BAB III PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR MENGENAI HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
A. Latar Belakang Mohammad Natsir: Kehidupan, Pendidikan dan Karir Politik Mark R. Woodward melukiskan pribadi Mohammad Natsir sebagai seorang cendekiawan, penulis, dan politikus Indonesia.1 Endang Saifuddin Anshari, tokoh muda Islam, melihat sosok Natsir yang memiliki dzû wujûh, yang mempunyai “banyak wajah” dalam arti positif. Ia adalah seorang guru bangsa, pendidik umat, mujahid dakwah, budayawan atau pemikir budaya, dan seorang alim. Ia juga seorang ulama politikus, seorang negarawan, juga seorang tokoh internasional yang dihormati.2 Pengakuan atas dedikasi dan integrasi pribadi Natsir juga disampaikan pula oleh teman sejawat Natsir, seperti M. Yunan Nasution, KH. Masjkur, A.H. Nasution dan lain-lain, dalam sebuah acara tasyakur 80 tahun Muhammad Natsir.3 George Mc Turnan Kahin menulis, bahwa Natsir adalah seorang tokoh politik revolusioner dan pemimpin nasionalis Indonesia. Ia seorang tokoh yang berpengaruh dalam persoalan politik dan pemikiran Islam Indonesia, tokoh sederhana dan rendah
1
Mark R. Woodward, “Mohammad Natsir”, dalam John L. Esposito, Dunia Islam Modern, terj. EVA YN. dkk., (Bandung: Mizan, 2001), Jilid 4, h. 167. 2 Endang Saifuddin Anshari, “Pengantar”, dalam M. Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1988), h. vii. 3 Lihat Moch. Lukman Fatahullah Rais, dkk., (peny.), Mohammad Natsir Pemandu Ummat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989).
hati yang layak memperoleh penghargaan atas reputasi kejujuran pribadi dan politiknya.4 Menurut Taufik Abdullah, sejarawan Indonesia, biografi Natsir apabila ditelusuri terbagi pada tiga tahap. Tahap pertama, hubungan Natsir yang lebih concern pada Islam; Tahap kedua, keterlibatan Natsir sebagai guru dan melihat pendidikan sebagai media pembangunan umat; dan tahap ketiga, ia sebagai komentator politik juga sekaligus seorang politisi.5 Natsir lahir di kota Alahan Panjang, Sumatera Barat, pada 17 Juli 1908. Kedua orang tuanya, Sutan Saripado dan Khadijah merupakan keturunan Minangkabau. Natsir tumbuh di wilayah yang sangat religius. Secara agrikultural wilayah iru cukup subur, berbeda dengan wilayah di dekatnya, Silungkung, yang pernah menjadi pusat pemberontakan kaum komunis pada tahun 1927. Ayahnya, Sutan Saripado, seorang pegawai kantor pemerintahan di Alahan Panjang, tamatan sekolah dasar bahasa Indonesia, dan tidak mengenal bahasa Belanda, (Holland Inlands School, HIS—sekolah-sekolah Belanda-Pribumi--, saat itu belum berdiri di Alahan Panjang). Ibunya juga, Khadijah, hanya mampu membaca dalam bahasa Indonesia. demi menyadari bahwa mereka memiliki seorang anak yang berbakat, keduanya berusaha memberikan pendidikan yang terbaik bagi Natsir.6
4
George Mc Turnan Kahin, “Muhammad Natsir (1908-1993)”, dalam Anwar Harjono, M. Natsir Sumbangan dan Pemikirannnya untuk Indonesia, ((Jakarta: Media Da’wah, 1995), h. 49. 5 Taufik Abdullah, “Natsir, Seorang Guru yang Perfeksionis Filosofis”, dalam Anwar Harjono dkk., Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 26. 6 Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi, h. 145
Natsir mengikuti pendidikan pertamanya di Sekolah Rakyat yang memakai pengantar bahasa Melayu selama satu tahun, kemudian melanjutkan ke HIS Adabiyah, Padang, sebuah sekolah yang menyelenggarakan pendidikan bagi anakanak negeri, sekolah HIS-nya kemudian diteruskan di HIS Solok. Pulang sekolah Natsir belajar di Sekolah Islam (Madrasah Diniyyah) yang dipimpin oleh salah seorang
pengikut
Haji
Rasul
---seorang
ulama
yang
memperkenalkan
Muhammadiyah di Sumatera Barat dan mendirikan Sekolah Sumatera Thawalib yang terkenal di Padang Panjang pada 1918. Seluruh pendidikan dasar Natsir diselesaikan dalam kurun 1916-1923.7 Selesai HIS, Natsir kemudian melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs: pendidikan rendah yang lebih diperpanjang, semacam SLTP) di Padang (1923-1927). Selanjutnya ia memasuki Algemene Middelbare School (AMS) di Bandung dan lulus pada 1930. Menurut Natsir, inilah satu-satunya AMS yang membuka jurusan western Classic (Klasik Barat) yang membuat tertarik. Kepala AMS tersebut, Van Bassem, adalah seorang spesialis kebudayaan Yunani yang mengajarkan kebudayaan Latin dan Yunani kepadanya. Dalam kemampuan bahasa asing, Natsir menguasai bahasa Inggeris, Belanda, Perancis, Arab dan Jerman.8 Bassem, seorang yang sangat menghormati murid-muridnya. Dan menurut Natsir, juga kuat pengaruhnya kepada para muridnya, antara lain Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Jusuf Wibisono, dan Sutan Sjahrir (yang merupakan kakak kelas Natsir), van Bassem juga memberikan kepada murid7
Ibid., h. 149
muridnya buku-buku politik dan mendiskusikannya bersama dalam kelas.9 Ketika belajar di AMS Bandung, Natsir bergabung dengan kaum modernis Persatuan Islam (Persis) dan menghadiri ceramah-ceramah agama yang disampaikan oleh Ahmad Hassan (guru Persatuan Islam), yang kemudian menjadi salah satu tokoh penting dalam tubuh Persatuan Islam.10 Selama sebagai pelajar AMS, ia juga turut aktif mengajar Islam di Hollands Inlandse Kweekschool (HIK, sekolah guru) dan MULO di Bandung.11 Setamat AMS, Natsir bergabung dengan Pembela Islam, --sebuah majalah bulanan yang diterbitkan oleh Persatuan Islam (Persis), majalah ini banyak menerbitkan artikel tentang agama, dan banyak mengupas pandangan-pandangan kaum nasionalis yang netral agama, terbit 1929-1935—tempat Natsir mengeluarkan pendapat-pendapatnya. Sedemikian rupa perhatian Natsir terhadap Islam, sehingga ia menolak tawaran dari pemerintah Hindia Belanda untuk menerima beasiswa yang akan mengantarkannya belajar ke Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta atau ke Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam di negeri Belanda. Ia malahan memikirkan pendidikan di kalangan anak-anak Muslim.12 Untuk itu, ia pun mulai menekuni buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan dan sekolah, termasuk tentang ilmu jiwa anak-anak dan berbagai teori para pendidik terkenal seperti Frobel, Montessori dan Robindranath Tagore. Untuk 8
Ibid., h. 154; Kahin, op. cit., h. 51 Ibid., 51 10 Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi, h. 159; Noer, Gerakan Modern Islam, h. 97. 11 Ibid., h. 100. 12 Ibid., h. 100 9
memantapkan cita-citanya dalam membangun pendidikan anak-anak Muslim, ia pun mengikuti kursus menjadi guru yang dibuka oleh pemerintah Hindia Belanda bagi lulusan HBS dan AMS yang ia selesaikan tahun 1931.13 Pada tahun 1932, Natsir mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) yang pada permulanya hanya diikuti oleh beberapa orang. Namun dalam tempo sepuluh tahun berjalan (1932-1942) karena ditutup oleh Jepang, sekolahnya telah berkembang dengan pesat, sehingga mempunyai sekolah tingkat TK (Frobelschool), HIS (Hollandse Inlandse School), MULO dan Kweekschool (Sekolah Guru).14 Minat Natsir terhadap pergerakan politik dimulai ketika ia masih di MULO, Padang. Mula-mula ia memasuk Jong Sumatranen Bond (Serikat Pemuda Sumatera) yang diketuai oleh Sanoesi Pane, yang duduk dua kelas di atasnya. Ketika ia ke kelas dua, ia masuk menjadi anggota Jong Islamieten Bond (JIB, Serikat Pemuda Islam), sebagai organisasi pemuda Islam yang pertama.15
13
Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi, h. 165 Rosidi, “Pendahuluan”, dalam M. Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1988), h. xx. 15 Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi, h. 151. Jong Islamieten Bond (JIB) diprakarsai oleh Samsuridjal dan atas dukungan Haji Agus Salim pada tahun 1925 dan mengadakan kongres pertamanya tahun 1926 di Yogyakarta. JIB memiliki dua karakter: Pertama, pemuda Islam tidak berorganisasi dalam garis kedaerahan; Kedua, anggota JIB akan mempelajari Islam dan melaksanakan ajarannya denga kesadaran bahwa Islam milik nenek moyang da melalui pelajaran Islam mencapai cita-cita kehidupan bangsa yang jadi tuan di rumah sendiri. Menurut anggaran dasar JIB, dasar tujuannya ialah antara lain mempelajari agama Islam, memperbesar rasa cinta kepada agama Islam di samping kesabaran yang nyata terhadap pemeluk agama lain, memajukan campur gaul antara kaum intelek maupun dalam golongan sendiri maupun dengan rakyat jelata dengan memakai agama Islam sebagai alat perhubunga. Lihat Roem, op. cit., h. 121; Kahin, op. cit., h. 121; dan Priggodigdo, op. cit., h. 212. 14
Ketika di Bandung, aktivitas Natsir dalam JIB semakin meningkat, terutama sebagai anggota lembaga inti (kernlichaam) dalam organisasi tersebut. Ia pun menjadi Ketua JIB cabang Bandung dari tahun 1928-1932. Sebagai ketua JIB cabang Bandung, Natsir memiliki kesempatan untuk meluaskan pergaulannya dengan sesama pengurus JIB, di samping itu ia berkesempatan pula bertemu dan berdialog dengan Haji Agus Salim (1884-1954), tokoh Sarekat Islam dan penasehat JIB, dan Syek Ahmad Syurkati (1872-1943), pendiri Al-Irsyad (Jam’iyyat al-Islah wa al-Irsyad; didirikan tahun 1915), pada saat ia bepergian ke Jakarta. Seperti halnya A. Hassan yang senantiasa melayani kedatangan para pemuda JIB yang datang ke rumahnya untuk berdialog tentang Islam, maka seperti itu pula dengan haji Agus Salim. Haji Agus Salim selalu menyisihkan waktunya kalau para pemuda JIB datang. Ketika datang ke “Ouwe Heer” Haji Agus Salim, para pemuda JIB, termasuk Natsir, berdiskusi dan memecahkan berbagai persoalan.16 Sebagai aktivis JIB dan direktur Pendis, Natsir juga aktif menulis berbagai tema berkenaan dengan Islam dalam majalah Pembela Islam yang juga turut dikelolanya. Di antara tulisannya ada juga yang memakai bahasa Belanda seperti Komt tot het gebed (1931) yang kemudian diterjemahkan menjadi Marilah Salat! Het Vasten (1932) yang menguraikan arti puasa, Gouden Regels uit den Qur’an (1932) yang memuat pilihan ayat-ayat al-Quran yang disertai terjemahannya dalam bahasa
16
Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi, h. 166; Roem, op. cit., h. 111.
