MENJELANG AKHIR MUSIM GUGUR KARYA : Jean-Louis Bourdon Seorang perempuan muda menyisir rambut, setelah beberapa saat. Aku suka berjalan-jalan
PEREMPUAN
Sesaat, Aku suka itu. Aku suka berjalan-jalan, aku suka sekali berjalan di taman di atas bebatuan kecil. Sesaat, Berbunyi saat kau berjalan di atasnya, ada orang-orang yang menghampirimu dan kami berjalan bersama di taman dan...dan bebatuan kecil di bawah sepatu membangkitkan gambaran-gambaran pada pikiranmu, gambarangambaran dan renungan-renungan, membangkitkan semua itu pada dirimu, bebatuan kecil saat kau berjalan di atasnya dan juga rasa nyaman...itu membuatmu tenggelam kembali di dalam waktu. Terkadang kau menangis. Sesaat, Di dalam taman, ada bangku-bangku, ada juga pepohonan, di musim gugur daun-daunnya berjatuhan. Sesaat, Aku suka melihat daun-daun berguguran, aku suka bila daun-daun jatuh di atas kepalaku; satu kali aku merebahkan diri, Sesaat, aku berbaring di dalam dedaunan, lalu orang-orang datang mengangkatku. Sesaat, Aku menangis, di musim dingin, tak ada lagi daun-daun di pepohonan, tak ada apa-apa lagi di musim dingin, di musim dingin, ada embun membeku dan juga...gelap, dan ketika gelap kita tidak bisa berjalan di taman di atas bebatuan kecil karena tidak ada cahaya di musim dingin di taman, pukul lima kita tak melihat apa-apa lagi, kita tidak melihat apa-apa lagi di musim dingin, semua padam, kita tak melihat apa-apa lagi pukul lima, tak ada apa-apa lagi, itu bukan salahku. Beberapa saat, Dia pernah bilang kepadaku aku mencintaimu, Sangat sesaat, maka, aku katakan kepadanya aku mencintaimu. Aku ingat waktu itu menjelang akhir musim gugur, kami pergi minum segelas bir di sebuah bar, dia memakai sepatu boot, celana jeans dan jas beludru; kami minum segelas bir, lalu segelas lagi, aku tidak pernah minum bir dan bersamanya, seolah aku biasa minum bir, aku minum bergelas-gelas, bergelas-gelas, ada banyak orang di cafe ini, banyak orang dan kami, kami berdua, bertatapan, berdua, kami tidak melihat siapapun, kami bahagia bisa minum bir, bersama, satu dihadapan lainnya, bertatapan, kami tidak mendengar apa pun, kami tidak melihat apa pun, hanya bola mata kami, hanya sinar di kedalaman bola mata kami. Hari itu, aku berpikir :
“Aku tidak akan pernah takut lagi, aku tidak akan pernah sendiri lagi. Bir ini begitu enaknya dan aku begitu nyamannya hingga aku ingin agar ini berlangsung seumur hidup”. Beberapa saat, Di taman, kita tidak bisa berjalan-jalan terlampau jauh, bila kau berjalan terlampau jauh, kau akan sampai di sebuah dinding, karena ada binatangbinatang di dalam taman, ada binatang-binatang dan Nyonya Menier bilang bahwa karena ada binatang-binatang lah maka ada dinding itu. Karena binatangbinatang malang itu bisa saja kabur ke jalan dan tertabrak. Pernah terjadi, pernah terjadi. Sesaat, Hari itu, awal musim gugur dan kami ke luar dari toko penjual rokok, kemudian aku mengajaknya ke rumahku, aku tinggal du ratus meter dari situ, pada saat itulah aku telah tahu bahwa dialah laki-laki jodohku, pada saat itulah. Pada waktu itu, aku tinggal dengan seorang teman, teman dulu semasa kuliah yang menjadi pramugari di Air France, pramugari, dia gamang, dia takut ruang tertutup, dia tetap membenci pesawat udara dan dia pramugari. Kami tidak pernah berbincang tentang hal tersebut, dia seorang perempuan pendiam dan membingungkan, namanya Simone. Begitu kami masuk, Simone mengenakan jasnya dan keluar, dia mengerti bahwa dia harus keluar, terlalu nampak dalam sorot mata kami, kelihatan terlalu kuat bahwa kami ingin bersama, Sebastien dan aku, hanya berdua; namanya Sebastien dan hari itu, aku tahu bahwa dialah laki-laki jodohku, Simone kembali dua jam kemudian mengambil kopornya untuk ke Tombuktu, dan kami bercinta, itu awal musim gugur. Beberapa saat, Aku tidak ingin makan, sebentar lagi waktunya untuk makan tapi aku tidak lapar jam-jam begini, dan dengan begitu aku manfaatkan waktuku untuk berdiet, aku ingin langsing seperti dulu, aku tidak gemuk, tapi dulu, aku lebih langsing, dia suka bila aku langsing, dia suka sebagaimana aku sekarang, tetapi bila aku langsing, dia lebih suka. Meskipun begitu, walaupun aku makan jam-jam sekarang ini, aku mengurus! Beberapa saat, Waktu itu awal musim gugur dan kami di depan cermin, tubuh kami merapat di depan cermin, dan aku menciumnya, dan dia menciumku, kami menggelosor ke lantai dan kami bercinta di depan cermin, dan kami bercinta bagaikan orang gila, seolah tidak mungkin bercinta di depan cermin,kami bercinta dan bercinta, dan terus bercinta, lalu kami saling memandang di dalam cermin dan cermin memantulkan ke dua tubuh kami yang bergelora dan mengkilat bagaikan citra sempurna dari kebahagiaan. Sesaat, Waktu itu awal musim gugur. Beberapa saat, Ada kelinci-kelinci di dalam taman dan juga tupai-tupai. Ada banyak binatang di sini, kami diajarkan untuk melindungi mereka, orang tidak cukup melindungi binatang-binatang, ada keong-keong di dalam taman. Aku selalu
