PENYIKSAAN:
Mengukur Komitmen Indonesia terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia
EDISI MEI-JUNI 2010
www.elsam.or.id
daftar isi editorial
04
No rack can torture me Peringatan 23 tahun ditandatanganinya Konvensi Internasional menentang Penyiksaan bukan sekedar pengingat bahwa penyiksaan dalam interogasi harus dihapuskan. Namun kesiapan menghadapi tantangan besar Teknologi Siksa yang semakin 'humanis': siksaan yang tak menyiksa namun mencipta trauma
laporan utama
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mulai menyoroti perlakuan negara terhadap para tahanan di penjarapenjara. Indonesia jadi salah satu yang terpantau (dok: blogspot.com).
Kolom laporan kegiatan
19-20
Pelatihan-pelatihan yang diadakan ELSAM di tahun 2009
resensi
Bentuk pemidanaan menjadi masalah di mana saat ini berbentuk pemenjaraan dan penjeraan. Pemidanaan dalam bentuk diversi maupun restorative justice belum diakui dalam perundangundangan nasional. Padahal bentuk diversi atau pengalihan bentuk pidana dari kurungan menjadi bentuk lainnya dapat mengurangi problematika kapasitas tahanan dalam rutan maupun lapas.
Refleksi 12 Tahun Ratifikasi CAT Melalui ratifikasi CAT Indonesia memiliki kewajiban menyampaikan laporan dalam periode dua tahunan. Mekanisme ini dibangun oleh komite atau badan yang bersangkutan untuk memantau kemajuan penerapan kewajiban negara sebagaimana tertera dalam perjanjian.
21-23
Pertanggungjawaban Kekejaman, Timor Leste, dan Lonsum
profil elsam
5 - 12 Kondisi Tempat Penahanan di Pemasyarakatan: Quo Vadis Implementasi Regulasi Pencegahan Penyiksaan di Indonesia
24
Pelaksanaan Rekomendasi Komite PBB Menentang Penyiksaan: Mengukur Komitmen Indonesia terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia Komite mencatat bahwa reformasi kelembagaan kepolisian merupakan satu langkah yang harus diambil pemerintah. Reformasi ini penting guna menghapus praktik-praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang yang meluas.
13-15 nasional Kriminalisasi Masyarakat Adat Silat Hulu: Konspirasi Melumpuhkan Perjuangan Masyarakat Adat Di wilayah konflik perkebunan , umumnya petani mengalami kekerasan, terusik, terpinggirkan bahkan dipenjara. Pasal-pasal dalam UU Perkebunan digunakan untuk mengantar petani ke bui.
internasional
16-18
Penjara Rahasia: Memberantas Terorisme dengan Teror Tempat-tempat penahanan di Indonesia diharapkan menjadi pembinaan yang adil bagi penghuninya, sehingga tidak memunculkan lagi tempat tahanan mewah dan kumuh (dok: detik.com).
Keadaan darurat, seperti perang melawan terorisme dan konflik bersenjata seringkali dijadikan justifikasi meskipun sangat lemah, sebagai kondisi yang memperbolehkan penggunaan penjara rahasia
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
suara pembaca
www.elsam.or.id
Redaksional
Lawan Teror Kebebasan Sipil
Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi: Agung Putri Wakil Pemimpin Redaksi: Amiruddin al Rahab Redaktur Pelaksana: Widiyanto Dewan Redaksi: Agung Putri, Amiruddin al Rahab, Widiyanto, Indriaswati Dyah Saptaningrun, Otto Adi Yulianto Redaktur: Ikhana Indah, Betty Yolanda, Indriaswati DS, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyu Wagiman Sekretaris Redaksi: Triana Dyah
Akhir-akhir ini kita disuguhi serangan anarkis yang sudah kelewat batas. Mulai dari pembubaran pertemuan aspirasi anggota DPR RI oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan FPI Banyuwangi, pelemparan bom Molotov ke kantor Majalah Tempo, pembunuhan wartawan di Bali, sampai rencana pengundangan Rencana Peraturan Menteri (RPM) Konten Multimedia. Semua membuat kehidupan kita menjadi resah. Pesan teror politik itu cukup jelas: mengancam kebebasan sipil! Semua elemen masyarakat harus memerangi setiap teror terhadap kebebasan sipil. Karena dengan kebebasan sipil, demokrasi dan hak asasi kita akan terjaga dan terawat. Salam,
Sirkulasi/Distribusi: Khumaedy Desain & Tata Letak: alang-alang
Wiwid-Depok
Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Alamat Redaksi: Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510, Telepon: (021) 7972662, 79192564 Faximile: (021) 79192519 E-mail:
[email protected],
[email protected] Website: www.elsam.or.id.
Redaksi senang menerima tulisan, saran, kritik dan komentar dari pembaca. Buletin ASASI bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Kami juga menerima pengganti biaya cetak dan distribusi berapapun nilainya. Transfer ke rekening
Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat dikirimkan via email di bawah ini:
[email protected]
ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar Minggu No. 127.00.0412864-9
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI 2010
03
editorial
No rack can torture me No rack can torture me Emily Dickinson No Rack can torture meMy Soul - at LibertyBehind this mortal Bone There knits a bolder OneYou cannot prik with sawNor pierce with ScimitarTwo Bodies - therefore be Bind One - The Other flyThe Eagle of his Nest No easier divest And gain the Sky Than mayest Thou Except Thyself may be Thine Enemy Captivity is ConsciousnessSo's Liberty.
L
ebih dari dua dasawarsa lalu siksa dalam interogasi sepakat untuk dihapus, menjadi janji internasional negara bangsa. Kini Rwanda menjadi negara ke 146 yang menyatakan diri sepakat dengan konvensi menentang penyiksaan.
Siksa mungkin cuma terjadi di negara otoriter yang tegak bukan karena hukum dan demokrasi. Namun penjara Abu Ghraib menggugah dunia bahwa siksa dan modernisasi bukan berseberang jalan. Justru, teknik siksa bisa dimodernisasi. Berbagai universitas terkemuka di Amerika Serikat memperkenalkan siksa sebagai Teknologi. Eksperimen ilmu psikologi menawarkan teknik siksa yang 'tidak menyiksa'. Menerangi tahanan dengan lampu berkekuatan watt tinggi atau meneteskan air setiap detik ke kepala tahanan bahkan sekarang sudah menjadi teknologi kuno. Peringatan 23 tahun ditandatanganinya Konvensi Internasional menentang Penyiksaan bukan sekedar pengingat bahwa penyiksaan dalam interogasi harus dihapuskan. Namun kesiapan menghadapi tantangan besar Teknologi Siksa yang semakin 'humanis': siksaan yang tak menyiksa namun mencipta trauma. Maka dengan cara apa kita memberi jarak antara interogasi dan penyiksaan?
Agung Putri Direktur Eksekutif
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
04
EDISI MEI-JUNI 2010
laporan utama Kondisi Tempat Penahanan di Pemasyarakatan: Quo Vadis Implementasi Regulasi Pencegahan Penyiksaan di Indonesia Oleh Gatot Goei (Deputi Direktur Center for Detention Studies)
K
etika Tim Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum melakukan inspeksi mendadak dan menemukan fasilitas mewah di ruang penjara pebisnis Arthalyta Suryani alias Ayin di Rutan Pondok Bambu beberapa waktu lalu, seorang tahanan lain memanfaatkan momen tersebut untuk mengungkapkan fakta miring kondisi di penjara. Kepada media, tahanan itu membeberkan adanya tindak penyiksaan dan penempatan tahanan di ruang isolasi atau “sel tikus” oleh petugas. Begitulah keadaan penjara kita. Banyak yang tidak terekspose jika di dalamnya, selain fasilitas mewah, juga ada ruang isolasi tertutup alias “sel tikus”. Kondisi yang sama rata-rata juga terjadi di rutan lainnya. Salah satu bukti datang dari pengakuan seorang wartawan senior yang menceritakan kondisi penahanan di Rutan Medaeng, Jawa Timur. Dalam bukunya berjudul NAPI 973 Hari; Menguak Kehidupan di Balik Penjara, dijelaskan tentang keberadaan “sel tikus” atau ruang isolasi. Pada prakteknya ruang ini menjadi tempat “efektif” untuk membuat tahanan menjadi jera. “Sel tikus” yang berada dalam rutan umumnya sempit dan kotor. Kadang ruangan itu diperuntukkan untuk lebih dari satu orang sehingga memungkinkan terjadi penganiayaan antar tahanan di dalam “sel tikus”. Walhasil, para terhukum dalam “sel tikus” merasakan efek jera ketika ditempatkan dalam ruang isolasi tersebut. Kisah lain dari keadaan “sel tikus” di atas adalah pengakuan
Pemerintah terhadap kondisi over kapasitas yang terjadi di Rutan dan Lapas. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia beberapa kali menyatakan prihatin atas kondisi tersebut. Kondisi over kapasitas menurutnya berdampak pada bertumpuknya manusia di satu ruang, keterbatasan pembinaan, dan rentan terjadinya perkelahian serta tindak kekerasan lainnya. Pemerintah pun telah menyusun kebijakan untuk menyelesaikan masalah ini. Permasalahan lain terkait dengan keberadaan petugas yang juga menjadi salah satu masalah mendasar bagi pelaksanaan Pemasyarakatan. Kesejahteraan yang tidak seimbang dengan kinerja petugas berdampak pada korupsi atau “komersialisasi” di dalam Lapas dan Rutan. Untuk menghindari hukuman dalam “sel tikus”, misalnya, seorang tahanan atau narapidana dapat menyuap petugas. Metode yang dilakukan dengan cara membeli ruang yang layak huni sehingga terhindar dari tidur yang bertumpuk-tumpuk. Untuk mendapatkan hiburan, berjudi, dan narkotika serta mengurus hak-hak lainnya, tahanan atau narapidana dapat memperolehnya dengan cepat melalui pemberian uang kepada petugas. Selain itu, tindak kekerasan petugas terhadap tahanan atau narapidana kerap timbul dari ketidakpahaman petugas. Petugas banyak yang tidak dapat memisahkan mana “tindak kekerasan” (repressive) yang diperbolehkan dan mana tindak kekerasan yang tidak diperbolehkan. Umumnya petugas menganggap pemberian hukum berupa lompat jongkok,
hormat bendera hingga dua jam, membentak, mencaci maki, meminta tahanan atau narapidana berhuling-guling, menampar, memukul, dan menendang merupakan bentuk treatment dari petugas. Permasalahan di atas jelas merupakan bagian tindak penyiksaan, perlakuan keji dan merendahkan martabat manusia yang sampai saat ini belum teratasi. Kesaksian mantan Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), Rahardi Ramelan dalam bukunya Cipinang Desa Tertinggal, Baharmi dalam bukunya NAPI 973 Hari, Ahmad Taufik dalam bukunya Penjara; “the Untold Stories” dan Kathryn Bonella dalam bukunya berjudul Hotel Kerobokan; The Shocking Inside Story Of Bali's Most Notorious Jail merupakan kisah nyata terkait dengan kehidupan di dalam penjara (Lapas dan Rutan). Keempat buku ini menceritakan fakta bagaimana tahanan atau narapidana diperlakukan dengan kejam, direndahkan martabatnya, dan mengalami diskriminasi. Perbaikan dari Permukaan hingga ke Akar Uraian di atas sebenarnya merupakan masalah-masalah yang terjadi dan telah diketahui oleh umum. Sudah tidak menjadi rahasia lagi apabila ada tahanan atau narapidana yang mendapatkan perlakuan istimewa, peredaran narkotika, adanya pungutan liar, tindak kekerasan, komersialisasi hak-hak lainnya serta fasilitas yang serba mewah dan kurang memadai di dalam Rutan maupun Lapas.
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI 2010
05
laporan utama
Tempat-tempat penahanan yang penuh membuat kondisi narapidana semakin tertekan dok: pranaindonesesia.wordpress.com.
