review The Southeast Asian Furniture Shows - 2015
INTERVIEW Christianto Prabawa, Managing Direktur CV Mebel International
Indonesia Woodworking Magazine
No.
Magazine for Ekamant’s Premier Costomer
44
Juni 2015
Communication and Educational Media
Andang Wahyu Trianto - AMKRI Jepara
Menghindari Jebakan Zona Nyaman Edisi 44 - 2015 • woodmag | 1
2 | woodmag • Edisi 44 - 2015
Edisi 44 - 2015 • woodmag | 1
Contents Indonesia Woodworking Magazine
18
10 6
Interview With Andang Wahyu Trianto AMKRI Jepara Menghindari Jebakan Zona Nyaman
10
Review The Southeast Asian Furniture Shows–2015 By World Hardwoods
14
P&T Wood Mizer Grover DD Logging Jenika Perusahaan penebangan kayu Missouri melakukan ekspansi dengan gergaji thin-kerf baru
18
Feature American Ash brings warmth to the new GEM Convention Center in Ho Chi Minh City, Vietnam
22
Feature Ir. Yani Enggalhardjo Tidak boleh ada pelanggan yang tidak puas
26
Interview With Johnny Lo, “Kami Tidak Bisa Wait and See”
29
Furniture School The Cippendale Furniture School Furniture school creates Jupe table with political attitude
30
Periscope “Mengelola Perubahan dalam Situasi yang Berubah” Oleh: Emir Wiraatmadja
31
Biz News
Lokakarya Pra-IFEX 2015
42
Ekamant Solution Double action sander
44
Finishing Solution Macam-macam Finishing untuk kayu Oleh: Wisno
48
Ekamant News
Inhouse Training Kurnia Anggun & Pasi ic Furniture
Singapore Good Design PEFC General Assembly in Paris with a strong Asian contingent PEFC General Assembly in Paris with a strong Asian contingent Design in Asia Malaysian International Furniture Fair 2015
Training di Akademi PIKA Semarang
50
Event “Mengelola Perubahan dalam Situasi yang Berubah” Oleh: Emir Wiraatmadja
52
Product &Technology
Sunmight L 312 Film Disc Finish 1 Gold
24
Interview With Christian Prabawa SVLK di Persimpangan Jalan
Training di Akademi PIKA Semarang Sunmight P 549
36 2 | woodmag • Edisi 44 - 2015
35
Ekamant News
Training di Akademi PIKA Semarang
Edisi 44 - 2015 • woodmag | 3
Editorial
Published by: Pose Media IndoKreasi for PT Ekamant Indonesia Editor in Chief Arief Odon
[email protected] Editor Emir Wiraatmadja
[email protected] Circulation Dewi Rubiane
[email protected] Graphic Designer Pamungkas Contributor Michael Buckley Philipa Dudman Emir Wiraatmadja Andri Franniko Advertising Arief Odon Alamat Redaksi Puri Cinere Blok C 3 No.8 Depok 16513 - Indonesia Tel. (+62 21) 7540812 Fax. (+62 21) 7543312
Total Abrasive Solution
Asa Dalam Perubahan
H
arapan kebangkitan industri mebel Indonesia, kembali mencuat ketika Joko Widodo menjadi Presiden Repubik Indonesia Ke-Tujuh. Presiden Jokowi - mantan pengusaha mebel asal kota Solo – diharapkan dapat mengeluarkan kebijakan yang mendukung industri mebel. Salah satunya, pemberlakuan sertifikasi kayu legal pada industri hilir seyogyanya dipermudah agar dapat memacu ekspor. Namun tidak kalah penting juga adalah promosi dan pemasaran untuk pasar ekspor dan domestik. Dalam edisi Ke-44 kali ini, tim redaksi menampilkan empat narasumber dalam rubrikasi Interview yaitu Andang Wahyu Trijanto, Christianto Prabawa, Johny Lo dan Ir.Yani Enggalhardjo. Benang merahnya adalah, situasi bisnis yang selalu berubah menuntut perusahaan selalu siap dalam mengelola perubahan. WoodMag konsisten sebagai media edukasi. Proses edukasi dalam situasi pasar yang selalu berubah, tetap berlangsung inovasi-inovasi yang tal lekang oleh waktu. Henkel dengan dukungan teknologi laboratorium dan R&D nya, Ekamant dengan double action sander, kegiatan lomba ukir dan in-housetrainingnya, potensi penggunaan kayu impor hardwood dan softwood dalam disain maupun pasar mebel, adalah rangkaian informasi edukatif untuk pembaca majalah woodmag yang setia. Harapan, bukanlah sesuatu yang harus ditunggu melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan, seberat apapun kondisi dan situasi yang dihadapi. Selamat membaca!
Arief Odon Editor in Chief
Cover:
Andang Wahyu Trianto AMKRI Jepara
4 | woodmag • Edisi 44 - 2015
MODERN
RUSTIC
Image by e15 Design
MODERN RUSTIC tren desain yang dapat membuat suasana ruangan Anda nyaman dan hangat namun tetap modern. Beragam pilihan veneer dari Abadi Indorona dapat mewujudkan suasana Modern Rustic pada ruangan Anda. Koleksi Veneer Rustic kami,
Walnut Veneer
White Oak Veneer
Cedar Veneer
Edisi 44 - 2015 • woodmag | 5
Interview
with: Andang Wahyu Trianto - AMKRI Jepara
Menghindari Jebakan Zona Nyaman WoodMag: Kabarnya AMKRI Jepara sudah mengangkat duta untuk masingmasing negara tujuan ekspor? Apa tujuannya? Andang W. Triyanto: Ya, itu sudah dilakukan untuk menjaga kelancaran komunikasi dengan pasar tujuan ekspor di sana. Masing-masing duta memang berasal dari negara tujuan ekspor. Sekarang sudah ada enam untuk negara Belanda, Perancis, Jerman, Australia, Jepang dan Amerika Serikat. Pasar Jepang ini sebenarnya besar tapi produk Indonesia jarang yang bisa masuk ke sana.
WoodMag: Kenapa begitu? Andang W. Triyanto: Standar kualitasnya sangat tinggi. Jepang fokus pada presisi. Semua produk harus presisi. Ordernya banyak. Saya pernah dua kali mendapatkan Jepang. Pertama kali antara tahun 1996-1998 dan tahun 1999 yang bertahan hanya dua session berikutnya. Keduanya mengorder . Di Jeparasekalipun produknya dikerjakan dengan mesin terutama yang semi ukir, saat dilakukan dengan tangan. Ketika itu terjadi maka persoalan presisi menjadi urusan berikutnya. Bisa dibayangkan bagaimana kalau ukiran dengan tangan itu presisi. Yang seperti pada desain minimalis diberi sedikit ukiran dengan mesin bubut. ‘ sudah pasti tidak bisa sangat presisi. Kalau produknya lemari besar bagaimana mengassemblingnya. Kalau produknya mungkin bisa mengadopsi tuntutan itu. Kalau ada sedikit ukirannya di sudutnya seperti pada meja altar, maka bisa akan banyak klaim karena ketidak presisiannya. Untuk yang minimalis pun sama dengan deskripensinya 1,5-2 milimeter. Untuk menggarap produk semacam kursi sudah pasti dituntut penggunaan mesin CNC. Saya pernah diajak untuk melawat kesana, memang ada yang
6 | woodmag • Edisi 44 - 2015
mengorder dalam jumlah besar, tapi yang bisa mengerjakannya disini hanyalah perusahaan besar. Ada dua hal yang harus dibicarakan berurusan dengan pasar Jepang: pertama, kapasitas; dan kedua, teknologi. Kalau itu diterapkan di Jepara maka bisa dibayangkan perusahaan yang mampu memenuhinya. Bahkan ada sejumlah perusahaan di sini yang menggunakan mesin justru kalah kualitasnya dengan yang hanya semi masineris. Itu ditemukan sejumlah pembeli. Ini lah yang harus dipertanyakan secara serius.
WoodMag: Andaikata Jepang mengalihkan pembeliannya ke Jepara dalam waktu dekat, lantas apa yang harus dilakukan? Andang W. Triyanto: Untuk Jepara yang harus dibicarakan lebih dulu adalah perubahan pola pikirnya alias . Bagaimana merubah nya dari pengrajin menjadi industri.
WoodMag: Itu perbedaannya sudah sangat jelas ya… Andang W. Triyanto: Ya. Mereka harus berpindah dari pemikiran yang simpel ke yang lebih kompleks. Yang harus dibicarakan lebih dulu adalah persoalan SDM-nya. Dari situ kita harus berpindah pemikiran bahwa ini merupakan salah satu bentuk yang didalamnya terdapat atau jejaring kerja. Kalau berhadapan dengan pengrajin selalu diasumsikan berhadapan dengan individual, sekalipun mereka berkelompok dalam bekerja tapi tetap ada personifikasi itu. Bahkan pemimpin kelompoknya akan selalu merujuk dengan perkataan “tukang saya”. Katakanlah dia punya 10-15 tukang yang kualitas produksinya bagus. Ketika kualitasnya merosot maka alasannya selalu merujuk pada kalau tukang A itu bagus tapi yang B tidak. Pola pikir seperti ini masih bercokol dan harus diubah ke depannya. Itupun harus konsisten dilakukan agar konsisten juga hasilnya.
mengukur dirinya di pasar global. Jangan hanya besar di kandang sendiri. Ini sulit karena mereka tidak mau melakukannya sekalipun bersama kami, juga bagaimana situasi terkini antara kita dan kompetitor terdekat. Jika kita sudah merasa dalam persaingan dengan mereka, maka sebenarnya kita terjebak dalam zona nyaman yang semu. Kompetitor sudah meningkatkan kemampuan dan daya saingnya. Ini termasuk juga trik adem ayem dari pembeli. Sekarang ini banyak calon pembeli yang datang ke sini dan membandingkan produk Jepara dengan Vietnam. Mereka bilang di sini lebih kompetitif. Tujuannya adalah mengatakan ‘Saya lebih suka membeli dari sini tapi beri harga yang jauh lebih murah’.
Andang Wahyu Triyanto, Ketua Umum DPD AMKRI Jepara dan Pemilik PT Bagaskara Furniture
Kedua, kehadiran dari manajemen. Di sini masih ada patronisasi. Kalau mau order pun harus ketemu dengan tertentu. Kalau tidak maka kemungkinan besar ordernya tidak dikerjakan. Kalau ketemu dengan marketer maka dalam benak banyak orang dia bukanlah marketing dalam pengertian sebenarnya tapi saja. Sekali lagi ini yang harus diperbaiki, dan AMKRI berupaya untuk melakukan dengan berbagai upaya. WoodMag: Seperti apa? Perubahan tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat? Andang W. Triyanto: Sebagai organisasi ini merupakan tugas berat tapi harus dilakukan. Kami ingin ketika berbicara tentang satu hal maka akan banyak orang yang mendengar dan mengerti. berbicaranya. Kami punya program sosialisasi dan pelatihan di AMKRI. Kami mengajak anggotanya melihat pasar dalam dan luar negeri, agar mereka tahu situasinya dan bisa
WoodMag: Modus…. Andang W. Triyanto: Ketika bicara tentang industri, calon pembeli yang datang bukanlah yang Kalau kita berhubungan dengan yang macam itu maka harus mengikuti proses yang ditetapkan mereka termasuk keharusan membuka L/C di bank besar. Sementara kebanyakan dari kita tidak mau melakukan itu, karena menginginkan pembayaran yang fleksibel. Keduanya menempuh pendekatan untuk mencari mitra kerja yang sama-sama fleksibel. Mereka paham menghadapi orang Jawa dalam berbisnis. Kami juga mengajak mereka tidak hanya melihat bagaimana persaingan terjadi tapi juga belajar bagaimana mengatasinya. Waktu berkunjung ke pameran di Shanghai, Singapura dan
hanya sedikit sekali desainnya sehingga bisa dikembangkan dengan menggunakan mesin. Itu sudah dilakukan di Malaysia. Di Singapura, saya sempat tanya kenapa mereka menurun banyak dibanding sebelumnya. Rupanya mereka sudah mengumpulkan model-model ukiran. Untuk model yang dasar, mereka memproduksinya dengan mesin. Di Shanghai, China, ada mesin yang memproduksi model ukiran standar dengan harga hanya IDR-75 juta. Semacam CNC tapi kecil karena untuk ukuran ukiran hanya 75 cm x 50 cm, dibutuhkan waktu produksi 4-5 jam. Bandingkan dengan di Jepara yang butuh waktu pengerjaan 2 minggu hingga 1 bulan. Hasilnya sama tapi tidak bisa untuk ukiran yang rumit. Ke depan, ukiran kaligrafi sudah bisa dilakukan pengerjaannya dengan mesin. Desain ini tidaklah rumit, dan hanya membutuhkan satu buah mal. Di AMKRI, kami mencoba mengembangkan pola pikir industri ini. Itu kalau kita mau maju. sulit untuk berpaku pada konteks budaya semata. Ini mirip orang bertani dan budayanya. Kalau kita bertahan dengan pola pertanian lama dan alat pertanian tradisional seperti menggunakan ani-ani saat panen, sulit untuk berswasembada. WoodMag: Jadi ada ancaman serius dari kompetitor? Andang W. Triyanto: Yang namanya sebenarnya tidak akan hilang begitu saja. Itu sebenarnya bukan pekerjaan tukang dan seharusnya
“Saya lebih suka membeli dari sini tapi beri harga yang jauh lebih murah”. Kuala Lumpur, saya bertemu pengukir asal Bangsri, Jepara, yang bekerja dan bermukim di Malaysia. Ia belajar mengelola dan memproduksinya secara efisien. Ini membuatnya tidak lagi repot mencari tukang ukir di Jepara saat produksi dilakukan. Problem di sini adalah selalu ada alasan akan ketidak patuhan tukang ukir akan tenggat waktunya. Ini soal klasik yang harus dipecahkan. Sebenarnya dalam ukiran itu ada nya, tapi ada juga desain yang dikembangkan. Untuk yang minimalis
bisa dikembangkan. Drafter jika bisa mengembangkan desain-desainnya maka akan menjelma menjadi desainer. Jadi tidak statis dan merasa nyaman dengan kondisi yang ada, sehingga nyaris tidak ada kemajuan dan pengembangan atau penyempurnaan. Mereka tidak pernah belajar akan adanya desain baru, teknologi baru, dan piranti baru lainnya. Produk yang dihasilkan dari lomba desain jarang bisa diproduksi massal. Jadi masih abstraksi dan tidak implementatif. Saya pernah lihat di tempatnya Pak Sobur Edisi 44 - 2015 • woodmag | 7
Interview
with: Andang Wahyu Trianto - AMKRI Jepara
- Abdul Sobur, Sekretaris AMKRI.- di Kriya Nusantara. Desainnya selalu berkembang sehingga produknya bernilai tinggi. Produknya masuk ke pasar Jepang nyaris tanpa pesaing. Kita lemah dalam pengembangan maka kebanyakan hanya memproduksi item itu-itu saja. Teknologi tidak hanya soal mesin tapi juga menyangkut strategi produksi, distribusi plus pemasarannya. Ini yang harus selalu dikembangkan agar bisa masuk ke pasar mana pun. Terkadang ada perusahaan di sini yang mampu memproduksi barang bagus tapi ya itu saja yang dijualnya. Kalau nanti kita bicara soal nya, akan turun jumlahnya jika pasar sudah jenuh. Saya yakin kalau teman-teman sudah memulainya, dan itu diperlukan kalau mau mengejar Vietnam. Dengan Malaysia saja kita sudah kalah. Jadi semuanya kembali di nya. Kalau nanti diskusi dengan pengukir asal Jepara yang tinggal dan bekerja di Malaysia, maka mindsetnya sudah berbeda dengan koleganya di sini. WoodMag: Persoalannya apakah memang kita punya dokumentasi mengenai desain ukiran jepara misalnya? Jangan-jangan kita baru meributkannya setelah diklaim oleh salah satu perusahaan asing di Semarang…. Andang W. Triyanto: Itu juga masalah. Kami pernah mengumpulkan seluruh komponen ukiran Jepara, bahkan hingga ke guru ukirnya. Namun untuk melakukan itu butuh energi yang besar, dan jika dukungan yang muncul tidak cukup signifikan maka tujuannya meleset hanya menjadi wadah atau forum. Diskusi tahunan terjadi tanpa ada perkembangan yang signifikan. Ini seharusnya bisa menjadi dari database ukiran, yang bisa dikembangkan terus. Ini bisa mencegah stagnansi produksi ukiran di sini. Di tempat yang sama, hari ini memproduksi ini. Lima tahun mendatang tetap memproduksi barang yang sama.
WoodMag: Dampaknya? Andang W. Triyanto: Yang jelas situasi ini akan menghasilkan produk yang kian murah harganya. Pembeli tentu senang dengan kondisi ini, tapi ‘kan pasti suatu saat bertanya kok bisa? 8 | woodmag • Edisi 44 - 2015
Lihat saja di Solo dengan batiknya. Kita bisa mendapatkan desain yang lama dengan harga IDR40 ribu sudah jadi sepotong baju. Bayangkan itu. Kita bicara pelestarian sebuah desain tapi seharusnya diimbangi dengan pengembangan yang menjadikannya lebih baik. WoodMag: Melestarikan tidak merubahnya sama sekali? Andang W. Triyanto: Betul. Lantas muncul inilah batik Solo, batik Lasem dan batik Jepara. Tapi apa konsepnya mesti begitu? Jangan-jangan malahan mematikan kreativitas. Katakanlah motif batik belah duren yang gambarnya dari waktu ke waktu sama saja. Modifikasinya pun hanya model dua plengkung. Tidak berubah banyak. Akibatnya, harga jualnya merosot terus. Di sentra produksinya harganya mencapai IDR150 ribu perpotong, tapi ditengah kota dijual kurang dari separuhnya. Yang mahal itu batik tulis, lantas ditiru dan diproduksi dengan batik cap. Jadi makin ekonomis sesuai bujet. Ini juga terjadi di furnitur, misalnya kursi lipat. Kalau dasar pemikirannya tidak sama, maka akan ada yang berpikir pasar saya masih mengejar harga murah. Kalau dijual dengan harga mahal, yang datang akan bilang dia bisa dapat barang yang sama dengan harga jauh lebih murah. Ini akan jadi soal besar sehingga produsennya pun membanting harga. WoodMag? Andang W. Triyanto: Ya. Hubungan antara pembeli dan produsen seperti . Ketika kita tidak bisa mempertahankan prinsip maka merekalah yang mendikte kita. Antara keduanya berbeda kepentingannya. Bertolak belakang malahan.
