. 1.
BAB II.
xix
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
1.1. Latar Belakang........................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................
2
1.3. Tujuan dan sasaran Penelitian ................................................................
3
1.4. Metodologi .............................................................................................
3
1.4.1. Kerangka Berpikir ......................................................................
3
1.4.2. Metode ........................................................................................
5
1.4.2.1. SIG ................................................................................
5
1.4.2.2. Karang ..........................................................................
8
1.4.2.3. Ikan Karang ..................................................................
9
1.4.2.4. Megabentos ...................................................................
11
1.4.2.5. Mangrove ......................................................................
11
1.4.2.5. Lamun ...........................................................................
12
1.5. Pelaksana Kegiatan .................................................................................
13
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................
14
2.1. S.I.G ........................................................................................................
14
2.1.1. Sebaran Habitat Laut Dangkal dan Mangrove ............................
14
2.1.2. Pengelompokan data ...................................................................
17
2.2. Karang ....................................................................................................
17
2.2.1. Deskripsi Lokasi dan Kondisi Terumbu Karang ........................
18
2.2.2. Kondisi Terumbu Karang ...........................................................
22
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
xv
2.3. Ikan Karang ............................................................................................
24
2.3.1. Keanekaragaman Ikan Indikator dan Ikan target ........................
24
2.3.1.1. Sebaran Ikan Indikator..................................................
26
2.3.1.2. Sebaran Ikan target .......................................................
27
2.3.2. Estimasi Potensi Sediaan Cadang Ikan Target ...........................
30
2.4.. Megabentos .............................................................................................
32
2.4.1. Komposisi biota Megabentos ....................................................
32
2.4.2. Nilai Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan .............
34
2.5. Mangrove ................................................................................................
36
2.5.1. Persentase tutupan mangrove .....................................................
36
2.5.2. Kondisi mangrove di lokasi transek ...........................................
37
2.6. Lamun .....................................................................................................
39
2.6.1. Persentase tutupan Lamun ..........................................................
40
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
43
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................
44
LAMPIRAN ........................................................................................................................
46
BAB III.
xvi
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
DAFTAR GAMBAR hal. Peta lokasi penelitian ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………….
5
Gambar 2
Skema transek permanen lamun …………………………….
12
Gambar 3
Peta sebaran habitat perairan laut dangkal, hasil ground truth di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………………………
15
Peta persentase tutupan karang, hidup hasil studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………………………..
23
Histogram persentase tutupan karang, biota bentik dan substrat hasil studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014………………………
24
Gambar 1
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8
Gambar 9
Gambar 10
Gambar 11
Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator ikan target hasil studi baseline di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014………………………… Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…………………………………………………………
\ 26
27
Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan target, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014…..
29
Jumlah individu dan jenis megabentos hasil studi baseline dengan metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014........................................................................
34
Peta persentase tutupan mangrove hasil transek di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan 2014…………………….. Peta persentase tutupan lamun hasil transek, di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan 2014……………………… .
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
36
40
xvii
DAFTAR TABEL
xviii
Tabel 1
Kriteria status padang lamun………………………………….
13
Tabel 2
Luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, 2014…………………
15
Tabel 3
Diskripsi tutupan lahan hasil ground truth di pesisir perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan 2014……
17
Tabel 4
Jumlah Individu dan jumlah Jenis Ikan karang di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014. ………………………………..
25
Tabel 5
Jumlah Individu dan Jumlah Jenis setiap suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC, di perairan Bintan Utara, Kabupaten Bintan 2014…………………………………….
28
Tabel 6
Kelimpahan individu ikan target berdasarkan dominansi jenis (KI = kelimpahan individu, densitas(ekor/m2) dan FK = frekuensi kehadiran .(%).....................................................
29
Tabel 7
Total biomasa dari sepuluh suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014 …………………………………..
30
Tabel 8
Sepuluh jenis ikan target dengan total nilai biomasa, hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Utara,Kabupaten Bintan , 2014……………………………..
31
Tabel 9
Biomas dari beberapa jenis ikan Target Kelompok Utama hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan , 2014……………………………
31
Tabel 10
Komposisi jenis dan sebaran individu megabentos, hasil studi baseline dengan metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014......................................................
33
Tabel 11
Nilai indek keanekaragaman (H) dan kemerataan jenis (J’) pada masing-masing stasiun pengamatan.............................
35
Tabel 12
Jumlah jenis, persentase tutupan mangrove, kerapatan dan INP jenis pada sepuluh stasiun penelitian mangrove di pesisir Bintan Timur , Kabupaten Bintan, 2014. ……………………
37
Tabel 13
Komposisi dan kehadiran lamun di setiap stasiun pengamatan
39
Tabel 14
Rata-rata penutupan masing-masing jenis lamun di lokasi transek perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014…
42
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Lampiran 2.
Tabel persentase tutupan karang, biota bentik dan substrat hasil Studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, KabupatenBintan, 2014…………… ……………………………..
46
Sebaran ikan indikator dan ikan target di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014………………………….
47
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
xix
BAB. I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kabupaten Bintan adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Kabupaten Bintan sebelumnya bernama Kabupaten Kepulauan Riau. Perubahan nama ini dimaksudkan agar tidak timbul kerancuan antara Provinsi Kepulauan Riau dan Kabupaten Kepulauan Riau dalam hal administrasi dan korespondensi sehingga nama Kabupaten Kepulauan Riau (Kepri) diganti menjadi Kabupaten Bintan. Perubahan nama Kabupaten Kepulauan Riau menjadi Kabupaten Bintan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2006, tertanggal 23 Februari 2006. Kabupaten ini terletak antara °00’ Lintang Utara 1°20’ Lintang Selatan dan 104°00’ Bujur Timur 108°30’ Bujur Barat. Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kecamatan Bintan Timur, P. Numbing, P. Mapur dan P. Erapas, yang termasuk dalam Kabupaten Bintan, memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan ini memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikanikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Seiring dengan berjalannya waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang berkelanjutan telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan perairannya. Kabupaten Bintan merupakan sebuah kepulauan di Propinsi Kepulauan Riau yang memiliki luas 1.318 km2 yang terletak di bagian selatan Laut Cina Selatan dan berbatasan dengan Kabupaten Batam dan Singapura. Topografi daratan yang cukup landai, banyak muara sungai dan teluk, membuat kawasan pesisir Kabupaten Bintan memiliki ekosistem pantai pesisir yang lengkap. Ekosistem mangrove di Kabupaten Bintan terbilang cukup unik. Dibandingkan dengan terumbu karang dan lamun, ekosistem mangrove tersebar hampir diseluruh area kawasan pesisir. Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Bintan sebagai satu-satunya kawasan konservasi tingkat kabupaten ditetapkan melalui SK Bupati No. 58/II/2009 memiliki luas 472.905 ha. Dasar penetapan kawasan menjadi wilayah konservasi adalah tingginya keanekaragaman terumbu karang namun dihadapkan pada tingginya gangguan antropogenik terhadap kondisi karang tersebut. Selain karang, wilayah ini memiliki luasan mangrove yang cukup tinggi khususnya diwilayah selatan.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
1
Pada kegiatan COREMAP Fase sebelumnya, lokasi yang dipilih mencakup wilayah Kecamatan Bintan Timur, meliputi pesisir Desa Malang Rapat, Teluk Bakau, Kawal dan Gunung Kuang serta di Pulau Gyn Besar ,Pulau Numbing, Pulau Erapas dan Pulau Mapur.. Kegiatan kali ini juga ditentukan di lokasi-lokasi tersebut di atas, dan secara kebetulan masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD). Kegiatan studi baseline kali ini tdak hanya mengambil data ekosistem terumbu karang, namun juga ekosistem mangrove dan ekosistem lamun. Kondisi ekosistem karang dalam kawasan dipengaruhi oleh kondisi kesehatan lamun dan mangrove. Degradasi ekosistem mangrove akan menyebabkan peningkatan potensi kesehatan terumbu karang di dalam kawasan. Sehingga gangguan antropogenik terhadap kondisi kesehatan mangrove juga sangat perlu diperhatikan. Secara umum, pemanfaatan hutan mangrove secara lokal digunakan untuk keperluan rumah tangga. Namun ancaman terhadap vegetasi hutan mangrove di Kabupaten Bintan sangat terlihat dengan banyaknya dijumpai tambang-tambang bauksit tidak hanya di Pulau Bintan, tapi juga pada kawasan pulau-pulau kecil disekitarnya. Untuk itu diperlukan upanya pengelolaan yang baik dengan diawali dengan identifikasi kondisi fisik hutan mangrove melalui suatu kegiatan pemantauan yang berkelanjutan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kesehatan hutan mangrove yang tumbuh di pesisir KKPD Kabupaten Bintan, dalam kaitannya dengan padang lamun dan selanjutnya ke arah laut dengan ekosistem terumbu karang. Dengan adanya kebijakan untuk mengelola ekosistem-ekosistem ini secara baik dan terpadu, diharapkan dapat menjaga kelestarian ekosistem pesisir dengan sumberdaya yang ada di dalamnya, untuk kesejahteraan masyarakat pesisir, di wilayah ini.
1.2. Rumusan Masalah COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program), atau Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang, adalah program jangka panjang yang bertujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan secara lestari terumbu karang serta ekosistem terkait di Indonesia, yang pada gilirannya akan menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir. Lewat kegiatan komunikasi publik, yang merupakan salah satu komponen di dalam COREMAP, diharapkan kesadaran dan perilaku masyarakat akan semakin baik terhadap
2
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
terumbu karang. Masyarakat pesisir semakin memahami arti penting ekositem terumbu karang. Dengan demikian, diharapkan mereka tidak lagi menangkap ikan dengan cara merusak seperti menggunakan bom, dan mulai menjaga ekosistem terumbu karang yang ada di lokasinya, Untuk melihat kondisi terkini terumbu karang di suatu wilayah, serta melihat perubahan yang terjadi dari tahun ke tahun maka perlu dilakukan pemantauan kondisi terumbu karang secara berkala. Untuk itu, disetiap wilayah COREMAP dibuat beberapa stasiun permanen yang posisinya terdokumentasi dalam koordinat geografis, serta pencatatannya dibantu dengan alat GPS, sehingga pengamatan dapat dilakukan kembali di stasiun tersebut pada tahun berikutnya. Metode pemantauan yang digunakan dibuat baku dan sesederhana mungkin, tetapi tidak menghilangkan sifat keilmiahannya, sehingga kelak dapat dengan mudah dilakukan oleh masyarakat setempat.
