MOHAMMAD NATSIR: KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
Ilman Nasution Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol Padang
Abstract, Mohamed Natsir is known as an Islamic Educational Pioneer. His idea in education is very genie. Responding the partial education system, dichotomy, and disharmony, it is suggestible to propose integrated universal and harmony treat. Integrated means with no dichotomy between the general value on education and religious education. There must a religious value included in all level of education or should be based on tauhid Islamic Philosophical value). If this can be applied there will be no problem whether an Islamic School under the Islamic Ministry department or not. The universal education means omitting the differences between those science which came from the Eastern or Western. Allah does not distinguish east and west. All of good things must be accepted and all of the bad things must be rejected. The harmonically education is done by concerning the students’ and teacher warm and comfortable relationship.
Key words: education, Islamic, integral, universal, harmonic Abstrak: Mohammad Natsir dikenal juga sebagai pemikir pendidikan. Pemikiran pendidikannya sangat genial. Untuk mengantisipasi sistem pendidikan yang parsial, dikotomis, dan disharmonis ditawarkannya sistem pendidikan integral, universal, dan harmonis. Integral berarti tidak ada dikotomi antara pendidikan umum dengan pendidikan agama. Semua jenis dan jenjang pendidikan harus mempelajari ilmu agama atau didasari dengan tauhid. Yang mula pertama ditanamkan kepada setiap peserta didik adalah tauhid. Jika terlaksana pendidikan integral maka tidak ada masalah kalau madrasah/pesantren diluar naungan Kementerian Agama. Pendidikan universal berarti bahwa tidak ada perbedaan ilmu yang datang dari Barat atau dari Timur. Allah tidak membedakan Timur dengan Barat. Semua yang baik harsu diterima, dan semua yang batil harus ditolah walaupun dari mana datangnya. Pendidikan harmonis yakni dalam pembelajaran harus kondusif antara pendidik, peserta didik berada dalam suasana nyaman.
Kata kunci: pendidikan, Islam, integral, universal, harmonis
A. Pendahuluan Secara historis, lembaga pendidikan Islam lebih dahulu ada dari pada lembaga pendidikan umum. "Pada abad pertama hijriah atau abad ketujuh masehi telah berdiri lembaga pendidikan Islam di Aceh" (Marwan Saridjo, 2011:26). Lembaga pendidikan Islam berupa "pesantren sudah ada di pulau Jawa sekitar tahun 1359 M yang didirikan oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim (dikenal juga Syaikh Maghribi) di Gresik yang disinyalir sebagai lembaga pendidikan Islam yang pertama di Indonesia" (Marwan Saridjo, 2011:25). Walisongo menggunakan "langgar dan tajug sebagai tempat salat sekaligus medium untuk mengajarkan pendidikan Islam di Jawa dan inilah 479
cikal bakal pesantren tradisional dan moderen" (A. Mustafa dan Abdullah Aly, 1999:40). Perkembangan lembaga pendidikan Islam di Indonesia sangat cepat, karena pertama, setiap kerajaan Islam membuka pesantren sebagai lembaga pendidikan sekaligus merupakan lembaga dakwah Islam. Kedua, pembiayaan dan pengelolaan manajemen lembaga langsung dipegang oleh pihak kerajaan. Ketiga, para santri yang sudah lulus dari suatu pesantren, biasanya mereka membuka pesantren baru secara mandiri atau swadaya. Keempat, eksistensi suatu pesantren tidak terikat dengan jumlah santri, "pesantren yang didirikan oleh Sunan Ampel (Raden Rahmat) di daerah
Ilman Nasution: Mohammad Natsir, Konsep Pendidikan Islam | 480
Kembang Kuning Surabaya awal didirikan hanya memiliki tiga orang santri yakni Wiryo Suroyo, Abu Hirairoh, dan Kyai Kembang Kuning. Dengan bantuan ketiganya misi Sunan Ampel menyiarkan Islam di Jawa Timur mencapai sukses" (Marwan Saridjo, 2011:34). Sementara itu, sekolah umum baru mulai berdiri saat Belanda menjajah Indonesia. Pemerintah Belanda membuka sekolahsekolah dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja dan pegawai pemerintah. Mereka datang bersama organisasi dagang Verenigde oost Indische Compagnie (VOC) 1602-1799 dan di dalamnya turut menompang misi politik dan agama (Zending untuk Kristen Protestan dan Misionaris untuk Katolik). Lebih jelas dalam "Hak Actori" VOC disebutkan "badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan harus memperhatikan perbaikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah" (Zuhairini, dkk., 1986:147). Bukan rahasia lagi, bahwa negaranegara Eropa saat itu sangat agresif mencari negara-negara koloni untuk kepentingan ekonomi dan penyebaran salib. Eropa sangat trauma dengan Perang Salib, mereka tidak ingin hal itu terjadi lagi, maka misi salib harus digelorakan di