KETERKAITAN SEDIMENTASI TERHADAP KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PERAIRAN TELUK LAMPUNG PROVINSI LAMPUNG
BETA SUSANTO BARUS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keterkaitan Sedimentasi terhadap Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Teluk Lampung Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013 Beta Susanto Barus NIM C551110081
RINGKASAN BETA SUSANTO BARUS. Keterkaitan Sedimentasi terhadap Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Teluk Lampung Provinsi Lampung. Dibimbing oleh TRI PRARTONO dan DEDI SOEDARMA. Sedimentasi merupakan salah satu faktor pembatas untuk distribusi karang melalui sedimen tersuspensi dan sedimen diendapkan yang menyebabkan penetrasi penetrasi cahaya dan penutupan polip terumbu karang yang dapat menyebabkan kematian karang. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keterkaitan sedimentasi terhadap kondisi ekosistem terumbu karang melalui pengamatan laju sedimentasi di ekosistem terumbu karang dan komunitas terumbu karang itu sendiri. Pengamatan terumbu karang dengan menggunakan metode transek kuadrat. Metode ini menggunakan transek kuadrat berukuran (1x1) m2 yang dibagi lagi menjadi 100 bagian yang lebih kecil. Pada setiap stasiun ditarik meteran sepanjang 50 m dan dipasang transek pada setiap jarak 10 m. Selanjutnya pengambilan foto transek dilakukan dengan menggunakan kamera bawah air. Hasil foto kemudian dianalisis dengan menggunakan software CPCe (Coral Point Count with Excel extension). Laju sedimentasi diukur dengan alat perangkap sedimen (sediment trap). Tabung sedimen trap yang digunakan adalah pipa PVC dengan ukuran diameter 5 cm dan tinggi 11.5 cm. Tiap stasiun di pasang 3 buah sediment trap yang di pasang selama 20 hari. Sedimen yang terkumpul kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60 oC selama 24 jam. Laju sedimentasi bervariasi antar stasiun pengamatan dengan nilai kisaran 3,09-44,29 mg/cm2/hari. Laju sedimentasi terendah ditemukan pada Stasiun 7, sedangkan tertinggi ditemukan di Stasiun 1. Tingkat sedimentasi ini umumnya dikelompokkan pada kondisi ringan samapi sedang, sedangkan pada beberapa Stasiun (1, 3, dan 6) menunjukkan tingkat sedimentasi yang berat. Tingginya laju sedimentasi pada ketiga stasiun tersebut dikarenakan letaknya yang berada pada wilayah yang relatif dekat dengan muara sungai. Persentase penutupan karang berkisar antara 8,75-60,85% yang umumnya tergolong dalam kategori sedang. Kategori rusak berat terdapat di Stasiun 1, 3, dan 6 dengan bentuk pertumbuhan dominan massive, sedangkan kategori baik ditemukan pada Stasiun 9 yang berada di wilayah yang relatif jauh dari pengaruh sungai dan didominasi bentuk pertumbuhan lembaran (foliose) dan bercabang (brancing). Terdapat indikasi kuat keterkaitan sedimentasi terhadap kualitas tutupan terumbu karang pada wilayah penelitian ini. Kata kunci : sedimentasi, laju sedimentasi, terumbu karang, Teluk Lampung
SUMMARY BETA SUSANTO BARUS. The Relationship between Sedimentation and Ecosystem of Coral Reef in the Lampung Bay, Province of Lampung. Supervised by TRI PRARTONO and DEDI SOEDARMA. Sedimentation is one of the limiting factor for coral distribution through both the suspended and deposited sediment causing the reduce of light penetration and smothering the polip of coral reefs that can lead to coral death. The purpose of this study was to analyze the relationship of sedimentation with conditions of coral reef ecosystem through observing of the sedimentation rate and analyze community of coral reef. The transects were deployed at the three line series perpendicular wuth an interval of 50 m between the line. Each transect was pleaced at every 10 m along the line. Date within the transect were observed using the underwater camera. The images were analyzed by using CPCe software (Coral Point Count with Excel extensions). Sedimentation rate was measured by a sediment trap using PVC pipe with a diameter of 5 cm and 11.5 cm in height and partition (baffles) cover at the top. Sediment traps were mounted on a 12 mm diameter steel poles at a height of 20 cm from the bottom. Sediment traps were deployed for 20 days, then the recovered sediment was dried in an oven at 60 0C for 24 hours. Sedimentation rate varied between the stations with a range of values from 3.09 to 44.29 mg/cm2/day. The lowest rate of sedimentation was found in Station 7, while the highest was found at Station 1. Sedimentation rates are generally grouped into light untill moderate condition, whereas in some Stations (1, 3, and 6) showed heavy sedimentation rates. The high rate of sedimentation at Station 3 was probably due to close to the mouth of the river. Coral cover ranged from 8.75 to 60.85%, generally showing moderate categories. Severe damages were found in Station 1, 3, and 6 with a dominant form of massive coral, while good categories were found at Station 9 which located in a relatively remote area of influence of the river and dominated by foliose and brancing form. There was a strong indication of relationship sedimentation and coral reefs cover this research area. Keywords: sedimentation, sedimentation rate, coral reef, Lampung bay
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
5
KETERKAITAN SEDIMENTASI TERHADAP KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PERAIRAN TELUK LAMPUNG PROVINSI LAMPUNG
BETA SUSANTO BARUS
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
6
Penguji Luar Komisi
:Dr. Ir. Neviaty P Zamani, M.Sc
7
Judul Tesis : Keterkaitan Sedimentasi terhadap Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Teluk Lampung Provinsi Lampung Nama : Beta Susanto Barus NIM : C551110081
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Tri Prartono M.Sc Ketua
Prof. Dr. Dedi Soedarma, DEA Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Neviaty P Zamani, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr
Tanggal Ujian: 30 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
8
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah Keterkaitan Sedimentasi terhadap Terumbu Karang di Perairan Teluk Lampung Provinsi Lapung Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc dan Bapak Prof. Dr. Dedi Soedarma, DEA selaku pembimbing, yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Yayasan Supersemar yang telah bersedia membantu dalam pembiayaan penelitian ini dan kepada Bapak Surya dan Ibu Muawanah dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, orang yang aku kasihi (Chika Iberena), serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2013 Beta Susanto Barus
9
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan dan Manfaat Penelitian
3
Hipotesis
3
2 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Terumbu Karang
4
Sedimentasi
7
Pengaruh Sedimentasi terhadap Terumbu Karang
10
Penelitian yang Pernah Dilakukan
14
3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian
14
Penentuan Stasiun
15
Peralatan yang Digunakan
15
Metode Pengambilan Data
16
Hitungan dan Analisis Laboratorium
18
Analisis Data
19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Fisika Kimia Perairan Teluk Lampung
21
Sedimentasi
28
Terumbu Karang
31
Hubungan antara Laju Sedimentasi dengan Terumbu Karang
36
SIMPULAN DAN SARAN
40
DAFTAR PUSTAKA
41
LAMPIRAN
47
10
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7 8
Klasifikasi ukuran butir sedimen berdasarkan Skala Wentworth Variasi tingkat dampak sedimentasi terhadar komunitas karang Posisi geografis pada tiap stasiun penelitian Peralatan untuk mengukur parameter sedimen dan oseanografi fisik kimia. Ciri-ciri kematian karang Sebaran persentase fraksi sedimen serta jenis sedimen pada masing masing stasiun Laju sedimentasi pada setiap stasiun pengamatan Kandungan Aluminium (Al), Besi (Fe), dan Kalsium (Ca)
8 12 16 16 20 29 30 31
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6 7
Diagram kerangka perumusan masalah. Mekanisme penolakan sedimen Model pemindahan sedimen pada karang yang berbentuk corong Peta Lokasi Penelitian. Konstruksi sediment trap Ilustrasi di lapangan penempatan transek kuadrat Nilai hasil pengamatan suhu (0C) dan salinitas (‰) pada setiap stasiun pengamatan 8 Nilai hasil pengamatan pH pada setiap stasiun pengamatan 9 Nilai hasil pengamatan kecerahan (m) pada setiap stasiun pengamatan 10 Nilai hasil pengamatan kekeruhan (NTU) dan TSS (mg/l) pada setiap stasiun pengamatan 11 Nilai hasil pengamatan kecepatan arus (cm/dtk) pada setiap stasiun pengamatan 12 Nilai hasil pengamatan nitrat (mg/l) dan fosfat (mg/l) pada setiap stasiun pengamatan 13 Persentase tutupan karang berdasarkan genus 14 Persentase penutupan terumbu karang berdasarkan life form 15 Indeks mortalitas pada setiap stasiun pengamatan 16 Grafik hubungan parameter lingkungan, laju sedimentasi dan terumbu karang 17 PCA-biplot parameter lingkungan, laju sedimentasi dan terumbu karang 18 Kematian karang akibat sedimentasi dengan ciri terumbu karang tertutupi oleh sedimen dan jika dalam tingkat sedimentasi yang tinggi, akan mengakibatkan kematian karang tersebut (Stasiun 1, 3, dan 6) 19 Kematian karang akibat pemboman dengan ciri terumbu karang terbongkar
3 13 13 15 17 18 22 23 24 25 26 27 32 34 35 36 37
38
11
dan banyak patahan-patahan karang (Stasiun 7)
39
DAFTAR LAMPIRAN
1 Persentase tutupan karang berdasarkan genus 2 Persentase penutupan terumbu karang berdasarkan life form 3 Data debit sungai yang terdapat di Teluk Lampung 4 Analisis Komponen Utama
47 48 49 49
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem penting dalam menunjang kehidupan di laut. Sebagai salah satu ekosistem utama pesisir dan laut, terumbu karang dengan beragam biota asosiatif dan nilai estetika, memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain berperan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat, nilai ekologis yang dimiliki terumbu karang antara lain sebagai habitat, tempat mencari makanan, tempat asuhan dan tumbuh besar serta tempat pemijahan bagi berbagai biota laut. Nilai ekonomis terumbu karang yang menonjol adalah sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi dan berbagai jenis ikan hias, bahan konstruksi dan perhiasan, bahan baku farmasi dan sebagai daerah wisata serta rekreasi yang menarik (Cesar 2000; Westmacott et al. 2000). Terumbu karang saat ini telah mengalami degradasi yang disebabkan oleh perubahan-perubahan lingkungan seperti kegiatan eksploitasi berlebihan, dampak kegiatan anthropogenik, polusi sedimen dari lahan atas dan perubahan iklim global. Diantara faktor penyebab kerusakan tersebut, dampak kegiatan antropogenik seperti kegiatan pembomam ikan di daerah terumbu karang, pembukaan wisata pantai, dan pembukaan lahan daratan merupakan penyebab kerusakan yang cepat (Yulianda 2003). COREMAP-LIPI (2001) melaporkan 70% kondisi terumbu karang di Indonesia dalam kondisi rusak sampai sangat rusak. Perairan Teluk Lampung mempunyai ekosistem terumbu karang yang luas, umumnya tipe terumbu karang di Teluk Lampung adalah jenis karang tepi (fringing reef). Hasil analisis citra Landsat ETM 7 menunjukkan luas total terumbu karang di Teluk Lampung ±4823,493 Ha. Pertumbuhan karang secara umum didominasi oleh karang hidup berbentuk merayap (encrusting), bercabang (branching) dan lembaran (foliose) terutama dari famili Acroporidae, Pocilloporidae, Poritidae dan Faviidae. Kondisi penutupan karang hidup dari 44 lokasi penyelaman di Teluk Lampung termasuk dalam kriteria buruk (rusak) sampai baik. Dari 44 lokasi penyelaman di Teluk Lampung, status kondisi terumbu karang dalam kondisi baik 4 lokasi, kondisi buruk (rusak) ditemukan sebanyak 20 lokasi dan kondisi sedang sebanyak 20 lokasi. Terumbu karang dalam status kondisi baik terdapat di perairan Pulau Kelagian, Pulau Balak, Tanjung Putus, dan Pantai Ketapang. (DKP-Lampung 2007) Selanjutnya DKP-Lampung (2007) menunjukkan laju penurunan tutupan terumbu karang di perairan Teluk Lampung pada beberapa lokasi tertentu yang sama (yaitu di Pulau Tangkil, Pulau Tegal, Pulau Condong Darat, Pulau Kelagian, dan Pulau Puhawang) selama kurun waktu 8 (delapan) tahun, mulai dari tahun 1998 hingga tahun 2007 adalah 3% pertahun. Pada tahun 1998, kondisi tutupan terumbu karang di Teluk Lampung ada dalam kategori baik (65,5%), dan pada tahun 2007 tutupan karang di beberapa lokasi ini menurun menjadi kategori sedang (29%). Kerusakan dan penurunan terumbu karang tersebut umumnya disebabkan oleh kegiatan pemboman ikan karang, penambangan karang, sedimentasi dan pembuangan jangkar kapal di pulau-pulau kecil karena kurangnya pelampung tambat
2 (mooring buoy) dan dermaga. Diantara penyebab kerusakan tersebut, sedimentasi diyakini memberi pengaruh yang cukup nyata. Sedimentasi yang terjadi di sekitar perairan Teluk Lampung berasal dari sungai yang menerima aliran permukaan (run-off) dari aktivitas penebangan hutan untuk pembukaan lahan pembangunan dan pembukaan pertambakan (DKP-Lampung 2007). Penelitian tentang pengaruh sedimen pada terumbu karang ini pernah dilakukan oleh Suhendra (2006) di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur, Partini (2009) di wilayah Pantai Timur Kabupaten Bintan, Masduki (2008) di Perairan Teluk Wondama Papua, dan Pratomo (2012) di perairan Pulau Abang Kota Batam. Hasil analisis penelitian tersebut menunjukkan bahwalaju sedimentasi berpengaruh negatif terhadap tutupan terumbu karang. Semakin tinggi laju sedimentasi maka tutupan terumbu karang akan semakin rendah. Saat ini belum dilakukan penelitian secara khusus mengkaji mengenai keterkaitan antara sedimentasi dengan terumbu karang di Teluk Lampung ini. Di sisi lain informasi ini sangat diperlukan sebagai dasar evaluasi terhadap pengelolaan terumbu karang di daerah tersebut.
Perumusan Masalah Kerusakan terumbu karang di wilayah Teluk Lampung terjadi akibat kegiatan pemboman dan pemutasan karang, sedimentasi dan pembuangan jangkar. Saat ini terdapat indikasi bahwa sedimentasi telah terjadi peningkatan di wilayah Teluk Lampung yang disebabkan oleh akibat penebangan hutan untuk pembukaan lahan pembangunan dan pembukaan pertambakan dan dibawa aliran sungai ke perairan laut. Di daerah ini juga terjadi kegiatan seperti perikanan tangkap, budidaya mutiara, pariwisata, pelayaran, pelabuhan,dan pertambangan batubara yang menghasilkan sedimen akibat arus turbulensi, gelombang maupun pasang surut yang akan menutupi terumbu karang yang terdapat di sekitar daerah tersebut. Pengaruh sedimen terhadap terumbu karang terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung sedimen yang terdeposit akan menutupi permukaan polip karang sehingga akan meningkatkan kebutuhan energi metabolik untuk menghilangkannya kembali. Secara tidak langsung sedimen yang tersuspensi dapat menghalangi masuknya penetrasi sinar matahari yang dibutuhkan untuk fotosintesis alga simbion karang zooxanthellae. Apabila jumlah sedimen cukup tinggi dan melebihi batas kemampuan polip karang untuk beradaptasi, akan terjadi kematian dan penurunan penutupan terumbu karang pada daerah tersebut. Di sisi lain sedimen mengandung sejumlah besar bahan organik akan terjadi invasi oleh alga. Namun terdapat juga jenis karang tertentu yang dapat beradaptasi terhadap kondisi sedimen di sekitarnya sampai pada kisaran tertentu. Karang yang memiliki ukuran polip yang lebih besar akan lebih bertahan pada kondisi yang keruh daripada karang dengan ukuran polip yang kecil. Bentuk adaptasi lain dari terumbu karang terhadap sedimentasi adalah melalui adaptasi morfologi, yaitu dengan memiliki bentuk pertumbuhan tertentu. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa sedimentasi baik yang terdeposit maupun yang tersuspensi akan berpengaruh terhadap struktur komunitas terumbu karang.
