MENGUBAH SEKOLAH MENJADI MINIATUR KEHIDUPAN NATURAL DAN FUN Siti Farikhah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga
Abstract There are several religiosity-based public schools today. However, this tends to be more additionally new trend but commercially oriented. Accordingly, the schools are designed as the field of horse race because students are demanded to know more. They are not demanded to be better but to compete with others. Their achievement must be measured by scores of evaluation not the fundamental changes in their mind set, emotion, and attitude. Therefore, students become oppressed, frustrated, and lost their interests. Through fun learning, schools can be changed to be a miniature for not only natural and real, but also beautiful and comfortable life. Thus, learning process can be perceived as the comfortably real life. This helps children to get pleasure from their pre-growth, and construct positive imagination concerning their life. Natural-based schools can be one of the examples that can be enjoyed by all because they may learn from all. Through this concept, children can be returned to their natural tendency as the mercy of the universe – rahmatan lil „alamin, who grow up together with their environment in the harmonious state.
Keywords: school, nature, exciting Pendahuluan Dalam miniatur kehidupan yang natural dan riil, anak-anak benar-benar dipandang sebagai manusia seutuhnya. Bukan sekedar robot cerdas, yang harus dijejali dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan sehingga jam-jam belajar menjadi saat-saat “pengisian” yang mengerikan. Ledakan informasi di abad ini barangkali membuat panik, sementara kehidupan yang telah berubah menjadi medan kompetisi yang dahsyat mendorong orang berpikir, bahwa untuk bisa bertahan hidup harus mengetahui segalanya. Demikian pula sekolah-sekolah yang didirikan, sebagai tempat menjajakan “barangbarang” yang bernama ilmu pengetahuan, yang harus “dimiliki” setiap orang agar bisa bertahan hidup. Maka “kecerdasan” menjadi sangat dikagumi, karena merupakan mata uang paling bergengsi yang digunakan untuk membeli “barang-barang” tersebut. Dan belajar adalah proses transaksinya. Anak-anak belajar “menguasai” pelajaran. Bukan “menjadi sesuatu” dengan pelajaran tersebut. Makin banyak pelajaran yang dapat dikuasai, makin baik transaksinya. Maka guru seolah-olah memburu anak-anak cerdas yang dapat melakukan banyak transaksi. Namun yang terjadi justru sebuah ironi. Anak-anak itu tidak mengalami “transformasi pembelajaran”. Misalnya, pelajaran matematika tidak begitu saja membuat anak-anak dapat berpikir logis. Pelajaran bahasa bahkan tidak membantu anak-anak berbahasa dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. Belajar adalah proses berubah secara konstan !
Pengetahuan bukan “barang” yang harus dimiliki. Pengetahuan adalah sebuah “fungsi”. Karenanya dengan mempelajari semua pengetahuan, membantu untuk berubah menjadi lebih baik. Sedangkan belajar adalah proses menggunakan pengetahuan sebagai penuntun perjalanan mendekati kesempurnaan secara konstan. Belajar adalah proses “menjadi” secara konstan. (Anis Matta, 2005:xviii). Karena “menjadi” merupakan proses yang tidak pernah berakhir, belajar adalah satu-satunya proses kehidupan yang tidak pernah selesai. Anak-anak bukan tabung besar yang harus diisi dengan pengetahuan. Mereka adalah senyawa kehidupan yang rumit dan kompleks. Mereka berubah, berbentuk, dan bermetamorfosis melalui proses yang juga kompleks, dan pengetahuan hanyalah salah satu aspeknya. Dalam konteks ini, semua pengetahuan yang dibutuhkan untuk membangun kehidupan yang lebih baik harus dipelajari. Sebaliknya, semua pengetahuan yang tidak mempunyai “fungsi spesifik” dalam kehidupan riil tidak perlu dipelajari. Menurut Ummar Bin Khattab, jenis pengetahuan yang terakhir tersebut bukan “aib” untuk diketahui. Itulah sebabnya Rasulullah SAW mengajarkan sebuah doa: “Ya Allah, ajari kami apa yang bermanfaat bagi kami, dan beri kami manfaat dari ilmu yang telah Engkau ajarkan pada kami”. Dengan demikian, pengetahuan “bekerja” dalam kehidupan mereka sebagai sumber pencerahan hidup. Pembelajaran yang mengintegrasikan pelajaran di kelas, outing (penelitian lapangan), market day, dan lain-lainnya dapat memberikan pemahaman dan kesadaran yang relatif lebih utuh tentang kehidupan. Sehingga membentuk struktur emosi dan mentalitas yang lebih stabil, serta membangun sikap-sikap keseharian yang lebih tercerahkan dari waktu ke waktu. Tentu saja pembelajaran seperti itu menghadirkan pengetahuan dalam kehidupan nyata mereka; apa yang mereka pelajari di kelas terasa begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari. Pengetahuan benar-benar bekerja pada fungsinya, yaitu membimbing mereka menjalani hidup. Itu sebabnya setiap pertambahan pengetahuan melahirkan perubahan-perubahan baru dalam kehidupan mereka. Mereka menjadi lebih baik, lebih tercerahkan dan lebih terbebaskan ! Nah, sekolah Alam yaitu sekolah berbasis alam semesta mampu mengubah sekolah menjadi miniatur kehidupan natural dan menyenangkan. Pembahasan Potret Sekolah Kini Alkisah beberapa waktu lalu, sepasang suami istri datang ke rumah penulis. Mereka menyampaikan kebingungannya menghadapi anak sulungnya yang sudah tiga minggu tidak masuk sekolah dengan alasan yang tidak jelas. Segala cara sudah diupayakan agar anaknya mau masuk bangku SMP yang baru diduduki kurang dari satu setengah bulan itu. Sama sekali tidak berhasil. Setiap kali diingatkan untuk pergi sekolah, si anak selalu menjawab singkat, “Capek !”, “Malas !”