khawatir untuk keong, benar, kita tidak melihat keong-keong dengan jelas ketika mereka melintasi jalan berbatu, kita tidak melihat mereka dan kita menginjaknya tanpa sengaja, mengira mereka sebagai bebatuan, hanya saat kita menginjaknya kita tahu bahwa kita telah menginjaknya, sensainya tidak sama di bawah sepatu. Bulan kemarin, Nyonya Menier menghancurkan dua, aku mengingatkannya, aku katakan : “Berhati-hatilah Nyonya Menier, perhatikan langkah-langkah Anda, bukan hanya Anda yang berjalan-jalan di sekitar sini, jangan lupa itu”. Dia merasa malu karenala dialah yang mengajarkan kami untuk menghormati binatang-binatang, untuk menyayangi mereka. Bila aku melihat keong di batu-batu, aku mengambilnya dan menaruhnya di rumput, kemudian aku merasa lebih nyaman melewatkan sisa hari. Di sini, ada orang yang tidak suka binatang, aku suka binatang, Sebastien juga suka binatang. Beberapa saat, Waktu itu awal musim gugur, aku ingat, setelah bercinta di depan cermin, kami keluar, kami lapar dan Sebastien mengajakku ke sebuah restauran makanan laut yang enak. Aku ingat, aku memesan kerang, dan setelah itu aku memesan tiram,aku sekali kerang, aku suka juga tiram, tapi aku lebih suka kerang. Sebastien juga memesan kerang, kerang dan steak tartar, kalau tidak salah kerang dulu baru tiram, aku tidak ingat lagi. Yang aku ingat, kami memesan minuman anggur dari Loire, aku tidak ingat lagi apa merknya secara tepat, tapi yang aku ingat, minuman anggur itu berasal dari daerah ayahnya, ayahnya berasal dari sana, daerah Loire, dari Loire atau Loire-Atlantik, aku tidak begitu ingat lagi, tapi bukan dari daerah Garonne, ya rasanya...Aku tidak pernah bertemu ayahnya, tidak pernah, dia juga tidak bertemu lagi dengannya, sudah lama dia pergi dari rumahnya, lama, bertahun-tahun. Kami pun makan kerang, tiram atau tartar dan minum-minuman anggur dari Loire di restauran kecil yang makanannya enak ini. Setelah itu, kami diam di rumahnya untuk melewatkan malam, itu hari pertama kami berkenalan, aku ingat, kami tidak memejamkan mata sepanjang malam, kami bercinta hingga fajar. Pagi hari, aku membuatkannya sarapan pagi yang enak, dengan olesan mentega da selai, setelah itu, kami melewatkan sisa pagi hari di jendela memandang dedaunan yang gugur, waktu itu awal musim gugur. Beberapa saat, Minggu kemarin, aku membuang penyemprot serangga ke tempat sampah, aku tidak mengatakannya kepada Nyonya Menier, aku tidak ingin dimarahi. Nyonya Menier kikir, dia tidak suka membuang. Aku pergi ke kantornya dan mencari ke mana-mana karena aku suka lalat, yah...aku tidak terlalu suka lalat tapi bisa dibilang lalat bukan persoalan bagiku, aku tidak mau Nyonya Menier membunuh lalat-lalat, maka aku buang penyemprot itu ke tempat sampah di daput. Lalat juga binatang. Aku tidak suka bila orang membunuh, aku tidak suka bila orang membunuh. Sangat sesaat, Aku tidak suka bila orang membunuh. Sesaat,
Sejak aku di sana aku tidak pernah mengatakan kepada siapa pun, tak pernah, tetapi aku tidak suka bila orang berbuat hal-hal buruk, aku tidak suka itu, aku tidak pernah melakukannya kepada siapa pun, tak pernah. Tak pernah. Sesaat, Di satu hari Minggu, aku, ingat, waktu itu menjelang pertengahan musim gugur dan kami sedang bercinta di depan cermin ketika telepon berdering, itu ibu, itu ibu yang menelponku untuk bertanya kepadaku apakah semuanya baikbaik saja, apakah aku merasa tidak terlalu bosan, apakah aku tidak ingin bila dia mampir untuk main kartu satu putaran atau scrabble. Aku katakan: “Tidak, Bu, yang bosan, mungkin bukan orang yang ibu kira”, aku menyesal telah mengatakan itu kepadanya, aku lanjutkan: “Aku mencintaimu, Ibu, dan aku ingin Ibu tahu bahwa aku bahagia, karena aku tidak sendiri lagi, bahwa aku bahagia karena aku sedang memeberikan makna pada hidupku, karena aku mencintai seorang laki-laki, karena aku mencintai Sebastien daan bahwa dia mencintaiku dan bahwa aku tidak melakukan apa pun tanpa dia dan bahwa dia tidak melakukan apa pun tanpa aku, dan bahwa aku tidur setiap malam di dalam pelukannya seperti Ibu dan Ayah dulu, karena dia tampan, karena dia pandai, dan karena dia mencintaiku di atas segalanya dan aku ingin agar ibu bertemu dengannya. Sangat sesaat, Ibu bilang bahwa dia ikut senang dan bahwa dia akan mengundang kami berdua untuk Natal, tetapi dia senang juga suatu hari nanti bermain kartu satu putaran atau scrabble bila aku tidak keberatan. Aku tidak merasa berkeberatan dan aku berjanji untuk bermain kapan saja dia mau bila Sebastien tak ada. Setelah itu, dengan Sebastien, kami berjalan-jalan di