WoodMag: Jepara juga kian terbuka sehingga membuat masuk leluasa hingga ke pelosok-pelosok untuk menemukan termurah? Andang W. Triyanto: Betul. Kita mencoba menyuarakan kepentingan kami dan ini dukungan organisasi serta pemerintah. Kalau bertindak sebagai individu maka tugasnya akan
teramat berat. Waktu berkunjung ke pameran Spoga, kami datangi stand Vietnam. Kalau tanya harga barang yang sama antara booth A dan B maka jawabannya pasti sama. Tidak berbeda. Dari sanalah mereka bisa berkembang. Kalau datang ke stand Indonesia malah ditanya, ‘Kamu dapat harga berapa di stand A tadi’. Padahal stand itu samasama punya orang Indonesia. Kalau si bilang USD50, si pemilik stand bilang: ‘Saya kasih harga USd48’. Ini yang butuh kepedulian besar dari semua pihak untuk bisa mengatasinya. Lihat saja Perda pembinaan industri mebel di Jepara yang butuh waktu pembahasan selama lima tahun sebelum disahkan. Bisa dibayangkan itu terjadi di sentra industri mebel, urusan pembentukan regulasinya butuh waktu panjang sekali. Disahkan sesaat sebelum pergantian anggota dewan. Begitu susahnya. Kami harus melobby hingga mereka satu persatu untuk itu. Regulasi ini butuh butuh kajian serius sehingga diharapkan gregetnya masih akan terasa dalam 5-10 tahun ke depan. Tapi itu bergantung pada kemauan. WoodMag: Jadi untuk menyamakan persepsi saja butuh waktu lama…. Andang W. Triyanto: Menyamakan persepsi kalau kondisi masih seperti dulu tapi kalau mau berbenah pasti akan lebih signifikan hasilnya. Kalau tidak serius yang sepuluh tahun lagi juga tidak akan ada perubahan. Di jepara, kami bersyukur karena banyak pelanggan yang datang tapi tidak ada hotel yang representatif. Kalau ada pelanggan berkunjung selama tiga hari, ya selama itu juga harus pulang balik Semarang-Jepara hanya karena soal itu. Infrastruktur juga termasuk akses jalan ke sini dan layanan perbankan. Memang banyak bantuan di tingkat nasional misalnya untuk pembiayaan pengadaan mesin industri, tapi ini butuh pemerintah daerah sebagai penjaminnya bagi bisnis UKM. Kalau pemerintah daerahnya ragu maka bisa jadi tidak akan bisa terealisasikan. Butuh waktu panjang bagi pemda untuk bertindak sebagai penjaminnya. Jadi butuh infrastruktur yang mendukung tumbuhnya kenyamanan dan situasi bisnis yang kondusif, termasuk perijinan.
nya tidak berubah, dan di dunia usahanya sama maka tidak akan ada perbaikan nantinya. Kami harus melakukannya lebih dahulu, karena entitasnya adalah swasta. Pada titik terendah apa yang kami lakukan maka itulah yang akan diperoleh. Pola pikir ini yang harus ditebarkan. Kalau mau berubah ya harus dimulai dari diri kita sendiri. Ini yang kami tanamkan di asosiasi, seperti soal sosialisasi SVLK. Kami tidak melulu bicara sertifikasinya semata, tapi bagaimana sebuah perusahaan bisa menjadi lebih baik dan tertib sehingga legalitasnya lebih baik lagi. Ketika sudah punya manajemen yang lebih tertata maka nantinya akan lebih bagus.
WoodMang: Ini terkait dengan otonomi daerah yang menjadi persoalan lagi? Andang W. Triyanto: Otonomi daerah memang bisa menghasilkan sesuatu yang bagus, tapi di sisi lain program yang berasal dari pusat harus mengalami penyesuaian jika hendak diimplementasikan di masing-masing daerah. Ini butuh komitmen dari masing-masing kepala daerah. Furnitur sudah jadi program kerja di tingkat nasional. Saat ini kita masih menduduki tempat ketiga, setelah Vietnam dan Malaysia. Target menteri perindustrian adalah mengejar Vietnam. Sekarang devisa yang dihasilkan masih sekitar USD1,8 Milyar. Ditargetkan lima tahun
lagi akan menjadi USD5 milyar. Ini perolehan devisa Vietnam saat ini. Mungkin Vietnam dalam tahun yang sama sudah melebihi itu, dan di depannya masih ada Malaysia. Pacuan ini dilakukan pada track yang sama. Masa mereka tidak juga. Jadi berpikirnya juga harus dengan global. Kami di Jepara sebaiknya juga memiliki mindset serupa, demikian pula semua dalam industri mebel. Ini butuh energi yang besar. Domain pemerintah di infrastruktur dan regulasi. Jadi pengusaha harus kuat dulu. Andaikata di pemerintahan
WoodMag: Jadi perlu ada kejelasan….. Andang W. Triyanto: Ya, kejelasan yang dilakukan dan yang mau dituju. Jelas bagaimana infrastruktur dan regulasinya. Terkadang regulasi sifatnya di atas kertas saja, dan masih belum memenuhi kebutuhan di lapangan. Ketika bicara regulasi maka tidak secara menyeluruh bersinergi. Saling terhubung dan mendukung. Yang jadi soal tidak nyambungnya bahkan bertabrakan, sehingga harus ada yang dikorbankan agar tujuannya tercapai. Ini terjadi disemua level, baik pusat maupun daerah. Terkadang ada kebijakan instan, dan perhitungan yang menjadi dasarnya mirip dengan pengusaha. Persis layaknya . Kalau ini masuk maka pendapatannya akan meningkat menjadi sekian. Sekarang ini, industri furnitur di Jepara mulai mengalami kelangkaan pekerja. Mungkin ini karena ada industri alternatif yang masuk ke sini. Mungkin juga ada relokasi karena persoalan upah. Ini dilihat dari sisi regulator. Mereka berpikir ketika harus mengembangkan industri yang ada maka nya cukup banyak. Akhirnya, yang dilakukan adalah memprioritaskan investor dalam bisnis alternatif yang tidak memerlukan pemikiran panjang dan serius dalam pengembangannya. Dengan ini daerah dapat penghasilan signifikan, padahal dampaknya adalah terjadinya kekurangan tenaga kerja bagi industri furnitur yang lebih dulu ada dan pernah berjaya di sini. Diperlukan pemikiran yang terintegratif dan strategis ketimbang berpikir parsial seperti saat ini. Edisi 44 - 2015 • woodmag | 9
Review
The Southeast Asian Furniture Shows - 2015
The Southeast Asian Furniture Shows–2015 By World Hardwoods
Malaysia – still huge in furniture
It was a very slow start in Kuala Lumpur for the annual round of international furniture shows in Southeast Asia this year. At the Malaysia International Furniture Fair (MIFF) and the Export Furniture Fair (EFE), despite the organiser’s claims of increased exhibitor numbers, there was general agreement that the visitor traffic was very slow. However, by the end, much new business was widely reported to have been concluded. Malaysia is now the Chair of the ASEAN Furniture Industries Council (AFIC) for 2015/16 having elected Mr Sunny Ter, following Indonesia’s year.
Furniture Trends 2015
The main furniture trends observed in Malaysia involved heavily stained and painted wood which seemed to take first place for most exhibitors in the living, dining and bedroom sectors. Many exhibitors offered only black/dark brown or white furniture and not much in between. This has consequences for the timber industry and trade as the need to show the natural beauty of grains, characteristics and colours is diminished when the species of so much wooden furniture is disguised. There are both natural and plantation species in Malaysia which can fulfil the role of furniture wood for staining and painting without the vagaries of currency fluctuations. One exception might be American Tulipwood (Yellow Poplar) which has seen an increase in shipments to Malaysia in 2014 – up 50% in value and 30% in volume compared to 2013 – reflecting the higher yield and lower manufacturing costs of Tulipwood without the need to finger joint and less edge laminating – needed with Rubberwood. This is due to Tulipwood’s longer lengths of clear lumber and stability when dry. While rubberwood is the main plantation species in Malaysia there has been a surge in the use of domestic grown 10 | woodmag • Edisi 44 - 2015
plantation Acacia as well as some imports from Vietnam. There are several different species of Acacia grown in Southeast Asia with different wood characteristics.
The KL Shows
There is a widespread view that the early timing of the KL shows, ending 7 March before Singapore’s IFFS opening on 13 March, has not helped with many buyers from other continents unwilling to wait before proceeding on to IFFS and perhaps thence to China; making the trip too long and expensive. Both shows included some exhibitors from overseas, although the majority were Malaysian. The 21st Malaysian International Furniture Fair (MIFF) marked the first year in which new owners UBM have really stamped their mark on the event. About 500 companies from 15 countries exhibited in 2 venues. It was interesting to note the presence of a substantial China Pavilion, as before, with many producers from the nonwood sector offering office furniture and metal components.
At the 11th Export Furniture Exhibition (EFE) 250 manufacturers were represented at EFE in 6 halls, of which 2/3rds were Malaysian, including one tent (hall 6). Around 10,000 visitors were expected from 120 countries. Presentation was up to its usual high standard at EFE, but products were more than usually diversified. Whereas traditionally EFE had represented mainly Malaysian Rubberwood producers, since the exit of the Muar-based companies to the competing MIFF show, now there is a significant portion for overseas companies at the China pavilion as well as some from Indonesia and at the Singapore pavilion.
Thailand – producers of quality contemporary furniture
If the Malaysian shows were quiet then the 19th Thai International Furniture Fair (TIFF) was even quieter; but if design was not at the centre of Malaysia’s manufacturers’ offerings in March, by contrast Thailand was
For the international buyers the variety of products was comprehensive and the standards of furniture well up to Singapore’s reputation as the best of the bunch in SE Asia. Hall 4 at the heart of the show was also a centre of excellence in design, demonstrating the extraordinary lengths that SFIC has gone to in putting design as the industry’s driver of growth. All types of wood were represented ranging from American hardwoods to Indonesian native and plantation species. The show was truly international with 480 exhibitors from 39 countries around the world. a true hub of excellent design in mainly contemporary furniture. TIFF is strongly supported by the Thai government with which the Thai Furniture Association maintains close ties. The show was opened by the Director General of the Dept for International Trade Promotion, Ministry of Commerce, Mrs Nuntawan Sakuntanaga, who said Thai furniture “exports in 2015 are expected to reach US$1.26 billion (up 5% on 2014) of which 36% are wood-based”. Japan is number one destination (of all furniture) at 20% with USA 18% and ASEAN 17%. Data for 2014 shows that 67.5% of wood furniture exports are shipped to only 3 countries – Japan, USA and China. There were several impressive design displays by both younger and professional designers (‘I+D Innovation Plus’, ‘Design Style Café’, ‘Design Excellence Award 2014’, ‘Thailand Trust mark’, ‘Design Plant’, ‘Young Designer Showcase’ and ‘T-Living’). The show in Bangkok, in the wood furniture hall, was inspiring in terms of the fine designs, sheer variety of products, freshness in style and most importantly the very high standards of manufacturing quality that was almost universal. Much of Thailand’s furniture is influenced by designs for the Japanese market with a hint of Scandinavian contemporary style and is also sold to some higher end markets in USA. There remain the traditional Teak producers using both domestic plantation Teak, as well as natural forest Burmese Teak from Myanmar at the heart of the show. These include many excellent contemporary designs, some incorporating aluminium frames, as well as traditional styles. But most prominent at the show were
the various collections of temperate hardwoods with American White Oak, Ash and Black Walnut, and some European Beech in chairs, all offered in clear waxed finishes and generally not stained or painted. Thai Rubberwood furniture, by contrast, is mainly disguised by stains and veneers.
Singapore – design led
The International Furniture Fair Singapore (IFFS) is always the regional exception in the SE Asian series, on several counts. The show represents large numbers of Singapore companies with their manufacturing facilities overseas. It also includes many nonSingaporean companies. The show takes place alongside Singaplural, the annual design festival, with the very effective Singapore Furniture Industries Council (SFIC) influential in both. Variety, quality and design are always the key strengths of the show.
Indonesia – the craft option
There was a clear stamp of professional management at the IFEX show in Jakarta under the UBM/AMKRI umbrella, with the coup of welcoming the President of Indonesia Joko Widodo – a former furniture maker – to the opening ceremony. The IFFINA show, organised by the furniture association ASMINDO and also attended by President ‘Jokowi’, having been displaced to a tented new venue fraught with access problems. The furniture industry has long been thought to be under performing for exports, running below $2 billion in 2008 and falling ever since. The only public comment made by the President was a call to push Indonesian furniture exports to $5 billion. He said (translation): “In response to previous story about Vietnam’s export record, we have set the target of US$5 billion export of furniture and crafts in the next five years. How we are going to achieve that target, it will be discussed by the gentlemen at AMKRI and the Ministry of Trade, we will see,” Later the Chairman of the Indonesian Furniture Association (AMKRI), Mr Soenoto suggested that Indonesia could emulate the furniture industry in Vietnam but he set out the four major problems facing the industry; infrastructure needed, regulations over-complicated, lack of investment in technology and difficulty of obtaining finance. He did not however address the needs of the industry for marketing and promotion, which for wooden furniture somewhat lacked in the past. The Vietnam industrial furniture analogy for Indonesia’s craft-led industry was however a strange one. The strength of Indonesia is its self-sufficiency in wood Edisi 44 - 2015 • woodmag | 11
Review
The Southeast Asian Furniture Shows - 2015
and its individualism in design and craft, which many international buyers appreciate. The question is whether they can spend more than $2 billion in the coming years.
Shows in Jakarta
Indonesia’s International Furniture Expo (IFEX) now holds the larger show and clearly has strong support from government that is reported to be keen to see the Indonesian Furniture & Craft Association (AMKRI - formerly focused on rattan but now with widened membership) join forces with the Indonesian Furniture & Handicraft Association (ASMINDO), as the two competing Malaysian associations have recently done. Whether or not they do so, there is widespread opinion that the two competing shows are unlikely to merge, even if there is a suitably larger venue available. Industry leaders are also acutely aware of the consequences of their March date position clashing with Singapore and Saigon. IFEX with 50,000M2 of exhibitor space, including four dedicated areas for design, a ‘Hall of Excellence’ and a ‘Central Java Pavilion’, housed many extensive displays by furniture companies. The IFEX ‘Indonesia Desainer’ displayed Design Seed, Design Shoot, Design Poles and Design Peak and its catalogue contained some impressive designs and products but featured no imported hardwood. IFFINA by comparison had only 12,000 M2 and generally small SME exhibitors.
The tented venue was less than ideal, dangerously collapsing at one point on Sunday in a storm. Perhaps the most notable aspect at both the Indonesian shows, in absolute contrast to all the other SE Asian shows, was the widespread promotion of furniture produced from ‘certified legal’ wood. Sistem Verifikas Legalitas Kayu (SVLK) licences and logos were widely displayed. Furthermore exhibitors included WWF, FSC, LEI (The Indonesian Ecolabelling Institute), SVLK, Switch Asia and a whole host of environmental exhibitors with presentations, not seen elsewhere. The only conclusion is that the Indonesian furniture industry has taken on board the need to present its environmental credentials and is apparently concerned to comply with new international market requirements and legislation. According to one wood importer, the new regulations introduced in January, require even importers to provide documentation to satisfy SVLK when obtaining import licences. Finally it is important to note that the government of Indonesia and the European Commission are still working towards the final, long-awaited implementation of the FLEGT agreement whereby SVLK licences will be accepted in the EU as absolute proof of legality of material and products. Meanwhile the Indonesian furniture industry and trade are not waiting around.
Vietnam – bigger and better
By all accounts the Vietnam furniture show was bigger, better and busier than last year and much interest has 12 | woodmag • Edisi 44 - 2015
been shown in the progress Vietnam is making as a world class furnituremaking country for both export and its own growing domestic market. The largest export markets of Vietnam (accounting for over 70 percent of total furniture exports) are the USA, EU, China and Japan which are known as the world’s biggest consumers. In 2014, Vietnam became the largest furniture exporter of ASEAN, ranked second in Asia after China and 6th in the world.
VIFA Show
There were noticeable changes of which the most striking was the very crowded first day with apparently more visitors than ever before. Opening just ahead of Singapore may have encouraged more visitors to attend VIFA. This year’s show has seen a dramatic increase in exhibitor participation with an increase of 50% in comparison to 2014 with 900 booths. Many of the larger manufacturers, especially the Taiwanese-owned companies, never exhibit at VIFA, but that leaves the field clear for smaller companies which this year introduced new collections that caught the eye. Colour was everywhere, and so was Acacia furniture, more in interior than the traditional outdoor models for which central Vietnam manufacturers have been known. Acacia is now reported to run as high as 50-70% of production for many companies. Rubberwood was less common, but there was plenty of American White Oak and American Ash in all kinds of forms. The brushed wire technique was very common as well as staining the American Ash black which seemed very popular with visitors. It is understood that most of these shows are now reviewing their dates for 2016.
