MICROMÉGAS Voltaire
2016
Micromégas Diterjemahkan dari Micromégas karangan Voltaire terbit tahun 1752 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih [original image: ESA/Hubble]
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: September 2016 Revisi terakhir: Copyright © 2016 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
D
I SEBUAH
planet yang beredar mengelilingi bintang Sirius,
hiduplah seorang anak muda amat cerdas. Aku mendapat
kehormatan berkenalan dengannya pada saat dia mengunjungi sarang semut kami baru-baru ini. Dia dipanggil Micromégas, nama yang pantas untuk bangsa besar. Tingginya 8 league, atau 24.000 langkah geometris dengan panjang masing-masing lima kaki, atau 120.000 kaki. Kita orang bumi punya tinggi rata-rata hampir tidak lebih dari lima kaki—satu langkah. Jadi buminya Tn. Micromégas pastilah memiliki keliling 24.000 kali lebih besar daripada Bumi kecil kita. Di alam tidak ada yang lebih sederhana, lebih wajar. Domini rajaraja tertentu di Jerman atau Italia, yang dapat Anda kitari dalam setengah jam, dibandingkan dengan kekaisaran Turki, Rusia, atau China, hanya memberi gambaran samar akan lebarnya kesenjangan yang Alam tetapkan di antara beraneka jenis makhluk sejagat raya. Berdasarkan tinggi Yang Mulia Micromégas, pemahat atau pelukis manapun akan sependapat bahwa pinggangnya pasti sepadan, berkeliling sekitar 50.000 kaki. Dengan hidung sepertiga panjang wajah eloknya, dan wajah sepertujuh tinggi tubuh eloknya, maka hidung Sirius berpanjang kira-kira 5.714 kaki. Akalnya menandingi orang paling terdidik di antara kita; dia tahu banyak hal, sebagiannya adalah hasil temuan sendiri. Dia belum menginjak usia ke-250, dan sedang belajar di sekolah paling ternama di planetnya, sebagaimana lazim pada usianya, ketika memecahkan 50 dalil Euclid—18 lebih banyak daripada Blaise Pascal, yang, menurut keterangan saudarinya, usai memecahkan 32 5
dalil demi kesenangan pribadi, menjadi ahli geometri cukup bagus dan metafisikawan amat buruk. Saat berumur sekitar 450 tahun, dan sudah melewati masa kanak-kanak, Micromégas membedah banyak serangga kecil berdiameter kurang dari 100 kaki, dengan bantuan mikroskop canggih; dia menulis sebuah buku menarik tentang mereka, yang membawanya ke dalam masalah. Mufti negeri tersebut, yang cenderung rewel dan sangat jahil, menjumpai pernyataan yang dianggap mencurigakan, menghina, gegabah, dan bid’ah di dalam karyanya, lalu mereka gugat dia dengan rasa permusuhan sengit. Soal yang dipersengketakan adalah apakah bentuk substansial yang menyusun kutu-kutu Sirius sama sifatnya dengan penyusun siput. Micromégas membela diri dengan menggebu-gebu, semua wanita memihaknya; persidangan berlangsung 220 tahun. Akhirnya sang mufti meminta buku tersebut dikecam oleh para hakim yang belum pernah membacanya, dan penulisnya dibuang dari istana selama 800 tahun. Dia tidak begitu merana dibuang dari istana yang penuh tipu muslihat dan kepicikan. Dia menggubah sebuah lagu jenaka yang mengejek si mufti, tapi itu tidak membuatnya jengkel. Kemudian dia berangkat untuk melakukan perjalanan dari planet ke planet, dengan niat memperbaiki akal dan jiwanya, seperti kata pepatah. Mereka yang bepergian di atas kereta kuda pasti heran dengan jenis kendaraan yang dipakai di sana. Kita, di atas gundukan lumpur kecil, tak bisa membayangkan apa-apa di luar pengalaman kita sendiri. Pelancong kita ini mengalami perkenalan begitu menakjubkan dengan hukum gravitasi, semua gaya tarik dan tolak, 6
dan memanfaatkan pengetahuannya sedemikian rupa hingga berpindah dari satu planet ke planet lain, kadang dengan sarana sinar matahari, kadang dengan bantuan komet, laksana burung yang melompat dari dahan ke dahan. Dia lintasi Bima Sakti dalam waktu singkat, dan wajib kuakui dia tak pernah melihat langit tertinggi nan indah yang menurut sesumbar pendeta masyhur Derham telah ditemukan di ujung teleskopnya, kecuali bintangbintang yang memadatinya. Bukan berarti aku menyatakan Tn. Derham salah lihat, amit-amit! Tapi Micromégas ada di tempat itu, dia pengamat teliti, dan aku tak berkeinginan menyangkal siapapun. Micromégas, sesudah banyak berbelok dan menikung, tiba di planet Saturnus. Betapapun terbiasa melihat hal-hal baru, saat menyaksikan ukuran kecil planet ini dan para penghuninya, semula dia tak sanggup menahan senyum superioritas yang adakalanya lolos dari orang paling bijak sekalipun; karena Saturnus memang tidak sampai 900 kali lebih besar dari Bumi, dan penduduk negeri tersebut orang-orang kerdil belaka, tingginya cuma sekitar seribu depa. Awalnya dia sedikit menertawakan bangsa ini, sebagaimana musisi Italia mengejek penampilan Lulli saat bertandang ke Prancis. Tapi, sebagai orang berpikiran sehat, si Sirius segera yakin bahwa makhluk berakal tidak boleh bersikap konyol, sebab dirinya hanya setinggi 6.000 kaki. Dia segera akrab dengan bangsa Saturnus
setelah
keheranan
mereka
reda.