Belanda.17 Pada kurun 1936-1941, Natsir menuliskan artikel-artikelnya dalam mingguan Pandji Islam dan Pedoman Masyarakat yang terbit di Medan. Rangkaian tulisan-tulisannya tersebut mengantar Natsir sebagai juru bicara kaum pembaharu Islam, terutama sekali saat berpolemik dengan Soekarno.18 Natsir mengenal pribadi Soekarno ketika ia mejadi pelajar AMS di Bandung, ketika itu ia sudah sering kali menghadiri rapat-rapat umum yang diadakan oleh PNI yang mana Soekarno sebagai pembicaranya, dan ketika Soekarno dalam penjara, Natsir juga terkadang mendampingi A. Hassan menjenguk Soekarno. Pada kesempatan tersebut, A. Hassan menghadiahkan beberapa buku bacaan mengenai Islam juga majalah Pembela Islam, yang di dalamnya banyak tulisan Natsir.19 Meskipun Soekarno telah bertemu dengan Natsir dalam beberapa kesempatan, perhatiannya terhadap baru datang ketika ia berada dalam pengasingan di Endeh. Dalam suratnya yang ditujukan kepada A. Hassan, ia menulis, “Haraplah sampaikan saya punya compliment kepada tuan Natsir atas ia punya tulisa-tulisan yang memakai bahasa Belanda. Antara lain ia punya inleiding di dalam “Komt tot het gebed” adalah menarik hati”.20 Serta dalam suratnya yang lain, Soekarno menyatakan, “Alangkah baiknya kalau tuan punya mubaligh-mubaligh nanti bermutu tinggi, seperti tuan M. Natsir, misalnya!”.21
17
Rosidi, Pendahuluan, h. xv. Anas, Yang Da’i, h. 59. 19 Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi, h. 21. 20 Surat tertanggal, 25 Januari 1935, dalam DBR, h. 326. 21 Surat tertanggal, 22 April 1936, dalam DBR, h. 336. 18
Pergerakan Natsir pada masa akhir penjajahan Belanda lebih banyak berbentuk gagasan politik tentang hubungan negara dengan Islam, kedudukan nasionalisme, bentuk pemerintahan dan lain sebagainya. Pada tahun 1937 diprakarsai dibentuknya sebuah federsai bagi umat Islam dengan lahirnya MIAI (Madjelis Islam A’la Indonesia), seluruh orgnisasi umat Islam Indonesia terhinpun di dalamnya, dan Persatuan Islam (Persis)—melalui tokoh-tokohnya—masuk sebagai anggota dan ikut ambil bagian dalam aktivitas religius dan politiknya hingga dibubarkan oleh Jepang pada tahun 1942.22 Natsir ikut pula terlibat sebagai pengurus Partai Islam Indonesia (PII) yang dibentuk tahun 1938 sebagai ketua cabang Bandung.23 Pada awal pendudukan Jepang (1942) banyak hal yang sangat merugikan umat Islam diantaranya penghapusan semua organisasi dan rapat-rapat, sai keirei (memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan membungkukkan badan ke arah Tokyo sejauh 90 derajat), dan penutupan madrasah dan pesantren selama beberapa bulan setelah mereka menguasai Indonesia. Terhadap kebijakan pemerintahan Jepang in, banyak kalangan umat Islam melakukan pelawanan, termasuk Persatuan Islam, sehingga pemerintahan Jepang menyadarinya dan memperbaharui kebijakannya terhadap umat Islam, di antaranya didirikannya kembali MIAI yang diubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masjumi) pada akhir tahun 1943.24 Dengan perubahan sikap politik Jepang terhadap umat Islam serta atas permintaan Gubernur Militer Jepang di Jawa Barat dan permintaan Walikota 22
Federspiel, op. cit., h. 126; Noer, Partai Islam, h. 22 Noer, Gerakan Moderen Islam, h. 175, 308. 24 Noer, Partai Islam, h. 25 23
Bandung, Mohammad Natsir, dengan persetujuan Persis dan restu A. Hassan, menerima jabatan sebagai kepala Biro Pendidikan Pemerintah Jepang di Jawa Barat yang berkedudukan di Bandung (1942-1945).25 Seperti semua pemimpin Islam yang lain, Natsir juga menjadi anggota dari gabungan organisasi Muslim, Majelis Syuro Muslimin Indonesia, yang dibentuk oleh Jepang.26 Pada tanggal 7-8 November 1945, tokoh berbagai organisasi Islam dari masa sebelum perang serta masa pendudukan Jepang menyelenggarakan Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta. Muktamar tersebut memutuskan untuk mendirikan Majelis Syura pusat bagi umat Islam Indonesia, Masyumi, yang dianggap sebagai satusatunya partai politik bagi umat Islam.27 Mohammad Natsir sebagai tokoh Persatuan Islam, yang sebelum sudah aktif di Masjumi bentukan Jepang, masuk dalam Dewan Partai Masyumi.28 Persatuan Islam, secara organisasi bergabung dengan Masyumi tahun 1948.29 Kepemimpinan Masyumi, menurut Noer, mempunyai dua tahap atau periode yang masing-masing dikendalikan oleh kelompok yang berbeda. Periode pertama (1945-1949), didominasi oleh kalangan yang lebih tua; Periode kedua (1952-1960), didominasi oleh kalangan yang lebih muda. Adapun antara masa ini (1950-1952) merupakan fase peralihan, ketika kalangan yang lebih tua tampak berusaha bertahan dan kalangan yang lebih muda mendesakkan garis dan kedudukan kepemimpinannya. 25
Anas, Yang Da’i, h. 63 Kahin, op. cit., h. 56 27 Noer, Partai Islam, h. 47 28 Ibid., h. 60; Kahin, op, cit., h. 57 29 Noer, Partai Islam, h. 49 26
Kelompok tua dipersonifikasikan oleh Sukiman Wirjosardjojo (1898-1974) sehingga dikenal kelompok Sukiman, dan kelompok muda diwakili oleh Mohammad Natsir (l. 1908) dikenal dengan kelompok Natsir.30 Dalam kiprahnya di Masyumi, Natsir pada susunan Dewan Pimpinan Pusat masyumi 1945 yang diketuai oleh Dr. Sukiman Wirjosardjojo menduduki sebagai anggota. Baru pada periode kepimpinan 1949, Natsir menjabat sebagai Ketua partai, yang terud dijabatnya pula pada kepemimpinan 1951, 1952, 1954, dan 1956. Adapun jabatan ketua partai masyumi terakhir dipegang oleh Prawoto Mangunsasmito tahun 1959, seorang penerus Natsir.31 Dalam pemerintahan, Natsir terlibat sebagai anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) --yang dibentuk sebagai badan yang ditunjuk untuk membantu presiden, seraya menantikan pemilihan umum—dari perwakilan Masyumi. Dalam struktur kabinet, Mohammad Natsir ditunjuk berturut-turut sebagai Menteri Penerangan dalam Kabinet Sjahrir I (1945-1946), Kabinet Sjahrir II (mulai 12 Maret2 Oktober 1946), Kabinet Sjahrir III (1946-1947). Kemudian Natsir bergabung dalam Kabinet Hatta I (mulai 29 Januari 1948-4 Agustus 1949), sebagai Menteri Penerangan.32 Pada tahun 1949, negeri Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), setelah terlebih dahulu diadakan Konferensi Meja Bundar 1949. Berbagai desakan terjadi agar dilakukan 30
Ibid., h. 98 Ibid., h. 100-105. 32 Ibid., h. 151. 31
pembubaran RIS segera dibentuk negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam parlemen pada tahun 1950 berkembang dua pendapat. Pertama dari Susanto Tirtoprodjo, tokoh PNI, menganjurkan agar negara-negara bagian yang ada bergabung ke Republik Indonesia. Dengan demikian, RI akan mengantikan RIS dalam memerintah seluruh Indonesia. Oleh karena pandangan ini bila diterima akan menimbulkan konflik antara berbagai kalangan di negara-negara bagian itu, terutama di Indonesia Timur dan Sumatera Timur, Mohammad Natsir
dari Masyumi
mengemukakan bahwa soal pokok ialah pembentukkan negara kesatuan, bukan apakah negara kesatuan itu tercapai dengan penggabungan negara-negara bagian ke RI atau RIS. Pembentukan negara kesatuan, kata Natsir, hendaklah dilaksanakan tanpa menimbulkan konflik, baik antara negara-negara kesatuan itu maupun antara golongan masyarakat pada umumnya. Usul Natsir ini, terkenal dengan sebutan “Mosi Integral Natsir”.33 Dengan adanya “Mosi Integral” yang disampaikan Natsir, negara RIS berganti menjadi RIS, dan pada tanggal 6 September 1950, Natsir diangkat oleh Soekarno sebagai formatur kabinet dari pemerintahan Republik Indonesia yang kini sepenuhnya merdeka. Kabinet Natsir tidak belangsung lama, pada 26 April 1951, kabinet Natsir jatuh dalam parelemen.34 Masa permulaan Demokrasi Terpimpin 1957, Masyumi bersikap melawan terhadap kebijakan Soekarno. Pada tahun 1958, Natsir menyebarang ke Pemerintahan 33
Ibid., h. 260; Ricklefs, op cit., h. 350. Pidato “Mosi Integral” Natsir disampaikan dalam parlemen pada tanggal 3 April 1950. Lihat M. Natsir, Capita Selecta II, (Jakarta: Pustaka Pendis, t.th.). h. 3.
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).35 Keterlibatan tokoh-tokoh Masyumi dalam PRRI, membuat Masyumi dalam posisi sulit. Pada 17 Agustus 1960, Presiden Soekarno memerintahkan dalam tempo 30 hari, agar Masyumi menyatakan partainya bubar, kalau tida partai Masyumi akan diumumkan sebagai “partai terlarang”. Sebulan kemudian, 13 September 1960, pimpinan pusat Masyumi menyatakan partainya bubar.36 Keterlibatan Natsir dalam PRRI memang cukup kontroversial. Satu sisi Natsir dikenal sebagai seorang politisi yang memilih bergerak dalam parlemen sekaligus sebagai pemimpin partai Islam terbesar, keikutsertannya dalam PRRI tersebut menimbulkan banyak tanda tanya. Beberapa penulis menganalisis bahwa keterlibatannya dalam PRRI lebih disebabkan adanya pertentangan tajam anatara Soekarno dengan kelompok Islam, serta sikap politik Soekarno yang mengabaikan nilai-nilai demokratis dalam bernegara.37 Tiga tahun kemudian, tanggal 25 September 1961, Natsir beserta tokoh-tokoh yang lain “kembali” dan dibawa ke Jakarta kemudian dikenakan tahanan hingga jatuhnya Soekarno pada 1966. Setelah keluar dari penjara, menurut Kahin, seperti kebanyakan pemimpin PRRI yang lain, Natsir berharap bahwa bukti antikomunis mereka dan catatan sebagai oposan terhadap rezim Soekarno, akan menyebabkan 34
Kahin, op. cit., h. 62. Noer, Partai Islam, h. 369; Anwar Harjono dan Lukam Hakim, “Mohammad Natsir: Pemikiran dan Sumbangannya untuk Indonesia”, dalan Anwar Harjono, M. Natsir Sumbangan dan pemikirannya untuk Indonesia, (Jakarta: Media Da’wah, 1995), h. 28; PRRI (Pemerintahan Revolusiner Republik Indonesia) pada 1958-1961, yang dipimpin oleh Sjafruddin. Rikclefs, op. cit., h. 397-408. 36 Noer, Partai Islam, h. 386 35
mereka memperoleh kebebasan politik dari pemerintahan Soeharto. Oleh karena itu, mereka terkejut demi mendapati kenyataan bahwa itu tidak pernah terjadi. Natsir dan teman-temannya dilarang mendirikan kembali Masyumi atau memainkan peran politik yang berarti.38 Setelah dilarang melakukan aktivitas politik, Natsir akhirnya berketetapan hati untuk menghabiskan seluruh perhatiannya dalam usaha non-politik dalam pendidikan Islam dan kerja sosial, khususnya mendukung dakwah Islam. Hal itu direalisasikan dengan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pada tahun 1967 yang mana ia menjadi ketuanya sampai akhir hayatnya. Pada hari Sabtu tanggal 6 Pebruari 1993, ia berpulang ke rahmatullah. Natsir yang lulusan sekolah modern Barat, ia juga seorang santri, bersama A. Hassan ia memdalami Islam, dan bersama Haji Agus Salim, ia menyelami politik. Ia mewarisi dari keduanya pengetahuan Islam yang mendalam dan ideologi politik yang berkomitmen terhadap Islam. Di masa muda, ia mengabdikan hidupnya pada peningkatan pendidikan umat Islam dan menjadi juru bicara kaum pembaharu tentang Islam dan negara, juga tentang Islam dan kemodernan. Di masa kematangannya, ia menerjunkan diri dalam politik dan membangun bangsa, ia bisa diidentikan dengan Masyumi, atau pun sebaliknya. Di masa tua, ia memfokuskan diri dalam dakwah kepada umat. Terhadap
kontribusi
yang
telah
diberikan
Natsir,
komunitas
umat
menghormatinya sebagai “cahaya komunitas Muslim” dan betapapun cendekiawan 37
Anwar Harjono dan Lukman Hakiem, op. cit., h. 28-34; Kahin, op. cit., h. 66.