Saint-Germain-des-Pres, mengunjungi galeri-galeri lukisan. Sebastien seorang pelukis. Sesaat. Kadang-kadang Nyonya Menier datang ke kamarku di malam hari, aku tidak suka bila dia datang ke kamarku karena dia datang untuk memijat punggungku, dia bilang bahwa punggung bagus dipijat bila kita sakit punggung. Yang menjengkelkan adalah bahwa aku tidak sakit punggung, dan waktu aku bilang begitu kepadanya, dia menjawab bahwa itu tidak mengapa, bahwa pijatan untuk punggung dilakukan agar tidak mendapatkan sakit punggungdan bahwa di sini ada banyak orang yang memerlukan pijatan dan bahwa lebih baik mencegah daripada mengobati. Aku suka Nyonya Menier tapi aku tidak suka bila dia datang ke kamarku di malam hari. Beberapa saat. Waktu itu menjelang pertengahan musim gugur dan pada hari itulah kami bertengkar untuk yang pertama kalinya, kami melewatkan sore hari untuk mengunjungi galeri-galeri lukisan dan menjelang jam tujuhan, aku bilang kepadanya bahwa aku lelah, bahwa aku menikmati jalan-jalan tadi,semua butik itu, semua lukisan itu, bahwa aku baru saja mengenal sebuah dunia luar biasa berkat dia, tapi aku lelah, bahwa aku ingin pulang, bahwa aku ingin kami berdua
pulang ke rumahku, dia bilang ya, dia bilang kami berdua pulang ke rumahku membereskan kopor karena dia ingin agar aku tinggal di rumahnya malam itu juga. Aku bilang tidak, aku bilang aku tidak dapat pergi dari rumahku seperti itu. Aku perlu waktu untuk membiasakan diri dengan gagasn itu, bahwa aku tidak bisa meninggalkan kunci-kunci studioku tanpa merasa yakin…Di sinilah dia bilang bahwa aku tidak mencintainya, bahwa itulah bukti yang ditunggunya dari aku, bahwa aku tinggal di rumahnya saat itu juga. Kami pulang ke rumah masingmasing, aku sangat marah sesampainya di rumah, aku ingat, aku bikin telur-telur mata sapi dengan kacang-kacang kara, aku sangat geram, aku memasak kacangkacang kara saat aku geram, aku masih ingat, aku tidak memakannya, aku melemparkannya lewat jendela, kacang-kacang kara itu. Telur-telur mata sapi juga aku lemparkan lewat jendela. Aku terlalu jengkel untuk menelan apa pun. Bukan salahku, aku sangat mandiri, sangat jatuh cinta tapi sangat mandiri, aku suka berada di rumahku, semua orang butuh berada di rumahnya sendiri. Itu daerah kekuasaan kita, semua butuh, aku pikir, binatang-binatang juga. Dan lagi rumah Seabastien besar, begitu besar, begitu lengang, besar dan lengang, indah semua lukisan-lukisan itu, tapi begitu besar dan begitu lengang. Sesaat. Nyonya Menier bilang bahwa burung-burung semakin berkurang di taman, dia menghitung burung-burung, dia menyatakan bahwa ada lebih banyak tahun kemarin. Tidak mudah menghitung burung-burung di dalam taman, mereka bergerak, mereka bergerak, burung-burung di taman, ke mana-mana. Dia bilang bahwa hal itutidak merintanginya untuk melakukan pekerjaannya secara seksama, bahwa itu yang penting, dan bahwa walau bagaimanapun bisa jadi dia menghitung dua kali binatang yang sama, itu tidak menjadi soal mengingat bahwa hal itu mengimbangi mereka yang mungkin luput dari pengawasannya. Bahwa karena tidak ada peralatan yang tidak salah, dia harus intuitif. Nyonya Menier malang yang suka memijat punggung orang-orang! Beberapa saat. Waktu itu menjelang pertengahan musim gugur dan aku berjalan-jalan di dermaga. Saat itu malam hari, aku memperhatikan kapal-kapal dengan pancaran cahaya meluncur tenang di sungai, indah, aneh, dan ketika kapal-kapal itu menjauh, ketika cahaya-cahaya mereka tidak lagi menuntun langkah-langkahku, gelap kembali menelanku. Aku suka berjalan-jalan di dermaga malam hari, aku suka merasakan hangatnya air mata mengaliri ke dua pipiku di malam yang dingin, seperti milyaran air mata di atas milyaran pipi, aku suka itu. Sangat jauh, cahaya kota melukiskan wajahmu, kau tampan, kau sangat tampan, kau tidak tampan, tapi kau sangat tampan, terlampau tampan,kau lakilaki paling tampan, laki-laki paling tampan karena kau mencintaiku, aku mencintaimu, aku… Beberapa saat. Malam itu, aku pulang ke rumahku, aku tidur tanpa menelan apa pun, aku begitu merindukanmu, aku punya nomor teleponmu, aku bisa meneleponmu, aku tidak meneleponmu, aku tertidur, aku bermimpi, aku bermimpi bertemu kembali denganmu, aku bermimpi kita kembali bersama, kau meneleponku dan