3 Mengacu pada praduga interaksi di atas, kajian sedimentasi terhadap struktur komunitas karang perairan Teluk Lampung menjadi sangat penting dilakukan. Selanjutnya rumusan masalah dalam mengkaji hal ini dapat dilihat pada Gambar 1. Sungai/ Air Larian (run-off)
Faktor Oseanografi : Arus, Gelombang, Angin, Pasang Surut
Transport dan Distribusi Partikel Sedimen Sedimentasi
Tersuspensi
Terdeposit
Penetrasi Cahaya dan Penutupan Polip Karang
\ Mortalitas dan Adaptasi Terumbu Karang Gambar 1. Diagram perumusan masalah.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan menganalisis keterkaitan sedimentasi terhadap kondisi ekosistem terumbu karang melalui pengamatan laju sedimentasi di ekosistem terumbu karang dan komunitas terumbu karang itu sendiri. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh masukan sedimen terhadap komunitas terumbu karang. Selanjutnya seluruh informasi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk mengkaji dan mengevaluasi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di perairan Teluk Lampung. Hipotesis Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah sedimentasi di perairan Teluk Lampung menyebabkan peningkatan mortalitas terumbu karang.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Terumbu Karang Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang khas dan sangat produktif yang terdapat di perairan pesisir daerah tropis, dengan beragam tumbuhan dan hewan laut berasosiasi di dalamnya. Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantella, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat (Bengen dan Alex 2006). Selanjunya Veron (2000) mengatakan terumbu karang merupakan endapan massif (deposit) padat kalsium (CaCO3) yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) dan organisme -organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat (CaCO3). Pada dasarnya terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermartipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat (Bengen, 2002). Dalam proses pembentukan terumbu karang maka karang batu (Scleractina) merupakan penyusun yang paling penting atau hewan karang pembangun terumbu (reef-building corals). Menurut Dahuri (2003) kemampuan menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatifik yang dinamakan zooxanthellae. Sel-sel yang merupakan sejenis algae tersebut hidup di jaringan-jaringan polyp karang, serta melaksanakan fotosintesa. Hasil samping dari aktivitas fotosintesa tersebut adalah endapan kalsium karbonat (CaCO3), yang struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang. Karang batu termasuk ke dalam Kelas Anthozoa yaitu anggota Filum Coelenterata yang hanya mempunyai stadium polip. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul, morfologi dan fisiologi. Menurut Dahuri (2003) hewan karang termasuk kelas Anthozoa, yang berarti hewan berbentuk bunga (Antho artinya bunga; zoa artinya hewan). Lebih lanjut dikatakan bahwa Aristoteles mengklasifikasikan hewan karang sebagai hewan-tumbuhan (animal plant). Baru pada tahun 1723, hewan karang diklasifikasikan sebagai binatang. Terumbu karang sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1993). Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien
5 (oligotrofik). Menurut Burke et al. (2002) sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae. Menurut Dahuri (2003) bahwa tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering merupakan tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) dari kebanyakan ikan. Oleh karena itu secara otomatis produksi ikan di daerah terumbu karang sangat tinggi. Tinggi produktivitas organik atau produktivitas primer pada terumbu karang disebabkan oleh kemampuan terumbu karang untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Setiap nutrien yang dihasilkan oleh karang sebagai hasil metabolisme dapat digunakan langsung oleh tumbuhan tanpa mengedarkannya terlebih dahulu ke dalam perairan. Nybakken (1993) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe umum yaitu : a.Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef ) b.Terumbu karang penghalang (Barrier reef) c.Terumbu karang cincin (atoll) Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono 1999). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang sebagai berikut : 1) Terumbu karang tepi ini berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh ke atas atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat. 2) Terumbu karang tipe penghalang terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan–akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah The Greaat Barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil. 3) Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman goba didalam atol sekitar 45 m jarang sampai 100 m seperti terumbu karang penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan. Menurut Supriharyono (2000) dikenal beberapa macam bentuk umum pertumbuhan karang, diantaranya bundar (globose), bercabang (branching), lempeng digitate (digitate plate), piringan senyawa (compound plate), becabang rapuh/tipis (fragile branching), merayap (encrusting), lempeng (plate), lembaran (foliate) dan micro atoll. Bentuk-bentuk ini dipengaruhi oleh beberapa faktor alam terutama oleh level cahaya dan tekanan gelombang. Menurut Supriharyono (2000), ada empat faktor lingkungan yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang, yaitu :
6 1. Cahaya. Ada kecenderungan bahwa semakin banyak cahaya, maka rasio luas permukaan dengan volume karang akan semakin menurun; 2. Tekanan hidrodinamis. Tekanan hidrodinamis, seperti gelombang atau arus akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang. Ada kecenderungan bahwa semakin besar tekanan hidrodinamis, bentuk karang lebih mengarah ke bentuk merayap. Sebagai contoh, peristiwa ini dapat dilihat dari perbandingan bentuk karang masif, Porites lutea, yang tumbuh di Pantura Jawa, seperti Jepara dengan yang berasal dari Teluk Penyu, Cilacap. Karang yang tumbuh di Cilacap cenderung berbentuk merayap 3. Sedimen. Seperti diutarakan sebelumnya bahwa sedimen dapat mempengaruhi pertumbuhan karang. Namun disamping itu sedimen juga diketahui menentukan pertumbuhan karang. Ada kecenderungan bahwa karang yang tumbuh atau teradaptasi di perairan yang sedimennya tinggi, berbentuk lembaran, dan bercabang. Sedangkan di perairan jernih dengan sedimentasi yang rendah lebih banyak dihuni oleh karang yang berbentuk piring; 4. Subareal eksposure. Subareal yang dimaksud adalah daerah-daerah yang pada saat-saat tertentu, ketika saat surut yang rendah sekali menyebabkan banyak karang yang mencuat ke permukaan air. Kondisi seperti ini biasanya cukup lama sehingga dapat menyebabkan beberapa karang tidak dapat bertahan. Berkaitan dengan hal ini ada kecenderungan bahwa semakin tinggi level eksposure, semakin banyak jenis karang yang berbentuk bundar dan merayap. Selain itu ciri spesifik adanya subaerial eksposure adalah banyaknya karang yang berbentuk micro atoll. Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang sangat rentan terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya termasuk gangguan yang berasal dari kegiatan manusia dan pemulihannya memerlukan waktu yang lama. Menurut Burke et al. (2002) bahwa terdapat beberapa penyebab kerusakan terumbu karang yaitu : (1) Pembangunan di wilayah pesisir yang tidak dikelola dengan baik; (2) Aktivitas di laut antara lain dari kapal dan pelabuhan termasuk akibat langsung dari pelemparan jangkar kapal; (3) Penebangan hutan dan perubahan tata guna lahan yang menyebabkan peningkatan sedimentasi; (4) Penangkapan ikan secara berlebihan memberikan dampak terhadap keseimbangan yang harmonis di dalam ekosistem terumbu karang; (5) Penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan bom; dan (6) Perubahan iklim global. Veron (2000) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1999) mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 oC di atas suhu normal. Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah
7 kelebihan zat hara berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga berlebihan terhadap karang. Tiga daerah besar penyebaran terumbu karang di dunia yaitu Laut Karibia, Laut Hindia dan Indo-Pasifik (Veron 2000; Suharsono 1999). Di Asia Tenggara terdapat 30% dari seluruh terumbu karang di dunia. Selanjutnya Burke et al. (2002) memperkirakan Indonesia memiliki luas terumbu karang kira-kira 5100 km2 atau 51% dari luas terumbu karang yang ada di Asia Tenggara atau setara dengan 18% dari luas terumbu karang dunia. Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10 oC. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25 oC sampai 29 oC. Kondisi ini menyebabkan terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans 2000). Manfaat yang terkandung di dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam, baik manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung antara lain sebagai habitat ikan dan biota lainnya, pariwisata bahari, dan lain-lain. Manfaat tidak langsung, antara lain sebagai penahan abrasi pantai dan pemecah gelombang. Terumbu karang adalah salah satu ekosistem laut yang paling penting sebagai sumber makanan, habitat berbagai jenis biota komersial, menyokong industri pariwisata, menyediakan pasir untuk pantai, dan sebagai penghalang terjangan ombak dan erosi pantai (Westmacott et al. 2000).
Sedimentasi Sedimentasi adalah proses pengendapan sedimen oleh media air, angin, atau es pada suatu cekungan pengendapan pada kondisi tekanan dan suhu tertentu. Dalam batuan sedimen dikenal dengan istilah tekstur dan struktur. Tekstur adalah suatu kenampakan yang berhubungan erat dengan ukuran, bentuk butir, dan susunan komponen mineral-mineral penyusunnya. Studi tekstur paling bagus dilakukan pada contoh batuan yang kecil atau asahan tipis. Struktur merupakan suatu kenampakan yang diakibatkan oleh proses pengendapan dan keadaan energi pembentuknya. Pembentukannya dapat terjadi pada waktu yang relative singkat atau sesaat setelah pengendapan. Struktur berhubungan dengan kenampakan batuan yang lebih besar, paling bagus diamati di lapangan misal pada perlapisan batuan (Widada 2002). Gross (1990) mendefinisikan sedimentasi laut sebagai akumulasi dari mineral-mineral dan pecahan-pecahan batuan yang bercampur dengan hancuran cangkang dan tulang dari organisme laut serta beberapa partikel lain yang terbentuk lewat proses kimia yang terjadi di laut. Walaupun pengertiannya agak berbeda satu dengan lainnya, satu hal penting dari pengertian sedimen adalah sama-sama memerlukan proses pengendapan untuk membentuk sedimen/ endapan itu sendiri. Berdasarkan asal terbentuknya, terdapat dua macam sedimen di laut. Pertama adalah terrigenous sediment, terbentuk dari hasil pelapukan; erosi dari daratan yang kemudian ditransfer ke laut melalui sungai; gletser dan angin. Umumnya sedimen jenis ini tersusun dari kerikil, pasir, lumpur dan tanah liat
8 (clay). Kedua adalah biogenous sediment, terbentuk dari hasil proses-proses biologis organisme planktonik (dominan) yang mensekresikan skeleton dari kalsium karbonat atau silica (Bearman 1999). Selanjutnya Tomascik et al. (1997) mengemukakan bahwa terrigenous sediment lebih dominan terdapat di daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi. Pada daerah ini (misalnya: pantai utara Jawa dan selatan Kalimantan), masukan lumpur dan pasir (yang kaya akan clay mineral) banyak dijumpai sebagai penyusun habitat dasar. Untuk daerah yang lebih kering serta kawasan non-vulkanik, sedimen pada perairan dangkalnya lebih didominasi oleh biogeous sediment. Berdasarkan ukuran butirnya, sedimen dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yakni batu (stone), pasir (sand), lanau (silt), dan lempung (clay). Klasifikasi ini didasarkan pada Skala Wentworth seperti yang disajikan pada Tabel 1. Skala tersebut menunjukkan ukuran standar kelas sedimen dari fraksi berukuran mikron sampai beberapa mm dengan spektrum yang bersifat kontinyu (Wibisono 2005). Tabel 1. Klasifikasi ukuran butir sedimen berdasarkan Skala Wentworth (Wibisono 2005) Nama
Partikel
Ukuran (mm)
Batu (stone)
Bongkah (boulder) Krakal (coble) Kerikil (peble) Butiran (granule)
>256 64 – 256 4 – 64 2–4
Pasir (sand)
Pasir sangat kasar (very coarse sand) Pasir kasar (coarse sand) Pasir sedang (medium sand) Pasir halus (fine sand) Pasir sangat halus (very fine sand)
1–2 ½-1 ¼-½ 1/8 – ¼ 1/16 – 1/8
Lanau (silt)
Lanau kasar (coarse silt) Lanau sedang (medium silt) Lanau halus (fine silt) Lanau sangat halus (very fine silt)
1/32 – 1/16 1/64 – 1/32 1/128 – 1/64 1/256 – 1/128
Lempung (clay)
Lempung kasar (coarse clay) Lempung sedang (medium clay) Lempung halus (fine clay) Lempung sangat halus (very fine clay)
1/640 – 1/256 1/1024 – 1/640 1/2360 – 1/1024 1/4096 – 1/2360
Klasifikasi sedimen berdasarkan cara pembentukannya atau asal sumber endapan dapat digolongkan ke dalam 5 kategori yaitu sedimen terrigenous, biogenic, authigenic, volcanogenic dan cosmogenous (Pinet 2000). 1. Sedimen terrigenous Jenis pasir dan lumpur berupa butiran kasar hingga halus yang dihasilkan dari proses iklim, erosi daratan dan batuan. 2. Sedimen biogenic
9 Tipe kapur dengan komposisi kalsium karbonat dan lumpur silika dari butiran halus hingga kasar yang berasal dari potongan organisme seperti moluska dan hancuran kerangka. 3. Sedimen authigenic Partikel dari pengendapan kimia atau reaksi biokimia di dasar laut seperti mangan dan fosfat. 4. Sedimen volcanogenic Partikel yang dikeluarkan dari gunung berapi seperti abu. 5. Sedimen cosmogenous Partikel sangat halus berasal dari angkasa dan cenderung bercampur dengan sedimen terrigenous dan biogenic. Menurut Rifardi (2008) ukuran butir sedimen sangat penting sekali dalam beberapa hal sebab dapat menggambarkan: 1) daerah asal sedimen, 2) perbedaan jenis partikel sedimen, 3) ketahanan partikel dari bermacam-macam komposisi terhadap proses perusakan selama terjadinya proses pelapukan dan transportasi serta 4) jenis proses yang berperan dalam transportasi dan deposisi sedimen. Proses sedimentasi adalah pengendapan butiran sedimen dari kolam air ke dasar perairan. Di perairan proses ini meliputi pelepasan (detachment) dalam bentuk tersuspensi (suspension), melompat (saltasion), berputar (rolling) dan menggelinding (sliding). Selanjutnya butiran butiran tersebut akan mengendap bila aliran air tidak dapat mempertahankan gerakannya. Proses sedimentasi merupakan parameter yang paling menonjol dalam hubungannya dengan penyebaran material bahan dasar laut atau pendangkalan dan bahan tersuspensi yang berada di dalam kolom air, selanjutnya proses ini akan merubah kedalaman dan konfigurasi pantai sehingga merubah keadaan dasar laut, baik secara vertical maupun horizontal (Uktoselya 1991). Sebagian besar dasar laut yang dalam ditutupi oleh jenis partikel yang berukuran kecil yang terdiri dari sedimen halus. Hampir semua pantai ditutupi oleh partikel berukuran besar yang terdiri dari sedimen kasar. Keseimbangan antara sedimen yang dibawa sungai dengan kecepatan pengangkutan sedimen di muara sungai akan menentukan berkembangnya dataran pantai. Apabila jumlah sedimen yang dibawa ke laut dapat segera diangkut oleh ombak dan arus laut, maka pantai akan dalam keadaan stabil. Sebaliknya apabila jumlah sedimen melebihi kemampuan ombak dan arus laut dalam pengangkutannya, maka dataran pantai akan bertambah (Putinella 2002). Komposisi dan jumlah sedimen yang masuk ke daerah pantai (termasuk kawasan terumbu karang) dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama adalah kondisi geologis yang meliputi litologis dan fisiografis, dimana dengan kondisi geologis yang berbeda akan menghasilkan sedimen yang berbeda dalam hal jumlah dan kualitas (ukuran partikel, minerologi). Faktor kedua yang tidak kalah pentingnya adalah iklim yang dapat mempengaruhi laju pelapukan serta erosi tanah, intensitas dan durasi curah hujan. Faktor lainnya yang mempengaruhi masukan sedimen adalah angin yang membawa debu dan pasir, kapasitas infiltrasi dari tanah dan batuan, serta adanya penutupan oleh tanaman vegetasi di sekitarnya (Milliman 2001). Sirkulasi sedimen di daerah pantai serta transport dari dan ke arah laut lepas lebih dipengaruhi oleh angin, arus, gelombang dan pasang surut. Hasil dari pelapukan dan erosi terbawa oleh aliran sungai dalam bentuk padatan tersuspensi,
10 kemudian melalui proses mekanik sebagian didepositkan dan terakumulasi pada lapisan dasar, peristiwa ini disebut sedimentasi (Bates and Jackson 1980). Selanjutnya Tomascik et al. (1997) menyebutkan bahwa laju sedimentasi dari padatan tersuspensi ini dipengaruhi oleh struktur fisik dari partikel itu sendiri (contoh: volume, luas permukaan, densitas, dan porositas), sifat fisik dari air (contoh: densitas), serta kondisi hidrologis di sekitar lokasi (contoh: velositas arus, shear stress, pengadukan). Sedimen dihasikan oleh proses iklim melalui proses hancuran mekanik dan kimia dari batuan seperti granit atau dari dasar laut dalam bentuk partikel yang dipindahkan oleh udara, air atau es. Partikel-partikel tersebut berasal dari organik dan anorganik (Pinet 2000). Sedimen yang menutupi dasar perairan memiliki berbagai variasi dalam bentuk partikel komposisi ukuran, sumber atau asal sedimen. Material yang lebih besar dan lebih berat akan diendapkan lebih cepat pada daerah yang relatif dekat dengan pantai dibandingkan material halus yang terbawa oleh arus dan gelombang ke laut lepas (Davis 1991). Faktor penting yang menentukan suatu endapan sedimen alami adalah distribusi ukuran partikel dan kondisi-kondisi energi pada beberapa lokasi pengendapan. Interaksi kedua faktor menghasilkan sifat endapan sedimen. Pada garis pantai dipengaruhi oleh gelombang dan tingginya energi suspensi, memindahkan semua sedimen halus dan diikuti oleh sebagian besar pasir kasar dan sedang serta gravel yang diendapkan pada pantai dan dekat zona pantai. Pada bagian luar pantai dari zona pantai, penurunan energi gelombang yang disebabkan oleh bertambahnya kedalaman. Penurunan energi di dasar perairan seiring dengan bertambahnya kedalaman dan secara sistematik penurunan ukuran butiran menjauhi pantai (Pinet 2000).
