Menurut Arsyad (2004:32) dan Sukirno (2006:69-74), tingkat pendapatan per kapita tidak sepenuhnya mencerminkan tingkat kesejahteraan karena kelemahan yang bersumber dari ketidaksempurnaan dalam penghitungan pendapatan nasional dan pendapatan per kapita dan kelemahan yang bersumber dari kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat bukan hanya ditentukan oleh tingkat pendapatan tetapi juga oleh faktor-faktor lain. Kelemahan pertama meliputi kelemahan metodologis dan statistis dalam penghitungan pendapatan per kapita dengan nilai mata uang sendiri maupun mata uang asing. Telah terjadi penafsiran yang salah/terlalu rendah terhadap negara miskin karena jenis-jenis kegiatan di negara miskin terdiri dari unit-unit kecil dan tersebar di berbagai pelosok sehingga tidak dimasukkan dalam variabel perhitungan pendapatan nasional dan nilai tukar resmi mata uang suatu negara dengan valuta asing tidak mencerminkan perbandingan
harga kedua negara, walaupun dalam teori dikatakan nilai tukar
menyatakan harga. Kelemahan kedua meliputi pengabaian faktor-faktor lain selain tingkat pendapatan, seperti faktor ekonomi, yaitu struktur umur penduduk, distribusi pendapatan timpang, corak pengeluaran masyarakat berbeda, dan faktor non ekonomi, yaitu adat istiadat, keadaan iklim dan alam sekitar, dan ketidakbebasan bertindak dan mengeluarkan pendapat. Untuk mengatasi kedua kelemahan tersebut, Nordhaus dan Tobin mengenalkan Net Economic Welfare (NEW) dalam penghitungan pendapatan nasional (Arsyad, 2004:3233). Indikator NEW menyempurnakan nilai PDB sebagai indikator kesejahteraan masyarakat agar diperoleh indikator ekonomi yang lebih baik, yaitu dengan koreksi positif dan koreksi negatif. Koreksi positif adalah menambahkan pemanfaatan waktu senggang dan perekonomian sektor informal dalam penghitungan PDB. Koreksi negatif adalah
mengurangkan
biaya
kerusakan
lingkungan
sebagai
dampak
kegiatan
pembangunan dalam penghitungan PDB. Menurut Sukirno (2006:70), kesejahteraan masyarakat yang hanya diukur dengan indikator moneter menunjukkan aspek ketidaksempurnaan ukuran kesejahteraan masyarakat karena adanya kelemahan indikator moneter. Oleh karena itu, Beckerman membedakan indikator kesejahteraan masyarakat dalam tiga kelompok, yaitu 1) kelompok yang berusaha membandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat di dua negara dengan memperbaiki cara
perhitungan pendapatan nasional yang dipelopori
Collin Clark, Gilbert, dan Kravis; 2) kelompok yang berusaha untuk menyusun penyesuaian pendapatan masyarakat yang dibandingkan dengan mempertimbangkan perbedaan tingkat harga di setiap negara; dan 3) kelompok yang berusaha untuk membandingkan tingkat kesejahteraan setiap negara berdasarkan data yang tidak bersifat moneter seperti jumlah kendaraan bermotor dan konsumsi minyak yang dipelopori Bennet. United Nations Reseacrh Institute for Social Development menyusun delapan belas indikator yang apabila digunakan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat maka perbedaan tingkat pembangunan antara negara maju dan negara sedang berkembang tidak terlampau besar seperti yang digambarkan oleh tingkat pendapatan per kapita negara masing-masing (Sukirno, 2006:73). Delapan belas indikator tersebut adalah 1) tingkat harapan hidup, 2) konsumsi protein hewani per kapita, 3) persentase anak-anak yang belajar di sekolah dasar dan menengah, 4) persentase anak-anak yang belajar di sekolah kejuruan, 5) jumlah surat kabar, 6) jumlah telepon, 7) jumlah radio, 8) jumlah penduduk di kota-kota yang mempunyai 20.000 penduduk atau lebih, 9) persentase laki-laki dewasa di sektor pertanian, 10) persentase tenaga kerja yang bekerja di sektor listrik, gas, air, kesehatan, pengakutan, pergudangan, dan transportasi, 11) persentase tenaga kerja yang memperoleh gaji, 12) persentase PDB yang berasal dari industri pengolahan, 13) konsumsi energi per kapita, 14) konsumsi listrik per kapita, 15) konsumsi baja per kapita, 16) nilai per kapita perdagangan luar negeri, 17) produk pertanian rata-rata dari pekerja laki-laki di sektor pertanian, dan 18) pendapatan per kapita Produk Nasional Bruto. Gagasan lain untuk menyempurnakan indikator kesejahtaraan masyarakat terus menerus dilakukan hingga muncul gagasan menggunakan Physical Quality of Life Index (PQLI) atau Basic Need Approach. PQLI merupakan indikator kesejahteraan masyarakat yang