mana-mana. Gambaran ini terlihat jelas ketika terjadi perang antara Rusia dengan Jepang tahun 1904-1905, raja Jerman berpesan kepada raja Rusia "melawan Jepang adalah panggilan suci untuk melindungi salib dan kebudayaan Kristen Eropa. Inilah gambaran dari motif keagamaan orang Barat terhadap Timur" (Zuhairini, dkk., 1986:145). Misi dagang dan misi agama berjalan seiring berkelindan dan saling menguatkan. Misi dagang harus dimaksimalkan untuk menopang misi agama; dan kesuksesan misi agama akan dapat memuluskan misi dagang. Dalam misi agama perlu membangun sekolah, gereja, dan sarana-prasarana lainnya. Hal ini tentu membutuhkan biaya besar. Sebaliknya, untuk memuluskan misi dagang perlu upaya kristenisasi sebab "kalau penduduk peribumi berhasil dikristenkan, maka hambatan psikologis antara
orang Belanda dengan penduduk peribumi dengan sendirinya akan hilang dan kemungkinan perlawanan atau konflik pribumi dengan motif agama akan sirna pula karena sudah seiman; sama-sama penganut Kristen" (Marwan Saridjo, 2011:44). Dalam upaya akselerasi kristenisasi, pemerintah Belanda terkesan membagi dua wilayah Indonesia. Wilayah Barat dikontrol Zending (Protestan) dan bagian Timur Indonesia "digarap" oleh Misi (Katolik). Walaupun kenyataannya mereka saling memasuki, di Timur ada Protestan dan di Indonesia Barat ada Katolik. Mereka menggunakan banyak cara untuk "memurtadkan" umat Islam dan menarik orang yang belum beragama. Keagresifan mereka sangat mencemaskan tokoh-tokoh muslim seperti Mohammad Natsir pernah mengingatkan umat Islam: Apakah akan dibiarkan saja mereka terlantar, jadi bodoh, dan dungu terbenam dalam kegelapan? Atau apakah sudah rela benar-benar kita melepaskan anak-anak kita itu diperkemasi oleh mereka yang bekerja dengan giat dan rajin serta tabah mendirikan sekolah-sekolah mereka, yang membukakan pintunya dengan luas sekali kepada anak-anak kita yaitu pihak Misi dan Zending di negeri kita ini? (M. Natsir, 1954:56) Sejalan dengan uraian di atas, bahwa saat itu ada dua model lembaga pendidikan di Indonesia yakni sekolah umum dan pesantren. Sekolah umum ada dua macam pula, pertama sekolah Zanding/Misi yang khusus untuk mencetak ahli-ahli agama Kristen; dan kedua sekolah yang mencetak pegawai, seniman, arsitek, guru, tentara, saudagar, dan pegawai pemerintah. Antara pesantren dan sekolah Zending/ Misi memiliki ciri yang sama dalam materi ajar yakni sama-sama mengajarkan dasardasar agama. Perbedaannya, di pesantren fokus kepada ajaran agama Islam (Qur'an, Hadis, Akidah, Fikih, nahwu, sharaf); sedangkan sekolah Misi/Zending fokus pada ajaran agama Kristen. Pemerintah kolonial sengaja membuka banyak sekolah rakyat (SD) selain untuk
481 | Jurnal Tarbiyah al-Awlad, Volume IV Edisi 2 hlm. 479-488
menyaingi pesantren yang menjamur juga untuk menampung anak-anak pribumi yang mayoritas muslim sementara di dalamnya tidak diajarkan pendidikan agama Islam. Melihat reaksi masyarakat, maka muncul pemikiran sebagian pejabat pemerintah kolonial untuk mengembangkan satu sistem pendidikan umum bagi semua orang dengan melibatkan pendidikan Islam di dalamnya dan pendidikan tersebut dibiayai oleh rakyat sendiri sehingga dapat direalisasikan dengan biaya yang relatif murah. Namun karena alasan politis, penggabungan sistem tersebut tidak terlaksana sebagai akibat dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang tidak mau campur tangan dalam persoalan Islam" (Marwan Saridjo, 2011:52). Inilah asal mula adanya dualisme pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang ditawarkan oleh pemerintah kolonial sebenarnya westernisasi dan kristenisasi serta untuk kepentingan mereka. Namun demikian, di kalangan umat Islam muncul beragam dinamika dalam menyikapi sistem pendidikan ini. Pertama, kelompok yang tetap "mengharamkan" sistem pendidikan umum (materi, lembaga, dan metode pembelajaran) karena dianggap produk kaum kafir. Kedua, kelompok yang mengakomodasi hal-hal yang dianggap baik dan menerapkannya di madrasah serta menolak semua yang dapat merusak tujuan pendidikan Islam. Ketiga, kelompok liberal mengakomodasi secara utuh model pendidikan Belanda seperti Madrasah Adabiah di Padang Panjang yang didirikan oleh Abdullah Ahmad. Muatan kurikulumnya secara umum mata pelajaran umum dan hanya sedikit mata pelajaran agama. Lebih dari itu, ia "memasukkan empat orang 'kafir' berkebangsaan Belanda untuk menjadi guru (mengajar) di Madrasah itu. Ia sangat dekat dengan pemerintah Belanda, sehingga Imam Zarkasyi (pendiri dan pengasuh Pesantren Moderen Gontor) murid Abdullah Ahmad mengatakan gurunya itu terlalu kebelanda-belandaan" (Marwan Saridjo, 2011:321). Penolakan dari masyarakat pun bertubi-tubi. Hanya sebagian kecil yang mem-
