KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT MOHAMMAD NATSIR
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Tarbiyah
Disusun Oleh Mahfur NIM 11105015
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2010 i
ii
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT MOHAMMAD NATSIR
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Tarbiyah
Disusun Oleh Mahfur NIM 11105015
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2010 iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN v
PERNYATAAN KEASLIAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Mahfur
NIM
: 111 05 015
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi
: Pendidikan Agama Islam
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 12 Agustus 2010 Yang Menyatakan
Mahfur
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO Dimananapun berada semua orang suka dan jadilah orang yang selalu bermanfaat bagi orang lain, agama, bangsa dan Negara.
PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan kepada : 1. Ayahanda tercinta (Wastainu) dan Ibunda terkasih (Harni), adikku (Norie’) dan semua keluarga di rumah 2. Almamaterku Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga 3. Pengasuh Pondok Pesantren An Nida Salatiga K.H. Syamsudin serta segenap pengurus dan Asatidz Ponpes dan TPQ, serta santri putra putri Pondok Pesantren AnNida Salatiga 4. Semua rekan-rekan Pondok Pesantren An Nida 5. Calon ibu dari anak-anakku besuk, Insya Allah
vii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. Atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat diberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Rosululloh saw, keluarga, sahabat dan para pengikut setianya. Penyusunan skripsi ini bertujuan guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Terselesainya skripsi ini tidaklah semata-mata hasil dari jerih payah penulis sendiri melainkan banyak pihak yang terkait yang telah membantu baik moril maupun spiritual, oleh karena itu penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag. selaku ketua STAIN Salatiga, beserta para staf-stafnya yang telah menyediakan tempat serta fasilitas gedung kuliah yang nyaman dan kondusif. 2. Bapak dosen pembimbng tercinta Prof. H. Mansur, M.Ag yang tulus, ikhlas dan senantiasa berkenan memberikan sumbangsih pemikiran, serta waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 3. Ayahanda tercinta (Wastainu) dan Ibunda terkasih (Harni) yang selalu tulus dan ikhlas mencurahkan segalanya demi penulis serta kakak-kakaku (Nur Ro’is, Arfiatun, Istaufun, Imroati, Triyani) dan adiku (Norie’). 4. Almarhum Pengasuh Pondok Pesantren An Nida Drs K.H Ahmad Nuh Muslim dan semoga Allah memberikan tempat terindah di alam keabadian.
viii
5. Pengasuh Pondok Pesantren An Nida Salatiga K.H. Syamsudin dan segenap dewan Asatidz Pondok Pesantren dan TPQ yang selalu memberi semangat dalam menuntut ilmu. 6. Pengurus Pondok Pesantren An Nida yang telah memberikan perhatian lebih dan fasilitas yang memadai kepada penulis. 7. Sahabat-sahabatku satu atap, senasib dan seperjuangan Salim, Jamal, Mas Bayu, Bang Imam, Agus tio dan adik adik santriwan santriwati Pondok Pesantren An Nida yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Dek Norie’ yang senantiasa memberikan semangat serta motivasi kepada penulis dan juga mbak sofi yang bersedia meminjami printernya hingga terselesainya skripsi ini. Semoga Allah SWT, memberikan balasan yang setimpal, baik di kehidupan dunia maupun di kehidupan yang akan datang. Demikian kiranya, semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan menjadi wacana keilmuan baru bagi para pembaca yang budiman. Salatiga, 12 Agustus 2010 Penulis
Mahfur
ix
ABSTRAK
Tujuan penelitian dalam skripsi ini ada tiga hal, yaitu : (1) Apa konsep Mohammad Natsir tentang pendidikan Islam ?, (2) Apa landasan konsep pemikiran Mohammad Natsir dalam pendidikan Islam ?, (3) Bagaimana relevansi pemikiran Mohammad Natsir terhadap pemikiran pendidikan Islam di Indonesia saat ini ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan. Karena penelitian disini adalah kajian pustaka atau liteler, maka penulis dalam mengkaji konsep pemikiran Mohammad Natsir dengan bantuan buku-buku tulisan beliau sendiri maupun buku-buku tulisan orang lain yang menceritakan tentang pemikiran pendidikan Islam menurut Mohammad Natsir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep Mohammad Natsir tentang pendidikan Islam adalah: Pendidikan harus dapat membawa manusia mencapai tujuan hidupnya, yaitu menghambakan diri kepada Allah, berakhlakul karimah dan mendapat penghidupan yang layak di dunia. Sedangkan landasan pendidikan Islam adalah mengenal tuhan, mentauhidkan tuhan dan tidak menyukutukan sedikitpun Allah kepada siapapun. Relevansi pemikiran Mohammad Natsir terhadap pendidikan di Indonesia sekarang ini, terbukti dengan adanya sekolah-sekolah umum dan madrasah, bahkan pesantren yang memadukan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Begitu juga dengan koordinasi antar sekolah-sekolah dengan diadakannya ujian Nasional secara bersama-sama.
x
DAFTAR ISI
Sampul ……………..…………………………………………………………... .......................................... i Lembar Berlogo …….. …..…………………………………………………….. ..................................... ii Judul …………..……………………………………………………………….............................................. iii Persetujuan Pembimbing………………………………………………………... ................................
iv
Pengesahan Kelulusan ………………………………………………………..... .................................. v Pernyataan Keaslian ... ………………………………………………………..... .................................. vi Motto dan Persembahan ......…………………………………………………..... .............................. vii Kata Pengantar ............………………………………………………………..... .................................. viii Abstrak …………….....………………………………………………………… ......................................... x Daftar Isi ….. …………………………………………………………………… ......................................... xi BAB 1
: PENDAHULUAN ………..………………………………………………………………….. 1 A. Latar Belakang Masalah………………………………………………………….. 1 B. Penegasan Istilah ………….……………………………............................ 8 C. Rumusan Masalah ………..………………………………. ........................ 9 D. Tujuan ……………………………………………………................................ 9 E. Manfaat Penelitian…………...……………………………. ....................... 9
xi
F. Metode Penelitian Skripsi ..………………………………. ..................... 10 G. Sistematika Penulisan Skripsi …...……………………….. ................... 14 BAB II
: BIOGRAFI MOHAMMAD NATSIR……………………… ............................ 16 H. Silsilah Mohammad Natsir ………………..…………….... ................... 16 I.
Riwayat Pendidikan Mohammad Natsir………………… ................. 17
J.
Karir Politik Mohammad Natsir………….………………..................... 20
K. Karya Ilmiah Mohammad Natsir ………………………… ................... 23 L. Mohammad Natsir dan PERSIS (Persatuan Islam) ………. ........... 24 M. Sumbangan Mohammad Natsir Dalam Dunia Pendidikan .. ..... 26 BAB III
: KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT MOHAMMAD NATSIR ................................................... 28 A. Peran Dan Fungsi Pendidikan Islam ……………………... ................. 28 B. Tujuan Pendidikan Islam ………………………………….. ..................... 29 C. Landasan Pendidikan Islam ………………………………...................... 32 D. Pengembangan Pendidikan Islam ………………………….. ............... 37
BAB IV
: RELEVANSI PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM DI NDONESIA SEKARANG INI ………………………………………….… 50 A. Peran dan Fungsi Pendidikan Islam..………..…….......................... 50 B. Tujuan Pendidikan Islam.…………………..…….............. .................. 51 C. Landasan Pendidikan Islam ………………………………...................... 52 D. Pengembangan Pendidikan Islam ………………………… ................ 57
xii
BAB
: V PENUTUP ………………………………………………… .................................. 61 E. Kesimpulan ………………………………………………. ............................ 61 F. Saran …………………………………………………….................................. 61
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak sekali buku-buku pendidikan yang menerangkan tentang manfaat dan tujuan pendidikan. Diantaranya yang terdapat dalam tujuan pendidikan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang bunyinya sebagai berikut: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 2005: 94). Jika kita melihat tentang tujuan pendidikan diatas, jika tugas pendidikan selain mencerdaskan bangsa juga harus hidup mandiri. Dapat kita ketahui, jika banyak lulusan dari perguruan tinggi yang masih memenuhi daftar pengangguran di Indonesia berarti pendidikan di Indonesia belum sesuai dengan apa yang dicita-citakan bangsa kita. Apalagi bila kita lihat di banyak media masa saat ini yang meliput tentang para aksi mahasiswa untuk menyerukan aspirasinya kepada pemerintahan terkesan masih kurang sesuai
2
dengan Tujuan Pedidikan Nasional yang berkaitan dengan budi pekerti. Di tempat-tempat terjadinya demo sering terdapat kejadian yang dapat meresahkan masyarakat, diantaranya seperti pemblokiran jalan, membakar ban bekas yang mengakibatkan pencemaran, dan mengganggu fasilitas umum. Muhammad Natsir mengatakan, bahwa tak ada satu bangsa yang terbelakang
menjadi
maju,
melainkan sesudahnya
mengadakan
dan
mamperbaiki didikan anak-anak dan pemuda-pemuda mereka. Bangsa Jepang, satu bangsa Timur yang sekarang jadi buah mulut orang seluruh dunia lantaran majunya, masih akan terus tinggal dalam kegelapan sekiranya mereka tidak mengatur pendidikan bangsa mereka; kalau sekiranya mereka tidak membukakan pintu negerinya yang selama ini tertutup rapat, untuk orangorang pintar dan ahli ilmu negeri lain yang akan memberi didikan dan ilmu pengetahuan kepada pemuda-pemuda mereka disamping mengirim pemudapemuda mereka keluar negeri mencari ilmu.(M. Natsir, 1954:77). Jika kita ingin membandingkan pendidikan di Indonesia dengan pendidikan di Eropa agaknya kurang begitu sesuai, dikarenakan secara setruktur wilayah sudah sangat berbeda. Jika di Eropa dan Negara-negara yang lain dapat dengan mudah mengontrol dan memberi bantuan kepada sekolah-sekolah sampai pelosok desa, karena tempatnya yang memang mudah dilalui. Berbeda dengan wilayah di Indonesia yang antara pulau satu dengan pulau yang lainnya sangat jauh, sehingga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol dan memberikan bantuan untuk meningkatkan mutu pendidikan sekolah-sekolah di Indonesia. Tapi jika melihat Negara Jepang sebagai korban
3
bom atom biasa keluar dari masalah yang mereka hadapi mengapa bangsa Indonesia tidak. Bila kita mulai melirik Pendidikan Islam bukan menjadi wacana yang baru bagi kalangan pemikir, pendidik dan dunia pendidikan sendiri bahwa pendidikan Islam merupakan salah satu jawaban atas ketidakteraturan sistem pendidikan yang ada pada dekade terakhir ini. Hampir di seluruh penjuru Indonesia mulai menerapkan system pendidikan Islam dalam proses pembelajaran dan pengajaran mereka. Maka bukan hal yang tabu jika orangorang non-Islam pun mulai melirik kekhasan dari pendidikan Islam. Secara garis besar, pendidikan Islam memiliki ruang lingkup yang luas. Disebutkan dalam beberapa poin, diantaranya adalah: 1.
Setiap proses perubahan menuju ke arah kemajuan dan perkembangan berdasarkan ruh ajaran Islam.
2.
Perpaduan antara pendidikan jasmani, akal (intelektual), mental, perasaan (emosi), dan rohani (spiritual).
3.
Keseimbangan antara jasmani-rohani, keimanan-ketakwaan, pikir-dzikir, ilmiah-amaliah, material-spiritual, individual-sosial, dan dunia-akhirat.
4.
