KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PERAIRAN KABUPATEN BINTAN DAN ALTERNATIF PENGELOLAANNYA
FEBRIZAL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Kabupaten Bintan dan Alternatif Pengelolaanya adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2009
Febrizal NRP. C252070244
ABSTRACT FEBRIZAL. Coral Reef Ecosystem Conditions in Bintan District Waters and Its Alternative Management. Under the direction of ARIO DAMAR and NEVIATY P. ZAMANI. Coral reef ecosystem damage caused by natural and human activites. Any small change can provide a dramatic change in the condition of the dynamics and structure of coral reef ecosystems. With the lack of information and the condition of water quality conditions of living coral cover in the of Bintan coastal waters area, for it was a basic study and includes aspects of the importance of ecosystem management. The purpose of this study are: To determine the condition of coral reef ecosystems; and cause of the damage coral reefs ecosystem; also Finding an alternative management of coral reef ecosystems by developing lesson learn from existing reefs.The methods used were the square transect for determining of coral reefs and macroalgae cover. whereas for determination of fish community structur using modification of Line Intercept Transect and Underwater Fish Visual Cencus (UVC). The analysis used was standar ecologycal analysis, correlation with Principle Component Analysis and Corelation. The result showed that coral reef ecosystem in most location are still in good condition. The correlation analysis obtained the increase in the percentage of dead coral cover will increase the percentage cover of macroalgae, while the relationship herbivorous fish and algae cover inversel. The conclusion that all the activities that may damage the reefs will affect the coral ecosystem conditions that will cause the growth of macroalgae has dead coral cover. Herbivore is a control on the growth and help maintain reef communities in competition with macroalgae. Key Word: Human Activities, Coral reefs, Herbivory, Macroalgae
RINGKASAN
FEBRIZAL. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Kabupaten Bintan dan Alternatif Pengelolaannya. Di bawah bimbingan Ario Damar dan Neviaty P. Zamani. Ekosistem terumbu karang menyediakan berbagai sumber kebutuhan hidup untuk masyarakat pesisir seperti hasil perikanan, budidaya dan pariwisata. Hampir 60 persen masyarakat Kabupaten Bintan berkonsentrasi di sepanjang pesisir untuk mencari penghidupan sepanjang tahunnya sehingga memberi tekanan pada sumberdaya pesisir dan laut melalui rentangan berbagai pengaruh. Kelebihan tangkap, kerusakan habitat dan peningkatan sedimen memberikan antropogenik yang sangat luas di Bintan sebagaimana informasi yang di peroleh dari CRITC Coremap II-LIPI. Tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk mengetahui kondisi dan penyebab kerusakan di ekosistem terumbu karang di Kabupaten Bintan dan mencari alternatif pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan pengembangan lesson learn dari existing terumbu karang. Penelitian ini dilakukan di perairan Kabupaten Bintan di dua wilayah yaitu wilayah Kecamatan Gunung Kijang (pantai Trikora) dan Pulau Mapur Provinsi Kepulauan Riau, pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2009. Persentase penutupan karang beserta penyusun substrat dasar lainnya diperoleh berdasarkan metode transek kuadrat . Pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode sensus visual bawah air (Under Visual Census). Data kualitas air yang meliputi kondisi fisika, dan kimia perairan.dengan metode analisis kualitas air yang mangacu pada APHA (1989). Analisis yang digunakan untuk melihat hubungan variabel tutupan karang hidup, tutupan karang mati kelimpahan ikan herbivora dan makroalga adalah dengan analisis Korelasi Spearman dengan menggunakan software Microsoft Excel 2003, sedangakan untuk melihat pola pengelompokan variabel penyususn substrat dasar, ikan karang dan lingkungan, digunakan Analisia Komponen Utama (PCA) dengan menggunakan ExcelStat 2009. Hasil yang di peroleh adalah tutupan karang hidup antara 34,69 % (99,84 %). Kerusakan terumbu karang terjadi disebabkan oleh adanya aktifitas manusia baik diwilayah perairan ataupun didaratan. Baik oleh kegiatan penangkapan maupun sedimentasi dari daratan. Total kelimpahan ikan sebanyak 6.789 individu ikan dari keseluruhan stasiun pengamatan selama penelitian. Dan terindentifikasi sebanyak 57 spesies dengan 14 family ikan. Jumlah ikan herbivora yang ditemui selama pengamatan adalah 199 ind ividu dari keseluruhan stasiun pengamatan dengan jumlah spesies 6 jenis dari famili pomacentridae, scaridae dan siganidae. Rendahnya tingkat kelimpahan ikan herbivora disebabkan oleh penangkapan ikan lebih dari masyarakat nelayan pada musim angin kencang di wilayah ini., terutama kan herbivora berukuran besar. Kelompok makroalga merupakan kelompok tutupan yang tertinggi terutama distasiun 1( 16,65%), diukuti dengan stasiun 4 (15,78%) serta stasiun 5 dan 8(10,99% dan 10,69) dibandingkan dengan turf algae ditemukan hanya pada stasiun 4 dan 5 ( 1,24% dan 1,66%) sedangkan coralin coralin algae ditemukan pada stasiun 2, 4 dan 5 (2,38%, 3,82% dan 0,39%). Tingginya tutupan alga di beberapa stasiun penelitian
menunjukan adanya hubungan kompetisi dalam pemakaian tempat antara karang dan makroalga.Tingginya tutupan karang mati berpengaruh terhadap pertumbuhan makro algae yang bersipat sangat cepat mengisi ruang yang kosong sebagai tempat pertumbuhannya. Sehingga adanya hubungan positif antara peningkatan tutupan karang mati dengan tutupan makro alga. Kesimpulannya adalah kondisi terumbu karang di periaran Kabupaten Bintan secara umum termasuk dalam kondisi ‘sedang’ hingga ‘baik serkali’.sedangkan di wilayah II di lokasi P. Mapur berada dalam kondisi ‘sedang’ hingga ‘ baik sekali’ dengan kisaran diantar dua lokasi yaitu 34,69% hingga 99,84%.Kelimpahan ikan herbivora dan tutupan karang hidup berpengaruh negatif terhadap tutupan makroalgae. Secara umum kondisi perairan Kabupaten Bintan masih mendukung bagi pertumbuhan ekosistem terumbu karang. Alternatif pengelolaan yang dapat dilakukan terhadap kondisi ekosistem terumbu karang diperairan Kabupaten Bintan adalah (1) mempertahankan kondisi terumbu karang dari kegiatan penangkapan yg bersifat destruktif ; (2) Menangani Ikan herbivora secara khusus dan mendapat prioritas perlindungan di dalam pengelolaan terumbu karang. (3) Penegakan hukum dan pengawasan yang optimal dapat dilakukan dengan membuat aturan perundang-undangan daerah yang belum ditetapkan di daerah sebagai bentuk aksi perlindungan terhadap pemanfaatan terumbu karang sebagai sumberdaya laut tidak hanya dipandang sebagai nilai ekonomis tapi juga bernilai ekologis, (4) Implementasi pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan.
KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PERAIRAN KABUPATEN BINTAN DAN ALTERNATIF PENGELOLAANYA
FEBRIZAL
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Penelitian
: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Kabupaten
Nama Mahasiswa Nomor Pokok
: Febrizal : C252070244
Bintan dan Alternatif Pengelolaannya
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Ario Damar, M.Si Ketua
Dr.Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA
Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang- undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyusun tesis dengan judul Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Kabupaten Bintan dan Alternatif Pengelolaannya. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasihyang sebesarbesarnya kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. dan Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas semua waktu, tenaga, sertas masukan dan saran selama penyusunan tesis ini. 2. Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Kepulauan Riau yang telah memberikan Bantuan dana kepada penulis. 3. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan serta Instansi Terkait yang telah banyak membantu dalam penyediaan informasi dan data dalam penelitian ini. 4. Keluarga tercinta (Ayahanda A. Rachman. T, Ibunda Nurma sari, Saudarasaudara tercinta) yang senantiasa memberikan doa dan restu selama penulis menempuh pendidikan. 5. Rekan-rekan kuliah Program Studi SPL-Sandwich coremap II-ADB yang telah memberikan inspirasi dan menjadi teman diskusi. Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini masih terdapat berbagai kekurangan. Oleh karena itu penulus mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun untuk kesempurnaan tesis ini. Semoga hasil dari penelitian dan tesis ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan pengelolaan terumbu karang di masa yang akan datang. Bogor,
Oktober 2009 Febrizal
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Selat Panjang pada tanggal 3 Febuari 1971 sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Penulis mengawali pendidikan dasar di SD Negeri 002 Buluh Kasap (1977 – 1983). Penulis melanjutkan pendidikan di SMP YPLK Dumai pada tahun 1983 – 1986, dan pada tahun 1986 – 1989 dilanjutkan di SMA Negeri 2 Dumai Selanjutnya penulis diterima di Program Studi Ilmu Kelautan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Riau melalui jalur PMDK pada tahun 1989, dan lulus pada tahun 1995). Selama di Universitas Riau , penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI). Untuk menyelesaikan studi di Program Studi Ilmu Kelautan FAPERIK – UNRI, penulis melakukan penelitian dengan judul “ Kandungan Logam Berat (Pb,Cd, dan Zn di dalam tubuh Lokan (Geloena Coaxans) di Perairan Sungai Pakning Kabupaten Bengkalis” Penulis dinyatakan lulus dan memperoleh gelar sarjana pada bulan Desember 1995. Pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Kabupaten Bintan dan Alternatif Pengelolaannya ”.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
1.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang............................................................................... 1.2. Perumusan Masalah....................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian........................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian.........................................................................
1 1 4 4 5
2.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Batasan Wilayah Pesisir.................................................................. 2.2. Ekologi Terumbu Karang............................................................... 2.3. Faktor-faktor Pembatas.................................................................. 2.4. Faktor-faktor Penyebab Kerusakan Terumbu Karang.................... 2.5. Ikan Karang.................................................................................... 2.5.1. Hubung Ikan Karangan dengan Keanekaragaman Habitat............................................................................... 2.5.2. Trophic Ekologi Ikan Karang............................................ 2.6. Peran Herbivori Dalam ekosistem terumbu Karang....................... 2.7. Makroalga.......................................................................................
7 7 9 11 15 17
METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian........................................................ 3.2. Ruang Lingkup Penelitian.............................................................. 3.3. Peralatan yang di gunakan.............................................................. 3.4. Penentuan Stasiun Penelitian.......................................................... 3.5. Metode Pengumpulan Data............................................................ 3.5.1. Pengamatan Terumbu Karang dan Makro Alga.......... 3.5.2. Pengamatan Ikan Karang............................................... 3.5.3. Pengukuran Variabel Kualitas Air ................................ 3.6. Studi Pustaka.................................................................................. 3.7. Analisa Data ................................................................................. 3.7.1. Persentase Penutupan Karang dan Makro Algae 3.7.2. Ikan Karang.................................................................. 3.7.2.1. Kelimpahan Ikan Karang................................ 3.7.3. Variabel Kualitas Air................................................... 3.8 Analisis Hubungan....................................................................... 3.8.1. Hubungan antara Lingkungan dan Penutupan Subrat Dasar serta ikan karang............................................... 3.8.2. Analisis Korelasi............................................................
26 26 26 26 27 29 29 30 32 32 32 32 32 33 34 38
3.
x
18 20 23 23
38 38
Halaman 4.
5.
6.
HASIL 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.............................................. 4.1.1. Kecamatan gunung Kijang (Pantai Trikora).................. 4.1.2. Pulau Mapur.................................................................. 4.2. Kondisi terumbu Karang................................................................ 4.3 Hubungan Parameter Lingkungan dengan Penutupan Substrat Dasar............................................................................................... 4.4 Kelimpahan Ikan............................................................................ 4.4.1. Kelimpahan Ikan Herbivora............................................... 4.5. Hubungan Parameter Lingkungan dengan Ikan Karang............... 4.6. Kondisi Alga.................................................................................. 4.7. Kondisi Lingkungan....................................................................... 4.7.1. Suhu.................................................................................. 4.7.2. Kecerahan......................................................................... 4.7.3. Kedalaman........................................................................ 4.7.4. Kecepatan Arus................................................................ 4.7.5. TSS (Total Suspended Solid)........................................... 4.7.6. Salinitas............................................................................ 4.7.7. Ortophosfat (PO4 -P)......................................................... 4.7.8. Nitrat (NO3- N)................................................................. 4.7.9. Nitrit (NO2 )...................................................................... 4.7.10. Amonia (NH3 )................................................................. 4.7.11. DO (Disolved Oxygen).................................................... 4.8 Korelasi.......................................................................................... 4.8.1. Hubungan antara kelimpahan ikan Herbivora dan persentase tutupan alga..................................................... 4.8.2 Hubungan antara pesentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan Ikan Karang (individu/transek)........ 4.8.3. Hubungan antara persentase tutupan karang mati dengan persentase kelimpahan alga................................. 4.8.4 Hubungan persentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan alga................................................................
40 40 40 43 45
PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Penutupan Substrat Dasar Ekosistem Terumbu Karang... 5.2. Penyebab Kerusakan Terumbu Karang di Kabupaten Bintan........ 5.3. Tutupan Karang Hidup, Kelimpahan Alga, Ikan herbivora dan Lingkungan..................................................................................... 5.4. Pembelajaran dari Existing Ekosistem Terumbu Karang............... 5.5. Alternatif Pengelolaan Ekosistem terumbu Karang.......................
69 69 70
SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan......................................................................................... 6.2 Saran...............................................................................................
83 83 84
xi
51 54 57 58 61 62 62 62 63 63 64 65 65 66 67 67 67 67 67 68 68 68
73 77 79
Halaman DAFTAR PUSTAKA
85
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Parameter dan cara analisis kualitas air dalam penelitian.......................
27
2.
Daftar penggolongan komponen dasar penyusun ekosistem terumbu karang berdasarkan life form karang dan kodenya..................................
30
Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang (Gomez dan Yap, 1988)...........................
33
4.
Konsentrasi larutan Standar Nitrat-nitrogen...........................................
36
5.
Persentase tutupan karang keras, karang mati, alga, biota lain dan abiotik penyusun struktur bentik.............................................................
47
6.
Nama- nama stasiun penelitian berdasarkan pembagian kawasan...........
47
7.
Distribusi persentase tutupan karang keras di lokasi penelitian..............
48
8.
Daftar family dan spesies ikan karang yg ditemukan dengan metode visual sensus bawah air di seluruh stasiun.............................................
55
9.
Daftar family dan spesies ikan herbivora yang ditemukan dengan metoda visual sensus diseluruh stasiun..................................................
57
3.
10. Kelimpahan spesies ikan herbivora individu per transek disetiap stasiun. 57 11. Persentase tutupan alga di tiap-tiap stasiun.............................................
xiii
61
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Faktor-faktor yang membatasi pertumbuhan terumbu karang (Nybakken, 1988)....................................................................................
13
Ikan- ikan karang yang berasosiasi dengan koloni karang bercabang (Nybakken,1988).....................................................................................
19
3.
Peta lokasi penelitian...............................................................................
28
4.
Metode pengamatan terumbu karang dengan transek kuadrat ...............
29
5.
Pencatatan data kelimpahan dan bio massa sensus visual bawah air spesies ikan karang (Labrosse, 2002)......................................................
31
Persentase penutupan kelompok bentik: karang hidup, karang mati, alga, biota lain, abiotik............................................................................
46
7.
Persentase tutupan karang hidup berdasarkan genus..............................
50
8.
Persentase tutupan karang hidup dari kategori Acropora: Acropora brancing (ACB), Acropora Digitate (ACD), Acropora Submasive (ACS), Acropora Tabulate (ACT)..........................................................
50
Persentase tutupan karang hidup dari kategori Non-Acropora: Coral Brancing (CB), Coral Encruisting (ACD), Coral Foliose (CF), Coral Massive (CM), Coral Sub-massive (CS), Coral Mushroom (CMR), Coral Meliopora (CME), Coral Heliopora (CHL).................................
51
10 a.
Biplot korelasi antara variabel.di seluruh stasiun...................................
53
10 b.
Biplot observasi data variabel diseluruh stasiun ....................................
53
11.
Kelimpahan jenis ikan karang per stasiun...............................................
56
12.
Kelimpahan family ikan karang per stasiun............................................
56
13.
Kelimpahan jenis ikan herbivora per stasiun...........................................
58
2.
6.
9.
xiv
Halaman 14
Kelimpahan family ikan herbivoara per stasiun.....................................
58
15.
Biplot korelasi antara data variabel di seluruh stasiun...........................
60
16.
Kondisi persentase tutupan Alga di tiap-tiap stasiun penelitian..............
61
17.
Nilai rata-rata suhu di tiap-tiap stasiun pengamatan..............................
62
18.
Nilai rata-rata kecerahan (m) di tiap-tiap stasiun pengamatan..............
63
19.
Nilai rata-rata kedalaman (m) di tiap-tiap stasiun pengamatan...............
63
20.
Nilai rata-rata kecepatan arus (cm) di tiap-tiap stasiun pengamatan.......
64
21.
Kondisi TSS (Total Suspended Solid) di tiap-tiap stasiun pengamatan...
64
22.
Kondisi Salinitas (‰) di tiap-tiap stasiun pengamatan...........................
65
23.
Kondisi Orthophosphate (PO4 -P) di tiap-tiap stasiun pengamatan..........
66
24.
Kondisi Nitrat (NO3 -N) di tiap-tiap stasiun pengamatan.........................
66
25.
Kondisi DO (Oksigen terlarut) di tiap-tiap stasiun pengamatan.............
67
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Persentase penutupan karang hidup dan biota penyusun substrat dasar lainnya (%) pada lokasi penelitian yang berbeda....................................
91
2.
Bentuk pertumbuhan karang batu (English et al. 1997)..........................
92
3.
Kelimpahan jenis ikan karang tiap-tiap stasiun.......................................
95
4.
Total kelimpahan jenis ikan herbivora tiap stasiun.................................
100
5.
Kondisi kualitas perairan tiap stasiun penelitian...............................
101
6.
Korelasi antara kondisi tutupan substrat dasar yang ada dengan kondisi perairannya pada seluruh stasiun penelitian
102
7.
Sumarry statistik analisis PCA................................................................
103
8.
Korelasi antara kondisi family ikan karang yang ada dengan kondisi perairannya pada seluruh stasiun penelitian............................................
108
9.
Nilai akar ciri variabel kondisi perairan dan family ikan karang............
109
10 Hasil perhitungan Analisis korelasi antara variabel Tutupan karang kelimpahan ikan herbivora dan tutupan alga...........................................
110
xvi
1
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem terumbu karang secara ekologis mempunyai fungsi sebagai tempat untuk mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground) dan daerah pemijahan (spawning ground)
bagi
organisme pendukung yang ada di ekosistem tersebut. Ekosistem terumbu karang menjadi demikian penting karena ekosistem tersebut memiliki keanekaragaman yang tinggi sehingga dapat memberikan cadangan sumberdaya untuk beberapa dekade (Knowlton 2001). Kerusakan Sumberdaya laut, khususnya terumbu karang disebabkan oleh banyak faktor yang dapat dikelompokan ke dalam dua bagian yaitu: faktor alamiah dan antropogenik. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor alam antara lain terjadinya bencana alam seperti gempa dan tsunami. Sedangkan kerusakan yang berkaitan dengan perilaku manusia, umumnya dipicu oleh berbagai faktor seperti kemiskinan dan kurangnya sosialisasi tentang pentingnya pelestarian terumbu karang (Zaelani dalam Nagib et al. 2006). Menurut Dahuri et al. (1996) faktor-faktor penyebab kerusakan terumbu karang di Indonesia antara lain disebabkab oleh ; (1) penambangan batu karang untuk bahan bangunan, pembangunan jalan dan hiasan ( ornamen), (2) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan alat tangkap yang operasinya menyebabkan rusaknya terumbu karang, seperti muroami, (3) pencemaran perairan oleh berbagai limbah industri, pertanian, rumah-tangga baik berasal dari kegiatan di darat ( land base activities), maupun kegiatan di laut (marine base activities), (4) pengendapan (sedimentasi) dan peningkatan kekeruhan air akibat erosi tanah di daratan, kegiatan penggalian di pantai dan penambangan disekitar terumbu karang, dan (5) eksploitasi berlebihan sumber daya perikanan karang. Sedimentasi yang terjadi di perairan terumbu karang akan memberikan pengaruh semakin menurunnya kemampuan karang untuk tumbuh dan berkembang.
2
Aktifitas daratan di Kabupaten Bintan seperti penambangan pasir dan batu granit yang telah beroperasi diwilayah ini sejak berpuluh tahun meskipun sebagian besar perusahaan telah tidak diberi izin lagi untuk pengoperasiannya, menghasilkan dampak terhadap ekosistem pesisir Kabupaten Bintan dengan tingginya tingkat sedimentasi di sekitar wilayah perairan Kabupaten Bintan. Pengaruh sedimen terhadap terumbu karang terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung sedimen yang terdeposit akan menutupi permukaan polip karang sehingga akan meningkatkan kebutuhan energi metabolik untuk menghilangkannya kembali. Secara tidak langsung sedimen yang tersuspensi dapat menghalangi masuknya penetrasi sinar matahari yang dibutuhkan untuk fotosintesis alga simbion karang zooxanthellae. Apabila jumlah sedimen cukup tinggi dan melebihi batas kemampuan polip karang untuk beradaptasi, maka akan terjadi kematian dan penurunan penutupan terumbu karang pada daerah tersebut. Di sisi lain apabila sedimen mengandung sejumlah besar bahan organik akan terjadi invasi oleh alga. Menurut Tomascik (1991), beberapa kegiatan manusia yang
berhubungan
erat
dengan
sedimentasi
adalah
semakin
tingginya
pemanfaatan hutan dan lahan pertanian, kegiatan pengerukan, pertambangan, dan pembangunan konstruksi. Sebagai salah satu ekosistem pantai, terumbu karang memiliki peranan penting dan erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat pesisir. Disadari maupun tidak, sebagian besar masyarakat pesisir menggantungkan perekonomian mereka pada sektor perikanan. Ekosistem terumbu karang hadir dengan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, baik keanekaragaman jenis biota karang sebagai penyusun utama ekosistem tersebut maupun keanekaragaman biota laut lainnya. Berbagai macam jenis ikan, Moluska, Krustasea, serta Ekhinodermata yang memiliki nilai ekonomis tinggi hidup berasosiasi dalam ekosistem tersebut. Biota laut ekonomis merupakan target utama penangkapan nelayan yang telah menghidupi mereka secara turun temurun. Hampir 60 persen masyarakat Bintan berkonsentrasi di sepanjang pesisir untuk mencari penghidupan sepanjang tahunnya sehingga memberi tekanan pada sumberdaya pesisir dan laut melalui rentangan berbagai pengaruh. Limbah rumah tangga, kelebihan tangkap, kerusakan habitat dan peningkatan sedimen
3
memberikan antropogenik yang sangat luas di Bintan sebagaimana informasi yang di peroleh dari CRITC Coremap II-LIPI. Terumbu karang sangat membutuhkan kondisi yang seimbang
terutama dari toleransi fisika perairan seperti suhu,
salinitas, serta sedimen. Perubahan sekecil apapun dapat memberikan perubahan yang dramatikal pada kondisi dinamika dan struktur ekosistem di terumbu karang. Ekosistem merupakan konsep terpenting dalam studi ekologi dimana ekosistem merupakan interaksi semua bagian dari faktor fisik, biologi dan lingkungan manusia yang tidak terbatas areanya dan waktu. Mulai dari kolam sampai dengan seluruh biosphere bumi (Whitten et al. 1996). Tansley (1935) dalam Mackenzie (2001) menyebutkan bahwa ekosistem di dalamya termasuk fauna, flora dan interaksi fisik di ruang tersebut. Para ekologi modern cenderng berpikir bahwa ekosistem merupakan terminologi aliran energi, aliran carbon dan siklus nutrien (Mackenzie 2001). Keanekaragaman ekosistem dapat dikenali melalui pengamatan terhadap lingkungan fisik, dimana lingkungan fisik yang berbeda melahirkan komunitas kehidupan yang berbeda. Sifat fisik, seperti suhu, kejernihan air, pola arus dan kedalaman air mempengaruhi komunitas yang hidup didalamnya (Dahuri 2003). Ekosistem terumbu karang yang sangat
sensitif terhadap pengaruh
kegiatan manusia, pada umumnya sudah mengalami tekanan seperti eutrofikasi (penyuburan), pengembangan pesisir, sedimentasi dan penangkapan berlebih sehingga kondisi terumbu karang banyak mengalami penurunan (Lesser 2003). Akibat dari tekanan tersebut dapat mengakibatkan pergantian fase komunitas dimana makroalgae yang memiliki pertumbuhan lebih cepat daripada terumbu karang sendiri (Mc Manus et al. 2000, Jompa & Mc Cook 2002, Lardizabal 2007, Bachtiar 2008). Ikan karang merupakan biota yang sangat erat hubungannya dengan terumbu karang, oleh karena itu kelimpahan ikan karang sangat tergantung dengan kondisi terumbu karang.
Jika terumbu karang mengalami penurunan maka
kelimpahan ikan karang pun akan cenderung menurun. Ikan herbivor yang merupakan ikan karang sebagai biota yang memakan alga di ekosistem terumbu karang dan berfungsi sebagai pengontrol pertumbuhan alga disekitar ekosistem terumbu karang. Alga dan termbu karang sama-sama
4
merupakan biota yang menempel di substrat sehingga terumbu karang dan alga berkompetisi untuk mendapatkan ruang (Lardizabal 2007). Littler et al. (2006) menjelaskan bahwa ikan herbivor merupakan kontrol dari atas (top down control) bagi pertumbuhan makroalga melalui proses grazing. Sedangkan peningkatan nutrien merupakan kontrol dari bawah (bottom up control) bagi pertumbuhan makroalga. Untuk mencegah semakin memburuknya kondisi ekosistem terumbu karang, terutama dari aktifitas manusia, maka diperlukan pengelolaan ekosistem terumbu karang. Dimana hakekatnya merupakan suatu proses pengontrolan tindakan manusia, agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Sehingga pengelolaan secara terpadu oleh berbagai pihak dan instansi yang terkait sangat penting dilakukan.
1.2. Perumusan Masalah Semakin bertambahnya kebutuhan masyarakat akan sumberdaya yang ada diterumbu karang seperti ikan, udang, dan lain sebagainya, maka aktifitas masyarakat untuk memanfaatkan kondisi tersebut sangat besar pula. Dengan demikian tekanan ekologis terhadap ekosistem terumbu karang akan semakin besar pula. Hal ini akan menyebabkan menurunnya kondisi ekosistem terumbu karang di wilayah Kabupaten Bintan. Hal ini dibuktikan dengan berbagai hasil pengamatan tentang kondisi terumbu karang di wilayah ini yang mengalami degradasi dengan tingkat keruskan yang bervariasi. Hasil survey ekologi pusat Penelitian Oseanografi LIPI mengungkapkan sebagian besar kawasan perairan Pulau Mapur mempunyai tutupan karang dari 50 persen dan di beberapa stasiun penelitian dijumpai adanya kerusakan karang yang cukup parah dengan persentase tutupan karang hidup kurang dari 25 persen (P2O-LIPI, 2005). Meskipun hasil pengamatan CRITC COREMAP terakhir (2007) menunjukan kondisi terumbu karang di wilayah Kabupaten Bintan cenderung mengalami perbaikan dengan meningkatnya persentase tutupan karang sekitar 50 persen. Perairan Bintan Timur dari waktu kewaktu mengalami penurunan yang sangat dimungkinkan bahwa aktifitas manusia baik dalam pemanfaatan
5
sumberdaya laut dan aktifitas daratan akan mempengaruhi kondisi terumbu karang seiring dengan bertambahnya aktifitas manusia yang mendiami wilayah pesisir pantai. Menurut survey tentang kondisi terumbu karang yang dilakukan CRITC COREMAP Kabupaten Bintan pada tahun 2006, rata-rata tutupan karang hidup di beberapa lokasi pengamatan, termasuk dalam kategori sedang yaitu 32,05 persen. Sedangkan rata-rata karang mati mencapai 30,91 persen. Kondisi karang yang rusak atau mati diyakini disebabkan ilah manusia, antara lain akibat penggunaan bom dan jaring dasar untuk menangkap ikan yang dilakukan oleh nelayan, yang dibuktikan dengan adanya patahan karang yang banyak dijumpai antara lain di daerah Teluk Dalam, Desa Malang Rapat (CRITC COREMAP Kabupaten Bintan 2006). Pemanfaatan sumberdaya alam tanpa adanya perencanaan yang matang akan dapat mengancam kelestarian sumberdaya alam itu sendiri sehingga akan mempengaruhi ketersediaan sumberdaya alam itu sendiri. Sehingga pemanfaatan potensi sumberdaya perairan perlu memperhatikan azaz keberlanjutan. Dengan minimnya informasi kondisi kualitas perairan dan kondisi tutupan karang hid up di wilayah perairan pesisir Bintan Timur, untuk itu suatu studi yang mendasar dan mencakup aspek pengelolaan terhadap pentingnya ekosistem terumbu karang di wilayah tersebut sangat diperlukan. Dengan demikian maka akan didapatkan suatu pola pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan (sustainable) untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang.