1.3. Tujuan dan sasaran Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi awal (baseline study ), ekosistem terumbu karang beserta ekosistem lamun (seagrass) dan mangrove, di lokasi KKLD (Kawasan Konservasi Laut Daerah), yang hasil penelitiannya dipakai sebagai data dasar untuk kegiatan COREMAP-CTI . Sasaran penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mengetahui persentase tutupan terumbu karang, b. Mengetahui kepadatan rata-rata ikan karang, c. Mengetahui kepadatan rata-rata megabentos yang bernilai ekonomis penting ataupun yang dapat dijadikan indikator kesehatan terumbu karang, d. Mengetahui kerapatan lamun, e. Mengetahui kerapatan mangrove, f. Menghasilkan peta sebaran terumbu karang, lamun, dan mangrove,
1.4. Metodologi 1.4.1. Kerangka Berpikir Negara kepulauan dengan garis pantai yang cukup panjang, dengan sebagian besar penghuninya mendiami daerah pesisir, secara otomatis lebih menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam yang ada di pesisir pantai maupun daerah pasang surut, sampai ke lokasi
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
3
perairan lepas. Diketahui, di daerah pesisir ditemukan ekosistem yang berfungsi disamping sebagai pemasok sumberdaya pangan, juga sebagai pertahanan maupun peredam terhadap tekanan fisik dari laut. Ketiga ekosistem tersebut secara berurut dari darat ke laut, ekosistem mangrove, padang lamun dan ekosistem terumbu karang, yang mana saling memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Pada umumnya ke tiga ekosistem ini ditemukan di perairan pesisir wilayah kepulauan Indonesia. Eksploitasi maupun pengrusakan secara berlebihan pada salah satu ekosistem tersebut, dapat berujung pada musnahnya salah satu mata rantai makanan yang ada di dalamnya, dengan demikian keseimbangan ekologisnya terganggu, bahkan dapat menyebabkan hilang atau punahnya biota yang ada didalam ekosistem tersebut. Jalan keluar terbaik ialah, harus ada pemantauan yang yang intensif, untuk mengantisipasi bila ada perubahan yang terjadi, dapat dicari jalan keluar yang tepat guna kelestariannya di alam. Aktivitas manusia secara langsung maupun tidak langsung, berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang. Potensi ancaman terumbu karang akibat aktivitas manusia dapat berupa pembangunan di kawasan pesisir, polusi akibat aktivitas di laut, penangkapan ikan yang berlebihan dan merusak, serta polusi dan sedimen dari daratan (Burke dan Selig, 2000). Oleh karena itu, dalam upaya pelestarian terumbu karang perlu dilakukan pemantauan, agar perubahan kondisinya terdokumentasi. Data dan informasi mengenai kondisi terumbu karang yang disajikan secara berkelanjutan setiap tahunnya dapat digunakan sebagai bahan dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk upaya pengelolaannya. Terumbu karang tidak terlepas dari keberadaan padang lamun dan mangrove sebagai satu kesatuan ekosistem pesisir. Siklus kehidupan biota laut, terutama aliran bahan organik dan nutrisi prosesnya banyak terjadi di ketiga sistem tersebut. Sebagai contoh, daun mangrove dan batangnya yang terbawa oleh air laut akan diurai oleh bakteri dan jamur serta menghasilkan nutrisi yang berguna bagi hewan dan tanaman dilaut. Hal yang sama juga dialami oleh algae di karang dan lamun yang dapat dimakan oleh siput, ikan, atau penyu. Oleh karena itu, karena keterkaitan tersebut maka dalam penelitian ini di pantau juga kondisi padang lamun dan mangrove sebagai satu kesatuan ekosistem pesisir bersamaan dengan terumbu karang. Dengan melakukan pemantauan ekosistem pesisir secara berkala, maka dapat diketahui kondisi terkini dan perubahan yang terjadi di suatu lokasi sehingga dapat membantu pengambil kebijakan dalam melakukan langkah-langkah pengelolaan daerah pesisir yang
4
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
lebih baik. Dengan demikian diharapkan kekayaan sumberdaya pesisir di lokasi tersebut dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan tetap memperhatikan kelestariannya. 1.4.2. Metode Lokasi yang diamati masuk dalam zona kawasan konservasi laut, terletak di pesisir timur Pulau Bintan Kecamatan Bintan Timur, Pulau Mapur, Pulau Erapas, Pulau Numbing, yang merupakan stasiun lama pada COREMAP II, dan stasiun tambahan di Pulau Pangkil. Posisi stasiun ditentukan dengan menggunakan GPS. Secara umum, peta lokasi penelitian dapat dilihat dalam Gambar 1.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014. 1.4.2.1. Sistem Informasi Geografi (SIG) 1.4.2.1.1.Pra-pemrosesan Untuk keperluan peta habitat laut dangkal, data citra penginderaan jauh (indraja) digunakan sebagai data dasar. Data citra inderaja yang dipakai dalam studi ini adalah citra
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
5
digital Landsat 8 pada saluran spektrum tampak, saluran infra-merah dekat, serta saluran inframerah tengah (band 2, 3, 4, 5, 6, dan 7). Sedangkan saluran inframerah dekat dan tengah (saluran 5 serta 6 dan 7) tetap dipakai karena band 5 masih berguna untuk perairan dangkal, serta band 6 dan 7 berguna untuk membedakan ekosistim mangrove. Citra yang digunakan adalah citra dengan cakupan penuh (full scene) yaitu 185 km x 185 km persegi. Ukuran piksel, besarnya unit areal di permukaan bumi yang diwakili oleh satu nilai digital citra, pada saluran multispektral adalah 30 m x 30 m persegi. Selain saluran multispektral, Landsat 8 juga memiliki spektrum tampak dengan ukuran piksel atau resolusi spasial 15 m x 15 m persegi, yaitu pada saluran 8. Pada kegiatan ini, citra multispektral yang digunakan di tajamkan terlebih dahulu dengan meningkatkan resolusi spasialnya menjadi 15 m x 15 m dengan memanfaatkan saluran 8 melalui proses pan-sharpening. Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah GPS Garmin 76 C dan catatan lapangan, sedangkan wahana penelitian adalah perahu yang memungkinkan menembus perairan dangkal dan penjelajahan lapangan (tanpa wahana perahu) yang hanya bisa dilakukan pada saat laut sedang surut. Metode yang dipergunakan adalah ground truth, yakni mendiskripsi secara visual jenis substrat dasar perairan meliputi komposisi persentase material penyusun pada bentangan 15 m x 15 m, sedangkan posisi geografis dicatat menggunakan GPS dalam format derajad, desimal berdasar datum WGS 84. 1.4.2.1.2. Interpretasi Citra Pemetaan habitat laut dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan klasifikasi multispektral. Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan kolom air, sehingga objek dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman yang digunakan adalah transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang dikembangkan
oleh
Lyzenga
(1981).
Klasifikasi
multispektral
dilakukan
untuk
mengelompokkan piksel citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi beberapa kelompok berdasarkan objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar laut dangkal. Teknik klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi multispektral terbimbing dengan algoritma maximum likelihood. Saluran panjang gelombang yang digunakan untuk pemetaan laut dangkal adalah saluran biru (saluran 2), saluran hijau (saluran 3), saluran merah (saluran 4), dan saluran inframerah dekat (saluran 5). Saluran biru, hijau, dan merah merupakan spektrum tampak. Spektrum tampak memiliki kemampuan yang baik untuk berpenetrasi ke dalam kolom air, sehingga dapat digunakan untuk membedakan objek sebatas
6
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
pada perairan dangkal (Campbell, 1996). Saluran inframerah dekat, digunakan untuk membatasi wilayah daratan dan perairan karena spektrum tersebut diserap oleh air sehingga pada citra berwarna gelap (hitam). Perbedaan warna yang kontras tersebut (gelap dan terang) memudahkan pembedaan wilayah daratan dan perairan pada citra satelit. Pembedaan objek vegetasi mangrove dengan vegetasi lainnya dilakukan dengan memanfaatkan komposit citra RGB 567. Saluran 5 merupakan spektrum inframerah dekat yang peka terhadap pantulan spektral vegetasi yang berhubungan dengan struktur internal daun. Saluran 6 dan 7 merupakan saluran inframerah tengah yang peka terhadap kelembaban lahan. Mangrove tumbuh pada lahan basah, sehingga dapat dibedakan dengan vegetasi lainnya menggunakan saluran tersebut. Ciri khas lahan yang ditumbuhi mangrove pada citra komposit saluran 567 adalah berwarna oranye gelap (gambar 2). Warna oranye mewakili warna vegetasi yang ditonjolkan oleh saluran 5, dan warna gelap menunjukkan pada objek tersebut terletak pada lahan yang basah. 1.4.2.1.3. Pemetaan mangrove Pemetaan mangrove dilakukan menggunakan citra landsat 8 liputan September 2014 melalui komposit saluran (band) 5,6 dan 3. Mangrove merupakan vegetasi yang mempunyai kaandungan klorofil sangat tinggi dibanding vegetasi lain di sekitarnya. Pada citra komposit tersebut akan terlihat sebaran mangrove di Pulau Bintan. Selanjutnya menggunakan metode digitasi manual, akan diperoleh penyebaran vegetasi mangrove beserta luasannya. 1.4.2.1.4.Pemetaan substrat dasar perairan Metode analisis dilakukan menggunakan metode penginderaan jauh. Bahan yang digunakan untuk memetakan habitat perairan dangkal dan mangrove di Pulaun Bintan adalah citra satelit LANDSAT 8 path/row 125/59 perekaman September 2014. Pemetaan habitat perairan dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan klasifikasi multispektral. Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan kolom air, sehingga objek dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman yang digunakan adalah transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Lyzenga (1981) dan Principal Component Analysis (PCA) untuk menghasilkan beberapa citra yang tidak berkorelasi karena data citra multispektral seringkali berkorelasi tinggi antar tiap piksel pada saluran (band) yang berbeda . Klasifikasi multispektral dilakukan untuk mengelompokkan piksel citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi beberapa kelompok
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
7
berdasarkan objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar perairan dangkal. Teknik klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi multispektral terbimbing dengan algoritma maximum likelihood. Saluran panjang gelombang yang digunakan untuk pemetaan perairan dangkal adalah saluran biru (saluran 2), saluran hijau (saluran 3), saluran merah (saluran 4), dan saluran inframerah dekat (saluran 5). Saluran biru, hijau, dan merah merupakan spektrum tampak. Spektrum tampak memiliki kemampuan yang baik untuk berpenetrasi ke dalam kolom air, sehingga dapat digunakan untuk membedakan objek sebatas pada perairan dangkal (Campbell, 1996). Saluran inframerah dekat, digunakan untuk membatasi wilayah daratan dan perairan karena spektrum tersebut diserap oleh air sehingga pada citra berwarna gelap (hitam). Perbedaan warna yang kontras tersebut (gelap dan terang) memudahkan pembedaan wilayah daratan dan perairan pada citra satelit. Pembedaan objek vegetasi mangrove dengan vegetasi lainnya dilakukan dengan memanfaatkan komposit citra RGB 563. Saluran 5 merupakan saluran inframerah dekat (0,76–0,90 um) yang peka terhadap pantulan spektral vegetasi yang berhubungan dengan struktur internal daun. Pada saluran ini vegetasi mangrove dapat diidentifikasi berdasarkan diversivitasnya (keanekaragaman jenis). Hal ini terkait dengan adanya perbedaan struktur internal dari vegetasi mangrove. Saluran inframerah tengah (1,55–1,75 um) memiliki karakteristik pancaran vegetasi yang dipengaruhi oleh serapan air sehingga tumbuhan mangrove akan memberikan warna dan rona yang gelap. Hal ini disebabkan karena tumbuhan mangrove pada umumnya mengandung air dalam jumlah yang besar (Sato, 1996 dalam Hudaya, 2004). Survei lapangan digunakan untuk mengetahui kenampakan sebenarnya dilapangan yang terekam oleh citra satelit. Pengambilan titik pengamatan dilakukan secara sistematis dengan membuat jalur transek mulai dari garis pantai hingga ujung terumbu atau tubir. Pengamatan dilakukan menggunakan teknik snorkeling serta berhenti sejenak untuk mencatat ketika terjadi perubahan kenampakan didasar perairan. Setiap titik pengamatan dicatat lokasinya menggunakan alat receiver GPS. Data dan lokasi penyebaran stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 3. 1.4.2.2. Karang Metode yang digunakan ialah dengan UPT (Underwater Photo Transect), dengan bantuan bingkai (frame) ukuran 44 x 58 cm.. Pita transek dibentangkan sepanjang 50 meter, sejajar garis pantai. Pemotretan dimulai dari meter ke 1 pada bagian sebelah kiri garis transek (bagian yang lebih dekat dengan daratan) sebagai ”Frame 1” ,
8
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
dilanjutkan dengan
pengambilan foto pada meter ke-2 pada bagian sebelah kanan garis transek (bagian yang lebih jauh dengan daratan) sebagai ”Frame 2” dan seterusnya Pemotretan dilakukan pada panjang transek 50 m dimulai dari frame ke-1 hingga ke-50 dengan luas bidang pemotretan 2
minimal 1200 cm untuk setriap framenya. Kegiatan ini dilakukan dengan penyelaman dengan menggunakan peralatan selam SCUBA. Teknik analisis foto menggunakan 30 sampel titik acak dari masing=masing frame. 2
Luas bidang 1200 cm per frame dapat dihasilkan dari pemotretan menggunakan kamera SW dengan jarak pemotretan 60 cm dari dasar dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom). Untuk kegiatan kali ini, digunakan kamera Canon G 15 atau Canon G 1X. Jika menggunakan kamera tipe lain, maka jarak pemotretan atau zoom diatur sedemikian rupa sehingga luas 2
bidang pemotretannya per framenya minimal = (40 cm x 30 cm) = 1200 cm . Pilihan ini digunakan bila ingin mengetahui persentase tutupan kelompok biota dan substrat sekaligus, dimana biota dan substrat dikelompokkan kedalam lima kelompok yaitu Karang keras (HC), Karang mati (DS), Alga (ALG), Fauna lain (OF) dan Abiotik (ABI). Penarikan sampel di lapangan dengan menggunakan metode UPT, datanya hanyalah berupa foto-foto hasil pemotretan bawah air. Selanjutnya foto-foto tersebut masih perlu dianalisis di darat (ruang kerja) dengan menggunakan komputer untuk mendapatkan data-data yang kuantitatif. 1.4.2.3. Ikan Karang Metode yang digunakan dalam melakukan pemantauan ikan karang adalah metode Underwater Visual Census (UVC) yang sudah dimodifikasi (Dartnall and Jones, 1986). Pemantauan dilakukan di garis transek yang sama dengan kegiatan penelitian karang, agar sekaligus mendapatkan data bentik yang menggambarkan habitatnya. Penamaan ikan karang mengacu pada buku panduan ikan karang (Allen & Swainston, 1993; Allen & Steene, 1996; Allen, 1999; Allen et al., 2003; Kuiter & Debelius, 1994). Jenis ikan yang diamati dalam penelitian ini
dibatasi pada semua
jenis
ikan
indikator (suku Chaetodontidae), dan ikan-ikan target (6 suku), dari suku: Haemulidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Scaridae, Serranidae, dan Siganidae. Hal ini lebih untuk melihat dampak antara kedua kelompok ikan ini terhadap kondisi terumbu karang, mengingat kelompok ikan indikator sebagian besar merupakan ikan pemakan polip karang. Sedangkan ikan target adalah kelompok ikan pangan yang memiliki nilai ekonomis, baik itu untuk
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
9
dikonsumsi masyarakat maupun diperjual belikan. Jadi kedua kelompok ikan ini secara langsung bisa memberi gambaran mengenai kondisi terumbu karang itu sendiri. Sensus dilakukan pada garis transek sepanjang 70 m dengan lebar pengamatan 5 m, sehingga total luas daerah pengamatan pada tiap stasiun adalah 350 m2. Pengamatan dilakukan pada satu kedalaman berkisar antara 5 – 7 m. Pengamatan ikan karang dibagi dalam 2 kategori yakni ikan indikator dan ikan target (English et al, 1997). Ikan indikator adalah jenis ikan yang hidupnya sangat erat berasosiasi dengan ikan karang, dalam hal ini hanya satu suku yakni ikan kepe-kepe (Chaetodontidae). Ikan target adalah jenis-jenis ikan pangan yang bernilai ekonomis. Kelompok Ikan Target Utama terdiri dari beberapa Suku/Family yakni : 1. Ikan Kakap (Lutjanidae), 2. Ikan Kerapu (Serranidae), 3. Ikan Bibir tebal (Haemulidae), 4.