Realisasi dwi fungsi manusia, yaitu peribadatan sebagai hamba Allah (‘Abdullah) untuk menghambakan diri semata-mata kepada Allah dan fungsi kekhalifahan sebagai khalifah Allah (khalifatullah) yang diberi tugas untuk menguasai, memelihara, memanfaatkan, melestarikan dan
4
memakmurkan alam semesta (rahmatan lil ‘alamin) (M Rokib, 2009: 22). Akan tetapi, realitas soasial yang dihadapi saat ini menempatkan pendidikan Islam pada posisi yang dilematis. Seakan pendidikan Islam masih terkungkung dalam hegemoni “determinisme-historis” dan “realisme-praktis”. Di samping itu kejayaan di masa lampau serta kondisi sosial saat ini pun makin membuat posisi pendidikan terombang-ambing, layaknya masih mencari-cari jati diri yang mulai tergerus tuanya jaman. Seiring kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta gencarnya arus modernisasi mengakibatkan pendidikan Islam yang mau tak mau dihadapkan pada kondisi yang serba materialis, sekularis, pluralis serta multikulturalis. Selain pendidikan Islam terpuruk dalam kondisi yang dilematis seperti itu, problematika dikotomi yang kerap di-floor-kan dalam diskursus-diskursus pendidikan pun belum mendapatkan porsi jawaban yang memuaskan. Secara jelas, baik normatif maupun konseptual, Islam tidak memiliki ruang dikotomi ilmu. Dalam beberapa pembahasan, dikotomi ilmu sebenarnya muncul dikarenakan beberapa hal, diantaranya: Perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, historis perkembangan umat Islam ketika mengalami kemunduran dan faktor internal kelermbagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan
upaya
pembenahan
problematika kehidupan.
dan
pembaruanakibat
kompleksnya
5
Diantara beberapa faktor tersebut tidak menjadi sebuah keniscayaan ketika dari hal yang paling fundamental, pendidikan Islam melakuan recheck, recorrect serta reform terhadap hal-hal yang sekiranya mulai menjauh dari dasar dan tujuan adanya pendidikan Islam itu sendiri. Dasar pendidikan Islam sebagai acuan pergerakan pendidikan Islam memiliki posisi yang penting serta sakral. Dasar-dasar pendidikan Islam tersebut berupa Al-Qur’an sebagai sumber pendidikan Rasul, Sahabat serta sebagai sumber yang edukatif dan As-Sunnah sebagai teladan pendidukan Islam. Belajar pada sejarah bukan berarti silau akan kejayaan masa lalu. Belajar suatu ilmu bukan berarti membatasi gerak ilmu itu sendiri. Maka dari itu, perlu adanya analisis kritis dan komprehensif atas problem yang dihadapi saat ini. Dengan belajar pada pengalaman dan ide-ide dari para tokoh pemikir, pendidikan Islam harus mampu mengembalikan keunikannya sebagaimana yang telah Rasulullah ajarkan. Konsep pendidikan Qur’ani pun beberapa waktu terakhir mulai gencar dikembangkan dan terbukti membawa nilai lebih bagi kemajuan dunia pendidikan Islam khususnya. Seruan iqro’ sebagaimana yang tersurat dengan jelas dalam Al-Qur’an bukan tanpa maksud khusus dan krusial diturunkan oleh Allah sebagai wahyu yang pertama. Budaya membaca apapun, baik itu berupa teks atau ayat kauniyah sekalipun merupakan bahan ajar yang harus kita jadikan sebagai sebuah sumber ilmu yang disediakan oleh Allah. Akan tetapi, kenyataan yang kita hadapi saat ini adalah budaya membaca tersebut mulai luntur bahkan dicuri oleh orang-orang non-Islam.
6
Maka perlu dan harus bagi kita saat ini, dimulai dari diri sendiri dan dari yang terkecil untuk mengembalikan hasanah pendidikan Islam yang berbasis Qur’an dan Sunnah guna memcetak generasi Ulul Albab yang paripurna. Memahami pendidikan Islam tidak semudah mengurai kata “Islam” dari kata “pendidikan”, karena selain sebagai predikat, Islam juga merupakan satu subtansi dan subjek penting yang cukup komplek. Karenanya, untuk memahami pendidikan Islam berarti kita harus melihat aspek utama missi agama Islam yang diturunkan kepada umat manusia dari sisi pedagogis. Islam sebagai ajaran yang datang dari Allah Sesungguhnya merefleksikan nilai-nilai pendidikan yang mampu membimbing dan mengarahkan manusia sehingga menjadi manusia sempurna. Islam sebagai agama universal telah memberikan pedoman hidup bagi manusia menuju menuju kehidupan bahagia, yang pencapaiannya bergantung pada pendidikan. Pendidikan merupakan kunci penting untuk membuka jalan kehidupan manusia. (Musthofa Rahman, 2001:2). Dalam bukunya Capita Selekta, Natsir mengatakan bahwa seringkali pula kenyataan, ada yang mengganggap bahwa didikan Islam itu ialah didikan Timur, dan didikan Barat ialah lawan dari didikan Islam. Boleh jadi, ini reaksi terhadap didikan “kebaratan” yang ada dinegeri kita, yang memang sebagian dari akibat-akibatnya tidak mungkin kita menyetujuinya sebagai umat Islam. Akan tetapi coba kita berhenti sebentar dan bertanya : “Apakah sudah boleh
7
kita katakana bahwa Islam anti-Barat dan pro-Timur, khususnya dalam pendidikan?. Muammad Natsir adalah salah seorang tokoh yang dikenal sebagai birokrat, politisi, dan juga sebagai dai ternama. Muhammad Natsir pernah menduduki jabatan sebagai wakil Rabithoh Alam Islam, serta menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia sejak tahun 1967 sampai wafatnya beliau tahun 1993. Dalam organisasi inilah beliau mulai berkiprah dalam bidang pendidikan, polotik dan dakwah. Perjuangan beliau dan kawan-kawannya adalah ingin menghidupkan dan membangkitkan kembali ajaran Islam, khususnya di Indonesia dari keterpurukan, sehingga tidak ketinggalan dalam peradaban. Diantara jalan yang ditempuh Muhammad Natsir dan kawankawannya adalah dengan mengajarkan pendidikan agama dan pendidikan umum tanpa memisahkan keduanya. Muhammad Natsir adalah tokoh yang sangat berpengaruh di Indonesia, yang pernah menduduki dua jabatan penting, yaitu sebagai menteri penerangan dalam Kabinet Syahrir dan perdana menteri pertama pada masa pemerintahan Soekarno. Sebagai politisi, beliau juga pernah menduduki jabatan puncak partai Islam terbesar, yaitu Masyumi, dan menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. (Thohir Luth, 1999:9). Melihat begitu luasnya cakupan pengalaman Muhammad Natsir dan beliau adalah salah satu pemikir pendidikan Islam di Indonesia yang tidak memilah-milah antara pendidikan Islam dan pendidikan umum. Beliau beranggapan bahwa semua ilmu penting, karena pada hakikatnya semua ilmu
8
itu dari Allah, maka tak berlebihan jika penulis mengangkat Skripsi dengan tema “KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT MUHAMMAD NATSIR”. Semoga mampu memberikan kesegaran dalam dahaga kita akan wacana tentang pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
B. Penegasan Istilah Untuk menghindari kesalah pahaman dan kekaburan dalam penafsiran judul, maka perlu dikemukakan maksud dari kata-kata dan istilah yang dipakai dalam judul skripsi ini agar dapat dipahami secara kongrit dan lebih oprasional. Adapun batasan istilah tersebut adalah : 1) Konsep Konsep berarti “rancangan, ide atau pengertian diabstraksikan dari peristiwa kongrit (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998: 205) 2) Pendidikan Islam Pendidikan Islam ialah: “Segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumberdaya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.”(Achmadi,1992: 20) Menurut Natsir, Pendidikan (didikan) ialah suatu pembinaan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya (Mohammad Natsir, 1954: 73).
9
C. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apa Konsep Mohammad Natsir tentang Pendidikan Islam ? 2. Apa landasan konsep Pemikiran Mohammad Natsir dalam Pendidikan Islam? 3. Bagaimana
Relevansi
Pemikiran
Mohammad
Natsir
terhadap
Pendidikan Islam di Indonesia saat ini? D. Tujuan Setiap penelitian tentu memiliki tujuan dan kegunaan, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mendeskripsikan konsep Mohammad Natsir tentang pendidikan Islam. 2. Untuk mendeskripsikan landasan konsep pemikiran Mohammad Natsir dalam Pendidikan Islam. 3. Memaparkan kesamaan dan perbedaan Konsep Pendidikan Islam Muhammad Natsir dengan Konsep Pendidikan Islam HOS Tjokroaminito. E. Manfaat Penelitian Penulis melakukan penelitian tentang Pemikiran Pendidikan Islam Mohammad Natsir, agar kita mulai melirik kembali para ilmuan Islam di Indonesia yang lebih mengetahui tentang kondisi dan situasi yang terjadi di Indonesia dibanndingkan dengan para ilmuan-ilmuan luar yang sering kita jumpai dalam buku-buku pendidikan.
10
Beliau bukan saja sebagai negarawan atau politisi yang sebagaimana dikenal kebanakan orang, tetapi seorang pemikir pendidikan yang sangat gigih dalam meluruskan pendidikan Islam agar sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Meskipun begitu beliau juga sangat mementingkan pendidikan umum. Semoga dengan melihat kembali tokoh-tokoh Islam yang ada di Indonesia dapat membangkitkan semangat para generasi muda untuk meneruskan perjuangan Mohammad Natsir yang telah lebih dulu di panggil yang maha kuasa. Dengan banyaknya masalah
sangat komplek yang terjadi di
Indonesia pada khususnya dan di dunia pada umumnya, bukan tidak mungkin jika pendidikan Islam akan dilirik kembali seperti masa kejayaan Islam yang lalu.
F. Metode Penelitian Skripsi 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research).Penelitian ini dilakukan dengan bertumpu pada data kepustakaan tanpa diikuti dengan uji empirik. Jadi, studi pustaka disini adalah studi teks yang seluruh substansinya diolah secara filosofis dan teoritis.(Noeng Muhajir, 1996: 158-159).
11
Karena penelitian disini sifatnya adalah kajian pustaka atau literer, maka penulis dalam mengkaji Konsep Pemikiran Mohammad Natsir dengan bantuan buku-buku, yang kami ambil dari tulisan beliau dan juga tulisan orang lain yang menceritakan tentang kehidupan maupun pemikiran Mohammad Natsir. 2. Analisis Data Data-data yang telah terkumpul tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode sebagai berikut : a. Metode Analisa Content atau isi. Analisis isi merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi (Noeng Muhadjir, 1992: 76). Menurut Burhan Bungin, analisis isi adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi (proses penarikan kesimpulan berdasarkan
pertimbangan
yang
dibuat
sebelumnya
atau
pertimbangan umum; simpulan) yang dapat ditiru (Replicabel), dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya (Burhan Bungin, 2001: 172-173). b. Metode Analisa Historis, dengan metode ini penulis bermaksud untuk menggambarkan sejarah biografis Muhammad Natsir yang meliputi
riwayat
hidup,
pendidikan,
karyakaryanya (Anton Bakker, 1990: 70).
karir
politik,
serta
12
c. Metode analisa deskriptif, yaitu suatu metode yang menguraikan secara teratur seluruh konsepsi dari tokoh yang dibahas dengan lengkap tetapi ketat (Sidarto, 1997: 100). 3. Metode Pengumpulan Data Data yang dihimpun merupakan sumber tertulis yang secara garis besar ada dua macam sumber yaitu: a) Sumber Primer Sumber primer disini adalah data yang penulis ambil dari karya tulis asli dari tokoh yang dibahas dalam penulisan sekripsi ini. Yang diantaranya adalah sebagai berikut : a. Mohammad Natsir, 1954, Capita Selecta,
Jakarta:
Bulan Bintang b. Mohammad Natsir, 1947, Islam dan Aqal Merdeka, Jakarta: Media Da’wah.
b) Sumber Sekunder Diantaranya: a. Muhammad Syafii Antonio. 2009, Muhammad Saw The Super Leader Super Manager, Jakarta: ProLM dan Tazkia Publishing. b. Yusuf Abdullah Puar, 1978,
Kenang-kenangan
Kehidupan dan Perjuangan, Jakarta: Pustaka Antara.
13
c. Musthofa Rahman. 2001, Pendidikan Islam dalam Perspektif al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. d. Abudin
Nata.
2005,
Tokoh-Tokoh
Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. e. Thohir
Luth.
1999,
M.
Natsir
Dakwah
dan
Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani Press. f. Ajip Rosyidi. 1990, M Natsir, sebuah Biografi, Jakarta: Girimukti Pasaka, cet I, g. Badiatul Roziqin. 2009 Badiatul Mukhlisin Junaidi dan
Abdul
Munif,
101
Jejak
Tokoh
Islam,
Yogyakarta: e-Nusantara, h. E S Anshari/ M A Rais/ Mohammad Natsir, (ed). 1988, Pak Natsir 80 Tahun: Pandangan dan Penilaian Generasi Muda, Jakarta: Media Da’wah i. Abibullah Djaini. 1996, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus. j. Mansur. 2004, Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar k. Dan referensi lainnya yang bersangkutan dengan judul yang penulis angkat.
14
G. Sistematika Penulisan Skripsi Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut : BAB I
: Pendahuluan Berisi tentang Latar Belakang Masalah, Penegasan Istilah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penulisan Skripsi, Serta dilengkapi dengan
Sistematika
penulisan
skripsi
untuk
mempermudah membaca alur pemikiran yang ada. BAB II
: Biografi Mohammad Natsir Pada bab ini membahas tentang Silsilah Mohammad Natsir, Riwayat Pendidikan Mohammad Natsir, Karir Politik Mohammad Natsir, Karya Ilmiah Mohammad Natsir, Mohammad Natsir dan PERSIS (Persatuan Islam) dan Sumbangan Mohammad Natsir Dalam Dunia Pendidikan.
