KELEMBAGAAN AGRARIA Teguh Kismantoroadji Kuliah ke-4
MENUJU POLA PENGUASAAN TANAH YANG MERATA DAN ADIL • Sepanjang era Orde Baru praksis pembangunan kehutanan senantiasa bertolak dari pola pikir bahwa penguasaan sumberdaya hutan merupakan state property saja atau private property (sebagai bentuk “pinjaman” negara). • Namun pola pikir seperti itu ternyata tidak mampu menjamin terwujudnya kelestarian hutan dan keadilan distribusi manfaat hutan.
KELEMBAGAAN AGRARIA Teguh Kismantoroadji Kuliah ke-4
• Bahkan sebaliknya komunitas sosial di daerah sekitar hutan semakin terpinggirkan dan potensi pengetahuan serta cara mengelola hutan yang mereka miliki menjadi tidak berkembang. • Tragisnya, mereka yang semula merupakan komunitas pendukung nilai-nilai kepedulian terhadap keberadaan hutan, di beberapa tempat malahan berubah menjadi bagian dari kelompok “pencuri” kayu yang didanai para pedagang kayu dari luar daerah.
KELEMBAGAAN AGRARIA Teguh Kismantoroadji Kuliah ke-4
• Hanya sedikit saja dari komunitas kecil yang masih menggunakan norma adatnya dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan belum terimbas “polusi kebijakan pemerintah” sehingga nilai-nilai kepedulian masih terpelihara baik. • Hal ini mengisyaratkan bahwa mereka mengenal adanya tatanan lokal yang arif dan bijak dalam mengelola sumberdaya hutan.
KELEMBAGAAN AGRARIA Teguh Kismantoroadji Kuliah ke-4
Sejumlah kalangan di Indonesia mulai mengubah cara pandangnya ke arah pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat lokal (local community
property based for forestry management).
Perubahan cara pandang ini sampai derajat tertentu membawa konsekuensi pergeseran dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya kehutanan. Namun demikian, perubahan kebijakan ini masih harus menghadapi permasalahan struktural, yaitu: 1. Akumulasi pengetahuan, kebiasaan, dan pengalaman aparatur pemerintah di lingkungan Kementerian Kehutanan dan Perkebunan masih terbiasa dengan cara pandang state property dan private property. Akibat cara pandang tersebut terbentuklah sikap resisten terhadap upaya mendorong keberpihakan pada pengelolaan hutan berbasis komunitas lokal.
KELEMBAGAAN AGRARIA Teguh Kismantoroadji Kuliah ke-4
2. Pemerintah tidak mempunyai informasi lengkap dan akurat mengenal kondisi sumberdaya lahan dan lingkungan sekitarnya, termasuk mengenal keberadaan komunitas lokal serta bagaimana teknologi lokal mereka kembangkan di masa lalu yang sesungguhnya memiliki keunggulan tersendiri dalam pengelolaan hutan. 3. Pemerintah belum mempunyai ukuran yang akurat untuk mengevaluasi kinerja HPH yang selama ini diandalkan untuk mengelola sumberdaya kehutanan. Sistem pelaporan HPH selama ini hanya melingkupi sebatas teknis administrasi saja sehingga tidak menggambarkan keseluruhan fakta dan implikasi sosial apa saja yang terjadi di lapangan.
KELEMBAGAAN AGRARIA Teguh Kismantoroadji Kuliah ke-4
PEMETAAN PARTISIPATORIS AGRARIA DAN PERAN STRATEGISNYA • Dalam mencari jalan keluar dari situasi stagnasi, maka munculnya prakarsa unsur masyarakat lokal untuk melakukan pemetaan agraria (hak tenurial) adalah suatu kebutuhan mendesak sekaligus merupakan alternatif mencari jalan keluar yang strategik. • Hasil kegiatan pemetaan partisipatoris tersebut selain akan memberdayakan masyarakat lokal juga dapat membantu pihak pemerintah itu sendiri untuk merumuskan kebijakan, perencanaan, dan bentuk pengelolaan hutan yang lebih membumi. • Memang ada sejumlah pertanyaan kritis lainnya yang dapat diajukan misalnya mampukah prakarsa tersebut menjanjikan lestarinya sumberdaya hutan dan adilnya distribusi hasil hutan?
KELEMBAGAAN AGRARIA Teguh Kismantoroadji Kuliah ke-4
Konsep Dasar Pola Penguasaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat Lokal 1. Konsep pengelolaan hutan berbasis komunitas lokal yang dimaksud dalam makalah ini adalah sistem yang berasal dari komunitas “asli” itu sendiri. 2. Dari banyak kepustakaan diketahui bahwa komunitas lokal, yang turun-temurun mengelola sumberdaya hutan secara berkelanjutan, sesungguhnya telah mengembangkan sistem pengelolaan yang dijalankan dalam stereotipe yang disebut sebagai naluri “kearifan alam” (noble savage), atau hidup harmonis dan saling bergantung dengan ekosistem sekitarnya.
KELEMBAGAAN AGRARIA Teguh Kismantoroadji Kuliah ke-4
Metode Pemetaan Partisipatoris Hak-Hak Tenurial 1. Beberapa tahun terakhir ini banyak konflik penguasaan sumberdaya agraria, termasuk sumber daya hutan bermunculan di tanah air. 2. Ketidakjelasan tata batas adalah sumber konflik yang paling menonjol, terutama berhubungan dengan akses komunitas lokal kepada sumberdaya hayati dan nonhayati. 3. Komunitas lokal seringkali terkalahkan dalam konflik seperti ini karena kepentingan unsur pemerintah dan pelaku bisnis (swasta) yang lebih tampil menguat
KELEMBAGAAN AGRARIA Teguh Kismantoroadji Kuliah ke-4
Makna partisipatoris hak-hak tenurial masyarakat lokal sering dipahami dalam dua kategori besar, yaitu: 1. Keterlibatan warga komunitas (citizen participation) dalam aktivitas-aktivitas pembangunan yang diprakarsai dan dikontrol oleh pemerintah atau oleh pemangku kepentingan lainnya (LSM/Ornop atau pelaku bisnis swasta) dalam bentuk akses untuk berperan serta mengambil keputusan. 2. Partisipasi warga komunitas (citizen action) dalam program pembangunan yang diprakarsai dan dikontrol oleh kelompok komunitas itu sendiri. Pemerintah, Ornop/atau pelaku bisnis swasta dalam hal ini, bertindak sebagai mediator dan atau fasilitator yang menjamin dan melindungi terlaksananya program tersebut dengan turut menyumbangkan kerangka umum mengenai arah program pembangunan yang telah disepakati.
KELEMBAGAAN AGRARIA Teguh Kismantoroadji Kuliah ke-4
Penerapan pengelolaan hutan berbasis komunitas lokal jelas membutuhkan revitalisasi kelembagaan, khususnya kelembagaan pemerintah (birokrasi), yaitu : 1. Desentralisasi politik. Kembalikan urusan kewenangan pemerintahan kepada pemerintah lokal. Dalam hal ini kewenangan untuk mengelola sumber-sumber agraria lokal termasuk sumberdaya hutan. 2. Perubahan paradigma pemerintah dari status sebagai “polisi” (custodian) menjadi fasilitator dengan segala implikasinya.