Ikan Beronang (Siganidae).
5. Ikan Lencam (Lethrinidae) 6. Ikan
Ikan Hiu, Ikan Pari serta Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) termasuk
kategori ikan target Utama Sedangkan Kelompok ikan Target lainnya adalah ikan dari suku/Family : Caesionidae, Acanthuridae, Labridae, Scaridae, Scolopsidae, Holocentridae, Ephipidae, Carangidae dan Nemipteridae Analisa Perkiraan potensi dihitung berdasarkan rumus Gulland (1975) : 1.Kepadatan Individu/ densitas (ikan/m2), 2.Sediaan cadang (standing stock), dimana;
D = Densitas (kepadatan individu suatu jenis ikan) N = Jumlah individu satu jenis ikan hasil sensus S = Sediaan cadangan (standing stock) L = Panjang garis transek (70 m) W = Lebar areal observasi (5 m) A = Luas area terumbu karang (ha) pada suatu kedalaman (hasil interpertasi Citra)
10
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
Ikan Target : Jumlah ikan dapat dikonversikan ke satuan berat dgn rumus hubungan panjang berat menurut Hile (1963) dalam Effendie (1997) : 1.4.2.4. Megabentos Pengamatan megabentos, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting dan berperan langsung di dalam ekosistem dapat dijadikan indikator dari kesehatan terumbu karang. Pengamatan dilakukan menggunakan metode Reef Check. Semua fauna yang berada 1 meter di sebelah kiri dan kanan pita berukuran 70 meter tadi dihitung jumlahnya, sehingga luas bidang yang teramati per-transeknya yaitu (2 x 70 m2) = 140 m2. Adapun fauna megabentos yang dicatat jenis dan jumlah individunya sepanjang garis transek terdiri dari : •
Lobster (udang karang)
•
”Banded coral shrimp” (udang karang kecil yang hidup di sela cabang karang
•
Acanthaster planci (bintang bulu seribu)
•
Diadema setosum (bulu babi hitam)
•
“Pencil sea urchin” (bulu babi seperti pensil)
•
“Large Holothurian” (teripang ukuran besar)
•
“Small Holothurian” (teripang ukuran kecil)
•
“Large Giant Clam” (kima ukuran besar)
•
“Small Giant Clam” (kima ukuran kecil)
•
Trochus niloticus (lola)
•
Drupella ( sejenis Gastropoda / keong yang hidup di atas atau di sela-sela karang terutama karang bercabang)
Data kelimpahan individu dari beberapa megabentos yang ditemukan disajikan dalam bentuk tabel. 1.4.2.5. Mangrove Untuk mengetahui struktur dan komposisi mangrove di kawasan lokasi penelitian akan dilakukan pencuplikan data dengan menggunakan transek. Transek dilakukan dengan cara membuat garis tegak lurus pantai kearah darat dengan membuat petak-petak (Cox, 1969). Sebelum melakukan pencuplikan data dilakukan pengamatan lapangan yang meliputi seluruh kawasan hutan yang bertujuan untuk melihat secara umum keadaan fisiognomi dan komposisi tegakan hutan serta keadaan pasang surutnya.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
11
Data vegetasi dari setiap transek dicuplik dengan menggunakan metode kuadrat (Qosting 1956) yang ukurannya sebagai berikut : -
10 x 10 meter untuk pohon (diameter batang > 10 cm),
-
5 x 5 meter untuk anak pohon (diameter 2 - < 10 cm)
-
1 x 1 meter untuk semai (diameter 2 cm dan kurang dari 1,5 meter).
Pada setiap petak tersebut semua tegakan diidentifikasi jenisnya, diukur diameternya dan tingginya serta dihitung jumlah individu masing-masing jenis. Data yang diperoleh dianalisa dengan cara Cox (1967).
1.4.2.6. Lamun Transek permanen sepanjang 50 m diletakkan pada padang lamun dengan persentase penutupan yang relatif homogen. Tiga titik permanen dibuat dengan patok besi pada titik 0 m, 25 m, dan 50 m (Gambar 2).
Keterangan: = titik permanen Gambar 2. Skema transek permanen lamun Posisi transek berada relatif dekat pantai. Kemudian, koordinat setiap transek dicatat dengan menggunakan GPS. Parameter yang dihitung adalah persentase penutupan dan panjang daun setiap jenis lamun yang dominan pada suatu transek permanen. Frame berukuran 0,25 m2 diletakan secara acak dengan 12 kali pengulangan untuk menentukan penutupan total lamun dan penutupan lamun perjenis. Sampel lamun untuk pengukuran panjang diambil secara acak pada awal, tengah, dan akhir transek. Kriteria kondisi lamun berdasarkan penutupan mengacu pada KepMenLH nomor 200 tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun.
12
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
Tabel 1. Kriteria status padang lamun Baik Jelek
Kondisi
Penutupan (%)
Kaya/ Sehat
≥ 60
Kurang kaya/ Kurang sehat
30 – 59,9
Miskin
≤ 29,9
1.5. Pelaksana Kegiatan Penelitian ini melibatkan staf peneliti dan teknisi dari Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI serta dibantu oleh staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan.. Bidang kajian yang terlibat antara lain: -
Bidang Karang
-
Bidang Ikan Karang
-
Bidang Megabentos
-
Bidang Lamun
-
Bidang Mangrove
-
Bidang Penginderaan Jauh dan GIS
-
Data Entry
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
13
BAB II. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan kegiatan studi baseline di perairan Bintan Tuimur dan sekitarnya, selanjutnya akan diuraikan berdasarkan masing-masing bidang penelitian. 2.1. S.I.G Sebaran habitat laut dangkal dipetakan menggunakan Citra Landsat, merupakan citra Landsat 8 level 1T, artinya citra sudah dikoreksi geometrinya dengan memasukkan posisi atau koordinat geografis yang mempertimbangkan juga pergeseran yang diakibatkan oleh bentuk relief permukaan bumi. Jika dibandingkan dengan pencatatan koordinat melalui GPS receiver di lapangan, citra yang digunakan sudah memiliki geometri yang baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan kesesuaian posisi koordinat antara objek di citra maupun di lapangan. Berdasarkan hasil analisis citra dan dibantu dengan uji/cek lapangan (ground truth), dapat dibuat peta habitat perairan dangkal dan mangrove. 2.1.1. Peta Habitat Perairan Dangkal Habitat laut dangkal yang dapat dipetakan terdiri dari tiga kelas yaitu karang, makroalgae, dan substrat terbuka. Habitat karang pada peta ini merupakan hamparan yang didominasi oleh karang hidup serta karang mati baik yang tertutup algae maupun tidak. Habitat tersebut biasanya ditemui pada ujung wilayah rataan terumbu yang menghadap ke arah laut, mulai dari reef crest, tubir (reef edge) hingga lereng terumbu (reef slope). Makroalgae merupakan hamparan yang didominasi oleh makroalgae dengan tutupan karang hidup yang sedikit. Substrat terbuka pada peta merupakan permukaan dasar perairan yang tidak didominasi oleh tutupan biota maupun vegetasi, dapat berupa pasir, batu, maupun lumpur. Habitat perairan dangkal yang diperoleh, terdiri atas 4 klas yang disajikan pada Tabel 2, sedangkan peta habitat perairan laut dangkal yang terbentuk, disajikan pada Gambar 3.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
15
Tabel 2.
Luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, 2014.. Habitat
Karang Pasir Substrat campuran: terdiri dari pasir, spot karang hidup dan karang mati, pecahan dan bongkah karang serta algae/sargasum. Lamun Mangrove
Luas (Ha) 2445.19 3586.20 3790.36 700.13 2852.57
Gambar 3. Peta sebaran habitat perairan laut dangkal, hasil ground truth di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.
16
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
2.1.2. Pengelompokan data Substrat dasar suatu perairan dangkal umumnya sangat bervariasi, dapat tersusun oleh hanya satu jenis material baik pasir mapun karang yang homogen hingga merupakan percampuran yang sangat kompeks, Data setiap titik ground truth yang telah diperoleh dari penelitian lapangan umumnya merupakan representasi dominasi material penyusun substrat dasar perairan dangkal pada bentangan 15 m x 15 m, berupa titik (point). Selanjutnya dengan menggunakan metode segmentasi pada citra landsat yang telah siap dianalisis, citra tersebut akan terbagi ke dalam ratusan bahkan ribuan segmen yang sebenarnya menggambarkan perbedaan (heterogenitas) habitat dasar perairan. Asumsi yang dipergunakan sebagai kerangka berpikir dalam metode tersebut, bahwa habitat jenis tertentu akan hidup dan berkembang di lingkungan tertentu dan berbeda terhadap lingkungan di sekitarnya. Perbedaan lingkungan tersebut akan tergambar di dalam cita dari spektral dan terstur yang akan diperlihatkan oleh segmentasi. Isi jenis substrat dasar pada setiap segmen tersebut dapat diketahui setelah semua data ground truh di plot ke dalamnya. Perlu diketahui bahwa tidak semua segmen yang terbentuk dari citra dapat terisi oleh data lapangan, namun demikian pada segmen yang telah terisi oleh data ground truh akan terlihat bahwa pada setiap kelas jenis substrat dasar perairan dangkal menunjukkan spektral dan terstur yang berbeda terhadap kelas jenis substrat dasar lainnya. Tujuan pembangunan segmentasi adalah merubah titik uji menjadi polygon uji, sehingga peta yang akan dihasilkan akan menjadi lebih mendekati kenyataan di lapangan. Berdasarkan hasil pengamatan di stasiun ground truth, pesisir perairan Bintan Timur dapat dikelompokkan ke dalam 4 klas sebagai terlihat pada Tabel 3.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
17
Tabel 3. Diskripsi tutupan lahan hasil ground truth di pesisir perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan 2014. No. 1
Kelas Karang
Diskripsi Habitat tersebut tersusun oleh material karang yang umumnya homogen, terdiri atas karang hidup dan karang mati, mempunyai pelamparan yang cukup luas dan dapat dibedakan dengan jelas terhadap jenis habitat yang lain. Habitat tersebut ditemui pada ujung wilayah rataan terumbu yang menghadap ke arah laut, mulai dari reef crest, tubir (reef edge) hingga lereng terumbu (reef slope ),
2
Pasir
Material pasir yakni material berukuran butir berbutir (ǿ 0.063 hingga ǿ 2 mm) sangat mendominasi (lebih dari 60%), sementara
40% sisanya merupakan material lain seperti
algae, pecahan karang. Bila dilihat dari permukaan umumnya berwarna putih, homogen. 3
Substrat campuran
Material klas substrat campuran terdiri atas bongkah karang, spot sopt karang baik karang hidup maupun karang mati, pecahan karang yang tidak diketahui jenis material yang mendominasi.
Masing masing komponen tersebut tidak
memungkinkan dipetakan secara terpisah. 4
Lamun
Vegetasi lamun di Kawasan Bintan tumbuh di lingkungan rataan karang, di sepanjang Pantai Trikora ( pesisir timur Pulau Bintan dan di bagian barat serta selatan Pulau Mapor. Hamparan vegetasi lamun yang tumbuh berupa spot -spot sangat sulit dipetakan.
2.2. Karang Pengamatan kondisi tutupan karang dan biota bentik lainnya telah dilkukan dengan metode transek foto bawah air (UPT) di 14 titik stasiun yang masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Bintan. Kondisi perairan di lokasi pada waktu pengamatan cukup keruh, terutama di perairan Pulau –pulau Numbing, sehingga menyulitkan dalam pengambilan foto bawah air .
18
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
2.2.1. Deskripsi lokasi transek karang Stasiun 92 (Pulau-pulau Numbing) Pantai ditumbuhi oleh bakau, jarak dari tepi pantai hingga titik transek ± 400 meter; reef flat landai, banyak ditumbuhi alga Sargassum sp.. Substrat terdiri dari karang mati, patahan karang mati dan pasir. Transek dilakukan pada kedalaman 6 meter dengan jarak padang 5 meter; Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis –jenis dengan bentuk pertumbuhan sub-masive dari marga Pectinia dan Pachyseris. hingga kedalaman 7 meter pertumbuhan karang masih ditemukan, dan pada kedalaman selanjutnya substrat didominasi oleh pasir. Kondisi perairan saat transek tenang. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT (Underwater Photo Transect) dicatat 25,67 %, dan masuk dalam kategori „sedang“ Stasiun 90 (Pulau-pulau Numbing) Transek dilakukan pada kedalaman 5 meter, perairan cukup keruh dengan jarak pandang sangat terbatas (2 meter), tepi pantai ditumbuhi oleh baku; reef flat landai. Substrat terdiri dari karang mati, pasir berlumpur dan pecahan karang. Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis Litothamnion sp..