BAB III
: Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Mohammad Natsir Pada bab ini penulis akan manyajikan mengenai gambaran
umum
pemikiran
Mohammad
Natsir
tentang Pendidikan Islam. Yang meliputi (Peran dan Fungsi Pendidikan Islam, Tujuan Pendidikan Islam)
15
Landasan Pendidikan Islam yang meliputi (Pendidikan Tauhid
Sebagai
Dasar
Pendidikan
Islam
dan
Pendidikan Akhlak). Ideologi dan Pendekatan dalam Pendidikan
yang
meliputi:
(Adanya
Koordinasi
Perguruan-perguruan Islam, Fungsi Bahasa Asing, Sifat-Sifat Yang Harus Dimiliki Guru, Pendidikan Yang Bersifat Integral). BAB IV
:Relevansi Pemikiran Mohammad Natsir terhadap Pendidikan Islam di Indonesia
BAB V
: Penutup Bab terakhir dalam skripsi iniadalah penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran yang mungkin dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi yang membutuhkan.
16
BAB II BIOGRAFI MOHAMMAD NATSIR
A. Silsilah Mohammad Natsir Muhammad Natsir lahir di Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, pada hari Jumat’ 17 Jumadil Akhir 1326 Hijriah, bertepatan dengan 17 Juli 1908 Masehi. Ibunya bernama Khadijah, sedang ayahnya bernama Mohammad Idris Sutan Saripado, seorang pegawai rendah yang pernah menjadi juru tlis pada kantor kontroler di Maninjau dan sipir penjara di Sulawesi selatan (Ajib Rosyidi, 1990: 150 Mohammad Natsir dilahirkan di Kampung Jembatan, Baukia, Alahan, Alahan Panjang. Minangkabau, pada tanggal 17 Juli 1908. Kampung Jembatan terletak di balik Gunung Talang olok Profinsi Sumatra Barat. Mohammad Natsir adalah putra ketiga Idris Sutan Sari Pado dan Khadijah. Ayahnya adalah seorang pegawai bawahan, yakni sebagai juru tulis kontrolir di masa pemerintahan Hindia Belanda. ( Badiatul Roziqin (dkk), 2009: 221) Ketika pindah ke Bekeru, dia diajak oleh mamaknya Ibrahim pindah kepadang. Mamaknya yang biasa dikenal dengan makcik Ibrahim adalah bekerja sebagai buruh harian disebuah pabrik kopi yang hanya memperoleh upah beberapa puluh sen sehari. Sehari-hari mereka hidup sangat sederhana, bahkan dalam urusan makanan hanya ketika hari raya saja atau peristiwaperistiwa penting saja. Sehingga dapat dikatakan bila sejak kecil Natsir sudah belajar hidup sederhana.
17
Pada
tanggal
20
Oktober
1934,
M.
Natsir
melangsungkan
pernikahannya dengan Putri Nur Nahar, guru Taman Kanak-kanak Pendidikan Islam. Pernikahan dilaksanakan dengan sederhana saja. Tamu-tamu makan di langgar yang terletak di depan rumah tempat pernikahan dilangsungkan. Pergaulan selama dua tahun sesama pengasuh Pendidikan Islam, menambah perkenalan sebelumnya tatkala keduanya sama-sama aktif di JIB, telah mengeratkan kedua insan yang sama-sama tulus mengabdikan hidupnya bagi kemajuan umat Islam(Ajib Rosyidi, 1990: 177) Natsir wafat pada tanggal 6 Februari 1993, bertepatan dengan tanggal 14 Sya’ban 1413 H, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 85 tahun. Berita wafatnya menjadi berita utama diberbagai media cetak dan elektronik. Berbagai komentar muncul, baik dari kalangan kawan seperjuangan maupun lawan politiknya. Ada yang bersifat pro terhadap kepemimpinannya dan ada pula yang bersifat kontra. Mantan Perdana Menteri Jepang yang diwakili oleh Nakadjima, menyampaikan bela sungkawa atas kepergian M. Natsir dengan ungkapan, “Berita wafatnya M. Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hirosima(Thohir Luth, 1999: 28).
B. Riwayat Pendidikan Mohammad Natsir Natsir perama kali masuk ke Sekolah Kelas II di Maninjau, yaitu Sekolah Rakyat yang memakai bahasa pengantar bahasa Melayu. Disitu Natsir duduk sampai kelas dua. Kemudian ketika ayahnya pindah ke Bekeru, dia diajak oleh mamaknya Ibrahim pindah ke Padang, agar dapat masuk ke
18
HIS. Natsir gembira sekali menerima tawaran itu. Dia pun akan meninggalkan Sekolah Rakyat untuk masuk HIS. Tetapi apa hendak dikata, HIS Padang menolaknya sebagai murid. Menurut Natsir sendiri, karena ayahnya hanya pegawai kecil yang gajinya tak sampai F. 70 sebulan, padahal untuk diterima di HIS mestilah anak pegawai negeri yang gajinya minimum F.70, atau anak saudagar yang kaya raya. Untunglah pada waktu itu di Padang sudah berdiri HIS Abadiyah, sebuah usaha swasta yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak negeri. Natsir diterima disitu sebagai murid. Natsir sekolah di HIS Adabiyah hanya lima bulan saja. Ayahnya yang telah pindah kerja ke Alahan Pajang, mengajak Natsir untuk pindah karena telah dibuka HIS pemerintah di Solok. Karena jauhnya jarak Solok dan tempat Natsir sekolah, maka Natsir dititipkan di rumah Pak Haji Musa, memiliki anak yang sekolah di HIS kelas satu, sedang Natsir langsung masuk ke kelas dua, karena lowongan yang ada cuma kelas dua. Akan tetapi Natsir diberi kesempatan untuk mencoba di kelas dua selama beberapa hari. Ternyata Natsir berhasil, sehingga diterima di sekolah tersebut secara resmi. Setelah menamatkan HIS di Padang, Natsir remaja meneruskan pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang pada tahun 1923. Karena prestasinya, Natsir remaja dapat sekolah MULO gratis. Ia mendapatkan beasiswa dari pemerintahan Belanda. (Badiatul Roziqin, Badiatul Mukhlisin Junaidi dan Abdul Munif, 2009: 222). Di MULO, Natsir
19
mulai berkenalan dengan organisasi kepemudaan, seperti Jong Sumatra (Pemuda Sumatra), Jong Islamieteten Bond(Perserikatan Pemuda Islam. Beliau melanjutkan studinya di AMS (Algemeene Midel School) di Bandung.
Natsir
remaja
mengambil
jurusan
Sastra
Barat
Klasik.
Pendidikannya di AMS juga dibiyayai oleh Pemerintahan Belanda. Saat study di AMS, Natsir remaja berkanalan dengan ustadz A. Hasan, Tokoh PERSIS (Persatuan Islam) garis keras, yang membimbing dirinya melakukan studi tentang Islam. Dengan ustadz ini ia mengelola majalah “Pembela Islam” sampai tahun 1932. Pendidikan AMS diselesaikan pada tahun 1930 saat usianya 22 tahun. (Badiatul Roziqin, Badiatul Mukhlisin Junaidi dan Abdul Munif, 2009: 222). Meskipun Natsir melanjutkan pendidikannya di sekolah Belanda, yaitu dari A.M.S. Bandung. Tetapi dalam hidupnya sehari-hari, hidup secara orang santrilah yang banyak tertonjol. Kalau berbicara di hadapan umum, tidak bersifat agitatif, menggeledek dan mengguntur. Tetapi dengarkanlah ucapannya dengan tenang, kian lama kian mendalam dan tidak akan membosankan. Karena semua berisi dan terarah (Ajib Rosyidi, 1990: 194). Diawali dari sejak beliau menamatkan sekolahnya di HIS, Natsir melanjutkan sekolahnya MULO di Padang dan AMS di Bandung dengan mengambil jurusan sastra Barat dengan mengandalkan beasiswa. Sehingga bisa dikatakan bahwa Natsir adalah seorang anak yang cerdas. Selain beliau mengikuti sekolah formal, beliau juga mengikuti kursus guru diploma selama setahun, yaitu pada tahun 1931-1932.
20
Karena prestasinya yang gemilang, beliau juga pernah mendapatkan tawaran beasiswa dari pemerintah Belanda untuk melanjutkan sekolahnya ke Fakultas hokum Hukum Jakarta, Fakultasa Ekonomi Rotterdam Belanda, namun Natsir remaja menolaknya. Natsir remaja lebih tertarik untuk terjun di dunia Pendidikan dan melakukan pembenahan serta pembelaan kepada kaum yang tertindas (Badiyatul Roziqin. dkk, 2009: 222).
C. Karir Politik Mohammad Natsir Mohammad Natsir mulai aktif dibidang politik dengan melibatkan diri sebagai anggota Persatuan Islam Indonesia (PII) cabang Bandung. Pada tahun 1940-1942, Natsir menjabat ketua PII, dan pada tahun 1942-1945, ia merangkap jabatan sebagai Kepala Biro Pendidikan Kota Jakarta yang merupakan Perguruan Tinggi Islam pertama yang berdiri paska kemerdekaan. Karir politik Natsir pasca kemerdekaan diawali sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang berlangsung dari tahun 19451946. Kemudian menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia pada cabinet Syahrir ke-1 dan ke-2 serta cabinet Hatta ke-1. Dari tahun 1949sampai 1958 ia diangkat menjadi ketua Masyumi, hingga partai ini dibubarkan. Puncak karir Natsir dalam bidang politik terjadi ketika Natsir diangkat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia (1950-1951). Dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 Natsir terpelih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan dari tahun 1956-1957, ia menjadi anggota Konstituante Republik Indonesia.(Abudin Nata, 2005: 77).
21
Sebagai pemimpin politik Islam, M Natsir telah memberikan seluruh tenaga dan fikirannya bagi kepentingan seluruh umat Islam di Indonesia pada khususnya dan pada seluruh rakyat Indonesia pada umumnya. Dengan munculnya pemikiran untuk menyatukan masing-masing Negara bagian untuk bersatu kembali dalam Negara kesatuan RI. Yang telah dibicarakan terlebih dahulu dalam Dewan Pimpinan Partai Masyumi. Mosi Integral disampaikan M. Natsir dalam Sidang Dewan Perwakilan RIS pada tanggal 3 April 1950. Dari mosi integral inilah kemudian lahir proklamasi kedua yang dikumandangkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1950 di Istana Merdeka, Jakarta. Intinya, RI untuk kedua kalinya diproklamasikan menjadi Negara kesatuan. Ini berarti pembubaran RIS dan pembentukan cabinet baru. Dengan demikian, M. Natsir ditunjuk sebagai pembentuk cabinet karena ia dengan Masyumi mempunyai konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi. Bahkan, menurut A.H. Nasution, ide M. Natsir ini kemudian dijadikan doktrin ABRI, sebab ide itu sesuai dengan doktrin tentara, yang tidak hanya bertempur, tetapi terus menggali dukungan rakyat. Mosi integral merupakan debut politik M. Natsir yang amat cemerlang yang sampai sekarang Indonesia menjadi satu dan kokoh. Yang mana mosi ini dikenal dengan “Mosi Integral M. Natsir” (Thohir Lut, 1999: 48). Natsir tidak digunakan lagi dalam pemerintahan, bahkan partai Masyumi yang dipimpinnya dibubarkan karena perbedan pandangan tentang Islam dengan Soekarno, dan juga keinginan Natsir ntk menjadikan Islam
22
sebagai dasar Negara. Pada puncak konflik antara keduanya, Natsir juga melibatkan diri dalam gerakan opososi, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra. Tokoh-tokoh ini menyatakan bahwa pemerintahan Soekarno telah menyeleweng dari Undang-Undang Dasar 1945, yang mengakibatkan Natsir dan kawan-kawannya ditangkap dan dimasukkan kedalam penjara. Ketika Pemerintahan Orde Baru muncul Natsir juga tidak diberikan tempat untuk ikut memimpin negeri ini. Beliau tersingkir bukan karena keraguan orang terhadap kredibilitas dan kemampuannya, akan tetapi karena masalah idiologi pula yang menyebabkan pemerintahan Orde Baru tidak menginginkannya. Dalam keadaan yang demikian Natsir meneruskan perjuangannya dengan menggunakan media dakwah yang dibentuknya bersama Ulama di Jakarta, yaitu Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Sehingga menyebabkan hubungan Natsir dengan Pemerintahan Orde Baru kurang harmonis. Kritiknya yang tajam menyengat dan menunjuk langsung pada persoalan-persoalan yang mendasar, tetap menjadi aktifitas rutinnya. Keberaniannya mengoreksi Pemerintahan Orde Baru dan ikut menandatangani Petisi 50 pada tanggal 5 Mei 1980, Menyebabkan M. Natsir dicekal ke luar negeri tanpa melewati proses pengadilan. Pencekalan ini pun terus berlangsung tanpa ada proses hukum yang jelas dari Pemerintahan Orde Baru, dan ini berjalan hingga M.Natsir dipanggil ke hadirat Allah SWT (Thohir Luth, 1999: 26).