Pada suatu sarasehan pendidikan yang diselenggarakan anak-anak seusia sekolah menengah (Isjoni, 2008:22), seorang siswi dari sebuah SMA Negeri di Jakarta mengungkapkan kekecewaannya atas proses pembelajaran di sekolahnya. “Seandainya saya boleh menggunakan kebebasan memilih untuk sekolah atau tidak sekolah,saya akan memilih tidak sekolah”.Siswi itu bertutur tentang ragam alasan, mengapa sekolah itu membosankan. Waktu yang terlalu lama, beban siswa banyak, disertai kewajiban menghafal adalah sebagian alasan yang diiyakan peserta lain. Tidak ada penambahan pengetahuan yang terlalu berarti karena pelajaran, terutama antara SMP dan SMA, banyak yang hampir sama. Misalnya Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, PKn, dan sebagainya. Hal yang bisa dibanggakan dan pengalamannya bersekolah adalah kemampuannya membaca dan menulis. Berdasarkan pengamatan penulis, ada sekelompok siswa sebuah SMA kota, nongkrong di terminal bus, bolos sekolah. Tanpa beban mereka asyik berbincang sambil menikmati riuh ramai kendaraan, penumpang, ataupun teriakan para crew bus. Dari wajah mereka hampir tak tergurat raut penyesalan karena meninggalkan pelajaran, melanggar titah orang tua. Sepintas kita mungkin akan berkata, “dasar pemalas, tidak tahu menghargai jerih payah orang tua!” Suatu hal yang lumrah tapi belum tentu benar. Barangkali kita pernah merasakan betapa sekolah demikian membosankan atau bahkan menakutkan. Sebagai ilustrasi, pada hari Senin pada jam pertama, jantung Andi berdebar kencang. Ini disebabkan PR matematikanya yang belum selesai meski sudah tiga hari dikerjakan. Sejenak terbayang betapa akan malunya ia bila kena marah gurunya di depan kelas. Sehingga setiap ada pelajaran matematika, ruangan kelas seolah menjadi tempat yang paling tidak aman baginya. Bahkan menjelma menjadi penjara. Akhirnya ia memutuskan untuk bolos sekolah. Mencermati beberapa persoalan di atas, anak-anak jelas mengalami aneka masalah pendidikan yang tidak memuaskan. Tetapi mereka tidak mampu mengurai lebih jauh untuk bisa mengenali akar masalah yang membuat proses belajar di sekolah menjadi tidak membantu anak berkembang menjadi cerdas dan kreatif. HAR Tilaar dalam Isjoni (2008,24) mengatakan bahwa kecerdasan dan kreatifitas anakanak dalam proses pembelajaran di sekolah itu untuk tujuan kepentingan kekuasaan. Itulah domestifikasi atau stupidifikasi yang terjadi di sekolah-sekolah. Selanjutnya pertugasan Tilaar senada dengan Chomsky, bahwa domestifikasi dilakukan oleh kekuasaan negara secara sistematis melalui pendidikan di sekolah, demi tujuan melestarikan kekuasaan. Antonio Gramsci menilai, sekolah seperti itu merupakan lahan subur bagi kekuasaan untuk menanamkan ideologi kekuasaannya secara berlebihan. Anak-anak dirampas kemerdekaan cara berpikirnya atau disebut outomaton, yaitu individu yang bergerak serupa mesin, serba otomatis. Kalau dilihat lebih cermat, pendidikan yang membelenggu itu merupakan tipikal sistem pendidikan negara jajahan. Sejak zaman kolonial Belanda, upaya-upaya yang mencegah tumbuhnya kecerdasan untuk berpikir bebas, daya kritis terhadap realitas yang berujung pada
kesadaran terhadap posisi diri dalam struktur sosial, memang di-setting secara sistematis. Untuk memperkuat kedudukan, Belanda mendirikan sekolah untuk anak-anak Indonesia. Tujuannya untuk menciptakan pegawai rendahan baik sebagai pegawai negeri ataupun swasta (Said, 1989; 158). Sebenarnya yang lebih substansial tujuannya jelas yakni menjaga agar masyarakat di Hindia Belanda tetap bodoh, tidak „sadar diri‟ sehingga kekuasaan kolonial tidak terancam. Sistem pendidikan dengan sendirinya menjadi instrumen untuk melanggengkan kekuasaan. Pendidikan hanya semata-mata memasukkan peserta didik ke dalam sistem yang sudah ada: mencetak dokter, akuntan, teknisi, ahli hukum dan sebagainya yang loyal terhadap penguasa. Sayangnya model pendidikan seperti ini tetap berlangsung hingga sekarang. Dalam konteks kekinian dimana penjajahan tidak lagi menemui bentuknya yang paling primitif dan pendidikan di Indonesia pada umumnya belum beranjak berubah. Inilah sebenarnya yang sangat mengkhawatirkan. Kebanyakan peserta didik hanya menjadi pengekor, bukan inovator yang ulung. Ada dugaan, semua ini disebabkan orientasi proses pendidikan yang keliru di antaranya sebagai berikut. 1. Keberhasilan diukur dari daerah kognitif (pengetahuan) dan hampir tidak pernah diukur dari daerah afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Akibatnya, watak dan budi pekerti diabaikan. 2. Tidak adanya evaluasi pendidikan di tingkat SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi yang mengakomodasi pola berpikir variatif, kreatif, imajinatif, dan inovatif. Akibatnya, siswa hanya menjadi objek didik dan jauh serta jarang berperilaku kreatif. 3. Proses pendidikan hanya sebagai proses pengajaran sehingga materi pelajaran menjadi tidak terasa relevan dengan kenyataan. Akibatnya, terjadi kesenjangan antara dunia sekolah dan dunia kerja. 4. Kemampuan menguasai pengetahuan tidak disertai dengan kegemaran belajar. Akibatnya, lembaga pendidikan menjadi lembaga “elite” yang asing dari kehidupan dan keperluan hidup sehari-hari. 5. Orientasi akhir pendidikan cenderung mengejar titel dan gelar, sehingga sangat bernuansa status dan seremonial. 6. Materi pendidikan ditulis dengan miskin ide, tidak menyeimbangkan faktor praktik dengan teori, iptek dengan imtak. Tidak ada ruang jawaban yang variatif. 7. Manajemen pendidikan dibebankan pada pemerintah dan bukan kepada seluruh “stake holder” pendidikan, seperti masyarakat, orang tua, guru, dan siswa itu sendiri. 8. Profesi guru terkesan ilmiah saja dan kurang disertai dengan bobot kemanusiaan, sehingga hubungan guru dan murid bagaikan hubungan produsen dan konsumen. Hal ini diperparah lagi dengan profesi guru yang secara finansial berada di papan paling bawah.