Pengaruh Sedimen terhadap Terumbu Karang Komunitas terumbu karang identik dengan kondisi lingkungan dengan perairan yang jernih, oligotropik, dan substrat dasar yang keras. Sedimen yang tersuspensi maupun yang terdeposit umumnya memberikan efek yang negatif terhadap komunitas karang (McLaughin et al. 2003). Rogers (1990) menyebutkan bahwa laju sedimentasi dapat menyebabkan kekayaan spesies yang rendah, tutupan karang rendah, mereduksi laju pertumbuhan dan laju recruitment yang rendah, serta tingginya pertumbuhan karang bercabang. Pengaruh sedimen terhadap komunitas karang secara garis besar terjadi melalui beberapa mekanisme. Pertama, partikel sedimen menutupi permukaan koloni/individu karang sehingga polip karang memerlukan energi yang lebih untuk menyingkirkan partikel-partikel tersebut. Kedua, sedimen menyebabkan peningkatan kekeruhan dan dapat menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke dasar perairan sehingga dapat mengganggu kehidupan spesies-spesies karang yang kehidupannya sangat bergantung terhadap penetrasi cahaya (Salvat 1987). Ketiga, selain mampu mengikat unsur hara, sedimen juga dapat mengadsorpsi bahan toksik dan penyakit yang dapat menyebabkan terganggunya kesehatan karang. Selanjutnya Hubbard (1997) menyebutkan bahwa sedimentasi juga dapat menghalang-halangi penempelan larva karang pada substrat dasar. Sebagaimana diketahui bahwa larva karang membutuhkan substrat yang keras untuk menempel,
11 dengan adanya penutupan substrat oleh sedimen, larva tersebut tidak mendapatkan kestabilan dalam penempelan sehingga tahap perkembangan selanjutnya tidak dapat tercapai. Sedimentasi mengakibatkan pertumbuhan terganggu karena menurunnya ketersediaan cahaya, abrasi dan meningkatnya pengeluaran energi selama penolakan terhadap sedimen. Gangguan penetrasi cahaya akibat kekeruhan yang tinggi yaitu terbatasnya fotosintesis zooxanthellae dan secara tidak langsung membatasi pertumbuhan karang. Energi yang digunakan untuk pertumbuhan dan reproduksi berkurang karena dipindahkan untuk aktivitas-aktivitas penolakan terhadap sedimen sehingga polip karang tidak dapat menangkap plankton secara efektif (Connell dan Hawker 1992). Dalam banyak kasus, adanya sedimentasi di daerah terumbu karang menyebabkan kematian dan degradasi bagi beberapa spesies karang. Hubbard (1997) mengemukakan bahwa pertumbuhan karang (dan mungkin penutupan) di sepanjang terumbu karang Costa Rica mengalami penurunan secara gradual dengan meningkatnya tekanan lingkungan, terutama sedimentasi sebagai pengaruh dari lahan pertanian sejak 1950. Selanjutnya aktivitas pengerukan yang terjadi di pelabuhan Castle, Bermuda sekitar 30 tahun yang lalu, telah menyebabkan kematian karang di beberapa area karang sekitarnya yang dipengaruhi sistem sirkulasi perairan dari daerah pengerukan tersebut (Dodge dan Vaisnys 1977). Di Ko Phuket, Thailand pengerukan pada daerah dalam selama 8 bulan secara signifikan telah menyebabkan reduksi penutupan karang pada area terumbu karang intertidal yang berdekatan dengan aktifitas tersebut (Brown et al. 1995). Di Indonesia, Sungai Solo di Jawa Timur memasok sekitar 1.200 ton/km2 per tahun sedimen (Hoekstra et al. 1989). Selanjutnya masukan sedimen dari Sungai Solo ini berpengaruh terhadap degradasi dan penyebaran karang di pantai utara Jawa dan Madura (Tomascik et al. 1997). Berdasarkan data yang tersedia, terlihat bahwa pengaruh yang paling kuat terjadi di bagian timur, selama puncak run off yaitu pada muson barat laut, ketika arus dari Laut Jawa mengalir ke arah timur ( Hoekstra et al. 1989). Sedimen di perairan terumbu karang dapat mempengaruhi komunitas ekologi dan komposisi terumbu karang (Stafford-Smith 1993). Beberapa jenis karang memiliki toleransi dengan adanya kekeruhan dan sedimentasi. Hasil penelitian di perairan Tanjung Jati Jepara yang mengalami sedimentasi ditemukan adanya dominasi dari jenis Porites dan Goniopora (Hutomo dan Mudjiono 1990). Karang Porites astreoides dan Siderastrea siderea di Karibia merupakan jenis yang toleran terhadap masukan sedimen. Masukan sedimen yang berlangsung selama tiga dekade terakhir yang berasal pemukiman penduduk dan masukan sungai telah merubah struktur komunitas karang Poerto Rico dari karang pembentuk utama terumbu menjadi koloni sekunder yang terpencar dan areanya menjadi tipe hardground. Pada karang Montastrea annularis terjadi penurunan penutupan secara signifikan pada terumbu dengan materi sedimen terrigeneous yang tinggi (Torres dan Morelock 2002). Sedimentasi yang terjadi di Thailand pada kawasan Teluk Bang Tao bagian utara yang bersumber dari penambangan timah dan pengerukan di kawasan teluk telah menghasilkan sejumlah tailing dan plume sedimen yang terbawa ke kawasan terumbu karang. Kematian karang umumnya disebabkan oleh lumpur yang menutupi permukaan karang sehingga mengurangi penutupan karang hidup. Pada daerah tubir di jumpai penutupan
12 karang berkisar 26–34%, rataan tepi terumbu berkisar 27–34% dan rataan terumbu berkisar 3–6% (Changsang et al. 1981). Pada Tabel 2 dapat dilihat variasi tingkat dampak terhadap komunitas komunitas karang. Tabel 2. Variasi tingkat dampak sedimentasi terhadap komunitas karang Laju Sedimentasi (mg/cm2/hari) 1 – 10
10 – 50
>50
Tingkat Dampak
Ringan hingga sedang Pengurangan kepadatan Perubahan bentuk tumbuh Penurunan laju pertumbuhan Kemungkinan penurunan rekruitmen Kemungkinan penurunan dalam jumlah spesies Sedang hingga berat Pengurangan kepadatan secara besar-besaran Penurunan laju pertumbuhan yang sangat cepat Penurunan rekruitmen Penurunan jumlah spesies Kemungkinan invasi oleh spesies oportunis Sangat berat hingga catastrophic Penurunan kepadatan secara drastis Degradasi hebat dari komunitas Beberapa spesies menghilang Beberapa koloni karang mati Penurunan secara hebat rekruitmen Regenerasi karang menurun atau terhenti Invasi oleh spesies oportunis
Sumber : Pastorok dan Bilyard (1985) Hasil penelitian di Guam, suatu komunitas karang yang miskin mendapat masukan sedimen rata-rata 160-200 mg/cm2/hari ditemukan kurang dari 10 spesies dengan penutupan substrat padat kurang dari 2%. Sebaliknya pada komunitas yang kaya dengan rata-rata laju sedimentasi 5-32 mg/cm2/hari ditemukan lebih dari 100 jenis karang dengan penutupan subtrat padat 12%. Spesies richness, persentase penutupan dan rata-rata ukuran koloni karang merupakan kebalikan hubungan dengan laju sedimentasi (Connell dan Hawker 1992). Kemampuan karang terhadap pengendapan sedimen pada permukaan koloninya melalui lima mekanisme; penolakan pasif, polip mengembang oleh masuknya air, pergerakan tentakel dan cillia serta produksi mucus. Kemampuan karang untuk menolak sedimen dibatasi oleh ukuran koloni karang dan besarnya ukuran partikel sedimen. Pada koloni yang kecil proses penolakan sedimen lebih efisien dibandingkan dengan koloni yang lebih besar. Pasir dan partikel halus (< 62 μm) adalah partikel yang terbesar yang dapat dipindahkan secara efektif oleh beberapa spesies (Connell dan Hawker 1992). Pemindahan tersebut melalui mekanisme polip yang mengembang atau pergerakan tentakel yang ikuti gerakan lemah dari silia dapat dilihat pada pada Gambar 2.
13
(a) (b) (c) Gambar 2. Mekanisme penolakan sedimen : (a). pergeseran dari bagian atas corallum, (b) pergerakan oleh silia dan produksi mucus (c) polip yang mengembang (Schuhmacher 1977). Sensitivitas spesies karang terhadap sedimentasi kebanyakan dibatasi oleh karakteristik perangkap partikel dari koloni terhadap partikel dan kemampuan polip individu untuk menolak endapan sedimen. Koloni-koloni karang yang berlapis mendatar dan bentuk pertumbuhan massive mewakili permukaan besar yang stabil untuk menahan padatan-padatan yang mengendap. Sebaliknya, koloni berlapis tegak dan bentuk bercabang yang tegak lurus kurang mampu menahan sedimen. Koloni-koloni yang cembung dan polip-polip yang tinggi tidak mudah terkena akumulasi sedimen daripada bentuk pertumbuhan lain (Connell dan Hawker 1992). Karang Acropora dan Turbinaria yang berbentuk corong, pada pergerakan masa air yang lambat dapat menjadi perangkap yang mengakumulasi sedimen pada pusatnya sehingga dapat mematikan jaringan di bawahnya. Di sisi lain corong semua jaringan karang tetap terpelihara, berfotosintesis dan masih dapat menangkap makanan. Pada pergerakan air yang cepat bentuk corong menciptakan pusaran air dan pergantian aliran masa air sehingga dapat melepaskan dan mengosongkan akumulasi sedimen pada karang (Gambar 3). Koloni karang berbentuk corong ini dominan di perairan Afrika Selatan terutama pada area dengan pergerakan air yang lambat dan cepat (Reigl et al. 1996).
Gambar 3. Model pemindahan sedimen pada karang yang berbentuk corong (Reigl et al. 1996). Secara umum karang tumbuh di perairan dekat pantai lebih toleran terhadap konsentrasi tinggi sedimen tersuspensi daripada spesies yang hidup di perairan lebih dalam pada fringing reef yang menghadap laut (Pastorok dan Bilyard 1985; Robert dan Muray 2002). Karang batu dapat mentolerir masukan sedimen dalam jangka waktu pendek selama beberapa hari, tetapi sedimentasi dan kekeruhan tinggi akan mengurangi jumlah zooxanthellae, polip yang
14 mengembang, atau sekresi mukus yang abnormal. Karang lebih toleran terhadap masukan sedimen dalam waktu pendek daripada pada kondisi kekeruhan tinggi secara terus menerus (Connell dan Hawker 1992).
Penelitian yang Pernah Dilakukan Penelitian mengenai pengaruh sedimentasi pada terumbu karang ini telah ada dilakukan sebelumnya. Suhendra (2006) telah melakukan analisa mengenai pengaruh sedimentasi terhadap terumbu karang pada perairan Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur, Masduki (2008) di Perairan Teluk Wondama Papua, Partini (2009) di perairan Pantai Timur Kabupaten Bintan, Pratomo (2012) di perairan Pulau Abang Kota Batam. Hasil analisis diketahui bahwa laju sedimentasi yang terjadi di Kepulauan Derawan cukup bervariasi dengan rentan nilai 8,67-30,50 mg/cm2/hari dengan kriteria tutupan karang sedang hingga sangat baik. Selanjutnya di Pantai Timur Bintan dinyatakan bahwa nilai laju sedimentasi di daerah tersebut berkisar antara 4,0-78,24 mg/cm2/hari dengan tutupan karang hidup sedang hingga baik. Di Perairan Pulau Abang laju sedimentasi berkisar antara 0,93–22,82 mg/cm2/hari dan tutupan karang hidupnya dalam kategori sedang hingga baik. Hasil analisis penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian laju sedimentasi berpengaruh negatif terhadap tutupan terumbu karang. Semakin tinggi laju sedimentasi maka tutupan terumbu karang akan semakin rendah. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa laju sedimentasi berpengaruh positif terhadap indeks mortalitas terumbu karang. Semakin tinggi sedimentasi, semakin tingi pula tingkat kematian terumbu karang.
3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Bulan Februari 2013 sampai April 2013 yang berlokasi perairan Teluk Lampung. Perairan ini relatif dangkal, yaitu kurang dari 30 meter dan terdapat banyak yang bermuara di perairan ini. Sungai-sungai yang melintasi Kota Bandar Lampung adalah sungai kecil dengan debit air yang kecil, diantaranya adalah Way Simpur, Way Penengahan, Way Kunyit, dan Way Keteguhan. Data mengenai debit sungai yang bermuara di Teluk Lampung berdasarkan data Bappeda Lampung (2011) dapat dilihat pada Lampiran 3. Teluk Lampung berbatasan dengan Selat Sunda di sebelah selatan, Kota Bandar Lampung di sebelah utara, Kabupaten Lampung Selatan dan Teluk Semangka di sebelah barat dan Kabupaten Lampung Selatan di sebelah Timur. Teluk Lampung merupakan perairan semi tertutup yang terletak di ujung selatan Pulau Sumatera yang menghadap ke Selat Sunda.
15
Gambar 4. Peta lokasi penelitian dan titik stasiun pengamatan Penentuan Stasiun Survei awal dilakukan pengamatan langsung dengan diving bertujuan untuk memperoleh gambaran umum tentang sebaran karang yang tumbuh di perairan Teluk Lampung dan kondisi fisik lingkungan yang menyangkut sumber sedimen.. Penentuan titik stasiun berdasarkan hasil survei awal dan jarak terhadap muara sungai. Perbedaan jarak tersebut diduga terdapat perbedaan laju sedimentasi yang akan berpengaruh terhadap struktur terumbu karang Pada penelitian ditentukan sebanyak 10 stasiun yang keseluruhan terdapat di bagian kiri teluk. Hal ini dikarenakan terumbu karang yang masih ada dan cukup mendukung penelitian ini terdapat di daerah tersebut. Secara lengkap letak titik stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 3.
Peralatan yang Digunakan Alat bantu utama yang digunakan dalam pengamatan terumbu karang adalah peralatan selam SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparatus), roll meter, pelampung tanda, jam tangan bawah air, transek kuadrat dengan ukuran (1x1) m2, serta alat tulis bawah air (underwater paper dan pensil). Alat pendukung lainnya yang digunakan untuk mengamati terumbu karang diantaranya adalah kamera bawah air, serta perahu motor sebagai alat transportasi dalam pengambilan data. Global Positioning System (GPS) digunakan untuk mencatat posisi geografis lokasi stasiun pengamatan. Alat yang digunakan untuk mengukur sedimen adalah perangkap sedimen (sediment traps) yang terbuat dari
16 pipa PVC dengan diameter dalam 5 cm. Adapun bahan yang digunakan untuk mengidentifikasi karang adalah buku identifikasi karang, yaitu: Suharsono (2010); Stafford-Smith (1993) dan Veron (2000). Selanjutnya peralatan serta metode yang digunakan untuk mengukur parameter perairan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 3. Posisi geografis pada tiap stasiun penelitian No.
Nama Lokasi
Posisi Geografis Latitude
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Hurun Pandan (Keramba lama) Muara S. Belakang BBPBL Daerah RKC Ringgung Muara S. Kebang Sidodadi Bagian Luar Pulau Tegal Pulau Maitem Pulau Kelagian Pulau Pahawang
05031’247” 05052’643” 05031’733” 05032’064” 05033’208” 05033’914” 05034’362” 05035’06” 05037’107” 05039’640”
Longitude 105015’025” 105024’50” 105015’103” 105015’150” 105015’341” 105014’827” 105016’827” 105016’120” 105013’05” 105012’150”
Tabel 4. Peralatan untuk mengukur parameter sedimen dan oseanografi fisik kimia. Parameter Satuan Alat dan Bahan Keterangan Posisi stasiun Kecepatan arus Kekeruhan Arah arus Kedalaman Kecerahan Suhu Salinitas Fosfat Nitrat TSS Laju sedimentasi Tekstur sedimen
Derajat cm/det NTU (°) m m o C psu mg/l mg/l mg/l mg/cm2/hari %
GPS Floater drauge Turbidimeter Kompas Tongkat Kedalaman Seschi disk Termometer Refractometer Spektrofotometer Spektrofotometer Gravimetri Sediment trap Siever, neraca, pipet
In situ In situ Lab. In situ In Situ In situ In situ In situ Lab. Lab. Lab. In situ dan Lab. Lab.
Metode Pengambilan Data Pengambilan data primer dilakukan melalui pengukuran langsung parameter penelitian baik di lapangan maupun di laboratorium. Pengumpulan data sekunder dilakukan untuk menunjang data primer diberbagai instansi terkait,
17 seperti Dinas Kelautan Perikanan (DKP) Lampung Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung.
dan
Balai
Besar
Pengukuran Parameter Fisik dan Kimia Perairan Pembacaan dan pencatatan data suhu di perairan Teluk Lampung dilakukan pada kedalaman 0,5 m. Arus dan salinitas yang diukur adalah arus dan salinitas lapisan permukaan. Pengukuran parameter fisik-kimia oseanografi lainnya juga dilakukan meliputi nitrat, ortofosfat, kekeruhan, kecerahan, total padatan tersuspensi (total suspended solid). Sample air yang terambil kemudian dipindahkan ke dalam botol sampel untuk dilakukan analisis nitrat, fosfat, dan TSS di laboratorium.