Dia
membina
persahabatan dengan sekretaris Akademi Saturnus, pria amat cerdas yang belum menemukan apa-apa tapi unggul dalam 7
mendeskripsikan temuan orang lain, dan pandai menggubah sajak kecil lumayan apik atau melakukan perhitungan rumit. Suatu hari, setelah si Sirius berbaring dan si sekretaris menghampiri
wajahnya
untuk
mempermudah
percakapan,
Micromégas berkata, “Harus kuakui, alam penuh dengan keanekaragaman.” “Ya,” kata si Saturnus, “alam seperti petak bunga, yang mekarnya—” “Oh,” timpalnya, “cukup sudah dengan petak bungamu!” “Ia,” sambung sekretaris, “seperti sekumpulan gadis pirang dan cokelat, yang pakaiannya—” “Tidak, tidak,” balas si pelancong. “Alam adalah seperti alam. Kenapa kau cari perbandingan?” “Untuk menyenangkanmu,” jawab sekretaris. “Aku tak mau disenangkan,” balas si pelancong, “aku mau diajari; mulai dengan memberitahuku berapa banyak indera yang dimiliki orang-orang di planetmu.” “Kami punya 72,” kata si akademisi, “dan kami selalu mengeluh itu terlalu sedikit. Imajinasi kami membumbung melebihi kebutuhan; kami mendapati, dengan 72 indera kami, cincin planet kami, dan lima bulan kami, wilayah kami terlalu sempit. Dan terlepas dari semua keingintahuan kami dan banyaknya hasrat yang tumbuh dari 72 indera kami, kami kerap merasa jenuh.” “Aku bisa percaya itu,” kata Micromégas, “sebab di planet kami, walau kami punya hampir seribu indera, dalam diri kami pun 8
tetap hidup suatu hasrat samar, keresahan tak jelas, yang memperingatkan bahwa kami remeh di alam semesta ini, dan bahwa ada makhluk-makhluk yang jauh lebih sempurna daripada kami. Aku sudah bepergian, aku sudah bertemu makhluk-makhluk jauh di bawah kami, sementara yang lain sangat superior; tapi aku belum menjumpai satupun yang tak punya hasrat lebih banyak dari kebutuhan riil, dan kebutuhan lebih banyak dari yang sanggup mereka penuhi. Mungkin suatu hari nanti aku akan mencapai negara di mana terdapat kecukupan. Tapi hingga kini belum ada yang bisa memberiku informasi pasti tentang itu.” Lantas si Saturnus dan si Sirius menghabiskan tenaga dengan tebak-tebakan cerdik tapi ngawur perihal masalah tersebut, dan akhirnya harus kembali kepada fakta. “Berapa lama kalian hidup?” tanya si Sirius. “Ah! Singkat sekali,” jawab pria kecil Saturnus. “Kami juga,” kata si Sirius. “Kami selalu mengeluhkan pendeknya umur. Ini pasti hukum alam yang universal.” “Wah!” seru si Saturnus, “kami hidup tak lebih dari 500 revolusi tahunan Matahari.” (Itu sama dengan kurang-lebih 15.000 tahun menurut perhitungan kita.) “Kau lihat, takdir kami adalah untuk mati begitu terlahir; eksistensi kami adalah titik, umur kami sejenak, planet kami atom. Kami baru mulai memperoleh sedikit informasi ketika maut datang, sebelum sempat memanfaatkannya. Aku sendiri tak berani membuat rencana apapun; aku merasa bagai setetes air di samudera tanpa batas. Aku malu, apalagi di depanmu, akan citra absurd yang kubangun di alam semesta ini.” 9
Micromégas membalas: “Andai kau bukan filsuf, tentu aku khawatir kau akan sengsara bila kuberitahu bahwa hidup kami 700 kali lebih panjang dari kalian; tapi kau tahu betul, saat tiba waktunya untuk mengembalikan raga seseorang kepada unsurunsur, dan menggiatkan alam dalam wujud lain—proses yang disebut kematian—saat tiba momen metamorfosis itu, tak ada bedanya apakah kita hidup kekal atau sehari saja. Aku pernah ke negara-negara di mana umur mereka seribu kali lebih panjang daripada kami, dan tetap saja aku dengar keluhan akan singkatnya jangka tersebut. Tapi orang-orang berakal sehat ada di mana-mana; mereka tahu caranya memanfaatkan sebaik mungkin apa yang mereka miliki, dan tahu cara berterimakasih kepada Pencipta alam. Dia telah menyebarkan pada alam semesta ini keanekaragaman yang berlimpah-ruah, bersamaan dengan sejenis keseragaman menakjubkan. Sebagai contoh, semua makhluk berakal berbedabeda, tapi mirip satu sama lain dalam hal anugerah pikiran dan kehendak. Materi meluas tak terhingga, tapi memiliki atribut berlainan di planet berlainan. Menurut hitunganmu, berapa banyak dari aneka atribut ini terdapat pada materi yang kau kenal?” “Kalau kau bicara,” sahut si Saturnus, “soal atribut yang kami yakini sebagai syarat hidupnya planet ini, kami hitung ada 300, seperti perluasan, ketaktembusan, mobilitas, gravitasi, divisibilitas, dan lain-lain.” “Rupanya,” timpal si pelancong, “angka kecil ini sudah memadai untuk maksud Sang Pencipta dalam membangun tempat tinggal kecil ini. Aku kagum akan kearifan-Nya dalam segala hal; 10