Ada kenyataan diskriminatif dalam perlakuan petugas terhadap tahanan. Jika seorang tahanan berasal dari kalangan dengan tingkat ekonomi dan sosial yang kuat, maka perlakuannya cenderung akan diistimewakan. Lain halnya jika tahanan berasal kalangan masyarakat miskin, bisa jadi dia akan diperlakukan yang berbeda. Sayangnya hingga saat ini penyelesaian masalah tersebut oleh Pemerintah masih sebatas kebijakan pada ranah fenomenal. Jika timbul masalah yang sifatnya kasuistis, yang terjadi masih sebatas pemberian tindakan disiplin terhadap petugas yang diketahui melakukan pelanggaran. Cetak Biru Pembaruan Pelaksaan Sistem Pemasyarakatan telah menggariskan bahwa tindakan disiplin saja tidak cukup untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh petugas. Tindakan disiplin memang perlu tetapi harus diikuti dengan perubahanperubahan pada ranah strategis, yakni: peningkatan sumber daya manusia, kelembagaan dan pengawasan untuk mencegah terjadinya kasus-kasus penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya. Terdapat dua hal yang harus diperbaiki dalam ranah sumber daya manusia: rekruitmen dan ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
06
EDISI MEI-JUNI 2010
pendidikan dan latihan petugas. Pertama, rekruitmen pada saat sekarang tidak memfokuskan pada keharusan petugas dalam memahami Pemasyarakatan dan Hak Asasi Manusia. Mereka diterima sebagai pegawai Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan hanya mendapatkan arahan umum terkait dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Alhasil, para petugas tidak memahami prinsip perlakuan terhadap tahanan dan Narapidana yang berlaku secara nasional maupun internasional. Oleh karena itu rekruitmen semacam ini harus dirubah dan disesuaikan dengan Standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners (SMR) yang mengharuskan petugas berminat dan menguasai ilmu kepenjaraan (pemasyarakatan). Kedua, pendidikan dan latihan lebih banyak berorientasi pada bentuk formalitas dan untuk menduduki jabatan tertentu. Pendidikan dan latihan belum berorientasi pada pemahaman Standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners (SMR) dan instrumen hak asasi manusia lainnya. Instrumen-instrumen ini juga tidak menjadi materi pokok dalam jenjang pendidikan dan latihan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Materimateri ini jika diajarkan jelas akan memberikan manfaat kepada petugas untuk dapat membedakan mana perlakuan yang melanggar dan mana yang melindungi dan menghormati hak asasi manusia. Tapi nyatanya materi tersebut belum menjadi materi pokok kurikulum pendidikan dan pelatihan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pada ranah kelembagaan tidak terjadi secara signifikan adanya perubahan pada aspek kesejahteraan, sarana prasarana, dan struktur organisasi. Padahal selama kesejahteraan belum terpenuhi, masalah seperti pungutan liar, perlakuan istimewa, peredaran narkotika dan komersialisasi hak-hak tahanan
dan narapidana akan terus terjadi. Sarana prasarana juga tidak menjadi orientasi dari perubahan kebijakan padahal untuk menghindari perlakuan keji dan merendahkan martabat manusia sarana menjadi bagian terpenting dalam pencegahan. Selama ini ruang hunian dan ruang treatment tidak mencukupi kebutuhan tahanan dan narapidana. Oleh karena itu kebijakan pemerintah menganggarkan Rp. 1 triliun untuk pembangunan rutan dan lapas merupakan salah satu upaya mencegah perlakuan keji dan tidak manusiawi serta merendahkan martabat manusia. Faktor lain yang menyebabkan masalah tak kunjung selesai adalah persoalan struktur organisasi. Saat ini, struktur organisasi yang ada belum mencerminkan kesatuan kerja yang utuh di Pemasyarakatan. Beberapa kewenangan yang ada sekarang tidak berada pada kewenangan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Misalnya dalam hal pengawasan, berada dalam kewenangan Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pendidikan dan latihan berada pada Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM). Sementara persoalan hak asasi manusia berada pada kewenangan Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia, dan masalah penganggaran berada pada Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Struktur organisasi yang ada sekarang tidak memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk dapat bertindak cepat terhadap masalah-masalah yang timbul dan melakukan perubahan-perubahan pada ranah kebijakan sumber daya manusia, kelembagaan dan pengawasan. Tiga masalah strategis di atas, yakni peningkatan sumber daya manusia, kelembagaan dan pengawasan selalu luput dari perhatian. Pemerintah, termasuk internal Pemasyarakatan selama ini lebih banyak mengeluarkan
laporan utama kebijakan yang hanya fokus pada penyelesaian masalah permukaan saja, berupa pergantian pimpinan, sanksi administrasi, mutasi hingga pemecatan. Sedangkan permasa-lahan pada sumber daya manusia. Kelembagaan dan pengawasan tidak tersentuh sama sekali yang pada akhirnya berdampak pada tindakan penyiksaan, korupsi dan tindakan negatif lainnya yang dilakukan oleh petugas. Faktor Regulasi Nasional yang Tidak Mendukung Masalah sumber daya manusia, kelembagaan dan pengawasan harus didukung pula dengan perubahan regulasi nasional. Saat ini regulasi yang ada belum sepenuhnya mendukung kinerja Pemasyarakatan. Pertama dilihat dari hukum acara pidana yang tidak mengatur secara utuh tugas, pokok dan fungsi pemasyarakatan. Seharusnya hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh petugas pemasyarakatan juga diatur secara umum dalam hukum acara pidana sehingga terlihat jelas kewenangan petugas pemasyarakatan. Selain itu, bentuk pemidanaan menjadi masalah dimana saat ini berbentuk pemenjaraan dan penjeraan. Pemidanaan dalam bentuk diversi maupun restorative justice belum diakui dalam perundang-undangan nasional. Padahal bentuk diversi atau pengalihan bentuk pidana dari kurungan menjadi bentuk lainnya dapat mengurangi problematika kapasitas tahanan dalam rutan maupun lapas. Di samping itu konsep ini juga sesuai dengan gagasan pemasyarakatan yang menjauhkan diri dari balas dendam. Oleh karena itu, jalan keluar yang paling mendasar untuk mengatasi masalah-masalah di rutan dan lapas ialah perubahan hukum acara pidana dan bentuk pemidanaan.
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2009-2014 memang sudah mengagendakan pembahasan RKUHP, RKUHAP, Rancangan Undang-Undang Sistem Pengadilan Anak. Ke depan, Pemerintah berencana memasukan Rancangan UndangUndang Pemasyarakatan. Seluruh rencana ini merupakan salah satu bentuk penyelesaian mendasar masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh Pemasyarakatan. Timbulnya tindak kekerasan, perlakuan keji dan merendahkan martabat manusia tidak lepas dari sistem peradilan pidana sekarang yang belum menyesuaikan diri dengan instrumen hak asasi manusia. Selain itu jika melihat Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.HH-01.PR.01.01 Tahun 2010 Tentang Rencana Strategis Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Tahun 2010-2014 telah disusun beberapa rencana harmonisasi perundang-undangan yang akan dilaksanakan pemerintah. Namun isu pencegahan penyiksaan tidak secara spesifik terlihat dalam rencana tersebut sehingga membutuhkan pengawalan yang ketat oleh masyarakat. Pengawalan atas nilai-nilai yang diatur dalam Konvensi Anti Penyiksaan dan instrumen lainnya ke dalam kebijakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga harus dilakukan, terutama pada beberapa direktorat, yaitu: Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia, BPSDM dan Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sebab internalisasi atas Konvensi Anti Penyiksaan tidak semata berada pada tanggungjawab Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, melainkan ada pula pada tiga direktorat lainnya. Akhirnya penulis menyimpulkan bahwa perubahan kebijakan jelas tidak mudah untuk dilakukan. Pastinya akan menimbulkan resistensi dari petugas pemasyarakatan maupun dari
Slogan yang dipasang di salah satu lembaga pemasyarakatan ini tentu berharap penanganan napi yang lebih manusiawi dok: pasarkreasi.com.
instansi Pemerintah lainnya. Beberapa kewenanganan yang akan dipindahkan jelas akan menimbulkan tentangan, apalagi pembatasan-pembatasan bagi petugas dalam melakukan “tindak kekerasan”, komersialisasi dan tindakan negatif lainnya. Hanya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sendirilah yang bisa dan harus memastikan perubahan pada ranah kebijakan strategis berupa peningkatan Sumber Daya Manusia, kelembagaan dan pengawasans di Pemasyarakatan serta upaya mendorong perubahan dalam politik hukum nasional yang berhubungan dengan sistem peradilan pidana terpadu. Tanpa keseriusan dan komitmen berarti, tidak akan ada perubahan pada kebijakan pencegahan penyiksaan.
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI 2010
07
laporan utama Refleksi 12 tahun Ratifikasi CAT Oleh Edy Halomoan Gurning (Staf Lembaga Bantuan Hukum Jakarta)
P
ada 28 September 2010 yang akan datang, tepat 12 tahun pemberlakuan UU No. 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/CAT (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia). Ada 5 (lima) alasan yang mendasari Indonesia meratifikasi konvensi ini. Pertama, Indonesia menganut asas adil dan beradab yang bertekad untuk mencegah dan melarang segala bentuk penyiksaan. Kedua, perlu penyempurnaan peraturan perundangundangan di Indonesia terkait dengan pencegahan dan pelarangan segala bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Alasan ketiga, meningkatkan perlindungan hukum secara lebih efektif demi tercapainya suatu masyarakat Indonesia yang tertib, teratur, dan berbudaya. Keempat, untuk mewujudkan upaya bersama dalam memelihara perdamaian, ketertiban umum, dan kemakmuran dunia serta melestarikan peradaban umat manusia. Kelima, menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM, khususnya hak bebas dari penyiksaan. Melalui ratifikasi CAT, Indonesia memiliki kewajiban yakni menyampaikan laporan dalam periode dua tahunan. Mekanisme ini dibangun oleh badan atau komite bersangkutan untuk memantau kemajuan penerapan kewajiban negara sebagaimana tertera dalam perjanjian. ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
08
EDISI MEI-JUNI 2010
Komite mengadakan pertemuan internal secara periodik dan pertemuan delegasi Negara Pihak. Dalam pertemuanpertemuan tersebut, Komite melakukan penilaian atas laporan yang dibuat oleh negara dan mengajukan sejumlah pertanyaan klarifikasi. Setelah itu Komite membuat kesimpulan dan rekomendasi. Masyarakat sipil dapat saja mengambil peranan yakni membuat laporan bayangan (shadow report). Laporan ini berguna untuk mendidik masyarakat, memperkuat akuntabilitas Pemerintah terhadap pelanggaran hak asasi manusia, atau mengevaluasi strategi Pemerintah dalam usaha memenuhi hak asasi warganya. Selain itu, CAT telah mengatur Mekanisme Pengaduan Individual sesuai dengan Pasal 22 Konvensi. Komite memiliki wewenang untuk menerima dan memeriksa pengaduan yang disampaikan secara individual. Mekanisme ini berhubungan dengan pengaduan dari individu atau kelompok yang percaya bahwa hak-hak asasinya telah dilanggar. Ini menegaskan bahwa Komite memiliki perhatian pada pelanggaran-pelanggaran tertentu, dan tidak selalu pelanggaran hak asasi yang berat atau luas. Domestifikasi Konvensi Pada dasarnya kejahatan terkait dengan penyiksaan telah diatur dalam Pasal 422 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) dimana seorang pejabat dapat diancam pidana selama empat tahun jika menggunakan paksaan, baik untuk memeras pengakuan maupun untuk mendapatkan keterangan.
