Sekretariat Negara Republik Indonesia
Menyelamatkan NKRI:Berkaca pada Peran Syafroeddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir Jumat, 09 Pebruari 2007
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia
Pendahuluan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)�yang terbentang dari Sabang sampai Merauke�adalah sebuah negara besar. Negara yang diperjuangkan dengan segenap pengorbanan, baik melalui perang maupun diplomasi. Perjuangan itu, melahirkan banyak pahlawan pejuang kemerdekaan. Mulai dari Sultan Hasanuddin, Sultan Ageng Tirtayasa, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, hingga Kiyai Haji Zaenal Mustafa, adalah sebagian dari para tokoh yang gigih berjuang mengangkat senjata melalui perang melawan penjajah. Dalam bidang diplomasi, Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, Mohammad Roem, Syafroeddin Prawiranegara, dan Mohammad Natsir, misalnya, adalah para tokoh yang gigih memperjuangkan kedaulatan negara dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan itu sangat panjang, penuh pengorbanan darah dan air mata. Diplomasi itu pun, sangat gigih, penuh negoisasi dan kompromi. Dalam upaya menegakkan kedaulatan NKRI, peran Syafroeddin Prawiranegara dalam menyelamatkan NKRI melalui Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat, dan peran Mohammad Natsir, melalui Mosi Integral�yang kemudian dikenal dengan Mosi Integral Natsir�seringkali terlupakan dalam catatan sejarah. Sesungguhnya, kedua tokoh itu, memainkan perang yang sangat luar biasa bagi tegaknya kedaulatan Negara kita.
PDRI Menyelamatkan NKRI Bagaimanakah sesungguhnya peran Syafroeddin Prawiranegara melalui PDRI dalam menyelamatkan NKRI? Untuk menempatkan PDRI dalam pentas sejarah, sesungguhnya kita tidak hanya melihat masalah ini dari aspek sejarah semata, tetapi juga dari perspektif ketatanegaraan. Kehadiran PDRI bukan saja merupakan sebuah peristiwa sejarah, tetapi juga merupakan peristiwa ketatanegaraan dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia. Dalam sistem ketatanegaraan kita, kita pernah kembali kepada sistem presidensial pada waktu terjadi peristiwa 3 Juli, dan kembali lagi kepada sistem presidensial setelah perjanjian Renville, walaupun Wakil Presiden, Mohammad Hatta, membentuk kabinet. Terkadang beliau berperan sebagai Wakil Presiden, dan kadang-kadang pula berperan sebagai Perdana Menteri. Dalam konteks inilah, ketika pemerintahan berada di bawah Kabinet Hatta sesudah perjanjian Renville yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, pada tanggal 19 Desember 1948, terjadilah serangan Belanda atas Yogyakarta. Soekarno dan Hatta, ditawan oleh tentara Belanda. Pada saat itu, dalam keadaan darurat, Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden, memberikan radiogram kepada Mr. Syafroeddin Prawiranegara, yang teks-nya dapat kita baca sebagai berikut: “Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948, djam 6 pagi Belanda telah memulai serangannja atas ibukota Jogjakarta. Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Syafroeddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia, untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera�. Jogjakarta, 19 Desember 1948. Soekarno-Hatta, Presiden/Wakil Presiden.             Radiogram yang sama juga ditujukan kepada Soedarsono, Palar, dan Maramis yang pada waktu itu berada di New Delhi, menghadiri konferensi Asia. Radiogram itu berbunyi: “Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948, djam 6 pagi, Belanda telah memulai serangan atas ibukota Jogjakarta. Djika ichtiar Syafroeddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera tidak berhasil, kepada saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk exile-government di India. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Syafroeddin di Sumatera. Djika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya. Jogjakarta, 19 Desember 1948. Hatta/H. Agus Salim, Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri.