Pertumbuhan karang hanya ditemukan hingga
kedalaman 7 meter. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 34,80 %, dan masuk dalam kategori „sedang“
Stasiun 74 (pesisir timur Bintan) Jarak titik transek dari tepi pantai ± 600 meter; substrat pantai didominasi pasir putih dan banyak ditumbuhi pohon kelapa. Rataan terumbu (reef flat) landai, pada daerah sekitar garis transek tumbuh lamun dari jenis Thalassodendron ciliatum.
Substrat didominasi
olehpasir. Transek dilakukan pada kedalaman 5 meter, kecerahan dicatat sekitar 5 meter. Pertumbuhan karang dari jenis Diploastrea heliopora dan Porites lutea cukup dominan di lokasi transek. Pertumbuhan
koloni karang masih ditemukan hingga kedalam 7 meter,
selanjutnya ke arah dalam substrat didominasi oleh pasir. Kondisi perairan saat pengamatan relatif tenang. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 40,27 %, dan masuk dalam kategori „sedang“
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
19
Stasiun 77 (pesisir timur Bintan) Lokasi transek berdekatan dengan pemukiman penduduk. Substrat pantai didominasi pasir putih diselingi bongkahan batu granit, banyak tumbuh pohon kelapa dan tumbuhan pantai lainnya. Jarak titik transek dari garis pantai ± 300 meter; transek dilakukan pada kedalaman 5 meter, dengan kecerahan air sekitar 5 meter. Pertumbuhan karang di lokasi transek didominasi oleh jenis Dipoastraea heliopora, Turbinaria mesenterina dan Pectinia paeonia. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 7 meter, selanjutnya ke arah dalam substrat terdiri dari bongkahan karang mati, patah karang dan pasir lumpuran. Juga dicatat terdapat banyak endapan/ sedimen pada permukaan karang yang sudah mati disepanjang garis transek. Pada kedalaman 8 meter substrat didominasi pasir dan patahan karang mati. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 51,67 %, dan masuk dalam kategori „ baik“ Stasiun 81 (pesisir timur Bintan) Jarak titik transek dari tepi pantai ± 1 km, substrat pantai pasir putih yang ditumbuhi pohon kelapa, tumbuhan pantai lainnya dan sedikit mangrove.
Rataan terumbu landai,
transek dilakukan pada kedalaman 4 – 6 meter. Kecerahan perairan pada waktu transek, 4 meter, kondisi perairan saat transek tenang. Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis dari marga Turbinaria dan Porites. Substrat di lokasi transek terdiri dari pasir, rubble dan bongkahan karang mati yang ditumbuhi oleh alga Padina sp.. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 7,5 m, pada kedalaman selanjutnya substrat didominasi oleh pasir. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 52,87 %, dan masuk dalam kategori „ baik“ Stasiun 85 (pesisir timur Bintan) Lokasi transek terdapat pada sebuah pulau kecil; jarak titik transek dari tepi pantai ± 200 meter. Substrat pantai terdiri dari pasir putih dengan perairan yang jernih dan merupakan tempat rekreasi. Rataan terumbu landai dan didominasi substrat pasir putih, terdapat banyak alga dari marga Sargassum. Transek dilakukan pada kedalaman 3 meter, jarak pandang 5 meter, jenis karang yang dominan pada stasiun ini adalah Turbinaria sp.. Substrat pada titik transek terdiri dari pasir, patahan karang (rubble) dan bongkahan karang mati yang telah ditumbuhi alga Padina sp.. Pertumbuhan karang hanya ditemukan sampai pada kedalaman 5
20
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
dan selanjutnya berupa hamparan pasir putih. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 23,80 %, dan masuk dalam kategori „jelek“ Stasiun A Pulau Pangkil Besar Stasiun transek terletak cukup dekat ± 150 m dari garis pantai Pulau Pangkil Besar Kondisi perairan saat pengamatan cukup tenang, rataan terumbu landai dengan substrat didominasi oleh pasir putih diselingi karang mati yang ditutupi oleh alga Sargassum. Transek dilakukan pada kedalaman 6 m, kecerahan perairan saat pengamatan sekitar 5 m. Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis Porites sp. dan Heliopora sp., substrat sepanjang garis transek terdiri dari bongkahan karang mati, pecahan karang dan pasir juga ditemukan banyak koloni karang mati yang tertutup oleh endapan pasir halus. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 10 m, selanjutnya dasar perairan ditutupi oleh pasir lumpu. Secara visual keragaman jenis karang di stasiun ini cukup beragam, terutama yang berada diluar garis transek. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 54,80 %, dan masuk dalam kategori „baik“ Stasiun B Pulau Pangkil Kecil Pulau ini memiliki substrat pasir putih yang ditumbuhi vegetasi pantai dan pohon kelapa; titik transek relatif dekat dengan pantai ± 150 m. Rataan terumbu (reef flat) landai dengan substrat dasar terdiri dari pasir dan karang mati yang ditumbuhi Sargassum. Pengamatan dilakukan pada kedalaman 3 m, dengan kecerahan perairan 6 m. Pertumbuhan karang pada stasiun ini didominasi oleh jenis Echinopora horrida dan Pachyseris speciosa. Substrat di sepanjang garis transek terdiri dari bongkahan karang mati, pecahan karang dan pasir. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 8 m, pada kedalaman selanjutnya berupa pasir. Pada saat pengamatan kondisi perairan cukup tenang. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 34,73 %, dan masuk dalam kategori „sedang“ Stasiun KRIL13 (Pulau Mapur) Transek dilakukan di Pulau Mapur, terpisah cukup jauh dari daratan Pulau Bintan. Lokasi transek cukup dekat dengan tepi pantai (± 100 m), daerah pantai ditumbuhi vegetasi pantai. Rataan terumbu landai dengan substrat terdiri dari pasir putih dan patahan karang mati. Transek dilakukan pada kedalaman 3-4 meter, kecerahan perairan cukup baik dibandingkan stasiun lainnya ( sekitar 8 m); pertumbuhan karang didominasi oleh Pachyseris
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
21
spp. dan Goniopora spp.; substrat di sepanjang garis transek terdiri dari bongkahan karang mati dan patahan karang mati. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 8-9 m. Kondisi perairan saat pengamatan cukup tenang dan tidak berarus. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 38,40 %, dan masuk dalam kategori „sedang“ Stasiun KRIL14 (Pulau Mapur) Daerah pantai ditumbuhi oleh vegetasi mangrove yang cukup lebat; rataan terumbu landai dengan panjang sekitar ± 1.5 Km ke arah laut. Pengamatan karang dilakukan pada kedalaman 3-4 m, kondisi perairan tenang tidak berarus tetapi cukup keruh, dengan jarak pandang (visibility) 5 m. Pertumbuhan karang didominasi oleh jenis Porites sp. dan Goniopora sp; substrat di garii transek terdiri dari bongkahan karang mati, pecahan karang dan pasir dan pertumbuhan karang hanya ditemukan hingga kedalaman 6 m. Pada kedalaman berikutnya substrat berupa hamparan pasir. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 18,56 %, dan masuk dalam kategori „jelek“ Stasiun KRIL15 (Pulau Mapur) Transek dilakukan disebelah selatan Pulau Mapur, berdekatan dengan pemukiman penduduk. Di sepanjang pantai tumbuh mangrove, kelapa dan vegetasi lainnya. Panjang rataan terumbuh (reef flat) ke arah tubir ± 600 m dan transek dilakukan pada kedalaman 4-6 m. Perairan cukup keruh dengan kecerahan 3 m, substrat di garis transek terdiri dari pasir, bongkahan karang dan patahan karang mati. Pertumbuhan karang didominasi oleh Pachyseris sp. dan Pectinia sp.. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 6 m. Kondisi perairan saat pengamatan agak berombak. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 39,40 %, dan masuk dalam kategori „sedang“ Stasiun KRIL16 (Pulau Mapur) Stasiun titik transek berada di sebelah timur Pulau Mapur. Rataan terumbu landai, panjang dari tepi pantai ke arah tubir ± 750 m dengan substrat didominasi oleh pasir diselingi patahan karang mati. Ditemukan pertumbuhan lamun tumbuh dengan kerapatan yang cukup bervariasi. Transek dilakukan pada kedalaman 3-5 meter dengan kecerahan hanya 4 m. Pertumbuhan karang didominasi oleh Pachyseris sp. dan makro alga seperti Sargassum sp. Substrat pada garis transek didominasi oleh pasir dan karang mati; pertumbuhan karang masih ditemukan pada kedalaman 5 m, pada kedalaman selanjutnya berupa hamparan pasir;
22
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
Kondisi perairan berombak saat pengamatan. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 21,60 %, dan masuk dalam kategori „jelek“ Stasiun KRIL17 (Pulau Mapur) Stasiun transek berada disebelah utara Pulau Mapur, substrat pantai terdiri dari batuan granit dan pasir putih, ditumbuhi pohon kelapa dan tumbuhan pantai lainnya.
Rataan
terumbu landai, dengan panjang ke arah laut ± 100 m; transek dilakukan pada kedalaman 3 m. Kecerahan perairan 8 m, pertumbuhan karang hanya didominasi oleh Caulastrea furcata, substrat disepanjang garis transek terdiri dari bongkahan karang dan patahan karang mati, pada beberapa bagian telah ditutupi oleh makro alge Sargassum sp. Pertumbuhan karang hidup masih ditemukan pada kedalaman 6 m, selanjutnya berupa substrat pasir, kondisi perairan saat pengamatan tenang. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 1,20 %, dan masuk dalam kategori „jelek“ Kondisi seperti ini dicatat yang terjelek dari di lokasi lainnya. Stasiun KRIL18 (Pulau Erapas) Pulau Erapas terletak di sebelah tenggara Pulau Mapur. Lokasi titik transek dekat dengan tanjung dan berada disebelah selatan Pulau Erapas, dengan rataan terumbu landai dan sempit, panjang dari tepi pantai ke arah tubir ± 100 m. Transek di lokasi ini dilakukan pada kedalaman 6m, perairan jernih dengan kecerahan hingga 11 m. Substrat sepanjang garis transek terdiri dari bongkahan karang dan patahan karang mati dengan pertumbuhan karang didominasi oleh Acropora spp.;. Pertumbuhan karang masih ditemukan hingga kedalaman 13 m. Perairan cukup tenang saat berlangsung pengamatan. Rata-rata tutupan karang hidup hasil UPT, dicatat 29,07 %, dan masuk dalam kategori „sedang“ 2.2.2. Kondisi terumbu Karang Persentase tutupan karang hidup yang dicatat di lokasi transek berkisar antara 1,20% 54,80%, dengan tutupan tertinggi terdapat di stasiun KRIL A, yaitu 54,80% dan terendah di KRIL17 (1,20%). Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa tutupan karang hidup berada pada kondisi “jelek” hingga “baik”. Umumnya karang yang dicatat dalam pengamatan ini, didominasi oleh karang jenis Non-Acropora. Pertumbuhan karang batu pada 14 lokasi transek didominasi oleh Galaxea fascicularis dan Porites cylindrica (sub-massive), serta Porites lobata dan Porites lutea (massive).
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
23
Dari hasil pengamatan, dicatat hanya 3 (tiga) stasiun yang kondisi karangnya masuk dalam kategori “baik” (50 % - 74,99%), mengacu kepada Gomez & Yap (1984), yaitu stasiun KRIL 77, KRIL 81 dan KRIL A. Untuk kategori “sedang” (25 % - 49,99 %) ditemukan di 7 (tujuh ) stasiun, berturut-turut di stasiun KRIL 92, KRIL18, KRIL B, KRIL 90, KRIL 13, KRIL 15 dan KRIL 74.Sisanya ada 4 (empat) stasiun dalam kondisi “jelek”. Persentase tutupan DCA ( karang mati beralga) dicatat tertinggi di stasiun KRIL17 (80,80 %). Stasiun ini terletak di bagian timur Pulau Mapur dan berhadapan dengan laut lepas yang sering menerima tekanan ombak yang besar.yang menarik di lokasi ini didominasi oleh karang dengan bentuk pertumbuhan bercabang. Jenis karang yang dominan di lokasi ini yaitu dari jenis Caulastrea furcata dan dari marga Acropora terutama A. brueggemanni, dan marga Montipora yaitu M. foliosa. Kelompok Acropora diketahui untuk tumbuh baik, memerlukan sirkulasi arus yang juga baik. Hasil pengamatan berupa persentase persentase tutupan karang hidup disajikan dalam bentuk peta, pada Gambar 4, sedangkan persentase tutupan karang, biota bentik dan substrat, disajikan dalam bentuk histogram dapat dilihat dalam Gambar 5. Secara umum, kondisi karang di perairan Bintan Timur dan sekitarnya masuk dalam kondisi “sedang” sampai baik .
Gambar 4. Peta persentase tutupan karang, hidup hasil studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.