Edisi 44 - 2015 • woodmag | 13
Product & Technology Wood Mizer Wood Mizer Asia
Perusahaan penebangan kayu Missouri melakukan ekspansi dengan gergaji thin-kerf baru
Perusahaan keluarga berbasis di AS D&D Hardwood LLC yang berlokasi di Racine, Missouri menunjukkan bagaimana pertumbuhan yang konsisten seiring waktu menggunakan produk gergaji Wood-Mizer telah mendanai beberapa perbaikan pabrik, yang terbaru adalah tiga gergaji belah primary breakdown thin kerf WM4000 yang diatur untuk meningkatkan produksi dan profitabilitas output lebih lanjut. Selama hampir dua dekade, Darrell Gruver telah membangun dan mengembangkan bisnisnya, D&D Hardwood LLC, dengan mengidentifikasi masalah sebagai peluang. Selama 18 tahun, Darrell telah memiliki lima gergaji industri Wood-Mizer, tiga gergaji hidrolik portabel Wood-Mizer dan saat ini memasang tiga gergaji industri Wood-Mizer WM4000 seiring dengan pertumbuhan bisnis. Darrell Gruver melihaf persediaan kayu oak, walnut, cherry dan maple. Sekitar 500 meter kubik diproses setiap minggu oleh perusahaan penebangan dan gergaji kayu yang terus berkembang. Dua gergaji WoodMizer WM3500 berjalan berdampingan. Tiga gergaji WM4000 akan segera bergabung.
14 | woodmag • Edisi 44 - 2015
Berdiri sebagai perusahaan penebangan kayu pada akhir 1980an, Darrell mendirikan dan mengoperasikan D&D Logging milik keluarga di Racine, Missouri. Ia dengan cepat menyadari dapat melakukan lebih baik untuk dirinya dan pelanggannya dengan menggunakan nilai tambah dari kayu yang ditanganinya. Ia menemukan bahwa yàng diperlukan adalah kesediaan untuk menyortir dan menarik kayu yang bermutu lebih baik ke pabrik penggergajian kayu berkelas daripada ke tujuan aslinya diubah menjadi pengikat rel kereta atau bahan palet. Pada pertengahan 1990an, Darrell memutuskan memiliki pabrik sendiri akan menurunkan biaya transportasi dan menyediakan keragaman yang diperlukan pada operasionalnya. Ia membeli gervaji hidrolik Wood-Mizer LT40 dan mendirikan D&D Hardwood LLC untuk mendukung bisnis penebangan kayunya yang berkembang. Setelah enam tahun dan 9.000 jam menggunakan LT40 Hydraulic, Darrell senang dengan pengembalian investasi, kapasitas produksi dan daya tahannya dan memutuskan untuk mengupgradenya ke gergaji hidrolik
Dengan memaksimalkan nilai masing-masing kayu, Darrell telah meningkatkan dan mendiversifikasi keuntungannya.
LT70 – gergaji thin-kerf paling produktif WoodMizer saat itu. Tidak lama setelah pembelian, anak Darrell, Anthony, mulai tertarik dengan bisnis ini dan fokus menjalankan pabrik penggergajian kayu, yang memberi waktu kepada Darrell untuk berkonsentrasi meningkatkan operasional penebangan kayunya. Darrell kemudian menemukan D&D kelebihan kapasitas penggergajian kayunya seiring dengan tumbuhnya bisnis penebangan kayunya. Ia memutuskan untuk melakukan ekspansi menjadi penggergajian kayu produksi penuh yang mampu memproduksi >20 000 meter kubik kayu per tahun dan membangun operasional yang
berpusat pada gergaji industri Wood-Mizer LT300. Pada 2006, produksi bertambah dengan tambahan dua Wood-Mizer LT300 lagi, satu untuk upgrade dari LT70 dan yang kedua dipasang untuk bertindak sebagai gergaji ulang untuk meningkatkan produksi. Pada titik ini, Darrell memperkirakan ketiga gergaji belah LT300 secara bersama-sama mampu menggergaji kayu dengan kecepatan 6.000 kaki papan kayu gergajian walnut per jam (14 meter kubik). Dengan tingkat produksi tinggi dan operasional yang efisien, D&D terus melakukan ekspansi dan empat tahun kemudian, Darrell mengupgrade dan memasang dua gergaji belah WM3500. Darrell mengatakan menggunakan gergaji pita thin-kerf tidak hanya meningkatkan produktivitas bisnisnya namun juga mengurangi jumlah pohon yang perlu dipanen. “Kami berusaha mendapatkan kayu gergajian terbaik dari setiap kayu gelondongan,” katanya. “Kerf yang lebih tipis berarti lebih sedikit serbuk gergaji dan lebih sedikit serbuk gergaji berarti lebih banyak papan. Itu hal yang bagus untuk buku saku dan lingkungan.” Pada operasional sekarang, dilengkapi dengan gergaji belah Wood-Mizer LT300, dua gergaji belah WM3500, satu gergaji ulang industri LT40 HD, HR1000, dan dua edger industri, D&D menghasilkan sekitar 200.000 kaki papan hardwoods per minggu (470 meters kubik). Pada hari biasa, kayu bulat oak, walnut, cherry dan maple antara enam hingga empat belas kaki tiba di D&D Hardwoods di mana mereka diukur, ditentukan kelasnya dan disortir menurut spesies kayu. Kayu bulat tersebut kemudian dikirim ke salah satu dari tiga pabrik penggergajian kayu dan seluruh kayu grade tersebut dipindahkan. Saat menggergaji spesies selain walnut, sisa cant palet dan pengikat rel kereta api dibuat. Papan dan cant Edisi 44 - 2015 • woodmag | 15
Product & Technology Wood Mizer Wood Mizer Asia
Gergaji WM4000 merupakan produk gergaji industri Wood-Mizer terbaru dan paling produktif.
dipotong untuk memeroleh kelas yang tertinggi dan dikirim ke gergaji ulang multi head HR1000 untuk mempercepat pemrosesan lebih lanjut. “Sejak dari awal hingga akhir operasional kami berusaha tidak memaksimalkan hasil setiap kayu bulat namun juga melakukannya dengan memperhatikan lingkungan,” kata Darrell. “Tergantung pada kebutuhan pelanggan, kami hampir selalu memotong secara selektif yang baik untuk hutan yang berkelanjutan.”
Kayu gergajian siap dikirim.
16 | woodmag • Edisi 44 - 2015
Saat ini, Darrell sedang dalam proses memasang tiga Wood-Mizer WM4000s untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi di seluruh bisnis. Dilengkapi dengan kendali otomatis berteknologi tinggi, servo motor di kepala, dan 50% lebih banyak baja dari WM3500, WM4000 dirancang untuk produksi dan dibuat agar tahan lama. “Mesinnya sangat handal dan layanan dari Wood-Mizer tidak tertandingi,” kata Darrell. “Memilih Wood-Mizer adalah keputusan yang mudah.” “Gergaji-gergaji ini sangat efisien, cepat dan kuat,” kata putra Darrell Anthony yang telah mengoperasikan pabrik penggergajian Wood-Mizer selama lebih dari satu dekade. “Mata pisau yang tipis membutuhkan daya yang lebih sedikit dibanding gergaji lain dan pengaturannya membuatnya mudah dijalankan oleh siapa saja.” Seiring dengan meluasnya pasar, model bisnis Darrell yang telah teebukti dan pendekatannya yang berpikir maju ke depan telah memposisikan D&D dalam pertumbuhan dan keberhasilan yang terus berlanjut di industri kayu. Untuk informasi lebih lanjut: www.d-dhardwood.com
Edisi 44 - 2015 • woodmag | 17
Feature
American Ash brings warmth to the new GEM Convention Center in Ho Chi Minh City, Vietnam
American Ash brings warmth to the new GEM Convention Center in Ho Chi Minh City, Vietnam Designed by local Vietnamese architects a21studio, the newly opened GEM Convention Center is one of the largest convention centres in the Central Business District of Ho Chi Minh City, located in District 1. The centre has two main ballrooms with a seating capacity of 2,000. The exhibition spaces offer a capacity of 7,200 m2 of flexible function space. “The new GEM Convention Center” explains architect Mr Toan Nghiem from ‘a21studio’, “has been designed to be one of the most notable convention centres in Vietnam”. Each ballroom has an American ash ceiling as the main interior element with the first ballroom having 30mm x120mm ash louvres and the second ballroom with nine symmetrical ash patterns which form one big lantern. This intricate and complex lattice work pattern showcases the visual quality of the American wood. As guests enter the convention center they are also greeted with an unforgettable lobby and a group of restaurants and coffee shops on the roof top, reached by an impressive open staircase. This is a particular innovation in Vietnam where only American walnut and oak have featured in local interiors, whereas walnut, oak, tulipwood and some ash have been used extensively for furniture. 18 | woodmag • Edisi 44 - 2015
GEM CENTRE from the web – “Inspiring and innovative, our venue is fitted with the latest technology and state of the art facilities to make your event a memorable one. Offering 7,200 m2 of flexible function space, GEM Center is considered as the largest premier venue for event in the Central Business District of Ho Chi Minh City. Designed to accommodate art performance, business and social occasions, indoors and out, GEM Center is yours to transform according to your needs. In an effort to provide guests a different and memorable experience, we treat every event with meticulous attention. Whether it’s a colossal conference attracting thousands, corporate entertainment event or art performance, the team of planning, organizing, decorative, culinary expertise gives it our distinctive touch and ensures that your event is uniquely different to one at any other venue in the city. No matter what your event, scale and scope, if you can imagine it, we will find a way to make it happen. http://www.gemcenter. com.vn/home/about#
ENBORER® 100EC
Insektisida yang efektif dan telah terbukti untuk melindungi kayu
Insektisida untuk produk kayu
ENBORER® 100EC adalah produk dari Arch Wood Protection produsen utama bahan kimia perawatan kayu di dunia. ENBORER® 100EC sangat efektif dalam mengendalikan serangga untuk kayu gelondongan, kayu yang baru digergaji, kayu kering, furnitur dan komponen furnitur. ENBORER® 100EC dapat diencerkan dengan air atau pelarut dan disemprot, dicelup atau diperlakukan dengan tekanan pada produk kayu.
Kayu gelondongan: Encerkan Enborer® dengan air dan semprotkan
Cetakan dan komponen furnitur: Encerkan Enborer® dengan pelarut dan terapkan
Kayu gergajian: Encerkan Enborer® dengan air dan celup atau semprot
Kayu gergajian – perlindungan jangka panjang: Encerkan Enborer® dengan air dan perlakukan dengan tekanan
Distributor : PT Agricon Sentra Agribisnis Indonesia Tel : (51)313070 e-mail :
[email protected]
Sub-distributor : PT Trika Saka Jaya Tel : (61)6643439 e-mail :
[email protected]
Produsen : Arch Wood Protection (M) Sdn Bhd, Malaysia email :
[email protected] Edisi 44 - 2015 • woodmag situs web: www. tanalised.com
| 19
Feature
American Ash brings warmth to the new GEM Convention Center in Ho Chi Minh City, Vietnam
Architects a21studio had never worked with American hardwood before; however they were very pleased with the final result “as it met all the requirements of the design with a very high quality finish” says Mr Toan. The main staircase is located in the entrance lobby, which is covered by white granite panels. ‘a21studio’ wanted to add warmth and colour to the space by using American ash on the staircase which has been achieved. It also adds a contrast between the materials of hard rock and wood and the material textures that are flashy and rough. The staircase is the first attraction of the whole convention center as guests come in, so it had to be eye catching which it certainly is. On the upper floor, ash is used as the main material in the wall and ceiling panelling which gives the building a luxurious and natural feeling.
20 | woodmag • Edisi 44 - 2015
American Ash (Fraxinus spp) is a species of great variety and character in grain and colour as well as contrast and so always provides designers with a degree of uniqueness. Ash trees grow throughout the eastern United States, from the north in New York State to the southern States along the Gulf of Mexico, and everywhere in between. This sustainably managed wood from natural forests of North America, with its excellent environmental credentials is a popular with designers, architects, specialist users and consumers around the world. The trees grow high in the mountains and low on the plains and coastal areas. With such a variation of growing sites and altitude, with different soils and climatic influences, the result is a hardwood of great variety in colour, grain and strength. There are also various sub-species that add to this variety. Its sawn timber has a very strong grain contrast between the softer summer growth and hard winter growth rings, so the colour difference between the outer light-coloured sapwood and inner darker heartwood is quite distinct. In the northern United States the sapwood tends to be less due to the shorter growing season, than the south where the wood is more open grained. Being very hard, it is stable when dry and easy to finish and stain, it is ideal for flooring. Ash is increasing popular in exports markets, especially in Asia. Globally exports of American Ash was the number four species in the first half of 2014 amounting to 193,006 M3 in volume worth US$131 million – an increase or 35% in value and 23% in volume. Vietnam imports marked a 12% increase in value. As a large tropical and forested country, wood has traditionally played an important role in Vietnam architecture for internal fittings such as joinery, doors and staircases – mainly from local wood. As the population of Vietnam grows, tastes change and the modern economy develops, it is no surprise that architects and designers look to other types of hardwood. It is not only a friendly material but also recyclable in different ways. It has been scientifically proven that the carbon stored in the U.S. hardwood at point of delivery to manufacturers in Vietnam will almost certainly exceed all carbon emissions during extraction, processing, and transport and as well as this American hardwoods is demonstrably renewable in the forest.
13/16 Oktober 2015 PORDENONE FAIR
PAMERAN INTERNASIONAL UNTUK KOMPONEN, PRODUK SETENGAH JADI DAN AKSESORIS UNTUK INDUSTRI MEBEL
www.exposicam.it Exposicam srl Via G. Carducci, 12 • 20123 Milano • Italy Tel: +39 0286995712 • Fax: +39 0272095158
[email protected]
Edisi 44 - 2015 • woodmag | 21
Feature
Tidak boleh ada pelanggan yang tidak puas - Ir. Yani Enggalhardjo
Ir. Yani Enggalhardjo
Tidak boleh ada pelanggan yang tidak puas Pertumbuhan sebesar 30% diprediksikan Ir. Yani Enggalhardjo, salah seorang pendiri PT Saniharto Enggalhardjo. Kontraktor desainer interior kelas dunia yang pabriknya berlokasi di Kabupaten Demak ini. Tahun lalu kenaikan itu sudah menjadi kenyataan. Tahun 2105 ini, prediksi itu diyakini oleh Yani dan jajarannya akan tercapai. Lantas apa yang membuatnya ia dan jajaran begitu percaya diri.
Ini membuat pihaknya tak mendapatkan porsi dalam proyek terdahulu. Namun project ownernya mengalihkan perhatiannnya ke Saniharto Enggalhardjo saat proyek berikutnya dimulai. “Justru semua barangnya diambil dari kami,” jelasnya. Keunggulan dalam detail telah dikenal banyak desainer papan atas dunia. “Malahan ada berapa dari mereka selalu menuliskan ‘Saniharto or equal’ dalam diposisinya,” katanya. Inilah yang membuat pihaknya begitu percaya diri karena sudah menjadi referensi dalam peta global. Di Indonesia, menurutnya, pihaknya sudah menjadi penguasa dalam pasar ini. Untuk mendapatkan kepercayaan itu, pihaknya harus siap merespon setiap keluhan atau ketidak puasan pelanggan. Limitnya Menurutnya, tahun lalu pihaknya banyak memperoleh pemasukan dari proyek properti domestik terutama di Bali dan Jakarta. “Sekitar 65%,” katanya. Dari pasar luar negeri justru datang dari Makkau dan Mekkah melalui jaringan hotel internasional. “Selama dua bulan awal tahun ini, kelihatannya lebih banyak didominasi dengan proyek asal luar negeri sedang pangsa pasar lokalnya kelihatan agak menurun,” sambungnya. Untuk proyek di Makkau, Tiongkok ini meliputi pasokan untuk sekitar 700 kamar. Hanya saja, saat wawancara dilakukan, penyerahannya diundur lima bulan dari jadwal semula. “Biasanya, justru kami yang diburu-buru oleh 22 | woodmag • Edisi 44 - 2015
“Kepuasan pelanggan menjadi pertimbangan kami dan harus dilakukan secara konsisten”. mereka,” katanya seraya tertawa lebar. Untuk pasar Tiongkok, Saniharto Enggalhardjo sudah lama dikenal sebagai satu-satunya pesaing bagi satusatunya kontraktor desainer papan atas di sana. “Kami dikenal karena unggul dalam kualitas dan lebih mahal,” jelasnya. Hanya saja pesaingnya punya kemampuannya untuk menggarap proyek besar.
pun ditetapkan maksimum 48 jam setelah komplain disampaikan. “Kepuasan pelanggan menjadi pertimbangan kami dan harus dilakukan secara konsisten,” tuturnya. “Apapun komplainnya pasti akan kami bereskan, dan itu keharusan” tegasnya. Responnya bisa beragam, bahkan hingga membuatkan produk
“Dampak Pergerakan Pasar Amerika Serikat” Ia melihat bahwa tahun lalu pasar Amerika Serikat baru mulai bergerak dari stagnasi perekonomian panjang. “Dampaknya baru terasakan pada kwartal ketiga dan keempat,” jelasnya. Namun pergerakan ini bukan an-sich hanya pasar domestik Amerika, tapi juga terkait dengan pasar global seperti dalam jejaring kerja hotel mewah seperti Hilton. Dari jejaring ini pihaknya terlibat dalam proyek hotel Hilton di Mekkah berkapasitas 1000 kamar tidur. Fluktuasi Dolar Amerika Serikat tidaklah menggangu. Ini karena sebagian bahan atau material dibeli dengan menggunakan mata uang ini. “Hanya biaya tenaga kerja saja yang dalam Rupiah,” katanya. Demikian juga dengan situasi politik domestik yang fluktuatif, namun diperkirakannya tidak berdampak besar dalam hubungan bisnis yang sudah ada. Ini membuatnya optimis bahwa tahun ini kenaikannya bisa lebih bisa besar dibanding tahun sebelumnya. “Atau setidaknya sama dengan pertumbuhan tahun lalu,’ jelasnya.
