MODEL PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL PADA AGROEKOLOGI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Studi Kasus Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Di Kabupaten Bengkalis-Meranti Provinsi Riau)
SUWONDO
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
2
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Sumberdaya Lokal Pada Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit : Studi Kasus Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti Provinsi Riau, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2011
Suwondo NRP. P062080081
3
ABSTRACT SUWONDO. 2011. Local Resource-Based Model of Peatland Management on Agroecology of Oil Palm Plantations: a Case Study on Agroecology of Smallholder Oil Palm Plantations in the Regency of Bengkalis-Meranti, Riau Province. Under the Supervision of SUPIANDI SABIHAM, SUMARDJO, and BAMBANG PRAMUDYA.
Oil palm plantations on peatlands are faced with problems of land degradation, emission of greenhouse gases (GHG) and biodiversity loss. This study was aimed to (1) identify changes in biophysical characteristics of peatlands, (2) assess the sustainability of peatland management, (3) examine important factors that affect peatland management, and (4) formulate a local resource-based model of peatland management on the agroecology of smallholder oil palm plantations. Research sites were in the Regency of Bengkalis-Meranti, Riau Province on marine and brackish peat. The data was collected using a survey method, field observations and measurements, in-depth interviews and documentation. The biophysical characteristics of peatland were analyzed descriptively. The sustainability of peatland management was assessed in dimensions of ecology, economy, socio-cultural aspects, technology and infrastructure, legal and institutional aspects, and analyzed by using the Multi Dimensional Scaling (MDS) with the technique of Rap-Insus Landmag (Rapid Appraisal-Sustainability Index of Land Management). The important factors in the peatland management were determined through a prospective analysis. The formulation of the local resourcebased model of peatland management in oil palm plantations was done by integrating MDS, leverage and prospective analysis. The research results showed that the biophysical characteristics of peatland experienced changes in the horizon profile, peat thickness, decomposition level, moisture content, ash content, pH, C-organic and biomass. The sustainability index of peatland management is at the level of less-to-moderate category. The dominant factors affecting the sustainability of peatland management (G) on oil palm plantations are the management system of water and land (a),community empowerment (p), cooperation among stakeholders (s), management of oil palm production (t), processing industry (i), structure and access to capital (m). The model of peatland management is an interaction between the dominant factors in the relationship of function G = f (a, p, s, t, i, m). Key words : management model, peatland, local resource, oil palm plantations
4
RINGKASAN SUWONDO. 2011. Model Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Sumberdaya Lokal Pada Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit : Studi Kasus Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti Provinsi Riau. Dibimbing oleh SUPIANDI SABIHAM, SUMARDJO, dan BAMBANG PRAMUDYA. Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang terbentuk pada kondisi anaerob (drainase buruk) di rawa pasang surut atau lebak dan mengandung bahan organik (> 50%) dari hasil akumulasi sisa tanaman dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Lahan gambut memberikan beberapa pelayanan (services) ekologi, ekonomi dan sosial yang potensial untuk dikembangkan sebagai sistem pendukung kehidupan (life supporting system). Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut dihadapkan pada permasalahan degradasi lingkungan seperti potensi emisi CO2 sebagai gas rumah kaca (GRK), penyebab utama bencana kebakaran lahan dan konflik sosial antara masyarakat dan perusahaan. Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit diharapkan mampu menjaga keberlanjutan fungsi ekologi, ekonomi dan sosial pada ekosistem tersebut. Untuk itu perlu dilakukan kajian yang integratif agar diperoleh informasi tentang hal-hal yang mendasari fungsi lingkungan dan produksi pada agroekologi perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut. Lokasi penelitian berada dalam wilayah Kabupaten Bengkalis-Meranti Propinsi Riau dengan lokasi utama di Kecamatan Siak Kecil dan Bukit Batu dari bulan Januari hingga Oktober 2010. Pengamatan dilakukan pada dua tipe fisiografi lahan gambut yakni gambut pantai (marine peat) dan gambut transisi (brackish peat). Tujuan utama yang akan dicapai pada penelitian ini adalah membangun model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti. Sedangkan tujuan antara pada penelitian ini adalah : (1) menganalisis perubahan karakteristik biofisik lahan gambut akibat aktivitas agroekologi perkebunan kelapa sawit; (2) mengevaluasi tingkat keberlanjutan pengelolaan lahan gambut untuk agroekologi perkebunan kelapa sawit; (3) menentukan faktor-faktor penting yang mempengaruhi pengelolaan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metode survey, yang dilaksanakan dengan pengamatan dan pengukuran lapangan dan wawancara mendalam (indepth interview) serta FGD. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumentasi laporan dari berbagai instansi terkait. Analisis data meliputi : (1) analisis deskriptif terhadap karakteristik biofisik dan kebijakan lahan gambut; (2) analisis sosial ekonomi; (3) analisis MDS untuk mengetahui tingkat keberlanjutan pengelolaan lahan gambut; (4) analisis kebutuhan stakeholders dan (5) analisis prospektif untuk menentukan atribut utama yang menentukan pengelolaan lahan gambut. Aktivitas perkebunan kelapa sawit merubah karakteristik biofisik lahan gambut. Kandungan C-organik dan kadar air semakin menurun, sedangkan muka air tanah, pH dan kadar abu semakin meningkat. Biomassa tumbuhan
5
menunjukkan adanya perbedaan antara hutan rawa gambut sekunder dengan perkebunan kelapa sawit, baik pada gambut transisi dan pantai. Pada hutan rawa gambut sekunder biomassa ditemukan sebesar 103,28 ton ha-1, perkebunan sawit usia < 3 tahun 19,85 - 25,65 ton ha-1, perkebunan usia 3 – 9 tahun berkisar antara 26,94 – 102,76 ton ha-1. Sedangkan pada perkebunan kelapa sawit usia > 10 tahun ditemukan sebesar 116,62 - 132,63 ton ha-1. Hasil analisis finansial menunjukkan pembangunan perkebunan kelapa sawit pola perkebunan rakyat mempunyai nilai IRR = 27%, NPV discount rate 17 % = Rp 32,94 juta ha-1 tahun-1 dan B/C = 1,45. Sedangkan pada perkebunan kelapa sawit skala perusahaan/industri (6.000 ha) mempunyai nilai IRR 34 %, NPV discount rate 17% Rp. 242.797.776.924 dan B/C 3,2. Pendapatan bersih dari perkebunan sawit rakyat seluas 2 ha rata-rata pada kondisi eksisting sebesar Rp.27.687.936 th-1. Sedangkan pendapatan untuk memenuhi KHL sebesar Rp.28.000.000. Perbaikan terhadap input produksi dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani sehingga dapat memenuhi KHL. Luas lahan minimal (Lmin) yang harus diusahakan adalah 2 ha, untuk luas lahan optimal (Lopt) yang diusahakan untuk memperoleh pendapatan optimal petani perkebunan sawit rakyat seluas 2,6 ha. Sedangkan luas lahan maksimal (Lmak) yang diusahakan untuk perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti adalah 3,6 ha KK-1. Pengembangan tata guna lahan perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan dengan disain “mozaik” dengan tata guna lahan pola “puzzle”. Tata guna lahan perkebunan sawit diusahakan tidak kontinu tetapi di integrasikan dengan vegetasi hutan alami. Pola “puzzle” dilakukan dengan mempertimbangan kawasan hutan yang mempunyai nilai konservasi tinggi seperti sempadan sungai, resapan atau mata air, hutan adat, habitat flora dan fauna endemik, mempunyai keterkaitan yang tinggi terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat disekitarnya. Landasan peraturan yang digunakan antara lain : (1) Undang-Undang No 18 tahun 2004 tentang Perkebunan; (2) Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang tata ruang; (3) Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup; (4) Kepres 32/1990 tentang tentang pengelolaan kawasan lindung; (5) Permentan No: 14/2009 tentang pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit. Pengelolaan lahan gambut menunjukkan belum seimbangnya antar dimensi ekonomi, ekologi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan di Kabupaten Bengkalis-Meranti. Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan lahan gambut pantai (marine peat) dan transisi (brakish peat) pada agroekologi perkebunan kelapa sawit untuk dimensi ekologi 49,14 % dan 46,60 % (kurang berkelanjutan), dimensi ekonomi 69,30 % dan 64,7 % (cukup berkelanjutan), dimensi sosial 52,32 dan 54,47 (cukup berkelanjutan), dimensi infrastruktur dan teknologi 51,15 % (cukup berkelanjutan) dan 49,64 (kurang berkelanjutan) serta hukum dan kelembagaan sebesar 50,33 dan 56,99 % (cukup berkelanjutan). Dengan demikian pengelolaan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti berada pada tingkat katagori berkelanjutan kurang sampai sedang, baik pada gambut pantai maupun transisi. Atribut utama yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan lahan gambut pada dimensi ekologi adalah pengaturan tata air dan lahan,
6
penambahan amelioran/pemupukan, pencegahan kebakaran lahan dan produktifitas tanaman sawit. Pada dimensi ekonomi adalah pemasaran hasil TBS, pemberian kredit usaha tani, kepemilikan lahan dan harga TBS. Pada dimensi sosial budaya adalah peluang kemitraan, pencegahan konflik lahan, pemberdayaan masyarakat dan tingkat pendidikan. Pada dimensi infrastruktur dan teknologi adalah standarisasi mutu produk sawit, sarana prasarana dan industri pengolahan. Pada dimensi hukum dan kelembagaan adalah interaksi antar lembaga, keberadaan lembaga keuangan dan keberadaan kelompok tani. Model pengelolaan lahan gambut (G) pada perkebunan kelapa sawit merupakan interaksi antara pengaturan tata air dan lahan (a), pemberdayaan masyarakat (p), kerjasama antar stakeholders (s), manajemen produksi tanaman sawit (t), industri pengolahan (i), struktur dan akses permodalan (m), yang dapat digambarkan dalam hubungan fungsi G = f (a, p, s, t, i, m). Strategi implementasi model pengelolaan lahan gambut berbasis sumber daya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti menggunakan pendekatan integratif dengan melakukan perbaikan dan peningkatan pada faktor dominan antara lain : (a) pengelolaan tata air mikro dengan pembuatan saluran dan pengaturan pintu air (tabat); (b) pemberdayaan masyarakat dengan membentuk kelembagaan kerjasama antara pemerintah, investor, perbankan dengan pekebun yang terhimpun dalam koperasi; (c) pembentukan kelembagaan lintas sektoral (pokja) untuk mendukung kerjasama antar stakeholders; (d) menerapkan manajemen produksi tanaman kelapa sawit dengan persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan konservasi tanah serta perawatan prasarana; (e) integrasi struktur pabrik dan pekebun dalam usaha perkebunan kelapa sawit rakyat melalui kemitraan usaha pola agroindustri kelapa sawit skala kecil (5 ton TBS jam-1); (f) memperkuat akses petani terhadap permodalan pada lembaga keuangan.
7
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
8
MODEL PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL PADA AGROEKOLOGI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Studi Kasus Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti Provinsi Riau)
SUWONDO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
9
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tertutup (9 Mei 2011) : 1.
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS (Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura SPs-IPB)
2.
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc (Ketua Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan – TSL IPB)
Pada Ujian Terbuka (13 Juni 2011) : 1.
Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS (Peneliti Utama Agroklimatologi dan Lingkungan, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian)
2.
Dr. Ir. M. Ardiansyah (Staf Pengajar Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan – TSL IPB)
10
Judul Disertasi
Nama NRP
: Model Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Sumberdaya Lokal Pada Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti Provinsi Riau). : Suwondo : P062080081
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir.Supiandi Sabiham,M.Agr Ketua
Prof.Dr.Ir.Sumardjo,MS Anggota
Prof.Dr.Ir.Bambang Pramudya, M.Eng Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir.Cecep Kusmana,MS
Dr.Ir.Dahrul Syah, M.ScAgr
Tanggal Ujian : 13 Juni 2011
Tanggal Lulus :
11
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karuniaNya, maka penyusunan disertasi ini dapat diselesaikan pada waktunya. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Model Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Sumberdaya Lokal Pada Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti Provinsi Riau). Pada kesempatan ini ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS serta Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan yang sangat berharga pada penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Syaiful Anwar,M.Sc dan Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS sebagai penguji di luar komisi pembimbing dalam ujian tertutup atas bimbingan dan saran yang diberikan guna penyempurnaan disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS dan Dr. Ir. M. Ardiansyah yang berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka. Penghargaan diberikan kepada Tim Peneliti The Toyota Foudation yang telah memberikan dukungan dana penelitian (Research Grant Program), sehingga kegiatan penelitian yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan tahapan yang telah ditetapkan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktrat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dekan Sekolah pascasarjana IPB beserta staf atas kesempatan studi yang diberikan, sehingga penulis dapat menempuh pendidikan jenjang S3 pada Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Program Studi PSL Sekolah pascasarjana IPB beserta staf yang telah memberikan arahan dan bimbingan akademik selama menempuh pendidikan S3. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor dan Dekan FKIP Universitas Riau yang telah memberikan izin mengikuti program S3 pada Sekolah
12
Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Lembaga Penelitian dan Kepala PPLH Universitas Riau yang selalu memberikan dukungan moril dan materil selama penulis mengikuti pendidikan. Penulis menyampaikan ungkapan terima kasih yang sangat mendalam kepada istri tersayang Dra. Sri Wulandari, M.Si yang dengan penuh kesabaran, pengertian dan selalu memberikan semangat kepada penulis selama proses pendidikan. Teruntuk anak-anakku Widya Rachmania Putri, Hana Dwi Suwandari dan Winda Hapsari yang selalu menjadi inspirasi dan motivasi, terima kasih atas pengertian dan ketabahan selama ini. Rasa terima kasih yang mendalam kepada Ayahanda Abdullah dan Ibunda Supinah, juga kepada ayah mertua Bapak Edy Soengkowo dan Ibu Supadmi, yang telah tanpa lelah selalu berdoa untuk keberhasilan penulis dan memberikan kasih sayang sepenuh jiwa. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan masukan yang konstruktif sangat diharapkan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada berbagai pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung, yang telah membantu terlaksananya penelitian hingga tersusunnya disertasi ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Semoga semua amal dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis akan diberikan imbalan yang setimpal oleh Allah Subhana Wata’ala. Akhirnya semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin
Bogor, Juli 2011 Penulis Suwondo
13
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Payakumbuh pada tanggal 13 Januari 1968 dari ayah Abdullah dan ibu Supinah, merupakan putra ketiga dari lima bersaudara. Penulis menikah dengan Dra.Sri Wulandari,M.Si dan telah dikaruniai tiga orang putri yang bernama Widya Rachmania Putri, Hana Dwi Suwandari dan Winda Hapsari. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) pada Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau dan meraih gelar (Drs) pada tahun 1990. Pada tahun 1991 penulis mulai bekerja sebagai dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau. Selanjutnya pada tahun 1993 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana jenjang Program Master (S2) pada Program Studi Biologi di Universitas Gadjah Mada dan meraih gelar Magister Sains (M.Si) pada tahun 1995. Pada tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana jenjang Program Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan S3 telah disetujui dua artikel untuk diterbitkan adalah : (1) Efek pembukaan lahan terhadap karakteristik biofisik gambut pada perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis di Jurnal Natur Indonesia, Universitas Riau; (2) Analisis keberlanjutan pengelolaan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Jurnal Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Karya-karya tersebut merupakan bagian dari disertasi program S3 penulis.
14
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................. DAFTAR GAMBAR........................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................
xvi xviii xx
I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1.2. Tujuan Penelitian......................................................................... 1.3. Kerangka Pemikiran .................................................................... 1.4. Rumusan Masalah ...................................................................... 1.5. Manfaat Penelitian ..................................................................... 1.6. Kebaruan (Novelty) ... .................................................................
1 1 4 5 7 10 10
II.
TINJAUAN PUSTAKA ..... ................................................................. 2.1. Karakteristik Ekosistem Lahan Gambut...................................... 2.2. Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Sumberdaya Lokal........... 2.3. Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut.....
13 13 16 22
III.
METODE PENELITIAN ...................................................................... 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 3.2. Rancangan Penelitian ................................................................. 3.3. Lingkup dan Rencana Kegiatan.................................................. 3.4. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian........... 3.5. Metode Analisis Data.................................................................. 3.6. Definisi Istilah-Istilah Penting yang Digunakan dalam Disertasi
27 27 28 28 30 33 45
IV.
KONDISI UMUM WILAYAH STUDI................................................ 4.1. Letak Geografis dan Wilayah Administrasi................................. 4.2. Topografi dan Fisiografi.............................................................. 4.3. Geologi dan Jenis Batuan............................................................ 4.4. Jenis Tanah dan Iklim.................................................................. 4.5. Kondisi Sosial dan Ekonomi........................................................ 4.6. Kondisi Infrastruktur dan Sarana Lainnya................................... 4.7. Kondisi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten BengkalisMeranti......................................................................................... 4.8. Kebijakan Pembangunan Perkebunan Sawit................................
47 47 47 48 49 52 55
HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................ 5.1. Karakteristik Lahan Gambut di Kabupaten BengkalisMeranti......................................................................................... 5.2. Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut.... 5.3. Analisis Sosial Ekonomi.............................................................. 5.4. Analisis Kebijakan Penggunaan Lahan Gambut.......................... 5.5. Analisis Sumberdaya Lokal Lahan Gambut................................ 5.6. Status Keberlanjutan Pengelolaan Lahan Gambut....................... 5.6.1. Keberlanjutan Dimensi Ekologi...................................... 5.6.2. Keberlanjutan Dimensi Ekonomi....................................
63
V.
59 61
63 75 78 84 88 93 95 98
15
VI.
5.6.3. Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya............................ 5.6.4. Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi...... 5.6.5. Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan......... 5.6.6. Analisis Monte Carlo...................................................... 5.7. Analisis Faktor Penentu Keberlanjutan Lahan Gambut............... 5.7.1. Indeks Keberlanjutan....................................................... 5.7.2. Kebutuhan Stakeholders.................................................. 5.8. Faktor Kunci Keberlanjutan Pengelolaan Lahan Gambut........... 5.9. Skenario Model Pengelolaan Lahan Gambut............................... 5.10. Rekomendasi Model Pengelolaan Lahan Gambut...................... 5.11. Strategi Pengelolaan Lahan Gambut............................................
100 104 107 111 112 113 115 116 126 131 135
REKOMENDASI KEBIJAKAN...........................................................
139
VII. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................. 7.1. Kesimpulan.................................................................................. 7.2. Saran.............................................................................................
147 147 148
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
149
LAMPIRAN......................................................................................................
159
16
DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Penelitian dan metode serta hasil penelitian terkait novelty........... Penataan dan pola pemanfaatan lahan yang dianjurkan pada setiap tipologi lahan bergambut...................................................... Kandungan hara pada tiga tingkat kesuburan gambut.................... Karakteristik dan perubahan kondisi agrofisik pada lahan gambut............................................................................................. Jenis data, sumber dan teknik pengumpulan data penelitian.......... Parameter dan metode analisis tanah gambut................................. Kategori status keberlanjutan pengelolaan lahan gambut berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-Insus Landmag........... Pedoman penilaian analisis prospektif........................................... Luas penyebaran tanah mineral dan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti........................................................................... Karakteristik Jenis Tanah di Kabupaten Bengkalis-Meranti........... Iklim di Wilayah Kabupaten Bengkalis-Meranti............................ Desa/Kelurahan, luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk Kabupaten Bengkalis-Meranti.........................................................
11 15 16 17 30 31 36 41 49 51 52 53
Perkiraan Kebutuhan Pabrik Kelapa Sawit untuk Kabupaten Bengkalis-Meranti...........................................................................
60
Pertumbuhan indeks kesejahteraan petani kelapa sawit dan multiplier effect ekonomi pedesaan di Provinsi Riau....................
60
Luas dan ketebalan lahan gambut di Kabupaten BengkalisMeranti............................................................................................ Karakteristik utama satuan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti Tipe hidrotopografi lahan gambut di Kabupaten BengkalisMeranti............................................................................................ Perubahan profil lahan gambut di perkebunan kelapa sawit........... Karakteristik biofisik lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti................................
63 64 65 67 68
Kondisi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten BengkalisMeranti............................................................................................
76
Jenis dan penggunaan pupuk di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti..............................
77
Jenis dan dosis penggunaan pestisida di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti..................... Kebutuhan hidup layak (KHL) petani perkebunan kelapa sawit....
78 79
17
24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Jenis pengeluran rumah tangga petani perkebunan kelapa sawit pada berbagai fisiografi lahan gambut........................................... Hasil content analysis kebijakan pembangunan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut.......................................................... Tata guna lahan pada areal perkebunan kelapa sawit..................... Atribut kunci yang mempengaruhi indeks keberlanjutan pengelolaan lahan gambut pada perkebunan kelapa sawit............. Perbedaan indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai dan transisi dengan analisis Monte Carlo...... 2
Indeks keberlanjutan, nilai Stress dan R perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai..................................................... Indeks keberlanjutan, nilai Stress dan R2 perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut transisi....................................................
82 85 86 109 111 112
112
Gabungan faktor-faktor kunci yang mempunyai pengaruh dominan...........................................................................................
117
32.
Uraian masing-masing skenario strategi pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut.....................................................
127
33.
Penerapan model pengelolaan lahan gambut pada perkebunan kelapa sawit rakyat..........................................................................
128
Perubahan faktor-faktor dominan strategi pengelolaan lahan gambut pada perkebunan kelapa sawit rakyat.................................
129
Skenario strategi pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut berbasis sumberdaya lokal........................................
130
34. 35. 36.
Indeks keberlanjutan kondisi eksisting dan skenario I, II, III pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti...........................................................................
132
18
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7.
8. 9. 10. 11. 12.
13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Kerangka pemikiran penelitian model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada perkebunan kelapa sawit............. Skema perumusan masalah dan pendekatan analisis model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat.................................. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Bengkalis-Meranti Provinsi Riau................................................................................................. Tahapan penelitian yang dilakukan............................................... Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pengelolaan lahan gambut pada perkebunan kelapa sawit pada skala 0 – 100 %........ Ilustrasi diagram layang-layang indeks keberlanjutan.................... Penentuan tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam pengelolaan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit..................................................................................... Tahapan penyusunan model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada perkebunan kelapa sawit rakyat................ Peta Sebaran Gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti................ Perbandingan biomassa (t ha-1) tumbuhan pada hutan rawa gambut dengan perkebunan kelapa sawit....................................... Hubungan ketebalan gambut dengan kandungan karbon dan usia sawit dengan peningkatan biomassa............................................... Ketebalan gambut (cm), kedalaman air tanah (cm), kadar air pada lahan gambut transisi (a) dan pantai (b) di perkebunan kelapa sawit serta hutan rawa gambut sekunder............................. Nilai pH H2O dan pH KCl pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit dan hutan rawa gambut sekunder.............................. Kadar C-organik (%), kadar abu (%) pada lahan gambut transisi (a) dan pantai (b) di perkebunan kelapa sawit................................ Hubungan antara C-organik (%), ketebalan gambut (cm) dan kadar abu (%) pada lahan gambut................................................... Produksi perkebunan kelapa sawit pola perkebunan besar swasta (PBN) atau negara (PBS) dan swadaya masyarakat....................... Diagram layang-layang status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai...................................................... Diagram layang-layang status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut transisi.................................................... Indeks keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi (b) pada lahan gambut pantai................................................................................
6
9 27 29 39 39
42 44 50 69 70
71 72 73 74 75 94 95
96
19
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36.
Indeks keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi (b) di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut transisi........................................ Indeks Keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi (b) di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai........................................... Indeks keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi (b) di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut transisi......................................... Indeks keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial (b) di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai........................................... Indeks keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial (b) di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut transisi......................................... Indeks keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi (b) pada lahan gambut pantai.......................................................... Indeks keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi (b) pada lahan gambut transisi........................................................ Indeks keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan (b) di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai............. Indeks keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan (b) di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut transisi............ Bagan interaksi antar atribut kunci dalam pengelolaan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit....................... Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis keberlanjutan pada lahan gambut pantai........ Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis keberlanjutan pada lahan gambut transisi...... Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis kebutuhan stakeholders................................. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis MDS dan kebutuhan stakeholders................. Indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan pada kondisi eksisting, skenario I, II dan III pada lahan gambut pantai.............. Indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan pada kondisi eksisting, skenario I, II dan III pada lahan gambut transisi............ Strategi pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti Provinsi Riau....................................................
97
98
99
102
103
105
106
107
108 110 114 115 116 117 133 133
146
20
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4. 5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Deskripsi profil gambut pada hutan rawa gambut sekunder....... Deskripsi profil gambut pantai pada perkebunan kelapa sawit.. Deskripsi profil gambut transisi pada perkebunan kelapa sawit. Prinsip dan kriteria perkebunan kelapa sawit berkelanjutan menurut Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)................ Dimensi ekologi dan atribut keberlanjutan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten BengkalisMeranti Riau................................................................................. Dimensi ekonomi dan atribut keberlanjutan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten BengkalisMeranti-Riau................................................................................. Dimensi sosial budaya dan atribut keberlanjutan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti Riau................................................................ Dimensi infrastruktur & teknologi dan atribut keberlanjutan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti Riau............................................. Dimensi hukum & kelembagaan dan atribut keberlanjutan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti Riau............................................. Dimensi dan atribut yang menjadi faktor pengungkit utama menentukan indeks keberlanjutan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten BengkalisMeranti Riau................................................................................. Analisis finansial perkebunan kelapa sawit..................................
159 160 163 166
168
169
170
171
172
173 174
21
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem lahan basah dengan potensi sumberdaya hayati yang potensial untuk dikembangkan sebagai sistem pendukung kehidupan (life supporting system). Lahan gambut mempunyai fungsi untuk pelestarian sumberdaya air, peredam banjir, pencegah intrusi air laut, pendukung berbagai kehidupan, keanekaragaman hayati dan pengendali iklim (Cassel, 1997). Galbraith et al. (2005) menyebutkan bahwa ekosistem lahan gambut memberikan beberapa pelayanan (services) ekologi, ekonomi dan sosial antara lain : (1) habitat bagi burung air, ikan, berbagai jenis hewan lain dan tumbuhan; (2) keanegaragaman hayati (biodiversity); (3) produksi makanan (food production); (4) penyimpan air (water storage) termasuk mitigasi dampak banjir/air bah dan kemarau; (5) mengisi kembali air tanah (groundwater recharge); (6) stabilisasi garis pantai dan pelindungan terhadap badai (shoreline stabilization
and
storm
protection);
penjernihan/pemurnian
air
(water
purification); (7) siklus nutrien (nutrient cycling); (8) pengendapan/penyimpan sediment (sediment retention and export); (9) rekreasi dan wisata (recreation and tourism); (10) mitigasi perubahan iklim (climate change mitigation); (11) penghasil kayu (timber production); (12) pendidikan dan penelitian (education and research); dan (13) nilai-nilai estetika dan budaya (aesthetic and cultural value). Egoh et al. (2007) menyebutkan bahwa jasa lingkungan yang diberikan ekosistem rawa gambut merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan perlindungan terhadap ekosistem tersebut. Dengan demikian diperlukan suatu pengelolaan yang baik agar pelayanan yang diberikan oleh ekosistem lahan gambut tetap dapat dipertahankan. Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta ha (10,8%) dari luas daratan Indonesia, dimana sekitar 7,2 juta ha (35%) terdapat di Pulau Sumatera. Luas lahan gambut di Propinsi Riau adalah 4.043.602 ha (45 % dari luas lahan keseluruhan). Penggunaan lahan gambut untuk kepentingan perkebunan di Propinsi Riau mencapai lebih kurang 817.593 ha (Dinas Perkebunan Provinsi Riau, 2007). Luasan perkebunan ini akan semakin meningkat dimasa yang akan datang. Kondisi ini didukung oleh adanya kebijakan dan program pemerintah yang menempatkan sektor perkebunan menjadi penggerak ekonomi dan pembangunan. Perkebunan merupakan sektor penting dalam menunjang pembangunan di Provinsi Riau. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau dan Peraturan Daerah (PERDA) No.10 Tahun 1994
22
menyebutkan bahwa potensi areal perkebunan di Propinsi Riau seluas 3.300.767,5 ha. Pemanfaatan lahan untuk kegiatan pembangunan perkebunan hingga tahun 2008 mencapai 2.857.567,65 ha (Dinas Perkebunan Provinsi Riau, 2009). Meningkatnya kebutuhan akan produk turunan yang berasal dari CPO (Crude Palm Oil) menyebabkan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit semakin cepat dan luas. Proyeksi produksi CPO secara nasional mencapai 26 juta ton pada tahun 2020 (Balitbang Pertanian, 2005). Pembukaan lahan umumnya dilakukan pada ekosistem rawa gambut yang mempunyai tingkat kerawanan yang tinggi terhadap aktivitas pembukaan lahan. Keberhasilan budidaya suatu jenis komoditas tanaman sangat tergantung kepada agroekologi dalam melakukan budidaya tanaman dan pengelolaan lahan yang dilakukan. Pengembangan suatu komoditas tanaman harus dikatahui persyaratan tumbuh dari komoditas yang akan dikembangkan kemudian mencari wilayah yang mempunyai kondisi agroekologis yang relatif sesuai (Susanto, 2008). Selain itu aspek teknis dalam pemilihan lokasi dan penerapan teknologi serta sosial ekonomi berperan penting dalam pembangunan pertanian di rawa gambut ( Suriadikarta dan Sutriadi, 2007). Sektor perkebunan merupakan sektor unggulan dalam pengembangan daerah lahan gambut. Alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit pada ekosistem lahan gambut merupakan faktor dominan yang menyebabkan terjadinya perubahan pada ekosistem lahan gambut tersebut. Perubahan yang terjadi telah menyebabkan lahan gambut mengalami degradasi yakni tidak produktif dan menimbulkan masalah lingkungan (Riwandi, 2003). Kondisi ini menyebabkan hilangnya keragaman sumberdaya genetik, disintegrasi sosial budaya dan memarginalisasi petani serta menimbulkan kerusakan lingkungan (Reijntjes et al. 1992). Sistem pertanian berkelanjutan akan terwujud apabila lahan digunakan untuk sistem pertanian yang tepat dengan cara pengelolaan yang sesuai. Bila lahan tidak digunakan secara tepat, produktivitas akan cepat menurun dan ekosistem mengalami kerusakan. Penggunaan lahan yang tepat selain menjamin bahwa lahan memberikan manfaat untuk pemakai saat ini, juga menjamin bahwa sumberdaya akan bermanfaat untuk generasi penerus di masa mendatang. Dengan mempertimbangkan keadaan agroekologi, penggunaan lahan berupa sistem produksi tanaman yang tepat dapat ditentukan (Puslitbang Tanah dan Agroklimat, 1999). Pemanfaatan lahan gambut untuk usaha perkebunan diharapkan mampu menjaga keberlanjutan fungsi ekologi, ekonomi dan sosial pada ekosistem tersebut. Agroekologi perkebunan kelapa sawit merupakan suatu sistem yang sangat dinamis. Dinamika sistem terbentuk dari berbagai interaksi antara vegetasi, siklus hara, hidrologi, sosial dan ekonomi penduduk (Melling dan Goh, 2008). Pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal dapat menjadi pilihan bagi keberhasilan usaha pertanian (Sabiham, 2007). Mironga (2005)
23
menyebutkan bahwa pengetahuan petani terhadap pengelolaan lahan basah (lahan gambut) sangat penting dalam mempertahankan keberlanjutan ekosistem tersebut. Reijntjes et al. (1992) menyebutkan bahwa pengetahuan lokal setempat merupakan sumber informasi penting tentang sistem pertanian setempat, pengalaman, institusi, budaya dan sebagainya. Pengetahuan dan keterampilan petani dalam menyesuaikan gagasan baru dengan kondisi dan kebutuhan setempat merupakan dasar perubahan dalam masyarakat petani. Pada kenyataannya perubahan yang terjadi sering memberikan perubahan yang besar dan menyebabkan hilangnya fungsi ekologis, ekonomi dan sosial pada lahan gambut tersebut. Aktivitas pembukaan lahan (land clearing) dilakukan dengan cara penghilangan vegetasi, pembuatan saluran (kanalisasi) dan pembersihan lahan. Aktivitas yang dilakukan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan tata air (hidrologi) yang berpengaruh pada perubahan tingkat kesuburan lahan dan terjadinya penurunan muka tanah. Luas lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti Provinsi Riau mencapai 856.386 ha (Dinas Perkebunan Provinsi Riau, 2009). Akibat alih fungsi lahan menjadi agroekologi perkebunan kelapa sawit menyebabkan luasan lahan gambut akan mengalami pengurangan pada setiap tahunnya. Agar lahan gambut tidak mengalami kerusakan harus dilakukan pengelolaan yang tepat. Pengelolaan lahan yang tidak tepat dengan aktivitas pembukaan lahan yang tidak memperhatikan karakteristik biofisik lingkungan, menyebabkan lahan mengalami degradasi dan ditinggalkan menjadi lahan terlantar atau lahan tidur (Noorginayuwati et al. 1997 dan Sutikno et al. 1998 diacu dalam Noor, 2001). Gliesman (1998); Cooke et al. (2009); Walter dan Stutzel (2009) menyebutkan bahwa pendekatan multidisiplin dengan menggunakan indikator agroekologi yang mengintegrasikan data ekologi, sosial dan ekonomi dapat dilakukan untuk mengevaluasi keberlanjutan aktivitas perkebunan. Untuk itu perlu dilakukan kajian yang integratif agar diperoleh informasi tentang hal-hal yang mendasari fungsi lingkungan dan produksi pada agroekologi perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut. 1.1.
Tujuan Penelitian Tujuan utama yang akan dicapai pada penelitian ini adalah membangun
model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti. Sedangkan tujuan antara pada penelitian ini adalah : 1. Menganalisis perubahan karakteristik biofisik lahan gambut akibat aktivitas agroekologi perkebunan kelapa sawit. 2. Mengevaluasi tingkat keberlanjutan pengelolaan lahan gambut untuk agroekologi perkebunan kelapa sawit.
24
3. Menentukan faktor-faktor penting yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit.
1.2.
Kerangka Pemikiran Pengembangan
perkebunan
pada
ekosistem
lahan
gambut
yang
menghasilkan produksi dan nilai ekonomi diharapkan tidak mengorbankan fungsi lingkungan. Permasalahan yang muncul sehubungan dengan pembukaan lahan antara lain tingkat dekomposisi lahan gambut, hidrologi, kemasaman tanah, penurunan tanah (subsidence), percepatan dekomposisi tanah, terjadinya sifat kering tidak balik (irreversibel drying), perubahan faktor biologi (organisme) tanah dan vegetasi permukaan. Kondisi ini dapat berpengaruh secara langsung terhadap tingkat kesuburan dan produktivitas lahan. Untuk menghindari munculnya permasalahan tersebut diperlukan upaya pengelolaan yang bersifat integratif, dimana diperlukan model pengelolaan yang memperhatikan berbagai aspek pada karakteristik sumberdaya lokal yang berpengaruh terhadap lahan gambut tersebut. Karakteristik sumberdaya lokal meliputi antara lain sifat fisik, kimia, biologi, hidrologi, interaksi antara komposisi vegetasi dengan keadaan tanah dan sosial ekonomi serta pengetahuan dan keterampilan masyarakat. Pengelolaan terhadap komponen sumberdaya lokal akan sangat menentukan keberhasilan pengelolan rawa gambut. Strategi kebijakan tata guna lahan gambut untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit harus bersifat holistik dan komprehensif. Alih fungsi hutan rawa gambut untuk pemanfaatan perkebunan kelapa sawit harus menjadi perhatian semua pemangku kepentingan (stakeholders) yang berhubungan secara langsung dan tidak langsung dengan alih fungsi lahan gambut tersebut. Pengelolaan lahan gambut harus memperhatikan aspek biofisik gambut dan keterkaitan yang bersifat lintas sosial budaya dan ekonomi maupun politik sebagai akibat adanya pembukaan lahan. Terhimpunnya informasi ini menjadi
25
dasar bagi penyusunan model pengelolaan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit yang dilakukan berdasarkan kerangka pemikiran seperti terlihat dalam Gambar 1.
Ekosistem Rawa Gambut
Alih Fungsi Lahan : • Land Clearing • Kanalisasi
Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit
Pengelolaan Lahan Gambut Tidak Berkelanjutan
Ekologi : Degradasi Gambut Produktivitas Rendah
Ekonomi : Pendapatan Rendah Kesejahteraan Rendah
Sosial : Pendik.Rendah Konflik Sosial Hilangnya Kearifan Lokal
Infrastruk & Tek Sarana dan prasarana Industri Pengolahan
Hukum dan Kelembagaan : Poktan Penyuluh Bank Mikro
Pengembangan Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut
Perubahan Karakteristik Biofisik Lahan Gambut
Keberlanjutan Pengelolaan Lahan Gambut
Sumberdaya Lokal : Karakteristik Biofisik Gambut Spesifik Lokasi, Sosial Ekonomi, Pengetahuan dan Keterampilan Masyarakat Lokal
Model Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Sumberdaya Lokal Pada Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat
Faktor-Faktor Penting Pengelolaan Lahan Gambut
26
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada perkebunan kelapa sawit rakyat. 1.3.
Rumusan Masalah Pembangunan perkebunan kelapa sawit menghasilkan manfaat ekonomi
yang penting sebagai penghasil devisa negara. Produksi minyak kelapa sawit Indonesia mengalami peningkatan yang cukup besar dari 7,2 juta ton pada tahun 2000 menjadi 10,6 juta ton pada tahun 2005 (Casson, 2005). Volume ekspor minyak kelapa sawit Provinsi Riau mencapai 6.8 juta ton dengan nilai US$ 3,03 milyar. Sedangkan jumlah petani yang terlibat mencapai 804.490
Kepala
Keluarga (KK) dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 1,2 juta orang (Dinas Perkebunan Propinsi Riau, 2009). Rist et al. (2010) menyebutkan bahwa perkebunan kelapa sawit rakyat memberikan kontribusi besar terhadap kesejahteraan pada masyarakat. Dengan demikian perkebunan kelapa sawit memberikan sumbangan yang
besar terhadap perekonomian di Indonesia
khususnya di Provinsi Riau. Permintaan yang tinggi pada produk minyak kelapa sawit khususnya CPO (Crude Palm Oil) menyebabkan perluasan perkebunan kelapa sawit diusahakan pada berbagai karakteristik lahan termasuk pada lahan gambut. Lahan gambut dengan karakteristik yang rentan terhadap aktivitas pembukaan lahan, bila tidak dilakukan pengelolaan dengan baik akan mudah mengalami degradasi. Usaha mengembangkan dan pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit menjadi permasalahan dan memerlukan penanganan yang serius dan hati-hati. Pembukaan lahan pada aktivitas perkebunan kelapa sawit akan merubah sistem tata air dan sulit dikendalikan. Kondisi air berfluktuasi dan sulit diduga serta resiko kebanjiran (flooding) di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Dengan kondisi biofisik yang demikian, maka pengembangan lahan gambut untuk usaha perkebunan kelapa sawit dalam skala luas memerlukan pengelolaan lahan dan air serta penerapan teknologi yang sesuai dengan kondisi wilayahnya (spesifik lokasi) agar diperoleh hasil yang optimal.
27
Pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi penyebab terjadinya kebakaran lahan gambut di Provinsi Riau. Keadaan ini menjadi ancaman terhadap hilangnya biodiversitas pada tipologi ekosistem lahan gambut. Pembangunan areal perkebunan kelapa sawit skala besar juga memberikan dampak sosial terhadap masyarakat disekitarnya. Munculnya konflik lahan disebabkan oleh proses pembebasan lahan yang tidak mengikuti ketentuan yang berlaku. Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit menyebabkan terjadinya penyerobotan lahan masyarakat. Sedangkan di atas tanah tersebut masih terdapat tanaman pertanian atau tanaman perkebunan milik masyarakat (Potter dan Lee, 1998 diacu dalam Manurung, 2001). Ekosistem lahan gambut mempunyai nilai ekonomi yang besar, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pemanfaatannya. Alih fungsi hutan menjadi areal perkebunan menyebabkan terjadinya penurunan biodiversitas organisme. Produksi kayu, getah, ikan merupakan salah satu fungsi ekonomi yang dihasilkan oleh ekosistem lahan gambut. Permasaahan yang sering terjadi pada lahan gambut adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat serta kelembagaan dan prasarana pendukung belum memadai (kurang/belum berjalan) atau bahkan belum ada. Kemampuan pemerintah daerah dan petani belum sepenuhnya memahami karakteristik lahan gambut dan juga teknologi yang tersedia dan cocok dalam pengelolaan lahan dan air untuk pertanian yang mempunyai kearifan lokal (local wisdom). Pengelolaan lahan gambut yang dilakukan kurang memperhatikan teknologi yang telah dan pernah dilakukan oleh masyarakat lokal maupun pendatang dalam suatu area tertentu. Kondisi ini menyebabkan belum tersedianya acuan yang dapat dipedomani dalam pengembangan lahan gambut pada lokasi lain. Pengelolaan lahan gambut dilakukan secara sektoral tanpa melibatkan berbagai unsur sehingga tidak terintegrasi atau kurangnya dukungan dari sektorsektor atau pihak-pihak terkait lainnya. Berdasarkan kerangka pemikiran dan rumusan permasalahan diatas maka pendekatan integratif faktor ekologi, ekonomi dan sosial perlu dilakukan pada kawasan agroekologi perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut. Perlu dirancang suatu model pengelolaan yang mempertimbangkan semua komponen
28
sumberdaya lokal yang terdapat pada ekosistem tersebut. Sehingga program pengembangan agroekologi perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dapat dilakukan secara berkelanjutan. Skema penelitian model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit disajikan pada Gambar 2.
Ekosistem Rawa Gambut
Kebijakan Pengelolaan Lahan Gambut
Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit
Identifikasi Faktor Berpengaruh
Data Primer, Sekunder dan Pendapat Pakar
Ekologi : Degradasi Gambut Produktivitas Rendah
Ekonomi : Pendapatan Rendah Kesejahteraan Rendah
Sosial : Pendik.Rendah Konflik Sosial Hilangnya Kearifan Lokal
Infrastruk & Tek Sarana dan prasarana Industri Pengolahan
Hukum dan Kelembagaan : Poktan Penyuluh Lembaga Bank
Analisis
Deskriptif : Biofisik Gambut dan Sumberdaya Lokal Kebutuhan Stakeholders
Keberlanjutan (MDS)
Prospektif
Atribut Utama (Laverage)
Kelayakan Finansial
Skenario
Model Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Sumberdaya Lokal pada Perkebunan Kelapa Sawit
29
Strategi Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Sumberdaya Lokal pada Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat
Gambar 2. Skema perumusan masalah dan pendekatan analisis model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat. Beberapa
pertanyaan
penelitian
yang
merupakan
permasalahan-
permasalahan yang perlu dipecahkan antara lain : 1. Bagaimana perubahan karakteristik biofisik lahan gambut akibat
aktivitas perkebunan kelapa sawit ? 2. Seberapa besar tingkat keberlanjutan pengelolaan lahan gambut pada
agroekologi perkebunan kelapa sawit ? 3. Faktor-faktor utama manakah yang menentukan pengelolaan lahan
gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit ? 4. Bagaimana model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal
pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat ?
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat antara lain sebagai berikut : 1. Manfaat bagi pemerintah, terutama Pemerintah
Provinsi Riau,
khususnya Kabupaten Bengkalis-Meranti sebagai pedoman dalam penyusunan
perencanaan
pengembangan
aktivitas
agroekologi
perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut. 2. Manfaat bagi masyarakat, memberikan informasi ilmiah bagi para pihak yang berkepentingan dengan pengembangan agroekologi perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut. 3. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan rujukan dan pengkajian lebih
lanjut terhadap
aktivitas pengembangan
perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut berbasis sumberdaya lokal.
30
1.6. Kebaruan (Novelty) Berkaitan dengan kebaruan dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan pada perkebunan kelapa sawit, dilakukan dengan mempertimbangkan hasil penelusuran kepustakaan melalui hasil penelitian tesis, disertasi, jurnal penelitian dalam dan luar negeri serta publikasi lainnya. Fokus penelusuran kepustakaan dilakukan pada hasil kajian pada ekosistem lahan gambut dan aktivitas pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Adapun penelitian-penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian yang telah dilaksanakan dan keluaran yang dihasilkan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Penelitian dan metode serta hasil penelitian terkait novelty No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Peneliti
Metode
Erningpraja Melakukan kajian tentang dan Poelongan pengelolaan perkebunan (2000) kelapa sawit.
Hasil Penelitian
Pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan dilakukan dengan pendekatan fisik yakni pemupukan Riwandi Melakukan kajian Jumlah kehilangan C-Organik (2001) stabilitas gambut tropika gambut relatif sama, stabilitas Indonesia berdasarkan gambut fibrik paling rendah analisis kehilangan karbon sedangkan gambut saprik paling organik, sifat fisiko kimia tinggi. Kadar air kritis gambut dan komposisi bahan fibrik berkisar 300 – 500 %, saprik gambut 200 – 300 % dan hemik 300-400 % dari bobot kering gambut. Stabilitas gambut fibrik paling rendah dibandingkan hemik dan saprik terhadap kejadian kering tidak balik Istomo (2002) Mengukur kandungan Semakin meningkat ketebalan fosfor dan kalsium serta gambut semakin meningkat penyebarannya pada tanah kandungan P dan Ca pada tanah dan tumbuhan hutan rawa gambut, dengan tingkat hubungan gambut yang kuat (R2 = 0,77). Hasibuan Pengembangan PIR Pengelolaan perkebunan kelapa (2003) Kelapa Sawit dan Peranan sawit berbasis dinamika ekonomi Koperasi dalam Ekonomi kerakyatan yakni koperasi Kerakyatan Di Masa Mendatang Wahyono Melakukan kajian tentang Pengelolaan perkebunan kelapa (2003) pengelolaan perkebunan sawit berfokus pada kelembagaan Wahyono dan kelapa sawit. dan pengelolaan konflik Dja’far (2003) Iswati (2004) Pengelolaan kebun plasma Pengelolaan kebun plasma kelapa kelapa sawit yang sawit berkelanjutan merupakan berkelanjutan dengan fungsi dari jenis tanah (T), pendekatan sistem. kemiringan lereng (L),
31
7.
Wigena (2009)
Pengelolaan kebun plasma kelapa sawit yang berkelanjutan dengan pendekatan sistem
kemampuan petani (M), pendapatan petani (E) dan budaya (B). Fungsi dirumuskan sebagai Pl = f (T,L,M,E,B) Model Pengelolaan Kebun Kelapa sawit plasma menunjukkan bahwa faktor penduduk, lahan dan produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit merupakan faktor utama yang menjadi kunci kebun sawit plasma berkelanjutan.
Pengelolaan lahan gambut sebagai suatu sumberdaya lahan untuk kepentingan produksi hasil perkebunan kelapa sawit dengan pendekatan holistik semakin penting untuk dilakukan. Hal ini didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain : (1) eksploitasi lahan gambut akan semakin meningkat, sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penduduk yang semakin meningkat; (2) pengelolaan sumberdaya lahan gambut sebagai lahan perkebunan akan melibatkan banyak pemangku kepentingan dan (3) setiap wilayah mempunyai karakteristik berbedabeda yang memerlukan pendekatan holistik dan terpadu sesuai dengan kondisi sumberdaya pada setiap daerah (Mitchell et al. 2003 diacu dalam Wigena, 2009). Pengelolaan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit yang dilakukan secara spesifik tergantung pada lokasi dan ketersediaan sumberdaya lokal. Kajian lahan gambut selama ini lebih banyak dilakukan secara parsial tanpa memperhatikan keseluruhan komponen yang berpengaruh pada ekosistem tersebut. Pendekatan holistik dengan melakukan kajian secara komprehensif diharapkan memberikan keluaran yang bersifat integratif. Dengan demikian kebaruan (novelty) pada penelitian yang dilakukan adalah terbangunnya model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti Provinsi Riau, yang dapat menjadi dasar dalam pengembangan perkebunan dimasa yang akan datang.