2.
Mengetahui penyebab kerusakan yang terjadi di ekostem terumbu karang.
3.
Mencari
alternatif
pengelolaan
ekosistem
terumbu
karang
dengan
pengembangan lesson learn dari existing terumbu karang. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi dasar bagi kondisi ekosistem terumbu karang terhadap stress dari kegiatan ma nusia dan
6
allternatif pengembangan pengelolaannya, khususnya pemerintah agar dapat menentukan kebijakan yang sempurna berkaitan dengan upaya pelestarian sumberdaya alam, khususnya ekosistem terumbu karang.
7
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Batasan Wilayah Pesisir Wilayah Pesisir secara ekologis adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut,
darat mencakup daratan yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses kelautan sedangkan ke arah laut meliputi perairan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah dan kegiatan manusia di daratan (Beatly 1994; Dahuri et al. 1996; Clark 1996). Di dalam Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir (2001), pendefenisian wilayah pesisir dilakukan atas tiga pendekatan, yaitu pendekatan ekologis, pendekatan administratif dan pendekatan perencanaan. Dilihat dari aspek ekologis, wilayah pesisir adalah wilayah yang dipengaruhi oleh prosesproses laut, seperti pasang surut dan kearah laut dipengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi. Dari aspek administratif, wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administratif pemerintahan mempunyai batasan terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten atau kota yang mempunyai hulu dan kearah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk propinsi atau sepertiga untuk kabupaten atau kota. Sedangkan apabila dilihat dari aspek perencanaan, wilayah pesisir adalah wilayah perencanaan pengeolaan difokuskan pada penanganan isu yang akan ditangani secara bertanggungjawab. Dengan demikian, wilayah pesisir adalah tempat berinteraksinya ekosistem darat dan laut, batasnya kearah darat mencakup administrasi suatu kecamatan, desa atau pantai dan kearah laut sejauh 12 mil dari garis pantai. Di wilayah pesisir terdapat ekosistem yang terkait satu dengan lainnya. Ekosistem pesisir merupakan suatu unit tatanan interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan secara bersama-sama menjalankan fungsinya masing- masing pada suatu tempat atau habitat (Odum 1971). Selanjutnya dikatakan bahwa komponen hayati dan nirhayati secara fungsional hubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem. Apabila terjadi perubahan pada salah satu sistem dari kedua komponen tersebut, maka dapat mempengaruhi
8
keseluruhan sistem yang ada, baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya (Bengen 2002). Salah satu bentuk keterkaitan antara ekosistem di wilayah pesisir dapat dilihat dari pergerakan air sungai, aliran limpasan (run-off), aliran air tanah (ground water) dengan berbagai materi yang terkandung di dalamnya (nutrient, sedimentasi dan bahan pencemar) yang kesemuanya akan bermuara ke perairan pesisir. Selain itu, pola pergerakan massa air ini juga akan berperan dalam perpindahan biota perairan (plankton, ikan, udang) dan bahan pencemar dari satu lokasi ke lokasi lainnya (Bengen 2004). Secara prinsip, ekosistem pesisir mempunyai 4 (empat) fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, dan penyedia jasa-jasa kenyamanan (Benge n 2001). Sedangkan menurut ( Dahuri et al. 1996), wilayah pesisir secara keseluruhan memiliki berbagai fungsi dan manfaat bagi manusia, sebagai berikut: 1.
Penyedia sumberdaya alam hayati, seperti sumber pangan (protein) dan sebagai obat-obatan untuk kesehatan.
2.
Penyedia sumberdaya alam non hayati, yakni dapat menyediakan lapangan pekerjaan seperti kegiatan industri, pertambangan dan sebagainya.
3.
Penyedia energi, dengan menggunakan gelombang pasang-surut dapat membangkitkan tenaga listrik.
4.
Sarana transportasi, untuk membangun pelabuhan atau dermaga sebagai bongkar muat barang.
5.
Rekreasi dan pariwisata, yakni didukung oleh pasir putih, terumbu karang dan sebagainya.
6.
Pengatur iklim dan lingkungan hidup, laut berperan mengatur suhu udara dan iklim laut, menyerap CO2 , menjaga lingkungan laut agar sirkulasi air dunia terjamin sehingga daerah tropis air laut tidak terlalu panas dan sebaliknya daerah subtropis.
7.
Penampung limbah, bentuk apapun limbah yang dibuang ketempat terakhirnya adalah muara sungai di laut.
9
8.
Sumber plasma nutfah, yakni tempat hidupnya beraneka ragam biota dan plasma nutfah sehingga merupakan bagian kepentingan manusia.
9.
Pemukiman, yaitu menyediakan tempat tinggal bagi masyarakat yang mempunyai kegiatan di pesisir.
10. Kawasan Industri, yakni digunakan untuk pembangunan industri sehingga memudahkan kegiatan ekspor dan impor barang. 11. Pertahanan dan keamanan, wilayah pesisir megelilingi pulau sehingga pulau merupakan wilayah pengaman dan pendukung kekuatan hankam.
Sebagai wilayah yang mempunyai karakteristik tersendiri, maka faktorfaktor lingkungan yang berpengaruh di wilayah pesisir seperti angin, gelombang, pasang surut, arus, serta faktor fisik dan kimia lainnya lebih bervariasi dibandingkan dengan ekosistem yang terdapat di laut lepas maupun yang terdapat di perairan darat. Karakteristik hidro-oseanografi yang sangat dinamis ini menjadikan pengelolaan wilayah pesisir baik untuk kepentingan perikanan budidaya, konstruksi, pariwisata, serta kegiatan lainnya harus dikerjakan secara bijak dan hati-hati. 2.2. Ekologi Terumbu Karang Pembentukan kerangka karang pada umumnya diinterpretasikan sebagai kenaikan massa kerangka kapur karang, di mana jaringan hidup hewan karang diliputi kerangka disusun oleh kalsium karbonat dalam bentuk aragonite (Kristal serat CaCO3 ) dan kalsit (bentuk kristal yang umum CaCO3 ) (Goreau et al. 1982). Proses fotosintesis bagi zooxanthellae tergantung dari penetrasi radiasi matahari yang masuk ke dalam kolom air, maka kedalaman dan kejernihan air merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan terumbu dan koloni karang. Radiasi matahari yang cukup untuk mendukung proses fotosintesis zooxanthellae terumbu karang yang terjadi pada kedalaman tersebut dan kejernihan air terkait dengan kandungan sedimen alam perairan. Di satu sisi kandungan sedimen yang tinggi akan menghambat penetrasi radiasi matahari sehingga mengurangi jumlah radiasi yang diperlukan untuk proses fotosintesis, di sisi lain endapan sedimen di permukaan koloni karang menyebabkan karang
10
mengeluarkan banyak energi untuk membersihkan diri dari sedimen tersebut. Akibatnya karang kehilangan banyak energi, sementara proses fotosintesa untuk menghasilkan energi juga terhambat. Hal itulah yang menyebabkan karang terhambat pertumbuhannya (Nybakken 1992). Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang khas dikepulauan khususnya di wilayah tropis. Ekosistem ini terkenal dengan produktifitasnya yang tinggi karena proses daur ulang (siklus) unsur hara berlangsung sangat cepat di ekosistem ini. Ekosistem ini juga sangat penting bagi perairan disekitarnya mengingat banyak jenis ikan yang hidupnya bergantung dengan ekosistem ini walaupun ikan tersebut tidak menghabiskan waktunya hidup di terumbu karang. Kualitas perairan terumbu karang sangat tergantung pada faktor fisika laut seperti arus, pasang surut, suhu, kecerahan, kedalaman perairan, sedimentasi dan unsur hara dalam perairan, juga tergantung pada faktor kimia seperti salinitas, CO2 , O2 , PH dan faktor biologis seperti predator, penyakit, makanan, reproduksi, zooxanthellae (Sya’rani 1982). Menurut Edinger et al. (2000) kualitas perairan berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan karang seperti kecepatan arus, kedalaman, suhu, salinitas, kecerahan, phosphat, silikat, nitrat, nitrit, oksigen terlarut dan pH. Jenis Terumbu Karang Menurut
bentuk dan letaknya, pertumbuhan ekosistem terumbu karang
dikelompokkan menjadi tiga tipe terumbu karang (Nybakken 1988), yaitu : 1. Terumbu Karang Pantai (Fringing Reef) Terumbu Karang ini berkembang dipantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 meter.
Terumbu Karang ini tumbuh keatas dan kearah laut.
Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat di bagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhan yang kurang baik, bahkan banyak yang mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat. 2. Terumbu Karang Penghalang (Barrier Reef) Terumbu Karang ini terletak agak jauh dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu
11
(40-70 meter). Terumbu Karang ini berakar pada kedalaman yang melebihi kedalaman maksimum dimana karang batu pembentuk terumbu dapat hidup. Umumnya terumbu tipe ini memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar seakan-akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. 3. Terumbu Karang Cincin (Atoll) Terumbu Karang ini merupakan bentuk cincin yang melingkari suatu goba (Lagon). Menurut Kuenan (1950) dalam Sukarno (1983) kedalam rata-rata goba di dalam atol sekitar 45 meter, jarang sampai 100 meter. Terumbu karang ini juga bertumpu pada dasar laut yang dalamnya di luar batas kedalaman karang batu penyusun terumbu karang hidup Berdasarkan pada tipe ekosistem terumbu karang diatas
ditemukan tiga
macam bentuk permukaan dasar, yaitu : a.
Bentuk permukaan dasar mendatar di tempat dangkal, yaitu daerah rataan terumbu (reef flat).
b.
Bentuk permukaan dasar yang miring ke arah tempat yang lebih dalam dan landai atau curam, yaitu lereng terumbu (reef slope).
c.
Bentuk permukaan dasar yang mendatar di tempat ya ngdalam, yaitu goba (lagoon floor) atau teras dasar (submarine terrace). Pertumbuhan terumbu karang akan menjadi terhambat apabila daerah
terumbu karang tersebut mengalami kerusakan. Faktor-faktor yang sangat dominan dalam kerusakan terumbu karang adalah faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan akibat faktor alam bagi terumbu karang terutama disebabkan oleh perusakan mekanik melalui badai tropis yang hebat sehingga koloni terumbu karang tersebut terangkat dari terumbu. Sedangkan kerusakan terbesar kedua adalah adanya fenomena El Nino dimana terjadi peningkatan suhu yang ekstrim sehingga terumbu karang tersebut mengalami proses bleaching.
2.3. Faktor-Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang Ekosistem
terumbu
karang
mempunyai
produktivitas
organik
dan
keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dibandingkan dengan ekosistem lainnya. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat berlindung, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan bagi
12
berbagai biota karang. Ekosistem terumbu karang memliki berbagai macam biota karang yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang dan tiram mutiara (Dahuri et al. 1996). Fungsi optimum ini dapat tercapai apabila pertumbuhan terumbu karang dinamis. Menurut Nybakken (1988), pertumbuhan terumbu karang dibatasi oleh beberapa faktor, antara lain adalah : 1. Kedalaman Kebanyakan terumbu karang dapat hidup antara kedalaman 0 – 25 m dari permukaan laut.
Tidak ada terumbu yang dapat hidup dan berkembang pada
perairan yang lebih dalam antara 50 – 70 m.
Hal inilah yang menerangkan
mengapa struktur terumbu terbatas hingga pinggiran benua-benua atau pulaupulau. Namun secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 m (Kinsman 1964). Walaupun Tidak sedikit species karang yang tidak mampu bertahan pada kedalaman hanya satu meter, karena kekeruhan air dan tingkat sedimentasi yang tinggi, seperti banyak terjadi di pantura (pantai utara) Pulau Jawa (Suharsono 2007) 2. Suhu (Temperatur) Terumbu karang dapat hidup subur pada perairan yang mempunyai kisaran suhu antara 23 °C – 25 °C. Tidak ada terumbu karang yang dapat berkembang pada suhu di bawah 18 °C. Suhu ekstrim yang masih dapat ditoleransi berkisar antara 36 °C – 40 °C. Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang dimana upwelling disebabkan oleh pengaruh suhu. Upwelling sendiri menyediakan persediaan makanan yang bergizi bagi pertumbuhan terumbu karang. 3. Cahaya Cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena cahaya sangat dibutuhkan bagi zooxanthellae untuk melakukan proses fotosintesis. Proses fotosintesis yang terjadi didalam air adalah sebagai berikut : cahaya
CO2 + H2O
6HCO3 + 6O2
13
Tanpa cahaya yang cukup laju fotosintesis akan berkurang dan kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat (CaCO3 ) serta membentuk terumbu akan semakin berkurang. Titik kompensasi untuk karang yaitu kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang hingga 15% – 20% dari intensitas di permukaan. 4. Salinitas Karang tidak dapat bertahan pada salinitas diluar 32‰ – 350 /00 . Namun pada kasus khusus di Teluk Persia, terumbu karang dapat hidup pada salinitas 420 /00.
Layaknya biota laut lainnya, terumbu karang pun mengalami tekanan
dalam penerimaan cairan yang masuk. Sehingga apabila salinitas lebih rendah dari kisaran diatas terumbu karang akan kekurangan cairan sehingga tidak banyak nutrien yang masuk dan sebaliknya jika salinitas lebih tinggi akan menyebabkan cairan yang didalam tubuhnya akan keluar. Namun Suharsono (2007) mengatakan pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan/atau pengaruh alam, seperti run off, badai, hujan. Sehingga kisaran salinitas bisa sampai dari 17,5% - 52,5% (Vaughan 1919; Wells 1932). 5. Pengendapan Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang adalah pengendapan dimana pengendapan yang terjadi di dalam air atau diatas karang mempunyai pengaruh negatif
terhadap karang.
Endapan mengurangi
cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang.
Akibatnya,
perkembangan
terumbu
karang
di
daerah
yang
pengendapannya lebih besar akan berkurang atau menghilang (Nybakken 1988).
Gambar 1 Faktor- faktor yang membatasi pertumbuhan terumbu karang (Nybakken 1988).
14
Terumbu karang lebih subur pada daerah yang
bergelombang besar.
Gelombang itu memberi sumber air yang segar, oksigen dalam air, menghalangi pengendapan pada koloni karang (Nybakken 1988).
Substrat yang keras dan
bersih dari lumpur diperlukan untuk pelekatan planula (larva karang) yang akan membentuk koloni baru (Nontji 1987). Pertumbuhan terumbu karang kearah atas dibatasi oleh udara, dimana banyak karang yang mati karena terlalu lama berada di udara terbuka, sehingga pertumbuhan mereka keatas hanya terbatas sampai tingkat pasang surut terendah (Nybakken 1988). Beberapa faktor yang dapat mengendalikan populasi karang antara lain: cahaya, salinitas, suhu arus dan gelombang laut serta substrat untuk melekatkan tubuh. Cahaya diperlukan untuk fotosintesis alga simbiotik (zooxanthella) yang produknya kemudian disumbang ke hewan karang yang menjadi inangnya (Berwick 1983). Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan kemudian
mengurangi
kemampuan
karang
untuk
membentuk
kerangka
(Nybakken 1988). Oleh karena itu distribusi vertikal terumbu karang dibatasi oleh kedalaman efektif sinar matahari yang masuk ke kolom air (Barnes 1980). Suhu mempengaruhi kecepatan metabolisme organisma. Dengan kenaikan suhu 10 °C kegiatan metabolisme organisma yang diukur dengan konsumsi oksigen menjadi dua kali. Beberapa spesies karang dapat bertahan terhadap suhu 14 °C akan tetapi laju klasifikasi menjadi sangat menurun. Demikian pula dengan suhu yang tinggi, metabolism meningkat sampai kecepatan tertentu hingga pertumbuhan kerangka menurun (Tomascik 1991), suhu optimum pertumbuhan karang adalah 25 °C – 30 °C (Randall 1983). Air yang jernih adalah media yang baik untuk pertumbuhan karang. Semakin banyak partikel-partikel tersuspensi dalam kolom air berpengaruh negatif pada karang oleh karena proses fotosintesis karang terganggu (terhambat). Polip karang harus memproduksi banyak lendir untuk melepaskan partikelpartikel tersuspensi yang me ngendap pada tubuhnya (Levinton 1982; Nybakken 1988). Kekeruhan juga mengurangi intensitas cahaya yang masuk ke kolom air sehingga menghambat fotosintesis zooxanthella. Menurut Ditlev (1980) pada
15
perairan yang keruh karang ditemukan hidup hanya sampai kedalaman 2 meter sedangkan pada air jernih dapat mencapai 80 meter. Arus di laut penting untuk transportasi zat hara, larva dan bahan sedimen. Arus penting untuk penggelontoran dan pencucian limbah dan untuk mempertahankan pola penggerusan dan pengurukan (Tomascik 1991). Oleh karena itu karang yang tumbuh di perairan dimana selalu teraduk arus dan ombak lebih baik dibanding di perairan yang tenang dan terlindung.
2.4. Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan Terumbu Karang Sedimentasi
merupakan
masalah
yang
umum
di
daerah
tropis,
pengembangan di daerah pantai dan aktivitas-aktivitas manusia lainnya, seperti pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pembukaan hutan, aktivitas pertanian, dapat membebaskan sedimen (terrigenous sediments) ke perairan pantai atau ke daerah terumbu karang. Aktivitas pertanian, pembukaan lahan dan pengolahan tanah di daratan lainnya biasanya membebaskan sedimen melalui larian permukaan (run- off). Sedimen yang dibebaskan oleh aktivitas-aktivitas ini cukup tinggi, yaitu dapat mencapai 1.640 mg/cm/hari, seperti yang tercatat di sebelah timur Florida, Amerika serikat (Reed 1981 dalam Supriharyono 2000). Sedimentasi yang terjadi di Perairan terumbu karang akan memberikan pengaruh semakin menurunnya kemampuan karang untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Tomascik (1991), beberapa kegiatan manusia yang berhubungan erat dengan sedimentasi adalah semakin tingginya pemanfaatan hutan dan lahan pertanian, kegiatan pengerukan, pertambangan dan pembangunan konstruksi. Pengaruh sedimentasi yang terjadi pada terumbu karang telah disimpulkan oleh beberapa peneliti, terdiri atas: 1) menyebabkan kematian karang apabila menutupi atau meliputi seluruh permukaan karang dengan sedimen ; 2) mengurangi pertumbuhan karang secara langsung; 3) menghambat planula karang untuk melekatkan diri dan berkembang disubstrat; 4) meningkatkan kemampuan adaptasi karang terhadap sedimen (Loya 1976). Dengan adanya anggapan bahwa laut merupakan tempat pembuangan limbah industri dan rumah tangga yang efisien, telah membawa dampak semakin
16
meningkatnya konsentrasi nutrient dalam perairan yang lebih lanjut meningkatkan biomassa alga dasar dan produksi primer dalam kolom air (Pastorok dan Bilyard 1985). Dari sekian banyak komponen limbah (antara lain; surfaktan, logam berat, bahan organik beracun dan bahan kimia), zat hara nitrogen dan fosfor merupakan faktor yang paling menentukan kerusakan terumbu karang (Tomascik 1991). Dengan populasi phytoplankton yang tinggi kan menekan karang hermatifik melalui dua cara yaitu mengurangi penetrasi cahaya bagi aktifitas zooxanthella dan meningkatkan laju pertumbuhan spesies hewan filter feeder seperti sponge dan bryozoa yang selanjutnya berkompetisi dengan karang dalam hal ruang (Pastorok dan Bilyard 1985). Terumbu karang mempunyai berbagai fungsi salah satunya adalah sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak. Walaupun terumbu karang tahan terhadap badai tropis yang hebat, tetapi pada umumnya sangat peka terhadap dampak lingkungan yang berkaitan dengan kegiatan manusia. Menurut Tomascik (1991), komunitas terumbu karang yang bersimbiosis dengan zooxanthelae (karang hermatifik, tridacna, anemon laut dan foraminifera) hidup berkembang dalam kondisi perairan yang jernih, sangat peka terhadap masukan unsur hara yang berlebihan dan bahan pencemar lain. Fosfat merupakan salah satu nutrisi yang dibutuhkan oleh mahluk hidup yang ada diperairan. Sumbangan fosfat terbesar berasal dari sedimentasi yang ada di dasar perairan. Oleh karena itu semakin dalam perairan, semakin besar kandungan posfatnya. Apabila kadar fosfat dipermukaan lebih tinggi dibanding kolom air yang lebih dalam, bila diperairan tersebut banyak mendapatkan pengaruh dari darat berupa sumbangan limbah penduduk. Limbah penduduk yang banyak menyumbang kadar fosfat diantaranya detergen. Konsentrasi bahan organik, unsur hara dan fitoplankton yang tinggi diperairan sangat dipengaruhi oleh daratan. Menurut Tomascik dan Sander (1985) bahwa masukan dari daratan (land run off) disertai hujan keras adalah fakor penting sebagai penekan (stress) musiman yang mempengaruhi komunitas karang dengan peningkatan turbiditas dan menemukan hubungan antara laju pertumbuhan karang dengan konsentrasi NO3 /NO2-N dan PO4 .
Laju pertumbuhan akan
17
semakin berkurang dengan semakin bertambahnya konsentrasi unsur hara. Unsur hara dan bahan organik dibutuhkan fitoplankton untuk pertumbuhan, karena itu bila konsentrasi unsur hara dan bahan organik tinggi, maka akan merangsang pertumbuhan dan kepadatan fitoplankton di perairan sehingga mengakibatkan akan menurunkan intensitas cahaya. Limbah kaya nutrisi dari pembuangan atau sumber lain amat mengganggu karena dapat meningkatkan perubahan besar dari struktur terumbu karang secara perlahan dan teratur. Alga mendominasi terumbu hingga pada akhirnya melenyapkan karang. Lebih lanjut Brown (1997), menyatakan bahwa terumbu yang pernah dihadapkan pada gangguan manusia yang berlanjut seringkali menunjukan kemampuan yang rendah untuk pulih. Menurut Gesamp (1976) dalam Supriharyo no (2007), limbah domestik mempunyai sifat utama yaitu (1) mrngandung bakteri, parasit dan kemungkinan virus, dalam jumlah banyak, yang sering terkontaminasi dalam kerang (shellfish) dan area pariwisata bahari, (2) mengandung bahan organic dan padatan tersuspensi, sehingga BOD (Biological Oxygen Demand) biasanya tinggi, (3) kandungan unsur hara, terutama komponen fosfor dan nitrogen tinggi, sehingga sering menyebabkan terjadinya eutrofikasi, dan (4) mengandung bahan-bahan terapung, berupa bahan-bahan organik dan anorganik, dipermukaan air atau berada dalam bentuk tersuspensi. 2.5. Ikan karang Habitat ikan di daerah tropis mempunyai jumlah spesies yang lebih banyak daripada di daerah subtropis dan yang paling banyak jumlah ikannya adalah habitat spesies ikan karang dimana diduga ada sebanyak 4000 spesies (Allen et al. 1996).
Di perairan Indonesia sendiri terdapat sekitar 3000 jenis yang termasuk
dalam 17 ordo dan 100 famili (Kuiter 1992). Kebanyakan famili- famili ikan yang berada pada laut tropis sebagian besar merupakan famili ikan yang hidup di daerah terumbu karang dan beberapa famili hanya dapat ditemukan di daerah terumbu karang. Famili Chaetodontidae, Scaridae dan famili Labridae merupakan famili ikan yang hidup di daerah terumbu. Sedangkan family Acanthuridae, Holocentridae,
Balistidae,
Ostraciodontidae,
Pomacentridae,
Serranidae,
Blennidae dan Muraenidae merupakan komponen famili ikan demersal dan
18
termasuk kedala jenis ikan pemakan bentos (epibentis). Beberapa famili ikan yang hidup di daerah pelagis (epipelagis) dan mempunyai hubungan erat dengan terumbu karang adalah ikan spesie s Sphyrena dan famili Carangidae. Ikan- ikan karang tersebut rata-rata memiliki warna yang cerah dan mempunyai ciri khusus yang dapat membantu kita dalam mengidentifikasi spesies ikan tersebut. melindungi
Selain itu, warna dan ciri tersebut dapat berfungsi untuk
diri
dari
predator
yang
selalu
mencari
kesempatan
untuk
memakannya. Menurut Adrim (1993) kelompok ikan karang dibagi menjadi tiga kategori, yaitu : 1.
Kelompok ikan target, yaitu ikan- ikan karang yang memp unyai manfaat sebagai ikan konsumsi, seperti kelompok ikan Famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae dan Lethrinidae.
2.
Kelompok ikan indikator, yaitu kelompok ikan karang yang dinyatakan sebagai indikator kelangsungan hidup terumbu karang. Hanya 1 famili yang termasuk
jenis
kelompok
ikan
indikator,
ya itu
ikan
dari
famili
Chaetodontidae. 3.
Kelompok ikan utama (mayor), yaitu ikan yang berperan dalam rantai makanan, seperti ikan dari famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae, Caesionidae, Labridae, Siganidae, Mullidae dan Apogonidae.
2.5.1. Hubungan ikan karang dengan keanekaragaman habitat Secara umum setiap individu memiliki insting untuk mencari tempat tinggal dimana tempat tinggal tersebut berfungsi untuk melindungi mereka dari berbagai macam bahaya, seperti adanya predator yang selalu mengintai dan siap memangsa kapan saja. Oleh karena itulah karang batu Scleratinia sangat diminati oleh ikan karang sebagai tempat hidup. Choat and Bellwood (1991) membahas interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang menyimpulkan 3 bentuk umum hubungan, yaitu: 1.
Interaksi langsung, yaitu sebagai tempat berlindung dari predator atau pemangsa terutama bagi ikan- ikan muda.
19
2.
Interaksi dalam mencari makanan, meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga.
3.
Interaksi tidak langsung sebagai akibat daristruktur karang dan kondisi hidrologi dan sedimen. Karang glomerate (jenis Porites sp) pada umumnya tidak memiliki celah
yang dalam. (polypgrazer)
Di daerah tersebut banyak terdapat ikan pemakan polip seperti
(Chaetodontidae).
ikan
pakol
(Balistidae)
dan
ikan
kepe-kepe
Karang bercabang (Acropora sp) merupakan tempat
berlindung bagi ikan kecil (seperti ikan gobi dan ikan betok laut) yang berenang keluar mencari zooplankton sebagai makanannya dan segera kembali lagi ke terumbu.
Gambar 2 Ikan- ikan karang yang berasosiasi dengan Koloni Karang Bercabang (Nybakken 1988)
Interaksi ikan karang lainnya yang terjadi dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken 1988) adalah: 1. Pemangsaan, dimana ada dua kelompok ikan yang secara aktif memakan koloni-koloni karang, yaitu spesies memakan polip-polip karang mereka sendiri, seperti ikan buntal (Tetraodontidae), ikan kuli pasir (Monacanthidae), ikan pakol (Balistidae) dan ikan kepe-kepe (Chetodontidae) dan sekelompok multivora (omnivora) yang memindahkan polip karang untuk mendapatkan
20
baik alga di dalam kerangka karang atau sebagai invertebrata yang hidup dalam lubung kerangka (Acanthuridae, Scaridae). 2. Grazing,
dilakukan
oleh
ikan- ikan
famili
Siganidae, Pomacentridae,
Acanthuridae dan Scaridae yang merupakan herbivora grazer pemakan alga sehingga pertumbuhan alga yang bersaing ruang hidup dengan karang dapat terkendali. Tipe pemangsaan yang paling banyak di Terumbu karang adalah karnivora, yakni ± 50% –70 % dari spesies ikan.
Ikan herbivora dan pemakan karang
merupakan kelompok besar kedua yaitu ± 15% dari spesies yang ada dan yang paling penting dari kelompok ini adalah famili Scaridae dan Acanthuridae. Sisanya diklafisikasikan sebagai omnivora atau multivora yaitu ikan- ikan dari famili
Pomacentridae,
Chaetodontidae,
Ostaciontidae dan Tetraodontidae.
Pomachantidae,
Monacanthidae
Ikan-ikan pemakan zooplankton memiliki
ukuran tubuh yang kecil, yaitu ikan dari famili Clupidae dan Atherinidae (Nybakken 1988).