muda mengkritik program-program teologi dan politik Natsir, hanya sedikit yang mempertanyakan integritas dan pengabdiannya kepada Islam dan Indonesia.39 Adapun pengaruh Natsir terhadap umat Islam Indonesia, Kahin berkomentar, Ide-ide Mohammad Natsir telah menyentuh banyak orang yang diharapkan mampu mempengaruhi lingkaran masyarakat Islam Indonesia yang memperoleh penghargaan besar dan yang pandangan-pandangannya telah ia bentuk secara signifikan. Khususnya selama pertengahan masa-masa hidupnya. Natsir, lanjut Kahin, memiliki pengaruh besar yang sangat besar dalam pembangunan pemikiran politik dan sosial Islam di Indonesia, dan juga telah memainkan peranan penting dalam perkembangan sejarah politik bangsanya.40
B. Pandangan Mohammad Natsir terhadap Islam Mohammad Natsir menyelesaikan pendidikan formalnya di sekolah yang diadakah oleh Pemerintah Belanda, mulai HIS, MULO sampai AMS. Dari latar belakang pendidikannya sekilas dapat diketahui bahwa Natsir bukanlah alumnus pendidikan pesantren yang pada saat tersebut sudah berkembang. Satu-satunya pendidikan formal keagamaan yang diikuti oleh Natsir, hanya pendidikan Madrasah Diniyyah, yang ia ikuti di waktu sore sehabis sekolah HIS di pagi harinya. Hal ini dikemudian berdampat pada pengakuan bahwa Natsir meskipun memiliki
38
Kahin, op. cit., h. 67. Woodward, loc. cit. 40 Kahin, op. cit., h. 71 39
pemahaman Islam yang luas, ia tidaklah dapat dikategorikan sebagai ulama, ia tetap saja sebagai orang sekolahan. Sekolah Diniyyah yang diikuti oleh Natsir, ia belajar pada sekolah yang dipimpin oleh seorang yang bernama Tuanku Mudo Amin, seorang pengikut dan kawan dari Haji Rasul. Ia juga mengikuti pelajaran secara teratur yang diberikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang, dengan demikian, menurut Noer, dapatlah dikatakan bahwa Natsir telah mengenal ajaran-ajaran pembaharuan Islam semenjak ia kecil.41 Di Bandung, minat Natsir tentang agama berkembang. Ia secara teratur mengikuti kelas khusus yang diselenggarakan oleh A. Hassan untuk anggota-anggota muda, yang sedang belajar di berbagai sekolah menengah Belanda. Pada periode 41
Noer, Gerakan Moderen Islam, h. 100. Minangkabau, daerah kelahiran Mohammad Natsir, merupakan poros pembaharuan Islam di Indonesia yang menghubungkan dengan dunia Islam seperti Mekah dan Kairo. Benih pertama gerakan pemabaharuan Islam yang masuk ke Indonesia melalui Minangkabau pada tahun 1803, dibawa oleh tiga orang haji yang kembali dari Mekah, dan tampaknya dipengaruhi oleh Gerakan Wahabi di Arab Saudi dan juga merupakan satu penyebab pecahnya perang Padri (1821-1838). Gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau berlanjut pada masa Syekh Ahmad Khatib (lahir di Bukittinggi, tahun 1855) yang menyebarkan gagasan-gagasan pembaharuannya dari Mekah pada dua dasawarsa terakhir abad ke-19. Syekh Ahmad Khatib memiliki banyak murid di antaranya, Syekh Tahir Jalaludin al-Azhari (1869-1956), Syekh Muhammad Djamil Djambek (18601947), Haji Abdul Karim Amrullah (1879-1945) dan Haji Abdullah Ahmad (1878-1933), keempat muridnya tersebut berasal dari Minangkabau dan terlibat secara langsung dalam merealisir pembaharuan di daerah Minangkabau. Haji Abdul Karim Amrullah, dikenal juga dengan nama Haji Rasul. Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul sangat aktif dalam gerakan pembaharuan, suaraunya di Padang Panjang berubah nama menjadi Sumatra Thawalib. Gerakan Haji Rasul kemudian dilanjutkan oleh puteranya, Hamka. Adapun Haji Abdullah Ahmad yang juga seorang pembaharu, mendirikan Jamaah Adabiyah, dan keperluan terhadap pendidikan yang sistematis ia pun membuka sekolah Adabiyah. Atas pengetahuan yang mendalam tentang Islam, Haji Rasul bersama haji Abdullah Ahmad, memperoleh gelar kehormatan doktor dalam bidang agama di Kairo tahun 1926. Lihat Rikclefs, op. cit., h. 214; Noer, Gerakan Moderen Islam, h. 38; Murni Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke-20, (Jakarta: INIS, 2002), h. 11; dan H.A. Steijn Parve, “Kaum Padari (Padri) di Padang Darat Pulau
inilah minat terhadap Islam sangat besar, hingga ia menolak tawaran untuk melanjutkan studi dari Pemerintah Hindia Belanda. Bergabungnya Natsir dalam Persatuan Islam. Tentunya hal ini tidaklah mengagetnya apabila dilihat bahwa sebelumnya Natsir telah mengenal gerakan pembaharuan Islam yang berkembang di Minangkabau, apalagi bahwa organisasi Persatuan Islam juga didirikan oleh orang-orang yang berasal dari Palembang, Sumatera, dan memiliki karakteristik sebagai organisasi pembaharu. Perpaduan pendidikan sekular dan religius yang diterima Natsir menjadi nilai yang berguna bagi dirinya dalam membela nilai-nilai Islam dalam menghadapi benturan pengaruh-pengaruh Barat dalam kerangka yang bisa dipahami oleh orangorang Indonesia yang terdidik di sekolah sekular. Dalam majalah Pembela Islam dan Panji Islam, Natsir menulis berbagai artikel yang membela kepentingan Islam. A. Hassan, sebagai guru Persatuan Islam, melihat Natsir juga pelajar pemuda yang lainnya sebagai sebagai potensi besar dalam pengembangan Islam. Dalam setiap kesempatan diskusi yang dilakukan A. Hassan seringkali hanya mengatarkan saja, Hassan lebih banyak menunjukkan sumber-sumber rujukan yang dapat digali oleh para pelajar dalam memecahkan segala persoalan yang menyangkut tentang Islam.42 Pada tahun 1929, Natsir dan kawan-kawan di AMS diperintahkan untuk mengikuti ceramah yang disampaikan seorang pendeta Christoffel mengenai Nabi Muhammad. Ceramah tersebut kemudian dimuat dalam surat kabar berbahasa Sumatera”, dalam Taufik Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), h. 147. 42 M. Natsir, “Membina Kader Bertanggung Jawab”, dalam Djaja, op. cit., h. 54.
Belanda, A.I.D., di Bandung. Isi ceramah tersebut menurut Natsir tidak jujur dan menyudutkan Islam. Kemudian ia berdiskusikannya dengan A. Hassan apakah akan dibalas? Jawab A. Hassan, “Harus dijawab”, dan Natsir yang harus menjawabnya. Mohammad Natsir kemudian menulis tentang Nabi Muhammad dalam bahasa Belanda, yang berjudul “Mohammed als Profeet”, dan dimuat dalam surat kabar AI.D. Dalam artikelnya “Mohammed als Profeet”,43 Natsir meluruskan beberapa kesalahan yang dilakukan oleh pendeta Christoffer dalam menjelaskan riwayat Nabi Muhammad Saw. Natsir menunjuk empat kesalahan yang dilakukan pendeta Christoffer. Seperti pandangan tokoh-tokoh moderis yang lain, Natsir melihat bahwa kemajuan atau kemunduran umat Islam tergantung pada bagaimana pemahaman dan dan penghayatan kepada Islam, teutama tentang tauhid, serta bagaimana mereka mengamalkan ajaran Islam itu dalam kehidupan seharian mereka. Dari sisi ini, Natsir bertindak sebagai seorang reformis yag berusaha untuk memberikan interpretasi baru kepada doktrin keagamaan, dan mengajak masyarakat untuk memurnikan pelaksanaan amalan-amalan keagamaan mereka dari unsur-unsur bukan Islam. Pengaruh pandangan keagamaan A. Hassan, guru Persatuan Islam, terhadap Natsir sangat tampak dalam bidang ini. A. Hassan memang dikenal dikenal radikal dalam keagamaan, ia hanya bersedia melaksanakan ajaran keagamaan apabila ditunjang oleh dasar al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. Begitu pula dengan Natsir, 43
Artikel tersebut diterjemahkan “Muhammad Sebagai Nabi”, berisikan bantahan Mohammad Natsir terhadap ceramah pendeta A.C. Christoffel tentang Kehidupan Nabi Saw pada tanggal 5 dan 12
sebagai muridnya ia memiliki kesamaan dengan A. Hassan dalam sikap keagamaan, Natsir juga dikenal anti taqlid, bid’ah dan khurafat.44 Menurut Yusril,45 Natsir merumuskan pandangan keagamaannya mengenai tauhid yang menjadi asas bagi ajaran Islam. Natsir memandang tauhid memiliki dua sisi. Pertama, pada sisi ini, tauhid menegaskan keesaan Allah sebagi satu-satunya Tuhan oleh manusia, dan menjadi titik tolak dari seorang Muslim dalam memandang hidupnya. Kedua, tauhid beisikan tekanan kepada kesatuan uniersal umat manusia sebagai umat yang satu, berdasarkan persamaan, kedailan, kasih sayang, toleransi dan kesabaran. Jadi, dalam hal kontek kemanusian, tauhid menegaskan prinsip humanisme universal yang tanpa batas. Karena itu Natsir merujuk kepada al-Quran (3: 115) yang menegaskan bahwa manusia akan ditimpa oleh bencana yang dahsyat, kecuali mereka yang yang memelihara tali perhubungan dengan Allah dan sesama manusia.46 Dasar keagamaan Natsir didasari pula oleh al-Quran surat al-Dzariyat: 56, “Dan Aku (Allah) tidak jadikan jin dan manusia, melainkan untuk menyemba Aku”. Menurutnya, “Akan memperhambakan diri kepada Allah, akan menjadi hamba Allah, inilah tujuan hidup kita di atas dunia ini”.47
September 1928 di Bandung. Artikel ini dimuat kembali dalam M. Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1988), h. 3. 44 Yusril Ihza Mahendra, “Modernisme Islam dan Demokrasi”, dalam Anwar Harjono, M. Natsir Sumbangan dan Pemikirannya untuk Indonesia, (Jakarta: Media da’wah, 1995), h. 128 45 Yusril, “Modernisme Islam”, h. 129 46 Ibid., h. 131. 47 M. Natsir, “Ideologi Pendidikan Islam”, dalam Capita Selecta I, h. 82
1. Islam Sebagai Dasar Kebudayaan Istilah kebudayaan dalam pembendaharaan bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta yaitu budaya, bentuk dari budi yang berarti roh atau akal. Istilah kebudayaan berati segala sesatu yang diciptakan oleh budi manusia. Istilah Inggerisnya disebut culture, berasal dari bahasa Latin colere yang berarti “mengolah atau mengerjakan”.48 Kebudayaan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah alhadharah, al-madaniyyah, dan al-tsaqafah.49 Sidi Gazalba memberikan rumusan definisi kebudayaan adalah cara berpikir dan cara measa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari golongan manusia yang membentuk kesatuan sosial, dalam suatu ruang dan suatu waktu.50 Rumusan defenisi kebudayaan yang lain, “kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang meliputi pengetahuan, dogma, seni, nilai-nilai moral, hukum, tradisitradisi sosial, dan semua kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia dalam kedudukannya sebagai anggota masyarakat”.51 Karena segala sesuatu, sesuai definisi di atas, bisa dimungkin untuk dibuat oleh manusia, maka hasil kreasi manusia yang dinamakan kebudayaan itu mempunyai corak, sifat, dan ragam yang luas dan kompleks. Ada kebudayaan yang bersifat material, yang dapat dilihat dan diraba karena wujudnya kongkrit. Adapula kebudayaan immaterial, yang tidak bisa dilihat dan diraba karena wujudnya abstrak, seperti ilmu pengetahuan, kesenian dan 48
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), h. 23-
24 49
lihat ‘Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, terj.Ahmad Rofi Usmani, (Bandung: Pusataka, 1981), h. 1. 50 Sidi Gazalaba, Pengantar kebudayaan sebagai Ilmu, (Jakarta: Pustaka Antara, 1968), h. 44
sebagainya. Menurut Koetjaraningrat, kebudayaan yang beraneka ragam sifat, jenis dan coraknya itu, memiliki tiga wujud, yaitu: Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan dan sebagainya. Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas, kelakukan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.52 Dilihat dari cakupan kebudayaan, maka “agama” dapat pula dikategorikan sebagai bagian dari kebudayaan, namun masuknya agama dalam kebudayaan tidak dapat diterapkan kepada Islam sebagai agama samawi, karena Islam tidak lahir dari hasil cipta manusia. Akan tetapi Islam dan kebudayaan memiliki keterjalinan yang erat, hubungan erat itu adalah bahw Islam merupakan dasar, asas, pengendali, pemberi arah dan sekaligus merupakan sumber nilai dalam pengembangan dan perkembangan budaya.53 Begitu dengan pandangan Natsir mengenai Islam dan kebudayaan. Natsir selalu melihat bahwa Islam tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan, artinya bahwa Islam telah melahirkan sebuah kebudayaan besar yang berasal dari sistem nilai Islam sendiri. Sebagai seorang alumnus pendidikan Belanda, ia mengutip pandangan H.A.R. Gibb dalam mengonsepsikan Islam dan kebudayaan, yang mana ia sering kali mengutipnya dalam tulisannya, “Islam is indeed much more than a system of 51 52
15.
Al-Sharqawi, op. cit., h. 1 Koetjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1976), h.