32
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteritik Ekosistem Lahan Gambut Lahan gambut berasal dari bentukan gambut beserta vegetasi yang terdapat diatasnya terbentuk di daerah yang topografinya rendah dan bercurah hujan tinggi atau di daerah yang suhunya rendah. Tanah gambut mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi (> 12% carbon) dan kedalaman gambut minimum 50 cm. Tanah gambut diklasifikasikan sebagai Histosol dalam sistem klasifikasi FAO yaitu yang mengandung bahan organik lebih tinggi dari 30 %, dalam lapisan setebal 40 cm atau lebih pada bagian 80 cm teratas profil tanah (Rina et al. 2008). Gambut merupakan sumberdaya alam yang banyak memiliki kegunaan antara lain untuk budidaya tanaman pertanian maupun kehutanan dan akuakultur. Selain itu, dapat digunakan untuk bahan bakar, media pembibitan, ameliorasi tanah dan untuk menyerap zat pencemar lingkungan. Menurut Radjagukguk (2003) lahan gambut tropika yang terdapat di Indonesia dicirikan oleh antara lain : (1) biodiversitas (keragaman hayati) yang khas dengan kekayaan keragaman flora dan fauna; (2) fungsi hidrologisnya, yakni dapat menyimpan air tawar dalam jumlah yang sangat besar, dimana 1 juta lahan gambut tropika setebal 2 m ditaksir dapat menyimpan 1,2 juta m3; (3) sifatnya yang rapuh (fragile) karena dengan pembukaan lahan dan drainase (reklamasi) akan mengalami penurunan muka tanah (subsidence), percepatan peruraian dan resiko pengerutan tak balik (irreversible drying) serta rentan terhadap bahaya erosi; (4) sifatnya yang praktis tidak terbarukan karena membutuhkan waktu 5000 - 10.000 tahun untuk pembentukannya sampai mencapai ketebalan maksimum sekitar 20 m, sehingga taksiran laju penurunannya adalah 1 cm dalam 5 tahun di bawah vegetasi hutan; (5) bentuk lahan dan sifat-sifat tanahnya yang khas, yakni lahannya berbentuk kubah keadaannya yang jenuh atau tergenang pada kondisi alamiah serta tanahnya mempunyai sifat-sifat fisika dan kimia yang sangat berbeda dengan tanah-tanah mineral. Hutan rawa gambut berfungsi sebagai pengatur tata air, dimana kubah gambut menjaga permukaan air bawah tanah dan mencegah intrusi air laut. Selain
33
itu, juga mengatur air pada lahan-lahan pertanian serta sumber air minum penduduk dan pemukiman sekitarnya. Pembangunan saluran drainase pada aktivitas perkebunan dapat menyebabkan gambut menjadi kering, teroksidasi dan menyusut yang mengakibatkan terjadinya penurunan muka tanah. Laju subsidensi dalam skenario paling konservatif sekitar 5 cm dalam 1 tahun. Subsidensi yang terjadi di dekat pantai merupakan ancaman serius dari intrusi air laut yang mengancam produktivitas pertanian, termasuk perkebunan kelapa sawit itu sendiri (Brady, 1997; Hooijer et al. 2006; Wosten dan Ritzema, 2002). Lahan gambut terdiri 3 jenis yaitu gambut dangkal dengan lapisan < 50 cm, gambut sedang dengan tebal lapisan 50 – 100 cm dan gambut dalam dengan lapisan > 200 cm. Lahan gambut mempunyai sifat marginal dan rapuh, maka dalam pengembangannya dalam skala luas perlu kehati-hatian. Kesalahan dalam reklamasi dan pengelolaan lahan mengakibatkan rusaknya lahan dan lingkungan (Widjaja et al. 1992). Lahan gambut yang terlantar akibat kebakaran sehingga tidak bisa ditanami memiliki permukaan lahan yang tidak rata. Topografi lahan juga dipengaruhi oleh besarnya penurunan muka tanah dari gambut akibat kebakaran dan intensifikasi pengelolaan. Dradjat et al. (1986) diacu dalam Rina et al. (2008) melaporkan laju penurunan muka tanah dalam 1 bulan mencapai 0,36 cm selama 12-21 bulan setelah reklamasi di Barambai (Kalimantan Selatan). Sedangkan untuk gambut saprik di Talio (Kalimantan Tengah) laju subsiden setiap bulan mencapai 0,178 cm dan gambut hemik 0,9 cm bulan. Demikian juga pada lokasi yang sama penurunan muka tanah di Desa Babat Raya dan Kolam Kanan Kecamatan Barambai Kalimantan Selatan mencapai antara 75-100 cm dalam masa 18 tahun (April 1978 - September 1996) (Noorginayuwati et al.1996 diacu dalam Rina et al. 2008). Terjadinya penurunan muka tanah disebabkan oleh pengeringan yang berlebihan, kebakaran atau pembakaran, intensifikasi pemanfaatan dan upaya konservasi yang kurang memadai. Oleh karena itu untuk pemanfaatan lahan gambut perlu disesuaikan dengan tipe hidrologi lahan gambut. Pola pemanfaatan lahan yang sesuai dengan setiap tipologi dan tipe luapan air yang dianjurkan untuk lahan gambut disajikan pada Tabel 2.
34
Tabel 2. Penataan dan pola pemanfaatan lahan yang dianjurkan pada setiap tipologi lahan bergambut. Tipologi Lahan Kode Tipologi SMP G0 G1 G2 G3-4 D
Alluvial Bersulfida Dangkal Bergambut Bergambut G. Dangkal G. Sedang G. Dalam Dome Gambut
A
Tipe Luapan Air B C
D
-
Sawah
Sawah
Sawah
Sawah Sawah -
Sawah Sawah Konservasi Konservasi Konservasi
Tegalan Tegalan Kebun Kebun Konservasi
Tegalan Tegalan Kebun Kebun Konservasi
Sumber : Rina et al. 2008 SMP = Sulfat Masam Potensial; G = gambut; D = Dome (kubah gambut)
Salah satu upaya dapat dilaksanakan untuk memanfaatkan lahan gambut dan mengurangi resiko terjadinya
kebakaran di lahan gambut adalah
memperpendek masa bera. Pengaturan pola tanam dan pola usaha tani merupakan alternatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan intensitas pertanaman dan memperpendek masa bera. Lahan gambut tropis adalah komponen penting dari siklus karbon global dan menjadi perhatian penting bagi The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Lahan gambut menyimpan sekitar 2150 sampai 2875 t C ha-1 dengan laju penyerapan sebesar 0,01-0,03 Gt C tahun-1 (Maltby dan Immirzi, 1993). Lahan gambut juga mempunyai peran penting dalam fungsi penting sebagai daerah tangkapan air, sistem kontrol, pengatur fluktuasi air, pencegah banjir dan pencegah terjadinya penggaraman air (saline water intrusion). Selain itu, lahan gambut air tawar di Indonesia merupakan tempat yang baik untuk berkembangbiak dan penghasil ikan (MacKinnon et al. 2000). Kesuburan alamiah lahan gambut sangat beragam, tergantung pada beberapa faktor: (a) ketebalan lapisan tanah gambut dan tingkat dekomposisi; (b) komposisi tanaman penyusun gambut; (c) tanah mineral yang berada di bawah lapisan tanah gambut. Gambut digolongkan ke dalam tiga tingkat kesuburan yang didasarkan pada kandungan P2O5, CaO, K2O dan kadar abu yaitu : (1) gambut eutrofik dengan tingkat kesuburan yang tinggi; (2) gambut mesotrofik dengan tingkat kesuburan yang sedang; (3) gambut oligotrofik dengan tingkat kesuburan yang rendah (Andriesse, 1974; Polak 1949 diacu dalam Hartatik
dan
35
Suriadikarta. 2003). Kandungan hara pada masing-masing tingkat kesuburan lahan gambut disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan hara pada tiga tingkat kesuburan gambut Tingkat kesuburan Eutrofik Mesotrofik Oligotrofik
Kandungan P2O5 CaO K2 O Abu (%) ………….. % bobot kering gambut ………………….. > 0,25 >4 > 0,1 > 10 0,20-0,25 1-4 0,1 5-10 0,05-0,20 0,25-1 0,03-0,1 2-5
Sumber : Polak, 1949 diacu dalam Hartatik dan Suriadikarta, 2003
Tingkat kemasaman tanah gambut berhubungan erat dengan kandungan asam-asam organiknya, yaitu asam humat dan asam fulvat. Bahan organik yang telah mengalami dekomposisi mempunyai gugus reaktif seperti karboksil (–COOH) dan fenol (C6H4OH) yang mendominasi kompleks pertukaran dan dapat bersifat sebagai asam lemah sehingga dapat terdisosiasi dan menghasilkan ion H dalam jumlah banyak. Diperkirakan bahwa 85 % sampai 95% muatan pada bahan organik disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol tersebut (Andriesse, 1974; Miller dan Donahue, 1990 diacu dalam Rina et al. 1996). Tingkat dekomposisi gambut dipengaruhi oleh aktivitas mikroorganisme heterotrofik, dimana pada gambut oligotrofik banyak menghasilkan asam karboksilat. Tingkat kematangan gambut sangat mempengaruhi sensitivitas mikroorganisme heterotrofik terutama pada tingkat kematangan gambut eutrofik (Wright et al. 2009). 2.2. Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Sumberdaya Lokal Pengembangan pertanian di lahan gambut trofik dihadapkan pada beberapa masalah biofisik antara lain : (1) lahan gambut sebagian besar terhampar di atas lapisan pirit yang mempunyai potensi keasaman tinggi dan pencemaran dari hasil oksidasi seperti Al, Fe dan asam organik lainnya; (2) lahan gambut cepat mengalami perubahan lingkungan fisik setelah direklamasi antara lain menjadi kering tidak balik, berubah sifat menjadi hidrofob dan terjadi subsidence (penurunan muka tanah); (3) lahan gambut mudah dan cepat mengalami degradasi kesuburan karena kehilangan unsur hara malalui pencucian oleh aliran
36
permukaan; (4) kawasan gambut merupakan lingkungan yang mempunyai potensi jangkitan penyakit (virulensi) tinggi. Perkembangan organisme pengganggu tanaman (gulma, hama dan penyakit tanaman) dan gangguan kesehatan manusia (malaria, cacing) cukup tinggi (Noor, 2001). Dalam kurun waktu sejak dibukanya atau dimanfaatkannya lahan oleh petani menunjukkan terjadinya perubahan agrofisik lahan, terutama ketebalan gambut dari lahan yang diusahakan (Rina et al. 1996). Hasil pengamatan terhadap karakteristik dan perubahan agrofisik lahan usaha tani pada rawa gambut di beberapa daerah disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik dan perubahan kondisi agrofisik pada lahan gambut. Lokasi Kondisi Agrofisik
Pinang Habang
Tahun Buka/ditempati 1976 Tebal Lapisan Gambut Awal (cm) 50 -100 Tebal Lapisan Gambut 1996 (cm) 5 - 20 Kedalaman Lapisan Pirit (cm) pH Tanah 4,4 Kadar Fe (ppm) -
Surya Kanta
Gandaria
Kantan Atas
1981 100 - 150 25 - 50 50 - 60 4,4 10 -25
1927 50 - 100 5 - 20 3,5 3-5
1982 100 - 150 25 - 50 80 - 110 3,8 5 - 10
Sumber : Rina et al. 1996
Permasalahan sosial ekonomi juga banyak terjadi disekitar lingkungan perkebunan, terutama perkebunan negara dan swasta nasional. Konflik sosial yang muncul umumnya berkaitan dengan kepemilikan lahan karena adanya perubahan luasan dan status kepemilikan lahan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan penguasaan lahan, hilangnya kearifan lokal dan budaya setempat (Setyarso dan Wulandari, 2002). Pengelolaan yang bersifat integratif diperlukan untuk menghindari munculnya permasalahan konflik sosial, sehingga diperlukan model pengelolaan yang memperhatikan berbagai aspek pada karakteristik sumberdaya lokal yang berpengaruh terhadap lahan gambut tersebut. Berbagai karakteristik sumberdaya lokal yang mempengaruhi pengelolaan lahan gambut meliputi antara lain :
37
1. Karakteristik biofisik lahan gambut
Aspek biofisik lahan gambut yang harus dipertimbangkan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit meliputi kondisi fisiografi lahan (tipe luapan), kedalaman, tingkat kematangan, lapisan sub stratum gambut. Aspek biologi meliputi biomassa, biodiversitas dan habitat flora dan fauna dengan nilai konservasi tinggi. Perbedaan tipe luapan di atas memberikan konsekuensi diperlukannya sistem penataan air dan penggunaan lahan atau pola tanam yang spesifik sesuai dengan kondisi biofisik lingkungan, termasuk kemampuan masyarakatnya. 2. Karakteristik sosial ekonomi
Kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat menjadi pertimbangan dalam pembukaan lahan gambut. Aspek kelembagaan petani merupakan faktor penentu dalam keberhasilan pengembangan usaha pertanian di wilayah pedesaan. Penguatan kelembagaan petani melalui kelompok tani atau gapoktan membentuk kerjasama yang kuat sesama petani seperti dalam pengelolaan air, pengendalian hama tanaman, pengendalian kebakaran dan pemasaran.
Kelembagaan
eksternal
usaha
tani
seperti
pelayanan
penyuluhan, koperasi, pengadaan sarana dan prasarana produksi (pupuk, pestisida, alsintan,
dsb), pelayanan peminjaman modal, pelayanan
pemasaran merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan usaha pertanian lahan gambut (Noor, 2011). 3. Pengetahuan dan keterampilan masyarakat.
Pengetahuan dan keterampilan tradisional
masyarakat
mengandung
sejumlah besar data empirik potensial yang berhubungan dengan fakta, proses dan fenomena perubahan lingkungan pada lahan gambut. Hal ini membawa implikasi bahwa pengetahuan tradisional dapat memberikan gambaran
informasi
yang berguna
bagi
perencanaan dan
proses
pembangunan perkebunan kelapa sawit. Keyakinan tradisional dipandang sebagai sumber informasi empirik dan pengetahuan penting yang dapat ditingkatkan dan saling melengkapi dalam memperkaya keseluruhan pemahaman
ilmiah
(Rambo,1984;
Noorginayuwati et al. 2008).
Lovelace,
1984
diacu
dalam
38
Pembangunan perkebunan hendaknya dapat menjaga nilai-nilai sosial yang terdapat di masyarakat seperti kearifan lokal. Kearifan lokal adalah nilainilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari (UU No.32 Tahun 2009). Aspek kelembagaan merupakan faktor penting dalam pembangunan pertanian termasuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. Salah satu model kelembagaan adalah induced innovation model yang menjelaskan adanya keterkaitan beberapa faktor antara lain : (1) resource endowment; (2) cultural endowment; (3) technology; (4) institution. Dari model ini dapat dikembangkan bahwa proses produksi dapat dirubah untuk memungkinkan anggota masyarakat dapat memanfaatkan peluang produksi dan peluang pasar sebaik-baiknya. Perubahan kelembagaan dalam pembangunan pertanian seperti perubahan penguasaan lahan komunal menjadi lahan individual serta modernisasi hubunganhubungan yang ada dalam sistem penguasaan lahan (Taryoto, 1995). Konsep pemberdayaan dibangun dari kerangka logik sebagai berikut bahwa : (1) proses pemusatan kekuasaan yang berawal dari pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja yang lemah dan masyarakat pemilik faktor produksi yang kuat; (3) kekuasaan akan menata sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tidak berdaya. Kondisi ini menciptakan adanya dikotomi yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi tersebut, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (Wiranto, 2001). Menurut Haeruman (2000) diacu dalam Wiranto (2001) strategi utama dalam pemberdayaan masyarakat adalah : (1) memperkuat lembaga dan organisasi masyarakat dengan membuka ruang yang seluas-luasnya bagi inisiatif masyarakat; (2) mengurangi berbagai aturan yang menghambat; (3) mengembangkan budaya kemandirian, keswadayaan dan kesetiakawanan; (4) mengembangkan jaringan kerja sumberdaya, lingkungan alam dan sosial budaya setempat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, harkat dan martabat masyarakat.
39
Keterlibatan dunia usaha untuk mengatasi permasalahan menjadi awal yang baik untuk memelihara hubungan sosial dengan lingkungannya. Untuk itu diperlukan suatu kelembagaan agar kemitraan antara dunia usaha, pemerintah dan masyarakat dapat terjalin dengan baik. Program pengembangan masyarakat (comunity development) dan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan bentuk kemitraan yang harus ditingkatkan keberadaannya. Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) adalah keinginan, kemampuan dan komitmen dunia usaha untuk membantu pemerintah menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial dan atau memecahkan masalah sosial atas dasar inisiatif sendiri (Dirjen Pemberdayaan Sosial, 2007). Penerapan pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal sangat penting. Hal ini disebabkan lahan gambut merupakan salah satu lahan yang potensial dikembangkan dimasa yang akan datang. Menurut Sabiham (2007) menyatakan beberapa kunci pokok penggunaan lahan gambut berkelanjutan : (1) legal aspek yang mendukung pengelolaan lahan gambut; (2) penataan ruang berdasarkan satuan sistem hidrologi; (3) pengelolaan air yang memadai sesuai tipe luapan
dan
hidrotopografi;
(4)
pendekatan
pengembangan
berdasarkan
karakteristik tanah mineral di bawah lapisan gambut; (5) peningkatan stabilitas dan penurunan sifat toksik bahan gambut. Selain itu, dalam pengelolaan lahan gambut harus didukung dengan teknologi budidaya spesifik lokasi dan ketersediaan lembaga pendukung. Sistem usaha tani lahan rawa menurut Suprihatno et al. (1999) hendaknya didasarkan kepada sistem usaha tani terpadu yang bertitik tolak kepada pemanfaatan hubungan sinergis antar subsistem agar pengembangannya tetap menjamin kelestarian sumberdaya alam. Secara garis besar ada dua sistem usaha tani terpadu yang cocok dikembangkan di lahan rawa, yaitu sistem usaha tani berbasis tanaman pangan dan sistem usaha tani berbasis komoditas andalan. Sistem usaha tani berbasis tanaman pangan ditujukan untuk menjamin keamanan pangan petani. Sedangkan sistem usaha-tani berbasis komoditas andalan dapat dikembangkan dalam skala luas dalam perspektif pengembangan sistem dan usaha agribisnis.
40
Konservasi lahan dalam sistem usaha tani berhubungan dengan persepsi petani dan kondisi serta situasi usaha tani (Subagyo et al. 1996). Menurut Fisher (1986) prilaku petani ditentukan oleh hasil dari permasalahan yang dihadapi dalam melakukan usaha pertanian di lahan gambut. Kendala usaha pertanian di lahan gambut meliputi aspek agrofisik lahan dengan daya dukung yang rendah, aspek lingkungan dengan tingkat pencemaran dan pemasaman dari kemungkinan teroksidasinya pirit cukup tinggi, termasuk teknologi budidaya yang diterapkan, aspek sosial ekonomi petani yang kurang mendukung (Susanto, 2008; Sumawijaya et al. 2006). Pengelolaan sumberdaya alam memerlukan pengembangan konsep yang bersifat interdisiplin dan interaktif. Pendekatan berpikir sistem dapat memberikan informasi yang lebih baik bagi pengelola atau pemegang kebijakan untuk mempelajari kompleksitas. Metode berpikir sistem menyediakan pengetahuan tentang sebuah mekanisme untuk membantu pengelola sumberdaya dan pemegang kebijakan dalam mempelajari hubungan sebab dan akibat dari proses yang berlangsung, mengidentifikasi permasalahan utama dan mendefinisikan tujuan yang ingin dicapai (Gao et al. 2003) Bosch et al. (2003) diacu dalam Marimin (2004) menyatakan bahwa sistem sumberdaya alam bersifat kompleks dan dinamis. Berbagai perubahan berlangsung secara terus-menerus dan sulit untuk di prediksi. Pendekatan yang kolaboratif lintas disiplin merupakan kekuatan untuk menciptakan hubungan antara ilmu pengetahuan, sumberdaya alam, manajemen dan kebijakan. Gips (1986) diacu dalam Reijntjes et al. (1992) menyebutkan bahwa pertanian berkelanjutan harus memenuhi beberapa indikator antara lain : 1.
Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan dari manusia, tanaman, hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Hal itu akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan dan masyarakat dipertahankan melalui proses biologi (regulasi sendiri). Sumberdaya lokal dipergunakan sedemikian rupa sehingga kehilangan unsur hara, biomassa dan energi bisa ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah pencemaran. Tekanannya adalah pada penggunaan sumberdaya yang dapat diperbaharui.
41
2.
Berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa cukup menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan atau pendapatan sendiri serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomis dapat diukur dari produk usaha tani yang langsung namun juga dalam hal fungsi melestarikan sumberdaya alam dan meminimalkan resiko.
3.
Adil, yang berarti sumberdaya alam dan kekuasaan di distribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin. Semua orang memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam pengembilan keputusan, baik di lapangan maupun di masyarakat.
4.
Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia) dihargai. Martabat dasar semua makhluk hidup dihormati dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar, seperti kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang. Integritas budaya dan spritualitas masyarakat dijaga dan dipelihara.
5.
Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung terus seperti pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar dan lain-lain. Hal ini meliputi bukan hanya pengembangan tekhnologi yang baru dan sesuai, namun juga inovasi dalam arti sosial dan budaya. Untuk mencapai perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan harus
memperhatikan komunitas yang terdapat pada lokasi tersebut. Pendekatan komunitas berkelanjutan (sustainable community) merupakan alternatif dalam menyelesaikan persoalan kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan dan kerusakan tata sosial lokal yang muncul dari pembaungunan yang dilaksanakan (Susan, 2009). Komunitas berkelanjutan dapat dikatakan sebagai kemandirian dan prestasi ekonomi
dengan
menciptakan
mekanisme
sosial
mengenai
pencapaian
kesejahteraan secara berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme dimana pemerintah bertanggung jawab dalam menciptakan struktur kondusif berkaitan dengan praktek ekonomi komunitas berkelanjutan. Sedangkan swasta
42
dan masyarakat sipil bertanggung jawab dalam dimensi peningkatan kapasitas kelembagaan komunitas.
2.3. Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut Agroekologi merupakan studi agroekosistem yang holistik, termasuk semua elemen lingkungan dan manusia. Fokusnya adalah pada bentuk, dinamika dan fungsi hubungan timbal balik antar unsur-unsur tersebut serta proses dimana seluruh elemen terlibat (Reijntjes et al. 1992). Perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut sebagai suatu agroekosistem mempunyai ciri khas yang ditentukan oleh kondisi biofisik, sosioekonomi, budaya dan politik serta kondisi kerumahtanggaan petani. Agroekologi perkebunan kelapa sawit merupakan bagian dari usaha pertanian yang merupakan suatu sistem. Sistem dapat dikatakan sebagai kumpulan beberapa komponen atau unsur yang mempunyai keterkaitan dan mempunyai tujuan tertentu (Pramudya, 2006). Reijntjes et al. (1992) menyebutkan bahwa sistem
pertanian merupakan usaha tani yang dikelola berdasarkan kemampuan ligkungan fisik, biologis dan sosioekonomis serta sesuai dengan tujuan, kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki oleh petani. Pada hakekatnya lahan adalah sumberdaya alam yang harus dialokasikan untuk berbagai kegiatan kehidupan. Sifat sumberdaya lahan berdasar pada kenyataan bahwa lahan mempunyai tiga jenis nilai yaitu ricardiant rent (mencakup sifat kualitas dari tanah), locational rent (mencakup lokasi relatif dari tanah) dan environmental rent (mencakup sifat tanah sebagai suatu komponen utama dari ekosistem) (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Reijntjes et al. (1992) menyebutkan beberapa prinsip ekologi dalam sistem pertanian berkelanjutan adalah : (1) menjamin kondisi tanah yang mendukung pertumbuhan tanaman, khsususnya dalam mengelola bahan organik dan meningkatkan kehidupan dalam tanah; (2) mengoptimalkan ketersediaan unsur hara dan menyeimbangkan arus unsur hara; (3) meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi matahari, udara dan air dengan cara pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air dan pengendalian erosi; (4) meminimalkan serangan hama dan penyakit tanaman melalui pencegahan dan perlakukan yang aman; (5) saling
43
melengkapi dan sinergi dalam menggunakan sumberdaya genetik yang mencakup penggabungan dalam sistem pertanian terpadu dengan tingkat keanekaragaman fungsional yang tinggi. Konsep pembangunan pertanian berkelanjutan mencakup 3 komponen utama yakni : (1) integritas lingkungan; (2) efisiensi ekonomi; (3) keadilan kesejahteraan (Kay dan Alder, 1999). Sistem Pertanian Berkelanjutan (SPB) terdiri atas praktek-praktek ekologi (kebutuhan lingkungan dan didasarkan atas prinsip-prinsip ekologi), tanggung jawab sosial (pemberdayaan masyarakat, kesamaan sosial dan kesehatan, kesejahteraan penduduk) dan semangat ekonomi (ketahanan pangan, kelayakan ekonomi dan bernuansa teknologi). Pengertian dan pendekatan tersebut menunjukkan bahwa sistem pertanian berkelanjutan harus dapat memenuhi indikator dari berbagai aspek (Trupp, 1996). Indikator sistem pertanian berkelanjutan adalah pendapatan masyarakat petani yang cukup tinggi, tidak menimbulkan kerusakan dan dapat dikembangkan dengan sumberdaya yang dimiliki petani. Wosten et al. (2006) menyebutkan bahwa keberhasilan pengelolaan gambut trofis dilakukan dengan pengaturan tata air (hidrologi) yang dipadukan dengan peningkatan ekonomi rumah penduduk lokal dan penegakan hukum. Keberlanjutan sistem usaha tani bergantung pada 3 karakteristik utama, yaitu kemampuan untuk mengendalikan kehilangan tanah, efektifitas dalam meningkatkan pendapatan petani dan secara sosial agroteknologi yang digunakan harus dapat diterima dan dapat diterapkan (acceptable dan replicable) dengan sumberdaya yang ada, termasuk pengetahuan, keterampilan dan persepsi petani (Sinukaban, 2007). Selanjutnya Sabiham (2007) menyebutkan bahwa ciri utama penggunaan lahan berkelanjutan adalah berorientasi jangka panjang, dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan potensi untuk masa datang, pendapatan per kapita meningkat, kualitas lingkungan dapat dipertahankan atau bahkan dapat ditingkatkan, mempertahankan produktivitas dan kemampuan lahan serta mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi. Pendapatan yang diperoleh petani harus dapat memenuhi kebutuhan hidup petani secara layak. Pendapatan yang tinggi dapat diperoleh jika produksi yang diperoleh dari usaha tani juga tinggi dan sangat bergantung pada sistem
44
pengelolahan lahan. Produksi tanaman akan optimal jika ditanam pada lahan yang sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman. Selain itu komoditi yang dipilih juga harus mempunyai nilai ekonomi tinggi dan sesuai dengan keinginan ataupun kebiasaan petani. Pertanian berkelanjutan harus pula di indikasikan dengan tidak terjadinya kerusakan lingkungan. Kondisi ini memerlukan teknologi tepat guna, kebijakan dan pengelolaan sumberdaya yang sesuai dengan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah (Adnyana, 2006; Suryanto, 1991). Keberhasilan budidaya suatu jenis komoditas tanaman sangat tergantung kepada kultivar tanaman yang ditanam, agroekologis/lingkungan tempat tumbuh tempat melakukan budidaya tanaman dan pengelolaan yang dilakukan oleh petani/pengusaha
tani.
Khusus
mengenai
lingkungan
tempat
tumbuh
(agroekologis), walaupun pada dasarnya untuk memenuhi persyaratan tumbuh suatu tanaman dapat direkayasa oleh manusia, namun memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dalam rangka pengembangan suatu komoditas tanaman, pertama kali yang harus dilakukan mengetahui persyaratan tumbuh dari komoditas yang akan dikembangkan kemudian mencari wilayah yang mempunyai kondisi agroekologis yang relatif sesuai. Kartasasmita (2005) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor kunci yang mempengaruhi perkembangan dan keberhasilan perkebunan kelapa sawit antara lain : (1) kemauan politik pemerintah (pusat dan daerah); (2) koordinasi dan sinkronisasi antar instansi pemerintah; (3) profesionalitas para pelaku di lapangan; (4) komitmen dari perbankan dalam pendanaan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Sehingga pengembangan sistem perkebunan kelapa sawit agar memperhatikan pendidikan petani, dukungan empat faktor kunci tersebut dan memanfaatkan otonomi daerah.
Hasibuan (2005) menyebutkan
bahwa paradigma pengembangan perkebunan kelapa sawit adalah pembangunan kemandirian lokal dengan ciri-ciri
: (1) pembangunan berorientasi terhadap
pemenuhan kebutuhan nyata masyarakat setempat (community oriented); (2) pembangunan
yang
didasarkan
pada
sumberdaya
masyarakat
setempat
(community based); (3) pengelolaan pembangunan oleh masyarakat setempat (community managed); (4) pendekatan pembangunan manusia : pemberdayaan
45
(empower), keadilan (equity), produktivitas (productivity) dan berkesinambungan (sustainable). Proses pembukaan lahan rawa gambut pada perusahaan perkebunan skala industri (6.000 ha) dilakukan dengan tahapan antara lain sebagai berikut : (1) pembukaan lahan
adalah proses pembukaan hutan,
umumnya
areal
perkebunan sebelumnya merupakan bekas hutan dan sebagian semak belukar. Sebelum dimulai proses pembukaan lahan terlebih dahulu dibuat peta orientasi untuk perencanaan tata ruang dan tata letak meliputi pembuatan jalan untuk pengukuran, sekaligus memeriksa keadaan topografi, sumber air dan contoh tanah; (2) pembuatan rintisan dengan membagi blok-blok seluas 50 ha. Pembagian tersebut sangat berguna untuk menentukan pancang penebangan dan pengawasan pekerjaan. Pembukaan lahan untuk lokasi penanaman kelapa sawit dilakukan dengan cara penebangan pohon dan pembabatan semak belukar. Bekas tebangan tersebut diletakan dan disusun sesuai jalur yang telah direncanakan; (3) agar areal dapat dijangkau terlebih dahulu dibuat jalan rintis sekaligus dikaitkan dengan mengimas. Perkebunan kelapa sawit umumnya memerlukan kedalaman drainase (muka air tanah) setidaknya 50-80 cm, sebagai syarat penanaman kelapa sawit (Agus dan Subiksa, 2008). Untuk itu, dibangun saluran (drainase) untuk menurunkan muka air gambut di seluruh areal perkebunan. Turunnya permukaan air tanah akan menyebabkan gambut kering, proses ini akan menyebabkan oksidasi gambut dan melepaskan karbon dioksida ke atmosfir. Berdasarkan data hasil penelitian menunjukkan bahwa jika permukaan air tanah gambut turun sebesar 80 cm menghasilkan emisi 20 ton C ha -1 th -1 (Hooijer et al. 2006).
46
III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada dalam wilayah Kabupaten Bengkalis-Meranti Provinsi Riau dengan lokasi utama penelitian di Kecamatan Siak Kecil dan Bukit Batu. Sedangkan sebagai pembanding akan dilakukan penelitian pada lokasi terpilih di sekitar Kabupaten Bengkalis-Meranti. Penetapan lokasi penelitian dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan pertimbangan sebagai berikut : Berada pada kawasan cadangan lahan gambut pesisir pantai timur Sumatera dengan aktivitas alih fungsi lahan yang tinggi. Berada pada kawasan pengembangan perkebunan, kehutanan (Hutan Tanaman Industri) dan kawasan industri. Barada pada kawasan yang berbatasan dengan kawasan konservasi yakni kawasan lindung gambut dan resapan air serta suaka margasatwa Bukit Batu. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus
2009 sampai bulan
September 2010, terhitung sejak penyusunan proposal sampai penyusunan disertasi. 99°30'
101°00'
102°30'
104°00' 98° 00'
104°00 '
110°00'
116°00'
12 2°00'
128°00'
134 °0 0'
140°00'
Phillipi nes
S ou th
4° 00'
C
2°30'
4°00'
DI . Aceh
Br un eiD aruss alam
St
2°30'
hi na
Se a
Thailan d
r ai of t a la M
Malaysia
Malaysia
a cc
Celebes Sea
Sumatera Uta ra Sin gapo re
Kalim anta n Timur Maluku
S ulaw esi U t ara Riau
Kep. R iau
t of
M
Kalim anta n Tengah
Sul aw esi Ten gah
ar
S tr
K
ai t of
2°00'
ai St r
Jam bi
2°00'
aka sa r
Kal im antan B ara t Sum atera Barat
im at a
Kalimantan Selatan
Sumatera Selatan Ben gku lu
Sul aw esi S elatan Ir ian Jaya Su law esi T engg ara
Malaysia Lampu ng
da
it Stra
KAB. ROKAN HILIR
Jav a Sea Papua New
DK I. Jakart a
Jawa B arat Ja wa Tengah DI Y ogyakar ta
Jawa Timur Bali Nusa Tenggara B ar atNusa
IND IAN OC EAN
Tenggar a Tim ur
Tim or Ti mur
Timor Sea
of
KOTA DUMAI
Austr ali a
Ma
98° 00'
lac
104°00 '
110°00'
116°00'
12 2°00'
128°00'
134 °0 0'
140°00'
ca
Singapore
KAB. BENGKALIS
1°00'
1°00'
8°00'
Sumatera Utara
St ra it
8°00'
Sun
KAB. ROKAN HULU KAB. SIAK
Kepulauan Riau KOTA PEKANBARU
KAB. KAMPAR KAB. PELALAWAN
INDIAN OCEAN
Sumatera Barat
Lokasi Sampling
KAB. KUANTAN SINGINGI 0°30'
0°30'
KAB. INDRAGIRI HILIR
N KAB. INDRAGIRI HULU
W
E S
50
0
99°30'
50
100 Kilometers
Jambi 101°00'
102°30'
104°00'
Gambar 3. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Bengkalis-Meranti Provinsi Riau
47
3.2. Rancangan Penelitian Penelitian model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan metode survei, studi literatur, analisis tanah di laboratorium dan wawancara. Survei lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data biofisik lahan gambut dan sosial ekonomi. Wawancara dilakukan untuk : (a) mengetahui permasalahan lingkungan yang muncul sehubungan dengan alih fungsi lahan rawa gambut menjadi agroekologi perkebuan kelapa sawit; (b) mengetahui pendapat pakar atau ahli tentang peningkatan produktivitas lahan gambut untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit; (c) mengetahui permasalahan dan pendapat dari stakeholders yang terkait dengan pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit.
3.3. Lingkup dan Rencana Kegiatan Lingkup penelitian yang ditelaah meliputi aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan. Penelitian dilakukan berdasarkan data primer dan data sekunder yang diperoleh dari survei lapangan yang diperkuat oleh pendapat pakar atau ahli di bidangnya. Pelaksanaan penelitian dibagi dalam beberapa tahapan (Gambar 4) antara lain sebagai berikut : a. Melakukan studi kepustakaan (desk study) dengan melakukan pengumpulan berbagai informasi mengenai lahan gambut
dan
agroekologi perkebunan kelapa sawit. b. Penentuan faktor-faktor (atribut) utama pada setiap aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan yang berpengaruh terhadap keberlanjutan lahan gambut. c. Melakukan survei lapangan untuk pengumpulan data komponen biofisik dan sosial ekonomi. d. Melakukan analisis data yaitu analisis biofisik lahan gambut, analisis kesesuaian lahan, analisis kelayakan finansial, analisis kebutuhan stakeholders, analisis keberlanjutan dan analisis prospektif.
48
e. Menyusun alternatif skenario strategi pengelolaan lahan gambut berdasarkan hasil analisis tahap sebelumnya (d). f. Menyusun model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti-Riau. Mulai (Persiapan)
Tahap I
Studi Kepustakaan (Desk Study)
Penentuan faktor-faktor atau atribut berpengaruh pada keberlanjutan pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit
Tahap II
Survei lapangan
Tahap III
Analisis Kebijakan (Content Analysis)
Perubahan biofisik lahan gambut (regresi-korelasi) Kesesuaian lahan
Monte Carlo
Analisis Data
Kelayakan finansial B/C,IRR,NPV
Kebutuhan stakeholders Tahap IV
Keberlanjutan (MDS)
Prospektif
Alternatif Strategi MDS, Laverage dan Prospektif
Tahap V
Model Pengelolaan Lahan Gambut
Tahap VI
Gambar 4. Tahapan penelitian yang dilakukan
49
3.4. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari hasil survei dan hasil penjajakan dengan kuisioner kepada responden terpilih dan dari kalangan pakar. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini digolongkan atas tujuan penggunaannya yaitu pemodelan kuantitatif dan kualitatif. Pemodelan kuantitatif yaitu sub model karakteristik biofisik lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit. Pemodelan kualitatif terdiri dari dua pendekatan yaitu : metode diskusi pakar dan metode diskusi stakeholder dengan focus group discussion (Reed et al. 2009). Pendekatan diskusi pakar digunakan untuk menentukan faktor-faktor dominan yang diprioritaskan untuk pemanfaatan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit. Jenis dan sumber data yang diperlukan untuk penelitian ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Jenis data, sumber dan teknik pengumpulan data penelitian Jenis Data
Sumber Data
Biofisik (Ekologi) : kedalaman gambut, biomassa tanaman, pH, kadar abu (%),C-organik (%), kadar air (%) dan kadar abu (%). Ekonomi : produktivitas, input produksi, pemodalan petani, pendapatan
Primer dengan pengukuran langsung dan laboratorium Sekunder dari BPS, dinas/instansi terkait, publikasi (laporan/ jurnal) Primer dari responden dan sekunder dari BPS, dinas/instansi Terkait, Publikasi (laporan/ jurnal) Primer dari responden dan sekunder dari BPS, dinas/instansi terkait,
Sosial budaya : jumlah penduduk, kondisi sosial budaya, ketersediaan tenaga kerja, tingkat pendidikan, umur tenaga kerja
Infrastruktur dan teknologi : Sarana dan prasarana umum, produksi, ketersediaan teknologi lokal, industri pengolahan, penyuluhan pertanian, penyuluh Hukum dan kelembagaan: kelompok tani, pemberdayaan, kemitraan, kelembagaan keuangan Identifikasi faktor strategis (Prospektif) Perbandingan antar faktor (Prospektif) Analisis kebutuhan stakeholders
Primer dari responden dan sekunder dari BPS, dinas/instansi terkait Primer dari responden (masyarakat dan pakar) Primer dari responden (masyarakat) Primer dari responden (stakeholders)
Pengumpulan data Sampling tanah
Wawancara desk study, konsultasi (data series) Desk study, konsultasi (data series)
Wawancara, desk study
Wawancara desk study Wawancara, FGD Wawancara, FGD Wawancara, FGD
50
Data sekunder diperoleh dari instansi terkait di Propinsi Riau, Kabupaten Bengkalis-Meranti seperti Bapeda, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Kimpraswil, BP DAS, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Pusat Statistik (BPS), Perusahan Perkebunan, Kecamatan dan Desa dalam wilayah Kabupaten Bengkalis-Meranti.
Selain itu data sekunder juga
diperoleh dari Perguruan Tinggi seperti UNRI, IPB, BPPT, Bakosurtanal dan Badan Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan/Puslittanak Bogor. Data primer dikumpulkan dengan metode survei dengan teknik wawancara mendalam, pengamatan lapangan dan pengukuran. Wawancara mendalam (indepth interview) dengan responden menggunakan kuisioner terstruktur atau semi terstruktur. Sedangkan pendapat para pakar dilakukan melalui wawancara atau Focus Group Discussion (FGD). 3.4.1. Data Biofisik Lahan Gambut Data primer biofisik lahan gambut diperoleh dari hasil survei lapangan melalui pengukuran parameter secara langsung dan laboratorium. Pengambilan contoh tanah gambut utuh (undisturbed soil samples) pada lahan gambut yang belum dilakukan pembersihan lahan (land clearing). Pengambilan contoh tanah terganggu (disturbed soil samples) pada lahan gambut yang telah dilakukan pembersihan lahan (land clearing). Analisis contoh tanah meliputi warna tanah, kedalaman air tanah, komposisi dan ketebalan gambut, substratum, pH (H2O, KCl), C-organik (%), kadar air (%), kadar abu (%) dan biomassa tanaman (ton ha-1), metode analisis tercantum pada Tabel 6. Tabel 6. Parameter dan metode analisis tanah gambut No.
Parameter Biofisik
Metode Analisis
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Warna tanah Ketebalan gambut (cm)
Munsell Soil Color Charts Pemboran
Kedalaman air tanah Kadar air (%) pH H2O dan KCl (1:1) C-organik (%) Kadar abu (%)
Pemboran Gravimetri, ring sampel pH-meter, Gelas elektrode Walkley dan Black Gravimetri
Biomassa tanaman
Persamaan Alometrik (Brown et al. 1989; Istomo,2002)
51
Untuk memberi gambaran menyeluruh terhadap kondisi biofisik lahan gambut pengambilan contoh tanah gambut dilakukan antara lain : (1) pada hutan rawa gambut yang alami dan belum banyak mengalami perubahan karakteristik biofisik; (2) perkebunan kelapa sawit usia tanam < 3, 3 - 9 dan > 10 tahun. Selain itu, digunakan juga teknik wawancara, diskusi, kuisioner pada wilayah studi yang terdiri dari berbagai pakar dan pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait dengan kegiatan pengelolaan
lahan gambut pada
agroekologi perkebunan kelapa sawit. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan dan dokumen dari berbagai dinas/instansi terkait dengan penelitian yang dilakukan. 3.4.2. Data Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan Pemilihan responden disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan jumlah responden yang akan diambil yaitu responden yang dianggap dapat mewakili dan memahami permasalahan yang diteliti. Penentuan responden dilakukan dengan menggunakan metode Expert Survey yang dibagi atas dua cara : a. Responden dari masyarakat selain pakar di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan Purposive Random Sampling (Walpole, 1995). b. Responden dari kalangan pakar dipilih secara sengaja (purposive sampling). Responden yang dipilih memiliki kepakaran sesuai dengan bidang kajian. Beberapa pertimbangan dalam penentuan pakar yang akan dijadikan responden, menggunkaan kriteria sebagai berikut : (1) mempunyai pengalaman yang kompoten sesuai dengan bidang yang dikaji; (2) memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompetensinya dengan bidang yang dikaji; (3) memiliki kredibilitas yang tinggi, bersedia dan atau berada pada lokasi yang dikaji. Stakeholders yang menjadi responden meliputi masyarakat atau pekebun yang memiliki perkebunan kelapa sawit dengan luasan minimal 2 ha yang berjumlah 50 orang. Jumlah responden tersebut dipilih secara acak sederhana, yang jumlahnya ditetapkan secara proporsional (proportional cluster random sampling). Responden dari kalangan pakar atau ahli yang dipilih secara sengaja (purposive sampling) dari berbagai latar belakang keahlian dan asal instansi yang
52
disesuaikan dengan keterwakilan stakeholders. Jumlah pakar sebanyak 20 orang yang berasal dari Dinas Perkebunan Provinsi/Kabupaten Bengkalis-Meranti, Balitbang Provinsi Riau/Kabupaten Bengkalis-Meranti, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, Bank Riau, PT. Perkebunan Nusantara V (PTPN V), PT.Teguh Karsa Wana Lestari (PT.TKWL), PT. Cylandra Perkasa (Surya Dumai Group), Perguruan Tinggi (Universitas Riau, Universitas Islam Riau, Universitas Lancang Kuning dan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Qosim Pekanbaru), Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR), LSM (Scale Up/Sawit Watch, Walhi Riau, Jikalahari).
3.5. Metode Analisis Data 3.5.1. Analisis Biofisik dan Kesesuaian Lahan Gambut Karakteristik biofisik lahan gambut dianalisis secara deskriptif dan untuk melihat hubungan antar parameter dilakukan analisis regresi-korelasi dengan menggunakan model hubungan linier (Steel dan Torrie, 1980). Evaluasi lahan dilakukan dengan penilaian kelas kemampuan dan kesesuaian lahan. Kelas kemampuan lahan dinilai berdasarkan sifat-sifat fisik dan kimia lingkungan dan jenis faktor penghambat sesuai dengan kriteria klasifikasi kemampuan lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Sedangkan kelas kesesuaian lahan ditentukan dengan menilai atau membandingkan kualitas lahan pada setiap satuan lahan dengan kriteria kesesuaian lahan (Lampiran 4) untuk aktivitas perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut (Puslittanak, 2003).
3.5.2. Analisis Ekonomi Analisis ekonomi perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan menghitung kelayakan finansial nilai Internal Rate of Return (IRR), nilai Net Present Value (NPV) dan Benefit-Ratio (B/C) pada perkebunan rakyat (1 ha) dan perkebunan skala industri (6.000 ha). Data yang diperlukan antara lain skala penggunaan lahan, biaya produksi, perkembangan tingkat harga komoditas, kredit usaha tani (KUT) dan suku bunga bank. Data kondisi sosial ekonomi diperoleh melalui wawancara terstruktur pada responden yang dipilih secara acak dengan menggunakan kuesioner. Data untuk perkebunan skala industri diperoleh melalui
53
teknik dokumentasi dan wawancara dengan responden (manajer kebun) yang berasal dari perusahaan perkebunan. Data biaya dan pengembalian (cost and return) yang diinventarisasi dari pelaksanaan penelitian, digunakan untuk penilaian kelayakan usaha perkebunan kelapa sawit yang dilakukan melalui dua (2) tahapan. 1.
Penilaian kelayakan dilihat dari sisi manfaat dan keuntungan yang didapat (Soekartawi, 2006) dengan beberapa kriteria analisis finansial yaitu B/C, NVP dan IRR. Formula yang digunakan untuk menghitung kriteria indikasi kelayakan usaha perkebunan kelapa sawit berdasarkan BC-1 sebagai berikut: n n BC-1 = { ∑ B [(1 + i) t]-1 } { ∑ C [(1 + i) t]-1 } i=1 i=1 dimana : B = penerimaan C = biaya produksi i = tingkat bunga yang berlaku t = jangka waktu usaha perkebunan (25 tahun) Usaha perkebunan dinilai bermanfaat (menguntungkan) bila B/C > 1. Kelayakan dinilai dari NPV menggunakan formula sebagai berikut : n NVP = [ ∑ (B – C) ] [(1 + i) t]-1 i=1 Bila nilai NPV < 0 maka usaha perkebunan dianggap tidak menguntungkan, bila nilai NPV = 0 maka usaha perkebunan dianggap mencapai titik impas (break event point) dan nilai NPV > 0 maka usaha perkebunan dianggap menguntungkan. Sedangkan nilai IRR yaitu suatu nilai petunjuk yang identik dengan seberapa besar suku bunga yang dapat diberikan oleh usaha perkebunan kelapa sawit dibandingkan dengan suku bunga yang berlaku yaitu 17 %. Formula yang digunakan untuk menilai kelayakan berdasarkan IRR adalah :
54
IRR = i1 – NVPi * (i2 – i1) (NPV2 – NPV1)-1 dimana : i1
= suku bunga ke 1 (17 %)
NPV1
= Net Present Value pada suku bunga ke 1
i2
= suku bunga ke 2 (dicoba 36 %)
NPV2
= Net Present Value pada suku bunga ke 2
Untuk mendapatkan nilai IRR dicobakan nilai suku bunga ke dua (i2) sebesar 36%. Bila nilai IRR diperoleh lebih kecil dari pada tingkat diskonto (17%) maka usaha perkebunan mengalami kerugian. Bila nilai IRR lebih tinggi dari tingkat diskonto maka usaha perkebunan menguntungkan (layak). 2.
Penilaian kelayakan dilihat dari prospek usaha perkebunan kelapa sawit dalam memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM) dan kebutuhan hidup layak (KHL) tahunan pekebun. Menurut Sinukaban (2007) KHL adalah 250% KHM dan KHM = 320 x harga beras kg-1 x jumlah anggota keluarga (5 orang) (Sajogyo, 1977). Selanjutnya analisis luasan lahan usaha perkebunan (UP) minimum (Lmin), agar memenuhi KHL yaitu Lmin dibagi dengan pendapatan bersih per 2 hektar kebun sawit (Pb) atau dengan persamaan : L mim = KHL Pb-1 (Monde, 2008).
3.5.3. Analisis Keberlanjutan Lahan Gambut Analisis keberlanjutan pengelolaan Lahan gambut pada agroekologi perkebunan kalapa sawit dilakukan dengan pendekatan Multi-Dimensional Scaling (MDS) yaitu pendekatan dengan “ Rap-Insus-Landmag”
(Rapid
Appraisal–Indeks Sustainability of Land Management) yang telah dimodifikasi dari program RAPFISH (Rapid Assessment Technique for Fisheries)
yang
dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British Columbia (Kavanagh dan Pitcher 2001, Fauzi dan Anna, 2002). Metode MDS merupakan teknik analisis statistik berbasis komputer dengan menggunakan perangkat lunak SPSS, yang melakukan transformasi terhadap setiap dimensi dan multidimensi keberlanjutan pengelolaan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti Riau.
55
Analisis keberlanjutan pengelolaan lahan gambut ini melalui beberapa tahapan antara lain : (1) penentuan atribut pengelolaan ekosistem lahan gambut secara berkelanjutan untuk masing-masing dimensi (ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan); (2) penilaian atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan untuk setiap faktor dan analisis ordinasi yang berbasis metode multi dimensional scaling (MDS); (3) penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti. Penentuan atribut pada setiap dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan mengacu pada indikator dari Roundtable on Sustainablity Palm Oil (RSPO, 2005); Reijntjes et al. (1992); Rao dan Rogers (2006); Spangenber (2007) dan Zylicz (2007). Untuk setiap atribut pada masingmasing dimensi diberikan skor yang mencerminkan kondisi keberlanjutan dari dimensi yang dikaji. Rentang skor ditentukan berdasarkan kriteria yang dapat ditemukan dari hasil pengamatan lapang dan data sekunder. Rentang skor berkisar 0 – 3, tergantung pada keadaan masing-masing atribut, yang diartikan mulai dari buruk sampai baik. Nilai buruk mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan. Sebaliknya nilai baik mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan. Skala indeks keberlanjutan pengelolaan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit mempunyai selang 0% - 100% seperti disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Kategori status keberlanjutan pengelolaan lahan gambut berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-Insus Landmag. Indeks
Kategori
00,00 – 20,00 20,01 – 50,00 50,01 – 75,00 75,01 – 100,00
Buruk Kurang Cukup Baik
Status Keberlanjutan tidak berkelanjutan kurang berkelanjutan cukup berkelanjutan berkelanjutan
Nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multidimensional untuk menentukan posisi keberlanjutan pengelolaan ekosistem lahan gambut yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik “ baik” (good) dan titik “buruk”
56
(bad). Untuk membuahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi. Proses ordinasi Rap-Insus-Landmag menggunakan Software Rapfish (Kavanagh dan Pitcher 2001). Proses algoritma Rap-Insus-Landmag juga pada dasarnya mengikuti proses algoritma Rapfish. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut mana yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap Insus-Landmag di lokasi studi. Pengaruh setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu X atau pada skala accountability. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu maka semakin besar pula peranan atribut di dalam pembentukan nilai Insus-Landmag pada skala keberlanjutan, atau semakin sensitif atribut tersebut dalam pengelolaan lahan gambut. Untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses untuk menduga nilai ordinasi pengelolaan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit digunakan analisis Monte Carlo. Menurut Kavanagh dan Pitcher (2001) menyebutkan bahwa analisis Monte Carlo berguna untuk mempelajari halhal sebagai berikut : (1) pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut; (2) pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda; (3) stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi); (4) kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data); (5) tingginya nilai”stress” hasil analisis Rap-Insus-Landmag (nilai stress dapat diterima jika < 25%). Analisis Monte Carlo digunakan untuk menduga pengaruh galat pada selang kepercayaan 95 %. Nilai indeks Monte Carlo ini dibandingkan dengan indeks MDS. Nilai stress dan koefisien diterminasi (R2) berfungsi untuk mengetahui perlu tidaknya penambahan atribut dan mencerminkan keakuratan dimensi yang dikaji dengan keadaan yang sebenarnya. Pendekatan MDS dalam Rapfish memberikan hasil yang stabil (Pitcher dan Preikshot, 2001 diacu dalam Fauzi dan Anna, 2002) dibandingkan dengan metoda multivariate analysis yang lain seperti factor analysis. Pengukuran dalam
57
MDS dilakukan dengan memetakan dua titik atau obyek yang sama dalam satu titik yang saling berdekatan. Sebaliknya objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan. Teknik ordinasi atau penentuan jarak di dalam MDS didasarkan pada euclidian distance yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut:
d dimana : d = x1- x2 = y1- y2 = z1- z2 =
x
1
x2
2
y1 y 2
2
z1 z 2
2
.......
jarak antar titik euclidian selisih nilai atribut (x) selisih nilai atribut (y) selisih nilai atribut (z)
Konfigurasi dari obyek atau titik di dalam MDS kemudian diproksimasi dengan meregresikan jarak euclidian (dij) dari titik i ke titik j dengan titik asal (σij) sebagaimana persamaan berikut:
d ij
ij
dimana : dij α β σij ε
= = = = =
jarak euclidian dari titik i ke titik j konstanta koefisien regresi nilai euclidian dari titik asal standar error
Teknik yang digunakan untuk meregresikan persamaan di atas adalah Algoritma ALSCAL (Alder et al. 2000 diacu dalam Fauzi dan Anna, 2005). Metode ALSCAL mengoptimalisasikan jarak kuadrat (square distance = dijk) terhadap data kuadrat (titik asal = oijk), yang dalam tiga dimensi (i, j, k) ditulis dalam formula yang disebut S-stress sebagai berikut:
s
1 m
m
k 1
i
d
2 ijk
o ijk2
j
i
o ijk4
j
dimana : s = stress m = banyaknya atribut dijk = jarak euclidian dalam dimensi ke i, j, k oijk = nilai titik asal pada dimensi ke i, j, k
2
58
Jarak kuadrat merupakan jarak euclidian yang dibobot atau ditulis: r
d w ka xia x ja 2
2
i
dimana : d2 wka xia xja
= = = =
jarak kuadrat euclidian dari titik i ke titik j jumlah titik yang masuk dalam wilayah pada dimensi (k) dari level ke a nilai titik (x) pada level ke a dari atribut ke i nilai titik (x) pada level ke a dari atribut ke j Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai S-Stress yang
dihitung berdasarkan nilai S di atas dan R2. Nilai stres yang rendah menunjukkan good fit, sedangkan nilai S yang tinggi menunjukkan sebaliknya. Pada pendekatan Rapfish model yang baik ditunjukkan dengan nilai stres yang lebih kecil dari 0,25 atau S < 0,25 (Fauzi dan Anna, 2005). Sedangkan nilai R2 yang baik adalah yang nilainya mendekati 1. Melalui MDS posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan dalam dua dimensi, yaitu sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Sumbu horizontal menunjukkan perbedaan sistem yang dikaji dalam ordinasi ”buruk” (0 %) sampai ”baik” (100 %) untuk setiap dimensi yang dianalisis. Sedangkan sumbu vertikal menunjukkan perbedaan dari campuran skor atribut di antara sistem yang dikaji. Analisis menghasilkan suatu nilai, dimana nilai ini merupakan nilai indeks keberlanjutan sistem yang dikaji. Analisis ordinasi ini dapat juga digunakan untuk menganalisis seberapa jauh status keberlanjutan untuk masing-masing dimensi yang digambarkan dalam diagram layang-layang (kite diagram). Ilustrasi hasil ordinasi nilai indeks keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 5.