9. Lemahnya political will dari pemerintah yang belum menempatkan anggaran dan isu pendidikan sebagai prioritas dan diikuti problem nasional yang multidimensi. Hal ini pada gilirannya berimbas pada sarana prasarana yang tidak lagi memadai, dan sebagainya. (Endah Muthiah, 2005, tulisan lepas tentang Wajah Dunia Pendidikan Kita). Konsep Sekolah Natural dan Fun Berawal dari ketidakpuasan pada sistem pendidikan yang ada. Yang mengerucutkan angan-angan akan sebuah sekolah impian, yaitu sekolah unggulan namun tidak “menguras kantong”; sekolah yang memberi “pelajaran kehidupan” bukan mengejar nilai; sekolah yang melahirkan pemimpin, bukan mencetak calon pengangguran; sekolah yang alami, menyenangkan dan tidak mengekang; dan lahirlah sekolah yang membebaskan. Ada dua faktor utama yang harus diperhatikan dalam konsepsi sekolah berwawasan natural, yaitu apa yang dibawa anak sejak lahir sebagai modal potensial (nature) dan bagaimana lingkungan memerankan lingkungannya (nurture) dalam membantu anak merealisasikan kemampuan potensial tersebut. (C. Semiawan, 2000:27). Nature Konsep nature terkait dengan bakat dan potensi yang dibawa sejak lahir, yang setelah menikmati pengaruh lingkungan berupa pembelajaran, terus-menerus berada dalam berbagai fase perkembangan. Psikologi kontemporer tentang belajar (konstruktivisme) mengisyaratkan bahwa belajar adalah mengkonstruksikan pengetahuan yang terjadi from within. Jadi, tidak dengan memompakan pengetahuan itu ke dalam kepala pebelajar, melainkan melalui suatu dialog yang ditandai oleh suasana belajar yang bercirikan pengalaman dua sisi (two-sided experience) (Buber:70), untuk memberikan pemahaman dan menyulut minat dalam mengadakan eksplorasi lebih lanjut tentang apa yang ingin dijadikan perolehannya. Ini berarti bahwa penekanan tidak lagi seharusnya pada kuantitas materi, melainkan pada upaya agar siswa menggunakan peralatan mentalnya (otaknya) secara efektif dan efisien sehingga tidak ditandai oleh segi kognitif belaka, melainkan terutama juga oleh keterlibatan emosional dan kreatif. Goleman di dalam bukunya, Emotional Intelligence (C. Semiawan, 1999), mengisyaratkan bahwa manusia memiliki dua segi mental, yang satu, yang berasal dari kepala (head) yang cirinya kognitif, dan yang satu yang berasal dari hati sanubarinya (heart), yaitu segi afektifnya. Kehidupan afektif ini sangat mempengaruhi kehidupan kognitif yang dikelola oleh otak, yang memiliki dua belahan (kiri dan kanan) dan disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpus callosum. Berpikir holistik, kreatif, intuitif, humanistik dan imajinatif merupakan
tugas serta ciri dan fungsi belahan otak kanan (right hemisphere). Dan berpikir kritis, logis, linier serta memorisasi terutama terkait dengan respons dan ciri, fungsi belahan otak kiri (left hemisphere), meskipun kedua fungsi otak tersebut tidak mutlak sifatnya. Kehidupan emosi mewarnai keseluruhan kegiatan pembelajaran. Pengalaman dua sisi pembelajaran yang menjadi ciri utama dari suatu dialog hanya bisa terjadi bila seluruh fungsi mental kita terlibat dalam pembelajaran tersebut, dan dengan demikian menghidupkan daya nalar kritis, kreativitas dan imajinasi serta kepekaan emosional terhadap berbagai masalah. Pengalaman belajar seperti itu akan memberi peluang untuk merealisasikan diri secara optimal karena memperhatikan kebebasan aktivitas mentalnya (free mental work). Sebaliknya, pembelajaran yang hanya dan terutama membebankan berfungsinya belahan otak kiri, terutama dengan memorisasi fakta atau rumus tertentu, yang menurut penelitian mensupress dirinya akan sangat mendorong bostile attitude (sikap permusuhan). Pertawuran antar pelajar, mahasiswa, bahkan penduduk kampung tertentu yang akhir-akhir ini sering terjadi di tanah air dikombinasikan unsur rivalitas, adalah salah satu kemungkinan sebab dari kehidupan yang tidak sehat dan terkait dengan cara pembelajaran yang salah. Sudah waktunya terjadi pergeseran dalam cara belajar yang harus lebih banyak dibebankan kepada belahan otak kanan, sehingga kondisi kedua belahan otak tumbuh secara harmonis dan kreativitas serta keunikan individu lebih teraktualisasikan sesuai dengan acuan filsafat pendidikan bangsa yang mengakui perbedaan dan martabat individu. Nurture Istilah nurture menunjukkan pada lingkungan, yang adalah segala sesuatu di luar diri individu. Rancangan belajar yang disebut kurikulum yang relevan dengan tuntunan masa depan juga harus memperhatikan berbagai pengaruh lingkungan yang berdampak terhadap tumbuh kembangnya manusia itu. Lingkungan dekat yang baik terutama kehidupan keluarga, adalah yang memperhatikan berbagai potensi dan bakat individu sehingga dapat membimbing, membina, dan mendidik individu sesuai kebutuhannya. Namun, lingkungan dekat itu sendiri terkena berbagai pengaruh lingkungan eksternal dalam dinamika berbagai aspek kehidupan. Sebagaimana, tadi