kita kembali bersama, semuanya sederhana, indah karena aku mencintaimu, karena kau mencintaiku dan kita bertemu kembali. Sesaat. Keesokan harinya, aku ingat, aku sakit kepala, aku bangun, aku membuat kopi, aku minum obat, aku minum satu kopi lagi, atau dua, dan…dan telepon tetap membisu. Aku minum dari coffee maker, sesaat, aku berfikir:”Aku akan menghitung hingga seratus dan pada hitungan keseratus, telepon akan bordering dan di ujung sana itu kamu, kamulah yang akan menelponku untuk mengatakan kepadaku seribu kali kau mencintaiku”. Aku ingat betul. Waktu itu aku mulai menghitung dan semakin aku menghitung, semakin aku menghitung lambat-lambat. Aku pikir akan menghitung seumur hidupku, dan akhirnya ketika angka seratus, meskipun aku tidak menghendakinya, ke luar dari mulutku, telepon bordering, aku terlonjak, aku ingat, aku takut, aku terlonjak, aku berfikir: “Aku mohon, ibu, itu bukan ibu”. Aku menengadahkan ke langit-langit, dan aku berdo’a: “Tuhanku, dia dan bukan orang lain, aku mohon, bukan orang lain, terutama, bukan engkau, ibu!”. Terutama bukan ibu. Dan…waktu…dan waktu aku ingin mengangkatnya, deringan berhenti. Sesaat. Benar dia, benar dia yang telah meneleponku, aku tahu itu beberapa saat kemudian di siang hari ketika dia datang mengunjungiku, aku ingat, aku membuatkan kopi, tidak enak, aku tidak pernah merasa sedemikian santai di dalam sebuah dapur, tapi hari itu, aku ingat bahwa kopinya begitu tidak enak, sangat tidak enak. Kami minum semuanya, kemudian kami bercinta di depan cermin, waktu itu menjelang pertengahan musim gugur. Beberapa saat. Nyonya Menier memperhatikan batu-batu, dia suka memandang batubatu, itu salah satu pengisi waktu luang favoritnya, dia bilang bahwa batu-batu bergerak, dia bilang begitu, Nyonya Menier, bahwa batu-batu bergerak, bahwa bila kita sabar dan penuh perhatian, kita memperoleh imbalan, dia banyak mempunyai batu di rumahnya. Nyonya Menier, kecil dan besar, dia bilang bahwa batu-batu hidup, bahwa semua yang ada di muka bumi ini hidup, bahkan batu, dia suka memandangi batu-batu, itu sebabnya dia punya banyak batu di rumahnya, dia mengoleksinya. Kemarin, di taman, aku memandangi sebuah batu kecil di kaki sebuah pohon, aku memandanginya sepanjang sore hari; menjelang pukul lima, Maurice, tukang kebun, menghampiriku dan bertanya tentang apa yang aku lakukan di sana, berselonjor di tanah jam segini, maka aku jawab: “Aku memperhatikan batu itu, Pak. – Mengapa kau memperhatikan batu itu? Tanyanya. – Karena, jawabku, karena aku melihatnya bila dia bergerak. –Lalu? Lalu, dia bergerak?” Aku menjawab tidak, dia tidak bergerak, dia tidak pernah bergerak, tidak pernah. Maka, Maurice menendang batu itu itu dengan sepatu bootnya: “Kalau begini? Katanya, dia tidak bergerak sebaik ini kan, batu?”. Kemudian, dia pergi sambil terbahak. Aku benci laki-laki itu, aku membencinya. Beberapa saat.
Waktu itu menjelang akhir musim gugur, aku di bioskop bersama Sebastien, kami menonton film perang, kami sebenarnya pergi untuk melihat film percintaan, dan nyatanya kami berada di dalam ruangan di mana film perang diputarkan, kami masuk tanpa memperhatikan, kami salah masuk ruangan, jadi kami menonton film perang, sejenis super produksi Amerika dengan seorang laki-laki bertubuh besar, seseorang yang tubuhnya dipenuhi otot-otot yang membuat kita bertanya-tanya apa yang dilakukannya untuk dapat bergerak, seorang hero dengan senjata memenuhi tubuhnya, mungkin kita bisa bilang tukang dagang senjata, bazooka di kedua tangan dan sebilah pisau di antara gigi, atau sebaliknya, aku tidak begitu ingat lagi, semua yang aku ingat dengan pasti adalah dia membunuh semua orang. Aku ingat, kami pergi sebelum film berakhir, aku benar-benar tertekan, kemudian kami minum segelas bir. Sebastien merangkulku erat, aku takut, aku telah melihat film tolol itu dan tahu-tahu saja, sangat tolol, aku takut segalanya, orang-orang, perang, kehidupan, kematian, dan terutama tepat pada saat itu aku takut kehilangan Sebastien. Aku memandangnya lekat-lekat, dan aku berkata pada diriku bahwa aku benar-benar mencintainya, sebagai jarang mencintai seseorang, dialah mungkin laki-laki jodohku, dia akan memberikan aku banyak anak, dan aku tidak memikirkan itu sambil lalu, aku memikirkannya dengan sepenuh hatiku, aku rasakan sangat mendalam bahwa tampaknya tidak mungkin suatu hari hidup bersama laki-laki lain selain dia, seolah-olah laki-laki inilah yang dapat menyelamatkan aku dari segalanya. Sesaat. Aku mencintainya. Sesaat. Beberapa saat kemudian di malam hari, setelah makan sebuah pizza, kami pulang ke rumahku, lalu memasang satu music klasik dan keebahagiaan kami mencapai puncak yang langka di depan cermin, aku ingat, waktu itu menjelang akhir musim gugur. Sesaat. Pagi tadi, aku memandang kea rah taman melalui kaca jendela karena udara terlampau dingin di luar dan aku menghembuskan uap di kaca jendela. Lau aku menggambar seorang laki-laki di dalam uap, seorang laki-laki dengan sepatu kulit berwarna hitam, celana jeans dan jas beludru. Sangat sesaat. Setelah itu, uap menghilang dan laki-laki itu pun menghilang, maka aku menggambar kembali laki-laki di dalam uap di kaca jendela di lantai dasar, seperti itu hingga pukul sebelas tanpa henti. Itu wajar.
Sangat sangat sesaat.