Buruk 0%
25%
50%
75%
Baik 100 %
Keterangan : 50 % batas minimal tidak berkelanjutan
Gambar 5. Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pengelolaan lahan gambut pada perkebunan kelapa sawit pada skala 0 – 100 %.
59
Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) seperti tertera pada Gambar 6.
Ekonomi 100 80 60 Hukum dan Kelembagaan
40
Ekologi
20 0
Infrastruktur dan Teknologi
Sosial
Gambar 6. Ilustrasi diagram layang-layang indeks keberlanjutan
3.5.4. Analisis Kebutuhan Stakeholders Analisis kebutuhan stakeholders dilakukan untuk memperoleh komponenkomponen yang berpengaruh dan berperan penting dalam pengelolaan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit dari seluruh stakeholders yang terlibat. Setelah mendapatkan data pendukung untuk penetapan kebutuhan dasar yang diperoleh berdasarkan analisis kebutuhan stakeholders, selanjutnya diperkirakan kebutuhan setiap stakeholders.
3.5.5. Analisis Faktor Penentu Pengelolaan Lahan Gambut Analisis prospektif digunakan untuk menentukan faktor-faktor penting dalam pemanfaatan lahan gambut secara berkelanjutan. Analisis prospektif tidak sama dengan peramalan karena analisis prospektif dapat memprediksi alternatifalternatif yang akan terjadi dimasa yang akan datang baik bersifat positif (diinginkan) ataupun yang negatif (tidak diinginkan). Kegunaan analisis prospektif adalah mempersiapkan tindakan strategis yang perlu dilakukan dan melihat apakah perubahan dibutuhkan dimasa depan (Bourgoise, 2007).
60
Dari analisis prospektif diketahui informasi mengenai faktor kunci (key factors)
pengelolaan lahan gambut sesuai kebutuhan stakeholders. Menurut
Hardjomidjojo (2004) tahapan dalam analisis prospektif antara lain: (1) definisi dari tujuan sistem yang dikaji perlu spesifik dan dimengerti oleh semua pakar yang akan diminta pendapatnya. Hal ini dilakukan agar pakar mengerti ruang lingkup dan kajian penyamaan pandangan tentang sistem yang dikaji; (2) identifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan tersebut, yang biasanya merupakan kebutuhan stakeholders. Berdasarkan tujuan studi yang ingin dicapai, pakar diminta mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan tersebut. Pakar diharapkan dapat mewakili stakeholders, sehingga semua kepentingan dapat terwakili. Pada tahapan ini definisi dari setiap faktor harus jelas dan spesifik, dimana intergrasi pendapat pakar dilaksanakan dengan mengambil nilai modus; (3) penilaian pengaruh langsung antar faktor. Seluruh faktor yang teridentifikasi akan dilakukan penilaian terhadap pengaruh langsung antar faktor, sebagaimana disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Pedoman penilaian analisis prospektif Skor
Keterangan
0
Tidak ada pengaruh
1
Berpengaruh kecil
2
Berpengaruh sedang
3
Berpengaruh sangat kuat
Sumber: Bourgeois (2007)
Analisis prospektif akan digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor dominan (faktor kunci) yang berpengaruh terhadap pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit. Analisis dilakukan dengan tiga tahapan antara lain: (1) analisis peubah dominan dan sensitif yang diperoleh dari analisis status keberlanjutan; (2) analisis peubah dominan dan analisis kebutuhan atau peubah penting dari responden yang representatif; (3) analisis peubah gabungan yang berada pada kuadran satu dan dua. Hasil peubah kuadran satu dan dua yang akan digunakan dalam analisis model. Penilaian dilakukan dengan memberi skor 3 jika pengaruh langsung antar faktor sangat kuat; skor 2 jika pengaruh langsung antar faktor sedang; skor 1 jika
61
pengaruh langsung antar faktor kecil, dan skor 0 jika tidak ada pengaruh langsung antar faktor. Setelah diperoleh faktor-faktor kunci dilakukan analisis matrik pengaruh dan ketergantungan untuk melihat posisi setiap faktor dalam model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit dengan menggunakan software analisis prospektif, tampilan seperti pada Gambar 7.
Faktor Penentu INPUT (I)
Faktor Penghubung
Faktor Bebas UNUSED
Faktor Penentu OUTPUT (III)
Gambar 7. Penentuan tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam pengelolaan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit. Masing-masing kuadran dalam diagram mempunyai karakteristik faktor yang berbeda dan bisa di ”adjust” untuk memperoleh skenario strategis (Bourgeois dan Jesus, 2004) sebagai berikut: (1) kuadran pertama faktor penentu atau penggerak (driving variables): memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat namun ketergantungannya kurang kuat. Faktor-faktor pada kuadran ini merupakan faktor penentu atau penggerak yang termasuk ke dalam kategori faktor paling kuat dalam sistem yang dikaji; (2) kuadran dua faktor penghubung (leverage variables): menunjukkan faktor yang mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan yang kuat antar faktor, dimana faktor-faktor dalam kuadran ini sebagian dianggap sebagai faktor atau peubah yang kuat; (3) kuadran tiga faktor terikat (output variables): mewakili faktor output, dimana pengaruhnya kecil tetapi ketergantungannya tinggi; (4) kuadran empat faktor bebas (marginal variables): merupakan faktor marginal yang pengaruhnya kecil dan tingkat ketergantungannya juga rendah, sehingga faktor-faktor ini dalam sistem bersifat bebas.
62
Bourgeois (2007) menyatakan bahwa terdapat dua tipe sebaran variabel dalam grafik pengaruh dan ketergantungan antara lain: (1) tipe sebaran yang cenderung mengumpul pada diagonal kuadran empat ke kuadran dua. Tipe ini menunjukkan bahwa sistem yang dibangun tidak stabil karena sebagian besar variabel yang dihasilkan termasuk variabel marginal atau leverage variable. Hal ini menyulitkan dalam membangun skenario strategis untuk masa mendatang; (2) tipe sebaran yang mengumpul di kuadran satu ke kuadran tiga, sebagai indikasi bahwa sistem yang dibangun stabil karena memperlihatkan hubungan yang kuat, dimana variabel penggerak mengatur variabel output dengan kuat. Selain itu dengan tipe ini maka skenario strategis bisa dibangun lebih mudah dan efisien. Tahapan berikutnya dari analisis prospektif adalah analisis morfologis dengan tujuan untuk memperoleh domain kemungkinan masa depan agar skenario strategis yang diperoleh relevan. Tahapan ini dilakukan dengan mendefinisikan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa mendatang dari semua variabel kunci yang terpilih. Analisis morfologis diteruskan dengan analisis konsistensi untuk mengurangi dimensi kombinasi variabel-variabel kunci dalam merumuskan skenario di masa yang akan datang melalui identifikasi saling ketidaksesuaian di antara keadaan-keadaan variabel kunci (incompatibility identification). Tahapan akhir dari analisis prospektif
adalah membangun skenario
strategi pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit. Skenario ini merupakan kombinasi dari beberapa keadaan variabel-variabel kunci
yang mungkin terjadi di masa mendatang
dikurangi dengan kombinasi keadaan yang tidak mungkin terjadi secara bersamaan. Secara umum skenario yang dipilih terdiri dari 3 skenario yaitu minimal (I), optimal (II) dan maksimal (III). 3.5.4. Analisis Model Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Sumberdaya Lokal Untuk membangun model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan sawit dilakukan dengan melakukan penggabungan hasil analisis MDS, laverage dan prospektif. Dalam merumuskan model pengelolaan dilakukan dengan tahapan yang dilakukan seperti tertera pada Gambar 8.
63
Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut
Reference (desk study)
Kebijakan Pengelolaan Lahan Gambut di Perkebunan Kelapa Sawit
Permasalahan Pengelolaan Lahan Gambut
Analisis Biofisik, Sosial, Ekonomi Lahan Gambut
Penentuan Dimensi Keberlanjutan, atribut dan Skala
Analisis Keberlanjutan
Identifikasi Kebutuhan Stakeholders
Skenario I
Kondisi Eksisting (potensi, kendala)
Status Keberlanjutan, Kebutuhan Stakeholders
Analisis Kebutuhan Stakeholder (Prospektif)
Indeks Keberlanjutan Karaketeristik Biofisik, Sosial, Ekonomi Lahan Gambut
Survei Lapangan
Faktor atau Atribut Kunci
Faktor Pengungkit atau Dominan
Skenario II
Atribut Kunci Berpengaruh
Faktor Dominan Berpengaruh
Skenario III
Model Pengelolaan Lahan Gambut pada Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit
Strategi Pengelolaan Lahan Gambut pada Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit
Skenario
Model Pengelolaan
Strategi Pengelolaan
Gambar 8. Tahapan penyusunan model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat. Penyajian strategi pencapaian model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan diagram alir (flow chart).
64
3.6. Definisi Istilah-Istilah Penting yang Digunakan dalam Disertasi Definisi istilah penelitian diperlukan untuk memberikan batasan yang jelas terhadap gambaran komponen penelitian yang dilakukan. Beberapa definisi yang dipakai dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut : 1.
Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah kedalam satuan-satuan (zona-zona) yang kurang lebih seragam dalam hal faktor-faktor fisik yang besar
pengaruhnya
terhadap
produksi
tanaman
(Hardjowigeno
dan
Widiatmaka. 2007). 2.
Gambut adalah tanah yang berbahan induk organik yang berasal dari sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Dalam sistem klasifikasi (taksonomi tanah) disebut histosol yaitu tanah yang tersusun dari bahan organik (Soil Survey Staff, 1999).
3.
Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari (UU No.32 tahun 2009).
4.
Kebijakan adalah serangkaian keputusan yang diambil oleh seorang aktor atau kelompok aktor yang berkaitan dengan seleksi tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut dalam situasi tertentu, dimana keputusan tersebut berada dalam cakupan wewenang para pembuatnya.
5.
Lahan adalah bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi dan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976 diacu dalam Puslittanak, 2003).
6.
Lahan gambut adalah lahan yang berasal dari bentukan gambut beserta vegetasi yang terdapat diatasnya, umumnya terbentuk di daerah yang memiliki topografi rendah, bercurah hujan tinggi atau di daerah yang suhunya rendah, mempunyai bahan organik tinggi (C-organik > 12 %) dan kedalaman gambut > 50 cm (Soil Survey Staff, 1998).
7.
Model adalah perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual (Eriyatno, 1999).
65
8.
Pengelolaan adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum (UU No.32 Tahun 2009).
9.
Pemberdayaan masyarakat merupakan
upaya
yang
disengaja
untuk
memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian
secara
ekonomi,
ekologi,
dan
sosial
(Subejo
dan
Supriyanto.2004). 10. Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/ atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat (UU No. 18 Tahun 2004). 11. Sumberdaya lokal adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati dan sumber daya buatan sesuai dengan spesifik lokasi. Karakteristik sumberdaya lokal meliputi antara lain sifat fisik, kimia, biologi, hidrologi , interaksi antara komposisi vegetasi dengan keadaan tanah dan sosial ekonomi serta pengetahuan dan keterampilan masyarakat setempat. 12. Tata Air Makro adalah : Penguasaan air di tingkat kawasan / areal reklamasi yang bertujuan mengelola berfungsinya jaringan drainase irigasi seperti navigasi, sekunder, tersier, kawasan retarder, dan sepadan sungai atau laut, saluran intersepsi dan kawasan tampung hujan. 13. Tata Air Mikro adalah : Pengaturan atau penguasaan air di tingkat usaha tani yang berfungsi untuk mencukupi kebutuhan evaporasi tanaman, mencegah/ mengurangi pertumbuhan gulma dan kadar zat beracun, mengatur tinggi muka air melalui pengaturan pintu air dan menjaga kualitas air.
66
KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Wilayah Kabupaten Bengkalis-Meranti terletak di pesisir timur Pulau Sumatera pada posisi antara 2030’- 0 017’ Lintang Utara dan 100052' - 102010’ Bujur Timur. Kabupaten Bengkalis-Meranti memiliki batas-batas antara lain : sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, selatan dengan Kabupaten Siak, barat berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hilir, timur berbatasan dengan Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah Kabupaten BengkalisMeranti dialiri oleh beberapa sungai besar yakni sungai Siak dan Siak Kecil. Sungai yang ada di daerah ini berfungsi penting sebagai sarana perhubungan utama dalam perekonomian. Luas wilayah Kabupaten Bengkalis-Meranti 11.481,8 km2 yang terdiri dari 33 pulau dan pulau-pulau kecil lainnya. Posisi Kabupaten Bengkalis-Meranti sangat strategis karena berada di tepi alur pelayaran internasional yakni Selat Malaka. Selain itu, juga berada pada kawasan segitiga pertumbuhan ekonomi Indonesia-Malaysia-Singapura (IMS-GT) dan kawasan segitiga pertumbuhan Ekonomi Indonesia-Malaysia-Thailand (IMT-GT). Secara administrasi pemerintah Kabupaten Bengkalis-Meranti terdiri dari 13wilayah kecamatan yaitu : Kecamatan Bengkalis, Kecamatan Bantan, Kecamatan Bukit Batu, Kecamatan Mandau, Kecamatan Merbau, Kecamatan Rupat, Kecamatan Tebing Tinggi, Kecamatan Rangsang, Kecamatan Rangsang Barat, Kecamatan Rupat Utara, Kecamatan Tebing Tinggi Barat, Kecamatan Siak Kecil dan Kecamatan Pinggir. Dari dua kecamatan terakhir merupakan pemekaran dari Kecamatan Mandau dan Bukit Batu (BPS Kabupten Bengkalis, 2009). Adanya pemekaran Kabupaten Kepulauan Meranti pada Tahun 2008 menyebabkan terjadinya perubahan jumlah kecamatan.
Kecamatan Merbau,
Kecamatan Tebing Tinggi, Kecamatan Rangsang dan Kecamatan Rangsang Barat masuk ke dalam Kabupaten Kepulauan Meranti. Topografi dan Fisiografi Wilayah Kabupaten Bengkalis-Meranti merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 2 – 6,1 meter di atas permukaan laut. Pulau-pulau besar antara lain Pulau Rupat (1.524,9 km2), Pulau Tebing Tinggi (1.346,8 km2), Pulau
67
Bengkalis (938,4 km2), Pulau Rangsang (922,1 km2) serta Pulau Padang dan Pulau Merbau (1.348,9 km2). Wilayah Kabupaten Bengkalis-Meranti terbagi atas wilayah daratan dan lautan yang mencakup gugusan pulau besar dan kecil yaitu Pulau Sumatera, Bengkalis, Padang, Merbau, Tebing Tinggi, Rangsang dan Rupat. Kawasan ini merupakan dataran pantai pasang surut yang dipengaruhi langsung oleh aktivitas air laut. Daerah dengan kondisi demikian memiliki lingkungan air asin dan air payau yang memungkinkan vegetasi magrove (bakau) berkembang. Sebagian besar Wilayah Kabupaten Bengkalis-Meranti didominasi oleh topografi yang relatif datar. Kemiringan lereng berkisar antara 0 – 2 %, kecuali pada beberapa bagian kecil di Kecamatan Mandau, Pinggir dan Bukit Batu yang memiliki kemiringan lereng antara 2 – 15 %. Dengan demikian landform di wilayah ini didominasi oleh kelompok kubah gambut dan kelompok gambut marin. Kelompok kubah gambut berkembang dari endapan organik dan semakin tebal jika semakin jauh dari pantai. Gambut yang dipengaruhi air laut mempunyai potensi sulfat masam. Sedang kelompok marin berkembang dari endapan mineral yang dipengaruhi pasang surut air laut dan mempunyai lebar bervariasi antara 0,5 - 5 km. Daerah lahan basah ini merupakan hasil proses sedimentasi estuarin dan perimarin (kuala), terlihat dari adanya pelebaran pantai yang disebabkan oleh penambahan bahan endapan dan proses angkutan. Semua endapan marin diendapkan pada lingkungan daerah bergaram atau payau. Sehingga tanahnya mengandung garam dan berlumpur, terutama pada daerah yang masih muda dengan vegetasi mangrove. Sebagian besar daerah ini mempunyai drainase terhambat, tanahnya belum matang atau setengah matang (half ripe) mengandung pirit yang membentuk tanah sulfat masam atau potensial sulfat masam. Geologi atau Jenis Batuan Berdasarkan peta geologi lembar Siak Sri Indrapura dan Bengkalis skala 1:250.000, sebagian besar wilayah pesisir timur Propinsi Riau terdiri dari formasi geologi muda: aluvium muda (Qh) dan aluvium tua (Qp). Formasi ini terbentuk pada zaman kuarter. Aluvium tua umumnya merupakan bagian kering, sedangkan
68
aluvium muda menempati cekungan atau daerah belakang pantai yang berawa dan alur-alur pasang surut. Pengamatan lapang menunjukkan bahwa seluruh wilayah studi didominasi oleh endapan rawa berlumpur, liat dan bahan organik. Endapan lumpur dan liat umumnya dijumpai di daerah pantai. Pada bagian yang jauh dari pantai terbentuk tanah dengan bahan induk organik yang merupakan sisa vegetasi rawa. Bahan endapan rawa merupakan proses akumulasi atas aktivitas laut/marin dan sungai. Akibat keadaan tata air yang kurang baik maka terjadilah penumpukkan bahan organik karena proses pelapukan terhambat. Akhirnya terbentuk tanah-tanah organik (gambut) yang sebagian besar mempunyai kedalaman lebih dari 2 meter (kubah gambut). Sebahagian besar kubah gambut ini telah diusahakan oleh masyarakat untuk pertanian.
Jenis Tanah dan Iklim Tanah di Kabupaten Bengkalis-Meranti dapat diklasifikasikan menjadi empat ordo tanah utama, yaitu Histosol, Entisol, Inseptisol, dan Ultisol berdasarkan pada sistem Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1998). Luas penyebaran tanah mineral dan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti di paparkan pada Tabel 9, sedangkan karakteristik jenis tanahnya secara umum ditampilkan dalam Tabel 10. Tabel 9. Luas penyebaran tanah mineral dan gambut di Kabupaten BengkalisMeranti No.
Jenis Tanah
1.
Entisol, Inseptisol, dan Ultisol
Luas ha 348.159,3
2.
Histosol
800.017,7
69,7
1.148.177,0
100,0
Total
% 30,3
Sumber : Bapeda Bengkalis (2007)
Histosol (Organosol) merupakan jenis tanah yang mempunyai penyebaran paling luas yaitu 800.017,7 ha atau 69,7 % dari total luas Kabupaten BengkalisMeranti. Tanah ini mempunyai tingkat dekomposisi hemik sampai saprik, berwarna hitam sampai merah gelap, reaksi tanah masam sampai sangat masam, dan kedalaman gambut bervariasi dari 50 cm sampai > 3 m. Substratum liat
69
dengan reaksi tanah masam. Pada lapisan ini mengandung pirit yang dicirikan oleh reaksi H2O2 kuat dan pH dapat turun mencapai 1,0-1,5. Kedalaman yang mengandung bahan sulfidik bervariasi antara 100 sampai > 150 cm dari permukaan. Ciri utama lainnya adalah muka air tanah yang tinggi dan sering melebihi permukaan tanah. Tabel 10. Karakteristik Jenis Tanah di Kabupaten Bengkalis-Meranti Jenis tanah
Tekstur
Histosol Entisol Inceptisol Ultisol
L, LD L, LD L, LP
-
Kedalaman Ketebalan Tingkat Solum (cm) Gambut (cm) Dekomposisi He, Sa 50 - >300 > 100 > 100 < 100 -
Drainase ST T B T
Sumber : Bapeda Bengkalis (2007) Keterangan : He = Hemik, Sa = Saprik; L = Liat; LD = Liat Berdebu; LP = Liat Berpasir; ST = sangat terhambat; T = terhambat; B = baik.
Hasil analisis sistem informasi geografis (SIG) terhadap luas dan ketebalan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti melalui teknik tumpang tepat (overlay) dipaparkan pada Gambar 9. 101°00' BT
101°30'
102°00' BT
102°30'
103°00' BT
PEMERINTAHAN KABUPATEN BENGKALIS
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA)
AGAN SIAPIAPI 2°00' LU
2°00' LU
KAJIAN POLA PENGEMBANGAN PERTANIAN PADA LAHAN GAMBUT DI KABUPATEN BENGKALIS
PETA LAHAN GAMBUT KABUPATEN BENGKALIS DUMAI#Y
U B
T
1°30'
1°30'
S 10
BENGKALIS Y #
0
10
20
Km
LEGENDA: " 8
Kota/Kecamatan/Desa Jalan Sungai Batas Kecamatan
1°00' LU
1°00' LU
Batas Kabupaten Batas Propinsi Batas Negara/Laut Teritorial Batas Wilayah Laut 4 mil
SIAK SRI INDRAPURA Y #
0°30'
0°30'
PEKANBARU Y #
101°00' BT
101°30'
PANGKALAN KERINCI
102°00' BT
102°30'
Sumber: - Wahyunto et al (2003) - Distan Pangan Propinsi Riau (2002) - Pulitanak (1990)
103°00' BT
Gambar 9. Peta Sebaran Gambut di Kabupaten Bengkalis (Bapeda, 2007)
70
Menurut Schmidt dan Ferguson, klasifikasi iklim di wilayah studi secara umum dapat dikelompokkan kedalam tipe A, dengan ciri-ciri curah hujannya tinggi (sangat basah), vegetasinya hutan hujan tropis. Kondisi iklim di wilayah Kabupaten Bengkalis-Meranti dipaparkan pada Tabel 11. Data curah hujan untuk wilayah ini menunjukan adanya perbedaan yang jelas sepanjang tahun. Curah hujan rata-rata bulanan terbesar terjadi di bulan Desember-Februari sebesar 560 mm dan terendah pada bulan Juni sebesar 93 mm. Sepanjang tahun terjadi bulan basah selama 9 bulan (Juli-Februari) dan 3 bulan lembab (Maret, April dan Juni). Jumlah hari hujan terbanyak terjadi pada Desember dan hari hujan paling sedikit terjadi pada Maret. Suhu udara rata-rata bulanannya berkisar 25,5 °C - 26,4 °C. Perbedaan suhu setiap bulannya relatif kecil dan merata sepanjang tahun. Tabel 11. Iklim di Wilayah Kabupaten Bengkalis-Meranti No
Bulan
1 Januari 2 Februari 3 Maret 4 April 5 Mei 6 Juni 7 Juli 8 Agustus 9 September 10 Oktober 11 November 12 Desember Rata-rata
Curah Hujan (mm) 224,22 166,65 248,28 248,93 171,66 157,81 105,45 109,42 143,90 226,10 277,94 260,93 195,3
Hari Hujan (hari) 20 16 22 19 20 12 13 11 13 17 23 24 17,4
Suhu (oC) 26,0 26,3 26,6 26,8 27,0 27,2 26,6 26,7 26,4 26,4 26,3 25,8 26,5
Kelembaban (%) 87,1 84,9 85,3 85,9 85,6 84,4 84,3 84,1 84,8 85,4 85,9 86,8 85,4
Sumber: BPS Bengkalis, 2009
Kondisi Sosial dan Ekonomi Kependudukan Kondisi sosial dapat dilihat dari keadaan penduduk, tenaga kerja dan angkatan kerja serta prasarana sosial di Kabupaten Bengkalis-Meranti. Penduduk merupakan faktor produksi yang utama dan penting dalam pelaksanaan pembangunan. Begitu juga dengan jumlah penduduk yang besar merupakan sumber dari ketersediaan tenaga kerja, namun dengan penyebaran dan kualitas
71
yang rendah justru dapat menimbulkan permasalahan dalam tenaga kerja itu sendiri. Penduduk Kabupaten Bengkalis-Meranti pada tahun 2008 tercatat sebanyak 747.797 jiwa yang terdiri 385.485 jiwa laki-laki dan 362.312 jiwa perempuan. Kecamatan yang paling banyak penduduknya adalah Kecamatan Mandau yaitu 256.108 jiwa dan kecamatan yang paling sedikit penduduknya adalah Kecamatan Rupat Utara yaitu 13.342 jiwa. Komposisi penduduk laki-laki lebih banyak dari penduduk perempuan. Penduduk laki-laki berjumlah 385.485 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 362.312 jiwa. Sex ratio berimbang yaitu 106 dimana tertinggi terdapat di Kecamatan Mandau yaitu 111 dan sex ratio yang terrendah 98 terdapat di Kecamatan Pinggir. Pertumbuhan jumlah penduduk yang besar merupakan faktor produksi yang sangat bermanfaat untuk menghasilkan luaran yang makin berlimpah. Jumlah dan kepadatan penduduk Kabupaten Bengkalis-Meranti dipaparkan pada Tabel 12. Tabel 12.
No.
Desa/Kelurahan, Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Bengkalis-Meranti.
Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Desa/Kel.
Mandau 15 Pinggir 13 Bukit Batu 15 Siak Kecil 13 Rupat 12 Rupat Utara 5 Bengkalis 20 Bantan 9 Merbau 21 Rangsang 13 Rangsang Barat 15 Tebing Tinggi 16 Tebing Tinggi Barat 8 Total 175 Sumber: BPS Kabupaten Bengkalis, 2009
Luas Wilayah (km2) 937 2.053 1.128 742 896 628 514 424 1.348 681 241 849 586 11,481.77
Jumlah Penduduk (jiwa) 235.109 60.541 29.029 18.518 32.486 13.236 71.003 40.893 56.445 31.373 29.755 76.763 16.082 711.233
Kepadatan Penduduk (jiwa km-1) 251 29 26 25 36 21 138 96 42 46 123 90 27 62
Pendidikan Pada tahun 2008 di Kabupaten Bengkalis-Meranti terdapat sebanyak 157 Taman Kanak-kanak, 483 Sekolah Dasar, 129 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama,
72
49 Sekolah Menengah Atas dan 14 Sekolah Menengah Kejuruan. Sedangkan tenaga pengajar di Kabupaten Bengkalis-Meranti sebanyak 406 orang guru Taman Kanak-Kanak, 5.680 orang guru Sekolah Dasar, 1.637 orang guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, 867 orang guru Sekolah Menengah Atas dan 398 orang guru Sekolah Menengah Kejuruan. Jumlah murid Taman Kanak-Kanak di Kabupaten Bengkalis-Meranti pada tahun 2008 sebanyak 8.302 orang, murid Sekolah Dasar sebanyak 100.499 orang, 24.233 orang murid Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, 17.681 orang murid Sekolah Menengah Atas, dan 3.524 orang murid Sekolah Menengah Kejuruan. Kesehatan Jumlah sarana kesehatan di Kabupaten Bengkalis-Meranti pada tahun 2008 secara umum tidak mengalami perubahan signifikan dibandingkan dengan tahun 2007. Jumlah Rumah Sakit sebanyak 7 unit, Puskesmas 19 unit, dan Puskesmas Pembantu 80 unit. Klinik dokter umum dan klinik dokter spesialis sebanyak 126 dan 33 unit. Sedangkan apotik dan toko obat masing-masing berjumlah 34 dan 30 unit. Secara kuantitas masih diperlukan penambahan sarana kesehatan yaitu rumah sakit bersalin (2 unit) dan laboratorium (1 unit). Tenaga medis yang tersedia di Kabupaten Bengkalis-Meranti antara lain dokter (dokter umum, dokter spesialis dan dokter gigi) 145 orang, bidan 523 orang dan perawat 496 orang. Ekonomi Perkembangan ekonomi Kabupaten Bengkalis-Meranti secara menyeluruh dapat dilihat pada pertumbuhan dan perubahan struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) selama waktu tertentu. PDRB merupakan jumlah nilai tambah untuk menghasilkan nilai barang dan jasa akhir dikurangi biaya untuk menghasilkannya oleh seluruh unit produksi yang diperoleh di Kabupeten Bengkalis-Meranti. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bengkalis-Meranti menunjukkan kondisi yang baik, hal ini dapat dilihat berdasarkan kenaikan PDRB setiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bengkalis-Meranti selama periode tahun 2005-2008 yang mengacu pada tahun dasar 2000 telah tumbuh dengan ratarata kenaikan sebesar 7,64 % th-1. PDRB per kapita dan pendapatan regional per
73
kapita tahun 2008 mengalami peningkatan. Berdasarkan atas dasar harga berlaku PDRB per kapita tahun 2007 sebesar Rp 16,8 juta menjadi Rp 20,3 juta pada tahun 2008. Sedangkan atas dasar harga konstan tahun 2000, PDRB perkapita tahun 2008 mengalami peningkatan dari sebesar Rp 5,3 juta pada tahun 2007 menjadi Rp 5,6 juta pada tahun 2008. Berdasarkan harga berlaku, pendapatan regional per kapita meningkat sebesar 20,8 % dan atas dasar harga konstan meningkat sebesar 6,3 %. Pendapatan per kapita atas dasar harga berlaku tahun 2008 di Kabupaten Bengkalis-Meranti Rp 18,5 juta dan atas dasar harga konstan tahun 2008 pendapatan per kapita sebesar Rp 5,1 juta (BPS Kabupaten Bengkalis, 2009). Fasilitas ekonomi dapat dilihat dari jumlah bank yang ada di Kabupaten Bengkalis-Meranti. Sampai tahun 2005 terdapat sebanyak 25 unit bank yang terdiri dari tiga Bank Perkreditan Rakyat, tujuh Kantor Cabang, Lima Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Kas dan 10 Kantor unit (BPS Kabupaten Bengkalis, 2009). Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum kegiatan usaha serta peranan perbankan masih menunjukkan perkembangan yang cukup berarti. Perkembangan tersebut selain meningkatkan perekonomian daerah juga meningkatkan tingkat kepercayaan
masyarakat
sehingga
peluang
perkembangan
pertumbuhan
perekonomian dan perbankan pada masa yang akan datang diperkirakan lebih baik.
Kondisi Infrastruktur dan Sarana Lainnya Transportasi Darat dan Air Sarana perhubungan darat di Kabupaten Bengkalis-Meranti adalah sangat penting sekali artinya dalam rangka arus sosial ekonomi masyarakat. Pada tahun 2005 tercatat panjang jalan 2.172,7 km, terdiri dari jalan aspal 416,3 km, jalan kerikil 37,1 km, jalan tanah 1.175,3 km dan jalan beton 544 km (BPS Kabupaten Bengkalis, 2009). Transportasi darat yang digunakan masyarakat di Kabupaten BengkalisMeranti umumnya adalah sepeda, sepeda motor, becak dan mobil. Sepeda motor adalah jenis yang paling banyak digunakan di hampir seluruh Kabupaten Bengkalis-Meranti. Angkutan yang menghubungkan antar desa di Pulau Bengkalis-Meranti terdiri atas laksamana dan angkutan kota. Untuk pelayanan
74
transportasi orang dan barang di unit-unit lingkungan masing dilayani oleh jenis angkutan becak dan sepeda motor. Umumnya kondisi jaringan jalan yang menghubungkan antar desa di wilayah kecamatan-kecamatan cukup baik, dengan konstruksi beton beraspal. Hanya sebagian kecil saja jalan tanah yang kondisinya kurang baik, hal ini disebabkan kondisi tanah yang labil (tanah gambut). Transportasi air di Kabupaten Bengkalis-Meranti dibedakan menjadi transportasi sungai dan penyeberangan serta transportasi laut. Diantara sungai yang sangat penting sebagai sarana perhubungan adalah Sungai Siak dengan panjang 300 km, Sungai Siak Kecil 90 km dan Sungai Mandau panjang 87 km. Pada pesisir timur, laut yang merupakan sarana perhubungan utama. Pelayanan transportasi sungai dan penyeberangan dilayani oleh pasangan dermaga penyeberangan, sementara pelayanan transportasi laut dilayani oleh pelabuhan. Transportasi transportasi sungai/selat dan penyeberangan merupakan tulang punggung transportasi di wilayah pesisir Kabupaten Bengkalis-Meranti untuk menghubungkan antar kecamatan atau pulau di Kabupaten BengkalisMeranti. Sarana transportasi sungai/selat yang digunakan antara lain pompong, spead boat, ferry roro, kapal cepat (jet foil) dan motor tempel. Transportasi sungai/selat dan penyeberangan pada hakekatnya merupakan kepanjangan jaringan prasarana jalan yang terputus akibat adanya sungai dan selat dalam tipologi wilayah kepulauan. Transportasi sungai dan penyeberangan ini berperan sebagai perangkai antar pulau-pulau yang berseberangan atau berdekatan. Fungsi utamanya adalah sebagai sarana pergerakan barang dan penumpang antar pulau yang tak terpisahkan dalam sistem pelayanan angkutan lintas pulau. Berkaitan dengan fungsi tersebut, maka prasarana transportasi yang ada dan yang dikembangkan saat ini di Kabupaten Bengkalis-Meranti adalah: (1) dermaga roro di Desa Sei Selari dan Air Putih; (2) pasangan dermaga yang menghubungkan Pulau Bengkalis dan Pulau Padang pada lokasi Desa Ketam Putih (Kecamatan Bengkalis) dan Desa Tanjung Padang (Kecamatan Merbau); (3) pasangan dermaga yang menghubungkan Pulau Padang dan Pulau Tebing Tinggi yang berlokasi di Desa Meranti Bunting (Kecamatan Merbau) dan Desa Tanjung Peranap (Kecamatan Tebing Tinggi Barat); (4) pasangan dermaga yang
75
menghubungkan Pulau Tebing Tinggi dan Pulau Rangsang pada lokasi Desa Insit (Kecamatan Tebing Tinggi Barat) dan Desa Bantar (Kecamatan Rangsang Barat); dan (5) Dermaga roro di dusun Mengkikit Desa Tanjung Peranap yang menghubungkan pergerakan dari Kecamatan Tebing Tinggi Barat menuju Buton (Pemerintahan Kabupaten Bengkalis, 2006). Pada setiap kecamatan/desa terdapat pula beberapa dermaga rakyat yang dikelola oleh pemerintah daerah dan masyarakat seperti dermaga yang terdapat di Ketam Putih, Selat Baru (Muara Sungai Bantan Tua), Tanjung Samak, Tanjung Peranap dan Alai yang melayani kebutuhan antar pulau atau hubungan yang lebih luas lagi (eksternal). Dermaga rakyat ini merupakan salah satu titik yang penting artinya bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi/pemasaran hasil produksi. Prasarana utama untuk pelayanan transportasi laut bagi masyarakat kepulauan adalah pelabuhan. Pelabuhan sebagi pusat pelayanan transportasi laut merupakan titik pergantian moda yang berfungsi sebagai pusat pelayanan berbagai kegiatan ekstensif di wilayah belakangannya. Kegiatan ekstensif ini merupakan kegiatan-kegiatan ekonomi yang membutuhkan pelayanan jasa pelabuhan sebagai simpul distribusinya. Pelabuhan berfungsi sebagai pusat kegiatan bongkar muat barang dan penumpang. Kegiatan angkutan barang meliputi kegiatan distribusi berbagai komoditas yang dihasilkan daerah, sedangkan pelayanan angkutan penumpang melayani kebutuhan pergerakan penduduk sehari-hari, baik jarak jauh maupun jarak dekat. Kegiatan penyeberangan dan bongkar muat di Pelabuhan Bengkalis dikelola oleh PT. Pelabuhan Indonesia I Cabang Bengkalis. Pelabuhan ini berfungsi sebagai pelabuhan penyeberangan dan distribusi barang yang melayani pelayaran rakyat, nasional dan internasional menggunakan kapal motor dan kapal cepat. Pelabuhan Ferry Ro-Ro yang melayani Bengkalis-Dumai dan BengkalisSei Pakning, dengan kapasitas 7 buah kendaraan roda empat yang belokasi di Air putih berjarak ± 5 km dari Pelabuhan Bengkalis. Penumpang dari dan ke Pulau Bengkalis dilayani oleh kapal cepat (jet foil) antar pelabuhan dengan tujuan Pekanbaru, Dumai, Tanjung Balai, Batam,
76
Tanjung Pinang dan Singapura serta Malaysia. Frekuensi keberangkatan kapal 3 kali per hari, dengan waktu reguler antara pukul 7.30 - 14.30 WIB. Sarana dan Prasarana Air Bersih Kebutuhan air bersih di wilayah studi dan umumnya di Kabupaten Bengkalis-Meranti bersumber dari air hujan, sumur-sumur galian/air tanah dangkal yang dibangun secara sederhana. Sedangkan untuk kebutuhan air minum, mereka memanfaatkan air hujan dengan menampungnya pada bak-bak penampung (sistem PAH) atau membuat penampungan dari pasangan. Adapun kota-kota yang telah terjangkau pelayanan air bersih adalah Bengkalis, Selat Panjang dan Duri yang bersumber dari PDAM cabang Bengkalis yang dikelola perusahaan daerah air minum di bawah pengawasan dan pembinaan Pemda Kabupaten Bengkalis sejak tahun 1992. Akan tetapi pelayanan PDAM ini kurang memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitas pelayanannya. Kualitas air di Kabupaten Bengkalis-Meranti rata-rata rendah, bahkan di beberapa daerah airnya tidak layak dikonsumsi. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan air minum sebagian masyarakat menampung air hujan. Sumur galian merupakan alternatif pilihan untuk memenuhi kebutuhan air bersih terutama di daerah yang jenis tanahnya aluvial, kedalaman sumur galian rata-rata berkisar antara 1-2 meter dan kedalaman air tanah kurang dari 1 meter. Sarana dan Prasarana Listrik Prasarana listrik di Kabupaten Bengkalis-Meranti dikelola oleh PT (Persero) Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah mengoperasikan PLTD yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten. Untuk listrik pedesaan telah terpasang 53 unit PLTD dengan kapasitas perunit adalah 15 KVA, dan tersebar pada 11 kecamatan di Kabupaten Bengkalis-Meranti. Jumlah tersebut belum termasuk captive power yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan swasta yang beroperasi di wilayah kabupaten (BPS Kabupaten Bengkalis, 2009). Prasarana listrik di beberapa desa bersumber dari generator milik masyarakat yang dikelola secara swadaya. Layanan listrik ini hanya aktif pada malam hari dari jam 17.00-07.00 WIB.
77
Sarana dan Prasarana Telekomunikasi Pelayanan jasa PT Pos telah menjangkau seluruh wilayah kabupaten yang dilengkapi dengan layanan telepon. Pelayanan jasa telekomunikasi dengan fasilitas layanan jasa telepon berupa sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) untuk ke dalam dan ke luar negeri dengan sistem sambungan telepon langganan otomatis (STLO) dan sentral telepon otomat (STO) hanya melayani kawasan Kota Bengkalis, Sungai Pakning, Selat Panjang dan Duri. Saat ini telepon selular dapat dilayani di seluruh wilayah Kabupaten Bengkalis-Meranti yang pengembangannya dilaksanakan oleh PT. Telkom, Indosat dan Telkomsel. Kapasitas sentral telepon biasa dan telepon fleksi yang dikelola oleh PT. Telkom telah mencapai masing-masing 16.690 unit dan 10.055 unit (BPS Kabupaten Bengkalis, 2009). Kondisi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti selama periode 2002-2007 menunjukkan perkembangan yang pesat, dimana sektor ini tumbuh sebesar 6,79 %. Kondisi ini ditunjang oleh tingginya pertumbuhan sektor perkebunan kelapa sawit yang berorientasi ekspor (Syahza, 2010 ). Perkembangan luas perkebunan kelapa sawit akan sejalan dengan meningkatnya produksi TBS sebagai bahan baku CPO. Produksi TBS pada tahun 2006 mencapai 1.280.971,25 ton. Produksi ini juga dapat menjadi indikator potensi pengembangan industri hilir CPO dan produk turunannya. Kemampuan produktivitas maksimal kebun kelapa sawit di Bengkalis-Meranti sebesar 31,91 ton TBS ha-1th-1, sementara produktivitas kebun di Riau maksimal sebesar 32,12 ton TBS ha-1th-1. Sedangkan rata-rata produktivitas kebun kelapa sawit berkisar antara
18 – 22 ton TBS ha-1th-1 (Disbun Provinsi Riau, 2009). Pengembangan
industri hilir kelapa sawit akan menciptakan multiplier effect ekonomi untuk sektor angkutan, perdagangan, hotel dan restoran, serta peningkatan sumber pendapatan daerah dari sektor industri. Peningkatan produksi TBS di Kabupaten Bengkalis-Meranti harus diikuti oleh perkembangan industri pengolahnnya (pabrik kelapa sawit). Proyeksi kebutuhan pabrik kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti mencapai 6 unit
78
(Tabel 13) hanya mempertimbangkan luas tanaman menghasilkan (TM). Jika mempertimbangkan luas tanaman belum menghasilkan (TBM) dan TM, maka kebutuhan pabrik kelapa sawit (PKS) mencapai 14 unit. Tabel 13. Perkiraan Kebutuhan Pabrik Kelapa Sawit untuk Kabupaten BengkalisMeranti Uraian
Luas TM
Luas TBM+TM (ha)
60.281
92.934
2.177.350
3.356.776
PKS dibutuhkan (ton jam )
454
699
Kapasitas PKS terpasang (ton jam-1)
265
265
189
434
6
14
Luas Perkebunan Kelapa Sawit (ha) Perkiraan Produksi TBS (ton) -1
-1
Kekurangan PKS (ton jam ) Jumlah PKS yang diperlukan (30 ton jam-1)
Sumber : Nasrul dan Syahza (2009) Keterangan : TM = tanaman menghasilkan; TBM = tanaman belum menghasilkan
Produksi perkebunan TM dan perkiraan yang TBM maka kekurangan pabrik pengolah sebanyak 14 unit dengan kapasitas sebesar 30 ton TBS jam-1. Kebutuhan pabrik pengolah TBS ini lebih banyak diperlukan untuk pengolahan TBS dari perkebunan petani swadaya. Pengembangan industri turunan dari produk CPO akan memunculkan multiplier effect ekonomi di wilayah sekitarnya. Pembangunan industri kelapa sawit juga memberikan dampak terhadap meningkatkan pendapatan petani kelapa sawit. Petani kelapa sawit mempunyai peluang pemasaran TBS karena berkembangnya industri kelapa sawit. Peningkatan pendapatan petani di pedesaan menyebabkan meningkatnya jumlah uang beredar di wilayah sekitarnya. Keberadaan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh masyarakat secara swadaya memberikan pengaruh kepada tingkat kesejahteraan petani (Tabel 14). Pada tahun 2003 indeks pertumbuhan kesejahteraan petani di pedesaan mencapai 1,72. Berarti pertumbuhan kesejahteraan petani mengalami kemajuan sebesar 172 %. Namun pada tahun 2006 memperlihatkan indeks pertumbuhan kesejahteraan petani sangat dirasakan oleh kelompok pendapatan 40% terendah (miskin), ini dibuktikan dengan angka indeks pertumbuhan kesejahteraan bernilai
79
positif 0,18. Angka tersebut memperlihatkan selama periode tahun 2003-2006 kesejahteraan petani meningkat sebesar 18%. Tingkat kesejahteraan yang dirasakan oleh masyarakat pedesaan telah membawa dampak berkembangnya perkebunan kelapa sawit, seperti dipaparkan pada Tabel 14. Tabel 14. Pertumbuhan indeks kesejahteraan petani kelapa sawit dan multiplier effect ekonomi pedesaan di Provinsi Riau. Kelompok Pendapatan
2003 w
2006 g
w
2009 g
w
g
20 % pendapatan terendah
0.1169
-0.0344
0.1040
-0.0129
0.1127
-0.0087
20 % pendapatan terendah kedua
0.1583
-0.0363
0.1590
0.0007
0.1547
0.0043
20 % pendapatan terendah ketiga
0.1831
-0.0321
0.1791
-0.0040
0.1841
-0.0050
20 % pendapatan terendah keempat
0.2107
0.0097
0.2260
0.0153
0.2197
0.0063
20 % pendapatan tertinggi
0.3309
0.0930
0.3319
0.0010
0.3288
0.0031
Indeks Kesejahteraan (G)
1.72
0.18
0.12
Multiplier Effect Ekonomi
4,37
2,48
3,03
Sumber : Syahza, 2010 Keterangan : w = bobot kesejahteraan kelompok; g = tingkat pertumbuhan sosial
Selama periode tahun 2006-2009 indeks kesejahteraan petani kelapa sawit masih mengalami nilai positif yakni sebesar 0,12. Walaupun pada patahun 20082009 ekonomi dunia mengalami krisis global, namun petani kelapa sawit masih sempat menikmati kesejahteraannya. Hal ini dibuktikan dengan kenaikkan kesejahteraan petani sebesar 12%. Rendahnya indeks kesejahteraan petani kelapa sawit periode tahun 20062009 juga tidak terlepas dari dampak krisis ekonomi global.
Hal tersebut
menyebabkan harga CPO di pasaran dunia pada akhir tahun 2008 sampai triwulan pertama tahun 2009 turun. Tentu saja dampak harga ini juga berpengaruh terhadap harga di tingkat petani kelapa sawit. Karena itu indeks kesejahteraan petani kelapa sawit turun dibandingkan periode sebelumnya. Syahza (2009) menunjukkan pendapatan petani kelapa sawit sebesar Rp 2.117.302 bulan-1 atau sebesar Rp 25.407.624 tahun-1 dengan luasan lahan 2 ha.
80
Kebijakan Pembangunan Perkebunan Sawit di Kabupaten BengkalisMeranti Permasalahan pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti menghadapi berbagai persolaan antara lain : (1) karakteristik biofisik gambut yang rentan terhadap terjadinya subsidensi, kering tidak balik, mudah terbakar, kahat hara makro dan mikro; (2) produktivitas rendah karena input yang rendah seperti bibit, pupuk, pencegahan hama dan penyakit serta pengolahan lahan; (3) lemahnya struktur permodalan dan akses terhadap sumber modal; (4) kendala pemasaran hasil perkebunan (Disbunhut Kabupaten Bengkalis, 2008). Strategi kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis-Meranti antara lain : (1) pengembangan dan pemeliharaan perkebunan pada lahan gambut dilakukan berdasarkan karakteristik biofisik lahan setempat; (2) malaksanakan program revitalisasi dan kemitraan antara masyarakat petani dengan perusahaan besar swasta; (3) melakukan pemberdayaan lembaga ekonomi pedesaan dengan pembentukan koperasi. Pengembangan perkebunan kelapa sawit juga menjadi program strategis yang dilakukan Pemerintah Provinsi Riau. Pembangunan sektor perkebunan merupakan bagian dari program penanggulangan kemiskinan, kebodohan dan keterbatasan infrastruktur (K2I) yang dilakukan pada daerah pedesaan dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Pembangunan perkebunan kelapa sawit rakyat dilakukan oleh perusahaan pengembang yang nantinya akan bertindak sebagai mitra usaha dengan pekebun yang tergabung dalam wadah kelembagaan pekebun. Dana yang digunakan bersumber dari APBD dan untuk perkebunan yang telah terbangun serta layak secara teknis akan diberikan kepada para petani. Sedangkan biaya selama pembangunan (48 bulan) tanpa bunga akan dikembalikan dengan memotong sebagian dari hasil kebun kelapa sawit yang telah menghasilkan (Dinas Perkebunan Provinsi Riau, 2009). Untuk mengatasi berbagai permasalahan permodalan Pemerintah Provinsi Riau membuat kebijakan dengan melaksanakan program pemberdayaan ekonomi kerakyatan (PEK). Program PEK bertujuan untuk perbaikan ekonomi kerakyatan bagi masyarakat kecil yang terdapat di pedesaan dengan menerapkan strategi pembangunan pada pemerataan dan keadilan. Pelaksanaan program PEK pada
81
sektor perkebunan dilaksanakan dengan cara memberikan pinjaman modal kepada para pekebun yang telah tergabung dalam kelompok tani. Pengembangan usaha perkebunan dilakukan dengan beberapa program antara lain : (1) melakukan perluasan areal perkebunan; (2) peremajaan dan rehabilitasi tanaman; (3) pembibitan; (4) pengembangan industri hilir; (5) pengembangan usaha tani terpadu dengan integrasi kebun dan ternak.