2.5.2. Trophic ekologi ikan karang Trophic levels adalah posisi makan memakan di rantai makanan seperti produsen primer, herbivor, karnivor primer dan sebagainya.
Tanaman hijau
menempati trophic level pertama, herbivor yang kedua, karnivor ketiga bahkan keempat trophic level (Sale 1991). Menurut Hallacher (2003) tingkat trophic di laut dibagi menjadi lima yaitu : 1. Trophic tingkat 1 Tingkat pertama di laut terdiri dari tumbuhan laut yang mencakup fitoplankton, rumput laut dan beberapa jenis lamun. Tumbuhan ini adalah produsen primer yang menangkap energi matahari menjadi bentuk yang dapat digunakan makhluk lain di tingkat trophic lainnya. •
Rumput laut adalah jenis alga yang tumbuh di dasar perairan dangkal dimana terdapat cukup cahaya untuk berfotosintesa. Termasuk didalamnya adalah alga merah, hijau dan coklat. Warna alga berkaitan dengan pigmen penangkap cahaya yang bervariasi tergantung kedalaman habitatnya.
21
•
Fitoplankton sebagian besar terdiri dari tumbuhan bersel satu sehingga tidak terlihat sejelas rumput laut. Sebagian juga merupakan jenis alga, termasuk di dalamnya dinoflagelata yang merupakan bagian vital dari kelangsungan hidup di terumbu karang. Dalam grup ini juga termasuk bakteri fotosintesa. Bersama, mereka melayang dan ha nyut bersama arus sehingga tersedia sebagai sumber pangan primer di seluruh ekosistem laut.
•
Lamun adalah tanaman berbunga yang hidup di perairan dangkal. Lamun menjadi habitat komunitas-komunitas tertentu yang amat bergantung pada keberadaan mereka.
2. Trophic tingkat 2 Organisme pada tingkat ini memiliki keragaman yang tinggi dan memiliki cara yang sama beragamnya dalam menggunakan sumber makanan dalam tingkat trophic pertama. Termasuk di dalamnya adalah browsers dan grazer, filter feeders dan deposit feeders •
Zooplankton adalah plankton hewan yang melayang dan hanyut di laut seperti fitoplankton.
Termasuk didalamnya hewan bersel satu, hewan laut dan
pesisir dalam fase juvenil dan hewan yang lebih besar seperti ubur- ubur. Sumber pangan zooplankton terdiri dari berbagai macam jenis, sumber pangan utama adalah fitoplankton, namun karena grup ini juga terdiri dari makhluk larva dan juvenil, tak dapat dihindari bahwa zooplankton juga memangsa zooplankton lain yang lebih kecil. •
Browsers and grazers mencakup berbagai spesies, termasuk didalamnya moluska seperti siput gastropoda yang memiliki lidah bergigi atau radula yang mengikis alga. Babi laut juga termasuk dalam grup ini, apabila populasi babi laut tinggi maka akan berpengaruh pada jumlah alga ukuran besar seperti kelp. Beberapa ikan secara khusus memakan alga, contohnya ‘farmer fish’ (sejenis
‘damselfish’)
yang
‘merapihkan’
kumpulan
alga
sekaligus
memakannya. •
Filter feeders memakan fitoplankton dan zooplankton. Jenis hewan ini menyaring air laut menggunakan berbagai jenis saringan dalam badan mereka (structural traps) untuk mendapatkan plankton. Umumnya filter feeder
22
ukuran kecil, seperti bebagai jenis cacing, spon dan bivalva, yang memakan fitoplankton. •
Deposit feeders mengkonsentrasikan diri ke substansi yang kaya akan bakteri yang melapisi batu-batuan dan pesisir berlumpur. Kelompok ini terdiri dari berbagai jenis cacing dan kepiting.
3. Trophic tingkat 3 Tingkat ini terdiri dari karnivora, yang secara aktif memburu dan memakan herbivora dari tingkat dua. Berbagai grup hewan termasuk didalamnya, namun disinilah jenis ikan berdiri sendiri. Ikan adalah grup dengan tingkat keragaman tinggi, meskipun beberapa termasuk tingkat dua sebagai grazers, mayoritas jenis ikan termasuk dalam tingkat tiga keatas. Apabila zooplankton telah memakan fitoplankton, berarti beberapa filter feeder menjadi termasuk dalam tingkat trophic berikutnya. Banyak filter feeder ukuran besar mendapatkan nutrisi mereka dari zooplankton. Termasuk di dalamnya hiu paus (whale sharks) dan beberapa jenis ikan paus yang melakukan aktifitas makan dalam skala yang amat besar. Dengan cara ini, mereka meniadakan hilangnya energi pada saat makanan meningkat ke trophic tingkattingkat berikutnya. Jaring makanan adalah hal yang rumit, dan ini hanyalah satu contoh yang menunjukan bahwa mengelompokan hewan yang memiliki siklus yang berbeda dapat menimbulkan masalah. Filter feeders dapat termasuk trophic tingkat dua dan tiga. 4. Trophic tingkat 4 Tingkat ini merupakan tingkat karnivora berikutnya, karnivora dalam tingkat ini memburu dan memakan karnivora dan herbivora tingkat lebih rendah. Hewan yang gtermasuk dalam tingkat ini pada umumnya berburu dengan gerakan cepat dan sering karena mereka harus menangkap banyak mangsa agar dapat memenuhi tingkat energi yang mereka butuhkan. 5. Trophic tingkat 5 Walaupun ikan yang saling memangsa membentuk rantai makanan yang amat panjang, pada ujung piramida makanan terdapat predator sejati. Pada ekosistem terumbu karang biasanya kedudukan kehormatan ini biasanya ditempati oleh seekor hiu.
23
2.6. Peran Herbivori Dalam Ekosistem Terumbu Karang Herbivori (herbivory) atau grazing adalah proses atau kegiatan hewan herbivora mengkonsumsi bagian tubuh tanaman, dimana tana man tidak mati akibat kegiatan tersebut. Pada ekosistem terumbu karang, hewan pemakan tanaman atau herbivora merupakan komponen pengendali utama pertumbuhan tanaman makroalga. Herbivori merupakan satu proses ekologis yang sangat penting pada ekosistem terumbu karang, yang dapat mengendalikan kelimpahan makroalga, dimana kelimpahan makroalga yang tak terkendali akan mendominasi terumbu karang. Secara alami makroalga merupakan biota yang sangat cepat menempati setiap ruang yang kosong, untuk itu keberadaan he rbivori untuk membuka ruang yang penuh alga sangat dibutuhkan oleh larva karang menempati ruang untuk penempelan. Dengan adanya hewan herbivora akan dibutuhkan oleh anakan karang agar makroalga tidak menghalanginya dari sinar matahari. Sebagaimana Lirman (2001) menyatakan bahwa laju kelulushidupan koloni karang dilaporkan rendah dengan adanya makroalga yang tumbuh didekatnya. Sedangkan Mc Cook (2001) pada awalnya meragukan apakah makroalga dapat menyerang karang secara agresif, atau hanya sekedar menutup karang dari sinar matahari. Dari hasil review Imam bachtiar (2009) mengatakan bahwa dari kajian pustaka hingga tahun 2001 tersebut, makroalga dianggap tidak dapat menyebabkan kematian karang melainkan secara tidak langsung menurunkan kelulusanhidup karang. Kecepatan tumbuh makroalga yang dapat memberikan dampak negatif terhadap komunitas karang dianggap hanya muncul jika terjadi pengkayaan nutrien.Tetapi Jompa dan Mc Cook (2003a,b) melaporkan fakta baru bahwa ‘turf algae’ Anotrichium tenue dan Corallophila huymansii dapat tumbuh menutupi dan melukai jaringan karang Porites. Kehadiran ikan karang herbivora dapat menjadi penyelamat karang tertentu dari agresivitas makroalga tersebut. 2.7. Makroalga Makroalga berbeda dengan mikroalga dimana makroalga memiliki banyak sel dan berkuran besar. Namun beberapa diantaranya seperti Acetabularia dan Caulerpa memiliki satu sel (Ladrizabal 2007).
24
Makroalga memiliki bentuk yang luas mulai dari jaringan kulit
yang
sederhana, foliose (daun melambai) sampai filamentous (menyerupai benang) dengan struktur cabang yang sederhana sampai bentuk yang komplek dengan memiliki
spesialisasi
untuk
menangkap
cahaya, reproduksi, pendukung,
pengapungan dan menempel pada dasar perairan.
Ukuran ma kroalga dapat
mencapai 3 – 4 meter (seperti Sargassum). Makroalga juga dapat hidup pada terumbu karang yang sudah mati atau bebatuan, hampir semua spesies tidak dapat hidup pada perairan yang berlumpur dan berpasir karena tidak memiliki akar yang dapat menambat pada sedimen seperti lamun. Dibandingkan dengan tanaman yang memiliki jaringan lebih lengkap, makroalga memiliki siklus hidup yang lebih komplek, macam- macam cara reproduksi yaitu (1) kebanyakan alga bereproduksi secara sexual dan aseksual dengan mengeluarkan gamet dan spores (2) penyebaran vegetasi dan/atau berfragmentasi (membelah bagian tanaman untuk memproduksi individual baru) (Mc Cook 2001). Menurut Mc Cook (2008) Klasifikasi makroalga berdasarkan komposisi pigmen dalam proses fotosintesis adalah : 1. Rhodophyta (Red Algae) 2. Ochrophyta (Brown Algae) 3. Chlorophyta (Green Algae) 4. Cyanophyta (Blue-Green Algae) Berdasarkan pada fungsi karakteristik ekologi (seperti bentuk tanaman, ukuran, kekuatan, kemampuan berfotosintesis), kemampuan bertahan terhadap grazing (perumputan) dan pertumbuhan, makroalga dapat diklasifisikasikan sebagai berikut (Rogers et al. 1994 dan Mc Cook 2001;) : 1. Turfs Algae : Kumpulan atau asosiasi beberapa spesies dari alga, sebagian besar filamentous dengan pertumbuhan yang cepat, produktivitas dan rata-rata berkoloni yang tinggi. Turf memiliki biomass yang rendah per unit area, tetapi mendominasi dalam proporsi yang besar pada area terumbu karang walaupun dalam terumbu karang yang sehat. 2. Fleshy macroalgae or rumput laut : Bentuk alga yang besar lebih kaku dan secara anatomi lebih komplek dibandingkan dengan turf alga, lebih sering ditemukan di daerah terumbu karang yang datar dan herbivor yang rendah
25
karena kadang mereka memproduksi partikel kimia yang menghalangi grazing oleh ikan. 3. Crustose Alga :
Tanaman keras yang tumbuh sebagai kulit melekat pada
terumbu karang dengan penampakan seperti lapisan cat daripada tanaman biasa, memiliki pertumbuhan yang lambat. Menghasilkan calcium carbonate (batu kapur) dan mungkin memiliki peran penting dalam sementasi kerangka terumbu karang secara bersama-sama Pada ekosistem terumbu karang makroalga terutama turf alga merupakan produsen primer penting karena dapat berfotosintesis makroalga menjadi makanan favorit bagi para herbivora (Morissey 1985) dan sebagai dasar pada jaring makanan di ekosistem terumbu karang, mereka membuat habitat bagi para invertebrata dan vertebrata pada kepentingan fungsi ekologi dan ekonomi, berbeda dengan biota lain yang menempati ekosistem terumbu karang seperti ikan karang, terumbu karang dan lamun dimana jika jumlahnya semakin banyak akan lebih baik, makroalga yang berlimpah membuat degradasi terumbu karang dimana terjadi pergantian fase dari terumbu karang menjadi makroalga walaupun tergantung pada jenis makroalganya (Jompa & Mc Cook 2002).
26
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Perairan Kabupaten Bintan (Gambar 3.1.) dengan memilih dua wilayah yang dijadikan objek penelitian lokasi I (pertama ) yaitu di muara pantai Trikora. Sedangkan lokasi II (kedua) adalah Pulau Mapur. Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, dimulai dari bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2009.
3.2. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang memerlukan analisis yang saling terkait antara kondisi kualitas perairan dengan kondisi tutupan karang hidup; kondisi tutupan karang hidup dengan ikan karang, kondisi ikan karang dengan tutupan alga, sehingga hasil yang diperoleh dapat memberikan informasi dan rekomendasi untuk alternatif pengelolaan. 3.3. Peralatan yang digunakan Pengambilan data terumbu karang, ikan karang, dan makroalga dilapangan diperlukan bahan-bahan dan peralatan pendukung sebagai berikut : • Peralatan dasar selam, yang terdiri dari masker, snorkel dan fin • Alat selam SCUBA (Self Contain Underwater Breathing Aparatus ) , yang terdiri dari BCD, regulator, weight belt, tabung udara (kapasitas 3000 Psi); • Roll meter • Pelampung tanda • Kamera Bawah air • Sabak bawah air • Perahu motor • Transek kuadrat 1 m x 1 m dan 0.5 m x 0.5 m • Alat tulis menulis bawah air • Buku identifikasi karang, yaitu: Ditlev (1980); Wood (1983); Suharsono (1996); Stafford-Smith, Veron (2001) dan • Laporan serta publikasi yang terkait dengan penelitian. Peralatan yang diperlukan untuk pengambilan data parameter fisik dan kimia disajikan pada Tabel 1.
27
Tabel 1 Parameter dan cara analisis kualitas air dalam penelitian No A 1 2 3
Parameter Fisika Kecerahan
Satuan cm
Alat/ Cara Analisis
Keterangan
Secchi Disc
In situ
°C mg/l
Thermometer Botol sampel; Ice Box; Gravimetri
In situ Laboratorium
B 1 2
Suhu Padatan Tersuspensi (TSS) Kimia Salinitas Oksigen terlarut
‰ mg/l
In situ In situ
3
Ammonia
mg/l
4
Nitrat (NO3 -N)
mg/l
5
Nitrit (NO2 -N) Phosphat (Ortophospate)
mg/l
Refraktometer DO meter Botol sampel, Spektrofotometer Botol sampel, Spektrofotometer Botol sampel, Spektrofotometer Botol sampel, Spektrofotometer
6
mg/l
Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium
3.4. Penentuan Stasiun Penelitian Wilayah Kabupaten Bintan dengan penggunaan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, berkembang menjadi kawasan wisata, permukiman, industri, pertanian, perikana n, pertambangan, dan lain- lain menjadikan wilayah ini berkembang pesat. Dengan memilih dua wilayah yang dijadikan objek penelitian lokasi I (pertama) yaitu di muara pantai Trikora Kecamatan Gunung Kijang yang memiliki kategori tutupan karang rendah dan baik. Lokasi Kecamatan Gunung Kijang dipilih sebagai lokasi pengamatan penelitian dengan pertimbangan yaitu merupakan wilayah yang sangat dekat dengan aktifitas manusia baik di daratan maupun pesisirnya. Sedangkan lokasi II (kedua) adalah Pulau Mapur dengan kondisi tutupan karang dengan kategori baik sampai baik sekali dan dijadikan lokasi pengamatan dikarenakan kondisinya yang agak jauh dari aktifitas daratan (main land). Titik pengamatan diambil sebanyak 8 titik terdiri dari 5 (lima) titik yaitu Stasiun 1 (satu) sampai dengan stasiun 5 (lima) untuk kawasan I Kecamatan Gunung Kijang (pantai Trikora) Sedangkan 3 (tiga) titik untuk ikawasan II (Pulau Mapur) yaitu stasiun 6 (enam) sampai dengan pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3.
stasiun 8 (delapan). Stasiun
28
Gambar 3 Lokasi penelitian di kawasan pesisir Kecamatan Gunung Kijang dan Pulau Mapur
29
3.5. Metode Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei untuk mengumpulkan data primer dan penelusuran literatur (desk study) untuk mengumpulkan data sekunder. Data primer terdiri dari: 3.5.1. Pengamatan terumbu karang dan makroalga Pengamatan terumbu karang dilakukan dengan menggunakan modifikasi dari metode transek kuadrat (English et al. 1997). Dalam metode ini terdapat tiga tahapan yang dilakukan, yaitu pembentangan roll meter, pemasangan pasak, dan pengambilan foto transek. Pemasangan roll meter dilakukan untuk menetapkan transek garis, dimana transek garis ini berfungsi dalam penentuan arah dan jarak yang konstan dari pemasangan transek kuadrat. roll meter dibentangkan sepanjang 50 meter sejajar dengan garis pantai, kemudian pemasangan transek kuadrat dilakukan setiap selang 10 meter. Sebelum pengambilan foto transek, terlebih dahulu dilakukan pemasangan pasak besi di setiap sudut transek kuadrat dengan tujuan sebagai tanda untuk pengamatan berikutnya. Selanjutnya pengambilan foto transek dilakukan dengan menggunakan kamera bawah air. Pengolahan foto dilakukan di darat dengan menggunakan software Image-J sampai pada taraf bentuk pertumbuhan tutupan karang (Lampiran 2). Output yang dihasilkan berupa data kondisi penutupan karang yang terdapat dalam transek kuadrat.
Gambar 4 Metode pengamatan terumbu karang dengan transek kuadrat ukuran1 m x 1 m Analisis Struktur Lifeform (English et al. 1997; Rogers et al. 1994) merupakan pedoman yang digunakan untuk mengamati ekosistem terumbu karang.
Metode ini didasarkan pada analisis perbedaan bentuk-bentuk
pertumbuhan biota penyusun ekosistem terumbu karang yang merupakan gambaran struktur komunitas dan kondisi habitat yang ditempatinya.
30
Tabel 2 Daftar penggolongan komponen dasar penyusun ekosistem terumbu karang berdasarkan lifeform karang dan kodenya. Kategori Komponen Biotik Branching Encrusting Acropora Submassive Digitate Tabulate Branching
Kode ACB ACE ACS ACD ACT CB
Encrusting
CE
Foliose NonAcropora
Massive Submassive Mushroom Heliopora Millepora Tubipora
Soft Coral Sponge Zoanthids Others
Alga
Abiotik
Alga assemblage Coralline alga Halimeda Macroalga Turf alga Sand Dead Coral Dead Coral with Alga Rubble Silt Water Rock
CF CM CS CMR CHL CML CTU SC SP ZO OT AA CA HA MA TA S DC DCA R SI W RCK
Keterangan Paling tidak 2o percabangan. Memiliki axial dan radial oralit. Biasanya merupakan dasar dari bentuk acropora belum dewasa Tegak dengan bentuk seperti baji Bercabang tidak lebih dari 2o Bentuk seperti meja datar Paling tidak 2o percabangan. Memiliki radial oralit. Sebagian besar terikat pada substrat (mengerak) Paling tidak 2o percabangan Karang terikat pada satu atau lebih titik, seperti daun, atau berupa piring. Seperti batu besar atau gundukan Berbentuk tiang kecil, kenop atau baji. Soliter, karang hidup bebas dari genera Karang biru Karang api Bentuk seperti pipa-pipa kecil Karang bertubuh lunak
Ascidians, anemon, gorgonian, dan lain -lain Terdiri lebih dari satu jenis alaga Alga yang mempunyai struktur kapur Alga dari genus Halimeda Alga berukuran besar Menyerupai rumput-rumput halus Pasir Baru saja mati, warna putih atau putih kotor Karang ini masih berdiri, struktur skeletal masih terlihat Patahan karang yang ukurannya kecil Pasir berlumpur Air Batu
3.5.2. Pengamatan ikan karang Pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode sensus visual berdasarkan Dartnal dan Jones (1986). Metode ini merupakan salah satu metode
31
yang umum digunakan dalam survei pengamatan ikan- ikan karang dan telah disepakati menjadi metode baku dalam pengamatan ikan- ikan karang secara kuantitatif di ASEAN pada waktu lokakarya ASEAN-Australia Cooperative Program on Marine Science bulan Agustus-Oktober 1985 di Australian Institute of Marine Science (Hutomo 1986). Metode ini secara garis besar hampir sama dengan metode Line Intersept Transect dimana roll meter sepanjang 70 m dibentangkan sejajar dengan garis pantai berlawanan dengan arah arus. Pencatatan data dilakukan dalam air dengan menggunakan sabak kemudian dicatat spesies ikan yang ditemukan. Pencatatan data dilakukan dengan jarak pandang sejauh 2,5 m ke kiri dan 2,5 m ke kanan serta pandangan ke depan sejauh yang terlihat.
Namun, jangan sekali-sekali
menengok kebelakang karena akan tercipta pengulangan data yang akan membuat data tersebut menjadi tidak valid.
Hal yang perlu diperhatikan dalam
pengambilan data adalah faktor kecepatan renang, oleh karena itu diperlukan kesabaran sehingga kita dapat berenang dengan santai dan tidak terburu-buru. Hasil pengamatan ikan karang ditabulasikan berdasarkan jenis dan frekuensi ditemukannya pada transek pengamatan.
Gambar 5 Pencatatan data kelimpahan dan biomass Sensus Visual Spesies Ikan Karang (Labrosse 2002).
32
3.5.3. Pengukuran variabel kualitas air Pengambilan data kualitas air bertujuan untuk mengetahui present status kondisi perairan pesisir Kecamatan Gunung Kijang dan Pulau Mapur Bintan Timur , yang meliputi kondisi fisika, dan kimia perairan. Metode pengambilan contoh dan metode analisis kualitas air ini mangacu pada APHA (1989). Pengukuran dan pengambilan contoh air dilakukan disetiap stasiun pada masingmasing line transect. Variabel- variabel yang diukur langsung (in-situ) meliputi: Kecerahan, suhu,
salinitas dan oksigen terlarut. Sedangkan contoh air yang
diambil untuk pengukuran laboratorium adalah: TSS; Ammonia – Nitrogen Total – (Metoda Phenate); Nitrat (NO3 -N); Nitrit- (NO2-N); Phospat (Orthophosphate); 3.6. Studi Pustaka Studi pusataka dilakukan untuk mendapatkan data-data sekunder yang dibutuhkan dalam kegiatan penelitian ini antara lain dengan cara mempelajari buku-buku penunjang, laporan penelitian serta bentuk-bentuk artikel dan jurnal lainnya. Disamping data primer, digunakan juga data sekunder yang dikumpulkan melalui kegiatan desk review terhadap publikasi beberapa instansi atau lembaga yang terkait dengan substansi penelitian. Jenis data sekunder yang dapat dikumpulkan diantaranya adalah data-data statistik sosial ekonomi dan perikanan dari Biro Pusat Statistik (BPS) dan statistik perikanan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP). Adanya kendala waktu dan kurangnya kelengkapan data administrasi di tingkat desa dan kecamatan menyebabkan proses pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini kurang optimal. Oleh karena itu, beberapa data yang tidak didapatkan baik terbitan BPS ataupun DKP diperoleh melalui konfimasi wawancara mendalam terhadap stakeholders terkait dan terbatas pada saat penelitian dilakukan. 3.7. Analisis Data 3.7.1. Persentasi penutupan karang dan makroalga Persentase penutupan karang beserta penyusun substrat dasar lainnya dianalisis dengan menggunakan software Image-J. Prinsip kerja dari metode ini
33
adalah: pertama mengkonversi foto yang diambil dengan menggunakan kamera Sony dari satuan meter (mengacu pada transek kuadrat dengan dengan luas 1 x 1 m) ke dalam satuan pixel; selanjutnya melakukan digitasi terhadap bentuk pertumbuhan karang beserta substrat dasar lainnya yang telah diketahui genusnya. Hasil akhir dari pengolahan ini adalah berupa persentase penutupan baik bentuk pertumbuhan ataupun genus karang serta penyusun substrat dasar lainnya yang terdapat dalam transek kuadrat. Kondisi terumbu karang dapat diduga melalui pendekatan persentase penutupan karang hidup di ekosistem terumbu karang sebagaimana yang dijelaskan oleh Gomez dan Yap (1988). Data kondisi persentase total penutupan karang hidup yang diperoleh dikategorikan berdasarkan Gomez and Yap (1988) seperti disajikan dalam Tabel 3 dibawah ini. Tabel 3 Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang (Gomez and Yap, 1988) Persentase Penutupan (%) 0 - 24,9 25 - 49,9 50 - 74,9 75 - 100
Kriteria Penilaian Buruk Sedang Baik Sangat baik
3.7.2. Ikan karang 3.7.2.1 Kelimpahan ikan karang Rata-rata bobot jarak adalah :
keterangan: p
??
?
s ??? ? ? ?? ?? ?? ? ? G? ? ? s ? ??
= total pengamatan spesies ke-j
nij = jumlah total spesies ikan pada stasiun pengamatan ke- i dij = jarak tegak lurus dari spesies ikan ke- i jika ternyata ikan tersebut dalam schooling menjadi
34
? ?? ?
?? ? ? ? ? ? ?
Estimasi kelimpahan ikan karang dihitung dengan : s ??? ? ? ?? ?? ? ? ? ??
keterangan Dj : Kelimpahan ikan karang ke-j
3.7.3. Variabel kualitas air Prosedur contoh air yang diambil untuk pengukuran laboratorium adalah: TTS (Total Suspended Solid); Ammonia – Nitrogen Total (TAN) – (Metoda Phenate);
Nitrat-Nitrogen
(NO3 -N);
Nitrit-Nitrogen
(NO2 -N);
Phospat
(Orthophosphate) yaitu: a. Padatan Tersuspensi (TTS, Total Suspended Solid) Prosedur penentuan TSS; 1) Siapkan filter (Milipore dengan porositas 0,45 µm) dan ‘vacuum pump’. Saring 2 x 20 ml akuades, biarkan penyaringan berlanjut sampai 2 – 3 menit untuk mengisap kelebihan air; 2) Keringkan kertas saring (filter dalam oven selama 1 jam pada temperature 103 - 105°C, dinginkan dalam dessikator, lalu timbang (B mg); 3) Ambil 100 ml air sampel dengan gelas ukur, aduk kemudian saring dengan menggunakan kertas saring (filter) yang telah dit imbang pada prosedur no.2; 4) Keringkan filter dan residu dalam oven 103 - 105°C selama paling sedikit 1 jam, dinginkan dalam dessikator, timbang (A mg) Perhitungan: TDS (mg/L) = (A – B) A = Berat (mg) filter dan Residu
????
? ???? ???
B = Berat (mg) filter b. Ammonia – Nitrogen Total (TAN) – (Metoda Phenate) Prosedure Penentuan TAN: 1) Saring 25 – 50 ml air sampel dengan kertas saring Whatman no.42 (jangan menggunakan vacuum pump, agar tidak ada ammonia yang hilang); 2) pipet 10,00 ml air sampel yang telah disaring, masukan ke dalam gelas piala; 3) Sambil diaduk (sebaiknya dengan ‘magnetic stirer’) tambahkan 1 tetes MnSO4 , 0,5 ml chlorox (oxidizing solution) dan 0,6
35
ml phenate. Phenate ditambahkan dengan segera dengan menggunakan pipet tetes yang sudah dikalibrasi. Diamkan selama ± 15 menit, sampai pembentukan warna stabil (warna akan tetap stabil sampai beberapa jam); 4) Buat larutan Blanko dari 10,00 ml akuades. Lakukan prosedur 3; 5) Buat Larutan Standar dari 10,00 ml larutan standar ammonia (0,30 ppm). Lakukan prosedur 3; 6) Dengan larutan blanko pada panjang gelombang 630 nm , set spektrofotometer pada ‘Absorbance’ 0,000 (atau ‘transmittance’ 100%), kemudian lakukan pengukuran sampel dan larutan standar; 7) Hitung konsenstrasi Ammonia-N total (TAN) dengan persamaan: [TAN] mg/L sebagai N = ppm NH3 -N =
??? ? ? ? ???
Cgt = konsentrasi larutan standart (0,30 mg/L)
Agt = Nilai absorbance (transmittance) larutan standar Ag = Nilai absorbance (transmittance) air sampel Konsentrasi ammonia yang terukur tersebut dinyatakan dalam kadar nitrogen (N) yang terdapat dalam Ammonia (NH3 ). Untuk mengetahui konsentrasi ammonia yang dinyatakan dalam mg NH3 /L (= ppm NH3 ), nilai [TAN] diatas dikalikan dengan faktor seperti pada persamaan berikut: Mg NH3 /L = ppm NH3 -N x BM = Berat Molekul
?? ??? ?? ?