diungkapkan lingkungan global yang mengandung pengertian tereksposnya kita oleh kehidupan komunitas global menuntut juga adaptasi dari individu untuk bisa bertahan di masyarakat di mana ia hidup. Sistem pendidikan tidak dapat meningkatkan ataupum mangabaikan berbagai dampak dan kecenderungan IPTEK sebagaimana dicetuskan oleh negara-negara maju yang sesuai alur alami perkembangan ilmu bermula dari teori kuantum, lalu terfokus pada pengembangan ilmu bahan (material sciences). Kemudian ilmu-ilmu seputar intelegensinya yang betumpu pada bidang komputer dan mikroelektronika serta ilmu-ilmu kehidupan (life science) yang dipacu oleh primadona rekayasa genetika di bidang biomolekuler dengan bioteknologinya, (Zuhal, 2000).
Sementara menurut Sund (1976), anak dalam perkembangannya seperti yang dijelaskan oleh Piaget, beradaptasi terhadap lingkungannya melalui mekanisme asimilasi dan akomodasi. Sehingga menghasilkan perubahan operasi berpikir mereka melalui empat tahapan, yakni (1) Sensory-Motor (0 - 2 tahun), (2) Preoperational (2 - 7 tahun), (3) Concrete-Operational (7 - 11 tahun), dan (4) Formal-Operational (11-14 tahun). Secara keseluruhan dapat diambil makna bahwa (1) perbedaan lingkungan anak dan (2) perbedaan mekanisme anak untuk menyikapi dan mengolah pengalaman lingkungannya itulah yang menentukan kualitas perkembangan anak. Oleh karena itu, uniformitas dan sentralisasi bertentangan dengan hakikat pendidikan berwawasan ekologi, karena meskipun lingkungan anak sama, belum tentu mekanisme menyikapi dan mengolah keadaan lingkungan itu sama antara anak yang satu dan anak yang lain, lebih-lebih lagi apabila keadaan lingkungan anak berbeda, padahal hasil pendidikan diukur dengan alat ukur dan cara yang sama. Kenyataannya, keadaan alam dan geografis, serta sosial budaya di tempat tinggal anak di tanah air ini beragam, sehingga dapat diramalkan bahwa kondisi ekosistem anak di tiap daerah pada dasarnya adalah beragam. Berdasarkan paparan tersebut, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut: 1. Ekologi pendidikan lebih menjelaskan komponen lingkungan yang memberi kontribusi dalam pendidikan anak baik sekolah maupun di luar sekolah. 2. Ekologi pendidikan menjelaskan bahwa sekolah bukan satu-satunya factor ekosistem yang kondusif terhadap keberhasilan pendidikan, tetapi harapannya memiliki kontribusi besar dalam pendidikan karena bersifat kurikuler. 3. Ekosistem pendidikan mencakup beberapa macam komponen lingkungan anak meliputi (a) keluarga, (b) sekolah, (c) masyarakat, (d) daerah dan geografisnya, (e) sejarah masyarakatnya, (f) politik negaranya, (g) ilmu dan teknologi di sekelilingnya, dan (h) masyarakat globalnya. Dari hasil interaksi anak dengan komponen ekosistemnya ini, maka profil peradaban mereka akan terbentuk. 4. Pemahaman ilmu dan teknologi anak tidak hanya disebabkan oleh hasil pembelajaran anak di sekolah, akan tetapi juga dikontribusi dari kemajuan ilmu dan teknologi daerah atau negar a tempat tinggal anak. 5. Anak dalam usia sekolah tidak semuanya memperoleh kesempatan pendidikan melalui sekolah, bahkan ada di antara mereka yang kondisi pendidikannya diperoleh dari lingkungan di luar sekolah. Oleh karena itu, pendidikan menjadi tanggung jawab semua pihak, tidak hanya menjadi tanggung jawab Negara melalui sekolah. (Djohar, 2000:121) Selanjutnya ada ungkapan yang menyatakan “Non scolae sed vitae discimus”. Demikian ungkapan bijak yang berarti, kita belajar bukan demi sekolah tetapi demi hidup. Belajar bukan hanya sekadar menyiapkan diri menghadapi masa depan, tetapi bagaimana mengembangkan kemampuan diri menghadapi kehidupan. Pengetahuan, keterampilan, perkembangan sikap, dan
kemauan membangun serta mempertahankan kehendak tidak cukup hanya ditempatkan sebagai teori yang dihafal dan dijabarkan tertulis dalam buku. Aplikasi dari beberapa prinsip tentang konsep sekolah yang natural, kita dapat belajar dari kehidupan komunitas pendidikan, seperti sanggar pendidikan, sekolah alam, dan sebagainya. Di komunitas ini semua materi belajar berkait dengan masalah hidup yang nyata dihadapi anak-anak didik mereka. Pendidikan dengan demikian merupakan proses bagaimana anak mencari cara memecahkan berbagai persoalan nyata dan menjadikan kehidupan menjadi lebih baik. Berangkat dari pemahaman itu, dinamika keseharian Komunitas pendidikan dibangun sedekat mungkin dengan alam kehidupan. Sekolah Menyenangkan (fun) dalam pembelajarannya tentu menggunakan konsep-konsep fun learning. Belajar di alam terbuka, secara naluriah akan menimbulkan suasana itu, tanpa tekanan dan jauh dari kebosanan. Dengan demikian akan tumbuh kesadaran pada anak-anak bahwa belajar itu asyik dan sekolah pun menjadi identik dengan kegembiraan. Sekolah pun menjadi pusat kehidupan anak-anak; mereka benar-benar bisa menikmati pusat kehidupan itu. Sekolah bukan lagi beban; sekolah adalah realitas