Sangat sangat sesaat. Saat ini, aku sangat lelah, garis-garis wajahku menegang, aku memandangi diriku lama di dalam cermin dan aku lihat betul bahwa wajahku tidak segar, aku lihat betul kantung-kantung di bawah mataku, aku tidak tahu di mana dia temukan tanda bahwa aku kelihatan santai, aku, aku lihat betul bahwa
garis-garis wajahku menegang, aku tahu bahwa aku lelah tanpa mengindahkan apa yang dikatakan Nyonya Menier, tapi aku bukan satu-satunya di sini yang lelah dan yang punya kantung di bawah mata, bukan satu-satunya. Sangat sangat sesaat. Gara-gara suntikan itulah aku lelah, aku yakin benar. Beberapa saat. Waktu itu menjelang akhir musim gugur dan Sebastien membuka pameran pertamanya di sebuah galeri lukisan di jalan Sevres. Ada banyak sekali orang di dalam galeri itu, ini pameran pertamanya, orang tidak bisa bergerak lagi, orang-orang saling berdesakan, hingga trotoar. Sebastien tidak memperhatikan aku, ada begitu banyak orang di sekitar dia, terutama para wanita, dan aku merasa jemu duduk di tempatku mendengar celoteh-celoteh, setelah beberapa saat seorang lelaki menghampiriku untuk mengobrol. Kami tidak berbicara mengenai lukisan, laki-laki itu membuatku tertawa, Sebastien pun datang, Sebastien tidak tertawa, dia memintaku untuk mengikutinya ke trotoar. Di sana dia bertanya apakah aku menganggap diri sebagai seorang pelacur, aku terpana, aku mendengarkannya namun tidak mengerti apa pun, maka setelah beberapa saat aku bertanya kepadanya sebagai apa dia menganggap dirinya, dia dengan semua gadis-gadis di sekelilingnya, dia menatapku, dan kami diam beberapa lama seperti itu. Setelahnya dia bertanya apa yang aku pedulikan dengannya. Di sini, aku kembalikan pertanyaan itu kepadanya, maka dengan sikap mencemooh Sebastien membalikan tubuhnya menuju galeri dan, tanpa berbalik melhatku, dia menghilang dikeramaian orang, aku diam terpaku beberapa detik di atas trotoar sebelum giliranku untuk pergi. Malam itu, adalah pertengkaran kami yang kedua, yang paling berat, aku ingat bahwa kami tidak saling bertemu tidak pula saling menelepon selama tiga hari. Aku sangat menderita, aku tidak berhenti berputar-putar di dalam apartemen. Pada akhir hari ketiga, aku pergi berlari di depan galeri dengan harapan melihatnya; dia di sana, dia tidak melihatku, aku di trotoar di seberang dan dia di dalam galeri sedang berbincang dengan orang-orang. Aku diam mengintipintipnya lebih dari satu jam, hingga dia ke luar. Hari telah larut. Dia berhenti di hadapanku dan dia bertanya kepadaku tentang apa yang aku lakukan di situ. Jadi aku bilang kepadanya bahwa aku datang untuk mentraktirnya minum kopi, begitu saja, sambil lewat, dan mengetahui kabarnya. Aku membeku kedinginan. Kami pun minum kopi,secangkir dekafein, aku ingat, waktu itu menjelang akhir musim gugur, kami duduk berhadapan, dia tidak berbicara, dia memandang ke luar, dia melihat orang-orang yang lewat menyusup di dalam mantel mereka dan dia tidak berbicara, aku, aku berbicara, aku berbicara tentang apa saja, apa pun yang lewat di kepalaku, aku berusaha mendapatkan perhatiannya tapi tidak terjadi apa pun, aku tahu dia tidak mendengarkan, aku tidak mendapatkan apa pun, dia juga tidak. Aku membicarakan segala hal, aku membicarakan omong kosong, namun itulah caraku untuk mengatakan kepadanya bahwa aku mencintainya, bahwa dialah laki-laki jodohku, aku telah berusaha untuk mengatakan kepadanya hal itu dengan kata-kata yang lebih tepat, tapi aku tak sanggup, aku tak sanggup, kata-kata itu tidak ke luar. Nyonya Menier kadangkadang mengira aku angkuh, aku tidak angkuh, tidak lebih dari umumnya orang-
orang, mngkin aku agak bangga, tapi bukan angkuh. Waktu itu, dia di sana di hadapanku dan aku tak bisa membuat mengerti, atau lebih tepatnya ya, dia mengerti maksudku, tapi dia tidak menerima caraku untuk membuat mengerti, aku pikir begitu, aku pikir dia mungkin ingin mendengarkan aku mengatakan hal-hal yang orang tidak pernah katakan kepadanya, semacam pernyataan cinta yang orang lakukan hanya satu kali dalam hidupnya, dia ingin mendengar semacam itu, dan aku tak sanggup, aku seharusnya patuh, menelanjangi diri, menyerahkan diri dan bertekuk lutut dan memohon maaf kepadanya karena tidak melakukannya segera. Dia hanya menunggu itu dan aku tak sanggup, tidak terungkapkan. Waktu itu menjelang akhir musim gugur, kami duduk berhadapan namun dia di tempat lain. Beberapa saat. Kadang-kadang, di malam hari, bila Nyonya Menier tidak datang menggangguku di kamarku, aku bermain kartu keberhasilan, aku tidak tahu caranya, jadi aku bermain kartu yang aku karang, seringkali tidak berhasil, padahal ada satu kartu yang sering aku balikan, itu kartu jack hati, jack pencinta, hatiku senang saat membalikannya, jack pencinta, karena pada saat yang tepat, aku merasa bahwa Sebastien di suatu tempat ingat kepadaku. Aku merobek jack skop kecil-kecil dan apa aku memasukan ke dalam kloset. Beberapa saat. Waktu itu menjelang akhir musim gugur, kami duduk berhadapan, dan dia, tampak jelas, di tempat lain, mungkin bersama perempuan lain; selama beberapa saat, aku mulai berpikir seperti itu, aku merasa takut, dan seandainya dia sudah bersama perempuan lain? Matanya menghindari aku, mungkin itu sebabnya? Aku ingat, tangisku nyaris meledak, perutku melilit, aku