aku lihat selisih di mana-mana, tapi aku juga lihat juga ukuran yang tepat di mana-mana. Planetmu kecil; kau yang menghuninya juga kecil; inderamu sedikit; materi yang menyusun duniamu beratribut sedikit; semua ini adalah karya Tuhan. Apa warna mataharimu kalau diperiksa dengan cermat?” “Putih bercorak kuning,” kata si Saturnus, “dan saat kami belah salah satu sinarnya, ia terdiri dari tujuh warna.” “Cahaya matahari kami kemerahan,” kata si Sirius, “dan kami punya 39 warna utama. Tak ada satupun matahari, di antara semua yang pernah kudekati, menyerupai satu sama lain, sebagaimana tak ada satupun wajah di antara kalian sama dengan yang lain.” Setelah beberapa pertanyaan jenis ini, dia bertanya berapa banyak modus eksistensi berlainan yang terhitung di Saturnus. Dia diberitahu bahwa tak lebih dari 30 yang terbedakan; Tuhan, ruang, materi, makhluk penghuni ruang yang merasa dan berpikir, makhluk berakal yang tak menempati ruang, makhluk yang memiliki daya tembus, makhluk yang tak memiliki daya tembus, dll. Si Sirius, yang di planetnya terdapat 300 modus eksistensi, dan telah menemukan 3.000 modus lain sepanjang perjalanannya, membuat heran sang filsuf Saturnus. Akhirnya, setelah saling menyampaikan sedikit hal yang mereka pahami, dan banyak hal yang tidak mereka pahami, dan setelah melatih daya nalar mereka selama satu revolusi lengkap Matahari, mereka putuskan untuk melakukan wisata penjelajahan kecil-kecilan bersama. Dua filsuf kita siap menaiki atmosfer Saturnus, dengan sekumpulan instrumen ilmiah, ketika kekasih si Saturnus, yang 11
mendengar rencananya, datang sambil berlinang air mata untuk memprotes. Dia wanita cantik mungil berambut cokelat, tingginya tidak sampai 660 depa, tapi tatakrama terpuji menebus kekurangan tersebut. “Oh, kau kejam!” serunya. “Setelah menolakmu selama 1.500 tahun, saat akhirnya aku mulai menyerah, dan baru melewati waktu seratus tahun dalam rangkulanmu, kau tinggalkan aku seperti ini, dan memulai perjalanan panjang dengan raksasa dari planet lain! Pergilah, kau tak punya selera selain untuk hal-hal baru, kau tak pernah merasakan cinta sejati; sekiranya kau orang Saturnus sejati, kau akan teguh. Pergi ke mana secepat itu? Apa yang akan kau dapat? Kelima bulan kita lebih setia daripada dirimu, cincin planet kita lebih kokoh. Selamat tinggal masa lalu! Aku takkan pernah mencintai lagi.” Sang filsuf memeluknya dan, terlepas dari segala filosofinya, ikut menangis. Adapun wanita itu, setelah pingsan, menghibur diri dengan seorang pesolek yang tinggal tak jauh. Sementara itu dua penyelidik kita ini memulai perjalanan. Pertama-tama mereka melompat ke cincin Saturnus, yang ternyata sangat rata, sebagaimana perkiraan jitu dari seorang penduduk terkemuka di planet kecil kita; kemudian mereka dengan mudah berpindah dari bulan ke bulan. Sebuah komet melintas dekat bulan terakhir, jadi mereka melompat ke atasnya, beserta instrumen mereka. Tatkala sudah pergi sejauh kira-kira 150.000.000 league, mereka menemukan satelit-satelit Yupiter. Mereka mendarat di Yupiter, dan tinggal di sana setahun. Selama itu mereka 12
mempelajari beberapa rahasia luar biasa yang harusnya kini tampil di media, kalau bukan gara-gara lembaga sensor tertentu yang kesulitan mencernanya. Meninggalkan Yupiter, para penjelajah kita melintasi antariksa sejauh 100.000.000 league. Meluncur di samping planet Mars, yang lima kali lebih kecil daripada planet kecil kita, mereka melihat dua bulan. Kedua bulan ini lolos dari pengamatan astronom kita. Aku sadar Romo Castel akan dengan senang hati menulis tentangan terhadap eksistensi dua bulan ini, tapi aku menaruh kepercayaan pada orang-orang yang menalar dari analogi. Para filsuf unggul itu tahu akan sulit bagi Mars, yang begitu jauh dari Matahari, untuk bertahan dengan bulan kurang dari dua. Walaupun begitu, rekan-rekan kita menganggap planet ini terlalu kecil; mereka takut tak mendapat ruang di sana untuk menginap. Jadi mereka meneruskan perjalanan, seperti sepasang pelancong yang meremehkan sebuah losmen sederhana di desa, dan berlanjut ke kota terdekat. Tapi si Sirius dan rekannya segera menyesali keputusan ini, sebab mereka melewati waktu yang panjang tanpa menemukan apa-apa sama sekali. Akhirnya mereka melihat cahaya samar-samar; datangnya dari Bumi kita, dan menimbulkan rasa haru dalam pikiran orang-orang yang baru meninggalkan Yupiter ini. Namun, karena takut menyesal untuk kedua kalinya, mereka putuskan mendarat. Mereka mencampakkan ekor komet, dan dengan bantuan aurora borealis yang ada, mereka turun di Bumi dekat pesisir utara Laut Baltik, 5 Juli 1737. 13