kehidupan yang mereka jalani dengan penghayatan penuh. Sekolah adalah sumber kegembiraan; bukan sumber stress yang biasanya membuat mereka kehilangan gairah. Dengan menggunakan konsep fun learning, sekolah telah berubah menjadi sebuah miniatur kehidupan yang tidak saja natural dan riil, tetapi juga indah dan nyaman. Proses pembelajaran berubah menjadi aktivitas kehidupan riil yang dihayati dengan penuh kegembiraan. Hal itu sangat membantu anak-anak menikmati masa-masa awal pertumbuhan, dan membangun imaji-imaji positif tentang kehidupan dan bumi yang mereka huni. Persepsi tentang kehidupan, tentang dunia, tentang bumi yang kita huni, yang kelak melandasi sikap-sikap kita dalam menjalani hidup, sesungguhnya terbentuk pada masa pertumbuhan itu. Seperti apa kita memersepsi kehidupan, dunia dan bumi yang kita huni pada awal kehidupan kita, seperti itulah kita akan menjalaninya. Imaji-imaji positif akan melahirkan energi, semangat, dan gairah kehidupan. Demikian juga sebaliknya. Maka setiap “luka persepsi” pada masa itu, kelak akan mewariskan “luka emosi” dalam kehidupan kita. Dan setiap luka emosi, kelak akan mewariskan “gangguan penyikapan” dlam keseluruhan kepribadian kita. Itulah sebabnya anak-anak yang bahagia pada masa kecil jauh lebih berpeluang untuk berbahagia pada masa dewasa dan tuanya kelak. (http://sekolahalam.blogspot.com/) Konsep sekolah natural (alami) dan menyenangkan merupakan salah satu gagasan sekolah alternatif. Secara prinsip, pendidikan (sekolah) yang dihasilkan manusia pasti memiliki kelemahan-kelemahan disamping pasti ada berbagai kelebihan, tidak terkecuali pendidikan di sekolah dan pendidikan alternatif tersebut. Sehingga memunculkan pro kontra di kalangan masyarakat. Salah satu ukuran penting untuk menilai kelebihan dan keberhasilannya adalah
sejauh mana proses pembelajaran di sekolah itu mampu mengeksplorasi kecerdasan, minat, dan bakat anak-anak serta mengembangkannya secara baik dan maksimal. (Muis Said, 2004:4).
Sekolah Berbasis Alam Semesta Anak-anak tak ubahnya seperti kertas putih yang dapat diisi apa saja oleh lingkungan dan “atmosfir” alam yang mengelilinginya. Bagaimanapun lingkungan dapat membuatnya menjadi rentan atau bertahan dalam perjalanan waktu menuju dewasa. Oleh karena itu anak-anak perlu didampingi dan ditanamkan nilai-nilai yang sarat dengan muatan pesan, moral, intelektual, dan keimanan. Begitu mendasarnya nilai keimanan, karena akan memperkokoh pendirian dan membentuk watak Islami. Keimanan dan alam merupakan dua dimensi yang berjalan berdampingan, memberikan sentuhan yang tanpa terasa merupakan point terbesar dalam mengisi jiwa dan sanubari yang terdalam. Keduanya akan timbul dalam wujud pribadi yang ikhlas, penuh rasa syukur dan kesabaran. Demikian besar peran pendidikan untuk menanamkan rasa cinta pada alam, tetapi hal ini sering terlupakan. Padahal menanamkan rasa cinta pada alam sejak dini dapat menjadikan anakanak selalu mensyukuri anugerah terbesar dari Sang Penciptanya, merasa memilikinya. Dan memeliharanya sebagai amanah turun-temurun. Pada gilirannya, hal ini akan mengukuhkan keimanan. Alam menjadikan anak-anak sebagai “eksplorer-eksplorer” kecil yang penuh dengan rasa ingin tahu, punya kepedulian terhadap kelangsungan siklus hidup seluruh makhluk ciptaan Allah, sebagai pribadi yang mempunyai tenggang rasa begitu besar terhadap sesama manusia dan mengenal keagungan yang asli kepada sumber dari segala kearifan. Sekolah yang melaksanakan konsep pendidikan agama dan berporos pada alam menjadi hal yang luar biasa. Banyak hal yang bisa ditawarkan pada anak-anak; semuanya bermuara pada rasa tanggung jawab terhadap amanah yang dititipkan pada setiap orang tua, yaitu anak-anak tercinta. Orang tua akan terdorong untuk memberi yang terbaik, membekalinya agar menjadi manusia yang berhati jernih, bercita-cita tinggi, sanggup memimpin dirinya sebelum berhasrat memimpin orang lain. Berawal dari gugatan “sekolah berkualitas selalu mahal” maka mulailah pemikiran untuk “membuang kemahalan” yang terjadi di dunia pendidikan saat ini. Bangunan fisik berupa kelas, kantor, laboratorium, lapangan olah raga adalah awal bencana kemahalan terjadi. Semua itu harus diubah dengan sesuatu yang murah dan lebih optimal kontribusinya. Dengan menggantikan