82
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Lahan Gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti Berdasarkan kedalaman lapisan bahan organik maka gambut dapat dibedakan antara lain : (1) gambut dangkal dengan ketebalan 50-100 cm; (2) gambut sedang dengan ketebalan 100-200 cm; (3) gambut dalam dengan ketebalan 200-300; (4) gambut sangat dalam dengan ketebalan lebih dari 300 cm (Noor, 2001). Luas lahan gambut dengan berbagai ketebalan di Kabupaten Bengkalis-Meranti tertera pada Tabel 15. Tabel 15. Luas dan ketebalan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti Luas
Ketebalan Gambut (cm)
ha
50-100 100-200 200-300 >300 Total
56.346 271.307 261.294 211.071 800.018
% 7,1 33,9 32,6 26,4 100,0
Sumber : Hasil perhitungan dari Bapeda Kabupaten Bengkalis ( 2007)
Lokasi penyebaran lahan gambut tersebut pada setiap Kecamatan antara lain : Kecamatan Bukit Batu sekitar 120.181 ha; Merbau 110.920 ha; Pinggir 99.778 ha; Siak Kecil 86.456 ha; Tebing Tinggi 74.573 ha; Rupat 66.261 ha; Rangsang 52.489 ha; Bengkalis 41.584 ha; Mandau 40.356 ha; Tebing Tinggi Barat 39.954 ha; Bantan 33.031 ha; Rangsang Barat 20.521 ha dan Rupat Utara 13.914 ha (Bapeda Kabupaten Bengkalis, 2007). Karaketristik utama satuan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti dikelompokkan menjadi tiga yaitu d1, d2, dan d3 (Tabel 16). Terdapat tiga sub grup kubah gambut antara lain : (1) kubah gambut yang telah diolah, mengalami pemadatan, terpengaruh air asin (D.2.3.2); (2) kubah gambut oligotropik yang terpengaruh air asin (D.2.2.2) dan
(3) kubah gambut oligotropik air tawar
(D.2.1.3). Semua sub grup ini berkembang dari bahan organik pada endapan permukaan tua berumur kuarter pleistosen dengan bentuk wilayah datar sampai sedikit cembung atau cekung, lereng 0 – 2 % dan tinggi tempat bervariasi 1 - 30 m dari permukaan laut. Kondisi lingkungan demikian sisa tumbuhan sulit hancur dan menumpuk sebagai gambut dengan atau tanpa hancuran endapan tanah mineral.
83
Tabel 16. Karakteristik utama satuan lahan gambut di Kabupaten BengkalisMeranti No. Uraian 1. Satuan lahan (d1)
2.
Satuan lahan (d2)
3.
Satuan lahan (d3)
Keterangan Kubah Gambut yang telah diolah, mengalami pemadatan (D.2.3.2) Kubah Gambut yang terpengaruh air asin (D.2.2.2) Unit hidrologi : berada pada sisi kubah gambut Kedalaman 50-100 cm; pelapukan : saprik Sub Stratum : sedimen marin Drainase : terhambat Banjir : sewaktu-waktu Luas : 10.252,17 ha (12,5 %) Kubah Gambut yang telah diolah, mengalami pemadatan (D.2.3.2) Kubah gambut yang terpengaruh air asin (D.2.2.2) Unit hidrologi : berada pada sisi kubah gambut Kedalaman 100-200 cm; pelapukan : saprik Sub Stratum : sedimen marin Drainase : terhambat Banjir : sewaktu-waktu Luas : 61.780,49 ha (72,5 %) Kubah Gambut yang telah diolah, mengalami pemadatan (D.2.3.2). Kubah gambut oligotropik air tawar (D.2.1.3). Unit hidrologi : berada pada sisi kubah gambut Kedalaman 200-300 cm; pelapukan : saprik Sub Stratum : sedimen marin Drainase : terhambat Banjir : sewaktu-waktu Luas : 10.097,07ha (12,3 %)
Sumber :Hasil analisis dari Bapeda Kabupaten Bengkalis ( 2007)
Ketebalan gambut bervariasi antara 0,5 - > 4 m, dimana tingkat dekomposisi gambut adalah sapris dan diperkirakan komposisi abunya tidak kaya akan unsur-unsur hara (oligotropik). Bahan mineral di bawah gambut tersebut umumnya sedimen marin. Pada satuan lahan d3 (gambut dalam dengan ketebalan 200-300 cm) dan satuan d2 (gambut tengahan dengan ketebalan 100-200 cm) membentuk kubah gambut (dome) dan termasuk gambut ombrogen pada bagian tengahnya. Sedangkan satuan lahan d1 (gambut dangkal dengan ketebalan 50-100 cm) merupakan gambut topogen yang terbentuk di rawa belakang dan sisi kubah gambut, yang sangat dipengaruhi air payau dan sewaktu-waktu tergenang air.
84
Hidrotopografi adalah dinamika permukaan air tanah di suatu kawasan gambut. Di kawasan gambut yang mempunyai kubah maka air tanah mengikuti topografi kubah. Unit hidrologi gambut adalah suatu hamparan gambut tertentu yang merupakan satu kesatuan membentuk suatu kubah gambut yang berfungsi menampung, menahan atau menyimpan air tawar dan menyalurkan air tersebut ke kaki kubah dan sungai secara alami, selanjutnya dialirkankan ke daerah sekitarnya. Dengan demikian kawasan gambut berfungsi sebagai pengendali banjir, pencegah kekeringan dan/atau sebagai penyangga untuk mencegah terjadinya intrusi air laut. Komponen unit geomorfologi di Kabupaten BengkalisMeranti adalah kubah gambut, yang terdiri atas kaki kubah dan puncak kubah seperti dipaparkan pada Tabel 17. Tabel 17. Tipe hidrotofografi lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti Satuan Lahan Tipe Luapan d1
B
d2
B/C
Uraian Lahan yang hanya terluapi air pasang pada saat musim hujan Pada saat pasang besar termasuk tipe luapan B dan bila pasang kecil muka air tanah turun sehingga termasuk tipe luapan C
Lahan tidak terluapi air pasang tetapi mempengaruhi muka air tanahnya dengan kedalaman kurang dari 50 cm (muka air tanah Sumber : Hasil analisis dari Bapeda Kabupaten Bengkalis (<2007) berada pada kedalaman 50 cm dari permukaan tanah) d3
C
Klasifikasi tipe pasang pada lahan gambut di Kabupaten BengkalisMeranti digolongkan pada tipe pasang B, B/C dan C. Hidrotopografi dan tipe luapan air serta posisi satuan kawasan merupakan dasar untuk menilai kecocokan peruntukan kawasan dan kelayakan kawasan rawa gambut dikonversi menjadi kawasan budidaya. Tipe luapan air mencerminkan kombinasi keadaan hidrotopografi dan fluktuasi muka air sungai akibat pengaruh pasang surut air laut. Faktor hidrologi dapat dijadikan acuan dalam menentuan karakteristik fisiografi lahan gambut yakni dengan tipe pasang air (A, B, C, dan D) dan posisi kawasan (levee dan backswamp). Klasifikasinya didasarkan pada terjadinya luapan pada saat pasang besar (spring tide) dan pasang kecil (neap tide) dari air laut serta kedalaman muka air tanah. Tipe luapan A adalah yang selalu terluapi air pasang, baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Lahan bertipe luapan B
85
hanya terluapi air pasang pada musim hujan. Lahan bertipe luapan C tidak terluapi air pasang tetapi mempengaruhi muka air tanahnya dengan kedalaman kurang dari 50 cm. Lahan bertipe luapan D adalah seperti tipe C hanya kedalaman air tanahnya lebih dari 50 cm. Tipe luapan B/C pada umumnya terdapat pada satuan lahan d-2, yang ratarata muka air tanah berada pada kedalaman 20-30 cm. Kondisi ini disebabkan oleh lahan gambut mempunyai retensi air tinggi. Sehingga muka air tanah tidak jauh dari permukaan tanah pada saat pasang kecil terjadi. Sedangkan tipe luapan C terdapat pada satuan lahan d-3, dimana air pasang tidak masuk ke saluran sekunder sehingga kebutuhan air pertanian hanya dapat mengandalkan dari curah hujan. Dengan demikian pengelolaan air di satuan lahan ini perlu perhatian khusus karena pada musim kemarau air tanah turun sampai kedalaman 50 cm. Fluktusai air tanah atau air genangan di lahan gambut menunjukkan bahwa pada areal yang telah didrainase (sub grup D.2.2.2 dan D2.3.2) muka air berkisar 10-20 cm dari permukaan tanah, semakin ke hulu (sub grup D.2.1.3) muka air tanah kurang lebih 50 cm dari permukaan tanah. Agar gambut tetap bersifat lembab atau basah, maka dalam tindakan mendrainase lahan gambut harus mempertahankan muka air < 25 cm dengan asumsi pada ketinggian tersebut masih terdapat aliran kapiler dari air tanah untuk membasahi gambut yang ada di atasnya. Hal ini berhubungan dengan kondisi redoks dan mempertahankan sifat kehidrofilikan gambut atau minimal mempertahankan agar kawasan gambut tetap mempunyai tipologi luapan C. Konversi ekosistem lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan terjadinya perubahan profil lahan gambut tersebut. Kondisi ini terlihat dari perubahan profil horizon dan kedalaman gambut. Terjadi perubahan kedalaman horizon humik menjadi semakin dangkal dengan pertambahan usia perkebunan kelapa sawit (Tabel 18). Kondisi ini disebabkan oleh perubahan tingkat kematangan gambut menuju kondisi saprik. Hal ini dapat dilihat dari warna gambut menjadi hitam kemerahan pada lapisan 0 – 33 cm. Hasil selengkapnya dipaparkan pada Lampiran 1, 2 dan 3.
86
Tabel 18. Perubahan profil lahan gambut di perkebunan kelapa sawit Hutan Rawa Gambut Sekunder Simbol Oe Oe Oei Oi
Horizon Kedalaman (cm) 0 - 20 20 - 50 50 - 75 75 - 120
Oi
120 - 480
Uraian Hitam kemerahan (10 R 2.5/1), humik Merah sangat kusam (10 R 2.5/2); hemik Merah sangat kusam (10 R 2.5/2); hemik-fibrik Hitam kemerahan – merah sangat kusam (2.5 YR 2.5/1-2); fibrik Merah sangat kusam (10 R 2.5/2); -fibrik
Perkebunan Kelapa Sawit Usia < 3 th Simbol Oe Oi Oi Ao A
Horizon Kedalaman (cm) 0 - 18 18 - 42 42 - 84 84 - 106 > 106
Uraian Hitam kemerahan (10 R 2.5/1), humik Hitam kemerahan (2.5 YR 2.5/1); fibrik Merah sangat kusam (2.5 YR 2.5/2); fibrik Coklat kemerahan gelap (5YR 2.5/2); liat berdebu, masif Kelabu kehijauan terang (10 Y 7/2), liat; masif
Perkebunan Kelapa Sawit Usia 3- 9 th Simbol Oe Oi Oi Oi Oi
Horizon Kedalaman (cm) 0 - 10 10 - 30 30 - 80 80 - 130 > 130
Uraian Coklat kemerahan (5YR 2.5/1), humik Coklat kemerahan gelap (5YR 2.5/2); hemik Hitam kemerahan (10 R 2.5/1); fibrik Hitam kemerahan (10 R 2.5/1); fibrik Coklat kemerahan gelap (5YR 3/2); fibrik
Perkebunan Kelapa Sawit > 10 th Simbol Oa Ao A1
Horizon Kedalaman (cm) 0 - 33 33 - 43 43 - 100
A2
> 100
Uraian Hitam kemerahan (10 R 2.5/1), humik Coklat gelap (7.5 YR 3/2), liat berdebu, masif Merah lemah – coklat olive ringan (10 R 5/4 – 2.5 Y 5/3), liat, matang Kelabu kecoklatan ringan (10 YR 6/2), liat, matang
Andresse (1988) diacu dalam Noor (2001) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara kematangan dan warna kenampakan gambut. Pada tingkat kematangan saprik berwarna coklat tua, coklat hitam dan hitam. Pada tingkat kematangan hemik berwarna coklat tua dan coklat kemerahan. Sedangkan pada tingkat kematangan fibrik berwarna coklat muda kekuningan, coklat tua dan coklat kemerahan.
87
Berdasarkan pengaruh luapan pasang yang terjadi, sebagian lahan gambut berada di wilayah terluapi secara langsung oleh pasang dan sebagian lepas dari pengaruh pasang. Wilayah yang terluapi pasang menurut klasifikasi lahan rawa termasuk ke dalam tipe luapan B. Sedangkan yang tidak terluapi dapat termasuk ke dalam tipe luapan C dan D (Noor, 2001; Barchia, 2002). Sedangkan Sabiham (1988) membagi fisiografi lahan rawa menjadi 5 zona antara lain : (1) zona deposit air payau sampai air laut; (2) zona deposit air sungai sampai air payau; (3) zona deposit air sungai; (4) zona gambut ombrogen; (5) bukit. Hasil pengukuran terhadap parameter biofisik pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti Riau, dipaparkan pada Tabel 19. Tabel 19. Karakteristik biofisik lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti. Sifat Fisik Lokasi Pengamatan*)
Hutan
Muka Air Tanah (cm) 20
Kadar Air (%)
Sifat Kimia Kadar Abu (%)
pH H2O
KCL
Hutan Sekunder Rawa Gambut 133,74 0,87 4,13 2,98
C-org (%)
Salinitas (mmhos cm-1) 1)
60,95
0,03
Perkebunan Kelapa Sawit (Gambut Transisi) Sawit < 3 th
74
145,63
1,52
4,03
3,15
56,95
0,17
Sawit 3- 9 th
68
124,98
3,12
4,02
3,12
48,38
0,14
Sawit > 10 th
28
123,30
7,99
4,10
3,43
11,57
0,14
Sawit < 3 th
38
155,90
4,39
3,98
3,25
32,42
2,31
Sawit 3-9 th
30
134,88
5,91
4,00
3,50
23,70
2,17
Sawit >10 th
23
125,15
7,32
4,25
3,60
15,49
2,11
Perkebunan Kelapa Sawit (Gambut Pantai)
Sumber : 1)Hasil analisis dari PPLH Unri (2003) dan Bapeda Bengkalis (2007) Keterangan : Salinitas air tawar < 0.05 mmhos cm-1; air payau 0.05 - 3 mmhos cm-1; air saline 3 - 5 mmhos cm-1; n : jumlah lokasi pengamatan *) Lokasi pengamatan berbeda
Berdasarkan fisiografi lahan maka perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti termasuk dalam tipologi gambut pantai dan gambut transisi. Karakteristik biofisik lahan gambut menunjukkan adanya perbedaan antara gambut transisi dan pantai. Konversi hutan rawa gambut menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan perubahan karakteristik biofisik lahan gambut. Ketebalan bahan organik, kedalaman air tanah, C-organik dan kadar air semakin
88
menurun. Sedangkan pH dan
kadar abu
mengalami peningkatan dengan
bertambahnya umur perkebunan kelapa sawit. Biomassa tumbuhan menunjukkan adanya perbedaan antara hutan rawa gambut sekunder dengan perkebunan kelapa sawit, baik pada gambut transisi maupun pantai. Pada hutan rawa gambut sekunder biomassa ditemukan sebesar 103,28 ton ha-1, perkebunan sawit umur < 3 th 19,85 - 25,65 ton ha-1, perkebunan umur 3 – 9 th berkisar antara 26,94 – 102,76 ton ha-1. Sedangkan pada perkebunan kelapa sawit umur > 10 th ditemukan sebesar 116,62 - 132,63 ton ha-1 (Gambar 10). 140
Biomassa (ton ha -1 )
120 100 80 60 40 20 0 < 3 th Huta n Sekunder
3-9 th
> 10 th
Kebun Sa wit (Ga mbut Tra nsisi)
< 3 th
3-9 th
>10 th
Kebun Sa wit (Ga mbut Pa nta i)
Fisiogra fi La ha n Gambut
Keterangan : Lokasi pengamatan berbeda
Gambar 10. Perbandingan biomassa (t ha-1) tumbuhan pada hutan rawa gambut dengan perkebunan kelapa sawit. Biomassa kelapa sawit akan meningkat sejalan dengan bertambahnya umur tanaman, dimana pada umur > 10 th besarnya biomassa sudah menyamai hutan rawa gambut sekunder. Perkebunan kelapa sawit yang berada pada gambut transisi mempunyai biomassa lebih besar dari gambut pantai. Penambahan biomassa tanaman kelapa sawit yang cukup besar disebabkan oleh laju penangkapan karbon melalui fotosintesis yang tinggi. Corley (1985) diacu dalam Barchia (2009) menyebutkan bahwa laju serapan CO2 oleh tanaman sawit mencapai 3 g m-2 jam -1. Produksi biomassa kelapa sawit dapat mencapai 28 – 30 ton ha -1 pada umur tanaman 6,5 – 17,5 th (Barchia, 2009). Melling et al. (2005) menyebutkan bahwa alih fungsi lahan gambut untuk kelapa sawit dapat menurunkan emisi CO2. Potensial emisi CO2 dari hutan rawa gambut mencapai 7850 g CO2 m-2 th-1, sedangkan pada perkebunan kelapa sawit
89
mencapai 5706 g CO2 m-2 th-1. Hal ini disebabkan oleh tingginya respirasi tanah pada hutan rawa gambut yang mencapai 7817 g CO2 m-2 th-1, sedangkan pada perkebunan kelapa sawit masing-masing 4074 g CO2 m-2 th-1 dan 5652 g CO2 m-2 th-1. Hirano et al. (2007) menyatakan bahwa emisi CO2 hutan rawa gambut lebih besar dari pada perkebunan kelapa sawit. Kondisi ini disebabkan oleh tingkat humifikasi dari lapisan gambut dan tingginya respirasi akar akibat banyaknya biomassa di belowground hutan rawa gambut. Handayani (2009) menyebutkan bahwa terdapat kecenderungan emisi CO2 akan semakin berkurang dengan pertambahan umur kelapa sawit. Pengelolaan kedalaman muka air tanah merupakan kunci dalam pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dan usaha untuk melestarikan lingkungan (Handayani, 2009; Las et al. 2009). Dengan demikian pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dapat diusahakan dengan melakukan pengelolaan tata air yang baik. Ketebalan gambut mempunyai hubungan yang erat dengan kandungan karbon dan penambahan biomassa kelapa sawit. Handayani (2009) menyebutkan bahwa semakin tebal gambut maka kandungan karbon (C) akan semakin meningkat dengan tingkat korelasi yang tinggi (R2=0,938). Selanjutnya terdapat hubungan yang sangat signifikan ( R2=0,964) pertambahan umur kelapa sawit dengan peningkatan biomassa (t ha-1) seperti ditunjukkan oleh (Gambar 11). 600
y = 10.27ln(x) - 1.462 R² = 0.964
30 Bioma ssa (ton ha -1 )
500 Ka ndunga n C (ton -1 )
35
y = 223.9ln(x) - 1385. R² = 0.938
400 300 200 100
25 20 15 10 5 0
0 0
1000
2000
3000
Ketebalan Gambut (cm)
4000
5000
0
5
10
15
20
25
Umur Tanaman Sawit (th)
(a) (b) Gambar 11. Hubungan ketebalan gambut dengan kandungan karbon (a) dan umur tanaman sawit dengan peningkatan biomassa (b). Tingkat kedalaman gambut bervariasi, dimana semakin kearah kubah gambut (dome) pada fisiografi lahan gambut pedalaman
akan semakin
90
meningkat. Kedalaman gambut di perkebunan kelapa sawit pada gambut transisi berkisar 30 – 40 cm, sedangkan pada gambut pantai antara 44 – 440 cm dan hutan rawa gambut sekunder > 440 cm (Gambar 12). Kedalaman air tanah pada lahan gambut juga memiliki nilai yang bervariasi antar tipologi lahan gambut. Pembukaan lahan dengan melakukan perubahan pada tata air dengan membuat drainase (kanalisasi) menyebabkan terjadinya perubahan kedalaman muka air tanah.
Terbukanya lahan gambut
mempercepat dekomposisi dari kondisi an aerobik menjadi aerobik. Semakin lama umur perkebunan sawit semakin rendah muka air. Kondisi ini disebabkan oleh perubahan laju dekomposisi pada lahan gambut. Ketebalan Gambut (cm)
Kedalaman Air Tanah (cm)
Kadar Air (%)
800 700
Ketebalan Gambut (cm)
Kedalaman Air Tanah (cm)
Kadar Air (%)
800 700 600 500 400 300 200 100 0
600 500 400 300 200 100 0 < 3 th Hutan Sekunder
3-9 th Kebun Sawit (Gambut Transisi)
< 3 th
> 10 th Hutan Sekunder
3-9 th
>10 th
Kebun Sawit (Gambut Pantai)
(b) (b) Gambar 12. Ketebalan gambut (cm), kedalaman air tanah (cm), kadar air pada lahan gambut transisi (a) dan pantai (b) di perkebunan kelapa sawit serta hutan rawa gambut sekunder. Kondisi muka air tanah pada gambut pantai di perkebunan sawit berkisar 23 – 38 cm, sedangkan pada gambut transisi antara 28 – 74 cm dan pada hutan rawa gambut sekunder sebesar 20 cm (Gambar 12). Pada kondisi alami memperlihatkan muka air tanah yang relatif terjaga dan stabil. Kadar air di lahan gambut pada perkebunan kelapa sawit mempunyai nilai yang berbeda, pada gambut pantai umur tanam < 3 th 155,9 (%), umur tanam 3 – 9 th 134,88 (%) dan umur tanam > 10 th 125,15 (%). Sedangkan pada gambut transisi umur tanam < 3 th 145,63 (%) umur tanam 3 – 9 th 124,98 (%) dan umur tanam > 10 th 123,3 (%) serta pada hutan rawa gambut sebesar 133,74 (%) (Gambar 12).
91
Semakin lama umur tanam perkebunan sawit akan semakin rendah kadar air pada lahan gambut pantai dan transisi. Kondisi ini disebabkan oleh perubahan tingkat kematangan gambut yang terjadai pada perkebunan sawit tersebut. Noor (2001) menyebutkan bahwa kemampuan menjerap (absorbing) dan memegang (retaining) air dari gambut tergantung pada tingkat kematangannya. Kemampuan memegang air pada gambut fibrik lebih besar dari gambut hemik dan saprik, sedangkan gambut hemik lebih besar dari saprik. pH H2O dan pH KCl pada lahan gambut pantai, transisi dan hutan rawa gambut sekunder mempunyai nilai yang berbeda. Pada gambut pantai nilai pH H2O pada umur tanam sawit < 3 th 3,98, umur tanam sawit 3 – 9 th 4,00 dan umur tanam > 10 th 4,25. Untuk pH KCl pada umur tanam sawit < 3 th 3,25, umur tanam sawit 3 – 9 th 3,50 dan umur tanam > 10 th 4,60. Sedangkan pada gambut transisi nilai pH H2O pada umur tanam sawit < 3 th 4,03, umur tanam sawit 3 – 9 th 4,02 dan umur tanam > 10 th 4,10. Untuk pH KCl pada umur tanam sawit < 3 th 3,15, umur tanam sawit 3 – 9 th 3,12 dan umur tanam > 10 th 3,43 (Gambar 13). pH H2O
pH H2O
pH KCl
pH KCl
4.5
4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
< 3 th Hutan Sekunder
3-9 th Kebun Sawit (Gambut Transisi)
(a)
> 10 th
< 3 th Hutan Sekunder
3-9 th
>10 th
Kebun Sawit (Gambut Pantai)
(b)
Gambar 13. Nilai pH H2O dan pH KCl pada lahan gambut transisi (a) dan pantai (b) di perkebunan kelapa sawit serta hutan rawa gambut sekunder. Bila dibandingkan nilai pH H2O di hutan sekunder rawa gambut dengan lahan gambut pantai dan transisi mempunyai nilai pH yang tidak terlalu berbeda. Sedangkan nilai pH KCl (2,98) pada hutan sekunder rawa gambut lebih kecil dibandingkan dengan lahan gambut di perkebunan kelapa sawit. Nilai pH gambut pada hutan sekunder rawa gambut lebih kecil dibandingkan lahan perkebunan
92
kelapa sawit pada gambut transisi. Sedangkan pH pada lahan gambut transisi lebih rendah dibandingkan gambut pantai. Andriesse (1988) diacu dalam Barchia (2009) menyebutkan bahwa pH gambut yang berada di sekitar kubah (peatdome) lebih rendah dibandingkan dengan gambut yang berada di kawasan pinggir atau mendekati sungai. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh air sungai atau payau yang mempunyai pH dan kualitas air yang lebih baik. Keadaaan ini dapat juga dipengaruhi oleh tingkat ketebalan gambut. Subagyo et al. (1996) menyebutkan bahwa tingkat keasaman gambut dalam relatif lebih tinggi dari pada gambut dangkal. Gambut dangkal mempunyai pH antara 4,0 – 5,1, sedangkan gambut dalam mempunyai pH antara 3,1 – 3,9. Kandungan C-organik (%) pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit menunjukkan perbedaan antar umur tanam dan tipe fisiografi lahan serta hutan sekunder rawa gambut. Perkebunan sawit dengan fisiografi lahan gambut pantai kandungan C-organik berkisar antara 15,49 – 32,42. Pada lahan gambut transisi kandungan C-organik berkisar antara 11,57 – 56,95 dan pada hutan sekunder rawa gambut 0,87 (Gambar 14). C-Org (%)
Kadar Abu (%)
C-Org (%)
Ketebalan Gambut (cm)
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Kadar Abu (%)
Ketebalan Gambut (cm)
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 < 3 th Hutan Sekunder
3-9 th
Kebun Sawit (Gambut Transisi)
(a)
< 3 th
> 10 th
Hutan Sekunder
3-9 th
>10 th
Kebun Sawit (Gambut Pantai)
(b)
Gambar 14. Kadar C-organik (%), kadar abu (%) pada lahan gambut transisi (a) dan pantai (b) di perkebunan kelapa sawit. Menurut Barchia (2002); Riwandi (2001) kandungan C-organik pada tanah gambut termasuk tinggi berkisar antara 54,3 – 57,84 %. Sedangkan Sabiham dan Ismangun (1997) menyebutkan bahwa kandungan rata-rata C-organik pada lahan gambut sebesar 57,23 %. Kadar abu (%) pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit menunjukkan perbedaan antar umur tanam dan tipe fisiografi lahan serta
93
hutan sekunder rawa gambut. Perkebunan sawit dengan fisiografi lahan gambut pantai kandungan kadar abu berkisar antara 4,39 – 7,32. Pada lahan gambut transisi kadar abu berkisar antara 1,52 – 7,99 dan pada hutan sekunder rawa gambut 6,15 (Gambar 14). Sabiham dan Ismangun (1997) menyebutkan bahwa kadar abu (%) pada lahan gambut di Kalimantan Tengah ditemukan sebesar 0,94 % dan di Sumatera Selatan sebesar 5,10 %. Andresse (1974) diacu dalam Riwandi (2001) menyebutkan bahwa kadar abu gambut ≤ 10 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kadar abu gambut berkisar antara 1,852% - 3,984% untuk gambut fibrik, 2,275% - 4,696% gambut hemik dan 3,505% - 5,900% gambut saprik (Handayani, 2009). Terdapat hubungan kehilangan C-organik gambut dengan kadar air yang semakin tinggi, yang menyebabkan kehilangan C-organik semakin banyak. Hal ini disebabkan oleh kadar air yang tinggi menyebabkan terjadinya kondisi reduktif dalam gambut yang memacu produksi dan emisi CO2. Ketebalan gambut berhubungan sangat kuat dengan kadar C-organik (R2 = 0,703), dimana semakin besar tingkat kedalaman gambut akan semakin tinggi kadar C-organik. Terdapat hubungan yang liner antara ketebalan gambut (cm), kandungan C-organik (%) dan kadar abu (%) pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit (Gambar 15). 90
90
80
80 y = -44.0ln(x) + 193.6 R² = 0.946
70 Ka da r Abu (%)
C-Organik (%)
70 60 50 40 30
60 50 y = -21.9ln(x) + 140.6 R² = 0.797
40 30
20
20
10
10 0
0 0
10
20
30
40
Ka da r Abu (%)
50
60
70
0
100
200
300
400
500
600
Ketebalan Gambut (cm)
(a) (b) Gambar 15. Hubungan antara kadar abu (%) dengan C-organik (%) dan ketebalan gambut (cm) dan kadar abu (%) pada lahan gambut. Semakin tinggi ketebalan gambut pada perkebunan kelapa sawit maka semakin rendah kadar abu (R2 = 0,797). Kadar C-organik berhubungan negatip
94
dengan kadar abu, dimana semakin tinggi kadar C-organik akan semakin rendah kadar abu (R2 = 0,946) pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit.
5.2. Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut Secara umum permasalahan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti antara lain : (1) penguasan teknologi oleh masyarakat terhadap pengembangan budidaya tanaman perkebunan (kelapa sawit) masih terbatas; (2) perkebunan yang ada belum dimanfaatkan secara optimal karena kebiasaan masyarakat, keterbatasan tenaga kerja dan informasi pasar, (3) produktivitas tanaman perkebunan masih dibawah potensi; (4) produk yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat pada umumnya bermutu rendah; (5) kelembagaan
pekebun
belum
berfungsi
secara
efektif
karena
proses
pembentukannya bukan atas kesadaran dan kebutuhan pekebun. 35
Produksi (ton tbs ha-1th-1)
30 25 20 15 10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Pekebunan PBS/PBN
Perkebuna n Ra kyat
Gambar 16. Produksi perkebunan kelapa sawit pola perkebunan besar swasta/negara (PBS/PBS) dan swadaya masyarakat. Produktivitas perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti menunjukkan produktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas rata-rata pada lahan mineral lainnya. Pola pengelolaan lahan gambut mempengaruhi produktivitas (Gambar 16). Pada perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai 14 – 18 ton TBS ha-1 th-1. Sedangkan pada perkebunan besar swasta sebesar 24 – 26 ton TBS ha-1 th-1. Kondisi ini disebabkan oleh perbedaan pemberian input produksi seperti jenis dan dosis pupuk yang belum sesuai dengan yang direkomendasikan.
95
Permasalahan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti menunjukkan kondisi dengan produktivitas yang rendah (Tabel 20). Tabel 20. Kondisi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti Uraian
Kondisi
Jumlah Penduduk (jiwa)
738.996
Jumlah Pekebun (KK; jiwa)
28.322
141.610
Pola Perkebunan Rakyat : Pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP) Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Pola Kemitraan KKPA (Koperasi) Pola swadaya/Parsial (ha)
102.859
-
Luas Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat (ha) Tanaman Belum Menghasilkan (ha) Tanaman Menghasilkan (ha)
114.672 33.681,50 69.164,00
-
Luas Perkebunan Kelapa Sawit Perusahaan Besar Swasta (ha) : Tanaman Belum Menghasilkan (ha) Tanaman Menghasilkan (ha)
44.785 10.921 33.864
-
255.514,24
16,94
Produksi Kelapa Sawit PBS (ton; ton TBS ha th )
144.125,18
25,56
Pabrik Kelapa Sawit (unit); kapasitas (ton jam-1)
8
350
Perkebunan Besar Swasta (ha)
44.785
-
Perkebunan Besar Negara
-
-
Jumlah Perusahaan, luas (ha) HGU
14 (43.808)
61.632
Pengembangan Kawasan Perkebunan
45.608
-
Peremajaan Perkebunan (ha)
130
-
1.203
-
Produksi Kelapa Sawit Rakyat (ton; ton TBS ha-1 th-1) -1
-1
-1
Harga TBS kg tingkat Pekebun (Rp)
Keterangan -
Harga TBS kg-1 tingkat Pedagang (Rp) 1.429 Sumber : Hasil analisis dari Disbun Bengkalis (2009); BPS Bengkalis (2009); Statistik Perkebunan Provinsi Riau (2009)
Produksi perkebunan kelapa sawit rakyat sebesar 16,94 ton TBS ha-1 th-1 , sedangkan
perkebunan besar swasta mencapai
25,56
ton TBS
ha-1 th-1
(Dinas Perkebunan Provinsi Riau, 2009). Keterbatasan dalam pemenuhan sarana produksi menjadi permasalahan dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat. Pada perkebunan rakyat pengelolaan perkebunan dilakukan oleh pekebun secara mandiri dengan kemampuan yang terbatas. Teknologi pembibitan, penanaman, pemeliharaan TBM, TM dan panen dilakukan tidak memenuhi ketentuan yang tepat. Pekebun mengalami kondisi yang makin sulit karena
96
keterbatasan permodalan dan akses pada lembaga keuangan. Kondisi ini menyebabkan perbedaan (disparitas) harga TBS yang dihasilkan perkebunan swadya berbeda (Rp.803 – 1.029 kg-1) di tingkat pekebun dan pedagang pengumpul. Sedangkan harga yang berlaku pada TBS dari perusahaan besar swasta mencapai Rp. 1.300 – 1.600 kg-1. Luas perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti
terus
mengalami pertambahan. Hal ini disebabkan oleh tingginya minat masyarakat terhadap pengusahaan kelapa sawit. Pertambahan luas areal diikuti dengan peningkatan produksi TBS. Kondisi ini menyebabkan kapasitas pengolahan TBS semakin dibutuhkan baik dari segi jumlah maupun dari segi kapasitas olahnya. Begitu juga untuk luas yang ada, produksinya akan bertambah karena masih banyaknya TBM. Pada perusahaan besar swasta pemberian pupuk dilakukan secara teratur sesuai umur tanaman (Tabel 21). Pada perkebunan rakyat pemberian pupuk dilakukan secara tidak teratur baik jenis maupun dosis yang diberikan tanpa mempertimbangkan umur tanaman. Tabel 21. Jenis dan penggunaan pupuk di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti. Dosis Pemupukan (kg ha-1th-1) Umur Tanaman (th)
Urea
TSP
MOP
HGFB
Kiesriet
ZnSO4
CuSO4
FeSO4
1
84
98
98
7
70
30.1
44.1
7
2 3 4-5 5 - 16
182 245 280 315
140 175 210 245
315 420 455 490
10.5 10.5 -
105 140 175 175
28 28 -
42 42 -
14 14 -
16 - 25
245
175
315
-
70
-
-
-
Pengendalian hama dan penyakit tanaman juga dilakukan secara teratur pada perkebunan yang dikelola oleh perusahaan. Jenis dan dosis serta frekuensi penggunaan pestisida yang sering digunakan pada perkebunan besar swasta dipaparkan pada Tabel 22. Sedangkan pada perkebunan rakyat umumnya tidak dilakukan, pengendalian dilakukan bila terjadi serangan hama yang sangat kuat.
97
Tabel 22. Jenis dan dosis penggunaan pestisida di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti. No 1. 2. 3.
Jenis Insektisida Rodentisida Herbisida
Jenis Bahan Decis Klerat Round Up Ally Gramoxone
Dosis 200 cc.ha-1 1 kg.ha-1 0,25 l.ha-1 50 gr.ha-1 400 cc.ha-1
Frekuensi th-1 2 2 6 4 4
Serangan hama yang terjadi perkebunan perkebunan rakyat relatif jarang terjadi bila dibandingkan dengan perkebunan besar swasta. Kondisi ini disebabkan oleh pola pembukaan lahan (land clearing) yang dilakukan pada perkebunan besar swasta berlangsung dalam skala luas (>3.000 ha) dengan waktu relatif singkat. Timbunan bahan organik dari tumpukan kayu menjadi sumber nutrisi bagi serangga, sehingga populasi Oryctes rhinoceros mengalami perkembangan yang sangat besar. Kamarudin et al. (2005) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara populasi Oryctes rhinoceros dengan karakteristik fisik habitat di perkebunan kelapa sawit. Populasi Oryctes rhinoceros dipengaruhi oleh beberapa kondisi antara lain : (1) populasi rendah bila terdapat tanaman penutup (cover crop) yang tinggi; (2) kadar air yang tinggi di batang akan meningkatkan kelangsungan hidup dan perkembangan Oryctes rhinoceros; (3) Oryctes rhinoceros berkembang lebih cepat pada kayu yang memiliki serat halus (kadar lignin yang rendah). Serangan hama Oryxtes sp menimbulkan kerugian besar, karena menyerang tanaman sawit pada bagaian batang. Pada periode umur tanaman 1-3 tahun hama Kumbang Tanduk (Oryxtes sp) sangat dominan. Serangan hama ini dapat menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada tahun pertama hingga 69% dan menimbulkan kematian pada tanaman muda hingga 25% (PPKS, 2008).
5.3. Analisis Sosial Ekonomi Analisis kelayakan finansial perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan kriteria tingkat keuntungan internal (Internal Rate of Return, IRR), nilai bersih terkini (Net Present Value, NPV) dan rasio antara keuntungan dan biaya (B/C). Suatu usaha dinyatakan layak secara finansial bila nilai IRR lebih
98
besar dari tingkat suku bunga pinjaman bank. Kegiatan usaha dikatakan layak apabila B/C > 1. Analisis dilakukan berdasarkan pola pengelolaan perkebunan kelapa sawit yakni
perkebunan rakyat dan perkebunan besar negara/swasta
(PBN/PBS). Nilai kelayakan didasarkan atas harga TBS sebesar Rp 1.400 kg-1 dengan umur produktivitas tanaman menghasilkan (TM) hingga 25 tahun (perhitungan produksi dimulai pada tahun ke 4 setelah penanaman). Pada perkebunan sawit pola perkebunan rakyat produktivitas berkisar 14 – 22 ton TBS ha-1th -1. Sedangkan pada PBN/PBS produktivitas kelapa sawit berkisar 19 – 30 ton TBS ha-1th -1. Hasil analisis finansial menunjukkan pembangunan perkebunan kelapa sawit pola perkebunan rakyat (1 ha) mempunyai nilai IRR = 27%, NPV discount rate 17 % = Rp 32,94 juta ha-1 th-1 dan B/C = 1,45. Sedangkan pada perkebunan kelapa sawit skala perusahaan/industri (6.000 ha) mempunyai nilai IRR = 34 %, NPV discount rate 17% Berdasarkan
hasil
Rp. 242.797.776.924 dan B/C 3,2 (Lampiran 10).
analisis
finansial
tersebut
dapat
dinyatakan
bahwa
pembangunan perkebunan kelapa sawit layak untuk diusahakan. Hasil penelitian Herman et al. (2009) menyebutkan bahwa pada lahan gambut layak dikembangkan perkebunan sawit dengan hasil analisis finansial menunjukkan nilai IRR = 28,25 %, NPV discount rate 15 % = Rp 39 juta ha-1 th-1 dan B/C = 1,77. Kebutuhan hidup layak (KHL) masyarakat pekebun di perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti dipaparkan pada Tabel 23. Tabel 23. Kebutuhan hidup layak (KHL) pekebun perkebunan kelapa sawit1) %
Kg Beras
Harga Beras (Rp kg-1)2)
Pengeluaran (Rp orang-1 th-1)
KFM4)
100
320
7.000
2.240.000
Jumlah Anggota Keluarga3) 5
Pendidikan
50
160
7.000
1.120.000
5
5.600.000
Kesehatan
50
160
7.000
1.120.000
5
5.600.000
Sosial/Tabungan
50
160
7.000
1.120.000
5
5.600.000
Jenis Pengeluaran
5)
5.600.000 KHL Keterangan : 1) dimodifikasi dari Monde (2008) 2) rata-rata harga beras di Kabupaten Bengkalis-Meranti pada saat penelitian 3) rata-rata jumlah anggota keluarga 4,6 orang dibulatkan menjadi 5 orang 4) KFM (Kebutuhan Fisik Minimum =pangan, sandang dan papan )
Kebutuhan (Rp KK-1 th-1) 11.200.000
28.000.000
99
Kelayakan perkebunan kelapa sawit dapat dinilai dari prospek perkebunan dalam memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM) dan kebutuhan hidup layak (KHL) tahunan pekebun. Keluarga tani dinyatakan hidup layak
jika telah
memenuhi kebutuhan hidup meliputi pangan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, kesehatan, rekreasi, kegiatan sosial dan tabungan. Nilai ambang kecukupan pangan untuk pengeluaran di daerah pedesaan 240 – 320 kg beras orang-1th-1, sedangkan untuk wilayah perkotaan 360 – 480 kg beras orang-1th-1 (Sayogyo, 1977). Kebutuhan fisik minimum (KFM) mempunyai proporsi maksimal yang mencapai 100 % dibandingkan dengan pendidikan, kesehatan dan sosial yang masing-masing 50 %. Berdasarkan pola konsumsi (pengeluaran) rumah tangga pedesaan nilai KFM (100 %) rata-rata untuk makanan mencapai 70 % dan sisanya (30%) untuk keperluan sandang dan papan. Pengeluaran untuk makanan bila dirinci menurut nilai gizi terdiri dari 35 % karbohidrat, 11,12 % protein dan 13,08 buah dan sayuran serta 10,8 % untuk berbagai makanan lainnya (Kasryno dan Suryana,1996). Sedangkan konsumsi beras penduduk di Indonesia mencapai 139,15 kg orang-1 th-1 (Firdaus et al. 2008; Nainggolan, 2008; BKP, 2009). Menurut Sinukaban (2007) jumlah pendapatan bersih yang harus diperoleh keluarga tani untuk dapat hidup layak minimal adalah setara dengan 320 kg beras setahun x harga (Rp kg-1) x jumlah anggota keluarga x 2,5. Perincian kebutuhan hidup layak minimal antara lain : (1) nilai setara 320 kg beras orang-1 th-1 untuk kebutuhan fisik minimum (pangan, sandang dan papan) yaitu 8,89 kg beras x 3 x 12 bl = 320 kg beras orang-1 th-1 (100 %); (2) kebutuhan kesehatan dan rekreasi : 50 % x 320 kg beras orang-1 th-1; (3) kebutuhan pendidikan : 50 % x 320 kg beras orang-1 th-1 dan (4) kebutuhan sosial : 50 % x 320 kg beras orang-1 th-1. Kebutuhan hidup layak (KHL) bagi keluarga pekebun yang berjumlah 5 orang di Kabupaten Bengkalis-Meranti mencapai Rp. 28.000.000 th-1 (Tabel 23). Jumlah tersebut masih bersifat kebutuhan hidup layak bagi keluarga pekebun. Selanjutnya perlu diketahui luas lahan perkebunan kelapa sawit minimal yang diperlukan untuk kehidupan pekebun. Luasan lahan minimum usaha tani (Lmin) agar memenuhi KHL dapat diperoleh dengan membagi KHL dengan pendapatan bersih per 2 ha kebun sawit (Pb) atau dengan persamaan : L min = KHL Pb-1
100
(Monde, 2008) . Untuk sampai kepada hasil-hasil analisis tersebut maka data usaha tani kelapa sawit yang digunakan adalah data aliran dana (cash flow) atau pengeluaran dan penerimaan kegiatan perkebunan kelapa sawit untuk periode untuk 25 tahun kegiatan produksi (tanaman menghasilkan) dengan memanfaatkan modal pinjaman bank dengan tingkat diskonto atau nilai bunga 17 % th-1. Pendapatan bersih dari perkebunan sawit seluas 2 ha rata-rata pada kondisi eksisting sebesar Rp.27.687.936 th-1. Pendapatan rata-rata pekebun (eksisting) menunjukkan bahwa luas kebun sawit 2 ha hampir memenuhi KHL (Rp.28.000.000) dengan kekurangan sebesar Rp 312.064. Pendapatan pekebun pekebun dapat ditingkatkan dengan melakukan perbaikan pada input produksi, sehingga pendapatan pekebun dapat memenuhi KHL. Dengan demikian luas lahan perkebunan kelapa sawit rakyat minimal 2 ha untuk dapat memenuhi KHL. Kepemilikan lahan 2 ha oleh pekebun kelapa sawit memberikan keuntungan tetapi tidak cukup untuk dapat meningkatkan kesejahteraan pekebun. Dengan reformasi agraria pada lahan tidur dialih fungsikan untuk pengembangan kelapa sawit rakyat dengan pola patungan dan meredistribusikannya pada pekebun dengan luasan 4 ha untuk setiap KK pekebun, diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi,
mengurangi
kesenjangan pendapatan,
kemiskinan dan pengangguran (Suroso, 2008). Untuk memperoleh luas lahan gambut optimal (Lopt) agar memenuhi KHL dilakukan dengan membagi KHL dengan pendapatan bersih setiap 2 ha kebun sawit (Pb) ditambah Lmin atau dengan persamaan : L opt = KHL Pb + Lmin. Hasil analisis menunjukkan bahwa luas lahan optimal yang diusahakan untuk memperoleh pendapatan optimal pekebun perkebunan sawit rakyat seluas 3 ha. Sedangkan luas lahan maksimal (Lmak) diperoleh dengan persamaan : L mak = KHL Pb + Lopt. Hasil analisis menunjukkan bahwa luas lahan maksimal yang diusahakan untuk memperoleh pendapatan maksimal pekebun perkebunan sawit rakyat seluas 4 ha. Usaha perkebunan kelapa sawit mempunyai potensi untuk dikembangkan, berdasarkan RTRW Provinsi Riau arahan peruntukan areal
pengembangan
perkebunan mencapai 3.300.767,5 ha. Sedangkan realisasi pembangunan perkebunan hingga tahun 2008 mencapai 2.857.567,65 ha, sehingga terdapat
101
potensi lahan yang dapat dikembangkan seluas 443.199,85 ha yang tersebar pada berbagai kabupaten di Provinsi Riau. Luas lahan yang dapat dikembangkan untuk perkebunan kelapa sawit mencapai 45.608 ha di Kabupaten Bengkalis-Meranti. Dengan demikian perluasan perkebunan kelapa sawit rakyat dapat dilakukan dimasa yang akan datang. Jumlah penduduk Kabupaten Bengkalis-Meranti 738.996 jiwa pada tahun 2008 dengan jumlah pekebun 28.322 KK. Luas lahan yang dapat dikembangkan untuk perkebunan kelapa sawit mencapai 45.608 ha. Bila diasumsikan jumlah KK pekebun tidak mengalami perubahan di Kabupaten Bengkalis-Meranti, maka potensi lahan yang dapat dikembangkan untuk perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai 1,61 ha KK-1. Dengan demikian potensi lahan yang dapat dikembangkan secara maksimal untuk perkebunan kelapa sawit 3,6 ha KK-1. Pendapatan pekebun pada lahan gambut menunjukkan adanya perbedaan berdasarkan fisiografi lahan. Pada fisiografi lahan gambut Tipe C (gambut transisi) menunjukan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan Tipe B (gambut pantai). Perbedaan pendapatan pekebun lebih disebabkan oleh
faktor umur
tanaman sawit pada lahan gambut transisi yang mencapai produktivitas puncak yakni 10-16 tahun. Sedangkan pada gambut pantai pengusahaan perkebunan kelapa sawit oleh masyarakat relatif baru yakni 5 – 8 tahun. Meningkatnya pendapatan masyarakat menyebabkan terjadinya perubahan pada pengeluaran rumah tangga pekebun pada berbagai tipe lahan gambut, seperti yang dipaparkan pada Tabel 24. Tabel 24.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis pengeluran rumah tangga pekebun (Rp bulan-1) perkebunan kelapa sawit pada berbagai fisiografi lahan gambut.