theology, if is complete civilization” (Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja, dia itu adalah suatu kebudayaan yang lengkap).54 Kutipan ini mengarisbawahi bahwa bagi Natsir agama Islam bukan hanya sistem kepercayaan saja yang hanya melingkupi persoalan ibadat atau ritual atau hanya bersipat vertikal (manusia dan Tuhan), tetapi bagi Natsir Islam itu sebagai pandangan hidup yang juga melingkupi bidang yang lebih luas. Pernyataan Gibb ini pun oleh Natsir dikutipnya pula ketika ia sudah terjun dalam gelanggang politik, dengan satu tambahan, “lebih dari itu! Islam adalah satu falsafah hidup, satu levens filosofie, satu ideologi, satu sistem peri kehidupan, untuk kemenangan manusia sekarang dan di akherat nanti”.55 Terhadap kata-kata Gibb dan terjemahan M. Natsir di atas, Endang Saifuddin Anshari sangat menaruh keberatan terhadap pernyataan tersebut, Anshari menyatakan: “Tidaklah tepat menerjemahkan a system of theology dengan satu sistem agama atau satu sistem peribadatan, sebab theology tidak sama dengan agama atau peribadatan; theology adalah suatu studi (jadi: ilmu) tentang salah satu aspek agama, yaoitu: credo, creed atau aqidah. Studi tentang agama (atau tentang bagian daripada agama) tidakah sama dengan agama itu sendiri”.56
Terhadap kata-kata Gibb, (Islam is indeed much more than a system of theology; it is a complete civilization), Anshari mengajukan bantahan bahwa:
53
Faisal Ismail, op. cit., h. 43 Lihat Artikel M. Natsir, “Islam dan Kebudayaan” (Juni, 1936) dan “Perguruan Partikelir Islam” (Oktober, 1938), dalam Capita Selecta I, h. 15, 127. 55 Artikel M. Natsir “Agama dan Politik” (Pebruari, 1950), dalam Capita Selecta II, h. 21 56 Endang Saifuddin Anshari, Agama dan Kebudayaan, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 50 54
“Islam adalah wahyu. Jadi bukan satu sistem theology, karena logi (=ilmu, science, studies). Dan Islam bukanlah ilmu (ilmu adalah salah satu cabang daripada kebudayaan, dus: ciptaan manusia!). sekali lagi Islam adalah wahyu. Jadi sama sekali bukanlah civilization walaupun pakai ajektif “complete” sekalipun! Karena menurut kamus dan eknsiklopedia manapun civilization itu adalah man-made, karya manusia, ciptaan insani!”.57
Meskipun begitu, Natsir dalam beberapa tempat mengutip pandangan Gibb tersebut dalam mendukung tesisnya bahwa Islam mencakup kebudayaan, dan tidaklah sama sekali untuk melihat Islam sebagai kebudayaan. Menurut Natsir, kekuatan yang menjadi sebab munculnya kebudayaan dalam masyarakat Muslim, dalam hal ini bangsa Arab, bangsa yang pada awalnya bodoh, tidak terkenal dan tidak dianggap oleh bangsa-bangsa yang lain disekililignya, bergerak menggemparkan dunia, membangun satu kebudayaan yang sangat penting dalam sejarah, adalah agama Islam, sebab itu tepat kalau dinamakan dengan sebutan Kebudayaan Islam. Dengan nilai-nilai dasar Islam yang menjadi inspirasinya, kaum Muslimin memperteguh kedudukan mereka sebagai kaum yang diikat oleh keyakinan yang satu dan pandangan hidup yang satu pula, dan setelah mereka dapat menduduki satu tempat tertentu pula dalam medan percaturan dunia, mereka naik pada posisi kaum yang dihormati oleh bangsa-bangsa yang lainnya, yang mendirikan kebudayaan yang buahnya diwarisi oleh bangsa Eropa.58 57
Anshari, Kebudayaan, h. 50 M. Natsir, “Islam dan Kebudayaan”, dalam Capita Selecta I, h. 16. Watt, seorang orientalis, mengakui pengaruh terhadap pentingnya kontribusi Islam terhadap Eropa. Ia menuturkan, untuk jangka waktu tertentu, memang diakui bahwa penulis-penulis Kristen Abad Pertengahan telah menciptakan citra mengenai Islam yang, dalam beberapa hal, merendahkan. Tetapi, melalui upaya para sarjana selama satu abad lampau, gambaran lebih obyektif sekarang tengah mengambil bentuknya dalam pemikiran Barat. Namun demikian, karena utang budaya (cultural indebtedness) kita terhadap 58
Natsir sangat berkeyakinan bahwa tumbuh majunya kebudayaan Islam didasarkan agama Islam itu sendiri, Islamlah yang menjadi pendorong dan pemberi semangat untuk mencapai ketinggian peradaban dan kebudayaan, dan ini pun telah dibuktikan pula oleh para ahil sejarah. Nilai-nilai Islam yang menjadi sumber kekuatan kemunculan kebudayaan Islam, menurut Natsir mancakup lima prinsip, yaitu:59 Pertama, Agama Islam menghormati akal manusia, mendudukan akal pada tempat yang terhormat serta menyuruh agar manusia mempergunakan akal itu untuk menyelidiki keadaan alam. Dalam hal ini, ia mengutip sebuah pendapat, “Agama itu akal, tidak ada agama bagi seorang yang tiak berakal”, dan al-Quran Surat ‘Ali Imran [3]: 190 dan 191. Kedua, Agama Islam mewajibkan pemeluknya, baik laiki-laki maupun perempuan, menutut ilmu. Ketiga, Agama Islam melarang bertaklid buta, menerima sesuatu sebelum diperiksa, walaupun datangnya dari kalangan sebangsa dan seagama atau dari ibubapak dan nenek moyang sekalipun. Dan Janganlah kamu turut saja apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan atasnya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan ditanya tentang itu (QS. al-Isra [17]: 36) islam, kita bangsa eropa masih terlalu angkuh. Kita terkadang mengecilkan kuat dan pentingnya pengaruh Islam dalam warisan kita, bahkan kerapkali tidak mengakuinya sama sekali. Kita harus mengakui utang budaya kita sepenuhnya. Berusaha menutupi dan mengingkarinya adalah salah satu ciri kebanggaan yang palsu. W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia (Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan), terj. Hendro Prasetyo, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 1-2 59 Capita Selecta I, h. 17. Lihat juga artikel “Hakikat Agama Islam” (Oktober, 1938), dalam Capita Selecta I, h. 145.
Keempat, Agama Islam menyuruh memeriksa kebenaran, walaupun datangnya dari kaum yang berlainan bangsa dan kepercayaan. Dalam atikel “Hakikat Agama Islam”, dalam point keempat, Natsir menulis, Agama Islam menggembirakan pemeluknya suapaya selalu berusaha mengadakan barang yang belum ada, merintis jalan yang belum ditempuh, membuat insiatif dalam hal keduniaan yang membei manfaat bagi masyarakat. Kelima, Agama Islam menggemarkan dan mengerahkan pemeluknya pergi meninggalkan kampung halaman berjalan ke negeri lain, memperhubungkan silaturrahim dengan bangsa dan golongan lain, saling tukar rasa dan pemandangan. Wajib atas tiap-tiap Muslimin yang kuasa, pergi sekurang-kurangnya sekali seumur hidupnya mengerjakan haji. Pada saat-saat itu berlakulah pertemuan yang karib antara segenap bangsa dan golongan di atas dunia ini. Terciptalah hubungan persaudaraan dan kebudayaan (akulturasi) yang sangat penting artinya untuk kemajuan tiap-tiap bangsa. Natsir mengingatkan bahwa Islam pada tingkat kebudayaan dunia pernah mencapai suatu tingkat yang tinggi, yang semua itu diperoleh bukan dari hasil warisan tetapi berasal dari sebuah kerja keras dan keyakinan agama, ia menuliskan: “Akan tetapi di sini sekedar introduksi, sebagai memanggil perhatian kaum kita, terutama pemuda-pemuda Muslimin yang muda-belia dan yang mempunyai ruh dan tenaga-muda, agar ingat bahwa satu tingkat tinggi telah tercapai oleh nenek-nenek mereka yang teguh memegang semua peraturan dan perintah agama kita, Islam. Mudah-mudahan kita semua insaf bahwa sesungguhnya Agama Islam itu, “much more than a system of theology, it is complete civilization”, seperti kata Prof. Gibb”.60
Pada kurun 1937-1940 Natsir menulis sejumlah artikel yang berkaitan dengan kemajuan kebudayaan Islam. Natsir menulis sejumlah tokoh-tokoh penting dalam puncak kebudayaan Islam, terutama tokoh filosof Muslim. Artikel-artikel yang ia tulis yaitu: 1. “Ibnu Maskawih,” dan membandingkannya dengan Schopenhauer dan teori-teori Sigmund Freud (pada Pebruari, 1937).61 2. “Ibnu Sina” ditulis pada Pebruari, 1937. Menurut Natsir, “Ibnu Sina, seorang geni yang mukhtara’ (orisinil), satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman, di langit kebudayaan”.62 3. “Abu Nasr Al-Farabi”, ditulis bulan Maret, 1937. Menurut Natsir, al-Farabi, penulis “al-Siayasah al-madaniyah”, merupakan tokoh pencetus Politik Ekonomi.63 4. “Abu hamid Bin Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali”, ditulis pada bulan April, 1937. Dalam tulisaanya Natsir membandingkan karya Thomas â Kempis (1379-1471), “De Imitatione Christie”, dengan karya Al-Ghazali “Ihya”. Natsir juga memperbandingkan antara Al-Ghazali dengan David Hume.64 5. “Hay Bin Yaqdzan, Roman Falsafah Ibnu Thufail”, ditulis bulan Desember 1937.65 6. “Jejak Islam dalam Kebudayaan’, ditulis tahun 1937.66 60
Capita Selecta I, h. 21. Capita Selecta I, h. 22. 62 Capita Selecta I, h. 25. 63 Capita Selecta I, h. 28 64 Capita Selecta I, h. 31 61
7. “Muhammad dan Charlemagne”, ditulis pada bulan Nopember, 1938.67 8. “Ichwanus-Shafa”, ditulis bukan Mei, 1939.68 9. “Pandangan tentang Buku-buku Roman”, ditulis pada bukan Januari, 1940. Dalam hal ini, Natsir menyadari tentang kaharusan membangun sebuah kesusastraan yang sesuai dengan jiwa masyarakat, terutama kaum Muslimin. Perukaran ide tentang kesusastraan antara Timur dan Barat adalah hal yang biasa, tidak bisa dihindarkan, tetapi yang pentingnya adanya “saringan” agar ide-ide yang diserap dapat sesuai dengan kondisi masyarakat.69 Semua yang tersebut di atas, menunjukkan perhatian Natsir tentang penting kebudayaan Islam. Kejayaan Islam yang pernah dicapai pada masa lampau membangun kesadaran bagi natsir untuk mengenalkan mereka pada umatnya sekarang, sehingga kaum Muslimin tidak kehilangan rasa kesejarahan mereka. Meskipun umat Islam Islam di Indonesia berbeda kultur dengan umat Islam di Arab, hal itu tidak mejadi halangan bagi dalam membangun nilai-nilai kesajarahan di kalangan kaum Muslimin Indonesia, karena yang ditekankan adalah kesadaran untuk bangkit. Karena itu pula sering kali ia meuliskan di akhir tulisannya seruan-seruan seperti, “Kaum Muslimin! Mari bela Islam! Kebenaran pasti menang!”, atau katakata, “Bilakah kembalinya masa demikian, wahai Pemuda Islam?!”, atau “Wahai ahli waris, mengapa pusaka dibiarkan hanyut!”. 65
Capita Selecta I, h. 42 Capita Selecta I, h. 36 67 Capita Selecta I, h. 61 68 Capita Selecta I, h. 200 69 Capita Selecta I, h. 65. 66
Memang tulisan Natsir tentang kebudayaan Islam lebih bersifat nostalgia dan menyebut kebaikan yang diterima Barat dari hasil kebudayaan Islam. Tentang kemunduran kebudayaan Islam itu sendiri, Natsir mengupasnya bahwa lepasnya kebudayan dari tangan kaum Muslimin dikarena sudah tidak ada lagi ruh intiqad (critische zin). Ruh intiqad inilah yang mendidik kaum Muslimin supaya mempergunakan akal dan menyelidik dengan seksama, serta menjauhkan mereka dari sikap menerima. Dari ruh intiqad ini lahirlah Jabir ibn Hayyan, lahirlah metode pengumpulan hadits dan sebagainya. Untuk mengembalikan kebudayaan pada tangan kaum Muslimin, Natsir menulis: “Maka mengingat ini, tiap-tiap usaha dari kaum kita sekarang yang berusaha untuk menghidupkan ruh-intiqad itu kembali dan menghapuskan “libasul-khauf” dengan segala ikhtiar dari kalangan kita umat Islam … harus mendapat penghargaan dan bantuan yang sewajarnya, … dan mengganti ruh-pasif ini dengan ruh-intiqad, adalah usaha yang selayaknya kita hormati dan tunjang bersama-sama dengan sekuat tenaga kita.70
Harapan Natsir tentunya merupakan sebuah harapan yang bukan utopis, Natsir sangat yakin bahwa dengan menjalankan kembali prinsip-prinsip Islam yang seutuhnya kebudayaan Islam yang pernah mencapai puncaknya dapat dihadirkan kembali dalam semangat zamannya. Seperti kata Natsir sendiri, “I’historie se réféte: zaman beredar, riwayat berulang”.71
2. Islam dan Kemerdekaan Berpikir 70
M. Natsir, “Jejak Islam dalam Kebudayaan”, dalam Capita Selecta I, h. 40