Pengukuran Laju Sedimentasi Laju sedimentasi diukur dengan alat perangkap sedimen. Tabung perangkap sedimen yang digunakan adalah pipa PVC dengan ukuran diameter 5 cm dan tinggi 11,5 cm, pada bagian atas memiliki sekat-sekat (baffles) penutup. Tabung perangkap sedimen dipasang pada tiang besi berdiameter 12 mm pada ketinggian 20 cm dari dasar (Rifardi 2008). Tiap stasiun dipasang tiga buah sediment trap, jarak antar perangkap sedimen berkisar 1 sampai 5 m tergantung pada keberadaan terumbu karang untuk menghindari kerusakan akibat pemasangan perangkap sedimen. Perangkap sedimen dipasang selama 20 hari, sedimen yang terkumpul kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60 oC selama 24 jam (English et al. 1997). Selanjutnya dilakukan pengukuran berat kering sedimen dalam satuan miligram dengan timbangan analitik. Laju sedimentasi dinyatakan dalam satuan mg/cm2/hari (Rogers et al. 1994).
33 cm
110 cm
55 cm
Keterangan 1.Pelampung 2.Tiang penegak 3.Tabung penangkap sedimen 4.Pemberat
19 cm
Gambar 5. Konstruksi perangkap sedimen (Rifardi 2008)
18 Pengamatan Terumbu Karang Pengamatan terumbu karang dilakukan dengan menggunakan metode transek kuadrat (English et al. 1997). Metode ini cocok digunakan untuk mengamati penutupan terumbu karang dengan periode waktu yang lama. Metode ini terdapat tiga tahapan yang dilakukan, yaitu pembentangan roll meter, pemasangan pasak, dan pengambilan foto transek. Pemasangan roll meter dilakukan untuk menetapkan transek garis, dimana transek garis ini berfungsi dalam penentuan arah dan jarak yang konstan dari pemasangan transek kuadrat. Roll meter dibentangkan sepanjang 50 meter, kemudian pemasangan transek kuadrat berukuran (1x1) m2 yang dibagi lagi menjadi 100 bagian yang lebih kecil dan dilakukan setiap selang 10 meter (Gambar 6). Semua individu yang terdapat dalam transek diukur koloninya dan digambar/dipetakan pada sabak (kertas tahan air) dan langsung diidentifikasi sampai tingkat genus. Individu yang belum teridentifikasi diambil sampelnya untuk kemudian dilakukan pengidentifikasian dengan bantuan buku identifikasi karang. Pengambilan foto transek dilakukan dengan menggunakan kamera bawah air. Metode ini mempunyai keuntungan yang lebih dalam hal mencatat semua jenis (termasuk yang tersembunyi) dan mengurangi terabaikannya pencatatan beberapa koloni. Metode ini memungkinkan untuk memeriksa kembali bidang pengamatan dengan melihat gambar yang telah dibuat jika menggunakan kuadrat permanen. Analisis yang dihasilkan dengan menggunakan metode ini memberikan hasil yang bagus untuk menghitung parameter jumlah spesies, persentase penutupan dan kepadatan populasi (Rogers et al. 1994).
/
Gambar 6. Ilustrasi di lapangan penempatan transek kuadrat.
Hitungan dan Analisis Laboratorium
Laju Sedimentasi Laju sedimentasi dinyatakan dalam mg/cm2/hari (Roger et al. 1994). Pengamatan dilakukan dengan mengoleksi sedimen yang terperangkap dalam sediment traps yang dipasang selama 20 hari. Selanjutnya dihitung berat kering sedimen (dalam mg) dengan menggunakan timbangan analitik. Perhitungan laju sedimentasi dilakukan melalui persamaan berikut :
LS
BS ................... (1) n. . r 2
Keterangan : LS = Laju sedimentasi (mg/cm2/hari) Bs = Berat kering sedimen (mg) π = konstanta (3,14)
19 r = Jari jari lingkaran sedimen trap (cm) n = Jumlah hari
Tekstur Sedimen Penentuan tekstur sedimen dilakukan dengan menggunakan saringan bertingkat (sieving) untuk fraksi pasir kemudian ditimbang berdasarkan ukuran diameter butiran sedimen. Fraksi lumpur menggunakan metode pipet (Poppe et al. 2003). Selanjutnya data komposisi sedimen berdasarkan ukuran butir diolah menggunakan software Gradistat 6.0 untuk menentukan jenis sedimen (Blott 2000 ; Blott dan Pye 2001). Analisis Al, Ca, dan Fe pada Sedimen Analisis ini ditujukan untuk mengetahui unsur-unsur penyusun pada partikel-partikel sedimen. Hal ini agar mempermudah dalam menganalisis apakah partikel tersebut merupakan substrat asli dan hasil sedimentasi atau substrat yang berasal dari bahan lain seperti pecahan karang ataupun sisa-sisa biota laut yang sudah mati. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode spektrofotometer serapan atom (SSA). Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung persentasi kandungaan unsur Fe, Al, dan Ca pada sedimen berdasarkan Isric (1993) :
Fe dan Al (%) =
V x N x BA x 100% .............................. (2) BC
Keterangan: V=Volume pengenceran (ml); N= Normalitas; BA=Bobot Atom; BC=Bobot Contoh (mg) Ca (%) =
V x N x BM x FP x 100% ................................(3) BC
Keterangan: V=Volume EDTA (ml); N= Normalitas; BA=Bobot Atom; FP=Faktor Pengenceran; BC=Bobot Contoh (mg)
Analisis Data Persentase Tutupan Dan Mortalitas Terumbu Karang Persentase penutupan karang beserta penyusun substrat dasar lainnya dianalisis dengan menggunakan software CPCe (Coral Point Count with Excel extension) V.4,0. Prinsip kerja dari metode ini adalah: pertama mengkonversi foto yang diambil dengan menggunakan kamera dari satuan meter (mengacu pada transek kuadrat dengan dengan luas (1x1) m2 ke dalam satuan pixel; selanjutnya melakukan digitasi terhadap bentuk pertumbuhan karang beserta substrat dasar lainnya yang telah diketahui genusnya. Hasil akhir dari pengolahan ini adalah berupa persentase penutupan baik bentuk pertumbuhan ataupun genus karang
20 serta penyusun substrat dasar lainnya yang terdapat dalam transek kuadrat. Persentase total tutupan karang hidup yang diperoleh dikategorikan berdasarkan Gomez dan Yap (1988), sebagai berikut ; 0–24,9% (buruk), 25–49,9% (sedang), 50–74,9% (baik) dan 75–100% (sangat baik).
Indeks Mortalitas Tingkat kematian karang pada masing-masing stasiun penelitian didekati dengan indeks mortalitas. Nilai indeks mortalitas karang didapatkan dari persentase penutupan karang mati dan patahan karang dibagi dengan persentase karang hidup (Gomez and Yap 1988): MI
A ................... (4) A B
Keterangan : MI = Indeks mortalitas A = Persentase karang mati dan patahan karang B = Persentase karang hidup Indeks ini memperlihatkan besarnya perubahan karang hidup menjadi karang mati. Nilai indeks mortalitas yang mendekati 0,0 menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang berarti bagi karang hidup yang mati, sedangkan nilai yang mendekati 1,0 menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang berarti dari karang hidup menjadi karang mati.
Pengamatan Kematian Karang Kematian karang tidak hanya terjadi karena pengaruh sedimentasi, namun ada kemungkinan karena faktor lain seperti aktivitas pemboman maupun penambangan karang. Analisis ini ditujukan sebagai antisipasi banyaknya kematian karang di daerah yang laju sedimentasinya rendah. Metode yang digunakan adalah metode pengamatan langsung dengan memperhatikan ciri-ciri bentuk kematian karang. Menurut Sukmara et al. (2002) ciri-ciri kematian karang dapat dilihat pada Tabel 5 sebagai berikut : Tabel 5. Ciri-ciri kematian karang Penyebab Pemboman
Penambangan Sedimentasi
Ciri-ciri kematian karang karang mati terbongkar dan patah-patah tersebar berserakan hancur menjadi pasir meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang penurunan pondasi terumbu karang yang ditandai dengan adanya bekas lubang terumbu karang terumbu karang akan tertutupi oleh sedimen dan jika dalam tingkat sedimentasi yang tinggi, akan mengakibatkan kematian karang tersebut.
21 Analisis Komponen Utama Untuk melihat keterkaitan hubungan parameter terumbu karang beserta karakteristik perairan di sekitarnya dilakukan analisis menggunakan statistik multivariabel PCA (Principal Components Analysis) dengan software XLSTAT 2009.2.01. Analisis Komponen Utama (PCA) merupakan metode analisis statistika deskriptif untuk merepresentasikan data dalam bentuk grafik informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Parameter yang dilibatkan dalam analisis ini adalah persentase tutupan karang serta parameter fisika-kimia perairan di sekitarnya seperti salinitas, kecerahan, kecepatan arus, kekeruhan, TSS, laju sedimentasi, tutupan karang dan indeks mortalitas. Karena parameterparameter tersebut tidak memiliki satuan yang sama maka harus dilakukan penormalan data melalui serangkaian proses pemusatan dan pereduksian. Pemusatan dilakukan dengan melihat selisih antara nilai parameter inisial tertentu dengan nilai rata-rata parameter tersebut. Pereduksian merupakan hasil bagi antara nilai pemusatan dengan standar deviasi parameter tersebut (Johnson and Wichern 2007) R
Ni x .............................(5) S
Keterangan : R = nilai hasil reduksi Ni = nilai parameter awal x = nilai rataan dari parameter S = standar deviasi Agar pengelompokan dapat dilakukan, harus diketahui dahulu kedekatan antar komponen, untuk itu digunakan jarak Euclidean yang merupakan jumlah kuadrat perbedaan antara stasiun (baris) terhadap variabel/parameter (kolom) yang berhubungan.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Fisika Kimia Perairan Teluk Lampung Suhu Hasil pengamatan suhu perairan lokasi penelitian menunjukkan kisaran nilai antara 30,2–32,7 0C (Gambar 7). Kisaran suhu ini masih menggambarkan kondisi perairan di berbagai tempat seperti Perairan Jelamun Karimun Jawa (30,2–31,5 0 C) (Ariyati et al. 2005), Perairan Cisadane (30,06-31,21 0C), (Hadikusumah 2005), Perairan Raja Ampat (28,3-31,8 0C), (DKP-KRA 2006). Secara umum hasil pengamatan ini merupakan kondisi yang umum ada di wilayah perairan Indonesia (tropis). Walaupun kisaran ini diperkirakan kurang mencerminkan kondisi suhu yang minimum karena umumnya penelitian tersebut melakukan pengukuran pada waktu yang sama yaitu pada siang hari. Pada daerah tropis, suhu perairan berkisar 26-30 °C pada kedalaman 50-100 m (Ilahude 1999). Nontji
22 (2005) mengatakan perairan Indonesia memiliki suhu permukaan laut berkisar 28 °C sampai dengan 31 °C. Sehingga hasil pengamatan di Teluk Lampung merupakan kisaran suhu yang masih normal dan biasa di perairan Teluk Lampung. Pada stasiun 1 dan 4 terdapat suhu terukur sampai 32,3 0C dan 32,7 0C. Hal ini merupakan pengaruh kondisi lokal perairan karena stasiun ini mempunyai kedalaman yang relatif rendah di bandingkan dengan stasiun yang lain dan letaknya dekat dengan muara sungai. Kisaran suhu yang masih dapat ditoleransi oleh biota karang berkisar antara 26–34 °C (Suharsono 1999). Beberapa penelitian di wilayah terumbu karang ditemukan dengan kondisi baik seperti di Perairan Pulau Bintan pada suhu kisaran 29,7-30,7 0C dengan tutupan karang mencapai kisaran 61,73-66,58% (Partini 2009), Perairan Kabupaten Tanah Bumbu pada suhu kisaran 26-33 0C dengan tutupan karang berkisar 57,7-75,7% (Asmawi dan Hamdani 2009) dan perairan Pulau Mandike pada kisaran suhu 29-30 0C dengan tutupan karang berkisar 61,73-66,58% (Lalang 2013). Secara keseluruhan hasil pengukuran suhu di Teluk Lampung dalam penelitian ini masih dikategorikan pada kondisi yang masih mendukung pertumbuhan terumbu karang. Salinitas Hasil pengukuran salinitas di perairan berkisar antara 31-32‰ (Gambar 7). Kisaran salinitas ini merupakan kondisi yang umum dijumpai di perairan Indonesia seperti di perairan Pulau Mandike (30-32‰) (Lalang 2013), di perairan Bahari Lombok (31,5-33,2‰) (Muhlis 2011) dan di Perairan Teluk Lampung (3031‰) (Pratiwi 2010). Secara umum hasil pengamatan ini merupakan kondisi yang umum ada di wilayah perairan Indonesia (tropis). Kisaran salinitas bagi pertumbuhan karang di Indonesia berkisar 29-33‰ (Coles dan Jokiel 1992). Salinitas air relatif lebih rendah umumnya berada di sekitar pantai dan diduga karena pengaruh masukan air sungai. Fluktuasi salinitas permukaan terutama di perairan pantai berkaitan erat dengan keberadaan sungai dan hujan lebat.
Gambar 7. Nilai hasil pengamatan suhu (0C) dan salinitas (‰) pada setiap stasiun pengamatan. Beberapa penelitian ditemukan kondisi terumbu karang yang baik pada kisaran salinitas 30-32‰ pada perairan Pulau Mendike, dimana tutupan karangnya mencapai kisaran 61,73-66,58% (Lalang 2013). Selanjutnya, Panggabean (2007) mengatakan pada salinitas 33-33,5‰ di perairan P. Pamegaran terumbu karang dapat hidup dengan baik dengan tutupan berkisar
23 62,35% dan pada salinitas 32-34‰ di perairan P. Kuburan Cina terumbu karang juga hidup dengan baik dengan persentase tutupan 64,19%. Nilai pengukuran salinitas di Teluk Lampung masih dalam kisaran normal dan sangat mendukung pertumbuhan karang.
Derajat Keasaman (pH) Hasil pengukuran di lapangan memperlihatkan bahwa nilai pH pada perairan Teluk Lampung adalah antara 7,89-8,22 (Gambar 8). Beberapa nilai kisaran pH di perairan Indonesia telah diamati seperti perairan Pulau Biawak mempunyai kisaran pH antara 7,88-8,09 (Irawan 2012), perairan Teluk Semangka dengan kisaran pH antara 7,43-8,46 (Firmansyah 2002) dan perairan Teluk Lampung yang mempunyai kisaran pH antara 7,54-8,26 (Susana et al. 2001). Secara umum hasil pengamatan ini merupakan kondisi yang umum ada di wilayah perairan Indonesia (tropis). Kisaran pH perairan di Indonesia berkisar 6,0-8,5 (Romimohtarto 2001), sehingga hasil pengamatan di Teluk Lampung menunjukkan pH yang masih normal.
Gambar 8. Nilai hasil pengamatan pH pada setiap stasiun pengamatan. Beberapa penelitian menunjukkan terumbu karang dapat hidup dalam kondisi baik pada kisaran pH : 7,3 – 8,22 di perairan Teluk Kupang dengan tutupan karang mencapai kisaran 70,33% (Widodo 2010), dan 7,49-8,05 di Perairan Lombok dengan tutupan karang hidup 55% (Muhlis 2009). Jadi, secara keseluruhan hasil pengukuran pH di Teluk Lampung dalam penelitian ini masih dikategorikan pada kondisi yang masih mendukung pertumbuhan terumbu karang.
Kecerahan Kecerahan berhubungan erat dengan kekeruhan karena kecerahan air sangat tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan menggambarkan kemampuan cahaya menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Hasil pengukuran kecerahan di lokasi penelitian berkisar 2,6-8,8 m (Gambar 9). Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air semakin berkurang dengan bertambahnya kedalam perairan. Dengan kata lain, cahaya akan mengalami penghilangan (extinction) atau pengurangan (attenuation) yang semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Hasil pengukuran secara umum masih dalam batas wajar. Nilai kecerahan yang paling rendah terdapat pada stasiun 1 yang
24 terletak di muara sungai Hurun dan sungai BBPBL. Hal ini diduga mengakibatkan adanya bahan tersuspensi yang terbawa dari daratan sehingga menyebabkan nilai kecerahan menjadi berkurang. Selain itu aktivitas pelayaran juga mempengaruhi nilai kecerahan pada daerah tersebut.