mempertimbangkan kecukupan sandang, pangan, dan perumahan. Dalam perkembangannya, indikator kesejahteraan masyarakat PQLI belum memuaskan, karena tingkat pendapatan, kecukupan sandang, pangan, dan perumahan belum dapat dijadikan indikator kesejahteraan masyarakat (Arsyad, 2004:36-37). Untuk menyempurnakan PQLI yang belum dapat dijadikan indikator kesejehteraan masyarakat, maka United Nations Development Program (UNDP) mengenalkan formula Human Development Index (HDI) atau disebut pula dengan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) pada tahun 1990. IPM dapat digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara/daerah merupakan negara/daerah maju, berkembang, atau terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Indeks ini pada 1990 dikembangkan oleh pemenang nobel India Amartya Sen dan Mahbub ul Haq seorang ekonom Pakistan dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale University dan Lord Meghnad Desai dari London School of Economics. IPM dihitung berdasarkan gabungan tiga dimensi, yaitu dimensi umur, dimensi manusia terdidik, dan dimensi standar hidup yang layak. Dimensi umur dalam menjalani hidup sehat diukur dengan usia harapan hidup, dimensi manusia terdidik diukur dengan tingkat kemampuan baca-tulis orang dewasa dan lamanya sekolah di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas, serta dimensi standar hidup yang layak yang diukur dengan paritas daya beli dan pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan. Dengan demikian, konsep kesejahteraan masyarakat dalam IPM telah memasukkan aspek kesehatan dan pendidikan bersama dengan aspek pangan, sandang, dan perumahan menjadi kesatuan dengan tingkat pendapatan. Menurut Todaro dan Stephen C. Smith (2006:59-64), konsep kesejahteraan masyarakat dalam IPM telah memadukan pendekatan kuantitas dan kualitas hidup. World Bank pada tahun 2000 merumuskan indikator kesejahteraan masyarakat sebagai indikator pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan manusia dan kemiskinan (Todaro dan Stephen C. Smith, 2006:22-24). Rumusan indikator pembangunan itu disebut sebagai Millenium Development Goals (MDGs). MDGs terdiri dari delapan indikator capaian pembangunan, yaitu penghapusan kemiskinan, pendidikan untuk semua, persamaan gender, perlawanan terhadap penyakit menular, penurunan angka kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, pelestarian lingkungan hidup, dan kerjasama global. Keberhasilan pembangunan manusia dapat diukur dalam beberapa dimensi utama tersebut. Menurut World Bank, tingkat pencapaian pembangunan manusia dapat diamati melalui dimensi pengurangan kemiskinan (decrease in poverty), peningkatan kemampuan baca tulis (increase in literacy), penurunan tingkat kematian bayi (decrease in infant mortality), peningkatan harapan hidup (life expectancy), dan penurunan dalam ketimpangan pendapatan (decrease income inequality).
Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut maka pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah pertumbuhan yang mendukung pencapaian pembangunan manusia. Korelasi positif pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia tercermin dalam wujud perbaikan kualitas kehidupan seluruh masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan secara prinsipil harus berfokus pada seluruh aset bangsa. Hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh masyarakat secara lebih merata dan
pelaksanaannya harus
mengedepankan kerangka kerja kelembagaan. Berikut ini ditunjukkan posisi pencapaian delapan program dalam MDGs di Indonesia seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 POSISI PENCAPAIAN MDGs INDONESIA, TAHUN 1991 dan 2010 INDIKATOR 1990 2010 TARGET STATUS TUJUAN 1: MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN Target 1A: Menurunkan hingga setengahnya Proporsi Penduduk dengan Tingkat Pendapatan Kurang dari US$ 1 perhari 1 Kemiskinan (1$ per-hari) 20,6% 7,5% 10% Telah tercapai 1.1a Kemiskinan (Nasional) 15,1 % 15,4% 7,5% Perlu kerja keras 1.1b Kemiskinan (2$ per-hari) 49,0% Tinggi 1.2 Indeks kedalaman kemiskinan 2,7% 2,77% Stagnan 1.2a Indeks keparahan kemiskinan 0,76% Stagnan 1.3 Proporsi konsumsi penduduk termiskin 9,3% 9,7% Stagnan Target 1B: Meneydiakan seutuhnya Pekerjaan yang produktif dan layak, terutama untuk perempuan dan kaum muda 1.4 Pertumbuhan PDB per proporsi jumlah pekerja 4,3% 1.5 Rasio pekerja