24
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
Gambar 5. Histogram persentase tutupan karang, biota bentik dan substrat hasil studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014. 2.3. Ikan karang Pengamatan ikan karang telah dilakukan dengan metode UVC. Untuk ikan karang, yang diutamakan ialah ikan-ikan target dan semua jenis ikan indikator Ikan target juga dibatasi pada beberapa suku (6 suku) yaitu suku: Haemulidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Scaridae, Serranidae, dan Siganidae. Ikan indikator yang merupakan kelompok ikan yang sepanjang hidupnya tergantung/ berada didalam ekosistem terumbu karang yaitu dari suku Chaetodontidae. Dari hasil pengamatan, baik ikan target maupun ikan indikator, ditemukan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah, sedangkan kelimpahan individu dibeberapa stasiun cukup tinggi. 2.3.1 Keanekaragaman Ikan Indikator dan Target Hasil sensus visual ikan karang kategori ikan indikator dan ikan target di Kabupaten Bintan pada 14 stasiun pengamatan mencatat sebany1.167 individu yang tergolong dalam 31 jenis dan suku 7 . Ikan indikator yang ditemukan sebanyak 2 jenis yakni dari suku Chaetodontidae yaitu Chaetodon oktofasciatus dan Chelmon rostratus, sedangkan ikan target yang ditemukan sebanyak 29 jenis dari 6 suku. Penelitian di Kabupaten Bintan terbagi atas
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
25
dua lokasi yakni di lokasi Sekitar Bintan Timur (8 stasiun) dan lokasi sekitar P. Mapur (6 stasiun). Ringkasan hasil keanekaragaman jenis pada Kabupaten Bintan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah Individu dan jumlah Jenis Ikan karang di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014. No
Lokasi
Jumlah Stasiun
Luas transek (m2)
Jumlah Total Individu Indikator
Target
Jumlah Total Jenis Indikator
Target
1
Bintan Timur
8
2800
185
846
2
41
2.
P. Mapur
6
2100
100
456
2
29
3.
Total
14
4900
285
1302
2
49
Kepadatan rata-rata ikan indikator mencapai 0,0549 individu/m2 atau 549 ekor/ha sedangkan ikan target mencapai 0, 184 ekor/m2 atau 1840 ekor/ha. Stasiun KRIL 81 tercatat memiliki kelimpahan individu tertinggi sebanyak 102 ekor sedangkan yang tergolong jenis tertinggi adalah pada KRIL 74 yakni dalam 19 jenis sedangkan yang terendah adalah lokasi KRIL A baik dalam jumlah individu yakni sebanyak 20 ekor ikan maupun dalam jumlah jenis yakni hanya ditemukan 5 jenis. (Gambar 6)
Gambar 6. Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator ikan target hasil studi baseline di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.
26
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
2.3.1.1. Sebaran Ikan Indikator Ikan indikator dari famili Chaetodontidae yang ditemukan hanya dari dua suku yakni Chaetodon dan Chelmon dengan kelimpahan sebanyak 265 ekor. Chaetodon octofasciatus tercatat memiliki kelimpahan individu tertinggi dengan jumlah 213 ekor sedangkan Chelmon rostratus dengan jumlah 52 ekor. Stasiun KRIL 81 tercatat memiliki kelimpahan individu tertinggi sebesar 36 individu diikuti stasiun KRIL 92 sebesar 31 individu serta KRIL 85 dan KRIL B masing – masing 29 individu sedangkan pada stasiun KRIL 17 tidak ditemukan satupun jenis ikan indikator tersebut sedangkan pada monitoring tahun 2007 sd 2011 kedua jenis ikan indikator tersebut masih ditemukan dengan jumlah kelimpahan yang fluktuatif setiap tahunnya . Tidak ditemukannya kedua jenis ikan indikator tersebut pada saat pengamatan tahun 2014 ini diduga ; Asumsi pertama yakni kedua jenis ikan tersebut semakin berkurang di lokasi tersebut sehingga semakin sulit ditemukan. Asumsi kedua yakni selama melakukan sensus visual di lokasi tersebut kedua jenis ikan tersebut tidak pernah bergerak memasuki areal garis transek sehingga tidak tercatat selama kegiatan sensus dilakukan. (Gambar 7.) PERBANDINGAN JUMLAH INDIVIDU DAN JUMLAH JENIS IKAN INDIKATOR DI PERAIRAN BINTAN TIMUR, KABUPATEN BINTAN, 2014 40 35
JUMLAH
30 25
Jumlah Individu
20
Jumlah Jenis
15 10 5 0
STASIUN
Gambar 7. Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan indikator, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
27
Keanekaragaman jenis ikan indikator hasil sensus visual tahun 2014 bila dibandingkan dengan
kegiatan yang dilakukan selama tahun 2007
s/d
2010
keanekaragaman jenisnya cukup fluktuatif yaitu pada tahun 2007 dan 2008 tercatat 4 jenis ikan indikator yakni jenis Chaetodon adiagastros, Chaetodon oktofasciatus, Chelmon rostratus serta Heniochus varius sedangkan pada tahun 2010 , 2010 dan 2014 hanya ditemukan dua jenis saja yakni jenis Chaetodon oktofasciatus dan Chelmon rostratus. Demikian pula dengan kondisi kelimpahan individunya juga berfluktuatif setiap tahunnya juga yakni pada tahun 2008 tercatat sebanyak 280 individu kemudian pada tahun 2009 menurun menjadi 259, lalu pada tahun 2010 menurun lagi menjadi 190 individu kemudian kemudian pada tahun 2014 tercatat sebanyak 265 individu. 2.3.1.2. Sebaran Ikan Target Hasil sensus visual ikan target ditemukan sebanyak 49 jenis dari 10 suku dengan total kehadiran sebanyak 1302 individu atau kepadatan ikan mencapai 0, 2657 ekor/m2 atau 2657 ekor/ha. Suku Caesionidae
memiliki kelimpahan individu
tertinggi sebesar 587
individu, terdiri dari 4 jenis , diikuti suku Lutjanidae sebanyak 198 individu (6 jenis), suku Scaridae sebanyak 125 individu dan Serranidae sebanyak 85 individu sedangkan yang terendah adalah suku Lethrinidae sebanyak 8 individu (3 jenis) dan Haemulidae sebanyak 4 individu (2 jenis) (Tabel 5.) Tabel 5. Jumlah Individu dan Jumlah Jenis setiap suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC, di perairan Bintan Utara, Kabupaten Bintan 2014. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
28
Suku CAESIONIDAE LUTJANIDAE SCARIDAE MULIDAE NEMIPTERIDAE SERRANIDAE LABRIDAE SIGANIDAE LETHRINIDAE HAEMULIDAE
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
Jumlah Individu 587 198 125 106 96 85 50 41 8 4
Jumlah Jenis 4 6 6 1 8 11 4 4 3 2
Stasiun pengamatan KRILL 77 tercatat memiliki kelimpahan individu tertinggi yakni sebesar 216 individu yang tergolong dalam 15 jenis diikuti stasiun KRIL 18 dan KRIL 81 dengan kelimpahan masing- masing 207 individu (18 jenis) dan 156 individu (23 jenis) Gambar 8. PERBANDINGAN JUMLAH INDIVIDU DAN JUMLAH JENIS IKAN TARGET DI PERAIRAN KAB, BINTAN, 2014 Jumlah Jenis/Individu
250 200 150 100
Jumlah Individu Jumlah Jenis
50 0
Stasiun Gambar 8. Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis ikan target, hasil studi “baseline” dengan metode “UVC” di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014. Jenis ikan Caesio teres dari suku Caesionidae tercatat memiiki kelimpahan individu tertinggi sebanyak 537 individu diikuti jenis, Upeneus tragula 106 individu Lutjanus carponotatsus (90 ekor) , Scarus gobhan (65 ekor) , Lutjanus fulviflamma (37 ekor) (Tabel 6).
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
29
Tabel 6. Kelimpahan individu ikan target berdasarkan dominansi jenis (KI = kelimpahan individu, densitas(ekor/m2) dan FK = frekuensi kehadiran .(%) No Jenis Caesio teres 1 Upeneus tragula 2 Lutjanus carponottatus 3 Scarus ghobban 4 Lutjanus fulviflamma 5 Lutjanus vitta 6 Lutjanus lineolatus 7 Cephalopholis boenak 8 Caesio caerulaurea 9 Hemigymnus melapterus 10
Suku Caesionidae Mulidae Lutjanidae Scaridae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Serranidae Caesionidae Labridae
KI 537 106 90 65 37 34 33 30 30 28
Densitas (ekor/m2) 0,1096 0,0216 0,0184 0,0133 0,0076 0,0069 0,0067 0,0061 0,0061 0,0057
FK (%) 79 21 86 71 43 43 21 71 7 79
2.3.2. Estimasi Potensi Sediaan Cadang (Standing stock) ikan target Untuk mendapatkan bobot berat ikan (biomass) dari panjang total individu setiap spesies ikan target hasil sensus, maka digunakan nilai konstanta a dan b dari hasil-hasil penelitian hubungan panjang berat beberapa spesies ikan. Nilai tersebut dapat diperoleh dari website fishbase. Total biomasa ikan target hasil sensus visual di perairan Kabupaten Bintan sebesar 314,6 kg/ha dengan ukuran panjang ikan berkisar antara 15 – 25 cm dengan berat berkisar antara 50 gr – 150 gr, hal ini menunjukkan bahwa ikan-ikan target yang ditemukan di perairan Bintan umumnya merupakan ikan-ikan yang masih muda (adult). Biomas dari masing-masing suku yang ditemukan di perairan Bintan dapat dilihat padat Tabel 7 di bawah ini.
30
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
Tabel 7. Total biomasa dari sepuluh suku ikan target hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Utara, Kabupaten Bintan, 2014 . Biomasa No
Suku
(kg/ha)
1
CAESIONIDAE
176,7
2
LUTJANIDAE
69,7
3
SCARIDAE
29,5
4
MULIDAE
12
5
NEMIPTERIDAE
12,3
6
SERRANIDAE
14,8
7
LABRIDAE
10,9
8
SIGANIDAE
10,8
9
LETHRINIDAE
1
10.
HAEMULIDAE
1,1 Total
338,8
Pada Tabel 8 di bawah ini ditampilkan sepuluh jenis ikan target yang memiliki biomas tertinggi pada empat belas stasiun penelitian di Kabupaten Bintan (kg/ha) . Jenis ikan Ekor kuning Caesio teres tercatat memiliki biomasa tertinggi sebesar 168. Kg/ha ddiikuti jenis Lutjanus carponotatus dan Upeneus tragulla masing – masing seberat 52 kg/ha kg dan 12 kg/ha.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
31
Tabel 8. Sepuluh jenis ikan target dengan total nilai biomasa, hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Utara,Kabupaten Bintan , 2014.
No 1. 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Caesio teres Lutjanus carponottatus Upeneus tragula Scarus sordidus Scarus ghobban Lutjanus lineolatus Siganus virgatus Scarus dimidiatus Cheilinus fasciatus Lutjanus fulviflamma
Nama Indonesia Ekor kuning Kakap Mulut Tikus Kakatua Kakatua Kakap Beronang Kakatua Keling Kakap
Taksiran Selang panjang (cm) 20 25 15 20 15 20 20 20 20 15
Kelimpahan (ekor/ha)
Biomasa (Kg/ha)
1096 184 216 45 133 67 41 37 37 76
168 52 12 10 9 8 7 6 6 5
Biomas dari beberapa jenis ikan Target Kelompok Utama seperti Kerapu, Kakap, Lencam, Beronang, Bibir tebal dan Ikan Napoleon dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini. Tabel 9. Biomas dari beberapa jenis ikan Target Kelompok Utama hasil studi baseline dengan metode UVC di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan , 2014.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
32
Nama Latin Lutjanus vitta Cephalopholis boenak Cephalopholis urodeta Plectropomus truncatus Siganus corralinus Plectropomus leopardus Cheilinus undulatus Lutjanus russelli Lethrinus harak Lethrinus ornatus Cephalopholis argus Lutjanus decussatus Plectorhinchus chaetodonoides
Nama Indonesia Kakap Kerapu Kerapu Kerapu Beronang Kerapu Napoleon Kakap Lencam Lencam Kerapu Kakap Bibir tebal
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
Taksiran Selang panjang (cm) 15 15 15 25 20 20 25 25 15 15 15 15 10
Densitas (ekor/ha)
Biomas (Kg/ha)
69 61 43 10 10 10 4 4 6 8 6 4 4
4 3 2 2 2 1 1 1 0 0 0 0 0
2.4. Megabentos Sampling biota megabentos dilakukan bersamaan dengan sampling karang dan ikan karang di garis transek yang sama, yang berbeda ialah pada luasnya bidang pengamatan . hasil pengamatan diuraikan selanjutnya. 2.4.1. Komposisi Biota Megabentos Fauna megabentos yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan adalah sebanyak 5 jenis dengan total individu 1629 individu. Megabenthos yang ditemukan terbagi dalam 2 kelompok, yaitu Ekinodermata terdiri dari Acanthaster planci dan Diadema sp. (2 jenis) dan kelompok Moluska terdiri dari Drupella spp., Tridacna sp. dan Trochus sp. Jumlah jenis terbanyak terdapat di stasiun KRIL16 (4 jenis) sedangkan yang terendah di stasiun KRIL74, KRIL81 dan KRIL90 (masing-masing 2 jenis). Secara umum kehadiran jenis-jenis megabentos relatif merata pada setiap stasiun pengamatan (Tabel 10). Dilihat dari jumlah individu, stasiun KRIL14 memilik jumlah individu tertinggi, yaitu sebanyak 305 individu/m2, diikuti KRIL17 (203 individu/m2) dan KRIL85 (181 individu/m2). Kontribusi Diadema sp. terhadap tingginya jumlah individu megabentos pada stasiun KRIL14 sangat dominan, sebesar 92,79% dari total individu pada stasiun tersebut. Jenis ini memiliki sebaran yang sangat luas dan hadir pada semua stasiun pengamatan. Sedangkan jumlah individu terendah di catat pada stasiun KRIL81 (3 individu/m2) dan hanya terdiri dari 2 jenis megabentos yaitu Diadema sp. dan Drupella sp.