Gambar 9. Nilai hasil pengamatan kecerahan (m) pada setiap stasiun pengamatan. Beberapa penelitian mengatakan terumbu karang dapat hidup dengan baik pada kisaran kecerahan 3-12 m di perairan P. Tuapejat dengan tutupan karang hidup 54,30-60%, kisaran kecerahan 3-12,1 di perairan P. Simakakang dengan tutupan karang hidup 59,47% dan pada kisaran kecerahan 3-12 m pada perairan P. Pitotogat dengan tutupan karang hidup mencapai 68,87% (Zulfikar 2009), serta kisaran kecerahan 3,6-8,10 m di di perairan Timur Kepulauan Riau dengan tutupan karang berkisar 54,28-62,38% (Adriman et al. 2012). Jadi, secara keseluruhan hasil pengukuran kecerahan di Teluk Lampung dalam penelitian ini masih dikategorikan pada kondisi yang masih mendukung pertumbuhan terumbu karang. Kekeruhan Kekeruhan merupakan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan non organik yang tersuspensi (lumpur, pasir halus) dan terlarut (lempung) maupun plankton dan mikroorganisme lain (Effendi 2003). Nilai kekeruhan berbanding terbalik dengan nilai kecerahan. Jika kekeruhan tinggi maka akan menyebabkan nilai kecerahan menjadi rendah. Hasil pengukuran kekeruhan pada saat penelitian berkisar 0,6-1,3 NTU (Gambar 10). Secara umum hasil pengukuran ini masih dalam batas normal. Santoso (2005) mengatakan bahwa perairan Teluk Lampung berkisar 0,11-4,25 NTU. Peningkatan kekeruhan akan mengurangi penetrasi cahaya yang masuk ke perairan. Terbatasnya cahaya yang masuk ke kolom air akan mengurangi kemampuan fotosintesis simbion karang zooxanthellae dan menurunkan metababolisme hewan karang sehingga akan memperlambat laju kalsifikasi. Selain itu kekeruhan juga akan membentuk karakter morfologi karang yang didominasi oleh bentuk massive (Sorokin 1993). Beberapa penelitian di wilayah terumbu karang mengatakan terumbu karang dapat hidup dengan baik pada kisaran kekeruhan tersebut seperti 0,7-0,9 NTU di Pantai Timur Kab. Bintan dengan tutupan karang 61,73-66,58% (Partini
25 2009), 0-2 NTU di Perairan Pulau Abang Batam dengan tutupan karang hidup 51,3-67,48% (Pratomo 2012), 0,45-5,0 NTU di perairan P. Pancang dengan tutupan karang hidup 52,8% (Boli 1994). Berdasarkan hal tersebut secara keseluruhan hasil pengukuran kekeruhan di Teluk Lampung dalam penelitian ini masih dikategorikan pada kondisi yang baik dan masih mendukung pertumbuhan terumbu karang.
Total Padatan Tersuspensi (TSS) Hasil pengukuran TSS sangat di pengaruhi oleh kondisi perairan pada saat pengukuran seperti pergerakan arus dan gelombang yang menyebabkan turbulensi. Hasil pengukuran pada saat penelitian menunjukkan nilai TSS di daerah penelitian berkisar 0,098-0,210 mg/l (Gambar 10). Pada kisaran TSS tersebut umumnya masih tergolong pada kisaran yang baik untuk kehidupan organisme laut khususnya terumbu karang. Menurut Sulastri dan Bajoeri (1995), kandungan zat padat tersuspensi >25 mg/l dapat menurunkan produksi biota perairan termasuk terumbu karang. Beberapa penelitian yang di wilayah terumbu karang menunjukkan bahwa terumbu karang hidup dalam kondisi baik pada kisaran 6-7 mg/l di di Pantai Timur Kab. Bintan dengan tutupan karang hidup berkisar 59,36-62,89% (Partini 2009) dan kisaran 0-1,0 mg/l di perairan Pulau Abang Batam dengan tutupan karang berkisar 51,3-67,48% (Pratomo 2012). Jadi, disimpulkan bahwa kandungan TSS pada wilayah penelitian masih dalam batas normal dan mendukung pertumbuhan karang.
Gambar 10. Nilai hasil pengamatan kekeruhan (NTU) dan TSS (mg/l) pada setiap stasiun pengamatan Kecepatan Arus Arus di Teluk Lampung terdiri dari arus pasut yang dibangkitkan oleh pasut, dan arus non pasut yang utamanya dibangkitkan oleh angin. Pada saat penelitian, angin bertiup dari timur ke barat (angin timur). Arus pada musim timur antara bulan April hingga Oktober kecepatan arus di perairan Teluk Lampung antara 1 cm/dtk hingga 36 cm/dtk (DKP-Lampung 2013). Tipe pasut di Teluk Lampung adalah tipe semi diurnal campuran, yaitu terjadi dua kali pasang dan dua
26 kali surut setiap harinya. Pada saat akan pasang dan akan surut merupakan waktu menghasilkan kontribusi terbesar terhadap kecepatan arus di Teluk Lampung. Hasil pengukuran kecepatan arus pada saat penelitian adalah berkisar 5,319,6 cm/dtk (Gambar 11). Kecepatan arus di mulut teluk lebih tinggi dibandingkan dengan di bagian dalam teluk. Pengukuran kecepatan arus pada setiap stasiun secara umum dilakukan pada waktu perairan akan surut, sehingga diestimasi bahwa tingkat pengaruh arus pasut terhadap kecepatan arus perairan berada pada tingkat tertinggi. Arus di Teluk Lampung utamanya dibangkitkan oleh pergerakan massa air Samudera Hindia dan Laut Jawa. Massa air laut pasang Samudera Hindia dan Laut Jawa, masuk ke dalam teluk dari arah selatan ke arah utara dengan volume massa air yang cukup besar. Pulau-pulau yang berada di selatan menyebabkan terjadinya pembelokan arah massa air, sebagian kecil berbelok ke barat daya (sisi kiri teluk) dan sebagian besar ke timur laut (sisi kanan teluk) dengan arah akhir barat daya. Pembelokan gerakan massa air pasang sisi kanan membentur sisi kanan teluk, dan selanjutnya, terjadi pembelokan dengan arah timur-barat. Pada waktu air laut surut massa air akan keluar dari teluk (Helfinalis 2000).
Gambar 11. Nilai hasil pengamatan kecepatan arus (cm/dtk) pada setiap stasiun pengamatan Beberapa penelitian di wilayah terumbu karang mengatakan terumbu karang dapat hidup dengan baik seperti pada kisaran kecepatan arus 3,1-29,5 cm/dtk di Pantai Timur Kab. Bintan yang mempunyai tutupan karang hidup antara 59,36-62,89% (Partini 2009), kecepatan arus 17-22 cm/dtk di perairan Timur Kepulauan Riau dengan tutupan karang berkisar 54,28-62,38% (Adriman et al. 2012), dan kecepatan arus 7,0-11 cm/dtk di P. Mandike dengan tutupan karangnya mencapai kisaran 61,73-66,58% (Lalang 2013). Jadi, dapat disimpulkan bahwa kecepatan arus pada daerah penelitian masih normal dan mendukung pertumbuhan terumbu karang. Nitrat Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini yang dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai nitrat di daerah penelitian berkisar antara 0,007-0,342 mg/l (Gambar 12). Pengukuran kadar nitrat di perairan telah banyak
27 dilakukan di perairan Indonesia yang menunjukkan hasil yang hampir sama dengan hasil pengukuran di daerah penelitian Teluk Lampung diantaranya di perairan Timur Kepulauan Riau yang mempunyai kadar nitrat 0,069-0,351 mg/l (Adriman et al. 2012), perairan Pulau Karimunjawa 0,126-0,252 mg/l (Ariyati et al. 2005) dan perairan Pulau Lancang dengan kisaran nitrat 0,001-0,141 mg/l (Boli 1994). Pada kisaran nitrat tersebut umumnya masih tergolong pada kisaran yang baik untuk kehidupan organisme laut khususnya terumbu karang. Beberapa penelitian di wilayah terumbu karang telah membuktikan terumbu karang dapat hidup dengan baik pada kisaran nitrat tersebut seperti 0,069-0,351 mg/l di perairan Timur Kepulauan Riau yang mempunyai tutupan karang berkisar 54,2862,38% (Adriman et al. 2012), 0,001-0,141 mg/l di perairan Pulau Lancang dengan tutupan karang berkisar 54,2%, dan 0,002-0,120 mg/l di perairan Pulau Pari dengan tutupan karang 52,8% (Boli 1994). Ortofosfat Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan aquatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis untuk membentuk ortofosfat terlebih dahulu, sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan posfat di daerah penelitian berkisar 0,042-0,057 mg/l (Gambar 12). Hasil pengukuran ini secara menunjukkan kondisi yang hampir sama dengan beberapa pengukuran di perairan Indonesia seperti penelitian yang dilakukan di perairan Dumai dengan kandungan fosfat berkisar 0,06 mg/l (Heriyanto 2011), perairan Muria 0,03-0,05 mg/l (Hendro dan Zulfiyandi 2000), perairan Teluk Lampung 0,008-0,075 mg/l (DKP Lampung 2013). Pada kisaran kandungan fosfat tersebut masih tergolong pada kisaran yang baik untuk kehidupan organisme laut khususnya terumbu karang. Beberapa penelitian di wilayah terumbu karang Indonesia telah membuktikan bahwa terumbu karang dapat hidup dengan baik pada kisaran seperti di perairan Pulau Abang Batam dengan nilai fosfat <0,015-4,38 mg/l dan tutupan karang berkisar 51,3-67,48% (Pratomo 2012), perairan P. Kuburan Cina mempunyai kandungan fosfat 0,42 mg/l dengan tutupan karang hidup 64,19%, perairan P. Pamegaran 0,32 mg/l dengan tutupan karang hidup mencapai 62,35% (Panggabean 2007).
Gambar 12. Nilai hasil pengamatan nitrat (mg/l) dan fosfat (mg/l) pada setiap stasiun pengamatan
28 Sedimentasi Ukuran Butir Sedimen Hewan karang membutuhkan substrat yang keras dan kompak untuk menempel. Terutama larva planula dalam pembentukan koloni baru dari karang, yang mencari substrat keras. Substrat keras ini dapat berupa benda padat yang ada di dasar laut, seperti batu, cangkang moluska, potongan-potongan kayu, ataupun besi yang terbenam, namun setiap jenis karang tertentu juga memiliki daya tahan yang berbeda pada benda-benda tersebut. Karang mati yang tenggelam di dasar laut juga dapat ditumbuhi berbagai jenis hewan karang. Dalam ekosistem terumbu karang terutama di daerah tropis dan subtropis sedimen yang dominan adalah endapan kalsium karbonat (CaCO3). Sedimen tersebut berasal dari proses biogenik berupa pecahan halus terumbu karang, moluska, serta coralline algae. Kondisi seperti ini ditandai dengan perairan yang hangat dan cukup jernih seperti yang dibutuhkan oleh terumbu karang untuk tumbuh dan berkembang. Pasir karbonat dan lumpur anorganik dapat juga eksis di daerah ini, sebagai hasil presipitasi secara langsung kalsium karbonat dari air laut yang hangat. Di daerah lintang tinggi karbonat anorganik tidak terbentuk akan tetapi karbonat biogenik masih dapat terbentuk (Bearman 1999). Dominasi pasir karbonat terjadi apabila terrigenous sedimen sebagai masukan dari darat sedikit. Pada area terumbu karang yang dekat dengan muara sungai besar dimana suplai terrigenous sedimen cukup besar maka sedimen yang lebih halus juga dapat eksis dengan jumlah yang cukup banyak. Hasil analisis ukuran butir diperoleh sebaran fraksi sedimen di perairan Teluk Lampung adalah sebagai berikut pasir kasar dengan kisaran 0-15,50%; pasir sedang dengan kisaran 0-58,95%; pasir halus dengan kisaran 18,80-49,72%; lumpur kasar dengan kisaran 1,31-25,44%; lumpur halus dengan kisaran 0,6319,82%; liat 0-38,26%. Sebaran persentase fraksi sedimen serta jenis sedimen pada masing masing stasiun dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil pengamatan menunjukkan secara umum di semua stasiun memiliki fraksi sedimen yang bervariasi mulai dari pasir sangat kasar hingga lumpur halus, akan tetapi komposisinya tidak merata. Komposisi fraksi lumpur pada setiap stasiunnya dapat di jadikan sebagai indikasi terjadinya masukan sedimen dari darat ke laut. Fraksi lumpur pada Stasiun 1 (1,92%), Stasiun 2 (4,20%), Stasiun 3 (42,94%), Stasiun 4 (2,18%), Stasiun 5 (2,63%), Stasiun 6 (45,26%), Stasiun 7 (4,32%), Stasiun 8 (3,71%), Stasiun 9 (2,45%), dan Stasiun 10 (4,72%), dan Pada Stasiun 3 dan 6 komposisi lumpur paling tinggi, hal ini di sebabkan karena kedua stasiun ini terletak di muara sungai yang merupakan pemasok sedimen-sedimen dari daratan, sedangkan komposisi lumpur paling rendah di Stasiun 1, hal ini selain dikarenakan karena tidak terdapat sungai di sekitar stasiun tersebut, juga karena arus yang tenang di Stasiun 1 (5,3 cm/det) sehingga tidak ada sedimen yang masuk ataupun keluar yang terbawa (tidak terjadi mixing).
29 Tabel 6. Sebaran persentase fraksi sedimen serta jenis sedimen pada masing masing stasiun St
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kasar 20.13 15.50 0.00 11.25 9.56 0.00 8.72 9.46 13.72 10.17
Pasir Sedang 58.95 50.16 0.00 44.20 55.70 0.00 37.24 42.18 36.78 40.85
Fraksi (%) Lanau Halus Kasar Halus 19.00 1.15 0.77 30.15 2.52 1.68 18.80 24.19 18.75 42.37 1.31 0.87 32.10 1.58 1.05 20.26 25.44 19.82 49.72 2.59 1.73 44.48 1.98 1.73 47.05 1.82 0.63 44.26 2.75 1.97
Jenis Tekstur Lempung 0.00 0.00 38.26 0.00 0.00 34.49 0.00 0.00 0.00 0.00
Pasir Pasir Lempung Berlanau Pasir Pasir Lempung Berlanau Pasir Pasir Pasir Pasir
Jenis tekstur sedimen di daerah penelitian dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu pasir, lempung berlanau. Pada Stasiun 1, 2, 4, 5, 7, 8, 9 dan 10 memiliki jenis tekstur yang sama yaitu pasir, sedangkan pada Stasiun 3 dan 6 memiliki jenis tekstur lempung berlanau. Hansen dan Christiansen (1995) menyatakan bahwa komposisi partikel tersuspensi yang tertangkap di sediment trap jika didominasi lanau dan lempung menunjukkan area tersebut lebih dipengaruhi oleh pergerakan arus. Hal ini sesuai dengan asumsi yang dijelaskan oleh Mclaren (1981) bahwa kecenderungan butiran sedimen yang terdeposit pada suatu tempat dapat digunakan untuk mengidentifikasi asal sumber sedimen dan pengendapan yang mungkin terjadi. Sedimen dalam bentuk butir halus merupakan bentuk terbanyak yang ditransportasikan dibandingkan dengan butiran sedimen kasar. Laju Sedimentasi Laju sedimentasi adalah suatu proses pengendapan sedimen yang disebabkan oleh sifat mekanis materi tersuspensi di air atau proses pembentukan dan akumulasi sedimen pada lapisan permukaan dasar perairan. Laju sedimentasi rata-rata di lokasi penelitian berkisar antara 3,0937-44,292 mg/cm2/hari. Laju sedimentasi yang paling tinggi terjadi pada Stasiun 1, yaitu sebesar 44,292 mg/cm2/hari. Nilai tersebut menurut kategori Pastorok dan Bilyard (1985), memiliki dampak sedang hingga berat terhadap terumbu karang. Di Stasiun 7 laju sedimentasi paling rendah dibanding stasiun lainnya, yaitu sebesar 3,09 mg/cm2/hari. Hal ini berarti laju sedimentasi memiliki dampak yang ringan sampai sedang terhadap terumbu karang. Laju sedimentasi pada setiap stasiun pengamatan dilihat pada Tabel 7. Pada umumnya sedimen lumpur ditemukan di muara sungai adalah sedimen kohesif dengan diameter butiran sangat kecil. Triatmodjo (1999) menjelaskan bahwa sifat sedimen kohesif ini lebih tergantung pada gaya-gaya permukaan dari pada gaya berat. Adanya sedimen kohesif tersebut menggambarkan kondisi gelombang di pantai tersebut relatif lebih tenang sehingga tidak mampu mendispersi sedimen tersebut ke perairan dalam di laut lepas.