Jenis pengeluaran Pangan Sandang Rumah Tangga Pendidikan Kesehatan Penerangan Transfortasi/Bahan Bakar Kegiatan Sosial Agama Komunikasi Jumlah
Gambut Pantai Nilai (Rp.) % 458,490.57 25.43 185,849.06 10.31 234,905.66 13.03 136,792.45 7.59 72,641.51 4.03 176,415.09 9.79 243,396.23 13.50 98,113.21 5.44 95,283.02 5.29 100,943.40 5.60 1,802,830.19 100,00
Gambut Transisi Nilai (Rp.) % 522,800.00 30.90 168,800.00 9.98 107,200.00 6.34 174,000.00 10.28 69,200.00 4.09 131,840.00 7.79 206,000.00 12.18 106,000.00 6.27 81,600.00 4.82 124,400.00 7.35 1,691,840.00 100,00
102
Pendapatan pekebun yang tinggi tidak diikuti oleh tingkat pengeluaran, dimana pada gambut transisi pengeluaran pekebun lebih kecil dibandingkan pada tipe lahan gambut pantai. Berdasarkan jenis pengeluaran menunjukkan pola pengeluaran pekebun yang hampir sama pada fisiografi lahan gambut pantai dan transisi. Kebutuhan pangan, sandang, rumah tangga dan pendidikan menjadi komponen utama pada struktur pengeluaran rumah tangga pekebun sawit. Pengeluaran bahan bakar merupakan komponen yang cukup besar, hal ini disebabkan oleh ketersedian energi listrik yang berasal dari PLN masih terbatas. Sumber energi umumnya masih tergantung pada listrik desa atau diusahakan secara swadaya yang membutuhkan biaya operasional yang tinggi. Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Riau dapat mengurangi ketimpangan
pendapatan
antar
golongan
masyarakat
dan
mengurangi
ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota. Selain itu, juga dapat menciptakan multiplier effect dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Aktivitas pembangunan perkebunan kelapa sawit memberikan pengaruh eksternal yang bersifat positif atau bermanfaat bagi wilayah sekitarnya. Meningkatnya ekspor yang berasal dari produk turunan kelapa sawit (CPO) dapat menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi di daerah. Kegiatan perkebunan memberi manfaat terhadap ekonomi pedesaan antara lain: (1) memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha; (2) peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar; (3) memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah. Suroso (2008) menyatakan bahwa kebijakan peningkatan stimulus ekonomi, peningkatan ekspor dan investasi pada perkebunan kelapa sawit rakyat, perkebunan besar dan industri pengolahan kelapa sawit dapat meningkatkan output bruto sektoral dan pendapatan seluruh golongan rumah tangga. Perkebunan kelapa sawit rakyat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap output bruto sektoral dan mampu mewujudkan distribusi pendapatan yang lebih merata dibandingkan jika stimulus ekonomi diberikan pada perkebunan kelapa sawit perusahaan besar. Stimulus ekonomi pada industri pengolahan kelapa sawit juga memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap output bruto sektoral dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit perusahaan besar dan industri
103
pengolahan lainnya, tetapi masih lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi perkebunan kelapa sawit rakyat. Namun demikian kontribusinya terhadap pendapatan rumahtangga masih lebih kecil dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit rakyat dan perkebunan kelapa sawit perusahaan besar. Beberapa kegiatan yang secara langsung memberikan dampak terhadap komponen ekonomi pedesaan dan budaya masyarakat sekitar antara lain : (1) kegiatan pembangunan sumberdaya masyarakat desa; (2) pembangunan sarana prasarana yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, terutama sarana jalan darat; (3) penyerapan tenaga kerja lokal; (4) penyuluhan pertanian, kesehatan dan pendidikan; (5) pembayaran kewajiban perusahaan terhadap negara (pajak-pajak dan biaya kompensasi lain). Stimulus ekonomi kepada perkebunan kelapa sawit rakyat akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan stimulus ekonomi kepada perkebunan kelapa sawit perusahaan besar. Selain itu, peningkatan investasi masing masing sebesar 10 % pada perkebunan kelapa sawit rakyat, kelapa sawit perusahaan besar dan industri pengolahan sawit mempunyai dampak yang positif terhadap pendapatan sektoral pada daerah (Suroso, 2008). 5.4. Analisis Kebijakan Penggunaan Lahan Pembangunan
perkebunan
kelapa
sawit
mempunyai
tantangan
kompleksitas permasalahan yang semakin rumit di masa yang akan datang. Perlu dirancang suatu model pengelolaan yang mempertimbangkan semua komponen sumberdaya yang terdapat pada ekosistem tersebut, sehingga program pengembangan perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan secara berkelanjutan. Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut dihadapkan pada permasalahan potensi emisi CO2 sebagai gas rumah kaca (GRK) (Hooijer et al. 2006), degradasi lahan, hilangnya biodiversitas (Noor, 2001; Riwandi, 2003) disintegrasi sosial budaya dan memarginalisasi pekebun (Reijntjes et al. 1992). Pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi penyebab terjadinya kebakaran gambut dan konflik sosial antara masyarakat dan perusahaan. Jumlah konflik lahan cenderung mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2007 seluas 111.745 ha, meningkat menjadi 200.586 ha tahun 2008 dan tahun 2009 mencapai 345.619 ha (Zazali, 2010).
104
Kebijakan pengembangan perkebunan juga dihadapkan pada ketersediaan lahan yang terbatas. Potensi lahan gambut yang cukup besar menjadi alternatif pengembangan areal perkebunan. Luas lahan gambut di Kabupaten BengkalisMeranti mencapai 856.386 ha dengan luas areal perkebunan mencapai 102.858,5 ha (Dinas Perkebunan Provinsi Riau, 2009). Hasil analisis kebijakan pemerintah melalui content analysis sudah memberikan beberapa batasan tentang pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut seperti yang dipaparkan pada Tabel 25. Tabel 25. Hasil content analysis kebijakan pembangunan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut. Peraturan
Diskripsi
Hasil
UU No 18 Th 2004 tentang Perkebunan
Perkebunan mempunyai fungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya (Pasal 4) Penetapkan luas maksimum dan luas minimum berpedoman pada : jenis tanaman ketersediaan tanah yang sesuai dengan agroklimat, modal, kapasitas pabrik, tingkat kepadatan penduduk, pola pengembangan usaha, kondisi geografis dan perkembangan teknologi Pengembangan areal perkebunan didasarkan dan sesuai dengan tata ruang Pengembangan areal perkebunan wajib melakukan kajian AMDAL
Pengembangan perkebunan sawit harus sesuai dengan karakteristik biofisik, ekonomi dan sosial budaya masyarakat serta peruntukan ruang
UU No 26 Th 2007 tentang Tata Ruang UU No 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup Kepres 32/1990
Permentan No:14/Permentan/PL. 110/2/2009
Ketebalan gambut ≥ 3m Lokasi tidak berada pada kubah gambut dan hulu sungai (mata air) Diusahakan hanya pada lahan masyarakat dan kawasan budidaya (APL) Ketebalan lapisan gambut kurang dari 3 (tiga) meter, Proporsi lahan dengan ketebalan gambut kurang dari 3 (tiga) meter minimal 70% (tujuh puluh prosen) dari luas areal yang diusahakan Substratum tanah mineral di bawah gambut bukan pasir kuarsa dan bukan tanah sulfat masam; Tingkat kematangan gambut saprik(matang) atau hemik (setengah matang); dan Tingkat kesuburan tanah gambut eutropik
Pengembangan perkebunan sawit harus melakukan pengelolaan dan pematauan lingkungan Ketentuan teknis pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan sawit
105
Kebijakan alih fungsi hutan untuk perkebunan semakin luas UndangUndang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan dan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan memperbolehkan dimasukkannya perkebunan ke sektor kehutanan. Dengan dasar hukum tersebut berbagai jenis tanaman bisa dimasukkan dalam sektor kehutanan. Pembangunan perkebunan
kelapa
sawit
dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan komponen lingkungan dan beberapa kriteria seperti dipaparkan pada Tabel 26. Tabel 26. Tata guna lahan pada areal perkebunan kelapa sawit. Komponen Luas Tata Ruang
Verifikasi
Tata lahan
Kriteria
Keterangan
Skala industri perkebunan (a) Luas areal tanaman pokok ditetapkan 60 % dari suatu unit areal perkebunan; (b) Luas areal tanaman kehidupan ditetapkan 5 % dari suatu unit areal perkebunan; (c) Luas areal konservasi ditetapkan 30 % dari suatu unit areal perkebunan; (d) (4) Luas areal untuk sarana/prasarana ditetapkan 5 % dari suatu unit areal perkebunan; Penetapan rencana kerja pembukaan lahan gambut dengan melakukan deliniasi kawasan gambut secara rinci antara lain : (a) Ketebalan Gambut (b) Substratum (c) Tingkat kematangan dan kesuburan gambut
7.000-10.000 ha Areal tanaman pokok (kelapa sawit) Areal tanaman kehidupan Areal konservasi
Ekologi : Dapat menjaga kelestarian fungsi ekosistem secara keseluruhan dengan upaya menjaga produktivitas lahan dengan pengelolaan tata lahan dan air Ekonomi : (a) Skala industri dapat dilakukan pemberian konsesi perkebunan seluas 6.000 - 10.000 ha. (b) Skala swadaya masyarakat 2 ha. (c) Menjalin kemitraan lokal dengan masyarakat setempat melalui Koperasi (d) Membangun lembaga keuangan mikro Sosial : (a) Penyerapan tenaga kerja lokal sebesar 80 % dari total tenaga kerja yang dibutuhkan. (b) Pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan
Berpedoman pada Kepres 32/1990 dan Permentan No: 14/2009 Pendirian PKS dengan kapasitas 45 ton TBS/jam di dukung oleh kebun dengan luas 6.000 ha
Areal sarana dan prasarana Berpedoman pada Kepres 32/1990 dan Permentan No: 14/2009
Berpedoman pada peraturan ketenagakerjaan
Nilai ekonomis yang tinggi menyebabkan investasi perkebunan kelapa sawit sangat besar dan dilakukan pada berbagai tipologi lahan. Hal ini mendorong alih fungsi hutan menjadi perkebunan semakin cepat dan luas. Alih fungsi lahan
106
menjadi perkebunan kelapa sawit dilakukan berdasarkan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Landasan peraturan yang digunakan antara lain : (1) Undang-Undang No 18 tahun 2004 tentang Perkebunan; (2) Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang tata ruang dan (3) Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang
pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup. Ke tiga peraturan
tersebut dapat menjadi landasan bagi pemegang kebijakan (pemerintah) dalam melakukan penataan pada kawasan gambut. Pembangunan areal perkebunan skala besar juga memberikan dampak sosial terhadap masyarakat disekitarnya. Munculnya konflik sebagai akibat proses pembebasan lahan yang tidak mengikuti ketentuan yang berlaku. Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit menyebabkan terjadinya penyerobotan
lahan masyarakat. Pemberian HGU mengandung
kelemahan karena dengan HGU seperti menjadi milik pribadi, sehingga investor akan melakukan efisiensi sehingga semua ruang akan ditanami kelapa sawit. Berdasarkan pertimbangan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat pembangunan perkebunan kelapa sawit pada skala industri dapat dilakukan dengan pemberian konsesi seluas 7.000 - 10.000 ha dengan kapasitas pabrik kelapa sawit (PKS) 45 ton TBS jam-1. Dengan asumsi kesesuaian lahan cocok untuk perkebunan sawit, produktivitas mencapai 25 ton ha-1th-1 dan kapasitas PKS 45 ton TBS jam-1, maka luasan lahan yang dikembangkan menjadi perkebunan sawit cukup 6.000 ha. Berdasarkan kondisi diatas maka pengembangan tata guna lahan perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan dengan disain “mozaik” dengan tata guna lahan pola “puzzle”. Tata guna lahan perkebunan sawit diusahakan tidak kontinu tetapi di integrasikan dengan vegetasi hutan alami. Pola puzzle dilakukan dengan mempertimbangan kawasan hutan yang mempunyai nilai konservasi tinggi seperti sempadan sungai, resapan atau mata air, hutan adat, habitat flora dan fauna endemik, mempunyai keterkaitan yang tinggi terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat disekitarnya. Berdasarkan tata guna lahan tersebut, pembangunan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dilaksanakan dengan prinsip pembangunan pertanian yang berbasis pada optimalisasi dan kelestarian (keberlanjutan) sumber daya,
107
dengan tidak mengabaikan aspek produktivitas, nilai ekonomi dan sosial. Sehingga keberlanjutan sistem produksi perkebunan kelapa sawit dan kelestarian fungsi konservasi (agroekosistem) kawasan rawa gambut berkelanjutan. 5.5. Analisis Sumberdaya Lokal Lahan Gambut Sumberdaya lokal adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati dan sumber daya buatan sesuai dengan spesifik lokasi. Karakteristik sumberdaya lokal meliputi antara lain sifat fisik, kimia, biologi, hidrologi, interaksi antara komposisi vegetasi dengan keadaan tanah dan sosial ekonomi serta pengetahuan dan keterampilan masyarakat setempat. Analisis sumberdaya lokal pada aspek biofisik lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti telah diuraikan pada bagian awal dari disertasi ini. Pada bagian ini lebih menekankan (fokus) pada aspek sosial budaya pemanfaatan lahan gambut oleh masyarakat lokal. Pemanfaatan lahan gambut untuk usaha pertanian memerlukan pengetahuan dan teknologi khusus, karena sifat gambut yang mudah mengalami kerusakan. Kejadian kebakaran lahan gambut hampir terjadi setiap tahun, hal ini disebabkan oleh kondisi agrofisik, termasuk aspek hidrologi, sosial ekonomi yang terkait dengan kepemilikan lahan, kebijakan pemerintah dan norma-norma sosial yang berkembang, termasuk persepsi pekebun tentang lahan gambut tersebut. Kearifan lokal adalah upaya masyarakat
setempat berdasarkan
pengalaman dan pengetahuan yang turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi dalam memanfaatkan lahan untuk pengembangan pertanian. Menurut Adhi et al. (1998) diacu dalam Noorginayuwati et al. (2008) kebijakan pemanfaatan lahan gambut memerlukan banyak usaha dan dukungan dari berbagai sumber penelitian. Pola tradisonal yang telah lama dikembangkan pekebun perlu dipelajari untuk menghindari kegagalan dalam mengalihkan lahan gambut menjadi lahan pertanian. Upaya ini juga penting untuk memperbaiki sistem yang telah dikembangkan pekebun agar dapat memperoleh lahan pertanian yang produktif dan berkelanjutan. Penggalian kearifan lokal pekebun dalam pengembangan lahan gambut diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai pedoman dalam perumusan arah
108
kebijakan pengembangan lahan gambut yang memberikan penekanan pada aspek sosial budaya pekebun. 5.6.1. Analisis Kearifan Lokal Pemanfaatan Lahan Gambut Pemanfaatan lahan gambut oleh masyarakat untuk aktivitas pertanian tanaman pangan khususnya padi telah lama dilakukan (informasi masyarakat). Hal ini sesuai dengan keberadaan (bermukim) masyarakat di daerah Pantai Timur Sumatera (Provinsi Riau). Selanjutnya pola pertanian masyarakat mengalami perkembangan tidak hanya tanaman pangan, tetapi juga pada komoditas perkebunan. Komoditas utama yang diusahakan adalah karet dan pinang, hal ini disebabkan oleh permintaan yang tinggi akan komoditas tersebut yang berasal dari Semenanjung Malaka (Malaysia dan Singapura). Kondisi ini terjadi hingga dekade tahun 1970-1980, dimana perdagangan komoditas ini mengalami kemunduran dengan dilarangnya perdagangan lintas batas negara. Prosedur dan perizinan yang panjang dan rumit menyebabkan ketidakmampuan masyarakat untuk melanjutkan sistem perdagangan yang diterapkan oleh pemerintah. Proses akulturasi budaya antar etnis yakni Melayu, Bugis, Jawa dan Banjar telah terjadi dalam rentang waktu yang lama. Hal ini dibuktikan oleh keberadaan makam “Laksamana Raja Dilaut” di Kecamatan Bukit Batu, yang berasal dari etnis Bugis dengan nama asli “Daeng Tuagek”. Pembukaan lahan untuk pertanian banyak dilakukan oleh etnis Jawa dan sebagian kecil etnis Banjar (lebih banyak bermigrasi ke Indragiri Hilir). Pemberian nama “Desa Sukajadi” disebabkan oleh banyaknya orang dari etnis Jawa yang membuka lahan pertanian di daerah tersebut (Informasi Tokoh Masyarakat). Akulturasi budaya antar etnis tersebut memberi pengaruh pada teknologi pengolahan lahan gambut yang digunakan masyarakat pada saat itu. Sehingga dikenal beberapa istilah untuk saluran yang dibangun sesuai dengan fungsinya seperti tali air parit talang, tali air parit engka, tali air orang kaya dan tali alir sungai musuh. Pengembangan pertanian padi dan perkebunan karet pada lahan gambut di daerah Bukit Batu Bengkalis dilakukan masyarakat dengan cara membangun saluran yang disebut dengan “tali air”. Saluran dibangun dimulai dari sungai yang masih dipengaruhi pasang surut menuju daratan sepanjang 1-2 km. Fungsi saluran sebagai pengatur tata air dan sebagai sarana pengangkutan
109
bagi kegiatan pertanian yang dilakukan. Pada saat pengolahan tanah dan penanaman benih, maka permukaan air dalam saluran diatur dengan membuat penahan air (tanggul). Dengan demikian kondisi permukaan air dapat diatur sesuai dengan kebutuhan yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Kondisi saat ini saluran masih tersedia tetapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini terlihat dari produktivitas perkebunan karet rakyat sangat rendah dan tidak mempunyai nilai ekonomi. Kondisi ini disebabkan oleh masuknya air laut (air asin) yang menggenangi areal perkebunan. Pada akhirnya masyarakat tidak melakukan pengelolaan terhadap lahan dan tanaman karet menunjukkan gejala kematian. Akibatnya masyarakat membuka lahan perkebunan mengarah pada areal daratan yang lebih jauh ke dalam hutan (5 km dari laut). Nilai-nilai kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan gambut mengalami pergeseran dan cenderung mulai diabaikan oleh masyarakat. Perubahan faktor hidrologis aktivitas sektor kehutanan (logging) dan hutan tanaman industri (HTI) merubah keseimbangan hidrologi kawasan tersebut. Kondisi ini merubah pola musim atau tata air pada lahan rawa gambut yang menyebabkan perubahan pola tanam. Bercocok tanam padi yang sebelumnya dapat dilakukan 2 kali dalam setahun, saat ini hanya dapat dilakukan 1 kali setahun. 5.6.2 Teknologi Pertanian Masyarakat Lokal Teknologi budidaya pertanian pada lahan gambut yang dilakukan oleh masyarakat lokal dapat menjadi masukan bagi aspek perencanaan. Pengetahuan dan keterampilan tradisional masyarakat mengandung sejumlah besar data empirik potensial yang berhubungan dengan fakta, proses dan fenomena perubahan lingkungan pada lahan gambut. Hal ini membawa implikasi bahwa pengetahuan tradisional dapat memberikan gambaran informasi yang berguna bagi perencanaan dan proses pembangunan perkebunan kelapa sawit. Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti dimulai pada 1980-1990. Proses akulturasi, asimilasi dan toleransi antar etnis yang beragam (Melayu, Jawa, Batak, Banjar dan Bugis) berlangsung dengan baik. Teknologi kearifan lokal yang dikembangkan oleh suatu komunitas pada umumnya akan berkembang secara luas dalam komunitas tersebut. Apabila komunitas tersebut cukup terbuka dengan komunitas lainnya maka teknologi
110
kearifan lokal itu juga dapat berkembang dengan cepat pada komunitas lainnya. Kearifan lokal yang mudah berkembang biasanya berupa teknologi yang dianggap berdaya guna dan berhasil guna tinggi (Noorginayuwati et al. 2008). Pengembangan perkebunan oleh Pemerintah melalui pola PIR Trans atau lokal menjadi pemicu terjadinya proses transfer teknologi budidaya sawit antara pendatang dengan penduduk setempat. Penguasaan teknologi perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh pendatang menjadi sarana interaksi antar kultur dalam masyarakat. Keberhasilan pendatang khususnya etnis Jawa dari Sumatera Utara dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit menjadi pemicu bagi penduduk lokal (Melayu) untuk mengembangan tanaman sawit. Nilai ekonomi yang tinggi dari perkebunan, menjadi daya tarik bagi penduduk lokal untuk beralih dari perkebunan karet ke perkebunan sawit. Masyarakat pendatang umumnya menguasai teknologi budidaya kelapa sawit secara baik, mulai dari proses pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Sedangkan masyarakat tempatan (lokal) menguasai aspek pengolahan lahan gambut, terutama dalam pembukaan lahan rawa gambut. Hal ini menjadi proses belajar bersama antara masyarakat lokal dan pendatang dalam melakukan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Selama ini kelembagaan perekonomian pedesaan dinilai oleh banyak ahli sangat rapuh dan dipandang sebagai penyebab kegagalan pengembangan perekonomian di pedesaan. Kerapuhan tersebut ditunjukkan oleh tidak efektifnya pemberdayaan faktor kepemimpinan (sebagai penggerak kemajuan) di pedesaan, tidak terbangunnya tata nilai yang menggerakkan kemajuan ekonomi di pedesaan, struktur dan keorganisasian ekonomi pedesaan yang dibiarkan rapuh, otonomi yang tidak mengangkat kedaulatan (politik) masyarakat pedesaan dalam kegiatan ekonomi serta dibiarkannya faktor kompetensi sumberdaya manusia pedesaan terbengkalai (Pranadji, 2003 diacu dalam Hermanto, 2007). Kelembagaan
pekebun
pada
perkebunan
kelapa
sawit
rakyat
menunjukkan kondisi yang belum mampu mendukung kegiatan perkebunan tersebut. Umumnya tidak tersedia kelembagaan yang mampu menunjang pengelolaan kebun kelapa sawit. Kelembagan yang ada hanya untuk kepentingan sosial keagaman seperti gotong royong dan pengajian terutama untuk ibu-ibu
111
pekebun. Pekebun hanya mengandalkan kemampuan berkomunikasi secara individual dengan pihak-pihak lainnya. Pengelolaan perkebunan kelapa sawit dilakukan secara “apa adanya” tergantung kemampuan yang dimiliki pekebun. Persepsi masyarakat di daerah Bukit Batu dan Siak Kecil relatif baik terhadap prospek lahan gambut sebagai lahan pengembangan pertanian dan perkebunan. Persepsi dipengaruhi oleh faktor personal dan situasional, dimana suatu inovasi akan diadopsi bila pekebun mempunyai persepsi yang baik terhadap inovasi tersebut. Menurut Littlejohn (1987) diacu dalam Rina et al. (2008) menyebutkan bahwa persepsi yang keliru dapat terjadi karena kurang tepatnya pengetahuan atau pengertian terhadap objek persepsi. Secara teoritis persepsi pekebun tentang lahan dan degradasi yang mungkin terjadi mempengaruhi perilaku mereka dalam mengusahakan lahan. Pemanfaatan lahan gambut telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat terutama untuk tanaman pangan dan perkebunan. Teknologi pengelolaan lahan secara tradisional dengan menggunakan peralatan sederhana telah
dikuasai
dengan baik. Pengetahuan kondisi lahan terutama tingkat kematangan gambut menjadi pertimbangan utama dalam pembukaan lahan. Masyarakat dapat mengatahui keadaan lahan dengan pengamatan sederhana yakni dengan cara memperhatikan warna dan meremas tanah gambut. Bila dirasakan mudah hancur dan warna coklat tua kemerahan berarti tanah gambut telah matang. Istilah masyarakat untuk kondisi tanah gambut disebut dengan “kilang manis” atau secara ilmiah gambut pada tingkat kematangan saprik. Pada tingkat kematangan saprik paling baik untuk dimanfaatkan sebagai areal pertanian. Kepemilikan
lahan
menjadi
faktor
penting
dalam
pengelolaan
perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti. Proses jual beli lahan perkebunan antara pendatang dan masyarakat lokal dapat menjadi isu yang sensitif di tengah masyarakat. Terjadi perbedaan persepsi antar anggota masyarakat tentang jual beli lahan yang dilakukan oleh sebahagian masyarakat. Umumnya pendatang menggunakan penduduk setempat (lokal) menjadi pembeli lahan. Hal ini memberi kesan (persepsi) yang membeli masih dalam kelompok masyarakat itu sendiri. Pada kenyataannya pemilik sesungguhnya adalah pendatang, kondisi ini yang dikuatirkan oleh sebagian tokoh masyarakat dapat
112
menimbulkan konflik sosial. Ketiadaan aturan setempat dan kondisi ekonomi masyarakat yang rendah menyebabkan sebagian masyarakat menjual lahan yang dimilikinya. Sebaliknya sebahagian masyarakat juga tidak mempersoalkan karena pendatang akan membawa perubahan pada pengetahuan masyarakat setempat. Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat (key informan) setempat yang mengatakan sebagai berikut : Jual beli lahan yang dilakukan masyarakat lokal dan pendatang pada dasarnya tidak menjadi persoalan bagi masyarakat, sejauh mengikuti aturan yang berlaku dan dilakukan secara suka sama suka. Penduduk lokal (melayu) relatif tertinggal dalam pengusaan teknologi perkebunan kelapa sawit. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan diperlukan modal awal yang besar serta waktu produksi yang cukup lama (4-5 tahun) baru mulai menghasilkan. Sehingga pada beberapa daerah banyak pendatang
yang menguasai lahan,
sedangkan penduduk lokal menjadi
terpinggirkan karena banyak yang menjual lahan kebun yang dimilikinya. Hal ini yang semakin disadari oleh penduduk lokal untuk mengolah lahan kebun yang dimilikinya. Keberhasilan pendatang menjadi pemicu bagi penduduk lokal untuk mencontoh sistem perkebunan yang dikembangkan oleh pendatang. Kondisi ini memunculkan proses akulturasi dan asimilasi serta toleransi antar etnis. Mereka sangat menyadari tentang keterbatasan yang dimiliki oleh masing-masing etnis dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut.
5.6. Status Keberlanjutan Pengelolaan Lahan Gambut Analisis status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti dilakukan melalui analisis keberlanjutan dengan pendekatan Multi-Dimensional Scaling (MDS) yaitu Pendekatan Dengan “ RapInsus-Landmag” (Rapid Appraisal –Indeks Sustainability of Land Management). Dimensi yang dianalisis untuk mengetahui status keberlanjutan meliputi aspek ekologi, ekonomi, sosial, infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan. Status keberlanjutan untuk masing-masing dimensi tersebut digunakan untuk melakukan perbaikan-perbaikan dimasa yang akan datang
113
terhadap faktor-faktor atau atribut-atribut yang sensitif atau pengungkit terhadap peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut. Hasil analisis menggunakan Rap-Insus-Landmag menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut pantai untuk dimensi ekologi sebesar 49,14 (kurang berkelanjutan), dimensi ekonomi sebesar 69,30 (cukup berkelanjutan), dimensi sosial sebesar 52,32 (cukup berkelanjutan), dimensi infrastruktur dan teknologi sebesar 51,15 (cukup berkelanjutan) dan hukum dan kelembagaan sebesar 50,33 (cukup berkelanjutan) seperti ditunjukkan pada Gambar 17.
Ekonomi (69.30) 100 80 60 Hukum dan Kelembagaan
(50.33)
40
Ekologi
20
(49.14)
0
Infrastruktur dan Teknologi
(51.15)
Sosial
(52.32)
Gambar 17. Diagram layang-layang status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai. Tingkat keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai menunjukkan kondisi sedang. Pada aspek ekologi mengindikasikan konversi hutan rawa gambut menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan munculnya persoalan lingkungan. Sedangkan hasil analisis indeks keberlanjutan lahan gambut transisi untuk dimensi ekologi sebesar 46,60 (kurang berkelanjutan), dimensi ekonomi sebesar 64,07 (cukup berkelanjutan), dimensi sosial sebesar 54,47 (cukup berkelanjutan), dimensi infrastruktur dan teknologi sebesar 49,64 (kurang berkelanjutan) serta hukum dan kelembagaan sebesar 56,99 (cukup berkelanjutan) seperti ditunjukkan pada Gambar 18.
114
Ekonomi
(64.07)
100 80 60 Hukum dan Kelemba ga an
40
Ekologi
20
(46.60)
(56.99)
0
Infrastruktur da n Teknologi (49.64)
Sosia l (54.47)
Gambar 18. Diagram layang-layang status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut transisi. Tingkat keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada
lahan gambut
transisi menunjukkan kondisi sedang. Pada aspek ekologi mempunyai nilai yang rendah dibandingkan dengan aspek lainnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut menyebabkan munculnya permasalahan lingkungan. Keadaan ini dibatasi juga oleh terbatasnya infrastruktur dan teknologi yang digunakan untuk pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut. 5.6.1. Keberlanjutan Dimensi Ekologi Analisis keberlanjutan dimensi ekologi dilakukan dengan menggunakan 12 atribut yang diperkirakan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi ekologi antara lain : (1) tingkat konversi lahan gambut; (2) tingkat kesesuian lahan gambut; (3) kesuburan lahan gambut; (4) laju subsidensi; (5) kejadian kekeringan; (6) intensitas kebakaran lahan; (7) pengaturan tata air dan lahan; (8) penggunaan amelioran; (9) manajemen produksi tanaman sawit; (10) penerapan teknik konservasi; (11) kearifan lokal; (12) pengelolaan perkebunan. Hasil analisis MDS untuk dimensi ekologi menunjukkan bahwa besarnya indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai 49,14 dan gambut transisi 46,60 (Gambar 17 dan 18). Kurang berlanjutnya perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut disebabkan oleh pengelolaan yang belum
115
memperhatikan karakteristik biofisik gambut secara spesifik lokasi. Pembukaan lahan gambut belum diikuti oleh pengaturan tata air (water management) yang baik. Kondisi ini menyebabkan lahan gambut menjadi kering pada saat kemarau dan tergenang (banjir) pada saat musim penghujan. Hal ini menyebabkan produktivitas lahan gambut yang rentan terhadap perubahan menjadi rendah. Produktivitas rendah disebabkan oleh pengelolaan lahan gambut yang belum mengikuti kaidah pertanian ramah lingkungan (konservasi). Leverage of Attributes
RAPLAND Ordination 60
Pengelolaan perkebunan
0.36
Kearifan ekologi
UP
0.39 0.95
Penerapan teknik konservasi
40
0.82
Penggunaan amelioran/pemupukan
20 49.14
Attribute
Other Distingishing Features
Produktivitas kebun sawit
2.97
Pengaturan tata air
3.00
Real Fisheries
0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
Anchors
1.51
Kebakaran lahan
References
Kejadian kekeringan
0.89
Laju subsudensi
-20
0.10
Keseburan lahan gambut
0.70 0.39
Kesesuaian lahan gambut
-40
Tingkat konversi lahan gambut
0.00
DOWN 0
-60 Ecology Peatland Sustainability
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Root Mea n Square Change in Ordina tion whe n Selected Attribute Re move d (on Sustainability sca le 0 to 100)
(a) (b) Gambar 19.Indeks keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi (b) di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai. Analisis leverage digunakan untuk mengetahui atribut-atribut yang sensitif atau memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan. Hasil analisis leverage (Gambar 19b) pada perkebunan kelapa sawit pada fisiografi lahan tipe luapan B menunjukkan bahwa pada dimensi ekologi yang menjadi faktor pengungkit utama adalah : (1) pengaturan tata air dan lahan; (2) penggunaan amelioran/pemupukan; (3) kebakaran lahan. Sedangkan hasil analisis leverage perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut transisi (Gambar 19b) menunjukkan bahwa pada dimensi ekologi yang menjadi faktor pengungkit utama adalah : (1) pengaturan tata air dan lahan; (2) penggunaan amelioran/pemupukan; (3) kebakaran lahan; (4) produktivitas tanaman (Gambar 19b). Sabiham (2000); Las et al. (2009) menyebutkan bahwa keberhasilan pengembangan pertanian berkelanjutan pada lahan gambut adalah dengan melakukan pengaturan tata lahan dan air (soil and water management)
116
yang sesuai dengan karakteristik air di daerah tersebut, baik tata air makro maupun tata air mikro, karena sangat mempengaruhi laju subsiden, kering tak balik dan kebakaran lahan. Price et al. (2003) keberhasilan pengelolaan tata air harus disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi dan karakteristik gambut. Keberhasilan pengelolaan lahan gambut ditentukan oleh kemampuan untuk unutk mengatasi permasalahan biofisik seperti kemasaman, kelarutan ionion toksik, kahat hara makro, penurunan muka tanah (subsidence), sifat kering tak balik (irreversible drying), dan daya sangga tanah (bearing capacity) yang rendah. Leverage of Attributes
RAPLAND Ordination 60
Pengelolaan perkebunan
0.02
Kearifan ekologi
UP
0.07 0.48
Penerapan teknik konservasi
40
1.20
Penggunaan amelioran/pemupukan
20 46.60 0
20
40
2.98
Pengaturan tata air
2.82
Real Fisheries
BAD 0
Attribute
Other Distingishing Features
Produktivitas kebun sawit
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
1.13
Kebakaran lahan Kejadian kekeringan
0.99
Laju subsudensi
-20
0.15
Keseburan lahan gambut
0.76 0.28
Kesesuaian lahan gambut
-40
Tingkat konversi lahan gambut
0.59
DOWN 0
-60 Ecology Peatland Sustainability
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Root Mean Square Change in Ordination w hen Sel ected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(a) (b) Gambar 20.Indeks keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi (b) di perkebunan kelapa sawit pada fisografi lahan gambut transisi. Hooijer et al. (2006) menyatakan bahwa pengaturan tata air (kedalaman drainase) akan berpengaruh pada laju subsidensi pada lahan gambut. Semakin rendah permukaan air tanah (water table) akan menyebabkan meningkatnya laju subsiden pada lahan gambut. Pemberian amelioran dengan tanah mineral berkadar besi tinggi dapat mengurangi pengaruh buruk dari asam-asam fenolat (Salampak, 1999; Mario, 2002 diacu dalam Hartatik dan Suriadikarta, 2003). Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi dapat menurunkan asam-asam fenolat. Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi antara kation Fe dari bahan amelioran sebagai jembatan kation dan asam-asam fenolat melalui proses polimerisasi. Kation Fe bereaksi dengan ligan organik membentuk ikatan kompleks.
117
5.6.2. Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Analisis keberlanjutan dimensi ekonomi dilakukan dengan menggunakan 12 atribut yang diperkirakan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi ekonomi antara lain : (1) pendapatan dari hutan rawa gambut (ikan, kayu, getah, dll); (2) tingkat penguasaan lahan; (3) status kepemilikan lahan; (4) pendapatan pekebun sawit; (5) harga TBS sawit; (6) penyerapan tenaga kerja; (7) jumlah penduduk miskin; (8) kredit usaha tani; (9) pemasaran TBS sawit; (10) peluang kerja dan usaha; (11) multiplier effect perkebunan sawit; (12) kesejahteraan pekebun sawit. Hasil analisis MDS untuk dimensi ekonomi diketahui bahwa besarnya indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai sebesar 69,30 (Gambar 17). Sedangkan indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut transisi sebesar 64,07 (Gambar 18). Hasil analisis leverage terhadap atribut yang sensitif atau memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada fisiografi lahan gambut pantai menunjukkan bahwa pada dimensi ekonomi yang menjadi faktor pengungkit utama adalah : (1) pemasaran TBS sawit; (2) kredit usaha tani; (3) jumlah penduduk miskin; (4) status kepemilikan lahan. RAPLAND Ordination
Leverage of Attributes
60
Kesejahteraan petani sawit
1.29
Multiflier effek perkebunan sawit
UP
1.43 1.55
Peluang kerja dan usaha
40
2.87
Kredit usaha tani
20 Attribute
O t h e r D ist in g i sh in g F e a t u r e s
Pemasaran TBS sawit
69.30
5.13
Jumlah penduduk miskin
3.12
Real Fisheries
0 0
20
40
60
80
100
2.01
References Penyerapan tenaga kerja
GOOD
BAD
120
Anchors
Harga TBS sawit
1.52
Pendapatan petani sawit
-20
2.05
Status kepemilikan lahan
2.63 2.15
Tingkat penguasaan lahan
-40 DOWN
Pendapatan dari rawa gambut
1.82 0
-60 Economy Peatland Sustai nability
1
2
3
4
5
6
Root Mean Square Change in Ordination w hen Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(a) (b) Gambar 21.Indeks Keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi (b) di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai.
118
Sedangkan hasil analisis leverage menunjukkan bahwa atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi pada fisiografi lahan gambut transisi adalah : (1) pemasaran TBS sawit; (2) kredit usaha tani; (3) status kepemilikan lahan dan (4) harga TBS sawit. RAPLAND Ordination
Leverage of Attributes Kesejahteraan petani sawit
0.83
Multiflier effek perkebunan sawit
0.79
60 UP
Peluang kerja dan usaha
40
0.90 2.92 3.93
Kredit usaha tani
20 64.07 0
20
40
60
3.25
Jumlah penduduk miskin
Real Fisheries
BAD 0
Attribute
Other Distingishing Features
Pemasaran TBS sawit
80
GOOD 100 120
References A nchors
Penyerapan tenaga kerja
1.11
Harga TBS sawit
3.30
Pendapatan petani sawit
-20
0.94 2.54
Status kepemilikan lahan 1.79
Tingkat penguasaan lahan
-40
1.47
Pendapatan dari hutan rawa gambut
DOWN
0
-60
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Economy Peatland Sustainability
(a) (b) Gambar 22.Indeks keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi (b) di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut transisi. Pemasaran TBS merupakan aspek penting dalam menentukan pendapatan pekebun. Sistem pemasaran pertanian merupakan satu kesatuan urutan lembaga pemasaran yang berfungsi untuk memperlancar aliran produk pertanian dari produsen ke konsumen akhir. Kondisi ini akan menciptakan aliran uang dan nilai produk yang lebih baik bagi
kegiatan produktif yang dilakukan. Faktor
pemasaran sangat dipengaruhi kualitas sumberdaya manusia di daerah pedesaan. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah disebabkan oleh kurangnya fasilitas pelatihan yang memadai. Pembinaan pekebun selama ini lebih banyak kepada praktek budidaya dan belum mengarah kepada praktik pemasaran. Hal ini menyebabkan pengetahuan pekebun tentang pemasaran tetap rendah, sehingga subsistem pemasaran menjadi paling lemah dan perlu dibangun dalam sistem agribisnis (Syahza, 2010). Pembangunan perkebunan kelapa sawit membawa dampak ekonomi terhadap masyarakat, baik masyarakat yang terlibat dengan aktivitas perkebunan maupun terhadap masyarakat sekitarnya. Syahza (2009) menjelaskan bahwa pembangunan perkebunan
kelapa
sawit dapat mengurangi ketimpangan
119
pendapatan antar golongan masyarakat dan mengurangi ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota; dapat menciptakan multiplier effect dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan dan ekspor produk turunan kelapa sawit (CPO) dapat merangsang pertumbuhan ekonomi. Keberadaan perkebunan kelapa sawit memberikan kontribusi yang besar terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Syahza (2010) menyebutkan bahwa tingkat kesejahteraan yang ditimbulkan oleh perkebunan sawit ini sangat besar bagi pekebun. Selama periode tahun 2006-2009 indek kesejahteraan pekebun kelapa sawit masih mengalami nilai positif yakni sebesar 0,12. Walaupun pada tahun 2008-2009 ekonomi dunia mengalami krisis global, namun pekebun kelapa sawit masih sempat menikmati kesejahteraannya. Hal ini dibuktikan dengan kenaikan kesejahteraan pekebun sebesar 12% yang sekaligus mampu mengurangi angka kemiskinan penduduk di pedesaan. Aktivitas pembangunan perkebunan kelapa sawit memberikan pengaruh eksternal yang bersifat positif atau bermanfaat bagi wilayah sekitarnya. Manfaat kegiatan perkebunan ini terhadap aspek ekonomi pedesaan, antara lain : (1) memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha; (2) peningkatan kesejahteraan
masyarakat
sekitar;
(3)
memberikan
kontribusi
terhadap
pembangunan daerah. Beberapa kegiatan yang secara langsung memberikan dampak terhadap komponen ekonomi pedesaan dan budaya masyarakat antara lain : (1) kegiatan pembangunan sumberdaya masyarakat desa; (2) pembangunan sarana prasarana yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, terutama sarana jalan darat; (3) penyerapan tenaga kerja lokal; (4) penyuluhan pertanian, kesehatan dan pendidikan; (5) pembayaran kewajiban perusahaan terhadap negara (pajak-pajak dan biaya kompensasi lain). 5.6.3. Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya Analisis
keberlanjutan
dimensi
sosial
budaya
dilakukan
dengan
menggunakan 10 atribut yang diperkirakan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi ekonomi antara lain : (1) tingkat pendidikan; (2) pemberdayaan masyarakat; (3) peran masyarakat adat; (4) pola hubungan masyarakat dalam perkebunan sawit; (5) akses masyarakat dalam kegiatan perkebunan sawit; (6)
120
intensitas konflik sosial; (7) tingkat kemandirian masyarakat; (8) peluang kemitraan; (9) peluang pemasaran produk lokal; (10) partisipasi sosial. Hasil analisis MDS untuk dimensi sosial budaya diketahui bahwa besarnya indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai sebesar 52,32 (Gambar 17). Sedangkan indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut transisi 54,47 (Gambar 18). Hasil analisis leverage (Gambar 23) terhadap atribut yang sensitif atau memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai menunjukkan bahwa pada dimensi sosial budaya yang menjadi faktor pengungkit utama adalah : (1) peluang kemitraan; (2) intensitas konflik sosial; (3) pemberdayaan masyarakat; (4) tingkat pendidikan. Sedangkan hasil analisis leverage (Gambar 24) menunjukkan bahwa atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial pada lahan gambut transisi adalah : (1) peluang kemitraan; (2) intensitas konflik sosial; (3) pemberdayaan
masyarakat.
Kemitraan
pada
sektor
perkebunan
banyak
memberikan hasil positip antara lain penambahan pendapatan pekebun, menambah lapangan kerja serta meningkatkan produksi perkebunan sebagai penghasil devisa (Hasbi, 2001). Kemitraan yang kuat harus didukung oleh pola kemitraan yang dapat meningkatkan pendapatan pekebun dan meningkatkan kemampuan pekebun dengan program pemberdayaan. Kemitraan harus didukung oleh homogenitas kepemilikan lahan yang memenuhi legalitas. Sehingga konflik sosial yang terjadi dapat dihindari dan menimbulkan kepastian pada berbagai pihak yang melakukan kemitraan. Sunarko (2009) menyatakan bahwa kemitraan adalah solusi terbaik untuk membangun harmonisasi hubungan yang saling menguntungkan, khususnya antara perusahaan perkebunan dan masyarakat disekitarnya. Lemahnya hubungan
pengembangan
perusahaan
dengan
kemitraan lingkungan
menyebabkan sosialnya.
ketidakserasian
Akibatnya
terjadi
kesenjangan akses sumberdaya yang berdampak pada munculnya konflik sosial. Konsep program bina lingkungan dan coporate social responsibility (CSR) perlu diterapkan (Sumardjo, 2010).
121
Permasalahan konflik sosial pada pengembangan perkebunan kelapa sawit menunjukkan intensitas yang semakin meningkat. Konflik sosial yang terjadi di Propinsi Riau menunjukkan angka yang signifikan. Konflik sosial terjadi antara masyarakat tempatan dengan perusahaan yang dilandasi oleh klaim hak pengelolaan atas tanah. RAPLAND Ordination
Leverage of Attributes Partisipasi sosial
60 UP 40
1.12
Peluang kemitraan
3.31
Kemandirian masyarakat
20 Attribute
O t h e r D ist in g ish in g F e a t u r e s
0.91
Peluang pemasaran
0.89
Intensitas konflik lahan
2.33
Real Fisheries
BAD
0 0
20
40
60 52.32
-20
80
GOOD 100
ReferencesAkses
120
Anchors
masyarakat
0.97
Pola hubungan masyarakat
0.61
Peran masyarakat adat
0.22
Pemberdayaan masyarakat
-40 DOWN -60
2.06
Tingkat pendidikan
1.67 0
Fisheries Sustainability
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Root Mean Square Cha nge in Ordination when Sele cted Attribute Removed (on Sustainability sca le 0 to 100)
(a) (b) Gambar 23. Indeks Keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial (b) di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai. Tingginya aktivitas perluasan perkebunan sawit cenderung menyebabkan semakin tingginya persoalan konflik sosial yang terjadi. Konflik sosial yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit umumnya posisi masyarakat selalu terkalahkan. Hal ini terjadi karena lahan (tanah) masyarakat tidak memiliki bukti kepemilikan secara hukum, sehingga kepemilikan lahan (tanah) secara adat (hak ulayat) tidak terakui walaupun dalam UUP Agraria hak ulayat diakui namun dalam prakteknya selalu saja terkalahkan (Sumardjo, 2010). Kondisi ini menyebabkan akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan menjadi terbatas. Hal ini mempengaruhi pada luasan kepemilikan lahan oleh pekebun dan situasi ini menyebabkan semakin besar peluang terjadinya konflik sosial. Karakteristik komoditas kelapa sawit yang tidak tahan lama dan memerlukan teknologi tinggi untuk pengolahan. Untuk menguasai teknologi tersebut maka tingkat pendidikan masyarakat pekebun kelapa sawit harus mendapat perhatian. Secara keseluruhan sebaran penduduk menurut tingkat pendidikan hampir merata di setiap jenjang (239.559 orang), namun mayoritas
122
pekebun sawit berpendidikan setingkat sekolah dasar atau berjumlah 92.800 orang atau 39 % (BPS Kabupaten Bengkalis, 2009). Rendahnya tingkat pendidikan ini perlu disadari dalam upaya pemberdayaan masyarakat haruslah menggunakan pendekatan komunikasi yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat setempat, misalnya menggunakan bahasa, teknik dan media komunikasi yang dapat diakses oleh kebanyakan masyarakat yang berpendidikan relatif rendah tersebut. Pengembangan perkebunan sawit juga telah membuka peluang
dan
memberikan dampak seperti antara lain: (1) penyerapan tenaga kerja baik tenaga lokal maupun pendatang (pendatang lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan perkebunan sawit); (2) peningkatan PDRB atau menambah APBD melalui perpajakan; (3) akan berdampak secara jangka panjang bagi meningkatkan kondisi perekonomian suatu daerah (Sumardjo, 2010). Pemberdayaan
masyarakat
adalah
suatu
proses
pengembangan
kesempatan, kemauan/ motivasi, dan kemampuan masyarakat untuk dapat lebih akses terhadap sumberdaya, sehingga
meningkatkan kapasitasnya untuk
menentukan masa depan sendiri dengan berpartisipasi dalam mempengaruhi dan mewujudkan kualitas kehidupan diri dan komunitasnya. Tujuan jangka pendek pemberdayaan sebaiknya jelas (spesific), terukur (measurable), sederhana (realistic), sehingga merupakan kondisi yang mendorong minat masyarakat untuk mewujudkannya (achievable) dalam waktu tertentu. RAPLAND Ordination
Leverage of Attributes Partisipasi sosial
60 UP 40
0.64
Peluang kemitraan
3.64
Kemandirian masyarakat
20
BAD
0 0
Attribute
O th er D ist ing ish in g F e a t u re s
0.43
Peluang pemasaran
GOOD 20
40
60
80
54.47 -20
100
120
0.53
Intensitas konflik lahan
3.23
Real Fisheries References Akses masyarakat Anchors
0.61
Pola hubungan masyarakat
1.13
Peran masyarakat adat
0.20
Pemberdayaan masyarakat
-40 DOWN -60
2.02
Tingkat pendidikan
0.48 0
Social Peatland Sustainabili ty
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
Root Mea n Square Change in Ordination w hen Sele cted Attribute Removed (on Sustainability sca le 0 to 100)
(a) (b) Gambar 24. Indeks keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial (b) di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut transisi.
123
Tujuan pemberdayaan harus ditempatkan pada situasi yang lebih kompleks dengan penetapan pencapaian tujuan jangka panjang (vision). Visi yang jelas berpotensi untuk menjadi pemandu kegiatan kerjasama diantara masyarakat untuk menetapkan tujuan-tujuan jangka pendek pemberdayaan, sehingga proses pemberdayaan menjadi lebih terarah, efektif dan efisien (Sumardjo, 2010). Untuk mengatasi hal tersebut, maka akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan harus diperluas dan teknologi budidaya kelapa sawit harus ditingkatkan. Peningkatan akses dapat dilakukan melalui transfer teknologi antar masyarakat yang telah menguasai terlebih dahulu kepada masyarakat yang baru mengenal budidaya perkebunan kelapa sawit. Penyuluhan diharapkan menjadi faktor yang dapat mempercepat
dan meningkatkan akses masyarakat akan
teknologi kelapa sawit. Faktor pengungkit yang sangat penting bagi terciptanya kondisi sosial masyarakat pada perkebunan kelapa sawit dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat. Prinsip penting dalam pemberdayaan adalah menghargai nilai-nilai lokal yang terdapat dalam masyarakat. Prinsip ini berpusat pada gagasan untuk menghargai pengetahuan lokal, nilai-nilai, keyakinan, ketrampilan, proses dan sumber daya suatu masyarakat. masyarakat
dan
Dengan demikian lebih mudah meyakinkan
mengembangkan
partisipasi
masyarakat
dalam
proses
pemberdayaan.
5.6.4. Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi Analisis keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi
dilakukan
dengan menggunakan 8 atribut yang diperkirakan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi ekonomi antara lain : (1) penguasaan teknologi budidaya sawit; (2) sistem informasi perkebunan; (3) industri pengolahan sawit; (4) penggunaan alat dan mesin budidaya; (5) standarisasi mutu produk sawit; (6) dukungan sarana dan prasarana; (7) ketersediaan basis data perkebunan; (8) teknologi lokal. Hasil analisis MDS dimensi infrastruktur dan teknologi diketahui bahwa indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai sebesar 51,15 dan gambut transisi sebesar 49,64 (Gambar 17 dan18).
124
RAPLAND Ordination
Leverage of Attributes
Teknologi lokal
60 UP
Ketersediaan basis data perkebunan
40
0.57
Dukungan sarana dan prasarana
5.06
20 Attribute
O t h e r D is t in g is h in g F e a t u r e s
0.10
Standarisasi mutu
5.86
Real Fisheries
BAD
0 0
20
40 51.15 60
80
-20
GOOD 100 120
Penggunaan alat dan References
1.59
mesin
Anchors Industri pengolahan sawit
5.18
Sistem informasi
1.05
-40 DOWN
Penguasaan teknologi
-60
1.93
0
Fisheries Sustainability
1
2
3
4
5
6
7
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(a) (b) Gambar 25. Indeks Keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi (b) pada lahan gambut pantai. Hasil analisis leverage terhadap atribut yang sensitif atau memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai (Gambar 25) menunjukkan bahwa pada dimensi infrastruktur dan teknologi yang menjadi faktor pengungkit utama adalah : (1) dukungan sarana dan prasarana; (2) standarisasi mutu produk sawit; (3) industri pengolahan sawit. Sedangkan hasil analisis leverage pada lahan gambut transisi (Gambar 26) mempunyai faktor pengungkit yang sama. Pengembangan sarana dan prasarana merupakan aspek penting yang langsung berkaitan dengan kualitas dan
produksi perkebunan kelapa sawit.