Jumlah individu dan jenis
megabentos yang ditemukan pada masing-masing stasiun ditampilkan pada Gambar 9. Hasil pengamatan menunjukkan jumlah individu dari setiap jenis yang ditemukan pada masing-masing stasiun didominasi oleh kehadiran Diadema sp. Kehadiran jenis ini erat kaitannya dengan substrat sebagai tempat hidup, ketersediaan makanan serta mampu beradaptasi dengan lingkungan. Hampir semua stasiun pengamatan memiliki substrat yang didominasi oleh pasir. Umumnya jenis ini sering ditemukan dalam jumlah individu yang menonjol pada substrat pasir dengan kondisi perairan yang relatif tenang. Diadema termasuk hewan herbivor, makanan utama Diadema setosum dan bintang laut lainnya adalah alga bentik (Collin & Arnesson 1995). Walaupun memiliki jumlah individu yang jauh lebih sedikit dibandingkan Diadema sp., Drupella sp. dan Tridacna sp. memiliki sebaran yang cukup luas. Dimana dari 14 stasiun yang diamati kedua jenis ini dicatat hadir pada 13 dan 10 stasiun. Kehadiran Drupella berghubungan dengan jenis-jenis karang yang menjadi makanan utamanya. Beberapa
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
33
penelitian mengatakan bahwa kehadiran Drupella pada suatu koloni karang erat kaitannya dengan kondisi kesehatan terumbu karang, dan umumnya cenderung menempel pada koloni karang yang tidak sehat. Menurut Jimenez at al. (2012), ada tidaknya Drupella sp. pada ekosistem terumbu karang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan. Drupella umumnya menyukai perairan dengan arus yang lambat (Schumacher 1992). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa selain kondisi perairan yang tidak sesuai, rendahnya keragaman jenis-jenis karang sebagai target makanannya juga dapat menjadi penyebab berkurangnya kehadiran Drupella pada setiap stasiun di perairan ini. Kondisi yang sama juga terjadi pada Tridacna sp. (kima) yang memiliki jumlah total individu sebanyak 23 individu/m2, dimana jumlah individu tertinggi ada pada stasiun KRIL14 dan KRIL15 (masing-masing 5 individ/m2). Dengan cara makan yang menyaring makanan (filter feeder) dari dalam air, kima cenderung memilih untuk hidup pada perairan yang jernih. Untuk bisa mendapatkan makan maka zooxanthella yang hidup bersimbiosis dengan kima membutuhkan sinar matahari untuk bisa melakukan proses fotosintesa. Tridacna adalah biota yang hidupnya berkelompok, hal ini erat kaitannya dengan cara memijah yang disebut simultan hermaphrodite. Dimana pada saat satu kima dewasa melakukan pemijahan, sel telur yang terbawa arus akan merangsang induk kima lain yang berada disekitarnya untuk memijah pula. Dan hal ini akan sulit terjadi bila hanya ada 1 atau 2 individu kima pada satu luasan perairan terumbu. Kondisi seperti ini dapat menghambat jenis tersebut untuk beregenerasi. . Tabel 10. Komposisi jenis dan sebaran individu megabentos, hasil studi baseline dengan metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014. Stasiun KRIL13 KRIL14 KRIL15 KRIL16 KRIL17 KRIL18 KRIL74 KRIL77 KRIL81 KRIL85 KRIL90 KRIL92 KRIL A KRIL B
34
Ekinodermata Acanthaster planci
0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Moluska
Diadema sp.
Drupella sp.
Tridacna sp. (kima)
Trochus sp. (lola)
121 283 144 47 201 57
7 17 39 12 0 28
4 5 5 3 1 1
0 0 0 1 0 0
86 72 2 177 45 16 117 82
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
22 3 1 3 7 3 7 5
0 1 0 1 0 71 1 1
0 0 0 0 0 0 0 0
Acanthaster plancii dan Trochus sp. hanya hadir sekali yaitu pada stasiun KRIL16 dan KRIL17 dengan jumlah individu yang sangat sediki, masing-masing 1 individu. Trochus sp. (lola) selalu hidup dan muda ditemukan pada rataan terumbu yang banyak tumbuh mikroalga dan merupakan makan utamanya. Lola hidup pada habitat terumbu karang dengan gelombang yang cukup besar. Kepadatan dan distribusi lola berhubungan dengan kedalaman perairan dan serta ketersediaan mikroalga sebagai sumber makanan. Tidak hadirnya jenis-jenis biota ekonomis penting lainnya seperti Teripang, Lobster atau banded coral shrimp dapat saja disebabkan oleh substrat dan kondisi perairan sebagai tempat hidup yang tidak sesuai. Sebagaimana diketahui bahwa hampir semua stasiun dalam pengamatan ini berada di pulaupulau kecil dengan perairannya yang keruh. Wibowo et al. 1997) menyatakan teripang menyukai perairan yang jernih, relatif tenang serta bebas dari polusi dengan mutu air yang cukup baik. Penyebaran biota dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti intensitas cahaya, suhu, salinitas dan makanan (Cox & Moore, 2002). Secara umum, kehadiran jenis megabentos pada setiap stasiun pengamatan relatif sama dan hanya berbeda dalam jumlah
300 250 200 150 100
Jumlah Jenis
KRIL B
KRIL A
KRIL92
KRIL90
KRIL85
KRIL81
KRIL77
KRIL74
KRIL18
KRIL17
KRIL16
KRIL15
0
KRIL14
50 KRIL13
Jumlah Individu
350
4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
Jumlah Jenis
individu.
Jumlah Individu
Gambar 9. Jumlah individu dan jenis megabentos hasil studi baseline dengan metode RCB di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014. 2.4.2. Nilai indeks keanekaraganman dan indeks kemerataan Perhitungan nilai indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan jenis (J’) pada setiap stasiun pengamatan cukup bervariasi, nilai keragaman yang didapat berkisar antara 0,06 – 0,72 dan nilai kemerataan jenis (J’) berkisar antara 0,11 – 0,92 (Tabel 2). Stasiun KRIL16
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
35
memiliki nilai keragaman tertinggi (0,74) sedangkan nilai kemerataan jenis tertinggi dicatat pada stasiun KRIL (0,92). Tingginya nilai keanekargaman jenis disebabkan oleh hadirnya jumlah jenis megabentos pada stasiun terseebut. Sedangkan tingginya nilai kemerataan menunjukkan bahwa setiap jenis megabentos yang ditemukan pada stasiun tersebut memiliki jumlah individu yang berimbang atau tersebar merata untuk setiap jenis. Nilai indeks keragaman dan kemerataan jenis terendah terdapat di stasiun KRIL, masing-masing 0,06 dan 0,05. Rendahnya nilai ini disebabkan oleh sedikitnya jenis megabentos yang ditemukan juga ada pemusatan jumlah individu pada jenis Diadema sp. yang dicatat sebanyak 201 individu (99,01%) dari jumlah total individu pada stasiun tersebut (203 individu). Kemerataan jenis akan tinggi, bila tidak ada dominasi atau pemusatan individu pada suatu jenis tertentu (ODUM (1993). Nilai rata-rata hasil perhitungan indeks struktur komunitas pada perairan ini menunjukkan bahwa keragaman dan kemerataan jenis megabentos relatif rendah (masingmasing 0,42 dan 0,43). Hal ini disebabkan oleh sedikitnya kehadiran jenis-jenis megabentos pada setiap stasiun pengamatan serta tidak meratanya persebaran individu pada setiap jenis yang diwakilinya. Diduga kondisi perairan yang keruh dan tipe habitat yang tidak sesuai dapat mempengaruhi kehadiran jenis-jenis megabentos khususnya dari kelompok moluska dan ekhinodermata seperti Tridacna spp., Trochus sp. dan Holuthurian, yang lebih menyukai perairan jernih sebagai tempat hidupnya. Tabel 11. Nilai indek keanekaragaman (H) dan kemerataan jenis (J’) pada masing-masing stasiun pengamatan. Stasiun KRIL13 KRIL14 KRIL15 KRIL16 KRIL17 KRIL18 KRIL74 KRIL77 KRIL81 KRIL85 KRIL90 KRIL92 KRIL A KRIL B
36
S 3 3 3 4 3 3 2 3 2 3 2 3 3 3
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
N 132 305 188 63 203 86 108 76 3 181 52 90 125 88
H 0.34 0.3 0.63 0.74 0.06 0.69 0.51 0.24 0.66 0.12 0.4 0.61 0.26 0.28
J' 0.31 0.27 0.57 0.54 0.05 0.63 0.73 0.21 0.92 0.11 0.57 0.55 0.24 0.25
2.5. Mangrove Untuk mangrove, telah dilakukan pencatatan data, dengan menggunakan metode transek garis dan fotografi hemisfer yang telah disepakati untuk pelaksanaan monitoring mangrove di kawasan COREMAP-CTI. Metode fotografi mengacu kepada penelitian Jenning et al. (1999) yang dimodifikasi. Metode transek garis dibuat dan pada setiap zona dibuat plot berukuran 10x10 m2 di sepanjang transek garis untuk diukur diameter pohon pada ketinggian dada (DBH) yang memiliki lingkar batang minimal 16 cm. Dicatat jenis yang tumbuh didalam plot mengacu pada kepada Tomlinson (1986), Giesen et al. (2002) dan Noor et al. (2002) serta dihitung lingkar batang dan jumlah pohon di setiap plot. Metode fotografi dilakukan pada empat kuadran disetiap plot penelitian. Pada setiap kuadran dilakukan pengambilan foto kearah langit. Foto dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak imageJ dengan menggunakan analisis perbandingan pixel. 2.5.1. Persentase tutupan mangrove Hasil pengamatan disajikan dalam Tabel 12. Hasil persentasi tutupan mangrove di lokasi pengamatan ditampilkan dalam peta pada Gambar 9.