Beberapa ketentuan mengenai penghapusan dan pencegahan penyiksaan setelah ratifikasi banyak bermunculan. Sebut saja Pasal 28G ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 Amandemen Kedua. Selain itu, ada pula Pasal 4 jo Pasal 34 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Kesemuanya ini merupakan ketentuan yang telah masuk dalam sistem hukum Indoensia. Pemerintah memasukkan ketentuan Pasal 184, 351, 353, 354, 355, dan 422 KUHP ke dalam kategori penyiksaan sebagaimana tercantum dalam Laporan awalnya.1 Pasal-pasal tersebut sesungguhnya tidak sejalan dengan definisi penyiksaan seperti dimaksud dalam Konvensi Menentang Penyiksaan. Beberapa unsur penyiksaan tidak terdapat dalam ketentuan-ketentuan tersebut sehingga dapat menyempitkan lingkup tindak penyiksaan. Akibatnya, perbuatan yang memenuhi unsur penyiksaan sesuai Konvensi tidak dapat dihukum dengan hukuman yang setimpal. Misalnya saja, Pasal 422 KUHP. Meski dalam pasal tersebut mengatur unsur pejabat publik, maksud atau motif, dan bentuk kejahatannya, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) CAT, namun pasal ini tidak menjangkau penyiksaan yang dilakukan oleh sipil dengan perintah atau di hadapan pejabat publik. Kelemahan lainnya, pasal tersebut tidak menjangkau penyiksaan yang dilakukan terhadap orang ketiga dengan maksud untuk memperoleh keterangan dari korban. Terdapat perbedaan mendasar yang
laporan utama cenderung menyebabkan penyimpangan tentang definisi penyiksaan sebagaimana yang tercantum di Pasal 1 CAT dengan yang diinkorporasi ke dalam hukum domestik menciptakan celah impunitas yang aktual atau potensial.2 Setelah meratifikasi CAT, Pemerintah Indonesia kemudian melakukan sinkronisasi Konvensi dengan peraturan perundangundangan. Ini merupakan konsekuensi yuridis sebagai Negara Pihak. Beberapa peraturan yang menjamin hak untuk bebas dari penyiksaan dapat ditemukan dalam berbagai produk legislasi berikut ini: 1. Undang-Undang Dasar 1945 2. P e r a t u r a n P e m e r i n t a h Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3. UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 4. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 5. UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 6. UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dari ketentuan-ketentuan di atas, tidak ada yang mendefinisikan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 CAT. Pasal 1 ayat (4) UU Nomor 39 Tahun 1999, misalnya, menyebutkan pelaku dengan istilah “hasutan, persetujuan …. siapapapun dan atau pejabat publik”. Padahal unsur pejabat publik membuat definisi penyiksaan menjadi lebih spesifik sehingga penerapan hukum untuk mengantisipasinya menjadi terlihat lebih serius. Perluasan pengertian pelaku penyiksaan kepada masyarakat sipil tanpa ada keterlibatan pejabat publik, dikhawatirkan akan diterapkan secara tebang pilih dan akan menutupi keseriusan Indonesia dalam melaksanakan kewajibannya berdasarkan Konvensi.
Selain itu, Indonesia hendak mendorong ratifikasi Protokol Opsional Konvensi dimana telah diagendakan sejak tahun 2008 melalui Rencana Aksi Hak Asasi Manusia (RANHAM). Tujuan Protokol ini adalah untuk pencegahan penyiksaan melalui mekanisme kunjungan suatu badan internasional dan nasional independen (sub-komite) ke tempat-tempat penahanan. Keengganan Indonesia untuk meratifikasi protokol ini menunjukan usaha yang tidak serius dalam memerangi penyiksaan sesuai mandat Pasal 2 CAT. Langkah-langkah legislasi yang dilakukan masih dalam tataran normatif. Dalam hal ini, tidak dicantumkan sanksi terkait dengan pelanggaran terhadap norma-norma yang menjamin hak untuk bebas dari penyiksaan. Sehingga, meskipun hak untuk bebas dari penyiksaan merupakan hak yang dijamin dalam keadaan apapun (non-derogable), akan tetapi jaminan perlindungannya sulit untuk diterapkan karena ketiadaan sanksi bagi para pelaku penyiksaan. Jangankan untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan Konvensi, ketentuan pidana nasional yang mengandung elemen penyiksaan sangat jarang ditegakkan. Sebagai contoh, beberapa kasus penyiksaan yang ditangani LBH Jakarta. Kasuskasus ini pernah dilaporkan ke kepolisian. Namun sampai saat ini pengaduan mereka tidak pernah ditindaklanjuti tanpa alasan yang jelas, meskipun pelakunya juga sudah teridentifikasi. Dan anehnya, respon terhadap pengaduan-pengaduan itu malah diberikan oleh Divisi Propam kepolisian, bukan Divisi Reserse Kriminal. Dengan demikian, pihak Kepolisian sendiri lebih melihat kasus-kasus penyiksaan itu sebagai suatu tindakan yang melanggar etika daripada sebagai suatu kejahatan.
Mengukur Praktek Penyiksaan Memasuki usianya yang ke-12 tahun, ratifikasi CAT telah menjadi macan ompong dalam pelaksanaannya. Betapa tidak, penyiksaan masih kerap kali dilakukan namun pelakunya tidak tersentuh dengan hukum. Menurut penelitian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang dilakukan di wilayah DKI Jakarta, pada tahun 2005 telah terjadi 81,1% atau setara dengan 535 orang dari 639 orang mengaku mengalami penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. Sebanyak 491 orang atau 74,4% dari 639 orang menyatakan mendapatkan kekerasan dari polisi, 30 orang atau 4,5% dilakukan oleh sipir, 6 orang atau 0,9% mengaku dilakukan oleh TNI, 4 orang atau 0,6% oleh PPNS dan 38 orang atau 5,9% kekerasan dilakukan oleh pihak lainnya. Prosentase di atas tidak berkurang pada tahun 2007 dimana sebanyak 83,65 % dari 367 responden atau setara dengan 307 responden menyatakan bahwa pada saat berada di tingkat kepolisian telah mengalami kekerasan, baik pada saat penangkapan dan pemeriksaan. Motivasi pelaku merupakan titik awal untuk melihat pola yang terjadi dari tindakan penyiksaan. Masih berdasar data LBH Jakarta di atas sebanyak 44,41% dari 367 responden menjelaskan bahwa kekerasan yang dilakukan aparat bertujuan mendapatkan pengakuan. Sedang 32,97% responden mengatakan untuk mendapatkan informasi tindak pidana. Selebihnya 3,27% untuk tujuan lain seperti mengambil barang bukti. Jika dikaitkan dengan rangkaian proses sistem hukum pidana, maka pada saat pemeriksaan, sebanyak 74,91% dari 271 responden mendapatkan kekerasan. Hal lain yang perlu dicermati adalah tempat dimana penyiksaan
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI 2010
09
laporan utama yang terjadi. Prosentase terbesar merujuk di kantor kepolisian dengan total responden sebesar 40,05%. Dari dua temuan tersebut yakni tujuan dan tempat terjadi kekerasan, menunjukan bahwa pola untuk mengungkap kejahatan pada saat pemeriksaan adalah pola penyiksaan yang kerap kali terjadi dibandingkan dengan proses hukum pidana lainnya. Berdasarkan keterangan dari 367 responden, sebesar 57,77% atau setara dengan 212 responden mengakui bahwa telah terjadi kekerasan fisik. Untuk kekerasan non-fisik diakui oleh 71,39% atau setara dengan 262 responden, dan kekerasan seksual sebanyak 29,97% atau setara dengan 110 responden. Kekerasan fisik misalnya berbentuk pemukulan terus-menerus, acak dan keras bermaksud membuat teramat sakit pada seseorang. Penggunaan air sebagai media, pemukulan pada tapak kaki dan telinga dengan menggunakan telapak tangan juga dengan menggunakan alat, adanya teknik dan persiapan lebih dulu. Begitupun dengan teknik lainnya seperti pencabutan kuku, penjepitan jari, setrum, dibuat cacat dan berdiri semalaman adalah teknik yang telah dipersiapkan lebih dulu. Lain halnya dengan kekerasan non-fisik, bentuk-bentuk yang kerap terjadi adalah mengarah menjatuhkan harga diri dan menjatuhkan mental seseorang. Misalnya diancam, dipaksa mengaku, dipermalukan, didiamkan berjamjam dan disuruh-suruh. Bentuk lainnya adalah tidak diberikan makan, minum dan obat-obatan dan diberikan informasi yang membingungkan, dipermalukan dengan kata-kata. Bahkan 35 responden menyatakan mereka dipaksa membuka pakaiannya di muka umum. Kekerasan tersebut di atas telah menimbulkan efek fisik maupun psikis terhadap orang yang diduga atau disangka melakukan tindak pidana ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
10
EDISI MEI-JUNI 2010
(korban). Secara fisik, dampak paling tinggi adalah menimbulkan bekas luka, cacat pada bagian tubuh, patah tulang, pendarahan, pendengaran menurun dan sakit pada organ dalam. Sedangkan secara psikis berhubungan dengan trauma, sulit bicara dan dendam terhadap polisi. Pada pilihan lainnya secara fisik terdapat mata menjadi rabun, sakit hati dengan polisi, dan malas berhubungan dengan polisi. Peluang Korban Kejahatan penyiksaan bersifat tersembunyi sebab dilakukan di ruang-ruang tertutup dan tidak dapat diakses oleh publik. Karena sifatnya ini, kejahatan penyiksaan kerap kali harus kandas dalam proses penyelidikan. Minimnya saksi serta tidak adanya sarana pemantauan dan pengawasan di tempat-tempat potensial terjadinya penyiksaan menjadi kejahatan penyiksaan tidak terungkap. Meski sifatnya yang tersembunyi, ada beberapa kejahatan penyiksaan mampu membawa pelakunya kemeja hijau. Seperti yang terjadi di Solo seputaran tahun 2004 yang menyeret 6 anggota kepolisian ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuataannya yang mengakibatkan meninggalnya Rn pada saat proses pemeriksaan. Kesemuanya dinyatakan bersalah dan harus menjalani hukuman penjara. Belajar dari kasus di atas, ada beberapa hal yang penting dipetik sebagai pembelajaran. Pertama, keluarga korban yang tidak takut dengan ancaman/ intimidasi dari pelaku adalah tolak ukur pertama. Kedua, adalah laporan atas tindak pidana ke kantor kepolisian dengan menggunakan sarana hukum yang ada seperti Pasal 170 KUHP, Pasal 338 KUHP, dan Pasal 422 KUHP. Meski Pasal-pasal tersebut tidak langsung menerapkan unsurunsur penyiksaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 CAT, namun untuk melakukan langkah penegakan hukum pidana maka penting untuk dijadikan acuan.
Ketiga, pengawasan dan pemantauan terhadap laporan yang dilakukan. Keempat, kampanye yang dilakukan secara masif dengan melibatkan media massa serta jaringan-jaringan organisasi yang menentang penyiksaan. Dan yang kelima adalah mendorong kepada instansi-instansi penegak hukum di pusat untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya proses pidana. Selain pada proses hukum pidana, langkah yang dapat dilakukan adalah melakukan proses hukum administrasi dimana korban/keluarga korban dapat mengadukan pelaku kejahatan penyiksaan kepada instansi pengawasan dimana pelaku berada. Mekanisme ini bertujuan agar pelaku mendapatkan penghukuman kepegawaian. Dua belas tahun merupakan waktu yang panjang untuk melakukan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang dicantumkan dalam CAT. Pemerintah Indonesia harus lebih serius dan beritikad baik untuk melaksanakan. Langkah pertama yang dapat diambil di masa mendatang adalah Pemerintah harus segera melakukan harmonisasi peraturanperaturan di Indonesia terhadap CAT seperti me-redefinisi unsurunsur penyiksaan dalam KUHP dan UU nomor 39 Tahun 1999. Kedua, adalah dengan meratifikasi Protokol Opsional Konvensi sebagai persyaratan operasionalisasi Konvensi. Ketiga, mendorong kepolisian untuk mengoptimalkan pasalpasal KUHP untuk menjerat pelaku penyiksaan selama penyiksaan belum diatur secara eksplisit sejalan dengan mandat Konvensi di dalam hukum pidana nasional.