23
Dikancah Internasional M. Natsir pada tahun 1956, bersama Syekh Maulana Abul A’la al-Maududi (Lahore) dan Abu Hasan an-Nadawi (Lucknow), M. Natsir memimpin sidang Muktamar Alam Aslamy di Damaskus. Ia juga menjabat
Wakil Persiden Kongres Islam Sedunia. Ia
menerima penghargaan internasional berupa Bintang Penghargaan dari Tunisia dan Yayasan Raja Faisal Arab Saudi (1980). Di dunia akademik, ia menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Islam Lebanon (1967) dalam bidang Sastra, dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Saint Teknologi Malaysia (1991) dalam bidang pemikiran Islam.
D. Karya Ilmiah Mohammad Natsir Meski aktif di dunia politik beliau adalah seorang cendekiawan Muslim yang sangat produktif menulis. Baginya menulis adalah cara yang sangat efektif untuk berjuang menegakkan kebenaran. Tulisan-tulisan itu banyak terdapat di artikel-artikel, majalah, dan juga buku yang terkumpul lebih dari sembilan puluh buku. Dalam salah satu laporannya, Yusuf Abdullah Puar menyebutkan ada 52 judul telah ditulis M. Natsir dalam berbagai kesempatan sejak tahun 1930 (Yusuf Abdullah Puar, 1978: 4). Tidak jelas apa yang dimaksud dengan 52 judul tulisan M. Natsir tersebut, apakah itu judul yang telah dihimpun menjadi buku atau judulartikel lepas yang berada di berbagai media massa. Kalau betul ke-25 judul itu berupa buku yang telah tercetak, ini bisa dimengerti karena
24
berbagai buku M. Natsir itu isinya berupa kumpulan artikel-artikel, seperti Kapita Selekta I dan II dan sebagainya. Akan tetapi, jika judul tersebut juga termasuk tulisan lepas M. Natsir, maenurut penulis, lebih dari itu.(Thohir Luth, 1999:28). Pada tahun 1936, lahirlah buku cultur Islam, yang ditulisnya bersama Prof. C.p. Wolf Kemal Schoemaker dalam bahasa Indonesia. Lalu Mohammad als Profhet dan Qur’an en Evangieli pada tahun 1929. Gauden Regels uit den Quran, pada tahun 1932. Dan De Islamietische Vrouw en haar Recht, ditulis pada tahun 1933. Pada tahun 1954, muncul karyanya Some Obsrvations concerning the Role of Islam in National and International Affair, yang merupakan bagian dari program Asia Tenggara Universitas Cornell, Ithaca, AS. (Badiatul Roziqin, Badiatul Mukhlisin Junaidi dan Abdul Munif, 2009: 224).
E. Mohammad Natsir dan PERSIS (Persatuan Islam) Dengan mengikuti organisasi Persatuan Islam (Persis) Natsir mulai meniti karirnya sebagai negarawan dan pejuang Islam. Dengan mendapatkan bimbingan dari
Ahamad Hasan, yaitu salah satu tokoh dari organisasi
Persatuan Islam yang sangat berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunnah, sehingga tidak heran jika Natsir mengikuti jejak beliau untuk menegakkan syariat Islam dari yang beliau anggap penyimpangan, seperti kurofat, taqlid dan bid’ah.
25
Persisi didirikan oleh Haji Zam Zam tanggal 12 September 1923 di Bandung. Pendirian Persis ini sangat terlambat jika dibandingkan dengan gerakan-gerakan modern Islam lainnya seperti Jami’at Khoir (1905), Persyarikatan Ulama (1911), Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1913). Memang, pada tahun 1913, di Bandung telah didirikan Sarekat Islam, namun usaha pengikutnya dalam aktivitas keagamaan tidak tampak jelas, karena pada umumnya
mereka
para
saudagar.
Dengan
demikian
kesadara
atas
keterlambatan ini merupakan salah satu pendorong untuk mendirikan organisasi ini. Awal mula ide yang menjadi cikal bakalnya Persis ini adalah dari diskusi-diskusi tidak resmi yang dilakukan oleh Haji Zam Zam yang belakangan nanati menjadi tokoh berdirinya Persis. Diskusi-diskusi tidak resmi tersebut membahas bagaimana jawaban Islam terhadap masalahmasalah yang sedang berkembang. Dengan menggunakan kesempatan berkenduri, para jamaah yang dimotori oleh Haji Zam Zam itu mencoba menjawab masalah-masalah khurafat, tahayul, bid’ah dan taqlid, yang menurut pengamatannya sedang merasuk jiwa dan alam pandangan masyarakat pada waktu itu, disksi tersebut belum mendapat bentuk dan arah yang jelas sebagai organisasi dakwah yang bisa digerakkan untuk kepentingan dakwah Islam. Organisasi ini mendapat bentuk yang jelas setelah bergabungnya Ahmad Hasan dan M. Natsir di dalamnya pada tahun 1927. Ketertarikan Muhammad Hasan dan M. Natsir pada Persis tak lepas dari jasa atau ajakan temannya, Fahrudin al-Khaeri, untuk menghadiri pengajian dan pengajaran yang dilakukan oleh organisasi ini (Thihir Luth, 1999: 31-32).
26
F. Sumbangan Mohammad Natsir Dalam Dunia Pendidikan Beliau ikut serta dalam menyiapkan Sekolah Tinggi Islam di Zaman Jepang, yang kemudian sekolah tersebut pada saat ini menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) yang terletak di Yogyakarta. Dalam makalahnya Dr. Fadhullah Jamil mengatakan bahwa diantara sumbangan Mohammad Natsir dalam dunia Pendidikan adalah ide pendidikan yang bersifat integral, yaitu dengan berdirinya Universitas Islam Antar Bangsa di Kuala Lumpur Malaysia (Abibullah Djaini, 1996: 108). Pada masa-masa belanda Mohammad Natsir jika kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah belanda seperti HIS, MULO, AMS tidak memberikan kesempatan kepda pelajar Muslim untuk memperdalam pengetahuannya dalam soal agama, bahkan malah memperdangkalnya. Bahakan dalam ilmu modernpun Natsir menganggap belum begitu benar. Maka harus ada bentuk sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu modern, tetapi juga mengajarkan agama Islam kepada para pelajar supaya ketika terjun kedalam masyarakat mereka menjadi muslim yang tahu harga diri dan kukuh tegak dalam menghadapi tantangan di dunia modern dan tidak hanya menjadi korban bangsa asing. Natsir mengomentari pendidikan di Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara, cabangnya yang ada di Bandung, yang menanamkan rasa cinta tanah air dan bangsa, tetapi dia mendapat kesan paham ajarannya terlalu bersifat Jawa. Mereka terlalu memuja-muja dan membesar-besarkan
27
kebudayaan Jawa, yang tidak pula dikaitkan dengan agama Islam, kendati raja-raja Jawa digelari Sultan, tetapi lebih banyak dihubungkan dengan keHinduan.
Hubungannya
yang
mesra
terhadap
menyebabkan sering juga timbulnya sikap
“Kaum
Kebangsaan”
yang merendahkan dan
menyinggung perasaan orang Islam. Di sekolah itu ajaran Islam memang tidak diajarkan, melainkan ada didikan budi pekerti yang bersumber kepada etika Jawa dan ke-Hinduan (Ajib Rosyidi, 1990: 159-160).
28
BAB III KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MOHAMMAD NATSIR
A. Peran dan Fungsi Pendidikan Islam Dalam hubungan ini paling kurang terdapat enam rumusan yang dimajukan Natsir. 1. Pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan tersebut
dalam mencapai pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna. 2. Pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki sifat-sifat kemanusiaan dan mencapai akhlaq alKarimah yang sempurna. 3. Pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk menghasilkan manusia yang jujur dan benar (bukan pribadi yang hipokrit). 4. Pendidikan agar berperan membawa manusia agar dapat mencapai tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah SWT. 5. Pendidikan harus dapat menjadikan manusiayang dalam segala perilaku atau interaksi vertikal maupun horisontal selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam.
29
6. Pendidikan
harus
benar-benar
mendorong
sifat-sifat
kesempurnaan dan bukan sebaliknya, yaitu menghilangkan dan menyesatkan sifat-sifat kemanusiaan (Abudin Nata, 2005:81).
B. Tujuan Pendidikan Islam Sekiranya orang bertanya kepada pemimpin-pemimpin sekolah agama kita, dari Sabang sampai Endeh, dari Balikpapan sampai Cilaca[p, dari kotakota yang besar samapi kedusun-dusun: “Apakah dasar dan cita-cita dari pendidikan yang tuan berikan?”, maka sudah tentu akan mendapat jawaban, pendek ataupun panjang, dapat disimpulkan dengan: “ Dasar didikan kamia ialah Tuhid, yang tersimpul dalam dua kalimah syahadat, Tauhid, yang menjadi pokok dari kemerdekaan dan kekuatan ruhani, dasar dari kemajuan dan kecerdasan manusia. Tujuan didikan kami adalah mendidik anak-anak kami, agar sanggup memenuhi syarat-syarat penghidupan manusia sebagai yang tersimpul dalam kalam Allah: “Wabtaghi fima ata kallahud daral akhirata, wa la tansa nashibaka minad dun ya”…., supaya anak-anak kami dapat memenuhi kuajiban-kuajiban yang perlu pencapai tingkat “hamba Allah”, yakni setinggi-tinggi derajat yang menjadi tujun bagi tiap-tiap manusia menurut keyakinan Muslimin, sebagaimana yang terlukis dalam firman Allah: “wa makholaqtul jinna wal insa illa liya’budun”. Begitulah jawaban yang akan kita dengar lebih kurang, disegenap perguruan-perguruan kita yang berdasar Islam(Mohammad Natsir, 1954: 105).
30
Untuk lebih jelasnya dalam memaparkan tentang tujuan pendidikan menurut Mohammad Natsir, kami terangkan sedikit mengenai didikan itu sendiri. Menurut Natsir didikan ialah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya. Pimpinan semacam ini sekurangnya antara lain perlu kepada kedua perkara: 1. Satu tujuan yang tertentu tempat mengarahkan didikan didikan. 2. Satu asas tempat mendasarkannya. Kaitannya dalam menjelaskan tujuan pendidikan Islam, Natsir terlebih dahulu menyarankan agar terlebih dahulu mengetahuai apakah kiranya yang menjadi tujuan hidup kita di dunia?. Natsir mengutip dalamn al-Qur’an bahwa manusia diciptakan oleh Allah tidak lain adalah untuk menyembah Allah. Menurut M Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya adalah menghasilkan manusia yang berperilaku islami, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Ketaatan kepada Allah yang mutlak itu mangandung makna menyerahkan diri secara total kepada Allah, menjadikan manusia menghambakan diri hanya kepada Allah. Akan menjadi orang yang memperhambakan segenap ruhani dan jasmaninya kepada Allah SWT untuk kemenangan dirinya dengan arti yang seluas-luasnya yang dapat dicapai oleh manusia, itulah tujuan hidup manusia
31
diatas dunia. Dan itulah tujuan didikan yang harus kita berikan kepada anakanak kita kaum Muslimin. Inilah “Islamietisch Paedagogische Ideaal” yang gemerlapan yang harus member suar kepada tiap-tiap pendidik Muslimin dalam mengemudikan perahu pendidikannya(Ajib Rosyidi, 1990: 175-176). Selanjutnya Natsir mengatakan bahwa apabila manusia telah menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah, berarti ia telah berada dalam dimensi kehidupan yang menyejahterakan di dunia dan membahagiakan di akhirat. Menurut Natsir, dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam, hendaknya mempertimbangkan posisi manusia sebagai ciptaan Allah yang terbaik dan sebagai kholifah di muka bumi (Abudin Nata, 2005: 82-83). Dari rumusan-rumusan tersebut ada beberapa hal yang perlu dikomentari. Pertama, M. Natsir menyebut pendidikan sebagai satu pimpinan atau bimbingan agar manusia yang dididik itu dapat bertumbuh dan berkembang jasmani dan rohani. Kedua, pendidikan itu diarahkan agar si terdidik dapat memiliki kesempurnaan sifst-sifat kemanusiaan dalam arti kesempurnaan
akhlak
karimah-nya.
Ketiga,
pendidikan
tidak
boleh
membentuk manusia yang dalam kehidupannya terkesan suka berpura-pura dalam perilakunya untuk hipokrit.