Gambar 10. Peta persentase tutupan mangrove hasil transek di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan 2014
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
37
Tabel 12. . Jumlah Jumlahjenis, jenis, persentase tutupan mangrove, kerapatan INP jenis pada Tabel 12 persentase tutupan mangrove, kerapatan dan INPdan jenis pada sepuluhstasiun stasiun penelitian mangrove di pesisir , Kabupaten sepuluh penelitian mangrove di pesisir BintanBintan Timur ,Timur Kabupaten Bintan,2014. 2014. Bintan, No No
11
Lokasi Lokasi
Numbing Numbing
Jumlah Jumlah Stasiun Stasiun Jenis Jenis
Max
Max
INP Min
Min
1 1
d d 89.57 ± 3.71 ± 529.15 RA : 300.00% 89.57 ± 3.712400.00 2400.00 ± 529.15 RA : 300.00%
-
-
BINM02 BINM02
1 1
d d 89.44 ± 1.39 ± 264.58 RA : 300.00% 89.44 ± 1.392300.00 2300.00 ± 264.58 RA : 300.00%
-
-
BINM03 BINM03
4 4
a 63.96 ± 21.27 ± 217.94 BG : 117.41% PA : 25.14% 63.96 ± 21.27a950.00950.00 ± 217.94 BG : 117.41% PA : 25.14%
BINM04 BINM04
3 3
c c 82.40 ± 7.01 ± 321.46 RS : 127.87% RM : 70.95% 82.40 ± 7.012266.67 2266.67 ± 321.46 RS : 127.87% RM : 70.95% bc 75.07 ± 7.07 ± 483.33 RA : 158.42% RM : 12.372% bc 75.07 ± 7.071188.89 1188.89 ± 483.33 RA : 158.42% RM : 12.372%
Pangkil Pangkil
33
Kawal Kawal
BINM05 BINM05
6 6
4 4
Beralas Beralas Bakau Bakau
BINM06 BINM06
3
BINM07 BINM07
2
BINM10 BINM10 BINM09 BINM09 BINM08 BINM08
6
Mapur Mapur
Kerapatan Kerapatan
BINM01 BINM01
22
5 5
%cover %cover
INP
3 2
3
71.34 ± 14.89b 1333.33 ± 321.46 RM : 125.95% RS: 68.79% 71.34 ± 14.89b 1333.33 ± 321.46 RM : 125.95% RS: 68.79%
2
74.25 ± 3.51bc 4133.33 ± 305.51 RS : 174.82% RA : 125.18% 74.25 ± 3.51bc 4133.33 ± 305.51 RS : 174.82% RA : 125.18%
6 3 2
81.91 ± 3.85c 4200.00 ± 1449.14 RA : 115.52% LR : 8.79% 81.91 ± 3.85c 4200.00 ± 1449.14 RA : 115.52% LR : 8.79% bc 76.94 ± 6.52 2600.00 ± 800.00 RA : 202.14% XG : 30.78% 76.94 ± 6.52bc 2600.00 ± 800.00 RA : 202.14% XG : 30.78% bc 78.28 ± 1.19 1850.00 ± 1048.33 RA : 178.45% RS : 121.55% 78.28 ± 1.19bc 1850.00 ± 1048.33 RA : 178.45% RS : 121.55%
ab
ANOVA, huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan secara nyata pada nilai %tutupan dan kerapatan antar stasiun penelitian ANOVA, huruf(P<0.05) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan secara nyata pada nilai %tutupan dan kerapatan antar xy ANOVA, uji beda(P<0.05) nyata digunakan untuk membedakan nilai %tutupan dan kerapatan antar pulau. stasiun penelitian xy* Indeks nilaiujipenting tertinggi dan terendah setiap stasiun penelitian.dan Keterangan: Rhizophora ANOVA, beda nyata digunakan untuk dalam membedakan nilai %tutupan kerapatanRA: antar pulau. apiculata; BG: Bruguierra * gymnorrhiza; PA : Pemphis acidula; RS: R. stylosa; RM: R. mucronata; XG: Xylocarpus granatum; & LR : Lumnitzera racemosa. Indeks nilai penting tertinggi dan terendah dalam setiap stasiun penelitian. Keterangan: RA: Rhizophora apiculata; BG: Bruguierra gymnorrhiza; PA : Pemphis acidula; RS: R. stylosa; RM: R. mucronata; XG: Xylocarpus granatum; & LR : Lumnitzera racemosa. ab
2.5.2. Kondisi mangrove di masing-masing lokasi transek 2.5.2. Kondisi mangrove di masing-masing lokasi transek Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove Kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Bintan memiliki kondisi mangrove dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara dengan kategori cukup baik dan baik dengan rentang persentase tutupan mangrove antara 63.96 ± 21.27 % sampai 89.57 ± 3.71%. Pulau Numbing memiliki persentase tutupan 63.96 ± 21.27 % sampai ± 3.71%. Pulau Numbing memiliki mangrove yang paling tinggi di89.57 dua stasiun penelitiannya BINM01 dan BINM02persentase yang tidak tutupan
mangrove yang paling di duaPersentase stasiun penelitiannya BINM01 BINM02 yang tidak berbeda secara statistiktinggi (P<0.05). tutupan mangrove yangdanpaling rendah berbeda Persentase tutupandatamangrove yang stasiun paling rendah ditemukansecara di Pulaustatistik Mangkil,(P<0.05). stasiun BINM03. Berdasarkan kerapatan pohon,
ditemukan Pulau Mangkil, stasiun BINM03. data kerapatan pohon, stasiun BINM10 didiPulau Mapur memiliki kerapatan pohonBerdasarkan tertinggi, yaitu 4.200,00 ± 1.449,14 BINM10 di Pulau Mapur pohonPangkil tertinggi, yaitu 4.200,00 ± 1.449,14 pohon/ha sedangkan terendahmemiliki di stasiun kerapatan BINM03, Pulau dengan kerapatan pohon pohon/ha di stasiun BINM03, Pulau Pangkil dengan lebih kecilsedangkan dari 1000.terendah Berdasarkan hal tersebut kawasan hutan mangrove padakerapatan stasiun pohon lebih kecil dari 1000. Berdasarkan tersebut kawasan hutan mangrove pada stasiun BINM03 termasuk dalam kategori kurang hal baik/jarang. BINM03 termasuk dalam kategori kurang baik/jarang.
38
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
Di stasiun Pulau Numbing yang memiliki nilai persentase tutupan mangrove dan kerapatan pohon yang tinggi hanya terdiri jadi satu species, Rhizophora apiculata. Hal ini disebabkan karena kawasan tersebut memiliki substrat pasir lumpuran yang sangat mendukung pertumbuhan jenis tersebut. Marga Bruguierra dan Xylocarpus ditemukan di kawasan ini namun ukuran lingkar batangnya masih kecil. Dua stasiun di Pulau Pangkil, BINM03 dan BINM04 memiliki perbedaan pada kondisi substrat dan arus. Stasiun BINM03 didominasi oleh substrat pasir berbatu dan merupakan wilayah dengan arus yang cukup kuat. Oleh karena itu, kawasan BINM03 memiliki substrat yang padat dan tidak berlumpur sehingga rendah organik. Jenis yang mendominasi di kawasan ini adalah Bruguierra gymnorrhiza. Kawasan BINM04 memiliki substrat yang yang lebih berlumpur dan sedikit lebih terlindung dibandingkan dengan BINM03. Jenis yang mendominasi di kawasan ini adalah Rhizophora stylosa dengan indeks nilai penting 127.87%. Kawasan BINM03 yang lebih dinamis dibandingkan dengan BINM04 memiliki keanekaragaman jenis lebih tinggi. Satu stasiun di kawasan muara Sungai Kawal, BINM05, merupakan salah satu wilayah yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Pada kawasan ini ditemukan enam jenis mangrove yang didominasi oleh kelompok Rhizophora,. Kawasan Sungai Kawal memiliki keragaman substrat yang cukup tinggi. Pada transek yang dekat dengan muara sungai, substrat didominasi oleh lumpuran sedangkan pada wilayah yang lebih jauh dari sungai memiliki substrat berpasir. Hal ini yang menyebabkan keanekaragaman jenis mangrove cukup tinggi. Persentase tutupan mangrove di kawasan ini mencapai 75.07 ± 7.07% dengan kerapatan 1188.89 ± 483.33 pohon/ha. Nilai ini menunjukkan bahwa kondisi komunitas mangrove di muara Sungai Kawal termasuk dalam kategori baik. Stasiun Pulau Beralas Bakau, merupakan satu-satunya stasiun penelitian di wilayah utara kawasan konservasi. Pulau ini memiliki substrat pasir dengan kondisi perairan yang cukup dinamis. Stasiun BINM06 didominasi dengan baik oleh R. mucronata dengan nilai INP 125.95%. Kondisi komunitas mangrove di stasiun BINM06 tergolong baik dengan persentase tutupan 71.34 ± 14.89% dan kerapatan pohon 1333.33 ± 321.46 pohon/ha. Lokasi di Pulau Mapur, terdiri dari empat stasiun penelitian dimana semuanya difokuskan pada wilayah selatan dan timur pulau. Stasiun di wilayah timur pulau, BINM10 memiliki hutan mangrove yang cukup lebar, dengan substrat bervariasi dari pasir lumpuran sampai berlumpur
menyebabkan keanekaragaman jenisnya yang cukup tinggi. Kondisi
komunitas mengrove pada stasiun tersebut juga paling baik diantara ketiga stasiun lainnya.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
39
Jenis yang mendominasi pada kawasan ini berasal dari kelompok Rhizophora, baik R. apiculata R. mucronata. Jenis yangmaupun mendominasi pada kawasan ini berasal dari kelompok Rhizophora, baik R. apiculata maupun R. mucronata.
2.6. Lamun 2.6. Lamun 2.6.1. Komposisi Jenis dan Kehadiran Lamun 2.6.1. Komposisi Jenisyang dan Kehadiran Total lamun tercatat diLamun seluruh transek permanen di Perairan Bintan adalah Totaljenis, lamunyaitu yang Enhalus tercatat diacoroides seluruh transek Perairan Bintan sembilan (Ea), permanen Thalassiadi hemprichii (Th),adalah Cymodocea sembilan Enhalus serrulata acoroides (Cs), (Ea), Halodule Thalassia uninervis hemprichii(Hu), (Th), Halophila Cymodoceapinifolia rotundatajenis, (Cr), yaitu Cymodocea rotundata (Cr), Cymodocea serrulata (Cs), Halodule uninervis (Hu), Halophila pinifolia
(Hp), Syringodium isoetifolium (Si), Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis (Ho) (Tabel
(Hp), Syringodium isoetifolium (Si), Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis (Ho) (Tabel
1). Dari ketiga lokasi, Pantai Trikora memiliki jumlah jenis lamun terbanyak (9 jenis),
1). Dari ketiga lokasi, Pantai Trikora memiliki jumlah jenis lamun terbanyak (9 jenis),
sedangkan daerah Numbing dan Pulau Pangkil memilik jenis lamun paling sedikit (2 dan 3
sedangkan daerah Numbing dan Pulau Pangkil memilik jenis lamun paling sedikit (2 dan 3
jenis lamun).
jenis lamun).
E. acoroides dan T. hemprichii terdapat di semua stasiun monitoring (Tabel 13). Jenis lain
E. acoroides dan T. hemprichii terdapat di semua stasiun monitoring (Tabel 13). Jenis lain
yang cukup cukuptersebar tersebarjuga juga adalah C. rotundata danuninervis. H. uninervis. Berbeda T. ciliatum yang adalah C. rotundata dan H. Berbeda dengandengan T. ciliatum dan H. H.pinifolia, pinifolia,masing-masing masing-masing hanya terdapat di KRILLM02 dan KRILLM01. dan hanya terdapat di KRILLM02 dan KRILLM01. Tabel13. 13.Komposisi Komposisi dan kehadiran lamun di setiap stasiun pengamatan Tabel dan kehadiran lamun di setiap stasiun pengamatan No No Lokasi Lokasi
Stasiun Stasiun
Jenis Jenis Ea EaTh ThCr Cr Si
11 2
2
3
3
KRILLM01 KRILLM01 +
Pantai Trikora & Pantai Trikora & KRILLM02 + KRILLM02 P. Beralas Pasir P. Beralas Pasir KRILLM03 +
KRILLM03
4
4
5
5
6
6
7
7
8
KRILLM04
+
KRILLM05
+
KRILLM06
+
KRILLM07
+
KRILLM04
P. Mapur
P. Mapur
P. Pangkil
P. Pangkil
Numbing
KRILLM05 KRILLM06 KRILLM07
KRILLM08
8 Numbing KRILLM08 Keterangan: + (hadir); – (absen)
+
+ + + + + + + +
+ + + + + + +
+
+ + + + + + + + +
+ + + + -
Hu Si
Cs Hu
Ho Cs
Hp Ho
Tc Hp
Tc
++
++
++
-+
+-
-+
-
+
+
+
+
-
+
+
+
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
+
-
-
-
+
+
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+ + + + -
+ + -
+ + -
-
+
-
+
-
-
-
-
+ + -
+ -
+ + + -
-
-
-
-
-
-
-
-
(Cymodocea serrulata), Hu (Halodule uninervis), Hp (Halodule pinifolia), Si Ea (Enhalusisoetifolium), acoroides),TcTh (Thalassia hemprichii), Cr(Halodule (Cymodocea (Syringodium (Thalassodendron ciliatum), Ho ovalis)rotundata), Cs
(Cymodocea serrulata), Hu (Halodule uninervis), Hp (Halodule pinifolia), Si (Syringodium isoetifolium), Tc (Thalassodendron ciliatum), Ho (Halodule ovalis)
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
-
-
(Enhalus –acoroides), Keterangan:Ea + (hadir); (absen) Th (Thalassia hemprichii), Cr (Cymodocea rotundata), Cs
40
+
2.6.2. Persentase Tutupan Lamun Persentase penutupan lamun di setiap stasiun disajikan dalam peta, dan dapat dilihat pada Gambar 11. Berdasarkan Ho et al. (2011), rata-rata stasiun memiliki lamun dengan kategori cukup padat, dengan kisaran penutupan 34,38% – 64,55%, kecuali lamun di stasiun KRILLM04 (Pulau Mapur) dan KRILLM08 (Numbing) termasuk kriteria jarang, masingmasing 12.38 % dan 16.43%. Kedua stasiun tersebut disusun oleh dua jenis lamun, yaitu E. acoroides dan T. hemprichii dengan persentase penutupan yang didominasi oleh E. acoroides (Gambar 12). Morfologi E. acoroides dengan daun yang memanjang memberikan dampak persentase tutupan yang kecil.
Gambar 11 . Peta persentase tutupan lamun hasil transek, di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan 2014. Penutupan per jenis di setiap stasiun diilustrasikan dalam Gambar 12. Berdasarkan persentase penutupan, jenis T. hemprichii dan E. acoroides paling melimpah pada semua transek permanen di stasiun monitoring (dengan total lebih dari 50%). Jenis lainnya yang cukup mendominasi adalah C. rotundata dan C. serrulata, sedangkan jenis yang lain memiliki kelimpahan yang rendah.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
41
Gambar12.
Persentase tutupan masing-masing jenis lamun, di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan 2014.