30 Tabel 7. Laju sedimentasi pada setiap stasiun pengamatan
Stasiun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Laju Sedimentasi (mg/cm2/hari) 44.29 4.33 14.67 8.62 7.46 21.18 3.09 3.24 4.77 3.22
Tingkat Dampak
Sedang hingga berat Ringan hingga sedang Sedang hingga berat Ringan hingga sedang Ringan hingga sedang Sedang hingga berat Ringan hingga sedang Ringan hingga sedang Ringan hingga sedang Ringan hingga sedang
Kategori Pastorok & Bilyard 1985 10-50 0-10 10-50 0-10 0-10 10-50 0-10 0-10 0-10 0-10
Menurut Tomascik et al. (1997) laju sedimentasi yang disebabkan oleh materi tersuspensi dipengaruhi struktur fisiknya seperti volume, bentuk partikel yang terkait dengan arah singking, kepadatan dan porositas. Sedimentasi juga dipengaruhi oleh sifat fisik air laut seperti densitas dan kondisi hidrologi area seperti kecepatan arus, shear stress, posisi vertikal SPM (suspended particulate matter) pada kolom air, kecepatan partikel yang mengendap serta turbulent mixing. Sementara pengaruh langsung sedimentasi terhadap karang termasuk smothering, pengeluaran energi yang berlebih untuk aksi silia melepaskan partikel sedimen di permukaan karang, abrasi mukus dan menghalangi rekrutmen. Menurut Hubbard (1997) bahwa sedimentasi juga dapat menghalang-halangi penempelan larva karang pada substrat dasar. Sebagaimana diketahui bahwa larva karang membutuhkan substrat yang keras untuk menempel, dengan adanya penutupan substrat oleh sedimen, larva tersebut tidak mendapatkan kestabilan dalam penempelan sehingga tahap perkembangan selanjutnya tidak dapat tercapai. Hal ini bisa dilihat bahwa di Stasiun 1, 3, dan 6 merupakan daerah yang kondisi karangnya rusak Analisis Unsur Pembentuk Sedimen (Al, Ca, Fe) Analisis kandungan Aluminium (Al), Kalsium (Ca), dan Besi (Fe) menunjukkan bahwa pada Stasiun 9 sedimen paling banyak mengandung Kalsium yaitu 220889.8 mg per kilogram sedimen dilanjutkan kandungan Al (1225.2 mg/kg), dan Fe (742.4 mg/kg) (Tabel 8). Hal ini menjelaskan bahwa sedimen di Stasiun 9 merupakan tipe sedimen biogenous, dimana sedimen tersebut bersumber dari sisa-sisa organisme yang hidup seperti cangkang, pecahan karang dan rangka biota serta bahan-bahan organik yang mengalami dekomposisi. Kandungan Aluminium tertinggi ditemukan pada Stasiun 3 (17732,4 mg/kg), dilanjutkan Stasiun 1 (13250,6 mg/l), Stasiun 6 (11080,8 mg/kg) dan Stasiun 9 (1225,2 mg/kg). Kandungan aluminium pada sedimen menjelaskan bahwa sedimen pada daerah tersebut merupakan unsur yang berasal dari erosi pantai dan material hasil erosi daerah daratan. Material ini dapat sampai ke dasar laut melalui proses mekanik, yaitu tertransport oleh arus sungai dan atau arus laut
31 serta partikel yang terbawa oleh arus sungai dari daratan dan akan terendapkan jika energi penggeraknya telah melemah. Kandungan Al terendah terdapat di Stasiun 9 yang terletak jauh dari pangkal teluk dan muara sungai sehingga tidak ada masukan sedimen dari daratan yang terbawa oleh arus sungai. Tabel 8. Kandungan Aluminium (Al), Besi (Fe), dan Kalsium (Ca) No Stasiun Aluminium (Al) mg/kg 1 2 3 4
1 3 6 9
13250.6 17732.4 11080.8 1225.2
Parameter Besi (Fe) mg/kg 2150 2060.8 2290.4 742.4
Kalsium (Ca) mg/kg 188395.84 106653.76 112385.4 220889.8
Kandungan Besi (Fe) di daerah penelitian ditemukan paling rendah diantara ketiga unsur yang dianalisis. Hal ini menunjukkan sedimen yang terbentuk karena adanya proses pengendapan atau mineralisasi elemen-elemen kimia terlarut dalam laut cukup rendah di daerah tersebut. Hasil analisis menunjukkan kandungan Fe tertinggi ditemukan di Stasiun 6 (2290,4 mg/kg), dilanjukkan Stasiun 1 (2150 mg/kg), Stasiun 3 (2060,8 mg/kg) dan Stasiun 9 (742,4 mg/kg). Terumbu Karang Tutupan Terumbu Karang Hasil penelitian menunjukkan persentase tutupan karang pada Stasiun 1 (8,75%), Stasiun 2 (36,06%), Stasiun 3 (22,12%), Stasiun 4 (33,46%), Stasiun 5 (39,35%), Stasiun 6 (21,12%), Stasiun 7 (35,72%), Stasiun 8 (45,74%), Stasiun 9 (60,85%) dan Stasiun 10 (35,47%). Berdasarkan Gomez dan Yap (1988) persentase Stasiun 1, 3, dan 6 tersebut termasuk dalam kategori buruk, sedangkan Stasiun 2, 4, 5, 7, 8 dan 10 termasuk dalam kategori sedang. Terumbu karang dengan kategori baik hanya terdapat pada Stasiun 9. Persentase tutupan karang secara lengkap disajikan dalam Gambar 13. Terumbu karang yang rusak (Stasiun 1, 3,dan 6), diduga di akibatkan oleh pengaruh aktivitas sedimentasi. Hal ini bisa dilihat dari letak ketiga stasiun tersebut yang berada berdekatan dengan muara sungai. Sedimentasi yang dibawa sungai dari daratan akan menyebabkan kekeruhan dan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam kolom perairan. Selain itu sedimen tersebut akan mengendap dan menutupi polip karang sehingga dapat menyebabkan kematian pada karang. Pada Stasiun 2 ditemukan 7 genus dengan tutupan karang di dominasi oleh Acropora. Dalam Suharsono (2010) disebutkan Acropora biasanya tumbuh pada perairan jernih dan lokasi dimana terjadi pecahan ombak. Bentuk koloni umumnya bercabang dan tergolong jenis karang yang cepat tumbuh, namun sangat rentan terhadap sedimentasi. Jenis karang Acropora juga terlihat
32 mendominasi pada Stasiun 5, 8, 9, dan 10. Dimana pada stasiun tersebut tingkat laju sedimentasinya rendah.
Keterangan : Hard coral Dead coral
Abiotik Algae
Other fauna
Gambar 13. Persentase tutupan karang berdasarkan genus.
33 Pada Stasiun 1, 3,dan 6 tersebut tutupan karang didominasi oleh jenis Porites dan Pectinia dengan bentuk pertumbuhan massive. Karang ini berbentuk bongkahan dan permukaan karang halus atau terdapat tonjolan kecil atau besar seperti tombol. Pada rataan terumbu dangkal yang mendapat pengaruh aksi gelombang dan resuspensi sedimen umumnya karang tersebut memiliki bentuk massive. Bentuk ecomorph seperti massive memberikan keuntungan bagi karang untuk membersihkan diri dari akumulasi sedimen dengan bantuan pergerakan arus. Pada Stasiun 7 ditemukan 8 genus dengan tutupan karang di dominasi oleh Montipora. Genus Montipora sering ditemukan mendominasi suatu daerah. Sangat tergantung pada kejernihan suatu perairan. Biasanya berada pada perairan dangkal berkaitan dengan intensitas cahaya yang diperolehnya dengan bentuk koloni berupa lembaran (Suharsono 2010). Pada Stasiun 4 ditemukan 8 genus dengan tutupan karang di dominasi oleh Tubinaria. Karang genus ini mempunyai polip yang relative besar dan pendek, sehingga mampu beradaptasi pada tingkat sedimentasi yang tinggi. Tubinaria mempunyai morfologi corallum untuk menolak sedimen secara pasif (Tomascik et al. 1997). Analisis Bentuk Pertumbuhan Karang Bentuk pertumbuhan karang paling sedikit ditemukan di Stasiun 1 yaitu hanya 3 jenis pertumbuhan yang didominasi oleh bentuk pertumbuhan massive yaitu 4,37%. Stasiun 2 ditemukan sebanyak 4 jenis, kebanyakan dari jenis Acropora yaitu jenis brancing, dan non-acropora yaitu jenis foliosa dengan prosentase penutupan 21,19% dan 11,44%. Stasiun 3 ditemukan sebanyak 5 bentuk pertumbuhan karang. Persentase penutupan paling tinggi adalah karang brancing, yaitu 7,93%. Di Stasiun 4 ditemukan 5 bentuk pertumbuhan karang yang didominasi oleh karang foliose yaitu 18,55%. Stasiun 5, dari 6 bentuk pertumbuhan karang yang ditemukan, bentuk foliose memiliki persentase penutupan paling tinggi, yaitu sebesar 16,31%. Di Stasiun 6 dari 4 bentuk pertumbuhan karang yang ditemukan, bentuk massive memiliki persentase penutupan paling tinggi, yaitu sebesar 11,49%. Stasiun 7 juga ditemukan sebanyak 4 bentuk pertumbuhan karang. Persentase penutupan paling tinggi adalah karang foliose, yaitu 16,91%, diikuti bentuk karang massive dengan persentase penutupan 13,33%. Selanjutnya karang bentuk submassive persentase penutupan 5,47% dan karang bentuk digitate dengan persentase penutupan 7,92%. Sedangkan pada Stasiun 8 sampai 10, didominasi oleh karang dengan bentuk pertumbuhan brancing dengan nilai tutupan diatas 10%. Di Stasiun 8 dan 9 ditemukan 7 jenis genus karang dan di Stasiun 10 ditemukan 6 genus karang. Secara lengkap tutupan karang berdasarkan lifeform disajikan dalam Gambar 14. Keterkaitan distribusi sedimen dan karakteristik bentuk pertumbuhan karang pada masing-masing stasiun, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Stasiun 1, 3 dan 6, dengan sedimentasi tinggi karang yang mendominasi adalah massive, sedangkan pada Stasiun 2, 4, 8, 9, dan 10 karang mandominasi adalah brancing dengan sedimentasi sedang atau rendah. Hal ini disebabkan karena koloni-koloni karang yang berlapis mendatar dan bentuk pertumbuhan massive mewakili permukaan besar yang stabil untuk menahan padatan-padatan yang mengendap. Sebaliknya, koloni berlapis tegak dan bentuk bercabang yang tegak lurus kurang mampu menahan sedimen. Seperti yang dijelaskan oleh Connell dan
34 Hawker (1992) bahwa koloni-koloni yang cembung dan polip-polip yang tinggi tidak mudah terkena akumulasi sedimen daripada bentuk pertumbuhan lain.
Gambar 14. Persentase penutupan terumbu karang berdasarkan life form. Pada rataan terumbu dangkal yang mendapat pengaruh aksi gelombang dan resuspensi sedimen umumnya karang tersebut memiliki bentuk massive. Bentuk ecomorph seperti massive memberikan keuntungan bagi karang untuk membersihkan diri dari akumulasi sedimen dengan bantuan pergerakan arus. Bentuk karang umumnya merupakan refleksi dari kondisi lingkungan, morfologi
35 karang yang terbentuk merupakan adaptasi terhadap kondisi lokal. Umumnya karang di perairan keruh membangun bentuk seperti punggung bukit daripada bentuk pertumbuhan yang datar (Reigl et al. 1996). Pada beberapa karang Acropora bentuk brancing ditemukan tertutup sedimen di bagian permukaannya, serta pada bagian tertentu sudah mengalami kematian. Karang yang memiliki ukuran polip kecil memiliki kemampuan relatif kecil untuk membersihkan sedimen yang menutupinya. Kemampuan karang yang memiliki ukuran polip kecil umumnya memiliki adaptasi morfologis untuk dapat bertahan pada daerah dengan tingkat sedimentasi tinggi (Tomascik et al. 1997). Karang dengan betuk pertumbuhan brancing memiliki kemampuan yang lemah dalam mereduksi sedimen. Indeks Mortalitas Pengukuran tingkat kematian karang didekati dengan indeks mortalitas (MI). Indeks mortalitas merupakan perbandingan antara karang mati dan patahan karang dengan karang hidup yang menunjukkan besarnya resiko kematian karang. Nilai indeks mortalitas yang mendekati 0 (nol) menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang berarti bagi karang hidup, sedangkan nilai yang mendekati 1 (satu) menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang berarti dari karang hidup menjadi karang mati. Secara umum resiko kematian karang paling tinggi terjadi pada Stasiun 1 (0,84) , sedangkan resiko kematian paling rendah di Stasiun 9 (0,21). (Gambar 15)
Gambar 15. Indeks mortalitas pada setiap stasiun pengamatan. Kematian karang akibat sedimentasi terjadi melalui dua mekanisme. Pertama, sedimen yang tersuspensi menghalangi penetrasi cahaya yang diperlukan untuk fotosintesis zooxanthellae. Densitas zooxanthellae dan konsentrasi klorofil per unit area menjadi berkurang akibat adanya ekspos sedimen, selanjutnya terjadi pemutihan yang diikuti kematian pada beberapa koloni karang (Phillip dan Febricius 2003). Kedua, sedimen menutupi permukaan koloni karang dan menyebabkan kerusakan pada jaringan yang kemudian diikuti oleh kematian. Mekanisme untuk menghilangkan sedimen dari permukaan koloni melalui silia, pergerakan tentakel dan sekresi mukus memerlukan waktu dan energi yang lebih sehingga akan berpengaruh terhadap aktifitas menangkap makanan (Barnes dan Lough 1999).
36 Hubungan antara Laju Sedimentasi dan Terumbu Karang Keberadaan terumbu karang di perairan Teluk Lampung berkaitan erat dengan dengan kondisi lingkungan pesisir. Untuk mengetahui keterkaitan antara terumbu karang dengan parameter perairan di sekitarnya, serta hubungan antara parameter yang satu dengan lainnya maka dilakukan analisis komponen utama (PCA). Dalam analisis PCA ini komponen fisik-kimia perairan adalah salinitas, kekeruhan, Total Suspended Solid (TSS), kecerahan dan kecepatan arus. Komponen karakteristik sedimen digunakan nilai laju sedimentasi, sedangkan komponen komunitas karang meliputi persentase tutupan karang, life form dan indeks mortalitas karang. Hasil pengolahan data memperlihatkan adanya hubungan antar variabel satu dengan variabel lainnya, baik yang berbanding lurus (korelasi positif) maupun yang berbanding terbalik (korelasi negatif). Hasil analisis dapat menjelaskan bahwa perbandingan antara sumbu F1 dan F2 sebesar 64,21 %. Sebagian informasi terpusat pada sumbu pertama (F1) yang menjelaskan 45,52% dari ragam total, sedangkan sumbu kedua (F2) memberikan kontribusi penjelasan sebesar 18,69% dari ragam total.
Gambar 16. Grafik hubungan parameter lingkungan, laju sedimentasi dan terumbu karang. Berdasarkan sudut korelasi sumbu 1 (horizontal) dan sumbu 2 (vertikal) dapat dijelaskan bahwa penutupan karang, laju sedimentasi, kekeruhan dan indeks mortalitas memiliki pengaruh yang kuat terhadap sumbu 1. Selain itu juga ada salinitas, TSS, dan kecerahan memiliki kontribusi yang besar terhadap sumbu 1, sedangkan kecepatan arus memiliki kontribusi terhadap sumbu 2. Dari matrik korelasi, pamameter yang memiliki korelasi negatif terhadap persentase tutupan karang antara lain adalah laju sedimentasi, TSS, dan kekeruhan dan indeks mortalitas. Parameter yang memiliki korelasi positif dengan penutupan karang antara lain salinitas, kecepatan arus dan kecerahan.
37
Gambar 17. PCA-biplot parameter lingkungan, laju sedimentasi dan terumbu karang.
Stasiun 1 dan 6 dicirikan dengan laju sedimentasi dan kekeruhan, keduanya berkorelasi positif. Laju sedimentasi pada Stasiun 1 (44,292 mg/cm2/hari) dan Stasiun 6 (21,182 mg/cm2/hari). Menurut Pastorok dan Bilyard 1985 in Connell dan Hawker 1992, Stasiun 5 dapat dikategorikan sedang - berat yang berakibat pengurangan kepadatan secara besar-besaran, penurunan rekrutmen sehingga regenerasi karang menurun dan beberapa koloni karang akan mati. Bentuk pertumbuhan didominasi oleh jenis karang massive (CM) (Gambar 17). Stasiun 3 dan 4 dicirikan dengan indeks mortalitas dan TSS. Stasiun 2 dan 5 karakteristiknya lebih dominan dicirikan dengan salinitas. Stasiun 7, 8, 9 dan 10 karakteristiknya lebih dominan dicirikan dengan kecerahan dan kecepatan arus dan persentase tutupan karang. Persentase tutupan karang mempunyai korelasi yang positif dengan kecerahan. Bentuk pertumbuhan ada antara lain Acropora brancing (ACB), Acropora tabulate (ACT), Non-Acro Brancing (CB) dan NonAcro submassive (CS) (Gambar 14). Hasil analisis menjelaskan bahwa persentase tutupan karang memiliki korelasi negatif dengan laju sedimentasi dan indeks mortalitas karang. Semakin tinggi laju sedimentasi pada suatu stasiun akan menyebabkan semakin rendahnya tutupan karang dan semakin tingginya mortalitas karang. Hal tersebut jelas terlihat pada Stasiun 1, 3, dan 6 yang mempunyai laju sedimentasi yang tinggi ditemukan persentase tutupan karang hidupnya rendah/rusak. Ketiga stasiun ini terletak dekat dengan muara sungai. Stasiun 1 memiliki laju sedimentasi 44,29 mg/cm2/hari dengan tutupan karang hidup hanya 8,75%. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Pastorok dan Bilyard (1985) bahwa laju sedimentasi pada kisaran 10-50 akan memberikan dampak yang berat terhadap kehidupan karang. Pada tingkat tersebut dampak yang terjadi pada karang dapat dalam bentuk penurunan rekruitmen karang, penurunan jumlah spesies karang, penurunan kepadatan secara drastis, degradasi hebat pada komunitas serta dapat menyebabkan beberapa spesies menghilang. Stasiun 3 dan 6 yang mempunyai laju sedimentasi 14,67 mg/cm2/hari dan 21,18 mg/cm2/hari dengan tingkat dampak
38 sedang hingga berat. Pengaruh sedimen terhadap komunitas karang secara garis besar terjadi melalui beberapa mekanisme. Pertama, partikel sedimen menutupi permukaan koloni/individu karang sehingga polip karang memerlukan energi yang lebih untuk menyingkirkan partikel-partikel tersebut. Kedua, sedimen menyebabkan peningkatan kekeruhan dan dapat menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke dasar perairan sehingga dapat mengganggu kehidupan spesiesspesies karang yang kehidupannya sangat bergantung terhadap penetrasi cahaya. Ketiga, selain mampu mengikat unsur hara, sedimen juga dapat mengadsorpsi bahan toksik dan penyakit yang dapat menyebabkan terganggunya kesehatan karang (McLaughin et al. 2003). Stasiun 1, 3, dan 6 dicirikan dengan tingkat unsur Aluminium (Al) pada sedimen yang tinggi. Ini menandakan bahwa sedimen pada daerah tersebut banyak berasal dari daratan yang terbawa oleh run-off sungai. Hal ini jelas terlihat bahwa kandungan Aluminium tertinggi ditemukan pada Stasiun 6 yaitu 17732,4 mg/kg. Sedimen yang terbawa oleh aliran sungai tersebut berasal dari pembukaan lahan daratan untuk kegiatan pertanian, pertambakan maupun pembangunan pemukiman dan pariwisata. Sedimen tidak hanya berasal dari pasokan muara sungai tetapi bisa juga dari sedimen dasar laut itu sendiri yang mengalami pengadukan oleh arus dan gelombang. Sedimen tersebut bisa saja diendapkan di daerah itu juga dan bisa juga dibawa oleh arus laut dan diendapkan di daerah lain. Stasiun yang sedimen penyusunnya berasal dari pecahan karang ditandai dengan tingginya kandungan Kalsium (Ca) yang tinggi pada sedimen seperti yang terdapat pada Stasiun 9. Kematian yang diakibatkan oleh sedimentasi dicirikan terumbu karang akan tertutupi oleh sedimen dan jika dalam tingkat sedimentasi yang tinggi, akan mengakibatkan kematian karang tersebut. (Sukmara et al. 2002). Kematian karang akibat sedimentasi jelas terlihat pada Stasiun 1, 3, dan 6 (Gambar 18).