belanya dengan alasan bahwa Abdullah Ahmad ingin menyatakan sebenarnya tidak ada dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum. Ia bukan orang sekuler, melainkan "orang surau, pernah belajar agama di Makkah selama empat tahun kepada Syaikh Ahmad khatib" dan ia merupakan anak seorang ulama besar. Sementara itu Mohammad Natsir yang lebih dikenal masyarakat luas sebagai tokoh politik dan mujahid dakwah memiliki pemikiran yang hampir sama dengan gurunya Abdullah Ahmad tentang pentingnya membuang jauh-jauh term dikotomi ilmu (memisahkan ilmu agama dengan ilmu umum). Dalam pembelajaran tidak mesti menggunakan sistem bendongan atau sorongan, serta tidak ada pula salahnya jika menggunakan papan tulis, duduk di kursi, guru dan santri memakai celana panjang, mempelajari mata pelajaran umum, memiliki kurikulum, dan sebagainya. "Apakah yang semacam itu didikan 'kebaratan' atau 'ketimuran' namanya, tidak menjadi soal. Timur kepunyaan Allah; Barat pun kepunyaan Allah. Sebagai makhluk yang bersifat hadis (baharu) keduanya Barat dan Timur mempunyai hal yang kurang baik dan yang baik, kelebihan dan beberapa keburukan" (M. Natsir, 1954:60). Menurut Mohammad Natsir, pendidikan agama harus diberikan disetiap jenjang pendidikan. Masih banyak ide beliau tentang pendidikan yang mendapat perhatian dan dukungan dari masyarakat luas terutama dari organisasi Persatuan Islam (Persis) tempat beliau menemukan konsep, mengajar, dan menerapkan idenya. Latar belakang ide-idenya itu muncul disebabkan oleh dua factor. Pertama, faktor interen, bahwa umat Islam banyak yang tidak pernah mengenyam pendidikan (buta huruf). Sementara lembaga pendidikan Islam (pesantren dan madrasah) umumnya hanya mengajarkan dasar-dasar agama Islam dengan mengabaikan mata pelajaran umum sehingga santri dan sebagian kyai tidak pandai tulis-baca huruf latin. Setelah tamat pesantren hanya menjadi ustaz, saudagar kecil, petani, dan tidak mendapat kesempatan be-
Ilman Nasution: Mohammad Natsir, Konsep Pendidikan Islam | 482
kerja dibidang ekonomi, teknologi, budaya, hakim, jaksa, dan pegawai admi-nistrasi. Kedua, faktor eksteren, kegigihan Zen-ding dan Misi dalam usaha kristenisasi semakin sulit dibendung. Banyak umat Islam yang murtad karena diberi pekerjaan, diberi makan, dan diberi obat-obatan oleh pemerintah kolonial. Anak orang Islam banyak masuk ke sekolah umum yang tidak ada pelajaran agamanya. Alumninya 'buta agama' tetapi pintar tulis-baca huruf latin, matematika, ekonomi, teknologi, sosiologi, dan dapat bekerja dipemerintahan. Kondisi ini membuat Mohammad Natsir tergugah untuk berpikir dan merancang konsep pendidikan yang sesuai agar umat Islam cerdas, dapat hidup layak, dapat merdeka, tidak menjadi tamu di rumah sendiri, serta dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Bertitik tolak dari uraian di atas penulis ingin mengetengahkan ide dan pemikiran pendidikan Mohammad Natsir. B. Pembahasan a. Konsep pendidikan Tujuan pendidikan Islam adalah agar peserta didik mampu merekonstruksi dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya untuk dapat berpikir dan berbuat sesuai dengan tuntunan al-Qur‟an dan sunnah. Dengan demikian lingkungan sekolah tempat anak menuntut ilmu harus dikonstruksi supaya kondusif sehingga dapat berkonstribusi positif terhadap pembentukan keperibadian anak. Rasulullah Saw dalam mendidik umatnya selalu mengintegrasi-kan kecerdasan intelektual dengan kecerdasan spiritual. Kedua kecerdasan ini harus berjalan seimbang dalam setiap diri peserta didik. Apabila satu dari keduanya diabaikan, maka pendidikan terhadap anak itu akan timpang. Sebab, intelek tanpa spiritual akan menciptakan manusia-manusia cerdas tidak bertuhan; dan jika hanya menanamkan spritual tanpa intelektual tentu akan menciptakan manusia yang fanatik tanpa analisa. Secara teori, setiap proses pembelajaran yang dilaksanakan harus mencakup
ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam praktek pembelajaran dihampir semua lembaga pendidikan di Indonesia dan tidak terkecuali lembaga pendidikan Islam hanya menekankan pada ranah kognitif dengan mengabaikan dua ranah yang lain. Dengan hanya mementingkan intelektual, akibatnya peserta didik miskin moral dan keterampilan. Mereka hanya kaya ilmu pengetahuan tetapi kering spiritual, emosional, sosial, dan moral. Akibat kekeringan spiritual, memunculkan orang-orang pintar yang tidak merasa malu melakukan hal-hal tercela seperti korupsi, mencuri, berzina, dan sebagainya (akhlak al-mazmumah). Idealnya semua lembaga pendidikan harus menyeimbangkan aspek kofnitif dengan aspek spritual. Fenomena seperti ini sudah berlangsung lama di Indonesia yakni sejak zaman sebelum kemerdekaan sampai sekarang. Pada masa penjajahan, pemerintah kolonial memang sengaja