= ppm NH3-N x 1,216
BA = Berat Atom c. Nitrat-Nitrogen (NO3 -N) Dalam penentuan nitrat- nitrogen digunakan metode Brucine (APHA, 1989). Prosedur penentuannya adalah: 1) Saring sebanyak 25 -50 ml sampal dengan kertas Whatman no.42 atau yang setara; 2) Pipet 5 ml air sampel yang telah disaring, masukan kedalam gelas piala; 3) Tambahkan 0,5 ml Brucine, aduk; 4) Tambahkan 5 ml asam sulfat pekat (gunakan ruang asam); 5) Buatkan larutan Blanko dari 5 ml akuades. Lakukan prosedur 3 dan 4; 6) buat larutan standar nitrat-nitrogen dengan konsentrasi seperti pada table berikut:
36
Tabel 4. Konsentrasi larutan Standar Nitrat-nitrogen. Ppm Nitrat-N Yang ingin dibuat 0,025 0,05 0,10 0,25 0,50 0,75 1,00
ml standar Nitrat –N (5 ppm) yang diperlukan untuk diencerkan menjadi 100 ml 0,50 1,00 2,00 5,00 10,00 15,00 20,00
Sebelum pengenceran sampai 100 ml, tambahkan terlebih dahulu 20-30 ml aquades dan 8 ml NH4 OH pekat, kemudian baru ditambahkan lagi akuades sampai tanda tera. Selanjutnya, lakukan prosedur 2, 3 dan 4; 7) Dengan larutan blanko dan pada panjang gelombang 410 nm, set spektrofotometer paa 0,000 absorbance, kemudian ukur sampel dan larutan standar; 8) buat persamaan regresi (y= A + Bx) dari larutan standar untuk mene ntukan kadar nitratnitrogen air sampel. Untuk menentukan kadar nitrat dalam mg nitrat per liter (= ppm NO3-), digunakan persamaan sebagai berikut: Mg NO3 -/L = ppm NO3 -N x d. Nitrit-Nitrogen (NO2 -N)
?? ???? ?? ?
= ppm NO3-N x 4.43
Metode yang digunakan adalah metoda Sulfanilamide (APHA, 1989). Prosedur penentuannya adalah: 1) Saring sebanyak 25 – 50 ml air sampel dengan kertas saring whatman no. 42 atau yang setara; 2) Pipet 10.00 air sampel yang telah disaring, masukan kedalam gelas piala; 3) Tambahkan 0,2 ml (4 tetes) ‘diazotizing reagent’, aduk. Biarkan 2 – 4 menit (jangan lebih); 4) Tambahkan 0,2 ml NED, aduk. Biarkan 10 menit agar terbentuk warna merah (pink) dengan sempurna; 5) buatkan larutan blanko dari 10 ml akuades. Lakukan prosedur 3 dan 4; 6) Bua t satu seri larutan standar Nitrit-N dengan konsentrasi (ppm) sebaagai berikut: 0,025; 0,05; 0,01; 0,02; 0,04; 0,06; 0,08 dari larutan standar 1 ppm, dengan pengenceran yang tepat (gunakan pipet dan labu takar yang sesuai). Lakukan prosedur 2,3 dan 4; 7) Dengan larutan blanko dan panjang gelombang 543 nm, set spektrofotometer pada ‘absorbance’ = 0,000 kemudian ukur sampel dan larutan standar; 8) Untuk menentukan konsentrasi
37
Nitrit-N, buat grafik atau persamaan regresi (y=A+Bx) dari larutan standar. Sumbu x sebagai konsentrasi (ppm) nitrit-nitrogen dan sumbu y sebagai nilai ‘absorbance’ (A) atau ‘transmittance’ (T). Nilai A atau T air sampel yang diplotkan pada grafik atau disubstitusikan dalam persamaan regresi, sehingga diperoleh kadar nitrit-nitrogen di perairan. Konsentrasi (ppm) NO2 -N yang terukur pada metoda ini adalah kadar nitrogen yang terdapat pada nitrit (dalam satuan mg N per liter atau ppm NO2-N). Untuk mengetahui kadar nitrit sebagai mg NO2 /L (ppm NO2 ) digunakan persamaan sebagai berikut: Mg NO2-/L = ppm NO2 -N x e. Phospat (Orthophosphate)
? ? ? ?? ?? ?
= ppm NO2-N x 3,28
Metode yang digunakan adalah metoda Stannous Chloride dengan prosedur sebagai berikut: 1) Persiapkan peralatan gelas dan filter: semua wadah dan peralatan yang digunakan harus benar-benar bersih, dan bebas dari kontaminasi P. bilas peralatan gelas dengan HCl 1 atau 2 N, cuci dengan deterjen (bebas P) dan air, lalu bilas dengan akuades. Cuci lagi dengan deterjen dan air, bilas dengan akuades. Rendam filter dalam akuades (25/liter) selama 24 jam dan keringkan sebelum dipakai; 2) Saring 25 – 50 ml air sampel (tak lebih dari 2-3 jam setelah pengambilan contoh air) dengan milipore (0,45µm) atau ‘glass fibre filter’ atau yang setara, gunakan ‘vacuum pump’; 3) Pipet sebanyak 25 ml air sampel tersaring; 4) Tambahkan 1 ml Ammonium molybdate, aduk; 5) Tambahkan 5 tetes SnCl2 , aduk, diamkan (10 menit); 6) Buatkan larutan blanko dari 25 ml akuades. Lakukan prosedur 3 dan 4; 7) Buatkan larutan standar orthophosphate dengan konsentrasi: 0,01; 0,05; 0,10; 0,25; 0,50; 0,75 dan 1,00 ppm-P dari larutan standar 5 ppm-P (seperti pada cara pembuatan seri standar Nitrat. Lakukan prosedur 3 dan 4; 8) Setelah didiamkan 10 menit dan sebelum12 menit, ukur air sampel dan larutan standar dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 690 nm. (Gunakan Akuades untuk set alat pada 0,000 Absorbance. Larutan blanko seharusnya menunjukan pada 0,000 absorbance. Bila nilai Absorbanc blanko ini hanya sedikit diatas 0,000, gunakan blanko untuk ‘reset’ alat pada 0,000 A. Catat nilai absorbance atau transmittance yang
38
terbaca); 9) Buat persamaan regresi atau grafik untuk menentukan kadar orthophosphate air sampel. 3.8. Analisis Hubungan 3.8.1 Hubungan antara lingkungan dan penutupan subrat dasar serta ikan karang Untuk melihat pola pengelompokan dan sebaran penutupan substrat dasar seperti karang hidup, karang mati alga dan variabel lingkungannya yang terbentuk dilokasi .pengamatan dengan menggunakan analisis komponen utama (PCA) dengan menggunakan program XLSTAT 2009 versi 7.0 Tujuan utama penggunaan analisis komponen utama dalam suatu matrik data yang berukuran besar (Bengen 2000) diantaranya adalah: a. Mengekstraksi informas esensial yang terdapat dalam suatu tabel/matriks data yang besar. b. Menghasilkan suatu representasi grafik yang memudahkan intrepretasi. c. Mempelajari suatu tabel/matrik data dari sudut pandang kemiripan antara individu dan hubungan antar variabel.
3.8.2. Analisis korelasi Untuk menganalisis hubungan antara tutupan karang hidup dengan ikan karang; Ikan karang herbivora dengan tutupan alga serta tutupan karang mati dengan tutupan algae dilakukan Korelasi Sperman dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007. Korelasi ini digunakan untuk menyatakan hubungan antara dua buah variabel tanpa melihat atau memperhatikan variabel bebas dan variabel terikat (Agus Purwoto, 2007). Dalam kaitannya dengan penelitian ini, ukuran statistik yang digunakan untuk mengetahui keeratan dan arah hubungan diantara dua variabel tersebut dinamakan koefisien korelasi (r) yang besarnya berada dalam nilai -1 sampai dengan +1. Bentuk dan besarnya hubungan yang dinyatakan dengan memiliki nilai -1 = r = 1 yang dapat dikategorikan dengan kriteria sebagai. •
Jika r < 0 berarti hubungan X dan Y merupakan hubungan negatif. Artinya, jika X naik maka Y turun. Sebaliknya, jika X turun maka maka Y naik.
39
•
Jika r > 0 berarti hubungan X dan Y merupakan hubungan positif. Artinya, jika X naik maka Y naik. Sebaliknya, jika X turun maka maka Y turun.
•
Jika r = 0 berarti hubungan X dan Y tidak ada hubungan. Artinya, jika suatu variabel berubah maka tidak mempengaruhi variabel yang lainnya.
•
Jika r = -1 atau 1 berarti X dan Y terdapat hubungan negatif atau positif yang kuat sempurna. Kriteria penilaian yang digunakan adalah (Purwoto Agus, 2007): R=0
Tidak ada hubungan
0 < r < 0,6
Hubungan lemah
0,6 = r < 0,8
Hubungan sedang
0,8 = r < 1
Hubungan kuat
r = 1
Hubungan kuat sempurna
Rumus skala data koefisien korelasi yang berupa peringkat atau ordinal dinyatakan sebagai berikut
Keterangan :
?? ? ? ? ? ? ?
di : selisih dari rank variabel X dan Y n : banyaknya pasangan rank
? G? ? ??
? G? ? ? ? ? ?
40
4. HASIL 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1. Kecamatan Gunung Kijang (Pantai Trikora) Kecamatan Gunung Kijang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Bintan, yang merupakan Kecamatan terluas di wilayah Kabupaten Bintan dengan luas area daratan 503,12 km2 dan area lautan 4 426,61 km2 Secara administrasi batas wilayah Kecamatan Gunung Kijang berbebatasan dengan: • Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Teluk Sebong. • Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Bintan Timur. • Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Toapaya. • Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bintan Timur dan Laut Topografi, Hidrologi, dan Iklim Wilayah Kecamatan Gunung Kijang mempunyai dominasi lahan datar sampai berombak (>3 – 15%) dengan beda tinggi mencapai 15 meter, merupakan luas terbesar yaitu sebesar 208,29 Km2 , menyebar di bagian Utara
dan Timur
Kecamatan Gunung Kijang, terutama di wilayah Lomei, Kawal dan daerah pesisir pantai. Wilayah berombak sampai bergelombang ( >15 - 40%) dengan beda tinggi mencapai 40 meter, merupakan daerah perbukitan yang penyebarannya terutama di bagian tengah
dengan total luas sebesar
128,08 Km2 . Wilayah bergelombang
sampai berbukit (> 40%) dengan beda tinggi antara 40-211 meter. Penyebarannya terutama di Wilayah Desa Gunung Kijang, yaitu di daerah Gunung Kijang seluas 7,5 Km2 . Jenis tanah di wilayah Kecamatan Gunung Kijang di dominasi oleh jenis tanah dengan komposisi Hapludox-Kandiudults dan Tropaquets-Fludaquents. Serta jenis batuan yang mendominasi dari Formasi Goungon dan Granit. Lokasi yang menjadi objek pengamatan adalah kawasan perairan pesisir pantai Trikora Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan Propinsi Kepulauan Riau. Di kecamatan ini terdapat empat desa/kelurahan yaitu: Kelurahan Kawal, Desa Gunung Kijang, Desa Teluk Bakau, Desa Malang Rapat.
41
Gugusan Kabupaten Bintan mempunyai curah hujan cukup dengan iklim basah, berkisar antara 2000 – 2500 mm/th. Rata-rata curah hujan per tahun ±
2
214 milimeter, dengan hari hujan sebanyak ± 110 hari. Curah hujan tertinggi pada umumnya terjadi pada bulan Desember (347 mm), sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus (101 mm). Temperatur rata-rata terendah 22,5°C dengan kelembaban udara 83%-89%. Secara umum Kabupaten Bintan mempunyai empat macam perubahan arah angin yaitu: 1. Bulan Desember-Februari
: angin utara
2. Bulan Maret-Mei
: angin timur
3. Bulan Juni- Agustus
: angin selatan
4. Bulan September-November
: angin barat
Kecepatan angin terbesar adalah 9 knot pada bulan Desember-Januari, sedangkan kecepatan angin terendah pada bulan Maret-Mei. Kondisi angin pada umumnya dalam satu tahun terjadi empat kali perubahan angin; bulan Desember - Februari bertiup angin utara, bulan Maret – Mei bertiup angin timur, bulan Juni – Agustus bertiup angin selatan dan bulan September – Nopember bertiup angin barat. Angin dari arah utara dan selatan yang sangat berpengaruh terhadap gelombang laut menjadi besar, dan juga dengan kondisi air laut yang lebih keruh. Musim ini ditandai dengan angin yang sangat kencang dan gelombang laut yang sangat besar dapat merusak perahu nelayan. Nelayan pada musim ini juga sulit untuk pergi melaut dikarenakan perahu dan alat tangkap mereka tidak mampu melawan kuatnya angin dan gelombang. Pada musim ini nelayan umumnya hanya melaut disekitar pantai. Sedangkan angin timur dan barat terhadap gelombang laut yang timbul relatif kecil.
Potensi Sumberdaya Laut Sumberdaya wilayah perairan Kecamatan Gunung Kijang sangat beragam seperti: hutan mangrove, terumbu karang dan berbagai hasil perikanan tangkap. Dari hasil informasi bahwa luasan hutan mangrove dikawasan ini telah mengalami penurunan. Sedangkan terumbu karang yang terdapat di sepanjang pantai di wilayah ini. Menurut data CRITIC COREMAP Kabupaten Bintan pada tahun 2006,
42
rata-rata tutupan karang di wilayah ini berkategori sedang 32,05%. Sedangkan ratarata karang mati mencapai 30,91%. Kondisi karang yang rusak atau mati diyakini disebabkan oleh ulah manusia, antara lain akibat penggunaan bom dan jaring dasar untuk mennagkap ikan yang dilakukan oleh nelayan, dengan banyak ditemukannya patahan karang di wilayah perairan Kecamatan Gunung Kijang yaitu desa Malang Rapat. Sedangkan sumberdaya yang potensial adalah sektor perikanan tangkap. Menurut informasi setempat produksi perikanan tangkap mengalami penurunan. Penurunan hasil tangkapan disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah nelayan yang menangkap ikan diperairan ini, tidak hanya dari dalam melainkan juga dari luar wilayah tersebut. Sedangkan penurunan produksi juga disebabkan oleh cara penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan diwaktu sebelumnya. Kini cara penangkapan ikan dengan penggunaan bom dan racun sudah mulai berkurang, menurut penuturan beberapa nelayan, pada umumnya pengguna bom dan racun dilakukan oleh nelayan dari pulau lain (C RITC - LIPI 2007).
Pengelolaan Sumberdaya Laut di Kecamatan Gunung Kijang Pengelolaan Sumberdaya laut merupakan hal yang penting dalam program penyelamatan terumbu karang. Melalui pengelolaan yang optimal dengan memperhatikan keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi, keberlanjutan sumberdaya laut yang merupakan yang merupakan sumber penghidupan masyarakat akan terjaga. Pengetahuan merupakan dasar untuk melakukan tindakan yang benar. Dalam kontex pelestarian terumbu karang..Pengetahuan tentang terumbu karang sangat diperlukan seperti hal- hal yang dapat merusak terumbu karang dan penggunaan alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang. Meskipun pengetahuan masyarakat tentang penggunaan bom, racun dan trawl merupakan hal yang paling merusak terumbu karang mendapat respon yang baik sehingga dapat dikatakan penggunaan bom dan cara-cara penangkapan
ikan dengan racun dan trawl sudah menurun
secara drastis. Penggunaan alat tangkap lainnya, seperti penggunaan bubu, bagan tancap tidak hanya dimiliki oleh nelayan di kawasan ini tetapi juga oleh nelayan di luar
43
wilayah. Bubu sebagai alat penangkap ikan mendapat respon yang kecil dari masyarakat sampai sekarang ini. Pengetahuan masyarakat tentang penggunaan bubu dan bagan tancap terhadap kerusakan terumbu karang mendapat respon yg kecil 5% dan 2% menyatakan dapat merusak berarti 95% dan 98% berpendapat tidak merusak karang (C RITC-LIPI 2007), meskipun penggunaan alat tersebut di lekatkan pada karang. Ketidaktahuan masyarakat bahwa alat-alat tersebut juga merusak terumbu karang dan perlu mendapat perhatian, paling tidak masyarakat diberi pengetahuan untuk mengurangi resiko alat tersebut terhadap kerusakan karang .
4.1.2. Pulau Mapur Pulau Mapur terletak di sebelah timur gugus Kepulauan Bintan, secara administratif termasuk bagian dari Kecamatan Bintan Timur. Bagian timur laut utara berhadapan dengan Laut Cina Selatan. Batuan dasar Pulau Mapur terbentuk oleh granit bagian dari orogenesa Malaya yang berusia Kapur. Perairan disekitar merupakan genangan laut yang diakibatkan oleh mencairnya es dan memisahkan antara Pulau Jawa, Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan pada zaman kuarter. Proses genang laut pada zaman kuarter tersebut tidak saja menutup wilayahwilayah yang relatif rendah namun memacu pertumbuhan terumbu karang di sekitar lereng- lereng yang tinggi.
Topografi, Hidrologi, dan iklim Secara topografi daratan utama dibangun oleh 65% morfologi perbukitan yang berada di wilayah utara dan timur dan 35% morfologi dataran yang berada di wilayah barat dan selatan Pulau Mapur. Puncak perbukitan tertinggi lebih 75 meter di atas permukaan laut. Luas daratan Pulau Mapur ± 2500 Ha. Kondisi batimetri perairan Pulau Mapur bagian selatan dan barat relative lebih dangkal dibandingkan disebelah timur dan utara. Perairan sebelah barat merupakan selat antara Pulau Bintan dan Pulau Mapur dan dibagian timur merupakan perairan terbuka. Kondisi batimetri Pulau Mapur akan menentukan pola arus dan penjalaran gelombang yang bergantung kepada datangnya angin di perairan tersebut (tergantung kepada monsun).
44
Bulan Januari dan Februari menunjukkan arah angin dominan datang dari arah utara dan timur laut, sedangkan bulan Maret dan April dominan datang dari arah timur laut. Kekuatan angin pada Februari lebih rendah daripada Januari dan Maret lebih rendah dibanding Februari, sedangkan April hampir sama dengan Februari. Angin yang bertiup di bulan Mei dominan datang dari arah timur laut dan tenggara, Juni terlihat adanya peralihan dari arah timur laut (berkurang) dan ke tenggara. Bulan Juli, Agustus, September, Oktober, November dan Desember arah angin dominan datang dari arah Tenggara. Kekuatan angin yang paling kuat ialah bulan Oktober, November dan Desember. Kekuatan angin bulan Januari dan Februari sedikit meragukan yaitu nilainya lebih rendah dari bulan Desember, sedangkan Desember hingga Februari masih termasuk dalam monsun barat, dimana kekuatannya hampir sama. Kondisi curah hujan di wilayah ini dari bulan Januari sampai Oktober diperoleh antara 0 – 150 mm. Tekanan udara bervariasi antara 1006 – 1015 mb dengan rata-rata 1011 mb dan kondisi rata-rata suhu udara bervariasi antara 23,5 °C – 28 °C dengan rata-rata 26 °C. Salinitas untuk lapisan perairan bagian permukaan memiliki nilai antara 27,8 – 29,2 psu dengan nilai rata-rata 28,6 psu dan nilai standar deviasinya (sd) = 0,41 psu, pada kedalaman 5 m berkisar antara 27,8 – 29,3 psu dengan nilai rata-rata 28,7 psu dan nilai sd nya 0,42 psu serta pada kedalaman 10 m berkisar antara 27,8 – 29,4 psu denga n nilai rata-rata 28,8 psu dan nilai standar deviasinya 0,41 psu. Nilai salinitas lebih rendah dari 28,5 psu terdapat disebelah timur laut dan selatan Pulau Mapur, sedangkan nilai salinitas lebih besar 28,5 terdapat disebelah barat Pulau Mapur dengan nilai berkisar antara 28,5 – 29 psu. Kecerahan pada bagian permukaan diperoleh antara 4,5 – 10,5 m dengan nilai rata-rata 6,6 m dengan standar deviasinya (sd) 1,6 m (6,6 ± 1,6 m). Kecerahan massa air yang relatif lebih besar dari 7 m terdapat di sebelah barat laut sampai timur laut Pulau Mapur. Kondisi tersebut diduga diakibatkan oleh adanya turbulensi akibat terhalangnya penjalaran gelombang yang sedikit terhambat oleh Pulau Mapur, sedangkan perairan di sebelah utara relative dalam dibanding perairan bagian selatan. Kecerahan massa air yang relatif lebih besar dari 6 m terdapat di perairan sebelah barat dan selatan, sedangkan nilai kecerahan lebih kecil dari 6 m dijumpai di perairan bagian timur laut, utara dan perairan bagian barat.
45
Potensi Sumberdaya Laut Sama halnya dengan Kecamatan Gunung Kijang, Desa Mapaur di wilayah pulau mapur ini sumber daya yang sangat pentingnya adalah terumbu karang, dan berbagai sumberdaya laut lainya seperti ikan
kerapu, selar sotong, cumi dan
kepiting. Terumbu karang terdapat disekeliling pulau. Kondisi Terumbu karang di Pulau Mapur mengalami perbaikan selama dua tahun terakhir (CRITC-LIPI 2007). Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan CREEL pada akhir tahun 2006, yang menemukan adanya perbaikan sebagian terumbu karang di Pulau Mapur terutama terumbu karang yang berada di sekitar Kepala Pulau Mapur, pada tahun 2005, berdasarkan hasil penelitian P3O-LIPI, terumbu karang yang kondisinya masih baik di perairan Pulau Mapur hanya sekitar 25%. Sedangkan potensi perikanan tangkap cukup baik meskipun sebelum tahun 1990
kecenderungan
penurunan
produksi
ikan
tangkap
disebabkan
oleh
penangkapan ik an yang kurang ramah lingkungan. Sebaliknya hasil kajian tahun 2007 menemukan kecenderungan sebaliknya, yaitu produksi ikan tangkap mengalami perkembangan baik jenis maupun jumlahnya. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh adanya peraturan desa yang tidak memperbolehkan nelayan masuk keperairan Mapur karena Kepulauan Mapur dijadikan sebagai area konservasi.
4.2. Kondisi Terumbu Karang Kondisi tutupan kelompok substrat dasar utama penyusun dasar perairan di kawasan terumbu karang meliputi (seluruh karang keras, karang mati, alga, biota lain, abiotik) yang memiliki nilai peranan yang sangat penting di lokasi penelitian (Gambar 6). Karang keras mendominasi tutupan substrat di semua lokasi penelitian dengan persentase terendah di stasiun 1 muara sungai kawal (34,69%) sedangkan yang tertinggi di stasiun 6 (Pulau Sentot) sebesar (99,84%)
(Lampiran 1).
Kelompok karang keras terbagi kedalam dua kategori karang hidup Acropora dan Non-Acropora .Bentuk karang hidup dari Acropora ditemui 4 (empat) kategori sedangkan bentuk karang hidup Non-Acropora ditemui 8 (delapan) kategori
46
(Lampiran 1). Rata-rata persentase tutupan karang hidup Acropora dan NonAcropora pada masing- masing stasiun dapat dilihat pada (Gambar 9 dan 10) Persentase tutupan karang mati terlihat jelas jumlah tertinggi pada stasiun 8 di Kepala Mapur (36,99%) dan yang terendah pada stasiun 6 di Pulau Sentot Mapur 0,00% (Lampiran 1). Karang mati dibagi menjadi dua kategori yaitu karang mati dan Karang mati dengan alga dimana Karang mati dengan alga tertinggi (36,94%) dari nilai (36,99%) di Kepala Mapur. Stasiun 4 di karang Masiran desa Gunung Kijang dan Stasiun 2 di muara Kawal adalah lokasi yang memiliki nilai tutupan alga tertinggi (18,06%) dan (16,65%), hal ini diduga adanya pengaruh dari buangan air dari sungai kawal yang berasal dari daratan seperti yang terlihat pada peta lokasi penelitan. Biota lain (OT) hampir ditemukan disemua stasiun kecua li pada stasiun 6 di pulau sentot , namun persent ase tutupannya tidak melebihi 9% dari semua stasiun yang ditemukan. Kisaran persen tutupan adalah diantara 0,16% dan 8,98%. Sedangkan pada stasiun 6, tidak ditemukan adanya jumlah abiotik yang meliputi rubble (pecahan karang), sand (pasir) dan silt (endapan lumpur). Pulau Sentot merupakan kawasan yang memiliki karakteristik yang lebih baik bila dilihat persen tutupan karang keras (99, 84%) bila dibanding dengan stasiun 1 (34,69%).
Penutupan Substrat dasar 120,00
Cover (%)
100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 1 Karang Hidup
2
3
4 5 6 Stasiun Pengamatan Karang Mati Alga Biota Lain
7
8
Abiotik
Gambar 6 Persentase penutupan kelompok bentik : karang hidup, karang mati, algae, biota lain, abiotik.
47
Tabel 5 Persentase tutupan karang keras, karang mati, Alga, Biota lain dan Abiotik penyusun struktur kategori bentik. Persentase Penutupan (%) Tipe Substrat Kawasan I Kawasan II St.1 St.2 St.3 St.4 St.5 St.6 St.7 St .8 Karang Hidup 34,69 59,36 61,55 62,89 44,33 99,84 68,30 49,43 Karang Mati 21,85 31,91 34,84 17,39 35,92 0,00 7,77 36,99 Alga 16,65 7,47 2,64 18,06 13,04 0,16 10,69 4,45 Biota Lain 1,26 0,16 0,50 0,26 3,32 0,00 7,57 8,98 Abiotik 25,55 1,10 0,47 1,40 3,39 0,00 5,67 0,14 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Tabel 6 Nama- nama stasiun penelitian berdasarkan pembagian kawasan. Kawasan I Stasiun 1
Muara Kawal
Stasiun 2
Karang Penyerap
Stasiun 3
Teluk Bakau
Stasiun 4
Karang Masiran Ds. Gunung Kijang
Stasiun 5
Pulau Manjin Ds. Galang Batang
Kawasan II Stasiun 6
Pulau Sentot (Mapur)
Stasiun 7
Pantai Songseng (Mapur)
Stasiun 8
Kepala Mapur (Mapur)
Kategori karang keras diperoleh 32 genus yang terdiri dari jenis karang hidup (Acropora dan Non-Acropora) di masing- masing stasiun. Genus yang terbanyak ditemukan di stasiun 5 di sebanyak 20 genus sedangkan stasiun 8 Kepala Mapur merupakan jumlah genus yang sangat sedikit ditemukan yaitu 5 genus (Tabel 7). Genus Acropora banyak ditemukan dihampir seluruh stasiunnya dan hampir mendominasi disetiap stasiunnya kecuali di stasiun 1 dan stasiun 5, untuk persentase tutupan terbesar dari genus Acropora
ditemukan di stasiun 6 yaitu P.
Sentot kawasan II sebesar 33,24% dari 9 genus yang ditemukan.
