MODEL PENDUGAAN BANJIR DAN KEKERINGAN (STUDI KASUS DI DAS SEPARI, KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR)
M. LUTHFUL HAKIM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ABSTRACT M. LUTHFUL HAKIM. Modeling of Flood and Drought Prediction (Case Study in Separi Watershed, Kutai Kartanegara, East Kalimantan). Under the supervision of: OTENG HARIDJAJA, SUDARSONO, and GATOT IRIANTO. A huge disaster might be happened as a result of land use change especially forest that has good cover then was barely opened to rain drop impact as a result of trees cutting. Two negatives impacts that usually happened are flood in the rainy season and drought in the dry season. The phenomena most likely happened in a complex situation within a watershed. A research of the modeling of flood and drought prediction must be implemented to have better understanding of this phenomena and further to have an example of a better watershed management in Indonesia. Separi watershed in East Kalimantan that ideally represented of a forest that had been cut within a watershed had been selected for the study. The objective of this study are: 1) to design models of flood (peak discharge and time to peak discharge) and drought prediction in Separi watershed, and 2) optimum land use composition for decreasing flood and drought, and furthermore for better watershed Separi management. The result of this study showed that discharge of overland flow for watershed with loamy soil texture are 30% and 37% higher compared than watershed with sandy and clay dominant soil, respectively. The watershed with clay dominant soil texture have time to peak discharge higher compared than watershed with loamy and sandy dominant soil texture, respectively. The characteristic of watershed geomorphology have an impact of overland flow discharge and time to peak discharge. A watershed has higher Gravelius Index, main of stream length, and ratio of mean length which is larger and longer area will have a lower overland flow discharge, and the watershed have a shorter drainage density will have a faster time to reach its peak discharge. The flood prediction model based on land and watershed geomorphology characteristics by using three production function methods (A, B, and C) able to have similar peak discharge of overland flow and time to peak discharge simulation which is not differ with field measurement result, and have model accuration level (Nash and Sutcliffe criteria) of 93% for method of A, 85% for method of B, and 62% for method of C. The optimum land use composition in order to decrease peak discharge of overland flow and time to peak discharge indicates the composition of land use in Separi watershed: 54% for forest area, 1.9% for farm/garden, 0.12% for urban, 0.5% for paddy field, 42% for coppice, and 1.99% for coal-mine is the optimum. The result analysis of land water balance showed that crop water deficit (drought) during five year (2001 – 2005) in Separi watershed happen in the year 2004 (months of October) and 2005 (months of August and September). The result of identification and analysis of drought compared with soil water balance (Thornthwaite and Mather, 1957) using of remote sensing technology in Separi watershed are similarly in pattern, but both methods are statistically differ (R2=0,26).
Keywords: flood prediction, drought, watershed
RINGKASAN M. LUTHFUL HAKIM. Model pendugaan Banjir dan Kekeringan (Studi Kasus di DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur). Dibimbing oleh OTENG HARIDJAJA, SUDARSONO, dan GATOT IRIANTO. Alih fungsi penggunaan lahan hutan menjadi non hutan berdampak negatif terhadap banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Penelitian pemodelan pendugaan banjir (debit puncak dan waktu menuju debit puncak) dan kekeringan perlu dilakukan untuk pengelolaan DAS di Indonesia. Tujuan penelitian ini: 1) merakit model pendugaan banjir dan kekeringan di DAS Separi, dan 2) menentukan komposisi luas penggunaan lahan secara optimal dalam rangka penanggulangan banjir dan kekeringan, serta pengelolaan DAS Separi. DAS Separi, kabupaten Kutai Kartanegara, propinsi Kalimantan Timur pada koordinat 00003’ – 00038’ LS dan 117008’ – 117031’ BT dipilih sebagai lokasi penelitian. Waktu penelitian lapang adalah bulan Januari 2005 – Juni 2006. Metode penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: 1) pengumpulan data, 2) penyusunan model pendugaan banjir dan kekeringan, serta parameterisasi model, 3) uji akurasi model, dan 4) penerapan model. Model pendugaan banjir terdiri dari: 1) pemodelan fungsi produksi (metode A, B, dan C) dan 2) pemodelan fungsi transfer. Pemodelan fungsi produksi metode A merupakan curah hujan netto yang dihitung dari curah hujan bruto yang tercatat di penangkar hujan (Pb)dengan koefisien aliran permukaan (Kr). Untuk metode B merupakan curah hujan sisa yang dihitung dari selisih curah hujan bruto dengan jumlah air yang diintersepsi oleh tanaman (INTCP) dan air yang diinfiltrasikan ke dalam tanah f(t). Untuk metode C merupakan curah hujan sisa yang dihitung dari neraca air lahan. Model pendugaan kekeringan terdiri dari: 1) analisis neraca air lahan metode Thornthwaite dan Mather (1957) dan 2) teknologi penginderaan jauh. Pendugaan kekeringan dengan teknologi penginderaan jauh didasarkan dari analisis kombinasi tingkat kelembaban permukaan lahan (wetness index) dengan tingkat kehijauan tanaman (NDVI) dari data citra Landsat 7 perekaman tanggal 3 April 2002, 21 Mei 2002, 8 Juli 2002, dan 9 September 2002. Hasil penelitian menunjukkan total debit aliran permukaan pada DAS yang didominasi tanah bertekstur lempung lebih tinggi 30% dibandingkan DAS yang didominasi tanah bertekstur pasir dan 37% dibandingkan DAS yang didominasi tanah bertekstur liat. Untuk waktu menuju debit puncak DAS yang didominasi tekstur tanah liat memiliki waktu menuju debit puncak lebih cepat dibandingkan dengan DAS didominasi tekstur tanah lempung dan DAS yang didominasi tekstur tanah pasir. Total debit puncak aliran permukaan dan waktu menuju debit puncak sangat dipengaruhi oleh karakteristik geomorfologi DAS, yang mana DAS dengan Indek Gravelius, panjang sungai utama, dan rasio rata-rata panjang sungai makin besar akan memiliki total debit aliran permukaan lebih kecil, dan DAS dengan kerapatan jaringan sungai yang makin pendek akan memiliki waktu menuju debit puncak yang lebih cepat. Model pendugaan banjir berbasis karakteristik lahan dan geomorfologi DAS (metode A, B, dan C) dapat digunakan untuk memprediksi debit puncak (Qp) dan waktu menuju debit puncak (tp) dengan tingkat akurasi model menurut kriteria Nash dan Sutcliffe (F) berturut-turut adalah 93%, 85%, dan 62%, sehingga urutan model pendugaan banjir terbaik adalah metode A, B, dan C. Hasil analisis sensitivitas perubahan penggunaan lahan hutan 1% dan semak belukar 94% menjadi 54% untuk hutan dan 42% semak belukar berdampak terhadap penurunan debit puncak aliran permukaan (Qp) 23% dan memperlambat waktu menuju debit puncak (tp) 1,8 jam. Komposisi luas
penggunaan lahan optimal di DAS Separi untuk menurunkan debit puncak aliran permukaan dan memperlambat waktu menuju debit puncak adalah luas hutan 54%, kebun/ladang 1,9%, pemukiman 0,12%, persawahan 0,5%, semak belukar 42%, dan tambang batubara 1,99% dari total luas DAS Separi. Hasil analisis neraca air lahan di DAS Separi selama lima tahun (2001 – 2005) terhadap defisit air tanaman (kekeringan) diperoleh bahwa kekeringan terjadi pada tahun 2004 (bulan Oktober) dan 2005 (bulan Agustus dan September). Hasil identifikasi dan analisis kekeringan dengan menggunakan metode neraca air lahan (Thornthwaite dan Mather, 1957) memiliki pola yang hampir sama dengan hasil analisis teknologi penginderaan jauh di DAS Separi, tetapi secara statistik kedua metode tersebut berbeda (R2=0,26). Hal tersebut menunjukkan penggunaan teknologi penginderaan jauh (citra Landsat 7) dapat mempercepat dalam identifikasi potensi tingkat kekeringan, baik secara ruang (spasial) maupun waktu (temporal). Untuk meningkatan hasil akurasi prediksi kekeringan dengan teknologi penginderaan jauh, maka koreksi geometrik dan radiometrik harus dilakukan dengan benar dan akurat, serta data citra Landsat 7 yang digunakan memiliki tutupan awan kurang dari 10%.
Kata kunci: pendugaan banjir, kekeringan, daerah aliran sungai
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul : “Model pendugaan Banjir dan Kekeringan (Studi Kasus di DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur)“ adalah gagasan atau hasil penelitian saya sendiri di bawah bimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dari rujukan. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar apapun di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Jakarta, 2 Juni 2008
M. Luthful Hakim
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutup sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah, b) Pengutupan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
MODEL PENDUGAAN BANJIR DAN KEKERINGAN (STUDI KASUS DI DAS SEPARI, KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR)
M. LUTHFUL HAKIM
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Nora Herdiana Pandjaitan, DEA 2. Dr. Ir. Abdurachman Adimihardja, MSc., APU
Judul Disertasi
: Model pendugaan Banjir dan Kekeringan (Studi Kasus di DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur)
Nama
: M. Luthful Hakim
NRP
: A226014011
Program Studi
: Ilmu Tanah
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc Ketua
Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc Anggota
Dr. Ir. Gatot Irianto, MS Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Tanah
Dr. Ir. Atang Sutandi, MS
Tanggal Ujian :
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 9 Nopember 1971 sebagai anak pertama dari pasangan H. A. Choiri Zen, SH dan Hj. Maskanah Dz. Pendidikan sarjana (S1) ditempuh di Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang pada tahun 1996. Pada tahun 1999, penulis melanjutkan pendidikan program magister sains (S2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana, IPB dan selesai pada tahun 2001. Pada tahun 2002, penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan program doktor (S3) di Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana, IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana pada saat melanjutkan program S2 dan S3 diperoleh dari Badan LITBANG Pertanian, Departemen
Pertanian
melalui
Proyek
Pengkajian
Teknologi
Pertanian
Partisipatif (PAATP). Pada tahun 1996 sampai Agustus 1997, penulis terlibat aktif dalam kegiatan penelitian BMSF (Biological Management and Soil Fertility) di Lampung kerjasama antara Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya dengan ICRAF, Bogor. Pada tahun 1997 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai staf peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur, Balai Besar Pengkajian Teknologi Pertanian, Badan LITBANG Pertanian, Departemen Pertanian. Selama bekerja di BPTP Kaltim, penulis terlibat dalam kegiatan Pemetaan Zona Agroekologi (ZAE) di propinsi Kalimantan Timur.
vi
KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan rizki-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini dengan sebaik-baiknya.
Judul disertasi adalah “Model
Pendugaan Banjir Dan Kekeringan: Studi Kasus di DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur”. Tujuan disertasi adalah untuk menyusun model pendugaan banjir dan kekeringan, serta menentukan komposisi luas penggunaan lahan yang optimal untuk penanggulangan banjir dan kekeringan. Disertasi ini sangat penting sekali dalam upaya untuk mengetahui pengaruh karakteristik fisik tanah (tekstur tanah) dan geomorfologi DAS, distribusi curah hujan wilayah, dan perubahan penggunaan lahan terhadap banjir (debit puncak dan waktu menuju debit puncak) dan kekeringan. Selain itu, untuk mengotomatisasi proses pembuatan peta-peta digital, seperti : peta bentuk lahan, kelerengan, penggunaan lahan, dan rekonstruksi jaringan sungai, maka dalam disertasi ini digunakan teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) dan Remote Sensing. Keluaran dari disertasi ini adalah model pendugaan banjir dan kekeringan sebagai alat bantu pengambil kebijakan (decision support system) dalam pengelolaan DAS dan mitigasi bencana banjir dan kekeringan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. H. Oteng Haridjaja, MSc. (Ketua Komisi Pembimbing), Prof. Dr. Ir. H. Sudarsono, MSc. (Anggota), dan Dr. Ir. H. Gatot Irianto, MS (Anggota) atas segala bimbingan, pengarahan, dan nasehat-nasehatnya, hingga terselesaikannya penulisan disertasi ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Kepala Badan dan Ketua Pembinaan Tenaga Badan LITBANG Pertanian, Pengelola Proyek PAATP, Badan LITBANG Pertanian, Kepala BPTP Kalimantan Timur, Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Ilmu Tanah yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Selain
itu,
ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Kepala Deputi Penginderaan Jauh dan Kepala Pusat Data Penginderaan Jauh, LAPAN, Jakarta yang telah berkenan untuk menyediakan fasilitas data citra Landsat 7 untuk analisis tutupan lahan dan identifikasi kekeringan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada segenap rekan-rekan dan sahabat karib, di lingkup Program Pascasarjana Ilmu
vii
Tanah,
maupun
rekan-rekan
dari
BPTP
KALTIM,
BALITKLIMAT,
dan
BALITTANAH, Bogor yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dan memotivasi dalam penyelesaian disertasi. Akhirnya kepada Abah, Umi, Mama, Istriku tercinta Ira, dan anakku Rifa dan Faris, serta keluarga yang senantiasa telah memberikan doa, dorongan, harapan, dan biaya dalam penyelesaian penulisan disertasi ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih. Semoga semua amal kebajikan tersebut mendapatkan ridhlo dari Allah SWT. Amiin ……!
Jakarta, 2 Juni 2008
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………….…………………………………
x
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………..
xiii
PENDAHULUAN ………………………………………………………… Latar Belakang ……………………………………………………….. Tujuan …………………………………………………………………. Keluaran ………………………………………………………………. Kerangka Pemikiran ………………………………………………….
1 1 4 4 4
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………….. Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Parameter Sistem DAS ………. Banjir dan Kekeringan ………………………… ……………………. Perkembangan Teknik Komputasi Unit Hidrograf …………………
9 9 16 19
METODOLOGI PENELITIAN ………………………………………….. Tempat dan Waktu …..………………………………………………. Metode Penelitian …………………………………………………….
22 22 23
KARAKTERISTIK DAS SEPARI ……………………………………… Hidrometeorologi DAS Separi …………………………..…............ Iklim …………………………………………………………………… Topografi …………………………………………………………….. Tanah ………………………………………………………………… Karakteristik Geomorfologi DAS …………………........................ Jenis Penggunaan Lahan ………………………………………….
44 44 45 48 50 53 60
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………….. Distribusi Curah Hujan ……………………..................................... Dampak Alih Fungsi Penggunaan Lahan ..................................... Pengaruh Karakteristik Tanah Terhadap Laju Infiltrasi Tanah ..... Pengaruh Karakteristik Tanah dan Geomorfologi DAS Terhadap Unit Hidrograf ............................................................................... Model Pendugaan Banjir .............................................................. Penerapan Model Banjir ............................................................... Pendugaan Kekeringan ………………………………………………
62 62 66 70 76 80 98 103
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….. Kesimpulan …………………………………………………………… Saran ………………………………..…………………………………
115 115 116
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
118
LAMPIRAN ……………………………………………………………….
125
INDEKS ……………………………………………………………………
143
ix
DAFTAR TABEL Teks No. 1.
Halaman Jenis dan metode pengumpulan data pada pengembangan model pendugaan banjir dan kekeringan di DAS Separi ……..
25
Klasifikasi tingkat kelembaban permukaan Lahan (Shofiyati dan Dwi Kuncoro, 2007) …………………………………………..
39
Klasifikasi tingkat kehijauan tanaman (Shofiyati dan Dwi Kuncoro, 2007) ..........................................................................
40
Matrik penentuan tingkat kekeringan tanaman (Shofiyati dan Dwi Kuncoro, 2007) ...................................................................
40
Nilai emisivitas benda (Snyder et al., 1998: dalam Yang dan Wang, 2007) ..............................................................................
42
Posisi geografis stasiun pengamat tinggi muka air otomatis (AWLR) dan stasiun iklim otomatis (AWS) DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ...............................................
45
Pewilayahan iklim berdasarkan analisis data iklim tahun 2001 2005 di DAS Separi …..............................................................
47
8.
Karakteristik geometrik DAS/Sub DAS di DAS Separi ..............
55
9.
Karakteristik Morfometrik DAS/Sub DAS di DAS Separi ..........
56
10.
Uji berganda curah hujan dari stasiun iklim (AWS) Separi, Lempake, dan Marang Kayu antara tahun 2001 – 2005 ……..
64
Uji berganda curah hujan dari stasiun iklim (AWS) Separi, Lempake, Marang Kayu, dan Seleko antara tanggal 22 Februari – 17 Mei 2006 …………………………………………..
66
Alih fungsi penggunaan lahan antara tahun 1991 – 2005 di DAS Separi ...............................................................................
69
Kejadian-kejadian curah hujan mingguan (7 hari) yang menyebabkan terjadinya banjir di hilir dari DAS Separi ……….
70
Nilai laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan atau jenuh (fc), dan konstanta penjenuhan (k) untuk masingmasing jenis penggunaan lahan pada DAS Usup, DAS Soyi, dan DAS Badin ........................................................................
71
2.
3.
4.
5.
6.
7.
11.
12.
13.
14.
x
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Total debit aliran permukaan (Q ro) dan debit aliran tunda dan dasar (Q if+bf) antara ketiga Sub DAS pada beberapa episode hujan ..........................................................................................
78
Koefisien runoff (Kr) pada tiap episode hujan dan masingmasing Sub DAS .......................................................................
81
Analisis LAI (Leaf Area Index) dengan menggunakan citra Landsat 7 TM perekaman tanggal 10 September 2005 ...........
83
Debit puncak (Qp) dan waktu menuju debit puncak (tp) hasil pengukuran dengan simulasi dari 3 metode untuk ketiga Sub DAS ...........................................................................................
87
Waktu tempuh air dari masing-masing Sub DAS ke outlet DAS Separi ………………………………………………………………
97
Debit puncak (Qp) dan waktu menuju debit puncak (tp) pada beberapa episode hujan di DAS Separi ....................................
98
Skenario perubahan luas penggunaan lahan dan proses hidrologi (episode hujan 25 – 28 Maret 2006) di DAS Separi ....
100
Analisis neraca air Lahan (Thornthwaite dan Mather, 1957) pada masing-masing SPT di DAS Separi ………………………
105
Lampiran No. 1.
Halaman Legenda Peta Tanah Skala 1:50.000 dan karakteristik fisik tanah di DAS Separi (PUSLITTANAK, 1994) ............................
130
2.
Karakteristik fisik tanah pada masing-masing profil tanah ........
132
3.
Analisis data curah hujan tahun 2001 – 2005 di DAS Separi …
133
4.
Hasil perhitungan infiltrasi pada beberapa respon hidrologis di 3 Sub DAS Separi .....................................................................
134
Analisis regresi antara laju infiltrasi konstan (mm/menit) dengan bobot isi tanah (g/cm3) ..................................................
137
Perbandingan debit puncak (Qp) dan waktu menuju debit puncak (tp) antara ketiga Sub DAS ...........................................
137
Skenario perubahan komposisi luas penggunaan lahan pada masing-masing Sub DAS Separi ...............................................
137
5.
6.
7.
xi
8.
9.
10.
11.
Defisit dan surplus air dari hasil analisis neraca air metode Thornthwaite dan Mather (1957) pada masing-masing Satuan Peta Tanah (SPT) di DAS Separi ..............................................
138
Analisis neraca air Lahan (Thornthwaite dan Mather, 1957) pada kelompok kelas tekstur tanah di DAS Separi …………….
140
Indeks vegetasi (NDVI), indeks kelembaban (wetness index), dan temperatur permukaan lahan pada masing-masing vegetasi dan tekstur tanah di DAS Separi .................................
142
Identifikasi tingkat kekeringan tanaman di DAS Separi .............
142
xii
DAFTAR GAMBAR Teks No. 1.
Halaman Hubungan antara jumlah curah hujan 7 hari sebelum kejadian dan debit puncak banjir di DAS Separi ......................................
6
Diagram alir sistem aplikasi hubungan masukan – sistem – keluaran dalam model pendugaan banjir dan kekeringan ……..
8
3.
Siklus Hidrologi (Chow, 1964) ……………………………………
10
4.
Perbedaan laju infiltrasi pada jenis tanah dan penggunaan lahan yang berbeda ……………………………………………….
14
Perbedaan laju infiltrasi pada berbagai jenis tutupan/penggunaan lahan ……………………………………….
15
6.
Lokasi penelitian ……………………………………………………
22
7.
Diagram alir tahapan penelitian ………………………………….
24
8.
Penentuan kurva pdf yang didasarkan pada selang isokron ….
31
9.
Kurva fungsi kerapatan peluang (pdf) ……………………………
33
10.
Grafik pemisahan antara aliran permukaan (direct runoff), aliran tunda (interflow), dan aliran dasar (base flow) ................
34
11.
Diagram alir pemodelan fungsi produksi dan fungsi transfer …
36
12.
Peta posisi geografis stasiun iklim (AWS) dan pengamat tinggi muka air (AWLR) di DAS Separi ………………………………...
46
Peta pewilayah iklim DAS Separi, kabupaten Kutai Kartanegara, propinsi Kalimantan Timur ……………………….
47
Bentuk lahan DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ……………………………………………………………….
49
Peta kelerengan DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ……………………………………………………………….
50
Peta lokasi pengamatan profil dan infiltrasi tanah pada masing-masing Sub DAS di DAS Separi ………………………
54
Bentuk lahan Sub DAS Separi-Badin, Sub DAS Separi-Soyi, dan Sub DAS .............................................................................
56
2.
5.
13.
14.
15.
16.
17.
xiii
18.
Peta jaringan sungai DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ………………………………………………….
59
Peta jenis penggunaan lahan tahun 1991 di DAS Separi (BAKOSURTANAL, 1991) .........................................................
61
20.
Curah hujan bulanan tahun 2001 – 2005 di DAS Separi ……..
63
21.
Peta jenis penggunaan lahan tahun 1998 di DAS Separi ........
67
22.
Peta jenis penggunaan lahan tahun 2005 di DAS Separi .........
68
23.
Kurva laju infiltrasi tanah hasil pengukuran dan simulasi pada jenis penggunaan lahan A) lahan pertanian (jagung) dan B) semak belukar (alang alang) di DAS Badin .............................
73
Kurva laju infiltrasi tanah hasil pengukuran dan simulasi pada jenis penggunaan lahan A) lahan pertanian (jagung) dan B) semak belukar (Pahitan atau Centrosoma) di DAS Soyi .........
74
Kurva laju infiltrasi tanah hasil pengukuran dan simulasi pada jenis penggunaan lahan A) kebun/ladang (lada) dan B) semak belukar (Pahitan atau Centrosoma) di DAS Usup ....................
76
Kurva unit hidrograf hasil pengukuran pada Sub DAS SepariUsup, Sub DAS Separi-Badin, dan Sub DAS Separi-Soyi pada episode hujan a) 8 April 2006, b) 14 April 2006, dan c) 23 April 2006 ..................................................................................
79
Kurva fungsi kerapatan peluang (pdf) untuk a) DAS Separi, b) Sub DAS Separi-Usup, c) Sub DAS Separi-Soyi, dan d) Sub DAS Separi-Badin .....................................................................
85
Kurva debit aliran permukaan hasil pengukuran dengan simulasi (metode A, B, dan C) untuk episode hujan a) 8/04/2006, b) 14/04/2006, dan c) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Usup ..............................................................................
88
Kurva debit aliran permukaan hasil pengukuran dengan simulasi (metode A, B, dan C) untuk episode hujan a) 8/04/2006, b) 14/04/2006, dan c) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Soyi ...............................................................................
90
Kurva debit aliran permukaan hasil pengukuran dengan simulasi (metode A, B, dan C) untuk episode hujan a) 14/04/2006 dan b) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Badin ........
91
Perbandingan debit aliran permukaan hasil simulasi dengan metode C sebelum dan setelah dilakukan penambahan kedalaman stok air tanah dari 20 cm menjadi 60 cm terhadap hasil pengukuran untuk episode hujan a) 8/04/2006, b) 14/04/2006, dan c) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Usup …….
94
19.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
xiv
32.
Perbandingan debit aliran permukaan hasil simulasi dengan metode C sebelum dan setelah dilakukan penambahan kedalaman stok air tanah dari 20 cm menjadi 6 cm terhadap hasil pengukuran untuk episode hujan a) 14/04/2006 dan b) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Badin …………………………..
96
33.
Peta pembagian DAS Separi menjadi sepuluh Sub DAS ….....
97
34.
Perbandingan debit puncak dan waktu respon pada beberapa skenario perubahan luas penggunaan lahan di DAS Separi ....
102
Hubungan antara curah hujan, ETA, ETo, KL, TLP, stok air tanah, ETA, dan defisit/surplus air pada A. kelas tekstur tanah liat, B. kelas tekstur tanah lempung, dan C. kelas tekstur tanah pasir di DAS Separi (Januari 2002 – Desember 2005) .............
107
Hubungan antara indeks vegetasi dengan curah hujan bulanan di DAS Separi (perekaman bulan April – September 2002) ..........................................................................................
109
Hubungan antara temperatur permukaan lahan dengan curah hujan bulanan di DAS Separi (perekaman bulan April – September 2002) .......................................................................
110
Hubungan antara indeks vegetasi dengan temperatur permukaan lahan di DAS Separi (perekaman bulan April – September 2002) .......................................................................
111
Peta tingkat kekeringan di DAS Separi hasil analisis citra Landsat 7 perekaman tanggal : a) 03-04-2002, b) 21-05-2002, c) 08-07-2002, dan d) 10-09-2002 .............................................
113
Uji berganda perbandingan antara analisis neraca air lahan (Thornthwaite dan Mather, 1957) dengan analisis citra Landsat
114
35.
36.
37.
38.
39.
40.
Lampiran No. 1.
2.
3.
Halaman Peta jenis tanah skala 1:50.000 DAS Separi (PUSLITTANAK, 1994) ........................................................................................
125
Pembuatan bendung (weir) tipe V-Notch dengan sudut 60o di tiga Sub DAS Separi dan pemasangan alat penakar hujan di daerah Seleko ..........................................................................
126
Hubungan antara geomorfologi DAS dengan total debit aliran permukaan ...............................................................................
126
xv
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Hubungan antara geomorfologi DAS dengan waktu menuju debit puncak .............................................................................
127
Separasi hidrograf antara debit aliran permukaan dan aliran dasar untuk Sub DAS Separi-Usup pada episode hujan 14 April 2006 .................................................................................
127
Separasi hidrograf antara debit aliran permukaan dan aliran dasar untuk Sub DAS Separi-Soyi pada episode hujan 6 April 2006 .........................................................................................
128
Separasi hidrograf antara debit aliran permukaan dan aliran dasar untuk Sub DAS Separi-Badin pada episode hujan 23 April 2006 .................................................................................
128
Peta LAI (Leaf Area Index) DAS Separi hasil analisis citra Landsat 7 TM perekaman tanggal 10 September 2005 ………
129
Kurva debit aliran permukaan hasil pengukuran dengan simulasi di DAS Separi .............................................................
129
xvi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin lama semakin meningkat telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan yang sampai saat ini belum dapat teratasi secara optimal di Indonesia adalah degradasi/kerusakan lahan di daerah aliran sungai (DAS). Menurut Oldeman (1994) degradasi lahan merupakan proses berkurangnya atau hilangnya kegunaan suatu lahan atau kemampuan lahan dalam usaha meningkatkan kesejahteraan manusia. Kerusakan lahan menurut Lal (1994) disebabkan oleh kemerosotan sifat fisik (akibat pemadatan dan erosi tanah) dan sifat kimia tanah (penurunan tingkat kesuburan, keracunan dan pemasaman tanah). Dampak negatif alih fungsi lahan dari hutan menjadi non hutan adalah kerusakan lahan yang mana tanah menjadi lebih terbuka, sehingga pukulan air hujan (energi kinetik hujan) yang jatuh di atas permukaan tanah menyebabkan terbentuknya surface sealing (penutupan pori-pori tanah oleh partikel liat) dan soil crusting (pemadatan tanah). Terbentuknya surface sealing dan soil crusting berdampak terhadap menurunnya kapasitas infiltrasi dan meningkatnya volume aliran permukaan (Thierfelder, et al., 2002; Mamedov, et al., 2000; Zhang dan Miller, 1996). Menurut Black (1996) tanah sebagai salah satu faktor fisik DAS yang sangat penting dalam siklus hidrologi, yang mana faktor tanah berperan dalam menyerap, menyimpan, dan mendistribusikan air hujan yang jatuh di atasnya. Menurut Oldeman (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan lahan adalah pembukaan lahan dan penebangan kayu secara berlebihan, penggunaan lahan untuk kawasan peternakan secara berlebihan (over grazing), dan aktivitas pertanian dalam penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara
1
berlebihan. Barrow (1991) juga menyatakan bahwa kerusakan lahan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : 1) bahaya alami, 2) meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan dan intensitas penggunaan lahan, 3) kemiskinan, 4) masalah kepemilikan lahan, 5) kestabilan politik dan kesalahan administratif, 6) aspek sosial dan ekonomi, 7) penerapan teknologi yang tidak tepat, dan 8) pertambangan. Dampak lanjutan dari kerusakan lahan dan DAS adalah banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Selama sepuluh tahun terakhir ini, bencana banjir di wilayah Indonesia terjadi secara beruntun dengan intensitas, frekuensi, dan distribusi atau wilayah yang terkena bencana semakin meningkat dan meluas. Indikatornya adalah kejadian banjir di Jakarta (tahun 1996, 2002, 2004, 2005, dan 2007), Semarang (tahun 1990, 1994, 2000, 2002, 2005, dan 2006), Bondowoso, Jawa Timur (tahun 2002), Mojokerto, Jawa Timur (tahun 2002 dan 2003), Medan (tahun 2002 dan 2003), Samarinda (tahun 1998, 2003, 2004, 2005, dan 2006), dan lainnya. Demikian juga masalah kekeringan yang sering muncul setiap tahun dari wilayah yang secara ruang dan waktu memiliki curah hujan yang sangat tinggi, seperti : daerah Subang, Indramayu, Cirebon dan sekitarnya (Irianto, 2003). Menurut DITJEN Penataan Ruang (2005) dan DITJEN RRL
(2001)
kerusakan lahan dan DAS di Indonesia makin lama makin meningkat. Tahun 1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas lahan terdegradasi 9,69 juta hektar dan kemudian meningkat pada tahun 1994 menjadi 39 DAS kritis dengan luas lahan terdegradasi 12,52 juta hektar, dan tahun 2000 meningkat lagi menjadi 42 DAS kritis dengan luas lahan terdegradasi 23,71 juta hektar, dan selanjutnya pada tahun 2004 kerusakan DAS di Indonesia semakin bertambah, yakni menjadi 65 DAS dari total seluruh DAS (470) yang tersebar di pulau Sumatra (13), Jawa (26), Kalimantan (10), Sulawesi (10) Bali dan Nusa Tenggara
2
(4), dan Maluku dan Papua (4) dengan luas lahan terdegradasi 45,43 juta hektar. Salah satu dari 65 DAS yang rusak tersebut adalah DAS Mahakam di propinsi Kalimantan Timur, sedangkan DAS Separi merupakan salah satu Sub DAS Mahakam. Dampak negatif alih fungsi lahan dari hutan menjadi non hutan di DAS Separi adalah terjadi peningkatan intensitas banjir di daerah hilir dari DAS Separi yakni daerah Separi, kecamatan Tenggarong Seberang, kabupaten Kutai Kartanegara pada pertengahan tahun 1998 (27 Juni 1998) dan kemudian berulang kembali kejadian banjir tersebut pada tahun 2002 (9 Januari 2002), tahun 2003 (15 Oktober 2003), tahun 2004 (14 Maret 2004), tahun 2005 (24 Oktober dan 20 Desember 2005), dan tahun 2006 (3 Mei 2006) dengan jumlah curah hujan 7 hari di atas 100 mm. Hasil penelitian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan (1995) di Sub DAS Citarik, Jawa Barat bahwa perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian (sawah) menjadi lahan industri dan perumahan selama periode tahun 1983 – 1994 (± 11 tahun) menyebabkan terjadinya lima kali banjir di daerah hilir. Hal ini juga didukung dari hasil penelitian Kurnia et al. (2001) di DAS Kaligarang, Semarang, Jawa Tengah bahwa perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan tegalan, dan lahan sawah menjadi lahan industri, perumahan maupun tegalan dari tahun 1981 – 2000 menyebabkan kejadian banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau, serta menurunnya luas areal produksi pertanian di bagian hilir dari DAS tersebut. Kerugian yang ditimbulkan akibat banjir di daerah Separi tersebut adalah menurunnya pasokan bahan pangan (beras dan sayuran) ke kota Samarinda dan Balikpapan akibat kegagalan panen. Hal ini dikarenakan daerah Separi tersebut merupakan salah satu sentra produksi pertanian di propinsi Kalimantan Timur.
3
Untuk mengatasi bencana banjir dan kekeringan di DAS Separi secara cepat dan tepat, maka perlu disusun dan dikembangkan suatu model pendugaan banjir dan kekeringan berbasis karakteristik penggunaan lahan dan geomorfologi DAS. Fokus penelitian ini adalah mengembangkan model pendugaan banjir dan kekeringan, serta penentuan komposisi luas penggunaan lahan yang optimal di DAS Separi, kecamatan Tenggarong Seberang, kabupaten Kutai Kartanegara, propinsi Kalimantan Timur dalam rangka pengendalian bencana banjir dan kekeringan, serta pengelolaan DAS Separi secara berkelanjutan. 1.2. Tujuan 1.
Merakit model pendugaan banjir dan kekeringan berdasarkan karakteristik tekstur tanah dan geomorfologi DAS di DAS Separi, kabupaten Kutai Kartanegara, propinsi Kalimantan Timur.
2.
Menentukan komposisi luas penggunaan lahan secara optimal dalam rangka penanggulangan banjir dan kekeringan, serta pengelolaan DAS Separi,
1.3. Keluaran 1.
Model pendugaan banjir dan kekeringan sebagai alat bantu pengambil kebijakan (Decision Support System) dalam pengelolaan DAS dan mitigasi bencana banjir dan kekeringan,
2.
Rekomendasi komposisi luas penggunaan lahan, serta kebijakan lainnya dalam
pengelolaan
DAS
dengan
mempertimbangkan
kondisi
iklim,
karakteristik tanah, dan penutupan lahan. 1.4. Kerangka Pemikiran Pemanfaatan sumberdaya lahan yang melebihi dari daya dukungnya, seperti : alih fungsi penggunaan lahan dari hutan menjadi semak belukar maupun
4
tegalan, serta perubahan dari lahan sawah menjadi pemukiman di DAS Separi berdampak terhadap kerusakan tanah sehingga terjadi penurunan kapasitas infiltrasi tanah dan terjadi peningkatan volume aliran permukaan. Dampak lanjutan akibat kerusakan tanah dan lahan pada DAS Separi adalah terjadi peningkatan intensitas banjir di daerah hilir dari DAS Separi yakni daerah Separi, kecamatan Tenggarong Seberang, kabupaten Kutai Kartanegara (Gambar 1). Dampak yang ditimbulkan dari bencana banjir di bagian hilir dari DAS Separi sangat besar sekali yakni menurunnya pasokan bahan pangan (beras dan sayuran) ke kota Samarinda dan Balikpapan akibat kegagalan panen. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka diperlukan penelitian tentang pengaruh karakteristik lahan (faktor tutupan lahan dan tanah) dan geomorfologi DAS terhadap karakteristik unit hidrograf, dan penyusunan model pendugaan banjir dan kekeringan di DAS Separi. Hal ini dikarenakan kajian maupun penelitian yang berkaitan dengan konservasi tanah dan air, serta pengelolaan DAS di DAS Separi, Kutai Kartanegara relatif masih sedikit, sehingga penelitian ini sangat diperlukan. Sebenarnya perkembangan teknik komputasi untuk menduga besaran debit puncak dan waktu menuju debit puncak (unit hidrograf) sudah banyak dilakukan, seperti : model Nash (1957), TOPMODEL (Beven dan Kirkby, 1979), AGNPS (Young, et al., 1990), ANSWERS (Beasley, 1991), HEC HMS (USACE, 2000), SWAT (Neitsch et al., 2001), dan lainnya. Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa model-model tersebut dapat digunakan dengan baik atau mempunyai tingkat akurasi yang cukup tinggi dalam menduga besaran debit puncak dan waktu menuju debit puncak. Namun demikian model-model tersebut membutuhkan kelengkapan seri data yang tinggi, baik data iklim, tanah, topografi maupun jenis penggunaan lahan, dan masalah kelengkapan data inilah yang sering menjadi kendala dalam penggunaan model-model tersebut untuk DAS di
5
Indonesia. Untuk itu diperlukan penyusunan model pendugaan banjir dan
60 50
Banjir
Banjir
Banjir
160,00 140,00 120,00 100,00 80,00
40
60,00
30
3-May-06
20-Dec-05
22-Oct-05
7-Jan-05
26-Dec-04
24-Nov-04
14-Mar-04
23-Jan-04
15-Oct-03
15-May-03
0,00 30-Mar-03
0 7-Jan-03
20,00 22-Nov-02
10 17-Jun-02
40,00
9-Jan-02
20
Curah Hujan (m m )
70
180,00
Banjir
80
27-Jun-98
Debit Puncak (m 3 /detik)
90
Banjir
Banjir
100
Banjir
kekeringan yang sederhana dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Waktu
Debit Puncak
Curah Hujan 7 Hari Sebelumnya
Gambar 1. Hubungan antara jumlah curah hujan 7 hari sebelum kejadian dan debit puncak banjir di DAS Separi Pengembangan model pendugaan banjir dan kekeringan berbasis karakteristik lahan (jenis tutupan lahan dan tanah) dan geomorfologi DAS sangat diperlukan dalam pengelolaan DAS Separi secara berkelanjutan. Penyusunan dan pengembangan model pendugaan banjir (debit puncak dan waktu menuju debit puncak) didasarkan pada dua model, yaitu : 1) pemodelan fungsi produksi yaitu perubahan dari curah hujan bruto menjadi curah hujan netto (curah hujan sisa) dan 2) pemodelan fungsi transfer yaitu perubahan dari curah hujan netto menjadi debit aliran permukaan langsung. Kedua model tersebut didasarkan pada hubungan antara faktor masukan (curah hujan) dan faktor sistem DAS (jenis tutupan lahan, karakteristik tanah, jaringan drainase, dan topografi) menurut ruang dan waktu terhadap terjadinya perubahan keluaran (unit hidrograf). Model ini bekerja dengan mengintegrasikan hubungan, yaitu : 1)
6
masukan (curah hujan) yang meliputi : intensitas hujan, lamanya waktu hujan, dan distribusi hujan, 2) sistem DAS yang meliputi : parameter tutupan atau penggunaan lahan (intersepsi), karakteristik tanah (struktur tanah, tekstur tanah, pori drainase, kadar air tanah, kedalaman efektif tanah, kandungan bahan organik, dan kapasitas infiltrasi tanah), dan karakteristik kerapatan jaringan drainase atau daya tampung DAS, dan 3) keluaran yakni debit aliran permukaan (debit puncak dan waktu menuju debit puncak). Dengan demikian setiap terjadinya perubahan masukan (intensitas hujan, lamanya waktu hujan, dan distribusi hujan) maupun sistem DAS seperti perubahan tutupan/penggunaan lahan (jenis tanaman, pola tanam, dan pengolahan tanah), maka model dapat mengintegrasikannya dalam simulasi unit hidrograf (debit puncak dan waktu menuju debit puncak). Diagram alir model pendugaan banjir dan kekeringan dapat dilihat pada Gambar 2. Untuk
pengembangan
model
pendugaan
kekeringan
(Gambar
2)
didasarkan pada dua metode, yaitu : 1) kebutuhan air tanaman (neraca air lahan) metode Thornthwaite dan Mather (1957), dan 2) teknologi penginderaan jauh. Pendugaan kekeringan menurut analisis neraca air lahan metode Thornthwaite dan Mather (1957) didasarkan dari kekurangan atau defisit air tanaman yang terjadi pada saat stok air tanah (water storage) dibawah kadar air tanah kondisi titik layu permanen dan hal tersebut disebabkan curah hujan yang lebih rendah dibandingkan evapotranspirasi potensial (ETP). Pendugaan kekeringan dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh berdasarkan kombinasi antara tingkat kelembaban permukaan lahan (wetness index) dengan tingkat kehijauan tanaman (NDVI). Menurut Shofiyati dan Dwi Kuncoro (2007), bahwa kombinasi antara tingkat kelembaban permukaan lahan dengan tingkat kehijauan tanaman dari citra Landsat dapat digunakan secara efektif untuk memetakan tingkat kekeringan.
7
MASUKAN Iklim : Curah hujan, Suhu, Kelembaban, Kecepatan Angin, dan Radiasi Matahari
SISTEM DAS • Tutupan/Penggunaan Lahan • Karakteristik Tanah • Topografi (Panjang dan Kemiringan Lereng) • Kerapatan Jaringan Drainase
KELUARAN Unit Hidrograf : • Debit Puncak • Waktu Menuju Debit Puncak • Produksi Air
LUAR SISTEM DAS (HILIR) • Tutupan/Penggunaan Lahan • Karakteristik Tanah • Topografi (Panjang dan Kemiringan Lereng)
Potensi Sumberdaya Air • Kebutuhan Air Tanaman • Pola Tanam
Pendugaan Banjir dan Kekeringan
Gambar 2. Diagram alir sistem aplikasi hubungan masukan – sistem – keluaran dalam model pendugaan banjir dan kekeringan
8
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Parameter Sistem DAS Daerah aliran sungai (DAS) merupakan daerah yang dibatasi oleh topografi secara alami, sehingga semua air hujan yang jatuh di atasnya akan mengalir menuju ke suatu lokasi pembuangan (outlet). Menurut Dixon dan Easter (1986) dan Brooks et al. (1991) DAS merupakan suatu daerah (area) yang dibatasi secara topografi oleh punggung bukit dan air hujan yang jatuh di atasnya akan dialirkan melalui suatu sistem jaringan sungai sampai menuju titik pengukuran (outlet). Sebagai suatu sistem neraca air tertutup, DAS mempunyai fungsi untuk menampung masukan dari curah hujan dan mengalirkan keluaran sebagai debit aliran (Black, 1996). Menurut Chow (1964), siklus air merupakan suatu rangkaian proses peristiwa yang terjadi pada air dari saat air hujan jatuh ke permukaan bumi, dialirkan menjadi aliran permukaan ke badan-badan sungai hingga menguap ke udara, dan kemudian jatuh kembali ke permukaan bumi (Gambar 3). Selanjutnya sebagian air hujan yang jatuh akan menguap melalui evaporasi sebelum jatuh di permukaan bumi, dan sebagian lainnya akan menjadi aliran permukaan (runoff) setelah diintersepsi oleh tanaman dan terinfiltrasi ke dalam tanah, serta mengalami perkolasi dan mengalir ke badan sungai/laut sebagai aliran bawah tanah (base flow). Siklus air dan distribusi air hujan yang sampai dipermukaan bumi menurut Robinson dan Sivapalan (1996) merupakan proses perubahan air hujan menjadi aliran permukaan dan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu : 1) fungsi produksi DAS yaitu perubahan dari curah hujan bruto menjadi curah hujan netto (curah hujan sisa), dan 2) fungsi transfer DAS yaitu perubahan dari curah hujan netto menjadi aliran permukaan langsung. Curah hujan bruto didefinisikan sebagai total jumlah air hujan yang jatuh ke permukaan bumi sebelum terjadinya
9
intersepsi dan infiltrasi. Untuk curah hujan netto (curah hujan sisa) didefinisikan sebagai jumlah air hujan yang mengalir melalui jaringan hidrologi, setelah terjadinya proses intersepsi tanaman dan infiltrasi tanah jenuh. Hasil penelitian Heryani (2001) dan Sarjiman (2004) menyatakan bahwa pengujian model H2U (Hydrogramme Hydrograph Universale) dalam memprediksi debit aliran di subDAS Bunder, DAS Oyo, Kretek, Yogyakarta memiliki tingkat akurasi yang tinggi bila memasukkan parameter intersepsi tanaman dan infiltrasi tanah.