Radiogram itu dengan tegas menyebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memberi kuasa kepada Mr. Syafroeddin Prawiranegara�Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi�untuk membentuk pemerintahan darur Jika Syafroeddin gagal, maka kepada Mr. Maramis yang sedang berada di India, untuk membentuk pemerintahan di http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 16 January, 2017, 13:01
Sekretariat Negara Republik Indonesia
pengasingan. Seperti kita ketahui, bahwa radiogram itu tidak pernah diterima Syafroeddin. Namun, kontroversi mengenai sampai tidaknya radiogram itu berhenti pada tanggal 22 Desember 1948, ketika di Desa Halaban, dekat Payakumbuh, Sumatera Barat, diadakan rapat dengan beberapa tokoh, yang akhirnya memutuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat. Mr. Syafroeddin Prawiranegara, terpilih sebagai Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Sesudah itu, kabinet pun disusun. Mr. Syafroeddin Prawiranegara menjabat sebagai Ketua PDRI yang merangkap sebagai Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri (ad interim). Mr. Teuku Mohammad Hassan, sebagai Wakil Ketua, merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama. Mr. Sutan Mohammad Rasjid, sebagai Menteri Keamanan, merangkap Menteri Sosial, Pembangunan, dan Perburuhan. Mr. Lukman Hakim, sebagai Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman. Ir. Mananti Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Kesehatan, dan Ir. Indratjaja, sebagai Menteri Perhubungan merangkap Menteri Kemakmuran. Pemerintah Darurat ini, berjalan kurang lebih tujuh bulan lamanya.
Sikap Kenegarawanan Pak Syafroeddin Sehari setelah PDRI didirikan, Syafroeddin Prawiranegara dalam jabatannya selaku Ketua PDRI menyampaikan pidato radio yang dapat ditangkap oleh Radio Singapura dan juga disadap oleh Radio Belanda. Sebagian isi pidato itu, adalah sebagai berikut: “...Belanda menyerang pada saat negara kita baru saja mengatasi ujian yang berat sekali, pada saat kita baru saja dapat memadamkan suatu pemberontakan yang telah banyak sekali meminta korban dari rakyat, sehingga melemahkan keadaan negara, baik ekonomi maupun militer. Mungkin sekali karena serangannya tiba-tiba itu, mereka telah berhasil menawan Presiden dan Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan beberapa pembesar lain. Dengan demikian, mereka menduga menghadapi keadaan Negara Republik Indonesia yang dapat disamakan dengan Belanda sendiri pada suatu saat,ketika rakyatnya radeloos (putus asa), pemimpinnya redeloos (kehilangan akal), dan negaranya redeloos (tidak dapat ditolong lagi). Tetapi kita membuktikan bahwa perhitungan Belanda itu sama sekali meleset. Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara Republik Indonesia tidak tergantung kepada Soekarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu adalah sangat berharga bagi bangsa kita. Patah tumbuh hilang berganti. Hilang pemerintah Soekarno-Hatta, sementara atau selamalamanya, rakyat Indonesia akan mendirikan pemerintah yang baru, hilang pemerintah ini akan timbul yang baru lagi. Pemerintah sekarang ini dibentuk karena ada kemungkinan yang besar bahwa pemerintah Soekarno-Hatta tidak dapat menjalankan tugasnya seperti biasa.Oleh karena itu, segera dibentuk sutu pemerintahan baru untuk menghilangkan keragu-raguan baik ke dalam maupun ke luar. Pemerintah sekarang akan menyerahkan kekuasaannya sesudah pemerintah yang dipimpin oleh Presiden dan Wakil Presiden kita nyata sudah bebas kembali. Kepada seluruh Angkatan Perang Republik Indonesia kami serukan: bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan meletakkan senjata, menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintahan yang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan muslihat musuh. Kalau kita lihat di dalam susunan kabinet yang disusun oleh Pemerintah Darurat, disebutkan bahwa Mr. Syafroeddin