Usai istirahat, mereka melahap sepasang gunun sebagai sarapan. Ingin memeriksa pedesaan, mereka pertama-tama pergi dari utara ke selatan. Setiap langkah normal Sirius adalah sekitar 30.000 kaki; si kerdil Saturnus, yang tingginya cuma seribu depa, mengikuti jauh di belakang sambil terengah-engah, karena dia harus mengambil 20 langkah setiap Sirius berjalan satu langkah. Bayangkan seekor anjing spaniel mainan kecil mengejar seorang kapten pasukan granat Raja Prussia! Orang-orang asing ini melaju cepat, mengelilingi planet dalam 36 jam. Sebetulnya matahari, atau tepatnya Bumi, melakukan perjalanan yang sama dalam satu hari. Tapi berputar pada poros jauh lebih mudah daripada berjalan dengan kaki. Maka, lihatlah, para pelancong kita kembali ke titik tolak mereka, setelah memperhatikan laut bernama Mediterania, yang bagi mereka nyaris tak kelihatan, dan kolam kecil lain bernama Samudera yang mengepung sarang semut ini. Di situ si kerdil tak pernah terbenam sampai jauh ke atas lutut, sementara yang satu lagi hampir tidak kebasahan tumitnya. Mereka berbuat semua yang mereka bisa, mencari di sana-sini, guna memastikan apakah Bumi didiami. Mereka membungkuk, berbaring, dan meraba-raba ke segala arah; tapi karena mata dan tangan mereka tidak sebanding dengan makhluk-makhluk mungil yang merayap di sini, tak sedikitpun mereka merasakan sensasi yang dapat membuat mereka curiga bahwa kita dan sesama makhluk lain mendapat kehormatan untuk eksis. Si kerdil tergesa-gesa menyatakan tak ada satupun makhluk di 14
planet ini. Alasan pertamanya adalah dia tidak melihatnya. Tapi dengan sopan Micromégas menjelaskan bahwa itu bukan argumen yang bagus: “Sebab,” katanya, “kau, dengan mata mungilmu, tak bisa melihat bintang-bintang bermagnitudo 50 yang kulihat jelas. Apa kau simpulkan bintang-bintang itu tak eksis?” “Tapi,” dalih si kerdil, “planet ini jelek sekali konstruksinya, tidak beraturan, dan bentuknya menggelikan! Semua yang ada di sini tampak balau; tengoklah selokan-selokan kecil ini, tak ada yang lurus; terus kolam-kolam ini, tidak bundar, persegi, lonjong, atau bentuk beraturan apapun; juga semua bulu kecil ini, yang membuat kulit kakiku terkelupas!” maksudnya pepohonan. “Perhatikan pula bentuk planet secara keseluruhan, bagaimana ia datar di kutub-kutub, bagaimana ia sembrononya mengelilingi Matahari secara miring, sehingga kawasan kutub menjadi sia-sia. Bahkan, yang paling membuatku berpikir tak ada siapa-siapa di sini adalah karena aku sulit mengira orang-orang berakal mau menghuni tempat tinggal seperti ini.” “Well,” kata Micromégas, “boleh jadi orang-orang yang mendiaminya tidak berakal. Tapi sebetulnya ada tanda-tanda ini tidak diciptakan tanpa tujuan. Segala sesuatu di sini terasa tak beraturan, kau bilang; tapi kau menilai berdasarkan standar Saturnus dan Yupiter. Bukankah sudah kukatakan, sepanjang perjalananku aku selalu menemukan keanekaragaman?” Si Saturnus punya jawaban terhadap argumen ini, dan perdebatan mereka mungkin takkan berujung, seandainya dia tidak 15
melihat apa yang menurutnya seekor cebong kecil, sedang bergerak di setengah kedalaman air Laut Baltik. Padahal itu ikan paus. Dia menangkapnya dengan kelingking, dan ditaruhnya di atas jempol, lalu diperlihatkan kepada si Sirius, yang sontak tertawa untuk kedua kalinya atas kekecilan ekstrim penghuni sistem kita. Si Saturnus, kini yakin planet kita berpenghuni, segera menyimpulkan ikan paus adalah satu-satunya makhluk yang dapat ditemukan di sini. Berhubung spekulasi adalah kepandaiannya, dia membuat terkaan tentang asal-usul atom seremeh itu, sumber pergerakannya, dan apakah itu punya pikiran dan kehendak bebas. Micromégas menarik kaca pembesar dari buntelan instrumen, memeriksa makhluk tersebut dengan telaten, dan tak menemukan bukti adanya jiwa yang bersemayam di dalam raganya. Kedua pelancong lantas curiga tak ada makhluk berakal di tempat tinggal kita ini, ketika akhirnya mereka melihat sesuatu sebesar paus, mengambang di Laut Baltik. Kami tahu, pada waktu itu sekawanan filsuf sedang pulang dari lingkar kutub. Mereka ke sana untuk melakukan observasi yang tak pernah diupayakan siapapun sebelumnya. Koran-koran menyebut kapal mereka terdampar di Teluk Bothnia, dan bahwa mereka kesulitan menyelamatkan nyawa; tapi kita tak pernah tahu kenyataan sesungguhnya tentang apapun di dunia ini. Akan kuceritakan dengan jujur apa yang terjadi, tanpa menambahkan rekaanku sendiri—sebuah tugas yang menuntut usaha tidak kecil dari pihak sejarawan. 16