Jatuh langsung
Hujan
Evaporasi/ Evapotranspirasi
Intersepsi
Aliran permukaan
Langsung ke permukaan tanah
Simpanan permukaan tanah
Infiltrasi langsung
Infiltrasi tertunda Simpanan bawah permukaan tanah
Aliran Bawah Permukaan
Perkolasi
Cadangan bawah tanah Aliran Dasar Aliran Sungai
Gambar 3. Siklus hidrologi (Chow, 1964) Intersepsi merupakan proses ketika air hujan jatuh pada permukaan vegetasi, tertahan beberapa saat untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer
10
atau diserap oleh vegetasi yang bersangkutan dan atau jika melebihi kapasitas simpan vegetasi air hujan tersebut akan mengalir ke permukaan tanah (Asdak, 1995). Harahap (1998) menyatakan bahwa intersepsi merupakan selisih antara curah hujan yang sampai di puncak tajuk dengan curah hujan yang sampai di permukaan tanah, baik yang melalui tajuk maupun aliran batang. Ada dua faktor yang berpengaruh terhadap kapasitas intersepsi, yaitu : 1) faktor vegetasi yang meliputi : total luas permukaan tanaman, sifat dan adsorpsi permukaan daun, dan kerapatan susunan daun, dan 2) faktor iklim yang meliputi : intensitas hujan, lamanya hujan, dan kecepatan angin. Menurut Asdak (1995), besarnya air hujan yang tertampung di permukaan tajuk, batang dan cabang vegetasi dinamakan kapasitas intersepsi dan sangat ditentukan oleh bentuk, kerapatan, dan tekstur dari vegetasi. Hasil penelitian Nuriman (1999) menunjukkan bahwa besarnya intersepsi tanaman berhubungan erat dengan tinggi curah hujan dan indek luas daun, dimana semakin tinggi nilai indeks luas daun maka akan semakin tinggi intersepsi tanaman. Dalam analisis fungsi produksi DAS yaitu perubahan dari hujan bruto menjadi hujan efektif, perhitungan kapasitas intersepsi tanaman didasarkan pada persamaan yang dikembangkan oleh Aston (1979:dalam De Roo et al., 1999). Hasil penelitian Heryani (2001) dan Sarjiman
(2004)
menunjukkan
penggunaan
persamaan
intersepsi
yang
dikembangkan oleh Aston (1979:dalam De Roo et al., 1999) dalam analisis debit aliran permukaan di sub-DAS Bunder, DAS Oyo, Kretek, Yogyakarta memiliki tingkat akurasi yang tinggi (F>70%). Infiltrasi merupakan proses masuknya air ke dalam tanah, umumnya (tetapi tidak mesti) melalui permukaan tanah dan terjadi secara vertikal, serta merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari siklus air dalam menyerap, menampung, dan mendistribusikan air hujan yang jatuh diatasnya. Secara umum besarnya kapasitas infiltrasi tanah mempunyai peranan yang
11
sangat besar dalam menurunkan besarnya debit aliran permukaan tanah dibandingkan parameter lainnya, seperti intersepsi tanaman. Menurut Arsyad (2000) laju infiltrasi merupakan banyaknya air per satuan waktu yang masuk ke dalam tanah melalui permukaan tanah, sedangkan laju maksimum air dapat masuk ke dalam tanah pada suatu saat disebut kapasitas infiltrasi. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi besarnya laju infiltrasi tanah, yaitu : karakteristik tanah (struktur, tekstur, kadar air tanah awal, ukuran pori, kedalaman lapisan kedap, surface sealing dan soil crusting) dan pengelolaan lahan (pola tanam, pemilihan jenis tanaman, pengmbalian bahan organik, dan pengolahan tanah) (Thierfelder, et al., 2002; Herawatiningsih, 2001; Mamedov, et al., 2000). Hasil penelitian Zhang dan Miller (1996) menyatakan bahwa meningkatnya stabilitas agregat tanah dengan pemberian Poliakrilamid (PAM) dan gipsum (CaSO4) pada tanah Ultisol lempung berpasir dapat meningkatkan besarnya kapasitas infiltrasi sebesar 50 % dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian Mamedov dan Levy (2001) juga menyatakan bahwa tanah yang banyak didominasi oleh liat yang tinggi atau bertekstur liat mempunyai kapasitas infiltrasi yang lebih rendah (3,38 mm/jam) dibandingkan pada tanah bertekstur pasir berlempung (4,88 mm/jam) pada intensitas hujan yang tinggi (64 mm/jam), sedangkan pada intensitas hujan yang rendah (2 mm/jam) pada tanah bertekstur liat memiliki kapasitas infiltrasi yang lebih besar dibandingkan dengan tanah bertekstur pasir berlempung yakni masing-masing sebesar 18,75 mm/jam dan 5,38 mm/jam.
Selain
itu,
faktor
terbentuknya
surface sealing (terbentuknya lapisan tipis yang kedap di permukaan tanah) dan soil crusting (pemadatan tanah) menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas infiltrasi dan peningkatan volume aliran permukaan (Thierfelder, et al., 2002; Mamedov, et al., 2000; Zhang dan Miller, 1996). Menurut Zhang dan Miller
12
(1996) dan Le Bissonais (1996) terbentuknya surface sealing dan soil crusting disebabkan oleh dua prosses yang saling komplementer, yaitu : 1) dispersi kimia dan pergerakan partikel liat yang menyebabkan tertutupnya pori-pori tanah, serta terbentuknya lapisan kedap di bawah permukaan tanah, dan 2) disintegrasi fisik agregat tanah dan terjadinya pemadatan tanah yang disebabkan oleh energi kinetik hujan. Faktor pengelolaan lahan, seperti : pengolahan tanah, pengembalian bahan organik kedalam tanah, pemilihan jenis tanaman, dan pola tanam juga sangat berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi tanah. Hasil penelitian Thierfelder et al. (2002) menyatakan bahwa pengelolaan lahan pada tanah Inceptisol (Oxic Dystropept) dengan rata-rata intensitas hujan sekitar 330 mm/jam pada perlakuan penanaman ubi kayu yang dirotasi dengan Brachiaria decumbens selama 3 tahun (tahun 1999 – 2001) memiliki kapasitas infiltrasi yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan penanaman ubi kayu dengan pengolahan tanah minimum (minimum tillage), ubi kayu + Chamaecrista rotundifolia, ubi kayu secara monokultur, ubi kayu + kotoran ayam 4 ton/ha, ubi kayu ditanam secara intensif, ubi kayu + kotoran ayam 8 ton/ha, dan tanah dalam kondisi bera. Hal tersebut juga didukung hasil penelitian Yusuf (1991) di daerah berlereng (kemiringan 9 – 10%) yang mana pemberian bahan organik kotoran ayam 10 ton/ha dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah sekitar 4,06 % (1.030,40 mm/menit) dibandingkan kontrol/tanpa pemberian bahan organik (988,60 mm/menit) dan dapat menurunkan besarnya volume aliran permukaan (runoff) sebesar 18,71 % (181,60 liter) dibandingkan kontrol (223,40 liter). Selain itu, hasil penelitian Napitupulu (1998) dan Rukaiyyah (2001) juga menunjukkan bahwa pada tanah Entisol (Regosol Coklat Kekelabuan) yang bervegetasi (lahan pertanian yang diberakan dan ditumbuhi rumput-rumputan) dengan kondisi kadar air tanah awal sekitar 44% dan porositas total sekitar 58% mempunyai kapasitas
13
infiltrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada tanah Mollisol (Rendzina) yang bervegetasi dengan kondisi kadar air tanah awal sekitar 36% dan porositas total sekitar 63% (Gambar 4). Demikian juga dengan kapasitas infiltrasi tanah Entisol tidak bervegatasi (lahan pertanian yang diberakan dan tidak ditumbuhi rumput-rumputan) dengan kondisi kadar air tanah awal sekitar 45% dan porositas total sekitar 55% yang lebih besar dibandingkan dengan pada tanah Mollisol tidak bervegetasi dengan kondisi kadar air tanah awal sekitar 30% dan porositas total sekitar 51% (Gambar 4). .
9,00
Laju Infiltrasi (mm/menit)
8,00 7,00 6,00
Regosol_Vegetasi
5,00
Regosol_NonVegetasi Rendzina_Vegetasi
4,00
Rendzina_Nonvegetasi
3,00 2,00 1,00 0,00 0
100
200
300
400
Waktu (Menit)
Gambar 4. Perbedaan laju infiltrasi pada jenis tanah dan penggunaan lahan yang berbeda (Napitupulu, 1998; Rukaiyyah, 2001)
Menurut Hakim et al. (1986) besarnya laju infiltrasi tidak hanya meningkatkan besarnya jumlah air yang tersimpan dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman, tetapi juga dapat mengurangi besarnya bahaya banjir yang diakibatkan oleh besarnya aliran permukaan. Hasil penelitian Yanrilla (2001) juga menunjukkan bahwa jenis tutupan/penggunaan lahan sangat berpengaruh terhadap besarnya laju infiltrasi tanah, yang mana jenis tutupan lahan hutan alam memiliki laju infiltrasi yang lebih besar dibandingkan jenis tutupan lahan hutan Pinus, ladang
14
(jagung), dan lahan terbuka (Gambar 5). Hal ini juga didukung hasil penelitian Arianti (1999) yang menunjukkan bahwa jenis tutupan lahan hutan alam mempunyai laju infiltrasi yang lebih tinggi dibandingkan pada jenis tutupan lahan tegalan (pertanaman jagung)
Laju Infiltrasi (cm/menit)
6 5 4
Lahan Terbuka Ladang (jagung)
3
Hutan Pinus Hutan Alam
2 1 0 0
10
20
30
40
50
60
70
Waktu (menit)
Gambar 5.
Perbedaan laju infiltrasi pada berbagai jenis tutupan/penggunaan lahan (Yanrilla, 2001)
Selanjutnya analisis fungsi produksi DAS yaitu perubahan dari hujan bruto menjadi hujan efektif, yang mana untuk perhitungan kapasitas infiltrasi tanah didasarkan pada persamaan Horton (1940:dalam Bedient dan Huber, 1992). Persamaan infiltrasi menurut model Horton tersebut telah banyak digunakan dalam analisis simulasi debit aliran permukaan (pemodelan hidrologi), seperti : HYSIM (Manley, 2006), MARINE (Estupina-Borrell et al., 2006), dan SWMM (Huber and Dickinson, 1988:dalam Rossman, 2004). Hal ini dikarenakan penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Horton dalam pendugaan banjir (debit puncak aliran permukaan dan waktu respon) memiliki hasil yang lebih baik dan lebih konsisten untuk beberapa kejadian banjir dibandingkan dengan penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Philip (1957: dalam Bedient dan
15
Huber, 1992) dan SCS (1972: dalam Chahinian et al., 2004) dalam pendugaan banjir (Chahinian et al., 2004). Selain itu, hasil penelitian Chahinian et al. (2004) menunjukkan penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Horton dalam pendugaan banjir tidak lebih baik dibandingkan dengan penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Morel-Seytoux (1978: dalam Chahinian et al., 2004) dalam pendugaan banjir. Persamaan infiltrasi tanah model Morel-Seytoux tersebut merupakan modifikasi dari model Green dan Ampt (1911: dalam Chahinian et al., 2004). Hal ini didukung dari hasil penelitian Heryani (2001) dan Sarjiman (2004) menunjukkan penggunaan persamaan infiltrasi tanah menurut model Horton (1940:dalam Bedient dan Huber, 1992) dalam analisis debit aliran permukaan di sub-DAS Bunder, DAS Oyo, Kretek, Yogyakarta memiliki tingkat akurasi yang tinggi. 2.2. Banjir dan Kekeringan Pemanfaatan memperhitungkan
sumberdaya klas
alam
yang
kemampuannya,
semakin
telah
meningkat
menimbulkan
tanpa
berbagai
permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan yang sampai saat ini belum dapat teratasi adalah degradasi/kerusakan lahan di daerah aliran sungai (DAS). Degradasi lahan merupakan proses berkurangnya atau hilangnya kegunaan suatu lahan dalam usaha meningkatkan kesejahteraan manusia. Degradasi lahan menurut Lal (1994) disebabkan oleh kemerosotan sifat fisik (erosi dan pemadatan tanah) dan sifat kimia tanah (penurunan tingkat kesuburan,
keracunan
dan
pemasaman
tanah).
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi degradasi lahan menurut Oldeman (1994) adalah 1) pembukaan lahan dan penebangan kayu secara berlebihan (deforestration), 2) penggunaan lahan untuk kawasan peternakan/penggembalaan secara berlebihan (over grazing), dan 3) aktivitas pertanian dalam penggunaan pupuk kimia dan pestisida
16
secara berlebihan.
Barrow (1991) juga menyatakan bahwa degradasi lahan
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : 1) bahaya alami, 2) meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan dan intensitas penggunaan lahan, 3) kemiskinan, 4) masalah kepemilikan lahan, 5) kestabilan politik dan kesalahan administratif, 6) aspek sosial dan ekonomi, 7) penerapan teknologi yang tidak tepat, dan 8) pertambangan.
Degradasi lahan tersebut
berdampak terhadap kerusakan DAS dan kerusakan tersebut semakin lama semakin meningkat setiap tahunnya. Indikatornya adalah pada tahun 1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas sekitar 9,69 juta hektar dan kemudian meningkat pada tahun 1994 menjadi 39 DAS kritis dengan luas sekitar 12,52 juta hektar, dan tahun 2000 meningkat lagi menjadi 42 DAS kritis dengan luas sekitar 23,71 juta hektar (DITJEN RRL, 2001). DAS sebagai suatu sistem neraca air tertutup yang mempunyai fungsi untuk menampung masukan (curah hujan) dan mengalirkan keluaran (debit), maka setiap terjadinya suatu perubahan terhadap masukan (curah hujan) dan sistem (penggunaan lahan dan jenis tanah) akan menyebabkan perubahan pada keluaran (unit hidrograf). Berkaitan dengan degradasi lahan dalam suatu sistem DAS, maka dampak langsung yang dapat dilihat adalah banjir dan kekeringan, sedimentasi, tanah longsor, dan penurunan kualitas air. Banjir dan kekeringan merupakan suatu fenomena alam dimana sistem DAS tidak dapat menyerap, menyimpan dan mendistribusikan secara optimal terjadinya perubahan masukan (curah hujan), sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan debit puncak dan memperpendek waktu menuju debit puncak (banjir), dan dampak lanjutannya adalah tambahan cadangan air tanah (recharging) pada musim hujan menjadi sangat terbatas, sehingga suplai produksi air dimusim kemarau menjadi rendah (kekeringan). Banjir merupakan suatu peristiwa manakala debit sungai melebihi kapasitas tampungan sungai.
17
Genangan adalah peristiwa manakala suatu daerah dipenuhi air karena tidak ada drainase yang mengatuskan air keluar dari daerah tersebut. Kekeringan merupakan suatu peristiwa manakala jumlah curah hujan dibawah kondisi normal sehingga terjadi penurunan produksi air untuk keperluan tanaman dan domestik. Irianto (2003) mengemukakan tentang sistem peringatan dini tentang banjir dan pada prinsipnya sistem tersebut dapat menginformasikan lebih awal tentang besaran (magnitude) banjir (debit puncak dan waktu menuju debit puncak) yang mungkin terjadi dan waktu evakuasi korban memadai sehingga resiko yang dapat ditimbulkan dapat diminimalkan.
Sistem peringatan dini
tentang banjir di Indonesia sangat penting, karena 1) intensitas dan keragaman hujan menurut ruang dan waktu sangat tinggi sehingga banjir bisa terjadi secara tiba-tiba atau yang dikenal sebagai banjir bandang (flash flood) dan 2) hujan besar umumnya terjadi pada sore sampai malam hari sebagai akibat proses orografis sehingga terjadinya banjir umumnya terjadi malam hari (Irianto, 2003). Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kekeringan, yaitu : 1) perubahan iklim, yaitu kekeringan sebagai dampak dari perubahan iklim, dimana kondisi musim kemarau (dry season) berhubungan dengan penurunan curah hujan di bawah normal, 2) kerusakan DAS, yaitu kekeringan sebagai dampak dari menurunnya produksi air pada musim kemarau akibat DAS tidak mampu menyerap, menyimpan dan mendistribusikan air, sehingga kedua faktor tersebut berdampak lanjutan terhadap ketersediaan air untuk tanaman.
Menurut
Pasandaran dan Hermanto (1997:dalam Shofiyati et al., 2002) bahwa kekeringan yang melanda sebagian wilayah Indonesia terjadi secara periodik. Berdasarkan data curah hujan periode tahun 1975 – 1999, kejadian kekeringan yang melanda sebagian Indonesia terjadi setiap 5 tahun (tahun 1975-1987), dan pada periode tahun 1987-1999 kejadian kekeringan terjadi setia 3-4 tahun (Pramudia, 2002). Penanggulangan dampak kekeringan dapat dilakukan melalui dua pendekatan,
18
yaitu : 1) memperbaiki dan mengelola DAS dalam rangka meningkatkan fungsi DAS dalam menyerap dan menyimpan kelebihan air di musim hujan dan mendistribusikannya di musim kemarau, dan 2) memilih komoditas yang sesuai dengan tingkat ketersediaan air. Untuk meningkatkan tingkat keakuratan dan kecepatan dalam pendugaan kekeringan, maka banyak ahli yang menduga dan memantau wilayah rawan kekeringan dengan menggunakan teknologi citra satelit. Thiruvengadachari et al. (1991:dalam Shofiyati et al., 2002) memantau kekeringan di India menggunakan citra NOAA AVHRR dua mingguan. Selain itu, hasil penelitian Liu dan Kogan (1996), Bayarjarga, et al. (2000), dan Shofiyati et al. (2002), penggunaan teknologi citra NOAA AVHRR dapat digunakan untuk memantau kekeringan di Brazil, Gobi dan Gurun Steepe (Mongolia), dan DAS Brantas, Jawa Timur (Indonesia). Selain itu, Anderson et al. (2007) menunjukkan bahwa kesehatan vegetasi yang digambarkan oleh indeks vegetasi dan temperatur permukaan lahan dari hasil analisis citra Landsat 7 dapat digunakan untuk memprediksi dan memetakan kekeringan. 2.3. Perkembangan Teknik Komputasi Unit Hidrograf Ada dua besaran (magnitude) penting yang harus dikomputasi secara akurat dalam analisis unit hidrograf, yaitu : debit puncak dan waktu menuju debit puncak. Debit puncak berkaitan erat dengan tingkat bahaya/resiko banjir yang terjadi, dan waktu menuju debit puncak sangat menentukan lamanya waktu untuk evakuasi korban. Berdasarkan ilustrasi tentang analisis banjir dan besaran pencirinya, maka kemampuan analisis sistem hidrologi dalam pemodelan debit puncak dan waktu menuju debit puncak menentukan akurasi dan presisi dalam penanggulangan banjir.
Kedua besaran tersebut secara faktual merupakan
respon hidrologis wadah (sistem) DAS untuk setiap perubahan masukan.
19
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghasilkan metode dan teknik analisis yang representative, transferable dan operational dalam komputasi debit puncak dan waktu menuju debit puncak. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa ada dua aliran yang berkembang sangat pesat dalam pemodelan unit hidrograf (debit puncak dan waktu menuju debit puncak), yaitu : 1) model deterministik (deterministic model) yang dirancang berdasarkan kaidah dan hukum-hukum fisika yang sifatnya permanen dan transferable, dan 2) model stokastik (stochastic model) yang ditetapkan berdasarkan hubungan input dan output secara local. Model stokastik ini berkembang mulai dari model memori jangka
pendek
(short
memory
models),
seperti
:
proses
autoregresi
(autoregressive processes), ARMA (autoregressive moving average), dan ARIMA (autoregressive integrated moving average) dan model memori jangka panjang (long memory models), seperti : proses discrete fractional Gaussian noise (dfGn), fast fractional Gaussian noise (ffGn), filtered fractional noise, dan broken-line (Haan, et al., 1982). Untuk model deterministik berkembang dari model yang sederhana, seperti model Nash (1957), model CREAMS (1972), TOPMODEL (Beven dan Kirkby, 1979), AGNPS (Young et al., 1990), IHACRES (Jakeman et al., 1990), model ANSWERS (Beasley, 1991), HEC HMS (USACE, 2000), SWAT (Neitsch et al., 2000), HYSIM (Manley, 2006), MARINE (Estupina-Borrell et al., 2006), dan SWMM (Huber and Dickinson, 1988:dalam Rossman, 2004), dan model fraktal yang dikembangkan oleh Mandelbrot (1977:dalam Liu, 1992). Untuk pemodelan hujan-limpasan dengan analisis fraktal jaringan hidrologi, maka ada satu hal yang sangat menarik tentang hubungan antara respon hidrologi DAS (fraction) dengan karakteristik fraktal. Hasil penelitian Irianto et al. (2001) menunjukkan bahwa respon hidrologi DAS merupakan fungsi kerapatan peluang (pdf) dari DAS berorder satu (fungsi fraktalnya). Kelebihan penggunaan analisis fraktal jaringan hidrologi untuk pendugaan banjir (debit
20
puncak
dan
waktu
menuju
debit
puncak)
secara
sistematis
mampu
menggambarkan transfer air hujan menjadi aliran permukaan melalui jaringan hidrologi sampai menuju outlet (Irianto, 2003). Hasil penelitian Irianto (2003) menunjukkan bahwa analisis fraktal jaringan hidrologi dapat digunakan dengan baik atau memiliki tingkat akurasi yang tinggi dalam mensimulasi debit puncak dan waktu menuju debit puncak di DAS Kripik.
21
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang memiliki luas 23.366,26 Ha (233,66 km2) dan terletak pada koordinat di antara 00o03’ – 00o38’ LS dan 117o08’ – 117o31’ BT (Gambar 6). Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2005 – Juni 2006, yang mana pada bulan Januari – Juli 2005 pengumpulan data sekunder (iklim, debit, dan lainnya), bulan Agustus – Desember 2005 pembuatan dan pengujian alat AWLR, dan bulan Januari – Juni 2006 dilaksanakan pengamatan lapang. Pembuatan dan pengujian alat AWLR dibantu tenaga teknisi dari Workshop Instrumentasi GEOMET, IPB.
Gambar 6. Lokasi penelitian
22
3.2. Metode Penelitian Metode penelitian dalam pengembangan model pendugaan banjir dan kekeringan di DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur didasarkan pada beberapa tahapan, yaitu : 1) pengumpulan data, 2) analisis data yang meliputi : a) pengembangan model pendugaan banjir (penentuan parameter model, pengembangan model pendugaan banjir, dan pengujian model), dan b) pengujian
model
kekeringan,
3)
uji
akurasi
model
banjir,
dan
4)
penerapan/simulasi model banjir (Gambar 7). Untuk pengembangan model pendugaan banjir di DAS Separi dan untuk mengetahui pengaruh karakteristik fisik tanah khususnya kelas tekstur tanah terhadap karakteristik unit hidrograf (debit), maka dilakukan pengamatan pada tiga Sub DAS yang dipengaruhi oleh kelas tekstur tanah, yaitu : tekstur tanah pasir, lempung, dan liat. Selanjutnya dari hasil pengukuran curah hujan dan debit air per 6 menit, serta laju infiltrasi pada tiga Sub DAS tersebut akan digunakan untuk membuat model pendugaan banjir di DAS Separi. 3.2.1. Pengumpulan Data Untuk
mendukung
pengembangan
model
pendugaan
banjir
dan
kekeringan berdasarkan Gambar 7, maka ada beberapa jenis dan metode pengumpulan data. Jenis dan metode pengumpulan data primer maupun sekunder pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Untuk mengetahui pengaruh karakteristik tanah terhadap respon hidrologis (karakteristik unit hidrograf), maka dilakukan pemasangan alat AWLR (Automatic Water Level Recorder) pada tiga Sub DAS Separi. Penentuan ketiga Sub DAS Separi tersebut didasarkan pada kelas tekstur tanah, yakni : 1) Sub DAS Separi 1 (DAS Usup) merupakan Sub DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur liat (pasir 21%, debu 39%, dan liat 40%), 2) Sub DAS Separi 2 (DAS
23
Soyi) merupakan Sub DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur pasir (pasir 83%, debu 7%, dan liat 10%), dan 3) Sub DAS Separi 3 (DAS Badin) merupakan Sub DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur lempung (pasir 5%, debu 57%, dan liat 38%). Selain itu untuk meningkatkan tingkat homogenitas data curah hujan, maka dilakukan pemasangan alat penakar hujan semi-otomatis di tengah DAS Separi.
Pengumpulan Data (Sekunder dan Primer)
Karakteristik Iklim : Hujan, Suhu, Kelembaban, Radiasi Matahari, dan Kecepatan Angin
Karakteristik Tanah, Topografi, Tutupan Lahan, DEM, NDVI, dan Kerapatan Jaringan Drainase
Parameter Model Banjir dan Kekeringan : Episode hujan, Intersepsi tanaman, Infiltrasi tanah, ETP, ETA, Neraca Air Lahan, Kerapatan jaringan hidrologi, Pemisahan hidrograf, dan LAI
Potensi Sumberdaya Air
Banjir
Fungsi Produksi Air
Kekeringan
Fungsi Transfer Air
Simulasi Model
Neraca Air Lahan
Citra Satelit
Uji akurasi Model
Model Banjir
Model Kekeringan
Gambar 7. Diagram alir tahapan penelitian
24
Tabel 1. Jenis dan metode pengumpulan data pada pengembangan model pendugaan banjir dan kekeringan di DAS Separi No.
Jenis Data
Metode Pengumpulan Data
A. Data Sekunder 1. Karakteristik tanah Analisis (stabilitas agregat tanah, Laboratorium distribusi ukuran partikel tanah, ruang pori total, bobot isi tanah, kadar air tanah, kedalaman efektif tanah, dan kadar C organik) 2. Peta Tanah Skala 1:50.000 Survey Tanah 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9. 10. 11.
Peta Jenis Penggunaan Lahan Peta Kerapatan Jaringan Drai-nase/hidrologi Peta Tutupan/Penggunaan La-han NDVI, LAI, Wetness Index, dan Temperatur Permukaan Lahan
Curah hujan harian dan Lamanya hujan Tinggi muka air (TMA) ETo (Evapotransipasi acuan) Kurva debit lengkung
B. Data Primer 1. Infiltrasi Tanah 2.
3.
Sumber PUSLITTANAK, 1994
PUSLITTANAK, 1994 Digitasi Peta Rupa- BAKOSURTANAL, bumi Skala 1:50.000 1991 Analisis dengan DEM LAPAN, 2005 SRTM Analisis Citra LAPAN, 2005 Landsat 11-02-1998 dan 10-09-2005 Analisis Citra Land- LAPAN, 2006 sat 03-04-2002, 2105-2002, 08-072002, dan 10-092002
Stasiun Pengamat BPTP Kaltim, 2006 Iklim AWLR BPTP Kaltim, 2006 Penman-Monteith BPTP Kaltim, 2006 Tidak langsung Pada masing(Current Meter) dan masing outlet Langsung (Metode V-Notch) Pengukuran Lapang
Pada 3 Sub DAS dan masing-masing respon hidrologis Tinggi muka air (TMA) di 3 AWLR Pada masinglokasi masing Sub DAS sesuai kelas tekstur tanah (pasir, lempung, dan liat) Curah hujan Penakar hujan semi- Di tengah DAS otomatis Separi
Keterangan : NDVI = Normalized Difference Vegetation Index dan LAI = Leaf Area Index
25
Teknik pengambilan contoh untuk penentuan infiltrasi tanah dan kadar air tanah awal pada penelitian ini dilakukan dengan sengaja (purposive sampling) pada 3 Sub DAS Separi dan masing-masing respon hidrologis yang merupakan hasil kombinasi atau tumpang tepat antara peta tanah (karakteristik fisik tanah) dan peta tutupan lahan, serta distribusi hujan yang berbeda. Untuk mengkonversi data tinggi muka air (TMA) menjadi debit aliran pada DAS Separi dihitung berdasarkan persamaan kurva lengkung debit di AWLR Separi (BPTP Kalimantan Timur, 2005) dan persamaannya adalah sebagai berikut :
Q = 10,599 * (H Maks − H )
1, 4874
………………………………………………(1)
Q adalah debit aliran (m3 per detik), HMaks adalah tinggi maksimum antara dasar sungai dengan sensor optik pada alat AWLR (m), dan H adalah tinggi muka air hasil pembacaan dari alat AWLR (m). Untuk mengkonversi data tinggi muka air (TMA) menjadi debit aliran pada Sub DAS Soyi, Sub DAS Badin, dan Sub DAS Usup dihitung berdasarkan metode bendung (weir) tipe V-Notch (Kraattz dan Mahajan, 1982) dan persamaannya adalah sebagai berikut :
( 2 )* (h + k )
Q = 4,28 * C * tan θ
5/ 2
* 0,02832 …………………………….(2)
Q adalah debit aliran (m3 per detik), C adalah koefisien debit, θ adalah sudut bendung (digunakan θ = 600), h adalah tinggi muka air dari dasar sudut bendung (m), dan k adalah faktor koreksi tinggi.
C = 0,607165052 − 0,000874466963 * θ + 6,10393334 * 10 −6 * θ 2 ……(3) k = 0,01449 − 0,0003395 * θ + 3,298 * 10 −6 * θ 2 − 1,062 * 10 −8 * θ ...….(4)
26
3.2.2. Analisis Data 3.2.2.1. Metode Penentuan Parameter Masukan dan Sistem DAS A. Metode Penentuan Episode dan Distribusi Curah Hujan Penentuan episode hujan didasarkan dari data curah hujan selama 5 tahun (tahun 2001 – 2005) dari stasiun iklim Separi (BPTP Kalimantan Timur). Penentuan episode hujan ini digunakan sebagai pembanding dalam menentukan besarnya curah hujan yang sering terjadi pada suatu periode tertentu dan atau kejadian banjir dalam tahapan analisis dan simulasi model. Tahapan metode penentuan episode hujan adalah sebagai berikut : 1. Data curah hujan (tahun 2001 – 2005) dari bulan-bulan basah (rata-rata curah hujan > evapotraspirasi potensial) dan bulan-bulan kering rata-rata curah hujan ≤ evapotraspirasi potensial) diurutkan menurut nilai dari yang terbesar sampai terkecil. 2. Ranking data disusun menurut data yang telah diurutkan (r = 1,2,3,......, j), dimana r = 1 untuk nilai terbesar dan r = j untuk nilai terkecil. 3. Penentuan periode ulang (return periode/T) dan peluangnya (P) dari curah hujan yang menyebabkan terjadinya banjir pada tahun 2001 dan 2005, yakni : T = (n + 1)/r, dan P = 1/T, dimana n : jumlah data pengamatan dan r : nomor urut dari besaran yang ditentukan. 4. Penentuan peluang tercapainya kejadian (R) pada no. 3, yakni : R = 1 – (1 – P)m, dimana m : prediksi waktu yang akan terjadi. Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan simulasi model pendugaan banjir dalam penelitian ini adalah curah hujan 6 menitan di AWLR Separi. Penggunaan data curah hujan hanya pada AWLR Separi dikarenakan tidak adanya stasiun iklim otomatis yang mampu menyediakan data curah hujan 6 menitan di sekitar DAS Separi, khususnya di daerah hulu dan tengah. Untuk
27
menentukan apakah data curah hujan di AWLR Separi menyebar/terdistribusi secara menyeluruh pada DAS Separi, maka dilakukan uji berpasangan berganda antara curah hujan di AWLR Separi (mingguan dan dasarian) dengan data curah hujan di AWS Lempake pada taraf 5%. Hasil uji berpasangan berganda tersebut dijadikan dasar bahwa data curah hujan di AWLR Separi dapat mewakili secara menyeluruh terjadinya hujan yang menyebar/terdistribusi secara merata pada seluruh DAS Separi. Untuk mendapatkan data curah hujan wilayah yang terdistribusi secara merata di DAS Separi, maka dilakukan pemasangan alat penakar hujan semi-otomatis di daerah Seleko, Desa Bukitpariaman (Separi LV), Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara pada koordinat X=520.237 dan Y=9.970.080. B. Metode Perhitungan Intersepsi Tanaman Model
perhitungan
intersepsi
didasarkan
pada
metode
yang
dikembangkan oleh Aston (1979 : dalam de Roo, 1999). Langkah selanjutnya adalah membuat persamaan regresi dari hubungan antara intersepsi (mm/6 menit) dengan curah hujan (mm/6 menit) untuk beberapa kejadian hujan. Metode perhitungan Intersepsi kumulatif selama kejadian hujan diperoleh dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Aston (1979 : dalam De Roo et al., 1999) adalah sebagai berikut : PCUM − (1− p) ⎡ SMAX INTCP = SMAX ⎢1 − e ⎣
⎤ ⎥ ………………………………………….(5) ⎦
INTCP adalah intersepsi kumulatif (mm), PCUM adalah curah hujan kumulatif (mm), SMAX adalah kapasitas simpanan maksimum (mm), p adalah faktor koreksi (1 - 0,046.LAI). Perhitungan kapasitas intersepsi maksimum diduga dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Von HoyningenHuene (1981 : dalam De Roo et al., 1999) :
28
SMAX = 0,935 + 0,498.LAI – 0,00575.LAI2 ……………………………..(6) SMAX adalah kapasitas simpanan maksimum (mm), LAI adalah indeks luas daun. Berdasarkan data intersepsi kumulatif (mm) dan waktu mulainya hujan sampai berhenti (jam) untuk beberapa seri data kejadian hujan, maka akan dapat ditentukan laju intersepsi tanaman (mm/jam) untuk setiap waktu (t) terjadinya hujan. Untuk penentuan indek luas daun (LAI) didasarkan pada persamaan sebagai berikut (Geomatica, 2004) :
⎞ ……………………….….…(7) LAI = ln(0,75) − ⎛⎜ ln(SAVI ) − 0,6. ln(0,65) ⎟⎠ ⎝ SAVI adalah indek vegetasi yang sangat ditentukan oleh jenis tanah dan menurut Huete (1988), persamaannya adalah sebagai berikut :
SAVI =
(1 + L) * (nir - red) ………………………………………….……(8) (nir + red + L)
nir adalah reflektansi pada saluran inframerah dekat (4), red adalah reflektansi pada saluran merah (3), dan L merupakan konstanta yang bernilai 0,5. C. Metode Perhitungan Laju Infiltrasi Perhitungan infiltrasi didasarkan pada persamaan Horton dan ditentukan berdasarkan pada masing-masing jenis tanah yang dikombinasikan dengan jenis penggunaan lahan (respon hidrologis). Persamaan laju infiltrasi menurut Horton adalah sebagai berikut : f (t) = fc + (fo - fc)e-Kt …………………………………………..………….. (9) f(t) adalah kapasitas infiltrasi pada waktu t (mm/menit), fo adalah kapasitas infiltrasi awal (mm/menit), fc adalah kapasitas infiltrasi konstan (mm/menit), t adalah waktu (menit), k adalah konstanta yang dipengaruhi oleh tanah dan tanaman.
29
Dengan mengintegralkan persamaan (9) didapatkan persamaan infiltrasi kumulatif (F) pada waktu t : t
F(t) = ∫ f(t) dt ........................................................................................(10) 0
t
⎡ ⎧ 1 ⎫⎤ F(t) = ⎢fc.t + ⎨− (fo - fc) e -k.t ⎬⎥ .........................................................(11) ⎩ k ⎭⎦ 0 ⎣
(
)
F(t) = (fct - 0 ) + {− 1 (fo - fc).e -k.t } − {− 1 (fo - fc).1} ........................(12) k k
(
)
F(t) = fc.t - { 1 (fo - fc).e -k.t } − { 1 (fo - fc)} ........................................(13) k k Pada persamaan (5), f(t) - fc = (fo - fc).e -k.t sehingga persamaan (13) menjadi:
F(t) = fc.t - { 1 (f(t) - fc)} + { 1 (fo - fc)} ..............................................(14) k k F(t) = fc.t - 1 .f(t) + 1 .fo ...................................................................(15) k k f(t) = fo - k.F(t) + k.fc.t .........................................................................(16) Perhitungan nilai konstanta yang tergantung pada jenis tanah (k), laju infiltrasi awal (fo), dan laju infiltrasi konstan (fc) ditentukan berdasarkan hubungan keterkaitan antara data waktu (menit) dan laju infiltrasi (cm/menit) hasil pengukuran pada tahap pengumpulan data yang ditetapkan sebagai variabel bebas X1 dan X2 dengan data infiltrasi kumulatif (cm) yang ditetapkan sebagai variabel tak bebas (Y), sehingga persamaan (16) menjadi sebagai berikut : Y = a.t + b.f(t) +c ..................................................................................(17) a = fc; b = - 1 ; dan c = 1 .fo . Setelah konstanta yang tergantung pada jenis
k
k
tanah (k), laju infiltrasi awal (fo), dan laju infiltrasi konstan (fc) ditentukan, maka dengan menggunakan persamaan (5) model laju infiltrasi simulasi dapat ditentukan.
Langkah selanjutnya adalah penentuan besarnya rata-rata laju
30
infiltrasi (fr) (Viessman et al., 1989) yang didasarkan menurut persamaan sebagai berikut:
fr =
{
f(t), Jika i r ⊇ f(t) i r , Jika i r ⊂ f(t) ..................................................................(14)
f(t) adalah laju infiltrasi pada waktu ke-t (mm/menit) dan ir adalah intensitas hujan pada waktu ke-t (mm/menit). Besarnya nilai rata-rata laju infiltrasi (fr) ini digunakan untuk menentukan besarnya curah hujan netto. D. Metode Perhitungan Fungsi Kerapatan Peluang (pdf) Penentuan peta jaringan drainase/hidrologi didasarkan dari data DEM (Digital Elevation Model) resolusi 90 meter yang dianalisis dari data radar SRTM. Selanjutnya ditetapkan isokron, yaitu : tempat kedudukan titik-titik di permukaan DAS yang memiliki waktu tempuh yang sama menuju outlet (Gambar 8), dan kemudian membuat kurva kerapatan jaringan drainase DAS orde-1 yang didasarkan pada selang isokron. Penentuan selang isokron didasarkan pada persamaan sebagai berikut :
Gambar 8. Penentuan kurva pdf yang didasarkan pada selang isokron
31
ΔI(L) = V. × t …………………………………………………..………......(18) ΔI(L) adalah interval isokron sebagai fungsi jarak tempuh (m), V adalah kecepatan rata-rata aliran (m/detik), dan t adalah selang waktu pengamatan (360 detik). Perhitungan kecepatan rata-rata aliran permukaan (V) diduga dengan metode Llamas (1993:dalam Irianto, 1999) : 3
V = 20.Sin 5 α ………………………………………….…………………..(19) V adalah kecepatan rata-rata aliran permukaan (m per detik), dan α adalah kemiringan lahan (%). Selain itu, kecepatan rata-rata aliran permukaan (V) juga dapat di hitung berdasarkan perbandingan antara panjang rata-rata jaringan sungai dengan waktu respon, dan persamaan matematisnya sebagai berikut :
⎛L⎞ V = ⎜⎜ ⎟⎟ .......................................................................……..……….....(20) ⎝ tr ⎠ L adalah panjang rata-rata jaringan sungai (m) dan tr adalah waktu respon (detik). Metode penentuan kurva kerapatan jaringan drainase DAS berorde-1 atau disebut fungsi kerapatan peluang (probability density function/pdf) pada setiap isokron didasarkan pada pdf teori (ρi) yang dikemukakan oleh Duchesne dan Cudennec, 1998 : dalam Irianto et al., 2001). Fungsi kerapatan peluang (pdf) merupakan fungsi dari panjang jaringan drainase/hidrologi DAS berorde-1 (L), dimana luas area di bawah kurva pdf menunjukkan peluang kejadian (Gambar 9). Persamaan matematis dari fungsi kerapatan probabilitas (pdf) teori adalah sebagai berikut :
⎛ n ⎞ ρ ( L) = ⎜ ⎟ ⎝ 2L ⎠
n
2
1 Γn
(n 2 −1)
( 2)L
exp
⎛ nL ⎞ ⎜− ⎟ ⎝ 2L ⎠
................……...........................(21)
32
ρ(L) adalah
kerapatan DAS elementer/(DAS order 1 sebagai fungsi
panjang lintasan air (panjang jaringan sungai), n adalah order maksimum DAS menurut kriteria Strahler,
L
adalah rata-rata panjang jaringan sungai pada order
1 (m), Γ adalah fungsi gamma, dan L adalah panjang jaringan sungai utama (m).
Gambar 9. Kurva fungsi kerapatan peluang (pdf) E. Metode Pemisahan atau Separasi Hidrograf Pemisahan atau separasi hidrograf antara aliran permukaan langsung (direct runoff), aliran permukaan yang tertunda (delayed runoff), dan aliran dasar (base flow) didasarkan pada pada beberapa tahapan (Gambar 10), yakni sebagai berikut : 1.
Memplot kurva curah hujan dan debit untuk satu episode hujan.
2.
Menentukan titik naik waktu mulai terjadinya aliran permukaan langsung (tn) dan debit (q tn), titik turun pertama yang ditandai oleh penurunan debit secara tajam (td) dan debit (q td), dan titik turun kedua yang ditandai oleh penurunan debit ke arah konstan (tb) dan debit (q tb).
3.
Menentukan debit dari aliran tunda (interflow+baseflow) yakni dengan menjumlahkan debit sebelumnya dengan pengurangan antara debit pada saat turun pertama (q td) dan debit pada saat mulai naik (q tn).
33
4.
Menentukan debit dari aliran dasar (baseflow) yakni dengan menjumlahkan debit sebelumnya dengan pengurangan antara debit pada saat turun kedua (q tb) dan debit pada saat mulai naik (q tn).
5.
Menentukan debit dari aliran tunda (interflow) yakni selisih antara debit dari aliran tunda dan aliran dasar (interflow+baseflow) dengan debit dari aliran dasar (baseflow).
6.
Selanjutnya penentuan debit aliran permukaan (direct runoff) didasarkan atas selisih antara debit total dengan debit dari aliran tunda dan aliran dasar (interflow+baseflow).