bangunan dengan alam semesta sebagai laboratorium terbaik di muka bumi, seluruh kemahalan tersebut dapat diubah menjadi “murah dan optimal” (Leado Novo – Komunitas Sekolah Alam, 2005: 4) Masalah-masalah yang prinsip tersebut melahirkan corak pendidikan alternatif. Pendidikan alternatif adalah langkah dalam memperbaiki sistem pendidikan yang ada. Jery Mintz memaparkan bahwa pendidikan alternatif dapat dikategorikan dalam 4 (empat) bentuk pengorganisasian, yaitu: 1) sekolah publik pilihan (public choice), 2) lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah (student at risk), 3) lembaga pendidikan swasta independen, dan 4) pendidikan di rumah (home based schooling). (http://teknologipendidikan.wordpress.com) Sekolah berbasis alam semesta barangkali bisa dikategorikan dalam bentuk sekolah publik dan atau lembaga pendidikan swasta independen. Bagaimana potret sekolah alam yang sesungguhnya akan penulis hadirkan di akhir paparan ini. Hal ihwal lahirnya sekolah berbasis alam semesta bisa dikatakan sebuah fenomena semangat masyarakat ikut memperbarui pendidikan; dimana nampak munculnya organisasi, kelompok masyarakat yang dengan kemampuan dan keterbatasannya melakukan eksperimen model-model pendidikan atau sekolah “alternatif” (Isjoni, 2008: 55) Dalam konteks ini, seyogyanya pemerintah menyambut inisiatif masyarakat, menghormati upaya masyarakat mendapatkan sendiri hak pendidikannya. Tidak perlu berpretensi menyelesaikan persoalan pendidikan sendirian. Untuk mengimbangi produktivitas masyarakat, pemerintah dapat memberi kebijakan yang memungkinkan produktivitas tersebut tumbuh lebih subur dan berbuah lebih lebat. Misalnya pemerintah mencoba memikirkan kemungkinan berdirinya sebuah komisi independen yang diberi kewenangan untuk melakukan uji kualifikasi peserta “sekolah alternatif”, tanpa harus terlibat berbagai urusan administratif dan intervensi dengan memaksakan paket kurikulum, dan sebagainya. Kaitannya dengan kemungkinan itu, masyarakat pun perlu belajar untuk lebih realistis, rasional dengan tidak begitu saja tunduk pada mitos, sekolah formal sebagai satu-satunya jaminan kehidupan masa depan. Jaminan kehidupan masa depan setiap anggota masyarakat terletak pada kemauan untuk belajar, bukan sekedar tergantung pada dimana harus belajar. Pemerintah bisa dikatakan lupa saat menetapkan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, karena tidak memperhitungkan kreativitas dan keaktifan masyarakat yang mampu membangun “sekolah” sendiri. Namun masih ada ruang dan kesempatan untuk berdiskusi mencari kemungkinan pengakuan di satu pihak dan batas kewenangan di pihak lain. Setidaknya fenomena ini perlu menjadi tema bahasan mendalam disaat pemerintah harus menyiapkan beberapa peraturan pemerintah untuk mengimplementasikan UU Sisdiknas.
Pendidikan merupakan hak azazi bagi setiap manusia, dan pendidikan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup dan kehidupan bagi semua manusia yang tumbuh dan berkembang yang tiada hentinya. Pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari tanggung jawab berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat bagi penyelenggara Negara, pelaksana pendidikan, dan masyarakat, serta Stakeholder pendidikan. Ada ungkapan bijak “Non scolae sed vitae discimus”, yang berarti kita belajar bukan demi sekolah tetapi demi hidup. Belajar bukan hanya sekedar menyiapkan diri menghadapi kehidupan. Pengetahuan, ketrampilan, perkembangan sikap, dan kemauan membangun serta mempertahankan kehendak tidak cukup hanya ditempatkan sebagai teori yang dihafal dan dijabarkan dalam buku. (Isjoni,2008;6) Aplikasi dari prinsip-prinsip tersebut salah satunya bisa ditemukan pada kehidupan sebuah komunitas pendidikan yang diberi nama Sekolah Alam. Berikut, pemaparan wajah sekolah alam, sekolah berbasis alam semesta, suatu kontribusi masyarakat terhadap perubahan pendidikan. Sekolah Alam adalah sebuah model pendidikan murah dan berkualitas yang berupaya mengadaptasi apa yang dibuktikan Rasulullah SAW pada masanya ke masa kini dan masaketika generasi rabbani kelak memimpin di muka bumi. Kelahiran format Sekolah Alam (SA) dicetuskan oleh Leudo Novo, penggagas yang gigih memperjuangkan “ metode belajar yang lebih mencerahkan. SA pertama kali beroperasi pada Agustus 1988, di Jakarta, tepatnya di Jln. Damai Ciganjur Jakarta bagian selatan dibawah naungan Yayasan Alam Semesta bekerja sama dengan Yayasan Citra Amal Falah. Saat itulah sekolah yang pada awalnya dianggap nyeleneh, ditangani oleh guru dan seorang staf administrasi, dengan 17 murid Play Group dan 3 murid kelas 1, mulai meletakkan sebuah titik baru dalam peta sejarah dunia pendidikan di Indonesia. (Teguh Iman Perdana dalam Komunitas Sekolah Alam, 2004:xii) Setelah lima tahun berjalan, konsep SA telah tumbuh dan berkembang di Bandung, Semarang, Bogor, Yogya, Surakarta, Surabaya, Jambi dan Lampung; bahkan sampai ke beberapa negara, terbukti dengan apresiasi para praktisi pendidikan dari Amerika Serikat, Belanda, dan Jepang pernah berkunjung ke Sekolah Alam. Tahun 2001 SA menempati lokasi baru di Jln. Anda No.7X, persis di depan kantor Kelurahan Ciganjur di areal seluas 7800 m2 yang pada mulanya adalah lokasi pembuangan sampah. Kini berdiri unit rumah panggung tanpa diuding yang disebut sebagai “saung kelas”, tempat 248 murid SA, dari Play Group, TK, dan SD, mengawali dan mengakhiri proses pembelajarannya dari Senin hingga Jum‟at, dari pagi hingga petang. Apa yang menarik dari SA ini?