Keterangan 1. Indonesia Initial reports of States parties due in 1999 CAT/C/47/Add.3, 16 July 2001 2. Lihat Komentar Umum Nomor 2 terhadap CAT
laporan utama Pelaksanaan Rekomendasi Komite PBB Menentang Penyiksaan: Mengukur Komitmen Indonesia terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia Oleh Betty Yolanda (Koordinator Studi ELSAM)
S
eperti negara-negara lain yang telah meratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, Indonesia p un terikat pada kewajiban pelaporan atas implementasi Konvensi di tingkat domestik. Dan, pada Mei 2008 merupakan kali kedua laporan periodik kedua Indonesia dibahas oleh Komite PBB Menentang Penyiksaan. Berangkat dari laporan periodik kedua tersebut dan dialog konstruktif yang terbangun pada saat pembahasan laporan, Komite menyusun sebuah kesimpulan observasi yang mencakup nasihat praktis mengenai upaya-upaya dan langkah-langkah yang harus diambil untuk mengimplementasikan ketentuan- k e t e n t u a n Konvensi dengan lebih baik. Sejak tahun 2003, kesimpulan observasi yang diadopsi oleh Komite secara khusus mencakup rekomendasi-rekomendasi yang menghimbau negara-negara untuk memberikan, dalam jangka waktu satu tahun, informasi atau tanggapan atas rekomendasirekomendasi khusus yang dinilai memiliki tingkat urgensitas yang tinggi tersebut. Dari 27 rekomendasi yang diadopsi oleh Komite terkait dengan laporan periodik kedua Indonesia, terdapat enam rekomendasi khusus yang mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah konkrit yang diperlukan guna menghapus: (1) praktik-praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang yang meluas; (2) peraturan-peraturan lokal yang sarat pelanggaran HAM; (3) kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah dan orang-orang yang termasuk dalam kelompok-kelompok minoritas lainnya;
(4) p e r d a g a n g a n o r a n g d a n kekerasan terhadap para buruh migran; (5) pelecehan dan kekerasan terhadap para pembela HAM; dan (6) ketiadaan penyidikan dan penuntutan yang efektif oleh Kejaksaan Agung. Pada September 2009 Komite telah mengirimkan surat peringatan (reminder) pertama2 kepada Pemerintah. Dalam surat itu, Komite meminta agar informasi atau tanggapan atas enam rekomendasi khusus di atas segera disampaikan tanpa penundaaan. Namun tampaknya Pemerintah belum memiliki keinginan politik yang kuat untuk meresponnya. Buktinya, sampai detik ini belum ada tanggapan dari Pemerintah. Di tengah kekosongan ini, Kelompok Kerja untuk Advokasi Menentang Penyiksaan (WGAT), dengan berkonsultasi dengan World Organisation against Torture (OMCT), telah menyusun sebuah laporan monitoring independen atas rekomendasi-rekomendasi Komite. Inisiatif WGAT untuk menyampaikan laporan independen tersebut patut mendapat apresiasi. Upaya yang dilakukan oleh WGAT tersebut menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat sipil, khususnya dalam hal pelaporan ke badan-badan hak asasi manusia PBB, tidak harus selalu bergantung pada ada atau tidaknya laporan Pemerintah sebagaimana yang umumnya dilakukan ketika menyusun sebuah laporan bayangan (shadow report). Dalam laporannya menanggapi implementasi Konvensi di Indonesia, Komite mencatat bahwa reformasi kelembagaan kepolisian merupakan satu langkah yang harus diambil oleh Pemerintah. Reformasi
kepolisian ini penting guna menghapus praktik-praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang yang meluas Dasar laporan Komite tersebut cukup kuat. Sebanyak 86 persen (296 dari 344) pengaduan yang diterima oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) pada 2008 mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan perlakuan sewenangwenang oleh unit penyidikan kepolisian3. Perlu diingat reformasi kepolisian memerlukan legitimasi dari reformasi politik dan hukum. Dalam hal reformasi hukum, WGAT mencatat bahwa rancangan KUHAP per Juli 2008, yang masih menetapkan masa penahanan di kepolisian sampai dengan 60 hari ditambah 1 hari masa penangkapan, masih belum mengako-modir rekomendasi Komite untuk menetapkan batas waktu penaha-nan yang sesuai dengan standard-standard internasional. Menjamurnya peraturan-peraturan lokal yang bertentangan dengan standard-standard hak asasi global di tengah kenyataan masyarakat yang multikultural di Indonesia juga menjadi sorotan Komite. Alih-alih berkurang, jumlah peraturan lokal semacam itu justru meningkat tajam. W G AT m e n c a t a t b a h w a peningkatan tersebut dikarenakan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah lokal untuk membuat peraturan yang mengatur hal-hal yang tidak diatur di dalam kebijakan nasional. Setidaknya, menurut WGAT, terdapat 26 peraturan daerah yang diskrimi-natif yang masih berlaku hingga kini. Sebagian besar dari peraturan tersebut menggunakan hukum syariah sebagai dasar hukumnya. Rekomendasi Komite yang secara khusus merujuk pada
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI 2010
11
laporan utama praktik-praktik penghukuman fisik yang didasarkan pada Qanun Jinayah di Aceh juga tidak ditindaklanjuti oleh Pemerintah. Hal ini terbukti dari kontinuitas praktik hukuman cambuk di Aceh untuk tindak pidana seperti khalwat, jarimah, maisir (judi), iIkhtilath, dan zina. Langkah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang membatalkan 947 peraturan daerah yang tersebar di seluruh Indonesia sama sekali tidak berimplikasi pada berkurangnya peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif dan bertentangan dengan hak asasi manusia karena peraturan-peraturan daerah yang dibatalkan tersebut hanyalah peraturan-peraturan yang mengatur tentang retribusi. Kenyataan ini makin memperkuat politik hukum Pemerintah yang lebih mengede-pankan kepentingan ekonomi ketimbang hak asasi. Prinsip nondiskriminasi adalah prinsip yang sangat fundamental di dalam perlindungan hak asasi manusia. Hal ini menjadi penting ketika kita berbicara mengenai serentetan kekerasan yang diarahkan secara sistematis terhadap komunitas Ahmadiyah. Dalam rekomendasinya, Komite mendesak Pemerintah untuk menyediakan jaminan perlindungan bagi kelompok-kelompok minoritas etnis dan agama yang menjadi target kekerasan, termasuk dengan melakukan penuntutan dan penghukuman terhadap para pelaku tindak kekerasan tersebut dan mengambil langkah-langkah pencegahan yang positif. WGAT masih mencatat bahwa selama 2008, sekurangnya terjadi 35 tindak kekerasan, ancaman, intimidasi, dan pemaksaan terhadap komunitas Ahmadiyah yang berakibat pada kerusakan harta benda dan tempat ibadah. Pada tahun yang sama, Aliansi Nasional untuk Kebebasan Beragama (AKKBB) bersama dengan Komunitas Ahmadiyah kembali mengalami kekerasan sehingga mengaki-batkan 70 orang menderita luka-luka, termasuk perempuan dan anak-anak. Proses hukum terhadap pelaku kekerasan tersebut jelas dilakukan setengah hati. Hal ini terbukti dari sedikitnya jumlah pelaku yang diadili dan tidak sebandingnya berat hukuman yang diberikan dengan kejahatan yang dilakukan. ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
12
EDISI MEI-JUNI 2010
Indonesia boleh jadi telah memiliki sebuah undang-undang khusus untuk menghentikan praktik perdagangan manusia, yakni Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberan-tasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Akan tetapi, sebagaimana dicatat oleh Komite, keberadaan undangundang tersebut tidak menjadi jaminan bahwa perlin-dungan dan pemenuhan hak asasi para korban perdagangan orang terpenuhi. Kerentanan buruh migran sebagai korban perdagangan orang yang kerap mengalami kekerasan juga menjadi perhatian Komite. WGAT mencatat bahwa selama tahun 2008, kekerasan terhadap buruh migran, bahkan yang sampai mengakibatkan kematian terus meningkat. 522 buruh migran Indonesia dilaporkan meninggal. Dari laporan tersebut, 481 terjadi di Malaysia, 30 orang di Timur tengah, 10 orang di Hong kong, Korea dan Taiwan, serta 5 orang di Singapura. Hal lain yang tak kalah penting yang juga menjadi sorotan Komite adalah masalah ancaman, pelecehan dan kekerasan terhadap para pembela hak asasi manusia. Kekerasan terhadap pembela hak asasi manusia itu terjadi dalam pelbagai bentuk, mulai dari penangkapan secara-sewenang, penganiayaan dan bahkan pembunuhan, seperti apa yang dialami oleh Munir Said Thalib. Dalam hal ini Komite mendesak Pemerintah untuk mengambil “semua langkah yang diperlukan guna menjamin bahwa semua orang, termasuk orang-orang yang melakukan pengawasan terhadap hak asasi manusia, dilindungi dari intimidasi atau kekerasan sebagai akibat dari kegiatan-kegiatan mereka dan penggunaan jaminanjaminan hak asasi manusia, dan untuk menjamin penyelidikan yang segera, imparsial dan efektif atas tindakan-tindakan tersebut”. Ketiadaan kerangka hukum yang secara khusus mengakui keberadaan para pembela hak asasi manusia dan peran mereka dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia membuka ruang yang sangat luas bagi terjadinya praktik-praktik kekerasan terhadap para pembela hak asasi manusia. Alih-alih mendorong pembentukan
kerangka hukum yang kuat yang menyediakan perlindungan bagi para pembela hak asasi manusia, Pemerintah malah berpegang pada ketentuan-ketentuan hukum yang mengkri-minalisasi para pembela hak asasi manusia, termasuk pasalpasal yang termuat dalam KUHP.4 Tidak hanya itu, WGAT juga mencatat beberapa rancangan undang-undang yang berpotensi merugikan para pembela hak asasi manusia, termasuk revisi UU Organisasi Kemasyarakatan, RUU tentang Komponen Cadangan Pertahanan Negara dan RUU tentang Rahasia Negara. Poin terakhir dari enam rekomendasi khusus Komite menyoroti kegagalan Jaksa Agung dalam melakukan penyidikan dan penuntutan yang efektif atas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia. Keengganan Jaksa Agung untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM akan berakibat pada stagnasi keadilan. Oleh karenanya, reformasi total pada tubuh Kejaksaan dan seluruhnya jajarannya merupakan satu hal yang mutlak harus dilaksanakan. WGAT menilai bahwa Pemerintah telah gagal melaksanakan rekomendasi-rekomendasi Komite secara menyeluruh.