1 0,9 0,8
Q total
3
D ebit (m /detik)
0,7 0,6
Q aliran permukaan
0,5 0,4
Q aliran tunda
0,3 0,2
Q aliran dasar
0,1
16:47
16:23
15:59
15:35
15:11
14:47
14:23
13:59
13:35
13:11
12:47
12:23
11:59
11:35
11:11
10:47
9:59
10:23
9:35
9:11
8:47
8:23
7:59
7:35
7:11
6:47
6:23
5:59
5:35
5:11
4:47
4:23
0
Waktu
Gambar 10. Grafik pemisahan antara aliran permukaan (direct runoff), aliran tunda (interflow), dan aliran dasar (base flow) F. Metode Perhitungan Evapotranspirasi Acuan (ETo) Metode penghitungan evapotranspirasi acuan (ETo) didasarkan pada pada persamaan Penman-Monteith (Allen et al, 1998). Adapun persamaan evapotranspirasi acuan berdasarkan Penman-Monteith adalah sebagai berikut :
34
ETo =
900 U 2 (e s − e a ) T + 273 .............................(22) Δ + γ (1 + 0,34U 2 )
0,408 × Δ × (R n − G) + γ
ETo adalah evapotranspirasi acuan (mmhari-1), Rn adalah radiasi netto pada permukaan tanaman (MJm-2hari-1), G adalah kerapatan fluks bahang tanah (MJm-2hari-1), T adalah suhu udara (°C), U2 adalah kecepatan angin pada ketinggian 2 m (ms-1), Es adalah tekanan uap air jenuh (kPa), Ea adalah tekanan uap air aktual (kPa), es-ea adalah defisit tekanan uap air jenuh (kPa), Δ adalah slope kurva tekanan uap (kPa°C-1), dan γ adalah konstanta psychrometric (kPa°C-1). 3.2.2.2. Metode Pengembangan Model Pendugaan Banjir Pengembangan model pendugaan banjir didasarkan pada pemodelan fungsi produksi (perhitungan curah hujan netto/sisa dari perubahan curah hujan bruto) dan pemodelan fungsi transfer (perhitungan debit aliran permukaan dari perubahan curah hujan sisa melalui jaringan drainase) (Gambar 11). Berdasarkan Gambar 11, perhitungan curah hujan sisa (curah hujan netto) didasarkan pada tiga metode, yaitu : A) perhitungan curah hujan sisa berdasarkan koefisien runoff (Kr), B) perhitungan curah hujan sisa berdasarkan intersepsi dan infiltrasi, dan C) perhitungan curah hujan sisa berdasarkan sifat fisik tanah (kapasitas tanah menyimpan air) pada lapisan atas (20 cm). Klasifikasi model pendugaan banjir adalah metode A adalah model kotak kelabu dan untuk metode B dan C adalah model terdistribusi. Perhitungan curah hujan efektif berdasarkan koefisien runoff (Kr) adalah sebagai berikut : Pn(t) = Pb(t) * Kr .................................................................................(23) Pn(t) adalah curah hujan netto/sisa (mm), Pb(t) adalah curah hujan bruto (mm), dan Kr adalah koefisien runoff.
35
Pemodelan Fungsi Produksi Separasi Hidrograf
Curah Hujan Bruto (Pb)
Metode A
Q runoff
Koefisien Runoff (Kr)
Curah Hujan Netto (Pn) Pn = Pb * Kr
Peta Penggunaan Lahan
Pemodelan Fungsi Transfer
Peta Jenis Tanah
DEM (Elevation)
Metode B Peta Respon Hidrologis
Intersepsi (INTCP)
Rekonstruksi Jaringan Sungai
Infiltrasi (f) pdf
Curah Hujan Netto (Pn) Pn = Pb – (INTCP + f)
Curah Hujan Netto (Pn) Pn = a + b1.Pb – b2.Ws
Metode C
Luas DAS (A)
Konvolusi {Pn*pdf}*A
Debit Pengukuran
Perbaikan Model Fungsi Produksi
Tidak
Debit Simulasi
Uji Akurasi Nash (F >70%)
Ya
Model Pendugaan Banjir
Gambar 11. Diagram alir pemodelan fungsi produksi dan fungsi transfer
36
Perhitungan koefisien runoff (Kr) didasarkan pada persamaan sebagai berikut :
Kr = Vro.1000
Pb T
.A ..........................................................................(24)
Vr adalah volume aliran permukaan (m3), PbT adalah total curah hujan bruto (mm), dan A adalah luas DAS (m2). Perhitungan curah hujan sisa berdasarkan selisih antara curah hujan bruto yang tercatat di penangkar hujan (Pb) dengan jumlah air yang diintersepsi oleh tanaman (INTCP) dan air yang diinfiltrasikan ke dalam tanah f(t) adalah sebagai berikut : Pn(t) = Pb – {INTCP(t) + f(t)}................................................................(25) Perhitungan curah hujan sisa berdasarkan sifat fisik tanah (kapasitas tanah menyimpan air) pada lapisan atas disusun berdasarkan analisis regresi berganda antara curah hujan bruto dan sifat fisik tanah (kapasitas tanah menyimpan air) sebagai variabel bebas dengan curah hujan sisa sebagai variabel tak bebas dan persamaan matematisnya adalah sebagai berikut : Pn(t) = a + b1.Pb + b2.Ws ...................................................................(26) a adalah intersep, b1 adalah koefisien curah hujan bruto, Pb adalah curah hujan bruto (mm), b2 adalah koefisien kapasitas tanah menyimpan air, dan Ws adalah kapasitas tanah menyimpan air (mm). Perhitungan fungsi transfer (debit simulasi) dihitung berdasarkan produk konvolusi antara curah hujan netto/sisa (Pn) dengan fungsi kerapatan peluang (pdf) dan luas DAS. Secara matematis persamaannya adalah sebagai berikut : Q sim. = {Pn ⊗ ρ(L)}*A …………….…………………………….……….(27) Q
sim.
adalah debit aliran permukaan simulasi (m3/detik), Pn adalah curah hujan
netto/sisa (mm/6 menit), ρ(L) adalah fungsi kerapatan peluang (pdf), dan A adalah luas DAS (m2).
37
3.2.2.3. Metode Pendugaan Kekeringan Untuk pengembangan model pendugaan kekeringan didasarkan pada dua metode yaitu : 1) neraca air lahan (Thornthwaite dan Mather, 1957) dan 2) teknologi penginderaan jauh. Pendugaan kekeringan menurut analisis neraca air lahan metode Thornthwaite dan Mather (1957) didasarkan dari kekurangan atau defisit air tanaman yang terjadi pada saat stok air tanah (water storage) dibawah kadar air tanah kondisi titik layu permanen dan hal tersebut disebabkan curah hujan yang lebih rendah dibandingkan evapotranspirasi potensial (ETP). Metode penentuan neraca air berdasarkan metode Thornwaite dan Mather (1957 adalah sebagai berikut : 1. Mengisi kolom curah hujan (P) dan evapotranspirasi potensial (ETP) mingguan, dasarian, maupun bulanan. 2. Menghitung nilai P – ETP yang disesuaikan berdasarkan tahapan no. 1. 3. Hasil negatif pada tahap no. 2 diakumulasikan sebagai APWL (Accumulated Potential Water Loss). 4. Menentukan stok air tanah (water storage). Untuk menentukan nilai water storage didasarkan pada persamaan sebagai berikut :
KSA = WHC . k
APWL
................................................................................(28)
WHC = KL – TLP .......................................................................................(29) KAT = TLP + KSA ......................................................................................(30) KSA (water storage) adalah ketersediaan air tanah aktual, WHC adalah kapasitas simpan air tanah, dan k adalah tetapan nilai k = po +pi/WHC (po=1,000412351 dan pi=-1,07380736). 5. Penentuan perubahan water storage (ΔWS), dimana ΔWSi = WSi – WS(i-1). 6. Penentuan evapotranspirasi aktual (ETA), dimana ETA = ETo jika P ≥ ETo, dan ETA = P, jika P < ETo.
38
7. Penentuan defisit (D) dan surplus air (S), dimana D = ETo – ETA dan S = P – ETo - ΔWS. Untuk
pendugaan
kekeringan
dengan
penggunaan
teknologi
penginderaan jauh didasarkan dari analisis kombinasi tingkat kelembaban permukaan lahan (wetness index) dengan tingkat kehijauan tanaman (NDVI), serta temperatur permukaan lahan (oC) dari data citra Landsat 7 perekaman tanggal 3 April 2002, 21 Mei 2002, 8 Juli 2002, dan 9 September 2002. Klasifikasi tingkat kelembaban permukaan lahan dan tingkat kehijauan tanaman masingmasing disajikan pada Tabel 2 dan 3. Penentuan tingkat kekeringan didasarkan dari hasil kombinasi antara tingkat kelembaban permukaan lahan pada Tabel 2 dengan tingkat kehijauan tanaman pada Tabel 3. Matrik penentuan tingkat kekeringan aktual disajikan pada Tabel 4. Perhitungan indeks kelembaban (wetness index) didasarkan pada persamaan matematis sebagai berikut (ER Mapper, 2005) : Wetness= (b1*0,1509)+(b2*0,19731)+(b3*0.3279)+(b4*0.3406)(b5*0.7112)-(b7*0.4572) ……………………………………..(31) b1 adalah saluran 1, b2 adalah saluran 2, b3 adalah saluran 3, b4 adalah saluran 4, b5 adalah saluran 5, dan b7 adalah saluran 7. Tabel 2. Klasifikasi tingkat kelembaban permukaan Lahan (Shofiyati dan Dwi Kuncoro, 2007) Kelas 1
Nilai Indeks Kelembaban (Wetness Index) -295 s/d -30
Kandungan Air (%) <5
Tingkat Kelembaban Sangat Rendah
2
-30 s/d -13
5 – 20
Rendah
3
-13 s/d 10
20 – 70
Sedang
4
10 s/d 35
70 – 100
5
35 s/d 168
> 100
Tinggi Sangat Tinggi
39
Tabel 3. Klasifikasi tingkat kehijauan tanaman (Shofiyati dan Dwi Kuncoro, 2007) Kelas 1
Nilai Indeks Kehijauan (NDVI) < -0,03
Tingkat Kehijauan/Kondisi Tutupan Lahan Lahan Tidak Bervegetasi
2
-0,03 s/d 0,15
Kehijauan Sangat Rendah
3
0,16 s/d 0,25
Kehijauan Rendah
4
0,26 s/d 0,35
Kehijauan Sedang
5
0,36 s/d 0,61
Kehijauan Tinggi
Tabel 4. Matrik penentuan tingkat kekeringan tanaman (Shofiyati dan Dwi Kuncoro, 2007) Tingkat Tingkat Kelembaban Permukaan Lahan Kekeringan Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Sangat Kering
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1,1
1,2
1,3
1,4
1,5
2,1
2,2
2,3
2,4
2,5
3,1
3,2
3,3
3,4
3,5
4,1
4,2
4,3
4,4
4,5
5,1
5,2
5,3
5,4
5,5
Kering Kurang Kering Tidak Kering
Tingkat Kehijauan Tutupan Tidak Bervegetasi (1) Kehijauan Sangat Rendah (2) Kehijauan Rendah (3) Kehijauan Sedang (4) Kehijauan Tinggi (5)
Perhitungan indeks vegetasi (NDVI) didasarkan pada persamaan matematis sebagai berikut (ER Mapper, 2005) :
NDVI =
(b4 - b3) (b4 + b3)
...............................................................................(32)
b3 adalah saluran 3 dan b4 adalah saluran 4. Nilai indeks vegetasi berkisar antara -1 sampai dengan 1. Perhitungan temperatur permukaan lahan didasarkan pada analisis citra Landsat 7 pada saluran 6 (inframerah termal dengan panjang gelombang 10,40 – 12,50 μm). Tahapan-tahapan dalam penentuan temperatur permukaan lahan adalah sebagai berikut :
40
1. Menentukan nilai radiansi spektral obyek yang terdapat pada citra Landsat 7 ETM+ saluran 6 dari nilai digital pikselnya dengan menggunakan persamaan Markham dan Berker (1986 : dalam BIOTROP, 2001) :
⎛ L maks(λ ) − L min(λ ) ⎞ L λ = L min(λ ) + ⎜⎜ xQ cal ⎟⎟ .....................................................(33) Q calmaks ⎝ ⎠ Lλ adalah radiansi spektral yang diterima sensor untuk piksel yang dianalisis, Lmin(λ) adalah radiansi spektral minimum yang terdapat pada scene (0,1238 m W cm-2 sr--1 ηm-1), Lmaks(λ) adalah radiansi spektral maksimum yang terdapat pada scene (1,56 m W cm-2 sr--1 ηm-1), Qcal adalah nilai piksel yang dianalisis, dan Qcalmaks adalah nilai piksel maksimum (nilainya = 255). 2. Menentukan temperatur radian berdasarkan nilai radiansi spektral dengan menggunakan persamaan Prakash et al. (1995 : dalam BIOTROP, 2001) :
TR =
K2 ..............................................................................(34) ln ((K1 / L λ ) + 1)
TR adalah temperatur radian (0K) untuk setiap piksel yang dianalisis, K1 adalah konstanta kalibrasi (60,776 m W cm-2 sr--1 ηm-1), K2 adalah konstanta kalibrasi (1260,56 K), dan Lλ adalah radiansi spektral. 3. Menentukan temperatur kinetik berdasarkan temperatur radian dengan menggunakan persamaan Stefen-Boltzman (BIOTROP, 2001) :
TK =
TR
ε
1
..................................................................................................(35)
4
TK adalah temperatur kinetik (0K), TR adalah temperatur radian dari obyek (0K), dan ε adalah emisivitas spektral. Nilai emisivitas spektral didasarkan dari nilai emisivitas rata-rata yang diperloleh dari penjumlahan dari masingmasing luas jenis tutupan lahan dikalikan dengan nilai emisivitas masingmasing obyek dibagi dengan jumlah luas total tutupan lahan (Snyder et al.,
41
1998: dalam Yang dan Wang, 2007). Nilai emisivitas masing-masing obyek dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai emisivitas benda (Snyder et al., 1998: dalam Yang dan Wang, 2007) Benda Vegetasi bertajuk rapat Vegetasi bertajuk tidak rapat Tanah bergeluh basah Tanah bergeluh kering Tanah organik Karbon
Nilai Emisivitas 0,99 0,96 0,95 0,92 0,89 0,95
Benda Tanah basah Tanah kering
Nilai Emisivitas 0,95 0,92
Kayu Plastik dan cat Jalan beraspal Jalan kerikil
0,90 0,96 0,96 0,97
Perhitungan indeks kelembaban, indeks vegetasi, dan temperatur permukaan lahan dilakukan pada setiap kombinasi antara jenis penggunaan lahan dengan tekstur tanah dan dilakukan dengan cara merata-rata nilai indeks kelembaban, indeks vegetasi, dan temperatur permukaan lahan setiap pixel dari contoh lokasi (berkisar 10 – 30 contoh lokasi). Selain itu, untuk mengoptimalkan hasil analisis citra Landasat 7 dilakukan beberapa proses awal data, yakni : 1) penggabungan seluruh band atau saluran dari citra Landsat 7, 2) koreksi geometrik
dengan
menggunakan
peta
digital
rupabumi
skala
1:50.000
(BAKOSURTANAL, 1991), 3) koreksi/kalibrasi radiometrik menggunakan citra dengan penutupan awan paling rendah, 4) pemotongan citra sesuai dengan daerah penelitian (cropping area), dan 5) pembuatan komposisi warna untuk kemudahan interpretasi visual. Kalibrasi radiometrik untuk citra lainnya menggunakan citra dengan penutupan awan paling rendah didasarkan pada persamaan sebagai berikut :
X × C 2 = C 2 − C1 ..............................................................................(36) 255 X adalah koefisien kalibrasi, C2 adalah rata-rata nilai dari masing-masing obyek citra acuan, C1 adalah rata-rata nilai dari masing-masing obyek citra yang akan
42
dikoreksi, dan 255 adalah nilai obyek yang tertinggi. Untuk citra Landsat 7 yang akan dikoreksi akan disesuaikan nilai masing-masing pixel dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : Nilai Pixel Baru = (255 – X) .................................................................(37) 3.2.3. Uji Akurasi Model Kriteria uji akurasi model perhitungan debit simulasi didasarkan dengan membandingkan debit simulasi dan debit pengukuran menurut persamaan Nash dan Sutcliffe (1970: dalam Irianto et al., 1999), seperti berikut : N
F = 1−
∑ (Q
s
− Qp )2
s
− Q pr )
1 N
∑ (Q
……………………………………….….…..…….(38) 2
1
Qpr adalah debit rata-rata pengukuran, Qs adalah debit simulasi dan Qp adalah debit pengukuran. Besarnya nilai F berdasarkan metode Nash dan Sutcliffe terbagi dalam tiga kelompok, yaitu : 1) tingkat akurasi rendah jika F ≤ 0,50, 2) tingkat akurasi sedang jika 0,50 < F < 0,70, dan 3) tingkat akurasi tinggi jika F ≥ 0,70. 3.2.4. Penerapan Model Penerapan model dilakukan apabila model telah di uji akurasinya dan bila terbukti akurat, maka dilakukan simulasi (uji sensitivitas) berdasarkan beberapa skenario perubahan penggunaan lahan. Rekomendasi optimalisasi jenis, luas, dan lokasi penggunaan lahan di DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS didasarkan pada beberapa kriteri, yakni : meminimalkan biaya, waktu, dan tenaga, dan meningkatkan peluang keberhasilan pengelolaan penggunaan lahan, serta penurunan debit puncak dan memperlambat waktu menuju debit puncak banjir.
43
IV. KARAKTERISTIK DAS SEPARI 4.1. Hidrometeorologi DAS Separi Untuk mengetahui fluktuasi debit air dan iklim (curah hujan, suhu, kelembaban, radiasi matahari, dan kecepatan angin) di DAS Separi, kabupaten Kutai Kartanegara, propinsi Kalimantan Timur, maka Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur dan Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor telah memasang stasiun pengamat tinggi muka air otomatis (AWLR/Automatic Water Level Recorder) di sungai Separi sebagai titik keluaran (outlet) DAS Separi pada koordinat X=514.115 dan Y=9.968.976 yang berlokasi di desa Bukitpariaman (Separi L-V), kecamatan Tenggarong Seberang, kabupaten Kutai Kartanegara. Selain itu, untuk mengetahui distribusi hujan wilayah yang masuk ke DAS Separi, maka dilakukan pemasangan stasiun iklim otomatis (AWS/Automatic Weather Station) di tiga lokasi, yakni : 1) AWS Separi, 2) AWS Lempake, dan 3) AWS Marang Kayu.
Stasiun iklim (AWS) Separi
terletak pada koordinat X=513.007 dan Y=9.970.080 yang berada di desa Bukitpariaman (Separi L-V), kecamatan Tenggarong Seberang, kabupaten Kutai Kartanegara. Stasiun iklim (AWS) Lempake terletak pada koordinat X=520.338 dan Y=9.950.845 yang berada di desa Lempake, kecamatan Samarinda Utara, kotamadya Samarinda. Stasiun iklim (AWS) Marang Kayu terletak pada koordinat X=546.117 dan Y=9.985.262 yang berada di desa Marang Kayu, kecamatan Muarabadak, kabupaten Kutai Kartanegara. Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik tanah (kelas tekstur tanah) dan geomorfologi DAS (geometrik dan morfometrik) terhadap karakteristik unit hidrograf, maka dilakukan pemasangan stasiun pengamat tinggi muka air semi-otomatis di tiga lokasi, yakni : 1) Sub DAS Separi-Badin, 2) Sub DAS Separi-Soyi, dan 3) Sub DAS Separi-Usup. Selain itu juga dilakukan
44
pemasangan stasiun penakar hujan semi-otomatis didaerah Seleko – Separi pada koordinat X=520.237 dan Y=9.970.080. Posisi geografis stasiun pengamat tinggi muka air otomatis (AWLR) pada masing-masing outlet di 3 Sub DAS Separi dan DAS Separi, serta stasiun iklim otomatis (AWS) disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 12. Tabel 6. Posisi geografis stasiun pengamat tinggi muka air otomatis (AWLR) dan stasiun iklim otomatis (AWS) DAS Separi No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Stasiun Separi Soyi Badin Usup Separi Seleko Lempake Marang Kayu
Status AWLR AWLR AWLR AWLR AWS Hujan AWS AWS
Alamat Separi (L-V) Separi (L-V) Separi (L-V) Separi (L-V) Separi (L-V) Separi (L-V) Lempake Marang Kayu
Posisi Geografis X Y 514.115 9.968.976 515.566 9.969.503 516.135 9.968.942 518.775 9.967.581 513.007 9.970.113 520.237 9.970.080 520.338 9.950.845 546.117 9.985.262
Ketinggian (m) 10 17 16 20 12 21 16 13
Keterangan : AWLR = Automatic Water Level Recorder dan AWS = Automatic Weather Station
4.2. Iklim Karakteristik iklim (curah hujan, suhu, kelembaban, radiasi matahari, dan kecepatan angin) DAS Separi digambarkan dari 3 stasiun iklim, yakni stasiun iklim Separi, Lempake, dan Marang Kayu, dan secara spasial (ruang) terbagi dalam tiga wilayah, yaitu : 1) wilayah 1 yang digambarkan dari stasiun iklim (AWS) Separi, 2) wilayah 2 yang digambarkan dari stasiun iklim (AWS) Lempake, dan 3) wilayah 3 yang digambarkan dari stasiun iklim (AWS) Marang Kayu. Pewilayah iklim secara spasial di DAS Separi didasarkan pada metode Thiessen, dan karena metode ini memiliki asumsi bahwa keragaman iklim antara stasiun iklim di Separi dengan stasiun Lempake maupun stasiun Marang Kayu memiliki hubungan yang linear dan tidak ada pengaruh orografis dari stasiun-stasiun iklim tersebut. Hal ini dikarenakan pada daerah ini merupakan daerah dengan relief
45
datar sampai berbukit dan ketinggian <250 m dpl (di atas permukaan laut). Peta pewilayah iklim DAS Separi dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 12.
Peta posisi geografis stasiun iklim (AWS) dan pengamat tinggi muka air (AWLR) di DAS Separi
Berdasarkan Gambar 13, pola curah hujan di DAS Separi didominasi pola sekuen curah hujan A (Trojer, 1976) dan zona agroklimat D2 (Oldeman, 1975). Berdasarkan analisis pola curah hujan metode Trojer (1976) dan Oldeman (1975) dapat memberikan gambaran yang jelas antara puncak periode basah yakni pada bulan Desember sampai dengan Maret dan puncak periode kering pada bulan Juli sampai dengan Agustus (Gambar 13 dan Tabel 7). Selain itu, di DAS Separi ini juga memiliki tipe hujan basah (B) sampai dengan sangat basah (A) (Schmidt dan Ferguson, 1951). Hal ini membuktikan bahwa kejadian banjir yang terjadi di bagian hilir DAS Separi (Gambar 1) akan terjadi pada bulan Desember
46
sampai dengan Maret dan kejadian kekeringan akan terjadi pada bulan Juli sampai dengan Agustus. Hal ini didukung dari hasil penelitian Heriansyah (2004), bahwa kekurangan air di daerah Separi terjadi pada bulan Juli sampai dengan Agustus.
AWS Separi 300
30.40 Curah Hujan
30.00
Suhu
29.80
200
29.60
150
29.40 29.20
100
Suhu (oC)
Hujan & ETP (mm)
30.20
ETP
250
29.00 28.80
50
28.60 0
28.40
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Bulan
A AWS Marang Kayu 350
29.80 Curah Hujan
300
bulan
ETP
29.60
Suhu
29.40
250
29.20
200
29.00
150
28.80
Suhu (oC)
Hujan & ETP (mm)
1. Pola Sekuen Hujan (Trojer, 1976) 2. Zona Agriklimat (Oldeman, 1975) Jumlah BB (>200 mm) 4 Jumlah BK (<100 mm) 2 Zona Agroklimat D2 Periode masa tanam 10 3. Tipe Hujan (Schmidt & Ferguson, 1951) Jumlah BB (>100 mm) 10 Jumlah BK (<60 mm) 1 Q (%) 10 Tipe Hujan B
28.60
100
28.40 50
(Basah)
28.20
0
28.00 Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Bulan
1. Pola Sekuen Hujan (Trojer, 1976) A 2. Zona Agriklimat (Oldeman, 1975) Jumlah BB (>200 mm) 7 Jumlah BK (<100 mm) 2 Zona Agroklimat B2 Periode masa tanam 10 bulan 3. Tipe Hujan (Schmidt & Ferguson, 1951) Jumlah BB (>100 mm) 10 Jumlah BK (<60 mm) 0 Q (%) 0 Tipe Hujan A (Sangat Basah) AWS Lempake 30.60
350 Curah Hujan ETP
30.40
Suhu
30.20
250
30.00
200
29.80
150
29.60
Suhu (oC)
Hujan & ETP (mm)
300
29.40
100
29.20 50
29.00
0
28.80 Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Bulan
1. Pola Sekuen Hujan (Trojer, 1976) A 2. Zona Agriklimat (Oldeman, 1975) Jumlah BB (>200 mm) 5 Jumlah BK (<100 mm) 2 Zona Agroklimat C2 Periode masa tanam 10 bulan 3. Tipe Hujan (Schmidt & Ferguson, 1951) Jumlah BB (>100 mm) 10 Jumlah BK (<60 mm) 0 Q (%) 0 Tipe Hujan A (Sangat Basah)
Gambar 13. Peta pewilayah iklim DAS Separi, kabupaten Kutai Kartanegara, propinsi Kalimantan Timur
Tabel 7. Pewilayahan iklim berdasarkan analisis data iklim tahun 2001 - 2005 di DAS Separi Waktu Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Hujan (mm) 240 213 221 183 153 118 99 40 122 141 185 226
Wilayah 1 ETo (mm) 90 91 101 91 90 85 91 100 91 97 84 87
Musim Basah Basah Basah Basah Basah Basah Basah Kering Basah Basah Basah Basah
Hujan (mm) 212 129 324 245 206 184 99 89 188 111 217 189
Wilayah 2 ETo (mm) 84 88 93 88 83 79 83 87 81 93 81 85
Musim Basah Basah Basah Basah Basah Basah Basah Basah Basah Basah Basah Basah
Hujan (mm) 284 202 245 221 207 194 96 75 122 131 212 295
Wilayah 3 ETo (mm) 96 95 105 97 90 84 90 103 99 105 92 89
Musim Basah Basah Basah Basah Basah Basah Basah Kering Basah Basah Basah Basah
47
4.3. Topografi Topografi merupakan perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah yang termasuk di dalamnya adalah perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Gambaran kondisi topografi suatu DAS sangat penting dalam kaitannya dengan laju aliran permukaan dan erosi. Kondisi topografi DAS Separi dengan luas 233,66 km2 (23.366,36 Ha) dapat digambarkan secara detail berdasarkan empat bagian daerah transek, yaitu : 1) bagian daerah transek 1 atau transek yang dilakukan secara horisontal di bagian hulu dari DAS Separi, 2) bagian daerah transek 2 atau transek yang dilakukan secara horisontal di bagian tengah dari DAS Separi, 3) bagian daerah transek 3 atau transek yang dilakukan secara horisontal di bagian hilir dari DAS Separi, dan 4) bagian daerah transek 4 atau transek yang dilakukan secara vertikal dari hulu sampai hilir dari DAS Separi (Gambar 14). Berdasarkan Gambar 14, kondisi topografi di DAS Separi secara umum pada bagian tengah DAS (mulai bagian hulu sampai hilir) adalah dataran sampai bergelombang dengan bentuk lahan (landform) bukit-bukit kecil dan pola perbukitan,
serta
dibatasi
oleh
punggung-punggung
bukit
yang
curam.
Kelerengan pada daerah dataran adalah 0-3% dan daerah bergelombang 3-12%. Peta kelerengan DAS Separi disajikan pada Gambar 15. Kondisi topografi DAS yang banyak didominasi oleh dataran pada bagian tengah menunjukkan bahwa sebenarnya kejadian banjir di bagian hilir dari DAS Separi tidak dipengaruhi oleh faktor topografi, tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor lainnya, seperti : alih fungsi penggunaan lahan dan menurunnya kapasitas tampung badan sungai akibat erosi dan sedimentasi. Dampak negatif alih fungsi penggunaan lahan adalah menurunnya kapasitas tanah dalam memegang air, sehingga berdampak lanjutan terhadap meningkatnya aliran permukaan tanah (banjir) pada musim
48
penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Hal ini didukung dari hasil penelitian Mahe, et al. (2005), bahwa akibat alih fungsi penggunaan lahan hutan menjadi non hutan dari 43% pada tahun 1965 menjadi 13% pada tahun 1995 di DAS
Nakambe,
Burkina-Faso
berdampak
negatif
terhadap
menurunnya
kapasitas tanah memegang air 33-62%, sehingga berdampak lanjutan terhadap meningkatnya volume aliran permukaan (runoff) sebesar 60%. Selain itu, hasil penelitian Mahe, et al. (2005) juga menunjukkan bahwa dampak negatif akibat alih fungsi penggunaan lahan hutan menjadi non hutan adalah penurunan jumlah curah hujan tahunan sebesar 20%.
Transek 1
Transek 2
Outlet
U
Transek 3
Transek 4
Gambar 14. Bentuk lahan DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimanatan Timur
49
Gambar 15. Peta kelerengan DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur 4.4. Tanah Berdasarkan peta tanah skala 1:50.000 (PUSLITTANAK, 1994), DAS Separi dengan luas sekitar 233,66 km2 (23.366,36 Ha) memiliki 27 satuan peta tanah (SPT). Berdasarkan dari 27 SPT tersebut, jenis tanah terbagi dalam 3 kelompok ordo tanah, yaitu : 1) Entisol, 2) Inceptisol, dan 3) Ultisol. Peta jenis tanah skala 1:50.000 disajikan pada Gambar Lampiran 1 dan karakteristik fisik tanah disajikan pada Tabel Lampiran 1. Entisol di DAS Separi yang mendominasi pada SPT 12 adalah Tropaquents dan terletak pada daerah dasar lembah atau jalur-jalur sungai dengan relief datar. Luas tanah Entisol ini adalah 3.331 Ha atau 14% dari total luas DAS. Menurut Ismangun, et al. (1997), Entisol merupakan tanah yang belum mempunyai perkembangan penampang. Karakteristik tanah Entisol di daerah penelitian adalah tekstur tanah liat, kadar C organik sedang, permeabilitas tanah
50
agak lambat, dan kedalaman efektif tanah sekitar 63 cm. Berdasarkan karakteristik fisik tanah seperti tekstur tanah yang didominasi oleh liat tinggi dan permeabilitas tanah yang agak lambat, maka tanah Entisol di DAS Separi di klasifikasikan dalam kelompok tanah C menurut metode SCS (1996: dalam Neitsch, et al., 2001). Hal ini menunjukkan bahwa tanah Entisol ini memiliki laju infiltrasi yang lambat sehingga memiliki aliran permukaan (runoff) yang tinggi. Selain itu, berdasarkan karakteristik tanah lainnya seperti kemampuan tanah memegang air tanah yang cukup tinggi yakni 42% (Tabel Lampiran 1) menunjukkan bahwa tanah Entisol ini juga memiliki kemampuan untuk menyediakan air di musim kemarau. Secara umum, besarnya kemampuan tanah memegang air dipengaruhi oleh tekstur tanah, kandungan bahan organik, struktur tanah, dan kondisi permukaan tanah. Inceptisol di DAS Separi yang mendominasi pada SPT 7, 8, 9, 10, 14, 18, 19, 22, dan 26 adalah Dystropepts dan Tropaquepts. Secara umumnya Inceptisol di daerah penelitian terletak pada daerah bergelombang sampai berbukit (SPT 9, 10, 14, 18, 19, 22, dan 26) dan sebagian kecil terletak pada daerah datar (7 dan 8) (Gambar Lampiran 1 dan Tabel Lampiran 1). Luas tanah Inceptisol ini adalah 4.492 Ha atau 19% dari total luas DAS. Inceptisol merupakan tanah yang sedikit mengalami perkembangan penampang dan dicirikan dengan sedikit adanya pengumpulan liat di lapisan bawah (Soil Survey Staff, 1999). Karakteristik tanah Inceptisol pada daerah bergelombang sampai berbukit adalah tekstur tanah mulai dari pasir, lempung berpasir, lempung berdebu, dan lempung liat berpasir, kadar C organik rendah sampai sedang, permeabilitas tanah sedang sampai cepat, dan kedalaman efektif tanah lebih dari 80 cm. Karakteristik tanah Inceptisol pada daerah datar adalah tekstur tanah mulai dari liat berdebu, kadar C organik sangat rendah sampai rendah, permeabilitas tanah sedang sampai cepat, dan kedalaman efektif tanah lebih dari 70 cm. Berdasarkan karakteristik
51
fisik tanah seperti tekstur tanah yang didominasi oleh Lempung berpasir dan permeabilitas tanah sedang sampai cepat pada daerah bergelombang sampai berbukit, maka tanah Inceptisol di DAS Separi di klasifikasikan dalam kelompok tanah B menurut metode SCS (1996: dalam Neitsch, et al., 2001). Untuk daerah datar di klasifikasikan dalam kelompok tanah C. Hal ini menunjukkan bahwa tanah Inceptisol pada daerah bergelombang sampai berbukit memiliki laju infiltrasi yang sedang sehingga memiliki aliran permukaan (runoff) agak rendah, sedangkan pada daerah datar memiliki laju infiltrasi yang lambat dan memiliki aliran permukaan (runoff) tinggi. Selain itu, berdasarkan karakteristik tanah lainnya seperti kemampuan tanah memegang air tanah yang agak rendah menunjukkan bahwa tanah Inceptisol ini memiliki kemampuan yang agak terbatas dalam menyediakan air di musim kemarau. Ultisol di DAS Separi yang mendominasi pada SPT 1, 2, 3, 4, 5, 6, 11, 13, 15, 16, 17, 20, 21, 23, 24, 25, dan 27 adalah Paleudults, Plinthudults, dan Hapludults. Secara umumnya Ultisol di daerah penelitian terletak pada daerah bergelombang sampai berbukit (SPT 1, 2, 3, 4, 5, 6, 13, 15, 16, 17, 20, 21, 23, 24, 25, dan 27) dan sebagian kecil terletak pada daerah datar (11) (Gambar Lampiran 1 dan Tabel Lampiran 1). Luas tanah Ultisol ini adalah 15.543 Ha atau 67% dari total luas DAS. Ultisol merupakan tanah yang telah mempunyai perkembangan penampang dan dicirikan oleh adanya peningkatan liat yang cukup memenuhi syarat sebagai argilik dan memiliki kejenuhan basa kurang dari 35% pada lapisan bawah (Soil Survey Staff, 1999; Ismangun, et al., 1997). Karakteristik tanah Ultisol pada daerah bergelombang sampai berbukit adalah tekstur tanah mulai dari lempung berdebu, lempung berliat dan liat, kadar C organik sangat rendah sampai sedang, permeabilitas tanah agak lambat sampai sedang, dan kedalaman efektif tanah lebih dari 60 cm. Karakteristik tanah Ultisol pada daerah datar adalah tekstur tanah liat, kadar C organik rendah,
52
permeabilitas tanah agak lambat, dan kedalaman efektif tanah lebih dari 80 cm. Berdasarkan karakteristik fisik tanah seperti tekstur tanah yang didominasi oleh lempung berdebu, lempung berliat dan liat, dan permeabilitas tanah agak lambat sampai sedang pada daerah datar dan bergelombang sampai berbukit, maka tanah Ultisol di DAS Separi di klasifikasikan dalam kelompok tanah C menurut metode SCS (1996: dalam Neitsch, et al., 2001). Hal ini menunjukkan bahwa tanah Ultisol pada daerah datar dan bergelombang sampai berbukit memiliki laju infiltrasi yang lambat sehingga memiliki aliran permukaan (runoff) tinggi. Selain itu,
berdasarkan
karakteristik
tanah
lainnya
seperti
kemampuan
tanah
memegang air tanah yang sedang menunjukkan bahwa tanah Ultisol ini memiliki kemampuan yang cukup dalam menyediakan air di musim kemarau. Untuk mengetahui pengaruh karakteristik fisik tanah terhadap laju infiltrasi dan karakteristik unit hidrograf (respon hidrologis), maka dilakukan pengamatan profil tanah pada tiap jenis penggunaan lahan di masing-masing Sub DAS (Sub DAS Separi-Badin, Sub DAS Separi-Soyi, dan Sub DAS Separi-Usup). Peta pengamatan profil tanah pada masing-masing jenis penggunaan lahan disajikan pada Gambar 16 dan untuk karakteristik tanah pada masing-masing profil tanah disajikan pada Tabel Lampiran 2. 4.5. Karakteristik Geomorfologi DAS Untuk memprediksi banjir atau analisis unit hidrograf, maka diperlukan gambaran atau informasi mengenai karakteristik geomorfologi DAS, baik itu geometrik (luas DAS/Sub DAS, keliling, Indeks Gravelius, lebar dan panjang persegi DAS/Sub DAS, ketinggian, dan kelerengan) maupun morfometrik (panjang sungai utama, rata-rata panjang jaringan sungai, kerapatan jaringan sungai/drainase, rasio percabangan sungai, dan rasio panjang sungai) sangat diperlukan.
53
L2 L1
L6
L4 L3
L5
Gambar 16. Peta lokasi pengamatan profil dan infiltrasi tanah pada masingmasing Sub DAS di DAS Separi
Berdasarkan
Gambar
14,
karakteristik
geometrik
DAS
Separi
merupakan DAS yang berukuran besar karena memiliki luas 233,66 km2 dan keliling (perimeter) 88,89 km, serta mempunyai bentuk DAS memanjang. Bentuk DAS Separi yang memanjang tersebut dicirikan oleh Indeks Gravelius (KG) 1,64. Karakteristik geometrik DAS Separi yang berbentuk memanjang tersebut akan menghasilkan unit hidrograf dengan debit puncak lebih rendah dan waktu menuju debit puncak lebih lama dibanding dengan DAS yang berbentuk bulat dengan ukuran luas yang sama dari suatu kejadian hujan. Hal ini terjadi akibat akumulasi volume air pada titik keluaran (outlet) pada waktu yang tidak bersamaan dan terbagi sepanjang jarak dari titik terjauh DAS sampai ke outlet. Dengan demikian, resiko banjir dari DAS yang berbentuk memanjang lebih kecil dibandingkan dengan DAS berbentuk bulat. Menurut Chow (1964) bahwa DAS yang
54
mempunyai bentuk memanjang akan memiliki rasio debit puncak dengan luas DAS (Qp/A) dibandingkan dengan DAS yang mempunyai bentuk bulat. Indeks Gravelius DAS sama dengan 1,00 merupakan DAS yang berbentuk bulat, dan bila Indeks Graveliusnya berkisar antara 1,15 – 1,20 merupakan DAS berbentuk persegi, serta bila DAS memiliki Indeks Gravelius > 1,20 merupakan DAS berbentuk memanjang (Chow, 1964). Berdasarkan Tabel 8 dan Gambar 17, DAS Badin, DAS Soyi, dan DAS Usup yang merupakan anak DAS Separi adalah DAS yang berukuran kecil karena memiliki luas kurang dari 500 Ha dan mempunyai bentuk DAS memanjang. Berdasarkan karakteristik geometrik, DAS Usup mempunyai Indek Gravelius yang lebih besar dibandingkan dengan DAS Soyi dan DAS Badin. Hal ini menunjukkan bahwa DAS Usup memiliki rasio debit puncak dengan Luas DAS (Qp/A) yang lebih rendah dibandingkan dengan DAS Soyi dan DAS Badin. Selain itu, berdasarkan bentuk lahan pada ketiga DAS (Gambar 17) menunjukkan bahwa DAS Usup mempunyai banyak cekungan dan kelerengan yang lebih rendah dibandingkan DAS Soyi dan DAS Badin sehingga dengan banyaknya cekungan dan kelerengan yang lebih rendah tersebut akan menghasilkan rasio debit puncak dengan Luas DAS (Qp/A) yang lebih rendah. Tabel 8. Karakteristik geometrik DAS/Sub DAS di DAS Separi Nama DAS
Luas 2
1)
Separi 2) Badin 2) Soyi 2) Usup
Keliling
(km )
(km)
233,66 0,49 1,25 1,69
88,98 3,26 5,23 6,55
Indek Persegi Ketinggian Gravelius L I Hilir Hulu (KG) (km) (km) (m dpl.) (m dpl.) 1,64 1,32 1,32 1,42
38,80 1,25 2,01 2,67
6,02 0,39 0,62 0,63
10 - 25 18 - 25 13 - 16 20 - 30
>25 - 205 >25 - 120 >16 - 135 >30 - 80
Kelerengan Hilir Hulu (%) (%) 0-3 0-3 0-3 0-3
>3 - 35 >3 - 15 >3 - 14 >3 - 11
Keterangan : 1) DAS, 2) Sub DAS, L = lebar persegi DAS, dan I = panjang persegi
Pola aliran sungai DAS Separi adalah dendritik atau menyerupai percabangan pohon dengan panjang sungai utama, total panjang jaringan sungai, dan kerapatan jaringan drainase masing-masing adalah 45,09 km,
55
1.235,37 km, dan 5,29 km/km2. Menurut Black (1996) pola aliran sungai berpengaruh terhadap besarnya debit puncak dan lamanya waktu menuju debit puncak. DAS dengan pola aliran sungai dendritik akan mempunyai debit puncak yang lebih rendah dan waktu menuju debit puncak yang lebih lama dibandingkan DAS dengan pola aliran sungai rectangular maupun radial. Selain itu, semakin tinggi kerapatan jaringan drainase suatu DAS akan memmpunyai debit puncak yang lebih rendah dan waktu menuju debit puncak lebih lama.