Si Saturnus mengulurkan tangan, merenggut kapal pengangkut tuan-tuan itu dengan cekatan, dan ditaruhnya di dalam lekukan tangan tanpa memerasnya terlalu erat, karena dikhawatirkan remuk. “Ini ada binatang yang cukup berbeda dari yang pertama,” tinjaunya. Para penumpang dan awak, yang mengira diputar-putar oleh angin ribut, dan menyangka telah membentur sejenis batu karang, mulai bergerak-gerak. Para kelasi mencengkeram tong-tong anggur, melemparnya keluar kapal, ke tangan si Saturnus, lalu mereka sendiri lompat, sementara para ahli geometri meraih kwadran, tembereng, dan sepasang gadis Laplandia, lantas turun ke jari-jemari Saturnus. Mereka ribut sedemikian rupa hingga akhirnya dia merasa gatal—sebuah tiang berujung besi terpancang sedalam satu kaki di telunjuknya. Dia menduga tusukan ini berasal dari binatang kecil yang sedang dipegangnya; tapi awalnya dia tidak melihat apa-apa selain bintik-bintik kecil, yang dikiranya gumpalan kotoran, meluap dari si makhluk. Aku tak bermaksud menggoncang kesombongan siapapun, tapi aku harus memohon kepada mereka yang peka terhadap nilai penting diri mereka sendiri, agar mempertimbangkan apa yang akan kukatakan perihal ini. Mengambil rata-rata tinggi manusia lima kaki, sosok kita di Bumi tidak lebih besar dari seekor serangga yang tingginya tidak sampai seperdua ratus ribu inchi di atas mangkok berkeliling 10 kaki. Bayangkan suatu makhluk yang dapat menggenggam Bumi dan yang organ-organ inderanya sebanding dengan milik kita—sebetulnya ada banyak makhluk 17
demikian—dan pertimbangkan apa yang akan mereka pikirkan tentang peperangan yang memindahkan kepemilikan suatu desa kepada penakluk, untuk kehilangan lagi tak lama kemudian. Tak diragukan, seorang kapten pasukan granat akan membaca tulisan ini dan mengangkat topi kompinya setinggi dua kaki. Tapi kuperingatkan padanya, itu akan sia-sia. Dia dan anak buahnya takkan menjadi apa-apa selain tungau belaka. Baru setelah memeriksa “kotoran” itu dengan mikroskop, Sirius dan Saturnus menyadari kenyataan mengagumkan. Ketika Leeuwenhoek dan Hartsoeker pertama kali melihat, atau merasa melihat, bintik kecil yang darinya kita terbentuk, penemuan mereka tidak terlalu mengejutkan dibanding ini. Betapa senangnya Micromégas dan si kerdil saat menyaksikan pergerakan mesinmesin kecil itu, saat memeriksa perbuatan mereka, saat mengikuti operasi mereka! Keduanya menjerit girang! “Aku lihat mereka!” seru mereka serempak. “Perhatikan bagaimana mereka mengangkut beban, bagaimana mereka membungkuk dan berdiri!” Sambil
bicara,
tangan
mereka
gemetar
senang
atas
pemandangan objek-objek yang sangat tak biasa, dan gemetar takut akan kehilangannya. Si Saturnus, beralih dari skeptisisme ekstrim menuju kemudahpercayaan mutlak, mengira mereka sedang sibuk berkembangbiak. “Ah!” ujarnya, “aku telah mememergoki alam.” Tapi dia terkecoh oleh penampilan, sebuah kecelakaan yang amat rentan kita alami, baik dengan mikroskop atau tidak. 18
Micromégas, pengamat yang unggul jauh, melihat jelas atomatom itu sedang berbicara dengan satu sama lain. Dia meralat rekannya. Tapi si kerdil, yang malu telah keliru dalam persoalan halus ini, menolak percaya makhluk-makhluk semacam itu punya sarana penyampaian pikiran. Dia dianugerahi lidah sebagaimana Sirius; dia tak dengar atom-atom itu bicara, jadi dia simpulkan mereka tidak bicara. Lagipula, mana mungkin makhluk-makhluk tak kelihatan itu memiliki organ suara, dan apa yang harus mereka katakan? Untuk bisa bicara, seseorang harus berpikir, atau setidaknya mendekati proses berpikir. Tapi jika makhluk-makhluk ini bisa berpikir, mereka pasti punya sesuatu yang sepadan dengan jiwa; dan mengatributkan padanan jiwa pada hewan-hewan kecil ini terasa absurd. “Tapi,” kata Sirius, “baru saja kau mengira mereka sedang bercinta; dapatkah mereka bercinta tanpa mampu berpikir atau berucap, atau bahkan membuat diri mereka dimengerti? Lebih dari itu, apa menurutmu menghasilkan argumen lebih sulit dibanding menghasilkan keturunan? Bagiku keduanya operasi yang samasama misterius.” “Aku tak berani lagi percaya atau menyangkal,” sahut si kerdil. “Kita harus coba periksa serangga-serangga ini, lalu menarik kesimpulan.” “Baiklah!” balas Micromégas. Memakai alat yang dibawanya, dia membuat sepasang terompet pelantang raksasa, mirip corong besar, yang ujung-ujung sempitnya ditaruh di telinga si Sirius dan Saturnus. Begitu bagian lebar terompet meliputi kapal dan 19