memisahkan pendidikan agama dengan pendidikan umum. Dikotomi ilmu-ilmu agama dengan ilmuilmu umum ini dilakukan oleh penjajah karena mereka sendiri bukan penganut Islam dan mereka berusaha agar umat Islam tidak melaksanakan ajaran agamanya dan supaya menjadi bodoh. Tujuan lain mereka adalah agar umat Islam berakhlak tercela, tidak memiliki hubb aliman dan hubb al-wathan. Setelah zaman kemerdekaan pun, pemisahan antara ilmu umum dengan ilmu agama itu tetap terjadi baik pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru. Walaupun di setiap jenjang dan jenis pendidik-an diberikan mata pelajaran Agama, namun alokasi waktu yang diberikan sangat sedikit, sehingga tidak seimbang dengan banyaknya materi dan waktu yang digunakan untuk menanamkan ranah afektif dan psikomotor. Di masa Reformasi, secara regulasi, usaha untuk menghilangkan dikotomi pendidikan sudah semakin jelas. Namun dalam praktek pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah dan madrasah
483 | Jurnal Tarbiyah al-Awlad, Volume IV Edisi 2 hlm. 479-488
masih dominan menyentuh ranah kognitif. Belum lagi menonjol aspek keterampilan dan internalisasi nilai-nilai agama dalam peri-laku peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik yang kering spiritual sering membuat kekacauan di mana mereka tinggal. Hidup di lingkungan sekolah mereka tawuran, hidup di tengah keluarga mereka tidak rukun, dan hidup di tengah masyarakat mereka menjadi penyakit sosial. Pembangunan sistem pendidikan di Indonesia belum diarahkan sepenuhnya kepada yang semestinya. Sistem evaluasi di sekolah dan madrasah misalnya, tidak menagih penilaian afektif dan penilaian psikomotor secara seimbang. Prestasi yang diapresiasi hanya prestasi kognitif, sedangkan perstasi afektif dan psikomotor kurang menjadi perhatian pemerintah dan pihak sekolah. Peserta didik yang bernilai tinggi diberikan hadiah walaupun anak itu tidak sopan kepada guru, kepada teman, dan kepada orang tuanya serta tidak mau melaksanakan ajaran agama Islam. Sebaliknya peserta didik yang nilai akademiknya rendah namun ia santun, jujur, penolong tidak diberikan hadiah seperti anak yang berprestasi dibidang akademik tadi. Akibat dari pendidikan seperti ini akan terasa tidak hanya pada masa sekarang juga pada masa yang akan datang. Rasulullah Saw juga adalah seorang pendidik bagi sahabatnya. Beliau menanamkan akidah, menganjurkan beribadah, berakhlak mulia, bertani dan berdagang tanpa membedakan ini urusan dunia dan itu urusan akhirat. Semua aktivitas sahabat didasarkan kepada al-Qur‟an dan sunnah beliau sehingga jadilah mereka generasi yang terbaik. Generasi seperti ini akan dapat muncul lagi jika pendidikan yang dilaksanakan bersumber dari al-Qur‟an dan sunnah dan tanpa ada dikotomi ilmu pengetahuan. Dalam pendidikan Islam, materi ajar yang pertama sekali dita-namkan adalah ilmu tauhid kemudian disusul dengan ilmu-ilmu yang bersifat logika, bukan se-
baliknya. Namun justru yang sering terjadi adalah menjejali peserta didik dengan ilmu dan keterampilan umum, sedangkan pengetahuan agama hanya sedikit. Konsekwensinya adalah akan tertanam dalam hati peserta didik bahwa masalah keimanan bukan perihal pokok (dharury) melainkan perihal sekun-der (tahsiny) saja. Melihat fenomena yang sudah lama mengakar dalam dunia pendidikan Indonesia ini M. Natsir memiliki konsep pendidikan yang unik dan berbeda dengan konsep para pakar pendidikan lain terutama pada zamannya yakni pendidikan yang integral, universal, dan harmonis. Konsep ini beliau rumuskan setelah memperhatikan praktik pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat. Sekolah pemerintah hanya terfokus kepada mata pelajaran umum tanpa agama; dan sekolah agama atau pesantren fokus kepada mata pelajaran dasar-dasar Islam dengan mengabaikan mata pelajaran umum. “Konsep pendidikan seperti ini adalah konsep pendidikan yang bersifat parokhial, diferensial, dikotomis, dan disharmonis” (A. Susanto, 2009:119). Konsep pendidikan ini sangat jauh berbeda dengan konsep pendidikan Islam. Konsep pendidikan integral, universal, dan harmonis ini beliau cetuskan setelah mengadakan perenungan dan penggalian yang mendalam dari al-Qur‟an dan sunnah sebagai sumber pendidikan Islam. a. Pendidikan integral berarti pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum. M. Natsir berpandangan, kedua sistem pendidikan ini tidak berbeda. Keduanya tidak perlu dipertentangkan karena keduanya saling melengkapi dan menguatkan, bahkan mesti dipelajari dan dikuasai oleh peserta didik muslim. Dalam al-Qur‟an dan sunnah pun tidak ditemukan dikotomi ini apalagi mempertentangkannya. Tidak pula ditemukan pengelompokan disiplin ilmu menjadi ilmu umum (‘ulum al-dunya) dan ilmu agama (ulum al-Syar’iy).