DAS Soyi
DAS Badin
DAS Usup
U Gambar 17. Bentuk lahan Sub DAS Separi-Badin, Sub DAS Separi-Soyi, dan Sub DAS Separi-Usup Tabel 9. Karakteristik Morfometrik DAS/Sub DAS di DAS Separi Nama DAS 1)
Separi 2) Badin 2) Soyi 2) Usup
Jenis Panjang Sungai Panjang Total Kerapatan Hukum Horton RB RL Jaringan Utama Jaringan Sungai Jaringan Sungai Sungai Dendritik Dendritik Dendritik Dendritik
(km) 45,09 1,31 2,89 2,93
(km) 1.235,37 1,86 6,28 7,76
2
(km/km ) 5,29 3,80 5,01 4,59
4,63 4,00 3,87 3,87
2,23 1,69 1,96 2,01
Keterangan : Rb = rasio percabangan sungai, RL = rasio rata-rata panjang jaringansungai, 1) = DAS, dan 2) = Sub DAS
56
Rasio percabangan sungai (Rb) dan rasio rata-rata panjang sungai (RL) di DAS Separi menurut Hukum Horton masing-masing adalah 4,63 dan 2,23 (Tabel 9). Menurut Chow (1964) rasio percabangan sungai (Rb) dan rasio rata-rata panjang sungai (RL) memiliki peranan yang besar terhadap besarnya debit puncak dan lamanya waktu menuju debit puncak. DAS yang memiliki rasio percabangan sungai (Rb) dan rasio rata-rata panjang sungai (RL) yang lebih tinggi akan memiliki debit puncak yang lebih rendah dan waktu menuju debit puncak lebih lama. Menurut Schumm (1956:dalam Rodriguez-Itubo dan Valdes, 1979), rasio percabangan sungai (Rb) dan rasio rata-rata panjang sungai (RL) secara normal masing-masing berkisar antara 3 – 5 untuk Rb dan 1,5 – 3,5 untuk RL. Berdasarkan karakteristik morfometrik tersebut di atas menunjukkan bahwa DAS Separi tidak akan menimbulkan banjir. Banjir yang terjadi di DAS Separi disebabkan oleh faktor lain yakni peningkatan kecepatan aliran permukaan. Rodriguez-Itubo dan Valdes (1979) dan Rodriguez-Itubo, et al. (1992: dalam Rinaldo et al., 1992) menyatakan bahwa respon hidrologis atau produksi aliran permukaan dari suatu DAS sangat dipengaruhi oleh parameter geomorfologi DAS (geometrik dan morfometrik) yang cenderung statis (tetap) dan kecepatan aliran permukaan (dinamis). Peningkatan kecepatan aliran permukaan sangat dipengaruhi oleh menurunnya kekasaran permukaan lahan akibat alih fungsi penggunaan lahan dari hutan menjadi non hutan. Hal ini didukung dari hasil penelitian Mahe, et al. (2005) bahwa alih fungsi penggunaan lahan hutan menjadi non hutan dari 43% pada tahun 1965 menjadi 13% pada tahun 1995 di DAS Nakambe, Burkina-Faso berdampak negatif terhadap menurunnya kapasitas tanah memegang air 33-62%, sehingga berdampak lanjutan terhadap meningkatnya volume aliran permukaan (runoff) sebesar 60%. Untuk karakteristik morfometrik Sub DAS Separi-Badin, Sub DAS Separi-Soyi,
57
dan Sub DAS Separi-Usup disajikan pada Tabel 9. Untuk rekonstruksi jaringan sungai/drainase dan penentuan order sungai menurut Strahler pada DAS/Sub DAS Separi dilakukan analisis dengan menggunakan data DEM (Digital Elevation Model) dengan resolusi 90 meter yang dianalisis dari radar SRTM. Selain digunakan untuk merekonstruksi jaringan drainase, data DEM tersebut digunakan untuk membatasi DAS secara akurat, bila dibandingkan dengan menggunakan peta topografi/rupa bumi. Morisawa (1959: dalam Helmlinger, et al., 1993) menyatakan bahwa secara umum hasil rekonstruksi jaringan drainase dari peta topografi dengan skala 1:62.500 dan 1:24.000 yang dihasilkan oleh U.S. Geological Survey (USGS) tidak dapat mendeteksi secara tepat jaringan sungai pada order ke-1, 2, dan 3. Hal ini juga didukung dari hasil penelitian Coffman, et al. (1972: dalam Helmlinger, et al., 1993) yang menunjukkan bahwa penggunaan peta topografi skala 1:24.000 dari USGS dalam merekonstruksi jaringan sungai pada order ke-1 dan 2 adalah tidak tepat atau meleset sejauh sekitar 1 km, bila dibandingkan dengan menggunakan data DEM dengan resolusi 90 meter. Hasil rekonstruksi jaringan sungai dan batas DAS/Sub DAS dari data DEM tersebut digunakan untuk menentukan parameter geomorfologi DAS dan dimensi fraktal jaringan sungai DAS Separi dan anak DAS Separi. Selanjutnya baru dilakukan perhitungan fungsi kerapatan peluang (pdf) berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Duchesne dan Cudennec (1998) pada persamaan 21. Irianto, et al. (2001) juga menggunakan hasil rekonstruksi jaringan sungai dari peta rupabumi untuk menentukan parameter Horton dan dimensi fraktal jaringan sungai, serta untuk menghitung fungsi kerapatan peluang (pdf) di DAS Banyumanik, Jawa Tengah. Peta rekonstruksi jaringan drainase DAS/Sub DAS Separi disajikan pada Gambar 18.
58
Gambar 18. Peta jaringan sungai DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimanatan Timur
59
4.6. Jenis Penggunaan Lahan Kondisi jenis penggunaan lahan di DAS Separi berdasarkan peta rupa bumi skala 1:50.000 (BAKOSURTANAL, 1991), terdapat enam jenis penggunaan lahan, yaitu : kawasan hutan, semak belukar, persawahan, pemukiman, kebun atau ladang, dan tambang batu bara. Peta jenis penggunaan lahan pada tahun 1991 di DAS Separi disajikan pada Gambar 19. Berdasarkan Gambar 19, komposisi luas penggunaan lahan pada tahun 1991 yang paling dominan adalah kawasan hutan yang memiliki luas 93% (21.784,35 Ha), kemudian diikuti oleh jenis penggunaan lahan semak belukar yang memiliki luas 4% (871,65 Ha), tambang batubara memiliki luas 2% (465,34 Ha), persawahan memiliki luas 1% (124,27 Ha), kebun/ladang memiliki luas 0,4% (100,46 Ha), dan kawasan pemukiman yang memiliki luas 0,1% (20,28 Ha). Secara faktual antara tahun 1991 sampai dengan 1997 di DAS Separi tidak pernah terjadi banjir. Hal ini menggambarkan bahwa selama 7 tahun (tahun 1991-1997) alih fungsi penggunaan lahan hutan menjadi non hutan relatif rendah, sehingga kejadian banjir pada tahun tersebut tidak pernah terjadi. Kemudian setelah tahun 1997 yakni antara tahun 1998-2006 (Gambar 1), kejadian banjir mengalami peningkatan intensitas sebagai dampak negatif dari terjadinya alih fungsi lahan yang tinggi.
60
Gambar 19. Peta jenis penggunaan lahan tahun 1991 di DAS Separi (BAKOSURTANAL, 1991)
61
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Distribusi Curah Hujan Untuk penyusunan suatu perencanaan pemanfaatan air, prediksi dan perancangan pengendalian banjir dan kekeringan di suatu wilayah, maka perlu dilakukan analisis distribusi curah hujan wilayah, dan bukan menggunakan curah hujan pada suatu titik (stasiun iklim) tertentu saja. Analisis distribusi curah hujan wilayah di DAS Separi yang mempunyai bentuk memanjang dilakukan dengan menggunakan metode Thiessen seperti yang disajikan pada Gambar 13. Metode Thiessen digunakan karena metode ini memiliki asumsi bahwa variasi curah hujan antara stasiun iklim (AWS) di Separi dengan stasiun Lempake maupun stasiun Marang Kayu memiliki hubungan yang linear dan tidak ada pengaruh orografis dari stasiun-stasiun tersebut, serta pada daerah ini merupakan daerah dengan relief datar sampai berbukit dan ketinggian <250 m dpl (di atas permukaan laut). Curah hujan tahunan wilayah DAS Separi adalah 1.990 mm dengan curah hujan bulanan rata-rata terendah 47 mm yang terjadi pada bulan Agustus dan curah hujan bulanan rata-rata tertinggi 246 mm yang terjadi pada bulan Januari (Gambar 20). Curah hujan terendah pada bulan Agustus tersebut ternyata memiliki peluang jumlah hari basah diikuti hari basah lebih tinggi dibandingkan peluang jumlah hari kering diikuti hari kering yang masing-masing adalah 67% dan 62%. Curah hujan tertinggi pada bulan Januari tersebut ternyata memiliki peluang jumlah hari basah diikuti hari basah lebih tinggi dibandingkan peluang jumlah hari kering diikuti hari kering yang masing-masing adalah 82% dan 34%, sehingga pada bulan Januari ini memiliki jumlah curah hujan bulanan yang tertinggi. Curah hujan wilayah di DAS Separi memiliki periode bulan basah (bulan-bulan dengan curah hujan ≥ 100 mm per bulan) selama 10 bulan yang
62
terjadi pada bulan September sampai dengan Juni dengan peluang jumlah hari basah diikuti hari kering berkisar antara 50 – 88%, peluang jumlah hari basah diikuti hari basah berkisar antara 74 – 90%, peluang jumlah hari kering diikuti hari kering berkisar antara 12 – 50%, dan peluang jumlah hari kering diikuti hari basah berkisar antara 10 – 26%.
Untuk periode bulan kering (bulan-bulan
dengan curah hujan < 60 mm per bulan) adalah selama 1 bulan yang terjadi pada bulan Agustus dengan peluang jumlah hari basah diikuti hari kering 38%, peluang jumlah hari basah diikuti hari basah 67%, peluang jumlah hari kering diikuti hari kering 62%, dan peluang jumlah hari kering diikuti hari basah 33% (Tabel Lampiran 3).
Selain itu, untuk mengetahui seberapa besar kurva
frekuensi curah hujan terdistribusi secara simetris maupun tidak simetris (menceng) dilakukan analisis kemencengan (skewness) (Soewarno, 1995).
Hujan Separi
Hujan Lempake
Hujan Mr Kayu
Hujan Rerata Wilayah
600.00
C urah H ujan (m m )
500.00
400.00
300.00
200.00
100.00
Jan-01 Feb-01 A pr-01 M ay-01 Jul-01 S ep-01 O ct-01 D ec-01 Feb-02 M ar-02 M ay-02 Jul-02 A ug-02 O ct-02 D ec-02 Jan-03 M ar-03 M ay-03 Jun-03 A ug-03 S ep-03 N ov-03 Jan-04 Feb-04 A pr-04 Jun-04 Jul-04 S ep-04 N ov-04 D ec-04 Feb-05 M ar-05 M ay-05 Jul-05 A ug-05 O ct-05 D ec-05
0.00
Gambar 20. Curah hujan bulanan tahun 2001 – 2005 di DAS Separi Berdasarkan analisis data selama 5 tahun (tahun 2001 – 2005), curah hujan di DAS Separi memiliki koefisien kemencengan (coefficient of skewness) yang sama dengan nol (CS = 0,00), kecuali pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan
63
September yang masing-masing memiliki nilai koefisien kemencengan sekitar 0,01; 0,01; 0,07; dan 0,01. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi curah hujan di DAS Separi adalah simetris, artinya rata-rata curah hujan tiap bulannya sama dengan nilai mediannya (nilai tengah dari distribusi curah hujan). Berdasarkan Gambar 20, distribusi curah hujan di DAS Separi yang digambarkan oleh tiga stasiun iklim (AWS) tidak menyebar secara merata atau memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi. Hal ini didukung dari hasil analisis uji berganda (uji berpasangan) di antara ketiga stasiun iklim yang menunjukkan bahwa koefisien korelasi (r2) antara ketiga stasiun iklim memiliki nilai yang lebih kecil dari 0,10 dan memiliki kemiringan (slope) garis (b) yang juga lebih kecil dari 0,43 (Tabel 10). Teixeira (2005) menyatakan bahwa data curah hujan antar stasiun hujan memiliki tingkat homogenitas yang tinggi atau curah hujan tersebut terdistribusi secara merata, jika hasil uji berganda di antara stasiun hujan tersebut memiliki nilai koefisien korelasi (r2) lebih besar atau sama dengan 0,70 (r2 ≥ 0,70), dan memiliki nilai kemiringan garis (b) lebih besar atau sama dengan 0,70 dan atau lebih kecil sama dengan 1,30 (0,70 ≤ b ≤ 1,30). Tabel 10. Uji berganda curah hujan dari stasiun iklim (AWS) Separi, Lempake, dan Marang Kayu antara tahun 2001 – 2005
Keterangan 2
r b
2
r b
2
r b
Uji Berganda Curah Hujan Harian SPI Vs LMP SPI Vs MKY LMP Vs MKY SPI Vs CHW LMP Vs CHW MKY Vs CHW 0,06 0,12 0,06 0,97 0,08 0,24 0,23 0,29 0,22 1,07 0,33 0,62 Uji Berganda Curah Hujan Mingguan 0,09 0,22 0,07 0,98 0,11 0,35 0,29 0,42 0,24 1,05 0,36 0,71 Uji Berganda Curah Hujan Bulanan 0,10 0,22 0,07 0,98 0,11 0,35 0,29 0,42 0,24 1,05 0,36 0,71
Keterangan : SPI = AWS Separi, LMP = AWS Lempake, MKY = AWS Marang Kayu, CHW = curah hujan wilayah, r2 = koefisien korelasi, dan b = kemiringan garis (slope)
64
Distribusi curah hujan wilayah yang menyebar secara tidak merata (heterogen) dari ketiga stasiun iklim tersebut diatas berdampak negatif terhadap tingkat akurasi dan presisi dalam pendugaan (prediksi) banjir (debit puncak dan waktu menuju debit puncak) dan kekeringan di DAS Separi. Dalam pemodelan hidrologi dengan menggunakan konsep unit hidrograf sesaat (IUH) sangat dipengaruhi oleh kelengkapan seri data yang baik antara data curah hujan dan debit (Chow, 1964). Menurut beberapa ahli hidrologi bahwa dalam pemodelan banjir diperlukan kelengkapan seri data curah hujan yang baik dari beberapa stasiun hujan di dalam DAS yang menggambarkan curah hujan wilayah dari DAS tersebut, dan data pengamatan tinggi muka air, serta jenis penggunaan lahan (Dutta et al., 2003; Francois et al., 2003). Hasil analisis uji berganda menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tingkat homogenitas atau keseragaman data curah hujan baik harian maupun mingguan antara tiga stasiun Iklim Separi, Lempake, dan Marang Kayu dengan stasiun Seleko. Berdasarkan Tabel 11, hubungan data curah hujan harian antara stasiun Separi, Lempake, dan Marang Kayu dengan stasiun Seleko memiliki nilai koefisien korelasi (r2) dan nilai kemiringan garis (b) yang masing-masing adalah 0,45 dan 0,72 (stasiun Separi dengan Seleko), 0,40 dan 0,34 (stasiun Lempake dengan Seleko), dan 0,25 dan 0,42 (stasiun Marang Kayu dengan Seleko). Untuk hubungan data curah hujan mingguan antara stasiun Separi, Lempake, dan Marang Kayu dengan stasiun Seleko memiliki nilai koefisien korelasi (r2) dan nilai kemiringan garis (b) yang masing-masing adalah 0,42 dan 0,87 (stasiun Separi dengan Seleko), 0,59 dan 0,39 (stasiun Lempake dengan Seleko), dan 0,25 dan 0,55 (stasiun Marang Kayu dengan Seleko). Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan yang tercatat di stasiun curah hujan Seleko menggambarkan pola penyebaran curah hujan yang merata di seluruh DAS Separi. Pola penyebaran curah hujan yang merata di seluruh DAS Separi berdampak positif terhadap
65
peningkatan tingkat akurasi dan presisi dalam pendugaan banjir dan kekeringan. Hal ini didukung dari hasil penelitian Dutta, et al. (2003) dan Francois, et al. (2003) bahwa penempatan beberapa lokasi stasiun curah hujan secara benar di DAS dapat meningkatkan tingkat akurasi pola penyebaran curah hujan wilayah, sehingga berdampak positif terhadap meningkatnya tingkat akurasi model pendugaan debit aliran permukaan (banjir). Tabel 11. Uji berganda curah hujan dari stasiun iklim (AWS) Separi, Lempake, Marang Kayu, dan Seleko antara tanggal 22 Februari – 17 Mei 2006 Uji Berganda Curah Hujan Harian SPI Vs LMP SPI Vs MKY LMP Vs MKY SPI Vs SLK LMP Vs SLK MKY Vs SLK 2 r 0,34 0,17 0,29 0,45 0,40 0,25 b 1,14 0,53 0,35 0,72 0,34 0,42 Uji Berganda Curah Hujan Mingguan 2 r 0,31 0,54 0,18 0,42 0,59 0,25 b 1,50 0,90 0,19 0,87 0,39 0,55 Keterangan : Keterangan : SPI = AWS Separi, LMP = AWS Lempake, MKY = AWS Keterangan
Marang Kayu, SLK = stasiun hujan Seleko, r2 = koefisien korelasi, dan b = kemiringan garis (slope)
5.2. Dampak Alih Fungsi Penggunaan Lahan Terhadap Banjir Berdasarkan hasil analisis klasifikasi penggunaan/tutupan lahan dari citra satelit landsat 7 TM tahun 1998 (perekaman tanggal 11 Februari 1998), bahwa terdapat tujuh (7) jenis penggunaan lahan di DAS Separi, yaitu : hutan, semak belukar, persawahan, pemukiman, kebun atau ladang, lahan terbuka, dan tambang batu bara.
Peta jenis penggunaan lahan DAS Separi tahun 1998
disajikan pada Gambar 21. Berdasarkan Gambar 21, jenis penggunaan lahan pada tahun 1998 yang paling dominan adalah kawasan hutan yang memiliki luas 40% (9.438,53 Ha), kemudian diikuti oleh jenis penggunaan lahan semak belukar yakni 29% (6.685,89 Ha), lahan terbuka yang memiliki luas 27% (6.223,27 Ha), tambang batubara yang memiliki luas 2% (465,34 Ha), kebun/ladang yang memiliki luas 2% (408,76 Ha), persawahan yang memiliki luas 1% (118,84 Ha), dan kawasan pemukiman yang memiliki luas 0,1% (25,73 Ha).
66
Berdasarkan hasil analisis klasifikasi penggunaan/tutupan lahan dari citra satelit landsat 7 TM tahun 2005 (perekaman tanggal 10 September 2005), terdapat tujuh jenis penggunaan lahan di DAS Separi, yaitu : hutan, semak belukar, persawahan, pemukiman, kebun atau ladang, lahan terbuka, dan tambang batu bara.
Peta jenis penggunaan lahan DAS Separi tahun 2005
disajikan pada Gambar 22. Berdasarkan Gambar 22, maka jenis penggunaan lahan pada tahun 2005 yang paling dominan adalah kawasan semak belukar yang memiliki luas 95% (22.089,67 Ha), kemudian diikuti oleh jenis penggunaan lahan tambang batubara yang memiliki luas 2% (465,34 Ha), kebun/ladang yakni 2% (373,76 Ha), hutan yang memiliki luas 1% (261,59 Ha), persawahan yang memiliki luas 1% (116,47 Ha), lahan terbuka yang memiliki luas 0,1% (31,16 Ha), dan kawasan pemukiman yang memiliki luas 0,1% (28,38 Ha).
Gambar 21. Peta jenis penggunaan lahan tahun 1998 di DAS Separi
67
Berdasarkan peta jenis penggunaan lahan tahun 1991 (Gambar 18), peta jenis penggunaan lahan tahun 1998 (Gambar 21), dan peta jenis penggunaan lahan tahun 2005 (Gambar 22), secara spasial (ruang) dan temporal (waktu) telah terjadi alih fungsi penggunaan lahan antara tahun 1991 sampai tahun 1998 maupun tahun 2005. Selama 7 tahun yakni antara tahun 1991 sampai dengan tahun 1998 telah terjadi alih fungsi penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan terbuka, semak belukar, dan kebun/ladang yang masing-masing adalah sebesar 50%, 47%, dan 2% dari luas areal hutan 21.784,35 Ha pada tahun 1991 menjadi 9.438,53 Ha pada tahun 1998. Hal ini juga ditunjukkan dari penurunan luas hutan sebesar 57% dan terjadi peningkatan luas semak belukar, lahan terbuka, dan kebun/ladang yang masing-masing adalah 87%, 100%, dan 75% dibandingkan tahun 1991 (Tabel 12).
Gambar 22. Peta jenis penggunaan lahan tahun 2005 di DAS Separi
68
Alih fungsi penggunaan lahan antara tahun 1998 sampai dengan tahun 2005 dari hutan menjadi semak belukar adalah sebesar 100% dari luas areal hutan sekitar 9.438,53 Ha pada tahun 1998 menjadi 261,59 Ha pada tahun 2005. Hal ini juga ditunjukkan dari penurunan luas hutan sebesar 97% dan terjadi peningkatan luas semak belukar 70% (22.089,67 Ha) dibandingkan tahun 1998 yakni 6.685,89 Ha (Tabel 12). Selama 15 tahun (tahun 1991 – 2005) telah terjadi alih fungsi penggunaan lahan dari hutan menjadi semak belukar (98,58%), lahan terbuka (0,15%) maupun kebun/lading (1,27%). Tabel 12.
No. 1 2 3 4 5 6 7
Alih fungsi penggunaan lahan antara tahun 1991 – 2005 di DAS Separi
Jenis Penggunaan Lahan Hutan Kebun/Ladang Lahan Terbuka Pemukiman Persawahan Semak Belukar Tambang Batubara
Luas (Ha) Pada Tahun 1991 1998 2005 21.784,36 9.438,53 261,59 100,46 408,76 373,76 6.223,27 31,16 20,28 25,73 28,38 124,27 118,84 116,47 871,65 6.685,89 22.089,67 465,34 465,34 465,34
Perubahan (%) 1991 / 1998 1998 / 2005 (56,67) (97,23) 75,42 (8,56) 100,00 (99,50) 21,17 9,34 (4,37) (1,99) 86,96 69,73 -
Keterangan : *) angka didalam kurung bernilai negatif (terjadi penurunan luas) Dampak negatif terjadinya alih fungsi penggunaan lahan dari hutan menjadi semak belukar (98,58%), lahan terbuka (0,15%) maupun kebun/lading (1,27%) di DAS Separi adalah meningkatnya intensitas banjir di hilir DAS Separi. Secara faktual telah terjadi peningkatan intensitas banjir pada tahun 2005 yang terjadi sebanyak 2 kali yakni pada tanggal 22 Oktober dan 20 Desember 2005, bila dibandingkan dengan sebelum tahun 2005 yang terjadi hanya sekali dalam setahun yakni pada tanggal 27 Juni 1998, 9 Januari 2002, 15 Oktober 2003, 14 Maret 2004, dan 3 Mei 2006 (Tabel 13). Hal ini menunjukkan bahwa dampak negatif alih fungsi penggunaan lahan adalah terjadinya peningkatan intensitas banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Hasil penelitian
69
Mahe, et al. (2005) menyatakan bahwa akibat alih fungsi penggunaan lahan hutan menjadi non hutan dari 43% pada tahun 1965 menjadi 13% pada tahun 1995 di DAS Nakambe, Burkina-Faso berdampak negatif terhadap menurunnya kapasitas tanah memegang air 33-62%, sehingga berdampak lanjutan terhadap meningkatnya volume aliran permukaan (runoff) sebesar 60%. Selain itu, hasil penelitian Mahe, et al. (2005) juga menunjukkan bahwa dampak negatif akibat alih fungsi penggunaan lahan hutan menjadi non hutan adalah penurunan jumlah curah hujan tahunan sebesar 20%. Tabel 13. Kejadian-kejadian banjir dengan curah hujan mingguan (7 hari) di DAS Separi selama tahun 1998 – 2005 No.
Waktu
Curah Hujan 7 Hari TMA Debit Sebelum Kejadian 3 (m /detik) (mm) (m) 1 27-Jun-98 128,00 tad tad 2 9-Jan-02 119,65 3,73 75,07 3 17-Jun-02 84,06 2,97 53,40 4 22-Nov-02 99,59 2,51 41,61 5 7-Jan-03 76,58 2,93 52,34 6 30-Mar-03 59,84 2,11 32,20 7 15-May-03 84,98 3,51 68,46 8 15-Oct-03 108,38 3,69 73,87 9 23-Jan-04 99,74 3,51 68,49 10 14-Mar-04 105,63 3,66 72,86 11 24-Nov-04 54,37 3,26 61,44 12 26-Dec-04 64,06 3,33 63,41 13 7-Jan-05 58,73 3,11 57,31 14 25-Apr-05 11,81 3,55 69,83 15 14-May-05 15,44 3,54 69,51 16 22-Oct-05 160,56 3,74 75,52 17 20-Dec-05 104,06 3,66 73,01 18 3-May-06 107,58 3,76 75,94 Keterangan : tad = tidak ada data (belum dipasang alat AWLR)
Keterangan
Banjir Banjir Banjir Banjir Banjir Banjir Banjir
5.3. Pengaruh Karakteristik Tanah Terhadap Laju Infiltrasi Tanah Untuk mengetahui pengaruh karakteristik tanah (tekstur, bobot isi, berat jenis, kadar air, stabilitas agregat, dan C organik tanah) terhadap laju infiltrasi tanah, maka dilakukan pengamatan laju infiltrasi tanah pada setiap Sub DAS
70
Separi (Sub DAS Separi-Usup, Sub DAS Separi-Soyi, Sub DAS Separi-Badin) dan jenis penggunaan lahan dengan menggunakan ring ganda infiltrometer. Pada kelas tekstur tanah lempung (L-3) dengan jenis penggunaan lahan adalah palawija (jagung), yang mana persen pasir, debu, dan liat yang masing-masing 23%; 32%; dan 45%, bobot isi tanah 1,26 g/cm3, kadar air pada kondisi lapang 21%, dan kadar bahan organik 1,86% (Tabel Lampiran 2) memiliki laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan, dan konstanta yang masing-masing adalah 3,41 mm/menit; 0,75 mm/menit; dan 0,27 per menit (Tabel 14 dan Gambar 23a). Pada kelas tekstur tanah lempung (L-6) dengan jenis penggunaan lahan semak belukar (alang alang), yang mana persen pasir, debu, dan liat yang masing-masing adalah 23%; 34%; dan 43%, bobot isi tanah 1,28 g/cm3, kadar air pada kondisi lapang 27%, dan kadar bahan organik 1,69% (Tabel Lampiran 2) memiliki laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan, dan konstanta yang masing-masing adalah 2,70 mm/menit; 0,36 mm/menit; dan 0,29 per menit (Tabel 14 dan Gambar 23b). Tabel 14. Nilai laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan atau jenuh (fc), dan konstanta penjenuhan (k) untuk masing-masing jenis penggunaan lahan pada masing-masing Sub DAS Separi Jenis Penggunaan fo fc Lahan (mm/menit) (mm/menit) Sub DAS Separi-Usup Semak Belukar 3,86 0,50 Kebun/Ladang 6,71 0,53 Sub DAS Separi-Soyi Semak Belukar 3,25 0,61 Kebun/Ladang 5,29 0,61 Sub DAS Separi-Badin Semak Belukar 2,70 0,36 Kebun/Ladang 3,41 0,75
k
Luas (Ha) 0,11 0,21
154,23 14,87
0,15 0,24
92,01 33,42
0,29 0,27
28,86 19,93
Berdasarkan Gambar 23, laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan (fc), dan konstanta pada jenis penggunaan lahan palawija (jagung) memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan laju infiltrasi pada jenis penggunaan lahan
71
semak belukar (alang alang). Pengaruh dari bobot isi tanah yang lebih rendah dan tingginya bahan organik tanah pada jenis penggunaan lahan palawija (jagung) dibandingkan pada jenis penggunaan lahan semak belukar (alang alang) berpengaruh terhadap meningkatnya laju infiltrasi tanah. Hal ini didukung dari hasil penelitian Yanrilla (2001), bahwa pengaruh karakteristik tanah (bobot isi, struktur, dan bahan organik tanah) berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi tanah, yang mana pada jenis penggunaan lahan pertanian (jagung) memeiliki kapasitas
infiltrasi
tanah
yang
lebih
tinggi
dibandingkan
dengan
jenis
penggunaan lahan alang-alang, karena jenis penggunaan lahan pertanian (jagung) memiliki kandungan bahan organik lebih tinggi dan bobot isi tanah lebih rendah dibandingkan jenis penggunaan lahan alang-alang. Pada kelas tekstur tanah pasir (L-1) dengan jenis penggunaan lahan adalah palawija (jagung), dimana persen pasir, debu, dan liat yang masingmasing adalah 56%; 28%; dan 16%, bobot isi tanah 1,20 g/cm3, kadar air pada kondisi lapang 22%, dan kadar bahan organik 2,37% (Tabel Lampiran 2) memiliki laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan, dan konstanta yang masing-masing adalah 5,29 mm/menit; 0,61 mm/menit; dan 0,24 per menit (Tabel 14 dan Gambar 24a). Pada kelas tekstur tanah pasir (L-2) dengan jenis penggunaan lahan semak belukar (Pahitan atau Centrosema), dimana persen pasir, debu, dan liat yang masing-masing adalah 53%; 16%; dan 31%, bobot isi tanah 1,28 g/cm3, kadar air pada kondisi lapang 23%, dan kadar bahan organik 2,55% (Tabel Lampiran 2) memiliki laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan, dan konstanta yang masing-masing adalah 3,25 mm/menit; 0,61 mm/menit; dan 0,15 per menit (Tabel 14 dan Gambar 24b). Berdasarkan Gambar 24, laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan (fc), dan konstanta pada jenis penggunaan lahan palawija (jagung) memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan laju infiltrasi pada jenis penggunaan lahan semak belukar
72
(Pahitan atau Centrosema). Hal ini menunjukkan bahwa tingginya bahan organik tanah dan rendahnya bobot isi tanah pada jenis penggunaan lahan palawija (jagung) dibandingkan pada jenis penggunaan lahan semak belukar (Pahitan atau Centrosema) berpengaruh terhadap meningkatnya laju infiltrasi tanah.
A. Lahan Pertanian (Jagung) Nash (%) = 11
INFILTRASI (mm/menit)
7 Inf Pengukuran
6
Inf Sim ulasi 5 4 3 2 1 0 0
20
40
60
80
100
120
WAKTU (m enit) B. Sem ak Belukar (Alang alang) Nash (%) = 26%
INFILTRASI (mm/menit)
7 Inf Pengukuran
6
Inf Sim ulasi
5 4 3 2 1 0 0
20
40
60
80
100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 WAKTU (m enit)
Gambar 23. Kurva laju infiltrasi tanah hasil pengukuran dan simulasi pada jenis penggunaan lahan A) lahan pertanian (jagung) dan B) semak belukar (alang alang) di Sub DAS Separi-Badin Pada kelas tekstur tanah liat (L-4) dengan jenis penggunaan lahan adalah semak belukar (Pahitan atau Centrosema), dimana persen pasir, debu, dan liat yang masing-masing adalah 39%; 22%; dan 39%, bobot isi tanah 1,37 g/cm3,
73
kadar air pada kondisi lapang 25%, dan kadar bahan organik 2,12% (Tabel Lampiran 2) memiliki laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan, dan konstanta yang masing-masing adalah sekitar 3,86 mm/menit; 0,50 mm/menit; dan 0,11 per menit (Tabel 14 dan Gambar 25a). A. Lahan Pertanian (Jagung) Nash (%) = 72 7 Inf Pengukuran
INFILTRASI (mm/menit)
6
Inf Sim ulasi 5 4 3 2 1 0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
WAKTU (m enit)
B. Semak Belukar (Pahitan) Nash (%) = 61 7 Inf Pengukuran
INFILTRASI (mm/menit)
6
Inf Sim ulasi
5 4 3 2 1 0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
220
WAKTU (m enit)
Gambar 24. Kurva laju infiltrasi tanah hasil pengukuran dan simulasi pada jenis penggunaan lahan A) lahan pertanian (jagung) dan B) semak belukar (Pahitan atau Centrosema) di Sub DAS Separi-Soyi Pada kelas tekstur tanah liat (L-5) dengan jenis penggunaan lahan kebun/ladang (lada), dimana persen pasir, debu, dan liat yang masing-masing adalah 35%; 9%; dan 56%, bobot isi tanah 1,24 g/cm3, kadar air pada kondisi lapang 21%, dan
74
kadar bahan organik 3,02% (Tabel Lampiran 2) memiliki laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan, dan konstanta yang masing-masing adalah 6,71 mm/menit; 0,53 mm/menit; dan 0,21 per menit (Tabel 14 dan Gambar 25b). Berdasarkan Gambar 25, laju infiltrasi awal (fo), laju infiltrasi pada saat konstan (fc), dan konstanta pada jenis penggunaan lahan kebun/ladang (lada) memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan laju infiltrasi pada jenis penggunaan lahan semak belukar (Pahitan atau Centrosema). Hal ini menunjukkan bahwa tingginya bahan organik dan rendahnya bobot isi tanah pada jenis penggunaan lahan kebun/ladang (lada) dibandingkan pada jenis penggunaan lahan semak belukar (Pahitan atau Centrosema) berpengaruh terhadap meningkatnya laju infiltrasi tanah. Secara umum kapasitas infiltrasi tanah sangat dipengaruhi oleh faktor tanah dan jenis penggunaan lahan, serta pengelolaan lahan (Napitupulu, 1998; Rukaiyyah, 2001; Yanrilla, 2001; Thierfelder, et al., 2002). Karakteristik tanah yang berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi tanah adalah tekstur, struktur, bobot isi, dan kandungai bahan organik tanah. Hal ini didukung dari hasil analisis korelasi antara karakteristik tanah (kadar air, bobot isi, ruang pori total tanah, kandungan bahan organik, fraksi tanah, dan indek stabilitas agregat tanah) dengan laju infiltrasi tanah konstan yang menunjukkan bahwa bobot isi memiliki korelasi yang lebih nyata (p=0,03) dibandingkan karakteristik tanah lainnya. Hasil regresi hubungan antara karakteristik tanah sebagai variabel bebas terhadap variabel tidak bebas (laju infiltrasi tanah konstan) didapatkan persamaan matematis sebagai berikut : fc = 3,64 – 2,38.BI
(R2 = 73%) .…...................................................(39)
fc adalah laju infiltrasi tanah konstan (mm/menit) dan BI adalah bobot isi tanah (g/cm3) (Tabel Lampiran 5). Berdasarkan hasil analisis regresi antara bobot isi tanah terhadap laju infiltrasi tanah konstan (persamaan 39) dapatlah disimpulkan
75
bahwa menurunnya bobot isi tanah akan meningkatkan laju infiltrasi tanah konstan.
A. Lahan Pertanian (Lada) Nash (%) = 72 7 Inf Pengukuran INFILTRASI (mm/menit)
6
Inf Sim ulasi
5 4 3 2 1 0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
WAKTU (m enit)
B. Semak Belukar (Pahitan) Nash (%) = 50 7 Inf Pengukuran
INFILTRASI (mm/menit)
6
Inf Sim ulasi
5 4 3 2 1 0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
WAKTU (m enit)
Gambar 25. Kurva laju infiltrasi tanah hasil pengukuran dan simulasi pada jenis penggunaan lahan A) kebun/ladang (lada) dan B) semak belukar (Pahitan atau Centrosema) di Sub DAS Separi-Usup
5.4. Pengaruh Karakteristik Tanah dan Geomorfologi DAS Terhadap Unit Hidrograf Untuk mengetahui pengaruh karakteristik fisik tanah (tekstur tanah) dan geomorfologi DAS (geometrik dan morfometrik) terhadap karakteristik hidrologis
76
di DAS Separi, maka dilakukan pengamatan tinggi muka air pada masing-masing Sub DAS Separi berdasarkan kelas tekstur tanah, yakni : 1) Sub DAS SepariUsup (tekstur tanah liat), 2) Sub DAS Separi-Soyi (tekstur tanah pasir), dan 3) Sub DAS Separi-Badin (tekstur tanah lempung) (Gambar 12). Pengamatan tinggi muka air pada ketiga Sub DAS Separi tersebut dilakukan dengan interval waktu 6 menitan dengan menggunakan metode V-Notch (Gambar Lampiran 2). Berdasarkan hasil analisis statistik (ANOVA), terdapat perbedaan yang nyata (α=5%) antara besarnya total debit aliran permukaan pada Sub DAS Separi-Usup (tekstur tanah liat) dengan Sub DAS Separi-Badin (tekstur tanah lempung), kecuali total debit aliran permukaan antara Sub DAS Separi-Usup (tekstur tanah liat) dengan Sub DAS Separi-Soyi (tekstur tanah pasir) dan total debit aliran permukaan antara Sub DAS Separi-Soyi (tekstur tanah pasir) dengan Sub DAS Separi-Badin (tekstur tanah lempung). Hal ini menunjukkan Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah lempung memiliki total debit aliran permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan debit puncak pada Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah pasir dan liat. Hasil analisis statistik (ANOVA) untuk total debit aliran tunda dan dasar pada taraf nyata (α=5%) juga menunjukkan bahwa total debit aliran tunda dan dasar antara ketiga Sub DAS Separi tidak memiliki perbedaan yang nyata (Tabel 15). Namun demikian pada Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah lempung mempunyai total debit aliran tunda dan dasar yang lebih besar dibandingkan dengan Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah liat dan pasir. Hasil tersebut di atas secara teori berlawanan, yang mana seharusnya Sub DAS yang yang didominasi oleh tanah bertekstur liat memiliki total debit aliran permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Sub DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur lempung dan pasir. Hal ini diduga dipengaruhi oleh faktor tanah lain seperti stabilitas,
77
struktur, dan dinamika pori tanah, serta karakteristik geomorfologi DAS. Selain itu, berdasarkan karakteristik unit hidrograf dari ketiga Sub DAS menunjukkan bahwa Sub DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur liat mempunyai waktu menuju debit puncak yang lebih cepat dibandingkan dengan Sub DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur lempung dan pasir (Gambar 26). Perbandingan debit puncak (Qp) dan waktu menuju debit puncak (tp) antara ketiga Sub DAS disajikan pada Tabel Lampiran 6. Berdasarkan Tabel Lampiran 6, waktu menuju debit puncak antara Sub DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur liat tidak berbeda nyata (α=5%) dengan Sub DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur lempung, kecuali Sub DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur pasir. Tabel 15. Total debit aliran permukaan (Q ro) dan debit aliran tunda dan dasar (Q if+bf) antara ketiga Sub DAS pada beberapa episode hujan No.
Waktu
Q ro Q if+bf Usup Soyi Badin Usup Soyi Badin (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) 1 08/04/2006 7,87 9,63 tad 0,95 1,85 tad 2 14/04/2006 5,52 10,28 17,65 7,81 1,69 6,08 3 23/04/2006 7,77 13,54 14,04 1,61 2,08 3,02 ab bc c a a a 11,15 15,85 3,46 1,88 4,55 7,05 Rerata Keterangan : tad = tidak ada data dan hurup pada baris dan kolom parameter yang sama menunjukkan kesamaan (α=5%)
Rodriguez-Itubo dan Valdes (1979) dan Rodriguez-Itubo, et al. (1992: dalam Rinaldo et al., 1992) menyatakan bahwa produksi aliran permukaan dari suatu DAS sangat dipengaruhi oleh parameter geomorfologi DAS yang cenderung statis (tetap) dan kecepatan aliran permukaan (dinamis). Berdasarkan karakteristik geomorfologi ketiga Sub DAS tersebut diatas, menunjukkan bahwa Sub DAS Separi-Badin yang memiliki karakteristik geometrik (Indek Gravelius, panjang sungai utama, dan rasio rata-rata panjang jaringan sungai) yang lebih tinggi akan memiliki total debit aliran permukaan yang lebih tinggi dibandingkan
78
23/04/2006 20:47
23/04/2006 20:05
23/04/2006 19:23
23/04/2006 18:41
23/04/2006 17:59
0,7
23/04/2006 17:17
0,8 15/04/2006 6:11
15/04/2006 5:35
15/04/2006 4:59
15/04/2006 4:23
15/04/2006 3:47
15/04/2006 3:11
0,7
15/04/2006 2:35
0,8
23/04/2006 16:35
0,9
15/04/2006 1:59
15/04/2006 1:23
15/04/2006 0:47
15/04/2006 0:11
14/04/2006 23:35
14/04/2006 22:59
14/04/2006 22:23
14/04/2006 21:47
14/04/2006 21:11
14/04/2006 20:35
14/04/2006 19:59
14/04/2006 19:23
14/04/2006 18:47
14/04/2006 18:11
14/04/2006 17:35
08/04/2006 16:23
08/04/2006 15:53
08/04/2006 15:23
08/04/2006 14:53
08/04/2006 14:23
08/04/2006 13:53
08/04/2006 13:23
08/04/2006 12:53
08/04/2006 12:23
08/04/2006 11:53
08/04/2006 11:23
08/04/2006 10:53
08/04/2006 10:23
08/04/2006 9:53
08/04/2006 9:23
08/04/2006 8:53
08/04/2006 8:23
08/04/2006 7:53
08/04/2006 7:23
08/04/2006 6:53
08/04/2006 6:23
08/04/2006 5:53
08/04/2006 5:23
08/04/2006 4:53
08/04/2006 4:23
0,7
23/04/2006 15:53
0,9
23/04/2006 15:11
23/04/2006 14:29
23/04/2006 13:47
23/04/2006 13:05
23/04/2006 12:23
23/04/2006 11:41
23/04/2006 10:59
23/04/2006 10:17
23/04/2006 9:35
23/04/2006 8:53
23/04/2006 8:11
23/04/2006 7:29
23/04/2006 6:47
23/04/2006 6:05
23/04/2006 5:23
14/04/2006 16:59
3
Debit (m /detik) 0,8 Curah Hujan DAS Usup (Tekstur Tanah Liat)
DAS Soyi (Tekstur Tanah Pasir)
1
2
0,6 3
4
0,5 5
0,4 6
0,3 7
0,2 8
0,1 9
0,0 10
1,0
Curah Hujan
DAS Usup (Tekstur Tanah Liat) DAS Soyi (Tekstur Tanah Pasir)
1
DAS Badin (Tekstur Tanah Lempung)
2
0,6
1,0
Curah Hujan
DAS Usup (Tekstur Tanah Liat) DAS Soyi (Tekstur Tanah Pasir)
DAS Badin (Tekstur Tanah Lempung)
3
4
0,5 5
0,4 6
0,3 7
0,2 8
0,1 9
0,0 10
1
2
0,6 3
4
0,5 5
0,4
6
0,3
7
0,2
8
0,1
9
0,0
10
Waktu
Gambar 26. Kurva unit hidrograf hasil pengukuran pada Sub DAS Separi-Usup, Sub DAS Separi-Badin, dan Sub DAS Separi-Soyi pada episode hujan a) 8 April 2006, b) 14 April 2006, dan c) 23 April 2006
79
Curah Hujan (mm/6 menit)
23/04/2006 4:41
3
Debit (m /detik) 0,9
Curah Hujan (mm/6 menit)
3
1,0
Curah Hujan (mm/6 menit)
Debit (m /detik)
dengan Sub DAS yang lainnya (Sub DAS Separi-Soyi dan Sub DAS Separi-
Usup) yang memiliki karakteristik geometrik lebih rendah (Gambar Lampiran 3).