terhadap populasi 67,3% 1.6 Proporsi pekerja yang hidup dengan kurang dari $1 per-hari 8,2% Proporsi Pekerja yang memiliki rekening pribadi dan 1.7 62% Perlu kerja keras anggota keluarga bekerja terhadap jumlah pekerja total Target 1C: Menurunkan hingga setengahnya Proporsi Penduduk yang Menderita Kelaparan 1.8 Malnutrisi Anak 35,5% 28,7% 18% Perlu kerja keras 1.9 Kecukupan konsumsi kalori 9% 6% 5% Sesuai Target TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN UNTUK SEMUA Target 2A: Menjamin pada 2015 semua anak dimanapun, laki-laki maupun perempuan dapat menyelesaikan pendidikan dasar 2.1 Partisipasi ditingkat SD (APM) 88,7% 94,7% 100% Sesuai Target 2.1a Partisipasi ditingkat SMP (APM) 41,9% 66,5% 100% Sesuai Target 2.2 Proporsi Murid yang bersekolah hingga kelas 5 75,6% 75,6% 100% Sesuai Target 2.2a Proporsi Murid yang tamat SD 62,0% 74,7% 100% Sesuai Target 2.3 Melek Huruf Usia 15-24 96,6% 99,4% 100% Sesuai Target TUJUAN 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Target 3A: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan tahun 2005, dan disemua jenjang sebelum 2015 3.1a Rasio Anak perempuan di Sekolah Dasar 100,6% 100,0% 100% Telah tercapai 3.1b Rasio Anak perempuan di Sekolah Menengah Pertama 101,3% 99,4% 100% Sesuai Target 3.1c Rasio Anak perempuan di Sekolah Menengah Atas 98,0% 100,0% 100% Telah tercapai 3.1d Rasio Anak perempuan di Perguruan Tinggi 85,1% 102,5% 102,5% Telah tercapai 3.2 Rasio melek huruf Perempuan usia 15-24 Thn 97,9% 99,9% 100% Sesuai Target 3.2 Kontribusi Perempuan dalam Pekerjaan Upahan 29,2% 33% 50% Perlu kerja keras 3.3 Perempuan di DPR 12,5% 12,5%
TUJUAN 4: MENGURANGI KEMATIAN ANAK Target 4.A: Menurunkan Angka Kematian Balita sebesar dua-per-tiganya antara 1990 dan 2015 4.1 Tingkat Kematian Anak (1-5 tahun)/per 1,000 81 44 4.2 Tingkat Kematian Bayi (per 1,000) 57 57 4.3 Tingkat Imunisasi Campak - Usia 12 Bulan 44,5% 44,5% 4.3a Tingkat Imunisasi Campak - Usia 12 - 23 Bulan 57,5% 76,4% TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU Target 5A: Menurunkan Angka Kematian Ibu sebesar tiga-per-empatnya antara 1990 dan 2015 5.1 Tingkat Kematian Ibu (Per 100.000) 390 307 5.2 Kelahiran yang dibantu tenaga terlatih 40,7% 40,7% Target 5B: Mencapai dan menyediakan akses kesehatan reproduksi untuk semua pada 2015 5.3 Wanita menikah usia 15-49 yang menggunakan Alat KB 50,5% 61,0% Tingkat Kelahiran Usia Muda (per 1000 perempuan usia 15-19) 5.4 setidaknya satu kali berkunjung ke fasilitas kesehatan 93,3% setidaknya empat kali berkunjung ke fasilitas kesehatan 5.6 Kebutuhan KB yang tidak terpenuhi 9,1% TUJUAN 6: MEMERANGI HIV/AIDS DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA Target 6A: Mengendalikan Penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunkan kasus baru pada 2015 6.1
Prevalensi HIV dan AIDS (per 100.000)
5,6
44 19
307
Melawan penyebaran
6.2 6.2a
Sesuai Target Sesuai Target
Perlu Kerja keras
Perlu Kerja keras
Penggunaan Kondom pada Hubungan Seks Resiko Tinggi 59,7% Penggunaan Kondom sebagai alat Kontrasepsi 1,3% 1,3% Persentase Populasi usia 12-24 Tahun yang memiliki 6.3a pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS Laki-laki 67,3% Perempuan 66,0% 6.4 Rasio murid yatim dan/atau piatu terhadap non yatim/piatu berusia 10-14 tahun Target 6B: Terseianya akses universal untuk perawatn terhadap HIV/AIDS bagi yang memerlukan, pada 2010 Proporsi populasi dengan tingkat penyebaran HIV tinggi 6.5 terhadap akses dengan obat antiretroviral Target 6C: Mengendalikan Penyakit Malaria dan muali menurunnya kasus Malria dan Penyakit lainnya tahun 2015 6.6 Kasus Malaria (Per 1,000) 8,5 6.6a Jawa dan Bali (Per 1,000) 28,06 18,9 6.6b Luar Jawa dan Bali (Per 1,000) 0,21 0,15 6.9 Prevalensi TBC (Per 100,000) 786 262 6.10a Angka Penemuan Kasus 76% 6.10b Kesembuhan dengan DOTS 90% 91% TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP Target 7A: Memadukan Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan program nasional serta mengembalikan sumberdaya yang hilang Target 7B: Mengurangi laju hilangnya keragaman hayati, dan mencapai pengurangan yang signi kan pada 2010 7.1 Kawasan tertutup hutan 60,0% 49,9% 7.2 7.3 7.4 7.5 7.6a 7.6b 7.7
Emisi CO2 Rasio Penggunaan Energi terhadap PDB Konsumsi CFC - Pengurangan Ozon
2.536 kg/kapita
1.34 metric ton/ Kapita
1,5 7.815
95,3 kg minyak -eq/ 1,000 $
26,4%
29,5% 11%
6.544