Keempat, tujuan pendidikan itu sama
dengan tujuan hidup, berarti para pendidik harus dapat membentuk peserta didik menjadi manusia-manusia yang mengabdi kepada Tuhan dan mencari keridhoan-Nya. Kelima, alumnus pendidikan harus dapat menjadi manusia yang dalam segala perilaku dan interaksi vertical maupun horizantalnya selalu
32
menjadi rahmat bagi sesame. Keenam, segala informasi dalam pendidikan yang bertujuan menyesatkan peserta didik, apalagi menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan mereka, harus dijauhkan (Thohir Luth, 1999: 95-96).
C. Landasan Pendidikan Islam 1. Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan Islam Semua umat manusia wajib bersyukur kepada Allah yang telah memberikan nikmat yang paling berharga, yaitu kenikmatan yang membedakan antara orang-orang Islam dengan orang-orang yang yang tidak memiliki agama alias Ateis dan agama-agama lain selain Islam. Yaitu hidayah yang telah diberikan Allah kepada kita semua, yang semoga sampai kita keninggal dunia tetap dalam keadaan Islam, yang akhir dari ucapan kita adalah dua kalimah syahadat amin. Tidak akan selesai ketika akan mengajarkan tauhid kepada anak perfikiran tentang takdir seseorang, dengan dalih bahwa ajarannya tentang tauhid kepada anaknya jika nantinya Allah akan mentaqdirkan anak tersebut mati dalam keadaan kafir. Meskipun tidak diajari Tauhid, jika Allah berkehendak lain dan member hidayah kepada anak tersebut dan mencabut nyawanya dalam keadaan telah mengucapkan dua kalimah syahadat, maka anak itu juga akan masuk surga insyaAllah. Demikianlah perkiraan kepada Allah bagi orang-orang secara parsial.
yang hanya belajar agama
33
Sangat berbeda sekali dengan ajaran Allah dalam alquran melalui hikmah
yang
dicontohkan
oleh
Allah
melalui
Luqman,
yang
memerintahkan kita untuk mendidik yang anak pertama kali adalah agar anak tersebut jangan sekali-kali menyekutukan Allah. Nabi Muhammad SAW telah menerangkan bahwa ketika anak dilahirkan kedalm dunia, orangtuanyalah yang akan menjadikan mereka agama Yahudi, Nasrani atau Majusi. Maka sangatlah penting bagi para orangtua untuk sejak dini dalam mengajarkan anaknya tentang tauhid dan hal-hal yang dapat mengeluarkan anak tersebut darinya yaitu berbuat syirik atau menyekutukan Allah, yang bentuknya sangat banyak dan bermacam-macam. Mengenalkan Tuhan, mentauhidkan Tuhan, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Tuhan, tak dapat tidak harus menjadi dasar bagi tiap-tiap pendidikan yang hendak diberikan kepada generasi yang kita latih, jikalau kita sebagai guru ataupun sebagai ibu bapa, betul-betul cinta kepada anak-anak yang telah dipetaruhkan Allah kepada kita itu (M Natsir, 1954: 142). Ketika membahas tentang tauhid, Natsir sering kali mencontohkan kepada kepada kita tentang seorang yang bernama Paul Ehrenfest. Dia adalah seorang terpelajar, seorang intelektual, berasal dari keluarga yang baik, dan beliau adalah seorang yang terkenal dengan budi pekertinya yang baik, karena tidak pernah terdengan melakukan pekerjaan yang tercela.
34
Kenapa sekarang ia melakukan suatu berbuatan yang lebih buas dan ganas sifatnya dari perbuatan seorang penjahat, membunuh anak sendiri, dan setelah itu membunuh dirinya sendiri?. Dari suatu surat yang ditinggalkan untuk teman sejawatnya yang paling rapat, yakni Prof. Kohnstamm itu nyatalah, bahwa perbuatan yang menewaskan dua jiwa itu bukan suatu pekerjaan terburu nafsu, melainkan suatu perbuatan yang difikir lama, berasal dari suatu perjuangan ruhani yang telah mendalam, yang tak dapat diselesaikan dengan lautan ilmu yang ada padanya itu(M Natsir, 1954: 140). Pidato beliau pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 juni 1934, dengan judul “Idiologi Didikan Islam” maupun tulisan beliau di Pedoman Masyarakat tiga tahun kemudian (1937). Dengan judul “Tauhid Sebagai Dasar Didikan” dengan jelas dan gambling sekali menggariskan ideologi pendidikan ummat Islam yang harus bertitik tolak dari dan berorientasi kepada kata Tauhid, yang bersimpul dalam dua kalimah syahadah itu (Abibullah Djaini, 1996: 100). Pentingnya tauhid sebagai dasar pendidikan ini menurut Natsir barhubungan erat dengan akhlak yang mulia. Tauhid dapat terlihat manifestasinya pada kepribadian yang mulia seperti yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan. Yaitu pribadi yang memiliki keikhlasan, kejujuran, keberanian, dan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas atau kewajiban yang diyakini kebenarannya(Abudin Nata, 2005:86).
35
Selain itu juga Natsir mengisahkan tentang kisah Ismail yang rela disembelih oleh bapaknya sendiri kalau memang itu adalah perintah Alllah.
Sehinnga
Allah
menurunkan
kamping
untuk
disembelih
menggantikan Ismail. Yang sering dilakukan umat Islam ketika hari raya Idul Adha dan tiga hari setelahnya. Pak Natsir menyarankan kepada kita bahwa landasan pendidikan bagi umat Islam sebagai butir dari berbagai butir dalam sistem pendidikan, adalah Tauhid. Keyakinan akan keesaan Allahakan menempa ketangguhan pribadi seseorang dalam melaksanakan tugas kemanusiaannya sebagai hamba Allah. Maupun yang beribadah kepada-Nya sebagai makhluk sosial, yang mampu melaksanakan kewajiban dengan penuh tanggung jawab demi kepentingan masyarakat. Tauhid pada hakikatnya adalah landasan seluruh aspek kehidupan manusia dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT (Abibullah Djaini, 1996: 89). Hubungan manusia dan sesama makhluk dapat diadakan kapan saja waktunya. Akan tetapi hubungan dengan Ilahi tidaklah boleh dinantinantikan setelahnya besar atau berumur lanjut. Maka berbahagialah seorang anak apabila ia mempunyai seorang bapa yang tahu menanamkan tauhid dalam sanubarinya sedari kecilnya. Akan terpelihara ia dari malapetaka, karena senantiasa ada hubungan kepada khalik yang menjadikannya, serta mengutamakan mu’amalah dengan sesame makhluk. Itulah dua syarat yang tak dapat tidak harus
36
dipakai supaya mendapat keselamatan dan kebahagiaan hidup, lahir dan batin(M Natsir, 1954: 143). 2. Pendidikan Akhlak Akhlak adalah sikap yang terpuji yang harus dimiliki oleh seorang guru. Kemudian ia memerintahkan kepada murid-muridnya untuk berakhlak baik. Ucapan yang baik, senyuman, dan raut muka yang berseri dapat menghilangkan jarak yang membatasi antara seorang guru dengan muridnya. Sikap kasih dan saying, serta kelapangan hati seorang pendidik akan dapat menangani kebodohan seorang murid(Muhammad Syafii Antoni, 2009: 201). Sering kali kebanyakan orang meremehkan akan pentingnya pendidikan akhlak, mereka beranggapan bahwa pendidikan akhlak cuma berputar pada kesopanan saja. Padahal jika kita telusuri sangat banyak sekali cabang-cabang yang terdapat dalam pendidikan akhlak. bahkan saking pentingnya rasulullah diutus kedunia tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dalam agama islam pendidikan akhlak mengajarkan tentang bekerja dengan giat, rajin, optimis, toleransi, tidak boleh curang dan sebagainya. Jadi bias disimpilkan jika seseorang memiliki akhlak yang baik maka anak juga memiliki kecerdasan yang baik pula Pernah diadakan penelitian pada salah satu pendidikan dasar di Negara liberal, tentang pendidikan yang diperoleh anak-anak didik di Negara tersebut. Salah satu yang sangat mengesankan tentang sistem
37
pendidikan
disana
adalah,
guru-guru
lebih
memperhatikan
dan
mengutamakan anak didik mereka pandai dalam mengantre ketika menyebrang daripada pandai dalam pelajaran matematika atau pelajaran goegrafi. Salah sat dari para guru mengatakan bahwa mengajari anak untuk dapat mengantre dengan baik lebih sulit dibandingkan mengajari anak untuk pandai dalam pelajaran matematika maupun geografi, untuk mengajari anak belajar mengantre bias memerlukan waktu sampai lima belas tahunan, akan tetapi anak dapat pandai dalam matematika ataupun geografi Cuma dengan belajar beberapa bulan saja.
D. Pengembangan Pendidikan Islam 1. Adanya koordinasi perguruan-perguruan Islam Akibat tidak adanya koordinasi antara perguruan-perguruan Islam, mengakibtakan banyak sekali murid-murid sekolah kita yang terlantar pelajarannya, bilaman mereka terpaksa pindah dari satu tempat ketempat yang lainnya. Bukan kita tidak member pelajaran yang baik, akan tetapi kurang member jaminan dan ketentraman hati kepada para wali murid, lantaran sekolah-sekolah kurang menjaga hubungan yang rapat diantara pelajaran satu sekolah dengan sekolah yang lainnya. Jika dilihat dari dasar, tujuan pendidikan Islam pasti semua sama. Yang membedakan antara sekolah satu dengan sekolah yang lainnya adalah terdapat dalam tehnik dan susunan pelajaran yang diajarkan.
38
Jangan kita lupakan, bahwa koordinasi itu bukan satu banjir besar yang akan menghancurkan dan mengikis semua yang ada, dan mendirikan suatu bangunan yang baru sama sekali. Koordinasi dalam kalangan didikan itu tidaklah bisa disamakan dengan normalisasi dalam kalangan tehnik dan industri. Lantaran yang menjadi bahan dalam kalangan didikan bukanlah kayu, atau semen atau salah satu logam yang hendak ditetapkan sama rata berapa panjang, lebar dan tebalnya. Melainkan manusia yang hidup, yang mempunyai, disamping beberapa sifat-sifat yang umum, beberapa sifat dan tabiat yang terkhusus pula. Sifat dan tabiat yang tak dapat, dan memang tak bolah dibentuk dan dicetak seperti tanah liat yang dijadikan belanga dan batu-bata. Kalau kita menoleh kekanan dan kekiri, akan kelihatanlah dinegeri orang lain, seperti di Negeri Belanda umpamanya, bahwa sebagian besar dari perguruan mereka dipegang oleh partikelir. Dari pelajaran rendah, menengah dan sampai kepada universitasnya. Didirikan oleh bermacammacam
golongan:
mashabnya
pula:
Katolik,
Protestan
Doopsgezinden,
dengan
bermacam-macam
Adventisten,
Pinkstergemeente,
Calvinisten dan lain-lainnya. Masing-masing memiliki sifat khusus. Akan tetapi pandai dan mungkin mereka mempersatukan isi dan rencana pelajaran. Pandai dan mungkin mereka mengadakan pada saat-saatnya yang tertentu satu “Algemeen Onderwiys Congres” dengan tidak memandang mazhab agama dan parati politik.(Mohammad Natsir, 1954: 107-108)
39
Meskipun memang ada sifat-sifat terkhusus dari setiap sekolahan tertentu, akan tetapi mengingat anak-anak didik maka perlu adanya koordinasi antara sekolah satu dengan sekolah yang lainnya. Natsir juga menghimbau akan pentingnya koordinasi antara sekolahan rendah, menengah dan universitas, agar peserta didik yang ketika menamatkan sekolah mereka di pendidikan dasar dan akan melanjutkan ke sekolah menengah akan terjadi kesinambungan. Begitu pula mereka yang dari sekolah menengah yang akan melanjutkan ke universitas Islam. Sehingga pendidikan yang didapat sejak sekolah dasar samapi perguruan tinggi tidak akan terjadi adanya pengulangan dalam pelajaran dan juga kurang bisa mengikutinya siswa ketika berada di suatu perguruan tinggi, dikarenakan di sekolahnya dahulu belum diajarkan. Cara memulai koordinasi yang pertama yaitu: perguruan tinggi menawarkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh kandidat student yang akan diterima. Berdasar kepada tawaran itu, Perguruan Menengah mengatur rencana pelajarannya yang sepadan dengan itu. Sesudah itu terus pula menawarkan kepada Perguruan Rendah, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kandidat-kandidat murid Sekolah Menengah nantinya. Dengan begitu rencana pelajaran segenap lapisan dapat tersusun Cara yang kedua: Pemimpin-pemimpin Perguruan Rendah memulai merancangkan satu rencana pelajaran yang sedapat-dapatnya diturut
oleh
kalangan
diperbincangkan
dengan
Sekolah-sekolah wakil-wakil
Rendah.