Manusia dalam pandangan Islam terdiri dari dua unsur, yaitu materi dan inmateri. Tubuh manusia adalah bersifat materi sedagkan roh manusia berasal dari substansi inmateri. Roh manusia yang bersifat inmateri itu mempunyai dua daya yaitu daya pikir yang disebut akal dan berpusat di otak (kepala), serta daya rasa yang disebut qalbu yang berpusat di dada.72 Istilah akal berasal dari bahasa Arab yaitu kata ‘aqala-ya’qilu-‘aqlan, yang secara bahasa berarti mengikat atau menahan, mengerti dan membedakan. Dari pengertian ini kemudian dihubungkan bahwa akal adalah merupakan daya yang terdapat dalam diri manusia yang dapat menahan atau mengikat pemiliknya dari perbuatan buruk atau jahat. Demikian pula dihubungkan bahwa akal adalah merupakan salah satu unsur yang membedakan manusia dari makhluk lain (khususnya binatang), karena akal dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk.73 Dalam al-Quran banyak ayat yang memerintahkan dan memperingatkan agar mengunakan pikiran atau akal, di beberapa tempat al-Quran menggunakan kata ya’qilûn dan ditempat lain menggunakan kata yatafakkarûn. Perhatian terhadap posisi akal dalam Islam juga tidak lepas dari tinjauan Natsir, ia berpandangan bahwa Islam sangat menghormati kedudukan akal, dan untuk itu ia meletakan penghormatan
71
M. Natsir, “Rasionalisme dalam Islam dan Reaksi Atasnya”, dalam Capita Selecta I, h. 212 M. Rasjidi, Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 1 73 Ibid., h. 6 72
Islam terhadap akal sebagai sumber pertama kekuatan Islam, di atas kewajiban menuntut ilmu, di larang bertaklid (kritis), inisiatif, dan akulturasi.74 Agama Islam menghormati akal manusia serta meletakkan akal pada tempat yang terhormat, tiada lain agar manusia mempergunakan akalnya itu untuk memeriksa dan memikirkan keadaan alam. Ada tiga dalil naqli yang dijadikan sandaran bagi Natsir. Pertama, hadits yang menjelaskan “Agama itu ialah akal, tak ada agama bagi seorang yang tidak mempunyai akal”. Kedua dan ketiga, adalah firman Allah Swt., “Sesungguhnya dalam kejadian langit dan bumi serta pertukaran malam dan
siang
ada
beberapa
tanda
untuk
mereka
yang
mempunyai
(mempergunakan) akalnya” (Q.S. Ali Imran: 190). Dan, “Mereka yang ingat akan Allah diwaktu berdiri, diwaktu duduk dan berbaring, dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi, (berkata): “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau jadikan (semua) ini dengan sia-sia. Maha Tinggi Engkau, maka lindungilah kami dari azab neraka” (Q.S. Ali Imran: 191). Perhatian Natsir terhadap kedudukan akal dalam Islam nampak juga dari minatnya untuk menulis para tokoh-tokoh Muslim dari kalangan filosof, seperti Ibn Maskawaih, Ibn Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Tufail, dan Ikhwan al-Shafa, dibandingkan tokoh-tokoh dari kalangan ahli tafir, hadits ataupun hukum. Akal bagi Natsir merupakan alat untuk mencari kebenaran, memikirkan ciptaan Tuhan, ia sependapat dengan Ibn Thufail yang menggunakan tamsil Hay Ibn Yaqdzan sebagai akal. Bahwa akal yang sehat, tentu akan sampai kepada pengakuan 74
M. Natsir, “Hakikat Agama Islam”, dalam Capita Selecta I, h. 147
adaNya dan akan tunduk kepada Wajib al-Wujud, yang cukup dengan memperhatikan sekeliling saja, seperti tersurat dalam Q.S. al-Ghâsyiah [88]: 17-21 dan Q.S. Ali Imran [3]: 190. Sebaliknya pula menurut Natsir, “Semata-mata akal sehat saja, yang ditamsilkan dengan dirinya Hay bin Yaqdzan belum cukup untuk mengetahui adanya Tuhan dengan sifat-sifatNya, masih belum cukup untuk mengatur satu susunan cara pergaulan antara sesama manusia dan cara peribadahan teerhadap Allah Swt yang dapat diterima dan dijalankan oleh sekalian golongan manusia. Sebaliknya, diperlihatkan pula bagaimana besar bahayanya bilamana agama itu sudah dijadikan orang sebagai gerakan bibir semata-mata, bilamana orang yang mengaku Muslim sudah masuk ke jurang kejahilan dan hubbuz-zat (materialisme) dan tidak mengerti akan isi dan tujuan peraturan-peraturan agama. (maka) Hay bin Yaqdzan (akal) berjabat tangan dengan Asal (agama)--(merupakan keharmonisan)—sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Agama itu ialah akal; tak ada agama bagi seseorang yang tidak berakal”.75
Secara spesifik, Natsir menulis tiga artikel yang menyoroti kedudukan akal dalam Islam, yaitu “Ichanus-Shafa” (Mei, 1939),76 “Rasionalisme dalam Islam dan Reaksi Atasnya (Aliran Paham Mu’tazilah dan Ahlissunah)” (Juni, 1939),77 dan “Sikap Islam terhadap Kemerdekaan Berpiki” (April, 1940).78 Adapun artikel ketiga merupakan tanggapan Natsir terhadap artikel Soekarno yang menggagas tentang rasionalisme dan modernisme Islam yang ditulisnya dalam artikel “Me-muda-kan Pengertian Islam”, dan “Masyarakat Unta dan Masyarakat Kapal Udara”, yang telah dibahas pada Bab II. Dalam melihat kedudukan akal dalam Islam, Natsir memulai pandangannya dengan melihat sejarah pemikiran dalam Islam. Menurutnya apabila dilihat dari 75
M. Natsir, “Hay Bin Yaqdzan”, dalam Capita Selecta I, h. 48 Capita Selecta I, h. 200 77 Capita Selecta I, h. 209 76
tinjauan sejarah kalam dan kebudayaan Islam, masa Nabi Saw dan Khulafa Rasisidin merupakan suatu zaman yang tenang dan aman sentosa. Zaan keimanan yang sederhana dan suci murni, yang telah menimbulkan suatu kekuatan positif, keberanian yang teruji dalam sanubari para Mukmin. Akan tetapi, menurut Natsir, dalam pertukaran zaman Khulafa Rasidin dengan zaman Muawiya, maka sanubari kaum Muslimin yag tadinya ibarat satu telaga yang hening dan tenang, mulailah beriak, berombak, kemudian berggelombang denganhebat seakan dihembus oleh angin gerakan ruhani yang makin lama makin keras dan kencang juga. Persoalan qadha dan qadar merupakan awal mula yang timbul dan menguncangkan dasar keyakinan kaum Muslimin. Kemudian mencapai puncaknya ketika timbul aliran Mu’tazilah, yang disebut-sebut sebagai “Rationalisme” dalam Islam. Setiap aksi menimbulkan reaksi, begitu yang terjadi dalam hukum kasualitas kebudayaan. Kelompok-kelompok ini mengerucut pada tiga aliran utama: “Apabila kaum Mu’tazilah berpagng teguh kepada akal yang merdeka, dan mazhan ahlisunnah menundukkan semua paham dan keyakinan kepada Quran dan Sunnah Nabi semata-mata dengan memahamkannya, maka di samping itu berdirilah satu aliran yang ketiga, yakni yang kita puas denga keterangan Quran dan Sunnah sebagaimana yang lahirnya saja, tetapi tidak pula hendak memberi kemerdekaan kepada akal sebagai alat pencari kebenaran, akan tetapi menundukkan semua gerak gerik ruhani dan jasmani mereka kepada perasaan yang khusyu dan rindu kepada Allah Swt. Aliran ketiga ini, ialah yang dituruti oleh ahli tasawuf”.79
Semua keberadaan aliran ini pada akhirnya menjadi kekuatan dan ketajaman ruhani yang sulit dicari tandingannya dalam kebudayaan Islam sampai sekarang. 78 79
Capita Selecta I, h. 238 M. Natsir, “Ichwanus-Shafa”, dalam Capita Selecta I, h. 201
Natsir menguraikan bahwa juga bahwa dalam pemikiran Islam telah muncul pula kelompok yang menamakan dirinya Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan Kesucian), yang juga memiliki nilai tersendiri seperti halnya aliran Mu’tazilah Tentang Mu’tazilah sendiri, yang seringkali disebut sebagai Rasionalisme dalam Islam, masa kejayaan akal dalam singgasana Islam, istilah Soekarno. Natsir memberikan ulasan sendiri mengenai Mu’tazilah dan kedudukan akal dalam aliran ini. Tidak dipungkiri bahwa memang Mu’tazilah merupakan salah satu aliran kalam dalam Islam yang mementingkan pandangan akal atas nash. Tema-tema yang dibahas oleh Mu’tazilah berkait erat dengan ketuhanan. Natsir melihat sebagaimana Washil ibn Atha’ telah berpisah dari gurunya Hasan al-Basri dan mendirikan mazhab Mu’tazilah, maka demikian pula munculnya reaksi terhadap Mu’tazilah dengan alAsy’ari yang berpisah pula dari gurunya al-Jubba’i, al-Asy’ari beri’tizal dari mazhab Mu’tazilah, dan muncullah aliran Asy’ariyah, atau lebih dikenal golongan ahl sunah wa al jama’ah. Dalam tulisannya, Natsir menyajikan dialog antara al-Asy’ari dengan alJuba’i mengenai nasib tiga orang di akherat, mereka seorang yang beiman, seorang fasik dan seorang anak kecil. Dialog tersebut berakhir dengan diamnya al-Juba’i yang tidak menjawab pertanyaan al-Asy’ari. Natsir mengomentarinya: “’Ala kullihal, peristiwa ini adalah satu tanda yang menggambarkan satu krisis, satu ujung dari pucuk kesanggupan akal manusia yang dibawa oleh pertentangan dengan kaum Mu’tazilah di dalam lapangan ilmu ketuhanan. Sebagaimana telah kita ketahui, mazhab Mu’tazilah adalah terutama menjadi reaksi atas paham goongan yang bernama “Shifatiyyah” … maka aliran paham Asy’ari adalah suatu protes terhadap sistem yang semata-mata aqliyah, sistem rasionalisme yang dibawakan oleh kaum Mu’tazilah itu, yang mengira bahwa
semua rahasia alam cakrawala seluruhnya, malah rahasia-rahasia ketuhanan, dapat dikupas dengan akal dan diperkatakan dengan buah tuturan manusia”.80
Sikap Natsir terhadap posisi akal semakin jelas ketika ia menulis “Sikap Islam terhadap kemerdekaan Berpikir”. Adalah benar bahwa Islam
menghargai akal
manusia dan melindunginya dari pada tindasan-tindasan yang mungkin dilakukan orang atas nikmat Tuhan yang tidak ternilai itu. Islam mendorong orang mempergunakan akalnya, dan mencela orang yang tidak mempergunakan akalnya. Namun, kata Natsir, apakah semuanya berarti bahwa orang Islam harus melemparkan segala macam tradisinya dan harus mejadikan akal merdeka sebagai hakim tertinggi dalam segala hal. Akal merdeka, lanjut Natsir, telah melepaskan kaum Muslimin dari kemalasan berpikir, akal merdeka pula yang telah melahirkan seorang Washil ibn Atha’, Abu Huzhail al-‘Allaf, al-Asy’ari bahkan seorang al-Hallaj. Pendek kata lajut Natsir, akal merdeka bisa memperkuat dan memperteguh iman, menambah khusyu dan tawadhu, membersihkan agama dari segala sesuatu yang bertentangan dengan agama itu sendiri, dan dengan akal merdeka pula membongkar tiang-tiang agama dan melempar hudud. Lebih jauh Natsir menjelaskan posisi akal dan agama: “Agama datang membangunkan akal dan membangkitkan akal serta menggemarkan agar manusia memakai akalnya dengan sebaik-baiknya sebagai suatu nikmat Ilahi yang maha-indah … dalam beberapa hal Islam bertindak sebagai supplement dari akal, menyambung kekuatan akal di mana si akal tak dapat mencapai lebih tinggi lagi, seseorang yang mendakwakan bahwa “akal” itu bisa mencapai semua kebenaran, pada hakikatnya, bukanlah sebenar-benarnya orang yang telah mempergunakan akalnya dan bukanlah seseorang yang akalnya 80
M. Natsir, “Rasionalisme dalam Islam”, dalam Capita Selecta I, h. 229
merdeka dari hawa nafsu congkak dan takabur, tetapi yang terikat oleh salah satu macam taklidisme modern yang bernama…, rasionalisme!”.81
Untuk menjaga agar tidak terjadi overleaf antara otoritas agama dan otoritas akal, Natsir dengan berpedoman pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Nabi saw bersabda, “Jika ada urusan agamamu serahkan kepadaku. Dan jika ada urusan keduniaanmu, maka kamu lebih tahu akan urusan duniamu”, ia membuat demarkasi antara wilayah agama dan wilayah dunia, antara otoritas wahyu dan otoritas akal. Pembagian ini bukanlah bentuk sekularisasi, yang ingin ditunjukkan oleh Natsir adalah bahwa perintah-perintah agama itu ada yang sifatnya tidak ma’qul dan ada pula yang ma’qul. Perintah agama yang tidak ma’qul yaitu maksud dan tujuan atau sebabnya tidak diteragkan oleh syar’i, dan cara-cara mengamal perintah tersebut diatur dan ditetapkan oleh syar’i itu sendiri melalui nash al-Quran dan sunnah Rasulullah saw, seperti perintah shalat dan puasa, maka dalam hal ini menurut Natsir, “tidak ada hak kita mengubah atau mengurangi dan menambahnya dengan akal kita sendiri, dalam “dien” atau ibadah ini semua terlarang, kecuali yang disuruh”. Adapun perintah agama yang ma’qul, yaitu pokok perintahnya dari agama, tetapi cara-cara melakukan perintah ini tidak diatur oleh agama melainkan diserahkan kepada akal, menurut yang sesuai dengan dunia atau zamannya, “zat perintahnya bersifat “Dieny” sedangkan cara mengamalkannya bersifat “Dun-yawy”.82 81
M. Natsir, “Sikap Islam terhadap Kemerdekaan Berpikir”, dalam Capita Selecta I, h. 242-
82
Ibid., h. 246-247
243.