Keterangan
1. L i h a t h t t p : / / w w w 2 . o h c h r . o r g / english/bodies/cat/cats40. 2. htmLihat http://www2.ohchr.org/ english/bodies/cat/followprocedure.htm. 3. Kelompok Kerja untuk Advokasi Menentang Penyiksaan (WGAT), ”Laporan Alternatif Tindak Lanjut Rekomendasi Komite Menentang Penyiksaan: Menuju Setahun Implementasi Rekomendasi Komite Menentang Penyiksaan untuk Indonesia”, Maret 2010, 4. Lihat Pasal 106, 110, 160, 310 dan 335 KUHP.
nasional
Kriminalisasi Masyarakat Adat Silat Hulu: Konspirasi Melumpuhkan Perjuangan Masyarakat Adat Oleh Paijo (Staf Dokumentasi dan Informasi ELSAM)
D
i Indonesia, aktivitas perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit dan tanaman produksi lainnya yang berskala besar sebagian beroperasi besar di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Keberadaan mereka selalu menjadi sorotan oleh lembaga penggiat hak asasi manusia, sebab mereka dianggap tidak ramah hak asasi manusia. Aktivitas perusahaanperusahaan tersebut sangat ekspansif dan berpotensi melanggar hak asasi manusia, terutama terhadap petani di sekitar kawasan perkebunan. Tak dipungkiri kehadiran perusahaan kerap menimbulkan konflik dengan petani yang tanpa hentihentinya terus saja terulang. Di wilayah konflik perkebunan, umumnya petani mengalami kekerasan, terusik, terpinggirkan bahkan dipenjara. Pesanan rekayasa hukum, dan pasal-pasal sesuai dengan UU Perkebunan sebagai penegasan dengan mudah digunakan perusahaa untuk mengantarkan para petani ke bui. Pendeknya petani mengalami kriminalisasi. Semua itu dilakukan demi kelancaran aktivitas perusahaan perkebunan. Di lapangan, perusahaan kerap mengintimidasi petani yang menampik untuk menyerahkan lahannya atau mengganggu aktivitas perusahaan Mungkin observasi seperti itu ada benarnya. Namun sejatinya, konflik perkebunan mereproduksi kekerasan terhadap petani,
penembakan serampangan, dan pengambilan paksa alat produksi petani yang melahirkan kehidupan tanpa keadilan palamarta. Otoritas yang diberikan negara kepada perusahaanperusahan perkebunan sangat luas. Melalui surat Hak Guna Usaha (HGU), perusahaan dimungkinkan untuk membuka
lahan perkebunan yang seluas mata memandang 1 . Mereka dengan leluasa dapat mengontrol seluruh wilayah HGU yang dikuasakan, dan termasuk membuat kebijakan-kebijakan operasional lapangan yang gemar menabrak hukum hak asasi manusia. Di samping itu, tidak kuatnya pengawasan dari negara
Seratusan masyarakat yang sebagian besar petani karet dan padi dari Desa Silat Hulu mendatangi PN Ketapang untuk memberikan dukungan moril kepada Japin-Vitalis Andi yang hari ini di sidangkan dalam kasus Konflik petani kampung Silat Hulu dengan PT. BNM. Kedua warga tersebut diancam UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dengan ancaman kurungan maksimal lima tahun. Foto: Dok. Elsam 10 Juni 2010.
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI 2010
13
nasional terhadap perilaku perusahaan perkebunan berskala besar menjadi faktor penyebab berpalingnya kepada pelanggaran hukum-hukum hak asasi manusia. Bahkan kewajiban negara untuk melindungi, menghormati, dan mememuhi hak asasi manusia, telah disalahpahami dan disalahtafsirkan pada tingkat pelaksanaan. Ringkasnya pelanggaran hak asasi manusia telah dan terus terjadi. Kali ini yang menjadi korban adalah Vitalis Andi dan Japin. Dua orang masyarakat Adat Silat Hulu Kecamatan Marau, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat ini, dilaporkan dan diadili dengan tuduhan telah mengganggu jalannya usaha perkebunan PT Bangun Nusa Mandiri, salah satu anak perusahaan Sinar Mas Group. Seperti tercantum dalam Surat Dakwaan yang dibacakan pada 3 Juni 2010 di Pengadilan Negeri Ketapang, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Vitalis Andi dan Japin dengan Pasal 47 Undang-undang No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dan Pasal 368 KUHP Persoalan yang menyeret Vitalis Andi dan Japin ini bermula ketika pada April 2008 PT. Bangun Nusa Mandiri (BNM) melakukan penggusuran dan perusakan terhadap wilayah adat Silat Hulu seluas 350 Ha. Masyarakat telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan menghentikan pengrusakan dan penggusuran tersebut. Baik melalui musyawarah, tuntutan langsung, dan meminta bantuan kepada pemerintahan daerah. Bahkan, masyarakat adat Silat Hulu telah menghukum PT. Bangun Nusa Mandiri (BNM) untuk membayar sanksi adat 15 (lima belas) buah tajau, 4 (empat) singkar piring, dan 4 (empat) tatak mangkuk. Namun, PT. Bangun Nusa Mandiri (BNM) tetap tidak menghiraukannya.
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
14
EDISI MEI-JUNI 2010
Ilustrasi pelarangan buku . dok.koran republika.com
Pada 10 Juni 2010, Pengadilan Negeri di Kab. Ketapang, Kalimantan Barat, menggelar sidang kasus sengketa perkebunan antara masyarakat adat Silat Hulu, Kab. Ketapang, Kalbar dengan PT. BNM (Grup Sinar Mas). Japin duduk paling kanan dan Vitalis Andi nomor dua dari kanan keduanya warga Silat Hulu, Kab. Ketapang Kalbar, sebagai korban kriminalisai petani melalui UU Perkebunan. Mereka nampak khusuk mendengarkan asepsi yang sedang dibacakan oleh penasihat hukumnya dari Tim Pembela Masyarakt Adat berjudul "Kriminalisasi Pelanggaran Hukum Adat". Wahyu Wagiman, S.H (paling kanan), Iki Dulagin, S.H (tengah) dan Sulistiono, S,H (paling kiri). Foto: Dok. Elsam, 10 Juni 2010.
Puncaknya terjadi pada 29 September 2009. Secara bersama-sama, masyarakat Adat Silat Hulu mengamankan 2 unit alat berat, yaitu Bouldozer dan Dorulit yang biasa digunakan PT. Bangun Nusa Mandiri (BNM) untuk melakukan land clearing. Persoalan memperjuangkan hakhak masyarakat adar Silat Hulu inilah yang menjadikan VItalis Andi Japin menjadi pesakitan di Pengadilan Negeri Ketapang. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum : Pesanan Perusahaan Perkebunan Terhadap dakwaan jaksa penuntut umum, kuasa hukum Vitalis Andi dan Japin yang bersalah dari Tim Pembela Masyarakat Adat (TPMA) mengajukan keberatannya pada 10 Juni 2010. Dalam
keberatannya, Tim Pembela Masyarakat Adat (TPMA) menyatakan bahwa dalam kasus ini telah terjadi rekayasa, sehingga menjadikan Vitalis Andi dan Japin diadili. Rekayasa tersebut terlihat dari adanya perbedaan tersangka yang diajukan ke Pengadilan. Pada awalnya kepolisian Ketapang menetapkan 6 (enam) orang sebagai tersangka. Namun, dalam proses penuntutan yang dijadikan terdakwa hanya dua orang, yakni Vitalis Andi dan Japin. Sisanya hanya dijadikan sebagai saksi. Selain itu, 30 (tiga puluh) orang yang disebut-sebut jaksa penuntut umum membantu Vitalis Andi dan Japin mengamankan 2 unit alat berat milik PT. Bangun Nusa Mandiri (BNM), juga tidak ditetapkan sebagai tersangka ataupun terdakwa.
nasional Tim Pembela Masyarakat Adat (TPMA) juga menyatakan bahwa surat dakwaan jaksa penuntut umum tidak cermat dalam menguraikan unsur-unsur perbuatan yang dilakukan oleh para terdakwa. Padahal, dalam surat dakwaannya, JPU mengatakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh kedua terdakwa tersebut dilakukan bersama sama 30 (tiga puluh) orang. Selain itu, Jaksa Penuntut Umum tidak menguraikan secara jelas ketentuan mana yang dilanggar dan diancamkan oleh kedua terdakwa ini. Dalam surat dakwaan jaksa penuntut menyatakan bahwa “akibat perbuatan Para Terdakwa mengakibatkan kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit PT. Bangun Nusa Mandiri menjadi terganggu dan menimbulkan kerugian lebih kurang Rp. 122.000.000,(seratus dua puluh dua juta) atau di sekitar jumlah itu”, yang mana
perbuatan tersebut diatur dan diancam pidana Pasal 47 UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP”. Padahal secara jelas dan terang Pasal 47 UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan terdiri dari dua ayat, dalam hal ini Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2), yang mana rumusan delik dan unsurunsurnya berbeda satu sama lain. Demikian juga dengan metode pembuktian dan sanksi yang diancamkan terhadap perbuatan yang didakwakan terhadap Para Terdakwa. Wahyu Wagiman, S.H, salah satu kuasa hukum dari TPMA mengatakan bahwa “JPU tergesa-gesa dan tidak cermat dalam menguraikan dakwaannya”. Diajukannya kedua orang masyarakat adat Silat Hulu ini menunjukkan bahwa kasus ini merupakan rekayasa dan pesanan dari perusahaan perkebunan yang merasa terganggu dengan
perjuangan masyarakat untuk memperta-hankan tanah dan hakhaknya. Ironis memang, karena kenyataannya hukum dapat dibeli dan keadilan terus saja dinanti warga.
Keterangan
1. Maksud menggunakan istilah "seluas mata memandang" terinspirasi komentar Uskup Ketapang Mgr. Blasius Pujaraharja, Pr dalam seminar bertema "Dampak Kelapa Sawit terhadap Masa Depan Lingkungan Hidup di Kalimantan Barat" yang diselenggarakan oleh KARINA KWI dan Yayasan Usaba Ketapang pada 7 Februari 2009, di Gedung Bina Utama Payak Kumang, Ketapang,. Ia angkat bicara dalam pembukaan seminar: "Kelapa sawit jadi primadona di Kalbar, banyak investor masuk. Pemerintah daerah menargetkan 3-4 juta hektar untuk perkebunan ini: Luar biasa. Dari sisi dampak, pembukaan perkebunan sawit membawa dampak positif dan juga negatif sekaligus. Dari sisi positifnya, yang langsung dirasakan masyarakat, adanya jalan-jalan perkebunan membuka isolasi daerah pedalaman. Negatifnya? Banyak terjadi kerusakan, sumber air rusak, flora dan fauna hilang, banyak terjadi ketidakadilan di tengah masyarakat." Lihat http://www.kalimantanreview.com /online/2009/001.php
Seratusan masyarakat yang sebagian besar petani karet dan padi dari Desa Silat Hulu memenuhi ruang sidang PN Ketapang, hingga sebagian ada di luang. Mereka memberikan dukungan moril kepada Japin-Vitalis Andi yang hari ini di sidangkan dalam kasus Konflik petani kampung Silat Hulu dengan PT. BNM. Foto: Dok. Elsam 10 Juni 2010.