Perguruan
Rancangan Menengah,
itu dan
40
setelahnya musyawarah itu menghasilkan satu buah yang tertentu, maka dapatlah
Perguruan
Menengah
mendasarkan
rencana
pelajaran-
pelajarannya atas rencana pelajaran Perguruan Rendah itu pula. Dan seterusnya menjadi kewajiban pula bagi Preguruan Menengah menjadikan kesempatan bagi murid-murid yang hendak menyambung pelajaran ke Sekolah Tinggi(M Natsir, 1954: 110). Sehingga Natsir bercita-cita untuk membentuk semacam wadah bersama bagi perguruan-perguruan Islam itu, yang mnamanyapun sudah dia temukan, yaitu “Perikatan Perguruan-perguruan Muslim Indonesia” disingkat menjadi “Permusi”. Dia menganggap karangannya yang dimuat dalam majalah Panji Islam itu sebagai seruan kepada perguruan-perguruan Islam yang ada, yang diminta agar dikirimi majalah tersebut supaya mereka dapat menyatakan persetujuaanya melaluai redaksi. Tetapi harapan itu sia-sia. Tak ada sambutan yang antusias terhadap gagasan tersebut, sehinnga ia terbengkalai begitu saja. Dan perguruan-perguruan Islam tetap saja berjalan menurut garisnya masing-masing tanpa memperdulikan kesulitan yang dihadapi murid-muridnya yang misalnya karena orang tuanya pindah kerja dia pun harus pindah sekolah pula (Ajib Rosyidi, 1990: 204-205). 2. Fungsi Bahasa Asing Menurut natsir, dengan berbahasa Indonesia berarti telah mempertahankan sifat-sifat dan kebudayaan sendiri. dikarenakan bahasa
41
bagi seluruh bangsa adalah sebuah tulang punggung dari sebuah kebudayaan suatu bangsa. “Sebagai dasar bagi kecerdasan salah satu bangsa”, kata Natsir, “adalah bahasa Ibunya sendiri. Bahasa yang bersangkut paut dan tak dapat diceraikan dari aliran berfikir. Bahasa dari salah satu bangsa, adalah tulang punggung dari kebudayaannya. Mempertahankan bahasa sendiri berarti mempertahankan sifat-sifat dan kebudayaan sendiri.” Untuk itu Natsir mengutip L. Weisgeber dalam kitabnya Mutterspacha and Geisterbildung (1920): “Kultur salah satu bangsa berdiri atau jatuh dengan bahasa bangsa itu sendiri.” Ini semua tidak berarti bahwa untuk kemajuan dan kecerdasan bangsa kita, yakni kecerdasan yang lebih luas, kita sudah memadakan saja dengan bahasa kita itu sendiri. Kemajuan berfikir, bergantung sangat kepada keluasan medan yang mungkin dikuasai oleh bahasa yang dipakai. Dan apabila suatu bahasa seperti bahasa Indonesia, masih berada pada tingkat seperti sekarang, dan belum pula cukup kekayaannya untuk mengutarakan bermacam-macam pengertian yang ma’nawi, maka bahasa itu sendiri akan menjadi kurungan yang membatasi ruang-gerak kita dalam menuju kecerdasan umum yang lebih luas. Yaitu sekiranya kita puaskan diri dengan sekedar mengetahui bahasa kita sendiri itu saja. Bentuk dan bangunan fikiran suatu bangsa berjalin rapat dan boleh dikatakan terpaksa menurut bentuk dan bangun yang diizinkan oleh kekayaan bahasa bangsa
42
itu. Daerah kita untuk berfikir dibatasi oleh luas atau sempitnya daerah bahasa itu pula (Ajib Rosyidi, 1990: 208-209). Meskipun mempertahankan bahasa sendiri sangtlah penting, Natsir juga mengatakan kalau bahasa asing juga sangat penting dipelajari untuk menjerdaskan suatu bangsa dalam mengetahui istilah-istilah dan ilmu pengetahuan yang masih belum diketahui oleh ilmuan-ilmuan dari lokal. Dalam bukunya Capita Selekta, Natsir mengatakan: “Kalau kita disini mengatakan “bahasa asing”, galibnya kita ingat kepada bahasa Belanda, Inggris, Prancis, Djerman atau lain-lain. Dan memang bahasa Belanda, bahasa Inggris dan sebagainya itu banyak jasanya bagi kecerdasan kita bangsa Indonesia. Ini tidak kita mungkiri ! Akan tetapi jangan kita lupakan bahwa sebelum bahasa Belanda, menjadi penghubung dengan dunia luar sebelumnya bahasa Inggris mulai dipelajari dikalangan bangsa kita, kita di Indonesia sudah berpuluh tahun terlebih dahulu mempunyai satu bahasa perhubungan, jembatan yang memperhubungkan kita dengan sumber kebudayaan dunia luar, yaitu: bahasa Arab !(M Natsir, 1954: 132) Dengan akal merdeka bangsa Turki sudah melepaskan dirinya dari taqlid yang amat berbahaya, yang menghambat kemajuan, yang menghancurkan semua kekuatan bangsa Turki. Dengan akal merdeka mereka tukar huruf Turki dengan huruf Latin yang mereka anggap lebih praktis dan menurut zaman. Dengan akal merdeka mereka modernkan
43
administrasi pemerintahan, mereka masukkan ilmu pengetahuan Barat, tehnik dan tata organisasi Barat (M Natsir, 1988: 13). Dengan bahasa arab sudah dicapai lapisan yang ada dikampungkampung dari segenap pojok dan pelosok dengan perantaraan pesantren, pondok-pondok, sekolah-sekolah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah yang tak terhitung banyaknya itu, bertebaran dalam dusun-dusun, sampai-sampai ketepi hutan yang penduduknya dianggap buta huruf (yakni buta huruf latin). Malah boleh dikatakan, bahwa kecerdasan yang dialirkan dengan pembuluh bahasa arab ini, sudah lebih dulu dan lebih mendalam masuk ketulang sumsum masyarakat hidup kita. Dan tambah rapinya organisasi pondok-pesantren dan Ibtidaiyah serta Tsanawiyahnya, sebagaimana yang tampak dizaman sekarang, semua itu mempunyai pengaruh, atas aliran kecerdasan bangsa kita, yang sekali-kali tidak boleh kita abaikan. Kalau kira-kira 20 tahun yang lalu, perpustakaan Arab yang masuk kenegeri kita terbatas dengan ilmu tafsir, hadits dan fiqih saja, maka pada saat yang ahir-ahir ini, Indonesia sudah dibanjiri bermacam-macam kitabkitab dari risalah yang tipis sampai kepada yang besar-besar, dalam bermacam-macam ilmu pengetahuan Agama dan keduniaan : tarikh, filosofi, kesustraan, psikologi,, kesehatan, pendidikan, ilmu bangsa dan lain-lain.
44
3. Sifat-sifat yang harus dimiliki Guru Tentang guru. Menurut DR.G.J.Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Natsir, suatu bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa tersebut. Pernyataan ini dikutip oleh Natsir, karena pada saaat itu minat kalangan akademik untuk menjadi guru sudah mulai menurun. Berkaitan dengan masalah ini, Natsir menulis artikel dengan kalimat pembuka: “Sekarang saya mempropagandakan pendidikan, tetapi nanti saya tidak dapat mendidik anak-anak saya”. Pernyataan kalimat tersebut
merupakan salah satu alasan yang
dikemukakan lulusann HIK yang pernah menjadi pemuka dari organisasi guru-guru Indonesia. Dari ungkapan itu Natsir memahami mengapa guru tamatan HIK menukar pekerjaannya (alih profesi) dari yang semula sebagai guru menjadi pegawai pos. hal yang demikian terjadi, antara lain karena kesejahteraan pekerjaan sebagai guru, khususnya guru yang mengajar di sekolah partikelir sangat kecil atau kurang memadai. Karena itu, bagi seorang guru akan sulit membiayai pendidikan anak dan biaya hidup keluarganya apabila gajinya kecil (Abudin Nata, 2005: 92-93). Natsir pernah berujar bahwa tidaklah realistis cita-cita hendak mendirikan Sekolah Tinggi Muballighin yang muridnya akan diambil dari lulusan H.B.S. atau A.M.S. Menurut pendapatnya, untuk menjadi muballig tidaklah cukup dasar ilmu pengetahuan saja, melainkan harus memenuhi syarat yang lain seperti tabi’at, syifat, akhlak dan tujuan hidupnya yang sesuai dengan pekerjaannya. Misalnya ketabahan hati,
45
keimanan dan kesediaan berkurban. Kalau memerhatikan latar belakang mubaligin yang bertebaran dalam masyarakat, maka akan Nampak bahwa mereka bukan berasal dari keluarga yang cukup mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya ke A.M.S. atau H.B.S. Keluarga seperti itu bahkan memandang pekerjaan mubalig itu sebagai “kiai kampong” yang disertai dengan ejekan Dalam kesempatan itu, Natsir mengemukakan kenyataan yang barangkali sebelumnya tidak banyak dilihat atau kurang disadari oleh masyarakat, yaitu bahwa di Indonesia terdapat dua golongan intelegensia yang masing-masing mempunyai latar belakang ayng berbeda, yaitu mereka yang mendapat pendidikannya di sekolah-sekolah Belanda sehinnga paham bahasa Belanda dan bahasa Barat lainnya. Sedangkan golongan yang lain yang tidak menguasai bahas Belanda dan bahasa Barat lain, namun pandai bahasa Arab, berasal dari pesantren atau sekolahsekolah agama. Kalau yang pertama ber”mazhab” ke Leiden, Paris, London dan Berlin, maka yang kedua ber”mazhab” ke Kairo, Mekah, Aligarh dan Delhi, kata Natsir. Tetapi keduanya berhak memperoleh penghargaan yang sama.(Ajib Rosyidi, 1990: 205-206). Guru adalah sosok teladan bagi anak-anak sehingga tidak hanya peeandai dalam pengajaran saja tapi juga sebagai contoh bagi anak-anak dalam tingkah laku dan tutur katanya. Pendidikan Islam tidak sesempit yang difikirkan oleh kebanyakan orang,
yang
hanya
mempelajari
ilmu-ilmu
tentang
peribadatan.
46
Sebagaimana hukum dalam menuntut ilmu dalam islam ada fardhu a’in yang mana tiap individu diwajibkan untuk mempelajarinya. Diantaranya adalah ilmu-ilmu yang mengajarkan tentang peribadahan, seperti tauhid, fiqih, akhlaq dan sebagainya, sehingga untuk mewujudkannya tidak hanya lewat teori saja, tetapi harus dengan contoh-contoh seperti yang diajarkan oleh rasulullah. Natsir juga terkenal sebagai seorang yang selain taat beragama juga sangat mengecam kepada seseorang yang dalam mengerjakan ibadah hanya mengikuti gurunya saja alias taqlid, sehingga untuk menjadi guru juga harus seorang yang memang memiliki ilmu yang benar-benar tau dari mana sumbernya bukan hanya tau dari gurunya yang telah mengajarinya dahulu. Natsir merasa senang membimbing anak-anak yang memang mau maju. Dan anak-anak itu agaknya merasa senang pula pelajaran disitu, karena lebih bebas dan lebih leluasa daripada di sekolah biasa. Lagipula gurunya ramah serta menghargai setiap murid sebagai pribadi. Merekapun dapat menanyakan hal-hal yang tak diketahuinya secara lebih mendalam yang selalu dilayani gurunya dengan penuh perhatian. Kesan-kesan yang baik itu agaknya disampaikan kepada kawan-kawannya yang lain, sehingga bulan berikutnya ada lagi beberapa murid yang datang mendaftar (Ajib Rosyidi, 1990:162). Sehingga ketekunan dan kesabaran Natsir yang dimulai dari mengajar siswa yang jumlahnya hanya lima anak, mulai menuai hasilnya dengan semakin bertambahnya siswa. Bahkan Natsir
47
mulai kesulitan untuk membeli bangku dan meja karena beliau tidak cukup memiliki uang yang cukup. Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan kurang lebihnya konsep guru menurut Natsir haruslah memiliki sifat sabar, tekun, ramah, menghargai setiap murid, selalu melayani murisd-murid dengan penuh perhatian, dan selalu member kesempatan kepada murid untuk menanyakan hal-hal yang belum diketahui. 4. Pendidikan yang bersifat Integral Kata integral disini tidak asing lagi bagi kita, sebagaimana Natsir telah kemukakan dalam “mosi integral Mohammad Natsir”, yang mana beliau menginginkan penyatuan wilayah-wilayah yang ada diseluruh Indonesia, tidak membeda-bedakan antara jawa dan luar jawa. Natsir merasa pendidikan Islam tidak layak jika hanya mengetahui tentang mengaji, rukun bersuci dan lain sebagainya yang hanya mengajarkan tentang agama. Dalam kaitannya dengan pendidikan yang integral natsir sering mengkaitkannya dengan sistem pendidikan barat yang sering dikaitkan dengan system pendidikan timur, beliau mengatakan: “tidak menjadi soal, apakah itu didikan barat atau didikan timur. Timur kepunyaan Allah, baratpun kepunyaan Allah juga, sebagai makhluq yang bersifat baru, kedua-duanya, Barat dan Timur, mempunyai hal yang kurang baik dan hal yang baik, mengandung beberapa kelabihan dan beberapa keburukan.