Dengan penjelasan tersebut posisi akal sangatlah jelas, bahwa akal tidak memiliki otoritas untuk melakukan interpretasi terhadap nash-nash yang tergolong “tidak ma’qul”, namun terhadap hal-hal yang bersifat nas-nash yang “ma’qul”, akal merdeka memiliki lapangan yang amat luas. Pemaparan Natsir ini tidak terlepas dari interpretasi bebas yang dilakukan oleh Soekarno dengan konsep memudakan pengertian Islam-nya. Setelah mengemukan prinsip-prinsip agama dan akal, Natsir beralih kepada tamsil yang dipakai Soekarno ketika menjelaskan kepada anaknya agar mengunakan kreolin dalam mencuci panci yang dijilat anjing dan tidak perlu mengunakan tanah.83 Dengan menggunakan kasus yang sama, Natsir menunjukkan bagaimana seorang Muslim sejati akan bertindak seandainya ia Soekarno. Ia tidak akan melewatkan kesempatan itu untuk menjelaskan kepada anaknya bagaimana Nabi saw telah memberikan penjelasan dalam membersihkan bejana yang dijilat anjing, “untuk suatu suruhan Agama yang harus kita terima dengan ta’abudi, cucilah panci itu pakai tanah satu kali dan lindangi dengan air bersih-bersih sampai enam kali. Sekarang, bila kuatir kalau-kalau pada bekas jilatan anjing itu ada bakteri-bakteri, cuci pulalah sekali lagi dengan lisol atau kreolin dan yang semacam itu!”.84 Penegasan ini dilakukan Natsir agar tidak menjadikan akal sebagai kriterium, suatu hakim, karena apabila demikian agama Islam hanya akan tinggal kerangkanya saja, akan tetapi sebaliknya agamalah yang harus dijadikan kriterium, mejadi hakim, menjadi ukuran absolut, menentukan apakah sesuatu itu benar atau salah, dan bukan 83
lihat DBR., h. 483
yang menentukan benar atau salah itu oleh riwayat atau sejarah, seperti halnya penganut historis-materialis. Oleh karena itu menurut Natsir, “Yang perlu bagi kita bukan “memudakan” pengertian Islam, tetapi adalah “memudahkan” pengertian Islam itu. Kalau kita bertemu dengan salah satu aturan agama, kita selidiki di manakah tempatnya. Kalangan “dien”-kahatau kalangan “dun-ya”kah! Bila masuk bagian “dien”, kita jangan bersusah-susah serta banyak falsafah lagi … sebaliknya, kalau ada satu urusan yang besifat “dun-yawy” semata-mata, kita periksa dulu, apakah ada larangan terhadap itu atau tidak. Kalau ada larangan, tinggalkan! Habis perkara! Islam harus menjadi Hakim! Bukan urusan itu dihadapkan kepada riwayat-riwayat.85 Kemerdekaan berpikir bagi Natsir bukanlah segalanya, karena ada satu yang harus menjadi hakim dalam segala urusan yaitu Islam. Islam mengajarkan sikap untuk menggunakan akal dalam kerangka yang disiplin, tidak melangkahi nash-nash yang telah jelas, karena bagi natsir untuk mencapai kemajuan dan kemoderenan dalam Islam bukanlah dengan membebaskan akal sepenuhnya “merasionalisasikan” agama dengan tidak mengenal batas, karena itu pula ia menyatakan “Akal merdeka zonder (tanpa) disiplin menjadikan chaos yang centang perenang”.86
C. Pemikiran Politik Mohammad Natsir 1. Islam, Nasionalisme dan Demokrasi Gagasan-gagasan politik Natsir pertama kali dilontarkan pada kurun 1930, memperlihatkan ciri-ciri pemikiran modernisme Islam. Latar belakang sosialisme intelektual dan keagamaannya serta tantangan dari berbagai aliran pemikiran yang berusaha untuk memojokkan Islam, baik dari kalangan orientalisme Belanda, 84
M. Natsir, “Sikap Islam terhadap Kemedekaan Berpikir”, Capita Selecta I, h. 252. Ibid., h. 260 86 Ibid., h. 242. 85
kalangan nasionalisme, telah menodorong Natsir untuk mengikuti jejak modernisme dari para pendahulunya, Haji Agus Salim dan Tjokroaminoto. Islam dalam bagi Natsir merupakan pandangan hidup meliputi seluruh aspek, terutama doktrin sosial politiknya. Latar belakang pendidikan Barat yang dialami Natsir mendorongnya untuk secara langsung berkenalan dengan alam pikiran Barat, dengan dasar keagamaan yang diterimanya ia dapat leluasa menggunakan alam pikiran Barat modern dalam usahanya mentransformaikan doktrin-doktrin Islam dalam cakrawala kemajuan. Pandangan politik Natsir tidak bisa dilepaskan dari pemahamannya yang mendalam terhadap Islam, terutama pengaruh gerakan pemurnian Islam yang ia terima selama di Padang dan Bandung. Faktor lain yang juga mempengaruhi pandangan politik Natsir adalah Haji Agus Salim, penasehat JIB, yang sama-sama menajadikan Islam sebagai dasar pandangan politiknya. Untuk lebih mendalami pemikiranpolitik Natsir, perlu kiranya mengupas pandangan-pandangan Natsir yang terkait ideologisasi Islam, Nasionalisme dan demokrasi. a. Islam sebagai Ideologi Makna ideologi sendiri pada awalnya berarti ilmu mengenai pemikiranpemikiran (science of ideas). Ideologi dipandang sebagai “belief system”, yang berbeda sifatnya dari filsafat, teologi, dan ilmu. Hal ini terjadi apabila seseorang mempertahankan ideologi itu sebagai “belief system”, maka ideologi itu menjadi
tertutup dari perkembangan pemikiran yang sifatnya reflektif. Ideologi juga terkait dengan aksi atau tindakan.87 Pengertian ideologi secara umum memiliki beberapa pengertian yaitu: 1) kumpulan konsep besistem yang dijadikan asas pendapat/kejadian yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hiudp; 2) cara berpikir seseorang atau suatu golongan; dan 3) teori, paham, dan tujuan yang berpadu merupakan satu program sosial politik. Adapun ideologi politik memiliki pengertian: 1) suatu sistem kepercayaan yang menerangkan dan membenarkan suatu tatanan politik yang ada atas yang dicita-citakan dan memberikan strategi berupa prosedur, rancangan, intruksi, serta program untuk mencapainya; dan 2) himpunan nilai, ide, norma, kepercayaan, dan keyakinan (welthanchauung) yang dimiliki seseorang atau kelompok yang menjadi dasar dalam menentukan sikap terhadap kejadian dan problem politik yang dihadapinya dan yang menentukan tingkah laku politiknya.88 David E. After menjelaskan bahwa ideologi mencakup lebih sekedar doktrin juga bukanlah filsafat. Ideologi adalah suatu istilah umum bagi gagasan umum yang berpengaruh kuat terhadap tingkah laku dalam situasi khusus. Ia mengaitkan tindakan-tindakan yang khas dan prektek-prektek duniawi dengan sejumlah makna yang lebih luas.89 Dalam pandangan Natsir, Islam selain sebagai agama, falsafah hidup juga merupakan ideologi. Menurutnya, “Orang Islam itu mempunyai falsafah-hidup, 87 88
Pranarka, op. cit., h. 371. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) h. 319-320
mempunyai ideologi sebagaimana juga orang Kristen mempunyai falsafah-hidup dan ideologi, seperti juga seorang fasis atau komunis mempunyai falsafah-hidup dan ideologinya sendiri-sendiri”.90 Penempatan Islam sebagai ideologi oleh Natsir tidak lepas dari tujuannya dalam membentuk “negara bangsa” yang tidak boleh dilepaskan dari cita-cita Islam. Menurut Natsir landasan ideologi seorang Muslim adalah al-Quran, yang terangkum dalam Q.S. al-Dzariyat [51]: 56. Natsir menyatakan, seorang Islam hidup di atas dunia ini adalah dengan cita-cita hendak menjadi seorang hamba-Allah dengan arti yang sepenuhnya, mencapai kejayaan di dunia dan kemenangan di akherat. Dunia dan akherat ini, sekali-kali tidak mungkin dipisahkan oleh seorang Muslim dari ideologinya. Natsir pun menyatakan ijtihadnya: “Untuk mencapai tingkatan yang mulia itu, Tuhan memberi kita bermacammacam aturan. Aturan atau cara kita harus berlaku berhubung dengan Tuhan yang menjadikan kita, dan cara kita harus berlaku berhubung dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, ada diberikan garis-garis besarnya berupa kaidah yang berkenaan dengan hak dan kewajiban seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang. Yang akhir ini tak-lebih-takkurang, ialah yang dinamakan orang sekarang dengan urusan kenegaraan itu”.91
Ideologi Islam yang dimaksudkan Natsir dalam “urusan kenegaraan” adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban, hubungan antar sesama manusia serta pertalian ruhani antara manusia dan Tuhan, ia menjelaskan:
89
David E. After, Politik Modernisasi, terj. Hermawan Sulistyo, (Jakarta: Gramedia, 1987), h.
90
M. Natsir, “Arti Agama dalam Negara”, Capita Selecta I, h. 436. Ibid.
327. 91
“Kalau kita hendak memperbaiki Negara, perlulah dimasukkan ke dalamnya dasar-dasar hak dan kewajiban antara yang memerintah dan yang diperintah. Harus dimasukkan ke dalamnya dasar-dasar dan hukum-hukum muamalah antara manusia dengan manusia. Perlu dimasukkan ke dalamnya pertalian rohani antara manusia dengan Ilahi, yang berupa peribadatan yang khalis, ialah satu-satunya alat yang sempurna untuk menghindarkan semua perbutan rendah dan mungkar. Perlu ditanam di dalamnya budi pekerti yang luhur … dan perlu ditanamkan dalam dada penduduk Negara itu satu falsafah kehidupan yang luhur dan suci, satu ideologi yang menghidupkan semangat untuk giat berjuang mencapai kejayaan Dunia dan kemenangan Akherat. Semua itu terkandung dalam satu susunan, satu stelsel, satu kultur, satu ajaran, satu ideologi yang bernama…..Islam!”92
Ideologisasi Islam, bagi Natsir, hal ini tidak lepas dari pengaruh ideologiideologi yang tumbuh dalam pergerakan dan cita-cita Indonesia merdeka. Sebagaimana diketahui, dalam perjuangan kemerdekaan antara Islam, Nasionalisme dan Marxisme merupakan tiga ideologi dominan yang melandasi tiga pergerakan besar menuju Indonesia merdeka. Begitu pula dalam perdebatan penetapan dasar negara, kelompok Islam dan kelompok nasionalis menghendaki cita-cita ideologi masing-masing menjadi dasar bagi negara yang akan dibangun. Ideologi Islam juga merupakan lawan dari ideologi nasionalis yang meletakkan dasar kebangsaan “Ibu pertiwi” sebagai landasar perjuangannya. Memang apabila dilihat dari fungsi dan kedudukan antara agama dan ideologi terdapat perbedaan. Ideologi merupakan hasil cipta akal manusia, ia bisa bersumber kepada paham-paham yang berkembang yang dimunculkan oleh hasil pemikiran dan bisa juga dari sumber-sumber keagamaan.
92
Ibid., h. 440
Dalam konteks penerimaan Islam sebagai ideologi, memang tampak kontradiksi. Kontradiksi dalam pengertian, bahwa Islam merupakan agama yang diwahyukan Allah kepada manusia, sedangkan ideologi merupakan hasil cipta akal manusia. Tetapi dalam mencapai kompromi pengertian ini, Yusril menjelaskan, Islam sebagai ideologi yang disebutkan Natsir, tidak lain adalah hasil ijtihad manusia terhadap ajaran-ajaran Islam, yang kemudian dirumuskan dalam cita-cita dan program sosial-politik yang diperjuangkan oleh suatu bangsa, suatu partai politik, atau pun suatu kelompok politik lain yang berasakan Islam.93 Nurcholish Madjid, juga kurang sependapat ketika Natsir mengatakan bahwa Agama adalah ideologi. Menurut Madjid, agama adalah sesuatu yang lebih tinggi dari ideologi, bia menjadi sumber ideologi, bahkan harus menjadi sumber ideologi bagi para pemeluk agama, tetapi agama sendiri tidak boleh didegradasikan sebagai ideologi. Seorang Muslim, lanjut Madjid, harus berideologi berdasarkan Islam, tetapi bukan Islam itu yang ideologi.94 b. Sikap terhadap Nasionalisme Pada kuartal pertama abad dua puluh nasionalisme Indonesia mulai tumbuh berkembang seiring dengan munculnya berbagai organisasi dan partai politik. Budi Utomo dan Indische Partij merupakan perkumpulan yang memiliki landasan kebangsaan. Nasionalisme sendiri di Indonesia tumbuh sebagai gerakan perlawanan
93
Yusril, “Modernisme Islam”, h. 138 Nurcholish Madjid, “Natsir, Seorang Tokoh yang Universalis”, dalam Anwar Harjono, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 60 94
terhadap kolonialisme Belanda, begitu pula dengan gerakan Sarekat Islam juga muncul sebagai gerakan anti kolonialisme dengan landasan perjuangan Islam. Perdebatan pertama antara kelompok nasionalis dengan kelompok Islam muncul pada tahun 1927 yang diwakili Haji Agus Salim yang sependapat dengan ideologi nasionalisme yang digagas Soekarno. Selain Agus Salim dan tokoh-tooh Sarekat Islam, Persatuan Islam di Bandung juga mengemukakan pendapatnya tentang nasionalisme melalui dua orang tokohnya, A. Hassan dan M. Natsir. Hassan yang lebih bertindak sebagai guru Persatuan Islam, menyamakan kebangsaan dengan ‘ashabiyah, yaitu rasa persatuan suku yang sangat mengikat (bisa pula fanatik) sebelum persatuan Arab di bawah Nabi, dan terutama diterapkan pula pada masa jahiliyah, masa yang dilihat sebagai masa kebodohan dan kekacauan. Sepeti halnya A. Hassan, Mohammad Natsir pada tahun 1931 mengemukakan pendapatnya tentang nasionalisme Indonesia. Bebeda dengan A. Hassan yang menyamakan nasionalisme atau kebangsaan dengan ‘ashabiyah, Natsir menelusuri perkembangan nasionalisme Indonesia itu dari permulaannya dan mengambil kesimpulan tentang nasionalisme tersebut dari pandangan dan pernyataan para pemimpin kalangan kebangsaan. Menurut Natsir, sebelum pemakaian nasionalisme Indonesia populer dikalangan Budi Utomo, Pasundan, Jong Sumatranen Bond dan sebagainya, pergerakan-pergerakan yang berdasarkan kepada agama Allah (Islam) sudah lama mempunyai ikatan “kebangsaan Indonesia”, semasa itu PSI dan Muhammadiyah