0
Waktu 0
Waktu 0
Selain itu, Sub DAS yang memiliki karakteristik morfometrik (Indek Gravelius dan kerapatan jaringan sungai) lebih rendah (Gambar Lampiran 4) dan kecuraman lereng DAS lebih tinggi (Gambar 17) akan memiliki waktu menuju debit puncak yang lebih cepat dibandingkan Sub DAS yang memiliki karakteristik morfometrik (Indek Gravelius dan kerapatan jaringan sungai) lebih tinggi dan kecuraman lereng DAS lebih rendah. 5.5. Model Pendugaan Banjir Untuk menduga banjir, maka ada dua besaran (magnitude) penting yang harus dikomputasi secara akurat dalam analisis banjir, yaitu : debit puncak (peak discharge) dan waktu menuju debit puncak (time to peak discharge). Pemodelan banjir ini didasarkan pada 2 bagian, yaitu : 1) pemodelan fungsi produksi (perhitungan curah hujan efektif dari curah hujan bruto) dan 2) pemodelan fungsi transfer (simulasi debit aliran permukaan). 5.5.1. Fungsi Produksi Air DAS Pada pemodelan fungsi produksi didasarkan pada 3 metode, yaitu : A) perhitungan curah hujan efektif berdasarkan koefisien runoff (Kr), B) perhitungan curah hujan efektif berdasarkan intersepsi dan infiltrasi, dan C) perhitungan curah hujan efektif berdasarkan sifat fisik tanah (kapasitas tanah menyimpan air) pada lapisan atas. Perhitungan curah hujan efektif berdasarkan koefisien runoff (Kr) didasarkan pada persamaan 23 dan penentuan koefisien runoff (Kr) didasarkan pada persamaan 24. Nilai koefisien runoff (Kr) pada tiap episode hujan dan masing-masing Sub DAS disajikan pada Tabel 16. Pada penentuan volume aliran permukaan yang digunakan dalam perhitungan koefisien runoff (Kr) didasarkan dari separasi hidrograf. Separasi hidrograf pada masing-masing Sub DAS disajikan pada Gambar Lampiran 5, 6, dan 7. Berdasarkan Tabel 16,
80
koefisien runoff (Kr) pada Sub DAS Separi-Usup (tekstur tanah liat) untuk ketiga episode hujan memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai koefisien runoff pada Sub DAS Separi-Soyi (tekstur tanah pasir) dan Sub DAS Separi-Badin (tekstur tanah lempung). Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik geomorfologi DAS (panjang total jaringan sungai, kerapatan jaringan sungai, indek gravelius, dan rasio rata-rata panjang jaringan sungai) lebih berpengaruh terhadap besarnya debit puncak dan waktu menuju debit puncak dibandingkan dengan karakteristik fisik tanah (tekstur tanah). Tabel 16. Koefisien runoff (Kr) pada tiap episode hujan dan masing-masing Sub DAS Episode Hujan
PbT
Sub DAS Separi-Usup Sub DAS Separi-Soyi Sub DAS Separi-Badin Vro Kr Vro Kr Vro Kr (mm) (mm) (mm) (mm) 31-Mei-06 21,60 3,67 0,17 4,50 0,21 8,11 0,38 06-Apr-06 11,22 2,14 0,19 4,30 0,38 6,28 0,56 08-Apr-06 45,01 7,87 0,17 9,63 0,21 tad tad 14-Apr-06 30,88 5,52 0,18 10,28 0,33 17,65 0,57 23-Apr-06 40,53 7,77 0,19 13,54 0,33 14,04 0,35 Keterangan : PbT = total curah hujan bruto, Vro = total volume aliran permukaan, dan tad = tidak ada data
Perhitungan curah hujan efektif berdasarkan selisih antara curah hujan bruto yang tercatat di penangkar hujan (Pb) dengan jumlah air yang diintersepsi oleh tanaman (INTCP) dan air yang diinfiltrasikan ke dalam tanah f(t) didasarkan pada persamaan 25. Analisis intersepsi menggunakan metode Von HoyningenHuene (1981: dalam de Roo, 1999) dan untuk analisis LAI (leaf area index) digunakan data citra Landsat 7 TM perekaman tanggal 10 September 2005. Hasil analisis LAI dengan menggunakan data citra Landsat 7 TM, menunjukkan bahwa pada Sub DAS Separi-Usup untuk jenis penggunaan lahan semak belukar memiliki nilai LAI 5,39 m2/m2 dan untuk jenis penggunaan lahan kebun/ladang (campuran antara tanaman lada dan jagung) memiliki nilai LAI 3,46 m2/m2 (Tabel 17). Untuk Sub DAS Separi-Soyi jenis penggunaan lahan semak belukar memiliki
81
nilai LAI 5,11 m2/m2 dan untuk jenis penggunaan lahan kebun/ladang (campuran antara tanaman jagung dan kedelai) memiliki nilai LAI 3,46 m2/m2 (Tabel 17). Untuk Sub DAS Separi-Badin jenis penggunaan lahan semak belukar memiliki nilai LAI 5,30 m2/m2 dan untuk jenis penggunaan lahan kebun/ladang (jagung) memiliki nilai LAI 3,38 m2/m2, serta untuk jenis penggunaan lahan persawahan memiliki nilai LAI sekitar 3,26 m2/m2 (Tabel 17). Peta LAI (Leaf Area Index) DAS Separi dari hasil analisis dengan menggunakan citra Landsat 7 TM perekaman tanggal 10 September 2005 disajikan pada Gambar Lampiran 8. Hasil penentuan nilai LAI tersebut di atas, didukung dari hasil penelitian dari PUSLITBANGTANAK (2001), yang mana nilai LAI untuk jenis penggunaan padi sawah 3,08 m2/m2, tegalan (kacang tanah) 3,40 m2/m2, tegalan (ubi kayu) 3,17 m2/m2, tegalan (jagung) 3,31 m2/m2, dan hutan primer 9,37 m2/m2. Parameterisasi model intersepsi tanaman menggunakan data pada Tabel 17. Analisis infiltrasi tanah di lapangan untuk ketiga Sub DAS Separi
(Sub DAS Separi-Usup, Sub DAS
Separi-Soyi, dan Sub DAS Separi-Badin) dengan menggunakan ring ganda infiltrometer dan parameterisasi model infiltrasi tanah dengan menggunakan metode Horton (1940: dalam Bedient dan Huber, 1992) (Tabel 14). Persamaan infiltrasi menurut model Horton tersebut telah banyak digunakan dalam analisis simulasi debit aliran permukaan (pemodelan hidrologi), seperti : HYSIM (Manley, 2006), MARINE (Estupina-Borrell et al., 2006), dan SWMM (Huber and Dickinson, 1988:dalam Rossman, 2004). Hal ini dikarenakan penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Horton dalam pendugaan banjir (debit puncak aliran permukaan dan waktu respon) memiliki hasil yang lebih baik dan lebih
konsisten
untuk
beberapa
kejadian
banjir
dibandingkan
dengan
penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Philip (1957: dalam Bedient dan Huber, 1992) dan SCS (1972: dalam Chahinian et al., 2004) dalam pendugaan banjir (Chahinian et al., 2004). Selain itu, hasil penelitian Chahinian et al. (2004)
82
menunjukkan penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Horton dalam pendugaan banjir tidak lebih baik dibandingkan dengan penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Morel-Seytoux (1978: dalam Chahinian et al., 2004) dalam pendugaan banjir. Perhitungan curah hujan efektif berdasarkan sifat fisik tanah disusun berdasarkan analisis regresi berganda antara curah hujan bruto dan sifat fisik tanah (kapasitas tanah menyimpan air) sebagai variabel bebas dengan curah hujan efektif sebagai variabel tak bebas. Hasil analisis regresi berganda antara curah hujan bruto dan kapasitas tanah menyimpan air sebagai variabel bebas terhadap curah hujan efektif sebagai variabel tak bebas didapatkan persamaan matematis sebagai berikut : Pn(t) = 0,0437 + 0,287.Pb – 0,00234.Ws
(R2=84%) ....................(40)
yang mana, Pn(t) adalah curah hujan efektif (mm), 0,0437 adalah konstanta, 0,287 adalah koefisien curah hujan bruto, Pb adalah curah hujan bruto (mm), 0,00234 adalah koefisien kapasitas tanah menyimpan air, dan Ws adalah kapasitas tanah menyimpan air (mm). Tabel 17. Analisis LAI (Leaf Area Index) dengan menggunakan citra Landsat 7 TM perekaman tanggal 10 September 2005 No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total Rerata
Sub DAS Separi-Usup Sub DAS Separi-Soyi Sub DAS Separi-Badin 2 2 2 2 2 2 LAI (m /m ) LAI (m /m ) LAI (m /m ) Semak Kebun / Semak Kebun / Semak Kebun / PersawaBelukar Ladang Belukar Ladang Belukar Ladang han 5,35 3,32 5,35 3,32 5,39 3,64 3,16 5,39 3,87 4,22 3,87 5,39 3,46 3,32 5,20 3,46 4,58 3,46 5,10 3,32 3,36 5,57 3,74 4,47 3,74 5,10 3,37 3,32 5,48 3,46 5,48 3,46 5,48 3,24 3,32 5,38 3,32 5,38 3,32 5,57 3,32 3,16 5,29 3,32 5,29 3,32 5,57 3,32 3,20 5,48 3,46 5,48 3,46 5,10 3,46 5,22 3,32 5,22 3,32 5,20 3,32 5,58 3,32 5,58 3,32 5,10 3,32 53,94 34,59 51,05 34,59 53,00 33,77 22,84 5,39 3,46 5,11 3,46 5,30 3,38 3,26
83
5.5.2. Fungsi Transfer Air DAS Dalam fungsi transfer air DAS dianalisis berdasarkan pengukuran panjang jaringan sungai/drainase. Rekonstruksi jaringan didasarkan dari hasil analisis SIG dengan menggunakan data DEM SRTM resolusi 90 meter. Peta rekonstruksi jaringan sungai/drainase DAS Separi (termasuk didalamnya Sub DAS Separi-Usup, Sub DAS Separi-Soyi, dan Sub DAS Separi-Badin) dapat dilihat pada Gambar 18. Berdasarkan data panjang jaringan sungai/drainase pada Gambar 18, serta waktu respon, maka dapat dibuat kurva fungsi kerapatan peluang (pdf). Untuk DAS Separi yang memiliki rata-rata panjang sungai dari order 1 sampai ke outlet adalah 21,67 km dengan waktu respon 25 jam dan kecepatan aliran air rata-rata 0,24 m per detik akan memiliki nilai fungsi kerapatan peluang (pdf) tertinggi 0,0034 yang terletak pada sungai yang memiliki panjang sungai antara 14.388 – 14.475 m (Gambar 27a). Untuk Sub DAS Separi-Usup yang memiliki rata-rata panjang sungai dari order 1 sampai ke outlet adalah 1,84 km (1.840 m) dengan rata-rata waktu respon antara 2,2 sampai 2,4 jam dan kecepatan aliran air rata-rata 0,15 m per detik memiliki nilai fungsi kerapatan peluang (pdf) tertinggi 0,026 yang terletak pada sungai yang memiliki panjang sungai antara 498 – 543 m (Gambar 27b). Untuk Sub DAS Separi-Soyi yang memiliki rata-rata panjang sungai dari order 1 sampai ke outlet adalah 1,54 km (1.537 m) dengan waktu respon antara 4,8 sampai 6,6 jam dan kecepatan aliran air rata-rata 0,10 m per detik memiliki nilai fungsi kerapatan peluang (pdf) tertinggi 0,020 yang terletak pada sungai yang memiliki panjang sungai antara 440 – 474 m (Gambar 27c).
84
A. DAS Separi 0,0040 0,0035 0,0030 pdf
0,0025 0,0020 0,0015 0,0010 0,0005 0,0000 0
5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000 Panjang Lintasan (m)
B. Sub DAS Separi-Usup 0,030 0,025
pdf
0,020 0,015 0,010 0,005 0,000 0
250
500
750 1000 1250 1500 1750 2000 2250 2500 2750 3000 Panjang Lintasan (m) C. Sub DAS Separi-Soyi
0,030 0,025
pdf
0,020 0,015 0,010 0,005 0,000 0
250
500
750
1000 1250 1500 1750 2000 2250 2500 2750 3000 Panjang Lintasan (m)
D. Sub DAS Separi-Badin 0,030 0,025
pdf
0,020 0,015 0,010 0,005 0,000 0
250
500
750
1000 1250 1500 1750 2000 2250 2500 2750 3000 Panjang Lintasan (m)
Gambar 27. Kurva fungsi kerapatan peluang (pdf) untuk a) DAS Separi, b) Sub DAS Separi-Usup, c) Sub DAS Separi-Soyi, dan d) Sub DAS Separi-Badin
85
Untuk Sub DAS Separi-Badin yang memiliki rata-rata panjang sungai dari order 1 sampai ke outlet adalah 0,74 km (738,89 m) dengan waktu respon antara 2,1 sampai 2,8 jam dan kecepatan aliran air rata-rata 0,07 m per detik memiliki nilai fungsi kerapatan peluang (pdf) tertinggi 0,020 yang terletak pada sungai yang memiliki panjang sungai antara 343 – 369 m (Gambar 27d). Parameterisasi model fungsi kerapatan peluang (pdf) pada Gambar 27 digunakan dalam pemodelan fungsi transfer yakni simulasi debit aliran permukaan yang merupakan hasil proses konvolusi antara curah hujan efektif dengan fungsi kerapatan peluang (pdf) dan luas DAS. Secara umum berdasarkan bentuk kurva hubungan fungsi kerapatan peluang dengan panjang sungai yang relatif normal (Gambar 27a) akan mempunyai potensi banjir relatif kecil di DAS Separi. Hal ini berbeda sekali dengan bentuk kurva hubungan fungsi kerapatan peluang dengan panjang sungai Sub DAS Separi-Badin, Sub DAS Separi-Usup, dan Sub DAS Separi-Soyi yang lebih condong ke kiri (Gambar 27b, 27c, dan 27d) akan menghasilkan potensi banjir atau meningkatnya debit puncak dan mempercepat waktu menuju debit puncak yang lebih tinggi. Hasil analisis simulasi pendugaan banjir (debit puncak dan waktu menuju debit puncak) dengan menggunakan 3 metode perhitungan curah hujan efektif (metode A, B, dan C) pada ketiga Sub DAS, yaitu : Sub DAS Separi-Usup, Sub DAS Separi-Soyi, dan Sub DAS Separi-Badin menunjukkan bahwa hasil simulasi memiliki kemiripan atau tingkat akurasi yang cukup tinggi (α=5%) antara debit puncak dan waktu menuju debit puncak aliran permukaan antara hasil pengukuran dengan hasil simulasi, kecuali debit puncak aliran permukaan hasil simulasi pada Sub DAS Separi-Usup dan Sub DAS Separi-Badin (Tabel 18).
86
Berdasarkan Tabel 18, debit puncak dan waktu menuju debit puncak ratarata hasil simulasi dengan menggunakan metode A dan B untuk Sub DAS Separi-Usup yang didominasi tekstur tanah liat memiliki hasil yang sama (α=5%), kecuali penggunaan metode C yang memiliki nilai lebih tinggi (over estimate) 30% atau hasil yang berbeda dibandingkan dengan hasil pengukuran. Hal ini ditunjukkan dari hasil uji akurasi dengan menggunakan kriteria Nash dan Sutcliffe, yang mana pendugaan banjir dengan menggunakan metode A secara konsisten dapat digunakan untuk menduga debit puncak dan waktu menuju debit puncak dengan tingkat akurasi yang tinggi (F rata-rata=96%) dibandingkan dengan menggunakan metode B (F rata-rata=81%) dan metode C (F ratarata=45%) di Sub DAS Separi-Usup (Gambar 28). Hal ini menunjukkan bahwa pendugaan banjir dengan menggunakan pemodelan fungsi produksi metode C (persamaan 40) kurang mampu menduga debit puncak aliran permukaan untuk Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah liat. Tabel 18. Debit puncak (Qp) dan waktu menuju debit puncak (tp) hasil pengukuran dengan simulasi dari 3 metode untuk ketiga Sub DAS Episode Hujan
Pengukuran Qp tp 3 (m /detik) (jam)
08-Apr-06 14-Apr-06 23-Apr-06 Rerata
0,79 0,64 0,77 a 0,74
2,5 2,3 3,1 a 2,6
08-Apr-06 14-Apr-06 23-Apr-06 Rerata
0,59 0,57 0,77 a 0,64
5,0 5,9 7,1 a 6,0
14-Apr-06 23-Apr-06 Rerata
0,46 0,50 a 0,48
3,5 3,3 a 3,4
Metode A Metode B Qp tp Qp tp 3 3 (m /detik) (jam) (m /detik) (jam) Sub DAS Separi-Usup 0,79 2,8 0,70 1,7 0,59 2,4 0,69 2,5 0,67 3,0 0,59 2,0 a a a a 0,68 2,7 0,66 2,1 Sub DAS Separi-Soyi 0,60 4,8 0,66 3,9 0,60 4,8 0,55 5,0 0,80 6,9 0,63 6,2 a a a a 0,66 5,5 0,61 5,0 Sub DAS Separi-Badin 0,43 3,6 0,38 3,8 0,35 4,0 0,47 3,5 a a a a 0,39 3,8 0,42 3,7
Metode C Qp tp 3 (m /detik) (jam) 1,26 0,92 0,97 b 1,05
2,8 2,3 3,0 a 2,7
0,82 0,53 0,71 a 0,69
4,8 4,8 7,0 a 5,5
0,21 0,28 b 0,25
3,4 3,8 a 3,6
Keterangan : hurup pada baris dan kolom parameter yang sama menunjukkan kesamaan dan sebaliknya (α=5%)
87
23/04/2006 16:41
23/04/2006 16:11
23/04/2006 15:41
23/04/2006 15:11
23/04/2006 14:41
23/04/2006 14:11
23/04/2006 13:41
23/04/2006 13:11
1,0
23/04/2006 12:41
1,2 15/04/2006 4:11
15/04/2006 3:41
15/04/2006 3:11
15/04/2006 2:41
15/04/2006 2:11
15/04/2006 1:41
15/04/2006 1:11
15/04/2006 0:41
15/04/2006 0:11
14/04/2006 23:41
14/04/2006 23:11
1,0
23/04/2006 12:11
14/04/2006 22:41
14/04/2006 22:11
14/04/2006 21:41
14/04/2006 21:11
14/04/2006 20:41
14/04/2006 20:11
14/04/2006 19:41
14/04/2006 19:11
14/04/2006 18:41
14/04/2006 18:11
14/04/2006 17:41
14/04/2006 17:11
14/04/2006 16:41
1,2
23/04/2006 11:41
23/04/2006 11:11
23/04/2006 10:41
23/04/2006 10:11
23/04/2006 9:41
23/04/2006 9:11
23/04/2006 8:41
23/04/2006 8:11
23/04/2006 7:41
23/04/2006 7:11
23/04/2006 6:41
23/04/2006 6:11
23/04/2006 5:41
23/04/2006 5:11
14/04/2006 16:11
08/04/2006 16:23
08/04/2006 15:53
08/04/2006 15:23
08/04/2006 14:53
08/04/2006 14:23
08/04/2006 13:53
08/04/2006 13:23
08/04/2006 12:53
08/04/2006 12:23
08/04/2006 11:53
08/04/2006 11:23
08/04/2006 10:53
08/04/2006 10:23
08/04/2006 9:53
08/04/2006 9:23
08/04/2006 8:53
08/04/2006 8:23
08/04/2006 7:53
08/04/2006 7:23
08/04/2006 6:53
08/04/2006 6:23
08/04/2006 5:53
08/04/2006 5:23
08/04/2006 4:53
08/04/2006 4:23
3
Debit (m /detik) 0,8
0,2
0,0
1,4
Curah Hujan Q pengukuran Q simulasi (Metode B) - Nash (%) = 95 Q simulasi (Metode A) - Nash (%) = 97 Q simulasi (Metode C) - Nash (%) = 59
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
1,4
Curah Hujan Q pengukuran Q simulasi (Metode B) - Nash (%) = 71 Q simulasi (Metode A) - Nash (%) = 94 Q simulasi (Metode C) - Nash (%) = 61
0,8
0,2
0,0
2
3
4
0,6 5
6
0,4 7
8
2
3
4
5
6
7
8
2
3
4
0,6 5
6
0,4
7
8
Curah Hujan (mm/6 menit)
23/04/2006 4:41
3
Debit (m /detik) 1,0
Curah Hujan (mm/6 menit)
3
1,2
Curah Hujan Q pengukuran Q simulasi (Metode B) - Nash (%) = 78 Q simulasi (Metode A) - Nash (%) = 97 Q simulasi (Metode C) - Nash (%) = 16 Curah Hujan (mm/6 menit)
Debit (m /detik)
1,4 0
1
9
10
Waktu 0
1
9
10
Waktu 0
1
9
10
Waktu
Gambar 28. Kurva debit aliran permukaan hasil pengukuran dengan simulasi (metode A, B, dan C) untuk episode hujan a) 8/04/2006, b) 14/04/2006, dan c) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Usup
88
Hasil analisis debit puncak aliran permukaan dan waktu menuju debit puncak rata-rata hasil simulasi untuk Sub DAS Separi-Soyi yang didominasi tekstur tanah pasir dengan menggunakan pemodelan fungsi produksi metode A, B, dan C memiliki hasil yang sama (α=5%) dibandingkan dengan hasil pengukuran (Tabel 18). Hal ini ditunjukkan dari hasil uji akurasi, yang mana pendugaan banjir dengan menggunakan metode A secara konsisten lebih tinggi tingkat akurasinya (F rata-rata=94%) dibandingkan dengan menggunakan metode B (F rata-rata=86%) dan metode C (F rata-rata=78%) di Sub DAS Separi-Soyi (Gambar 29). Hal ini menunjukkan bahwa pendugaan banjir dengan menggunakan metode A, B, dan C mampu menduga debit puncak aliran permukaan untuk Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah pasir. Hasil analisis debit puncak aliran permukaan dan waktu menuju debit puncak rata-rata hasil simulasi untuk Sub DAS Separi-Badin yang didominasi tekstur tanah lempung dengan menggunakan metode A dan B memiliki hasil yang sama (α=5%) dibandingkan dengan hasil pengukuran, kecuali pendugaan banjir dengan menggunakan metode C (Tabel 18). Debit puncak rata-rata hasil simulasi dengan metode C pada Sub DAS ini memiliki nilai yang lebih rendah (under estimate) 48% dibandingkan dengan hasil pengukuran. Hal ini ditunjukkan dari hasil uji akurasi dengan menggunakan kriteria Nash dan Sutcliffe, yang mana pendugaan banjir dengan menggunakan metode B secara konsisten dapat digunakan untuk menduga debit puncak dan waktu menuju debit puncak dengan tingkat
akurasi
yang
tinggi
(F
rata-rata=91%)
dibandingkan
dengan
menggunakan metode A (F rata-rata=87%) dan metode C (F rata-rata=62%) di Sub DAS Separi-Badin (Gambar 30). Hal ini menunjukkan bahwa pendugaan banjir dengan menggunakan pemodelan fungsi produksi metode C (persamaan 40) masih kurang mampu menduga debit puncak aliran permukaan untuk Sub DAS Separi-Badin yang didominasi oleh tekstur tanah lempung.
89
23/04/2006 20:41
23/04/2006 19:53
23/04/2006 19:05
23/04/2006 18:17
23/04/2006 17:29
23/04/2006 16:41
23/04/2006 15:53
1,0
23/04/2006 15:05
1,2 15/04/2006 5:59
15/04/2006 5:23
15/04/2006 4:47
15/04/2006 4:11
15/04/2006 3:35
15/04/2006 2:59
15/04/2006 2:23
15/04/2006 1:47
15/04/2006 1:11
15/04/2006 0:35
14/04/2006 23:59
14/04/2006 23:23
14/04/2006 22:47
14/04/2006 22:11
14/04/2006 21:35
14/04/2006 20:59
14/04/2006 20:23
14/04/2006 19:47
14/04/2006 19:11
14/04/2006 18:35
14/04/2006 17:59
14/04/2006 17:23
14/04/2006 16:47
1,0
23/04/2006 14:17
23/04/2006 13:29
23/04/2006 12:41
23/04/2006 11:53
23/04/2006 11:05
23/04/2006 10:17
23/04/2006 9:29
23/04/2006 8:41
23/04/2006 7:53
23/04/2006 7:05
23/04/2006 6:17
23/04/2006 5:29
14/04/2006 16:11
1,2 08/04/2006 18:11
08/04/2006 17:35
08/04/2006 16:59
08/04/2006 16:23
08/04/2006 15:47
08/04/2006 15:11
08/04/2006 14:35
08/04/2006 13:59
08/04/2006 13:23
08/04/2006 12:47
08/04/2006 12:11
08/04/2006 11:35
08/04/2006 10:59
08/04/2006 10:23
08/04/2006 9:47
08/04/2006 9:11
08/04/2006 8:35
08/04/2006 7:59
08/04/2006 7:23
08/04/2006 6:47
08/04/2006 6:11
08/04/2006 5:35
08/04/2006 4:59
08/04/2006 4:23
3
Debit (m /detik)
2
3
0,8 4
0,6 5
6
0,4 7
0,2 8
0,0
1,4
Curah Hujan Q pengukuran Q simulasi (Metode B) - Nash (%) = 90 Q simulasi (Metode A) - Nash (%) = 98 Q simulasi (Metode C) - Nash (%) = 98 2
3
0,8 4
0,6 5
6
0,4 7
0,2 8
0,0
1,4
Curah Hujan Q pengukuran Q simulasi (Metode B) - Nash (%) = 82 Q simulasi (Metode A) - Nash (%) = 90 Q simulasi (Metode C) - Nash (%) = 92
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0 2
3
4
5
6
7
8
Curah Hujan (mm/6 menit)
23/04/2006 4:41
3
Debit (m /detik) 1,0
Curah Hujan (mm/6 menit)
3
1,2
Curah Hujan Q pengukuran Q simulasi (Metode B) - Nash (%) = 85 Q simulasi (Metode A) - Nash (%) = 93 Q simulasi (Metode C) - Nash (%) = 45 Curah Hujan (mm/6 menit)
Debit (m /detik)
1,4 0
1
9
10
Waktu 0
1
9
10
Waktu 0
1
9
10
Waktu
Gambar 29. Kurva debit aliran permukaan hasil pengukuran dengan simulasi (metode A, B, dan C) untuk episode hujan a) 8/04/2006, b) 14/04/2006, dan c) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Soyi
90
1,4
0
1,0 0,8
3
Debit (m /detik)
1,2
1 2 3 4 5
0,6
6
0,4
7 8
0,2
Curah Hujan (mm/6 menit)
Curah Hujan Q pengukuran Q simulasi (Metode B) - Nash (%) = 97 Q simulasi (Metode A) - Nash (%) = 96 Q simulasi (Metode C) - Nash (%) = 55
9 10 15/04/2006 5:23
15/04/2006 4:47
15/04/2006 4:11
15/04/2006 3:35
15/04/2006 2:59
15/04/2006 2:23
15/04/2006 1:47
15/04/2006 1:11
15/04/2006 0:35
14/04/2006 23:59
14/04/2006 23:23
14/04/2006 22:47
14/04/2006 22:11
14/04/2006 21:35
14/04/2006 20:59
14/04/2006 20:23
14/04/2006 19:47
14/04/2006 19:11
14/04/2006 18:35
14/04/2006 17:59
14/04/2006 17:23
14/04/2006 16:47
14/04/2006 16:11
0,0
Waktu 1,4
0
3
Debit (m /detik)
1,2 1,0 0,8
1 2 3 4 5
0,6
6 7
0,4
8
0,2
Curah Hujan (mm/6 menit)
Curah Hujan Q pengukuran Q simulasi (Metode B) - Nash (%) = 85 Q simulasi (Metode A) - Nash (%) = 77 Q simulasi (Metode C) - Nash (%) = 68
9 10 23/04/2006 16:05
23/04/2006 15:35
23/04/2006 15:05
23/04/2006 14:35
23/04/2006 14:05
23/04/2006 13:35
23/04/2006 13:05
23/04/2006 12:35
23/04/2006 12:05
23/04/2006 11:35
23/04/2006 11:05
23/04/2006 10:35
23/04/2006 10:05
23/04/2006 9:35
23/04/2006 9:05
23/04/2006 8:35
23/04/2006 8:05
23/04/2006 7:35
23/04/2006 7:05
23/04/2006 6:35
23/04/2006 6:05
23/04/2006 5:35
23/04/2006 5:05
23/04/2006 4:35
0,0
Waktu
Gambar 30. Kurva debit aliran permukaan hasil pengukuran dengan simulasi (metode A, B, dan C) untuk episode hujan a) 14/04/2006 dan b) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Badin Secara umum dari Gambar 28, 29, dan 30 menunjukkan bahwa pemodelan fungsi produksi (curah hujan efektif) dengan menggunakan metode A (koefisien runoff/Kr) secara konsisten dapat memprediksi banjir (debit puncak dan waktu menuju debit puncak) dengan tingkat akurasi yang tinggi (F>92%) di ketiga Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah liat (DAS Usup), tekstur
91
tanah pasir (DAS Soyi), dan tekstur tanah lempung (DAS Badin) untuk beberapa episode hujan. Untuk pemodelan curah hujan efektif dengan menggunakan metode B juga dapat memprediksi banjir dengan tingkat akurasi yang tinggi (F>85%) di ketiga Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah liat (DAS Usup), tekstur tanah pasir (DAS Soyi), dan tekstur tanah lempung (DAS Badin) pada beberapa episode hujan. Hasil penelitian Kartiwa dan Irianto (2001) menunjukkan bahwa pemodelan debit aliran permukaan dengan menggunakan pemodelan fungsi produksi metode koefisien aliran permukaan (Kr) di Sub DAS Kripik, DAS Kaligarang, Semarang memiliki tingkat akurasi sedang (F = 68%) menurut kriteria Nash dan Sutcliffe. Untuk pemodelan debit aliran permukaan yang dilakukan di Sub DAS Bunder, DAS Oyo, Gunungkidul, Yogyakarta dengan menggunakan pemodelan fungsi produksi dengan memperhitungkan parameter intersepsi tanaman dan infiltrasi tanah didapatkan hasil dengan tingkat akurasi yang tinggi menurut kriteria Nash dan Sutcliffe yakni lebih dari 70% (Heryani, 2001; Sarjiman, 2004). Tingkat akurasi yang lebih tinggi dari hasil penelitian ini yakni lebih dari 92% untuk pemodelan fungsi produksi metode A dibandingkan dengan hasil penelitian Kartiwa dan Irianto (2001) menunjukkan bahwa pemodelan debit aliran permukaan juga sangat dipengaruhi oleh pemodelan fungsi transfer. Demikian juga dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi dari hasil penelitian ini yakni lebih dari 85% untuk pemodelan fungsi produksi metode B dibandingkan dengan hasil penelitian Heryani (2001) dan Sarjiman (2004) menunjukkan bahwa pemodelan debit aliran permukaan ini juga sangat dipengaruhi oleh pemodelan fungsi transfer. Dalam pemodelan fungsi transfer sangat dipengaruhi oleh tingkat akurasi dalam rekonstruksi jaringan sungai, karena dalam perhitungan fungsi transfer diperlukan parameter fungsi kerapatan peluang (pdf) dan dalam parametrisasi fungsi kerapatan peluang tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat akurasi dalam rekonstruksi jaringan sungai. Rekonstruksi jaringan sungai dalam
92
penelitian ini menggunakan data DEM (Digital Elevation Model) dengan resolusi 90 meter dan penggunaan data DEM ini meningkatkan tingkat akurasi hasil dibandingkan dengan peta topografi. Hal ini didukung dari hasil penelitian Helmlinger et al. (1993) bahwa hasil rekonstruksi jaringan drainase dengan menggunakan data DEM memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan peta topografi. Untuk pemodelan curah hujan efektif dengan menggunakan metode C (persamaan 40) tidak cukup mampu dalam memprediksi banjir dan hal ini ditunjukkan dari tingkat akurasi yang sedang (F<53%) di dua Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah liat (DAS Usup) dan tekstur tanah lempung (DAS Badin), sedangkan pada Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah pasir (DAS Soyi) pemodelan curah hujan efektif dengan menggunakan metode C (persamaan 40) dapat memodelkan debit aliran permukaan dengan tingkat akurasi yang tinggi (F>78%) pada beberapa episode hujan. Tingginya debit aliran permukaan hasil simulasi pada metode C (persamaan 40) dibandingkan dengan hasil pengukuran pada Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah liat (DAS Usup) dikarenakan curah hujan bruto yang masuk ke dalam tanah lebih rendah, sehingga menyebabkan debit aliran permukaan hasil simulasi lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pengukuran. Apabila kapasitas menyimpan air tanah ditingkatkan dari kedalaman 20 cm menjadi 60 cm atau terjadi peningkatan kapasitas menyimpan air tanah 200%, maka akan menurunkan jumlah curah hujan efektif masing-masing sebesar 27% (8/04/2006), 23% (14/04/2006), dan 28% (23/04/2006), sehingga akan menurunkan debit aliran permukaan yang mendekati dengan hasil pengukuran dan hal ini akan meningkatkan tingkat akurasi sebesar 87% (Gambar 31).
93
23/04/2006 16:41
23/04/2006 16:11
23/04/2006 15:41
23/04/2006 15:11
23/04/2006 14:41
23/04/2006 14:11
23/04/2006 13:41
23/04/2006 13:11
1,0
23/04/2006 12:41
1,2
23/04/2006 12:11
1,4 15/04/2006 4:11
15/04/2006 3:41
15/04/2006 3:11
15/04/2006 2:41
15/04/2006 2:11
15/04/2006 1:41
15/04/2006 1:11
15/04/2006 0:41
15/04/2006 0:11
14/04/2006 23:41
14/04/2006 23:11
14/04/2006 22:41
1,0
23/04/2006 11:41
14/04/2006 22:11
14/04/2006 21:41
14/04/2006 21:11
14/04/2006 20:41
14/04/2006 20:11
14/04/2006 19:41
14/04/2006 19:11
14/04/2006 18:41
14/04/2006 18:11
14/04/2006 17:41
14/04/2006 17:11
14/04/2006 16:41
14/04/2006 16:11
1,2
23/04/2006 11:11
23/04/2006 10:41
23/04/2006 10:11
23/04/2006 9:41
23/04/2006 9:11
23/04/2006 8:41
23/04/2006 8:11
23/04/2006 7:41
23/04/2006 7:11
23/04/2006 6:41
23/04/2006 6:11
23/04/2006 5:41
23/04/2006 5:11
08/04/2006 16:23
08/04/2006 15:53
08/04/2006 15:23
08/04/2006 14:53
08/04/2006 14:23
08/04/2006 13:53
08/04/2006 13:23
08/04/2006 12:53
08/04/2006 12:23
08/04/2006 11:53
08/04/2006 11:23
08/04/2006 10:53
08/04/2006 10:23
08/04/2006 9:53
08/04/2006 9:23
08/04/2006 8:53
08/04/2006 8:23
08/04/2006 7:53
08/04/2006 7:23
08/04/2006 6:53
08/04/2006 6:23
08/04/2006 5:53
08/04/2006 5:23
08/04/2006 4:53
08/04/2006 4:23
3
Debit (m /detik) 0,8
0,2
0,0
1,4
Curah Hujan Q pengukuran Q simulasi (Metode C) - Nash (% ) = 59 Q simulasi (+Stok Air Tanah 200% ) - Nash (% ) = 92
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
Curah Hujan Q pengukuran Q simulasi (Metode C) - Nash (% ) = 61 Q simulasi (+ Stok Air Tanah 200% ) - Nash (% ) = 89
0,8
0,2
0,0
2
3
4
0,6 5
6
0,4 7
8
2
3
4
5
6
7
8
2
3
4
0,6 5
6
0,4 7
8 Curah Hujan (mm/6 menit)
23/04/2006 4:41
3
Debit (m /detik) 1,0
Curah Hujan (mm/6 menit)
3
1,2 Curah Hujan Q pengukuran Q simulasi - Nash (% ) = 16 Q simulasi (+ Stok Air Tanah 200% ) - Nash (% ) = 80
Curah Hujan (mm/6 menit)
Debit (m /detik)
1,4 0
1
9
10
Waktu 0
1
9
10
Waktu
0
1
9
10
Waktu
Gambar 31. Perbandingan debit aliran permukaan hasil simulasi dengan metode C sebelum dan setelah dilakukan penambahan kedalaman stok air tanah dari 20 cm menjadi 60 cm terhadap hasil pengukuran untuk episode hujan a) 8/04/2006, b) 14/04/2006, dan c) 23/04/2006 di Sub DAS Separi-Usup
94
Rendahnya debit aliran permukaan hasil simulasi pada metode C (persamaan 40) dibandingkan dengan hasil pengukuran pada Sub DAS yang didominasi oleh tekstur tanah lempung (DAS Badin) dikarenakan curah hujan bruto yang masuk ke dalam tanah lebih tinggi, sehingga menyebabkan debit aliran permukaan hasil simulasi jauh lebih rendah (under estimate) dibandingkan dengan hasil pengukuran. Apabila kapasitas menyimpan air tanah diturunkan dari kedalaman 20 cm menjadi 6 cm atau penurunan kapasitas menyimpan air tanah 70%, maka akan meningkatkan jumlah curah hujan efektif masing-masing sebesar 64% (14/04/2006) dan 33% (23/04/2006), sehingga akan meningkatkan debit aliran permukaan yang mendekati dengan hasil pengukuran dan hal ini akan meningkatkan tingkat akurasi sebesar 68% (Gambar 32). Untuk pendugaan banjir (debit puncak dan waktu menuju debit puncak) di DAS Separi, maka dilakukan ekstrapolasi dari ketiga model fungsi produksi ke seluruh DAS dengan cara membagi DAS Separi dalam beberapa Sub DAS menurut metode Strahler (1957:dalam Rodriguez-Iturbo dan Valdes, 1979) seperti disajikan pada Gambar 33. Selanjutnya dilakukan penentuan waktu tempuh dari masing-masing keluaran (outlet) Sub DAS sampai ke outlet DAS Separi berdasarkan panjang lintasan sungai dan kecepatan aliran rata-rata (Tabel 19). Waktu tempuh debit aliran air dari Sub DAS Separi-01 sampai dengan outlet DAS Separi adalah 17,5 jam dengan panjang sungai (jarak) 30,2 km dan kecepatan rata-rata aliran air 0,48 m per detik. Waktu tempuh debit aliran air dari masing-masing Sub DAS Separi sampai dengan outlet DAS Separi disajikan pada Tabel 19. Perhitungan waktu tempuh dari masing-masing keluaran (outlet) Sub DAS sampai ke outlet DAS Separi sangat penting sekali dalam kaitannya dengan pendugaan waktu respon atau waktu menuju debit puncak di outlet DAS Separi.
95
1,4
0
3
Debit (m /detik)
1,2 1,0
1 2 3 4
0,8
5 0,6
6 7
0,4
8
0,2
Curah Hujan (mm/6 menit)
Curah Hujan Q pengukuran Q simulasi - Nash (% ) = 55 Q simulasi (- Stok Air Tanah 70% ) - Nash (% ) = 72
9
0,0 15/04/2006 5:23
15/04/2006 4:47
15/04/2006 4:11
15/04/2006 3:35
15/04/2006 2:59
15/04/2006 2:23
15/04/2006 1:47
15/04/2006 1:11
15/04/2006 0:35
14/04/2006 23:59
14/04/2006 23:23
14/04/2006 22:47
14/04/2006 22:11
14/04/2006 21:35
14/04/2006 20:59
14/04/2006 20:23
14/04/2006 19:47
14/04/2006 19:11
14/04/2006 18:35
14/04/2006 17:59
14/04/2006 17:23
14/04/2006 16:47
14/04/2006 16:11
10
Waktu 1,4
0
3
Debit (m /detik)
1,2 1,0
1 2 3 4
0,8
5 0,6
6
0,4
7 8
0,2
Curah Hujan (mm/6 menit)
Curah Hujan Q pengukuran Q simulasi - Nash (% ) = 68 Q simulasi (- Stok Air Tanah 70% ) - Nash (% ) = 65
9
0,0 23/04/2006 17:05
23/04/2006 16:35
23/04/2006 16:05
23/04/2006 15:35
23/04/2006 15:05
23/04/2006 14:35
23/04/2006 14:05
23/04/2006 13:35
23/04/2006 13:05
23/04/2006 12:35
23/04/2006 12:05
23/04/2006 11:35
23/04/2006 11:05
23/04/2006 10:35
23/04/2006 10:05
23/04/2006 9:35
23/04/2006 9:05
23/04/2006 8:35
23/04/2006 8:05
23/04/2006 7:35
23/04/2006 7:05
23/04/2006 6:35
23/04/2006 6:05
23/04/2006 5:35
23/04/2006 5:05
23/04/2006 4:35
10
Waktu
Gambar 32. Perbandingan debit aliran permukaan hasil simulasi dengan metode C sebelum dan setelah dilakukan penambahan kedalaman stok air tanah dari 20 cm menjadi 6 cm terhadap hasil pengukuran untuk episode hujan a) 14/04/2006 dan b) 23/04/2006 di Sub DAS SepariBadin Analisis pendugaan banjir (debit puncak dan waktu menuju debit puncak) pada beberapa episode hujan dengan menggunakan pemodelan fungsi produksi metode A dan B di DAS Separi memiliki hasil yang mendekati dengan debit puncak hasil pengukuran (α=5%), kecuali metode C dan untuk waktu menuju debit puncak memiliki hasil yang mendekati dengan waktu menuju debit puncak hasil pengukuran (Tabel 20).