48
Seorang pendidik Islam tidak usah memperdalam-dalam dan memperbesar-besarkan antagonisme (pertentangan) antara Barat dan Timur itu. Islam hanya mengenal antagonisme antara hak dan batil. Semua yang hak itu diterima, biarpun datangnya dari “Barat”, semua yang batil akan ia singkirkan walaupun datangnya dari “Timur”. Dengan demikian, sekaligus, konsep pendidikan menurut Islam seperti yang dijelaskan oleh Natsir itu sama sekali tidak parochial, tetapi adalah universal, tidak Timur dan tidak pula Barat (La syarqiyah, wa la gharbiyah), sambil mengambil yang baik dari manapun datangnya, dan membuang yang jelek dari mana pula datangnya. “Buat seorang hamba Allah”, kata Natsir, “jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, bukan dua barang yang bertentangan yang harus dipisahkan, melainkan dua serangkai yang harus lengkap melengkapi dan dilebur menjadi satu susunan yang harmonis dan seimbang. Natsir pernah menceritakan tentang kisah Ibnu Sina, beliau adalah seorang rasionalis Islam yang besar yang telah melepaskan dahaga ruhaninya dengan sumber-sumber kebudayaan Yunani, tapi tidak ia melampaui batas-batas hokum akaid Islam dalam tiap-tiap tindakannya. Ia tidak salah raba menentukan, manakah yang spirit of Islam, dan manakah yang spirit of Hellenism.
Diwaktu bujangnya enggan disuruhnya
mengambil air wudhu waktu subuh dimusim dingin, ia berkata antara lain: Engkau kasihi aku dan sayangi aku, engkau fanatiki aku malah engkau menganggap aku lebih pintar dari Muhammad SAW, akan tetapi sekarang
49
baru sekedar aku suruh engkau untuk keluar kamar mengambil air wudhu saja sudah enggan lantaran merasa dingin. Dengarlah suara muadzin yang nyaring dari atas menara itu! Disini engkau tahu, bagaimana perbedaan kekuatan akal manusia dengan kekuatan Wahyu Ilahi. Dalam hari yang sedingin ini, si muadzin tidak gentar keluar dalam gelap gulita memanjat keatas menara yang tinggi untuk membangunkan kaum Muslimin yang akan menyembah Tuhan. Semua ini hanya lantaran sepatah suruhan Rasulullah SAW (M Natsir, 1988: 21). Dengan demikian, sistem pendidikan Islam, menurut Natsir, sifatnya adalah integral, universal dan harmonis dalam mencapai kebahagiaan dalam menghambakan diri kepada Allah SWT dan dalam rangka membina hari esok yang lebih baik, di dunia ini dan di akhirat nanti(Abibullah Djaini, 1996: 102-103).
50
BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA SEKARANG INI
A. Peran dan Fungsi Pendidikan Islam Jika natsir mengatakan bahwa Pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan tersebut dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna. Begitu halnya dengan Hasan langgulung yang mengartikan pendididikan dari sisi fungsi, yaitu: Pertama, dari pandangan masyarakat, yang menjadi tempat bagi berlangsungnya pendidikan sebagai satu upaya penting pewarisan kebudayaan yang dilakukan oleh generasitua kepada generasi muda agar kehidupan masyarakat tetap berlanjut. Kedua, dari sisi kepentingan individu, pendidikan diartikan sebagai upaya pengembangan potensipotensi tersembunyi yang dimiliki manusia (Tedi Priatna, 2004: 26). Sebagaimana istilah yang sering dipakai dalam “pendidikan” adalah “tarbiyyah”. Fakultas ilmu pendidikan di perguruan tinggi Islam disebut Fakultas tarbiyah. Konsep tarbiyyah merupakan salah satu konsep pendidikan Islam yang penting. Perkataan “tarbiyyah” berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata kerja (fi’il) berikut: a. Rabba-yarubbu yang berarti tumbuh, bertambah berkembang. b. Arba-yarba yang berarti tumbuh menjadi lebih besar, menjadi lebih dewasa. c. Rabba-yurabbi yang berarti mengatur, mengatur mengurus dan mendidik.
51
Dengan demikian, konsep tarbiyyah merupakan proses mendidik manusia dengan tujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia ke arah yang lebih sempurna. Ia tidak hanya dilihat sebagai proses mendidik saja tetapi meliputi proses mengurus dan mengatur supaya kehidupan berjalan dengan lancer. Termasuk dalam konsep ini tarbiyyah dalam bentuk fisik, spiritual, material dan intelektual (Muhammad Syafi’I Antonio, 2009: 192). Pendidikan pastinya tidak hanya menjadikan anak didik pandai dalam keilmuan saja, tetapi hbungan dengan masyarakat juga harus bagus. Dapat menaati norma-norma yang berlaku dalam lingkungan sekitarnya, selain juga harus mencerminkan dan mengamalkan sifat-sifat yang baik, karena pendidikan tidak menjadikan anak didik jadi kurang baik akan tetapi agar anak didik menjadi lebih baik dalam segala hal. Karena Pendidikan Islam maka yang pasti fungsinya agar manusia dapat mencapai tujuannya yaitu menghambakan diri kepada Allah sepenuhnya.
B. Tujuan Pendidikan Islam Dalam pendidikan Islam, dari sejak zaman nabi samapai sekarang dan yang akan datang akan masih sama tujuan pendidikan secara umum yaitu untuk dapat menghambakan diri kepada Allah, alias menjadi muslim yang sejadi. Natsir juga menambahkan bahwa tujuan pendidikan juga agar peserta didik dapat memenuhi kebutuhan dunia dan kebutuhan rohani. Secara ideal tujuan pendidikan memiliki orientasi yang mengharminikan tiga hal sekaligus, yaitu teknis, humanistis, dan induktif. Tujuan teknis artinya pendidikan diorientasikan kepada
52
kemahiran dan keahlian. Tujuan humanistik adalah sikap disiplin, penundukan kepada tuntunan-tuntunan objektif bagaimana mengolah partisipasi dan integrasi didalam pergaulan sosial, dan pemanfaatan secara maksimal semua potensi manusia secara individual dan social. Sedangkan tujuan induktif adalah bagaimana membangun system pendidikan Islam yang ada diharapkan tidak hanya “melek” teknologi dan informasi, tetapi juga dengan kesadaran religious (Imam Tholkhah, 2004:4). C. Landasan Pendidikan Islam Mohammad Natsir memberikan contoh dalam bukunya Capita Selecta dalam sub judul “Kehilangan Tempat Bergantung”, yakni tokoh ilmuan Prof. Paul Ehrenfest (guru besar ilmu fisika) yang meninggal dunia dengan bunuh diri. Dia menyakini bahwa “tidak ada yang lain pokok dan tujuan hidup yang sebenarnya selain dari wetenschap tidak ada yang lebih baik dari wetenschap. Tidak ada yang tersembunyi di balik weteschap. Wetenschap di atas segalanya. Akan tetapi, sesungguhnya masih ada kebutuhan rohani yang tidak dapat dipuaskan dengan wetenschap itu. Semakin memperdalam ilmu, semakin hilang rasanya tempat berpijak. Apa yang kemaren masih benar, sekarang sudah tidak benar. Apa yang betul sekarang, besuk sudah tidak betul lagi. Demikian wetenschap, rohaninya dahaga kepada suatu tempat berpegang yang teguh, sesuatu yang absolute, yang mutlak tempat menyangkutkan sauh bila ditimpa gelombang kehidupan, tempat bernaung yang teduh apabila dating pancaroba rohani (M. Natsir, 1954: 140). Mengenal Tuhan, mentauhidkan Tuhan, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Tuhan, tidak harus menjadi dasar bagi setiap pendidikan yang hendak
53
diberikan kepada generasi berikutnya. Meninggalkan dasar ini berarti melakukan suatu kelainan yang amat besar, yang tidak kurang besar bahayanya dari pada berkhianat terhadap anak yang dididik, walaupun sudah sempurna perhiasannya serta sudah lengkap ilmu pengetahuan untuk membekali hidunya, semua itu tidak ada artinya apabila ketinggalan memberikan dasar ke-Tuhanan (M. Natsir, 1954: 142). Mohammad Natsir mengibaratkan tauhid sebagai sebilah pisau yang bermata dua. Pada satu sisi, ia mengesakan ke-Esa-an Allah sebagai satu satunya dzat yang diper-Tuhan (Allah) oleh manusia, dan terjadi titik tolak dari seorang muslim dalam memandang hidupnya sebagai sesuatu yang berawal dari Tuhan dan kembali lagi kepada Tuhan, serta pemahaman bahwa manusia itu adalah hamba-hamba-Nya yang menjalani kehidupan yang sementara di dunia ini, maka tauhid membawa implikasi-implikasi besar dalam kehidupan manusia. Dengan mengarahkan hidup hanya kepada Tuhan yang transenden, maka manusia secara individu telah menjalani proses pembebasan dari belenggu hawa nafsu, menumbuhkan asas-asas etika kehidupan yang kukuh dan memerdekakan manusia dari perhambaan sesame mahluk. Menurut
Mohammad
Natsir,
sisi
pertama
dari
tauhid
adalah
memperkokoh kesadaran batin manusia, menumbuhkan spiritualitas yang mendalam dan juga menjadi basis etika pribadi. Sedangkan sisi kedua dari tauhid adalah beriswikan penekanan kepada kesatuan yang universal umat manusia sebagai umat yang satu, berdasarkan persamaan, keadilan, kasih saying, toleransi dan kesabaran. Jadi dalam konteks kemanusian tauhid menegaskan prinsip
54
humanism universal yang tanpa batas, serta sumber atau rujukan dalam penyajian materi pendidikan kepada anggota keluarga yaitu ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW Segaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an, Hadist dan dalam kehidupan Rasululloh Saw, setidaknya ada lima sikap dasar dalam dimensi iman, yaitu pertama, menyakini; kedua, mengikrarkan dengan lisan; ketiga, yang berfikrah Islami; keempat, apa yang dipikirkan secara islami; kelima, iman juga berdimensi dakwah (amar ma’ruf nahi munkar). Apa yang dipikirkan secara islami harus diamalkan secara benar-benar dengan berakhlak islami. Karena belum beriman seseorang jika belum teruji dalam kenyataan (empirik) dan berhasil dalam menghadapi ujian, cobaan dan tantangan dengan tidak tergeser keyakinannya, fitrahnya, sikapnya dan amalnya. Karena keimanan merupakan pengondisian dalam pengamalan empirik di tengah-tengah kehidupan sosial. Bahkan dapat dikatakan bahwa iman dan amal shaleh adalah ikatan yang tidak dapat di pisahkan satu sama lainnya. Karena keduanya menjadi barometer jatuh bangunnya kemanusian dan peradaban. Amar ma’ruf nahi munkar adalah berjuang untuk merealisasikan ajaran islam menjadi tata kehidupan yang adil dalam Ridha-Nya. Dari kelima dimensi iman di atas, maka jelaslah bahwa tauhid menyatukan aktivitas manusia sehari-hari dalam ketundukannya kepada Allah SWT. Sedangkan pengalaman empirik-rasional-intuitif, terikat pada ke-Esa-an Allah SWT, atau dengan kata lain bersatunya iman, ilmu dan amal shaleh sebagai system kehidupan dalam diri seseorang muslim yang tidak terpisahkan.