Gambar 18. Kematian karang akibat sedimentasi dengan ciri terumbu karang tertutupi oleh sedimen dan jika dalam tingkat sedimentasi yang tinggi, akan mengakibatkan kematian karang tersebut. (Stasiun 1, 3, dan 6) Gambar 16 juga menjelaskan bahwa laju sedimentasi berkorelasi positif dengan mortalitas karang. Semakin tinggi laju sedimentasi pada suatu daerah, maka akan menyebabkan tingkat kematian karang yang semakin tinggi juga. Stasiun dengan laju sedimentasi yang ringan hingga sedang seperti Stasiun 2, 8, 9, dan 10 terletak jauh dari muara sungai sehingga sedimentasi yang ada diduga berasal dari kegiatan antropogenik seperti pariwisata, keramba jaring apung (KJA), kegiatan pelayaran yang mengakibatkan terjadinya pengadukan pada
39 substrat dasar perairan dan sedimen yang dibawa oleh arus dari daerah lain dan diendapkan pada stasiun tersebut. Selain karena sedimentasi, kerusakan oleh aktivitas manusia seperti pemboman karang juga turut mempengaruhi kondisi terumbu karang. Kerusakan akibat pemboman jelas terlihat pada Stasiun 7 (Pulau Tegal) yang dicirikan banyaknya pecahan karang yang ditemukan di daerah tersebut. Hal ini berdampak pada perhitungan indeks mortalitas karang (Gambar 19).
Gambar 19. Kematian karang akibat pemboman dengan ciri terumbu karang terbongkar dan banyak patahan-patahan karang. (Stasiun 7) Pada stasiun 1, 3 dan 6 bentuk pertumbuhan didominasi oleh jenis karang massive (CM). Stasiun 2, 4, 8, 9 dan 10 mempunyai bentuk pertumbuhan ada antara lain Acropora brancing (ACB), Acropora tabulate (ACT), Non-Acro Brancing (CB) dan Non-Acro submassive (CS) (Gambar 14). Sedimentasi mempunyai korelasi negatif dengan bentuk pertumbuhan karang brancing khususnya Acropora bancing. Stasiun 1, 3, dan 6, dengan sedimentasi tinggi karang yang mendominasi adalah massive, sedangkan pada Stasiun 2, 4, 8, 9, dan 10 karang mendominasi adalah brancing dengan sedimentasi sedang atau rendah. Hal ini disebabkan karena sensitivitas spesies karang terhadap sedimentasi kebanyakan dibatasi oleh karakteristik perangkap partikel dari koloni terhadap partikel dan kemampuan polip individu untuk menolak endapan sedimen. Kolonikoloni karang yang berlapis mendatar dan bentuk pertumbuhan massive mewakili permukaan besar yang stabil untuk menahan padatan-padatan yang mengendap. Sebaliknya, koloni berlapis tegak dan bentuk bercabang yang tegak lurus kurang mampu menahan sedimen. Koloni-koloni yang cembung dan polip-polip yang tinggi tidak mudah terkena akumulasi sedimen daripada bentuk pertumbuhan lain Connell & Hawker (1992). Karang Acropora dan Turbinaria yang berbentuk corong, pada pergerakan masa air yang lambat dapat menjadi perangkap yang mengakumulasi sedimen pada pusatnya sehingga dapat mematikan jaringan di bawahnya. Tetapi di sisi lain corong semua jaringan karang tetap terpelihara, berfotosintesis dan masih dapat menangkap makanan. Sedangkan pada pergerakan air yang cepat bentuk corong menciptakan pusaran air dan pergantian aliran masa air sehingga dapat melepaskan dan mengosongkan akumulasi sedimen pada karang. Persentase tutupan karang mempunyai korelasi yang positif dengan kecerahan dan sebaliknya berkorelasi negatif terhadap kekeruhan. Sedimen
40 menyebabkan peningkatan kekeruhan dan dapat menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke dasar perairan sehingga dapat mengganggu kehidupan spesiesspesies karang yang kehidupannya sangat bergantung terhadap penetrasi cahaya. Gangguan penetrasi cahaya akibat kekeruhan yang tinggi yaitu terbatasnya fotosintesis zooxanthellae dan secara tidak langsung membatasi pertumbuhan karang. Tingkat rekrutmen karang juga sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik, kimia dan biologi perairan salah satunya adalah substrat seperti tipe dan kondisi substrat (Thomsen and McGlathery, 2006). Rekruit karang cenderung akan menempel pada kondisi substrat yang padat, rekruit karang yang menempel pada substrat yang mudah goyah terhadap arus akan memiliki tingkat kesintasan rendah (Victor et al. 2006). Pada penelitian Abrar (2005) mengenai pemulihan populasi terumbu setelah pemutihan di perairan Sipora, Sumatra Barat diketahui bahwa tingkat rekrutmen karang di substrat coral, rubble, dan sand masingmasing berbeda karena dipengaruhi oleh kestabilan substrat dari arus perairan. Menurut Victorius (2008), perairan pantai Pasir Putih Situbondo yang mempunyai kondisi substratnya banyak ditemukan sand merupakan lokasi yang cukup baik untuk perkembangan ekosistem terumbu karang dimana penutupan karang hidup pada pantai pasir putih tergolong baik dengan persentase 80,34%, dengan genus karang yang ditemukan antara lain Acropora dan non-Acropora seperti Hal tersebut dapat dilihat pada stasiun 8, 9, dan 10 yang substratnya banyak ditemukan pasir (sand) mempunyai tutupan karang yang cukup bagus.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Kesimpulan yang dapat diambil sebagai hasil dari penelitian antara lain : 1. Sedimentasi sangat mempengaruhi kehidupan terumbu karang di Teluk Lampung. Semakin tinggi laju sedimentasi maka penutupan karang hidup akan menurun (rendah). 2. Kondisi terumbu karang di perairan Teluk Lampung digolongkan menjadi kriterian rusak (buruk) hingga baik. Tiga stasiun dalam kondisi buruk, enam stasiun dalam kondisi sedang dan hanya satu stasiun yang dalam kondisi baik.
Saran Saran yang dapat diberikan berkaitan dengan hasil penelitian ini adalah perlunya mengkaji lebih lanjut pada tingkat dampak berapa sedimentasi dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan/kesehatan karang dan terjadinya kematian karang.
41
DAFTAR PUSTAKA
[Bappeda-Lampung] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. Review Masterplan Drainase 2011. [DKP-Lampung] Dinas Kelautan Perikanan Lampung. 2007. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung. PT. Tiram. 165 hal. [DKP-Lampung] Dinas Kelautan Perikanan Lampung. 2013. Pasang Merah di Teluk Lampung. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kelautan Dan Perikanan. [DKP-KRA] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat. 2006. Informasi Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat. Waisei. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat.105 hal. Abrar M. 2005. Pemulihan populasi karang setelah pemutihan di Perairan Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. LIPI. Widyariset. 1: 60-72. Adriman, Purbayanto A, Budiharsono S, Damar A. 2012. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau. Berkala Perikanan Terubuk. Hal 22-35. Aryati H, Anggarwulan E, Solichatun. 2005. Analisis Kesesuaian Perairan Pulau Karimunjawa Dan Pulau Kemujan Sebagai Lahan Budidaya Rumput Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Jurnal Pasir Laut. 3 :27-45. Asmawi S, Hamdani. 2009. Identifikasi Faktor Khusus dan Kelompok Biota yang Dapat Dijadikan Sebagai Isyarat Peringatan Dini Kerusakan Karang Takat. Journal of Tropical Fisheries 4(1): 327-340. Barnes DJ, Lough JM. 1999. Porites Growth Characteristics In A Changed Environment: Misima Island, Papua New Guinea. Coral Reef. 18: 213– 218. Bates RL, Jackson JA. 1980. Glossary of Geology. American Geological Institute, Washington DC, USA. 416 pp. Bearman G. 1999. Waves, Tides, And Shallow Water Processes. Open University, Walton Hall, Milton Keynes, MK7 6AA, And Butterworth-Heinemann. England. Bengen DG. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut. PKSPL. IPB. Bogor. Bengen DG, Alex SW. 2006. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). 116 hlm. Blott SJ, Pye K. 2001. Gradistat: A grain size distribution and statistic package for the analysis of unconsolidated sediment. Technical communication. Earth Surf. Process. Landforms. 26:1237-1248. Blott SJ. 2000. Gradistat Ver 4.0 A grain size distribution and statistic package for the analysis of unconsolidated sediment by sieving or laser Granullometer. Surface Processes and Modern Environment Research Group. Dept. Geology Royal Holloway. Univ. London. Boli P. 1994. Respon Pertumbuhan Karang Batu pada Kondisi Lingkungan Perairan yang Berbeda di Kepulauan Seribu. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 113 hal.
42 Brown BE, Le Tissier MDA, Bythell JC. 1995. Mechanisms of bleaching deduced from histological studies of reef corals sampled during a natural bleaching event. Marine Biology. 122: 655-653. Burke L, Elisabeth S, Spalding M. 2002. Terumbu Karang Yang Terancam Di Asia Tenggara Diterjemahkan Dari Reef Of Risk In South East Asia. World Resources Institute. Washington DC.USA. Cesar H. 2000. Collected Essay on the Economics of Coral Reefs. Cordio Departemen Biology and Environmental Science, Kalmar University. Sweden. Changsang H, Boonyanate P, Charuchinda M. 1981. Effect of sedimentation from coastal mining on coral reefs on The Northwestern coas of Phuket Island. Thailand. Proceedings 4th International Coral Reef Symposium. Manila. 1:129-136. http://www.reefbase.org/references/ref_literature.asp Coles SL, Jokiel PL. 1992. Effect of salinity on coral reef. Di dalam. Connell DW, Hawker DW, editor. Pollution in Tropical Aquatic System. CRC Press, Inc. hlm.149-166. Connel DW, Hawker DW. 1992. (Ed). Pollution In Tropical Aquatic System. CRC Press, Inc. London. COREMAP. 2001. National Critc ‘Base Line Study Wakatobi Sulawesi Tenggara’. Critc Report. COREMAP. Jakarta. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Davis AR Jr. 1991. Oceanography, An Introduction to the Marine Environment Wm. C. Brown Publishers. Iowa. USA. Ditlev H. 1980. Reef-Building Corals of Indo-Pacifik. Rotterdam: Dr. W. Backhuys Publisher – Klampenborg: Scandinavian Science Press Ltd. Dodge RE, Vainys JR. 1977. Coral Population and Growth Patterns: Responses to Sedimentation and Turbidity Associated with Dredging. J. Mar. Res. 35: 715-730. Dyer KR. 1986. Coastal and Estuarine Sediment Dynamics. New York: John Wiley dan Sons Ltd. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. English S, Wilkinson, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Ed. Ke-2. Australia Institute of Marine Science. Febricius KE, Wild C, Wolanski E, Abele D. 2003. Effect of Transparent Exopolymer Particles And Muddy Sediments On The Survival of Hard Coral Recruits. Estuarine Coastal And Shelf Science. 57: 613 – 621. Firmansyah FF. 2002. Struktur Komunitas Fitoplankton di Perairan Teluk Semangka, Lampung. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. 95 halaman. Friedman GM, Sanders JE. 1978. Principles of Sedimentology. John Wiley and Sons. New York. hlm 108-109. Gomez ED, Yap HT 1988. Monitoring Reef Condition. Di dalam. Kenchinton, RA, Brydget ET, Hudson, editor. Coral Reef Management Hand Book. Unesco. Jakarta: Regional Office for South Asia. hlm.171-178. http://rmocfis.upr.clu.edu/~morelock/weinberg.htm Gross MG. 1990. Oceanography : A View of Earth. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliff . New Jersey.
43 Hadikusumah. 2008. Variabilitas Suhu Dan Salinitas Di Perairan Cisadane. Makara. Vol. 12. hlm 82-88. Hansen, Christensen TH. 1995. Impact of sediment-bound iron on redox buffering in a landfill leachate polluted aquifer (Vejen, Denmark). Environmental Science and Technology. 29:187–192. Helfinalis. 2000. Pergerakan Sedimen Di Perairan Teluk Bayur dan Bungus Provinsi Sumatra Barat. Di dalam: Teluk Bayur dan Teluk Bungus Kajian tentang Zat Hara serta Kaitannya dengan Lingkungan dan Sumberdaya Hayati, editor. Jakarta: Balitbang Oseanografi, Puslitbang Oseanologi, LIPI; 63 – 71. Hendro, Zulfiyandi. 2000. Nalisis Kandungan Organik Matter, Nitrat, Sulfat, Fosfat Dan Amonia Dalam Sedimen Dan Air 01 Semenanjung Muria. Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif. Jakarta. Heriyanto T. 2011. Karakteristik Perairan Laut di Kelurahan Purnama Kecamatan Dumai Barat Kota Dumai Provinsi Riau. [Skripsi]. Universitas Riau. 64 halaman. Hoekstra D, Klappe K, Hoff H, Nir S. 1989. Mechanism of fusion of Sendai virus: role of hydrophobic interactions and mobility constraints of viral membrane proteins. J. Biol. Chem. 264: 6786–6792. Hubbard DK. 1997. Reef as Dynamic System. Edited by Charles Brikeland. Life and Death of Coral Reef. Champman and Hall. USA. p.43 – 67. Hutabarat S, Evans SM. 2000. Pengantar Oseanologi. Universitas Indonesia, Jakarta. 159 hlm. Hutomo M, Mudjiono. 1990. Coastal habitat of Tanjung Jati, Jepara with emphasis on the effect of sedimentation on the coral reef community. Di dalam : Jakarta. Proc 1st ASEAN Symp on Southeast Asian Marine Science and Enviromental Protection. Regional Seas. United Nation Environment Programm. hlm 83-103. Ilahude. 1999. Pengantar ke Oseanologi Fisika . LIPI. Jakarta. Irawan A. 2012. Analisis Kualitas Air Dengan Pendekatan Statistik Pada Ekosistem Terumbu Karang Di Pulau Biawak Indramayu. UNPAD. Jawa Barat. Isric. 1993. Procedures for Soil Analysis .Fourth Edition International Soil Reference and Information Centre. Johnson RA, Wichern DW. 2002. Applied Multivariate Statistical Analysis, 6th ed. Prentice Hall, ISBN 0-13-187715-1. Lalang. 2013. Kelimpahan Drupella dan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Pulau Mandike Selat Tiworo Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Jurnal Mina Laut Indonesia. 01:12-22. Lee TN, Williams E, Johns E, Wilson D, Smith NP. 2002. Chapter 11, Transport Processes Linking South Florida Coastal Ecosystems. In Porter JW, Porter KG (eds), The Everglades, Florida Bay, and Coral Reefs of the Florida Keys: An Ecosystem Sourcebook. CRC Press, Boca Raton, Florida, pp 309-342. Masduki. 2008. Pengaruh Sedimentasi Terhadap Penyebaran Terumbu Karang di Teluk Wondama, Papua. Jurnal Geologi Kelautan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan. 6 : 207-214.