48
Tabel 7 Distribusi persentase tutupan karang keras di lokasi penelitian
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Genus Acropora Diploria Echinopora Euphyllia Favia Favites Fungia Galaxea Goniopora Goniastrea Halomitra Heliopora Herpolitha Hydhnopora Leptoria Litophylon Lobophyllia Merulina Millepora Montipora Mycedium Pachyseris Pavona Pectinia Platygyra Pocillopora Porites Psammocora Pseudosiderastrea Simphyllia Styllopora Turbinaria
Persentase Tutupan Tiap Stasiun Kawasan II Kawasan I St.1 0,11
7,93 0,19 0,22 1,52 5,27
St.2
St.3
St.4
29,73 32,53 6,70 0,49 0,15 0,22 2,10 0,10 0,23 4,12 3,46
18,75
0,14
0,26 0,09 1,66 0,22 0,21 1,13
St.5
St.6
7,26 33,24 4,03 0,41 1,10 5,62 1,21 0,24 0,03 0,14 8,61 6,12
St.7
St .8
28,221 27,0 10,726
3,3
1,42
1,6
0,76 0,32
0,21 1,17 0,17
6,99 0,24
1,07
0,3
0,24 2,34 0,84
0,94 0,57
8,16
10,40 0,57 1,08
0,40 2,41
5,21
0,12 1,22 0,74 5,32
0,39
2,69
1,29 0,53 3,53 1,95
1,69
25,033 10,3
9,64 2,85
0,52 0,92
1,12 0,64
1,07 1,00 3,16
1,56 0,43 3,96
0,05 0,21 9,49 3,81 22,34
0,08
0,99
3,06
7,53 11,56
2,3658 1,957
3,4 0,9 2,6
0,20
3,42
1,05 0,29
1,18
Stasiun 1 ditemukan 16 genus dengan persen tutupan terbesar (8 %) dari genus Montipora kategori Non-Acropora, sedangkan genus Acropora merupakan persen tutupan terkecil (0,11 %). Pada Stasiun 2 ditemukan 18 genus dengan persen
49
tutupan terbesar (29,73%) dari genus Acropora sedangkan Favites adalah genus yang terendah (0,10%). Dari 14 genus yang ditemukan Acropora masih merupakan genus yang persen tutupannya
tertinggi sebesar (32,53%) sedangkan genus
Liptophylon persen tutupan terkecil (0,24%). Distribusi tertinggi pada stasiun 4 masih dari genus Acropora dengan persentase tutupan (18,75%) sedangkan genus Lobophyllia sebesar 0,12%. Pada stasiun 5 merupakan genus yang terbanyak dijumpai namun tidak yang dominan sebaran genus hampir merata, untuk nilai tertinggi dari genus Galaxea sebesar (8,61%) sedangkan genus fungia adalah terkecil (0,03%). Stasiun 6 merupakan lokasi dengan kategori tutupan tertinggi dari 9 genus yang dijumpai namun tidak ada yang mendominasi dan memiliki 3 genus yang cukup besar persentase tutupannya yaitu Acropora, Porites dan Turbinaria masing- masing dengan nilai ( 33,24%, 22,34%, 11,56%). Stasiun 7 genus Acropora tetap tertinggi tutupan karang keras sebesar 26,99 % dan genus Leptoria adalah terkecil (0,3%). Seperti yang telah dijelaskan diatas kategori karang keras meliput i jenis Acropora dan Non-Acropora (Gambar 8 dan 9), dimana jenis Acropora yang ditemui di masing- masing stasiun meliputi kategori : Acropora Brancing (ACB), Acropora Digitate (ACD), Acropora Submassive (ACS), Acropora Tabulate (ACT), persentase tertinggi untuk kategori Acropora adalah Acropora Brancing terdapat di stasiun 6 sebesar (19,87%) sedangkan yang terendah terdapat di stasiun 1 sebesar (0,11%), untuk Coral Encrusting (CE) sebaran terbesar di stasiun 8 dengan tutupan ( 25,22%) sedang yang terendah di stasiun 3 dengan tutupan (1,26%). Untuk Coral Massive (CM) sebaran terbesar di stasiun 5 dengan tutupan (19,93%) dan yang terkecil di stasiun 6 (5,62%). Sebaran Coral Mushroom (CMR) hanya berada pada tingkat dibawah 1% pada masing- masing stasiun dari 4 stasiun yang ditemukan, sedangkan sebaran yang satu-satunya ditemui di stasiun 4 yaitu kategori karang api Millepora (CME) sebesar 0,74%. Dan untuk karang Heliopora hanya ditemukan pada 2 lokasi yaitu stasiun 2 dan 5 dengan masing- masing distribusinya sebesar (0,76) dan (1,23%) (Gambar. 9)
50
100,00 90,00 80,00
(%)
70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 St.1
St.2
St.3
St.4
St.5
St.6
St.7
St .8
Stasiun pengamatan Acropora
Diploria
Echinopora
Euphyllia
Favia
Favites
Fungia
Galaxea
Goniopora
Goniastrea
Halomitra
Heliopora
Herpolitha
Hydhnopora
Leptoria
Litophylon
Lobophyllia
Merulina
Millepora
Montipora
Mycedium
Pachyseris
Pavona
Pectinia
Platygyra
Pocillopora
Porites
Psammocora
Pseudosiderastrea
Simphyllia
Styllopora
Turbinaria
Gambar 7 Persentase tutupan karang hidup berdasarkan genus 30,00 25,00 Cover (%)
20,00 15,00 10,00 5,00 0,00
ACB
ACS
ACD
ACT
Gambar 8 Persentase tutupan karang hidup dari kategori Acropora : Acropora Brancing (ACB), Acropora Digitate (ACD), Acropora Submassive (ACS), Acropora Tabulet (ACT)
Cover (%)
51
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
CB
CE
CF
CM
CS
CMR
CME
CHL
Gambar 9 Diagram persentase tutupan karang hidup dari kategori Non-Acropora : Coral Brancing (CB), Coral Encrusting (ACD), Coral Foliose (CF), Coral Massive (CM), Coral Submassive (CS), Coral Mashroom (CMR), Coral Meliopora (CME), Coral Heliopora (CHL). 4.3. Hubungan Parameter Lingkungan dengan Penutupan Substrat Dasar Kontribusi pada variabel- variabael yaitu karang hidup dan biota lain adalah faktor- faktor yang memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama pertama. Dengan korelasi sebesar 0,20 dan 0,31. Sedangkan variabel-variabel karang mati, Alga serta Abiotik memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama kedua dengan korelasi
sebesar 0,13; 040 dan 0,30.
Sementara kondisi perairan
kedalaman, kecepatan arus, padatan tersuspensi (TSS), Salinitas, NO3 , PO4 , NO2 Memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama pertama
dengan korelasi
sebesar 0,36; 0,28; 0,12; 0,34; 0,32; 0,33 dan 0,33. Untuk variabel suhu, NH3 dan oksigen terlarut (DO) korelasi antara faktor- faktor ini memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama kedua berturut-turut sebesar -0,26; 0,03 dan 0,22. Kondisi ini dapat menerangkan gambaran dari data sumbu pertama hingga sumbu kedua hingga sebesar 57,52 . Komponen pertama sampai kedua berturutturut memiliki akar ciri 5,72 dan 3,49 yang masing- masing menjelaskan nilai keragaman gugus data sebesar 3,72% dan 21,79%. Vektor ciri dan variabel kondisi perairan dan persentasi tutupan substrat dasar dapat dilihat pada tabel nilai akar ciri (Eigen value) disajikan pada Lampiran 8.
52
Hasil analisa antara faktor kondisi lingkungan perairan dengan tutupan substrat dasar menunjukan bahwa substrat dasar karang hidup berkorelasi positif dengan hampir semua variabel parameter lingkungan seperti suhu, kecerahan, kedalaman, TSS, Salinitas NO3 , PO4 dan NO2 kecuali pada kecepatan arus dan Oksigen terlarut (DO) berkorelasi negatif. Sebaliknya Substrat dasar karang mati berkorelasi negatif dengan hampir semua variabel lingkungan perairan kecuali suhu dan NH3 . Alga berkorelasi positif dengan variabel lingkungan kecepatan arus, NO3 , PO4 dan NO2 . kecuali variabel lingkungan suhu, kecerahan, kedalaman, TSS, salinitas, NH3 dan DO. Sedangkan variabel biota lain berkorelasi positif dengan sebagian besar variabel lingkungan perairan seperti kecerahan, kedalaman, kecepatan arus, TSS, Salinitas NO3 , PO 4 dan NO2, kecuali suhu, NH3 dan DO. Sedangkan variabel Abiotik berkorelasi berkorelasi positif dengan variabel kimia perairan seperti NH3 , PO4 , NO 2 dan DO. Hal ini dapat diartikan bahwa tingginya persentase tutupan karang hidup dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan yang baik buat pertumbuhan karang itu sendiri seperti kecerahan, Kecerahan menggambarkan kemampuan cahaya menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Kecerahan sangat penting bagi perairan karena berpengaruh terhadap berlangsungannya produktivitas primer melalui fotosintesis, tingginya tingkat kecerahan akan mendukung proses pertumbuhan karang diperairan. Begitu juga dengan suhu yang merupakan salah satu
faktor
lingkungan
yang
me mpengaruhi
organisme
dalam
aktivitas
metabolisme, perkembangbiakan serta proses-proses fisiologi organisme karena suhu dapat mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologi perairan. Sedangkan alga yang berkorelasi positif dengan variabel kimia perairan seperti NO3 , dan PO4 yang berarti keberadaan Nitrat dan Posfat di perairan akan menyebabkan meningkatnya pertumbuhan alga peningkatan jumlah Nitrat dan posfat ini disebabkan oleh masukan limbah buangan rumah tangga dr pemukiman pesisir perairan. Dengan adanya anggapan bahwa laut merupakan tempat pembuangan limbah industri dan rumah tangga yang efisien, telah membawa dampak semakin meningkatnya konsentrasi nutrient dalam perairan yang lebih lanjut meningkatkan biomassa alga dasar dan produksi primer dalam kolom air (Pastorok dan Bilyard 1985).
53
Variables (axes F1 and F2: 57,51 %) 1
Alga
0,75
PO4-P (mg/l) NO3-N (mg/l) NO2 (mg/l) Kecerahanan Biota Lain (m) Kec. Arus (cm/det)
Abiotik
0,5
DO Karang Mati
F2 (21,79 %)
0,25
NH3 (mg/l)
0
Kedalaman (m)(‰) Salinitas
-0,25
Suhu (°C)
-0,5
TSS(mg/l) Karang Hidup
-0,75
-1 -1
-0,75
-0,5
-0,25
0
0,25
0,5
0,75
1
F1 (35,72 %)
Gambar 10 a Biplot korelasi antara data variabel diseluruh stasiun 3
Observations (axes F1 and F2: 57,51 %)
2
St 1 St 4 St2 St 5
F2 (21,79 %)
1 0
St 8
St 7
St 3
-1 -2 -3
St 6
-4 -5 -5
-4
-3
-2
-1
F10 (35,72 1%)
2
3
4
Gambar 10 b. Biplot observasi data variabel diseluruh stasiun
5
6
54
Berdasarkan Analisis tersebut dapat diketahui gambaran kondisi terumbu karang dilokasi penelitian dan dapat dilihat korelasi antara kondisi tutupan substrat dasar yang ada dengan kondisi perairannya pada seluruh stasiun penelitian yang digambarkan pada bidang faktorial F1-F2. Pada Stasiun 1,2,3,4 dan 5 didominasi oleh variabel dari persentase tutupan subtrat yang tinggi seperti algae, abiotik, karang mati sedangkan variabel lingkungan yang mendominasi adalah DO dan NH3 sedangkan stasiun 6 didominasi oleh persentase tutupan substrat dan variabel lingkungan yang tinggi yaitu karang hidup, suhu, TSS dan tingkat kedalaman. Demikian juga pada stasiun 7. Sedangkan stasiun 8 dicirikan dengan variabel kimia lingkungan dan penutupan subtrat dasar yang tinggi ya itu subtrat dasar biota lain, NO3 , PO4 , NO2 , kecepatan arus, dan kecerahan. Kondisi ekosistem terumbu karang di wilayah satu mempunyai dominasi
karakteristik penutupan substrat dasar dari golongan algae, abiotik
karang dengan nilai persentase yang tinggi begitu juga dengan variabel lingkungan DO dan NH3
memiliki nilai yang tinggi dibandingkan dengan wilayah dua.
Sedangkan wilayah dua di stasiun 6 dicirikan dengan persentase karang hidup hidup, nilai TSS, kedalaman serta salinitas yang tinggi di bandingkan dengan wilayah satu. 4.4. Kelimpahan Ikan Total kelimpahan ikan yang telah disensus sebanyak 6789 individu ikan dari keseluruhan stasiun pengamatan selama penelitian hal ini tidak termasuk di dalamnya jenis ikan pelagis yang kecil. Dari jumlah tersebut telah terindentifikasi sebanyak 57 spesies dengan 14 family ikan yang diobservasi, dengan kelimpahan terendah sampai dengan tertinggi berkisar diantara 59 hingga 1889 individu (t Tabel 8). Neopomacentrus filamentosus merupakan spesies ikan yang berlimpah di seluruh stasiun pengamatan, sedangkan Pomacentridae merupakan famili yang berlimpah di setiap stasiunnya ( Gambar 11 dan 12). Chaetodon octofasciatus cf merupakan spesies yang ditemukan diseluruh stasiun penelitian meskipun kelimpahannya tidak begitu banyak. Chromis ternatensis dan Chromis viridis merupakan spesies kedua dan ketiga dari genus Pomacentridae yang berlimpah. Balistapus undulates, Chaetodon speculum
merupakan spesies terendah
kelimpahannya dari famili Balistidae dan Chaetodontidae.
55
Tabel 8
Famili dan spesies yang ditemukan dengan metode visual sensus di seluruh stasiun visual sensus di seluruh stasiun.aftar family dan spesies ikan karang
Apogonidae 1 Apogon bandanensis 2 Apogon compressus 3 Apogon quenguelineata 4 Apogon sp Caesonidae 5 Caesio cuning Chaetodontidae
Pomancanthidae 28 Pomacanthus annularis 29 Pomacanthus sexstriatus POomacentridae 30 Abudefduf bengalensis 31 Abudefduf septemfasciatus 32 Amblyglyphidodon leucogaster 33 Amblyglyphidodon curacao
6 Chaetodon octofasciatus cf 7 Chaetodon rostratus 8 Chaetodontoplus mesoleucus 9 Chelmon rostratus Halocentridae 10 Myripristis murdjan Labridae 11 Chaerodon anchorago 12 Chelmon rostratus 13 Epibulus insidiator 14 Gomphosus varius 15 Halichoeres melanurus 16 Halichoeres ornatissimus
34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
17 18 19
Pterliotridae 47 Ptereleotris sp Scaridae
Labroides bicolor Labroides dimidiatus Thalassoma lunare
Amphiprion ocellaris Chromis ternatensis Chromis viridis Dascyllus reticulatus Dascyllus trimaculatus Hemiglyphidodon plagiometopon Hemiglyphidodon plagiometopon Neoglyphidodon melas Neopomacentrus filamentosus Pomacentrus alexanderae Pomacentrus brachialis Pomacentrus chrysurus Pomacentrus moluccensis
Lutjanidae
48 Scarus bleekeri
20 Lutjanus carponotatus 21 Lutjanus decussatus 22 Lutjanus fulviflamma 23 Lutjanus sp Nemipteridae 24 Scolopsis affinis 25 Scolopsis bilineata 26 Scolopsis lineatus Pempheeridae 27 Pempheris oualensis
49 Scarus dimidiatus 50 Scarus frenatus 51 Scarus ghoban Serranidae 52 Cephalopholis argus 53 Cephalopholis boenak 54 Plectropomus maculatus Siganidae 55 Siganus canaliculatus 56 Siganus doliatus 57 Siganus guttatus
56
Kelimpahan Ikan Karang Per Stasiun
Kelimpahan Ikan (ind/transect)
2000
.
1500 1000 500 0
Stasiun Pengamatan Apogon bandanensis Apogon quenguelineata Caesio cuning Chaetodon rostratus Chelmon rostratus Chaerodon anchorago Epibulus insidiator Halichoeres melanurus Labroides bicolor Lutjanus carponotatus Labroides dimidiatus Lutjanus sp Scolopsis bilineata Pempheris oualensis Pomacanthus sexstriatus Abudefduf septemfasciatus Amblyglyphidodon leucogaster Chromis ternatensis
Apogon compressus Apogon sp Chaetodon octofasciatus cf Chaetodontoplus mesoleucus Myripristis murdjan Chelmon rostratus Gomphosus varius Halichoeres ornatissimus Thalassoma lunare Lutjanus decussatus Lutjanus fulviflamma Scolopsis affinis Scolopsis lineatus Pomacanthus annularis Abudefduf bengalensis Amblyglyphidodon curacao Amphiprion ocellaris Chromis viridis
Gambar 11 Kelimpahan jenis jkan karang per stasiun
Kelimpahan Famili Ikan Karang Per Stasiun Kelimpahan Ikan
2000 1500 1000 500 0 St.1 St.2 St.3 St.4 St.5 St.6 St.7 St.8 Stasiun Pengamatan
Gambar 12 Kelimpahan famili ikan karang per stasiun
Siganidae Serranidae Scaridae Ptereleotridae Pomacentridae Pomacanthidae Pempheridae Nemipteridae Lutjanidae Labridae Halocentridae Chaetodontidae Caesionidae Apogonidae
57
4.4. 1. Kelimpahan ikan herbivora Total jumlah ikan herbivor yang ditemui selama pengamatan adalah 199 individu dr keseluruhan stasiun per transek. dengan jumlah spesies enam jenis dari famili pomacentridae, scaridae dan siganidae. Kelimpahan ikan herbivor terendah dan tertinggi terdapat di stasiun satu dan dua berkisar 3 hingga 52 individu (Tabel 10 dan Gambar 13). Pomacentrus filamentosus merupakan spesies ikan herbivora yang
berlimpah hampir di seluruh stasiun pengamatan, dari golongan famili
Pomacentridae (Gambar 14) diikuti dengan jenis Hemiglyphidodon plagiometopon dan
Scarus dimidiatus dari famili Scaridae (Tabel 9 Gambar 14). Siganus
canaliculatus merupakan spesies yang terendah ditemukan hanya pada stasiun delapan.
Tabel 9 Daftar famili dan spesies ikan herbivor yang ditemukan dengan metode visual sensus di seluruh stasiun No 1
Famili
Species
Pomacentridae
2
Scaridae
3
Siganidae
Hemiglyphidodon plagiometopon Pomacentrus chrysurus Pomacentrus moluccensis Scarus dimidiatus Scarus ghoban Siganus canaliculatus
Tabel 10 Kelimpahan spesies ikan herbivora individu/transek (350 m2 ) di setiap stasiun.
1 2 3 4 5 6
JENIS Hemiglyphidodon plagiometopon Pomacentrus chrysurus Pomacentrus moluccensis Scarus dimidiatus Scarus ghoban Siganus canaliculatus
Kawasan 1 Kawasan 2 St.1 St.2 St.3 St.4 St.5 St.6 St.7 St.8 14 4 4 5 12 12 3 13 33 19 33 14 25 2 3 2 1
58
Kelimpahan Individu/Trans
35 30
Hemiglyphidodon plagiometopon
25
Pomacentrus chrysurus
20 Pomacentrus moluccensis
15
Scarus dimidiatus
10 5
Scarus ghoban
0
Siganus canaliculatus Stasiun Pengamatan
Gambar 13 Kelimpahan jenis ikan herbivora per stasiun Kelimpahan Family Ikan Herbivora Kelimpahan Ind/Transek
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
St.1
St.2
St.3
St.4
St.5
St.6
St.7
St.8
Pomacentridae
3
27
4
4
45
19
45
19
Scaridae
0
25
0
0
0
4
0
3
Siganidae
0
0
0
0
0
0
0
1
Gambar 14 Kelimpahan famili ikan herbivora per stasiun 4.5. Hubungan Parameter Lingkungan dengan Ikan Karang Kontribusi pada variabel- variabael yaitu ikan karang dari famili Apogonidae, Caesionidae, Chaetodontidae, Labridae Lutjanidae, Nemipteridae, pempheridae, Pomacanthidae dan Serranidae adalah faktor- faktor yang memberikan sumbangan
59
terbesar pada sumbu utama pertama. Dengan korelasi sebesar 0,31; 0,26; 0,08; 0,28; 0,32; -0,10; -0,13; 0.19. Sedangkan ikan dari family
Halocentridae,
Pomacentridae, Ptereleotridae, Scaridae memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama kedua dengan korelasi sebesar 0,34; 033; 0,30; 0,32 dan 0,12. Sementara kondisi perairan Kecerahan, kedalaman, kecepatan arus, Salinitas, NO3 , PO4 , NO2 Memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama pertama dengan korelasi sebesar 0,20; 0,23; 0,21; 0,23; 0,31; 0,32 dan 0,32. Untuk variabel TSS, korelasi antara faktor ini memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama kedua dengan akar ciri 0,39. Kondisi ini dapat menerangkan gambaran dari data sumbu pertama hingga sumbu kedua hingga sebesar 58,79 . Komponen pertama sampai kedua berturutturut memiliki akar ciri 8,65 dan 6,04 yang masing- masing menjelaskan nilai keragaman gugus data sebesar 34,61% dan 24,18%. Vektor ciri dan variabel kondisi perairan dan persentasi tutupan substrat dasar dapat dilihat pada tabel nilai akar ciri (Eigen value) disajikan pada Lampiran 10. Berdasarkan Analisis tersebut dapat diketahui gambaran kondisi ikan karang dilokasi penelitian dan dapat dilihat korelasi antara kondisi ikan karang yang ada dengan kondisi perairannya pada seluruh stasiun penelitian yang digambarkan pada bidang faktorial F1-F2. Pada Stasiun 1,2,3,4,5 dan 7 didominasi oleh variabel dari kelompok family ikan karang phemperidae, Nemipteridae, Scaridae, dan Siganidae dengan didominasi dengan variabel lingkungan seperti Suhu, NH3 DO yang tinggi, sedangkan variabel lingkungan yang mendominasi adalah DO dan NH3 Sedangkan Stasiun 6 didominasi oleh famili ikan karang yaitu Caesionidae, Chaetodontidae, Labridae, Ptereleotridae, Halocentridae, dan Pomacenthridae dan lingkungan yang tinggi
variabel
yaitu TSS, kedalaman, salinitas, dan kecepatan arus.
Sementara pada stasiun 8. dicirikan dengan variabel kimia lingkungan seperti PO4, NO2 dan NO3, dan kelompok famili ikan karang yang tinggi yaitu Serranidae, Apogonidae, Lutjanidae, Pomachantidae
60
Variables (axes F1 and F2: 58,79 %)
1
TSS(mg/l) Ptereleotridae Halocentridae
0,75
Chaetodontidae Pomacentridae
0,5
Labridae 0,25
F2 (24,18 %)
Pempheridae 0
Kec. Arus (cm/det)
Suhu (°C) Nemipteridae
-0,25
Siganidae Scaridae NH3 (mg/l)
-0,5
-0,75
Kedalaman (m) Salinitas (‰) Caesionidae
Serranidae Apogonidae
Lutjanidae
NO3-N (mg/l) Kecerahanan NO2 (mg/l) (m) PO4-P (mg/l) Pomacanthidae
DO
-1 -1
-0,75
-0,5
-0,25
0
0,25
0,5
0,75
1
F1 (34,61 %)
Observations (axes F1 and F2: 58,79 %) 6
St 6
F2 (24,18 %)
4 2
St 5
St 7
St 4 St 1St 3 St2
0 -2 -4 -6
-4
-2
St 8 0
2
4
F1 (34,61 %)
Gambar 15 Biplot korelasi antara data variabel di seluruh stasiun
6
8
61
4.6. Kondisi Alga Komposisi makroalga dilokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata antar stasiun pengamatan 1,4,5 dan 8 yang menunjukan tutupan alga yang tinggi dibandingkan dengan stasiun 2,3,6 dan 7.
Kelompok makroalga merupakan
kelompok tutupan yang tertinggi terutama di stasiun 1 ( 16,65%), diukuti dengan stasiun 4 (15,78%) serta stasiun 5 dan 8 (10,99% dan 10,69%) dibandingkan dengan turf algae ditemukan hanya pada stasiun 4 dan 5 (1,24% dan 1,66%) sedangkan coralin coralin alga ditemukan pada stasiun 2, 4 dan 5 (2,38%, 3,82% dan 0,39%) (Tabel 11dan Gambar 16)
Tabel 11 Persentase tutupan Alga di tiap-tiap stasiun penelitian
Tipe Substrat Alga Coralin Alga Macro Alga Turf Alga
St.1 16,65 16,65 -
St.2 7,47 2,38 5,09 -
Persentase Penutupan (%) Kawasan I Kawasan II St.3 St.4 St.5 St.6 St.7 St .8 2,64 18,06 13,04 0,16 4,45 10,69 3,82 0,39 2,64 13,00 10,99 2,00 4,45 10,69 1,24 1,66 -
Persentase tutupan Alga tiap stasiun 20 15 10 5 0 1
2
3 Coralin Alga
4
5
Macro Alga
6
7
8
Turf Alga
Gambar 16 Kondisi persentase tutupan Algae di setiap stasiun pengamatan
62
4.7. Kondisi Lingkungan Perairan Suhu Kondisi rata-rata suhu dilokasi penelitian berkisar antara 29 °C – 31 °C dan tidak begitu berbeda pada setiap lokasi pengamatan nilai suhu tertinggi pada stasiun Teluk bakau (stasiun 3) berkisar 30,67 °C. Sedangkan stasiun terendah pada stasiun 1,4,7 dan 8 sebesar 29,67 °C.
30.667
Suhu C
31.000 30.000
30.000
30.000 29.667
29.667
29.667 29.667
29.667
29.000 1
2
3
4
5
6
7
8
Stasiun Pengamatan
Gambar 17 Nilai rata-rata suhu (°C) di setiap stasiun pengamatan Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi organisme dalam aktivitas metabolisme, perkembang biakan serta proses-proses fisiologi organisme karena suhu dapat mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologi perairan. Hasil pengukuran suhu menunjukan bahwa masih tergolong normal untuk kehidupan biota laut khususnya terumbu karang. Beberapa spesies karang dapat bertahan terhadap suhu 14 °C akan tetapi laju klasifikasi menjadi sangat menurun. Demikia n pula dengan suhu yang tinggi, metabolism meningkat sampai kecepatan tertentu hingga pertumbuhan kerangka menurun (Tomascik 1991), suhu optimum pertumbuhan karang adalah 25 °C – 30 °C (Randall 1983). Kecerahan Kondisi Kecerahan dilokasi penelitian berkisar antara 2.823 m – 4.167 m dan rata-rata kecerahan di stasiun 1 sampai dengan stasiun 4 sampai mencapai dasar perairan. Sedangkan stasiun 7 dan 8 memiliki tingkat kecerahan rata-rata 80 %. Cahaya diperlukan unt uk fotosintesis alga simbiotik (zooxanthellae) yang produknya kemudian disumbang ke hewan karang yang menjadi inangnya (Berwick 1983). Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan
63
kemudian mengurangi kemampuan karang unt uk membentuk kerangka (Nybakken 1989). Oleh karena itu distribusi vertikal terumbu karang dibatasi oleh kedalaman
Kecerahan (m)
efektif sinar matahari yang masuk ke kolom air (Barnes 1980).
5.000
3.000
3.750
3.167
2.833 2.8233.000
4.167 4.167
0 1
2
3
4
5
6
7
8
Stasiun pengamatan
Gambar 18 Nilai rata-rata kecerahan (m) di setiap stasiun pengamatan
Kedalaman Kondisi Kedalaman di tiap-tiap lokasi penelitian berkisar antara 3 m – 6 m dan kedalaman perairan tertinggi pada stasiun 7 (Pantai Songseng) dengan kedalaman 5,8 meter dan perairan terendah pada stasiun 4 (Masiran) yaitu mempunyai kedalaman hanya 2,8 meter. Kebanyakan terumbu karang dapat hidup
Kedalaman (m)
antara kedalaman 0 – 25 meter dari permukaan laut.
10.000 5.000
6.540 3.000
3.750 3.167
7.240
6.560
4.793 2.833
0 1
2
3
4
5
6
7
8
Stasiun pengamatan
Gambar 19 Nilai rata-rata kedalaman (m) di setiap stasiun pengamatan Kecepatan Arus Kondisi arus di lokasi penelitian berkisar antara 3,128 cm/dt – 29,480 cm/dt dengan kecepatan arus tertinggi di stasiun 4, 7 dan 8 sebesar sedangkan kecepatan arus terendah
29,480 cm/dt
adalah lokasi Karang Muara sebesar 3,128
64
cm/dt. Kondisi arus juga berbeda secara nyata untuk masing- masing lokasi
Kecepatan arus (cm/dt
pengamatan.
40.000
29.480
20.000 3.128
29.480
29.480
11.497 11.497
8.253
3.302
0 1
2
3
4
5
6
7
8
Stasiun pengamatan
Gambar 20 Nilai rata-rata kecepatan arus (cm/dt) di setiap stasiun pengamatan
TSS (Total Suspended Solid)/Padatan Tersuspensi Kondisi Padatan tersuspensi dilokasi penelitian berkisar antara 6 mg/l– 12 mg/l dengan padatan tersuspensi tertinggi di stasiun 6 (P. Sentot) sebesar 12 mg/l sedangkan padatan tersuspensi terendah pada stasiun 2 (Karang Penyerap) dan
TSS (mg/l)
stasiun 3 (Teluk Bakau)sebesar 6 mg/l.
15 10
7
6
1
2
6
7
10
12
9
7
5 0 3
4
5
6
7
8
Stasiun pengamatan
Gambar 21 Kondisi TSS (mg/l) di setiap stasiun pengamatan Kecerahan dan kekeruhan merupakan parameter yang saling berkaitan. Peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi akan meningkatkan kekeruhan perairan, sebaliknya akan mengurangi kecerahan perairan. Parameter-parameter tersebut marupakan indikasi tingkat produktivitas perairan sehubungan dengan proses respirasi biota perairan dan kualitas perairan. TSS ditiap-tiap stasiun penelitan di Kabupaten Bintan dikategorikan masih di bawah baku mutu air laut
65
yang diperbolehkan bagi kehidupan biota laut yaitu 20 mg/l (Kepmen LH. Nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut)
Salinitas (‰) Hasil pengukuran salinitas dilokasi pengamatan berkisar antara 30.00‰ sampai dengan 33.00‰. Dimana hampir tiap lokasi memikiki kriteria salinitas alami. Sedangkan salinitas yg relatif tinggi pada Kawasan 2 Pulau Mapur (stasiun 6,7 dan 8) yaitu sebesar 33‰. Nilai salinitas di lokasi penelitian masih dalam kategori normal untuk kehidupan biota laut, hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) bahwa nilai salinitas perairan laut berkisar antara 30‰ – 40‰ sedangkan menurut Nybakken (1988) dan Thamrin (2006) salinitas perairan dimana karang dapat hidup adalah pada kisaran 27-40‰ dengan kisaran optimum untuk
Salinitas (‰)
pertumbuhan karang adalah 34-36‰.