“Pasokan Kayu masih aman”
pengganti yang dikirimkan dengan air freight. Sekalipun menelan biaya yang tidak kecil dan bukan pula kesalahan pihaknya semata, namun manajemen tidak menghendaki terjadinya debat kusir dan munculnya kekecewaan. “Mau apalagi? Klien sudah mau opening kok, kalau itu tidak dilakukan mereka bakal kecewa dan tidak pernah kembali lagi” jelasnya. Baginya, suara yang kecewa ini memiliki gema yang berbahaya karena disampaikan dari mulut ke mulut. “Komitmen kami adalah tidak boleh ada satu pelanggan pun yang tidak puas,” jelasnya. Baik menyangkut waktu serah terima, kualitas maupun konstruksinya. “Semua harus dijaga dan itu harus dirasakan pelanggan sebagai komitmen kami,” tegasnya. Konsistensi komitmen ini lah yang membuat salah seorng desainer kondang asal Amerika Serikat secara suka rela mendesain booth Saniharto Enggalhardjo dalam pameran di Las Vegas. “Hanya karena desain booth kami dianggap terlalu sederhana dan tidak menarik,” tuturnya. Desain ini memenangkan penghargaan desain booth terbaik dalam pameran kali itu.
Mengenai material kayu, ia pun tidak terlalu kuatir karena ketersediaan dan keamanan pasokannya juga cukup terjamin. Kayu solid lebih banyak mengandalkan kayu lokal, hanya sedikit sedikit pesanan yang menghendaki pengunaan kayu impor. Sementara untuk veneer, asal impor lebih dimintai oleh pelanggan ketimbang veneer lokal. Diakuinya jika sempat terjadi pelonjakan harga untuk veneer impor, namun ia tidak berani memastikan apakah itu disebabkan oleh mulai bergeraknya perekonomian Amerika Serikat. Pihaknya biasanya memiliki buffer stock dalam jumah terbatas, namun karena begitu banyaknya jenis kayu maka stok itu menjadi besar jumlahnya. “Boleh dibilang kami memiliki stok semua jenis kayu impor, dan umumnya yang eksklusif dan berharga mahal,” katanya. Ia membandingkan kayu jenis ini yang harganya bisa 10-20 kali lebih mahal dari harga kayu walnut. Dalam kelompok ini, juga termasuk kayu black ebony asal lokal. Yang membuatnya heran adalah spesies ini justru tidak bisa dibeli dari sumber atau pasar lokal. “Justru kami harus membelinya dari luar negeri,” jelasnya. Penggunaan spesies kayu nyaris tidak dapat dipetakan, karena “Bergantung pada selera desainernya dan kami tidak bisa menentukannya,” katanya. “Semua proyek hotel berbintang lima pasti diperoleh lewat desainernya,” sambungnya. Pihaknya hanya tinggal melaksanakan atau jika ada masalah maka akan ada negosiasi untuk mencari solusinya. Menurutnya, nyaris semua proyek yang ditangani pihaknya didesain oleh desainer asing termasuk sejumlah proyek di dalam negeri.
Edisi 44 - 2015 • woodmag | 23
Interview with
Christianto Prabawa, Managing Direktur CV Mebel International
Christian Prabawa
SVLK di Persimpangan Jalan Gonjang-ganjing pemberlakuan Sistem Verifikasi Legal Kayu alias SVLK ternyata masih berlanjut. Pemberlakuan yang seharusnya sudah mulai pada Januari 2015 lalu, ternyata tidak sepenuhnya. Muncullah Deklarasi Ekspor alias DE yang dinyatakan berlaku untuk perusahan berskala kecil. Menurut Christianto Prabawa, Pemilik CV Mebel International di Semarang yang juga Sekretaris DPD Asosiasi Industri Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) Semarang Raya, menuturkan hanya 1200 dari 6000 eksportir terdaftar dalam industri ini yang telah mengantongi SVLK hingga akhir tahun lalu. Menurutnya, biaya perolehan sertifikasi ini tidaklah murah untuk ukuran perusahaan berskala kecil, apalagi mereka itu belum pernah bersentuhan dengan berbagai perijinan yang seharusnya dimiliki sebuah badan usaha. “Surat keterangan domisili, HO, TDP, SIUP, apalagi NPWP belumlah pernah dimiliki mereka,” jelas Christian. Untuk mengeskpor produknya yang hanya 1-2 kontainer perbulan atau 4 kontainer pertahun, UKM pun lebih memilih “pinjam nama” perusahaan yang memiliki linsensi ekspor. Kenyataan inilah yang kemudian memunculkan Deklarasi Ekspor guna menerobos kemacetan ekspor yang mungkin terjadi. Jadi hanya “Semacam obat penahan sakit sementara,” ujar Christianto. Untuk itu, ia dan AMKRI mengajukan dua alternatif yaitu mengcancel pemberlakuan SVLK karena toh tidak direspon juga oleh dunia luar. Atau pemerintah memastikan pengucuran dana APBN untuk meringankan beban biaya ekstra itu. “Kalau digratiskan jelas malahan lebih repot,” jelasnya. WoodMag (WM): Bagaimana dengan penerapan SVLK? Christianto Prabawa (CP): Ini ‘kan sebenarnya suatu lingkaran besar.
WM: Lingkaran besar atau lingkaran setan….. CP: Ya (ia pun tertawa kecil. red.). Untuk memperolehnya harus ikut ujian yang biayanya IDR25 juta. ‘Kan untuk ujian harus ada sekolahnya lebih dulu. Logikanya tidak mungkin langsung ikut ujian dan lulus. Ada persiapannya dan dimintakan berbagai pengecekan administratif untuk bisa berakhir pada sertifikasi legalitas tadi. Ini meliputi paperwork. WM: Apa kaitannya? CP: Itu yang kami perdebatkan dengan tiga kementerian yang terlibat dalam SVLK. Melalui ini kementerian peindustrian, perdagangan, kehutanan dan lingkungan hidup menginginkan sesuatu yang sempurna. Jadi tidak hanya soal menggunakan kayu asal perhutani atau kayu kampung yang ditanda tangani kepala desanya. Ada banyak tumpangan disini, mulai dari soal pencemaran dan Amdalnya. Juga dari Dinas Tenaga Kerja yang mempersoalkan perlu tidaknya 24 | woodmag • Edisi 44 - 2015
petunjuk arah evakuasi dalam pabrik. Juga keharusan menggunakan sepatu dan masker. Ini nilainya sama pentingnya dengan konten aslinya. Sekalipun perusahaannya dan kayunya legal, tapi kalau pekerjanya tidak bersepatu dan bermasker ya tidak lulus juga.
WM: Urusan legalitasnya lantas kapan? CP: Hari ketiga dan keempat. Hari kedua, yang diurus soal Amdalnya. Juga soal UPLnya. Lantas keliling pabrik untuk mengecek jika ada karyawan dibawah umur atau tidak. Semua yang dicurigai dimintai keterangan dan KTP-nya. Barulah dihari ketiga dimintakan surat keterangan asal kayu selama setahun terakhir. Hari terakhir verfikasi lapangan soal asal kayu. Semua dicocokan kesesuaian antara produk dengan asal kayunya. Kami harus bisa menunjukkan produk meja ini dengan asal kayu dan bukti dokumennya. Titipan hari-hari sebelumnya ‘kan mahal juga. Regulasi baru tidak membolehkan ada industri yang berlokasi di luar kawasan. Mereka yang ada diluar kawasan diharuskan pindah ke dalam kawasan industri, kalau tidak ijin bebas gangguannya tidak akan keluar. Sampai saat ini belum ada asesor yang beralamatkan di Semarang. Itu juga yang membuat mahal biayanya. Kesembilan belas perusahaan asesor itu beralamatkan di Jabodetabek. Itu berarti akan ada tambahan biaya transportasi dan akomodasinya. Kalau ada empat asesor maka kalikan saja. Butuh minimal IDR 5 juta perasesornya. Kalau untuk perusahaan yang ekspor rutinnya mencapai 10-15 kontainer perbulan sih no problem. Ini berlaku untuk semua perusahaan tanpa membedakan skalanya. Kalau sebulan hanya ekspor 1-2 kontainer atau setahun 4-5 kontainer, lantas dikenakan IDR30 juta kan ini jadi soal besar. Di Semarang cukup banyak usaha kecil macam ini, dan lebih banyak lagi di Jepara sana. Kami pernah survei soal ini dan hasilnya kebanyakan usaha mikro ini menggunakan pinjaman nama perusahaan untuk bisa mengekspor produknya. Perusahaan yang dipinjam memang punya lisensi ekspor. Jangan tanyakan pada usaha kecil itu seperti surat domisili, SIUP dan HO. Mereka tidak punya dan tahu soal ini. WM: Jadi menunggu kesempatan terakhir ya….. CP: Ya siapa tahu pemerintah berubah pikiran lagi dan nyatanya itu terjadi berulang kali. Dulu dikatakan tidak boleh ekspor ke Eropa kalau tidak ada FSC, tahunya batal. Padahal mereka sudah mengeluarkan biaya tidak sedikit untuk mendapatkannya, tapi tidak berlaku. Kami juga mengalami itu. Kenyataannya, Januari lalu keluar Deklarasi Ekspor, bukan SVLK. Dokumen macam ini malah biasa diperjual belikan. Seorang rekan di Jepara menyebutkan pinjam nama saat ini biayanya hanya IDR2 juta perkontainer. Sepuluh tahun lalu kami melakukannya dengan biaya hanya IDR100 ribu. Tidaklah mudah dan murah mengurus berbagai ijin seperti domisili, TDP, SIUP dalam waktu singkat, sedang buyer sudah menunggu kiriman barangnya. WM: Sejujurnya adakah buyer yang mempertanyakannya legalitas kayu? CP: Berapa teman yang punya buyer asal Jerman menuntut adanya sertifikat FSC. Kalau pengalaman kami
WM: Lantas periode berlakunya sertifikasi untuk berapa lama? CP: Seritifikatnya berlaku untuk tiga tahun ke depan. Pertahun akan ada surveilance….
WM: Biaya lagi….. CP: Ya keluar IDR 18 juta sekalinya tapi pemeriksaannya lebih singkat. Kalau yang awal selama 4 hari, maka ini hanya 3 hari. Pengecekannya lebih ringan dan metode samplingnya random. Bukan komprehensif seperti yang awal. Asesornya pun hanya 2-3 orang. WM: In the end of the day who will pay it? Apakah buyer mau dibebani ekstra cost itu? CP: Sejauh ini hanya pengurangan profit yang bisa dilakukan. Buyer mungkin bilang “derita loe”. Tanpa itu kami sebenarnya baik-baik saja. Hal semacam itu yang memberatkan industri ini.
memperlihatkan buyer tidak menuntutnya. Mereka berpedoman pada peraturan di negara masing-masing. Ekspor kami banyak ke Inggris Raya. Sejak dua tahun lalu negeri berencana menerapkan EUTR. Itu sudah diterapkan di sana per Maret 2013, makanya kami pun memenuhinya pada Januari 2013. Jadi tidak akan ada soal untuk eskpor saat itu berlaku. Saat ini pemberlakukannya sudah tahun ketiga. WM: Memang diterapkan saat itu? CP: Saat itu menkehut Zulkifli Hasan meminta penundaan, dan diterima. Padahal kami sudah siap mengaplikasinya. Jadi tanpa SVLK pun ekspor bisa dilakukan dan diterima buyer. Sekalipun sudah punya SVLK yang belum berjalan, kami sudah membuat V-legal. Untuk itu perlu mengisi formnya dan harus diajukan ketika hendak berurusan dengann Beacukai. WM: Ada pengaruhnya terhadap peningkatan ekspor? CP: Kelihatanya sih stabil saja. Buyer pun tidak pernah meminta atau mempertanyakan sertifikasi itu. Kami sudah trial menjalankan V-legal selama setahun terakhir. Sejauh ini buyer juga tidak pernah mempertanyakannya. Tanpa ini Beacukai Semarang berhak menghold barang kiriman kami.
WM: Kenapa urusan sertifikasi diserahkan ke Beacukai? Apa urusannya legalitas kayu dengan Beacukai? CP: Mungkin Beacukai dimintai tolong berbagai kementerian karena tugas dan wewenangnya sebagai penjaga pintu ekspor, lewat sistem NISW tadi. Kalau nomornya dikonfirmasi match dan asesor juga telah mengkonfirmasikan maka kontainer kami bisa diekspor. WM: Pertanyaan yang muncul adalah adanya cost tambahan untuk itu, dan ini berpengaruh pada harga jual…… CP: Ya, siapa yang harus membayarnya. Jangan sampai malahan hanya mengurangi profit yang sudah tipis. Yang terjadi sejauh ini adalah pengurangan profit perusahaan.
WM: ya, dan buyer umumnya tidak mau tahu soal itu…. CP: Benar itu. Misalkan kami bilang saya mau menaikan harga meja ini USD 5 peritem maka buyer serta merta menolaknya.
WM: Ini ‘kan bukan yang pertama dan terakhir, lantas apa yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi hal serupa berulang dalam bentuk berbeda di masa depan? CP: Akhir tahun lalu, kami di AMKRI menyadari hanya 20% dari total eksportir telah mengantonginya. Bagian terbesarnya justru tidak memilikinya sehingga dikuatirkan ekspor nasional bakal jatuh secara besar-besaran. OktoberNovember 2014, kami sounding-kan ke pemerintah sehingga keluarlah Deklarasi Ekspor di Januari 2015. Ini untuk pelaku ekspor menengah ke bawah. Ini sambil menunggu langkah pemerintah dalam mengurangi biaya yang besar itu selama tahun ini. DE itu free dan mereka diberikan nomor dan ijin untuk mengekspor produknya. Kami mendorong dua alternatif kepemerintah. Jika bisa dicancel sekalian karena tidak ada respon dari dunia luar. Jika diteruskan maka pemerintah harus siap mengucuran dana APBN untuk membantu pengurangan biaya perolehan sertifikasi. Dari sekitar 6000 yang punya lisensi ekspor, ternyata hanya 1200 yang sudah punya SVLK. Bisa jadi sisanya yang 4800 perusahaan akan mati. Di AMKRI, kami berusaha mendorong penggunaan dana APBN untuk membantu meringankan pembiayaan itu. WM: Berapa besarnya? CP: Tinggal dikalikan dengan jumlah yang tersisa tadi, lantas berapa yang mau dibiayai negara? WM: Itu belum terhitung surveliance di tahun berikutnya. CP: Ya. Kami juga mendorong adanya kemudahan atas perijinan itu. Mau diteruskan dengan mempermudah pengurusan dengan membuat satu atap semua perijinan. Atau dicancel sekalian. Seperti yang dikatakan WoodMag tadi toh yang dibutuhkan adalah legalitas kayunya sehingga yang perlu dicek adalah di hulunya bukan dihilirnya seperti selama ini. Yang jadi soal ‘kan legalitas kayu sehingga tidak perlu mengecek HO, SIUP dan berbagai persayaratan administratif seperti saat ini. Yang penting kayu dari hutan itu legal dan semuanya selesai. ‘Kan SVLK itu sistem verifikasi Legalitas Kayu, bukan legalitas perusahaannya. CV. Mebel International Tambak Aji VI No2, Tambak Aji Industrial Park Semarang 50185
Edisi 44 - 2015 • woodmag | 25
Interview with:
Johnny Lo, Director PT Karya Cipta Unggul Nusantara
Johny Lo “Kami Tidak Bisa Wait and See” Inovasi baik dalam manajemen maupun produk merupakan kunci keberhasilan PT Karya Cipta Unggul Nusantara yang berlokasi di Demak untuk beroleh keberhasilan, ditengah himpitan kondisi yang tidak kondusif sekalipun. Menurut Director Johnny Lo, ia merubah setiap bangunan yang ada dalam pabriknya menjadi profit center. Sekalipun berimbas pada penambahan jumlah manajer namun setiap profit center bertanggung jawab penuh terhadap pengelolaan pembiayaan, sekaligus harus menghasilkan. Untuk mengatasi tekanan UMR, pihaknya juga beralih ke otomatisasi sekalipun tidaklah menyeluruh. “Masih 30% dari total,” jelasnya. Tuntutan akan kualitas dan detil mengharuskan pihaknya masih mengandalkan proses kerja padat karya. Bagi Johnny Lo, memproduksi pintu bukanlah sekadar menjual komoditas, tapi menjual kualitas. Ia juga menyadari bila pasar juga berubah. Penurunan daya beli pasar juga terjadi, sekalipun di pangsa middle upper. “pelanggan menghendaki produk dengan tampilan yang serupa, namun sesuai dengan daya belinya saat ini,” jelasnya. Ini berarti perlunya dilakukan adanya perubahan costing dan konstruksi, namun harus tetap mempertahankan tampilan dan kekuatannya. Ini bisa dilihat dari pengalamannya dalam mengatasi pelonjakan harga spesies white oak yang merupakan material produk utamanya. Kondisi yang tidak kondusif ini membuat banyak produsen serupa di Indonesia menghentikan produksi yang sudah berjalan, atau mengambil sikap wait and see. “Kami tidak bisa melakukan itu,” katanya. Lantas muncul ide untuk memperkenalkan Indonesia white oak alias mindi sebagai subtitusinya. Ini bukan spekulasi, karena pasar bisa langsung menerimanya. Langkah brilian ini membuat perusahaan berhasil menurunkan biaya produksi hingga setengahnya, karena penampilannya tak berbeda dengan pintu berbahan white oak. Simak kutipan perbincangan Johnny Lo dengan redaksi WoodMag di bawah ini. WoodMag: Ada dua gedung baru di bagian belakang itu untuk apa? Johnny Lo: Itu bagian dari pengembangan bisnis yang ditujukan pembentukan satu profit center untuk tiap bangunan. Dulu kami hanya butuh 1 manajer untuk 26 | woodmag • Edisi 44 - 2015
semua itu. Kini setiap gedung atau profit center punya masing-masing manajer. Saat ini, kami menerapkan sistem profit center bagi tiap bangunan. setiap profit center harus menghasilkan dan bertanggung jawab penuh atas costing. Ini merupakan faktor paling rawan bagi sebuah industri. Orang selalu mengatakan kami lebih nyaman karena berlokasi di Semarang dianggap tidak mengalami kenaikan biaya terutama UMR. Mereka tidak perhatikan kalau masalah ini sebenarnya dialami semua pabrikan di Indonesia. sekarang saja, banyak yang pindah dari Surabaya ke Lumajang dan kota kecil lainnya di Jawa Timur. Mereka lupa bagaimana prediksi costingnya dalam tiga-lima tahun ke depan. Bisa jadi sama dengan saat ini. Semua mengalami hal yang sama terkecuali mereka pindah ke luar negeri. Sekarang ini kami sudah memasuki tahun kelima dengan berfokus pada cost price.