Dalam keseharian anak-anak belajar dengan duduk bersila atau bahkan selonjoran di lantai saung. Tidak ada bangku dan meja layaknya sebuah kelas, dan tidak ditemukan proses belajar dalam arti “formal” dan konvensional; hubungan guru dan murid penuh keakraban nyaris tanpa sekat, meski tetap dalam batas-batas saling menghormati. Keunikan lain yang bisa langsung terlihat saat memasuki kawasan SA adalah tidak adanya murid yang mengenakan pakaian seragam, bukan pula pakaian rapi dan formal. Mereka justru mengenakan pakaian bermain, lengkap dengan sepatu boot yang membuat mereka leluasa mengeksplorasi lingkungannya. SA memandang bahwa keberagaman itu sebagai hakikat dari keunikan individu yang harus diakui dan dihargai, juga diyakini bahwa keseragaman memang tidak seharusnya terletak pada apa yang dikenakan, tetapi pada akhlak, perilaku dan sikap serta semangar belajar dan rasa ingin tahu mereka. Kondisi Fisik Sekolah Sekolah Alam Pada bagian depan, halaman parker kendaraan, ada “saung tunggu”, bangunan berbentuk rumah panggung dari kayu dengan atap rumbia, tempat para orang tua bersantai menunggu kepulangan putra-putri mereka. Kemudian berjejer-jejer disebelahnya ada saung SNC (Special Needs Centre), tempat para murid yang mengalami outisme dibimbing secara khusus. Saung guru menyatu dengan ruang kantor sekolah. Perpustakaan SA dibangun di atas empang yang ada di sisi selatan. Masjid Al alam terletak di sisi Utara, dekat lapangan tempat anak-anak biasa bermain bola. Lapangan dengan rerumputan hijau, lengkap dengan taman-taman serta pohon-pohon besarnya seperti kelapa, rambutan, mangga, dan cherry. Ada jalan berkerikil yang membelah lapangan rumput ini dan mengarah menuju saung-saung kelas. Ruang bermain anak adalah seluas halaman sekolah; dan setiap hari selasa disajikan permainan tradisional di lapangan hijau. Di tengah-tengah saung kelas terdapat amphitheatre yang dipenuhi pasir pantai dan berbagai fasilitas bermain yang menguatkan fungsi motorik anak-anak. Disinilah anak-anak dengan bebasnya melakukan kegiatan audiensi sekaligus menumpahkan ide-ide kreatif anak-anak lewat aneka kreasi berbahan pasir yang mereka ciptakan; Tepat di samping saung kelas v, agak menjorok ke sudut belakang, terdapat dua rumah pohon yang nangkring di atas dua batang pohon rambutan, persis seperti yang terdapat dalam kisah-kisah petualangan dalam wacana anak-anak di Barat; kedua rumah kayu dihubungkan oleh jembatan tali sepanjang hampir 5 meter dan terdapat sebuah tangga tali dan bambu untuk menaikinya. Fasilitas favorit anak-anak yaitu Outbound, terletak di sisi empang, disinilah mereka melakukan kegiatan yang biasanya dilakukan pecinta alam: flying fox (melayang turun dengan seutas tali dari ketinggian hampir 15 m), dan panjat tebing.
Konsep Pembelajaran Sekolah Alam Karena berprinsip bahwa proses pembelajaran bisa berlangsung dimana saja, sesuai dengan konsep dan namanya, anak-anak lebih diarahkan untuk belajar langsung di alam. Sehingga tersedia “Green Lab”, yaitu Laboratorium tanam-tanaman dalam rumah plastik dan kaca, lengkap dengan saung kebunnya, berpadu dengan petak-petak kebun yang ditanami aneka tanaman organik dan hidroponik, milik masing-masing kelas sebagai penanggung jawabnya. Pada saat panen, anak-anak sendirilah yang memetik hasil dan kemudian menjualnya kepada orang tua atau siapa saja yang kebetulan berkunjung. Ada terong, tomat, baby keilan, sawi hijau, sayuran segar itu bebas pestisida dan dijual dengan harga murah. Anak-anak juga belajar langsung diberbagai bentuk bangunan vertikultur, yaitu batangbatang bambu yang disusun horizontal, diikat dengan ijuk dan membentuk limas segitiga. Batang bambu yang melintang dilubangi, diisi kompos, dan ditanami berbagai tanaman mini yang juga berupa sayuran. Sangat indah dan artistik! Prinsip belajar untuk memuaskan rasa ingin tahu anak-anak serta menumbuhkan kecintaan mereka pada alam dan makhluk ciptaan Allah, dapat dijumpai adanya Laboratorium alam, yaitu kandang ternak dan kolam ikan. Kandang kambing, ayam dan kelinci berdiri di atas kolam ikan lele, yang benih serta modalnya merupakan hasil investasi patungan orang tua murid. Beberapa akuarium dengan berbagai jenis ikan air tawar juga terdapat di bawah saung “pengintai”, karena saung itu terletak di ketinggian 3 meter, di atas pohon rambutan. Metode pembelajaran di SA menggunakan metode Spider Web, yaitu suatu tema diintegrasikan dalam suatu mata pelajaran. Sehingga pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran bersifat integratif, komprehensif, dan aplikatif, sekaligus