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI 2010
15
internasional Secret Detention: Memberantas Terorisme dengan Teror 1
Oleh Dina Puspita Hapsari Savaluna (Peneliti Center for Detention Studies)
P
ada 19 Februari 2010, Dewan HAM PBB (UN Human Rights Council) mengeluarkan hasil penelitian bersama (Joint Study) antara empat Prosedur Khusus PBB (UN Special procedures) mengenai tempat-tempat penahanan rahasia (Secret Detention) dalam konteks melawan terorisme (A/HRC/13/42). Keempat Prosedur Khusus PBB itu adalah (1) Pelapor Khusus untuk pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar ketika melawan terorisme, (2) Pelapor Khusus untuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lainnya yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, (3) Kelompok kerja tentang Penahanan Sewenang-wenang yang diwakili oleh wakil ketuanya, serta (4) Kelompok Kerja untuk Penghilangan Paksa yang diwakili oleh ketuanya.2 Penelitian bersama dilakukan untuk merespon makin marak dan meluasnya penggunaan secret detention, khususnya dalam konteks 'perang global melawan terorisme' paska serangan 11 September 2001.3 Keadaan darurat, konflik bersenjata dan perang melawan terorisme sering dijadikan justifikasimeski sangat lemah sebagai kondisi yang memperbolehkan adanya secret detention.4 Padahal penggunaan secret detention ini secara mutlak tidak dibenarkan dalam hukum internasional dalam keadaan apapun, termasuk keadaan darurat.5
Secret Detention Seseorang dapat dipenjara di dalam secret detention jika aparat negara yang bertindak sesuai kapasitasnya, atau orang lain yang bertindak atas perintahnya, persetujuan, sepengetahuan, atau dukungannya, atau di dalam situasi lain dimana tindakannya, baik secara aktif maupun pasif, dapat dipertanggungjawabkan oleh negara,6 merampas kebebasan orang lain; dimana orang tersebut tidak diperbolehkan berhubungan dengan dunia luar (incommunicado detention);7 dan mereka yang berwenang menyangkal, menolak untuk memberitahukan atau secara aktif menyembunyikan fakta bahwa orang tersebut telah dirampas kemerdekaannya dan disem-
Ilustrasi diolah dari berbagai sunber ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
16
EDISI MEI-JUNI 2010
bunyikan di suatu tempat, termasuk kepada keluarga, pengacara atau organisasi masyarakat sipil yang independen, atau menolak untuk memberikan atau secara efektif menyembunyikan informasi tentang nasib atau dimana tahanan itu berada.8 Penggunaan secret detention ini sebenarnya bukan merupakan fenomena baru. 9 Secret Detention sudah dikenal di jaman Nazi dengan Nacht und Nebel Erlaß (the Night and fog decree);10 GULAG- Camp kerja paksa11 yang dikenal di Uni Soviet ketika pemerintahan diktator Stalin,12 hingga Black Site13 yang dipakai oleh Amerika Serikat saat ini untuk menginterogasi tersangka kasus terorisme.14 Metode penggunaan secret detention dewasa ini cukup
internasional beragam, mulai dari penggunaan undang-undang darurat yang sangat luas untuk memerangi terorisme, 1 5 peran peradilan militer dan khusus, sampai penculikan dan penghilangan paksa. Sementara tujuannya selalu sama: memperoleh efek yang menakutkan karena tahanan akan hilang tanpa jejak dan tidak ada informasi yang diberikan berkenaan dengan nasibnya.16 Sebelum penelitian ini dilakukan, telah banyak ditemukan secret detention yang digunakan Amerika Serikat dalam kerangka 'perang global melawan terorisme' baik yang berada di wilayahnya maupun di wilayah jurisdiksi negara lain, seperti apa yang ditemukan oleh Kelompok Kerja untuk penahanan sewenangwenang dalam opininya No.29/ 2006. Dalam opininya tersebut, Kelompok Kerja tersebut menemukan sekurang-kurangnya ada 26 orang yang diduga telah ditangkap di berbagai macam negara dan ditempatkan di tempat penahanan Amerika Serikat di bawah program rendition rahasia dari Badan Intelejen Pusat Amerika Serikat (CIA).17 Pasca pengeboman WTC tanggal 11 September 2001, Amerika Serikat kerap mengeluarkan kebijakan yang mangakibatkan pelanggaran HAM terkait dengan program pemberantasan terorisme seperti U.S Patriot Act of 2001, Authorization for use of Military Force (AUMF) 18 dan Military Commissions Act of 2006. Bahkan di tahun 2002, Presiden Amerika Serikat mengeluarkan suatu memorandum yang menyatakan bahwa Pasal 3 Konvensi Jenewa tidak dapat diterapkan kepada tahanantahanan Al-Qaeda ataupun Taliban. Menurutnya, tahanan Taliban adalah unlawful combatants, dan karenanya tidak masuk kualifikasi tahanan perang seperti diatur Pasal 4 Konvensi Jenewa.19 Artinya, perlindungan terhadap tahanan perang di Konvensi Jenewa tidak dapat dikenakan terhadap mereka yang dianggap Tahanan Taliban.
Secret Detention dan Pemberantasan Terorisme di Indonesia Penggunaan kebijakan melawan terorisme untuk melegalkan secret detention juga terjadi di Indonesia. Sebagaimana dilaporkan oleh Working Group on the Advocacy against Torture (WGAT) bahwa di dalam PERPU No.1 tahun 2002 yang diimplementasikan lewat UU No.15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Ti n d a k P i d a n a Te r o r i s m e , terdapat klausul-klausul di luar KUHP yang membenarkan penggunaan incommunicado detention.20 UU tersebut memberikan kekuasaan lebih luas kepada polisi, militer, dan aparat intelejen untuk menangkap dan menahan tersangka kasus terorisme. Penangkapan semena-mena kemudian memberikan resiko lebih besar atas terjadinya penyiksaan, penangkapan awal tanpa adanya pengawasan hukum hingga 7x24 jam.21 Sementara KUHP hanya membolehkan penangkapan dengan kurun waktu 1x24 jam.22 Keleluasaan lainnya dalam hal penggunaan informasi rahasia intelijen oleh aparat penegak hukum ketika penyelidikan.23 Tidak hanya itu UU ini juga mengizinkan proses pemeriksaan tertutup paling lama 3 hari24 yang berpotensi memberikan ruang terjadinya penyiksaan dalam rangka menggali informasi. Selain itu, praktik-praktik pelanggaran terhadap asas mutlak non-refoulement25 juga terjadi dalam rangka pemberantasan terorisme di Indonesia. Salah satu kasus yang diangkat di laporan ini adalah kasus tersangka teroris berkewarganegaraan Ya m a n y a n g d i t a n g k a p d i Indonesia pada Oktober 2003, Salah Nasser Salim Ali.26 Ia diekstradisi kepada pemerintah USA, ditahan di salah satu secret detention CIA di Yordania dan mengalami penyiksaan disana.27
Pelanggaran Multidimensional dalam fenomena Secret Detention Sekali lagi, secret detention ini merupakan bentuk pelanggaran hukum internasional dan humaniter internasional yang tidak dapat dibenarkan dalam keadaan apapun.28 Karakteristik Incommunicado dan tertutup bagi publik ini tentunya membuka ruang terjadinya penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang selama tahanan ditahan.29 Ketakutan massal terhadap secret detention dan segala hal yang terkait dengannya seperti penyiksaan, penghilangan paksa,30 dan segala intimidasi terhadap korban dan keluarganya memangkas banyak hak asasi manusia dan kebebasan dasar31 dan tentunya mengganggu iklim demokrasi. Secret detention ini juga melanggar hak setiap orang untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang32 dan memfasilitasi terjadinya penghilangan paksa. Joint Study ini berbeda dengan laporan Special Procedures berdasarkan tema atau negara yang merupakan kewajibannya sesuai mandat pembentukannya.33 Joint Study membutuhkan suatu resolusi khusus dari Dewan HAM yang memandatkan beberapa UN Special Procedures untuk melakukan kajian bersama dalam merespon suatu hal yang dianggap penting dan mendesak atau melibatkan crosscutting themes.34 Karena di dalam permasalahan secret detention ini terdapat cross-cutting issues serta mengandung pelanggaran yang multidimensional, diperlukan kajian yang komprehensif untuk memberikan rekomendasirekomendasi yang dapat mencakup seluruh permasalahan terkait. Oleh karena itulah kajian bersama atau joint study ini amat diperlukan dalam menggali lebih dalam permasalahan secret detention yang tidak bisa dicakup dengan laporan satu prosedur Khusus PBB saja. ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI 2010
17
internasional Salah satu nilai lebih dari joint study ini adalah kajian ini menyertakan pertemuan-pertemuan dengan korban dari secret detention dan keluarganya sehingga hasilnya sangat valid dan mendetil. Karena dikaji oleh empat orang ahli yang menguasai bidangnya masing-masing, kajian ini sangat tepat digunakan sebagai referensi baik oleh akademisi maupun praktisi hak asasi manusia. Karena menggunakan indikator yang sama dengan Komite Menentang Penyiksaan, maka rekomendasi dari joint study ini bersifat menguatkan rekomendasi yang diberikan oleh Komite, khususnya untuk Indonesia.35
Bahan bacaan 1. Berdasarkan Resolusi Dewan Ham PBB 6/28, Pelapor Khusus untuk Pemajuan dan perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar ketika memerangi Terorisme dimandatkan untuk membuat rekomendasi konkret untuk memajukan dan melindungi HAM dan kebebasan dasar ketika melawan terorisme dan melakukan kordinasi kerja dengan badan-badan dan mekanisme-mekanisme terkait di PBB, khususnnya dengan prosedur khusus lainnya. 2. UN Human Rights Council (1), Joint study on global practices in relation to secret detention in the context of countering terrorism, para.1 3. Ibid., Para.6 4. UN Human Rights Council (2), Joint study on global practices in relation to secret detention in the context of countering terrorism: Executive Summary, hal 4, diunduh dari http://www.statewatch.org/ news/2010/jan/un-joint-study-secretdetention-summary.pdf 5. Human Rights Council (1), Op.Cit., para. 17; The fourth Geneva Convention on Armed Conflicts 1949 melarang secret detention dalam kondisi apapun, pasal 3 6. Pasal 2 (a) dari Pasal-pasal tentang pertanggungjawaban negara atas tindakantindakan pelanggaran internasional, yang diadopsi oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) pada sesinya ke-53, 2001, dicatat oleh Sidang Umum PBB dalam resolusinya 56/83, serta oleh the International Court of Justice, Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Bosnia and Herzegovina v. Serbia and Montenegro, putusan tanggal 26 February 2007, sebagaimana dikutip di UN Human Rights Council (1), Op.Cit., Para.8 7. UN International Covenant on Civil and Political Rights, pasal 9 para.4 8. UN Human Rights Council (1), Loc.Cit. 9. UN Human Rights Council (2), Op.Cit., hal 2 10. Pada tanggal 7 Desember 1941, Hitler mengeluarkan Nacht und Nebel Erlaß yang memerintahkan agar orang-orang dari negara-negara yang dikuasai oleh NAZI yang terlibat di aktivitas anti-Jerman dihilangkan dan dipenjarakan di sistem ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
18
EDISI MEI-JUNI 2010