55
Munculnya dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum, tidak saja menggoyahkan integritas konsepsi pendidikan islam, tetapi juga memperluhatkan wajah pendidikan yang terkotak-kotak. Diakui atau tidak dampak social dikotomi pendidikan tersebut dapat dijadikan tingkat pengetahuan masyarakat terbelah dan tidak utuh, yang padanya dapat terjadi penilaian yang berbeda terhadap pendidikan sesuai dengan nilai yang mereka pandang ideal dan sempurna. Natsir juga membicarakan tentang sekuler, yang memisahkan antara dunia dan agama. Yang mana sekuler telah mengglobal dan mencengram dunia islam, puncak keberhasi;an sekularisme barat adalah runtuhnya khilafah di Turki tahun 1924, Kemal Attaturk meruntuhkan khilafah Islam di Turki dan mengubah menjadi Turki yang sekuler. Namun saat ini barat harus kembali berhadapan dengan proyek kebangkitan Islam yang mulai berhembus diseluruh penjuru dunia. Anis Matta menyebutkan indikatornya sebagai berikut : 1. Hanya empat tahun setelah runtuhnya khilafah islam tepatnya tahun 1928 berdirilah gerakan yang saat ini menjadi gerakan Islam terbesar dan tersebar di seluruh Negara dunia, yaitu Ikhwanul Muslimin di Mesir, beberapa tokohnya yaitu Hasan Al Banna, Sayyid Qutb, Yusuf Al Qardhawi, Muhammad Qutb, Mustafa Assyibai dan lain-lain, telah menjadi ikon perlawanan. 2. Gerakan islamisasi kampus yang terjadi hampir diseluruh dunia islam menjadi agent of change bagi masa depan Islam. Kampus-kampus yang
56
sebelumnya menjadi pusat-pusat sekularisme berubah menjadi agent perubahan. 3. Suksesnya kudeta putih di Sudan tahun 1987, walaupun bukan hanya khilafah namun sudan memproklamirkan diri sebagai Negara Islam. 4. Jihad di Afganistan selama empat belas tahun, berujung bukan hanya merdekanya Afganistan tetapi runtuhnya Uni Soviet, dengan implikasi global, merdekanya Negara muslim pecahan Uni Soviet. Sementara pendukung kekuatan sosialisme dan komunisme di Negara Islam ikut berantakan. 5. Proses demokrasi yang merebak telah membuka kanal-kanal politik bagi gerakan Islam, yang dalam tempo singkat menjelma menjadi partai-partai Islam. Ada Partai Refah yang sekarang AKP di Turki, Partai Islam di Yaman, Partai Jemaat Islam di Pakistan, Front Islam di Yordania, Hamas di Palestina dan PKS di Indonesia (Anis Matta, 2006: 66). Dengan dasar keimanan tersebut diharapkan terjalin hubungan baik yang harmonis dengan pencipta (habl min Allah). Adapun amal al-shilikhat mengacu kepada upaya menjalin hubungan yang harmonis antara sesama manusia (habl min al-Nas) . pola hubungn pertama lazim dinamakan dengan ibadah mahdhoh (khusus), sedangkan pola kedua dinamakan sebagai ibadah dalam pengertian umum (‘am)(Jalaludin, 2001: 44).
57
D. Pengembangan Pendidikan Islam a. Pendidikan yang integral Natsir mengatakan bahwa, selain dalam sekolah-sekolah Islam mengajarkan peserta didiknya tentang pelajaran agama Islam juga penting bagi mereka untuk mendapat pengajaran tentang pengetahuan umum, sebagai bekal untuk mereka di dunia. M. Natsir menekankan bahwa pendidikan juga harus biasa melahirkan lulusan yang melepaskan ketergantungan, selanjutnya dapat dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Tidak ada salahnya jika seorang agama harus diintregasikan dengan berbagai bidang kehidupan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Salah
satu
cara
yang
dilakukan
Mohammad
Natsir
mengintegralisasikan pendidikan adalah dengan membangun
dalam
pendidikan
islam (pendis) yang integratif, yaitu menggabungkan antara pendidikan agama dan pendidikan umum sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara keduanya. Yang sampai sekarang telah banyak ditiru sekolah-sekolah islam yang selain mengajarkan pendidikan agama juga mengajarkan pendidikan umum. Sistem pendidikan di Barat yang bersemangat efficiency, supaya dapat kemenangan hidup, sebab seorang muslim tidak dibolehkan melupakan nasibnya di dunia. System Timur yang memberikan pendidikan secara terpisah dari gelombang pergaulan dan perjuangan manusia biasa, hanya meluhurkan dan menyucikan kebatilan tidak akan diterima sebab bagi seorang
58
yang muslim jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, bukan dua barang yang bertentangan yang harus dipisahkan, melainkan dua barang yang saling melengkapi dan lebur menjadi satu susunan yang harmonis dan seimbang (M. Natsir, 1954: 84-85). Sistem pendidikan ini juga dilakukan di Pondok Pesantren Tebuireng yang memadukan antara sistem pesantren dan sistem madrasah merupakan sistem yang sangat bermanfaat dan masih relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini. Pondok pesantren Tebuireng selain mendidik para siswa/santri untuk menjadi orang yang kuat Islamnya, juga mendidik agar mereka memiliki pengetahuan keduniawiaan sebagai bekal untuk memperolah profesi dalam sistem kehidupan modern, sehingga mereka benar-benar tidak gagap yakni siap pakai (Ridlwan Nasir, 2005: 4-5). b. Mencerdaskan akal Salah satu dari tiang-tiang ajaran junjungan kita Muhammad Saw. Yang penting ialah : menghargai akal manusia dan melindunginya daripada tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan orang atas nikmat Tuhan yang tak ternilai itu. Junjungan kita meletakkan akal pada tempat yang terhormat, menjadikan akal itu sebagai salah satu alat untuk mengetahui Tuhan. Bertebaran didalam Al-Qur’an beberapa pertanyaan-pertanyaan untuk memikat perhatian menyuruh mempergunakan pikiran, mendorong manusia supaya menjalankan akalnya : “Kenapa mereka tidak berfikir ? Kenapa mereka tidak Ingat? Kenapa mereka tidak mempergnakan akal?”. Dan demikianlah seterusnya (M Natsir, 1988; 1-2).
59
Manusia memiliki potensi akal, dengan potensi akal manusia dapat mencari kebenaran, walaupun akal bukan satu-satunya sumber kebenaran. Kebenaran itu dapat dicapai melalui pendekatan ilmiah dan filosofis. Dan untuk memandunya diperlukan wahyu yang sebelumnya telah diimani kebenarannya. Agama Islam amat mencela orang yang tidak menggunakan akalnya, orang yang terikat pkirannya dengan kepercayaan-kepercayaan dan fahamfaham manusia yang tidak berdasar yang benar, mereka yang tidak mau memeriksa, apakah kepercayaan dan faham-faham yang disuruh orang terima itu betul dan berdasar kepada kebenaran, atau tidak. Tegasnya, Agama Islam melarang kita bertaklid buta kapada faham dan I’tikad yang tak berdasar kepada wahyu Ilahi yang nyata, menurut fahamfaham lama (pikiran-pikiran tradisional) yang turun temurun dengan tidak mengetahui dan memeriksa terlebih dahulu, apakah faham itu berguna dan berfaidah dan suci, atau tidak (M. Natsir, 1947: 5). c. Koordinasi Perguruan-perguruan Islam Natsir menekankan koordinasi antar perguruan-perguruan Islam disini dibedakan menjadi dua, yaitu: Pertama, koordinasi dilakukan antara sekolahsekolah yang sederajad supaya siswa yang dengan terpaksa pindah sekolah dapat langsung menyesuaikan dengan kelas barunya yang materinya sama dengan sekolah yang telah ia tinggalkan. Kedua, koordinasi yang dilakukan oleh perguruan tingkat bawah kepada perguruan tingkat atasnya dan seterusnya sampai perguruan tinggi. Dimaksudkan supaya materi yang
60
diajarkan disekolah bawah dapat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh perguruan tingkat atasnya yang akan dimasuki peserta didik tingkat bawahnya ketika lulus. Fungsi Bahasa Asing. Dengan adanya ujian Nasional yang dilakukan oleh pemerintah, menunjukkan bahwa di Indonesia sekarang telah melaksanakan apa yang disebut dengan koordinasi perguruan-perguruan yang tidak hanya Islam saja, tapi pendidikan pada umumnya. d. Sifat yang harus dimiliki guru Natsir menekankan bahwaseorang guru terlebih dahulu harus memiliki niat yang bagus dalam mendidik anaknya, yaitu dengan niat tidak menjadikan sekolah sebagai tempat untuk mencari uang semata, akan tetapi berniat dengan tulus ikhlas dalam mendidik siswa. Jika semua guru berniat hanya mencari penghdupan dengan berprofesi sebagai guru, maka sekolah-sekolah yang belum maju akan kesulitan dalam mencerdaskan anak-anak didik, dikarenakan hanya guru-guru yang terpaksa jadi guru saja yang mau mengajar di sekolah tersebut. e. Fungsi bahasa Asing Kita semua tahu bahwa kebanyakan mata pelajaran yang kita ketahui, seperti Biologi. Fisika, mate-matika, teknologi informatika dan lain sebagainya adalah kebanyakan dari hasil karya tidak hanya dari orang Indonesia saja akan tetap kebanyakan malah dari bangsa lain, yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa kita yaitu bahasa Indonesia.
61
Coba jika orang-orang di Indonesia tidak ada yang dapat bahasa asing tentulah Indonesia tidak akan maju seperti bangsa lain, karena kebanyakan ilmu pengetahuan dating dari barat dan eropa. Pentingnya bahasa asing sampai sekarang untuk memudahkan orangorang Indonesia yang akan menggali ilmu dari Negara-negara di dunia yang mungkin dan pastinya ilmu itu akan semakin bertambah dan berkembang.
]
62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian banyak tentang “Konsep Pendidikan Islam Menurut Mohammad Natsir”, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Pendidikan harus dapat membawa manusia mencapai tujuan hidupnya, yaitu menghambakan diri kepada Allah, berakhlakul karimah dan mendapat kehidupan yang layak di dunia. 2. Landasan pendidikan Islam adalah mengenal Tuhan, mentauhidkan Tuhan dan tidak menyekutukan sedikitpun Allah kepada siapapun. Selain itu akhlakul karimah juga dijadikan sebagai landasan pendidikan Islam. 3. Relevansi Pemikiran Mohammad Natsir terhadap pendidikan di Indonesia sekarang ini, dengan bukti adalah telah adanya sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Islam yang telah mengintegrasikan antara pendidikan agama dan pendidikan umum, juga telah adanya koordinasi dari sekolah-sekolah dengan adanya ujian secara bersam, baik itu Ujian Nasional maupun Ujian Sekolah. B. Saran Dengan selesainya penulisan skripsi ini penulis berharap dapat memberikan tambahan wawasan pengetahuan tentang Pendidikan Islam kepada: 1. Bagi para pengajar dan pengelola sekolah, supaya memiliki tujuan, konsep dan dasar yang jelas dalam mendidik siswa-siswinya.
63
2. Bagi masyarakat pada umumnya, supaya mencintai sekolah-sekolah yang berasaskan Islam supaya anak-anaknya selain mengetahui ilmu pengetahuan umum juga pandai dalam ilmu agam Islam dan dapat mengamalkan ajaran Islam secara benar.
64
DAFTAR PUSTAKA Achmadi, 1992, Islam Sebagai Paradigma Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media. Antoni, Muhammad Syafii. 2009, Muhammad Saw The Super Leader Super Manager, Jakarta: ProLM dan Tazkia Publishing. Badiatul Roziqin, Badiatul Mukhlisin Junaidi dan Abdul Munif, 101 Jejak Tokoh Islam, e-Nusantara, Yogyakarta, 2009, Hlm.221 Bakker, Anton. 1990, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta : Kanisius Bungin, Burhan. 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada Djaini, Abibullah. 1996, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus. Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Undang-undang Nomer 2 Tahun1989 tentang system pendidikan Nasional Beserta Penjelasannya, Jakarta: Balai Pustaka. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai pustaka, cet II, Jakarta, 1998. Jalaludin. 2001, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Luth, Thohir. 1999, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani Press.
65
Mansur. 2004, Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Matta, Anis. “dari gerakan ke Negara” Sebuah rekonstruksi Megara Madinah yang dibangun dari Bahan Dasar Sebuah Gerakan, Jakarta: Fitrah Rabbani. M. Roqib, 2009, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta:LKiS. Muhadjir, Noeng. 1992, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin Muhadjir, Noeng. 1996, Metode Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin. Nasir Ridlwan. 2005, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Natsir, M. 1954, Capita Selekta, Jakarta: Bulan Bintang. Natsir, M. 1988, Islam dan Akal Merdeka, Jakarta: Media Da’wah. Nata, Abudin. 2005, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Priatna, Tedi. 2004, Raktualisasi Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Puar, Yusuf Abdullah, 1978, Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, Jakarta: Pustaka Antara. Rahman, Musthofa. 2001. Pendidikan Islam dalam Perspektif al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
66
Rosyidi, Ajib, 1990, M Natsir Sebuah Biografi, Jakarta: Girimukti Pasaka. Sudarto. 1997, Metode Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Zubaedi. 2007, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren Kontribusi Fiqih Sosial Kiai Sahal Mahfudh dalam Perubahan Nilai-nilai Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.