Prawiranegara bertindak sebagai Ketua PDRI. Beliau tidak menyebut  sebagai Presiden. Tidak juga menyebut dirinya sebagai Perdana Menteri. Di dalam penerbitan-penerbitan Pemerintah pada tahun 1950-an, baik yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara maupun oleh Kementerian Penerangan RI pada waktu itu, disebutkan susunan kabinet-kabinet Republik Indonesia mulai kabinet presidensial Soekarno-Hatta, Kabinet Syafroeddin, Kabinet Amir Syarifuddin, dan seterusnya sampai pada kabinet Perdana Menteri Juanda. Kabinet PDRI, disebut pula sebagai salah satu kabinet yang pernah ada dalam sejarah ketatanegaraan negara kita. Dalam sejarah ketatanegaraan, selalu disebutkan bahwa Ketua PDRI adalah Syafroeddin Prawiranegara. Apakah kedudukannya sama dengan Presiden? Inilah yang selalu menjadi persoalan kita bersama. Pada tahun 1997, DPR pernah membahas Rancangan Undang-Undang tentang pemberian hak pensiun, tunjangantunjangan, dan fasilitas kepada mantan Presiden dan mantan Wakil Presiden. RUU itu adalah usul inisiatif dari Pemerintah, dan tidak menyebutkan siapa yang harus diberi pensiun, diberi  fasilitas, dan tunjangan. Secara normatif, RUU itu hanya membicarakan hak pensiun dan fasilitas yang diberikan kepada mantan Presiden dan Wakil Presiden. Pada waktu itu, saudara-saudara anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) mengajukan suatu permasalahan, apakah Presiden itu harus dilihat dari Presiden Soekarno kemudian Presiden Soeharto? Dan bagaimanakah kedudukan Mr. Syafroeddin Prawiranegara? Sayangnya, perdebatan itu berhenti, tidak berlanjut. Seperti yang saya katakan tadi, pembahasan RUU itu tidak http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 16 January, 2017, 13:01
Sekretariat Negara Republik Indonesia
menentukan siapa yang mantan Presiden dan mantan Wakil Presiden. Secara normatif, hanya membicarakan hak pensiun, tunjangan dan fasilitas mantan Presiden dan Wakil Presiden. Saya, sempat bertanya langsung kepada almarhum Mr. Syafroeddin Prawiranegara; bagaimanakah pendapat Pak Syaf mengenai hal ini? Beliau hanya tertawa, pada waktu itu beliau mengatakan, ya bilang saja saya ketua PDRI. Sebuah sikap seorang negarawan yang rela berkorban untuk bangsa dan negaranya. Berjuang tanpa pamrih. Tanpa berharap apa-apa dari negara yang diperjuangkannya.ÂÂ
Mosi Integral Natsir Lain halnya dengan Mohammad Natsir. Ia memiliki peran yang sangat penting dalam upaya menyelamatkan NKRI. Natsir, telah mencatat dalam sejarah, berhasil mempersatukan negara-negara bagian yang dibentuk van Mook ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketika Indonesia baru saja merdeka, Belanda masih tetap tidak mau mengakui Indonesia sebagai negara yang telah merdeka dan berdaulat. Belanda, bahkan bersikeras untuk kembali menjajah. Dengan berbagai upaya, baik provokasi militer dalam Agresi Militer Belanda I (1947) dan Agresi Militer Belanda II (1949) maupun diplomasi, Belanda berusaha memecah belah rakyat dan para pemimpin bangsa Indonesia. Hasilnya, Belanda berhasil memecah Indonesia yang bulat dan bersatu ke dalam beberapa negara bagian. Negara Republik Indonesia dipecah-pecah menjadi beberapa negara bagian kecil yang wilayahnya terbatas hanya di Yogyakarta dan sekitarnya. Negara-negara bagian lainnya, hasil ciptaan Van Mook, antara lain Negara Bagian Pasundan, Negara Bagian Jawa Timur, Negara Bagian Madura, Negara Bagian Sumatera Timur, Negara Bagian Sumatera Selatan, Negara Bagian Indonesia Timur, Negara Bagian Borneo Timur, dan Negara Bagian Dayak Besar. Dengan cara itu, Belanda masih dapat menguasai Indonesia. Negara bagian demi negara bagian, satu persatu masuk ke dalam kekuasaannya. Akibatnya, tidak jarang, negara bagian yang satu dengan yang lainnya saling mencurigai, bahkan bermusuhan. Melihat keadaan yang demikian, dalam sidang parlemen gabungan Negara Republik Indonesia (RI) dan Republik Indonesia Serikat (RIS), Mohammad