WoodMag: faktor apa yang terberat….. UMR? Johnny Lo: Tidak, bukan itu. Tekanan pada UMR membuat kami mengandalkan otomatisasi di sebagian mesin produksi. Tidak semuanya karena costingnya sudah pasti akan membebani keuangan perusahaan. Saat ini 30% sudah diotomatisasi.
WoodMag: Jadi sekarang bergerak ke otomatisasi….. Johnny Lo: Ya, tapi tidak semua karena produkproduk tertentu untuk segmen pasar ekspor menengah ke atas masih mengandalkan padat karya. Contoh produk pintu ini – seraya menunjuk sebuah daun pintu. Ini kalau tidak diproduksi lewat padat karya dan tidak menggunakan amplas Ekamant mana bisa jadi sebagus ini. Saat ini nilai tukar Eurodollar begitu parah terhadap USD dalam dua bulan ini. Semua pelanggan yang tadinya membeli ke Asia beralih ke Spanyol, Portugal bahkan Brasil. Pertanyaannya apakah kita siap untuk bermain dalam pasar demand-supply. Kalau mau lantas berapa spread yang harus diambil dalam ruang yang sempitnya. Bisa saja kita beri diskon harga di awal tapi kalau rate kembali normal maka otomatis harganya kembali ke awal. Ini ‘kan salah satu jalan yang bisa diambil. Dalam kondisi semacam ini banyak orang yang mengatakan wait and see. Saya tidak. Mau tidak mau kami berikan diskon 5-7%. Ini ‘kan bisa diimbangi dengan efisiensi internal perusahaan. Bagi sebagian pabrikan kondisi ini memang menyulitkan tapi saya percaya masih ada celahnya untuk diterobos. Asal mau terus berinovasi.
WoodMag: Sebenarnya berapa banyak pangsa pasar Eropa untuk KCUN sendiri? Johnny Lo: Untuk produk pintu memang masih agak susah. Kami sendiri masih fokus memasarkan ke Inggris Raya (United Kingdom) hingga saat ini. Juga pasar Belanda dengan salah satu importir besarnya. Kami juga terlibat dalam sejumlah proyek properti di dalam dan luar negeri. Di luar negeri ada di Makau, HongKong dan Singapura. Di Amerika pun ada tapi saya tidak terlalu antusias dalam menggarap pasar ini. WoodMag: Kenapa? Johnny Lo: Pelanggan Amerika kalau memberhentikan produksi di tengah jalan benarbenar dilakukan. Mereka tidak peduli dengan kerugian yang diderita mitra bisnisnya. Kebetulan kami mendapat mitra yang benar-benar oke. Dia mau membuka L/C ketika kami minta. Jadi benarbenar enak hubungannya. Bagi kami ini merupakan persoalan prinsip dalam berbisnis. Kalau calon pelanggan menolaknya maka kami pasti batal berbisnis. Itu lebih baik dari pada tidak bisa tidur nantinya.
dalam seharinya. Saya harus tahu benar bagaimana progress dari masing-masing kontainer yang hendak dikapalkan. Itu semua sudah direncanakan satu setengah bulan sebelumnya. Untuk begitu kami harus punya buffer stock yang mencukupi. Kebanyakan mau mengerjakan hari ini barulah setengah mati mencari bahan bakunya. Kalau kami, seperti yang anda lihat tadi di belakang, stocknya bisa mencapai 7-8 bulan ke depan. Nilainya bisa mencapai USD1,7 juta.Ini first impression bagi calon pelanggan Kedua, delivery timenya selama 4 minggu. Kalau pelanggan mau lebih cepat maka akan terjadi negosiasi ulang, dan itu berarti pemasukan ekstra. Ini karena harus menggeser jadwal produksi lainnya. Akhirnya pun negosiasi untuk memenuhinya. Ke sininya, semua pelanggan, semua buyer dan semua orang tetap berkeinginan menggunakan pintu yang berkualitas bagus. Hanya saja kemampuan membelinya kian menurun. Ini juga terjadi di segmen market menengah ke atas. Kami harus bisa menyajikan produk yang tampak sama, tapi konstruksi dan costingnya beda disesuaikan daya belinya.
WoodMag: Tadi dikatakan harus ada inovasi, seperti apa itu? Johnny Lo: Kami keluarkan produk terbaru. Yang jadi soal adalah harga white oak Amerika sempat doubled karena perekonomiannya membaik. Kayu itu habis dikonsumsi untuk keperluan menggerakan industri domestiknya. Ini ditambah dengan naiknya demand spesies ini di Tiongkok, dan imbasnya pun sampai ke sini. Lantas apa yang dilakukan semua yang bermain white oak di sini. Biasanya dibebankan ke cost dan pricing. Kalau tadinya satu pintu dijual USD6 lantas melonjak jadi USD12. Marginnya pun menyusut karena hanya 10%. Semua pabrik disini teriak. Tiap bulan kami mengeluarkan 18 kontainer pintu white oak untuk keperluan outdoor. Kemarin kami beli harganya sampai USD890 dan sekarang baru turun jadi USD675. Ini salah satu produk utama kami. Sebenarnya tren itu sudah berlangsung sejak tahun lalu, ketika perekonomian AS membaik sektor propertinya jalan dan menyerap seluruh material. Prioritas pada perbaikan industri domestiknya mengurangi tingkat pengangguran Amerika.
WoodMag: Sekarang mana yang lebih banyak diproduksi, pintu atau 2 layer flooring? Johnny Lo: Masih pintu. Kalau flooring 2 layer itu limited product. Kami ‘kan kerjanya mengerjakan yang limited itu karena pasarnya sulit, tapi disitu kami memiliki skilled yang tidak dimiliki lainnya. Kebanyakan pabrik memilih menjadi spesialis karena terbatasnya skillnya. Kami bisa mengerjakan banyak produk yang tidak bisa dilakukan kebanyakan pabrikan dalam waktu bersamaan. Kami punya skill yang mumpuni untuk melakukannya. Kalau dipabrikan lain, CEO atau direksinya duduk di balik meja, maka di sini saya tahu persis progress yang tejadi di setiap lini produksi. Itu selama 24 jam Edisi 44 - 2015 • woodmag | 27
Interview with:
Johnny Lo, Director PT Karya Cipta Unggul Nusantara
Beda dengan UK. Pembangunannya jalan, propertinya jalan tapi second marketnya tetap berjalan. Orang Inggris kerap mengganti karpet, wallpaper interior, dan pintu hanya karena merasa sudah bosan. Pangsa pasar replacement di sana mencapai 30%. Kami punya 7 pelanggan, dan saya pernah menongkronginya satu –persatu. Tujuannya untuk menghitung berapa piece pintu yang terjual dalam sehari. Itu mencapai 100 piece di masing-masing pelanggan. Tinggal kalkulasi totalnya sehari dan sebulannya di semua pelanggan. Itu baru pasar ritel, belum yang project base. Sekali datang mereka bisa ambil satu kontainer. Kemarin saya bertemu dengan semua project ownernya. Saya persyaratkan order minimal mereka 90 ribu, maksimalnya tidak terbatas. Salah satunya susah menyetujui dengan mengorder sekitar 130.000-an piece.
WoodMag: Ada pengembangan produk baru untuk itu? Johnny Lo: Kami tidak masuk ke produk yang menggunakan spesies baru. ini impactnya ke veneer dan lacquer. Costing lagi. Kalau menggunakan meranti, pasar Inggris dan Amerika mau mengorder dalam jumlah besar. Juga dengan white oak. Jangan dengan red oak karena jelas tidak akan kompetitif dengan produsen asal Amerika sana. Untuk commodity door biasanya pasar Amerika menyerap dari Tiongkok atau Vietnam, tapi karena harus menggerakan industri domestiknya maka impor itu dihold. Didahulukanlah produk lokalnya dengan menggunakan kayu oak. Otomatis bahan bakunya pun habis dipakai mereka sendiri. Mereke cenderung menggunakan red oak. Jadi jangan bersaing dengan mereka dengan spesies ini karena kita akan kalah. Mungkin kita bisa menang dalam costingnya, tapi tidak untuk freight cost-nya. Yang bisa bersaing dengan produk pintu red oaknya adalah Tiongkok, tapi sekarang kebijakan anti-dumping Amerika dan tax-nya mencapai 14%.
WoodMag: Tadi anda mengatakan ‘we do itu our way’, apa maksudnya? Johnny Lo: Kebanyakan dari kompetitor kami knowledgenya tidak sampai. Yang kedua, mereka juga tidak aware. Ketiga, membuat pintu itu seni bukan jualan. Saya paling tidak suka lihat pelanggan yang menghandle produk kami seenaknya. Padahal sudah dibuat sebagus mungkin. Saya tidak berjualan pintu untuk cari duit. Ujung-ujungnya juga kami yang disusahkan. Kalau ada masalah mereka juga klaim ke kami. Bisa jadi project ownernya berpikir kami lah yang bermasalah dan tidak profesional. Sebenarnya persoalan ini bukan lagi tanggung jawab kami, tapi kami tidak bisa berdiam diri melihat itu. Itu sebabnya saya berbicara langsung dengan kontraktor dan sub-nya agar bisa memahami perlakuan yang proper bagi produk kami. Itu yang 28 | woodmag • Edisi 44 - 2015
membuat hubungan kami langgeng. Secara perlahan, knowledge mereka bertambah. Kami menjual pintu itu menjual kualitas. Kalau kualitas sudah bagus tapi handlingnya buruk dan berakibat rusaknya pintu, maka susah semuanya. Itu saya lakukan hingga ke proyek di Makkau dan HongKong. Kami tidak bisa berhenti sampai jual dalam kondisi bagus dan dibayar. Terus terang project owner dan kontraktornya jarang turun ke lapangan, padahal persoalannya justru terjadi di sana. Saya bilang kalau orang hanya pintar hitung cost di meja tapi tidak pernah turun ke lapangan maka percuma. Saya selalu menyempatkannya sehingga bisa melakukan komparasi sekaligus berinovasi berdasarkan temuan di lapangan. Itu membantu penurunan costing sedang proses produksi tetap berjalan. WoodMag: Seperti apa? Johnny Lo: Ini seperti cerita kayu mindi yang tahun lalu mulai naik daun. Kami memikirkan bagaimana cara mensubtitusi white oak padahal kontrak sudah berjalan. Banyak teman yang langsung give up terhadap situasi ini. Mereka bilang tidak mungkin kuat dan memilih mentalkan kontraknya. Buat apa pah poh. Tidak untung, tidak rugi, bikin capek saja. Kami keluarkan produk yang menggunakan Indonesian white oak sebagai solusinya. pelanggan tidak tahu bedanya. Salah satunya baru tahu setelah menerima produk ke 80.000. Itu juga karena kami beritahu. Dia bilang sudah sudah kerja selama 35 tahun tapi tidak bisa membedakan white oak dengan Indonesia white oak. Dia bilang kami lebih smarter darinya. Saya tanya sama dia mau terima atau tidak. Karena dia sudah menjual banyak maka dia tidak peduli soal itu. Penggunaannya bisa menurunkan biaya produksi setengahnya lebih. Ini inovasi dan efisiensi luar biasa dan sampai kini kami menggunakannya. Pelanggan pun mau kontrak selama tiga tahun. itu sebabnya kami pun dikenal lebih luas lagi oleh di Inggris dan dianggap capable.
Furniture School The Cippendale Furniture School
Furniture school creates Jupe table with political attitude To mark next month’s general election, staff and students at the Chippendale International School of Furniture have made a Jupe table with political attitude. In its smallest configuration it’s an unremarkable round blue table.
But it’s actually a table based on a design by the 19th century French cabinetmaker Theodore Alexander Jupe.
Its secret lies in a complex concealed mechanism, so that when the tabletop is turned, its sections move outwards. The table, however, retains its shape, expanding to become a larger round table. Fit in some additional wooden leaves and the table becomes a Saltire, Scotland’s flag. But give it another twirl, fit in some more leaves and it’s transformed into a Union Jack. You can see the video here.
“We wanted to make a Jupe table as a bit of fun and to explore the complexity of Jupe’s design,” said Anselm Fraser, principal of the school which is this year celebrating its 30th birthday.
The Chippendale International School of Furniture was named winner of the Best Business category in East Lothian at the 2014 Best of the Best Business Awards and is acknowledged as one of the finest furniture design and restoration schools internationally. At the end of last year, the School also won a Best Business Award in the small to mediumsize category – an award that recognised how the School has enhanced the reputation of the UK as a centre of excellence in woodwork and craftsmanship.
Each year the school takes some 20 students from around the world for 30-week immersive courses, cramming three years of study into less than one year. This year’s intake comes from the UK, Canada, USA, Italy, Trinidad and Tobago and Norway. https://www.youtube.com/watch?v=Tl82b__ xkb0&feature=youtu.be
For more information on the School or images: Charlie Laidlaw, David Gray PR +44 (0) 1620 844736 or (m) 07890 396518
[email protected]
Edisi 44 - 2015 • woodmag | 29
Periscope
Mengelola Perubahan dalam situasi yg berubah
“Mengelola Perubahan dalam Situasi yang Berubah” Oleh: Emir Wiraatmadja Seorang rekan dengan emosi menyalahkan pilihan politik lawan bicaranya atas kebangkrutan yang dialami kolega bisnisnya. Menurutnya, pemerintahan presiden bertanggung jawab penuh kebangkrutan perusahaan penangkapan ikan milik koleganya. Penerbitan regulasi yang menghendaki perusahaan penangkapan ikan mendirikan pabrik pengalengan ikan. Tujuannya jelas untuk meningkatkan nilai tambah yang bisa diperoleh. Namun ternyata rencana ini tidak bisa diterima oleh sebagian pelaku bisnis. Kebanyakan dari mereka yang menolak adalah pebisnis yang terbiasa mengekspor komoditas mentah, atau menjual ikan tangkapannya ke perusahaan pengalengan ikan. Cara ini dianggap cukup mudah apalagi harga internasional komoditi itu cukup tinggi. Mengeskpor minyak kelapa sawit mentah dan ikan segar adalah salah satunya. Singkatnya, keuntungan sudah diraih hanya dengan menjual komoditas mentah dengan harga internasional. Lantas dipikirnya, untuk apa melakukan ekspansi bisnis lagi apalagi harus merentangkan jejaring kerja dan mendirikan saluran pemasaran sekaligus membranding. Apa yang dipermasalahkan rekan saya ini sebenarnya memperlihatkan banyaknya pebisnis yang terjebak dalam zona nyaman yang semu. Zona nyaman yang menina-bobokan ini cenderung membuat pengusaha tidak ingin keluar darinya. Zona nyaman yang diciptakan dalam hubungan asimetris antara produsen dan pembelinya. Si penangkap ikan merasa bahwa seberapapun hasil tangkapannya toh akan dibeli juga. Sementara si pembeli dengan lihai memanfaatkan posisi dominannya untuk menekan harga dari waktu ke waktu. Yang terjadi adalah si penangkap ikan pun menjual produknya kian murah, sedangkan si pembeli menikmati keuntungan lebih besar lagi. Hal yang sama juga terjadi dalam industri furnitur. Menurut Ketua 30 | woodmag • Edisi 44 - 2015
Umum DPD Amkri Jepara Andang W Triyanto, hubungan antara produsen dengan buyer sebenarnya mirip hubungan sparring partner. Hubungan yang sebenarnya dilandasi oleh kepentingan yang bertolak belakang. “Pembeli akan bilang bla, bla, bla, dan merasa nyaman dalam berbisnis dengan pengusaha Jepara dibanding Vietnam, tapi untuk itu mereka meminta harga belinya diturunkan”. Rayuan gombal inilah yang mendikte sebagian produsen mebel di Jepara. Akibatnya, mau tidak mau mereka terpaksa memberikan tawaran harga kian murah dari waktu ke waktu untuk mempertahankannya. Akibatnya kualitas pun dikorbankan. Tanpa disadari ancaman terdekat datang dari buyer bukan dari kompetitor. Lebih celaka lagi, pembeli yang berdatangan ke Jepara kebanyakan bukanlah yang settle. Berhadapan dengan buyer macam ini sudah pasti banyak pebisnis furnitur asal Jepara akan kelabakan dibuatnya. Merekalah yang akan mendiktekan semua prosedur termasuk keharusan membuka L/C di bank besar dan berbagai persyaratan administratif. Itu sebabnya seperti diakuinya, kebanyakan pebisnis Jepara lebih menyukai mitra kerja yang lebih fleksibel. Kedua jebakan ini sebenarnya menghadang kemajuan dunia industri Indonesia, terutama industri mebel. Keduanya memberikan kenyamanan semu, dan bisa jadi ancaman serius bagi keberlanjutan industri. Jadi bukan pilihan politik yang menyebabkan kebangkrutan sebuah perusahaan, tapi keengganan untuk keluar dari zona nyaman justru yang bisa membangkrutkan sebuah bisnis. Seorang top eksekutif pernah berujar bahwa keberhasilan sebuah bisnis lebih ditentukan dengan kemampuan top manajemen sebuah perusahaan dalam mengelola perubahan di dalam situasi yang berubah. “Dalam bisnis
yang konstan adalah perubahan itu sendiri,” ujar Michael V. Hartono dari Modern Group. Untuk keluar dari jebakan perlu perubahan. Menurut Andang Triyanto, dibutuhkan perubahan mindset dari para pelaku bisnis. “Dari pola pikir yang sederhana menjadi pola pikir yang lebih rumit, dari pola pikir pengrajin menjadi pola pikir industri,” katanya. Perubahan cara berpikir parsial dan taktis menjadi terintegrasi dan strategis. Ini menghilangkan sekat yang melekat, yang tadinya mengandalkan perseorangan menjadi tim kerja yang utuh. “Ini tercermin dalam perkataan ‘tukang saya yang ini……’ padahal mereka bekerja dalam kelompok,” lanjutnya. Juga pemikiran untuk mengurangi biaya tenaga kerja agar bisa kompetitif dalam persaingan. Hanya dengan perubahan inilah, Andang melihat sebuah bisnis akan menjadi lebih kuat dan mampu bertahan dalam persaingan di masa depan. Apalagi pemerintah melalui kementerian perdagangan telah menargetkan industri mebel akan meraih devisa USD5 milyar dalam lima tahun mendatang. Pacuan yang melibatkan Vietnam dan Malaysia, peringkat kedua dan pertama dalam perolehan devisa dalam industri mebel di Asia Tenggara. Menurut Andang, pacuan yang menggunakan lintasan pacu yang sama. Bukanlah perkara mudah untuk memenangkan pacuan itu, atau bahkan mencapai target yang ditetapkan. Tentunya setiap peserta akan berupaya mengamankan posisinya saat ini, sekaligus perolehan devisanya tidak berkurang.