Proporsi Persediaan Ikan dalam batasan biologis yang aman
Proporsi dari Sumberdaya Perairan yang digunakan Kawasan Perlindungan Daratan Kawasan Perlindungan Laut Proporsi jumlah spesies yang terancam punah
Mengurangi
Mengurangi
Target 7C: Menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015 7.8 Proporsi Penduduk terhadap Air Bersih 38,2% 57,2% 67% Sesuai Target 7.8a Air Minum Perpipaan Kota 30,8% 67,7% Perlu usaha keras 7.8b Air Minum Perpipaan Desa 9,0% 52,8% Perlu usaha keras 7.8c Sumber Air terlindungi - Perkotaan 87,6% 76,1% Telah tercapai 7.8d Sumber Air terlindungi - Perdesaan 52,1% 65,5% Sesuai Target 7.9 Sanitasi yang baik 30,9% 69,3% 65,5% Telah tercapai 7.9a Rumah Tangga di Perkotaan 81,8% 78,8% Telah tercapai 7.9b Rumah Tangga di Perdesaan 60,0% 59,6% Telah tercapai Target 7D: Memperbaiki kehidupan penduduk miskin yang hidup di pemukiman kumuh pada 2020 7.10 Proporsi Masyarakat Urban yang tinggal di kawasan Kumuh 7.10a Proporsi kepastian kepemilikan lahan 87,7% 84,0% Sesuai Target TUJUAN 8 – MENGEMBANGKAN KEMITRAAN GLOBAL Target 8A. Mengembagnkan sistem perdanganan dan keuangan yang terbuka, berdasar pada peraturan, dapat diperkirakan dan non-diskriminatif - termasuk komitmen terhadap sistem pemerintahan yang baik, dan penanggulangan kemiskinan - ditingkat nasional dan internasional Target 8D. Penanggulangan Masalah pinjaman luar negeri melalui upaya nasional maupun internasional dala rangka pengelolaan utang luar negeri yang berkelanjutan dan berjangka panjang 8.1a Rasio Eskpor-Impor dengan PDB 44,4% 8.1b Rasio Kredit dan Tabungan Bank Umum 61,6% 8.1c Rasio Kredit dan Tabungan Bank Perkreditan Rakyat 87,4% 8.12 Rasio Pinjaman Luar Negeri terhadap PDB 44,9% 8.12a Rasio Utang terhadap Anggaran Belanja 26% Target 8F. Bekerjasama dengan sektor swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi 8.14 Rumah tangga yang memiliki telepon 11,2% 8.15 Rumah tangga yang memiliki telpon seluler 24,6% 8.16a Rumah tangga yang memiliki komputer 4,4% 8.16b
Rumah tangga yang memiliki akses internet
4,2%
Sumber: Soehardjono (2010:4-7). Menurut Amartya Sen dalam Pressman (2000:272), ekonomi kesejahteraan tidak hanya mencakup tentang konsumsi tetapi juga pengembangan potensi manusia karena ekonomi seharusnya lebih mengembangkan kemampuan yang melekat dalam diri manusia dan memperbanyak opsi yang terbuka untuk manusia daripada berusaha memproduksi lebih banyak barang dan jasa dalam rangka perdagangan bebas atau memahami bagaimana cara masyarakat memaksimalkan kepuasan secara rasional. Amartya Sen mengkritik pendapat mengenai ekonomi kesejahteraan yang hanya membahas tentang produksi barang dan jasa dalam rangka perdagangan bebas karena tindakan tersebut mementingkan diri sendiri sehingga dapat mengakibatkan dampak yang tidak baik. Amartya Sen juga mengkritik pendapat mengenai ekonomi kesejahteraan yang hanya membahas bagaimana cara masyarakat memaksimalkan kepuasan secara rasional seperti yang dijelaskan dalam Pareto Optimum sehingga dapat mengakibatkan dampak
yang tidak baik. Sebagai contoh, dalam kasus ada sekelompok orang kaya dan ada sekelompok orang miskin yang kelaparan. Hal ini mungkin merupakan kondisi Pareto Optimum karena situasinya tidak dapat diperbaiki tanpa mengambil pendapatan dari orang kaya dan mengurangi kepuasannya, namun banyaknya orang miskin yang kelaparan jelas bukan merupakan hasil yang diinginkan. Menurut Amartya Sen dalam Pressman (2000:273), kesejahteraan masyarakat tergantung pada hal-hal yang dapat masyarakat lakukan dengan baik. Kesejahteraan masyarakat akan maksimum apabila masyarakat dapat membaca, makan, dan memberikan hak suaranya. Kemampuan membaca penting bukan karena kepuasan yang dihasilkannya tetapi karena dengan membaca akan membentuk kepribadian. Makan penting bukan karena mengkonsumsi makanan tetapi karena makanan penting untuk kehidupan dan kesehatan. Memberikan hak suara penting bukan karena menaikkan kepuasan tetapi karena menghargai sistem politik (demokrasi). Kesejahteraan manusia adalah jumlah dari pilihan yang dipunyai orang dan kebebasan untuk memilih di antara pilihan-pilihan tersebut. Hal ini berarti ketika konsumen membeli barang tetapi tidak punya pilihan, kesejahteraan konsumen dapat ditingkatkan dengan memberi lebih banyak pilihan. Menurut BPS (2009d:9), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan ukuran capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. IPM