concentration camp NAZI untuk diinterogasi yang kerap melibatkan penyiksaan dan hukuman badan yang seringkali berujung pada hilangnya tersangka tanpa jejak. Lihat “NACHT UND NEBEL: Destinés à disparaître sans l a i s s e r d e t r a c e ” , h t t p : / / w w w. Cheminsdememoire.gouv.fr/page/affiche page.php?idLang=&idPage=2459 11. Sebenarnya Gulag ini adalah pengganti penjara dalam sistem peradilan pidana Uni Soviet di Jaman Stalin berkuasa. Sistem ini menghukum para terpidana melakukan kerja paksa. Selain pelaku kriminal biasa, Gulag juga memenjarakan terpidana politik, yang diantarannya adalah orang-orang tidak bersalah yang ditangkap karena ketakutan paranoid dari polisi rahasia Uni Soviet. Cuaca yang ekstrim, kelaparan, dan wabah penyakit menular membuat tingkat kematian di Gulag sangat tinggi dan mereka yang masuk ke Gulag seringkali hilang tanpa jejak.“Gulag: Soviet forced labor camps and the struggle for freedom”, lihat http://gulaghistory.org/nps/; 12. Secret detention ini tidak mensyaratkan perampasan kemerdekaan di tempattempat yang rahasia atau tidak diakui dalam suatu sistem hukum, namun bisa juga tempat-tempat atau kewenangan yang bahkan diakui oleh sistem hukum. Unsur yang menentukan apakah suatu tempat merupakan secret detention atau bukan adalah karakter incommunicando dan fakta bahwa yang berwenang tidak terbuka terhadap tempat dimana seseorang ditahan dan/atau nasibnya. Lihat UN Human Rights Council (1), Op.Cit., Para.9 13. Matthew Cole and Brian Ross: CIA Secret 'Torture' Prison Found at Fancy Horseback Riding Academy. In ABC News Finds the Location of a "Black Site" for Alleged Terrorists in Lithuania; Nov. 18, 2009; http://abcnews.go.com/ Blotter/cia-secret-prison-found/story? Id=9115978 sebagaimana dikutip di dalam Human Rights Council, Joint Study of UN Special Procedures, Ibid., hal.62; lihat juga UN Economic and Social Council, Report of the Working Group on Arbitrary Detention, UN Doc E/CN.4/2006/7, para.53 14. Bahkan di tahun 2007, setelah The UN Global Counter-Terrorism Strategy menegaskan bahwa penghormatan terhadap hak setiap orang dan rule of law adalah dasar dari perlawanan terhadap terorisme, Presiden Bush mengeluarkan perintah eksekutif yang membolehkan dilanjutkannya penggunaan secret detention oleh CIA. Lihat Amnesty International, USA: Law and executive disorder President gives green light to secret detention program (Index: AMR 51/135/2007), August 2007 sebagaimana dikutip dalam Amnesty Internasional, State of Denial: Europe's role in rendition and secret detention, (Index: EUR 01/003/2008), June 2008 hal.3 15. UN Human Rights Council (1), Op.Cit., para.13 16. Ibid. 17. UN Human Rights Council (3), Opini 12/2006 of Working Group on Arbitrary Detention, UN Doc. A/HRC/4/40/Add.1, hal.103 18. Resolusi bersama ini mengizinkan Presiden mengambil tindakan yang perlu terhadap suatu bangsa, organisasi atau orang yang dianggap merencanakan,
menyetujui, melakukan atau membantu serangan teroris tanggal 11 September 2001, atau mengamankan organisasi atau orang tersebut untuk mencegah serangan terorisme terhadap Amerika Serikat oleh bangsa, organisasi atau orang-orang tersebut di masa yang akan datang. 19. UN Human Rights Council (1), Op.Cit., Para.100 20. Working Group on the Advocacy against To r t u r e , S h a d o w R e p o r t o n t h e Implementation of Convention Against Torture and other cruel, Inhuman or degrading treatment or punishment to be submitted to Committee against Torture on its 40th session, hal.11 21. Indonesia (1), Undang-undang No. 15 Year 2003 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 28 22. Indonesia (2), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Undang-undang Nomor 8 tahun 1981, pasal 19 (1) 23. Ibid., pasal 26 (1) 24. Ibid., pasal 26 (3) 25. UN Convention Against Torture and other cruel, Inhuman or degrading treatment or punishment, pasal 3. 26. UN Human Rights Council (1), Op.Cit., para.133 27. E/CN.4/2006/6/add.1, para. 93, 126, 525, 550; 28. UN Human Rights Council (1), Op.Cit, para.282 29. Ibid.,para.289; lihat juga Commission on Human Rights resolution 2005/39, para. 9; Human Rights Chamber for Bosnia and Herzegovina, Decision on Admissibility and Merits, Case No. CH/99/3196, Avdo and Esma Palić v. The Republika Srpska, para. 74. 30. Berdasarkan Pasal 2 International Convention on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance, penghilangan paksa didefinisikan sebagai “penangkapan, penahanan, penyandraan atau segala bentuk perampasan kemerdekaan oleh aparat negara atau oleh perorangan atau kelompok yang bertindak berdasarkan kewenangan, dukungan atau sepengetahuan negara, yang diikuti oleh penolakan pemberitahuan mengenai perampasan kemerdekaan tersebut atau dengan tidak memberitahukan nasib atau dimana orang yang dihilangkan tersebut, yang menempatkan orang tersebut diluar perlindungan hukum. 31. Human Rights Chamber for Bosnia and Herzegovina, Op.Cit., para.290 32. UN International Covenant on Civil and Political Rights, Pasal 9 para.1; Working Group on the Arbitrary Detention sudah menyatakan bahwa Secret Detention itu secara per se merupakan arbitrary detention, lihat Opini Working Group on the Arbitrary Detention No. 14/2009, A/HRC/13/30/Add.1; lihat juga UN Doc. E/CN.4/1998/44, para. 8 (a) 33. “Special Procedures of the Human Rights Council”, lihat http://www2.ohchr.org/ english/bodies/chr/special/index.htm 34. Untuk Crosscutting themes yang telah menjadi focus UN Special procedures lihat http://www2.ohchr.org/english/bodies/chr/ special/thematic.htm 35. Committee Against Torture, Concluding Observation on Indonesia on its second periodic report, UN.Doc CAT/C/IDN/CO/2, 1st July 2008.
laporan kegiatan
Pelatihan-pelatihan yang diadakan ELSAM di tahun 2009 Kursus HAM untuk Pengacara XIII, 29 Juli 20 Agustus 2009. Setiap tahun sejak 1999, ELSAM menyelenggarakan kursus HAM untuk pengacara. Boleh dikatakan kursus ini merupakan suatu pendidikan praktis HAM yang pertama di Indonesia. Hingga saat ini, telah terselenggara 12 angkatan. Sektar 325 orang partisipan telah mengikuti kursus ini. Mereka adalah pengacara profesional/ corporate lawyer dari firma-firma hukum, pengacara di lembaga HAM seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, LPSK, Komnas Perlindungan Anak, Palang Merah Indonesia, ICRC, berbagai LSM di seluruh Indonesia, staf/para peneliti dari berbagai pusat studi HAM. Pada tahun 2009 ini, ELSAM kembali menyelenggarakan kursus HAM untuk pengacara yang ke XIII. Acara diselenggarakan pada 19 Juli 20 Agustus 2009, di SLDC Sentul, Jawa Barat, diikuti 25 peserta dari berbagai daerah, di antaranya Ambon, Papua, dan NTB. Tujuan dari kursus ini adalah memperkenalkan hukum HAM dan meningkatkan kemampuan pengacara dalam melakukan pembelaan HAM pada berbagai kasus hukum HAM.
pendidikandari Fakultas Hukum Universitas Lund di Swedia, untuk merancang dan menyeleng-garakan pelatihan HAM khusus dalam hal pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bersamasama dengan INFID, sebuah organisasi jaringan LSM yang berkiprah di tingkat internasional, pelatihan ini telah diikuti oleh 19 peserta yang berasal dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Sebagai tindak lanjut dari pelatihan tersebut, para peserta telah dibimbing untuk menyusun sebuah laporan pemantauan tentang hak-hak ekonomi, social dan budaya di daerah masingmasing. Laporan tersebut
menjadi dasar penulisan laporan alternatif tentang pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Kursus HAM untuk Pengacara Tingkat Lanjut, 19 Januari 8 Februari 2009. Banyak kasus hukum HAM hingga saat ini belum tuntas penyelesaiannya. Peran para pengacara dalam hal ini sangat dibutuhkan, terutama pengacara yang memiliki pengetahuan dan keahlian HAM. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM hanya dapat dilakukan dengan pendekatan hukum dan pendekatan HAM secara terpadu. Semakin banyak pengacara paham HAM dan mampu serta terampil
Pelatihan Pengembangan Kapasitas Masyarakat Sipil untuk Monitoring Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 13 18 April 2009. Di tahun ini juga, ELSAM telah dipercaya oleh Raoul Wallenberg Institute (RWI)institusi akademik independen yang berdedikasi untuk kemajuan HAM melalui penelitian, pelatihan dan
Diskusi dalam Pelatihan Kursus HAM untuk Pengacara XIII Tahun 2009 dok.Elsam
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI 2010
19
laporan kegiatan Pelatihan keterlibatan warga dalam penyusunan kebijakan di daerah yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam. Pelatihan yang diadakan di Buleleng, Bali, ini bekerja sama dengan PilangBali dilangsungkan pada 7 9 November 2010. Diikuti 41 peserta Perwakilan 14 desa di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, terdiri dari 2 orang pemerintahan desa dan 1 orang dari BPD sebagai wakil masyarakat desa.
Simulasi Persidangan pada Pelatihan HAM untuk Pengacara dok; Elsam
menggunakan instrumen-instrumen HAM, maka semakin banyak pula kasus-kasus hukum HAM yang dapat ditanggapi dengan cepat. Evaluasi ELSAM atas kursus HAM untuk pengacara angkatan I hingga XI masih memperlihatkan belum maksimalnya para pengacara tersebut menggunakan pende-katan, strategi dan instrumen HAM dalam pembelaan HAM. Menanggapi hal ini, ELSAM menyelenggarakan kursus HAM untuk Pengacara Tingkat Lanjut. Kursus ini menekankan pada peningkatan kemampuan teknis dan praktek pembelaan kasus-kasus hukum HAM. Kemampuan peserta kursus menerapkan instrumen HAM selama beracara, membangun argumen dengan dalil-dalil hukum dan HAM, serta secara kreatif menggunakan mekanisme hukum yang ada untuk membela mereka yang terlanggar hak-haknya, menjadi tujuan utama yang ingin dicapai dalam pelatihan ini. Kursus ini diselenggarakan oleh ELSAM bekerja sama dengan Indonesia-Australia Legal Development Facility (IALDF). IALDF adalah program lima tahunan yang bertujuan untuk ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
20
EDISI MEI-JUNI 2010
menguatkan kapasitas lembaga pemerintahan Indonesia maupun masyarakat umum untuk mendukung reformasi hukum dan melindungi HAM. P e l a t i h a n H A M Ta h u n a n (Kerjasama ELSAMEquitas), 12 26 Februari 2009. Pelatihan HAM Tahunan (PHAMT) 2009 berlangsung dua minggu, mengumpulkan 30 orang penggiat HAM dan keadilan sosial seIndonesia untuk memperdalam pemahaman tentang HAM dan pentingnya peran pendidikan HAM dalam membawa perubahan sosial. ELSAM telah dipercaya oleh Equitas Kanada untuk menggelar pelatihan HAM tahunan ini, bersama-sama dengan alumni pelatihan HAM Equitas Indonesia. Equitas Kanada adalah lembaga pendidikan HAM di Kanada yang telah menggelar 29 kali pelatihan, mengumpulkan 120 pekerja HAM seluruh dunia. Tujuan PHAMT adalah meningkatkan kapasitas para pendidik dan penggiat HAM untuk melakukan pendidikan HAM yang efektif dan diarahkan untuk membangun budaya HAM di Indonesia.