34 32
32 30 30
33 33 33 31
30
30 28 1
2
3
4
5
6
7
8
Stasiun pengamatan
Gambar 22 Kondisi salinitas (‰) di tiap-tiap stasiun penelitian
Ortofosfat (PO4 -P) Hasil pengamatan parameter ortofosfat rata-rata bernilai < 0,001 mg/l – hampir disetiap stasiun pengamatan dan berbeda pada stasiun 8 dengan memiliki nilai phosphat tertinggi yaitu 0,031 m g/l. Fosfat merupakan salah satu nutrisi yang dibutuhkan oleh mahluk hidup yang ada diperairan. Sumbangan fosfat terbesar berasal dari sedimentasi yang ada di dasar perairan. Oleh karena itu semakin dalam perairan, semakin besar kandungan fosfatnya. Apabila kadar fosfat dipermukaan lebih tinggi dibanding kolom air yang lebih dalam, bila diperairan tersebut banyak mendapatkan pengaruh dari darat berupa sumbangan ‘limbah penduduk’. Limbah
66
penduduk yang banyak menyumbang kadar fosfat diantaranya detergen. Secara umum kandungan phosfat di stasiun penelitian masih dikategorikan dibawah nilai baku mutu yang ditetapkan oleh Kepmen LH no.51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut bagi biota laut ya itu sebesar 0,015 mg/l. Kecuali stasiun 8 yang memiliki
Ortophosphate (mg/l)
kadar phosfat diatas ambang baku mutu air laut bagi biota laut.
0,031
0,04 0,03 0,02 0,01 0
0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01
1
2
3
4
5
6
7
8
Stasiun pengamatan
Gambar 23 Kondisi Ortophospate ( mg/l) di setiap stasiun pengamatan Nitrat (NO3 -N) Konsentrasi nitrogen dalam bentuk nitrat dilokasi penelitian berkisar antara <0,001 – 0,7 mg/l dan berbeda pada masing- masing lokasi penelitian. Lokasi Kepala Mapur memiliki nilai konsentrasi nitrat paling tinggi sebesar 0,7 mg/l dan lokasi Pulau Sentot dan Pantai Songseng memiliki konsentrasi nitrat paling rendah sebesar < 0,001 mg/l. Menurut Effendi (2003) kadar nitrat di perairan alami hampir tidak pernah melebihi 0,1 mg/l. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menandakan telah terjadi pencemaran anthropogenik dari aktifitas manusia. Kadar nitrat lebih dari 0,2 mg/l berpotensi untuk dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi dan selanjutnya
Nitrat (mg/l)
memicu pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat.
1 0,5
0,7 0,043 0,041 0,012 0,033 0,022 0
0
0 1
2
3
4
5
6
7
8
stasiun pengamatan
Gambar 24 Kondisi Nitrat ( mg/l) di setiap stasiun pengamatan
67
Nitrit (NO2 -N) Nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit diperairan alami dan biasanya tidak bertahan lama diperairan. Selain itu, nilai nitrit biasanya berbanding terbalik dengan nitrat. Nitrit merupakan peralihan antara ammonia dan nitrat. Konsentrasi nitrit di lokasi pengamatan bernilai 0,00 mg/l. Amonia (NH4 -N) Ammonia terbentuk dalam keadaan anaerob, dimana nitrat dan nitrit dibah menjadi ammonia yang akan bersenyawa dengan air menjadi ammonium. Senyawa ammonium sifatnya tidak beracun, sedangkan ammonia bersifat racun bagi organisme perairan (Effendi, 2003). Konsentrasi ammonia pada hampir semua lokasi penelitian bernilai 0 mg/l sedangkan pada stasiun 2 bernilai 0,001 mg/l. DO (Oksigen Terlarut) Hasil pengamatan DO mg/l ditiap-tiap stasiun berkisar antara 3,59 mg/l – 3,9 mg/l. Diperoleh nilai terendah yaitu dilokasi Pulau Sentot (stasiun 6) yaitu 3,59 mg/l sedangkan nilai DO tertinggi pada stasiun 1,2 dan 3 sebesar 3,9 mg/l. Nilai DO di tiap stasiun penelitian masih berada dibawah nilai baku mutu air laut untuk
DO mg/l
biota laut yang ditetapkan oleh KepMen LH no 51 tahun 2004 yaitu > 6 mg/l
4 3,8 3,6 3,4
3,9 3,9 3,9 3,64
1
2
3
4
3,64 3,763,76 3,59
5
6
7
8
Stasiun pengamatan
Gambar 25. Kondisi DO mg/l di tiap-tiap stasiun penelitian 4.8. Korelasi 4.8.1. Hubungan antara kelimpahan ikan Herbivora dan persentase tutupan alga Hubungan antara kelimpahan ikan ikan herbivora dengan persentase tutupan alga dengan menggunakan analisi korelasi didapat nilai korelasi hasil olahan adalah
68
r < 0 yaitu –0,33 (Lampiran 10), ini berarti bahwa hubungan antara kelimpahan ikan herbivora dan persentase tutupan alga berkorelasi negatif artinya kenaikan kelimpahan ikan herbivora akan menurunkan persentase tutupan alga. 4.8.2. Hubungan antara pesentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan ikan karang dari masing-masing transek (individu/transek) Hubungan antara persentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan ikan karang (individu/transek) dengan menggunakan Analisis korelasi didapat nilai korelasi hasil olahan adalah r > 0 yaitu 0,42 (Lampiran 10) ini berarti bahwa hubungan antara persentase tutupan karang hidup dan kelimpahan ikan karang mempunyai hubungan positif artinya kenaikan persentase tutupan karang hidup akan menaikan kelimpahan ikan karang.
4.8.3. Hubungan antara persentase tutupan karang mati dengan persentase kelimpahan alga Hubungan antara persentase tutupan karang mati
dengan persentase
kelimpahan alga dengan menggunakan Analisis korelasi didapat nilai korelasi hasil olahan adalah r > 0 yaitu 0,46 (Lampiran 10), ini berarti bahwa hubungan antara persentase tutupan karang mati dan kelimpahan alga mempunyai hubungan positif artinya kenaikan persentase tutupan karang mati akan menaikan kelimpahan tutupan alga.
4.8.4. Hubungan persentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan alga Hubungan antara persentase tutupan karang hidup dengan persentase kelimpahan alga dengan menggunakan analisis korelasi didapat nilai korelasi hasil olahan adalah r < 0 yaitu -0,65 (Lampiran 10), ini berarti bahwa hubungan antara persentase tutupan karang hidup dan kelimpahan alga mempunyai hubungan negatif artinya kenaikan persentase tutupan karang hidup akan menurunkan kelimpahan tutupan alga, begitu juga sebaliknya apabila penurunan persentase tutupan karang hidup akan menaikan kelimpahan tutupan alga.
69
5. PEMBAHASAN
5.1. Kondisi Penutupan Substrat Dasar Ekosistem Terumbu Karang. Ekosistem terumbu karang di dua kawasan penelitian berdasarkan penyusun substrat dasar di bagi menjadi dua komponen yaitu komponen biotik (karang hidup,
alga, biota lain) dan komponen abiotik (rubel, sand, silt dan
DCA). Dari hasil penelitian nilai rata-rata penutupan karang hidup di kawasan 1 adalah 52,56 sedangakan pada kawasan 2 adalah 72,52. Sedangkan rata-rata tutupan alga pada kawasan 1 yaitu 11, 57 sedangkan kawasan 25,71. Dari analisis PCA didapat hasil bahwa pada kawasan satu di stasiun satu sampai dengan stasiun lima memiliki karakterisistik kondisi substrat dasar dari kelompok persentase tutupan karang mati , tutupan alga dan kelompok abiotik yang lebih tinggi bila di bandingkan dengan kawasan dua. Keadaan ini berbeda nyata dimana tutupan karang mati di kawasan dua sangat kecil bila dibandingkan dengan kawasan satu. Persentase tutupan karang hidup di stasiun enam kawasan dua (99,84%) berbeda nyata bila dibandingkan dengan kawasan satu
di stasiun satu (34,69%) dan
stasiun lima (44,33%). Sedangkan untuk rata-rata tutupan alga pada kawasan 2 lebih kecil dibandingkan dengan kawasan 1. Dengan demikian terlihat adanya kecenderungan bahwa persentase tutupan karang yang lebih baik atau tinggi memiliki tutupan alga yang lebih kecil. Kondisi tutupan karang hidup yang lebih rendah di kawasan 1 dibandingkan dengan kawasan 2 disebabkan oleh faktor tekanan terhadap ekosistem terumbu karang yang berasal dari daratan ataupun dari wilayah pesisir, seperti misalnya aktifitas penangkapan, dan sedimentasi dari daratan, sehingga menyebabkan pertumbuhan karang bahkan merusak terumbu karang. Banyaknya lahan-lahan terbuka hasil dari penambangan pasir darat serta penebangan dan pembakaran hutan di kawasan Kecamatan Gunung Kijang merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap Run-off dari daratan melalui sungai (CRITC- LIPI 2007) Pengaruh sedimen terhadap komunitas karang secara garis besar terjadi melalui beberapa mekanisme. Pertama, partikel sedimen menutupi permukaan koloni/individu karang sehingga polip karang memerlukan energi yang lebih untuk menyingkirkan partikel-partikel tersebut. Kedua, sedimen menyebabkan
70
peningkatan kekeruhan dan dapat menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke dasar perairan sehingga dapat mengganggu kehidupan spesies-spesies karang yang kehidupannya sangat bergantung terhadap penetrasi cahaya (Salva t, 1987). Ketiga, selain mampu mengikat unsur hara, sedimen juga dapat mengadsorpsi bahan toksik dan penyakit yang dapat menyebabkan terganggunya kesehatan karang. Selanjutnya Hubbard (1997) menyebutkan bahwa sedimentasi juga dapat menghalang- halangi penempelan larva karang pada substrat dasar. Sebagaimana diketahui bahwa larva karang membutuhkan substrat yang keras untuk menempel, dengan adanya penutupan substrat oleh sedimen, larva tersebut tidak mendapatkan kestabilan dalam penempelan sehingga tahap perkembangan selanjutnya. Hubungan antara persentase tutupan karang hidup dengan persentase kelimpahan alga dengan menggunakan korelasi spearmen juga didapat nilai korelasi hasil olahan adalah r < 0 yaitu -0,65 ini berarti bahwa hubungan antara persentase tutupan karang hidup dan kelimpahan alga mempunyai hubungan negatif artinya kenaikan persentase tutupan karang hidup akan menurunkan kelimpahan tutupan alga, begitu juga sebaliknya apabila penurunan persentase tutupan karang hidup akan menaikan kelimpahan tutupan alga. Kondisi menurunnya persentase tutupan karang yang berarti akan meningkatkan persentase tutupan karang mati menjadi kan karang mati sebagai tempat tumbuhnya alga. Kecepatan pertumbuhan alga yang cepat dapat membuat alga menutupi karang (over growth). Karang yang kalah dalam kompetisi spasial tersebut mengalami kekurangan cahaya matahari sehingga terjadi penurunan metabolisme dan pertumbuhan. Kecepatan pertumbuhan alga yang dapat memberikan dampak negatif terhadap komunitas karang dianggap hanya muncul jika terjadi pengkayaan nutrien. Tetapi dilaporkan fakta baru bahwa jenis turf algae, Anotrichium tenue dan Corallophila huysmansii dapat tumbuh menutupi dan melukai jaringan karang porites (Jompa & Mc Cook 2003 a,b).
5.2. Penyebab Kerusakan Terumbu Karang di Kabupaten Bintan Persentase tutupan karang hidup yang diperoleh dari hasil penelitian di dua wilayah penelitian berkisar antara 34,69% hingga 62,89% pada Kawasan 1 Kecamatan Gunung Kijang dengan kategori sedang sampai baik, sedangkan
71
Kawasan 2 di Pulau Mapur menunjukan tutupan karang hidup berkisar antara 49,43% hingga 99,84% yaitu kategori sedang, baik dan baik sekali. Dibandingkan dengan hasil Monitoring terumbu karang Kabupaten Bintan Kecamatan Gunung Kijang dan P. Mapur yang dilakukan Coremap II- LIPI tahun 2008, yaitu 33,77% hingga 73,07% yaitu kategori sedang dan baik, sedangkan untuk P. Mapur berkisar 56,07% hingga 90,13% yaitu berkategori baik hingga sangat baik. Kondisi ini menunjukan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara tahun 2008 dan saat penelitian. Penelitian sebelumnya (tahun 2005) mengungkapkan kecenderungan penurunan produksi ikan tangkap di Pulau Mapur, akibat cara penangkapan ikan yang kurang ramah lingkungan pada era 1980-1990 an sehingga mematikan biota laut disekitarnya. Namun hasil kajian tahun 2007 menemukan kecenderungan sebaliknya.
yaitu
produksi
ikan
tangkap
di
Pulau
Mapur
mengalami
perkembangan baik dari jenis maupun jumlahnya. Perkembangan Sumberdaya laut ini kemungkinanberkaitan dengan menurunnya praktek penangkapanyang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bom dan racun, terutama dilakukan oleh nelayan pendatang yang kini semakin sulit masuk ke perairan Mapur (CRITC LIPI 2007). Hal ini dibuktikan dengan kondisi abiotik penyusun substrat dasar seperti patahan karang, pasir dan endapan lumpur sangat kecil persentasenya di kawasan dua
stasiun delapan yaitu sebesar 0,14%
kandungan endapan
lumpurnya sedangkan di stasiun enam tidak dijumpai. Kerusakan yang paling tinggi terjadi sebagian besar di lokasi penelitian di kawasan Kabupaten Bintan di Kecamatan Gunung Kijang dengan tingkat kerusakan yang bervariasi berkisar 65,31% hingga 37,11%. Sedangkan tingkat kerusakan yang tinggi juga terjadi di wilayah dua Kepala Mapur dengan tingkat kerusakan 51,57% hingga 0,16%. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat aktifitas manusia di daratan atau pun di perairan di kawasan satu bila dibandingkan dengan kewasan dua. Persentase patahan karang dan endapan lumpur di kawasan satu stasiun satu tertinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya yaitu sebesar 14,12% dan 11,43% sedangkan stasiun lainnya tidak lebih dari 6,00%. Hal ini membuktikan aktifitas penangkapan lebih tinggi di kawasan satiustasiun satu bila dibandingkan dengan kawasan lainnya, seperti misalnya
72
penggunaan alat tangkap bubu dan aktifitas penangkapan ikan oleh nelayan tradisional pada musim- musim tertentu. Menurut Dahuri et al. (1996) faktorfaktor penyebab kerusakan terumbu karang di Indonesia antara lain disebabkan oleh ; (1) penambangan batu karang untuk bahan bangunan, pembangunan jalan dan hiasan ( ornamen), (2) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan alat tangkap yang operasinya menyebabkan rusaknya terumbu karang, seperti muroami, (3) pencemaran perairan oleh berbagai limbah industri, pertanian, rumah-tangga baik berasal dari kegiatan di darat ( land base activities), maupun kegiatan di laut ( marine base activities), (4) pengendapan (sedimentasi) dan peningkatan kekeruhan air akibat erosi tanah di
daratan,
kegiatan penggalian di pantai dan penambangan disekitar terumbu karang, dan (5) eksploitasi berlebihan sumber daya perikanan karang. Kerusakan terumbu karang dari aktifitas manusia di perairan Kabupaten Bintan yaitu masih banyaknya praktek penggunaan alat tangkap seperti bubu yang digunakan oleh masyarakat terutama pada musim tertentu dalam dimana masyarakat tidak menangkap ikan ke wilayah yang lebih jauh, dikarenakan
angin kencang pada saat musim angin
Selatan berdasar kan tangkapan per unit usaha (CPUE) menunjukan produktifitas alat tangkap meningkat dari tahun ketahun di wilayah ini (CREEL Kabupaten Bintan CRITC-Coremap II 2009). Penggunaan alat tangkap lainnya, seperti penggunaan bubu, bagan tancap tidak hanya dimiliki oleh nelayan di kawasan ini tetapi juga oleh nelayan di luar wilayah. Bubu sebagai alat penangkap ikan mendapat respon yang kecil dari masyarakat sampai sekarang ini. Pengetahuan masyarakat tentang penggunaan bubu dan bagan tancap terhadap kerusakan terumbu karang mendapat respon yg kecil 5% dan 2% menyatakan dapat merusak berarti 95% dan 98% berpendapat tidak merusak karang (CRITC-LIPI 2007), meskipun penggunaan alat tersebut di lekatkan pada karang. Ketidaktahuan masyarakat bahwa alat-alat tersebut juga merusak terumbu karang dan perlu mendapat perhatian, paling tidak masyarakat diberi pengetahuan untuk mengurangi resiko alat tersebut terhadap kerusakan karang. Aktifitas manusia di daratan di wilayah ini yang disebabkan oleh aktifitas industri penambangan pasir yang telah beroperasi di daerah ini puluhan tahun terakhir dan semakin meningkat aktifitasnya sampai adanya peraturan nasional
73
yang melarang ekspor pasir darat yang berlaku awal tahun 2007 (CRITIC – LIPI 2007). Tingginya tingkat sedimentasi ini menyebabkan kerusakan terumbu karang, sedimentasi yang terjadi di Perairan terumbu karang akan memberikan pengaruh semakin menurunnya kemampuan karang untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Tomascik (1991), beberapa kegiatan manusia yang berhubungan erat dengan sedimentasi adalah semakin tingginya pemanfaatan hutan dan lahan pertanian, kegiatan pengerukan, pertambangan dan pembangunan konstruksi. Pengaruh sedimentasi yang terjadi pada terumbu karang telah disimpulkan oleh beberapa peneliti, terdiri atas: 1) menyebabkan kematian karang apabila menutupi atau meliputi seluruh permukaan karang dengan sedimen ; 2) mengurangi pertumbuhan karang secara langsung; 3) menghambat planula karang untuk melekatkan diri dan berkembang di substrat; 4) meningkatkan kemampuan adaptasi karang terhadap sedimen (Loya 1976).
5.3. Tutupan Karang Hidup, Kelimpahan Alga, Ikan herbivora dan Lingkungan Tingginya tutupan alga di beberapa stasiun penelitian menunjukan adanya hubungan kompetisi dalam pemakaian tempat antara karang dan makroalga. Dimana, terumbu karang dan makroalga merupakan kelompok mayoritas dalam pemakaian tempat (Benayahu & Loya, 1981). Terumbu karang dan makroalga berasosiasi dalam pemakaian tempat karena keduanya membutuhkan cahaya untuk tumbuh (Cronin & Hay, 1996).
Beberapa jenis makroalga (Crustose
Calcerous Alga) banyak memberikan kontribusi positif bagi pembuatan kerangka pada terumbu karang, namun demikian jika terjadi overgrowth maka akan timbul perubahan habitat, dimana terumbu karang akan digantikan dengan makroalga (Diaz-Pulido & Mc Cook, 2008). Sebagaimana di jelaskan ekosistem terumbu karang sangat sensitif terhadap pengaruh kegiatan manusia, pada umumnya ekosistem terumbu karang sudah mengalami tekana n seperti eutrofikasi (penyuburan), pengembangan pesisir, sedimentasi dan penangkapan berlebih sehingga kondisi terumbu karang banyak mengalami penurunan (Lesser 2003). Akibat dari tekanan tersebut dapat mengakibatkan pergantian fase komunitas
74
dimana makroalgae yang memiliki pertumbuhan lebih cepat daripada terumbu karang sendiri (, Jompa & Mc Cook 2002, Lardizabal, 2007,). Analisa Komponen Utama menunjukan Hasil analisa antara faktor kondisi lingkungan perairan dengan tutupan substrat dasar menunjukan bahwa substrat dasar karang hidup berkorelasi positif dengan hampir semua variabel parameter lingkungan seperti suhu, kecerahan, kedalaman, TSS, Salinitas NO3 , PO4 dan NO2 kecuali pada kecepatan arus dan Oksigen terlarut (DO) berkorelasi negatif. Sebaliknya Substrat dasar karang mati berkorelasi negatif dengan hampir semua variabel lingkungan perairan kecuali suhu dan NH3 . Alga berkorelasi positif dengan variabel lingkungan kecepatan arus, NO3 , PO4 dan NO2 . kecuali variabel lingkungan suhu, kecerahan, kedalaman, TSS, salinitas, NH3 dan DO. Sedangkan variabel biota lain berkorelasi positif dengan sebagian besar variabel lingkungan perairan seperti kecerahan, kedalaman, kecepatan arus, TSS, Salinitas NO3 , PO4 dan NO2, kecuali suhu, NH3 dan DO. Sedangkan variabel Abiotik berkorelasi berkorelasi positif dengan variabel kimia perairan seperti NH3 , PO4 , NO2 dan DO. Hal ini dapat diartikan bahwa tingginya persentase tutupan karang hidup dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan yang baik buat pertumbuhan karang itu sendiri seperti kecerahan, Kecerahan menggambarkan kemampuan cahaya menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Kecerahan sangat penting bagi perairan karena berpengaruh terhadap berlangsungannya produktivitas primer melalui fotosintesis, tingginya tingkat kecerahan akan mendukung proses pertumbuhan karang diperairan. Cahaya diperlukan untuk fotosintesis alga simbiotik (zooxanthella) yang produknya kemudian disumbang ke hewan karang yang menjadi inangnya (Berwick 1983). Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan kemudian mengurangi kemampuan karang unt uk membentuk kerangka (Nybakken 1989). Oleh karena itu distribusi vertikal terumbu karang dibatasi oleh kedalaman efektif sinar matahari yang masuk ke kolom air (Barnes 1980). Begitu juga dengan suhu yang merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi organisme dalam aktivitas metabolisme, perkembangbiakan serta proses-proses fisiologi organisme karena suhu dapat mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologi perairan. Beberapa spesies karang dapat bertahan terhadap suhu
75
14 °C akan tetapi laju klasifikasi menjadi sangat menurun. Demikian pula dengan suhu yang tinggi, metabolism meningkat sampai kecepatan tertentu hingga pertumb uhan kerangka menurun (Tomascik 1991), suhu optimum pertumbuhan karang adalah 25 °C – 30 °C (Randall 1983). Sedangkan alga yang berkorelasi positif dengan variabel kimia perairan seperti Nitrat, dan Posphat yang berarti keberadaan Nitrat dan Posfat di perairan akan menyebabkan meningkatnya pertumbuhan alga. Meskipun di kawasan 1 yang memiliki kandungan Nitrat dan Posfat yang dikategorikan masih di bawah nilai baku mutu
air laut untuk biota laut. Kondisi tutupan alga yang tinggi
disebabkan oleh kurangnya pengontrol pertumbuhan alga di kawasan ini. Salah satu pengontrol pertumbuhan alga adalah hadirnya ikan herbivora. Ikan- ikan herbivora merupakan pelaku utama dari herbivori, disamping bulu babi (Echinodea). Di Jamaica, ketika penangkapan ikan telah merusak populasi ikanikan herbivora, maka peran fungsional ikan herbivora diisi oleh Diadema Antillarum (Hughes et al. 2004). Keberadaan ikan herbivora di dalam ekosistem terumbu karang memegang peranan penting yaitu dalam mempertahankan komunitas karang dalam berkompetisi dengan makroalga. rendahnya tutupan karang akan memberikan kesempatan makroalgae menempati ruang yang kosong untuk tumbuh. Hal ini terjadi di beberapa stasiun pengamatan di perairan Kabupaten Bintan, dimana kecenderungan keberadaan ikan herbivora yang rendah memiliki tutupan alga yang tinggi dengan kondisi tutupan karang hidup yang rendah pula. Situasi ini dapat disebabkan oleh penangkapan ikan yang intensif yang dapat merubah struktur komunitas ikan pada terumbu karang. Secara alami hewan herbivora merupakan makanan dari karnivora (predator). Diperairan yang dekat dengan kampung nelayan, maka pengendali populasi ikan herbivora adalah manusia. Ikan- ikan herbivora yang berukuran besar telah lama menjadi target penangkapan. Penangkapan ikan yang untuk konsumsi biasanya mencari target ikan- ikan karnivora karena mempunyai harga yang lebih tinggi, misalnya kerapu dan kakap, ketika ikan karnivora mulai sulit ditangkap karena populasinya rendah, penangkapan ikan beralih target pada ikan-
76
ikan herbivora. Penangkapan ikan ke tingkat trofik yang lebih rendah ini merupakan indikasi adanya beban tangkapan yang berlebihan. Dapat dikatakan bahwa ikan herbivora sebagai herbivori merupakan faktor yang sangat penting dalam resiliensi terumbu karang. Ketika terjadi gangguan fisik yang menyebabkan kematian karang, maka herbivori merupakan sarana bagi komunitas karang untuk mengkoloni kembali ruang yang ditinggalkanya. Dari analisis korelasi dapat dilihat bahwa antara ikan herbivora dengan tutupan algae memiliki korelasi negatif yang artinya peningkatan satusatuan ikan herbivora maka akan terjadi penurunan alga, ini sesuai dengan penelitian yang bersifat korelasional oleh Williams and Polunin 2001, Idjadi et al. 2006, yang menggunakan sejumlah data survey antara kelimpahan herbivora dan tutupan karang batu, bahwa pada umumnya ditemukan kelimpahan herbivora berkorelasi negatif dengan tutupan makro alga. Analisa korelasi dari PCA memperlihatkan bahwa persentase tutupan karang yang tinggi cenderung memiliki tutupan alga yang rendah, Seperti diperlihatkan pada gambar 6, dimana stasiun pengamatan di Muara Kawal, Galang Batang, dan Kepala Mapur yang memiliki tutupan alga tinggi cenderung memiliki tutupan karang yang rendah, sebaliknya di stasiun pengamatan P. Sentot memiliki tutupan karang tinggi cenderung memiliki tutupan alga yang rendah. Hal ini sesuai dengan teori bahwa penurunan tutupan karang akan disertai dengan meningkatnya tutupan makroalga (Hay 1997, Lirman 2001, Mc Cook, Jompa & Diaz-Pullido 2001, Diaz-Pullido & Mc Cook 2008). Untuk kondisi kelimpahan ikan karang dan ikan herbivora di perairan Kabupaten Bintan bervariasi dari tiap-tiap stasiun pengamatan (Tabel 10 dan Gambar 13). di stasiun 1, 3 dan 4 ditemukan sangat sedikit kelimpahan ikan karang serta jenis ikan herbivora, sedangkan stasiun 6 (enam) P. Sentot memiliki kelimpahan ikan karang yang paling tinggi. Rendahnya kelimpahan ikan di sebabkan oleh tingginya aktifitas penangkapan ikan karang dan penggunaan alat tangkap bubu di musim musim tertentu dalam jumlah yang tinggi (CREEL Kabupaten Bintan; CRITC-Coremap II 2009) serta kecenderungan kerusakan terumbu karang sehingga rendahnya tutupan karang di wilayah ini. Dan analisis korelasi menunjukan adanya hubungan positif antara kelimpahan ikan karang dan
77
tutupan karang hidup. Semakin tinggi tutupan karang hidup makan kelimpahan ikan akan semakin tinggi pula. Begitu pula sebaliknya semakin rendah tutupan karang akan menyebabkan rendahnya kelimpahan ikan. Sesuai dengan pernyataan bahwa ikan karang sebagai penyokong hubungan yang ada dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken, 1988). Selanjutnya Hutomo, 1986 menyatakan bahwa keberadaan ikan- ikan karang sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan terumbu karang yang ditunjukan oleh persentase penutupan karang hidup. Kondisi perairan Kabupaten Bintan berdasarkan kualitas perairan di dua lokasi
pengamatan
secara
keseluruhan
menunjukan
hasil
yang
masih
dikategorikan sesuai untuk biota laut kecuali stasiun P. Sentot yang memiliki nilai kekeruhan yang tinggi yaitu sebesar 12 mg/l ini desebabkan oleh musim angin selatan (bulan Juni – Agustus) yang kencang dari arah laut cina selatan yang membawa partikel-tersuspensi sehingga air menjadi keruh. Kondisi padatan tersuspensi (TSS) ditiap-tiap stasiun penelitan di kabupaten Bintan dikategori kan masih dibawah baku mutu air laut yang diperbolehkan bagi kehidupan biota laut yaitu 20 mg/l (Kepmen LH. Nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut) 5.4. Pembelajaran dari Existing Ekosistem Terumbu karang Kabupaten Bintan seperti wilayah lain di Provinsi Kepulauan Riau, merupakan wilayah kepulauan yang kaya akan sumberdaya alam, termasuk terumbu karang dan ikan karang. Dari kondisi ekosistem terumbu karang di Kabupaten Bintan yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dikategorikan cukup baik dan masih merupakan sumberdaya laut yang cukup berpotensi untuk dikembangkan.