Ketersedian sarana berupa peralatan produksi akan mempengaruhi produktivitas dan kualitas TBS yang dihasilkan. Tersedianya infrastruktur jalan yang memadai akan meningkatkan aksesibilitas dalam proses pemanenan dan pemasaran. Panen merupakan salah satu faktor penting yang menentukan kualitas dan kuantitas produksi (Sunarko, 2009). Hal ini akan meningkatkan mutu pruduk sawit yang dihasilkan. Kendala infrastruktur mempengaruhi kualitas dan harga TBS yang dihasilkan oleh pekebun. Dengan demikian kondisi ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas TBS dan tidak memenuhi standar pengolahan PKS. Industri pengolahan kelapa sawit mempunyai peran penting dalam menjaga stabilitas harga TBS yang dihasilkan pekebun. Karakteristik buah sawit yang mudah mengalami kerusakan dan terjadinya penurunan kualitas yang
125
signifikan mengharuskan tersedianya industri pengolahan yang berada tidak jauh dari perkebunan. RAPLAND O rdination 60 UP
O ther Distingishing Fea tures
40
20 Real Fisheries
49.64 BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Infrastructure and Technology Pe atland Sustainability
(a) (b) Gambar 26. Indeks Keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi (b) pada lahan gambut transisi. Pola hubungan kemitraan yang belum tersedia antara pekebun dan industri menyebabkan disparitas harga di tingkat pekebun cukup besar. Hasil wawancara dengan pekebun di tingkat pedagang pengumpul rata-rata sebesar Rp.1.150 kg-1, sedangkan pada tingkat industri (pabrik) mencapai rata-rata Rp.1.450 kg-1. Hasbi (2001) menyebutkan bahwa pekebun tidak mempunyai posisi tawar, sehingga harga sangat ditentukan oleh pabrik pengolahan. Untuk itu diperlukan strategi pengembangan
agroindustri
kelapa
sawit
agar
mampu
meningkatkan
kesejahteraan pekebun dan pertumbuhan ekonomi. Strategi pengembangan agroindustri sawit dapat dilakukan dengan mengarahkan pada : (1) peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat pekebun sawit; (2) peningkatan efisiensi pemanfaatan sumberdaya; (3) pemberdayaan setiap
komponen
yang terlibat dalam
pengembangan agroindustri; (4)
pendistribusian aset produktif dan hasil pembangunan secara berkeadilan; (5) pembangunan yang berkelanjutan dan tahan akan pengaruh eksternal (Nasution, 1999 diacu dalam Hasbi, 2001).
126
5.5.5. Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan Analisis keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan dilakukan dengan menggunakan 8 atribut yang diperkirakan berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi ekonomi antara lain : (1) kebijakan pusat dan daerah pada perkebunan sawit; (2) ketersediaan lembaga kelompok tani; (3) keberadaan lembaga keuangan mikro; (4) ketersediaan lembaga sosial; (5) penyuluh lapangan; (6) interaksi antar lembaga; (7) kelembagaan pelayanan kesehatan; (8) pengelolaan kelembagaan ekonomi. Hasil analisis MDS untuk dimensi hukum dan kelembagaan diketahui bahwa besarnya indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai sebesar 50,33 (Gambar 17). Sedangkan indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut transisi sebesar 56,99 (Gambar 18). Hasil analisis leverage (Gambar 27) terhadap atribut yang sensitif atau memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai menunjukkan bahwa pada dimensi hukum dan kelembagaan yang menjadi faktor pengungkit utama adalah : (1) interaksi antar lembaga; (2) keberadaan lembaga keuangan mikro; (3) ketersedian lembaga kelompok tani. RAPLAND O rdinati on
Leverage of Attributes Pengelolaan kelembagaan ekonomi
60
2.53
UP Kelembagaan pelayanan kesehatan
1.55
Interaksi antar lembaga
20
5.23
50.33 BAD
0 0
Attribute
O ther Disting ishing Fea tures
40
GOOD 20
40
60
80
100
120
Penyuluh lapangan
1.48
Real Fisheries References Lembaga Sosial
0.98
Anchors Lembaga keuangan mikro
-20
5.37
Lembaga kelompok tani
-40 DOWN
4.19
Sinkronisasi Kebijakan
1.06
-60 0
Law and Insti tution Pe atland Sustai nability
1
2
3
4
5
6
Root Mean Square Cha nge in Ordination when Selected Attribute Remove d (on Sustainability scale 0 to 100)
(a) (b) Gambar 27. Indeks keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan (b) di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai.
127
Sedangkan hasil analisis leverage (Gambar 28) dimensi hukum dan kelembagaan pada lahan gambut transisi mempunyai faktor pengungkit adalah : (1) interaksi antar lembaga; (2) keberadaan lembaga keuangan mikro; (3) ketersedian lembaga kelompok tani. (stakeholders)
akan
sangat
Interaksi antar lembaga yang terkait
mempengaruhi
keberhasilan
pengembangan
perkebunan kelapa sawit di lahan gambut. Jatmika (2007) menyatakan bahwa lembaga pemerintah menjadi faktor penggerak utama dan berpengaruh dalam program pengembangan perkebunan kelapa sawit
seperti Dinas Perkebunan,
Dinas Koperasi dan UKM serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Kemudian secara simultan lembaga pemerintah ini akan mendorong berperan aktifnya kelompok pekebun dan gabungan kelompok pekebun. Peran aktif lembaga-lembaga ini akan mendorong berperan aktifnya koperasi pekebun. Situasi ini akan menciptakan iklim investasi yang mampu mengundang investor dan lembaga keuangan untuk terlibat dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit. RAPLAND O rdination
Leverage of Attributes Pengelolaan kelembagaan ekonomi
60 UP
Kelembagaan pelayanan kesehatan
40
2.88
Interaksi antar lembaga
3.53
20 56.99
Penyuluh lapangan
Attribute
O ther Distingishing F eatures
3.39
7.74
Real Fisheries
BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Lembaga Sosial
6.31
Anchors Lembaga keuangan mikro
-20
6.02
Lembaga kelompok tani
-40 DOWN
4.94
Sinkronisasi Kebijakan
-60
0.64
0
Law and Institution Peatsoil Sustainability
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
(a) (b) Gambar 28. Indeks keberlanjutan (a) dan peran atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan (b) di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut transisi. Keberhasilan interaksi harus dilakukan dalam konteks kemitraan sejajar antar stakeholders terkait pengembangan perkebunan kelapa sawit. Sunarko (2009) menyebutkan bahwa
kemitraan merupakan kunci utama dalam
menciptakan
lembaga.
interaksi
antar
Kemitraan dibangun berdasarkan
128
kepercayaan satu dengan lainnya yang nyata dan terukur. Di dalam kemitraan harus terdapat komitmen yang saling memuaskan berbagai pihak dan menumbuhkan saling ketergantungan. Kelembagaan yang kuat pada tingkat pekebun akan menciptakan kemandirian masyarakat. Pembangunan perkebunan saat ini lebih banyak dilakukan oleh masyarakat secara swadaya. Syahza (2010) mengusulkan model kelembagaan ekonomi pada perkebunan kelapa sawit yang disebut dengan Model Agroestate Berbasis Kelapa Sawit (ABK). Tujuan pengembangan model ini untuk mengurangi dikotomi-dikotomi dari pembagian keuntungan yang tidak adil antara pekebun kelapa sawit (plasma dan swadaya) dengan perusahaan inti. Dalam model ini juga akan di integrasikan dengan industri pengolahan kelapa sawit dalam bentuk pola agroindustri sawit skala kecil. Hasil analisis MDS menghasilkan atribut kunci yang mempengaruhi tingkat keberlanjutan pengelolaan lahan gambut pantai dan transisi untuk perkebunan kelapa sawit, seperti tercantum pada Tabel 27. Tabel 27. Atribut kunci yang mempengaruhi indeks keberlanjutan pengelolaan lahan gambut pada perkebunan kelapa sawit. No. 1.
Dimensi Ekologi
2.
Ekonomi
3.
Sosial
4.
Infrastruktur dan Teknologi
5.
Hukum dan Kelembagaan
Atribut Kunci a. pengaturan tata lahan dan air b. penggunaan amelioran/pemupukan c. pencegahan kebakaran lahan d. manajemen produksi tanaman sawit a. kredit usaha tani b. harga tandan buah segar (TBS) sawit c. pendapatan pekebun d. pemasaran TBS sawit e. status kepemilikan lahan a. peluang kemitraan b. intensitas konflik sosial c. pemberdayaan masyarakat d. tingkat pendidikan a. standarisasi mutu produk sawit b. industri pengolahan sawit c. dukungan sarana dan prasarana a. keberadaan lembaga keuangan mikro b. ketersedian lembaga kelompok tani c. interaksi antar lembaga
Leverage 3,00 2,98 1,51 1,20 3,93 3,30 3,25 2,92 2,63 3,64 3,33 2,06 1,67 5,53 5,09 5,06 6,02 5,37 5,23
Ditemukan 19 atribut kunci dari 50 atribut pada dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan yang
129
mempengaruhi tingkat keberlanjutan pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit. Peningkatan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan lahan gambut pada perkebunan kelapa sawit sangat ditentukan oleh interaksi antar komponen pada setiap dimensi. Gambaran mengenai interaksi antar atribut kunci dipaparkan pada Gambar 29. Hutan Rawa Gambut
Penambahan Amelioran
Agroekologi Perkebunan Kelapa Sawit
Pengaturan Tata Lahan dan Air
Pencegahan Kebakaran Lahan
Produktivitas Lahan Gambut
Kepemilikan Lahan
Mencegah Konflik sosial
Kemitraan
Manajemen Produksi Tanaman Sawit
Harga TBS
Pemberdayaan Masyarakat
Kelompok Tani
Kredit Usaha Tani
Sarana Produksi
Industri Pengolahan
Standarisasi Mutu Sawit
Tingkat Pendidikan
Lembaga Keuangan Mikro
Lahan Gambut Keberlanjutan
Gambar 29. Bagan interaksi antar atribut kunci dalam pengelolaan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit.
130
5.6.6. Analisis Monte Carlo Analisi Monte Carlo dilakukan untuk menilai dimensi ketidakpastian dalam MDS. Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 % untuk masing-masing dimensi tidak banyak perbedaan (selisihnya relatif kecil).
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa simulasi
menggunakan Rap-Insus-Landmag (MDS) memiliki tingkat kepercayaan tinggi. Perbedaan atau selisih nilai indeks keberlanjutan antara MDS dan Monte Carlo, disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Perbedaan indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai dan transisi dengan analisis Monte Carlo. No .
Dimensi
Indeks Keberlanjutan MDS Montecarlo Selisih B C B C B C
1
Ekologi
48.43
46.60
49.02
46.61
0,59
0,01
2
Ekonomi
68.62
64.07
68.06
63.08
0,56
0,99
3
Sosial
55.05
54.47
55.35
54.26
0,30
0,21
4
Infrastruktur dan Teknologi
50.78
49.64
50.61
49.24
0,17
0,40
56.99
49.72
55.34
0,61
1,65
5 Hukum dan Kelembagaan 50.33 Keterangan B : Fisiografi lahan gambut pantai C : Fisiografi lahan gambut transisi
Perbedaan atau selisih antara indeks keberlanjutan MDS dan Monte Carlo relatif kecil. Pada lahan gambut pantai menunjukkan kisaran selisih nilai 0,30 – 0,17, sedangkan pada lahan gambut transisi menunjukkan kisaran selisih nilai 0,01 – 1,65 (Tabel 29). Hal ini menunjukkan bahwa Rap-Insus-Landmag yang menggunakan beberapa atribut mempunyai beberapa pengertian antara lain : (1) kesalahan relatif kecil dalam pemberian skoring dalam setiap atribut; (2) relatif rendah kesalahan variasi pemberian skoring karena perbedaan opini; (3) stabilitas MDS tinggi; (4) kesalahan dalam memasukkan data atau data hilang dapat dihindari; (5) nilai S-stress yang tinggi dapat dihindari; (6) sistem yang dikaji mempunyai tingkat kepercayaan tinggi; (7) Rap-Insus-Landmag cukup baik sebagai salah satu alat evaluasi tingkat keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti.
131
Hasil Rap-Insus-Landmag menunjukkan bahwa setiap atribut cukup akurat. Indeks keberlanjutan pada perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai mempunyai nilai stress yang berkisar antara 0,1333 – 0,1486 dan nilai determinasi (R2) antara 0,948 – 0,954, seperti ditunjukkan pada Tabel 29. Tabel 29. Indeks keberlanjutan, nilai Stress dan R2 perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai. No
Dimensi
Nilai Indeks
Kategori
Stress
R2
1
Ekologi
48.43
Kurang Berkelanjutan
0.1486
0.948
2
Ekonomi
68.62
Cukup Berkelanjutan
0.1341
0.954
3
Sosial
55.65
Cukup Berkelanjutan
0.1333
0.950
4
Infrastruktur dan Teknologi
50.78
Cukup Berkelanjutan
0.1484
0.948
5
Hukum dan Kelembagaan
50.33
Cukup Berkelanjutan
0.1437
0.950
Indeks keberlanjutan pada perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut transisi mempunyai nilai stress yang berkisar antara 0,1393 – 0,1467 dan nilai determinasi (R2) antara 0,941 – 0,954 (Tabel 30). Berdasarkan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 dan nilai determinasi (R2) mendekati 1,0 menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk model sosial apabila nilai determinasi (R2) lebih dari 80 % sudah sangat baik. Tabel 30. Indeks keberlanjutan, nilai Stress dan R2 perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut transisi. No
Dimensi
Nilai Indeks
Kategori
Stress
R2
1
Ekologi
46.60
Kurang Berkelanjutan
0.1416
0.954
2
Ekonomi
64.07
Cukup Berkelanjutan
0.1393
0.954
3
Sosial
54.47
Cukup Berkelanjutan
0.1427
0.941
4
Infrastruktur dan Teknologi
49.64
Kurang Berkelanjutan
0.1458
0.950
5
Hukum dan Kelembagaan
56.99
Cukup Berkelanjutan
0.1467
0.948
5.7. Analisis Faktor Penentu Keberlanjutan Lahan Gambut Penyusunan strategi pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dilakukan dengan menggunakan analisis prospektif. Analisis prospektif digunakan untuk mendapatkan skenario pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di masa yang akan datang. Hal ini dilakukan dengan cara menentukan faktor-faktor penentu yang berpengaruh terhadap kinerja sistem.
132
Untuk mendapatkan faktor dominan dalam menyusun model dilakukan dengan tahapan antara lain : (1) menentukan faktor kunci yang diperoleh dari atribut-atribut yang sensitif mempengaruhi indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut (existing condition); (2) mengidentifikasi faktor kunci di masa depan yang diperoleh dari analisis kebutuhan (need analysis) dari semua pihak yang berkepentingan; (3) melakukan kombinasi tahap satu dan dua untuk memperoleh faktor dominan gabungan antara kondisi saat ini (existing condition) dan analisis kebutuhan (need analysis).
5.7.1. Indeks Keberlanjutan Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dengan Rap-Insus-Landmag, diperoleh atribut-atribut yang sensitif atau memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan. Pada fisiografi lahan gambut pantai menunjukkan bahwa pada dimensi ekologi yang menjadi faktor pengungkit kondisi saat ini adalah : (1) pengaturan tata air dan lahan; (2) penggunaan amelioran/pemupukan; (3) kebakaran lahan. ekonomi
Pada dimensi
yang menjadi faktor pengungkit kondisi saat ini adalah : (1)
pemasaran TBS sawit; (2) kredit usaha tani; (3) jumlah penduduk miskin; (4) status kepemilikan lahan. Pada dimensi sosial yang menjadi faktor pengungkit kondisi saat ini adalah : (1) peluang kemitraan; (2) intensitas konflik sosial; (3) pemberdayaan masyarakat; (4) tingkat pendidikan. Pada dimensi infrastruktur dan teknologi yang menjadi faktor pengungkit kondisi saat ini adalah : (1) dukungan sarana dan prasarana; (2) standarisasi mutu produk sawit; (3) industri pengolahan sawit. Pada dimensi hukum dan kelembagaan yang menjadi faktor pengungkit kondisi saat ini adalah : (1) interaksi antar lembaga; (2) keberadaan lembaga keuangan mikro; (3) ketersedian lembaga kelompok tani. Faktor-faktor pengungkit tersebut kemudian dianalisis untuk menentukan faktor kunci yang mempengaruhi strategi pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut. Hasil analisis prospektif faktor penentu pada pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut pantai dipaparkan pada Gambar 30.
133
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji
2.20 2.00 1.80 Pengaturan tata air
Pemasaran TBS Sawit
Kredit usaha tani
1.60
Pengaruh
1.40
IV
Kebakaran lahan
III
Penggunaan amelioran/pemupukan
1.20
Pemberdayaan masyarakat
1.00 Tingkat Pendidikan
I 0.80
Peluang Kemitraan
II Kemiskinan
Konflik lahan
0.60
Sarana dan prasarana
0.40
Industri pengolahan sawit Status kepemilikan lahan Mutu produk sawit
0.20 Lembaga keuangan mikro
-
Interaksi antar lembaga
-
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
Ketergantungan
Gambar 30. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis keberlanjutan pada lahan gambut pantai. Hasil analisis prospektif menunjukkan bahwa dari 17 atribut yang sensitif tersebut diperoleh 6 faktor kunci (Gambar 30) antara lain : (1) pengaturan tata air dan lahan; (2) kebakaran lahan; (3) penggunaan amelioran/pemupukan; (4) pemasaran TBS sawit; (5) kredit usaha tani; (6) pemberdayaan masyarakat. Atribut kunci yang memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan pada lahan gambut pantai pada dimensi ekologi adalah : (1) pengaturan tata air dan lahan; (2) penggunaan amelioran/pemupukan; (3) kebakaran lahan; (4) manajemen produksi tanaman. Pada dimensi ekonomi adalah : (1) pemasaran TBS sawit; (2) kredit usaha tani; (3) status kepemilikan lahan; (4) harga TBS sawit. Pada dimensi sosial adalah : (1) peluang kemitraan; (2) intensitas konflik sosial; (3) pemberdayaan masyarakat. Pada dimensi infrastruktur dan teknologi
adalah : (1) dukungan sarana dan prasarana; (2)
standarisasi mutu produk sawit; (3) industri pengolahan sawit. Pada dimensi hukum dan kelembagaan adalah : (1) interaksi antar lembaga; (2) keberadaan lembaga keuangan mikro; (3) ketersedian lembaga kelompok tani. Hasil analisis prospektif faktor penentu pada pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut transisi dipaparkan pada Gambar 31.
134
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji
2.20 2.00 1.80
Pengaturan tata air Produktifitas Lahan
Pemasaran TBS Sawit
1.60
Pengaruh
1.40
IV
III
Kebakaran lahan
Penggunaan amelioran/pemupukan
1.20
Peluang Kemitraan
1.00
II
I
Konflik lahan
0.80
Kelompok tani
Harga TBS Sawit
Kepemilikan lahan
0.60
Kredit usaha tani Pemberdayaan masyarakat
Standarisasi mutu produk sawit
0.40
Sarana dan prasarana
Penduduk miskin
0.20 Industri pengolahan sawit
-
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
Ketergantungan
Gambar 31. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis keberlanjutan pada lahan gambut transisi. Hasil analisis prospektif menunjukkan bahwa dari 18 atribut yang sensitif tersebut diperoleh 6 faktor kunci (Gambar 30) antara lain : (1) pengaturan tata air dan lahan; (2) manajemen produksi tanaman sawit; (3) kebakaran lahan; (4) penggunaan amelioran/pemupukan; (5) pemasaran TBS sawit; (6) peluang kemitraan.
5.7.2. Kebutuhan Stakeholders Hasil wawancara dan survei lapangan menunjukkan bahwa dalam menentukan model pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di masa yang akan datang, faktor-faktor penting yang harus diperhatikan antara lain : (1) penilaian usaha perkebunan (RSPO/ISPO); (2) struktur dan akses permodalan; (3) ketersediaan lahan; (4) pengadaan dan penyaluran sarana produksi; (5) industri pengolahan; (6) organisasi dan manajemen usaha tani; (7) kuantitas dan kualitas SDM; (8) konservasi tanah dan air; (9) pengendalian hama; (10) pengelolaan sesuai peraturan; (11) kerjasama antar stakeholders perkebunan.
135
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji
2.20 2.00 Kerjasama antar steakholder perkebunan sawit
1.80
Pengadaan dan penyaluran saprodi Industri Pengolahan
1.60 Struktur dan akses permodalan
Pengaruh
1.40
IV
1.20
III
Konservasi tanah dan air
1.00
II
I 0.80
Pengelolaan sesuai peraturan Pengendalian hama
0.60
Organisasi dan manajemen usaha tani
0.40
Ketersediaan lahan
Penilaian RSPO/ISPO
0.20 Kuantitas dan kualitas SDM.
-
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
Ketergantungan
Gambar 32. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis kebutuhan stakeholders. Berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan stakeholders diperoleh 5 faktor kunci yang menjadi penentu pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut. Hasil analisis prospektif menunjukkan bahwa faktor-faktor kunci yang perlu diperhatikan (Gambar 32) di masa yang akan datang adalah : (1) kerjasama antar stakeholders perkebunan sawit; (2) industri pengolahan; (3) struktur dan akses permodalan; (4) ketersediaan lahan; (5) pengadaan dan penyaluran sarana produksi. 5.8. Faktor Kunci Keberlanjutan Pengelolaan Lahan Gambut Skenario dari strategi pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut diperoleh berdasarkan faktor kunci keberlanjutan hasil analisis dengan Rap-Insus-Landmag yang menggambar kondisi saat ini (eksisting) dan analisis kebutuhan stakeholders yang menggambarkan kondisi yang diharapkan pada masa yang akan datang. Faktor-faktor kunci tersebut diperoleh berdasarkan integrasi (penggabungan) antara analisis keberlanjutan dan analisis kebutuhan stakeholders. Hasil analisi gabungan berdasarkan tingkat kepentingan antara analisis keberlanjutan dan analisis kebutuhan diperoleh 13 faktor kunci yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap kerja sistem yaitu 8 faktor kunci dari analisis keberlanjutan dan 5 faktor kunci hasil analisis kebutuhan stakeholders. Faktor
136
atau atribut dari kedua hasil analisis yang mempunyai kesamaan digabung, sehingga diperoleh 13 faktor kunci. Selanjutnya dilakukan analisis prospektif untuk memperoleh atau menentukan faktor yang paling dominan, seperti dipaparkan pada Tabel 31. Tabel 31. Gabungan faktor-faktor kunci yang mempunyai pengaruh dominan. Faktor Kunci Analisis Keberlanjutan Analisis Kebutuhan Stakeholders Pengaturan tata air dan lahan Penggunaan amelioran/pemupukan Kebakaran lahan Manajemen produksi tanaman sawit Pemasaran TBS Sawit Kredit usaha tani Pemberdayaan Masyarakat Peluang Kemitraan Kerjasama antar stakeholders Industri pengolahan Struktur dan akses permodalan Konservasi tanah dan air Pengadaan dan penyaluran saprodi
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Hasil analisis gabungan diperoleh 6 faktor dominan atau utama (Gambar 33) yaitu : (1) pengaturan tata lahan dan air; (2) pemberdayaan masyarakat; (3) kerjasama antar stakeholders; (4) produktivitas tanaman; (5) industri pengolahan; (6) struktur dan akses permodalan. Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengar uh pada Sistem yang Dikaji
2.20 2.00 1.80
Industri Pengolahan
1.60 1.40
Pengaruh
Produktifitas lahan
Pengaturan tata air
IV
III
Pemberdayaan masyarakat
Struktur dan akses permodalan
1.20
Kerjasama antar steakholder
1.00
II
I 0.80 Kebakaran lahan
Kredit usaha tani
0.60
Ketersediaan lahan
Pemasaran TBS Sawit
Penggunaan amelioran/pemupukan
0.40
Peluang Kemitraan
0.20 -
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
Ketergantungan
Gambar 33. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis gabungan MDS dan kebutuhan stakeholders.
137
Ditemukan 6 faktor dominan yang mempengaruhi pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdayaa lokal pada perkebunan kelapa sawit. Model pengelolaan lahan gambut (G) pada perkebunan kelapa sawit merupakan interaksi antara pengaturan tata air dan lahan (a), pemberdayaan masyarakat (p), kerjasama antar stakeholders (s),
manajemen produksi tanaman sawit (t), industri
pengolahan (i), struktur dan akses permodalan (m), yang dapat digambarkan dalam hubungan fungsi sebagai berikut : G = f (a, p, s, t, i, m) Untuk mewujudkan fungsi tersebut dilakukan dengan cara memperbaiki dan meningkatkan pengelolaan lahan gambut pada perkebunan kelapa sawit. Perbaikan dan peningkatan pengelolaan dari masing-masing faktor dominan dilakukan dengan strategi sebagai berikut : (a) Pengaturan tata air dan lahan Pengaturan tata air (water table) merupakan faktor kunci dalam pengelolaan lahan gambut di perkebunan kelapa sawit. Produktivitas perkebunan kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh kondisi muka air tanah. Kondisi ideal muka air tanah pada lahan gambut harus dipertahankan pada kisaran 30 – 80 cm. Muka air tanah yang terlalu dangkal < 30 cm atau > 80 cm akan menyebabkan pertumbuhan kelapa sawit akan terganggu. Muka air tanah yang terlalu dalam menyebabkan terjadinya laju subsidensi yang semakin cepat dan kejadian kering tidak balik (irreversible drying) serta potensi kebakaran lahan gambut semakin besar. Bila hal ini terjadi lahan gambut akan mengalami degradasi (kerusakan) dan produktivitas perkebunan akan semakin menurun. Tata lahan dilakukan dengan memperhatikan karakteristik biofisik lahan gambut sesuai dengan lokasi. Pengaturan tata lahan dilakukan berdasarkan kedalaman gambut, lapisan sub stratum bukan pasir kuarsa, tingkat dekomposisi, bukan daerah kubah gambut (peatdome). Selain itu juga memperhatikan pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal (local wisdom) dan lahan gambut dengan nilai konservasi tinggi. Untuk mengurangi risiko dan dampak lingkungan, pemanfaatan lahan gambut
harus
dilakukan
secara
sangat
hati-hati
dan
selektif
dengan
138
memperhatikan beberapa persyaratan sebagai berikut: (1) tidak berada dekat kubah gambut dan hulu sungai; (2) sistem drainase dilakukan secara tepat dan hati-hati, sesuai dengan dinamika permukaan air tanah; (3) memperhatikan rambu-rambu dampak lingkungan. Faktor utama keberhasilan pengembangan pertanian berkelanjutan pada lahan gambut adalah pengaturan tata lahan dan air (soil and water management) yang sesuai dengan karakteristik air di daerah tersebut, baik tata air makro maupun tata air mikro, karena sangat mempengaruhi laju subsiden, kering tak balik dan kebakaran lahan. Sedangkan Ritzema et al. (1998) menyatakan bahwa desain pengelolaan lahan gambut dilakukan dengan mengkombinasikan pengaturan drainase dengan aspek konservasi. Saluran drainase sebaiknya tidak terlalu dalam dan lebar, tetapi disesuaikan dengan kondisi dan dinamika air atau tipe luapan agar tidak terjadi drainase yang berlebihan. Pada tipe luapan A dan B, saluran tersier bisa dibuat lebih lebar dan dalam dengan pemasangan pintu ayun otomatis (flatgate), baik di bagian inlet maupun outlet. Pada lahan dengan tipe luapan C atau D harus digunakan pintu tabat yang dapat mengatur secara otomatis ketinggian air di lahan sesuai kebutuhan. Desain blok kebun dan saluran drainase harus mempertahankan permukaan air sekitar 60 cm dari permukaan tanah. Berdasarkan ukuran saluran dibedakan antara lain : (1) saluran primer, dengan ukuran bagian atas 4,8 meter, bawah 2,4 meter dan kedalaman 1,8 meter, (2) saluran sekunder dengan ukuran bagian atas 2,4 meter, bawah 1,8 meter dan kedalaman 1,2 meter, (3) saluran tersier dengan ukuran bagian atas 1,2 meter, bawah 0,9 meter dan kedalaman 0,6 meter (Sunarko, 2009). Pengelolaan air di tingkat lahan usaha tani dengan pengatutan tata air mikro (TAM) merupakan faktor kunci dalam menentukan keberhasilan pengembangan lahan rawa gambut. Tujuannya mencakup pelayanan pemenuhan kebutuhan air tanaman maupun drainase dan kebutuhan pencucian tanah. Termasuk pula diantaranya adalah untuk memacu proses pematangan tanah, perbaikan atau pelindian (leaching) terhadap asam dan bahan-bahan beracun serta untuk pengembangan lahan dalam jangka panjang.
139
Pertumbuhan tanaman yang kurang berhasil sering diakibatkan oleh pengaruh yang ditimbulkan dari air yang tergenang di lahan dalam waktu yang lama akibat kurang memadainya sarana untuk proses pelindian maupun tidak adanya penyegaran air secara periodik. Bagi tanah yang kaya akan kandungan bahan organik kondisi yang demikian itu akan mengarah kepada kondisi anaerobik, keracunan tanah dan rendahnya kualitas kandungan bahan organik sehingga kurang sesuai untuk pertumbuhan tanaman yang produktif (Noor, 2011). Pada masa yang akan datang strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor dominan pengaturan tata air (water management) dan lahan gambut di perkebunan kelapa sawit sebagai berikut : (a) pembuatan saluran tata air mikro di areal perkebunan; (b) pembuatan saluran tata air mikro di areal perkebunan dan pembuatan pintu air; (c) pembuatan saluran tata air mikro di areal perkebunan dan pembuatan pintu air dengan mempertahankan kedalaman muka air tanah 50 -80 cm. (b) Pemberdayaan masyarakat Pemberdayaan masyarakat di perkebunan kelapa sawit merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan pengelolaan lahan gambut. Karakteristik lahan gambut yang mudah mengalami degradasi dan tingkat kesuburan lahan rendah menjadi faktor pembatas bagi keberhasilan pembangunan perkebunan kelapa sawit rakyat. Faktor pembatas lainnya adalah penguasaan teknologi dan terbatasnya kemampuan pekebun dalam pengolahan lahan. Untuk itu diperlukan strategi pemberdayaan pekebun kelapa sawit untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pemberdayaan masyarakat merupakan prasyarat yang harus dilakukan agar pembangunan bidang ekonomi dapat dilaksanakan dengan baik. Pembangunan dengan strategi pemberdayaan merupakan alternatif pendekatan pembangunan yang tidak hanya diarahkan untuk mencapai pertumbuhan semata. Selain itu juga dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dengan azas kerakyatan (Kartasasmita, 1996; Hikmat, 2004 diacu dalam Jatmika, 2007). Pemberdayaan ekonomi rakyat harus menjadi perhatian utama dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan sebagian besar masyarakat masih mengandalkan sektor pertanian (perkebunan) dan sektor ini juga
140
memberikan kontribusi yang besar pada perekonomian negara. Pemberdayaan ekonomi rakyat berarti membangun ekonomi pertanian dengan lebih baik. Pemberdayaan dapat dilakukan melalui kegiatan kemitraan antara perkebunan besar negara/swasta yang mempunyai kemampuan pengelolaan perkebunan yang baik. Strategi yang mengkombinasikan mengikutsertakan pekebun dan mendorong pengembangan kemitraan merupakan prioritas untuk mewujudkan pemberdayaan masyarakat. Mekanisme pemberdayaan dapat dilakukan dengan cara pelatihan dan pendampingan masyarakat pekebun. Pelatihan untuk pekebun dalam rangka pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dapat dilakukan dengan beberapa tahapan antara lain : (1) pelatihan pekebun dalam rangka untuk penumbuhan kebersamaan; (2) pelatihan pekebun dalam rangka untuk penguatan kelembagaan; (3) pelatihan pekebun dalam rangka untuk pengembangan kelembagaan dan usaha. Sasaran pelatihan yang dilakukan dapat seluruh pekebun, anggota kelompok tani, pengurus kelompok tani atau gabungan kelompok tani (Jatmika, 2007). Pada masa yang akan datang strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor dominan pemberdayaan perkebunan rakyat pada lahan gambut sebagai berikut : (a) membentuk kelembagaan kelompok tani; (b) membentuk kelembagaan kelompok tani dan wadah koperasi; (c) membentuk kelembagaan kelompok tani dan wadah koperasi dengan membangun kemitraan dengan investor. (c) Kerjasama antar stakeholders Keberhasilan pengelolaan perkebunan kelapa sawit sangat ditentukan oleh kerjasama antar stakeholders, hal ini disebabkan oleh karakteristik perkebunan yang bersifat lintas sektoral. Pola pengelolaan lahan akan mempengaruhi kerjasama antar stakeholders tersebut. Pengelolaan perkebunan kelapa sawit dapat dikelompokkan dalam 3 aspek antara lain : (1) aspek kelembagaan; (2) aspek produksi; (3) aspek pengolahan hasil panen. Pola pengembangan yang dilakukan dapat dikelompokkan dalam 2 bentuk yakni berbentuk kerjasama dan swadaya. Kelembagaan menyangkut aspek hubungan kerja, sumber dana, sistem pembayaran, alokasi lahan dan keagrarian, keorganisasian. Lembaga primer yang terlibat yaitu perusahaan dan pekebun yang dapat berupa individu, kelompok atau
141
koperasi. Pihak terkait yang berkepentingan dengan pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti antara lain : Dinas Perkebunan, Bapan Pertanahan Nasional, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Perbankan, Perusahaan Besar Swasta/Negara (investor), Badan Litbang, Perguruan Tinggi, Lembaga Adat, Lembaga Swadaya Masyarakat, Koperasi Sawit dan Kelompok/Gabungan Kelompok (Gapoktan) pekebun sawit. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi dan pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan pemberian kredit skim Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA). Kredit ini difokuskan untuk membiayai kegiatan yang produktif dari anggota koperasi primer dalam rangka menunjang peningkatan usaha dan pendapatan pekebun. Selain itu, juga dikembangkan pada perkebunan rakyat, dimana aspek kelembagaan, produksi dan pengolahan hasil dilakukan oleh masyarakat berdasarkan kemampuan sumberdaya yang dimiliki oleh pekebun dan didukung oleh pemerintah. Program pembangunan perkebunan kelapa sawit selama ini hanya terbatas untuk perkebunan rakyat (plasma) dan perkebunan perusahaan (inti). Kepemilikan pekebun hanya sebatas lahan yang telah ditentukan dalam program plasma, sementara pabrik pengolah tandan buah segar (TBS) hanya dimiliki oleh perusahaan inti. Pengembangan kemitraan kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan dengan model dimana pekebun memiliki kebun kelapa sawit dan pemilikan saham pada pabrik kelapa sawit (PKS). Pekebun membeli paket melalui koperasi yang terdiri dari kebun kelapa sawit dan saham PKS (Syahza, 2010). Pada masa yang akan datang strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor dominan kerjasama antar stakeholders di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut sebagai berikut : (a) pengelolaan perkebunan sawit rakyat dilakukan dengan kerjasama antara pekebun (poktan) dengan pemerintah; (b) pengelolaan perkebunan sawit rakyat dilakukan kerjasama antara pekebun (poktan), pemerintah dan investor; (c) pengelolaan perkebunan sawit rakyat dilakukan kerjasama antara pekebun (poktan), pemerintah, investor dan bank.
142
(d) Manajemen produktsi tanaman kelapa sawit Produktivitas perkebunan kelapa sawit perkebunan rakyat lebih rendah (12-16 ton TBS ha-1 th-1) dibandingkan dengan pola perkebunan inti rakyat (PIR) atau perkebunan besar negara/swasta
(18-24 ton TBS ha-1 th-1). Kondisi ini
disebabkan oleh pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut yang dilakukan masyarakat belum menerapkan teknologi pengelolaan lahan yang tepat seperti pengaturan tata air, pemupukan, pemeliharaan dan pemanenan. Sunarko (2009) menyatakan bahwa potensi produksi tanaman sawit ditentukan oleh jenis tanaman kelapa sawit dan faktor pemeliharaan. Produktivitas dipengaruhi oleh umur tanaman kelapa sawit, dimana tanaman > 15 tahun memiliki tandan yang lebih berat dibandingkan dengan tanaman yang lebih muda. Tingkat kesuburan lahan, curah hujan dan gangguan hama dan penyakit juga mempengaruhi produktivitas. Pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dihadapkan pada karakteristik gambut yang secara fisik mempunyai kandungan air tinggi (>50%), kapasitas serat dan porositas lahan gambut tinggi (20 kali berat kering) dengan drainase buruk. Karakteristik kimia ditandai oleh kandungan hara P, K, Cu, B dan Zn rendah serta pH rendah (3,5) dengan C/N tinggi. Dengan demikian diperlukan pengelolaan lahan gambut yang baik untuk mengatasi berbagai faktor pembatas tersebut. Sehingga produktivitas perkebunan kelapa sawit yang dihasilkan menjadi tinggi. Manajemen produksi menjadi faktor kunci peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Hal ini dilakukan dengan melakukan pembuatan drainase dan tata lahan yang baik, penanaman, pemeliharaan dan panen sesuai dengan teknologi yang diperlukan untuk peningkatan produktivitas perkebunan sawit. Pada masa yang akan datang strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor dominan produktivitas di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut sebagai berikut : (a) manajemen produksi tanaman kelapa sawit dilakukan secara minimal; (b) manajemen produksi tanaman kelapa sawit dilakukan secara optimal (c) manajemen produksi tanaman kelapa sawit dilakukan secara optimal.
143
(e) Industri pengolahan Keberadaan industri pengolahan sangat penting dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Karakteristik buah sawit yang mudah mengalami kerusakan membutuhkan teknologi penanganan yang baik. Kualitas Tandan Buah Segar (TBS) sawit akan semakin menurun bila tidak dilakukan pengolahan setelah panen dilakukan. Kadar rendemen dan kualitas minyak sawit yang dihasilkan akan semakin menurun, sehingga harus diupayakan untuk melakukan proses pengolahan menjadi Crude Palm Oil (CPO). Counter et al. (1997) diacu dalam Jatmika (2007) menyebutkan bahwa mutu TBS dipengaruhi oleh tingkat kematangan dan kebersihan. Kedua aspek sangat mempengaruhi perolehan
minyak
sawit
yang
dapat
diekstraksi
yang
pada
akhirnya
mempengaruhi tingkat pendapatan. Terdapat perbedaan kepentingan antara pekebun yang menghasilkan TBS dengan pihak Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang akan mengolah TBS menjadi CPO dan inti sawit (carnel). Harga TBS merupakan faktor utama yang menjadi perbedaan, dimana pekebun menghendaki harga yang tinggi dari TBS yang dihasilkan. Sedangkan pihak PKS menginginkan harga TBS yang murah untuk memperoleh keuntungan yang maksimal. Keberadaan PKS disekitar perkebunan kelapa sawit akan mempengaruhi harga TBS. Jaminan ketersediaan bahan baku secara kualitas, kuantitas maupun kontinuitas merupakan suatu keharusan untuk mencapai suatu agroindustri kelapa sawit. Keterkaitan antara sumber penghasil bahan baku dan agroindustri kelapa sawit harus diintegrasikan ke dalam suatu kepemilikan. Konsep kemitraan ini menekankan kepada azas kepemilikan bersama oleh pekebun baik usahatani maupun pabrik pengolahan, dimana pengelolaannya dilakukan oleh koperasi pekebun dan investor yang difasilitasi oleh pemerintah. Pengembangan sektor pertanian (perkebunan) harus diarahkan dalam rangka menerapkan konsep agribisnis. Pembangunan perkebunan kelapa sawit hendaknya diikuti oleh pembangunan industri pengolahan. Kondisi ini akan menciptakan
keterkaitan
kebelakang (backward
linkage)
dengan
sektor
perkebunan atau sektor primer sedangkan keterkaitan kedepan (forward lingkage) harus memperhatikan pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah dan
144
pemasaran yang baik sehingga produk yang dihasilkan mempunyai nilai tambah yang besar. Pengembangan pola agroindustri kelapa sawit secara finansial layak untuk diusahakan. Integrasi struktural pabrik dan kebun kelapa sawit rakyat dapat meningkatkan pendapatan masyarakat (Hasbi, 2001). Integrasi struktur pabrik dan pekebun dalam usaha perkebunan kelapa sawit rakyat melalui kemitraan usaha pola agroindustri kelapa sawit skala kecil. Hal ini dilakukan dengan membangun koperasi pekebun yang anggotanya secara kolektif mempunyai luas kebun 800 ha dengan pendirian PKS skala 5 ton TBS jam-1. Pada masa yang akan datang strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor dominan industri pengolahan kelapa sawit (PKS) pada perkebunan di lahan gambut sebagai berikut : (a) PKS tersedia disekitar perkebunan dengan akses yang terbatas (melalui pedagang pengumpul); (b) PKS tersedia disekitar perkebunan dengan akses langsung melalui KUD; (c) PKS dengan kepemilikan bersama melalui pola kemitraan KUD, investor, bank dan pemerintah. (f) Struktur dan akses permodalan Pola perkebunan rakyat mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, hal ini tidak terlepas dari keunggulan tanaman kelapa sawit sebagai tanaman industri. Dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat ditemukan beberapa kendala, terutama dalam pengembangan sistem perkebunan berbasis agribisnis dan agroindustri. Syahza (2010) menyebutkan beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan perkebunan khususnya perkebunan rakyat adalah lemahnya struktur permodalan dan akses terhadap sumber permodalan. Fakor lain dapat disebabkan oleh ketersediaan lahan, tingkat kesuburan tanah, pengadaan dan penyaluran sarana produksi, terbatasnya kemampuan dalam penguasaan teknologi, lemahnya organisasi dan manajemen usaha tani dan
kurangnya
kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia untuk sektor agribisnis. Lemahnya akses permodalan pada pekebun pola perkebunan rakyat kepada
lembaga
keuangan (bank)
disebabkan
oleh
belum
tersedianya
kelembagaan pekebun. Walaupun tersedia kelembagaan pekebun kelapa sawit umumnya masih sangat lemah. Institusi kelompok tani dan gabungan kelompok
145
tani (gapoktan) serta koperasi yang diharapkan menjadi fasilitator belum berfungsi sebagaimana mestinya. Kepemilikan PKS oleh investor dan pekebun dimungkinkan dengan adanya pembiayaan yang bersumber dari dana pembiayaan usaha yang dapat terjangkau dan murah melalui adanya mekanisme subsidi bunga oleh pemerintah daerah (APBD) atau pemerintah pusat (APBN). Hal ini didukung oleh ketersedian lembaga keuangan pada skala mikro (koperasi) kerjasama investor, pekebun, bank dan pemerintah Pada masa yang akan datang strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki faktor dominan struktur dan akses permodalan pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut sebagai berikut : (a) pembiayaan melalui KUD yang difasilitasi pemerintah; (b) pembiayaan melalui KUD yang difasilitasi pemerintah dan perbankan; (c) pembiayaan melalui KUD yang difasilitasi pemerintah, perbankan dan investor.
5.9. Skenario Model Pengelolaan Lahan Gambut. Strategi pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dilakukan dengan pendekatakan analisis keberlanjutan kondisi eksisting dan analisis
kebutuhan
stakeholders.
Untuk
mengetahui
indeks
dan
status
keberlanjutan digunakan metode multi dimensional scalling (MDS) yang disebut dengan Rap-Insus-Landmag. Indikator yang dianalisis mencakup 5 dimensi keberlanjutan yakni ekologi, ekonomi, sosial, infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan. Analisis dengan Rap-Insus-Landmag diperoleh indeks dan status keberlanjutan pada masing-masing dimensi serta faktor-faktor pengungkit atau atribut kunci. Hasil analisis tersebut kemudian dilanjutkan dengan analisis prospektif untuk menentukan faktor kunci atau dominan. Faktor-faktor tersebut akan memberikan pengaruh yang besar terhadap sistem yang akan dibangun dalam upaya untuk pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut secara berkelanjutan.
146
Analisis kebutuhan stakeholders dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor berdasarkan preferensi kebutuhan pada masa yang akan datang. Faktor-faktor atau atribut-atribut kebutuhan stakeholders tersebut kemudian dilakukan analisis prospektif untuk memperoleh faktor-faktor kunci atau dominan terhadap pencapaian pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut. Hasil analisis keberlanjutan di integrasikan dengan analisis kebutuhan stakeholders menggunakan analisis prospektif. Hasil yang diperoleh digunakan untuk menyusun strategi pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut. Hasil integrasi akan diperoleh faktor dominan yang akan digunakan sebagai dasar penyusunan skenario strategi pengelolaan perkebunan kelapa sawit rakyat pada lahan gambut. Skenario merupakan gambaran kondisi masa depan dari setiap dimensi dan setiap faktor kunci keberlanjutan. Skenario yang ditetapkan kemudian disimulasikan untuk menilai indeks dan status keberlanjutan pada masa yang akan datang dengan menggunakan analisis MDS. Perubahan kondisi (state) masingmasing faktor dominan di masa yang akan datang memiliki sejumlah kemungkinan yang berbeda, seperti yang dipaparkan pada Tabel 32. Tabel 32. Uraian masing-masing skenario strategi pengelolaan lahan gambut. Skenario I
II
III
Uraian (keterangan) Melakukan perbaikan pada pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dengan cara peningkatan skoring pada beberapa atribut sensitif pada dimensi yang tidak berkelanjutan secara minimal Melakukan perbaikan pada pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dengan cara peningkatan skoring pada beberapa atribut sensitif pada seluruh dimensi secara optimal Melakukan perbaikan pada pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dengan cara peningkatan skoring pada seluruh atribut sensitif secara maksimal
Secara operasional penerapan strategi pengelolaan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit dilakukan seperti dipaparkan pada Tabel 33.
147
Tabel 33. Penerapan model pengelolaan lahan gambut pada perkebunan kelapa sawit rakyat. Faktor Dominan
Pengelolaan Lahan Gambut
Pengaturan tata air dan lahan
Pada perkebunan rakyat pengelolaan air pada skala mikro, yaitu yang berada di tingkat pekebun yang meliputi pembuatan saluran keliling dan pembuatan pintu air (tabat). Biaya operasional yang diperlukan untuk lahan gambut Rp. 4.045.013 ha-1 (standar biaya pembukaan lahan gambut dan pembuatan saluran pada PBS)
Program pemberdayaan
Pengembangan agroindustri kelapa sawit dengan strategi pemberdayaan dilakukan dengan membentuk kelembagaan kerjasama jangka panjang antara investor dengan pekebun yang berhimpun dalam koperasi. Pola ini mengimplementasikan strategi pemberdayaan pekebun agar dapat ikut memiliki PKS, sehingga pekebun dapat menikmati keuntungan dari kegiatan off farm yang berlokasi di sekitar kebun.
Kerjasama antar stakeholders
Pembentukan kelembagaan lintas sektoral untuk mendukung kerjasama antar stakeholders, dapat dilakukan dengan membentuk “kelompok kerja” (pokja) yang difasilitasi oleh Dinas Perkebunan. Dalam kerangka pembentukan kemitraan usaha pola agroindustri kelapa sawit dibentuk kelembagaan dengan pelaku utama adalah (1) investor yang membangun pabrik dan kebun, (2) koperasi pekebun yang akan menerima alih usaha dari investor; (3) manajemen unit usaha yang mengadakan kontrak manajemen dengan koperasi pekebun untuk mengelola usaha perkebunan; (4) lembaga pembiayaan usaha (bank)
Manajemen tanaman sawit
produksi
Produktivitas tanaman yang tinggi dilakukan dengan pengelolaan tanaman meliputi pembibitan kelapa sawit, pengawetan tanah, penaman kacang kacangan, penanaman kelapa sawit dan pembuatan prasarana. Selanjutnya pemeliharaan TBM (1-3 tahun) meliputi pembuatan piringan & gawangan, pengendalian gulma, pemupukan tanaman, pengendalian hama dan penyakit, tunas pokok, kastrasi dan sanitasi, penyisipan dan konsolidasi pokok doyong, perawatan parit dan konservasi tanah dan perawatan prasarana. Biaya yang diperlukan pada manajemen produksi tanaman sebesar Rp. 14.236.143 ha-1. Total biaya yang diperlukan mulai perencanaan lahan sampai pemeliharaan TBM (3 tahun) sebesar Rp. 33.000.000 ha-1 .
Industri pengolahan
Integrasi struktur pabrik dan pekebun dalam usaha perkebunan kelapa sawit rakyat melalui kemitraan usaha pola agroindustri kelapa sawit. Hal ini dilakukan dengan membangun koperasi pekebun yang anggotanya secara kolektif mempunyai luas kebun 800 ha dengan pendirian PKS skala 5 ton TBS jam-1, estimasi biaya yang diperlukan sekitar Rp.10 milyar
Struktur dan akses permodalan
Kepemilikan PKS oleh investor dan pekebun dimungkinkan dengan adanya pembiayaan yang bersumber dari dana pembiayaan usaha yang dapat terjangkau dan murah melalui adanya mekanisme subsidi bunga oleh pemerintah daerah (APBD) atau pemerintah pusat (APBN). Hal ini didukung oleh ketersedian lembaga keuangan pada skala mikro (koperasi) kerjasama investor, pekebun, bank dan pemerintah
148
Perubahan kondisi yang akan datang terhadap faktor kunci pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dipaparkan pada Tabel 34. Tabel 34. Perubahan faktor-faktor dominan strategi pengelolaan lahan gambut pada perkebunan kelapa sawit rakyat. No.
Faktor Dominan
Keadaan pada masa yang akan datang A B C Saluran tata air Pembuatan Pembuatan mikro di areal saluran tata air saluran tata air perkebunan mikro di areal mikro di areal sangat terbatas perkebunan perkebunan dan pembuatan pintu air
1.
Pengaturan tata air dan lahan
2.
Pemberdayaan masyarakat
Kelembagaan kelompok tani tidak tersedia
Membentuk kelembagaan kelompok tani
Membentuk kelembagaan kelompok tani dan wadah koperasi
3.
Kerjasama antar stakeholders
Perkebunan sawit rakyat dilakukan tanpa kerjasama antar stakeholders
Pengelolaan perkebunan sawit rakyat dilakukan kerjasama antara pekebun (poktan) dengan pemerintah
4.
Manajemen produksi tanaman sawit
Manajemen produksi tanpa perencanaan penanaman, pemeliharaan dan panen
Manajemen produksi dengan perencanaan, penanaman, pemeliharaan dan panen dilakukan secara minimal
5.
Industri Pengolahan
PKS tersedia dengan akses terbatas
PKS tersedia di sekitar kebun dengan akses pedagang perantara
Pengelolaan perkebunan sawit rakyat dilakukan kerjasama antara pekebun (poktan), pemerintah dan investor Manajemen produksi dengan perencanaan, penanaman, pemeliharaan dan panen dilakukan secara optimal PKS tersedia di sekitar kebun dengan akses langsung melalui KUD
6.