44 McCook LJ. 1999. Macroalgae, nutrients and phase shifts on coral reefs: scientific issue and management consequences for the Great Barrier Reef. Coral reef 18: 357-367. McDonald IA, Perry CT. 2003. Biological Degradation Of Coral Framework In Turbid Lagoon Environment, Discovery Bay, North Jamaica. Coral Reef. (22): 523 – 535. McLaughlin CJ, Smith CA, Buddermeier BA, Bartley JD, Maxwell BA. 2003. River, Runoff, And Reef. Global And Planetary Change 39: 191 – 199. McLaren P. 1981. An interpretation of trend in grain size measures. J Sed Petrology. 51:2: 611 – 624. Milliman J. 2001. Delivery and fate of fluvial water and sediment to the sea: a marine geologist's view of European rivers. Scientia Marina, 65: S2 (2001). Muhlis. 2011. Ekosistem Terumbu Karang Dan Kondisi Oseanografi Perairan Kawasan Wisata Bahari Lombok. Hayati. 16 :111–118. Muscatine L, Grossman D, Doino J. 1991. Release of symbiotic algae by tropical sea anemones and corals after cold shock. Marine Ecology Progress Series. 77: 233-243. Neumann GJ, Pierson WJ. 1966. Principles of Physical Oceanography. Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs NJ. Nontji A. 2005. Laut Nusantara. Cetakan ketiga. Penerbit Djambatan. Jakarta. Hal: 368 Nybakken JW. 1993. Marine Biology An Ecological Approach. Third Edition. Harper Collins College Publisher. USA. Panggabean. 2007. Keterkaitan Faktor Lingkungan Perairan terhadap Kondisi Karang dan Keanekaragaman Ikan di Pulau Pamegaran dan Pulau Kuburan Cina Kep. Seribu. Jakarta. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Partini. 2009. Efek Sedimentasi Terhadap Terumbu Karang di Pantai Timur Kabupaten Bintan. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 83 halaman. Pastorok RA, Bilyard GR. 1985. Effects of sewage pollution on coral-reef communities. Marine Ecology Progress Series. 21: 175-189. Philip E, Katharina F. 2003. Photophysiological Stress In Sclerectinian Corals In Response To Short Term Sedimentation. Jurnal of Experimental Marine Biology and Ecology. 287: 57 – 78. Pinet PR. 2000. Invitation Oceanography. Second Edition. Colgate University. Sudbury, Massachusetts: Jones and Bartlett Publisher. Poppe LJ, Eliason AH, Fredericks JJ, Rendigs RR, Blackwood D, Polloni CF. 2003. Grain size analysis of marine sediment. Methodology and data processing. U.S. Geological Survey File Report 00–358. http://pubs.usgs.gov/of/of00-358/text/chapter1.htm [20 Maret 2004]. Pratiwi R. 2010. Asosiasi Krustasea di Ekosistem Padang Lamun Perairan Teluk Lampung. Jurnal Ilmu Kelautan. 15 : 66-76. Pratomo. 2012. Pengaruh Sedimentasi Terhadap Kondisi Terumbu Karang Di Perairan Pulau Abang Kota Batam. Jurnal Perikanan Kelautan. 3. (3) Putinella JD. 2002. Evaluasi Lingkungan Budidaya di Teluk Bagula, Maluku. Program Pascasarjana Universitas Gadja Mada. Yogyakarta.
45 Rehm
Team. 1997. The Impact Sediment on Coral Reefs. http://www.yale.edu/roatan/soil.htm [28 Juni 2003]. Richmond RH. 1997. Reproduction and recruitment of coral : Critical Link in Persistence of Reefs. Di dalam Birkeland C, editor. Life and death of Coral reefs. Chapman and Hal. Publisher. NY. hlm.175-197. Riegl B, Heine C, Branch GM. 1996. Function Of Funnel-shaped Coral Growth In A High Sedimentation Environment. Marine Ecology Progress Series. 145: 87 – 93. Rifardi. 2008. Tekstur Sedimen Sampling dan Analisis. UNRI Press. Pekanbaru. 101 hal. Roberts J, Muray (2002). The occurrence of the coral Lophelia pertusa and other conspicuous epifauna around an oil platform in the North Sea. Journal of the Society for Underwater Technology. 25:83-91. Rogers CS, Garrison G, Grober R, Hillis MA. 1994. Coral Reef Monitoring Manual for the Caribbean and Western Atlantic. National Park Service. Virgin Island National Park. Romimohtarto, K. & S. Juwana, 2001. Biologi Laut. Ilmu pengetahuan tentang biota laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta, 527 hal. Salvat B. 1987. Human Impacts On Coral Reef: Facts And Recomendation. Impacts Des Activities Humaines Sur Les Recifs Coralliens: Connaissances Et Recomendatuions. Antene de Tahiti Museum E.P.H.E. B.P. 1013. Papetoai, Moorea, Polynese Francaise. Santoso AD. 2005. Pemantauan Hidrografi dan Kualitas Air di Teluk Hurun Lampung dan Teluk Jakarta. Jurnal Teknologi Kelautan. P3TL-BPPT. 3:433-437. Schuhmacher H. 1977. Ability in fungiid coral to overcome sedimentation. Proceeding3th International Coral reef Symposium. Rosenstial School of Marine and Athmosphere Science. University of Miami. http://www.reefbase.org/references/ref_literature.asp. Sorokin YI. 1993. Coral Reef Ecology. Springer - Verlag Berlin Heidelberg. Germany. Stafford-Smith MG. 1993. Sediment Rejection Efficiency Of 22 Species Of Australian Sclerectinian Corals. Marine Biology. 115: 229 – 243. Suharsono. 1999. Condition of Coral Reef Resources in Indonesia. Jurnal Pesisir dan Lautan. 1: 44–52. Suharsono. 2010. Jenis-jenis Karang yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia. P3O- LIPI. Jakarta. p. 2-13. Suhendra D. 2006. Pengaruh Sedimen Terhadap Komunitas Karang Batu (Scleractinian Corals) Di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur . [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 123 halaman. Sukmara A, Siahainenia AJ, Rotinsulu C. 2002. Panduan Pemantauan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat dengan Metode Manta Tow. Departemen Kelautan dan Perikanan & Coastal Resources Center University of Rhode Island, Jakarta. Sulastri, Bajoeri. 1995. Tingkat Kualitas Peraiaran Cimadur, Cililit dan Cisiih di Wilayah Banten Selatan Jawa barat. Proseding : Hasil Penelitian Puslitbang Limnologi LIPI. Bogor.
46 Sumich JL. 1992. An Introduction to the Biology of Marine Life. Fifth Edition. Wm.C.Brown Publisher. USA. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Susana T, Suci, Djawadi. 2001. Distribusi Oksigen Terlarut dan Derajat Keasaman (pH) di Perairan Selat Sunda. Dalam : D.P. Praseno, W.S. Atmaja, I. Supangat, Ruyitno, dan B.S. Sudibjo (ed.). Pesisir dan Pantai Indonesia I Tahun 2001. Puslit Oseanografii-LIPI. hlm.17-25. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas: Part One. Periplus Edition (HK) Ltd. Singapore. Thomsen MS, McGlathery K. 2006. Effects of accumulations of sediments and drift algae on recruitment of sessile organisms associated with oyster reefs. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 328: 22-34 Torres JL, Morelock J. 2002. Effect of terrigeneous sediment influx on coral cover and linear extension rates of three Carribean massive coral species. Caribbean J Sci 38:3,4:222-229. Triatmodjo B. 1999. Teknik Pantai. Yogyakarta: Beta Offset. Uktoselya H. 1991, Beberapa Aspek Fisika Laut dan Peranannya Dalam Masalah Pencemaran , Puslitbag LIPI, Jakarta. Veron JEN. 2000. Corals of the world. Australian Institute of Marine Science, PMB3, Townsville MC, Qld4810, Australia. 1:463 p. Victor S, Neth L, Gobuu Y. 2006. Sedimentation in mangroves and coral reefs in a wet tropical island, Pohnpei, Micronesia. Estuarine Coastal and Shelf Science 66: 409-416 Westmacott S, Teleki K, Wells S, West J. 2000. Pengelolaan Terumbu Karang yang Telah Memutih Dan Rusak Kritis. IUCN Gland, Switzerl and Cambridge, UK. Diterjemahkan oleh Jan Henning Steffen. Wibisono MS. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Widada S. 2002, Modul Mata Kuliah Sedimentologi. Universitas Diponegoro : Semarang. Widodo. 2010. Analisis Hubungan Sumberdaya Ikan Kerapu (Serranidae) dengan Kondisi Ekosistem Terumbu Karang: Implikasi Untuk Pengelolaan. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 148 halaman. Yulianda F. 2003. Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Wisata Bahari. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Zulfikar. 2009. Analysis Of The Suitability And Carrying Capacity of Coral Reefs Ecosystem to Develop Marine Tourisms in Tuapejat The Regency of Mentawai Islands. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 148 hal.
47 Lampiran 1. Persentase tutupan karang berdasarkan genus Substrat Dasar Hard Coral Acropora Coeloseris Ctenactis Echinophora Favia Favites Fungia Galaxea Goniostrea Laptoria Leptoseris Lobophyllia Merulina Montastrea Montipora Mussismilia Oxypora Pachyseris Pavona Pectinia Pocillopora Porites Turbilaria Dead Coral DC DCA Algae Assemblege Algae Coralin Algae Halimedae Macro Algae Turf Algae Other Fauna Soft Coral Sponge Zoanthid Other Abiotic Rubble Sand Silt
Persentase Tutupan St 1
St.2
St.3
St.4
St.5
St.6
St.7
St.8
St.9
St.10
36.06 21.19 2.11 1.89 6.77 2.32 0.43 1.35 24.87 24.87 5.53 -
35.72 3.17 5.12 3.86 1.85 8.70 2.31 4.39 6.32 25.87 25.87 7.84 -
21.12 2.15 3.52 1.77 1.35 0.16 12.17 40.64 40.64 -
39.35 12.67 1.14 3.28 1.22 5.44 0.97 2.95 10.33 1.45 25.89 25.89 11.89 -
22.12 3.22 0.36 3.54 3.18 7.93 3.89 38.96 38.96 9.54 -
8.75 1.02 0.83 0.86 6.04 48.24 48.24 15.32 -
33.46 1.53 2.85 1.43 3.67 6.22 3.34 0.97 13.45 28.60 28.60 16.77 -
35.47 13.19 0.12 1.26 0.67 1.04 0.38 0.59 5.78 4.27 0.56 5.33 2.28 16.24 16.24 6.20 -
60.85 22.12 0.09 2.77 4.51 1.76 7.55 5.84 0.94 1.50 6.37 7.40 15.65 15.65 2.27 -
45.74 16.14 3.21 0.44 0.58 4.22 6.31 1.05 1.70 9.04 3.05 14.50 14.50 5.65 -
-
4.52
-
6.20
-
-
6.27
-
1.04
-
-
-
-
5.69
9.54
15.32
10.50
5.17
1.22
2.67
5.53 -
3.32 3.10
-
2.77
-
-
-
1.03 9.14
1.23 6.23
2.98 18.86
33.54 7.38 26.16 -
2.10 1.00 23.47 19.76 8.55 -
38.24 1.56 36.68
2.77 20.10 4.46 15.64 -
29.38 29.38
27.96 27.96
21.17 15.56 6.61
9.14 32.95 10.38 22.57 -
6.23 15.00 1.44 13.56 -
18.86 15.25 3.89 11.36 -
48 Lampiran 2. Persentase penutupan terumbu karang berdasarkan life form. Benthic Life Form
Code
Percent Cover
ACB ACT ACE ACS ACD
St. 1 St. 2 36.06 35.72 21.19 3.17 21.19 3.17 -
St. 3 21.12 2.15 2.15 -
St. 4 39.35 12.67 4.75 7.92
St. 5 22.12 3.22 3.22 -
St. 6 8.75 -
St. 7 33.46 1.53 1.53 -
St. 8 35.47 13.19 13.19 -
St. 9 60.85 22.12 13.21 6.37 2.54
St. 10 45.74 16.14 7.08 9.06 -
Non-acropora Branching Massive Encrusting Submassive Foliose Mushroom Millepora Heliopora Tubipora
14.18 32.55 0.63 2.31 13.33 11.44 16.91 2.11 -
18.97 11.49 5.47 2.01 -
26.68 1.45 5.64 16.31 3.28 -
18.90 7.93 3.89 3.54 3.54 -
8.75 4.37 3.52 0.86 -
31.93
CB CM CE CS CF CMR CML CHL CTU
18.55 2.85 -
22.28 0.56 1.63 5.33 13.97 0.79 -
38.73 2.44 6.37 25.32 4.60 -
29.60 2.75 6.31 9.04 11.06 0.44 -
Dead Coral Dead coral With algae
24.87 25.87
40.64
25.89
38.96
48.24
28.60
16.24
15.65
14.5
DC DCA
9.54 9.54 -
15.32 15.32 -
16.77 10.50 6.27 -
6.20 5.17 1.03 -
2.27 1.22 1.23 1.04 -
5.65 2.67 2.98 -
Hard Coral Acropora Branching Tabulate Encrusting Submassive Digitate
7.19 3.34
MA TA HA CA AA
5.53 5.53 -
7.84 3.32 4.52 0
0 -
11.89 5.69 6.20 -
FS
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Other Fauna Soft Coral Sponge Zoanthid Other
SC SP ZO OT
-
3.10 2.10 1.00
0 -
2.77 2.77 -
-
-
-
9.14 9.14 -
6.23 6.23 -
18.86 18.86 -
Abiotic Sand Rubble Silt Water Rock
S R SI W R
38.24 1.56 36.68 -
20.10 15.64 4.46 -
29.38 29.38 -
27.96 27.96 -
21.17 15.56 6.61 -
32.95 22.57 10.38 -
15.00 13.56 1.44 -
15.25 11.36 3.89 -
Algae Macro Algae Turf Algae Halimedae Coralin Algae Algae Assemblege Fleshy weed
33.54 23.47 26.16 8.55 7.38 19.76 0 -
49 Lampiran 3. Data debit sungai yang terdapat di Teluk Lampung NAMA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
NO.
LUAS (Ha)
DEBIT (m3/det)
1
Way Sukamaju
425.50
34.77
2
Way Sukoharjo
40.63
4.57
3
Way Kateguhan
584.67
34.11
4
Way Kuripan
2,624.05
607.90
5
Way Kupang
422.49
58.97
6
Way Kunyit
319.50
54.30
7
Way Kuala
7,539.52
1,246.30
8
Way Lunik
626.00
94.80
9
Way Pidada
262.86
9.80
10
Way Galih Panjang
315.60
34.90
11
Way Srengsem
12
Way Kandis / Sekampung
453.85
17.50
5,698.64
233.00
Sumber : Bappeda Lampung, 2011
Lampiran 4. Analisis Komponen Utama Eigenvalues:
Eigenvalue Variability (%) Cumulative %
F1
F2
F3
F4
F6
F7
F8
7,738
3,177
1,857
1,621
1,254
F5
0,545
0,342
0,286
0,180
F9
45,518
18,690
10,925
9,537
7,374
3,205
2,014
1,680
1,058
45,518
64,208
75,133
84,669
92,043
95,248
97,262
98,942
100,000
Tutupan karang
Indeks Mortalitas
Correlation matrix (Pearson (n)): Variables Salinitas
Salinitas
Kekeruhan
TSS
Kecerahan
Kec. Arus
Laju Sedimentasi
1
-0,804
-0,67
0,577
0,397
-0,866
0,697
-0,729
Kekeruhan
-0,804
1
0,802
-0,473
-0,584
0,896
-0,659
0,670
TSS
-0,672
0,802
1
-0,700
-0,750
0,788
-0,837
0,811
Kecerahan
0,577
-0,473
-0,70
1
0,587
-0,615
Kec. Arus Laju Sedimentasi Tutupan karang
0,397
-0,584
-0,75
0,587
1
-0,569
0,867 0,582
-0,930 -0,569
-0,866
0,896
-0,615
-0,569
1
-0,804
0,826
0,697
-0,659
0,788 0,837
0,867
0,582
-0,804
1
-0,966
I.Mortalitas
-0,729
0,670
0,811
-0,930
-0,569
0,826
-0,966
1
50 RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 22 Februari 1988 di Kampung Lalang Medan Sumatera Utara. Merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan bapak H. Bakti Barus dan ibu Elysabeth Keliat, S.Pd. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 2 Medan Jurusan IPA pada tahun 2006. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2011, penulis diterima di Program Studi Ilmu Kelautan pada Program Pascasarjana IPB. Semasa kuliah penulis aktif di Badan Otoritas Mahasiswa Universitas Riau (BOM IK) sebagai anggota bidang Pengembangan Akademik periode 2007-2008. Penulis juga pernah aktif di Schooling Laboratorium Biologi Perikanan sebagai seorang asisten mata kuliah ikhtiologi pada tahun 2007-2008. Selain itu penulis juga aktif di Ikatan Mahasiswa Karo Riau (IMKA). Pada saat menempuh pendidika pascasarjana, penulis aktif di organisasi WATERMASS Ilmu Kelautan Istitut Pertanian Bogor.