Nilai ekologis terumbu karang dapat dilihat dari fungsinya
sebagai ‘rumah ikan’ tempat tumbuh dan dan berkembang biaknya ikan- ikan karang. Eksplorasi Sumberdaya laut pada umumnya, disatu sisi memberikan sumbangan devisa bagi negara, terutama dengan kecenderungan semakin meningkatnya permintaan berbagai jenis ikan karang hidup dari negara- negara konsumen. Disisi lain dampak berdampak terhadap kerusakan ekologi. Dari hasil penilitan yang didapat bahwa nilai tutupan karang berkisar 34,69% hingga 99,84% dalam kategori sedang, baik dan baik sekali. Bagaimanapun kondisi ini harus terus dipertahankan dan dikelola dengan baik.
78
Dari angka monitoring terumbu karang di Kabupaten Bintan mencakup Kecamatan Gunung Bintan, dan Pulau Mapur tidak menunjukan angka pertumbuhan tutupan karang yang cukup signifikan dari tahun 2007 hingga 2008. Kondisi ini masih dianggap cukup baik bila dibandingkan dengan hasil penelitian P3O-LIPI ditahun 2005 bahwa tutupan karang di kawasan Kepala Mapur hanya sekitar 25%, yang kemudian baru mengalami perbaikan selama dua tahun terakhir. Hal ini berkaitan dengan program pemerintah untuk mengantisipasi semakin rusaknya ekosistem terumbu karang melalui program COREMAP (Coral Reef management and Planning Program) yang telah masuk dalam fase II., dan telah dilakukan kajian Benefit Monitoring Evaluation (BME) untuk kawasan Kabupaten Bintan, dan pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) sebagai fokus utama kegiatan program. Tetapi dengan demikian masih banyaknya kendala dalam program pengelolaan ini secara struktural. Pembentukan kelembagaan untuk persiapan pelaksanaan PBM dan penentuan daerah konservasi melalui RPSTK (Rencana Strategi Pengelolaan Terumbu Karang) yang melibatkan masyarakat setempat. Kelembagaan dilakukan dengan membentuk kepengurusan LPSTK dan POKMAS. Namun demikian baik proses pembentukan maupun pemilihan pengurusnya belum memenuhi sasaran COREMAP, karena cenderung bersifat formalitas untuk memenuhi target Kabupaten (CRITC-LIPI, 2007). Keterlibatan komponen COREMAP (Public awareness, CBM dan MCS serta CRITC). Berdasarkan laporan akhir COREMAP II di kabupaten Bintan (2006), pelaksanaan program yang melibatkan berbagai pihak seperti LSM dan Lembaga Swasta cenderung terbatas sebagai rekanan untuk memenuhi target/program COREMAP. Sedangkan keterlibatan antar stake holder secara substantial untuk pelaksanaan manajemen COREMAP, berbasis masyarakat, belum nampak baik dalam perencanaan, pengambilan keputusan maupun pengawasannya. Hal ini juga menjadi hambatan dalam peningkatan koordinasi lintas stakeholder untuk pengelolaan COREMAP berbasis masyarakat. Masalah pengeloaan terumbu karang yang dijumpai adalah kurangnya koordinasi antara pemerintahan Provinsi sebagai RCU (Regional Coordinating Unit) dan PIU (Project Implementation Unit) di Kabupaten/Kota. Dari informasi
79
MCS Kabupaten Bintan menyatakan bahwa program pelaksanaan terkesan untuk kepentingan instansi sendiri-sendiri, baik dalam pelaksanaan pengawasan ataupun program-program dalam peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya trumbu karang sebagai sumberdaya laut baik dari nilai ekonomis ataupun ekologis. Belum adanya aturan hukum yang mengatur tentang penggunaan alat tangkap yang diperbolehkan dalam jumlah dan batas maksimum penangkapan terutama dalam musim dan wilayah tertentu yang dibuat dalam suatu surat keputusan di dalam Peraturan Daerah.
5.5. Alternatif Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Dari hasil penelitian dan analisa data hubungan parameter yang diukur yaitu penyusun substrat dasar, Ikan karang termasuk di dalamnya ikan herbivora serta parameter lingkungan menjadi sangat penting untuk diketahui mengingat adanya beberapa kecenderungan hubungan yang sangat kuat antara satu sama lain. Dari analisa PCA dikatakan adanya karakteristik pengelompokan variabel dari diantara kawasan 1 dan kawasan 2. Kawasan satu memiliki karakteristik rata-rata kondisi tutupan karang hidup yang rendah dan tutupan alga yang tinggi serta kelimpahan ikan karang dan jenis ikan herbivora yang rendah dibandingkan dengan kawasan dua yang lebih tinggi tutupan karang hidupnya dan tutupan alga yang relatif lebih rendah serta memiliki kondisi ikan karang yang tinggi meskipun hasil dari uji F tidak menunjukan adanya perbedaan yang signifikan diantara dua kawasan. Tetapi hal ini perlu mendapatkan perhatian yang serius mengingat, sumberdaya laut merupakan masih sumberdaya andalan bagi masyarakat pesisir khususnya Kabupaten Bintan. Tingginya persentase tutupan karang mati dan rendahnya tutupan karang hidup di kawasan 1 yaitu wilayah pesisir Kabupaten Bintan, banyak disebabkan oleh faktor aktifitas manusia baik didaratan ataupun wilayah pesisir, seperti penangkapan lebih dan penggunaan alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang. Selain itu juga faktor sedimentasi juga merupakan hal yang penting di lakukan upaya pencegahannya. Seperti melakukan rehabilitasi lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas penambangan dan penebangan hutan di wilayah daratan.
80
Adanya peraturan pemanfaatan hutan mangrove yang berfungsi sebagai sediment trap perlu diberlakukan demi menjaga fungsi ekologisnya. Dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang, disamping penerapan peraturan perundang-undangan, perlu pula disertai upaya peningkatan kesadaran masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam terumbu karang dan segala yang terkandung didalamnya, sehingga kelestarian ekosistem ini tetap terjaga. Tanpa informasi tentang kondisi ekosistem terumbu karang, rencana pengelolaan tidak akan tercapai sesuai dengan tujuan suatu pengelolaan. Pengelolaan pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia, agar pemanfaatan sumberdaya alam dalam hal ini ekosistem terumbu karang dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaedah kelestaria n lingkungan (Supriharyono, 2007). Apabila dilihat permasalahan diatas seperti: penggunaan alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang pada musim- musim tertentu seperti bubu dalam jumlah yang meningkat setiap tahunnya ; Sedimentasi akibat aktifitas di daratan; penangkapan lebih bagi ikan- ikan karang di wilayah sekitar
pemukiman nelayan, pada musim- musim tertentu dan jumlah nelayan
yang semakin meningkat dari waktu ke waktu yang dapat berakibat over fishing, dan secara tidak langsung mempengaruhi kondisi ekosistem terumbu karang. Karena kita ketahui bahwa terumbu karang membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat pulih dari kondisi tekanan yang disebabkan oleh berbagai aktifitas yang cenderung bersifat destruktif
dan tekanan-tekanan terhadap
ekosistem karang akan mempengaruhi pertumbuhan karang. Untuk itu diperlukan suatu bentuk pengelolaan yang memperhatikan kelestarian agar ekosistem terumbu karang yang ada dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Adapun alternatif pengelolaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Mempertahankan kondisi terumbu karang dengan membatasi aktifitas penangkapan yang bersifat merusak terumbu karang yaitu membatasi jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan seperti bubu yang semakin meningkat penggunaannya di setiap tahun. dengan melihat trend CPUE (Catch Per Unit Effort). 2. Menjadikan wilayah atau kawasan dengan kondisi terumbu karang yang masih berkategori baik sekali (99,84%) sebagai daerah perlindungan laut yang
81
berbasis ma syarakat yang berfungs sebagai plasma nutfah (zona inti) dapat dilakukan agar pelestarian ekosistem terumbu karang dapat terjaga dengan baik. 3. Mengelola terumbu karang dengan memperhatikan kondisi substrat dasar penyusun terumbu karang dan ikan karang dala m hal ini, kelimpahan ikan herbivora mempengaruhi tutupan algae dan tutupan karang hidup. Peran herbivora di dalam resiliensi terumbu karang sangat besar sehingga pengelolaan terumbu karang seharusnya juga mena ngani herbivori secara khusus. Pengelolaan yang dapat dilakukan terhadap sumberdaya ikan herbivora yang berfungsi sebagai pengendali pertumbuhan alga lewat atas ke bawah (top down-control) yang mampu menjaga kondisi karang terutama planula untuk tumbuh bebas dari ancaman makroalga yang memiliki kemamp uan tumbuh lebih cepat. Aktifitas yang dapat dilakukan adalah dengan membatasi penangkapan ikan herbivora, mengatur frekuensi penangkapan ikan karnivora (seperti kerapu dan kakap merah) dengan menggunakan bubu seperti misalnya 1 minggu hanya diperbolehkan 2 kali penanaman bubu. Selanjutnya restocking ikan-ikan herbivora. Ikan herbivora secara khusus harus mendapat prioritas perlindungan di dalam pengelolaan terumbu karang. Perlindungan hewan herbivora penting dapat dilakukan melalui perlindungan habitat atau perlindungan jenis melalui pelarangan penangkapan dan perdagangan sumberdaya ikan karang tertentu. Aktifitas manusia di daratan yang lain dapat mempengaruhi ekosistem terumbu karang, seperti misalnya sedimentasi dan pembuangan limbah rumah tangga yang me ngakibatkan berubahnya struktur komunitas terumbu karang sehingga kualitas lingkungan perairan seperti nutrien dan sedimentasi berperan dalam mempercepat pertumbuhan alga lewat bawah keatas (bottom-up). Akitifitas yg dapat dilakukan adalah melakukan tata guna lahan, dimana pengembangan industri , pertambangan, pembangunan di wilayah pesisir perlu diatur. Penanaman mangrove dan pengelolaan pembuangan sampah di sepanjang daerah aliran sungai sangat penting dilakukan, sehingga ekosistem pesisir dapat terjaga. 4. Keberlanjutan ekosistem terumbu karang yang lestari dengan penegakan hukum dan pengawasan yang optimal dapat dilakukan dengan membuat aturan
82
perundang-undangan daerah yang belum ditetapkan di daerah sebagai bentuk aksi perlindungan terhadap pemanfaatan terumbu karang sebagai sumberdaya laut tidak hanya dipandang sebagai nilai ekonomis tapi juga bernilai ekologis.
83
6. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Kondisi terumbu karang di kawasan 1 yang dekat dari pemukiman nelayan dan wilayah daratan yaitu lokasi Kecamatan Gunung Kijang memiliki tutupan karang yang relatif rendah di bandingkan dengan kawasan 2. Keadaan ini disebabkan oleh faktor tingginya aktifitas manusia di daratan dan di perairan pesisir Kecamatan Gunung Kijang bila dibandingkan dengan kawasan 2 di Pulau Mapur. Tidak adanya perbedaan yang signifikan diantara parameter yang diukur pada kawasan 1 dan kawasan 2. Tetapi adanya kecenderungan hubungan antara penyusun subtrat dasar bahwa tutupan karang yang tinggi, kondisi tutupan alga lebih rendah dan kelimpahan ikan karang juga semakin tinggi..demikian sebaliknya. Secara umum kondisi tutupan karang, komponen biotik dan abiotik masih dalam kondisi yang cukup baik. Hal ini dapat diihat dari kondisi tutupan karang hidup dengan kategori baik dan baik sekali di beberapa wilayah perairan kabupaten Bintan. Hubungan diantara komponen Alga dan ikan herbivora menunjukan hubungan yang negatif dengan arti bahwa peningkatan jumlah ikan herbivora di suatu kawasan yang terinvasi oleh alga akan menurunkan jumlah tutupan algae. Untuk itu pengelolaan dititik beratkan pada sumberdaya herbivora dan aktifitas manusia di daratan sehingga dapat mengakibatkan buruknya kualitas perairan dan menyebabkan kerusakan pada terumbu karang dan memicu pertumbuhan alga dengan sangat cepat. Pemanfaatan ikan herbivora sebagai pengendali kelimpahan makroalga harus dikelola secara khusus agar terjadi keseimbangan ekosistem. Parameter lingkungan pada lokasi penelitian termasuk dalan kategori baik baik pertumbuhan organisma hidup di ekosistem terumbu karang. Berdasarkan hasil penelitian ini, isu utama pengelolaan di wilayah pesisir perairan Kabupaten Bintan adalah faktor implementasi, koordinasi dan pengawasan terhadap pe ngelolaan terumbu karang yang masih lemah (CRITCLIPI, 2007) .
84
6.2. Saran Setelah dilakukan penelitian ini terdapat beberapa ide yang disarankan untuk dilakukan, yaitu: 1. Perlu adanya kajian untuk mengetahui mengenai peran ikan karang herbivora sebagai pengendali pertumbuhan makroalga dilakukan dengan cara eksperimen dan
menambahkan
variabel
biomasa
ikan
karang
herbivor
didalam
penelitiannya. 2. Perlu adanya Kajian feeding habit atau preferensi ikan herbivora terhadap jenis makro algae tertentu di perairan Kabupaten Bintan. 3. Restocking ikan- ikan herbivora dan mengatur
frekuensi penangkapan ikan
karnivora yang menggunakan alat tangkap seperti bubu perlu dilakukan sebagai usaha perlindungan ekosistem di terumbu karang.
85
DAFTAR PUSTAKA
Adrim M. 1993. Pengantar Studi Ekologi Komunitas Ikan Karang dan Metode Pengkajiannya dalam Kursus Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang. P3O-LIPI. Jakarta. 78 hal. Purwoto A. 2007. Panduan Laboratorium Statistik Inferensial. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. 160 hal. Allen GR, Steine and Roger C. 1996. Reef Fishes of the Indian Ocean. Barnes DR. 1980. Invertebrate Zoology (fourth edition). Holt Saunders International Editions, Tokyo.1089 p. Beatley T, Brower DJ and Schwab AK. 1994. An Introduction to coastal zones management. Island Press. Washington D.C. Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contih dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya pesisir. PKSPL-IPB Bengen DG. 2002. Menuju Pengelolaan Pesisir Terpadu Berbasis DAS. Seminar HUT LIPI, Jakarta, 25-26 September 2002. Berwick NL. 1983. Guidelines for The Analysis of Biophysical Impact to Tropical Coastal Marine Resources. The Bombay Natural History Society Seminar Concervation in Developing Countries-Problem and Prospects. Bombay. 122 p.. Brown BE. 1997. Integrated Coastal Management: South Asia. Departement of Marine Science and Coastal Management, University of Newcastle, Newcastle Upon Tyne, United Kingdom. Choat JH and Bellwood DR. 1991. Reef fishes: Their history and evolution, dalam Sale P.F. (eds). The ecology of fishes on coral reefs. Academic Press, Inc. pp.36-66 Clark JR. 1996. Coastal Zone Management hand book. Lewis Publisher, New York. USA. CRITIC, LIPI. 2007. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di lokasi Coremap II, desa Mapur Kabupaten Bintan hasil BME 2007. 98 hal. CRITIC, LIPI. 2007. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di lokasi Coremap II, Kecamatan gunung Kijang hasil BME 2007. 125 hal.
86
CRITIC, COREMAP II. 2009. Pemantauan Perikanan Berbasis masyarakat (Creel) di Kabupaten Bintan 2008. 31 hal. Cronin G and Hay ME. 1996. Effects of light and nutrien availability on the growth, secondary chemistry, and resistance to herbivory of two born seaweeds. OIKOS 77: 93 – 106. Dahuri R, Rais J, Ginting SP dan Sitepu HJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara terpadu. P.T. Pradyna Paramitha, Jakarta. Indonesia. Dartnal AJ and Jones M. 1986. A Manual survey Method for Living resources in coastal area. ASEAN. Australia Cooperative Program in Marine' Science, Australian Institute of Marine Science. Ditlev H. 1980. A Field-Guide to The Reef Building Corals of The Indo Pacific. Dt. Bakhuys Publisher, Rotterdam. 291 p. Diaz-Pulido G and McCook L. July 2008. Makroalgae (seaweeds) in China, (ed) The State of the Great Barrier Reef On-Line. Great Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville. Viewed on (April 2009). http://www.gbrmpa.gov.au/corp_site/info_services/publications/sotr/dow nloads/SORR_Makroalgae.pdf. 47 hal Edinger E and Browne R. 2000. Continental Seas of western Indonesia. Dalam Sheppard, C. (editor): Seas at the Millenium, an Environmental Evaluation. Volume II. Regional Chapter: The Indian Ocean to Pacific. Elsevier Science Ltd., Amsterdam. Pp.:381-404 Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan, Kanisius, Yogyakarta, 57-59 English SC and Wilkinson V. Baker. 1997. Survey Manual for tropical Marine Resources 2nd edition. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources, Australian Institut of Marine Science. Gomez ED And HT. Yap. 1988. Monitoring Reef Condition In Kenchington R.A. and B.E.T. Hudson (eds) Coral Reef Management Handbook. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta. Goreau TF, Goreau NI and Goreau TJ. 1982. Corals and Coral Reefs. Life in The Sea. W.H. Freeman and Company, San Francisco. PP.130 – 140. Hay ME. 1997. The ecology and evolution of seaweed-herbivore interactions on coral reefs. Coral Reefs 16, Suppl.: S67 – S76.
87
Hallacher LE. 2003. The Ecology of Coral Reef Fishes. University of Hawaii at Hilo. Hubbard DK. 1997. Reef as Dynamic System. Edited by Charles Brikeland. Life and Death of Coral Reef. Champman and Hall. USA. p.43 – 67. Hughes TP, Bellwood DR, Folk C, Nystroem M. 2004. Confronting The Coral Reef Crisis. Nature 429: 827-833. Hughes TP, Szmant AM, Steneck R, Carpenter R, Miller S. 1999. Algal Blooms on Coral Reef: What are the Causes? Journal Limnology Oceanography 44 (6), 1999: 1583 – 1586. Hutomo M. 1986. Mrethods of sampling Coral Reef Fish. Training Course in Coral reef Research Method and mManagement, SEAMEO-BIOTROP, No. 2. Bogor Hal. 37 – 53. Pengantar Study Ekologi Komunitas Ikan Karang dan Metode Pengkajiannya dalam Materi Khusus Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang. P3O LIPI Jakarta. Idjadi JA, Lee SC, Bruno JF, Precht WF, Allen-Requa L and Edmunds PJ. 2006. Rapid phase-shift reversal on a Jamaican coral reef. Coral Reefs 25:209– 211 Jompa J and McCook LJ. 2002. The effects of nutrient and herbivory on competition between a hard coral (Porites Cylindrica) and a brown alga (Lobophora variegata). Limnol. Oceanogr., 47(2), 2002, 527-534. Jompa J and McCook LJ. 2003. Contrasting effects of turf algae on corals: massive Porites spp. are unaffected by mixed-species turfs, but killed by the red alga Anotrichium tenue. Mar Ecol Prog Ser 258: 79–86. Jompa J and McCook LJ. 2003. Coral–algal competition: macroalgae with different properties have different effects on corals. Mar Ecol Prog Ser 258: 87–95 Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. Harper & Row Publishers. New York. Kuiter RH. 1992. Tropical Reef Fishes of Western Pacific,: Indonesia and Adjacent Waters. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 314 hal Kinsman DJJ. 1964.”Reef coral tolerance of high temperatures and salinities”. Nature 202:1280-1282. Labbrose P, Kulbicki M, and Ferraris J. 2002. Underwater Visual Fish Cencus Survey: Proper use and implementation. ISBN 982-203-878-X Secretariat of the Pacific Community: p: 54.
88
Ladrizabal S. 2007. Beyond The Refugiu: A Makroalgal Primer. Reefkeeping Magazine. Vol. 5. Issues 12. http://www.reefkeeping.com. Levinton JS. 1982. Marine Ecology. Prentice Hall Inc. Englewood Clifts. New Jersey. Littler MM, Littler DS and Brooks DS. 2006. Harmful alge on tropical coral reefs:Bottom-p eutrophication and top-down herbivory. Harmful Algae 5: 565 – 585 Lirman D. 2001. Competition between macroalgae and corals: effects of herbovore exclus and increased algal biomass on coral suvivorship and growth. Coral reefs 19: 392 -399 Loya Y. 1976. Recolonization of Red Sea Corals Affected By Natural Catastrophes and Man Made Pertubation. Ecology 57: 278 – 287. McCook LJ. 2001. Competition between corals and algal turfs along gradient of terestrial influence in the nearshore central Great Barrier Reef. Coral Reefs 19: 419 – 425. Morrisey J. 1985. Primary Productivity of Coral Reef Benthic Makroalgae. Proceeding of the Fifth International Coral Reef Congress, Tahiti. Vol. 5. Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh : M. Eidman, D. G. Bengen, Malikusworo,dan Sukristiono. Marine Biology and Ecologocal Approacch. PT. Gramedia, Jakarta. 480 hal. Nybakken JW. 1988. Biologi Laut: Suatu Pengantar Ekologis (terjemahan oleh Muhammada Eidman, Koesbiono, Dietrich, G B., Malikusworo Hutomo dan Sukristijono). PT. Gramedia. Jakarta Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology, Third Edition. W.B. Sanders Co. Philadelphia. 574 p. Pastorok RA and GR Bilyard. 1985. Effect of Seawage Pollution on Coral Reef Communities. Marine Ecology Progress Series 21: 175 – 189. Randdall RH. 1983. Guide to The Coastal Resource of Guam. Vol. II The Corals. University of Guam. Rogers CS, Garrison G, Grober R, Hillis ZM and Franke MA. 1994. Coral Reef Monitoring Manual for the Caribbean and Western Atlantic. Virgin Islands National Park. St. John. USVI 00830.
89
Sale PF. 1991. The Ecology of Fishes on Coral Reefs. Academic Press, INC. San Diego, California. Salvat B. 1987. Human Impacts On Coral Reef: Facts And Recomendation. Impacts Des Activities Humaines Sur Les Recifs Coralliens: Connaissances Et Recomendatuions. Antene de Tahiti Museum E.P.H. E. B.P. 1013. Papetoai, Moorea, Polynese Francaise. Suharsono. 1984. Pertumbuhan Karang. Oseana IX (2):41 – 48. LON LIPI, Jakarta Suharsono. 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Ed.rev., cetakan ke-2. Penerbit Djambatan. Jakarta.118 hal. Sukarno, Hutomo M, Moosa MK dan Darsono P. 1983. Terumbu Karang di Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 34-45. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Supriharyono. 2007. Pengelolaan Djambatan, Jakarta. 108 hal.
Ekosistem
terumbu
Karang.
Penerbit
Sutarto dan Zarochman. 1997. Inventarisasi Biota pada Terumbu Karang Buatan (Studi Kasus Pengamatan di Jepara, Bali dan Lampung) dalam Prosiding Seminar Nasional Wilayah Pantai FPIK-Undip, Semarang p: 223-232. Sya’rani L. 1982. Karang Diterminasi: Genus. Unviersitas Diponegoro, Semarang. 84p. Tomascik T. 1991. Coral Reef Ecosistem. Environmental Management Guidelines. Kantor Menteri Negara KLH. 166 Hal. Tomascik T and Sander F. 1985. Effect of Eutrophication on Reef Building Corals. Growth Rate of The Reef Building Coral Montastrea anularis. Marine Biology 87: 13 -155. Vaughan TW. 1919. “Coral and the formation of coral reefs”. A.Rep. Smithson Instn.,17: 189-238 Well JW. 1932. ”Corals of the Trinity group oof the comanchean of central Texas”. Jurnal Paleontology, v.6., pp:225-256, pl;30-39. Williams ID and Polumin NVC. 2001. Large-scale associations between macroalgal cover and grazer biomass on middepth reefs in the Caribbean. Coral Reef 19:358-366.