Natsir, sebagai anggota parlemen dari Masyumi, mengajukan mosi kesatuan, yang populer dengan sebutan Mosi Integral Natsir. Mosi inilah yang mengantarkan masing-masing negara bagian, untuk bersatu kembali ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengaruh mosi ini, diakui secara umum, sangat strategis bagi perjuangan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berawal dari mosi ini pula, Indonesia dapat kembali menjadi negara kesatuan yang bulat dan kokoh. Berikut kutipan sebagian dari pidato Mohammad Natsir di parlemen, pada tanggal 3 April 1950 tentang pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia. “… Saudara Ketua, ijinkanlah saya sekarang berbicara terlepas atau tidak terlepas daripada soal unitarisme atau federalisme, akan tetapi dalam hubungan yang lebih besar mengenai mosi ini. Sebagai hendak mengemukakan sedikit pemandangan mengenai dasar daripada kejadian-kejadian yang kita hadapi sekarang, dari mulai kedaulatan diserahkan kepada kita, baik kiranya kalau kita terlebih dahulu melihat posisinya mosi ini di dalam hubungan yang lebih besar. … Soal-soal yang harus dihadapi oleh negara kita yang muda ini sekaligus bertimbun-timbun di hadapan kita. Soal kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, yang sudah begitu lama menderita, soal demokratisering pemerintahan, soal pembangunan ekonomi, soal keamanan, ketentaraan dan 1001 macam soal lain-lain lagi, semuanya sama urgent, dan harus dipecahkan dengan segera. Kita dapat menyusun prioritetnya menurut pendapat kita masing-masing, akan tetapi yang sudah terang ialah, pemecahan soal yang satu bersangkut paut dengan yang lain, tidak dapat dipisah-pisah. Usaha kemakmuran rakyat, penjaminan keamanan, tidak berjalan selama belum ada ketentuan politik dalam negeri. Politieke rust ini tidak dapat diciptakan selama masih ada “duri dalam daging� yang dirasakan oleh rakyat, yang walaupun kedaulatan sudah di tangan kita, tetapi kita masih berhadapan dengan struktur-struktur kolonial serta alat-alat politik pengepungan yang diciptakan oleh Van Mook di daerah-daerah. Dalam menghadapi pergolakan untuk melenyapkan duri-duri dalam daging itu, orang terbentur kepada Konstituante Sementara, lebih lekas dari yang disangka tadinya. Pikiran terumbang-ambing antara kehendak akan tetap bersikap “konstitusionil� dan desakan untuk keluar Konstitusi dari lubang-lubang yang ada dalam Konstitusi itu sendiri. Inisiatif terlepas dari tangan pemerintah. Tak ada konsepsi untuk menghadapi soal ini dalam jangka yang tertentu. Semboyan yang ada hanyalah: “terserah kepada kemauan rakyat�. http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 16 January, 2017, 13:01
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Rakyat bergolak dimana-mana. Hasilnya, hujan resolusi dan mosi. Parlemen menerima dan tinggal mengoperkan semuanya itu kepada pemerintah dengan tambahan argumentasi juridis dan lain-lain, dan kalau perlu dengan citaten dan encyclopaedie. Dengan begitu, pemerintah lambat laun terdesak kepada posisi yang defensif. Lalu pemerintah terpaksa menyesuaikan diri setapak demi setapak dengan undang-undang darurat sebagai legalisasi. Dan setiap kali ada “persesuaian dalam hal ini�, Saudara Ketua, Parlemen dan Pemerintah merasa “berbahagia� lantaran ada persesuaian itu. Dalam pada itu, pintu kebahagiaan bagi rakyat belum kunjung kelihatan. Jalan pikiran tetap kabur dan samar. Dikaburkan oleh begripsverwarring, kacaunya beberapa pengertian, seperti kacaunya pengertian unitarisme dan federalisme dalam masyarakat, yang bukan lantaran federalisme atau unitarisme itu sendiri, sebagai bentuk struktur negara akan tetapi lantaran kabur dan bercampuraduknya pengertian-pengertian itu dengan sentimen anargonisme, sebagai warisan dari persengketaan Indonesia-Belanda. Kekacauan pikiran melumpuhkan jalannya usaha pembangunan kemakmuran rakyat. Dengan begini kita tidak terlepas dari