96
Gambar 33. Peta pembagian DAS Separi menjadi sepuluh Sub DAS Tabel 19. Waktu tempuh debit aliran air dari masing-masing Sub DAS ke outlet DAS Separi Sub DAS 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jarak Tempuh Kecepatan Aliran (m) (m/detik) 30.200 0,48 30.200 0,49 26.930 0,46 23.530 0,43 12.340 0,32 11.150 0,31 7.300 0,29 6.100 0,30 4.910 0,32
Waktu Tempuh (jam) (6 menit) 17,5 1.050 17,0 1.022 16,2 972 15,3 918 10,6 636 9,9 594 6,9 414 5,7 344 4,3 258
Berdasarkan Tabel 20, rata-rata debit puncak hasil simulasi dengan metode A memiliki debit puncak yang lebih tinggi (2%), dan untuk metode B dan C memiliki debit puncak rata-rata yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil pengukuran yang masing-masing adalah 9% (metode B) dan 33% (metode C). Waktu menuju debit puncak hasil simulasi dengan menggunakan metode A
97
memiliki nilai rata-rata yang mendekati dengan hasil pengukuran (α=5%), sedangkan untuk metode B dan C memiliki nilai rata-rata waktu menuju debit puncak yang lebih lama dibandingkan dengan hasil pengukuran yakni masingmasing adalah 2 jam (metode B) dan 4 jam (metode C). Namun demikian ada beberapa kejadian banjir yang tidak dapat yang tidak dapat di simulasi (diduga) secara akurat oleh ketiga metode tersebut. Hal ini dikarenakan oleh 2 faktor, yaitu: 1) distribusi curah hujan yang tidak merata di DAS Separi dan 2) tinggi muka air di sungai Mahakam. Distribusi curah hujan yang tidak merata di DAS Separi ditunjukkan dari hasil analisis uji homogenitas di 3 stasiun iklim (Tabel 10), yang mana memiliki tingkat homogenitas yang rendah. Untuk pengaruh tinggi muka air di sungai Mahakam ditunjukkan dari karakteristik unit hidrograf pada Gambar Lampiran 9, kejadian banjir (9 Januari 2002 dan 15 Oktober 2003) dengan lamanya waktu banjir 3 hari. Dua faktor ini mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam keakuratan pendugaan banjir di DAS Separi. Tabel 20. Debit puncak (Qp) dan waktu menuju debit puncak (tp) pada beberapa episode hujan di DAS Separi Episode Hujan
Pengukuran Metode A Metode B Metode C Qp tp Qp tp Qp tp Qp tp 3 3 3 3 (m /detik) (jam) (m /detik) (jam) (m /detik) (jam) (m /detik) (jam) 09-Jan-02 65,61 18,0 67,94 20,0 33,50 23,2 32,49 30,3 15-Okt-03 71,62 18,0 71,34 19,1 93,72 22,3 69,28 17,5 14-Mar-04 56,41 16,0 85,14 17,1 76,83 15,8 37,19 16,2 29-Jan-05 52,09 11,7 26,09 9,4 21,12 10,9 21,28 13,2 26-Mar-06 40,04 24,9 40,05 22,2 34,45 28,3 32,54 29,4 a a a a a a b a 57,15 17,8 58,11 17,4 51,92 20,0 38,56 21,2 Rerata Keterangan : hurup pada baris dan kolom parameter yang sama menunjukkan kesamaan dan sebaliknya (α=5%)
5.6. Penerapan Model Banjir Untuk pengelolaan DAS Separi dalam kaitannya dengan perencanaan tata guna lahan, maka dilakukan berbagai skenario perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan model banjir (metode B). Penggunaan metode B
98
didasarkan bahwa metode tersebut memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan dapat menjelaskan perubahan penggunaan lahan secara spasial (ruang), sehingga dapat digunakan atau diterapkan untuk membuat simulasi model pengelolaan DAS Separi. Skenario 0 merupakan skenario penggunaan lahan tahun 2005, yang mana jenis penggunaan lahan hutan, kebun/ladang, lahan terbuka, pemukiman, persawahan, semak belukar, dan tambang batubara memiliki luas yang masingmasing adalah 261,59 Ha; 373,76 Ha; 31,16 Ha; 28,38 Ha; 116,47 Ha; 22.089,67 Ha; dan 465,34 Ha. Skenario 1 merupakan skenario yang mana luas hutan mengalami peningkatan 99%, dan luas kebun/ladang, lahan terbuka, dan semak belukar mengalami penurunan masing-masing sebesar 10%, 100%, dan 96% dibandingkan penggunaan lahan tahun 2005 (skenario 0). Reboisasi atau menghutankan
kembali
kondisi
lahan-lahan
pada
skenario
1
berarti
mengembalikan komposisi luas penggunaan lahan seperti pada tahun 1991 (Gambar 19). Skenario 2 merupakan skenario dengan luas penggunaan lahan hutan mengalami peningkatan sebesar 98% pada bagian tengah dan hilir dari DAS Separi, sehingga luas lahan terbuka dan semak belukar pada bagian tengah dan hilir dari DAS Separi mengalami penurunan masing-masing sebesar 100% dan 50% dibandingkan penggunaan lahan tahun 2005 (skenario 0). Skenario 3 merupakan skenario dengan luas penggunaan lahan hutan yang mengalami peningkatan sebesar 98% pada bagian hulu dan tengah dari DAS Separi, sehingga luas kebun/ladang, lahan terbuka, dan semak belukar di bagian hulu dan tengah dari DAS Separi mengalami penurunan masing-masing sebesar 10%, 100% dan 56% dibandingkan penggunaan lahan skenario 0. Skenario 4 merupakan skenario dengan luas penggunaan lahan hutan yang mengalami penurunan sebesar 59%, dan luas kebun/ladang dan pemukiman mengalami peningkatan masing-masing sebesar 48% dan 50% dibandingkan penggunaan
99
lahan skenario 0. Skenario perubahan komposisi luas penggunaan lahan DAS Separi disajikan pada Tabel 21 dan skenario perubahan komposisi luas penggunaan lahan pada masing-masing Sub DAS Separi secara detail disajikan pada Tabel Lampiran 7. Tabel 21. Skenario perubahan luas penggunaan lahan dan proses hidrologi di DAS Separi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Penggunaan Lahan Hutan Kebun/Ladang Lahan Terbuka Pemukiman Persawahan Semak Belukar Tambang Batubara
Curah Hujan bruto (mm) Intersepsi (mm) Infiltrasi (mm) Curah Hujan netto (mm) Debit Puncak (m3/detik) Waktu Puncak (jam) Curah Hujan bruto (mm) Intersepsi (mm) Infiltrasi (mm) Curah Hujan netto (mm) Debit Puncak (m3/detik) Waktu Puncak (jam)
Luas (Ha) Skenario 0 Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 261,49 21.313,95 11.280,01 12.574,77 107,88 490,21 443,64 490,21 443,64 943,39 31,16 13,25 31,16 28,38 28,38 28,38 28,38 56,76 116,47 116,47 116,47 116,47 116,47 21.974,74 1.000,00 10.987,37 9.725,93 21.646,79 463,92 463,92 463,92 463,92 463,92 Episode Hujan 14 - 17 Oktober 2003 110,00 110,00 110,00 110,00 110,00 3,96 5,44 4,71 4,84 3,95 59,73 71,44 66,00 65,28 59,57 46,31 33,11 39,28 39,88 46,48 92,95 61,81 76,56 74,61 96,14 23,8 25,6 24,4 25,5 22,0 Episode Hujan 25 - 28 Maret 2006 56,48 56,48 56,48 56,48 56,48 1,98 2,71 2,35 2,41 1,97 35,18 38,91 37,14 37,41 35,13 19,32 14,85 16,99 16,66 19,37 34,45 27,30 31,20 29,89 36,37 28,3 29,3 28,5 28,7 25,3
Berdasarkan hasil analisis simulasi pada skenario 1, 2, dan 3 dengan peningkatan luas hutan dan penurunan luas lahan terbuka dan semak belukar berdampak terhadap meningkatnya kapasitas intersepsi dan infiltrasi tanah, dan menurunkan aliran permukaan (curah hujan netto), sehingga berdampak lanjutan terhadap menurunnya debit puncak aliran permukaan dan memperlambat waktu menuju debit puncak dibandingkan pada skenario 0. Hasil analisis simulasi pada skenario 4 dengan penurunan luas hutan dan meningkatnya areal pemukiman dan kebun/ladang berdampak terhadap menurunnya kapasitas intersepsi dan
100
infiltrasi tanah, dan meningkatkan aliran permukaan, sehingga berdampak lanjutan
terhadap
meningkatnya
debit
puncak
aliran
permukaan
dan
mempercepat waktu menuju debit puncak dibandingkan pada skenario 0 (Tabel 21). Pada skenario 1 terjadinya peningkatan luas hutan sebesar 99% dan pengurangan luas lahan terbuka dan semak belukar yang masing-masing sebesar 100% dan 96% pada seluruh DAS (seperti penggunaan lahan tahun 1991) berdampak terhadap meningkatnya kapasitas intersepsi dan infiltrasi tanah yang masing-masing sebesar 27% dan 10 – 16%, dan menurunkan aliran permukaan (curah hujan netto) sebesar 30 – 40%, sehingga berdampak lanjutan terhadap menurunnya debit puncak aliran permukaan sebesar 26 – 50% dan memperlambat waktu menuju debit puncak sebesar 1 – 1,8 jam dibandingkan debit puncak pada skenario 0 (Gambar 34). Peningkatan luas hutan sebesar 98% dan penurunan luas semak belukar sebesar 50% pada bagian tengah dan hilir dari DAS Separi (skenario 2) hanya dapat menurunkan debit puncak aliran permukaan sebesar 10 – 21% dan memperlambat waktu menuju debit puncak sebesar 0,2 – 0,6 jam. Pada skenario 3 terjadinya peningkatan luas hutan sebesar 98% dan pengurangan luas lahan terbuka dan semak belukar yang masing-masing sebesar 58% dan 56% pada bagian hulu dan tengah dari DAS Separi berdampak terhadap meningkatnya kapasitas intersepsi dan infiltrasi tanah yang masing-masing sebesar 18% dan 6 – 9%, dan menurunkan aliran permukaan (curah hujan netto) sebesar 16%, sehingga berdampak lanjutan terhadap menurunnya debit puncak aliran permukaan sebesar 15 – 25% dan memperlambat waktu menuju debit puncak sebesar 0,4 – 1,7 jam dibandingkan debit puncak pada skenario 0. Pada skenario 4, peningkatan luas kebun/ladang dan pemukiman yang masing-masing adalah sebesar 48% dan 50%, dan terjadinya pengurangan areal hutan sebesar 59% berdampak terhadap
101
peningkatan debit puncak aliran permukaan sebesar 3 – 5% dan mempercepat waktu menuju debit puncak sebesar 1,8 – 3 jam dibandingkan debit puncak aliran permukaan pada skenario 0. Hal ini dikarenakan curah hujan total sebesar 110 mm (episode hujan tanggal 14 – 17 Oktober 2003) hanya dapat diintersepsi oleh tanaman dan terinfiltrasi ke dalam tanah masing-masing sebesar 3,95 mm dan 59,57 mm, serta dapat meningkatkan aliran permukaan (curah hujan netto) sebesar 0,36% dibandingkan pada skenario 0 (Tabel 21 dan Gambar 34).
0 Curah Hujan Q simulasi (Sken_0) Q simulasi (Sken_1) Q simulasi (Sken_2) Q simulasi (Sken_3) Q simulasi (Sken_4)
100 80
2 4 6
60 8 40
10 12
0
14 14/10/2003 5:59 14/10/2003 8:29 14/10/2003 10:59 14/10/2003 13:29 14/10/2003 15:59 14/10/2003 18:29 14/10/2003 20:59 14/10/2003 23:29 15/10/2003 1:59 15/10/2003 4:29 15/10/2003 6:59 15/10/2003 9:29 15/10/2003 11:59 15/10/2003 14:29 15/10/2003 16:59 15/10/2003 19:29 15/10/2003 21:59 16/10/2003 0:29 16/10/2003 2:59 16/10/2003 5:29 16/10/2003 7:59 16/10/2003 10:29 16/10/2003 12:59 16/10/2003 15:29 16/10/2003 17:59 16/10/2003 20:29 16/10/2003 22:59 17/10/2003 1:29 17/10/2003 3:59 17/10/2003 6:29 17/10/2003 8:59 17/10/2003 11:29 17/10/2003 13:59
20
Waktu
Gambar 34. Perbandingan debit puncak aliran permukaan dan waktu menuju debit puncak pada beberapa skenario perubahan luas penggunaan lahan di DAS Separi Hal ini didukung dari hasil penelitian Kartiwa et al. (1997), peningkatan luas hutan sebesar 2 kali dan 4 kali dari keadaan semula berdampak terhadap penurunan debit puncak aliran permukaan masing-masing sebesar 29% dan 54%, dan sedangkan pengurangan luas hutan 0,2 kali dan 0,5 kali dari keadaan semula berdampak terhadap peningkatan debit puncak masing-masing sebesar 6% dan 10% dibandingkan dari kontrol.
102
C urah H ujan (m m /6 m enit)
Debit Aliran Perm ukaan (m 3 /detik)
120
Komposisi luas penggunaan lahan yang optimal di DAS Separi adalah skenario 3 dengan luas penggunaan lahan hutan sebesar 54% (12.574,77 Ha), kebun/ladang 1,9% (443,64 Ha), lahan terbuka 0,06% (13,25 Ha), pemukiman 0,12% (28,38 Ha), persawahan 0,5% (116,47 Ha), semak belukar 42% (9.725,93 Ha), dan tambang batubara 1,99% (463,92 Ha). Pemilihan skenario 3 ini didasarkan pada pertimbangan bahwa skenario 3 dapat menurunkan debit puncak aliran permukaan (Qp) dan memperlambat waktu menuju debit puncak (tp), biaya, waktu, dan tenaga yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan lebih murah, dan peluang keberhasilan lebih tinggi dibandingkan dengan skenario 1 dan 2. 5.7. Pendugaan Kekeringan 5.7.1. Pendugaan Kekeringan dengan Neraca Air Lahan Untuk pendugaan kekeringan di DAS Separi dengan menggunakan neraca air lahan metode Thornthwaite dan Mather (1957) menunjukkan kekeringan atau defisit air tanaman pada tahun 2002 terjadi selama tiga bulan yakni pada bulan Agustus, September, dan Oktober pada SPT (Satuan Peta Tanah) 3, 4, 6, 7, 8, 10, 26, dan 27, untuk SPT 1, 2, 9, dan 18 terjadi selama dua bulan yakni bulan Agustus dan Oktober, dan untuk SPT 5 dan14 terjadi selama satu bulan yakni pada bulan Oktober, serta untuk SPT 18 juga terjadi selama satu bulan yakni pada bulan September, sedangkan pada SPT 11, 12, 13, 15, 16, 17, 19, 20, 21, 22, 23, dan 24 tidak mengalami kekeringan selama tahun 2002.
Untuk tahun 2003 tidak mengalami kekeringan/defisit air selama satu
tahun, kecuali pada SPT 27 yang terjadi selama satu bulan yakni pada bulan Agustus. Kekeringan atau defisit air tanaman pada tahun 2004 terjadi selama empat bulan yakni pada bulan Agustus, September, Oktober, dan Nopember pada SPT 4, 7, dan 27, untuk SPT 10 terjadi selama tiga bulan yakni bulan
103
Agustus, Oktober, dan Nopember, dan untuk SPT 1, 2, 3, 6, 8, 9, 18, dan 26 terjadi selama dua bulan yakni bulan Agustus dan Oktober, serta untuk SPT 5, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 22, 23, dan 24 terjadi selama satu bulan yakni pada bulan Oktober, sedangkan pada SPT 11, 12, 13, 21, dan 25 tidak mengalami kekeringan selama tahun 2004. Kekeringan pada tahun 2005 terjadi selama tujuh bulan yakni pada bulan Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, dan September pada SPT 27, untuk SPT 4, 7, 8, dan 10 terjadi kekeringan selama enam bulan bulan yakni bulan April, Mei, Juni, Juli, Agustus, dan September, untuk SPT 6 terjadi kekeringan selama lima bulan yakni bulan April, Juni, Juli, Agustus, dan September, untuk SPT 1, 2, 3, 9, dan 18 terjadi kekeringan selama empat bulan yakni bulan April, Juli, Agustus, dan September, untuk SPT 5 mengalami kekeringan selama tiga bulan yakni bulan Juli, Agustus dan September, untuk SPT 14 mengalami kekeringan selama dua bulan yakni bulan Agustus dan September, dan untuk SPT 11, 13, 15, 16, 17, 19, 20, 22, 23, 24, dan 25 mengalami kekeringan yang terjadi selama satu bulan yakni bulan September, sedangkan pada SPT 12 dan 21 tidak pernah mengalami kekeringan selama tahun 2005. Analisis neraca air lahan (defisit dan surplus) tersebut di atas hanya berlaku untuk tanaman semusim dengan kedalaman perakaran maksimum 60 cm, seperti : padi gunung, jagung, kedelai, dan cabai. Analisis neraca air pada masing-masing SPT dengan menggunakan metode Thornthwaite dan Mather (1957) disajikan pada Tabel 22 dan Tabel Lampiran 8. Selanjutnya berdasarkan Tabel 22, analisis neraca air pada masingmasing SPT di kelompokkan berdasarkan kelas tekstur tanah, yakni : 1) kelas tekstur tanah liat (SPT 2, 3, 4, 7, 8, 11, 12, 13, 20, 21, dan 23), 2) kelas tekstur tanah lempung (SPT 1, 5, 6, 9, 10, 14, 15, 16, 17, 22, 24, 25, dan 27), dan 3) kelas tekstur tanah pasir (SPT 18, 19, dan 26) (Gambar 35 dan Tabel Lampiran 9).
104
Tabel 22.
Analisis neraca air Lahan (Thornthwaite dan Mather, 1957) pada masing-masing SPT di DAS Separi (Januari 2002 – Desember 2005) Satuan Peta Tanah (SPT)
Waktu 1
2
Jan-02 S Feb-02 S Mar-02 S Apr-02 S Mei-02 S Jun-02 S Jul-02 0 Agust-02 D Sep-02 0 Okt-02 D Nop-02 S Des-02 S Jan-03 S Feb-03 S Mar-03 S Apr-03 S Mei-03 S Jun-03 S Jul-03 0 Agust-03 0 Sep-03 0 Okt-03 S Nop-03 S Des-03 S Jan-04 S Feb-04 S Mar-04 S Apr-04 S Mei-04 S Jun-04 0 Jul-04 S Agust-04 D Sep-04 0 Okt-04 D Nop-04 0 Des-04 S Jan-05 S Feb-05 S Mar-05 0 Apr-05 D Mei-05 0 Jun-05 0 Jul-05 D Agust-05 D Sep-05 D Okt-05 0 Nop-05 S Des-05 S Keterangan :
S S S S S S 0 D 0 D S S S S S S S S 0 0 0 S S S S S S S S 0 S D 0 D 0 S S S 0 D 0 0 D D D 0 S S
3
4
5
6
7
8
S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S 0 0 0 0 0 0 D D 0 D D D D D 0 D D D D D D D D D S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S 0 0 0 0 0 0 S S S S S S D D 0 D D D 0 D 0 0 D 0 D D D D D D 0 D 0 0 D 0 S S S S S S S S S S S S S S S S S S 0 0 0 0 0 0 D D 0 D D D 0 D 0 0 D D 0 D 0 D D D D D D D D D D D D D D D D D D D D D 0 0 0 0 0 0 S S S S S S S S S S S S Liat, Lempung, kebutuhan air tanaman
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 S S S S S S 0 D 0 D S S S S S S S S 0 0 0 S S S S S S S S 0 S D 0 D 0 S S S 0 D 0 0 D D D 0 S S
S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 D 0 0 0 0 0 0 0 D 0 0 0 0 0 0 0 D D D 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 D D D D 0 0 0 D 0 0 0 D 0 0 0 0 0 0 0 D D S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 D 0 S S S 0 0 0 0 0 0 0 S 0 0 0 S 0 0 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 S S S S S S S S S S S S S S S S S S D 0 0 0 0 0 0 0 D 0 0 0 0 0 0 0 D D 0 0 S 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 D D 0 0 0 D D D D D D D 0 D D D 0 D D D 0 S 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 D S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 D D 0 0 0 0 0 0 0 D 0 0 0 0 0 0 0 D D D 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 D D D 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 D D D 0 0 0 0 0 0 0 D 0 0 0 0 0 0 0 D D D 0 0 0 D 0 0 0 D 0 0 0 0 0 0 0 D D D D 0 D D D D D D D D 0 D D D D D D 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S Pasir, D = defisit air, S = surplus air, dan 0 = Stok air tanah masih mencukupi
105
Hasil analisis kekeringan atau defisit air tanaman berdasarkan kelas tekstur tanah pada tahun 2004 terjadi defisit air selama satu bulan yakni bulan Oktober dan pada tahun 2005 selama satu bulan yakni bulan September (kelas tekstur tanah liat dan lempung) dan untuk kelas tekstur tanah pasir terjadi kekeringan selama dua bulan yakni bulan Agustus dan September, sedangkan selama tahun 2002 dan 2003 tidak mengalami kekeringan (Gambar 35). Kekeringan selama tahun 2004 yang terjadi pada bulan Oktober adalah sebesar 0,03 mm untuk kelompok kelas tekstur tanah liat, 30,58 mm untuk kelas tekstur tanah lempung, dan 47,04 mm untuk kelas testur tanah pasir (Gambar 35). Kekeringan selama tahun 2005 yang terjadi selama dua bulan yakni Agustus dan September yang masing-masing sebesar 2,45 mm dan 60,01 mm untuk kelompok tekstur tanah pasir, sedangkan untuk kelompok tekstur tanah liat dan lempung hanya terjadi selama satu bulan yakni bulan September adalah sebesar 13 mm (tekstur tanah liat) dan 43,54 mm (tekstur tanah lempung) (Gambar 35). Selain itu, berdasarkan hasil analisis neraca air lahan berdasarkan ruang pori total tanah juga menunjukkan bahwa selama tahun 2002, 2003, 2004, dan 2005, tanaman tidak mengalami kekeringan atau defisit air, karena kapasitas simpan air tanah masih mencukupi kebutuhan air tanaman. Analisis neraca air lahan berdasarkan kelompok tekstur tanah dan analisis neraca air lahan berdasarkan ruang pori total masing-masing disajikan pada Tabel Lampiran 9. Berdasarkan Gambar 35, kekurangan atau defisit air tanaman terjadi pada saat stok air tanah di bawah kadar air tanah pada titik layu permanen dan hal ini dikarenakan curah hujan yang lebih rendah dibandingkan evapotranspirasi acuan (ETo), sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi kehilangan air potensial (APWL).
106
Nop-05
Jul-05
Sep-05
Jun-05
Apr-05
Jan-05
Feb-05
Nop-04
Sep-04
Jun-04
Agust-04
Apr-04
Jan-04
Mar-04
Okt-03
Des-03
Jul-03
Agust-03
Mei-03
Mar-03
Feb-03
Okt-02
Des-02
Jul-02
Sep-02
Mei-02
Apr-02
Jan-02
Feb-02
Tinggi Kolom Air (mm)
A. Kelas tekstur tanah liat
380 340 300 260 220 180 140 100 60 20 -20 -60 -100
Jul-05
Sep-05
Jul-05
Sep-05
Nop-05
Jun-05
Apr-05
Jun-05
Feb-05
Jan-05
Nop-04
Sep-04
Agust-04
Jun-04
Apr-04
Jan-04
Mar-04
Okt-03
Des-03
Agust-03
Jul-03
Mei-03
Feb-03
Okt-02
Des-02
Sep-02
Jul-02
Mei-02
Apr-02
Jan-02
Mar-03
B. Kelas tekstur tanah lempung
380 340 300 260 220 180 140 100 60 20 -20 -60 -100 Feb-02
Tinggi Kolom Air (mm)
Waktu Curah Hujan Stok Air Tanah ETA (Evapotranspirasi Aktual) KL (Kadar Air Kapasitas Lapang) TLP (Kadar Air Titik Layu Permanen) Defisit/Surplus ETo (Evapotranspirasi Acuan)
Waktu Curah Hujan Stok Air Tanah ETA (Evapotranspirasi Aktual) KL (Kadar Air Kapasitas Lapang) TLP (Kadar Air Titik Layu Permanen) Defisit/Surplus ETo (Evapotranspirasi Acuan)
Nop-05
Apr-05
Feb-05
Jan-05
Nop-04
Sep-04
Agust-04
Jun-04
Apr-04
Jan-04
Mar-04
Okt-03
Des-03
Agust-03
Jul-03
Mei-03
Mar-03
Feb-03
Okt-02
Des-02
Sep-02
Jul-02
Mei-02
Apr-02
Jan-02
Feb-02
Tinggi Kolom Air (mm)
C. Kelas tekstur tanah pasir 380 340 300 260 220 180 140 100 60 20 -20 -60 -100
Waktu Curah Hujan Stok Air Tanah ETA (Evapotranspirasi Aktual) KL (Kadar Air Kapasitas Lapang) TLP (Kadar Air Titik Layu Permanen) Defisit/Surplus ETo (Evapotranspirasi Acuan)
Gambar 35. Hubungan antara curah hujan, ETA, ETo, KL, TLP, stok air tanah, ETA, dan defisit/surplus air pada A. kelas tekstur tanah liat, B. kelas tekstur tanah lempung, dan C. kelas tekstur tanah pasir di DAS Separi (Januari 2002 – Desember 2005)
107
Selain itu berdasarkan Gambar 35, kelebihan atau surplus air akan terjadi bila curah hujan lebih besar dari evapotranspirasi acuan (ETo) dan saat kapasitas simpan air tanah sama dengan kadar air tanah pada kapasitas lapang atau kapasitas simpan air tanah sudah mencukupi. Secara umum kekurangan atau defisit air tanaman di DAS Separi pada bulan-bulan kering (Agustus dan September) Gambar 35 dapat ditanggulangi jika luas hutan di bagian tengah dan hulu sebesar 12.574,77 Ha (54%). Hal ini didukung dari Tabel 21, yang mana penghutanan pada bagian tengah dan hulu dari DAS Separi sebesar 54% akan meningkatkan besarnya air hujan yang masuk (terinfiltrasi) ke dalam tanah sebesar 65,28 mm (episode hujan 14-17 Oktober 2003), sehingga pada musim kemarau air hujan yang masuk ke dalam tanah tersebut akan didistribusikan. 5.7.2. Pendugaan Kekeringan dengan Teknologi Penginderaan Jauh 5.7.2.1. Hubungan antara Indeks Vegetasi dan Temperatur Permukaan Lahan dengan Kekeringan Hubungan antara indeks vegetasi dan temperatur permukaan lahan dengan kekeringan didasarkan pada analisis temporal antara kesehatan vegetasi yang digambarkan oleh indeks vegetasi (NDVI) dan temperatur permukaan lahan dengan menurunnya curah hujan. Menurut Anderson et al. (2007), bahwa kesehatan vegetasi yang digambarkan oleh indeks vegetasi dan temperatur permukaan lahan hasil analisis citra Landsat 7 dapat digunakan untuk memprediksi dan memetakan kekeringan. Hasil analisis temporal antara indeks vegetasi dengan curah hujan bulanan (1 bulan sebelum tanggal perekaman citra Landsat 7) menunjukkan bulan April sampai dengan September 2002 terjadinya penurunan indeks vegetasi sesuai dengan menurunnya curah hujan pada bulan Juli sampai dengan
108
Agustus (Gambar 36). Indeks vegetasi pada penggunaan lahan semak belukar dan sawah menunjukkan respon yang cepat terhadap penurunan curah hujan. Nilai indeks vegetasi pada bulan basah (Maret – Juni) untuk penggunaan lahan hutan dan semak belukar masing-masing adalah 0,38 – 0,47 dan 0,33 – 0,43, dan pada bulan kering (Agustus) masing-masing adalah -0,01 dan -0,06 - -0,04. Indeks vegetasi memiliki nilai -1 sampai dengan 1, yang mana nilai negatif menggambarkan kondisi vegetasi tidak sehat dan kehijauan rendah, sedangkan semakin tinggi nilai positifnya maka kondisi vegetasi sehat dan kehijauan tinggi. Untuk penggunaan lahan kebun/ladang dan sawah memiliki nilai indeks vegetasi masing-masing adalah 0,25 – 0,43 dan 0,10 – 0,31 pada bulan basah dan pada bulan kering masing-masing adalah -0,15 - -0,13 dan -0,18. Selain itu, berdasarkan Gambar 36 juga menunjukkan rendahnya indeks vegetasi disebabkan oleh kondisi vegetasi akibat kekeringan. Hal ini didukung Anderson et al. (2007) dan Shofiyati et al. (2002), bahwa rendahnya indeks vegetasi
0,50
350
0,40
300
Indek Vegetasi
0,30
250
0,20
200
0,10 150
0,00
100
-0,10
Curah Hujan (mm/bulan)
disebabkan oleh kondisi vegetasi yang tidak sehat akibat kekeringan.
50
-0,20 -0,30
0 03/04/02 21/05/02 Hutan+Lempung Semak Belukar+Lempung Kebun/Ladang+Lempung Hujan
08/07/02 10/09/02 Semak Belukar+Liat Kebun/Ladang+Liat Sawah+Lempung
Gambar 36. Hubungan antara indeks vegetasi dengan curah hujan bulanan di DAS Separi (perekaman bulan April – September 2002)
109
Hasil analisis temporal antara temperatur permukaan lahan dengan curah hujan bulanan menunjukkan bulan April sampai dengan September 2002 terjadinya peningkatan temperatur permukaan lahan sesuai dengan menurunnya curah hujan (Gambar 37). Untuk jenis penggunaan lahan hutan memiliki rata-rata temperatur permukaan lahan yang paling rendah pada bulan kering (bulan Agustus) yakni 30 oC dibandingkan dengan semak belukar 31 oC, kebun/ladang 33 oC, dan sawah 33 oC. Menurut Shofiyati et al. (2002), bahwa penggunaan lahan hutan di DAS Brantas Hulu memiliki temperatur permukaan lahan yang lebih rendah dibandingkan semak belukar, kebun/ladang, dan sawah. Berdasarkan Gambar 36 dan 37, variasi temporal hubungan antara indeks vegetasi dengan temperatur permukaan lahan memiliki hubungan terbalik, yang mana penurunan indeks vegetasi akan di ikuti oleh peningkatan temperatur permukaan lahan (Gambar 38). Hal ini berarti daerah dengan indeks vegatasi tinggi menunjukkan kondisi vegetasi yang hijau dan akan memiliki temperatur
35
350
30
300
25
250
20
200
15
150
10
100
5
50
0
Curah Hujan (mm/bulan)
o
Temperatur Permukaan Lahan ( C)
permukaan lahan lebih rendah dan demikian juga sebaliknya.
0 03/04/02 21/05/02 Hutan+Lempung Semak Belukar+Lempung Kebun/Ladang+Lempung Hujan
08/07/02 10/09/02 Semak Belukar+Liat Kebun/Ladang+Liat Sawah+Lempung
Gambar 37. Hubungan antara temperatur permukaan lahan dengan curah hujan bulanan di DAS Separi (perekaman bulan April – September 2002)
110
o
Temperatur Permukaan Lahan ( C)
35 30 25 20 y = -6,3866x + 31,447
15
2
R = 0,4582
10 5 0 -0,30
-0,10
0,10
0,30
0,50
0,70
Indeks Vegetasi
Gambar 38. Hubungan antara indeks vegetasi dengan temperatur permukaan lahan di DAS Separi (perekaman bulan April – September 2002) 5.7.2.2. Kombinasi Indeks Vegetasi (NDVI) dan Kelembaban (Wetness Index) untuk Identifikasi Kekeringan Hasil analisis kombinasi antara indeks vegetasi dan kelembaban permukaan lahan dengan menggunakan citra Landsat 7 mulai bulan April sampai dengan September 2002, menunjukkan potensi tingkat kekeringan tanaman mulai terjadi pada bulan Mei 2002 (jenis penggunaan lahan sawah) dan September 2002 (jenis penggunaan lahan kebun/ladang dan sawah), sedangkan untuk penggunaan lahan hutan dan semak belukar pada bulan September 2002 memiliki tingkat kekeringan tanaman kurang kering (sedang) (Gambar 39). Terjadinya kekeringan pada bulan September 2002 untuk jenis penggunaan lahan kebun/ladang dan sawah disebabkan oleh rendahnya indeks vegetasi dan kelembaban. Hal ini juga sesuai dengan hasil analisis neraca air lahan (Gambar 35), yang mana pada Juli – Agustus 2002 terjadi penurunan stok air tanah, sehingga menyebabkan indeks vegetasi dan kelembaban menjadi rendah. Pada tanggal 10 September 2002, indeks kelembaban permukaan lahan penggunaan lahan kebun/ladang pada tekstur tanah liat dan lempung masing-masing adalah -
111
5,31 dan -12,18, sedangkan untuk jenis penggunaan lahan sawah pada tekstur tanah lempung adalah -21,67 (Tabel Lampiran 10). Indeks kelembaban permukaan lahan bernilai negatif menunjukkan kelembaban semakin rendah dan semakin tinggi nilai positifnya akan semakin lembab. Berdasarkan hasil analisis statistik (uji berganda) menunjukkan bahwa analisis kekeringan (kekurangan air tanaman) di DAS Separi dengan menggunakan neraca air lahan menurut metode Thornthwaite dan Mather (1957) berbeda dibandingkan dengan hasil analisis citra Landsat 7, karena hanya memiliki nilai koefisien regresi (R2) 0,26 (Gambar 40). Perbedaan hasil antara kedua metode tersebut disebabkan oleh perbedaan objek lingkungan yang dianalisis. Untuk analisis kekeringan dengan citra Landsat 7, objek lingkungan yang dianalisis terletak pada masing-masing objek (di atas permukaan objek) yang dipantulkan secara faktual. Untuk analisis kekeringan dengan metode Thornthwaite dan Mather (1957), objek lingkungan yang dianalisis terletak pada permukaan tanah dan kedalaman perakaran tanaman. Namun demikian analisis kekeringan dari kedua metode tersebut mempunyai hasil yang sama pada jenis penggunaan lahan persawahan dan kebun/ladang pada bulan Agustus, karena pada bulan Agustus kondisi lahan bera. Berdasarkan Gambar 40, potensi tingkat kekeringan secara ruang dan waktu dapat diidentifikasi secara konsisten dengan menggunakan analisis kombinasi
antara
indeks
vegetasi
dan
kelembaban
permukaan
lahan
dibandingkan penggunaan analisis tunggal dengan hanya menggunakan indeks vegetasi atau kelembaban maupun temperatur permukaan lahan saja dan bila dibandingkan dengan analisis neraca air lahan (Gambar 35) memiliki pola temporal yang sama yakni terjadi kekeringan atau penurunan stok air tanah untuk tanaman pada bulan Juli - Agustus.
112
a
b
c
d
Gambar 39. Peta tingkat kekeringan di DAS Separi hasil analisis citra Landsat 7 perekaman tanggal : a) 03-04-2002, b) 21-05-2002, c) 08-07-2002, dan d) 10-09-2002
113
Menurut Shofiyati dan Dwi Kuncoro (2007) penggunaan analisis tunggal hanya menggunakan indeks vegetasi atau kelembaban maupun temperatur permukaan lahan saja tidak dapat digunakan untuk menentukan kondisi kekeringan tanaman secara konsisten, sehingga perlu dilakukan kombinasi dalam identifikasi kekeringan tanaman. Indeks vegetasi, kelembaban, dan temperatur permukaan lahan pada jenis penggunaan lahan disajikan pada Tabel Lampiran 10, sedangkan untuk identifikasi tingkat kekeringan tanaman disajikan pada Tabel Lampiran 11.
Neraca Air Lahan (mm)
140 120 y = -2,5694x + 150,98
100
2
R = 0,2618
80 60 40 20 0 -20 0
10
20
30
40
50
60
Analisis Citra (mm)
Gambar 40. Uji berganda perbandingan antara analisis neraca air lahan (Thornthwaite dan Mather, 1957) dengan analisis citra Landsat
114
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian tentang model pendugaan banjir dan kekeringan di DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ini dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu : 1. Terjadinya alih fungsi penggunaan lahan hutan menjadi semak belukar, lahan terbuka maupun kebun/ladang seluas 97% selama 8 tahun (tahun 1998 – 2005) berdampak terhadap peningkatan intensitas banjir di bagian hilir DAS Separi dari satu kali menjadi dua kali. 2. Total debit aliran permukaan pada DAS yang didominasi tanah bertekstur lempung lebih tinggi 30% dibandingkan DAS yang didominasi tanah bertekstur pasir dan 37% dibandingkan DAS yang didominasi tanah bertekstur liat. Untuk waktu menuju debit puncak DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur liat memiliki waktu menuju debit puncak yang lebih cepat 46 menit dibandingkan dengan DAS yang didominasi oleh tanah bertekstur lempung dan 202 menit dibandingkan dengan DAS yang didominasi tanah bertekstur pasir. 3. Karakteristik geomorfologi DAS (Indek Gravelius, panjang sungai utama, kerapatan jaringan sungai, dan rasio rata-rata panjang jaringan sungai) berpengaruh terhadap besarnya debit aliran permukaan dan waktu menuju debit puncak, yang mana DAS dengan Indek Gravelius, panjang sungai utama, dan rasio rata-rata panjang jaringan sungai yang semakin tinggi akan memiliki debit aliran permukaan lebih kecil, dan DAS dengan Indek Gravelius dan kerapatan jaringan sungai yang makin rendah akan memiliki waktu menuju debit puncak yang lebih cepat.
115
4. Model pendugaan banjir berbasis karakteristik lahan dan geomorfologi DAS (metode A, B, dan C) dapat digunakan untuk memprediksi debit puncak (Qp) dan waktu menuju debit puncak (tp) dengan tingkat akurasi model menurut kriteria Nash dan Sutcliffe (F) berturut-turut adalah 93%, 85%, dan 62%, sehingga urutan model pendugaan banjir terbaik adalah metode A, B, dan C. 5. Hasil analisis sensitivitas perubahan penggunaan lahan hutan 1% dan semak belukar 94% menjadi 54% untuk hutan dan 42% semak belukar berdampak terhadap penurunan debit puncak aliran permukaan (Qp) 23% dan memperlambat waktu menuju debit puncak (tp) 1,8 jam. 6. Komposisi luas dan posisi penggunaan lahan hutan yang optimal untuk mengendalikan banjir di bagian hilir dari DAS Separi adalah 54% dari total luas dan terletak pada bagian tengah dan hulu dari DAS Separi. 7. Hasil analisis kekeringan dengan menggunakan metode neraca air lahan (Thornthwaite dan Mather, 1957) berbeda dibandingkan dengan hasil analisis teknologi penginderaan jauh (citra Landsat 7) di DAS Separi (R2=0,26). 8. Analisis kombinasi tingkat kehijauan tanaman (NDVI) dan tingkat kelembaban permukaan lahan (wetness index) dapat digunakan secara konsisten untuk identifikasi tingkat kekeringan secara ruang (spasial) dan waktu (temporal) dibandingkan dengan penggunaan analisis tunggal dengan indeks vegetasi (NDVI), indeks kelembaban permukaan lahan (wetness index) maupun temperatur permukaan lahan saja. 6.2. Saran 1. Secara teori pengaruh tekstur tanah terhadap besarnya debit puncak aliran permukaan masih berlawanan dan hal ini diduga dipengaruhi oleh faktor tanah lain yang belum dikaji keterkaitannya seperti struktur tanah dan dinamika pori tanah, sehingga perlu penelitian lebih lanjut.
116
2. Penggunaan Model pendugaan banjir untuk lokasi DAS lainnya dengan karakteristik lahan dan geomorfologi DAS yang berbeda perlu dilakukan penyesuaian
parameter
fungsi
produksi
dan
fungsi
transfer,
serta
mempertimbangkan adanya pengaruh pasang surut air laut atau tinggi muka air di sungai utama dan distribusi curah hujan. Penyesuaian parameter fungsi produksi untuk metode A adalah koefisien aliran permukaan (Kr) dan untuk metode B adalah kapasitas intersepsi tanaman (indeks luas daun) dan infiltrasi tanah. Parameter fungsi transfer yang perlu disesuaikan adalah rekonstruksi jaringan drainase (sungai) dan kecepatan rata-rata aliran permukaan untuk menghitung fungsi kerapatan peluang (pdf). 3. Untuk mengendalikan banjir di bagian hilir dan kekeringan di DAS Separi perlu dilakukan penghutanan pada bagian tengah dan hulu dari DAS Separi dengan luas 54% dari total luas DAS Separi (12.575 Ha). Model penghutanan yang akan dilaksanakan dapat juga diganti dengan model pertanian hutan, seperti : pertanaman lorong (alley cropping) dan tumpang sari (inter cropping) asalkan fungsi hidrologis dari hutan tersebut terpenuhi. 4. Metode neraca air lahan untuk menduga terjadinya kekeringan (defisit air tanaman) dan surplus air digunakan hanya untuk tanaman semusim atau tanaman dengan kedalaman perakaran maksimum 60 cm. Untuk tanaman tahunan atau berakar dalam, sebaiknya analisis neraca air lahan disesuaikan dengan kedalaman perakaran maksimumnya. 5. Penggunaan
teknologi
penginderaan
jauh
(citra
Landsat
7)
dapat
mempercepat dalam identifikasi potensi tingkat kekeringan, baik secara ruang (spasial) maupun waktu (temporal). Untuk meningkatan hasil akurasi prediksi kekeringan dengan teknologi penginderaan jauh, maka koreksi geometrik dan radiometrik harus dilakukan dengan benar dan akurat, serta data citra Landsat 7 yang digunakan memiliki tutupan awan kurang dari 10%.
117
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A., A. Mulyani, N. Heryani, dan G. Irianto, 2004. Analisis perkembangan sumberdaya lahan dan air dalam rangka peningkatan ketahanan pangan. PUSLITBANGTANAK, Bogor. Tidak dipublikasikan. Allen, R. G., L. S. Pereira, D. Raes, dan M. Smith, 1998. Crop evapotranspiration : Guidelines for computing crop water requirements. FAO irrigation and drainage paper 56, FAO, Rome. Anderson, M. C., W. P. Kustas, J. M. Norman, dan C. M. U. Neale, 2007. Mapping drought and evapotranspiration at high resolution using Landsat 7/GOES thermal imagery. USDA-ARS, Hydrology and Remote Sensing Laboratory, USA. http://Idcm.usgs.gov/presentation/LST2007-2-Anderson.pdf. Arianti, G., 1999. Laju infiltrasi lahan hutan dan lahan pertanian (Studi kasus di Sub DAS Cikabayan I Darmaga). Skripsi, Jur. Manajemen Hutan, Fak. Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arsyad, S., 2000. Konservasi tanah dan air. IPB Press. Bogor. Asdak, C., 1995. Hidrologi dan pengelolaan DAS. Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta Bayarjaga, Y., T. Adyasuren, dan Munkhtuya, 2000. Drought and vegetation monitoring in the arid and semi-arid regions og Mongolia using remote sensing and ground data. GIS Develpment. http://www.gis development.net/aars/acrs/2000/ts8/hami 0004.shtml. 6 Pebruari 2005. Barrow, C. J., 1991. Land degradation. Cambridge University Press. England. Beasley, D. B. dan L. F. Huggins, 1991. ANSWERS (Areal Nonpoint Source Watershed Environment Response Simulation) : User’s Manual. Second Edition. Agricultural Engineering Departement Publication No. 5. U. S. Environmental Protection Agency. Bedient, P. B, dan W. C. Huber, 1992. Hydrology and floodplain analysis, 2nd. Addison-Wesley Publishing Company. Reading, Massavhusetts. Beven, K. J. and M. J. Kirkby, 1979. A physically based variable contributing area model of basin hydrology. Hydrological Sciences Bulletin 24(1):43-69. BIOTROP, 2001. Complete lecture ER Mapper, BIOTROP Trainning Course, 2024 August 2001. Bogor. Black, P. E., 1996. Watershed hydrology, 2nd Ed. Library of Congress Cataloging-in-Publications Data. New York. Brooks, K. N., P. F. Folliot, H. M. Gregersen, dan J. L. Thames, 1991. Hydrology and management of watershed. Iowa Stated University Press. Iowa.