sudah mempunyai anggota beratusan ribu, mempunyai cabang di seluruh tanah air Indonesia.95 ia menambahkan: “Pergerakan Islamlah yang lebih dulu membuka jalan medan politik kemerdekaan di tanah ini, yang mula-mula menama bibit persatuan Indonesia yang menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian, yang mula-mula menanam persaudaraan dengan kaum yang sama senasib di luar batas Indonesia dengan tali ke-islaman”.96
Menurut Natsir, perbedaan antara Islam dan nasionalisme berbeda pula ketika dalam segi tujuan yang telah dicapai, menurutnya tujuan kaum muslimin mencari kemerdekaan untuk kemerdekaan Islam, supaya berlaku peraturan dan susunan Islam, untuk keselamatan dan keutamaan ummat Islam khususnya, dan segala makhluk Allah umumnya, sedangkan kaum nasionalis yang netral agama tidak memiliki perhatian untuk memasukkan segala urusan Islam.97 Kemudian pada tahun 1939, Natsir kembali membicarakan soal cinta seseorang kepada tanah air. Ia menjelaskan: “Bagi orang Islam tidak ada salahnya bila dipakai (ikatan perasaan pada segolongan atau sebangsa) untuk mengumpulkan dan menyusun tenaga yang perlu untuk segolongan itu (tetapi) dengan menghormati kepentingan dan hakhak golongan lain, dengan menyingkirkan perasaan ta’assub kebangsaan yang menutup keadilan, dan perikemanusiaan, dan dengan tidak mengurang-ngurangi akan ikatan secita-cita, sepemandangan hidup dan seagama, yakni ikatan “persaudaraan Islam” … sebaliknya tidak reda oleh agama Islam, apabila semangat kesyu’uban itu dijadikan dasar dan ideal, dan memutuskan tali ukhuwwah, yang mengikat seluruh kaum Muslimin, dari pelbagai bangsa, apabila kejayaan kebangsaan itu dijadikan kendali (criterium, kriterium), penentukan hak dan batil; apabila barang yang hak dianggap batil, bilamana disangka melambatkan kejayaan kebangsaan itu; sedangkan yang batil dianggap baik jika dapat menguntungkan dan kemenangan bangsa sendiri. Apabila semua 95
Dikutip dalam Noer, Gerakan Moderen Islam, h. 281 Ibid., h. 281 97 Ibid. 96
yang terbit dari golongan itu dibela, dan diperthankan, walau batil sekalipun: (Islam meolak) Right or wrong my country”.98
Menurut Natsir perbedaan antara kalangan Islam dengan kalangan nasionalis yang netral agama terletak pada implementasi soal cinta tanah air tadi. Perbedaan tiu tercermin dalam syi’ar (slogan, simbol), amal (perbuatan), niat dan ideologi. Dalam hal amal dan niat, golongan nasinalis yang netral agama tidak peduli umpanya terhadap penyebaran agama lain dalam kalangan umat, padahal seorang Muslim dituntut untuk mempertahankan dan menyebarkan agamanya. Natsir menulis, “Secara tegasnya: Pergerakan yang berdasar Kebangsaan tidak akan mengambil pusing, apakah penduduk Muslimin Indonesia yang banyaknya kurang lebih 85 % dari penduduk yang ada, menjadi murtad, bertukar agama. Kristen boleh, teosofi bagus, Budha masa bodoh”.99 Memproyeksikan kedepan, Natsir menandaskan bahwa gerakan kebangsaan akan mencapai tujuannya dengan tercapainya kemerdekaan. Tetapi orang Islam, sambungnya, tidak akan berhenti hingga itu, melainkan akan melanjutkan perjuangannya “Selama (negeri) belum didasarkan dan diatur menurut susunan hukum kenegaraan Islam”.100 Meskipun Natsir menolak ideologi nasionalisme, ia tetap menghormati adanya sebuah kesadaran yang tumbuh untuk mencintai dan membela kaum dan bangsa. Anggapan bahwa Islam memunungkiri adanya bangsa dan yang memeluk 98
Ibid., h. 297 Ibid., h. 297 100 Ibid. 99
Islam tidak ada bangsanya lagi, menurut Natsir anggapan tersebut adalah tidak benar. Natsir mengungkapkan: “Kita dapat menjadi seorang Muslim yang taat, yang dengan riang gembira pula menyanyikan Indonesia Tanah Airku! Bagaimana kita akan menghilangkan ke-Indonesiaan kita, karena Tuhanlah yang menjadikan kita berbangsa-bangsa … kita harus dapat berbahagia dan bergembira memperlihatkan kepada dunia luar, inilah kami bangsa Indonesia”.101
Menurut Natsir tidak perlu seorang Muslim meninggalkan kebangsaan dan kebudayaannya. Karena dalam Islam, menurut Natsir disebutkan bahwa manusia ini dijadikan dalam golongan, bangsa-bangsa, bersuku-suku bangsa adalah sebuah fitrah atau natur, kedudukan semua bangsa yang berbeda-beda tersebut memiliki tujuan yaitu lita’ârafû, saling mengenal satu sama lain sesuai dengan tujuan yang dimaksud dalam al-Quran (Q.S. al-Hujurât [49]: 13). Pandangan kebangsaan yang dibimbing oleh Islam seperti inilah yang menurut Natsir merupakan kebangsaan yang fitrah atau natur, suatu sikap kebangsaan yang tidak dilandasi oleh sikap superioritas atas bangsa yang lain yang seringkali menimbulkan penjajahan manusia atas manusia yang lain. Adapun sikap kebangsaan yang mengungulkan diri atas bangsa yang lain, sehingga merasa mendapat hak untuk menjajah bangsa yang lain, Natsir mengatakan: “Yang demikian bukan kebangsaan yang sehat. Itu sudah sampai kepada kecongkakan bangsa, kesombongan bangsa, kegfanatikan bangsa, paham kebangsaan yang begini, memang dilarang oleh Islam. Islam adalah suatu sistem yang memberantas kefanatikan bangsa, chauvinisme yang sempit, racialisme kata orang Barat sekarang. Cara ilmunya dari faqih-faqih kita, yang dilarang oleh Islam itu, ialah ‘ashabiyah jahiliyah … jauh daripada hendak menghapuskan bangsa dan kebangsaan. Islam adalah meletakkan dasar-dasar untuk subur hidupnya bangsa dan suku-suku bangsa, atas dasar harga-menghargai, kenal mengenal, memberi dan menerima. Kalau kita bangsa Indonesia, silahkan merasa 101
M. Natsir, “Revolusi Indonesia”, dalam Capita Selecta II, h. 138.
bangga sebab jadi bangsa Indonesia, tetapi awas, jangan merosot sampai menjadi chauvinisme yang sempit”.102
Penjelasan ini memberikan keterangan bahwa Natsir bukanlah seorang yang anti kebangsaan, ia hanya menolak kebangsaan yang sudah termanifestasikan dalam ideologi nasionalisme, yang memiliki sifat chauvinisme. Taufik Abdullah juga berpandangan bahwa Mohammad Natsir meskipun mengunakan istilah kebangsaan, ia membedakan benar antara kebangsaan dan nasionalisme. Nasionalisme adalah mengideologikan cita-cita kebangsaan sedangkan kebangsaan adalah suatu yang sewajarnya saja.103 c. Menegakkan Demokrasi Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demokratia. Kata demokratia terdiri atas suku kata, demos berarti rakyat, dan kratos berarti kekuasaan. Terminologi ini menunjukkan bahwa kekuasaan politik dalam pemerintahan berada di tangan rakyat.104 Dalam konsepsi ilmu politik modern, konsep demokrasi muncul dalam pemikiran Montesque (1689-1755), seorang filosof Perancis, Montesque pula yang mengajarkan tentang trilogi kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Dalam konsep Montesque, demokrasi merupakan badan keseluruhan rakyat yang mempunyai kekuasaan tertinggi, dan ini berbeda
102
Ibid., h. 139 Taufik Abdullah, op. cit., h. 29 104 William Ebenstain, “Democracy”, dalam Grolier Universal Encyclopedia, (New York: Sratford Press, 190), jilid 6, h. 157 103
apabila kekuasaan berada hanya di sebagian tangan rakyat yang disebut aristokrasi. Kedaulatan, dalam sistem demokrasi berada dalam tangan rakyat.105 Perjalanan pemerintahan demokrasi dalam negara modern mulai berkembang pada abad ke-19 di Amerika dan Inggeris, kemudian menyebar dan merubah banyak negara,
yang
semula
menganut
monarkhi
berubah
menjadi
demokrasi.106
Kolonialisasi bangsa Eropa terhadap Asia, termasuk Indonesia, juga secara tidak langsung menularkan ide demokrasi. Di Indonesia sendiri, penerapan sistem demokrasi oleh Hindia Belanda melalui Dewan Rakyat (Volksraad) pada tahun 1918.107 Pada masa awal kemerdekaan sistem politik demokrasi dijalankan di bawah inisiatif Hatta dengan dibentuknya banyak partai dan diselenggarakannya Pemilu 1955 yang menghasilkan anggota Dewan dan anggota Konstituante. Kemudian proses demokrasi mengalami pemasungan, dengan digulirkannya “demokrasi terpimpin” di bawah Soekarno pada tahun 1957. Natsir merupakan salah seorang yang membela demokrasi, baginya demokrasi merupakan sistem politik yang elegan dalam menjalankan roda pemerintahan, dan untuk itu ia pernah menulis, “Bela Dasar Demokrasi yang Sedang Terancam”.108 Dalam merumuskan demokrasi, Natsir tertarik untuk mengadaptasikan asasasas sosial dan politik dalam al-Quran dan Sunah Nabi saw dengan paham demokrasi 105 106
Noer, Pemikiran Politik, h. 141 David E. After, Pengantar Analisa Politik, terj. Setiawan Abadi, (Jakarta: LP3ES, 1996),
h. 168 107 108
Ricklefs, op. cit., h. 243 Capita Selecta II, h. 234
liberal seperti yang dipraktekan di Barat. Ia berpandangan bahwa dasar-dasar sosial politik Islam sebenarnya menghendaki sebuah sistem yang demokratis yang hampir serupa dengan sistem demokrasi liberal. Adapun perbedaannya terletak pada garis panduan untuk menjalankan kebijakan politik. Dalam demokrasi Islam, perumusan kebijakan politik, ekonomi, hukum dan yang lainnya harus mengacu kepada asasasas yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan Sunnah Nabi saw.109 Demokrasi dalam Islam menurut Natsir memiliki fungsi berbeda dengan konsep demokrasi yang berasal dari Barat. Demokrasi dalam Islam memberikan hak kepada rakyat, supaya mengeritik, menegor, membetulkan pemerintahan yang zalim. Kalau tidak cukup dengan kritik dan tegoran, Islam memberi hak kepada rakyat untuk menghilangkan kezaliman itu dengan kekuatan dan kekerasan jikalau perlu. Sikap koreksi dalam demokrasi yang dikemukakan Natsir didasarkan pada dua hadits, “Apakah yang sebaik-baiknya jihad? Dijawab oleh Rasulullah saw: mengatakan barang yang hak terhadap sultan yang zalim” (H.R. Nasa’i). Hadits kedua yang dipakai Natsir adalah, “Rasulullah Saw memperingatkan: “Apabila orang melihat seseorang melakukan kezaliman, akan tetapi mereka biarkan, tidak mereka betulkan, azabnya jatuh kepada semua mereka, baik si zalim ataupun orang-orang yang membiarkan berlakunya kezaliman itu” (H.R. Abu Daud dan Turmudzi).110 Penegasan Natsir “jikalau perlu”, nampaknya dalam karir politik yang ia jalani pernah benar-benar ia jalankan, ia yang dikenal sebagai yang konsisten menjalankan fungsi parlementer dalam memperjuangkan cita-cita Islam, menjalankan 109
Yusril Mahendra, “Modernisme Islam”, h. 142.
sikap “koreksi dengan kekerasan” terhadap penguasa, yang dalam pandangan telah menyalahi semangat demokrasi. Apabila orang bertanya, apakah Islam bersifat “demokratis”? menurut Natsir, kita jawab, “Islam bersifat “demokratis” dengan arti bahwa Islam itu anti istibdad, anti absolutisme dan anti sewenang-wenang”. Lanjut Natsir, Islam memiliki sifat demokratis bukan berarti bahwa Islam setuju terhadap cara kerja demokrasi. Natsir menyodorkan konsep demokrasi yang menurutnya sesuai dengan semangat Islam, ia menulis: “Dalam Parlemen Negara Islam, tidaklah akan dipermusyawaratkan terlebih dahulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi pemerintahan, dan tidaklah mesti ditunggu keputusan Parlemen terlebih dulu, apakah perlu diadakan pembasmian minuman arak atau tidak. Tidak ditunggu persetujuan Parlemen untuk menghapuskan judi dan kecabulan, dan tidak perlu dimusyawaratkan apakah perlu diadakan pemberantasan khurafat dan kemusyrikan atau tidak, dan sebagainya. Bukan! Ini semua bukan hak musyawarat Parlemen. Yang mungkin diperbincangkan ialah cara-caranya utuk menjalankan semua hukum itu. Adapun prinsip dan kaedah sudah tetap, tidak boleh dibongkar-bongkar lagi, tidak mesti diserahkan pula lebih dulu kepada hasil undian menurut sistem “separo-tambahsatu-suara”. Tidak mungkin dan tidak boleh diserahkan lebih dulu kepada hasilnya perundang-undangan, kepada turun naiknya pasang politik kenegaraan”.111
Penilaian Natsir terhadap demokrasi sangat berimbang, ia melihat sisi positif dari demokrasi, namun juga perlu diingat bahwa demokrasi tidaklah lepas dari sisi negatif
yang
dimilikinya.