sulit menahan air mataku, namun harus menahannya, kurasa harus menahannya, jangan menangis di depan orang, itu cara terbaik untuk membuat mereka kabur, aku pikir, yang terbaik, aku pun tersenyum, aku tertawa, aku ingin menangis, dan aku tertawa, aku berbicara tentan jadwal kegiatanku kepadanya, bahwa aku sangat sibuk, aku berusaha untuk tidak menampakkan sedikitpun kekhawatiran, aku rasa aku kelihatan tenang, walau bagaimanapun, aku mencoba, karena aku ingat bahwa kedua tanganku gemetar, aku keihatan meyakinkan tetapi aku gemetar, dan di luar, orang-orang menyusup di dalam mantel mereka, membungkuk kedinginan, lewat di depan kaca jendela tanpa merasa khawatir dengan kegemetaranku, aku tidak suka orang-orang itu, aku membenci mereka, gila bagaimana orang dapat membenci bila orang tidak mencintai kalian! Aku kedinginan, aku takut, aku berkeringat, aku tak sanggup lagi, maka, merasa putus asa, aku meminta bon dan membayar kopi, aku bilang bahwa aku ingin pulang, bahwa aku lelah, tidak benar, tentu saja, aku sama sekali tidak lelah, keluar begitu saja dari mulutku, tanpa bicara, Sebastien pun berdiri, tetap dingin, berani sumpah bahwa saat itu aku ingin menampar pipiku, aku begitu takut, di luar, kami berjalan hingga kereta bawah tanah, aku gemetar, kami mengambil jurusan yang sama. Wagon-wagon penuh, orang-orang menyerupai gambar-gambar, orang-orang tidak ada, orang-orang adalah gambar-gambar tanpa nyawa. Aku duduk di sampingnya dan di hadapanku, di sekitarku, orang-orang tidak ada, hanya ada dia di dunia ini, dia dan aku dan aku takut. Kami tinggal di jurusan
kereta bawah tanah yag sama, aku di stasion 4 dan dia di stasion ke 8, tatapannya menghilang di peron depan, dan bila aku pulang ke rumahku seperti yang aku katakana di kafe, hanya tersisa beberapa menit lagi berada di sampingnya. Aku sakit perut, apakah yang mungkin terjadi di stasion ke 4? Akankah aku mempunyai kekuatan untuk turun atau kelemahan untuk melanjutkan? Mungkinkah ia mengikutiku bila aku turun? Apakah mungkin dia tidak turun bila aku melanjutkan? Aku kedinginan, tinggal tiga stasion dan tidak satu kata pun ke luar dari mulutnya, dua stasion, aku ingin memeluknya, satu stasion, sensasi aneh mencekam tubuhku, seolah-olah para ahli bedah tak kasat mata memotongku dalam sayatan-sayatan kecil, dan dalam suara berisik yang bagiku tampak tak nyata, kereta bawah tanah tak bergerak, pintu-pintu terbuka dan Sebastien, wajah tetap menghadap kea rah peron lainnya diam membisu. Aku pun mengumpulkan sisa-sisa kekuatanku dan aku berdiri, aku turun ke peron, tidak merasakan desakan orang-orang. Satu-satunya hal yang menggelisahkanku, satu-satunya, bahwa Sebastien berada di belakangku. Selama kereta bawah tanah di perhentian, aku tinggal di peron tanpa melihat ke belakang, berharap pada setiap sepuluh detik untuk merasakan hembusan nafasnya pada tenkukku, tangannya di atas pundakku atau lengannya melingkar di pinggangku, namun tak ada apa-apa, tak ada apa-apa, pintu-pintu tertutup kembali dan kereta bawah tanah menghilang di perut bumi tanpa lirikan mata Sebastien kepadaku. Kurasa aku tinggal entah berapa lama di atas peron, tak bergerak, seseorang berbicara kepadaku, aku tak menanggapinya. Setelah itu, aku ke luar ke jalan, aku luntang lantung di jalan entah berapa lama. Di suatu waktu, aku masuk ke dalam toko penjual rokok untuk membeli rokok, aku berbicara kepada wanita penjual rokok, aku berbicara tentang Sebastien, dia tidak mengenalnya dan aku tidak mengenal wanita itu, maka dia meminta agar aku pergi karena antrian panjang di belakangku, kurasa dia tidak terlalu ramah, aku menghisap beberapa batang di jalan dan setelah itu, aku pulang ke rumahku. Waktu itu menjelang akhir musim gugur. Beberapa saat. Aku katakan kepada Nyonya Menier bahwa aku duduk di rumput yang dingin untuk memandangi sebuah batu, bahwa aku memperhatikannya berjamjam. Nyonya Menier bertanya kepadaku apakah aku melihatnya bergerak, aku katakana tidak, bahwa batu tidak pernah bergerak, bahwa dia hanya bergerak ketika Pak Maurice menendangnya, aku katakana kepada Nyonya Menier bahwa aku tidak menyukai Pak Maurice, dia juga tidak menyukainya, dia bilang bahwa dia seorang lelaki tua menyebalkan. Aku katakan kepada Nyonya Menier untuk tidak mengatakan hal itu kepada Sebastien bila dia datang menjemputku, dia akan betul-betul jengkel. Nyonya Menier bilang bahwa sebaiknya aku beristirahat, tapi aku tidak ingin beristirahat, Sebastien begitu mencintaiku, gila sebesar apa dia mencintaiku, aku segalanya untuk dia, kecintaanku, aku juga, aku kecintaannya… Kecintaannya, kecintaannya… Terdengar bunyi lonceng. Setelah beberapa saat. Itu, itu Pak Roger, itu Pak Roger yang membunyikan lonceng. Pak Roger, tukang masak, dia membunyikan lonceng untuk memberitahukan bahwa saatnya