Struktur dan akses permodalan
Pembiayaan murni swadaya pekebun
Pembiayaan melalui KUD difasilitasi pemerintah
Pembiayaan melalui KUD difasilitasi pemerintah dan bank
D Pembuatan saluran tata air mikro di areal perkebunan dan pembuatan pintu air dengan mempertahankan kedalaman muka air tanah 50 – 80 cm Membentuk kelembagaan kelompok tani dan wadah koperasi dengan membangun kemitraan dengan investor Pengelolaan perkebunan sawit rakyat dilakukan kerjasama antara pekebun (poktan), pemerintah, investor dan bank
Manajemen produksi dengan perencanaan, penanaman, pemeliharaan dan panen dilakukan secara maksimal
PKS dengan kepemilikan bersama melalui pola kemitraan KUD, investor bank dan pemerintah Pembiayaan melalui lembaga keuangan mikro dengan kemitraan pemerintah, bank dan investor
Keterangan : A = kondisi eksisting; B = skenario I; C = skenario II; D = skenario III. Skoring A = 0; B = 1; C = 2; D = 3
149
Model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti dilakukan berdasarkan atas rekomendasi yang disusun pada skenario I (minimal), II (optimal) dan III (maksimal). Pendekatan integratif faktor pengaturan tata air dan lahan (a), pemberdayaan masyarakat (p), kerjasama antar stakeholders (s), manajemen produksi tanaman sawit (t), industri pengolahan (i), struktur dan akses permodalan (m) dalam hubungan fungsi G = f (a, p, s, t, i, m) menjadi pertimbangan dalam penentuan pengelolaan lahan gambut. Jika pengaturan tata air dan lahan (a), manajemen produksi tanaman sawit (t) dan industri pengolahan (i) merupakan suatu konstanta (c), hal ini didasarkan atas asumsi bahwa ke tiga faktor merupakan variabel yang
bersifat tetap
(konstan) dan diperlukan dalam pengelolaan lahan gambut pada perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian formulasi pengelolaan lahan gambut adalah : 6
Gj = ∑ c p ij . sij . mij i=1
dimana :
i = 1,2,3,4,5,6 (fungsi ke i) j = 1, 2, 3 (skenario ke j)
maka formulasi pengelolaan lahan gambut dalam berbagai skenario adalah : G1 = c ( p1.1 s1.1 m1.1 + ... + p6.1 s6.1 m 6.1); skenario minimal G2 = c ( p1.2 s1.2 m1.2 + ... + p6.2 s6.2 m 6.2); skenario optimal G3 = c ( p1.3 s1.3 m1.3 + ... + p6.3 s6.3 m 6.3); skenario maksimal Implementasi model pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut berbasis sumberdaya lokal dilakukan untuk mencapai kondisi yang optimum dengan memperhatikan besarnya biaya yang
dibutuhkan seperti
tercantum pada Tabel 35. Tabel 35. Skenario strategi pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut berbasis sumberdaya lokal di Kabupaten Bengkalis-Meranti Kondisi eksisting
Susunan Atribut Faktor Dominan Skenario I (minimal) II (optimal) III (maksimal)
1A, 2A, 3A, 4A, 1B, 2B, 3A, 4B, 1C, 2C, 3B, 4C, 1D, 2D, 3D, 4D, 5A, 6A 5A, 6B 5B, 6C 5D, 6D
150
5.10. Rekomendasi Model Pengelolaan Lahan Gambut. Strategi implementasi model pengelolaan lahan gambut (G) pada perkebunan kelapa sawit dengan skenario I (minimal) dilakukan dengan interaksi antara pengaturan tata air dan lahan (a), pemberdayaan masyarakat (p), kerjasama antar stakeholders (s),
manajemen produksi tanaman sawit (t), industri
pengolahan (i), struktur dan akses permodalan (m), dengan hubungan fungsi G(1) = f (a, p, s, t, i, m). Pada skenario I pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dilakukan perbaikan melalui peningkatan skoring pada beberapa atribut sensitif pada dimensi yang tidak berkelanjutan. Implementasi strategi dengan skenario I meningkatkan indeks keberlanjutan antara 2,87 – 4,75 pada lahan gambut pantai dan 2,55 – 8,91 pada gambut transisi. Untuk nilai indeks keberlanjutan gabungan dari eksisting 55,92 meningkat menjadi 59,12 pada gambut pantai dan 58,57 menjadi 59,01 pada gambut transisi. Pada skenario II (optimal) upaya yang dilakukan adalah pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dilakukan perbaikan pada seluruh dimensi, dengan hubungan fungsi G(2) = f (a, p, s, t, i, m). Peningkatan nilai indeks keberlanjutan berkisar antara 6,75 – 18,50 pada lahan gambut pantai dan 10,41 – 17,50 pada gambut transisi. Untuk nilai indeks keberlanjutan gabungan dari eksisting 55,92 meningkat menjadi 66,04 pada gambut pantai dan 58,57 menjadi 66,70 pada gambut transisi. Pada skenario III (maksimal) upaya yang dilakukan adalah pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dilakukan perbaikan pada seluruh dimensi secara maksimal, dengan hubungan fungsi G(3) = f (a, p, s, t, i, m). Peningkatan nilai indeks keberlanjutan berkisar antara 11,76 – 32,48 pada lahan gambut pantai dan 14,19
– 28,89 pada gambut transisi. Untuk nilai indeks
keberlanjutan gabungan dari eksisting 55,92 meningkat menjadi 79,03 pada gambut pantai dan 58,57 menjadi 76,44 pada gambut transisi Berdasarkan hasil analisis MDS, laverege, kebutuhan (need analyis) dan prospektif dapat diformulasikan strategi pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti Provinsi Riau. Nilai indeks keberlanjutan pada masing-masing skenario selengkapnya tertera pada Tabel 36.
151
Tabel 36. Indeks keberlanjutan kondisi eksisting dan skenario I, II, III pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti. Tipe Fisiografi Lahan Gambut
Nilai Indeks Keberlanjutan Eksisting
Skenario I
Skenario II
Skenario III
Ekologi
49,14
53,89
60,06
81,62
Ekonomi
69,30
72,17
76,05
81,06
Sosial dan Budaya
52,32
55,43
61,69
74,56
Infrastruktur dan Teknologi Hukum dan Kelembagaan
51,15 50,33
54,87 53,52
69,34 68,83
76,80 71,52
Gabungan
55,92
59,12
66,04
79,03
Ekologi
49,14
55,51
59,22
75,49
Ekonomi
69,30
66,62
74,48
78,26
Sosial
52,32
58,22
65,16
79,11
Infrastruktur dan Teknologi
51,15
53,47
67,04
73,40
Hukum dan Kelembagaan
50,33
60,69
74,49
75,01
Gabungan
58,57
59,01
66,70
76,44
Gambut Pantai (Tipe B)
Gambut Transisi (Tipe C)
Tingkat keberlanjutan pengelolaan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit dapat ditingkatkan dari kondisi eksisting saat ini. Dengan melakukan perubahan pada atribut kunci (sensitif) pada setiap dimensi akan mampu meningkatkan nilai indeks keberlanjutan. Melalui strategi pengelolaan dengan penerapan skenario I, II dan III akan diperoleh suatu tingkat pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dari masing-masing dimensi. Peningkatan nilai indeks keberlanjutan pada skenario III memberikan perubahan yang terbesar pada tingkat keberlanjutan pengelolaan lahan gambut di perkebuan kelapa sawit. Peningkatan nilai indeks keberlanjutan pada masing-masing skenario pada setiap dimensi keberlanjutan berdasarkan diagram layang-layang selengkapnya dipaparkan pada Gambar 34 dan 35.
152
Ekonomi 100 80 60 40
Hukum dan Kelembagaan
Ekologi 20 0
Infrastruktur dan Teknologi
Sosial Indeks Keberlanjutan
Eksisting
Skenario I
Skenario II
Skenario III
Gambar 34. Indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan pada kondisi eksisting, skenario I, II dan III pada lahan gambut pantai.
Ekonomi 100 80 60 Hukum dan Kelembagaan
40
Ekologi
20 0
Infrastruktur dan Teknologi Eksisting
Sosial Indeks Keberlanjutan Skenario I Skenario II
Skenario III
Gambar 35. Indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan pada kondisi eksisting, skenario I, II dan III pada lahan gambut transisi. Strategi pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti dilakukan berdasarkan atas strategi rekomendasi yang disusun pada skenario I, II dan III.
153
Pada skenario I dilakukan seperti kondisi eksisting dan sedikit perbaikan pada beberapa atribut sensitif pada dimensi yang tidak berkelanjutan. Pada skenario II peningkatan skoring pada beberapa atribut sensitif pada seluruh dimensi tetapi tidak maksimal. Pada skenario III peningkatan skoring pada seluruh atribut sensitif setelah skenario II. Dengan demikian strategi pengelolaan lahan gambut pada perkebunan kelapa sawit berbasis sumberdaya lokal dimasa yang akan datang dilakukan dengan implementasi faktor dominan tersebut. Strategi pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit ditentukan oleh peran faktor dominan yang memberikan peningkatan nilai indeks keberlanjutan. Interaksi antar faktor dominan akan menjadi pertimbangan dalam penentuan strategi pengelolaan dimasa yang akan datang. Pengaturan tata lahan dan air menjadi komponen yang harus dipertimbangkan pada pembukaan lahan gambut. Kondisi muka air tanah yang baik (water level) akan mencegah kebakaran lahan dan mencegah degradasi lahan. Penambahan amelioran dan pemupukan dapat meningkatkan produktivitas kelapa sawit. Produktivitas kelapa sawit rakyat yang dihasilkan akan berkaitan dengan komponen sarana dan prasarana produksi, harga TBS dan luas kepemilikan lahan yang dimiliki oleh pekebun. Industri pengolahan berperan dalam menentukan distribusi dan pemasaran TBS dan berhubungan langsung dengan harga TBS pada suatu daerah. Kemitraan industri dan pekebun sawit (kelompok tani) akan menciptakan kerjasama saling menguntungkan, sehingga dapat menghindari terjadinya konflik sosial. Peningkatan pendapatan pekebun sawit dapat diupayakan melalui program pemberdayaan yang melibatkan stakeholders. Kelembagaan pekebun yang kuat dan didukung oleh lembaga keuangan mikro dengan pemberikan kredit usaha tani (KUT), jika berjalan efektif memperkuat kemampuan pekebun dalam pengelolaan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat.
154
5.11. Strategi Pengelolaan Lahan Gambut Penyusunan model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan melihat interaksi antara komponen-komponen biofisik (ekologi), ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan. Untuk menciptakan keberlanjutan pengembangan agroekologi perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut harus bersifat komprehensif. Sabiham dan Untung (2010) menyebutkan bahwa pembukaan perkebunan kelapa sawit tidak hanya dilihat dari aspek ekonomi tetapi juga lingkungan dan sosial. Permasalahan pengelolaan lahan gambut bersifat komplek dengan banyak atribut (variabel) yang mempengaruhi pada kondisi lapangan. Model dibangun berdasarkan pendekatan integratif terhadap seluruh atribut kunci yang berpengaruh terhadap
pengelolaan lahan gambut. Upaya
pengelolaan dengan menggunakan strategi pada skenario II (optimal) merupakan kondisi yang dapat dicapai pada saat ini. Dengan menggunakan hubungan fungsi G(2) = f (a, p, s, t, i, m) indeks keberlanjutan gabungan meningkat dari eksisting 55,92 menjadi 66,04 pada gambut pantai dan 58,57 menjadi 66,70 pada gambut transisi. Ketersediaan sumberdaya manusia, biaya, waktu dan kebijakan yang mampu mendukung pencapaian strategi optimum, menjadi pertimbangan bagi keberhasilan pengelolaan yang dilakukan. Pengembangan teknologi pengelolaan lahan gambut yang sesuai dengan sifat dan karakteristik ekosistem setempat. Penggabungan dan penerapan teknologi modern dan kearifan lokal (local wisdom) dapat menjadi pertimbangan dalam pengelolaan lahan gambut. Teknologi lokal yang tersedia dan cocok dalam pengelolaan
perkebunan diharapkan mampu mempertahankan keberlanjutan
lahan gambut. Strategi yang ditempuh dalam kegiatan alih fungsi (konversi)
rawa
gambut menjadi agroekologi perkebunan kelapa sawit harus memperhatikan pengaturan tata air dan lahan. Pembukaan lahan gambut harus memperhatikan kedalaman gambut, tingkat dekomposisi, kematangan, bahan induk dan sub stratum. Pembuatan saluran (drainase) mempertimbangkan kondisi fisiografi dan topografi lahan gambut. Sehingga tinggi permukaan air (water level) dapat diatur
155
dan dikendalikan. Keadaan ini akan menghindari terjadinya subsidensi, kering tidak balik (irreversible drying) dan mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut. Pengetahuan lokal masyarakat terhadap teknologi pengolahan lahan gambut menjadi pertimbangan dalam pengelolaan (pembukaan) lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit. Sumberdaya lokal yang dilakukan masyarakat dalam memanfaatkan lahan gambut untuk pertanian dengan memperhatikan tata air dengan cara pembuatan parit (saluran) dengan mempertimbangkan aliran sungai dan pasang surut air laut. Pembukaan lahan gambut dilakukan masyarakat pada tingkat kematangan mencapai “kilang manis” atau saprik. Hal ini terbukti mampu mempertahankan produktivitas lahan gambut dan menghindari terjadinya degradasi lahan. Potensi atau tingkat kesesuaian lahan gambut untuk pertanian, laju dan tingkat kerusakan serta dampak lingkungan dari pembukaan atau pemanfaatannya ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) kedalaman gambut; (2) tingkat kematangan gambut, bahan induk (pembentuk) dan kandungan substratum tanah; (3) tingkat asosiasi gambut dan mineral; (4) cara strategi pemanfaatan lahan gambut pembukaan lahan, sistem pengelolaan air dan drainase; (5) penerapan teknologi budi daya (varietas, pemupukan dan pengelolaan lahan). Peningkatan
produktivitas
tanaman
dipengaruhi
langsung
oleh
produktivitas (tingkat kesuburan) lahan gambut. pH tanah gambut yang sangat rendah (3,5 – 4,5) merupakan faktor pembatas utama pengembangan lahan gambut.
Penambahan
bahan
amelioran
menjadi
faktor
penting
dalam
memperbaiki kondisi fisikokimia tanah gambut, sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman sawit. Pemberian ameliorasi dengan tanah mineral berkadar besi tinggi dapat mengurangi pengaruh buruk dari asam-asam fenolat (Salampak, 1999; Mario, 2002 diacu dalam Hartatik dan Suriadikarta, 2003). Pengakuan hak kepemilikan lahan masyarakat lokal menjadi faktor utama untuk menghindari konflik sosial dan menentukan pendapatan pekebun. Kondisi ini memperlancar aliran produksi dan meningkatkan harga TBS pada tingkat pekebun. Pemberian kredit usaha tani (KUT) bila efektif dapat meningkatkan input produksi, sehingga meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit.
156
Peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut juga dipengaruhi oleh sarana dan prasaran produksi, harga TBS dan luas kepemilikan lahan. Pemasaran TBS merupakan aspek penting dalam menentukan pendapatan pekebun. Sistem pemasaran pertanian merupakan satu kesatuan urutan lembaga pemasaran yang berfungsi untuk memperlancar aliran produksi. Kondisi ini akan menciptakan aliran dana dan nilai produk yang lebih baik bagi kegiatan produktif yang dilakukan (Gumbira dan Intan, 2001 diacu dalam Syahza, 2010). Lancarnya pemasaran akan meningkatkan harga TBS pada tingkat pekebun dan mempengaruhi secara langsung pada tingkat pendapatan. Untuk mencapai tingkat pendapatan sesuai KHL, maka luas perkebunan kelapa sawit rakyat minimal 2 ha. Dengan demikian status kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit oleh masyarakat menjadi sangat penting untuk mempertahankan pendapatan pekebun. Program kemitraan antar stakeholders (pemerintah, dunia usaha, bank dan pekebun) pada perkebunan kelapa sawit berpengaruh penting dalam peningkatan pendapatan dan kemampuan pekebun. Kondisi ini menciptakan harmonisasi antar stakeholders, sehingga konflik sosial yang muncul dapat dicegah. Kemitraan yang kuat dapat di dukung melalui program pemberdayaan pekebun. Hasbi (2001) dan Sunarko (2009) menyatakan bahwa kemitraan adalah solusi terbaik untuk membangun harmonisasi hubungan yang saling menguntungkan, khususnya antara perusahaan perkebunan dan masyarakat disekitarnya. Pemberdayaan merupakan faktor penting bagi peningkatan produktivitas lahan gambut pada perkebunan sawit rakyat. Program kemitraan antar pemerintah, dunia usaha (perusahaan perkebunan), perbankan dan kelompok tani (pekebun) merupakan upaya dalam mempercepat pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat. Interaksi antar lembaga yang terkait (stakeholders) akan sangat mempengaruhi keberhasilan pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut. Jatmika (2007) menyatakan bahwa lembaga pemerintah menjadi faktor penggerak utama dan berpengaruh dalam program pengembangan perkebunan kelapa sawit seperti dinas perkebunan, dinas koperasi dan UKM serta dinas perindustrian dan perdagangan. Kemudian secara simultan lembaga pemerintah
157
ini akan mendorong berperan aktifnya kelompok pekebun dan gabungan kelompok pekebun. Kelembagaan yang kuat pada tingkat pekebun menciptakan kemandirian masyarakat.
158
VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN Pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis dilakukan berdasarkan atas strategi rekomendasi yang disusun pada skenario I, II dan III. Pendekatan integratif faktor ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan menjadi pertimbangan dalam penentuan pengelolaan lahan
gambut.
Model
pengelolaan
lahan
gambut
dirancang
dengan
mempertimbangkan semua komponen sumberdaya lokal yang terdapat pada ekosistem tersebut. Sehingga program pengembangan agroekologi perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dapat dilakukan secara berkelanjutan. Agroekologi perkebunan kelapa sawit merupakan bagian dari usaha pertanian yang merupakan suatu sistem. Sistem pertanian merupakan usaha tani yang
dikelola berdasarkan
kemampuan lingkungan
fisik,
biologis dan
sosioekonomis serta sesuai dengan tujuan, kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki. Rekomendasi kebijakan di dasarkan atas pendekatan integraif terhadap seluruh faktor dominan yang berpengaruh terhadap pengelolaan lahan gambut. Model pengelolaan lahan gambut (G) pada perkebunan kelapa sawit dengan interaksi antara pengaturan tata air dan lahan (a), pemberdayaan masyarakat (p), kerjasama antar stakeholders (s), manajemen produksi tanaman sawit (t), industri pengolahan (i), struktur dan akses permodalan (m), dengan hubungan fungsi G = f (a, p, s, t, i, m). Langkah-langkah operasional yang dapat dilakukan untuk memperoleh hasil pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit secara optimum antara lain sebagai berikut : (b)
Pengaturan tata air dan lahan Alih fungsi hutan rawa gambut menjadi perkebunan kelapa sawit di
Kabupaten Bengkalis belum sepenuhnya menerapkan pengaturan tata lahan dan air. Hal ini terindikasi dari banyaknya areal perkebunan pada lahan gambut mengalami kebakaran pada saat musim kemarau. Pengendalian air dengan membangun saluran kanal (drainase) belum mampu mempertahankan muka air
159
tanah (water level). Pembukaan lahan juga terjadi pada daerah sekitar kubah gambut (peat dome) dengan kedalaman > 4 m, dimana kondisi ini akan mempermudah terjadinya kerusakan pada lahan tersebut. Pengaturan tata lahan dan air (water table) merupakan faktor dominan dalam pengelolaan lahan gambut di perkebunan kelapa sawit. Produktivitas perkebunan kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh kondisi muka air tanah. Muka air tanah yang terlalu dalam (> 80 cm) menyebabkan terjadinya laju subsidensi yang semakin cepat dan kejadian kering tidak balik (irreversible drying) serta potensi kebakaran lahan gambut semakin besar. Bila hal ini terjadi lahan gambut akan mengalami degradasi (kerusakan) dan produktivitas perkebunan akan semakin menurun. Oleh karena itu pembukaan lahan gambut dimasa yang akan datang harus diawasi secara lebih ketat dan tata kelola lahan dan air menjadi prioritas dalam pengelolaan. Pada perkebunan rakyat pengelolaan air pada skala mikro yang berada di tingkat petani yang meliputi pembuatan saluran keliling dan pengaturan pintu air (tabat). (b) Pemberdayaan masyarakat Pemberdayaan masyarakat petani perkebunan kelapa sawit merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan pengelolaan lahan gambut. Karakteristik lahan gambut yang mudah mengalami degradasi dan tingkat kesuburan lahan rendah menjadi faktor pembatas bagi keberhasilan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Faktor pembatas lainnya adalah penguasaan teknologi dan terbatasnya kemampuan petani dalam pengolahan lahan. Untuk itu diperlukan strategi
pemberdayaan
petani
pekebun
kelapa
sawit
untuk
mengatasi
permasalahan tersebut. Pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan strategi pemberdayaan merupakan alternatif pendekatan pembangunan yang tidak hanya diarahkan untuk mencapai pertumbuhan semata. Selain itu juga dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dengan azas kerakyatan. Pemberdayaan ekonomi rakyat harus menjadi perhatian utama dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan sebagian besar masyarakat masih mengandalkan sektor pertanian (perkebunan) dan sektor ini juga memberikan kontribusi yang besar pada
160
perekonomian negara. Pemberdayaan ekonomi rakyat
berarti membangun
ekonomi pertanian dengan lebih baik. Pemberdayaan dapat dilakukan melalui kegiatan kemitraan antara perkebunan besar negara/swasta yang mempunyai kemampuan pengelolaan perkebunan yang baik. UU No.18 Tahun 2004 tentang perkebunan, pasal 22 menyebutkan bahwa perusahaan perkebunan melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan dan masyarakat sekitar perkebunan. Kemitraan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), polanya dapat berupa kerja sama penyediaan sarana produksi, kerja sama produksi, pengelolaan dan pemasaran, transportasi, kerja sama operasional, kepemilikan saham dan jasa pendukung lainnya. Dukungan lembaga keuangan (bank) dalam pemberian kredit usaha tani (KUT) akan memperkuat struktur dan akses permodalan petani sawit. Dengan demikian diperoleh keterpaduan (integrated) program pengembangan perkebunan kelapa sawit. Strategi yang mengkombinasikan mengikutsertakan petani pekebun dan mendorong pengembangan kemitraan merupakan prioritas untuk mewujudkan pemberdayaan masyarakat. Pengembangan agroindustri kelapa sawit dengan strategi pemberdayaan dilakukan dengan membentuk kelembagaan kerjasama jangka panjang antara investor dengan petani pekebun yang berhimpun dalam koperasi. Pola ini mengimplementasikan strategi pemberdayaan petani pekebun agar dapat ikut memiliki PKS, sehingga petani dapat menikmati keuntungan dari kegiatan off farm yang berlokasi di sekitar kebun. (c) Kerjasama antar stakeholders Keberhasilan pengelolaan perkebunan kelapa sawit sangat ditentukan oleh kerjasama antar stakeholders, hal ini disebabkan oleh karakteristik perkebunan yang bersifat lintas sektoral. Pola pengelolaan lahan akan mempengaruhi kerjasama antar stakeholders tersebut. Pengelolaan perkebunan kelapa sawit dapat dikelompokkan dalam 3 aspek antara lain : (1) aspek kelembagaan; (2) aspek produksi; (3) aspek pengolahan hasil panen.
161
Kelembagaan menyangkut aspek hubungan kerja, sumber dana, sistem pembayaran, alokasi lahan dan keagrarian, keorganisasian. Pihak terkait yang berkepentingan dengan pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis antara lain : Dinas Perkebunan, Bapan Pertanahan Nasional, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Perbankan, Perusahaan Besar Swasta/Negara, Badan Litbang, Lembaga Swadaya Masyarakat, Koperasi Sawit dan Gapoktan. Pada masa yang akan datang kemungkinan yang dapat dilakukan adalah kerjasama antar stakeholders berjalan dengan koordinasi yang baik dan didukung oleh adanya tugas pokok dan fungsi yang jelas dari masing-masing institusi. Pembentukan kelembagaan lintas sektoral untuk mendukung kerjasama antar steakholders dapat dilakukan dengan membentuk “kelompok kerja bersama” yang difasilitasi oleh Dinas Perkebunan. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa Dinas Perkebunan mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai institusi sektoral yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan program perkebunan kelapa sawit. Dalam kerangka pembentukan kerjasama antar stakeholders melalui program kemitraan usaha pola agroindustri skala kecil (5 ton TBS jam-1) kelapa sawit dibentuk kelembagaan dengan pelaku utama adalah (1) investor yang membangun pabrik dan kebun; (2) koperasi pekebun yang akan menerima alih usaha dari investor; (3) manajemen unit usaha yang mengadakan kontrak manajemen dengan koperasi pekebun untuk mengelola usaha perkebunan; (4) lembaga pembiayaan usaha (bank); (5) pemerintah sebagai fasilitator. (d) Manajemen produksi tanaman sawit Produktivitas tanaman sawit pada lahan gambut dipengaruhi oleh penerapan teknologi pengelolaan lahan yang sesuai dengan sifat dan karakteristik sumberdaya lokal. Pengaturan tata air dengan pembuatan drainase dilakukan untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan tanaman kelapa sawit dapat tumbuh, berkembang dan berproduksi baik di lahan gambut. Kondisi ini yang menyebabkan produktivitas tanaman kelapa sawit menjadi rendah pada lahan gambut.
162
Penerapan teknologi pengelolaan lahan dan air menjadi suatu keharusan untuk
meningkatkan
produktivitas
tanaman
kelapa
sawit.
Produktivitas
perkebunan kelapa sawit rakyat lebih rendah (12-18 ton TBS ha-1th-1) dibandingkan dengan pola perkebunan inti rakyat (PIR) atau perkebunan besar negara/swasta (18-26 ton TBS ha-1 th-1). Kondisi ini disebabkan oleh pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut yang dilakukan masyarakat belum menerapkan teknologi pengelolaan lahan yang tepat seperti pengaturan tata air, pemupukan, pemeliharaan dan pemanenan. Produktivitas tanaman yang tinggi dilakukan dengan pengelolaan tanaman meliputi pembibitan kelapa sawit, pengawetan tanah, penaman kacang kacangan, penanaman kelapa sawit dan pembuatan prasarana. Selanjutnya pemeliharaan TBM (1-3 tahun) meliputi pembuatan piringan & gawangan, pengendalian gulma, pemupukan tanaman, pengendalian hama dan penyakit, tunas pokok, kastrasi dan sanitasi, penyisipan dan konsolidasi pokok doyong, perawatan parit dan konservasi tanah dan perawatan prasarana. (e) Industri pengolahan Keberadaan industri pengolahan sangat penting dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Karakteristik buah sawit yang mudah mengalami kerusakan membutuhkan teknologi penanganan yang baik. Kualitas TBS sawit akan semakin menurun bila tidak dilakukan pengolahan setelah panen dilakukan. Kadar rendemen dan kualitas minyak sawit yang dihasilkan akan semakin menurun, sehingga harus diupayakan untuk melakukan proses pengolahan menjadi Crude Palm Oil (CPO). Kualitas TBS dipengaruhi oleh tingkat kematangan dan kebersihan dan sangat mempengaruhi perolehan minyak sawit yang dapat diekstraksi yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat pendapatan. Keberadaan pabrik kelapa sawit (PKS) disekitar perkebunan kelapa sawit akan mempengaruhi harga TBS.
Jaminan ketersediaan bahan baku secara
kualitas, kuantitas maupun kontinuitas merupakan suatu keharusan untuk mencapai suatu agroindustri minyak kelapa sawit. Pembangunan perkebunan kelapa sawit hendaknya diikuti oleh pembangunan industri pengolahan. Kondisi ini akan menciptakan keterkaitan kebelakang (backward linkage) dengan sektor
163
perkebunan atau sektor primer. Sedangkan keterkaitan kedepan (forward lingkage) harus memperhatikan pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah dan pemasaran yang baik sehingga produk yang dihasilkan mempunyai nilai tambah yang besar. Sehingga pada masa yang akan datang kemungkinan yang dapat dilakukan pembangunan industri pengolahan
sawit bekerjasama dengan
masyarakat melalui penerapan pola kemitraan dan kepemilikan bersama. Integrasi struktur pabrik dan pekebun dalam usaha perkebunan kelapa sawit rakyat melalui kemitraan usaha pola agroindustri kelapa sawit skala kecil. Hal ini dilakukan dengan membangun koperasi pekebun yang anggotanya secara kolektif mempunyai luas kebun 800 ha dengan pendirian PKS skala 5 ton TBS jam-1. (f) Struktur dan akses permodalan Lemahnya struktur permodalan dan akses terhadap sumber permodalan merupakan penyebab terhambatnya pengembangan agribisnis dan agroindustri kelapa sawit. Sebagai tanaman industri kelapa sawit memerlukan input produksi yang cukup besar. Kondisi ini harus di dukung oleh akses terhadap modal yang besar, sehingga mampu menjaga faktor produksi tersebut. Permodalan berhubungan langsung dengan ketersediaan lahan, tingkat kesuburan tanah, pengadaan dan penyaluran sarana produksi. Selain itu, terbatasnya kemampuan dalam penguasaan teknologi, lemahnya organisasi dan manajemen usaha tani, dan kurangnya kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia menjadi faktor pembatas pengembangan perkebunan kelapa sawit. Lemahnya akses permodalan petani pola perkebunan kelapa sawit rakyat kepada
lembaga
keuangan (bank)
disebabkan
oleh
belum
tersedianya
kelembagaan petani. Walaupun tersedia kelembagaan petani kelapa sawit umumnya masih lemah. Dimana institusi kelompok tani dan gabungan kelompok tani (gapoktan) serta koperasi yang diharapkan menjadi fasilitator belum berfungsi sebagaimana mestinya. Pada masa yang akan datang kemungkinan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki struktur dan akses permodalan
petani
pada perkebunan kelapa
sawit di lahan gambut yaitu memperkuat akses petani terhadap permodalan pada lembaga keuangan.
164
Kepemilikan PKS oleh investor dan petani dimungkinkan dengan adanya pembiayaan yang bersumber dari dana pembiayaan usaha yang dapat terjangkau dan murah melalui adanya mekanisme subsidi bunga oleh pemerintah daerah (APBD) atau pemerintah pusat (APBN). Hal ini didukung oleh ketersedian lembaga keuangan pada skala mikro (koperasi) kerjasama investor, pekebun, bank dan pemerintah. Strategi pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Riau, dipaparkan pada Gambar 36. Lahan Gambut
Sumberdaya Lokal : Biofisik Gambut Sosial ekonomi Masyarakat Lokal Pengetahuan dan Keterampilan Masyarakat Lokal
Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut (G)
Kebijakan (peraturan perundang-undangan)
Model
G = f (a, p, s, t, i, m)
Pengaturan Tata Air dan Lahan (a)
Pemberdayaan Masyarakat (p)
Kerjasama Stakeholders (s)
Manajemen Produksi Tanaman (t)
Industri Pengolahan (i)
Struktur dan Akses Permodalan (m)
Strategi Pengelolaan Lahan Gambut
Pembuatan Tata Air Mikro Pintu Air Tata Lahan
Kelembagaan Pekebun (Poktan) Koperasi Kemitraan
Kelembaga an Lintas Sektoral (Pokja)
Perencanaan Penanaman Pemeliharaan Panen
Agroindustri skala kecil (5 ton TBS jam-1 )
KUD Pemerintah Investor Bank
Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut Berbasis Sumberdaya Lokal
Gambar 36. Strategi pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti Provinsi Riau.
165
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan 1. Aktivitas perkebunan kelapa sawit dapat merubah karakteristik biofisik lahan gambut. Kandungan C-organik dan kadar air semakin menurun, sedangkan muka air tanah, pH dan kadar abu semakin meningkat. Biomassa kelapa sawit pada usia > 10 tahun mempunyai biomassa yang lebih besar dari hutan rawa gambut sekunder. Sehingga pada prinsipnya lahan gambut dapat dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit dan tidak menimbulkan permasalahan dengan penerapan pengelolaan tata air dan lahan yang baik. 2. Pengelolaan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit menunjukkan belum seimbangnya antar dimensi ekonomi, ekologi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan di Kabupaten Bengkalis. Indek keberlanjutan berada pada tingkat katagori berkelanjutan kurang sampai sedang, baik pada gambut pantai maupun transisi. 3. Faktor penting yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan lahan gambut pada dimensi ekologi adalah pengaturan tata air dan lahan, penambahan
amelioran/pemupukan,
pencegahan
kebakaran
lahan
dan
manajemen produksi tanaman sawit. Pada dimensi ekonomi adalah pemasaran hasil TBS, pemberian kredit usaha tani, kepemilikan lahan dan harga TBS. Pada dimensi sosial budaya adalah peluang kemitraan, pencegahan konflik sosial, pemberdayaan masyarakat dan tingkat pendidikan. Pada dimensi infrastruktur dan teknologi adalah standarisasi mutu produk sawit, sarana prasarana dan industri pengolahan. Pada dimensi hukum dan kelembagaan adalah kerjasama antar stakeholders, keberadaan lembaga keuangan dan kelompok tani. 4. Model pengelolaan lahan gambut (G) pada perkebunan kelapa sawit merupakan interaksi antara pengaturan tata air dan lahan (a), pemberdayaan masyarakat (p), kerjasama antar stakeholders (s),
manajemen produksi
tanaman sawit (t), industri pengolahan (i), struktur dan akses permodalan (m), yang dapat digambarkan dalam hubungan fungsi G = f (a, p, s, t, i, m).
166
7.2. Saran Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit harus dilakukan dengan memperhatikan karakteristik sumberdaya lokal untuk mendukung keberlanjutan produktivitas dan kelestarian fungsi ekosistem rawa gambut. 1. Peningkatan keberlanjutan pengelolaan lahan gambut dilakukan dengan perbaikan atribut kunci yang mempengaruhi dimensi ekonomi, ekologi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan yang terdapat pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat. Atribut kunci yang dimaksud
adalah
pengaturan
tata
air
dan
lahan,
penambahan
amelioran/pemupukan, pencegahan kebakaran lahan, manajemen produksi tanaman, pemasaran hasil TBS, pemberian kredit usaha tani, kepemilikan lahan, harga TBS, peluang
kemitraan, pencegahan konflik lahan,
pemberdayaan masyarakat, tingkat pendidikan, standarisasi mutu produk sawit, sarana dan prasarana, industri pengolahan, interaksi antar lembaga, keberadaan lembaga keuangan dan keberadaan kelompok tani. 2. Model pengelolaan lahan gambut berbasis sumber daya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis menggunakan pendekatan integratif dengan melakukan perbaikan dan peningkatan pada faktor dominan antara lain : (a) pengelolaan tata air mikro dengan pembuatan saluran dan pengaturan pintu air (tabat); (b) pemberdayaan masyarakat dengan membentuk kelembagaan kerjasama jangka panjang antara pemerintah, investor, perbankan dengan pekebun yang terhimpun dalam koperasi; (c) pembentukan kelembagaan lintas sektoral (pokja) untuk mendukung kerjasama antar stakeholders; (d) menerapkan manajemen produksi tanaman kelapa sawit dengan persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan konservasi tanah serta perawatan prasarana; (e) integrasi struktur pabrik dan pekebun dalam usaha perkebunan kelapa sawit rakyat melalui kemitraan usaha pola agroindustri kelapa sawit skala kecil (5 ton TBS jam-1); (f) memperkuat akses petani terhadap permodalan pada lembaga keuangan.
167
DAFTAR PUSTAKA Adnyana MO. 2006. Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Berkelanjutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Agus F dan IGM Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor [Bapeda] Badan Perencanaan Daerah. 2007. Kajian Pola Pengembangan Pertanian Pada Areal Gambut di Kabupaten Bengkalis. Pemerintah Kabupaten Bengkalis. [Balitbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Bengkalis Dalam Angka. Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2009. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010-2014. Draft ke 3 Oktober 2009. Barchia MF. 2002. Emisi Karbon dan Produktifitas Tanah pada Lahan Gambut yang Diperkaya Bahan Mineral Berkadar Besi Tinggi pada Sistem Olah Tanah yang Berbeda. [Disertasi] Institut Pertanian Bogor, Bogor Barchia MF. 2009. Agroekosistem Tanah Mineral Masam. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Bourgeois R. 2007. Analisis Prospektif. Bahan Lokakarya Traning of Trainer. ICASEPS. Bogor. Bourgeois R and F Jesus. 2004. Participatory Prospective Analysis, Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. Center for Alleviation of Poverly throught Secondary Crops Development in Asia and The Pasific and French Agricultural Research Centre for International Development. Brady MA. 1997. Effects of Vegetation Changes on Organic Matter Dynamics in Three Coastal Peat Deposits in Sumatra, Indonesia. In: J.O. Rieley & S.E. Page, Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Proceedings of the International Symposium on Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and Peatlands. Samara Publishing Limited, Cardigan UK.
168
Brown, S., A.J. R. Gillespie & A.E. Lugo. 1989. Biomass Estimation Methods for Tropical Forest with Application to Forest Inventory Data. J. Forest Science 35(4) : 881-902 Cassel DK .1997. Aquic Conditions and Hydric Soils: The Problems Soils Foreword. Dalam: M. J. Veppraskas & S. W. Sprecher (eds). SSSA Special Publication Number 50. Casson A. 2005. The Hesistant Boom: Indonesia’s Oil Palm Sub-Sector in an Era of Economic Crisis and Political Change. CIFOR Occasional Paper No. 29. CIFOR, Bogor. Cooke IR et al. 2009. Integrating Socio-Economic and Ecology : Taxonomy of Quantitatif Methods and a Review of their Use in Agroecology. J. Appleid Ecology. 46 (2) : 269 – 277. Dirjen Pemberdayaan Sosial. 2007. Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha. Departemen Sosial Republik Indonesia. Jakarta. Dinas Perkebunan Provinsi Riau. 2007. Potensi Perkebunan di Provinsi Riau. Dinas Perkebunan Provinsi Riau. Pekanbaru. Dinas Perkebunan Provinsi Riau. 2009. Profil Perkebunan Provinsi Riau. Dinas Perkebunan Provinsi Riau.Pekanbaru. [Disbunhut] Dinas Perkebunan dan Kehutanan. 2008. Laporan Tahunan Bidang Produksi. Kabupaten Bengkalis. Egoh B et al. 2007. Integrating Ecosystem Services in to Conservation Assesment: A Review. J. Ecological Economics. 63 : 714-721. Erningpraja L dan Z Poelongan. 2000. Rancang Bangun Model Produksi Bersih Kelapa Sawit. J. Penelitian Kelapa Sawit. 8(3): 200-219 Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor Fauzi A dan S Anna. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan, Aplikasi RAPFISH, Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta. J. Pesisir dan Lautan. 4(3) : 7-15. Fauzi A dan S Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Gramedia Pustaka, Jakarta. Firdaus, M. LM Baga dan P Pratiwi. 2008. Swasembada Beras dari Masa Ke Masa. Telaah Efektivitas Kebijakan dan Perumusan Strategi Nasional. IPB Press. Bogor.
169
Fisher BA .1986. Teori-teori Komunikasi. Penerjemah Soejono T, Terjemahan dari Perspectives on Human Communication. Remadja Karya. Bandung Galbraith H, P Amerasinghe, HA Lee. 2005. The effects of agricultural irrigation on wetland ecosystems in developing countries: a Literature Review. CA Discussion Paper 1 Colombo, Sri Lanka. Goa F, M Li and Y Nakamori. 2003. Critical System Thinkings Away to Manage Knowledge. J.Syst. Res. 20 : 3 – 19 Gliesman SR. 1998. Agroecology and Sustainability. Center for Agroecology. Departement of Environmental Studies.University of California.Santa Cruz,California. Handayani EP. 2009. Emisi Karbon Dioksida (CO2) dan Metan (CH4) Pada Perkebunan Kelapa Sawit Di Lahan Gambut Yang Memiliki Keragaman Dalam Ketebalan Gambut Dan Umur Tanaman. [Disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor Hardjowigeno S dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Keseuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hasibuan A. 2005. Prospek Pengembangan PIR Kelapa Sawit dan Peranan Koperasi dalam Ekonomi Kerakyatan Di Masa Mendatang. Proseding Seminar Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat: Pemberdayaan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Sebagai Upaya Penguatan Ekonomi Kerakyatan. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Hasbi. 2001. Rekayasa Sistem Kemitraan Usaha Pola Mini Agroindustri Kelapa Sawit. [Disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hardjomidjojo H. 2004. Panduan Lokakarya Analisis Prospektif. Jurusan Teknologi Industri Pertanian.Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hartatik W dan DA Suriadikarta. 2003. Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Departemen Pertanian. Bogor. Herman, F Agus dan I Las. 2009. Analisis Finansial dan Keuntungan yang Hilang dari Pengurangan Emisi Karbon Dioksida Pada Perkebunan Kelapa Sawit. J. Litbang Pertanian. 28(4): 127-133. Hermanto R. 2007. Rancangan Kelembagaan Tani dalam Implementasi Prima Tani di Sumatera Selatan. J.Analisis Kebijakan Pertanian. 5(2) : 110-125.
170
Hirano T et al. 2007. Carbon Dioxide Balance of a Tropical Peat Swamp Forest in Kalimantan, Indonesia. J. Global Change Biology. 13:1-14 Hooijer A, Silvius M, Wosten H, Page S. 2006. Peat-CO2. Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics Report Q3943 Istomo. 2002. Kandungan Fosfor dan Kalsium serta Penyebarannya Pada Tanah dan Tumbuhan Hutan Rawa Gambut. [Disertasi]. Program Pascasarjana IPB. Bogor Iswati A. 2004. Desain Pengelolaan Kebun Plasma Kelapa Sawit Berkelanjutan (Studi kasus pada PIR-Trans Kelapa Sawit PTP Mitra Ogan di Kabupaten OKU, Sumatera Selatan). [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Jatmika A. 2007. Rancang Bangun Sistem Pengembangan Agroindustri Kelapa Sawit dengan Strategi Pemberdayaan. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Kamarudin N, MB Wahid dan R.Moslim. 2005. Environmental Factors Affecting The Population Density of Oryctes rhinoceros In a Zero-Burn Oil Palm Replant. J. of Oil Palm Research. 17:53-63. Kartasasmita S. 2005. Otonomi Daerah Dalam Pengembangan Perkebunan di Indonesia. Proseding Seminar Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat: Pemberdayaan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Sebagai Upaya Penguatan Ekonomi Kerakyatan. Pusat Penelitian Kelapa Sawit.Medan. Kasryno F dan A Suryana.1996. Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat Pedesaan : Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia (Prof.Dr Sajogyo 70 tahun). Grasindo. Jakarta. Kavanagh and Pithcher. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (RAPFISH) Project. University of British Columbia. Fisheries Centre. Kay R and J Alder. 1999. Coastal Planning and Management. London : E & FN Spon an Imprint of Rutledge. Las I. K. Nugroho, dan A. Hidayat.2009. Strategi Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Pengembangan Pertanian Berkelanjutan. J. Pengembangan Inovasi Pertanian 2(4): 295-298. MacKinnon K, Hatta G, Halim H, Mangalik A. 2000. Ekologi Kalimantan. Seri Ekologi Indonesia, Buku III. Prenhallindo. Jakarta.
171
Maltby E and CP Immirzi . 1996. Introduction: The Sustainable Utilization of Tropical Peatlands. Dalam: Maltby, E., C. P. Immirzi and R. J. Safoord (eds), Tropical Lowland Peatlands of Southeast Asia. IUCN. Gland, Switzerland. Manurung EGT. 2001. Analisis Valuasi Ekonomi Investasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Environmental Policy and Institutional Strengthening IQC dan Bapenas. Jakarta Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grassindo, Jakarta. Melling L and KJ Goh. 2008. Sustainable Oil Palm Cultivation on Tropical Peatland. Trofical Peat Research Laboratory & Appleid Agricultural Resources. Kualalumpur. Melling L, Hatano R, Goh KJ. 2005. Soil CO2 flux from three Ecosystems in Tropical Peatland of Sarawak, Malaysia. Tellus 57B: 1-11 Mironga JM. 2005. Effect Farming Paractices on Wetlands of Kisii District , Kenya. J.Appleid Ecology and Environmental Research. 3 (2) : 81 – 89. Monde A.2008. Dinamika Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan Agroforestry Kakao di DAS Nompu, Sulawesi Tengah. [Disertasi] Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nainggolan, K. 2008. Melawan Kelaparan dan Kemiskinan Abad ke-21.Kekal Press. Bogor Nasrul B dan A Syahza. 2009. Daya Dukung Wilayah dan Potensi Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit Di Kabupaten Bengkalis. J. Bionatura 2(1) 26-31. Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut; Potensi dan Kendala. Kanisius. Yogyakarta. Noor M. 2011. Pengelolaan Air di Tingkat Petani Pada Lahan Gambut Berbasis Masyarakat Kasus : UPT Lamunti, Kawasan PLG Kalimantan Tengah. Makalah disampaikanpada Lokakarya “Sistem Pengelolaan Air Lahan Rawa Gambut Berbasis Masyarakat” 4-6 Januari 2011, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Noorginayuwati, A Rapieq, M Noor dan Achmadi. 2008. Kearifan Budaya Lokal Dalam Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Pertanian Di Kalimantan. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa.
172
Price JS, AL Heathwaite and AJ Baird. 2003. Hydrological Processes in Abandoned and Restored Peatlands: an Overview of Management Approaches. J. Wetlands Ecology and Management. 11: 65–83 [PPKS] Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2008. Penyakit Pada Kelapa Sawit: Siap Pakai dan Ramah Lingkungan. Medan [Puslittanak] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 1999. Panduan Karakerisasi dan Analisis Zone Agroekologi. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Pramudya B. 2006. Analisis Sistem. Bahan Kuliah Analisis Perencanaan Sistem. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor Rao N. H. and P. P. Rogers.2006. Assessment of Agricultural Sustainability. J.Current Science. 91: 439 - 448 Reed MS et al. 2009. Who’s in and why? A Typology of Stakeholder Analysis Methods for Natural Resource Management. J. Environmental Management. 90 : 1933–1949 Reijntjes C, B Haverkort and AW Bayer. 1992. Pertanian Masa Depan, Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Penerjemah; Fleirt.E. B.Hidayat, editor Netherlands ; 1999. Terjemahan dari Farming For The Future, An Introduction to Low-External-Input and Sustainable Agriculture. Ritzema HP. A M Hassan and RP Moens. 1998. A New Approach to Water Management of Tropical Peatlands: A Case Study from Malaysia. J. Irrigation and Drainage Systems. 12: 123–139. Riwandi. 2001. Kajian Stabilitas Gambut Tropika Indonesia Berdasarkan Analisis Kehilangan Karbon Organik, Sifat Fisikokimia dan Komposisi Bahan Gambut. [Disertasi]. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Riwandi. 2003. Indikator Stabilitas Gambut Berdasarkan Analisis Kehilangan Karbon Organik, Sifat Fisikokimia dan Komposisi Bahan Gambut. Jurnal Penelitian UNIB. Bengkulu. Rina Y, M Noor dan A Jumberi. 1996. Konservasi Lahan Dalam Usahatani Tanaman Pangan di Lahan Gambut Kalimantan Selatan dan Tengah. Makalah Disajikan pada Kongres III dan Seminar Nasional MKTI Universitas Brawijaya. Malang 4- 5 Desember 1999. Rina Y, Noorginayuwati dan M Noor. 2008. Persepsi Petani Tentang Lahan Gambut dan Pengelolaannya. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarmasin.
173
[RSPO] Roundtable on Sustainability Oil Palm. 2005. The RSPO’S Principles and Criteria for Sustainable Palm Oil Production. Public Release Version. Singapura. Rist L. L Feintrenie and P Levang. 2010. The Livelihood Impacts of Oil Palm: Smallholders in Indonesia. J.Biodiversity Conservation. 10:1007-1015 Sa’id EG. 2001. Kemitraan di Bidang Agribisnis dan Agroindustri. Di dalam Haeruman dan Eriyanto. Editor. Kemitraan Dalam Pengembangan Ekonomi Lokal. Yayasan Mitra Pembangunan Desa. Busines Inovation Centre of Indonesia. Jakarta. Sabiham S. 2011. An Adaptive Socio-Entropy System: Balancing Economic Endeavors and Socio-Ecological Dynamics at a Palm Oil Plantation in Indonesia. Progress Report. The Toyota Foudation. Sabiham S and U Sudadi. 2010. Indonesian Peatlands and their Ecosystem Unique: a Science Case for Conservation and Sound Management. Conference Soil Properties for Soil Fertility and for Use of Soil Services. Department of Soil Science and Land Resource, Bogor Agricultural University. Bogor. Sabiham S. 2007. Pengembangan Lahan Secara Berkelanjutan Sebagai Dasar Dalam Pengelolaan Gambut di Indonesia. Makalah Utama Seminar Nasional Pertanian Lahan Rawa. Kapuas 3-4 Juli 2007. Sabiham, S. 2000. The Critical Water Content of Center-Kalimantan’s Peats in Relation to Irreversible Drying of Peat Materials (in Indonesian). J. Tanah Tropika. 11:21-30. Sabiham, S. 1988. Studies on Peat in the Coastal Plain of Sumatra and Borneo. I.Physiografi and Geomorphology of the Coastal Plains. Southeast Asian Studies, Kyoto Univ. 26 (3): 308-335. Sabiham S. dan M Ismangun. 1997. Potensi dan Kendala Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian. Proseding Simposium Nasional dan Konggres V PERAGI. Jakarta, 25 - 27 Januari 1996. Sajogjo.1977. Garis Miskin dan Kebutuhan Minimum Pangan. Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesan (LPSP). Institut Pertanian Bogor, Bogor. Setyarso A, Wulandari. 2002. Criteria and Indicator for Best Practices Oil Palm Industry and Plantation Management. Proceding of Chemestry and Technology Conference: Enhancing Oil Palm Industry throght Enviromentally Friendly Technology. Indonesia Oil Palm Research Institute (IOPRI). Medan. p:361-368.