awaknya, tersalurlah suara sayup dengan cara sedemikian rupa sehingga para filsuf yang tinggi di atas mendengar jelas dengungan serangga-serangga kita di bawah. Dalam beberapa jam mereka berhasil membedakan kata-kata, dan akhirnya berhasil memahami bahasa Prancis. Keheranan para pelancong ini bertambah setiap saat. Mereka mendengar tungau-tungau belaka berbicara lumayan masuk akal; keajaiban alam seperti ini terasa sulit dijelaskan. Kalian bisa bayangkan betapa tak sabarnya Sirius dan si kerdil ingin bercakap-cakap dengan para atom; tapi si kerdil khawatir suara gemuruhnya, dan terlebih lagi suara Micromégas, akan memekakkan para tungau tanpa menyampaikan makna apapun. Untuk mengurangi kekuatannya, mereka memasang tusuk gigi kecil di mulut mereka, yang ujung-ujung lancipnya didekatkan ke kapal. Kemudian Sirius memangku si kerdil (yang menopang kapal beserta awaknya pada telapak tangan) di atas lutut, membungkukkan kepala dan bicara pelan-pelan, dengan demikian akhirnya menyapa mereka: “Wahai serangga-serangga tak kasat mata, yang dibuat dengan senang hati oleh tangan Pencipta di jurang kecil tak terhingga, aku bersyukur pada-Nya karena telah berkenan mengungkap rahasia yang nampak gaib. Mungkin para anggota istana di negeriku takkan sudi memandangmu, tapi aku tidak meremehkan siapapun, dan menawarkan perlindunganku pada kalian.” Jika ada yang pernah keheranan, maka mereka yang mendengar perkataan inilah orangnya. Mereka tak bisa menebak dari mana datangnya. Pendeta kapal membaca doa-doa yang 20
dipakai dalam pengusiran arwah, para kelasi berserapah, dan para filsuf membangun teori; tapi apapun teori yang dibangun, mereka tak bisa meramal siapa yang sedang bicara dengan mereka. Si kerdil dari Saturnus, yang suaranya lebih lembut daripada Micromégas, lantas memberitahu mereka secara ringkas, dengan makhluk jenis apa mereka sedang berhubungan. Dia menceritakan perjalanan dari Saturnus, dan memperkenalkan peran dan kemampuan Tn. Micromégas. Setelah bersimpati atas ukuran kecil mereka, dia bertanya apa mereka selalu dalam kondisi memilukan yang agak lebih baik dari kebinasaan, apa yang mereka kerjakan di planet milik ikan paus, apakah mereka bahagia, apakah mereka membesar dan membiak, apakah mereka punya jiwa, dan seratus pertanyaan lain. Salah satu filsuf dalam rombongan, lebih berani dari yang lain, dan syok lantaran eksistensi jiwanya dipertanyakan, mengobservasi si pembicara dengan kwadran dari dua pos berbeda, lalu di pos ketiga dia bicara: “Kalau begitu apakah kau mengira, tuan, karena seribu depa membentang antara kepala dan kakimu, bahwa kau—” “Seribu depa!” teriak si kerdil. “Astaga! Bagaimana dia bisa tahu tinggiku? Seribu depa! Perhitungannya tidak meleset satu inchi pun. Apa! Apakah atom itu betul-betul mengukurku? Dia ahli geometri, dia tahu ukuranku, sementara aku, yang hampir tak bisa melihatnya kecuali lewat mikroskop, aku masih tak tahu-menahu tentangnya!” “Ya, aku sudah mengukurmu,” kata si ahli sains, “dan, 21
berdasarkan proporsi relatifmu, aku lebih lanjut menyimpulkan rekan besarmu kurang-lebih 120.000 kaki tingginya.” Untuk itu Micromégas berucap, “Aku semakin paham, kami tak boleh menilai sesuatu dari nilai luarnya. Ya Tuhan, Yang telah menganugerahkan kecerdasan pada segala sesuatu yang tampak hina, Kau mengurus yang teramat kecil dan teramat besar; dan, sekiranya ada makhluk hidup lebih kecil dari ini, boleh jadi mereka diberkahi akal lebih unggul lagi daripada makhluk-makhluk megah yang kusaksikan di langit, yang dengan satu kaki dapat meliputi planet ini.” Salah seorang filsuf mengaku yakin memang terdapat makhluk berakal yang lebih kecil dari manusia. Dia menceritakan hasil penemuan Swammerdam, dan pembedahan Reamur, bukan fabel lebah yang dikatakan Virgil. Terakhir, dia memberitahu, ada binatang-binatang yang sebanding dengan lebah sebagaimana lebah dengan manusia, atau sebagaimana Sirius dengan makhlukmakhluk raksasa yang disinggung barusan, atau sebagaimana makhluk-makhluk raksasa itu dengan yang lain, yang melihat mereka sebagai atom belaka. Perbincangan semakin menarik, lantas Micromégas berkata sebagai berikut: “Wahai atom-atom cerdas, yang padanya sang Dzat Abadi telah menjelmakan kecakapan dan kemampuan-Nya dengan senang hati, kalian pasti merasakan nikmat kemurnian sempurna di planet kalian; dengan beban materi begitu kecil, dan nampak sebagai roh semata, kalian pasti menjalani hidup dalam cinta dan 22