Karena
itu,
menurutnya,
Islam
tidak
hendak
menggantungkan semua keputusan dan peraturannnya kepada yang dinamakan demokrasi, oleh karena itu pula “Islam tidak usah 100 %, bukan pada otokrasi 100 110 111
Capita Selecta I, h. 439 Artikel M. Natsir, “Islam Demokrasi?”, dalam Capita Selecta I, h. 452
%, Islam itu … yah, “Islam”. Karena Islam tidak memformulasikan bentuk tertentu yang paten, maka dalam hal ini Islam memberi keluasan untuk menjalankan evolusi dalam hal-hal yang mesti berevolusi dan besifat radikal dalam hal-hal yang mesti radikal.112 Pada tahun 1957, dalam perdebatan mengenai dasar negara di Majelis Konstituante, Natsir menamakan demokrasi dalam Islam dengan istilah “Theistic Democracy”, yaitu demokrasi yang berlandaskan ketuhanan. Karena dalam Islam menurut Natsir, tidak dikenal model theokrasi, yaitu satu sistem kenegaraan di mana pemerintah dikuasi oleh satu priesthood (sistem kependetaan) yang mempunyai hierackhie (bertingkat-tingkat) dan menjalankannya sebagai wakil Tuhan di muka bumi.113 Gagasan “Theistic Democracy” Natsir tidak akan diketemukan dalam khazanah politik Islam klasik, ide ini lebih merupakan jalan tengah yang diambil Natsir, ia mengambil demokrasi dan memakaikannya baju Islam, dan ini tentu bukanlah suatu yang terlarang dilihat dari sudut pandang ijtihad politk. Sikap pemikiran adaptif dan akulturatif dengan kemodernan yang di anut Natsir itu bukannya tanpa resiko dan tanpa kesulitan untuk menjalankannya dalam realitas sebuah masyarakat. Bagi kelompok fundamentalis, pemikiran politik kaum modernis hampir tidak banyak bedanya dengan pemikiran-pemikira sekuler. Modernisme
112
Ibid., h. 453 Mohammad Natsir, “Islam sebagai Dasar Negara”, dalam Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante, Jilid I, h. 130 113
politik Islam hanyalah membungkus gagasan-gagasan politik Barat dengan baju Islam yang pada intinya tetap sekuler, dan tidak “orsinal” berasal dari Islam.114
2. Hubungan Agama dan Negara: Pendekatan Integralistik Al-Quran (51: 56) yang berbunyi, “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia itu, melainkan untuk mengabdi kepada-Ku”, merupakan kredo yang menjadi landasan Natsir dalam melihat hubungan agama dan negara. Bagi Natsir ayat ini merangkum seluruh esensi dari tujuan kehidupan manusia, termasuk dalam bernegara. Ayat ini merupakan landasan ideologis bagi seorang Muslim dalam cita-citanya menjadi hamba Allah dalam mewujudkan kemenangan di dunia dan akherat. Menyembah Allah, itulah tujuan hidup. Selanjutnya Natsir menjelaskan, “Menyembah Allah Swt. berarti memusatkan penyembahan kepada Allah swt semata-mata, dengan menjalani dan mengatur segala segi dan aspek kehidupan di dunia ini, lahir dan batin, sesuai dengan kehendak Ilahi; baik sebagai orang perseorangan dalam hubungannya denga Khaliq, ataupun sebagai anggota masyarakat dalam hubungannya dengan sesama manusia…menyebah Allah swt bukan berarti meninggalkan hidup duniawi, malah martabat manusia di dunia adalah “khalifatun fil ardli” yakni wakil Allah di dunia ini”.115
Untuk sampai kepada pemaham bahwa agama dan negara dalam Islam adalah satu bagian yang tak terpisahkan dalam pandangan Natsir, tentunya pula perlu untuk menelusuri pandangan-pandangan Natsir mengenai konsep negara dan
konsep
agama. Dalam memahami tentang negara atau state, Natsir tidak merujuk kepada tokoh filsafat yang banyak memberikan pengertian negara. Tetapi untuk mengetahui 114 115
Yusril, “Modernisme Islam”, h. 146. M. Natsir, Fiqhud Da’wah, (Semarang: Ramadhani, 1981), h. 24
arti negara, dapat dikemukakan sifat-sifat atau elemen-elemen yang terkandung dalam negara. Bagi Natsir, negara adalah suatu “institution”, yaitu suatu badan atau organisasi yang mempunyai tujuan khusus serta dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri, dan diakui oleh umum.116 Negara sebagai satu institusi, lajut Natsir, memiliki lima elemen utama, yaitu: 1. Teritorial (wilayah) 2. Rakyat 3. Pemerintah 4. Kedaulatan, dan 5. Undang-undang dasar. Selain lima elemen tersebut, negara juga harus: 1. Meliputi seluruh masyarakat dan segala institusi yang terdapat di dalamnya 2. Mengikat atau mempersatukan institusi-institusi tersebut dalam suatu peraturan hukum 3. Menjalakan koordinasi dan regulasi dari seluruh bagian-bagian masyarakat 4. Mempunyai hak untuk memaksa anggotanya mengikuti peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang telah ditentukan 5. Mempunyai tujuan untuk memimpin, memberi bimbingan dan memenuhi kebutuhan masyarakat keseluruhannya. Arti negara seperti di atas, menurut Natsir sesuai dengan pendapat Ibn Khaldun yang menjelaskan bahwa negara terhadap masyarakat sama dengan artinya 116
M. Natsir, “Islam sebagai Dasar Negara’, h. 112
bentuk (form) atau ‘aradh terhadap benda (matter) atau jauhar, yang satu sama lain tidak dapat terlepas dari yang lainnya.117 Pengertian negara yang disebutkan Natsir di atas dengan semua elemennya, dalam ilmu politik lebih dikenal dengan syarta-syarat terbentuknya sebuah negara.118 Dalam pengertian ini pun, Natsir tidak mencantumkan “cita-cita hendak hidup bersama” Renan sebagai bagian dari rumusan terbentuknya negara. Pandangan Renan mungkin terlalu bercita rasa “nasionalisme”. Adapun pengertian agama atau religie, menurut Natsir, adalah satu kepercayaan dan cara hidup yang mengandung faktor-faktor, antara lain; 1. Percaya dengan adanya Tuhan, sebagai sumber daripada hukum dan nilai hidup 2. Percaya dengan wahyu Tuhan kepada RasulNya 3. Percaya dengan adanya hubungan antara Tuhan dan manusia perseorangan 4. Percaya bahwa hubungan ini dapat mempengaruhi hidupnya sehari-hari 5. Percaya bahwa dengan matinya seseorang, hidup rohnya tidak berakhir 6. Percaya dengan ibadat sebagai cara mengadakan hubugan dengan Tuhan 7. Percaya dengan Tuhan sebagai sumber dari norma-norma dan nilai hidup 8. Percaya dengan keridlaan Tuhan sebagai tujuan hidup di dalam dunia ini.119 Adapun Islam adalah satu agama, akan tetapi bukan semata-mata yang disebut “peribadatan” dalam sehari-hari saja seperti shalat dan puasa, akan tetapi yang dinamakan agama menurut pengertian Islam adalah meliputi semua kaedah117
Ibid., h.112 Lihat Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2001). 119 M. Natsir, “Islam sebagai Dasar Negara”, h. 125 118
kaedah, hudud-hudud dalam muamalah (pergaulan) di masyarakat, menurut garisgaris yang ditetapkan oleh Islam itu sendiri. Untuk menjaga supaya aturan-aturan dan patokan-patakon tersebut dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada suatu kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara.120 Bagi Natsir, Islam tidak sekedar agama, tetapi juga satu ideologi, yang harus jadi dasar bagi sebuah negara, terutama di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, dan hubungan manusia dengan sesama makhluk (muamalah). Dalam ketatanegaraan, Islam tidaklah mengatur hal-hal yang bersifat detail dan teknis, Islam hanya memberikan dasar-dasar pokok untuk mengatur hidup keduniaan, menerangkan batas-batas (hudud) yang boleh dan tidak boleh, batas antara yang patut dan yang tak patut, batas mana yang harus diperhatikan oleh manusia untuk keselamatan dan kesejahteraan manusia, secara individu maupun sosial.121 Dalam meletakkan dasar negara, menurut Natsir hanya ada dua alternatif yang dapat dipilih, Pertama, paham sekularisme (ladieniyah) tanpa-agama, dan Kedua, paham agama (dieniyah).122 Sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan dan sikap, hanya di dalam batas hidup keduniaan. Bagi Natsir, sekularisme tidaklah memberikan manfaat bagi umat manusia, bahkan lebih banyak sisi madharatnya. 120
M. Natsir, “Arti Agama dalam negara”, h. 437 M. Natsir, “Islam sebagai Dasar Negara”, h. 130 122 Ibid., h. 116 121
Dalam bidang ilmu pengetahuan, sekularisme menjadikan ilmu-ilmu terpisah dari nilai-nilai hidup dan peradaban lebih jauh bahaya sekularisme dalam ketatanegaraan berakibat melemahkan hukum dan keadilan, mengabaikan etika dan norma, lebih jauh lagi sekularisme hanya atheisme-atheisme baru. Berbeda halnya apabila negara berdasarkan paham agama, menurut Natsir, “jika dibandingkan dengan sekularisme yang sebaik-baiknyapun, maka adalah agama lebih dalam dan lebih dapat diteima oleh akal. Paham agama memberikan tujuan yang paling tinggi. Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat dan perseoranga yang dapat diberikan oleh sekularisme, tidak melebihi konsep daripada yang disebut humanity” (kemanusiaan)”.123 Kelebihan agama daripada sekularisme, menurut Natsir setidaknya ada dua, yaitu: Pertama, agama memberi kepada pemeluknya lebih banyak kemungkinan untuk mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran. Sekularisme hanya mengakui tiga sumber pengetahuan, yatitu: empirisme, rasionalisme, dan intuisionisme. Sedangkan agama lebih dari itu, karena mencakaup sumber kewahyuan. Kedua, paham agama meliputi seluruh bagian hidup, agama memberikan pegangan hidup yang harus diikuti dalam segala lapangan hidup manusia.124 Sedangkan dalam menjalankan negara, menurut Natsir diperlukan sebuah sistem yang menempatkan negara dalam hubungan yang seerat-eratnya dengan masyarakat, dan yang paling tepat yaitu berdirinya negara atas dasar demokrasi,
123 124
Ibid., h. 124 Ibid., h. 125
tegasnya Negara demokrasi berdasarkan Islam.125 Bentuk negara yang dimaksud Natsir dengan dasar Islam, bukanlah theokrasi, Natsir menyebutnya “Theistic Democracy”.126 Lebih lanjut Natsir menjelaskan, “Yang dinamakan state-philosophy, atau Dasar Negera itu, ialah satu dasar yang mampu membangunkan jiwa dan membina rakyat lahir dan batin, sehingga menjadi satu bangsa yang berakhlak, bangsa susila kata orang sekarang, yang dapat mengatur diri sendiri, tanpa setiap waktu harus ditindaki oleh aparat-aparat negara … hanya satu state-philosophy yang berpusat kepada kepercayaan dan ketaatan kepada kedaulatan Tuhan yang Mutlak sebagai sumber hukum dan nilai-nilai hidup”.127
Selanjutnya menurut Natsir, “negara” dalam pengertian “ada segolongan manusia yang hidup bersama-sama dalam satu masyarakat”, sudah ada sebelum dan sesudah Islam. Negara ada yang teratur ada juga yang tidak, adalah hal yang berbeda, namun tetap saja keduanya disebut negara. Negara menurut Natsir hanyalah “alat”, bukan “tujuan”. Adapun yang menjadi tujuan, menurut Natsir ialah “kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai anggota dari masyarakat, baik yang berkenaan dengan kehidupan dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan dengan kehidupan kelak di Alam Baka”.128 Karena negara sebagai alat, Natsir menjelaskan: “Kalau kita buka Quran, kita tidak akan bertemu di dalamnya petunjukpetunjuk untuk merancangkan Anggaran Belanja Negara … serta 1001 macam 125
Ibid., h. 113 Ibid., h. 130 127 Ibid., h. 138 128 M. Natsir, “Arti Agama dalam Negara”, h. 442 126
lagi hal-hal yang semacam itu, yang menjadikan suatu Negara modern jadi sulitrumit … ini semua sudah tentu tidak ada, dan memang tidak perlu ada diatur dengan Wahyu Ilahi yang bersifat kekal. Sebab semua ini adalah hal-hal yang berkenaan dengan keduniaan, yang selalu bertukar dan beredar menurut tempat, zaman dan keadaan”129
Adapun yang diatur dalam Islam menurut Natsir hanyalah dasar dan pokokpokok yang kehidupan manusia. Sikap terbukapun perlu dilakukan dalam menjalankan kenegaraan, ia menjelaskan; “Adapun urusan-urusan yang di luar hal-hal yang telah ditetapkan Agama, semuanya boleh kita atur menurut zaman, dengan cara-cara yang munasabah, dan tidak melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan. Boleh diadakan peraturannya dengan ijtihad di zaman kita … bila sudah ada aturan dan sistem yang dikehendaki itu terdapat di lain-lain negara, kita orang Islam ada hak mencontoh dari negara itu selama tidak berlawanan atau bertentangan dengan aturan-aturan yang diadakan Islam. Sebab tiap-tiap hasil kebudayaan, bukanlah monopolinya salah satu bangsa atau salah satu negara saja. Kita ada hak mengambil peraturan-peraturan yang baik, yang tidak berlawanan dengan kehendak Agama kita, dari Inggeris dari Jepang, dari Rusia atau dari Finlandia umpamanya”.130
Oleh sebab itu, Natsir tidak mempersoalkan bentuk dan jabatan kepala negara, apakah itu khalifah, Amir Mukminin, Presiden atau apapun tidak menjadi soal, yang terpenting adalah kemampuan untuk menjalankan sifat, hak, dan kewajiban sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam.131 Seperti halnya ia mengemukakan tentang bentuk negara dengan menyebutnya “Theistic Democracy”, sesuatu yang memang tidak dikenal dalam Islam, istilah ini lebih merupakan ijtihadnya yang memberikan sentuhan Islam terhadap sistem domokrasi dalam politik modern. Dan 129
M. Natsir, “Mungkinkah Quran mengatur Negara”, Capita Selecta I, h. 447. Ibid., h. 450 131 Capita Selecta I, 443, 447 130
nama “Theistic Democracy” inipun baru ia kemukan lebih kurang tujuh belas tahun kemudian sejak ia berpolemik dengan Soekarno mengenai hubungan agama dan negara (1940). Serta nama ini pun bisa jadi merupakan sintesa Natsir, ketika ia menyebutkan bahwa “Islam tidak usah demokrasi 100 %, bukan pada otokrasi 100 %”. Sikap Natsir ini yang menunjukkan ciri seorang modernis, yang siap menerima perubahan tanpa melangkahi tradisi. Gambaran ini pun disampaikan pula Nurcholish Madjid132 dan Yusril,133 menurut keduanya Mohammad Natsir merupakan seorang yang yang optimis menghadapi zamannya, tidak takut modernisasi, dan tampil sebagai tokoh modernis Islam di Indonesia. Ciri modernis yang melekat pada diri Natsir, dalam melihat hubungan agama dan negara tetap berpegang teguh pada ciri islam yang holistik, bahwa Islam adalah agama dan politik. Pendidikan Barat yang pernah ia alami tidaklah merubah menjadi seorang sekular. Akan tetapi meskipun demikian, Natsir secara terbuka menerima demokrasi sebagai salah satu model yang realistis dalam politik Islam. Pada sisi ini Natsir menunjukkan sikap substantivisme dari cita-cita politik Islam dengan tidak secara kaku dalam menjalankannya.
132 133
Madjid, op. cit., h. 59 Yusril, “Mohammad Natsir dan Sayyid ‘Ala Maududi”, h. 65