juga “membumi”. Kemampuan dasar yang ingin ditumbuhkan pada anak-anak di SA adalah kemampuan membangun jiwa keingintahuan, melakukan observasi, membuat hipotesis, serta berpikir ilmiah. Dengan metode “Spider Web”, anak-anak belajar tidak hanya dengan mendengar penjelasan guru, tetapi juga dengan melihat, menyentuh, merasakan, dan mengikuti keseluruhan proses dari setiap pembelajaran. Konsep belajar di alam dan di kelas dengan perbandingan 70 dan 30. Anak-anak juga diarahkan untuk memahami potensi dasarnya sendiri. Setiap anak dihargai kelebihannya, dan dipahami kekurangannya. Dengan demikian. berbeda pendapat dengan guru bukanlah hal yang tabu. Kegiatan-kegiatan di Sekolah Alam 1. OTFA (Out Tracking Fun Adventure), adalah suatu kegiatan tahunan sekolah Alam berupa camping bersama dan berbagai aktifitas di alam terbuka. Kegiatan tersebut menuntut ketangguhan, kekuatan, kemandirian, tanggung jawab, dan kecekatan anak-anak. Pada hari kedua OTFA, anak-anak melakukan Fun Adventure, yaitu menjelajah lingkar luas wilayah
perkemahan, menjelajah rimbun pepohonan, menelusuri lebatnya hutan, mencari jejak, jurit malam, mandi lumpur dan diselingi dengan out bound. 2. Market day, yaitu belajar makna uang dan bagaimana menciptakannya, dengan cara melakukan jual beli. Kegiatan ini bertujuan membimbing anak-anak menjalani hidup. 3. Berkebun sayur-sayuran (terong, tomat, sawi, baby kailon) bebas pestisida. 4. Beternak kambing, ayam dan kelinci, lele, 5. Religius Day; setiap pagi anak-anak belajar membaca dan menghafal surat-surat Al-Qur‟an; pengajian As Salaam untuk semuanya. 6. Outing, yaitu kegiatan eksplorasi dan observasi di lapangan. Misalnya ketika planet Mars mencapai puncak pemunculannya beberapa waktu yang lalu, anak-anak dan guru berkemah di sekolah, menginap di lapangan terbuka, dan bergantian mereka mengamati fenomena alam luar biasa itu dengan teleskop milik sekolah. 7. Open House, merupakan satu kegiatan saat setiap anak mendapat peran untuk menjadi tuan rumah bagi tamu undangan yang hadir untuk melihat kemajuan Sekolah Alam. 8. Special Need Centre; yaitu pusat pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus (terbelakang) yang nantinya diintegrasikan di kelas regular. 9. Siraman Rohani bagi para Khodimat (pembantu) 10. (Sumber: http://sekolahalam.blogspot.com/; http://saciganjur.blogspot.com/)
http://cerita-ciganjur.blogspot.com/;
Kesimpulan Keberadaan sekolah selama ini tidak membekali anak-anak dengan kemampuan untuk hidup harmoni dan memberdayakan alam lingkungannya. Sehingga perlu dikembangkan Sekolah Berbasis Lingkungan Alam, Sekolah Alam menerapkan 3 (tiga) hal utama yang menjadi fokus materi pembelajaran, yaitu leadership, ilmu pengetahuan, dan akhlaq (bukan sekedar moral). Ketiganya dirangkum dalam sebuah konsep sistem pendidikan yang masih terus dikembangkan dan disebut jarring laba-laba (Spider Web). Konsep dasar inilah proses memanusiakan manusia yang berorientasi pada pembekalan kecakapan hidup, sehingga kurikulumnya pun “Curriculum For Life”, yaitu kurikulum agar anak “belajar untuk hidup” dan bukan “belajar untuk sekolah”. Berikut, sebuah puisi karya Hani (siswi SD Sekolah Alam Ciganjur Jakarta); Sekolah Alam Di Sekolah Alam aku menyatu dengan alam Aku membaca alam Aku hidup di dalam alam Tetapi aku bukan hidup karena alam
Suka bercocok tanam, oke Suka beternak, oye Jelajah alam, asyik Membaca alam, unik Pokoknya di sekolah alam, seru ! Kami menanti kedatangan teman baru.
Daftar Pustaka Anis Matta. dkk. 2005. Menemukan Sekolah Yang Membebaskan. Jakarta: Kawan Pustaka Conny Semiawan. 2000. Relevansi Kurikulum Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Kanisius Djohar. 2000. Praktis Pendidikan Berwawasan Ekologi. Yogyakarta: Kanisius Endah Muthiah. 2005. Wajah Dunia Pendidikan Kita. Tulisan lepas. tidak diterbitkan. http://cerita-ciganjur.blogspot.com/ http://sekolahalam.blogspot.com/ http://saciganjur.blogspot.com/ http://teknologipendidikan.wordpress.com Isjoni. 2008. Belajar Demi Hidup. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Lendo Novo. 2005. Komunitas Sekolah Alam. Jakarta: Agromedia Pustaka Muis Said. 2004. Pendidikan Partisipatif Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey. Yogyakarta: Safira Lusania Press Said HM. 1989. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Alumni Sund RB. 1976. Piaget for Education. Ohio: Charles E. Merril Publishing Co. A Bell & Howell Co. Teguh Iman Perdana. 2004. Perjalanan SA. tulisan lepas, tidak diterbitkan Zuhal. 2000. Visi IPTEK Memasuki Millenium III. Jakarta: VI Press