Ilman Nasution: Mohammad Natsir, Konsep Pendidikan Islam | 484
M. Natsir berpendapat “pendidikan Islam harus mengga-bungkan dua sistem yakni sekolah yang bernafaskan Islam (citra pendidikan yang islami) dengan sistem kurikulum dan manajemen moderen (Barat)” (A. Susanto, 2009:119). Keduanya harus terpadu/ integral dan seimbang. Latar belakang munculnya dikotomi pendidikan sebenarnya lebih bersifat sosio-kultural. Maksudnya, ketika dunia Barat mengkloni sebagian besar wilayah yang berpenduduk mayoritas muslim, penjajah menanamkan agama, budaya, bahasa, adat, dan disiplin ilmu yang berkembang di negara asal mereka, sementara disiplin ilmu keagamaan yang sudah berjalan lama di negaranegara koloninya dimarjinalisasi. Pada gilirannya ulama dan pendidik di negeri jajahan memberikan reaksi yang kontra dengan semua aktivitas yang dipraktekkan oleh penjajah. Sebagian besar ulama memandang setiap produk penjajah adalah haram, termasuk masalah sistem pendidikan. Munculnya dikotomi dalam pendidikan, menimbulkan per-sonalan tersendiri bagi umat Islam karena sistem pendidikan agama dan sistem pendidikan umum saling menafikan satu sama lain. Dengan hanya memilih satu sistem dan mengabaikan sistem yang lain, maka akan muncul ketimpangan karena pada hakikat dan kenyataannya kedua sistem ini sama-sama dibutuhkan baik manusia itu sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah di muka bumi. Dampak lain adalah munculnya image dalam masyarakat bahwa pendidikan agama tidak dapat menjawab persoalan-persoalan keduniaan yang semakin dinamis. Cara pandang masyarakat terhadap ilmu pun menjadi parsial, ilmu umum dipandang sebagai ilmu yang bebas nilai, dan memunculkan sikap jabariah dengan mengabaikan usaha. Padahal Allah sudah memberkan potensi akal, ilmu, dan ikhtiar kepada manusia. Bukankah ketiga po-
tensi ini yang merupakan modal utama manusia untuk dapat menjalankan fungsinya sebagai hamba dan khalifah? Masalah pertama yang dihadapi M. Natsir ketika memutuskan terjun ke dunia pendidikan adalah “bagaimana menghadapi masalah dikotomi pendidikan yang diakibatkan oleh rennaissance di Barat yang menjalar ke seluruh dunia. Dikotomi yang sama karenanya juga dihadapi oleh hampir seluruh dunia Islam yang waktu itu ratarata berada dibawah penjajahan Barat” (Anwar Harjono, dkk., 1996:130). Pengaruh dikotomi tidak hanya di lembaga pendidikan tetapi juga sampai ke dalam masyarakat terbelah menjadi dua yakni kelompok umat Islam yang dihasilkan oleh sistem pendidikan umum dan kelompok umat yang dihasilkan oleh sistem pendidikan agama. Dikotomi pendidikan seperti ini sekaligus menggambarkan perbedaan sistem, perbedaan orientasi dan perbedaan filosofi dari pendidikan itu sendiri. Hakikat ilmu yang parsial itu disatukan oleh M. Natsir dengan konsep pendidikan integral. Caranya, pada lembaga pendidikan umum diberi pendidikan agama dan pada lemabaga pendidikan agama diberi pendidikan umum. Semua lembaga pendidikan termasuk dibawah naungan kementerian lain harus berpedoman kepada satu dasar yakni tauhid dan satu tujuan yakni ta’abbddy. Dengan demikian tidak ada lagi permasalahan. Mochtar Naim mengatakan bahwa isu penggabungan Kementerian Agama dan Kemerterian Pendidikan dan Kebudayaan sudah pernah muncul pada tahun 1950-an. Rata-rata umat Islam cemas dengan isu ini. Untuk itu Islamic Study Club (ISC) memutuskan mengundang M. Natsir sebagai narasumber tentang isu yang sedang berkembang. “Anehnya, Pak Natsir tidak menyinggung masalah mau diletakkan ke mana sekolah-sekolah agama yang berada dibawah naungan Kementerian Agama
485 | Jurnal Tarbiyah al-Awlad, Volume IV Edisi 2 hlm. 479-488