Keterangan. Ea (Enhalus acoroides), Th (Thalassia hemprichii), Cr (Cymodocea rotundata), Cs (Cymodocea serrulata), Hu (Halodule uninervis), Hp (Halodule pinifolia), Si (Syringodium isoetifolium), Tc (Thalassodendron ciliatum), Ho (Halodule ovalis)
Hasil rata-rata penutupan lamun pada setiap sub lokasi dijabarkan pada Tabel 14. Stasiun monitoring dikelompokan menjadi tiga berdasarkan arah mata angin dan jarak. Nilai penutupan lamun terlihat jelas berbeda. Pantai Trikora dan P. Beralas Pasir memiliki yang padat dan kondisi yang baik, sedangkan rata-rata di kedua sub lokasi memiliki nilai lamun yang kurang baik (jarang). Rata-rata lamun secara keseluruhan pada transek permanen monitoring lamun di Peraiaran Bintan menunjukkaan nilai 38,38 % dengan jenis dominan T. hemprichii dan E. acoroides. Berdasarkan KepMEnLH No 200 Tahun 2004, kondisi lamun di Perairan Bintan kurang sehat, namun berbeda halnya apabila dilihat per sub lokasi.
42
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
Table 14. Rata-rata penutupan masing-masing jenis lamun di lokasi transek perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014. Total tutupan (%)
Tutupan / Jenis
No
Sub Lokasi
1
Pantai Trikora dan P. Beralas Pasir
55.76
12.12 28.06 6.18 2.21 1.36 5.12 0.42 0.12 0.15
2
P. Mapur dan P. Pangkil
28.81
12.60
9.31
3.88 0.00 0.78 1.78 0.47 0.00 0.00
3
Numbing
16.43
15.71
0.71
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
4
Bintan (Keseluruhan)
38,38
12.49
16.15
0.90
Ea
Th
Cr
Si
2.90
Hu
0.94
Cs
4.51
Ho
0.05
Hp
0.37
Tc
0.06
Keterangan: Ea (Enhalus acoroides), Th (Thalassia hemprichii), Cr (Cymodocea rotundata), Cs (Cymodocea serrulata), Hu (Halodule uninervis), Hp (Halodule pinifolia), Si (Syringodium isoetifolium), Tc (Thalassodendron ciliatum), Ho (Halodule ovalis).
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
43
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
Secara umum , lokasi yang dipilih untuk kegiatan studi baseline di Periran Bintan Timur, merupakan lokasi lama, pada saat COREMAP II, yang secara kebetulan masuk dalam Kawasan Konsevasi Perairan Daerah, Kabupaten Bintan. Kondisi karang di lokasi transek, tidak bisa dibandingkan dengan kondisi pada waktu pengamatan di lokasi COREMAP II di tahun-tahun sebelumnya, mengingat metode yang dipakai sekarang, berbeda dengan metode yang dipakai tahun sebelumnya. Juga dengan adanya penambahan lokasi baru, sehingga kegiatan tahun ini benar-benar kegiatan mulai dari awal (baseline). Sedikit saran untuk metode UPT, untuk lokasi-lokasi dengan perairan jernih, pengambilan foto bawah air tidak jadi masalah, sebaliknya di lokasi –lokasi dengan perairan yang keruh, seperti di pesisir Bintan Timur, metode ini kurang efisien, mengingat harus memerlukan perjuangan ekstra untuk mengambil gambar /foto. Kondisi dan kejadian seperti ini perlu di evaluasi lagi.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
45
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G.R. & R. Swainston. 1993. Reef Fishes of New Guinea. Christensen Research Institute, Papua New Guinea. 132pp. Allen, G.R. and R. Steene. 1996. Indo-pacific Coral Reef Field Guide. Tropical Reef Research. Singapore. 378p. Allen, G.R. 1999. Marine Fishes of South-East Asia. A Field Guide for Anglers and Divers. Periplus Editions, Hong Kong. 292 pp. Allen, G. R., R. Steene, P. Humann, N. Deloach. 2003. Reef fish identification tropical pacific. New World Publication, Inc. Jacksonville, Frorida USA. Campbell, J.B. 1996. Introduction to Remote Sensing. London: Taylor & Francis. 622 p. Collin, P.L. and C. Arnesson. 1995. Tropical Pasific Invertebrates. Coral Reef Prees, California: 209 pp. English S, Wilkinson, S., Baker, V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Townsville: Australia Institute of Marine Science. Giesen, W., S. Wulffraat, M. Zieren & L. Scholten. 2006. Mangrove Guidebook for Southeast Asia. FAO and Wetlands International. Bangkok. Gomez, E.D. & H.T. Yap. 1984. Monitoring Reef Condition. In: Coral Reef Management Handbook. R.A. Kenchingt6on and B.E.T. Hudson (Eds). Unesco Publisher, Jakarta, p. 171. Hoe, Nina, Kassem, Kenneth & Ng, Sharon. 2011. Seagrass Assessment Report of Semporna Priority Conservation Area. Kota Kinabalu, Malaysia: WWF-Malaysia. Jenning, S.B., N.D. Brown & D. Sheil. 1999. Assessing forest canopies and understorey illumination: canopy closure, canopy cover and other measures. Forestry 72(1): 59–74. Kuitter, R. H. 1992. Tropical Reff Fishes of the Western Pacific. Indonesian and Adjascent Waters. Gramedia Jakarta. 314 Hal. Lyzenga, D.R., 1981. Remote Sensing of Bottom Reflectance and Water Attenuation Parameters in Shallow Water Using Aircraft and Landsat Data. International Journal of Remote Sensing 2, pp. 71-82. Noor, Y.R., M. Khazali & I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: PHKA/Wi-IP. Tomlinson, P.B. 1986. The Botany of mangroves. Cambridge University Press, Cambridge, U.K. 413 pp.
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
47
48
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
0.07
46.60 8.00 2.80 0.00 2.67 0.07 0.53 0.87 0.00 0.00
RECENT DEAD CORAL (DC)
DEAD CORAL WITH ALGAE (DCA)
SOFT CORAL (SC)
SPONGE (SP)
FLESHY SEAWEED (FS)
OTHER BIOTA (OT)
RUBBLE (R)
SAND (S)
SILT (SI)
ROCK (RK)
TAPE, WAND, SHADOW (TWS)
100.00
38.40
CORAL (HC)
Sum (excluding tape+shadow+wand)
KRIL13
MAJOR CATEGORY (% of transect)
100.00
0.00
0.00
2.88
4.51
4.05
2.81
0.00
4.12
1.57
61.18
0.33
18.56
KRIL14
100.00
0.00
0.00
5.60
11.20
1.60
2.60
0.00
0.60
0.47
38.47
0.07
39.40
KRIL15
100.00
0.00
0.53
3.47
2.93
7.47
2.87
9.13
1.93
2.87
47.20
0.00
21.60
KRIL16
100.00
0.00
0.13
0.60
0.20
1.73
7.00
0.00
7.73
0.20
80.80
0.40
1.20
KRIL17
100.00
0.00
0.07
0.40
0.13
0.33
1.13
0.00
7.80
0.93
59.93
0.20
29.07
KRIL18
100.00
0.00
0.07
0.93
22.47
1.27
0.87
0.20
1.13
2.07
30.67
0.07
40.27
KRIL74
100.00
0.00
0.00
2.67
0.60
0.07
0.53
0.00
0.13
0.27
44.07
0.00
51.67
KRIL77
100.00
0.00
0.00
0.00
0.20
0.00
2.20
0.00
0.07
1.53
43.13
0.00
52.87
KRIL81
100.00
0.00
0.33
0.00
24.53
10.67
2.93
2.07
2.27
2.47
30.93
0.00
23.80
KRIL85
100.00
0.00
0.00
0.00
10.13
0.07
0.00
0.67
0.00
0.33
53.93
0.07
34.80
KRIL90
100.00
0.00
0.00
1.33
8.87
1.47
0.33
2.67
3.20
1.40
55.07
0.00
25.67
KRIL92
100.00
0.00
0.00
4.33
3.40
0.13
0.60
0.47
2.93
1.60
51.73
0.07
34.73
KRILB
100.00
0.00
0.07
5.47
2.60
0.67
0.13
0.40
0.93
2.33
32.60
0.00
54.80
KRILA
Lampiran 1. Tabel Persentase tutupan karang, biota bentik dan substrat hasil studi baseline dengan metode UPT di perairan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, 2014.
LAMPIRAN
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
49
SUKU /JENIS IKAN INDIKATOR CHAETODONTIDAE Chaetodon octofasciatus Chelmon rostratus
IKAN TARGET LUTJANIDAE Lutjanus carponottatus Lutjanus decussatus Lutjanus fulviflamma Lutjanus lineolatus Lutjanus russelli Lutjanus vitta SERRANIDAE Cephalopholis argus Cephalopholis boenak Cephalopholis pachycentron Cephalopholis urodeta Cephalopholis leopardis Cephalopholis sp Plectropomus bahanensi
I. 1 2
II. 1 2 3 4 5 6 III. 7 8 9 10 11 12 13
LOKASI (STASIUN)
0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0
0 0 0 1 0 0 0
1 1
KRIL 14
0 0 0 0 0 0
1 1
KRIL 13
0 0 0 0 0 0 0
1 0 1 0 0 1
1 1
KRIL 15
0 0 0 0 0 0 0
1 0 0 1 0 0
1 1
KRIL 16
P. MAPUR
0 0 0 0 0 0 0
1 1 0 0 0 1
0 1
KRIL 17
0 1 0 1 0 1 0
0 0 0 0 0 0
1 0
KRIL 18
1 1 0 0 0 0 1
1 0 1 0 0 1
1 1
KRIL 74
0 1 0 0 0 1 1
1 0 1 0 0 0
1 1
KRIL 77
0 1 0 0 0 0 0
1 0 1 0 0 1
1 1
0 1 0 0 0 0 0
1 0 1 1 0 1
1 1
KRIL 85
0 1 0 0 0 0 0
1 0 0 1 0 0
1 1
KRIL 90
BINTAN TIMUR
KRIL 81
Lampiran 2. Sebaran ikan indikator dan ikan target di perairan Bintan Timur dan sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014.
1 1 0 0 0 0 0
1 0 0 0 0 0
1 1
KRIL 92
0 1 0 0 0 1 0
1 0 0 0 0 0
1 1
KRIL A
0 1 0 1 1 0 0
1 0 1 0 1 0
1 1
KRIL B
50
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
Plectropomus leopardus Plectropomus maculatus Plectropomus truncatus Plectropomus sp LETHRINIDAE Lethrinus harak Lethrinus lentjam Lethrinus ornatus SIGANIDAE Siganus canaliculatus Siganus corralinus Siganus guttatus Siganus virgatus HAEMULIDAE Plectorhinchus 25 chaetodonoides 26 Plectorhinchus picus VII LABRIDAE 27 Cheilinus undulatus 28 Cheilinus fasciatus 29 Hemigymnus melapterus 30 Hemigumnus glypidodon VIII. CAESIONIDAE 31 Caesio caerulaurea 32 Caesio cuning 33 Caesio teres 34 Pterocaesio tile
14 15 16 17 IV. 18 19 20 V. 21 22 23 24 VI
0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0
0 0 1 0
1 1 1 0
0 0
0 0 0 0
0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 1 0 0
0 0
0 0 0 1
0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
1 1 1 0
0 0
1 0 0 0
0 0 0
0 1 0 1
1 1 1 1
0 1 1 0
0 0
0 0 0 0
0 0 0
0 0 0 0
0 0 1 0
0 1 1 0
1 0
0 1 1 1
0 1 1
1 0 1 1
0 0 1 0
1 0
1 1 0 0 1 0
0
0 0
1 1 1 1
1 0 1
0 0 1 0
0
0 0
0 0 1 1
0 0 0
1 0 0 0
0 0 1 0
0 1 1 0
0 0
0 0 0 0
0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0
0 0 0 0
0 0 0
0 0 0 0
0 0 1 0
0 0 1 0
0 0
0 0 0 0
0 0 0
1 1 1 0
0 0 1 0
0 0 0 0
0 0
0 0 0 0
0 0 0
0 0 0 0
0 0 1 0
0 1 1 0
1 1
1 1 0 1
1 0 1
1 0 0 1
Studi “ Baseline” Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bintan Timur dan Sekitarnya, Kabupaten Bintan, 2014
51
IX. 35 X. 36 37 38 39 40 41 XI. 42 43 44 45 46 47 48 49
Keterangan : 1 - ada ; 0 - tidak ada
MULIDAE Upeneus tragula SCARIDAE Scarus bicolor Scarus dimidiatus Scarus ghobban Scarus prasiognathus Scarus sordidus Scarus sp NEMIPTERIDAE Scolopsis bilineatus Scolopsis ciliatus Scolopsis lineatus Scolopsis margaritifer Scolopsis monogramma Scolopsis trilineatus Scolopsis vasmeri Scolopsis xanthocrus 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 0 0
0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 0 0 0
0 0 0 1 0 1 0 0
0 1 1 0 1 0
0
0 0 0 0 0 0 0 0
1 0 1 0
0
0
1 0 0 0 0 1 0 0
0 1 1 0 1 1
0
1 0 1 1 0 1 0 0
0 1 1 1 1 1
0
1 1
0 1 0 1 0
1 1 1 0 0 0
1
0 0 0 0 0 0 1 0
0 1 2 0 0 0
1
1 1 0 1 1 1 0 1
0 1 1 1 1 0
0
0 1 0 0 0 0 1 1
0 0 0 0 0 0
1
0 1 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0
1 0 0 1 0 0 0 1
0 0 0 0 0 0
0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 1 0 0 0
0