Biz News
Lokakarya Pra-IFEX 2015
Lokakarya
Pra-Ifex Jelang penyelenggaraan Ifex (Indonesia International Furniture Expo) 2015 pada 12-15 Maret mendatang, AMKRI (Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia) memfasilitasi para anggotanya dengan menggelar “Furniture & Craft Industry Pre-Exhibition Workshop”. Ekamant berpartisipasi sebagai salah satu sponsor dalam lokakarya yang digelar pada 19-20 Januari lalu di ruang Garuda, Kementrian Perindustrian tersebut. AMKRI sendiri menggandeng CBI (Center for the Promotion of Import)--lembaga nirlaba yang memberikan bimbingan dan pelatihan di negara-negara berkembang untuk meningkatkan ekspor mereka ke pasar Uni Eropa dalam kegiatan ini. “Lokakarya ini penting untuk membantu peningkatan kualitas produk serta pemasaran yang lebih baik karena selama ini masih banyak peserta pameran yang menggunakan cara-cara konvensional,” tutur Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementrian Perindustrian Pranata yang membuka acara. Kementrian Perindustrian berkepentingan dalam mendukung target Kementrian Perdagangan meningkatkan volume ekspor hingga 300 persen dalam lima tahun ke depan. Selama dua hari, para tutor senior CBI membagikan berbagai tips yang sangat berguna untuk para peserta mempersiapkan diri mengikuti Ifex serta tujuan jangka panjang memasuki pasar Uni Eropa. Beberapa materi yang disampaikan antara lain apa saja yang perlu dipersiapkan sebelum, saat, dan setelah mengikuti pameran perdagangan sebagai bagian dari strategi pemasaran perusahaan yang disampaikan oleh Liena Mahalli. Tutor asal Belanda Kees Bronk berbagi tips tentang enam jenis positioning yang perlu dikuatkan oleh para pemain di industri
furnitur dan dekorasi rumah untuk masuk pasar Uni Eropa. “Produk Anda harus berbeda karena jika sama, pembeli hanya akan mencari harga termurah,” tegas Kees. Kees juga membeberkan tiga gaya utama produk furnitur dan dekorasi rumah yang disukai di pasar Uni Eropa yaitu: inventif yang lebih menekankan pada aspek fungsional; sensitif dengan model-model simpel dan dekat dengan alam; serta ekspresif yang berani dengan sentuhan etnik kontemporer. Kees mendorong para pemain di industri ini untuk tetap membangun gaya mereka sendiri, tapi harus relevan dengan permintaan pasar di Uni Eropa. Selama lokakarya, para peserta terlibat aktif dalam diskusi serta penugasan kreatif yang diberikan pada setiap sesi. Edisi 44 - 2015 • woodmag | 31
Biz News
Singapore Good Design
Penghargaan Desain Singapura 2015
Dominasi UKM dan Pelaku Bisnis Baru Pesan dari Singapore Good Design Mark (SG Mark) 2015 yang baru dipentaskan pada pertengahan Maret lalu adalah teruslah bermimpi dan mewujudkannya secara nyata. SG Mark tahun ini diberikan pada 83 produk dan solusi. Jumlah yang cukup besar, dan diakui penyelenggaranya Design Business Chamber Singapore (DBCS) bertambah 32% dibanding tahun sebelumnya. Mayoritas perebut award tahun ini adalah perusahaan skala kecil dan menengah, bahkan debutan baru dengan pendekatan atau solusi inovatif serta kreatif pada gaya hidup dalam lingkungan yang berubah cepat. Untuk tahun ini, DBCS juga mempersembahkan SG50 Special Awards ke lima perusahaan atau perorangan Singapura yang dipandang mampu mempersembahkan karya luar biasanya dan terpatri dalam sejarah perkembangan desain negeri ini dalam rentang waktu selama 50 tahun terakhir. Penyerahan penghargaan ini dilakukan dalam gala dinner pada 12 Maret 2015 dengan tamu kehormatan Menteri Grace Fu. 32 | woodmag • Edisi 44 - 2015
Perusahaan keluarga seperti Killiney International Pte Ltd., dan Lam Soon Sinagpore Pte Ltd., tercatat menerima penghargaan SG50 yang bergengsi ini atas karya-karyanya dalam pembangunan di sektor utilitas publik seperti Singapore Botanic Gardens dan Changi Airport and the Housing & Development Board (HBD). Keduanya juga terlibat dalam peremajaan Toa Payoh, sebuah area perintis perkotaan yang dibangun 50 tahun lalu. Penghargaan tidak hanya diberikan pada perusahaan lokal Singapura, tapi juga 21 perusahaan asing yang berasal dari Tiongkok, Jerman, Jepang, Belanda dan Thailand. Untuk kategori Platinum dimenangkan oleh JTC Corporation dengan the Jurong Rock Caverns, National Parks Board dengan Singapore Botanic Gardens, dan Housing & Development Board dengan A Pioneer Town Toa Payoh. Untuk kategori Gold Winners diperoleh Lam Soon Group Knife Cooking Oil oleh Lam Sonn Singapore Pte Ltd, Novena Lifestyle and Medical Hub oleh Far East Organization, P&G Singapore Innovation Center oleh Procter & Gamble, Personal Smartphone Breathalyzer oleh InfiniSquare Pte Ltd, Shimano Cycling World oleh Eight Inc, Acropolis Kitchen Design oleh Luxx Newhouse Pte Ltd, SlimStyle LED 60W oleh Royal Philips. Sedangkan untuk G Mark diperoleh Howatt “ Technologies dari Teika Pharmaceutical Co., Ltd., dan SG CETUS dari GOP Co. Ltd. Untuk Singapore Design Awards 2015 sendiri dibagi ke dalam kategori Asia’s Top Design Practices yang dimenangkan oleh 13 perusahaan, namun hanya tercatat satu produk furnitur dari OCBC Bank. Demikian juga hanya desain furnitur karya Weijenberg Camiel dari Weijenber Pte Ltd., bisa memperoleh penghargaan dalam kategori Asia’s Top Designers. Dalam sambutannya President DBCS Tai Lee Siang menyebutkan melonjaknya penerima penghargaa dalam tahun ini benar-benar menarik perhatian. Ini terjadi karena banyaknya ide diluar kotak berpikir yang tak sekadar unik tapi juga praktis dan berpotensi bagus untuk dikomersialkan. “Kami juga dikejutkan dengan begitu kuatnya kemampuan berkarya invoasi dari UKM dan debutan bisnis baru Singapura”.
Biz News
PEFC General Assembly in Paris with a strong Asian contingent
PEFC General Assembly in Paris with a strong Asian contingent The 19th PEFC Council General Assembly (GA) was held in Paris, following the 18th held the previous year in Kuala Lumpur. Attended by delegates from 36 national forest certification schemes, PEFC members and NGOs from across the globe, the agenda provided a full update on the progress being made by PEFC as the world’s largest forest certification scheme. GA re-elects Malaysian Vice Chair Ms. Sheam Satkuru-Granzella was re-elected as Vice Chair to the PEFC Board of Directors. She has also been instrumental in forwarding the interests of the Malaysian Timber Certification Council (MTCC) and PEFC International in Europe and Asia. The GA was also attended by Mr Yong Teng Koon, CEO of the MTCC and by delegates from Indonesia, Vietnam, Japan and China. Opening the GA on 19th November, PEFC International Chairman, Mr William (Bill) Street declared that not only is PEFC the largest global forest certification scheme, but the most trusted – a statement he repeated and demonstrated over the next several days. According to a recent survey of 13,000 people in 13 countries, 1,000 men and women aged 16+ years per country, in Australia, Austria, Brazil, China, Finland, France, Germany, Italy, Japan, Spain, Sweden, UK and USA, more than 80% of consumers want companies sourcing certified material from sustainable managed forests to use certification labels. The survey shows that certification labels, such as the PEFC label, are the most trusted means of giving confidence to consumers that wood-based products are sustainably sourced. Consumers globally believe that it is important to make ethical choices, with 60% of all those surveyed agreeing that their shopping choice for a labelled product can make a positive difference to the world’s forest. Only a small minority of 10% felt that their choice for a sustainably sourced product would not make a difference. Mr. Street looked back at the successful history of PEFC, which was founded in Paris 15 years ago by small and family forest owners. He renewed the organization’s commitment to promote sustainable forest management as an important contribution to tackling societal challenges such as climate change. “In less than two decades, a proverbial drop in the bucket of history, PEFC has gone from an organization of 11 national certification systems to 38 member countries and 22 international stakeholder members and growing, Today, two thirds of all certified forests globally are certified to PEFC. More than half of the world’s traded sustainable forest products are sourced from PEFC forests. This makes PEFC the world’s leading forest certification system and the world’s largest source of eco-certified forest products,” Mr Street concluded.
Ben Gunneberg, PEFC Secretary General, in his PEFC Report and Reflections to the GA on Wednesday, confirmed the growth of PEFC and its huge programme of activities and projects that are only made possible by the work and support of national certification schemes. Today there are 36 PEFC-endorsed schemes in 37 countries, representing 264 million ha of PEFC certified forests– up from the 250 million ha, as reported in the 2013 Annual Review.. In certified forests growth was notable in Ireland, Uruguay and Slovenia, and later in the week The Sustainable Forestry Initiative® (SFI®) Inc. was recognized for the greatest increase in forest certification for a PEFC national member, for a second year in a row. In talking about market outreach, Mr Gunneberg suggested that there are hundreds of companies and stakeholders in Australasia, China, Japan and Indonesia; and on the Asia Promotions Programme he singled out India, Vietnam where PEFC is holding seminars in December, Japan and Indonesia, for special attention as potential and new members. In summary the PEFC strategy is to become the system of choice for all involved in sustainable forestry. Looking forward the General Secretary emphasised that PEFC needs to move from responding to demand to creating desire. “We have created materials and tools for champions of certification – with toolkits, training and messaging – and positioned PEFC to deliver value” he said. In getting the champions to deliver, there were constant calls by Gunneberg and throughout the GA for certified companies to use the label. Only a minority are doing so and thus are stealing a march on their competitors, if the survey truly reflects consumer attitudes in trusting labels, rather than marketing green-speak commonly used in advertising and promotional campaigns. “As we now have lots of new customers nationally and internationally – all of whom are potential champions – we need to engage positively, efficiently and professionally. After all, ‘on-label’ use is really the only way to directly involve the final consumer in supporting sustainable forest management and are reducing deforestation,” he concluded. Technical Training sessions The Wednesday GA had been preceded on Monday by a set of closed Technical Training sessions on Chain of Custody and technical updates, as well as a Scheme Development Workshop targeting national groups that are setting up National Forest Management schemes. Here practitioners from India, Vietnam Edisi 44 - 2015 • woodmag | 33
Biz News
PEFC General Assembly in Paris with a strong Asian contingent
and New Zealand received hands-on advice, including coaching for PEFC National Governing Bodies from Australia, China, Indonesia and the Netherlands. National schemes are the very basis of PEFC’s approach to certification. Whereas other schemes work from the ‘top down’ with ‘one size fits all’, PEFC respects national sovereignty by its ‘bottom up’ approach in each individual country which sets its own criteria according to local conditions and issues. PEFC then assesses and endorses schemes after demonstrating compliance with PEFC’s globally recognized Sustainability Benchmarks, which are ISO compliant. Twenty seven Awards presented The GA ended with 27 presentations of PEFC Awards, including one to MTCC and another to Indonesia, and a presentation by the CFCC to PEFC.
‘5th Stakeholder Dialogue’ Immediately following the 19th PEFC General Assembly in Paris a full day international ‘Stakeholder Dialogue’, open to all, was held in Paris. About 150 registered delegates attended the day which was supported by Metsä Group, Suzano Pulp & Paper, PEFC Portugal/CFFP and PEFC France. The final message from the PEFC leadership, following the Stakeholder Dialogue was clear from the General Secretary who said, “Consumers increasingly trust certification labels like PEFC and expect companies
to label products to help inform their purchasing. As the world’s largest certification system, we need to work harder to keep up with this expanding demand for certified wood and timber products. By encouraging more supply chain actors, including fast moving consumer product brand owners and major retailers, to use the PEFC logo we can help them connect with consumers on sustainable forest management in a very direct, tangible and credible way. PEFC can make this possible by scaling up Forest Management and Chain-of-Custody certification especially in priority markets of China, India, Vietnam and Indonesia enabling far greater use of on-product labelling in the global market place”. The PEFC Chairman concluded, “The supply chain design exercise confirmed the priority PEFC currently gives forest certification developments in Asia – especially India, China, Vietnam and Indonesia – is correct and we will continue working with local partners in these countries via the Asia Promotions Initiative to scale-up certification. But it also reminded us of the important need to make forest certification work in Africa, in particular leveraging encouraging developments in Gabon, Cameroon and Congo, to enable access for sustainable tropical timber in European and North American markets”. The next PEFC General Assembly will be held in Switzerland in December 2015. More information from www.pefc.org
PEFC: YOUR SOURCE FOR SUSTAINABLE MATERIALS Your customers require proof of legality and sustainability. PEFC, the world’s largest forest certification system, offers you the largest supply. PEFC/01-00-01
Get PEFC Chain of Custody to source and sell certified, sustainable materials. www.pefc.org/getcertified
[email protected]
PEFC - Programme for the Endorsement of Forest Certification 34 | woodmag • Edisi 44 - 2015
Biz News
Design in Asia
Designed in Asia and made in Asia with American Hardwood Designing with wood is a centuries-old tradition for furniture and many buildings in Asia, where wood has been the material of choice. Consider the ancient temples of Japan, for example, or timber houses from India to Indonesia. In today’s society however, architects and designers are turning more to trust wood to perform in new projects as a modern and sustainable material – and there is a clear link between design and performance, when a suitable species is selected. Throughout Southeast Asia, including Vietnam, many modern furniture manufacturers have long relied on western designs provided by overseas buyers, or been inspired by western markets. But since the global recession and downturn in construction, the demand for furniture from the west has reduced and by contrast Asian domestic markets have grown. This has provided opportunities for talented Asian designers to focus on furniture for Asian markets and interiors for the booming hotel and growing residential sectors. There is certainly no shortage of design talent in Asia, as evidenced by the quality of entries in local furniture design competitions and by new furniture models seen at recent shows. But design development takes time and, most importantly, a good understanding of the materials in which designers work. And for many, especially young ones, American hardwoods are new and unfamiliar. So it is not surprising that their use has largely been limited to the safety of foreign designs that are tried and tested – and proven commercially successful. It is becoming clear that Asian designers are taking their rightful place in the creative chain that converts wood to fine furniture and buildings of value, with minimal impact on the environment. There is a strong environmental case for using wood as a design material for, compared to other materials, wood produced in a sustainable manner is an extraordinarily friendly material. Over its full life cycle (cradle to grave), wood is estimated to release up to 47% less air pollution; up to 23% less solid waste and requires up to 57%
less energy to produce than other materials. Unlike other products, wood in construction and furniture stores carbon, the principal contributor to greenhouse gases. Furniture markets in Asia and around the world are often driven by fashion and some species go in and out of fashion like American cherry, black walnut and red oak. These species do not grow in Asia but they are available in high volumes and legally harvested in the USA on a sustainable basis, which is now an important issue for many designers. American hardwood forests provide an abundant natural resource and the U.S. sawmill production of hardwoods will continue to increase. In recent years many of the world’s designers have increasingly come to accept the strong environmental credentials of this material. Data from the U.S. Department of Agriculture shows the expanding use of American hardwoods in Southeast Asia where Vietnam led the region with imports in 2013 up 18%, to US$155 million. Tulipwood (yellow poplar) and white oak are the leading species. American black walnut has increased by 49% in value from 2012.