174
Sinukaban. 2007. Conservation Farming System For Sustainable Development in Java, Indonesia. Di dalam : Soil and Water Conservation in Sustainable Development. Ed ke-1. Bogor : Direktorat Jendral RPLS.Departemen Kehutanan. Soil Survey Staff. 1998. Key to Soil Taxonomy. Eight Edition. USDA-Natural Resources Conservation Service. Soil Survey Staff. 1999. Kunci Taksonomi Tanah, Edisi Kedua Bahasa Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Spangenber JH. 2007. The Institusional Dimension of Sustainable Development. In : Hak T; B McIdan and AL Dahl (Editor) Sustainability Indicators, A Scientific Assesment. Island Press. Washington. Steel RG and JH Torrie. 1980. Prinsip dan Prosedur Statistik. Gramedia Pustaka, Jakarta. Subejo dan Supriyanto.2004. Metodologi Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat. Paper pada Kuliah Intensif Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan. Study on Rural Empowerment (SORem). Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta. Soekartawi, 2006. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia. Jakarta Susanto RH. 2008. Masalah Kebakaran dan Solusi Berkaitan Dengan Pengembangan Pertanian di Areal Rawa Gambut. Pusat Penelitian dan Manajemen Air dan Lahan. Lemlit Universitas Sriwijaya. Palembang. Susan N. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Kencana Prenada Media Group. Jakarta Subagyo H, Marsoedi dan AS Karama. 1996. Prospek pengembangan lahan gambut untuk pertanian; Seminar Pengembangan Tehnologi Berwawasan Lingkungan Untuk Pertanian Pada Lahan Gambut. Dalam Rangka Peringatan Dies Natalis ke 33 IPB. Bogor, 26 Sept. 1996. Sumawijaya N, H Bakti, Soetanto dan M Ruslan. 2006. Lahan Gambut (Hidrologi Lahan Gambut Palangkaraya). Pusat Penelitian Geoteknologi – LIPI. Bandung. Sumardjo. 2010. Model Pemberdayaan Masyarakat dan Pengelolaan Konflik Sosial Pada Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Riau. Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Terpadu Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Propinsi Riau, Pekanbaru, 28 Juli 2010. Sumardjo. 2010. Penyuluhan Menuju Pengembangan Kapital Manusia dan Kapital Sosial dalam Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fakultas Ekologi Manusia. IPB Bogor.
175
Sunarko. 2009. Budi Daya dan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit dengan Sistem Kemitraan. Agromedia Pustaka. Jakarta. Suprihatno B, Alihamsyah dan EE Ananto. 1999. Teknologi Pemanfaatan Lahan Pasang Surut dan Lebak untuk Pertanian Tanaman Pangan. Dalam Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Bogor 22-24 November 1999. Suriadikarta DA dan MT Sutriadi. 2007. Jenis-Jenis Lahan Berpotensi untuk Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. J. Litbang Pertanian. 26 (3) 115 – 122. Suroso AI. 2008. Analisis Daya Saing dan Dampak Ekonomi Regional Pengembangan Kelapa Sawit Di Kabupaten Siak. [Disertasi]. IPB. Bogor Suryanto S. 1991. Prospek Gambut Sebagai Sumberdaya Alam Dalam Pengembangan Bioteknologi Di Indonesia. Makalah seminar bioteknologi PPI Perancis, 30 Juni s/d 1 Juli, 1990 di Institute Agronomique Meditererranee (IAM) Montpellier. Syahza A. 2010. Model Kelembagaan Ekonomi Pada Perkebunan Kelapa Sawit Di Propinsi Riau. Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Terpadu Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Propinsi Riau, Pekanbaru, 28 Juli 2010. Syahza A. 2009. Kelapa Sawit: Dampaknya Terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Pedesaan Di Daerah Riau. DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta Taryoto AH. 1995. Analisis Kelembagaan Dalam Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Suatu Pengantar. Proseding Pengembangan Hasil Penelitian : Kelembagaan dan Prospek Pengembangan Beberapa Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian.Bogor Trupp LA. 1996. New Pathnerships for Sustainable Agricultur. World Institute New York. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia Perkebunan.
No.18 Tahun 2004 tentang
Wahyono T. 2003. Konflik Penguasaan Lahan Pada Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera. J.Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.11(1): 47-59.
176
Wahyono T dan M Dja’far. 2004. Pembangunan Ekonomi Melalui Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara. J. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. 3(12): 176-184. Walpole RE. 1995. Pengantar Statistik. Gramedia Pustaka, Jakarta Walter CH and Stutzel. 2009. A New Method for Assessing the Sustainability of Land-Use System (I): Identifying the Relevant Issues. J.Ecological Economics. 68 : 1275-1287 Widjaya A et al. 1992. Sumberdaya Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai : Potensi, keterbatasan dan pemanfaatan. Dalam S. Partohardjono dan M. Syam (Eds). Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Pasang Surut dan Lebak. Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa. Cisarua, 3 – 4 Maret 1992. Puslitbangtan. Bogor. Wigena IGP. 2009. Model Pengelolaan Kebun Kelapa sawit Plasma Berkelanjutan (Studi Kasus di Perkebunan PIR-Trans PTPN V Sei Pagar Kabupaten Kampar Provinsi Riau). [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana-IPB. Bogor. Wiranto T. 2001. Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Perdesaan. Di dalam Eriyatno dan H.Haeruman, editor. Bunga Rampai : Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal. Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota dan BIC Indonesia.Jakarta Wosten JHM and HP Ritzema. 2002. Challenges in Land and Water Management for Peatland Development in Sarawak. In: JO. Rieley, and SE. Page, with B. Setiadi,(Eds.), Peatlands for People: Natural Resource Functions and Sustainable Management, Proceedings of the International Symposium on Tropical Peatland, 22-23 August 2001, Jakarta, Indonesia. BPPT and Indonesian Peat Association. Wosten H et al. 2006. Tropical Peatland Water Management Modelling of the Air Hitam Laut Catchment in Indonesia. J.of River Basin Management. 4: 233-244. Wrighta AL. KR Reddyb and R Corstanjec. 2009. Patterns of Heterotrophic Microbial Activity in Eutrophic and Oligotrophic Peatlands. J. of Soil Biology. 45: 131 – 137. Zazali A. 2010. Tantangan dan Solusi terhadap Permasalahan Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Seminar dan Lokakarya “Pengelolaan terpadu Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Provinsi Riau’. Pekanbaru. 28 Juli 2010. Zylicz T. 2007. Sustainability Indicators : An Economic’View. In : Hak T, B Mc Idan and AL Dahl (Editor) Sustainability Indicators, A Scientific Assesment. Island Press. Washington.
177
Lampiran 1. Deskripsi profil gambut pada hutan rawa gambut sekunder Jenis Tanah Penggunaan Lahan Fisiografi Relief makro Relief mikro Lereng Drainase Batuan Permukaan Pola Drainase Vegetasi Kedalaman Gambur Kedalaman air tanah Lokasi
Simbol Oe Oe Oei Oi
Horizon Kedalaman (cm) 0 - 20 20 - 50 50 - 75 75 - 120
Oi
120 -480
: Typic Tropofibrist : Hutan Rawa Gambut Sekunder : Dataran : Dataran Gambut : Kubah gambut : Datar : Buruk :::: > 480 cm : 20 cm : 00o 58’ 42” LU, 101 o 57’ 16.7” BT Uraian Hitam kemerahan (10 R 2.5/1), humik Merah sangat kusam (10 R 2.5/2); hemik Merah sangat kusam (10 R 2.5/2); hemik-fibrik Hitam kemerahan – merah sangat kusam (2.5 YR 2.5/1-2); fibrik Merah sangat kusam (10 R 2.5/2); -fibrik
178
Lampiran 2. Deskripsi profil gambut pantai pada perkebunan kelapa sawit Jenis Tanah Penggunaan Lahan Fisiografi Relief makro Relief mikro Drainase Lereng Kedalaman Gambut Kedalaman air tanah Lokasi
: Typic Tropohemist : Perkebunan kelapa sawit < 3 tahun : Dataran : Dataran Gambut : Kubah gambut : Buruk : Datar : 700 cm : 72 cm : 01o 34’ 22.7” LU, 101 o 50’ 55.0” BT
Horizon Simbol Kedalaman (cm) Oe 0 - 20 Oi 20 - 60 Oi 60 - 110 Oi 110 - 200
Merah sangat kusam (10 R 2.5/2); hemik Hitam kemerahan (10 R 2.5/1); hemik Hitam kemerahan (10 R 2.5/1); hemik Merah sangat kusam (2.5 R 2.5/2); fibrik
Jenis Tanah Penggunaan Lahan Fisiografi Relief makro Relief mikro Lereng Drainase Batuan Permukaan Pola Drainase Vegetasi Kedalaman Gambut Kedalaman air tanah Lokasi
: Typic Tropofibrist : Perkebunan kelapa sawit < 3 tahun : Dataran : Dataran Gambut : Kubah gambut : Datar : Buruk :::: 700 cm : 72 cm : 01o 34’ 22.7” LU, 101 o 50’ 55.0” BT
Simbol Oe Oi Oi Oi
Horizon Kedalaman (cm) 0 - 20 20 - 60 60 - 110 110 - 700
Uraian
Uraian Merah sangat kusam (10 R 2.5/2), hemik Hitam kemerahan (10 R 2.5/1); fibrik Hitam kemerahan (10 R 2.5/1); fibrik Merah sangat kusam (2.5 R 2.5/2), fibrik
179
Jenis Tanah Penggunaan Lahan Fisiografi Relief makro Lereng Drainase Kedalaman Gambut Kedalaman air tanah Lokasi
: Teric Tropohemist : Perkebunan kelapa sawit umur 3 - 9 tahun : Dataran : Dataran Gambut : Datar : Buruk : 40 cm : 60 cm : 01o 39’ 47.5” LU, 101 o 43’ 32.9” BT
Horizon Simbol Kedalaman (cm) Oe 0 - 20 Oi 20 - 40 Ao 40 - 80 A1 80 - 120
Hitam kemerahan (10 R 2.5/1); hemik Hitam kemerahan (2.5 YR 2.5/1); hemik Kelabu kemerahan gelap (2.5YR 3/1); liat berdebu, Coklat (7.5 YR 2.5/1); liat, matang
Jenis Tanah Penggunaan Lahan Fisiografi Relief makro Relief mikro Lereng Drainase Batuan Permukaan Pola Drainase Vegetasi Kedalaman Gambut Kedalaman air tanah Lokasi
: Terik Tropohemist : Perkebunan kelapa sawit umur 3 - 9 tahun : Dataran : Dataran Gambut :: Datar : Buruk :::: 44cm : 40 cm : 01o 07’ 52.6” LU, 102 o 03’ 53.2” BT
Simbol Oa Oe Ao
Horizon Kedalaman (cm) 0 - 14 14 - 44 44 - 55
A1
> 55
Uraian
Uraian Hitam kemerahan (2.5 YR 2.5/1), saprik Hitam kemerahan (10 R 2.5/1); hemik Coklat kemerahan gelap (5YR 2.5/2); liat berdebu, masif Kelabu kemerahan gelap (5 YR 4/2), liat berdebu, agak matang
180
Jenis Tanah Penggunaan Lahan Fisiografi Relief makro Lereng Drainase Kedalaman Gambut Kedalaman air tanah Lokasi
: Histik Tropaquent : Perkebunan kelapa sawit umur > 10 tahun : Dataran : Dataran Gambut : Datar : Buruk : 33 cm : 30 cm : 01o 46’ 44.2” LU, 101 o 18’ 23.6” BT
Horizon Simbol Kedalaman (cm) Oa 0 - 20 Oi 20 - 33 Ao 33 - 60 A1 60 - 80 A2 80 - 120
Hitam (5 YR 2.5/1); hemik Kelabu sangat gelap (5 YR 3/1); hemik Coklat kemerahan gelap (5YR 3/2); liat berdebu, Coklat (7.5 YR 3/2); liat, agak matang Coklat kekelabuan gelap (10 YR 4/2); liat, matang
Jenis Tanah Penggunaan Lahan Fisiografi Relief makro Lereng Drainase Kedalaman Gambut Kedalaman air tanah Lokasi
: Teric Tropohemist : Perkebunan kelapa sawit umur > 10 tahun : Dataran : Dataran Gambut : Datar : Buruk : 55 cm : 23 cm : 01o 46’ 51.1” LU, 101 o 18’ 37.6” BT
Horizon Simbol Kedalaman (cm) Oe 0 - 20 Oe 20 - 55 Ao 55 - 80 A1 80 - 120
Uraian
Uraian Merah sangat kusam(10 R 2.5/2); hemik Hitam kemerahan (10 R 2.5/1); hemik Merah pucat (10 YR 7/2); hemik Merah pucat-merah lemah (10 YR 6/2 – 5/2); liat, agak matang
181
Lampiran 3. Deskripsi profil gambut transisi pada perkebunan kelapa sawit Jenis Tanah Penggunaan Lahan Fisiografi Relief makro Relief mikro Lereng Drainase Kedalaman Gambut Kedalaman air tanah Lokasi
Simbol Oe Oi Oi Oi A
Horizon Kedalaman (cm) 0 - 20 20 - 78 78 - 115 115 - 260 >260
Jenis Tanah Penggunaan Lahan Fisiografi Relief makro Relief mikro Lereng Drainase Kedalaman Gambut Kedalaman air tanah Lokasi Horizon Simbol Kedalaman (cm) Oe 0 - 18 Oi 18 - 42 Oi 42 - 84 Ao 84 - 106 A
>106
: Typic Tropohemist : Perkebunan kelapa sawit umur < 3 tahun : Dataran : Dataran Gambut : Kubah gambut : Datar : Buruk : 260 cm : 74 cm : 00o 58’ 35.3” LU, 101 o 58’ 44.7” BT
Uraian Hitam kemerahan (10 R 2.5/1), hemik Merah sangat kusam (10 R 2.5/2); hemik Hitam kemerahan (2.5 YR 2.5/1); hemik Hitam kemerahan (2.5 YR 2.5/1); hemik Putih (2.5 Y 8/1); pasir, lepas : Teric Tropohemist : Perkebunan kelapa sawit umur < 3 tahun : Dataran : Dataran Gambut : Kubah gambut : Datar : Buruk : 84cm : 28 cm : 00o 55’ 45.1” LU, 102 o 00’ 55.7” BT Uraian Hitam kemerahan (10 R 2.5/1); hemik Hitam kemerahan (2.5 YR 2.5/1); hemik Merah sangat kusam (2.5 YR 2.5/2); hemik Coklat kemerahan gelap (5YR 2.5/2); liat berdebu, masif Kelabu kehijauan terang (10 Y 7/2); liat, masif
182
Jenis Tanah Penggunaan Lahan Fisiografi Relief makro Lereng Drainase Kedalaman Gambut Kedalaman air tanah Lokasi
Simbol Oa A1
Horizon Kedalaman (cm) 0 - 11 11 - 19
A2 A3
20 - 32 >32
Jenis Tanah Penggunaan Lahan Fisiografi Relief makro Lereng Drainase Kedalaman Gambut Kedalaman air tanah Lokasi
Simbol Oa Oe Ao
Horizon Kedalaman (cm) 0 – 14 14 – 44 44 – 55
A1
>55
: Histik Tropaquepts : Perkebunan kelapa sawit umur 3 - 9 tahun : Dataran : Dataran mineral bergambut : Datar : Agak buruk : 11 cm : 54 cm : 00o 54’ 16.5” LU, 102 o 01’ 29.8” BT Uraian Coklat (7.5 YR 2.5/2); hemik Coklat gelap (7.5 YR 3/2); liat berdebu, matang Kelabu cerah ( 5 Y 7/1); liat, matang Kelabu kecoklatan terang (10 YR 6/2); liat, matang : Teric Tropohemist : Kebun Kelapa Sawit umur 3 - 9 tahun : Dataran : Dataran Gambut : Datar : Buruk : 44cm : 40 cm : 01o 07’ 52.6” LU, 102 o 03’ 53.2” BT Uraian Hitam kemerahan (2.5 YR 2.5/1); hemik Hitam kemerahan (10 R 2.5/1); hemik Coklat kemerahan gelap (5YR 2.5/2); liat berdebu, masif Kelabu kemerahan gelap (5 YR 4/2); liat berdebu, agak matang
183
Jenis Tanah Penggunaan Lahan Fisiografi Relief makro Relief mikro Lereng Drainase Batuan Permukaan Pola Drainase Vegetasi Kedalaman Gambut Kedalaman air tanah Lokasi
Simbol Oa Ao A1
Horizon Kedalaman (cm) 0 - 33 33 - 43 43 - 100
A2
> 100
Jenis Tanah Penggunaan Lahan Fisiografi Relief makro Relief mikro Lereng Drainase Batuan Permukaan Pola Drainase Vegetasi Kedalaman Gambut Kedalaman air tanah Lokasi
Simbol Oe Oe Ao A1
Horizon Kedalaman (cm) 0 - 20 20 - 33 33 - 60 60 - 80
: Histik Tropaquept : Perkebunan kelapa sawit umur > 10 tahun : Dataran : Dataran Mineral bergambut :: Datar : Agak lambat :::: 84cm : 50 cm : 00o 54’ 15.6” LU, 102 o 01’ 33.8” BT Uraian Hitam kemerahan (10 R 2.5/1), humik Coklat gelap (7.5 YR 3/2), liat berdebu, masif Merah lemah – coklat olive ringan (10 R 5/4 – 2.5 Y 5/3), liat, matang Kelabu kecoklatan ringan (10 YR 6/2), liat, matang : Teric Tropohemist : Perkebunan kelapa sawit umur > 10 tahun : Dataran : Dataran Gambut : : Datar : Buruk :::: 55 cm : 23 cm : 01o 46’ 51.1” LU, 101 o 18’ 37.6” BT Uraian Merah sangat kusam(10 R 2.5/2); hemik Hitam kemerahan (10 R 2.5/1), hemik Merah pucat (10 YR 7/2); liat berdebu, Merah pucat-merah lemah (10 YR 6/2 – 5/2); liat, agak matang
184
Lampiran 4. Prinsip dan kriteria perkebunan kelapa sawit berkelanjutan menurut Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). No. 1.
2.
Prinsip
Kriteria
Lingkungan Fisik : Teknologi Produksi dan Produksi sesuai dengan prosedur operasi dan Pasca Panen (Planet) terdokumentasi dengan baik Pemeliharaan kesuburan tanah agar hasil optimal dan berkelanjutan Meminimalkan erosi dan degradasi tanah Menjaga kualitas dan ketersediaan air permukaan dan air tanah Menerapkan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) Penggunaan bahan kimia terkendali dengan baik, tidak merusak kesehatan dan lingkungan Masalah kesehatan dan keselamatan di dokumentasikan dan di komunikasikan dengan baik Semua staff dan pekerja memperoleh pelatihan. Konservasi sumberdaya Dampak proses produksi dan pasca panen alam dan biodiversitas teridentifikasi dengan baik, dampak negatif diminimalkan dan dampak positif ditingkatkan. Spesies langka dan habitatnya dilindungi. Limbah dikurangi, di daur ulang dan di manfaatkan kembali dan dibuang sesuai dengan konsep ramah lingkungan. Penggunaan energi efisien, lebih banyak energi terbaharaukan Pencegahan pembakaran Polusi, emisi diminimalkan serta dipantau perkembangannya. Penanaman Tanaman Perkiraan dampak lingkungan, ekonomi dan sosial Baru dilakukan sebelum penanaman Penanaman tanaman baru mengacu ke potensi lahan Penanaman tanaman baru tidak merusak hutan primer atau areal lainnya yang mengandung nilai konservasi tinggi Hindari penanaman yang luas pada lahan berlereng atau marginal Tidak merambah lahan milik masyarakat Masyarakat lokal wajib memperoleh kompensasi layak dari pemanfaatan lahannya untuk kebun kelapa sawit Komitmen melakukan Pengelolaan proses produksi dan pasca panen dipantau perbaikan pada areal secara berkala untuk melakukan perbaikan terus kebun menerus pada areal kebun. Ekonomi (Profit) Viabilitas ekonomi dan Pengelolaan proses produksi dan pasca panen mampu keuangan jangka menjamin terciptanya kondisi viabilitas ekonomi dan panjang keuangan jangka panjang.
185
3.
Sosial (People) Semua aktifitas perkebunan sesuai dengan UU dan peraturan yang berlaku
Semua aktifitas perkebunan sesuai dengan UU dan peraturan yang berlaku baik pada tingkat lokal maupun nasional. Penggunaan lahan sesuai hak penguasaan yang berlaku, tercermin dari konflik yang timbul. Penggunaan lahan untuk kebun tidak mengurangi azas kegiatan atau hak penggunaan lainnya. Bertanggung Jawab Dampak sosial teridentifikasi secara partisipatif, terhadap pekerja mengurangi dampak negatif dan meningkatkan individu dan komunitas dampak positip Transfaran dan terbuka dalam komunikasi dan konsultasi antara pekebun dan masyarakat Sistem persetujuan dan dokumentasi saling menguntungkan dalam mengatasi keberatan yang terjadi Negosiasi berkaitan dengan kompensasi atau konflik mengacu pada dokumentasi yang memungkinkan masyarakat lokal terwakili oleh lembaga perwakilan yang layak Tingkat upah minimal pekerja sesuai dengan upah minimum industri Pekerja bisa bergabung membentuk serikat pekerja agar posisi tawar menawarnya baik Tidak diperkenankan mempekerjakan anak-anak dibawah umur Tidak boleh mendukung diskriminasi ras, suku maupun agama Diaplikasikannya kebijakan untuk mencegah kekerasan seksual terhadap wanita Pengelolaan produksi dan pasca panen transparan terhadap bisnis petani lokal Pengelolaan produksi dan pasca panen berkontribusi terhadap perkembangan berkelanjutan di tingkat lokal Komitmen untuk Pengelolaan produksi dan pasca panen wajib transparan secara terus memberikan informasi tentang isu-isu lingkungan, menerus sosial dan legalitas yang relevan kepada stakeholders lainnya Pengelolaan dokumen harus bisa diakses oleh publik, kecuali pada kasus dimana dokumen tersebut akan berdampak negatif terhadap lingkungan atau sosial ekonomi.
186
Lampiran 5. Dimensi ekologi dan atribut keberlanjutan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten BengkalisMeranti Riau. No.
Dimensi dan Atribut
Skor
Buruk
Baik
(bad)
(good)
1.
Tingkat konversi lahan gambut
0,1,2,3
0
3
2.
Tingkat kesesuian lahan Gambut
0,1,2,3
0
3.
Kesuburan gambut
0,1,2,3
4.
Laju subsidensi
5.
Hasil
Kriteria Gambut Pantai
Gambut Transisi
Sangat tinggi (0); tinggi (1); sedang (2); Kecil (3)
2
1
3
Tidak sesuai (0); sesuai (1); sedang (2); sangat sesuai (3)
2
2
0
3
Buruk (0); sedang (1); baik (2); sangat baik (3)
2
2
0,1,2
0
2
Tinggi (0); sedang (1); kecil (2)
1
1
Kejadian kekeringan
0,1,2,3
0
3
Sangat tinggi (0); tinggi (1); sedang (2); Kecil (3)
2
2
6.
Intensitas kebakaran lahan
0,1,2,3
0
3
Sangat tinggi (0); tinggi (1); sedang (2); Kecil (3)
1
1
7.
Pengaturan tata lahan dan air
0,1,2,3
0
3
Buruk (0); sedang (1); baik (2); sangat baik (3)
0
1
8.
Penggunaan amelioran/pemupu kan
0,1,2
0
2
Tidak ada (0); ada (1); sesuai ketentuan (2)
2
2
9.
Produktifitas kebun sawit
0,1,2,3
0
3
Rendah (0); sedang (1); tinggi (2); sangat tinggi (3)
2
1
10.
Penerapan teknik konservasi
0,1,2,3
0
3
Buruk (0); sedang (1); baik (2); sangat baik (3)
1
1
11.
Kearifan lokal
0,1,2
0
2
Tidak ada (0); ada (1); banyak (2)
1
1
12.
Pengelolaan perkebunan
0,1,2,3
0
3
Buruk (0); sedang (1); baik (2); sangat baik (3)
1
1
lahan
ekologi
187
Lampiran 6. Dimensi ekonomi dan atribut keberlanjutan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten BengkalisMeranti Riau. No.
Dimensi dan Atribut
Skor
Buruk
Baik
(bad)
(good)
1.
Pendapatan dari hutan rawa gambut
0,1,2
0
2
2.
Tingkat penguasaan lahan
0,1,2
0
3.
Status kepemilikan lahan
0,1,2
4.
Pendapatan petani dari Sawit
5.
Hasil
Kriteria Gambut Pantai
Gambut Transisi
Tidak ada (0); 500.000 – 1 juta (1); > 1 juta (2)
0
1
2
< 2 ha (0); 2-5 ha (1); > 5 ha (2)
1
2
0
2
Sewa lahan penggarap (1); sendiri (2)
(0); milik
2
2
0,1,2,3
0
3
< 1 juta (0); 1–3 jt (1); > 3-5 juta (2); > 5 juta (3)
2
2
Harga TBS Sawit
0,1,2
0
2
<rp 500/kg (0); 5001000/kg (1); > 1000/kg(2)
2
2
6.
Penyerapan tenaga kerja
0,1,2,3
0
3
Kecil (0); sedang (1); tinggi (2); sangat tinggi (3)
2
2
7.
Jumlah penduduk miskin
0,1,2,3
0
3
Sangat tinggi (0); tinggi (1); sedang (2); Kecil (3)
1
2
8.
Kredit usaha tani
0,1,2,3
0
3
Tidak ada (0); sedang (1); tinggi (2); sangat tinggi (3)
1
1
9.
Pemasaran Sawit
TBS
0,1,2,3
0
3
Buruk (0); sedang (1); baik (2); sangat baik (3)
3
3
10.
Peluang kerja dan usaha
0,1,2,3
0
3
Buruk (0); sedang (1); baik (2); sangat baik (3)
2
2
11.
Multiplier effek perkebunan sawit
0,1,2,3
0
3
Buruk (0); sedang (1); baik (2); sangat baik (3)
3
3
12.
Kesejahteraan petani sawit
0,1,2,3
0
3
Buruk (0); sedang (1); baik (2); sangat baik (3)
2
2
188
Lampiran 7. Dimensi sosial budaya dan atribut keberlanjutan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten BengkalisMeranti Riau.
No.
Dimensi dan Atribut
Skor
Buruk
Baik
(bad)
(good)
0,1,2
0
2
Hasil
Kriteria Gambut Pantai
Gambut Sungai
Di bawah (0); sama (1); diatas standar nasional (2)
1
1
1.
Tingkat Pendidikan
2.
Pemberdayaan masyarakat
0,1,2,3
0
3
Tidak ada (0); ada tetapi tidak berjalan(1); kurang optimal (2); optimal (3)
1
2
3.
Peran masyarakat adat
0,1,2,3
0
3
Rendah (0); sedang (1); tinggi (2); sangat tinggi (3)
2
1
4.
Pola hubungan masyarakat dalam perkebunan sawit
0,1,2
0
2
Tidak saling menguntungkan (0); saling menguntungkan (1); sangat menguntungkan (2)
1
1
5.
Akses masyarakat dalam kegiatan perkebunan sawit
0,1,2,3
0
3
Tidak punya akses (0); rendah (1); sedang (2); tinggi (3)
1
2
6.
Intensitas konflik lahan
0,1,2,3
0
3
Sangat tinggi (0); tinggi (1); sedang (2); tidak ada (3)
1
1
7.
Tingkat kemandirian masyarakat
0,1,2,3
0
3
Rendah (0); sedang (1); tinggi (2); sangat tinggi (3)
1
1
8.
Peluang Kemitraan
0,1,2,3
0
3
Rendah (0); sedang (1); tinggi (2); sangat tinggi (3)
1
2
9.
Peluang pemasaran produk lokal
0,1,2,3
0
3
Rendah (0); sedang (1); tinggi (2); sangat tinggi (3)
3
3
10.
Partisipasi sosial
0,1,2,3
0
3
Rendah (0); sedang (1); tinggi (2); sangat tinggi (3)
1
1
189
Lampiran 8. Dimensi infrastruktur & teknologi dan atribut keberlanjutan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti Riau.
No.
Dimensi dan Atribut
Skor
Buruk
Baik
(bad)
(good)
0,1,2,3
0
3
0,1,2
0
0,1,2,3
Hasil
Kriteria Gambut Pantai
Gambut Transisi
Rendah (0); sedang (1); tinggi (2); sangat tinggi (3)
1
1
2
Tidak tersedia(0); tersedia tetapi tidak optimal (1); tersedia optimal (2)
0
1
0
3
Tidak tersedia (0); tekhnologi sedang (1); tekhnologi tinggi (2)
1
1
1.
Penguasaan teknologi budidaya sawit
2.
Sistem informasi perkebunan
3.
Industri pengolahan sawit
4.
Penggunaan alat dan mesin budidaya
0,1,2
0
2
Tidak ada (0); sebagian kecil (1); umumnya menggunakan (2)
1
1
5.
Standarisasi mutu produk sawit
0,1,2
0
2
Belum diterapkan (0); diterapkan (2)
0
0
6.
Dukungan sarana dan prasarana
0,1,2
0
2
Tidak memadai (0); cukup (1), sangat memadai (2)
1
2
7.
Ketersediaan basis data perkebunan
0,1,2
0
2
Tidak tersedia (0); terbatas (1); tersedia (2)
0
0
8.
Teknologi lokal
0,1,2,3
0
3
Rendah (0); sedang (1); tinggi (2); sangat tinggi (3)
1
1
190
Lampiran 9. Dimensi hukum & kelembagaan dan atribut keberlanjutan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti Riau. No.
Dimensi dan Atribut
Skor
Buruk
Baik
(bad)
(good)
1.
Kebijakan pusat dan daerah pada perkebunan sawit
0,1,2
0
2
2.
Ketersediaan lembaga kelompok tani
0,1,2
0
3.
Keberadaan lembaga keuangan mikro
0,1,2
4.
Ketersediaan lembaga sosial
5.
Penyuluh lapangan
6.
Interaksi lembaga
7.
8.
Hasil
Kriteria Gambut Pantai
Gambut Sungai
Tidak sinkron (0); kurang sinkron (1); sinkron (2)
1
1
2
Tidak ada (0); ada tetapi tidak berjalan (1); ada dan berjalan (2)
0
1
0
2
Tidak ada (0); ada tetapi tidak berjalan (1); ada dan berjalan (2)
0
1
0,1,2
0
2
Tidak ada (0); ada tetapi tidak berjalan (1); ada dan berjalan (2)
2
2
0,1,2
0
2
Tidak ada (0); ada tetapi tidak berjalan (1); ada dan berjalan (2)
0
0
0,1,2
0
2
Tidak ada (0); ada tetapi tidak ber-jalan (1); ada dan berjalan (2)
1
1
Kelembagaan pelayanan kesehatan
0,1,2
0
2
Tidak ada (0); ada tetapi tidak berjalan (1); ada dan berjalan (2)
2
2
Pengelolaan kelembagaan ekonomi
0,1,2
0
2
Tidak ada (0); ada tetapi tidak berjalan (1); ada dan berjalan (2)
0
1
antar
191
Lampiran 10. Dimensi dan atribut yang menjadi faktor pengungkit utama menentukan indeks keberlanjutan lahan gambut pada agroekologi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti Riau. Gambut Pantai (B) Ekologi
Ekonomi
Sosial
Infrastruktur dan Teknologi
Hukum dan Kelembagaan
Gambut Transisi (C) Ekologi
Ekonomi
Sosial
Infrastruktur dan Teknologi
Hukum dan Kelembagaan
Hasil MDS 1. Pengaturan tata air 2. Penggunaan amelioran/pemupukan 3. Kebakaran lahan 1. Pemasaran TBS Sawit 2. Kredit usaha tani 3. Jumlah penduduk miskin 4. Status kepemilikan lahan 1. Peluang Kemitraan 2. Intensitas konflik lahan 3. Pemberdayaan masyarakat 4. Tingkat Pendidikan 1. Dukungan sarana dan prasarana 2. Standarisasi mutu produk sawit 3. Industri pengolahan sawit 1. Interaksi antar lembaga 2. Keberadaan lembaga keuangan mikro 3. Ketersedian lembaga kelompok tani Hasil MDS 1. Pengaturan tata air 2. Penggunaan amelioran/pemupukan 3. Kebakaran lahan 4. Produktifitas Lahan 1. Pemasaran TBS Sawit 2. Kredit usaha tani 3. Jumlah penduduk miskin 4. Status kepemilikan lahan 5. Harga TBS Sawit 1. Peluang Kemitraan 2. Intensitas konflik lahan 3. Pemberdayaan masyarakat 1. Dukungan sarana dan prasarana 2. Standarisasi mutu produk sawit 3. Industri pengolahan sawit 1. Interaksi antar lembaga 2. Keberadaan lembaga keuangan mikro 3. Ketersedian lembaga kelompok tani
192
Lampiran 11. Analisis finansial perkebunan kelapa sawit Tabel 1. Biaya investasi awal (1–3 tahun) pada perkebunan kelapa sawit rakyat (1 ha) Uraian Biaya
Tahun 0
Tahun 1
Tahun 2
Tahun 3
Total
Biaya Investasi Awal Land clearing pembuatan saluran
dan
4,045,013
4,045,013
Pembibitan kelapa sawit
1,632,000
1,632,000
Pengawetan tanah
1,838,195
1,838,195
Penaman kacang kacangan
1,624,021
1,624,021
Penanaman kelapa sawit
1,872,027
1,872,027
Pembuatan prasarana
4,644,636
4,644,636
Survei & sensus Subtotal
58,365
58,365
14,203,857
15,714,257
Biaya Investasi Awal Biaya Pemeliharaan Piringan & Gawangan
1,050,563
366,510
366,510
1,783,583
Pengendalian gulma
36,852
26,489
17,659
81,000
Pemupukan tanaman
2,310,576
2,820,037
4,159,952
9,290,565
58,301
28,155
63,499
149,955
-
-
-
-
-
61,913
72,956
134,869
60,802
11,673
11,673
84,148
196,882
196,882
877,897
676,408
676,408
2,230,713
29,182
29,182
29,182
87,546
Pengendalian penyakit
hama
dan
Tunas pokok Kastrasi dan sanitasi Penyisipan dan konsolidasi pokok doyong Perawatan parit konservasi tanah
dan
-
Perawatan prasarana Survei dan sensus Subtotal Total Biaya Tanam
4,424,173
4,217,249
5,594,721
14,236,143
14,203,857
4,424,173
4,217,249
5,594,721
28,440,000
520,000
520,000
520,000
1,560,000
14,203,857
4,944,173
4,737,249
6,114,721
33,000,000
Alokasi biaya tak langsung Total biaya ( Rp )
393,764
193
Tabel 2. Total biaya investasi pada perkebunan kelapa sawit (6.000 ha) NO 1
BIAYA INVESTASI Investasi Tanaman s/d umur 3 th - Biaya Investasi awal - Biaya Pemeliharaan - Alokasi Biaya Tak Langsung
2
Investasi Non Tanaman - Bangunan - Kendaraan dan alat Berat - Mesin- mesin
Besar Biaya
Total (RP) 180,510,000,000
15,203,857 9,568,974 5,227,169 30,000,000 16,592,429,100 7,314,137,100 6,921,192,000 2,357,100,000 16,592,429,100
3
4
Investasi Proyek PKS dan Jembatan - Satu Unit Pabrik Sawit - Jembatan Permanen Biaya Perolehan Lahan Amdal - HGU - IUP - FS - PERIJINAN - AMDAL
63,256,000,000 60,400,000,000 2,856,000,000 63,256,000,000 1,700,000,000 1,000,000,000 100,000,000 100,000,000 150,000,000 350,000,000 1,700,000,000 TOTAL
262,058,429,100
194
Tabel
Tahun
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038
3. Estimasi Produksi TBS ( 6.000 ha)
Umur (tahun) 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 TOTAL
Produksi TBS (ton ha-1) 7 15 19 23 26 28 28 28 28 28 28 26 25 24.5 24 23 23 21 21 20 19 18 17
(Tandan Buah Segar) Perkebunan Sawit
Luas Tanaman Per tahun Tahun Tanam 2011 2012 2013 Luas (ha) 2000 2500 1517 14,000 30,000 17,500 38,000 37,500 10,619 46,000 47,500 22,755 52,000 57,500 28,823 56,000 65,000 34,891 56,000 70,000 39,442 56,000 70,000 42,476 56,000 70,000 42,476 56,000 70,000 42,476 56,000 70,000 42,476 52,000 70,000 42,476 50,000 65,000 42,476 49,000 62,500 39,442 48,000 61,250 37,925 46,000 60,000 37,167 46,000 57,500 36,408 42,000 57,500 34,891 42,000 52,500 34,891 40,000 52,500 31,857 38,000 50,000 31,857 36,000 47,500 30,340 34,000 45,000 28,823 42,500 27,306 25,789 1,039,000 1,298,750 788,082
Jumlah
14,000 47,500 86,119 116,255 138,323 155,891 165,442 168,476 168,476 168,476 168,476 164,476 157,476 150,942 147,175 143,167 139,908 134,391 129,391 124,357 119,857 113,840 107,823 69,806 25,789 3,030,237
195
Tabel 4. Estimasi Produksi MKS (Minyak Kelapa Sawit) Perkebunan Sawit ( 6.000 ha)
Tahun
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038
Umur (tahun)
Produksi MKS (ton ha-1)
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
1.40 3.15 4.18 5.29 5.98 6.58 6.58 6.65 6.65 6.65 6.65 6.18 5.94 5.82 5.70 5.46 5.46 4.99 4.99 4.75 4.51 4.28 3.99
TOTAL
Luas Tanaman Per tahun Tahun Tanam 2011 2012 2013 Luas (ha) 2000 2500 1517 2,800 6,300 3,500 8,360 7,875 2,124 10,580 10,450 4,779 11,960 13,225 6,341 13,160 14,950 8,025 13,160 16,450 9,072 13,300 16,450 9,982 13,300 16,625 9,982 13,300 16,625 10,088 13,300 16,625 10,088 12,350 16,625 10,088 11,875 15,438 10,088 11,638 14,844 9,367 11,400 14,547 9,007 10,925 14,250 8,827 10,925 13,656 8,647 9,975 13,656 8,287 9,975 12,469 8,287 9,500 12,469 7,566 9,025 11,875 7,566 8,550 11,281 7,206 7,973 10,688 6,845 9,966 6,485 6,048 243,631 294,572 172,261
Jumlah
2,800 9,800 18,359 25,809 31,526 36,135 38,682 39,732 39,907 40,013 40,013 39,063 37,401 35,849 34,954 34,002 33,228 31,918 30,730 29,535 28,466 27,037 25,506 16,451 6,048 710,463
196
Tabel 5. Estimasi Produksi IKS (Inti Kelapa Sawit) Perkebunan Sawit ( 6.000 ha)
Tahun
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038
Umur (tahun)
Produksi IKS (ton ha-1)
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
0.32 0.71 0.95 1.21 1.37 1.54 1.54 1.54 1.54 1.54 1.54 1.43 1.38 1.35 1.32 1.27 1.27 1.16 1.16 1.10 1.05 0.99 0.92
TOTAL
Luas Tanaman Per tahun Tahun Tanam 2009 2010 2011 Luas (ha) 2000 2500 1517 630 1,425 788 1,900 1,781 478 2,415 2,375 1,081 2,730 3,019 1,441 3,080 3,413 1,832 3,080 3,850 2,071 3,080 3,850 2,336 3,080 3,850 2,336 3,080 3,850 2,336 3,080 3,850 2,336 2,860 3,850 2,336 2,750 3,575 2,336 2,695 3,438 2,169 2,640 3,369 2,086 2,530 3,300 2,044 2,530 3,163 2,002 2,310 3,163 1,919 2,310 2,888 1,919 2,200 2,888 1,752 2,090 2,750 1,752 1,980 2,613 1,669 1,843 2,475 1,585 2,304 1,502 1,398 56,318 68,094 39,817
Jumlah
630 2,213 4,159 5,871 7,190 8,324 9,001 9,266 9,266 9,266 9,266 9,046 8,661 8,302 8,095 7,874 7,695 7,392 7,117 6,840 6,592 6,261 5,903 3,805 1,398 164,229
198
Tabel 6. Analisis finansial (cash flow) investasi perkebunan kelapa sawit skala industri (6.000 ha) Thn 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Investasi
Operasi
Pokok pinjaman
Bunga bank
78,401,973,734
Total
8,188,495,056 15,291,208,608 25,408,246,824 29,650,198,824 32,906,858,592 33,647,475,972 33,647,475,972 35,101,077,480 36,154,109,928 37,238,733,300 38,355,895,608 39,131,627,748 40,050,672,852 40,337,987,232 41,020,520,028 41,746,516,764 63,898,648,896 64,910,766,036 66,135,844,740 66,809,259,564 67,463,558,412 68,096,984,928 67,507,701,180 992,699,864,544
2,861,672,041 3,376,773,009 3,984,592,150 4,701,818,737 5,548,146,110 6,546,812,410 7,725,238,644 9,115,781,599 10,756,622,287 12,692,814,299 14,977,520,873 17,673,474,630 20,854,700,064 24,608,546,075 29,038,084,368 34,264,939,555 40,432,628,675 47,710,501,836 56,298,392,167 66,432,102,757 419,601,162,286
33,019,362,067 38,962,847,239 45,976,159,742 54,251,868,495 64,017,204,824 75,540,301,692 75,025,200,725 74,417,381,583 73,700,154,996 72,853,827,624 71,855,161,324 70,676,735,090 69,286,192,134 67,645,351,446 65,709,159,435 63,424,452,861 60,728,499,104 57,547,273,670 53,793,427,659 49,363,889,365 44,137,034,179 37,969,345,059 30,691,471,898 22,103,581,567 11,969,870,977 1,384,665,754,755
Total Cost 78,401,973,734 33,019,362,067 38,962,847,239 54,164,654,798 69,543,077,103 89,425,451,648 108,052,172,558 111,308,832,326 112,049,449,706 112,049,449,706 113,503,051,214 114,556,083,662 115,640,707,034 116,757,869,342 117,533,601,482 118,452,646,586 118,739,960,966 119,422,493,762 120,148,490,498 142,300,622,630 143,312,739,770 144,537,818,474 145,211,233,298 145,865,532,146 146,498,958,662 145,909,674,914 2,875,368,755,318
Gross Benefit
55,639,199,000 119,226,855,000 151,020,683,000 182,814,511,000 206,659,882,000 222,556,796,000 222,556,796,000 222,556,796,000 222,556,796,000 222,556,796,000 222,556,796,000 206,659,882,000 198,711,425,000 194,737,196,500 190,762,968,000 182,814,511,000 182,814,511,000 166,917,597,000 166,917,597,000 158,969,140,000 151,020,683,000 143,072,226,000 135,123,769,000 4,129,223,411,500
Net Benefit (78,401,973,734) (33,019,362,067) (38,962,847,239) 1,474,544,202 49,683,777,897 61,595,231,352 74,762,338,442 95,351,049,674 110,507,346,294 110,507,346,294 109,053,744,786 108,000,712,338 106,916,088,966 105,798,926,658 89,126,280,518 80,258,778,414 75,997,235,534 71,340,474,238 62,666,020,502 40,513,888,370 23,604,857,230 22,379,778,526 13,757,906,702 5,155,150,854 (3,426,732,662) (10,785,905,914) 1,253,854,656,182
199
Tabel 7. Analisis finansial (cash flow) investasi perkebunan kelapa sawit (lanjutan...) Thn 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Total
Net Benefit (78,401,973,734) (33,019,362,067) (38,962,847,239) 1,474,544,202 49,683,777,897 61,595,231,352 74,762,338,442 95,351,049,674 110,507,346,294 110,507,346,294 109,053,744,786 108,000,712,338 106,916,088,966 105,798,926,658 89,126,280,518 80,258,778,414 75,997,235,534 71,340,474,238 62,666,020,502 40,513,888,370 23,604,857,230 22,379,778,526 13,757,906,702 5,155,150,854 (3,426,732,662) (10,785,905,914) 1,253,854,656,182
Pajak (15%) (11,760,296,060) (4,952,904,310) (5,844,427,086) 221,181,630 7,452,566,685 9,239,284,703 11,214,350,766 14,302,657,451 16,576,101,944 16,576,101,944 16,358,061,718 16,200,106,851 16,037,413,345 15,869,838,999 13,368,942,078 12,038,816,762 11,399,585,330 10,701,071,136 9,399,903,075 6,077,083,256 3,540,728,585 3,356,966,779 2,063,686,005 773,272,628 (514,009,899) (1,617,885,887) 188,078,198,427
Df 17% 1.000 0.893 0.797 0.712 0.636 0.567 0.507 0.452 0.404 0.361 0.322 0.287 0.257 0.229 0.205 0.183 0.163 0.146 0.130 0.116 0.104 0.093 0.083 0.074 0.066 0.059
Net benefit-pajak (66,641,677,674) (28,066,457,757) (33,118,420,153) 1,253,362,572 42,231,211,212 52,355,946,649 63,547,987,676 81,048,392,223 93,931,244,350 93,931,244,350 92,695,683,068 91,800,605,488 90,878,675,621 89,929,087,660 75,757,338,441 68,219,961,652 64,597,650,204 60,639,403,103 53,266,117,427 34,436,805,115 20,064,128,646 19,022,811,747 11,694,220,697 4,381,878,226 (2,912,722,762) (9,168,020,027) 1,065,776,457,755
NPV (66,641,677,674) (25,060,540,131) (26,402,004,546) 892,143,479 26,837,934,726 29,706,764,129 32,193,410,557 36,658,187,803 37,929,436,469 33,871,606,713 29,838,740,380 26,383,494,017 23,328,556,032 20,611,746,892 15,499,951,445 12,463,786,994 10,535,876,748 8,829,097,092 6,924,595,266 3,998,113,074 2,080,650,141 1,759,610,087 965,942,630 323,382,613 (191,948,430) (539,079,578) 242,797,776,924
200
Tabel 8. Analisis finansial (cash flow) investasi perkebunan kelapa sawit (lanjutan...) thn 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Df 17% 1.0000 0.8929 0.7972 0.7118 0.6355 0.5674 0.5066 0.4523 0.4038 0.3606 0.3219 0.2874 0.2567 0.2292 0.2046 0.1827 0.1631 0.1456 0.13 0.1161 0.1037 0.0925 0.0826 0.0738 0.0659 0.0588
Net benefit-pajak (66,641,677,674) (28,066,457,757) (33,118,420,153) 1,253,362,572 42,231,211,212 52,355,946,649 63,547,987,676 81,048,392,223 93,931,244,350 93,931,244,350 92,695,683,068 91,800,605,488 90,878,675,621 89,929,087,660 75,757,338,441 68,219,961,652 64,597,650,204 60,639,403,103 53,266,117,427 34,436,805,115 20,064,128,646 19,022,811,747 11,694,220,697 4,381,878,226 (2,912,722,762) (9,168,020,027) 1,065,776,457,755
VP1 (66,641,677,674) (25,060,540,131) (26,402,004,546) 892,143,479 26,837,934,726 29,706,764,129 32,193,410,557 36,658,187,803 37,929,436,469 33,871,606,713 29,838,740,380 26,383,494,017 23,328,556,032 20,611,746,892 15,499,951,445 12,463,786,994 10,535,876,748 8,829,097,092 6,924,595,266 3,998,113,074 2,080,650,141 1,759,610,087 965,942,630 323,382,613 (191,948,430) (539,079,578) 242,797,776,924
Df 24%
VP2 1.000 0.813 0.661 0.537 0.437 0.355 0.507 0.452 0.404 0.361 0.126 0.287 0.257 0.068 0.055 0.183 0.036 0.030 0.024 0.020 0.016 0.013 0.010 0.009 0.007 0.006
(66,641,677,674) (22,818,030,156) (21,887,963,879) 673,557,046 18,450,816,179 18,596,832,250 32,193,410,557 36,658,187,803 37,929,436,469 33,871,606,713 11,698,195,203 26,383,494,017 23,328,556,032 6,097,192,143 4,166,653,614 12,463,786,994 2,325,515,407 1,796,139,120 1,278,386,818 671,517,700 319,019,645 245,394,272 116,942,207 37,684,153 (20,389,059) (52,257,714) 157,882,005,859
201
Tabel 9. Analisis finansial (cash flow) investasi perkebunan kelapa sawit (lanjutan...) thn 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Investasi
Operasi
(66,641,677,674) (28,066,457,757) (33,118,420,153)
DF 17%
OM
1.000
8,188,495,056 15,291,208,608 25,408,246,824 29,650,198,824 32,906,858,592 33,647,475,972 33,647,475,972 35,101,077,480 36,154,109,928 37,238,733,300 38,355,895,608 39,131,627,748 40,050,672,852 40,337,987,232 41,020,520,028 41,746,516,764 63,898,648,896 64,910,766,036 66,135,844,740 66,809,259,564 67,463,558,412 68,096,984,928 67,507,701,180
0.8929 0.7972 0.7118 0.6355 0.5674 0.5066 0.4523 0.4038 0.3606 0.3219 0.2874 0.2567 0.2292 0.2046 0.1827 0.1631 0.1456 0.1300 0.1161 0.1037 0.0925 0.0826 0.0738 0.0659 0.0588
5,828,570,781 9,717,563,070 14,416,639,248 15,020,790,724 14,883,772,141 13,586,850,797 12,133,279,836 11,299,036,841 10,390,691,193 9,559,182,838 8,791,171,273 8,006,331,037 7,317,257,930 6,579,125,718 5,972,587,716 5,427,047,179 7,418,633,137 6,731,246,438 6,117,565,638 5,518,444,840 4,978,810,611 4,487,591,307 3,969,452,829
Net Benefit kurang pajak (66,641,677,674) (28,066,457,757) (33,118,420,153) 1,253,362,572 42,231,211,212 52,355,946,649 63,547,987,676 81,048,392,223 93,931,244,350 93,931,244,350 92,695,683,068 91,800,605,488 90,878,675,621 89,929,087,660 75,757,338,441 68,219,961,652 64,597,650,204 60,639,403,103 53,266,117,427 34,436,805,115 20,064,128,646 19,022,811,747 11,694,220,697 4,381,878,226 (2,912,722,762) (9,168,020,027)
NPV
892,143,479 26,837,934,726 29,706,764,129 32,193,410,557