makan, aku tidak lapar, Pak Roger tidak suka bila aku tidak lapar, Nyonya Menier juga tidak suka itu, tapi aku tidak suka makan tanpa rasa lapar, dan saat-saat ini, tidak bisa, pasti karena suntikan-suntikan itu, sejak awal minggu ini, aku tidak lagi diberi suntikan yang sama, Nyonya Menier bilang bahwa vaksin yang baru ini lebih ampuh. Aku tidak tahu, selain itu yang menghilangkan nafsu makanku, aku kira. Mudah-mudahan Sebastien menjemputku, mudah-mudahan…mudahmudahan. Di mana kamu? Di mana kamu, cintaku, keksihku? Setelah saat panjang. Waktu itu menjelang akhir musim gugur dan aku sendirian di rumah, sendirian, aku ingin menjerit, aku ingin tidur, aku ingin berlari, aku ingin semua itu sekaligus dan aku tak ingin apa-apa ari semua itu. Aku menangis, aku memecahkan semua yang ada di depanku, tampaknya aku menjadi gila, aku mengangkat telepon dan aku melepon semua nomor, tak ada jawaban, aku menelepon setumpuk nomor, tidak seorang pun di sana, tidak ibuku tidak pula teman-teman perempuanku, aku banyak teman perempuan, tak seorangpun. Aku menelepon nomor sembarang, aku gemetar, aku merasa begitu sakit, aku mendengar suara seorang perempuan tua dan aku berbicara kepadanya, aku ceritakan kisahku, kereta bawah tanah, took penjual rokok, semua, aku ceritakan semua kepadanya, dari awal hingga akhir, aku menangis dan menceritakan kisahku, dia tidak mengerti apa-apa, dia tidak fasih berbicara baha Prancis dia juga tuli, dia tua, aku putus asa, lalu aku letakkan gagang telepon dan aku turun di larut malam, di jalan, aku nyaris tertabrak sekitar setengah lusin kali. Hujan, aku kedinginan, aku kepanasan, aku berjalan di tengah jalanan, aku berlari dalam genangan air sambil berteriak, suatu saat aku terjatuh, lututku nyeri, seorang laki-laki membantuku berdiri dan dia bertanya seandainya dia dapat berbuat sesuatu untukku. Kurasa aku menangis tersedu-sedu, dia memelukku, aku berteriak, dia membuatku muak, aku meronta, aku berlari lama, sangat lama dan ketika aku berhenti, tak bertenaga, aku ada di depan sebuah bar, aku berhenti beberapa saat di depan bar itu, begitu saja, di bawah hujan, tak tahu apa yang akan kukerjakan, dan kemudia setelah sesaat, basah kuyup, aku masuk ke dalam bar itu, di belakang meja bar ada seorang laki-laki, di dalam ruangan ada beberapa pengunjung, pasangan-pasangan, kelompok-kelompok laki-laki, lakilaki sendiri-sendiri, semua memandangku, aku duduk di depan sebuah meja kosong dan aku memesan beberapa minuman keras, aku ingin sesuatu minuman yang keras, aku memesan satu whisky, aku minum satu whisky, lalu satu lagi, dan masih satu lagi, hingga aku benar-benar mabuk. Di suatu saat, seorang lakilaki menghampiriku dan berbicara, aku tak dapat melihatnya dengan jelas, agak samar, aku tidak menangis lagi, dia duduk semeja denganku, aku tak tahu lagi apa yang kami bicarakan, dia juga minum. Satu hal yang walau bagaimanapun menarik perhatianku, dia memiliki bola mata berwarna pucat, biru pucat, sebaliknya sulit untuk memiliki bola mata lebih biru pucat daripada itu! Menjelang tengah malam, aku berdiri untuk menelepon, aku katakana kepada laki-laki itu yang tidak ingin melihat aku pergi yang walau bagaimanapun aku harus menelepon. Aku merasa sangat payah, walaupun atas bantuannya, aku menemukan kabin telepon, dengan kata lain, kurasa keadaannya tidak lebih baik dari aku. Aku menelepon Sebastien, hal pertama yang dikatakannya, adalah:
“Kamu mabuk”. Aku bilang: “Aku tahu”. Lalu, dia bertanya di mana aku, aku katakana: “Aku tak tahu”. Kemudian, aku tak begitu tahu lagi, aku tahu kami bertengkar dan dia menutup telepon. Aku meneleponnya kembali, saat itu aku pasti mencaci-makinya sebagai bajingan atau apa pun sejenisnya, kurasa dia tidak senang, kemudian dia menutup kembali teleponnya da aku meneleponnya tiga kali berturut-turut untuk mengatakan kepadanya apa yang aku rasakan. Ketika aku mabuk, aku memaki orang-orang, bukan salahku, itu ke luar sendiri. Aku katakana bahwa aku akan meneleponnya seperti itu sepanjang malam, bahwa itu akan membuatnya jengkel, dia menjawab bahwa dia akan mencabut kabel teleponnya, aku katakana bahwa tidak ada gunanya melakukan itu, bahwa itu akan berakibat buruk, aku takut dia melakukannya, hal yang tak kuhindari sekali lagi aku memakinya; dia menutup kembali telepon dan aku kembali minum dengan laki-laki itu. Menjelang pukul tiga pagi, semakin mabuk aku menelepon kembali Sebastien, nada suara teleponnya sibuk, aku pikir dia mencabut kabelnya, dia tidak mencintaiku lagi, aku sakit, aku muntah, aku meraung berjongkok di depan kamar kecil dan aku muntah, aku kedinginan dan keringatku menetes besar-besar, saat laki-laki itu datang mencariku, kami ke luar dari bar, dia menopangku, aku bertanya kepadanya ke mana kita pergi: “Melihat lukisan-lukisanku” jawabnya, dia juga seorang pelukis. Aku bersamanya di tempat tidurnya sedang bercinta, aku tidak bicara sepatah katapun, aku tidak bicara apa-apa, aku tidak mengerti apa-apa, dia meniduriku dan aku tidak berkata apa-apa, aku memandangi tembok-tembok, kurasa aku mati, aku tak merasakan apa pun semuanya berputar di sekelilingku, dan aku semakin tak mengerti apa-apa. Setelah itu, ketika dia berhenti, air mata mengalir lembut di pipiku, aku tak punya kekuatan lagi untuk tersedu, aku ,menangis dalam hening, diam-diam, mata tertutup. Dia tidak bergerak, dia memandangiku, dia meraih tanganku, dia sangat jengah, merasa kikuk, tapi pasti tidak sekikuk aku, aku bangun dengan payah dan aku pergi mandi. Kemudian, aku berpakaian dan ke luar dari rumahnya tanpa satu patah kata pun tidak pula lirikan, aku langsung pulang ke rumahku dengan sensasi yang tak mengenakkan, pertama-tama karena telah dikhianati, dan kedua, tidak dapat berbuat apa yang