dihitung berdasarkan data yang dapat menggambarkan keempat komponen, yaitu angka harapan hidup yang mengukur keberhasilan dalam bidang kesehatan, angka melek huruf dan rata-rata lamanya bersekolah yang mengukur keberhasilan dalam bidang pendidikan, dan kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mengukur keberhasilan dalam bidang pembangunan untuk hidup layak. Komponen IPM adalah usia hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent living). Usia hidup diukur dengan angka harapan hidup atau e0 yang dihitung menggunakan metode tidak langsung (metode Brass, varian Trussel) berdasarkan variabel rata-rata anak lahir hidup dan rata-rata anak yang masih hidup. Komponen pengetahuan diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah yang dihitung berdasarkan data Susenas. Sebagai catatan, UNDP dalam publikasi tahunan
Human Development Report (HDR) sejak tahun 1995 menggunakan indikator partisipasi sekolah dasar, menengah, dan tinggi sebagai pengganti rata-rata lama sekolah karena sulitnya memperoleh data rata-rata lama sekolah secara global. Indikator angka melek huruf diperoleh dari variabel kemampuan membaca dan menulis, sedangkan indikator rata-rata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua variabel secara simultan, yaitu tingkat/kelas yang sedang/pernah dijalani dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Komponen standar hidup layak diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil yang telah disesuaikan. Sebagai catatan, UNDP menggunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) sebagai ukuran komponen tersebut karena tidak tersedia indikator lain yang lebih baik untuk keperluan perbandingan antarnegara. Penghitungan indikator konsumsi riil per kapita yang telah disesuaikan dilakukan melalui tahapan penghitungan sebagai berikut: 1. Menghitung pengeluaran konsumsi per kapita dari Susenas Modul (=A). 2. Mendeflasikan nilai A dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) ibukota provinsi yang sesuai (=B). 3. Menghitung daya beli per unit (=PPP/unit). Metode penghitungan sama seperti metode
yang
digunakan
International
Comparison
Project
(ICP)
dalam
menstandarkan nilai PDB suatu negara. Data dasar yang digunakan adalah data harga dan kuantum dari suatu basket komoditi yang terdiri dari nilai 27 komoditi yang diperoleh dari Susenas Modul seperti yang disajikan pada Tabel 3.2. 4. Membagi nilai B dengan PPP/unit (=C). 5. Menyesuaikan nilai C dengan formula Atkinson sebagai upaya untuk memperkirakan nilai marginal utility dari C. Penghitungan PPP/unit dilakukan dengan rumus: E
( i, j )
j PPP / unit = ------------------------(p( 9, j ) . q ( i,,j ) j
keterangan:
E( i,
j)
: pengeluaran untuk komoditi j di provinsi ke-i
P( 9, j ) : harga komoditi j provinsi yang dihitung q( i,,j )
: jumlah komoditi j (unit) yang dikonsumsi di provinsi ke-i
Unit kuantitas rumah dihitung berdasarkan indeks kualitas rumah yang dibentuk dari tujuh komponen kualitas tempat tinggal yang diperoleh dari data Susenas. Ketujuh komponen kualitas yang digunakan dalam penghitungan indeks kualitas rumah diberi skor sebagai berikut (Tabel 3.1): Tabel 2 INDEKS KUALITAS RUMAH Kualitas
Komponen
Skor
A
B
A
B
Lantai
Keramik marmer atau granit
Lainnya
1
0
Luas lantai per kapita
> 10 m2
Lainnya
1
0
Dinding
Tembok
Lainnya
1
0
Atap
Kayu/sirap, beton
Lainnya
1
0
Fasilitas penerangan
Lisdtrik
Lainnya
1
0
Fasilitas air minum
Leding
Lainnya
1
0
Jamban
Milik sendiri
Lainnya
1
0
Catatan: Skor awal untuk setiap rumah = 1 Sumber: BPS (2009d). Indeks Pembangunan Manusia. Indeks kualitas rumah merupakan penjumlahan dari skor yang dimiliki oleh suatu rumah tinggal dan bernilai antara 1 sampai dengan 8. Kuantitas dari rumah yang dikonsumsi oleh suatu rumah tangga adalah Indeks Kualitas Rumah dibagi 8. Sebagai contoh, jika suatu rumah tangga menempati suatu rumah tinggal yang mempunyai Indeks Kualitas Rumah = 6, maka kuantitas rumah yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut adalah 6/8 atau 0,75 unit. Perlu dicatat bahwa sewa rumah, bensin, dan air minum merupakan komoditi baru dalam penghitungan PPP/unit. Ketiga komoditi tersebut tidak diperhitungkan dalam penghitungan PPP/unit sebagaimana disajikan dalam publikasi BPS sebelumnya (1996). Oleh karena itu, IPM dalam publikasi tersebut tidak dapat dibandingkan dengan IPM dalam publikasi ini.