renungan—kehidupan sejati makhluk rohani. Aku belum pernah menyaksikan kebahagiaan sejati di manapun, tapi itu ditemukan di sini, tak salah lagi.” Mendengar ucapan ini, semua filsuf menggelengkan kepala, dan salah seorang, lebih blak-blakan dari yang lain, mengakui dengan jujur bahwa umat manusia adalah kumpulan orang bodoh, bangsat, dan sengsara, kecuali sejumlah kecil yang termasuk ke dalam penilaian sedang. “Kami punya lebih banyak materi daripada yang kami perlukan,” tukasnya, “biang keladi banyak kejahatan, jika kejahatan berawal dari materi; dan kami terlalu panjang akal, jika kejahatan berawal dari akal. Sebagai contoh, saat ini juga ada 100.000 orang bodoh dari spesies kami yang memakai topi, sedang membantai 100.000 sesama makhluk yang memakai sorban, atau dibantai oleh mereka, dan hampir di seluruh wilayah Bumi perbuatan demikian telah berlangsung sejak dahulu kala.” Si Sirius merinding, dan bertanya apa sebab dari pertengkaran menyeramkan di antara makhluk-makhluk mungil sengsara ini. “Perselisihan menyangkut segumpal tanah liat,” kata sang filsuf, “tidak lebih besar dari tumitmu. Bukan berarti setiap orang dari jutaan yang lehernya putus menaruh minat pada bongkahan tanah ini. Intinya adalah apakah itu milik orang tertentu yang dijuluki Sultan, atau orang lain yang, entah kenapa, dijuluki Caesar. Dua-duanya tak pernah melihat, atau akan melihat, sudut tanah sempit yang menjadi pangkal perselisihan. Dan hampir tak satupun dari binatang-binatang itu, yang saling memenggal leher, 23
pernah melihat binatang yang untuknya mereka bertempur matimatian.” “Ah! Makhluk-makhluk celaka!” seru Sirius geram. “Bisa dibayangkan keganasan segila itu! Aku ingin berjalan dua atau tiga langkah, dan menginjak-injak seluruh kawanan pembunuh konyol ini.” “Tak usah,” balas filsuf, “mereka sedang bekerja cukup keras untuk membinasakan diri sendiri. Kujamin, di akhir tahun ke-10, tidak sampai seperseratus dari orang-orang celaka itu akan tersisa. Sekalipun mereka tak pernah menghunuskan pedang, kelaparan, keletihan, atau keberlebihan akan menyapu hampir semuanya. Lagipula, bukan mereka yang pantas dihukum, melainkan barbar di belakang meja, yang dari ruang pribadinya, dan sambil mencerna makanan, memerintahkan pembantaian satu juta orang, dan sesudah itu mendekritkan syukur khidmat kepada Tuhan.” Si pelancong, tergerak oleh rasa iba pada ras manusia mungil, yang didapatinya menyimpan kontras mengherankan, berkata kepada pria-pria ini: “Karena kalian bagian dari sejumlah kecil orang bijak, dan kelihatannya tidak membunuh siapapun demi uang, tolong katakan padaku bagaimana kalian menyibukkan diri.” “Kami membedah lalat,” jawab filsuf yang sama, “mengukur jarak, menghitung angka, menyepakati dua atau tiga hal yang kami pahami, dan memperselisihkan dua atau tiga ribu hal yang tak kami ketahui.” Para tamu dari Sirius dan Saturnus serta-merta ingin menanyai 24
atom-atom cerdas ini tentang persoalan yang mereka sepakati. “Berapa jauh menurut hitungan kalian,” kata Saturnus, “dari Dog Star sampai bintang besar di Gemini?” Mereka semua menjawab bersama-sama: “32 setengah derajat.” “Berapa jauh dari sini ke Bulan?” “60 setengah diameter Bumi, dalam angka bulat.” “Berapa berat udara kalian?” Dia berniat memperdaya mereka, tapi mereka semua menjawab bahwa berat udaranya sekitar 900 kali lebih ringan daripada volume setara air suling, dan 19.000 kali lebih ringan dari emas murni. Si kerdil dari Saturnus, heran dengan jawaban mereka, kini cenderung menganggap orang-orang ini sebagai penyihir, orangorang yang baru seperempat jam lalu dikira tak mempunyai jiwa. Lantas Micromégas berkata: “Karena kalian tahu begitu baik apa-apa yang ada di luar diri kalian, tentunya kalian lebih tahu apa yang ada dalam diri kalian. Coba ceritakan seperti apa sifat jiwa kalian, dan bagaimana kalian membentuk pemikiran.” Para filsuf bicara serentak seperti sebelumnya, tapi kali ini pendapat mereka berbeda-beda. Yang tertua mengutip Aristoteles, yang lain melafalkan nama Descartes, yang ini bicara tentang Malebranche, yang itu tentang Leibnitz, dan yang satu lagi tentang Locke. Si Peripatetik renta berkata nyaring dan yakin: “Jiwa adalah aktualitas kemampuan
dan
rasionalitas,
untuk
menjadi
yang
karenanya
sebagaimana 25
ia
adanya;
memiliki seperti