itu. Yang beliau singgung adalah berbagai masalah yang esensial dari pendidikan yaitu mengenai filosofi, wezen, di dunia sebagai hamba Allah sekaligus sebagai khalifah Allah” (Anwar Harjono, dkk, 1996:120). Beliau tidak mempersoalkan lembaganya dan dibawah kementerian apa, tetapi yang dirisaukan beliau “bagaimana mengembalikan masalah pendidikan ini kepada pokok pangkal semula. Pendidikan, sebagaimana aspek kehidupan umat Islam lainnya harus bermula dan memancar dari kalimat tauhid, dan merujuk tiap kali kepada kalimat tauhid itu” (Anwar Harjono, dkk, 1996:122). Dalam pendidikan, kalimat tauhid dijadikan dasar pokok dalam merencanakan pembelajaran, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran. Dikotomi hanya ada pada persoalan yang hak dengan batil. Termasuk persoalan tauhid dengan syirik; halal dengan haram. Untuk masalah-masalah ini tidak berlaku konsep integral melainkan harus jelas terpisah. Mengkompromikannya berarti merusak dasar dan tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran yang pertama sekali ditanamkan kepada peserta didik adalah masalah tauhid. Penanaman tauhid kepada anak dilakukan sejak dini. Pemahaman anak tentang tauhid harus lurus, benar dan tidak boleh disamarkan dengan syirik. Tauhid sebagai pondasi kehidupan sudah harus tertanam kokoh dalam hati anak sejak kecil sehingga tidak ada keraguannya sedikit pun bahwa Allah itu ada dan esa. Nazar Bakry mengutip pendapat Abdullah Nashih Ulwan bahwa pendidikan pertama yang harus diberikan kepada peserta didik adalah “menyuruh anak sejak awal membaca la ilaha illa Allah” (Nazar Bakry, 2012:9). Orang tua dan pendidik tidak boleh mengabaikan atau menomorduakan masalah tauhid. Anak harus dapat memahami se-
cara benar perbedaan antara tauhid dengan syirik. Setelah masalah tauhid, diperkenalkan pula masalah halal dan haram. Sejak belia, anak sudah mengenal apa saja yang halal dan perbuatan apa yang haram. Batasan keduanya diberikan dengan sangat jelas dan tidak boleh ditawar-tawar. Pendidik harus menjadi pengawas yang tegas bagi anak agar jangan sampai melakukan perbuatan yang haram. Pendidik juga menjadi motivator yang harus memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya ketika peserta didik melaksanakan yang hak. Persoalan hak dan batil tidak semata-mata urusan akhirat, tetapi juga urusan dunia. Pendidikan Islam pun tidak sebatas mengejar kebahagiaan dunia, tetapi juga kebahagiaan di akhirat secara seimbang. b. Islam sebagai agama universal memiliki sistem pendidikan yang universal pula. Islam tidak dibatasi oleh wilayah dan waktu tertentu. Maka pendidikan Islam pun bersifat universal yang berarti lembaga dan kurikulumnya tidak ditentukan atau dibatasi oleh ruang dan waktu, bukan pula oleh batas teritorial tukan negara. Islam bukanlah persoalan Barat atau Timur (la syarqiyyah wa la gharbiyyah). “Timur kepunyaan Allah, Sebagai makhluk yang bersifat „hadis‟ (baharu) kedua-duanya, barat dan Timur, mempunyai hal yang kurang baik dan yang baik; mengandung beberapa kelebihan dan beberapa keburukan.” “Semua yang hak itu diterima walaupun datangnya dari Barat, semua yang batil akan disingkirkan walaupun datangnya dari Timur”. Timur dan Barat bukanlah sesuatu yang berbeda. M. Natsir mencoba menganalogikannya kepada yang lain, “buat seorang hamba Allah, jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, bukanlah dua barang yang bertentangan yang harus dipisahkan, melainkan dua serangkai yang harus lengkap melengkapi dan dilebur menjadi satu susunan yang har-
Ilman Nasution: Mohammad Natsir, Konsep Pendidikan Islam | 486
monis dan seimbang” (Anwar Harjono, dkk., 1996:125). Pendidikan pun tidak dikelompokkan menjadi pendidikan Barat atau pendidikan Timur; bukan pula kurikulum Barat dan kurikulum Timur; bukan pula kurikulum Islam dan kurikulum nonislam. Ilmu itu milik Allah yang diberikan kepada manusia, oleh karena itu siapa saja boleh memilikinya. Konsep atau metode keilmuan yang ditemukan di dunia Timur misalnya bukan semata-mata menjadi milik orang Timur, tetapi boleh dimiliki oleh orang Barat, dan demikian pula sebaliknya. Bahkan siapa yang lebih sungguh menuntut ilmu dari berbagai sumber, maka dialah yang lebih menikmati manfaat ilmu tersebut. Sedangkan negara yang paling mengisolasi diri dari berbagai perkembangan ilmu dan tekonologi, maka negara itulah yang paling menderita karena tidak memperoleh manfaat dari ilmu yang diberikan Allah itu. Dalam pandangan M. Natsir dikotomi yang ada hanya antara yang hak dengan yang batil. Kebaikan yang ada di Barat, sama dengan kebaikan yang ada di Timur. Kebaikan yang datang dari keduanya harus sama-sama diterima; keburukan yang datang dari keduanya jua harus sama-sama ditolak. Oleh karena itu dalam menuntut ilmu tidak ada perbedaan apakah ke Barat atau ke Timur, sebab tidak ada dalil yang melarangnya. Jika pada kondisi sekarang Barat atau Eropa yang lebih maju, maka tidak ada salahnya jika umat Islam menuntut ilmu ke sana. “Seringkali pada kenyataan, ada yang menganggap bahwa didikan Islam itu ialah didikan Timur, dan didikan Barat ialah lawan dari didikan Islam. Boleh jadi, ini reaksi terhadap „kebaratan‟ yang ada di negeri kita, yang memang sebagian dari akibat-akibatnya tidak mungkin kita menyetujuinya sebagai umat Islam. Akan tetapi coba kita berhenti sebentar dan bertanya: Apakah