Rumus Atkinson yang digunakan untuk penyesuaian rata-rata konsumsi riil secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut: C (i)* = C(i) = Z + 2(C(i) – Z)
jika C(i) < Z (1/2)
jika Z < C(i) < 2Z
= Z + 2(Z) (1/2)+ 3(C(i) – 2Z) (1/3)
jika 2Z < C(i) < 3Z
= Z + 2(Z) (1/2)+ 3(Z) (1/3)+4(C(i) – 3Z) (1/4)
jika 3Z < C(i) < 4Z
keterangan: C (I): Konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan dengan PPP/unit (hasil tahapan 5) Z:
Threshold atau tingkat pendapatan tertentu yang digunakan sebagai batas kecukupan yang dalam laporan ini nilai Z ditetapkan secara arbiter sebesar Rp547.500,- per kapita setahun atau Rp 1.500,- per kapita per hari.
Berikut ditunjukkan ilustrasi penghitungan IPM. Rumus penghitungan IPM disajikan sebagai berikut: IPM = 1/3 [X(1) + X(2) + X(3)] keterangan: X(1) : indeks harapan hidup X(2) : indeks pendidikan 2
/3(indeks melek huruf) + 1/3(indeks rata-rata lama sekolah)
X(3) : indeks standar hidup layak Tabel 3 DAFTAR KOMODITI TERPILIH UNTUK MENGHITUNG PARITAS DAYA BELI (PPP) Komoditi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Beras lokal Tepung terigu Ketela pohon Ikan tongkol/tuna/cakalang Ikan teri Daging sapi Daging ayam kampung Telur ayam
Unit Kg Kg Kg Kg Ons Kg Kg Butir
Sumbangan Terhadap Total Konsumsi (%)*) 7.25 0.10 0.22 0.50 0.32 0.78 0.65 1.48
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Susu kental manis 397 gram Bayam Kg Kacang panjang Kg Kacang tanah Kg Tempe Kg Jeruk Kg Pepaya Kg Kelapa Butir Gula pasir Ons Kopi bubuk Ons Garam Ons Merica/lada Ons Mie instant 80 gram Rokok kretek/filter 10 batang Listrik Kwh Air minum M3 Bensin Liter Minyak tanah Liter Sewa rumah Unit Total *) Berdasarakan data SUSENAS 1996.
0.48 0.30 0.32 0.22 0.79 0.39 0.18 0.56 1.61 0.60 0.15 0.13 0.79 2.86 2.06 0.46 1.02 1.74 11.56 37.52
Tabel 4 NILAI MAKSIMUM DAN MINIMUM DARI SETIAP KOMPONEN IPM Komponen IPM 1.Angka Harapan Hidup 2.Angka Melek Huruf 3.Rata-Rata Lama Sekolah 4.Daya Beli
Maksimum 85 100 15 732.720a)
Minimum 25 0 0 300.000 (1996) 360.000 b) 1999,2002
Keterangan Standar UNDP Standar UNDP Standar UNDP UNDP menggunakan PDB riil disesuaikan
Sumber: BPS (2009d:13). Sebagai ilustrasi penghitungan dapat diambil contoh provinsi X tahun Y yang memiliki data sebagai berikut: 1. Angka harapan hidup: 64,93 2. Angka melek huruf: 93,10 3. Rata-rata lama sekolah: 7,04 4. Konsumsi per kapita riil yang disesuaikan: Rp 551.350,-
Berdasarkan data tersebut maka dapat dihitung indeks masing-masing komponen menggunakan persamaan:
Indeks angka harapan hidup: (64,93 – 25)/(85 – 25) = 0,6655 Indeks angka melek huruf: (93,10 – 0)/(100 – 0) = 0,9310 Indeks rata-rata lama sekolah: (7,04 – 0)/(15 – 0) = 0,4693 Indeks pendidikan: 2/3 (0,9310) + 1/3 (0,4693) = 0,7771 Indeks konsumsi per kapita riil yang disesuaikan:(551,35–300)/(732,72–300)= 0,5808
Berdasarkan hasil perhitungan indeks angka harapan hidup (0,6655), indeks pendidikan (0,7771), dan indeks kondumsi per kapita riil yang disesuaikan (0,5808), maka dapat dihitung angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yaitu: IPM = 1/3 (0,6655 + 0,7771 + 0,5808) = 0,6745. Untuk memudahkan dalam membaca angka, IPM disajikan dalam ratusan (dikalikan 100) sehingga nilai IPM provinsi X pada tahun Y adalah 67,45.