dinyatakan dengan lugas oleh Aristoteles di halaman 633 karyanya edisi Louvre,” lalu mengutip bagian tersebut. “Aku tak begitu paham bahasa Yunani,” kata si raksasa. “Aku juga,” balas filsuf kecil. “Kalau begitu kenapa,” selidik Sirius, “kau kutip orang bernama Aristoteles dalam bahasa itu?” “Karena,” jawab sang bijak, “sudah sepantasnya dan sepatutnya mengutip apa yang tidak kita pahami dalam bahasa yang kurang kita mengerti.” Si Cartesian memotong dan berkata: “Jiwa adalah roh murni, yang menerima semua pemikiran metafisika di rahim ibunya, dan yang, sekeluarnya dari situ, diharuskan bersekolah, dan belajar dari awal semua yang telah diketahuinya, dan takkan pernah diketahuinya lagi.” “Berarti hampir tak ada gunanya jiwamu terdidik di dalam rahim ibumu,” balas raksasa setinggi delapan league, “jika kau menjadi begitu jahil setelah dagumu ditumbuhi janggut. Tapi apa yang kau maksud dengan roh?” “Kenapa tanya itu?” kata si filsuf, “aku tak tahu maknanya, kecuali bahwa konon ia merdeka dari materi.” “Setidaknya kau tahu apa itu materi, kukira?” “Tahu betul,” jawabnya. “Contoh, batu ini abu-abu, bentuknya anu anu, mempunyai tiga dimensi, mempunyai berat dan dapat dibagi-bagi.” “Baiklah,” kata Sirius. “Nah, tolong katakan, apa benda ini sebetulnya, yang menurutmu dapat dibagi-bagi, berat, dan 26
berwarna abu-abu. Kau meninjau kualitas tertentu, tapi apa kau kenal sifat intrinsik benda ini sendiri?” “Tidak,” timpalnya. “Kalau begitu kau tidak tahu apa itu materi.” Setelah itu Tn. Micromégas, mengalamatkan pertanyaannya kepada satu orang bijak lain, yang ditopang oleh Saturnus di atas jempolnya, bertanya apa itu jiwa, dan apa yang jiwa kerjakan. “Tak ada sama sekali,” kata murid Malebranche. “Tuhanlah yang mengerjakan segalanya untukku. Aku melihat dan melakukan segalanya melalui diri-Nya; Dialah yang berbuat semuanya tanpa campurtanganku.” “Berarti kau juga tidak eksis,” balas si bijak dari Sirius. “Dan kau, kawan,” tambahnya, kepada pengikut Leibnitz, “apa itu jiwamu?” “Ia,” jawabnya, “adalah jarum yang menunjuk jam selagi ragaku berbunyi, atau, kalau kau suka, jiwalah yang berbunyi, sedang ragaku menunjuk jam; dengan kata lain, jiwaku adalah cermin alam semesta, dan ragaku adalah bingkai: itu semua cukup jelas.” Si murid kecil Locke berdiri tak jauh, dan akhirnya dia dimintai pendapat: “Aku tak tahu apa-apa,” jawabnya, “tentang bagaimana aku berpikir, tapi aku tahu, aku belum pernah berpikir kecuali atas usul inderaku. Bahwa ada zat-zat non-materil dan cerdas, aku tidak ragu itu; tapi bahwa mustahil Tuhan menanamkan kemampuan berpikir pada materi, aku sangat ragu itu. Aku kagum akan Kekuasaan abadi, aku tak berhak membatasi penerapannya. 27
Aku tak menegaskan apa-apa, aku puas dengan percaya bahwa itu lebih mungkin daripada yang orang kira.” Si makhluk asal Sirius tersenyum. Dia tidak menganggap pembicara terakhir kurang bijak daripada yang lain; dan andai memungkinkan, si kerdil Saturnus pasti sudah mendekap murid Locke. Tapi sialnya seekor hewan kecil bertopi persegi ada di sana. Dia membungkam semua tungau filosofis lain, mengklaim dirinya tahu seluruh rahasia, bahwa semua itu ditemukan dalam Summa karya St. Thomas Aquinas. Diamatinya pasangan tamu angkasa tersebut dari ujung kepala sampai ujung kaki, kemudian berpendapat bahwa mereka dan semua jenis mereka, matahari dan bintang mereka, diciptakan semata-mata demi kepentingan manusia. Mendengar ceramah ini kedua pelancong saling bergulingguling, tersedak oleh gelak tawa tak terpadamkan, gelak tawa yang, menurut Homer, adalah hak istimewa para dewa. Pundak mereka bergoncang, tubuh mereka turun-naik, sampai-sampai, dalam tawa terbahak-bahak itu, kapal yang ditopang Saturnus di telapak tangannya jatuh ke dalam saku celana. Dua orang baik ini, sesudah lama mencari-cari, akhirnya menemukannya kembali, dan membenahi semua yang tergeser. Si Saturnus sekali lagi memungut para tungau kecil, dan Micromégas menyapa mereka lagi dengan ramah, meski jauh di lubuk hatinya dia agak muak melihat atomatom seremeh itu membusung bangga. Dia berjanji menghadiahi mereka sebuah buku filsafat langka, ditulis dalam huruf-huruf 28
kecil, khusus untuk mereka, memberitahukan semua yang dapat diketahui tentang hakekat puncak segala sesuatu. Dan dia betulbetul menyerahkan jilid tersebut sebelum kepergiannya. Lalu buku itu dibawa ke Paris dan ditaruh di depan Akademi Ilmu Pengetahuan. Tapi tatkala sekretaris tua datang untuk membukanya, ternyata halaman-halamannya kosong. “Ah!” serunya. “Sudah kuduga.”
29