seharusnya. Menyakitkan mempunyai perasaan telah melakukan sesuatu yang menyakitkan. Waktu aku sampai, aku mandi lagi, aku diam sepanjang pagi buta hingga pukul 10.30. menjelang pukul sebelas Sebastien meneleponku, dia tidak tidur semalam suntuk, dia meneleponku sepanjang malam hingga pukul Sembilan pagi, aku membisu, dan dia bertanya di mana aku tidur, aku tak tahu harus bilang apa, aku tetap membungkam, dia bilang bahwa dia pikir aku tidur di rumah seorang lakilaki, bahwa dia yakin mengingat keadaanku malam itu, aku katakana tidak, aku tidur di rumah seorang perempuan, titik, bukan dengan seorang laki-laki. Aku sulit berbohong, aku memang sulit berbohong, setelah beberapa saat, aku katakana yang sebenarnya, apa yang telah aku lakukan, apa yang telah aku lakukan gara-gara dia, karena dia telah mencabut kabel telepon dan bahwa dia telah mengabaikan aku. Ketika aku menelepon untuk yang terakhir kalinya, sambungan nada terus sibuk, lalu aku tanyakan kepada laki-laki itu bila sambungan diputus dapat memberikan nada sibuk dan laki-laki itu menjawab ya, itulah sebabnya aku tidak menelepon kembali. Di sinilah Sebastien menangis. Dia
bilang bahwa bila telepon bernada sibuk itu berarti seseorang sedang menelepon, bahwa dia tidak pernah mencabut kabel telepon, bahwa mungkin dia tidak akan pernah melakukan lagi hal serupa. Aku mendengar isak tangisnya dari ujung telepon dan aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, aku merasa sakit, mengira dia tidak mencintaiku lagi, aku ingin menghilang dan dia meneleponku sambil menangis untuk mengatakan kepadaku bahwa dia tidak tidur semalam. Aku merasa aku menjadi gila, isakannya mencabik hatiku, aku tak tahu lagi harus berkata apa tak tahu harus berbuat apa. Hari itu, aku tahu bahwa aku adalah perempuan seumur hidupnya, aku bersumpah tidak akan pernah mencintai lakilaki lain selain dia, hari itu, aku kira aku menjadi gila. Aku ingin merobek-robek perutku. Di ujung telepon sana, aku mendengarnya menangis. Setelah beberapa saat, dia bertanya kepadaku apakah aku menginginkan laki-laki itu atau dialah yang memanfaatkan keadaanku, aku katakana aku tidak tahu lagi, bahwa aku ingin melupakannya, bahwa aku ingin agar hal tersebut tidak pernah terjadi, dia ingin membunuh laki-laki itu, dia ingin agar aku membawanya ke bar itu untuk membunuh laki-laki itu, laki-laki yang tak kukenal dan aku tak mempunyai alas an untuk bertemu dengannya di suatu hari, laki-laki yang dalam pikiranku tak lebih dari sebuah siluet, sebuah bayangan tanpa wujud. Beberapa saat. Waktu itu menjelang akhir musim gugur dan untuk memulai kembali semuanya dari nol, aku tinggal di rumahnya, aku melakukan semampuku agar dia bahagia, aku lembut, aku ingin dia melupakannya, aku begitu mencintainya, dia begitu mencintaiku hingga tidak ada hal-hal yang terlambat untuk diperbaiki, dia mengurus tapi aku merawatnya, aku juga mengurus dan aku tidak mengerti kenapa. Aku tidak sebegitu khawatir. Kami bercinta lebih sering ketimbang sebelumnya, dan kisah menyedihkan itu sudah menjadi milik masa lalu, bulanbulan berlalu dalam kedamaian, lukisan-lukisannya terjual baik, kami tidak kekurangan apa pun, semuanya luar biasa kecuali kesehatannya yang tidak membaik, tapi kami melakukan segalanya agar supaya dia cepat sembuh dari penyakit misterius itu. Lalu, suatu hari, satu setengah tahun kemudian, menjelang akhir musim gugur, aku sedang melangkahkan kaki di jalan, seorang laki-laki mendekatiku, seorang laki-laki seperti mayat, seorang laki-laki yang tak kukenal, tatapannya kuat, bola matanya berwarna pucat, biru pucat, sepertinya sulit untuk memiliki bola mata lebih biru pucat daripada itu, dia menggemgam tanganku lembut dan memohon maaf tiga kali, bahwa dia menyesali, bahwa dia menyesal telah menyeretku ke dalam masalah itu, tetapi bahwa itu bukan salahnnya mengingat waktu itu dia tidak dapat merasa yakin. Kemudian dia mengatakan selamat berpisah kepadaku sebelum menghilang di sudut jalan. Aku tidak mengerti apa-apa. Aku tidak mengerti mengapa laki-laki setengah mati ini datang berbicara kepadaku. Sensasi yang tidak nyaman, maka aku berpikir: “Laki-laki ini gila kenapa dia berbicara kepadaku?”. Lalu tiba-tiba aku duduk di sebuah undakan dan aku begitu takut, tubuhku gemetar, aku diam seperti itu cukup lama. Laki-laki yang baru saja bertemu denganku hanyalah sebuah siluet, bayangan tanpa wujud yang bertemu denganku di dalam bar itu, di malam yang dingin itu di mana aku mabuk. Maka malam itu, sesampainya di rumah, aku
menceritakannya kepada Sebastien, dia menatapku, dan tidak berkomentar apa pun. Sesaat. Kami diam seperti itu lama tanpa berbicara, hanya saling memandang. Waktu itu menjelang akhir musim gugur. Beberapa saat. Aku suka berjalan-jalan. Sesaat. Aku suka itu, aku suka berjalan-jalan, aku suka sekali berjalan di taman di atas batu-batu kecil, berbunyi saat kau berjalan di atasnya, ada orang-orang yang menghampirimu dan kita berjalan bersama di taman dan…dan batu-batu kecil di bawah sepatu itu, membangkitkan gambaran-gambaran pada pikiranmu, gambaran-gambarang dan renungan-renungan, membangkitkan semua itu pada dirimu batu-batu kecil saat kau berjalan di atasnya, dan juga rasa nyaman…itu membuatmu tenggelam kembali di dalam waktu, terkadang, kau menangis. TAMAT