Menurut BPS (2009d:9), secara koseptual angka harapan hidup (AHH) diartikan sebagai rata-rata jumlah tahun hidup yang dapat dijalani oleh seseorang sejak lahir hingga akhir hidupnya. Hal ini sebagai bagian dari pembangunan di bidang kesehatan karena bidang ini berkaitan dengan meningkatnya umur hidup masyarakat. Perbaikan sanitasi lingkungan, kesadaran masyarakat tentang cara hidup sehat, dan pengobatan dengan cara medis secara langsung dapat memperpanjang usia hidup seiring dengan semakin majunya tingkat sosial ekonomi penduduk. AHH digunakan sebagai dasar untuk menghitung indeks kesehatan yang dianggap dapat menggambarkan seberapa jauh keberhasilan masyarakat telah menggunakan sumber daya masyarakat untuk memajukan kesehatan. Oleh karena itu, ditetapkan angka minimal dan maksimal dalam AHH. Berdasarkan standar UNDP, angka minimal dalam AHH ditetapkan sebesar 25 tahun, artinya seseorang diharapkan dapat bertahan hidup sampai umur 25 tahun meskipun dengan fasilitas kesehatan yang minimal. Berdasarkan standar UNDP, angka maksimal dalam AHH ditetapkan sebesar 85 tahun, artinya umur 85 tahun merupakan umur tertinggi bagi seseorang yang masih mempunyai makna dalam menikmati sisa hidupnya. Menurut BPS (2009d:10), Indeks Pendidikan diwakili oleh sektor pendidikan dan merupakan salah satu komponen yang mengindikasikan pembangunan sumber daya
manusia. Tingkat pendidikan merupakan manifestasi yang sangat jelas dari perbaikan kondisi hidup suatu masyarakat pada suatu daerah sehingga dengan tingkat pendidikan yang lebih baik akan mendorong perbaikan kondisi sektor-sektor lain. Indeks Pendidikan diwakili oleh komponen angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Angka minimal untuk angka melek huruf adalah 0 (nol), artinya penduduk tidak mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan, sebaliknya apabila masyarakat dengan mudah mengakses pendidikan, maka angka maksimal untuk angka melek huruf adalah 100. Berdasarkan kedua nilai tersebut maka target pencapaian sebesar 100-0 = 100. Rata-rata lama sekolah yaitu jumlah tahun yang dijalani oleh seseorang dalam menempuh pendidikan formal. Angka minimal untuk indikator ini adalah 0 (nol), artinya masyarakat tidak atau belum mampu sama sekali menyekolahkan anaknya dengan berbagai alasan, sebaliknya angka maksimal adalah 15, artinya seluruh penduduk dapat menyelesaikan pendidikannya sampai lulus setara sekolah menengah atas yang sesuai dengan standar UNDP adalah 15 tahun bersekolah. Melek huruf adalah kemampuan membaca dan menulis. Tingkat melek huruf dihitung dari persentase populasi orang dewasa yang dapat menulis dan membaca. Melek huruf juga
dapat
diartikan
menggunakannya
untuk
sebagai
kemampuan
mengerti
sebuah
untuk bacaan,
menggunakan mendengarkan
bahasa
dan
perkataan,
mengungkapkannya dalam bentuk tulisan, dan berbicara. Dalam perkembangannya, melek huruf diartikan sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis pada tingkat yang baik untuk berkomunikasi dengan orang lain atau dalam taraf bahwa seseorang dapat menyampaikan idenya dalam masyarakat yang mampu baca-tulis, sehingga dapat menjadi bagian dari masyarakat tersebut. Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) mendefinisikan melek huruf adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan, dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Kemampuan baca-tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya. Hal ini berkaitan langsung dengan seseorang dalam mendapatkan pengetahuan, menggali potensi, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas.
Angka melek huruf merupakan tolok ukur penting dalam mempertimbangkan kemampuan sumber daya manusia di suatu daerah. Hal ini berdasarkan pemikiran bahwa melatih orang yang mampu baca-tulis jauh lebih mudah daripada melatih orang yang buta aksara dan umumnya orang-orang yang mampu baca-tulis memiliki status sosial ekonomi, kesehatan, dan prospek meraih peluang kerja yang lebih baik. Kemampuan baca-tulis juga berarti peningkatan peluang kerja dan akses yang lebih luas pada pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Menurut BPS (2009d:11), Indeks Tingkat sebagai
Kehidupan
yang
Layak
diartikan
jumlah pengeluaran yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya per
kapita per tahun. Konsumsi riil per kapita, yaitu jumlah pengeluaran per kapita yang benar-benar dipakai untuk mengkonusmsi satu paket komoditi yang terdiri dari 27 komoditi dan terbagi menjadi dua kelompok yaitu makanan dan non-makanan. Batas maksimum dan minimum penghitungan daya beli adalah Rp732.720,- (batas maksimum) dan Rp300.000,- (batas minimum sampai dengan tahun 1996). Pada tahun 2002, dengan mengikuti kondisi pascakrisis
ekonomi maka batas minimum disepakati menjadi