LAMPIRAN
91
Lampiran 1. Tabel Persentase penutupan karang hidup dan biota penyusun substrat dasar lainnya (%) pada lokasi penelitian yang berbeda
Tipe Substrat Karang Hidup Acropora ACB ACS ACD ACT
St.1 34,69 0,11 0,11 0,11
Persentase Penutupan (%) Kawasan I Kawasan II St.2 St.3 St.4 St.5 St.6 St.7 St .8 59,36 61,55 62,89 44,33 99,84 68,30 49,43 29,73 32,53 28,75 7,26 33,24 28,22 26,99 29,73 32,53 28,75 7,26 33,24 28,22 26,99 8,082 2,72 5,05 19,87 14,27 1,67
21,65
5,81 24,00
4,28 19,42
0,26 6,99
13,37
13,95
7,55 17,77
Karang Mati DC DCA Alga Coralin Alga Macro Alga Turf Alga Biota Lain Soft Coral Sponge Other Abiotik Rubble Sand Silt
St.1 St.2 St.3 St.4 St.5 St.6 St.7 St .8 34,58 29,63 29,02 34,14 37,07 66,59 40,08 22,44 6,99 2,37 0,90 9,06 3,93 1,26 13,48 7,59 8,73 25,22 10,29 6,17 9,47 7,19 9,08 6,37 9,02 1,77 10,90 5,83 13,31 9,59 19,93 5,62 10,73 10,46 8,45 2,66 6,79 0,73 1,61 43,08 0,79 0,47 0,52 0,41 0,14 0,74 0,76 1,17 St.1 St.2 St.3 St.4 St.5 St.6 St.7 St .8 21,85 31,91 34,84 17,38 35,92 0,00 7,77 36,99 0,06 21,85 31,91 34,84 17,38 35,92 7,77 36,94 16,65 7,47 2,64 18,06 13,04 0,16 10,69 4,45 2,38 3,82 0,39 16,65 5,09 2,64 13,00 10,99 0,16 10,69 4,45 1,24 1,66 1,26 0,16 0,50 0,26 3,32 0,00 7,57 8,98 1,26 0,16 0,50 0,26 2,90 7,57 8,98 0,37 0,05 25,55 1,10 0,48 1,40 3,39 0,00 5,67 0,14 14,12 1,40 0,71 5,67 1,10 0,48 11,43 2,68 0,14
? Genus
100,00 16
Non-Acropora CB CE CF CM CS CMR CME CHL
100,00 18
100,00 14
100,00 19
100,00 20
100,00 14
100,00 5
100,00 8
95
Lampiran 3: Kelimpahan jenis ikan karang tiap-tiap stasiun JENIS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Apogon bandanensis Apogon compressus Apogon quenguelineata Apogon sp Caesio cuning Chaetodon octofasciatus cf Chaetodon rostratus Chaetodontoplus mesoleucus Chelmon rostratus Myripristis murdjan Chaerodon anchorago Chelmon rostratus Epibulus insidiator Gomphosus varius Halichoeres melanurus Halichoeres ornatissimus Labroides bicolor Labroides dimidiatus Thalassoma lunare Lutjanus carponotatus Lutjanus decussatus Lutjanus fulviflamma Lutjanus sp Scolopsis affinis Scolopsis bilineata Scolopsis lineatus Pempheris oualensis Pomacanthus annularis Pomacanthus sexstriatus Abudefduf bengalensis Abudefduf septemfasciatus Amblyglyphidodon curacao Amblyglyphidodon leucogaster Amphiprion ocellaris Chromis ternatensis Chromis viridis Dascyllus reticulatus Dascyllus trimaculatus Hemiglyphidodon plagiometopon Hemiglyphidodon plagiometopon Neoglyphidodon melas Neopomacentrus filamentosus
St.1
Kawasan 1 St.2 St.3 St.4
St.5
7 5 9 1
3 2 6
2
2
2
35
7
1
1 11
5
20 2 2
8
2 4
2
5 5
1
1
4 3 7
2
Kawasan 2 St.6 St.7 St.8 600 200 14 17 300 92 100 31 21 20 2 10 2 2 3 1 13 3 3 4 3 3 1 7 2 2
2
10 2
2 4 5 5
4 50 11
11 1
1
1
5
7
3 2 25
250
3 2 17
250 3
8
45
45
27
100 2
2
14
4
670 110 1
18 100
5 10
33 85 50 25 8 5
100 650 13
4
14 150
100 650 13
27
500
13 50
18 100
96 Lampiran 3 lanjutan: kelimpahan jenis ikan karang tiap stasiun JENIS 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57
Pomacentrus alexanderae Pomacentrus brachialis Pomacentrus chrysurus Pomacentrus moluccensis Ptereleotris sp Scarus bleekeri Scarus dimidiatus Scarus frenatus Scarus ghoban Cephalopholis argus Cephalopholis boenak Plectropomus maculatus Siganus canaliculatus Siganus doliatus Siganus guttatus Total fishes
Total Taxa Total Fishes (individu) Total Area Transect (m2 ) Kelimpahan (ind/m2 ) S Family
St.1
3
Kawasan 1 St.2 St.3 St.4 6 26 26 13
St.5 27
Kawasan 2 St.6 St.7 St.8 80 27
12 33
12 33
2 25
2
2
2 3
2
19 320
14 4
2 3 2 1 1
3
4 3 1
2
5 1 59
121
292
619
1275
1523
1623
1277
St.1 St.2 St.3 St.4 St.5 St.6 St.7 St.8 13 15 13 13 19 32 19 30 59 121 292 619 1275 1523 1623 1277 350 350 350 350 350 350 350 350 0,2 0,3 0,8 1,8 3,6 4,4 4,6 3,6 7 6 6 5 5 11 11 5
97 Lampiran 3 lanjutan. Kelimpahan Spesies ikan karang tiap-tiap stasiun
No
SPECIES
ZONE I ST- ST3 4 ST-5 ST-6 ST-7
FAMILLY ST-1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
TARGET GROUP Caesio cuning Lutjanus carponotatus Lutjanus decussatus Lutjanus fulviflamma Lutjanus sp Scolopsis affinis Scolopsis bilineata Scolopsis lineatus Scarus bleekeri Scarus dimidiatus Scarus frenatus Scarus ghoban Cephalopholis argus Cephalopholis boenak Plectropomus maculatus Siganus canaliculatus Siganus doliatus Siganus guttatus
Caesionidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Nemipteridae Nemipteridae Nemipteridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Serranidae Serranidae Serranidae Siganidae Siganidae Siganidae
19
INDICATOR GROUP Chaetodon octofasciatus cf
Chaetodontidae
ST-2
1
92 2 2
7
Total Abundance/ha ST-8
100 2 4 50
11
11 1
1
1
2 25
2
2
2 3
2
2 3 2 1 1
3
4 3 1
2 0
5 1
9
3
35
7
20
31
21
20
192 12 2 4 50 22 1 2 2 30 3 2 7 12 3 1 5 1
146
686 43 7 14 179 79 4 7 7 107 11 7 25 43 11 4 18 4 0 0 521
98
20 21 22 23
Chaetodon rostratus Chaetodontoplus mesoleucus Chelmon rostratus Chelmon rostratus
Chaetodontidae Chaetodontidae Chaetodontidae Labridae
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
MAYOR GROUP Apogon bandanensis Apogon compressus Apogon quenguelineata Apogon sp Myripristis murdjan Chaerodon anchorago Epibulus insidiator Gomphosus varius Halichoeres melanurus Halichoeres ornatissimus Labroides bicolor Labroides dimidiatus Thalassoma lunare Pempheris oualensis Pomacanthus annularis Pomacanthus sexstriatus Abudefduf bengalensis Abudefduf septemfasciatus Amblyglyphidodon curacao Amblyglyphidodon leucogaster Amphiprion ocellaris Chromis ternatensis Chromis viridis
Apogonidae Apogonidae Apogonidae Apogonidae Halocentridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Pempheridae Pomacanthidae Pomacanthidae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae
1
2 6
2 2
10 3 3
7 14 5
2
2 2
600 200 17 300
1 2
2
13 3 1
2
5
1 11
8
2 4
1 4 3
2
2
5
7
2 25 8
45
45
5 5 3
4 3 3 1 7
250
17
27
100 2
2 100 650
670 110
2
10
2 4 5 5 3 2 250 3 27
33 85 50
100 650
7 22 3 3
600 207 31 305 1 17 3 2 28 19 4 15 34 11 2 2 549 3 252 2 35 955 1460
25 79 11 11 0 0 2143 739 111 1089 4 61 11 7 100 68 14 54 121 39 7 7 1961 11 900 7 125 3411 5214
99
47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57
Dascyllus reticulatus Dascyllus trimaculatus Hemiglyphidodon plagiometopon Hemiglyphidodon plagiometopon Neoglyphidodon melas Neopomacentrus filamentosus Pomacentrus alexanderae Pomacentrus brachialis Pomacentrus chrysurus Pomacentrus moluccensis Ptereleotris sp OTHERS GROUP
Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Ptereleotridae
14
4
1
25 8 5
13
18 100 27
5 10 80
13 50
18 100 27
4
14 150 500 6 26 26 3
13
12 33
13
19 320
14 4
12 33
Total Total Taxa Total Fishes (individu) Total Area Transect (m2) Kelimpahan (ind/m2) S Family
13 59 350 0,2
15 121 350 0,3
7
6
13 13 292 619 350 350 0,8 1,8 6
5
19 1275 350 3,6
32 1523 350 4,4
19 1623 350 4,6
30 1277 350 3,6
5
11
11
5
52 8 5 22 68 910 140 52 24 115 324
186 29 18 79 243 3250 500 186 86 411 1157 0
6789
849
100
Lampiran 4. Total kelimpahan jenis ikan herbivora tiap stasiun
JENIS 1 2 3 4 5 6
Kawasan 1 St.2 St.3 St.4 14 4 4
St.1
Hemiglyphidodon plagiometopon Pomacentrus chrysurus Pomacentrus moluccensis Scarus dimidiatus Scarus ghoban Siganus canaliculatus Total fishes
3
13 25
3
52
St.1 Total Taxa Total Fishes (individu) Total Area Transect (m2 ) Kelimpahan (ind/m2 ) S Family
St.2
2 3 350 0,01 1
4 52 350 0,15 2
St.5 12 33
4 St.3 2 4 350 0,01 1
4 St.4 2 4 350 0,01 1
45 St.5 3 45 350 0,13 1
Kawasan 2 St.6 St.7 St.8 5 12 19 33 14 2 3 2 1 23 St.6 4 23 350 0,07 2
45
23
St.7 St.8 3 5 45 23 350 350 0,13 0,07 1 3
Diversity Index (H')
2,26
2,33
1,59
0,85
1,65
1,88
3,64 2,15
H' Max
0,69
1,39
0,69
0,69
1,10
1,39
1,10 1,61
Similarity Index (E)
3,25
1,68
2,30
1,23
1,50
1,36
3,32 1,33
Dominancy Index (C)
0,13
0,13
0,31
0,66
0,31
0,25
0,31 0,20
St.2
St.3
St.4
St.5
St.6
St.7
St.8
27 25 0
4 0 0
4 0 0
45 0 0
19 4 0
45 0 0
19 3 1
Total fishes Famili ikan herbivora perstasiun Family 1 2 3
Pomacentridae Scaridae Siganidae
St.1 3 0 0
101
Lampiran 5. Kondisi Kualitas Perairan Tiap Stasiun Penelitian STASIUN Parameter
1
2
3
4
5
6
7
8
Karang muara
Karang Penyerap
Tlk. Bakau
Masiran
P.Manjin
P.Sentot
Pantai Songseng
Kepala Mapur
29.667
30.000
30.667
29.667
29.667
30.000
29.667
29.667
Kecerahanan (m)
3.000
3.750
3.167
2.833
2.823
3.000
4.167
4.167
Kedalaman (m)
3.000
3.750
3.167
2.833
4.793
6.540
7.240
6.560
Kec. Arus (cm/det)
3.128
8.253
3.302
29.480
11.497
11.497
29.480
29.480
7
6
6
7
10
12
9
7
30
30
32
31
30
33
33
33
NO3-N/Nitrat(mg/l)
0,041
0,022
0,012
0,033
0,043
<0,001
<0,001
0,7
PO4 -P/ phospat(mg/l)
0,01
0,01
0,01
0,01
0,01
0,01
0,01
0,031
NO2/Nitrit (mg/l)
0
0
0
0
0
0
0
0
NH3/Amoniak (mg/l)
0
0,01
0
0
0
0
0
0
3,9
3,9
3,9
3,64
3,64
3,59
3,76
3,76
FISIKA Suhu (°C)
TSS (mg/l) KIMIA Salinitas (‰)
DO
102
Lampiran 6: korelasi antara kondisi tutupan substrat dasar yang ada dengan kondisi perairannya pada seluruh stasiun penelitian Correlation matrix (Pearson (n)):
Variables Suhu (°C)
Suhu (°C)
Kecerahanan (m)
Kedalaman (m)
Kec. Arus (cm/det)
TSS(mg/l)
Salinitas (‰)
NO3-N (mg/l)
PO4-P (mg/l)
NO2 (mg/l)
NH3 (mg/l)
Karang Hidup
DO
Karang Mati
Biota Lain
Alga
Abiotik
1
-0,132
-0,289
-0,562
-0,252
0,143
-0,266
-0,238
-0,238
0,143
0,401
0,371
0,098
-0,601
-0,455
-0,351
Kecerahanan (m)
-0,132
1
0,598
0,480
-0,235
0,493
0,531
0,564
0,564
0,272
0,320
0,121
-0,056
-0,336
0,753
-0,230
Kedalaman (m)
-0,289
0,598
1
0,497
0,619
0,746
0,364
0,407
0,407
-0,220
-0,420
0,521
-0,431
-0,534
0,723
-0,385
Kec. Arus (cm/det)
-0,562
0,480
0,497
1
0,075
0,500
0,456
0,470
0,470
-0,258
-0,467
-0,038
-0,036
0,234
0,652
-0,319
TSS(mg/l)
-0,252
-0,235
0,619
0,075
1
0,331
-0,209
-0,189
-0,189
-0,378
-0,777
0,491
-0,411
-0,348
0,097
-0,241
Salinitas (‰)
0,143
0,493
0,746
0,500
0,331
1
0,371
0,429
0,429
-0,429
-0,286
0,636
-0,474
-0,592
0,502
-0,447
NO3-N (mg/l)
-0,266
0,531
0,364
0,456
-0,209
0,371
1
0,998
0,998
-0,142
0,001
0,165
-0,480
0,126
0,525
0,074
PO4-P (mg/l)
-0,238
0,564
0,407
0,470
-0,189
0,429
0,998
1
1,000
-0,143
-0,004
0,213
-0,500
0,068
0,542
0,033
NO2 (mg/l)
-0,238
0,564
0,407
0,470
-0,189
0,429
0,998
1,000
1
-0,143
-0,004
0,213
-0,500
0,068
0,542
0,033
NH3 (mg/l)
0,143
0,272
-0,220
-0,258
-0,378
-0,429
-0,142
-0,143
-0,143
1
0,435
0,036
0,191
-0,114
-0,293
-0,182
DO
0,401
0,320
-0,420
-0,467
-0,777
-0,286
0,001
-0,004
-0,004
0,435
1
-0,339
0,308
-0,069
-0,058
0,380
Karang Hidup
0,371
0,121
0,521
-0,038
0,491
0,636
0,165
0,213
0,213
0,036
-0,339
1
-0,731
-0,735
-0,128
-0,505
Karang Mati
0,098
-0,056
-0,431
-0,036
-0,411
-0,474
-0,480
-0,500
-0,500
0,191
0,308
-0,731
1
0,245
0,034
-0,131
Alga
-0,601
-0,336
-0,534
0,234
-0,348
-0,592
0,126
0,068
0,068
-0,114
-0,069
-0,735
0,245
1
-0,091
0,547
Biota Lain
-0,455
0,753
0,723
0,652
0,097
0,502
0,525
0,542
0,542
-0,293
-0,058
-0,128
0,034
-0,091
1
-0,095
Abiotik
-0,351
-0,230
-0,385
-0,319
-0,241
-0,447
0,074
0,033
0,033
-0,182
0,380
-0,505
-0,131
0,547
-0,095
1
103
Lampiran 7. Analisis PCA
Summary statistics: Variable Suhu (°C) Kecerahanan (m) Kedalaman (m) Kec. Arus (cm/det) TSS(mg/l) Salinitas (‰) NO3-N (mg/l) PO4-P (mg/l) NO2 (mg/l) NH3 (mg/l) DO Karang Hidup Karang Mati Alga Biota Lain Abiotik
Observations Obs. with missing data Obs. without missing data Minimum Maximum 8 0 8 29,667 30,667 8 0 8 2,823 4,167 8 0 8 2,833 7,240 8 0 8 3,128 29,480 8 0 8 6,000 12,000 8 0 8 30,000 33,000 8 0 8 0,001 0,700 8 0 8 0,010 0,031 8 0 8 0,000 0,000 8 0 8 0,000 0,010 8 0 8 3,590 3,900 8 0 8 34,688 99,835 8 0 8 0,000 36,994 8 0 8 0,165 20,847 8 0 8 0,000 8,985 8 0 8 0,000 25,546
Mean 29,875 3,363 4,735 15,765 8,000 31,500 0,107 0,013 0,000 0,001 3,761 57,549 25,235 9,494 2,756 4,966
Std. deviation 0,354 0,575 1,810 11,785 2,138 1,414 0,240 0,007 0,000 0,004 0,129 20,358 14,126 7,149 3,591 8,552
104
Lampiran 7 lanjutan Analisis PCA: Eigenvalues (akar ciri):
Eigenvalue Variability (%) Cumulative %
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
5,715 35,72 2 35,72 2
3,487 21,79 2 57,51 4
2,575 16,09 3 73,60 6
1,863 11,64 7 85,25 3
1,029
0,970
0,360
6,434 91,68 7
6,062 97,74 9
2,251 100,00 0
Scree plot 100
Eigenvalue
6
80
5 4
60
3
40
2 20
1 0
0 F1
F2
F3
F4
axis
F5
F6
F7
Cumulative variability (%)
7
105
Eigenvectors:
Suhu (°C)
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
-0,120
-0,257
0,427
-0,087
-0,193
0,407
-0,122
Kecerahanan (m)
0,276
0,141
0,308
0,308
-0,009
-0,249
0,198
Kedalaman (m)
0,356
-0,168
-0,061
0,178
-0,086
-0,309
-0,128
Kec. Arus (cm/det)
0,280
0,144
-0,213
0,298
0,221
0,269
0,465
TSS(mg/l)
0,124
-0,363
-0,364
-0,023
-0,033
-0,291
-0,274
Salinitas (‰)
0,336
-0,204
0,070
0,053
-0,263
0,227
0,444
NO3-N (mg/l)
0,317
0,266
0,105
-0,239
0,092
0,110
-0,260
PO4-P (mg/l)
0,331
0,243
0,121
-0,225
0,082
0,111
-0,221
NO2 (mg/l)
0,331
0,243
0,121
-0,225
0,082
0,111
-0,221
NH3 (mg/l)
-0,122
0,030
0,355
0,128
0,625
-0,397
0,052
DO
-0,145
0,221
0,472
0,016
-0,308
-0,182
0,132
Karang Hidup
0,204
-0,391
0,157
-0,253
0,194
-0,024
0,125
Karang Mati
-0,234
0,134
0,024
0,532
-0,064
0,228
-0,331
Alga
-0,123
0,400
-0,323
-0,094
0,201
0,148
0,121
0,306
0,172
-0,044
0,351
-0,294
-0,138
-0,236
-0,124
0,302
-0,125
-0,345
-0,400
-0,385
0,247
F1
F2
F3
F4
F5
F6
-0,287
-0,480
0,684
-0,119
-0,196
0,401
-0,073
Kecerahanan (m)
0,659
0,264
0,495
0,421
-0,009
-0,245
0,119
Kedalaman (m)
0,852
-0,315
-0,099
0,243
-0,088
-0,304
-0,077
Kec. Arus (cm/det)
0,669
0,268
-0,342
0,406
0,224
0,264
0,279
TSS(mg/l)
0,297
-0,678
-0,584
-0,031
-0,034
-0,286
-0,164
Salinitas (‰)
0,803
-0,382
0,112
0,072
-0,267
0,223
0,266
NO3-N (mg/l)
0,758
0,497
0,168
-0,326
0,093
0,108
-0,156
PO4-P (mg/l)
0,791
0,454
0,194
-0,307
0,083
0,109
-0,132
NO2 (mg/l)
0,791
0,454
0,194
-0,307
0,083
0,109
-0,132
NH3 (mg/l)
-0,292
0,057
0,570
0,174
0,634
-0,391
0,031
DO
-0,348
0,412
0,757
0,022
-0,312
-0,179
0,079
Karang Hidup
0,488
-0,731
0,252
-0,346
0,197
-0,024
0,075
Karang Mati
-0,560
0,251
0,039
0,726
-0,065
0,225
-0,198
Alga
-0,295
0,748
-0,519
-0,128
0,204
0,145
0,073
0,731
0,322
-0,070
0,480
-0,298
-0,136
-0,142
-0,296
0,565
-0,201
-0,472
-0,406
-0,379
0,148
Biota Lain Abiotik
Factor loadings:
Suhu (°C)
Biota Lain Abiotik
F7
106
Correlations between variables and factors:
Suhu (°C)
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
-0,287
-0,480
0,684
-0,119
-0,196
0,401
-0,073
Kecerahanan (m)
0,659
0,264
0,495
0,421
-0,009
-0,245
0,119
Kedalaman (m)
0,852
-0,315
-0,099
0,243
-0,088
-0,304
-0,077
Kec. Arus (cm/det)
0,669
0,268
-0,342
0,406
0,224
0,264
0,279
TSS(mg/l)
0,297
-0,678
-0,584
-0,031
-0,034
-0,286
-0,164
Salinitas (‰)
0,803
-0,382
0,112
0,072
-0,267
0,223
0,266
NO3-N (mg/l)
0,758
0,497
0,168
-0,326
0,093
0,108
-0,156
PO4-P (mg/l)
0,791
0,454
0,194
-0,307
0,083
0,109
-0,132
NO2 (mg/l) NH3 (mg/l)
0,791
0,454
0,194
-0,307
0,083
0,109
-0,132
-0,292
0,057
0,570
0,174
0,634
-0,391
0,031
-0,348
0,412
0,757
0,022
-0,312
-0,179
0,079
Karang Hidup
0,488
-0,731
0,252
-0,346
0,197
-0,024
0,075
Karang Mati
-0,560
0,251
0,039
0,726
-0,065
0,225
-0,198
Alga
-0,295
0,748
-0,519
-0,128
0,204
0,145
0,073
0,731
0,322
-0,070
0,480
-0,298
-0,136
-0,142
-0,296
0,565
-0,201
-0,472
-0,406
-0,379
0,148
DO
Biota Lain Abiotik
Observations (axes F1 and F2: 57,51 %)
3 2
Biplot (axes F1 and F2: 57,51 %)
St 8
St 1
10 1
St 4 St2
F2 (21,79 %)
St 5
-1
Alga NO3-N Abiotik PO4-P NO2 (mg/l) DO (mg/l) St 4 Kecerahan Kec. (mg/l) Arus Karang Biota Lain St2 (cm/det) an (m) Mati NH3 (mg/l) St 5 St 7 Kedalaman Salinitas StSuhu 3 (m) (‰) (°C) Karang TSS(mg/l) Hidup
5
St 7
F2 (21,79 %)
0
St 3
-2
St 1
0
-5
-3 -4
St 6
St 6
-10 -15
-5 -5
-4
-3
-2
-1
0
1
F1 (35,72 %)
St 8
2
3
4
5
6
-10
-5
0
5
F1 (35,72 %)
10
15
107
Lampiran 7 lanjutan Analisis PCA Contribution of the variables (%):
F1
F2
F4
F5
6,606
F3 18,19 5
Suhu (°C)
1,442
0,759
Kecerahanan (m)
1,999
9,509
Kedalaman (m)
7,594 12,70 9
2,837
Kec. Arus (cm/det)
7,837
TSS(mg/l)
NO2 (mg/l)
1,540 11,27 6 10,04 0 10,95 0 10,95 0
NH3 (mg/l)
1,495
0,092
DO
2,117
Karang Hidup
4,163
4,878 15,31 6
Karang Mati
5,487
Alga
Salinitas (‰) NO3-N (mg/l) PO4-P (mg/l)
3,726
F6 16,58 3
1,497
9,511
0,008
6,189
3,903
0,378
3,167
0,747
9,527
1,627
2,063 13,18 4
4,555 13,25 5
8,852
4,865
7,211
21,619
0,051
0,110
8,445
7,490
4,176
0,485
0,279
6,937
5,136
19,706
7,086
1,098
5,690
0,842
1,207
6,784
5,899
1,464
5,070
0,664
1,231
4,864
5,899
1,464 12,60 6 22,24 2
5,070
1,231 15,76 4
4,864
1,629
0,664 39,10 3
0,026
9,459
3,306
1,754
2,472
6,414 28,32 1
3,761
0,059
1,555
0,416
5,210
10,930
0,875 12,34 8 11,93 6
4,054
2,182
1,470
8,646 15,99 7
1,894 14,82 4
5,571
1,521
1,806 16,03 8
0,058 10,46 1
Biota Lain
9,343
2,970
0,192
Abiotik
1,537
9,149
1,566
F7
0,269
6,098
108
Lampiran 8: Korelasi antara kondisi Family Ikan Karang yang ada dengan kondisi perairannya pada seluruh stasiun penelitian Correlation matrix (Pearson (n)):
Variables Suhu (°C) Kecerahanan (m) Kedalaman (m) Kec. Arus (cm/det) TSS(mg/l) Salinitas (‰) NO3-N (mg/l) PO4-P (mg/l) NO2 (mg/l) NH3 (mg/l) DO Apogonidae Caesionidae Chaetodontidae Halocentridae Labridae Lutjanidae Nemipteridae Pempheridae Pomacanthidae Pomacentridae Ptereleotridae Scaridae Serranidae Siganidae
Suhu (°C) 1 -0,132 -0,289
Kecerahanan (m) -0,132 1 0,598
Kedalaman (m) -0,289 0,598 1
-0,562 -0,252 0,143 -0,266 -0,238 -0,238 0,143 0,401 -0,240 -0,085 0,512 0,143 -0,147 -0,219 0,525 -0,464 -0,073 -0,304 0,140 0,156 -0,354 0,792
0,480 -0,235 0,493 0,531 0,564 0,564 0,272 0,320 0,560 0,262 -0,022 -0,255 0,365 0,589 -0,411 -0,128 0,638 -0,074 -0,249 0,273 0,188 0,086
0,497 0,619 0,746 0,364 0,407 0,407 -0,220 -0,420 0,410 0,618 0,532 0,403 0,769 0,411 -0,573 -0,039 0,143 0,610 0,409 -0,072 0,194 -0,183
Kec. Arus (cm/det) TSS(mg/l) -0,562 -0,252 0,480 -0,235 0,497 0,619
Salinitas (‰) 0,143 0,493 0,746
NO3-N (mg/l) -0,266 0,531 0,364
PO4-P (mg/l) -0,238 0,564 0,407
NO2 (mg/l) -0,238 0,564 0,407
NH3 (mg/l) 0,143 0,272 -0,220
DO 0,401 0,320 -0,420
0,075 1 0,331 -0,209 -0,189 -0,189 -0,378 -0,777 -0,182 0,402 0,604 0,756 0,512 -0,190 -0,390 0,134 -0,433 0,822 0,755 -0,207 -0,122 -0,444
0,500 0,331 1 0,371 0,429 0,429 -0,429 -0,286 0,431 0,654 0,654 0,429 0,674 0,407 0,028 -0,380 0,000 0,326 0,435 -0,275 0,416 0,307
0,456 -0,209 0,371 1 0,998 0,998 -0,142 0,001 0,997 0,663 -0,022 -0,178 0,547 0,987 -0,230 -0,249 0,653 -0,252 -0,165 -0,079 0,792 0,235
0,470 -0,189 0,429 0,998 1 1,000 -0,143 -0,004 1,000 0,690 0,024 -0,143 0,581 0,991 -0,230 -0,278 0,655 -0,234 -0,131 -0,070 0,785 0,251
0,470 -0,189 0,429 0,998 1,000 1 -0,143 -0,004 1,000 0,690 0,024 -0,143 0,581 0,991 -0,230 -0,278 0,655 -0,234 -0,131 -0,070 0,785 0,251
-0,258 -0,378 -0,429 -0,142 -0,143 -0,143 1 0,435 -0,147 -0,218 -0,354 -0,143 -0,101 -0,031 -0,230 -0,278 0,655 -0,413 -0,145 0,964 -0,508 -0,196
-0,467 -0,777 -0,286 0,001 -0,004 -0,004 0,435 1 -0,006 -0,395 -0,309 -0,536 -0,617 0,020 0,008 0,181 0,329 -0,764 -0,537 0,300 -0,328 0,423
1 0,075 0,500 0,456 0,470 0,470 -0,258 -0,467 0,465 0,267 -0,184 -0,146 0,517 0,429 0,024 -0,212 0,162 0,371 -0,141 -0,248 0,691 -0,234
109
Lampiran 9. Variabel kondisi perairan dan family ikan karang
Kecerahanan (m) Kedalaman (m) Kec. Arus (cm/det) TSS(mg/l) Salinitas (‰) NO3-N (mg/l) PO4-P (mg/l) NO2 (mg/l) Apogonidae Caesionidae Chaetodontidae Halocentridae Labridae Lutjanidae Nemipteridae Pempheridae Pomacanthidae Pomacentridae Ptereleotridae Scaridae Serranidae Siganidae
F1 0,203 0,227 0,206 0,038 0,225 0,308 0,315 0,315 0,315 0,285 0,083 0,047 0,278 0,315 -0,096 -0,130 0,189 0,017 0,051 -0,021 0,255 0,042
F2 -0,135 0,208 0,028 0,386 0,171 -0,142 -0,131 -0,131 -0,128 0,133 0,273 0,324 0,175 -0,136 -0,047 0,012 -0,246 0,328 0,323 -0,123 -0,052 -0,121
Akar Ciri Eigenvalues:
Eigenvalue Variability (%) Cumulative %
F1 8,653
F2 6,044
F3 3,419
F4 3,253
F5 1,644
F6 1,441
F7 0,546
34,614
24,177
13,676
13,011
6,576
5,763
2,183
34,614
58,791
72,467
85,478
92,054
97,817
100,000
110
Lampiran 10 Hasil perhitungan Analisis korelasi antara variabel Tutupan karang hidup, kelimpahan ikan herbivora dan tutupan alga 1. Hubungan antara kelimpahan ikan Herbivora dan persentase tutupan alga Kelimpahan ikan herbivora (Ind/transek) dan persentase tutupan alga di masingmasing stasiun Stasiun 1 Ikan Herbivora (ind/transek) Makroalga (%) 1 3,00 16,65 2 52,00 7,47 3 4,00 2,64 4 4,00 20,85 5 45,00 13,04 6 23,00 2,00 7 45,00 4,45 8 23,00 10,69
Hasil nilai korelasi antara kelimpahan ikan herbivora dengan persentase tutupan alga dengan menggunakan software EXCEL 2007. Ikan Herbivora (ind/transek) Ikan Herbivora (ind/transek) Makroalga (%)
Makroalga (%)
1 -0,332592278
1
2. Hubungan antara pesentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan Ikan Karang dari masing-masing transek (individu/transek) Persentase tutupan karang hidup dan Kelimpahan ikan karang (ind/transek) di tiaptiap stasiun Stasiun 1 Karang Hidup (%) Ikan Karang (Ind/transek) 1 34,69 59,00 2 59,36 121,00 3 61,55 292,00 4 42,89 619,00 5 44,33 1275,00 6 99,84 1523,00 7 49,43 1623,00 8 68,30 1277,00
Hasil nilai korelasi antara tutupan karang hidup dengan kelimpahan ikan karang(individu/transek) dengan menggunakan software EXCEL 2007. Karang Hidup (%) Karang Hidup (%) Ikan Karang (Ind/transek)
Ikan Karang (Ind/transek) 1
0,423398195
1
111
Lampiran 10 lanjutan 3. Hubungan antara persentase tutupan karang mati kelimpahan alga
dengan persentase
Hasil nilai korelasi antara persentase tutupan karang mati dengan persentase kelimpahan alga
Karang mati (%) Makroalga (%)
Karang mati (%) 1 0,456432612
alga (%) 1
Persentase tutupan karang mati dan persentase kelimpahan Alga ditiap-tiap stasiun Stasiun 1 Karang mati (%) alga (%) 1 21,85 16,7 2 31,91 7,5 3 34,84 2,6 4 32,60 20,8 5 35,92 13,0 6 0,00 2,0 7 7,77 4,45 8 36,99 10,69
4. Hubungan persentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan alga Persentase tutupan karang hidup dan persentase kelimpahan alga setiap stasiun pengamatan stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8
Karang Hidup (%)
Alga (%)
34,69 59,36 61,55 62,89 44,33 99,84 68,3 49,43
16,65 7,47 2,64 20,85 13,04 0,16 4,45 10,69
Hasil nilai korelasi antara persentase tutupan karang hidup dengan persentase kelimpahan alga Karang Hidup (%) Karang Hidup (%) Alga (%)
1 -0,654937712
Alga (%)
1