American hardwoods offer great choice in a variety of textures, colours, grains and character; from the warm, darker tones of black walnut, red alder, elm, cherry and red oak to the lighter hues of white oak, hard maple and ash. By using American hardwoods, designers are assured that they are minimising their impact on the environment throughout all the stages of the product life cycle, from extraction, through processing, use, reuse and final disposal. By embracing these species, designers are not simply responding to a new fashion. Nor are they only seeking to minimise the direct impact of their own creations on the environment. They are promoting desirable visions that compel people to want to live sustainably and in style. The price of furniture is always important and this material competes well around the world – to the tune of about US$2 billion in exports. Quality of furniture is also an influential factor for most buyers and nobody would dispute the quality that can be achieved with American hardwoods. So unless price and quality are the only factors, which may be true of some market sectors, then good and appealing design is the final element. The American Hardwood Export Council has taken notice of a trend in Asian design by Asian manufactures; so at the end of 2014 launched its own exhibition of furniture ‘designed in Asia and made in Asia with American hardwood’ in recognition of the increasing importance of Asian domestic markets. Edisi 44 - 2015 • woodmag | 35
Biz News
Malaysian International Furniture Fair 2015
MALAYSIAN INTERNATIONAL FURNITURE FAIR 2015 POSTS SECOND HIGHEST EVER US$865 MILLION SALES ON POSITIVE NOTE KUALA LUMPUR, April 08: Despite tough market conditions, the Malaysian International Furniture Fair (MIFF) rang up its second highest sales ever of US$865 million as it concluded its recent Mar 3-7 show on a positive note. Organised by UBM Malaysia, the five-day annual event which kicked off the furniture buying season in Asia and Southeast Asia’s biggest furniture event featured 508exhibitors from 15 countries, with 10% new exhibitors, at the Putra World Trade Centre and Malaysian Exhibition and Convention Centre.The upbeat mood and busy networking in the trading halls were buoyed by quality buyers and the strong presence of first-time buyers making up a third of the 18,000 attendees from 130 countries and regions. Last year, the show, renowned as a quality and value-priced market place with extensive selections, recorded US$892 million orders with nearly 20,000 visitors from 141 countries and regions. According to the organiser, buyer traffic to MIFF 2015 was relatively steady from the following regions -- North America, Middle East, Australasia, South Asia, Southeast Asia, East Asia and Latin America – except Europe and Africa with significant drops from Russia, Ukraine and the Ebola-stricken West African states.
36 | woodmag • Edisi 44 - 2015
Despite concerns over the surging US dollar and slump in oil prices, exhibitors were in positive mood as high quality buyers continued to dictate orders and first time attendees drove new business. Tey Lay Hui, managing director of Malaysia’s Home Best, who secured higher sales than last year said: “Buyers from over 50 countries visited us and over 80% were new customers. We also had quite good response from our regulars as well although some were unable to come due to budget reasons. In fact, our sales was better than 2014, we sold a lot to buyers from US and smaller countries of Africa and South America. We have already booked our space for MIFF 2016.” A delighted Shunde Furniture Association from China, which brought over 20 exhibitors to MIFF for the first time and sealed 50% of deals on the opening day of the show, announced “all of them received great response and they definitely will come back again next year.” Praising the diversity of global buyers at MIFF, South Korea’s Hansung School Furniture representative Weon Ki Yun said the company expanded from two to four booths this year, adding: “MIFF is an amazing experience and the most important for me because it has been so easy to find the right buyers from Africa, Middle East, India and Southeast Asian countries. We are so satisfied.” Also in optimistic mood, Eric Lee, managing director of Malaysian local soft furnishings and custom-designed furniture company, Deep Living, said the company wanted to secure exhibition space after enjoying a “very good” debut in MIFF, saying,
Visit The Biggest Woodworking and Furniture Manufacturing Components Exhibition in Indonesia!
The 4th International Furniture Manufacturing Components The 4th
International Woodworking Machinery
Hall B & C Pre Register Online Now at Opening Hour: www.ifmac.net un�l 10 September 2015 Thu-Fri : 10.00 - 19.00 Saturday: 10.00 - 18.00 Free Souvenir for the first 1,000 register Incorporating:
For more information, please contact: PT Wahana Kemalaniaga Makmur
Komplek Perkantoran Graha Kencana Blok CH-CI, Jl Raya Pejuangan No 88, Kebon Jeruk, Jakarta 11530 T: +6221 53660804 F: +6221 5325890/887 E:
[email protected] Organized by:
Supported by: Exhibition & Convention
Expert
PT.WAHANA KEMALANIAGA MAKMUR
Edisi 44 - 2015 • woodmag | 37
Biz News
Malaysian International Furniture Fair 2015
“There were a lot of foreign buyers and enquiries. MIFF is the most established Malaysian furniture export organiser with more than 20 years of history, so obviously it is the first choice for us to get into the export market.” MIFF is part of a dozen key industry shows in Asia owned by UBM that includes Furniture China, Index Trade Fairs Mumbai, Indonesia International Furniture Expo and FIDexpo in Russia. Next year’s MIFF is set from Mar 1- 5 at the same venues. Interested exhibitors can contact MIFF Sales Team at
[email protected]. my. Ms Karen Goi, MIFF General Manager, said: “It was really encouraging to see the high diversity and quality of international buyers despite the challenging global economic climate. Clearly, MIFF has again demonstrated its resilience and relevance as an effective global furniture platform and the top industry event in Southeast Asia. We’ve already received re-bookings for next year’s show.” Buyers’ Comments Joe Falcone (Coast to Coast Furnishings Ltd, Canada): “I’ve been coming to MIFF for the last 10 years because Malaysia produces pretty good quality for the price. We come to Malaysia to shop for bedroom sets, tables and chairs for households. We have very good suppliers here and when we find good ones, we tend to stick with them. MIFF is improving every year.” James and Anne Tougher (Furniture Options, Ireland): “This is our first time in Kuala Lumpur and at MIFF. It’s been lovely. Malaysia has a better selection and I would say Malaysian people are hospitable and friendly. It’s better layered and organised. Yes, we plan to come back next year because it seems more Western
38 | woodmag • Edisi 44 - 2015
here and we’re looking for living room and bedroom furniture.” Peter Schenscher (Radio Rentals, Australia): “I am a buyer for a company called Radio Rentals with 30 to 40 shops in Australia. I have been coming here for eight years now. There are always new products and we can get an idea of what’s changing. We’ve got some great deals. Malaysian manufacturers produce very good quality products which you don’t really get in other areas of Asia, and the thing is, they know what is happening in the industry as well, which is terrific.” Notes to Editors About MIFF (www.miff.com.my) Malaysian International Furniture Fair (MIFF) is an exportoriented furniture trade show held annually in Kuala Lumpur, Malaysia. It is also a global leading trade show approved by UFI, The Global Association for Exhibition Industry. Since 1995, MIFF has nurtured invaluable partnerships between thousands of buyers and furniture makers across the globe. MEDIA CONTACT Ms Kelie Lim Marketing Department, Furniture and Interiors UBM Malaysia Tel: +603-2176 8788 Fax: +603-2164 8786 Email:
[email protected]
Advertorial
Henkel Asia Woodworking Laboratory di Indonesia
Henkel Asia Woodworking Laboratory di Indonesia Apakah produksi Anda sudah optimal? Dapatkah Anda menghasilkan produk yang sama namun dengan biaya keseluruhan yang lebih rendah? Apakah proses dan hasil produksi anda ramah lingkungan? Semua itu bisa dijawab di Henkel Asia Woodworking Laboratory.
PT. Henkel Adhesive Technologies merupakan salah satu pemimpin di industri perekat, dan memiliki fasilitas Asia Woodworking Laboratory (AWL) yang berlokasi di Pasuruan, Jawa Timur. Laboratorium ini fokus pada pengembangan produk perekat baru yang sesuai untuk wilayah Asia, khususnya Asia Tenggara. Selain aktif dalam pengembangan produk untuk pelanggan, AWL juga memiliki fasilitas pengujian hasil produk kayu yang cukup lengkap serta mampu untuk melakukan simulasi proses dan peralatan produksi sehingga dapat memberikan solusi tepat bagi masalah yang dihadapi pelanggan. Edisi 44 - 2015 • woodmag | 39
Advertorial
Henkel Asia Woodworking Laboratory di Indonesia”
atas permasalahan yang terjadi di pelanggan. Sedangkan untuk aplikasi face gluing dan edge gluing, AWL dapat melakukannya dengan menggunakan mesin press yang dimiliki yaitu hydraulic cold press, hot press dan high-frequency press yang didukung dengan mesin-mesin preparasi seperti planer, hand jointer, glue mixer dan glue spreader. Pengujian bending strength, shear dan peel strength hasil finger-joint dan laminating selanjutnya dilakukan dengan mesin Instron universal testing machine. Simulasi proses produksi aktual dapat dilakukan di AWL dari mulai persiapan kayu hingga ke pengeleman, pengepresan, pengkondisian dan pengujian produk akhir berdasarkan metode JAS, JIS, EN 204, KOMO dan ASTM. Simulasi, perbaikan dan tindak lanjut dari suatu trouble shooting juga dapat dilakukan di AWL berdasarkan masukan dari Sales dan Technical Customer Service Henkel dan juga dari bagian produksi pelanggan sehingga verifikasi parameter operasi yang mempengaruhi hasil akhir akan menjadi lebih mudah. Contoh parameter operasi adalah: jenis kayu yang digunakan, persiapan kayu, berat lem yang diaplikasikan, open time, closed assembly time, tekanan dan energi yang diberikan serta faktor lingkungan lainnya.
Veneering, overlay panel, edge banding, post-forming dan aplikasi lainnya
Finger Joint & Edge Gluing
AWL dilengkapi dengan mesin dan peralatan industri perkayuan terbaru. Untuk proses produksi finger-joint, edge dan face gluing, misalnya, AWL dapat melakukan simulasi proses produksi dengan menggunakan mesin finger shaper, finger press dalam upaya mengembangkan produk perekat baru, juga untuk simulasi trouble shooting 40 | woodmag • Edisi 44 - 2015
Bagi pelanggan yang memproduksi panel kayu untuk rumah dan kantor, AWL memiliki fasilitas mesin Kanebo open time/setting time, mesin Instron, hydraulic cold press, hot press, HF press, edge bander, glue spreader, oven dan water bath. Produk yang dapat disimulasi proses pembuatannya dan diuji kekuatannya di AWL misalnya berupa lemari, tempat tidur, kitchen cabinet, meja kantor, meja audio-video dan lain-lain. Proses produksi meliputi veneering, large surface lamination dengan menggunakan paper atau PVC sheet, vacuum forming atau 3D lamination, post-forming, edge banding, soft forming dan laminasi frame.
Dengan menggunakan peralatan dan fasilitas di atas, Technical Customer Service Henkel dapat membantu pelanggan memperbaiki masalah pengeleman, menyempurnakan proses produksi, membantu pelanggan memilih bahan yang tepat untuk produksi dan mengembangkan produk baru. Guna memberi service yang optimal kepada pelanggan, pelayanan yang dilakukan oleh AWL diperkuat dengan bantuan tenaga-tenaga ahli dari Regional serta laboratorium Henkel di seluruh dunia, seperti Asia Pacific (APAC) Development Laboratory di Shanghai dan laboratorium pusat di Bopfingen, Jerman yang secara kontinyu melakukan riset dasar dan analisis detail tentang industri pengolahan kayu. Sebagai produsen perekat, PT. Henkel Adhesive Technologies
membantu pelanggan meningkatkan keuntungan dan memenuhi peraturan yang berlaku. Kemitraan yang baik antara Henkel dan pelanggan menjadi keunggulan yang kuat dan menghasilkan penghematan biaya serta peningkatan kualitas produk jadi.
Edisi 44 - 2015 • woodmag | 41
Ekamant Solution Double action sander
Aplikasi Pengamplasan menggunakan Double Action Sander Double Action Sander digunakan untuk pengampelasanpermukaan panel yang rata dan juga untuk bagian-bagian yang tidak terjangkau oleh mesin WBS dan Stroke sander.
Selain menyediakan amplas disc dengan berbagai macam tipe PT. Ekamant Indonesia juga memiliki produk air tools seperti Double Action Sander dengan merek KOVAK dan Finish 1 dengan garansi ketersedian spare part dan servis gratis (hanya dikenakan biaya spare part).
Double Action Sander
Service Center: Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta.
Amplas Disc
42 | woodmag • Edisi 44 - 2015
Proses pengamplasan Double Action Sander yang benar 1. 2. 3.
Lekatkan amplas Disc pada permukaan PAD mesin (PSA/HookPAD).
Cek Tekanan angin untuk mencapai speed 12.000 rpm tekanan angin ±6 bar.
Mesin dihidupkan setelah diletakkan pada permukaan panel yang akan di amplas.
4. Pengamplasan hanya dilakukan pada permukaan yang rata dan bergerak melingkar. 5.
Mesin jangan ditekan pada saat berlangsungnya proses pengamplasan.
7.
Mesin dimatikan setelah diangkat dari permukaan panel yang diamplas.
6.
8.
Posisi mesin tidak boleh miring pada saat proses pengamplasan (over sanding).
Untuk mendapatkan hasil finishing yang bagus, gunakan PAD yang soft dan speed mesin yang rendah.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perawatan 1.
Suplai angin dari kompresor sebaiknya sudah melalui filter air.
3.
Setelah pelumasan, mesin dihidupkan beberapa detik sebelum proses pengamplasan agar oli tidak menetes pada permukaan panel.
2.
4. 5.
Dilakukan pelumasan pada mesin secara berkala dengan cara meneteskan oli kurang -lebih 2-3 tetes melalui saluran angin untuk setiap 1 shift pemakaian.
Selalu bersihkan permukaan PAD dari lem dan debu kayu setelah pemakaian mesin. Ganti PAD apabila sudah rusak/ bergelombang.
Edisi 44 - 2015 • woodmag | 43
Finishing Solution
Macam-macam Finishing untuk kayu, by Wisno
Macam-macam Finishing untuk kayu Oleh: Wisno
Meskipun ada banyak jenis bahan finishing saat ini, namun apabila diklasifikasikan sesuai dengan fungsinya maka bahan-bahan finishing dapat dikelompokkan menjadi 5 kelompok yaitu : Clear coating, Stain, Glaze, Filler, Putty dan Thinner.
1. Clear coating
Teknologi finishing kayu telah mengalami banyak perubahan seiring dengan perkembangan teknologi pengolahan kayu dan peradaban manusia. Berbagai macam alat dan teknik baru telah dibuat untuk dapat memenuhi pemintaan jenis-jenis finishing yang dibutuhkan oleh pasar dari produk-produk kayu. Demikian juga dengan material finishing. Untuk memenuhi tuntutan dari finishing kayu, maka industri bahan finishing saat ini telah menyediakan berbagai macam bahan finishing. Banyaknya macam dan ragam bahan finishing ini seringkali membingungkan bagi para pelaku industri finishing terutama bagi mereka yang belum mengenalnya secara baik. Untuk membantu anda semua para pelaku dan pemerhati finishing kayu, maka pada artikel kali ini saya akan mengulas tentang jenis-jenis bahan finishing sesuai dengan fungsinya. 44 | woodmag • Edisi 44 - 2015
Adalah bahan finishing yang berfungsi untuk membentuk lapisan film pada finishing. Clear coating ini berupa suatu campuran yang kental yang akan mengeras pada saat kering dan kemudian membentuk suatu lapisan film yang keras yang berfungsi memberikan perlindungan (proteksi) pada permukaan yang dilapisinya. Menurut jenisnya ada bermacammacam clear coating yaitu: NC, melamin, PU, UV coating dan lain-lain. Sedangkan menurut fungsinya clear coating dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu sealer dan top coat.
Top coat Top coat adalah suatu clear coating yang berfungsi sebagai lapisan finishing yang terakhir (paling atas) pada suatu proses finishing. Top coat ini adalah bahan yang berfungsi untuk melindungi permukaan dibawahnya juga berfungsi untuk membentuk gloss dari lapisan finishing yang dihasilkan
Sealer Sealer adalah lapisan finishing yang berfungsi untuk memberikan lapisan film yang rata dan halus (sesudah melewati proses pengamplasan) untuk dilapisi lagi dengan top coat diatasnya. Pada hakekatnya sealer adalah sama dengan top coat tetapi dibuat supaya dapat diamplas dengan mudah. Sealer ini dibuat dengan bahan yang sama dengan top coat tetapi ditambahkan satu bahan yang dinamakan sanding agent yaitu bahan yang berfungsi untuk megurangi timbulnya panas akibat gesekan pada proses pengamplasan.
2. Stain Adalah bahan finishing yang berfungsi untuk membentuk dan menentukan warna dari suatu finishing. Stain dibuat dari suatu pigmen dengan pelarut dan ditambahkan sedikit resin tertentu sebagai binder (pengikat) dan untuk mendapatkan sifat-sifat tertentu dari stain tersebut. Stain untuk kayu dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu wood stain dan paint, primer atau base coat.
Wood stain Adalah stain kayu yang digunakan untuk membentuk warna-warna transparan. Wood stain ini berupa suatu larutan atau campuran yang relatif encer dengan warna tertentu. Apabila diaplikasikan pada permukaan kayu, maka stain ini akan meresap pada kayu atau melapisi permukaan kayu dan menghasilkan perubahan warna pada kayu. Warna akhir dari finishing selalu merupakan pencampuran dari warna dasar kayu dengan warna wood stain yang digunakan. Selain masih menampilkan warna dasar kayu warna transparan biasanya juga akan menampilkan keindahan dari serat dan pori kayu. Paint, base coat, primer Adalah stain yang digunakan untuk menghasilkan warna-warna solid (paint finish) atau warna duco atau warna opak (opaque color). Paint, base coat atau primer ini berupa suatu campuran yang kental dengan warna-warna tertentu. Apabila diaplikasikan pada permukaan kayu,
maka paint ini akan menghasilkan suatu lapisan film dengan warna tertentu yang akan menutupi warna dasar dari permukaan di bawahnya. Paint ini bersifat menutup, karena itu warna dari finishing akan ditentukan seluruhnya dari warna dari paint yang diaplikasikan di oermukaan kayu. Biasanya finishing ini juga akan menutup permukaan kayu dan menghilangkan penampilan dari serat kayu dibawahnya.