Rp360.000,-. Menurut BPS (2009d:3-5), penghitungan IPM sebagai indikator pembangunan manusia memiliki tujuan penting, yaitu membangun indikator yang mengukur dimensi dasar pembangunan manusia dan perluasan kebebasan memilih, memanfaatkan sejumlah indikator untuk menjaga ukuran tersebut sederhana, membentuk satu indeks komposit daripada menggunakan sejumlah indeks dasar, dan menciptakan suatu ukuran yang mencakup aspek sosial dan ekonomi. IPM digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan manusia secara keseluruhan dan menjadi ukuran standar yang dapat dibandingkan antarwilayah atau antarnegara. Menurut BPS (2009d:4), IPM sebagai manifestasi pembangunan manusia dapat ditafsirkan sebagai keberhasilan dalam meningkatkan kemampuan dalam memperluas pilihan-pilihan. IPM yang memasukkan indeks kesehatan dan pendidikan dalam
penghitungannya sangat tepat apabila digunakan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat karena kesehatan dan pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu dimiliki agar mampu meningkatkan potensinya. Dalam kondisi persaingan antarnegara dan antarbangsa yang sedemikian ketatnya, maka faktor kesehatan dan pendidikan sebagai pembentuk kapabilitas dasar yang dimiliki suatu bangsa menjadi unsur penting dalam meningkatkan potensi negara dan bangsa Indonesia. Untuk meningkatkan IPM dapat dicapai melalui pertumbuhan ekonomi sebagai syarat perlu dan pemerataan pembangunan sebagai syarat cukup karena dengan pemerataan pembangunan terdapat jaminan bahwa semua penduduk dapat menikmati hasil-hasil pembangunan. Pengalaman pembangunan di berbagai negara diperoleh hasil bahwa untuk mempercepat pembangunan manusia dapat dilakukan melalui distribusi pendapatan yang merata dan alokasi belanja publik yang memadai untuk kesehatan dan pendidikan. Sebagai contoh Korea Selatan yang telah sukses melakukan kedua tersebut dan Brasil yang telah gagal karena memiliki distribusi pendapatan yang timpang dan alokasi belanja publik yang kurang memadai untuk pendidikan dan kesehatan (BPS, 2009d:4). IPM memiliki keterbatasan. Dengan memahami keterbatasan tersebut, diharapkan dapat menghindari kesalahan penggunaan IPM, dapat menjadi bahan masukan untuk pengembangan ketersediaan dan reliabilitas data, dan dapat digunakan dalam melakukan monitoring perkembangan pembangunan manusia. Keterbatasan IPM adalah bukan merupakan suatu ukuran yang komprehensif mengenai pembangunan manusia. Indeks tersebut hanya mencakup tiga aspek dari pembangunan manusia, tidak termasuk aspek penghargaan diri, kebebasan politik, dan masalah lingkungan. IPM tidak dapat menilai perkembangan pembangunan manusia dalam jangka pendek, karena dua komponennya, yaitu angka melek huruf dan angka harapan hidup, tidak responsif terhadap perubahan kebijakan dalam jangka pendek. IPM memasukkan variasi pembangunan manusia dalam suatu wilayah, artinya IPM yang sama dari dua wilayah tidak mengindikasikan bahwa kedua wilayah tersebut memiliki pembangunan manusia yang identik. Dengan kata lain, mungkin terdapat
perbedaan bagaimana pembangunan manusia didistribusikan
antarsubwilayah atau antarkelompok sosial. Kesejahteraan masyarakat tidak hanya diukur berdasarkan perhitungan fisik, namun juga faktor-faktor non-fisik seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, angkatan kerja,
keluarga berencana dan fertilitas, ekonomi khususnya tingkat konsumsi per kapita, angka kriminalitas, perjalanan wisata, dan akses ke media massa (Arsyad, 2004:38). Dalam penelitian ini, untuk mengukur kesejahtaraan masyarakat, selain menggunakan IPM juga menggunakan indikator kesejahteraan sosial (non moneter) lainnya yang berupa angka kriminalitas. Untuk menyeragamkan indikator Angka Kriminalitas antardaerah maka disusun Indeks Kriminalitas Daerah (IKD) sebagai rasio antara banyaknya kejahatan yang dilaporkan dengan banyaknya kejahatan yang diputus oleh Kantor Pengadilan Negeri di ibukota masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah selama bulan Januari sampai dengan Desember tahun yang sama. Kriminalitas berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan. Secara yuridis, kejahatan berarti segala tingkah laku manusia yang dapat dipidana, yang diatur dalam hukum pidana. Secara kriminologi, setiap tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak disetujui oleh masyarakat diartikan sebagai kejahatan. Jadi setiap perbuatan yang anti sosial, merugikan, serta menjengkelkan masyarakat, secara kriminologi dapat dikatakan sebagai kejahatan. Secara yuridis, kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hukum atau perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hukum dan tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat. Menurut BPS (2006b), jenis kejahatan adalah perampokan, pencurian, penggelapan,
penipuan,
pemerasan,
pengrusakan,
pembunuhan,
pemerkosaan,
penganiayaan, perzinahan, kebakaran, pencurian kendaraan bermotor, peredaran uang palsu, pengeroyokan, dan narkotik.