resensi Pertanggungjawaban Kekejaman, Timor Leste, dan Lonsum Oleh Widiyanto (Redaktur Pelaksana Asasi) 1. Mempertanggungjawabkan Kekejaman-Kekejaman di Indonesia Briefing Paper No. 1/2010 Diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Inggris dengan judul `Accounting for atrocities in Indonesia` dalam Singapore Year Book of International Law, Volume 11, pp.195-259, 2007. Penulis : Suzannah Linton Editor Isi : Eddie Sius Riyadi Jumlah halaman : 94 + viii hal Penerbit : ELSAM, 2010
an kejam n-Ke jama Keke
K
ondisi hak asasi manusia di Indonesia paska 1998 banyak memperoleh apresiasi sekaligus kritik yang mendasar. Sepanjang lebih dari satu dekade paska reformasi ini sejumlah aturan mengenai hak asasi diadopsi dan diperkuat. Sebut saja perbaikan dalam ayat-ayat UUD 1945 hasil amandemen yang menambahi aturan jaminan perlindungan hak asasi yang sangat signifikan. Pasal 28 A hingga 28 J merupakan pasal-pasal baru hasil amandemen yang mengatur jaminan hak atas perlindungan hukum dan perlakuan adil dan setara di hadapan hukum, perlindungan kehidupan privat, keluarga, martabat dan kepemilikan. Dalam pasal-pasal lainnya ada juga perlindungan hak atas hidup, bebas dari penyiksaan, perlindungan atas kebebasan berpikir dan berkeyakinan, kebebasan untuk beragama. Dari sisi yang lain, hasil amandemen Konstitusi menegaskan pula penyerahan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat, tidak melalui institusionalisasi yang berwujud dalam lembaga tertinggi negara. Masa jabatan Presiden pun dibatasi hingga dua periode saja. Capaian positif pemajuan hak asasi manusia lainnya dapat dilihat dengan pengesahan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, serta pengesahan dua Kovenan Internasional bidang Hak Asasi Manusia yakni Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) dan Kovenan Hak Sipil Politik (Sipol). Dua kovenan ini telah disahkan dalam UU No. 11 dan No. 12 tahun 2005 setelah mengalami reservasi pada klausula mengenai penentuan nasib sendiri. Kemajuan-kemajuan instrumen bidang hak asasi tersebut tentu saja dicatat dengan baik. Namun yang perlu ditegaskan dari sejumlah kemajuan tersebut, ternyata banyak juga laporan-laporan yang menyatakan bahwa kondisi riel hak asasi masih mengandung banyak kelemahan. Salah satu kritik itu dilaporkan oleh Suzannah Linton, Associate Professor Departemen Hukum Universitas Hong Kong. Linton juga direktur program master bidang hak asasi manusia di universitas yang sama. Dalam briefing paper-nya yang diterbitkan ELSAM berjudul Mempertanggungjawabkan Kekejaman-kekejaman di Indonesia, Linton mencatat bahwa harus diakui ada kemajuan dalam proses pertanggungjawaban kejahatan hak asasi manusia di negara ini. Namun, sedikit kemajuan tersebut dianggap sebagai tindakan simbolis dan hasil dari proses manipulasi besar-besaran, dengan kambing hitam pelaku berpangkat rendah yang menanggung kesalahan. Semua peristiwa kejahatan hak asasi manusia berat yang diajukan ke pengadilan merupakan upaya sistematis untuk mengalihkankan perhatian terhadap pelaku yang memiliki posisi lebih tinggi dalam garis komando militer maupun sipil. Dengan pengadilan yang manipulatif itu, Linton berpendapat, telah terjadi upaya penutupan kejahatan dengan meninggalkan tumpukan pelanggaran-pelanggaran yang tak terselesaikan. Dalam paper tersebut Linton juga menilai upaya dan kampanye yang dilakukan saat ini guna mewujudkan pertanggungjawaban dan ratifikasi atas instrumen-instrumen hak asasi manusia sangat sulit. Terlebih untuk menghasilkan perubahan mendasar dari masyarakat dan nilai-nilainya. Terkecuali, kata Linton, pilar-pilar besar seperti peradilan, kepolisian, dan kejaksaan agung dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) direformasi secara besar-besaran.
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI MEI-JUNI 2010
21
resensi 2.
Per Memoriam ad Spem; Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste Penanggungjawab Terbitan: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) untuk kepentingan diseminasi informasi berdasarkan ijin dari Departemen Luar Negeri Republik Indonesia Editor Bahasa : Betty Yolanda SH., LLM Kolasi : xli, 621 halaman Impresum : Jakarta: ELSAM, 2010. Dengan dukungan dana dari Swiss Embassy
T
imor Leste menjadi satu isu yang mengganjal dalam sejarah penegakan hak asasi manusia. Ada kesan yang cukup kuat bagi Pemerintahan SBY untuk memberi kejelasan status penyelesaian terhadap tuduhan kejahatan hak asasi manusia berat yang dilakukan oleh TNI dan milisinya ketika Timor Leste memenangi referendum kemerdekaan pada 1999. Sinyal penyelesaian yang dilakukan oleh Presiden SBY tampak nyata melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan bersama dengan Pemerintahan Timor Leste. Komisi ini terdiri dari sepuluh anggota, masing-masing negara mengirimkan lima orang delegasinya. Komisi bekerja sejak Agustus 2005 hingga Mei 2008 dan diketuai oleh Benjamin Mangkoedilaga, mantan hakim agung RI. Laporan tebal kerja tim ini telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh ELSAM dengan judul Per Memoriam ad Spem. Laporan ini mengurai lima kesimpulan mengenai kejahatan hak asasi yang dihasilkan oleh Komisi. Pertama, Komisi menyimpulkan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat yang mencakup pembunuhan, pemerkosaan, dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya, penyiksaan, penahanan illegal, serta pemindahan secara paksa dan deportasi terhadap penduduk sipil. Kedua, adanya tanggung jawab institusional atas pelanggaran-pelanggaran tersebut. Ketiga, berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan untuk mendukung gerakan pro-otonomi, Komisi menyimpulkan bahwa milisi pro-otonomi, TNI, pemerintahan sipil Indonesia dan Kepolisian RI, semua harus memikul tanggung jawab institusional atas pelanggaran hak asasi manusia berat terhadap warga sipil yang dianggap pro-kemerdekaan. Kesimpulan keempat, Komisi menetapkan bahwa kelompok-kelompok pro-kemerdekaan bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi manusia berat dalam bentuk penahanan illegal dengan sasaran yang ditujukan kepada kelompok-kelompok yang dianggap pro-otonomi. Terakhir, Komisi menyimpulkan bahwa karena karakter dan cakupan keterlibatan ini, dari sudut pandang moral dan politis, negara harus menerima tanggung jawab negara atas pelanggaran hak asasi manusia berat yang terkait dengan institusi-institusi negara sebagaimana diidentifikasi dalam laporan ini. Dengan kesimpulan-kesimpulan ini, Komisi memberikan banyak rekomendasi. Antara lain, pembentukan komisi untuk orang-orang hilang serta rekomendasi untuk pengakuan bersama. .
3. Pidana Penghinaan adalah Pembatasan Kemerdekaan Berpendapat yang Inkonstitusional Briefing Paper No. 2/2010 Amicus curiae (komentar tertulis) diajukan oleh: ELSAM, ICJR, IMDLN, PBHI, dan YLBHI Penulis : Syahrial Martanto Wiryawan, Anggara, Wahyu Wagiman, Supriyadi Widodo Eddyono, Zainal Abidin Editor : Eddie Sius Riyadi Kolasi : xvi, 140 halaman Impresum : Jakarta: ELSAM, 2010 Bilingua : Indonesia-Inggris
D
emikian situasi kondisi hak asasi manusia Indonesia sekarang. Maju dan mundur sekaligus. Di saat opini internasional menganggap Indonesia masuk dalam kategori negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, persoalan menyangkut kebebasan berekspresi mengalami masalah krusial. Tercatat belasan kali peristiwa-peristiwa penting dalam lima tahun terakhir yang menunjukkan kemunduran dalam jaminan hak atas kebebasan berekspresi. Satu kasus yang menyedot perhatian publik adalah kriminalisasi terhadap Prita Mulyasari, seorang pasien yang ditahan karena membuat surat keluhan terhadap pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional.
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
22
EDISI MEI-JUNI 2010
ELSAM menerbitkan satu briefing paper tentang Kasus Prita ini, hasil sebuah komentar tertulis atau bentuk Amicus Curiae yang dikerjakan sejumlah advokat muda: Anggara Suwahyu, Syahrial Martanto Wiryawan, Zainal Abidin, Supriyadi Widodo Eddyono, dan Wahyu Wagiman. Briefing paper yang berjudul Pidana Penghinaan adalah Pembatasan Kemerdekaan Berpendapat yang Inkonstitusional ini, diterbitkan bersama dengan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), dan Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN). Seolah mendobrak tradisi hukum kontinental yang kaku, para advokat ini hendak memberi opini mereka mengenai pentingnya perlindungan bagi kebebasan berekspresi oleh hukum. Mendobrak dalam pengertian mengirimkan amicus curiae kepada majelis hakim yang menyidangkan perkara Prita. Konsep ini sesungguhnya lahir dari rahim tradisi hukum kebiasaan, yang mensyaratkan para pengirim komentar tersebut tidak memiliki afiliasi langsung terhadap para pihak. Ada yang mengatakan amicus curiae merupakan perwujudan dari sahabat pengadilan (friends of court). Dalam amicus curiae yang diterbitkan itu, para advokat menolak secara tegas upaya kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi yang menjadi syarat penting yang memungkinkan berlangsungnya demokrasi dan merupakan sarana bagi publik untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan.
4.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT PP Lonsum Tbk- Sumatera Utara Kertas Posisi No.1/2010 Penulis : Tim ELSAM Editor : Eddie Sius Riyadi Kolasi : xxi, 140 halaman Impresum : Jakarta: ELSAM, 2010 Bilingual Indonesia-Inggris
T
antangan pemajuan hak asasi manusia ke depan memang makin kompleks. Negara sebagai institusi bukan lagi aktor tunggal pelanggar hak asasi, namun tuduhan pelaku saat ini makin meluas pada korporasi. Berbeda dengan perusahaan pada umumnya, istilah korporasi diartikan sebagai perusahaan raksasa, yang ekspansif, dengan demikian skala dampak politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang dihasilkannya sangat luas. Salah satu korporasi yang belakangan mendapat sorotan tajam dari para aktivis hak asasi dan lingkungan adalah PT Lonsum Tbk North Sumatra. Ia adalah korporasi besar dalam bidang pengolahan dan perkebunan kelapa sawit di Pulau Sumatera. Dalam kegiatannya yang sangat ekspansif, seringkali korporasi ini melakukan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia terutama terhadap penduduk sekitar kebun kelapa sawitnya. ELSAM melakukan serangkaian monitoring bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi itu selama bertahuntahun. Laporan pemantauannya dibukukan dengan judul Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT PP Lonsum Tbk-Sumatera Utara. Laporan pemantauan PT Lonsum itu menyebut PT Lonsum telah melakukan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia. Para pekerja yang terlibat dalam aksi menentang penyerobotan lahan sengketa oleh perusahaan diberhentikan secara sewenang-wenang tanpa ada negosiasi. Korporasi juga terlibat dalam pengusiran warga yang mendiami lahan yang hendak dikuasai oleh perusahaan. Laporan pemerkosaan dan pelecehan seksual lainnya juga disinggung dalam position paper ini.
T ASI MASYARAKA AD
VO K
PROFIL ELSAM I& LEMBAGA STUD
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy), disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan, berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. ELSAM mempunyai empat kegiatan utama sebagai berikut: (i) studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia; (ii) advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya; (iii) pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan (iv) penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia. Susunan Organisasi Perkumpulan ELSAM Badan Pengurus: Ketua: Sandra Moniaga, SH; Wakil Ketua: Ifdhal Kasim.; Sekretaris 1: Roichatul Aswidah Msc; Bendahara: Ir. Suraiya Kamaruzzaman; Anggota: Abdul Haris Semendawai, SH, LLM; Anggota Perkumpulan: Abdul Hakim G. Nusantara, SH, LLM; Asmara Nababan; I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, MA; Ir. Agustinus Rumansara, M.Sc.; Francisia Sika Ery Seda Hadimulyo; Lies Marcoes, MA; Johni Simanjuntak, SH; Kamala Chandrakirana, MA; Maria Hartiningsih; E. Rini Pratsnawati; Raharja Waluya Jati; Ir. Yosep Adi Prasetyo; Sentot Setyasiswanto S.Sos; Toegiran S.Pd; Herlambang Perdana SH, MA. Badan Pelaksana: Direktur Eksekutif: Dra. I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, MA; Deputi Program: Indriaswati Dyah Saptaningrum, SH, LL.M; Deputi Internal: Otto Adi Yulianto, SE; Staf: Adyani Hapsari W; Ahmad Muzani; Drs. Amiruddin, MSi; Betty Yolanda, SH, LLM; Elisabet Maria Sagala, SE; Elly F. Pangemanan; Ester Rini Pratsnawati;Ikhana Indah Barnasaputri, SH; Julita Mekaria Nainggolan; Khumaedy; Kosim; Maria Ririhena, SE; Paijo;Siti Sumarni, SE; Triana Dyah, SS; Siti Mariatul Qibtiyah;Wahyu Wagiman SH Alamat:
Jl. Siaga II No. 31, Pasar Minggu, Jakarta 12510. Tel.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519; Email:
[email protected], Website: www.elsam.or.id