satu vicieuse cirkel yang tidak tentu dimana ujungnya. Saya bertanya bagaimanakah pengertian, “terserah kepada kehendak rakyat� itu? Apakah itu berarti menyerahkan kepada rakyat untuk mengadu tenaga mereka di daerah, untuk memperjuangkan kehendak mereka di tempat masing-masing dengan segala akibat-akibatnya dan ekses-eksesnya? Habis itu lantas kita mengkonstantir dan melegalisir hasil dari pergolakan itu? Sekali lagi saya bertanya sampai berapa langkahkah kesediaan hanyut seperti ini? Apakah sampai kita terbentur kepada satu batu karang nanti? Tidak, Saudara Ketua! Bukan begitu semestinya! Tapi sikap macam sekarang, saya kuatir pemerintah lambat laun akan hanyut kepada jurusan itu. Pemerintah yang timbul dari rakyat dan untuk rakyat dan yang terdiri dari pemimpin perjuangan kemerdekaan sendiri, tentu tahu benar-benar dan sudah dapat merasakan, apa yang hidup dalam keinginan rakyat itu. Berdasar kepada pengetahuannya, pemerintah sewajarnyalah memelopori dan menyusun langkah-langkahnya dengan program yang tersusun dan teratur dalam jangka yang agak panjang, dimana sesuatu soal ketatanegaraan dapat ditinjau dan dipecahkan dalam hubungannya dengan yang lain-lain. Inilah Saudara Ketua, menurut pendapat saya, arti mendasarkan politik kepada kehendak rakyat. Hanya dengan mengambil inisiatif kembali, yang telah dilepaskan oleh pemerintah selama ini, dapat diharapkan bahwa pemerintah terlepas dari posisi defensifnya seperti sekarang. Dengan begitulah mungkin timbul suatu iklim pikiran yang lebih segar, yang akan dapat melahirkan elan nasional yang baharu, bebas dari bekas persengketaan-persengketaan yang lama, elan dan gembira membanting negara yang diperlukan dan selekas mungkin dapat disalurkan untuk pembangunan negara kita ini. Semuanya itu diliputi oleh suasana nasional dengan arti yang tinggi serta terlepas dari soal atau faham unitarisme, federalisme, dan propinsialisme. Berhubung dengan ini saya ingin memajukan mosi kepada pemerintah yang bunyinya demikian: Dewan Perwakilan Rakyat Sementara RIS dalam rapatnya tanggal 3 April 1950 menimbang sangat perlunya penjelasan yang integral dan pragmatis terhadap akibat-akibat perkembangan politik yang sangat cepat jalannya pada waktu yang akhir-akhir ini. Memperhatikan: suara-suara rakyat dari berbagai daerah dan mosi-mosi Dewan Perwakilan Rakyat sebagai saluran dari suara-suara rakyat itu, untuk melebur daerah-daerah buatan Belanda dan menggabungkannya ke dalam Republik Indonesia. Kompak untuk menampung segala akibat-akibat yang tumbuh karenanya, dan persiapan-persiapan untuk itu harus diatur begitu rupa, dan menjadi program politik dari pemerintah yang bersangkutan dan dari pemerintah RIS. Politik pengleburan dan penggabungan itu membawa pengaruh besar tentang jalannya politik umum di dalam negeri dari pemerintahan di seluruh Indonesia. Memutuskan: menganjurkan kepada pemerintah supaya mengambil inisiatif untuk mencari penyelesaian atau sekurangkurangnya menyusun suatu konsepsi penyelesaian bagi soal-soal yang hangat yang tumbuh sebagai akibat perkembangan politik di waktu yang akhir-akhir ini dengan cara integral dan program yang tertentu. Oleh pemerintah dan parlemen RIS dan RI, mosi integral Natsir ini diterima secara bulat, sehingga Bung Karno, pada tanggal 15 Agustus 1950, merasa perlu untuk mengumumkan kembalinya Indonesia menjadi Negara Kesatuan. Sejak http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 16 January, 2017, 13:01
Sekretariat Negara Republik Indonesia
saat itu, gugurlah negara-negara boneka buatan Belanda. Mohammad Natsir yang telah mencetuskan adanya mosi itu, oleh Presiden Soekarno, diberi kepercayaan untuk menyusun dan memimpin pemerintahan Republik Indonesia pertama setelah Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan. Ketika ditanya Bung Hatta soal siapa yang akan menjadi formatur kabinet, Bung Karno menyatakan, ‘’Siapa lagi kalau bukan Natsir?’’.