3. Glaze
Glaze ini adalah satu jenis stain yang didesign secara khusus untuk diaplikasikan di antara lapisan coating tanpa merusak lapisan coatingnya. Glaze diaplikasikan dengan cara dikuas atau dilap atau dikuaskan di atas permukaan sealer atau top coat dan kemudian dilapisi dengan satu atau lebih lapisan clear coating lagi untuk membentuk warna atau membuat efekefek spesial pada finishing. Glaze ini banyak dikenal dalam American style finish untuk mengisi dan mewarnai serat dan pori kayu atau menghasilkan efek-efek finishing tertentu seperti membuat efek marble, kesan antic, kotor atau efek spesial lainnya.
4. Filler
Filler adalah bahan finishing yang digunakan untuk mengisi pori-pori kayu dan serat kayu. Filler ini banyak dibutuhkan untuk menghasilkan finishing dengan pori-pori tertutup. Jenis kayu tertentu seperti kayu oak, jati, mahoni secara alami memiliki poripori yang besar dan dalam dan relatif sulit untuk di finish dengan model close pores (finishing dengan pori-pori yang tertutup). Pemakaian filler pada proses finishing untuk mengisi pori dan serat kayu sangat dianjurkan karena sebenarnya clear coating tidak didesign untuk mengisi pori dan serat. Jadi aplikasi sealer (atau top coat) untuk menutup pori dan serat sebenarnya tidak telalu tepat karena akan akan mahal, membutuhkan waktu yang lama dan beresiko.
Edisi 44 - 2015 • woodmag | 45
Finishing Solution Macam-macam Finishing untuk kayu, by Wisno
6. Thinner (pengencer)
5. Putty
Putty atau dempul adalah bahan yang berfungsi untuk menutup lubang atau celah pada kayu. Adanya lubang kayu atau celah ini biasanya akibat dari proses pengerjaan kayu yang tidak sempurna atau karena kualitas kayu yang kurang baik. Bahan untuk membuat dempul hampir sama dengan bahan untuk membuat filler, hanya saja dempul dibuat lebih padat dan lebih cepat kering. Dempul dipakai dengan cara diisikan pada celah atau lubang pada kayu mentah dan kemudian setelah kering dan dilanjutkan dengan pengamplasan untuk menghasilkan permukaan yang rata.
46 | woodmag • Edisi 44 - 2015
Thinner adalah bahan yang berfungsi untuk mengencerkan material finishing supaya dapat diaplikasikan dengan mudah. Bahan finishing yang murni merupakan bahan padat atau pasta yang kental yang sangat sulit untuk dapat diaplikasikan, sedangkan alat untuk aplikasi bahan finishing hanya dapat bekerja terhadap material dengan viskositas yang rendah (material yang encer. Karena itu maka bahan finishing membutuhkan thinner untuk “membawa” bahan finishing ke permukaan yang dilapisinya. Thinner sendiri akan habis menguap pada setelah diaplikasikan dan tidak akan membentuk lapisan finishing. Penggunaan thinner juga digunakan untuk mengatur kadar bahan finishing pada saat pemakaian sehingga dihasilkan ketebalan lapisan bahan finishing tertentu sesuai dengan kebutuhan. Dengan pemilihan bahan yang tepat, thinner juga bisa digunakan untuk mengatur waktu pengeringan dan mengatur sifat-sifat tertentu pada material finishing.
Anda juga bisa membaca artikelartikel saya mengenai finishing pada website saya di: www.wisnofurniturefinishing.com Keterangan: Kami menyediakan diri untuk memberikan konsultasi terhadap masalah-masalah finishing. Apabila anda mempunyai masalah atau pertanyaan seputar finishing kayu, maka kirimkan pada kami dan kami akan membantu untuk memberikan jawaban atas masalah anda.
calendar of event june - october 2015 •
June 2015
03 – 07 : Indonesia Building Technology Expo (Indobuildtech) 2015, Jakarta Convention Center Jakarta
09 – 12 : GILE Lighting 2015. Guangzhou International Lighting Exhibition + Electrical Building Technology China Guangzhou, China 10 – 12 Interior Lifestyle Tokyo 2015 International Furniture Fair Tokyo. Ambiente Japan/Heimtextil Japan/Home Design Japan Japan, Tokyo
10 – 13 Surabaya Manufacturing 2015 Grand City Convention & Exhibiton Surabaya
July 2015
01 – 03 LEDTEC Asia 2015. International LED/OLED Technology Show Vietnam, Ho Chi Minh
03 – 04 Architect @ work 2015 Specially tailored contact days for architects, interior architects, designers and other with a focus on innovation. Shanghai, China
08 – 10 Design Tokyo 2015 Design Product Fair Japan, Tokyo
16 – 19 Decoration + Design 2015 Australia’s Leading Soft Furnishins Australia, Melbourne
23 – 25 Woodmach Cebu 2015 Manufacturing Technology Exhibition Wood, Woodworking, Furniture-Making Machinery, Furnishings and Accessories Exhibition, Philippines, Cebu
August 2015
06 – 08 LUXE HOME 2015 Shanghai International Luxury Living & Interior Furnishing Exhibition China, Shanghai
15 – 23 Indonesia Properti 2015 Jakarta Convention Centre 19 – 23 KOFURN 2015 International Furniture and Woodworking Fair Korea South, Goyang-si, Gyeonggi-do
26 – 30 Indobuildtech Expo Makassar, Clarion Hotel Makassar
September 2015
16 – 20 Indobuildtech Expo Balikpapan DOME Balikpapan
17 – 19 The 4th IFMAC The International Woodworking & Furniture Manufacturing Components JIExpo Kemayoran Jakarta Indonesia, Jakarta 23 – 25 International Lighting Fair 2015 China, Shanghai
24 – 26 Furniture, Fixtures & Equipment Philippines 2015 International Furniture & Furnishing, Fixture & Maintenance Equipment, Products & Services Exhibition Philippines, Manila, Pasay City 30 – 04 Okt Property Expo 2015 Celebes Convention Centre Makassar
Oktober 2015
13 – 16 PORDENONE FAIR SICAM 2015 International Exhibition Of Components, Semifinished Product And Accessories For The Furniture Industry Italy Telp. +39 02 86995712, Fax. +39 02 72095158 Email:
[email protected]
14 – 15 Architect@work France 2015 Specially tailored contact days for Architects, Interior Architects, Designers and other Consultants with Focus on Innovation France, Marseille
14 – 17 VietnamWood & Furnitec 2015. International Woodworking Industry Fair, Furniture, Fitting Components & Accessories Exhibition, Vietnam, Ho Chi Minh 15 – 18 Index Furniture 2015 International Trade fair on Finished Furniture for Residential & Hospitality India Mumbai
21 - 23 CIKB 2015. China International Kitchen and Bathroom Expo Shanghai, China 24 – 01 Nov MOA CASA 2015 Furniture, Interior Decoration and Furnishing Exhibition Italy, Roma 21 – 25 Indobuildtech Expo Bandung Bandung Convention Centre
Edisi 44 - 2015 • woodmag | 47
Ekamant News Inhouse Training Kurnia Anggun & Pasi ic Furniture
ekamant in house Training PT Kurnia Anggun(Unit 1) Jumlah peserta : 24 orang. Tanggal pelaksanaan : 22 November 2014 Trainer : Andri Franniko
PT Pasific Furniture Jumlah peserta : 13 orang. Tanggal pelaksanaan : 11 November 2014 Trainer : Andri Franniko Adalah perusahaan yang bergerak dibidang furniture berlokasi di Semarang. Ini merupakan pelatihan yang pertama kali dilaksanakan di PT. Pasific Furniture pada tanggal 11 November 2014. Matering training mengenai dasar-dasar pengamplasan dan aplikasi pengamplasan. Training berlangsung cukup interaktif dengan banyaknya pertanyaan-pertanyaan dan diskusi.
Beberapa hal yang dibahas adalah cara menentukan kombinasi grit yang ideal & stock removal, mulai dari proses pembahanan sampai dengan proses finishing sesuai. Serta dibahas juga aplikasi pengamplasan dengan mengunakan mesin wide belt sander beserta penyimpanan amplasnya sampai dengan pengamplasan dengan mengunakan orbital sander beserta permasalahan dalam proses pengamplasan, sehingga didapatkan hasil yang lebih baik dan efisien.
48 | woodmag • Edisi 44 - 2015
Pelatihan yang dilaksanakan di PT. Kurnia Anggun (unit 1) pada tanggal 22 November 2013 adalah merupakan kegiatan pelatihan pengamplasan yang bertujuan untuk mendapatkan hasil pengamplasan yang lebih baik dan efisien. Kegiatan ini merupakan salah satu dari beberapa kegiatan after sales service PT. Ekamant Indonesia kepada seluruh customer.
Adapun jumlah perserta yang hadir pada saat itu adalah 24 orang, Materi pelatiahan di PT. Kurnia Anggun (unit 1) yang berlokasi di Mojekerto, Jawa tengah ini membahas teknik dasar pengamplasan mulai dari proses pengamplasan manual sampai dengan proses pengamplasan dengan mengunakan mesin. Kegiatan pelatihan ini berjalan cukup serius dan interaktif dengan adanya pembahasan pengamplasan berserta permasalahan permasalahan yang sering ditemukan untuk mendapatkan solusi yang terbaik.
Ekamant News
Training di Akademi PIKA Semarang
Training di Akademi PIKA Semarang Oleh Andri Franniko, ST - Technical Support Head PT. Ekamant Indonesia
Akademi PIKA yang terletak kota Semarang merupakan program lanjutan, dari sekolah SMK PIKA yang merupakan pendidikan kejuruan dibidang pengolahan kayu. Kegiatan training ini merupakan agenda rutin tahunan yang dilaksanakan oleh
PT. Ekamant Indonesia yang berkerjasama dengan SMK dan Akademi PIKA. Pelaksanaan training dibagi menjadi dua sesi, yaitu sesi pertama pada pagi hari merupakan teori di kelas yang membahas tentang Pengenalan dasaramplas beserta aplikasi dan permasalahannya, sedangkan sesi ke dua merupakan kegiatan praktek area produksi, yaitu pengenalan aplikasi aplikasi pengamplasan beserta cara pengunaan dan perawatan yang meliputi berbagai mesin, diantaranya mesin double action sander, stroke sander, wide belt sander, serta pengamplasan manual dengan pad (hand sanding). Jumlah perserta yang turut hadir dalam kegiatan training tersebut adalah
25 siswa Akademi PIKA. Training berlangsung sangat interaktif, serta banyaknya pertanyaan pertanyaan yang berhubungan dengan dasar dasar amplas serta aplikasi pengamplasan beserta permasalahannya. Beberapa hal yang dibahas adalah jenis jenis pasir amplas, jenis backing amplas, cara menentukan kombinasi grit yang ideal & stock removal, mulai dari proses pembahanan sampai dengan proses finishing sesuai dengan jenis kayu, jenis jenis mesin amplas dan aplikasinya, serta penyimpanan amplas, sehingga didapatkan hasil yang lebih baik dan efisien. Pada akhir kegiatan dilakukan sesi foto bersama antara peserta dan team dari PT. Ekamant Indonesia.
Edisi 44 - 2015 • woodmag | 49
Event
Lomba Ukir Jepara 2015
Lomba Ukir Jepara 2015
“Lomba Ukir Ke-3 kalinya Digelar” PT. Ekamant Indonesia kembali mensponsori kegiatan Lomba Ukir Jepara 2015, yang berlangsung di Alun-Alun Jepara, Sabtu , 18 April 2015. Lomba Ukir 2015 diikuti perempuan, anak usia sekolah dan pria. Bertepatan dengan pembukaan Festival Kuliner dan pangan se-Jawa Tengah yang digelar untuk meramaikan Festival Kartini Ke-3. Dalam kesempatan tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, menyempatkan hadir meninjau kegiatan lomba ukir Jepara. Kegiatan Lomba Ukir Jepara 2015 ini merupakan event yang Ke-3 kalinya PT. Ekamant Indonesia ikut mensponsori, bekerja saja dengan Humas Pemda Jepara. Melalui kegiatan lomba ukir ini, yang melibatkan peserta dari usia muda, dimaksudkan dapat melestarikan ketrampilan dan budaya mengukir Jepara sekaligus menarik minta anak-anak muda berkarya sebagai pengukir Jepara. Ikon Jepara sebagai pusat ukir dunia dikhawatirkan mengalami degradasi jumlah pengukir Jepara. Hal yang menarik dari kegiatan Festival Kartini 2015 ini, sebagaimana ungkapan Bupati Jepara, Ahmad Marzuqi SE, bahwa kegiatan Festival Kartini di tahun depan akan digelar dengan skala nasional. Ramainya peserta kuliner se-Jawa Tengah di Alunalun Jepara, memang memberi warna tersendiri pada kegiatan festival ini. Selain mengenalkan bahan pangan hasil pertanian unggulan masing-masing daerah, juga dipamerkan produk-produk olahan dari bahan pangan tersebut. Sejalan dengan ungkapan Kepala BKP Provinsi Jawa Tengah, Whitono, generasi muda perlu mengenal lebih dalam potensi produk olahan dalam negeri ketimbang menikmati produkproduk yang berbahan impor.
50 | woodmag • Edisi 44 - 2015
Edisi 44 - 2015 • woodmag | 51
Product &Technology Sunmight L 312 Film Disc
SUNMIGHT L312 FILM DISC Sunmihgt L312 Film Disc adalah amplas disc dengan pasir Aluminium dan mempunyai backing Hard Film. Amplas ini cocok untuk pengamplasan metal finishing pada industri metal automotive. Selain itu amplas ini dapat diaplikasikan pada industri woodwoking dan Musical Instrumen untuk aplikasi high gloss. Amplas ini biasa digunakan menggunakan mesin D.A. Sander dengan speed yang tinggi sehingga menghasilkan hasil yang maksimal.
Spesifikasi Backing Boanding Grit Coating Grit range Grain side color Back side color
: : : : : : :
Hard Film Resin over resin Aluminium Oxide Open coat 100 Green Green
Penggunaan • Dipergunakan untuk mesin Double Action Sander disc 5” Hand Sanding dengan menggunakan Pad atau tatakan dari karet. • Produk ini direkomendasikan untuk proses pengamplasan kering pada plat besi dan kalibrasi pada kayu. • Market Segment: • Metalworking & Woodworking
Aplikasi
52 | woodmag • Edisi 44 - 2015
Product &Technology Finish 1 Gold
FINISH1 GOLD Finish1 Gold adalah amplas dengan backing kertas (C Paper) untuk diaplikasikan pada bentuk amplas disc maupun amplas roll. Finish1 gold ini sering diaplikasikan untuk body repair dalam bentuk disc. Selain itu finish1 gold disc dapat diaplikasikan untuk industri woodworking dengan bentuk roll dan disc. Amplas finish1 gold ini mempunyai jenis pasir Aluminium Oxide sehingga mampu mengikis dengan sempurna.
Spesifikasi Backing Boanding Grit Coating Grit range Grain side color Back side color
: : : : : : :
C Paper Resin over resin Aluminium Oxide Open coat 80 – 800 Gold Yellow
Penggunaan • Dipergunakan untuk pengamplasan hand sanding dan mesin, dengan ukuran Disc. • Product ini direkomendasikan untuk proses pengamplasan kering pada proses pengamplasan kalibrasi dan lacquer sanding. • Market Segment: • Metalworking, woodworking & Body Repair.
Aplikasi
Edisi 44 - 2015 • woodmag | 53
Product &Technology Sunmight P 549
SUNMIGHT P549 Sunmight P549 adalah amplas segmented belt dengan pasir Cilicone Carbide yang efisien, tahan lama dan dilengkapi backing kain yang kuat memungkinkan tingkat pengikisan kalibrasi yang maksimal. Sunmight P549 ini sering diaplikasikan untuk pengamplasan pada MDF dan Partikel Board pada industri woodworking.
Spesifikasi Backing Boanding Grit Coating Grit range Grain side color Back side color
: Polyester : Resin over resin : Silicon Carbide : Open coat : 36 : Black : Black
Removal Rate Lifetime Stability Clogging Finish
: High : Long : Low : Low : Very Good
Karakteristik
Penggunaan
• Dipergunakan untuk pengamplasan dengan mesin, dengan ukuran Segmented Belt. • Product ini direkomendasikan untuk proses pengamplasan kering pada proses pengamplasan kalibrasi pada MDF dan Partikel Board. • Market Segment: • Woodworking & BordWorking
Aplikasi
54 | woodmag • Edisi 44 - 2015
Rise above the Rest The WM4000 – the latest advance in industrial thin-kerf timber processing.
Put the WM4000 to work in your business as a stand-alone sawmill or integrate it into a large operation to process oversize logs. Low ownership and maintenance costs and higher productivity with more log yield creates a formula for your success.
Top New Features: • • • •
Advanced setworks with more automation Heavy-duty bed with 50% more steel Faster head positioning speed Automatic board removal conveyor
Edisi 44 - 2015 • woodmag | 55
Adhesive Innovations
Extended Product Portfolio
Service & Support
Henkel – Adhesive solutions for the building and furniture industry.
PT. Henkel Indonesien Talavera Office Park 21st Fl, Jl. TB Simatupang Kav. 22-26, Jakarta 12430, Indonesia Tel. +62 21 2758 6900 Fax. +62 21 7592 4625 56 | woodmag • Edisiwww.henkel-adhesives.co.id 44 - 2015
[email protected];