118
Chahinian, N., R. Moussa, P. Andrieux, dan M. Voltz, 2004. Comparison of infiltration models to simulate flood events at the field scale. Journal of Hydrology 306:191-214. Chow, V. T., 1964. Handbook of applied hydrology : a compendium of water resources technology. McGraw-Hill Book Company, New York. De Roo, A. P. J., C. G. Wesseling, N. H. D. T. Cremers, R. J. E. Offermans, K. Van Dostindic, 1999. LISEM : A new physically based hydrological and soil erosion model in a 615-environment. Theory and Implementation. IAHS Publication No. 224 (Proceeding of the Canberra Conference). 439-448p. DITJEN RRL, 2001. Luas lahan kritis akhir pelita VI, serta rencana dan realisasi rehabilitasi lahan tahun1999/2001. http://www.dephut.go.id/INFORMASI/ STATISTIK/2001/RLPS.htm. (26 Agustus 2007) DITJEN Penataan Ruang, 2005. Perencanaan tata ruang wilayah dalam era otonomi dan desentralisasi. DEPKIMPRASWIL. http://www.kimpraswil. Go.id/ditjen_ruang/Makalah.htm. (26 Agustus 2007) Dixon, J. A., dan K. W. Easter, 1986. Integrated watershed management: An approach to resource management. Studies in Water Policy and Management No. 10. East-West Center, Hawai. Doorenbos, J. Dan W. O. Pruitt, 1977. Guidelines for predicting crop water requirements. FAO of United Nations, Rome. Dutta, D., S. Herath, dan K. Musiake, 2003. A mathematical model for flood loss estimation. Journal of Hydrology, 277:24-49. ER Mapper, 2005. Use guide ER Mapper Version 7.0. Earth Resource Mapping, West Leederville, Western Australia. Estupina-Borrell, V., D. Dartus, dan R. Ababou, 2006. Flash flood modeling with the MARINE hydrological distributed model. Hydrology and Earth System Sciences Discussions. FAO, 1983. Guidlines land evaluation for rainfed agriculture. Soil Resources Management and Conservation Service Land and Water Development Division. FAO Soil Buletin, No. 52. Francois, A., C. Perrin, dan V. Andreassian, 2003. Ann output updating of lumped conceptual rainfall/runoff forecasting models. Journal of the American Water Resources Ass., 39(5):1269-1279. www.findarticles.com/p/articles/ mi_qa4038/is_200310/ai_n9328521 - 26k) Geomatica, 2004. User guide: geomatica. Inversion Physical Models (SAVI). PCI Geomatica. Haan, C. T., H. P. Johnson, dan D. L. Brakenslek, 1982. Hydrologic modeling of small watersheds. American Society of Agricultural Engineers. Michigan, USA.
119
Hakim, N., M. Y. Nyakpa, A. M. Lubis, S. P. Nugroho, M. A. Diha, G. B. Hong, dan H. H. Bayley, 1986. Dasar-dasar ilmu tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Harahap, I. Y., 1998. Model simulasi respon fisiologi pertumbuhan dan hasil tandan buah kelapa sawit. Disertasi pada Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Herawatiningsih, R., 2001. Pengaruh tegakan Acacia mangium dan Eucalyptus pellita terhadap beberapa sifat hidrologi areal hutan tanaman industri di Kecamatan Umbok, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Tesis, Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Heriansyah, 2004. Pemetaan surplus dan defisit air serta masa tanam optimum tanaman pangan propinsi Kalimantan Timur. Tesis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Heryani, N., 2001. Fungsi produksi air daerah aliran sungai : studi kasus di Sub DAS Bunder, DAS Oyo, Gunung Kidul, DIY. Tesis, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hillel, D., 1980. Aplications of soil physics. Academic Press. New York. Huete, A. R., 1988. A soil adjusted vegetation index (SAVI). Remote Sensing Environment, vol. 25:p. 295-309. Irianto, G., 2003. Banjir dan Kekeringan : Penyebab, Antisipasi, dan Solusinya. CV. Universal Pustaka Media, Bogor. Irianto, G., P. Perez, dan J. Duchesne, 2001. Modelling the influence of irrigated terraces on the hydrological response of a small basin. Environmental Modelling & Software, 16:31-36. Irianto, G., I. Las, L. Bruno, dan M. Bertrand, 2000. Aplikasi agrometeorologi di bidang pertanian. PUSLITTANAK, Badan LITBANG Pertanian, Jakarta. Irianto, G., J. Duchesne, dan P. Perez. 1999. Influence of irrigated terraces on the hydrological response of small basin 1: Calibration of the hydraulic model. p.189-193 In Oxley, L. and F. Scrimgeour (Eds.). Part I, Proceeding of International Congress on Modelling and Simulation; Modelling the Dynamics of Natural Agriculture, Tourism and Socioeconomic Systems. MODSIM 99 Proceedings. Hamilton New Zealand. 6th-9th Dec. 1999. Irianto, G., 1999. Modifikasi fungsi produksi daerah aliran sungai dengan terasering pada tanah sawah serta pengaruhnya terhadap karakteristik debit puncak dan waktu respon daerah aliran sungai. Jurnal Tanah Dan Iklim, No. 17:39-47. Ismangun, M. Soekardi, Basuni Hw., Suprapto, dan A. Mulyani, 1997. Tanah dan potensi lahan untuk pertanian di pulau Kalimantan. Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan Untuk Pembangunan Wilayah Kalimantan. Palangkaraya, 5-6 Oktober 1993.
120
Jakeman, A. J., I. G. Littlewood, and P. G. Whitehead, 1990. Computation of the Instantaneous Unit Hydrograph and Identifiable Component Flows With Application to Two Small Upland Catchments. Journal of Hydrology 117:275-300. Kaimuddin, 1994. Kajian model pendugaan intersepsi hujan pada tegakan Pinus merkusi, Agathis ioranthifolia, dan Schima wallichi di hutan pendidikan gunung walat Sukabumi. Tesis, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kartiwa, B. dan G. Irianto, 2001. Metode alternatif perhitungan koefisien aliran permukaan menurut model simulasi debit berdasarkan aplikasi konsep hidrograf satuan : Studi kasus Sub DAS Kali Kripik. Jurnal Tanah dan Iklim, 19:42-50. Kartiwa, B., P. Redjekiningrum, dan Nasrullah, 1997. Pengkajian model simulasi hidrologi SWM IV untuk melihat pengaruh perubahan tata guna lahan terhadap debit sungai: Studi kasus di Sub DAS Cisadane Hulu. Jurnal Tanah dan Iklim No. 15:27-38. Kraatz, D. B., dan I. K. Mahajan, 1982. Petits ouvrages hydrauliques. Volume 26/1, et 26/2. Bulletin FAO D’irrigation et de Drainage. 307+244 p. Kramer, P. J., 1980. Plant and soil water relationship. McGraw Hill book company, New York. Kurnia, U., Sudirman, I. Juarsah, dan Y. Soelaeman, 2001. Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit dan banjir di bagian hilir DAS Kaligarang. Prosiding : Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah, Bogor, 1 Mei 2001. PUSLITBANGTANAK, Badan LITBANG Pertanian bekerjasama dengan MAAF Jepang dan Sekretariat ASEAN. Lal R., 1994. Sustainable land use systems and soil resilience. In : Soil Resilience and Sustainable land use. Proceeding of a Symposium held in Budapest, 28 September to 2 October 1992, including the Second Workshop on the Ecological Foundations of Sustainable Agriculture (WEFSA II). pp. 41- 68. Le Bissonnais, Y., 1996. Aggregate stability and assessment of crustability and erodibility : I. Theory and methodology. Europ. J. Soil Sci. 47:425-437. Lillesand, T. M. Dan R. W. Kiefer, 1990. Penginderaan jauh dan interpretasi citra. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Liu, T., 1992. Fractal structure and properties of stream networks. Resources Research, 28(11):2981-2988.
Water
Liu, W. T. dan F. N. Kogan, 1996. Monitoring regional drought using the vegetation condition index. International Journal Remote Sensing, 17:2761-2782. Lo, C. P., 1996. Penginderaan jauh terapan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
121
Mahe, G., J. E. Paturel, E. Servat, D. Conway, dan A. Dezetter, 2005. The impact of land use change on soil water holding capacity and river flow modeling in the Nakamba River, Burkina-Faso. Journal of Hydrology, 300:33-43. Mamedov, A. I., I. Shainberg, dan G. J. Levy, 2000. Rainfall energy effects on runoff and interrill erosion in effluent irrigation soils. Soil Science, 165(7):535-544. Mamedov, A. I, dan G. J. Levy, 2001. Clay dispersivity and aggregate stability effects on seal formation and erosion in effluent-irrigated soils. Soil Science, 166(9):631-639. Manley, R. E., 2006. A guide to using: HYSIM. R. E. Manley and Water Resources Associated Ltd. p:1-126. Napitupulu, J., 1998. Analisis empirik konstanta persamaan infiltrasi Kostiakov dan Philip pada tanah Regosol Coklat Kekelabuan. Skripsi, Jur. Teknik Pertanian, Fak. Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nash, J. E., 1957. The form of the instantaneous unit hydrograph. C. R. And Report, Assoc. Inter. Hydrol., IUGG, Toronto, Canada, pp.114-121. Neitsch, S. L., J. G. Arnold, J. R. Kiniry, dan J. R. Williams, 2001. Soil and water assessment tool theoritical documentation: Version 2000. Grassland, Soil and Water Research Lab. ARS and Blackland Research Center, pp. 6869. Nuriman, I., 1999. Hubungan tingkat intersepsi hujan dengan indeks luas daun pada tanaman kelapa sawit. Skripsi, PS Agrometeorologi, Jur. GFM, Fak. MIPA, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Oldeman L. R., 1994. The global extent of soil degradasion. In : Soil Resilience and Sustainable land use. Proceeding of a Symposium held in Budapest, 28 September to 2 October 1992, including the Second Workshop on the Ecological Foundations of Sustainable Agriculture (WEFSA II). pp. 99118. Oldeman, L. R., 1975. An agro-climatic map of java. Contribution from the Central Research Institute for Agriculture no. 17. CRIA, Bogor. Pramudia, A., 2002. Analisis sensitivitas tingkat kerawanan produksi padi di pantai utara Jawa Barat terhadap kekeringan dan el-nino. Tesis, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. PUSLITBANGTANAK, 2001. Pengembangan teknologi panen hujan dan aliran permukaan. PUSLITBANGTANAK, Laporan Akhir Penelitian. Bogor (Tidak Dipublikasikan) PUSLITTANAK, 1994. Laporan akhir: Survei dan pemetaan tanah semi-detail daerah Samarinda, Kalimantan Timur. Bagian Proyek Pengelolaan Sumberdaya Tanah (LREP – II Part C).
122
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan, 1995. Penelitian aliran banjir daerah genangan Bandung Selatan. Puslitbang Pengairan, Badan Litbang Pengairan. Rinaldo, A., I. Rodriguez-Iturbo, R. Rigon, R. L. Bras, E. Ijjasz-Vasquez, dan A. Marani, 1992. Minimum energy and fractal structures of drainage networks. Water Resources Research, 28(9):2183-2195. Rodriguez-Iturbo, I. dan B. Valdes, 1979. The geomorphologic structure of hydrologic response. Water Resources Research, 15(6):1409-1420. Robinson, J. S. Dan M. Sivapalan, 1996. Instantaneous response functions of overland flow and subsurface stromflow for catchment models. Hydrological Processes, 10:845-862. Rosenberg, N. J., B. L. Blad, dan S. H. Sarma, 1983. Microclimate : The biological environment, 2nd ed. John Wiley and Sons. New York. Rossman, L. A., 2004. Storm water management model (SWMM): user’s manual version 5. National Risk Management Res. Lab. And U. S. EPA. p:1-245. Rukaiyyah, 2001. Evaluasi konstanta persamaan infiltrasi kostiakov dan Philip secara empirik pada tanah Rendzina. Skripsi, Jur. Teknik Pertanian, Fak. Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sarjiman, 2004. Analisis fungsi produksi air DAS dengan bendung saluran menggunakan metode hidrograf satuan sesaat dan fungsi kepekatan fraktal : Kasus mikro DAS Bunder, Gunung Kidul, Yogyakarta. Tesis, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Schmidt, F. H. Dan J. H. A. Ferguson, 1951. Rainfall type based on wet and dry periods ratio for Indonesia and West New Guinea. Verh. 42. Kementrian Perhubungan RI. Jakarta. Shofiyati, R. dan G. P. Dwi Kuncoro, 2007. Inderaja untuk mengkaji kekeringan di lahan pertanian. Informatika Pertanian Vol. 16, No. 1:923-936. www.litbang.deptan.go.id/warta-ip/pdf-file/2.shofiyati ipvol16-1-2007.pdf. Shofiyati, R., K. Honda, N. T. S. Wijesekera, dan Widagdo, 2002. Pemantauan kekeringan lahan pertanian menggunakan teknologi remote sensing dan SIG di DAS Brantas Hulu. Jurnal Tanah Dan Iklim, No. 20:24-34. Soewarno, 1995. Hidrologi: Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data. Penerbit NOVA, Bandung. Soil Survey Staff, 1999. Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Kedua Bahasa Indonesia, 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Teixeira, J. L., 2005. Statistical analysis of weather data sets 1. Instituto Superior de Agro., Lisbon, Portugal. www.fao.org/docrep/X0490E/x0490e0l.htm.
123
Thierfelder, C. E. Amezquita, R. J. Thomas, dan K. Stahr, 2002. Characterization of the phenomenon of soil cruting and sealing in the Andean Hillsides of Colombia : Physical and chemical cinstrains. Proceedings 12 th ISCO Conference, Beijing 2002. 2:80-85. Thornthwaite, C. W. dan J. R. Mather, 1957. Instructions and tables for computing potential evapotranspiration and the water balanced. Publ. Of Clim. Vol. X, No. 3 Centerton, New Jersey. pp :185-311. Trojer, H., 1976. Weather classification and plant weather relationship. FAO Working Paper no. 11. Soil Reasearch Institute, Bogor. Indonesia. USACE, 2000. Hydrologic Engineering Center : Hydrologic modeling system HEC-HMS, Technical Reference Manual, march 2000. www.usace.army.mil. Utami, Y., 2002. Kajian hidrologi sebagai pengaruh dari teknik rehabilitasi lahan dan konservasi tanah menggunakan model ANSWERS di Sub DAS Padas. Tesis, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Viessman, W., G. L. Lewis, dan J. W. Knapp, 1989. Introduction to hydrology, 3nd ed. Harper Collins Publisher. New York. Yang, J. Dan Y. Q. Wang, 2007. Estimation of land surface temperature using Landsat 7 ETM+ thermal infrared and weather station data. Dept. of Natural Res. Sci. Univ. Of Rhode Island, Kingston, USA. www.ltrs.uri.edu/research/LST page/paper4.doc. Yanrilla, R., 2001. Laju infiltrasi pada berbagai jenis penutupan/penggunaan lahan hutan di RPH Tejowaringin, BKPH Singaparna, KPH Tasikmalaya Perum PERHUTANI Unit III Jawa Barat. Skripsi, Jur. Manajemen Hutan, Fak. Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yoon, J. dan L. A. Disrud, 1998. Evaluation of Agricultural Non Point Source Pollution Controls on Water Quality in Southwestern North Dakota. Journal of Soil and Water Conservation, 44(2), 124-131. Young, R. A., C. A. Onstad, D. D. Bosch dan W. P. Anderson, 1990. Agricultural Non Point Source Pollution Model, Version 3,51. AGNPS User’s Guide. North Central Soil Conservation Research Laboratory, Morris, Minnesota. Yusuf, 1991. Pengaruh curah hujan terhadap infiltrasi pada tanah terbuka. Skripsi, Fak. Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Zhang, X. C dan W. P. Miller, 1996. Polyacrilamide effect on infiltration and erosion infurrows. Soil Sci. Am. J. 60:866-872.
124
LAMPIRAN
Gambar 1. Peta jenis tanah skala 1:50.000 DAS Separi (PUSLITTANAK, 1994)
125
Gambar 2. Pembuatan bendung (weir) tipe V-Notch dengan sudut 60o di tiga Sub DAS Separi dan pemasangan alat penakar hujan di daerah Seleko Indek Gravelius Vs Total Q ro
Kerapatan Jaringan Sungai Vs Total Q ro 20 Total Q ro (mm)
Total Q ro (mm)
20 y = -62,221x + 95,45
15
2
R = 0,7207 10 5
5
1,32
1,34
1,36
1,38
1,40
1,42
0,00
1,44
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
2
Rasio Panjang Sungai (RL) Vs Total Q ro
20
20 Total Q ro (mm)
Total Q ro (mm)
1,00
Kerapatan Jaringan Sungai (km/km )
Panjang Sungai Utama Vs Total Q ro
15 y = -4,2658x + 21,497 R2 = 0,7998
5
y = -23,609x + 55,886
15
R2 = 0,897
10 5 0
0 0,00
R2 = 0,4523
10
Indek Gravelius
10
y = -4,8387x + 32,964
0
0 1,30
15
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
Panjang Sungai Utama (km)
3,00
3,50
1,60
1,70
1,80
1,90
2,00
2,10
Rasio Panjang Sungai (RL)
Gambar 3. Hubungan antara geomorfologi DAS dengan total debit aliran permukaan 126
Indek Gravelius Vs Waktu Puncak (tp)
Kerapatan Jaringan Sungai Vs Waktu Puncak (tp) 7 W aktu P u n cak (jam )
W aktu P u n cak (jam )
7 6 y = -20,058x + 31,11
5
2
R = 0,4589
4 3 2 1
6 y = 1,749x - 3,8126
5
2
R = 0,3621
4 3 2 1 0
0 1,30
1,32
1,34
1,36
1,38
1,40
1,42
0,00
1,44
1,00
3,00
4,00
5,00
6,00
2
Indek Gravelius
Kerapatan Jaringan Sungai (km/km )
Panjang Sungai Utama Vs Waktu Puncak (tp)
Rasio Panjang Sungai (RL) Vs Waktu Puncak (tp)
7
7 W aktu P u n cak (jam )
W aktu P u n cak (jam )
2,00
6 y = 0,5259x + 2,7491
5
2
R = 0,0745
4 3 2 1
y = 1,3972x + 1,3645
6 5
2
R = 0,0193
4 3 2 1 0
0 0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
1,60
3,50
1,70
1,80
1,90
2,00
2,10
Rasio Panjang Sungai (RL)
Panjang Sungai Utama (km)
Gambar 4. Hubungan antara geomorfologi DAS dengan waktu menuju debit puncak
1
0 Curah Hujan Q total Q bf+if Q baseflow Q runoff
0,9
Debit (m 3/detik)
0,7
2
Curah Hujan (mm/6 menit)
0,8
1
3
0,6
4
0,5
5
0,4
6
0,3
7
0,2
8
0,1
9
0 15/04/2006 10:47
15/04/2006 9:35
15/04/2006 10:11
15/04/2006 8:59
15/04/2006 8:23
15/04/2006 7:47
15/04/2006 7:11
15/04/2006 6:35
15/04/2006 5:59
15/04/2006 5:23
15/04/2006 4:47
15/04/2006 4:11
15/04/2006 3:35
15/04/2006 2:59
15/04/2006 2:23
15/04/2006 1:47
15/04/2006 1:11
15/04/2006 0:35
14/04/2006 23:59
14/04/2006 23:23
14/04/2006 22:47
14/04/2006 22:11
14/04/2006 21:35
14/04/2006 20:59
14/04/2006 20:23
14/04/2006 19:47
14/04/2006 19:11
14/04/2006 18:35
14/04/2006 17:59
14/04/2006 17:23
14/04/2006 16:47
14/04/2006 16:11
10
Waktu
Gambar 5. Separasi hidrograf antara debit aliran permukaan dan aliran dasar untuk Sub DAS Separi-Usup pada episode hujan 14 April 2006
127
16:53 17:47 18:41 19:35 20:29
0,9
0,8
0,7 5:29 6:23 7:17 8:11 9:05
1:53 2:47 3:41 4:35
07/04/2006 18:05 07/04/2006 18:59 07/04/2006 19:53
14:29 15:23 16:17 17:11
0,7
07/04/2006 07/04/2006 07/04/2006 07/04/2006
07/04/2006 9:59 07/04/2006 10:53 07/04/2006 11:47 07/04/2006 12:41 07/04/2006 13:35
07/04/2006 07/04/2006 07/04/2006 07/04/2006 07/04/2006
07/04/2006 07/04/2006 07/04/2006 07/04/2006
06/04/2006 21:23 06/04/2006 22:17 06/04/2006 23:11 07/04/2006 0:05 07/04/2006 0:59
06/04/2006 06/04/2006 06/04/2006 06/04/2006 06/04/2006
06/04/2006 15:59
0,8
Curah Hujan Q total Q bf+if Q baseflow Q runoff
0,6 4
0,5 5
0,4 6
0,3 7
0,2 8
0,1 9
0
1
Curah Hujan Q total Q bf+if Q baseflow Q runoff
0 2
3
0,6 4
0,5 5
0,4 6
0,3 7
0,2 8
0,1
9
Cu rah Hu jan (m m /6 m en it)
23/04/2006 4:35 23/04/2006 4:59 23/04/2006 5:23 23/04/2006 5:47 23/04/2006 6:11 23/04/2006 6:35 23/04/2006 6:59 23/04/2006 7:23 23/04/2006 7:47 23/04/2006 8:11 23/04/2006 8:35 23/04/2006 8:59 23/04/2006 9:23 23/04/2006 9:47 23/04/2006 10:11 23/04/2006 10:35 23/04/2006 10:59 23/04/2006 11:23 23/04/2006 11:47 23/04/2006 12:11 23/04/2006 12:35 23/04/2006 12:59 23/04/2006 13:23 23/04/2006 13:47 23/04/2006 14:11 23/04/2006 14:35 23/04/2006 14:59 23/04/2006 15:23 23/04/2006 15:47 23/04/2006 16:11 23/04/2006 16:35 23/04/2006 16:59
Deb it (m 3 /d etik) 0,9
2
3
Cu rah Hu jan (m m /6 m en it)
D eb it (m 3 /d etik)
1 0
1
10
Waktu
Gambar 6. Separasi hidrograf antara debit aliran permukaan dan aliran dasar untuk Sub DAS Separi-Soyi pada episode hujan 6 April 2006
0
1
10
Waktu
Gambar 7. Separasi hidrograf antara debit aliran permukaan dan aliran dasar untuk Sub DAS Separi-Badin pada episode hujan 23 April 2006
128
100
90
80
70
60 Curah Hujan Q pengukuran Q simulasi (metode B) Q simulasi (metode A) Q simulasi (metode C) 4
6
8
50 10
40 12
30 14
20 16
10
18
0
20
Waktu
Gambar 9. Kurva debit aliran permukaan hasil pengukuran dengan simulasi di DAS Separi
129
C u ra h H u ja n (m m /6 m e n it)
1 4 /1 0 /2 0 0 3 5 :3 5 1 4 /1 0 /2 0 0 3 8 :1 1 1 4 /1 0 /2 0 0 3 1 0 :4 7 1 4 /1 0 /2 0 0 3 1 3 :2 3 1 4 /1 0 /2 0 0 3 1 5 :5 9 1 4 /1 0 /2 0 0 3 1 8 :3 5 1 4 /1 0 /2 0 0 3 2 1 :1 1 1 4 /1 0 /2 0 0 3 2 3 :4 7 1 5 /1 0 /2 0 0 3 2 :2 3 1 5 /1 0 /2 0 0 3 4 :5 9 1 5 /1 0 /2 0 0 3 7 :3 5 1 5 /1 0 /2 0 0 3 1 0 :1 1 1 5 /1 0 /2 0 0 3 1 2 :4 7 1 5 /1 0 /2 0 0 3 1 5 :2 3 1 5 /1 0 /2 0 0 3 1 7 :5 9 1 5 /1 0 /2 0 0 3 2 0 :3 5 1 5 /1 0 /2 0 0 3 2 3 :1 1 1 6 /1 0 /2 0 0 3 1 :4 7 1 6 /1 0 /2 0 0 3 4 :2 3 1 6 /1 0 /2 0 0 3 6 :5 9 1 6 /1 0 /2 0 0 3 9 :3 5 1 6 /1 0 /2 0 0 3 1 2 :1 1 1 6 /1 0 /2 0 0 3 1 4 :4 7 1 6 /1 0 /2 0 0 3 1 7 :2 3 1 6 /1 0 /2 0 0 3 1 9 :5 9 1 6 /1 0 /2 0 0 3 2 2 :3 5 1 7 /1 0 /2 0 0 3 1 :1 1 1 7 /1 0 /2 0 0 3 3 :4 7 1 7 /1 0 /2 0 0 3 6 :2 3 1 7 /1 0 /2 0 0 3 8 :5 9 1 7 /1 0 /2 0 0 3 1 1 :3 5 1 7 /1 0 /2 0 0 3 1 4 :1 1
D e b it (m 3 /d e tik )
Gambar 8. Peta LAI (Leaf Area Index) DAS Separi hasil analisis citra Landsat 7 TM perekaman tanggal 10 September 2005
0
2
Tabel 1. Legenda Peta Tanah Skala 1:50.000 dan karakteristik fisik tanah di DAS Separi (PUSLITTANAK, 1994) SPT
Famili
1 Typic Plinthudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik Typic Dystropepts, berlempung halus, campuran, isohipertermik 2 Typic Paleudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik Typic Dystropepts, halus, campuran, isohipertermik Typic Eutropepts, berlempung halus, campuran, isohipertermik 3 Typic Paleudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik Typic Dystropepts, berlempung halus, campuran, isohipertermik Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 4 Typic Paleudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik Typic Eutropepts, halus, campuran, isohipertermik Typic Plinthudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 5 Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik Typic Plinthudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 6 Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik Typic Dystropepts, halus, campuran, isohipertermik Typic Eutropepts, berlempung halus, campuran, isohipertermik 7 Oxyaquic Dystropepts, halus, campuran, isohipertermik Typic Tropaquepts, sangat halus, campuran, masam, isohipertermik Aquic Dystropepts, halus, campuran, isohipertermik 8 Typic Dystropepts, halus, campuran, isohipertermik Typic Tropaquepts, halus, campuran, masam, isohipertermik Oxyaquic Dystropepts, halus, campuran, isohipertermik 9 Typic Dystropepts, halus, campuran, isohipertermik Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik Typic Troporthens, berlempung halus, campuran, isohipertermik 10 Typic Dystropepts, halus, campuran, isohipertermik Typic Plinthudults, berlempung halus, kaolinitik, isohipertermik 11 Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 12 Tropaquents, berliat, kaolinitik, isohipertermik Plinthaquepts, berlempung, silisius, masam, isohiperthermik Aerik Tropaquepts, berliat, kaolinitik, isohipertermik 13 Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 14 Typic Dystropepts, berlempung kasar, silisius, masam, isohiperthermik Typic Paleudults, berlempung, silisius, masam, isohiperthermik 15 Typic Paleudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik Plinthic Paleudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 16 Plinthudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 17 Psammentic Hapludults, berlempung, silisius, masam, isohiperthermik Typic Dystropepts, berlempung kasar, silisius, masam, isohiperthermik 18 Typic Dystropepts, berlempung kasar, silisius, masam, isohiperthermik Typic Tropaquepts, berlempung kasar, silisius, masam, isohiperthermik Typic Hapludults, berlempung, silisius, masam, isohiperthermik 19 Typic Dystropepts, berlempung kasar, silisius, masam, isohiperthermik Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 20 Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik Typic Dystropepts, berlempung kasar, silisius, masam, isohiperthermik 21 Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik Plinthaquepts, berliat, kaolinitik, isohipertermik 22 Typic Dystropepts, berlempung kasar, silisius, masam, isohiperthermik Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 23 Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik Plintic Paleudults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 24 Typic Hapludults, berliat, kaolinitik, isohipertermik 25 Typic Hapludults, berlempung, silisius, masam, isohiperthermik 26 Typic Dystropepts, berpasir, silisius, masam, isohiperthermik Vertic Dystropepts, berliat, kaolinitik, isohipertermik 27 Typic Paleudults, berlempung halus, kaolinitik, isohipertermik
Lereng (%) 36-59
Relief
Berbukit
Landform
Bahan Induk
Luas
Batu liat dan batu pasir
(Ha) 73,82
Batu liat dan batu pasir
2214,39
15-30
Berbukit kecil
Komplek pemiringan hogback Komplek pemiringan cuesta
35-60
Berbukit
Pola perbukitan
Batu liat dan batu pasir
155,10
35-60
Berbukit
Pola perbukitan
Batu liat dan batu pasir
336,13
32-43
Berbukit
Batu liat dan batu pasir
13,73
32-42
Berbukit
Komplek gawir hogback Komplek gawir cuesta
Batu liat dan batu pasir
666,18
0-1
Datar
Dataran aluvial
Aluvium liat, debu dan pasir
224,64
0-1
Datar
Dataran aluvial
Aluvium liat, debu dan pasir
11,90
37-56
Berbukit
Komplek pemiringan hogback
Batu liat dan batu pasir
505,60
37-56
Berbukit
Pola perbukitan
Batu liat dan batu pasir
610,94
0-3 0-3
Datar Datar
Dasar lembah Dasar lembah sempit
Alluvium liat Alluvium liat dan Alluvium pasir
812,84 3330,57
0-3 8-15
Datar Bergelombang Bergelombang
Depresi alluvial Antiklin
274,53 1685,32
Punggung antiklin
Alluvium liat Alluvium liat dan Alluvium pasir Batu liat
25-40
Berbukit
Punggung antiklin
Batu liat
2625,38
25-40
Berbukit
Punggung antiklin
Batu liat dan batu pasir
852,57
25-40
Berbukit
Gawir
Batu liat dan batu pasir
44,89
25-40
Berbukit
Lereng pemiringan hogback Berbukit Bukit-bukit kecil dan punggung membulat Berbukit Bukit-bukit kecil dan pola perbukitan dengan BergelomBukit-bukit kecil dan bang pola perbukitan dengan BergelomBukit-bukit kecil dan bang punggung membulat Bergelombang Bukit-bukit kecil dan Bergelombang Antiklin Bergumuk Bukit-bukit kecil dan punggung tajam Berbukit Pola perbukitan
Batu liat dan batu pasir
868,44
Batu liat
918,43
Batu liat
714,93
Batu liat dan batu pasir
125,85
Batu liat
655,89
8-15
15-40 15-40 8-15 8-15 8-15 8-15 15-40 36-56
2313,40
Batu liat Alluvium liat dan Batu liat dan batu pasir
2323,58 516,28 414,86
Batu liat dan batu pasir
76,19
130
Lanjutan Tabel 1. SPT Pasir 1 2
3
4
5 6
7
8
9
10 11 12
13 14 15
16 17 18
19 20 21 22 23 24 25 26 27
Fraksi tanah (%) Debu Liat
29,60 51,82 8,71 5,35 48,62 25,25 51,82 26,86 8,71 43,43 29,60 29,55 25,48 38,48 45,63 48,62 3,63 2,29 7,42 16,95 0,45 3,63 5,35 51,70 52,32 5,35 56,51 28,85 7,50 28,64 46,58 20,59 71,05 60,32 36,74 21,13 18,89 21,42 20,59 64,60 87,94 87,94 70,18 50,05 87,94 20,59 19,57 87,94 19,57 6,52 75,19 25,78 27,27 32,94 32,94 42,34 88,44 8,00 66,50
36,75 21,12 28,70 57,16 24,21 32,75 21,12 35,38 28,70 28,62 36,75 32,04 31,12 26,86 20,50 24,21 47,89 15,88 46,34 42,21 40,05 47,89 57,16 19,82 29,32 57,16 12,98 28,92 31,00 42,56 21,12 29,39 13,31 25,11 23,03 32,33 36,46 39,47 29,39 14,60 7,20 7,20 16,55 21,86 7,20 29,39 38,37 7,20 38,37 46,09 8,62 32,08 29,81 28,32 28,32 19,88 9,75 34,67 13,35
33,57 25,06 62,59 37,48 27,41 41,14 25,06 37,64 62,59 26,41 33,57 38,41 43,40 30,40 33,90 27,41 48,47 81,83 46,24 40,83 59,50 48,47 37,48 27,53 18,35 37,48 30,51 42,62 61,50 29,04 32,71 51,02 15,58 14,00 39,81 45,88 44,39 39,00 51,02 20,60 6,96 6,96 13,27 28,62 6,96 51,02 42,26 6,96 42,26 47,39 15,74 42,05 43,41 38,95 38,95 37,77 10,91 57,67 20,64
Kelas Tekstur Tanah Lempung Berliat Lempung Liat Berpasir Liat Lempung Berdebu Lempung Liat Berpasir Liat Lempung Liat Berpasir Lempung Berliat Liat Lempung Berliat Lempung Berliat Lempung Berliat Liat Lempung Berliat Lempung Berliat Lempung Liat Berpasir Liat Berdebu Liat Liat Berdebu Liat Berdebu Liat Berdebu Liat Berdebu Lempung Berdebu Lempung Liat Berpasir Lempung Berpasir Lempung Berdebu Lempung Liat Berpasir Liat Liat Lempung Berliat Lempung Liat Berpasir Liat Lempung Berpasir Lempung Berpasir Lempung Berliat Liat Liat Lempung Berliat Liat Lempung Liat Berpasir Pasir Pasir Lempung Berpasir Lempung Liat Berpasir Pasir Liat Liat Pasir Liat Liat Berdebu Lempung Berpasir Liat Liat Lempung Berliat Lempung Berliat Lempung Berliat Pasir Liat Lempung Liat Berpasir
Kadar Air Bobot Kedalaman Ruang Bahan Isi pF 2,00 pF 2,54 pF 3,7 pF 4,00pF 4,20 Efektif Pori Total Organik (%) g/ml (cm) (%) (%) 1,23 31,50 27,10 18,52 14,92 14,45 61 44 0,86 0,93 56,30 51,70 37,69 31,67 30,80 100 45 2,14 1,28 44,85 41,20 33,11 29,73 29,25 91 44 2,78 1,18 43,05 38,30 28,49 24,42 23,85 125 46 0,98 0,96 50,95 46,25 28,34 20,62 19,45 120 44 1,60 1,26 38,70 34,90 25,88 22,10 21,55 125 42 1,71 0,93 56,30 51,70 37,69 31,67 30,80 100 45 2,14 1,26 39,24 34,90 25,82 22,09 21,55 110 34 0,74 1,28 44,85 41,20 33,11 29,73 29,25 91 44 2,78 1,48 33,95 29,50 22,43 19,51 19,15 115 34 1,63 1,23 31,50 27,10 18,52 14,92 14,45 61 44 0,86 1,09 45,90 41,20 26,78 20,61 19,70 148 39 1,29 1,36 40,20 35,65 28,88 26,07 25,75 100 39 1,91 1,44 30,65 25,20 16,35 11,95 11,65 81 36 0,96 1,36 36,95 26,85 21,68 18,29 19,05 74 39 1,28 0,96 50,95 46,25 28,34 20,62 19,45 120 44 1,60 1,27 40,90 36,35 29,52 26,74 26,40 145 42 1,95 1,44 38,20 38,20 26,25 21,64 20,50 78 36 3,46 1,29 42,85 39,15 30,99 27,58 27,10 120 42 0,47 1,26 36,55 31,60 22,77 19,14 18,65 75 42 0,78 0,90 52,40 47,75 35,01 29,59 28,80 70 46 1,29 1,27 43,05 36,35 29,54 26,55 26,40 145 42 1,95 1,18 36,55 38,30 28,34 25,08 23,85 145 46 0,98 1,28 45,30 41,40 33,95 30,80 30,40 120 42 0,90 0,90 53,10 47,50 29,37 21,61 20,45 79 46 0,69 1,18 43,05 38,30 28,49 24,42 23,85 135 46 0,98 1,58 29,65 25,80 18,83 16,07 15,65 134 31 1,10 1,46 40,75 37,30 18,73 10,98 9,60 80 37 1,99 0,97 57,70 49,40 21,27 9,37 7,50 63 35 2,67 1,50 40,60 37,30 18,76 10,98 9,60 125 31 1,40 1,40 49,60 44,40 21,32 11,07 9,60 106 33 1,53 1,31 38,70 32,10 14,70 6,95 6,00 100 32 1,62 1,48 26,20 19,70 8,00 2,39 2,00 80 30 0,88 1,53 22,20 19,50 8,15 4,00 3,00 100 30 1,57 1,36 42,40 32,26 17,24 9,68 9,40 110 30 0,96 1,30 40,60 37,30 18,76 10,98 9,60 76 36 1,15 1,65 39,55 32,26 17,07 10,05 9,40 75 35 2,18 1,54 37,30 29,42 15,18 8,10 7,71 95 38 0,98 1,31 43,75 39,00 20,38 12,17 11,00 110 30 1,62 1,60 34,40 31,59 15,09 8,56 7,20 125 33 1,55 1,40 21,90 20,00 9,75 5,76 4,90 114 30 4,24 1,40 21,00 20,00 9,67 5,89 4,90 114 40 4,24 1,52 21,90 19,30 9,77 5,75 5,10 110 30 1,34 1,32 30,10 24,00 10,95 5,29 4,60 105 35 1,07 1,40 21,90 20,00 9,75 5,76 4,90 114 40 4,24 1,31 45,65 40,50 21,76 13,44 12,30 110 30 1,62 1,80 44,65 32,10 14,64 6,49 6,00 115 30 1,10 1,40 41,90 20,00 8,87 4,78 4,90 114 40 4,24 1,80 44,65 32,10 14,64 6,49 6,00 115 30 1,10 1,31 50,25 45,15 23,79 14,65 13,20 115 45 1,14 1,65 26,70 22,20 11,05 6,69 5,90 127 31 1,67 1,45 44,60 37,30 18,93 10,50 9,60 95 42 1,16 1,79 40,60 35,20 18,15 10,75 9,70 95 42 3,23 1,66 35,60 29,70 16,16 10,07 9,40 75 35 1,20 1,66 30,60 29,70 16,18 10,48 9,40 100 35 1,20 1,46 41,50 37,10 19,11 11,27 10,10 80 44 1,60 1,54 24,70 18,50 7,74 2,97 2,50 110 46 3,04 1,29 40,20 36,35 29,56 26,78 26,40 120 37 3,74 1,56 24,65 19,05 12,19 9,24 9,00 100 40 0,90
131
Tabel 2. Karakteristik fisik tanah pada masing-masing profil tanah No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Tekstur Kadar Air Kode Kedalaman KA Bobot Bahan Air Indek Sampel Tanah Isi Organik Pasir Debu Liat pF 2,54 pF 4,2 Tersedia Stabilitas 3 (%) (cm) (%) (g/cm ) (%) (% vol.) (% vol.) Agregat L1 0-14 21 1,15 2,44 57 30 13 25,40 20,16 5,24 25 L1 14-33 23 1,31 2,20 55 24 21 23,12 16,96 6,16 25 L1 33-77 25 1,34 0,75 41 35 24 28,92 18,03 10,89 33 L1 77-95 25 1,42 0,56 40 38 23 29,36 14,38 14,98 33 L1 95-116 25 1,45 1,17 32 15 53 28,13 17,65 10,48 33 L1 116-125 20 1,46 0,56 34 18 48 21,69 15,90 5,79 33 L1 125-150 26 1,31 0,40 40 35 25 21,40 14,47 6,93 33 L2 0-34 23 1,28 2,55 53 15 31 27,54 19,49 8,05 50 L2 34-113 27 1,35 0,96 32 26 42 27,76 13,15 14,61 100 L2 113-150 26 1,46 0,45 31 25 45 35,32 22,52 12,80 50 L3 0-9 22 1,20 3,00 20 35 44 32,20 26,32 5,88 100 L3 9-30 21 1,31 0,92 24 29 46 32,46 19,65 12,81 100 L3 30-55 21 1,49 0,44 23 36 41 24,41 18,90 5,51 50 L3 55-104 20 1,49 0,41 18 47 35 25,02 19,79 5,23 50 L3 104-150 23 1,52 0,48 12 41 46 30,59 15,66 14,93 50 L4 0-9 28 1,32 3,72 38 23 38 35,18 18,32 16,86 100 L4 9-49 24 1,42 0,81 40 20 40 29,07 21,64 7,43 50 L4 49-89 22 1,52 0,53 40 13 47 27,83 17,38 10,45 33 L4 89-150 23 1,51 0,49 32 12 56 27,17 18,59 8,58 33 L5 0-23 21 1,24 3,02 35 9 56 35,02 22,08 12,94 100 L5 23-76 26 1,26 1,02 17 14 69 31,22 20,02 11,20 50 L5 76-150 23 1,36 0,69 19 9 72 30,02 15,11 14,91 33 L6 0-7 26 1,24 2,29 23 19 58 38,71 15,10 23,61 100 L6 7-35 27 1,30 1,37 23 41 35 30,96 22,59 8,37 50 L6 35-71 26 1,32 0,79 14 28 58 27,21 15,58 11,63 33 L6 71-99 26 1,33 0,66 31 40 30 29,79 15,89 13,90 25 L6 99-150 27 1,30 1,26 11 44 45 27,43 10,98 16,45 33
Keterangan : KA = kadar air pada kondisi lapang
132
Tabel 3. Analisis data curah hujan tahun 2001 – 2005 di DAS Separi Waktu
Rerata
STD
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
239,72 213,44 221,36 183,32 152,92 117,68 99,12 39,60 122,20 141,16 184,60 226,48
15,25 16,89 13,10 12,71 10,28 8,91 8,54 3,89 8,93 14,58 11,83 11,77
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
212,00 129,30 324,45 244,64 206,36 184,08 99,28 89,32 188,36 110,64 216,68 188,60
15,39 11,82 18,92 12,59 12,49 13,04 9,48 8,61 12,94 10,75 13,66 10,87
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
284,24 202,08 244,72 220,64 206,92 194,12 95,56 75,44 121,88 131,32 212,20 295,44
16,48 15,44 16,52 15,14 13,22 14,29 6,92 8,14 9,43 10,13 15,77 18,18
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
245,68 221,76 217,24 186,39 161,31 127,95 98,67 46,64 122,36 138,00 190,34 233,95
14,58 15,53 12,34 11,52 9,88 8,11 7,41 3,91 8,13 12,95 10,41 11,34