Ketika dipercaya membentuk kabinet Negara Kesatuan oleh Presiden Soekarno pada bulan September 1950, Natsir agak risau. Sebab, Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai besar�tidak bersedia duduk di kabinet, karena PNI menganggap mereka lebih tepat memimpin pemerintahan. Tetapi, Soekarno�yang juga pendiri PNI�tetap bersikeras meminta Natsir membentuk kabinet. ‘’Tanpa PNI?�, tanya Natsir.’’Ya, tanpa jawab Bung Karno tegas. Dari 18 portofolio kabinet, termasuk jabatan perdana menteri yang dipegang Natsir, hanya 4 orang dari Masyumi (22,22 persen). Selebihnya dari PSI, PIR, Parindra, Katolik, Parkindo, PSII dan tokoh nonpartai seperti Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Wakil Perdana Menteri, Ir.Juanda, Mr.Asaat, Dr.A.Halim dan dr.Bahder Djohan. Kabinet itu dianggap sebagai kabinet zaken. Sedangkan PNI menjadi partai oposisi.
Kesederhanaan Pak Natsir Natsir sosok negarawan yang sederhana, yang tidak meninggalkan kekayaan kepada anak-anaknya. George Mc Turnan Kahin menilai Natsir sebagai pemimpin yang sederhana dan rendah hati. Kahin menceritakan pertemuannya dengan Natsir pertama kali di Yogyakarta tahun 1948. Ketika itu, Natsir menjabat Menteri Penerangan di bawah Kabinet Hatta. Ia melihat Natsir tidak malu menjahit baju dinasnya yang robek, karena itulah satu-satunya baju dinas yang dimilikinya. Beberapa minggu kemudian, kata Kahin, para pegawai Kementerian Penerangan mengumpulkan uang untuk membelikan baju agar “boss� mereka tampak seperti menteri sungguhan. Natsir memang negarawan dan politisi handal, tetapi tetap berjalan pada etik politik dan konsisten. Bila disebutkan bahwa Masyumi kaku berpolitik, Natsir menjawab tenang. ‘’Kami berpolitik dengan prinsip. Kalau kami tidak setuju, ya terus terang saja kita katakan dengan segala konsekuensinya.’’ Menurut Natsir, “partai politik mempunyai fungsi: fungsi pendidikan politik kepada umat untuk tahu caranya mengatur Negara�. Itulah Pak Natsir. Sosok dirinya memang harus dilihat secara lengkap. Pola hidup sederhana sebagai pejabat tinggi negara, sikap dan cara dia berpolitik-sebagaimana juga diperlihatkan tokoh-tokoh masa lalu. Ia seringkali berbeda pendapat, sering pula berdebat, tetapi tidak bermusuhan dan saling dendam. Barangkali sosok seorang negarawan teladan seperti itulah yang dapat dijadikan renungan bagi kita semua. Di masa pemerintah Presiden Habibie (1998-1999), Pak Natsir tokoh pelopor Mosi Integral�yang akhirnya mengembalikan Indonesia ke bentuk negara kesatuan�diberikan penghargaan Bintang Adipradana, bersama Syafroeddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap. Keberhasilan Natsir dalam menentukan dan menyelematkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui mosi integralnya, telah membawa Natsir ke jenjang kedudukan kepala pemerintahan: Perdana Menteri pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia (1950-1951), ketika ia berusia 42 tahun. Kepercayaan ini diberikan Soekarno setelah melihat kepiawaian Natsir dalam diplomasi, selain karena intelektualitasnya yang tinggi dan aktivitasnya dalam berbagai organisasi. Sebelum menjadi Perdana Menteri, Natsir pernah aktif sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tahun 1945-1946, kemudian menjabat sebagai Menteri Penerangan (1946-1949), Ketua Umum Masyumi (1949-1958), dan Anggota Parlemen RI (1950-1958), juga Anggota Konstituante RI (1956-1958). Dalam berbagai jabatannya itu pula, dalam bulan April-Mei 1952, ia sempat berkunjung ke beberapa negara antara lain India, Pakistan, Irak, Turki, Libanon, Siria, Mesir, Saudi Arabia, dan Birma. Pada tahun 1956 ia menunaikan ibadah haji. Mohammad Natsir, adalah seorang guru bangsa, pendidik umat, mujahid dakwah, dan seorang alim. Beliau juga adalah sosok ulama politikus terdepan, seorang negarawan terkemuka. Pak Natsir wafat pada hari Sabtu tanggal 6 Februari 1993 pukul 12.10 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam usia 85 tahun. Syafroeddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir, telah  meninggalkan nilai kepahlawanan, kesederhanaan, sekaligus keteladanan. Jejak langkahnya, amat bernilai untuk ditelaah, dikaji, dan diteladani oleh kita bersama.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 16 January, 2017, 13:01