sudah boleh kita katakan bahwa Islam itu anti Barat dan protimur, khususnya dalam pendidikan?” (M. Natsir, 1954: 57). “Pendidikan yang islami adalah pendidikan yang mengambil yang baik dari mana pun datangnya dan menyingkirkan yang buruk dari mana pun datangnya” (D.P. Sati Alimin, 1954:1). c. Pendidikan harmonis berarti pendidikan yang selaras-sejalan antara pendidikan integaral dengan pendidikan universal. Sejalan antara kebahagiaan dunia dan akhirat. Dapat pula diartikan pendidikan yang mengakomodasi kearifan lokal seperti alam, budaya, toleransi, dan nilai-nilai ajaran Islam yang diinternalisasikan dalam kehidupan individu, keluarga, dan dalam masyarakat. Pendidikan harmonis akan menciptakan peserta didik yang berkarakter sehingga terhindar dari berbagai macam perbuatan tercela seperti tawuran. b. Dasar Pendidikan Islam Sumber pendidikan menurut M. Natsir adalah al-Qur‟an dan as-Sunnah. Inti dari pendidikan Islam itu sendiri adalah tauhid. Mengesakan Allah menjadi pondasi dari semua aktivitas pembelajaran. Allah sebagai pemilik dan pemberi ilmu harus dikenal dan merasuk ke dalam hati sanubari pendidik dan peserta didik. Pendidik mesti orang yang beriman dan memahami konsep ketuhanan sesuai ajaran Islam. Pendidikan yang pertama dan utama yang harus diberikan oleh pendidik kepada peserta didik adalah menanamkan nilai-nilai tauhid. Pada saat ini pendidik meletakkan pondasi akidah yang kokoh bagi peserta didiknya. Pendidikan ini sekaligus sebagai antisipasi atas usaha zending yang selalu berusaha membalikkan akidah anak-anak muslim menjadi nasrani. Sejatinya orang yang tidak memahami konsep tauhid tidak boleh menjadi guru, sebab ia sendiri tidak mengenal Allah, maka bagaimana pula ia akan dapat mengenalkan Allah kepada peserta didiknya. Jika pendidikan itu terlepas dari nilai-
487 | Jurnal Tarbiyah al-Awlad, Volume IV Edisi 2 hlm. 479-488
nilai ilahiyah, maka akan lahirlah ilmuanilmuan yang tidak mengenal Tuhan dan berakhlak tercela. Meninggalkan dasar ini berarti melakukan suatu kelalaian yang amat besar, yang tidak kurang besar bahayanya dari pada berkhianat terhadap anak-anak yang kita didik, walaupun sudah kita sempurnakan makan dan minumnya dan telah kita cukupkan pakaian dan perhiasannya serta sudah kita lengkapkan pula ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya. Semua ini tak ada artinya apabila ketinggalan memberikan dasar ketuhanan seperti diterangkan di atas itu (M. Natsir, 1954:116). Selain memiliki konsep tauhid yang baik, seorang pendidik juga harus menguasai berbagai strategi, metode, dan teknik pembelajaran agar aspek kognitif, afektif, dan psikomotor dari setiap pembelajaran dengan mudah dipahami dan terinternalisasi dalam diri peserta didik. Menjadi guru bukanlah persoalan yang mudah tetapi memiliki persyaratan yang kompleks seperti memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi keperibadian, dan kompetensi sosial. Apabila dasar dari semua jenjang dan jenis pendidikan sudah sama yakni tauhid, maka koordinasi dalam pelajaran dan didikan dalam arti luas akan mudah dilakukan dilingkungi oleh koordinasi itu. c. Tujuan Pendidikan Islam Tujuan pendidikan Islam menurut M. Natsir adalah li-ta’abbudy (untuk beribadah kepada Allah). Tujuan pendidikan Islam sama dengan tujuan manusia diciptakan. Beliau berpedoman pada firman Allah swt Q.S. az-Zariyat ayat 56) “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu” (Departemen Agama RI, 2007:523). “Menyembah Allah itu melengkapi semua ketaatan dan ketundukan kepada semua perintah Ilahi, yang membawa kepada kebesaran dunia dan kemenangan akhirat, serta menjauhkan diri dari larangan-larangan yang menghalangi tercapainya kemenangan dunia dan akhirat itu” (M. Natsir, 1954:58).