Curah Hujan Stasiun Separi (mm) SKW P(W/D) P(W/W) P(D/D) P(D/W) 2,91 0,52 0,72 0,48 2,82 0,46 0,62 0,54 3,12 0,53 0,65 0,47 2,79 0,64 0,62 0,36 3,02 0,59 0,64 0,41 3,40 0,48 0,72 0,52 5,13 0,59 0,54 0,41 4,46 0,28 0,45 0,72 4,90 0,37 0,67 0,63 4,76 0,44 0,58 0,56 3,51 0,73 0,72 0,27 2,07 0,71 0,71 0,29 Curah Hujan Stasiun Lempake (mm) 5,85 0,49 0,66 0,51 3,57 0,41 0,61 0,59 2,75 0,57 0,74 0,43 2,05 0,76 0,75 0,24 4,21 0,75 0,75 0,25 4,25 0,64 0,72 0,36 6,04 0,48 0,59 0,52 4,51 0,31 0,54 0,69 3,01 0,44 0,67 0,56 4,99 0,37 0,51 0,63 3,49 0,50 0,72 0,50 2,70 0,53 0,71 0,47 Curah Hujan Stasiun Marang Kayu (mm) 2,70 0,49 0,72 0,51 3,35 0,35 0,63 0,65 3,06 0,56 0,77 0,44 3,45 0,68 0,73 0,32 3,49 0,70 0,67 0,30 4,95 0,46 0,68 0,54 3,29 0,53 0,69 0,47 4,84 0,22 0,56 0,78 3,31 0,51 0,56 0,49 3,64 0,45 0,54 0,55 4,71 0,65 0,67 0,35 2,73 0,56 0,65 0,44 Curah Hujan Wilayah DAS Separi (mm) 2,82 0,67 0,82 0,33 2,72 0,50 0,76 0,50 2,88 0,75 0,89 0,25 2,61 0,85 0,88 0,15 3,02 0,88 0,87 0,12 3,08 0,64 0,85 0,36 4,88 0,69 0,81 0,31 4,03 0,38 0,67 0,62 2,84 0,77 0,75 0,23 4,67 0,60 0,74 0,40 3,29 0,69 0,90 0,31 2,12 0,80 0,84 0,20
HH
CV
CS
0,28 0,38 0,35 0,38 0,36 0,28 0,46 0,55 0,33 0,42 0,28 0,29
21,40 16,40 19,60 19,60 19,20 20,00 18,00 10,60 16,40 16,60 22,60 22,80
0,06 0,08 0,06 0,07 0,07 0,08 0,09 0,10 0,07 0,10 0,06 0,05
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,08 0,01 0,00 0,00 0,00
0,34 0,39 0,26 0,25 0,25 0,28 0,41 0,46 0,33 0,49 0,28 0,29
19,60 15,00 22,20 23,40 23,80 21,60 17,60 13,00 17,60 13,80 20,40 21,20
0,07 0,09 0,06 0,05 0,06 0,07 0,10 0,10 0,07 0,10 0,06 0,06
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00
0,28 0,37 0,23 0,27 0,33 0,32 0,31 0,44 0,44 0,46 0,33 0,35
20,40 14,40 22,80 22,00 21,60 19,00 20,00 10,80 16,20 16,00 20,80 20,00
0,06 0,08 0,07 0,07 0,06 0,07 0,07 0,11 0,08 0,08 0,07 0,06
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00
0,18 0,24 0,11 0,12 0,13 0,15 0,19 0,33 0,25 0,26 0,10 0,16
25,60 20,20 27,80 27,40 27,80 25,60 25,20 17,20 23,20 22,60 27,40 27,00
0,06 0,07 0,06 0,06 0,06 0,06 0,08 0,08 0,07 0,09 0,05 0,05
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,07 0,01 0,00 0,00 0,00
Keterangan : STD = standar deviasi, SKW = parameter skewness, (P(W/D) = peluang hari basah diikuti hari kering, P(W/W)= peluang jumlah hari basah diikuti hari basah, P(D/D) = peluang jumlah hari kering diikuti hari kering, P(D/W) = peluang jumlah hari kering diikuti hari basah, HH = rerata jumlah hari hujan dalam satu bulan, CV = koefisien variasi, dan CS = koefisien skewness (koefisien kemencengan)
133
Tabel 4. Hasil perhitungan infiltrasi pada beberapa respon hidrologis di 3 Sub DAS Separi Nama Lokasi Jenis Tutupan Lahan Jenis Tanah Tanggal Pengamatan r ring (cm) Volume Air Yang Diberikan (ml) Rata-rata Infil. Pengukuran (cm/menit) Waktu Pengamatan
Inf
Inf Rataan
(menit)
(cm/jam)
(cm/jam)
0,92 5,21 9,81 16,13 22,44 29,48 37,63 46,84 56,06 68,22 80,39 92,80 105,90 119,10 132,57 146,60 160,67
44,49 7,85 4,17 2,54 1,82 1,39 1,09 0,87 0,73 0,60 0,51 0,44 0,39 0,34 0,31 0,28 0,25
26,17 6,01 3,36 2,18 1,61 1,24 0,98 0,80 0,67 0,55 0,48 0,41 0,37 0,33 0,29 0,27 0,13
Separi Lahan Pertanian (jagung) - L1 25-Feb-06 10,8 250 0,04 Y
X1
H
H
Waktu
Inf Rataan H Simulasi
Inf Rataan Simulasi
(cm)
(cm)
(menit)
(cm/menit)
(cm/menit)
0,68 1,36 2,05 2,73 3,41 4,09 4,78 5,46 6,14 6,82 7,50 8,19 8,87 9,55 10,23 10,92 11,60
0,68 1,36 2,05 2,73 3,41 4,09 4,78 5,46 6,14 6,82 7,50 8,19 8,87 9,55 10,23 10,92 11,60
0,92 5,21 9,81 16,13 22,44 29,48 37,63 46,84 56,06 68,22 80,39 92,80 105,90 119,10 132,57 146,60 160,67
Separi (AWLR Soyi) Nama Lokasi Semak Belukar (pahitan) - L2 Jenis Tutupan Lahan Jenis Tanah 27-Feb-06 Tanggal Pengamatan 10,8 r ring (cm) 250 Volume Air Yang Diberikan (ml) Rata-rata Infil. Pengukuran (cm/menit) 0,03 Y X1 Waktu Pengamatan (menit) 0,90 5,04 11,34 18,60 26,86 35,15 43,60 52,60 61,62 70,74 80,74 90,80 101,92 113,06 126,09 139,15 152,15 165,30 178,42 191,62 204,72 217,72 230,72 230,72 230,72
Inf
Inf Rataan
(cm/jam) (cm/jam) 45,48 8,13 3,61 2,20 1,52 1,16 0,94 0,78 0,66 0,58 0,51 0,45 0,40 0,36 0,32 0,29 0,27 0,25 0,23 0,21 0,20 0,19 0,18 0,18 0,18
26,81 5,87 2,91 1,86 1,34 1,05 0,86 0,72 0,62 0,54 0,48 0,43 0,38 0,34 0,31 0,28 0,26 0,24 0,22 0,21 0,19 0,18 0,18 0,18 0,09
X2
0,44 0,10 0,06 0,04 0,03 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00
(cm) 0,45 2,14 2,61 3,08 3,51 3,97 4,49 5,07 5,64 6,40 7,15 7,92 8,72 9,54 10,36 11,23 12,10
0,44 0,20 0,11 0,07 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06
H
Waktu
Inf Rataan H Simulasi
Inf Rataan Simulasi
(cm)
(cm)
(menit)
(cm/menit)
(cm/menit)
0,68 1,36 2,05 2,73 3,41 4,09 4,78 5,46 6,14 6,82 7,50 8,19 8,87 9,55 10,23 10,92 11,60 12,28 12,96 13,64 14,33 15,01 15,69 16,37 17,06
0,90 5,04 11,34 18,60 26,86 35,15 43,60 52,60 61,62 70,74 80,74 90,80 101,92 113,06 126,09 139,15 152,15 165,30 178,42 191,62 204,72 217,72 230,72 230,72 230,72
0,44 1,72 2,39 2,93 3,36 3,80 4,30 4,86 5,43 6,17 6,92 7,68 8,49 9,30 10,12 10,99 11,85
f=fokH+kfct
0,44 0,20 0,11 0,07 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06
X2
H
0,68 1,36 2,05 2,73 3,41 4,09 4,78 5,46 6,14 6,82 7,50 8,19 8,87 9,55 10,23 10,92 11,60 12,28 12,96 13,64 14,33 15,01 15,69 16,37 17,06
H
0,45 0,10 0,05 0,03 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
(cm) -0,78 1,87 2,59 3,15 3,72 4,26 4,80 5,36 5,93 6,50 7,11 7,74 8,42 9,11 9,91 10,71 11,51 12,32 13,12 13,93 14,74 15,53 16,33 16,33 16,34
0,29 0,19 0,11 0,08 0,07 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06
H
0,28 1,25 2,16 2,83 3,42 3,95 4,47 5,03 5,58 6,14 6,75 7,37 8,05 8,73 9,53 10,33 11,12 11,93 12,73 13,54 14,34 15,14 15,93 15,93 15,93
f=fokH+kfct
0,29 0,19 0,11 0,08 0,07 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06
134
Lanjutan Tabel 4. Separi (AWLR Badin) Lahan Pertanian - L3
Nama Lokasi Jenis Tutupan Lahan Jenis Tanah Tanggal Pengamatan r ring (cm) Volume Air Yang Diberikan (ml)
Waktu Pengamatan (menit) 1,45 3,61 6,96 11,03 15,49 20,64 26,01 32,18 39,21 46,72 54,73 62,96 73,21 84,57 97,70 112,23 127,52
Inf
(cm/jam) (cm/jam) 28,23 11,34 5,88 3,71 2,64 1,98 1,57 1,27 1,04 0,88 0,75 0,65 0,56 0,48 0,42 0,36 0,32
(menit) 1,58 3,80 7,22 11,48 15,76 20,81 25,96 32,21 38,49 45,74 56,19 71,32 87,68 105,20 124,77 145,36 170,46 197,61 225,76 255,92 286,11 316,31 316,35 316,45
Inf
X1
H
H
Waktu
Inf Rataan H Simulasi
Inf Rataan Simulasi
(mm)
(cm)
(menit)
(cm/menit)
(cm/menit)
19,79 8,61 4,80 3,18 2,31 1,78 1,42 1,16 0,96 0,81 0,70 0,60 0,52 0,45 0,39 0,34 0,16
Inf Rataan
(cm/jam) (cm/jam) 25,91 10,77 5,67 3,57 2,60 1,97 1,58 1,27 1,06 0,89 0,73 0,57 0,47 0,39 0,33 0,28 0,24 0,21 0,18 0,16 0,14 0,13 0,13 0,13
Y Inf Rataan
Nama Lokasi Jenis Tutupan Lahan Jenis Tanah Tanggal Pengamatan r ring (cm) Volume Air Yang Diberikan (ml)
Waktu Pengamatan
26-Feb-06 10,8 250
18,34 8,22 4,62 3,08 2,28 1,77 1,42 1,17 0,98 0,81 0,65 0,52 0,43 0,36 0,30 0,26 0,22 0,19 0,17 0,15 0,14 0,13 0,13 0,06
0,68 1,36 2,05 2,73 3,41 4,09 4,78 5,46 6,14 6,82 7,50 8,19 8,87 9,55 10,23 10,92 11,60
0,68 1,36 2,05 2,73 3,41 4,09 4,78 5,46 6,14 6,82 7,50 8,19 8,87 9,55 10,23 10,92 11,60
X2
1,45 3,61 6,96 11,03 15,49 20,64 26,01 32,18 39,21 46,72 54,73 62,96 73,21 84,57 97,70 112,23 127,52
0,33 0,14 0,08 0,05 0,04 0,03 0,02 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,00
(cm) 0,20 1,97 2,77 3,31 3,77 4,23 4,69 5,19 5,75 6,33 6,95 7,58 8,37 9,23 10,23 11,33 12,50
f=fokH+kfct
H
0,30 0,25 0,19 0,15 0,12 0,10 0,09 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08
0,46 1,05 1,79 2,48 3,07 3,63 4,13 4,65 5,21 5,79 6,40 7,02 7,79 8,65 9,63 10,73 11,88
0,30 0,25 0,19 0,15 0,12 0,10 0,09 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08
Separi (AWLR Badin) Semak Belukar (Alang alang) - L6 01-Mar-06 10,8 250 Y
X1
H
H
Waktu
Inf Rataan H Simulasi
(cm)
(cm)
(menit)
(cm/menit)
0,68 1,36 2,05 2,73 3,41 4,09 4,78 5,46 6,14 6,82 7,50 8,19 8,87 9,55 10,23 10,92 11,60 12,28 12,96 13,64 14,33 15,01 15,69 16,37
0,68 1,36 2,05 2,73 3,41 4,09 4,78 5,46 6,14 6,82 7,50 8,19 8,87 9,55 10,23 10,92 11,60 12,28 12,96 13,64 14,33 15,01 15,69 16,37
1,58 3,80 7,22 11,48 15,76 20,81 25,96 32,21 38,49 45,74 56,19 71,32 87,68 105,20 124,77 145,36 170,46 197,61 225,76 255,92 286,11 316,31 316,35 316,45
X2
0,31 0,14 0,08 0,05 0,04 0,03 0,02 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
(cm) 0,58 2,47 3,65 4,25 4,64 4,97 5,26 5,57 5,85 6,16 6,59 7,18 7,80 8,45 9,18 9,94 10,86 11,86 12,89 13,99 15,09 16,19 16,19 16,21
Inf Rataan Simulasi
H
f=fokH+kfct
(cm/jam) 0,25 0,22 0,19 0,16 0,13 0,11 0,09 0,07 0,06 0,05 0,05 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04
0,41 0,94 1,64 2,38 3,00 3,60 4,11 4,61 5,04 5,46 5,97 6,62 7,26 7,91 8,63 9,38 10,29 11,28 12,30 13,40 14,49 15,59 15,59 15,59
0,25 0,22 0,19 0,16 0,13 0,11 0,09 0,07 0,06 0,05 0,05 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04
135
Lanjutan Tabel 4. Separi (AWLR Usup) Semak Belukar - L4 (di GPS L5)
Nama Lokasi Jenis Tutupan Lahan Jenis Tanah Tanggal Pengamatan r ring (cm) Volume Air Yang Diberikan (ml)
Waktu Pengamatan (menit) 1,40 2,59 4,72 8,24 13,45 18,55 25,10 34,25 44,74 58,74 73,04 88,09 103,64 119,79 136,19 153,34 170,57
Inf
07-Mar-06 10,8 250
Inf Rataan
(cm/jam) (cm/jam) 29,24 15,83 8,67 4,97 3,04 2,21 1,63 1,20 0,91 0,70 0,56 0,46 0,39 0,34 0,30 0,27 0,24
22,53 12,25 6,82 4,00 2,62 1,92 1,41 1,06 0,81 0,63 0,51 0,43 0,37 0,32 0,28 0,25 0,12
Y
X1
H
H
Waktu
Inf Rataan H Simulasi
Inf Rataan Simulasi
(mm)
(cm)
(menit)
(cm/menit)
(cm/menit)
0,68 1,36 2,05 2,73 3,41 4,09 4,78 5,46 6,14 6,82 7,50 8,19 8,87 9,55 10,23 10,92 11,60
(menit) 0,68 2,49 4,73 8,26 13,46 18,56 25,10 34,25 44,74 58,74 73,04 88,09 103,64 119,79 136,19 153,34 170,57
Inf Rataan
(cm/jam) (cm/jam) 60,49 16,44 8,65 4,96 3,04 2,21 1,63 1,20 0,91 0,70 0,56 0,46 0,39 0,34 0,30 0,27 0,24
0,38 0,20 0,11 0,07 0,04 0,03 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00
0,16 1,79 2,72 3,33 3,80 4,16 4,57 5,08 5,65 6,38 7,11 7,88 8,67 9,49 10,32 11,19 12,07
0,34 0,30 0,25 0,19 0,13 0,09 0,07 0,06 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05
0,51 0,89 1,47 2,24 3,04 3,59 4,13 4,71 5,29 6,01 6,73 7,49 8,27 9,08 9,90 10,77 11,63
f=fokH+kfct
0,34 0,30 0,25 0,19 0,13 0,09 0,07 0,06 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05
10-Mar-06 250
Volume Air Yang Diberikan (ml)
Inf
1,40 2,59 4,72 8,24 13,45 18,55 25,10 34,25 44,74 58,74 73,04 88,09 103,64 119,79 136,19 153,34 170,57
(cm)
H
Separi (AWLR Usup) Kebun Camp. (Lada) - L6 di GPS
Nama Lokasi Jenis Tutupan Lahan Jenis Tanah Tanggal Pengamatan
Waktu Pengamatan
0,68 1,36 2,05 2,73 3,41 4,09 4,78 5,46 6,14 6,82 7,50 8,19 8,87 9,55 10,23 10,92 11,60
X2
38,47 12,54 6,80 4,00 2,62 1,92 1,41 1,06 0,81 0,63 0,51 0,43 0,37 0,32 0,28 0,25 0,12
Y
X1
X2
H
H
Waktu
Inf Rataan
(mm)
(cm)
(menit)
(cm/menit)
0,35 0,71 1,06 1,41 1,77 2,12 2,48 2,83 3,18 3,54 3,89 4,24 4,60 4,95 5,31 5,66 6,01
0,35 0,71 1,06 1,41 1,77 2,12 2,48 2,83 3,18 3,54 3,89 4,24 4,60 4,95 5,31 5,66 6,01
0,68 2,49 4,73 8,26 13,46 18,56 25,10 34,25 44,74 58,74 73,04 88,09 103,64 119,79 136,19 153,34 170,57
0,64 0,21 0,11 0,07 0,04 0,03 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00
H Inf Rataan Simulasi Simulasi (cm) 0,10 1,21 1,51 1,72 1,92 2,09 2,29 2,55 2,85 3,24 3,64 4,05 4,48 4,92 5,37 5,84 6,32
H
f=fokH+kfct
(cm/menit) 0,52 0,26 0,12 0,05 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03
0,40 1,08 1,49 1,76 1,95 2,10 2,28 2,53 2,82 3,20 3,59 4,00 4,43 4,87 5,32 5,79 6,26
0,52 0,26 0,12 0,05 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03
136
Tabel 5. Analisis regresi antara laju infiltrasi konstan (mm/menit) dengan bobot isi tanah (g/cm3) The regression equation is fc = 3,64 - 2,38 BI Predictor Constant BI S = 0,1080
Coef 3,6388 -2,3802
SE Coef 0,9389 0,7196
R-Sq = 73,2%
Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 4 Total 5
SS 0,12766 0,04668 0,17433
T 3,88 -3,31
P 0,018 0,030
R-Sq(adj) = 66,5%
MS 0,12766 0,01167
F 10,94
P 0,030
Tabel 6. Perbandingan debit puncak (Qp) dan waktu menuju debit puncak (tp) antara ketiga Sub DAS No.
1 2 3
Waktu
Sub DAS Separi-Usup Sub DAS Separi-Soyi Sub DAS Separi-Badin Qp Qp/Luas DAS t p Qp Qp/Luas DAS t p Qp Qp/Luas DAS t p (m3/detik) (mm/6 menit) (jam) (m3/detik) (mm/6 menit) (jam) (m3/detik) (mm/6 menit) (jam) 08/04/2006 0,79 0,0047 2,5 0,59 0,0047 5,0 tad tad tad 14/04/2006 0,64 0,0038 2,3 0,57 0,0045 5,9 0,46 0,0094 3,5 23/04/2006 0,77 0,0046 3,1 0,77 0,0061 7,1 0,50 0,0102 3,3 a a a b b a 0,0043 2,6 0,0051 6,0 0,0098 3,4 Rerata
Keterangan : tad = tidak ada data dan hurup pada baris dan kolom parameter yang sama menunjukkan kesamaan (α=5%)
Tabel 7. Sub DAS Separi 01
Separi 02 Separi 03 Separi 04 Separi 05
Separi 06 Separi 07 Separi 08
Separi 09
Separi 10
Skenario perubahan komposisi luas penggunaan lahan pada masingmasing Sub DAS Separi
Tutupan Lahan Kebun/Ladang Semak Belukar Hutan Semak Belukar Hutan Semak Belukar Hutan Semak Belukar Hutan Lahan Terbuka Semak Belukar Hutan Semak Belukar Hutan Semak Belukar Hutan Kebun/Ladang Semak Belukar Hutan Kebun/Ladang Semak Belukar Hutan Tambang Batu Bara Pemukiman Persawahan Lahan Terbuka Kebun/Ladang Semak Belukar Hutan
Luas (Ha) Skenario 0 Skenario 1 Skenario 2 46,57 0,00 46,57 3069,01 0,00 1534,51 73,56 3189,14 1608,06 1091,40 0,00 545,70 0,00 1091,40 545,70 1192,34 0,00 596,17 0,00 1192,34 596,17 1374,68 0,00 687,34 0,00 1374,68 687,34 17,90 0,00 0,00 1963,55 0,00 981,77 0,00 1981,45 999,68 1587,57 0,00 793,79 0,00 1587,57 793,79 1970,26 0,00 985,13 80,89 2051,15 1066,02 37,04 37,04 37,04 839,83 0,00 419,92 0,00 839,83 419,92 49,87 49,87 49,87 1370,44 0,00 685,22 0,00 1370,44 685,22 463,92 463,92 463,92 28,38 28,38 28,38 116,47 116,47 116,47 13,25 0,00 0,00 356,73 356,73 356,73 7515,66 1000,00 3757,83 107,04 6635,95 3878,12
Skenario 3 Skenario 4 0,00 93,14 0,00 3069,01 3189,14 26,99 0,00 1091,40 1091,40 0,00 0,00 1192,34 1192,34 0,00 0,00 1374,68 1374,68 0,00 0,00 17,90 0,00 1963,55 1981,45 0,00 0,00 1587,57 1587,57 0,00 0,00 1970,26 2051,15 80,89 37,04 37,04 839,83 839,83 0,00 0,00 49,87 99,75 1370,44 1320,56 0,00 0,00 463,92 463,92 28,38 56,76 116,47 116,47 13,25 13,25 356,73 713,46 7515,66 7237,59 107,04 0,00
137
Tabel 8. Defisit dan surplus air dari hasil analisis neraca air metode Thornthwaite dan Mather (1957) pada masing-masing Satuan Peta Tanah (SPT) di DAS Separi Satuan Peta Tanah (SPT)
Waktu Jan-02 Feb-02 Mar-02 Apr-02 Mei-02 Jun-02 Jul-02 Agust-02 Sep-02 Okt-02 Nop-02 Des-02 Jan-03 Feb-03 Mar-03 Apr-03 Mei-03 Jun-03 Jul-03 Agust-03 Sep-03 Okt-03 Nop-03 Des-03 Jan-04 Feb-04 Mar-04 Apr-04 Mei-04 Jun-04 Jul-04 Agust-04 Sep-04 Okt-04 Nop-04 Des-04 Jan-05 Feb-05 Mar-05 Apr-05 Mei-05 Jun-05 Jul-05 Agust-05 Sep-05 Okt-05 Nop-05 Des-05
1 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 -2,67 0,00 -11,84 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 -4,45 0,00 -59,77 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 -0,61 0,00 0,00 -5,62 -15,18 -72,73 0,00 69,96 259,97
2 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 -4,35 0,00 -13,52 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 -6,13 0,00 -61,45 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 -2,29 0,00 0,00 -7,30 -16,86 -74,41 0,00 69,96 259,97
3 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 -4,68 -0,32 -13,85 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 -6,46 0,00 -61,78 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 -2,62 0,00 0,00 -7,63 -17,19 -74,74 0,00 69,96 259,97
4 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 -28,71 -24,35 -37,88 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 -30,49 -6,66 -85,81 -11,25 104,82 81,52 1,19 0,00 -26,65 -16,98 -23,10 -31,66 -41,22 -98,77 0,00 69,96 259,97
5 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 0,00 0,00 -6,38 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 0,00 0,00 -54,31 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,16 -9,72 -67,27 0,00 69,96 259,97
6 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 -11,52 -7,16 -20,69 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 -13,30 0,00 -68,62 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 -9,46 0,00 -5,91 -14,47 -24,03 -81,58 0,00 69,96 259,97
7 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 -22,20 -17,84 -31,37 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 -23,98 -0,15 -79,30 -4,74 104,82 81,52 1,19 0,00 -20,14 -10,47 -16,59 -25,15 -34,71 -92,26 0,00 69,96 259,97
8 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 -13,47 -9,11 -22,64 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 -15,25 0,00 -70,57 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 -11,41 -1,74 -7,86 -16,42 -25,98 -83,53 0,00 69,96 259,97
9 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 -2,76 0,00 -11,93 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 -4,54 0,00 -59,86 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 -0,70 0,00 0,00 -5,71 -15,27 -72,82 0,00 69,96 259,97
10 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 -21,99 -17,63 -31,16 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 -23,77 0,00 -79,09 -4,53 104,82 81,52 1,19 0,00 -19,93 -10,26 -16,38 -24,94 -34,50 -92,05 0,00 69,96 259,97
11 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 0,00 0,00 0,00 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 0,00 0,00 0,00 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -2,23 0,00 69,96 259,97
12 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 0,00 0,00 0,00 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 0,00 0,00 0,00 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 69,96 259,97
13 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 0,00 0,00 0,00 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 0,00 0,00 0,00 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -11,83 0,00 69,96 259,97
14 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 0,00 0,00 -4,22 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 0,00 0,00 -52,15 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -7,56 -65,11 0,00 69,96 259,97
138
Lanjutan Tabel 8. Satuan Peta Tanah (SPT)
Waktu Jan-02 Feb-02 Mar-02 Apr-02 Mei-02 Jun-02 Jul-02 Agust-02 Sep-02 Okt-02 Nop-02 Des-02 Jan-03 Feb-03 Mar-03 Apr-03 Mei-03 Jun-03 Jul-03 Agust-03 Sep-03 Okt-03 Nop-03 Des-03 Jan-04 Feb-04 Mar-04 Apr-04 Mei-04 Jun-04 Jul-04 Agust-04 Sep-04 Okt-04 Nop-04 Des-04 Jan-05 Feb-05 Mar-05 Apr-05 Mei-05 Jun-05 Jul-05 Agust-05 Sep-05 Okt-05 Nop-05 Des-05
15 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 0,00 0,00 0,00 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 0,00 0,00 -9,59 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -22,55 0,00 69,96 259,97
16 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 0,00 0,00 0,00 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 0,00 0,00 -10,11 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -23,08 0,00 69,96 259,97
17 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 0,00 0,00 0,00 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 0,00 0,00 -31,45 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -44,41 0,00 69,96 259,97
18 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 -4,23 0,00 -13,40 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 -6,01 0,00 -61,33 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 -2,17 0,00 0,00 -7,18 -16,74 -74,29 0,00 69,96 259,97
19 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 0,00 0,00 0,00 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 0,00 0,00 -33,43 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -46,39 0,00 69,96 259,97
20 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 0,00 0,00 0,00 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 0,00 0,00 -25,27 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -38,23 0,00 69,96 259,97
21 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 0,00 0,00 0,00 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 0,00 0,00 0,00 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 69,96 259,97
22 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 0,00 0,00 0,00 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 0,00 0,00 -30,31 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -43,27 0,00 69,96 259,97
23 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 0,00 0,00 0,00 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 0,00 0,00 -14,95 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -27,91 0,00 69,96 259,97
24 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 0,00 0,00 0,00 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 0,00 0,00 -33,67 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -46,63 0,00 69,96 259,97
25 132,77 22,78 202,48 48,97 39,18 124,69 0,00 0,00 0,00 0,00 52,34 35,52 259,83 70,64 97,28 225,80 126,87 15,96 0,00 0,00 0,00 103,30 43,80 147,76 140,07 201,72 185,93 144,78 75,34 0,00 48,33 0,00 0,00 0,00 0,00 104,82 81,52 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -6,43 0,00 69,96 259,97
26 27 132,77 132,77 22,78 22,78 202,48 202,48 48,97 48,97 39,18 39,18 124,69 124,69 0,00 0,00 -16,89 -38,07 -12,53 -33,71 -26,06 -47,24 52,34 52,34 35,52 35,52 259,83 259,83 70,64 70,64 97,28 97,28 225,80 225,80 126,87 126,87 15,96 15,96 0,00 0,00 0,00 -1,56 0,00 0,00 103,30 103,30 43,80 43,80 147,76 147,76 140,07 140,07 201,72 201,72 185,93 185,93 144,78 144,78 75,34 75,34 0,00 0,00 48,33 48,33 -18,67 -39,85 0,00 -16,02 -73,99 -95,17 0,00 -20,61 104,82 104,82 81,52 81,52 1,19 1,19 0,00 -0,95 -14,83 -36,01 -5,16 -26,34 -11,28 -32,46 -19,84 -41,02 -29,40 -50,58 -86,95 -108,13 0,00 0,00 69,96 69,96 259,97 259,97
139
Tabel 9. Analisis neraca air Lahan (Thornthwaite dan Mather, 1957) pada kelompok kelas tekstur tanah di DAS Separi Kapasitas Lapang (mm) Titik Layu Permanen (mm) Stok Air Tanah (mm) Kedalaman perakaran (cm)
Liat Lempung 236,24 183,52 80,80 58,62 155,44 124,89 60 60
Pasir 185,78 59,20 126,58 60
Stok Air Tanah (mm) Δ WS Hujan ETo (CH - ETo) APWL (mm) (mm) (mm) (mm) Liat Lempung Pasir Liat Lempung Nop-01 248,62 94,00 154,62 0,00 154,62 124,89 108,43 0,00 0,00 Des-01 207,81 94,96 112,85 0,00 155,44 124,89 108,43 0,82 0,00 Jan-02 231,25 98,48 132,77 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Feb-02 118,19 95,41 22,78 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Mar-02 299,17 96,69 202,48 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Apr-02 147,32 98,35 48,97 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Mei-02 137,28 98,09 39,18 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Jun-02 208,13 83,44 124,69 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Jul-02 65,90 103,73 -37,83 -37,83 117,61 87,06 70,59 -37,83 -37,83 Agust-02 44,70 105,24 -60,54 -98,37 57,07 26,52 10,05 -60,54 -60,54 Sep-02 98,37 94,01 4,36 0,00 61,43 30,88 14,42 4,36 4,36 Okt-02 93,38 106,90 -13,53 -13,53 47,90 17,35 0,89 -13,53 -13,53 Nop-02 243,56 83,68 159,88 0,00 155,44 124,89 108,43 107,54 107,54 Des-02 136,83 101,31 35,52 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Jan-03 353,93 94,10 259,83 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Feb-03 168,84 98,19 70,64 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Mar-03 202,12 104,84 97,28 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Apr-03 319,23 93,42 225,80 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Mei-03 219,94 93,06 126,87 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Jun-03 105,07 89,10 15,96 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Jul-03 64,55 93,10 -28,55 -28,55 126,89 96,34 79,88 -28,55 -28,55 Agust-03 66,46 99,77 -33,31 -61,86 93,58 63,03 46,57 -33,31 -33,31 Sep-03 133,07 90,48 42,59 0,00 136,17 105,62 89,16 42,59 42,59 Okt-03 221,17 98,60 122,57 0,00 155,44 124,89 108,43 19,27 19,27 Nop-03 132,03 88,23 43,80 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Des-03 231,41 83,65 147,76 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Jan-04 233,92 93,85 140,07 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Feb-04 288,02 86,29 201,72 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Mar-04 284,47 98,54 185,93 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Apr-04 236,06 91,28 144,78 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Mei-04 165,75 90,40 75,34 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Jun-04 80,54 87,19 -6,65 -6,65 148,79 118,24 101,78 -6,65 -6,65 Jul-04 135,40 80,41 54,98 0,00 155,44 124,89 108,43 6,65 6,65 Agust-04 1,63 101,78 -100,15 -100,15 55,29 24,75 8,28 -100,15 -100,15 Sep-04 114,80 90,97 23,83 0,00 79,12 48,58 32,11 23,83 23,83 Okt-04 20,03 99,19 -79,15 -79,15 -0,03 -30,58 -47,04 -79,15 -79,15 Nop-04 160,83 86,27 74,56 0,00 74,53 43,98 27,52 74,56 74,56 Des-04 268,57 82,85 185,73 0,00 155,44 124,89 108,43 80,91 80,91 Jan-05 168,42 86,90 81,52 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Feb-05 99,01 97,82 1,19 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Mar-05 51,65 112,90 -61,25 -61,25 94,19 63,64 47,18 -61,25 -61,25 Apr-05 54,05 89,12 -35,06 -96,31 59,13 28,58 12,12 -35,06 -35,06 Mei-05 93,60 83,93 9,67 0,00 68,80 38,25 21,79 9,67 9,67 Jun-05 72,36 78,48 -6,12 -6,12 62,68 32,13 15,67 -6,12 -6,12 Jul-05 74,39 82,95 -8,56 -14,68 54,12 23,58 7,11 -8,56 -8,56 Agust-05 83,82 93,39 -9,57 -24,24 44,56 14,01 -2,45 -9,57 -9,57 Sep-05 34,19 91,74 -57,55 -81,80 -13,00 -43,54 -60,01 -57,55 -57,55 Okt-05 240,08 84,56 155,52 0,00 142,52 111,97 95,51 155,52 155,52 Nop-05 157,91 75,03 82,87 0,00 155,44 124,89 108,43 12,92 12,92 Des-05 334,11 74,14 259,97 0,00 155,44 124,89 108,43 0,00 0,00 Keterangan : S = Surplus air, D = Defisit air, dan 0 = Stok air tanah masih mencukupi kebutuhan tanaman Waktu
Pasir 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -37,83 -60,54 4,36 -13,53 107,54 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -28,55 -33,31 42,59 19,27 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -6,65 6,65 -100,15 23,83 -79,15 74,56 80,91 0,00 0,00 -61,25 -35,06 9,67 -6,12 -8,56 -9,57 -57,55 155,52 12,92 0,00
Evapotranspirasi Aktual (mm) Liat Lempung Pasir 94,00 94,00 94,00 94,96 94,96 94,96 98,48 98,48 98,48 95,41 95,41 95,41 96,69 96,69 96,69 98,35 98,35 98,35 98,09 98,09 98,09 83,44 83,44 83,44 65,90 65,90 65,90 44,70 44,70 44,70 94,01 94,01 94,01 93,38 93,38 93,38 83,68 83,68 83,68 101,31 101,31 101,31 94,10 94,10 94,10 98,19 98,19 98,19 104,84 104,84 104,84 93,42 93,42 93,42 93,06 93,06 93,06 89,10 89,10 89,10 64,55 64,55 64,55 66,46 66,46 66,46 90,48 90,48 90,48 98,60 98,60 98,60 88,23 88,23 88,23 83,65 83,65 83,65 93,85 93,85 93,85 86,29 86,29 86,29 98,54 98,54 98,54 91,28 91,28 91,28 90,40 90,40 90,40 80,54 80,54 80,54 80,41 80,41 80,41 1,63 1,63 1,63 90,97 90,97 90,97 20,03 20,03 20,03 86,27 86,27 86,27 82,85 82,85 82,85 86,90 86,90 86,90 97,82 97,82 97,82 51,65 51,65 51,65 54,05 54,05 54,05 83,93 83,93 83,93 72,36 72,36 72,36 74,39 74,39 74,39 83,82 83,82 83,82 34,19 34,19 34,19 84,56 84,56 84,56 75,03 75,03 75,03 74,14 74,14 74,14
140
Lanjutan Tabel 9.
Waktu Nop-01 Des-01 Jan-02 Feb-02 Mar-02 Apr-02 Mei-02 Jun-02 Jul-02 Agust-02 Sep-02 Okt-02 Nop-02 Des-02 Jan-03 Feb-03 Mar-03 Apr-03 Mei-03 Jun-03 Jul-03 Agust-03 Sep-03 Okt-03 Nop-03 Des-03 Jan-04 Feb-04 Mar-04 Apr-04 Mei-04 Jun-04 Jul-04 Agust-04 Sep-04 Okt-04 Nop-04 Des-04 Jan-05 Feb-05 Mar-05 Apr-05 Mei-05 Jun-05 Jul-05 Agust-05 Sep-05 Okt-05 Nop-05 Des-05
Defisit (mm) Liat Lempung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 37,83 37,83 60,54 60,54 0,00 0,00 13,53 13,53 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 28,55 28,55 33,31 33,31 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 6,65 6,65 0,00 0,00 100,15 100,15 0,00 0,00 79,15 79,15 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 61,25 61,25 35,06 35,06 0,00 0,00 6,12 6,12 8,56 8,56 9,57 9,57 57,55 57,55 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Pasir 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 37,83 60,54 0,00 13,53 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 28,55 33,31 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 6,65 0,00 100,15 0,00 79,15 0,00 0,00 0,00 0,00 61,25 35,06 0,00 6,12 8,56 9,57 57,55 0,00 0,00 0,00
Defisit Fitting (mm) Liat Lempung Pasir 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,03 -30,58 -47,04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -2,45 -13,00 -43,54 -60,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Surplus (mm) Liat Lempung Pasir 0,00 29,72 46,19 112,03 112,85 112,85 132,77 132,77 132,77 22,78 22,78 22,78 202,48 202,48 202,48 48,97 48,97 48,97 39,18 39,18 39,18 124,69 124,69 124,69 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 52,34 52,34 52,34 35,52 35,52 35,52 259,83 259,83 259,83 70,64 70,64 70,64 97,28 97,28 97,28 225,80 225,80 225,80 126,87 126,87 126,87 15,96 15,96 15,96 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 103,30 103,30 103,30 43,80 43,80 43,80 147,76 147,76 147,76 140,07 140,07 140,07 201,72 201,72 201,72 185,93 185,93 185,93 144,78 144,78 144,78 75,34 75,34 75,34 0,00 0,00 0,00 48,33 48,33 48,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 104,82 104,82 104,82 81,52 81,52 81,52 1,19 1,19 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 69,96 69,96 69,96 259,97 259,97 259,97
Defisit/Surplus Fitt. (mm) Defisit/Surplus Liat Lempung Pasir Liat Lempung Pasir 0,00 29,72 46,19 112,03 112,85 112,85 132,77 132,77 132,77 S S S 22,78 22,78 22,78 S S S 202,48 202,48 202,48 S S S 48,97 48,97 48,97 S S S 39,18 39,18 39,18 S S S 124,69 124,69 124,69 S S S 0,00 0,00 0,00 0 0 0 0,00 0,00 0,00 0 0 0 0,00 0,00 0,00 0 0 0 0,00 0,00 0,00 0 0 0 52,34 52,34 52,34 S S S 35,52 35,52 35,52 S S S 259,83 259,83 259,83 S S S 70,64 70,64 70,64 S S S 97,28 97,28 97,28 S S S 225,80 225,80 225,80 S S S 126,87 126,87 126,87 S S S 15,96 15,96 15,96 S S S 0,00 0,00 0,00 0 0 0 0,00 0,00 0,00 0 0 0 0,00 0,00 0,00 0 0 0 103,30 103,30 103,30 S S S 43,80 43,80 43,80 S S S 147,76 147,76 147,76 S S S 140,07 140,07 140,07 S S S 201,72 201,72 201,72 S S S 185,93 185,93 185,93 S S S 144,78 144,78 144,78 S S S 75,34 75,34 75,34 S S S 0,00 0,00 0,00 0 0 0 48,33 48,33 48,33 S S S 0,00 0,00 0,00 0 0 0 0,00 0,00 0,00 0 0 0 -0,03 -30,58 -47,04 D D D 0,00 0,00 0,00 0 0 0 104,82 104,82 104,82 S S S 81,52 81,52 81,52 S S S 1,19 1,19 1,19 S S S 0,00 0,00 0,00 0 0 0 0,00 0,00 0,00 0 0 0 0,00 0,00 0,00 0 0 0 0,00 0,00 0,00 0 0 0 0,00 0,00 0,00 0 0 0 0,00 0,00 -2,45 0 0 D -13,00 -43,54 -60,01 D D D 0,00 0,00 0,00 0 0 0 69,96 69,96 69,96 S S S 259,97 259,97 259,97 S S S
141
Tabel 10. Indeks vegetasi (NDVI), indeks kelembaban (wetness index), dan temperatur permukaan lahan pada masing-masing vegetasi dan tekstur tanah di DAS Separi o
Indeks Vegetasi (NDVI) Indeks Kelembaban Temperatur ( C) Jenis Penggunaan Lahan dan Tekstur Tanah 03/04/02 21/05/02 08/07/02 10/09/02 03/04/02 21/05/02 08/07/02 10/09/02 03/04/02 21/05/02 08/07/02 10/09/02 Hutan + Lempung 0,47 0,38 0,38 -0,01 -6,53 -3,16 -1,94 18,31 28 30 30 30 Semak Belukar + Liat 0,43 0,36 0,33 -0,06 -6,96 -1,50 -5,97 19,05 28 30 31 31 Semak Belukar + Lempung 0,40 0,37 0,36 -0,04 -8,63 -2,49 -1,66 17,77 28 30 31 31 Kebun/Ladang + Liat 0,43 0,38 0,30 -0,13 -7,01 -5,69 -12,89 -5,31 26 30 32 33 Kebun/Ladang + Lempung 0,25 0,37 0,30 -0,15 -10,42 -3,58 -5,32 -12,18 27 30 32 33 Sawah + Lempung 0,31 0,12 0,10 -0,18 -17,16 -31,52 -5,32 -21,67 27 31 32 33
Tabel 11. Identifikasi tingkat kekeringan tanaman di DAS Separi Jenis Penggunaan Lahan dan Tekstur Tanah Hutan + Lempung Semak Belukar + Liat Semak Belukar + Lempung Kebun/Ladang + Liat Kebun/Ladang + Lempung Sawah + Lempung
03/04/02 Tidak Kering Tidak Kering Tidak Kering Tidak Kering Tidak Kering Tidak Kering
Tingkat Kekeringan Tanaman 21/05/02 08/07/02 Tidak Kering Tidak Kering Tidak Kering Tidak Kering Tidak Kering Tidak Kering Tidak Kering Tidak Kering Tidak Kering Tidak Kering Kering Kurang Kering
10/09/02 Kurang Kering Kurang Kering Kurang Kering Kering Kering Sangat Kering
142
INDEKS AGNPS = Agricultural Non Point Source Pollution Model ANSWERS = Areal Nonpoint Source Watershed Environment Response Simulation ARMA = Autoregressive Moving Average ARIMA = Autoregressive Integrated Moving Average AWS = Automatic Weather Station AWLR = Automatic Water Level Recorder BAKOSURTANAL = Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional BALITKLIMAT = Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi BALITTANAH = Balai Penelitian Tanah BIOTROP = Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology BMSF = Biological Management and Soil Fertility BPTP = Balai Pengkajian Teknologi Pertanian CREAMS = Chemical Runoff, and Erosion from Agricultural Management Systems DAS = Daerah Aliran Sungai DITJEN RRL = Direktorat Jenderal Rehabilitasi dan Reboisasi Lahan ETP = Evapotranspirasi Potensial ETA = Evapotranspirasi Aktual GEOMET = Geofisika dan Meteorologi HEC HMS = Hydrologic Engineering Center Hydrologic Modeling System HYSIM = Hydrologic Simulation Model ICRAF = International Center for Research in Agroforestry IPB = Institut Pertanian Bogor KL = Kapasitas Lapang LAI = Leaf Area Index LAPAN = Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional LITBANG = Penelitian dan Pengembangan MARINE = Model of Anticipation of Runoff and INondations for Extrem NDVI = Normalized Difference Vegetation Index NOAA AVHRR = National Oceanographic and Atmospheric Administration Advanced Very High Resolution Radiometer PAATP = Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif pdf = probability density function PSL = Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan PUSLITTANAK = Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat SIG = Sistem Informasi Geografis SPT = Satuan Peta Tanah SWAT = Soil and Water Assessment Tool SWMM = The Storm Water Management Model TLP = Titik Layu Permanen TOPMODEL = Topographically and Phisically Based Variable Contributions Area Model USACE = US Army Corps of Engineers ZAE = Zona Agro Ekolologi
143