“Dalam hal ini pendidikan harus memungkinkan manusia memahami dan menghayati tentang Tuhannya sedemikian rupa, sehingga semua peribadatannya dilakukan penuh dengan penghayatan dan kekhusukan terhadap Allah melalui seremoni ibadah dan tunduk senantiasa pada syariah dan petunjuk Allah” (Ramayulis, 2012:211). Manusia (peserta didik) dalam hal ini memiliki dua fungsi yakni sebagai hamba yang harus menyembah kepada Allah dan sebagai khalifah fi al-Ardh yang harus memakmurkan dan melestarikan bumi ini. Ada dua syarat menjadi hamba Allah yakni yang sebenar-benarnya takut kepada Allah dan mempunyai ilmu. Syarat ini dideduksi M. Natsir dari Q.S. Fatir ayat 28 “… di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama, sungguh Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun.” Ayat ini menjelaskan bahwa "ilmu" ialah syarat terpenting untuk menjadi hamba Allah yang sesungguhnya. Seorang hamba Allah bukanlah orang yang mengasingkan diri dari kenikmatan dunia dan pergi bertapa ke hutan belukar, dan mengerjakan hanya sekedar sembahyang dan puasa! bukan ini saja yang dimaksud dengan menyembah Allah (M. Natsir, 1954: 58). Dengan ilmu ia akan dapat mengelola alam sesuai dengan kehendak Allah, buka mengelolanya sesuai kemauannya sendiri. Sebagai khlaifah, manusia bertugas memakmurkan dan melestarikan bumi dan tugas itu diarahkan untuk penguatan dan untuk mempermudah pengabdian kepada Allah dalam rangka mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. “Dengan demikian, peserta didik diarahkan agar mampu melestarikan bumi Allah ini mengambil manfaat untuk kepentingan dirinya, untuk kepentingan umat manusia, dan untuk kemaslahatan semua yang ada di alam ini, serta menjaga kelestariannya” (Ramayulis, 2012:212). Sehingga akan terasa bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. M. Natsir menekankan bahwa perhambaan kepada Allah yang jadi tujuan
Ilman Nasution: Mohammad Natsir, Konsep Pendidikan Islam | 488
hidup dan jadi tujuan didikan kita, bukanlah suatu perhambaan yang memberi keuntungan kepada yang disembah, tetapi perhambaan yang mendatangkan kebahagiaan kepada yang menyembah, perhambaan yang memberi kekuatan kepada yang memperhambakan dirinya itu. Akan menjadi orang yang mempehambakan segenap rohani dan jasmaninya kepada Allah swt untuk kemenangan dirinya dengan arti yang seluas-luasnya yang dapat dicapai oleh manusia, itulah tujuan hidup manusia di atas dunia. Dan itulah tujuan didikan yang harus kita berikan kepada anak-anak kita kaum muslimin (D.P Sati Alimin, 1954:59-61). C. Penutup Pemikiran pendidikan Moh. Natsir bersifat akomodatif dan dapat berlaku di segala waktu dan tempat. Idenya ini “ndak lapuak dek hujan jo ndak lakang dek paneh”. Konsep pendidikannya mengakomodasi kepentingan manusia di dunia dan akhirat. Walaupun ide-idenya ini belum dapat diterapkannya pada saat beliau menekuni langsung dunia pendidikan karena situasi dan kondisi yang belum kondusif, namun beliau telah mewariskan satu alternatif sistem pendidikan yang tidak ternilai harganya bagi pendidikan Islam di Indonesia. Hasil pemikiran M. Natsir ini sangat penting dipertimbangkan oleh pemerintah dan pengelola lembaga pendidikan swasta untuk diterapkan dengan alasan: 1. Masyarakat muslim telah mengalami kerugian besar selama ini akibat pengotakotakan ilmu. 2. Dengan mewujudkan sistem pendidikan ini, insyaallah akan dapat melahirkan cendikiawan yang ulama, ulama yang cedikiawan, serta umara yang cendikiawan lagi ulama. 3. Untuk mengatasi dekadensi moral dan penguatan karakter peserta didik dengan penggabungan materi ajar agama dengan umum secara seimbang dan proporsional.
Referensi
Alimin, D.P. Sati, Capita Selecta, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1954 Bakry, Nazar, Ringkasan Metologi Pengajaran Agama Islam, Padang: Hayfa Press, 2012 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir al-Qur‟an Depag RI, 2007 Harjono, Anwar, dkk., Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996 Mulkan, Abdul Munir, Ideologisasi Gerakan Dakwah Episod Kehidupan M. Natsir dan Azhar Basyir, t.tp: t.t. Mustafa, A. dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999, Cet. ke-2 Natsir, M., Capita Selecta 1, Bandung, NV. Penerbitan W. Van Hoeve, 1954 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012 Saridjo, Marwan, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa: Tinjauan Kebijakan Publik terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, Bogor: Yayasan Ngali Aksara dan al-Manar Press, 2011, Cet ke-2 Susanto, A., Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2009 Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986, Cet. ke-2